kehamilan postterm (laporan hps edit
TRANSCRIPT
KEHAMILAN POSTTERMPRESENTASI KASUS
Universitas Andalas
Oleh:
Dolly Nurdin LubisPeserta PPDS
Pembimbing :
Dr. H. Pelsi Sulaini, SpOG (K)
BAGIAN/SMF OBSTETRI DAN GINEKOLOGIFAKULTAS KEDOKTERAN UNAND
RS Dr. M.DJAMIL PADANG2010
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI.................................................................................................ii
DAFTAR GAMBAR.....................................................................................iii
DAFTAR TABEL.........................................................................................iv
BAB I PENDAHULUAN...............................................................................1
BAB II LAPORAN STATUS........................................................................3
A. Identitas..........................................................................................3B. Keluhan Utama..............................................................................3C. Riwayat Penyakit Sekarang...........................................................3D. Riwayat Penyakit Dahulu...............................................................4E. Riwayat Penyakit Keluarga............................................................4F. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, Dan Kebiasaan....4G.Pemeriksaan Fisik..........................................................................4H. Pemeriksaan Laboratorium............................................................6I. Diagnosa......................................................................................10J. Sikap............................................................................................10K. Rencana.......................................................................................10L. Perjalanan Penyakit.....................................................................10
BAB III TINJAUAN PUSTAKA..................................................................20
A. Definisi Kehamilan Postterm........................................................20B. Patogenesis Kehamilan Postterm................................................20C. Diagnosis Kehamilan Postterm....................................................21D. Komplikasi Kehamilan Postterm...................................................25E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm........................................28
BAB IV DISKUSI.......................................................................................39
BAB V KESIMPULAN...............................................................................48
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................49
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1. Amniotic Fluid Index................................................................32
Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm........................38
Gambar 3. USG tanggal 11-03-2010........................................................51
Gambar 4. USG tanggal 09-04-2010........................................................51
Gambar 5. CTG dan skor profil biofisik tanggal 09-04-2010.....................52
Gambar 6. USG tanggal 12-04-2010........................................................52
Gambar 7. CTG dan skor profil biofisik tanggal 12-04-2010.....................53
Gambar 8. CTG tanggal 15-04-2010........................................................53
Gambar 9. CTG tanggal 17-04-2010........................................................53
Gambar 10. CTG tanggal 20-04-2010......................................................54
Gambar 11. USG tanggal 20-04-2010......................................................54
DAFTAR TABEL
Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik.......................................................33
Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik..............33
Tabel 4. Pelviks skor menurut Bishop.......................................................34
Tabel 3. Rejimen drip induksi dengan oksitosin........................................35
BAB I
PENDAHULUAN
Kehamilan postterm merupakan kehamilan yang berlangsung lebih dari
42 minggu (294 hari) sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT).
(Cunningham, et al., 2010) Kehamilan ini merupakan permasalahan dalam
dunia obstetri modern karena terjadi peningkatan angka kesakitan dan
kematian bayi. Insiden kehamilan postterm antara 4-19% tergantung pada
definisi yang dianut dan kriteria yang dipergunakan dalam menentukan
usia kehamilan. (Cunningham, et al., 2010)
Penentuan usia kehamilan menjadi salah satu pokok penting dalam
penegakan diagnosa kehamilan postterm. Informasi yang tepat mengenai
lamanya kehamilan marupakan hal yang penting karena semakin lama
janin berada di dalam uterus maka semakin besar pula resiko bagi janin
ataupun neonatus untuk mengalami gangguan yang berat. (Cunningham,
et al., 2010) Diagnosa kehamilan postterm berdasarkan hari pertama haid
terakhir (HPHT) hanya memiliki tingkat akurasi ±30 persen. (Mochtar, et
al., 2004) Kini, dengan adanya pelayanan USG maka usia kehamilan
dapat ditentukan lebih tepat, terutama bila dilakukan pemeriksaan pada
usia kehamilan 6-11 minggu. (Cunningham, et al., 2010)
Sampai saat ini, masih belum ada ketentuan dan kesepakatan yang
pasti mengenai penatalaksanaan kehamilan postterm. Masalah yang
sering dihadapi pada pengelolaan kehamilan postterm adalah perkiraan
usia kehamilan yang tidak selalu dapat ditentukan dengan tepat sehingga
janin bisa saja belum matur sebagaimana yang diperkirakan.
Ketidakakuratan penentuan usia kehamilan akan menyulitkan kita untuk
menentukan apakah janin akan terus hidup atau sebaliknya mengalami
morbiditas bahkan mortilitas bila tetap berada dalam rahim. (Mochtar, et
al., 2004)
1
Masalah lain dalam penatalaksanaan kasus kehamilan postterm adalah
karena pada sebagian besar pasien (±70%), saat kehamilan mencapai 42
minggu, didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan nilai
Bishop yang rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Sementara itu, persalinan yang berlarut-larut akan sangat
merugikan bayi postmatur. Oleh sebab itu, masih menjadi kontroversi
sampai saat ini apakah pada kehamilan postterm langsung dilakukan
terminasi/induksi atau dilakukan penanganan ekspektatif sambil dilakukan
pemantauan kesejahteraan janin. (Mochtar, et al., 2004)
Pada makalah ini akan dilaporkan sebuah kasus dari seorang pasien
berusia 23 tahun yang didiagnosa dengan G1P0A0H0 gravid postterm 42-43
minggu. Selama penanganan ekspektatif, pasien didiagnosa mengalami
oligohidramnion dan kehamilannya diterminasi dengan drip induksi.
Induksi akhirnya berhasil dan pasien melahirkan seorang bayi laki-laki
dengan berat badan 2858 gr, panjang badan 48 cm, serta skor APGAR
7/8. Namun demikian, tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas dari
penampilan fisik janin pada masa postpartum. Pembahasan dalam
makalah ini akan dititikberatkan pada rumusan masalah sebagai berikut:
1. Apakah penegakkan diagnosa kehamilan postterm dan komplikasi
oligohidramnion pada kasus ini sudah tepat?
2. Apakah penatalaksanaan kasus pada pasien ini sudah tepat?
BAB II
LAPORAN STATUS
A. Identitas
Nama : Ny. Desniarti
Usia : 23 tahun
No. RM : 662175
Tanggal: 20/04/10
B. Keluhan Utama
Seorang pasien wanita usia 23 tahun masuk ke KB IGD RSMJ pada
tanggal 20/04/10 pukul 11.50 WIB kiriman poliklinik kebidanan dengan
diagnosa G1P0A0H0 gravid postterm 42-43 minggu + oligohidramnion
C. Riwayat Penyakit Sekarang
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Keluar lendir bercampur darah dari kemaluan (-)
Keluar air-air banyak dari kemaluan (-)
Keluar darah banyak dari kemaluan (-)
Tidak haid sejak ± 10 bulan yang lalu
HPHT (26/06/09); TP (03/04/10)
Gerak anak sudah dirasakan sejak ± 6 bulan yang lalu
RHM : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
PNC : kontrol ke poliklinik dan Puskesmas
RHT : mual (-), muntah (-), perdarahan (-)
Riw menstruasi : menarche usia 13 tahun, siklus teratur 1 kali 28
hari, selama 5-7 hari, 2-3 kali ganti duk per hari, nyeri haid (-)
3
D. Riwayat Penyakit Dahulu
Tidak pernah menderita penyakit jantung, paru, hati, ginjal, DM, dan
hipertensi
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita penyakit keturunan,
menular, dan kejiwaan
F. Riwayat Pekerjaan, Sosial Ekonomi, Kejiwaan, Dan Kebiasaan
Riw. perkawinan : 1 x tahun 2009
Riw. Kehamilan/Abortus/Persalinan : 1/0/0
- Sekarang
Riw. Kontrasepsi : (–)
Riw. Imunisasi : TT 1 kali di puskesmas
G. Pemeriksaan Fisik
Status Generalis
Ku Kes Td N R T Tb Bb
Sedang CMC 120/70 80 20 Af 155 57
Mata : konjungtiva tidak anemis, sklera tidak ikterik
Leher : JVP 5 – 2 cmH2O, tiroid tak membesar
Toraks : cor dan pulmo status interna
Abdomen : status obstetrikus
Genitalia : status obstetrikus
Ekstermitas : edema (-/-), refleks fisiologis (+/+), refleks patologis
(-/-)
Status Obstetrikus
Abdomen
Inspeksi : Membuncit sesuai usia kehamilan aterm, sikatriks (-)
Palpasi
- L1 : Fundus uteri teraba 3 jari di bawah prosessus
xiphoedeus. Teraba massa besar, lunak, nodular.
