kecap ikan_yohana maria p_13.70.0030_e2_unika seogijapranata
DESCRIPTION
Sisa-sisa pengolahan ikan seperti tulang, kepala dan ekor dapat dimanfaatkan kembali membentuk kecap ikan. Kecap ikan adalah produk fermentasi menggunakan garam atau fermentasi dengan penambahan enzim proteolitik, menghasilkan filtrat dengan aroma dan rasa yang khas.TRANSCRIPT
Acara III
KECAP IKAN
LAPORAN RESMI PRAKTIKUMTEKNOLOGI HASIL LAUT
Disusun oleh:Nama: Yohana Maria P
NIM: 13.70.0030Kelompok E2
PROGRAM STUDI TEKNOLOGI PANGANFAKULTAS TEKNOLOGI PERTANIAN
UNIVERSITAS KATOLIK SOEGIJAPRANATASEMARANG
2015
1. MATERI DAN METODE
1.1. Materi
1.1.1. Alat
Alat-alat yang digunakan dalam praktikum ini adalah pisau, kain saring, blender, toples,
panci, kompor, kain saring, pengaduk, dan timbangan analitik.
1.1.2. Bahan
Bahan-bahan yang diperlukan untuk praktikum ini antara lain, tulang dan kepala ikan
bawal, enzim papain komersial, garam, gula kelapa dan bawang putih.
1.2. Metode
1
Tulang dan kepala ikan bawal
dihancurkan dan disiapkan 50
gram.
Dimasukkan ke dalam toples.
Ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi
0,2%, 0,4%, 0,6%, 0,8% dan 1%.
Toples ditutup rapat dan dilakban.
Diinkubasi (fermentasi) pada
suhu ruang selama 4 hari.
2
Hasil fermentasi disaring
Filtrat direbus 30 menit, setelah mendidih ditambah
bumbu-bumbu yang sudah dihaluskan (50 gram
bawang putih, 50 gram garam, 1 butir gula kelapa).
Setelah direbus 30 menit dan agak
dingin, dilakukan penyaringan kedua.
Dilakukan pengamatan sensoris meliputi warna, rasa,
penampakan dan aroma, serta pengamatan salinitas menggunakan
refraktometer.
3
2. HASIL PENGAMATAN
Hasil pengamatan praktikum Kecap Ikan dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil Pengamatan Kecap Ikan
Kel. Perlakuan Warna Rasa Aroma Penampakan Salinitas (%)
E1 0,2% papain +++ ++++ ++++ ++ 5E2 0,4% papain ++++ ++++ +++ +++ 9E3 0,6% papain +++ +++++ ++++ ++ 5,5E4 0,8% papain ++++ ++++ +++ ++ 5,5E5 1% papain +++ +++++ +++ ++ 6
Keterangan :Warna Aroma+ = tidak cokelat gelap + = sangat tidak tajam++ = kurang cokelat gelap ++ = kurang tajam+++ = agak cokelat gelap +++ = agak tajam++++ = cokelat gelap ++++ = tajam+++++ = sangat cokelat gelap +++++ = sangat tajam
Rasa Penampakan+ = sangat tidak asin + = sangat cair++ = kurang asin ++ = cair+++ = agak asin +++ = agak kental++++ = asin ++++ = kental+++++ = sangat asin +++++ = sangat kental
Dari tabel diatas diketahui bahwa dari hasil penambahan enzim papain dengan konsentasi
0,2% (kelompok E1), 0,6% (kelompok E3) dan 1% (kelompok E5), warna kecap ikan yang
dihasilkan adalah agak cokelat gelap. Pada penambahan enzim papain dengan konsentrasi
0,4% dan 0,8%, warna kecap ikan adalah cokelat gelap. Untuk rasa kecap ikan hasil
penambahan enzim papain konsentrasi 0,2% (kelompok E1), 0,4% (kelompok E2) dan
0,8% (kelompok E4), didapati asin. Pada perlakuan enzim papain 0,6% (kelompok E3) dan
1% (kelompok E5), rasanya adalah sangat asin. Perlakuan penambahan enzim papain
konsentrasi 0,2% (kelompok E1) dan 0,6% (kelompok E3) didapati aroma tajam.
