kedudukan saudara kandung dalam hukum waris islam

23
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Hukum kewarisan Islam mendasarkan ketentuan pokoknya pada Alquran QS. An Nisaa’ ayat 12 dan 176. Hukum waris menduduki posisi yang penting dalam hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah kewarisan pasti dialami oleh setiap orang. Disamping itu hukum waris tersebut langsung menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan yang pasti maka akan dapat menimbulkan sengketa diantara para ahli waris. Dalam hukum waris yang diatur adalah persoalan bagaimana harta peninggalan harus diperlakukan, kepada siapa saja harta itu dipindahkan dan bagaimana cara perpindahan harta peninggalan tersebut. 1 Salah satu asas yang dianut dalam hukum kewarisan Islam adalah asas compulsory, yaitu asas yang memberikan pengertian bahwa apabila seorang meninggal dunia maka segala hak akan harta bendanya akan berpindah kepada ahli warisnya, dimana perpindahan harta benda tersebut tidak digantungkan pada keinginan maupun kehendak ahliwarisnya. Begitupula dengan persoalan bagian dari tiap ahli waris juga telah ditentukan dengan jelas sebagaimana dimuat dalam Alquran, QS An Nisaa’(4): 12 dan QS An Nisaa’ (4):176. 1 Ahmad Azhar Basyir., Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta. Tahun 2001. Hal.1 1

Upload: raimond-flora-lamandasa-sh-mkn

Post on 06-Jun-2015

14.224 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

Tulisan ini adalah paper penulis (Raimond Flora Lamandasa) dalam mata kuliah Hukum Waris Islam saat penulis kuliah di Program Magister Kenotariatan UGM Yogyakarta

TRANSCRIPT

Page 1: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Hukum kewarisan Islam mendasarkan ketentuan pokoknya pada Alquran

QS. An Nisaa’ ayat 12 dan 176. Hukum waris menduduki posisi yang penting

dalam hukum Islam. Hal ini dapat dimengerti sebab masalah kewarisan pasti

dialami oleh setiap orang. Disamping itu hukum waris tersebut langsung

menyangkut harta benda yang apabila tidak diberikan ketentuan yang pasti maka

akan dapat menimbulkan sengketa diantara para ahli waris. Dalam hukum waris

yang diatur adalah persoalan bagaimana harta peninggalan harus diperlakukan,

kepada siapa saja harta itu dipindahkan dan bagaimana cara perpindahan harta

peninggalan tersebut.1

Salah satu asas yang dianut dalam hukum kewarisan Islam adalah asas

compulsory, yaitu asas yang memberikan pengertian bahwa apabila seorang

meninggal dunia maka segala hak akan harta bendanya akan berpindah kepada ahli

warisnya, dimana perpindahan harta benda tersebut tidak digantungkan pada

keinginan maupun kehendak ahliwarisnya. Begitupula dengan persoalan bagian

dari tiap ahli waris juga telah ditentukan dengan jelas sebagaimana dimuat dalam

Alquran, QS An Nisaa’(4): 12 dan QS An Nisaa’ (4):176.

Ketentuan mengenai bagian ahli waris tersebut tidak menimbulkan

perbedaan pandangan dikalangan para ulama mazhab karena telah jelas

pembagiannya. Namun terhadap ketentuan yang tidak diatur secara jelas seperti

bagian untuk saudara kandung, saudara seayah/seibu dari pewaris masih terdapat

perbedaan pandangan diantara para ulama sehingga menimbulkan beberapa

golongan dalam system kewarisan Islam. Dalam hal ini muncul golongan dengan

ajaran Ahlussunnah, golongan dengan ajarah Hazairin dan ajaran yang kemudian

diterapkan dalam Kompilasi Hukum Islam. Golongan dengan ajaran Ahlussunnah

menitikberatkan pada sistem patrilinial, sedangkan Prof. Hazairin lebih kepada

sistem bilateral dan KHI mengabsorbsi kedua ajaran ini dalam ketentuan pasal-

pasalnya.

1 Ahmad Azhar Basyir., Hukum Waris Islam, UII Press, Yogyakarta. Tahun 2001. Hal.1

1

Page 2: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

Secara eksplisit dapat disimpulkan bahwa pada sistem patrilinial, pihak

laki-laki lebih utama tampil sebagai ahli waris, sedangkan pada sistem bilateralnya

Prof. Hazairin, pihak laki-laki dan pihak perempuan mempunyai kedudukan dan

hak yang sama sebagai ahli waris.

