kedudukan anak angkat dalam kewarisan islam di...
TRANSCRIPT
KEDUDUKAN ANAK ANGKAT DALAM KEWARISAN
ISLAM DI INDONESIA
(Analisis Putusan Perkara Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175 K/Ag/2016)
SKRIPSI
Diajukan Kepada Fakultas Syari‟ah dan Hukum Untuk Memenuhi Salah Satu
Syarat Memperoleh Gelar Sarjana Hukum (S.H)
Disusun oleh ;
MUHAMMAD ROMDONI
NIM: 11150440000133
PROGRAM STUDI HUKUM KELUARGA
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1442H/2020M
v
ABSTRAK
Muhammad Romdoni. Nim 11150440000133. KEDUDUKAN ANAK ANGKAT
DALAM HUKUM KEWARISAN ISLAM DI INDONESIA (Studi Putusan
Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA JS Sampai Dengan Putusan Nomor 175 K/AG/2016).
Program Studi Hukum Keluarga (Ahwal Syakhsiyyah), Fakultas Syariah dan
Hukum Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta, 1441 H/2020 M.
(xv halaman, 96 halaman).
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pertimbangan hakim
dalam hukum waris terhadap anak angkat pada Putusan Nomor
2810/Pdt.G/2013/PA JS, sampai Putusan Nomor 175 K/AG/2016 lalu bagaimana
perbandingan pertimbangan hakim Tingkat Pertama sampai Tingkat Kasasi
dalam hukum waris bagi anak angkat, Jenis Penelitian yang digunakan ialah jenis
penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang bertujuan untuk menemukan
konsep dan teori, dan kepustakaan (library research) yaitu dengan mempelajari
literatur-literatur, peraturan perundang- undangan, serta tulisan-tulisan para
sarjana yang berkaitan dengan masalah yang diteliti.
Hasil penelitian ini menunjukkan beberapa kesimpulan sebagai berikut:
Pada Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA JS dan Putusan Nomor
175/K/AG/2016, lebih mengkedepankan dari apek yuridis berdasarkan KHI Pasal
209 yaitu terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah
sebanyak 1/3 harta waris orang tua angkatnya. Sedangkan putusan Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK dengan menetapkan anak angkat tidak mendapatkan
bagian waris dengan alasan anak angkat tidak memiliki legal standing untuk
mengajukan gugatan wasiat wajibah. Pada putusan pertama sampai kasasi
memberikan wasiat wajibah terhadap anak angkat sudah sesuai dengan teori
wasiat wajibah yang diatur di dalam KHI pasal 209, dan sejalan dengan
mashlahah mursalah yang lebih mengkedepakan aspek kemaslahatan agar
terciptanya putusan yang adil dan ihsan.
Kata Kunci : Pengangkatan Anak, Putusan, Hakim.
Pembimbing : Indra Rahmatullah, S.HI., M.H.
Daftar Pustaka : 1958 s.d 2019
vi
KATA PENGANTAR
الرحيمبسم الله الرحمن
Segala puji serta syukur penulis panjatkan bagi Allah SWT. Yang telah
memberikan taufiq dan hidayah serta ma‟unahnya kepada kita semua, khususnya
kepada penulis, sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul
“Kedudukan Anak Angkat Dalam Hukum Kewarisan Islam di Indonesia”(Analisis
Putusan Perkara Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK,
Nomor 175 K/Ag/2016)” dapat di selesaikan dengan baik. Penulisan skripsi ini
bertujuan untuk memenuhi persyaratan untuk memperoleh gelar Sarjana S1,
Sarjana Hukum pada prodi Hukum Keluarga di Fakultas Syariah Dan Hukum
Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Dalam proses pembuatan skripsi ini terdapat kesulitan dan hambatan yang
di alami penulis. Berkat bantuan dan motivasi berbagai pihak, maka segala
kesulitan dan hambatan ini dapat diatasi tentunya dengan izin Allah SWT oleh
karena itu, dalam kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih kepada :
1. Rektor Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta Prof.Dr. Amany
Burhanuddin Umar Lubis, M.A.
2. Bapak Dr. Ahmad Tholabi Kharlie, M.A. Selaku Dekan Fakultas Syariah dan
Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
3. Ibu Dr. Mesraini, S.H., M.Ag. selaku Ketua Program Studi Hukum Keluarga
Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta serta Bapak
Ahmad Chairul Hadi, M.A., Sekretaris Program Studi.
4. Bapak Prof. Dr. H.A. Salman Manggalantung S.H., M.H. selaku dosen
Penasehat Akademik yang tak kenal lelah membimbing penulis serta
mendampingi penulis dengan penuh keikhlasan dan kesabaran pada sampai
tahap semester akhir di Fakultas Syariah dan Hukum.
5. Bapak Indra Rahmatullah, S.HI.M.H. selaku Dosen Pembimbing yang telah
membimbing penulis sehingga dapat menyelesaikan skripsi ini dengan baik.
6. Segenap bapak dan ibu dosen, pada lingkungan program Studi Hukum
Keluarga Fakultas Syariah dan Hukum UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang
vii
telah memberikan banyak ilmu dan pengetahuan selama duduk di bangku
kuliah.
7. Bapak Jamaluddin dan Ibu Siti Rahyu selaku orang tua yang selalu
memberikan kasih sayang, dukungan moril maupun materi yang tiada henti
tanpa mengenal lelah.
8. Kakak tercinta Dasuki, Ruslan, Julaeha, Hairuddin, Susanti, dan Muhammad
Alfani, Nurjannah selaku kakak dan Muhamad Riski selaku adik yang selalu
menyemangati penulis dan menasehati penulis untuk menjadi pribadi yang
lebih baik kedepannya. Khususnya dukungan dalam pembuatan skripsi ini.
9. Ahmad Zulfi aufar, S.H., Lutfi Zakaria, S.H., Noufal Arif, S.H., Edo Iskandar,
S.H., Bikri Briliansyah, Qotrun Nada, S.H, Akbar,Imam,Lutfi A,Latif,Iqbal,
Enday Hidayat, Said Fandi, Fiqi, Helmi, Robby, Fadil, Zakky Mubarok.
selaku sahabat-sahabat Hukum Keluarga selalu memberikan semangat kepada
penulis untuk menyelesaikan skripsi ini.
10. Yang tersayang,Siva Maulia Fauziah A.md Terima Kasih atas perhatian
semangat, dukungan dan kasih sayang yang terus menerus diberikan.
11. Seluruh Mahasiswa Program Studi Hukum Keluarga angkatan 2015 yang
telah berjuang bersama-sama.
Penulis menyadari bahwa dalam pembuatan skripsi ini masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu, kritik dan saran sangat penulis butuhkan
agar membuat skripsi ini lebih baik dari sebelumnya.
Jakarta, 13 Januari 2020
Muhammad Romdoni
viii
PEDOMAN TRANSLITERASI
Hal yang dimaksud dengan transliterasi adalah alih aksara dari tulisan
asing (terutama Arab) ke dalam tulisan Latin. Pedoman ini diperlukan terutama
bagi mereka yang dalam teks karya tulisnya ingin menggunakan beberapa istilah
Arab yang belum dapat diakui sebagai kata bahasa Indonesia atau lingkup masih
penggunaannya terbatas.
a. Padanan Aksara
Berikut ini adalah daftar akasara Arab dan padanannya dalam aksara
Latin:
Huruf Arab Huruf Latin Keterangan
Tidak Dilambangkan ا
B Be ب
T Te ت
Ts te dan es ث
J Je ج
h} ha dengan garis bawah ح
Kh ka dan ha خ
D De د
Dz de dan zet ذ
R Er ر
Z Zet س
S Es س
Sy es dan ye ش
ix
s} es dengan garis bawah ص
d} de dengan garis bawah ض
t} te dengan garis bawah ط
z} zet dengan garis bawah ظ
koma terbalik diatas hadap „ ع
kanan
Gh ge dan ha غ
F Ef ف
Q Qo ق
K Ka ك
L El ل
M Em م
N En ن
W We و
H Ha ه
Apostrop „ ء
Y Ya ي
b. Vokal Pendek dan Vokal Panjang
Vokal Pendek Vokal Panjang
_____ ______= a ىا= a>
x
_____ ______= i ىي= i>
_____ ______= u ىو= u>
c. Diftong dan Kata Sandang
Diftong Kata Sandang
al =)ال( ai =__ أ ي
al-sh =)الش( aw =__ أ و
-wa al =)وال(
d. Tasydid (Syaddah)
Dalam alih aksara, syaddah atau tasydid dilambangkan dengan huruf,
yaitu dengan menggandakan huruf yang diberi tanda syaddah. Tetapi, hal ini tidak
berlaku jika huruf yang menerima tanda syaddah itu terletak setelah kata sandang
yang diikuti oleh huruf-huruf syamsiyyah. Misalnya: al-Syuf’ah, tidak ditulis asy-
syuf’ah
e. Ta Marbutah
Jika ta marbutah terdapat pada kata yang berdiri sendiri (lihat contoh 1)
atau diikuti oleh kata sifat (na‟t) (lihat contoh 2), maka huruf ta marbûtah tersebut
dialihaksarakan menjadi huruf “h” (ha). Jika huruf ta marbûtah tersebut diikuti
dengan kata benda (ism), maka huruf tersebut dialihasarakan menjadi huruf “t”
(te) (lihat contoh 3).
Kata Arab Alih Aksara
syarî „ah شزيعة
al- syarî „ah al-islâmiyyah الشزيعة الإسلا مية
Muqâranat al-madzâhib مقارنة المذا هة
Beberapa ketentuan lain dalam EYD juga dapat diterapkan dalam alih
aksara ini, misalnya ketentuan mengenai huruf cetak miring atau cetak tebal.
Berkaitan dengan penulisan nama, untuk nama-nama yang berasal dari dunia
Nusantara sendiri, disarankan tidak dialihaksarakan meski akar kara nama tersebut
berasal dari Bahasa Arab. Misalnya: Nuruddin al-Raniri, tidak ditulis Nûr al-Dîn
al-Rânîrî.
xi
Istilah keislaman (serapan): istilah keislaman ditulis dengan berpedoman
kepada Kamus Besar Bahasa Indonesia, sebagai berikut contoh:
No Transliterasi Asal Dalam KBBI
1 Al-Qur‟an Alquran
2 Al-Hadith Hadis
3 Sunnah Sunah
4 Nash Nas
5 Tafsir Tafsir
6 Fiqh Fikih
Dan lain-lain (lihat KBBI)
xii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL
LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING ............................................................ ii
LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ........................................ iii
LEMBAR PERNYATAAN ........................................................................................ iv
ABSTRAK .................................................................................................................... v
KATA PENGANTAR ................................................................................................. vi
PEDOMAN TRANSLITERASI ............................................................................... vii
DAFTAR ISI ............................................................................................................... xii
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah .................................................................... 1
B. Identifikasi Masalah........................................................................... 5
C. Pembatasan Masalah .......................................................................... 5
D. Perumusan Masalah ........................................................................... 5
E. Tujuan Penelitian ............................................................................... 5
F. Manfaat Penelitian ............................................................................. 6
G. Tinjauan (Review) Studi Terdahulu .................................................. 6
H. Metode Penelitian .............................................................................. 8
I. Sistematika Penulisan ......................................................................... 9
BAB II PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak ............................................................................. 11
B. Pengertian Pengangkatan Anak ...................................................... 12
C. Tinjauan Pengangkatan dalam Hukum Islam................................. 12
xiii
D. Tinjauan Pengangkatan Anak dalam Hukum Positif ..................... 18
E. Wasiat Wajibah .............................................................................. 21
F. Mashlahah Mursalah ...................................................................... 26
BAB III STUDI PUTUSAN No.2810/Pdt.G/2013/PA.JS SAMPAI No.
175 K/Ag/2016
A. Pertimbangan Hakim daam Memutus Perkara Nomor
2810/Pdt.G/2013/PA.JS........................................................................ 33
B. Pertimbangan Hakim daam Memutus Perkara Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK ........................................................................ 40
C. Pertimbangan Hakim daam Memutus Perkara Nomor 175
K/Ag/2016. ........................................................................................... 43
BAB IV PERTIMBANGAN HAKIM TERHADAP ANAK ANGKAT
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama, PTA, MA Tentang Kedudukan
Anak Angkat Dalam Kewarisan Islam di Indonesia ................................. 49
B. Analisis Kedudukan Anak Angkat Dalam Kewarisan Islam di
Indonesia .................................................................................................. 56
1. Analisis Hukum Positif ........................................................................ 56
2. Analisis Hukum Islam Mashlahah Mursalah ....................................... 58
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan ...................................................................................... 60
B. Saran ................................................................................................ 60
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................. 61
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pernikahan merupakan salah satu jalan yang telah digariskan oleh
Allah SWT untuk memperoleh anak, memperbanyak dan mempertahnkan
berlangsungnya keturunan, serta melangsungkan kehidupan manusia.1
Dalam Maqosid As-Syariah hal ini di sebut sebagai Hifzu Nasl.
Dalam Hadis dijelaskan salah satu tujuan perkawinan yang telah
diriwayatkan oleh Ibnu Hibban, yang meganjurkan seorang laki-laki untuk
mengkawinkan perempuan-perempuan yang dicintai dan yang subur karena
perempuan yang subur akan menghasilkan keturunan.2
Anak merupakan amanah dan karunia Allah Swt. Bahkan anak
dianggap sebagai harta yang paling berharga. Oleh sebab itu anak
mempunyai hak-hak diantaranya menyesuaikan hak dan kebebasan anak
yang diakui sebagai hak dasar dan bersifat kodrati, serta yang melekat sejak
lahir sebagai bagian dari hak asasi manusia.3 Dari sisi kehidupan berbangsa
dan bernegara, anak adalah penerus sejarah, sehingga setiap anak berhak
atas kelangsungan hidup, tumbuh dan berkembang, berperan aktif serta
berhak atas perlindungan dari tindak kekerasan dan diskriminasi hak sipil
dan kebebasan. Anak merupakan buah hati dan belahan jiwa. Banyak rumah
tangga yang kandas karena tidak dikarunia anak.4
Melihat tingginya frekuensi angka perceraian dan pengangkatan
anak yang disebabkan oleh perkawinan yang tidak dikaruniai anak, jadi
seakan-akan apabila suatu perkawinan yang tidak memiliki keturunan, maka
1Abdul Qadir Djaelani, Keluarga Sakinah, (Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1995) Cet.1,
h.42. 2 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007) Cet.2, h.44. 3 Jhon Dirk Pasalbessy “Implementasi Hak-Hak Anak di Indonesia (Kajian Terhadap
Usaha Perlindungan Anak Korban Kekerasan Selama Konflik di Maluku)” Jurnal Online
Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum 4.1 (2015):1-10 4 Abdul Rahman Ghozali, Fiqh Minakahat, (Jakarta: Kencana, 2003) Cet.4, h.25.
2
tidak tercapainya tujuan perkawinan.5 Tujuan pengangkatan anak dikalangan
masyarakat untuk meneruskan keturunan apabila didalam perkawinan tidak
mempunyai anak.6 Proses pengangkatan anak merupakan suatu peristiwa
hukum yang melahirkan suatu hubungan baru yaitu orang tua angkat dan
anak angkat. Mengangkat anak dalam Islam sangat diperbolehkan selama
tidak adanya akibat hukum yaitu hubungan darah, hubungan perwalian dan
hubungan warisan dari orang tua angkat. Ia tetap menjadi ahli waris dari
orang tua kandungnnya.7
Wahbah Zuhaili seorang pemikir Islam berpendapat bahwa
pengangkatan anak atau biasa disebut (Tabbani) ialah pengambilan anak
yang dilakukan seseorang terhadap anak yang jelas nasabnya untuk diberi
nasab kepada dirinya atau diberi status sebagai anak kandung.8 Yusuf Al-
Qardhawi mengemukakan bahwa terdapat pola pengangkatan anak yang
diasumsikan oleh sebagian orang sebagai perbuatan yang dilarang ajaran
Islam, padahal sesungguhnya tidak, yaitu perlakuan sesorang mengambil
anak-anak terlantar dan anak-anak yatim, diperlakukan seperti anaknya
sendiri, dibina, dididik dan dicukupi segala kebutuhannya.9
Selanjutnya dalam Pasal 1 poin 9 Undang-Undang Nomor 23 Tahun
2002 tentang Perlindungan Anak disebutkan bahwa “anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungannya kekuasaan keluarga orang
tua, wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut ke dalam lingkunagn keluarga
anak angkatnnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan”.10
5 Soerjono Soekanto B. Taneko, Hukum Adat Indonesia, (Jakarta: CV. Rajawali, 1986,
Cet.3, h.275 6 Muhammad Heriawan “Pengangkatan Anak Secara Langsung Dalam Perspektif
Perlindungan Anak” 176 e Jurnal Katalogis, Volume 5 Nomor 5, Mei 2017, h.175-179 7 Ria Ramadhani, “Pengaturan Wasiat Wajibah Teradap Anak Angkat Menurut Hukum
Islam”, Lex et Societatis, III, I (Januari-Maret, 2015), h. 55. 8 Wahbah al-Zuhaili , al-Fiqh al-islami wa Adilatuhu, (Beirut:Dar al- fikr al-
Mu‟asir,1997) Cet 4, juz 9, h.271 9 M Nurul Irfan, Nasab dan Status Anak dalam Hukum Islam, h. 12.
