kebijakan pabdulkadir.blog.uma.ac.id/wp-content/uploads/sites/362/... · 2020. 8. 3. · draft...
TRANSCRIPT
A bdul Kadir, lahir di Pangkalan Brandan, 05 Desember 1957.
Menyelesaikan pendidikan Fakultas Hukum di Universitas
Sumatera Utara tahun 1987, pada tahun 2003 menyelesaikan
S2 dan memperoleh Magister Sains pada Program Studi
Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan Sekolah
Pascasarjana USU dan terakhir menyelesaikan Program Doktor
(S3) Ilmu Perencanaan Wilayah pada Sekolah Pascasarjana
Universitas Sumatera Utara .
Pendidikan tambahan yang pernah diikuti yaitu Diklat Perencanaan Instansi Teknis
Tingkat Provinsi Sumatera Utara di Medan tahun 1990, Diklat SPAMA di Medan
tahun 1997, Diklat Reinventing Goverment di Medan tahun 2000, Workshop Analisis
Kelayakan Pengenaan Retribusi atas Fungsi Pelayanan dan Perizinan di Jakarta
tahun 2003, Diklat PIM II LAN RI di Medan dan Kewidyaswaraan berjenjang Tk
Pertama LAN RI di Medan tahun 2004.
Pekerjaan dimulai pada tahun 1987-1996 sebagai Kepala Seksi Penelitian dan
Perencanaan pada Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara, tahun 1996-2002
sebagai Kepala Seksi Hukum dan Perundang-undangan pada Dinas Pendapatan
Provinsi Sumatera Utara, tahun 2002-2006 sebagai Kepala Sub Dinas Bina Program
pada Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara dan 2006 sampai dengan sekarang
sebagai Kepala Bagian Tata Usaha pada Dinas pendapatan Provinsi Sumatera Utara.
Dan juga Dipercayakan oleh Depdagri sebagai wakil ketua Tim Teknis Penyusun
Draft Materi RUU tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Kegiatan penelitian yang pernah diikuti yaitu, Studi Penyusunan Pedoman bantuan
keuangan Provinsi kepada Kabupaten/Kota se-Provinsi Sumatera Utara, sebagai
anggota (kerja sama Pemprovsu dengan LPPM-USU) di Medan tahun 2006. Dan
ditahun yang sama juga mengadakan penelitian Analisis dan Perumusan potensi
perkebunan dalam rangka ekstensifikasi Sumber Pendapatan Daerah di Sumatera
Utara, sebagai anggota (kerja sama Pemprovsu dengan LPPM-USU) di Medan.
Aktif mengikuti seminar dan lokakarya antara lain: Seminar Administrasi dalam
Negeri (Kerjasama antara Pemerintah RI dan Jepang) di Jakarta tahun 2000.
Seminar Nasional Lingkungan Perkotaan di Indonesia oleh FALT Universitas
Trisakti, Jakarta tahun 2005 dan Fourth Regional IMT-GT UNINET Conference 2002
“Future Scenario in Biological Research insights and Co-operation” di Penang,
Malaysia. Aktif sebagai pemakalah dan nara sumber pada berbagai seminar, diklat
struktural dan diklat teknis pada Badan Diklat Provinsi Sumatera Utara. Dan juga
aktif menulis pada beberapa jurnal seperti Wahana Hijau Program Doktor Ilmu
Perencanaan Wilayah Sekolah Pascasarjana USU,
ISBN 979 - 3360 - 82 - 8
PENGANTAR :
Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi, S.E., M.S
Pustaka Bangsa Press
Medan 2007
KEBIJAKAN P ENETAPAN NILAI JUAL OBJ EK PBB Dr. Abdul Kadi r, S.H., M
.Si Dr. Abdul Kadi r, S.H., M
.Si
i
KATA PENGANTAR
Dekan Fakultas Ekonomi
Universitas Padjadjaran, Bandung
engan diterbitkannya buku yang berjudul “Kebijakan
Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan Sektor
Perkebunan dalam Pelaksanaan Otonomi dan Peningkatan
Sumber Pendapatan Daerah” merupakan salah satu referensi bagi
Aparat pemerintahan, stakeholder dan para akademisi yang
berminat untuk mengetahui dan memahami hal-hal yang terkait
dengan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan yang berhubungan
program optimalisasi sumber-sumber penerimaan pemerintah
yang berbasis potensi perkebunan baik untuk kepentingan
nasional maupun regional, sebagai upaya menyikapi secara arif
dan bijaksana paradigma Otonomi Daerah sebagaimana dimaksud
UU No. 32 Tahun 2004 dan UU No. 33 Tahun 2004.
Kami menyambut baik atas penerbitan buku ini yang
merupakan hasil penelitian Disertasi Sdr. Abdul Kadir dalam
menempuh pendidikan Program Doktor (S3) Ilmu Perencanaan
Wilayah pada Sekolah Pascasarjana USU, yang materinya
mencakup berbagai aspek terutama keterkaitan peranan
kontribusi Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) terhadap Sumber
Pendapatan Daerah, khususnya yang berhubungan dengan
penetapan Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) PBB Sektor Perkebunan
yang potensinya relatif besar.
ii
Peningkatan kontribusi penerimaan daerah dari sektor
tersebut merupakan sumber penerimaan Dana Perimbangan dari
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Provinsi/Kab/Kota sangat
erat hubungannya dalam meningkatkan pertumbuhan ekonomi
dan pembangunan melalui pemberdayaan potensi wilayah, yang
pada gilirannya akan mendukung upaya meningkatkan
kesejahteraan masyarakat.
Diharapkan buku yang diedit dari hasil penelitian disertasi
ini dapat memberikan sumbangsih kepada perkembangan ilmu
penget-0ahuan, disamping dapat dipergunakan sebagai bahan
referensi oleh para pengambil keputusan dan kebijakan yang
berkaitan dengan pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan serta
unsur pemerintahan di daerah dan kepentingan akademisi.
Bandung, September 2007
Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi, S.E, M.S
iii
SEKAPUR SIRIH
erutama sekali penulis mengucapkan puji dan syukur
kehadirat Allah SWT, karena atas limpahan berkat dan rahmat-Nya
penulisan buku ini dapat diselesaikan sebagaimana mestinya. Pada
kesempatan ini dengan hati yang tulus dan penuh kerendahan hati,
saya sampaikan terima kasih kepada berbagai pihak yang telah
berperan serta dalam menyelesaikan penulisan buku ini terutama
kepada Prof. Dr. Sutyastie Soemitro Remi, SE, M.S, Prof. Ir. Zulkifli
Nasution, M.Sc. Ph.D dan Dr. Ramli, SE. M.S, serta Prof. Bachtiar
Hassan Miraza, Prof. Dr. Ir. Sumono, MS dan Dr. Nury Effendi,
S.E., M.A yang telah memberikan pengarahan, saran, kritik dan
dorongan moril serta motivasi dengan penuh kesabaran dan
pengabdian, sampai selesainya penulisan buku ini.
Terima kasih kepada yang terhormat Prof. Dr. Alvi Syahrin,
S.H., M.S yang telah memotivasi dan membantu penulis dalam
pengeditan penelitian Disertasi ini sehingga menjadi sebuah buku.
Buku yang berjudul “Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek
Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan dalam Pelaksanaan
Otonomi dan Peningkatan Sumber Pendapatan Daerah” ini,
mungkin bermanfaat bagi para pengambil kebijakan di sektor
perpajakan khususnya bidang Pajak Bumi dan Bangunan, dan para
akademisi.
iv
Penulis menyadari bahwa tulisan ini perlu adanya perbaikan
di setiap waktu demi kesempurnaannya. Oleh karena itu, penulis
mengharapkan masukan dan saran yang bersifat konstruktif dari
para pembaca demi terciptanya sebuah karya tulis yang lebih baik.
Medan, September 2007
Abdul Kadir
v
DAFTAR ISI
Hlm
KATA PENGANTAR i
SEKAPUR SIRIH iii
DAFTAR ISI v
DAFTAR TABEL vii
DAFTAR GAMBAR x
BAB I : PENDAHULUAN 1
BAB II : PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN
OTONOMI DAERAH
11
A. Pendekatan Wilayah
B. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak
Bumi dan Bangunan
C. Pengertian Kebijakan
D. Birokrasi Pemerintahan
E. Perkebunan
F. Tata Ruang
G. Otonomi Daerah
H. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
I. Pengertian Pajak dan Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB)
J. Pengembangan Wilayah
11
15
18
37
43
52
60
68
69
84
BAB III : KERANGKA KONSEPTUAL 89
BAB IV : KEBIJAKAN PENETAPAN NILAI JUAL
OBYEK PAJAK BUMI DAN BANGUNAN
SEKTOR PERKEBUNAN DALAM
PELAKSANAAN OTONOMI DAN
PENINGKATAN SUMBER PENDAPATAN
DAERAH
95
A. Gambaran Umum
B. Variabel
C. Pengujian Hipotesis
D. Pembahasan
95
103
142
183
vi
E. Analisis Implementasi Terhadap
Perencanaan Wilayah
F. Temuan Teoritis
199
202
BAB V : P E N U T U P 203
A. Kesimpulan
B. Saran
203
205
DAFTAR PUSTAKA 207
vii
DAFTAR TABEL
Hlm
Tabel 1 : Penerimaan PBB di Kab/Kota se Provinsi
Sumatera Utara
3
Tabel 2 : Penerimaan PBB Bagian Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara
3
Tabel 3 : APBD Provinsi Sumatera Utara TA 2001 s/d
2005
4
Tabel 4 : Realisasi Penerimaan Pemerintah
Kabupaten/Kota Tahun 2001-2005 (Milyar
Rupiah)
5
Tabel 5 : Penerimaan PBB Sektor Perkebunan 7
Tabel 6 : Perkembangan PDRB Perkapita Provinsi
Sumatera Utara Atas Dasar Harga Berlaku
dan Atas Dasar Harga Konstan
8
Tabel 7 : Luas Daerah, Jumlah Penduduk, Kepadatan,
Rumah Tangga
Tahun 2005
96
Tabel 8 : Komposisi Umur Responden 99
Tabel 9 : Komposisi Pendidikan Responden 100
Tabel 10 : Komposisi Pendidikan Responden 102
Tabel 11 : Jenis dan Standar Investasi Tanaman
Perkebunan Tiap Hektar
106
Tabel 12 : Produksi Tanaman Perkebunan Per
Kabupaten Tahun 2005
107
Tabel 13 : Penerimaan Pemerintah Provinsi Sumatera
Utara TA 2001 s/d 2005
109
Tabel 14 : Besar dan Jenis Pendapatan Asli Daerah
Provsu TA 2001 s/d 2005
111
Tabel 15 : Persebaran Penduduk Berdasarkan
Kabupaten/Kota
117
Tabel 16 : Produk Domestik Regional Bruto Provinsi
Sumatera Utara Atas Dasar Harga Berlaku
Tahun 2000-2005 (Juta Rupiah)
118
Tabel 17 : Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar
Harga Konstan Tahun 2000 (Juta Rupiah)
119
Tabel 18 : Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar
Harga Konstan 2000 Menurut Kabupaten/
Kota Provinsi Sumatera Utara, 2001-2005
121
viii
(Juta Rupiah)
Tabel 19 : Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar
Harga Berlaku menurut Kabupaten/Kota
Provinsi Sumatera Utara, 2001-2005 (Juta
Rupiah)
122
Tabel 20 : Perkembangan Inflasi di Sumatera Utara
Berdasarkan Kelompok Tahun 2001- 2005
124
Tabel 21 : Perkembangan Inflasi Nasional Berdasarkan
Kelompok Tahun 2001- 2005
126
Tabel 22 : Perkembangan Inflasi di Beberapa Kota
Besar, Sumatera Utara dan Nasional Tahun
2001- 2005
127
Tabel 23 : Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara
dan Nasional Tahun 2001-2005
128
Tabel 24 : Realisasi Penerimaan PBB Persektor Tahun
2001 – 2005
130
Tabel 25 : Target dan Realisasi Pajak Bumi dan
Bangunan Sektor Perkebunan se Sumatera
Utara Tahun Anggaran 2001- 2005
132
Tabel 26 : Luas Lahan Perkebunan PTPN II. III. IV
Tahun 2001-2005
133
Tabel 27 : Luas Lahan Perkebunan di Provinsi
Sumatera Utara
136
Tabel 28 : Luas Lahan Perkebunan di Provinsi
Sumatera Utara
137
Tabel 29 : Persepsi Stakeholder Perkebunan 138
Tabel 30 : Pendapat Stakeholder terhadap Penerimaan
Pemerintah dari Sektor Perkebunan
141
Tabel 31 : Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan
Ekonomi dan Kepadatan Penduduk
Terhadap NJOP
143
Tabel 32 : Koefisien Kolinerity dan Korelasi 145
Tabel 33 : Korelasi Rank Spearman 146
Tabel 34 : Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan
Ekonomi dan Kepadatan Penduduk terhadap
NJOP
147
Tabel 35 : Koefisien Kolinerity 150
Tabel 36 : Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan
Ekonomi Kepadatan Penduduk dan NJOP
Terhadap PAD
151
Tabel 37 : Koefisien Kolinerity 154
ix
Tabel 38 : Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan
Ekonomi, Kepadatan Penduduk, NJOP dan
PBB terhadap PAD
155
Tabel 39 : Koefisien Kolinerity 158
Tabel 40 : Rank Spearman Korelasi 159
Tabel 41 : Pertumbuhan Penerimaan PBB Bagian
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000 – 2005
170
Tabel 42 : Pertumbuhan Penerimaan PBB Bagian
Provinsi Sumatera Utara Tahun 2000 - 2005
172
Tabel 43 : Produksi Tanaman Perkebunan Berdasarkan
Tahun
173
Tabel 44 : Komposisi Total Lahan Perkebunan
Berdasarkan Tahun
174
Tabel 45 : Komposisi Lahan yang Menghasilkan
Berdasarkan Tahun
174
Tabel 46 : Komposisi Lahan yang Belum Menghasilkan 175
Tabel 47 : Komposisi Lahan Terlantar Berdasarkan
Tahun
176
Tabel 48 : Hasil Statistik Cohran Test 180
Tabel 49 : Rekapitulasi Pendapat Responden tentang
Penetapan Pajak Berdasarkan Nilai
Tanaman yang Produktif
182
Tabel 50 : Rekapitulasi Hasil Penelitian Penetapan
NJOP PBB Sektor Perkebunan
196
x
DAFTAR GAMBAR
Hlm
Gambar 1 : Empat Pilar Penopang Ilmu Pembangunan 11
Gambar 2 : Enam Pilar Penopang Ilmu Pembangunan 12
Gambar 3 : Kerangka Konseptual dan Hipotesis
Penelitian
92
Gambar 4 : Diagram Jalur Hubungan Antar Variabel 93
Gambar 5 : Diagram Jalur Hasil Integrasi Persamaan
Struktur I, II, III dan IV
160
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 1
BAB I
PENDAHULUAN
tonomi daerah dan desentralisasi, memberi peluang kepada
daerah untuk menyelenggarakan perekonomian secara otonom,
dalam penyelenggaraan otonomi daerah yang luas, nyata dan
bertanggung jawab, diperlukan kewenangan dan kemampuan
menggali sumber keuangannya sendiri, yang didukung oleh
perimbangan keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah serta
antara Provinsi dan Kabupaten/Kota yang merupakan prasyarat
dalam pemerintahan.
Sumber keuangan merupakan faktor esensial dalam
pelaksanaan otonomi daerah, karena tanpa dukungan dana yang
cukup, kemampuan dalam mengatur urusan rumah tangganya akan
terganggu (Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004).
Dengan adanya sumber keuangan tersebut, maka
diharapkan daerah dapat mengelolanya dengan baik agar dapat
terpelihara kesinambungan perekonomian daerah. Pendapatan
daerah sebagai sumber pembiayaan bagi daerah, maka Pendapatan
Asli Daerah (PAD) dapat berfungsi sebagai sokoguru kelestarian
otonomi daerah dan berfungsi sebagai tulang punggung
pembangunan daerah.
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 2
Sesuai ketentuan undang-undang, bahwa jenis sumber
penerimaan daerah telah ditetapkan baik berupa Pendapatan Asli
Daerah seperti pajak daerah dan retribusi daerah maupun Dana
Perimbangan berupa bagi hasil pajak diantaranya adalah yang
bersumber dari Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang terdiri dari 5
(lima) sektor meliputi sektor perdesaan, perkotaan, perkebunan,
kehutanan dan pertambangan. Kontribusinya cukup besar sebagai
salah satu penerimaan Bagi Hasil Pajak dalam Anggaran
Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Provinsi dan APBD
Kabupaten/Kota di Sumatera Utara. Penerimaan PBB untuk sektor
perkebunan pada dasarnya masih dimungkinkan dapat
ditingkatkan lagi melalui penetapan Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
antara lain dari objek PBB terhadap pemanfaatan lahan
perkebunan pada masa produktif (menghasilkan).
Besarnya pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk
sangat berpengaruh terhadap penetapan NJOP, keadaan ini secara
langsung akan berpengaruh terhadap jumlah penerimaan dari
sektor PBB dan pada akhirnya akan berpengaruh terhadap PAD.
Peningkatan PAD akan medorong peningkatan PDRB perkapita.
Besarnya penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di
Kabupaten/Kota se Provinsi Sumatera Utara setiap tahunnya
mengalami peningkatan seperti pada tabel berikut:
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 3
Tabel 1
Penerimaan PBB di Kab/Kota se Provinsi Sumatera Utara
No. Tahun Penerimaan PBB
1. 2001 Rp. 299.707.629.000,-
2. 2002 Rp. 343.529.691.000,-
3. 2003 Rp. 462.436.796.000,-
4. 2004 Rp. 635.490.310.000,-
5. 2005 Rp. 758.487.325.000,-
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.
Tahun 2001 penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sebesar
Rp. 299.707.629.000,- dan menjadi Rp. 758.487.325.000,- pada tahun
2005, terjadi peningkatan 253 % dalam kurun waktu lima tahun.
Besarnya penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan untuk bagian
pemerintah Provinsi Sumatera Utara sebesar 16,2 % dari total
penerimaan adalah sebagai berikut:
Tabel 2
Penerimaan PBB Bagian Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
No. Tahun Penerimaan PBB
1. 2001 Rp. 36.059.687.000,-
2. 2002 Rp. 55.124.166.000,-
3. 2003 Rp. 75.834.034.919,-
4. 2004 Rp. 103.566.636.347,-
5. 2005 Rp. 123.266.397.510,-
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 4
Penerimaan PBB bagian Pemerintah Provinsi tahun 2001
sebesar Rp. 36.059.687.000,- meningkat menjadi
Rp. 55.124.166.000,- tahun 2002. Demikian halnya untuk tahun
2003 penerimaan PBB bagian pemerintah provinsi adalah sebesar
Rp. 75.834.034.919,- dan tahun 2004 menjadi
Rp. 103.566.636.347,- serta kembali lagi meningkat tahun 2005
menjadi sebesar Rp. 123.266.397.510,- atau meningkat sebesar
Rp. 19.699.761.163,- atau setara dengan peningkatan 19,02 %.
Besarnya pendapatan pemerintah daerah berdasarkan APBD
Provinsi Sumatera Utara TA 2001 sampai dengan 2005 seperti
tertera pada tabel berikut:
Tabel 3
APBD Provinsi Sumatera Utara TA 2001 s/d 2005
No. Tahun Penerimaan Daerah
1. 2001 Rp. 1.066.803.843.207,-
2. 2002 Rp. 1.179.912.701.187,-
3. 2003 Rp. 1.575.463.771.019,-
4. 2004 Rp. 1.885.677.325.412,-
5. 2005 Rp. 2.151.798.286.955,-
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara Tahun 2006.
Besarnya APBD Provinsi Sumatera Utara tahun 2001
sebesar Rp. 1.066.803.843.207,- menjadi Rp. 1.179.912.701.187,-
tahun 2002. Pada tahun 2003 APBD Provinsi Sumatera Utara
menjadi Rp. 1.575.463.771.019,- dan tahun 2004 sebesar
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 5
Rp. 1.885.677.325.412,- serta tahun 2005 menjadi
Rp. 2.151.798.286.955,-.
Realisasi penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota se
Provinsi Sumatera Utara sangat bervariasi satu dengan yang lain
seperti tertera pada Tabel 4.
Tabel 4
Realisasi Penerimaan Pemerintah Kabupaten/Kota
Tahun 2001-2005 (Milyar Rupiah)
No. Kabupaten/Kota Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1 2 3 4 5 6 7
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
Nias
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Labuhan Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
Deli Serdang
Langkat
Nias Selatan
Humbang
229,1
180,1
288,9
137,2
232,3
173,5
237,7
285,6
342,3
143,6
145,6
437,1
290,6
1)
250,4
187,9
306,6
170,1
275,7
202,5
302,8
329,1
372,9
170,9
189,0
510,1
337,8
1)
286,4
233,2
342,7
208,4
235,4
317,1
412,4
387,8
463,1
217,3
243,5
655,5
406,2
1)
228,4
229,1
345,7
227,2
212,6
226,1
408,3
396,6
413,4
170,0
243,5
639,4
455,6
3)
259,2
238,2
378,5
240,2
210,2
171,2
434,6
394,7
414,3
185,8
243,2
527,6
454,2
3)
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 6
No. Kabupaten/Kota Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1 2 3 4 5 6 7
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
26
Hasundutan
Pakpak Bharat
Samosir
Serdang Bedagai
Sibolga
Tanjung Balai
Pematang
Siantar
Tebing Tinggi
Medan
Binjai
Padang
Sidimpuan
1)
1)
1)
1)
53,4
99,7
118,1
91,7
545,8
130,8
1)
1)
1)
1)
1)
110,0
167,1
168,5
145,0
751,2
180,4
83,0
1)
1)
1)
1)
139,8
171,9
192,8
161,9
1.168,3
186,2
139,0
106,2
43,3
1)
1)
142,8
177,2
211,7
188,9
1.075,2
191,4
170,7
123,3
78,7
107,5
258,6
159,6
178,8
234,8
166,8
1.156,2
192,9
177,0
J u m l a h 4.163,1 5.211,0 6.568,9 6.503,3 6.986,1
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Keterangan 1). Masih bergabung dengan kabupaten induk.
3). Data belum tersedia.
Menurut data tahun 2005 bahwa potensi perkebunan di
wilayah Sumatera Utara dengan luas areal 1,75 juta Ha meningkat
134.799 Ha atau naik 7,71 % dari luas areal tahun 2001 (1,61 juta
Ha) dengan laju pertumbuhan 2,05 % pertahun. Jumlah produksi
tahun 2005 sebesar 4,34 juta Ton, meningkat jika dibandingkan
dengan produksi tahun 2001 yang memiliki produksi 3,62 juta Ton,
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 7
laju pertumbuhan produksi rata-rata 2,19 %. (Dinas Perkebunan,
2005).
Penerimaan PBB sektor perkebunan di Provinsi Sumatera
Utara meningkat setiap tahunnya seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 5
Penerimaan PBB Sektor Perkebunan
No. Tahun Penerimaan PBB
1. 2001 Rp. 102.512.451.000,-
2. 2002 Rp. 99.443.931.000,-
3. 2003 Rp. 117.076.831.000,-
4. 2004 Rp. 122.130.631.000,-
5. 2005 Rp. 129.345.859.000,-
Sumber: Sumatera Utara dalam Angka 2006.
Realisasi pertumbuhan ekonomi, dan perkembangan PDRB
per kapita Provinsi Sumatera Utara seperti tertera pada tabel
berikut:
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 8
Tabel 6
Perkembangan PDRB Perkapita Provinsi Sumatera Utara Atas
Dasar Harga Berlaku dan Atas Dasar Harga Konstan
Tahun
ADH
Berlaku
(000 Rp.)
Pertumbuhan
(%)
ADH
Konstan
(000 Rp.)
Pertumbuhan
(%)
2001 6.813,2 - 6.175,7 -
2002 7.614,8 11,7 6.385,7 3,39
2003 8.672,1 13,88 6.609,3 3,51
2004 9.741,6 12,33 6.873,4 4,00
2005 11.106,3 14,01 7.130,7 3,74
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara
dalam Angka 2006.
Tingkat perkembangan PDRB perkapita Provinsi Sumatera
Utara berdasarkan atas dasar berlaku tahun 2001 adalah sebesar
Rp. 6.813,2,- ribu. Apabila menurut atas dasar harga berlaku
tersebut dari tahun ketahun terus mengalami peningkatan.
Pertumbuhan tertinggi terjadi pada tahun 2005, yaitu sebesar 14,01
%. Sampai dengan tahun 2005 PDRB perkapita Sumatera Utara
atas dasar harga berlaku sebesar Rp. 11.106,3 ribu tumbuh 14,01 %
dibanding tahun sebelumnya (2004) yang sebesar Rp. 9.741,6 ribu.
Dalam rangka untuk meningkatkan penerimaan pemerintah
dari sektor perkebunan, diperlukan suatu insentif bagi pengelola
perkebunan, hal ini dapat dilakukan dengan cara intensifikasi
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 9
pengenaan besaran Pajak Bumi dan Bangunan dengan tetap
memperhatikan perundang-undangan, yang tentunya pengaturan
dalam perumusan kebijakan penetapan NJOP di daerah, adanya
pelimpahan kewenangan daripada unsur aparat Ditjen Pajak
Departemen Keuangan Pajak di daerah.
Berdasarkan teori kebijakan oleh Riant Nugroho (2006),
tentang kebijakan publik, maka penetapan nilai jual obyek pajak
merupakan kebijakan publik yang bersifat messo, kebijakan messo
atau penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk
peraturan menteri, surat edaran menteri, peraturan gubernur,
peraturan bupati dan peraturan walikota. Kebijakannya dapat pula
berbentuk surat keputusan bersama atau SKB antar Menteri,
Gubernur dan Bupati/Walikota.
Oleh karena itu, perlu dilakukan analisis kebijakan terhadap
penetapan nilai jual obyek Pajak Bumi dan Bangunan sektor
perkebunan dalam pelaksanaan otonomi dan peningkatan sumber
pendapatan daerah di Sumatera Utara, demi terciptanya dan
terwujudnya peningkatan pembangunan daerah dan kesejahteraan
masyarakat dalam bingkai kerangka Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI), yang merupakan salah satu bagian terpenting
untuk memberdayakan potensi dalam mendukung perencanaan
wilayah yang bersumber dari penerimaan pemerintah yang berbasis
Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan.
Pendahuluan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 10
Berdasarkan uraian di atas, maka yang menjadi
permasalahan dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1. Apakah variabel pertumbuhan ekonomi dan kepadatan
penduduk berpengaruh terhadap NJOP secara parsial dan
bersama;
2. Apakah variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk
dan NJOP secara parsial dan bersama berpengaruh terhadap
Pajak Bumi dan Bangunan;
3. Apakah variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk
dan NJOP secara parsial dan bersama berpengaruh terhadap
Pendapatan Asli Daerah;
4. Apakah variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk,
NJOP dan Pajak Bumi dan Bangunan berpengaruh terhadap
Pendapatan Asli Daerah secara parsial dan bersama;
5. Berapa besar pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi dan
kepadatan penduduk terhadap Pajak Bumi dan Bangunan
melalui NJOP;
6. Berapa besar pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi dan
kepadatan penduduk terhadap Pendapatan Asli Daerah melalui
NJOP;
7. Berapa besar pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi
kepadatan penduduk dan NJOP terhadap Pendapatan Asli
Daerah melalui Pajak Bumi dan Bangunan; dan
8. Apakah ada peluang penetapan NJOP-PBB berdasarkan aspek
juridis.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 11
BAB II
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN DAN OTONOMI DAERAH
A. Pendekatan Wilayah
1.1. Ilmu Pembangunan Wilayah
lmu Pembangunan Wilayah merupakan ilmu yang relatif masih
baru, ilmu ini dikembangkan pada dasawarsa 1950 an. Munculnya
ilmu pembangunan wilayah ini karena ketidakpuasan para pakar
ilmu sosial ekonomi terhadap rendahnya tingkat perhatian dan
analisis ekonomi berdimesi parsial (Budiharsono, 2005). Dalam
perkembangannya lebih mendekati ilmu ekonomi. Menurut Misra
(1997) Ilmu Pembangunan Wilayah merupakan disiplin ilmu yang
ditopangkan empat pilar (tetrapolid disipline) yang dapat
digambarkan sebagai berikut:
Gambar 1. Empat Pilar Penopang Ilmu Pembangunan
1. Geografi
2. Ekonomi
3. Perencanaan
Kota 4. Teori Lokasi
ILMU
PEMBANGUNAN
WILAYAH
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 12
Berdasarkan empat pilar yang dikemukakan diatas belum
mencakup atau terwakili tentang aspek biogeofisik sosial dan
lingkungan maka paling tidak ilmu pembangunan wilayah perlu
ditumpang oleh enam pilar (Budiharsono, 2005) dapat dilihat pada
gambar berikut ini:
Gambar 2. Enam Pilar Penopang Ilmu Pembangunan
Ilmu pembangunan wilayah merupakan integrasi dari teori
dan ilmu terapan yaitu geografi, ekonomi, sosiologi, matematika,
statistika, ilmu politik, perencanaan daerah, ilmu lingkungan dan
sebagainya. Hal ini dapat di pahami dalam pembangunan suatu
wilayah merupakan fenomena multivased yang memerlukan
berbagai usaha manusia dari berbagai bidang ilmu pengatahuan
Pentingnya ilmu pembangunan wilayah dalam kontek
pembangunan di Indonesia pada umumnya pada wilayah Sumatera
Utara pada khususnya. Ilmu pembangunan wilayah dapat
Analisis
Biogeofisik
Analisis
Sosial
Analisis
Ekonomi Analisis
Lokasi
ILMU
PEMBANGUNAN
WILAYAH
Analisis
Kelembagaan
Analisis
Lingkungan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 13
diterpakan untuk tingkat provinsi, kabupaten/kota bahkan pada
level kecamatan/desa.
1.2. Wilayah
Hanafiah (1988) mengklasifikasikan wilayah atas :
1. Wilayah Formal (Formal Region)
Yaitu suatu wilayah yang mempunyai beberapa persamaan
dalam hal fisik seperti topografi, iklim, vegetasi, ekonomi (seperti
industri pertanian).
2. Wilayah Fungsional (Function region)
Yaitu wilayah yang memperlihatkan kekompakkan
fungsional dan saling ketergantungan seperti kota dan desa.
3. Wilayah Perencanaan
Yaitu wilayah yang merupakan kombinasi wilayah formal
dan fungsional yang ditandai suatu wilayah yang cukup luas,
memenuhi kriteria investasi dalam skala ekonomi. Mampu
menunjang industri dengan pengadaan tenaga kerja serta
mempunyai paling sedikit satu kata sampai titik pusat
pertumbuhan.
Menurut Budi Harsono (2005) wilayah didefenisikan sebagai
suatu unit geografi yang dibatasi oleh kriteria tertentu yang bagian-
bagiannya bergantung secara internal. Wilayah dapat dibagi
menjadi 4 jenis, yaitu:
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 14
1. Wilayah Homogen
Wilayah homegen adalah wilayah yang dipandang dari satu
aspek/kriteria mempunyai sifat-sifat atau ciri-ciri yang relatif sama.
Sifat-sifat dan ciri-ciri kehomogenan itu misalnya dalam hal
ekonomi (seperti daerah dengan struktur produksi dan konsumsi
yang homogen, daerah dengan tingkat pendapatan rendah/miskin,
dan lain-lain.
2. Wilayah Nodal
Wilayah nodal (nodal region) adalah wilayah yang secara
fungsional mempunyai ketergantungan antara pusat (inti) dan
daerah belakangnya (hinterland). Tingkat ketergantungan ini dapat
dilihat dari arus penduduk, faktor produksi, barang dan jasa,
ataupun komunikasi dan transportasi.
3. Wilayah Administratif
Wilayah administratif adalah wilayah yang batas-batasnya
ditentukan berdasarkan kepentingan administrasi pemerintahan
atau politik, seperti : provinsi, kabupaten, kecamatan,
desa/kelurahan, dan RT/WR.
4. Wilayah Perencanaan
Wilayah perencanaan didefenisikan sebagai wilayah yang
memperlihatkan koherensi atau kesatuan keputusan-keputusan
ekonomi. Wilayah perencanaan dapat dilihat sebagai wilayah yang
cukup besar untuk memungkinkan terjadinya perubahan-
perubahan penting dalam penyebaran penduduk dan kesempatan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 15
kerja, namun cukup kecil untuk memungkinkan persoalan-
persoalan perencanannya dapat dipandang sebagai suatu kesatuan.
B. Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) Pajak Bumi dan Bangunan
Dalam Pasal 2 Undang-undang Republik Indonesia No. 12
Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan (selanjutnya
disingkat UU No. 12/1985) yang telah dirubah dengan Undang-
undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1994 tentang Perubahan
atas Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985
tentang Pajak Bumi Bangunan (selanjutnya disingkat UU No.
12/1994) menyebutkan bahwa obyek Pajak Bumi dan Bangunan
adalah bumi dan/atau bangunan. Yang dimaksud dengan bumi
adalah permukaan bumi dan tubuh bumi yang ada di bawahnya.
Termasuk dalam pengertian bumi adalah tanah, termasuk tanah,
pekarangan, sawah (Direktorat Jenderal Pajak & Fakultas Ekonomi
UNDIP, 1997).
Bangunan adalah konstruksi teknik yang ditanam atau
diletakkan secara tetap pada tanah dan atau perairan. Termasuk
dalam pengertian bangunan yang dikenakan pajak adalah
bangunan tempat tinggal (rumah), gedung kantor, hotel, pabrik dan
lain-lain.
Demikian juga yang merupakan satu kesatuan dengan
kompleks bangunan tersebut seperti jalan lingkungan pabrik dan
emplasemennya, kolam renang, taman mewah, tempat olah raga,
jalan tol, galangan kapal, dermaga, tempat penampungan/kilang
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 16
minyak, air dan gas juga pipa minyak. Fasilitas lain yang memberi
manfaat.
Klasifikasi obyek pajak sebagaimana dimaksud Pasal 2
dalam undang-undang tersebut, diatur oleh Menteri Keuangan
mengenai petunjuk tempat dan tata cara pembayaran PBB, obyek
pajak digolongkan menjadi beberapa kelompok (sektor) yaitu:
1. Pedesaan;
2. Perkotaan;
3. Perkebunan;
4. Perhutanan non blok tebangan;
5. Perhutanan blok tebangan; dan
6. Pertambangan migas.
Pasal 6 ayat (1) UU No. 12/1994 menyebutkan bahwa “Dasar
pengenaan pajak adalah Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP)”.
Pengertian Nilai Jual Obyek Pajak (NJOP) adalah harga
rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang terjadi secara
wajar, artinya tidak dipengaruhi oleh adanya hubungan istimewa
antara sipenjual dan sipembeli.
Pengertian Nilai Jual Obyek Pajak dalam UU No. 12/1994
adalah harga rata-rata yang diperoleh dari transaksi jual beli yang
terjadi secara wajar, dan bilamana tidak terdapat transaksi jual
beli, nilai jual obyek pajak ditentukan melalui perbandingan harga
dengan obyek lain yang sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai
jual obyek pajak pengganti.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 17
Berdasarkan UU No. 12/1994, maka penentuan nilai jual
obyek pajak dilakukan dengan pendekatan: Market Data Approach,
Cost Approach, dan Income Approach cara penilaiannya adalah
penilaian dengan cara massal dan penilaian individual.
Penilaian massal adalah proses penilaian secara sistematis
untuk sejumlah obyek pajak yang dilakukan pada saat dan prosedur
tertentu, yang dalam hal ini disebut CAV (Computer Assisted
Valuation). Dalam penilaian ini, obyek pajak dikelompokkan
menjadi 2 (dua) jenis yaitu: obyek standar dan obyek non standar,
dimana semua obyek pajak dinilai dengan bantuan komputer.
Penilaian individual adalah suatu sistem penilaian terhadap
obyek pajak dengan cara menghitung seluruh karakteristik individu
dari setiap obyek pajak. Penilaian individu diterapkan terutama
untuk obyek non standar, penilaian individu hanya dilakukan pada
obyek pajak tertentu, dimana hasil penilaian melalui proses CAV
diragukan (Direktorat Jenderal Pajak & Fakultas Ekonomi UNDIP,
1997).
Menurut Direktorat Jenderal Pajak Departemen Keuangan
bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas Hasanuddin
(2003), perubahan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
mencerminkan 2 (dua) hal pokok yaitu pengaruh dari faktor yang
tidak dapat dikendalikan (umumnya variabel ekonomi, penduduk,
PDRB, inflasi, dll) dan sebagai akibat dari suatu kegiatan atau
upaya yang telah dilakukan seperti perluasan cakupan, pendataan,
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 18
perubahan nilai jual obyek pajak yang disebut dengan variabel yang
dapat dikendalikan.
Selain variabel di atas, masih terdapat beberapa variabel
yang mungkin mempengaruhi PBB tergantung pada kondisi daerah
masing-masing. Variabel yang dianalisis di atas hanyalah variabel
yang dianggap dominan dan bersifat umum mempengaruhi nilai
obyek Pajak Bumi dan Bangunan, variabel seperti jumlah perda
atau yang mendukung Pajak Bumi dan Bangunan yang merupakan
proksi terhadap upaya memperluas cakupan baik dalam artian
intensifikasi ataupun ekstensifikasi merupakan variabel yang perlu
mendapat perhatian (Direktorat Jenderal Pajak Departemen
Keuangan bekerjasama dengan Fakultas Ekonomi Universitas
Hasanuddin, 2003).
C. Pengertian Kebijakan
Thomas Dye (1995), menyebutkan kebijakan sebagai pilihan
pemerintah untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu
(whatever government chooses to do or not to do). Friedrich (1976)
dalam Solichin (1990), mengatakan bahwa yang paling pokok bagi
suatu kebijakan adalah adanya tujuan (goal), sasaran (objective)
atau kehendak (purpose). Heglo (1970) dalam William (2001),
menyebutkan kebijakan sebagai “a course of action intended to
accomplish some end,” atau sebagai suatu tindakan yang bermaksud
untuk mencapai tujuan tertentu.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 19
Menurut Harold Laswell dan Abraham Kaplan (1970),
mendefinisikannya sebagai a projected program of goals, values, and
practices, demikian halnya Anderson (2000), mengatakan bahwa
kebijakan adalah: a relative stable, purposive course of action
followed ba an actor or set of actors in dealing with a problem or
matter of concern.
Menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa, kebijaksanaan itu
diartikan sebagai pedoman untuk bertindak. Pedoman itu boleh jadi
amat sederhana atau kompleks, bersifat umum atau khusus, luas
atau sempit, kabur atau jelas, longgar atau terperinci, bersifat
kualitatif atau kuantitatif, publik atau privat.
Kebijaksanaan dalam maknanya seperti ini mungkin berupa
suatu deklarasi mengenai suatu dasar pedoman bertindak, suatu
arah tindakan tertentu, suatu program mengenai aktivitas-aktivitas
tertentu atau suatu rencana (United Nations 1975, dalam Solichin,
1990).
Menurut Anderson (1978), merumuskan kebijaksanaan
sebagai perilaku dari sejumlah aktor (pejabat, kelompok, instansi
pemerintah) atau serangkaian aktor dalam suatu bidang kegiatan
tertentu.
Kebijaksanaan juga mengandung suatu tujuan yang nyata,
hal ini selaras dengan pendapat Friedrich (1976) dalam Solichin
(1990), bahwa kebijaksanaan ialah suatu tindakan yang mengarah
pada tujuan yang diusulkan oleh seseorang, kelompok atau
pemerintah dalam lingkungan tertentu sehubungan dengan adanya
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 20
hambatan-hambatan tertentu seraya mencari peluang-peluang
untuk mencapai tujuan atau mewujudkan sasaran yang diinginkan.
Pendapat yang hampir mirip dengan pendapat Friederick
(1976) dalam Solichin (1990) di atas, adalah Anderson merumuskan
kebijakan sebagai langkah tindakan yang secara sengaja dilakukan
oleh seorang aktor atau sejumlah aktor berkenaan dengan adanya
masalah atau persoalan tertentu yang dihadapi.
Demikian halnya James Laster dan Robert Steward (2000),
yang menyebutkan sebagai a process or a series or pattern of
governmental activities or decisions that are design to remedy some
public problem, either real or imagined.
Istilah “publik” dalam rangkaian kata public policy
mengandung 3 (tiga) konotasi: Pemerintah, masyarakat, dan umum.
Ini dapat dilihat dalam dimensi subjek dan lingkungan dari
kebijakan.
Dalam dimensi subjek, kebijakan publik adalah kebijakan
dari Pemerintah. Maka itu salah satu ciri kebijakan adalah “what
government do or not do”. Kebijakan dari pemerintahlah yang dapat
dianggap kebijakan yang resmi dan mempunyai kewenangan yang
dapat memaksa masyarakat untuk mematuhinya.
