kep jiwa pk print
TRANSCRIPT
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Manusia menjalani kehidupan sehari-hari pasti akan mempunyai permasalahan. Setiap
permasalahan harus dihadapi secara baik/konstruktif. Apabila kesehatan mentalnya terganggu
maka permasalahan itu sulit untuk diselesaikan sehingga dia akan merasa tidak tenang dalam
hidupnya dan akan menyebabkan cemas. Gangguan keseimbangan mental dapat mengakibatkan
gangguan jiwa yang apabila terjadi terus menerus maka akan menimbulkan emosi. Emosi
tersebut merupakan ancaman pada keseimbangan psikologis manusia. Gangguan keseimbangan
psikologis dapat menimbulkan kemarahan.
Perasaan jengkel normal bagi setiap individu, apalagi kalau permasalahan yang dihadapi
belum ada penyelesaiannya. Namun perilaku yang ditandai dengan perasaan marah karena
kegagalan untuk menyelesaikan masalah dan mencapai tujuan yang diinginkan akan membuat
individu menjadi pendiam dan tidak tahu apa yang akan dilakukan untuk mencapai tujuan
tersebut. Apabila hal tersebut tanpa diimbangi dengan penguasaan emosi yang baik ia dapat
melakukan apa saja termasuk melakukan tindakan kekerasan dalam mencapai tujuan yang
diinginkan. Perilaku kekerasan merupakan perasaan marah dan bermusuhan yang kuat disertai
kehilangan kontrol diri individu yang dapat menciderai diri sendiri, orang lain dan lingkungan
(Kelliat, 1996).
Klien dengan perilaku kekerasan akan bersifat menentang, suka membantah, bersikap
kasar, kecenderungan menuntut secara terus menerus apa yang ia inginkan. Permasalahan yang
dihadapi dalam perawatan pasien dengan tindakan kekerasan adalah sikap pasien yang dapat
membahayakan bagi diri pasien sendiri, orang lain, dan lingkungan. Klien dapat merusak barang-
barang yang ada dihadapannya dan mungkin masih banyak lagi tindkan destruktif yang bisa
dilakukan.
1
1.2 Rumusan Masalah
2. Apakah definisi dari perilaku kekerasan ?
3. Apa saja macam macam dari perilaku kekerasan ?
4. Upaya upaya apa saja yang dapat digunakan untuk menangani perilaku kekerasan ?
5. Faktor factor yang menjadi penyebab Perilaku kekerasan ?
1.3 Tujuan
1. Mahasiswa mampu memahami definisi dari perilaku social
2. Mahasiswa mampu mengatasi dan menangani pasien dengan gangguan jiwa khususnya
Perilaku kekerasan
3.Mahasiswa mampu mengurangi factor – factor yang menimbulkan gangguan kejiwaan
perilaku social.
2
BAB 2
PEMBAHASAN
A.Konsep Dasar
2.1 Defenisi perilaku kekerasan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan di mana seorang individumengalami perilaku-
perilaku yang dapat melukai secara fisik baik terhadapdiri sendiri dan orang lain.
Kemarahan (anger) adalah suatu emosi yang terentang mulai dari iritabilitas sampai
agresivitas yang dialami oleh semua orang. Biasanya, kemarahan adalah reaksi terhadap stimulus
yang tidak menyenangkan atau mengancam (Widjaya Kusuma, 1992: 423).
Kemarahan adalah perasaan jengkel yang timbul sebagai respon terhadap kecemasan yang
dirasakan sebagai ancaman (Stuart dan Sundeen, 1987: 563). Pengungkapan kemarahan dengan
langsung dan konstruktif pada waktu terjadi akan melegakan individu dan membantu orang lain
untuk dapat mengerti perasaan yang sebenarnya. Namun demikian, faktor budaya perlu
dipertimbangkan sehingga keuntungan kedua belah pihak dapat tercapai.