10 UU No. 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
3
Hal penting yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak
adalah harus dilakukan dengan proses hukum yang bersumber dari produk
penetapan pengadilan. Agar dikemudian hari anak yang diangkat dan orang
tua angkat memiliki kepastian hukum. Salah satunya dalam hal yang
berkaitan dengan harta kebendaan atau kewarisan. Dalam hukum kewarisan
Islam sudah dijelaskan secara rinci tentang tata cara pembagian dan
peralihan harta warisan kepada ahli waris, harta warisan, serta hal-hal yang
menghalangi ahli waris mendapatkan harta warisan dari si pewaris.
Pembagian dan peralihan harta warisan kepada ahli waris antara lain dengan
cara menyerahkan harta waris tersebut pada ahli waris yang berhak atau dan
dengan wasiat apabila ahli waris seperti saudara atau kerabat yang terhalang
mendapatkan harta warisan.
Wasiat merupakan pemberian seseorang kepada orang lain, baik
berupa benda, piutang, maupun manfaat untuk dimiliki oleh penerima wasiat
sebagai pemberian yang berlaku setelah wafatnya orang yang berwasiat.
Menurut Kompilasi Hukum Islam, wasiat yaitu pemberian suatu benda dari
pewaris kepada orang lain atau lembaga yang akan berlaku setelah pewaris
meninggal dunia.11
Dasar dari wasiat ini adalah surat Al-Baqarah ayat 180:
ربين ق أ را الأوصية للأوالديأن و الأ ت إنأ ت رك خي أ كتب عليأكمأ إذا حضر أحدكم الأموأ
حقا على الأمتقين بالأمعأروف
Artinya: ”Diwajibkan atas kamu, apabila seorang di antara kamu
kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang banyak,
berwasiat untuk ibu-bapak dan karib kerabatnya secara ma'ruf, (ini adalah)
kewajiban atas orang-orang yang bertakwa”.
Dalam konsep hukum Islam kontemporer selain wasiat dikenal juga
istilah wasiat wajibah. Secara teori wasiat wajibah mempunyai arti sebagai
11
Mardani, Hukum Kewarisan Islam di Indonesia (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada
2014) cet. Ke-1, hlm. 107
4
tindakan penguasa atau hakim sebagai aparat Negara untuk memberi
putusan wasiat wajibah. Hal ini diperkuat dengan KHI Pasal 209 ayat (2)
yang berbunyi: terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
Mengenai kasus waris ada permasalahan yang penulis angkat bahwa
terjadi pandangan yang berbeda baik dari hakim dari tingkat pertama sampai
tingkat kasasi dalam hal pemberian harta peninggalan orang yang meninggal
kepada anak angkat. Dalam Pengadilan tingkat pertama mengabulkan
tuntutan penggugat dengan amar putusan menetapkan penggugat sebagai
anak angkat dari Pewaris dan berhak mendapatkan bagian waris melalui
wasiat wajibah, Penggugat tidak merasa puas maka mengajukan upaya
hukum luar biasa (banding), dan pada tingkat ini Hakim membatalkan
putusan tingkat pertama dan pembanding bukan anak angkat dan tidak
berhak mendapatkan wasiat wajibah dari harta pewaris.
Anak angkat yang dikalahkan di dalam persidangan Tingkat Banding
mengajukan upaya hukum selanjutnya ke tingkat Kasasi, lalu perkara
tersebut dikabulkan kembali dan hakim menetapkan penggugat sebagai anak
angkat serta berhak mendapatkan wasiat wajibah. Pada kasus ini terdapat
perbedaan pertimbangan Hakim dalam memberikan kedudukan anak angkat
dalam waris, hal tersebut mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum
terkait penetapan anak angkat dalam pembagian waris. Oleh karena itu
peneliti tertarik untuk melakukan penelitian lebih lanjut mengenai
kedudukan anak dalam waris menurut hukum Islam dan hukum positif.
Untuk mengetahui apa pertimbangan majelis hakim mengabulkan atau
membatalkan penggugat.
Berdasarkan kasus di atas, peneliti tertarik untuk melakukan
penelitian yang berjudul “Kedudukan Anak Angkat Dalam Kewarisan Islam
di Indonesia” (Analisis Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175 K/Ag/2016)”.
5
B. Indentifikasi Masalah
Berdasarkan uraian di atas, peneliti akan mengidentifikasikan
beberapa masalah terkait Pengangkatan Anak, kedudukan anak angkat dalam
kewarisan islam dan mekanisme pemberian harta kepada anak angkat. Adapun
masalah yang terkait sebagai berikut:
1. Kasus Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum Waris.
2. Pertimbangan Hakim pada Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS.
3. Pertimbangan Hakim pada Putusan Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK.
4. Pertimbangan Hakim Pada Putusan Nomor 175 K/Ag/2016.
5. Putusan Hakim Agung dalam Kedudukan Anak Angkat dalam Hukum
Waris
C. Pembatasan Masalah
Agar permasalahan pada skripsi ini tidak terlalu meluas dan tetap
pada alurnya, maka peneliti membatasi penulisan dalam skripsi ini hanya pada
kedudukan anak angkat dalam Hukum Waris dan Amar putusan majelis
Hakim analisis pada putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK dan Nomor 175 K/Ag/2016.
D. Rumusan Masalah
Rumusan masalah dalam penelitian ini diantaranya adalah:
1. Bagaimana Kedudukan anak angkat dalam hukum kewarisan Islam di
Indonesia?
2. Bagaimana pertimbangan hakim dalam putusan Nomor
2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175
K/Ag/2016?
E. Tujuan Penelitian
Tujuan pada peneliatian ini adalah:
1. Untuk mendeskripsikan anak angkat dalam kewarisan Islam serta
menganalisis putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor
6
56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175 K/Ag/2016 tentang penetapan anak
angkat.
2. Untuk menganalisis manakah putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS,
Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK, dan Nomor 175 K/Ag/2016 tentang
perkara penetapan anak angkat yang sudah sesuai Komplasi Hukum Islam.
F. Manfaat Penelitian
Manfaat penelitian ini, adalah:
1. Manfaat teoritis
a. Memberikan informasi kepada peneliti selanjutnya, agar peneliti
selanjutnya lebih memperdalam permasalahan pada tema ini.
b. Memberikan pengetahuan kepada masyarakat khususnya yang berkaitan
dengan penetapan anak angkat.
2. Manfaat Praktisi
a. Memberikan masukan dan saran kepada Pengadilan Agama Jakarta
Selatan berkaitan dengan penetapan anak angkat.
b. Memberikan informasi kepada Lembaga yang terkait penetapan anak
angkat.
G. Tinjauan (Review) Terdahulu
Penelitian telah dilakukan oleh Harry A Tuhumury dalam jurnal
yang berjudul Tinjauan Yuridis tentang Hak Waris Anak Angkat terhadap
Harta Warisan menurut Kompilasi Hukum Islam.jurnal ini diterbitkan tahun
2013 yang membahas tentang permasalahan pengangkatan anak dan
pembagian hak waris untuk anak angkat berdasarkan Kompilasi Hukum Islam.
Pengangkatan anak telah dilakukan dengan cara dan motivasi yang berbeda-
beda sejalan dengan sistem hukum yang berkembang di dalam masyarakat.
Pembagian hak waris bagi anak angkat berlandaskan Pasal 209 ayat (2)
Kompilasi Hukum Islam.12
Pada Penelitian Septiawan yang berjudul Pembagian Harta Waris
Anak Bungsu di Desa Upang Marga Kecamatan Airsalek Kabupaten Banyu
12
Hary A Tumuhury, “Tinjauan Tentang Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta
Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam”,Legal Pluralism, 3, 1 (Januari, 2013).
7
Asin ditinjau dari Fiqh Mawaris Tahun 2016 membahas tentang anak waris
anak bungsu dipengaruhi oleh adat dan tradisi secara turun menurun, akan
tetapi tidak ada perselisihan yang timbul karena sistem yang dipakai di Desa
Upang Marga ini biasanya didahului dengan bermusyawarah bersama para
ahli waris dan pewaris ketika masih hidup.13
Penelitian telah dilakukan oleh Ghumam Khumaini Rohman dalam
skripsinya “Pertimbangna Hakim Dalam Penyelesaian Pembagian Waris”
(Analisis Putusan Nomor. 138/Pdt.G/2014/PN.YYK)”. Tahun 2017. Dalam
skripsinya meneliti apa pertimbangan hakim dalam Pengadilan Negeri
menyelesaikan pembagian waris sesuai dengan KUH Perdata.14
Penelitian telah dilakukan oleh Eko Imam Syuhada Sirait dalam
skripsinya yang berjudul “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan
Pembagian Harta Warisan Adat Toba”. Tahun 2018. Dalam skripsinya
meneliti Pembagian Warisan menurut hukum adat batak patrilineal yakni anak
perempuan tidak termasuk ahli waris dalam keluarga sedangkan anak laki-laki
penerus regenerasi atau keturunan marga, dan pembagiannya tidak mengkuti
hukum waris islam.15
Penelitian telah dilakukan oleh Dewi Fatimah Nursulistyani dalam
skripsinya dengan berjudul “Analisis Yuridis Perkara Gugatan Waris Dalam
Putusan Nomor.341/Pdt.G/2016/PA.Kab.Mn di Pengadilan Agama kabupaten
Madiun”. Tahun 2018. Dalam skripsinya meneliti untuk mengetahui perkara
waris akibat gugatan yang tidak dapat diterima (niet onvankelijkeverklaard).16
13
Septiawan “Pembagian Harta Waris Anak Bungsu di Desa Upang Marga Kecamatan
Air Salek Kabupaten Banyuasin Ditinjau Dari Fiqh Mawaris” (Skripsi S-1 Fakultas Syariah dan
Hukum 14
Ghumam Khumaini Rohmah “Pertimbangan Hakim Dalam Penyelesaian Pembagian
Waris” (Analisis Putusan Nomor. 138/Pdt.G/2014/PN.YYK)”. (Skripsi S-1 Fakultas Syariah Dan
Hukum 15
Eko Imam Syuhada Sirait, “Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Pembagian
Warisan Adata Batak Toba” (Skripsi S-1 Fakultas Ilmu Agama Islam, Universitas Islam Indonesia
Yogyakarta, 2018). 16
Dewi Fatimah Nursulistyani, “Analisis Yuridis Perkara Gugatan Waris Dalam Putusan
Nomor.341/Pdt.G/2016/PA.Kab.Mn di Pengadilan Agama kabupaten Madiun”. (Skripsi S-1
Fakultas Syariah, Institut Agama Negeri Ponogoro,2018).
8
H. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif. Data yang
dikumpulkan lebih menggunakan kata-kata.17
Pengertian Kualitatif adalah
mengerti suatu makna kejadian atau peristiwa dengan mencoba
berinteraksi dengan orang-orang dalam situasi atau fenomena. Dalam
skripsi ini menganalisis putusan dan melihat sejauh mana proses
penyelesaian majelis hakim dalam perkara penetapan anak angkat dalam
pembagian waris.
2. Pendekatan Penelitian
Dalam skripsi ini menggunakan pendekatan yuridis-normatif, karena
bahan yang digunakan adalah bahan hukum primer yang terdiri dari norma
atau kaidah, ketentuan atau peraturan dasar, serta peraturan perundang-
undangan.18
Yuridis-normatif yaitu pengertian yang difokuskan untuk
mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum
positif.19
3. Sumber Data atau Teknik Pengumpulan Data
a. Sumber Data
Data adalah segala keterangan (informasi) mengenai segala hal yang
berkaitan dengan tujuan penelitian. Dengan demikian tidak ada segala
informasi atau keterangan merupakan data. Data hanyalah sebagian saja
dari informasi, yaitu yang berkaitan dengan penelitian.20
1) Data Primer
Sumber utama yang disajikan dalam skripi ini adalah analisis
putusan, dan dokumentasi untuk mengetahui permasalahan pada
putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor
17 Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif: Analsis data. (Jakarta: Raja Wali Pers, 2011),
h. 3. 18
Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum (Jakarta: UI Press, 1986), cet.3,
h.132. 19
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayu
Media Publishing, 2006), h. 295. 20
Tatang M Amirin, Menyusun Rencana Penelitian, (Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995), h. 130.
9
56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175 K/Ag/2016 tentang perkara
penetapan anak angkat yang sudah sesuai dengan Kompilasi Hukum
Islam.
2) Data Skunder
Sumber data skunder yaitu melalui sumber-sumber yaitu buku-
buku, jurnal, artikel, pandangan para ahli hukum, hasil
penelitian hukum, kamus hukum dan tulisan lain yang
berhubungan dengan permasalahan yang menjadi pokok dalam
bahasan penelitian ini.21
b. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data penelitian ini, yaitu:
1) Metode Analisis
Metode analisis adalah proses menganalisis pertimbangan Hakim
untuk menemukan permasalahan dan jawaban yang diteliti.
2) Perpustakaan
Mengambil bahan pustakan dan dokumen-dokumen yang relevan
terhadap yang diteliti.
I. Sistematika Penelitian
Untuk memahami lebih jelas gambaran materi dalam penelitian ini,
maka peneliti menyusun beberapa sub bab dengan sistematika penyampaian
sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN: Berisi Latar Belakang Masalah, Identifikasi
Masalah, Pembatasan Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian,
Manfaat Penelitian, Tinjauan Kajian Terdahulu, Metode Penelitian dan
Sistematika Penulisan.
BAB II KAJIAN PUSTAKA: Bab ini berisikan teori-teori yang berhubungan
dengan penetapan anak angkat menurut Hukum Islam, pemberian harta
terhadap anak angkat melalui mekanisme Wasiat wajibah, maslahah mursalah
dan Hukum Positif.
21
Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris
( Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2015), Cet.3, h. 43.
10
BAB III DUDUK PERKARA: Bab ini berisikan tentang ringkasan putusan
Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175
K/Ag/2016.
BAB IV ANALISIS DAN HASIL PENELITIAN: Berisikan tentang
putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK,
Nomor 175 K/Ag/2016 tentang pengangkatan anak yang sudah sesuai dengan
Kompilasi Hukum Islam,dan analisis kedudukan anak angkat dalam kewarisan
Islam di Indonesia.
BAB V PENUTUP: Berisikan tentang kesimpulan dan saran yang dapat
diberikan dari hasil peneliti
11
BAB II
PENGANGKATAN ANAK
A. Pengertian Anak
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia pengertian anak secara
etimologis adalah manusia yang masih kecil ataupun manusia yang belum
dewasa.1. Menurut R.A. Kosnan “Anak-anak yaitu manusia muda dalam umur
muda dalam jiwa dan perjalanan hidupnya karena mudah terpengaruh untuk
keadaan sekitarnya”.2
Didalam hukum kita, terdapat pluralism mengenai kriteria anak, itu
sebagai akibat tiap-tiap peraturan perundang-undangan mengatur secara
tersendiri kriteria tentang anak, sebagai berikut:
a. Anak menurut hukum Islam merupakan titipan Allah Swt kepada kedua
orang tua, masyarakat bangsa dan negara yang kelak akan memakmurkan
dunia sebagai rahmatan lil‟alamin dan sebagai pewaris ajaran Islam
pengertian ini mengandung arti bahwa setiap anak yang dilahirkan harus
diakui, diyakini, dan diamankan sebagai implementasi amalan yang
diterima oleh orang tua, masyarakat, bangsa dan negara.3
b. Anak menurut UUD Perkawinan tahun 1974 di dalam pasal 99
Anak yang sah adalah anak yang di lahirkan dari perkawinan yang sah.4.
c. Anak menurut KUHP, Pasal 45 KUHP, “mendefiniskann anak yang
belum dewasa apabila belum berumur 16 (enam belas) tahun”.
d. Anak menurut Hukum Perdata, Pasal 330 KUH Perdata mengatakan
“orang yang belum dewasa adalah mereka yang belum mencapai umur
genap 21 (dua puluh satu) tahun dan tidak lebih dahulu telah kawin”.
e. Menurut Pasal 1 butir 5 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang
Hak Asasi Manusia adalah sebagai berikut: "Anak adalah setiap manusia
1 W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, (Balai Pustaka: Amirko,
1984), h.25 2 R.A. Koesnan, Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia, (Bandung:Sumur,
2005) , h.113 3 Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqh Munakahat dan
Undang-Undang Perkawinan , (Jakarta: Kencana, 2007) Cet.2, h.44 4 Undang-Undang Perkawinan tahun 1974 didalam pasal 99
12
yang berusia di bawah 18 (delapan belas) tahun dan belum menikah,
termasuk anak yang masih dalam kandungan apabila hal tersebut demi
kepentingannya".