Menurut Riant Nugroho (2006), mengatakan bahwa
kebijakan publik dapat dianalisis berupa (1) kebijakan publik
adalah kebijakan yang dibuat oleh administratur negara, atau
administratur publik. Jadi kebijakan publik adalah segala sesuatu
yang dikerjakan dan yang tidak dikerjakan oleh pemerintah,
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 21
(2) kebijakan publik adalah kebijakan yang mengatur kehidupan
bersama atau kehidupan publik, bukan kehidupan seseorang atau
golongan. Kebijakan publik mengatur semua yang ada di domain
lembaga administratur publik. Kebijakan publik mengatur masalah
bersama, atau masalah pribadi atau golongan yang sudah menjadi
masalah bersama. (3) dikatakan sebagai kebijakan publik jika
manfaat yang diperoleh masyarakat yang bukan pengguna langsung
dari produk yang dihasilkan jauh lebih banyak atau lebih besar dari
pengguna langsungnya, konsep ini disebut konsep externality atau
dijadikan istilah serapan menjadi eksternalitas.
Pengertian umum dari istilah publik dalam kebijakan
terdapat dalam strata kebijakan. Suatu kebijakan publik biasanya
tidak bersifat spesifik dan sempit, tetapi luas dan berada pada
strata strategis.
Kebijakan secara umum dapat dibedakan dalam 3 (tiga)
tingkatan: kebijakan umum, kebijakan pelaksanaan, dan kebijakan
teknis. Kebijakan umum adalah kebijakan yang menjadi pedoman
atau petunjuk pelaksanaan baik bersifat positif ataupun yang
bersifat negatif yang meliputi keseluruhan wilayah atau instansi
yang bersangkutan.
Agar suatu kebijakan umum dapat menjadi pedoman bagi
tingkatan kebijakan di bawahnya, ada beberapa kriteria yang harus
dipenuhi. Pertama, cakupan kebijakan itu meliputi keseluruhan
wawasannya.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 22
Artinya, kebijakan itu tidak hanya meliputi dan ditujukan
pada aspek tertentu atau sektor tertentu. Kedua, tidak berjangka
pendek. Ketiga, strategi kebijakan umum tidak bersifat operasional.
Kebijakan pelaksanaan adalah kebijakan yang menjabarkan
kebijakan umum. Untuk tingkat pusat, peraturan pemerintah
tentang pelaksanaan suatu undang-undang, atau keputusan
menteri yang menjabarkan pelaksanaan keputusan presiden adalah
contoh dari kebijakan pelaksanaan.
Secara umum dapat disebutkan bahwa kebijakan umum
adalah kebijakan tingkat pertama, kebijakan pelaksanaan adalah
kebijakan tingkat kedua, dan kebijakan teknis adalah kebijakan
tingkat ketiga atau yang terbawah.
Dalam kebijakan teknis unsur teknis dari kebijakan yang
dikelola sangat dominan. Namun di sini, isu yang dikelolanya juga
mengandung unsur strategis, dan masih lebih umum daripada
suatu petunjuk pelaksanaan.
Dalam ilmu politik bahwa “partisipasi politik merupakan ciri
khas dari modernisasi politik”. Peran serta masyarakat pada
berbagai tingkat dalam proses kebijakan dapat berupa salah satu
atau kombinasi dari 3 (tiga) bentuk yang berikut: horizontal,
vertikal dan administrasi.
Peran serta yang bersifat vertikal terjadi dalam hubungan
yang bersifat hirarkis, antara atasan dengan bawahan, antara
daerah dengan pusat, antara anak angkat dengan bapak angkat dan
sebagainya.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 23
Peran serta masyarakat dalam mempengaruhi kebijakan
pemerintah menjadi semakin penting bersamaan dengan kemajuan
teknologi di bidang komunikasi dan transportasi sekarang ini.
Rakyat secara mudah dalam jarak yang cukup jauh dapat
mengikuti proses perumusan dan pelaksanaan suatu kebijakan
pemerintah. Pada gilirannya, hal ini membawa dampak pada sistem
dan cara kerja Lembaga Perwakilan Rakyat serta tata cara
penyusunan kebijakan pemerintah.
Jika peran serta masyarakat dalam setiap tahap proses
kebijakan cukup berfungsi, mekanisme demokrasi di Indonesia akan
terwujud, yakni suatu kondisi demokrasi, yang bilamana ada aksi
dari suatu kekuatan dalam masyarakat atau dari luar negeri yang
bertentangan dengan prinsip demokrasi, akan timbul kekuatan
reaksi dari masyarakat untuk mengembalikan keadaan pada
kondisi semula yang demokrasi.
Semua ini menuntut adanya kajian di bidang kebijakan yang
bersifat multi disiplin. Dengan kata lain, di satu pihak munculnya
ilmu kebijakan atau analisis kebijakan adalah buah dari tuntutan
perkembangan masyarakat modern sekarang ini. Di lain pihak,
menjadi tuntutan pula untuk mengkaji kebijakan yang dapat
mendorong pertumbuhan demokrasi di Indonesia.
Sekalipun kebijakan dapat dibedakan atas 3 (tiga) tingkatan,
namun kebijaksanaan tetap berada pada level strategis. Dengan
kata lain suatu kebijakan tidak boleh bersifat terlalu teknis. Jones
menempatkan kebijakan setara dengan strategi.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 24
Pengertian strategi disini adalah suatu kebijakan mencakup
wawasan yang luas, menjangkau jangka waktu yang panjang,
mengandung resiko yang besar dan melibatkan banyak pihak.
Sebagai konsekuensinya, suatu kebijakan tidak diharapkan terjadi
kegagalan, dalam kebijakan tidak dikenal istilah trial and error.
Dalam Undang-undang Republik Indonesia No. 10 Tahun
2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan
(selanjutnya disingkat UU No. 10/2004). Pasal 7 mengatur jenis dan
hirarki peraturan dalam perundang-undangan sebagai berikut:
a. Undang-undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
b. Undang-undang/Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-
undang;
c. Peraturan Pemerintah;
d. Peraturan Presiden;
e. Peraturan Daerah.
Jika dilihat kata-kata yang tertulis dari kelima jenis dan
hirarki tersebut tidak satupun yang mencantumkan kata kebijakan,
maka perlu dilihat makna dan kandungan mendalam dari kelima
jenis undang-undang tersebut.
Menurut Riant Nugroho (2006), jenis dan hirarki peraturan
perundang-undangan tersebut adalah produk yang termasuk dalam
kebijakan publik, produk mini adalah bentuk pertama dari
kebijakan publik, yaitu peraturan perundangan yang terkodifikasi
secara formal dan legal. Setiap peraturan dari tingkat pusat atau
nasional hingga tingkat desa atau kelurahan adalah kebijakan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 25
publik alasannya: karena mereka adalah aparat publik yang dibayar
oleh uang publik melalui pajak dan penerimaan negara lainnya, dan
karenanya secara hukum formal bertanggung jawab kepada publik.
Maka rentetan kebijakan publik sangat banyak. Namun
demikian secara sederhana dapat dikelompokkan menjadi 3 (tiga)
yaitu:
1. Kebijakan publik yang bersifat makro atau umum, atau
mendasar yaitu kelima peraturan yang disebut di atas;
2. Kebijakan publik yang bersifat meso atau menengah, atau
penjelas pelaksanaan. Kebijakan ini dapat berbentuk peraturan
menteri, surat edaran menteri, peraturan gubernur, peraturan
bupati, dan peraturan walikota. Kebijakannya dapat pula
berbentuk surat keputusan bersama atau SKB antar menteri,
gubernur dan bupati atau walikota;
3. Kebijakan publik yang bersifat mikro adalah kebijakan yang
mengatur pelaksanaan atau implementasi dari kebijakan di
atasnya. Bentuk kebijakannya adalah peraturan yang
dikeluarkan oleh aparat publik di bawah menteri, gubernur,
bupati dan walikota.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 26
Ciri-Ciri Umum Kebijakan
Anderson dan Charles (2000), mengemukakan beberapa ciri
dari kebijakan, sebagai berikut:
a. Setiap kebijakan mesti ada tujuannya;
b. Setiap kebijakan tidak berdiri sendiri, terpisah dari kebijakan
yang lain, tetapi berkaitan dengan berbagai kebijakan dalam
masyarakat dan berorientasi pada pelaksanaan, interprestasi
dan penegakan hukum;
c. Kebijakan adalah apa yang dilakukan pemerintah, bukan apa
yang ingin atau diniatkan akan dilakukan pemerintah;
d. Kebijakan dapat berbentuk negatif atau melarang dan juga
dapat berupa pengarahan untuk melaksanakan atau
menganjurkan;
e. Kebijakan didasarkan pada hukum, karena itu memiliki
kewenangan untuk memaksa masyarakat mematuhinya.
Sisi lain dari ciri kebijakan adalah kebijakan tidak boleh
dibuat secara random. Pilihan tujuan dan strategi mencapai tujuan
dari suatu kebijakan harus diperhitungkan secara cermat,
kecermatan yang bersifat relatif dan komprehensif.
Artinya, pilihan suatu kebijakan diperhitungkan atas dasar
banyak kriteria dan masing-masing kriteria mempunyai nilai bobot
(weight) yang berbeda menurut kondisi, situasi dan posisi masing-
masing aktor (Anderson, 2000).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 27
a. Unsur-Unsur Kebijakan
Sebagai sebuah sistem yang terdiri atas sub-sistem atau
elemen, komposisi dari kebijakan dapat dilihat dari (2) dua
perspektif: dari proses kebijakan dan dari struktur kebijakan. Dari
sisi proses kebijakan, terdapat tahap-tahap sebagai berikut:
identifikasi masalah dan tujuan, formulasi kebijakan, pelaksanaan,
evaluasi kebijakan. Dilihat dari segi struktur terdapat 5 (lima)
unsur kebijakan.
Unsur pertama, tujuan kebijakan, bahwa suatu kebijakan
dibuat karena ada tujuan yang ingin dicapai. Tanpa ada tujuan
tidak perlu ada kebijakan. Kebijakan yang baik mempunyai tujuan
yang baik (Anderson, 2000).
Tujuan yang baik sekurang-kurangnya memenuhi 4 (empat)
kriteria: diinginkan untuk dicapai, rasional atau realistis (rational
or realistic), jelas (clear) dan berorientasi ke depan (future oriented).
Tujuan yang diinginkan berarti pertama-tama dapat
diterima banyak pihak karena kandungan isinya tidak
bertentangan dengan nilai-nilai yang dianut banyak pihak dan
kedua mewakili kepentingan mayoritas atau didukung golongan
yang kuat dalam masyarakat.
Unsur kedua, masalah. Masalah merupakan unsur penting
dalam kebijakan. Kesalahan menentukan masalah secara tepat
menimbulkan kegagalan total dalam seluruh proses kebijakan. Tak
ada artinya suatu cara atau metode yang baik untuk pemecahan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 28
suatu masalah kebijakan kalau pemecahannya dilakukan bagi
masalah yang tidak benar.
Unsur ketiga, tuntutan (demand). Sudah diketahui bahwa
partisipasi merupakan indikasi dari masyarakat maju. Partisipasi
berbentuk dukungan, tuntutan dan tantangan atau kritik seperti
halnya partisipasi pada umumnya, tuntutan dapat bersifat moderat
atau radikal.
Unsur keempat, dampak atau outcomes. Dampak merupakan
tujuan lanjutan yang timbul sebagai pengaruh dari tercapainya
suatu tujuan.
b. Pendekatan Kebijakan Publik
Pendekatan ilmiah secara umum mempunyai 2 (dua) ciri
pokok, yaitu, “terkontrol” dan “sistematis”. Pendekatan yang
bersifat common sense, dalam pendekatan ilmiah terdapat hal-hal
sebagai berikut: (Anderson, 2000).
- Pengumpulan data dan analisis bersifat objektif atau tidak bias;
- Pengumpulan data secara terarah;
- Penggunaan ukuran atau kriteria yang relevan;
- Rumusannya jelas.
Pendekatan kebijakan adalah juga pendekatan ilmiah yang
harus memiliki ciri-ciri dimaksud. Namun sebagai ilmu sosial
terapan (applied social science), pendekatan ini lebih bersifat multi
dimensi yang tidak hanya berbicara tentang fakta dan nilai, akan
tetapi juga tentang aksi atau tindakan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 29
Analisis kebijakan dimaksudkan untuk menghasilkan
informasi yang relevan yang bersifat designatif, evaluatif dan
advokatif. Sifat Umum Kebijakan Publik, yaitu kebijakan publik
pada umumnya bersifat kompleks. Hal ini berkaitan dengan banyak
aspek yang terkait, luas wawasan yang terpaut dan banyak pihak
yang terlibat. Makin umum suatu kebijakan makin kompleks atau
ruwet keadaannya.
Sifat kedua dari suatu kebijakan publik adalah dinamis. Hal
ini berhubungan dengan keadaan masyarakat yang dikenai oleh
kebijakan itu bersifat dinamis (Anderson, 2000).
c. Orientasi Analisis Kebijakan
Bentuk analisis kebijakan yang prospektif (prospective policy
analysis), yaitu analisis tentang kebijakan yang langsung sebelum
ada aksi kebijakan. Pada Analisis ini terdapat 3 (tiga) orientasi
yaitu:
1) Pada disiplin ilmu dari subtansi masalahnya. Analisis ini lebih
bersifat menguji kebenaran teori yang dipakai;
2) Pada masalah kebijakan adalah suatu kebijakan diuji atas
ketepatan atau kebenaran masalahnya;
3) Pada analisis kebijakan retrospektif yang berorientasi pada
penerapan kebijakan.
Kebijakan dalam segala bentuknya tidak boleh lepas dari
nilai-nilai tradisional yang dianut, jika kebijakan diharapkan
menjadi aturan yang hidup dalam masyarakat.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 30
Salah satu ciri penting dari kebijakan adalah purposive atau
goal-oriented. Artinya, suatu kebijakan dibutuhkan karena ada
tujuan yang hendak dicapai. Jika tidak ada tujuan tidak perlu ada
kebijakan. Dengan demikian tujuan merupakan prasyarat untuk
mengadakan kebijakan.
Masalah dapat dianggap sebagai penyebab timbulnya
gangguan atau hambatan terhadap kelangsungan suatu kondisi
yang normal. “Agar masalah berhasil dipecahkan dibutuhkan
pemecahan yang tepat untuk masalah yang tepat. Kita lebih sering
gagal karena memecahkan masalah yang salah, daripada
memecahkan masalah yang benar dengan cara yang salah”. (R. L.
Ackoff dalam W.N. Dunn).
Bila dalam masyarakat terdapat pertentangan pandangan
dalam melihat hakekat dari suatu masalah, maka masalah itu
dipandang sebagai isu. Karena itu posisi dari masing-masing pihak
yang terlibat dalam issu tersebut (stakeholders) perlu
diperhitungkan kepentingan, kekuatan dan kecenderungannya.
d. Perumusan Kebijakan Publik
Sejauhmana suatu kebijakan berhasil dalam masyarakat,
sangat ditentukan oleh perumusan kebijakan itu. Ada 2 (dua) faktor
yang menentukan keberhasilan suatu kebijakan. Pertama, mutu
dari kebijakan dilihat dari substansi kebijakan yang dirumuskan.
Kedua, ada dukungan pada strategi kebijakan yang dirumuskan.
Tanpa dukungan yang cukup, kebijakan tak dapat diwujudkan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 31
Dalam hal ini kita mengenal proses perumusan kebijakan
yang bersifat kompromistis, yakni rumusan kebijakan jalan tengah
melalui proses “tolak-tarik” atau “take and give” (Anderson, 2000).
Rumusan konsensus ini dapat dipersamakan dengan
rumusan yang kompromis, karena inisiatif berasal dari kekuatan
yang secara mutlak memang sudah dapat memenangkan suara.
Maksud yang dituju bukan untuk mendapat legitimasi
formal tetapi pada legitimasi informal dalam hubungan dengan
pelaksanaan kebijakan. Dengan kata lain, rumusan kebijakan yang
berbentuk konsensus lebih mudah untuk mendapatkan dukungan
masyarakat dalam pelaksanaannya.
Dukungan yang ingin dicapai disini bukan dukungan untuk
sahnya suatu kebijakan yang dirumuskan secara yuridis, tetapi
dukungan untuk keabsahan sosial agar dapat memperoleh
partisipasi masyarakat.
Tanpa sumberdaya atau faktor pendukung yang memadai
mustahil suatu kebijakan dapat berhasil mencapai tujuan yang
diharapkan. Proses perumusan kebijakan merupakan salah satu
faktor penentu keberhasilan suatu kebijakan. Kebijakan dapat
menjadi aturan yang hidup dan diterima masyarakat tergantung
pada kemampuan untuk menampung aspirasi masyarakat melalui
proses perumusan yang demokrasi dan partisipatif.
Banyak kebijakan menjadi aturan yang mati dan dirasakan
menjadi kekangan bagi kehidupan bermasyarakat, karena dalam
proses penyusunannya tidak melibatkan rakyat. Akibatnya
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 32
kebijakan dirasakan hanya menampung aspirasi dan kepentingan
sekelompok elit yang berkuasa.
Keadaan ini pada gilirannya dapat memancing timbulnya
banyak perlawanan di kalangan masyarakat pada pemerintah,
sekalipun kebijakan itu diharapkan untuk memperbaiki kehidupan
rakyat.
Makin terbuka proses perumusan kebijakan, makin banyak
aspirasi dapat tertampung. Namun, tidak semua kebijakan
memerlukan tingkat keterbukaan yang sama. Rekomendasi
kebijakan adalah saran yang disampaikan kepada yang berwenang
mengambil kebijakan guna memecahkan atau mencapai suatu
tujuan yang dikehendaki (a desired objective) (Anderson, 2000).
Dalam bentuk yang lebih umum, pelaksanaan kebijakan
dapat dilakukan dengan menerapkan suatu sistem pengelolaan
pemerintahan yang berbeda dengan apa yang biasanya ada.
Penerapan suatu sistem baru diadakan dengan mempertimbangkan
keperluan pemenuhan tuntutan baru yang timbul dalam
masyarakat, atau karena itu dipandang lebih efisien.
Ada beberapa kesimpulan yang dapat diambil:
1) Kebijakan yang baik mempunyai tujuan yang rasional dan
diinginkan, asumsi yang realistis dan informasi yang relevan
dan lengkap;
2) Pelaksanaan suatu kebijakan pada dasarnya merupakan
transformasi yang multiorganisasional;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 33
3) Dalam kenyataan selalu ada “implementation gap,” yaitu
kesenjangan antara yang dirumuskan dengan apa yang dapat
dilaksanakan dari suatu kebijakan;
4) Banyak kegagalan pelaksanaan terjadi karena pengaruh
faktor-faktor luar.
Secara umum kebijakan publik dapat dibedakan melalui
beberapa cara yaitu sebagai berikut: (Anderson, 2000).
1) Kebijakan berdasarkan wawasan wilayah dan tingkat
pemerintahan;
2) Kebijakan berdasarkan bidang dapat dibedakan atas kebijakan
bidang ekonomi, kebijakan bidang politik, bidang agama,
bidang sosial budaya dan bidang pertahanan;
3) Pengelompokkan kebijakan berdasarkan sektor lebih
berorientasi pada kegiatan-kegiatan ekonomi;
4) Kebijakan yang berdasarkan substansi atau objek pengurus,
antara lain adalah kebijakan tentang pembinaan sumberdaya
manusia.
Perkembangan teknologi selama beberapa dasawarsa
terakhir telah membawa banyak perubahan yang sangat berarti
dalam kajian berbagai ilmu pengetahuan dan praktek
pemerintahan.
Kebijakan publik sebagai intervensi pemerintah terjadi
karena ada permasalahan dalam masyarakat yang tidak dapat
terselesaikan tanpa campur tangan pemerintah.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 34
e. Model Kebijakan
Model kebijakan (policy models) adalah representasi
sederhana mengenai aspek-aspek yang terpilih dari suatu kondisi
masalah yang disusun untuk tujuan-tujuan tertentu. Model-model
kebijakan dapat dinyatakan dalam bentuk diagram, grafik, desain,
konsep atau persamaan matematika yang digunakan tidak hanya
untuk menerangkan, menjelaskan, memprediksi elemen-elemen
suatu keadaan, namun juga dapat digunakan untuk memperbaiki,
meningkatkan, mengembangkan dengan cara merekomendasikan
serangkaian tindakan untuk menyelesaikan permasalahan yang
ada.
Model kebijakan bermanfaat dalam mengurangi/
menyederhanakan masalah dengan mengurangi kompleksitas dan
menjadikan masalah tersebut dapat dikelola oleh para analis
kebijakan.
Model-model kebijakan dapat membantu membedakan hal-
hal yang essensial dan yang tidak essensial dari situasi masalah,
mempertegas hubungan diantara faktor-faktor atau variabel-
variabel penting dan membantu menjelaskan dan memprediksi
konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan. Model-
model kebijakan juga dapat memainkan peran kreatif dan kritis di
dalam analisis kebijakan dengan mendorong para analis untuk
membuat asumsi-asumsi eksplisit mereka sendiri dan untuk
menantang ide-ide konvensional maupun metode-metode analisis
(Dunn, 2000).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 35
Beberapa model kebijakan antara lain:
- Model Deskriftif
Model-model kebijakan dapat dibandingkan dan
dikontraskan dari berbagai dimensi, yang paling penting
diantaranya adalah membantu membedakan tujuan, bentuk
ekspresi dan fungsi metodologis dari model. Tujuan dari model
deskriftif adalah menjelaskan dan/atau memprediksikan sebab-
sebab dan konsekuensi-konsekuensi dari pilihan-pilihan kebijakan.
Model deskriftif digunakan untuk memantau hasil-hasil dari aksi-
aksi kebijakan, seperti daftar tahunan dari indikator sosial yang
dipublikasikan, meramalkan ekonomi tahunan untuk dimasukkan
dalam laporan tertentu.
- Model Normatif
Tujuan model normatif bukan untuk menjelaskan dan/atau
memprediksi tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi untuk
mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas (nilai). Diantara
beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis
kebijakan adalah model normatif yang membantu menentukan
tingkat kapasitas pelayanan yang optimum (model antri), waktu
pelayanan dan perbaikan yang optimum (model penggantian),
pengaturan volume dan waktu yang optimum (model inventaris)
dan keuntungan yang optimum pada investasi publik (model biaya-
manfaat).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 36
- Model Verbal
Model kebijakan baik deskriftif maupun normatif, dapat juga
dibedakan menurut bentuk ekspresinya. Model-model normative
dan deskriftif dapat juga diekspresikan di dalam tiga bentuk utama
yaitu: verbal, simbol dan prosedural.
Model verbal diekspresikan dalam bahasa sehari-hari,
bukannya bahasa logika simbolis dan matematika, dan mirif dengan
yang kita terangkan sebelumnya sebagai masalah-masalah
substansif. Dalam menggunakan model verbal, analis bersandar
pada penilaian nalar untuk membuat prediksi dan menawarkan
rekomendasi. Penilaian nalar akan menghasilkan argumen
kebijakan, bukannya dalam bentuk nilai-nilai angka pasti.
- Model Simbolis
Model simbolis menggunakan simbol-simbol matematis
untuk menerangkan hubungan diantara variabel-variabel yang
dipercaya menjadi ciri suatu masalah. Prediksi atau solusi optimal
diperoleh dari model-model simbolis dengan meminjam metode-
metode matematika, statistika dan logika.
Model-model simbolis sulit untuk dikomunikasikan di
antara orang awam, termasuk para pembuat kebijakan, dan bahkan
diantara para ahli pembuat model sering terjadi kesalahan
pahaman tentang elemen-elemen dasar dari model.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 37
- Model Prosedural
Model prosedural menampilkan hubungan yang dinamis di
atara variabel-variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah
kebijakan. Prediksi-prediksi dan solusi-solusi optimal diperoleh
dengan mensimulasikan dan meneliti seperangkat hubungan yang
mungkin, sebagai contoh pertumbuhan ekonomi, komsumsi energi
dan suplai makanan dalam tahun-tahun mendatang yang tidak
dapat diterangkan secara baik karena data-data yang diperlukan
tidak tersedia (Dunn, 2000).
D. Birokrasi Pemerintahan
Birokrasi yang diartikan sebagai aturan dari suatu keadaan
yang dijalankan oleh penguasa. Dalam kamus umum Bahasa
Indonesia diartikan sebagai pemerintahan yang dijalankan oleh
pegawai bayaran yang tidak dipilih oleh rakyat, dengan wewenang
dan tanggung jawab yang melekat pada kepegawaian tersebut.
Menurut Sujamto (1992) dalam Thoha (2003), birokrasi
adalah segala aspek yang terkait dalam pengkridaan wewenang,
tugas dan tanggung jawab pemerintah melalui (oleh) para pejabat
atau pegawainya, demikian halnya Thoha (2003), bahwa birokrasi
pemerintah seringkali diartikan sebagai “officialdom” atau kerajaan
pemerintah, dimana pejabat kerajaan mulai dari raja-raja dan
bangsawannya mempunyai yuridiksi yang jelas dan pasti, di dalam
yuridiksinya mereka memiliki tugas dan tanggung jawab resmi
(official duties) yang memperjelas batas-batas kewenangannya.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 38
Max Weber dalam Thoha (2003), mengemukakan, birokrasi
yang dapat dianggap sebagai konsep birokrasi ideal adalah jika
kegiatan birokrasi dilakukan dengan cara-cara sebagai berikut
antara lain: (1) Individu pejabat secara personal bebas, akan tetapi
dibatasi oleh jabatannya manakala menjalankan tugas-tugas atau
kepentingan individual dalam jabatannya.
Pejabat tidak bebas menggunakan jabatannya untuk
keperluan dan kepentingan pribadinya termasuk keluarganya;
(2) Jabatan-jabatan disusun dalam tingkatan hirarki dari atas ke
bawah dan ke samping. Konsekwensinya ada pejabat atasan dan
bawahan, dan ada pula yang menyandang kekuasaan lebih besar
dan ada yang lebih kecil; (3) Tugas dan fungsi masing-masing
jabatan dalam hirarki itu secara spesifik berbeda satu dengan yang
lain; (4) Setiap pejabat mempunyai kontrak jabatan yang harus
dijalankan. Uraian tugas (job discription) masing-masing pejabat
merupakan domain yang menjadi wewenang dan tanggung jawab
yang harus dijalankan sesuai dengan kontrak; (5) Setiap pejabat
diseleksi atas dasar kualifikasi profesionalisnya, yang idealnya
dilakukan melalui ujian yang kompetitif; (6) Setiap pejabat memiliki
gaji termasuk hak untuk menerima pensiun sesuai dengan
tingkatan hirarki jabatan yang disandangnya. Setiap pejabat bisa
memutuskan untuk keluar dari pekerjaannya dan jabatannya
sesuai dengan keinginannya dan kontraknya dapat diakhiri dalam
keadaan tertentu; (7) Terdapat struktur pengembangan karir yang
jelas dengan promosi berdasarkan senioritas dan sesuai dengan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 39
pertimbangan yang objektif; (8) Setiap pejabat sama sekali tidak
dibenarkan menjalankan jabatannya dan resources instansinya
untuk kepentingan pribadi dan keluarga; (9) Setiap pejabat berada
di bawah pengendalian dan pengawasan suatu sistem yang
dijalankan secara disiplin (Thoha, 2003).
Demikian halnya Katz dalam Supriatna (2000), memberikan
suatu pandangan bahwa birokrasi pemerintah adalah satu-satunya
organisasi yang memiliki akses penguasaan atas seluruh sumber-
sumber nasional. Oleh karena itu, pada negara-negara sedang
berkembang, pemerintah dengan birokrasinya memiliki lebih
banyak kemampuan untuk melaksanakan pembangunan pada
organisasi kemasyarakatan lainnya.
Mengenai konsep birokrasi ini, Weber dalam Blau dan Meyer
(2000), memberikan gambaran karakteristik pokok struktur
birokrasi dalam kasus tipe ideal adalah:
1. Berbagai aktifitas reguler yang diperlukan untuk pencapaian
tujuan-tujuan organisasi yang didistribusikan dengan suatu cara
yang baku sebagai kewajiban-kewajiban resmi;
2. Organisasi kantor-kantor mengikuti prinsip hirarki yaitu setiap
kantor yang lebih rendah merasa di bawah kontrol dan
pengawasan kantor yang lebih tinggi;
3. Operasi-operasi birokratis diselenggarakan melalui suatu sistem
kaidah-kaidah abstrak yang konsisten dan terdiri atas
penerapan kaidah-kaidah ini terhadap kasus-kasus spesifik;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 40
4. Pejabat yang ideal menjalankan kantornya berdasarkan
impersonalitas formalistik, “sine ira et studio” tanpa kebencian
atau afeksi;
5. Perekrutan dalam organisasi birokrasi didasarkan pada
kualifikasi-kualifikasi teknis dan yang terhindar dari tindakan
pemecatan yang sewenang-wenang;
6. Pengalaman secara universal cenderung memperlihatkan bahwa
tipe organisasi administrasi yang murni birokratis, dari sudut
pandang teknis murni, mampu mencapai tingkat efisiensi yang
paling tinggi.
Menurut Mouzlies dalam Supriatna (2000), secara
taksonomis konsep birokrasi Weber dapat digolongkan dalam
pengertian bureau-rationality. Weber mengajukan teorinya tentang
birokrasi dalam kerangka teorinya tentang dominasi, dimana Weber
menyebut hubungan kekuasaan melalui aparat legal-rational-
domination sebagai birokrasi.
Perkembangan selanjutnya, Weber yakin bahwa birokrasi
rasional pasti akan bertambah penting dan merupakan kebutuhan
pokok bagi peradaban modern. Sesuai dengan ciri-ciri yang
dimilikinya, birokrasi dapat menjadikan organisasi sebagai bentuk
yang sangat memuaskan dari segi teknis, baik bagi pemegang
otoritas maupun bagi semua pihak yang berhubungan dengan
organisasi tersebut. Oleh karena itu Weber yakin birokrasi rasional
ini akan berkembang sesuai dengan rasionalisasi dunia modern
(Supriatna, 2000).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 41
Demikian halnya Hegel dalam Moeljarto (1987),
mengemukakan fungsi birokrasi sebagai penghubung antara negara
dan civil society. Negara mengejawantahkan kepentingan umum,
sedangkan civil society merepresentasikan kepentingan
masyarakat.
Keberhasilan birokrasi diukur dari kemampuannya untuk
mengartikulasikan kepentingan-kepentingan khusus di dalam
masyarakat tadi dan menginkorporasikannya di dalam kepentingan
umum negara. Sehingga yang menjadi nilai yang terkait dalam
birokrasi menurut Hegel ini bukanlah efisiensi tetapi seberapa jauh
birokrasi dapat menyalurkan kepentingan-kepentingan khusus tadi
sehingga tercermin di dalam kepentingan umum.
Effendi dalam Supriatna (2000), menilai bahwa berbagai
studi teoritis maupun empiris mengakui bahwa birokrasi yang
sangat mengagungkan rasionalitas dan efisiensi merupakan bentuk
organisasi yang sangat diperlukan dalam proses pembangunan dan
modernisasi.
Sehingga dikebanyakan negara dunia ketiga birokrasi
pemerintah adalah alat pembangunan yang sangat utama dan
paling dominan peranannya. Dominasi birokrasi ini terjadi bukan
semata-mata karena kelemahan sektor swasta dan prefensi ideologi
di negara-negara tadi, tetapi karena lebih luasnya jangkauan
birokrasi pemerintah sehingga birokrasi memiliki fungsi integratif
yang amat besar.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 42
Hal yang sama dikemukakan Eisenstadt dalam Supriatna
(2000), bahwa dengan kemampuan yang dimiliki birokrasi ini, maka
birokrasi dianggap mampu menangani segala macam tugas-tugas
pemerintah dan berbagai bentuk pelayanan publik. Sehingga
pengaruh birokrasi dalam setiap aspek kehidupan tidak dapat
dihindari.
Salah satu faktor yang menyebabkan birokrasi menjadi amat
penting adalah terjadinya pertumbuhan diferensiasi dalam struktur
sosial yang menyebabkan kompleksitas berbagai bidang kehidupan.
Misalnya meningkatkan interdependensi antar kelompok dan
munculnya kesukaran dalam menjamin penyediaan sumber dan
layanan.
Maka selaras dengan Supriatna (2000), bahwa pada
hakekatnya birokrasi dibentuk untuk memenuhi tugas-tugas
pelayanan, menyediakan berbagai sumberdaya kepada pihak yang
memerlukan dan mengatur hubungan antar golongan dan konflik
kepentingan dalam masyarakat.
Oleh karenanya, birokrasi rasional dalam konsepsi Hegel
sangat penting dalam memenuhi tuntutan organisasi pembangunan.
Dengan menganut konsep birokrasi Hegel maka organisasi
pembangunan akan mampu memenuhi tuntutan–tuntutan dan
memberikan pelayanan kepada masyarakat secara optimal.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 43
E. Perkebunan
Dalam ketentuan umum Undang-undang Republik Indonesia
No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (selanjutnya disingkat UU
No. 18/2004) disebutkan pengertian perkebunan adalah segala
kegiatan yang mengusahakan tanaman tertentu pada tanah dan
atau media tumbuh lainnya dalam ekosistem yang sesuai;
mengelola dan memasok barang dan jasa hasil tanaman tersebut,
dengan bantuan ilmu pengetahuan dan teknologi, permodalan serta
manajemen untuk mewujudkan kesejahteraan bagi pelaku usaha
perkebunan dan masyarakat.
Usaha perkebunan adalah usaha yang menghasilkan barang
dan/atau jasa perkebunan. Perusahaan perkebunan adalah pelaku
usaha perkebunan warga negara Indonesia atau badan hukum yang
didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di
Indonesia yang mengelola usaha perkebunan dengan ikatan
tertentu.
Industri pengelola hasil perkebunan adalah kegiatan
penanganan dan pemrosesan yang dilakukan terhadap hasil
tanaman perkebunan yang ditujukan untuk mencapai nilai tambah
yang tinggi.
Perkebunan di Indonesia dimulai dari tanaman kelapa sawit
yang pertama kali diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada
tahun 1848. Ketika itu ada 4 (empat) batang bibit kelapa sawit yang
dibawa dari Mauritius dan Amsterdam dan ditanam di Kebun Raya
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 44
Bogor. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan dibudidayakan
secara komersial pada tahun 1911 (Yan Fauzi, dkk, 2005).
Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah
Adrien Hallet, orang Belgia yang telah belajar banyak tentang
kelapa sawit di Afrika. Budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K
Schadt yang menandai lahirnya perkebunan kelapa sawit di
Indonesia, sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia
mulai berkembang (Yan Fauzi, dkk, 2005).
Perkebunan kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur
Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas areal perkebunannya mencapai
5.123 hektar. Indonesia mulai mengekspor minyak sawit pada
tahun 1919 sebesar 576 ton ke negara-negara eropa, kemudian
tahun 1923 mulai mengekspor minyak inti sawit sebesar 850 ton
(Yan Fauzi, dkk, 2005).
Ketersediaan lahan perkebunan antara lain adalah akibat
adanya disversifikasi kegiatan kehutanan, hal ini sesuai dengan isi
tulisan Pemerintah Kalimantan Tengah yang menyebutkan salah
satu langkah diversifikasi yang diterapkan adalah pemanfaatan
sekat-sekat di dalam Kawasan Hutan Produksi sebagai areal atau
lokasi bagi pengembangan budidaya kehutanan non kayu, misalnya
perkebunan dan pengembangan tanaman pertanian secara umum,
baik pada hutan monokultur maupun hutan multikultur.
(http//www.kalteng.go.id/Indo/kehutanan_peluang _harapan.htm).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 45
Dalam hal penyediaan lahan untuk perkebunan telah
dikemukakan alternatif lainnya seperti pengadaan lahan abadi,
dimana lahan tersebut secara berkelanjutan diperuntukkan sebagai
lahan perkebunan, namun keadaan di lapangan selalu memaksa
pengalihfungsian lahan tersebut. Hal ini selaras hasil penelitian
Syahyuti (2005). Yang menyebutkan bahwa mewujudkan kebijakan
lahan abadi sedikit banyak akan sama sulitnya mengendalikan
konversi lahan pertanian ke lahan non pertanian. Meskipun sudah
banyak himbauan dan peraturan dibuat, namun konversi lahan
tetap terjadi. Akar permasalahannya adalah karena aspek
penggunaan dan pemanfaatan tanah kurang memiliki landasan
yang kuat dalam hukum agraria nasional, dibandingkan dengan
aspek penguasaan dan pemilikan lahan.
Successful plantation models of Brazil, Chile, Indonesia, and
Malaysia can adopted by India. A successful industrial programme
would make the domestic industry globally compettive, besides
providing the much-needed green cover to the the country. This
programme can generate huge employment opportunities for the
rural poor.
(http://proquest.umi.com/pqdweb?did=470885941&sid=1&Fmt=3&cli
entld=63928&RQT=309&Vname=F)
Pembukaan areal perkebunan selalu menjadi persoalan baru
untuk lingkungan di sekitarnya sehingga banyak kegiatan
pembukaan perkebunan harus mempertimbangkan keadaan alam
lingkungan di sekitarnya, karena secara umum pembukaan hutan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 46
merupakan bentuk lain dari kegiatan pengalih fungsian lahan,
demikian halnya yang terjadi di Amerika Utara dan Eropa.
Imposing constrains on harvesting practices to protect the
environtment, wildlife, water quality, soil, and scenic beauty has
been a major concern for at least the last three decades for native
forest and lately for plantation. In the case of native forest,
inpartikular in North America and Europa, environmental and
wildlife protection in its different aspects has assumed a vital
importance, often preceding that of timber production. In
plantations the economic performance is obviously paramount.
(http://proquest.umi.com/pqdweb?did=658183591&sid=1&Fmt=4&cli
entld=63928&RQT=309&Vname=PQD)
Hasil perkebunan adalah semua barang dan jasa yang
berasal dari perkebunan yang terdiri dari produk utama, produk
turunan, produk sampingan, produk ikutan dan produk lainnya.
Pada konsideran menimbang UU No. 18/2004 disebutkan bahwa
perkebunan sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumber daya
alam, perlu dilakukan secara terencana, terbuka, terpadu,
profesional dan bertanggung jawab.
Untuk menghasilkan hasil perkebunan yang maksimal
sangat tergantung dari sumberdaya pengelola perkebunan tersebut.
Menurut Mohammad. A. Ghani (2003) Indonesia sebagai negara
agraris memiliki luas perkebunan jutaan hektar dan melibatkan
puluhan juta tenaga kerja. Sebagai sumber daya yang dapat
terbarukan (renewable resources), perkebunan seyogianya dapat
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 47
menjadi tulang punggung ekonomi bangsa. Dibandingkan dengan
negara tetangga seperti Malaysia dan Thailand, potensi kekayaan
alam kita masih cukup banyak untuk dikembangkan menjadi
sebuah raksasa agribisnis.
Sungguh ironis, kekayaan tersebut belum tergali secara
optimal. Akibatnya banyak tenaga kerja Indonesia yang berimigrasi
ke negeri jiran untuk bekerja di sektor perkebunan. Kiranya perlu
digugah kesadaran kita, betapa masih banyak hal-hal yang harus
diperbaiki dalam pengelolaan SDM maupun penyempurnaan
tataran kebijakan dalam pengembangan sektor perkebunan di
Indonesia.
Dalam hal komoditas kelapa sawit, terdapat sebuah catatan
penting tentang kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan
pelarangan ekspor kelapa sawit. Dengan alasan untuk mencukupi
kebutuhan minyak goreng di dalam negeri, Menteri Perindustrian
dan Perdagangan melalui keputusan No. 350/MPP/Kep/7/1998 telah
membatasi ekspor minyak sawit (CPO), dengan cara menaikkan
pajak ekspor 60 %. Peraturan tersebut diperkirakan akan
mematikan perkebunan kelapa sawit yang berskala kecil. Selain itu
juga menurunkan pendapatan para petani plasma Perkebunan Inti
Rakyat (PIR), karena harga tandan buah segar (TBS) terpaksa
harus ditekan rendah. Padahal jumlah perkebunan kelapa sawit
yang berskala kecil di Indonesia cukup banyak. Di Provinsi
Kalimantan Barat, hampir semua perkebunan kelapa sawit swasta
terdiri atas kebun kelapa sawit skala kecil yang disebut PIR Trans,
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 48
dengan komposisi 80 % petani plasma dan 20 % inti (Berita Kompas,
Rabu 29 Juli 1998 dalam Loekman, 2002).
Selanjutnya pada Pasal 3 UU No. 18/2004 menyatakan
bahwa perkebunan diselenggarakan dengan tujuan:
a. Meningkatkan pendapatan masyarakat;
b. Meningkatkan penerimaan negara;
c. Meningkatkan penerimaan devisa negara;
d. Meningkatkan lapangan kerja;
e. Meningkatkan produktifitas, nilai tambah dan daya saing;
f. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri dalam
negeri;
g. Mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam secara
berkelanjutan.