- L2 : Teraba tahanan terbesar di sebelah kiri. Teraba
bagian-bagian kecil di sebelah kanan
- L3 : Teraba massa keras terfiksir
- L4 : Bagian terbawah janin sudah masuk PAP
- TFU = 32 cm; TBA = 2945 gr; His = (-)
Perkusi : Timpani
Auskultasi : Bising usus (+) normal; BJA = 140 x/mnt
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- Φ tidak ada
- Porsio tebal 1,5 cm, posterior, kaku
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
Ukuran panggul dalam:
- Promontorium sulit dinilai
- Linea inominata sulit dinilai
- Os. Sacrum cekung
- DSP lurus
- Spina ischiadika tidak menonjol
- Os. Coccygeus mudah digerakkan
- Arcus pubis ˃ 90°
Ukuran Panggul Luar: Distantia inter tuberosa dapat dilewati satu
tinju dewasa (˃10,5 cm)
Kesan : Panggul luas
H. Pemeriksaan Laboratorium
Tanggal 11/03/10
USG
Janin hidup tunggal intra uterin letak sungsang
Aktifitas gerak janin baik
Biometri: BPD (8,5); FL (5,8); HL (5,6); AC (28,0); TBA (2000-2100);
AFI (10,2)
Plasenta tertanam di korpus depan grade I-II
Kesan : Gravid sesuai biometri 31-32 minggu, janin hidup
Sikap
Kontrol ulang 4 minggu lagi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal 09/04/10
USG
Janin hidup tunggal intra uterin letak kepala
Aktifitas gerak janin baik
Biometri: BPD (9,1); FL (7,2); HL (6,2); AC (32,0); TBA (2900-3000);
AFI (10,6)
Plasenta tertanam di korpus depan grade II-III
Kesan : Gravid aterm, janin hidup
CTG
Baseline : 130-140 dpm
Variabilitas : 5-15 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : CTG reaktif
Skor Profil Biofisik
NST : 2
Gerak nafas : 2
Gerak janin : 2
Tonus otot : 2
AFI : 2
Total : 10
Sikap
Kontrol ulang 3 hari lagi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal 12/04/10
USG
Janin hidup tunggal intra uterin letak kepala
Aktifitas gerak janin baik
Biometri: BPD (9,1); FL (7,2); HL (6,2); AC (32,6); TBA (2900-3000);
AFI (10,2)
Plasenta tertanam di korpus depan grade II-III
Kesan : Gravid aterm, janin hidup
CTG
Baseline : 130-140 dpm
Variabilitas : 5-10 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : CTG reaktif
Skor Profil Biofisik
NST : 2
Gerak nafas : 2
Gerak janin : 2
Tonus otot : 2
AFI : 2
Total :10
Sikap
Kontrol ulang 3 hari lagi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal 15/04/10
CTG
Baseline : 140-150 dpm
Variabilitas : 5-10 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : CTG reaktif
Sikap
Kontrol ulang 2 hari lagi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal 17/04/10
CTG
Baseline : 130-140 dpm
Variabilitas : 5-10 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : CTG reaktif
Lapor Konsulen Resti
Advis:
Ulang CTG tiga hari lagi
Bila gerak anak dirasakan berkurang atau keluar air-air banyak dari
kemaluan, pasien datang ke IGD
Sikap
Kontrol ulang 3 hari lagi
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal 20/04/10
CTG
Baseline : 130-140 dpm
Variabilitas : 5-10 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : (-)
Kesan : CTG reaktif
Lapor Konsulen Resti
Advis:
Periksa AFI → AFI 3,9
Kesan : Oligohidramnion
Sikap
Terminasi kehamilan dengan drip induksi
Darah Rutin
Hb : 10,3 gr/dl
Leukosit : 9.300/mm3
Hematokrit : 32 %
Trombosit : 234.000/mm3
I. Diagnosa
G1P0A0H0 gravid postterm 42-43 minggu + oligohidramnion
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala HI-II
J. Sikap
Kontrol KU, VS, His, BJA
Drip induksi
K. Rencana
Partus pervaginam
L. Perjalanan Penyakit
Tanggal : 20/04/10
Pukul: 12.30 WIB
Dimulai drip induksi hari I kolf I dengan 5 i.u oksitosin dalam 500 cc RL
dengan tetesan awal 10 tetes/menit dinaikkan 5 tetes/menit sampai his
adekuat (maksimal 60 tetes/menit)
Pukul: 16.45 WIB
Selesai drip induksi hari I kolf I
Anamnesa:
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedang CMC 110/7
0
80 22 Af (-) 144
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, kaku
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari I
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala HI-II
Sikap
Kontrol KU, VS, BJA
Istirahat 24 jam
CTG fetomaternal
Lanjutkan drip induksi hari II
Rencana
Partus pervaginam
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : 21/04/10
CTG
Baseline : 130-140 dpm
Variabilitas : 5-10 dpm
Akselerasi : (+)
Deselerasi : (-)
Gerak janin : (+)
Kontraksi : 7-8’/15”/L
Kesan : CTG reaktif
Lapor Konsulen Fetomaternal → Advis: Istirahat, lanjutkan drip induksi
hari II besok (22/04/10)
Tanggal : 22/04/10
Pukul: 7.30 WIB
Anamnesa:
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedang CMC 110/7
0
82 20 Af (-) 140
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, kaku
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari I
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala HI-II
Sikap
Kontrol KU, VS, BJA
Drip induksi hari II
Dimulai drip induksi hari II kolf I dengan 5 i.u oksitosin dalam 500 cc RL
dengan tetesan awal 10 tetes/menit dinaikkan 5 tetes/menit sampai his
adekuat (maksimal 60 tetes/menit)
Pukul: 11.45 WIB
Selesai drip induksi hari II kolf I
Anamnesa:
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedang CMC 110/7
0
84 20 Af (-) 144
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala HI-II
Sikap
Kontrol KU, VS, BJA
Istirahat 24 jam
Lanjutkan drip induksi hari III
Rencana
Partus pervaginam
Lapor konsulen fetomaternal → advis: istirahat 24 jam, lanjutkan drip
induksi hari III (24/04/10)
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : 23/04/10
Pukul: 7.30 WIB
Anamnesa:
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedang CMC 110/8
0
82 20 Af (-) 140
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala HI-II
Sikap
Kontrol KU, VS, BJA
Istirahat 24 jam
Drip induksi hari III besok
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal : 24/04/10
Pukul: 6.00 WIB
Anamnesa:
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (-)
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedang CMC 110/8
0
82 20 Af (-) 140
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ tidak ada
- porsio tebal 1,5 cm, posterior, sedang
- Ketuban sulit dinilai
- Teraba kepala HI-II
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu + oligohidramnion + selesai
induksi hari II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala HI-II
Sikap
Kontrol KU, VS, BJA
Istirahat 24 jam
Drip induksi hari III
Dimulai drip induksi hari III kolf I dengan 5 i.u oksitosin dalam 500 cc RL
dengan tetesan awal 10 tetes/menit dinaikkan 5 tetes/menit sampai his
adekuat (maksimal 60 tetes/menit)
Pukul: 10.45 WIB
Selesai drip induksi hari III kolf I
Anamnesa:
Nyeri pinggang menjalar ke ari-ari (+)
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan
g
CM
C
120/7
0
82 20 A
f
5-6”/30”/S 140
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ 2-3 cm
- Ketuban (+)
- Teraba kepala SS melintang HI-II
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu kala I fase laten
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala SS melintang HI-II
Sikap
Kontrol KU, VS, His, BJA
Lanjutkan drip induksi hari III kolf II
Rencana
Partus pervaginam
Dimulai drip induksi hari III kolf II dengan 10 i.u oksitosin dalam 500 cc
RL dengan tetesan 30 tetes/menit konstan
Pukul: 12.30 WIB
Anamnesa:
Keluar air yang banyak dari kemaluan, warna jernih
Pasien merasa kesakitan dan ingin mengedan
Gerak anak (+)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T His BJA
Sedan
g
CMC 120/7
0
88 22 Af 2-3”/55”/K 140
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Vaginal toucher
- ϕ lengkap
- Ketuban (-) sisa jernih
- Teraba kepala UUK depan HIII-IV
Diagnosa
G1P0A0H0 gravida postterm 42-43 minggu kala II
Anak hidup tunggal intrauterin letak kepala UUK depan HIII-IV
Sikap
Kontrol KU, VS, His, BJA
Pimpin mengedan
Rencana
Partus pervaginam
Laporan partus
Pukul: 13.00
Lahir bayi ♂ (LK) secara spontan dengan BB = 2858 gr, PB = 48 cm,
A/S = 7/8. Tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas. Plasenta lahir
spontan. Lahir lengkap, 1 buah, berat dan ukuran dalam batas normal,
insersi parasentral. Luka episiotomi dijahit dan dirawat. Perdarahan
selama persalinan ± 80 cc.
