kenakalan remaja dan tantangan pendidikan madrasah.docx

151
Kenakalan Remaja dan Tantangan Pendidikan Madrasah Studi tentang Pembelajaran Afektif di Madrasah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa Tengah Fikrul Umam MS Pengantar: Prof. Dr. KH. M. Tholhah Hasan Wakil Rais Aam PBNU 2004-2010 1

Upload: djo-why

Post on 03-Oct-2015

51 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Kenakalan Remaja dan Tantangan Pendidikan MadrasahStudi tentang Pembelajaran Afektif di Madrasah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa Tengah

Fikrul Umam MS

Pengantar:Prof. Dr. KH. M. Tholhah HasanWakil Rais Aam PBNU 2004-2010

Kenakalan Remaja dan Tantangan Pendidikan MadrasahStudi tentang Pembelajaran Afektif di Madrasah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa Tengah

@Fikrul Umam MSPengantar: Prof. Dr. KH. M. Tholhah HasanEditor: MD & JokowaCetakan: 1, 2015Penerbit: Aswaja Press Yogyakarta bekerjasama dengan Madrasah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati

Pendidikan sebagai Akar PeradabanOleh: Prof. Dr. KH. Tholhah HasanGuru Besar Unisma Malang, Wakil Rais Aam PBNU 2004-2010. Pada awal abad XX M, seorang cendekiawan dan penulis Muslim dari Syria, bernama Amir Syakib Arsalan, menulis sebuah buku "Limaadza Taakhkhara al-Muslimun, wa limaadza Taqaddama Ghairuhum" (Mengapa orang-orang Islam terbelakang, dan mengapa orangorang lain menjadi maju). Dalam bukunya tersebut Amir Syakib Arsalan mengatakan, bahwa yang menjadi sebab-sebab terpenting kemunduran umat Islam antara lain:1. Karena kebodohan, yang menjadikan mereka tidak mampu membedakan antara tuak dan cuka (tidak mampu membedakan antara yang manfaat dan madlarat) mudah dibohongi dan gampang tertipu.2. Karena kebobrokan moral, sehingga tidak mampu mengendalikan hawa nafsunya dan tidak sanggup mengontrol sikap dan prilakunya sebagai orang-orang yang seharusnya hidup terhormat dan menjadi teladan. Lebih-lebih lagi apabila kebobrokan moral ini sudah merasuki elite mereka.3. Karena kehilangan karakter dan jatidirinya, menjadi orang-orang yang tidak memiliki harga diri, tidak mempunyai keberanian, dan kehilangan sifat dan sikap patriotisme, tidak sanggup menyampaikan kebenaran di hadapan para penguasa.Di akhir bukunya, Arsalan memberi kesimpulan untuk kita renungkan bersama. Ia mengatakan: "Bahwa mereka ( orang-orang Barat atau Jepang) adalah manusia seperti kita, akan tetapi yang kurang pada kita adalah penguasaan ilmu pengetahuan dan kualitas amal perbuatan/kualitas kerja."Pada pertengahan abad XX M, seorang pemikir survivalis Islam dari Pakistan, Abu al-Ala al-Maududi banyak melontarkan otokritik terhadap kehidupan dan kemunduran peradaban Islam, terutama karena ketertinggalan umat Islam dalam penguasaan ilmu pengetahuan dan rendahnya kualitas pendidikan mereka. Dalam salah satu tulisannya Manhaj Jadid lit-Tarbiyah al-Islamiyah , antara lain ia mengatakan: Bahwa tumbuh dan tenggelamnya peradaban manusia serta unggul dan kalahnya, bukan karena sesuatu yang kebetulan semata, tetapi ada sebab-sebab tersembunyi yang berperan di balik fenomena tersebut. Dan apabila kita amati dengan cermat dan jujur, maka akan kita temukan suatu kesimpulan, bahwa kepemimpinan yang sanggup mengendalikan umat manusia itu mempunyai kaitan yang kuat dengan tingkat penguasaannya terhadap ilmu pengetahuan.Allah memberikan anugerah kepada manusia berupa tiga nikmat potensial kaitan hal ini, yaitu as-Samu (daya pendengaran), al-Basharu (daya pengamatan), dan al-Fuad (daya hati-nurani), yang tidak diberikan-Nya kepada makhluk-makhluk yang lain.Sayangnya tidak semua manusia mampu menangkap makna firman Allah tersebut dengan baik (disebut lebih dari 6 x dalam al-Quran dalam konteks yang berbedabeda ), yang tersimpan dalam tiga kata tersebut. Kita seharusnya tidak memahami kata-kata tersebut sebatas arti harfiyahnya semata. Kata as-Samu bukan sekedar mendengar dengan telinga, tetapi menangkap informasi dan melindungi nilai-nilai ilmiah yang sudah dicapai oleh orang-orang lain (atau diwariskan oleh generasi terdahulu ). Kemudian al-B ashar tidak hanya sekedar melihat dengan mata, tetapi juga pengamatan, penelitian dan analisa-analisa laboratoris untuk mengembangkan keilmuan yang baru. Dan al-Fuad bukan sekedar membatin dalam hati, tetapi mengelaborasi dengan membuat evaluasi dan uji kebenaran lebih mendalam terus-menerus, untuk mengetahui mana yang valid dan mana yang tidak.Maka bangsa dan masyarakat yang manapun yang mampu mengembangkan ketiga nikmat potensial anugerah Tuhan tersebut dengan baik, dialah yang akan menguasai ilmu pengetahuan dan teknologi dan dapat membangun peradaban yang maju. Dan mereka yang tidak mampu melakukan hal tersebut, akan hidup dalam keterbelakangan dan ketidakberdayaan .Islam juga banyak menganjurkan umatnya agar menguasai ilmu-ilmu duniyawiyah, (di samping ilmu-ilmu syariyah), dengan alasan: 1. Bahwa membangun kualitas kehidupan (kemakmuran) di bumi itu merupakan bagian dari misi hidup manusia ( risalatu al-Insan ), dan dinilai sebagai ibadah, dimana manusia diciptakan untuk maksud tersebut.2. Allah yang menciptakan manusia, dengan tugas sebagai khalifah-Nya di bumi, tidak untuk hidup menderita dan merana, tetapi manusia diciptakan sebagai makhluk unggulan dan terhormat, yang didukung sumberdaya dan kekayaan alam di daratan maupun di lautan.3. Tugas berjuang (al-Jihad) yang bebankan terhadap orang-orang yang beri- man untuk melindungi agamanya dan umat itu tidak akan sukses dan sem-purna, apabila tidak memiliki peradaban yang kuat dan maju.Di tengah-tengah persaingan global sekarang ini, penguasaan sains dan teknologi di samping agama dan moral telah menjadi ikon peradaban Islam, dan umat Islam ti-dak mungkin mencapainya tanpa melalui pendidikan, baik sebagai sistem maupun sebagai institusi. Pendidikan Islam harus dipandang sebagai investasi sumberdaya ma-nusia yang memiliki kemampuan dan kepakaran dalam mengembangkan dan menerapkan sains dan teknologi, sertai nilai-nilai keimanan dan ketaqwaan dalam proses membangun citra peradaban Islam, untuk kemanfaatan dan kemaslahatan hidup manusia. Pertanyaannya sekarang adalah: Pendidikan Islam yang bagaimana yang kita perlukan untuk membangun cita peradaban Islam? Menujrt Syed M. Naquib Al-Attas, pendidikan harus berfungsi sebagai penyemaian dan penanaman "adab" dalam diri peserta didik, yang mencakup unsur pengetahuan (al-ilm), instruksi (at-talim) dan pembinaan karakter (at-tarbiyah).Berangkat dari perspektif pengembangan kualitas sumberdaya manusia, ada beberapa kecenderungan yang prlu diperhatikan dalam pembaharuan pendidikan kita, di antaranya yang paling pokok:1. Pendidikan semakin dituntut untuk tampil sebagai kunci dalam pengembangan kualitas sumberdaya manusia ( out put pendidikan), yaitu manusia yang me-miliki wawasan, kemampuan, keterampilan, kepribadian yang sesuai dengan kebutuhan nyata yang dihadapi umat/bangsa. Dengan ciri seperti itu, maka hasil suatu proses pendidikan bukan hanya diukur dari apa yang diketahui (know-what), melainkan apa yang secara nyata dapat ditampilkan oleh lulus-an pendidikan (knowhow).2. Dalam perspektif dunia kerja, orientasi kepada kemampuan nyata (what one can do) yang dapat ditampilkan oleh lulusan pendidikan akan semakin kuat, artinya, dunia kerja akan cenderung lebih realistik dan pragmatik, dimana dunia kerja lebih melihat kompetensi nyata dapat ditampilkan seseorang daripada ijazah semata-mata.3. Sebagai dampak globalisasi, maka mutu pendidikan suatu komunitas atau kelompok masyarakat, tidak hanya diukur berdasarkan kreteria dalam internal mereka, melainkan dibandingkan dengan pendidikan komunitas lain. Contohnya: kualitas pendidikan Islam tidak hanya diukur dilingkungan komunitas Islam saja, tapi juga dibandingkan dengan kualitas pendidikan Katholik atau Kristen, dan lain-lain, bahkan sekarang pendidikan suatu negara harus mam-pu bersaing dengan pendidikan negara-negara lain. Ini merupakan tantangan kepada kita yang memerlukan jawaban yang tepat.4. Apresiasi dan harapan masyarakat kepada dunia pendidikan akan semakin me-ningkat, yaitu menginginkan pendidikan yang lebih berkualitas, relevan dan hasilnya dapat dipertanggungjawabkan (accountable). Hal ini sebagai konsekuensi logis dari semakin meningkatnya kemakmuran, masyarakat selalu ingin mendapatkan sesuatu yang lebih baik.5. Sebagai komunitas atau masyarakat religius, yang mempunyai keimanan dan sistem nilai, maka pendidikan yang diinginkan adalah pendidikan yang mam-pu menanamkan karakter Islami (kesalehan, kesopanan, kesabaran, keberani-an dan kearifan) disamping memberikan kompetensi-kompetensi yang sifat-nya akademis dan skills.Pendidikan Islam sebagai kunci jawaban yang dapat membangun citra Peradaban Islam dalam era gflobalisasi yang penuh persaingan sekarang ini, harus mepunyaik karakter sebagai berikut:1. Dinamik, dalam arti terus bergerak maju dan siap membuat perubahan-perubahan sejalan dengan perkembangan tantangan yang dihadapi, dan tujuan yang ingin dicapai, yang harus kreatif dan visioner.2. Relevan, semua program-programnya diorientasikan pada kepentingan kemas-lahatan umat, sesuai dengan tingkat kebutuhan masyarakatnya, dan mendu-kung kebutuhan pembangunan nasionalnya.3. Professional, dalam manangani managemen institusinya, dalam memilih dan mengembangkan SDM-nya, dalam melaksanakan proses belajar-mengajarnya, dalam menggunakan metodologi dan teknologi pendidikannya, dan dalam u-paya meningkatkan mutu out putnya.4. Kompetitif, siap bersaing dengan lembaga-lembaga pendidikan lain di sekitarnya atau dimana saja, dalam penampilan, dalam pelayanan, dalam kualitas akademik dan dalam menarik dukungan dan partisipasi masyarakat.Masalah ini memang bukan sesuatu yang mudah, membutuhkan kesadaran dan kesabaran yang tinggi, dan butuh partisipasi yang luas dari masyarakat, serta orien-tasi inovatif dan semangat perjuangan serta pengabdian yang tidak kenal lelah dari para pemikir, ilmuwan, dermawan dan pemimpin umat. Perlu bersama-sama kita merenungkan dan kemudian mengambil langkah strategis, dari pesan Tuhan dalam al-Quran:Allah akan mengangkat beberapa derajat orang-orang yang beriman diantara-mu, dan orang-0rang yang diberi ilmu pengetahuan. Dan Allah Maha Mengetahui apa yang kamu lakukan. ( Al-Mujadalah: 11)

Kata PengantarMengapa Remaja Akrab dengan Kenakalan?

