kebijakan luar negeri jerman terhadap pengungsi...
TRANSCRIPT
KEBIJAKAN LUAR NEGERI JERMAN TERHADAP
PENGUNGSI SURIAH TAHUN 2015
Skripsi
Diajukan untuk memenuhi persyaratan memperoleh
Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Marniza Fitri
1112113000081
PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL
FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2016
PE*NYATAAI{ 3f,BAS PIJ\GIARISME
$lrripei yang beriudul :
KEBIJAI(AFT LTIAR ITEGERI JERMAITT TEREAI}AP PENGT}NGI'SI
SURIAII TAIIUN MTs
Merupdran brya ah saya yxrg diqi 'kprr untllk mmnrbi satah satu
perslaratao mrymt*r gela Sffi I di tlniversitx Islet N%Qri (m\f)
Syarif Hidayatullah JakrIa
Semua surnber )ang saya gurakm dalam penulisan ini tolatr saya
cantrxrlur sesuai dengan ketertuan yang berlaku di Universitas Islam
Negeri (UtrI) Syrif Hidayatulleh Jakarta
Jika dikernudim hari t€*ulii bahra karp saya ini bukm karla asli saya
atar menpakea hasil jiplalan dai karya ormg lai4 maka saya bersedia
menerinm sanksi yang Makrr di Universitc Islarr Nqeri (IJED Syrif
Hidar*utrlah Jake"
1.
2.
3.
TERSETUJUAN PEMBIIIIBING SKRIPSI
Deigan ini, Pembimbing Stripsi menyatakan bahwa mdrasisrva:
Program Studi : Hubungan Intemasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
KEBIJAKAI{ LUAR NEGERI JERMAN TERHADAP PENGTTNGSI
ST]RIAIT TAHTIN 2015
Dan telatr memenuhi persyrratan untuk diuji.
Nama
NIM
Mengetahui,
KetuaProgram Studi,
: MamizaFiti
: 1112113000081
Jdrartq 23 Dwember2016
Menyetu$ui,
Pembimbing
Irfentr htncsltrnc.LLM.
NIP.
It
PENGESAHAN PAI\IITIA UJIAN SKRIPSI
SKRIPSI
KEBUAKA}.I LUAR NEGERI JERMA}I ?ERHADAP PENGT'NGST SI]RIAHTAHT.IN2OI5
ole*r
MarnizaFiEi
tIt2It300008t
telah diperhhankm dalam sidang qiim skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan IlmuPolitik Universitas Islam Negeri ([IIN) Syuif Hidafatullatr Jal$rta pda tanggal27 Jmuari 2017. Slcripsi ini tetah dit{rima sebapi salah sanr syar* rnernperolehgelar Sarjam Sosial (S.Sos) pda Prog"an Studi Hubrrrgatr Internasional.
Sekremis,
EvoMushoffa MHSPS
Penguji II,
a
.Sc
Diterima dm dinydakan2017.
msnerurhi sya$t kelulussr pada targgal 27 lanuari
..a:.
tvl'
Ketuakogam Studi
v
ABSTRAK
Skripsi ini memaparkan tentang Kebijakan Luar Negeri Jerman terhadap
Pengungsi Suriah tahun 2015. Kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi
(Open Door Policy) merupakan salah satu bentuk respon yang dilakukan
Jerman terkait krisis pengungsi yang terjadi di wilayah Eropa. Penyebab
hadirnya pengungsi di wilayah Eropa salah satu diantaranya yaitu melarikan diri
dari negaranya untuk memperoleh perlindungan karena memiliki rasa tidak
aman di negara asal mereka. Sebagian besar pengungsi yang masuk ke Eropa
ialah pengungsi yang berasal dari negara Suriah. Perang saudara yang terjadi di
Suriah sejak tahun 2011 sampai 2014 telah memakan 22.000.000 korban jiwa,
sehingga membuat warga Suriah melarikan diri untuk mencari tempat yang
aman untuk berlindung. Akibat perang yang tak kunjung usai tersebut
memberikan dampak tersendiri bagi negara tetangga Suriah dan wilayah Eropa.
Tujuan penelitian ini adalah menjelaskan tentang mengapa Jerman
mengeluarkan kebijakan luar negeri terkait pengungsi yang berbeda dengan
Negara-negara Eropa lainnya. Skripsi ini menggunakan metode penelitian
kualitatif dengan cara meninjau pustaka. Skripsi ini menggunakan Konsep
Kebijakan Luar Negeri, Kepentingan Nasional, dan Pengungsi. Terdapat dua
faktor dalam merumuskan kebijakan luar negeri menurut K.J. Holsti yaitu,
faktor domestik dan faktor eksternal.
Kata Kunci : Jerman, Suriah, Kebijakan Luar Negeri, Open Door Policy,
Pengungsi, Perang Saudara, Eropa, Kepentingan Nasional.
vi
KATA PENGANTAR
Bismillahirrahmanirrahim
Alhamdulillahirabbil’alamiin, segala puji dan syukur penulis panjatkan
kehadirat Allah SWT, atas segala rahmat, nikmat, dan izin-Nya sehingga
penulis dapat menyelesaikan pemulisan skripsi dengan judul “Kebijakan Luar
Negeri Jerman terhadap Pengungsi Suriah”.
Skripsi ini adalah bentuk karya tulis untuk memperoleh gelar sarjana
pada program studi Hubungan Internasional di Universitas Islam Negeri (UIN)
Jakarta. Dalam penulisan skripsi ini penulis menyadari bahwa ada beberapa
orang di belakang penulis yang mendukung dan membantu penulis baik secara
moril maupun materil. Penulis ingin menyampaikan ungkapan terimakasih yang
sebesar-besarnya kepada pihak-pihak yang telah mendukung penulisan skripsi
ini, diantaranya:
1. Keluarga penulis, terutama Ayahanda dan Ibunda saya tercinta Herni Ali
HT dan Riza Erawati, yang telah menjadi motivasi penulis untuk lulus.
Kemudian Kakak dan Adik-adik saya Rani Nursukmawaty, Almand
Ramadhan, dan Juhermansyah yang telah memberikan do’a, kasih sayang,
serta dukungan baik secara moril maupun materil. Terima kasih.
2. Pembimbing skripsi penulis Bapak Irfan R. Hutagalung, LLM., terimakasih
telah memberikan bimbingan, waktu, nasihat dan motivasinya selama ini
dalam menyelesaikan skripsi. Terimakasih banyak pak, semoga Allah SWT
membalas segala kebaikan bapak. Tidak lupa juga kepada bapak Andar
Nubowo selaku dosen pembimbing seminar proposal. Terimakasih pak.
3. Bapak Badrus Sholeh, M.A., selaku Ketua Program Studi Hubungan
Internasional dan Ibu Eva Mushoffa, MHSPS selaku Sekretaris Program
Studi Hubungan Internasional. Terimakasih atas apresiasi dan
bimbingannya dalam skripsi ini.
4. Dosen-dosen jurusan Ilmu Hubungan Internasional UIN Syarif Hidayatullah
Jakarta, terimakasih untuk ilmu, nasihat, dan inspirasi yang diberikan
selama penulis menjalani masa perkuliahan.
vii
5. Kepada kerabat-kerabat terdekat dan terkasih terutama Muhammad Syahid
Ramdhani yang hampir setiap hari menemani mengerjakan skripsi,
memberikan dukungan dan semangat. Terima kasih atas doa, dukungan, dan
kesabarannya. Kemudian Dini Saraswati, Saras Aprinita Nabilah, Dara
Atika Suri, dan Shavira Lisdiany yang selalu menemani baik susah maupun
senang. Terimakasih banyak. Tidak lupa juga kepada Shifa Nur Fitria, Putri
Quarta, Ratna Anggraeni, Citra Ramadhani, Indira Putri, Selfa Dinasty,
Charla Christiana, Anastasya Ardian dan Manis Manja Group lainnya,
Muhammad Nur Mar’i, dan Ichdina Putri yang telah memberi dukungan dan
doanya.
6. Terimakasih kepada teman-teman dan pembimbing saat magang Ratna
Puspita Ningrum, Dara Atika Suri, Annissa Shabrina, dan Bapak Bayu
Agutama selaku pembimbing saat magang. Terimakasih atas inspirasi dan
dukungannya.
7. Terimakasih kepada teman-teman KKN DESA yang telah berjuang
bersama-sama, Tri Yoga, Galih, Sinta, Lutfi Wijaya, Zain, Regi, Dynal,
Rivel, Asri, Asti, Regi dll.
8. Terimakasih kepada Denny Nugroho selaku guru private Bahasa Inggris
penulis dan teman dekat penulis saat les Annissa dan Uni Andhin.
9. Terima kasih kepada semua pihak yang tidak bisa penulis sebutkan satu
persatu. Semoga segala dukungan dan do’a kalian dapat menjadi amal
kebaikan dan kebaikan kalian dapat dibalas oleh Allah SWT.
Jakarta, 23 Desember 2016
Marniza Fitri
viii
DAFTAR ISI
PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI iv
ABSTRAK v
KATA PENGANTAR vi
DAFTAR ISI viii
DAFTAR TABEL x
DAFTAR SINGKATAN xi
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Pernyataan Masalah 1
1.2 Pertanyaan Penelitian 7
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian 8
1.4 Tinjauan Pustaka 8
1.5 Kerangka Teori
1.5.1 Kebijakan Luar Negeri 11
1.5.2 Kepentingan Nasional 15
1.5.3 Konsep Pengungsi 17
1.6 Metode Penelitian 19
1.7 Sistematika Penulisan 20
BAB II PENGUNGSI SURIAH
2.1 Faktor Penyebab Warga Suriah Menjadi Pengungsi 22
2.2 Karakteristik Pengungsi Suriah 26
2.3 Pengungsi Suriah di Jerman 34
BAB III KEBIJAKAN LUAR NEGERI JERMAN TERHADAP PENGUNGSI
SURIAH
ix
1.1 Sejarah Masuknya Imigran dan Pengungsi di Jerman 41
1.2 Kebijakan Luar Negeri Jerman Terhadap Pengungsi 44
1.3 Kebijakan Luar Negeri Jerman Terhadap Pengungsi Suriah 52
BAB IV ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI JERMAN TERHADAP
PENGUNGSI
Faktor-Faktor yang Melatarbelakangi Kebijakan Luar Negeri Jerman Terhadap
Pengungsi 62
4.1 Faktor Eksternal 63
4.2 Tujuan Jangka Pendek dan Menengah 67
4.3 Faktor Internal 70
BAB V KESIMPULAN 78
DAFTAR PUSTAKA xiii
LAMPIRAN xxi
x
DAFTAR TABEL DAN GRAFIK
Grafik 2.1 27
Tabel 2.2 32
Tabel 2.3 34
Tabel 2.4 35
Tabel 2.5 36
Tabel 3.1 49
Tabel 3.2 54
Tabel 3.3 57
xi
DAFTAR SINGKATAN
3 R’s Recruitment, Remittances, and Returns
AFD Alternative for Germany Party
ARD Arbeitsgemeinschaft der offentlich-rechtlichen
Runfunkanstalten der Bundesrepublik Deutcschland
(Consortium of public broadcasters in Germany)
CDU Christian Democratic Union of Germany
CIA Central Intelligence Agency
CSU Christian Social Union
DAAD German Academic Exchange Service
DAFI the Albert Einstein German Academic Refugee Initiative
EC European Commission
ECHR European Convention on Human Rights
EU European Union
FDR Federal Republic of Germany
GDR German Democratic Republic
GMDAC Global Migration Data AnalysisCentre
ICCPR International Covenant on Civil and Political Rights
ICESCR International Covenant on Economic, Social, and Cultural
Rights)
IOM International Organization for Migration
PBB Persatuan Bangsa Bangsa
PEGIDA Patriotic Europeans Against the Islamization of the West
SPD Social Democratic Party
TFEU Treaty on the Functioning of the European Union
THF The Federal Agency for Technical Relief
UNCAT The UN Convention against Torture and Other Cruel,
Inhuman or Degrading Treatment or Punishment
UNCRC UN Convention on the Rights of the Child
UNHCR United Nations High Comissions of Refugees
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Pernyataan Masalah
Krisis pengungsi menjadi fenomena perdebatan politik bagi negara-negara
anggota Uni Eropa. Jerman menjadi negara tujuan kedua setelah Amerika Serikat
yang paling banyak diminati bagi para pengungsi. Negara yang memiliki tingkat
ekonomi terbesar di Uni Eropa tersebut memang sudah menjadi negara tujuan
bagi banyak orang, termasuk meningkatnya angka para pencari suaka. Jumlah
pencari suaka di Jerman meningkat secara dramatis pada tahun 2014. Jerman
menerima para pencari suaka dan pengungsi lebih banyak dari negara-negara di
Uni Eropa dan bahkan di seluruh dunia.1
Pada tahun 2013 sekitar 29% permohonan pencari suaka di Uni Eropa
telah diserahkan kepada Jerman. Jerman berharap dapat menerima 230.000
permohonan pencari suaka di tahun 2015.2 Dalam hal mengenai permohonan
pencari suaka, Jerman juga berpartisipasi dalam "Dublin Convention" untuk
menentukan negara bertanggung jawab untuk proses permohonan suaka yang
diajukan di wilayah Uni Eropa. The Federal Office for The Recognition of
Foreign Refugees bertanggung jawab untuk melaksanakan prosedur Konvensi
Dublin. Pemohon suaka diproses di bawah prosedur ini, otorisasi untuk menetap
1 Caitlin Kasiaficas, Seeking Refugees:Asylum Seekers in Germany, EU Migration Policy Working
Paper No.18, 2014, hal. 1 2 Caitlin Kasiaficas, Seeking Refugees:Asylum Seekers in Germany, hal.2
2
bagi para pencari suaka akan berlaku sesuai prosedur dan diberi hak yang sama
dengan pemohon lainnya.3
Meningkatnya para pencari suaka di Eropa menghubungkan adanya
ketidakstabilan politik dan Konflik di Timur Tengah khususnya di Suriah. Konflik
di Suriah telah menjadi penyebab utama bagi krisis pengungsi di Eropa. Beberapa
tahun terakhir puluhan ribu orang Suriah telah tiba di Eropa dan Jerman untuk
mendapatkan perlindungan.4 Pada tahun 2013 hingga 2015, pengungsi asal Suriah
menduduki posisi teratas di Uni Eropa.5 Sejak awal krisis Suriah sampai Agustus
2015, jumlah total permohonan suaka dari Suriah mencapai 428.735.6 Hingga
pada September meningkat menjadi 512.909 yang mana Jerman menempati
permohonan suaka teratas yaitu dengan jumlah 125.441.7 Hal ini tentu
menimbulkan perdebatan bagi negara-negara Uni Eropa.
Jerman dan beberapa anggota Uni Eropa khusunya Swedia adalah negara
yang menjadi tempat tujuan utama bagi para pencari suaka. Krisis pengungsi ini
bukan menjadi masalah bersama bagi negara-negara anggota Uni Eropa karena
para pengungsi didistribusikan dengan tidak merata di Uni Eropa. Sementara itu,
negara di Eropa Selatan dan Timur sedang mengalami besarnya gelombang masuk
para pengungsi di perbatasannya, berbeda dengan negara-negara anggota lainnya,
3 Uniya: Jesuit Social Justice Centre, “Overview of Germany’s Asylum System”, diakses pada 9
April 2016, http://www.uniya.org/research/asylum_germany.pdf 4 Caitlin Kasiaficas, Seeking Refugees:Asylum Seekers in Germany, hal. 2
5 BBC, “Graphics, Europe Asylum Seekers”, diakses pada 6 oktober 2015,
http://www.bbc.com/news/world-europe-24636868 6 European Comission Humanitarian aid and Civil Protection, “Syria Crisis Fact Sheet, diakses
pada 7 oktober 2015, http://ec.europa.eu/echo hal. 2 7 UNHCR, “Map New Asylum: Applications Europe April 2011-september 2015 Syria Regional
Refugee Response”, diakses pada tanggal 8 oktober 2015,
http://data.unhcr.org/syrianrefugees/asylum.php
3
terutama di utara dan barat Eropa yang menerima angka cukup besar untuk
permohonan pencari suaka. Pada 2013, sekitar 64% klaim telah diajukan di empat
negara yaitu Jerman, Perancis, Swedia, dan Inggris.8
Sebagai negara penerima pengungsi terbesar khususnya pengungsi Islam
yang berasal dari Suriah, Jerman mendapatkan respon negatif dari beberapa warga
negaranya. PEGIDA atau “Patriotic Europeans Against the Islamization of the
West” merupakan sebuah gerakan yang mana mayoritas pengikutnya merupakan
kelas menengah. Mereka melakukan unjuk rasa anti-Islam di Dresden sejak
oktober 2014 yang telah menarik 25.000 orang dalam aksi demonstrasi tersebut. 9
keputusan Jerman dalam penerimaan pengungsi skala besar membuat PEGIDA
melakukan unjuk rasa untuk kesekian kalinya di Dresden, yang mana menjadi
tempat protes anti-imigrasi. Hal ini terjadi karena didorong oleh kekhawatiran
“Islamisasi” oleh pengungsi yang hadir di Jerman. 10
Sejak tahun 2013 Jerman adalah salah satu dari beberapa negara Eropa
yang meluncurkan program kemanusiaan skala besar untuk penerimaan sementara
pengungsi Suriah. Pada Mei 2013, program federal yang pertama untuk
penerimaan 5000 pengungsi dikeluarkan. Sehingga pada Desember 2013,
pemerintah federal setuju untuk menerima 5.000 pengungsi Suriah, dan pada Juni
8 Caitlin Kasiaficas, Seeking Refugees:Asylum Seekers in Germany, Hal. 4
9 Jill. E Twark, and Axel Hildebrandt, Envisioning social justice in contemporary german culture,
Camden House, New York, 2015, hal. 295 10
Atika Shubert, “German anti-Migran protest: “We don’t want to be strangers in our own
country,” CNN, diakses pada 11 Oktober 2015, http://edition.cnn.com/2015/10/19/world/dresden-
protests-against-immigrans/
4
2014 memutuskan untuk memperbesar program dan membuat 10.000 tempat lain
yang tersedia.11
Uni Eropa sebagai organisasi supra-nasional yang sedang menghadapi
krisis pengungsi sejak akhir Perang Dunia II meningkatkan respon terhadap krisis
tersebut didasarkan pada prinsip-prinsip solidaritas dan tanggung jawab serta
berlandaskan nilai-nilai dan kewajiban internasional. Di awal tahun 2015, Uni
Eropa telah re-orientasi dan memobilisasi semua instrumen tindakan eksternal
untuk menanggapi krisis pengungsi dengan tiga tujuan: menyelamatkan hidup,
memastikan perlindungan mereka yang membutuhkan dan mengelola perbatasan
dan mobilitas. 12
Uni Eropa mengalokasi anggaran sekitar 1,4 triliun rupiah untuk periode
2014-2020, dalam kerjasama eksternal Uni Eropa, termasuk kerjasama
pembangunan di seluruh dunia yang mana memainkan peran penting dalam
mengatasi kemiskinan, ketidakamanan, ketidaksetaraan atau pengangguran. Ini
termasuk dukungan Uni Eropa di berbagai bidang seperti pertumbuhan dan
penciptaan lapangan kerja, perdamaian dan keamanan, hak asasi manusia dan
pemerintahan yang baik untuk daerah dan negara di mana arus pengungsi
berasal.13
11
Institute for Migration Research and Intercultural Studies (IMIS),Policy Brief, “Germany
Asylum Policy and EU Refugee Protection, The Prospects of The Common European Asylum
System (CEAS)”, University of Osnabruck, No.29, 5,2015. hal. 11 12
European Comission, “Addressing the Refugee Crisis in Europe: The Role of EU External
Action”, Brussels, 9,9, 2015, diunduh pada 13 Oktober 2015, http://ec.europa.eu/echo Hal.2 13
European Comission, “Addressing the Refugee Crisis in Europe: The Role of EU External
Action”, Hal.4
5
Selain itu, Uni Eropa mendirikan EU Regional Trust Fund dalam
menanggapi krisis Suriah untuk memberikan respon yang koheren dan diperkuat
pada skala regional. Selain dukungan untuk negara tetangga penerima pengungsi,
bantuan ini juga diarahkan untuk kemanusiaan, stabilisasi dan upaya
pengembangan di dalam wilayah Suriah, termasuk membangun kembali
pemerintahan lokal dan penyediaan layanan dasar. Komisi menyerukan kepada
negara-negara anggota untuk lebih berkontribusi pada Trust Fund.14
Tahun-tahun mendatang akan mengungkapkan sejauh mana Uni Eropa
mampu secara substansial memperpanjang program pemukiman yang
dikoordinasi bekerjasama dengan UNHCR. Agenda Eropa tentang Migrasi,
diadopsi pada Mei 2015, yang mengusulkan pembentukan skema pemukiman
seluruh Uni Eropa dengan menawarkan 20.000 tempat untuk "orang yang
membutuhkan perlindungan internasional". Namun, itu masih belum dapat
dipastikan bahwa semua negara anggota akan setuju untuk ukuran tersebut. 15
Kanselir Angela Merkel melihat membantu pengungsi sebagai kewajiban
kemanusiaan. Jerman meminta “solidaritas” Uni Eropa, dengan mendorong
kebijakan umum untuk Uni Eropa yang lebih ambisius dan luas terhadap krisis
pengungsi, dengan kuota wajib dan permanen untuk distribusi ratusan ribu
pengungsi yang hadir di Benua Eropa.16
14
European Comission, “Addressing the Refugee Crisis in Europe: The Role of EU External
Action”, Hal.5 15
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, Hal. 13 16
Ian Treynor, “Germany to push for compulsory EU quotas to tackle refugee crisis,” The
Guardian, diakses pada 23 Oktober 2015, http://www.theguardian.com/world/2015/oct/23/refugee-
crisis-germany-push-compulsory-eu-quotas
6
Melonjaknya jumlah angka para pencari suaka di Benua Eropa merupakan
akibat dari perang saudara di Suriah yang tak kunjung usai. Konflik di Suriah
merupakan peralihan dari pemberontakan kemudian menjadi perang saudara
selama musim panas tahun 2012. Pada tahun pertama konflik, Presiden Suriah
Bashar al-Assad gagal dalam melakukan kampanye revolusi 2011 sehingga
mempercepat terjadinya konflik ke perang saudara.17
Pada awal Desember 2012, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi
Manusia menyebutkan jumlah kematian sejak awal pemberontakan berada pada
angka 42.000 jiwa, dan puluhan ribu lebih lainnya dipenjarakan atau hilang. Pada
saat itu hampir setengah juta pengungsi telah terdaftar dan masih belum terdaftar
oleh PBB di empat negara tetangga Turki, Lebanon, Yordania dan Irak.18
Krisis pengungsi pun menjadi fenomena yang sangat menarik perhatian
dunia internasional karena semakin meningkatnya jumlah pengungsi yang hadir di
berbagai negara penjuru dunia pada 2015. United Nations High Comissions of
Refugees (UNHCR) melaporkan bahwa pada akhir Agustus tercatat jumlah
pengungsi asal Suriah yaitu 4.089.023 jiwa. Lebih dari 4.200.000 pengungsi
menaruh harapan untuk bisa diterima di negara-negara tetangga. Kondisi yang
memburuk di Suriah membuat ribuan para pencari suaka Suriah rela
mempertaruhkan segalanya dalam perjalanan berbahaya menuju Eropa.19
17
Joseph holliday, “The assad regime from counterinsurgency to civil war”, middle east security
report 8, Institute for the Study of War (ISW), Washington, DC, 2013. Hal 7 18
Muriel Asseburg and Heiko Wimmen, Civil War in Syria, German Institute for International and
Security Affairs, diunduh pada 29 September 2015, http://www.swp-berlin.org. Hal. 2 19
UNHCR, “Inter Agency Regional Update-Syrian Refugees” , diakses pada 7 Oktober 2015,
www.uhcr.org hal.2
7
Gelombang pengungsi telah membuat ketegangan serius diantara Negara-
negara Uni Eropa. Perbedaan respon terkait pengungsi terlihat diantara negara di
Eropa Timur dan Eropa Barat. Eropa timur cenderung bersikap isolationist dalam
merespon krisis pengungsi di Eropa. Xenophobic atau tidak menyukai orang yang
hadir dari negara lain dan ketakutan adanya islamisasi dianggap sebagai pemicu
Eropa Timur untuk bersikap isolationist.20
Berbeda dengan Eropa Barat, salah
satunya yaitu Jerman yang bersikap welcome terhadap pengungsi yang sebagian
besar berasal dari Suriah.