Diagnosa
P1A0H1 post partus postmaturus spontan
Ibu dan anak baik
Sikap
Awasi kala IV
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Tanggal: 25/04/10
Pukul: 07.30
Anamnesa:
Demam (-), nyeri perut (-), BAK (+), BAB (-)
Pemeriksaan fisik:
Ku Kes Td N R T
Sedan
g
CMC 110/70 80 20 Af
Mata : konjungtiva tak anemis, sklera tak ikterik
Abdomen
- Inspeksi : perut tampak sedikit membuncit
- Palpasi : FUT 3 jari di bawah pusat, kontraksi baik
- Perkusi : timpani
- Auskultasi : BU (+) normal
Genitalia
Inspeksi : V/U tenang
Diagnosa
G1P0A0H0 post partus postmaturus spontan nifas hari ke I
Anak baik – ibu baik
Sikap
Kontrol KU, VS, PPV
Mobilisasi
Breast care
Diet TKTP
Vulva higiene
Rencana
Pulang
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
A. Definisi Kehamilan Postterm
Menurut definisi yang dirumuskan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2004), kehamilan postterm adalah
kehamilan yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang
terhitung sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham,
et al., 2010)
B. Patogenesis Kehamilan Postterm
Penyebab pasti dari kehamilan postterm sampai saat ini masih
belum diketahui dengan pasti. Teori-teori yang pernah diajukan untuk
menerangkan penyebab terjadinya kehamilan postterm antara lain:
1. Teori progesteron. Berdasarkan teori ini, diduga bahwa terjadinya
kehamilan postterm adalah karena masih berlangsungnya
pengaruh progesteron melewati waktu yang semestinya. (Mochtar,
et al., 2004)
2. Teori oksitosin. Rendahnya pelepasan oksitosin dari neurohipofisis
wanita hamil pada usia kehamilan lanjut diduga sebagai salah satu
fakor penyebab terjadinya kehamilan postterm. (Mochtar, et al.,
2004)
3. Teori kortisol/ACTH janin. Kortisol janin akan mempengaruhi
plasenta sehingga produksi progesteron berkurang dan
memperbesar sekresi estrogen. Proses ini selanjutnya berpengaruh
terhadap meningkatnya produksi prostaglandin. Pada kasus-kasus
kehamilan dengan cacat bawaan janin seperti anensefalus atau
hipoplasia adrenal, tidak adanya kelenjar hipofisis janin akan
24
menyebabkan kortisol janin tidak diproduksi dengan baik sehingga
kehamilan berlangsung lewat bulan. (Mochtar, et al., 2004)
4. Treori syaraf uterus. Berdasarkan teori ini, diduga kehamilan
postterm terjadi pada keadaan tidak terdapatnya tekanan pada
ganglion servikalis, seperti pada kelainan letak, tali pusat pendek,
dan masih tingginya bagian terbawah janin. (Mochtar, et al., 2004)
5. Teori heriditer. Pengaruh herediter terhadap insidensi kehamilan
postterm telah dibuktikan pada beberapa penelitian sebelumnya.
Kitska et al (2007) menyatakan dalam hasil penelitiannya bahwa
seorang ibu yang pernah mengami kehamilan postterm akan
memiliki risiko lebih tinggi untuk mengalami kehamilan postterm
pada kehamilan berikutnya. Hasil penelitian ini memunculkan
kemungkinan bahwa kehamilan postterm juga dipengaruhi oleh
faktor genetik. (Kistka, et al., 2007)
Adanya pengaruh genetik terhadap kehamilan postterm tersebut
telah dibuktikan pada penelitian Biggar et al (2010). Biggar et al (2010)
melakukan penelitian tentang penyebab terjadinya kehamilan postterm
dan telah membuktikan adanya pengaruh sistem imunitas terhadap
inisiasi persalinan secara spontan. Biggar et al (2010) menemukan
bahwa antigen HLA A dan B pada janin postterm lebih memiliki
persamaan dengan antigen maternal-nya dibanding janin aterm.
Kemungkinan pada kehamilan postterm terjadi “keterlambatan” sistem
imunitas maternal dalam mengenali antigen paternal yang terdapat
pada sel janin yang masuk ke dalam sirkulasi maternal melalui
mikrosirkulasi transplasental, khususnya antigen HLA tipe A dan B.
Keterlambatan ini menyebabkan tertundanya proses cascade yang
dibutuhkan untuk mengawali terjadinya tahapan persalinan secara
spontan. (Biggar, et al., 2010)
C. Diagnosis Kehamilan Postterm
Meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada
4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak
terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan.
(Cunningham, et al., 2010) Oleh sebab itu, pada penegakkan diagnosis
kehamilan postterm, informasi yang tepat mengenai lamanya kehamilan
menjadi sangat penting. Hal ini disebabkan karena semakin lama janin
berada di dalam uterus maka semakin besar pula risiko bagi janin dan
neonatus untuk mengalami morbiditas maupun mortalitas. Namun
sebaliknya, pemberian intervensi/terminasi secara terburu-buru juga
bisa memberikan dampak yang merugikan bagi ibu maupun janin.
1. Riwayat haid
Pada dasarnya, diagnosis kehamilan postterm tidaklah sulit
untuk ditegakkan apabila keakuratan HPHT ibu bisa dipercaya.
Diagnosis kehamilan postterm berdasarkan HPHT dapat
ditegakkan sesuai dengan definisi yang dirumuskan oleh American
College of Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan
yang berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung
sejak hari pertama siklus haid terakhir (HPHT). (Cunningham, et al.,
2010)
Permasalahan sering timbul apabila ternyata HPHT ibu tidak
akurat atau tidak bisa dipercaya. Menurut Mochtar et al (2004), jika
berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm memiliki
tingkat keakuratan hanya ±30 persen. Riwayat haid dapat
dipercaya jika telah memenuhi beberapa kriteria, yaitu: (a) ibu
harus yakin betul dengan HPHT-nya; (b) siklus 28 hari dan teratur,
(c) tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan terakhir. (Mochtar,
et al., 2004)
Hasil penelitian Savitz, et al (2002) menunjukkan bahwa usia
kehamilan yang ditentukan berdasarkan HPHT cenderung lebih
sering salah didiagnosa sebagai kehamilan postterm dibanding
dengan pemeriksaan USG, terutama akibat ovulasi yang terlambat.
Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada
asumsi bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40
minggu) dari hari pertama siklus haid yang terakhir. (Cunningham,
et al., 2010) Pendekatan ini berpotensi menyebabkan kesalahan
karena sangat bergantung kepada keakuratan tanggal HPHT dan
asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-14 siklus menstruasi.
Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14 siklus karena
adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung selama
7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari,
masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.
Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang
seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya
bayi. (Bennett, et al., 2004) Tingkat kesalahan estimasi tanggal
perkiraan persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu.
(Cohn, et al., 2010)
2. Riwayat pemeriksaan antenatal
Pernoll, et al (2007) menyatakan bahwa kehamilan dapat
dinyatakan sebagai kehamilan postterm bila didapat 3 atau lebih
dari 4 kriteria hasil pemeriksaan sebagai berikut: (Pernoll, et al.,
2007)
a. Telah lewat 36 minggu sejak test kehamilan positif
b. Telah lewat 24 minggu sejak dirasakan gerak janin pertama kali
c. Telah lewat 32 minggu sejak DJJ pertama terdengar dengan
Doppler
d. Telah lewat 22 minggu sejak terdengarnya DJJ pertama kali
dengan stetoskop Laennec
3. Pemeriksaan Ultrasonografi (USG)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia
kehamilan telah banyak menggantikan metode HPHT dalam
mempertajam diagnosa kehamilan postterm. Beberapa penelitian
terdahulu telah membuktikan bahwa penentuan usia kehamilan
melalui pemeriksaan USG memiliki tingkat keakuratan yang lebih
tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Semakin awal pemeriksaan USG dilakukan, maka usia
kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat sehingga
kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan semakin
rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan
jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length)
adalah ± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010) Pada usia kehamilan
antara 16-26 minggu, ukuran diameter biparietal (biparietal
diameter/BPD) dan panjang femur (femur length/FL) memberikan
ketepatan ± 7 hari dari taksiran persalinan. (Mochtar, et al., 2004)
Pemeriksaan usia kehamilan berdasarkan USG pada trimester
III menurut hasil penelitian Cohn, et al (2010) memiliki tingkat
keakuratan yang lebih rendah dibanding metode HPHT maupun
USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran biometri janin pada trimester
III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi sehingga tingkat
kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini juga menjadi
tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan jika
berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa mencapai
± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada
trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan
melakukan pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et
al., 2010)
4. Pemeriksaan cairan amnion
a. Sitologi cairan amnion. Pengecatan nile blue sulphate dapat
melihat sel lemak dalam cairan amnion. Apabila jumlah sel
yang mengandung lemak melebihi 10%, maka kehamilan
diperkirakan sudah berusia 36 minggu dan apabila jumlahnya
mencapai 50% atau lebih, maka usia kehamilan 39 minggu
atau lebih. (Mochtar, et al., 2004)
b. Amniskopi. Melalui amnioskop yang dimasukkan ke kanalis
yang sudah membuka dapat dinilai keadaan air ketuban
didalamnya. (Mochtar, et al., 2004)c. Aktivitas tromboplastin cairan amnion (ATCA). Hasil penelitian
terdahulu berhasil membuktikan bahwa cairan amnion
mempercepat waktu pembekuan darah. Aktivitas ini meningkat
dengan bertambahnya usia kehamilan. Pada usia kehamilan
41-42 minggu, ACTA berkisar antara 45-65 detik sedangkan
pada usia kehamilan >42 minggu, didapatkan ACTA <45 detik.
