kembalinya unsur agama ke dalam hukum perka winan … · kembalinya unsur agama ke dalam hukum...

17
6 Hukum dan Pembangunan KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S. H. ,M.H. From the ancient roots, th e Indonesian beliefs that birth, dead and mar/iage are in the hands of God. It means that the three factors coud not be separated from religions which they belief The history of married law in Indonesia hand been started before the colonialism. Under the Dutch government the married law was separated from religious law. After 30 years of Indonesian Indepen- dence, the religious law replaced the colonial law of marriages. The national law of marriages was listed in the Act No. I / 1974. Pendahuluan Sebagai perbedaan pokok atau yang fundamental antara hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sebelum talmn 1975 dengan Hukum Perkawinan sesudah tahun 1975 yang tercanrum dalam Undang-Undang No. I tahun 1974 yang mulai berlaku Oktober 1975 adalah ketentuan hukum agama sangat diperhatikan sekarang. di samp in g sifat univikasinya yang berlak'U unruk semua golongan dan berlaku di seluruh Indonesia. Hal itu sesuai dengan pandangan hidup rakyat Indonesia sejak dahulu kala bahwa mengenai kelahiran, jodoh (perkawinan) dan kematian yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Esa. Kalau kita lihat dalam proses pembahasan Rancangan Undang- Undang Perkawinan di O.P.R. Rl pada bulan September, Oktober, Nopember dan Oesember 1973, betapa gigihnya para anggota OPR RI ingin memasukkan ketentuan hukum agama dalam Hukum Perkawinan yang baru, maka alangkah baiknya kita melihat Hukum Perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1975, untuk mengetahui mengapa sampa; demikian kuatnya perjuangan para anggota OPR RI iru untuk ingin menciptakan suaru Hukum Perkawinan yang ll1engandung ketentuan- ketentuan hukull1 agall1a. di samping memperjuangkan nasib kaum wan ita Jalluari - Maret 2001

Upload: others

Post on 28-Nov-2020

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

6 Hukum dan Pembangunan

KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA

Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H.

From the ancient roots, the Indonesian beliefs that birth, dead and mar/iage are in the hands of God. It means that the three factors coud not be separated from religions which they belief The history of married law in Indonesia hand been started before the colonialism. Under the Dutch government the married law was separated from religious law. After 30 years of Indonesian Indepen­dence, the religious law replaced the colonial law of marriages. The national law of marriages was listed in the Act No. I / 1974.

Pendahuluan

Sebagai perbedaan pokok atau yang fundamental antara hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia sebelum talmn 1975 dengan Hukum Perkawinan sesudah tahun 1975 yang tercanrum dalam Undang-Undang No. I tahun 1974 yang mulai berlaku Oktober 1975 adalah ketentuan hukum agama sangat diperhatikan sekarang. di samping sifat univikasinya yang berlak'U unruk semua golongan dan berlaku di seluruh Indonesia. Hal itu sesuai dengan pandangan hidup rakyat Indonesia sejak dahulu kala bahwa mengenai kelahiran, jodoh (perkawinan) dan kematian yang menentukan adalah Tuhan Yang Maha Esa.

Kalau kita lihat dalam proses pembahasan Rancangan Undang­Undang Perkawinan di O.P.R. Rl pada bulan September, Oktober , Nopember dan Oesember 1973, betapa gigihnya para anggota OPR RI ingin memasukkan ketentuan hukum agama dalam H ukum Perkawinan yang baru, maka alangkah baiknya kita melihat Hukum Perkawinan di Indonesia sebelum tahun 1975 , untuk mengetahui mengapa sampa; demikian kuatnya perjuangan para anggota OPR RI iru untuk ingin menciptakan suaru Hukum Perkawinan yang ll1engandung ketentuan­ketentuan hukull1 agall1a. di samping memperjuangkan nasib kaum wan ita

Jalluari - Maret 2001

Page 2: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

KOllsep Islam rerhadap Kemirrasejajarall Wallira di Keluarga 7

dalam kehidupan perkawinan serta univikasi hukum perkawinan di Indonesia.

Pembahasan

Karena penduduk Indonesia ketika zaman Hindia Belanda dahulu dibagi atas beberapa gOlongan, maka hukum perkawinannya juga terdiri dari pelbagai aturan perundangan-undangan untuk masmg-masing golongan. Untuk itu mari lah kita tinjau masing-masingnya. yai tu :

Hukum Perkawinan ul1tuk Golongan Eropah

Ketika pemerintahan penjajahan Belanda memperkenalkan beberapa kodifikasi hukum yang modern pada pertengahan abad ke 19. ya itu diantaranya mengenai hukum perkawinan di dalam Buku I Burgerlijke Wetboek, maka apa yang disebutkan perkawinan betul-betul dihilangkan unsur agamanya.

Dalam pasal 26 BW dikatakan bahwa undang-undang memandang perkawirr.an hanya dari sudut hubungannya delZgan hukum perdata, artinya terlepas dari peraturan-pe raturan yang mungkin tentang perkawinan yang diadakan oleh suatu agama tertentu.' Memang demikianlah sikap monumental dari pemerintahan penjajahan Belanda yaitu menghilangkan unsur agama dari perkawinan dan kekeluargaan. Hal yang demikian juga tercermin atau tertuang dalam perundang-undangan lainnya yang berkaitan dengan hukum perkawinan dan kekeluargaan yang dikeluarkan oleh pemerintahan penjajahan Belanda di Indonesia.

Pada mulanya memang sikap pemerintahan Belanda demikian itu hanya berlaku untuk golongan Eropa saja, karena seperti kita ketahui bahwa berdasarkan pasal 163 Indische Staatsregeling (l.S .) kaula negara Hindia Belanda ketika itu dibagi atas tiga go longan yaitu go longan Eropa. golongan Timur Asing dan golongan Bumi Putera. Hukum Perkawinan yang ada dalam Burgerlijke Wetboek (B. W) itu han"a berlaku umuk golongan Eropah.

Hukum Perkawinan untuk Golongan Bumi Putera

Sebelum Belanda datang menjajah, Indonesia telah mempunyai tertib hukum yang mengatur kehidupan masyarakat dan negara. Belanda dengan VOC-nya memberlakukan hukumnya sendiri. sementara tetap memberlakukan hukum yang telah ada di Indonesia.