2.2 Rentang Respon Kemarahan
Respon kemarahan dapat berfluktuasi dalam rentang adaptif maladaptif (lihat gambar
berikut).
Respon adaptif Respons maladaptif
Pernyataan
(assertion) Frustasi Pasif Agresif Ngamuk
Gambar. Rentang Respons Kemarahan
1. Assertion adalah Kemarahan atau rasa tidak setuju yang dinyatakan atau diungkapkan tanpa
menyakiti orang lain akan memberi kelegaan pada individu dan tidak akan menimbulkan
masalah.
2. Frustasi adalah respons yang terjadi akibat gagal mencapai tujuan karena yang tidak realistis
3
atau hambatan dalam proses pencapain tujuan. Selanjutnya inidvidu merasa tidak mampu
mengungkapkan perasaan dan terlihat pasif.
3. Pasif adalah individu tidak mampu mengungkapkan perasaannya, klien tampak pemalu,
pendiam, sulit diajak bicara karena rendah diri dan merasa kurang mampu.
4. Agresif adalah perilaku yang menyertai marah dan merupakan dorongan untuk bertindak
dalam bentuk destruktif dan masih terkontrol. Perilaku yang tampak dapat berupa: muka masam,
bicara kasar, menuntut, kasar disertai kekerasaan.
5. Ngamuk adalah perasaan marah dan bermusuhan kuat disertai kehilangan kontrol diri. Individu
dapat merusak diri sendiri orang lain dan lingkungan.
2.3 Proses Kemarahan
Stress, cemas, marah merupakan bagian kehidupan sehari-hari yang harus dihadapi oleh
setiap inidvidu. Stress dapat menyebabkan kecemasan yang menimbulkan perasaan tidak
menyenangkan dan terancam. Kecemasan dapat menimbulkan kemarahan.
Respon terhadap marah dapat diungkapkan melalui 3 cara yaitu:
1. Mengungkapkan secara verbal;
2. Menekan; dan
3. Menantang.
Dari ketiga cara ini cara yang pertama adalah konstruktif sedang dua cara lain adalah
destruktif. Dengan melarikan diri atau menantang akan menimbulkan rasa bermusuhan, dan bila
cara ini dipakai terus-menerus, maka kemarahan dapat di ekspresikan pada diri sendiri atau
lingkungan dan akan tampak sebagai depresi psikomatik atau agresif dan ngamuk.
Secara skematis perawat penting sekali memahami proses kemarahan yang dapat
digambarkan pada skema di bawah ini:
4
Gambar. Proses Kemarahan
Kemarahan diawali oleh adanya stressor yang berasal dari internal atau eksternal. Stressor
internal seperti penyakit, hormonal, dendam, kesal sedangkan stressor eksternal bisa berasal dari
ledekan, cacian, makian, hilangnya benda berharga, tertipu, penggusuran, bencana dan
sebagainya. Hal tersebut akan mengakibatkan kehilangan atau gangguan pada sistem individu
(Disruption and Loss). Hal yang terpenting adalah bagaimana seorang individu memaknai setiap
kejadian yang menyedihkan atau menjengkelkan tersebut (personal meaning).
Bila seseorang memberi makna positif, misalnya: macet adalah waktu untuk istirahat,
penyakit adalah sarana penggugur dosa, suasana bising adalah melatih persyarafan telinga
(nervus auditorius) maka ia akan dapat melakukan kegiatan secara positif (compensatory act)
dan tercapai perasaan lega (resolution). Bila ia gagal dalam memberikan makna menganggap
segala sesuatunya sebagai ancaman dan tidak mampu melakukan kegiatan positif (olah raga,
menyapu atau baca puisi saat dia marah dan sebagainya) maka akan muncul perasaan tidak
berdaya dan sengsara (helplessness). Perasaan itu akan memicu timbulnya kemarahan (anger).