Perbedaan pandangan tersebut pada akhirnya akan berpengaruh terhadap

penentuan ahli waris beserta bagian-bagiannya. Banyak literatur yang menyoroti

perbedaan tersebut. Hal yang menonjol adalah mengenai bagian ahliwaris cucu.

Menurut sistem kewarisan yang dikembangkan oleh golongan Ahlussunah,

(patrilinial), ada perbedaan kedudukan antara cucu dari anak laki-laki dan cucu dari

anak perempuan. Kedua cucu dari garis yang berbeda ini tidak mungkin mewaris

secara bersama-sama. Hal ini karena menurut ajaran Ahlussunah bahwa cucu laki-

laki dari anak laki-laki menutup kemungkinan cucu dari anak perempuan untuk

menjadi ahli waris. Cucu laki-laki dari anak laki-laki berkedudukan sebagai ahli

waris dzul faraid atau ashobah, semantara cucu laki-laki dari anak perempuan

berkedudukan sebagai ahli waris dzul arham. Ketentuannya adalah bahwa ahli

waris dzul arham baru dapat mewaris apabila tidak ada ahli waris dzul faraid atau

ashobah. Demikian hal tersebut dengan ketentuan apabila pewaris tidak

mempunyai anak laki-laki lain.

Sedangkan dalam sistem kewarisan yang dikembangkan oleh Prof. Hazairin

dengan sistem bilateralnya tidak membedakan kedudukan diantara para cucu serta

mengenal adanya pranata pergantian tempat (plaatsvervulling). Cucu dari anak

laki-laki dan cucu dari anak perempuan dapat menggantikan kedudukan

orangtuanya yang sudah meninggal terlebih dahulu, meskipun pewaris mempunyai

anak laki-laki lain. Pendapat beliau berdasarkan penafsiran mengenai ayat 33 surat

An Nisa yang berbunyi “Wa likullin ja’alnaa mawaaliya mimma taraka’l-

waalidaani wa’l-aqrabuuna” 2

KHI sebagai pengembangan dari hukum kewarisan Islam membuka pintu

pilihan yang dipergunakan dalam pembagian warisan dengan mempertimbangkan

kemaslahatan para ahli waris. Hukum Islam membuka pintu ahli waris untuk

melakukan perdamaian dalam rangka menentukan perolehan masing-masing

berdasarkan kerelaan, keikhlasan dan kekeluargaan setelah masing-masing ahli

waris menyadari bagiannya, seperti yang diatur dalam pasal 183 KHI.

2 Ahmad Azhar Basyir,. Peradilan Agama dan KHI dalam Tata Hukum Indonesia,UII Press, Yogyakarta Tahun1993, hal.137.

2

Page 3: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

Ada anggota keluarga dari pewaris yang tidak termasuk golongan ahli waris

yang menurut istilah fiqh disebut dzawil arham, tetapi menurut KHI mereka dapat

diberi bagian waris atas nama kerabat (pasal 171 huruf e KHI). Sistem pergantian

tempat bagi ahli waris diatur dalam pasal 183 KHI, tetapi tidak dijelaskan apakah

mengikuti pendapat Ahlussunah atau mengikuti pendapat Prof. Hazairin.

Terjadinya pluralisme kesadaran umat Islam terhadap hukum Islam

disebabkan oleh beberapa hal yang melatarbelakangi adanya pluralisme

pemahaman tersebut. Bahwa Islam datang ke Indonesia melalui Negara yang telah

mempunyai budaya yang diwarnai oleh agama setempat seperti melalui Negara

Persi, India, Cina dan sebagainya . Agama Islam masuk ke Indonesia dimana

agama Hindu, Budha dan Kepercayaan telah ada di Indonesia dan bahwa proses

perpindahan dari agama Hindu/Budha ke Islam berjalan secara evolutif yang

memakan waktu lama, sehingga batas-batasnya sangat bias, terutama dilihat dari

pengalaman masyarakat.