Perekayasaan Metodologi Penelitian (Suharto, dkk, 2003),
menyebutkan bahwa sumber daya alam (SDA) baik yang terbaharui
(renewable resources) maupun yang tidak terbaharui (non
renewable resources), apabila diproses dengan teknologi tertentu
yang melibatkan reaksi kimia untuk menghasilkan produk baru
disebut industri kimia. Apabila sumber daya alam di proses dengan
teknologi tertentu tanpa melibatkan reaksi kimia di dalamnya
disebut industri non kimia.
Yang termasuk sumber daya alam yang terbaharui
(renewable resources atau flow resources) adalah flora (nabati) dan
fauna (hewani), sumber daya alam terbaharui antara lain:
- Minyak kelapa sawit;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 49
- Minyak kelapa;
- Ketela;
- Gula tebu dan gula aren serta kelapa;
- Pati singkong, pati kentang, pati ubi jalar;
- Beras;
- Kedelai termasuk DMO soybeam;
- Karet – latex;
- Kayu, ligmin;
- Dan lain-lain.
Dalam UU No. 18/2004 disebutkan mengenai jenis dan
perizinan perusahaan perkebunan yaitu:
- Usaha perkebunan terdiri atas usaha budi daya tanaman
perkebunan dan tanaman perkebunan dan/atau usaha industri
pengelolahan hasil perkebunan;
- Usaha budi daya tanaman adalah merupakan serangkaian
kegiatan pratanam, penanaman, pemeliharaan tanaman,
pemanenan dan sortasi (kegiatan pemilihan dan pemilahan hasil
perkebunan). Selanjutnya untuk pemberdayaan usaha
perkebunan dilaksanakan oleh pemerintah, provinsi dan
kabupaten/kota bersama pelaku usaha perkebunan serta
lembaga terkait lainnya;
- Setiap pelaksana usaha budi daya tanaman perkebunan dengan
luasan tanah tertentu dan/atau usaha industri pengolahan hasil
perkebunan dengan kapasitas pabrik tertentu wajib memiliki
ijin usaha;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 50
- Ijin usaha tersebut diberikan oleh gubernur untuk wilayah
lintas kabupaten/kota dan bupati/walikota untuk wilayah
kabupaten/kota;
- Perusahaan perkebunan melakukan kegiatan yang saling
menguntungkan, saling menghargai, saling bertanggung jawab,
saling memperkuat dan saling ketergantungan dengan
perkebunan, karyawan dan masyarakat sekitar perkebunan;
Kemitraan usaha perkebunan tersebut, polanya dapat
berupa kerjasama penyediaan sarana produksi, kerjasama produksi,
pengolahan dan pemasaran, transportasi, kerjasama operasional,
kepemilikan saham, dan jasa pendukung lainnya.
Untuk pembiayaan usaha perkebunan bersumber dari
pelaku usaha perkebunan, masyarakat, lembaga pendanaan dalam
dan luar negeri, pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota.
Pembinaan dan pengawasan terhadap usaha perkebunan
dilakukan oleh pemerintah, provinsi dan kabupaten/kota sesuai
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Komoditas strategi perkebunan adalah komoditas
perkebunan yang mempunyai peran penting dalam pembangunan
sosial, ekonomi dan lingkungan antara lain kelapa sawit, karet,
kakao, kopi, tebu dan tembakau, dan dalam tulisan ini dibatasi
terhadap 2 (dua) komoditi perkebunan yang potensial yaitu kelapa
sawit dan karet.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 51
Menurut Direktorat Pangan dan Pertanian (2005), selaras
dengan perubahan perekonomian sebagai hasil pembangunan,
peranan sektor pertanian dalam perekonomian secara relatif
mengalami penurunan. Dari waktu ke waktu, peranan sektor
pertanian beralih ke sektor industri yang ditandai dengan
kontribusi sektor pertanian terhadap Produk Domestik Bruto (PDB)
yang semakin menurun.
Penurunan hasil pertanian tersebut lebih banyak disebabkan
kebijakan pertanian yang tidak dapat sampai pada pelaksana
pertanian tersebut, hal ini selaras dengan pendapat Pranadji (2006),
yang mengatakan bahwa salah satu penyebab utama kemacetan
pembangunan pertanian adalah tidak dijalankannya reformasi
agraria di pedesaan. Tidak dijalankannya reformasi agraria
membawa implikasi serius terhadap proses politik, ekonomi dan
sosial di suatu masyarakat.
Pada tahun 2003 peran sektor pertanian dalam PDB
nasional sebesar 15 %, sementara jumlah tenaga kerja yang diserap
sektor pertanian sebesar 46,3 %. Kondisi tersebut di atas
menandakan bahwa pertumbuhan sektor pertanian hampir stagnan
selama beberapa dekade berlangsung, sehingga kontribusi produksi
yang dapat diberikan terhadap PDB nasional semakin kecil. Kondisi
demikian semakin diperburuk dengan ketidakmampuan sektor-
sektor riil lainnya untuk menampung angkatan kerja yang sangat
besar, sehingga mereka tetap bertahan di sektor pertanian yang
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 52
mengakibatkan produktivitas dan pertumbuhannya semakin
menurun.
F. Tata Ruang
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 24 Tahun
1992 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disingkat UU No.
24/1992), bahwa pengertian ruang adalah wadah yang meliputi
ruang daratan, ruang lautan, dan ruang udara sebagai salah satu
kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lainnya hidup dan
melakukan kegiatan serta memelihara kelangsungan hidupnya.
Dalam penjelasan Undang-undang Republik Indonesia No.
25 Tahun 2004 tentang Sistem Perencanaan Pembangunan
Nasional (selanjutnya disingkat UU No. 25/2004), yang dimaksud
ruang adalah wadah yang meliputi bentangan daratan, lautan dan
udara sebagai suatu kesatuan wilayah tempat manusia dan
makhluk lainnya hidup dan melakukan kegiatan serta memelihara
kelangsungan hidup.
Menurut Parlindungan (1996), sesungguhpun ada hal-hal
yang kurang sependapat dengan UU No. 24/1992, namun secara
makro sudah memadai. Dalam ketentuan UU No. 24/1992 telah
dipatokkan sebagai suatu undang-undang yang akan
mensinkronkan seluruh kegiatan yang langsung atau tidak
langsung berkaitan dengan bumi, air dan ruang udara (Undang-
undang Pokok Agraria disebut ruang angkasa).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 53
Menurut Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun
2007 tentang Penataan Ruang (selanjutnya disingkat UU No.
26/2007) antara lain telah ditetapkan pemanfaatan ruang wilayah,
yaitu dalam pemanfaatan ruang wilayah Nasional, Provinsi, dan
Kabupaten/Kota dilakukan:
a. Perumusan kebijakan strategis operasionalisasi rencana tata
ruang wilayah dan rencana ruang kawasan strategis;
b. Perumusan program sektoral dalam rangka perwujudan
struktur ruang dan pola ruang wilayah dan kawasan strategis;
c. Pelaksanaan pembangunan sesuai dengan program
pemanfaatan ruang wilayah dan kawasan strategis.
Pemanfaatan ruang tersebut, dilakukan sesuai dengan:
a. Standard pelayanan minimal bidang penataan ruang;
b. Standard kualitas lingkungan; dan
c. Daya dukung dan daya tampung lingkungan hidup.
Selanjutnya Parlindungan (1996), juga memberi batasan
tentang ruang: bahwa ruang mencakup: (1) ruang daratan, di atas
dan di bawah permukaan daratan termasuk perairan darat dan sisi
darat dari garis laut terendah; (2) ruang lautan, di atas dan di
bawah permukaan laut, garis laut terendah, dasar laut dan bagian
bumi di bawahnya. (3) ruang udara, ruang terletak di atas ruang
daratan dan ruang lautan sekitar wilayah negara dan melekat pada
bumi Republik Indonesia (catatan ruang udara adalah air space
tidak sama dengan ruang angkasa atau outer space seperti bulan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 54
dan benda-benda langit sebagai bagian antariksa, yang merupakan
ruang di luar ruang udara).
Menurut Arca Sugandhy (1996), Penataan ruang berasaskan:
(a) pemanfaatan ruang bagi semua kepentingan secara terpadu,
berdaya guna dan berhasil guna, serasi, selaras, seimbang dan
berkelanjutan; (b) keterbukaan, persamaan, keadilan, dan
perlindungan hukum. Demikian halnya penataan ruang memiliki
tujuan antara lain (a) terselenggaranya pemanfaatan ruang
berwawasan lingkungan yang berlandaskan wawasan nusantara
dan ketahanan nasional; (b) terselenggaranya pengaturan
pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan budi daya;
(c) tercapainya pemanfaatan ruang yang berkualitas untuk:
• Mewujudkan kehidupan bangsa yang cerdas, berbudi luhur, dan
sejahtera;
• Mewujudkan keterpaduan dalam penggunaan sumber daya alam
dan sumber daya buatan dengan memperhatikan sumber daya
manusia;
• Meningkatkan pemanfaatan sumber daya alam dan sumber
daya buatan secara berdaya guna, berhasil guna dan tepat guna
untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia;
• Mewujudkan perlindungan fungsi ruang dan mencegah serta
menanggulangi dampak negatif terhadap lingkungan;
• Mewujudkan keseimbangan kepentingan kesejahteraan dan
keamanan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 55
Menurut Lutfi N (1996), pada hakikatnya alokasi
pemanfaatan ruang dapat dilaksanakan melalui 3 (tiga) cara yaitu:
(1) mekanisme pasar; (2) penataan ruang secara absolut dan
(3) penataan ruang melalui intervensi strategis terhadap pasar
ruang.
Penataan ruang adalah proses perencanaan tata ruang,
pemanfaatan ruang dan pengendalian pemanfaatan ruang. Hasil
perencanaan tata ruang adalah rencana tata ruang. Unit
manajemen penataan ruang adalah wilayah kabupaten/kota,
provinsi dan wilayah nasional.
Tata ruang yang beranjak dari pemikiran bahwa
pelaksanaannya akan merupakan alat pendorong, pembuka peluang
dan kemudahan untuk kegiatan pembangunan, diyakini perlu
dilaksanakan dengan memanfaatkan metode dan pendekatan
regional planning sedemikian rupa guna memaksimalkan daya guna
dan hasil gunanya. Di samping itu penataan ruang harus
merupakan wujud kerjasama dengan unsur pembinaan pengaturan
lainnya yang bertanggung jawab dalam penyediaan sarana dan
prasarana, termasuk upaya kelengkapan database yang
berkesinambungan.
Menurut Robinson (2005), tujuan penataan ruang adalah
menciptakan hubungan yang serasi antara berbagai kegiatan di
berbagai subwilayah agar tercipta hubungan yang harmonis dan
serasi. Perencanaan ruang pada tingkat nasional hanya mencapai
kedalaman penetapan strategi dan arahan penggunaan ruang budi
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 56
daya dan arahan kebijaksanaan pemanfaatan ruang wilayah
nasional. Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional antara lain
berisikan:
(1) Penggambaran struktur tata ruang nasional;
(2) Penetapan kawasan yang perlu dilindungi;
(3) Pemberian indikasi penggunaan ruang budi daya dan arahan
permukiman dalam skala nasional;
(4) Penentuan kawasan yang diprioritaskan;
(5) Penentuan kawasan tertentu yang memiliki bobot nasional;
dan
(6) Perencanaan jaringan penghubung dalam skala nasional.
Perencanaan ruang pada tingkat provinsi adalah penjabaran
rencana tata ruang wilayah nasional berupa:
(1) Arahan pengelolaan kawasan lindung dan kawasan budi daya;
(2) Arahan pengelolaan kawasan pedesaan, kawasan perkotaan,
dan kawasan tertentu;
(3) Arahan pengembangan kawasan permukiman, kehutanan,
pertanian, pertambangan, perindustrian, pariwisata, dan
kawasan lainnya;
(4) Arahan pengembangan sistem pusat permukiman pedesaan
dan perkotaan;
(5) Arahan pengembangan sistem prasarana wilayah;
(6) Arahan pengembangan kawasan yang diprioritaskan;
(7) Arahan kebijakan tata guna tanah, tata guna air, tata guna
udara dan tata guna sumber daya alam lainnya.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 57
Beberapa kegiatan yang perlu dimantapkan lagi dalam
Rencana Pembangunan Lima Tahun IV (Repelita) agar penataan
ruang dapat menjadi acuan dalam pembangunan daerah, sehingga
tercipta sinkronisasi pembangunan antar pusat dan daerah adalah:
(1) Mewujudkan keterpaduan penataan dan pemanfaatan ruang
untuk kepentingan sosial ekonomi, dan pertahanan keamanan;
(2) Perlu lebih dimantapkan lagi suatu sistem informasi yang
mendukung penataan ruang dalam rangka mewujudkan
transparansi rencana tata ruang;
(3) Meningkatkan kesadaran dan peran serta masyarakat dan
dunia usaha dalam penataan ruang untuk meningkatkan
pengendalian pelaksanaan rencana tata ruang, mengurangi
terjadinya tumpang tindih pemanfaatan ruang, meningkatkan
kualitas lingkungan serta mendukung pembangunan yang
berkelanjutan;
(4) Mewujudkan lembaga dan aparatur penataan ruang yang
berkualitas dan berkemampuan tinggi;
(5) Membentuk/membangun sistem pemantauan dan evaluasi
penataan ruang khususnya di kawasan yang cepat berkembang
dan kawasan andalan/strategis, termasuk wilayah perbatasan
dengan negara lain.
Selanjutnya mengenai pengertian wilayah mengacu pada
ruang yang merupakan kesatuan geografis beserta unsur terkait,
yang batas dan sistemnya ditentukan berdasarkan aspek
fungsional. Menurut Vink, dalam Reti Wafda (2004), bahwa
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 58
pengertian lahan berbeda dengan tanah, dimana tanah merupakan
salah satu aspek dari lahan, aspek lainnya adalah iklim, relief,
hidrologi dan vegetasi, sedangkan lahan adalah konsep yang
dinamis dimana di dalamnya terkandung unsur ekosistem.
Tata guna lahan adalah campur tangan manusia yang
permanen atau berkelanjutan guna memenuhi kebutuhan manusia
baik materil maupun spiritual dan sumber daya alam dan buatan
yang secara bersama-sama disebut lahan.
Menurut Barlowe (1978) dalam Reti Wafda (2004), membagi
penggunaan lahan menjadi: (1) lahan permukiman, (2) lahan
industri dan perdagangan, (3) lahan bercocok tanam, (4) lahan
peternakan dan penggembalaan, (5) lahan hutan, (6) lahan
mineral/pertambangan, (7) lahan, rekreasi, (8) lahan pelayanan
jasa, (9) lahan transportasi, dan (10) lahan tempat pembuangan.
Arsyad (1989) dalam Reti Wafda (2004), membagi
penggunaan lahan menjadi sangat sederhana yaitu (1) penggunaan
lahan pertanian dan (2) penggunaan lahan untuk bukan pertanian.
Penggunaan lahan pertanian dibedakan ke dalam macam
penggunaan lahan berdasarkan atas penyediaan air dan komoditas
yang dimanfaatkan atau obyek di atas lahan tersebut, seperti
sawah, perkebunan, padang rumput, hutan, ilalang. Penggunaan
lahan bukan pertanian dapat dibedakan ke dalam penggunaan
lahan permukiman, industri, rekreasi, pertambangan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 59
Saeful Bahri, dalam Reti Wafda (2004), bahwa lokasi dan
transportasi merupakan unsur yang sangat mempengaruhi
penggunaan lahan, umumnya lahan yang mudah dicapai lebih
dahulu digunakan.
Di Indonesia, wilayah yang pertama diusahakan adalah
wilayah yang cukup landai, tetapi bebas gangguan alam. Proses
penggunaan lahan secara nyata dapat ditunjukkan oleh faktor-
faktor karakteristik penduduk, jumlah sarana dan prasarana
umum, aksesibilitas lokasi struktur aktivitas industri dan
intervensi kelembagaan pemerintah.
Kualitas kerangka pemikiran dasar sangat ditentukan oleh
usaha yang dicurahkan untuk itu. Intensitas usaha yang tinggi
hanya akan ada kalau pihak yang berurusan dengan perencanaan,
setidak-tidaknya pihak eksekutif dan legislatif daerah otonom
sangat menyadari bahwa tidak mungkin perencanaan akan
menghasilkan rencana-rencana yang baik jika penyusun tidak
serius berusaha mengerti dahulu segala dimensi kehidupan sosial
ekonomi daerah yang bersangkutan.
Pihak legislatif daerah ditunjang oleh kelompok pemikir
(lembaga-lembaga penelitian perguruan tinggi, lembaga-lembaga
swadaya masyarakat dan lain-lain) diharapkan bisa berfungsi
sebagai pengontrol yang mengawasi keseriusan dan keakuratan
hasil kajian serta ketepatan penyusunan kerangka pemikiran dasar
yang didasarkan pada hasil kajian tersebut.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 60
Sejalan dengan pelaksanaan otonomi, sebagaimana
diamanatkan dalam peraturan perundang-undangan di bidang
pemerintahan daerah, maka setiap daerah mempunyai kewenangan
yang lebih luas dalam merencanakan dan mengelola pembangunan
daerahnya sendiri sesuai dengan keinginan dan aspirasi
masyarakat serta kemampuan kepada masyarakat serta
pelaksanaan pembangunan dalam rangka meningkatkan
kesejahteraan masyarakat, diperlukan dana yang memadai (Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Sumut, 2002).
G. Otonomi Daerah
Bergulirnya era reformasi yang menjadi implementasi dan
keinginan masyarakat umum mempengaruhi pola hidup dan
kebiasaan-kebiasaan lama. Demikian halnya pola pemerintahan
juga berubah, dari pola menunggu arahan dari pusat, digantikan
dengan pola-pola bottom up, dimana seluruh kebutuhan-kebutuhan
masyarakat disuarakan oleh perwakilan masyarakat (DPRD)
kepada pemerintah daerah, serta pemerintah daerah dapat
meneruskannya ke pemerintah pusat, serta pengelolaan
pemerintahan juga diselaraskan dengan keadaan daerah.
Otonomi daerah dan kebijaksanaan desentralisasi diawali
dengan terbitnya Undang-undang Republik Indonesia No. 22 Tahun
1999 tentang Pemerintahan Daerah (selanjutnya disingkat UU No.
22/1999) yang secara optimal tahap implementasi 1 Januari 2001
dan Undang-undang tersebut direvisi dan diganti dengan Undang-
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 61
undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah
Daerah (selanjutnya disingkat UU No. 32/2004) dan Undang-
undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 1999 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (selanjutnya
disingkat UU No. 25/1999) yang direvisi dan diganti dengan
Undang-undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan antara Pusat dan Daerah (selanjutnya
disingkat UU No. 33/2004), tanggung jawab sukses atau gagalnya
pembangunan daerah semakin bergantung kepada pemerintah
daerah.
Kewenangan yang terkandung pada otonomi daerah dan
kebijakan desentralisasi yang terhimpun pada UU No. 32/2004 dan
UU No. 33/2004, maka pengambilan keputusan dalam
penyelenggaraan pemerintah daerah dan penyediaan pelayanan
publik diharapkan akan lebih sederhana dan cepat.
Dalam kurun waktu beberapa tahun pelaksanaan otonomi
daerah telah banyak kebijakan yang diberlakukan sejalan dengan
penyelenggaraan otonomi, baik pada level pemerintahan provinsi
maupun pemerintahan kabupaten/kota yang secara implisit
berhubungan dengan penyelenggaraan pemerintahan, pelaksanaan
pembangunan dan tugas-tugas pelayanan kepada masyarakat
sesuai dengan aspirasi dan prakarsa yang tumbuh dan berkembang
di tengah-tengah masyarakat itu sendiri.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 62
Pelaksanaan otonomi untuk memenuhi kebutuhan dan
tuntutan dalam penyelenggaraan pemerintahan mempunyai
korelasi antara lain mengenai kebutuhan terhadap sumber-sumber
pembiayaan, dimana penyelenggara fungsi dan tugas pemerintah
daerah akan dapat berjalan dengan baik dan maksimal jika dalam
melaksanakan urusan pemerintahan tersebut dibarengi dan
diberikan sumber dana yang cukup dan memadai.
7.1. Pemerintahan Daerah
Berdasarkan UU No. 32/2004 yaitu sebagai pengganti UU
No. 22/999, telah memberikan arah perlu ditingkatkan efisiensi dan
efektivitas penyelenggaraan pemerintahan daerah yang lebih
memperhatikan aspek-aspek hubungan antar susunan
pemerintahan antar pemerintah daerah, potensi dan
keanekaragaman daerah, peluang dan tantangan persaingan global
dengan memberikan kewenangan yang seluas-luasnya kepada
daerah disertai pemberian hak dan kewajiban menyelenggarakan
otonomi daerah dalam kesatuan sistem penyelenggaraan
pemerintahan negara.
Pendapatan daerah adalah semua hak daerah yang diakui
sebagai penambah nilai kekayaan bersih dalam periode tahun
anggaran bersangkutan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 63
Dalam menyelenggarakan otonomi daerah, daerah
mempunyai hak:
a. Mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahannya;
b. Memilih pimpinan daerah;
c. Mengelola aparatur daerah;
d. Mengelola kekayaan daerah;
e. Memungut pajak daerah dan retribusi daerah;
f. Mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumber daya alam
dan sumber daya lainnya yang berada di daerah;
g. Mendapatkan sumber-sumber pendapatan lain yang sah; dan
h. Mendapatkan hak lainnya yang diatur dalam peraturan
perundang-undangan.
Selanjutnya pada Pasal 22 UU No. 32/2004 telah ditetapkan
bahwa dalam menyelenggarakan otonomi, daerah mempunyai
kewajiban:
a. Melindungi masyarakat, menjaga persatuan, kesatuan dan
kerukunan nasional, serta keutuhan negara kesatuan
Republik Indonesia;
b. Meningkatkan kualitas kehidupan masyarakat;
c. Mengembangkan kehidupan demokrasi;
d. Mewujudkan keadilan dan pemerataan;
e. Meningkatkan pelayanan dasar pendidikan;
f. Menyediakan fasilitas pelayanan kesehatan;
g. Menyediakan fasilitas sosial dan fasilitas umum yang layak;
h. Mengembangkan sistem jaminan sosial;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 64
i. Menyusun perencanaan dan tata ruang daerah;
j. Mengembangkan sumber daya produktif di daerah;
k. Melestarikan lingkungan hidup;
l. Mengelola administrasi kependudukan;
m. Melestarikan nilai sosial budaya;
n. Membentuk/menerapkan peraturan perundangan sesuai
kewenangannya;
o. Kewajiban lain yang diatur dalam peraturan perundang-
undangan.
7.2. Sumber Pendapatan Daerah
Dalam hubungan pelaksanaan kewenangan untuk memenuhi
kebutuhan dan tuntutan dalam penyelenggaraan otonomi tersebut
mempunyai korelasi dengan kebutuhan terhadap sumber
pembiayaan.
Dalam Pasal 157 UU No. 32/2004 dan Pasal 5 UU No.
33/2004 pada disebutkan sumber pendapatan daerah yang meliputi:
a. Pendapatan Asli Daerah yang selanjutnya disebut PAD, yaitu:
1) Hasil pajak daerah;
2) Hasil retribusi daerah;
3) Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan;
4) Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
b. Dana Perimbangan;
c. Lain-lain Pendapatan Daerah yang sah.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 65
Dalam hal pungutan retribusi daerah, pemerintah provinsi
dan kabupaten/kota dibenarkan memungut jenis retribusi selain
yang telah ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun
2001 tentang Retribusi Daerah (selanjutnya disingkat PP No.
66/2001) sebagai pelaksana Undang-undang No. 34 Tahun 2000
tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah (selanjutnya disingkat
UU No. 34/2000) dengan memperhatikan kriteria dan jasa yang
diberikan pemerintah daerah. Hal ini secara tegas disebutkan
dalam penjelasan pada Pasal 6 PP No. 66/2001 bahwa jenis retribusi
lainnya antara lain: “Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) yang
telah diserahkan kepada daerah”.
Senada dengan aturan perundangan di atas, maka di dalam
UU No. 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 21 mengenai
Hak dan Kewajiban Daerah, disebutkan adanya wewenang dari
pemerintah daerah untuk memungut pajak dan retribusi daerah.
Peruntukan dana yang dipungut dan dikumpulkan
pemerintah daerah dari berbagai retribusi, dilakukan untuk
keberhasilan program pemberdayaan masyarakat lainnya, seperti
pendanaan dana bergulir untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM)
yang sulit mendapatkan akses ke dunia perbankan. Di samping itu
dana tersebut dapat dimanfaatkan untuk mendukung program
Jaring Pengaman Sosial (JPS) dengan tujuan menyelamatkan
masyarakat, seperti situasi krisis ekonomi sehingga setiap keadaan
mendesak yang membutuhkan penanggulangan tidak harus
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 66
menunggu petunjuk dari pemerintah pusat. Pengelolaan JPS harus
selektif dan jangan sampai salah alamat.
Keefektifan JPS dilaksanakan dengan tujuan antara lain
(Remi. S.S, 2002): The purpose of social safety net programs are:
1. To provide which can accessed by poor people;
2. To provided productive labour oppurtinities that can improve
purchasing power of poor people;
3. To improve the walfare of poor people;
4. To recover social and economic services for poor people and;
5. To recover economic activities for poor people.
The program cover four activities wich are as follow:
1. Food security programs;
2. Social protection of education program;
3. Social protection of health program;
4. Labour intensive public works program.
Dalam komponen Dana Bagi Hasil Pajak (DBHP) adalah dari
penerimaan PBB, Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB) dan Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan Pasal 29 Wajib
Pajak Orang Pribadi dalam Negeri dan PPh Pasal 21. Terhadap hal
yang sama juga diatur mengenai bagi hasil yang bersumber dari
Sumber Daya Alam (SDA) yang sering disebut Dana Bagi Hasil
Bukan Pajak (DBHBP) dari sektor kehutanan, pertambangan
umum, perikanan, minyak bumi, gas bumi dan panas bumi.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 67
Bahwa dalam komponen sumber daya alam yang dibagi
hasilkan kepada daerah, untuk sektor perkebunan tidak termasuk
di dalamnya. Kebijakan ini tentu kurang menguntungkan bagi
daerah yang wilayahnya terdapat potensi lahan yang diusahai
tanaman perkebunan, seperti Provinsi Sumatera Utara yang
struktur alamnya secara spesifik sangat potensial diusahai oleh
perusahaan perkebunan baik Badan Usaha Milik Negara/Badan
Usaha Milik Daerah seperti PT. Perkebunan Negara,
PT. Perkebunan Daerah, Perusahaan Besar Swasta Nasional/
Perusahaan Besar Swasta Asing maupun Perkebunan Rakyat yang
menghasilkan komoditi seperti kelapa sawit, karet, coklat,
tembakau dan jenis lainnya.
Menurut Lubis (2003), dalam kaitan pelaksanaan UU No.
25/1999, pada Pasal 6 ayat (5), ternyata potensi perkebunan tidak
termasuk alokasi sumber daya alam yang menyatakan bahwa
bagian daerah dari penerimaan negara yang berasal dari
pengelolaan sumber daya alam antara lain, di bidang pertambangan
umum, pertambangan minyak dan gas alam, kehutanan dan
perikanan. Hal ini tentunya merugikan Provinsi Sumatera Utara
yang secara spesifik alamnya sangat potensial diusahai oleh
perusahaan perkebunan baik BUMN (PTPN) maupun swasta
nasional/asing, yang selama ini produksinya merupakan salah satu
komoditi ekspor andalan dan sektor non migas.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 68
Dengan demikian, sketsa sumber-sumber pendapatan daerah
untuk provinsi dan kabupaten/kota yang berlaku secara nasional
sesuai ketentuan UU No. 32/2004, UU No. 33/2004 dan UU No.
34/2000.
H. Peningkatan Pendapatan Asli Daerah
Menurut Soekarwo (2003), peningkatan Pendapatan Asli
Daerah (PAD) dapat dilaksanakan melalui beberapa hal, yaitu:
1. Intensifikasi;
2. Ekstensifikasi;
3. Peningkatan pelayanan kepada masyarakat.
Intensifikasi adalah kegiatan yang dilakukan
mengefektifkan perbaikan dan pembaharuan seluruh data yang
berkaitan penerimaan daerah, pembaharuan data dilaksanakan
secara berkala, serta dengan menerapkan pengecekan ulang secara
acak pada sebahagian sumber pendapatan asli daerah, kegiatan-
kegiatan tersebut dapat dilakukan melalui:
(a) Pendataan dan peremajaan obyek dan subyek pajak dan
retribusi daerah sehingga seluruh sumber-sumber pendapatan
asli daerah dapat digali dan disesuaikan dengan peraturan
perundang-undangan;
(b) Mempelajari dan menelaah kembali pajak-pajak daerah yang
dipangkas (dicabut kembali) guna mencari kemungkinan
untuk dialihkan menjadi retribusi daerah;
(c) Mengintensifikasi penerimaan retribusi daerah;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 69
(d) Memperbaiki prasarana dan sarana pungutan yang belum
memadai, sehingga seluruh pungutan merupakan pembiayaan
berdasarkan sarana dan prasarana yang baik dan benar.
Ekstensifikasi yaitu suatu kegiatan yang dilakukan melalui
penggalian sumber penerimaan baru dengan pemanfaatan potensi
daerah yang mampu memberikan keuntungan ekonomis kepada
pemerintahan dan masyarakat luas lainnya.
Penggalian sumber-sumber pendapatan asli daerah
ditujukan untuk dapat membiayai pembangunan daerah, bukan
semata-mata untuk mengumpulkan dana sebanyak-banyaknya
sehingga akan dapat menghambat iklim investasi bahkan merusak/
mematikan usaha yang telah berkembang sebelum pungutan
tersebut dilakukan.
I. Pengertian Pajak dan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
Pengertian mengenai pajak dalam prakteknya telah
menimbulkan banyak definisi dan batasan yang diberikan oleh para
sarjana terkemuka di bidang hukum pajak. Dengan membaca
beberapa definisi yang menonjol akan dapat dijadikan pegangan
untuk membantu kita memperoleh gambaran tentang pengertian
pajak.
Di bawah ini dicantumkan beberapa definisi tentang pajak
yang dikemukakan oleh para pakar ilmu hukum pajak dalam buku
Pokok-Pokok Pengelolaan Pendapatan Asli Daerah Tk I dan Tk II
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 70
se-Sumatera Utara diterbitkan Dinas Pendapatan Provinsi
Sumatera Utara 1988, yaitu:
a. Adriani
Pajak adalah iuran kepada negara (yang dapat dipaksakan)
yang terhutang oleh yang wajib pajak membayarnya
menurut peraturan-peraturan, langsung dapat ditunjuk dan
yang gunanya adalah untuk membiayai pengeluaran-
pengeluaran umum berhubung dengan tugas negara untuk
menyelenggarakan pemerintahan;
b. Edwin Robert Anderson Seligman, dalam Essay on Taxation
(New York, 1925), menyatakan bahwa, “Tax is a compulsory
contribution from the person, to the government to defray the
expenses incurred in the common interest of all without
reference to special benefits conferred.
Banyak yang berkeberatan atas “without reference” karena
bagaimanapun juga uang-uang pajak tersebut digunakan
untuk produksi barang dan jasa, jadi “benefit” diberikan
kepada masyarakat, hanya tidak mudah ditunjukkan apalagi
secara perorangan.
c. Deutsche Reichs Abgaben Ordnung (RAD-1919): “Pajak
adalah bantuan uang secara insidental atau secara periodik
(dengan tidak ada kontra prestasinya, yang dipungut oleh
badan yang bersifat umum (negara), yang karena undang-
undang telah menimbulkan hutang pajak”;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 71
d. Leroy Beauliau, dalam Traite de la Science des Finances
(1906), menyatakan bahwa, “L’impot et la contribution, soit
directe soit dissimulee, que la puissance publique exige des
habitants ou des biens pur subvenir aux depences du
gouvernment.”
Pajak adalah bantuan, baik secara langsung maupun tidak,
yang dipaksakan oleh kekuasaan publik dari penduduk atau
dari barang, untuk menutupi belanja pemerintah.
e. C. F. Bastable menyatakan, “Tax is a compulsory
contribution of the wealth of a person or body of persons for
the service of the public powers,” dalam bukunya Public
Finance.
f. Ray M. Sommerfeld, Hershel M. Anderson, dan Horace R.
Brock dalam bukunya An Introduction to Taxation
menyebutkan pajak sebagai, “Any nonpenal yet compulsory
transfer of resources from the private to the public sector,
levied on the basis of predetermined criteria and without
receipt of a specific benefit of equal value, in order to
accomplish some of a nation’s economic and social objectives.”
Pajak adalah suatu pengalihan sumber dari sektor swasta ke
sektor pemerintah, bukan akibat pelanggaran hukum,
namun wajib dilaksanakan, berdasarkan ketentuan yang
ditetapkan lebih dahulu, tanpa mendapat imbalan yang
langsung dan proporsional, agar pemerintah dapat
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 72
melaksanakan tugas-tugasnya untuk menjalankan
pemerintahan (Moh. Zain: 2005);
g. Seligman dalam Essay in Taxation (New York, 1925),
berbunyi: “ Tax is a compulsery contribution from the person
to the goverment to defray the expenses incurred in the
common interest of all, with out reference to special benefit
conferred”, (yang artinya: pajak adalah suatu sumbangan
paksaan dari perseorangan kepada pemerintah untuk
membiayai pengeluaran yang bertalian dengan kepentingan
umum, tanpa ditunjukkan adanya keuntungan khusus
terhadapnya);
h. Soeparman dalam Soemitro (1990): “pajak adalah iuran
wajib, berupa uang atau barang yang dipungut oleh
penguasa berdasarkan norma-norma hukum, guna menutup
biaya produksi barang-barang dan jasa-jasa kolektif dalam
membiayai kesejahteraan umum”.
Menurut Soemitro (1990), pajak atau utang pajak dalam arti
sempit yang mewajibkan wajib pajak (debitur) untuk membayar
suatu jumlah uang dalam kas negara (kreditur). Utang pajak adalah
utang yang timbulnya secara khusus, karena negara terikat dan
tidak dapat memilih bebas, siapa yang akan dijadikan debiturnya.
Beberapa unsur yang dapat disimpulkan dari beberapa
defenisi pajak tersebut adalah:
1. A compulsory, merupakan suatu kewajiban yang dikenakan
pada rakyat yang dikenakan kewajiban perpajakan. Jika tidak
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 73
melaksanakan kewajibannya tersebut, maka dapat dikenakan
tindakan hukum berdasarkan undang-undang. Dapat dikatakan
bahwa kewajiban ini dapat dipaksakan oleh pemerintah;
2. Contribution, diartikan sebagai iuran yang diberikan oleh rakyat
yang memenuhi kewajiban perpajakan kepada pemerintah
dalam satuan moneter;
3. By individual or organizational, iuran yang dapat dipaksakan
tersebut dibayar oleh perorangan atau badan yang memenuhi
kewajiban perpajakan;
4. Received by the government, iuran yang diberikan tersebut
dibayarkan kepada pemerintah selaku penyelenggara
pemerintahan suatu negara;
5. For public purposes, iuran yang diberikan dari rakyat yang
dapat dipaksakan yang merupakan penerimaan bagi pemerintah
dijadikan sebagai dana untuk pemenuhan tujuan kesejahteraan
rakyat banyak.
Dari beberapa pendapat tentang unsur pajak, secara umum
menyetujui pajak tersebut mengandung unsur pemaksaan yang
dilindungi undang-undang artinya penarikan pajak dengan
pemaksaan/pembebanan bagi penunggak disetujui dan sah sesuai
dengan perundangan yang berlaku.
Dalam rangka memperkuat definisi dan pengertian serta
dasar pemungutan perpajakan perlu dilihat beberapa teori yang
menguatkannya, sehingga pajak yang diambil dari masyarakat
dapat diarahkan penggunaannya sesuai dengan keperluan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 74
masyarakat. Beberapa teori yang mendukung pemungutan pajak
antara lain.
1. Teori Asuransi
Negara melindungi keselamatan jiwa, harta benda dan hak-hak
rakyatnya. Oleh karena itu rakyat harus membayar pajak yang
diibaratkan sebagai suatu premi asuransi karena memperoleh
jaminan perlindungan tersebut.
2. Teori Kepentingan
Pembagian beban pajak kepada rakyat didasarkan pada
kepentingan (misalnya perlindungan) masing-masing orang.
Semakin besar kepentingan seseorang terhadap negara, makin
tinggi pajak yang harus dibayar.
3. Teori Daya Pikul
Beban pajak untuk semua orang harus sama beratnya, artinya
harus dibayar sesuai dengan daya pikul masing-masing orang.
Untuk mengukur daya pikul dapat digunakan 2 (dua)
pendekatan, yaitu:
• Unsur objektif, dengan melihat besarnya penghasilan atau
kekayaan yang dimiliki seseorang;
• Unsur subjektif, dengan memperhatikan besarnya
kebutuhan materil yang harus dipenuhi.
4. Teori Bakti
Dasar keadilan pemungutan pajak terletak pada hubungan
rakyat dengan negaranya. Sebagai warga negara yang berbakti,
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 75
rakyat harus selalu menyadari bahwa pembayaran pajak
adalah sebagai suatu kewajiban.
5. Teori Asas Daya Beli
Dasar keadilan terletak pada akibat pemungutan pajak.
Maksudnya memungut pajak berarti menarik daya beli dari
rumah tangga masyarakat untuk rumah tangga negara.
Selanjutnya negara akan menyalurkannya kembali ke
masyarakat dalam bentuk pemeliharaan kesejahteraan
masyarakat. Dengan demikian kepentingan seluruh
masyarakat lebih diutamakan.
6. Teori Pembangunan (Safri Nurmantu: 2003)
Untuk Indonesia, justifikasi yang paling tepat adalah
pembangunan. Pajak dipungut negara untuk pembangunan.
Pembangunan merupakan pengertian tentang tujuan suatu
negara, yaitu masyarakat yang adil, makmur, sejahtera di
semua bidang kehidupan.
Fungsi dan kegunaan dari pajak dapat dilaksanakan untuk
beragam dan berbagai keperluan yang dikelola oleh negara,
sehingga penerimaan negara yang berasal dari perpajakan menjadi
tulang punggung pembiayaan negara. Beberapa fungsi dari pajak
dapat disebutkan berikut ini:
1. Fungsi Budgetair
Pajak sebagai sumber dana bagi pemerintah untuk membiayai
pengeluaran-pengeluarannya.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 76
2. Fungsi Regulasi
Pajak sebagai alat untuk mengatur atau melaksanakan
kebijaksanaan pemerintah dalam bidang sosial dan ekonomi.
Berbagai jenis dan obyek yang dapat dikenakan pajak, baik
obyek tersebut kepemilikannya perorangan, kelompok maupun
obyek berbadan hukum, sehingga penentuan jenis-jenis pajak
tersebut sangat tergantung dari kejelian dan kepiawaian perencana-
perencana perpajakan dari negara dan daerah tersebut. Jenis-jenis
pajak pada beberapa negara dapat berbeda-beda, demikian halnya
daerah-daerah di wilayah Republik Indonesia, namun secara umum
pada banyak negara, serta di setiap daerah di Indonesia
menerapkan adanya Pajak Bumi dan Bangunan, yaitu pajak yang
ditetapkan kepada masyarakat atas kepemilikan tanah dan
bangunan yang dimilikinya tersebut. Maka untuk itu diperlukan
pendalaman yang lebih tentang Pajak Bumi dan Bangunan yang
berlaku di seluruh wilayah Republik Indonesia.
Pemungutan pajak, juga harus diperhatikan unsur keadilan
sehingga tercipta apa yang dinamakan pemerataan pajak. Oleh
karena kita mengenal beberapa asas pemungutan pajak yaitu:
(Yogia, 1982).
1. Asas Falsafah Hukum
Asas falsafah hukum yaitu meninjau pemungutan pajak dari
sudut falsafahnya, sehingga pajak itu menjadi adil. Oleh sebab
itu falsafah hukum ini dimaksud adalah untuk mencapai
keadilan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 77
2. Asas Yuridis
Asas yuridis, artinya pemungutan pajak harus berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berdasarkan kepastian
hukum.
3. Asas Ekonomis
Asas ekonomis, yaitu pemungutan pajak jangan sampai
mengganggu kehidupan ekonomis dari si wajib pajak, jadi
jangan sampai akibat adanya pemungutan pajak pada
seseorang, maka orang itu menjadi jatuh melarat.
4. Asas Finansial
Asas finansial, yaitu dimana pemungutan pajak harus
disesuaikan dengan fungsinya, yaitu mengisi kas negara. Jadi
dalam pemungutan pajak kalau dilihat pada fungsi budgetter,
maka biaya-biaya untuk pemungutan haruslah lebih rendah
dari pajaknya sendiri.
