kebahagiaan perspektif...

75
KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ SKRIPSI Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Agama (S.Ag) Oleh: Yolanda Savitri (11140331000079) PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM FAKULTAS USHULUDDIN UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1440H./2019M. Jl. Ir.H. Juanda No.95 Ciputat 15412 Telp. (021)7402982

Upload: ngodien

Post on 20-Aug-2019

217 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ

SKRIPSI

Disusun untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh

Gelar Sarjana Agama (S.Ag)

Oleh:

Yolanda Savitri

(11140331000079)

PROGRAM STUDI AQIDAH DAN FILSAFAT ISLAM

FAKULTAS USHULUDDIN

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH

JAKARTA

1440H./2019M.

Jl. Ir.H. Juanda No.95 Ciputat 15412 Telp. (021)7402982

Page 2: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu
Page 3: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu
Page 4: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu
Page 5: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

v

PEDOMAN TRANSLITERASI

Arab Indonesia

Arab Indonesia

a ا dl ض

b ب th ط

t ت zh ظ

ts ث ‘ ع

j ج gh غ

h ح f ف

kh خ q ق

d د k ك

dz ذ l ل

r ر m م

z ز n ن

s س w و

sy ش h ه

sh ص y ي

ā = a panjang

ī = i panjang

ū = u panjang

Page 6: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

vi

ABSTRAK

KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ

Kata Kunci: Al-Fārābī, Kebahagiaan, Kebaikan.

Al-Fārābī adalah tokoh filsuf yang terkenal akan pemikirannya yang

sangat rasional. Tulisan ini memfokuskan pada kebahagiaan menurut al-Fārābī

yang terdapat dalam buku salah satunya yakni Tahshil al-Sa’ādah. Al-Fārābī

menjelaskan pengertian kebahagiaan, menurut al-Fārābī, setiap manusia akan

dapat memperoleh kebahagiaan sejati apabila dia menyadari bahwa dalam dirinya

ada empat keutamaan yang tidak pernah dimiliki oleh makhluk-makhluk lain,

yaitu keutamaan teoritis, berpikir, akhlak, dan berkreasi.

Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini didasarkan pada riset

pustaka (library research) yakni proses pengidentifikasian secara sistematis

penemuan-penemuan dan analisis dokumen-dokumen yang memuat informasi

yang berkaitan dengan masalah penelitian. Analisis yang digunakan dalam

penelitian ini menggunakan analisis deskriptif yaitu sebuah analisis dengan

menceritakan secara mendalam tentang pengertian kebahagiaan.

Hasil penelitian ini menjelaskan bahwa kebahagiaan merupakan hal atau

kondisi yang meskipun sangat sulit dicapai oleh setiap orang, mereka dengan

sekuat tenaga untuk memperolehnya. Bila orang berhasil memperolehnya,

menurut al-Fārābī, dia telah mencapai kesempurnaan hidup dalam arti yang

sebenarnya. Karena kesempurnaan yang bisa disebut sebagai al-sa’ādah, yakni

kebahagiaan, merupakan puncak kebahagiaan yang selalu melekat pada dirinya.

Page 7: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

vii

KATA PENGANTAR

Bismillahirrahmanirrahim

Alhamdulillah segala puji bagi Allah, Tuhan semesta alam. Tiada kata

yang mampu mengungkap rasa syukur kepada-Nya. Atas bimbingan dan

kehendak-Nya, akhirnya penulis sanggup dan mampu untuk menyelesaikan

penulisan skripsi dengan judul Kebahagiaan Perspektif al-Fārābī. Salawat

beserta salam semoga tetap tercurah limpahkan kepada baginda Nabi Muhammad

SAW, pemberi nilai-nilai keislaman yang paling beradab diantara zaman-zaman

peradaban.

Tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai syarat untuk mendapatkan

gelar Sarjana Strata Satu Agama (S.Ag) pada Jurusan Aqidah dan Filsafat Islam,

Fakultas Ushuluddin, Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

Penulis sadari bahwa skripsi ini terselesaikan bukan dengan hasil jerih payah

penulis sendiri, melainkan adanya dorongan motivasi serta bantuan baik moril dan

materil dari berbagai pihak. Oleh karena itu, patut kiranya penulis sampaikan rasa

terimakasih dan penghargaan yaitu kepada:

1. Terimakasih untuk kedua orangtuaku, Budi Dwiprianto dan Eva

Muzdalifah yang tidak terhingga. Serta orangtuaku juga, Armiati

Abdullah. Berkat didikan, kasih sayang, doa-doa tulus dari mereka, serta

support moril dan materil. Penulis mampu untuk menyelesaikan tugas ini.

2. Kepada Bapak Iqbal Hasanuddin, M.hum selaku dosen pembimbing dalam

membantu menyelesaikan skripsi ini. Terimakasih yang sedalam-

dalamnya atas keluangan waktu, kesabaran, serta keikhlasan dalam

Page 8: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

viii

membimbing penulis. Semoga kebaikan Bapak selalu menjadi bekal

keberkahan bagi setiap aktivitas dan kesehatan bapak.

3. Terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk Suami tercinta, Robbyana Azi

Santika yang senantiasa mensupport saat penulis turun semangat dalam

mengerjakan skripsi ini. Dan tidak lupa Anak tersayangku, Ayeisha

Dzakira Asyakira yang selalu mengerti saat penulis butuh meluangkan

waktu dalam penulisan skripsi ini. Semoga kalian selalu dalam lindungan-

Nya.

4. Terimakasih kepada Ibu Dra. Tien Rohmatin, MA dan Bapak Dr. Abdul

Hakim Wahid, MA selaku Ketua Jurusan dan Sekretaris Jurusan Aqidah

dan Filsafat Islam. Mereka sebagai rekan kerja penulis di Jurusan Aqidah

dan Filsafat Islam yang tidak pernah bosan untuk selalu medorong,

menyemangati, dan mengingatkan dalam proses penyelesaian tugas ini.

5. Terimakasih kepada Rektor, Dekan, Dewan UIN Syarif Hidayatullah

Jakarta serta dosen-dosen beserta staf dan karyawan di lingkungan

Fakultas Ushuluddin. Mereka telah memberikan bantuan dan kemudahan

dalam berbagai bidang dikampus.

6. Terimakasih yang sedalam-dalamnya untuk Mertuaku, Dadang Kurnia dan

Ummi Kulsum yang membantu dalam segala hal untuk menyelesaikan

tugas ini.

7. Terimakasih juga yang sebesar-besarnya kepada Adik-adikku, Aurelia

Anggita, Muhammad Ali Cesar, Jibal Putra Ramadhan, Ratu Madani,

Page 9: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

ix

Sulthon Muhammad Nafiz, Andrita Dara Malabita yang berkat doa dan

semangat tulus dari mereka penulis mampu menyelesaikan tugas ini.

8. Terimakasih juga untuk teman-teman AFI 2014 yang tidak bisa disebutkan

satu persatu, yang membantu penulis disaat butuh bantuan yaitu Zia,

Amna, Dani, Ita, Aya, Nisa, Fatma, Fanny dll.

Semoga peran serta mereka mendapat balasan kebaikan, senantiasa diberi

keberkahan dan kebahagiaan dunia maupun akhirat, amin ya rabbal alamim.

Jakarta, 10 Januari 2019

Yolanda Savitri

Page 10: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

x

DAFTAR ISI

LEMBAR JUDUL………………………………………………………………...i

LEMBAR PERSETUJUAN PEMBIMBING...................................................... i

LEMBAR PERNYATAAN KEASLIAN SKRIPSI ......................................... iii

LEMBAR PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI ................................ iv

PEDOMAN TRANSLITERASI ......................................................................... v

ABSTRAK ........................................................................................................... vi

KATA PENGANTAR ........................................................................................ vii

DAFTAR ISI ........................................................................................................ x

BAB I PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah ............................................................................. 1

B. Batasan dan Rumusan Masalah .................................................................. 4

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian .................................................................. 4

D. Tinjauan Pustaka .........................................................................................5

E. Metode Penelitian.........................................................................................7

F. Sistematika Penulisan...................................................................................8

BAB II BIOGRAFI AL-F'ĀRĀBI'

A. Riwayat Hidup Al-Fārābī ' ........................................................................10

B. Karya-karya Al-Fārābī '..............................................................................14

C. Pemikiran Falsafi Al-Fārābī'......................................................................16

C.1 Metafisika ...........................................................................................16

C.2 Epistemologi.......................................................................................18

C.3 Psikologi..............................................................................................22

C.4 Etika.....................................................................................................31

BAB III PENGERTIAN KEBAHAGIAAN

A. Definisi Kebahagiaan Secara Bahasa dan Istilah.......................................35

B. Kebahagiaan Menurut Filsuf......................................................................35

B.1 Menurut Platon dan Aristoteles...........................................................35

C. Kebahagiaan Menurut Mutakalimin..........................................................38

C.1 Menurut Al-Ghazali.............................................................................38

Page 11: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

xi

C.2 Menurut Al-Kindi…….......................................................................38

BAB IV KEBAHAGIAAN MENURUT AL-FĀRĀBI'

A. Definisi Kebahagiaan dan Al-sa’ādah.......................................................40

B. Jenis-jenis Kebahagiaan.............................................................................50

B.1 Manusia Mencari Jati Diri...................................................................50

B.2 Manusia Sebagai Pemilik Kebahagiaan..............................................52

C. Cara Mendapatkan Kebahagiaan................................................................53

C.1 Keutamaan Teoritis.............................................................................54

C.2 Keutamaan Berpikir............................................................................54

C.3 Keutamaan Akhlak .............................................................................55

C.4 Keutamaan Berkreasi...........................................................................57

BAB V PENUTUP

D. Kesimpulan................................................................................................59

A. Saran..........................................................................................................59

DAFTAR PUSTAKA .........................................................................................61

Page 12: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

xii

Page 13: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

1

BAB I

PENDAHULUAN

KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪ

A. Latar Belakang Masalah

Salah satu persoalan hidup ialah menyangkut tentang kebahagiaan.

Kebahagiaan merupakan salah satu tujuan dan selalu menjadi tujuan akhir yang

ingin dicapai oleh setiap individu yang menjalani kehidupan ini. Kebahagiaan

sangat penting karena memberikan dampak positif dalam berbagai aspek. Proses

seorang individu dalam mencapai kebahagiaan, dilakukan dengan berbagai cara.

Tiada henti manusia mencari arti dari hakikat kebahagiaan dan memikirkan cara

untuk dapat berbahagia dengan berbagai cara ditempuh. Namun persepsi dan

definisi kebahagiaan manusia itu tetap beragam. Pada umumnya, manusia selalu

menyangkut pautkan sebuah kebahagiaan itu hanya berasal dari materi, kekuasan,

dan wanita tetapi dibalik semua itu, ketika sudah mendapatkannya, manusia tidak

pernah puas untuk mendapatkan arti sebuah kebahagiaan yang hakiki. Dalam

konteks dunia global saat ini, yang diwarnai dan dikuasai faham kapitalisme yang

menganggap bahwa kapital atau modal kekayaan adalah hal yang sangat berkuasa.

Di tengah-tengah aneka tuntutan materi itu manusia cenderung berkiblat pada

pemujaan materi atau disebut faham materialisme dan juga faham yang memuja

kesenangan atau hedonisme. Namun hakikatnya, semuanya itu tidak lebih dari

hanya sekedar fatamorgana yang semakin dikejar, tak dapat diraih.

Penyelewengan wewenang dan kekuasaan, faktanya tidak membuat seseorang

Page 14: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

2

menjadi bahagia. Faktanya bunuh diri, stress dan gangguan kejiwaan yang dialami

oleh manusia modern adalah fakta jika manusia semakin kehilangan tujuan

hidupnya lalu merasakan kehampaan sebuah kehidupan, walaupun memiliki

limpahan materi.

Dan pada skripsi kali ini, yang akan dibahas ialah. Kebahagiaan yang seperti

apakah yang bisa dilakukan agar merasakan kebahagiaan yang sempurna? lalu

seperti apakah kebahagiaan itu? Dalam hal ini, al-Fārābī berhasil dalam

pemikirannya untuk menjawab pertanyaan tentang kebahagiaan. Ia menjelaskan

tentang hakikat kebahagiaan, cara mendapatkan kebahagiaan dan juga jenis jenis

kebahagiaan dengan baik. Penjelasan al-Fārābī mengenai kebahagiaan pada

skripsi ini akan dibahas secara lebih detail.

Menurut al-Fārābī, adanya berbagai perspektif dari arti sebuah kebahagiaan,

tapi tidak semua pandangan memiliki arti dan proses yang sama untjk

mendapatkannnya. Karena arti dari paksaan untuk suatu kebahagiaan lebih luas

dari pada hukuman dan termasuk sebuah ajakan. Pokok masalah menurut al-

Fārābī datang ketika adanya paksaan dalam pembentukan sebuah karakter yang

bergabung dengan adanya suatu penolakan, dan menurut al-Fārābī batasan filosofi

Platon dan Aristoteles pada bagian tersebut merupakan paksaan. Argumen

keempat interpretasi yang pertama akan membahas mengenai paksaan untuk suatu

kebaikan, begitu menurut Platon, Aristoteles, dan al-Fārābī lalu batasan paksaan

bagi orang Yunani dan filsuf al-Fārābī ialah menolak batasan kebaikan dalam

agama.1 Bagi para filsuf, memahami esensi ini ialah melalui argument intellect

1 Parens, An Islamic Philosophy of Virtuous Regimes, hlm. 4

Page 15: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

3

dan argument demonstrative, sedangkan selain filsuf hanya bisa

membayangkannya dengan bantuan retorika.2 Para filosof mulai membayangkan

melalui esensi ajakan, tapi mereka melampaui imajinasi intellect dan mulai

ketergantungan pada otoritas oranglain dan untuk mengetahui prinsip awal yaitu

dengan alasan mereka sendiri. Dengan kata lain, ketika yang lainnya mulai dengan

apa yang baik sesuai dengan pendapat dan agama yang diterima, para filosof

mencapai apa yang baik dalam dirinya sendiri dan tau secara demonstrative

mengapa hal itu dinyatakan baik. Banyak yang tidak pernah melampaui pendapat

dan agama yang diterima secara umum; karena mereka tidak pernah mencapai

pengetahuan filosofis. Melalui stimulus eksternal lalu melalui metode persuasive,

banyak yang bisa membayangkan perbuatan baiknya. Dengan kata lain, Inginkan

itu dan lakukanlah, tapi mereka tidak bisa mencapai pengetahuan intelektual yang

ternyata tindakan itu baik. Mereka “tau” yang baik, tetapi itu hanya berwenang

sebagai tradisi atau Wujud Pertama itu sendiri.

Jika penyataan platonis memiliki pengetahuan teoritis tentang kebahagiaan

artinya banyak orang yang harus menjadi filsuf. Maka rezim yang baik itu tidak

mungkin bagi al-Fārābī, karena banyak yang tidak mampu mempelajari falsafah.

Tetapi, al-Fārābī hanya butuh mensyaratkan bahwa banyak orang yang

berpartisipasi dalam kebajikan teoritis melalui gambar dan argumen persuasive.