Kemarahan yang diekspresikan keluar (expressed outward) dengan kegiatan yang konstruktif
(constructive action) dapat menyelesaikan masalah. Kemarahan yang diekspresikan keluar
(expressed outward) dengan kegiatan yang destruktif (destructive action) dapat menimbulkan
perasaan bersalah dan menyesal (guilt). Kemarahan yang dipendam akan menimbulkan gejala
psikosomatis (painful symptom).
5
2.4 Proses Terjadinya Amuk / kekerasan
Faktor Predisposisi
1. Teori Biologik
1) Neurologic factor, beragam komponen dari sistem syaraf seperti synap, neurotrans-
mitter,dendrit,axon terminalis mempunyai peran memfasilitasi atau menghambat
rangsangan dan pesan-pesan yang akan memengaruhi sifat agresif. Sistem limbik sangat
terlibat dalam menstimulasi timbulnya perilaku bermusuhan dan respons agresif.
2) Genetic factor, adanya faktor gen yang diturunkan melalui orangtua, menjadi potensi
perilaku agresif. Menurut riset Kazuo Murakami (2007) dalam gen manusia terdapat
dormant (potensi) agresif yang sedang tidur dan akan bangun jika terstimulasi oleh faktor
eksternal. Menurut penelitian genetik tipe karyo-type XYY, pada umumnya dimiliki oleh
penghuni pelaku tindak kriminal serta orang-orang yang tersangkut hukum akibat perilaku
agresif.
3) Cyrcardian Rhytm (irama sirkardian tubuh), memegang peranan pada individu.
Menurut penelitian pada jam-jam tertentu manusia mengalami peningkatan cortisol terutama
pada jam-jam sibuk seperti menjelang masuk kerja dan menjelang berakhirnya pekerjaan
sekitarjam 9 dan jam 13. Pada jam tertentu orang lebih mudah terstimulasi untuk bersikap
agresif.
4) Biochemistry factor (Faktor biokimia tubuh) seperti neurotransmiter di otak (epi-
nephrin, norepinephrin, dopamin, asetilkolin, dan serotonin) sangat berperan dalam
penyampaian informasi melalui sistem persyarafan dalam tubuh, adanya stimulus dari luar
tubuh yang dianggap mengancam atau membahayakan akan dihantar melalui impuls
neurotransmitter ke otak dan meresponnya melalui serabut efferent. Peningkatan hormon
androgen dan norepinephrin serta penurunan serotonin dan GABA pada cairan
cerebrospinal vertebra dapat menjadi faktor predisposisi terjadinya perilaku agresif.
5) Brain Area disorder, gangguan pada sistem limbik dan lobus temporal, sindrom otak
organik, tumor otak, trauma otak, penyakit ensepalitis, epilepsi ditemukan sangat
berpengaruh terhadap perilaku agresif dan tindak kekerasan.
2. Teori Psikologik
1) Teori Psikoanalisa
6
Agresivitas dan kekerasan dapat dipengaruhi oleh riwayat tumbuh kembang seseorang
(life span hystori). Teori ini menjelaskan bahwa adanya ketidakpuasan fase oral antara usia
0-2 tahun dimana anak tidak mendapat kasih sayang dan pemenuhan kebutuhan air susu
yang cukup cenderung mengembangkan sikap agresif dan bermusuhan setelah dewasa
sebagai kompensasi adanya ketidakpercayaan pada lingkungannya. Tidak terpenuhinya
kepuasan dan rasa aman dapat mengakibatkan tidak berkembangnya ego dan membuat
konsep diri yang rendah. Perilaku agresif dan tindak kekerasan merupakan pengungkapan
secara terbuka terhadap rasa ketidakberdayaannya dan rendahnya harga diri pelaku tindak
kekerasan.