1 Wiryo!1o Prodjodikoro : Hukum Perkawinan di indonesia, Penerbil Vorkink - Van Hoeve Bandung - 's Gravenhage, 1957, halaman 8.

Nomor I Tahull XXXI

Page 3: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

8 Hukum dan Pembangunan

"Hal ini dibuktikan oleh undang-undang V.O.c. yang bernama Statuten van Batavia 1642 yang berbunyi : Bagaimana pun juga bahwa yang akan diperhatikan dan dirurut -yaitu berlakunya hukum Barat- dalam hal perkara pewarisan orang Kristen, orang Tionghoa dan orang yang beragama kuno serra orang Islam (jadi kebanyakan bangsa Indonesia! tinggal tetap .. . pada kebiasaan serta adat tentang hal yallg terpakai pada mereka" Menurut aturan ini teranglah bahwa dalam soal waris, untuk bangsa Indonesia yang beragama Islam yang harus dipakai yaitu hukum adat, bukan hukum Belanda. 2

Compendium Freijer itu ialah buku hukum yang berisi aturan­aturan hukum kawin dan hukum waris menurut hukum Islam untuk dipakai oleh Pengadilan VOC. 3

Compendium Freijer ini berlaku berdasarkan Resolusi l.S. 25 Mei 1760 (Resolutie der Indische Regeling 25 Mei 1760, geapprobeerde civiele wetten der Mohammedanen). Atas usul residen Cirebon Mr. P.c. Hasselaer (1757-1765) dibuat pula sebuah kitab Tjirbonsch Rechtsboek. Conpendium Freijer ini sempat diperbarui dasar berlakunya dengan Besluit Commissar is General 3 Agustus 1828 No.2 (Staatsblad 1828-55)'

Conpendium Freijer itu dasar berlakunya selanjutnya diperkuat dengan Regelement op het beleid der Regeering van Nederlandsch Indie (dipendekkan dengan Regeeringsreglement = R.R. ) Staatsblad 1855 No.2 pasal 75 ayar 3 dan 4 menegaskan bahwa hakim di Indonesia hendaklah memperlakukan undang-undang agama (godsdientige wetten) dan kebiasaan bagi penduduk Indonesia dan juga pad a waktu pemeriksaan banding. Pasal 78 ayat 2 -nya menegaskan lagi bahwa dalam hal rerjadi perkara perdata anrara sesama orang Indonesia atau dengan mereka yang dipersamakan dengan mereka maka mereka tunduk kepada putusan hakim agama atau kepala masyarakat menurur undang-undang agama (godsdiensten wetten) atau ketentuan-ketenruan lama mereka. Pasal 109 R.R. (Stb.1855-2) mengatakan bahwa bahwa ketentuan termaksud dalanl pasal 75 dan 78 tersebut di atas berlaku pula bagi mereka yang diper­samakan dengan inlander (Bumi Putera) yairu orang Arab , orang Moor. orang Cina dan semua mereka yang beragama Islam dan orang-orang yang tidak beragama. 5

1 R. Supomo : Sejarah Polilik Hukum Adat. Jilid 1. PT Pradnya Paramita. lakana,1982 . halaman 27 3 Ihid, halaman: 30 4 H. Arso Sosroatmodjo dan H.A. Wasit Aulawi Hukum PerkaW;f1C1f1 di Indonesia. Penerbi t Bulan Bintang, Jakarta, Cetakan Pertama , 1975. halaman 11 Jan 12 ~ SajUfi Thalib: R~ceptioA Contrario. PT Billa Aksara, Jakarta 1985. hai.unan 6 dan 7

lanuari - Maret 2001

Page 4: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

KOllSep Islam terhadap Kemitrasejajaran Wanita di Keluarga 9

Waktu pemerintahan Daendels, umumlah anggapan bahwa hukum asli terdiri atas hukum Islam, sedangkan di masa pemerintahan Inggeris di Jawa , Thomas Stamford Raffles mengira bahwa hukum adat tidak lain ialah hukum Islam.'

Compendium Freijer ini seeara berangsur-angsur dikurangi berlakunya mulai akhir abad 19, dan akhirnya dengan Koninkelijk Besluit 17 Pebruari 1913 No. 27 (S.1913-354) dicabut, maka mulai saat iru tamatlah hukum perkawinan yang tertulis bagi umat Islam di Indonesia.

Jadi pada mUlanya untuk orang Indonesia yang beragama Islam, retap berlaku hukum agama Islam pad a masalah hukum perdata termasuk hukum perkawinan, dan ini sesuai pula dengan pendapal para ahli hukum ketika itu, antara lain Mr. L.W.c. van den Berg yang disebut pendapat reeeptio in eompIexu . Tetapi keadaan demikian tidak berlangsung lama; pendapat yang bernama receptio in complexu itu dikritik dan ditentang oleh Mr. C. van Vollenhoven dan Christiaan Snouek Hurgronje, yang berhasil secara bertahap menghilangkan berlakunya hukum Islam bagi rakyat Indonesia yai tu dengan menggantinya dengan pendapat atau theori receptio. Theori reeeptio ini secara sistimatis diterapkan lewat perubahan pasal 75 R.R. itu dengan Staatsblad 1907 - 204, dan selanjutnya pasal 75 R.R. dirobah lagi dengan Staatsblad 1919 - 621 yang merumuskan bahwa hukum Islam tidak seeara langsung berlaku untuk orang Indonesia. tetapi hanya bila hukum adatnya menerimanya (resepsi) dan memperlakukannya.

Perubahan tersebut dilengkapi dengan perubahan pasal 109 R.R. Stb. 1855-2 tersebut di atas dengan Stb.1899-202 dan dengan Stb.1907-205 jo Stb.1919-622 yang menegaskan dan mengatur penggolongan penduduk di Hindia Belanda dan memperlakukan ketenruan-ketentuan yang berlaku untuk orang Eropa bagi golongan lain. Akhirnya pada tahun 1925 dengan Staatsblad 1925 - 415,416, 447 , nama Regeeringsreglemel1l (R.R.) dirobah menjadi Wet op de Staatsinrichting van Nederlandseh Indie (I.S.) dan pasal 109 R.R. lama yang mengarur tentang penggolongan penduduk Hindia Belanda mendapat nomor baru yaitu pasal 163 (I.S.).