Remaja adalah harapan dan tumpuan setiap orang tua dalam keluarga.Remaja juga didaulat menjadi generasi penerus bangsa. Masa depan bangsa ditentukan oleh kiprah para pemudanya. Dalam sebuah kesempatan, Soekarno pernah berorasi: Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari akarnya, beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia.Orasi Soekarno ini menggambarkan bahwa pemuda adalah tulang punggung sebuah bangsa yang akan menjadi motor penggerak bagi kemajuan bangsa meraih kejayaannya.Tetapi, di era modern yang ditandai dengan pesatnya perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, pemuda tak seindah citra yang dibayangkan oleh Soekarno di awal masa kemerdekaan itu. Pemuda dan remaja-remaja kita kini lebih akrab dengan kenakalan. Mengapa demikian? Itulah tantangan yang harus dijawab oleh lembaga pendidikan. Setiap melakukan tindakan atau melakukan suatu sikap tertentu dilakukan oleh sebuah motivasi dan motivasi atau dorongan tersebut tidak hanya satu motivasi melainkan dapat dari berbagai motivasi. Misalnya, seorang anak bersikap nakal di sekolah terhadap adik kelasnya, karena memiliki pengalaman terhadap kakak kelas yang juga bersikap sama terhadapnya. Motivasi atau dorongan-dorongan tersebut dapat dimasukkan ke dalam faktor-faktor penyebab munculnya kenakalan remaja. Buku ini hadir menjawab berbagai problem remaja, peran lembaga pendidikan Islam dan tantangan masa depan bangsa. Berbagai kekurangan dalam buku ini adalah murni tanggungjawab penulis. Saran dan kritik pembaca sangat saya nantikan, sehingga terjadi perdebatan yang mencerahkan untuk masa depan. Penulis sangat berterima kasih kepada semua pihak yang berkontribusi penting dalam buku ini, khususnya kedua orang tuaku, saudaraku, istri dan anakku, dan seluruh keluarga besar Madrasah Mazroatul Ulum, Suwaduk Wedarijaksa Pati Jawa Tengah.

Penulis,

BAB IKenakalan Remaja dan Tantangan Pendidikan Madrasah

Mengenal Kenakalan Ramaja Istilah "kenakalan" akrab disandingkan dengan "ramaja". Berakar dari kata dasar "nakal", kenakalan merujuk pada suatu perbuatan atau perilaku yang menyimpang (melanggar) norma, aturan atau hukum. Sementara, istilah "remaja", para ahli pendidikan sependapat bahwa remaja adalah mereka yang berusia antara 13-18 tahun. Pada usia tersebut, seseorang sudah melampaui masa kanak-kanak, namun masih belum cukup matang untuk dapat dikatakan dewasa. Remaja berada pada masa transisi.Dengan demikian, kenakalan remaja merupakan suatu perbuatan atau perilaku yang menyimpang norma dalam masyarakat yang dilakukan oleh remaja atau usia transisi dari masa kanak-kanak ke dewasa. Kenalakan remaja atau dalam bahasa Inggris di kenal dengan istilah juvenile delinquency, merupakan gejala patologi sosial pada remaja yang disebabkan oleh suatu bentuk pengabaian sosial. Akibatnya, mereka mengembangkan bentuk perilaku yang menyimpang, sehingga tidak dapat diterima secara sosial.[footnoteRef:1] [1: Michelle Kalra, Juvenile Delinquency and Adult Aggression Against Women, Wilfrid Laurier University, (1996).]

Dalam perspektifperilaku menyimpang, masalah sosial terjadi karena terdapat penyimpangan perilaku dari berbagaiaturan sosial maupun dari nilai dan norma sosial yang berlaku. Perilaku menyimpang dapatdianggap sebagai sumber masalah karena dapat membahayakan tegaknya sistem sosial. Kasus geng motor yang anarkis, tawuran antar pelajar, kekerasan dalam lingkungan sekolah, pelecehan seksual, seks bebas, penyalahgunaan narkoba dan minum-minuman keras dan kenakalan remaja lainnya bisa menjadi contoh.Kenakalan remaja ini biasanya dilakukan oleh para remaja yang gagal dalam menjalani proses perkembangan jiwanya, baik pada saat mereka masih remaja maupun pada masa kanak-kanak. Merujuk gagasan Erich Fromm (2000) bahwa aksi kenakalan remaja dengan mengambil latar, bentuk, pola, model dan modus yang beragam lahir dari kondisi-kondisi tertentu yang tidak memungkinkan seseorangberkembang secara positif. Keterhambatan untuk tumbuh secara baik (positif) ini akhirnya membalikkan pertumbuhan individu ke arah perilaku agresif.Masa transisi dari kanak-kanak dan masa remaja berlangsung begitu singkatdengan perkembangan fisik, psikis, dan emosi yangbegitu cepat pula.Secara psikologis, kenakalan remaja merupakan wujud dari konflik-konflik yang tidakterselesaikan dengan baik pada masa kanak-kanak maupun masa remaja para pelakunya. Sering kali didapati bahwa ada trauma dalam masa lalunya, perlakuan kasar dan tidak menyenangkan dari lingkungannya maupun trauma terhadap kondisi lingkungannya, seperti kondisi ekonomi yang membuatnya merasa rendah diri.Mereka gagal dalam mengelola perubahan sosiologis di satu sisi dan perubahan biologis di sisi lain, sehingga melahirkan krisis identitas. Mereka kesulitan mempelajari dan membedakan perilaku yang dapat diterima atautidak dapat diterima di masyarakat. Kalaupun mengetahui perbedaan tersebut, namun mereka tidak bisa mengembangkan kontroldiri untuk bertingkah laku sesuai dengan pengetahuannya.Kartini Kartono mengatakan bahwa remaja yang nakal disebut pula sebagai remaja yang cacatsosial. Mereka adalah penderita cacat mental yang disebabkan oleh pengaruh sosial yang ada ditengahmasyarakat, sehingga perilaku mereka dinilai oleh masyarakat sebagai suatu kelainan dandisebut kenakalan.[footnoteRef:2] [2: KartiniKartono, Psikologi Sosial 2, Kenakalan Remaja, (Jakarta:Rajawali Press, 1986), hlm. 98.]

Sementara, Singgih D. Gumarso, mengatakan bahwa dari segi hukum kenakalan remaja digolongkan dalam dua kelompok yang berkaitan dengan norma-norma hukum yaitu:1. Kenakalan yang bersifat amoral dan sosial serta tidak diatur dalam undang-undang, sehingga tidak dapat atau sulit digolongkan sebagai pelanggaran hukum 2. Kenakalan yang bersifat melanggar hukum dengan penyelesaian sesuai dengan undang-undang dan hukum yang berlaku sama dengan perbuatan melanggar hukum bila dilakukan oleh orang dewasa.[footnoteRef:3] [3: Singgih D Gunarsa, Psikologi Remaja, (Jakarta: BPK Gunung Mulya. 1988), hlm. 19.]

Menurut bentuknya, Sunarwiyati S (1985) membagi kenakalan remaja kedalam tiga tingkatan, yaitu;1. Kenakalan biasa, seperti suka berkelahi, suka keluyuran, membolos sekolah, pergi dari rumahtanpa pamit.2. Kenakalan yang menjurus pada pelanggaran dan kejahatan seperti mengendarai mobil tanpaSIM, mengambil barang orang tua tanpa izin.3. Kenakalan khusus seperti penyalahgunaan narkotika, hubungan seks diluar nikah, pergaulan bebas, pemerkosaan dan lain sebagainya. Kategori di atas biasanya menjadi ukuran kenakalan remaja dalampenelitian.Sosiolog Emile Durkheim dalam Rules of Sociological Method pernah mengemukakan bahwa perilaku menyimpang atau jahat kalau dalam batas-batas tertentu dianggap sebagai fakta sosial yang normal, maka kenakalan itu adalah normal karena tidak mungkin menghapusnya secara tuntas.Artinya, perilaku dikatakan normal apabila perilaku tersebut tidak menimbulkan keresahan dalam masyarakat, perilaku tersebut terjadi dalam batas-batas tertentu dan melihat pada sesuatu perbuatan yang tidak disengaja. Sebaliknya, perilaku nakal atau jahat adalah perilaku yang disengaja meninggalkan keresahan pada masyarakat.[footnoteRef:4] [4: Soerjono Soekanto, Sosiologi Penyimpangan, (Jakarta:Rajawali Press, 1988), hlm. 73]

Faktor-Faktor Kenakalan RemajaFaktor-faktor kenakalan remaja lebih rinci dijelaskan sebagai berikut:[footnoteRef:5] [5: John W. Santrock, Perkembangan Masa Hidup, terj Juda Damanik dan Achmad Chusairi, (Jakarta: Erlangga, 2002), hlm. 24.]

1. Faktor IdentitasMenurut teori perkembangan yang dikemukan Erikson (1968), masa remaja ada pada tahap di mana krisis identitas versus difusi identitas harus diatasi. Erikson percaya bahwa delinkuensi pada remaja terutama ditandai dengan kegagalan remaja untuk mencapai integrasi yang kedua, yang melibatkan aspek-aspek peran identitas. Beberapa dari remaja yang tidak mampu memenuhi tuntutan yang dibebani pada mereka untuk setiap masa perkembangan yang mereka lewati, mungkin akan memilih perkembangan identitas yang negatif. Remaja seperti ini mungkin akan ambil bagian dalam tindak kenakalan, membuat diri mereka sendiri terperangkap dalam arus zaman yang paling negatif dalam dunia muda yang mereka hadapi.2. Kontrol dirilemahKenakalan remaja juga dapat digambarkan sebagai kegagalan untuk mengembangkan kontrol diri yang cukup dalam hal tingkah laku.Beberapa anak gagal dalam mengembangkan kontrol diri yang esensial yang sudah dimiliki orang lain selama proses pertumbuhan. Santrock menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja.[footnoteRef:6] [6: John W. Santrock, Perkembangan Remaja,terj. Shinto B.Adelar dan Sherly Saragih (Jakarta: Erlangga, 2003), hlm. 27.]

Mereka mungkin gagal membedakan tingkah laku yang dapat diterima dan yang tidak dapat diterima, atau mungkin mereka sebenarnya sudah mengetahui perbedaan antara keduanya namun gagal mengembangkan kontrol yang memadai dalam menggunakan perbedaan itu untuk membimbing tingkah laku mereka. Remaja pelaku kenakalan juga mungkin saja mengembangkan standar tingkah laku yang tidak memadai. Remaja yang akan melakukan tindakan antisosial memerlukan pemikiran krisis terhadap dirinya sendiri agar bisa menghambat kecenderungan untuk melakukan tindakan yang melanggar hukum. Standar krisis terhadap diri sendiri ini sangat dipengaruhi oleh model peran yang dimiliki oleh remaja. Oleh karena itu, remaja yang memiliki orang tua, guru, dan teman sebaya yang menunjukkan adanya standar krisis terhadap diri sendiri biasanya mengembangkan kontrol diri yang diperlukan untuk menahan diri dari tindakan melanggar hukum atau antisosial.Hasil penelitian yang dilakukan baru-baru ini menunjukkan bahwa ternyata kontrol diri mempunyai peranan penting dalam kenakalan remaja. Pola asuh orangtua yang efektif di masa kanak- kanak (penerapan strategi yang konsisten, berpusat pada anak dan tidak aversif) berhubungan dengan dicapainya pengaturan diri oleh anak. Dengan memiliki ketrampilan ini sebagai atribut internal akan berpengaruh pada menurunnya tingkat kenakalan remaja.[footnoteRef:7] [7: Ibid., hlm. 35.]

3. Usia Penampakan awalPerilaku anti-sosial berkaitan dengan pelanggaran-pelanggaran serius di kemudian hari pada masa remaja. Akan tetapi tidak semua anak yang bertindak berlebihan menjadi anak nakal. Munculnya tingkah laku anti sosial di usia dini berhubungan dengan penyerangan serius nantinya di masa remaja, namun demikian tidak semua anak yang bertingkah laku seperti ini nantinya akan menjadi pelaku kenakalan.4. Jenis kelaminRemaja laki-laki lebih banyak terlibat dalam perilaku antisosial daripada remaja perempuan, walaupun remaja perempuan lebih cenderung melarikan diri dari rumah. Sedangkan remaja laki-laki lebih banyak terlibat dalam tindakan-tindakan kejahatan.5. Harapan terhadap pendidikan rendahRemaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan- harapan pendidikan yang rendah dan nilai rapor yang rendah. Kemampuan-kemampuan verbal mereka seringkali lemah. Remaja yang menjadi pelaku kenakalan seringkali memiliki harapan yang rendah terhadap pendidikan di sekolah. Mereka merasa bahwa sekolah tidak begitu bermanfaat untuk kehidupannya sehingga biasanya nilai-nilai mereka terhadap sekolah cenderung rendah. Mereka tidak mempunyai motivasi untuk sekolah.6. Kurangnya kasih sayang orang tuaRemaja yang nakal seringkali berasal dari keluarga dimana orangtua jarang memantau anak-anak mereka, memberi sedikit dukungan, dan mendisiplinkan mereka secara tidak efektif. Faktor keluarga sangat berpengaruh terhadap timbulnya kenakalan remaja. Kurangnya dukungan keluarga seperti kurangnya perhatian orangtua terhadap aktivitas anak, kurangnya penerapan disiplin yang efektif, kurangnya kasih sayang orangtua dapat menjadi pemicu timbulnya kenakalan remaja. Penelitian yang dilakukan oleh Gerald Patterson dan rekan-rekannyamenunjukkan bahwa pengawasan orangtua yang tidak memadai terhadap keberadaan remaja dan penerapan disiplin yang tidak efektif dan tidak sesuai merupakan faktor keluarga yang penting dalam menentukan munculnya kenakalan remaja. Perselisihan dalam keluarga atau stress yang dialami keluarga juga berhubungan dengan kenakalan. Faktor genetik juga termasuk pemicu timbulnya kenakalan remaja, meskipun persentasenya tidak begitu besar.[footnoteRef:8] [8: Ibid., hlm 34.]