Berdasarkan paparan di atas, maka penulis tertarik untuk mengkaji
kebijakan luar negeri Jerman terkait pengungsi dengan judul “Kebijakan Luar
Negeri Jerman terhadap Pengungsi Suriah Tahun 2015”.
1.2 Pertanyaan Penelitian
Berdasarkan latar belakang yang telah dijabarkan, penelitian ini akan
mempelajari mengenai kebijakan atau langkah yang diambil oleh Jerman dalam
menghadapi krisis pengungsi Suriah. Berikut pertanyaan yang akan dijawab
dalam penelitian:
1. Apa kebijakan luar negeri Jerman terkait penanganan pengungsi di Eropa?
2. Mengapa Jerman mengeluarkan kebijakan luar negeri yang berbeda
dengan Negara-negara Eropa lainnya?
20
Heather Horn https://www.theatlantic.com/international/archive/2015/10/xenophobia-eastern-
europe-refugees/410800/
8
1.3 Tujuan dan Manfaat Penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui kebijakan luar negeri yang
diambil oleh Jerman terhadap masuknya pengungsi di negaranya dan faktor-faktor
apa saja yang mempengaruhi kebijakan Jerman sehingga memiliki kebijakan yang
berbeda dengan negara-negara Eropa lainnya terhadap penerimaan pengungsi di
negaranya. Serta untuk mengetahui sejarah perjalanan Jerman dalam menangani
kasus pengungsi.
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi penulis sendiri khususnya,
dan juga menambah pengetahuan serta analisa menyangkut isu-isu Hubungan
Internasional. Selain itu, penelitian ini juga diharapkan dapat membantu
memberikan informasi dan data bagi lingkungan akademik dan pemerintahan
terkait dengan kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi dan dapat
mengetahui pertimbangan apa saja yang dilakukan pemerintah untuk pengambilan
keputusan suatu kebijakan.
1.4 Tinjauan Pustaka
Jurnal Volume 3 Number 3 (2015): 255-279 yang berjudul The Syrian
Refugee Crisis: A Comparison of Responses by Germany, Sweden, the United
Kingdom and the United States, yang ditulis oleh Nicole Ostrand dan diterbitkan
pada tahun 2015 membahas mengenai beberapa respon yang telah diberikan oleh
masyarakat internasional pada umumnya, dan khususnya respon dari Jerman,
Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat. Di akhir tahun 2014, Jerman dan Swedia
telah menyediakan perlindungan untuk banyak pengungsi Suriah di luar kawasan.
9
Meskipun Jerman, Swedia, Inggris, dan Amerika Serikat memiliki tingkatan yang
berbeda dalam menyediakan perlindungan untuk para pengungsi Suriah, namun,
keempat negara tersebut telah meningkatkan perlindungan untuk Suriah melalui
pemukiman dan suaka sejak tahun 2012.
Beberapa negara tetangga yang mengalami dampak dari peningkatan
pengungsi Suriah di negaranya juga menjadi bahasan dalam jurnal ini. Selain itu,
jurnal ini menjelaskan bahwa masyarakat internasional secara keseluruhan belum
cukup memberikan kontribusi dalam mengurangi beban yang disebabkan oleh
masuknya pengungsi Suriah, baik dari segi bantuan keuangan dan pemukiman
pengungsi. Pokok bahasan dari penelitian ini yaitu peneliti membandingkan
respon-respon yang diberikan masyarakat internasional dalam menghadapi krisis
pengungsi Suriah yang menyebar di beberapa negara. Peneliti mengatakan bahwa
Jerman dan Swedia merupakan negara yang memberikan tingkat perlindungan
relatif tinggi dibandingkan negara lainnya.21
Jurnal tersebut berbeda dengan
penelitian skripsi penulis, jurnal tersebut tidak membahas mengenai faktor-faktor
mengapa negara-negara tersebut masing-masing mengeluarkan respon yang
berbeda. Dan jurnal tersebut menjelaskan respon di beberapa negara, sedangkan
skripsi penulis lebih fokus terhadap respon dari Jerman.
Pada buku yang berjudul “Immigration Policy in the Federal Republic of
Germany, Negotiating membership and remaking the nation” yang ditulis oleh
Douglas, B. Klusmayer, dan Demetrios G. Papademetrion yang dipublikasikan
21
Nicole Ostrand, The Syrian Refugee Crisis: A Comparison of Responses by Germany, Sweden,
the United Kingdom and the United State, Center for Migration Studies of New York, JMHS
Volume 3 Number 3, 2015.
10
tahun 2009. Dalam buku ini pertama membahas mengenai bahwa setiap kebijakan
migrasi yang koheren harus mengambil beberapa dimensi yang berbeda yaitu
dimensi internasional, dimensi federalis, dimensi politik, dimensi sosial, dan
dimensi etnonasional. Penulis juga menyediakan sejarah singkat imigrasi di
Jerman Barat pasca Perang Dunia ke-2 untuk menegaskan pengaruh yang kuat
dari sejarah yang ada dan menawarkan para peneliti untuk mendapatkan dasar
yang kuat untuk memahami dilema migran saat ini di Republik Federal Jerman.
Ketiga, membahas mengenai pentingnya institusi Uni Eropa dalam pembangunan
rezim migrasi Jerman di era pasca reunifikasi. Dan yang terakhir buku ini
menjelaskan isu migrasi yang dihadapi Jerman dimulai dari abad ke-21, termasuk
dibutuhkannya tenaga kerja yang memiliki keterampilan tinggi dan tantangan
untuk mengintegrasikan generasi pengungsi yang baru dan sebelumnya.22
Dalam
buku tersebut pembahasannya lebih luas jika dibandingkan dengan penelitian
skripsi penulis, penelitian skripsi penulis hanya fokus terhadap kebijakan Jerman,
apa saja faktor yang mempengaruhi dan mengapa Jerman lebih membuka
negaranya terhadap pengungsi di tahun 2015.
Selanjutnya, Makalah yang berjudul “The European Response to the
Syrian Refugee Crisis What Next?” yang ditulis oleh Philippe Fargues dan
Christine Fandrich yang dipublikasikan pada tahun 2012 menjelaskan mengenai
respon Uni Eropa terhadap para pengungsi Suriah yang membanjiri kawasan Uni
Eropa. Penelitian ini menjelaskan mengenai sejarah perpindahan populasi dari
Suriah, jumlah pengungsi, dan rute perjalanan para pengungsi, para migran dan
22
Douglas. B. Klusmayer dan Demetrios. G. Papademetrion, “Immigration Policy in the Federal
Republic of Germany, Negotiating membership and remaking the nation”, Bergahn Books, 2009.
11
pencari suaka menuju Eropa. Hal tersebut diikuti dengan respon berupa bantuan
politik dan kemanusiaan oleh Uni Eropa terhadap krisis Suriah.23
Makalah
tersebut membahas mengenai respon dari Uni Eropa terhadap pengungsi Suriah,
sedangkan penelitian skripsi ini menulis mengenai kebijakan yang dilakukan oleh
Jerman terhadap pengungsi Suriah.
Dari beberapa penjelasan yang dikaji oleh beberapa penulis diatas, maka
penelitian yang disusun oleh penulis ini memiliki perbedaan dengan penelitian
yang pernah ditulis sebelumnya. Dalam penelitian ini, penulis akan mencoba lebih
fokus terhadap penjelasan mengenai kebijakan luar negeri Jerman terhadap
pengungsi Suriah dan analisa terhadap faktor-faktor dari kebijakan yang telah
diambil oleh Jerman dalam menghadapi pengungsi Suriah.
1.5 Kerangka Teori
Dalam menganalisa kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi
Suriah di Jerman maka dalam pembahasan tersebut akan memerlukan teori dan
konsep-konsep yang dapat mendukung proses penganalisaan. Teori berfungsi
untuk membantu memahami dan memberikan kerangka berfikir secara logis di
samping membantu mencari penjelasan atas berbagai fenomena yang ada.24
1.5.1 Kebijakan Luar Negeri
Kebijakan luar negeri merupakan keseluruhan sikap dan aktivitas suatu negara
dalam upayanya mengatasi dan memperoleh keuntungan dari lingkungan
23
Philippe Fargues dan Christine Fandrich, “The European Response to the Syrian Refugee Crisis
What Next?”, European University Institute, 2012. 24
Lisa Harrison, Metodologi Penelitian Politik, (Jakarta: Kencana, 2007), hal. 7
12
eksternalnya yang bertujuan untuk mempertahankan kelangsungan hidup suatu
negara.25
Negara merupakan tetap aktor terpenting dalam panggung internasional,
proses dimana mereka memilih dan melaksanakan kebijakan luar negeri mereka
tetap menjadi bagian penting dari studi Hubungan Internasional. Kebijakan luar
negeri terjadi di titik pertemuan negara dan lingkungan internasional negara
tersebut, di mana pengaruh yang timbul di lingkungan internasional menjadi
pengaruh di arena domestik dan di mana politik dalam negeri menghasilkan
output dengan dampak pada hubungan eksternal.26
Kebijakan luar negeri adalah seperangkat yang jelas dari sikap terhadap
lingkungan internasional dan visi tempat suatu negara di dunia. Pandangan ini
mengasumsikan adanya prinsip-prinsip panduan yang menentukan atau
setidaknya secara signifikan membentuk keputusan tentang isu-isu kebijakan
tertentu.27
Kebijakan luar negeri dibuat atas nama negara akan tetapi
pemerintahlah yang benar-benar merumuskan dan melaksanakannya. Pemerintah
tersebut merupakan perpaduan dari berbagai organisasi dan individu yang
memiliki kepentingan yang tidak sama. Kebijakan luar negeri memiliki beberapa
unsur yang berkaitan dan saling mempengaruhi yaitu pertahanan, diplomasi, dan
ekonomi.28
25
James N. Rosenau, Kenneth W, Thompson, dan Gavin Boyd, World Politics: An Introduction,
(New York: The Free Press, 1976), hal. 27-32 26
Frank Bealey, Richard A. Chapman, dan Michael Sheehan, Elements in Political Science
(Edinburgh: Edinburgh University Press, 1999) Hal. 327 27
Bealey, Chapman, Sheehan, Elements in Political Science, hal. 328 28
VK. Malhotra, International Relations, (New Delhi: Anmol Publications Pvt Ltd, 2004), hal.
185-186
13
Sebagian besar pembuatan kebijakan luar negeri adalah mengenai pemecahan
masalah sehari-hari yang muncul di dalam dan luar negeri. Tujuan dari kebijakan
luar negeri sendiri adalah suatu gambaran keadaan peristiwa masa depan dan
rangkaian kondisi di kemudian hari yang akan di wujudkan permerintah, melalui
pembuat kebijakan luar negeri dengan menggunakan pengaruh di luar negeri dan
dengan mengubah atau mendukung sikap negara lain. 29
Holsti menambahkan
bahwa tujuan paling utama dari kebijakan luar negeri adalah menjamin kedaulatan
dan kemerdekaan wilayah nasional dan mengekalkan sistem politik, sosial, dan
ekonomi tertentu berdasarkan wilayah tersebut.30
Menurut Holsti, tujuan dari kebijakan luar negeri dikategorikan dalam tiga
tujuan yaitu, kategori tujuan jangka pendek, jangka menengah dan tujuan jangka
panjang. Tujuan jangka pendek yaitu berupa kepentingan dan nilai “inti” yang
mana digambarkan sebagai jenis kepentingan yang untuk mencapainya
kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya. Beberapa
pemerintah menempatkan nilai yang sama tinggi pada pengendalian atau
pertahanan pada wilayah negara tetangga, karena kawasan ini didiami oleh
penduduk yang secara etnis bersaudara atau mempunyai sumber daya nasional
seperti tenaga buruh dan bahan mentah yang dapat meningkatkan kemampuan
Negara atau karena percaya bahwa ancaman terbesar terhadap integritas teritorial
Negara sendiri dapat terjadi melalui negara tetangga. 31
29
K.J Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, (University of British Colombia,
1983) hal. 137 30
K.J Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, hal. 142 31
K.J Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, hal. 142
14
Kedua, Tujuan jangka menengah memiliki tiga tipe, yang pertama yaitu
mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan dan kebutuhan perbaikan
ekonomi melalui tindakan internasional. Kemudian meningkatkan prestise negara
dalam sistemnya, yang mana prestise dapat diukur dengan tingkat perkembangan
industri dan keterampilan ilmiah serta teknologi. Negara industri dan negara besar
dapat meningkatkan gengsi internasionalnya melalui sejumlah kebijakan dan
tindakan, termasuk ekspansi kemampuan militer, pembagian bantuan luar negeri
dan jalur diplomatik. Ketiga, yaitu mencakup banyak bentuk perluasan diri atau
imperialisme. Sedangkan tujuan jangka panjang yaitu rencana, impian, dan
pandangan mengenai organisasi politik atau ideologi terakhir sistem internasional
aturan yang mengatur hubungan dalam sistem itu dan peran negara tertentu
didalamnya.32
Dalam menganalisis faktor-faktor yang mempengaruhi perumusan
kebijakan luar negeri Jerman, penulis menggunakan kerangka berfikir KJ. Holsti.
Faktor-faktor tersebut diantaranya yaitu Faktor eksternal dan domestik. Faktor
eksternal menurut Holsti yaitu, struktur sistem internasional, karakteristik atau
struktur ekonomi internasional, kebijakan dan tindakan aktor lain, masalah global
dan regional yang berasal dari pihak swasta, hukum internasional dan opini
public. Dan faktor domestiknya yaitu kebutuhan keamanan atau ekonomi sosial,
geografi dan karakteristik topografi, atribut nasional, struktur
pemerintahan/filosofi, opini publik, birokrasi, dan pertimbangan etik.33
Secara
32
K.J Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, hal. 145-147 33
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys, Sixth Edition, (New Jersey:
Prentice Hall, 1992), hal. 269-306
15
keseluruhan konsep mengenai kebijakan luar negeri sangat terkait erat dengan
kebijakan yang telah diambil oleh Jerman, karena Jerman telah mengeluarkan
keputusan untuk menerima banyaknya kehadiran pengungsi yang berasal dari luar
wilayah negaranya. Keputusan tersebut tentu melalui pertimbangan yang matang
oleh pemerintah Jerman sehingga adanya faktor-faktor yang melatarbelakangi
kebijakan dan memiliki tujuan untuk mencapai kepentingannya.
1.5.2 Konsep Kepentingan Nasional
Kepentingan nasional adalah konsep yang paling penting dalam hubungan
internasional dan merupakan kunci dalam kebijakan luar negeri karena
kepentingan nasional adalah materi dasar bagi para pembuat kebijakan luar
negeri. Di dalam merumuskan kebijakan luar negeri tersebut, para pembuat
kebijakan dipandu oleh perspektif kepentingan nasional mereka yang bertujuan
untuk mencapai dan melindungi kepentingan nasional tersebut.34
Kepentingan Nasional menurut Kenneth Waltz secara minimum
merupakan keberlangsungan hidup negara, Survival disini juga dipahami sebagai
tujuan awal yang dibutuhkan untuk mengejar atau mencari tujuan politik yang lain
dan secara maksimum diasumsikan sebagai kekuatan.35
Konsepnya, kepentingan
nasional menjadi sebuah tujuan, kebijakan luar negeri sebagai alatnya, sedangkan
34
Malhotra, International Relations, hal. 79 35
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, (Addison-Wesley Reading, 1979), hal. 131.
16
modalnya berupa suatu power. Kepentingan nasional digunakan untuk
menggambarkan dan mendukung kebijakan-kebijakan tertentu. 36
Frankel menggambarkan bahwa ada dua divisi penting terkait kepentingan
nasional. Pertama yaitu, bagi mereka yang menggunakan kepentingan nasional
untuk menjelaskan dan menganalisis kebijakan luar negeri dan mereka yang
menggunakan istilah untuk membenarkan atau merasionalisasi perilaku negara di
dunia internasional. Pemisahan ini menunjukan pembagian diantara objektivis
yaitu adanya kriteria permanen obyektif terhadap kebijakan luar negeri yang dapat
dievaluasi, dibandingkan, dan kontras, dan subjektivis yang menekankan
berubahnya prioritas dan preferensi pengambil keputusan serta pertahanan publik
dan penjelasan dari tindakan mereka.37
Menurut Frankel, kepentingan nasional objektif adalah mereka yang
dimana berhubungan dengan tujuan kebijakan luar negeri utama negara-bangsa,
independen namun ditemukan oleh para pembuat kebijakan melalui penyelidikan
yang sistematis. Ini adalah kepentingan permanen, yang terdiri dari faktor-faktor
seperti geografi, sejarah, tetangga, ukuran populasi sumber daya dan etnis.
Kepentingan nasional subjektif adalah mereka yang tergantung pada preferensi
dari pemerintah khusus atau elit kebijakan, dan termasuk ideologi, agama, dan
identitas kelas.38
Dalam konsep ini dapat menganalisis apa tujuan dari Jerman
dengan mengeluarkan kebijakan luar negerinya terhadap kasus pengungsi di
36
Griffiths, M. & O’Callagan,T., International Relations : The Key Concepts. New York &
London: Routledge, 2002. Hal. 203 37
Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, (New York: Palgrave
Macmillan, 2005) hal. 3 38
Scott Burchill, The National Interest in International Relations Theory, hal.3
17
negaranya. Jerman sebagai negara sosial yang mendukung kebijakan domestik
untuk menanggung warga yang tidak mampu memperoleh nafkah, namun di sisi
lain Jerman juga merupakan The Country Ageing Population, sehingga kebijakan
menerima pengungsi di negaranya sebagai alat bagi Jerman untuk mengatasi
permasalahan populasi di negaranya.
1.5.3 Konsep Pengungsi
Konsep Pengungsi yang akan dipaparkan yaitu definisi pengungsi secara luas
dan definisi pengungsi menurut konvensi 1951 mengenai status pengungsi.
Konsep pengungsi menurut konvensi 1951 tentang status pengungsi yaitu
“seseorang yang disebabkan oleh ketakutan yang beralasan akan penganiayaan,
yang disebabkan oleh alasan ras, agama, kebangsaan, keanggotaan kelompok
social tertentu, dan keanggotaan partai politik tertentu, berada di luar negara
kebangsaannya dan tidak menginginkan perlindungan dari negara tersebut.39
Menurut Malcom Proudfoot, pengungsi adalah suatu kelompok orang-orang
yang terpaksa pindah ke tempat lain akibat adanya penganiayaan, deportasi secara
paksa, pengusiran orang-orang, dan perlawanan politik pemerintah yang berkuasa.
Dapat pula berupa pengembalian etnik tertentu ke negara asal tertentu mereka yag
timbul akibat perang atau perjanjian atau penentuan tapal batas secara sepihak
sebelum perang terjadi. Perpindahan penduduk sipil secara besar-besaran akibat
adanya tekanan dan ancaman. Perpindahan secara paksa penduduk dari wilayah
39
UNHCR, “Convention and Protocol Relating to the Status of Refugees”, article 1, diunduh pada
2 Februari 2015, http://www.unhcr.org/protect/PROTECTION/3b66c2aa10.pdf
18
pantai atau daerah pertahanan berdasarkan perintah militer secara pemulangan
tenaga kerja paksa untuk ikut dalam perang.40
Selain itu, menurut Irawati Handayani konsep pengungsi memiliki dua
pengertian, hal tersebut dilihat dari dua faktor yang menyebabkan seseorang
menjadi pengungsi. Pertama, pengungsi yang disebabkan oleh peristiwa alam
(natural disaster) dan pengungsi yang disebabkan oleh perbuatan manusia
(human made disaster).41
Jika melihat krisis pengungsi di Eropa dengan mayoritas
pengungsi Suriah, pengungsi Suriah ini termasuk kategori pengungsi yang
disebabkan oleh perbuatan manusia karena pengungsi Suriah terjadi akibat konflik
dalam negeri antara pemerintah dan warga sipil.
Pencari suaka adalah seseorang yang telah mendaftarkan dirinya untuk
perlindungan internasional. Kebanyakan mereka mengajukan setelah mereka telah
mencapai negara dimana mereka mencari perlindungan, meskipun ada
kemungkinan untuk mengajukan permohonan suaka di luar negeri dimana mereka
sedang mencari perlindungan, contohnya pada kedutaan atau konsulat.
Permohonan pencari suaka disesuaikan oleh kriteria konvensi PBB 1951 yang
berkaitan dengan status pengungsi. Pemohon yang berhasil diberikan status
pengungsi dan menjadi pengungsi.42
Jadi, perbedaan diantara istilah pencari suaka
dan pengungsi adalah pada status yang diberikan. Pencari suaka belum
40
Achmad Romsan, Pengantar Hukum Pengungsi Internasional (Bandung: Sainc Offset, 2003)
hal. 36 41
Irawati Handayani, “Perlindungan terhadap Pengungsi Domestik (Internal Displaced Person)
dalam Sengketa Bersenjata Internal Menurut Hukum Internasional,“ Bandung: Jurnal HI
UNPAD, (Vol. 1 No. 2, 2001): hal. 158 42
Mehmet Okyayuz, Peter Herrmann, dan Claire Dorrity, Migration: Global processes caught in
national answers, Bremen Europaischer Hochschulverlag, 2014, hal. 90
19
memperoleh status sedangkan pengungsi telah memperoleh status sebagai
pengungsi.43
Konsep pengungsi tentu terkait dengan penelitian kebijakan luar
negeri Jerman, karena pengungsi yang datang ke Jerman adalah para pengungsi
yang meninggalkan negaranya untuk mencari perlindungan di negara lain yang
dianggapnya aman dari ancaman.
1.6 Metode Penelitian
Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif,
yang bertujuan untuk memaparkan mengapa Jerman mengeluarkan kebijakan luar
negeri terhadap pengungsi dengan membuka kuota yang besar dibandingkan
negara lainnya di Eropa. Penelitian kualitatif adalah penelitian ilmiah dengan
penjelasan perkembangan fenomena sosial. Penelitian kualitatif berkaitan dengan
pertanyaan yang dimulai dengan: how, why, atau what way.44
Penelitian kualitatif
melibatkan pendekatan interpretif dan naturalistic, hal ini berarti bahwa penelitian
kualitatif berusaha untuk memahami atau menafsirkan fenomena yang hadir.45
Dalam teknik pengumpulan data, ada dua sumber yang dapat digunakan
oleh penulis yaitu sumber primer dan sumber sekunder. Namun, penulis
menggunakan sumber sekunder untuk menjawab pertanyaan penelitian. Sumber
sekunder adalah sumber data yang berasal dari orang lain yang tidak berpartisipasi
43
Rafiqul Islam dan Jahid Hossain Bhuiyan, An Introduction to International Refugee Law,
Leiden-Boston: Martinus Nijhoff, 2013, hal. 362 44
Beverley Hancock, An Introduction to Qualitative Research, Trent Focus, 2002. hal. 2 45
Denzin dan Lincoln, The Sage Handbook of Qualitative Research, Sage Publications, United
States, 2005 hal. 3
20
secara langsung dalam peristiwa yang menjadi objek penelitian.46
Sumber
sekunder ini diperoleh dari jurnal, buku, artikel ilmiah, dokumen, laporan
penelitian, surat kabar, dan data-data yang dapat diakses melalui media elektronik
yang terkait dengan penelitian penulis.
Penelitian penulis ini memiliki kelemahan, yaitu tidak menggunakan data
primer. Hal tersebut dikarenakan sulitnya untuk bertemu dengan narasumber yang
terkait dengan Jerman dan kebijakan pengungsi. Selain itu, penelitian penulis
tidak lengkap dalam menganalisis faktor apa saja yang melatarbelakangi Jerman
dalam mengambil kebijakan menurut Holsti. Hal tersebut dikarenakan peneliti
tidak menemukan data yang berkaitan dengan beberapa faktor yang disebutkan
oleh Holsti.
1.7 Sistematika Penulisan
Skripsi ini terdiri dari beberapa bab, yaitu:
BAB I pendahuluan. Bab ini berisikan pernyataan masalah mengenai krisis
pengungsi di Jerman dan di negara Eropa lainnya yang disebabkan oleh perang
saudara yang terjadi di Suriah.; pertanyaan penelitian; tujuan dan manfaat
penelitian; tinjauan pustaka ;kerangka teori; metode penelitian dan sistematika
penulisan.