Kesimpulannya adalah juga terhadap orang Indonesia beragama Islam tidak diperlakukan seeara langsung hukum agamanya dalam hukum perdata termasuk hukum perkawinannya. Demikianlah keadaannya rakyat Indonesia menjelang berakhirnya penjajahan Belanda, sampai zaman pendudukan Jepang dan memasuki masa kemerdekaan Indonesia pad a

<> R. Supomo, Op Cit, halaman: 60 dan 79

Nomor 1 Tahun XXXI

Page 5: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

10 Hukum dan Pembangunan

tahunl945.' Kepada golongan Bumiputera yang non Islam, berlaku sudah pasti dengan sendirinya Hukum Adatnya (bukan hukum agamanya) terhadap hukum perkawinan dan hukum kekeluargaannya.

Sikap yang sangat prisipil dari pemerintahan Hindia Belanda itu juga diikuti atau dimasukkan juga dalam perundang-undangan lainnya yang mereka buat kemudian , agar betul-betul hukum perkawinan yang berlaku di Indonesia tidak ada sangkut pautnya dengan ketentuan­ketentuan hukum agama misalnya antara lain :

1. Pasal 81 BW (KUHPerd.) :

Tiada upaeara agama apa juapun dibolehkan berlangsung sebelum kedua belah pihak menyatakan kepada pemuka agama bahwa pernikahan mereka telah terjadi (berlangsung) dihadapan pegawai peneatatan sipil. Selanjutnya pasal 82 BW yang mengatur aneaman denda bagi pegawai eatatat sipil yang meIanggar pasal 81 BW itu. Tetapi pasal 82 BW ini telah dieabut dan hal aneaman hukuman sekarang hanya kepada pemuka agama dan diatur dalam pasal 530 WvS (KUHP)

2. Pasal 530 WvS (KUHP) ayat (1) :

Pemuka agama yang melakukan upaeara agama tentang perkawinan yang hanya dapat dilakukan di muka pegawai peneatatan sipi l, jika pemuka agama itu belum mendapat pernyataan dari kedua belah pihak yang kawin itu bahwa mereka telah kawin di hadapan pegawai peneatatan sipil, dihukum dengan hukuman denda sebanyak-banyaknya tiga ratus rupiah.

PasaI 530 Wvs (KUHP) ayat (2) :

Jika pada waktu melakukan pelanggaran itu belum lewat dua tahun sejak penghukuman dahulu terhadap si bersalah, karena pelanggaran itu juga menjadi tetap, maka hukuman denda itu boleh diganti dengan hukuman kurungan selama-Iamanya dua bulan.

Dengan ketentuan pasaI 81 BW dan pasal 530 WvS itu jelas sekali peranan pemuka agama dan hukum agama dihilangkan dari pelaksanaan perkawinan, bahkan yang dianeam hukuman denda atau kurungan itu terhadap pada pemuka agama, dan bukan terhadap kepada pegawai peneatatan sipil.

3. Buku I BW (KUHPerd.) Bab 10 :

bagian 2 : tentang Putusnya perkawinan setelah Pisah meja dan ranjang,

'Sayu!i Thalib, Op Cit halaman: 8.9, 14. IS, 18 sid 28

fanuari - Maret 2001

Page 6: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

Konsep Islalll terhadap Kemitrasejajaran Wanita di Keluarga II

bag ian 3 bagian 4

tentang Perceraian, tentang Pisah meja dan ranjang, meliputi pasal-pasal 200 sampai dengan pasal 249. Pasal-pasal perceraian yang berlaku untuk golongan Eropah ini, tanpa kecuali, artinya juga berlaku terhadap golongan Eropah yang beragama Katolik. tentu saja bertentangan dengan ajaran agama Katolik yang melarang perceraian, karena perkawinan itu adalah suatu sakramen dari Tuhan. Oi sini jelas ajaran Agama Katolik telah dihilangkan dari hukum perkawinan atau tidak dianggap oleh hukum.

4. Peraturan Perkawinan Campuran (RegeJing op de Gemengde Huwelijken = GHR) S. 1898-158.

Oalam zaman kompeni (VOC) hingga tahun 1848. agama dipergunakan sebagai pedoman dalam hal-hal perkawinan campuran. Sesuai dengan struktur masyarakat yang ada pada waktu itu, agama yang dianut oleh penguasa (pemerintah) dalam ha l ini agama Nasrani (Kristen) dijadikan pegangan. Barier (tembok batas) dipakai lIntuk melindungi golongan Eropah (Belanda). Kalau kita perhatikan dari literatur dan sejarahnya, maka penguasa penjajah Belanda mempunyai pola pol itik mengenai hal ini antara lain: I) Golongan Eropah adalah merupakan golongan yang tertinggi. 2) Oilarang perkawinan antara golongan Eropah dengan golongan lainnya

dari penduduk Indonesia, 3) Agama Kristen merupakan ciri utama dari golongan Eropah. Seorang

yang beragama Kristen tidak dapat menikah dengan seo rang bukan beragama Kristen.

