kel 7_kelembagaan mk

Upload: ariani-al-ghomaisha

Post on 01-Nov-2015

216 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

KELEMBAGAANMAHKAMAH KONSTITUSI

Diajukan Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Hukum Acara Mahkamah KonstitusiDosen : Drs. H. Harpani Matnuh, M.H dan Norlaili Hidayati, S.Pd., M.Pd

Disusun Oleh:

Kelompok 7

ArianiA1A213071Ikhsan MaulanaA1A213061JamaliahA1A213203Nurul FajariahA1A213010RudiA1A213076

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN PANCASILA DAN KEWARGANEGARAANFAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKANUNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURATBANJARMASIN2015

425

BAB IPEMBAHASAN

A. Sejarah Lahirnya Mahkamah KonstitusiBerdirinya Mahkamah Konstitusi sebagai special tribunal secara terpisah dari Mahkamah Agung, yang mengemban tugas khusus merupakan konsepsi yang dapat ditelusuri jauh sebelum negara kebangsaan yang modern (modern nation-state), yang pada dasarnya menguji keserasian norma hukum yang lebih rendah dengan norma hukum yang lebih tinggi. Sejarah modern judicial review, yang merupakan ciri utama kewenangan Mahkamah Konstitusi di Amerika Serikat oleh Mahkamah Agung dapat dilihat sebagai perkembangan yang berlangsung selama 250 tahun, dengan rasa kebencian sampai dengan penerimaan yang luas.Revolusi Prancis dan konsep separation of powers dari Rosseau dan Montesqieu merupakan bibit pengembangan judical review ke depan, dan keberhasilan awal tentara Napoleon serta pengaruh yang berkelanjutan dari hukum dan budaya Prancis, membawa sikap dan pendekatan ini menyebar keseluruh Eropa dengan sistem hukumnya yang berbeda. Akan tetapi, pemikiran Amerika tentang judical review setelah kasus Marbury v. Madison (1803) dan kemudian kasus Dred Scott yang terkenal buruknya tahun 1857, menyebabkan pembaru dibenua Eropa mulai berpikir bahwamahkamah semacam itu mungkin berguna juga di Eropa.Hans Kelsen, seorang sarjana hukum yang sangat berpengaruh pada abad ke-20, diminta menyusun sebuah konstitusi bagi Republik Austria yang baru muncul dari puing kekaisaran Austro-Hungarian tahun 1919. Sama dengan Marshall, Kelsen percaya bahwa konstitusi harus diperlakukan sebagai seperangkat norma hukum yang superior (lebih tinggi) dari undang-undang biasa dan harus ditegakkan secara demikian. Kelsen juga mengakui adanya ketidakpercayaan yang luas teradap badan peradilan biasa untuk melaksanakan tugas penegakan konstitusi yang demikian, sehingga dia merancang mahkamah khusus yang terpisah dari peradilan untuk mengawasi undang-undang dan membatalkannya jika ternyata bertentangan dengan undang-undang dasar. Meski Kelsen merancang model ini untuk Austria, yang mendirikan mahkamah konstitusi berdasarkan model itu untuk pertama sekali adalah Cekoslowakia pada bulam Februari tahun 1920. Baru pada bulan Oktober 1920, rancangan Kelsen tersebut diwujudkan di Austria.Setelah perang dunia kedua, gagasan Mahkamah Konstitusi dengan Judicial review menyebar ke seluruh Eropa, dengan mendirikan Mahkamah Konstitusi secara terpisah dari Mahkamah Agung. Akan tetapi, Prancis mengadopsi konsepsi ini secara berbeda dengan membentuk constitutional council (consiel constitutionel). Negara-negara bekas jajahan Prancis mengikuti pola Prancis ini. Ketika Uni Soviet runtuh, bekas negara-negara Komunis di Eropa Timur semuanya mereformasi negerinya, dari negara Otoriter menjadi negara demokrasi konstitusional yang liberal. Konstitusi segera direvisi dan dalam proses itu satu lembaga baru dibentuk, yaitu satu mahkamah yang terdiri atas pejabat-pejabat kekuasaan kehakiman dengan kewenangan untuk membatalkan undang-undang dan peraturan lain jika ternyata ditemukan bertentangan atau tidak sesuai dengan hukum yang lebih tinggi, yaitu konstitusi.Sampai sekarang sudah 78 negara yang mengadopsi sistem Mahkamah Konstitusi yang didirikan terpisah dari Mahkamah Agungnya dan Indonesia merupakan negara yang ke-78, dengan diundangkannya Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (Undang-Undang Mahkamah Konstitusi) pada tanggal 13 Agustus 2003, yang telah berlaku secara operasional sejak pengucapan sumpah 9 (sembilan) hakim konstitusi pada tanggal 16 Agustus 2003.

B. Riwayat Pembentukan Mahkamah Konstitusi di IndonesiaBerdirinya lembaga Mahkamah Konstitusi (MK) diawali dengan diadopsinya ide MK (Constitutional Court) dalam amandemen konstitusi yang dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) pada tahun 2001 sebagaimana dirumuskan dalam ketentuan Pasal 24 ayat (2), Pasal 24C, dan Pasal 7B Undang-Undang Dasar 1945 hasil Perubahan Ketiga yang disahkan pada 9 Nopember 2001. Ide pembentukan MK merupakan salah satu perkembangan pemikiran hukum dan kenegaraan modern yang muncul di abad ke-20.Sesungguhnya dalam rangka memberdayakan Mahkamah Agung (MA), Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI) telah lama memperjuagkan agar Mahkamah Agung diberi kewenangan untuk menguji undang-undang terhadap UUD 1945, sebagai salah satu strategi yang dicetuskan sejak tahun 1970-an untuk memberdayakan Mahkamah Agung. Strategi yang diusulkan itu juga meliputi pembatasan upaya hukum kasasi dan peninjauan kembali, untuk mengurangi bebaan tunggakan perkara yang terlalu besar, yang kebanyakan dilihat dari sudut hukum sudah jelas terbukti dan tidak ada masalah hukum penting yang harus diperiksa Mahkamah Agung, yang merupakan salah penerapan maupun melampaui wewenangnya.Strategi lain adalah mewujudkan sistem satu atap, yang memberi kewenangan pada Mahkamah Agung untuk menangani dan mengawasi juga masalah administrasi, kewenangan, dan organisasi, sehingga dapat lebih menjamin kemandirian Mahkamah Agung. Tuntutan tersebut tidak pernah mendapat tanggapan yang serius untuk waktu yang lama. Hal tersebut dapat dipahami, karena suasana dan paradigma kehidupan ketatanegaraan dan kehidupan politik yang monolitik, waktu itu tidak memperkenankan adanya perubahan konstitusi. Bahkan UUD 1945 cenderung disakralkan. Padahal tuntutan perubahan tersebut hanya dapat dilakukan dengan perubahan konstitusi.Setelah krisis ekonomi melanda Indonesia dan gerakan reformasi yang membawa kejatuhan pemerintah Orde baru ditahun 1998, terjadi perubahan yang sangat drastis dalam kehidupan sosial, politik, dan hukum di Indonesia. Diawali dengan perubahan pertama UUD 1945 pada tahun 1999, yang membatasi masa jabatan Presiden hanya untuk dua kali masa jabatan, dan pengutan DPR yang memegang kekuasaan membentuk undang-undang, telah disusul dengan perubahan kedua yang telah mengamandir Undang-Undang Dasar 1945 lebih jauh lagi. Perubahan kedua meliputi banyak hal, tetapi yang paling menonjol adalah dimasukkannya Hak Asasi Manusia dalam Bab XA. Perubahan ketiga telah membawa perubahan lebih jauh dengan diperintahkannya pemilihan Presiden dan Wakil Presiden dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat, dan dapat diberhentikan dalam masa jabatannya karena diduga telah melakukan pelanggaran hukum dengan tidak hanya melalui proses politik, tetapi harus terlebih dahulu melalui proses hukum dalam pemeriksaan dan putusan Mahkamah Konstitusi yang mengatakan kesalahannya atas pelanggaran hukum yang dituduhkan.Jatuh bangunnya pimpinan pemerintahan (presiden) pada waktu itu, yang tidak pernah terjadi secara mulus melalui proses konstitusional yang baik, merupakan kondisi sosial politik yang telah mendorong lahirnya Mahkamah Konstitusi di Indonesia. Perubahan ketiga Undang-Undang Dasar 1945 juga mengadopsi pembentukan Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga yang berdiri sendiri disamping Mahkamah Agung dengan kewenangan yang diuraikan dalam pasal 24C ayat(1) dan ayat(2) UUD 1945.Setelah disahkannya Perubahan Ketiga UUD 1945 maka dalam rangka menunggu pembentukan MK, MPR menetapkan Mahkamah Agung (MA) menjalankan fungsi MK untuk sementara sebagaimana diatur dalam Pasal III Aturan Peralihan UUD 1945 hasil Perubahan Keempat. DPR dan Pemerintah kemudian membuat Rancangan Undang-Undang mengenai Mahkamah Konstitusi. Pasal III Aturan Peralihan Undang-Undang Dasar 1945 memerintahkan dibentuknya Mahkamah Konstitusi selambat-lambatnya tanggal 17 Agustus 2003.Melalui pembahasan mendalam, DPR dan Pemerintah menyetujui secara bersama UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi pada 13 Agustus 2003 dan disahkan oleh Presiden pada hari itu (Lembaran Negara Nomor 98 dan Tambahan Lembaran Negara Nomor 4316). Dua hari kemudian, pada tanggal 15 Agustus 2003, Presiden melalui Keputusan Presiden Nomor 147/M Tahun 2003, melantik hakim konstitusi untuk pertama kalinya yang dilanjutkan dengan pengucapan sumpah jabatan para hakim konstitusi di Istana Negara pada tanggal 16 Agustus 2003. Lembaran perjalanan MK selanjutnya adalah pelimpahan perkara dari MA ke MK, pada tanggal 15 Oktober 2003 yang menandai mulai beroperasinya kegiatan MK sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003.