BAB II pengungsi Suriah. Bab ini membahas mengenai faktor apa saja
yang menyebabkan warga Suriah sehingga memutuskan menjadi pengungsi,
46
Neuman, Lawrence W, Basic of Social Research, Pearson Education, Boston, 2007. Hal. 314
21
bagaimana cara pengungsi bermigrasi ke Jerman, dan menjelaskan karakteristik
warga Suriah yang telah menjadi pengungsi di Jerman.
BAB III kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi Suriah. Dalam
bab ini pertama-tama membahas mengenai sejarah masuknya imigran dan
pengungsi di Jerman, pengalaman apa saja yang telah dimiliki Jerman terkait
permasalahan pengungsi, kemudian kebijakan luar negeri Jerman terhadap
pengungsi sebelum dan setelah krisis pengungsi di Eropa, dan membahas lebih
spesifik yaitu kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi Suriah.
BAB IV analisis kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi. Dalam
bab ini menjelaskan mengenai faktor-faktor apa saja yang melatarbelakangi
kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi yang dimulai dari faktor
eksternal dan internal. Kemudian penulis juga menambahakan tujuan dari
kebijakan luar negeri Jerman, yaitu tujuan jangka pendek dan menengah.
BAB V Penutup. Bab ini berisikan kesimpulan dari hasil penelitian yang
dilakukan oleh penulis.
DAFTAR PUSTAKA
22
BAB II
PENGUNGSI SURIAH
Dalam bab ini menjelaskan mengenai pengungsi Suriah, konflik yang
terjadi di Suriah dan perkembangan jumlah pengungsi dari tahun ke tahun di
Jerman. Bab ini bertujuan untuk menjelaskan secara umum karakteristik
pengungsi Suriah yang masuk ke Jerman, mengapa mereka memutuskan untuk
menjadi pengungsi, bagaimana cara para pengungsi untuk tiba di Jerman, dan
menjelaskan berapa banyak pengungsi Suriah dari tahun ke tahun serta mengapa
Jerman terpilih menjadi tujuan utama para Pengungsi Suriah.
2.1 Faktor Penyebab Warga Suriah Menjadi Pengungsi
Perang saudara yang terjadi di Suriah sejak tahun 2011 telah membuat
jutaan warga Suriah meninggalkan rumahnya. Diawali dengan demonstrasi yang
terjadi pada bulan Maret 2011, para demonstrator menginginkan pemilihan
umum, sistem pemerintahan parlementer, dan hak untuk menyelenggarakan protes
secara damai. Namun, pemerintahan Bashar Al-Assad merespon permintaan
tersebut dengan bentuk kekerasan.47
Setelah melihat respon tersebut, sebagian
pihak oposisi atau demonstrator juga memilih jalur kekerasan sebagai pertahanan
mereka.48
47
Reese Elrich, “Inside Syria: the backstory of their civil war and what the world can expect”,
(New York: Prometheus Book, 2014), chapter 1 48
Roland Pop, “The Syrian Civil War ; Between Escalation and Intervention”, CSS Analysis in
Security Poilicy, No. 124, diunduh pada 10 Maret 2016,
23
Perang di Suriah semakin memburuk ketika adanya dukungan dari aktor
eksternal. Perang tersebut dapat dikatakan merupakan proxy war karena baik
pihak bashar al-Assad maupun pihak oposisi menggunakan pihak ketiga. Rusia
dan Tiongkok mendukung rezim Assad, yang didasarkan dengan prinsip
internasional yaitu Responsiblity to Protect.49
Sedangkan di pihak oposisi
didukung oleh Amerika Serikat, Turki, Perancis, dan negara-negara Teluk
lainnya. Amerika Serikat dalam perang ini melihat bahwa perang Suriah dapat
dijadikan momen untuk melemahkan Iran untuk mundur dalam program
nuklirnya. Pemberontak di Suriah menerima dukungan politik dan logistik dari
AS, Turki, dan Perancis, serta bantuan keuangan dan militer yang berasal dari
negara-negara Teluk.50
Sedangkan di sisi lain, Rusia dan Tiongkok berperan sebagai pengirim
senjata dan juga memberikan perlindungan melalui Dewan Keamanan PBB.
Selain Rusia dan Tiongkok, Iran juga menjadi salah satu pendukung rezim Assad
dengan memberikan penasihat militer, bantuan keuangan, dan pasokan energi.
Iran melihat bahwa adanya power struggle di Damascus yang mana sebagai
elemen bagi Amerika Serikat dan Iraq untuk berusaha mengubah rezim di
Tehran.51
http://www.css.ethz.ch/content/dam/ethz/special-interest/gess/cis/center-for-securities-
studies/pdfs/CSS-Analysis-124-EN.pdf 49
Murriel Asseburg dan Heiko Wimmen, Civil War in Syria; External Actors and Interest as
Drivers of Conflict, SWP Berlin, diunduh pada 3 maret 2016, https://www.swp-
berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2012C43_ass_wmm.pdf , hal.3 50
Asseburg dan Wimmen, Civil War in Syria, hal.4 51
Asseburg dan Wimmen, Civil War in Syria, hal.3
24
Perang saudara di Suriah adalah tentang apakah Bashar al-Assad akan
terus memimpin pemerintahan Suriah atau jatuhnya pemerintahan Assad. Namun
selain adanya aktor eksternal yang meningkatkan ketegangan perang, perang
Suriah juga semakin mencerminkan permasalahan sektarian yang meluas. 52
Sentimen sektarian yaitu diantaranya Syiah Alawi yang mana diidentifikasi
berada di pihak Bashar al-Assad dan Sunni berada di pihak oposisi.53
Bashar al-
Assad juga mendapat dukungan dari kelompok Syiah militan Hizbullah Libanon
yang didukung oleh Iran. 54
Munculnya kelompok-kelompok jihad, termasuk
Negara Islam, telah menambahkan dimensi lebih lanjut terhadap konflik Suriah
tersebut. 55
Menurut Jurnal Benedetta Berti, pengungsi Suriah merupakan “worst
humanitarian disaster since the end of the cold war”.56
Di tahun 2013, Suriah
untuk pertama kalinya menjadi negara utama asal pencari suaka di 44 negara
industri di wilayah Eropa, Amerika Utara, dan Asia Pasifik.57
Diperkirakan
56.400 warga Suriah mendaftarkan diri mereka untuk mendapatkan status
pengungsi di 44 negara industri. Dua kali lipat dari angka pencari suaka di tahun
2012 (25.200) dan enam kali angka di tahun 2011 (8.500). Sedangkan di tahun
52
Brian Michael Jenkins, The Dynamics of Syria’s Civil War, diunduh pada 29 September 2015,
http://www.rand.org/content/dam/rand/pubs/perspectives/PE100/PE115/RAND_PE115.pdf ,hal.4 53
Ian Black, Sunni vs Shia: Why the conflict is more political than religious, The Guardian,
diakses pada 28 September 2015, http://www.theguardian.com/world/2015/apr/05/sunni-shia-why-
conflict-more-political-than-religious-sectarian-middle-east 54
Black, Sunni vs Shia: Why the conflict is more political than religious. 55
Lucy Rodgers, David Gritten, James offer dan Patrick Asare, Syria ; The Story of the Conflict,
BBC, diakses pada 25 Desember 2014, http://www.bbc.com/news/world-middle-east-26116868 56
Benedetta Berti , The Syrian Refugee Crisis: Regional and Human Security Implications, Vol:
17 No: 4, 2015, hal. 41 57
44 negara industrI adalah 28 anggota Uni Eropa , Albania, Bosnia dan Hergezovina, Iceland,
Liecthenstein, Montenegro, Norwegia, Serbia, Swiss, Macedonia, Turki, Australia , kanada,
Jepang, Selandia Baru, Korea, dan Amerika. (UNHCR, 2014)
25
2014 angka pencari suaka di 44 negara industri tersebut meraih angka tertinggi
dari kelompok tunggal sejak 1992 yaitu 149,600 jiwa.58
Sampai tahun 2014 lebih dari 200.000 jiwa dari populasi Suriah sekitar
22.000.000 jiwa telah tewas dalam konflik termasuk tewasnya 8.000 anak
dibawah umur 18 tahun.59
Di tahun 2015 situasi kemanusiaan semakin memburuk
dengan kekerasan dan konflik dari kekuatan pemerintah dan kelompok oposisi
bersenjata yang tiada henti. Konflik telah merusak dan menghancurkan fasilitas
yang ada di daerah padat penduduk. Jumlah warga yang membutuhkan bantuan
kemanusiaan di Suriah telah mencapai 12,2 juta pengungsi, sekitar 7,6 juta adalah
pengungsi di dalam negeri. Pengungsi asal Suriah adalah pengungsi terbesar
dengan lebih 4.08 juta pengungsi negara tetangga dan wilayah besar lainnya.60
Negara-negara perbatasan Suriah mendekati titik poin berbahaya, terutama
Lebanon dihuni dengan 1,2 juta pengungsi, bersama dengan Jordania yang
merupakan negara memiliki populasi pengungsi terbesar di dunia. Turki di tahun
2015 memiliki 1,9 juta populasi pengungsi asal Suriah, salah satu negara yang
memiliki jumlah pengungsi terbesar asal Suriah di dunia.61
Konflik yang berkepanjangan tersebut telah membuat situasi untuk
pengungsi Suriah dan masyarakat negara tuan rumah mereka mengalami
kesulitan. Pengungsi Suriah menghadapi ketegangan antara populasi masyarakat
58
Nicole Ostrand, The Syrian Refugee Crisis: A Comparison of Responses by Germany, Sweden,
The United Kingdom, and The United States, JMHS, Vol:3 No:3, New York, 2015. Hal. 257 59
Benedetta Berti , The Syrian Refugee Crisis, hal. 41 60
European Comission, “Humanitarian Aid and Civil Protection, Syria Crisis”, diunduh pada 1
april 2016, https://ec.europa.eu/echo/files/aid/countries/factsheets/syria_en.pdf 61
European Comission, “Humanitarian Aid and Civil Protection, Syria Crisis”
26
tuan rumah dan berjuang untuk mendapatkan kebutuhan dasar seperti keamanan,
makanan, dan tempat tinggal. Dengan situasi kemanusiaan yang disebabkan oleh
konflik Suriah semakin memburuk, pengungsi asal Suriah terus meningkat.62
Political Insecurity juga berdampak luas terhadap peluang ekonomi dan
lapangan kerja dan sejauh mana orang dapat memenuhi aspirasi mereka, yang
mana mempengaruhi keputusan seseorang untuk berpindah tempat. Dengan kata
lain, motivasi politik dan ekonomi saling berkaitan. Seperti yang dilakukan warga
Suriah dengan menjauh dari negaranya saat ini yaitu bukan hanya karena untuk
menghindari ancaman kekerasan dan melukai fisik mereka tetapi juga karena
lingkungan ekonomi yang semakin sulit untuk mencari nafkah.63
2.2 Karakteristik Pengungsi Suriah
Selanjutnya dalam bab ini juga akan menjelaskan mengenai karakteristik
demografi pengungsi Suriah yaitu berdasarkan usia, bahasa, melek huruf,
kelompok etnik, rural dan urban, agama, dan pendidikan. Pembahasan pertama
yaitu mengenai usia, data distribusi warga Suriah di Suriah berikut diperoleh dari
CIA pada tahun 2014 (lihat, Gambar 2.1) dimulai dari usia di bawah 15 tahun atau
0-14 tahun berkisar 33%, 20% berada diantara usia 15-24 tahun, 43% di usia 25-
64 tahun, dan yang terakhir hanya berkisar 3,9% diantara usia 65 tahun keatas.64
62
Nicole Ostrand, The Syrian Refugee Crisis. Hal. 257 63
Jessica Hagen-zanker, Richard Mallett, Journeys to Europe the role of policy in migran decision
–making, ODI Insight, London, 2016, diakses pada 25 April 2016,
https://www.odi.org/publications/10317-journeys-europe-role-policy-migran-decision-making ,
hal. 16 64
Citizenship and Immigration Canada, Population Profile : Syrian Refugees, diakses pada 26
agustus 2016, www.lifelinesyria.ca/wp-content/uploads/2015/11/EN-Syrian-Population-
Profile.pdf, hal.4
27
Gambar 2.1: Angka distribusi usia di Suriah
Sumber : CIA,2014
Populasi di Suriah 90% diduduki oleh etnis Arab, termasuk muslim dan
Kristen dan diikuti oleh Kurdi yang menempati etnis kedua terbesar di Suriah,
yaitu sekitar 10%. Dan masih ada banyak kelompok etnis kecil lainnya, seperti
Armenians dan Turkomans. Di Suriah identitas etnis dan bahasa sangatlah
mengikat. Bahasa sehari-hari yang digunakan yaitu arab, namun etnis seperti
kurdi, Armenian, dan Turkomans memiliki perbedaan, etnis kurdi menggunakan
bahasa kurdi, etnis Armenian menggunakan bahasa Armenian dan Turkomans
memiliki variasi bahasa yaitu turki dan arab. Pengungsi Suriah yang menetap di
luar negeri mendapatkan pelajaran bahasa yang sesuai dengan sekolah di negara
dimana mereka menetap. 65
65
Rochelle Davis, Refugees from Syria, Cultural Orientation Resource center, United States
Departmen, diakses pada 17 agustus 2016, www.teslontario.net/uploads/news/Refugees
fromSyriabackgrounderCulturalOrientationReso.pdf . hal. 4
28
Melek huruf atau Literacy di Suriah merupakan tujuan utama pemerintah
sebelum adanya konflik di Suriah. Dan hasilnya 84% populasi adalah melek huruf
(90% adalah laki-laki dan 77% adalah perempuan). Selain itu mayoritas agama di
Suriah yaitu Islam dengan angka populasi 87%, termasuk 74% adalah muslim
sunni dan 13% adalah Alawi, Ismaili, dan muslim Syiah dan 10% kristian.66
Penduduk Suriah juga memiliki perbedaan bagi warga yang tinggal di desa
dan di kota. Empat kota terbesar yang ada di Suriah yaitu di Damascus, Aleppo,
Hama dan Homs. Kemakmuran yang dimiliki oleh kota-kota besar sangatlah
kontras berbeda dengan di desa. Rezim Suriah selama 25 tahun terakhir
mengarahkan sumber dayanya cenderung kepada daerah kota, sehingga daerah
desa menjadi tertinggal. Sebagai akibatnya, imigran atau pengungsi yang berasal
dari daerah pedesaan memiliki tingkat edukasi yang rendah. Membahas mengenai
edukasi, berdasarkan data dari Cultural Orientation Resource Center 72% warga
Suriah terdafar di sekolah menengah (secondary school). Namun, di tahun 2013,
banyak sekolah yang hancur akibat peperangan dan juga tenaga pengajar semakin
berkurang. Di dunia Arab, Suriah dikenal dengan memiliki keahlian di bidang
konstruksi dan buruh kasar lainnya, medis, dan jasa. Sebelum perang terjadi,
banyak warga Suriah merupakan tenaga professional seperti dokter, birokrat,
guru, dosen universitas, pekerja sosial dan lainnya.67
Patrycja Sasnal mengatakan bahwa pengungsi Suriah yang telah datang ke
Eropa dalam dua tahun terakhir adalah warga yang memiliki kekayaan di Suriah,
66
Citizenship and Immigration Canada, Population Profile : Syrian Refugees, hal.5 67
Rochelle Davis, Refugees from Syria, hal. 3-4
29
yang sebelumnya bekerja di luar sektor pertanian (jasa, perdagangan, konstruksi,
pelayanan kesehatan, pendidikan, dll), berpendidikan, aktif secara ekonomi dan
terbiasa dengan kesetaraan gender.68
Berbeda dengan pengungsi Suriah yang
dahulu hidup di daerah pedesaan dan bekerja di sektor pertanian, mereka
cenderung memilih menetap di negara tetangga seperti Turki dan Jordania karena
ketidakmampuan mereka untuk bermigrasi lebih jauh lagi ke Eropa.69
Hal ini juga
dibuktikan bahwa pada akhir tahun 2015 pengungsi asal Suriah yang tiba di
Munich banyak berusia 20-30 tahun dan memiliki berbagai kualifikasi yang
mengesankan dan sering dikombinasikan dengan kompetensi berbahasa Eropa.70
Perang yang terus menerus berlangsung di Suriah telah mengakibatkan
banyaknya korban jiwa dan semakin memburuknya situasi kemanusiaan di Suriah.
Hal tersebut membuat banyak warga Suriah memilih menjadi pengungsi.
Karakteristik penduduk Suriah juga berkaitan dengan apa saja latar belakang dari
pengungsi Suriah yang hadir di Jerman.
2.3 Cara Pengungsi Bermigrasi ke Jerman
Meningkatnya angka pengungsi dan migran menjadi peluang para pengungsi
dalam upaya memaksakan kehendak mereka untuk tiba di Eropa dengan menaiki
kapal yang tidak layak dan perahu kecil atau sekoci. Sebagian besar dari mereka
68
Patrycja Sasnal, Who Are They? Two Profiles of Syrian Refugees, The Polish Institue of International Affairs, No. 36 (138), 2015, diakses pada 1 Februari 2017, https://www.pism.pl/files/?id_plik=20798 ,hal.1 69
Sasnal, Who Are They? Two Profiles of Syrian Refugees, hal. 2 70
Thembisa Fakude, Germany Efforts to Resolve the Refugee Crisis, Al-Jazeera Report Document, diakses pada 16 November 2015, http://studies.aljazeera.net/mritems/Documents/2015/11/16/20151116121013713580Germany.pdf
hal.4
30
yang melintasi jalur berbahaya adalah orang yang membutuhkan perlindungan
internasional, melarikan diri, kekerasan dan penganiayaan dari negara asal
mereka.71
Jerman menjadi negara tujuan utama di Eropa bagi para migran dan
pengungsi.72
Pada tahun 2015 pada 11 bulan pertama, 964,574 pencari suaka baru
hadir di Jerman dan mayoritas melalui Laut Mediterrania. Angka pendatang di
tahun 2015 empat kali lebih banyak dibandingkan total pendatang di tahun 2014.
Pendatang atau pencari suaka yang hadir di Jerman membuat Jerman merupakan
negara paling diminati di Eropa bagi orang yang melarikan diri, mengalami
penindasan, dan penderitaan di Timur tengah, Asia, dan Afrika.73
Sejak Perang Dunia ke-2, Laut mediterrania merupakan jalur bagi para
pengungsi dan migran.74
Satu juta pengungsi dan migran telah melakukan
perjalanan berbahaya melalui Laut Meditteranian menuju Eropa di tahun 2015.
Mayoritas atau sekitar 850.000 migran melakukan perjalanan melalui Laut
Aegean dan Dodecanese. Gerakan ini termasuk salah satu gerakan terbesar
pengungsi melalui perbatasan Eropa sejak Perang Dunia ke-2. Mayoritas
71
UNHCR, “Refugees/migrans Emergency Response – Mediterranian”, diakses pada 27 Juli 2016,
http://data.unhcr.org/mediterranean/regional.php 72
IOM, “Migration, Asylum, and Refugees in Germany”, Global Migration Data Analysis Centre
Data Briefing Series, 1 Januari 2016, diunduh pada 4 juni 2016,
http://iomgmdac.org/migration_asylum_and_refugees_in_germany/ 73
The Guardian, “Germany on course to accept one million refugees in 2015”, diakses pada 28
April 2016 https://www.theguardian.com/world/2015/dec/08/germany-on-course-to-accept-one-
million-refugees-in-2015 74
Timothy G.Hammond, The Mediterranean Migration Crisis, diakses pada 12 Agustus 2016,
http://www.foreignpolicyjournal.com/2015/05/19/the-mediterranean-migration-crisis/
31
pengungsi atau migran berasal dari war-torn countries yang mana Turki menjadi
tujuan utama untuk melintasi laut dengan perahu.75
Pada pertengahan April 2015, tidak sedikit pengungsi yang gagal dalam
perjalanannya menuju Eropa. Dilaporkan bahwa 800 jiwa tewas tercatat sebagai
kecelakaan kapal pengungsi terbesar. Tragedi tersebut membuat krisis pengungsi
semakin menjadi perhatian dunia, dan mendorong Uni Eropa meluncurkan
serangkaian pertemuan untuk meningkatkan respon bersama terkait krisis
pengungsi.76
Banyak pengungsi dan migran yang melalui jalur “eastern mediterranian
route” dari Turki menuju Yunani. Lebih dari 85% yang tiba di Yunani adalah
negara yang mengalami perang dan konflik, terutama Suriah, Afganistan, Irak,
dan Somalia. Dari Yunani kemudian melanjutkan perjalanan melalui Balkan
untuk menuju barat dan utara Eropa. Angka pengungsi dan migran yang
memasuki western Balkan dari Yunani secara dramatis meningkat di awal Juni
2015, dengan 1000 orang memasuki wilayah setiap harinya. Mereka menghadapi
tantangan kemanusiaan dan perlindungan yang serius terkait kesulitan mereka
dalam melakukan perjalanan, diantaranya yaitu perilaku penyelundup, geng
kriminal, dan juga meningkatnya kebijakan suatu negara untuk melakukan
penjagaan ketat bagi suatu perbatasan.77
75
UNHCR, Regional Refugee and Migran Response Plan for Europe, Eastern Meditteranian and
Western Balkans Route 2016, diunduh pada 1 juni 2016,
http://www.unhcr.org/partners/donors/570669806/regional-refugee-migran-response-plan-europe-
january-december-2016-19.html . hal.8 76
UNHCR, “The Sea Route to Europe: Mediterranian Passage in the age of Refugees”, diunduh
pada 18 April 2016, http://www.unhcr.org/5592bd059.pdf , hal. 2 77
UNHCR, “The Sea Route to Europe: Mediterranian Passage in the age of Refugees”, hal. 3
32
Sebagian besar migran dan pengungsi yang melakukan perjalanan menuju
Eropa tidak memiliki niat untuk bertahan di negara pertama mereka tiba seperti
Turki atau Yunani, negara-negara tersebut hanya menjadi negara transit untuk
mencapai negara tujuan utama mereka di Eropa yang lebih menerima dan
memperlakukan mereka dengan baik. Jerman dan Swedia sebagai negara yang
ditempati oleh angka pengungsi Suriah terbesar di Eropa. Sejak tahun 2014, 60%
dari semua data pengungsi dan migran yang melalui jalur laut berasal dari Suriah.
Hingga tahun 2015 pengungsi yang berasal dari Suriah merupakan angka
pengungsi terbesar di dunia.78
Gambar 2.2 : Peta Perpindahan Pengungsi Asal Suriah
78
Timothy G.Hammond, “The Mediterranean Migration Crisis”.
33
Sumber: www.buzzfeed.com
Perjalanan awal yang dipilih oleh beberapa pengungsi Suriah untuk tiba di
Jerman adalah datang ke Kota Izmir di Turki sebelum melakukan perjalanan
melewati laut untuk tiba di Eropa. Setelah meninggalkan Turki para pengungsi
melanjutkan perjalanan melalui Yunani dengan perahu tiup melintasi laut Aegean
dari pantai Turki menuju pulau Kos di Yunani, setelah tiba di Kos, para pengungsi
menaiki kapal feri dengan estimasti perjalanan 10 jam untuk mendarat di
pelabuhan Piraues Yunani.79
Selain itu setelah tiba di Piraues banyak pengungsi melanjutkan ke Utara
untuk perbatasan Yunani yaitu menuju Kota Idomeni untuk tiba di Macedonia.
Setelah berada di Macedonia perjalanan berikutnya yaitu ke Serbia. Sejak awal
tahun 2015 ribuan migran telah menyebutnya “Balkans Route”.80
Setelah sampai
di Serbia, ibu kota Serbia yaitu Belgrade sering digunakan sebagai tempat
beristirahat. Perjalanan selanjutnya Budapest yaitu Hungaria, Hungaria
meningkatkan hukuman untuk penyebrangan perbatasan illegal sehingga
menimbulkan bentrokan antara polisi dengan pengungsi. Namun, ribuan
pengungsi menuntut untuk tetap bisa melanjutkan perjalanan mereka. 81
Perjalanan berikutnya yaitu Austria dan Jerman yang merupakan tujuan
utama dari perjalanan para pengungsi. Para pengungsi mengungkapkan rasa lega
79
Dana Regev, “A perilous trek: Refugees Journey from Syria to Germany,” DW, diakses pada 28
juli 2016, http://www.dw.com/en/a-perilous-trek-refugees-journey-from-syria-to-germany/g-
18696817. 80
“Balkans Route” as the people who entered the EU in Greece tried to make their way via the
former Yugoslav Republic of Macedonia, Serbia into Hungary and Croatia and then towards to
Western Europe. Diambil dari Frontex, “Western Balkan Route”, diakses pada 27 Juli 2016,
http://frontex.europa.eu/trends-and-routes/western-balkan-route/ 81
Regev, “A perilous trek: Refugees Journey from Syria to Germany”
34
telah meninggalkan Hungaria karena hungaria dijalankan oleh Viktor Orban yang
merupakan perdana menteri anti-immigran right-wing government. Berbeda
dengan Jerman, Jerman memberikan sambutan hangat kepada para migran.82
Banyak rintangan yang dilalui oleh para migran demi melanjutkan hidupnya di
negara yang menyediakan perlindungan untuk mereka.