Menurut KJ Davey dalam Ismail (2005), memberikan
kriteria umum tentang pajak, terutama di daerah:
1. Kecukupan dan elastisitas: penerimaan dari suatu pajak harus
menghasilkan penerimaan yang cukup sehingga diharapkan
mampu membiayai sebagian atau keseluruhan biaya pelayanan
yang akan dikeluarkan. Sebelum berlakunya UU No. 18 Tahun
1977, terdapat tendensi bahwa pemerintah daerah banyak
memiliki pajak ataupun retribusi yang perannya sangat kecil
dalam menutupi anggaran pengeluaran;
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 78
2. Pemerataan: prinsipnya adalah beban pengeluaran pemerintah
daerah haruslah dipikul oleh semua golongan dalam
masyarakat sesuai dengan kekayaan dan kesanggupannya;
3. Kelayakan administrasi: berbagai jenis pajak ataupun
pungutan di daerah sangat berbeda-beda mengenai jumlah,
integritas, dan keputusan yang diperlukan dalam
administrasinya. Untuk itu diperlukan administrasi
perpajakan yang mudah dan sederhana;
4. Kesepakatan politis: pada akhirnya, keputusan pembebanan
pajak sangat bergantung pada kepekaan masyarakat,
pandangan masyarakat secara umum tentang pajak, dan nilai-
nilai yang berlaku pada masyarakat di suatu daerah. Oleh
karenanya dibutuhkan suatu kesepakatan bersama bila
dirasakan perlu dalam pengambilan keputusan perpajakan;
5. Distorsi terhadap perekonomian: implikasi pajak atau
pungutan yang secara minimal berpengaruh terhadap
perekonomian. Pada dasarnya setiap pajak atau pungutan akan
menimbulkan suatu beban, baik bagi konsumen maupun
produsen. Persoalannya jangan sampai suatu pajak atau
pungutan menimbulkan beban tambahan (extra burben) yang
berlebihan, yang akan merugikan masyarakat secara
menyeluruh (dead-weight loss);
6. Dalam Negara Republik Indonesia yang kehidupan rakyat dan
perekonomiannya sebagian besar bercorak agraris, bumi
termasuk perairan dan kekayaan alam yang terkandung di
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 79
dalamnya mempunyai fungsi penting dalam membangun
masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan
Undang-undang Dasar Tahun 1945. Bagi mereka yang
memperoleh manfaat dari bumi dan kekayaan alam yang
terkandung di dalamnya, karena mendapat suatu hak dari
kekuasaan negara, wajar menyerahkan sebagian dari
kenikmatan yang diperolehnya kepada negara melalui
pembayaran pajak.
Dengan terbitnya UU No. 12/1985 (telah dirubah dengan
Undang-undang No. 12 Tahun 1994), maka ordonansi Pajak Rumah
Tangga Tahun 1908, Ordonansi Verponding Indonesia tahun 1923,
Ordonansi Verponding tahun 1928, Ordonansi pajak kekayaan
Tahun 1932, Ordonansi pajak jalan Tahun 1942, Pasal 14 huruf j,
huruf k dan huruf i Undang-undang Darurat No. 11 Tahun 1957
tentang Peraturan perundang-undangan tentang pungutan daerah
sepanjang mengenai tanah dan bangunan dicabut.
Pajak Bumi dan Bangunan yang dikenal dengan singkatan
PBB adalah salah satu obyek pungutan pajak pusat, yang dibagi
hasilkan kepada daerah (provinsi dan kabupaten/kota). Pengertian
Bumi dan Bangunan yang termaktub dalam Pasal 1 angka 1 UU No.
12/1985 disebut pengertian bumi dan bangunan sebagai berikut:
Bumi adalah permukaan bumi ditambah dengan bumi yang ada di
bawahnya (permukaan bumi meliputi tanah di perairan, pedalaman,
serta laut wilayah Republik Indonesia). Pengaturan penerimaan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 80
Pajak Bumi dan Bangunan yang alokasinya diatur dalam Undang-
undang No. 33 Tahun 2004, dengan rincian sebagai berikut:
a. 10 % bagian pusat dari Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
dibagikan kepada seluruh daerah kabupaten/kota yang
didasarkan atas realisasi penerimaan Pajak Bumi dan
Bangunan tahun anggaran berjalan, dengan perimbangan
sebagai berikut:
- 65 % dibagikan secara merata kepada seluruh daerah
kabupaten/kota
- 35 % dibagikan sebagai insentif kepada daerah
kabupaten/kota yang realisasi tahun sebelumnya
mencapai/melampui rencana penerimaan sektor tertentu,
yang bertujuan untuk mendorong intensifikasi pemungutan
Pajak Bumi dan Bangunan.
b. 90 % untuk daerah, yaitu dirinci sebagai berikut:
- 16,2 % untuk daerah provinsi;
- 64,8 % daerah kabupaten/kota;
- 9 % untuk biaya pemungutan.
Obyek Pajak Bumi dan Bangunan dikelompokkan dalam 5
(lima) sektor, antara lain: Pedesaan, Perkotaan, Perkebunan,
Kehutanan dan Pertambangan, dimana dalam pelaksanaannya
mempedomani sistem dan prosedur dari mendaftar, pendataan,
penetapan, penagihan, dan penyetoran Pajak Bumi dan Bangunan
ke kas negara melalui bank yang ditunjuk, yang merupakan
kewenangan Direktorat Jenderal Pajak (Departemen Keuangan
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 81
Republik Indonesia) dengan jajarannya yaitu Direktorat Pajak Bumi
dan Bangunan dan Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan di
daerah, yang mempunyai keterkaitan kegiatan operasional di
lapangan dengan unsur pemerintah provinsi dan kabupaten/kota.
Kebijakan di bidang pengelolaan Pajak Bumi dan Bangunan
berada pada pemerintah pusat yang aplikasi pelaksanaannya di
daerah, hal ini tentunya peranan pemerintah daerah baik provinsi
maupun pemerintah kabupaten/kota terbatas, namun dalam hal
memberhasilkan pemungutannya kepada masyarakat wajib Pajak
Bumi dan Bangunan seperti penyampaian Surat Pemberitahuan
Pajak Terhutang (SPPT) Pajak Bumi dan Bangunan kepada
masyarakat maka unsur aparat pemerintah kabupaten/kota di
kecamatan, kelurahan/desa dilibatkan peranannya. Dalam
prakteknya jika ditemukan adanya kesalahan data seperti luas
obyek dan nama/alamat subyek, maka untuk penyelesaian dan
perubahannya bukan kewenangan perangkat daerah yang
bersangkutan dan untuk penyelesaiannya sesuai prosedur
merupakan kewenangan Direktorat Pajak Bumi dan Bangunan
dalam hal ini Kantor Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan
setempat. Untuk prosesnya sangat membutuhkan waktu, maka
keluhan dan keberatan dari beberapa wajib pajak dihadapi
langsung oleh petugas/aparat yang bersangkutan terutama untuk
Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkotaan (perumahan, pertokoan
dan lain-lain) dan pedesaan (tanah sawah, pertanian dan
sebagainya).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 82
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia
No. 1003/KMK.04/1985 telah menentukan Nilai Jual Usaha Bidang
Perkebunan Tanaman Berumur Panjang dan Tanaman Berumur
Pendek.
Berdasarkan Keputusan Menteri Keuangan tersebut telah
diatur perbedaan nilai jual usaha perkebunan yang berumur
panjang maupun berumur pendek, maka dapat juga dikembangkan
penentuan besarnya pajak tersebut berdasarkan keadaan lahannya,
tanah yang belum ditanam/tidak ditanam, tanah yang sudah
ditanam, tanah emplasmen, tanaman belum menghasilkan,
tanaman yang telah menghasilkan.
Bumi
a. 1. Tanah yang belum atau tidak ditanami ditentukan nilai
jualnya berdasarkan harga jual rata-rata tanah yang berada
di sekitar/di sekelilingnya, dan serendah-rendahnya sama
dengan nilai jual yang tercantum pada kelas 50 yang
ditetapkan;
2. Tanah yang sudah ditanam ditentukan nilai jualnya sebesar
125 % dari nilai jual tanah yang belum atau tidak ditanami;
3. Tanah emplasmen ditentukan nilai jualnya berdasarkan
klarifikasi yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak serta disesuaikan dengan
klasifikasi sebagaimana yang ditetapkan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 83
b. 1. Tanaman belum menghasilkan ditentukan nilai jualnya
berdasarkan standar investasi dikalikan 50 %;
2. Tanaman menghasilkan ditentukan nilai jualnya
berdasarkan standar investasi dikalikan 75 %;
3. Standar investasi tersebut pada b1 dan b2, perjenis tanaman
ditetapkan dengan Surat Keputusan Direktur Jenderal
Pajak.
Bangunan
Bangunan ditentukan nilai jualnya berdasarkan klasifikasi
yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak serta disesuaikan dengan klasifikasi yang telah ditetapkan
dalam Keputusan Menteri Keuangan.
Sesuai ketentuan Surat Edaran Dirjen Pajak No. SE-21/Pj-
6/1999 ditetapkan antara lain, untuk perhitungan Pajak Bumi dan
Bangunan sektor pekebunan, menggunakan formulir isian Surat
Pemberitahuan Obyek Pajak (SPOP) sektor perkebunan dan daftar
perhitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 84
J. Pengembangan Wilayah
Analisis mengenai pengembangan wilayah, tidak terlepas
dari unsur wilayah itu sendiri, wilayah umumnya diartikan sebagai
area, daerah tertentu dengan batasan-batasan yang jelas.
Wibowo (2004), memberikan pengertian dari wilayah (region)
adalah suatu unit geografi yang membentuk suatu kesatuan. Unit
geografi adalah ruang yang meliputi aspek fisik tanah, biologi,
ekonomi, sosial, dan budaya dan lain sebagainya.
Pengertian wilayah yang dikemukakan Hartshorne (2001),
wilayah merupakan suatu area dengan lokasi spesifik dan dalam
beberapa aspek tertentu berbeda dengan area lain. Unit area ini
adalah merupakan obyek yang konkret dengan karakteristik yang
unik. Struktur wilayah akan mempunyai watak dari pada “mosaik”.
Pemerintah bekerja sama dengan masyarakat melaksanakan
pengembangan wilayah, dalam suatu keteraturan dan rambu-rambu
yang telah ditentukan, keberhasilan pembangunan wilayah dapat
dilihat dari peningkatan pendapatan, kesejahteraan masyarakat
serta pembangunan yang dilakukan pada wilayah tersebut.
Menurut Miraza (2005), pengembangan wilayah adalah
pemanfaatan potensi wilayah, baik potensi alam maupun potensi
buatan, harus dilaksanakan secara fully dan efficiency agar
pemanfaatan potensi dimaksud benar-benar berdampak pada
kesejahteraan masyarakat secara maksimal.
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 85
Dalam hal ini unsur utamanya adalah: terdapatnya suatu
wilayah (daerah). Yang artinya pembahasan pengembangan wilayah
tidak dapat dilepaskan dari unsur wilayah itu sendiri, wilayah
umumnya diartikan sebagai area, daerah tertentu dengan batasan-
batasan yang jelas.
Pengembangan wilayah merupakan suatu tindakan
mengembangkan wilayah atau membangun daerah atau kawasan
dalam rangka usaha memperbaiki tingkat kesejahteraan hidup
masyarakat (Hadjisaroso, 1994).
Pengembangan wilayah (regional development) merupakan
upaya untuk memacu perkembangan sosial ekonomi, mengurangi
kesenjangan antar wilayah, dan menjaga kelestarian lingkungan
hidup pada suatu wilayah. Pengembangan wilayah sangat
diperlukan karena kondisi sosial ekonomi, budaya dan geografis
yang sangat berbeda antara suatu wilayah dengan wilayah lainnya.
Pada dasarnya pengembangan wilayah harus disesuaikan dengan
kondisi, potensi dan permasalahan wilayah bersangkutan (Riyadi,
2002).
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 86
Menurut Sandy (1992), pengembangan wilayah pada
hakekatnya adalah pelaksanaan pembangunan nasional di suatu
wilayah yang disesuaikan dengan kemampuan fisik dan sosial
wilayah tersebut serta tetap mentaati peraturan perundangan yang
berlaku.
Riyadi (2002), mengatakan tujuan utama dari pengembangan
wilayah adalah menyerasikan berbagai kegiatan pembangunan
sektor dan wilayah, sehingga pemanfaatan ruang dan sumberdaya
yang ada di dalamnya dapat optimal mendukung kegiatan
kehidupan masyarakat sesuai dengan tujuan dan sasaran
pembangunan wilayah yang diharapkan.
Pembangunan masyarakat sangat terkait langsung dengan
besarnya pendapatan masyarakat yang ditinjau, dimana tingkat
pendapatan masyarakat tersebut dapat diukur dengan total
pendapatan wilayah maupun pendapatan rata-rata masyarakat.
Menurut Tarigan (2004), bahwa pembangunan wilayah dapat
diukur dari beberapa parameter antara lain, meningkatnya
pendapatan masyarakat, peningkatan lapangan kerja, pemerataan
pendapatan.
Pembangunan dimaksud harus sesuai dengan perencanaan
ruang wilayah yang telah ditetapkan, sehingga tidak akan ditemui
lagi tumpang tindih program pengembangan wilayah.
Pemerintah melakukan berbagai program pembangunan
untuk meningkatkan taraf hidup masyarakat, dimana
pembangunan tersebut berlandaskan pada pengertian sebagai
Pajak Bumi dan Bangunan dan Otonomi Daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 87
pembangunan manusia dan pembangunan seluruh masyarakat
Indonesia (Soehadi, 1994).
Sasaran Pengembangan wilayah harus diterjemahkan dalam
kerangka pembangunan nasional dan negara kesatuan Republik
Indonesia (NKRI) yaitu dengan tujuan: Mencapai pertumbuhan
pendapatan perkapita yang cepat, menyediakan kesempatan kerja
yang cukup, pemerataan pendapatan, mengurangi perbedaan
antara tingkat pendapatan, kemakmuran, pembangunan serta
kemampuan antar daerah. Membangun struktur perekonomian
agar tidak berat sebelah (Hadjisaroso, 1994).
Kerangka Konseptual
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 89
BAB III
KERANGKA KONSEPTUAL
embangunan ekonomi ditujukan untuk menciptakan
penghidupan masyarakat banyak negara yang bersangkutan makin
makmur dan sejahtera, keduanya dalam artian ekonomi. Di
samping itu, pembangunan ekonomi juga sering ditujukan untuk
membuat struktur ekonomi negara yang bersangkutan makin
seimbang antara sektor ekonomi yang satu dan yang lain, terutama
antara sektor pertanian termasuk di dalamnya perkebunan dan
industri (Marsudi, 1994).
Konsistensi kebijakan dalam era globalisasi dalam ekonomi
yang semakin terbuka, meskipun untuk meningkatkan efisiensi
perekonomian harus semakin diarahkan ke ekonomi pasar, namun
intervensi pemerintah harus menjamin bahwa persaingan berjalan
dengan berimbang dan pemerataan terpelihara.
Dalam hubungan kebijakan perencanaan secara teoritis
sangat erat kaitannya terutama dalam transformasi kebijakan
melalui suatu program antara lain: Pembuatan analisis kebijakan
yang berorientasi pada masalah.
Kerangka Konseptual
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 90
Setelah kebijakan ditetapkan maka perlu disusun rencana
pelaksanaan kegiatan yang dirinci program dan pembiayaannya
salah satu sistem yang dikenal adalah perencanaan, rencana
anggaran biaya, sistem perencanaan anggaran, sistem perencanaan
dan rencana pembiayaan.
Menurut UU No. 12/1985, besarnya Pajak Bumi dan
Bangunan sektor perkebunan diklasifikasikan untuk tanaman
berumur panjang dan tanaman perkebunan berumur pendek adalah
dengan diuraikan untuk pemanfaatan lahan (bumi) oleh
perkebunan dengan kriteria: tanah yang belum/tidak ditanam,
tanah yang sudah ditanam, tanaman belum menghasilkan dan
tanaman menghasilkan serta tanah emplasmen.
Negara Indonesia yang memiliki begitu banyak sumber daya
alam, salah satu diantaranya adalah sumber daya alam yang
menghasilkan ekonomi berbasis perkebunan. Sesuai dengan aturan
UU No. 32/2004 dan UU No. 33/2004 hendaknya memberikan
kontribusi terhadap penerimaan pemerintah daerah. Dengan
adanya penerimaan pemerintah daerah dari ekonomi berbasis
perkebunan, dapat meningkatkan pengembangan wilayah.
Penetapan NJOP Pajak Bumi dan Bangunan sektor
perkebunan melalui pendekatan sesuai kriteria pemanfaatan lahan
(tanah) dengan variabel yang diamati sebagaimana sketsa kerangka
konseptual penelitian. Lahan-lahan yang dikuasai pengelola
perkebunan secara umum terdiri dari ketiga kategori antara lain
adalah tanah yang belum/tidak ditanam, tanah yang sudah
Kerangka Konseptual
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 91
ditanam, tanah emplasemen, tanaman belum menghasilkan,
tanaman menghasilkan, yang pada saat ini dikenakan pajak bumi
bangunan yang sama, namun selayaknya kelima jenis lahan
tersebut memiliki NJOP yang berbeda, karena lahan yang sedang
menghasilkan berbeda nilai ekonominya, sehingga dengan
pengkategorian lahan tersebut sesuai dengan fungsinya akan
diperoleh NJOP yang berbeda dan berdampak terhadap Pajak Bumi
dan Bangunan yang dikenakan, dengan perubahan PBB yang
dikenakan maka disana terdapat bagian pusat dan daerah, yang
pada akhirnya memberikan kontribusi terhadap pengembangan
daerah.
Kerangka Konseptual
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 92
Adapun kerangka konseptual penelitian dengan sketsa
sebagai berikut:
Gambar 3. Kerangka Konseptual dan Hipotesis Penelitian
SUMBER DAYA ALAM
EKONOMI BERBASIS
PERKEBUNAN
PERKEBUNAN
BUMN, BUMD dan SWASTA
ASING
Menentukan
OTONOMI DAERAH
UU RI. NO. 32/2004
UU RI. NO. 33/2004
SUMBER PENDAPATAN
INTENSIFIKASI
EKSTENSIFIKASI
PENETAPAN NJOP PBB SEKTOR
PERKEBUNAN
PENDAPATAN
DAERAH
/PBB BERSUMBER
KEGIATAN
EKONOMI
BERBASIS
PERKEBUNAN
KAPASITAS
PERENCANAAN
WILAYAH
Pengaruh
Tanah belum ditanami
Tanah sudah ditanami
Tanah emplasemen
Tanah belum
menghasilkan
Tanah sudah
menghasilkan
Umur produktif
Tanaman
Pertumbuhan
Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP PBB
PAD
Lahan Perkebu
nan
Persepsi/
pikiran
Stakeholder
Kerangka Konseptual
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 93
Secara spesifik konseptual hipotesis dapat dilihat pada
diagram jalur berikut ini:
Pertumbuhan
Ekonomi
(X1)
PBB
(Y2)
NJOP
(Y1)
Kepadatan
Penduduk
(X2)
PAD
(Y3)
Gambar 4. Diagram Jalur Hubungan Antar Variabel
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 95
BAB IV
KEBIJAKAN PENETAPAN NILAI JUAL OBYEK
PAJAK BUMI DAN BANGUNAN SEKTOR PERKEBUNAN
DALAM PELAKSANAAN OTONOMI DAN PENINGKATAN
SUMBER PENDAPATAN DAERAH
A. Gambaran Umum
rovinsi Sumatera Utara memiliki luas daratan sebesar
71.680,68 km2, sebagian besar berada di daratan Pulau Sumatera,
dan sebagian kecil berada di Pulau Nias, Pulau-pulau Batu serta
beberapa pulau kecil, baik di bagian barat maupun bagian timur
pantai Pulau Sumatera. Berdasarkan kondisi letak dan kondisi
alam, Sumatera Utara dibagi dalam 3 (tiga) kelompok wilayah yaitu
Pantai Barat, Dataran Tinggi dan Pantai Timur.
Provinsi Sumatera Utara beriklim tropis dan berada dekat
dengan garis khatulistiwa. Ketinggian pemukaan daratan Provinsi
Sumatera Utara sangat bervariasi, antara lain datar, hanya
beberapa meter di atas permukaan laut, beriklim cukup panas bisa
mencapai 34,0oC, sebagian lainnya dataran berbukit dengan
kemiringan yang landai, beriklim sedang dan sebagian lagi berada
pada daerah ketinggian yang suhu minimalnya bisa mencapai
14,6oC (Sumatera Utara dalam Angka 2006).
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 96
Provinsi Sumatera Utara memiliki musim kemarau dan
musim penghujan, musim kemarau biasanya pada bulan Juni
sampai dengan September dan musim penghujan biasanya terjadi
pada bulan November sampai dengan bulan Maret, diantara kedua
musim ini diselingi puncak tertinggi adalah Kabupaten Labuhan
Batu yaitu sebesar 2.151 meter di atas permukaan laut, hal ini
mengakibatkan Kabupaten Labuhan Batu sangat banyak memiliki
lahan-lahan perkebunan.
Luas daerah Provinsi Sumatera Utara berdasarkan
Kabupaten/Kota sangat beragam antara 10,77 km2 sampai dengan
12.138,30 km2, seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 7
Luas Daerah, Jumlah Penduduk, Kepadatan, Rumah Tangga
Tahun 2005
No. Kabupaten/
Kota
Luas
Area
(km2)
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan
(Jiwa/km2)
Rumah
Tangga
1
2
3
4
5
6
Nias
Mandailing
Natal
Tapanuli
Selatan
Tapanuli
Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
3.495,39
6.618,79
12.138,30
2.188,00
3.726,52
2.474,40
441.807
386.150
626.702
283.035
256.201
158.677
126
58
52
129
69
64
81.918
86.346
138.030
59.558
56.437
39.792
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 97
No. Kabupaten/
Kota
Luas
Area
(km2)
Jumlah
Penduduk
(Jiwa)
Kepadatan
(Jiwa/km2)
Rumah
Tangga
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Labuhan Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
Deli Serdang
Langkat
Nias Selatan
Humbang
Hasundutan
Pakpak Bharat
Samosir
Serdang Bedagai
Sibolga
Tanjung Balai
Pematang
Siantar
Tebing Tinggi
Medan
Binjai
Padang
Sidempuan
9.223,18
4.580,75
4.386,60
1.927,80
2.127,29
2.407,96
6.263,30
1.825,20
2.335,33
1.218,30
2.069,05
1.989,98
10,77
60,25
79,99
37,99
265,10
90,33
140,00
951.773
1.024.369
826.101
261.287
316.207
1.569.638
970.433
288.233
152.997
34.542
131.073
588.176
88717
152.814
230.487
135.671
2.036.185
237.904
177.499
103
224
188
136
149
652
155
158
66
28
63
296
8.237
2.525
2.881
3.571
7.681
2.634
1.268
207.119
224.246
196.071
58.718
83.344
348.728
222.346
53.249
33.702
7.763
28.463
133.431
18.731
31.390
51.599
30.629
422.922
52.000
50.488
Total 71.680,68 12.326.678 172 2.705.189
Sumber: Sumatera Utara dalam Angka 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 98
Kabupaten/kota yang memiliki areal terluas adalah
Kabupaten Tapanuli Selatan dengan luas areal sebesar 12.138,30
km2 dengan jumlah penduduk 609.922 jiwa, atau setara dengan
kepadatan penduduk sekitar 50 jiwa/km2. Kabupaten/kota dengan
areal terkecil adalah Kota Sibolga dengan luas areal 10,77 km2,
serta jumlah penduduk sekitar 87.260 jiwa atau setara dengan
kepadatan 8.102 jiwa/km2.
Kabupaten/kota yang memiliki jumlah penduduk paling
rapat adalah Kota Sibolga dengan kerapatan sekitar 8.102 jiwa/km2,
keadaan ini mengakibatkan di Kota Sibolga tidak dijumpai lahan-
lahan perkebunan, selanjutnya kabupaten/kota yang memiliki
kerapatan penduduk paling kecil adalah Kabupaten Pakpak Bharat
dengan kerapatan 28 jiwa/km2.
1.1. Gambaran Umum Responden
Responden penelitian terdiri dari berbagai jenis profesi,
umur, tingkat pendidikan, dan etnis yang berbeda-beda, sehingga
hasil yang diperoleh sangat beragam serta nilai distribusinya lebih
dapat dipertanggung jawabkan.
1.1.1. Umur
Responden penelitian umumnya berumur sekitar 30 (tiga
puluh) tahun sampai dengan > 50 (lima puluh) tahun yang
seluruhnya bermukim di Provinsi Sumatera Utara, seperti tertera
pada tabel berikut.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 99
Tabel 8
Komposisi Umur Responden
No. Umur (Tahun) Jumlah
(Orang) Persen (%)
1. 30 – 34 1 1,43
2. 35 – 39 3 4,29
3. 40 – 44 12 17,14
4. 45 – 50 31 44,29
5. > 50 23 32,85
Jumlah 70 100,00
Sumber: Data Olahan Tahun 2006.
Dominasi umur responden adalah dalam batasan umur
antara 45 – 50 tahun sebanyak 31 (tiga puluh satu) responden
(44,29 %), hal ini diakibatkan responden kebanyakan adalah
penduduk yang telah lama bermukim di daerah Provinsi Sumatera
Utara, serta memiliki keterkaitan dengan kegiatan perkebunan.
Responden penelitian juga terdiri dari sampel yang berumur
> 50 (lima puluh) tahun sebanyak 23 (dua puluh tiga) responden
(32,85 %). Umumnya responden dengan umur demikian umumnya
telah beberapa kali berhubungan langsung dengan aktifitas
perkebunan, responden demikian sangat diperlukan, mengingat
perkembangan perkebunan di daerah penelitian masih sangat
terkait dengan para pengambil kebijakan di daerah.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 100
Responden juga terdiri dari masyarakat yang berumur
antara 30-34 tahun sebanyak 1 (satu) responden (1,43 %), responden
ini adalah aparatur pemerintah.
Beragamnya umur responden menunjukkan bahwa yang
menjadi responden penelitian ini adalah perwujudan keterwakilan
kematangan berpikir/pengalaman dari responden, yang diharapkan
akan mampu menggambarkan kegiatan perkebunan di daerahnya.
1.2. Pendidikan
Responden penelitian berasal dari latar belakang pendidikan
yang berbeda-beda, mulai dari Sekolah Menengah Atas (SMA)
hingga pendidikan Strata-3, seperti tertera pada tabel berikut.
Tabel 9
Komposisi Pendidikan Responden
No. Pendidikan Jumlah (Orang) Persen (%)
1. S M A 6 8,57
2. Diploma 14 20,00
3. Strata1 41 58,57
4. Strata 2 8 11,43
5. Strata 3 1 1,43
Jumlah 70 100,00
Sumber: Data Olahan Tahun 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 101
Dominasi tingkat pendidikan responden adalah strata 1
sebanyak 41 (empat puluh satu) responden (58,57 %), hal ini
diakibatkan responden kebanyakan adalah aparat pemerintah dan
legislatif yang memiliki tingkat pendidikan yang baik.
Responden penelitian juga terdiri dari tingkat pendidikan
strata 3 sebanyak 1 (satu) responden (1,43 %). Responden dengan
tingkat pendidikan demikian berasal dari kalangan perguruan
tinggi, yang dimintakan pendapatnya tentang kegiatan perkebunan
serta Pajak Bumi dan Bangunan.
Responden juga terdiri dari tingkat pendidikan Sekolah
Menengah Atas (SMA) sebanyak 6 (enam) responden (8,57 %),
responden ini umumnya adalah aparatur dari instansi
pemerintahan.
Beragamnya tingkat pendidikan responden menunjukkan
bahwa yang menjadi responden penelitian ini adalah perwujudan
keterwakilan kemampuan analisis ilmiah/pengalaman dari
responden, yang diharapkan akan mampu menggambarkan
kegiatan perkebunan di daerahnya.
1.2.1. Lama Bermukim di Provinsi Sumatera Utara
Lama bermukim responden di Provinsi Sumatera Utara,
adalah sangat beragam, mulai yang bermukim < 5 tahun hingga
yang bermukim > 20 tahun, seperti tertera pada tabel berikut.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 102
Tabel 10
Komposisi Pendidikan Responden
No. Lama Bermukim
(Tahun)
Jumlah
(Orang) Persen (%)
1. < 5 6 8,57
2. 5 – 10 12 17,14
3. 11 – 15 32 45,71
4. 16 – 20 16 22,86
5. > 20 4 5,72
Jumlah 70 100,00
Sumber: Data Olahan Tahun 2006.
Dominasi lama bermukim responden adalah lama bermukim
antara 11 – 15 tahun sebanyak 32 (tiga puluh dua) responden (45,70
%), hal ini menunjukkan bahwa responden didominasi adalah
aparat pemerintah, legislatif dan pengusaha yang telah mengenal
betul karakteristik serta pola kehidupan sosial masyarakat di
Provinsi Sumatera Utara.
Responden penelitian juga terdiri dari lama bermukim > 20
tahun sebanyak 4 responden (5,72 %). Responden dengan lama
bermukim demikian diharapkan akan mampu memberikan
masukan yang lebih komprehensif tentang keadaan dan
perkembangan perkebunan yang ada di Provinsi Sumatera Utara.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 103
Responden juga terdiri dari lama bermukim < 5 tahun
sebanyak 6 responden (8,57 %), responden ini umumnya adalah
aparatur dari instansi pemerintahan serta berusia antara 30-40
tahun yang bekerja pada dinas perkebunan.
Beragamnya lama tinggal responden menunjukkan bahwa
yang menjadi responden penelitian ini adalah perwujudan
keterwakilan keragaman pengalaman dari responden, yang
diharapkan akan mampu menggambarkan kegiatan perkebunan di
daerahnya.
B. Variabel
Variabel-variabel penelitian yang akan dianalisis pada
penelitian ini adalah variabel yang berhubungan dengan kegiatan
perkebunan serta Pajak Bumi dan Bangunan, variabel-variabel
tersebut antara lain:
2.1. Variabel Dependen
2.1.1. Nilai Jual Obyek Pajak
Dalam penentuan nilai jual obyek pajak (NJOP) dipengaruhi
beberapa hal antara lain: (1) variabel yang dapat dikendalikan
umumnya seperti penduduk, PDRB, inflasi dan lain-lain.
(2) variabel ekonomi bahwa peningkatan atau perubahan nilai jual
obyek pajak sangat terkait dengan keadaan ekonomi suatu daerah
atau dengan kata lain sangat terkait dengan variabel ekonomi yang
mempengaruhi perubahan obyek nilai jual pajak.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 104
Menurut UU No. 12/1985 Jo UU No. 12/1994 Pasal 6 ayat (1)
yang dimaksud dengan nilai jual obyek pajak adalah harga rata-rata
yang diperoleh dari transaksi jual beli. Nilai jual obyek pajak
ditentukan melalui perbandingan harga dengan obyek lain yang
sejenis, atau nilai perolehan baru, atau nilai jual obyek pajak
pengganti. Dengan mempertimbangkan lokasi dan fasilitas-fasilitas
pendukung yang ada di sekitar obyek pajak, serta dengan
memperhitungkan peruntukan tanah (zoning) dari obyek pajak
sesuai dengan ketentuan dari pemerintah daerah setempat maka
penilaian terhadap obyek pajak di bagi dalam 2 (dua) kategori
penilaian, yaitu: penilaian tanah dan penilaian bangunan.
Tarif Pajak Bumi dan Bangunan adalah 0,5 % yang
dikenakan terhadap minimum 20 % dari Nilai Jual Obyek Pajak.
Jadi nilai jual kena pajak berkisar antara 20 % sampai 100 % dari
nilai jual obyek pajak.
Tata cara pengenaan/penetapan usaha bidang perkebunan
antara lain seperti berikut:
a. Tanah yang tidak produktif, NJOPnya ditentukan pada kelas
terendah, yaitu kelas 50.
NJKP = besarnya % NJKP x NJOP
PBB = 0,5 % x NJKP
b. Tanah yang tidak ditanami, tanah yang belum ditanami, dan
tanah yang sudah ditanami tetapi belum menghasilkan,
NJOPnya ditetapkan sama dengan nilai jual obyek pajak tanah
di sekitarnya
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 105
NJKP = besarnya % NJKP x NJOP
PBB = 0,5 % x NJKP
c. Tanah yang telah ditanami dan telah menghasilkan, NJOPnya
ditentukan sama dengan nilai obyek pajak tanah disekitarnya
ditambah dengan standar investasi tanaman
NJKP = besarnya % NJKP x NJOP
PBB = 0,5 % x NJKP
d. Tanah Emplasmen, NJOPnya ditentukan berdasarkan
klasifikasi yang ditetapkan oleh Kepala Kantor Wilayah DJP
NJKP = besarnya % NJKP x NJOP
PBB = 0,5 % x NJKP
e. Tanah yang tidak dimanfaatkan, tidak dikenakan PBB
f. Bangunan, seperti pabrik, kantor, gudang, perumahan dan
sebagainya, NJOPnya ditentukan berdasarkan klasifikasi yang
berlaku
NJKP = besarnya % NJKP x (NJOP – NJOPTKP)
PBB = 0,5 % x NJKP
Berdasarkan Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP
16/Pj.6/1998 tentang Penggolongan Wilayah, Jenis Perkebunan, dan
Besarnya Standar Investasi Tanaman Perkebunan per hektar.
Besarnya standar investasi tanaman perkebunan untuk wilayah III
antara lain Sumatera Utara ditetapkan sebagai berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 106
Tabel 11
Jenis dan Standar Investasi Tanaman Perkebunan Tiap Hektar
No.
JENIS
TANA
MAN
STANDAR INVESTASI TANAMAN TIAP Ha
(dalam Ribuan Rupiah)
Sampai Tahun
1 2 3 4 5 6 Mengha
silkan
1 2 3 4 5 6 7 8 9
1. Kelapa
Hibrida 2.558 3.250 3.990 4.872 - - 5.852
2. Kelapa
Sawit 1.914 2.866 4.123 - - - 5.784
3. Kelapa
Dalam 890 1.537 2.359 3.312 - - 4.334
4. Karet 1.631 2.209 2.815 3.482 4.164 - 5.137
5. Kopi 1.996 2.198 - - - - 2.418
6. Coklat 1.437 1.945 2.561 - - - 3.222
7. Pala 978 1.206 1.457 1.848 2.278 2.751 3.271
8. Lada 19.085 23.573 - - - - 28.951
9. Teh 3.375 4.412 5.585 - - - 6.819
10. Vanili 5.915 8.338 11.595 15.179 19.196 23.614 27.889
11. Jambu
Mete 1.207 1.562 - - - - 1.894
12. Jeruk 4.184 7.496 11.966 - - - 17.277
13. Mangga 2.306 5.226 8.039 - - - 11.143
14. Pisang 7.600 - - - - - 12.812
15. Pepaya 5.264 - - - - - 9.634
16. Nenas 9.633 - - - - - 14.430
17. Kemiri 919 1.508 2.164 2.894 - - 6.377
18. Durian 1.290 2.975 4.576 - - - 6.377
19. Markisa 3.938 - - - - - 7.366
20. Melinjo 1.349 1.995 2.718 3.520 - - 4.424
21. Salak 7.108 13.986 21.034 - - - 28.840
22. Jambu Biji 3.374 7.947 12.640 - - - 17.801
23. Manggis 2.906 6.036 8.930 - - - 11.923
24. Melon - - - - - - 21.380
25. Semangka - - - - - - 11.885
26. Belimbing 2.602 5.437 8.236 - - - 11.315
Sumber: Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP 16/Pj.6/1998.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 107
2.1.2. Produksi Tanaman
Produksi tanaman perkebunan di daerah Provinsi Sumatera
Utara berdasarkan kabupaten/kota terlihat seperti tabel berikut:
Tabel 12
Produksi Tanaman Perkebunan Per Kabupaten Tahun 2005
No Kabupaten/
Kota
Perkebunan
Rakyat (Ton)
P T P N
(Ton)
P B S N
(Ton)
P B S A
(Ton)
Total
(Ton)
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
Deli Serdang
Langkat
Simalungun
Karo
Dairi
Tapanuli Utara
Tapanuli
Tengah
Nias
Tapanuli
Selatan
Labuhan Batu
Asahan
Madina
Toba Samosir
Humbang
Hasundutan
Samosir
Pak-pak Bharat
Nias Selatan
Serdang
Bedagai
44.044,92
162.630,63
174.104,26
24.057,77
25.203,29
12.946,59
28.238,21
39.746,14
199.104,94
451.668,92
108.288,20
73.235,05
5.291,43
11.262,84
33,75
4.458,79
22.156,00
11.737,80
157.718,43
13.265,97
8.950,41
-
-
-
-
-
7.692,40
16.021,20
228.723,17
-
-
-
-
-
-
24.363,68
16.803,35
113.551,52
7.794,91
1.169,00
511,00
-
163.982,52
1.201,00
165.160,02
465.316,00
140.402,20
12.785,22
-
-
-
-
-
54.328,49
25.127,86
41.211,51
52.118,37
-
-
-
-
-
-
127.620,20
116.589,97
-
-
-
-
-
-
69.959,47
243.694,56
330.659,63
242.967,95
25.226,77
25.714,29
12.946,59
192.220,73
40.947,14
371.957,36
1.060.626,32
594.003,54
86.020,27
5.291,43
11.262,84
33,75
4.458,79
22.156,00
160.389,44
Jumlah 1.509.431,97 1.251.949,08 1.141,092,55 432.627,38 4.335.100,98
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 108
Produksi perkebunan tanaman berdasarkan kabupaten/kota
seperti tertera pada tabel di atas, diperoleh bahwa jumlah produksi
perkebunan terbesar berada pada Kabupaten Labuhan Batu yaitu
sebanyak 1.060.626,32 ton, serta jumlah produksi perkebunan
terkecil berada pada Kabupaten Samosir 33,75 ton.
Pada beberapa kabupaten hasil produksi daerah seluruhnya
berasal dari perkebunan yang dikelola oleh masyarakat, seperti di
Kabupaten Tapanuli Utara, produksi perkebunan sebanyak
12.946,59 ton seluruhnya berasal dari perkebunan rakyat, demikian
halnya di Kabupaten Toba Samosir dengan besar produksi
perkebunan 5.291,43 ton, Kabupaten Humbang Hasundutan dengan
besar produksi perkebunan 11.262,84 ton, Kabupaten Samosir
dengan besar produksi perkebunan 33,75 ton, Kabupaten Pakpak
Bharat dengan besar produksi perkebunan 4.458,79 ton, Kabupaten
Nias Selatan dengan besar produksi perkebunan 22.156,00 ton.
Besar produksi perkebunan di Provinsi Sumatera Utara
seluruhnya sejumlah 4.335.100,98 ton yang antara lain berasal dari
lahan yang diusahai oleh rakyat sebanyak 1.509.431,97 ton; oleh
Perseroan Terbatas Perkebunan Nusantara (PTPN) sebanyak
1.251.949,08 ton, diusahai oleh Perusahaan Besar Swasta Nasional
(PBSN) sebanyak 1.141,092,55 ton, hasil produksi perkebunan yang
diusahai oleh Perusahaan Besar Swasta Asing (PBSA) sebanyak
432.627,38 ton. Berdasarkan data-data tersebut disimpulkan bahwa
produksi perkebunan terbesar adalah berasal dari lahan yang
diusahai oleh pengusaha besar swasta nasional.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 109
2.1.3. Penerimaan Pemerintah
Penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang
secara umum berasal dari sumber-sumber sisa anggaran,
pendapatan asli daerah, bagi hasil dari pusat, penerimaan lainnya
yang sah, mengalami kenaikan secara bertahap setiap tahunnya
(Tabel 13).
Berdasarkan data pada Tabel 13 diperoleh bahwa besarnya
penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara mengalami
perkembangan setiap tahunnya. Penerimaan tahun 2001 sebesar
Rp. 1.066.803.843.207 dan penerimaan tahun 2002 adalah sebesar
Rp. 1.179.912.701.187,45,- meningkat menjadi
Rp. 1.575.463.771.019,63,- tahun 2003, peningkatan tersebut
sebesar Rp. 395.551.069.832,20,- atau setara dengan peningkatan
0,34 %.
Tabel 13
Penerimaan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara TA 2001 s/d 2005
Sumber 2001
(Rupiah)
2002
(Rupiah)
2003
(Rupiah)
2004
(Rupiah)
2005
(Rupiah)
Sisa
Anggaran
183.506.978.934 150.588.313.936 158.629.190.093 218.599.415.721 238.409.118.159
PAD 423.075.216.370 614.459.380.863 911.753.344.602 1.146.107.470.297 1.368.835.160.970
Dana
Perimbangan
456.671.345.639 385.684.965.387 484.991.624.323 512.975.463.152 518.391.341.834
Lain- Lain 3.550.302.262 29.180.041.000 20.089.612.000 7.994.976.240 26.162.665.991
Jumlah 1.066.803.843.207 1.179.912.701.187 1.575.463.771.019 1.885.677.325.412 2.151.798.286.955
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 110
Pada tahun 2004 penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera
Utara kembali meningkat menjadi Rp. 1.885.677.325.412,65, yaitu
peningkatan sebesar Rp. 310.213.554.393.02,- atau setara dengan
peningkatan sebesar 0,20 %.