B. Pengertian Pengangkatan Anak
Secara etimologi, ada beberapa istilah yang dikenal dalam
pengangkatan anak di Indonesia. Pengangkatan anak sering disebut juga
dengan istilah adopsi, yang dalam bahasa inggris disebut adoption.5 dan
dalam bahasa Belanda disebut adoptie yang artinya pengangkatan seorang
anak atau pemungutan seorang anak.6
Dalam Bahasa Arab disebut “tabanni” yang menurut Kamus
Kontemporer Arab Indonesia diartikan “ittikhadzahu ibnan” (اتخاذالإبن), yaitu
menjadikannya sebagai anak.7 Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
(KBBI) adopsi adalah pengangkatan anak orang lain sebagai anak sendiri.8
Sedangkan dalam hukum adat, berkaitan dengan pengangkatan anak
terdapat bermacam-macam istilah, misalnya mupu anak di Cirebon, Nguku
Anak di Sunda Jawa Barat, Nyentanayang di Bali, Anak Angkat di Batak
Karo, Meki Anak di Minahasa, Ngukup Anak di suku Dayak Manyan,
Mulang Jurai di Rejang, Anak Akon di Lombok Tengah, Napuluku atau
Wengga di Kabupaten Pantai Jayapura, dan Anak Pulung di Singaraja.9
Secara terminologi, pengertian pengangkatan anak dapat ditinjau dari
beberapa tinjauan, yaitu:
C. Tinjauan Pengangkatan Anak dalam hukum Islam
Sebelum Islam datang, pengangkatan anak di kalangan bangsa Arab
telah menjadi tradisi turun temururn yang di kenal dengan istilah tabbany
yang artinya mengambil anak angkat. Nabi Muhammad pernah melakukan
5 John M. Echols, An English-Indonesian Dictionary, (Jakarta: Gramedia, 2010), h.13
6 Mahjuddin, Masail Al-Fiqh: Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam, (Jakarta: Kalam
Mulia, 2012), h., 96. Lihat juga Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan
Agama, (Jakarta: Kencana, 2008), h.9 7 Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia,
(Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 1999), h.402 8 Departemen Pendidikan Nasional, Kamus Besar Bahasa Indonesia, (Jakarta: Gramedia,
2008), h.11 9 Musthofa Sy, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama, h.9
13
pengangkatan anak sebelum masa kenabiannya. Anak angkatnya bernama
Zaid bin Haritsah, tetapi kemudian tidak di pangil Zaid berdasar nama
ayahnya (Haritsah) melainkan di ganti dengan panggilan Zaid bin
Muhammad.
Zaid bin Haritsah bin Syarahil bin Ka‟ab bin Abdul Uzza adalah
seorang anak yang berstatus budak berasal dari Syam. Masa kecilnya hidup
dan dibesarkan di Tihamah. Zaid diculik dan dibawa ke Makkah sebagai
budak belian. Hakim bin Khuwailid membeli Zaid untuk bibinya Khadijah
bin Khuwailid, selanjutnya Khadijah menyerahkan kepada Nabi Muhammad
SAW. Umur Zaid pada saat itu sekitar 8 tahun. Setelah Nabi Muhammad
SAW menerima dan memerdekakannya, Zaid dijadikan anak angkatnya.
Suatu saat ketika keluarga Zaid yang selama ini mencari Zaid menegtahui
peristiwa tersebut, lalu ayah dan pamannya Yang bernama Ka‟ab bin
Syarahil datang ke tempat Nabi Muhammad Saw untuk menebusnya, atas
kehadiran keluarga Zaid tersebut, Nabi Muhammad Saw bersabda bahwa
yang demikian itu terjadi pada masa lalu (sebelum islam).
Kemudian Nabi Muhammad Saw memberikan opsi kepada Zaid
untuk pergi bersama keluarganya tanpa membayar tebusan, atau tetap
tinggal bersama Nabi Muhammad Saw dan menyatakan bahwa meskipun
dia berstatus merdeka pergi bersama keluarganya, tetapi dia (Zaid) memilih
tetap tinggal bersama Nabi Muhammad Saw, karena Nabi sebagai pengganti
ayah dan pamannya yang bersikap baik padanya, setelah Zaid dewasa, Nabi
Muhammad meikahkan Zaid dengan Zainab bin Jahsy.10
10
Muhamad Reza Afwi, Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Positif dan
Implementasiya di Pengadilan Agama, (Jakarta: LP UIN Syarif Hidayatullah, 2011), h. 31
14
Dan adapun pengangkatan anak dalam hukum islam secara tekstual
diatur:
فو ما جعل اللو لرجل منأ ق لأ يأن في جوأ ئي أزأواجكم جعل وما ب هن م تظاىرون الل ن أ
عياءكمأ جعل وما أمهاتكمأ لكمأ أب أناءكمأ أدأ لكمأ ذ واىكمأ ق وأ الأحق ي قول واللو بأف أ
دي وىو بيل ي هأ الس
Artinya : “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah
hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu
zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu
sebagai anak kandungmu (sendiri). Yang demikian itu hanyalah
perkataanmu dimulutmu saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya
dan Dia menunjukkan jalan (yang benar)”. (Q.S. al-Ahzab (33): 4)
Surat al-Ahzab tersebut dalam garis besarnya dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. “Allah tidak menjadikan dua hati dalam dada manusia”. Pangkal ayat
ini adalah dasar hidup untuk jadi pegangan bagi orang yang
mempunyai aqidah tauhid. Dalam ungkapan secara modern ialah
bahwa orang yang pecah tujuan hidupnya atau pecah kumpulan
cintanya adalah orang yang sebagai menghentakkan kayu yang
berjupang dua ke dalam bumi, niscaya tidak akan mau terbenam.
Maka tidaklah akan beres berfikir seorang yang dalam hatinya
berkumpul menyembah kepada Allah dengan menyembah kepada
benda. Itu namanya musyrik. Kalau sekali hati telah bulat
menyembah kepada Allah, persembahan kepada kafir dan munafik
atau persembahan kepada benda mesti ditinggalkan.11
2. “Anak angkat mu bukan anak kandungmu”. Pada zaman jahiliyah
orang memungut anak orang lain lalu dijadikannya anaknya sendiri.
Anak yang diangkat itu berhak membangsakan diri kepada orang yang
mengangkatnya itu. Bahkan hal ini terjadi pada diri Nabi Muhammad
Saw sendiri. Seorang budak (hamba sahaya) yang dihadiahkan oleh
11 Hamka, Tafsir Al Azhar, (Surabaya: Pustaka Islam, 1983), h. 226.
15
istrinya Khadijah untuk merawat beliau, bernama Zaid anak Haritsah.
Karena sayangnya kepada anak itu beliau angkat anak dan hal ini
diketahui umum.12
3. “Panggilan anak angkatmu menurut nama bapaknya”. Dahulu Zaid
budak yang dimerdekakan dan diangkat anak di zaman jahiliyah oleh
Nabi itu dipanggilkan Zaid bin Muhammad. Dengan ayat ini
datanglah ketentuan supaya dia dipanggil kembali menurut yang
sewajarnya, yaitu Zaid bin Haritsah. Ada juga kejadian seorang anak
yang kematian ayah sewaktu dia masih amat kecil. lalu ibunya kawin
lagi dan dia diasuh dan dibesarkan oIeh ayah tirinya yang sangat
menyayangi dia. Dengan tidak segan-segan si anak menaruhkan nama
ayah tirinya diujung namanya padahal bukan ayah tirinya itu ayahnya
yang sebenarnya. Itu pun salah karena walaupun betapa tingginya
nilai kasih sayang dan hutang budi, namun kebenaran tidaklah boleh
diubah dengan mulut. Mengganti nama ayah itu pun satu kedustaan.13
Ayat di atas membatalkan adopsi yang dilakukan Oleh Nabi
Muhammad Saw. Kala itu, dan semua adopsi yang dilakukan oleh
masyarakat muslim.dengan diturunkannya ayat di atas Nabi Muhammad
memperingati semua orang agar tidak mengaku memepunyai garis
keturunan dengan satu pihak padahal pada hakikatnya tidak demikian.
Secara tegas Rasulullah melarang umatnya memanggil seseorang yang
bukan bapaknya sebagai bapaknya, dalam sahih Bukhari menyebutkan:
ليأس منأ رجل ادعى لغيأر أبيو وىو ي عألمو إل كفر
12
Hamka, Tafsir Al Azhar), h. 227. 13
Hamka, Tafsir Al Azhar), h. 228.
16
“Tidaklah seorang laki-laki yang mengklaim orang lain sebagai bapaknya,
padahal ia telah mengetahuinya (bahwa dia bukan bapaknya), maka ia
telah kafir.” (HR. Muslim).14
Ayat dan hadis di atas sudah menegaskan larangan bagi kaum muslimin
apabila mereka mengangkat anak maka janganlah ia menisbatkan kepada
seseorang yang bukan ayah kandungnya.
1) Pengangkatan Anak dalam Hukum Islam
Pada hakikatnya Islam mendukung adanya usaha perlindungan anak
yang salah satu caranya adalah dengan melakukan pengangkatan anak.
Adapun pengangkatan anak yang diperbolehkan dalam Islam tentu saja yang
memiliki arti mengangkat anak semata-mata karena ingin membantu dalam
hal mensejahterakan anak tersebut dan juga memberikan perlindungan tanpa
menjadikannya sebagai anak kandung.
Agama Islam menganjurkan agar umat manusia dapat saling tolong
menolong terhadap sesama manusia. Pengangkatan anak atau disebut juga
adopsi merupakan salah satu cara untuk menolong sesama manusia, karena
adopsi dengan pengertian mengangkat anak orang orang lain untuk
diperlakukan sebagai anak sendiri tanpa mengubah status anak tersebut
menjadi anak kandung adalah adopsi yang diperbolehkan dalam Islam, dan
hal itu merupakan perbuatan yang sangat mulia.
Selanjutnya yang perlu diperhatikan dalam pengangkatan anak
adalah posisi anak angkat dalam keluarga tidak sama dengan anak kandung.
Maka dari itu, tidak ada hubungan khusus antara anak yang diangkat dengan
orang tua angkat mengenai masalah keperdataan seperti perwalian dan
kewarisan. Karena apabila kita menengok kembali kepada tujuan dari
pengangkatan anak tersebut, maka pengangkatan anak dilakukan atas dasar
tolong menolong sesama manusia.
14
Muhammad Nasib ar-Rifa‟I, Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir,
(Jakarta: Gema Insani,2000), Cet.1, h.829
17
Sedangkan penetapan pengangkatan anak berdasarkan hukum Islam
praktik di Pengadilan Agama, bedasarkan pasal 171 huruf (h) Kompilasi
Hukum Islam yang berlaku di Indonesia Inpres No 1 Tahun 1991,
menetapkan bahwa “anak angkat adalah anak yang dalam pemeliharaan
untuk hidupnya sehari-hari, biaya Pendidikan dan sebagainya beralih
tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan pengadilan.”15
2) Syarat Pengangkatan Anak
Dalam hal pengangkatan anak, kita harus mengetahui apa saja yang
boleh dan tidak boleh dilakukan oleh orang tua angkat. Untuk menghindari
dari hal-hal yang tidak diinginkan, Islam mengatur tentang syarat-syarat
pengangkatan anak tersebut. Adapun syarat-syarat pengangkatan anak yang
sesuai dengan hukum Islam adalah sebagai berikut:16
a. Hubungan keharta bendaan antara anak angkat dengan orang tua.
b. Angkatnya hanya diperbolehkan dalam hubungan wasiat dan hibah.
c. Anak angkat tidak boleh mempergunakan nama orang tua angkatnya
secara langsung kecuali sekedar sebagai tanda pengenal atau alamat.
d. Orang tua angkat tidak dapat bertindak sebagai wali dalam perkawinan
terhadap anak angkatnya.
e. Antara anak yang diangkat dengan orang tua angkat seharusnya sama-
sama orang yang beragama islam, agar sianak tetap pada agama yang
dianutnya.
Sedangkan Yusuf Qardawi berpendapat bahwasannya adopsi dapat
dibenarkan apabila seseorang yang melaksanakannya tidak mempunyai
keluarga, lalu ia bermaksud untuk memelihara anak tersebut dengan
memberikannya perlindungan, pendidikan, kasih sayang, mencukupi
kebutuhan sandang dan pangan layaknya anak kandung sendiri. Adapun
15 Republik Indonesia, Intruksi Presiden No. 1 Tahun 1991, Tentang Penyebarluasan
Kompilasi Hukum Islam, Pasal 171 huruf h. 16 Muderis Zaini, Adopsi Suatu Tinjauan Tiga Sistem Hukum, h. 54.
18
dalam hal nasab, anak tersebut nasabnya tetap pada ayah kandungnya karena
antara anak angkat dengan orang tua angkat tidak ada sama sekali hubungan
nasab yang dapat mempunyai hak seperti anak kandung.17
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa memungut, mengasuh,
memelihara, dan mendidik anak-anak terlantar demi kepentingan dan
kemaslahatan anak dengan tidak memutuskan nasab orang tua kandungnya
adalah perbuatan yang terpuji dan dianjurkan oleh ajaran agama Islam,
bahkan dalam kondisi tertentu dimana tidak ada orang lain yang
memeliharanya maka bagi mampu yang menemukan anak terlantar tersebut
hukumnya wajib untuk mengambil dan memeliharanya tanpa harus
memutuskan hubungan nasab dengan orang tua kandungnya.18
D. Tinjauan Pengangkatan Anak Dalam Hukum Positif Indonesia
Pengertian anak angkat dalam perundang-undangan Republik
Indonesia adalah anak angkat yang haknya dialihkan dari lingkungan
kekuasaan keluarga orang tua, wali yang sah atau orang lain yang
bertanggung jawab atas perawatan, Pendidikan, dan membesarkan anak
tersebut ke dalam ligkungan keluarga orang tua angkatnya.19
Dalam Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan
Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak
Pasal 1 butir 9 memberikan pengertian bahwa anak angkat adalah anak yang
haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua, wali yang
sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan, pendidikan,
dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga orang tua
angkatnya berdasarkan putusan atau penetapan pengadilan.20
17 Yusuf Qardhawi, Halal dan Haram Dalam Islam, (Surakarta: Era Intermedia, 2005),
h.319.
18 Ahmad Kamil dan Fauzan,Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di
Indonesia,(Jakarta: Rajawali Press, 2010), h. 121.
19 Pasal 1 angka 9 Undang-Undang RI Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan
Anak 20
Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak, (Jakarta: PTIK, 2016), h.237.
19
Kemudian dalam Peraturan Pemerintah No. 54 Th. 2007 Pasal 1 ayat
1 dengan redaksi bahasa yang sama menyebutkan bahwa anak angkat adalah
anak yang haknya dialihkan dari lingkungan kekuasaan keluarga orang tua,
wali yang sah, atau orang lain yang bertanggung jawab atas perawatan,
pendidikan, dan membesarkan anak tersebut, ke dalam lingkungan keluarga
orang tua angkatnya berdasarkan keputusan atau penetapan pengadilan.21
Di samping itu dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan redaksi
yang sedikit berbeda mendefinisikan anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya
berdasarkan putusan Pengadilan (KHI Pasal 171 huruf h).22
1. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Staatsblad 1917 Nomor 129
Pengangkatan anak yang di atur di dalam Staatsblad 1917 Nomor
129 yaitu pengangkatan anak bagi golongan Tionghoa dalam system hukum
di Indonesia. Dari ketentuan dalam stbl. 1917 No. 129 tampak bahwa aturan
ini menghendaki agar setiap pengangkatan anak memenuhi persyaratan
tertentu yang bersifat memakasa (Compulsory), sehingga tidak dipenuhinya
persyaratan dimaksud akan mengakibatkan batalnya pengangkatan itu.
odonansi dalam stbl.1971 No.129 mengatur tentang pengangkatan anak pada
Bab II yang berkepala “Van adoptie”. Bab II ini terdiri dari 11 pasal, yaitu
dari pasal 5 sampai dengan pasal 15 sebagai berikut:
a) Yang dapat mengangkat anak adalah: suami, istri, janda, atau duda
(Pasal 5).
b) Yang dapat diangkat anak, ialah: hanya orang Tionghoa laki-laki yang
tidak beristri dan tidak beranak dan yang belum diadopsi oleh orang lain
(Pasal 6).
21
Suharto, “Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia”, Isti‟dal:
Jurnal Studi Hukum Islam, Vol. 1, No. 02, (Desember, 2014), h.110. 22
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung: Akademika
Pressindo, 2010), h.156.
20
c) Yang diadopsi harus sekurangkurangnya delapan belas tahun lebih
muda dari suami dan sekurang-kurangnya lima belas tahun lebih muda
dari istri atau janda yang mengadopsinya (Pasal 7 ayat (1)).
d) Adopsi hanya dapat dilakukan dengan Akta Notaris (Pasal 10 ayat (1)).
e) Anak adopsi demi hukum harus memakai nama keluarga orang tua
angkatnya (Pasal 11).
f) Adopsi menyebabkan putusnya hubungan hukum antara orang tua
adopsi dengan orang tua kandungnya (Pasal 14).
g) Adopsi terhadap anak perempuan dan adopsi dengan cara lain selain
daripada Akta Notaris adalah batal demi hukum (Pasal 15 ayat (2)).23
2. Prosedur Pengangkatan Anak dalam Surat Edaran Mahkamah Agung
Nomor 6 Tahun 1983 tentang Pengangkatan Anak
Prosedur untuk mendapatkan pengesahan pengangkatan anak dari
pengadilan menurut Surat Edaran Mahkamah Agung No.6 Tahun 1983
tentang Penyempurnaan Surat Edaran Mahkamah Agung No.2 Tahun 1979
yang menegaskan prosedur:
a. Dimulai dengan suatu permohonan kepada ketua pengadilan yang
berwenang dan karena itu termasuk prosedur yang dalam hukum acara
perdata dikenal sebagai yurisdiksi volunteer (jurisdiction voluntaria);
b. Petitum Permohonan harus tunggal, yaitu minta pengesahan
pengangkatan anak, tanpa permohonan lain dalam petitum
permohonan;
c. Atas permohonan pengesahan pengangkatan antar Warga Negara
Indonesia (domestic adoption) pengadilan akan menerbitkan
pengesahan dalam bentuk “Penetapan”, sedangkan atas permohonan
pengesahan pengangkatan anak Warga Negara Indonesia oleh Warga
Negara Asing atau sebaliknya pengangkatan anak Warga Negara Asing
23
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, (Nuansa Aulia, Bandung,
2012) h. 79
21
oleh Warga Negara Indonesia (inter-country adoption) pengadilan akan
menerbitkan “Putusan” Pengesahan Pengangkatan Anak.24
Syarat-syarat bagi perbuatan pengangkatan anak warga negara
Indonesia yang harus dipenuhi adalah sebagai berikut:
Syarat-syarat bagi orang tua angkat:
i. Pengangkatan anak yang langsung dilakukan antara orang tua
kandung dengan orang tua angkat diperbolehkan.
ii. Pengangkatan anak yang dilakukan oleh seorang yang tidak terikat
dalam perkawinan sah atau belum menikah diperbolehkan.