Sudah cukup jika banyak yang bisa membayangkan yang baik dengan bantuan

tradisi dan kepercayaan. Pertanyaan yang lebih besar adalah kemungkinan yang

datang dari para fisuf, tetapi jika filsuf harus memulainya dengan tradisi, mitos

2 Al- Fārābi’, Political Regime, page 39-40.

Page 16: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

4

dan kepercayaan, maka falsafah bisa muncul dari tradisi, mitos dan kepercayaan.

Lebih umumnya, al-Fārābī memberikan Aristoteles kepercayaan mengenai

kealamian kehidupan politik melalui sebuah keluarga.3 Meski lebih pribadi

(hekastos), Paksaan yang dilakukan oleh keluarga bukan dihilangkan oleh paksaan

terhadap kebaikan yang dilakukan; karena sebenarnya, ini merupakan batasan

paksaan untuk kebahagiaan, karena kekuatan paternal lebih efektif dan lebih baik.

Kota yang berkembang secara alami dari desa, dan juga sebuah keluarga yang

tidak menghilangkan bentuk kehidupan politik yang kurang sempurna walaupun

adanya paksaan untuk berbuat suatu kebaikan.

B. Batasan dan Rumusan Masalah

Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

penulis perlu untuk membatasi pada pembahasan ini hanya pada pengertian

kebahagiaan dari berbagai aspek. Berdasarkan pembatasan masalah di atas, maka

penulis merumuskan masalah sebagai berikut;

1. Bagaimana pemikiran Al-Fārābī tentang kebahagiaan?

C. Tujuan dan Manfaat Penelitian

Adapun tujuan dari penulisan skripsi ini antara lain adalah;

1. Untuk mengetahui bagaimana pemikiran Al-Fārābī tentang hakekat

kebahagiaan.

2. Pengembangan ilmu pemikiran filsafat Islam tentang konsep kebahagiaan.

3 Al-Fārābī, Political Regime, page, 32.

Page 17: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

5

Adapun manfaat dari skripsi ini antara lain;

1. Agar dapat memahami hakekat kebahagiaan perspektif Al-Fārābī

2. Agar dapat memahami bahwa kebahagiaan memiliki banyak pengertian

3. Agar dapat menambah khazanah kepustakaan dan literatur di Indonesia

khususnya tentang hakekat kebahagiaan.

D. Tinjauan Pustaka

Berikut hasil penelusuran penulis terhadap karya-karya terdahulu yang

dijadikan sebagai acuan dalam proses penelitian, sehingga penelitian dapat

berjalan lancar dan benar.

Menurut penelitian Akbar Dwianto (2018) mengenai “Konsep Negara

Utama (AL-Madinah Al-Fadhilah) Al-Fārābī Dan Relevansinya Bagi Negara

Indonesia”. Dalam terbentuknya suatu negara, dalam hal ini al-Fārābī

berpendapat bahwa suatu negara utama terbentuk karena semua anggota dari

negara bekerjasama dengan tugas dan kemampuan masing-masing demi

terciptanya tujuan dari negara utama yaitu kebahagiaan, dan dalam naungan

seorang pemimpin yang arif, dapat digambarkan pula seperti tubuh manusia yang

sempurna yang emiliki anggota tubuh dengan tugas dan kemampuan masing-

masing, dan diatas semuanya itu ada suatu anggota tubuh yang merupatkan

seluruh anggota hati, hati sama seperti halnya pemimpin dalam sebuah negara, ia

memiliki tugas mengatur dan melindungi segala unsur dari negara.

Lalu menurut Muhammad Fanshobi (2014) mengenai “Konsep

Kepemimpinan Dalam Negara Utama Al-Fārābī”. Mengenai konsep

Page 18: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

6

kepemimpinan, al-Fārābī amat menekakan kriteria pemimpin yang memiliki sifat

nabi sekaligus sebagai filsuf adalah sosok ideal yang dapat dijadikan pemimpin.

Mengenai konsep negara ideal al-Fārābī berpijak pada tujuan manusia yaitu

kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana caranya menuju

kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus berada di tangan pemimpin

yang ideal, yaitu pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.

Kemudian menurut Siti Salbiyah (2018) mengenai “Etika Politik Persepektif

Al-Fārābī”. Mengenai etika politik, al-Fārābī berpijak pada tujuan hidup manusia,

yaitu kebahagiaan. Dalam hal ini, al-Fārābī menyebutkan bagaimana caranya

menuju kebahagiaan itu, salah satunya adalah manusia harus berada di tangan

pemimpin yang sesuai dengan konsep kepemimpinan al-Fārābī.

Lalu menurut Ahmad Nur Fauzi (1996) mengenai “Kebahagiaan Menurut

Pandangan Al-Fārābī dan John Stuar Mill”. Menurut al-Fārābī kebahagiaan ialah

jika keadaan jiwa manusia telah menjadi sempurna, dimana jiwa dalam

eksisensinya tidak membutuhkan kepada suatu materi (telah mampu melepaskan

diri dari atribut materi). Kebahagiaan yang tertinggi ialah bila mana aktifitas

mannusia itu berupa hubungan yang tidak terbatasm yaitu berhubungan dengan

Allah. Lalu menurut John Stuart Mil, kebahagiaan ialah kebaikan tertinggi yang

berupa kemanfaatan ialah kebahagiaan untuk jumlah manusia yang sebesar

besarnya, kebahagiaan yang dikehendaki adalah dengan hidup bermasyarakat dan

bekerja sama demi kepentingan sosial.

Page 19: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

7

Sebagai suatu upaya penelitian ilimah, agar tidak ada atau terjadinya

kesamaan (duplikasi), bahkan pemalsuan atau penjiplakan (plagiasi) dari obyek

penelitian. Maka tinjauan pustaka atau studi kepustakaan ini menjadi suatu yang

harus dijalani dalam penelitian ilmiah ini, guna mendapatkan hasil penelitian yang

murni (orisinil) dari obyek penelitian yang dijalani. Adapun setelah penulis

melakukan tinjauan pustaka ini, maka penulis menyatakan penelitian ini baru

pertama kali dibahas oleh penulis dan penulis tidak menemukan hasil penelitian

dalam bentuk skripsi, dengan tokoh atau obyek penelitian yang sama di

Perpustakaan Utama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.

F. Metode Penelitian

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah penelitian kualitatif. Pendekatan kulitatif

merupakan salah satu pendekatan yang secara primer menggunakan paradigma

pengetahuan berdasarkan pandangan konstruktivist (seperti makna jamak dari

pengalaman individual, makna secara sosia dan historis dibangun dengan maksud

mengembangkan suatu teori atau pola) atau pandangan advokasi/ partisipatori

(seperti orientasi politik, isu, kolaboratif, atau orientasi perbuahan) atau keduanya.

2. Sumber Data

Sumber data yang digunakan dalam penelitian ini mencakup sumber primer

dan sumber sekunder. Adapun sumber primer dalam penelitian ini meliputi buku-

buku Al-Fārābī secara khusus seperti Tahshil al-Sa’ādah. Sementara sumber data

sekunder adalah sumber data-data yang berkaitan dengan tema kajian, baik itu

Page 20: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

8

berupa artikel, buku, baik yang dipublikasikan dalam bentuk jurnal ataupun yang

dipublikasikan dalam bentuk media internet.

3. Metode Penulisan

Adapun metode analisisnya adalah tinjauan pustaka, maksudnya adalah

skripsi ini ditulis untuk mendeskripsikan sejauh mana pemikiran Al-Fārābī tentang

kebahagiaan, yang kemudian penulis menganalisis sehingga dapat memberikan

kejelasan yang baik bagi penulis khususnya dan masyarakat pada umumnya.

4. Teknik Penulisan

Selanjutnya, teknik penulisannya mengacu pada pedoman penulisan skripsi,

tesis dan disertasi yang termuat dalam buku Pedoman Akademik Fakultas

Ushuluddin dan Filsafat, UIN Syarif Hidayatullah Jakarta 2014-2015

F. Sistematika Penulisan

Agar tersusun penulisan skripsi ini, maka penulis menyusun sistematika

pembahasan sebagai berikut: Bab I, Pendahuluan, terdiri dari latar belakang

masalah, batasan dan rumusan masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan

pustaka, metode penelitian dan sistematika penulisan. Bab II, Membahas biografi

Al-Fārābī, mulai dari sejarah pendidikan, karier dan karya-karya dari Al-Fārābī,

serta membahas tentang pemikiran falsafi Al-Fārābī.

Adapun Bab III, Pengertian kebahagiaan secara istilah dan bahasa dan

pengertian kebahagiaan menurut filsuf dan mutakalimin. Bab IV, Membahas inti

dari tema skripsi ini yakni Konsep Kebahagiaan Perspektif Al-Fārābī. Dalam bab

Page 21: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

9

ini akan membahas Definisi kebahagiaan menurut Al-Fārābī, jenis-jenis

kebahagiaan dan cara mendapatkan kebahagiaan. Bab V, Penutup, Yang meliputi

Kesimpulan, dan Saran.

Page 22: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

10

BAB II

BIOGRAFI AL-FĀRĀBĪ

Dalam usaha untuk membahas sejarah hidup tokoh, perlu diketahui tentang

latar belakangnya. Adapun Latar belakang tersebut meliputi: riwayat hidupnya,

geneologi pendidikan dan karya – karyanya. Dalam bab ini akan dipaparkan

tentang hal yang berhubungan dengan biografi Al-Fārābī.

A. Riwayat Hidup Al-Fārābī

Abu Nasr Muhammad Ibn Muhammad Ibn Tarkhan Ibn Uzalah, Al-Fārābī

lahir di Wasij Distrik Fārābī (Yang juga dikenal dengan kota Otrar) di

Transoxiana (Yang sekarang dikenal dengan Uzbekistan) pada tahun 257H/870M1

dan wafat di Damaskus pada 950M2 Al-Fārābī adalah seorang filosof

berkebangsaan Turki, lahir disebuah pedusunan yang terkenal dengan nama

Bousij. Ia dikenal pada Abad Pertengahan dengan nama Abu Nashr (Abu Naser),

sedangkan nama Al-Fārābī diambil dari daerah kelahirannya yakni kota Farab.

Ayahnya adalah seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan

Turki.3 Al- Fārābī mempunyai sebutan layaknya sebutan nama bagi orang-orang

Turki, ini dikarenakan ibunya berasal dari negara Turki.4 Ayahnya seorang bangsa

Iran (persi) dan kawin dengan wanita Turki (Turkistan), yang pernah menjadi

seorang tentara turki berpangkat Jendral sedangkan Al-Fārābī sendiri pernah

1 Al-Fārābī, Ārā’ Ahl al-Madῑnah al-Fādilah, Al-Atruk: Al-Maktabah Al-Azhar, 1234 H/1906, Cet

ke- 1, h 1. 2 Yamani, Filsafat Politik Islam Antara, Al-Fārābi' dan Khomaeni, Bandung: Mizan, 2002, h.51

3 Poerwantana, dkk, Seluk Beluk Filsafat Islam , Cet. Ke-1, Bandung: Rosdakarya, 1998, h.133 4 Poerwantana, dkk, Seluk beluk Filsafat Islam, hlm.133

Page 23: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

11

menjadi seorang hakim. Sehingga Al- Fārābī terkadang di katakan sebagai

keturunan Turki (Turkistan) dari ibunya.5

Al- Fārābī belajar ilmu-ilmu Islam di Bukhara. Sebelum diciptakan sistem

madrasah di bawah Seljuq, menuntut ilmu berlangsung di lingkungan-lingkungan

pengajaran yang diadakan oleh berbagai individu, baik dirumah mereka maupun

di masjid. Selain itu berbagai individu maupun berbagai istana di seluruh

empirium yang mempunyai perpustakaan besar. Perpustakaan-perpustakaan ini

menyambut hangat para pakar yang hendak melakukan studi. Ada dikotomi

tertentu antara ilmu-ilmu Islam seperti tafsir, hadis, fikih serta ushul (prinsip-

prinsip dan sumber-sumber agama) dan studi. Tambahannya seperti studi bahasa

Arab dan kesusastraan dan apa yang disebut ilmu-ilmu asing, yaitu ilmu-ilmu

Yunani yang memasuki dunia Islam melalui penerjemahan oleh orang-orang

Kristen Nestorian seperti Hunain Ibnu Ishaq (w. 873 M) dan mazhabnya.

Lembaga pendidikan pada awalnya bersifat tradisional, yang mendapatkan

dukungan finansial dari wakaf, sedangkan ilmu-ilmu rasional biasanya diajarkan

di rumah atau Dar Al-Ilm.6

Pada masa awal pendidikannya ini, Al-Fārābī belajar Al-Qur’an, Tata-

bahasa, kesusastraan, ilmu-ilmu agama ( fiqih, Tasir dan Ilmu Hadits) dan

Aritmatika dasar. Pada masa inilah Al-Fārābī pindah ke Bukhara untuk

menempuh studi lanjut fiqh dan ilmu- ilmu lanjut lainnya. Pada masa inilah Al-

Fārābī mulai berkenalan dengan bahasa dan budaya serta filsafat persia. Juga di

5 Ahmad Daudy, Filsafat Islam , Bulan Bintang Cet III, 1986,hlm.25.

6 Makdisi, George, The Rise of Colleges. Institution of learningin Islam and the west, Edinburgh:

1981, h.79.

Page 24: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

12

Bukhara inilah Al-Fārābī pertama kali belajar tentang musik. Kepakaran Al-

Fārābī di bidang musik dibuktikan dengan karyanya yang berjudul al-Musiqa al-

Kabir atas permintaan Abu Ja’far Muhammad Ibn al-Qasim, Wazir Khalifah Al-

Rhadi tahun 936 M7

Sebelum dia tenggelam serius dalam karir falsafatnya, terlebih dahulu dia

menjadi seorang qhadi. Setelah melepaskan jabatan qadhinya, Al-Fārābī

kemudian berangkat ke Merv untuk mendalami logika Aristotelian dan filsafat.