2) Imitation, modeling, and information processing theory;
Menurut teori ini perilaku kekerasan bisa berkembang dalam lingkungan yang menolelir
kekerasan. Adanya contoh, model dan perilaku yang ditiru dari media atau lingkungan
sekitar memungkinkan individu meniru perilaku tersebut. Dalam suatu penelitian beberpa
anak dikumpulkan untuk menonton tayangan pemukulan pada boneka dengan reward positif
(makin keras pukulannya akan diberi coklat), anak lain menonton tayangan cara mengasihi
dan mendum boneka tersebut dengan reward positif pula (makin baik belaiannya mendapat
hadiah coklat). Setelah anak-anak keluar dan diberi boneka ternyata masing-masing anak
berperilaku sesuai dengan tontonan yang pernah dialaminya.
3) Learning theory
Perilaku kekerasan merupakan hasil belajar individu terhadap lingkungan terdekatnya. la
mengamati bagaimana respons ayah saat menerima keke-cewaan dan mengamati bagaimana
respons ibu saat marah. la juga belajar bahwa dengan agresivitas lingkungan sekitar menjadi
peduli, bertanya, menanggapi, dan menganggap bahwa dirinya eksis dan patut untuk
diperhitungkan.
3. Teori Sosiokultural
Dalam budaya tertentu seperti rebutan berkah, rebutan uang receh, sesaji atau kotoran
kerbau di keraton, serta ritual-ritual yang cenderung mengarah pada kemusyrikan secara tidak
langsung turut memupuk sikap agresif dan ingin menang sendiri. Kontrol masyarakat yang
rendah dan kecenderungan menerima perilaku kekerasan sebagai cara penyelesaian masalah
dalam masyarakat merupakan faktor predisposisi terjadinya perilaku kekerasan. Hal ini dipicu
7
juga dengan maraknya demonstrasi, film-film kekerasan, mistik, tahayul dan perdukunan (santet,
teluh) dalam tayangan televisi.
4. Aspek religiusitas
Dalam tinjauan religiusitas, kemarahan dan agresivitas merupakan dorongan dan bisikan
syetan yang sangat menyukai kerusakan agar manusia menyesal (devil support). Semua bentuk
kekerasan adalah bisikan syetan melalui pembuluh darah ke jantung, otak dan organ vital
manusia lain yang dituruti manusia sebagai bentuk kompensasi bahwa kebutuhan dirinya
terancam dan harus segera dipenuhi tetapi tanpa melibatkan akal (ego) dan norma agama (super
ego).
Faktor Presipitasi
Faktor-faktor yang dapat mencetuskan perilaku kekerasan seringkali berkaitan dengan:
1. Ekspresi diri ingin menunjukkan eksistensi diri atau simbol solidaritas seperti dalam
sebuah konser, penonton sepak bola, geng sekolah, perkelahian massal dan sebagainya.
2. Ekspresi dari tidak terpenuhinya kebutuhan dasar dan kondisi sosial ekonomi.
3. Kesulitan dalam mengkomunikasikan sesuatu dalam keluarga serta tidak membiasakan
dialog untuk memecahkan masalah cenderung melakukan kekerasan dalam
menyelesaiakan konflik.
4. Ketidaksiapan seorang ibu dalam merawat anaknya dan ketidakmampuan menempatkan
dirinya sebagai seorang yang dewasa.
5. Adanya riwayat perilaku anti sosial meliputi penyalahgunaan obat dan alkoholisme dan
tidak mampu mengontrol emosinya pada saat menghadapi rasa frustasi.
6. Kematian anggota keluarga yang terpenting, kehilangan pekerjaan, perubahan tahap
perkembangan, atau perubahan tahap perkembangan keluarga.
8
2.5 Tanda dan Gejala
1. Tanda-tanda vital meningkat.
2. Muka merah dan tegang.
3. Pandangan tajam.
4. Mengatupkan rahang dengan kuat.
5. Otot tegang, nada suara tinggi.
6. Bicara kasar, suara tinggi,
menjerit, atau berteriak.