2.4 Pengungsi Suriah di Jerman
Sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya, Jerman merupakan negara
tujuan utama di Eropa bagi para migran dan pengungsi (lihat, Gambar 2.4).
Selama tahun 2015, lebih dari satu juta migran dan pengungsi tiba di Jerman.
Pengungsi asal Suriah adalah kelompok terbesar yang memberikan permohonan
suaka di Jerman.83
Tahun 2015 menjadi tahun kedatangan terbesar bagi Jerman
dan sekitar lima kali lebih besar dibandingkan dengan tahun 2014.84
Diantara
tahun 2012 dan 2014 Jerman menerima 61.885 aplikasi suaka Suriah. Di tahun
2014 sendiri, Jerman menerima 41.100 aplikasi pencari suaka Suriah. Selain itu
Suaka yang telah diberikan Jerman terhadap warga Suriah menduduki angka
terbesar (39.965)(lihat,Tabel 2.3) dibandingkan dengan negara Uni Eropa lainnya
dari tahun 2012 sampai dengan tahun 2014.85
Tabel 2.3 : Jumlah aplikasi suaka dan status suaka Suriah 2012-2014
82
Regev, “A perilous trek: Refugees Journey from Syria to Germany”. 83
IOM, “Migration, Asylum, and Refugees in Germany”. 84
Aljazeera, “Germany Registers record 1.1 million asylum seekers in 2015”, diakses pada 5 juni
2016
http://america.aljazeera.com/articles/2016/1/6/refugees-germany-more-than-1million.html 85
Nicole Ostrand, The Syrian Refugee Crisis, hal. 269
35
Sumber : Journal on Migration, Nicole Orstrand.
Gambar 2.4: Jumlah klaim suaka di Uni Eropa
Sumber : Eurostat, http://ec.europa.eu/eurostat
36
Sedangkan pada tahun 2015, seperti yang telah terdaftar dalam EASY
sistem Jerman, pencari suaka mengalami pelonjakan yang begitu tajam.
Kelompok Suriah menduduki posisi utama dengan jumlah 428,468, kelompok
kedua terbesar oleh Afghanistan dengan 154,046, diikuti dengan negara lainnya
yaitu Irak (121,662), Albania (69,426), dan Kosovo (330,496).(lihat, Gambar
2.5)86
Gambar 2.5 : Negara asal utama yang terdaftar di EASY tahun 2015
Sumber : Global MigrationData AnalysisCentre (GMDAC)
International Organization for Migration (IOM)
Ada beberapa faktor yang membuat pengungsi Suriah memilih Jerman
sebagai negara tujuan utama. Yang pertama, Pengungsi Suriah pada awalnya
melarikan diri ke negara tetangga yang dekat dengan negaranya yang mana hanya
melalui perbatasan agar dapat tetap dekat dengan rumah dan mata pencahariannya
dan memiliki harapan untuk segera dapat kembali ke negaranya, namun konflik
86
IOM, “Migration, Asylum, and Refugees in Germany”.
37
yang tidak kunjung usai membuat para pengungsi meninggalkan harapan
tersebut.87
Kedua, pemerintah di Suriah tampak mempermudah warga Suriah untuk
melakukan perjalanan. Karena seperti yang dilansir oleh Washington post
pemantau di Suriah curiga bahwa pemerintah sengaja meningkatkan arus
pengungsi baik ke negara tetangga maupun Eropa sebagai strategi untuk
mengosongkan penduduk yang berpotensi menjadi lawan dari pemerintah.88
Ketiga, Jutaan pengungsi Suriah mayoritas memilih tempat pertama untuk
perlindungan yaitu negara tetangga seperti Lebanon, Jordan, Turki, Mesir dan
irak. Namun, banyak pengungsi mengalami pengusiran dari tempat mereka
singgah, karena mereka harus membayar biaya sewa meski tinggal dalam ruang
yang sempit dan ramai. Hal tersebut juga dipicu karena di banyak negara tetangga,
pengungsi tidak diperbolehkan masuk ke pasar tenaga kerja. Seperti yang terjadi
di Lebanon, mereka dipaksa untuk menandatangani untuk tidak bekerja jika
mereka ingin memperbaharui status tempat tinggal mereka. Dengan tidak adanya
pemasukan, banyak pengungsi yang tidak mampu untuk membayar sewa sehingga
dipaksa untuk pergi.89
Yang keempat, bantuan internasional untuk membantu pengungsi seperti
UNHCR masih tidak cukup menangani peningkatan yang terjadi terhadap
87
UNHCR’s Melissa Fleming, Six Reasons why Syrians are fleeing to Europe in increasing
numbers, The Guardian, diakses pada 1 Juni 2016, https://www.theguardian.com/global-
development-professionals-network/2015/oct/25/six-reasons-why-syrians-are-fleeing-to-europe-
in-increasing-numbers 88
Liz Sly, “8 reasons Europe’s refugee crisis is happening now,” Washington Post, diakses pada
28 Juli 2016, https://www.washingtonpost.com/news/worldviews/wp/2015/09/18/8-reasons-why-
europes-refugee-crisis-is-happening-now/ 89
Flemming, Six Reasons why Syrians are fleeing to Europe in increasing numbers.
38
pengungsi Suriah. Anak-anak sudah terlalu lama tidak mendapatkan edukasi. Di
Jordania, Mesir, Lebanon dan Turki tidak semua kesempatan didapatkan oleh
anak-anak Suriah. Seperti di Jordania, 90.000 anak-anak Suriah tanpa edukasi
formal dan 20% telah meninggalkan sekolah dengan alasan untuk bekerja. Dan
yang terakhir yaitu gambaran di televisi dan media sosial bahwa beberapa negara
di Eropa terbuka dengan pengungsi.90
Jerman menjadi salah satu negara yang
dianggap “heroic” karena menerima mayoritas dari pencari suaka yang hadir di
Uni Eropa dengan tangan terbuka ketika beberapa pemerintah negara Eropa
lainnya melanjutkan untuk memperketat jalur perbatasan dan menekankan para
pengungsi untuk kembali lagi ke negara tetangga..91
Selain itu para pengungsi
juga melihat negara tersebut lebih aman, dan lebih memiliki prospek kerja dan
edukasi yang lebih baik 92
Menurut Bertelsmann Stiftung bahwa warga Jerman semakin merasa
nyaman dengan gagasan “Germany is becoming a country of immigrans” terutama
di bekas Jerman Barat. Di bulan juli 2015, ketika arus masuk pencari suaka
sangatlah meningkat, menurut survei 80% mengemukakan bahwa Jerman
seharusnya menerima pencari suaka yang mengalami penindasan politik maupun
agama, 93% memberi keterbukaan atas datangnya orang yang berupaya melarikan
diri dari perang atau konflik sipil. Dan bahkan dalam penelitian terbaru tingkat
90
Flemming, Six Reasons why Syrians are fleeing to Europe in increasing numbers. 91
Rossalyn Warren, “why are refugees going to germany and will they stay?,” Buzzfeed, diakses
pada 15 Juli 2016, http://www.buzzfeed.com/rossalynwarren/why-are-refugees-going-to-germany-
and-will-they-stay 92
Flemming, Six Reasons why Syrians are fleeing to Europe in increasing numbers.
39
rata-rata dukungan menerima pencari suaka yang disiksa atas dasar politik
berkisar 94%.93
Berbeda dengan bekas Jerman Barat, bekas Jerman Timur yaitu di kota
Dresden memiliki kontra dengan datangnya para pengungsi ke Jerman. Menurut
Werner Patzelt, salah satu gerakan anti-immigran atau far-right yaitu PEGIDA
yang didukung oleh Alternative for Germany Party (AfD) tersebut akan membuat
kekhawatiran tersendiri bagi para pengungsi meskipun mereka menyebut gerakan
tersebut non-violent movement.94
Koalisi Far-right ini telah menyetujui deklarasi
bersama yang berisikan bahwa mereka berkomiten untuk menentang imigrasi di
Jerman, terutama “political Islam” yang dipercaya oleh mereka sebagai musuh
bagi Eropa. Oleh karena itu, PEGIDA sangat mengkritik “welcoming refugees”
yang merupakan kebijakan dari kanselir Angela Merkel.95
Di sepanjang tahun 2015 PEGIDA telah melakukan serangkaian
demonstrasi di berbagai kota di Jerman seperti di Leipzig, Munich, Hanover, dan
tentunya Dresden yang mana merupakan pusat dari gerakan tersebut.96
Bahkan
tidak hanya ada di kota-kota Jerman, PEGIDA movement ini juga memperluas
93
Matthias Mayer, Germany’s Response to the Refugee Situation: Remarkable Leadership or fait
accompli?, Bertelsmann foundation, 2016, diunduh pada 28 agustus 2016,
http://www.bfna.org/publication/newpolitik/germanys-response-to-the-refugee-situation-
remarkable-leadership-or-fait-accompli 94
Matthew Bell, “Germany’s refugee crisis is fueling the far-right pegida movement”, diakses
pada 27 agustus 2016, http://www.pri.org/stories/2015-12-10/germany-s-refugee-crisis-fueling-
far-right-pegida-movement 95
RT, “Fortres Europe: PEGIDA to be joined by 14 anti-Islam allies for mass February Protests”,
diakses pada 29 agustus 2016, https://www.rt.com/news/330075-pegida-coalition-mass-protest/ 96
BBC, Why are thousands od Germans protesting and who are Pegida?, diakses pada 28 agustus
2016, www.bbc.co.uk/newsbeat/article/30694252/why-are-thousands-of-germans-protesting-and-
who-are-pegida
40
jaringannya hingga ke beberapa negara seperti di Irlandia, Inggris, Belanda, dan
Austria dengan melakukan protes anti-Islamisation PEGIDA-style.97
Setelah menjelaskan mengenai karakteristik pengungsi Suriah, kronologis
konflik yang terjadi, perjalanan para pengungsi untuk tiba di negara yang dituju
yaitu Jerman, jumlah pengungsi dari tahun ke tahun yang berada di Jerman, dan
beberapa faktor mengapa pengungsi Suriah memilih untuk mencari suaka di
wilayah Eropa beserta respon dari penduduk Jerman terkait kebijakan yang telah
diambil Jerman. Maka, pada bab berikutnya akan menjelaskan mengenai
Kebijakan Luar Negeri Jerman untuk mengetahui lebih lanjut mengenai apa
langkah kebijakan yang telah diambil Jerman terkait pengungsi sehingga Jerman
menjadi negara tujuan utama mayoritas pengungsi Suriah.
97
Corey Charlton dan Anthony Joseph, A World Divided: Violent clashes break out across the
globe as thousands take to the streets in anti-Islam protests organized by far-right group PEGIDA,
Daily Mail, diakses pada 28 agustus 2016, http://www.dailymail.co.uk/news/article-3435093/A-
world-divided-Violent-clashes-break-globe-thousands-streets-anti-Islam-protests-organised-far-
right-group-PEGIDA.html
41
BAB III
KEBIJAKAN LUAR NEGERI JERMAN TERHADAP PENGUNGSI
Bab ini bertujuan untuk menjelaskan mengenai kebijakan luar negeri
Jerman dalam menghadapi krisis pengungsi yang mengalami pelonjakan tajam
sejak tahun 2015 jika dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, kemudian
menjelaskan sejarah masuknya pengungsi di Jerman, dan dilanjutkan dengan awal
mula kebijakan luar negeri Jerman secara umum serta menjelaskan kebijakan luar
negeri Jerman yang lebih spesifik yaitu terhadap pengungsi Suriah.
3.1 Sejarah Masuknya Imigran/Pengungsi di Jerman
42
Tindakan Jerman yang membuka lebar pintu untuk hadirnya pengungsi di
negaranya menjadi pembahasan yang layak untuk dikaji karena posisi Jerman
sentral dalam geopolitik dan ekonomi di Eropa.98
Pasca-Perang Dunia ke-2,
Jerman telah tumbuh menjadi salah satu negara di Eropa yang menjadi tujuan
utama bagi jutaan orang yang mengungsi dari negaranya, baik berasal dari dataran
Eropa selatan maupun timur.99
Bahkan, wilayah Jerman pasca Perang Dunia ke-2
dihuni oleh sembilan juta pengungsi yang terdiri dari 20 kewarganegaraan yang
berbeda.100
Pada masa berdirinya tembok Berlin (1961-1989), 2,7 juta jiwa
berimigrasi dari German Democratic Republic (GDR) ke Federal Republic of
Germany (FDR). Angka pengungsi mencapai puncak pertama di tahun 1979-1981
yaitu dengan total 200.000 pengungsi di Federal Republic of Germany (FDR).
Penyebab utama dari meningkatnya pengungsi pada masa itu adalah kudeta
militer di Turki 1980 (dimana kondisi ekonomi Turki nyaris bangkrut dan ribuan
warga terbunuh) dan declaration of martial law in Poland 1981 (dimana terjadi
tindakan keras oleh kalangan militer pada warga negara Polandia).101
Menjelang akhir tahun 1970 pemerintahan federal dan negara bagian telah
mencoba membatasi jumlah klaim suaka. Percobaan tersebut sempat membuat
Jerman tidak lagi menjadi daya tarik bagi pengungsi pada masa 1970 sampai akhir
1980. Namun pada tahun 1988 permohonan dari pencari suaka kembali mencapai
98
Anna Myunghee Kim, “Foreign Labour Migration and the Economic Crisis in the EU: Ongoing
and Remaining Issues of the Migran Workforce in Germany”, Institute for the Study of Labor
Document IZA Germany, 5134, 8, 2010. Hal. 2 99
Anna Myunghee Kim, “Foreign Labour Migration and the Economic Crisis in the EU”. 100
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 4 101
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 4
43
angka tertinggi dibandingkan tahun sebelumnya dan menjadi awal pelonjakan
angka pemohon pencari suaka di tahun berikutnya (lihat, Gambar 3.1).102
Gelombang migrasi berikutnya terdiri dari orang-orang mantan blok
Soviet. Selama periode pasca-sosialis (1991-1999) tersebut, Jerman muncul
kembali sebagai negara tujuan utama bagi hampir tiga juta pendatang baru yang
mencakup dua juta etnis Rusia, dan ratusan bahkan ribuan pengungsi dari Eropa
Timur.103
Christian Jopke pada tahun 1999 mengamati bahwa respon luar biasa
dari pemerintah untuk imigrasi Jerman pasca perang merupakan desakan terus-
menerus pada landasan kebijakan konsepsi identitas nasional yang didefinisikan
oleh suatu model yaitu, "tanah imigrasi”.104
Pada tahun 2001 sebuah komisi
imigrasi independen mendeklarasikan bahwa “Germany needs Immigrans”. Hal
tersebut menjelaskan bahwa Jerman sesungguhnya merupakan tanah imigrasi
untuk jangka waktu yang panjang.105
Banyak pengungsi yang tertarik untuk mendatangi Jerman dipengaruhi
oleh masa lalu dimana pemerintah Jerman pernah memiliki kebijakan pada tahun
1960 yaitu terbuka terhadap tenaga kerja asing dengan memberikan bantuan luar
negeri dengan format “3 R’s of recruitment, remittances, and returns”. Bantuan
tersebut digunakan untuk merekrut tenaga kerja yang tidak memiliki pekerjaan
dan mengurangi pengangguran di Eropa Selatan, remittances mereka dapat
memasok beberapa modal yang dibutuhkan untuk pembangunan ekonomi, dan
102
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 5 103
Anna Myunghee Kim, “Foreign Labour Migration and the Economic Crisis in the EU”, hal. 4 104
Klusmayer dan Papademetrion, “Immigration Policy in the Federal Republic of Germany,
Negotiating membership and remaking the nation”, hal. Xii introduction 105
Klusmayer dan Papademetrion, “Immigration Policy in the Federal Republic of Germany,
Negotiating membership and remaking the nation”, hal. xiv introduction
44
returns dimaksudkan ketika pekerja telah selesai bekerja di Jerman dan ingin
kembali ke negaranya, mereka telah memperoleh pengalaman dan menjadi
pekerja yang produktif.106
Kebijakan tersebut juga bisa disebut dengan sistem
Guest-Workers yang mana menerima lebih dari satu juta 'pekerja tamu'. Sejak saat
itu ekonomi mengalami surplus tenaga kerja di Mediterania Eropa.107
Meskipun
sistem Guest Workers tersebut dihentikan pada tahun 1973, pendatang asing justru
datang ke Jerman secara terus-menerus.108
Saat ini keputusan pemerintah Jerman untuk membuka peluang bagi
pengungsi masih tetap berlangsung, bahkan Jerman semakin terbuka dengan
kehadiran imigran dari tahun ketahun. Maka, akan dijelaskan lebih lanjut
mengenai kebijakan luar negeri Jerman terkait pengungsi dan apa yang mendasari
kebijakan tersebut dikeluarkan.
3.2 Kebijakan Luar Negeri Jerman Terhadap Pengungsi
Berangkat dari pengalaman pada masa Perang Dunia ke-2 yang
menghasilkan jutaan pengungsi internasional, hal itu menciptakan reaksi bagi
dunia internasional terkait pengungsi, sehingga pada 10 Desember 1948 Majelis
Umum PBB mengadopsi dan memproklamirkan deklarasi universal HAM
khususnya pada artikel 14 yang berbunyi “everybody has the right to seek and to
enjoy in other countries asylum from persecution”.109
Selain itu, pada masa
bersamaan, International Refugee Law yang didasari oleh Geneva Convention
106
Phillip. L, Martin, Germany: Managing Migration in the 21st Century, Working paper CIIP-1,
University of California, 2002, diakses pada 3 Agustus 2016,
http://ies.berkeley.edu/pubs/workingpapers/CIIP-1-PLM_Germany.pdf , hal. 8 107
Anna Myunghee Kim, “Foreign Labour Migration and the Economic Crisis in the EU”, hal. 4 108
Phillip. L, Martin, Germany: Managing Migration in the 21st Century, hal. 11
109 IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, Hal. 2
45
relating to the Status of Refugees juga menjadi subjek penting terkait isu
pengungsi tersebut. Elemen penting yang ada pada konvensi tersebut adalah
definisi “refugee” dan prinsip non-refoulment, yang melarang pengembalian
orang ke negara dimana dia memiliki alasan ketakutan atas penganiayaan (Geneva
Convention, Article 33).110
Hingga saat ini Geneva Convention 1951 tersebut
menjadi legal obligation bagi 144 negara yang ikut menyetujuinya untuk
melindungi mereka, dimana Jerman termasuk salah satu dari negara yang
menandatangani.111
Saat ini interpretasi dari konvensi tersebut telah mengalami perubahan,
karena adanya perluasan ruang lingkup, diantaranya penambahan “penganiayaan”
yang berasal dari non-state actors, dan juga “penganiayaan” pada gender
tertentu.112
Oleh sebab itu, disamping persetujuan internasional, ada ketetapan
baru seperti European Legal Provisions atau disebut dengan European Union Law
dalam bidang kebijakan suaka. Persetujuan internasional tersebut telah diadopsi
oleh banyak negara menjadi regulasi nasional mereka sebagai bentuk
perlindungan bagi para pengungsi, sebagaimana yang telah dilakukan oleh
pemerintah Jerman sesuai dengan artikel 16 konstitusi Jerman.113
The right to political asylum di Jerman didasarkan pada German Basic
Law artikel 16 yang mana memberikan hak suaka secara individu terhadap korban
110
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 2 111
UNHCR, The 1951 Refugee Convention, diakses pada 8 agustus 2016,
http://www.unhcr.org/1951-refugee-convention.html 112
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 2 113
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 2
46
penyiksaan secara politik.114
Pengusiran dan melarikan diri dari lingkup yang
berbahaya menjadi penyebab utama dari migrasi. Seperti yang pernah dialami
banyak warga Jerman yang terpaksa meninggalkan negaranya yang berada
dibawah kediktatoran nazi (national-socialist).115
Hal tersebut berkaitan dengan
keputusan untuk menetapkan hak untuk suaka sebagai hak konstitusional 1949
karena faktanya bahwa banyak negara Eropa tidak memberikan perlindungan
pengungsi terhadap teror national-socialist.116
Maka Jerman akan terus memenuhi
kewajiban kemanusiaannya terhadap orang yang membutuhkan perlindungan dan
didasari atas konvensi PBB terhadap pengungsi dan hak untuk suaka yang
tercantum di German Basic Law.117
Selain itu, Konvensi Dublin juga menjadi dasar kebijakan Jerman terkait
pengungsi karena seluruh anggota Uni Eropa ikut menyetujuinya. Diawali dengan
“Schengen Agreement” yang mana berisi mengenai penghapusan perbatasan
internal, dan menyelaraskan regulasi untuk perizinan visa.118
Dapat dikatakan
Schengen Agreement ini merupakan kesepakatan dimana negara Schengen sepakat
dengan ketiadaan perbatasan internal dan membagi perbatasan eksternal bersama,
maka sudah menjadi kewajiban negara Schengen untuk bertanggung jawab
114
Barbara Laubenthal, Refugees Welcome? Federalism and Asylum policies in Germany, Fieri
Working papers, University of Konstanz, 2015, diakses pada 28 Agustus 2016, http://fieri.it/wp-
content/uploads/2015/09/laubenthal_wp_asylum_final_03.09.2015.pdf , Hal.5 115
Federal Ministry of the Interior, Migration and Integration: Residence Law and policy on
migration and integration in Germany 2014, diakses pada 1 september 2016,
https://www.bmi.bund.de/SharedDocs/Downloads/EN/Broschueren/2014/migration_and_integrati
on.pdf?__blob=publicationFile , hal. 12 116
Barbara Laubenthal, Refugees Welcome? Federalism and Asylum policies in Germany, Hal.5 117
Federal Ministry of the Interior, Migration and Integration: Residence Law and policy on
migration and integration in Germany, hal. 12 118
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, Hal.6
47
mengontrol keamanan wilayah perbatasan eksternal negara Schengen .119
Namun,
dengan lebih memperketat dalam mengontrol perbatasan eksternal, perbatasan
eksternal masih terbuka untuk orang yang datang bekerja ataupun pengungsi yang
mengalami perang atau penganiayaan.120
Pada tahun 1990 sebuah konvensi
mengimplementasikan bahwa schengen agreement adalah titik awal untuk
menghubungkan kebijakan pengawasan imigrasi, bersamaan dengan pengungsi
dan pencari suaka, konvensi ini disebut dengan Konvensi Dublin.121
Konvensi Dublin 1990 ini merupakan prinsip fundamental anggota Uni
Eropa yang mana merupakan titik balik dalam pengembangan kebijakan Uni
Eropa.122
Konvensi ini memiliki dua tujuan utama yaitu menetapkan sebuah
kerangka bersama untuk menentukan negara mana di Uni Eropa yang memberi
keputusan permohonan pencari suaka dan memastikan bahwa hanya ada satu
negara anggota yang harus memproses setiap permohonan suaka.123
Prinsip ini
dimaksudkan untuk mencegah pengungsi dari mengajukan permohonan suaka di
beberapa negara Uni Eropa, jadi, pengungsi hanya diperbolehkan mengajukan
119
European Commission, Schengen Agreement, diakses pada 6 September 2016,
http://ec.europa.eu/dgs/home-affairs/e-
library/docs/schengen_brochure/schengen_brochure_dr3111126_en.pdf , Hal. 8 120
European Commission, Schengen Agreement, Hal. 8 121
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 6 122
Steffen Angenendt, Marcus Engler, dan Jan Schneider, European Refugee Policy: Pathways to
Fairer Burden-Sharing, German Institute for International and Security Affairs, 2013, diakses
pada 3 September 2016, https://www.swp-
berlin.org/fileadmin/contents/products/comments/2013C36_adt_engler_schneider.pdf , Hal. 1 123
Refugee Council, The Dublin Convention on asylum applications: What it means and how it’s
supposed to work, diakses pada 2 September 2016,
https://www.refugeecouncil.org.uk/assets/0001/5851/dublin_aug2002.pdf
48
permohonan di satu negara dan untuk mencegah negara melepaskan tanggung
jawab mereka dan memberikannya kepada negara lain.124
Pada tahun 1992 ketika dimulainya Perang Bosnia dan Herzegovina dan
kemudian berakhir di tahun 1995 dengan perjanjian Dayton, Jerman telah
memberikan tempat tinggal sementara (temporary residence) atas dasar
kemanusiaan sekitar 345.000 pengungsi Bosnia, jumlah terbesar dibandingkan
dengan negara Eropa lainnya.125
Namun, dengan melonjaknya pengungsi di tahun
1992, munculah peningkatan iklim politik pembatasan terhadap suaka. Ketetapan
legal yang murah hati di Jerman dibatasi dengan amandemen artikel 16 German
Basic Law dan dengan memperkenalkan pasal artikel 16 (2) “that restricted the
scope of protection for asylum-seekers by excluding those entering via “safe”
third states”. bahwa dibatasi lingkup perlindungan untuk pencari suaka oleh
pegecualian mereka yang masuk melalui “safe” third states.126
Berdasarkan
German Law, Safe third states adalah negara yang menjamin perlindungan
kemanusiaan sesuai dengan konvensi pengungsi Jenewa dan konvensi Eropa
terhadap HAM.127
124
Angenendt, Engler, dan Schneider, European Refugee Policy: Pathways to Fairer Burden-
Sharing, Hal. 1 125
Federal Ministry of the Interior, Migration and Integration: Residence Law and policy on
migration and integration in Germany ,hal. 19 126
Barbara Laubenthal, Refugees Welcome? Federalism and Asylum policies in Germany, Hal.5 127
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, Hal. 5
49
Gambar 3.1 Angka Permohonan Pencari Suaka di Jerman sejak tahun 1970
Sumber: Federal Office for Migration and Refugees, 2014
Angka pencari suaka tertinggi di Jerman terjadi pada tahun 1992 (lihat,
Gambar 3.1) dan pada tahun berikutnya mengalami penurunan hingga angka
terendah di tahun 2007 dengan angka 20.000 permohonan suaka. Pada tahun
2014 pelonjakan angka pencari suaka kembali meningkat dengan angka 173.000.