C. UrgensiPembentukanMahkamahKonstitusiPada pokoknya, pembentukan Mahkamah Konstitusi perlu dilakukan karena bangsa kita melakukan perubahan mendasar atas UUD 1945. Dalam rangka Perubahan Pertama sampai Perubahan Keempat UUD 1945, bangsa kita telah mengadopsikan prinsip-prinsip baru dalam sistem ketatanegaraan, yaitu antara lain prinsip pemisahan kekuasaan dan checks and balances sebagai penggganti sistem supremasi parlemen yang berlaku sebelumnya. Dengan perubahan tersebut, prinsip negara hukum yang dianut dipertegas dengan (a) diaturnya mekanisme penegakan hukum dimulai dari penegakankonstitusisebagaihukumtertinggi.Sebagai akibat perubahan itu, (b) dipandang perlu untuk diadakan mekanisme guna memutus sengketa kewenangan yang mungkin terjadi antar lembaga-lembaga yang mempunyai kedudukan yang satu sama lain bersifat sederajat, yang kewenangannya ditentukan dalam UUD, (c) perlu dilembagakan adanya peranan hukum dan hakim yang dapat mengontrol proses dan produk keputusan-keputusan politik yang hanya mendasarkan diri pada prinsip majority rule. Karena itu, fungsi-fungsi judicial review atas konstitusionalitas undang-undang dan proses pengujian hukum atas tuntutan pemberhentian terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden dikaitkan dengan fungsi MK. Di samping itu, (d) juga diperlukan adanya mekanisme untuk memutuskan berbagai persengketaan yang timbul yang tidak dapat diselesaikan malalui proses peradilan yang biasa, seperti sengketa hasil pemilu dan tuntutan pembubaran sesuatu partai politik. Perkara-perakara semacam ini berkaitan erat dengan hak dan kebebasan warganegara dalam dinamika sistem politik demokratis yang dijamin oleh UUD. Karena itu, fungsi- fungsi penyelesaian sengketa atas hasil pemilihan umum dan pembubaran partai politik juga dikaitkan dengan kewenangan MK. Keberadaan Mahkamah Konstitusi memilki arti penting dan peranan strategis dalam perkembangan ketatanegaraan dewasa ini, karena segala ketentuan atau kebijakan yang dibuat penyelenggara negara dapat diukur dalam hal konstitusional atau tidak oleh Mahkamah Konstitusi.

D. Kedudukan Kelembagaan Mahkamah KonstitusiMahkamah Konstitusi Republik Indonesia adalah lembaga (tinggi) negara yang baru yang sederajat dan sama tinggi kedudukannya dengan Mahkamah Agung (MA). Mahkamah konstitusi juga berkedudukan di Ibu Kota Republik Indonesia. Menurut ketentuan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pasca Perubahan Keempat (Tahun 2002), dalam struktur kelembagaan Republik Indonesia terdapat (setidaknya) 9 (sembilan) buah organ negara yang secara langsung menerima kewenangan langsung dari Undang-Undang Dasar. Kesembilan organ tersebut adalah (i) Dewan Perwakilan Rakyat, (ii) Dewan Perwakilan Daerah, (iii) Majelis Permusyawaratan Rakyat, (iv) Badan Pemeriksa Keuangan, (v) Presiden, (vi) Wakil Presiden, (vii) Mahkamah Agung, (viii) Mahkamah Konstitusi, dan (ix) Komisi Yudisial. Di samping kesembilan lembaga tersebut, terdapat pula beberapa lembaga atau institusi yang datur kewenangannya dalam UUD, yaitu (a) Tentara Nasional Indonesia, (b) Kepolisian Negara Republik Indonesia, (c) Pemerintah Daerah, (d) Partai Politik. Selain itu, ada pula lembaga yang tidak disebut namanya, tetapi disebut fungsinya, namun kewenangan dinyatakan akan diatur dengan undang-undang, yaitu: (i) bank central yang tidak disebut namanya Bank Indonesia, dan (ii) komisi pemilihan umum yang juga bukan nama karena ditulis dengan huruf kecil. Baik Bank Indonesia maupun Komisi Pemilihan Umum yang sekarang menyelenggarakan kegiatan pemilihan umum merupakan lembaga- lembaga independen yang mendapatkan kewenangannya dari Undang-Undang.Karena itu, kita dapat membedakan dengan tegas antara kewenangan organ negara berdasarkan perintah Undang-Undang Dasar (constitutionally entrusted power), dan kewenangan organ negara yang hanya berdasarkan perintah Undang-Undang (legislatively entrusted power), dan bahkan dalam kenyataan ada pula lembaga atau organ yang kewenangannya berasal dari atau bersumber dari Keputusan Presiden belaka. Contoh yang terakhir ini misalnya adalah pembentukan Komisi Ombudsman Nasional, Komisi Hukum Nasional, dan sebagainya. Sedangkan contoh lembaga-lembaga yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang, misalnya, adalah Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, Komisi Penyiaran Indonesia, Pusat Pelaporan dan Analisa Traksaksi Keuangan (PPATK).Dari uraian di atas, Mahkamah Konstitusi dapat dikatakan mempunyai kedudukan yang sederajat dan sama tinggi dengan Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi dan Mahkamah Agung sama-sama merupakan pelaksana cabang kekuasaan kehakiman (judiciary) yang merdeka dan terpisah dari cabang-cabang kekuasaan lain, yaitu pemerintah (executive) dan lembaga permusyawaratan-perwakilan (legislature). Kedua mahkamah ini sama-sama berkedudukan hukum di Jakarta sebagai ibukota Negara Republik Indonesia. Hanya struktur kedua organ kekuasaan kehakiman ini terpisah dan berbeda sama sekali satu sama lain. Mahkamah Konstitusi sebagai lembaga peradilan tingkat pertama dan terakhir tidak mempunyai struktur organisasi sebesar Mahkamah Agung yang merupakan puncak sistem peradilan yang strukturnya bertingkat secara vertikal dan secara horizontal mencakup lima lingkungan peradilan, yaitu lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan tata usaha negara, lingkungan peradilan agama, dan lingkungan peradilan militer.Meskipun tidak secara persis, Mahkamah Agung dapat digambarkan sebagai puncak peradilan yang berkaitan dengan tuntutan perjuangan keadilan bagi orang per orang ataupun subjek hukum lainnya, sedangkan Mahkamah Konstitusi tidak berurusan dengan orang per orang, melainkan dengan kepentingan umum yang lebih luas. Perkara- perkara yang diadili di Mahkamah Konstitusi pada umumnya menyangkut persoalan- persoalan kelembagaan negara atau institusi politik yang menyangkut kepentingan umum yang luas ataupun berkenaan dengan pengujian terhadap norma-norma hukum yang bersifat umum dan abstrak, bukan urusan orang per orang atau kasus demi kasus ketidak- adilan secara individuil dan konkrit. Yang bersifat konkrit dan individuil paling-paling hanya yang berkenaan dengan perkara impeachment terhadap Presiden/Wakil Presiden. Oleh karena itu, pada pokoknya, Mahkamah Agung pada hakikatnya adalah court of justice, sedangkan Mahkamah Konstitusi adalah 'court of law'. Yang satu mengadili ketidakadilan untuk mewujudkan keadilan, sedangkan yang kedua mengadili sistem hukum dan sistem keadilan itu sendiri.Sebagai organ kekuasaan kehakiman yang menjalankan fungsi kehakiman, Mahkamah Konstitusi bersifat independen, baik secara struktural maupun fungsional. Untuk mendukung independensinya, berdasarkan ketentuan Undang-Undang, Mahkamah Konstitusi juga mempunyai mata anggaran tersendiri, terpisah dari mata anggaran instansi lain. Hanya saja, sesuai dengan hukum administrasi yang berlaku umum, ketentuan mengenai organisasi dan tata kerja kesekretariat-jenderalan dankepaniteraanserta administrasi kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap terikat kepada peraturan perundang-undangan yang berlaku mengenai hal itu. Atas usul Ketua Mahkamah Konstitusi, Sekretaris Jenderal dan Panitera tetap diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Bahkan hakim konstitusi secara administratif diangkat dan diberhentikan dengan Keputusan Presiden. Jadi, Mahkamah Konstitusi merupakan salah satu lembaga negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang merdeka guna menegakkan hukum dan keadilan.