Bila didapatkan ACTA antara 42-46 detik, ini menunjukkan
bahwa kehaminan sudah postterm. (Mochtar, et al., 2004)
d. Perbandingan kadar lesitin-spingomielin (L/S). Perbandingan
kadar L/S pada usia kehamilan sekitar 22-28 minggu adalah
sama (1:1). Pada usia kehamilan ±32 minggu,
perbandingannya menjadi 1,2:1 dan pada kehamilan genap
bulan menjadi 2:1. Pemeriksaan ini tidak dapat dipakai untuk
menentukan kehamilan postterm tetapi hanya digunakan untuk
menentukan apakan janin cukup usia/matang untuk dilahirkan.
(Mochtar, et al., 2004)
D. Komplikasi Kehamilan Postterm
Pada kehamilan postterm terjadi berbagai perubahan baik pada
cairan amnion, plasenta, maupun janin. Pengetahuan mengenai
perubahan-perubahan tersebut dapat dijadikan dasar untuk mengelola
kasus persalinan postterm.
1. Disfungsi plasenta
Disfungsi plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya
komplikasi pada kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada
janin. Fungsi plasenta mencapai puncaknya pada kehamilan 38
minggu dan kemudian mulai menurun terutama setelah 42 minggu.
Rendahnya fungsi plasenta ini berkaitan dengan peningkatan
kejadian gawat janin dengan risiko 3 kali lebih tinggi. Pemasokan
makanan dan oksigen akan menurun akibat proses penuaan
plasenta disamping adanya spasme arteri spiralis. Janin akan
mengalami hambatan pertumbuhan dan penurunan berat hingga
disebut sebagai dismatur. (Cunningham, et al., 2010)
2. Oligohidramnion
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan
kuantitas cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncak
pada usia kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun
menjadi sekitar 800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan
jumlah cairan amnion berlangsung terus menjadi sekitar 480 ml,
250 ml, hingga 160 ml pada usia kehamilan 42, 43, dan 44 minggu.
(Cunningham, et al., 2010)
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm
berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan
bahwa berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada
kehamilan postterm terjadi peningkatan hambatan aliran darah
(resistance index/RI) arteri renalis janin sehingga dapat
menyebabkan penurunan jumlah urin janin dan pada akhirnya
menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002) Oleh sebab itu,
evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm
menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian
perinatal meningkat dengan adanya oligohidramnion yang
menyebabkan kompresi tali pusat. Pada persalinan postterm,
keadaan ini dapat menyebabkan keadaan gawat janin saat intra
partum. (Mochtar, et al., 2004)
Selain perubahan volume, terjadi pula perubahan komposisi
cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh. Hal ini
terjadi karena lepasnya vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid.
Pelepasan sejumlah badan lamellar dari paru-paru janin akan
mengakibatkan perbandingan Lesitin terhadap Sfingomielin menjadi
4:1 atau lebih besar. Selain itu, adanya pengeluaran mekonium
akan mengakibatkan cairan amnion menjadi hijau atau kuning dan
meningkatkan risiko terjadinya aspirasi mekonium. (Cunningham, et
al., 2010)
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan
pemeriksan USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah
pengukuran diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada
setiap kuadran dari 4 kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat
kuadran tersebut dikenal dengan sebutan indeks cairan anmion
(Amnionic Fluid Index/AFI). Bila nilai AFI telah turun hingga 5 cm
atau kurang, maka merupakan indikasi adanya oligohidramnion.
(Cunningham, et al., 2010)
3. Perubahan pada janin
Selain risiko pertambahan berat badan yang berlebihan, janin
pada kehamilan postterm juga mengalami berbagai perubahan fisik
khas disertai dengan gangguan pertumbuhan dan dehidrasi yang
disebut dengan sindrom postmaturitas. Perubahan-perubahan
tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus, kulit
menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa. Keadaan ini
menyebabkan kulit janin berhubungan langsung dengan cairan
amnion. Perubahan lainnya yaitu; rambut panjang, kuku panjang,
serta warna kulit kehijauan atau kekuningan karena terpapar
mekonium. Namun demikian, Tidak seluruh neonatus kehamilan
postterm menunjukkan tanda postmaturitas tergantung fungsi
plasenta. Umumnya didapat sekitar 12-20 % neonatus dengan
tanda postmaturitas pada kehamilan postterm. Tanda postterm
dibagi dalam 3 stadium: (Mochtar, et al., 2004)
a. Stadium 1 : Kulit kehilangan verniks kaseosa dan maserasi
berupa kulit kering, rapuh, dan mudah
mengelupas.
b. Stadium 2 : Gejala di atas disertai pewarnaan mekonium
pada kulit.
c. Stadium 3 : Pewarnaan kekuningan pada kuku, kulit, dan tali
pusat.
E. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm
Sampai saat ini pengelolaanya masih belum memuaskan dan
masih banyak perbedaan pendapat. Masalah yang sering dihadapi
pada pengelolaan kehamilan postterm antara lain karena pada
beberapa penderita, usia kehamilan tidak selalu dapat ditentukan
dengan tepat sehingga janin bisa saja belum matur sebagaimana yang
diperkirakan. Selain itu, saat usia kehamilan mencapai 42 minggu, pada
±70% penderita didapatkan serviks belum matang/unfavourable dengan
skor Bishop rendah sehingga tingkat keberhasilan induksi menjadi
rendah. Oleh karena itu, setelah diagnosis kehamilan postterm
ditegakkan, permasalahan yang harus dipecahkan selanjutnya adalah
apakah dilakukan pengelolaan secara aktif dengan induksi ataukah
sebaliknya dilakukan pengelolaan secara ekspektatif dengan
pemantauan terhadap kesejahteraan janin, baik secara biofisik maupun
biokimia sampai persalinan berlangsung dengan spontan atau timbul
indikasi untuk mengakhiri kehamilan. (Mochtar, et al., 2004)
1. Pemantanauan kesejahteraan janin
Manning dkk (1980) telah mengajukan pemakaian kombinasi
dari 5 variabel biofisik untuk menilai kesejahteraan janin dan
menyatakan bahwa kombinasi ini memberikan hasil yang lebih
akurat dibandingkan pemakaian salah satu variabel saja. Secara
umum, tes ini membutuhkan waktu sekitar 30-60 menit. Variabel
yang digunakan dalam penilaian profil biofisik adalah; (a) tes tanpa
beban (non-stress test/NST), (b) gerak nafas janin, (c) gerakan
janin, (d) tonus janin, dan (e) volume cairan amnion. Setiap variabel
diberikan skor 2 bila normal dan skor 0 bila abnormal. Oleh sebab
itu, seorang janin sehat akan memiliki skor 10 pada pemeriksaan
profil biofisiknya. (Cunningham, et al., 2010)
a. Tes Tanpa Beban (Non-Stress Test/NST)
Denyut jantung janin secara normal meningkat maupun
menurun sebagai akibat pengaruh dari sistem saraf simpatis-
parasimpatis yang impulsnya berasal dari batang otak. Menurut
hipotesis, denyut jantung janin yang tidak berada dalam
keadaan asidosis akibat hipoksia ataupun depresi saraf akan
mengalami akselerasi sementara sebagai respon terhadap
gerakan janin. Adanya akselerasi ini dipegaruhi oleh usia
kehamilan. Menurut hasil penelitian, besarnya tingkat
akselerasi denyut jantung akibat gerakan janin akan meningkat
seiring dengan peningkatan usia kehamilan. (Cunningham, et
al., 2010)
Penggunaan NST memiliki tujuan yang berbeda dengan tes
beban kontraksi (contraction stress test/oxytocin stress
test/OST). Secara sederhana, NST adalah tes untuk
mengetahui kondisi janin sedangkan OST digunakan untuk
menilai fungsi uteroplasenta. Sampai saat ini, NST adalah tes
utama yang paling sering digunakan untuk menilai
kesejahteraan janin. (Cunningham, et al., 2010)
b. Pemeriksaan gerakan nafas janin (fetal breathing)
Salah satu fenomena menarik dari gerakan pernafasan
janin adalah gerakan dinding dada yang paradoks (paradoxical
chest wall movement). Pada janin, ketika proses inspirasi,
dinding dada secara paradoks mengempis sedangkan dinding
perut mengembung. Hal ini berkebalikan dengan proses
inspirasi yang terjadi pada neonatus dan orang dewasa.
Gerakan ini dihubungkan dengan kemungkinan adanya
gerakan janin untuk mengeluarkan debris cairan amnion yang
menyerupai gerakan pada saat batuk. (Cunningham, et al.,
2010)
Beberapa peneliti telah mencoba melakukan penelitian
mengenai adanya keterkaitan antara gerakan nafas janin
melalui pemeriksaan USG dengan proses evaluasi
kesejahteraan janin. Oleh karena gerakan nafas janin terjadi
secara episodik, maka interpretasi hasil tes pada saat tidak
ditemukan gerakan nafas menjadi tidak dapat dipercaya.