Syarat-syarat bagi calon anak yang diangkat:
i. Dalam hal calon anak tersebut berada dalam asuhan suatu yayasan
sosial harus dilampirkan. Surat ijin tertulis Menteri Sosial bahwa
yayasan yang bersangkutan telah dijinkan bergerak dibidang kegiatan
pengangkatan anak.
ii. Calon anak angkat yang berada dalam asuhan Yayasan Sosial yang
dimaksud diatas harus pula mempunyai ijin tertulis dari Menteri sosial
atau pejabat yangditunjuk bahwa anak tersebut dizinkan untuk
diserahkan sebagai anak angkat.25
E. Wasiat Wajibah
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi
hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat merupakan
tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan setelah
meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah perang yang
berwasiat meninggal dunia.26
Adapun wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh
penguasa atau hakim sebagai apparat negara yang mempunyai tugas untuk
24
Djaja S. Meliala, Hukum Perdata dalam Perspektif BW, (Nuansa Aulia, Bandung,
2012) Hal. 119 25
http://patricia-soehyerim.blogspot.com/2011/05/pengangkatananak-menurut-
berbagai.html,diunduh tanggal 12 September 2012 26
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, Cet 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 237.
22
memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Dikatakan wasiat wajibah, disebabkan karena dua hal, yaitu:
1. Hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban
melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa
tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan
penerima wasiat
2. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal
penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.27
Adapun diantara pembagian wasiat wajibah meliputi:
1. Wasiat Wajibah dalam Fiqih
Wasiat wajibah dalam fiqih merupakan fenomena yang masih
menjadi perdebatan. Maksudnya tidak semua fuqaha dalam ilmu fiqih
mengakui adanya wasiat wajibah memang ada dan mempunyai dasar
hukum di dalam islam. Beberapa fuqaha yang mengakuinya adalah
beberapa fuqaha golongan tabi‟in, serta beberapa imam fiqih dan imam
hadist seperti Sa‟id bin Musayyab, Dhahhak, Thaus, Al Hasanul Bisri,
Ahmad bin Hanbal, Daud bin Ali, Ishaq bin Rawa‟ih, Ibnu Jarir, Ibnu
Hazm, serta beberapa fuqaha lainnya. Mereka berpendapat bahwa
memberikan wasiat kepada anggota keluarga/kerabat yang tidak mendapat
harta peninggalan sebenarnya telah disebutkan dalam al Quran, yaitu
dalam surat Al Baqarah ayat 180 yang berbunyi:
وصية ٱل را خي ت رك إن ت مو ٱل أحدكم حضر إذا كم كتب علي
ل لل متقين ٱل على حقا روف مع بٱل ربين أق وٱل ن ديو
Artinya: “Diwajibkan atas kalian, apabila seorang di antara
kalian kedatangan (tanda-tanda) maut, jika ia meninggalkan harta yang
banyak, berwasiatlah untuk ibu bapak dan karib kerabatnya secara
27
Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Hukum Islam di Indonesia, Cet 2, (Yogyakarta:
Elhamra Press, 2003), h. 207.
23
makruf, (ini adalah) kewajiban atas orang-orang yang bertakwa” (QS.
Al-Baqarah: 180)
Namun ayat tersebut bagi sebagian ulama lainnya masih merupakan
ayat yang diperdebatkan, karena menurut sebagian ulama ayat tersebut
sebenarnya telah dihapuskan atau Mansukh dengan turunnya ayat mawaris.
Walaupun terdapat pertentangan, sebagian ulama yang yang
mengatakan tentang adanya wasiat wajibah, dalam hal ini Abu Muslim Al-
Ashabani mengatakan bahwa ayat tersebut tidaklah Mansukh dengan ayat
mawaris karena tidak mengandung pertentangan dengan ayat mawaris
sehingga ayat tersebut tetap berlaku sampai sekarang bagi kerabat yang
tidak mendapatkan harta waris karena ada penghalang ataupun karena ada
orang yang lebih utama, sehingga wajiblah dibuat wasiat wajibah dengan
dasar ayat wasiat karena ayat tersebut tetap masih berlaku menurut mereka.
Bahkan menurut Ibnu Hazm apabila orang yang meninggal tersebut
tidak meninggalkan wasiat kepada kerabat-kerabat yang tidak mendapatkan
harta peninggalan, maka hakim wajib untuk berlaku sebagai muwaris untuk
memberikan sebagian harta peninggalan itu kepada kerabat-kerabat yang
terhalang mewarisi sebagai suatu wasiat yang wajib.
Wasiat wajibah ini pada dasarnya dapat diberikan kepada cucu laki-
laki maupun perempuan baik pancar laki-laki yang orang tuanya mati
mendahului atau bersamasama dengan kakek atau nenek.
2. Wasiat Wajibah dalam Perspektif KHI
Buku II KHI Bab I Pasal 171 huruf f disebutkan bahwa wasiat
adalah pemberian suatu benda dari pewaris kepada orang lain atau Lembaga
yang akan berlaku setelah pewaris meninggal dunia.28 Adapun rukun dan
syarat-syarat wasiat, yaitu diantaranya:
1) Orang yang berwasiat (mushi) dengan syarat:
a) Berakal sehat
28
Pasal 171 (f) Kompilasi Hukum Islam
24
b) Baligh
c) Atas kehendak sendiri
d) Harta yang sah/miliknya
2) Orang yang menerima wasiat (mushalahu) dengan syarat:
a) Jelas identitasnya
b) Harus ada ketika pembuatan pernyataan wasiat
c) Cakap menjalankan tugas yang diberikan oleh pemberi wasiat.
3) Sesuatu yang diwasiatkan (mushabihi) dengan syarat:
a) Milik pemberi wasiat
b) Sudah berwujud
c) Dapat dimiliki
d) Tidak melebihi 1/3 4) Sighat wasiat dengan syarat: Kalimat yang
dapat memberi pengertian wasiat, dan disaksikan oleh saksi yang
adil atau pejabat (notaris).
4) Sighat wasiat dengan syarat:
Kalimat yang dapat memberi pengertian wasiat, dan disaksikan oleh
saksi yang adil atau pejabat (notaris).
Lebih lanjut Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 171 huruf f
disebutkan bahwa anak angkat dengan orang tua angkat terbina hubungan
saling berwasiat yang tertuang dalam pasal 209, yaitu:29
1. Harta peninggalan anak angkat dibagi berdasarkan pasal 176 sampai
dengan pasal 193 tersebut di atas, sedangkan terhadap orang tua
angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat wajibah sebanyak-
banyaknya 1/3 dari harta wasiat anak angkatnya.
2. Terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
3. Wasiat Wajibah Pasca Putusan MK Tahun 1995
Sebenarnya wasiat wajibah juga telah diatur di dalam Instruksi
Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam
29
Pasal 209 Ayat 1-2, Kompilasi Hukum Islam
25
sebagaimana yang telah di sebutkan di atas, Namun pengaturan mengenai
wasiat wajibah yang diberlakukan kepada seseorang ahli waris berbeda
agama atau non muslim belum mendapat pengakuan serta tempat tersendiri
dalam sumber- sumber hukum islam serta kompilasi hukum islam.
KHI hanya mengakomodir wasiat wajibah hanya teruntuk orang tua
angkat ialah 1/3 dari harta warisan anak angkat dan anak angkat ialah 1/3
dari harta warisan orang tua angkat. Tidak adanya satupun sumber yang
bermuara untuk memberikan wasiat wajibah bagi seseorang ahli waris yang
berbeda agama atau non muslim sampai pada tahun 1994.
Semua hal tersebut dikarenakan pemberian wasiat wajibah bagi
seseorang ahli waris yang berbeda agama atau non muslim dinilai
bertentangan atau tidak sesuai dengan sumber hukum islam yang ada
dengan dasar ahli waris yang beragama di luar islam tidak masuk dalam
klasifikasi yang dianggap sebagai ahli waris.
Maka dengan hal tersebutlah untuk mengikuti perkembangan zaman
yang terus berkembang secara simultan dan terus menurus, langkah untuk
menciptakan suatu keadilan yang berlandaskan moral dan kemaslahatan
masyarakat yang ada, Hakim selaku pelaku kekuasaan kehakiman telah
menjalankan tugasnya dengan penuh amanah dan tanggung jawab dengan
mengeluarkan putusan yang telah ditetapkan sebagai yurisprudensi yaitu
putusan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 368/K/Ag/1995
sebagai pintu awal perkembangan pengakuan terhadap ahli waris non
muslim dalam sistem kewarisan Islam untuk mendapatkan pembagian harta
waris melalui wasiat wajibah.
Yurisprudensi itupun diikuti oleh yurisprudensi lainnya yaitu
Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 51 K/Ag/1999 yang juga
terkait pemberlakuan wasiat wajibah terhadap ahli waris non muslim. Hal
inipun secara konsisten dipertahankan oleh lembaga peradilan dan juga
hakim-hakim di Indonesia dalam mengali nilai-nilai hukum dan rasa
26
keadilan yang hidup dalam masyarakat. Penegasan terhadap ahli waris
berbeda agama atau non muslim dalam sistem kewarisan islam ini tertuang
dalam putusan Mahkamah Agung Nomor 331 K/Ag/2018 yang dijadikan
lendmark decisions Mahkamah Agung di tahun 2018.
Walaupun, titik tolak yang seharusnya menjadi perhatian adalah
perlunya penegasan kembali dan putusan yang konsistan terhadap dari
manakah sumber yang diambil untuk wasiat wajibah bagi ahli waris non
muslim, mengambil dari harta warisan atau harta peninggalan pewaris agar
tidak terjadi kebinggungan dan kejelasan dalam penerapannya serta
menjadikan kesinambungan antaran yurisprudensi yang ada sebelumnya
dengan putusan mahkamah agung yang terbaru yang telah di jadikan
lendmark decisions Mahkamah Agung sebagai sumber-sumber utama bagi
ahli waris berbeda agama atau non muslim untuk menuntut keadlian dalam
suatu sistem kewarisan islam. Dengan adanya pengaturan inilah diharapkan
akan dijadikan salah satu pertimbangan oleh hakim untuk memutus
perkaranya.30
F. Maslahah Mursalah
1. Pengertian Maslahah Mursalah
Maslahah mursalah terdiri dari dua kata yang berhubungan
keduanya dalam bentuk sifat maushuf atau dalam bentuk khusus yang
menunjukkan bahwa ia merupakan bagian dari al-maslahah.31 Menurut
bahasa, kata maslahah berasal dari bahasa Arab dan telah dibakukan ke
dalam bahasa Indonesia menjadi kata maslahat, yang berarti mendatangkan
kebaikan atau membawa kemanfaatan dan menolak kerusakan.32
Menurut
bahasa aslinya kata maslahah berasal dari kata salahu, yasluhu, salahan صلح
30
Jurnal Suara Hukum, Analisis Pemberian Wasiat Wajibah terhadap Ahli Waris Beda
Agama Pasca Putusan Mahkamah Agung, (file:///C:/Users/Lenovo/Downloads/4865-17021-1-
PB.pdf), diakses pada tanggal 5 Desember 2019. 31
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Kencana, 2008), h. 377. 32
Munawar Kholil, Kembali Kepada al-Quran dan as-Sunnah (Jakarta: Bulan Bintang,
1996), h. 43.
27
.artinya sesuatu yang baik, patut, dan bermanfaat,يصلح ,صلاحا 33
Sedangkan
kata mursalah adalah isim maf‟ul (objek) dari fi‟il madhi (kata dasar) dalam
bentuk tsulasi (kata dasar yang tiga huruf) yaitu رسلdengan penambahan
huruf “alif” di pangkalnya, sehingga menjadi ارسل. Secara bahasa mursalah
artinya terlepas atau dalam arti مطلقت(bebas). Kata “terlepas” dan “bebas” di
sini bila dihubungkan dengan kata maslahah maksudnya adalah terlepas
atau bebas tidak terikat dengan dalil agama (Alquran dan al-Hadits) yang
membolehkan atau yang melarangnya. Menurut Abdul Wahab Khallaf,
maslahah mursalah di mana syari‟ tidak mensyariatkan hukum untuk
mewujudkan maslahah, juga tidak terdapat dalil yang menunjukkan atas
pengakuannya atau pembatalannya.34
Pengertian maslahah dalam bahasa Arab berarti “perbuatan-
perbuatan yang mendorong kepada kebaikan manusia.” Dalam artinya yang
umum adalah setiap segala sesuatu yang bermanfaat bagi manusia, baik
dalam arti menarik atau menghasilkan seperti menghasilkan keuntungan
atau kesenangan, atau dalam arti menolak atau menghindarkan seperti
menolak kemudaratan atau kerusakan. Dengan begitu maslahah itu
mengandung dua sisi, yaitu menarik atau mendatangkan kemaslahatan dan
menolak atau menghindarkan kemudaratan.35
Sedangkan menurut Muhammad Abu Zahrah, definisi maslahah mursalah
adalah
ا أصل خاص بالإعتبار أو الإلغاء.لهقاصد الشارع الإسلمي وليشهد لملئمة لما لحصالما
Artinya: “segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan
syar„i (dalam mensyariatkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil
khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.”36
33
Muhammad Yunus, Kamus Arab Indonesia (Jakarta: Yayasan Penyelenggaraan
Penerjemah dan Penafsir al-Qur‟an, 1973), h. 219. 34
Abdullah Wahab Khallaf, Ilmu Ushulul Fiqh, terj. Noer Iskandar al-Bansany, Kaidah-
kaidah Hukum Islam, (Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, Cet-8, 2002), h. 123. 35
Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh 2 (Jakarta: Kencana, 2008), h. 368. 36
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma‟shum, et al., Ushul Fiqih
(Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005), h. 424.
28
Berbeda dengan rumusan di atas, Dr. Husain Hamid Hassan mendefinisikan
almashlahah al-mursalah sebagai berikut:
يرملة بغلجا فىه الشارع بر ت جنس اعتتح تىصلحة اللمرسلة ىي المصلحة المإن ا
يندليل مع
Artinya: “Sesungguhnya al-mashlahah al-mursalah ialah maslahat
yang termasuk di dalam jenis yang diungkapkan asySyari' (Pembuat
Syariat) secara global tanpa adanya dalil yang jelas ...”37
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari segi
redaksinya nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada
hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum
dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam Alquran maupun
al-sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan
hidup manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan
menghindari kerusakan.
2. Syarat-Syarat Berhujjah dengan Maslahah Mursalah
Ulama yang berhujjah dengan maslahah mursalah. Mereka bersikap sangat
hati-hati sehingga tidak menimbulkan pembentukan hukum berdasarkan
hawa nafsu dan keinginan tertentu. Oleh karena itu, mereka menyusun tiga
syarat pada maslahah mursalah yang dipakai sebagai dasar pembentukan
hukum, yaitu:
a. Harus merupakan kemaslahatan yang hakiki, bukan yang bersifat dugaan.
Dalam artian, untuk membuktikan bahwa pembentukan hukum pada
suatu kasus dapat mendatangkan kemanfaatan dan penolakan bahaya.
Jika sekedar dugaan bahwa pembentukan hukum dapat menarik manfaat,
37
Noorwahidah, “Esensi Al - Mashlahah Al – Mursalah Dalam Teori Istinbat Hukum
Imam Syafi'i”, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, h. 3.
29
tanpa mempertimbangkannya dengan bahaya yang datang, maka
kemaslahatan ini bersifat dugaan semata (maslahah wahmiyyah).
b. Kemaslahatan itu bersifat umum, bukan pribadi. Maksudnya, untuk
membuktikan bahwa pembentukan hukum pada suatu kasus dapat
mendatangkan manfaat bagi mayoritas umat manusia, atau menolak
bahaya dari mereka, dan bukan untuk kemaslahatan individu atau
beberapa orang. Hukum tidak boleh disyariatkan untuk mewujudkan
kemaslahatan khusus bagi penguasa atau pembesar, dan memalingkan
perhatian dan kemaslahatan mayoritas umat.
c. Pembentukan hukum berdasarkan kemaslahatan, tidak bertentangan
dengan hukum atau prinsip yang berdasarkan nash atau ijma„. Oleh
karena itu, tidak benar mengakui kemaslahatan yang menuntut
persamaan antara anak laki-laki dengan anak perempuan dalam bagian
warisan. Sebab maslahat yang demikian batal karena bertentangan
dengan nash Alquran.38
3. Macam-Macam Maslahah
Kekuatan maslahah dapat dilihat dari segi tujuan syara‟ dalam
menetapkan hukum, yang berkaitan secara langsung atau tidak langsung
dengan lima prinsip pokok bagi kehidupan manusia, yaitu: agama, jiwa,
akal, keturunan dan harta. Juga dapat dilihat dari segi tingkat kebutuhan dan
tuntutan kehidupan manusia kepada lima hal tersebut.