Dengan kenyataan yang demikian itu maka penerimaan dan penghayatan

penduduk Indonesia terhadap agama dan hukum Islam berbeda-beda bahkan yang

menyangkut aqidah. Wajar kalau di Indonesia terdapat kelompok abangan, yang

pengetahuannya tentang hukum agama sangat mengambang, terbatas pada waktu

sunat, kawin dan meninggal. Kelompok lain disebut dengan mutian, adalah

kelompok yang sadar sebagai pengikut suatu agama, mereka berusaha untuk

mengetahui dan mendalami ajaran agamanya serta mengamalkannya. Ada juga

yang menerima Islam hanya pada hal-hal yang sesuai dengan adat kebiasaan

setempat, dengan mengurangi /menambah ketentuan yang sudah baku dalam

syari’at. 3

Kebagkitan dunia Islam diabad ke-19 memberi angin segar bagi

kebangkitan umat Islam di Indonesia. Berdirinya perguruan-perguruan tinggi

Islam baik negeri maupun swasta mempercepat proses pemahaman umat Islam

akan agama dan hukum yang dikandungnya. Namun demikian hasil yang

diharapkan belumlah maksimal, hal ini berkaitan dengan persoalan bahwa belum

semua umat Islam dapat terjangkau oleh gerakan ini.

Dengan melihat perkembangan Islam dalam masyarakat Indonesia tersebut

maka dapatlah dipahami terjadinya pluralisme dalam pelaksanaan hukum Islam

3 Ibid,. Hal 13.

3

Page 4: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

yang dalam hal ini hukum waris Islamnya. Masih banyak masyarakat yang

menerapkan hukum waris Islam dengan mengadopsi unsur-unsur hukum adat yang

cenderung bercorak bilateral dalam hal kedudukan dan jumlah bagian ahli waris.

B. Permasalahan.

Dari latar belakang masalah tersebut, permasalahan yang kemudian muncul

adalah: Bagaimana kedudukan saudara kandung sebagai ahli waris dalam

kewarisan Islam menurut Ahlussunah, Hazairin dan KHI ?

BAB II

PEMBAHASAN

4

Page 5: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

A. Unsur-Unsur Kewarisan Islam

Dalam ketentuan pasal 171 KHI ditegaskan bahwa yang dimaksud dengan

hukum kewarisan adalah hukum yang mengatur tentang pemindahan hak pemilikan

harta peninggalan pewaris, siapa saja yang berhak menjadi ahli waris dan besar

bagian dari tiap-tiap ahli waris tersebut. Dengan demikian dapatlah dilihat bahwa

dalam pewarisan tersebut terdapat unsur-unsur:

a. Pewaris, adalah orang yang meninggal atau yang dinyatakan

meninggal oleh putusan pengadilan, beragama Islam, meninggalkan ahli waris

dan harta peninggalan.

b. Ahli waris, adalah orang yang pada saat pewaris meninggal dunia

mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris,

beragama Islam dan tidak terhalang oleh hukum untuk menjadi pewaris.

c. Harta warisan, adalah harta bawaan ditambah bagian dari harta

bersama setelah dikurangi dengan keperluan pewaris dari sakitnya hingga

meninggal, biaya jenazah, pembayaran hutang dan pemberian untuk kerabat.

B. Hijab dalam kewarisan Islam

Secara terminologi hijab adalah melindungi orang-orang tertentu untuk

menerima pusaka semuanya atau sebagian karena ada seseorang lain. Actor

terhijabnya seorang ahli waris untuk menerima bagian harta warisan erat kaitannya

dengan adanya ahli waris lain yang mendapatkan keutamaan karena jarak

hubungan kekerabatan yang lebih dekat kepada pewaris. 4

Seorang saudara dari pewaris karena lebih jauh hubungannya dengan

pewaris dibandingkan dengan bapak pewaris, maka ia akan terhijab oleh bapak.

Begitupula dengan saudara seayah atau seibu saja terhalang oleh saudara kandung

karena lebih lemah hubungannya dengan pewaris.5

Berdasarkan uraian diatas maka hijab dapat dibagi menjadi dua macam

hijab yaitu:

a. Hijab Hirman, adalah terhijabnya ahli waris dalam memperoleh seluruh

bagian akibat adanya ahli waris yang lain. Faturrahman membagi hijab hirman

ini dalam dua kelompok yaitu:4 Abdul ghofur Anshori, SH.MH., Hukum Kewarisan Islam di Indonesia, Eksistensi dan adabtabilitas, Econisia, 2002. hal 43.5 Ibid.

