kebijakan terms and condition apply layanan sektor publik

16
Rev01/ January 9, 2009 1 KEBIJAKAN UMUM “TERMS & CONDITIONS APPLYLAYANAN PUBLIK: Antara NPWP, Pajak, dan ‘TolOleh: Haeryip Sihombing Kepercayaan (Trust) dan ”Terms and Conditions ApplyAdalah sudah menjadi suatu keumuman sebagaimana apa yang dihadapi konsumen ketika berhubungan dengan penyedia layanan swasta (misal: bank), bahwa bentuk- bentuk legal yang disepakati di dalam hal penggunaan layanan yang ditawarkan penyedia adalah melalui formulir isian yang didalamnya termaktub pernyataan : “Terms and Conditions Apply”. Namun demikian, apapun artinya, terkadang (sadar atau tidak) konsumen bahkan secara psikologis memandang ringan kondisi persyaratan tersebut. Di satu sisi (mungkin) karena tidak mengerti, di sisi lain (mungkin) karena berupa tulisan kecil dengan notes bertanda: : “ * ” , yang tertera di penjuru lembar surat perjanjian atau formulir isian, yang bahkan terlewatkan untuk dibaca. Namun demikian, pada dasarnya konsumen meletakkan kepercayaannya (trust) terhadap layanan yang dijanjikan. Yaitu bahwa penyedia layanan cukup ‘fair’ untuk melayani kebutuhan mereka. Sekalipun, jika kemudian konsumen dihadapkan dengan masalah yang berkenaan dengan suatu ‘kegagalan’ dan ‘kesalahan’ yang terjadi bagi dirinya atas hasil layanan yang tersebut. Ini karena konsumen tahu ke mana mereka dapat menyalurkan keluhan dan ‘energinya’ untuk mendiskusikan masalah yang dihadapi dan mendapatkan solusinya dengan segera: customer service! Kalau juga tidak selesai, Koran! Menurut Fukuyama (1995), kepercayaan merupakan satu bentuk efisiensi untuk merendahkan biaya- biaya transaksi dalam banyak hubungan- hubungan sosial, ekonomi, dan politik. Lebih daripada itu, Tonkiss, et. al. (2000) dan Misztal (1996) menjelaskan, bahwa kepercayaan juga merupakan ikatan dari semua kontak- kontak kemanusiaan dan interaksi institusi. Artinya, dalam hal ini (misal terhadap layanan perbankan) konsumen percaya, bahwa penyedia layanan tidak akan berlaku ‘curang’ terhadap layanan yang diberikan atau ‘melenceng’ seperti apa yang dijanjikan, dan dengan sengaja monomer-duakan konsumen di dalam memperoleh kepastian layanan. Jika tidak, tentu konsumen dengan mudah beralih untuk mempergunakan dan berhubungan dengan penyedia layanan lainnya.

Upload: haery-sihombing

Post on 08-Jun-2015

1.132 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

Wilson (2005) menerangkan, bahwa pada kenyataannya tantangan- tantangan pemerintahanan dewasa ini adalah terkait di dalam meningkatkan nilai- nilai di sektor publik. Di mana kebanyakan tantangan- tantangan tersebut adalah berkenaan terhadap pengurangan biaya, kesesuaian dengan target- target efisiensi, dan respon atau tindak tanggap terhadap kebutuhan- kebutuhan warga sebagai prioritas utama.untuk meningkatkan layanan- layanannya.

TRANSCRIPT

Page 1: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

1

KEBIJAKAN UMUM “TERMS & CONDITIONS APPLY” LAYANAN PUBLIK:

Antara NPWP, Pajak, dan ‘Tol’

Oleh: Haeryip Sihombing

Kepercayaan (Trust) dan ”Terms and Conditions Apply”

Adalah sudah menjadi suatu keumuman sebagaimana apa yang dihadapi konsumen ketika

berhubungan dengan penyedia layanan swasta (misal: bank), bahwa bentuk- bentuk legal

yang disepakati di dalam hal penggunaan layanan yang ditawarkan penyedia adalah melalui

formulir isian yang didalamnya termaktub pernyataan : “Terms and Conditions Apply”.

Namun demikian, apapun artinya, terkadang (sadar atau tidak) konsumen bahkan secara

psikologis memandang ringan kondisi persyaratan tersebut. Di satu sisi (mungkin) karena

tidak mengerti, di sisi lain (mungkin) karena berupa tulisan kecil dengan notes bertanda: : “ * ” ,

yang tertera di penjuru lembar surat perjanjian atau formulir isian, yang bahkan terlewatkan untuk

dibaca. Namun demikian, pada dasarnya konsumen meletakkan kepercayaannya (trust) terhadap

layanan yang dijanjikan. Yaitu bahwa penyedia layanan cukup ‘fair’ untuk melayani kebutuhan

mereka. Sekalipun, jika kemudian konsumen dihadapkan dengan masalah yang berkenaan dengan

suatu ‘kegagalan’ dan ‘kesalahan’ yang terjadi bagi dirinya atas hasil layanan yang tersebut. Ini

karena konsumen tahu ke mana mereka dapat menyalurkan keluhan dan ‘energinya’ untuk

mendiskusikan masalah yang dihadapi dan mendapatkan solusinya dengan segera: customer

service! Kalau juga tidak selesai, Koran!

Menurut Fukuyama (1995), kepercayaan merupakan satu bentuk efisiensi untuk merendahkan

biaya- biaya transaksi dalam banyak hubungan- hubungan sosial, ekonomi, dan politik. Lebih

daripada itu, Tonkiss, et. al. (2000) dan Misztal (1996) menjelaskan, bahwa kepercayaan juga

merupakan ikatan dari semua kontak- kontak kemanusiaan dan interaksi institusi. Artinya, dalam

hal ini (misal terhadap layanan perbankan) konsumen percaya, bahwa penyedia layanan tidak akan

berlaku ‘curang’ terhadap layanan yang diberikan atau ‘melenceng’ seperti apa yang dijanjikan, dan

dengan sengaja monomer-duakan konsumen di dalam memperoleh kepastian layanan. Jika tidak,

tentu konsumen dengan mudah beralih untuk mempergunakan dan berhubungan dengan penyedia

layanan lainnya.