Penambahan enzim papain konsentrasi 0,4% (kelompok E2), 0,8% (kelompok E4) dan 1%
(kelompok E5), dihasilkan aroma agak tajam. Kekentalan hasil penambahan enzim papain
konsentrasi 0,4% (kelompok E2) adalah agak kental, dan hasil perlakuan yang lainnya yaitu
4
5
kecap ikan yang cair. Nilai salinitas tertinggi adalah 9%, dari kelompok E2, perlakuan
enzim 0,4%. Salinitas terkecil adalah 5%, hasil dari kelompok E1 dengan penambahan
konsentrasi enzim papain 0,2%.
3. PEMBAHASAN
Kecap ikan merupakan cairan berwarna cokelat yang diproduksi melalui fermentasi
menggunakan garam, enzimatis, maupun kimiawi (Astawan & Astawan, 1988). Negara-
negara di Asia Tenggara sudah banyak memanfaatkan kecap ikan sebagai bumbu atau
bahan tambahan dalam masakan karena aromanya dan kemampuan kecap ikan menambah
citarasa dalam makanan (Mukarami et al., 2008). Dalam proses pembuatannya terjadi
hidrolisis bagian-bagian ikan dan menghasilkan aroma khas (Sanceda et al., 2003). Kecap
ikan umumnya dibuat melalui proses proses tradisional dengan biaya rendah, namun proses
ini bisa berlangsung dalam waktu yang sangat lama, dalam beberapa kasus mencapai 1
tahun. Pembuatan kecap ikan tradisional dilakukan dengan mencampur ikan dan garam
dengan rasio ikan dibanding garam 2:1 atau 3:1, dan selanjutnya ditempatkan dalam wadah
tertutup. Proses ini dapat berlangsung selama 12 bulan (Sanceda et al., 2003).
Kecap ikan banyak diproduksi di berbagai negara dengan cara produksi berbeda-beda
(Khairi et al., 2014). Dalam proses pembuatan kecap ikan yang paling utama adalah proses
fermentasi, dapat dilakukan dengan dua cara yakni secara fermentasi secara enzimatis dan
fermentasi menggunakan garam (Afrianto & Liviawaty, 1989). Meski demikian, Giri et al.,
(2012), menyebutkan. dapat pula digunakan mikroorganisme seperti Aspergillus oryzae
untuk membuat kecap ikan, seperti tradisi masyarakat Jepang. Pembuatan kecap ikan
tradisonal yang disebutkan diatas adalah contoh fermentasi garam. Karena proses sangat
memakan waktu, ada beberapa upaya yang dilakukan demi mempersingkat lamanya proses,
misalnya meningkatkan suhu, menambah agen antibakteria, dan menggunakan enzim
pemencah protein seperti bromelin dan papain (Hariono et al., 2005).
Dalam praktikum ini dilakukan pembuatan kecap ikan secara enzimatis. Hal yang pertama
dilakukan adalah memisahkan tulang dan kepala ikan. Tulang dan kepala ikan selanjutnya
dihaluskan menggunakan blender. Kecap ikan dibuat dari sari daging ikan yang sengaja
dikhusukan sebagai bahan dasar, atau juga dapat berasal dari bagian ikan sisa pengolahan
yang umumnya sudah tidak bernilai ekonomis (Afrianto & Liviawaty, 1989). Pembuatan
6
7
kecap ikan menambah nilai ekonomis dari sisa-sisa bagian tubuh ikan yang sudah tidak
dimanfaatkan lagi dalam produksi. Sisa-sisa pengolahan ikan seperti tulang, ekor dan
kepala yang sudah tidak bernilai ekonomis dapat digunakan kembali sebagai bahan dasar
(Moeljanto, 1992). Saleh et al., (1996), menyebutkan, penghalusan menggunakan blender
bertujuan memperluas permukaan tulang ikan sehingga dapat meningkatkan efektivitas
ekstraksi akibat rusaknya sel dan memudahkan pelepasan senyawa flavor. Komponen
pembentuk flavor biasanya terdapat pada bahan yang terikat dengan protein, lemak atau air.