E. Fungsi Mahkamah KonstitusiMahkamah Konstitusi mempunyai fungsi untuk mengawal (to guard) konstitusi, agar dilaksanakan dan dihormati baik penyelenggara kekuasaan negara maupun warga negara. Mahkamah Konstitusi juga menjadi penafsir akhir konstitusi.Jimly Asshiddiqie (Siahaan, 2012:8) menguraikan bahwa dalam konteks ketatanegaraan, Mahkamah Konstitusi dikonstruksikan sebagai pengawal konstitusi yang berfungsi menegakkan keadilan konstitusional di tengah kehidupan masyarakat. Mahkamah Konstitusi bertugas mendorong dan menjamin agar konstitusi dihormati dan dilaksanakan oleh semua komponen negara secara konsisten dan bertanggungjawab. Di tengah sistem kelemahan konstitusi yang ada, Mahkamah Konstitusi berperan sebagai penafsir agar spirit konstitusi selalu hidup dan mewarnai keberlangsungan bernegara dan bermasyarakat.Pada hakikatnya, fungsi utama Mahkamah Konstitusi adalah mengawal supaya konstitusi dijalankan dengan konsisten (the guardian of constitutions) dan menafsirkan konstitusi atau UUD (the interpreter of constitutions). Lembaga negara lain dan bahkan orang per orang boleh saja menafsirkan arti dan makna dari ketentuan yang ada dalam konstitusi, karena memang tidak selalu jelas dan rumusannya luas dan kadang-kadang kabur. Akan tetapi, yang menjadi otoritas akhir untuk memberi tafsir yang mengikat adalah Mahkamah Konstitusi.Sehingga dapat disimpulkan bahwa Mahkamah Konstitusi menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH telah dengan baik menjalankan fungsinya sebagai (i) pengawal konstitusi (the guardian of the constitution), (ii) pengawal demokrasi (the guardian of democracy), (iii) pelindungan hak asasi manusia dan hak konstitusional warga negara (the protector of human rights and the citizens constitutional rights), dan (iv) penafsir final konstitusi negara (the final interpreter of the constitution).

F. Kewenangan dan Kewajiban Mahkamah KonstitusiSebagai sebuah lembaga yang telah ditentukan dalam UUD, kewenangan Mahkamah Konstitusi juga diberikan dan diatur dalam UUD. UUD 1945 menentukan bahwa MK mempunyai 4 kewenangan konstitusional (constitutionally entrusted powers) dan satu kewajiban konstitusional (constitutional obligation). Kewenangan yang mengeksklusifkan dan membedakan Mahkamah Konstitusi secara khusus diatur dalam Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 jo. Pasal 10 ayat (1) UU No.24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dalam UU No.8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan:1) Mahkamah Konstitusi berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk menguji undang-undang terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;2) Memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;3) Memutus pembubaran partai politik; dan4) Memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.Sedangkan dalam ketentuan Pasal 24C ayat (2) 1945 jo. Pasal 10 ayat (2) UU No. 24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah menjadi UU No. 8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi yang menyatakan, MK wajib memeriksa, mengadili, dan memutus terhadap pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau wapres telah melakukan pelanggaran hukum berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, dan/atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.Berdasarkan ketentuan tersebut maka setiap putusan Mahkamah Konstitusi bersifat final, yakni putusan Mahkamah Konstitusi langsung memperoleh kekuatan hukum tetap sejak diucapkan, artinya dalam hal pelaksanaan kewenangan ini tidak ada mekanisme upaya hukum berupa banding atau kasasi terhadap putusan yang dibuat Mahkamah Konstitusi untuk perkara-perkara yang berkenaan dengan kewenangan tersebut.

G. Visi Misi Mahkamah KonstitusiVisi : Tegaknya konstitusi dalam rangka mewujudkan cita negara hukum dan demokrasi demi kehidupan kebangsaan dan kenegaraan yang bermartabat.Misi : 1) Mewujudkan Mahkamah Konstitusi sebagai salah satu pelaku kekuasaan kehakiman yang modern dan terpercaya2) Membangun konstitusionalitas Indonesia dan budaya sadar berkonstitusi

H. SusunanOrganisasi dan Keanggotaan Mahkamah KonstitusiOrganisasi Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas tiga pranata (institusi), yaitu (i) para hakim konstitusi, (ii) kepaniteraan, dan (iii) sekretariat jenderal. Pasal 7 UU No. 24 tahun 2003 jo. UU No.8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan: Di Mahkamah Konstitusi dibentuk sebuah kepaniteraan dan sekretariat jenderal untuk membantu pelaksanaan tugas dan wewenang Mahkamah Konstitusi. Artinya, institusi utama dari Mahkamah Konstitusi adalah sembilan hakim konstitusi yang dalam menjalankan kewenangan dan kewajiban konstitusionalnya, dibantu dua institusi lainnya, yaitu kepaniteraan dan sekretariat jenderal. Untuk menjamin independensi dan imparsialitas kinerjanya, kesembilan hakim konstitusi ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang dipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden. Setelah terpilih, kesembilan orang tersebut ditetapkan sebagai hakim konstitusi dengan Keputusan Presiden. Keputusan Presiden itu ditetapkan dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak pengajuan calon diterima Presiden. Pencalonan hakim konstitusi dilaksanakan secara transparan dan partisipatif.Sebagai contoh, pada rekrutmen hakim konstitusi yang pertama, DPR mengajukanProf. DR. Jimly Asshiddiqie, S.H., Letjen. TNI (Purn.) H. Achmad Roestandi, S.H. dan I Dewa Gede Palguna, S.H., M.H. Sedangkan Presiden mengajukan Prof. H. Ahmad Syarifuddin Natabaya, S.H., LL.M., Prof. H. Abdul Mukthie Fadjar, S.H., M.S. dan DR. Harjono, S.H., MCL. Sementara MA mengajukan Prof. DR. H. Mohammad Laica Marzuki, S.H., Soedarsono, S.H. dan Maruarar Siahaan, S.H.