Page 2: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

2

Namun demikian, ketika dihubungkan dengan penyedia layanan publik yang disediakan

pemerintah, sebagai contoh, tidak seperti demikian keadaannya. Warga (sebagai konsumen

atau pengguna) tidak memiliki pilihan (terkecuali jika ’membuang’ kewargaannya untuk

menjadi warga negara lain atas dasar semata- mata untuk mendapatkan pilihan). Di dalam

laporan United Expert Group Meeting (2003) dikatakan, bahwa layanan- layanan publik

seringkali dicirikan dengan satu perbandingan yang absolut atau setidaknya adalah lemah di

dalam persaingan, jika dipahami sebagai organisasi bisnis dalam menarik konsumen-

konsumen terhadap para penyedia sebagai pesaing atau rival mereka. Apalagi, jika layanan-

layanan publik tersebut tadi, seperti misalnya pengumpulan pajak (tax collection) dan

penegakkan hukum (law enforcement), yang bukan hanya sebagai layanan- layanan publik

yang seringkali bersifat monopoli, namun juga sebagai suatu kewajiban bagi pengguna

(warga). Sehingga hasilnya adalah, kebanyakan dari fitur- fitur dasarnya begitu mudah

menghilang terhadap penyediaan layanan- layanan publik. Sekalipun dalam hal ini,

layanan publik bukanlah industri dan bisnis, karena di dalamnya terdapat peran sosial yang

lebih utama.

Kondisi Layanan Publik

Wilson (2005) menerangkan, bahwa pada kenyataannya tantangan- tantangan pemerintahan

dewasa ini adalah terkait di dalam meningkatkan nilai- nilai di sektor publik. Di mana

kebanyakan tantangan- tantangan tersebut adalah berkenaan terhadap pengurangan biaya,

kesesuaian dengan target- target efisiensi, dan respon atau tindak tanggap terhadap

kebutuhan- kebutuhan warga sebagai prioritas utama untuk meningkatkan layanan-

layanannya. Sebelumnya, Jones dan Kettle (2003) melaporkan, bahwa setelah lebih dari 3 dekade

ini kritikan- kritikan umum yang muncul kepermukaan terhadap kinerja pemerintahan adalah

berkenaan terhadap semua poin- poin dari spektrum politik. Kritikan- kritikan tersebut adalah

berupa ketidakefisienan, ketidak-efektifan, terlalu mahal atau boros, terlalu mahal, terlalu birokratis,

terlalu membebani dengan peraturan- peraturan yang tidak perlu, tidak bertanggungjawab terhadap

keinginan dan kebutuhan publik, tidak terbuka, tidak demokratis, melayani diri sendiri, melanggar

batas- batas hak pribadi warga, dan gagal dalam penyediaan maupun peruntukkan dengan kuantitas

dan kualitas layanan yang layak bagi publik pembayar pajak.

Dalam laporan United Nation (2005) dinyatakan, bahwa keadaan tersebut salah satunya

adalah dikarenakan kebanyakan badan- badan atau jawatan- jawatan sektor publik

berbentuk institusi yang beragam terhadap konteks budaya dan sejarahnya, serta bahkan

Page 3: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

3

dalam kerangka kerja maupun derajat pembangunan sosio-ekonomi negaranya. Sehingga

beberapa diantaranya adalah berbentuk organisasi yang tidak konsisten dengan administrasi

publik. Padahal, semenjak mutu dari layanan- layanan publik adalah seringkali menjadi

satu penentu dominan pada persepsi masyarakat terhadap pemerintahan, Ketelaar (2007)

berpendapat, baik apakah di dalam menjalankan sesuatu yang diperlukan untuk

merealisasikan pemerintahan yang berhubungan dengan bidang bisnis, organisasi

masyarakat atau administrasi publik, maka dampak terhadap pertumbuhan ekonomi juga

merupakan tugas dan peranan penting badan- badan pemerintahan yang dibentuk sebagai

sesuatu yang tidak dapat dipungkiri (Bridgman, 2007). ). Ini artinya, dalam membuat fungsi

pemerintahan menjadi semakin baik, maka kesan yang diharapkan adalah tidak hanya pada

dampak dari peningkatan efisiensi dan efektifitas pembelanjaan dari fungsi sektor publik

dan operasinya saja. Namun, juga pada dampak dari peningkatan keefektifan sektor publik

terhadap fungsi kebijakan dan program layanan untuk menjadi lebih baik di dalam

mencapai apa yang dituju dan diharapkan dari melayani pengguna (masyarakat) dengan

baik dan bermartabat, serta ‘ramah’ bagi terciptanya pertumbuhan ekonomi masyarakat.

Selain, secara positif mempengaruhi kesadaran para pekerja di dalam organisasi tersebut,

yang bukan hanya di dalam menyelesaikan tugas- tugas pekerjaan yang diberikan, tetapi

juga di dalam mengurangkan kesan negatif terhadap tugas yang dilaksanakan.

Untuk itu, sebagaimana laporan UN Expert Group Meeting (2003) di dalam prioritas

pembangunan sosialnya mengatakan, bahwa dalam meningkatkan keefektifan sektor publik

dan area pembelanjaan sosial, maka pemerintah seharusnya:

a. menentukan apa sumber- sumber daya yang diperlukan untuk penyediaan tingkat-

tingkat dasar terhadap layanan- layanan, dan kemudian menguji cara- cara pembiayaan

dan pembelanjaan dari keuangan yang lebih baik terhadap keseluruhan kerangka kerja

keuangannya. Aktifitas- aktifitas tersebut, adalah seperti melalui peningkatan derajat-

derajat atau pengumpulan- pengumpulan pajak yang lebih baik, bayaran penggunaan,

pinjaman yang hati- hati, dan penggunaan bantuan secara layak dan sepadan.

b. menentukan sasaran- sasaran tuju dan prioritas- prioritas yang jelas saat pembuatan

keputusan dari alokasi- alokasi sumber- sumber daya publik, baik itu terhadap area-

area program dan keuntungan yang dimaksudkan, dengan selalu melindungi

kemiskinan dan usaha- usaha terhadap meng-franchised-kan program- programnya.