Jerman telah kembali menjadi tempat tujuan utama bagi pencari suaka jika
dibandingkan dengan negara industri lainnya baik secara lingkup internasional
maupun Uni Eropa. Bersama Amerika Serikat, Jerman telah mencapai rekor
50
tertinggi klaim suaka pada periode 2010-2014 dengan lebih 400.000 berkas
permohonan pertama disetiap masing-masing kedua negara tersebut.128
Dalam publik debat di Jerman, perhatian ditujukan kepada Recognition
Rates, Recognition rate is defined as the share of positive decisions in the total
number of asylum decisions for each stage of the asylum procedure (i.e. first
instance and final on appeal). The total number of decisions consists of the sum of
positive and negative decisions. Recognition Rates adalah memberikan keputusan
positif dalam jumlah angka dari keputusan suaka untuk setiap tahap prosedur
suaka. Keputusan jumlah angka terdiri dari jumlah keputusan positif dan
negatif.129
Dengan adanya recognition rate, maka dalam memberikan keputusan
permohonan harus dilihat secara hati-hati oleh pihak yang berwenang. Hal ini
berkaitan dengan Low Recognition Rates yang mana adanya indikasi dimana
pencari suaka yang tidak membutuhkan perlindungan atau suaka yang
disalahgunakan untuk memperoleh keuntungan social.130
Diawali pada tahun 2007 peningkatan recognition rate mulai terjadi pada
tahun berikutnya dikarenakan hasil implementasi dari EU Qualification Directive.
EU Qualification Directive yaitu negara yang bukan merupakan berasal dari
negara yang mengalami penyiksaan harus sangat dikenali lebih teliti untuk alasan
memperoleh perlindungan. Implementasi tersebut seharusnya dapat membatasi
permohonan yang masuk ke negara, namun faktanya tingkat pengakuan tersebut
128
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 10 129
European Commission, Eurostat Statistics Explained, diakses pada 5 September 2016,
http://ec.europa.eu/eurostat/statistics-explained/index.php/Glossary:Asylum_recognition_rate 130
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, Hal.10
51
meningkat tinggi. 131
Hal tersebut terjadi karena justru memberikan peluang yang
amat besar bagi orang yang membutuhkan perlindungan internasional karena
penyiksaan di negaranya dan tergantung kepada negara yang memproses
permohonan suaka.132
Kebijakan Jerman selanjutnya yaitu Resettlement Program, sejak 2012
Jerman telah menawarkan regular resettlement program dengan menetapkan
angka tahunan untuk resettlement places. Program ini diadopsi dari keputusan
Conference of Ministers of the Interior of the Lander. Percobaan pertama dimulai
sejak 2012-2014, 300 pengungsi diterima secara tahunan dengan kerangka kerja
dari UNHCR Resettlement Program. Koalisi CDU, CSU dan SPD menyetujui
untuk mengkonsolidasi prosedur resettlement dan membuat lebih banyak tempat
untuk menerima pengungsi. Sejauh ini jumlah tempat resettlement meningkat di
tahun 2015 sebanyak 500 tempat tersedia.133
Resettlement refugees yang terpilih
akan memperoleh izin tinggal yang berdasarkan section 23 (2) of the Residence
Act, izin ini diberikan atas dasar kemanusiaan, pemegang izin berhak untuk
mengejar segala jenis pekerjaan yang menghasilkan uang.134
Sejumlah amandemen terkait pengungsi hadir sebagai respon dalam
menangani krisis pengungsi. The Act on the Acceleration of Asylum Procedures
131
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, hal. 11 132
European Commission, Who qualifies for international protection, diakses pada 7 Agustus
2016, http://ec.europa.eu/dgs/home-affairs/what-we-do/policies/asylum/refugee-
status/index_en.htm 133
IMIS, “Germany Asylum Policy and EU Refugee Protection”, Hal.11 134
Federal Ministry of the Interior, Humanitarian Admission Programmes at Federal Level,
diakses pada 10 September 2016, http://www.bmi.bund.de/EN/Topics/Migration-
Integration/Asylum-Refugee-Protection/Humanitarian-admission-programmes/Humanitarian-
admission-programmes_node.html
52
pada bulan oktober 2015 mulai berlaku, yang berisi beberapa hukum untuk
memperlancar proses suaka, mengurangi beban keuangan negara Jerman dan
pemerintahan kota, serta memperbaharui kebijakan integrasi pengungsi dan
menunjuk Kosovo, Albania, dan Montenegro sebagai Safe Countries of Origin.135
Pada bulan November 2015, Jerman juga mengambil sikap untuk meningkatkan
Perumahan, Perawatan, dan Pelayanan Anak-anak dan Remaja asing. Tujuannya
untuk memperbaiki keadaan anak muda yang tidak mempunyai pendamping dan
menyediakan pelayanan yang pantas untuk mereka.136
Setelah menjelaskan kebijakan Jerman yang didasari oleh dasar hukum
yang dimiliki Jerman terhadap pengungsi dan konvensi terkait pengungsi yang
mana Jerman juga ikut berpartisipasi didalamnya, maka Jerman memiliki
tanggung jawab atas pengungsi, sehingga hal tersebut membuat Jerman terus-
menerus mengembangkan kebijakanya terhadap pengungsi. Masuknya gelombang
pengungsi asal Suriah sejak pecahnya perang di negara tersebut (2011) hingga
mencapai puncaknya pada tahun 2015 dimana jumlah permohonan pengungsi
Suriah yang terdaftar di Jerman mencapai 428.468 jiwa membuat Jerman
mengeluarkan kebijakan khusus untuk Pengungsi Suriah.
3.3 Kebijakan Luar Negeri Jerman terhadap Pengungsi Suriah
135
Safe country of origin jika dalam lingkup Uni Eropa, setiap anggota Uni Eropa dianggap
sebagai safe country of origin, yang didefinisikan oleh konstitusi yaitu kondisi negara yang aman
atau terbebas dari baik itu penyiksaan secara politik maupun perlakuan yang tidak manusiawi
terjadi. Diambil dari (http://www.asylumineurope.org/reports/country/germany/asylum-
procedure/safe-country-concepts) 136
Library of Congress, Refugee Law and Policy: Germany, diakses pada 17 Agustus 2016,
https://www.loc.gov/law/help/refugee-law/germany.php
53
Semakin meningkatnya kehadiran pengungsi di wilayah Eropa di tahun
2015 disebut-sebut merupakan dampak dari adanya kebijakan pengungsi dari
Angela Merkel yaitu Open-door Policy.137
Menurut dr. Marcus Engler, keputusan
Jerman terhadap Open-door Policy pada awalnya merupakan reaksi atas krisis
pengungsi di Hungaria, yang mana pada September 2015 pemerintah Jerman
bersama Austria setuju untuk mengizinkan pengungsi dari Hugaria untuk masuk
ke wilayahnya.138
Hungaria di tahun 2015 merupakan salah satu negara yang
memiliki dampak besar atas kehadiran pengungsi asal negara yang sedang
mengalami peperangan,139
karena wilayah Hungaria sendiri merupakan titik poin
utama bagi pengungsi untuk masuk wilayah Schengen Eropa.140
Dengan berjalannya kebijakan Merkel tersebut, pada tahun 2015 lebih dari
1,1 juta pencari suaka memasuki Jerman.141
Mayoritas pencari suaka yang hadir
yaitu datang dari Suriah, Irak, Afghanistan, Albania dan Kosovo. Dari kelima
negara tersebut Suriah menempati posisi teratas dengan jumlah 428.468 pencari
suaka.142
First time asylum applications143
di Jerman pun dapat terlihat jelas
137
Dr.Marcus Engler, Germany in the refugee crisis – background, reaction, and challenge,
Insytut Zachodni, Heinrich Boll Stiftung, Warszawa, diakses pada 15 September 2016,
https://pl.boell.org/en/2016/04/22/germany-refugee-crisis-background-reactions-and-challenges ,
hal.3 138
Dr. Marcus Engler, Germany in the refugee crisis – background, reaction, and challeng. 139
BBC, “Migran Crisis: Migration to Europe Explained in Seven Charts”, diakses pada 16
September 2016, http://www.bbc.com/news/world-europe-34131911 140
Krisztina Than and Irene Preisinger, Austria and Germany open borders to migrans offloaded
by Hungary, Reuters, diakses pada 14 Agustus 2016, http://www.reuters.com/article/us-europe-
migrans-hungary-idUSKCN0R40FO20150905 141
Patrick Donahue, “Germany Saw 1.1 million migrans in 2015 as Debate Intensifies,”
Bloomberg, diakses pada 8 Agustus 2016, http://www.bloomberg.com/news/articles/2016-01-
06/germany-says-about-1-1-million-asylum-seekers-arrived-in-2015 142
IOM, “Migration, Asylum, and Refugees in Germany”. 143
First time Asylum Applications are persons who lodged an application for asylum for the first
time in a given Member State during the reference period.
54
bahwa terjadi pelonjakan sejak September 2015 dan titik puncak tertinggi pada
November 2015 (lihat, Gambar 3.2).
Gambar 3.2 : First time asylum applications di Jerman, berdasarkan
kewarganegaraan dan bulan di tahun 2015
Sumber: Global Migration Data Analysis Centre (GMDAC), 2015
Juru bicara German Interior Ministry, Harald Neymanns yang telah
dilansir oleh reuters mengatakan bahwa keputusan Jerman dengan membuka
perbatasannya untuk pengungsi tanpa pengecualian merupakan atas dasar
kemanusiaan. Uni Eropa masih menganut Dublin rules dan berharap setiap
anggota masih berpegang teguh dengannya.144
Selain itu, Angela Merkel
mengatakan bahwa disamping Jerman merupakan negara yang membuka pintu
negaranya terhadap pengungsi, namun pengungsi juga seharusnya bisa diterima
144
Than dan Preisinger, Austria and Germany open borders to migrans offloaded by Hungary.
55
di negara-negara Uni Eropa lainnya yang mana pengungsi tersebut berasal dari
negara yang mengalami perang sipil dan penyiksaan.145
Oleh karena itu, ia
menghimbau kepada seluruh anggota Uni Eropa bahwa pengungsi harus
didistribusikan secara merata di seluruh anggota Uni Eropa, sebagai bagian dari
strategi umum untuk mengatasi krisis pengungsi di Eropa.146
Himbauan Angela Merkel untuk mendistribusikan pengungsi di Uni Eropa
berhasil menciptakan respon dari Uni Eropa dengan memperbaiki sistem “EU
burden sharing” yaitu berupa sebuah mandatory plan mengenai relokasi 160.000
pengungsi dari Italia dan Yunani yang diadopsi pada 22 september 2015.147
Kebijakan tersebut difokuskan kepada Italia dan Yunani karena negara tersebut
merupakan negara yang berada di garis depan krisis pengungsi.148
Sistem EU
Burden Sharing digunakan untuk memastikan bahwa semua negara di Uni Eropa
mengambil bagiannya untuk menerima pengungsi.149
Berbeda dengan kebijakan yang telah diambil Jerman, negara di Eropa
timur cenderung bersikap isolationist dalam merespon krisis pengungsi di Eropa.
Xenophobic atau tidak menyukai orang yang hadir dari negara lain dianggap
145
Frank Jordan dan George Jahn, Merkel Demands EU partners share burden of migran influx,
The Jakarta Post, diakses pada 7 September 2016,
www.thejakartapost.com/news/2015/09/07/merkel-demands-eu-partners-share-burden-migran-
influx.html 146
Emma Graham, Patrick Kingsley, First refugees arrive from Hungary after Austria and
Gemany open borders, The Guardian, diakses pada 23 Agustus 2016,
https://www.theguardian.com/world/2015/sep/05/refugees-travelling-from-hungary-can-enter-
germany-and-austria 147
ESI European Stability Initiative, The Merkel Plan, Restoring control;retaining compassion, a
proposal for the Syrian Refugee Crisis, diakses pada 17 Juli 2016,
http://www.esiweb.org/pdf/ESI%20-%20The%20Merkel%20Plan%20-
%20Compassion%20and%20Control%20-%204%20October%202015.pdf , hal.3 148
Valentina Pop, “EU Presents Plan to Distribute Refugees Across Europe,” WSJ, diakses pada 7
Agustus 2016, http://www.wsj.com/articles/eus-junker-proposes-new-refugee-quota-plan-
1441792202 149
ESI European Stability Initiative, The Merkel Plan, hal.3
56
sebagai pemicu Eropa Timur untuk bersikap isolationist.150
Selain Eropa Timur,
negara di Eropa bagian tengah seperti Republik Ceko dan Hungaria juga memiliki
sikap yang sama dengan tidak mendukung kebijakan pengungsi seperti yang
dilakukan Merkel. Demonstrasi menolak pengungsi terjadi di kota Praha dan kota
Ceko lainnya. Demonstrasi tersebut terinspirasi dari PEGIDA di Jerman yang
mana menolak kebijakan pemerintah “refugee welcome” dan juga penolakan
terhadap islam.151
Hungaria juga menjadi Negara yang tidak menginginkan para pengungsi
masuk ke negaranya. Xenophobic telah lama menjadi sikap dari Negara Hungaria.
Penelitian mengatakan bahwa sikap xenophillia telah menghilang dan xenophobia
telah mencapai tingkatan yang tinggi. Kegelisahan terhadap Mass-Migration dan
kambing hitam menjadi pusat elemen terjadinya xenophobia. Analisis juga
mengatakan bahwa adanya pengaruh dari kejadian terror attacks yang terjadi di
Paris yaitu pada 7 Januari 2015 dan 13 november 2015. Framework tersebut
membuat tingkatan xenophobia di Hungaria meningkat tajam.152
Pemerintahan Hungaria merupakan ”extreme anti-immigration politics”.
Pada 11 januari 2015 terkait imigrasi ke Hungaria, perdana menteri Victor Orban
berpidato dalam upacara peringatan korban paris attack Charlie Hebdo “economic
migration is bad, hungary will therefore not provide asylum for economic
150
Heather Horn, Is Eastern Europe Any More Xenophobic than Western Europe?, The Atlantic,
diakses pada 2 Februari 2017,
https://www.theatlantic.com/international/archive/2015/10/xenophobia-eastern-europe-
refugees/410800/ 151
Jacov Bojovic, Special Report on the civil society responses to refugee crisis, European Policy
Network, 2016, hal. 6 152
TARKI Social Research Institute, The Social Aspects of the 2015 Migrant Crisis in
Hungary,Budapest, 2016. Hal. 7-8
57
migrants”. Bahkan pada tanggal 16 oktober 2015 telah dilakukan pemagaran
sepanjang perbatasan Hungaria-Kroasia, sehingga jalur perbatasan ditutup untuk
mengakhiri masuknya pencari suaka dan migran ke Hungaria.153
Dalam reaksi Jerman lainnya terkait krisis pengungsi yang mayoritas
adalah pengungsi Suriah, Jerman meluncurkan program kemanusiaan dengan
skala besar (lihat, Tabel 3.3). Sejak 2012, Jerman telah memberikan total bantuan
yang berkaitan dengan krisis di Suriah sekitar 11 triliun rupiah, diantaranya yaitu
5,6 triliun rupiah berupa bantuan kemanusiaan, 4,5 triliun rupiah berupa bantuan
bilateral dan 1,2 triliun rupiah untuk resolusi krisis. Selain itu, melalui The
Federal Agency for Technical Relief (THF) Jerman juga memberikan bantuan di
wilayah seperti penampungan-penampungan pengungsi di Jordania dan Irak utara,
misalnya dengan membangun sistem untuk menyimpan dan menyalurkan air
minum dan membuang air limbah.154
Tabel 3.3 Jumlah tempat yang dijanjikan untuk pengungsi Suriah yang
membutuhkan perlindungan khusus
Country Confirmed/Official Pledges (Persons)
Australia 500 resettlement
Belarus 1.500 humanitarian admission
Belgium 20 resettlement
Canada 200 resettlement, 1.100 private sponshorship
153
TARKI Social Research Institute, hal. 8-9 154
Federal Ministry of the Interior, Humanitarian Admission Programmes at Federal Level.
58
Denmark 140 resettlement
Finland 500 resettlement
France 500 humanitarian admission/resettlement
Germany 20.000 humanitarian admission, 5.500 individual sponshorship
Hungary 30 resettlement
Ireland 310 resettlement
Liechtenstein 4 resettlement
Luxemburg 60 resettlement
Netherlands 250 resettlement
New Zaeland 100 resettlement
Norway 1000 resettlement
Portugal 23 resettlement
Spain 130 resettlement
Sweden 1200 resettlement
Switzerland 500 resettlement
United States of America Open-ended number on resettlement
Uruguay 120 resettlement
Total Official Pledges 33.837 + additional number to the United States of America
Unofficial pledges 885
59
Combined Total 34.772 + an additional number to the United States of America
Sumber : UNHCR, 2015
Selain itu, pemerintah federal memiliki tiga admission programmes yang
telah mengambil pengungsi asal Suriah dengan jumlah 20.000 pengungsi yang
membutuhkan perlindungan khusus. Program pertama diluncurkan pada bulan
Mei 2013 dengan kuota 5000 pengungsi, program kedua pada bulan Desember
2013 dengan kuota 5000 pengungsi, dan pada bulan Juli 2014 jumlah bertambah
menjadi 10.000 pengungsi. Dengan serangkaian program tersebut, Jerman telah
berkomitmen untuk mengambil sekitar tiga-perempat semua pengungsi asal
Suriah untuk diberikan perlindungan di luar wilayah krisis.155
Admission Programs merupakan program dari pemerintah federal dan
Lander yang mana akan memberikan perlindungan bagi orang yang
membutuhkan perlindungan dan memberi keamanan dalam perjalanan menuju
Jerman. Dengan kata lain, program ini juga mengurangi beban negara ketiga atau
negara penerima dan membantu untuk meningkatkan keadaan pengungsi yang
menetap di wilayah negara ketiga atau negara penerima tersebut.156
Selain itu, Jerman juga menyediakan bantuan lainnya di negara tetangga,
yaitu seperti Turki, Lebanon, dan Jordania. Proyek yang dilakukan yaitu
155
Federal Ministry of the Interior, Humanitarian Admission Programmes at Federal Level. 156
The Expert Council of German Foundations on Intergration and Migration, The Humanitarian
Admission Programmes for Syrian Refugees in Germany, Research Unit, diakses pada 2 Juli 2016,
https://www.stiftung-
mercator.de/media/downloads/3_Publikationen/SVR_Policy_Paper_Safe_Access.pdf hal. 2
60
membantu para pengungsi Suriah untuk dapat memperoleh akses sistem
pendidikan lokal dan pasar tenaga kerja. Bantuan makanan, alat kesehatan,
pelayanan kesehatan dan lain sebagainya. Seperti halnya bantuan yang ada di
Lebanon yaitu 65.000 pengungsi telah mendapatkan pelayanan klinik dan
kesehatan darurat.157
Pada tahun 2013 sampai 2015 Jerman telah menyediakan sekitar 200
triliun rupiah dalam membantu korban perang di Suriah. Selain itu sekitar 2 triliun
rupiah diberikan Jerman untuk The Partnership for prospects employment
initiative, yang membantu menciptakan 500.000 pekerjaan di Jerman untuk
pengungsi Suriah. Terkait bidang pendidikan, Jerman juga menawarkan 1900
beasiswa universitas untuk orang Suriah, sebagai contohnya yaitu melalui the
Albert Einstein German Academic Refugee Initiative (DAFI), program beasiswa
tersebut dikepalai oleh German Academic Exchange Service (DAAD).158
Krisis pengungsi yang terjadi di wilayah Eropa dengan mayoritas
pengungsi berasal dari Suriah merupakan dampak dari negara yang mengalami
peperangan sehingga mereka mencari tempat untuk berlindung. Atas dasar
kemanusiaan, Jerman telah mengeluarkan kebijakan luar negerinya yaitu Open-
door Policy dan juga menjadi negara pelopor untuk memperbaiki kebijakan
pengungsi di Uni Eropa. Melihat sejumlah tindakan kemanusiaan yang telah
diberikan Jerman, tentu saja ada manfaat yang diharapkan pemerintah Jerman
pada kebijakannya. Maka, pada bab berikutnya akan meneliti lebih lanjut apa saja
157
Federal Foreign Office, Refugee Crisis – what German Foreign Policy is doing, diakses pada
23 September 2016, http://www.auswaertiges-
amt.de/EN/Aussenpolitik/GlobaleFragen/Fluechtlinge/Aussenpolitik_node.html 158
Federal Foreign Office, Refugee Crisis – what German Foreign Policy is doing.
61
faktor yang melatarbelakangi Jerman dalam menentukan kebijakan luar negerinya
terkait dengan pengungsi.
62
BAB IV
ANALISIS KEBIJAKAN LUAR NEGERI JERMAN TERHADAP
PENGUNGSI
Pada bab ini menjelaskan mengenai faktor-faktor yang melatarbelakangi
keputusan Jerman dalam menentukan kebijakan luar negerinya terhadap
pengungsi. Penelitian ini mengunakan teori kebijakan luar negeri dan konsep
kepentingan nasional dalam menganalisis apa saja yang menjadi faktor
pertimbangan dalam perumusan kebijakan luar negeri Jerman. Selain itu,
penelitian ini juga didukung dengan konsep pengungsi dalam menjelaskan
siapakah yang dapat dikatakan pengungsi.
Melihat Jerman sebagai negara yang merupakan sentral perekonomian di
Uni Eropa dan negara yang memberi sambutan hangat kepada para pengungsi
dengan berbagai kebijakan murah hatinya disaat terjadinya krisis pengungsi yang
dimulai sejak 2014-2015, tentu menjadi daya tarik bagi para pengungsi untuk
datang ke Jerman dalam memiliki harapan memperoleh kehidupan yang lebih baik
dibandingkan di negaranya. Kebijakan murah hati Jerman tersebut tentu memiliki
dasar atau faktor mengapa Jerman sangat terbuka dengan kehadiran pengungsi.
4.1 Faktor-faktor yang Melatarbelakangi Kebijakan Luar Negeri Jerman
Terhadap Pengungsi
Kebijakan Jerman terhadap pengungsi merupakan bagian atau bentuk dari
kebijakan luar negeri, karena Jerman telah mengeluarkan keputusan untuk
63
membuka pintu negaranya bagi para pengungsi yang berasal dari luar wilayahnya.