5

Page 6: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

1. Ahli waris yang tidak dapat terhijab hirman sama sekali, walaupun

kadangkala dapat terhijab Nuqsan. Kelompok ini adalah anak laki-laki,

ayah, suami,anak perempuan, ibu dan istri ( kelompok enam ).

2. Ahli waris yang dalam suatu keadaan dapat menjadi ahli waris tetapi

dalam keadaan lain terhijab hirman. Kelompok ini adalah yang selain

enam orang diatas. Dalam hal ini Amir Syarifuddin menyebut sebanyak

12 orang atas dasar pendapat patrilinialisme ( ahlussunnah) yaitu:

- Cucu (laki/perempuan) tertutup anak.

- Kakek tertutup ayah

- Nenek tertutup ibu

- Saudara kandung oleh putra, cucu laki-laki atau bapak

- Saudara seayah oleh saudara kandung, putri, cucu perempuan,

putra cucu laki-laki dan bapak

- Saudara seibu tertutup oleh anak, cucu, ayah, kakek.

Yang tidak tertutup oleh saudara kandung atau seayah adalah:

- Anak saudara kandung/ponakan oleh saudara (laki-laki) seayah

dan tertutup oleh orang yang menutup saudara seayah

- Anak saudara seayah/ponakan oleh anak saudara kandung oleh

orang yang menutup saudara kandung.

- Paman kandung tertutup oleh ponakan seayah dan oleh yang

menutupnya.

- Paman seayah tertutup paman kandung dan oleh orang yang

menutup paman kandung itu.

- Anak paman kandung oleh paman seayah dan oleh orang yang

menutup paman seayah itu.

- Anak paman seayah tertutup oleh anak paman kandung.

b. Hijab Nuqsan, adalah hijab sebagian yaitu berkurangnya bagian yang

semestinya diperoleh oleh ahli waris karena adanya ahli waris yang lain.

Dengan demikian ahli waris itu masih mendapatkan bagian waris, hanya

6

Page 7: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

bagiannya yang berkurang atau menurun dari bagian yang semula. Mereka itu

adalah:

- Suami dari ½ menjadi ¼ karena ada anak.

- Istri dari ¼ menjadi 1/8 karena ada anak.

- Ibu dari 1/3 menjadi 1/6 karena ada anak pewaris

- Cucu perempuan dari putra dari ½ menjadi 1/6 sebagai pelengkap 2/3

karena ada putri kandung pewaris

- Saudari seayah dari ½ menjadi 1/6 penyempurnaan 2/3 karena ada saudara

kandung.

C. Kalalah

Dalam Al-Qur’an kalalah disebut dalam dua ayat yaitu dalam surat An-

Nisaa’ ayat 12 dan ayat 176.

Dalam ayat ke 12 surat An-Nisaa’ dinyatakan bahwa:

“ Jika seseorang mati, baik laki-laki maupun perempuan yang tidak

meninggalkan ayah dan tidak meninggalkan anak, tetapi mempunyai

seorang saudara laki-laki (seibu saja) atau seorang saudara perempuan

(seibu saja), maka bagi masing-masing dari kedua jenis saudara itu

seperenam harta. Tetapi bila saudara-saudara seibu itu lebih dari seorang,

maka mereka bersekutu dalam yang sepertiga itu…”

Dalam ayat ke 176 Surat An- Nisaa’ dinyatakan bahwa:

“Mereka meminta fatwa kepadamu ( tentang kalalah). Katakanlah: ‘ Allah

memberi fatwa kepadamu tentang kalalah (yaitu): Jika seorang meninggal

dunia dan ia tidak mempunyai anak dan mempunyai saudara perempuan,

maka bagi saudaranya yang perempuan itu seperdua dari harta yang

ditinggalkannya, dan saudaranya yang laki-laki mempusakai (seluruh harta

saudara perempuan), jika ia tidak mempunyai anak; tetapi jika saudara

perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya duapertiga dari harta yang

ditinggalkan oleh yang meninggal. Dan jika mereka (ahli waris itu terdiri

dari) saudara-saudara laki-laki dan perempuan maka bagian seorang

saudara laki-laki sebanyak bagian dua orang saudara perempuan…”

Rasulullah tidak menjelaskan pengertian kalalah secara detail, sehingga

para sahabat dan ulama pernah berbeda pendapat tentangnya. Ulama Ahlussunnah

berpendapat bahwa kalalah adalah apabila seseorang meninggal dunia tidak

7

Page 8: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

meninggalkan ayah maupun anak. Anak dalam pengertian ini adalah anak laki-laki

atau cucu laki-laki yang menghijab hak waris dari saudara pewaris, sedangkan

anak perempuan tidak menghijab hak waris dari saudara pewaris.6

Prof. Hazairin yang terkenal dengan sistem bilateralnya berpendapat bahwa

kalalah adalah apabila seorang yang meninggal dunia tidak meninggalkan anak.