Dari proses penghalusan, luas permukaan semakin besar, sehingga bahan semakin
maksimal melepaskan komponen flavor.
Tulang ikan yang sudah dihaluskan kemudian dimasukkan ke dalam toples untuk kemudian
ditambahkan enzim papain dengan konsentrasi yang berbeda-beda. Perlakuan kelompok E1
adalah penambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,2%, untuk kelompok E2 sebesar
0,4%, perlakuan kelompok E3 adalah penambahan enzim dengan konsentrasi 0,6%,
kelompok E4 0,8% dan untuk kelompok E5 dilakukan penambahan enzim konsentrasi 1%.
Enzim papain yang ditambahkan berfungsi untuk mempercepat proses fermentasi kecap
ikan. Enzim papain merupakan enzim proteolitik yang berperan memecah molekul protein
dengan menghidrolisa ikatan peptida dari asam-asam amino (Tranggono & Sutardi, 1990).
Astawan & Astawan (1988), menyebutkan, enzim ini akan mengurai protein dalam ikan
menjadi peptida, pepton dan asam amino, sehingga tercipta aroma dan rasa yang khas.
Penggunaan konsentrasi enzim papain yang berbeda dalam praktikum ini dimaksudkan
supaya dapat mengetahui konsentrasi enzim yang tepat dalam menghasilkan kecap ikan
dengan kualitas sensoris berupa warna dan aroma yang baik. Setelahnya, campuran
diinkubasi untuk fermentasi secara anaerob dengan cara toples ditutup rapat meggunakan
lakban dan dibiarkan selama 4 hari dalam suhu ruang. Proses fermentasi enzimatis ini
dilakukan dalam wadah tertutup agar dapat berjalan lancar tanpa kemungkinan kontaminasi
yang tidak diinginkan (Lay, 1994).
Setelah masa fermentasi selesai, campuran ditambahkan dengan 300 ml air dan diaduk
hingga tercampur rata, kemudian disaring menggunakan kain saring. Endapan yang
8
tertinggal pada kain saring kemudian dibuang, sehingga didapatkan filtrat yang jernih.
Filtrat selanjutnya dipanaskan menggunakan panci diatas kompor selama 30 menit. Dalam
proses pemanasan ini, larutan akan mengental setelah mendidih karena adanya proses
evaporasi (Fellows, 1990). Setelah mendidih, ditambahkan bumbu-bumbu, yaitu 50 gram
bawang putih, 50 gram garam dan 1 butir gula kelapa. Campuran diaduk untuk meratakan
bumbu dan dipastikan api tidak terlalu besar. Bawang putih yang ditambahkan berfungi
untuk memberikan aroma dan cita rasa, serta berperan sebagai pengawet kecap ikan karena
memiliki kandungan zat alisin yang dapat berperan sebagai antimikrob (Fachruddin, 1997).
Garam berguna menciptakan rasa asin, menguatkan rasa, menurunkan jumlah oksigen
terlarut dan memberikan efek preservatif karena dapat menurunkan nilai aw dan
mengganggu kestabilan ion dalam sel mikroorganisme (Desrosier & Desrosier, 1977). Gula
selain menciptakan rasa manis dan memberi aroma, juga memiliki peran yang hampir sama
dengan garam, yaitu, menurunkan aw dan menghambat pertumbuhan mikroorganisme
dalam kecap ikan (Witono et al., 2015). Gula jawa digunakan untuk menambah cita rasa
kecap ikan dengan mengimbangi rasa asin dari garam agar tidak terlalu berlebihan,
menambah viskositas kecap dan membantu melembutkan tekstur kecap ikan, menciptakan
aroma dan memberikan warna cokelat karamel. Warna karamel muncul akibat pemanasan
selama proses pemasakan (Kasmidjo, 1990). Warna cokelat terbentuk dari reaksi Maillard
yang terjadi pada komponen gula reduksi dalam gula jawa dengan beberapa komponen
seperti asam amino, yang membentuk cita rasa. Setelah campuran agak dingin, dilakukan
penyaringan kedua, dan filtrat yang dihasilkan adalah kecap ikan. Kecap ikan diamati
kualitas sensorinya meliputi warna, rasa, penampakan dan aroma, serta salinitas diamati
menggunakan refraktometer.