c. memperhitungkan ke-saling tergantung-an dari pembelanjaan- pembelanjaan

pembangunan sosial, seperti: pendidikan, gizi, dan kesehatan dasar, serta mendorong

Page 4: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

4

pencapaian satu pinjaman masal yang kritikal terhadap area- area tersebut, untuk

mendapatkan keefektifan dalam semua area dan program- program pembangunan sosial

secara bersamaan dan terpadu.

d. memastikan pengukuran terhadap bajet pemerintahan tidak menciptakan kondisi

ekonomi dan efek- efek yang sebaliknya, seperti: inflasi, krisis pembayaran berimbang,

pertumbuhan yang rendah, serta penuh sesaknya investasi swasta yang dapat

merendahkan pencapaian sasaran- sasaran tuju sosial.

e. memastikan transparasi dan akuntabilitas dalam bajet dan proses formulasi bajet,

termasuk layanan ’provision’ yang sesuai untuk warga dan konsultasi- konsultasi

stakeholder, maupun komunikasi yang jelas dan informasi yang lengkap tentang

pendapatan (revenues) dan keterbatasan- keterbatasan keuangan atau fiskal.

f. menentukan sasaran- sasaran tuju dan prioritas yang jelas saat merancang anggaran

terhadap area- area dan keuntungan- keuntungannya, dengan selalu mencoba

melindungi kepentingan- kepentingan terbaik dari orang- orang miskin dan sektor-

sektor masyarakat marjinal.

g. memberikan prioritas terhadap anggaran pembelanjaan- pembelanjaan yang

dimaksudkan untuk meningkatkan kesejahteraan publik, mempromosikan kapasitas

pembangunan, dan sebagainya. Sebelum pembelanjaan- pembelanjaan digunakan untuk

membiayai eksistensi pemerintahan dan fungsinya.

h. mengambil langkah reformasi terhadap sistem alokasi anggaran untuk menghindarkan

atau meminimalkan pembiayaan proyek- proyek dan program- program sosial terhadap

usaha- usaha untuk memakmurkan dan menguntungkan diri sendir (pork-barrel in

character or selfish), serta motif- motif kesempatan dalam politik (opportunistic

political motives)

i. memberikan perhatian- perhatian khusus terhadap sesuatu yang diperlukan untuk

memastikan bahwa dana- dana publik yang dialokasikan terhadap sasaran- sasaran

khususnya adalah berhubungan dengan satu sistem monitoring dan evaluasi, agar

memastikan sumber- sumber daya dan keuntungan- keuntungannya sampai pada tujuan-

tujuan yang dimaksudkan.

j. mengimplementasikan sistem pengukuran dan pembangunan untuk menghilangkan

tembok- tembok penghalang terhadap penyediaan layanan dan kinerja.

k. memberikan perhatian terhadap pemilihan waktu yang tepat saat menyiapkan

perencanaan- perencanaan dan program- program dalam aktifitas- aktifitas

Page 5: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

5

pembangunan kapasitas, dengan mempertimbangkan apa yang ada dan dalam kerangka

jangka pendek, menengah, dan panjang.

l. merancang biaya yang seimbang melalui penetapan terhadap biaya- biaya untuk

layanan- layanan publik sebagai kombinasi yang diperlukan terhadap satu cara

kepuasaan. Yaitu mencakup pengeluaran secara tetap dan dapat sesuai terhadap ruang

lingkup dari orang- orang yang lebih luas.

m. merancang kebijakan- kebijakan kerjasama yang dimiliki, jika memungkinkan dan

sesuai, bersama sektor- sektor swasta dan promosinya, melalui petunjuk- petunjuk suatu

kebijakan melalui perancangan dan penciptaan institusi- institusi yang bersandar pada

layanan- layanan publik terhadap masyarakat. Sehingga mencapai suatu keseimbangan

antara aspek- aspek sosial dan ekonomi terhadap aktifitas- aktifitas sektor publik.

Namun demikian, Martin (1996) menyebutkan, bahwa sebenarnya di dalam mencoba

menyediakan layanan yang baik, layanan publik mendapat kesulitan- kesulitan yang

terutama berhubungan dengan prinsip- prinsip pasar terhadap suatu pemahaman secara

keseluruhan yang adalah terkait dengan keberlangsungan tanggungjawab layanan

masyarakat (community service obligations atau CSO). Alasannya adalah:

1. Semenjak pemerintahan di seluruh dunia ini menghadapi tekanan untuk mengurangi

ukuran sektor publik, anggaran, dan pengeluaran pembelanjaan (yang kadangkala juga

terjadi untuk sektor sosial), disamping pada saat yang sama juga harus meningkatkan

pencapaian mereka secara keseluruhan, maka tantangan yang dihadapi pemerintahan

adalah di dalam membuat bagaimana keseimbangan yang baik antara tanggungjawab

dan peningkatan keleluasaan/kelenturan di dalam melaksanakan peran mereka.

Maksudnya, pemerintah dalam hal ini perlu mencari penyelesaian agar pekerjaan dari

tugas- tugas yang mereka lakukan adalah menjadi lebih efisien, lebih mudah, dan lebih

cepat dilaksanakan. (Wilson,2005)

2. Semenjak layanan- layanan dan sumber- sumber daya pemerintahan seakan- akan telah

‘dikomoditisasikan’ dan ‘diperjualbelikan’ dalam hal membangun satu pengertian dari

harga pasar bagi penyediaan produk maupun layanan, Wanna et al. (1992) berpendapat,

maka efeknya adalah satu asumsi terhadap ‘harga’ yang ditetapkan bagi semua layanan-

layanan dan produk- produk publik. Di sini, proses dari penetapan dan perhitungan

CSO seringkali menjadi sesuatu yang dipertanyakan, terutama jika dan ketika satu

penetapannya adalah ‘miring’ dan tidak tepat. Ini karena pada dasarnya, sektor publik

Page 6: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

6

merupakan bagian yang dikendalikan oleh masyarakat secara nasional maupun lokal,

dan juga termasuk layanan bagi bukan pembayar pajak.