Dari aspek kekuatannya sebagai hujjah dalam menetapkan hukum,
maslahah ada tiga macam, yaitu:
a. Maslahah dharuriyah (المصلحت الضروريت)
Kemaslahatan yang keberadaannya sangat dibutuhkan oleh
kehidupan manusia, yang berhubungan dengan kebutuhan pokok
umat manusia di dunia dan di akhirat. Kemaslahatan seperti ini ada
lima, yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal,
memelihara keturunan, dan memelihara harta.
38
Abdul Wahhab Khallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 2014), h. 143-144.
30
b. Maslahah hajiyah (المصلحت الحاجيت)
Kemaslahatan yang dibutuhkan dalam menyempurnakan
kemaslahatan pokok sebelumnya yang berbentuk keringanan untuk
mempertahankan dan memelihara kebutuhan mendasar manusia.39
c. Maslahah tahsiniyah (المصلحت التحسينيت)
Kemaslahatan yang sifatnya pelengkap berupa keleluasaan yang
dapat melengkapi kemaslahatan sebelumnya. Misalnya, dianjurkan
untuk memakan yang bergizi, berpakaian yang bagus-bagus,
melakukan ibadah-ibadah sunat sebagai amalan tambahan, dan
berbagai jenis cara menghilangkan najis dari badan manusia.40
Jika dilihat dari segi kandungan maslahah, para ulama ushul fiqh
membaginya kepada:41
a. Maslahah al-„Ammah (المصلحت العامت)
Kemaslahatan yang menyangkut kepentingan orang banyak atau
umum. Kemaslahatan umum itu tidak berarti untuk kepentingan
semua orang, tetapi bisa berbentuk kepentingan mayoritas umat.
Misalnya, para ulama membolehkan membunuh penyebar bid‟ah
yang dapat merusak aqidah umat, Karena menyangkut kepentingan
orang banyak.
b. Maslahah al-Khashshah (المصلحت الخاصت)
Kemaslahatan pribadi dan ini sangat jarang sekali, seperti
kemaslahatan yang berkaitan dengan pemutusan hubungan
perkawinan seseorang yang dinyatakan hilang (mafqud). Pentingnya
pembagian kedua kemaslahatan ini berkaitan dengan prioritas mana
yang harus didahulukan apabila antara kemaslahatan umat
bertentangan dengan kemaslhatan pribadi.
39
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1 (Jakarta: Logos Publishing House, 1996), h. 115-
116. 40
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 116. 41
Nasroen Haroen, Ushul Fiqh 1, h. 116.
31
Jika dilihat dari segi eksistensinya atau wujudnya para ulama ushul,
sebagaimana dijelaskan oleh Abdul Karim Zaidan, membaginya kepada tiga
macam:42
a. Maslahah Mu‟tabarah (المصلحت المعتبرة)
Kemaslahatan yang terdapat dalam nash yang dijelaskan secara tegas
dan diakui keberadaannya. Dengan kata lain, seperti disebutkan oleh
Muhammad al-Said Ali Abd. Rabuh, kemaslahatan yang diakui oleh
syar‟i dan terdapat dalil yang jelas untuk memelihara dan
melindunginya.
Disebut dengan maslahah mu‟tabarah, jika syar‟i menyebutkan
dalam nash tentang hukum suatu peristiwa dan menyebutkan nilai
maslahat yang dikandungnya. Yang termasuk ke dalam maslahat ini
adalah maslahah daruriyah yaitu semua kemaslahatan yang
dijelaskan dan disebutkan oleh nash, seperti memelihara agama, jiwa,
keturunan, dan harta benda. Seluruh ulama sepakat bahwa semua
maslahat yang dikategorikan kepada maslahah mu‟tabarah wajib
ditegakkan dalam kehidupan, karena dilihat dari segi tingkatan ia
merupakan kepentingan pokok yang wajib ditegakkan.
b. Maslahah Mulgah (المصلحت الملغت)
Maslahah yang berlawanan dengan ketentuan nash. Dengan kata lain,
maslahah yang tertolak karena ada dalil yang menunjukkan bahwa ia
bertentangan dengan ketentuan dalil yang jelas.43
Contoh yang sering ditampilkan oleh ulama ushul adalah
menyamakan pembagian harta warisan antara seorang perempuan
dengan saudara laki-lakinya. Penyamaan antara seseorang
perempuan dengan saudara laki-lakinya dalam hal warisan memang
42
Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi Penetapan Hukum Islam (Jakarta:
Kencana, 2017), h. 195. 43
Nasrun Haroen, Ushul Fiqh, (Ciputat : Logos Publlishing House, 1996), h. 119.
32
terlihat ada kemaslahatannya, tetapi berlawanan dengan ketentuan
dalil nash yang jelas dan perinci.44
c. Maslahah Mursalah (المصلحت المرسلت)
Maslahah yang secara eksplisit tidak ada satu dalil pun baik yang
mengakuinya maupun yang menolaknya, tetapi keberadaannya
sejalan dengan tujuan syariat. Secara lebih tegas maslahah mursalah
ini termasuk jenis maslahah yang didiamkan oleh nash. Maslahah
mursalah ini sejalan dengan tujuan syara‟ yang dapat dijadikan dasar
pijakan dalam mewujudkan kebaikan yang dihajatkan oleh manusia
serta terhindar dari kemudaratan.45
4. Kehujjahan Maslahah Mursalah
Karena tidak ada nash yang memerintahkan atau melarang
perwujudan kemaslahatan yang terkandung di dalam al-mashlahah al-
mursalah maka para ulama berbeda pendapat mengenai kebolehan
penggunaannya sebagai dalil syara'. Sebagian mereka menerima dan
sebagian lain menolaknya. Jumhur ulama menerimanya sebagai dalil syara'
karena beberapa alasan:
a. Kemaslahatan manusia itu terus berkembang dan bertambah mengikuti
perkembangan kebutuhan manusia. Seandainya kemaslahatan-
kemaslahatan yang sedang berkembang itu tidak diperhatikan, sedang
yang diperhatikan hanyalah kemaslahatan yang ada nasnya saja, niscaya
banyak kemaslahatan manusia yang terdapat di beberapa daerah dan
pada masa yang berbeda akan mengalami kekosongan hukum dan
syari'at sendiri tidak dapat mengikuti perkembangan kemaslahatan
manusia. Padahal tujuan syari'at adalah untuk mewujudkan
kemaslahatan manusia di setiap tempat dan masa.
44
Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi Penetapan Hukum Islam (Jakarta:
Kencana, 2017), h. 196. 45
Romli SA, Pengantar Ilmu Ushul Fiqh: Metodologi Penetapan Hukum Islam (Jakarta:
Kencana, 2017), h. 198.
33
BAB III
STUDI PUTUSAN NOMOR 2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK, Nomor 175 K/Ag/2016
A. Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
1. Posisi Kasus
Perkara ini merupakan perkara waris yang diajukan oleh pemohon
yang bernama Dian Puspasari Binti H. Nandang Rusdana umur 44 tahun,
agama Islam, tempat kediaman di jalan Wijaya Kusuma No. 17, RT. 009,
RW. 004, Kelurahan Pondok Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan,
dalam hal ini diwakili kuasa hukumnya Drs. Afdal Zikri, S.H., M.H.,
sedangkan yang menjadi Termohon adalah Yulianti Puspita Binti Edyy Djaja
Miharja, aama Islam, Pekerjaan Ibu Rumah Tangga, H, H. Didi
Kusumahardy bin H. M. Dahlan, agama Islam, pekerjan Wiraswasta, H.
Nandang Rusdana bin H. M. Dahlan, agama Islam, pekerj
aan Pensiunan PNS Depkes, Eka Tjahja Pernama bin H. M Dahlan,
agama Islam, pekerjaan Pnsiunan PNS Depkes, H. Tista Hukama Adzan bin
H. M. Dahlan, agama Islam, pekerjaan Wiraswasta, Hj. Titien Ambari binti
H. M Dahlan, agama Islam, pekerjaan Ibu Rumah Tangga.46
2. Duduk Perkara
a. Alasan Gugatan
Bahwa perkara waris terkait kewarisan suami istri yang bernama
almarhum R.H. Eddy Djaja Mihardja Bin Sambas (Pewaris I) yang
wafat di Jakarta pada tanggal 21 Mei 2005 dan almarhumah Hj. Inna
Darsinah binti H.M Dahlan (Pewaris II) yang wafat di Jakarta pada
tanggal 21 Maret 2009. Bahwa alm. Eddy Djaja Mihardja bin Sambas
(Pewaris I) semasa hidupnya menikah 2 (dua) kali yaitu pertama
dengan Pursita telah bercerai pada tanggal 1964 dan memiliki
keturunan satu orang anak yang bernama Yuliati Puspita binti R.H
Eddy Djaja Mihardja (Tergugat I). menikah yang kedua kalinya
46
Salinan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
33
34
dengan pewaris II ( Hj. Inna Darsinah Binti H.M. Dahlan) dan tidak
memiliki keturunan dan telah mengangkat anak angkat yang bernama
Dian Puspasari Binti H. Nandang Rusdana sebagai Penggugat.47
Bahwa dengan meninggalnya R.H Eddy Djaja Mihardja bin
sambas maka ahli warisnya adalah
1) Hj. Inna Darsinah binti H.M Dahlan
2) Yuliati Puspita binti R.H Eddy Djaja Mihardja
Bahwa karena Hj. Inna Darsinah binti H.M Dahlan telah
meninggal dunia di jakarta pada tanggal 21 maret 2009 dan tidak
memiliki keturunan maka ahli warisnya adalah saudara-saudara
kandungnya dari almarhumah yaitu:
H. Nandang Rusdana bin H. M. Dahlan
H. Didi Kusumahardy bin H. M. Dahlan
H. Tista Hukama Adzan bin H. M. Dahlan
Eka Tjahja Pernama bin H. M Dahlan
Hj. Titien Ambari binti H. M Dahlan.
Dian Puspasari adalah anak dari saudara Hj. Inna Darsinah yang
bernama H. Nandang Rusdana, Dian telah di di asuh dan di rawat juga di
pelihara serta tinggal bersama dengan para pewaris Eddy Djaja Mihardja
dan Inna Darsinah dimana keberadaan Dian Puspasari sejak berada di
dalam kandungan sudah di kehendaki oleh para pewaris untuk di asuh.
Selain itu para pewaris telah memperlakukan Dian Puspasari sebagai anak
kandung. hal mana ternyata di dalam dokumen-dokumen administrative
kependudukan seperti pada Akta Kelahiran, Ijazah Dian Puspasari dan
Kartu Keluarga dimana di dalamnya Dian Puspasari di sebut sebagai anak
Pewaris Eddy Djaja Mihardja.
Lembaga kewarisan adalah sebagai hubungan pengikat nasabiyah
atau kekerabatannya karenaya meniscayakan adanya rasa saling tanggung
jawab dua arah di antara Pewaris dan Ahli Waris sehingga menimbulkan
47 Salinan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
35
ikatan saling mewarisi tersebut. Dengan kata lain, kewajiban seorang ahli
waris manakala ia memang bernar-benar menjalankan atau melaksanakan
tanggung jawab kekerabatan sebagaimana hubungan orang tua atau anak
atau antara sesama saudara. Atas berlangsungnya timbal balik anak-orang
tua tersebut karena ketika tanggung jawab hubungan keluarga tersebut di
laksanakan oleh dan di antara orang-orang yang tidak memiliki hubungan
darah sekalipun maka keberlangsungannya tetap dilindungi sebagaimana
dikenal dengan Lembaga anak angkat atau orang tua angkat dan karenanya
pula kewarisanpun diakui dengan konteks dan kadar tertentu. Bahwa, hal
ini diatur dan dipertegas dalam Hukum Kewarisan Islam sebagaimana
ketentuan Interuksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi
Hukum Islam (KHI) Pasal 209 ayat (2) yang berbunyi: Terhadap anak
angkat yang tidak menerima wasiat, diberi wasiat wajibah sebanyak
banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.48
Dari harta peninggalan Eddy dan Inna berupa :
1) Sebidang tanah seluas 1332 M2.
2) Perhiasan sebanyak 200 gram.
3) Mobil merk Xenia warna hitam No. Pol. B 1708 BK.
Pada tanggal 31 oktober 2013 telah melakukan perdamaian sesama
Tergugat saja, berkaitan dengan harta peninggalan para Pewaris dan
dalam perdamaian tersebut memuat tentang siapa Pewarisnya, siapa Ahli
Warisnya dan harta peninggalan dari para Pewaris. Akan tetapi Tergugat
tidak di landaskan I‟tikad baik dengan mengabaikan atau tidak mengakui
keberadaan Peggugat selaku anak angkat yang juga berhak atas bagian
tirkah waris dalam kapasitas sebagai pemegang hak wasiat wajibah.
Lalu Dian (selaku penggugat) di wakili kuasa hukumnya Afdal Zikir,
menggugat Yuliati Puspita dan tergugat lainya mengambil jalur hukum
dengan mengajukan gugatan lainnya mengeni sengketa anak angkat yang
48 Interuksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam (KHI) Pasal
209 ayat (2)
36
terdaftar di Kepaniteraan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Dengan
Nomor 949/Pdt.G/XI/2013 tertanggal 19 November 2013.
Setelah Majelis Hakim melakukan sidang setempat atas obyek
sengketa masing-masing, di sidang berikutnya antara Penggugat dan
Tergugat masing-masing mengajukan kesimpulan yang pada pokoknya
bertahan dengan dalil-dalilnya semula.
3. Pertimbangan Hakim
Dalam mempertimbangkan fakta-fakta hukum yang terjadi, sikap
hakim sangat menentukan nilai-nilai keadilan yang ada didalam putusan-
putusannya, karena sikap hakim merupakan cerminan amanat yang
diberikan oleh Undang-Undang.49
Hakim seharusnya dalam memeriksan dan
memutus suatu perkara, bebas dari campur tangan masyarakat (intervensi)
sehingga hakim dapat memutuskan perkara berdasarkan hukum yang
berlaku serta berdasarkan keyakinannya seadil-adilnya.50
Dalam salinan Putusan Pengadilan Agama Nomor
2810/Pdt.G/2013/PA.JS tentang sengketa anak angkat, maka penulis uraikan
pertimbangan Majelis Hakim, di antaranya sebagai berikut:
Sebagai mana yang di maksud pasal pada Pasal 2 ayat (2) dan (4)
PERMA RI Nomor 1 Tahun 2008, begitu juga yang tertera dalam pasal 130
HIR, Majelis Hakim telah berusaha mendamaikan Penggugat dan tergugat
namun tidak berhasil.
Dapat kita pahami bahwa penggugat merasa diabaikan dan tidak
diakui sebagai anak angkat dari para Pewaris, jika kita tinjau berdasarkan
ketentuan Pasal 1865 B.W, yaitu: “Barang siapa yang mengajukan
peristiwa-peristiwa atas mana ia mendasarkan suatu hak, di wajibkan
membuktikan peristiwa-peristiwa itu.” Maka antara Penggugat dan Tergugat
wajib membuktikan dalil bukti dan bantahannya.51
49 Jonaedi Effendi, Rekontruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-Nilai
Hukumdan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia Group, 2018)
h. 261. 50
Wildan Suyuthi Mustofa, Kode Etik Hakim, (Jakarta: KencanaPrenamedina Group,
2013) h. 98. 51
Pasal 1865 B.W
37
Demi meyakinkan Majelis Hakim, para pihak saling membantah Namun
selain itu adal dalil Penggugat yang diakui dan tidak bisa dibantah oleh
Tergugat yang berarti berarti mengakui dalil gugatan Penggugat tersebut,
adalah sebagai berikut:
a) Bahwa semasa hidupnya R.H Eddy Djaja Mihardja bin Sambas menikah
dua kali yaitu menikah pertama dengan Pursita pada tahun 1964 dari
perkawinan tersebut memiliki seorang anak perempuan bernama Yuliati
Puspita binti R.H. Eddy Djaja Mihardja, menikah kedua dengan Hj. Inna
Darsinah binti H.M Dahlan tidak memiliki keturunan.
b) Bahwa pada saat R.H Eddy Djaja Mihardja bin Sambas meninggal
dengan meninggalkan Ahli Waris seorang istri bernama Hj. Inna
Darsinah binti H.M Dahlan dan seorang anak perempuan bernama
Yuliati Puspita binti R.H Eddy Djaja Mihardja.
c) Bahwa Hj. Inna Darsinah meninggal maka meninggalkan Ahli Waris
saudara kandung yaitu: H. Nandang Rusdana bin Dahlan, H. Didi
Kusumahardy, Eka Tjahja Pernama, H. Tista Hukama Adzan, Hj. Titien
Ambari.
d) Bahwa sebidang tanah seluas 1332 M berikut bangunan di atasnya yang
terletak di Jl. Wijaya Kusuma No. 17, Rt.09 Rw.04, Kelurhan Pondok
Labu, Kecamatan Cilandak, Jakarta Selatan dengan sertifikat Hak Milik
Nomor 886 atas nama R.H Eddy Djaja Mihardja dengan batas-batas :
Utara dengan Jalan Wijaya Kusuma, Timur dengan tanah H. Ayat,
Selatan dengan tanah H. Mur, dan Barat dengan tanah H. Mur.52
Namun ada dalil Penggugat yang di bantah oleh Tergugat sebagai berikut:
a) Bahwa dalil gugatan Penggugat adalah anak angkat dari Pewaris. Dalil
ini di bantah oleh Tergugat bahwa Penggugat secara hukum bukan anak
angkat dan tidak memiliki keabsahan secara hukum sebagai anak angkat,
Penggugat hanyalah anak yang di asuh dan di pelihara oleh para Pewaris
dan tinggal bersama Pewaris.