7. Jalan mondar-mandir.
8. Mengepalkan tangan.
9. Mengancam secara verbal atau fisik.
10. Melempar atau memukul benda atau orang
lain.
11. Merusak barang atau benda.
12. Tidak mampu mengontrol perilaku
kekerasan.
13. Tubuh kaku dan refleks cepat.
2.6 Mekanisme Koping
Stuart dan Sundeen (1998) mengatakan bahwa mekanisme koping adalah tiap upaya yang
diarahkan pada penatalaksanaan stres, termasuk upaya menyelesaikan masalah langsung dan
mekanisme pertahanan yang digunakan untuk melindungi diri (Harnawatiaj, 2008).
Mekanisme koping yang biasa digunakan adalah:
1. Sublimasi, yaitu melampiaskan marah pada objek lain.
2. Proyeksi, yaitu menyalahkan orang lain mengenai kesukaran atau keinginan yang tidak baik.
3. Represi adalah mencegah pikiran yang menyakitkan atau membahayakan masuk ke alam
sadar.
4. Reaksi formasi, yaitu mencegah keinginan yang berbahaya bila diekspresikan, dengan
melebih-lebihkan sikap atau perilaku yang berlawanan.
5. Displecement, yaitu melepaskan perasaan tertekan dengan sikap bermusuhan pada objek
yang tidak berbahaya.
2.7 Penatalaksanaan
1. Farmakoterapi
1) Anti ansietas dan hipnotik sedatif, seperti Diazepam (Valium).
2) Anti depresan, seperti Amitriptilin.
3) Mood stabilizer, seperti Lithium, Carbamazepin.
4) Naltrexon dan Propanolol.
2. Terapi keluarga
9
Dalam terapi keluarga, keluarga dibantu untuk menyelesaikan koflik dengan menjelaskan
cara mengatasi konflik, saling mendukung, dan menghilangkan stres.
3. Terapi kelompok
Terapi kelompok berfokus pada dukungan dan perkembangan, keterampilan sosial, dan
aktivitas lain, dengan berdiskusi atau bermain untuk mengembalikan kesadaran klien, karena
masalah sebagian orang merupakan perasaan dan tingkah laku pada orang lain.
4. Terapi musik
Dengan musik klien terhibur, rileks, dan bermain untuk mengembalikan kesadaran klien,
karena dengan perasaan terhibur dan bersemangat, klien bisa mengontrol emosinya.
2.8 Prinsip Tindakan Keperawatan.
1. Strategi Preventif, terdiri dari kesadaran diri, penyuluhan/ pendidikan kesehatan, dan
latihan asertif.
2. Strategi Antisipasi, terdiri dari komunikasi, perubahan lingkungan, tindakan perilaku, dan
psikofarmakologi.
3. Strategi Pengekangan, terdiri dari manajemen krisis, pengasingan, dan pengikatan.
Rentang tindakan keperawatan yang dapat dilakukan adalah:
1. Kesiapan perawat.
1) Sadar perasaan sendiri.
2) Yakin klien dapat belajar mengungkapkan marah yang benar.
3) Hangat, tegas, menerima, tetap tenang dan kalem.
4) Sikap dan suasana hubungan kerja yang akrab.
2. Pendidikan kesehatan/ Manajemen perilaku kekerasan
1) Mengidentifikasi penyebab perilaku kekerasan.
2) Mengidentifikasi tanda dan gejala perilaku kekerasan.
3) Memperagakan/ mendemonstrasikan cara yang biasa dilakukan klien jika marah.
4) Mengidentifikasi cara baru yang konstruktif.
5) Melatih cara baru pada situasi yang nyata.
3. Latihan Asertif
Prinsipnya:
1) Berkomunikasi langsung pada orang lain.
10
2) Mengatakan tidak untuk hal yang tidak beralasan.
3) Mampu mengungkapkan keluhan.
4) Mengungkapkan penghargaan atau pujian.