Maksud dari walad atau anak mengandung arti yang umum yaitu laki-laki

maupun perempuan. Pengertian anak ini masih dapat diperluas lagi dengan

ketentuan setiap orang dalam garis keturunan kebawah melalui laki-laki maupun

perempuan. Dengan demikian menurut Prof. Hazairin pengertian kalalah adalah

orang yang mati tidak mempunyai keturunan.7

Perbedaan pandangan mengenai kalalah ini mengakibatkan terjadinya

perbedaan dalam menentukan kedudukan hak waris dari saudara pewaris.Didalam

ketentuan pasal 176 KHI, pengertian anak menimbulkan beberapa pendapat

diakalangan para ulama. Kalangan yang berpendapat bahwa kata “anak” hanya

menunjuk pada anak laki-laki saja mempunyai konsekuensi bahwa selama ada

anak laki-laki dari pewaris, maka saudara kandung dari pewaris akan terhijab dari

hak atas bagian waris. Tetapi apabila pewaris hanya mempunyai anak perempuan

saja maka tidaklah menghijab hak waris dari saudara kandung pewaris. Hal ini

sesuai dengan ijma’ para ulama yang menyatakan bahwa anak laki-laki dari

pewaris menghijab bagian waris dari saudara kandung laki-laki dan atau

perempuan dari pewaris. 8

Jadi dengan demikian maka pengertian kalalah adalah apabila seorang

pewaris tidak meninggalkan atau mempunyai anak dalam pengertian tidak

mempunyai anak laki-laki maupun anak perempuan dan keturunannya.

D. Hak Waris Saudara Kandung Menurut Imam Syafii Dan Ahlussunnah.

Bagian waris dari saudara (laki-laki/perempuan) kandung menurut beliau

Imam syafii dengan, dapat terhijab oleh ahli waris lain yang mempunyai

6 Budiono.A.Rachmad, Pembaharuan Hukum Islam Di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999. hal. 447 ibid8 Rachmad.A. Budiono., embaharuan hukum Kewarisan Islam di Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung . 1999. hal 32

8

Page 9: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

hubungan yang lebih dekat dengan pewaris dalam garis keturunan vertikal keatas

dan kebawah sebagai berikut:9

a. Saudara perempuan kandung terhijab oleh Ayah, anak laki-laki dan cucu

laki-laki dari anak laki-laki.

- ½ apabila ia sendiri tanpa ada saudara laki-laki kandung pewaris.

- 2/3 apabila dua orang atau lebih tanpa bersama saudara laki-laki kandung

- Ashobal bil ghoir apabila sendiri atau banyak, mewaris bersama saudara

laki-laki kandung dengan perbandingan 2:1, ia juga mendapat ushubah

ketika bersama-sama seorang atau lebih anak perempuan, seorang atau

lebih cucu perempuan dari anak laki-laki tanpa saudara laki-laki kandung.

- Menghijab bersama anak perempuan atau cucu perempuan dari anak laki-

laki terhadap saudara laki-laki/perempuan seayah, anak laki-laki saudara

kandung dan seayah, paman kandung dan seayah dan sekalian anak turun

mereka.

- Seorang saudari perempuan tidak dapat menghijab saudara perempuan

sebapak kecuali ia berbilang, dua orang atau lebih.

b. Saudara laki-laki kandung dapat terhijab oleh anak laki-laki atau cucu laki-

laki pancar laki-laki dan Ayah.

- Ashobah baik sendirian atau berbilang atau bersama saudara perempuannya

yang sekandung dengan cara berbagi 1:1 antar laki-laki dan 2:1 antara laki-

laki dan perempuan. Hal ini terjadi selama tidak ada kakek dan ahli waris

yang menghijabnya.

- Dapat menghijab Saudara laki-laki seayah, anak laki-laki saudara laki-laki

sekandung maupun seayah, paman sekandung maupun paman seayah serta

anak laki-laki paman sekandung/seayah.

