kedudukan para bupati pada masa raffles

10
PENDAHULUAN Suatu masa dimana Belanda menyerahkan kekuasaanya di Indonesia kepada Inggris, dikarenakan pada waktu itu belanda mengalami kekalahan atas peperangan dengan Perancis. Kecuali daerah Bengkulu yang masih tetap menjadi daerah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Belanda menyerahkan daerah jajahannya kepada Inggris karena Pangeran William V melarikan diri ke Inggris meminta perlindungan agar daerah jajahanya tidak direbut oleh negara lain. Dan setelah Belanda bebas dari Perancis maka daerah tesebut dikembalikan. Keadaan masyarakat Jawa pada masa itu sangat sengsara karena dalam penarikan pajak masih menggunakan perantara Bupati kemudian hasil pajak itu diberikan kepada pemerintahan kolonial. Namun Bupati sendiri dalam penarikan pajak terkadang juga meminta jatah dari rakyat. Sehingga rakyat semakin sengsara karena tidak mendapatkan hasil apa-apa dari penanaman dalam sisten tanam paksa. Inilah yang membuat Daendels dan Raffles yang memiliki pemikiran yang liberal ingin mengubah cara kerja Bupati. Daendels yang berkuasa pada tahun 1808 – 18011 berusaha untuk menghapus sistem feodal yang dipakai oleh Belanda sendiri. Namun hal itu tidak semudah

Upload: nurul-ha

Post on 27-Jun-2015

272 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: kedudukan para bupati pada masa raffles

PENDAHULUAN

Suatu masa dimana Belanda menyerahkan kekuasaanya di Indonesia

kepada Inggris, dikarenakan pada waktu itu belanda mengalami kekalahan atas

peperangan dengan Perancis. Kecuali daerah Bengkulu yang masih tetap menjadi

daerah kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda. Belanda menyerahkan daerah

jajahannya kepada Inggris karena Pangeran William V melarikan diri ke Inggris

meminta perlindungan agar daerah jajahanya tidak direbut oleh negara lain. Dan

setelah Belanda bebas dari Perancis maka daerah tesebut dikembalikan.

Keadaan masyarakat Jawa pada masa itu sangat sengsara karena dalam

penarikan pajak masih menggunakan perantara Bupati kemudian hasil pajak itu

diberikan kepada pemerintahan kolonial. Namun Bupati sendiri dalam penarikan

pajak terkadang juga meminta jatah dari rakyat. Sehingga rakyat semakin sengsara

karena tidak mendapatkan hasil apa-apa dari penanaman dalam sisten tanam

paksa. Inilah yang membuat Daendels dan Raffles yang memiliki pemikiran yang

liberal ingin mengubah cara kerja Bupati.

Daendels yang berkuasa pada tahun 1808 – 18011 berusaha untuk

menghapus sistem feodal yang dipakai oleh Belanda sendiri. Namun hal itu tidak

semudah membalikkan telapak tangan, sebab di pemeritahan pribumi sendiri

sistem feodal masih berlaku. Jadi bagaimanapun Daendels harus menyesuaikan

dengan keadaan di daerah pribumi. Salah satu tindakan yang ia lakukan adalah

mengangkat para Bupati sebagai pegawai pemerintahan namun masih mempunyai

kekuasaan feodal. Sehingga pada saat penarikan pajak bupati masih digunakan

sepagai petugas penarik dan juga bupati sebagai orang yang mengawasi jalannya

sistem tanam paksa.

Namun yang saya bahas disini bukanlah bagaimana kerja Daendels dalam

mengubah sistem feodal yang ada di daerah pribumi melainkan kedudukan bupati

pada masa daerah jajahan Belanda berada dalam pemerintahan Inggris. Yaitu pada

masa pemerintahan dipegang oleh Raffles.

Page 2: kedudukan para bupati pada masa raffles

PEMBAHASAN

Bupati adalah raja yang berada di daerah yang berkuasa penuh atas daerah

kekuasaannya. Apabila daerah kekuasaan bupati itu jauh dari pusat kerajaan

kekusaannya semakin kuat kedudukannya atas daerah tersebut. Menurut sistem

feodal yang berlaku selama berabad-abad para bupati di daerahnyamempunyai

tanah kedudukan serta memungut hasil serta mengerahkan tenaga penduduknya

untuk pelbagai keperluan jabatan dan rumah tangganya.1 Selain itu bupati juga

berperan sebagai perantara antara pemerintah kolonial dan rakyat. Bupati

beranggapan bahwa mereka juga memiliki tanah di daerahnya, yang kemudian

ssifat tersebut menurun kepada penguasa-penguasa dibawahnya.