3. Dikarenakan inti dari layanan sipil adalah pada satu perannya yang begitu kompleks,

namun sangat diperlukan di dalam model dari pengaturan yang responsif , seperti

halnya dalam layanan dari sektor publik (Erkkilä, 2004), maka melalui penciptaan yang

memungkinkan lingkungan layanan publik bagi tanggapan yang efektif, adalah

tergantung kepada bagaimana kepemimpinan didedikasikan secara profesional dengan

implikasi – implikasinya. Dalam hal ini, Bhatia dan Drew (2008) menggarisbawahi, bahwa

bagaimanapun sebaiknya fungsi pemerintahan terhadap kebijakan publik dapat

dijalankan dengan baik dan benar.

4. Kegagalan dari jawatan- jawatan pemerintah untuk meningkatkan fokus terhadap

pengguna/pelanggan, yang menurut Read (2008) adalah berdasarkan 3 elemen, sebagai

berikut:

i. terhadap permintaan (bagaimana masa lebih/tambahan diwujudkan karena proses yang dijalankan adalah gagal).

ii. menghilangkan proses yang tidak memberikan nilai tambah (apa pekerjaan yang perlu diringkas sebagai penghematan energi, oleh karena apa yang tengah berlaku/ada adalah tidak memberikan nilai tambah bagi mayoritas pengguna/pelanggan)

iii. mengurangi pergerakan kerja antara jabatan (mengurangi penanganan yang berganda atau lebih)

5. Lemahnya dorongan bagi organisasi- organisasi sektor publik untuk menemukan suatu

cara di dalam mensejajarkan strategi peningkatan mereka, yaitu melalui penyediaan

layanan yang lebih baik dan baru terhadap biaya yang terbatas, dan terhadap sesuatu

yang berkenaan dengan pekerja/ pegawai. Di samping mengoptimalkan biaya, mutu,

dan layanan pelanggan secara berkesinambungan. Di sini, Radnor et.al., (2006)

mengungkapkan, bahwa peningkatan mutu yang diperlukan dari organisasi- organisasi

sektor publik terhadap masyarakat dan dirinya adalah, di dalam masa atau waktu

tunggu pengguna/konsumen terhadap layanan yang diberikan, kinerja layanan, lamanya

masa pemrosesan layanan, aliran pengguna dan mutu melalui pemahaman dan

kerjasama yang lebih baik, peningkatan kecakapan terhadap penggunaan data yang

tersedia, keyakinan diri dan kepuasaan pekerja, serta budaya peningkatan

berkesinambungan

Page 7: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

7

Sekalipun demikian, secara alamiahnya terdapat perbedaan- perbedaan terhadap nilai dari

sumber- sumber daya yang dimiliki (seperti kemampuan- kemampuan dan lingkungan), dan

bahkan di dalam cara- cara yang berdampak terhadap pembuatan dan penerapan strategi.

Maka dalam hal ini, organisasi- organisasi sektor publik perlu menyadari dan menemukan

suatu cara di dalam mensejajarkan strategi peningkatan layanan mereka. Yaitu, melalui

penyediaan layanan yang lebih baik dan baru terhadap biaya yang terbatas dan terhadap

sesuatu yang berkenaan dengan pekerja/ pegawai, di samping mengoptimalkan biaya, mutu,

dan layanan pelanggan secara berkesinambungan. Artinya, jika dihubungkan dengan

pengurusan dalam pembuatan Kartu Tanda Penduduk atau KTP, sebagai misal. Dalam hal

seperti pembuatan KTP di Bandung yang ditetapkan dengan harga Rp. 7500 sebagai biaya

administrasi, ternyata pada tingkat operasional menjadikan ruang terbuka bagi

‘penggelembungan’ biaya menjadi lebih mahal. Karena di dalamnya diperlukan surat

keterangan dari RT dan RW domisili hingga kelurahan, sehingga menjadi aliran birokrasi

yang panjang. Untuk kemudian, pengguna (warga) acap kali secara langsung terdorong

untuk ‘menembak’ harga di kecamatan atau kelurahan terhadap penyediaan layanan bagi

mereka agar lebih mudah dan cepat.

Padahal, biaya administrasi yang telah ditetapkan tadi adalah biaya terbatas yang telah

secara efektif melalui pengelolaan administrasi layanan publik, dengan waktu penetapan

yang harus ditepati sebagai ukuran kinerja pegawai (pekerja) dan ’manajer’ (atasan) sektor

publik, selain kinerja sistemnya. Untuk kemudian ditingkatkan dalam prosesnya, agar

menjadi lebih singkat sebagai suatu tarikan kebutuhan (pull) dari konsumen (warga)

terhadap nilai- nilai stream yang tidak memberikan nilai tambah dan kegagalan- kegagalan.

Hingga kemudian, secara sistematis pengelolaan sumber- sumber daya diupayakan melalui

perbaikan- perbaikan sistem, maupun penggunaan teknologi. Bukan menjadi dalih ,” Kalau

mau cepat lewat ’tol’ saja, pak” , yang bahkan ketika jaminan waktu yang dijanjikan lewat

’tol’ tadi terkadang tidak ditepati, alasannya ” Jalan tol juga sekarang sering macet, pak.”

Kebijakan dan Layanan Publik, serta Pengukurannya

Adalah telah menjadi sesuatu yang umum (walaupun tidak diumumkan secara umum untuk

umum) di Indonesia hingga sekarang ini (kasihannya), bahwa sekalipun untuk

mendapatkan ’hak’ melalui layanan dari sektor publik (umum), warga masih jauh untuk

ditempatkan sebagai ’raja’ (terhadap kepuasan) dalam pemahaman pelayanan terhadap

konsumen. Apalagi ketika warga ditempatkan terhadap kewajibannya, seperti dalam

Page 8: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

8

pengurusan surat- surat keterangan, misalnya. Bisa dibayangkan, berapa lama terhitung

setiap tahunnya jika seseorang menghabiskan waktunya untuk tidak ’produktif’

dikeranakan mengantri untuk membayar rekening tagihan telepon, air, listrik, pajak.