Patrick dkk (1980) melakukan penelitian observasi selama 24
jam menggunakan ultrasonografi real time untuk mendapatkan
gambaran karakteristik gerakan nafas janin selama 10 minggu
terakhir kehamilan. Hasilnya menunjukkan bahwa pada janin
normal pun bisa saja tidak ditemukan gerakan nafas bahkan
sampai 122 menit lamanya. Penelitian ini mengindikasikan
bahwa untuk dapat mendiagnosis tidak ditemukannya gerakan
nafas membutuhkan waktu observasi yang panjang. Oleh
sebab itu, untuk menilai kesejahteraan janin, pemeriksaan
gerakan nafas sering digabungkan dengan pemeriksaan lain,
misalnya pemeriksaan denyut jantung janin. (Cunningham, et
al., 2010)
c. Pemeriksaan gerakan janin (fetal movements)
Aktivitas pasif janin tanpa rangsangan sebenarnya sudah
mulai ada sejak minggu ke-7 dan akan menjadi lebih kompleks
serta terkoordinasi pada akhir kehamilan. Bahkan setelah
minggu ke-8 usia kehamilan, gerakan janin tidak pernah
berhenti dengan waktu lebih dari 13 menit. Namun demikian,
ibu hamil baru bisa merasakan pergerakan janin pertama kali
sekitar usia kehamilan 18-20 minggu. Mula-mula gerakannya
jarang, lemah, dan terkadang tidak dapat dibedakan dengan
sensasi abdomen lainnya seperti gerakan usus. (Cunningham,
et al., 2010)
Antara minggu ke-20 sampai ke-30, gerakan tubuh umum
menjadi lebih teratur dan janin mulai memperlihatkan siklus
istirahat-aktivitas. Pada trimester ketiga, pematangan gerakan
janin terus berlanjut sampai sekitar 36 minggu, saat sikap tubuh
normal telah terbentuk pada 80% janin. (Cunningham, et al.,
2010)
Pergerakan rata-rata harian janin selama kehamilan
bervariasi. Pada umur kehamilan 20 minggu, pergerakan janin
rata-rata adalah sekitar 200 gerakan per 12 jam. Pergerakan
janin mencapai nilai maksimal sekitar minggu ke-32 kehamilan,
yaitu ± 500 gerakan per 12 jam. Setelah itu, pergerakan
menjadi kurang dirasakan setelah minggu ke-36 karena janin
tumbuh dan volume cairan amnion berkurang. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa berkurangnya aktivitas pada kehamilan
aterm mungkin juga disebabkan oleh pertambahan waktu tidur
janin seiring dengan makin maturnya janin. Keadaan ini
merupakan hal yang terjadi secara fisiologis pada trimester ke-
tiga. (Cunningham, et al., 2010)
d. Pemeriksaan volume cairan amnion
Pemeriksaan volume cairan amnion telah menjadi bagian
dari pemeriksaan antepartum pada kehamilan yang memiliki
risiko kematian janin. Pelaksanaan tes ini didasari pada
pemikiran bahwa penurunan perfusi uteroplasenta akan
menurunkan aliran darah ginjal janin, menurunkan produksi urin
janin, dan pada akhirnya akan menimbulkan oligohidramnion.
(Oz, et al., 2002; Cunningham, et al., 2010)
Estimasi volume cairan amnion dapat dilakukan dengan
pemeriksaan USG dengan cara menilai indeks cairan amnion
(amniotic fluid index/AFI). Penilaian dengan indeks ini dilakukan
dengan cara menambahkan ukuran kedalaman dari setiap
kantung vertikal terbesar pada tiap kuadran uterus. Bila nilai
AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan
indikasi adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Metode lain adalah dengan cara mengukur salah satu
kantung cairan amnion vertikal yang terbesar (single deepest
pocket). Menurut pemeriksaan ini, volume cairan amnion
dikatakan berkurang bila didapatkan ukuran kantong ≤ 2 cm.
(Cunningham, et al., 2010)
Gambar 1. Amniotic Fluid Index (Cunningham, et al., 2010)
Berdasarkan penilaian kelima variabel yang telah dijelaskan di
atas, maka didapatkanlah skor profil biofisik dari janin yang dinilai
kesejahteraanya. Skor profil biofisik yang didapatkan berkisar
antara nilai minimal 0 dan maksimal 10.
Tabel 1. Penilaian Skor Profil Biofisik (Cunningham, et al., 2010)
Penatalaksanaan kehamilan berdasarkan skor profil biofisik
dapat berupa penanganan ekspektatif tanpa melakukan intervensi
apapun sambil melakukan pemeriksaan ulangan. Namun jika
didapatkan gambaran keadaan asfiksia, maka penanganan
diberikan secara aktif dengan terminasi kehamilan.
Tabel 2. Manajemen kehamilan berdasarkan skor profil biofisik(Cunningham, et al., 2010)
2. Induksi persalinan
Kehamilan postterm merupakan keadaan klinis yang sering
menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi persalinan. Induksi
persalinan menjadi salah satu prosedur medis yang paling sering
dilakukan di Amerika Serikat dengan proporsi yang meningkat dari
9% pada tahun 1989 menjadi 19% di tahun 1998. (Heimstad, 2007)
Induksi persalinan adalah suatu tindakan terhadap ibu hamil
yang belum inpartu, baik secara tindakan atau medisinal, untuk
merangsang timbulnya kontraksi uterus sehingga diharapkan terjadi
persalinan atau penipisan dan dilatasi serviks yang progresif
disertai penurunan bagian presentasi janin. Tindakan induksi
persalinan ini adalah untuk keselamatan ibu dan anak, tetapi
walaupun dilakukan dengan terencana dan hati-hati, kemungkinan
untuk menimbulkan risiko terhadap ibu dan janin tetap ada.
(Heimstad, 2007)
Kemungkinan keberhasilan induksi persalinan ditentukan oleh
beberapa keadaan sebelum dilakukan induksi, salah satunya dari
kematangan serviks (favorable). Penilainan kematangan serviks ini
dapat dilakukan dengan menggunakan skor Bishop. Skor ini dinilai
berdasarkan lima faktor yang didapatkan dari pemeriksaan dalam
dan akan digunakan untuk memperkirakan keberhasilan induksi
persalainan. Lima faktor yang diperiksa adalah (1) dilatasi serviks,
(2) penipisan serviks/effacement, (3) konsistensi serviks, (4) posisi
serviks, dan (5) station dari bagian terbawah janin.
Tabel 3. Pelviks skor menurut Bishop. (Cunningham, et al., 2010)
Skor Bishop >8 memberikan kemungkinan keberhasilan induksi
persalinan yang tinggi. Sementara itu, skor Bishop ≤4 biasanya
menunjukkan keadaan serviks yang belum matang (unfavorable)
sehingga membutuhkan pematangan serviks yang bisa dilakukan
secara farmakologis (prostaglandin, nitrit oksida) ataupun teknik
(kateter transervikal, dilator higroskopis, stripping). (Cunningham, et
al., 2010)
Oksitosin adalah zat yang paling sering digunakan untuk
induksi persalinan dalam bidang obstetri. (Heimstad, 2007)
Oksitosin mempunyai efek yang poten terhadap otot polos uterus
dan kelenjar mammae. Kepekaan terhadap oksitosin meningkat
pada saat persalinan. Induksi persalinan dengan oksitosin yang
diberikan melalui infus secara titrasi ternyata efektif dan banyak
dipakai. Titrasi ini biasanya dilakukan dengan cara memberikan 10-
20 unit oksitosin (10.000-20.000 mU) yang dilarutkan dalam 1000
cc larutan Ringer laktat. Rejimen ini akan menghasilkan kadar
oksitosin 10-20 mU/mL. (Cunningham, et al., 2010) Terdapat
berbagai macam metode induksi dengan menggunakan drip
oksitosin, baik yang menggunakan dosis rendah maupun dosis
tinggi.
Tabel 4. Rejimen drip induksi dengan oksitosin. (Cunningham, et al.,2010)
Biasanya, kontraksi yang adekuat akan dicapai dengan dosis
oksitosin 20 mU/menit. Apabila dengan pemberian dosis oksitosin
30-40 mU/menit masih tidak didapatkan his yang adakuat, maka
indusi tak perlu lagi dilanjutkan. Pemberian dengan dosis yang lebih
besar akan menyebabkan ikatan oksitosin dengan reseptor
vasopresin sehingga akan menimbulkan kontraksi yang tetanik atau
hipertonik. Selain itu, dapat juga muncul efek antidiuretik sehingga
meningkatkan risiko terhadap keracunan air. Induksi dianggap
berhasil kalau didapatkan kontraksi uterus yang adekuat, yaitu his
sekitar 3 kali dalam 10 menit dengan kekuatan sekitar 40 mmHg
atau lebih (200 Montevidio). (Cunningham, et al., 2010)
3. Penatalaksanaan Kehamilan Postterm dengan Oligohidramnion
Penatalaksanaan kasus oligohidramnion pada kehamilan
postterm tergantung pada situasi klinik pasien yang bersangkutan.