Kedudukan bupati yang strategis itu juga menimbulkan permasalahan bagi

pemerintah kolonial dan rakyat pada umumnya. Sebab kadang dalam menjalankan

tugasnya sebagai perantara, bupati menyelewengkan wewenangnya. Dalam

pendahuluan di atas telah dikatakan bahwa dalam penarikan pajak terkadang

bupati juga meminta jatah dari rakyat. Bukan hanya bupati yang meminta jatah

dari rakyat, penyewa tanah juga memiliki kedudukan seperti bupati sudah barang

tentu mempunyai hasrat besar untuk mengambil keuntungan yang sebesar-

besarnya.2 Para penyewa melakukan hal demikian selama mereka menyewa tanah.

Sehingga rakyat tambah sengsara dan pemerintah kolonial sendiri mengalami

kerugian karena dianggap tidak manusiawi sebab rakyat pribumi dibiarkan

sengsara.

Kedudukan bupati mulai berkurang sejak kolonialisasi mulai diterapkan di

Indonesia. Dimulai sejak Dirk van Hogendorp berkuasa yaitu pada tahun 1799,

yaitu setelah VOC dibubarkan dan daerah jajahan dipegang langsung oleh

pemerinthan Belanda. Van Hogendorp mengusulkan agar kekuasaan bupati

dikurangi dan pnguasa daerah lainnya diatur kembali.3

1 ? Sartono Kartodirjo. Pengantar sejarah indnesia baru : 1500-1900, 1999. Hal. 299. 2 ?.Ibid. hal 301 3 ?. Ibid. hal. 290

Page 3: kedudukan para bupati pada masa raffles

Kekuasaan benar-benar berkurang saat Inggris berkuasa di Indonesia.

Yaitu pada saat Thomas Stanford Raffles (1811 – 1816) menjadi penguasa d I

Indonesia menggantikan Daendels. Raffles adalah wakil dari raja muda Lord

Minto. Seperti halnya Daendel, Raffles juga ingin menerapkan sistem liberal. Dan

ia juga hendak menghapuskan penyerahan paksa dan jasa-jasa – perorangan, dan

diadakannya kebebasan bercocok tanam dan berdagang.4 Selain itu pada saat

Raffles berkuasa kekuasaan bupati dibatasi, dan saat pemungutan pajak para

bupati tidak lagi berperan sebagai perantara. Bupati diberlakukan layaknya

pegawai biasa yang bekerja pada pemerintah yang kemudian digaji oleh

pemerintah.

Selain mengatur kekuasaan bupati Raffles juga mengahapus seluruh

pengerahan wajib dan wajib kerja dengan member kebebasan penuh untuk kultur

dan perdagangan, pemerintah secara langasung mengawasi tanh-tanah,hasil

ipungut oleh langsung oleh pemerintah ttanpa perantara bupati yang tugasnya

terbatas pada dinas-dinas umum serta penyewaan tanah dibeberapa daerah

dilakukan berdasarkan kontrak dan terbatas waktunya.

Dalam penarikan pajak pun pada saat Raffles jumlah pajak yang dipungut

diatur ulang, yaitu diatur dengan menggunakan sistem barat, setiap hasil

penanaman sawah dipungut 1/5, 2/5, atau seperrtiga dari hasil panen kotor (bruto)

dalam bentuk uang atau beras. Dalam pelaksanaan cara ini mengalami kesulitan,

salah satunya adalah belum ada alat yang tepat untuk untuk mengukur tanah

secara benar, baik luas tanah yang ditanami maupun tingkat kesuburan tanah.

Terkadang dalam penarikan pajak ini terjadi kecurangan yang dilakukan oleh para

lurah. Pada saat laporan kepada pemerintah mereka memberikan laporan palsu

tentang luas wilayah tanah yang mereka garap.

Dalam pelaksanaannya pembaharuan sistem kerja bupati tentu saja tidak

mudah, banyak sekali pertentangan antara bupati dan raja dengan pemerintah

pusat. Hal ini disebabkan karena mereka merasa bahwa kekuasaan mereka telah

berkurang karena mereka hanya dianggap sebagai pegawai yang menerima gaji 4 ?. Mawarti dan Nugroho. Sejarah nasiona Indonesia V, 1976. Hal. 3.