Mekanisme rekruitmen yang demikian itu dimaksudkan untuk menjamin agar kesembilan hakim Mahkamah Konstitusi itu benar-benar tidak terikat hanya kepada salah satu lembaga Presiden, DPR ataupun MA. Dalam menjalankan tugasnya, Mahkamah Konstitusi diharapkan benar- benar dapat bersifat independen dan imparsial.Selain itu, dengan adanya keterlibatan ketiga lembaga negara yang mencakup cabang kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif tersebut dalam rekruitmen hakim konstitusi dapat dijamin adanya keseimbangan kekuatan antar cabang-cabang kekuasaan negara tersebut dan sekaligus pula menjamin netralitas dan imparsialitas MK dalam hubungan antar lembaga negara. Dalam menjalankan tugas dan kewenangannya, apalagi terkait dengan kewenangan mengadili perkara sengketa lembaga negara, posisi imparsial MK ini mutlak diperlukan, karena itu rekruitmen hakim konstitusi tidak hanya melibatkan satu cabang kekuasaan, tetapi ketiga cabang kekuasaan itu sekaligus. Bahkan, dalam proses pembinaan perilaku etik para hakim konstitusi, ketiga cabang kekuasaan itu, yaitu Presiden, DPR, dan MA tetap dilibatkan, yaitu apabila ada dugaan pelanggaran kode etik oleh hakim konstitusi, maka komposisi 5 orang anggota Majelis Kehormatan Hakim diisi pula oleh anggota majelis yang berasal dari usulan Presiden, DPR, dan MA masing-masing 1 orang. Dengan demikian, pengawasan etik hakim konstitusi dilakukan secara semi ekstrernal yang menjamin efektifitas, independensi, dan keterpercayaan.Adapun susunan Mahkamah Konstitusi terdiri atas seorang ketua merangkap anggota, seorang wakil ketua merangkap anggota, dan 7 (tujuh) orang anggota hakim konstitusi. Selanjutnya disebutkan pula dalam UU No.24 tahun 2003 sebagaimana telah diubah dalam UU No.8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi bahwa Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi dipilih dari dan oleh anggota hakim konstitusi untuk masa jabatan selama 2 (dua) tahun 6 (enam) bulan terhitung sejak tanggal pengangkatan Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Ketua dan Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi yang terpilih, dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama untuk 1 (satu) kali masa jabatan. Untuk melengkapi tata cara pemilihan ketua dan wakil ketua, Mahkamah Konstitusi telah mengeluarkan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 1/PMK/2003 yang telah diganti menjadi PMK No.3 Tahun 2012.Sedangkan, masa pengabdian para hakim konstitusi adalah untuk lima tahun dan sesudahnya hanya dapat dipilih kembali hanya untuk satu periode lima tahun berikut. Untuk menjadi hakim konstitusi harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagaimana diuraikan dalam Pasal 15 UU No.8 tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, yaitu:Pada Ayat (1) : Hakim konstitusi harus memenuhi syarat sebagai berikut:a. Memiliki integritas dan kepribadian yang tidak tercela;b. Adil; danc. Negarawan yang menguasai konstitusi dan ketatanegaraan.Selanjutnya disebutkan pada Ayat (2) : Untuk dapat diangkat menjadi hakim konstitusi, selain harus memenuhi syarat sebagaimana dimaksud pada ayat (1), seorang calon hakim konstitusi harus memenuhi syarat:a. warga negara Indonesia;b. berijazah doktor dan magister dengan dasar sarjana yang berlatar belakang pendidikan tinggi hukum;c. bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa dan berakhlak mulia;d. berusia paling rendah 47 (empat puluh tujuh) tahun dan paling tinggi 65 (enam puluh lima) tahun pada saat pengangkatan;e. mampu secara jasmani dan rohani dalam menjalankan tugas dan kewajiban;f. tidak pernah dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap;g. tidak sedang dinyatakan pailit berdasarkan putusan pengadilan; danh. mempunyai pengalaman kerja di bidang hukum paling sedikit 15 (lima belas) tahun dan/atau pernah menjadi pejabat negara. Selain itu pada pasal 17 UU No.24 Tahun 2003 jo UU No.8 Tahun 2011 menyebutkan bahwa: Hakim konstitusi dilarang merangkap menjadi: (a). pejabat negara lainnya; (b). anggota partai politik; (c). pengusaha; (d). advokat; atau (e). pegawai negeri.Menurut Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH, kesembilan orang hakim itu bahkan dapat dipandang sebagai sembilan institusi yang berdiri sendiri secara otonom mencerminkan 9 pilar atau 9 pintu kebenaran dan keadilan. Dalam bekerja, kesembilan orang itu bahkan diharapkan dapat mencerminkan atau mewakili ragam pandangan masyarakat luas akan rasa keadilan. Jikalau dalam masyarakat terdapat 9 aliran pemikiran tentang keadilan, maka kesembilan orang hakim konstitusi itu hendaklah mencerminkan kesembilan aliran pemikiran tersebut. Keadilan dan kebenaran konstitusional justru terletak dalam proses perdebatan dan bahkan pertarungan kepentingan untuk mencapai putusan akhir yang akan dijatukah dalam persidangan Mahkamah Konstitusi. Karena itu, persidangan Mahkamah Konstitusi selalu harus dihadiri 9 orang dengan pengecualian jika ada yang berhalangan, maka jumlah hakim yang bersidang dipersyaratkan sekurang-kurangnya 7 orang. Karena itu pula, dapat dikatakan bahwa Mahkamah Konstitusi hanya mengenal satu majelis hakim, tidak seperti di Mahkamah Agung.Dikemukan pula pada UU No.24 Tahun 2003 jo. UU No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi mengenai pemberhentian hakim konstitusi yang dapat diberhentikan secara hormat dan tidak hormat. Ketentuan itu diatur pada Pasal 23 Ayat (1): Hakim konstitusi diberhentikan dengan hormat dengan alasan: (a). meninggal dunia; (b). mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada Ketua Mahkamah Konstitusi; (c). telah berusia 70 (tujuh puluh) tahun; (d). telah berakhir masa jabatannya; atau (e). sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter. Selanjutnya pada Ayat (2) Hakim konstitusi diberhentikan tidak dengan hormat apabila: (a). dijatuhi pidana penjara berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap karena melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara; (b). melakukan perbuatan tercela; (c). tidak menghadiri persidangan yang menjadi tugas dan kewajibannya selama 5 (lima) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah; (d). melanggar sumpah atau janji jabatan; (e). dengan sengaja menghambat Mahkamah Konstitusi memberi putusan dalam waktu sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7B ayat (4) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; (f). melanggar larangan rangkap jabatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 17; (g). tidak lagi memenuhi syarat sebagai hakim konstitusi; dan/atau (h). melanggar Kode Etik.Jika terdapat lowongan jabatan, misalnya ada hakim konstitusi yang meninggal dunia atau diberhentikan pada saat masa jabatan, maka lembaga yang akan mengisi lowongan tersebut adalah lembaga darimana pencalonan hakim sebelumnya berasal. Misalnya, hakim A meninggal dunia atau diberhentikan, maka apabila pengusulan pencalonannya sebelumnya berasal dari Pemerintah, berarti Presidenlah yang berwenang menentukan calon pengganti hakim yang meninggal tersebut. Jika pencalonannya sebelumnya berasal dari Dewan Perwakilan Rakyat, maka pengisian jabatan penggantinya juga harus diajukan oleh DPR setelah melalui proses pemilihan sebagaimana seharusnya. Dengan kata lain, dalam rekruitmen hakim konstitusi, Mahkamah Konstitusi berhubungan erat dengan 3 (tiga) lembaga negara yang sederajat, yaitu: Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat, dan Mahkamah Agung.Membahas mengenai Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal, maka perlu dijelaskan bahwa Kepaniteraan merupakan jabatan fungsional yang menjalankan tugas teknis administratif peradilan Mahkamah Konstitusi. Sedangkan, Sekretariat Jenderal menjalankan tugas teknis administratif Mahkamah Konstitusi. Pembedaan dan pemisahan ini tidak lain dimaksudkan untuk menjamin agar administrasi peradilan atau administrasi justisial di bawah kepaniteraan tidak tercampur-aduk dengan administrasi non-justisial yang menjadi tanggungjawab sekretariat jenderal. Baik kepaniteraan maupun sekretariat jenderal masing-masing dipimpin oleh seorang pejabat tinggi yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden. Dengan demikian, Panitera dan Sekretaris Jenderal sama-sama mempunyai kedudukan sebagai Pejabat Eselon 1a. Panitera dan Panitera Pengganti memang merupakan jabatan fungsional, bukan struktural. Akan tetapi, khusus untuk Panitera diangkat dengan Keputusan Presiden dan karena itu disetarakan dengan Pejabat Struktural Eselon 1a. Ketentuan lebih lanjut mengenai susunan organisasi, fungsi, tugas, dan wewenang sebuah Kepaniteraan dan Sekretariat Jenderal Mahkamah Konstitusi diatur dengan Peraturan Presiden atas usul Mahkamah Konstitusi.Selain itu, Pimpinan Mahkamah Konstitusi sudah beberapa kali berganti sejak tahun 2003 sampai sekarang ini, ada yang memang berhenti dikarenakan habis masa jabatan, adapula yang diberhentikan secara tidak hormat. Uraiannya sebagai berikut : Pimpinan Mahkamah KonstitusiKetua MK yang pertama adalah Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, S.H. Guru besar hukum tata negara Universitas Indonesia kelahiran 17 April 1956 ini terpilih pada rapat internal antar anggota hakim Mahkamah Konstitusi tanggal 19 Agustus 2003. Jimly terpilih lagi sebagai ketua untuk masa bakti 2006-2009 pada 18 Agustus 2006 dan disumpah pada 22 Agustus 2006 dengan Wakil Ketua Prof. Dr. M. Laica Marzuki, SH. Bersama tujuh anggota hakim pendiri lainnya dari generasi pertama MK, Prof. Dr. Jimly Asshiddiqie, SH dan Prof. Dr. M. Laica Marzuki berhasil memimpin lembaga baru ini sehingga dengan cepat berkembang menjadi model bagi pengadilan modern dan terpercaya di Indonesia. Di akhir masa jabatan Prof. Jimly sebagai Ketua, MK berhasil dipandang sebagai salah satu ikon keberhasilan reformasi Indonesia. Atas keberhasilan ini, pada bulan Agustus 2009, Presiden menganugerahkan Bintang Mahaputera Utama kepada para hakim generasi pertama ini, dan bahkan Bintang Mahaputera Adipradana bagi mantan Ketua MK, Prof. Jimly Asshiddiqie.Selama 5 tahun sejak berdirinya, sistem kelembagaan mahkamah ini terbentuk dengan sangat baik dan bahkan gedungnya juga berhasil dibangun dengan megah dan oleh banyak sekolah dan perguruan tinggi dijadikan gedung kebanggaan tempat mengadakan studi tour. Pada 19 Agustus 2008, Hakim Konstitusi yang baru diangkat untuk periode (2008-2013), melakukan pemilihan untuk memilih Ketua dan Wakil Ketua MK masa bakti 3 tahun berikutnya, yaitu 2008-2011 dan menghasilkan Mohammad Mahfud MD sebagai ketua serta Abdul Mukthie Fadjar sebagai wakil ketua. Sesudah beberapa waktu sesudah itu, pada bulan Oktober 2009, Prof. Jimly Asshiddiqie, S.H. mengunduran diri dari anggota MK dan kembali menjadi guru besar tetap hukum tata negara Universitas Indonesia.Pada periode 2013-2015 terpilih ketua yaitu Akil Mochtar, namun dia mencoreng nama institusi ini dengan terlibat kasus suap sengketa pemilu Kabupaten Lebak dengan terdakwa Tubagus Chairi Wardana, dan melibatkan Gubernur Banten Ratu Atut Chosiyah, Akil Mochtar menjadi terdakwa dan diberhentikan pada tanggal 5 Oktober 2013, dan jabatan Ketua Mahkamah Konstitusi diserahkan kepada Hamdan Zoelva pada tanggal 1 November 2013, Hamdan saat itu menjabat sebagai wakil ketua MK.Pada tanggal 7 Januari 2015, Hamdan Zoelva resmi mengakhiri jabatannya sebagai hakim konstitusi sekaligus Ketua Mahkamah Konstitusi. Posisinya digantikan oleh Arief Hidayat yang sebelumnya menjabat sebagai Wakil Ketua Mahkamah Konstitusi. Arief Hidayat terpilih secara aklamasi sebagai ketua sementara untuk wakilnya Anwar Usman, terpilih melalui voting pada rapat yang digelar oleh sembilan hakim konstitusi pada tanggal 12 Januari 2015. Pada tanggal 14 Januari 2015, Arief Hidayat dan Anwar Usman resmi membacakan sumpah jabatan di hadapan Wakil Presiden Jusuf Kalla.