Guru utama Al-Fārābī adalah Yuhanna Ibn Hailan. Di bawah bimbingannya, Al-

Fārābī membaca teks-teks dasar logika Aristotelian, termasuk Analitica

Posteriora yang belum pernah dipelajarai seorang muslim pun sebelumnya di

bawah bimbingan guru khusus. Pada waktu mudanya, Al-Fārābī pernah belajar

bahasa dan sastra Arab di Bagdad kepada Abu Bakar As-Saraj, dan logika serta

falsafah kepada Abu Bisyr Mattius Ibn Yunus seorang filosof Nestorian yang

banyak menerjemahkan filsafat Yunani, memiliki reputasi tinggi dalam bidang

falsafat dan mampu menarik minat banyak orang dalam kuliah-kuliah umumnya

tentang logika Aristotelian. Setelah itu ia pindah ke Harran salah satu pusat

kebudayaan Yunani di Asia kecil, dan berguru kepada Yuhana Ibn Jilad. Tetapi

tidak lama kemudian ia meninggalkan kota itu dan kembali ke Bagdad untuk

mendalami falsafat sesudah ia menguasai ilmu mantik (logika), dan di Bagdad ia

menetap selama 20 tahun. Selama waktu itu Ia memakai waktunya untuk

7 Hermawan Heris, Filsafat Islam, (Bandung; CV Insan Mandiri, 2011), Cet. Ke-1, hlm. 29.

Page 25: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

13

mengarang, memberikan pelajaran dan mengulas buku-buku falsafah. Muridnya

yang terkenal pada masa ini antara lain ialah Yahya bin Adi, filsuf Kristen8

Pada tahun 330 H (941 M) Ia pindah ke Damaskus, dan berkenalan dengan

Saif Ad-Daulah Al-Hamdani, Sultan Dinasti Hamdan di Allepo. Sultan

memberinya kedudukan sebagai seorang ulama istana dengan tunjangan yang

besar sekali, dan Al-Fārābī mendapat perlindungan. Tetapi Al-Fārābī lebih

memilih hidup sederhana (zuhud) dan tidak tertarik pada kemewahan dan

kekayaan. Ia hanya menerluka empat dirham saja sehari untuk sekedar memenuhi

kebutuhan hidup sehari-hari. Selanjutnya, sisa tunjangan jabatan yang

diterimanya, dibagi-bagikan kepada fakir miskin dan amal sosial di Allepo dan

Damaskus. Hal yang menggembirakan dari ditempatkannya Al-Fārābī di

Damaskus adalah Al-Fārābī bertemu dengan sastrawan, penyair, ahli bahasa, ahli

fiqh, dan kaum cendikiawan lainnya. Lebih kurang 10 tahun, Al-Fārābī tinggal di

Allepo dan Damaskus secara berpindah-pindah akibat hubungan penguasa ini

semakin memburuk, sehingga Saif Ad-Daulah menyerbu kota Damaskus yang

kemudian berhasil menguasainya. Dalam penyerbuan ini Al-Fārābī diikut

sertakan. Pada bulan Desember 950 M (339 H), Al-Fārābī meninggal dnia di

damaskus dalam Usia 80 tahun9

Al-Fārābī hampir sepanjang hidupnya terbenam dalam dunia ilmu,

sehingga tidak dekat dengan penguasa-penguasa Abbasiyah pada waktu itu.

Saking gemarnya Al-Fārābī dengan dunia ilmu dan kegemarannya dalam

membaca dan menulis, Ia sering membaca dan menulis di bawah sinar lampu

8 Sudarsono, Filsafat Ilsam, (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) Cet. Ke-3, hlm. 31. 9 Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke-1, hlm 82

Page 26: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

14

penjaga malam. Al-Fārābī yang dikenal sebagai filsuf terbesar, memiliki keahlian

dalam banyak bidang keilmuan dan memandang falsafah secara utuh dan

menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna. Sehingga filsuf yang datang

sesudahnya, seperti Ibnu Sina (370 H/980 M – 428 H/1037 M) dan Ibnu Rusyd

(520 H/1126 M – 595 H /1198 M) banyak mengambil dan mengupas sistem

falsafahnya. Pandangannya yang demikian mengenai falsafah, terbukti dengan

usahanya untuk mengakhiri kontradiksi antara pemikiran Platon dan Aristoteles

lewat risalahnya Al-Jam’u baina Ra’yay Al-Hakimain Aflathun Wa Aristhu.

Pada abad pertengahan, Al-Fārābī sangat dikenal, sehingga orang-orang

Yahudi banyak yang mempelajari karangan-karangan/risalah-risalahnya yang

disalin ke dalam bahasa Ibrani. Sampai sekarang, salinan tersebut masih tersimpan

di perpustakaan-perpustakaan Eropa. Al-Fārābī hidup pada zaman ketika situasi

politik dan kekuasaan Abbasiyah di guncang oleh berbagai gejolak, pertetangan,

dan pemberontakan. Al-Fārābī lahir pada masa pemerintahan Al-Mu’taaddid

(870-892 M) dan meninggal pada masa pemerintahan Muti. Suatu periode paling

kacau dan tidak ada stabilitas politik sama sekali. Pada waktu itu, timbul banyak

macam tantangan, bahkan pemberontakan terhadap kekuasaan Abbasiyah dengan

berbagai motif: Agama, kesukuan, dan kebendaan. Diperkirakan erat kaitannya

dengan situasi politik yang demikian kusruh, Al-Fārābī menjadi gemar

berkhalwat, menyendiri dan merenung. Ia merasa terpanggil untuk mencari pola

kehidupan bernegara dan bentuk pemerintahan yang ideal10

B. Karya-karyanya

10

Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam (Bandung: CV. Pustaka Setia, 2009) Cet. Ke-1, hlm 83.

Page 27: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

15

Al-Fārābī dalam karyanya Tahshil al-Sa’ādah menyebutkan, “Untuk

menjadi filsuf yang betul-betul sempurna, seseorang harus memiliki ilmu-ilmu

teoritis dan daya untuk menggali ilmu-ilmu itu demi kemanfaatan orang lain

sesuai dengan kapasitas mereka”. Al-Fārābī mengikuti platon, berpendirian bahwa

seorang filsuf sejatinya dibebani tugas untuk mengkomunikasikan falsafah mereka

kepada orang lain, dan bahwa tugas ini sangat penting untuk memenuhi cita ideal

falsafah11

Di antara pemikiran Al-Fārābī dituliskan menjadi sebuah karya, namun

ciri khas karyanya Al-Fārābī bukan saja mengarang kitab-kitab besar atau

makalah-makalah, ia juga memberikan ulasan-ulasan serta penjelasan terhadap

karya Aristoteles, Iskandar Al-fraudismy dan Plotinus. Di antara ulasan Al-Fārābī

terhadap karya-karya mereka adalah sebagai berikut;

A. Ulasannya terhadap karya Aristoteles

1. Burhan (dalil)

2. Ibarat (keterangan)

3 Khitobah (cara berpidato)

4. Al- Jadal (argumentasi/ berdebat)

5. Qiyas (analogi)

6. Mantiq (logika)

B. Ulasannya terhadap karya Plotinus Kitab “al-Majesti fi-Ihnil Falaq”

C. Ulasannya terhadap karya Iskandar Al Dfraudisiy tentang Maqalah “Fin-nafsi”

Sedangkan karya-karya nyata dari Al-Fārābī lainnya:

11 Suryadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, (Bandung, CV. Pustaka Setia, 2009), Cet. Ke-1, hlm.84.

Page 28: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

16

a. Al-Jami’u Baina Ra’yani Al-Hkiman Afalatoni Al-Hahiy wa Aristho-

thails

(pertemuan/penggabungan pendapat antara Platon dan Aristoteles)

b. Tahshil al-Sa’ādah (mencari kebahagiaan)

c. As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan)

d. Fususu Al Taram (hakikat kebenaran)

e. Arro’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama

pemerintahan)

f. As Syiasyah (ilmu politik)

g. Fi Ma’ani Al Aqli

h. Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu)

i. At Tangibu ala As-Sa’adah

j. Isbatu Al Mufaraqat

k. Al Ta’liqat.12

C. PEMIKIRAN FALSAFI AL-FĀRĀBĪ

a. Metafisika

1. Filsafat Emanasi/Pancaran

Al-Fārābī mencoba menjelaskan bagaimana yang banyak bisa timbul dari

Yang Satu dengan falsafah emanasi ini. Tuhan bersifat Maha-Satu, tidak berubah,

jauh dari materi, jauh dari arti banyak, Maha-Sempurna dan tidak butuh pada

12 A. Mustofa, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 1999), hal.127-128

Page 29: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

17

apapun. Menurut Al-Fārābī alam ini terjadi karena emanasi Tuhan.13

Tuhan

sebagai akal, berfikir tentang diri-Nya, dan dari pemikiran ini, menjadi timbul

wujud yang lain. Tuhan merupakan wujud pertama, dan dengan pemikiran itu

timbul wujud kedua yang juga mempunyai substansi. Ia disebut akal pertama yang

tidak bersifat materi. Wujud kedua ini berpikir tentang wujud yang pertama dan

dari pemikiran ini timbulah wujud ketiga. Wujud ketiga memikirkan dirinya

sendiri disebut akal kedua, Second Intelligence.

1. Wujud kedua atau akal pertama itu juga berpikir tentang dirinya dan dari

situ timbullah Langit Pertama.

2. Wujud III/akal kedua memikirkan Tuhan sehingga timbul Wujud ke IV,

dan memikirkan dirinya sendiri sehingga timbul Bintang-bintang.

3. Wujud IV/akal Ketiga memikirkan Tuhan sehingga timbul Wujud V, dan

memikirkan diri sendiri sehingga timbul Saturnus.

4. Wujud V/Akal Keempat memikirkan Tuhan sehingga timbul Wjud VI, dan

memikirkan dirinya sehingga timbul Jupiter.

5. Wujud VI/Akal Kelima Tuhan Wujud VII/Akal Keenam dirinya Mars.

6. Wujud VII/Akal Keenam Tuhan Wujud VIII/Akal Ketujuh dirinya

Matahari.

7. Wujud VIII/Akal Ketujuh Tuhan Wujud IX/Akal Kedelapan dirinya

Venus.

8. Wujud IX/Akal Kedelapan Tuhan Wujud X/Akal Kesembilan dirinya

Merkurius.

13

Nasution, Falsafat, hlm. 27.

Page 30: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

18

9. Wujud X/Akal Kesembilan Tuhan Wujud XI/ Akal Kesepuluh dirinya

Bulan.

Pada pemikiran Wujud XI/Akal Kesepuluh, berhentilah timbulnya akal-

akal. Tetapi dari Akal Kesepuluh muncul bumi serta roh-roh dan materi pertama

yang menjadi dasar dari keempat unsur yaitu api, udara, air, dan tanah.14

Jadi, ada

sepuluh akal dan sembilan langit (dari teori Yunani tentang sembilan

langit/sphere) yang kekal berputar sekitar bumi. Akal kesepuluh mengatur dunia

yang ditempati manusia. Tentang qidam (tidak bermulanya) atau barunya alam,

Al-Fārābī mencela orang yang mengatakan bahwa alam ini menurut Aristoteles

adalah kekal. Menurut Al-Fārābī alam terjadi dengan tak mempunyai permulaan

dalam waktu, yaitu tidak terjadi secara berangsur-angsur, tetapi sekaligus dengan

tak berwaktu. Materi berasal dari alam yang memancar dari wujud Kesepuluh dan

pemancaran itu terjadi dari qidam (tidak bermula). Pemancaran diartikan

penjadian. Materi dan alam dijadikan tetapi mungkin sekali bersifat qidam. Jiwa

manusia sebagaimana halnya dengan materi asal memancar dari Akal kesepuluh.

Sebagaimana Aristoteles, Ia juga berpendapat bahwa jiwa mempunyai daya-daya:

1. Gerak: Makan, Memelihara, Berkembang

2. Mengetahui: Merasa, Imajinasi

3. Berpikir: Akal praktis, Akal teoritis

b. Epistimologi

14 Nasution, Falsafat, hlm. 28.

Page 31: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

19

Dalam pembahasan tentang epistemologi Al-Fārābī ini, sangat

tidak bisa dilepaskan dari pandangannya tentang logika. Hal ini tercermin

dalam bukunya kitabu arai ahlul madinatil fadhilah yang membahas dan

mengkategorikan keduanya ke dalam epistemologi pemikirannya. Selain

itu, dalam buku-buku sekunder lainnya yang membahas tentang pemikiran

Al-Fārābī, juga menurut penulis sangatlah mencerminkan pandangan

epistemologis dari Al-Fārābī. Seperti dalam tulisan Majid Fakhry (2002)

yang menyinggunnya sebagai bagian dari pemikiran epistemologi dari Al-

Fārābī. Secara umum, pemikiran epistemologis Al-Fārābī sangat erat dan

bertalian dengan persoalan idea dimana pengetahuan tidak lain adalah

pengingatan kembali sebagaimana dikatakan oleh platon, dimana ketika

manusia melihat objek-objek yang dapat di indera adalah sebuah proses

pengingatan kembali. Namun selain itu, Al-Fārābī juga berpegang pada

pandangan Aristoteles tentang abtraksi terhadap objek-objek dengan tidak

menyinggung kehidupan jiwa manusia ke dalam alam idea sebelum turun

ke bumi. Sehingga menurut Al-Fārābī (dalam hal tersebut), bahwa

pengetahuan tidak lain adalah tidak lain hanya mengabstrakkan terhadap

objek-objek inderawi15

Logika sendiri dalam pandangan Al-Fārābī (sebagaimana telah

disebutkan sebelumnya bahwa epistemologi Al-Fārābī tidak bisa

dilepaskan dari pandangannya tentang logika) adalah pedoman umum

dalam hukum berfikir yang mana mengatur kebenaran pikiran dan

15

Hanafi A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: bulan bintang 1969) h.95

Page 32: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

20

memandu manusia ke arah jalan kepercayaan dan kebenaran ke dalam

segala sesuatu yang dapat dimengerti, dimana ketika hal tersebut

kemungkinan besar menuju kesalahan yang fatal.16

Dalam membahas

tentang logika ini, Al-Fārābī mengemukakan beberapa pandangan

tentangnya yakni tentang kegunaan logika, ruang lingkup logika dan

bagian-bagian logika. Dan dalam pembahasan mengenai kegunaan logika,

Al-Fārābī berpandangan bahwa maksud dengan adanya logika adalah agar

manusia dapat membenarkan pemikiran orang lain atau pemikiran manusia

itu sendiri sehingga tidak ada kerancuan dan saling salah menyalahkan

dalam pemikiran itu sendiri. Adapun ruang lingkup logika menurut Al-

Fārābī, meliputi segala macam pemikiran yang bisa diutarakan dalam

bentuk kata-kata dan segala macam jenis kata-kata yang dalam

kedudukannya bisa digunakan sebagai alat untuk menyatakan pikiran

tersebut. Selanjutnya, dalam hal bagian-bagian logika menurut

pandangannya adalah tersusun atas delapan bagian yakni:

1. Kategori (al maqulat assajr) yakni uraian-uraian tentang term yang

pertama (single term) dan aturan yang mengatur uraian-uraian tersebut.

2. Kata-kata atau interpretasi (al ibarah) yang mana menguraikan tentang

preposisi-preposisi atau gabungan dari berbagai ekspresi yang ada.

3. Analogi yang pertama (al qiyas) yakni uraian-uraian tantang aturan-aturan

percakapan secara umum.

16

Majid Fakhry, Al Farabi, Founder of Islamic Neoplatonism: His Live, Works and Influence,

Oneworld Publication, (Oxford, England. 2002) h.41

Page 33: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

21

4. Analogi yang kedua (al burhan) yakni uraian-uraian tentang aturan-aturan

dalam mengungkapkan atau mendemonstrasikan argumen-argumen.

5. Dialektis (djadal) yakni uraian-uraian tentang pertukaran argumen secara

dialektis melalui tanya jawab.

6. Shopistic (mughalatah) yakni mengutamakan keraguan terlebih dahulu

dalam proses berfikir.

7. Retorika (khatabah) yakni uraian-uraian tentang argumen-argumen retoris

dan jenis-jenis pidato atau orasi dan kefasihan dalam mengarahkan

pembicaraan.

8. Syair (syi’ir) yakni uraian-uraian tentang persoalan-persoalan dalam

wacana yang sangat puitis, jenis-jenisnya dan aturan-aturan dalam

penyusunan syair atau mengenai ilmu tentang persajakan.17

Untuk itu, dari pemaparan diatas, dapat dilihat bahwa sejatinya

dalam urusan epistemologi (meski sangat dipengaruhi oleh pemikiran

Aristoteles) khususnya dalam hal logika, Al-Fārābī tetap memiliki

pandangan tersendiri dalam menguraikan hukum-hukum logika itu sendiri.