Karena tak sesuai dengan perkembangan zaman, pend irian ini tampaknya ditinggalkan dengan dikeluarkannya pasal 15 Ov ( Bepalingen omtrent de invoering van en den overgang tot de nieuwe wetgeving) pad a tahun 1848 yang menentukan bahwa seorang bukan golongan Eropah yang hendak menikah dengan orang Eropah. harus tunduk terlebih dahulll pada hukum perdata Eropah. Pasal tersebut malah diharapkan dapat merllpakan suatu penghalang bagi pria golongan non Eropah untuk kawin dengan wanita golongan Eropah, sebab perkawinan yang demikian nyata sekali tidak disukai oleh pemerintah Belanda. ' Bahkan pemberian status hukum golongan Eropah bagi pria bukan Eropah yang kawin dengan wanita golongan Eropah ditentang oleh para peserta Kongres Perhimpunan Ahli

II Sudargo Gautama : 1. Segi-segi Hukuk Perkawinoll Campuran .. Alumni, Bandung 1973. hal. 3, 4, 54 2. Hukum Antar GoLollKon, Ichliar Baru - Vall Hoeve, 1989. halaman 129

Nomar J Tahun XXXI

Page 7: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

12 Hukum dan Pembangunan

Hukum Hindia Belanda pada tahun 1887. Sikap pemerintah dan ketenruan perundangan pasal 15 Ov di atas

adalah tidak sesuai dengan as as persamaan yang dipakai dalam Hukum Antar Golongan terhadap stelsel hukum yang ada di Indonesia, karena diskriminasi dimana hukum Eropah dan agama Kristen lebih tinggi dan lebih diutamakan. ApaIagi setelah dipengaruhi oleh Konprensi Hukum Internasional 1900 di Den Haag, maka keluarlah GHR dimana pasal 2 setelah mencabut pasal 15 Ov, menentukan bahwa: "Seorang wan ita (isteri) yang melakukan perkawinan campuran selama pernikahan itu belum putus, maka si wanita (isteri) tunduk kepada hukum yang berlaku untuk suaminya baik hukum publik ataupun hukum sipil".

Dengan pasal 2 GHR ini ada kemungkinan secara yuridis formi!, seorang wanita golongan Eropah yang kawin dengan pria golongan non Eropah akan ikut hukum suaminya. Tetapi dalam praktek hal ini sangat tidak disukai , ternyata dalam beberapa kasus dan yurisprudensi. Sebab untuk melindungi golongan Eropah, dan masuknya golongan lain ke dalam hukum golongan Eropah melalui perkawinan campuran (pasal 2 GHR), maka digunakan sekarang agama Kristen sebagai faktor penentu, apakah dalam suatu perkawinan campuran seseorang masuk status hukum golongan Eropah apa tidak.

Jadi agama tanpa disadari oleh penguasa Belanda digunakan sebagai penghalang untuk perkawinan, dan ini [entu saja bertenrangan dengan pasal 26 BW, dimana perkawinan hanya dilihat dari segi hukum perdatanya, dan soal agama harus ditinggalkan dan tidak dianggap sam a sekali. Maka karena i[u pada tahun 1901 dikeluarkanlah tambahan pada pasal 7 GHR yaitu ayat 2 : yang berbunyi : Perbedaan agarna, bangsa atau asal itu sarna sekali bukanlab menjadi halangan untuk perkawinan itu. Menurut penjelasan dari pasa\ ini, hal ini dikeluarkan karena untuk menghadapi larangan pada hukum Bali , yang melarang wani[a kasta Brahma kawin dengan pria dari kasta lebih rendah. Tetapi Kollewijn mengatakan hal ini juga karena pengaruh dari Konprensi Hukum Internasional di Den Haag tahun 1900'

Jadi dengan keluarnya pasal 7 ayat 2. ini maka terjadilah perkawinan campuran, yang disebabkan karena dimungkinkannya perkawinan antara golongan agama. Terhadap ini ada 3 pendapat yang memandang hal ini, yaitu pandangan luas, pandangan sempit dan pandangan tengah-tengah. Prof.Mr.Dr. S. Gautama termasuk yang luas, dan memandang perkawinan antaragama adalah perkawinan campuran,

<) Sudargo Gaurama, 1973, Op Cit, halaman 4

]anuari - Maret 2001

Page 8: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

Konsep Islam terfuulap Kemitrasejajaran Wanita di Keluarga 13

karena itu diatur oleh GHR. Sedangkan Van Vollenhoven termasuk yang berpendirian sempit, perkawinan antara bed a agama dan antara golongan bukan perkawinan campuran. dan mengatakan bahwa GHR adalah suatu legislative misbaksel, karena pandangannya bahwa sikap penguasa dalam peraruran tersebut memandang bahwa segala sesuaru yang berasal dari negeri Indonesia adalah rendahan . 10

Jadi jelas dasar filosofis dari GHR, adalah satu paket dengan BW, yang ingin memandang perkawinan betul-betul dilepaskan dari unsur agama.

5. Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen, Jawa, Minahasa dan Ambon, Staatsblad 1933-74

Ordonansi ini, walaupun menyandang nama agama Kristen, tidak berarti ketentuan-ketentuan dari agama Kristen (termasuk agama Katolik), tentang perkawinan diperlakukan atau berlaku dalam ordonansi ini , karena isi ordonansi ini adalah salinan dari pasal-pasal BW tentang hukum perkawinan, dengan menetapkan pada pasal I Ordonansi sama dengan pasal 26 BW: "Tentang perkawinan undang-undang hanya memperhatikan perdata saja" Jadi nyata sekali bahwa pemerintah Hindia Belanda tetap menghilangkan hukum agama dalam perkawinan. Termasuk memper­lakukan ketentuan-ketentuan tentang perceraian dalam H.O.C.!. (S.1933-74) itu juga berlaku untuk Indonesia yang beragama Kristen Katolik.

6. Mengenai pencatatan perkawinan dan perceraian

Untuk golongan Eropah di Kantor Catatan Sipil (Burgerlijke Stand), berdasarkan S. 849 - 25 jis beberapa Staatsblad. terakhir dengan Staatsblad 1946 - 136. Mengenai pencatatan perkawinan dan perceraian untuk golongan Cina dilakukan pada Kantor Catatan Sipil (Burgerlijke Stand) berdasarkan Staatsblad 1917 - 130 jis beberapa Staatsblad. terakJlir dengan S.1946-136. Sedangkan perkawinan dan perceraian untuk Indonesia Kristen di Jawa, Minahasa dan Ambon juga dilakukan di Kantor Catatan Sipil, berdasarkan S. 1933 - 75 jis beberapa Staatsblad, terakJlir Staatsblad 1939 - 288.

Dalam peraturan perundang-undangan tentang pecatatan perkawinan ini, tentu saja peranan dari pemuka agama sangat diremehkan, sesuai dengan ketentuan pasal 530 KUHP.