Penerimaan Pemerintah Provinsi Sumatera Utara tahun
2005 meningkat menjadi Rp. 2.151.798.286.955,92. atau terjadi
peningkatan sebesar Rp. 266.120.961.543,- dibandingkan
penerimaan tahun 2004. Peningkatan sebesar Rp. 266. 120.961.543,-
setara dengan peningkatan sebesar 0,14 % dari penerimaan tahun
2004.
Jika diteliti lebih mendalam bahwa perkembangan
penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara dari tahun 2002
ke tahun 2003 sebesar 0,34 %, peningkatan dari tahun 2003 ke
tahun 2004 meningkat sebesar 0,20 %, demikian halnya
peningkatan penerimaan dari tahun 2004 ke tahun 2005 hanya
meningkat sebesar 0,14 %, secara penerimaan pemerintah Provinsi
Sumatera Utara ini mengalami penurunan dari tahun ketahun,
walaupun secara angka mengalami peningkatan.
2.1.4. Pendapatan Asli Daerah (PAD)
Pendapatan Asli Daerah (PAD) merupakan salah satu
pemasukan yang menunjang/membiayai pelaksanaan
pemerintahan, semakin baik pemerintahan suatu daerah maka
akan semakin besar penerimaan dari sumber pendapatan asli
daerah, beberapa jenis sumber Pendapatan Asli Daerah yang dapat
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 111
diandalkan dari Provinsi Sumatera Utara adalah seperti tertera
pada tabel berikut:
Tabel 14
Besar dan Jenis Pendapatan Asli Daerah Provsu TA 2001 s/d 2005
Sumber
PAD
2001
(Rupiah)
2002
(Rupiah)
2003
(Rupiah)
2004
(Rupiah)
2005
(Rupiah)
Pajak
Daerah
388.017.707.443 584.089.880.256 861.970.794.167 1.081.371.912.888 1.301.137.841.983
Retribusi
Daerah
15.448.297.654 7.127.396.054 16.928.483.188 23.762.354.666 18.852.328.406
Laba
BUMD
4.627.813.791 5.055.190.250 5.880.750.000 7.056.893.000 8.523.503.000
Lain-lain 14.981.397.482 18.186.914.302 26.973.317.248 33.916.309.743 40.321.487.581
Jumlah 423.075.216.371 614.459.389.863 911.753.344.602 1.146.107.470.297 1.368.835.160.970
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Pendapatan asli daerah berasal dari 4 (empat) sumber yaitu
sumber pajak daerah, retribusi daerah, laba badan usaha milik
daerah, serta penerimaan lainnya. Penerimaan terbesar adalah
berasal dari pajak daerah dan penerimaan terkecil berasal dari
sumber laba badan usaha milik daerah (BUMD).
Pendapatan asli daerah yang berasal dari penerimaan pajak
daerah Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2001 sebesar
Rp. 388.017.707.443,- dan pada tahun 2002 meningkat menjadi
Rp. 584.089.880.256,- peningkatan sebesar Rp. 196.072.172.813
setara dengan peningkatan 50 %. Pada tahun 2003 kembali
meningkat menjadi Rp. 861.970.794.167,- dengan peningkatan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 112
sebesar Rp. 277.880.913.911,- atau setara dengan peningkatan
dengan 47,57 %.
Pada tahun 2004 penerimaan pemerintah berasal dari pajak
daerah sebesar Rp. 1.081.371.912.888,- peningkatan penerimaan
yang berasal dari pajak sebesar Rp. 219.401.118.721,- setara dengan
peningkatan 25,45 %, dan pada tahun 2005 penerimaan pemerintah
berasal dari pajak daerah menjadi Rp. 1.301.137.841.983,- terjadi
peningkatan sebesar Rp. 219.765.929.095,- atau setara dengan
peningkatan 20,32 %.
Penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara lainnya
yang berasal dari retribusi daerah pada tahun 2001 sebesar
Rp. 15.448.297.654,- penerimaan tersebut menurun pada tahun
2002 Rp. 7.127.396.054,- terjadi penurunan sebesar
Rp. 8.320.901.600,- atau setara dengan penurunan 53,86 %. Pada
tahun 2003 penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang
berasal dari retribusi daerah meningkat menjadi
Rp. 16.928.483.188,- peningkatan sebesar Rp. 9.801.087.134,- atau
setara dengan peningkatan 137,51 %.
Penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang
berasal dari retribusi daerah tahun 2004 adalah sebesar
Rp. 23.762.354.666,- meningkat sebesar Rp. 6.833.871.478,-
dibandingkan penerimaan tahun 2003, atau setara dengan
peningkatan 40,36 %. Penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera
Utara yang berasal dari retribusi daerah tahun 2005 adalah sebesar
Rp. 18.852.328.406,- menurun sebesar Rp. 4.910.026.260,-
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 113
dibandingkan penerimaan tahun 2004, setara dengan penurunan
20,66 %.
Jika diteliti secara mendalam penerimaan pemerintah
Provinsi Sumatera Utara yang berasal dari retribusi daerah dari
tahun 2001 hingga tahun 2005 adalah sangat bervariasi yaitu
terjadinya peningkatan pada tahun 2003 dan 2004 dan terjadi
penurunan penerimaan pada tahun 2002 dan 2005.
Penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera Utara lainnya
yang berasal dari Badan Usaha Milik Daerah (BUMD) adalah
sebesar tahun 2005 Rp. 8.523.503.000,- meningkat sebesar
Rp. 1.466.610.000,- dibandingkan penerimaan tahun 2004
(Rp. 7.056.893.000,-) atau setara dengan peningkatan 20,78 %.
Jika diteliti secara mendalam peningkatan penerimaan
pemerintah Provinsi Sumatera Utara yang berasal dari laba Badan
Usaha Milik Daerah dari tahun 2001 hingga tahun 2002 adalah
sebesar Rp. 427.376.459,- atau setara dengan peningkatan 9,23 %,
peningkatan dari tahun 2002 ke tahun 2003 sebesar
Rp. 825.559.750,- atau setara dengan peningkatan 16,33 %,
selanjutnya peningkatan dari tahun 2003 ke tahun 2004 sebesar
Rp. 1.176.143.000,- atau setara dengan peningkatan 19,99 %.
Peningkatan dari tahun 2004 ke tahun 2005 sebesar
Rp. 1.466.610.000,- dibandingkan penerimaan tahun 2004, atau
setara dengan peningkatan 21 %. Maka berdasarkan besarnya
persentasi peningkatan penerimaan tersebut dapat disimpulkan
bahwa setiap tahunnya penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 114
Utara dari laba BUMD terdapat kecenderungan peningkatan, serta
peningkatan terbesar terjadi dari tahun 2004 ke tahun 2005 yaitu
sebesar 21 %.
Penerimaan pemerintah yang berasal dari Pendapatan Asli
daerah (PAD) pada tahun 2001 adalah sebesar Rp. 423.075.216.371,-
meningkat menjadi Rp. 614.459.389.863,- pada tahun 2002, terdapat
peningkatan penerimaan sebesar Rp. 191.384.173.492 juta atau
setara dengan peningkatan 4,23 %.
Pada tahun 2003 penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera
Utara yang berasal dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), meningkat
menjadi Rp. 911.753.344.602,-, yaitu terjadi peningkatan sebesar
Rp. 297.293.954.739,- setara dengan peningkatan 48,38 %
dibandingkan penerimaan tahun 2002.
Pada tahun 2004 penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera
Utara yang berasal dari Pendapatan Asli daerah (PAD) meningkat
menjadi Rp. 1.146.107.470.297,- peningkatan tersebut sebesar
Rp. 234.354.125.695,- atau setara dengan peningkatan 25,70 %
dibandingkan penerimaan tahun 2003.
Tahun 2005 penerimaan pemerintah Provinsi Sumatera
Utara yang berasal dari Pendapatan Asli daerah (PAD) meningkat
menjadi Rp. 1.368.835.160.970,- atau terjadi peningkatan
Rp. 222.727.690.673,- atau setara dengan peningkatan sebesar
19,43 %.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 115
2.1.5. Ekonomi Wilayah
Penggerak ekonomi wilayah, salah satu diantaranya adalah
perdagangan luar negeri. Provinsi Sumatera Utara mengalami
surplus dari neraca perdagangan yang tercatat hingga bulan
Oktober tahun 2005. Neraca perdagangan Provinsi Sumatera Utara
mengalami peningkatan sebesar 4,31 persen jika dibandingkan
periode yang sama tahun 2004, yaitu tahun 2004 sebesar US$ 2.689
juta menjadi US$ 2.805 juta tahun 2005.
Peningkatan nilai ekspor Provinsi Sumatera Utara pada
tahun 2005 sebesar 9.05 persen jika dibandingkan periode yang
sama tahun 2004, yaitu tahun 2004 sebesar US $ 3,483 juta menjadi
US$ 3.798 juta. Produk industri yang menjadi penyumbang terbesar
ekspor Provinsi Sumatera Utara yaitu sebesar 7,98 persen.
Komposisi terbesar ekspor produk Provinsi Sumatera Utara
sampai dengan Oktober 2005 adalah kelompok minyak dan lemak
nabati-hewani (minyak sawit dan CPO) sebesar 38,84 persen atau
senilai US$ 1.475 juta.
Daerah tujuan ekspor produk Provinsi Sumatera Utara,
sebahagian besar ditujukan kekawasan Asia dan Uni Eropa, hingga
Oktober 2005 ekspor daerah tujuan ekspor produk Provinsi
Sumatera Utara ke kawasan Asia mencapai nilai US$ 1.455 juta
atau setara dengan 38,32 persen, serta ekspor daerah tujuan ekspor
produk Provinsi Sumatera Utara ke Uni Eropa senilai US$ 711 juta
atau setara dengan 18,73 persen ekspor daerah tujuan ekspor
Provinsi Sumatera Utara.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 116
2.2. Variabel Independen
2.2.1. Jumlah Penduduk
Jumlah penduduk di Provinsi Sumatera Utara, tersebar
tidak merata, dimana daerah perkotaan terdapat penumpukan
penduduk secara signifikan, namun pada beberapa daerah
keberadaan penduduk tersebut sangat jarang. Persebaran jumlah
penduduk di Provinsi Sumatera Utara (Tabel 15).
Jumlah penduduk Provinsi Sumatera Utara pada tahun 2005
berdasarkan kabupaten/kota terlihat bahwa penduduk terbesar
berada di Kota Medan dengan jumlah penduduk 2.036.185 jiwa,
selanjutnya Kabupaten Deli Serdang sebanyak 1.569.638 jiwa, serta
daerah yang paling sedikit jumlah penduduknya adalah Kabupaten
Pakpak Bharat sebanyak 34.542 jiwa.
Persebaran penduduk di Provinsi Sumatera Utara
berdasarkan kabupaten/kota tidaklah merata, hal ini terlihat dari
tingkat kepadatan tertinggi berada di Kota Sibolga dengan
kepadatan 8.102 jiwa/km2, serta yang terkecil adalah Kabupaten
Pakpak Bharat dengan kepadatan 28 jiwa/km2.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 117
Tabel 15
Persebaran Penduduk Berdasarkan Kabupaten/Kota
No Kabupaten/Kota Jumlah Penduduk (Jiwa)
2001 2002 2003 2004 2005
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Nias
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Labuhan Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
Deli Serdang
Langkat
Nias Selatan
Humbang
Hasundutan
Pakpak Bharat
Samosir
Serdang Bedagai
Sibolga
Tanjung Balai
Pematang Siantar
Tebing Tinggi
Medan
Binjai
Padang
Sidimpuan
699.157
368.405
749.012
249.672
407.837
306.377
863.449
943.834
863.690
295.327
287.857
2.021.047
921.923
-
-
-
-
-
84.035
136.623
245.102
126.304
1.933.771
219.125
-
698.994
367.990
761.205
270.600
407.581
285.615
905.158
987.244
808.210
289.323
305.452
2.041.121
936.925
-
-
-
-
-
85.100
143.836
223.824
132.306
1.972.248
224.244
-
422.170
369.691
596.188
272.333
255.162
285.586
910.502
990.230
808.288
255.847
306.869
2.054.707
940.601
275.422
152.377
33.822
-
-
85.505
144.979
223.949
132.760
1.979.340
225.535
168.536
433.350
379.045
609.922
278.472
255.400
167.587
933.866
1.009.856
818.975
259.158
312.300
1.523.881
955.348
282.715
152.519
34.260
119.873
583.071
87.260
149.238
227.551
134.382
2.010.676
232.236
172.419
441.807
386.150
626.702
283.035
256.201
158.677
951.773
1.024.369
826.101
261.287
316.207
1.569.638
970.433
288.233
152.997
34.542
131.073
588.176
88.717
152.814
230.487
135.671
2.036.185
237.904
177.499
Total 11.722.548 11.799.437 11.890.399 12.123.360 12.326.678
Sumber: Sumatera Utara dalam Angka 2001 s/d 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 118
2.2.2. Produk Domestik Bruto (PDRB)
Perekonomian Provinsi Sumatera Utara banyak dipengaruhi
oleh faktor internal dan eksternal, antara lain terjadinya bencana
alam gempa bumi dan gelombang tsunami di penghujung tahun
2004 yang melanda Nanggroe Aceh Darussalam dan sebahagian
Sumatera Utara. Faktor lainnya adalah kenaikan harga bahan
bakar minyak (BBM) pada bulan Maret dan Oktober 2005
memberikan andil yang sangat besar terhadap perkembangan
perekonomian daerah Provinsi Sumatera Utara, salah satu
indikator perkembangan ekonomi makro di Provinsi Sumatera
Utara yang dapat dilihat secara nyata adalah perkembangan produk
domestik bruto.
Produk Domestik Bruto atas dasar harga berlaku tahun
2000-2005 menunjukkan angka yang meningkat secara signifikan,
seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 16
Produk Domestik Regional Bruto Provinsi Sumatera Utara Atas
Dasar Harga Berlaku Tahun 2000-2005 (Juta Rupiah)
No. Tahun PDRB
1. 2001 79.331.335
2. 2002 86.670.148
3. 2003 103.401.370
4. 2004 118.100.511
5. 2005 136.903.000
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 119
Hasil perhitungan yang didasarkan pada Produk Domestik
Regional Bruto menurut harga berlaku mengalami peningkatan dari
Rp. 79.331.335,- tahun 2001 menjadi Rp. 86.670.148,- pada tahun
2002, serta Rp. 118.100.511,- pada tahun 2004, dan menjadi
Rp. 136.903.000,- pada tahun 2005.
Tabel 17
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan
Tahun 2000 (Juta Rupiah)
No. Tahun PDRB
1. 2001 71.908.359
2. 2002 75.189.141
3. 2003 78.805.609
4. 2004 83.328.949
5. 2005 87.894.800
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Hasil perhitungan yang didasarkan pada Produk Domestik
Regional Bruto Provinsi Sumatera Utara menurut harga konstan
tahun 2000 mengalami peningkatan dari Rp. 71.908.359,- tahun
2001 menjadi Rp. 83.328.949,- pada tahun 2004, serta menjadi
Rp. 87.894.800,- pada tahun 2005, pertumbuhan ekonomi Provinsi
Sumatera Utara tahun 2005 mencapai 5,48 persen. Namun laju
pertumbuhan tersebut lebih rendah dari tahun 2004 yang sebesar
5,74 persen.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 120
Sesuai dengan harga berlaku Produk Domestik Regional
Bruto Provinsi Sumatera Utara tahun 2004 sebesar
Rp. 118.100.511,- menjadi Rp. 136.903.000,- pada tahun 2005.
Peningkatan PDRB ini secara horizontal juga akan meningkatkan
kesejahteraan masyarakat secara makro.
Produk Domestik Regional Bruto Perkapita Provinsi
Sumatera Utara berdasarkan harga berlaku (Tabel 17), pada tahun
2001 adalah sebesar Rp. 6.813.200,-. Dan meningkat pada tahun
2002 menjadi Rp. 7.614.800,- peningkatan ini setara dengan
11.76 %.
Peningkatan Produk Domestik Bruto Provinsi Sumatera
Utara tahun 2003 menjadi Rp. 8.672.100,- atau meningkat 13,8 %.
Demikian halnya tahun 2004 sebesar Rp. 9.741.600,- atau
meningkat sebesar 12,3 %. Tahun 2005 Produk Domestik Bruto
Provinsi Sumatera Utara menjadi Rp. 11.106.300,- meningkat 14,1
%. Berdasarkan hasil analisis di atas diperoleh bahwa peningkatan
persentasi terbesar adalah pada tahun 2005, yaitu terjadi
peningkatan hingga 14,1 %.
Produk Domestik regional bruto atas dasar harga konstan
2000 menurut Kabupaten Kota Provinsi Sumatera Utara, 2001-2005
menunjukkan perkembangan yang menggembirakan setiap
tahunnya seperti tertera pada tabel berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 121
Tabel 18
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000
Menurut Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara, 2001-2005
(Juta Rupiah)
No Kabupaten/Kota Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Nias
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Labuhan Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
Deli Serdang
Langkat
Nias Selatan
Humbang
Hasundutan
Pakpak Bharat
Samosir
Serdang Bedagai
Sibolga
Tanjung Balai
Pematang Siantar
Tebing Tinggi
Medan
Binjai
Padang Sidimpuan
2.128.656
1.199.558
2.695.279
709.115
1.633.704
1.431.408
5.936.474
8.220.039
3.925.061
1.367.404
2.218.295
11.641.067
5.161.330 1)
1)
1)
1)
1)
460.000
912.886
1.361.757
718.147
19.828.076
1.156.613 1)
2.320.612
1.251.079
2.850.147
743.632
1.706.302
1.534.093
6.195.833
8.426.608
4.022.402
1.441.765
2.284.602
12.303.920
5.319.844 1)
1)
1)
1)
1)
488.083
962.539
1.389.814
760.465
20.819.429
1.233.404 1)
1.532.219
1.336.444
2.423.839
800.260
1.120.090
2.299.129
6.485.545
9.037.635
4.127.974
1.465.781
2.403.876
12.928.258
5.476.892
953.882
683.642
108.969 1)
1)
515.559
1.034.661
1.503.888
795.663
22.017.775
1.345.309
640.844
1.610.824
1.409.579
2.500.235
845.860
1.173.212
1.289.294
6.731.969
9.484.024
4.240.245
1.551.234
2.483.643
10.478.375
5.532.161
1.022.159
722.696
117.529
810.426
3.191.040
540.093
1.096.234
1.561.475
839.641
23.623.135
1.466.450
679.540
1.552.602
1.492.091
2.584.566
889.371
1.232.292
1.354.439
7.010.748
9.768.117
4.370.075
1.634.143
2.600.529
11.018.272
5.724.011
1.000.490
763.535
126.684
843.736
3.379.772
561.749
1.142.134
1.649.967
876.389
25.271.631
1.540.906
702.102
J u m l a h 71.908.359 75.189.140 78.805.608 83.328.948 87.897.791
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 122
Tabel 19
Produk Domestik Regional Bruto Atas Dasar Harga Berlaku menurut
Kabupaten/Kota Provinsi Sumatera Utara, 2001-2005 (Juta Rupiah)
No. Kabupaten/Kota Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12
13
14
15
16
17
18
19
20
21
22
23
24
25
Nias
Mandailing Natal
Tapanuli Selatan
Tapanuli Tengah
Tapanuli Utara
Toba Samosir
Labuhan Batu
Asahan
Simalungun
Dairi
Karo
Deli Serdang
Langkat
Nias Selatan
Humbang
Hasundutan
Pakpak Bharat
Samosir
Serdang Bedagai
Sibolga
Tanjung Balai
Pematang
Siantar
Tebing Tinggi
Medan
Binjai
Padang
Sidimpuan
2.277.889
1.282.033
2.972.281
797.504
1.794.391
1.560.956
6.405.502
9.546.056
4.210.761
1.593.734
2.468.688
12.583.603
5.606.951 1)
1)
1)
1)
1)
506.290
1.024.044
1.434.698
798.661
22.200.779
1.323.689 1)
2.684.306
1.433.478
3.428.908
911.582
2.091.933
1.805.964
7.331.083
10.701.617
4.643.830
1.808.027
2.712.081
15.822.864
6.001.491 1)
1)
1)
1)
1)
570.760
1.164.066
1.626.328
892.577
25.222.514
1.510.009 1)
1.852.518
1.621.153
3.104.882
1.020.810
1.523.401
2.955.498
8.325.972
12.735.433
5.091.035
1.829.862
2.998.969
18.188.675
6.625.844
1.163.491
947.453
144.293 1)
1)
640.713
1.352.281
1.894.142
981.116
28.670.902
1.772.617
868.501
2.106.529
1.791.803
3.420.344
1.153.712
1.746.626
1.748.167
9.433.928
14.517.677
5.578.939
2.054.745
3.272.922
15.872.389
7.361.459
1.341.982
1.118.868
175.688
1.014.136
4.508.354
718.599
1.574.157
2.515.280
1.091.217
33.115.347
2.100.117
989.796
2.159.952
2.004.424
3.678.201
1.296.693
2.155.279
1.977.269
10.918.368
15.527.794
6.185.608
2.303.591
3.685.778
19.840.586
8.461.166
1.458.639
1.387.607
216.191
1.111.859
5.059.769
825.480
1.765.169
2.662.898
1.253.172
42.675.986
2.437.041
1.138.939
J u m l a h 79.331.335 89.670.147 103.401.370 118.100.511 136.903.270
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 123
Beberapa kabupaten/kota mengalami perkembangan Produk
Domestik Regional Bruto secara berkesinambungan setiap
tahunnya, seperti Kota Medan Produk Domestik Regional Bruto
Atas Dasar Harga Konstan 2000 untuk tahun 2001 adalah sebesar
Rp. 19.828.076 juta, meningkat menjadi Rp. 20.819.429 juta pada
tahun 2002 serta pada tahun 2005 menjadi Rp. 25.271.631 juta.
Jika diteliti kabupaten termuda di Provinsi Sumatera Utara,
seperti Kabupaten Serdang Bedagai Produk Domestik Regional
Bruto Atas Dasar Harga Konstan 2000 untuk tahun 2004 sebesar
Rp. 3.191.040 juta dan pada tahun 2005 meningkat menjadi
Rp. 3.379.772 juta.
2.2.3. Tingkat Inflasi
Tingkat inflasi di beberapa kota besar di Provinsi Sumatera
Utara adalah berbeda-beda satu dengan yang lainnya seperti tertera
pada tabel berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 124
Tabel 20
Perkembangan Inflasi di Sumatera Utara Berdasarkan Kelompok
Tahun 2001- 2005
No. Kelompok Inflasi Tahun
2001 2002 2003 2004 2005*
Umum 14,78 9,59 4,23 6,80 22,41
1. Bahan makanan 17,77 8,54 -2,70 8,34 23,83
2.
Makanan jadi,
minuman, rokok,
tembakau
19,80 9,23 4,90 1,94 11,75
3.
Perumahan, air,
listrik, gas dan bhn
bakar
14,39 17,49 10,52 9,01 16,92
4. Sandang 5,14 5,16 6,36 7,07 8,70
5. Kesehatan 8,90 3,82 3,03 6,54 4,66
6. Pendidikan 12,36 6,73 13,41 3,84 5,00
7.
Transpor,
komunikasi, dan jasa
keuangan
12,29 9,69 10,38 6,53 60,59
* Sampai dengan Nopember 2005
Sumber: BPS. Strategi Menghadapi Inflasi Tahun 2006.
Perkembangan inflasi di Provinsi Sumatera Utara
mengalami perubahan berdasarkan kelompok sejak tahun 2001
hingga 2005. Pada tahun 2001 tingkat inflasi 14,78 yang terutama
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 125
diakibatkan inflasi makanan jadi, minuman, rokok, tembakau yang
mencapai 19,80.
Pada tahun 2002 tingkat inflasi kembali menjadi 1 (satu)
digit yaitu 9,59 serta pada tahun 2003 inflasi menjadi 4,23 serta
tahun 2004 inflasi menjadi 6,80, jika dianalisis tingkat inflasi
terbesar ada pada tahun 2001 yaitu sebesar 14,78, serta inflasi
terkecil terjadi pada tahun 2003 sebesar 4,23.
Tingkat inflasi di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan
kelompok terbesar berada pada kelompok perumahan, air, listrik,
gas dan bahan bakar yaitu berkisar antara 9,01 hingga 17,49.
Namun harga inflasi terbesar menurut kelompok berada
pada kelompok makanan jadi, minuman, rokok, tembakau yang
mencapai tingkat inflasi sebesar 19,80 serta kelompok yang paling
kecil adalah pada kelompok bahan makanan yaitu sebesar - 2,70.
Harga inflasi kelompok barang-barang makanan antara -
2,70 hingga 17,77 dengan range 20,47 untuk kelompok makanan
jadi, minuman, rokok, tembakau tingkat inflasi berada pada antara
1,94 hingga 19,80 dengan range sebesar 17,87. Selanjutnya
kelompok perumahan, air, listrik, gas dan bahan bakar antara 9,01
hingga 17,49 dengan range sekitar 8,48.
Demikian halnya kelompok sandang tingkat inflasi berada
pada antara 5,14 hingga 14,44 dengan range 9,3. Kelompok
kesehatan tingkat inflasi berada pada antara 3,03 hingga 8,90
dengan range 5,87, serta kelompok pendidikan tingkat inflasi
berada pada antara 3,84 hingga 11,73 dengan range 7,89. Kelompok
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 126
transportasi, komunikasi, dan jasa keuangan tingkat inflasi berada
pada antara 6,40 hingga 12,29 dengan range 5,89. Berdasarkan hal
ini maka diperoleh bahwa range inflasi terbesar adalah pada
kelompok barang-barang makanan dengan range sebesar 20,47
serta yang paling kecil adalah kelompok kesehatan dengan besar
range sebesar 5,87.
Jika dibandingkan dengan perkembangan inflasi tingkat
nasional maka diperoleh perbedaan yang nyata seperti tertera pada
tabel berikut:
Tabel 21
Perkembangan Inflasi Nasional Berdasarkan Kelompok
Tahun 2001- 2005
No. Kelompok Inflasi Tahun
2001 2002 2003 2004 2005*
Umum 12,55 10,03 5,06 6,40 17,11
1. Bahan makanan 12,03 2,42 -1,72 6,38 13,91
2.
Makanan jadi,
minuman, rokok,
tembakau
14,48 1,01 6,24 4,85 13,71
3.
Perumahan, air,
listrik, gas dan bhn
bakar
13,59 1,05 9,21 7,40 13,94
4. Sandang 8,14 0,59 7,09 4,87 6,92
5. Kesehatan 8,92 0,27 5,67 4,75 6,13
6. Pendidikan 11,90 0,11 11,71 10,31 8,24
7.
Transpor,
komunikasi, dan jasa
keuangan
14,16 0,65 4,10 5,84 44,75
*Sampai dengan Nopember 2005 Sumber: BPS. Strategi Menghadapi Inflasi Tahun 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 127
Perkembangan inflasi nasional pada tahun 2001 adalah
sebesar 12,55, keadaan ini menggambarkan masih rapuhnya
struktur ekonomi nasional, namun pada tahun 2002 tingkat inflasi
nasional ini menurun menjadi 10,03 serta kembali menurun
menjadi 1 (satu) digit pada tahun 2003 menjadi 5,06, selanjutnya
tahun 2004 tingkat inflasi menjadi 6,40, meningkat 1,34 dari tahun
sebelumnya. Jika dianalisis lebih lanjut perkembangan tingkat
inflasi pada beberapa kota besar di Provinsi Sumatera Utara
mengalami perubahan yang signifikan, seperti tertera pada tabel
berikut:
Tabel 22
Perkembangan Inflasi di Beberapa Kota Besar, Sumatera Utara dan
Nasional Tahun 2001- 2005
No Kota Inflasi Tahun
2001 2002 2003 2004 2005*
1. Medan 15,50 9,49 4,46 6,64 22,91
2. P. Siantar 13,55 9,41 2,51 7,31 19,67
3. P. Sidimpuan 9,84 10,18 4,07 8,99 18,47
4. Sibolga 8,66 11,58 3,94 6,64 22,39
5. Sumatera Utara 14,78 9,59 4,23 6,80 22,41
6. Nasional 12,55 10,03 5,06 6,40 17,11
* Sampai dengan Nopember 2005
Sumber: BPS. Strategi Menghadapi Inflasi Tahun 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 128
Tingkat inflasi di kota besar Provinsi Sumatera Utara pada
tahun 2001 paling besar adalah di Kota Medan dengan besar 15,50.
Tingkat inflasi maksimum ini menurun menjadi 11,58 tahun 2002 di
Kota Sibolga, selanjutnya tahun 2003 tingkat inflasi maksimum
menurun dari tahun sebelumnya yaitu sebesar 4,46 di Kota Medan.
Pada tertinggi tahun 2004 tingkat inflasi menjadi 8,99 di
Kota Padang Sidimpuan. Berdasarkan data-data ini diperoleh
bahwa kota-kota yang mengalami tingkat inflasi didominasi Kota
Sibolga dan Kota Medan, hal ini selaras dengan tingkat kepadatan
kedua kota ini juga yang relatif padat.
2.2.4. Pertumbuhan Ekonomi
Laju pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara masih
lebih tinggi jika dibandingkan dengan laju pertumbuhan ekonomi
nasional, seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 23
Laju Pertumbuhan Ekonomi Sumatera Utara dan Nasional
Tahun 2001-2005
No Wilayah 2001
(%)
2002
(%)
2003
(%)
2004
(%)
2005
(%)
1. Sumatera
Utara
3,98 4,56 4,81 5,74 5,48
2. Nasional 3,83 4,38 4,88 5,13 5,18
Sumber: Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 129
Pada tahun 2001 laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 3,83 persen, sedangkan Provinsi Sumatera Utara memiliki
laju pertumbuhan ekonomi sebesar 3,98 persen atau lebih tinggi
sebesar 0,15 dibandingkan nasional. Keadaan ini masih berlanjut
hingga tahun 2004 yaitu laju pertumbuhan ekonomi Indonesia
sebesar 4,13 persen, sedangkan Provinsi Sumatera Utara memiliki
laju pertumbuhan ekonomi sebesar 5,74 atau lebih tinggi 0,61
persen dibandingkan nasional, berdasarkan hal ini dapat diambil
kesimpulan bahwa pertumbuhan ekonomi Provinsi Sumatera Utara
lebih baik dibandingkan pertumbuhan ekonomi nasional, serta
dapat diambil sebagai indikasi bahwa masyarakat di Provinsi
Sumatera Utara memiliki tingkat kesejahteraan lebih tinggi
dibandingkan tingkat kesejahteraan nasional.
2.2.5. Pajak Bumi Bangunan (PBB)
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) adalah penyederhanaan
terhadap sistem perpajakan yang ada sebelumnya bersifat ganda,
pajak yang dihilangkan adalah pajak kekayaan, pajak perponding
Indonesia, IPEDA. Pajak Rumah Tangga, Pajak Jalan, Pajak Bumi
dan Bangunan mulai diberlakukan tanggal 1 Januari 1986.
Pajak Bumi dan Bangunan merupakan pungutan resmi yang
diberlakukan untuk kepemilikan bumi dan atau bangunan.
Pengertian bumi adalah termasuk permukaan bumi dan tubuh bumi
yang ada di bawahnya, atau sering dipersamakan dengan tanah,
tanah pekarangan, sawah, empang, perairan, pedalaman, serta laut
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 130
wilayah Indonesia. Demikian halnya bangunan dimaksud adalah
konstruksi teknik yang ditanam atau dilekatkan secara tetap pada
tanah dan atau perairan, seperti tempat tinggal, gedung kantor,
hotel, pabrik, emplasemen dan lain-lain. Realisasi penerimaan PBB
di Provinsi Sumatera Utara, tertera pada tabel berikut:
Tabel 24
Realisasi Penerimaan PBB Persektor Tahun 2001 – 2005
No Sektor 2001
(Rupiah)
2002
(Rupiah)
2003
(Rupiah)
2004
(Rupiah)
2005
(Rupiah)
1
2
Pedesaan
Perkotaan
9.175.324.000
60.718.617.000
11.848.633.000
77.209.834.000
17.325.901.000
100.585.871.000
16.369.194.000
118.298.659.000
19.747.435.000
135.781.045.000
69.893.941.000 89.058.467.000 117.911.772.000 134.667.852.000 155.528.480.000
3
4
5
Perkebunan
Perhutanan
Pertambangan
102.512.451.000
2.598.093.000
124.703.144.000
99.443.931.000
2.401.576.000
152.425.717.000
117.076.831.000
4.184.376.000
223.263.817.000
122.001.020.000
5.314.077.000
373.807.366.000
129.345.859.000
4.679.118.000
468.894.352.000
Jumlah 299.707.629.000 343.329.691.000 462.436.796.000 635.790.315.000 758.447.809.000
Sumber: Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan jika dibandingkan
dari tahun ke tahun, maka penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan
tahun 2001 sebesar Rp. 299.707.629.000,- serta tahun 2002
meningkat menjadi Rp. 343.329.691.000,- setara dengan
peningkatan sebesar Rp. 43.622.062.000,- atau peningkatan 15 %.
Pada tahun penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun
2003 meningkat menjadi Rp. 462.436.796.000,- atau terjadi
peningkatan sebesar Rp. 119.107.105.000,- setara dengan
peningkatan 35 %.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 131
Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2004 di
Provinsi Sumatera Utara adalah sebesar Rp. 635.790.315.000,-
terjadi peningkatan sebesar Rp. 173.353.519.000,- atau setara
dengan peningkatan 38 %.
Pada tahun penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun
2005 meningkat menjadi Rp. 758.447.809.000,- atau terjadi
peningkatan sebesar Rp. 122.657.494.000,- setara dengan
peningkatan 19 %.
Perkembangan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan,
sejak tahun 2001 hingga tahun 2005 setiap tahunnya mengalami
peningkatan, peningkatan dari tahun 2001 ke tahun 2002 terjadi
peningkatan 15 % dibandingkan penerimaan tahun 2001, demikian
halnya penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2002 ke tahun
2003 meningkat sebesar 35 % dibanding penerimaan tahun 2002.
Peningkatan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan tahun
2003 ke tahun 2004 adalah sebesar 38 % dibandingkan penerimaan
tahun 2003, serta penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan dari
tahun 2004 ke tahun 2005 sebesar 19 % dibandingkan penerimaan
tahun 2004.
Maka dapat disimpulkan bahwa penerimaan PBB di Provinsi
Sumatera Utara terjadi kecenderungan peningkatan dari tahun
sebelumnya. Target dan realisasi Pajak Bumi dan Bangunan sektor
perkebunan se Sumatera Utara tahun anggaran 2001 hingga 2005
tertera pada tabel berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 132
Tabel 25
Target dan Realisasi Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan
se Sumatera Utara Tahun Anggaran 2001- 2005
No. Tahun Target
(Juta Rupiah)
Realisasi
(Juta Rupiah)
Persentasi
(%)
1. 2001 112.903.428.000 102.512.451.000 90,79
2. 2002 103.555.617.000 99.443.931.000 96,02
3. 2003 127.738.702.000 117.076.831.000 91,65
4. 2004 128.203.582.000 122.130.631.000 95,26
5. 2005 141.203.816.000 129.345.859.000 91,60
Sumber: Dispenda Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Jika dianalisis penerimaan PBB dari sektor perkebunan
pada tahun 2001 ditargetkan sebesar Rp. 112.903.428.000,- dengan
realisasi sebesar Rp. 102.512.451.000,- (90,79 %). Tahun 2002
ditargetkan Rp. 103.555.617.000,- dengan realisasi sebesar
Rp. 99.443.931.000,- (96,02 %), penerimaan ini meningkat pada
tahun 2003 dari target sebesar Rp. 127.738.702.000,- terealisasi
sebesar Rp. 117.076.831.000,- (91,65 %), jika dibandingkan
persentase realisasi penerimaan PBB dari tahun 2002 ke tahun
2003 terjadi penurunan sebesar 4,38 %. Keadaan ini menjadi modal
peningkatan penerimaan PBB pada tahun 2004 dari target
Rp. 128.203.582.000,- terealisasi sebesar Rp. 122.130.631.000,-
(95,26 %). Tahun PBB sektor perkebunan kembali menurun dari
target Rp. 141.203.816.000,- dan terealisasi hanya sebesar
Rp. 129.345.859.000,- (91,60 %).
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 133
Dengan melihat fluktuasi naik turunnya persentase realisasi
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan
berdasarkan target, maka diperlukan suatu sistem penagihan serta
tata cara perhitungan yang lebih akurat lagi, sehingga penerimaan
PBB sektor perkebunan selalu melebihi target atau setidak-
tidaknya sesuai dengan target.
2.2.6. Lahan Perkebunan
Luas areal perkebunan di daerah Provinsi Sumatera Utara
berdasarkan tahun selalu mengalami peningkatan, sehingga
diharapkan akan mampu menghasilkan produksi perkebunan yang
dapat menggerakkan perekonomian di Provinsi Sumatera Utara.
Luas lahan perkebunan di Provinsi Sumatera Utara berdasarkan
tahun seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 26
Luas Lahan Perkebunan PTPN II. III. IV Tahun 2001-2005
No Tahun
Tanaman Belum
Menghasilkan
(Ha)
Tanaman
Menghasilkan
(Ha)
Luas Tanaman
(Ha)
1. 2001 35.409 256.988 366.441
2. 2002 47.904 312.050 372.753
3. 2003 54.392 300.507 374.660
4. 2004 42.122 301.930 357.834
5. 2005 63.126 257.834 337.812
Sumber: Dinas Perkebunan Sumatera Utara 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 134
Luas lahan perkebunan yang dikelola PTPN II, III, dan IV
adalah berbeda-beda setiap tahunnya, tahun 2001 luas lahan
perkebunan seluruhnya seluas 366.441 Ha yang terdiri dari lahan
menghasilkan seluas 256.988 Ha (70,13 %) dan yang belum
menghasilkan seluas 35.409 Ha dan sisanya 74.044 lahan terlantar,
keadaan ini menunjukkan bahwa kegiatan perkebunan lebih
banyak memiliki lahan yang menghasilkan dibandingkan dengan
lahan-lahan yang belum menghasilkan serta lahan-lahan terlantar
lainnya.
Berdasarkan perbandingan luas lahan yang tidak
menghasilkan, lahan terlantar dibandingkan dengan lahan yang
menghasilkan diperoleh bahwa lahan tidak menghasilkan adalah
9,68 % dan lahan terlantar 20,19 %.
Tahun 2002 luas lahan perkebunan seluruhnya 372.753 Ha
yang terdiri dari lahan menghasilkan seluas 312.050 Ha (83,71 %),
lahan belum menghasilkan 47.904 Ha (12,86 %) dan sisanya 12.799
Ha lahan terlantar (3,43 %).
Tahun 2003 luas lahan perkebunan seluruhnya 374.660 Ha
terdiri dari lahan menghasilkan seluas 300.507 Ha (80,20 %), lahan
belum menghasilkan 54.392 Ha (15,20 %) dan sisanya 19.761 Ha
terdiri lahan terlantar (5,27 %).
Tahun 2004 luas lahan perkebunan seluruhnya 357.834 Ha
yang terdiri dari lahan menghasilkan 301.930 Ha (84,37 %), lahan
yang belum menghasilkan 42.122 Ha (11,77 %) dan sisanya 13.782
Ha terdiri lahan terlantar (3,85 %).
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 135
Tahun 2005 luas lahan perkebunan yang dikelola PTPN
seluruhnya seluas 337.812 Ha yang terdiri dari lahan menghasilkan
seluas 257.834 Ha (76,32 %), serta lahan yang belum menghasilkan
63.126 Ha (18,68 %) dan sisanya 15.393 Ha terdiri lahan terlantar
(5,00 %).
Berdasarkan data-data perhitungan tersebut, diperoleh
bahwa hampir pada setiap tahunnya lahan yang menghasilkan
semakin luas, hal ini artinya bertambahnya pemasukan bagi
perkebunan tersebut, namun perlu diketahui bahwa Pajak Bumi
dan Bangunan yang dikenakan pada perkebunan tersebut tidak
berdasarkan keadaan lahan tersebut sehingga besarnya pendapatan
pengelola perkebunan tidak identik dengan peningkatan jumlah
Pajak Bumi dan Bangunan yang diterima pemerintah.
Berdasarkan data-data persentasi antara tanaman
menghasilkan, tanaman yang belum menghasilkan, serta lahan
terlantar dari setiap tahunnya (Tahun 2001 s/d 2005) maka
diperoleh lahan menghasilkan rata-rata sebesar 78,95 %, rata-rata
lahan belum menghasilkan adalah sebesar 12,86 %, serta lahan
terlantar sebesar 8,19 %.
Demikian halnya jika diteliti lebih mendetil lahan-lahan
tersebut masih terbagi pada beberapa daerah kabupaten/kota
dengan luasan yang berbeda-beda, sehingga pemasukan pemerintah
daerah kabupaten/kota dari Pajak Bumi dan Bangunan sektor
perkebunan juga berbeda-beda.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 136
Lahan-lahan perkebunan yang terdapat di Provinsi
Sumatera Utara selalu mengalami perubahan setiap tahunnya,
artinya penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan yang berasal dari
sektor perkebunan secara otomatis juga akan berubah-ubah setiap
tahunnya.