7. Temen sebaya nakalBergaul dengan teman-teman sebaya yang nakal menambah besar resiko menjadi nakal. Memiliki teman-teman sebaya yang melakukan kenakalan meningkatkan risiko remaja untuk menjadi nakal. Pada sebuah penelitian terhadap 500 pelaku kenakalan dan 500 remaja yang tidak melakukan kenakalan di Boston, ditemukan persentase kenakalan yang lebih tinggi pada remaja yang memiliki hubungan reguler dengan teman sebaya yang melakukan kenakalan.[footnoteRef:9] [9: John W. Santrock, Perkembangan Remaja, hlm. 29.]

8. Status sosial ekonomirendahHal ini disebabkan kurangnya kesempatan remaja dari kelas sosial rendah untuk mengembangkan ketrampilan yang diterima oleh masyarakat. Mereka mungkin saja merasa akan mendapatkan perhatian dan status dengan cara melakukan tindakan anti sosial. Menjadi tangguh dan maskulin adalah contoh status yang tinggi bagi remaja dari kelas sosial yang lebih rendah, dan status seperti ini sering ditentukan oleh keberhasilan remaja dalam melakukan kenakalan dan berhasil meloloskan diri setelah melakukan kenakalan. Pelanggaran-pelanggaran yang serius lebih sering dilakukan oleh kaum laki-laki kelas rendah.9. Lingkungan membiakkan kejahatanTinggal di suatu daerah yang tingkat kejahatannya tinggi, yang juga dicirikan oleh kondisi-kondisi kemiskinan dan kehidupan yang padat, menambah kemungkinan bahwa seorang anak akan menjadi nakal. Masyarakat ini seringkali memiliki sekolah-sekolah yang sangat tidak memadai. Komunitas juga dapat berperan serta dalam memunculkan kenakalan remaja. Masyarakat dengan tingkat kriminalitas tinggi memungkinkan remaja mengamati berbagai model yang melakukan aktivitas kriminal dan memperoleh hasil atau penghargaan atas aktivitas kriminal mereka. Masyarakat seperti ini sering ditandai dengan kemiskinan, pengangguran, dan perasaan tersisih dari kaum kelas menengah. Kualitas sekolah, pendanaan pendidikan, dan aktivitas lingkungan yang terorganisir adalah faktor-faktor lain dalam masyarakat yang juga berhubungan dengan kenakalan remaja.

Sumber Kenakalan RemajaBerhubung sangat banyaknya faktor yang menyebabkan tingkah laku kenakalan remaja, maka Willis (2008) membagi atau mengelompokkan berdasarkan tempat atau sumber kenakalan remaja atas empat bagian:[footnoteRef:10] [10: Kartini, Kartono, Patologi Sosial II: Kenakalan Remaja, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1992), hlm. 57.]

a. Faktor-faktor di dalam diri anak itu sendiri, yaitu predisposing factor, lemahnya pertahanan diri, kurangnya kemampuan penyesuaian diri, dan kurangnya dasar-dasar keimanan di dalam diri remaja:b. Faktor-faktor di lingkungan rumah tangga, yaitu remaja kurang mendapatkan kasih sayang dan perhatian dari orangtua, lemahnya keadaan ekonomi orangtua (terutama di desa-desa), dan kehidupan keluarga yang tidak harmonis.c. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan masyarakat, yaitu kurangnya pelaksanaan ajaran-ajaran agama secara konsekuen, masyarakat yang kurang memperoleh pendidikan, kurangnya pengawasan terhadap remaja, dan pengaruh norma-norma baru dari luard. Faktor-faktor yang berasal dari lingkungan sekolah, yaitu faktor guru, faktor fasilitas pendidikan, norma pendidikan dan kekompakkan guru, dan kekurangan guru.Kesemuanya itu menggambarkan betapa rendahnya kualitas karakter manusia Indonesia. Rendahnya kualitas karakter manusia itu disebabkan oleh krisis etika yang diduga kuat sebagai akibat dari pola pikir sentralistik, monolitik, uniformistik, di berbagai bidang kehidupan, termasuk bidang pendidikan.

Bagaimana Tanggungjawab Pendidikan?Persoalan-persoalan tersebut memang bukanlah semata-mata menjadi tanggung jawab dunia pendidikan, namun pendidikanlah yang paling banyak berperan terhadap munculnya persoalan-persoalan tersebut. Sementara, pendidikan belum mampu menyediakan ruang untuk proses berkembangnya siswa secara mandiri, kreatif, kritis dan bertanggung jawab. Pendidikan belum menjadi medium untuk penanaman nilai-nilai moral-kemanusiaan,agama, pengembangan daya kreativitas, produktivitas, berpikir kritis-analitis, bertanggung jawab, kemandirian dan kemampuan berkembang menjadi pribadi yang baik, berkarakter dan berkepribadian.Sebaliknya, pelaksanaan pendidikan yang selama ini berlangsung lebih berorientasi di ranah kognitif, sedangkan ranah afektifnya masih terabaikan.Pendidikan bukan lagi suatu upaya pencerdasan siswasehingga mampu mengenal realitas diri dan dunianya, melainkan pembutaan kesadaran yang disengaja dan terencanayang menutup proses perubahan dan perkembangan. Teori stimulus-respon yang sudah bertahun-tahun dianut dan digunakan dalam kegiatan pembelajaran, tampak sekali mendukung sistem pendidikan tersebut. Teori ini mendudukkan orang yang belajar sebagai individu yang pasif.Perilaku siswa dapat dibentuk karena dikondisikan dengan cara tertentu dengan menggunakan metode indoktrinasi.Dalam dunia pendidikan dikenal 3 bentuk tingkah laku yangmerupakan ciri berhasilnya pendidikan apabila tingkah laku tersebut dapatdiwujudkan dalam diri siswa. Ketiga bentuk tingkah laku itu menurut B.S.Bloom, dkk disebut taksonomi tujuan instruksional yang terdiri dari 3 ranahyaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.[footnoteRef:11] [11: WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996, 144.]

Pendidikan merupakan suatu aktivitas untuk mengembangkan seluruh aspek kepribadian manusia yang berjalan seumur hidup. Secara umum pendidikan dapat diartikan sebagai usaha manusia untuk membina kepribadiannya sesuai dengan nilai-nilai di dalam masyarakat. Dengan demikian bagaimanapun sederhananya peradaban suatu masyarakat, di dalamnya terjadi atau berlangsung suatu proses pendidikan. Menurut Tim Dosen FIP IKIP Malang yang dikutip oleh Dra. Zuhairini: Pendidikan merupakan aktivitas dan usaha manusia untuk meningkatkan kepribadiannya dengan jalan membina potensi rohani (pikir, rasa, karsa, cipta dan budi nurani) dan jasmani (panca indera dan ketrampilanketrampilan).[footnoteRef:12] [12: Zuharini, et. Al., Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 1995, 151.]

Pendidikan Islam, Mampukah Menjawab?Dari rumusan tersebut pengertian pendidikan masih terlihat keumumannya, untuk itu Islam memberikan batasan bentuk konseptualnya yaitu pembentukan kepribadian yang dimaksudkan sebagai hasil pendidikan adalah kepribadian muslim. Jadi kepribadian muslim merupakan tujuan dari setiap usaha pendidikan. Hal ini mengandung arti bahwa pendidikan Islam itu diharapkan menghasilkan manusia yang utuh jasmani dan rohani yaitu manusia yang berguna bagi dirinya dan masyarakatnya serta senang mengamalkan dan mengembangkan ajaran Islam dalam berhubungan dengan Allah dan dengan manusia sesamanya, dapat mengambil manfaat yang semakin meningkat dari alam semesta ini untuk kepentingan hidup di dunia dan akhirat. Hal ini telah ditunjukkan Allah dalam firman-Nya :Arinya:Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah sebenar-benar takwa kepada-Nya; dan janganlah sekali-kali kamu mati melainkan dalam Keadaan beragama Islam. (Qs. Ali Imran : 102)[footnoteRef:13] [13: Soenarjo, dkk.,Al Quran dan Terjemahnya, Jakarta: Depag RI, 1971, 92.]

Untuk menghasilkan manusia yang utuh jasmani dan rohanisebagaimana yang diharapkan dalam pendidikan Islam itu bukanlah hal yangmudah sehingga dibutuhkan kerja keras yang dilakukan secara berencana.Salah satu cara atau alat yang paling efektif dan efisien untuk mencapai tujuantersebut adalah melalui pengajaran. Hal ini dikuatkan oleh Dr. Zakiah Daradjat dengan pendapatnya yaitu Tujuan pendidikan Islam tidak dapatdicapai kecuali melalui proses pengajaran, pengalaman, pembiasaan,penghayatan dan keyakinan akan kebenarannya.[footnoteRef:14] [14: Zakiah Daradjat, dkk.,Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Bumi Aksara, 2000, 30.]

Adapun dalam pendidikan formal (sekolah, madrasah), tahap-tahap dalam mencapai tujuan pendidikan itu dirumuskan dalam bentuk tujuan kurikuler yang selanjutnya dikembangkandalam tujuan instruksional. Di dalam praktek sehari-hari di sekolah dikenaltujuan instruksional umum (TIU) dan tujuan instruksional khusus (tujuan yangdidasarkan atas tingkah laku dan merupakan bentuk operasional dari TIU). Dalam dunia pendidikan dikenal 3 bentuk tingkah laku yangmerupakan ciri berhasilnya pendidikan apabila tingkah laku tersebut dapat diwujudkan dalam diri siswa. Ketiga bentuk tingkah laku itu menurut B.S.Bloom, dkk disebut taksonomi tujuan instruksional yang terdiri dari 3 ranahyaitu ranah kognitif, afektif dan psikomotorik.[footnoteRef:15]Adapun yang menjadiperhatian penulis adalah ranah afektif. [15: WS. Winkel, Psikologi Pengajaran, Jakarta: Grasindo, 1996, 144.]

Pembahasan tentang ranah afektif tidak mungkin terpisah dengan ranah kognitif dan psikomotorik. Karena pada dasarnya pemisahan antara ketiga ranah tersebut merupakan pemisahan yang dibuat-buat. Hal inidisebabkan karena manusia merupakan suatu kebulatan yang tidak dapatdipecah-pecah sehingga segala tindakannya merupakan suatu kebulatan.[footnoteRef:16] Meskipun demikian, ketiga ranah tersebut dapat dibedakan satu sama lain. Ranah afektif merupakan salah satu taksonomi tujuan instruksionalyang berkaitan dengan kondisi psikologis atau perasaan seseorang. [16: Suharsimi Arikunto, Dasar-dasar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, 116.]

Konsep Afeksi dalam PendidikanAdapun ranah afektif itu terdiri dari 5 unsur sebagaimana pendapat Krathwohl yangdikutip oleh Prof. Suyanto, M.Ed., Ph.D. Kelima unsur tersebut adalah sikap,minat, nilai, apresiasi dan penyesuaian dengan proses munculnya unsur afektif dalam diri siswa dapat disusun strukturnya sebagai berikut:a. Receiving(menerima)Menerima (receiving) ialah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain, termasuk dalam jenjang ini misalnya ialah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar.b. Responding(menanggapi)Menanggapi (responding) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi, kemampuan menanggapi ialah kemampuan yang dimilikioleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalamfenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satucara.c. Valuing(menilai )Menilai/menghargai (valuing) yang dimaksudkan ialah memberi nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatanatau objek, sehingga apabila kegiatan atau objek, sehingga apabilakegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian ataupenyesalan.d. Organization(mengatur atau mengorganisasikan)Mengatur atau mengorganisasikan (organization) ialah mempertemukan perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai baru yanguniversal, yang membawa kepada perbaikan umum.e. Characterization by a value(karakterisasi dengan suatu nilai)[footnoteRef:17] [17: Suyanto, Refleksi dan Reformasi Pendidikan di Indonesia Memasuki Millenium III, Yogyakarta: Adicita Karya Nusa, 2000, 72.]