I. Hubungan Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung (MA), Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Presiden dan Komisi Yudisial (KY) HubungandenganMahkamahAgungSelain hal-hal yang diuraikan di atas, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Mahkamah Agung juga terkait dengan materi perkara pengujian undang-undang. Setiap perkara yang telah diregistrasi wajib diberitahukan kepada Mahkamah Agung, agar pemeriksaan atas perkara pengujian peraturan di bawah undang-undang yang bersangkutan oleh Mahkamah Agung dihentikan sementara sampai putusan atas perkara pengujian undang-undang yang bersangkutan dibacakan oleh Mahkamah Konstitusi. Hal ini dimaksudkan agar tidak terjadi pertentangan antara pengujian undang-undang yang dilakukan oleh Mahkamah Konstitusi dengan pengujian peraturan di bawah undang- undang yang dilakukan olehMahkamahAgung. HubungandenganDewanPerwakilanRakyatDewan Perwakilan Rakyat adalah organ pembentuk undang-undang. Karena itu, dalam memeriksa undang-undang yang diajukan pengujiannya, Mahkamah Konstitusi harus memperhatikan dan mempertimbangkan dengan sungguh-sungguh keterangan, baik lisan maupun tertulis dari pihak Dewan Perwakilan Rakyat sebagai pembentuk Undang- Undang. Di samping itu, seperti sudah dikemukakan di atas, DPR juga merupakan salah satu lembaga yang berwenang mengisi 3 (tiga) orang hakim konstitusi dengan cara memilih calon-calon untuk diajukan 3 (tiga) orang terpilih kepada Presiden yang selanjutnya akan menerbitkan Keputusan Presiden untuk mengangkat mereka bertiga sebagaimana mestinya.Dewan Perwakilan Rakyat juga dapat bertindak sebagai pihak dalam persidangan perkara sengketa kewenangan antar lembaga negara. Misalnya, DPR dapat saja berwengketa dengan Dewan Perwakilan Daerah dalam menjalankan kewenangannya menurut Undang-Undang Dasar. Begitu juga DPR dapat saja bersengketa dengan Presiden, dengan BPK, atau dengan MPR dalam menjalankan kewenangan-kewenangan yang diberikan oleh Undan-Undang Dasar kepada lembaga-lembaga tersebut. Di samping itu, DPR juga berperan penting dalam penentuan anggaran negara, termasuk dalam hal ini adalah anggaran MK yang tersendiri sesuai ketentuan Undang-Undang.Dengan perkataan lain, hubungan antara Mahkamah Konstitusi dengan Dewan Perwakilan Rakyat dapat berkaitan dengan status DPR sebagai salah satu lembaga pengisi jabatan hakim konstitusi, DPR sebagai pembentuk undang-undang, dan DPR sebagai lembaga negara yang berpotensi bersengketa dengan lembaga negara lain dalam menjalankan kewenangan yang diberikan oleh Undang-Undang Dasar. Di samping itu, sengketa hasil pemilihan umum yang berpengaruh terhadap terpilih tidaknya anggota DPR; dan yang terakhir pernyataan pendapat DPR bahwa Presiden atau Wakil Presiden telah melanggar hukum atau telah tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden/Wakil Presiden sebagaimana dimaksud oleh UUD 1945, juga ditentukan dan diputuskan oleh MK. Dalam hal yang terakhir ini, DPR bertindak sebagaipemohonkepadaMK.DPR adalah lembaga perwakilan rakyat yang mencerminkan sistem demokrasi perwakilan (representative democracy). Sebagai lembaga demokrasi, prosedur yang lebih diutamakan dalam proses pengambilan keputusan politik di DPR adalah mayoritas suara (majoritarian democracy) berdasarkan prinsip Majority Rule. Namun demikian, prinsip suara terbanyak itu sendiri tidak identik dengan kebenaran konstitusional (constitutional truth) ataupun keadilan konstitusional (constitutional justice). Jika demokrasi tidak hanya dipahami sebagai prosedur (procedural democracy), maka prinsip majority rule harus dilengkapi dengan prinsip minority rights yang harus dicerminkan dengan tegaknya rule of law, yang dimulai dengan tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi (the rule of the constitution). Meskipun UU yang ditetapkan oleh DPR sudah mencerminkan kehendak mayoritas wakil rakyat, tetapi jika suara mayoritas itu merugikan hak-hak asasi manusia suara minoritas, suara mayoritas itu tetap harus dapat dibatalkan karena melanggar konstitusi. Untuk itulah diperlukan lembaga peradilan yang akan menjaga dan mengawal tegaknya konstitusi sebagai hukum tertinggi itu. Itulah pada hakikatnya fungsi Mahkamah Konstitusi, yang antara lain yaitu untuk mengawal konstitusi, mengawal demokrasi, dan bahkan melindungi hak-hak minoritas. HubungandenganPresiden/PemerintahSelain bertindak sebagai penyelenggara administrasi negara tertinggi dan karena itu, semua pengangkatan pejabat negara, termasuk hakim konstitusi dilakukan dengan Keputusan Presiden, Presiden sendiri diberi wewenang oleh UUD untuk menentukan pengisian 3 dari 9 hakim konstitusi. Di samping itu, segala ketentuan mengenai struktur organisasi dan tata kerja serta kepegawaian Mahkamah Konstitusi tetap harus tunduk di bawah kewenangan administrasi negara yang berpuncak pada Presiden. Karena itu, meskipun MK bersifat independen sebagai lembaga merdeka yang tidak boleh diintervensi oleh lembaga manapun termasuk pemerintah, tetapi Sekretaris Jenderal/kesekretariat-jenderalan dan Panitera/kepaniteraan MK tetap merupakan bagian dari sistem adminitrasi negara yang berpuncak pada lembaga kepresidenan. Tentu saja, dalam menjalankan tugasnya, Sekretaris Jenderal dan Panitera bertanggung jawab kepada Ketua Mahkamah Konstitusi, bukan kepada Presiden. Karena itu, Ketua MK selain bertindak sebagai ketua persidangan, juga bertindak sebagai penanggungjawab umum administrasi negara di lingkungan Mahkamah Konstitusi.Selain itu, Presiden/Pemerintah juga mempunyai peran sebagai ko-legislator. Meskipun pembentuk undang-undang secara konstitusional adalah DPR, tetapi karena perannya yang besar dalam proses pembahasan bersama dengan DPR, dan adanya ketentuan bahwa setiap rancangan undang-undang menghendaki persetujuan bersama serta kedudukan Presiden sebagai pejabat yang mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, maka Presiden juga dapat disebut sebagai ko-legislator. Dalam kedudukannya yang demikian, kedudukan Presiden terlihat lebih lemah seperti yang tercermin dalam kenyataan bahwa apabila RUU telah disahkan oleh DPR sebagai tanda telah mendapat persetujuan bersama, maka dalam 30 hari sejak itu, meskipun RUU tersebut tidak disahkan/ditandatangani oleh Presiden, maka RUU tersebut berlaku dengan sendirinya sebagaimana dimaksud dalam Pasal 20 ayat (5) UUD 1945 pasca Perubahan. Namun, dalam praktik, ketentuan Pasal 20 ayat (5) itu tidaklah mencerminkan kelemahan posisi Presiden dalam pembentukan undang-undang. Jika suatu undang-undang tidak mendapat persetujuan Presiden dengan sendirinya kewajiban Presiden pada Pasal 20 ayat (5) itu tidak perlu dilaksanakan. Karena itu, bagaimanapun juga kedudukan Presiden dan DPR dalam bidang legislasi dapat dikatakan tetap seimbang, sama-sama kuat.Dalam persidangan di Mahkamah Konstitusi sendiri, setiap pengujian Undang- Undang oleh MK tidak boleh mengabaikan pentingnya keterangan, baik lisan ataupun tulisan, dari pihak pemerintah sebagai ko-legislator itu. Apalagi, di samping sebagai ko- legislator, Pemerintah/Presiden juga merupakan salah satu lembaga pelaksana undang- undang (eksekutif). Karena itu, Pemerintah sangat tepat untuk disebut sebagai pihak yang paling tahu dan mengerti mengenai latar maupun kegunaan atau kerugian yang diperoleh karena ada atau tidak adanya Undang-Undang yang bersangkutan. Karena itu, dalam setiap pengujian UU, keterangan dari pihak pemerintah seperti halnya keterangan dari pihak DPR sangat diperlukan oleh MK, kecuali dalam perkara-perkara yang menurut penilaian MK sendiri demikian sederhananya sehingga tidak lagi memerlukan keterangan Pemerintah atau DPR.Dalam hal perkara pembubaran partai politik, yang bertindak sebagai pemohon adalah pemerintah. Sedangkan dalam perkara perselisihan hasil pemilihan umum, pemerintah tidak boleh terlibat sama