Sehingga ia juga dikenal sebagai al mu’allim ats tsaniy (guru kedua)

dalam dunia pemikiran Islam karena guru yang pertama adalah Aristoteles

yang sebelumnya telah menanamkan sebuah pakem logika.

Daya berpikir terdiri dari tiga tingkat:

17

Al- Fārābi', Kitabu Arai Ahlul Madinatil Fadhilah, pentahkik: Dr. Al Biir Nashriy Naadir, Darul

Masyriq 2002 h.101-104

Page 34: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

22

1. Akal potensial, baru mempunyai potensi berpikir dalam arti melepaskan

arti-arti atau bentuk-bentuk dari materinya.

2. Akal aktual, telah dapat melepaskan arti-arti dari materinya, dan arti-arti

itu telah mempunyai wujud dalam akal dengan sebenarnya, bukan lagi

dalam bentuk potensi, tetapi dalam bentuk aktual.

3. Akal mustafad, telah dapat menangkap bentuk semata-mata. Kalau akal

aktual hanya dapat menangkap arti-arti terlepas dari materi, akal mustafad

sanggup menangkap bentuk semata-mata. Bentuk semata-mata ini

berlainan dengan (abstracted intelligibles) tidak pernah berada dalam

materi untuk dapat dilepaskan dari materi. Bentuk semata-mata berada

tanpa materi seperti akal yang kesepuluh dan Tuhan.

Akal potensial menangkap bentuk-bentuk dari barang-barang yang dapat

ditangkap dengan pancaindera, akal aktual menangkap arti-arti dan konsep-

konsep, akal mustafad mempunyai kesanggupan untuk mengadakan

komunikasi dengan atau menangkap inspirasi dari akal yang diatas dan diluar

diri manusia yaitu akal kesepuluh yang diberi nama akal aktif, yang

didalamnya terdapat bentuk-bentuk segala yang ada semenjak azal. Hubungan

akal manusia dengan akal aktif sama dengan hubungan mata dengan matahari.

Mata melihat karena ia menerima cahaya dari matahari, akal manusia dapat

Page 35: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

23

menangkap arti-arti dan bentuk-bentuk karena mendapat cahaya dari akal

aktif.18

c. Psikologi

Al-Fārābī melukiskan manusia sebagai binatang rasional (al-hayawân al-

nâthiq) yang lebih unggul dibanding makhluk-makhluk lain. Manusia menikmati

dominasinya atas spesies-spesies lain karena mempunyai intelegensi atau

kecerdasan (nuthq) dan kemauan (irâdah), keduanya merupakan fungsi dari daya-

daya kemampuan yang ada dalam diri manusia.19

Dalam Kitâb Arâ’ Ahl al-Madînah al-Fâdlilah, Al-Fārābī menjelaskan

bahwa manusia mempunyai lima kemampuan atau daya, diantaranya:

1. Pertama, kemampuan untuk tumbuh yang disebut daya vegetatif (al-quwwat al-

ghâdziyah).

2. Kedua, daya mengindera (al-quwwah al-hâssah), sehingga memungkinkan

manusia dapat menerima rangsangan seperti panas, dingin dan lainnya.

3. Ketiga, daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah), sehingga

memungkinkan manusia masih tetap mempunyai kesan atas apa yang dirasakan

meski objek tersebut telah tidak ada lagi dalam jangkauan indera.

18

Nasution H, falsafat dan mistisisme dalam islam (jakarta: pt bulan bintang, 2002) h. 18-19 19

Al- Fārābi',”al-siyasah al-madaniyah”, dalam Yuhana Qumaer (ed), falasifah al-Arab: Al-

Fārābi', (Mesir, Dar al-Masyriq, tt) h.91

Page 36: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

24

4. Keempat, daya berpikir (al-quwwat al-nâthiqah), yang memungkinkan manusia

untuk memahami berbagai pengertian sehingga dapat membedakan antara yang

satu dengan lainnya, kemampuan untuk menguasai ilmu dan seni.

5. Kelima, daya rasa (al-quwwah al-tarwi`iyyah), yang membuat manusia

mempunyai kesan dari apa yang dirasakan: suka atau tidak suka.20

Pengetahuan manusia, menurut Al-Fārābī, diperoleh lewat tiga daya yang

dimiliki, yaitu daya indera (al-quwwah al-hassah), daya imajinasi (al-quwwah al-

mutakhayyilah) dan daya pikir (al-quwwah al-nâthiqah), yang masing-masing

disebut sebagai indera eksternal, indera internal dan intelek.

-Pertama, Indera Eksternal: Indera eksternal (al-hawâs al-zhâhirah) terdiri atas

lima unsur: penglihatan, penciuman, pendengaran, peraba, dan pengecap. Indera

ini berkaitan dengan objek-objek material. Ia hanya mampu mencetak (tanthabi`),

gambaran objek tanpa sedikitpun mampu menangkap gambar itu sendiri. Indera

eksternal lebih merupakan pintu masuk bagi objekobjek material ke dalam indera

sesungguhnya dari manusia.21

Karena itu, Al-Fārābī , seperti juga al-Ghazali (w.

1111 M) dan Ibn Arabi (1240 M), menempatkan indera eksternal pada posisi yang

paling rendah di antara indera-indera manusia. Berdasarkan kenyataan tersebut,

menurut Al-Fārābī, indera eksternal tidak bersifat otonom dan tidak dapat bekerja

sendiri tetapi berada dalam kekuasaan “akal sehat” atau common senses (al-hâss

al-musytarak), yaitu potensi atau daya (quwwat) yang menerima setiap kesan dari

kelima indera eksternal. Meski demikian, akal sehat tidak termasuk indera

20 Al- Fārābi’, Mabadi Ara’Ahl al-Madinah al-Fadilah (The Perfect State), ed. Richard Walzer,

(Oxford, Clarendon Press, 1985) h. 164-170 21

Osman Bakar, Hirarki Ilmu, alih bahasa, Purwanto (Bandung: Mizan, 1997) h.67

Page 37: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

25

eksternal dan juga tidak termasuk indera internal yang akan dijelaskan di depan.

Karena itu, akal sehat tidak ikut menyimpan data-data yang masuk dari indera

eksternal. Fungsi menyimpan menjadi milik daya representasi (alquwwah al-

mushawwirah), salah satu dari lima macam indera internal. Al-Fārābī

menempatkan akal sehat pada posisi netral yang menduduki posisi diantara kedua

jenis indera tersebut. Tokoh pertama yang memasukkan akal sehat (al-hâss al-

musytarak) sebagai bagian dari indera internal adalah Ibn Sina.22

- Kedua, Indera Internal: Indera internal (al-hawâs al-bâthinah) adalah bagian dari

jiwa yang mempunyai kemampuan-kemampuan lain yang tidak dimiliki oleh

indera eksternal. Al-Fārābī menyebut adanya lima unsur indera internal:

A. Daya representasi (alquwwah al-mushawwirah)

B. Daya estimasi (al-quwwah al-wahm)

C. Daya memori (al-quwwah al-hâfizhah)

D. Daya imajinasi rasional (al-quwwah al-mufakkirah)

E. Daya imajinasi sensitif (al-quwwah al-mutakhayyilah)

Daya representasi adalah kemampuan untuk menyimpan bentuk-bentuk

suatu objek, meski objek-objek itu sendiri telah hilang dari jangkaun indera. Daya

ini terletak pada otak bagian depan. Ia mempunyai kekuatan abstraksi yang lebih

sempurna dibanding indera eksternal, sehingga daya representasi tidak

22

Ibn Sina, Kitab al-Nafs (De Anima), ed. Fazlur Rahman (Oxford, Oxford University Press, 1970)

h.44-45

Page 38: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

26

memerlukan hadirnya materi untuk menghadirkan bentuk. Meski demikian,

bentuk-bentuk dalam daya representasi tidak bebas dari aksiden-aksiden

materialnya. Bentuk-bentuk tersebut ditangkap sekaligus dengan ikatan

materialnya, seperti ruang, waktu, kualitas dan kuantitas. Meski demikian, ada

bentuk-bentuk lain yang tidak dapat ditangkap indera eksternal walaupun bentuk

tersebut berkaitan dengan suatu objek inderawi, seperti soal baik dan buruk,

senang dan benci, dari objek. Disinilah bagian dan fungsi wahm bekerja. Menurut

Al-Fārābī, wilayah kerja yang berkaitan dengan entitas-entitas di luar jangkauan

penginderaan, seperti soal baik dan buruk. Wahm mengabstraksikan entitas-

entitas non-material dari materi, sehingga tingkat abstraksinya dikatakan lebih

sempurna dibanding abstraksi daya representasi.

Daya ingat (al-quwwah al-hâfizhah) adalah kemampuan untuk menyimpan

entitas-entitas non-material yang ditangkap wahm. Hubungan daya ingat dengan

entitasentitas non-material yang ditangkap wahm adalah sama seperti hubungan

daya representasi dengan bentuk-bentuk objek terindera. Dalam Risâlah fî Jawâb

Masâil Suil `Anhâ, Al-Fārābī membedakan antara daya ingat (al-hifzh) dengan

pemahaman (al-fahm). Daya ingat berkaitan dengan kata-kata dan lebih bersifat

partikular serta personal (asykhash), sedang pemahaman lebih mengarah pada

makna-makna dan bersifat universal serta prinsipil (qawânîn). Karena itu, Al-

Fārābī menganggap bahwa pemahaman lebih tinggi dibanding sekedar ingatan.

Daya imajinasi (al-quwwah al-mutakhayyilah) adalah kemampuan kreatif

untuk menyusun atau menggabungkan citra-citra baru dengan citra-citra lain yang

tersimpan dalam daya representasi (al-quwwah al-mushawwirah), melalui proses

Page 39: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

27

kombinasi (tarkîb) maupun proses pemilahan (tafshîl). Maksudnya, daya

imajinatif menggabungkan citra-citra tertentu dengan citra-citra lainnya atau

memilahkan sebagian citra ketika harus memilih. Al-Fārābī menempatkannya

pada posisi tengah yang menghubungan antara indera internal dan intelek. Dalam

Mabâdi’ Arâ’ Ahl al-Madînah, Al-Fārābī bahkan menyebutkan secara tegas

bahwa daya imajinasi merupakan salah satu sarana pencapaian pengetahuan, juga

proses penerimaan wahyu dalam kenabian seperti yang akan dijelaskan didepan.

-Ketiga, Daya Intelek (al-`aql al-kullî): Intelek adalah kunci utama dalam

pemikiran filsafat Al-Fārābī, termasuk yang berkaitan dengan keilmuan. Intelek

ini mempunyai dua kemampuan: praktis (`amalî) dan teoritis (nazharî).

Kemampuan teoritis digunakan untuk menangkap bentuk-bentuk objek intelektual

(ma`qûlât), sedang kemampuan praktis dimanfaatkan untuk membedakan

sedemikian rupa satu sama lainnya sehinga kita dapat menciptakan atau

mengubahnya dari satu kondisi kepada kondisi yang lain. Kemampuan yang

disebutkan kedua ini biasanya terjadi pada masalah-masalah ketrampilan seperti

pertukangan, pertanian atau pelayaran.23

Istilah “intelek” sendiri, dalam bahasa

Arab, disebut dengan akal (al-`aql). Namun, ia tidak sama dengan rasio yang juga

terjemahan dari kata `aql. Al-Fārābī memakai dua istilah dalam masalah ini: al-

`aql al-juz’I yang diterjemahkan dengan rasio, dan al-`aql al-kullî yang

diterjemahkan sebagai intelek. Intelek berkaitan dengan proses pemahaman

23 Konsep psikologi Al- Fārābi' dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PSIKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses

6 november 2018

Page 40: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

28

intuitif untuk mencapai kebenaran-kebenaran transenden dan bekerja berdasarkan

pancaran (faidl) dari alam “atas”, sehingga tidak mungkin salah.

Selanjutnya, dalam Risâlah fî Ma`âni al-Aql (Risalah tentang Makna-Makna

Intelek), Al-Fārābī menjelaskan istilah intelek dalam enam pengertian. Pertama,

intelek yang oleh masyarakat awam dikenakan pada orang cerdas atau cerdik

(perceptive). Dalam konteks yang lebih mudah, intelek ini dapat diistilahkan

sebagai “kesepakatan umum”. Kedua, intelek seperti yang dimaksudkan oleh

kaum teolog (ahl al-kalâm) ketika membenarkan atau menolak pendapat tertentu.

Intelek yang dimaksud adalah sesuatu yang dipakai untuk mengukur “kemasuk-

akalan”24

. Ketiga, intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb al-Burhân

(Analytica Posterior) sebagai habitus (malakah). Intelek ini mengantarkan

manusia untuk mengetahuai prinsip-prinsip pembuktian (demonstration) secara

intuitif. Dalam Maqâlah fî Ma`ânî al-`Aql, Al-Fārābī menulis sebagai berikut:

“Ia adalah potensi jiwa yang dengannya manusia bisa mencapai keyakinan

lewat premis-premis yang benar dan pasti, bukan dari analogi atau penalaran. Ia

adalah pemahaman secara apriori tanpa diketahui dari mana dan bagaimana.

Potensi tersebut merupakan pemahaman awal yang sama sekali tanpa pemikiran

dan angan-angan, sedang premis-premis itu sendiri merupakan fondasi ilmu-ilmu

penalaran”. Keempat, intelek yang diungkap Aristoteles dalam Kitâb al-Akhlâq

(Nichomachean Ethic) sebagai “intelek praktis hasil pergumulan panjang manusia

24 Konsep psikologi Al- Fārābi' dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PSIKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses

6 november 2018

Page 41: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

29

yang memberinya kesadaran tentang tindakan yang patut dipilih atau dihindari.

Dalam klasifikasi diatas, intelek jenis ini masuk kategori daya pikir praktis.

Aristoteles sendiri menyebutnya dengan istilah phronesis (kebijaksanaan praktis).

Phronesis atau kebijaksanaan praktis adalah kemampuan bertindak berdasarkan

pertimbangan baik buruk ketika menghadapi pilihan-pilihan. Orang yang

mempunyai phronesis akan mengerti bagaimana harus bertindak secara tepat.

Kebijaksanaan praktis ini, menurut Aristoteles, tidak dapat diajarkan tetapi bisa di

kembangkan atau dilatih dengan cara dibiasakan. Kelima, intelek yang dibahas

Aristoteles dalam Kitâb al-Nafs (De Anima), yang mencakup empat bagian.

A. Intelek potensial (al-`aql bi al-quwwah), adalah jiwa atau unsur yang

punya kekuatan untuk mengabstraksi dan mencerap essensi-essensi wujud. Ia

hampir seperti materi di mana wujud-wujud dapat dilukiskan diatasnya secara

tepat, atau seperti lilin yang diatasnya dapat diukirkan sebuah tulisan. Ukiran atau

lukisan tersebut tidak lain adalah pemahaman atau persepsi.