Karakterisasi dengan suatu nilai (characterization by a) ialah keterpaduansemua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhipola kepribadian dan tingkah lakunya.Apabila kita melihat struktur kawasan afektif tersebut ternyata tidak sejelas seperti struktur pada kawasan kognitif. Dimana kawasan kognitifmasing-masing unsurnya bisa dikatakan hierarkis artinya unsur yang satumerupakan syarat mutlak bagi unsur yang lain. Namun dalam ranah afektifmasing-masing unsur tersebut saling tumpang tindih, maka tidaklahmengherankan apabila dalam pendidikan lebih mengorientasikan tujuannyapada ranah kognitif karena lebih mudah dirumuskan dan dievaluasi.Sedangkan ranah afektifnya terbengkalai artinya ranah afektif hanya dipasangdalam tujuan, kalaupun itu ada, namun tidak pernah diupayakan aplikasinya.Meskipun demikian bukan berarti bahwa unsur-unsur afektif itu tidak dapatdiwujudkan dalam proses belajar mengajar, tetapi untuk mewujudkan unsur-unsur tersebut diperlukan kondisi yang kondusif artinya adanya usaha untuk menciptakan kondisi belajar mengajar yang mampu menumbuhkan sikap,minat, nilai, apresiasi dan penyesuaian terhadap suatu fenomena kognitif.Posisi unsur-unsur afektif seseorang terhadap fenomena kognitif sangatberpengaruh terhadap proses pengambilan keputusan dalam diri seseoranguntuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu. Sebagai contoh pada saatbangsa Indonesia berperang melawan Belanda, para pemimpin perang kitatelah berhasil menanamkan sistem nilai kepada seluruh rakyat, yaitu lebih baikmati dari pada dijajah. Dari sistem nilai itu timbul semboyan merdeka ataumati. Dengan sistem nilai seperti itu dipercaya, diminati, diapresiasi dan jugadisikapi secara positif oleh rakyat. Oleh karena itu dengan bambu runcingyang sudah agak tumpul pun rakyat Indonesia berani berperang melawanpenjajah. Jadi, jelas unsur-unsur afektif itu sebagai penentu seseorang untuk melakukan sesuatu atau sebaliknya. Demikian halnya dalam pendidikan Agama Islam yang penuh dengan nilai-nilai moral, maka dalam pembelajaranagama Islam tidak hanya menghafal berbagai tuntutan agama, tetapi gurumemberikan kesempatan seluas-luasnya kepada siswa untuk melakukanrefleksi terhadap nilai-nilai agama yang sedang dipelajarinya. Dengandemikian nilai agama akan dipegang sebagai suatu yang harus diyakini,disadari dan diamalkan. Maka secara otomatis terbentuklah kepribadianmuslim dalam diri siswa sebagaimana yang dicita-citakan dalam pendidikan Islam. Namun, apabila kita mengamati fenomena pelaksanaan pendidikanIslam sekarang ini, maka pembelajaran agama Islam yang selama iniberlangsung kurang terkait terhadap persoalan bagaimana mengubahpengetahuan agama yang bersifat kognitif menjadi nilai yang perludiinternalisasikan dalam diri peserta didik, untuk selanjutnya menjadikepribadian siswa yang tidak dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari.[footnoteRef:18]Implikasinya pada saat ini banyak terdapat kasus kenakalan di kalangan pelajar seperti perkelahian pelajar, konsumen minuman keras, pemerkosaan, pencurian dan sebagainya. Munculnya kasus tersebut salah satu penyebabnya adalahpelaksanaan pendidikan yang selama ini berlangsung lebih mengorientasikantujuannya pada ranah kognitif sedangkan ranah afektifnya terabaikan. [18: Muhaimin, et.al. Paradigma Pendidikan Islam, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2001, 168.]

Pengabaian tersebut merugikan perkembangan peserta didik secara individualmaupun masyarakat secara keseluruhan. Tendensi yang ada ialah peserta didiktahu banyak tentang sesuatu, namun mereka kurang memiliki sikap, minat,sistem nilai maupun apresiasi positif terhadap apa yang mereka ketahui.Oleh karena itu, penanaman nilai kehidupan harus ada dalam pendidikan afeksi di sekolah, walaupun tidak harus dalam bentuk mata pelajaran, melainkan dapat terintegrasi dalam mata pelajaran. Hal yang paling penting adalah bagaimana guru menanamkan nilai pada siswa melalui pendidikan afeksi yang diajarkan di sekolah dan bagi siswa belajar tentang makna nilai kehidupan.[footnoteRef:19] [19: Bambang Irianto, Kurikulum Berbasis Kompetensi Salah satu Solusi Dalam Memenuhi Tuntutan Global dan Lokal (makalah), Bandung : Makalah, 2003, 2.]

Mazroatul Ulum MenjawabLembaga pendidikan Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum yang terletak di lereng gunung muria tepatnya di Desa Suwaduk Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati dalam mengimplementasikan pembelajaran afeksi kepada siswanya berusaha untuk selalu mencakup seluruh proses pengembangan domain afektif yang meliputi pendidikan sikap, etika, kepercayaan, perasaan, khususnya estetika, kemanusiaan, moral dan nilai. Di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati sendiri dalam pengimplementasian pembelajaran yang mengarah pada pembelajaran afeksi telah terlihat dengan indikasi yang tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku dan sikap siswa, seperti: bertambahnya perhatian terhadap mata pelajaran yang diajarkan, kedisiplinan dalam mengikuti pelajaran di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru dan lain sebagainya.Bertitik tolak dari penjelasan tersebut, maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian atas Implementasi Pembelajaran Afeksi Siswa di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati Tahun Pelajaran 2011/2012

BAB IIKupas Tuntas Konsep Pembelajaran Afeksi

Pengertian Pembelajaran AfeksiDalam membahas pembelajaran afeksi, tentu saja yang mesti dipahami adalah makna kata per kata. Secara etimologis kata pembelajaran berasal dari kata belajar yang mendapatkan tambahan awalan pe dan akhiran an yang menunjukkan arti sebuah proses. Kata belajar sendiri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan berusaha memperoleh kepandaian atau ilmu.[footnoteRef:20] [20: Tim Penyusun Kamus Pusat Bahasa, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Jakarta: Balai Pustaka, 2003, 4]

Pengertian belajar menurut Gordon H. Bower dan Ernest R. Hilgard ialah to gain knowledge through experience.[footnoteRef:21] Artinya: untuk memperoleh pengetahuan melalui pengalaman. Secara terminologis pembelajaran memiliki banyak pengertian dan memiliki batasan yang luas. Hal tersebut dikarenakan, para ahli pendidikan memiliki pemahaman yang berbeda-beda tentang pengertian pembelajaran. [21: Gordon H. Bower dan Ernest R. Hilgard, Theories of Learning, London: Prentice Hall International, 1981, 2]

Oemar Hamalik mendefinisikan pembelajaran ialah suatu kombinasi yang tersusun meliputi unsurunsur manusiawi, material, fasillitas, perlengkapan dan prosedur yang saling mempengaruhi untuk mencapai tujuan pembelajaran.[footnoteRef:22] Menurut E. Mulyasa pembelajaran pada hakekatnya ialah interaksi antara peserta didik dan lingkungannya, sehingga terjadi perubahan perilaku ke arah yang lebih baik.[footnoteRef:23] S. Nasution bahwa pembelajaran ialah proses interaksi antara guru dan siswa atau sekelompok siswa dengan tujuan untuk memperoleh pengetahuan, ketrampilan atau sikap serta menetapkan apa yang dipelajari.[footnoteRef:24] [22: Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, 57] [23: E. Mulyasa, Kurikulum Berbeasis Kompetensi, Bandung: Remaja Rosdakarya Offset, 2003, 100] [24: S. Nasution, Kurikulum dan Pengajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2007, 102]

Berdasarkan pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran merupakan proses interaksi antara siswa dengan lingkungan belajar yang diatur guru untuk mencapai tujuan pengajaran yang telah ditetapkan. Oleh karena itu, posisi guru dalam kegiatan pembelajaran tidak hanya sebagai penyampai informasi melainkan sebagai pengarah dan pemberi fasilitas untuk terjadinya proses belajar. Pembelajaran pada dasarnya merupakan suatu rekayasa yang diupayakan untuk membantu peserta didik agar dapat tumbuh dan berkembang sesuai dengan maksud dan tujuan penciptaannya. Istilah pembelajaran sebelumnya lebih popoler dengan sebutan kegiatan belajar mengajar maupun proses belajar mengajar. Dalam kegiatan belajar mengajar pelaksanaannya tidak ada keseimbangan antara guru dengan siswa, di mana dalam kegiatan belajar menekankan keaktifan guru sementara siswa hanya pasif. Sehingga kegiatan belajar mengajar guru bersifat theacher oriented. Seiring kurang berhasilnya kegiatan belajar mengajar, maka proses pembelajaran merupakan jawaban terhadap kelemahan kegiatan belajar mengajar selama ini.[footnoteRef:25] [25: Muhaimin dkk, Paradigma Pendidikan Islam di Sekolah, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2001, 184]

Dalam pembelajaran baik guru maupun siswa dituntut untuk aktif. Dalam memperoleh kondisi pembelajaran yang efektif tersebut maka guru sangat berperan dalam menentukan kualitas dan kuantitas pengajaran. Oleh karena itu, dalam hal ini, seorang guru harus mampu merencanakan dan meningkatkan kualitas pengajaran. Untuk memenuhi hal tersebut, guru dituntut mampu mengelola proses belajar mengajar yang memberikan rangsangan kepada siswa sehingga mau belajar, karena memang siswalah subjek utama dalam belajar. Dalam menciptakan kondisi belajar mengajar yang efektif, berikut ini akan penulis paparkan tentang ketrampilan dasar yang harus dikuasai oleh seorang guru di dalam pembelajaran, antara lain:1) Memberi penguatan Penguatan (reinforcement) ialah segala bentuk respon apakah bersifat verbal ataupun non verbal, yang merupakan bagian dari modifikasi tingkah laku guru terhadap tingkah laku siswa, yang bertujuan untuk memberikan informasi atau umpan balik (feed back) bagi si penerima (siswa) atas perbuatannya sebagai suatu tindak dorongan ataupun koreksi atau penguatan meningkatkan kemungkinan berulangnya kembali tingkah laku tersebut. Tindakan tersebut dimaksudkan untuk mengganjar atau membesarkan hati siswa agar mereka lebih giat berpartisipasi dalam interaksi belajar mengajar.Adapun jenis penguatan ada 2 antara lain:[footnoteRef:26] a) Penguatan verbal (biasanya diungkapkan atau diutarakan dengan penggunaan kata-kata pujian, penghargaan, persetujuan dan sebagainya), misalnya: bagus, bagus sekali, betul, pintar, dan lain-lain. b) Penguatan non verbal (penguatan gerak/syarat) misalnya: anggukan atau gelengan kepala, senyuman, acungan jempol dan lain-lain). [26: Moh. Uzer Usman, Menjadi Guru Profesional, Bandung: Remaja Rosdakarya, 2002, 80]

2) Menggunakan teknik bertanya yang merespon siswa Dalam proses belajar mengajar, bertanya memainkan peranan penting, sebab pertanyaan yang tersusun dengan baik dan teknik pelontaran yang tepat akan memberikan dampak positif terhadap siswa, di antaranya:[footnoteRef:27] [27: Usman, 75]

a) Meningkatkan partisipasi siswa dalam kegiatan belajar mengajar b) Membangkitkan minat dan rasa ingin tahu siswa terhadap suatu masalah yang sedang dihadapi c) Mengembangkan pola dan cara belajar aktif siswa sebab berfikir itu sendiri sesungguhnya ialah bertanya. Ketrampilan dan kelancaran bertanya dari calon guru maupun dari guru itu perlu dilatih dan ditingkatkan baik isi pertanyaan maupun teknik bertanyanya. Dasar bertanya yang baik antara lain:a) Jelas dan mudah dimengerti oleh siswab) Memberikan informasi yang cukup kepada anakc) Difokuskan pada suatu masalah atau tugas tertentud) Berikan respon yang ramah dan menyenangkan sehingga timbul keberanian siswa untuk menjawab dan bertanya.3) Menggunakan metode yang bervariasi Variasi merupakan kegiatan guru dalam konteks proses interaksi belajar mengajar yang ditujukan untuk mengatasi kebosanan siswa sehingga dalam situasi belajar mengajar siswa senantiasa menunjukkan ketekunan antusias serta penuh partisipasi. Adapun tujuan dan manfaat penggunaan metode yang bervariasi ialah:[footnoteRef:28] [28: Usman, 84-85]

a) Untuk menimbulkan dan meningkatkan perhatian siswa kepada aspek-aspek belajar yang relevanb) Untuk memupuk tingkah laku yang positif terhadap guru dan sekolah dengan berbagai cara mengajar yang lebih hidup dan lingkungan belajar yang lebih baik. c) Guna memberi kesempatan kepada siswa untuk memperoleh cara menerima pelajaran yang disenanginya.Prinsip-prinsip yang digunakan dalam metode yang bervariasi, antara lain:1) Variasi hendaknya digunakan sesuai dengan maksud dan tujuan yang hendak dicapai.2) Menggunakan variasi secara lancar dan berkesinambungan sehingga tidak akan merusak perhatian siswa dan tidak mengganggu proses pelajaran. 3) Penggunaan komponen variasi harus benar-benar terstruktur dan direncanakan oleh guru. Metode-metode di atas merupakan metode yang sering digunakan dalam pengajaran, selain metode-metode tersebut masih banyak metode-metode lain yang dapat dipraktekkan. Dalam pelaksanaan pembelajaran, penggunaan dan kombinasi antara metode-metode harus dilakukan oleh pengajar. 4) Menarik perhatian siswaUntuk membangkitkan perhatian yang disengaja seorang guru harus:[footnoteRef:29] [29: Busyairuddin Usman, 10]

a) Dapat menunjukkan pentingnya bahan pelajaran yang disajikan bagi siswa.b) Berusaha menghubungkan antara apa yang telah diketahui oleh siswa dengan materi yang akan disampaikan.c) Merangsang siswa agar melakukan kompetensi belajar yang sehat dan berusaha menghindarkan hukuman serta dapat memberikan hadiah secara bijaksana.5) Melakukan evaluasi Evaluasi/penilaian ialah suatu upaya untuk memeriksa sejauhmana siswa telah megalami kemajuan belajar atau mencapai tujuan belajar dan pembelajaran.[footnoteRef:30] Menurut Daryanto evaluasi digunakan untuk mengetahui usaha yang dilakukan guru melalui pengajaran berkaitan dengan pencapaian tujuan yang dirumuskan.[footnoteRef:31] [30: Oemar Hamalik, Kurikulum dan Pembelajaran, Jakarta: Bumi Aksara, 2001, cet. 3, 157] [31: Daryanto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Rineka Cipta, 1999, 7]