Apalagi jika ditambahkan untuk pengurusan SIM, perpanjangan STNK, Surat Keterangan

Kepolisian atau domisili, pembuatan Surat Akte Kelahiran, pendaftaran masuk anak

sekolah, dan banyak lainnya. Belum lagi termasuk tenaga dan biaya yang perlu

dikeluarkan untuk mengakses tempat- tempat layanan. Konyolnya, hingga termasuk untuk

membeli minyak tanah pun ’dipaksa’ harus mengantri!

Dalam contoh kasus pajak, misalnya. Kepentingan akan pemasukan pajak yang semakin

ditingkatkan dari tahun ke tahun, selain dimaksudkan untuk meningkatkan pendapatan

negara sebagai modal pemerintah dalam pembangunan, juga adalah dapat diterjemahkan

untuk mendorong kinerja individu, organisasi atau instansi pajak sebagai layanan sektor

publik terhadap masyarakat. Namun pada kenyataannya, kinerja sektor tersebut adalah

menafikkan kenyataan yang ada semenjak beberapa aturan dan tingkat implementasinya

tidak dibidikkan kepada inti masalah, serta bukan memberikan solusi yang baik dan tepat

terhadap kemudahan dan kelegaan masyarakat. Misalnya terhadap kasus NPWP sebagai

implementasi Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2008 mengenai Fiskal Luar Negeri

dan Peraturan Dirjen Pajak No. 53/PJ/2008 tentang: ”Tata Cara Pembayaran Pengecualian

Pembayaran dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang

Pribadi Dalam Negeri Yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri”, sebagai berikut:

1. Jika sasaran tujuan dari Peraturan Pemerintah (PP) dan Peraturan Dirjen Pajak adalah

dimaksudkan untuk menaikkan penghasilan negara lewat pajak sebagai modal

pembangunan, pertanyaannya adalah:

• Mengapa kemudian ditimbulkan peraturan pajak melalui biaya fiskal yang diwajibkan

bagi penduduk yang akan berpergian keluar negeri?

• Apakah peraturan tersebut merupakan suatu bentuk dari dan diperuntukkan bagi

peningkatan (improvement) sistem pemerintahan dan juga terhadap layanan publik?

Sekalipun terhadap peraturan tadi, diberlakukan kekhususan dengan beberapa kondisi,

misalnya: TKI/TKW, pelajar, untuk pergi karena perobatan, Jemaah Haji, atau yang

tinggal di luar negeri paling tidak 183 hari.

2. Jika semata- mata sasaran tujuannya adalah peningkatan penghasilan pajak, maka

pertanyaannya adalah:

Page 9: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

9

• Mengapa bukan melalui optimalisasi kinerja instansi pajak terhadap peraihan akses

pajak yang ada selama ini untuk ditingkatkan, dan berkenaan dengan pendapatan dan

kekayaan, serta efektifnya penggunaan akses pajak dan penggalian, pengelolaan,

pengutipan yang benar dan jujur dari aparat atau pegawai pajak terhadap obyek

kekayaan, misal: rumah, mobil, tanah, deposito, tabungan, kepemilikan saham, dsb.

(termasuk juga terhadap dirinya dan obyek- obyek individu pajak yang belum terkelola

dan tergali dengan baik), selain terhadap obyek keuntungan perusahaan- perusahaan?

3. Jika Darmin Nasution sebagai Dirjen Pajak meyakini kebijaksanaan kenaikan tarif fiskal

adalah tidak akan berpengaruh signifikan terhadap penerimaan pajak tahun depan, seperti

dikutip Bisnis Indonesia (2008), sebab kebijakan tersebut sebenarnya untuk (dapat)

meransang masyarakat untuk membuat NPWP, pertanyaannya adalah:

• Apakah keuntungan yang diperoleh masyarakat secara luas, jika NPWP merupakan

ransangan bila hanya dikaitkan dengan jumlah warga yang bepergian keluar negeri

yang jumlahnya adalah terbatas?

• Pernahkah pemerintah tahu, berapa banyak warganya berpergian keluar negeri dan

intensitas (berapa kalinya) perorangan pergi ke luar negeri, selain TKI dan pelajar,

yang selama ini belum memiliki NPWP?

• Mengapa ransangan terhadap pajak dilakukan dengan ’paksaan’ melalui kepemilikan

NPWP? Bukankah ransangan pajak seharusnya dilakukan dengan cara meningkatkan

ekonomi rakyat yang kemudian pada gilirannya, rakyat memberikan kewajibannya?

Mengapa NPWP-nya yang menjadi sasaran dan strategi, bukan kinerja organisasi dan

individu para aparat pajak?

Jangan- jangan justru yang ’tersabit’ adalah lebih banyak jumlahnya berasal dari para

calon TKI baru, yang akan berangkat mencari pekerjaan di luar negeri. Atau masyarakat

awam yang ’jujur’ dan polos, sekalipun penghasilannya sudah ’termajinalisasikan’ dengan

akselerasi biaya kehidupan yang semakin meningkat.

Adalah sesuatu yang nista, seperti misalnya jika warga keluar negeri adalah untuk

mengadu nasib dalam mencari pekerjaan (sekalipun mungkin menjadi pekerja ilegal)

untuk keluar dari kemiskinannya, semenjak negara tidak mampu menyediakan ruang yang

layak bagi kesempatan bekerja di dalam negeri dan peningkatan taraf kehidupannya, yang

ternyata juga harus dikenakan pajak melalui fiskal. Apakah demi dan agar bebas fiskal luar

negeri berdasarkan aturan pemerintah, yaitu perjalaan darat (BAB III Pasal 7 No.6), maka

Page 10: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

10

para calon- calon pekerja ke luar negeri diberikan pilihan dengan cara ’jalan kaki’ demi

menghindarkan biaya Rp. 2,5 juta? Padahal pada gilirannya, kelak suatu ketika warga

tersebut akan memberikan keuntungan bagi negara melalui remitans. Sementara pada

kenyataannya yang lain, orang Indonesia yang ke luar negeri dalam mencari pekerjaan

sekarang ini, bukan sesuatu yang hanya milik warga dengan status TKI, atau sesuatu yang

dikatakan mewah. Karena, misalnya ke Malaysia, Singapura, dan Brunei, ternyata biaya

ongkos perjalanannya adalah jauh lebih murah dari biaya fiskal luar negeri yang wajib

dibayarkan, dan bahkan ongkos perjalanannya jauh lebih murah dibandingkan beberapa

perjalanan dengan menggunakan pesawat udara di wilayah Indonesia sendiri.