II) Sudargo Gautama : 1989, Op Cit halaman 132.

Nomor I Tahun XXXI

Page 9: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

14 Hukum dan PembangunQn

7. Mengenai pencatatan perkawinan Indonesia yang beragama Islam

Memang tidak ada keharusan dicatat, apalagi untuk syahnya suatu perkawinan, memang tidak ada dibutuhkan peranan seorang pemuka agama, sesuai dengan hukum Islam. Sesuai dengan rukun perkawinan dalam agama Islam, cukup adanya ijab dari wali pengatin wanita dan kabul dari pengantin pria, serta ada dua orang saksi. Sehingga pada mulanya memang perkawinan secara Islam dari orang Indonesia tidak tercatat, baru pada tahun 1929 keluar Huwelijksordonnantie (S. 1929-348 jo S. 193 1-467), pada tahun 1932 Huwelijksordonnantie Buitengewesten (S.l932-482) dan pada tahun 1933 Vorstenlandsche Huwelijksordonnatie (S.1933-98), yang mengatur tentang pencatatan perkawinan dan perceraian Bumiputera (Indonesia) secara Islam. Walaupun memakai nama Huwelijksordonnantie, isinya tidaklah mengatur tentang perkawinan Bumiputera Islam, tetapi hanya mengatur tentang pencatatan perkawinan, perceraian dan rujuk (nikah , talak dan rujuk = N.T.R) umat Islam. Sedangkan mengenai hukum perkawinannya adalah hukum adat masing­masing daerah yang mungkin telah meresipir (menerima) hukum Islam (lngat teori resepsi!).

Ketiga buah Huwelijksordonnantie tersebut, pad a tahun 1946 dicabut dengan Undang-Undang No. 22 tahun 1946 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, yaitu setelah Indonesia Merdeka. tetapi karena suasana perang kemerdekaan, hanya berlaku untuk pUlau Jawa dan Madura saja. Dan dengan Surat Keputusan Pemerintah Darurat Republ ik Indonesia tanggal 14 Juni 1949 No. I/pdrilka, memperlakukan UU No.22 tahun 1946 tersebut untuk seluruh wilayah Sumatera. Pada tahun 1954 dengan Undang-Undang No. 32 tahun 1954 tentang Pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk, maka Undang-undang No 22 tahun 1946 (yang sebelum 1954 hanya berlaku di Jawa, Madura dan Sumatera) diperlakukan di seluruh wilayah Indonesia.

Demikianlah keadaan peraturan perundang-undangan mengenai hukum perkawinan di Indonesia pad a saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia, yang berdasarkan Aturan Peralihan UUD 1945 jis Konstitusi RIS , UUDSRI 1950, dan UUD 1945, tetap berlaku sampai tanggal 30 September 1975, karena pada tanggal I Oktober 1975 mulai berlaku Undang-undang No. I tahun 1974.

Usaha-usaha untuk membuat suatu hukum perkawinan yang barn

Setelah melihat pengalaman-pengalaman rakyat dan masyarakat Indonesia di bidang hukum perkawinan sejak diperlakukannya Burgerlijke

lanuari - Mare! 2001

Page 10: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

KOllsep Islam terhadap Kemitrasejajarall Wallita di Keluarga 15

Wetboek pada medio abad 19, dimana terjadi kepincangan, ketidak-adilan. tak adanya kepasrian hukum, dihilangkannya ketenruan - kerenruan agama dalam perkawinan, maka timbullah keinginan yang besar serra aspirasi dari masyarakar unruk segera memiliki suatu peraturan perundang­undangan renrang hukum perkawinan yang baru. Alasan-alasan yang dillngkapkan dalam masyarakar unruk adanya suaru hukum perkawinan yang baru antara lain yang pokok yaitu :

• Agar tercipta hukum perkawinan yang berlaku untuk semua gOlongan tanpa menghilangkan kekhususan dari masing-masing go long an iru .

• Agar kerentuan hukum agama diperharikan dalam hukum perkawinan.

• Agar terciptanya keadilan antara pihak pria (suami) dan wanira (isreri) dalam perkawinan baik di bidang hak ataupun kewajiban. misalnya talak, cerai, kewenangan yang sama di bidang hukum perdata ataupun bidang hukum publik.

• Agar asas monogami menjadi asas dalam Hukum Perkawinan yang baru.

• Agar ada jaminan peningkatan perbaikan nasib dan kepastian hukum bagi kepentingan kaum wanira dalam hukum perkawinan dan kekeillargaan.

Karena itu lIsaha lIntuk membikin peraruran Hukum Perkawinan yang baru sudah ada sejak zaman penjajahan Belanda, terutama dipelopori oleh pemuka-pemuka kaum wanita baik secara formal misalnya di dalam dewan perwakilan misalnya Volksraad (I937) , Parlemen, DPR ataupun dengan secara informal dalam masyarakat , organisasi masyarakat dan politik.

• Setelah tahun 50-an mlliai secara inrensif usaha unruk membentuk hukum perkawinan yang baru, yaitu oleh Menreri Agama R.l. dibentuk Panitia Penyelidik Peraturan Hukum Perkawinan, Talak dan Rujuk pada Oktober 1950 yang diketuai oleh Mr. Teuku Mohammad Hasan, dengan 22 orang anggota yang mewakili para ahli dan golongan , ahli agama. Paniria ini sampai tahun 1954 telah mengadakan rapat sebanyak 140 kali dan telah berhasil membikin dua buah RUU, yairu RUU Perkawinan tenrang Peraturan Umum (selesai 1952) dan RUU renrang Perkawinan Umat Islam (selesai 1954). Selama tahun 1958-1959 kedua RUU rersebut dibahas oleh DPRGR, terapi tidak sempat disahkan. Setelah UUD 1945 kembali berlaku , maka dibentuk Panitia baru oleh Menteri Agama R.I yang diketuai o leh Mr. Moh. Noer Poerwosoetjipro yang berusaha merancang RUU

Nomor I Tahull XXXI

Page 11: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

16 Hukum dan Pembangunan

berdasarkan UUD 1945. II

• Dalam tahun 1966 Departemen Kehakiman menugaskan Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (LPHN) untuk menyusun RUU Perkawinan yang bersifat nasional dengan landasan Pancasila, dan berhasil menghasilkan RUU tentang Ketentuan Pokok Perkawinan.