Para pengungsi ini mencoba meninggalkan negaranya untuk mencari
perlindungan di negara lain yang dianggapnya aman dari ancaman. Seperti yang
telah dijelaskan pada konvensi pengungsi 1951 bahwa pengungsi adalah
seseorang yang berada di luar negara kebangsaannya dan tidak menginginkan
perlindungan dari negara tersebut.159
Menurut Holsti, kebijakan luar negeri memiliki kategori tujuan, yaitu
tujuan jangka pendek, tujuan jangka menengah, tujuan imperialism, dan yang
terakhir adalah tujuan jangka panjang.160
Namun, jika melihat tindakan yang
dilakukan Jerman dengan membuka pintu negaranya terhadap pengungsi maka
kategori tujuan yang sesuai dengan kebijakan Jerman yaitu tujuan jangka pendek
dan menengah. Selain itu, Holsti juga menjelaskan mengenai faktor-faktor yang
mempengaruhi sebuah negara dalam mengambil keputusannya, yaitu faktor
eksternal dan internal.
4.2 Faktor Eksternal
Faktor eksternal menurut Holsti yaitu, struktur sistem internasional,
karakteristik atau struktur ekonomi internasional, kebijakan dan tindakan aktor
lain, masalah global dan regional yang berasal dari pihak swasta, hukum
internasional dan opini publik. Dan faktor domestiknya yaitu kebutuhan
keamanan atau ekonomi sosial, geografi dan karakteristik topografi, atribut
159
UNHCR, Convention and Protocol Relating to the Status of Refugees, article 1, diakses pada 20
oktober 2016, http://www.unhcr.org/protect/PROTECTION/3b66c2aa10.pdf 160
KJ. Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, hal. 137-142
64
nasional, struktur pemerintahan/filosofi, opini publik, birokrasi, dan pertimbangan
etik.161
Faktor yang mempengaruhi kebijakan Jerman dalam faktor eksternal yaitu
lebih menekankan kepada faktor kebijakan dan tindakan aktor lain dan hukum
internasional dan opini dunia. Faktor kebijakan dan tindakan aktor lain menurut
Holsti yaitu mengacu kepada apakah ada tanggapan atau respon dari negara lain
atas negara yang sedang mengalami konflik atau permasalahan sehingga
mempengaruhi kebijakan suatu negara. Dalam krisis pengungsi di Eropa, Jerman
bersama Austria mengizinkan para pengungsi untuk masuk ke negaranya tanpa
hambatan. Hal ini sebagai bentuk respon terhadap situasi darurat yang terjadi di
perbatasan Hungaria. Keputusan tersebut dikeluarkan setelah perdana menteri
Austria Werner Faymann dan Jerman Angela Merkel mengadakan
pembicaraan.162
Situasi darurat yang terjadi di Hungaria diantaranya berupa bentrokan
kekerasan yang dilakukan oleh pasukan keamanan Hungaria dengan para
pengungsi dan membangun pagar di sepanjang perbatasan Serbia. Hal tersebut
membuat pemerintah sayap kanan Hungaria menghadapi kecaman internasional
atas kejadian yang terjadi di Hungaria.163
Hungaria merupakan tempat singgah
para pengungsi yang telah melewati perjalanan panjang melalui Yunani untuk
161
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys ;Sixth Edition, hal. 272 162
Luis Ramirez,, Austria, Germany Open Borders to Thousands of Migrans, VOA, diakses pada
2 november 2016
, http://www.voanews.com/a/refugees-finally-arriving-in-germany/2949032.html 163
The Guardian, Refugee Crisis Intensifies as Thousands Pour into Austria, diakses pada 11
november 2016, https://www.theguardian.com/world/2015/sep/20/thousands-of-refugees-pour-
into-austria-as-european-crisis-intensifies
65
menuju negara yang lebih sejahtera seperti Austria dan Jerman.164
Melihat
tindakan yang dilakukan pemerintah Hungaria terhadap pengungsi jelas
mempengaruhi kebijakan Jerman dalam merespon krisis kemanusiaan yang terjadi
di perbatasan Hungaria. Sebagai negara yang memiliki letak perbatasan
berdekatan dengan Hungaria, melihat konflik yang terjadi maka Jerman dan
Austria sepakat untuk membuka perbatasan tanpa hambatan untuk mempermudah
pengungsi yang tertahan di Hungaria untuk menuju Jerman maupun Austria serta
meredam krisis kemanusiaan yang terjadi di Hungaria.
Faktor eksternal berikutnya yaitu hukum internasional dan opini dunia.
Seperti yang telah disinggung pada bab sebelumnya bahwa kebijakan Jerman
terkait erat dengan beberapa perjanjian dan hukum internasional yang membahas
mengenai pengungsi. Jerman merupakan salah satu dari 144 negara yang yang
ikut menyetujui dan menandatangani Geneva Convention 1951.165
Geneva
Convention 1951 atau Refugees Convention 1951 adalah instrumen hukum dari
International Refugees Law yang mana merupakan alat untuk melindungi orang
yang mencari suaka dari penyiksaan.166
Konvensi pengungsi 1951 merupakan
Customary International Law dimana semua negara yang menandatangani
konvensi terikat dengan hukum tersebut.167
164
Arwa Damon dan Laura Smith-Spark, Europe’s Migran Crisis : Chaos as trains are stopped in
Hungary, CNN, diakses pada 2 November 2016,
http://edition.cnn.com/2015/09/03/europe/europe-migran-crisis/ 165
UNHCR, The 1951 Refugee Convention, diakses pada 8 Agustus 2016,
http://www.unhcr.org/1951-refugee-convention.html 166
UNHCR, International Refugee Law, diakses pada 8 agustus 2016, http://www.unhcr-
centraleurope.org/en/resources/legal-documents/international-refugee-law.html 167
UNHCR, International Refugee Law.
66
Jerman merupakan salah satu negara anggota Uni Eropa. Uni Eropa juga
memiliki hukum terkait dengan pengungsi di bawah hukum Uni Eropa (European
Union Law). Hukum mengenai pengungsi di Uni Eropa awalnya didasari oleh
Geneva Convention 1951. Prinsip non-refoulement yang ada pada konvensi
Jenewa 1951 tentu menjadi landasan bagi Uni Eropa untuk melindungi pengungsi.
Di bawah EU Law, pada artikel 78 TFEU (Treaty on the Functioning of the
European Union) menetapkan bahwa Uni Eropa harus menyediakan kebijakan
untuk suaka, subsidiary protection, dan temporary protection, serta “memastikan
kepatuhan dengan prinsip non-refoulement. Kebijakan yang disediakan harus
berdasarkan kepada Konvensi Jenewa 1951 dan protokolnya dan perjanjian yang
relevan lainnya, seperti ECHR (European Convention on Human Rights),
UNCRC (UN Convention on the Rights of the Child), UNCAT (the UN
Convention against Torture and Other Cruel, Inhuman or Degrading Treatment
or Punishment), ICCPR (International Covenant on Civil and Political Rights),
ICESCR (International Covenant on Economic, Social, and Cultural Rights) dan
termasuk Dublin Regulation.168
Keterlibatan Jerman dengan komunitas regional (Uni Eropa), hukum
internasional dan konvensi terkait pengungsi memperlihatkan bahwa faktor
eksternal menurut KJ Holsti yaitu hukum internasional dapat mempengaruhi
kebijakan luar negeri suatu negara seperti kebijakan luar negeri terhadap
pengungsi yang sedang dijalankan Jerman. Didasari oleh hukum internasional
168
FRA, Hanbook on European law relating to asylum, borders and immigration, diakses pada 2
November 2016, http://fra.europa.eu/sites/default/files/handbook-law-asylum-migration-borders-
2nded_en.pdf, hal.6
67
untuk pengungsi yaitu Konvensi Jenewa 1951, Jerman memiliki dasar hukum
negara terkait pengungsi yaitu German Bascic Law artikel 16 yang mana
memberikan hak suaka secara individu terhadap korban penyiksaan secara
politik.169
Selain itu, Jerman juga merupakan bagian dari anggota Uni Eropa yang
mana Uni Eropa memiliki dasar hukum terkait pengungsi yaitu European Union
Law yang juga bertonggak pada Konvensi Jenewa 1951 dengan prinsip non-
refoulement. Hal tersebut tentu menjadi acuan bagi Jerman dalam menentukan
sikap untuk kebijakan luar negerinya terhadap krisis pengungsi di Eropa yang
mayoritas berasal dari Suriah dimana negara tersebut sedang mengalami konflik
politik di negaranya dan membutuhkan perlindungan di luar negaranya.
4.3 Tujuan Jangka Pendek dan Menengah
Pembahasan selanjutnya yaitu mengenai tujuan jangka pendek dan tujuan
jangka menengah terkait kebijakan luar negeri yang sedang dijalankan oleh
Jerman. Tujuan jangka pendek merupakan kepentingan yang untuk mencapainya
kebanyakan orang bersedia melakukan pengorbanan sebesar-besarnya.170
Jerman
melakukan kebijakan yang “murah hati” dengan menerima banyak kuota untuk
pengungsi dan merupakan kuota terbesar dibandingkan dengan negara lainnya di
Uni Eropa, dapat dikatakan merupakan tujuan jangka pendek, karena tindakan
tersebut memerlukan pengorbanan yang besar bagi Jerman, dengan adanya
pengungsi di negaranya maka Jerman harus menyediakan dana lebih untuk
membangun tempat pengungsi serta memberikan suaka pada para pengungsi.
169
Barbara Laubenthal, Refugees Welcome? Federalism and Asylum policies in Germany, Hal.5 170
K.J Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, hal. 142
68
Selain itu, seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya, Jerman juga telah
menyediakan bantuan luar negeri terhadap Suriah yang sedang mengalami
peperangan dengan dana yang cukup besar. Namun, tentu tindakan tersebut
memiliki maksud dan tujuan dimana Jerman memerlukan sumber daya manusia
yang produktif untuk negaranya yang merupakan “the country ageing
population”.171
Selanjutnya yaitu tujuan jangka menengah yang memiliki tiga tipe,
pertama yaitu mencakup usaha pemerintah memenuhi tuntutan dan kebutuhan
perbaikan ekonomi melalui tindakan internasional. Kemudian meningkatkan
prestise negara dalam sistemnya, yang mana prestise dapat diukur dengan tingkat
perkembangan indsutri dan dan keterampilan ilmiah serta teknologi. Negara
industri dan negara besar dapat meningkatkan gengsi internasionalnya melalui
sejumlah kebijakan dan tindakan, termasuk ekspansi kemampuan militer,
pembagian bantuan luar negeri dan jalur diplomatik. Ketiga, yaitu mencakup
banyak bentuk perluasan diri atau imperialisme.172
Namun, yang digunakan sesuai dengan kebijakan Jerman yaitu tipe
pertama, karena dengan tindakannya menerima pengungsi yang berasal dari luar
wilayah negaranya yaitu Suriah merupakan usaha pemerintah untuk memenuhi
tuntutan dan kebutuhan ekonomi negara melalui tindakan internasional. Jerman
merupakan salah satu negara di Eropa Barat dengan tingkat populasi yang
171
Stefan Wagstyl, Germany’s demographics: Young people wanted, FT, diakses pada 27 oktober
2016, https://www.ft.com/content/b30c8de4-4754-11e5-af2f-4d6e0e5eda22 172
K.J Holsti, International Politics : A Framework for Analysis, hal. 145-147
69
menyusut dan menua dengan cepat.173
Tentu angka usia produktif sangat
diperlukan bagi Jerman untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negaranya.
The Federal Statistical Office Jerman melalui Wall Street Journal mengatakan
bahwa Jerman harus berjuang untuk membayar biaya pensiun dan merawat
warganya yang sudah mengalami penuaan. Sekitar sepertiga dari populasi Jerman
akan lebih tua dari 65 tahun dan jumlah orang usia kerja dapat menyusut hingga
34 juta jiwa di tahun 2060.174
Melihat karakteristik pengungsi Suriah yang telah
ditulis pada bab II, penduduk Suriah memiliki tingkat usia produktif yang tinggi.
Dimulai dari usia di bawah 15 tahun atau 0-14 tahun berkisar 33%, 20% berada
diantara usia 15-24 tahun, 43% di usia 25-54 tahun, dan yang terakhir hanya
berkisar 3,9% diantara usia 65 tahun keatas.175
Selain itu, Jerman juga
menganggap bahwa pengungsi Suriah yang mampu berjalan ratusan kilometer
menuju Eropa adalah yang muda dan memiliki pendidikan yang cukup baik.
Dengan hadirnya anak muda asal Suriah yang berpendidikan dengan standar
kelayakan dan dapat berbahasa inggris secara fungsional tentu akan memberi
kontribusi pada penambahan tenaga kerja yang dibutuhkan Jerman. Pada akhir
tahun 2015 pengungsi asal Suriah yang tiba di Munich banyak berumur 20-30
tahun dan memiliki berbagai kualifikasi yang mengesankan dan sering
dikombinasikan dengan kompetensi berbahasa Eropa176
173
Nina Adam, Migrans offer Hope for Aging German Workforce, WSJ, diakses pada 3 November
2016
, http://www.wsj.com/articles/migrans-offer-hope-for-aging-german-workforce-1441928931 174
Adam, Migrans offer Hope for Aging German Workforce. 175
Citizenship and Immigration Canada, Population Profile : Syrian Refugees, diakses pada 26
Agustus 2016, www.lifelinesyria.ca/wp-content/uploads/2015/11/EN-Syrian-Population-
Profile.pdf , hal.4 176
Thembisa Fakude, Germany Efforts to Resolve the Refugee Crisis.
70
Gambar 4.1 Angka distribusi usia di Suriah
Sumber : CIA, 2014
Permasalahan Demografi sedang mengancam posisi Jerman sebagai
negara ekonomi terbesar di Eropa. Dengan ekonomi yang kuat dan tingkat
pengangguran yang rendah, namun, penduduk usia kerja yang jatuh,
menempatkan tekanan besar pada para pengusaha dan memiliki kemungkinan
bahwa Jerman di masa yang akan datang tidak lagi menjadi negara ekonomi
terbesar di Eropa. Tantangan demografi ini berasal dari angka kelahiran yang
rendah. Pasca 1945, di wilayah Jerman Barat berpegang teguh pada pandangan
bahwa perempuan harus merawat anak-anak di rumah, dan kurangnya dukungan
pemerintah dalam menyediakan tempat pengasuhan anak, sehingga hal tersebut
menciptakan pilihan bagi para wanita yaitu memilih untuk bekerja atau anak, dan
kebanyakan wanita Jerman memilih untuk pekerjaan.177
4.3 Faktor Internal
177
Wagstyl, Germany’s demographics: Young people wanted.
71
Faktor internal menurut Holsti yaitu mencakup kebutuhan keamanan atau
ekonomi sosial, geografi dan karakteristik topografi, atribut nasional, struktur
pemerintahan/filosofi, opini publik, birokrasi, dan pertimbangan etik.178
Namun,
faktor domestik yang relevan dengan kebijakan luar negeri Jerman yaitu Atribut
nasional, struktur pemerintahan/filosofi, opini publik, dan pertimbangan etik.
Tantangan Jerman terkait Demografi yang telah disebutkan pada sub-bab 4.2
seirama dengan konsep Holsti mengenai Atribut Nasional. Atribut Nasional dapat
dianggap sebagai karakteristik umum dari sebuah negara bangsa. Dalam hal ini
bisa dilihat dari luas wilayah, populasi, sistem ekonomi, prestasi negara, tingkat
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi.179
Struktur pemerintahan dan filosofi, dimana struktur pemerintahan suatu
negara mempengaruhi substansi kebijakan. Menurut Henry Kissinger yang dikutip
oleh KJ Holsti, terdapat dua tipe negara yang memiliki pandangan berbeda dalam
memutuskan kebijakan luar negeri, yaitu negara yang menganut revolutionary
foreign purpose dan The bureaucratic-pragmatic style. Revolutionary foreign
purpose adalah jenis negara yang menolak semua norma dari hukum
internasional, institusi internasional dan tradisi perjanjian ekonomi internasional.
The bureaucratic-pragmatic berbanding terbalik dengan revolutionary foreign
purpose yaitu pemerintah umumnya menerima status quo internasional, norma-
norma yang berlaku dan prosedur diplomasi internasional.180
178
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys; Sixth Edition, hal. 269-306 179
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys ; Sixth Edition, hal.276-277 180
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys ; Sixth Edition, hal. 277-280
72
Jerman pada masa Adolph Hitler dengan rezim nazinya 1933-1945
menganut sistem revolutionary foreign policy purposes, ia menolak semua norma
hukum internasional, institusi internasional seperti PBB, dan tradisi perjanjian
ekonomi internasional. Ia menerapkan bahwa negara harus berdasarkan ras, tidak
hanya pada kebangsaan atau dasar hukum sejarah. Namun pasca berakhirnya
kediktatoran,181
Pada 23 Mei 1949 Undang-Undang Dasar mulai berlaku setelah
diputuskan oleh Dewan Parlementer. Konstitusi ini merupakan tatanan dasar
Republik Federal Jerman di bidang hukum dan politik. Khususnya hak-hak dasar
yang ditetapkan oleh Undang-Undang Dasar memiliki arti penting. Grundgesetz
atau Undang-Undang dianggap memiliki andil sukses menjadikan Jerman negara
demokrasi terlepas dari pada masa tekanan kediktatoran. Undang-Undang dasar
mengikat legislasi pada tatanan konstitusional dan mengikat administrasi negara
pada hukum dan UU. Arti penting teristimewa dimiliki oleh Pasal 1 UUD, pasal
itu menetapkan penghormatan terhadap martabat manusia sebagai nilai utama
tatanan konstitusional. Berbunyi “Martabat manusia tidak dapat diganggu gugat.
Seluruh jajaran kuasa negara wajib menghargai dan melindunginya”.182
Menurut definisi UUD, Jerman merupakan negara sosial. Status sebagai
negara sosial menuntut badan legislatif dan eksekutif untuk menciptakan sarana
yang menjamin nafkah yang wajar bagi warga yang kehilangan sumber
pendapatan karena menganggur, menyandang cacat, sakit, atau berusia tua.183
Angela Merkel yang berasal dari partai CDU Christlich Demokratische Union
181
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys ; Sixth Edition, hal. 279 182
Departemen Luar Negeri Berlin, Fakta mengenai Jerman, Kedutaan Besar Republik Federal
Jerman, Jakarta: PT Ikrar Mandiri Abadi, 2005, hal. 53-54 183
Departemen Luar negeri Berlin, Fakta mengenai Jerman, hal. 54
73
Deutschlands/Uni Demokrat Kristen Jerman yang berdiri sejak 1945. Partai CDU
dianggap sebagai partai rakyat, partai ini memiliki sikap positif terhadap negara
sosial yang menjamin pendapatan bagi orang lanjut usia, orang sakit, penyandang
cacad, dan pengangguran.184
Program penjaminan nafkah tersebut berkaitan
dengan kebijakan Jerman terhadap pengungsi karena dengan sedikitnya usia
produktif dan semakin meningkatnya penuaan populasi di Jerman, membuat
Jerman harus mengeluarkan biaya yang lebih besar untuk orang yang mengalami
penuaan atau telah pensiun. Maka, para pengungsi dengan usia produktif menjadi
harapan baru bagi Jerman untuk membantu perekonomian Jerman.
Opini publik menurut Holsti diberlakukan bagi masyarakat yang memiliki
kebebasan penuh untuk menyuarakan aspirasinya kepada pemerintah tanpa
paksaan atau hambatan. Untuk mengetahui pengaruh opini publik ini ada 3 hal
yang perlu diketahui, yaitu pertama siapa yang beropini? Kedua pada isu apa?
Dan ketiga, di situasi yang bagaimana? Jangkauan opini publik ini nantinya
berhubungan dengan isu yang sedang diangkat atau dihadapi oleh negara
tersebut.185
Salah satu televisi publik Jerman yaitu ARD Arbeitsgemeinschaft der
offentlich-rechtlichen Runfunkanstalten der Bundesrepublik Deutcschland
(Consortium of public broadcasters in Germany) melakukan jajak pendapat pada
april 2015 kepada warga negara Jerman. Pertanyaan pertama yaitu mengenai
apakah mereka mendukung untuk menerima lebih banyak pengungsi di
184
Departemen Luar Negeri Berlin, Fakta mengenai Jerman, hal. 57 185
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys ; Sixth Edition, Hal. 280
74
negaranya, hasilnya menunjukkan bahwa 50% warga Jerman mendukung dan
44% tidak berpihak pada gagasan tersebut. Pendukung dari enviromentally
friendly Green Party memiliki 74% untuk mendukung dan partai AfD (Alternative
for Germany Party) memiliki 82% untuk menolak. Selanjutnya mengenai jalur
legal yang harusnya diciptakan untuk mengizinkan pengungsi ke Eropa, hasil
jajak pendapat menunjukkan 70% warga Jerman mengatakan hal tersebut adalah
gagasan yang baik, sedangkan 27% menolak gagasan tersebut.186
Selain itu, tidak
hanya ARD yang melakukan jajak pendapat kepada warga Jerman, ZDF Zweites
Deutsches Fernsehen dikutip oleh cnbc news bahwa 60% warga Jerman merasa
negara mampu mengatasi jumlah pengungsi yang tiba di negara Jerman.187
Disaat kebijakan Open Border Policy berlangsung telah membuat partai
AfD yang merupakan partai anti-immigrant memperoleh peningkatan pendukung
untuk partai tersebut. Namun, partai yang ditunggangi oleh Angela Merkel yaitu
CDU dan aliansinya CSU masih memperoleh angka pendukung yang tinggi
dengan posisi pertama dan diikuti oleh SPD (Social Democratic Party)188
Meskipun ada beberapa masyarakat Jerman yang menuai protes akan
kehadiran pengungsi seperti kelompok PEGIDA dan pendukung partai AfD yang
takut adanya islamisasi serta hadirnya terorisme di Jerman. Merkel tetap pada
pendiriannya untuk membuka pintu Jerman bagi pengungsi Suriah. Merkel
186
DW, Survey shows half of all Germans favor taking in more refugees, diakses pada 28
November 2016, www.dw.com/en/survey/-shows-half-of-all-germans-favor-taking-in-more-
refugees/a-18405458 187
Luke Graham,, How European Have Reacted to Migran Crisis, CNBC, diakses pada 28
november 2016, http://www.cnbc.com/2015/09/08/how-europeans-have-reacted-to-migran-
crisis.html 188
RT, Far Right Party Skyrockets to top 3 in German polls amid Refugee Crisis, diakses pada 26
November 2016, https://www.rt.com/news/322513-afd-germany-right-wing-rise/
75
mengatakan “refugees had not brought terrorism to Germany, adding that Islam
belonged in the country as long as it was practiced in a way that respected the
constitution”.189
Dengan adanya jajak pendapat tersebut memperlihatkan bahwa opini
publik yang dilakukan sebelum dikeluarkannya kebijakan luar negeri Jerman
dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi kebijakan Jerman terhadap
pengungsi. karena pada faktanya mayoritas warga negara Jerman tersebut
mayoritas mendukung pemerintah untuk terbuka terhadap kedatangan pengungsi
di negaranya.
Pertimbangan etik menurut Holsti yaitu mengacu pada tindakan apa yang
dilakukan oleh suatu negara atau bagaimana caranya agar tujuan dari kepentingan
nasional dapat tercapai.190
Kepentingan Nasional menurut Kenneth Waltz
merupakan keberlangsungan hidup negara, Survival disini juga dipahami sebagai
tujuan awal yang dibutuhkan untuk mengejar atau mencari tujuan politik yang lain
dan secara maksimum diasumsikan sebagai kekuatan.191
Seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya, Jerman memiliki tantangan demografi yang harus
dihadapi untuk pertumbuhan ekonomi negara. Berbagai macam tindakan
dilakukan Jerman untuk memperoleh tujuan yang ingin dicapai. Tindakan yang
telah dilakukan Jerman diantaranya yaitu memberi bantuan kemanusiaan terhadap
189
Reuters, Merkel says refugees didn’t bring islamist terrorism to Germany, diakses pada 2
Februari 2017, http://www.reuters.com/article/us-europe-attacks-germany-merkel-
idUSKCN10S256 190
K.J. Holsti, International Politics: a Frameworks for Analisys ; Sixth Edition, hal. 332-346 191
Kenneth Waltz, Theory of International Politics, Addison-Wesley Reading, 1979, hal. 131.