4. Jika sekalipun misalnya, perjalanan ke luar negeri adalah dikategorikan sebagai

kemewahan, maka pertanyaannya adalah:

• Bukankah bila perlakuan pajak yang telah dikenakan terhadap kepemilikan dan

kekayaan yang dimiliki individu- individu, yang dikategorikan dalam kondisi hidup

mewah, adalah sudah memadai jika kinerja para aparat pajak sudah cukup baik dan

efektif dalam menjaring individu- individu sebagai obyek pajak dalam kriteria

tersebut?

5. Jika NPWP (nomer pokok wajib pajak) menjadi salah satu perangkat yang dipergunakan

untuk pemenuhan kewajiban instansi pajak, sebagaimana pernyataan yang dilontarkan

Dirjen Pajak dalam hal pembuatan NPWP seperti dikutip Bisnis Indonesia (2008) ,” Saya

kira tadinya tidak sampai sebesar itu. Jadi kalau 10 juta itu sudah bagus. Ya siapa yang

bisa membayangkan bisa seperti ini dapat 10 juta.” Maka tentu kemudian, pertanyaannya

adalah:

• Apakah sudah diperhitungkan terhadap semakin tingginya kebutuhan akan sumber-

sumber daya yang diperlukan dan ’kosumsi’ belanja rutin keuangan instansi pajak,

seperti terhadap jumlah pegawai, pelatihan- pelatihan, keahlian dalam pengolahan dan

pengelolaan data, penerapan dan penggunaan teknologi serta kebutuhan-

kebutuhannya, tempat- tempat layanan, dan sebagainya, agar pelayanannya baik ?

6. Bisnis Indonesia (2008) menyatakan, bahwa 40% atau sekitar 20 juta kepala keluarga

yang memiliki penghasilan kena pajak. Jika dimaksudkan, bahwa dengan kepemilikan

NPWP pribadi adalah demi menjaring individu- individu sebagai obyek pajak,

pertanyaannya adalah:

Page 11: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

11

• Apakah dari 40% tadi, semuanya telah terhitung benar- benar di luar dari para pekerja

yang selama ini sudah membayar pajak. Di mana pembayarannya adalah dilakukan

melalui potongan langsung dari perusahaan terhadap gaji bulanan mereka, yang dalam

hal ini dibayarkan langsung oleh perusahan?

• Bukankah dengan semakin terincinya individu- individu sebagai obyek pajak, juga

akan memperbesar pengeluaran belanja instansi pajak sebagai sektor publik dan

layanan publik untuk menyediakan kaunter- kaunter pelayanan, sosialisasi pajak,

sekaligus perangkat- perangkat dan pembangunan sistemnya sebagai pembelanjaan dan

pengeluaran biaya?

• Bagaimanakah dengan keberadaan kaunter- kaunter layanan pajak untuk mensukseskan

program tersebut? Bagaimanakah dengan orang perorangan yang berpenghasilan kena

pajak, padahal tinggal di kota- kota kecamatan? (contoh: jenis pekerjaan atau usahanya

di sektor- sektor informal, misal: saudagar- saudagar kampung, dsb).

7. Perhatikan kutipan Peraturan Dirjen Pajak No. 53/PJ/2008, seperti berikut ini:

Ternyata dalam melayani publik mudah saja, bukan? Segala aturan bisa dibuat ”Terms &

Conditions Apply” yang menguntungkan bagi kepentingannya: coret dan paraf. Biarkan

konsumen bersusah- susah dengan segala macam urusan kertas dan fotocopy demi sebuah

sticker atau stamp! Kalau tidak, berikan saja ’kartu merah’: Formulir TBPFLN ! Dalam

kondisi demikian, pertanyaannya adalah:

Page 12: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

12

• Seberapa effektifkah formulir TBPFLN dikelola dengan baik dan jujur oleh para

petugas pajak selama ini? Apakah karena sedemikian mahalnya formulir tesebut,

sehingga dikondisikan seperti itu? Padahal 1 lembar berarti nilainya Rp. 2,5 juta.

• Seberapa efektifkah penggunaan stamp ”BF” diawasi selama stiker pengganti belum

tersedia? Sebab 1 kali stamp bernilai Rp. 2,5 juta.

• Seberapa banyakkah biaya yang dibelanjakan layanan pajak untuk pengadaan stiker

BF, apalagi jika stiker tersebut dibuat sedemikian rupa agar tidak mudah dipalsukan?

Seberapa efektifkah pengawasan terhadap penggunaan dan pengeluaran stiker tersebut?

Karena 1 sticker bernilai Rp. 2, 5 juta.

Menurut UN Expert Group Meeting (2003), bahwa peningkatan efektifitas sektor publik

merupakan suatu proses yang dinamis dari pemerintahan yang memiliki tanggungjawab

untuk mengevaluasi kefektifan dari kebijakan- kebijakannya, pengeluaran pembiayaaan,

dan program- programnya. Di mana gol- gol dan strategi- strategi untuk pencapaiannya,

adalah sebaiknya dibarengi dengan target- target dan indikator- indikator. Sehingga kinerja

sektor publik dapat diukur dan dimonitor sepanjang waktu. Di sini, pengukuran

keefektifannya melibatkan satu perbandingan antara yang direalisasikan dan direncanakan

terhadap output yang diharapkan, begitu pula dampak maupun hasilnya. Artinya, bukan

40% atau 20 jutanya kepala keluarga sebagai bidikan NPWP, tetapi seberapa besar hasil

pajak yang dapat diperoleh dengan cara mewajibkan kepemilikan NPWP, dan hasilnya

terhadap negara untuk pembangunan yang kemudian dirasakan oleh masyarakat sebagai

keuntungan.