sekali, karena Presiden, Gubernur, Bupati, dan Walikota adalah pihak yang terlibat kepentingan, sehingga mereka ini tidak boleh ikut campur dalam urusan perselisihan hasil pemilihan umum. Dalam penentuan rincian dan realisasi anggaran APBN, meskipun besarannya telah ditetapkan sebagaimana mestinya dalam APBN, tetapi pelaksanaannya lebih lanjut tetap memerlukan dukungan pemerintah dalam hal ini Departemen Keuangan sebagaimana mestinya. Namun demikian, hal itu tidak boleh mempengaruhi keterpisahan hubungan antara Pemerintah dengan Mahkamah Konstitusi, dan tidak boleh mempengaruhi atau mengganggu Mahkamah Konstitusi dalam menjalankan tugas konstitusional di bidang peradilan. HubungandenganKomisiYudisialPasal 24B ayat (1) UUD 1945 menyebut: Komisi Yudisial bersifat mandiri yang berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung dan mempunyai wewenang lain dalam rangka menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku hakim. Dalam ayat (4) pasal tersebut ditentukan pula: Susunan, kedudukan, dan keanggotaan Komisi Yudisial diatur dengan undang-undang. Dibaca secara harfiah, maka subjek yang akan diawasi oleh Komisi Yudisial ini adalah semua hakim menurut Undang-Undang Dasar 1945. Artinya, semua hakim dalam jajaran Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi termasuk dalam pengertian hakim menurut Pasal 24B ayat (1) tersebut. Namun demikian, jika ditelusuri sejarah perumusan Pasal 24B ayat (1) tersebut, ketentuan Pasal 24C yang mengatur tentang Mahkamah Konstitusi tidak terkena maksud pengaturan yang tercantum dalam Pasal 24B tentang Komisi Yudisial. Fungsi komisi ini semula hanya dimaksudkan terkait dengan Mahkamah Agung yang diatur dalam Pasal 24A. Komisi Yudisial berwenang mengusulkan pengangkatan hakim agung, dan karena itu subjek hukum yang diawasi oleh Komisi Yudisial juga adalah para hakim agung pada Mahkamah Agung.Namun demikian, karena secara harfiah, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya menyebut perkataan ... serta perilaku hakim, bukan ... serta perilaku hakim agung, maka tafsir fungsi Komisi Yudisial menurut ayat ini mau tidak mau tidak terbatas hanya pada hakim agung, melainkan seluruh hakim. Akan tetapi, keseluruhan hakim yang dimaksudkan itupun hanya terbatas pada jajaran hakim di lingkungan Mahkamah Agung, dan tidak mencakup pengertian hakim konstitusi. Baik secara historis (historical interpretation) maupun secara sistematis (systematic interpretation) yaitu dengan melihat urutan sistematis pasal demi pasal, hakim konstitusi memang tidak termasuk subjek yang diawasi oleh Komisi Yudisial. Namun demikian, berdasarkan penafsiran harfiah, hakim konstitusipun dapat pula dimasukkan ke dalam pengertian hakim yang diawasi menurut ketentuan Pasal 24B ayat (1) tersebut. OlehkarenaitulahUndang-UndangNo.22Tahun2004 tentang Komisi Yudisial menganut pengertian yang terakhir ini, yaitu menafsirkan kata hakim dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 secara luas sehingga mencakup seluruh jajaran hakim dalam lingkungan Mahkamah Agung dan semua hakim pada Mahkamah Konstitusi.Ketentuan mengenai hal ini dapat dilihat dalam Bab III mengenai wewenang dan tugas Komisi Yudisial, yaitu dalam ketentuan Pasal 13 sampai dengan Pasal 25 UU No.22 Tahun 2004 tersebut. Dengan demikian, menurut Jimly Asshiddiqie, secara harfiah Komisi Yudisial berfungsi sebagai lembaga pengawas Mahkamah Konstitusi, yaitu melalui kewenangannya untuk menjaga dan menegakkan kehormatan, keluhuran martabat, serta perilaku para hakim konstitusi sebagaimana mestinya.J. Kedudukan Hukum (Legal Standing) pemohon dalam berperkara di Mahkamah KonstitusiLegal standing adalah keadaan dimana seseorang atau suatu pihak ditentukan memenuhi syarat dan oleh karena itu mempunyai hak untuk mengajukan permohonan perselisihan atau sengketa atau perkara di depan Mahmakah Konstitusi. Legal standing adalah adaptasi dari istilah personae standi in judicio yang artinya adalah hak untuk mengajukan permohonan di depan pengadilan.Pemohon adalah subjek hukum yang memenuhi persyaratan menurut undang-undang untuk mengajukan permohonan perkara konstitusi kepada Mahkamah Konstitusi. Pemenuhan syarat-syarat tersebut menentukan kedudukan hukum atau legal standing suatu subjek hukum untuk menjadi pemohon yang sah dalam perkara pengujian undang-undang.Persyaratan legal standing atau kedudukan hukum dimaksud mencakup syarat formal sebagaimana ditentukan dalam undang-undang, maupun syarat materiil berupa kerugian hak atau kewenangan konstitusional dengan berlakunya undang-undang yang sedangdipersoalkan. Dalam hukum acara Mahkamah Konstitusi yang boleh mengajukan permohonan untuk berperkara di MK ditentukan dalam Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang No. 24 Tahun 2003 sebagaimana telah diubah menjadi UU No.8 Tahun 2011, yangbunyinyasebagaiberikut:Pemohon adalah pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunyaundang-undang, yaitu:a. perorangan warga negara Indonesia;b. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masihhidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakatdan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;c. badan hukum publik atau privat; ataud. lembaga negara.Hal yang perlu diingat bahwa pemohon wajib menguraikan dengan jelas dalam permohonannya tentang hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya yang dirugikan (Pasal 51 Ayat (2) UU MK). Kemudian pada Ayat (3) Pasal 51 UU MK disebutkan: Dalam permohonannya sebagaimana dimaksud pada ayat (2), pemohon wajib menguraikan dengan jelas bahwa: pembentukan undang-undang tidak memenuhi ketentuan berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945; dan/atau materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang dianggap bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Lalu yang menjadi pertanyaan adalah apa yang dimaksud dengan hak dan kewenangan konstitusional? Seperti telah diuraikan di atas, kepentingan hukum saja tidak cukup untuk menjadi dasar legal standing dalam mengajukan permohonan di Mahkamah Konstitusi, tetapi terdapat dua hal yang harus diuraikan denganjelas.Duakriteriadimaksudadalah:a. Kualifikasi pemohon apakah sebagai (i) perorangan Warga Negara Indonesia (termasuk kelompok orang yang mempunyai kepentingan yang sama); (ii) kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang; (iii) badan hukum publik atau privat, atau (iv) lembaga negara;b. Anggapan bahwa dalam kualifikasi demikian terdapat hak dan/atau kewenangan konstitusional pemohon yang dirugikan oleh berlakunya undang-undang.SyaratPengajuanPermohonan:Sesuai dengan Pasal 29 dan 30 UU No.24 Tahun 2003 jo. UU No.8 Tahun 2011 tentang Mahkamah Konstitusi, syarat-syarat yang harus dipenuhi dalam mengajukan permohonan ke MK, sebagai berikut:1. DitulisdalamBahasaIndonesia2. Ditandatanganiolehpemohonsendiriataukuasanyadalam12(duabelas)rangkap3. Memuat uraian yang jelas mengenai permohonannya : Pengujian Undang-undang terhadap UUD Tahun 1945 Sengketa Kewenangan Lembaga Negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD Tahun 1945 Pembubaran Partai Politik Perselisihan tentang hasil Pemilu Pendapat DPR bahwa Presiden dan/atau Wapres diduga melakukan pelanggaran hukum, dan atau tidak lagi memenuhi syarat sebagai Presiden dan/atau Wapressebagaimana dimaksud dalamUndang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun1945.Selain itu, pada Pasal 31 Ayat (1) UU MK, disebutkan bahwa permohonan sekurang-kurangnya harus memuat:a. nama dan alamat pemohon;b. uraian mengenai perihal yang menjadi dasarpermohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 30; danc. hal-hal yang diminta untuk diputus.Pada Ayat (2) Pasal 31 disebutkan pula pengajuan permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat(1) harus disertai dengan alat bukti yang mendukung permohonan tersebut.