Page 4: kedudukan para bupati pada masa raffles

tiap bulannya. Para bupati tidak ingin kehilangan kekuasaanya di daerah. Mereka

tidak ingin dilangkahi oleh pemerintah kolonial, sehingga mereka menolak Sistem

Tanam Paksa dengan berbagai aksi obstruksi terhadap Sistem Tanam Paksa.

Berbagai cara dilakukan demi mereka dapat memberlakukan cara yang telah lama

berlaku di daerah. Mereka ingin tetap mempertahankan sistem feodal lama.

Pemberontakan pun kadang terjadi dikalangan para bupati yang ditujukan kepada

pemerintah kolonial. Seperti yang terjadi di Tegal, Pekalongan, dan Cirebon

banyak orang yang tidak berani keluar dari rumah karena ada pencurian secara

besar-besaran yang rupanya dibiarkan bahkan mungkin digerakkan oleh penguasa

sendiri. Ada pula gerombolan perampok yang diorganisasi oleh bupati dengan

akibat bahwa tidak cukup orang yang mengerjakan tanah untuk STP. Sifat

kepemimpinan bupati sebagai otoritas tertingi di daerahnya adalah pomorfik

( bersegi banyak), maka dalam penyelenggaraan STP agak dipersempit , yaitu

secara khusus mengawasi dan menjamin produksi. Dipandang secara demikian,

itu berarti suatu kemerosotan atau seperti yang disebut Schrieke, bupati berubah

menjadi mandor tanam paksa.5

Dengan demikian bahwa kedudukan kekuasaannya telah berkurang pada

daerah yang mereka pimpin. Jelaslah mereka hanya sebagai pengawas jalannya

penarikan pajak yang dilaksanakan oleh pemerintah kolonial dan menjadi

pengawas dalam pelaksanaan tanam paksa. Mereka kehilangan pengaruh di

wilayah yang mereka kuasai sendiri. Dapat dikatakan mereka hanya sebagai

simbol kekuasaan saja di daerah yang mereka kuasai, dan juga mereka kehilangan

para pengikut yang dapat mereka manfaatkan sebagai pembantu mereka,

meskipun ada sedikit yang tetap mau menjadi bawahan bupati.

5 ? Sartono Kartodirjo. Pengantar sejarah indnesia baru : 1500-1900, 1999. Hal. 308-309.

Page 5: kedudukan para bupati pada masa raffles

KESIMPULAN

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa bupati adalah penguasa yang

berada didaerah yang berkuasa penuh atas daerah kekuasaannya. Apabila daerah

kekuasaan bupati itu jauh dari pusat kerajaan kekusaannya semakin kuat

kedudukannya atas daerah tersebut.

Kedudukan bupati mulai berkurng sejak awal diterapkannya kolonialisasi

di daerah jajaahan Belanda yaitu Indonesia. Berawal dari pemerintahan Van

Hogendorp kemudian Daendels dan Raffles, mereka mncoba untuk mengubah

sistem foudal yang ada di daerah menjadi liberal. Yaitu mengubah penarikan

pajak yang semula melalui perantara Bupati menjadi penarikan pajak secara

langung yang dilakukan oleh pemerintah kolonial.

Pada masa Raffles kedudukan bupati semakin di bawah. Mereka hanya

sebagai pegawai kolonial yang digaji tiap bulannya dan wewenang atas daerah

mereka pun dibatasi. Mereka hanya seperti mandor yang mengawai kerja para

bawahan. Dalam hal ini ada pula ketidak sepakatan dengn peraturan yang

dikeluarkan oleh Raffles. Masih banyak dari mereka mencoba untuk merusak

keamanan yang ada dalam masyarakat. Seperti yang terjadi di Tegal, Pekalongan,

dan Cirebon banyak orang yang tidak berani keluar dari rumah karena ada

pencurian secara besar-besaran yang rupanya dibiarkan bahkan mungkin

digerakkan oleh penguasa sendiri. Ada pula gerombolan perampok yang

diorganisasi oleh bupati yang mengakibatkan berkurangnya orang yang

mengerjakan tanah untuk STP. Hal tersebut adalah salah satu bentuk dari protes

yang mereka lakukan terhadap pemerintah kolonial yang dijalankan oleh Raffles.

Page 6: kedudukan para bupati pada masa raffles

DAFTAR PUSTAKA

Kartodirjo, Sartono. 1999. Pengantar Sejarah Indnesia Baru : 1500-1900;

Jakarta. PT Gramedia Puskata Utama.

Mawarti Djoened Poesponegoro Dan Nugroho Notosusanto. 1984. Sejarah

Nasional Indonesia V; jakarta. Balai Pustaka.