Hauser dan Katz (1998) mengatakan, bahwa suatu organisasi adalah menjadi apa yang

diukurnya. Maksudnya, melalui pengukuran yang dilakukan melalui satu pendekatan yang

diterima di dalam organisasi- organisasi dengan usaha- usaha yang dapat dipertimbangkan,

melalui ’apa’ yang coba akan diukur dan ’bagaimana’ mengukurnya, akan menunjukkan

bagaimana organisasi tersebut. Artinya, jika dikaitkan dengan target sebesar 40% atau 20

juta kepala keluarga untuk memiliki NPWP, sekalipun tercapai, maka kinerja baik

pencapaiannya (achievement performance) yang dilakukan hanyalah sebatas organisasi

yang berkinerja baik di dalam mengumpulkan data NPWP sebagai layanan publiknya,

bukan sebagai organisasi yang berkinerja baik dalam meraih jumlah pajak yang besar. Di

dalam hal ini, celakanya: ”10 juta pun sudah bagus.” (Cuma data jumlah NPWP,

maksudnya?)

Page 13: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

13

Mengantri dan Tidak Enak adalah ”Terms and Conditions Apply”

Kompas (2009) melansir, bahwa calon penumpang mengantri agak lama untuk

mendapatkan izin keberangkatan, di mana kapal yang berlayar ke Malaysia terpaksa

menunda keberangkatan. Karena menunggu penumpang yang terlambat masuk kapal,

sebagai akibat mengurus surat pernyataan pembuatan NPWP. Demikian pula sebagaimana

seperti dilaporkan Pos Metro Padang (2009), di mana Direktorat Jenderal Pajak Darmin

Nasution menegaskan, bahwa NPWP dapat digunakan untuk memperoleh bebas fiskal

setelah tiga hari. Ini karena petugas pajak perlu memasukkan data NPWP baru tersebut ke

dalam data perpajakan, sehingga memerlukan waktu. Tambahnya, ”Maka, tidak akan

membuka kaunter untuk melayani pembuatan NPWP di bandara internasional.” ”Kalau

buka kaunter kemudian antriannya panjang, kan tidak enak dengan yang punya bandara,”

katanya sambil senyum.

Kebijakan publik yang dikeluarkan dalam hal ini, tampaknya lebih didorong untuk tidak

’clash’ dengan instansi-instansi publik lainnya. Selain, juga mengabaikan seberapa banyak

sumber- sumber daya yang harus dibelanjakan negara, bila hanya menggali pajak melalui

biaya fiskal luar negeri sebesar Rp 2,5 juta lewat cara NPWP, dengan cara penyiapan

perangkat- perangkat sumber dayanya (pegawai, pelatihan, perangkat- perangkat teknologi

informasi, dan program- program serta ketersambungannya (on-line) , kaunter- kaunter,

dsb.) sebagai konsekuensi jika peraturan tersebut ingin diimplementasikan secara efektif.

Sehingga melalui sistem penggunaan NPWP, dapat dipastikan tidak adanya warga yang

berangkat ke luar negeri ’lolos’ dari peraturan tersebut? Atau, memang sengaja dibuat

ruang, sehingga terbuka layanan ’jalan tol’ dari aparat aparat layanan publik? Padahal

seperti diketahui, bahwa peraturan tadi hanya berlaku hingga tahun 2011, dan seperti

dikatakan Dirjen Pajak, bahwa, ”Kalau semua mengurus NPWP, penerimaan dari bea fiskal

bisa nol.” (Bisnis Indonesia, 2008).

Sebagai perbandingan, seperti dikutip Medan Bisnis (2009), ternyata orang keluar negeri

dari pelabuhan udara Polonia di Medan hanya 10% saja yang belum memiliki NPWP. Jika

memang pemerintah konsisten terhadap aturan tersebut untuk memberikan layanan yang

baik kepada masyarakat, bukankah penyiapan infrastruktur- infrastruktur tadi berarti

pemborosan pembelanjaan terhadap pajak yang dihasilkan? Atau ketika infrastruktur-

infrastuktur tadi ditujukan bagi bukan pelayanan fiskal luar negeri, seberapa besar biaya

Page 14: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

14

yang dikeluarkan terhadap manfaat dan efektifnya antara pusat- pusat layanan yang

didirikan terhadap orang- orang yang perlu dikenakan pajak? Misal, bila subyek pajak

berada tinggal jauh dari tempat layanan- layanan yang didirikan, seperti misalnya

kawasan- kawasan industri yang jauh dari kota. Contoh, di kawasan industri Lobam Bintan,

Manis di Tangerang, Kabil di Batam, dan lain sebagainya. Apakah juga serta merta pusat-

pusat layanan pajak didirikan ditempat tersebut?

Sedangkan untuk layanan publik terhadap sistem informasi bagi pembuatan kartu penduduk

dalam program ’single identity’ ataupun penghimpunan data- data terhadap pemilih dalam

pemilu saja (sebagai perbandingan), adalah masih jauh dari apa yang dikatakan layak dan

baik. Apalagi jika individu- individu tadi, ternyata adalah obyek yang tidak membayar

pajak dikarenakan jumlah penghasilannya tidak kena pajak (PTKP). Belum lagi, misalnya

jika suatu sistem dan infrastruktur yang dibangun adalah kurang memadai, di mana setiap

individu- individu tadi di-’repot’-kan untuk mendapatkan akses layanan pajak di karenakan

waktu dan tempatnya bekerja terhadap pusat- pusat layanan pajak.

Sebagai perbandingan, semenjak bank- bank nasional memperlakukan hari operasionalnya

mulai dari Senin hingga Jumat, maka cukup menyita waktu yang diperlukan bagi para

pekerja untuk memperoleh layanan perbankan. Sekalipun dapat dilakukan pada waktu

istirahat siang dan dalam beberapa hal, misalnya transaksi perbankan, adalah sudah cukup

dimudahkan melalui fasilitas ATM dan e-Banking. Namun tidak semua urusan konsumen

terhadap perbankan dapat diselesaikan melalui perangkat fasilitas tersebut, bukan? Artinya,

sekalipun untuk pelayanan publik terhadap pajak ini kemudian dijanjikan melalui sistem

internet atau lewat kerjasama dengan pihak perbankan atau pos, namun tidak berarti tidak

akan timbul masalah, bukan?