E. Hak Waris Saudara Kandung Menurut Prof. Hazairin.

Menurut Prof. Hazairin, saudara kandung laki-laki dan atau perempuan

dari pewaris selamanya tidak dapat mewaris bersama dengan anak laki-laki dan

atau anak perempuan dan anak-anak dari mereka (cucu), baik laki-laki maupun

9 A. Sukris Sarmadi, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta 1997 hal.117.

9

Page 10: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

perempuan dalam garis lurus kebawah tanpa disyaratkan tidak adanya ayah dari

pewaris. Menurut beliau bahwa kesejajaran kedudukan anak dari pewaris dan ayah

dari pewaris yang tampak dalam QS. An-Nisaa’ ayat 11 tidak berlaku penuh. Hal

ini didasarkan pada jumlah bagian waris anak yang lebih besar daripada jumlah

bagian waris dari ayah.

Hal lain yang menjadi pertimbangan beliau adalah bahwa jumlah bagian

waris dari suami atau istri dipengaruhi oleh bagian waris anak tetapi tidak

dipengaruhi oleh bagian dari ayah pewaris. Dengan demikian kedudukan anak

pewaris tidak dapat digantikan oleh ayah pewaris. Bahwa ayah sebagai ashobah

apabila pewaris tidak mempunyai anak sebagaimana yang terdapat dalah hadist

yang diriwayatkan oleh HR. Bukhari dan Muslim, yang artinya “ berikanlah harta

pusaka kepada orang-orang yang berhak sesudah itu sisanya untuk orang laki-

laki yang lebih utama “ tidak dapat dijadikan dasar terhijabnya saudara kandung

oleh ayah.10

Prof. Hazairin tidak membedakan antara saudara kandung dengan saudara

seayah atau saudara seibu dalam memahami isi dari QS. An-Nisaa’ ayat 12 dan

ayat 176, sebab pengkhususan seperti itu tidak ada dasar hukumnya yang kuat,

oleh karena itu harus ditafsirkan secara umum untuk semua jenis saudara tanpa

pembedaan seperti pengertian walad atau anak. Menurut Prof. Hazairin, kalangan

ahlussunah sendiri mengakui adanya keumuman pengertian saudara dalam surat

An-Nisaa’ ayat 11, dalam hal kewarisan antara ibu bersama dengan saudara.

Dengan demikian maka Prof. Hazairin mengatakan bahwa selama pewaris

masih mempunyai anak dan atau keturunan dalam garis lurus kebawah, maka

selamanya saudara tidak dapat mewaris bersama dengan anak dan atau keturunan

dari pewaris tersebut.11

Dari pemahaman tersebut maka beliau mengatakan bahwa saudara kandung

dengan saudara seayah dan saudara seibu mempunyai kedudukan yang sama

dalam hal mewaris, dan tidak saling menghijab

.

F. Hak Waris Saudara Kandung Menurut KHI

Di dalam ketentuan Kompilasi Hukum Islam kedudukan saudara sebagai

ahli waris diatur dalam pasal 181 dan pasal 182 KHI. Pasal 181 KHI mengatur

mengenai kedudukan saudara seibu dari pewaris, sedangkan dalam pasal 182 KHI

diatur mengenai kedudukan saudara kandung dan saudara sebapak dari pewaris.

10 Hazairin,. Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, Tintamas Indonesia, Jakarta, 1964, hal 35.11 Ibid.

10

Page 11: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

Dari ketentuan pasal 181 dan pasal 182 KHI ini tersirat bahwa dalam konsep KHI

cenderung mengikuti pendapat Ahlussunah yang membuat pembagian saudara

menjadi saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu, daripada pendapat

Prof. Hazairin yang mengkhususkan pengertian saudara tanpa membedakan

saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu. Pasal 181 KHI menyebutkan

bahwa:

“Bila seorang meninggal dunia tanpa meninggalkan anak dan ayah, maka

saudara laki-laki dan saudara perempuan seibu masing-masing mendapat

seperenam bagian. Bila mereka itu dua orang atau lebih maka mereka

bersama-sama mendapat sepertiga bagian”.