52 Salinan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
38
Penggugat P.4 sampai dengan P. 10, P.20 dan saksi-saksi. Dari bukti-
bukti tersebut dapat di temukan fakta yang terbukti kebenaranya, sebagai
berikut:
1. Anak angkat tertera di dalam Akta Kelahiran, Kartu Keluarga dan
Ijazah Pendidikan Penggugat.
2. Para saksi menyangka Dian Puspasari sebagai anak kandung dari
Pewaris.
3. Penggugat tinggal bersama Pewaris sejak kecil.
4. Merawat Alm. Eddy (Pewaris I) dan Almh. Inna (Pewaris II) ketika
sakit.
5. Berdasarkan pasal 171 huruf h KHI yang berbunyi “anak angkat
adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehair-hari,
biaya Pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua kandung ke orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan. Dalam hal ini Hakim tingkat I menafsirkan pasal ini
bahwa di dalam pengangkatan anak berbeda dengan perceraian yang
sesuai dengan pasal 8 KHI bahwa putusnya perkawinan selain cerai
mati hanya dapat di buktikan dengan surat cerai berupa putusan
pengadilan berbeda dengan anak angkat ketentuan ini tidak di dapati
dalam Kompilasi Hukum Islam, artinya dalam hukum islam,
pengangkatan anak tidak harus dengan putusan pengadilan, yang
penting adalah telah beralih tanggung jawab pengasuhan,
pemeliharaan, dan Pendidikan anak itu dari orang tua kandung
kepada orang tua angat sehingga anak itu telah di perlakukan
layaknya anak kandung oleh orang tua agkatnya, maka telah terjadi
pengangkatan anak.53
4. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Pengadilan Agama Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
ialah sebagai berikut:
Dalam Provisi
53 Salinan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
39
- Mengabulkan gugatan provisi Penggugat
Dalam Pokok Perkara
Dalam Konvensi
1. Mengabulkan gugatan sebagian Penggugat.
2. Menyatakan Dian puspasari binti H. Nandang Rusdana adalah anak
angkat dari almarhum Eddy Djaja Mihardja dan almarhmah Hj. Inna
Darsinah.
3. Menetapkan penggugat berhak menerima wasiat wajibah sejumlah
18/132 dari harta penginggalan pewaris
4. Menetapkan ahli waris dari R.H Eddy Djaja Mihardja bin Sambas
adalah Hj. Inna Darsinah Binti H.M Dahlan dan Yuliati Puspita Binti
Eddy Djaja MIhardja.
5. Menetapkan ahli waris Hj. Inna darsinah Binti H.M Dahlan adalah
a. H. Nandang Rusdana bin H. M. Dahlan
b. H. Didi Kusumahardy bin H. M. Dahlan
c. H. Tista Hukama Adzan bin H. M. Dahlan
d. Eka Tjahja Pernama bin H. M Dahlan
e. Hj. Titien Ambari binti H. M Dahlan.
6. Menghukum Penggugat dan Para tergugat melakukan pembagian harta
warisan Para Pewaris dengan suka rea apabila tidak dapat di bagi secara
natura maka di jual bila perlu melalui kantor lelang negara.
7. Menolak gugatan Penggugat selain dan selebihnya.
Dalam Rekonvensi:
- Menolak Gugatan Penggugat
Dalam Konvensi dan Rekonvensi
40
Membebankan Tergugat/ Penggugat Rekonvensi untuk memebayar biaya
perkara hingga kini sejumlah Rp. 4.866.000,00 (empat juta delapan ratus
enam puluh enam ribu rupiah).54
B. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor
56/Pdt.G/2015/PTA.JK
1. Duduk Perkara
Pada perkara ini, para pihak terlihat masih belum merasa puas dengan
Putusan Majelis Hakim Tingkat Pertama, sehingga pihak yang
mengajukan keberatan mengajukan upaya hukum untuk mencari keadilan.
Upaya hukum yang pertama yang dilakukan adalah upaya banding,
yang di maksud dengan upaya hukum banding adalah permintaan atau
permohonan yang di ajukan oleh salah satu pihak yang berperkara, agar
penetapan atau putusan yang dijatuhkan pengadilan Tingkat Pertama bisa
diperiksa kembali secara keseluruhan perkara yang bersangkutan.55
Dian Puspasari, umur 45 tahun semula adalah Penggugat dan sekarang
sebagai Pembanding, dan melawan Yuliati Puspita binti R.H.Eddy Djaja
Muhardja semula sebagai Tergugat I sekarag Tebanding I, H. Nandang
Rusdana bin H. M. Dahlan semula sebagai Tergugat II sekarang menjadi
Terbanding II, H. Didi Kusumahardy bin H. M. Dahlan semula sebagai
Tergugat III sekarang menjadi Terbanding III, H. Tista Hukama Adzan bin
H. M. Dahlan semula sebagai Tergugat IV sekarang menjadi Terbanding
IV,Eka Tjahja Pernama bin H. M Dahlan semula sebagai Tergugat V
sekarang menjadi Terbanding V, Hj. Titien Ambari binti H. M Dahlan
semula sebgai Tergugat VI sekarang menjadi Terbanding VI. Dalam hal
ini sudah mengajukan akta permohonan banding dan telah diberi
kesempatan untuk memeriksa berkas perkara banding (Inzage);56
2. Pertimbangan Hakim
54 Salinan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS 55
M yahya Harahap, Kedudukan Kewenangan dan Acara Peradilan Agama, Undang-
Undang No. 7 Tahun 1989, (Jakarta: Sinar Grafika , 2007), Cet. 4, h. 336. 56 Salinan Putusan Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK
41
Mengenai permohonan banding baik pembanding I dan Pembanding II
telah diajukan dalam tenggang waktu banding dengan cara-cara
sebagaimana yang telah di atur dalam peraturan perundang-undangan, maka
permohonan banding tersebut dapat di terima oleh Majelis Hakim;
Setelah memperhatikan dan mempelajari putusan nomor
2810/Pdt.G/2013/PA.JS, Adapun Pertimbangan Majelis Hakim Tingkat
Banding sebagai berikut:
1. Bahwa penggugat (Dian Pupasari) sesuai dengan keterangan para saksi
penggugat Hendra bin Mundari, Alex Agustino, Harmono serta
keterangan para tergugat dan di kuatkan dengn keterangan saksi-saksi
(Achmad Ghozali dan Yedi Septiadi) adalah Dian Puspasari adalah anak
kandung dari H. Nandang Rusdana dalam kasus a quo sebagai tergugat
III/terbanding III.
2. Bahwa secara nasab Penggugat dalam pertalian darah dengan H.
Nandang Rusdana dan sebagai ahli waris serta saling mewarisi dari harta
warisan / tirkah jika salah satunya meninggal dunia.
3. Penggugat hanya mengaku sebagai anak angkat dan pengakuannya
dibantah oleh para tergugat dan penggugat tidak dapat memeberikan
bukti secara formal.
4. Bahwa menurut pasal 171 huruf h Kompilasi Hukum Islam menegaskan
bahwa anak angkat adalah yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya
sehari-hari biaya Pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya
dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan.
5. Bahwa secara legal kedudukan penggugat sebagai anak angkat tidak
dapat di pertanggung jawabkan oleh karenanya tuntutan hak ke
pengadilan tidak mempunyai keterkaitan dan hubungan hukum.
6. Bahwa karena status dan kedudukan penggugat tidak ada kaitannya
dengan harta waris yang di tinggalkan oleh Pewaris maka dengan
42
sendirinya tidak ada hak untuk mengajukan penetapan ahli waris,
penuntutan harta peninggalan, penuntutan pembagian waris.57
Selanjutnya dengan berkitan dengan Majelis Hakim tingkat Pertama
yang telah memberikan putusan atas perkara a quo yang menyatakan dalam
amarnya bahwa Penggugat adalah anak angkat dari Pewaris dan berhak
mendapatkan wasiat wajibah. Dalam hal ini Majelis Hakim Tingkat Banding
tidak sependapat dengan penetapan tersebut, meski Majelis Hakim tingkat
pertama telah memepertimbangkan dari sudut keadilan, namun dalam kasus
a quo seharusnya bukan dilihat dari segi yuridisnya sesuai dengan bunyi
pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi ”anak angkat
adalah anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya
pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal
kepada orang tua angkatnya berdasarkan putusan pengadilan.”58
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis
Hakim Banding berpendapat bahwa putusan Majelis Hakim tingkat pertama
tidak dapat di pertahankan dan harus di batalkan;59
3. Amar Putuan
Adapun hasil Putusan Tingkat Banding dalam perkara ini ialah
sebagai berikut:
I. Menyatakan permohonan banding untuk periksaan ulang pada
Pengadilan Tinggi Agama Jakarta dapat di terima.
II. Membatalkan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatan Nomor
2810/Pdt.G/2013/PA JS., tanggal 01 desember 2014 M.
III. Membebankan kepada Penggugat Konvensi / Tergugat Rekonvensi /
Pembandig untk membayar biaya perkara dalam tingkat pertama
sebesar Rp. 150.000, (serratus lima puluh ribu rupiah).60
57
Salinan Putusan Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK 58
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (h) 59
Salinan Putusan Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK 60 Salinan Putusan Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK
43
C. Pertimbangan Hakim dalam Memutus Perkara Nomor 175 K/Ag/2016
1. Duduk Perkara
Pada perkara ini, ternyata para pihak masih belum menemukan titik temu
dan solusi yang memuaskan, sehingga dilanjutkan ke upaya hukum yang kedua
yaitu upaya hukum kasasi. Sebagaimana berdasarkan ketentuan Pasal 28 ayat
10 huruf a UU No. 14 Tahun 1985 bahwa salah satu kewenangan kekuasaan
Mahkamah Agung ialah memeriksa dan memutus permohonan kasasi.61
Dian Puspasari, umur 45 tahun semula adalah Penggugat/ Pembanding,
sekarang sebagai Pemohon Kasasi, dan melawan Yuliati Puspita binti
R.H.Eddy Djaja, Muhardja, H. Nandang Rusdana bin H. M. Dahlan, H. Didi
Kusumahardy bin H. M. Dahlan, H. Tista Hukama Adzan bin H. M. Dahlan,
Eka Tjahja Pernama bin H. M Dahlan, Hj. Titien Ambari binti H. M Dahlan.
Mengenai gugatan Penggugat, Pengadilan Agama Jakarta selatan telah
menjatuhkan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS yang pada intinya dalam
Konpensi mengabulkan gugatan Penggugat sebagian dan menyatakan Peggugat
(Dian Puspasari bin H. Nandang Rusdana) sebagai anak angkat dari Para
Pewaris.
Selanjutnya, Majelis Hakim Tingkat Pertama menetapkan Penggugat berhak
atas bagian dari harta Pewaris dengan bagian sebagai Anak Angkat yaitu 1/3
dari harta Para Pewaris; dan menghukum Penggugat dan Para Tergugat untuk
melakukan pembagian harta warisan Para Pewaris dengan suka rela, apabila
tidak dapat dibagi secara natura maka dijual bila perlu melalui kantor lelang
negara.62
Sementara dalam Tingkat Banding, Putusan Pengadilan Agama Jakarta
Selatan tersebut telah di batalkan oleh Pengadilan Tinggi Agama Jakarta
dengan Putusan Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK, dengan mengadili sendiri.
Pada intinya terjadi perbedaan pendapat para antara Majelis Hakim Banding
dengan Majelis Hakim tingkat pertama mengenai yang di maksud dengan Anak
Angkat dan pembagian waris bagi anak angkat.
61 UU No. 14 Tahun 1985 Pasal 28 ayat 10 huruf (a) 62 Salinan Putusan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS
44
Mengenai alasan-alasan kasasi yang di ajukan oleh Pemohon Kasasi pada
pokoknya adalah:
Judex Facti Mengabaikan Norma Hukum Kebiasaan Yang Berlaku Di
Indonesia.
1) Bahwa pertimbangan Judex Facti Tingkat banding yang menyatakan
gugatan Pemohon Kasasi tidak dapat di terima di karenakan Pemohon
Kasasi tidak memiliki legal standing berupa putusan pengdailan sebagai
mana yang pasal 171 huruf (h) Kompilasi Hukum Islam yang berbunyi
yag di maksud anak angkat adalah anak yang alam pemeliharaan untuk
hidupnya sehari-hari, biaya Pendidikan dan sebagainya beralih tanggung
jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua angkatnya bedasarkan
putusan pengadilan adalah pertimbangan yang keliru, dan tidak sesuai
dengan hukum.
2) Bahwa pertimbangan yang demikian adalah keliru di karenakan dasar
hukum yang di gunakan Majelis Hakim Judex Facti Tingkat banding
hanya setingkat Intruksi Presiden, bukan Undang-Undang. Bahwa
ketentuan pasal dalam Intruksi Presiden perihal dasar sebagai anak
angkat berupa putusan pengadilan tentunya tidak dapat di phami secara
literal. Hal ini d karenakan:
2.1.Maksud di persyaratkannya putusan pengadilan tersebut adalah
sekedar contoh dasar yang paling mudah untuk digunanakan dalam
rangka membuktikan adanya anak angkat. Ini artinya dokumen
apapun dapat di pergunakan untuk membuktikan adanya atau
terjadinya peristiwa pengangkatan anak seperti yang unsur-unsurnya
telah di gambarkan Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (h)
yaitu anak yang dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari,
biaya pendidikan dan sebagainya beralih tanggung jawabnya dari
orang tua asal kepada orang tua angkatnya;63
2.2.Bahwa legalitas seseorang sebagai anak angkat tentunya tidak
melulu harus putusan pengadilan sebagaimana ketentuan Intruksi
63 Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 huruf (h)
45
Presiden tersebut, melainkan juga bias di dasarkan atas praktek
hukum adat atau praktek yang selama ini hidup, di akui berlaku di
masyarakat. Bahwa pengangkatan anak berdasarkan adat senyatanya
juga sudah sesuai hukum bahkan telah di akui keabsahannya menurut
hukum sebagaimana di tegaskan melalui yurisprudensi in casu
Mahkamah Agung Nomor 1074 K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996
di mana dalam putusan tersebut Mahkamah Agung menyatakan
menurut hukum adat Jawa Barat, seseorang di anggap sebagai anak
angkat bila tela diurus, dikhitan, disekolahkan, dan di kawinkan oleh
orang tua angkatnya.64
2.3.Bahwa selain hal di atas, pertimbangan Judex facti tingkat banding
yang menentukan legalitas status hukum anak angkat harus dengan
putusan pengadilan dengan merujuk ketentuan Pasal 171 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam adalah pertimbangan yang berlebihan. Hal
ini dikarenakan materi perkara anak agkat di pengadilan tidak selalu
bahkan bersifat kontentius yang mana harus di ajukan dalam bentuk
gugatan sehinga produk putusannya berupa putusan. Perkara
mengenai anak angkat di pengadilan pada umumnya atau lazimnnya
justru berupa perkara voluntir yang diajukan cukup dengan
permohonan sehingga produk pengadilanya pun bukan putusan
melainkan penetapan. Dengan kalimat lain sejak kapan seseorang
baru di anggap sah sebagai anak angkat jika di buktikan dengan
putusan pengadilan?
2.4.Bahwa nomenklatur “Putusan Pengadilan” dalam pasal 171 huruf (h)
Kompilasi Hukum Islam sebagai dasar status anak angkat tidak harus
di terapkan secara harfiah melainkan dapat di pahami dalam bentuk
dokumen formil atau dokumen otentik lainnya yang menunjukan
maksud yang sama, in casu yaitu adanya pengakuan orang tua angkat
terhadap seorang anak seolah-olah anak kandungnya yang biasanya
64
Yurisprudensi in casu Mahkamah Agung Nomor 1074 K/Pdt/1995
46
tercermin dalam akta kelahiran, buku rapor sekolah dan lain
sebagainya.
2.5.Bahwa Para Pewaris in casu telah memperlakukan Pemohon Kasasi/
Penggugat layaknya anak kandungnya sebagaimana di maksud
Kompilasi Hukum Islam Pasal 171 (h) dan yurisprudensi Mahkamah
Agung Nomor 1074 K/Pdt/1995 tanggal 18 Maret 1996, bahkan
sejak Pemohon Kasasi masih di dalam kandungan. Demikian
sebaliknya, Pemohonn Kasasi/ Penggugat selaku anak angkat juga
telah menjalankan apa yang menjadi kewajibannya selaku anak
terhadap orang tuanya hingga wafatnya Para Pewaris.
Dalam hukum adat, Mahkamah Agung Nomor 1074 K/Pdt/1995
tanggal 18 Maret 1996 di mana dalam putusan tersebut Mahkamah
Agung menyatakan menurut hukum adat Jawa Barat, seseorang di
anggap sebagai anak angkat bila tela diurus, dikhitan, disekolahkan,
dan di kawinkan oleh orang tua angkatnya.65
2. Pertimbangan Hakim
Berdasarkan alasan-alasan tersebut Mahkamah Agung
Mempertimbangkan sebagai berikut:
Bahwa alasan-alasan tersebut dapat dibenarkan, karena terdapat
kekeliruan dan kehilafan yang nyata dalam putusan Pengadilan Tinggi
Agama Jakarta Nomor 56/Pdt.G/2015/PTA.JK. harus dibatalkan, maka
Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini dengan
pertimbangan sebagai berikut:
1. Bahwa menurut keterangan para saksi di persidangan, penggugat telah di
asuh dan di pelihara sejak bayi hingga desawa oleh Para Pewaris, dengan
demikian meskipun tidak ada putusan pegadilan tentang pengangkatan
anak, maka secara de facto Penggugat memiliki legal standing dalam
perkara a quo;
65 Salinan Putusan Nomor 175 K/Ag/2016
47
2. Bahwa karena Penggugat mempunyai legal standing dalam perkara a
quo, maka dengan sendirinya Penggugat memiliki kapasitas sebagai
Penggugat dalam perkara ini.