Pelaksanaan asertif:
1. Bahasa tubuh.
1) Mempertahankan kontak mata.
2) Mempertahankan posisi tubuh.
3) Berbicara dengan tegas.
4) Nada suara tegas.
5) Ekspresi wajah dan sikap tubuh wajar.
2. Pendengar
1) Mempersiapkan diri.
2) Mendengarkan.
3) Mengklarifikasi.
4) Mengakui.
3. Percakapan
1) Atur lingkungan bicara.
2) Menetapkan topik pembicaraan.
3) Mengekspresikan perasaan.
4) Mengekspresikan permintaan.
4. Tindakan komunikasi
1) Bicara dengan lembut.
2) Nada suara rendah dan tidak membalas suara keras.
3) Gunakan kaliamat simpel dan pendek
4) Hindari tertawa dan senyum tidak pada tempatnya.
5) Katakan anda siap membantu
6) Sikap rileks dan terapeutik.
7) Gerakan rileks, tidak tergesa-gesa.
8) Jaga jarak 1-3 langkah dari klien.
5. Tindakan atau strategi perilaku
1) Limit setting.
11
Saat melakukan interaksi, sepakati perilaku yang diizinkan, perilaku yang tidak
diizinkan, dan konsentrasi dari perilaku yang tidak diizinkan. Perawat dan klien
mengetahui kesepakatan yang dibuat bersama-sama.
2) Kontrak perilaku untuk kontrol perilaku.
Saat perawat akan mengajak klien melakukan aktivitas, seperti keluar ruangan, maka
perlu membuat kontrak terlebih dahulu tentang perilaku yang diperbolehkan dan yang
tidak diperbolehkan.
6. Manajemen krisis
1) Identifikasi leader tim krisis.
2) Susun dan kumpulkan tim krisis.
3) Beritahu petugas keamanan, jika perlu.
4) Pindahkan semua klien dari area tersebut.
5) Siapkan alat pengekangan.
6) Susun strategi dan beritahu anggota tim.
7) Jelaskan setiap tindakan pada klien.
8) Ikat/ kekang klien sesuai instruksi leader.
9) Berobat psikofarmaka sesuai instruksi.
10) Jaga tetap konsisten.
11) Evaluasi tindakan dengan tim.
12) Jelaskan kejadian dengan klien lain dan staf seperlunya.
13) Integrasikan klien secara bertahap pada lingkungan.
7. Pengasingan
Pengasingan bertujuan untuk melindungi klien, orang lain, dan staf dari bahaya.
Prinsipnya:
1) Pembatasan gerak tanpa pengikatan.
2) Isolasi.
3) Pembatasan input sensoris untuk mengurangi stimulus perilaku kekerasan.
8. Pengekangan
Pengekangan bertujuan untuk mengurangi gerak fisik klien agar tidak membahayakan klien
atau orang lain
Tindakannya:
12
1) Jelaskan pada klien alasan pengekangan.
2) Lakukan dengan hati-hati dan tidak melukai.
3) Ada perawat yang ditugaskan mengontrol tanda-tanda vital, sirkulasi, dan membuka
ikatan untuk latihan gerak.
4) Penuhi kebutuhan fisik, yaitu makan, minum, eliminasi, dan perawatn diri klien.
13
2.9 Asuhan Keperawatan Klien dengan Perilaku Kekerasan
1. Pengkajian
a. Faktor predisposisi
Riwayat kelahiran dan tumbuh kembang (biologis).
Trauma karena aniaya fisik, seksual atau tindakan kriminal.
Tindakan antisosisal.
Penyakit yang pernah diderita.
Gangguan jiwa dimasa lalu
Pengadaan sebelumnya.
1) Aspek psikologis
Keluarga, pengasuh, lingkungan klien sangat mempengaruhi respon psiklogis klien.