B. Intelek aktual (al-`aql bi al-fi`l), adalah intelek yang bertindak untuk

menyerap essensi-essensi wujud yang ada dalam intelek potensial sekaligus

tempat bersemayamnya bentuk-bentuk pemahaman atau persepsi hasil dari

abstraksi tersebut. Menurut Al-Fārābī, intelek aktual memahami setiap

pengetahuan dengan menerima bentuk-bentuknya yang berupa pengetahuan murni

hasil abstraksi dari materi. Lebih jauh, intelek aktual dapat mengetahui dirinya

sendiri karena ia merupakan intelek sekaligus pengetahuan itu sendiri.

Page 42: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

30

C. Intelek perolehan (al-`aql al-mustafâd), merupakan proses lebih lanjut

dari kerja intelek aktual. Menurut Al-Fārābī, ketika intelek potensial telah

mengabstraksi menjadi bentuk-bentuk pengetahuan aktual yang mandiri bebas

dari materi, maka pada tahap kedua, ia berpikir tentang dirinya sendiri.

Kemampuan untuk berpikir inilah yang disebut “intelek perolehan”. Intelek ini

lebih tinggi dibanding intelek aktual, karena objeknya adalah bentuk-bentuk

murni yang bebas dari materi dan dilakukan tanpa bantuan imajinasi serta daya

indera. Dengan demikian, intelek perolehan adalah “bentuk lebih lanjut” dari

intelek aktual, yaitu ketika intelek aktual telah mampu memposisikan dirinya

menjadi pengetahuan (self-integeble) dan dapat melakukan proses pemahaman

tanpa bantuan kekuatan lain (self-intellevtive). Al-Fārābī menulis, “ketika intelek

aktual pada tahap berikutnya berpikir tentang wujud dan kandungan dirinya

sendiri, di mana ia berupa bentuk-bentuk pengetahuan murni (intellegibles) yang

bebas dari materi, maka itulah yang disebut intelek perolehan (al-`aql

almustafâd)”.25

Menurut Al-Fārābī, intelek perolehan ini menandai puncak kemampuan

intelektual manusia sekaligus merupakan garis pembatas antara alam material dan

intelegensi. Ia adalah wujud spiritual murni yang tidak butuh raga bagi

kehidupannya, juga tidak butuh kekuatan fisik untuk aktivitas berpikirnya. Intelek

ini mirip dengan intelek aktif (al-`aql al-fa`âl). Perbedaan keduanya terletak pada

25 Konsep psikologi Al- Fārābi' dalam http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PSIKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses

6 november 2018

Page 43: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

31

kenyataan, (1) intelek aktif adalah mutlak intelek terpisah sekaligus merupakan

gudang sepurna bentukbentuk pengetahuan, sedang intelek perolehan adalah

wujud yang lahir dari “kerja” lebih lanjut dari intelek aktual; (2) kandungan

intelek aktif senantiasa tidak pernah berhenti mengaktualkan diri sedang

kandungan intelek perolehan hanya menunjukkan tahap perolehan aktualitas lewat

intelek potensial.

D. Intelek aktif (al-`aql al-fa`âl), adalah intelek terpisah dan yang tertinggi

dari semua intelegensi. Intelek ini merupakan perantara adi-kodrati (super

mundane agency) yang memberdayakan intelek manusia agar dapat

mengaktualkan pemahamannya. Konsepsi Al-Fārābī tentang intelek aktif ini

memperlihatkan usahanya menyelaraskan antara falsafah (Yunani) dengan

keyakinan Islam.

Keenam, intelek yang disebut Aristoteles dalam Kitâb Mâ Ba`d al-Thabî`ah

(Metafisika) sebagai intelek yang berpikir dan berswacita mengenai dirinya

sendiri. Dalam teologi Islam, inilah yang disebut Tuhan. Menurut Al-Fārābī,

intelek ini sepenuhnya bebas dari segala kenistaan dan ketidaksempurnaan. Tidak

ada intelek yang tidak berasal dari-Nya, tidak terkecuali intelek aktif yang mampu

mengaktualkan pemahaman manusia.26

d. Etika

Salah satu filsuf yang menggali pemikiran filsuf Yunani dengan sangat

serius adalah Al-Fārābī. Ia merupakan filsuf klasik awal yang berusaha

26 A. Khudoiri Saleh, Jurnal Psikoislamica, h.11

Page 44: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

32

mengagungkan falsafah didunia Islam. Pikiran-pikirannya banyak terilhami dari

para filsuf Yunani, terutama Aristoteles dan Platon. Berbagai tema-tema pokok

mengenai falsafah hampir semua dibahas olehnya, salah satunya yang jarang

menjadi fokus kajian serius saat ini adalah gagasan etika yang dikemukakannya.

Melalu pemahaman Al-Fārābī tentang etika, pengamatan kita terhadap konsep

etika yang dibangun sesudahnya sangat mungkin akan lebih mudah dipahami,

karena Al-Fārābī termasuk tokoh filsuf awal yang concern pada konsep etika. Al-

Fārābī adalah penerus tradisi intelektual al-Kindi, tetapi kompetensi, kreativitas,

kebebasan berfikir, dan tingkat sofistikasinya lebih tinggi lagi. Al-Fārābī

disepakati sebagai peletak sesungguhnya dasar piramida studi falsafah dalam

Islam yang sejak itu terus dibangun dengan tekun. Ia termasyhur karena telah

memperkenalkan doktrin “Harmonisasi pendapat Platon dan Aristoteles” lewat

risalahnya al-Jam’u baina Ra’yay al-Hakimaini Aflathun wa Aristhu ini sangat

dipengaruhi oleh pendapat Platon (Republic) dan Aristoteles (Nicomachean

Ethics) tentang kebaikan manusia (human good). Bahkan sejumlah kalangan

menyebutnya sebagai The Sound Master atau Maha Guru Kedua Setelah

Aristoteles.27

Al-Fārābī lebih memfokuskan pengertian etika. Al-Fārābī menulis al-

Madinah al-Fadhilah dan Tahshil al-Sa’ādah. Dengan dua karya tersebut, virtues

(eudomonia) menjadi state of mind bagi umat manusia untuk melakukan tindakan

kebaikan. Pada saat yang sama, usaha-usaha untuk membentuk jati diri individu

dan masyarakat yang memiliki basis etika yang baik harus dijalankan oleh sistem

27

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London, Routledge,

1996) Vol. I, Cet I, 962

Page 45: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

33

sosial (pemerintah) yang juga baik. Oleh karena itu, Al-Fārābī lebih

memposisikan gagasan-gagasan etika dalam pemikirannya ke konsep besar politik

disatu sisi dan konsep metafisika disisi lain. Dengan prinsip demikian, Al-Fārābī

membagi keutamaan yang harus dibangun dan disadari oleh setiap manusia

kedalam empat macam: keutamaan teoritis, keutamaan epistemik, keutamaan

kosmis dan kejutamaan praktis.

Sebagai seorang tokoh awal yang serius dalam bidang falsafah, konsep

etika yang ditawarkan Al-Fārābī menjadi salah satu hal penting dalam karya-

karyanya, yang berkaitan erat dengan pembicaraan tentang jiwa dan politik.

Begitu juga erat kaitannya dengan persoalan etika ini adalah persoalan

kebahagiaan. Bahkan, Al-Fārābī tampaknya sangat perhatian terhadap persoalan

kebahagiaan ini baik secara teoritis maupun praktis. Karenanya ia mengkhususkan

dua dari sekian bukunya untuk membahas tentang kebahagiaan. Buku itu yaitu

Tahshil al-Sa’ādah (Meraih kebahagiaan) dan al-Tanbih al-Sa’adah (Membangun

Kebahagiaan), kedua buku ini sama-sama diterbitkan di Haidarabad pada tahun

1345 H, 1346 H28

. Ciri khas Al-Fārābī dalam pemikiran etikanya adalah apa yang

ia katakan sebagai tindakan yang baik adalah yang berdasarkan atas pertimbangan

pikiran (rasio), bukan berdasarkan pada kerohanian semata yang berpangkal pada

pemberantasan kesenangan lahiriah untuk dapat membersihkan jiwa dan mencapai

kesempurnaan dan kebahagiaan tertinggi, sebagaimana yang sering didengungkan

oleh para filsuf dalam cara bermasyarakat. Maka dari itu yang disebut dengan

perilaku yang bermoral menurut Al-Fārābī adalah tindakan yang didasarkan pada

28

Seyyed Hossein Nasr dan Oliver Leaman, History of Islamic Philosophy (London, Routledge,

1996) Vol. I, Cet I, 963

Page 46: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

34

pertimbangan akal dan rasio, karena akal kita sudah memiliki kemampuan untuk

membedakan apa yang dikatakan baik dan apa yang dikatakan buruk.29

Etika yang menjadi gagasan Al-Fārābī ini mirip dengan apa yang menjadi

etika menurut Aristoteles. Aristoteles juga meyakini hal yang sama, kebahagiaan

sebagai tujuan akhir hidup manusia, dan untuk mencapai tujuan akhir itu

diperlukan tindakan moral yang berdasarkan pada rasio. Misalnya, saya rajin

belajar karena saya ingin mendapatakan pengetahuan, dengan pengetahuan yang

banyak wawasan saya menjadi luas, dengan wawasan yang luas saya bisa

memahami apa yang terjadi pada dunia dan manusia, dengan memahami hal

tersebut akan membantu saya untuk melihat tanda-tanda ketuhanan, dan

seterusnya. Berdasarkan hal ini, maka memang tidak bisa dibantah, bahwa pikiran

Al-Fārābī tentang etika juga dipengaruhi oleh pandangan Aristoteles.30

29

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm.107 30

Zuhri, Etika: Teori dan praktek, hlm. 21-22

Page 47: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

35

BAB III

PENGERTIAN KEBAHAGIAAN

A. Definisi Kebahagiaan Secara Bahasa dan Istilah

Kebahagiaan secara bahasa adalah suatu keadaan pikiran atau perasaan

yang ditandai dengan kecukupan atau kesenangan, cinta, kepuasan,

kenikmatan, atau kegembiraan yang intens. Berbagai pendekatan filsafat,

agama, psikologi dan biologi telah dilakukan untuk mendifinisikan

kebahagiaan dan menentukan sumbernya. Para filsuf telah sering

mendifinisikan kebahagiaan dalam kaitan dengan kehidupan yang baik dan

tidak hanya sekedar sebagai suatu emosi. Definisi ini digunakan untuk

menerjemahkan eudaimonia (Bahasa Yunani) dan masih digunakan dalam

teori kebaikan. Sedangkan kebahagiaan menurut istilah ialah dimana suatu

perasaan menimbulkan efek bahagia.1

B. Kebahagiaan Menurut Filsuf

B.1 Menurut Platon dan Aristoteles

Bagi para filsuf Yunani, tujuan berfalsafah adalah mencapai kebahagiaan

dengan menggunakan akal pikiran. Sebagian filsuf Yunani, terutama Platon dan

para pengikutnya berpandangan bahwa berfalsafah, mengetahui hakikat dari

segala sesuatu hanyalah bertujuan memperoleh kenikmatan dan kelezatan rasional

dengan mengabaikan kemanfaatannya dalam kehidupan sosial. Bagi mereka,

mempelajari falsafah itu tidak dimaksudkan untuk tujuan tertentu dan tidak pula

digunakan untuk memecahkan persoalan-persoalan yang sedang berkembang di

1 https://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan / diakses pada 30 Januari 2019

Page 48: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

36

masyarakat. Pandangan ini dilestarikan oleh para pengikutnya pada periode-

periode berikutnya.2 Sampai datang suatu pandangan bahwa sebenarnya falsafah

memegang peranan yang sangat penting dalam kehidupan sosial. Gejolak sosial,

agama, politik, dan lain sebagainya dalam masyarakat menurut para pengkaji

falsafah modern, tidak akan pernah lepas dari peran falsafah yang menjadu latar

belakangnya, meskipun orang-orang yang terlibat dalam gejolak-gejolak tersebut

tidak pernah mempelajari falsafah dan aliran-alirannya. Dan jangkauan falsafah

menurut mereka, haruslah mengetahui hakikat sekaligus tujuannya yang langsung

dapat dirasakan kemanfaatannya secara praktis.3 Atau dengan kata lain

mempelajari ilmu pengetahuan tidak hanya bertujuan demi ilmu pengetahuan dan

falsafah itu sendiri atau hanya untuk memperoleh kelezatan rasional dengna

menyendiri di dalam benteng yang kukuh dan tertutup rapat tanpa menghiraukan

persoalan-persoalan yang dihadapi oleh masyarakat sekitarnya, melainkan

haruslah aplikatif dan berguna bagi masyarakat manusia.

Platon (427-347 SM.) menyatakan bahwa hasil pengamatan indrawi tidak

memberikan pengetahuan yang kukuh karena sifatnya yang selalu berubah-ubah.

Karena sifatnya yang berubah-ubah itu dia tidak dapat memercayai kebenarannya.

Ilmu pengetahuan yang bersumber dari pancaindra, lanjut Platon, diragukan

kebenarannya. Sesuatu yang tidak mengalami perubahanlah yang dapat dijadikan

pedoman sebagai sumber ilmu pengetahuan. Dalam proses pencariannya, Platon

menemukan bahwa di luar pengetahuan indrawi ada sesuatu yang disebut dengan

“idea”. Dunia ide bersifat tetap, tidak berubah dan kekal. Alam idea inilah alam

2 Taufiq Thawil, op. cit., hlm. 129. 3 Taufiq Thawil, op. cit., hlm. 129.

Page 49: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

37

yang sesungguhnya. Manusia sejak lahir sudah membawa ide bawaan yang oleh

Rene Descartes (1596-1660 M) dan tokoh-tokoh rasionalis lain disebut innate

ideas. Dengan ide bawaan ini manusia dapat mengenal dan memahami segala

sesuatu, dan dari situlah timbul ilmu pengetahuan. Ditegaskan oleh Platon bahwa

orang tinggal mengingat kembali ide-ide bawaan itu, jika ingin memahami segala

sesuatu.4 Pernyataan ini seirama dengan pendapat Aristoteles yang menyatakan

bahwa kebahagiaan dapat diperoleh dengan cara berpikir dan bertindak rasional,

karena, lanjut Aristoteles, berpikir dan bertindak rasional merupakan pembeda

antara manusia dengan makhluk-makhluk lain.5 Para filsuf sering menyatakan

bahwa manusia adalah hayawan al-Natiq, hewan (makhluk hidup) yang berpikir.