Besarnya luas lahan-lahan perkebunan yang terdiri dari
perkebunan rakyat, Perkebunan Nasional (PTPN), Perkebunan
Besar Swasta Nasional, Perkebunan Besar Swasta Asing, setiap
tahunnya seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 27
Luas Lahan Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara
No
.
Tahu
n
Perkebunan Total
(Ha) Rakyat PTPN PBSN PBSA
1. 2001 807.987,8
7
366.44
1
312.287,9
5
124.745,2
4
1.611.462,0
6
2. 2002 814.091,5
7
372.75
3
312.098,7
3
122.746,5
2
1.621.689,8
2
3. 2003 825.027,2
3
374.66
0
314.109,1
6
120.927,5
3
1.634.723,9
2
4. 2004 860.689,3
4
357.83
4
338.115,8
9
119.103,9
7
1.675.743,2
0
5. 2005 968.217,6
6
337.81
2
331.781,2
2
110.026,0
1
1.747.836,8
9
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 137
Secara umum setiap tahunnya luas lahan perkebunan di
Provinsi Sumatera Utara mengalami peningkatan. Pada tahun 2001
luas lahan perkebunan seluas 1.611.462,06 Ha, meningkat menjadi
1.621.689,82 Ha pada tahun 2002, terjadi peningkatan seluas
10.227,76 Ha, demikian halnya untuk tahun 2004 luas lahan
perkebunan di Provinsi Sumatera Utara seluas 1.675.743,20 Ha,
meningkat menjadi seluas 1.747.836,89 Ha pada tahun 2005.
Besarnya peningkatan luas perkebunan tersebut sebesar 72.093,69
Ha.
Tabel 28
Luas Lahan Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara
No. Jenis lahan Tahun
2001 2002 2003 2004 2005
1. Menghasilkan 1.239.468 1.249.656 1.253.882 1.259.179 1.315.575
2. Belum
Menghasilkan 201.894 203.855 204.242 205.165 214.291
3. Terlantar 170.100 168.178 176.599 211.399 217.970
Total 1.611.462 1.621.689 1.634.723 1.675.743 1.747.836
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa luas lahan
perkebunan sejak tahun 2001 hingga tahun 2005, setiap tahunnya
mengalami peningkatan, hal ini berakibat langsung pada
peningkatan pendapatan daerah Provinsi Sumatera Utara.
2.2.7. Persepsi Stakeholder
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 138
Persepsi stakeholder yang menjadi responden adalah sangat
beragam untuk penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan
berdasarkan pada hasil produktifitas tanaman, keadaan ini dipacu
banyaknya kepentingan yang terkait di dalamnya, sehingga
penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan tanaman
produktif harus lebih dikaji mendalam serta diadakan sosialisasi-
sosialisasi berikutnya. Hasil rekapitulasi persepsi stakeholder
terhadap penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan
produktifitas tanaman adalah sebagai berikut:
Tabel 29
Persepsi Stakeholder Perkebunan
No. Kategori Jumlah Persen
1. Sangat Setuju 8 11,43
2. Setuju 14 20,00
3. Sedang-sedang 38 54,29
4. Kurang Setuju 6 8,57
5. Tidak Setuju 4 5,71
Jumlah 70 100,00
Sumber: Data Primer Olahan 2006.
Pendapat responden yang berpendapat sangat setuju
terhadap penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan
produktifitas tanaman yaitu sebanyak 8 (delapan) responden (11,43
%) serta yang berpendapat setuju sebanyak 14 (empat belas)
responden (20,00 %), keadaan ini disebabkan berkembangnya
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 139
kesadaran bahwa perkembangan pendapatan asli daerah harus
diperoleh dari seluruh aspek penerimaan dan ritme pergerakan
ekonomi daerah yang ada.
Namun pendapat responden didominasi pendapat dengan
kategori sedang-sedang sebanyak 38 (tiga puluh delapan) responden
(54,29 %), keadaan ini menunjukkan bahwa penentuan besar Pajak
Bumi dan Bangunan berdasarkan produktifitas tanaman masih
memerlukan penelitian lebih seksama dan sosialisasi yang lebih
gencar lagi. Hal ini diperkuat dengan ditemukannya pendapat
responden yang mengatakan bahwa penentuan besar Pajak Bumi
dan Bangunan berdasarkan produktifitas tanaman dengan kategori
tidak setuju (5,71 %) serta yang berpendapat kurang setuju
sebanyak 6 (enam) responden (8,57 %).
2.2.8. Pokok-pokok Pikiran Stakeholder
Beberapa pokok pikiran yang dapat dijadikan pertimbangan
dalam melaksanakan penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan
berdasarkan produktifitas tanaman diberikan responden antara
lain:
(1) Penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan
produktifitas tanaman harus memiliki dasar hukum yang jelas,
sehingga pelaksanaannya tidak menjadi polemik antara
pemerintah daerah, pemerintah pusat dan pengelola
perkebunan;
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 140
(2) Memang diperlukan suatu terobosan baru untuk penerimaaan
pemerintah Provinsi Sumatera Utara dari sektor perkebunan,
karena besarnya lahan-lahan perkebunan di daerah ini,
sehingga terkesan Provinsi ini hanya kebahagian limbah
perkebunan saja, sedangkan hasilnya seluruhnya dikelola oleh
pemerintah pusat;
(3) Perlunya pembahasan lebih lanjut tentang dampak-dampak
dari diterapkannya penerapan bersama dalam penentuan besar
Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan keadaaan lahan, sebab
hal tersebut akan rentan mendatangkan konflik
berkepanjangan antara pemerintah pusat dan daerah;
(4) Tidak adanya peluang bagi pemerintah Provinsi untuk
mendapatkan bagi hasil dari sektor perkebunan, maka
sebaiknya ada cara lain agar daerah tempat perkebunan itu
berada memperoleh manfaat dari hasil perkebunan;
(5) Karena memang tertutupnya kemungkinan pemerintah
provinsi menerima bagi hasil dari sektor perkebunan, maka
selayaknya digali sumber lain yang terkait dengan perkebunan,
seperti menerapkan retribusi terhadap hasil perkebunan, di
samping penetapan pajak berdasarkan keadaan lahan yang
ditawarkan oleh peneliti;
(1) Perlunya kajian lebih mendalam manfaat dan sistem
penentuan besar Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan
produktifitas tanaman, sehingga dana yang diperoleh daerah
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 141
dari sistem ini memang dapat dipertanggung jawabkan untuk
kesejahteraan masyarakat secara umum;
(2) Tidak diperlukan sistem baru untuk memperoleh bagian dari
sektor perkebunan, cukup undang-undang bagi hasil
diamandemen, dengan memasukkan pembagian daerah dari
sektor perkebunan.
Jika direkapitulasi seluruh pendapat stakeholder terhadap
keadaan pendapatan/penerimaan pemerintah dari sektor
perkebunan, maka dapat dikategorikan beberapa kategori sebagai
berikut:
Tabel 30
Pendapat Stakeholder terhadap Penerimaan Pemerintah
dari Sektor Perkebunan
No. Pendapat Jumlah Persen
1. Harus ada bagi hasil perkebunan,
setuju hal tersebut melalui
penetapan PBB dengan keadaan
lahan.
33 47,14
2. Perlu kajian tentang penetapan
PBB menurut keadaan lahan.
10 14,28
3. Harus ada cara lain untuk
mendapatkan bagian daerah dari
sektor perkebunan.
7 10,00
4. Perlu pembahasan tentang
dampak-dampak penetapan PBB
menurut keadaan lahan.
6 8,57
5. Perlu terobosan baru untuk
mendapatkan bagian dari hasil
sektor perkebunan.
5 7,14
6. Penetapan PBB melalui keadaan
lahan harus memiliki dasar
4 5,71
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 142
No. Pendapat Jumlah Persen
hukum yang jelas.
7. Amandemen perundangan bagi
hasil.
2 2,85
8. Dan lain-lain. 3 4,28
Jumlah 70 100.00
Sumber: Data Primer Olahan 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 143
Berdasarkan hasil penelitian lapangan di atas diperoleh
bahwa responden penelitian didominasi dengan pendapat perlu
adanya pendapat untuk memperoleh penerimaan bagi pemerintah
daerah yang berasal dari sektor perkebunan dengan cara penerapan
Pajak Bumi dan Bangunan dengan penerapan keadaan lahan, yaitu
sebanyak 33 (tiga puluh tiga) responden (47,14 %), keadaan ini
menunjukkan kepada kita bahwa adanya keinginan untuk
memperoleh penerimaan sektor perkebunan melalui penetapan
Pajak Bumi dan Bangunan berdasarkan keadaan lahan.
Di samping itu juga diperoleh 10 responden (14,28 %)
berpendapat perlunya kajian tentang penetapan Pajak Bumi dan
Bangunan menurut keadaan lahan, karena keadaaan ini akan
sangat mempengaruhi keadaan data yang dikumpulkan setiap
tahunnya, artinya setiap tahun data-data tentang keadaan lahan
harus diperiksa, serta pada keadaan tertentu tentang adanya
perubahan peruntukan lahan menjadi persoalan lainnya, juga
adanya tanaman gagal panen, maupun penurunan hasil perkebunan
akibat keadaan di luar perencanaan seperti faktor alam, penyakit,
dan gangguan lainnya.
C. Pengujian Hipotesis
Pengujian hipotesis penelitian yang dilakukan sesuai dengan
rancangan analisis yang dikemukakan pada bab metodologi
penelitian, seluruh data-data primer dan sekunder yang diperoleh
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 144
dari lapangan ataupun penyajian hipotesis riset ini dapat dilihat
pada uraian berikut ini.
3.1. Analisis Persamaan Struktur I
Berdasarkan model persamaan struktur 1 dilakukan
perhitungan besarnya koefisien masing-masing variabel explanatory
melalui program SPSS 15 diperoleh sebagai berikut:
Tabel 31
Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan Ekonomi dan Kepadatan
Penduduk Terhadap NJOP
Variabel Standart
Koefisien Sig
Pertumbuhan Ekonomi (X1)
Kepadatan Penduduk (X3)
0,249
0,590
0,005
0,000
F Sig
F
R
R2
NJOP
= 0.600
= 26.161
= 0.622
= 0.387
= Dependen Variabel
Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan persamaan
struktur tabel 1 sebagai berikut:
Y1 = 0,249 X1 + 0.590 X2
Hasil persamaan struktur 1 dapat memberikan informasi
terhadap NJOP sebagai berikut:
1. Pengaruh secara parsial
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 145
Variabel pertumbuhan ekonomi bepengaruh nyata terhadap
NJOP pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata ini
dipertimbangkan dengan uji t melalui keputusan nilai taraf
signifikan, lebih kecil dari toleransi (Nilai Sig = 0,005 <
toleransi = 0,05).
Variabel kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap
NJOP pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata ini
dipertimbangkan dengan uji ”t” melalui keputusan nilai taraf
signifikan lebih kecil dari toleransi (Nilai Sig = < 0,05);
2. Pengaruh Secara Serentak
Variabel pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk
berpengaruh nyata terhadap NJOP pada tingkat kepercayaan
95 %. Pengaruh nyata ini dipertimbangkan dengan uji ”F”
melalui keputusan nilai taraf signifikan lebih kecil dari
toleransi (Nilai Sig = 0,000 < 0,05);
3. Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan nilai 0,387,
memberikan informasi bahwa variabel pertumbuhan ekonomi
dan kepadatan penduduk secara bersama mampu memberikan
variasi NJOP sebesar 38.70 %. Sedangkan sisanya sebesar
61,30 %, dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertai pada
model persamaan struktur 1;
4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Berdasarkan hasil print out dapat mendiagnosis apakah model
estimasi bergejala Multikolinerity, Heterokendastisitas dan
Autokorelasi sebagai berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 146
a. Diagnosis multikolinerity
Berdasarkan pertimbangan tolerance dan VIF dapat
ditentukan multikolinerity dengan dasar tolerance apabila
nilai koefisien variabel lebih kecil dari 0,5 dan dasar VIF
apabila nilai koefisien variabek lebih besar dari 5. Pada
tabel koefisien menunjukkan nilai koefisen tolerance
variabel lebih besar dari 0,5 berarti tidak ada gejala
kolinearity dan koefisien VIF variabel pertumbuhan
ekonomi dan kepadatan penduduk menunjukkan lebih kecil
dari 5, berarti tidak ada gejala kolinerity. Dapat juga
melihat model estimasi bergejala multikolinerity dari
koefisien korelasi antara variabel pertumbuhan ekonomi
dan kepadatan penduduk. Berdasarkan tabel koefisien
toleransi menunjukkan korelasi sebesar 0,08 (8 %). Berarti
model estimasi tidak bergejala kolinerity.
Tabel 32
Koefisien Kolinerity dan Korelasi
Variabel
Kolinerity Statistik Korelasi
Tolerance VIF Pertumbuhan
Ekonomi
Kepadatan
Penduduk
Pertumbuhan
ekonomi
Kepadatan Penduduk
0.994
0.994
1.006
1.006
1.000
0.080
0.080
1
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 147
b. Diagnosis Heterokendastisitas
Untuk mendiagnosis Heterokendatisitas pada model
estimasi dilakukan dengan uji ”Rank Spearman”, dengan
keputusan ada gejala Heterokendatisitas apabila nilai taraf
signifikan lebih kecil dari toleransi (5 %). Berdasarkan
korelasi Non Parametrik ”Rank Spearman” menunjukkan
nilai Sig dari variabel pertumbuhan ekonomi dan variabel
kepadatan penduduk tidak ada yang lebih kecil dari
toleransi (0,05), berarti model estimasi tidak bergejala
Heterokendastisitas.
Tabel 33
Korelasi Rank Spearman
Keterangan
Variavel
Pertumbuhan
Ekonomi
Kepadatan
Penduduk
Residual
Koefisien Korelasi
Sig (2 – Talked)
N
0,067
0,542
86
0,157
0,148
86
5. Diagnosis Autokorelasi
Untuk mendiagnosis autokorelasi pada model estimasi
dilakukan dengan uji Durbin – Watson test (DW. Test), dengan
pertimbangan keputusan ada gejala autokorelasi apabila
DWhitung < dl atau DWhitung > 4 – dl. DW tabel menunjukkan
nilai di = 1.62 du = 1.72, 4 – dl = 2,38 dan 4 – du = 2,28 dan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 148
DWhitung menunjukkan nilai 0,882 lebih kecil dari dl (DWx =
0,882 < dl = 1,62), berarti model estimasi bergejala
autokorelasi.
3.2. Analisis Persamaan Struktur II
Berdasarkan desain model persamaan struktur II, dilakukan
perhitungan besarnya koefisien masing-masing variabel explanatory
melalui program SPSS 15, diperoleh sebagai berikut:
Tabel 34
Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan Ekonomi dan Kepadatan
Penduduk terhadap NJOP
Variabel Standart Koefisien Sig
Pertumbuhan Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP
0,179
-0,580
0,905
0,009
0,000
0,000
F Sig
Fhitung
R2
R
PBB
= 0.000
= 55.878
= 0.819
= 0.672
= Dependen variabel
Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan persamaan
struktur II sebagai berikut:
Y2 = 0,179 X1 + 0,580 X2 + 0,905 Y1
Hasil persamaan struktural II dapat memberikan informasi
terhadap variabel PBB sebagai berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 149
1. Pengaruh secara parsial
Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata terhadap
variabel PBB pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh negatif
variabel ini dipertimbangkan dengan uji ”t”, melalui keputusan
nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi (Nilai Sig 0,009
< toleransi = 0,05).
Variabel kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap
variabel PBB pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh negatif
variabel ini dipertimbangkan dengan uji ”t”, melalui keputusan
nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi (Nilai Sig 0,009
< toleransi = 0,05).
Variabel NJOP berpengaruh nyata terhadap variabel PBB pada
tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata ini dipertimbangkan
dengan uji ”t”, melalui keputusan nilai taraf signifikan lebih
kecil dari toleransi (Nilai Sig 0,009 < toleransi = 0,05);
2. Pengaruh secara bersama
Variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan NJOP
berpengaruh nyata terhadap PBB. Pada tingkat kepercayaan 95
%. Pengaruh nyata ini dipertimbangkan dengan uji ”F”, melalui
keputusan nilai taraf signifikan lebih kecil ari toleransi 5 %
(nilai signifikan = 0,000 < toleransi = 0,05);
3. Koefisien determinasi (R2) menunjukkan nilai 0,672,
memberikan informasi bahwa variabel pertumbuhan ekonomi,
kepadatan penduduk dan NJOP secara bersama mampu
memberikan variasi variabel PBB sebesar 67,20 %. Sedangkan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 150
sisa sebesar 32,80 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
disertakan pada model estimasi persamaan struktur II;
4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik.
Berdasarkan hasil print out dapat di lakukan mendiagnosis
apakah model estimasi persamaan struktur II bergejala
Multikolinerity, Heterokendastisitas dan Autokorelasi sebagai
berikut:
a. Diagnosis Multikolinerity
Berdasarkan pertimbangan tolerance dan VIF dapat
ditentukan gejala multikolinerity dengan dasar Tolerance
apakah nilai koefisien lebih kecil dari 0,5 dan dasar VIF
apabila nilai kefisiennya lebih besar dari 5. Pada tabel
koefisien menunjukkan nilai koefisien tolerance variabel
pertumbuhan ekonomi (0,903), variabel kepadatan penduduk
(0,635) dan variabel NJOP (0,613), menunjukkan lebih besar
dari 0,5, berarti variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan
penduduk dan NJOP tidak bergejala multikolinerity.
Koefisien VIF variabel pertumbuhan ekonomi (1,108),
kepadatan penduduk (1,578) dan NJOP (1,630) menunjukkan
lebih kecil dari 5, berarti variabel pertumbuhan ekonomi,
kepadatan penduduk dan NJOP tidak bergejala
multikolinerity.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 151
Tabel 35
Koefisien Kolinerity
Variabel Kolinerity Statistik
Tolerance VIF
Pertumbuhan Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP
0,903
0,635
0,613
1,108
1,574
1,630
b. Diagnosis Heterokendasitas
Untuk mendiagnosis Heterokendastisitas pada model
estimasi persamaan struktur II, dilakukan dengan uji ”Rank
Spearman” dengan keputusan ada gejala Heterokendastisitas
apabila nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi 5 %.
Berdasarkan tabel korelasi Rank Spearman menunjukkan
nilai Sig dari variabel pertumbuhan ekonomi (0,052),
kepadatan penduduk (0,107) dan NJOP (0,932) menunjukkan
lebih besar dari toleransi 0,05, berarti variabel
pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan NJOP
tidak bergejala heterokendastisitas;
c. Diagnosis Autokorelasi
Untuk mendiagnosis autokorelasi pada model estimasi
persamaan struktur II dilakukan dengan uji Durbin –
Watson Test (DW – Test) dengan pertimbangan keputusan
ada gejala autokorelasi apabila DW hitung (dl atau DW
hitung > 4 – dl. DW tabel menunjukkan dl = 1,62, du = 1,72,
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 152
4 – dl = 2,38 dan 4 – du = 2,28. DW hitung berdasarkan
lampiran 2 menunjukkan sebesar 1,136 lebih kecil dari di
(DW hitung = 1,136 < dl = 1,62) berarti model estimasi
persamaan struktur II bergejala autokorelasi.
3.3. Analisis Persamaan Struktur III
Berdasarkan desain model persamaan struktur III,
dilakukan perhitungan besarnya koefisien masing-masing variabel
explanatory melalui program SPSS 15, diperoleh sebagai berikut:
Tabel 36
Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan Ekonomi Kepadatan
Penduduk dan NJOP Terhadap PAD
Variabel Standart
Koefisien
Sig
Pertumbuhan Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP
-0,230
-0,558
0,964
0,003
0,000
0,000
F Sig
Fhitung
R2
R
PAD
= 0.000
= 36.299
= 0.755
= 0.570
= Dependen variabel
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 153
Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan persamaan
struktur II sebagai berikut:
Y3 = 0,179 X1 + 0,580 X2 + 0,905 Y1
Y3 = -0,230 X1 – 0,558 X2 + 0,964 Y1
Hasil persamaan struktural III dapat memberikan informasi
terhadap variabel PAD sebagai berikut:
5. Pengaruh secara parsial
Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh nyata terhadap
variabel PAD pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh negatif
variabel ini dipertimbangkan dengan uji ”t”, melalui keputusan
nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi (Nilai Sig 0,003
< toleransi = 0,05).
Variabel kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap
variabel PAD pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh negatif
variabel ini dipertimbangkan dengan uji ”t”, melalui keputusan
nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi (Nilai Sig 0,000
< toleransi = 0,05).
Variabel NJOP berpengaruh nyata terhadap variabel PAD pada
tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata ini dipertimbangkan
dengan uji ”t”, melalui keputusan nilai taraf signifikan lebih
kecil dari toleransi (Nilai Sig 0,000 < toleransi = 0,05).
6. Pengaruh secara bersama
Variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan NJOP
berpengaruh nyata terhadap PAD. Pada tingkat kepercayaan 95
%. Pengaruh nyata ini dipertimbangkan dengan uji ”F”, melalui
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 154
keputusan nilai taraf signifikan lebih kecil ari toleransi 5 %
(nilai signifikan = 0,000 < toleransi = 0,05).
7. Koefisien diterminasi (R2) menunjukkan nilai 0,570 memberikan
informasi bahwa variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan
penduduk dan NJOP secara bersama mampu memberikan
variasi variabel PAD sebesar 57 %. Sedangkan sisa sebesar 43 %
dijelaskan oleh variabel lain yang tidak disertakan pada model
estimasi persamaan struktur III.
8. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik.
Berdasarkan hasil print out dapat di lakukan mendiagnosis
apakah model estimasi persamaan struktur III bergejala
Multikolinerity, Heterokendastisitas dan Autokorelasi sebagai
berikut:
a. Diagnosis Multikolinerity
Berdasarkan pertimbangan tolerance dan VIF dapat
ditentukan gejala multikolinerity dengan dasar tolerance
apakah nilai koefisien lebih kecil dari 0,5 dan dasar VIF
apabila nilai kefisiennya lebih besar dari 5. Pada tabel
koefisien menunjukkan nilai koefisien tolerance variabel
pertumbuhan ekonomi (0,903), variabel kepadatan penduduk
(0,635) dan variabel NJOP (0,613), menunjukkan lebih besar
dari 0,5, berarti variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan
penduduk dan NJOP tidak bergejala multikolinerity.
Koefisien VIF variabel pertumbuhan ekonomi (1,108),
kepadatan penduduk (1,578) dan NJOP (1,630) menunjukkan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 155
lebih kecil dari 5, berarti variabel pertumbuhan ekonomi,
kepadatan penduduk dan NJOP tidak bergejala
multikolinerity.
Tabel 37
Koefisien Kolinerity
Variabel Kolinerity Statistik
Tolerance VIF
Pertumbuhan Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP
0,903
0,635
0,613
1,108
1,574
1,630
b. Diagnosis Heterokendasitas
Untuk mendiagnosis Heterokendastisitas pada model
estimasi persamaan struktur III, dilakukan dengan uji ”Rank
Spearman” dengan keputusan ada gejala Heterokendastisitas
apabila nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi 5 %.
Berdasarkan tabel korelasi Rank Spearman menunjukkan
nilai Sig dari variabel pertumbuhan ekonomi (0,744),
kepadatan penduduk (0,000) dan NJOP (0,815) menunjukkan
lebih besar dari toleransi 0,05, berarti variabel
pertumbuhan ekonomi, dan NJOP tidak bergejala
heterokendastisitas dan variabel kepadatan penduduk
bergejala heterokendastisitas.
c. Diagnosis Autokorelasi
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 156
Untuk mendiagnosis autokorelasi pada model estimasi
persamaan struktur III dilakukan dengan uji Durbin –
Watson Test (DW – Test) dengan pertimbangan keputusan
ada gejala autokorelasi apabila DW hitung (dl atau DW
hitung > 4 – dl. DW tabel menunjukkan dl = 1,62, du = 1,72,
4 – dl = 2,38 dan 4 – du = 2,28. DW hitung berdasarkan
lampiran 9 menunjukkan sebesar 0,837 lebih kecil dari dl
(DW hitung = 0,837 < dl = 1,62) berarti model estimasi
persamaan struktur III bergejala autokorelasi.
3.4. Analisis Persamaan Struktur IV
Berdasarkan desain persamaan struktur IV, dilakukan
perhitungan koefisien masing-masing variabel eksplanatory melalui
program SPSS 15 diperoleh sebagai berikut:
Tabel 38
Hasil Regresi Variabel Pertumbuhan Ekonomi, Kepadatan
Penduduk, NJOP dan PBB terhadap PAD
Variabel Standart
Koefisien Sig
Pertumbuhan Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP
PBB
- 0,332
- 0,228
0,448
0,570
0,000
0,028
0,001
0,000
F Sig
Fhitung
R
R2
PAD
= 0.000
= 42.482
= 0.823
= 0.677
= variabel dependent
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 157
Berdasarkan tabel di atas dapat ditentukan persamaan
struktur III sebagai berikut:
Y3 = - 0,332 X1 – 0,228 X2 + 0,448 X3 + 0,570 X4
Hasil persamaan struktur III dapat memberikan informasi
terhadap PAD sebagai berikut:
1. Pengaruh Secara Parsial
Variabel pertumbuhan ekonomi berpengaruh negatif secara
nyata terhadap PAD pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh
nyata ini dipertimbangkan dengan uji ”t”, melalui keputusan
nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi 50 % (Nilai Sig
= 0,000 < 0,05)
Variabel kepadatan penduduk berpengaruh negatif secara
nyata terhadap PBB pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh
nyata ini dipertimbangkan dengan uji ”t” melalui keputusan
nilai taraf signifikan lebih kecil dari toleransi 5 % (Nilai Sig =
0,028 < toleransi = 0,05).
Variabel NJOP berpengaruh positif secara nyata terhadap PAD
pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata ini
dipertimbangkan dengan uji ”t” melalui keputusan nilai taraf
signifikan lebih kecil dari toleransi 5 % (Nilai Sig = 0,01 <
toleransi = 0,05).
Variabel PBB berpengaruh positif secara nyata terhadap PAD
pada tingkat kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata di
pertimbangkan dengan uji ”t” melalui keputusan nilai taraf
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 158
signifikan lebih kecil dari toleransi 5 % (Nilai Sig = 0,000 <
toleransi = 0,05).
2. Pengaruh Secara Bersama
Variabel Pertumbuhan Ekonomi kepadatan penduduk, NJOP
dan PBB berpengaruh nyata terhadap PAD pada tingkat
kepercayaan 95 %. Pengaruh nyata ini dipertimbangkan
dengan uji ”F” melalui keputusan nilai taraf signifikan lebih
kecil dari toleransi 5 % (Nilai Sig = 0,000 < toleransi =
0,05).
3. Koefisien Determinasi (R2) menunjukkan nilai sebesar 0,677
memberikan informasi bahwa variabel Pertumbuhan Ekonomi,
Kepadatan Penduduk, NJOP dan PBB secara bersama mampu
memberikan variasi variabel PAD sebesar 67,70 %. Sedangkan
sisanya sebesar 32,30 % dijelaskan oleh variabel lain yang tidak
disertakan pada model estimasi persamaan struktur IV;
4. Uji Penyimpangan Asumsi Klasik
Berdasarkan hasil print out dapat mendiagnosis apakah model
estimasi bergejala Multikolinerity, Heterokendastisitas dan
Autokorelasi, sebagai berikut:
a. Diagnisis Multikolinerity
Berdasarkan pertumbuhan Tolerance dan VIF dapat
ditentukan gejala multikolinerity dengan dasar Tolerance
apabila nilai koefisiennya lebih kecul dari 0,5 dan dasar
pertimbangan VIF, apabila koefisien variabelnya lebih besar
dari 5. Pada tabel koefisien kolinerity menunjukkan nilai
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 159
koefisien tolerance variabel pertumbuhan ekonomi (0,830)
lebih besar dari 0,50, berarti variabel pertumbuhan ekonomi
tidak bergejala multikolinerity. Variabel kepadatan
penduduk (0,385) NJOP (0,242) dan PBB (0,328)
menunjukkan lebih kecil dari 0,5, berarti variabel
Kepadatan Penduduk, NJOP dan PBB bergejala
multikolinerity pada model estimasinya persamaan
struktur IV. Dengan pertimbangan VIF menunjukkan
koefisien variabel pertumbuhan ekonomi (1,208), Kepadatan
Penduduk (2,598), NJOP (4,124) dan PBB (3,044),
menunjukkan lebih kecil dari 5, berarti variabel
pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, NJOP dan
PBB tidak bergejala multikolinerity.
Tabel 39
Koefisien Kolinerity
Variabel Kolinerity Statistik
Tolerance VIP
Pertumbuhan Ekonomi
Kepadatan Penduduk
NJOP
PBB
0,830
0,385
0,242
0,328
1,208
2,598
4,124
3,044
b. Diagnosis Heterokendastisitas
Untuk mendiagnosis Heterokendastisitas pada medel
estimasi persamaan struktur IV, dilakukan dengan uji
”Rank Spearman” dengan keputusan ada gejala
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 160
Heterokendastisitas apabila nilai taraf signifikan lebih kecil
dari toleransi 5 %. Berdasarkan tabel korelasi Rank
Spearman menunjukkan Nilai Sig dari variabel
pertumbuhan ekonomi (0,521), NJOP (0,444) dan PBB
(0,450) menunjukkan nilai lebih besar dari 0,05, berarti
variabel pertumbuhan ekonomi, NJOP darn PBB tidak
bergejala heterokendastisitas, tapi variabel kepadatan
penduduk bergejala heterokendastisitas, karena Nilai Sig
nya lebih kecil dari 0,05 (Nilai Sig) = 0,02 < toleransi =
0,05).
Tabel 40
Rank Spearman Korelasi
Keterangan Pertumbuhan
Ekonomi
Kepadatan
Penduduk NJOP PBB
Residual
Koefisien Korelasi
Sig (2 talked)
N
0.070
0.521
86
0.250
0.020
86
-0.084
0.444
86
-0.083
0.40
86
c. Diagnosis Autokorelasi
Untuk mendiagnosis Autokorelasi pada model estimasi
persamaan struktur III dilakukan dengan uji ”Durbin –
Watson Test (DW Test) dengan pertimbangan ada gejala
Autokorelasi, apabila nilai DW hitung lebih kecil dari dl
atau DW hitung lebih besar dari 4 – dl. Hasil DW tabel
untuk nilai dl = 1,62, du = 1,72, 4 – di = 2,38 dan 4 – du =
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 161
2,28. DW hitung menunjukkan 0,883 lebih kecil dari dl (DW
hitung = 0,883 < dl = 1,62), berarti model estimasi
persamaan struktur IV bergejala Autokorelasi.
3.5. Analisis Direct, Indirect dan Total Effect
Untuk menentukan besar pengaruh langsung, tidak
langsung dan pengaruh total dari masing-masing variabel yang
diamati, dapat dilakukan dengan mengintegrasikan hasil
persamaan struktur I, II, III dan IV pada diagram jalur berikut ini:
Pertumbuhan
Ekonomi
(X1)
PBB
(Y2)
NJOP
(Y1)
Kepadatan
Penduduk
(X2)
PAD
(Y3)
0.179
-0.2580
0.249
0.590
-0.558
0.9
64
0.570
-0.230
-0.08
0.44
8
Gambar 5. Diagram Jalur Hasil Integrasi Persamaan Struktur I, II,
III dan IV
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 162
Berdasarkan Gambar 5 dapat ditentukan:
1. Direct Effect
a. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap NJOP
X1 → Y1 = PY11
= 0,249
b. Pengaruh variabel NJOP terhadap PAD
X1 → Y2 = PY2y12
= 0.179
c. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap PAD
X1 → Y3 = PY31
= -0,230
d. Pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap NJOP
X2 → Y1 = PY12
= 0,590
e. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap PBB
X2 → Y2 = PY22
= -0.2580
f. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap PBB
X2 → Y3 = PY32
= -0,558
g. Pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap PBB
Y1 → Y2 = PY2 y1
= -0.448
h. Pengaruh variabel NJOP terhadap PAD
Y1 → Y3 = PY3y1
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 163
= 0.964
i. Pengaruh variabel PBB terhadap PAD
Y2 → Y3 = PY3Y2
= 0,570
2. Indirect Effect
a. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap PBB
melalui variabel NJOP
X1 → Y1 → Y2 = PY11 x PY2 Y1
= 0.249 x 0.448
= 0.1116
b. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap PAD
melalui variabel NJOP
X1 → Y1 → Y3 = PY11 x PY3y1
= 0.249 x 0.964
= 0.2400
c. Pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap PAD
melalui variabel NJOP
X2 → Y1 → Y2 = PY12 x PY3y1
= 0,590 x 0,448
= 0,2643
d. Pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap PAD
melalui variabel NJOP
X2 → Y1 → Y3 = PY12 x PY3 y3
= 0.590 x 0.964
= 0.5688
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 164
e. Pengaruh variabel NJOP terhadap PAD melalui variabel PBB
Y1 → Y2 → Y3 = PY2 Y x PY3y2
= 0.448 x 0.570
= 0.2554
3. Total Effect
a. Pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi terhadap PBB
melalui variabel NJOP
X1 → Y1 → Y2 = PY11 + (PY11 x PY2y1)
= 0.249 + (0.249 x 0.448)
= 0.3606
b. Pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap PAD
melalui variabel NJOP
X1 → Y1 → Y3 = PY11 + (PY11 x PY3y1)
= 0.249 + (0.249 x 0.964)
= 0.4890
c. Pengaruh variabel kepadatan penduduk terhadap PBB
melalui variabel NJOP
X2 → Y1 → Y2 = PY12 + (PY12 x PY2y1)
= 0.590 + (0.590 x 0.448 x 0.570)
= 0.7034
d. Pengaruh variabel Kepadatan Penduduk terhadap PAD
melalui variabel NJOP
X2 → Y1 → Y3 = PY12 + (PY12 x PY3y1)
= 0.290 + (0.590 x 0.964)
= 0.3606
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 165
e. Pengaruh variabel NJOP terhadap PAD melalui variabel PBB
Y1 → Y2 → Y3 = PY2Y1 + (PY2Y1 x PY3y2)
= 0.448 + (0.448 x 0.570)
= 0.7034
3.6. Peluang Penetapan NJOP Berdasarkan Nilai Produktif
Tanaman
Pajak yang dipungut pemerintah daerah atas PBB
merupakan bagi hasil pajak yang besarnya ditentukan oleh
perundangan yang berlaku. Dari total penerimaan PBB yang
dikumpul, pemerintah pusat menerima 10 persen. Pemerintah
daerah mendapatkan 64,8 persen dari total penerimaan PBB. Untuk
pemerintah provinsi sebesar 16,2 persen dan 9 persen digunakan
sebagai pengganti biaya pungutan. Bagi hasil diterima pusat
sebesar 10 persen dibagikan kembali ke daerah (Keputusan Menteri
Keuangan No. 83/KMK.04/1994).
Melihat skema ini kontribusi perubahan perkebunan yang
beroperasi di Provinsi Sumatera Utara masih minim. Padahal
perusahaan tersebut dalam operasinya menggunakan sarana
infrastruktur daerah dan meningkatkan pelayanan publik.
Minimnya kontribusi insentif ekonomi terhadap pemerintah daerah
yang perlu meningkatkan insentif ekonomi melalui pembagian
(sharing) yang ditetapkan dengan undang-undang. Tantangan bagi
pemerintah daerah yang memiliki perkebunan dalam ekstensifikasi
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 166
PBB perkebunan, terutama terbentur kepada undang-undang,
apapun yang dilakukan tidak ada gunanya.
UU No. 33/2004 tidak mencantumkan perkebunan sebagai
komponen dana bagi hasil sumberdaya alam, walaupun
perkebunan, kehutanan dan perikanan sama-sama bersifat
reneuwable, upaya untuk menjadikan perkebunan sebagai
komponen dana bagi hasil perlu disampaikan kepada pemerintah
pusat dengan mengajukan berbagai alasan. Hasil kesepakatan oleh
para Kepala Bappeda Provinsi dan Kepala Dinas Pendapatan
Provinsi se Sumatera, Kalimantan, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa
Timur, Sulawesi Selatan dan Papua, mengungkapkan alasan
perkebunan sebagai komponen dana bagi hasil sumberdaya alam
adalah sbb:
1. Aspek kebijakan/hukum adalah
a. Tidak diaturnya hasil sub sektor perkebunan sebagai dana
bagi hasil antara pemerintah pusat dengan pemerintah
daerah;
b. Inkonsistensi UU No. 33/2004 terhadap karakteristik sektor
yang termasuk sumberdaya alam yang dapat diperbaharui.
Perkebunan, kehutanan dan perikanan adalah sama-sama
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui, tetapi perkebunan
tidak diikutsertakan dalam perhitungan dana bagi hasil,
mengapa terjadi diskriminasi.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 167
2. Aspek akademis adalah:
a. Pembangunan daerah menyangkut salah satu pilar
perekonomian nasional;
b. Sub sektor perkebunan merupakan bagian integral dari
pembangunan daerah karena perusahaan perkebunan tidak
bisa bekerja sendiri tanpa masyarakat dan pemerintah
daerah;
c. Dana bagi hasil bagi daerah yang memiliki sumberdaya
alam merupakan manifestasi dari keadilan yang menjadi
perekat NKRI;
d. Lahan sebelum, dikonversi menjadi lahan perkebunan,
daerah menerima hasil dana bagi hasil, dikonversikan
menjadi perkebunan, daerah tidak menerima dana bagi
hasil.
3. Aspek historis ekonomik adalah:
a. Areal perkebunan termasuk lahan spesifik yang
dikonversikan dari lahan hutan;
b. Kesejahteraan masyarakat di sekitar areal perkebunan
relatif masih rendah;
c. Hak Guna Usaha (HGU) perkebunan diberikan untuk waktu
yang panjang, sehingga dengan pemberiannya
menghilangkan peluang pemanfaatan bagi masyarakat
setempat.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 168
4. Aspek teknis adalah:
a. Aktifitas sektor perkebunan mempunyai dampak negatif
terhadap lingkungan;
a. Sub sektor perkebunan menjadi salah satu faktor penyebab
rusaknya infrastruktur karena tingginya mobilitas angkutan
muatan melebihi tonase.
Sesuai dengan Pasal 5 UU No. 33/2004, sumber-sumber
penerimaan daerah berasal dari:
1. Pendapatan Asli Daerah (PAD);
2. Dana perimbangan; dan
3. Lain-lain pendapatan.
Maka dapat disimpulkan bahwa sumber keuangan daerah
yang dapat dikelola adalah berasal dari ketiga sumber tersebut,
serta tidak dimungkinkan adanya sumber lainnya.
Pasal 6 UU No. 32/2004, Pendapatan Asli Daerah merupakan
Pendapatan Daerah yang bersumber dari:
1. Pajak daerah;
2. Retribusi daerah;
3. Hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan; dan
4. Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah.
Lain-lain pendapatan asli daerah yang sah yaitu berupa:
a. Hasil penjualan kekayaan daerah yang tidak dipisahkan;
b. Jasa giro;
c. Pendapatan bunga;
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 169
d. Keuntungan selisih nilai tukar rupiah terhadap mata uang
asing; dan komisi, potongan, ataupun bentuk lain sebagai
akibat dari penjualan dan/atau pengadaan barang dan/atau
jasa oleh daerah.
Di samping terbukanya kesempatan untuk melakukan
improvisasi terhadap sumber-sumber pendapatan asli daerah juga
dibatasi dengan larangan-larangan yang diatur dalam UU No.
32/2004 tentang Pemerintahan Daerah, yaitu dalam upaya
meningkatkan pendapatan asli daerah dilarang menetapkan
peraturan daerah tentang pendapatan yang menyebabkan ekonomi
biaya tinggi yaitu perda yang mengatur pengenaan pajak dan
retribusi oleh daerah terhadap objek-objek yang telah dikenakan
pajak oleh pusat, yang menyebabkan menurunnya daya saing
daerah, juga dilarang menetapkan peraturan daerah tentang
pendapatan yang menghambat mobilitas penduduk, mobilitas
barang dan jasa antar daerah, kegiatan impor/ekspor.
Demikian halnya Pasal 21 UU No. 32/2004 menyatakan
bahwa dalam menyelenggarakan otonomi. Daerah mempunyai hak
diantaranya mendapatkan bagi hasil dari pengelolaan sumberdaya
alam dan sumberdaya lainnya yang berada di daerah.
Jika penerimaan daerah dikaitkan dengan perundangan
tentang pengelolaan sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya
sesuai amanat Pasal 18 A ayat (2) UUD 1945, ditegaskan agar
hubungan keuangan, pelayanan umum serta pemanfaatan
sumberdaya alam dan sumberdaya lainnya antara pemerintah dan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 170
pemerintah daerah diatur dan dilaksanakan secara adil dan selaras
berdasarkan undang-undang.