3. Bahwa orang tua angkat atau Para Pewaris telah memberikan wasiat agar
hartanya warisan tersebut di berikan kepada Penggugat.
4. Bahwa karena Penggugat telah di berikan wasiat dari harta peninggalan
orang tua angkatnya, maka dengan sendirinya Penggugat tidak berhak
memperoleh wasiat wajibah atas harta warisan orang tua angkatnya yang
lain.
5. Bahwa demi kepastian hukum harus di tetapkan harta berupa perhiasan
emas 200 gram, satu unit mobil merk Xenia Nopol B 1708 BK, tanah
dan bangunan rumah seluas 390 m, merupakan hak penggugat yang di
peroleh berdasarkan wasiat dari orang tua angkatnya (almarhum R.H.
Eddy Djaja Mihardja bin Sambas).
Menimbang, bahwa berdasarkan pertimbangan di atas, maka
permohonan kasasi yang di ajukan oleh Pemohon kasasi tersebut di
kabulkan, dan Mahkamah Agung akan mengadili sendiri perkara ini yang
amarnya:
Menimbang, bahwa meskipun permohonan kasas dari Pemohon di
kabulkan, akan tetapi dalam prkara a quo Penggugat berada dipihak yag
kalah, maka penggugat dihukum untuk membayar biaya perkara dalam
semua tingkat peradilan.66
Dapat penulis simpulkan bahwa Majelis Hakim pada Tingkat Kasasi
dalam perkara ini memandang bahwa Majelis Hakim Tingkat Banding keliru
dalam mengambil keputusan dengan membatalkan PutusanTingkat Pertama
dalam hak anak angkt dalam waris, dan Hakim Tingkat Kasasi sependapat
dengan Hakim Tingkat Pertama bahwa anak angkat berhak mendapatkan
bagian waris melalui jalan wasiat wajibah.
66
Salinan Putusan Nomor 175 K/Ag/2016
48
3. Amar Putusan
Adapun hasil Putusan Nomor 175 K/Ag/2016 pada Tingkat Kasasi pada
perkara ini ialah sebagai berikut:
1. Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemoohon Kasasi Dian Puspasari
binti H. Nandang Rusdana tersebut.
2. Membatalkan Putusan Pengadilan Tinggi Agama Jakarta Nomor
56/Pdt.G/2013/PA.JS. yang membatalkan Putusan Pengadilan Agama
Jakarta Selatan Nomor 2810/Pdt.G/2013/PA.JS. tersebut.
Mengadili Sendiri
Dalam Provisi:
3. Menolak gugatan provisi Penggugat.
Dalam Konvensi:
4. Menolak gugatan Penggugat Konvensi seluruhnya.
Dalam Rekonvensi:
- Mengabulkan gugatan Para Penggugat Rekonvensi sebagian.
- Menetapkan harta berupa perhiasan emas 200 gram, satu unit mobil
merk Xenia Nopol B 1708 BK, tanah dan bangunan rumah seluas
390 m, merupakan hak penggugat yang di peroleh berdasarkan
wasiat dari orang tua angkatnya (almarhum R.H. Eddy Djaja
Mihardja bin Sambas).
- Menolak gugatan Para Penggugat Rekonvensi untuk selain dan
selebihnya:
Menghukum Pemohon/Penggugat untuk membayar biaya perkara
dalam semua tingkat peradilan yang dalam tingkat kasasi ini
sejumlah Rp.500.000,00 (lima ratus ribu rupiah).67
67 Salinan Putusan Nomor 175 K/Ag/2016
49
BAB IV
PENETAPAN ANAK ANGKAT SEBAGAI PENERIMA WASIAT
WAJIBAH
A. Analisis Putusan Pengadilan Agama, PTA, MA Tentang Kedudukan
Anak Angkat Dalam Kewarisan Islam di Indonesia
Mahkamah Agung RI sebagai badan tertinggi pelaksana kekuasaan
kehakiman yang membawahi empat badan peradilan dibawahnya telah
menentukan bahwa putusan hakim harus mempertimbangkan segala aspek
yang bersifat yuridis, filosofis, dan sosiologis.1
Aspek yuridis merupakan aspek pertama dan utama dengan
berpatokan pada undang-undang yang berlaku. Hakim sebagai aplikator
undang-undang harus memahami undang-undang dengan mencari undang-
undang yang berkaitan dengan perkara yang sedang dihadapi. Hakim haris
menilai apakah undang-undang itu adil, ada kemanfaatannya atau
memberikan kepastian hukum jika ditegakkan, sebab salah satu tujuan
hukum itu unsurnya adalah menciptakan keadilan.
Aspek filosofis merupakan aspek yang berintikan pada kebenaran
dan keadilan, sedangkan aspek sosiologis penerapannya sangat memerlukan
pengalaman dan pengetahuan yang luas serta kebijaksanaan yang mampu
mengikuti nilai-nilai hukum dalam masyarakat yang terabaikan. Jelas
penerapannya sangat sulit karena tidak mengikuti asas legalitas dan tidak
terikat pada sistem. Pencantuman ketiga unsur tersebut tidak lain agar
putusan dianggap adil dan diterima masyarakat.2
Keadilan hukum adalah keadilan berdasarkan hukum positif dan
peraturan perundang-undangan. Dalam arti hakim hanya memutus perkara
hanya berdasarkan hukum positif dan peraturan perundang-undangan.
Dalam menegakkan keadilan ini hakim hanya sebagai pelaksana undang-
1 Mahkamah Agung RI, Pedoman Perilaku Hakim (Code Of Conduct), Kode Etik Hakim
dan Makalah berkaitan, Pusdiklat MA RI, Jakarta,2006, h.2.
2 Soerjono Soekanto. Pengantar Penelitian Hukum. (Jakarta: Rineka Cipta, 1986) hlm.5
50
undang saja, hakim tidak perlu mencari sumber-sumber hukum diluar
hukum tertulis dan hakim hanya dipandang menerapkan undang-undang
pada perkara-perkara konkret rasional belaka.
Dengan kata lain hakim harus merujuk pada undang-undang yang
berlaku. hakim harus juga bisa disebut sebagai corong atau mulut undang-
undang. Tetapi dalam hal tuntutan keadilan, hakim bukanlah corong pada
undang-undang, melainkan hakim wajib menafsirkan dan menemukan
hukum demi memutuskan suatu perkara dengan adil.3 Penting diingat bahwa
undang-undang bukanlah satu-satunya sumber hukum. Tetapi kebiasaan
dalam masyarakat juga termasuk sumber hukum. Maka dari itu, hakim bisa
menggunakan kebiasaan masyarakat sebagai rujukan dalam pertimbangan
hukum.4
Setelah mengetahui jalan pekara kasus dalam putusan Nomor
2810/Pdt.G/2013/PA.JS dan 56/Pdt.G/2015/PTA.JK dan juga Nomor 175
K/Ag/2016 dapat di pahami masalah yang di angkat dalam perkara ini
adalah perkara tentang kedudukan anak angkat dalam pembagian waris. Hal
yang menarik untuk disoroti dalam putusan tersebut ialah penetapan anak
angkat yang telah diangkat oleh Para Pewaris.
Berdasarkan pertimbangan hakim dari tingkat pertama yang
mengabulkan gugatan anak angkat dan berhak mendapatkan bagian waris
dari harta para pewaris. dengan pertimbangan bahwa hakim menafsirkan
KHI Pasal 171 huruf (h) bahwa pengangkatan anak angkat tidak harus
dengan putusan pengadilan, yang penting adalah telah beralih tanggug
jawab pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan anak itu dari orang tua
kandung ke orang tua angkat sehingga anak itu telah diperlakukan layaknya
anak kandung oleh orang tua angkatnya, maka telah terjadi pengangkatan
anak.
3 Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai- Nilai
Hukum dan Rasa Keadilan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia Group, 2018),
Cet. 1, h. 233. 4Ahmad Ali, Menguak Tabir Hukum, (Jakarta: Kencana, 2017), Cet. 2, h. 174
51
Hakim pada tingkat ini juga mempertimbangakan bahwa anak
angkatlah yang dari kecil tinggal bersama para pewaris, yang dirawat,
diasuh, dibiayai pendidikannya hingga besar, dan anak angkatlah yang
menjaga serta merawat para pewaris dari sakit hingga wafatnya.maka
terlihat bahwa anak angkat yang lebih banyak berkontribusi kepada para
pewaris, sebagaimana hal nya seperti anak kandungnya sendiri.
Selain itu terkait masalah harta benda peninggalan para pewaris yang
berupa:
a. Perhiasan sebanyak 200 gram, awalnya adalah perhiasan pemberian
pewaris sebagai perhiasan penggugat, kemudian secara bertahap
penggugat mencicil kepada pewaris hingga sebanyak 200 gram.
b. Mobil merk Xenia, warna hitam No.Pol B 1708 BK, awalnya adalah
mobil Xenia tahun 2004, kemudian dijual Hj. Inna Darsinah dan hasil
penjualan tersebut di jadikan uang muka mobil Xenia, warna hitam,
No.Pol B 1708 BK yaitu sejumlah 30% dari harga mobil tersebut dan
cicilanya Penggugat yang bayar.
c. Tanah dan bangunan di beli Penggugat seharga Rp.10.000.000,00
dengan cara angsuran, pertama Rp.7.000.000,00 dan kedua
Rp.3.000.000,00 uang tersebut Penggugat serahkan melalui pewaris.
Ketika membeli tanah tersebut, penggugat bekerja dengan penghasilan
Rp.5.000.000,00 perbulan.
Dalam hal ini hakim menginterpretasikan bahwa anak angkat juga
berhk mendapatkan bagian dari harta para pewaris, karena didasarkan bahwa
anak angkat tersebut yang berkontribusi lebih besar dari pada anak
biologisnya.
Dalam pandangan filsafat hukum terdapat teori sociological
jurisprudence yang dipelopori oleh Roscoe Pound berpendapat bahwa
”hukum harus berjalan seiring dengan perubahan masyarakat”.5 Dalam hal
ini juga terdapat teori Realism hukum, ada banyak para ahli filsafat yang
memberi pengertian tersebut diantaranya Llwellyn yang berpendapat bahwa
5 Cahyadi, Fernando, Pengantar ke Filsafat Hukum, (Jakarta: Kencana, 2007), h. 121
52
”hukum harus diterima sebagai sesuatu yang terus-menerus berubah, hukum
bukan sesuatu yang statis. Tujuan hukum harus senantiasa dikaitkan dengan
tujuan masyarakat di mana hukum itu berada. Masyarakat merupakan proses
yang terus-menerus berubah secara berkesinambungan, oleh karena itu
perubahan hukum pun merupakan suatu yang esensial. Demikian pula
ternyata bahwa dibutuhkan penekanan pada evaluasi hukum terhadap
dampak dan efek pada masyarakat”.
Sedangkan hal ini berbanding terbalik dengan pertimbangan putusan
tingkat banding yang menyatakan bahwa penggugat bukanlah anak angkat
dari para pewaris dan tidak berhak medapatkan bagian waris dengan alasan
tidak mempunyai hubungan dengan pewaris, sebagai penyebab untuk
mewarisi, baik hubungan darah ataupun hubungan perkawinan, oleh
karenanya penggugat tidak berhak mendapatkan bagian harta dari warisan.
Dan alasan hakim juga mengacu pada pembuktian dengan tidak adanya
putusan pengadilan yang menetapkan penggugat sebagai anak angkat.
Pertimbangan dalam tingkat ini hakim lebih menekankan pada
faktor yuridis, jikalau ada yang mengangkat anak harus adanya penetapan
dari pengadilan. Sebagaimana Kompilasi Hukum Islam (KHI) dengan
redaksi yang sedikit berbeda mendefinisikan anak angkat adalah anak yang
dalam pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan
sebagainya beralih tanggung jawabnya dari orang tua asal kepada orang tua
angkatnya berdasarkan putusan Pengadilan (KHI Pasal 171 huruf h).6
Menurut penulis hakim pada tingkat banding ini lebih
mengkedepankan kepada aspek yuridis yang mengharuskan adanya putusan
pengadilan, sehingga berbeda dengan hakim tingkat pertama dalam perkara
ini, dan memutuskan bahwa anak angkat tidak berhak mendapatkan bagian
waris dari pada harta para pewaris.
Dalam putusan tingkat kasasi justru menguatkan tingkat pertama
yang menetapkan penggugat sebagai anak angkat dari para pewaris dan
6 Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia, (Bandung: Akademika Pressindo,
2010), h., 156.
53
berhak mendapat bagian dari harta pewaris, hakim pada tingkat ini
menganalogikan dan mengkaitkan dengan hukum adat Jawa Barat. yang
berdasarkan putusan Mahkamah Agung Nomor 1074 K/Pdt/1995 tanggal
18 Maret 1996 dimana dalam putusan tersebut Mahkamah Agung
menyatakan menurut hukum adat Jawa Barat, “seorang dianggap sebagai
anak angkat bila telah diurus, dikhitan, disekolahkan, dan dikawinkan
oleh orang tua angkatnya”.
Menurut pendapat Von Savigny, seorang filsafat yang
mengatakan bahwa “tidak ada hukum yang berlaku universal dan
abadi”.7 Dari pernyataan tersebut, menjelaskan bahwa hakim seharusnya
tidak menyamaratakan hukum adat yang berlaku Jawa Barat dengan
hukum adat di daerah lain seharusnya hakim.
Dalam hal mengadili, sekiranya hakim harus memperhatikan tiga
tujuan hukum yang integrative dalam pertimbangannya, yaitu kepastian
hukum, kemanfaatan hukum, dan keadilan hukum. Menurut Jeremi Batham,
pasti akan ada suatu keadaan dimana tujuan-tujuan hukum itu saling
kontradiksi dan memiliki potensi untuk saling bertentangan, justru
memutuskan suatu kasus, harus dipilih mana tujuan yang diutamakan.8 Dari
pertimbangan hakim tingkat pertama dan kasasi jelas bahwa penetapan
penggugat berhak mendapatkan wasiat wajibah sudah tepat dan memenuhi
konsep keadilan.
Untuk penegakan prinsip kepastian hukum, hukum positif dalam
bentuk undang-undang dianggap sebagai sumber formal hukum utama,
berdasarkan asumsi pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang
Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dikatakan bahwa undang-
undang dianggap sudah baik dan tidak mempunyai kekurangan, yaitu yang
mampu mengakomodasikan kepentingan dan bisa menampung rasa keadilan
7 Urip Sucipto, Filsafat Hukum, (Indramayu : Deepublish, 2014) h.52
8 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, (Jakarta:
Prenadamedia Group, 2015) Cet. 1, h.3
54
karena telah dibuat berdasarkan syarat dan tujuan asas pembentukan
peraturan perundang-undangan.9
Akan tetapi dalam ketentuan pasal 1 Undang-Undang tentang
Kekuasaan Kehakiman, hakim diberikan ruang kebebasan dalam
menerapakankan rasa keadilan bagi masyarakat, sebagaimana dalam
bunyinya: “Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan
peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi
terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia”.
Ruang kebebasan hakim meliputi kebebasan dalam mengadili,
berekspresi, kebebasan dari campur tangan atau intervensi dari pihak
manapun, menggali nilai- nilai hukum, termasuk kebebasan menyimpangi
ketentuan hukum tertulis jika dinilai tidak sesuai dengan rasa keadilan
masyarakat.10 Hal ini bertujuan agar putusan hakim mencapai suatu keadilan
yang memberikan jalan keluar, efiesien, stabilitas dan fairness.11
Jika terjadi kesenjangan antara undang-undang dengan hukum yang
hidup di masyarakat, maka solusi untuk mengatasi hal itu ialah membuat
hukum baru yang diciptakan oleh pembuat undang-undang yang berwenang.
Akan tetapi, jika terjadi kasus yang dibutuhkan saat itu dalam putusan
pengadilan, padahal undang-undang baru belum dibuat, maka saat itulah
hakim harus melakukan penemuan hukum.
Karena harus diketahui, bahwa di luar undang-undang terdapat
hukum yang hidup di masyarakat sesuai perkembangan dinamika sosial yang
patut kita hormati. Hakim seharusnya bisa mensingkronisasi antara kaidah
hukum tertulis dengan perubahan sosial masyarakat agar kaidah hukum tetap
progresif dan aktual dalam memenuhi keadilan dan kebutuhan masyarakat.12
9 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim., h. 6
10 Syarif Mappiasse, Logika Hukum Pertimbangan Putusan Hakim, h. 3
11 Firman Floranta Adonara, Prinsip Kebebasan Hakim dalam Memutus Perkara Sebagai
Amanat Konstitusi, Jurnal Konstitusi, Vol. 12, Nomor 2, Juni 2015, h. 231. 12
Idris, Rachminawati, dan Imam Mulyana, Penemuan Hukum Nasional dan
Internasional, (Bandung: PT. Fikahati Aneska, 2012), h. 78
55
Sama halnya dengan perkara ini, hakim memiliki pandangan yang
berbeda baik dari tingkat pertama sampai kasasi terhadap pengangkatan anak.