Dengan demikian tujuan utama melakukan evaluasi ialah untuk mendapatkan informasi yang akurat tentang pencapaian tujuan pembelajaran oleh siswa sehingga dapat diupayakan tindak lanjutnya. Untuk lebih mudah pengukuran keberhasilan proses belajar mengajar, maka sebaiknya sehabis menerangkan materi sedapat mungkin guru mengajukan pertanyaan-pertanyaan baik lisan maupun tulisan sehingga siswa juga lebih mudah mencerna dan mengingat-ingat pelajaran yang telah disampaikan. 6) Mengelola kelas Pengelolaan kelas (classroom management) ditekankan pada upaya untuk menciptakan kondisi dan prakondisi yang nyaman bagi terlaksananya proses pembelajaran secara efektif dan efisien. Dalam melaksanakan kegiatan atau aktivitas mengajar, seorang guru harus bertanggung jawab dan memperhatikan semua aktivitas di dalam kelas. Ia dapat berlaku sebagai seorang manajer. Orang tua, teman, nara sumber, mediator, motivator, dan supporter bagi siswanya. Guru sebagai pemimpin (manajer) memberikan contoh yang baik kepada siswanya tentang bagaimana belajar dan ia terlibat dalam berbagai aktivitas yang menyenangkan. Guru juga harus mendorong siswa untuk belajar dan berprean dalam semua aktivitas dari sejak awal. Siswa harus diberikan tugas secara teratur, baik berupa kegiatan belajar di dalam kelas, tugas di luar kelas, maupun tugas mandiri supaya pembelajaran dapat terpusat (terfokus) pada siswa (student centered).

Pengertian AfeksiDalam proses belajar mengajar, terdapat empat unsur utama yaitu tujuan, materi, metode dan alat serta evaluasi. Tujuan pada hakikatnya merupakan rumusan tingkah laku yang diharapkan dapat dikuasai siswa setelah menempuh pengalaman belajar. Materi merupakan seperangkat pengetahuan ilmiah yang disampaikan dalam proses belajar mengajar agar sampai pada tujuan yang ditetapkan, sedangkan metode dan alat merupakan cara yang digunakan dalam mencapai tujuan. Adapun untuk mengetahui apakah tujuan yang telah ditetapkan itu tercapai atau tidak maka diperlukan evaluasi. Dari evaluasi itu akan diketaui hasil belajar atau kemampuan yang dimiliki siswa setelah proses belajar. Berdasarkan uraian di atas, maka dalam memahami ranah afeksi tidak terlepas dari keempat unsur utama proses belajar mengajar. Dalam sistem pendidikan nasional, rumusan tujuan pendidikan menggunakan klasifikasi hasil belajar dari Benyamin S. Bloom yang secara garis besar membagi tiga ranah yakni ranah kognitif, ranah afektif dan ranah psikomotoris.[footnoteRef:32] [32: Nana Sudjana, Penilaian Hasil Proses Belajar Mengajar, Bandung : Remaja Rosdakarya, 1995, 22]

Istilah ranah afeksi dalam bahasa Indonesia berasal dari kata ranah yang berarti bagian (satuan) perilaku manusia dan afeksi berarti berkenaan dengan perasaan.[footnoteRef:33] Jadi, ranah afeksi merupakan bagian dari tingkah laku manusia yang berhubungan dengan perasaan. [33: Djalinus Syah, dkk., Kamus Pelajar (Kata Serapan Bahasa Indonesia), Jakarta : Rineka Cipta, 1993, 4]

Di dalam mendefinisikan ranah afeksi, para ahli banyak yang menyebutkan bahwa ranah afeksi itu merupakan tujuan yang berkenaan dengan sikap dan nilai. Dari definisi tersebut di atas, pengertian ranah afeksi terlihat sangat singkat dan masih membutuhkan pemahaman sehingga untuk lebih jelasnya, penulis paparkan pendapat Menurut Muhibbin Syah, yang mengatakan bahwa ranah kognitif sangat erat kaitannya dengan ranah kognitif. Pengembagan ranah kognitif pada dasarnya membuahkan kecakapan kognitif dan juga menghasilkan kecakapan afektif. Sebagai contoh, seorang guru yang piawai dalam mengembangkan kecakapan kognitif, maka berdampak positif pula terhadap ranah afektif.[footnoteRef:34] [34: Muhibbin Syah, Psikologi dengan Pendekatan Baru, Bandung: Remaja Rosdakarya, 1995, 51]

Syamsul Yusuf LN mengatakan bahwa ranah afeksi pada dasarnya merupakan tingkah laku yang mengandung penghayatan suatu emosi atau perasaan tertentu. Contoh ikhlas, senang, marah, sedih, menyayangi, mencintai, menerima, menyetujui dan menolak.[footnoteRef:35] [35: Syamsu Yusuf LN., Psikologi Belajar Agama, Bandung: Pustaka Bani Quraish, 2004, 9]

Dari definisi di atas dapat dipahami bahwa dalam ranah afeksi bukan sikap dan nilai saja yang diutamakan, tetapi meliputi hal yang lebih rumit artinya siswa diharapkan memperhatikan sebuah fenomena selanjutnya ia memberikan sebuah respon tertentu untuk diorganisasikan dalam dirinya sehingga siswa mampu mengambil sikap-sikap, prinsip-prinsip yang menjadi bagian dari dirinya di dalam memberikanCiri-ciri hasil belajar afeksi akan tampak pada peserta didik dalam berbagai tingkah laku, seperti: perhatiannya terhadap mata pelajaran pendidikan agama Islam, kedisiplinan dalam mengikuti pelajaran agama di sekolah, motivasinya yang tinggi untuk tahu lebih banyak mengenai pelajaran agama Islam yang diterimanya, penghargaan atau rasa hormatnya terhadap guru agama pendidikan agama Islam dan lain sebagainya.[footnoteRef:36] [36: Muhibbin Syah, 54]

Jadi dari setiap pengertian diatas dapat disimpulkan bahwa pembelajaran afektif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat suatu interaksi antara siswa dengan lingkungan belajar yang diatur guru dengan tujuan untuk membentuk suatu proses belajar siswa agar dapat mempengaruhi keadaan perasaan, emosi, pembentukan sikap dan nilai siswa tersebut.

Jenjang dan Aspek Ranah Afeksi Ranah afeksi oleh Krathwohl dan kawan-kawan ditaksonomikan menjadi lebih rinci lagi ke dalam lima jenjang, sebagai berikut:[footnoteRef:37] [37: Krathwohl dkk, 54-56]

a. Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending) Menerima atau memperhatikan (receiving atau attending) ialah kepekaan seseorang dalam menerima rangsangan (stimulus) dari luar yang datang kepada dirinya dalam bentuk masalah, situasi, gejala dan lain-lain, termasuk dalam jenjang ini misalnya ialah kesadaran dan keinginan untuk menerima stimulus, mengontrol dan menyeleksi gejala-gejala atau rangsangan yang datang dari luar. Receiving atau attenting juga sering diberi pengertian sebagai kemauan untuk memperhatikan suatu kegiatan atau suatu objek.Pada jenjang ini peserta didik dibina agar mereka bersedia untuk menerima nilai atau nilai-nilai yang diajarkan kepada mereka, dan mereka mau menggabungkan diri ke dalam nilai itu atau mengidentikkan diri dengan nilai itu. Contoh hasil belajar afektif jenjang receiving, misalnya ialah peserta didik menyadari bahwa disiplin wajib ditegakkan, sifat malas dan tidak berdisiplin harus disingkirkan jauh-jauh. b. Menanggapi (responding)Menanggapi (responding) mengandung arti adanya partisipasi aktif. Jadi, kemampuan menanggapi ialah kemampuan yang dimiliki oleh seseorang untuk mengikutsertakan dirinya secara aktif dalam fenomena tertentu dan membuat reaksi terhadapnya dengan salah satu cara.[footnoteRef:38] Jenjang ini setingkat ranah afektif receiving. Contoh hasil belajar ranah afektif jenjang responding ialah peserta didik tumbuh hasratnya untuk mempelajari lebih jauh atau menggali lebih dalam lagi, ajaran-ajaran Islam tentang kedisiplinan. [38: Amirul Hadi, dkk., Teknik Mengajar Secara Sistematis, Jakarta : Rineka Cipta, 2001, 31]

c. Menilai atau menghargai (valuing)Menilai/menghargai (valuing) yang dimaksudkan ialah memberi nilai atau memberikan penghargaan terhadap suatu kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan atau objek, sehingga apabila kegiatan itu tidak dikerjakan, dirasakan akan membawa kerugian atau penyesalan. Valuing merupakan tingkatan afeksi yang lebih tinggi lagi dari pada receiving dan responding. Dalam kaitan dengan proses belajar mengajar, peserta didik di sini tidak hanya mau menerima nilai yang diajarkan, tetapi mereka telah mampu untuk menilai konsep atau fenome, yaitu baik atau buruk.[footnoteRef:39] Bila sesuatu ajaran yang telah mampu mereka nilai dan telah mampu untuk mengatakan itu ialah baik, maka ini berarti bahwa peserta didik telah menjalani proses penilaian. Nilai itu telah mulai dicamkan (internalized) dalam dirinya. Dengan demikian, maka nilai tersebut telah stabil dalam diri peserta didik. [39: Slameto, Evaluasi Pendidikan, Jakarta : Bumi Aksara, 2001, 162]

Contoh hasil belajar afeksi jenjang valuing ialah tumbuhnya kemauan yang kuat pada diri peserta didik untuk berlaku disiplin, baik di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat. d. Mengatur atau mengorganisasikan (organization)Mengatur atau mengorganisasikan (organization) ialah mempertemukan perbedaan nilai, sehingga terbentuk nilai baru yang universal, yang membawa kepada perbaikan umum. Mengatur atau mengorganisasikan merupakan pengembangan nilai dari ke dalam satu sistem organisasi, termasuk di dalamnya hubungan satu nilai dengan nilai lain, pemantapan dan prioritas nilai yang telah dimilikinya. Contoh hasil belajar afektif jenjang organization ialah peserta didik mendukung penegakan disiplin nasional. Mengatur dan mengorganisasikan merupakan jenjang sikap atau nilai yang lebih tinggi lagi ketimbang receiving, responding dan valuing. Karakterisasi dengan suatu nilai atau kompleks nilai (characterization by a value or value complex) ialah keterpaduan semua sistem nilai yang telah dimiliki seseorang yang mempengaruhi pola kepribadian dan tingkah lakunya. Di sini proses internalisasi nilai telah menempati tempat tertinggi dalam suatu hirarki nilai. Nilai itu telah tertanam secara konsisten pada sistemnya dan telah mempengaruhi emosinya. Hal ini ialah merupakan tingkatan afeksi tertinggi, karena sikap batin peserta didik telah benar-benar bijaksana. Ia telah memiliki philosophy of life yang mapan. Jadi, pada jenjang ini peserta didik telah memiliki system nilai yang mengotrol tingkah lakunya untuk suatu waktu yang cukup lama, sehingga membentuk karakteristik pola hidup tingkah lakunya menetap, konsisten dan dapat diramalkan. Contoh hasil belajar afektif pada jenjang ini ialah siswa telah memiliki kebulatan sikap wujudnya peserta didik menjadikan perintah Allah SWT., yang tertera dalam al-Quran surat al-Ashr sebagai pegangan hidupnya. Dalam hal yang menyangkut kedisiplinan, baik kedisiplinan di sekolah, di rumah maupun di tengah-tengah kehidupan masyarakat.