Selanjutnya dalam UU No. 12/1985. Untuk dana bagi hasil
sumberdaya alam telah dibatasi sektornya yaitu berasal dari
Kehutanan, Pertambangan Umum, Perikanan, Minyak Bumi, Gas
Bumi dan Panas Bumi, sedangkan sektor perkebunan tidak
termasuk dalam komponen Sumberdaya alam yang dapat di bagi
hasilkan kepada daerah. Kebijakan tersebut juga tertuang di dalam
ketentuan UU No. 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara
Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Dengan adanya
peraturan tersebut seolah-olah menutup kemungkinan daerah
memperoleh bagi hasil dari sektor perkebunan, hal ini secara nyata
merugikan daerah yang memiliki lahan perkebunan.
Namun perlu dicermati lebih mendalam isi dan makna yang
terkandung di dalam UU No. 18/2004, antara lain telah
mengamanatkan bahwa perkebunan sebagai salah satu bentuk
pengelolaan sumberdaya alam di lakukan secara berencana,
terbuka, terpadu, profesional dan bertanggung jawab. Perkebunan
dalam hal ini secara nyata dimasukkan dalam kategori pengelolaan
sumberdaya alam.
Selanjutnya dengan melihat Pasal 1 butir (2) Undang-
undang Republik Indonesia No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan
Lingkungan Hidup (selanjutnya disingkat UU No. 23/1997) yang
memaknai pengelolaan sebagai, kegiatan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemuliaan, pengawasan dan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 171
pengendalian, dalam setiap itemnya memiliki makna adanya
kerjasama antara instansi/lembaga terkait yang dilaksanakan pada
daerah, sehingga dalam rangka pengembangan, pemeliharaan dan
pemulihan diperlukan kerjasama daerah, maka berdasarkan hal
tersebut dibutuhkan pembagian hasil perkebunan bagi daerah.
Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan
yang menetapkan hanya berdasarkan pada tanah tidak produktif,
tanah yang tidak ditanami, tanah yang telah ditanami dan telah
menghasilkan, tanah emplasmen, tanah yang tidak dimanfaatkan
bangunan. Kondisi tanah yang ditanami dan telah menghasilkan
ditambah dngan standar investasi tanaman membuka terjadinya
polemik berkepanjangan, karena nilai investasi tumbuhan pada
setiap daerah adalah berbeda-beda, serta semakin baik investasi
yang ditanamkan tentu akan semakin baik hasil diperoleh pengelola
perkebunan tersebut.
Tabel 41
Pertumbuhan Penerimaan PBB Bagian Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2000 – 2005
No Tahun Jumlah (Rupiah)
1. 2001 102.512.451.000,-
2. 2002 99.443.931.000,-
3. 2003 117.076.831.000,-
4. 2004 122.130.631.000,-
5. 2005 129.345.859.000.-
Sumber: Dinas Pendapatan Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 172
Penerimaan PBB tersebut pada tahun 2001 sebesar
Rp. 102.512.451.000,- serta pada tahun 2002 Rp. 99.443.931.000,-
menurun sebesar Rp. 3.068.520.000,- atau setara dengan penurunan
3,00 %.
Penerimaan PBB tahun 2003 meningkat menjadi
Rp. 117.076.831.000,- atau peningkatan sebesar Rp. 17.632.900.000,-
dari tahun 2002 atau setara dengan peningkatan 17,73 %.
Penerimaan PBB tahun 2004 meningkat menjadi
Rp. 122.130.631.000,- atau terjadi peningkatan sebesar
Rp. 5.053.800.000,- atau setara dengan peningkatan 4,32 %.
Demikian halnya penerimaan PBB tahun 2004 sebesar
Rp. 122.130.631.000,- serta meningkat pada tahun 2005 menjadi
sebesar Rp. 129.345.859.000.- meningkat sebesar Rp. 7.215.228.000,-
atau setara dengan peningkatan 5,91 %.
Berdasarkan hasil perhitungan di atas maka diperoleh
bahwa peningkatan penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan setiap
tahunnya seperti pada tabel berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 173
Tabel 42
Pertumbuhan Penerimaan PBB Bagian Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2000 - 2005
No Tahun Peningkatan (Persen)
1. 2002 -3,00
2. 2003 17,73
3. 2004 4,32
4. 2005 5,91
Sumber: Data Primer Olahan 2006.
Peningkatan penerimaan PBB terbesar terjadi pada tahun
2003 sebesar 17,73 dan pada tahun selanjutnya kembali meningkat
sekitar 4-5 %. Jika diteliti peningkatan penerimaan PBB
berdasarkan penetapan UU No. 33/2004 dibandingkan dengan
penetapan PBB berdasarkan produksi tanaman mengalami
perbedaan.
Komposisi besar produksi perkebunan setiap tahunnya
mengalami peningkatan yang signifikan seperti terlihat pada tabel
berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 174
Tabel 43
Produksi Tanaman Perkebunan Berdasarkan Tahun
No. Tahun Produksi
(Ton)
Peningkatan
(Ton)
Persentasi
Peningkatan
1. 2001 3.624.880,27 - -
2. 2002 3.696.495,60 71.615,33 1,97
3. 2003 3.738.515,48 42.019,88 1,13
4. 2004 3.787.099,00 48.583,52 1,29
5. 2005 4.335.100,98 548.001,98 14,47
Sumber: Data Primer Olahan 2006.
Peningkatan produksi tanaman mengalami peningkatan jika
dibandingkan dengan produksi tanaman pada tahun sebelumnya,
perlu dicermati peningkatan produksi tanaman perkebunan dari
tahun 2004 ke tahun 2005 mengalami peningkatan sebesar 14,47 %.
Peningkatan penerimaan PBB yang dimungkinkan
meningkat adalah berdasarkan kondisi lahan perkebunan, jika
diteliti secara mendalam keadaan lahan perkebunan berdasarkan
tahun, tertera pada tabel berikut:
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 175
Tabel 44
Komposisi Total Lahan Perkebunan Berdasarkan Tahun
No. Tahun Total Lahan
(Hektare)
Peningkatan
(Hektare)
Persentase
Peningkatan
1. 2001 1.569.941 - -
2. 2002 1.582.857 12.916 0,71
3. 2003 1.588.198 5.341 0,32
4. 2004 1.594.907 6.709 0,39
5. 2005 1.666.340 71.433 4,47
Sumber: Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Peningkatan terbesar adalah pada tahun 2005 sebesar 4,47
% dari luas lahan perkebunan tahun sebelumnya. Jika diteliti
keadaan lahan berdasarkan kondisinya. Komposisi lahan yang telah
menghasilkan seperti tertera pada tabel berikut:
Tabel 45
Komposisi Lahan yang Menghasilkan Berdasarkan Tahun
No. Tahun Total Lahan
(Hektare)
Peningkatan
(Hektare)
Persentase
Peningkatan
1. 2001 1.239.468 - -
2. 2002 1.249.656 10.188 0,82
3. 2003 1.253.882 4.226 0,33
4. 2004 1.259.179 5.297 0,42
5. 2005 1.315.575 56.396 4,45
Sumber: Diolah dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumetra Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 176
Luasan lahan perkebunan yang telah menghasilkan pada
tahun 2001 seluas 1.239.468 ha, dan meningkat 10.188 ha pada
tahun 2002 menjadi 1.249.656 ha. Pada tahun 2003 lahan
perkebunan yang menghasilkan adalah seluas 1.253.882 ha,
meningkat sebesar 4.226 ha dengan persentase peningkatan 0,33 %.
Peningkatan perluasan lahan perkebunan pada tahun 2004 sebesar
0,42 %. Demikian halnya peningkatan luas lahan yang terbesar
adalah pada tahun 2005 sebesar 4,45 % atau setara dengan
peningkatan luas sebesar 56,396 ha.
Demikian halnya lahan perkebunan lainnya adalah lahan
yang belum menghasilkan dengan komposisi berbeda setiap
tahunnya, komposisi lahan yang belum menghasilkan sektor
perkebunan seperti tertera pada tabel berikut.
Tabel 46
Komposisi Lahan yang Belum Menghasilkan
No Tahun Total Lahan
(Hektare)
Peningkatan
(Hektare)
Persentase
Peningkatan
1. 2001 201.894 - -
2. 2002 203.855 1.961 0,97 %
3. 2003 204.242 387 0,18 %
4. 2004 205.165 923 0,45 %
5. 2005 214.291 9.126 4,44 %
Sumber: Diolah dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 177
Peningkatan lahan yang belum menghasilkan terbesar
berada pada tahun 2005 yaitu seluas 9.126 ha, serta komposisi
lahan terlantar yang belum dikelola pihak perkebunan seperti
tertera pada tabel berikut:
Tabel 47
Komposisi Lahan Terlantar Berdasarkan Tahun
No. Tahun Total Lahan
(Hektare)
Peningkatan
(Hektare)
Persentase
Peningkatan
1. 2001 128.579 - -
2. 2002 129.346 767 0,59 %
3. 2003 130.074 428 0,33 %
4. 2004 130.583 509 0,39 %
5. 2005 136.474 5.891 4,51 %
Sumber: Diolah dari Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara, 2006.
Lahan-lahan terlantar setiap tahunnya di Provinsi Sumatera
Utara meningkat, pada tahun 2001 lahan terlantar seluas 128.579
ha menjadi seluas 136.474 ha pada tahun 2005, keadaan ini
menunjukkan bahwa terjadi persiapan perluasan perkebunan setiap
tahunnya.
Berdasarkan uraian data-data tersebut dapat disimpulkan
bahwa luas lahan perkebunan yang telah menghasilkan mengalami
perkembangan signifikan yaitu seluas 1.239.468 ha tahun 2001,
menjadi seluas 1.315.575 ha pada tahun 2005, keadaan ini
menunjukkan kepada kita jika penetapan Pajak Bumi dan
Bangunan berdasarkan kondisi lahan maka dapat dipastikan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 178
penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan akan
meningkat, serta terjadi kecenderungan peningkatan setiap
tahunnya karena tanaman yang belum menghasilkan pada saat ini,
pada tahun yang akan datang kemungkinan akan menghasilkan.
Penetapan Pajak Bumi dan Bangunan sektor perkebunan
berdasarkan kondisi lahan juga akan merangsang pengelola
perkebunan untuk melakukan audit terhadap hasil perhektar dari
perkebunannya, artinya lahan-lahan yang tidak menghasilkan
secara ekonomis, secepatnya akan diganti dengan tanaman baru
yang dapat diharapkan sesegera mungkin akan menghasilkan.
Menurut Ramli (2007), pada Focus Group Discusion (FGD)
sebagai second opinion, pada tanggal 15 Maret 2007 bertempat di
gedung Prof. David H. Penny. Fakultas Pertanian USU Medan yaitu
peningkatan penerimaan pemerintah dari sektor perkebunan dapat
dilakukan dengan pemberian insentif. Upaya peningkatan
kontribusi insentif ekonomi perkebunan terhadap penerimaan
daerah:
1. Mempertimbangkan sub sektor perkebunan menjadi kelompok
dana perimbangan (bagi hasil);
2. Perubahan struktur pajak (memperoleh dana bagi hasil sebesar
80% dari penerimaan pajak ekspor jenis barang tertentu yang
dihasilkan perkebunan dan produk turunan;
3. Perubahan penetapan NJOP;
4. Dana Community Development (CD) ditingkatkan menjadi 10%
dari laba bersih PTPN;
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 179
5. Mengusulkan kepada pemerintah pusat transfer ownership
sebesar 40 % untuk pemerintah daerah;
6. Mempertimbangkan tarif opsen.
3.7. Perbedaan Pendapat Stakeholder, Pemerintah dan
Pengusaha terhadap NJOP Berdasarkan Variabel
Makro Ekonomi
Untuk membuktikan hipotesis ke tujuh dilakukan dengan
analisis Cohran Test. Uji ini digunakan untuk menguji signifikansi
hipotesis komparatif 2 (dua) sampel besar independen bila datanya
berbentuk nominal.
Ho : Pendapat stakeholder dari pemerintah dan pengusaha
perkebunan terhadap penetapan NJOP berdasarkan variabel
makro ekonomi adalah sama.
Ha : Pendapat stakeholder dari pemerintah dan pengusaha
perkebunan terhadap penetapan NJOP berdasarkan variabel
makro ekonomi adalah berbeda.
Kriteria Keputusan
Ho : Ditolak jika nilai sig hitung lebih kecil dari α tertentu.
Ha : Ditolak jika nilai sig hitung lebih besar dari α tertentu.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 180
Persamaan Cohran Test yang digunakan adalah sebagai
berikut:
Dengan Q adalah uji Cohran
K adalah Kelompok
Gj adalah Jumlah yang sekarang
Gi adalah jumlah sebelumnya
Lj adalah jumlah seluruh kelompok
Li adalah kelompok ditinjau
Perhitungan hasil pendapat responden yang dikategorikan
pemerintah (Instansi Dispenda, Dinas Perkebunan, Kanwil Pajak,
Pemprovsu) sebanyak 32 (tiga puluh dua) responden dan pengusaha
perkebunan sebanyak 8 (delapan) responden, perhitungan hasil
pendapat responden dengan bantuan komputer SPSS 19.00
diperoleh hasil seperti berikut.
k k
(K-1) K Gi2 ( K Gj )
2
I –1 j –1
Q = k k
K Li2 - K Lj
2
I –1 j –1
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 181
Tabel 48
Hasil Statistik Cohran Test
Test Statistics
N 40
Chi-Square .053
Df 1
Asymp. Sig. .819
a Cohran Test
Hasil perhitungan dengan = 0,05, dengan daerah kritis Ho
ditolak jika sig < . Dari hasil pengolahan dengan SPSS diperoleh
sig = 0,819 yang artinya sin > , maka dapat disimpulkan Ho
diterima.
Artinya terjadi perbedaan pendapat antara Stakeholder,
Pemerintah dan Pengusaha terhadap NJOP Berdasarkan Variabel
Makro Ekonomi. Keadaan ini menunjukkan bahwa penerapan Nilai
Jual Obyek Pajak berdasarkan variabel Makro Ekonomi harus lebih
diperhitungkan karena terjadi perbedaan pendapat yang besar yang
ditunjukkan harga sign sampai 0,819, serta diperolehnya harga Chi
kuadrat sebesar 0,53 hal ini menunjukkan dimungkinkannya
perubahan pendapat Stakeholder, Pemerintah dan Pengusaha
terhadap NJOP Berdasarkan Variabel Makro Ekonomi.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 182
3.8. Perbedaan Pendapat Stakeholder, Pemerintah dan
Pengusaha terhadap Penetapan NJOP Berdasarkan
Nilai Tanaman yang Produktif.
Untuk membuktikan hipotesis kedelapan, ada perbedaan
pendapat stakeholder, pemerintah dan pengusaha terhadap
penetapan nilai jual obyek pajak-Pajak Bumi dan Bangunan
berdasarkan nilai tanaman yang produktif
Ho : Tidak ada perbedaan pendapat stakeholder dari pemerintah
dan pengusaha perkebunan terhadap penetapan NJOP
berdasarkan nilai tanaman produktif.
Ha : Ada perbedaan pendapat stakeholder dari pemerintah dan
pengusaha perkebunan terhadap penetapan NJOP
berdasarkan nilai tanaman produktif.
Kriteria Keputusan
Ho : Diterima apakah nilai khi kwadrat hitung lebih kecil dari khi
kwadrat tabel pada tingkat α tertentu.
Ha : Diterima apakah nilai khi kwadrat hitung lebih besar dari
khi kwadrat tabel pada tingkat α tertentu.
X2 = ))()()((
)(21
dccbcaba
nbcadn
++++
−−
Perhitungan hasil pendapat responden yang dikategorikan
pemerintah (Instansi Dispenda, Dinas Perkebunan, Kanwil Pajak,
Pemprovsu) sebanyak 32 (tiga puluh dua) responden dan pengusaha
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 183
perkebunan sebanyak 8 (delapan) responden diperoleh seperti tabel
berikut:
Tabel 49
Rekapitulasi Pendapat Responden tentang Penetapan Pajak
Berdasarkan Nilai Tanaman yang Produktif
Setuju Tidak Setuju Jumlah
Pemerintah 18 14 32
Pengusaha 1 7 8
Jumlah 19 21 40
Sumber: Data Primer Olahan 2006.
Hasil dari penilaian responden terhadap penetapan pajak
berdasarkan nilai tanaman yang produktif, maka diperoleh harga X2
hitung:
3145,3)11)(714)(118)(1418(
)40/1.147.18(/40 22
12 =
++++
−−=X
Dengan taraf kesalahan 5 % dan dk = 1, maka harga X2 tabel
= 3,841 dan untuk 1 % = 6,635. Ternyata harga X2 hitung (3,3145)
lebih kecil dari harga X2 tabel baik untuk taraf kesalahan 5 %
maupun kesalahan 1 %.
Dengan demikian Ho diterima dan Ha ditolak yang artinya
tidak terdapat perbedaan pendapat bahwa penetapan NJOP
berdasarkan nilai tanaman yang produktif.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 184
D. Pembahasan
Model estimasi persamaan struktur I, menunjukkan variabel
eksogenesus pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk,
secara masing-masing maupun secara serentak signifikan terhadap
NJOP. Pada tingkat kepercayaan 95 %. Namun kemampuan
bersama variabel pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk
menjelaskan variasi NJOP sebesar 38,70 %. Berarti ada kontribusi
variabel lain yang tidak disertakan pada model empiris sebesar
61,30 %. Variabel-variabel yang dapat disertakan pada model
empiris yang mempunyai kontekstual dengan keberadaan NJOP,
antara lain PDRB, Tingkat Inflasi, Tingkat Bunga, Indeks Harga
Konsumen. Secara teoritis variabel-variabel ini mempunyai
kontribusi pengaruh terhadap NJOP, namun datanya yang
menggambar tingkat Kabupaten/Kota tidak tersedia dengan baik.
Contoh, variabel tingkat inflasi, tingkat bunga, indeks harga
konsumen yang umumnya menggambar beberapa Kabupaten/Kota
di Provinsi Sumatera Utara, sehingga variabel ini di abaikan untuk
diamati.
Penyebab rendahnya kontribusi penjelasan variasi variabel
pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk terhadap NJOP,
adanya variabel lain yang belum disertakan pada model empiris
yang perlu menjadi perhatian untuk penyempurnaan model empiris
persamaan struktur I.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 185
Model empiris persamaan struktur II, menunjukkan variabel
eksplamatory pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan
NJOP, baik secara masing-masing maupun secara serentak
berpengaruh nyata terhadap PBB, pada tingkat kepercayaan 95 %.
Kepadatan penduduk hasil analisis empiris menunjukkan
pengaruh yang negatif terhadap PBB. Pengaruh negatif kepadatan
penduduk tidak mengikuti dasar konseptual yang di kemukakan,
bahwa semakin padat keberadaan penduduk suatu daerah tidak
berpengaruh positif terhadap PBB. Justru secara empiris
menunjukkan kepadatan penduduk berpengaruh negatif terhadap
PBB. Dari keberadaan empiris kepadatan penduduk tidak
berpengaruh langsung terhadap PBB, akan tetapi melalui pengaruh
NJOP sebesar -,52 (X2 → Y1 → Y2 = PY1 2Y PY2 Y1Y1). Pengaruh
negatif kepadatan penduduk terhadap PBB bisa di sebabkan variasi
data antar Kabupaten/Kota sangat besar, yang tidak diikuti
perkembangan PBB yang terus mengingkat, sehingga dari variasi
data dengan formula tertentu memberikan probabilitas koefisien
negatif.
Koefisien determinasi persamaan struktur II, menunjukkan
hasil yang lebih besar dibandingkan dengan persamaan struktur I,
(0,672 > 0,387). Perubahan ini memberikan informasi model
persamaan struktur II lebih mendekati model koseptual dan akan
lebih baik, apabila koefisien determinan mendekati 1. sisa model
estimasi yang tidak dapat dijelaskan oleh variabel lain sebesar
32,80 % dapat ditingkatkan dengan cara menambah variabel lain
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 186
pada persamaan struktur II, antara lain tingkat kepadatan
masyarakat, kemampuan aparat, informasi.
Model empiris persamaan struktur II perlu dimodifikasi
untuk mendapat model yang konkrit lebih mendekati konseptual
dengan memanifulasi atau melakukan trimming dari sejumlah
variabel yang diamati. Kesulitan melakukan modifikasi adalah
ketersediaan data yang sesuai dengan model empiris, model
struktur persamaan II perlu dimodifikasi model persamaannya
dengan mereplikasikan keadaan empiris yang lebih baik.
Model empiris struktur III, menunjukkan hasil yang sama
dengan persamaan struktur II, dengan variabel pertumbuhan
ekonomi menunjukkan pengaruh yang negatif terhadap PAD ini
menggambarkan bahwa pertumbuhan ekonomi tidak langsung
berpengaruh terhadap PAD, akan tetapi melalui variabel
intervenning NJOP. Pengaruh negatif bisa disebabkan oleh
keberadaan antar Kabupaten/Kota. Variabelnya cukup dan tidak
searah, sehingga muncul tanda negatif. Koefisiennya menunjukkan
determinansi menunjukkan 0,57 yang berarti 43 % dijelaskan
variabel lain tidak disertakan dalam model estimasi.
Model campuran persamaan struktur III perlu di modifikasi
untuk mendapatkan model estimasi yang mendekati. Model
konseptual dengan manipulasi data dengan observasi data yang
lebih besar, atau menambah variabel yang sesuai dengan model
konseptual.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 187
Hasil pembahasan struktur IV, menunjukkan variabel
pertumbuhan ekonomi kepadatan penduduk NJOP dan PBB secara
bersama maupun secara parsial berpengaruh terhadap PAD pada
tingkat kepercayaan 95 %. Secara parsial pertumbuhan ekonomi
dan kepadatan penduduk menunjukkan pengaruh negatif terhadap
PAD. Keadaan ini menggambarkan kemajuan ekonomi suatu
daerah tidak memberikan kontribusi terhadap PAD yang progresif
dengan kemajuan ekonomi. Hal ini mungkin disebabkan dasar
pengenakan PAD daerah tidak hanya tergantung kepada
keberadaan pertumbuhan ekonomi melainkan kepada keberadaan
sumber-sumber PAD yang terdiri dari Pajak Daerah, Retribusi
Daerah, Dana Perimbangan dan Pendapatan lain yang sah.
Pada sisi lain perkembangan PAD menggambarkan dari
tahun ke tahun sedangkan pertumbuhan ekonomi digambarkan
kepada periode yang lalu sehingga data yang diolah berdasarkan
statistik cenderung menunjukkan koefisien yang negatif karena
datanya tidak linier.
Kepadatan penduduk berpengaruh negatif terhadap PAD,
hal ini disebabkan oleh keberadaan kepadatan penduduk
merupakan rasio luas wilayah dibagi jumlah penduduk. Sedangkan
perkembangan PAD merupakan perbandingan tahun yang sekarang
dibandingkan tahun yang lalu. Sehingga hubungannya antara
kepadatan penduduk dengan PAD berdasarkan pengeloahan
memberikan kecenderungan koefisien yang negatif.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 188
Model empiris memberikan kontribusi variabel pertumbuhan
ekonomi kepadatan penduduk NJOP dan PBB terhadap PAD
sebesar 67,70 %. Kondisi ini menggambarkan masih memungkinkan
variabel lain disertakan dalam model estimasi persamaan struktur
IV dan mungkin juga dapat dilakukan modifikasi variabel yang ada
dengan yang baru untuk mendapatkan kontribusi variabel
explanatory menjelaskan lebih mendekati 100 %, untuk itu perlu
dibangun model empiris yang lebih representatif terhadap dunia
nyata NJOP.
Berdasarkan data di atas diketahui bahwa pemerintah yang
terdiri dari Instansi Dispenda, Dinas Perkebunan, Kanwil Pajak,
Pemerintah Pemprovsu memberikan penilaian bahwa pemerintah
setuju penetapan NJOP sektor perkebunan melalui nilai tanaman
yang produktif, serta 14 (empat belas) responden yang sejenis tidak
setuju.
Responden yang berasal dari pengusaha berpendapat setuju
penetapan NJOP sektor perkebunan melalui nilai tanaman yang
produktif sebanyak 1 responden serta yang tidak setuju sebanyak 7
(tujuh) responden.
Berdasarkan hasil perhitungan statistik tidak diperoleh
perbedaan pendapat bahwa penetapan NJOP sektor perkebunan
berdasarkan nilai tanaman yang produktif.
Sesuai dengan hasil perhitungan terhadap perbedaan
pendapat stakeholder, pemerintah dan pengusaha terhadap
penetapan NJOP berdasarkan variabel makro ekonomi serta
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 189
berdasarkan nilai tanaman yang produktif. Maka diperoleh
kesimpulan bahwa terdapat kecenderungan bahwa pemerintah yang
diwakili oleh Instansi Dinas Pendapatan Daerah, Dinas
Perkebunan, Kanwil Ditjen Pajak, Pemerintah Pemprovsu
berkeinginan untuk menetapkan NJOP berdasarkan nilai tanaman
yang produktif, sedangkan pengusaha cenderung mempertahankan
sistem penetapan pajak seperti yang sedang berlaku saat ini.
Hal ini dapat dimaklumi karena pengusaha berusaha
mempertahankan keadaan perusahaannya seperti sediakala, atau
dengan kata lain kurang bersedia mengeluarkan biaya tambahan
tanpa ada peningkatan profit bagi perusahaannya.
Berdasarkan hasil-hasil pengujian dengan statistik diperoleh
beberapa hal antara lain bahwa: terdapat hubungan yang signifikan
antara penetapan NJOP PBB dengan pertumbuhan ekonomi,
pertumbuhan penduduk, tingkat inflasi dan pendapatan perkapita,
yang diuji dengan menggunakan data selama lima tahun, hubungan
tersebut didominasi dengan pengaruh kepadatan penduduk.
Hal ini selaras dengan besarnya jumlah penduduk Indonesia,
artinya untuk mengumpulkan NJOP PBB yang paling efektif adalah
dengan memperbesar wajib pajaknya.
Keadaan ini selaras dengan hasil hubungan penetapan NJOP
PBB dengan pertumbuhan ekonomi, pertumbuhan penduduk,
tingkat inflasi dan pendapatan perkapita dengan menggunakan
data dari setiap kabupaten/kota yang menghasilkan hubungan
dominan antara NJOP PBB dengan pertambahan penduduk.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 190
Maka dapat disimpulkan bahwa peningkatan NJOP PBB
sangat mungkin ditingkatkan dengan meningkatkan jumlah wajib
pajak.
Analisis hubungan antara NJOP PBB dengan pendapatan
asli daerah memiliki hubungan yang signifikan, artinya semakin
besar NJOP PBB yang dapat diambil, maka secara horizontal juga
akan menaikkan pendapatan asli daerah.
Hal ini selaras dengan prinsip pengaturan penerimaan PBB
yang alokasinya diatur UU No. 33/2004 dengan rincian: 10 % bagian
pusat dari penerimaan PBB dibagikan kepada seluruh daerah
kabupaten/kota yang didasarkan atas realisasi penerimaan PBB
tahun anggaran berjalan, dengan perimbangan sebagai berikut: - 65
% dibagikan secara merata kepada seluruh daerah kabupaten/kota.
- 35 % dibagikan sebagai insentip kepada daerah kabupaten/kota
yang realisasi tahun sebelumnya mencapai/melampui rencana
penerimaan sektor tertentu, yang bertujuan untuk mendorong
intensifikasi pemungutan PBB. Selanjutnya 90 % untuk daerah,
yaitu dirinci sebagai berikut: 16,2 % untuk daerah provinsi; 64,8 %
daerah kabupaten/kota; 9 % untuk biaya pemungutan. Maka dapat
disimpulkan bahwa semakin besar PBB dapat ditagih maka
semakin besar pendapatan asli daerah.
Terdapat peluang penetapan NJOP berdasarkan nilai
produktif tanaman, antara lain yang disebabkan oleh inkonsistensi
UU No. 33/2004 terhadap karakteristik sektor yang termasuk
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui. Perkebunan, kehutanan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 191
dan perikanan adalah sama-sama sumberdaya alam yang dapat
diperbaharui, tetapi perkebunan tidak diikutsertakan dalam
perhitungan dana bagi hasil, mengapa terjadi diskriminasi.
Sub sektor perkebunan merupakan bagian integral dari
pembangunan daerah karena perusahaan perkebunan tidak bisa
bekerja sendiri tanpa masyarakat dan pemerintah daerah. Lahan
sebelum, dikonversi menjadi lahan perkebunan, daerah menerima
hasil dana bagi hasil, dikonversikan menjadi perkebunan, daerah
tidak menerima dana bagi hasil.
Sub sektor perkebunan menjadi salah satu faktor penyebab
rusaknya infrastruktur karena tingginya mobilitas angkutan
muatan melebihi tonase. Perlu dicermati lebih mendalam isi dan
makna yang terkandung di dalam UU No. 18/2004 tentang
Perkebunan, antara lain telah mengamanatkan bahwa perkebunan
sebagai salah satu bentuk pengelolaan sumberdaya alam di lakukan
secara berencana, terbuka, terpadu, profesional dan bertanggung
jawab. Perkebunan dalam hal ini secara nyata dimasukkan dalam
kategori pengelolaan sumberdaya alam.
Selanjutnya Pasal 1 butir (2) UU No. 23/1997 yang
memaknai pengelolaan sebagai, kegiatan penataan, pemanfaatan,
pengembangan, pemeliharaan, pemuliaan, pengawasan dan
pengendalian, dalam setiap itemnya memiliki makna adanya
kerjasama antara instansi/lembaga terkait yang dilaksanakan pada
daerah, sehingga dalam rangka pengembangan, pemeliharaan dan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 192
pemulihan diperlukan kerjasama daerah, maka berdasarkan hal
tersebut dibutuhkan pembagian hasil perkebunan bagi daerah.
Berdasarkan pengujian statistik disimpulkan bahwa
terdapat perbedaan pendapat dari responden bahwa penetapan
NJOP berdasarkan kondisi produktif tanaman terhadap pendapatan
asli daerah.
Artinya penetapan NJOP PBB berdasarkan kondisi produktif
tanaman akan memberikan pendapatan yang lebih besar kepada
daerah yang disebabkan ternyata dalam standar investasi tanaman
tiap hektar yang ditetapkan sesuai dengan Keputusan Direktur
Jenderal Pajak No: Kep 029/PJ.6/1991 mengatur standar investasi
tanaman hanya sampai tahun ke lima.
Tanaman primadona dan dominan di Provinsi Sumatera
Utara adalah kelapa sawit yang mampu menghasilkan buah hingga
tahun ke dua puluh, sedangkan pada tahun ke lima kelapa sawit
masih berbuah pasir, artinya produksinya masih minimal.
Penetapan NJOP PBB berdasarkan hasil produksi tanaman
akan menghasilkan dana PBB yang lebih besar kepada pemerintah
daerah, hal ini dapat dilihat dari komposisi lahan yang
menghasilkan, belum menghasilkan, tidak menghasilkan, dan tanah
terlantar, dengan membandingkannya dengan hasil produksi dari
perkebunan tersebut.
Jika dilihat produksi dari perkebunan setiap tahunnya
adalah meningkat, bahkan untuk tahun 2004 ke tahun 2005 terjadi
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 193
peningkatan hingga 14,47 %, hal ini identik terjadinya pertambahan
pemasukan PBB sebesar 14,47 % bagi daerah.
Serta kecenderungan kenaikan ini akan terus terjaga selama
tanaman tersebut masih produktif, walaupun harus diakui besarnya
pemasukan PBB tersebut menjadi sangat tergantung dari keahlian
manajemen perkebunan dalam mengelola perkebunannnya.
Sedangkan penetapan NJOP PBB berdasarkan keadaan
lahan kenaikan tersebut relatif sangat kecil yaitu pada tahun 2004
kenaikan tersebut hanya 0,39 % serta tahun 2005 kenaikan hanya
sebesar 4,47 % jauh di bawah kenaikan berdasarkan hasil produksi.
Keadaan ini selaras dengan hasil Focus Group Discusion
(FGD) sebagai second opinion disebutkan perlunya dilakukan
perubahan dalam penetapan NJOP PBB.
Maka disimpulkan bahwa penentuan NJOP PBB
berdasarkan hasil produksi lebih menguntungkan bagi pemasukan
sumber pendapatan daerah.
Menurut penilaian responden tentang adanya perbedaan
daya dukung sebelum dan sesudah ada perubahan kebijaksanaan
penetapan NJOP terhadap perkembangan ekonomi daerah
sebanyak 36 responden sependapat akan terdapat perbedaan daya
dukung, artinya perkembangan ekonomi wilayah akan berubah
(meningkat) jika dilakukan perubahan terhadap penetapan NJOP
PBB berdasarkan hasil produksi.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 194
Namun perlu juga dipertimbangkan bahwa terdapat 6
responden yang mengatakan bahwa tidak ada perubahan signifikan
jika dilakukan perubahan penetapan NJOP PBB berdasarkan hasil
produksi.
Maka dapat disimpulkan bahwa perubahan terhadap
penetapan NJOP PBB berdasarkan hasil produksi akan membawa
pengaruh terhadap perkembangan ekonomi wilayah. Dalam
menyimpulkan hasil penelitian tersebut masih dibutuhkan
pendekatan yang bersifat common sense, hal ini selaras dengan
pendekatan ilmiah yang mensyaratkan hal-hal sebagai berikut:
(Anderson, 2000).
- Pengumpulan data dan analisis bersifat objektif atau tidak
bias;
- Pengumpulan data secara terarah;
- Penggunaan ukuran atau kriteria yang relevan;
- Rumusannya jelas.
Pendekatan kebijakan adalah pendekatan ilmiah yang harus
memiliki ciri-ciri dimaksud. Namun sebagai ilmu sosial terapan
(applied social science), pendekatan ini lebih bersifat multi dimensi
yang tidak hanya berbicara tentang fakta dan nilai, akan tetapi juga
tentang aksi atau tindakan. Sehingga kebijakan yang akan
dihasilkan akan lebih dapat diterima oleh pihak stakeholder,
pemerintah dan pengusaha.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 195
Perubahan penetapan NJOP PBB mengakibatkan terjadinya
perbedaan pendapat antara stakeholder, pemerintah dan
pengusaha. Hal ini disebabkan setiap perubahan penetapan NJOP
PBB, maka secara otomatis akan menjadi pengeluaran bagi
perusahaan, walaupun perlu disadari bahwa penambahan
pengeluaran tersebut di lain pihak akan memperlancar arus
pergerakan barang, jasa dan produksi perkebunan tersebut yang
akhirnya akan menjadi penambahan pemasukan bagi perusahaan.
Dalam hal ini masih diperlukan diskusi yang lebih
mendalam antara stakeholder, pemerintah dan pengusaha untuk
menyamakan persepsi tentang penetapan NJOP PBB tersebut.
Di samping itu juga dibutuhkan perundangan yang
mengatur tentang penetapan NJOP PBB tersebut berdasarkan
variabel makro ekonomi. Keadaan ini selaras dengan hasil
perhitungan hubungan antara NJOP PBB dengan kebijakan insentif
perkebunan, kebijakan insentif ekonomi, formula NJOP riel,
produktifitas tanaman, strategi kebijakan, standar investasi
diperoleh hubungan yang dominan antara NJOP dengan kontribusi
insentif ekonomi. Artinya pihak pengusaha lebih dominan
berpikiran tentang penghematan pengeluaran perusahaan baik
melalui pembayaran PBB serta perolehan kontribusi insentif
ekonomi lainnya.
Keadaan ini selaras dengan pendapat Anderson (2000),
Makin terbuka proses perumusan kebijakan, makin banyak aspirasi
dapat tertampung. Namun, tidak semua kebijakan memerlukan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 196
tingkat keterbukaan yang sama. Rekomendasi kebijakan adalah
saran yang disampaikan kepada yang berwenang mengambil
kebijakan guna memecahkan atau mencapai suatu tujuan yang
dikehendaki (a desired objective).
Demikian halnya hasil penganalisisan statistik diperoleh:
tidak terdapat perbedaan pendapat stakeholder, pemerintah dan
pengusaha terhadap penetapan NJOP sektor perkebunan
berdasarkan nilai tanaman yang produktif. Artinya penetapan
NJOP PBB berdasarkan nilai tanaman produktif dapat dilakukan
Penetapan berdasarkan nilai tanaman produktif ini kurang efektif
dalam meningkatkan pendapatan pemerintah daerah, hal ini
disebabkan standar investasi tanaman yang ditentukan pemerintah
hanya untuk lima tahun sedangkan tanaman kelapa sawit memiliki
masa produktif yang lebih panjang, artinya setelah lima tahun
lahan tanaman kelapa sawit tersebut dihitung kembali menjadi
lahan yang tidak menghasilkan.
Maka untuk mendekati berbagai kepentingan diperlukan
suatu terobosan baru berupa penetapan NJOP PBB dengan
mengkombinasikan penetapan berdasarkan keadaan lahan serta
bagi lahan yang telah menghasilkan dihitung berdasarkan produksi
tanaman yang ada.
Sehingga setiap peningkatan produksi dari perkebunan,
secara langsung akan memberikan kontribusi (manfaat) terhadap
peningkatan penerimaan PBB yang akhirnya akan meningkatkan
pendapatan asli daerah.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 197
Keadaan ini selaras dengan isi Pasal 3 UU No. 18/2004
menyatakan bahwa perkebunan diselenggarakan dengan tujuan:
a. Meningkatkan pendapatan masyarakat;
b. Meningkatkan penerimaan negara;
b. Meningkatkan penerimaan devisa negara;
c. Meningkatkan lapangan kerja;
d. Meningkatkan produktifitas, nilai tambah dan daya saing;
e. Memenuhi kebutuhan konsumsi dan bahan baku industri
dalam negeri;
f. Mengoptimalkan pengelolaan sumberdaya alam secara
berkelanjutan.
Tabel 50
Rekapitulasi Hasil Penelitian Penetapan NJOP PBB
Sektor Perkebunan
No Sebelumnya Usulan
1. Penetapan NJOP yang lama
berdasarkan keadaan lahan.
Penetapan NJOP Perkebunan
berdasarkan produksi tanaman.
2. Standar Investasi tanaman
hanya sampai tahun ke lima.
Standar Investasi tanaman
dihitung hingga tahun produksi
maksimum (disesuaikan dengan
tanamannya).
3. Upaya penambahan pemasu-
kan PBB dari jumlah PBB yang
ditagih.
Upaya penambahan pemasukan
dengan menambah wajib pajak.
4. Terdapat perbedaan antara
stakeholder tentang perubahan
penetapan NJOP PBB sektor
Perkebunan.
Penerbitan perundangan untuk
menyamakan perbedaan antara
stakeholder tentang perubahan
penetapan NJOP PBB sektor
Perkebunan.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 198
Berdasarkan analisis di atas diperoleh kesimpulan bahwa
besarnya dana yang masuk dari Provinsi Sumatera Utara yang
berasal dari Pajak Bumi dan Bangunan tahun 2005 sebesar
Rp. 758.487.325.000,-. Banyaknya dana tersebut berasal dari sektor
perkebunan sebanyak Rp. 129.345.859.000,- dengan melihat
keadaan ini dapat diprediksikan bahwa penerimaan Pajak Bumi
dan Bangunan dari sektor perkebunan akan dapat ditingkatkan
dengan melihat kecenderungan meningkatnya produksi perkebunan
dari setiap tahunnya.
Peredaran dana yang sedemikian besar akan mampu
menggerakkan sektor riil di tengah masyarakat sehingga akan
dapat membangun peluang usaha yang lebih besar bagi masyarakat
serta penyediaan lapangan pekerjaan yang lebih besar lagi.
Demikian halnya hasil analisis yang menyimpulkan perlunya
peningkatan penagihan Pajak Bumi dan Bangunan yang berasal
dari wajib pajak yang baru, sehingga sumber Pajak Bumi dan
Bangunan tersebut jumlahnya dapat lebih besar lagi.
Keberhasilan menagih serta meningkatkan penerimaan dari
Pajak Bumi dan Bangunan secara langsung akan memberikan
manfaat kepada pertumbuhan ekonomi daerah, serta memberikan
dampak ikutan lainnya seperti penurunan angka pengangguran
yang secara horizontal akan berdampak terhadap turunnya angka
kriminalitas, serta menggerakkan perekonomian berbasis jasa yang
berkaitan dengan sektor produksi perkebunan tersebut.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 199
Meningkatnya pemanfaatan potensi daerah secara maksimal
secara langsung akan meningkatkan pengembangan wilayah, hal ini
selaras dengan pendapat Miraza (2006), yang menyebutkan bahwa
pengembangan wilayah adalah pemanfaatan potensi wilayah, baik
potensi alam maupun potensi buatan, harus dilaksanakan secara
fully dan efficientcy agar pemanfaatan potensi dimaksud benar-
benar berdampak pada kesejahteraan masyarakat secara maksimal.