K. Prosedur Pendaftaran Permohonan Sengketa ke Mahkamah Konstitusi Pendaftaran Permohonan Langsung1. Permohonan datang menghadap Pranata Peradilan Registrasi Perkara untuk mendaftarkan permohonan;2. Pranata Peradilan Registrasi Perkara menerima dan mencatat pihak yang mengajukan permohonan dalam buku penerimaan permohonan, selanjutnya pemohon menyerahkan berkas permohonan sebanyak 12 rangkap;3. Pranata peradilan perkara memeriksa kelengkapan berkas permohonan sesuai dengan ketentuan pasal 29 dan 31 UU nomor 8 tahun 2011, yang hasilnya dituangkan dalam formulir ceklis dan membuat lembar disposisi selanjutnya disampaikan kepada panitera muda;4. Berkas diproses oleh Internal mahkamah konstitusi;5. Pranata peradilan perkara menerima berkas permohonan yang telah lengkap dan memenuhi syarat. Kemudian mencatat dalam BRPK dan membuat tanda terima permohonan untuk selanjutnya diserahkan kepada pemohon;6. Selesai.

Pendaftaran Permohonan Online :1. Pemohon atau kuasanya mengajukan permohonan online. Selanjutnya pemohon atau kuasanya mengunjungi halaman Mahkamah Konstitusi: www.mahkamahkonstitusi.go.id . ;2. Pemohon atau kuasanya melakukan : - registrasi secara online untuk mendapatkan nama Identifikasi (username) dan kode akses (password) untuk mengakses sistem informasi manajemen penerimaan permohonan perkara (SIMPEL) secara elektronik;3. Meng upload softcopy permohonan (syarat permohonan online diatur dalam pasal 8 PMK nomor 18 tahun 2009) ke dalam SIMPLE;4. Mencetak atau mem-print tanda terima pengajuan permohonan online yang telah tersedia dalam SIMPEL ;5. Permohonan online diterima dalam SIMPEL Mahkamah Konstitusi ;6. Pranata peradilan registrasi perkara menerima dan menyampaikan konfirmasi kepada pemohon atau kuasanya dalam 1 hari setelah dokumen permohonan atau kuasanya dalam 1 hari setelah dokumen permohonan masuk dalam SIMPEL Mahkamah Konstitusi (pasal 9 ayat (1) PMK Nomor 18 tahun 2009);7. Pemohon atau kuasanya menjawab konfirmasi dengan menyampaikan secara tertulis kepada kepaniteraan mahkamah konstitusi dalam jangka waktu selambat-lambatnya 3 hari sejak permohonan diterima oleh mahkamah konstitusi, dengan disertai penyerahan 12 rangkap dokumen asli (hard copy) permohonan.