Pada Putusan Tingkat Pertama Nomor 2810/Pdt.G/2015/PA.JS, terlihat jelas
bahwa Majelis Hakim Tingkat ini berusaha mewujudkan keadilan bagi para
pihak yang berperkara dengan mengesampingkan suatu ketentuan yang
berlaku berdasarkan penafsiran dan fakta-fakta hukum yang terjadi. Majelis
Hakim Tingkat Pertama melihat kasus ini baru adil apabila dilihat dari segi
sosiologis.
Sementara Majelis Hakim Tingkat Banding menganggap Bahwa
kedudukan anak angkat dalam hukum waris harus dilihat dari segi yuridis
sesuai dengan ketentuan undang-undang maupun Kompilasi Hukum Islam
dan juga fakta-fakta hukum dan keterangan para saksi. Majelis Hakim
Tingkat Kasasi sejalan dengan Tingkat Pertama menganggap bahwa anak
angkat berhak mendapatkna bagian waris karena dari aspek sosiologi anak
angkat yang lebih banyak berkontribusi untuk para pewaris di masa hidupnya.
Persfektif dan konsepsi keadilan tiap orang berbeda-beda, seperti
halnya perbedaan antara keadilan persfektif penguasa dengan keadilan
persfektif rakyat, keadilan itu dihasilkan oleh penguasa cenderungnya
lebih mengutamakan keadilan formal (formal justice), sedangkan keadilan
yang diinginkan oleh rakyat cenderung kepada keadilan yang bersifat
masif (sosial masif).13 Maka menurut penulis sangat wajar apabila terjadi
perbedaan pendapat tentang penetapan hakim dalam mewujudkan prinsip
keadilan terhadap perkara pengangkatan anak.
Sehingga menurut peneliti, pertimbangan hakim di tingkat
Pertama dan Kasasi lebih bisa menjamin kepastian hukum dan keadilan
bagi para pihak sesuai dengan ketentuan hukum Positif dan fakta-fakta
hukum dalam persidangan.
13
Jonaedi Effendi, Rekonstruksi Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Berbasis Nilai-Nilai
Hukum dan Rasa Keadialan Yang Hidup Dalam Masyarakat, (Depok: Prenadamedia Group,
2018) Cet. 1, h. 13
56
B. Analisis Kedudukan Anak Angkat dalam Kewarisan Islam di Indonesia
1. Analisis Hukum Positif
Berdasarkan pertimbangan hakim dari tingkat pertama yang
mengabulkan gugatan anak angkat dan berhak mendapatkan bagian waris
dari harta para pewaris. dengan pertimbangan bahwa hakim menafsirkan
KHI Pasal 171 huruf (h) bahwa pengangkatan anak angkat tidak harus
dengan putusan pengadilan, yang penting adalah telah beralih tanggug
jawab pengasuhan, pemeliharaan dan pendidikan anak itu dari orang tua
kandung ke orang tua angkat sehingga anak iyu telah dierlakukan layaknya
anak kandung oleh orang tua angkatnya, maka telah terjadi pengangkatan
anak.
Hakim pada tingkat ini juga mempertimbangakan bahwa anak
angkatlah yang dari kecil tinggal bersama para pewaris, yang dirawat,
diasuh, dibiayai pendidikannya hingga besar, dan anak angkatlah yang
menjaga serta merawat para pewaris dari sakit hingga wafatnya.maka
terlihat bahwa anak angkat yang lebih banyak berkontribusi kepada para
pewaris, sebagaimana hal nya seperti anak kandungnya sendiri.
Oleh sebab itu majelis hakim tingkat pertama lebih mengkedepankan
aspek sosiologis. Dan ini sejalan dengan KHI Pasal 209 ayat 2 yang
menjelaskan bahwa “terhadap anak angkat ang tidak menerima wasiat diberi
wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya”.
Wasiat adalah pesan seseorang kepada orang lain untuk mengurusi
hartanya sesuai dengan pesannya itu sepeninggalnya. Jadi, wasiat
merupakan tasaruf terhadap harta peninggalan yang akan dilaksanakan
setelah meninggalnya orang yang berwasiat, dan berlaku setelah perang
yang berwasiat meninggal dunia.14
Adapun wasiat wajibah adalah tindakan yang dilakukan oleh
penguasa atau hakim sebagai aparat negara yang mempunyai tugas untuk
memaksa atau memberi putusan wajib wasiat bagi orang yang telah
14
Dian Khairul Umam, Fiqh Mawaris, Cet 1, (Bandung: CV Pustaka Setia, 1999), h. 237.
57
meninggal, yang diberikan kepada orang tertentu dalam keadaan tertentu.
Dikatakan wasiat wajibah, disebabkan karena dua hal, yaitu:
a. Hilangnya unsur ikhtiar pemberi wasiat dan munculnya unsur kewajiban
melalui peraturan perundang-undangan atau putusan pengadilan, tanpa
tergantung kepada kerelaan orang yang berwasiat dan persetujuan
penerima wasiat.
b. Adanya kemiripan dengan ketentuan pembagian harta warisan dalam hal
penerimaan laki-laki dua kali lipat bagian perempuan.15
Dalam hal ini hakim pada tingkat pertama sejalan dengan KHI,
walaupun anak angkat tidak masuk dalam status ahli waris dari orang tua
angkatnya, akan teteapi anak angkat yang ingin mendapatkan bagian harta
dari pewari bisa melalui jalur wasiat wajibah, dimana anak angkat yang
tidak diberi wasiat maka mendapatkan wasiat wajibah sebanyak-banyaknya
1/3 dari harta pewaris.
Penulis dapat meyimpulkan bahwa putusan tingkat pertama ini
sejalan dengan Undang-Undang dan juga sesuai dari aspek sosiologis.
Meskipun hakim pada tingkat pertama mengabulkan dengan dengan
pertimbangan hukumnya, sedangkan majelis hakim tingkat banding
membatalkan putusan hakim tingkat pertama dengan alasan, bahwa anak
angkat sebagai penggugat tidak memiliki legal standing, lantaran tidak ada
hubungan darah atau hubungan kewarisan dengan para pewaris , adapun
pertimbangan hukum hakim pada tingkat ini berdasarkan KHI pasal 171
huruf h yang berbunyi bahwa “anak angkat adalah anak yang dalam
pemeliharaan untuk hidupnya sehari-hari, biaya pendidikan dan sebagainya
beralih tanggung jawabnya dari orangtua angkatnya berdasarkan putusan
pengadilan” dengan landasan tersebut anak angkat tidak memiliki legal
standing karena tidak memiliki bukti berupa putusan pengadilan, dan anak
angkat tidak berhak mendapatkan bagian waris dari harta peninggalan para
pewaris.
15
Asyhari dan Djunaidi Abd. Syakur, Hukum Islam di Indonesia, Cet 2, (Yogyakarta:
Elhamra Press, 2003), h. 207.
58
Dalam hal ini hakim di tingkat banding lebih mengkedepankan aspek
yuridis dan tidak melihat dari aspek sosiologis serta tidak berani
menafsirkan Undang-Undang dalam hal ini KHI Pasal 171 huruf (h) terkait
legalitas anak angkat dalam pengajuan hak waris.
Adapun putusan tingkat kasasi sejalan dengan putusan hakim tingkat
pertama yang mengakui anak angkat dan berhak mendapatkan bagian waris
dari harta pewaris dan dikuatkan dengan KHI Pasal 209 ayat (2) yang
berbunyi “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat diberi wasiat
wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua angkatnya.
Oleh karena itu putusan tingkat pertama dan kasasi lebih sejalan dengan
konsep wasiat wajibah, dimana walau anak angkat tidak termasuk dalam
bagian ahli waris, akan tetapi anak angkat bisa menempuh jalur wasiat
wajibah.
2. Analisis Hukum Islam Melalui Mashlahah Mursalah
Muhammad Abu Zahrah, definisi maslahah mursalah adalah
بالإعتبار أو الإلغاء.ا أصل خاص لهقاصد الشارع الإسلمي وليشهد لملئمة لما لحصالما
Artinya: “segala kemaslahatan yang sejalan dengan tujuan-tujuan
syar„i (dalam mensyariatkan hukum Islam) dan kepadanya tidak ada dalil
khusus yang menunjukkan tentang diakuinya atau tidaknya.”16
Berbeda dengan rumusan di atas, Dr. Husain Hamid Hassan mendefinisikan
almashlahah al-mursalah sebagai berikut:
يندليل مع يرملة بغلجا فىه الشارع بر ت جنس اعتتح تىصلحة اللمرسلة ىي المصلحة المإن ا
Artinya: “Sesungguhnya al-mashlahah al-mursalah ialah maslahat
yang termasuk di dalam jenis yang diungkapkan asySyari' (Pembuat
Syariat) secara global tanpa adanya dalil yang jelas ...”17
16
Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fiqh, terj. Saefullah Ma‟shum, et al., Ushul Fiqih
(Jakarta: Pustaka Firdaus, Cet. 9, 2005), h. 424. 17
Noorwahidah, “Esensi Al - Mashlahah Al – Mursalah Dalam Teori Istinbat Hukum
Imam Syafi'i”, Fakultas Syariah IAIN Antasari Banjarmasin, h. 3.
59
Dengan definisi tentang maslahah mursalah di atas, jika dilihat dari
segi redaksinya nampak adanya perbedaan, tetapi dilihat dari segi isi pada
hakikatnya ada satu kesamaan yang mendasar, yaitu menetapkan hukum
dalam hal-hal yang sama sekali tidak disebutkan dalam Alquran maupun al-
sunnah, dengan pertimbangan untuk kemaslahatan atau kepentingan hidup
manusia yang bersendikan pada asas menarik manfaat dan menghindari
kerusakan.
Dari pendapat ulama yang berkaitan tentang mashlahah mursalah,
jika penulis kaitkan dengan putusan Pengadilan Agama Jakarta Selatandan
di tangkat kasasi, penulis cermati bahwa dasar dari penetapannya sudah
tepat dalam mengambil kesimpulan hukum, dan sudah sesuai dengan kaidah
mashlahah mursalah. Karena anak angkatlah yang tinggal bersama pewaris,
dan merawat orang tua angkatnya dikala sakit hingga wafatnya,dan anak
angkat lebih banyak kontribusinya di dalam kehidupan para pewaris.
Dalam pandangan lain putusan pada tingkat banding dengan
membatalkan putusan tingkat pertama dan anak angkat tidak ada hak untuk
mendapatkan bagian dari harta peninggalan para pewaris,menurut penulis
hakim pada tingkat ini keliru dalam mengambil keputusanya tanpa melihat
dari aspek sosial dan keadilan serta putusan ini tidak sejalan dengan
mashlahah mursalah. Sehingga tidak memeberikan kemashlahatan bagi anak
angkat.
60
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Kedudukan anak angkat dalam hukum waris, secara hukum waris anak
angkat memang tidak termasuk sebagai ahli waris dari orang yang meninggal,
akan tetapi anak angkat yang ingin mendapatkan bagian waris dari harta
peninggalan pewaris tidak bisa ditempuh dengan mekanisme hukum waris
melainkan bisa ditempuh melalui wasiat wajibah yang terdapat di dalam KHI
Pasal 209 ayat (2) bahwa “terhadap anak angkat yang tidak menerima wasiat
diberi wasiat wajibah sebanyak-banyaknya 1/3 dari harta warisan orang tua
angkatnya.
2. Penenetapan yang dikeluarkan oleh Pengadilan Agama Nomor:
2810/Pdt.G/2013/PA.JS dan Mahkamah Agung Nomor: 175 K/Ag/2016 sudah
mencerminkan keadilan bagi anak angkat dengan menetapkan anak angkat
berhak mendapatkan wasiat wajibah, hal ini berkesuaian dengan teori wasiat
wajibah dan terdapat banyak kemashlahatan bagi penggugat dan para ahli
waris lainnya,
B. Saran-Saran
Hendaknya kepada para hakim Pengadilan Agama dan Pengadilan
Tinggi Agama maupun Mahkamah Agug lebih teliti dan berhati-hati dalam
menentukan anak angkat, para hakim harus bersifat realistis dan berlogika
tinggi dalam memahami sebuah kasus.Para hakim dalam memutuskan putusan
perlu memperhatikan faktor yang seharusnya diterapkan yaitu: keadilan,
kepastian hukumnya dan kemanfaatannya.
61
DARFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Kompilasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: Akademika
Pressindo, 2010
Abdussalam, Hukum Perlindungan Anak. Jakarta: PTIK, 2016
Achmad, M. F, Dualisme Penelitian Hukum Normatif dan Empiris. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2015
Afwi, M. R., Pengangkatan Anak Berdasarkan Hukum Positif dan
implementasiya Di Pengadilan Agama. 31, 2011
Ahmad Kamil dan Fauzan, Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak Di
Indonesia. Jakarta: Rajawali Press, 2010
al-Zuhaili, W, Al-fiqh al-islami wa adilatuhu. Beirut: Dar al- fikr al-Mu‟asir, 1997
Amirin, T. M., Menyusun Rencana Penelitian. Jakarta: Raja Grafindo Persada,
1995
ar-Rifa‟I, M. N., Kemudahan Dari Allah Ringkasan Tafsir Ibnu Katsir. Jakarta:
Gema Insani, 2000
Djaelani, A. Q., Keluarga Sakinah. Surabaya: PT. Bina Ilmu Offset, 1995
Echols, J. M., An English-Indonesian Dictionary. 13, 2010
Emzir, Metodologi Penelitian Kualitatif. Jakarta: Raja Wali, 2010
Fauzan, A. K., Hukum Perlindungan dan Pengangkatan Anak di Indonesia (p.
12). Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada, 2008
Ghozali, A. R., Fiqh Minakahat. Jakarta: Kencana, 2003
Hamka, Tafsir Al Azhar. Surabaya: Pustaka Islam, 1983
Heriawan, M, Pengangkatan Anak Secara Langsung Dalam Perspektif
Perlindungan Anak. Jurnal Katalogis, 2017
62
Ibrahim, J., Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Malang: Bayu
Media Publishing, 2006
Koesnan, R., Susunan Pidana dalam Negara Sosialis Indonesia. Bandung: Sumur,
2005
Kuswanto, Implementasi Wasiat Wajibah Terhadap Anak Angkat Perspektif Teori
Keadilan John Rawis. 1, 2005
Mahjuddin, Kasus-kasus Aktual dalam Hukum Islam. In Masail Al-Fiqh (p. 96).
Jakarta: Kalam Mulia, 2012
Mahjuddin, M. A.-F.-k, Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama.
Jakarta: Kencana, 2008
Muhdlor, A. A., Kamus Kontemporer Arab-Indonesia. Yogyakarta: Multi Karya
Grafika, 1999
Nasional, D. P., Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia, 2008
Nursulistyani, D. F., Analisis Yuridis Perkara Gugatan Waris Dalam Putusan
Nomor. 341?Pdt.G/2016/PA.Kab.Mn di Pengadilan Agama kabupaten
Madiun, 2018
Pasalbessy, J. D., Implementasi Hak-Hak Anak di Indonesia (Kajian Terhadap
Usaha Perlindungan Anak Korban Kekerasan Selama Konflik di Maluku).
Jurnal Online Mahasiswa (JOM) Bidang Ilmu Hukum 4.1, 2015
Poerdawarminta., Kamus Hukum Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
psikologis., H. a. (n.d.), 1976
Qardhawi, Y, Halal dan Haram Dalam Islam. Surakarta: Era Intermedia, 2005
Ramadhani, R, Pengaturan Wasiat Wajibah Teradap Anak Angkat Menurut
Hukum Islam. Lex et Societatis, 55, 2015
Rohmah, G. K. (n.d.). Pertimbangan Hakim Dalam Penyelesaian Pembagian
Waris.
63
Septiawan. (n.d.). Pembagian Harta Waris Anak Bungsu di Desa Upang Marga
Kecamatan Air Salek Kabupaten Banyuasin Ditinjau Dari Fiqh Mawaris.
Sirait, E. I, Tinjauan Hukum Islam Terhadap Pelaksanaan Pembagian Warisan
Adata Batak Toba, 2018
Soerdjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta: UI Press, 1986
Suharto, Hak Waris Anak Angkat Menurut Hukum Islam Di Indonesia. Isti‟dal:
Jurnal Studi Hukum Islam, 110, 2014
Sy, M. (n.d.). Pengangkatan Anak Kewenangan Pengadilan Agama.
Syaltut, M, Al- Fatawa. Mesir: Dar al Syuruk, 1991
Syarifuddin, A, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia antar Fiqh Munakahat
dan Undang-Undang Perkawinan . Jakarta: Kencana, 2007
Taneko, S. S, Hukum Adat Indonesia. Jakarta: Rajawali, 1986
Tumuhury, H. A, Tinjauan Tentang Hak Waris Anak Angkat Terhadap Harta
Warisan Menurut Kompilasi Hukum Islam. Legal Pluralism, 2013
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia. Balai Pustaka, 1984
Yanggo, H. T, Pengangkatan Anak Dalam Hukum Islam. Jakarta: Suara Uidilag,
2007
Zaini, M, Adopsi Suatu Tinjauan dari Tiga Sistem Hukum. Jakarta: Sinar Grafika,
2002