Provinsi Sumatera Utara yang memiliki potensi yang besar
dari sektor perkebunan diharapkan mendapatkan manfaat yang
maksimal dari seluruh potensi yang ada tersebut, manfaat dapat
berupa bagi hasil, ataupun peningkatan penagihan dari Pajak Bumi
dan Bangunan sektor perkebunan, penetapan NJOP-PBB yang
didasarkan pada lahan selama ini masih dapat ditingkatkan lagi
dengan merubah dasar perhitungan tersebut melalui produksi
tanaman. Sehingga semakin besar produksi tanaman, maka
semakin besar keuntungan perusahaan, demikian halnya Pajak
Bumi dan Bangunannya juga akan semakin besar. Keadaan ini
akan dapat memacu peningkatan pendapatan daerah, sehingga di
daerah akan terjadi peningkatan jumlah uang beredar yang akan
memacu peningkatan kegiatan ekonomi. Pada akhirnya
peningkatan ekonomi akan memberi peluang bekerja bagi
masyarakat sehingga seluruh komponen masyarakat di Provinsi
Sumatera Utara ini dapat menikmati pengembangan ekonomi
wilayah sebagai dampak pemberdayaan potensi wilayah secara
maksimum.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 200
E. Analisis Implementasi terhadap Perencanaan Wilayah
Berdasarkan desain persamaan struktural yang dianalisis
memberikan informasi bahwa variabel pertumbuhan ekonomi,
kepadatan penduduk terhadap penetapan NJOP dan variabel
intervening NJOP dan PBB berpengaruh terhadap PAD.
Implementasi variabel yang diamati pertumbuhan ekonomi dan
kepadatan penduduk terhadap perencanaan wilayah melalui
penetapan NJOP yang menggambarkan harga pasar. Penetapan
NJOP yang sesuai dengan harga pasar melalui pertumbuhan
ekonomi dan kepadatan penduduk yang terus berkembang dan akan
menentukan tingkat permintaan lahan yang meningkat. Sedangkan
pada sisi lain jumlah lahan yang ditawarkan terbatas dan
mengakibatkan harga lahan meningkat. Harga lahan meningkat
berarti nilai NJOP juga meningkat dan penerimaan PBB juga
meningkat.
Penerimaan PBB yang meningkat akan berpengaruh positif
terhadap pendapatan asli daerah yang dapat andalan dalam
pembiayaan pembangunan ekonomi wilayah.
Perencanaan wilayah adalah suatu operasional kegiatan
yang akan dilakukan oleh suatu unit kegiatan untuk mencapai
suatu kondisi yang lebih baik pada suatu wilayah. Perencanaan
wilayah yang menggambarkan berbagai kegiatan dapat terealisasi
apa adanya dana pembiayaan yang cukup (anggaran tersedia).
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 201
Merealisasi perencanaan suatu wilayah dari berbagai sektor
akan ditentukan kemampuan APBD yang dipresentasikan setiap
tahun oleh eksekutif kepada DPRD tentang apa yang direncanakan
Pemerintah Daerah untuk meningkatkan perekonomian wilayah
dan kesejahteraan masyarakat. Pertimbangan pihak legislatif
(dewan) dan eksekutif terhadap perencanaan pembangunan
ekonomi suatu wilayah sangat tergantung kepada keberadaan
anggaran yang tersedia dan skala prioritas pembangunan yang
berkaitan dengan domein politis.
Anggaran sebagai alat perencanaan manajemen untuk
mencapai tujuan unit kegiatan yang ditetapkan sangat di tentukan
sumber pembiayaannya. Salah satu sumber pembiayaan adalah
pendapatan asli daerah dan salah satunya berasal dari PBB.
Sumber dana yang memadai akan lebih mudah menentukan
kebijakan fiskal untuk menstabilkan ekonomi dan mendorong
pertumbuhan ekonomi suatu wilayah.
Penetapan NJOP berdasarkan variabel ekonomi lebih
mengantar ke progresif penerimaan PBB dibandingkan dengan data
historis atau pertimbangan politis, progresif penerimaan PBB akan
berpengaruh terhadap PAD dan selanjutnya berpengaruh positif
terhadap APBD.
Pelaksanaan pembangunan daerah yang merupakan refleksi
perencanaan wilayah dengan berbagai sektor ekonomi dan non
ekonomi, tidak terlepas dari ketersediaan dana untuk pembiayaan
pada otonomi daerah anggaran pembangunan daerah pada
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 202
umumnya bersumber bantuan pembangunan yang diberikan oleh
pemerintah pusat (bantuan umum atau khusus) akan dibiayai oleh
PAD.
Perencanaan wilayah suatu pemerintah yang terdiri dari
berbagai sektor ekonomi yang tidak dibentuk oleh pusat, akan
tergantung kepada sumber pendapatan daerah. Terbatasnya PAD
sangat mengakomodasi semua sektor ekonomi yang direncanakan.
Keberadaan PAD akan menentukan realisasi kuantitas dan kualitas
perencanaan suatu wilayah dan kemampuan kapasitas PAD sangat
ditentukan oleh kemampuan pemerintah daerah mengoptimalkan
sumber-sumber pendapatan daerah.
Implementasi penetapan NJOP PBB sektor perkebunan
sebagai pelaksanaan otonomi daerah akan meningkatkan sumber
pendapatan daerah dan meningkatkan kontribusi dalam pola APBD
Provinsi dan Kabupaten/Kota. APBD yang memadai akan dapat
merealisasi program perencanaan wilayah dan pada gilirannya
mempercepat pertumbuhan ekonomi wilayah dan kesejahteraan
masyarakat.
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi dan Bangunan
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 203
F. Temuan Teoritis
Berdasarkan kerangka konseptual dan hipotesis penelitian
tentang peningkatan penerimaan daerah melalui penetapan NJOP
dapat ditemukan teoritis sebagai berikut:
1. Variabel pertumbuhan ekonomi dan kepadatan penduduk baik
secara parsial maupun secara serentak berpengaruh terhadap
NJOP;
2. Variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan
NJOP baik secara parsial maupun secara serentak
berpengaruh terhadap PBB;
3. Variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk, NJOP
dan PBB berpengaruh nyata terhadap PAD;
4. Tidak ada perbedaan persepsi stakeholder pemerintah dan
perusahaan terhadap penetapan NJOP berdasarkan variabel
ekonomi dan nilai produktifitas tanaman perkebunan.
Penutup
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 203
BAB VI
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian maka dapat disimpulkan
beberapa hal antara lain:
1. Secara parsial dan serentak variabel pertumbuhan ekonomi
dan kepadatan penduduk berpengaruh nyata terhadap Nilai
Jual Obyek Pajak (NJOP). Kemampuan variabel pertumbuhan
ekonomi dan kepadatan penduduk secara bersama mampu
memberikan penjelasan variasi Nilai Jual Obyek Pajak sebesar
38,70 %;
2. Secara parsial dan bersama variabel pertumbuhan ekonomi,
kepadatan penduduk dan Nilai Jual Obyek Pajak berpengaruh
nyata terhadap Pajak Bumi dan Bangunan. Secara bersama
variabel pertumbuhan ekonomi, kepadatan penduduk dan Nilai
Jual Obyek Pajak mampu memberikan penjelasan variasi
variabel Pajak Bumi dan Bangunan sebesar 57 %;
3. Secara parsial dan serentak pertumbuhan ekonomi, kepadatan
penduduk Nilai Jual Obyek Pajak dan Pajak Bumi dan
Bangunan berpengaruh nyata terhadap Pendapatan Asli
Daerah. Secara bersama variabel pertumbuhan ekonomi,
kepadatan penduduk, Nilai Jual Obyek Pajak, Pajak Bumi dan
Penutup
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 204
Bangunan mampu memberikan penjelasan variasi Pendapatan
Asli Daerah sebesar 67,70 %;
4. Terdapat peluang penetapan Nilai Jual Objek Pajak-Pajak
Bumi dan Bangunan sektor perkebunan dengan
memperhatikan luas lahan dan hasil produksi perkebunan;
5. Memperhatikan aspek yuridis yaitu berdasarkan Undang-
undang No. 33 Tahun 2004 melalui penetapan kerakteristik
sektor perkebunan yang termasuk dalam komponen
sumberdaya alam yang dapat diperbaharui;
6. Besarnya pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi 0,116 dan
besarnya pengaruh kepadatan penduduk 0,2643 terhadap PBB
melalui NJOP;
7. Besarnya pengaruh variabel pertumbuhan ekonomi 0,24 dan
besarnya pengaruh kepadatan penduduk 0,5688 terhadap PAD
melalui NJOP;
8. Besarnya pengaruh variabel NJOP 0,2554 terhadap PAD
melalui variabel PBB;
9. Ada peluang penetapan NJOP berdasarkan aspek yuridis;
10. Tidak ada perbedaan pendapat stakeholder pemerintah,
pemerintah dan pengusaha terhadap penetapan NJOP PBB
berdasarkan nilai tanaman yang produktif;
11. Tidak ada perbedaan pendapat stakeholder pemerintah,
pemerintah dan pengusaha terhadap penetapan NJOP PBB
berdasarkan variabel makro ekonomi;
Penutup
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 205
B. Saran
Berdasarkan hasil data yang diperoleh dan model analisis
yang dikemukakan dapat disarankan beberapa hal antara lain:
1. Berdasarkan hasil uraian analisis persamaan struktur I, II, III
dan IV menunjukkan variabel ekonomi secara bersama
berpengaruh nyata terhadap penetapan NJOP PBB. Selama ini
penetapan NJOP berdasarkan pertimbangan data historis yang
ditetapkan KP.PBB dan pemerintah yang unsur subyektifnya
lebih dominan dalam menetapkan NJOP. Untuk penetapan
NJOP lebih adil dapat dilakukan dengan variabel makro
ekonomi, maka disarankan kepada pemerintah dalam
menetapkan NJOP sektor perkebunan perlu dipertimbangkan
alternatif lain yaitu penetapan NJOP berdasarkan variabel
makro ekonomi;
2. Secara yuridis berdasarkan analisis peluang intensifikasi atas
insentif ekonomi berbasis perkebunan melalui pendekatan
tanaman produktif memberikan peluang. Kajian aspek yuridis
ini tidak kontradiktif dengan ketentuan peraturan
perundangan yang terkait dalam penetapan NJOP PBB
Perkebunan. Oleh karena itu peluang ini dapat
direkomendasikan kepada pemerintah untuk menyikapi
intensifikasi insentif ekonomi perkebunan dalam upaya
meningkatkan pendapatan daerah melalui pendekatan variabel
ekonomi makro, dan tanaman produktif;
Penutup
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 206
3. Alternatif intensifikasi dari insentif ekonomi sektor
perkebunan dapat dilakukan : antara lain 1) penyertaan
modal/investasi daerah 2) meningkatkan dana dan
transparansi community development untuk memberikan
kontribusi sumber pendapatan daerah 3) kontribusi kepada
daerah berupa sumbangan yang tidak mengikat;
4. Berdasarkan model persamaan struktur I, II, III, dan IV yang
dianalisis menunjukkan bahwa kemampuan variabel
independen yang disertakan pada model estimasi dalam
menjelaskan variabel dependen belum memadai untuk diambil
kesimpulan dalam prediksi (R2 rendah). Untuk itu bagi peneliti
yang ingin melakukan riset yang sama objeknya, maka perlu
mempertimbangkan variabel-variabel lain yang disertakan
atau dimodifikasi pada persamaan struktur I, II, III dan IV.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 207
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Anderson, James & Charles Bulloc III. 2000. Public Policy and Politics In United States. Massachussets Duxbury.
Anderson, James E. 1979. Public Policy Making. Praeger Publishers.
New York.
Ashar, Khusnul dkk. 2006. Analisis Makro dan Mikro Jembatan Kebijakan Ekonomi Indonesia. Badan Penerbit Fakultas
Ekonomi Universitas Brawijaya (BPFE-Unibraw). Malang.
Arsyad, Lincoln. 1999. Ekonomi Pembangunan. Penerbit STIE
Yayasan Keluarga Pahlawan Negara Yogjakarta
Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. 2004. Sumatera Utara dalam Angka 2004. Medan.
Barata, Atep Adya. 1991. Pajak Bumi dan Bangunan. Penerbit CV.
Armico. Bandung
Blau, Peter. M. dan Marshall W. Meyer. 2000. Birokrasi dalam Masyarakat Modern. Prestasi Pustaka Raya. Jakarta.
Budiharsono, S. 2005. Teknik Analisis Pembangunan Wilayah Pesisir dan Lanjutan. Cet. 2. Jakarta : Pradnya Paramita.
Charles & Ardian Syamsudin. 1986. Proses Penetapan Kebijaksanaan. Edisi Kedua. Penerbit Erlangga. Jakarta.
Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumut. 2002. Studi Potensi Sumber Pungutan Daerah Terhadap Objek Atas
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 208
Pemanfaatan dan Pengelolaan SDA yang Potensial di Provinsi Sumatera Utara. Medan. 2002.
Dinas Perkebunan Provinsi Sumatera Utara. 2006. Data Statistik
Perkebunan. 2001 – 2005 Medan
Dipuro, Marsudi Djoyo. 1994. Pengantar Ekonomi Untuk Perencanaan. Penerit Universitas Indonesia. Jakarta.
Direktorat Jenderal Pajak & Fakultas Ekonomi UNDIP. 1997. Studi
Sistem Penetapan Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar
Perhitungan PBB dan BPHTB.
Dunn, William N. 2001. Analisis Kebijaksanaan Publik. Disunting
dan di Indonesiakan oleh Muhajir Darwin. Hanindita. Graha
Widia. Yogyakarta.
Edwin, Robert Anderson Seligman. 1925 dalam Essay on Taxation .
New York.
Fauzi, Yan. 2005. Seri Agribisnis. Kelapa Sawit. Budidaya Pemanfaatan Hasil & Limbah Analisis Usaha dan Pemasaran. Edisi Revisi. Cetakan XVIII. Penerbit Penebar
Swadaya.
Fauzi, 2001. Otonomi Daerah Sumberdaya Alam Lingkungan.
Lapera Pustaka Utama. Yogyakarta.
Ghani, Mohammad. 2003. Sumber Daya Manusia Perkebunan dalam Prespektif. Penerbit Ghalia Indonesia. Jakarta.
Girsang, Batara. 2004. Wajah Pembangunan Perkebunan di Provinsi Sumatera Utara Kedepan (Tahun 2005/2010).
Hadi, Sudharto P. 2001. Dimensi Lingkungan Perencanaan Pembangunan. Gadjah Mada University Press. Yogyakarta.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 209
Hadjisaroso. 1994. Konsep Dasar Pengembangan Wilayah di
Indonesia. dalam Prisma No 8 Agustus 1994. Jakarta
Hamarolie, Harun. 1990. Penuntun Analisis Peningkatan Dana Pembangunan Kota. Andi Offset. Yogjakarta.
Hanafiah, T. 1999. Pendekatan Wilayah dan Pembangunan Pedesaan. Jurusan Sosial Ekonomi. Fakultas Pertanian. IPB
Bogor.
Hidayat, Wahyu 2001. Konsep dasar Penilaian Properti. Penerbit
BPFE Yogjakarta.
Hirawan, Susiyanti B. 1994. Kebijaksanaan Pengembangan Daerah.
Dalam Seminar Nasional.
Ismail, Tjip. 2005. Pengaturan Pajak Daerah di Indonesia. Penerbit
Pusat Evaluasi Pajak dan Retribusi daerah BAPEKKI Dep
Keuangan Republik Indonesia
Jeluddin. 1996. Prinsip Perencanaan Wilayah Sebagai Suatu Pendekatan dalam Menyusun Rencana Umum Tata Ruang.
Prosiding Seminar Nasional Penataan Ruang Menghadapi
PJP-II. USU Press. Medan.
Jones, Charles. 1985. Pengantar Kebijakan Publik. Edisi
Terjemahan. Grafindo Persada. Jakarta.
Koryati, Nyimas Dwi. 2004. Kebijakan dan Manajemen Pembangunan Wilayah. YPAPI. Yogyakarta.
Kunarjo. 2002. Perencanaan dan Pengendalian Program Pembangunan. Penerbit Universitas Indonesia (UIP).
Jakarta.
Kurniawan & Agus P. 2004. Pajak Daerah dan Retribusi Daerah di Indonesia. Penerbit Bayu Media Publishing. Malang.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 210
Laster, James dan Robert Steward. 2000. Public policy: An Evolutionary Approach. Belmont: Wadsworth.
Laswell, Harold and Abraham Kaplan. 1970. Power And Society.
Yale University Press. New Heaven.
Lubis, Afifuddin. 2005. Otonomi Daerah : Suatu Analisis Tentang Pendapatan Daerah Kota Medan. Tesis. USU. Medan.
Lubis, M Solly. 2003. Masalah-masalah Hukum dalam Pelaksanaan Otonomi Daerah. Seminar Pembangunan Hukum Nasional
VIII Buku. 2. Bali. 14-18 Juli 2003. Badan Pembinaan
Hukum Nasional Departemen Kehakiman dan Hak Azasi
Manusia Republik Indonesia.
Mardiasmo. 1987. Perpajakan. Penerbit Andi Yogyakarta.
Marsudi. 1994. Ekonomi Pembangunan. Penerbit Gadjah Mada
Press Yogjakarta
Meliala, Yogia S. 1982. Capita Selecta Perpajakan di Indonesia.
Penerbit Armico. Bandung.
Miraza, Bachtiar Hassan. 2005. Perencanaan dan Pengembangan Wilayah. Penerbit ISEI. Bandung.
Misra, R. P. 1997. Regional Develoment Planning : Search for Bearing. UNCRD. Nagoya.
Moeljarto, 1987. Politik Pembangunan. Sebuah Analisis Konsep. Arah dan Strategi : PT.Tiara Wacana. Yogyakarta.
Nasution, Zulkifli. 2005. Evaluasi lahan Daerah Tangkapan Hujan Danau Toba Sebagai Dasar Perencanaan Tata Guna Lahan untuk Pembangunan Berkelanjutan. Universitas Sumatera
Utara. Medan.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 211
Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Ghalia Indonesia.
Jakarta.
N, Lutfi. 1996. Peranan Penataan Ruang dalam Pembangunan Daerah. Prosiding Seminar Nasional Penataan Ruang
Menghadapi PJP-II. USU Press. Medan.
Nugroho, Riant. 2006. Kebijakan Publik untuk Negara-negara Berkembang. Model-model Perumusan. Implementasi dan Evaluasi. Penerbit PT Elex Media Komputindo Kelompok
Gramedia. Jakarta.
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dan Lembaga Pendidikan dan
Pengabdian Pelayanan pada Masyarakat Universitas
Sumatera Utara. 2006. Analisa dan Perumusan Potensi Perkebunan dalam Rangka Ekstensifikasi Sumber Pendapatan Daerah di Sumatera Utara. Medan
Pangudijatno, Gatot. 1989. Pengelolaan Tanah Gambut untuk Perkebunan Kelapa Sawit. Prosiding Kongres Nasional V
Himpunan Ilmu Tanah Indonesia. Buku I. Indonesia 7-10
Desember 1989. Medan.
Parlindungan, A.P. 1996. Penataan Ruang dan pelaksanaannya di Daerah. Prosiding Seminar Nasional Penataan Ruang
Menghadapi PJP-II. USU Press. Medan.
Phongphit, Seri and Robert Bennoun. 1988. “Turning Point of Thai Farmers”. Thai Institute of Rural Development (Third).
Bangkok Thailand.
Rachbini, Didik J. 1999. Diagnosa Ekonomi dan Kebijakan Publik.
Penerbit Pustaka dan Kebijakan Publik. PT Pustaka Sinar
Harapan. Jakarta.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 212
Ramli. 2006. Peran Serta Perkebunan terhadap Sumber Pendapatan
Daerah di Provinsi Sumatera Utara. disampaikan pada FGD.
Medan. 15 Maret 2007
Riyadi. 2002. Pengembangan Wilayah Teori dan Konsep Dasar .
dalam Pengembangan Wilayah dan Otonomi Daerah Kajian
Konsep dan Pengembangan. Penerbit Pusat Pengkajian
Kebijakan Teknologi pengembangan Wilayah. Badan
Pengkajian dan Penerapan Teknologi. Jakarta.
Rusjdi, M. 2005. PBB. BPHTB & Bea Materai. Penerbit PT.
INDEKS-Jakarta.
Salim, Emil. 1989. Sustainable Development: An Indonesian Perspective. Makalah pada AISEC 9-10 Maret. Jakarta.
Siahaan, Marihot P. 2003. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan. Penerbit PT Raja Grafindo Persada. Jakarta.
Siegel, S. 1994. Statistik Nonparametrik untuk Ilmu-ilmu Sosial. PT
Gramedia. Jakarta.
Singarimbun, M dan Efendi. S. 1998. Metode Penelitian Survei. Penerbit LP3ES. Jakarta.
Soegijoko, Budhy Tjahjati S. 1996. Sinkronisasi Pusat dan Daerah dalam Penataan Ruang. Prosiding Seminar Nasional
Penataan Ruang Menghadapi PJP-II. USU Press. Medan.
Soehadi, 1994. Pengembangan Lingkungan Wilayah Pantai dalam Pola Ilmiah Pokok Universitas Diponegoro. Semarang.
Soekarwo. 2003. Berbagai Permasalahan Keuangan Daerah.
Penerbit Airlangga University Press Surabaya.
Soemitro, Rochmat. 1990. Asas dan Dasar Perpajakan 2. Penerbit
PT. Eresco Bandung.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 213
__________. 1992. Pengantar Singkat Hukum Pajak. Penerbit PT.
Eresco Bandung.
Soemitro, R. dan Muttaqin. Z. 2001. Pajak Bumi dan Bangunan.
Penerbit Refika Aditama Bandung.
Soetrisno, Loekman. 2002. Paradigma Baru. Pembangunan Pertanian Sebuah Tinjauan Sosiologis. Penerbit Kanisius.
Yogyakarta.
Sudjana. 1992. Metode Statistika. Edisi ke 5. Penerbit Tarsito.
Bandung.
Sugandhy, Arca. 1996. Undang-Undang Penataan Ruang dan Strategi Penataan Ruang pada PJP II. Prosiding Seminar
Nasional Penataan Ruang Menghadapi PJP-II. USU Press.
Medan.
Sugiyono. 1999. Metode Penelitian Bisnis. Penerbit CV. Alfabeta.
Bandung.
________. 2004. Statistik Non Parametrik untuk Penelitian. Penerbit
CV. Alfabeta. Bandung.
Suharto, Edi. 2005. Analisis Kebijakan Publik. Panduan Praktis Mengkaji Masalah dan Kebijakan Sosial. Penerbit CV.
Alfabeta. Bandung.
Suharto. 2003. Perekayasaan Metodologi Penelitian. Penerbit Andi
Yogyakarta.
Sujamto. 1992. Otonomi. Birokrasi. Partisipasi. Penerbit Ghalia
Indonesia. Jakarta.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 214
Sumaryadi, Nyoman. 2005. Perencanaan Pembangunan Daerah Otonom dan Pemberdayaan Masyarakat. Penerbit Citra
Utama. Jakarta.
Supriatna, Tjahya. 2000. Strategi Pembangunan dan Kemiskinan :
Rineka Cipta. Jakarta.
Syamsi, Ibnu. 1983. Dasar-Dasar Hukum Pajak dan Pajak Pendapatan. Penerbit Citra Utama. Jakarta.
S, Pamudji. 1980. Pembinaan Perkotaan di Indonesia. Penerbit
Ichtiar. Jakarta.
Tarigan, R. 2004. Ekonomi Regional. Teori dan Aplikasi. Penerbit
Bumi Aksara Jakarta.
Thomas, Dye. 1995. Understanding Public Policy. Prentice Hall.
Englewood Cliffs. N.J. USA.
Thoha, M. 2003. Birokrasi dan Politik Indonesia. Penerbit Rineka
Cipta. Jakarta.
Tjokroamidjojo, Bintoro & Mustopadidjaja A. R. 1990. Teori dan Strategi Pembangunan Nasional. Penerbit Haji Masagung.
Jakarta.
Usidi, Muhammad. 2005. PBB. BPHTB dan Bea Meterai. Penerbit
PT. Indeks Jakarta
Wafda, Reti. 2004. Kajian Permasalahn Lahan Serta Kaitannya dengan Pajak Lahan dan Kondisi Lahan Sosial Ekonomi Masyarakat. Sekolah Pasca Sarjana Institut Pertanian
Bogor. (Tidak dipublikasikan).
Wahab, Solichin Abdul. 1990. Analisis Kebijaksanaan. Dari Formulasi ke Implementasi Kebijaksanaan Negara. Penerbit
Bina Aksara. Jakarta.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 215
Wasistiono, S. 2003. Kapita Selekta Penyelenggaraan Pemerintahan Daerah. Penerbit Fokus Media. Bandung.
Wibowo, R. Soetriono. 2004. Konsep. Teori dan Landasan Analisis
Wilayah .Penerbit Bayumedia Publishing. Malang
Winarso, Haryono 2002. Pemikiran dan Praktek Perencanaan Dalam Era Transformasi di Indonesia. Penerbit Kerjasama
ITB Bandung dengan Yayasan Sugijanto Soegijoko.
Yani, Ahmad. 2002. Hubungan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan daerah di Indonesia. PT. Raja Grafindo Persada.
Jakarta.
Jurnal
Buana. Lalang dan Dja’far. 2003. Profil dan Prospek Pengembangan Industri Kelapa Sawit. Jurnal. Warta Pusat Penelitian
Kelapa Sawit Medan. ISSN 0853-2141. Volume 11 Nomor 1
Bulan Februari 2003.
Direktorat Pangan dan Pertanian. 2005. Kajian Model Pertumbuhan Sektor Pertanian untuk Menyusun Strategi Pembangunan Pertanian. Jurnal Infokajian Bappenas. ISSN 1693 – 7422.
Vol. 2. No 1 Oktober 2005.
Dja’far dan Teguh W. 2003. Skala Usaha dan Break Even Point Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian
Kelapa Sawit. ISSN 0853-196 X Volume 11. No. 2 Bulan
Agustus 2003. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
__________2002 Pengaruh Pola Pengelolaan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Produksi dan Harga Pokok. Jurnal
Penelitian Kelapa Sawit. ISSN 0853-196X Volume 10. Nomor
2-3 Bulan Agustus/Desember 2002. Pusat Penelitian Kelapa
Sawit. Medan.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 216
Drajad Bambang. Rochyati. AdiSetyanto. Helena. Purba. Sri
Nurhayati. 2005. Dampak Kebijakan Pajak Pertambahan Nilai pada Kinerja Komoditas Primer Perkebunan. Jurnal
Analisis Kebijakan Pertanian. ISSN : 1693-2021. Volume 3
Nomor 2. Juni 2005.
Fadjar Untung. 2006. Kemitraan Usaha Perkebunan : Prubahan
Struktur yang Belum Lengkap. Jurnal Forum Penelitian
Agro Ekonomi. ISSN : 0216-4361. FAE. Volume 24 No.1. Juli
2006.
Kadir. Abdul. 2005. Kebijakan Perencanaan Pembiayaan dam Perspektif Pembangunan Berkelanjutan di Wilayah Perkotaan dan Pedesaan. Jurnal Perencanaan dan
Pengembangan Wilayah Wahana Hijau Universitas
Sumatera Utara Medan. ISSN 1858-4004 Volume 1. Nomor 1.
Agustus 2005.
__________. 2005. Strategi Kebijakan dan Perencanaan Pembangunan Daerah Menuju Otonomi Daerah. Jurnal
Perencanaan dan Pengembangan Wilayah Wahana Hijau
Universitas Sumatera Utara Medan. ISSN 1858-4004 Volume
1. Nomor 2. Desember 2005.
Pranadji Tri. 2006. Sosio History dan Kemacetan Reforma Agraria
di Sulawesi Selatan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian.
ISSN : 1693-2021 Volume 4 Nomor 1. Maret 2006.
Rahayuwati. Sat. (2002). Sistem Reproduksi Betina Orytes rhinoceros (Coleoptera Scrabaeidae) dari Berbagai Populasi Berbeda di Perkebunan Kelapa Sawit. Jurnal Penelitian Kelapa Sawit. ISSN 0853-196X. Volume 10. Nomor 1 Bulan
April 2002. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Ramli. 2007. Peran Sektor Perkebunan Terhadap Pendapatan Daerah di Provinsi Sumatera Utara. makalah pada diskusi
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 217
kerjasama Fakultas Pertanian USU dengan Dinas
Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara di Medan.
Remi. Sutyastie Soemitro. 2007. Peran Sektor Perkebunan Terhadap Pendapatan Daerah di Provinsi Sumatera Utara. makalah
pada diskusi kerjasama Fakultas Pertanian USU dengan
Dinas Pendapatan Daerah Provinsi Sumatera Utara di
Medan.
Remi. Sutyastie Soemitro & Prijono Tjiptoherijanto. 2002. Poverty
and Inequality In Indonesia: Trends and Programs. Economic
Journal ISSN 0854-1493. Journal of The Faculty of
Economics Padjajaran University. Vol XVII. No 1 March
2002.
Santoso. Heri & M Lukman Fadli. 2003. Pemanfaatan Global Positioning System (GPS) pada Perkebunan Kelapa Sawit.
Jurnal Warta Pusat Penelitian Kelapa Sawit Medan. ISSN
0853-2141. Volume 11 Nomor 2-3 Juni-Oktober 2003.
Sugiyono. Arsyad D dan Syamsul Anwar. 2002. Status K. Ca. Mg Tanah pada Beberapa Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera Utara Serta Kebijakan Pemupukan. Jurnal Warta Pusat
Penelitian Kelapa Sawit Medan ISSN 0853-2141. Volume 10
Nomor 2-3 Bulan Juni-Oktober 2002.
Suprihatini. Rohayati. dkk. 2004. Kebijakan Percepatan Pengembangan Industri Hilir Perkebunan : Kasus Teh dan Sawit. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. ISSN 1693-
2021. Volume 2 Nomor 1. Bulan Maret 2004.
Suryadi. 2006. Model Hubungan Kausal Kesadaran. Pelayanan Wajib Pajak dan Pengarruhnya Terhadap Kinerja Penerimaan Pajak. Suatu Survei di Wilayah Jawa Timur.
Jurnal Keuangan Publik. ISSN 1693-4741. Vol 4 No 1. April
2006 Lembaga Pengkajian Keuangan Republik dan
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 218
Akuntansi Pemerintah Badan Diklat Keuangan Departemen
Keuangan Republik Indonesia.
Syahyuti. 2004. Kendala Pelaksanaan Landreform di Indonesia: Analisa Terhadap Kondisi dan Perkembangan Berbagai Faktor Prasyarat Pelaksanaan Reforma Agraria. Jurnal
Forum Penelitian Agro Ekonomi. ISSN 0216-4361. FAE.
Volume 22 No. 2 Bulan Desember 2004. Pusat Penelitian dan
Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian Badan Penelitian
dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian.
. 2006. Kebijakan Lahan Abadi untuk Pertanian Sulit
Diwujudkan. Jurnal Analisis Kebijakan Pertanian. ISSN :
1693-2021. Volume 4 Nomor 2. Juni 2006.
Wahyono. Teguh. 2003. Konflik Penguasaan Lahan pada Perkebunan Kelapa Sawit di Sumatera. Jurnal Penelitian
Kelapa Sawit. ISSN 0853-196X Volume 11. Nomor 1 Bulan
April 2003. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Winarna. 2002. Karakteristik Tanah Oxisol dan Kesesuaiannya untuk Tanaman Kelapa Sawit. Studi Kasus di Perkebunan Pelaihari Kalimantan Selatan. Jurnal Penelitian Kelapa
Sawit. ISSN 0853-196X. Volume 10. Nomor 1 Bulan April
2002. Pusat Penelitian Kelapa Sawit. Medan.
Wiranta Sukarna. 1995. Kaitan Antara Pajak dan Pertumbuhan Ekonomi. Jurnal Keuangan dan Moneter. ISSN 0215-9856
Vol 2 Nomor 3. Desember 2005. Publikasi Biro Pengkajian
Ekonomi dan keuangan Departemen Keuangan Republik
Indonesia.
Internet
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=658183591&sid=1&Fmt=4&cli
entld=63928&RQT=309&Vname=PQD .diakses 24 April
2006
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 219
http://proquest.umi.com/pqdweb?did=470885941&sid=1&Fmt=3&cli
entld=63928&RQT=309&Vname=F. diakses 24 April 2006
http//www.kalteng.go.id/INDO/kehutanan_peluang_harapan.htm).
Peluang dan Harapan. diakses 6 Januari 2006
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985 tentang
Pajak Bumi dan Bangunan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1994 tentang
Perubahan atas Undang-undang Republik Indonesia No. 12 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi Bangunan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 1997 tentang
Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
Undang-undang No 34 tahun 2000 tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah.
Undang–undang Republik Indonesia No. 19 Tahun 2003 tentang
Badan Usaha Milik Negara.
Undang-undang Republik Indonesia No. 18 Tahun 2004 tentang
Perkebunan.
Undang-undang Republik Indonesia No. 25 Tahun 2004 tentang
Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional.
Undang-undang Republik Indonesia No. 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah.
Undang-undang Republik Indonesia No. 33 Tahun 2004 tentang
Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 220
Undang-undang Republik Indonesia No. 26 Tahun 2007 tentang
Penataan Ruang.
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 1985 tentang Penetapan Besarnya Persentasi Nilai Jual Kena Pajak Pada Pajak Bumi Bangunan.
Peraturan Pemerintah No. 47 Tahun 1985 tentang Pembagian Hasil Penerimaan Pajak Bumi dan Bangunan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 48 Tahun 1997 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan PBB.
Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 1998 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah No. 46 Tahun 2000 tentang Penetapan Besarnya Nilai Jual Kena Pajak untuk Penghitungan Pajak Bumi dan Bangunan.
Peraturan Pemerintah No. 65 Tahun 2001 tentang Pajak Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 66 Tahun 2001 tentang Retribusi Daerah.
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 2005 tentang Dana
Perimbangan.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1002/KMK.04/1985 jo.
SK.Menkeu No. 19/KMK.04/1986 tentang Cara-Cara Pendataan Objek Pajak dengan SPOP.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 221
Keputusan Menteri Keuangan No.1003/KMK.04/1985 jo. SK.
Menkeu No. 22/KMK.04/1986 tentang Penentuan Klasifikasi dan Besarnya NJKP Sebagai Dasar Pengenaan PBB.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1007/KMK.04/1985 tentang
Pelimpahan Wewenang Penagihan PBB kepada Gubernur KDH Tk.I dan atau Bupati KDH Tk. II.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1008/KMK.04/1985 tentang Tata
Cara Penyampaian Laporan dan Pemberian Keterangan dari Pejabat-Pejabat yang dalam Jabatannya Berkaitan Langsung Ada Hubungannya dengan Objek Pajak dan PBB.
Keputusan Menteri Dalam Negeri No. 973-1423 tanggal 21 Nop.
1987 tentang Penyisihan dari Hasil PBB yang Merupakan Penerimaan Pemda TK. II Sebagai Penyertaan Modal pada Bank Pembangunan Daerah.
Keputusan Menteri Keuangan No. 174/KMK.04/1993 tentang
Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Keputusan Menteri Keuangan No. 273/KMK.04/1995 tentang
Perubahan atas lampiran III. IV. V. V Keputusan Menteri Keuangan No. 174/KMK.04/1993.
Keputusan Menteri Keuangan No. 523/KMK.04/1998 tentang
Penentuan Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Keputusan Menteri Keuangan No. 1147/KMK.04/1999 tentang
Klasifikasi dan Besarnya Nilai Jual Objek Pajak Sebagai Dasar Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan.
Keputusan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor
S.158/MK.01/1986 tentang Objek PBB Bangunan Pemerintah yang digunakan untuk Penyelenggaraan Pemerintah.
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 222
Keputusan Menteri Keuangan No. S.158/MK.01/1986 tentang Objek PBB Bangunan Pemerintah yang Digunakan untuk Penyelenggaraan Pemerintah.
Keputusan Direktur Jenderal Pajak No. KEP 029/Pj.6/1991 tentang
Besarnya Standar Investasi Tanaman Perkebunan
Keputusan Menteri Perindustrian dan Perdagangan No
350/MPP/Kep/7/1998
Keputusan Bersama Direktorat Jederal Pajak dan Direktorat
Jenderal PUOD No. Kep. 30/PJ.7/1986 dan No. 973.562
tentang Pelaksanaan Pelimpahan Wewenang Penagihan PBB Kepada Gubernur KDH dan atau Bupati/Walikotamadya KDH TK. II.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. Kep. 17/Pj.07/1986
tentang Pelimpahan Kepada Kakanwil Pajak Bumi dan Bangunan Pajak untuk Menetapkan Klasifikasi Bumi dan Bangunan.
Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. Kep – 16/PJ.6/1998
tentang Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan. Keputusan Direktorat Jenderal Pajak No. Kep – 533 /PJ./2000
tentang Petunjuk Pelaksanaan Pendaftaraan. Pendataan dan Penilaian Objek dan Subjek Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) dalam Rangka Pembentukan dan atau Pemutakhiran Basis Data SISMIOP (Sistem Manajemen Informasi Objek Pajak).
Instruksi Menteri Dalam Negeri No. 40 Tahun 1985 tentang Pajak Bumi dan Bangunan di Daerah.
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak No. SE. 21/PJ/7/1986
tanggal 5 Maret 1986 jo. SE No.24/PJ.7/1986 tgl 27 Februari
Daftar Pustaka
Kebijakan Penetapan Nilai Jual Obyek Pajak Bumi.....(Abdul Kadir) 223
1988 tentang Pengelompokan Jenis Objek Pajak Bumi dan Bangunan.
Surat Edaran Direktorat Jenderal Pajak tanggal 23 April 1998 No.
SE-21/PJ.6/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Dirjen Pajak No. Kep – 16 / PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 Khusus untuk Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan.
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak tanggal 17 Mei 1999 No. SE-
30/PJ.6/1999 tentang Petunjuk Pelaksanaan Keputusan Dirjen Pajak No. Kep. 16/PJ.6/1998 tanggal 30 Desember 1998 Khusus Untuk Pengenaan Pajak Bumi dan Bangunan Sektor Perkebunan
Surat Edaran Direktur Jenderal Pajak No. SE – 43/PJ.6/2005
tanggal 7 Desember 2005 tentang Pedoman Pengenaan PBB Sektor Perkebunan. Perhutanan dan Pertambangan Non Migas Tahun 2006.
DAFTAR RIWAYAT HIDUP
Data Pribadi :
Nama : Abdul Kadir
Tempat/Tgl Lahir : P. Brandan / 05 Desember 1957
Status Perkawinan : Kawin
Isteri : Emmy Siregar, SE
Pangkat (Golongan) : Pembina Tingkat I (IV/b)
Jabatan : Kepala Bagian Tata Usaha Dinas Pendapatan
Provinsi Sumatera Utara
Kantor : Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara
Riwayat Pendidikan :
1. Pendidikan Dasar dan Menengah
Tahun 1970 : Tamat SD Negeri No. 4 di P. Brandan
Tahun 1973 : Tamat SMP Negeri di P. Brandan
Tahun 1976 : Tamat SMA Negeri di P. Brandan
2. Pendidikan Tinggi
Tahun 1985 : Lulus Sarjana Muda Hukum pada Fak. Hukum USU
di Medan
Tahun 1987 : Lulus Sarjana Hukum pada Fak. Hukum USU di
Medan
Tahun 2003 : Lulus Magister Sains pada Program Studi
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
(PSL) Sekolah Pascasarjana USU di Medan.
3. Pendidikan Tambahan
Tahun 1990 : Diklat Perencanaan Instansi Teknis Tingkat
Provinsi Sumatera Utara di Medan
Tahun 1997 : Diklat SPAMA di Medan
Tahun 2000 : Diklat Reinventing Goverment di Medan
Tahun 2003 : Workshop Analisis Kelayakan Pengenaan Retribusi
atas Fungsi Pelayanan dan Perizinan di Jakarta
Tahun 2004 : Diklat PIM II – LAN RI di Medan
Tahun 2004 : Kewidyaswaraan berjenjang Tk Pertama LAN RI
di Medan
4. Riwayat Pekerjaan
Tahun 1987-1996 : Kepala Seksi Penelitian dan Perencanaan pada
Dinas Pendapatan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 1996-2002 : Kepala Seksi Hukum dan Perundang-undangan
pada Dinas Pendapatana Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2002-2006 : Kepala Sub Dinas Bina Program pada Dinas
Pendapatan Provinsi Sumatera Utara
Tahun 2006-sekarang : Kepala Bagian Tata Usaha pada Dinas pendapatan
Provinsi Sumatera Utara
5. Kegiatan Penelitian
Tahun 2006 : Studi Penyusunan Pedoman bantuan keuangan
Provinsi kepada Kabupaten/Kota se-Provinsi
Sumatera Utara, sebagai anggota (kerja sama
Pemprovsu dengan LPPM-USU) di Medan.
Tahun 2006 : Analisis dan Perumusan potensi perkebunan dalam
rangka ekstensifikasi Sumber Pendaptan Daeraha di
Sumatera Utara, sebagai anggota (kerja sama
Pemprovsu dengan LPPM-USU) di Medan.