Bisnis Indonesia (2008) melaporkan, bahwa sebelumnya untuk mengurus NPWP sekitar

sebulan, dan kini hanya membutuhkan waktu 3 hari. Artinya, jika seseorang (warga) berniat

baik di dalam melaksanakan kewajibannya untuk memberikan keuntungan kepada negara

saja harus menunggu pemrosesannya selama 3 hari, apalagi jika seseorang mengurus untuk

mendapatkan haknya? Ini baru pembuatan kartunya, belum lagi nanti dalam hal

pembayarannya, bagaimana cara menghitung pajaknya, dan sebagainya.

Page 15: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

15

Sedangkan untuk pengurusan KTP saja, yang jelas- jelas tercatat waktu pemrosesannya, (14

hari untuk di Kota Bandung, sebagai misal) sebagai hak bagi warga untuk menuntut

layanan, seringkali tidak ditepati. Bagaimana hak pelayanan bagi warga terhadap NPWP,

yang dalam hal ini tidak mengatakan berapa lamanya sektor publik ini dapat menyiapkan

dan menyelesaikan pendaftaran NPWP yang diterima? Dan bagaimana peran sektor publik

ini untuk mensosialisasikannya, dengan cara me-’melek’-kan mata konsumen (warga)

terhadap cara- cara penghitungan pajak, masalah- masalah teknis terkait dan sebagainya?

Atau mungkin, seperti juga layanan umum pemerintah lainnya, menjadi layanan publik

yang sekalipun dalam formulir isian dan perjanjiannya tidak mengutip tulisan ”Terms &

Conditions Apply”, tetapi pada kenyataannya, ”Kalau mau cepat, lewat jalan tol saja pak.”

Tentunya, ini bukan yang diharapkan dan dimaksudkan dari hasil suatu kebijakan

pemerintah berikut implementasinya di lapangan dan budaya antri , bukan?

*****

Pustaka Rujukan

1. Bhatia, N. dan Drew, J. (2008) Applying Lean Production to Public Sector. The McKinsey Quarterly, June (access on 11/08/2008) Available at http://www.mckinseyquarterly.com/Public_Sector/Applying_lean-production_to_the...

2. Bisnis Indonesia (2008). NPWP akan bertambah 20 juta pada tahun 2009. (26 Desember 2008)

3. Bridgman, P. (2007). Performance, Conformance, and Good Governance in the Public Sector. Key Issues: Risk Management – Keep Good Companies, April 2007, pp.149-157

4. Erkkilä, T. (2004). Governance and Accountability—A Shift in Conceptualisation? EGPA 2004 Annual Conference. Ljubljana, Slovenia, 1–4 September. Available at http://www.fu.uni-lj.si/ egpa2004/html/sg7/Erkkila.pdf

5. Fukuyama, F (1995). The Social Virtues and the Creation of Prosperity. New York: Free Press

6. Hauser, J.R. dan G.M. Katz, (1998). Metrics: You Are What You Measure!, European Management Journal, Vol. 16 No.5, pp.517-28.

7. Jones, L.R. dan D.F. Kettle. (2003). Assessing Public Management Reform in An International Context, International Public Management Review, Available at www.ipmr.net, Vol. 4 No.1: Electronic Journal <http://www.ipmr.net>

8. Ketelaar, A.(2007). Improving Public Sector Performance Management in Reforming Democratizers. Democracy Brief, Issue No.3

9. Kompas (2009). Penumpang Urus NPWP, Kapal Tunda Keberangkatan. (2 Januari 2009) Available at http://www.kompas.com/read/xml/2009/01/02/19494811/ penumpang.urus.npwp. kapal.tunda.keberangkatan

Page 16: Kebijakan Terms and Condition Apply Layanan Sektor Publik

Rev01/ January 9, 2009

16

10. Martin, J. (1996). Corporatisation and Community Service Obligations: Are they Incompatible?, Australian Journal of Public Administration, Vol. 55 No.3, p. 111- 117.

11. Medan Bisnis (2009). Hanya 10% Penumpang yang berangkat ke LN Tidak Memiliki NPWP. (3 Januari 2009) Available at http://www.medanbisnisonline.com/rubrik.php?p =132246&more=1#more132246

12. Mistzal, B.A. (1996). Trust in Modern Societies: The Search for the Bases of Social Order. Cambridge: Polity Press.

13. Peraturan Pemerintah (PP) No. 80 Tahun 2008 mengenai Fiskal Luar Negeri 14. Peraturan Direktur Jenderal Pajak No. 53/PJ/2008 Tentang: Tata Cara Pembayaran

Pengecualian Pembayaran dan Pengelolaan Administrasi Pajak Penghasilan Bagi Wajib Pajak Orang Pribadi Dalam Negeri Yang Akan Bertolak Ke Luar Negeri, Departemen Keuangan Republik Indonesia

15. Pos Metro Padang (2009). Tak Ada Pengurusan NPWP di Bandara. (4 Januari 2009) Available at http://www.posmetropadang.com/content/view/10838/124/

16. Radnor, Z., P. Walley, A. Stephens, dan G. Bucci. (2006). Evaluation of The Lean Approach to Business Management and Its Use in The Public Sector. Scottish Executive Social Research.

17. Read, C. (2008). Applying Lean in the Public Sector: How We Use Lean Manufacturing Techniques in Government Departments. (10 May 2008). Available at http://customer-management.suite101.com/article.cfm/applying_lean_in_the_public_ sector

18. Tonkiss, F., A. Passey, N. Fenton dan L.C. Hems. (2000). Trust and Civil Society. London: Macmillan

19. UN Expert Group Meeting (2003). Improving Public Sector Effectiveness. 42nd Session of the Commission for Social Development Priority, Dublin Ireland, 16-19 June.

20. United Nation .(2005). Unlocking the Human Potential for Public Sector Performance World Public Sector Report 2005, Department of Economic and Social Affairs, ST/ESA/PAD/SER.E/63

21. Wanna, J., C. O’Fairchealliagh dan P. Weller (1992), Public Sector Management in Australia, Macmillan, Melbourne.

22. Wilson, D.A (2005). Driving High Performance in Government: Maximizing the Value of Public-Sector Shared Services, The Government Executives Series, January.