Sikap atau keadaan yang dapat memepengaruhu jiwa amuk adalah: penolakan dan
kekerasan dalam kehidupan klien. Pola asuh pada usia anak-anak yang tidak adekuat
misalnya tidak ada kasih sayang , diwarnai kekerasan dalam keluarga merupakan
resiko gangguan jiwa amuk.
2) Aspek sosial budaya
Kemiskinan, konflik sosial budaya, kehidupan terisolasi, disertai strees yang
menumpuk, kekerasan dan penolakan.
3) Aspek spiritual
Klien merasa berkuasa dan dirinya benar, tidak bermoral.
b. Faktor fisik
1) Identitas
14
Nama, umur, jenis kelamin, alamat, agama, diagnosa medis, pendidikan dan
pekerjaan.
2) Keturunan
Adalah keluarga berpenyakit sama seperti klien atau gangguan jiwa lainya, jika ada
sebutkan.
3) Proses psikologis
a) Riwayat kesehatan masa lalu
- Apakah klien pernah sakit/ kecelakaan
- Apakah sakit tersebut mendadak/ menahun dan meninggalkan cacat.
b) Bagaimana makan minum klien
c) Istirahat tidur
d) Pola BAB/BAK
e) Latihan
f) Pemeriksaan fisik
- Fungsi sistem, seperti pernapasan, kardiovaskular, gastrointestinal,
genitourineri, integumen dan paru udara.
- Penampilan fisik, berpakaian rapi/tidak rapi, bersih, postur tubuh
(kaku, lemah, rileks, lemas).
c. Faktor emosional
Klien merasa tidak aman, merasa terganggu, dendam, jengkel.
d. Faktor mental
Cenderung mendominasi, cerewet, kasar, keremehan dan suka berdebat.
e. Latihan
Menarik diri, pengasingan, penolakan, kekerasan, ejekan, sindiran.
2. Masalah Keperawatan
a. Daftar masalah
1) Resiko tinggi kekerasan; terhadap diri sendiri dan orang lain dan lingkungan.
2) Koping keluarga tidak efektif.
b. Diagnosa keperawatan
1) Resiko tinggi kekeasan: mencedarai diri sendiri/ orang lain dan lingkungan.
15
2) Koping keluarga tidak efektif: gangguan persepsi
3. Perencanaan
Diagnosa 1:
- Tujuan umum: klien tidak menciderai orang lain dan diri sendiri
- Tujuan khusus:
o Klien dapat membina hubungan saling percaya
o Klien dapat mengenal amarahnya
o Klien dapat mengendalikan emosinya
o Klien dapat dukungan dari keluarganya untuk mengontrol amarahnya.
o Klien dapat memanfaatkan obat sebaik mungkin.
- Kriteria hasil
o Klien mampu mendemonstrasikan kemampuan mengendalikan diri seperti relaksasi
tubuh.
o Klien mampu memahami situasi yang nyata.
o Klien dapat berpartisipasi dalam program pengobatan.
- Intervensi
Ø Dirikansebuah kepercayaan dalam diri klien, seperti: jangan berusaha berdebat/
menentang amuknya, yakinkan klien bahwa dia dalam keadaan aman dan jangan klien
sendirian.
Rasional: menghindari kecurigaan dan menimbulkan keterbukaan.
Ø Kaji tingkat kecemasan klien
Rasional: memperkirakan kemungkinan terjadi kekerasan.
Ø Kaji persepsi sensori klien yang dapat menimbulkan keinginan melakukan kekerasan.
Rasional: memahami isi pikir klien sehingga dapat mengetahui perubahan isi pikir klien.
Ø Jangan menerima/ mengkritik isi pikir klien yang salah.
Rasional: hal tersebut dapat menimbulkan konflik yang dapat menghambat proses
interaksi.
Ø Pertahankan sikap yang tenang terhadap klien.
Rasional: ansietas perawat memancing klien lebih agitasi.
Ø Ajarkan klien latihan relaksasi.
16
Rasional: membantu mengatasi meningkatnya stimulus.