76
pengungsi Suriah, meyediakan dana pendidikan dan beasiswa serta menciptakan
lapangan kerja.
Sejak 2012, Jerman telah memberikan total bantuan yang berkaitan dengan
krisis di Suriah sekitar 11 triliun rupiah, diantaranya yaitu 5,6 triliun rupiah
berupa bantuan kemanusiaan. Melalui The Federal Agency for Technical Relief
(THF) Jerman juga memberikan bantuan di wilayah seperti penampungan-
penampungan pengungsi di Jordania dan Irak utara, misalnya dengan membangun
sistem untuk menyimpan dan menyalurkan air minum dan membuang air
limbah.192
Selain itu, pemerintah federal memiliki tiga admission programmes yang
telah mengambil pengungsi asal Suriah dengan jumlah 20.000 pengungsi yang
membutuhkan perlindungan khusus. Program pertama diluncurkan pada bulan
Mei 2013 dengan kuota 5000 pengungsi, program kedua pada bulan Desember
2013 dengan kuota 5000 pengungsi, dan pada bulan Juli 2014 jumlah bertambah
menjadi 10.000 pengungsi. Dengan serangkaian program tersebut, Jerman telah
berkomitmen untuk mengambil sekitar tiga-perempat semua pengungsi asal
Suriah untuk diberikan perlindungan di luar wilayah krisis.193
Jerman juga menyediakan bantuan lainnya di negara tetangga, yaitu seperti
Turki, Lebanon, dan Jordania. Proyek yang dilakukan yaitu membantu para
pengungsi Suriah untuk dapat memperoleh akses sistem pendidikan lokal dan
pasar tenaga kerja. Bantuan makanan, alat kesehatan, pelayanan kesehatan dan
192
Federal Ministry of the Interior, Humanitarian Admission Programmes at Federal Level. 193
Federal Ministry of the Interior, Humanitarian Admission Programmes at Federal Level.
77
lain sebagainya. Seperti halnya bantuan yang ada di Lebanon yaitu 65.000
pengungsi telah mendapatkan pelayanan klinik dan kesehatan darurat.194
Pada tahun 2013 sampai 2015 Jerman telah menyediakan sekitar 20 triliun
rupiah dalam membantu korban perang di Suriah. Selain itu 2,8 triliun rupiah
diberikan Jerman untuk The Partnership for prospects employment initiative, yang
membantu menciptakan 500.000 pekerjaan di Jerman untuk pengungsi Suriah.
Terkait bidang pendidikan, Jerman juga menawarkan 1900 beasiswa universitas
untuk orang Suriah, sebagai contohnya yaitu melalui the Albert Einstein German
Academic Refugee Initiative (DAFI), program beasiswa tersebut dikepalai oleh
German Academic Exchange Service (DAAD).195
Hal-hal tersebut di atas merupakan faktor-faktor yang melatarbelakangi
kebijakan luar negeri Jerman terhadap pengungsi. Tentu Jerman melakukan
sebuah tindakan yang memiliki tujuan tersendiri untuk kepentingan nasional
negaranya. Permasalahan Demografi yang telah mengancam posisi Jerman
sebagai negara perekonomian terbesar di Eropa membuat Jerman bertindak
sedemikian rupa demi pertumbuhan ekonomi di negaranya.
194
Federal Foreign Office, Refugee Crisis – what German Foreign Policy is doing. 195
Federal Foreign Office, Refugee Crisis – what German Foreign Policy is doing.
78
BAB V
KESIMPULAN
Perang saudara yang terjadi di Suriah telah menimbulkan dampak bagi
dunia internasional. Aksi protes yang berakhir pada tindakan kekerasan oleh
pemerintahan Bashar al-Assad bermula saat para demonstrator menginginkan
pemilihan umum, sistem pemerintahan parlementer, dan hak untuk
menyelenggarakan protes secara damai. Tindakan kekerasan yang dilakukan oleh
pemerintah tentu membuat warga sipil merespon dengan tindakan yang sama
sebagai bentuk pertahanan. Namun, perang saudara semakin diperluas dengan
adanya pihak lain yang ikut mendukung berjalannya perang. Rusia dan Tiongkok
berada pada pihak Bashar al-Assad dan pada pihak oposisi didukung oleh
Amerika Serikat, Turki, Perancis, dan negara-negara Teluk lainnya. Selain itu,
permasalahan sektarian diantara Syiah dan Sunni juga disebut memicu
berjalannya konflik.
Konflik Suriah tersebut telah mengakibatkan banyaknya korban jiwa serta
meningkatnya pengungsi di berbagai penjuru dunia terutama di wilayah Eropa.
Hal ini tentu menyita perhatian dunia internasional dan salah satunya yaitu
Jerman. Jerman disebut sebagai negara yang menjadi tujuan utama para pengungsi
Suriah karena Jerman merupakan negara industri yang maju dan merupakan salah
satu negara yang memiliki perekonomian terbaik di Eropa. Di samping itu,
Jerman juga memiliki kebijakan dimana Jerman membuka jalur perbatasan
79
negaranya (open door policy) untuk para pengungsi yang mengalami penyiksaan
dari negara asalnya. Kebijakan Jerman awalnya merupakan respon dari
penumpukan pengungsi yang berada di Hungaria, dimana Hungaria merupakan
titik poin utama bagi pengungsi untuk menuju wilayah Eropa Barat.
Kebijakan yang dikeluarkan oleh Jerman tidak hanya dengan membuka
perbatasan di negaranya, namun juga berbentuk program kemanusiaan dengan
skala besar. Bantuan tersebut diantaranya yaitu bantuan dana terhadap krisis yang
terjadi di Suriah, bantuan dana untuk negara-negara yang disinggahi oleh
pengungsi seperti di negara tetangga Suriah yaitu Jordania, Lebanon, Turkey, Irak
dan lain-lain. Selain itu pemerintah Jerman juga menyediakan beasiswa dan
lapangan kerja di Jerman untuk para pengungsi.
Keterbukaan Jerman terhadap pengungsi ternyata tidak hanya pada saat
krisis pengungsi di Eropa, namun pasca Perang Dunia ke-2 Jerman merupakan
negara yang menjadi tujuan utama bagi jutaan orang pengungsi, baik berasal dari
dataran Eropa selatan maupun timur. Jerman juga pernah memiliki sistem Guest
Workers dimana menerima lebih dari satu juta pekerja tamu pada tahun 1960. Dan
pada pasca sosialis Jerman kembali menjadi negara tujuan para pendatang asing
yang mencakup dua juta etnis Rusia, dan ratusan bahkan ribuan pengungsi dari
Eropa Timur.
Kebijakan Jerman terkait pengungsi tersebut tentu memiliki faktor-faktor
yang mempengaruhi kebijakannya, baik faktor domestik maupun faktor eksternal.
Faktor domestic diantaranya yaitu atribut nasional, struktur pemerintahan/filosofi,
80
opini publik, dan pertimbangan etik. Atribut nasional terkait kebijakan Jerman ini
yaitu mengacu kepada permasalahan populasi atau demografi dengan tingkat
pertumbuhan dan pembangunan ekonomi di negara tersebut. Jerman disebut
sebagai ”The Country Ageing Population” dimana diperkirakan di masa yang
akan datang Jerman akan mengalami penurunan dalam pertumbuhan ekonominya
karena semakin banyaknya populasi yang menua di Jerman dibandingkan dengan
angka usia produktif. Sehingga hal tersebut membuat Jerman memiliki harapan
pada para pengungsi yang melakukan perjalanan menuju Eropa. Disamping itu,
beberapa sumber data menjelaskan bahwa pengungsi yang mayoritas berasal dari
Suriah tersebut memiliki potensi yang baik dan mayoritas yang melakukan
perjalanan menuju Eropa adalah mereka yang berusia produktif. Hal tersebut
menjadi salah satu faktor yang membuat Jerman optimis terhadap kebijakannya.
Selanjutnya yaitu opini publik, opini publik di Jerman memang mengalami pro
dan kontra, karena ada partai yang mendukung kebijakan pengungsi ada yang
anti-immigran policy. Namun, setelah banyak jajak pendapat yang dilakukan,
masyarakat banyak yang mendukung kebijakan Jerman terkait pengungsi tersebut.
Selanjutnya yaitu struktur pemerintahan/filosofi, Angela Merkel yang
berasal dari partai CDU dimana CDU dikatakan merupakan partai rakyat yang
mendukung sikap positif terhadap negara sosial yang menjamin pendapatan bagi
orang lanjut usia, orang sakit, penyandang cacad, dan pengangguran. Hal ini tentu
sangat berkaitan dengan kebijakan pengungsi tersebut, karena dengan adanya
angka kelahiran yang rendah dan semakin banyaknya orang yang lanjut usia akan
menambah pengeluaran negara. Dan yang terakhir dari faktor domestik yaitu
81
pertimbangan etik, dimana Jerman melakukan tindakan untuk para pengungsi
karena Jerman sendiri memiliki kepentingan nasional yang ingin dicapainya.
Faktor eksternal dari kebijakan Jerman yaitu kebijakan dan tindakan aktor
lain dan hukum internasional. Kebijakan dan tindakan aktor lain disini mengacu
kepada tindakan Hungaria terhadap pengungsi yang kurang baik ketika terjadi
penumpukan pengungsi di negaranya karena negaranya merupakan titik
perbatasan untuk menuju negara Eropa Barat sehingga Jerman merespon dengan
sebuah kebijakan. Dan faktor eksternal yang kedua yaitu hukum internasional,
dimana Jerman terikat dengan beberapa hukum internasional seperti Refugees
Convention 1951, Dublin Convention, dan European Union Law. Keterikatan
Jerman dengan beberapa hukum internasional terkait pengungsi tersebut juga
menjadi salah satu faktor yang membuat Jerman mengeluarkan kebijakannya.
Dari beberapa faktor-faktor yang telah disebutkan pada penelitian ini
membuktikan bahwa dalam suatu kebijakan yang dikeluarkan oleh negara
memiliki komponen-komponen dasar yang menjadi tolak ukur dalam
merumuskan kebijakan. Jerman dengan kebijakan pengungsi yaitu Open door
policy dan sejumlah program lainnya dijalankan karena Jerman memiliki beberapa
kepentingan dimana pengungsi yang mayoritas adalah berasal dari Suriah menjadi
harapan untuk pertumbuhan ekonomi di negaranya.
--l
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Bealey, Fnanh, Chapmaq Richard A., dan Mchael Sheehan. Elements in politicalSciewe. Edinburgh: Edinburgh University press, 1999.
Burchi[ Scott. Ihe National Interest in Internationol Relations Th*ry.New york:Palgraye Macmillaq 2005.
Denzin dan Lincoln. TIe Sage Hmdbook of Qualitative Research- United Stmes: SagePublicationq 2005.
Departerneir [flar NEIeri Berlin. Fakta mengenai Jer'mat. Kedutaaa Besar RepublikF€d€rd Jerman. Iulcarta: PT IkrarMandiri Abadi, 2005.
E Tuarh fill dan Axel [fildebrandt, Etwisioning social justice in contem2nrary geftwmc*Ifire, Camdenltrouse, New Yorh 2ALS.
Elrich, Reese. "Ittside Syria: the backstory of iheir eivil war od whot the world cnteryecf .New Yort: Prometheus Book, 2014.
Hancoc\ Beverley. An Introdtction to Qualitative Resewch. Trent Focus, ZOO2.Harrison, Lisp, Metodologi Penelitian potitik. Jakarta: Kenoanq 2007.Holsti, K.l. Intematiorul Politics : A Framework for Analysis. University of British
Colombia. 1983.Holstl K.!. Imerwtiorurl Politics: a Franeworks far Anatysis: Sifih kfition. Nemr Jersey:
Prentice rlall,1992.Islanr, Rafiqul., dan Jahid Hossain Bhuiyan. An Intr&rction to Interndional Refugee Law,
Leiden-Boston: Martinus Nijhof{, ZOt3 .
Klusmayer, Douglas B., dan Demetrios G. Papademetrion. "Immigration poliqt in the
lederal Repblic of Germany, Negotiating membersltip ardremaking the-nstion,,.Bergah Boots, ZWg.
IvI, Griffiths., dan O'CaltagarlT- bfiernational Relatiorc : The Key Concepts New york& London: Rotrtledge, ZOO2.
Malhotra" YK Internotional Relations.New Delhi: .Anmol publications I\t Lt4 2004.Neumaq Lawrence W. Basic of Social Research. Boston: Pearson Education, 2007.Okyayua Mehmet., Herrmann, Peter., dan Claire Donity. Migration: Ctitat processes
canght in rrutional cmswers. Bremen Europaischer Hochschulverlag ZAru.Romsan' Achmad. Pengantar Hukum Pengungsi InternssionaL Banduig: Sainc Offset,
2003.Rosenau, rames N., Thompsorq Kenneth w., dan Gavin Boyd. world politics: An
Intr&tction New York: The Free press, 1976.Waltz, Kenneth. Theory of International Pglitics. Addison-Wesley Re*ding,lg7g.
Jurnal
xilt
Benedeth B€tti , Ilw $t'm Refugee Cnsls: Regional md Human Seatnry Inplicdions,Vol: 17 No: 4, 2015, hal. 41
Handayani, kawati. "Perl*t&ngan terhadap Pengungsi Domestik Qnternal DisplacedPersw) dalon kngkcta Bersenjata Internal Merutrut Huhm Interrusional."Jurnal HI LII{PAD, Vol. 1 No. 2, Bandung 2001. hal. 158
Myunghee Kiur,Anna. *Forergn Labour Migration and the Economic Crisis in the EU:Ongoing and Remaining Iszues of the Migrant Workforce in Germany," Instifiitefor the Study of Labor Document IZA Ge.rmany,5134, 8, 2010. Hial. z
Ostrand Nicole. The Syrion Refiigee Crisisr A Comparison of Responses by Germany,&ve&n, T'lp Wited Kingdom, and Ihe United States, JMHS, Vol:3 No:3, NewYorh 2015. Hial-257
Media Onlioe
Aljazeerq "Germany Registers record 1.1 milliou asylum seekers in 2015", diakses pada 5juni 2016, http://america.aljazeera.com/articleV20l6/l/6/refugees-germany-more-than-lmillion.html
Adarq Nina. "Migrwtts offer Hope for Aging Germur Workforce," yFSf, diakses pada 3November 2016, http:/iwww.wsj.com/articles/migrants-offer-hope-for-aging-german-wortforce- I 44 I 92893 I
BBC, "Graphics, Europe Asylum seekers", diakses pada 6 oktober 2015,http : llwww. bbc. conr/news/world-europe-2463 6868
BBC, "Mgrant Crisis: Mgration to Europe Explained in Seven Charts", diakses pada 16September 201 6, ntp/uuu-bbc.con/newVwoAa-europe-g4 I 3 I 9II
BBC, *,ria ; The srr,lry "f the conflict, diakses pada 25 Desember zol4,http://www.bbc.com/newVworld-middle-east-26 1 I 6868
BBC, Wty we ilrousads od Germus protesting odwho we PegidaT, diakses pada 28agustus 2016, www.bbc.co.uVnewsbeat/afticle/30694252/why-are-thousands-of-
Blach Ian. *&mmi vs Shia: Wry the conllict is more political tlun religiaus." TheGuw&an, diakses pada ZB September ZOl5,http://www.theguardian.con/world/20I5/aprl05/sunni-shia-why-conflict-more-political-tlran-rdigious- sectarian-middle-east
Charlton, Corey dan Anrthony Joseph. "A World Divided: Yiolent closhes break out across
Damon, Arwa dan Laura Smith-Spark. "Euroqrc's Migrort Cisis : Cluas ss troha arestoppd in Hungary," CIW, diakses pada Z November 2016,
I 5 I O9 I O3 I anrone/er rrone-mi orartt-rrisiDonahuq Patrick. "Germany Saw
Bloomberg, diaksesl.l million migrants in 2015 as Debate Intensifies,,,
pada
tlu glabe as t wrssds take to the streels in anti-islam protests orgurized by far-fsnt group PEGIDA," Daily Mail, diakses pada zg agrrstus
'2n16,
xtv
8 Agustus 2016,
million-asylum-see,kers-arrived-in-20 I 5DW, .9rrvqy sllorps lwlf ol alt Germans favor taking in more refugees, diakses paf1a 28
Norermber 2016, www.dw.comlerlzurvey/-shows-haltof-all-germans-favor-taking-in-morerefirgees/a- I 840 5 4 5E
Fleming Melissa. "Six Reasons wlry Syrians ore Jleeing to Europe in increasing mtrnbeFs,"The Cbardian, diakses pada I Juni 2016, https://www.theguardiaaco,m/global-deneloprnent-professionals-network/2015/oct/25lsix-reasons-v&y-syrialls-ue-fl eein g-to-europe-in-increasin g-numb ers
Fronterq "western Balkan Route", diakses pada 27 Juli 2016,http ://frontex. europa. er-r/trends'and-routes/western-balkan-route/
Gratram, Luke. "How European Hwe Reacted to Migrant Crisis," CNBC, diakses pada 2gnovember 2A16, http:/ vww.cnbc.conr/20 1 5/09l08lhow-europeans-have-reacted-to-migrart-crisis.html
Graham,Emma dan Patrick Kingsley. "First refugees arrive from Huryry afier Austriawd Gemory open borders," The Guwdior, diakses pada zl egust"s 2016,https:/furyw.theeuardian.com/world/2015/sep/05/refugees-travelling-from-hungary- can-enter- germany -and- au stri a
Jordaq Frank dan George lahn. "Merkel Demntds EU prtners share burden af migrantinflux," The Jakarta Post, diakses pada 7 september iot6,WwW.the-j*artapost.conr/news/2015/09/07/merkeldemands-eu-partners-share-h;glen-ml fant-innux. trtmt
Pop, Valentina. "EU Presents Plan to Distribute Refugees Across Europg" Wsll StreetJournal, diakses_ pada 7 Agustus 2016, http://www.wsj.com/articles/eus-junker-proposes-new-refugee-quota-plan- I 44 I 792202
Ramirez, Luiz. *Austliq Germany Open Borders to Thausards of Migrmts,- VOA,diakses pada 2 november 2016, http://www.voanews.com/a/re-fugees-finally:arriving-in-germany/294903 2. html
Regev, Dana."A perilous trek. Refugees Journey from Syria to Gertrlany," DZ, diaksespada 28 juli 2016, http:syria-tegermanyig- I 86968 I 7.
RT, "Fortres Europe: PEGIDA to be joined by 14 anti-islam allies for mass FebruaryProtests", diakses pada29 agustus 2016, https:l/www.rt.codnewV330075-pegida-@
RT, F"tr Nsht P*y Skyrockets to top 3 ilt Gerntwr polls amid Refugee crtsigpada 26 November 2016, https:i/www.rt.com/newsllZZSh_afa_sermarwing-rise/
Shubert, Atika- "CreEnananti-Migrant protest: "We don't want to be strangers in our owncourtr5r"," CNN, diakses pada 1.1 Okrober 2015,
sly, Liz."8 reasons Europe's refugee crisis is happeningoo*,- w*hirrgt*Vort, diaksespada 28 Juli ),,,17.
Than, Krisztina dan Irene_Preisinger. "Austris and Germaty open borders to migrantsofflwded by Htmgff1s," Reuters, diakses puAu V Agustus Zel6,
http ://www. rzuters. ctm/arti cle/us-europe-mi srants-huneary-idusKcNoR4oFo2o I 5 090 s
The Cruardiarl "Germany on course to accept one million refugees in 2015-, diakses pada28 April 2016 httpr://www.the8uardian.com/world/2Ol5idecl08/germany-on-course-to-acceptone-million-refu gees-in-20 I 5
The Guardiaa Refugee Crisis Intensifies as Thousands Pour into Austria, diakses pada I Inovernber 2016, https://www.theguardian.com/world/2015/sep/20lthousands-of-refu effi -pour-into-austria-as-europeatr-sri si s-intensifies
Treynor, Ian. "Crermany to push for compulsory EU quotas to tacHe refugee cl.isis," TheGufffu4 diakses pada 23 Oktober 2015,http://urq/w.theguardian. con/world/20 1 5/oct/23 irefugee-crisis-germany-push-corupulsory-eu-quotas
Wagstyl, Stef,an- "Germ,wq)'s demographics: Yentng people wfltted," f4, diakse$ pada27oktober 2016, https://www.ft.cour/content/b30c8de4-4754-l le5-a2f-4d6e0e5eda22
Warren, Rossalyn. *why are refugees going to germany and will they stay?,- Buzzfeed,diakses pada 15 Juli 2016, http:/lwww.buzzfeed.com/rossalynwarren/why-are-refugoes-goingto-germany-and-will-they-stav
Artikel
Angenendl Steffeq Marcus Engler, dan Jan Schneider, EuropeanP*hways to Fairer Burden-Sharing, German Institute forSeeurity Affairg 2013, diakses pada 3 September 2A16,
Ruf*gee Palicy:International andhttps://www.swD-
dfAsseburg Mnniel dan Heiko Wimmen, Civil Wor in Syria;Exttrnal Acnrs ard Interest as
Driuers of Co$lia, SWP Berlin" diunduh pada 3 maret 2016, https://www.swp-
Bell, ldafitrew. "Germany's refugee crisis is fueling the far-right p.gda movement",diakses pada 27 agustus 2016, http://www.pri,orglstories/2015-i2-10/germany-s-refir gee-cri si s-fu eligg-far-righrpegida-movement
Citizenship and Immigration Canadq Popalation Profile : Sy'ian Refugees, diakses pada26 a8$sttls 2016, www.lifelinesyria.calwp-contentluploadgl20l5/l lEN-syrian-Populaion-kofi Ie. pdt, hal. 4
Citizenship and Immigration Canada" Population Profile : Syrian Refugees, diakses pada26 Agusnrs 2016, www.lifelinesyria.calwp-content/uploads20l5/l UEN-Syrian-Population-Profi le. pdf
Davis, Rochelle, Refugeesfrom Syrio, Cultural Orientation Resource c€nter, United StatesDepartmerl diakses pada t7 agustus 2016,www. teslontario. net/uploadVnews/Refu geesfromSyriabackgrounderCulturalOrientationReso.pdf . hal. 4
Engleq Dr.Marcus Germany in the refugee crisis - backgrottnd, reactiory and challenge,Insyn* Zachodni, Heinrich Boll Stiftrng Warszaw4 diakses pada 15 Septem6er
xvt
2016, https:/ipl.boell.org/erf20l6/04/22lgermany-refuqee-crisis-background-reactions-and-chal lenge s
Falordg Thernbisa. Germmy Efforts to Resolve the Refugee Crisis, N-Iazeera ReportOocumeff, diakses pada 16 November 2015,http:l/studies.aljaaeera.neVmritemslDocuments/2015/11/16i201511161210tr3713580Germany.pdf
Fargues, Phillipe dan Ctuistine Fandrictr, "The Europewt Response to the Wrffi RefugeeCrtsrs WM Nert? ", European University Institutg 2012.
FR.\ Hanbook on Eurapean law relatfug to asylum, borders and immigrotion, diaksespada 2 November 2016, http://fra.europa.eu/-siteVdefault/files/handbooklaw-asylum-migration-borders-2nded_en. pdf,
G.Hammond, Timothy. The MeditelTane(m Migration Cnvs, diakses pada 12 Agustus2016, trttp ://www. foreignpolicyjournal. conl2O I 5105/ I 9/the-mediterranean-migration-crisis/
Hagen-zankeq Jessica dan Richard Mallett. Journeys to Europe the role of poliqt inmigrant &cision-+naking, ODI Insight, Londoq 2A16, diakses pada?;l April 2016,https:/lwww. odi. ore/publicationV 1 03 I 7-journeys-europe-role-policy-misrant-deciqion-making
Holliday, Joseph. "The assad regime from counterinsurgency to civil waf', Middle Eastsecurity Report 8, Institute for the Study of war (ISw), washingtorq DC, 2013.
Institute for Mgration Research and Intercultural Studies (IMIS),Policy Brie{ "GermanyAsylum Policy and EU Refugee Protection, The Prospects of The CommonEuropean Asylum System (CEAS)", University of Osnabruck, No.29, 52015.
Kasiaficas,Caitlh. "Seeking Refugees:Asylum Seekers in Germwty,' EU Migration policyWo,rking Paper, No.18, 2014.