Lima Ranah AfeksiJadi, berdasarkan pendapat Krathwohl tersebut, dapat dipahami bahwa ranah afeksi terdiri dari 5 aspek yaitu:Pertama, Minat (interest). Menurut Doyles Friyer yang dikutip oleh Wayan Nurkancana dalam bukunya Evaluasi Pendidikan, Minat atau interest adalah gejala psikis yang berkaitan dengan obyek atau aktifitas yang menstimulus perasaan senang pada individu.[footnoteRef:40] [40: Wayan Nurkancana, Evaluasi Pendidikan, Surabaya : Usaha Nasional, 1986, 229]

Dari pengertian tersebut, apabila seseorang senang terhadap obyek atau aktivitas tertentu maka ia akan mempunyai minat yang besar terhadap obyek itu. Sebagai contoh apabila siswa senang dengan pelajaran sejarah Islam maka ia akan menaruh minat yang besar terhadap pelajaran tersebut misalnya dengan memperhatikan pelajaran tersebut dengan baik, banyak membaca buku-buku sejarah Islam, senang bertanya kepada guru tentang pelajaran itu dan sebagainya. Jadi minat merupakan faktor pendorong individu untuk melaksanakan usahanya. Kedua, Sikap (attitude). Sikap merupakan kecenderungan untuk merespon sesuatu baik individu, tata nilai, peristiwa, dan sebagainya dengan cara-cara tertentu. Dalam proses belajar mengajar terlihat adanya sikap siswa seperti kemauannya untuk menerima pelajaran dari guru, perhatiannya terhadap apa yang dijelaskan oleh guru, penghargaannya terhadap guru. Jadi sikap akan memberikan arah kepada individu untuk melakukan perbuatan yang positif ataupun negatif.Ketiga, Nilai (value). Sebagaimana yang dikutip oleh Drs. H.M. Chabib Thoha dalam buku Kapita Selekta Pendidikan Islam, Sidi Gazalba mengartikan nilai sebagai sesuatu yang bersifat abstrak. Ia ideal, nilai bukan benda konkrit, bukan fakta, tidak hanya persoalan benar dan salah yang menuntut pembuktian empirik, melainkan soal penghayatan yang dikehendaki dan tidak dikehendaki, disenangi dan tidak disenangi.[footnoteRef:41] [41: M. Chabib Thoha, Kapita Selekta Pendidikan Islam, Semarang : Pustaka Pelajar,1996, 60]

Dari kedua pengertian nilai tersebut, dalam hubungannya dengan proses belajar mengajar, siswa mampu menghayati sebuah fenomena sehingga ia dapat membedakan benar dan salah, baik dan buruk dan mana yang lebih penting dalam hidup. Keempat, Apresiasi. Apresiasi sering diartikan sebagai penghargaan terhadap suatu benda baik abstrak maupun kongkret yang memiliki nilai luhur dan umumnya dikaitkan dengan karya seni. Menurut Chaplin yang dikutip oleh Muhibbin Syah, apresiasi berarti suatu pertimbangan (judgment) mengenai arti penting atau nilai sesuatu.[footnoteRef:42] [42: Muhibbin Syah, Psikologi Pendidikan Dengan Pendekatan Baru, Bandung : Rosdakarya, 1997, 121]

Dalam proses belajar mengajar, apresiasi dapat dilihat dari perilaku siswa menghargai guru dan teman, menghargai waktu belajar dan tahu hal-hal yang lebih penting dalam hidup. Kelima, Penyesuaian (adjustment). Penyesuaian merupakan aspek afektif yang mengontrol perilaku siswa sesuai dengan prinsip-prinsip yang tertanam dalam dirinya. Jadi adjustment dapat diartikan sebagai penguasaan; yaitu kemampuan membuat rencana dan mengatur respon-respon sedemikian rupa sehingga dapat menguasai atau menanggapi segala macam konflik atau masalah.[footnoteRef:43] [43: Kartini Kartono, Hygiene Mental dan Kesehatan Mental dalam Islam, Bandung : Mandar Maju, 1989, 260-261]

Sebagai contoh, siswa melakukan latihan diri dalam memecahkan masalah berdasarkan konsep bahan yang telah diperolehnya atau menggunakannya dalam praktek kehidupannya.

Evaluasi dalam Aspek AfektifPenilaian terhadap aspek afektif dilakukan selama berlangsungnya kegiatan belajar mengajar, baik di dalam maupun di luar kelas, yang berorientasi pada perilaku siswa sehari-hari sebagai pengamalan nilai-nilai agama. Aspek afektif inilah yang menjadi perhatian utama dalam penilaian mata pelajaran pendidikan agama. Aspek afektif yang perlu dinilai meliputi sopan santun siswa kepada guru, karyawan dan teman sekolah serta sopan santun siswa kepada orang tua, keluarga, teman dan orang yang lebih tua di rumah atau di masyarakat. Menurut Anas Sudijono, bahwa evaluasi ranah afektif dapat menggunakan tes sikap (attidute test) atau sering dikenal dengan skala sikap (attidute scale).[footnoteRef:44] Muhibbin Syah menambahkan, bahwa untuk melakukan evaluasi ranah afektif dapat dilakukan dengan menggunakan Skala Likert (Likert Scale). Skala likert ini digunakan untuk mengidentifikasi kecenderungan/ sikap orang. Bentuk skala likert menampung pendapat yang mencerminkan sikap sangat setuju, ragu-ragu, tidak setuju dan sangat tidak setuju. Rentang skala ini diberi skor 1 sampai 5 atau 1 sampai 7 bergantung kebutuhan dengan catatan skor itu dapat mencerminkan sikap-sikap yang diukur.[footnoteRef:45] [44: Anas Sudijono, Pengantar Evaluasi Pendidikan, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001, 27] [45: Muhibbin Syah, 188]

Untuk memudahkan identifikasi jenis kecenderungan afektif siswa yang representatif, item-item skala sikap sebaiknya dilengkapi dengan label/identitas sikap yang meliputi:[footnoteRef:46] [46: Muhibbin Syah, 189]

Pertama, Doktrin (pendirian). Doktrin / pendirian ini merupakan masa siswa dapat menghargai nilai nilai sebagai hal yang abstrak. Sehingga akan timbul pada diri siswa tersebut penentuan pilihan atau pendirian hidup. Penentuan ini biasanya berkali kali melalui proses jatuh bangun, karena ia menguji nilai yang dipilihnya dalam kehidupan nyata, sampai diperoleh pandangan atau pendirian yang tahan uji.Kedua, Komitmen (ikrar setia untuk melakukan atau meninggalkan suatu perbuatan). Komitmen yang dimaksud di sini mempunyai arti peristiwa dimana individu sangat tertarik pada tujuan, nilai-nilai dan sasaran-sasaran. Jadi komitmen lebih dari hanya sekedar keanggotaan karena meliputi sikap kesetiaan untuk berusaha dengan segenap kemampuannya demi memperlancar pencapaian tujuan.Ketiga, Penghayatan (pengalaman batin). Tidak adanya pengalaman yang dimiliki oleh seseorang dengan suatu objek psikologis, cenderung akan membentuk sikap negatif terhadap objek tersebut. Sikap akan lebih mudah terbentuk jika yang dialami seseorang terjadi dalam situasi yang melibatkan emosi, karena dengan penghayatan akan pengalaman lebih mendalam dan lebih lama membekas.Keempat, Wawasan (pandangan atau cara memandang sesuatu). Wawasan dalam hal ini diartikan sebagai proses pencarian informasi untuk dipahami. Alat untuk memperoleh informasi tersebut adalah alat penginderaan (pendengaran, penglihatan, peraba dan sebagainya). Untuk memberikan respon positif maupun negatif, seseorang akan sangat dipengaruhi oleh persepsi atau pandangan terhadap informasi tertentu. Bila seseorang telah mengamati sesuatu dan memiliki kesan yang baik, maka orang tersebut akan memberikan respon yang positif terhadap objek tersebut begitupun sebaliknya.Selain menggunakan skala likert, untuk mengukur ranah afektif dapat digunakan skala ciptaan C. Osgood yang dikenal dengan semantic differential. Penggunaan skala ini tidak sekedar mengetahui sikap siswa dengan menjawab benar atau salah, melainkan untuk mengetahui kecenderungan setuju atau tidak setuju.[footnoteRef:47] [47: Muhibbin Syah, 190]

Prinsip dasar yang dijadikan sebagai patokan dalam penilaian akhir satuan pelajaran ialah sebagai berikut:a. Maksudkan untuk mengetahui penguasaan siswa terhadap tujuan pengajaran khusus yang hendak dicapai.b. Feedback bagi guru dan layanan bantuan khusus bagi siswa yang mengalami kesulitan belajar.c. Tingkah laku yang dinilai terbatas aspek kognitif dan atau psikomotor yang terkandung dalam tujuan pengajaran khusus.d. Tes dibuat secara langsung dengan menjabarkan setiap tujuan pengajaran khusus ke dalam bentuk pertanyaan.e. Pendekatan penilaian yang digunakan ialah penilaian yang bersumber pada criteria mutlak, sebab yang hendak diukur ialah kecakapan nyata setiap siswa.[footnoteRef:48] [48: Agus Irawan Sensus, Departemen pendidikan nasional Direktorat jenderal peningkatan mutu pendidik Dan tenaga kependidikan Pusat pengembangan penataran guru tertulis 2006 ]

Penilaian pencapaian kompetensi dasar peserta didik dilakukan berdasarkan indikator. Penilaian dilakukan dengan menggunakan tes dan non tes dalam bentuk tertulis maupun lisan, pengamatan kinerja, pengukuran sikap, penilaian hasil karya berupa tugas, proyek dan atau produk, penggunaan portofolio dan penilaian diri. Penilaian merupakan serangkaian kegiatan untuk memperoleh, menganalisis dan menafsirkan data tentang proses dan hasil belajar peserta didik yang dilakukan secara sistematis dan berkesinambungan sehingga menjadi informasi yang bermakna dalam pengambilan keputusan. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam penilaian :[footnoteRef:49] [49: Pengembangan Silabus KTSP MI, MTs., dan MA dalam www.ktsp.co.id]

a. Penilaian diarahkan untuk mengukur pencapaian kompetensib. Penilaian menggunakan acuan kriteria yaitu berdasarkan apa yang bisa dilakukan peserta didik setelah mengikuti proses pembelajaran dan bukan untuk menentukan posisi seseorang terhadap kelompoknya c. Sistem yang direncanakan ialah sistem penilaian yang berkelanjutan. Berkelanjutan dalam arti semua indikator ditagih kemudian hasilnya dianalisis untuk menentukan kompetensi dasar yang telah dimiliki dan yang belum serta untuk mengetahui kesulisan peserta didik. d. Hasil penilaian dianalisis untuk menentukan tindak lanjut. Tindak lanjut berupa perbaikan proses pembelajaran berikutnya, program remedi bagi peserta didik yang pencapaian kompetensinya di bawah kriteria ketuntasan dan program pengayaan bagi peserta didik yang telah memenuhi kriteria ketuntasan e. Sistem penilaian harus disesuaikan dengan pengalaman belajar yang ditempuh dalam proses pembelajaran. Misalnya, jika pembelajaran menggunakan pendekatan tugas observasi lapangan maka evaluasi harus diberikan baik pada proses (keterampilan proses) misalnya teknik wawancara, maupun produk/hasil melakukan observasi lapangan yang berupa informasi yang dibutuhkan.