• Pada 22 Mei 1967 pemerintah menyampaikan RUU tentang Perkawinan Umat Islam (hasil dari Panitia di Dep . Agama) kepada DPRGR, dan pada 7 September 1968 RUU tentang Pokok Perkawinan (hasil LPHN, Dep. Kehakiman) kepada DPRGR untuk dibahas dan di syahkan sebagai UU. Tetapi pada 31 Juli 1973, kedua buah RUU tentang Perkawinan itu ditarik kembali dari DPR, dan sekaligus menyerahkan sebuah RUU yang baru tentang perkawinan oleh pemerintah. RUU baru itu diterima oleh para anggota DPR disertai amanat tertulis dari Presiden.

• Baru pada 30 Agustus 1973 , dengan keterangan pemerintah yang dibacakan oleh Menteri Kehakiman Prof. Seno Adji, SH, disampaikan kepada DPR secara resmi RUU tentang Perkawinan, yang mana sudah beredar lebih dahulu di kalangan para anggota dan bahkan sudah dikerahui secara umum oleh masyarakat luas di luar DPR. RUU ini oleh DPR dibahas selama 4 bulan dan disyahkan pad a 22 Desember 1973 12

RUU yang telah disahkan DPR itu , kemudian diundangkan pada 2 Januari 1974, menjadi Undang-undang No. 1 tahun 1974 tentang Perkawinan dan tercantum dalam Lembaran Negara tahun 1974 No.1, yang mulai berlaku 1 Oktober 1975 .

Hukum perkawinan harns memperhatikan benar ketentuan dari hnkum agama.

Berlawanan sekali dengan peraturan perundangan tentang hukum perkawinan di zaman penjajahan Belanda, dimana ketentuan hukum agama dipisahkan benar-benar dari hukum perkawinan. maka seluruh masyarakat Indonesia, -apalagi setelah kembali ke UUD 1945 dan setelah mengalami pemberontakan Gestapu/PKI - menghendaki agar R UU tentang perkawinan harus memperhatikan ketentuan-ketentuan agama yang ada di Indonesia. Di samping juga memperhatikan hal-hal yang selama ini menjadi pemi-

II H. Arso Sosroatmodjo dan H.A.Was jr Aulawi , Op Cit, halaman 9 12 Dewan Perwakilan Rakyat R.I : Proses PemlJahasoll RUU rentallR PerkolVinnn, SerL­Des. 1973

lanuari - Morel 200!

Page 12: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

Konsep Is/am lerhadap Kemilrasejajaran Wallita di Keluarga 17

kiran yang mendalam di kalangan para pemuka kaum wanita dan ahli-ahli agama dan tokoh-tokoh masyarakat lainnya , yang perlu diatur atau ditin­jau untuk masuk dalam pasal-pasal RUU tentang perkawinan yang baru.

Dan tidak heran kalau kita melihat adanya dua R UU yang sudah dihasilkan oleh Panitia dari Departemen Agama dan oleh Lembaga Pembinaan Hukum Nasional (Departemen Kehakiman) dan telah pula mulai dibahas oleh DPRGR, tetapi tidak memenuhi hasrat dan aspirasi masyarakat -ditarik kembali. Di samping itu disebabkan karena kedua RUU dibikin berdasarkan pandangan yang berbeda. sehingga rumusan dari kedua RUU itu tidak saling mendukung. dimana semula dimaksudkan RUU hasil dari LPHN sebagai UU Pokok sedangkan RUU Pernikahan Umat Islam hasil dari Dep. Agama sebagai UU pelaksanaan. Sehingga kelihatannya tidak ada kecocokan antara Dep. Agama dan Dep. Kehakiman dan karena itu para anggota DPRGR tidak antusias atau bergairah membahas kedua buah RUU terse but. Keadaan tersebut berlangsung sampai terbentuknya DPR hasil pemilu 1971-"

Mengenai konsep terakir RUU tentang perkawinan yang sudah berada di tangan para anggota DPR sejak 1 Agutus 1973, dan telah diketahui secara cepat di kalangan masyarakat ternyata membikin resah masyarakat terutama yang beragama Islam, karena banyak bunyi pasal­pasalnya yang bertentangan dengan ketentuan agama terutama agama Islam. Antara lain adanya ketentuan bahwa perkawinan secara agama diremehkan dibandingkan dengan perkawinan sipil (negara), ketentuan tentang asas monogami, pertunangan, anak angkat, masa idah wanita, dan yang sangat menonjol sekali ketentuan dalam pasal II ayat 2 R UU , yang mengatakan : Perbedaan karena kebangsaan, suku bangsa, negara asaI, agamalkepercayaall dan keturunan tidak merupakan penghalang perkawinan. Pasal II ayat 2 RUU tersebut, sudah pasti merupakan terjemahan dari pasal 7 ayat 2 Peratutan Perkawinan Campuran (GHR). yang sangat ditentang oleh masyarakat Islam, sejak zaman penjajahan Belanda khususnya larangan berbeda agama untuk kawin dari agama Islam dikesampingkan.

Karena itu dapat dimaklumi, bahwa banyak sekali surat-surat dari oranisanisasi masyarakat dan perorangan yang memperotes atau menentang RUU perkawinan itu, terutama disampaikan kepada DPR dan pemerintah dan yang disiarkan oleh media masa. Tidak kurang dari seorang ulama besar Buya HAMKA menulis di harian KAMI,

13 Daniel S. Lev : Peradilan Agama Islam di Indonesia , Alih Bahasa H. Zaini Ahmad Noeh, Intermasa, Jakarta , Ce(akan ke 2, 1986, halaman 333

Nomor I Tahun XXXi

Page 13: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

18 Hukum dan Pembangunan

menyatakan prates terhadap RUU perkawinan itu yang merupakan paksaan bagi umat Islam Indonesia untuk meninggalkan syariat agamanya sendiri tentang perkawinan. Bahkan atas prakarsa KH Mohammad Bisri Syamsuri, Rois Aam P.B. Nahdlatul Ulama (NU) , mengadakan musyawarah Alim Ulama di Jombang , yang mengambil putusan untuk mengambil sikap menentang R UU tersebut dan juga mengusulkan secara lengkap perubahan pasal demi pasal dari R UU ilu.