L, Martio, Phillip. Germany: Managtng lv{igration in the 2I't Century, working papercIIP-l, University of california, z0oz, diakses pada 3 Agustus 2016,http :#ies.berkeley. edu/B,rbd*orkioepupers/Cilp- I -pLM_G€"-any. pdf
Laubenthaf Barbara. Refugees Welcome? Federalism and Asylum policies in Germory,Fieri Working papers, University of Konstanz, 2015, diakses pada 28 Agustus2016, http://fieri.it/wo-
Library of Congress, Refugee l"aw and Policy: Germany, diakses pada li Agustus 2016,https:lAn ww. loc. gov/ladhelp/refugee-ladgermany. php
Mayeq lvlatthias. Germury's Response to the Relugee Situdion: Remorkoble trzadership9r falt acewnpli?, Bertelsmann foundatioq 2016, diunduh pada 2s agrshrs 2016,
Michael Jenkins, Brian. The Dyrumics of Syria's Civil War, diunduh pada 29 September20r5,
Pop, Roland. "The Synan Civil War ; Between Escalation and Intervention", CSS Analysisin Security Poilicy, No. rz4, diunduh pada 10 rraaret zdl6,
Uniya: Jwdt Social fustice Centrg "Ove*iew of Germmy's Asylam.S)rsrsrr", diaksespada 9 April 20 I 6, http://www.uniya.org/researcUasylum germany.pdf
Website Resmi
ESI European Stability Initiativg The Merkel Plan, Restoring cantrd;retainingc$ryrrzlssion, a prapawl lo th" $rlan Refugee Cnsls, diakses pada 17 Juli 2016,http :l/www. esiweb. org/pdf/ESl9/o20-%20The%20Merkel%20P1 an%20-%20Cornpassion%20aad%20Control7o20-%2047o20october9'o2020 I 5 . pdf
European Cornission Humanitarian aid and Civil Protectio*, "Syria Crisis Fact Sheet,diakses p*da 7 oktober 201 5, http://ec.europa.erfecho
European Comissio4 "Addressing the Refirgee Crisis in Europe: The Role of,EU ExternalAction", Brusselq 9,9, 2015, diunduh pada 13 Oktober 2015,http ://e-c. europa. eu/esho
European Comission, "llumanitarian Aid and Civil Protection, Syria Crisis", diunduh padaI april 2A16, https://ec.europa.erlecholfiledaid/countries/factsheet#syria*ea.pdf
European Corrrnission, Eurostat Stdistics F-rylahed, diakses pada 5 Srywber 2A16,http :l/ec- europa. eu/euro*atlstatistics-explained/index. php/Glossary : Asylum:reco gnition_rate
European Commission, Schengen Agreement, diakses pada 6 Septernber 2016,hltp : llec. europa. eu/dgslhome-affairs/e-library/docVschengen_brochure/schengen:brochure_dr3 I I I 126_en.pdf
European Commissio4 Who qnlifiesfor interrwtiansl protection, diakses par&T Agustus2016, http://ec.anropaenldgs&ome-affairdwhat-w+dolpolicies/asylumlrefugee-stahslindex:en.htm
Federal Foreign Offrce, Refugee Cnsls * *lwt German Foreign Policy is daing, diaksespada 23 Septenrber 2416, hup :llwww. auswaertiges-amt.de/EN/AussenErlitik/GlobaleFragenlFluechtlinge/Aussenplitik aode.htrnl
Federal Ministry of the Interior, Humanitarim A&flissian Progronnes ot Fe&ral lcvel,diakses pada l0 September 2A16, http:/lwww.bmi.bund.ddEN/Topics/Migration-IntegrdiodAsylum-Re.fu gee-Protection/f lumanitarian-admission-programmes/f lurnanitarian-admi s sion-programme s*node. html
Federal Ministry of tlre Interior, Migration and Integratian: Residence Inw ardpoticy onmigratian and integrution in Germ*ry 2A14, diakses pada I september 2A16,https://wvw. bmi. bund. delSharedDocslDownloadslENlBroschuere*/Z0 I 4lmigrationand:integration.pdf? blob=ublicationFile
IOhA 'Migratiorl Asylum, and Refugees in Germant'', Global Migration Data Analysiscentre Data Briefing Series, I Januari 2016, diunduh pada 4 juni 2016,http : lliorngmdac. org/mieration:asylum*andJefu eees_ir=germanyl
Refugee Couocif 77re Dxblin Corwentiur ut asylum W?st it Hecrns ad how,,tb saposed to wark, diakses pada Z Septernber 2016,https:llwww.refugeecouucil.ore.uk/assetd0t)0U5851ldublin_aug20t)2.pdf
The Expert Council of German Foundations on Intergration and lWgratioq lheIlumoxitarian Admissian Progr*nmesfor Syrian Refugees in Germwqt, ResearchUnit, diakses pada 2 Juli 2016, https://www.stiftung-
xvilt
mercator.de/media/downloadV3-Publikationen/SVR_Policy_Paper_Safe*Access.pdf
UNHC& "Convention and Protocol Relating tothe Status of Refugees", article l, diunduhpada 2015,http;/irirurw.unhcr. org/protectlPROTEeTlON/3b66c2.aa I 0. pdf
UNHC& *Inter dgency Regional Update-Syrian Refugeet'' , diakses pada 7 Oktober
2015, www.uhcr.org hal.2UNHCR, *I\dry New Asylum: Applications Europe April 20ll-september 2015 Syria
Regiocal Refugee Response", diakses pada tanggal 8 ohober ZOIS,http://datAunhcr. org/syrianrefu geesiasy lum. php
LINHC& 'RefugeeVmigrants Emergency Response - Mediterranian", diakses pada 27 Juli2016, hup ://data.unhcr. ore/mediterranean/rggional. php
UNHC& 'Tle Sea Route to Europe: Mediterranian Passage in the age of Refugees'',diunduh pada I 8 April 20 I 6, ht@://www.unhcr. org/5 592bd059.pdf
UNHC& Cmwntian od Protocol Relating to tle Status af Refugees, article l, diaksespda 20t6,http://www,urhcr. org/BrotectlPROTECTION/3b66c2aa I 0. pdf
UNHC& International Refogu law, diakses pada 8 agustus 2016, http:/Avww.unhcr-centraletrrope. orden/resources/legal-documents/ifi €rnational-refugeelaw. html
TINHC& Regtuwl Relugee md.Migrant Response Planfor Europe, EasternMeditteranianand Western Balkans Route 2016, diunduh pada I jmi 2016,http:/finrwwunhcr.org/partnerVdonorV570669806/regional-refugee-migrant-response-plan-europe-january-december-20 I G I 9.ht$l
UNHCR, Tlre 1951 Refugee Corwention, diakses pada 8 agustus 2016,http :fkurw.tmhcr. org/ I 95 I -refu gee-convention"hfinl
UNHC& Trp 1951 Refugee corwention, diakses pada 8 Agustus 2016,http:/fumrw.unhcr.orgll 95 1 -refugee-convention.hturl
xrx
Disclaimer: The opinions expressed in this briefing are those of the authors and do not necessarily reflect the views of the International Organization for Migration (IOM). The designations employed and the presentation of material throughout the briefing do not imply the expression of any opinion whatsoever on the part of IOM concerning the legal status of any country, territory, city or area, or of its authorities, or concerning its fronties or boundaries. Data correct at time of writing (early January 2016) and are subject to change following publication. Editors: Frank Laczko (Head of GMDAC) and Ann Singleton (on secondment to GMDAC, University of Bristol). Authors: Ann Singleton (on secondment to GMDAC, University of Bristol), Adrián Carrasco Heiermann (Consultant, GMDAC), and Denis Kierans (Data and Research Officer, GMDAC). Notes: (1) Der Spiegel (2016) http://www.spiegel.de/politik/deutschland/bundesregierung- sieht-kein-ende-der-fluechtlingskrise-a-1071136.html.
Migration, asylum and refugees in Germany: Understanding the data During 2015, more than one million migrants and refugees arrived in Germany
Syrians were the largest group of first time asylum applicants, with numbers increasing each month throughout the year. The peak figures were seen in November, when more than 30,000 applications were recorded (see Figure 1). On 9th January 2016, Ole Schröder, Parliamentary State Secretary in the Federal Ministry of the Interior (BMI), referred to a possible one million asylum-seekers coming to Europe during the coming year, mostly through Turkey.1
Frank Jürgen Weise, Head of the Federal Office for Migration and Refugees (BAMF), has estimated that around half that number, 500,000 refugees, will arrive in Germany.2 This briefing aims to present the available official data and to explain some of the differences between the data types.
Figure 1: First time asylum applications in Germany, by main citizenships and month, 20153
Global Migration Data Analysis Centre
Data Briefing Series
Issue No. 1, January 2016
Figure 2: Main countries of origin registered in EASY, Jan? Dec 20154
Notes: (2) Mitteldeutsche Zeitung (2016) http://www.mz-web.de/politik/prognose-fuer-2016-weise-rechnet-mit-halber-millionen-fluechtlinge,20642162,33489292.html. (3) Eurostat (2015) migr_asyappctzm; According to regulation 862/2007 and the methodological note attached to migr_asyappctzm, Member States can submit their data up to two months after the end of the reference period. Hence, the available data is not complete from November on. The dotted lines reflect this lack of data and the respective trends should therefore be interpreted with cau-tion. (4) BAMF (2016) http://www.bamf.de/SharedDocs/Meldungen/DE/2016/201610106-asylgeschaeftsstatistik-dezember.html. (5) BMI (2016) http://www.bmi.bund.de/SharedDocs/Pressemitteilungen/DE/2016/01/ asylantraege-dezember-2015.html.(6) BAMF (2015) https://www.bamf.de/SharedDocs/Anlagen/DE/Downloads/Infothek/DasBAMF/2015-08-20-prognoseschreiben- asylantraege.pdf. (7) BAMF (2015) http://www.bamf.de/EN/Migration/AsylFluechtlinge/Asylverfahren/Verteilung/verteilung-node.html. (8) §47 Asylgesetz (as of 23.12.2015) https://www.gesetze-im-internet.de/asylvfg_1992/BJNR111260992.html.
Using the EASY figures in combination with the number of asylum applications received, on behalf of the Federal Ministry of the Interior, BAMF estimates the number of accommodation places that will be needed annually.
Before the summer of 2015, these calculations had been made mainly on the basis of the asylum application data. This was because the rapidly increasing numbers of refugees in 2015 had resulted in a growing discrepancy between the number of asylum applications and of registrations in EASY.
The differences between the two figures can be significant, for example, on 31 July 2015, BAMF had counted 218,221 asylum applications (first and subsequent applications) whilst 309,075 people had already registered in EASY.6
A quota ? the so-called ?Königsteiner Schlüssel? ? regulates the distribution of asylum-seekers among the German states, the Länder. This allocates a specific percentage of asylum applicants, based on tax receipts and population numbers, to each of the Länder, which the latter are obliged to accept.7 From January to September 2015, North Rhine-Westphalia, Bavaria and Baden-Württemberg registered about 50% of all asylum-seekers recorded in EASY (see Figure 3).
Changes made to the Asylgesetz (German Asylum Law) on 23 October 2015, now requires asylum applicants to stay in their initial reception facility for up to six months (instead of three).8
However, there are no available data on how many people actually live in the reception centres at any one time. This gap in the data became public in early November 2015, when a member of the Green Party requested information on this.9
Figure 3: Share of selected Länder, respective numbers of registrations10
Locations: Länder and Camps
Record monthly inflows during 2015, with peaks in October and November, resulted in 1,091,894 registrations in the German EASY system, which records those who intend to apply for asylum.5
The EASY system collects two variables, "the receiving German state" and "country of origin" but not data on the profile of asylum-seekers and refugees.
Of those registered in EASY between January and the end of December 2015, the main countries of origin were Syria, Afghanistan and Iraq, followed by Albania and Kosovo (UN1244/99) (see Figure 2, above).
Arrivals
Migration, asylum and refugees in Germany: Understanding the data
Page 2 / 6
Germany and the relocation of refugees across the EU
The latest European Commission figures show that the EU?s emergency relocation scheme introduced in September 2015, with a target of 160,000 places, is barely functioning yet.
The EU scheme, within which 4,237 places have been made available by 17 EU Member States, has so far only resulted in the relocation of 272 persons. Of these, Germany has made 40 places available, with 11 people relocated from Italy and 10 from Greece.11
In context:
- 4,237 places have been made available in total by 17 EU Member States.
- 190 people have been located from Italy, of a target 39,600.
- 82 people have been relocated from Greece, of a target 66,400.
- 97,982 places remain to be allocated, of an initial 98,256 places.
- 7,744 of the 40,000 decision and 54,000 of the 120,000 decision remain to be allocated.
The EU?s Dublin III Regulation, which should facilitate a fair sharing of responsibility among EU Member States has also proven to be slow.12
By the end of November, Germany had made 41,217 ?Dublin requests', with peaks in January (4,405, of which 3,117 were based on EURODAC matches) and July (4,839, of which 3,803 were based on EURODAC matches).13 In comparison, throughout 2014, 35,100 requests had been made to other Member States, and around 4,800 people were transferred.14
Germany in the EU: distribution of asylum applications by main receiving Member States, 2015
Germany is the main country of destination in Europe for migrants and refugees (see Figure 4). The majority of first time asylum applicants in Germany, in each month since April, were Syrians (see Figure 1, above).
Figure 4: First time asylum applications in the EU and main five receiving countries, 201515
- These asylum applications take place during the weeks and months after registration.
- Final data for October, November and December are not yet available for many EU Member States (see footnote 3).
Data Briefing Series
No. 1 January 2016Page 3 / 6
Migration, asylum and refugees in Germany: Understanding the data
Page 3 / 6
Notes: (9) Süddeutsche Zeitung (2015) http://www.sueddeutsche.de/politik/fluechtlinge-bundesregierung-kennt-zahl-der-menschen-in-erstaufnahmeeinrichtungen-nicht-1.2733590. (10) See footnote 7; Die Bundesregierung (2015) http://dipbt.bun-destag.de/dip21/btd/18/068/1806860.pdf, p.20. (11) European Commission (2016) http://ec.europa.eu/dgs/home-affairs/what-we-do/policies/european-agenda-migration/press-material/docs/state_of_play_-_relocation_en.pdf. (12) Fratzke, S. (2015) http://www.migrationpolicy.org/research/not-adding-fading-promise-europes-dublin-system, Migration Policy Institute Europe. (13) BAMF (2016) https://www.bamf.de/SharedDocs/Anlagen/DE/Downloads/Infothek/Statistik/Asyl/statistik-anlage-teil-4-aktuelle-zahlen-zu-asyl.pdf. (14) Die Bun-desregierung (2015) http://dip21.bundestag.de/dip21/btd/18/038/ 1803850.pdf, p. 35. (15) Eurostat (2016) (migr_asyappctzm); see footnote 3. (16) BMI (2015) http://www.bmi.bund.de/SharedDocs/Pressemitteilungen/DE/2015/05/zahl-der-asylantraege-steigt.html; EurActiv (2015) http://www.eu-ractiv.com/ sections/global-europe/germany-expects-number-asylum-seekers-double-2015-314391. (17) BMI (2015) http://www.bmi.bund.de/SharedDocs/ Kurzmeldungen/DE/2015/08/neue-asylprognose-vorgelegt.html; see also footnote 6.
The experience of 2015 indicates that caution is needed in estimating future numbers of arrivals. In May 2015, the German Government announced that Germany could expect as many as 400,000 first time asylum applications by the end of 2015, almost double the 2014 figure.16 Only three months later, in August, the official method of estimating the numbers was revised and a figure of 800,000 was then estimated to be the final total of arrivals in 2015.17 This reflected the need to account for a growing disparity between first time asylum applications and arrivals. The final figure was even higher, at one million.
It is possible to say that high numbers of asylum-seekers are likely to continue to arrive in Germany during 2016, but there is no certainty about the precise number of asylum-seekers in Germany (the ?stock?) at any one time, let alone how many will arrive ? even in the short-medium term.
There is insufficient richness to the data to analyze the characteristics of migrants and refugees, as EASY was not designed as a system to collect and store demographic data: it collects only two variables, namely, ?the receiving German state? and ?country of origin?; there is a high likelihood of double counting, as around 10 per cent of those registered in EASY do not arrive at their allocated reception facilities and are registered again in another location; and certain groups, such as unaccompanied minors and people placed in detention, are excluded from the figures altogether.
Changes in EU policy have also affected the numbers and are likely to continue to do so, (to what extent, when and how, is not yet known). For example, the European Union and the Western Balkans have selected different groups of countries of origin in
their refugee and related border policies. The EU decided on 14th September 2015 that only refugees from Syria, Iraq and Eritrea would be eligible for relocation. This selection of nationalities was based on a 75% recognition rate threshold, based on Eurostat quarterly data for 2014 and 2015.18
Policy and practice in the Western Balkan countries differs from this EU-wide policy, as there are now common refusals at the borders to accept citizenships other than Syria, Afghanistan and Iraq. Added to this are the most recent (as of the 4th of January 2016) re-impositions of border controls inside the Schengen area, by Sweden and Denmark following other (temporary) border controls in Hungary, Austria and Germany in late 2015.19
As such, forecasting the trends in 2016 is problematic. Forecasts provided by BAMF take into consideration the following factors: developments in countries of origin; information from the German institutions dealing with migration issues (the Federal Foreign Office, intelligence services, federal police, liaison staff); the number of asylum applications in Germany as well as in other EU countries, policy responses to migration and finally recent trends and seasonal fluctuations.
It is also likely that the 23 October 2015 designation of Albania, Kosovo and Montenegro as safe countries of origin will affect the future distribution of countries of origin among arrivals to Germany by restricting the numbers of asylum-seekers from these countries. While arrivals from these countries had already been decreasing for a few months, this policy contributed to a further fall in numbers ? notably in the arrivals of Albanians.
What is expected in 2016?
Data Briefing Series
No. 1 January 2016
Migration, asylum and refugees in Germany: Understanding the data
Page 4 / 6
Notes: (18) Council Decision (EU) 2015/1523, of 14 September 2015, establishing provisional measures in the area of international protection for the benefit of Italy and of Greece. (19) Bilefsky, D. (2016) http://www.nytimes.com/2016/01/05/world/europe/sweden-denmark- border-check-migrants.html, New York Times. (20) Parlemeter Survey (2015) http://www.europarl.europa.eu/atyourservice/en/20150630PVL00108/2015-parlemeter (21) Financial Times (2015) http://www.ft.com/cms/s/0/379d4afe-8930-11e5-9f8c-a8d619fa707c.html#axzz3tMDhYe6n (22) BAMF (2016) http://www.bamf.de/SharedDocs/Anlagen/DE/ Publikationen/Migrationsberichte/migrationsbericht-2014.pdf, p.29. (23) See footnote 22. (24) IOM and UNICEF (2015) http://www.iom.int/sites/default/files/press_release/file/IOM-UNICEF-Data-Brief-Refugee-and-Migrant-Crisis-in-Europe-30.11.15.pdf. (25) BAMF (2015) https://www.bamf.de/SharedDocs/Anlagen/DE/Publikationen/Broschueren/bundesamt-in-zahlen-2014.pdf.
The needs of refugee children crossing Europe have been highlighted in the UNICEF/GMDAC Briefing.24 Half of the residence permits granted to Syrians, on the grounds of family reunification, were issued to children.25
Children seeking refuge and unaccompanied minors are an increasing policy concern in Germany. This concern is not alleviated by a lack of transparency in the data and no national level stock figures of the numbers living in the country, nor of those in detention. This is the result both of a lack of Federal co-ordination of the state level data and the absence of information on family ties in the central register of foreigners (Ausländerzentralregister).
Throughout 2015 it became apparent that speedy decision-making on asylum applications was not happening and at the end of December, 364,664 applications were still pending (337,331 of them first time asylum applications).26
Regulations that oblige asylum-seekers to stay within specific geographical boundaries or cause them to stay in the initial reception facilities for longer time-periods may act as impediments to integration into the German labour market and German society.27
Children Integration
Data Briefing Series
No. 1 January 2016
There has been much discussion of the short-term costs of accepting asylum-seekers. This will be the subject of a separate briefing. It is worth noting that there has been less discussion of the longer-term policy needs and economic potential of immigration.
According to the European Commission, the arrival of asylum-seekers has had a positive economic impact on the GDP of EU Member States, with an anticipated average contribution of 0.2? 0.3% by 2017.28 This is especially meaningful in high refugee-receiving countries such as Germany Despite increased spending on accommodation and infrastructure for refugees, Germany?s budget is expected to remain ?in sizeable surplus?.
The economic impact, in particular how refugees will affect the German labour market, has been extensively discussed in Germany throughout 2015. This debate is often centred around the short-term costs that will inevitably emerge because of the need for integration measures as well as accommodation, education and health care provision.
The German Institute for Economic Research (DIW) has highlighted some positive long-term effects in an article based on simple simulated calculations, suggesting that the immigration of refugees to Germany will positively contribute to the country?s economic performance and per capita income.29
These findings are supported by the OECD, which also highlights positive outcomes, including a possible boost in aggregate demand in the EU economy, due to the need for additional expenditure to support asylum-seekers in the short-term.30
Although long-term effects could be positive for both refugees and receiving economies, the realization of this economic potential is intertwined with (and depends on) their integration into society, as well as into the labour market. It may also be dependent on the ability of employers and policy makers to identify where their skills are most needed.
Economic Impact
Migration, asylum and refugees in Germany: Understanding the data
Page 5 / 6
Notes: (26) See footnote 5. (27) BAMF (2016) http://www.bamf.de/SharedDocs/Anlagen/DE/Publikationen/Kurzanalysen/kurzanalyse1_qualifika-tionsstruktur_asylberechtigte.pdf. (28) European Commission (2015) http://ec.europa.eu/economy_finance/publications/eeip/pdf/ip011_en.pdf. (29) Fratzscher, M., Junker, S. (2015) http://www.diw.de/documents/publikationen/73/ diw_01.c.518244.de/15-45.pdf, Deutsches Institut für Wirtschafts-forschung, p.1083-88. (30) OECD (2015) http://www.oecd.org/migration/How-will-the-refugee-surge-affect-the-European-economy.pdf.
Data Briefing Series
No. 1 January 2016
This GMDAC Briefing has outlined what the main data show about the arrivals of migrants and refugees, as well as asylum-seekers in Germany during 2015. The Briefing discusses the rising monthly numbers of arrivals in Germany, it explores the reasons for differences in the numbers which reach the media and public debate. The policy challenges which face Germany and the whole of the EU will require reasoned and responsible use of the data, in order to develop appropriate labour market and integration measures, humanitarian protection, integration measures and importantly provision for children. As the first GMDAC Data Briefing in 2016, it aims to provide a short guide to inform policy, research and analysis. It is hoped that this will help to inform discussion of the policy challenges which lie ahead in 2016.
Understanding the data and policy needs for the future
GMDAC
In response to growing calls for better data on migration, and better use and presentation of migration data, IOM has created a Global Migration Data Analysis Centre (GMDAC). As a global hub for data and statistics on migration, GMDAC aims to conduct and coordinate research and data projects. Located in the heart of Berlin, Germany, the Centre aims to provide authoritative and timely analysis of data on global migration issues.
Data Briefing Series
The GMDAC Data Briefing Series aims to explain what lies behind the numbers and the data used in migration policy and public debates. The Briefings explain what ?the numbers? really tell us about movements of migrants, refugees and asylum-seekers, on a range of topics for policy, across the globe.
The way the data are presented has an important influence on public perceptions of migration in Europe and on the development of policy. The Series will serve to clarify, explain and exchange specialist knowledge in an accessible format for wider public and policy audiences, for capacity-building and evidence for policy. Briefings will be of interest to expert, as well as lay audiences, including journalists, students, local authority and city planners and lawyers.
About
Contact information
For more information about the Data Briefing Series please contact the editors:
Frank Laczko, Head of GMDAC Tel: +49 30 278 778 23 Email: [email protected]
Ann Singleton, on secondment to GMDAC University of Bristol Email: [email protected]
Global Migration Data Analysis Centre (GMDAC) International Organization for Migration (IOM) Taubenstr. 20-22 D- 10117 Berlin, Germany Tel.: +49 30 278 778 22 Fax: +49 30 278 778 99
Please visit the GMDAC website for publications, resources, and events: http://gmdac.iom.int
Migration, asylum and refugees in Germany: Understanding the data
Page 6 / 6