Ø Kolaborasi dengan tim medis dalam pembrian obat-obatan tranquilizer dan pantau
keevektifitasannya dan efek sampingnya.
Rasional: sebagai pengontrol prilaku psikosis dan penenang hiperaktivitas.
4. Implementasi
Ada 5 prinsip utama dalam pelaksanaan tindakan keperawatan pada klien khususnya, pada kien
amuk/ kekerasan yaitu:
a. Psikoterapiutik
1) Membina hubungan saling percaya
2) Membantu meningkatkan harga diri
3) Membantu koping klien
b. Lingkungan terapiutik
1) Lingkungan yang bersahabat
2) Pujian atas keberhasilan klien
c. Kegiatan hidup sehari-hari
1) Membantu memenuhi aktivitas sehari-hari
2) Membimbing klien dalam perawatan diri.
d. Somatik
Memberi obat sesuai ketentuan, membujuk klien untuk minum obat.
Pendidikan kesehatan
1) Membantu klien mengenal penyakitnya.
2) Mengikutsertakan keluarga dalam mengatasi masalah klien.
5. Evaluasi
a. Pada klien
1) Klien tidak menciderai diri dan orang lain.
2) Klien mampu mempertahankan hubungan akrab dengan orang lain.
3) Klien mampu merawat diri secara optimal.
4) Klien dapat mengontrol terjadinya amuk dengasn koping aktivitas kelompok.
b. Pada keluarga
17
1) keluarga dapat memberi support sistem yang positif untuk menyembuhkan klien.
2) Keluarga mampu merawat klien
3) Keluarga mampu mengetahui kegiatan apa yang perlu klien lakukan dirumah
4) Keluarga mengetahui cara pemberian obatdengan benar dan waktu follow up.
18
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Perilaku kekerasan adalah suatu keadaan dimana seseorang melakukan tindakan yang
dapat membahayakan secara fisik baik terhadap diri sendiri, orang lain maupun lingkungan.
Perilaku kekerasan dianggap sebagai suatu akibat yang ekstrim dari marah atau ketakutan
(panic). Perilaku agresif dan perilaku kekerasan itu sendiri dipandang sebagai suatu rentang,
dimana agresif verbal di suatu sisi dan perilaku kekerasan (violence) di sisi yang lain.
Perilaku yang berkaitan dengan perilaku kekerasan antara lain :
1.Menyerang atau menghindar (fight of flight)
2.Menyatakan secara asertif (assertiveness)
3.Memberontak (acting out)
4.Perilaku kekerasan
Tindakan kekerasan atau amuk yang ditujukan kepada diri sendiri, orang lain maupun
lingkungan
3.2 Saran
Perawat hendaknya menguasai asuhan keperawatan pada klien dengan masalah perilaku
kekerasan sehingga bisa membantu klien dan keluarga dalam mengatasi masalahnya.
Kemampuan perawat dalam menangani klien dengan masalah perilaku kekerasan
meliputi keterampilan dalam pengkajian, diagnosa, perencanaan, intervensi dan evaluasi. Salah
satu contoh intervensi keperawatan yang dapat dilakukan pada klien dengan masalah perilaku
kekerasan adalah dengan mengajarkan teknik napas dalam atau memukul kasur/bantal agar klien
dapat meredam kemarahannya.
19
DAFTAR PUSTAKA
Keliat, dkk. 2005. Proses Keperawatan Kesehatan Jiwa, Edisi 2. Jakarta: EGC
Videbeck, L.Sheila. 2008. Buku Ajar Keperawatan Jiwa. Jakarta: EGC
Yosep, Iyus. 2010. Keperawatan Jiwa. Bandung: PT.Refika Aditama
Carpenito, Lynda Juall, Buku Saku Diagnosa Keperawatan, Alih Bahasa : Yasmin Asih, Edisi 6,
EGC, Jakarta, 1998
20