Strategi Pembelajaran AfeksiSetiap strategi pembelajaran sikap pada umumnya menghadapkan siswa pada situasi yang mengandung konflik atau situasi yang problematik. Melalui situasi ini diharapkan siswa dapat mengambil keputusan berdasarkan nilai yang dianggapnya baik. Berikut ini disajikan beberapa model pembelajaran pembentukan sikap.[footnoteRef:50] [50: Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 279]

a. Model Konsiderasi Model konsiderasi (the consideration modal) dikembangkan oleh Mc. Paul, seorang humanis. Paul menganggap bahwa pembentukan moral tidak sama dengan pengembangan kognitif yang rasional. Pembelajaran moral siswa menurutnya adalah pembentukan kepribadian bukan pengembangan intelektual. Oleh sebab itu, model ini menekankan kepada strategi pembelajaran yang dapat membentuk kepribadian. Tujuannya adalah agar siswa menjadi manusia yang memiliki kepedulian terhadap orang lain. Kebutuhan yang fundamental adalah bergaul secara harmonis dengan orang lain, saling memberi dan menerima dengan penuh cinta dan kasih sayang. Dengan demikian, pembelajaran sikap pada dasarnya adalah membantu anak agar dapat mengembangkan kemampuan untuk bisa hidup bersama secara harmonis, peduli, dan merasakan apa yang dirasakan orang lain (tepo saliro). Implementasi model konsiderensi guru dapat mengikuti tahapan pembelajaran seperti di bawah ini.1) Menghadapkan siswa pada suatu masalah yang mengandung konflik, yang sering terjadi dalam kehidupan sehari-hari. 2) Menyuruh siswa untuk menganalisis situasi masalah dengan melihat bukan hanya yang tampak, tapi juga yang tersirat dalam permasalahan tersebut, misalnya perasaan, kebutuhan, dan kepentingan orang lain. 3) Menyuruh siswa untuk menuliskan tanggapannya terhadap permasalahan yang dihadapinya. 4) Mengajak siswa untuk menganalisis respon orang lain serta membuat kategori dari setiap respons yang diberikan siswa. 5) Mendorong siswa untuk merumuskan akibat dari setiap tindakan yang diusulkan siswa. Dalam tahapan ini siswa diajak berpikir tentang segala kemungkinan yang akan timbul sehubungan dengan tindakannya. 6) Mengajak siswa untuk memandang permasalahan dari berbagai sudut pandang (interdisipliner) untuk menambah wawasan agar mereka dapat menimbang sikap tertentu dengan nilai yang dimilikinya. 7) Mendorong siswa agar merumuskan sendiri tindakan yang harus dilakukan sesuai dengan pilihannya berdasarkan pertimbangannya sendiri. b. Model Pengembangan Kognitif Model pengembangan kognitif (the cognitive development model) dikembangkan oleh Lawrence Kohlberg. Model ini banyak diilhami oleh pemikiran John Dewey dan Jean Piaget yang berpendapat bahwa perkembangan manusia terjadi sebagai proses dari restrukturisasi kognitif yang berlangsung secara berangsur-angsur menurut urutan tertentu. Menurut Kohlberg, moral manusia itu berkembang melalui 3 tingkatan, dan setiap tingkat terdiri dari 2 tahap.1) Tingkat Prakonvensional Pada tingkatan ini setiap individu memandang moral didasarkan pada pandangannya secara individual tanpa menghiraukan rumusan dan aturan yang dibuat oleh masyarakat. Pada tingkat prakonvensional ini terdiri atas dua tahap yaitu:a) Tahap orientasi hukuman dan kepatuhan Pada tahap ini perlaku anak didasarkan kepada konsekuensi fisik yang akan terjadi. Artinya, anak hanya berpikir bahwa perilaku yang benar itu adalah perilaku yang tidak akan mengakibatkan hukuman. Dengan demikian, setiap peraturan harus dipatuhi agar tidak menimbulkan konsekuensi negatif. b) Tahap orientasi instrumental-relatif Pada tahap ini perilaku anak didasarkan kepada rasa adil berdasarkan aturan permainan yang telah disepakati. Dikatakan adil manakala orang membalas perilaku yang telah dianggap baik. Dengan demikian perilaku itu didasarkan saling menolong dan saling memberi. 2) Tingkatan Konvensional Pada tingkat ini anak mendekati masalah didasarkan pada hubungan individu-masyarakat. Kesadaran dalam diri anak mulai tumbuh bahwa perilaku itu harus sesuai dengan norma-norma dan aturan yang berlaku di masyarakat. Dengan demikian, pemecahan masalah bukan hanya didasarkan kepada rasa keadilan belaka, akan tetapi apakah pemecahan masalah itu sesuai dengan norma masyarakat atau tidak. Pada tahap ini mempunyai 2 tahap sebagai kelanjutan dari tahap yang ada pada tingkat prakonvernsional, yaitu:a) Keselarasan interpersonal Pada tahap ini ditandai dengan setiap perilaku yang ditampilkan individu didorong oleh keinginan untuk memenuhi harapan orang lain. b) Sistem sosial dan kata hati Pada tahap ini perilaku individu bukan didasarkan pada dorongan untuk memenuhi harapan orang lain yang dihormatinya, akan tetapai didasarkan pada tuntutan dan harapan masyarakat. 3) Tingkat Postkonvensional Pada tingkat ini perilaku bukan hanya didasarkan pada kepatuhan terhadap norma-norma masyarakat yang berlaku, akan tetapi didasari oleh adanya kesadaran sesuai dengan nilai-nilai yang dimilikinya secara individu. Seperti tingkat sebelumnya tingkat ini juga terdiri dari dua tahap yaitu:a) Tahap kontra sosial Pada tahap ini perilaku individu didasarkan pada kebenaran-kebenaran yang diakui oleh masyarakat. Kesadaran individu untuk berperilaku tumbuh karena kesadaran untuk menerpakan prinsip-prinsip sosial. Dengan demikian, kewajiban moral dipandang sebagai kontra sosial yang harus dipatuhi, bukan sekadar pemenuhan system nilai. b) Tahap prinsip etis yang universal Pada tahap terakhir, perilaku manusia didasarkan pada prinsip universal. Segala macam tindakan bukan hanya didasarkan sebagai kontrak sosial yang harus dipatuhi, akan tetapi didasarkan pada suatu kewajiban sebagai manusia. Sesuai dengan prinsip bahwa moral terjadi secara bertahap, maka strategi pembelajaran model Kohlberg diarahkan untuk membantu agar setiap individu meningkat dalam perkembangan moralnya.Menurut Further, menjadi remaja berarti mengerti nilai-nilai. Mengerti nilai-nilai ini tidak berarti hanya memperoleh pengertian saja melainkan juga dapat menjalankannya/mengamalkannya. Hal ini selanjutnya berarti bahwa remaja sudah dapat menginternalisasikan penilaian-penilaian moral, menjadikannya sebagai nilai-nilai pribadi. Untuk selanjutnya penginternalisasian nilai-nilai ini akan tercermin dalam sikap dan tingkah lakunya.[footnoteRef:51] [51: Sunarto dan Ny. B. Agung Hartono, Perkembangan Peserta Didik, Jakarta: PT Rineka Cipta, 2002, cet. 2, 174]

c. Teknik Mengklarifikasi Nilai Tehnik mengklarifikasi nilai (Value Clarification Technique) atau sering disingkat VCT dapat diartikan sebagai teknik pengajaran untuk membantu siswa dalam mencapai dan menentukan suatu nilai yang dianggap baik dalam menghadapi suatu persoalan melalui proses menganalisis nilai yang sudah ada dan tertanam dalam diri siswa. Salah satu karakteristik VCT sebagai suatu model dalam strategi pembelajaran sikap adalah proses penanaman nilai dilakukan melalui proses analisis nilai yang sudah ada sebelumnya dalam diri siswa kemudian menyelaraskannya dengan nilai-nilai baru yang hendak ditanamkan. VCT sebagai suatu model strategi pembelajaran moral VCT bertujuan :[footnoteRef:52] [52: Wina Sanjaya, Strategi Pembelajaran Berorientasi Standar Proses Pendidikan, 279]

1) Untuk mengukur atau mengetahui tingkat kesadaran siswa tentang suatu nilai2) Membina kesadaran siswa tentang nilai-nilai yang dimilikinnya baik tingkatannya maupun sifatnya (positif dan negatifnya) untuk kemudian dibina ke arah peningkatan dan pembetulannya.3) Untuk menanamkan nilai-nilai tertentu kepada siswa melalui cara yang rasional dan diterima siswa, sehingga pada akhirnya nilai tersebut akan menjadi malik siswa.

4) Melatih siswa bagaimana cara menilai, menerima, serta mengambil keputusan terhadap sesuatu persoalan dalam hubungannya dengan kehidupan sehari-hari di masyarakat.

Urgensi Pembelajaran Afeksi dalam Membentuk Kepribadian Kepribadian muslim merupakan tujuan akhir setiap usaha pendidikan Islam. Kepribadian itu bukan terjadi dengan serta merta akan tetapi terbentuk melalui suatu proses kehidupan yang panjang sehingga banyak faktor yang ikut ambil bagian dalam pembentukan kepribadian manusia tersebut. Dengan demikian apakah kepribadian seseorang itu baik atau buruk, kuat atau lemah, beradab atau biadab, sepenuhnya ditentukan oleh faktor-faktor yang mempengaruhi dalam perjalanan hidup seseorang tersebut. Dalam hal ini pendidikan Islam sangat besar peranannya dalam pembentukan kepribadian muslim. Dalam hubungannya dengan perjalanan hidup seseorang, perkembangan zaman mempunyai pengaruh yang sangat besar sekali. Apalagi pada era globalisasi ini, para siswa dihadapkan pada beberapa kekuatan global yang hendak membentuk dunia masa kini dan masa depan, yaitu:[footnoteRef:53] [53: Muhaimin, et.al., Paradigma Pendidikan Islam, Bandung : PT. Remaja Rosdakarya, 2001, 168]

a. Kemajuan IPTEk dalam bidang informasi serta inovasi baru di dalam teknologi yang mempermudah kehidupan manusiab. Masyarakat yang serba kompetitifc. Meningkatnya kesadaran terhadap hak asasi manusia serta kewajiban manusia dalam kehidupan bersamaDengan kemajuan IPTEK dalam bidang informasi maka para siswa dihadapkan pada kehidupan yang dipacu oleh media globalisasi yang sifatnya bisa menghibur, mendidik, mengajar bahkan menyesatkan dan semuanya ini berjalan secara terus menerus tanpa henti. Kemudian siswa juga dihadapkan pada model-model kehidupan yang paling kontroversial yang dapat disaksikan dalam waktu yang sama, misalnya antara kesalehan dan keseronohan, antara kelembutan dan kekerasan, antara masjid dan mall yang terus berdampingan satu sama lain. Karena itu, pada pagi hari misalnya, seseorang disanjung sebagai pahlawan tetapi pada sore hari dikutuk sebagai penjahat; antara pahlawan dan penjahat dapat bertemu dalam pribadi yang sama. Dalam kondisi demikian, apabila siswa tidak memiliki kepribadian yang kokoh, dengan dasar Islam, maka ia akan mudah terombang ambing oleh arus zaman sehingga untuk mengantisipasi berbagai tantangan tersebut. Dalam proses belajar mengajar pendidikan agama Islam hendaknya tidak hanya diorientasikan pada transfer of knowledge tetapi justru harus dikembangkan ke arah proses internalisasi nilai yang dibarengi dengan aspek kognitif sehingga timbul dorongan yang kuat untuk mengamalkan dan mentaati ajaran dan nilai-nilai dasar agama yang telah terinternalisasikan dalam diri peserta didik (psikomotorik). Hal ini dikuatkan oleh Drs. Muhaimin dengan pendapatnya: Pembelajaran pendidikan agama Islam tidak mungkin dapat berhasil dengan baik sesuai dengan misinya bila hanya berkutat pada transfer atau pemberian ilmu pengetahuan agama sebanyakbanyaknya kepada peserta didik.[footnoteRef:54] [54: Muhaimin, 169]

Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pembelajaran afeksi penting dalam pembentukan kepribadian siswa, karena melihat proses internalisasi nilai tersebut, maka apabila siswa sudah sampai pada karakterisasi sebuah nilai, maka ia tidak akan bertindak menuruti kemauannya sendiri, tetapi ia akan bertindak sesuai dengan nilai-nilai yang telah ditanamkan dalam pribadinya. Dengan kata lain pembelajaran afeksi berperan dalam mengontrol tingkah laku siswa sehari-hari agar sesuai dengan nilai-nilai yang diajarkan dalam agama Islam sehingga secara berangsur-angsur terbentuklah kepribadian muslim pada diri siswa sebagaimana yang dicita- citakan dalam pendidikan Islam.Jadi, pembelajaran afeksi mempunyai peranan penting dalam membentuk kepribadian siswa. Namun terbentuknya kepribadian muslim dalam diri siswa itu sepenuhnya tidak ditentukan oleh pembelajaran afeksi. Tetapi masih ada faktor lain yang ikut berperan dalam membentuk kepribadian siswa selain pembelajaran afeksi dan faktor-faktor yang mempengaruhi kepribadian muslim sebagaimana diuraikan dalam pembahasan sebelumnya. Bab IIIMTs. Mazroatul Ulum: Berdiri untuk Mencetak Generasi yang Saleh dan Siap Menjawab Tantangan Jaman