Sedangkan dalam pasal 182 KHI disebutkan bahwa:

“Bila seorang meninggal tanpa meninggalkan ayah dan anak sedang ia

mempunyai seorang saudara perempuan kandung atau seayah maka ia

mendapat separuh bagian waris.Bila saudara perempuan tersebut bersama-

sama dengan saudara perempuan kandung atau seayah dua orang atau lebih

maka mereka bersama-sama mendapat dua pertiga bagian waris. Bila

saudara perempuan tadi bersama-sama dengan saudara laki-lakikandung

atau seayah, maka saudara laki-laki adalah dua berbanding satu dengan

saudara perempuan”

Pasal 182 KHI dapat ditafsirkan sebagai berikut:

1. Jika hanya ada satu saudara perempuan kandung maka ia mendapatkan

setengah bagian waris.

2. Jika hanya ada satu saudara perempuan sebapak maka ia mendapatkan

setengah bagian waris.

3. Jika ada dua atau lebih saudara perempuan kandung dan atau saudara

perempuan sebapak baik mereka itu terdiri dari (a) seluruhnya saudara

perempuan kandung (b)seluruhnya saudara perempuan sebapak (c)

saudara perempuan kandung dan saudara perempuan sebapak; maka

mereka memperoleh dua per tiga bagian waris.

4. Saudara laki-laki kandung menjadikan saudara perempuan kandung

sebagai ashobah dengan ketentuan 2:1 dengaa saudara perempuan.

5. Saudara laki-laki sebapak menjadikan saudara perempuan sebapak

sebagai ashobah dengan ketentuan 2:1 dengan saudara perempuan

sebapak tersebut.

11

Page 12: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

G. Hak Waris Saudara Kandung Menurut Pendapat Kelompok

Dari berbagai pendapat dan pandangan yang dikemukakan oleh banyak

kalangan ahli seperti diuraikan diatas maka kami berpendapat bahwa konsep KHI

yang sebagian besar merujuk pada pendapat ahlussunah dan Imam Syafii relatif

telah diterima oleh banyak kalangan. Adanya pembedaan saudara antara saudara

kandung, saudara seayah dan saudara seibu seperti terlihat dalam ketentuan pasal

181 dan 182 KHI dapat dipakai sebagai pedoman pembagian waris dikalangan

saudara pewaris, meskipun dalam ketentuan pasal 185 KHI mengisyaratkan

adanya pranata pergantian tempat yang tidak dikenal dikalangan ahlussunah dan

Imam Syafii.

Apabila saudara dari pewaris tersebut baru dapat mewaris apabila pewaris

meninggal dalam keadaan kalalah, maka pengertian “anak” sebaiknya diartikan

secara umum yaitu meliputi anak laki-laki dan anak perempuan dan

keturunannya. Apabila mengikuti KHI maka yang dimaksud dengan kalalah

adalah apabila seorang mati tidak meninggalkan anak keturunan tanpa disyaratkan

tidak adanya ayah. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan pasal 177 KHI.

Dengan demikian dapat dikatakan bahwa saudara kandung dapat mewaris

bersama dengan ayah apabila pewaris mati dalam keadaan tanpa anak keturunan.

Oleh karena itu ada tidaknya ayah hanya akan mempengaruhi besar kecilnya

bagian waris yang akan diterima oleh saudara dari pewaris. Namun demikian

apabila memperhatikan ketentuan dari pasal 181 dan pasal 182 KHI, maka bagian

waris dari saudara kandung pewaris relatif lebih besar daripada bagian

warisdaridara seayah atau saudara seibu dari pewaris. Hal ini tentulah dapat

dipahami dengan melihat kedekatan hubungannya dengan pewaris.12

Ada dua persoalan yang berkaitan dengan ketentuan pasal 182 KHI yaitu

dapat tidaknya saudara laki-laki sebapak menarik saudara perempuan sekandung

menjadi ashobah. Menurut pendapat dari Rachmad Budiono sesuai dengan

keumuman asas didalam hukum kewarisan Islam, maka saudara laki-laki sebapak

tidak dapat menjadikan saudara perempuan kandung sebagai ashobah. Apabila

mereka mewaris bersama-sama maka saudara perempuan sebagai dzul faraid,

sedangkan saudara laki-laki sebapak sebagai ashobah. Meskipun mereka

bersaing/bersama-sama dalam mewaris tetapi tidak dengan sendirinya saudara

laki-laki sebapak menjadikan saudara perempuan kandung menjadi ashobah.