Pada tahap awal, harus dilakukan evaluasi terhadap anomali janin
dan gangguan pertumbuhan. Pada kehamilan postterm yang
diperberat dengan komplikasi oligohidramnion harus dilakukan
pengawasan ketat karena tingginya risiko morbiditas janin.
(Heimstad, 2007)
Hasil dari kehamilan dengan oligohidramnion intrapartum
menurut beberapa penelitian memiliki hasil yang berbeda-beda.
Chauhan dkk (1999) yang dikutip dari (Cunningham, et al., 2010),
melakukan penelitian terhadap lebih dari 10.500 ibu hamil yang
memiliki nilai AFI intrapartum <5 cm dibandingkan dengan kontrol
yang memiliki nilai AFI >5 cm. Menurut hasil penelitian didapatkan
bahwa risiko seksio sesarea atas indikasi gawat janin pada
kelompok oligohidramnion lebih tinggi 2 kali lipat. Selain itu, risiko
janin dengan skor APGAR 5 menit dibawah 7 pada kelompok ini
lebih tinggi 5 kali lipat. Hasil penelitian Divon dkk (1995) yang
dikutip dari Cunningham et al, (2010) juga menyatakan bahwa
hanya ibu paturien postterm yang memiliki nilai AFI ≤5 cm yang
mengalami deselerasi denyut jantung janin dan aspirasi mekonium.
(Cunningham, et al., 2010)
Sebaliknya, Zhang dkk (2004) yang dikutip dari Cunningham et
al., (2010) melaporkan bahwa kondisi oligohidramnion dengan nilai
AFI ≤ 5 cm tidak berhubungan dengan kondisi perinatal yang buruk.
Begitu juga dengan Magann dkk (1999) yang tidak menemukan
peningkatan risiko komplikasi intrapartum pada kondisi
oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Perlu kita sadari bahwa persalinan adalah saat paling
berbahaya bagi janin postterm sehingga setiap persalinan postterm
harus dilakukan pengawasan ketat dan sebaiknya dilaksanakan di
Rumah Sakit dengan pelayanan operatif dan neonatal yang
memadai.
Menurut Mochtar, et al (2004) pengelolaan persalinan pada
kehamilan postterm mencakup:
a. Pemantauan yang baik terhadap kontraksi uterus dan
kesejahteraan janin. Pemakaian alat monitor janin secara
kontinu sangat bermanfaat.
b. Hindari penggunaan obat penenang atau analgetika selama
persalinan.
c. Persiapan oksigen dan tindakan seksio sesarea bila sewaktu-
waktu terjadi kegawatan janin
d. Cegah terjadinya aspirasi mekonium dengan segera mengusap
wajah neonatus dan penghisapan pada tenggorokan saat
kepala lahir dilanjutkan resusitasi sesuai prosedur pada janin
dengan cairan ketuban bercampur mekonium.
e. Pengawasan ketat terhadap neonatus dengan tanda-tanda
postmaturitas
Gambar 2. Skema penatalaksanaan kehamilan postterm.(Cunningham, et al., 2010)
BAB IV
DISKUSI
Pada makalah ini dilaporkan sebuah kasus dari seorang pasien usia
23 tahun yang masuk ke KB IGD RSMJ pada tanggal 20-04-2010 pukul
11.50 WIB kiriman poliklinik kebidanan dengan diagnosa G1P0A0H0 gravid
postterm 42-43 minggu + oligohidramnion. Berdasarkan anamnesa, HPHT
pasien adalah tanggal 26-06-2009 dengan siklus haid teratur tiap 28 hari.
Pasien juga menyatakan belum pernah menggunakan kontrasepsi
sebelumnya. Penentuan tanggal taksiran persalinan pasien ini
berdasarkan rumus Neagle jatuh pada tanggal 03-04-2010 (usia
kehamilan 40 minggu).
Pada perjalanan penyakitnya, sampai usia kehamilan telah mencapai
42 minggu lengkap (tanggal 17-04-2010), pasien ditangani secara
ekspektatif dengan pemantauan terhadap kesejahteraan janin
menggunakan pemeriksaan CTG dan USG serta profil biofisik. Pada
tanggal 20-04-2010, ketika kehamilan pasien telah mencapai usia 42-43
minggu, pasien berdasarkan pemeriksaan AFI dinyatakan mengalami
oligohidramnion. Kehamilan lalu diterminasi dengan drip induksi
menggunakan tetesan okstosin sampai hari ke-3 induksi dengan selang
istirahat selama 24 jam. Pasien partus secara spontan dan melahirkan
seorang bayi laki-laki dengan berat 2858 gr, panjang 48 cm, dan skor
APGAR 7/8. Namun demikian, pada bayi tidak ditemukan tanda-tanda
postmaturitas.
Penulisan laporan ini berangkat dari permasalahan tentang
penegakkan diagnosa dan penanganan kehamilan postterm serta
komplikasi oligohidramnion pada pasien tersebut. Pada kasus ini,
penegakkan diagnosa kehamilan postterm didasarkan kepada
penghitungan usia kehamilan berdasarkan HPHT. Pada saat masuk untuk
45
dirawat pada tanggal 20-04-2010, usia kehamilan pasien menurut HPHT
adalah 42-43 minggu. Usia tersebut sudah termasuk ke dalam definisi
kehamilan postterm yang dirumuskan oleh American College of
Obstetricians and Gynecologists (2004), yaitu kehamilan yang
berlangsung lebih dari 42 minggu (294 hari) yang terhitung sejak hari
pertama siklus haid terakhir/HPHT. (Cunningham, et al., 2010)
Mochtar, et al (2004) menyatakan bahwa riwayat HPHT yang dapat
dipercaya untuk menentukan usia kehamilan harus memenuhi syarat-
syarat tertentu, yaitu; ibu yakin betul dengan HPHT-nya, siklus haid 28
hari dan teratur, serta pasien tidak minum pil anti hamil setidaknya 3 bulan
terakhir. Pada kasus ini, jika didasarkan kepada kriteria HPHT yang dapat
dipercaya, diagnosa kehamilan postterm sudah bisa ditegakkan. Namun
demikian, bukti objektif dari kehamilan postterm itu sendiri, yaitu tanda-
tanda postmaturitas, tidak ditemukan pada bayi yang dilahirkan.
Terdapat dua alasan yang mungkin dapat menjelaskan adanya
ketidaksesuaian antara diagnosa antepartum dengan fakta yang
ditemukan pada masa postpartum dalam kasus ini. Kemungkinan
pertama, usia kehamilan pada kasus ini memang sudah postterm namun
tidak ditemukan keadaan-keadaan yang menyebabkan munculnya tanda-
tanda postmaturitas pada bayi.
Seperti telah dibahas dalam bab sebelumnya, pada kehamilan
postterm terjadi berbagai perubahan baik plasenta, air ketuban, maupun
janin yang akan mempengaruhi kesejahteraan janin intrauterin. Disfungsi
plasenta merupakan faktor penyebab terjadinya komplikasi pada
kehamilan postterm dan meningkatnya risiko pada janin. Fungsi plasenta
mencapai puncaknya pada kehamilan 38 minggu dan kemudian mulai
menurun terutama setelah 42 minggu. Selain itu, terjadi pula perubahan
komposisi cairan amnion sehingga menjadi lebih kental dan keruh akibat
pelepasan vernik kaseosa dan komposisi fosfolipid yang dikenal dengan
sebutan perwarnaan mekonium (mekonium staining). (Cunningham, et al.,
2010)
Akibat perubahan-perubahan plasenta dan jumlah cairan amnion,
janin pada kehamilan postterm akan mengalami berbagai perubahan fisik
khas yang disebut dengan tanda-tanda postmaturitas. Perubahan-
perubahan tersebut antara lain; penurunan jumlah lemak subkutaneus,
kulit menjadi keriput, dan hilangnya vernik kaseosa sehingga kulit janin
berhubungan langsung dengan cairan amnion. Perubahan lainnya yaitu;
rambut panjang, kuku panjang, serta warna kulit kehijauan atau
kekuningan karena terpapar mekonium. (Cunningham, et al., 2010)
Faktanya, pada kasus ini tidak ditemukan tanda-tanda postmaturitas
pada bayi yang dilahirkan. Menurut Mochtar, et al (2004), tidak seluruh
bayi yang dilahirkan dari kehamilan postterm menunjukkan tanda-tanda
postmaturitas sebab hal tersebut tergantung pada fungsi plasenta. Pada
kehamilan postterm, umumnya hanya didapatkan sekitar 12-20%
neonatus dengan tanda postmaturitas. (Mochtar, et al., 2004)
Kemungkinan pada kehamilan ini fungsi plasenta belum mengalami
penurunan yang nyata sehingga pada bayi yang dilahirkan tidak
ditemukan tanda-tanda postmaturitas meskipun usia kehamilan telah lebih
dari 42 minggu.