Untuk meredam keresahan masyarakat terhadap RUU ilu, tidak kurang Presiden Suharto, dalam pidato sambutan pada peringatan lsra' Mi'raj di Masjid Istiqlal pada 26 Agustus 1973 malam, secara khusus berkata bahwa : " tidak benar RUU perkawinan yang diajukan pemerintah ilu bertentangan dengan Agama Islam, dan tidak mung kin dan tidak masuk akal kalau pemerintah mengajukan RUU yang bertentangan dengan aspirasi dan pandangan hidup masyarakat yang ada di Indonesia. Perkawinan mempunyai hubungan yang lebih dalam dan lebih jauh dari sekedar hubungan lahiriyah saja, oleh karenanya nilai-nilai agama dalam perkawinan mutlak diperlukan,,14

Ketika Menteri Kehakiman Prof Seno Adji, SH menyampaikan keterangan pemerintah di DPR pada 30 Agustus 1973, mengenai RUU perkawinan itu, pemerintah menunjukkan perhatiannya dan tekadnya untuk memperhatikan ketentuan agama, bahkan berkata bahwa hukum perkawinan tidak bisa lepas dari ketentuan agama; tetapi hal itu masih disangsikan oleh masyarakat, karena pasal-pasal RUU tidak mendukung keterangan pemerintah itu. Sidang umum DPR mendengar Keterangan Pemerintah itu, cukup banyak dihadiri oleh pemuka-pemuka golongan wanita dan organisasi masyarakal, rakyat umum terutama kaum ibu. Dari pihak pemuka golongan wanita, tampaknya dapat menerima keterangan pemerintah itu, karena sesuai dengan konsesus yang dicapai dalam dengar pendapat (hearing) Komisi III dan IX DPR dengan KOW ANI pad a Pebruari 1973.'; Tetapi dari kalangan masyarakat Islam baik kaum muslimahnya masih belum puas, karena ketentuan mas a idah yang harus 300 hari, dan masa pertunangan yang menghalalkan hubungan intim wanita dan pria sebelum nikah.

Dalam Pembicaraan Tingkat II, pada 17 dan 18 September 1973, dilakukan pemandangan umum oleh masing-masing fraksi. Fraksi ABRI satu orang, Fraksi Karya Pembangunan 2 orang, Fraksi PPP 5 orang dan Fraksi PDI satu orang. Semua fraksi sama-sama menghendaki ketentuan­ketentuan agama hams diperhatikan dalam RUU perkawinan. dan tidak

14lhid. halaman 337 l.~ Ibid.

]a/luQI'i - Marer 2001

Page 14: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

Konsep Islam rerhadap Kelllirrasejajaran Wanira di Keluarga 19

memisahkan perkawinan agama dengan perkawinan negara (sipil). Hal-hal tersebut oleh semua fraksi dikehendaki agar tercermin dalam bunyi pasal­pasal RUU, bahkan oleh anggota Pamudji (fraksi PDI) mengharapkan agar agamalah yang menjadi dorongan dan motivasi dari lahirnya suatu Undang-Undang Perkawinan.

Dalam Sidang Umum DPR 27 September 1973 , diberikan jawaban pihak pemerintah terhadap pemandangan umum anggota DPR yang la lu. Menteri Agama Prof. Dr. Mukti Ali dalam menanggapi sorotan anggota DPR atas pasal II ayat 2 R UU Perkawinan mengatakan antara lain;

bahwa bukanlah maksud pemerintah untuk mengadakan paksaan atau desakan agama yang satu terhadap yang lain. Juga tidak terlintas sedikitpun dalam pikiran pemerintah untuk ll1enganjurkan seseorang untuk berpindah agama atau kawin dengan orang yang berbeda agamanya. Pemerintah jelas tidak menganjurkan seseorang untuk berbuat sesuatu yang lurus bertolak belakang dengan ibadah agama yang dipeluk dengan penuh keyakinan. Ketentuan pasal itu harus dibaca dalam nafas penghormatan yang tinggi terhadap hak asasi manusia. Tentulah bagi umat beragama yang tebal imannya tidak akan melanggar ketentuan agama yang dipeluknya, kendatipun dari sudut hak asasi, perbuatannya itu tidak dilarang oleh peraturan perundang­undangan" .'6

Jawaban pemerintah yang dibacakan oleh Menteri Agama itu, sebahagian lagi tidak sell1pat dilakukan yaitu waktu selesai membicarakan pasal 12 RUU ten tang pertunangan, till1bullah keributan dan kegaduhan oleh pelajar-pelajar putri yang duduk di balkon dan meneriakkan yel-yel anti RUU Perkawinan. Keributan itu menjalar ke ruang sidang yang tidak dapat diatasi oleh pimpinan Sidang, sehingga Sidang terpaksa dihentikan dan para anggota DPR meninggalkan ruangan. 8eberapa pell1uda yang dianggap penggerak dari keributan itu telah sempat ditahan. tetapi pena­hanan itu bahkan menimbulkan aksi-aksi solidaritas di luar kota Jakarta. Peristiwa 27 September 1973 di DPR itu kemudian dikenal dengan Peristiwa akhir Sya'ban, karena bertepatan dengan 29 Sya'ban 1393 H , dan ternyata menjadi titik balik ·bagi pandangan Pemerintah dan Fraksi Karya Pembangunan terhadap masalah perkawinan bagi ummat Islall1. 17

Peristiwa Akhir Sya'ban itu , rupanya ll1embutuhkan pendinginan suasana, dan kebetulan memasuki bulan Ramadhan, maka DPR tidak

II:> Dewan Perwakilan Rakyat R.L Op Cit. L7 Daniel S. Lev, Op Cit, halaman 341.