12 Ahmad Azhar Basyir, opcit hal. 198

12

Page 13: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

Asas umum ditariknya seorang perempuan menjadi ashobah oleh seorang

laki-laki adalah bahwa mereka berada dalam kesetaraan kedudukan. Hal ini dapat

dilihat misalnya antara sesama anak kandung, sesama saudara kandung, sesama

cucu. KHI menerima konsep bahwa antara saudara kandung dan saudara

seayah/seibutidak saling menghijab hirman, tetapi hal ini tidak menjadikan

mereka berderajat sama.

Kelompok kami berpendapat bahwa apabila antara saudara kandung dan

saudara seayah/seibu tidak saling menghijab maka mereka dianggap berderajat

sama, oleh karena itu saudara laki-laki seayah dapat menjadikan saudara

perempuan kandung sebagai ashobah. Berbeda halnya apabila saudara kandung

dapat menghijab hirman saudara seayah/seibu, sebagaimana konsep anak

menghijab hirman ayah atau ibu, maka yang membedakan mereka adalah besar

kecilnya bagian warisnya dan dengan demikian maka saudara laki-laki seayah

tidak dapat menarik saudara perempuan kandung sebagai ashobah.

BAB III

PENUTUP

A. Kesimpulan

Kalangan ahlussunah mengatakan bahwa saudara dibedakan menjadi

saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu. Bahwa para saudara dari

13

Page 14: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

pewaris ini baru dapat mewarisi harta warisan apabila pewaris meninggal secara

kalalah, dengan pegertian tidak mempunyai anak dan ayah. Saudara kandung

pewaris ini menghijab saudara seayah dan atau saudara seibu dari pewaris.

Prof. Hazairin mengartikan saudara dengan pengertian yang umum, tidak

mengadakan pembedaan pengertian saudara dengan saudara kandung, saudara

seayah/seibu. Bahwa beliau juga berpendapat bahwa tidak disyaratkan tidak

adanya ayah dalam hal kalalah. Bahwa kedudukan saudara pewaris adalah sejajar

dalam hal mewaris dan tidak saling menghijab diantara mereka.

KHI tidak mengadakan pembedaan kedudukan antara saudara pewaris

dengan pengertian saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu.

Pembedaan hanya terjadi pada besar kecilnya bagian dari masing-masing jenis

saudara tersebut Hal ini dapat dilihat pada ketentuan pasal 181 dan pasal 182

KHI. Dalam KHI juga dinyatakan bahwa saudara-saudara dari pewaris itu baru

dapat mewaris apabila pewaris meninggal dalam keadaan kalalah, dengan

pengertian pewaris meninggal tanpa adanya anak dan ayah. KHI juga menegaskan

bahwa diantara saudara kandung, saudara seayah dan saudara seibu tidak saling

mengijab.

B. Saran

Bahwa kewarisan Islam dalam KHI yang berkenaan dengan bagian waris

diantara saudara kandung, saudara seayah, saudara seibu masih menyisakan

persoalan yang belum diperoleh pemecahannya secara menyeluruh. Untuk itu

masih diperlukan adanya pemikiran bersama dan atau ijtihad untuk

menyelesaikan persoalan tersebut secara menyeluruh, meskipun dalam keumuman

asas hukum waris Islam dikenal dengan adanya istilah perdamaian sebagaimana

tertuang dalam ketentuan pasal 183 KHI, namun sangat penting artinya untuk

menetapkan posisi dan besar bagian dari ahli waris antara saudara kandung

dengan saudara seyah/seibu secara definitif dan limitatif dalam KHI.

DAFTAR PUSTAKA

Basyir, Ahmad Azhar, Hukum waris Islam, Ekonesia Fakultas Hukum UII,

Yogyakarta 1999.

Budiono.A.Rachmad, Pembaharuan Hukum Kewarisan Islam di Indonesia,

PT.Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999.

14

Page 15: Kedudukan Saudara Kandung Dalam Hukum Waris Islam

Departemen Agama, Al-Quran dan Terjemahannya, Proyek Penerbit Kitab Suci

Al-Quran, Jakarta, 1971.

Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut Al-Quran dan Hadist, Tintamas,

Jakarta, 1964.

Sarmadi.A.Sukris, Transendensi Keadilan Hukum Waris Islam Transformatif, PT.

Raja Grafindo Persada, Jakarta,1997.

15