Syarat Permohonan Online:Sesuai dengan Pasal 18 PMK No.18 tahun 2009 tentang Pedoman Pengajuan Permohonan Elektronik (Electronic Filing) dan Pemeriksaan Persidangan Jarak Jauh (Video Conference), syarat pendaftaran permohonan secara online, sebagai berikut:1) Permohonan diajukan dalam bahasa Indonesia yang memuat:a. Identitas pemohon, seperti nama, alamat lengkap Pemohon, nomor telepon, nama identifikasi (user name), kode akses (password) dan alamat surat elektronik (e-mail) Pemohon dan/atau kuasanya;b. Uraian yang jelas tentang:1. duduk perkara atau dasar permohonan (posita);2. pengujian yang dimintai (formil atau materiil)3. hal-hal yang diminta untuk diputuskan.2) Permohonan dilengkapi dengan alat bukti yang juga dapat diajukan dalam bentuk dokumen elektronik yang terjamin validitasnya.3) Permohonan dilengkapi dengan daftar alat bukti sebagai alat kontrol dalam penerimaan berkas oleh Kepaniteraan.4) Format dokumen elektronik (electronic document) yang dapat diterima Mahkamah, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses (password), simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.5) Permohonan dan alat bukti harus pula disimpan secara elektronik dalam media penyimpanan berupa flash disk, cakram padat (compact disk), atau yang sejenisnya, untuk tujuan pengarsipan perkara.

L. Persidangan Mahkamah KonstitusiSesuai dengan Peraturan Mahkamah Konstitusi No. 2 Tahun 2012 tentang Persidangan Mahkamah Konstitusi, maka pada Bab II tentang Sidang Mahkamah Pasal 2 sampai dengan 6, disebutkan: Jenis sidang Mahkamah Konstitusi:a. Sidang Yudisial;b. Sidang Non-yudisial; Sidang yudisial terdiri atas Sidang Panel Mahkamah dan Sidang Pleno Mahkamah.Sidang Panel Mahkamah dilaksanakan untuk memeriksa kelengkapan dan kejelasan materi permohonan yang dihadiri oleh paling kurang 3 (tiga) Hakim. Sidang Pleno Mahkamah dilaksanakan untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara yang dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa. Dalam keadaan luar biasa itu maka Sidang Pleno Mahkamah dapat dihadiri oleh 7 (tujuh) Hakim.

Sidang Non-yudisial adalah Sidang Pleno Khusus Mahkamah yang diselenggarakan dalam rangka pengucapan sumpah Ketua dan/atau Wakil Ketua Mahkamah. Sidang Pleno Khusus dihadiri oleh 9 (sembilan) Hakim, kecuali dalam keadaan luar biasa, dimana dapat dihadiri oleh 7 (tujuh) Hakim.

BAB IIPENUTUPA. KesimpulanPada tanggal 15 Oktober 2003 MK mulai beroperasi sebagai salah satu cabang kekuasaan kehakiman menurut ketentuan UUD 1945. Mahkamah Konstitusi mulai bekerja secara efektif pada tanggal 19 Agustus 2003. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia terdiri atas tiga pranata (institusi), yaitu (i) para hakim konstitusi, (ii) kepaniteraan, dan (iii) sekretariat jenderal. Para hakim konstitusi berjumlah 9 orang. kesembilan hakim konstitusi ditentukan oleh tiga lembaga yang berbeda, yaitu 3 orang dipilih oleh DPR, 3 orang ditunjuk oleh Mahkamah Agung, dan 3 orang lainnya ditentukan oleh Presiden.Mahkamah Konstitusi memiliki 5 (lima) kewenangan konstitusional, yaitu memeriksa dan memutus permohonan (1) pengujian konstitusionalitas undang-undang (judicial review of the constitutionality of law), (2) perselisihan hasil pemilihan umum, (3) sengketa kewenangan konstitusional lembaga negara, (4) pembubaran partai politik, dan (5) perkara impeachment terhadap Presiden dan/atau Wakil Presiden.MK dibentuk dengan maksud mengawal dan menjaga agar konstitusi sebagai Hukum tertinggi (the supreme law of the land) benar-benar dijalankan atau ditegakan dalam penyelenggaran kehidupan kenegaraan sesuai dengan prinsip-prinsip negara Hukum modern, dimana Hukumlah yang menjadi faktor bagi penentu bagi keseluruhan dinamika kehidupan sosial, ekonomi, dan politik suatu bangsa.

B. SaranMahkamah Konstitusi merupakan salah satu Mahkamah yang paling tinggi bersama Mahkamah Agung. Mahkamah Konstitusi hendaknya lebih aktif dalam melakukan kewenangannya. Agar maksud tersebut bisa dicanangkan maka hendaklah pemerintah seperti Presiden, Wakil Presiden, DPR dan pejabat pemerintah lainnya tidak melakukan hal-hal yang membuat kesalahan yang tidak bertanggung jawab karena Mahkamah Konstitusi akan menindak tegasnya.

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, Jimly. Kedudukan Mahkamah Konstitusi dalam Struktur Ketatanegaraan Indonesia.(Online)tersediadi:http://www.jimlyschool.com/read/analisis/238/kedudukan-mahkamah-konstitusi-dalam-struktur-ketatanegaraan-indonesia/ . Diakses tanggal 06 Maret 2015.Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 24 Tahun 2003.Indonesia, Undang-Undang Mahkamah Konstitusi, Undang-Undang No. 8 Tahun 2011.Indonesia, Peraturan Mahkamah Konstitusi, PMK No.18 Tahun 2009.MahkamahKonstitusi,SejarahPembentukanMahkamahKonstitusi, (Online) tersedia di: http://www.mahkamahkonstitusi.go.id/ . Diakses tanggal 06 Maret 2015.WikipediabahasaIndonesia,ensiklopediabebas. 2015. Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia.(Online)tersediadi:http://id.wikipedia.org/wiki/Mahkamah_Konstitusi_Republik_Indonesia . Diakses tanggal 08 Maret 2015.Silaban, Rudini TH. 2009. Legal Standing Mahkamah Konstitusi dan Pemohon. (Online) tersediadi:https://rudini76ban.wordpress.com/2009/10/25/legal-standing-mahkamah-konstitusi-dan-pemohon/ . Diakses Tanggal 13 Maret 2015.Siahaan, Maruarar. 2012. Hukum Acara Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.Tutik, Titik Triwulan. 2008. Pokok-Pokok Hukum Tata Negara Indonesia Pascaamandemen UUD 1945. Jakarta: Cerdas Pustaka.