Nomor I Tahun XXXI

Page 15: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

20 Hukum dan Pembangunan

melakukan sidang-sidang untuk membahas RUU perkawinan. Sementara itu dari Pemerintah bersama pimpinan Fraksi yang ada di OPR diadakan pembicaraan (lobying) secara intensif selama bulan Ramadhan (Oktober) . Nopember sampai medio Oesember 1973. Begitu pula dari pihak-pihak keamanan (Kopkamtib) ketika itu , juga OPA merasa perlu melakukan lobying untuk menenteramkan masyarakat, walaupun sementara itu OPR sendiri memasuki Pembicaraan Tingkat Ill, pada 6 Oesember 1973 dengan membentuk Panitia Kerja RUU Perkawinan yang beranggotakan 10 orang. Panitia Kerja ini bersidang tiap hari siang malam sampai tanggal 19 Desember 1973 , tetapi hasilnya sangat minim yaitu hanya sempat membicarakan konsideran, dan pasal I, yaitu definisi perkawinan .

Akhirnya dalam Rapat Panitia Kerja dengan Pemerintah yang diwakili oleh Menteri Kehakiman pada 20 Oesember 1973, pemerintah menyampaikan suatu konsep atau rancangan RUUP yang baru, sebagai hasil lobying antara pemerintah dengan pimpinan fraks i-fraksi serta setelah memperhatikan aspirasi yang disampaikan oleh masyarakat kepada pemerintah. RUUP dengan rumusan yang baru ini telah menjadi hanya 67 pasal dibanding sebelumnya 75 pasal, dengan Illenghilangkan pasal-pasal yang krusial dan dianggap bertentangan dengan ketentuan agama, antara lain pasal II RUUP yang lama dihilangkan. 18

Setelah Menteri Kehakiman menyampaikan rumusan RUUP yang baru itu panitia kerja secara mudah menyelesaikan seluruh pasal dari RUUP itu hanya dalam satu hari rapat kerja. Rupanya pembahasan RUU perkawinan lebih berarti dan mempunyai bobot dan menghasilkan dilakukan oleh pemerintah langsung dengan para pimpinan fraksi dengan Illemperhatikan aspirasi masyarakat umum. Akhirnya ditetapkanlah pada 22 Oeselllber 1973 sebagai hari pengesahan RUU Perkawinan yang merupakan Pelllbicaraan Tingkat IV.

Demikianlah hasil optimal dari bangsa dan rakyat Indonesia dalam Illemperjuangkan suatu UU Perkawinan yang bersifat univikatif dan tetap konsisten memegang ketentuan hukum agama yang dominan dalam UU perkawinan artinya dengan demikian walaupun univikatif, tetap Illemper­hatikan kekhususan ketentuan agama masing-masing dari pemeluknya.

Kesimpulannya adalah ketentuan hukum agama sudah kembali pad a posisinya dalam hubungannya dengan hukum Perkawinan di Indonesia, dengan kata lain hukum agama yang ada di Indonesia adalah sangat dominan dan fundamental dalam Undang-undang Perkawinan di Indonesia sekarang ini, dan sangat berbeda sekali dibandingkan dengan

UI Dewan Perwakilan Rakyal RJ , Op. Cit.

lanuari - Mare! 2001

Page 16: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

KOllsep Islam lerhadap Kemilrasejajaran Wanilo di Keluarga 21

hukum perkawinan di zaman penjajahan Belanda dahulu. Demikianlah proses pembahasan RUU Perkawinan, dimana terli­

bat yang tidak hanya para anggota DPR, tetapi juga instansi pemerintah di luar Menteri atau Departemen yang bersangkutan dan juga Presiden Kepala Negara sendiri ikut, serta seluruh masyarakat Indonesia, yang semuanya menghendaki agar hukum agama menjadi dominan dan fundamental dalam undang -undang tentang perkawinan. \9

Kesimpulan :

I. Sebelum Belanda dengan pemerintahan Hindia Belanda-nya, menjajah Indonesia , rakyat dan masyarakat Indonesia telah menikmati Hukum Perkawinannya dimana hukum agamanya sangat dominan atau menentukan.

2. Kemudian Belanda secara sistimatis, berhasil menghilangkan unsur agama dari Hukum Perkawinan bagi rakyat dan masyarakat Indonesia.

3. Sete lah Indonesia merdeka kembali , rakyat dan bangsa Indonesia berusaha untuk memasukkan kembali unsur agama dalam Hukum Perkawinan, dan setelah menelan waktu hampir tiga dasawarsa , baru berhasil dengan disahkannya Undang-Undang No. I tahun 1974 tentang Perkawinan.

19 Amak F.Z. Proses Undang-Vndang Perkawinan , PT Alma'fif, Bandung. 1976 .

Nomor I Tahun XXXI

Page 17: KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN … · KEMBALINYA UNSUR AGAMA KE DALAM HUKUM PERKA WINAN DI INDONESIA Dr. H. Rusdi Malik, S.H. ,M.H. From the ancient roots, the

22 Hukum dan Pembangunall

DAFTAR KEPUSTAKAAN

Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perkawinan di Indonesia. Vorking ~ Van Hoeve Bandung ~ 'S Gravenhage, Cetakan Ke:2 , 1956

R.Soepomo, .Sejarah Politik Hukum Adat, Jilid I, PT.Pradnya Paramita Jakarta, 1982

H. Arso Sosroatmodjo dan H.Wasit Aulawi, Hukum Perkawinan di Tildonsia, Penerbit Bulan Bintang, Jakarta, Cetakat Pertama 1975

Sajuti Thalib, Receptio A Contrario, 1985. PT Bima Aksara Jakarta

Sugardo Gautama, 1973, Segi-Segi Hukum Perkawinan Campuran, PT. Alumni Bandung.

------, 1989. Hukum Antar Golongan, PT Ichtiar Baru - Van Hoeve

Amak.F.Z, 1976, Proses Undang-Undang Perkawinan , Al Maarif, Bandung .

Lev. Daniel S. , 1986, Peradilan Agama Islam di Indonesia, Cetakan ke 2. Al ih Bahasa : H. Zaini Ahmad N oeh. PT .Intermasa Jakarta

Dewan Perwakilan Rakyat, 1974 Proses Pembahasan RUU Perkawinan,

September - Desember 1973.

JamlOri - Maret 200J