Alasan kedua yang bisa menerangkan penyebab tidak ditemukannya
tanda-tanda postmaturitas pada bayi dalam kasus ini adalah karena terjadi
kesalahan dalam penentuan usia kehamilan. Menurut (Cunningham, et al.,
2010), meskipun diagnosis kehamilan postterm berhasil ditegakkan pada
4-19% dari seluruh kehamilan, sebagian diantaranya kenyataanya tidak
terbukti oleh karena kekeliruan dalam menentukan usia kehamilan. Oleh
sebab itu, pada penegakkan diagnosis kehamilan postterm, informasi
yang tepat mengenai lamanya kehamilan menjadi sangat penting.
Kesalahan dalam perkiraan usia kehamilan biasanya diakibatkan karena
ibu lupa/tidak yakin dengan HPHT-nya, siklus haid yang tidak teratur, atau
akibat ovulasi yang terlambat. (Savitz, et al., 2002)
Pada kasus ini, pasien merasa telah yakin dengan HPHT-nya dan
menyatakan dalam anamnesa memiliki siklus haid yang teratur tiap 28
hari. Namun demikian, kemungkinan adanya kesalahan penentuan usia
kehamilan berdasarkan HPHT masih bisa terjadi. Hasil penelitian Savitz,
et al (2002) menunjukkan bahwa usia kehamilan yang ditentukan
berdasarkan HPHT cenderung lebih sering salah didiagnosa sebagai
kehamilan postterm dibanding dengan pemeriksaan USG, terutama akibat
ovulasi yang terlambat.
Penentuan usia kehamilan dengan HPHT didasarkan kepada asumsi
bahwa kehamilan akan berlangsung selama 280 hari (40 minggu) dari hari
pertama siklus haid yang terakhir. (Cunningham, et al., 2010) Pendekatan
ini berpotensi menyebabkan kesalahan karena sangat bergantung kepada
keakuratan tanggal HPHT dan asumsi bahwa ovulasi terjadi pada hari ke-
14 siklus menstruasi. Padahal, ovulasi tidak selalu terjadi pada hari ke-14
siklus karena adanya variasi durasi fase folikular, yang bisa berlangsung
selama 7-21 hari. Oleh sebab itu, pada ibu yang memiliki siklus 28 hari,
masih ada kemungkinan ovulasi terjadi setelah hari ke-14 siklus.
Akibatnya, terjadi kesalahan dalam penentuan usia kehamilan yang
seharusnya dihitung mulai dari terjadinya fertilisasi sampai lahirnya bayi.
(Bennett, et al., 2004) Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan HPHT adalah ± 1,37 minggu. (Cohn, et al.,
2010) Jika berdasarkan riwayat haid, diagnosis kehamilan postterm
memiliki tingkat keakuratan ± 30 persen. (Mochtar, et al., 2004)
Penggunaan pemeriksaan USG untuk menentukan usia kehamilan
telah banyak menggantikan metode HPHT dalam mempertajam diagnosa
kehamilan postterm. Beberapa penelitian terdahulu telah membuktikan
bahwa penentuan usia kehamilan melalui pemeriksaan USG memiliki
tingkat keakuratan yang lebih tinggi dibanding dengan metode HPHT.
Savitz, et al (2002) menyatakan bahwa usia kehamilan dari
penghitungan HPHT rata-rata lebih panjang 2,8 hari dibanding hasil
pengukuran USG trimester I dan II. Oleh sebab itu, jika berdasarkan
HPHT, diagnosa kehamilan postterm lebih tinggi (12,1%) dibandingkan
dengan USG (3,4%). (Savitz, et al., 2002) Keakuratan penentuan usia
kehamilan dengan pemeriksaan USG sendiri juga tergantung pada waktu
pelaksanaan pemeriksaan. Penelitian Caughey, et al (2008) menunjukkan
bahwa diagnosa postterm pada kelompok yang melakukan pemeriksaan
USG di bawah 12 minggu/trimester I lebih rendah (2,7%) dibanding
kelompok yang melakukan pemeriksaan pada minggu 13-24/trimester II
(3,7%). (Caughey, et al., 2008) Jadi, semakin awal pemeriksaan USG
dilakukan, maka usia kehamilan yang didapatkan akan semakin akurat
sehingga kesalahan dalam mendiagnosa kehamilan postterm akan
semakin rendah. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan persalinan
jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester I (crown-rump length) adalah
± 0,67 minggu. (Cohn, et al., 2010)
Pada kasus ini, selain dari HPHT, informasi mengenai usia
kehamilan sebenarnya juga bisa didapatkan dari hasil pemeriksaan USG.
Namun demikian, sayangnya pasien baru melakukan pemeriksaan USG
untuk pertama kali setelah kehamilan memasuki usia trimester III
sehingga akurasi usia kehamilan yang didapatkan tidak setinggi apabila
seandainya USG dilakukan pada trimester I atau II. Pemeriksaan usia
kehamilan berdasarkan USG pada trimester III menurut hasil penelitian
Cohn, et al (2010) memiliki tingkat keakuratan yang lebih rendah
dibanding metode HPHT maupun USG trimester I dan II. Ukuran-ukuran
biometri janin pada trimester III memiliki tingkat variabilitas yang tinggi
sehingga tingkat kesalahan estimasi usia kehamilan pada trimester ini
juga menjadi tinggi. Tingkat kesalahan estimasi tanggal perkiraan
persalinan jika berdasarkan pemeriksaan USG trimester III bahkan bisa
mencapai ± 3,6 minggu. Keakuratan penghitungan usia kehamilan pada
trimester III saat ini sebenarnya dapat ditingkatkan dengan melakukan
pemeriksaan MRI terhadap profil air ketuban. (Cohn, et al., 2010) Namun
demikian, sayangnya pemeriksaan tersebut belum dapat dilakukan di
institusi ini.
Permasalahan kedua yang menjadi titik berat dari penulisan laporan
ini adalah mengenai diagnosa dan penatalaksanaan komplikasi kehamilan
yang terjadi pada kasus ini, yaitu oligohidramnion. Seperti telah diketahui
dari riwayat perjalanan penyakitnya, pasien setelah didiagnosa dengan
kehamilan postterm lalu diberikan penanganan secara ekspektatif dengan
pemantauan kesejahteraan janin. Selanjutnya, pasien dalam
perjalanannya ternyata diketahui mengalami oligohidramnion sehingga
akhirnya dilakukan terminasi kehamilan dengan induksi drip oksitosin.
Pada kehamilan postterm terjadi perubahan kualitas dan kuantitas
cairan amnion. Jumlah cairan amnion mencapai puncaknya pada usia
kehamilan 38 minggu, yaitu sekitar 1000 ml dan menurun menjadi sekitar
800 ml pada usia kehamilan 40 minggu. Penurunan jumlah cairan amnion
berlangsung terus pada usia kehamilan 42 minggu (480 mL), 43 minggu
(250 mL), hingga 44 minggu (160 ml) sehingga meningkatkan risiko
terjadinya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Penurunan jumlah cairan amnion pada kehamilan postterm
berhubungan dengan penurunan produksi urin janin. Dilaporkan bahwa
berdasarkan pemeriksaan Doppler velosimetri, pada kehamilan postterm
terjadi peningkatan hambatan aliran darah (resistance index/RI) arteri
renalis janin sehingga dapat menyebabkan penurunan jumlah urin janin
dan pada akhirnya menimbulkan oligohidramnion. (Oz, et al., 2002) Oleh
sebab itu, evaluasi volume cairan amnion pada kasus kehamilan postterm
menjadi sangat penting artinya. Dilaporkan bahwa kematian perinatal
meningkat dengan adanya oligohidramnion yang menyebabkan kompresi
tali pusat. Pada persalinan postterm, keadaan ini dapat menyebabkan
keadaan gawat janin saat intra partum. (Mochtar, et al., 2004)
Estimasi jumlah cairan amnion dapat diukur dengan pemeriksan
USG. Salah satu metode yang cukup populer adalah pengukuran
diameter vertikal dari kantung amnion terbesar pada setiap kuadran dari 4
kuadran uterus. Hasil penjumlahan keempat kuadran tersebut dikenal
dengan sebutan indeks cairan anmion (Amnionic Fluid Index/AFI. Bila nilai
AFI telah turun hingga 5 cm atau kurang, maka merupakan indikasi
adanya oligohidramnion. (Cunningham, et al., 2010)
Pada kasus ini, pasien dalam perjalanan penyakitnya didiagnosa
dengan oligohidramnion berdasarkan nilai AFI (3,9 cm). Namun demikian,
pada saat persalinan, bayi lahir tanpa adanya tanda-tanda asfiksia yang
sering menyertai kasus-kasus dengan oligohidramnion. Keadaan ini
sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya yang menyatakan bahwa
diagnosa oligohidramnion berdasarkan AFI ≤5 cm merupakan prediktor
yang kurang akurat terhadap baik atau buruknya kondisi janin pada saat
postpartum.