Pernyataan ini berarti dalam diri manusia ada banyak persamaan di samping ada

juga perbedaan-perbedaannya. Dan dengan berpikir itulah satu-satunya ciri khas

manusia yang menjadi perbedaan mencolok antara dia dengan seluruh makhluk

hidup. Pandangan Aristoteles, al-ladzdzah, kenikmatan, memang merupakan

syarat penting bagi manusia untuk mendapatkan al-sa’adah, kebahagiaan; akan

tetapi ia bukanlah satu-satunya syarat. Dengan demikian, al-ladzdzah tidak sama

dengan al-sa’adah. Epycurus menyatakan bahwa jika al-ladzdzah itu bisa

langgeng dan tidak bisa berubah-ubah maka dapat juga disebut sebagai al-

sa’adah, kebahagiaan.6

4 M. Amin Abdullah, Aspek Epistemologis Falsafah Islam, dalam Irma Fatima (ed.). Filsafat Islam,

LSF, Yogyakarta, 1992, hlm. 30. 5Taufiq Thawil, Usus al-Falsafah, Cet. VII, Nahdhah al-„Arabiyyah,Kairo, 1979, hlm. 119. 6 Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, Majlis Dairah al-Ma‟arif al-„Utsmaniah, Hyderabad,

1346. Hlm. 2.

Page 50: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

38

C. Kebahagiaan Menurut Mutakalimin

C.1 Menurut Al-Ghazali

Menurut Abu Hamid Al-Ghazali, al-sa’adah adalah kebaikan tertinggi yang

berada di anatara kebaikan-kebaikan yang lain. Kebaikan, lanjut Al-Ghazali, pada

dasarnya terdiri atas empat macam yaitu: (1) Kebaikan jiwa. Ini merupakan

sumber keutamaan; kebaikan yang dapat dicapai dengan jalan ilmu pengetahuan,

filsfat, mempertahankan (menjaga) harga diri, keberanian, keadilan, dan

sebagainya. (2) kebaikan jasmani, yaitu berupa kesehatan, kekuatan, kecantikan,

umur panjang, dan lain sebagainya. (3) kebaikan dari luar diri sendiri yang terdiri

atas empat hal, yaitu harta, sanak keluarga, kejayaan, dan penghormatan. (4)

kebaikan yang bersifat pemberian yang terdiri atas empat hal juga yaitu hidayah

Allah. Nasihat-nasihat-Nya baginya pendirian.7 Kebaikan-kebaikan tersebut tidak

mungkin akan dapat diperoleh seseorang kecuali melalui usaha-usaha keras dan

sungguh-sungguh. Dan bila dia telah mendapatkannya berarti dia telah dapat

mencapai kebahagiaan yang nisbi, insaniyyah, sedangkan kebahagiaan sejati

lanjut Al-Ghazali hanya diperoleh manusia setelah dia mati.8

C.2 Menurut Al-Kindi

Kebahagiaan dalam pandangan Al-Kindi bukanlah dengan mencapai keinginan

dan kesukaan yang bersifat inderawi, duniawi, dan artifisial. Tetapi kebahagiaan

diperoleh melalui pencapaian keinginan dan kesukaan yang bersifat rasional, baik

dalam meneliti, memikirkan, membedakan dan mengenal hakikat segala sesuatu.

7 Muhammad Yusuf Musa, Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, Mu‟assasahal-Khanji, Kairo, 1963, hlm.

163-164. 8 Falsafat al-Akhlaq fi al-Islam, hlm. 165.

Page 51: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

39

Jadi, kebahagiaan sejati bagi manusia ialah berupa kenikmatan yang bersifat

Illahiah dan ruhaniah yang dapat dicapai manusia jika dalam keadaan suci dari

noda syahwat dan kenikmatan indrawi. Serta mendekatkan diri kepada Allah

sehingga dia memancarkan cahaya dan rahmat-Nya. Alhasil pada saat itu manusia

merasakan kenikmatan abadi di atas segala kenikmatan indrawi yang dapat dicapai

dari kenikmatan hidup duniawi.9

9 Https://goo.gl/images/xcYeXv diakses pada 31 Januari 2019

Page 52: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

40

BAB IV

KEBAHAGIAAN MENURUT AL-FĀRĀBI'

A. Definisi Kebahagiaan Menurut Al-Fārābī

Kebahagiaan menurut Al-Fārābī merupakan hal atau kondisi yang meskipun

sangat sulit dicapai oleh setiap orang, mereka berusaha dengan sekuat tenaga

untuk memperolehnya. Bila orang berhasil memperolehnya, lanjut Al-Fārābī, dia

telah dapat mencapai kesempurnaan hidup dalam arti yang sebenarnya. Tidak

semua orang dapat mencapai kesempurnaan itu dengan mudah. Karena,

kesempurnaan yang bisa diesebut sebagai al-Sa‟ādah, kebahagiaan, merupakan

puncak kebaikan yang selalu melekat pada dirinya. Kebaikan-kebaikan yang

menjadi tujuan manusia sangat banyak ragamnya. Tetapi dari seluruh kebaikan

yang ada, kebahagiaan adalah yang paling mulia dan menjadi puncak dari segala

tujuan yang ingin dicapai oleh setiap orang. Jika seseorang telah mencapai puncak

kebaikan itu berarti dia tidak lagi memerlukan kebaikan-kebaikan lain, karena

kebaikan yang lain tersebut masih belum sempurna dan masih butuh kepada

kebaikan-kebaikan berikutnya.1 Dalam pembahasan sebelumnya telah disebutkan

bahwa dalam pandangan Al-Fārābī disamping daya tumbuh dan daya mengetahui,

manusia juga memiliki daya khayal, yaitu suatu daya yang berfungsi untuk

menyelidiki segala hal yang diketahui dan dirasakan oleh pancaindera. Disinilah

letak perbedaannya dengan makhluk-makhluk yang lain.

1 Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 1

Page 53: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

41

Dalam buku Risalah Tanbih al-Sa’ādah, Al-Fārābī mengatakan bahwa

kebahagiaan adalah kebaikan yang diinginkan untuk kebaikan itu sendiri2.

Artinya, seseorang melakukan kebaikan adalah dengan motif karena suka

melakukan kebaikan itu. Alasan seseorang melakukan kebaikan bukan karena

apa-apa atau karena ada apanya. Tapi karena memang tahu kebaikan itu baik dan

luar biasa manfaatnya. Segala hal yang membuat manusia bahagia adalah baik,

begitu pula sebaliknya. Selain itu, Al-Fārābī mengatakan kebahagiaan adalah

tujuan hidup atau tujuan akhir dari segala yang dilakukan.3 Artinya, seseorang

melakukan kebaikan atau aktifitas apapun tujuannya adalah untuk merasakan

kebahagiaan. Misalnya, seseorang menjadi pribadi jujur, ikhlas, tidak sombong,

menolong orang lain, maupun rajin tujuannya karena ingin bahagia, tidak ada lagi

yang ingin dituju selain ingin bahagia.

Kebahagiaan merupakan sebuah tujuan dan jihad adalah caranya. Yang

dimaksud itu ialah menyerahkan segala kenikmatan duniawi hanya kepada Wujud

Pertama dan menggunakan jiwa rasio untuk melakukan perintah-Nya. Untuk

mencapai kebahagiaan tertinggi, dibutuhkan paksaan dalam diri.4 Menurut Al-

Fārābī, apapun yang membantu seseorang untuk mencapai kebahagiaan adalah

baik dan apapun yang menghalangi seseorang untuk mencapai kebahagiaan adalah

kejahatan. Kebahagiaan itu sendiri tercapai ketika jiwa seseorang mencapai

kesempurnaan, dimana ia tidak membutuhkan substansi material untuk eksis.

Seseorang tidak hanya perlu memahami dan sadar akan kebahagiaan, tapi juga

2 Abu Nashr Al-Farabi, Risalah Tanbih ‘ala Sabil as-Sa’adah, (Amman: Universitas Yordania,

1987), hlm. 15 3 Abu Nashr Al- Fārābi', Risalah Tanbih ‘ala Sabil as-Sa’adah, h.15 4 Parents J, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, hlm. 58

Page 54: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

42

menginginkan kebahagiaan dan menjadikannya sebagai tujuan hidup. Jika

keinginan seseorang untuk adanya kebahagiaan lemah, dan seseorang memiliki

tujuan hidup yang berbeda, maka hasilnya akan jahat. Al-Fārābī sendiri

menjelaskan masing-masing kebahagiaan ini secara detail dan menunjukan

bagaimana hal itu dapat terjadi.5

Al-Fārābī adalah seorang filsuf yang berusaha untuk menemukan arti

kebahagiaan dan menikmati kebahagiaan pada arti yang sesungguhnya. Di akhir

hidupnya ia berusaha untuk hidup zuhud, dengan menyumbangkan sebagian

hartanya kepada fakir miskin,6 Menurut Al-Fārābī, semua manusia dapat

merasakan kebahagiaan, tapi apabila manusia ingin berbuat jahat, ingin hidup

hanya dalam berbagai macam pertempuran dengan keinginan-keinginan yang

dibuat oleh diri mereka sendiri, mereka tidak akan bisa lepas dari kesengsaraan.

Semua kebahagiaan yang ada didunia tidak lain adalah hasil dari keringanan

Sebab Pertama. Hal ini mengarah kepada pandangan Al-Fārābī bahwa dunia ini

adalah air mata, kehidupan setelah mati harus membayar kita kembali untuk

sebuah penderitaan yang dijalani dikehidupan setelah mati. Hal ini mengarah

kepada pandangan manusia yang mengalahkan kesenangan yang sangat

diinginkan dalam hidup ini, yang bisa mereka peroleh. Tentu saja dalam hal ini,

Al-Fārābī menyatakan bahwa pilihannya ialah menumbuhkan keinginan-

keinginan moderat sehingga kehidupan bukanlah sebuah lembah air mata. Dan

adanya kebahagiaan yang dihadirkan setelah kematian, membuat manusia ingin

5 Plato, Republic, An Islamic Philosophy of Virtuous Regimes, hlm 65

6 Mustofa Hasan, Sejarah Filsafat Islam, (Geneologis dan Transmisi Filsafat Timur ke Barat) h.

194

Page 55: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

43

menahan diri akan hal tersebut, dan menolak kebahagiaan didunia. Singkatnya,

dengan megendalikan diri, membuat manusia tidak terbebani oleh keinginannya

sendiri yang berlebihan, sehingga jauh dari kebahagiaan yang sesungguhnya.7

Kebahagiaan adalah kebahagiaan yang dicari karena dirinya sendiri sama

sekali ia tidak dicari kapanpun juga untuk dipergunakan meraih sesuatu yang lain

dan di belakangnya tidak ada sesuatu yang lebih besar daripadanya yang mungkin

diraih oleh manusia. Tindakan-tindakan yang berguna di dalam mencapai

kebahagiaan adalah berbagai tindakan baik, keadaan dan bakat yang menimbulkan

tindakan-tindakan ini, yaitu keutamaan-keutamaan. Keutamaan-keutamaan ini

bukan kebaikan karena dirinya sendiri, tetapi karena hal-hal yang ditarik dari

suatu kebahagiaan. Perbuatan yang menghalangi kebahagiaan ini adalah kejelekan

dan perbuatan-perbuatan jelek, sementara kondisi dan bakat yang menimbulkan

perbuatan-perbuatan ini adalah segala kekurangan, kerendahan, dan kehinaan.8

Bagi Al-Fārābī, memang tidak semua orang mampu mencapai tingkat

kebahagiaan ini, ia hanya hadir pada orang-orang yang memiliki jiwa yang suci

yang dapat menembus dinding-dinding alam ghaib dan menaik ke alam cahaya

dan kebahagiaan. Al-Fārābī sendiri sudah membuktikan hal ini, dalam dirinya

sudah tercermin perilaku dan pikiran-pikiran yang suci sehingga jiwanya pun

mencapai kebahagiaan yang sejati. Dapat dibaca tentang kehidupan lahiriah Al-

Fārābī, ia juga tidak terlena oleh materi dan keduniaan, ia bahkan hidup dengan

sederhana dan bersikap zuhud, lebih suka menyendiri dan menjauh dari

7 Parents J, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, hlm. 67

8 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Teori dan penerapannya, hlm.32-33

Page 56: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

44

keramaian, seperti yang banyak disebutkan oleh penulis-penulis mengenai

biografinya.9

Al-Fārābī meyakini bahwa dengan menetapkan kebahagian sebagai tujuan

akhir, manusia akan menjadi makhluk yang sesuai dengan kodratnya dan

memiliki akhlak yag baik. Ini berarti bahwa setiap perbuatan manusia dilakukan

untuk mencapai tujuan atau maksud tertentu, dan maksud tertinggi yang paling

akhir adalah kebahagiaan.10

Berdasarkan keterangan di atas, seorang pimpinan utama menurut Al-Fārābī

harus dapat mengklasifikasikan ilmu-ilmu berikut penerapannya bagi setiap umat.

Dan dalam pengklasifikasian dan penerapan tersebut harus disediakan tenaga-

tenaga yang profesional yang dapat menangani tiap-tiap bagian dalam masyarakat

dan dapat mengambil kesimpulan secara baik dan benar. Kemudian, supaya lebih

cepat mencapai tujuan yang diinginkan, hendaklah tiap-tiap orang yang telah

mengerti tujuan pimpinan utama, merasa bertanggung jawab dan

memahamkannya kepada orang yang belum mengerti. Dan bagi mereka yang

menantang, tanpa alasan yang jelas, menurut Al-Fārābī didekati melalui dua cara,

yaitu pembinaan dan pemaksaan. Dengan cara-cara itulah rintangan-rintangan

untuk menunjuk kebahagiaan suatu umat akan dapat diatasi dengan baik.11

Pikiran Aristoteles yang tak terbantahkan diadopsi oleh Al-Fārābī adalah

dalam penjelasannya mengenai kebaikan tertinggi (Summum Bonum). Aristoteles

di buku kesepuluh dari Ethique menjelaskan bahwa kebaikan tertinggi itu adalah

9 Parents J, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, hlm. 63

10 Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, op. cit., hlm. 36.

11 Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, op. cit., hlm. 36.

Page 57: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

45

suatu keutamaan yang tersusun di dalam kesatuan dengan analisa akal, dan

berbeda dengan keutamaan-keutamaan manusiawi lainnya yang berkaitan dengan

tubuh. Yaitu potensi analisa yang dilakukannya sendiri serta mempersepsikan

kebenaran mutlak dan keutamaan yang tertinggi karena ia berhubungan dengan

sesuatu yang paling tinggi di dalam diri manusia yaitu akal.12

Namun, orisinalitas pikiran Al-Fārābī sebagai seorang pemikir yang tidak

sekadar melakukan plagiasi terhadap Aristoteles adalah pemikirannya tentang akal

dan jiwa yang diaplikasikan ke dalam objek etika dalam upaya pencapaian

kebahagiaan. Bagi Al-Fārābī, kebahagiaan jiwa tidak hanya diperoleh melalui

badan dan perbuatan-perbuatan sematamata, namun yang pertama adalah melalui

pikiran dan pemikiran. Memang ada beberapa keutamaan yang bersifat perbuatan

badan, tetapi bila dibandingkan dengan keutamaan-keutamaan pikiran dan bersifat

teori maka tidak arti ada apa-apa, dan kalau keutamaan jenis yang pertama itu

merupakan kebaikan, maka keutamaan jenis kedua merupakan raja kebaikan.13

Tempat bagi kebahagiaan sejati manusia berada pada tingkat akal mustafad,

yang siap menerima emanasi seluruh objek rasional dari akal aktif. Dengan

demikian, perilaku berfikir adalah perilaku yang dapat mewujudkan kebahagiaan

manusia.14

Dalam menempuh jalan pertumbuhannya, akal manusia berjalan

melalui beberapa fase yang bertingkat-tingkat. Awalnya akal tersebut adalah akal

potensi (‘aql bi al-quwwah), dan apabila ia telah banyak memperoleh objek-objek

12 Ibrahim Madkour, Filsafat Islam: Teori dan penerapannya, hlm. 41 13

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 108 14

Muhammad Ustman Najati, Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim (Bandung: Pustaka

Hidayah 1993) h.76

Page 58: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

46

ilmunya dan kebenaran- kebenaran umum (absolut), maka Ia menjadi akal nyata

(al-‘aql bi al-fi’il). Kadang-kadang, akal bisa meluas daerah cakupannya,

sehingga dapat mengetahui kebanyakan hal-hal yang universal, dan disini ia

mencapai tingkat tertinggi bagi manusia, yaitu tingkat akal mustafad atau yang

disebut dengan tingkat pelimpahan dan turunnya ilham.15

Semakin banyak objek pengetahuan seseorang, maka ia semakin dekat

menuju tingkatan alam yang lebih tinggi dan mendekati akal yang tidak ada pada

benda. Kalau ia sudah mencapai tingkat akal mustafad, maka ia dapat menerima

cahaya-cahaya ketuhanan dan dapat berhubungan langsung dengan akal

kesepuluh. Jadi dengan ilmu dan ilmu itu semata-mata, kita dapat

menghubungkan langit dengan bumi, antara alam ketuhanan dengan alam

kemanusiaan, atau antara malaikat dengan manusia. Dengan ini kita bisa

mencapai kebahagiaan yang sesungguhnya, karena kita telah melewati berbagai

proses sehingga mampu melihat realitas yang sesungguhnya di balik realitas yang

ada.16

Kebahagiaan yang bersifat teori dan metafisik merupakan tujuan termulia

yang dicari oleh akal manusia. Jika tingakatan ini diperoleh, maka jiwa dapat

terbebas dan mampu keluar dari semua perkara yang bersifat kebendaan, dan

dapat berhubungan dengan alam pikiran yang di dalamnya terdapat kebahagiaan

sejati atau kebahagiaan ideal yang sesuai dengan keinginan fitrah manusia, bukan

keinginan hawa nafsunya.17

Berdasarkan pernyataan ini tampak bahwa Al-Fārābī,

juga mengambil upaya yang dilakukan oleh Platon, yaitu tentang dunia ide,

15

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 108 16

Sudarsono, Filsafat Islam (Jakarta: Rineka Cipta, 2010) h.75-76 17 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 108

Page 59: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

47

dimana dunia ini adalah tempat hakikat realitas, wadah sesungguhnya bagi

bertumpunya kebahagiaan yang nyata.