Dari hasil percobaan didapati, penambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,4% dan
0,8% menghasilkan warna cokelat gelap pada kecap ikan, dan untuk perlakuan lainnya
warna yang dihasilkan adalah agak cokelat gelap. Hasil ini tidak sesuai dengan teori
Astawan & Astawan (1991) yang menyebutkan, semakin tinggi konsentrasi protease yang
ditambahkan maka warna cairan dari proses hidrolisa yang berlangsung akan menjadi
semakin gelap. Dari hasil percobaan, didapati konsentrasi enzim papain tertinggi, yaitu 1%
9
menghasilkan warna yang lebih terang dibandingkan konsentrasi 0,4% dan 0,8%.
Ketidaksesuaian ini kemungkinan disebabkan karena warna gula jawa yang ditambahkan,
karena warna gula jawa yang digunakan berbeda-beda. Selain itu dapat pula disebabkan
oleh suhu yang digunakan selama pemasakan. Pemasakan dilakukan menggunakan kompor
yang berbeda-beda dengan kualitas nyala api yang berbeda pula. Semakin tinggi suhu yang
digunakan, maka semakin gelap pula warna kecap yang dihasilkan (Lay, 1994).
Untuk pengujian rasa, didapati hasil penambahan enzim papain 0,6% dan 1% menghasilkan
rasa sangat asin, dan untuk perlakuan lainnya, rasa yang dihasilkan adalah asin. Afrianto &
Liviawaty (1989) menyatakan bahwa enzim papain dapat menguraikan protein menjadi
beberapa komponen seperti peptida, pepton, dan asam amino yang saling berinteraksi untuk
menciptakan rasa yang khas, serta mempercepat proses fermentasi. Rasa asin yang
diperoleh dapat berasal dari penambahan garam yang ditambahkan pada saat proses
pemasakan (Desrosier & Desrosier, 1977). Rasa asin yang timbul pada kecap ikan selain
berasal dari garam berasal pula dari enzim papain yang ditambahkan, dan semakin tinggi
konsentrasi enzim maka semakin asin pula rasa kecap ikan. Kecap ikan dengan konsentrasi
enzim sebesar 1% menghasilkan rasa sangat asin, hal ini sesuai dengan teori, namun
didapati penambahan enzim papain dengan konsentrasi 6% juga menghasilkan rasa sangat
asin, sementara hasil konsentrasi enzim 8% hanya menghasilkan rasa asin. Ketidaksesuaian
terhadap teori ini terjadi karena indera pengecapan panelis mempresepsikan rasa sesuai
penerimaannya, sehingga hasil yang didapatkan kurang tepat (Frenda, 2012). Himonides et
al., (2011), menyatakan, penambahan enzim juga memungkinkan munculnya rasa pahit dari
protein yang terhidrolisis. Rasa pahit yang timbul menyebabkan rasa kecap terkesan lebih
asin. Fachruddin (1997) menyebutkan, penambahan gula jawa juga akan mempengaruhi
cita rasa kecap ikan dengan mengurangi rasa asin yang berlebihan. Perbedaan dalam jumlah
maupun perbedaan tempat pembelian (berhubungan dengan tingkat kemanisan yang
berbeda) berpengaruh terhadap rasa yang dihasilkan.