Sekilas Sejarah Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah/madrasah. Begitulah bunyi penjelasan pasal 51 BAB XIV Undang-Undang RI, Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati, adalah bagian dari lembaga pendidikan yang dikelola oleh Yayasan Pendidikan Islam Mazroatul Ulum Desa Suwaduk Kecamatan Wedarijaksa Kabupaten Pati.Mulai perintisan dan rencana pendirian Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati mula-mula tidak berjalan mulus dan mengalami stagnasi / kemandekan dan tidak berkembang melalui beberapa hambatan yang mengganggu proses berdirinya Madrasah Tsanawiyah (MTs) Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati.[footnoteRef:55] [55: Nur Sahid, Kepala MTs Mazroatul Ulum, wawancara, Dikutip Tanggal 10 Mei 2011]

Pada awal berdirinya Madrasah ini dengan sarana prasarana yang kurang sekali, kelas sering berpindah-pindah bahkan ditutup oleh yayasan yang bersangkutan karena terbentur kendala yang sangat urgens, yaitu keluarnya Kepala Sekolah yang pantas menduduki jabatan Kepala Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum.Tetapi karena atas usulan para sesepuh desa yang menginginkan tetap berdinya Madrasah Tsanawiyah ini, dimana mereka mempunyai tujuan agar generasi muda masyarakat desa Suwaduk mempunyai amal yang shaleh dan shalihah sekaligus pandai dalam ilmu umum, maka akhirnya Madrasah ini pun didirikan. Alhamdulillah Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati ini resmi didirikan pada tanggal 28 juni 1998 yang didukung oleh semua anggota Yayasan Madrasah Tsanawiyan (MTs) Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati.Adapun siswa yang pertama kali diterima pada tahun 1998 ada 24 anak untuk siswa kelas I MTs. Pada tahun tersebut pula Yayasan mengajukan izin operasional dan Akreditasi sekaligus. Pertama mendapat pengakuan dari Kakandepag Kabupaten Pati pada tahun 1998 dengan mendapat status Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati terdaftar.[footnoteRef:56] Dengan dukungan, baik moril maupun materiil dari elemen masyarakat Desa Suwaduk yang mempunyai tingkat agama yang lumayan dan simpatisan, Madrasah ini berkembang pesat sampai sekarang. [56: Amin Musthofa, Komite MTs Mazroatul Ulum, Wawancara, 10 Mei 2011]

Adapun tokoh tokoh yang berjasa dalam pendirian MTs. Mazroatul Ulum adalah: H. Mahfudz, H. Shobirin, H. Nur Hasan, H. MA Rubai, dan H. Slamet, M.Ag. Sedangkan Kepala Madrasah yang pernah menjabat sebagai Kepala Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati adalah: Fahrurrozi pada tahun pelajaran 1998 s/d 2001 dan Nur Sahid pada tahun pelajaran 2001 sampai sekarang.

Letak GeografisMadrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum Suwaduk Wedarijaksa Pati merupakan lembaga pendidikan Islam menengah pertama yang terletak di Desa Suwaduk Kec. Wedarijaksa Kab. Pati, yang dibangun diatas tanah seluas 1.600 m2. Adapun letak Desa Suwaduk yang merupakan lokasi berdrinya Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum, dapat dijelaskan batas teritorialnya dengan desa lain sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Desa Trangkil Sebelah Barat berbatasan dengan Desa Purwokerto Pasucen Sebelah Selatan berbatasan dengan Desa Panggungroyom Sebelah Timur berbatasan dengan Desa WedarijaksaMadrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum mempunyai jarak dari kota kabupaten sejauh 10 km. berdasarkan letak geografisnya, Madrasah Tsanawiyah Mazroatul Ulum berada pada daerah pedesaan dengan lingkungan pekerjaan penduduknya mayoritas petani dan pedagang.

Visi, Misi dan Tujuan 1) Visinya adalah terwujudnya peserta didik yang unggul dalam Iman dan Taqwa (IMTAQ) serta dalam Ilmu Pengetahuan dan Tehnologi (IPTEK).2) Misinya adalah: a) Mewujudkan pembelajaran dalam mempelajari Al-quran dan menjalankan ajaran agama Islam.b) Mewujudkan pembentukan karakter Islami yang mampu mengaktualisasi diri dalam masyarakat.c) Mewujudkan pendidikan yang berkualitas dalam pencapaian prestasi akademik. d) Meningkatkan pengetahuan dan profesionalisme tenaga kependidikan sesuai dengan perkembangan dunia kependidikan.e) Menyelenggarakan tata kelola madrasah yang efektif,efisien,transparan dan akuntable.3) Tujuannya adalah :a) Mengoptimalkan proses pembelajaran dengan menggunakan pendekatan pembelajaran aktif (PAIKEM DAN CTL) Pembelajaran yang Aktif Ideal Kreatif dan Menyenangkan dan Contextual Theacing and Learning.b) Mengembangkan potensi akademik,minat dan bakat siswa melalui layanan bimbingan dan kegiatan extra kurikuler.c) Membiasakan perilaku Islami di lingkungan Madrasah atau di luar Madrasah.d) Meningkatkan prestasi akademik siswa.e) Menigkatkan prestasi akademik siswa di bidang seni dan olah raga dengan kejuaraan dan kompetisi.

Motto MTs Mazroatul UlumBerkualitas dalam bidang akademik, Islami dalam bertoleransi, dan Berwawasan Lingkungan

Keadaan Guru dan Karyawan Guru dan karyawan merupakan bagian personalia di MTs. Mazroatul Ulum. Pada tahun 2011/2012 secara keseluruhan berjumlah 19 orang. Untuk lebih jelasnya data tentang guru dan karyawan di MTs. Mazroatul Ulum dapat di lihat pada tabel di bawah ini.

Tabel 4.1Keadaan Guru dan Karyawan MTs. Mazroatul UlumTahun Pelajaran 2011/2012[footnoteRef:57] [57: Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 15 Mei 2011]

No.Nama GuruPendidikanJabatan

1Nur Sahid, S.AgS1Kepala

2Ali Syaroni, S.Pd.IS1Wakakur

3Suwadi, S.PdS1Bendahara

4Sudardi, S.Pd.IS1Wakasis

5Ahmad Syaroni, S.Pd.IS1Ka. TU

6Moh. Taufiq Z., S.PdS1Wali Kelas VII

7Arsyad Adhari, S.PdS1Wali Kelas VIII

8Anshori, S.Pd.IS1Wali Kelas IX

9Aris Supriyono,S.PS1BP

10Ahmad ThoyyibSLTAGuru

11Ahmad Syukron, S.Pd.IS1Guru

12Ahmad Busroni, S.Pd.IS1Guru

13Agus Hartono, S.PdS1Guru

14Muhsin, SPd.IS1Guru

15H. Abdul KholiqS1Guru

16Ismail NHSLTAGuru

17Amin Musthofa, S.Pd.IS1Komite

18Fikrul UmamSLTAStaf TU

19Siti MardliyahSLTAPustakawan

Keadaan Siswa Selain komponen-komponen tersebut di atas, siswa merupakan unsur pokok dalam pelaksanaan pembelajaran di sebuah lembaga pendidikan. Siswa merupakan faktor penting kedua setelah guru, karena dalam proses pembelajaran guru adalah pihak yang paling mengetahui kondisi kelas (siswa) yang masing masing mempunyai perbedaan kemampuan, kecerdasan, dan karakter, serta perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan perbedaan tingkat umur antara yang satu dengan yang lain.Berdasarkan data siswa yang ada pada tahun 2011/2012 jumlah siswa yang tercatat 98 siswa yang terdiri dari:Tabel 4.2Keadaan Siswa MI Mazroatul Ulum SuwadukTahun 2011/2012[footnoteRef:58] [58: Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 15 Mei 2011]

NoKelasLaki-lakiPerempuanJumlah

1VII221335

2VIII161430

3IX141933

Jumlah524698

Sebagaimana di sekolah-sekolah lain yang sederajat, di MTs. Mazroatul Ulum, siswa diberikan media aktualisasi diri dalam berorganisasi melalui kegiatan OSIS, intrakurikuler, pengembangan diri, dan ekstrakurikuler.

Struktur OrganisasiUntuk memperlancar mekanisme kerja suatu lembaga termasuk di MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk sebagai suatu lembaga pendidikan, sangat dibutuhkan adanya kejelasan struktur kewenangan dalam organisasinya.Mengenai struktur organisasi MI. Mazroatul Ulum Suwaduk, penulis sajikan dalam bentuk gambar bagan sebagai berikut:

Gambar 4.1Struktur Organisasi MTs. Mazroatul UlumSuwaduk Wedarijaksa Pati Tahun Pelajaran 2011/2012[footnoteRef:59] [59: Dokumentasi MTs. Mazroatul Ulum, dikutip tanggal 15 Mei 2011]

Nur Sahid, S.AgKepala Madrasah

Wakil Kepala

Kurikulum Kesiswaan

Ali Syaroni, S.Pd.ISudardi, S.Pd.I

Ah. Syaroni, S.Pd.IAmin Musthofa, S.Pd.IKomite MadrasahTata Usaha

Wali Kelas

Kelas IXKelas VIIIKelas VII

Arsyad Adhari, S.PdAnshori, S.Pd.IMoh. Taufiq Z., S.Pd

Aris Supriyono, S.PGuru BP

Guru Mapel

Siswa-siswi

Agar tidak terjadi kerancuan dalam menjalankan tugas, maka masing masing jabatan mempunyai tugas tugas yang berbeda beda. Adapun uraian tugas (job description) organisasi MTs. Mazroatul Ulum Suwaduk tahun pelajaran 2011/2012 adalah sebagai berikut :a. Kepala Madrasah1) Mengkoordinir dan mengarahkan penyusunan Program Kerja Madrasah2) Mengkoordinir dan mengarahkan pelaksanaan program kerja madrasah.3) Mengkoordinir dan mengarahkan administrasi madrasah4) Memonitor dan supervise pelaksanaan program kerja madrasah.5) Menegvaluasi hasil pelaksanaan program kerja.6) Mengkoordinir perbaikan program kerja sesuai dengan hasil evaluasi.7) Mempertanggungjawabkan pengelolaan madrasah secara keseluruhan.b. Waka Kurikulum1) Menyusun Rencana Program Pengajaran (tahunan, semester)2) Menyusun pembagian tugas guru3) Menyusun jadwal pelajaran4) Menyusun jadwal evaluasi belajar (tes sumatif)5) Menyusun jadwal pelaksanaan UM/UN.6) Menyusun jadwal penerimaan Rapor7) Menyiapkan criteria/norma kenaikan kelas8) Menyusun laporan pelaksanaan pengajaran secara berkala.9) Mengarahkan dan mengkoordinir penyusunan program satuan pelajaran.c. Waka Kesiswaan1) Menyusun program pembinaan kesiswaan2) Melakukan bimbingan, pengarahan, dan pengendalian siswa.3) Memberikan pengarahan dalam pemilihan ketua OSIS4) Melakukan pembinaan pengurus OSIS dalam berorganisasi5) melaksanakan pemilihan siswa teladan dan penerimaan beasiswa6) Mengadakan pemilihan siswa untuk mewakili sekolah dalam kegiatan diluar sekolah.7) Menyusun laporan kegiatan kesiswaan secara berkala.d. Waka Hubungan Masyarakat1) Mengatur dan menyelenggarakan hubungan sekolah dengan orang tua / wali murid dan masyarakat secara umum.2) Membina hubungan sekolah dengan pengurus Yayasan3) Mengatur dan membina hubungan sekolah dengan instansi terkait, dunia usaha dan lembaga social lainnya.e. Waka Sarana dan Prasarana1) Bertanggung jawab sepenuhnya terhadap keberadaan dan keadaan sarana prasarana milik madrasah2) Melaksanakan administrasi sarana dan prasarana meliputi : rencana kebutuhan, pengadaan, pendayagunaan, daftar inventaris, daftar infentaris ruangan, daftar penghapusan, serta memberikan nomor inventaris pada sarana atau perlengkapan milik madrasah.3) Memberikan laporan tentang keadaan inventaris madrasah.f. Wali Kelas1) Mengelola dan mengatur kelas meliputi tata ruang, penempatan peralatan dan perlengkapan kelas.2) Menyelenggrakan administrasi kelas (denah tempat duduk, tat tertib kelas, kegiatan PBM)3) Statistic bulanan siswa4) Pengisian daftar nilai siswa, catatan khususu siswa, daftar kelas, mutasi siswa, buku leger, nuku laporan pendidikan, pembagian buku laporan pendidikan. g. Tata Usaha1) Melaknasakan tugas tugas layanan administrasi, pengarsipan, penyediaan, pengisian data, baik administrasi perkantoran maupun administrasi madrasah yang lain.2) Menata dan mengatur setting perangkat administrasi yang menjadi tanggungjawabnya.3) Membunyikan bel tanda jam pelajaran4) Memberikan layanan administrasi yang lain sesuai dengan aturan yang berlaku.h. Bendahara1)