Kebahagiaan yang dituju oleh falsafah dan moral, diverifikasikan oleh teori

dan praktik serta diusahakan oleh manusia melalui studi dan tingkah lakunya,

adalah kebaikan mutlak dan puncak segala puncak, batas akhir ketinggian

manusia dan surga bagi orang-orang yang mencapainya. Al-Fārābī mengatakan:

“Kebahagiaan ialah jika jiwa manusia menjadi sempurna di dalam wujud di mana

ia tidak membutuhkan, dalam eksistensinya kepada suatu materi.”

Hal itu dengan cara ia harus di dalam globalitas esensi yang terpisah dengan

materi, ia harus abadi dalam kondisi itu, hanya saja tingkatannya berada di bawah

‘aql fa’al. Tetapi ia bisa mencapai hal itu melalui tindakan-tindakan kehendak

yang terdiri dari tindakan fikir dan tindakan fisik. Ia tidak cocok dengan tindakan

apapun, tetapi dengan tindakan-tindakan terbatas dan tertentu yang bisa didapat

melalui keadaan-keadaan tertentu yang benar-benar terbatas; hal itu dikarenakan

di antara tindakan tindakan kehendak itu, ada tindakan yang bisa menghambat

kebahagiaan.

Al-Fārābī adalah seorang filsuf yang paling banyak membicarakan

persoalan kemanusiaan, walaupun sebenarnya ia bukan orang yang berkecimpung

dalam dunia kemasyarakatan.18

Ia banyak menggeluti dunia moral, politik, dan

psikologi. Sekaligus juga dengan serius menggeluti tentang perilaku individu di

samping juga membahas masalah kemasyarakatan. Tampaknya, ia merupakan

18

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 104

Page 60: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

48

salah satu kaum Peripatetik Arab yang paling serius mendalam sosiologi.19

Persoalan kemasyarakatan ini banyak dibicarakan dalam karya-karyanya terutama

dalam al -Siyâsah al-Madaniyyah (Politik Kenegaraan) dan Arâ-u Ahl al-Madînah

al-Fadhîlah (Pikiran-Pikiran Penduduk Kota Utama).20

Secara umum tampak memang kedua kitab ini terlihat mengarah kepada

pembahasan tentang politik, tetapi esensi dari keduanya sesungguhnya adalah

berbicara tentang etika, yaitu etika bernegara sehingga sebuah bangsa bisa

menjadi bangsa yang ideal dan sesuai dengan visi Islam. Tujuan akhirnya yaitu

kebahagiaan masyarakat atau kebahagiaan sosial akan terwujud. Menurut Al-

Fārābī, manusia bersifat sosial dan tidak mungkin hidup sendiri-sendiri. Manusia

hidup bermasyarakat dan bantu membantu untuk kepentingan bersama dalam

mencapai tujuan hidup yaitu kebahagiaan.21

Sebagaimana Platon, Al-Fārābī

menekankan bahwa bagian-bagian sesuatu negeri sangat erat hubungannya satu

sama lain dan saling bekerja sama sebagaimana satu anggota badan dengan

anggota badan lainnya saling gotong-royong dan berelasi. Jika salah satu anggota

badan ada yang tidak beres, tidak berfungsi atau mengalami kerusakan, maka akan

terjadi ketidakseimbangan, dan anggota badan yang lain juga akan terkena

dampaknya. Contoh sederhana semisal jantung jika tidak bekerja, maka semua

anggota badan tidak akan berfungsi normal sebagaiman mestinya. Maka dalam

sebuah negara, segala kepentingan pribadi dan egoisme yang ada pada individu

harus dikesampingkan, dan didahulukan kepentingan umum, jika tidak maka akan

terjadi ketimpangan, dan masyarakat yang baik menurut Al-Fārābī tidak akan

19 Ibrahim Madkour, Aliran dan Teori Filsafat Islam, hlm. 231 20 A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam, hlm. 104 21

Sirajuddin Zar, Filsafat Islam: Filosof dan Fisafatnya, hlm. 82

Page 61: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

49

terwujud.22

Tiap-tiap anggota badan memiliki fungsi yang berbeda-beda sesuai

dengan tugasnya, maka begitu juga dengan masyarakat dalam sebuah bangsa,

masing-masing harus memiliki tugas tertentu. Kebahagiaan masyarakat akan

terwujud dengan sempurna apabila ada pembagian kerja yang sesuai dengan

keterampilan dan kemampuan individu masing-masing dengan berlandaskan rasa

kesetiakawanan dan kerja sama.23

Dalam hal ini, masing-masing individu memiliki pekerjaan yang berbeda-

beda sesuai dengan tujuan yang hendak dicapainya. Pekerjaan yang paling mulia

adalah yang berhubungan dengan tugas-tugas kepala masyarakat, karena

kedudukan kepala negara dalam sebuah pemerintahan yang berkuasa sama dengan

kedudukan jantung pada anggota badan. Jantung adalah sumber kehidupan, pusat

koordinasi sekaligus keserasian. Karenanya menjadi kepala negara merupakan

tugas terberat sekaligus yang paling mulia. Kepala negara tidak hanya semata-

mata mengurusi urusan yang sifatnya politis saja, tetapi juga yang paling utama

adalah akhlak, karena ia adalah panutan, pusat cerminan masyarakat. Maka dari

itu, seorang pemimpin yang mampu memiliki sifat ini patut ditiru dan dijadikan

contoh bagi masyarakatnya, sehingga sebuah masyarakat bisa dikatakan sebagai

masyarakat yang bahagia.24

Pada yang disebutkan diatas, Al-Fārābī menekankan

empat jenis sifat utama yang harus menjadi perhatian untuk mencapai

kebahagiaan bagi bangsa-bangsa dan setiap warga negara, yaitu:

22

A. Hanafi, Pengantar Filsafat Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1969) h.104 23

Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

1996) h. 65 24

Majid Fakhry, Etika dalam Islam, terj. Zakiyuddin Baidhawy, h. 66

Page 62: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

50

Pertama, Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang

diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan

kontemplasi, penelitian dan belajar.

Kedua, Keutamaan pemikiran, adalah yang memungkinkan orang

mengetahui hal yang bermanafaat dalam tujuan. Termasuk dalam hal ini,

kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan pemikiran

budaya (fadhâil fikriyah madaniyyah).

Ketiga, Keutamaan akhlak, bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini

berada dibawah dan menjadi syarat keutamaan pemikiran. Sedangkan kedua jenis

keutamaan tersebut terjadi dengan tabiatnya, dan bisa juga terjadi dengan

kehendak sebagai penyempurna tabiat atau watak manusia.

Keempat, Keutamaan amaliah, diperoleh dengan dua cara yaitu pernyataan-

pernyataan yang memuaskan dan merangsang.25

B. Jenis-jenis Kebahagiaan

B.1 Manusia Mencari Jati Diri

Dalam rangka menemuka solusi aktif terhadap pemasalahan-permasalahan

yang mengitarinya, manusia mengamati dirinya sendiri, baik sebagai individu

maupun anggota masyarakat, untuk memperoleh sesuatu yang dapat dijadikan

standar yang akan menjadi pijakan dalam mencapai kesempurnaan

keberadaannya, yaitu kebahagiaan. Setelah itu barulah berupaya untuk mencari

cara-cara yang diyakininya dapat mengantarkan dirinya kepada kebahagiaan

dimaksud. Dalam pengamatan Al-Fārābī, sebagaimana yang ditulis dalam

25

Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet.II, h.43

Page 63: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

51

bukunya, al-Tanbih’ala Sabil al-Sa’adah, orang awam pada umumnya

mengartikan al-sa’adah, kebahagiaan, dengan suatu bentuk kehidupan (keadaan)

yang tanpa masalah kesulitan-kesulitan, baik kesulitan-kesulitan materi (harta

benda), pekerjaan, tempat tinggal dan selalu hidup rukun dengan sanak keluarga

dan handai-taulan, dengan kata lain al- sa’adah, kebahagiaan dalam arti ini

merupakan cerminan dari kesejahteraan dalam hidup di dunia ini. Gambaran

tentang al- sa’adah di atas secara umum menurut Al-Fārābī tidak berbeda dengan

al-ladzdzah, kenikmatan, karena kedua istilah ini mempunyai kesamaan unsur

yang penting seperti rasa puas, rela menikmati, tidak tertimpa musibah ataupun

kalau ada sangat ringan sekali dan tidak berpengaruh apa-apa dalam

kehidupannya. Dalam pandangan Aristoteles, al-ladzdzah, kenikmatan, memang

merupakan syarat penting bagi manusia untuk mendapatkan al-sa’adah,

kebahagiaan, akan tetapi ia bukanlah satu-satunya syarat. Dengan demikian, al-

ladzdzah tidak sama dengan al-sa’adah. Epycurus menyatakan bahwa jika al-

ladzdzah itu bisa langgeng dan tidak bisa berubah-ubah maka dapat juga disebut

sebagai al-sa’adah, kebahagiaan.26

Menurut Al-Fārābī, kebahagiaan akan dapat

dicapai oleh seseorang apabila jiwanya telah sampai pada wujudnya yang

sempurna dan tetap dalam keadaan seperti itu selama-lamanya. Untuk sampai

pada pada wujudnya yang sempurna dan tetap dalam keadaan seperti itu selama-

lamanya. Untuk sampai pada al- sa’adah tersebut, lanjut Al-Fārābī, manusia dapat

berusaha dengan cara membiasakan diri melakukan perbuatan-perbuatan baik,

sehingga untuk tahap-tahap selanjutnya perbuatan baik itu bisa muncul secara

26 Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, Majlis Dairah al-Ma‟arif al-„Utsmaniah, Hyderabad,

1346, hlm.2.

Page 64: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

52

otomatis tanpa disadarinya, perbuatan-perbuatan baik tersebut sebagian bisa

berupa aktivitas intelektual dan sebagian lain berupa aktivitas badan (jasmani).

Perbuatan baik yang dilakukan untuk maksud-maksud tertentu, lanjut Guru kedua,

merupakan rintangan bagi manusia untuk mencapai kebahagiaan, yaitu kebaikan

yang dapat muncul dengan tidak pernah mengenal waktu dan tidak pula untuk

sebuah tendensi.27

B.2 Manusia Sebagai Pemilik Kebahagiaan

Sebelum membahas tema ini, terlebih dahulu akan dibahas fenomena-

fenomena yang mempengaruhi upaya manusia untuk mencapai kebahagiaan.

Dalam hal ini sebagai filsuf muslim, Al-Fārābī banyak menggunakan analisis-

analisis yang bersifat teologis (berdasarkan prinsip tauhid) sebagaimana yang

sering digunakannya dalam menganalisis dan memecahkan persoalan-persoalan

yang berkaitan dengan teori-teori falsafahnya. Inilah yang membedakan antara

muatan falsafah Islam dengan falsafah Yunani. Falsafah Yunani, yang menitik

beratkan pembahasannya tentang esensi ada (hakikat maujud), atau dalam bahasa

Aristoteles membahas tentang ada dan dengan apa dia ada, hanya dimaksudkan

untuk mengetahui hakikat ada itu sendiri dengan tanpa melihat kemanfaatannya

dalam kehidupan dunia dan akhirat secara simultan. Demikian pula dalam

membahas tentang al- sa’adah, para filsuf Yunani tidak pernah berpijak pada

agama. Hal ini menurut Taufiq Thawil sangat bisa dimaklumi karena, ada

umumnya, mereka tidak menjadi pemeluk suatu agama dan tidak mendasarkan

27 Al-Farabi, Ara’ahl al-Madinah al-Fadhilah, Dar al-Maktabah al-Hilal, Beirut, Libanon, 1995,

hlm. 100-101.

Page 65: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

53

pandangan hidupnya pada suatu agama tertentu.28

Sebagaimana disebutkan dalam

uraian sebelumnya bahwa pada umunya setiap manusia pasti mendambakan

kebagaiaan dan menjadikannya sebagai tujuan hidupnya. Dari sinilah dia selalu

berusaha untuk mencapainnya dengan segala macam cara. Oleh karena

kebahagiaan merupakan hal yang baik dan terpuji, maka cara memperolehnya

haruslah dengan melakukan hal-hal baik dan terpuji pula.

C. Cara Mendapatkan Kebahagiaan

Menurut Al-Fārābī ada empat keutamaan yang dimiliki setiap manusia,

dengan keutamaan-keutamaan itu akan dapat menyebabkan setiap orang dapat

memperoleh kebahagiaan sejati, yaitu kebahagiaan dunia dan akhirat. Empat

keutamaan tersebut ialah keutamaan teoritis, keutamaan berpikir, keutamaan

akhlak dan keutamaan berkreasi melalui perbuatan-perbuatan praktis. Dari

keempat hal diatas, keutamaan teoritis pada manusia merupakan karunia yang

paling tinggi. Keutamaan teoritis ini secara otomatis dapat menggiring manusia

kepada tujuan tertinggi dalam hidupnya. Tujuan tertinggi dalam hidup manusia

menurut Al-Fārābī adalah mengenal Tuhan dengan cara mengetahui asal usul

alam dan segala isinya. Pada dasarnya pengenalan terhadap Tuhan telah dimiliki

oleh manusia sejak semula dan dia pun tidak sadar dan tidak mengetahui

bagaimana hal itu terjadi dan dari mana pengetahuan itu dia dapatkan. Ilmu yang

sedemikian ini disebut dengan ilmu pertama.29

28 Taufiq Thawil, op. cit., hlm. 116. 29 Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 2.

Page 66: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

54

1. Keutamaan Teorirtis

Yang dimaksud dengan keutamaan teorirtis adalah pengetahuan-

pengetahuan yang dengan perantaraan alam semesta dapat ditemukan

tujuan tertinggi (terakhir) dari segala sesuatu. Pengetahuan semacam ini

menurut Al-Fārābī dapat diperoleh seseorang melalui tiga jalan, yaitu

pertama, diperoleh secara langsung sejak dini bahwa seseorang tidak

pernah tahu bagaimana prosesnya dan dari mana asalnya. Kedua,

diperoleh dengan cara berpikir, mengamati, dan mempelajarinya sendiri.