Aroma yang dihasilkan dari penambahan enzim papain sebesar 0,2% dan 0,6% adalah
tajam, sementara dari perlakuan lainnya adalah agak tajam. Kembali kepada teori Astawan
10
& Astawan (1988), penambahan enzim papain pada hancuran ikan akan merombak protein
menjadi komponen-komponen sederhana seperti asam amino, peptida dan pepton. Selain
itu, dalam proses penguraian protein menjadi beberapa komponen, utamanya asam amino
(Afrianto & Liviawaty, 1989). Sehingga seharusnya, jika konsentrasi enzim yang
ditambahkan semakin tinggi, maka aroma yang timbul akan semakin tajam. Hasil
pengamatan didapati tidak sesuai dengan teori. Penyebab ketidaksesuaian ini kemungkinan
adalah pemanasan yang berbeda-beda yang diterapkan dalam pemasakan ditinjau dari besar
nyala api yang digunakan tidak seragam, perbedaan kualitas bahan yang digunakan (Damin
& Rali, 2011).
Untuk penampakan kecap ikan dari penambahan enzim papain konsentrasi 0,2%, 0,6%,
0,8% dan 1% seragam, yaitu kecap ikan didapati cair. Penambahan enzim sebesar 0,4%
menghasilkan penampakan agak kental. Penampakan ini dihasilkan karena api yang
digunakan untuk memasak besar, sehingga kecap yang dihasilkan kental. Selebihnya sesuai
dengan teori Krisman (2001), kecap ikan merupakan produk pangan berbentuk cair yang
dihasilkan dari filtrat hasil pengolahan ikan dengan fermentasi.
Salinitas yang dihasilkan dari masing-masing kelompok secara berurutan dari hasil tertinggi
adalah, 9%, dari hasil penambahan konsentrasi enzim papain sebesar 0,4% oleh kelompok
E2. Kemudian 6% dari kelompok E5, hasil penambahan enzim papain 1%. Kelompok E3
dan E4 memperoleh hasil 5,5%, hasil penambahan enzim papain dengan konsentrasi 0,6%
dan 0,8%. Hasil terkecil adalah 5%, dari penambahan enzim dengan konsentrasi 0,2% oleh
kelompok E1. Kurniawan (2008) mengunkapkan, semakin sedikit penambahan enzim yang
diberikan, maka salinitas akan semakin tinggi. Didapati hasil tidak sesuai dengan toeri.
Campuran-campuran bumbu dan pemecahan protein oleh enzim juga mempengaruhi rasa.
Salinitas hasil ini juga dipengaruhi oleh adanya pengaruh kinerja enzim dan kandungan dari
bumbu-bumbu yang ditambahkan.
4. KESIMPULAN
Kecap ikan diproduksi dari fermentasi ikan menggunakan garam, enzim dan
mikroorganisme.
Kecap ikan sudah banyak dimanfaatkan oleh masyarakat di Asia Tenggara.
Pembuatan kecap ikan secara tradisional dapat memakan waktu selama satu tahun.
Kecap ikan dibuat dari tulang, kepala dan ekor ikan, atau bagian-bagian ikan sisa
produksi.
Penghalusan bahan dasar bertujuan agar pelepasan senyawa flavor berlangsung
efektif.
Penambahan enzim papain berfungsi mengurai protein menjadi komponen yang
lebih sederhana sehingga tercipta aroma khas.
Fermentasi kecap ikan dilakukan dalam wadah tertutup untuk mencegah
kontaminasi.
Penambahan garam dan gula bermanfaat untuk menambah cita rasa, memberi
aroma, mengurangi kemungkinan kontaminasi mikrob dengan menurunkan aw dan
mengganggu stabilitas ion mikrob.
Gula bermanfaat dalam membentuk tekstur dan menciptakan warna karamel pada
kecap sebagai hasil reaksi Maillard.
Semakin banyak enzim yang ditambahkan pada adonan ikan, maka semakin gelap
warna kecap, semakin asin, aroma semakin tajam dan salinitas semakin tinggi.
Semarang, 1 November 2015 Praktikan, Asisten Dosen
- Michelle Darmawan
Yohana Maria Puspa Ratih (13.70.0030)
11
5. DAFTAR PUSTAKA
Afrianto, E. & Liviawaty. (1989). Pengawetan Dan Pengolahan Ikan. Kanisius. Yogyakarta.