Magann, et al (2004) melakukan penelitian untuk membandingkan
hasil pengukuran volume cairan amnion antara metode AFI dengan
metode dye-dilution. Metode dye-dilution itu sendiri adalah penghitungan
volume cairan amnion dengan cara mengukur langsung cairan amnion
yang didapatkan melalui tindakan amniosentesis. Hasil penelitian ini
menunjukkan bahwa metode AFI merupakan prediktor yang akurat untuk
keadaan volume cairan amnion normal dengan tingkat akurasi mencapai
80-90 persen. Namun, jika digunakan untuk memprediksi keadaan
oligohidramnion, metode AFI hanya memiliki tingkat akurasi 10-20 persen.
(Magann, et al., 2004)
Rendahnya hubungan antara diagnosa oligohidramnion melalui
pemeriksaan AFI dengan komplikasi peripartum yang terjadi juga
dibuktikan pada penelitian Johnson, et al (2007). Pada penelitian ini,
dilakukan pengujian tingkat akurasi diagnosa oligohidramnion memakai
kriteria AFI ≤5 cm dengan komplikasi peripartum yang dinilai dari 4 hal,
salah satunya skor APGAR ≤3 pada 5 menit pertama. Hasil penelitian ini
menunjukkan rendahnya tingkat akurasi prediksi metode AFI terhadap
terjadinya komplikasi peripartum tersebut. Tingkat sensitivitas metode AFI
terhadap kejadian komplikasi janin dengan skor APGAR 5 menit ≤3
adalah 0,6% meskipun tingkat spesifisitasnya mencapai 99 persen.
(Johnson, et al., 2007)
Hasil penelitian-penelitian tersebut sesuai dengan fakta yang terjadi
pada kasus ini. Tegaknya diagnosa oligohidramnion yang didasarkan
kepada kriteria AFI ≤5 cm ternyata tidak disertai dengan komplikasi pada
janin yang dilahirkan. Jika dipandang dari segi ilmiah, hal ini bisa berarti
bahwa diagnosa oligohidramnion yang ditegakkan pada kasus ini
sebaiknya dibuktikan dengan pemeriksaan lain yang lebih akurat, seperti
pemeriksaan dye-dilution. Namun tentu saja pembuktian tersebut
tergantung kepada sarana dan prasarana yang tersedia.
Berkaitan dengan diagnosa oligohidramnion yang telah ditegakkan
pada pasien ini, maka penanganan kehamilan postterm yang semula
bersifat ekspektatif berubah menjadi aktif. Kehamilan pasien lalu
diterminasi dengan drip induksi oksitosin. Penanganan kehamilan
postterm sampai saat ini masih menjadi kontroversi antara sikap
ekspektatif atau aktif.
Penanganan secara ekspektatif biasanya dilakukan dengan
pengawasan ketat terhadap kesejahteraan janin intrauterin menggunakan
penentuan profil biofisik. Pada kasus ini, setelah mencapai usia kehamilan
aterm, skor biofisik pasien dihitung setiap 1 minggu. Selama penilaian
profil biofisik pasien, didapatkan skor 10 (sepuluh) sehingga dilakukan
kontrol setiap 1 minggu. Menurut Cunningham, et al (2010), skor profil
biofisik 10 memiliki interpretasi bahwa janin dalam keadaan normal tanpa
asfiksia. Oleh sebab itu, tidak ada indikasi untuk melakukan intervensi
apapun terhadap kehamilan dan dilakukan penilaian ulang 1 minggu
kemudian. (Cunningham, et al., 2010)
Berbeda dengan sifat penanganan ekspektatif, pada penanganan
aktif dilakukan terminasi kehamilan. Kehamilan postterm merupakan
keadaan klinis yang sering menjadi indikasi untuk pelaksanaan induksi
persalinan. (Heimstad, 2007) Induksi persalinan pada kasus ini dilakukan
karena telah ditemukannya keadaan oligohidramnion dari hasil
pemeriksaan USG (AFI ≤5 cm). Seperti telah dibahas sebelumnya,
diagnosa kehamilan postterm dalam kasus ini masih memiliki kelemahan
karena hanya didasarkan kepada penghitungan usia kehamilan dari
tanggal HPHT dan biometri dari pemeriksaan USG trimester III. Kedua
metode penghitungan tersebut memiliki potensi kesalahan yang cukup
besar dalam penentuan usia kehamilan dan penegakkan diagnosa
kehamilan postterm. (Savitz, et al., 2002; Bennett, et al., 2004; Caughey,
et al., 2008) Selain itu, diagnosa oligohidramnion yang dijadikan indikasi
untuk tindakan induksi persalinan dalam kasus ini didasari oleh hasil
pemeriksaan USG (AFI ≤5 cm). Hasil penelitian-penelitian sebelumnya
menyatakan bahwa pemeriksaan AFI ≤ 5 cm merupakan prediktor yang
tidak akurat terhadap keadaan oligohidramnion yang sebenarnya maupun
angka kejadian komplikasi peripartum (asfiksia postpartum). (Magann, et
al., 2004; Johnson, et al., 2007) Rendahnya tingkat akurasi metode
diagnostik yang digunakan dalam kasus ini dapat dilihat secara objektif
dari tidak ditemukannya tanda-tanda posmaturitas maupun komplikasi
peripartum pada janin.
BAB V
KESIMPULAN
1. Penegakkan diagnosa postterm pada kasus ini memiliki kelemahan
karena ditegakkan hanya berdasarkan HPHT dan pemeriksaan USG
trimester III. Begitu juga dengan dignosa oligohidramnion yang
ditegakkan berdasarkan pemeriksaan AFI. Tidak ditemukan bukti
objektif dari diagnosa antepartum tersebut pada saat postpartum.
2. Pelaksanaan terminasi kehamilan dengan drip induksi pada kasus ini
secara teoritis merupakan tindakan yang telah sesuai dengan indikasi
oligohidramnion meski penegakkan diagnosanya masih memiliki
kelemahan dari segi praktis.
54
DAFTAR PUSTAKA
Bennett, KA, Crane, JMG dan O’Shea, P. 2004. First trimester ultrasound screening is effective in reducing postterm labor induction rates: A randomized controlled trial. Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 1077-81.
Biggar, RJ, et al. 2010. Spontaneous labor onset: is it immunologically mediated? American Journal of Obstetrics & Gynecology. Maret 2010, Vol. 202, 3, hal. 268.
Caughey, AB, Nicholson, JM dan Washington, EA. 2008. First- vs second-trimester ultrasound: the effect on pregnancy dating and perinatal outcomes. Am J Obstet Gynecol. March 2008, Vol. 198, hal. 703.e1-703.e6.
Cohn, BR, et al. 2010. Calculation of gestational age in late second and third trimesters by ex vivo magnetic resonance spectroscopy of amniotic fluid. Am J Obstet Gynecol. July 2010, Vol. 203, hal. 76.e1-10.
Cunningham, F G, et al. 2010. Postterm Pregnancy. Williams Obstetrics. 23rd Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2010, Section VII, Chapter 37.
Heimstad, R. 2007. Post-term pregnancy. Trondheim : Faculty of Medicine Norwegian University of Science and Technology, 2007.
Johnson, JM, et al. 2007. A comparison of 3 criteria of oligohydramnios in identifying peripartum complications. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 197, hal. 207.e1-207.e8.
Kistka, ZA, et al. 2007. Risk for postterm delivery after previous postterm delivery. Am J Obstet Gynecol. March 2007, Vol. 196, hal. 241.e1-241.e6.
Magann, EF, et al. 2004. How well do the amniotic fluid index and single deepest pocket indices predict oligohydramnios and hydramnios? Am J Obstet Gynecol. 2004, Vol. 190, hal. 164-9.
55
Mochtar, A B dan Krisnanto, H. 2004. Kehamilan Lewat Bulan. [penyunt.] R. Hariadi. Ilmu Kedokteran Fetomaternal. Edisi 1. Surabaya : Himpunan Kedokteran Fetomaternal POGI, 2004, Bab VI, Bagian 58, hal. 384-391.
Oz, AU, et al. 2002. Renal Artery Doppler Investigation of the Etiology of Oligohydramnios in Postterm Pregnancy. Am J Obstet Gynecol. October 2002, Vol. 100, hal. 715-8.
Pernoll, M L dan Roman, A S. 2007. Late Pregnancy Complication. [penyunt.] A H DeCherney, et al. Current Diagnosis & Treatment: Obstetrics & Gynecology. 10th Edition. New York : The McGraw-Hill Companies, 2007, Chapter 15.
Savitz, DA, et al. 2002. Comparison of pregnancy dating by last menstrual period, ultrasound scanning, and their combination. Am J Obstet Gynecol. Desember 2002, Vol. 187, 6, hal. 1660-1666.
LAMPIRAN
Gambar 3. USG tanggal 11-03-2010
Gambar 4. USG tanggal 09-04-2010
Gambar 5. CTG dan skor profil biofisik tanggal 09-04-2010
Gambar 6. USG tanggal 12-04-2010
Gambar 7. CTG dan skor profil biofisik tanggal 12-04-2010
Gambar 8. CTG tanggal 15-04-2010
Gambar 9. CTG tanggal 17-04-2010
Gambar 10. CTG tanggal 20-04-2010
Gambar 11. USG tanggal 20-04-2010