Ketiga, diperoleh melalui belajar dari orang lain yang pernah menciptakan

teori-teorinya yang berkenaan dengan pengetahuan tersebut.30

2. Keutamaan Berpikir

Al-Fārābī menyatakan bahwa, disamping keutamaan teoritis,

manusia mempunyai keutamaan berpikir. Sebelum diaplikasikannya,

keutamaan berpikir itu masih berupa potensi (daya). Disebabkan oleh

potensi itu, orang dapat menjadi baik dan dapat pula menjadi jahat. Potensi

itu akan menjadi utama apabila diterapkan pada hal-hal yang berguna dan

dapat pula menjadi tercela jika diterapkan pada hal-hal yang buruk dan

tidak berguna.31

Berpikir utama menurut Al-Fārābī adalah berpikir hanya

tentang hal-hal yang baik dan utama, kemudian mempertahankan

(pemikiran) itu dalam jangka waktu yang lama, berguna bagi manusia,

baik secara personal (pribadi) maupun sosial (bagi masyarakat luas,

30

Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 2.

31

Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 20-21.

Page 67: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

55

pemikiran utama tersebut, lanjut Al-Fārābī hendaknya dipertahankan

bahkan (kalau mungkin) dibakukan menjadi undang-undang.32

3. Keutamaan Akhlak

Dalam bukunya tentang perincian ilmu-ilmu, Ihsha’ al-Ulum, Al-

Fārābī telah memasukkan akhlak sebagai bagian dari cabang-cabang ilmu.

Al-Fārābī menampilkan akhlak sebagai unsur yang paling dominan yang

harus ada terlebih dahulu sebelum pembentukan negara. Sebab menurut

Al-Fārābī, akhlak memegang peranan penting untuk sampai pada

kebahagiaan, baik secara individual maupun secara sosial.33

Menurut Al-

Fārābī, akhlak terbagi menjadi dua bagian: Pertama, akhlak teoritis, dalam

pemahaman peripatetik, adalah permulaan dari bagian-bagian ilmu

pengetahuan (falsafah) praktis (al-hikmah al-amaliyyah), yaitu ilmu-ilmu

yang berhubungan dengan kemaslahatan individu. Kedua, akhlak praktis,

yang oleh Al-Fārābī didefinisikan dengan menonjolkan visi keislamannya,

sebuah devinisi yang hampir sama dengan tasawuf atau pengetahuan-

pengetahuan yang berkaitan dengan bahaan tentang jiwa dan segala

sesuatu yang berasal dari instink, yaitu keselarasan antara ilmu kalam

dengan pengetahuan jiwa yang muncul dari keyakinan.34

Keutamaan berpikir, sebagaimana yang telah di sebutkan terdahulu

menurut Al-Fārābī hanya dapat berguna untuk membedakan antara yang

baik dan yang buruk dalam lingkup yang terbatas. Bahkan, tidak jarang

32

Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op. cit. hlm. 22. 33 Ahmad Mahmud Subhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiah fi al-Fikr al-Islamy, Dar al-Ma‟arif, Mesir, tt,

hlm. 13 34

Ahmad Mahmud Subhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiah fi al-Fikr al-Islamy, Dar al-Ma‟arif, Mesir, tt,

hlm. 14

Page 68: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

56

kebaikan dan keburukan itu hanya menurut selera individu. Maka dari itu,

lanjut Al-Fārābī untuk memperoleh hasil yang optimal tentang hakikat

baik dan buruk, selain keutamaan berpikir, keutamaan akhlak juga sangat

dominan dalam pengambilan keputusan.35

Hasil akhir dari keutamaan

berpikir hanya mencakup rumusan-rumusan yang parsial dalam batas

wilayah pemikiran tertentu. Hal ini jelas sangat berbeda dengan keutamaan

akhlak. Keutamaan akhlak menurut Al-Fārābī menyentuh seluruh ruang

lingkup permasalahan kehidupan, untuk segala waktu dan segala situasi.

Meskipun demikian, secara umum, keutamaan akhlak ini berkaitan erat

dengan keutamaan berpikir. Maka dari itu, seseorang yang akan

mengadakan penelitian tentang (baik dan buruk) suatu hal hendaklah ia

berpijak pada sesuatu yang paling berpengaruh pada keutamaan-

keutamaan yang lain. Keutamaan berpikir, suatu keutamaan yang mampu

memberikan kesimpulan tentang tujuan yang paling baik dan paling

berguna bagi semua atau sebagian masyarakat dalam negara utama (al-

Madinah al-Fadhilah) yang akan berjalan lebih langgeng apabila ada

kesalingkaitan dengan keutamaan akhlak, dan keduanya berjalan secara

simultan serta berkesinambungan. Itulah menurut Al-Fārābī suatu cara

untuk sampai pada kesempurnaan kepemimpinan dalam negara dimaksud.

Keutamaan akhlak merupakan keutamaan yang paling dominan dalam

suatu kepemimpinan. Tidak ada keutamaan yang lebih tinggi dari

keutamaan tersebut. Panglima perang selain memiliki keutamaan berpikir

35 Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op, cit, hlm. 23

Page 69: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

57

haruslah memiliki keutamaan akhlak. Keutamaan berpikir sebagai sarana

untuk menemukan strategi-strategi yang baik dalam peperangan,

sementara keutamaan akhlak sebagai sarana untuk mengarahkan

keutamaan berpikir terhadap tujuan perjuangannya.36

Keutamaan berpikir

dan keutamaan akhlak merupakan dua hal yang amat berharga.

Dalam pandangan Al-Fārābī secara umum, segala sesuatu dapat

berpotensi untuk berubah meskipun sulit, tidak terkecuali akhlak. Akhlak

menurut Al-Fārābī tidak dapat menolak perubahan dan pengalihan.

Keutamaan berpikir yang terpisah dari keutamaan akhlak menurut Al-

Fārābī tidak akan dapat mencapai kesimpulan tentang kebaikan sebagai

kebaikan atau kebaikan tidak sejalan dengan kebenaran.37

4. Keutamaan Berkreasi (Berkarya dan Kerja Keterampilan)

Menurut Al-Fārābī keutamaan karya dan kerja keterampilan dapat

diperoleh melalui dua cara, yaitu; Pertama, dengan pernyataan-pernyataan

yang memuaskan dan memberi rangsangan kepada jiwa serta dapat

berpengaruh secara aktual. Pernyataan-pernyataan tersebut lanjut Al-

Fārābī haruslah benar-benar memberi kepuasan terhadap jiwa, sehingga

melalui bakat yang dimilikinya, setiap orang dapat berkarya sesuai dengan

keinginan dan kehendaknya sendiri dengan penuh ketaatan dan dengan

menanggung segala konsekuensinya. Kedua, dengan cara pemaksaan,

yaitu suatu cara yang biasanya diterapkan untuk orang-orang yang

sombong, fanatik, dan tidak tergerak hatinya untuk berbuat baik dan benar.

36 Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op, cit, hlm. 24 37

Al-Farabi, Tahshil al-Sa’adah, op, cit, hlm. 28

Page 70: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

58

Mereka ini kata Al-Fārābī adalah orang-orang yang hanya menuruti hawa

nafsunya dan tidak peduli dengan teori-teori ilmu pengetahuan.38

Padahal,

sebagaimana diketahui, demi kesempurnaan suatu kreativitas, orang pasti

membutuhkan teori-teori. Ilmu pengetahuan itu sendiri adalah hasil dari

berpikir rasional dan berpikir rasional merupakan bagian dari fitrah

manusia yang membedakannya dari makhluk-makhluk yang lain.

Orang yang mempelajari ilmu-ilmu dan kerja keterampilan

menurut Al-Fārābī, disebabkan oleh satu dari tiga alasan, yaitu karena

mulianya bahasan seperti ilmu perbintangan (‘ilm al-Nujum), karena dari

ilmu itu dapat ditemukan pembuktian-pembuktian seperti ilmu ukur (al-

Handasah) dan karena besarnya manfaat yang terkandung didalamnya,

baik pada saat sekarang maupun yang akan datang, dan lagi pula

kemanfaatannya dapat dirasakan oleh segala bangsa. Tiga atau dua alasan

tersebut, lanjut Al-Fārābī dapat dipakai sebagai alasan untuk mempelajari

satu ilmu, yakni metafisika (al-I’lm al-ilahi).39

38 Al-Farabi, Tahsil al-Sa’adah, op. cit., hal. 32. 39 Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, op. cit., hlm. 1.

Page 71: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

59

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Al-Fārābī menekankan empat jenis sifat utama yang harus menjadi

perhatian untuk mencapai kebahagiaan, yaitu:

Pertama, Keutamaan teoritis, yaitu prinsip-prinsip pengetahuan yang

diperoleh sejak awal tanpa diketahui cara dan asalnya, juga yang diperoleh dengan

kontemplasi, penelitian dan belajar. Kedua, Keutamaan pemikiran, adalah yang

memungkinkan orang mengetahui hal yang bermanafaat dalam tujuan. Termasuk

dalam hal ini, kemampuan membuat aturan-aturan, karena itu disebut keutamaan

pemikiran budaya (fadhâil fikriyah madaniyyah). Ketiga, Keutamaan akhlak,

bertujuan mencari kebaikan. Jenis keutamaan ini berada dibawah dan menjadi

syarat keutamaan pemikiran. Sedangkan kedua jenis keutamaan tersebut terjadi

dengan tabiatnya, dan bisa juga terjadi dengan kehendak sebagai penyempurna

tabiat atau watak manusia. Keempat, Keutamaan amaliah, diperoleh dengan dua

cara yaitu pernyataan-pernyataan yang memuaskan dan merangsang.1

B. Saran

Pandangan Al-Fārābī mengenai kebahagiaan ini sangat membukakan

pemikiran kita bahwa kebahagiaan tidak hanya dalam lingkup yang sempit dalam

pandangan pada umumnya. Al-Fārābī menyatakan bahwa kebahagiaan ada pada

dalam diri manusia, dimana adanya keutamaan-keutamaan yakni teoritis, berpikir,

1 Hasyimsyah Nasution, Filsafat Islam (Jakarta: Gaya Media Pratama, 2001), Cet.II, h.43

Page 72: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

60

akhlak dan berkreasi. Dengan begitu, manusia dapat mencapai akhir tujuan yang

tertinggi yakni kebahagiaan yang sempurna.

Namun, setelah penulis memaparkan beberapa penjelasan dari bab pertama

sampai bab terakhir, penulis memberikan saran yang berkaitan betul dengan karya

ilmiah penulis (skripsi), diantaranya:

a. Dengan adanya karya ilmiah (skripsi) ini, penulis berharap banyak orang-

orang yang lebih mengetahui kebahagiaan dalam pandangan Al-Farabi.

b. Penulis berharap, banyak buku-buku yang membahas tentang Kebahagiaan,

yang didalamnya dibahas secara lengkap dan terperinci. Karena selama ini

bahasan tentang Kebahagiaan masih sedikit, buku-bukunya pun terbitan lama

(tua).

Page 73: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

61

DAFTAR PUSTAKA

Al-Farabi, Tahshil al-Sa’ādah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2005

Ahmad, Mahmud dan Ibrahim, Syarif, Al- ‘Alam al-Islamy, Terj. Jakarta: Gajah

Mada Press. 2009

Al-Farabi, Al-Da’awa al-Qalbiyah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005

Al-Farabi, Al-Ta’liqat, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2009

Hanafi, A, Pengantar Filsafat Islam, Jakarta: Bulan Bintang, 2012

Al-Farabi, Tanbih ‘ala Sabil al-Sa’adah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005

Majlis Dairah al-Ma’arif al-Utsmaniah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka

Pelajar, 2005

Parens, Joshua, An Islamic Philosophy of Virtuous Religions, Washington

Avenue: State University of New York Press, 1961

Michael, J. Sweeney, Philosophy and Jihad Al-Fārābī; On Compulsion to

Happiness, German: Philosophy Education Society Inc, 2007

Mahdi, Musin, Al-Fārābī s Philosophy of Plato and Aristotle, United States of

America: The Free Press of Glencoe, 1962

Page 74: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

62

Al-Farabi, Fadhilat al- ‘Ulum wa al-Shina’at, Cet.II, Terj. Imam Sukardi,

Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Charles, E. Butterworth, Al-Fārābī The Political Writings Selected Aphorisms and

Other Text, Ithaca and London: Cornell University Press, 2001

Supriyadi Dedi, Pengantar Filsafat Islam, Bandung: CV Pustaka Setia, 2010

Peter, S. Groff, Islamic Philosophy A-Z, Edinburgh: Edinburgh University Press,

1998

Ahmad, Mahmud Subhi, Al-Falsafah al-Akhlaqiah fi al-Fikr al-Islamy, Terj.

Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005

Syarif, M.M, Ed, Para Filosof Muslim, Bandung: Penerbit Mizan, 1994

Leaman, Oliver, Islamic Philosophy, UK: Polity Press, 2009

Fahri, Majid, Sejarah Filsafat Islam, Bandung: Mizan Pustaka, 2008

Hasyimsyah, Nasution, Filsafat Islam, Jakarta: Gaya Media Pratama, 1999

Konsep psikologi Al-Fārābī dalam

http://download.portalgaruda.org/article.php?article=298312&val=6793&title=PS

Al-Farabi, Ihsha al- ‘Ulum, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar,

2005

IKOLOGI%20DALAM%20PERSPEKTIF%20AL-

FARABI%20DAN%20SIGMUND%20FREUD / diakses 6 november 2018

Page 75: KEBAHAGIAAN PERSPEKTIF AL-FĀRĀBĪrepository.uinjkt.ac.id/dspace/bitstream/123456789/44003/1/YOLANDA... · Berhubungan karena begitu luasnya pemikiran Al-Fārābī, oleh sebab itu

63

Nasution, Harun, Teologi Islam: Aliran-Aliran Sejarah Analisa Perbandingan,

Jakarta: UI Press, 1986

Al-Farabi, Ara ahl al-Madinah al-Fadhilah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005

Nasution, Hasyimiyah, Filsafat Islam, Jakarta: Gajah Mada Press, 1999

Al-Farabi, Ara’ ahl al-Madinah al-Fadhilah, Terj. Imam Sukardi, Yogyakarta:

Pustaka Pelajar, 2005

Ibrahim, Subhi, Asas-Asas Filsafat, Jakarta: Lecture Publisher, 2001

https://id.wikipedia.org/wiki/Kebahagiaan / diakses pada 30 Januari 2019