Astawan, M.W. & M.Astawan. (1988). Teknologi Pengolahan Pangan Hewani Tepat Guna. CV. Akademika Pressindo. Jakarta.
Damin, Barus & Rali. (2011). Pengolahan Limbah Sisa Produksi Seafood untuk Mengurangi Limbah Organik. Universitas Diponegoro. Semarang.
Desrosier, N. W. & Desrosier. (1977). Teknologi Pengawetan Pangan. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Fachruddin, L. (1997). Membuat Aneka Selai. Kanisius. Yogyakarta.
Fellows, P. (1990). Food Processing Technology : Principles and Practise. Ellis Horwood Limited. New York.
Frenda, Ridwan. (2012). Pengujian Kelayakan Jual Buah Pepaya di Tangerang. Jakarta.
Giri, Anupam, Midori Nasu, Toshiaki Ohshima. (2012). Bioactive Properties of Japanese Fermented Fish Paste, Fish Miso, Using Koji Inoculatued with Aspergillus oryzae. University of Marine Science and Technology. Japan.
Hariono I, Yeap S.E, Kok T.N and Ang G.T. (2005). Use of Koji and Protease in Fish Sauce Fermentation. Singapore J Pri Ind 32: 19-29 2005/06.
Himonides, Aristotelis T., Anthony K. D. Taylor, Anne J. Morris. (2011). A Study of the Enzymatic Hydrolysis of Fish Frames Using Model Systems. University of Lincoln. United Kingdom.
Kasmidjo, R. B. (1990). Tempe: Mikrobiologi dan Biokimia Pengolahan serta Pemanfaatannya. PAU UGM. Yogyakarta.
Khairi, Intan N. B. M., Nurul Huda, Wan Nadiah W. A. and Abbas Fadhl M. A. K., (2014). Protein Quality of Fish Fermented Product: Budu and Rusip. Universiti Sains Malaysia. Penang.
12
13
Krisman, W. R. (2001). Produk Seafood Tradisional Kalimantan Barat. Surabaya.
Kurniawan, R. 2008. Pengaruh Konsentrasi Larutan Garam dan Waktu Fermentasi Terhadap Kwalitas Kecap Ikan Lele. Jurusan Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Itenas. Bandung.
Lay, B. W. (1994). Analisa Mikroba di Laboratorium. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Moeljanto. (1992). Pengawetan dan Pengolahan Hasil Perikanan. Penebar Swadaya. Jakarta.
Murakami, M., Masataka Satomi, Masashi Ando, Yasuyuki Tukamasa and Ken-ichi Kawasaki. (2009). Evaluation of New Fish Sauces Prepared by Fermenting Hot-Water Extraction Waste of Stock From Dried Fish Using Various Kojis. Japan.
Saleh, M ; A. Ahyar ; Murdinah ; dan N. Haq. (1996). Ekstraksi Kepala Udang Menjadi Flavor Udang Cair. Jurnal Penelitian Perikanan Indonesia Vol. II, No.1, hal 60-68.
Witono, Yuli, Wiwik Siti Windrati, Asmak Afrilia, Imeilda Nury Prasvita. (2015). Production of Inferior Fish Hydrolyzate Sauce Under Different Concentration of Coconut Sugar and Caramel. Jember.
6. LAMPIRAN
6.1. Perhitungan
Rumus : Salinitas = hasil1000 x 100%
Kelompok E1
Salinitas = 50
1000 x 100% = 5%
Kelompok E2
Salinitas = 90
1000 x 100% = 9%
Kelompok E3
Salinitas = 55
1000 x 100% = 5,5%
Kelompok E4
Salinitas = 55
1000 x 100% = 5,5%
Kelompok E5
Salinitas = 60
1000 x 100% = 6%
6.2. Laporan Sementara
6.3. Diagram Alir
6.4. Abstrak Jurnal
14