keanekaragaman tumbuhan pakan orangutan …
TRANSCRIPT
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKAN
ORANGUTAN TAPANULI (Pongo tapanuliensis) DI
AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) SEKITAR
KAWASAN HUTAN BATANG TORU
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
MUHAMMAD IQBAL RIVAI
151201026
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
KEANEKARAGAMAN TUMBUHAN PAKAN
ORANGUTAN TAPANULI (Pongo tapanuliensis) DI
AREAL PENGGUNAAN LAIN (APL) SEKITAR
KAWASAN HUTAN BATANG TORU
SUMATERA UTARA
SKRIPSI
Oleh :
MUHAMMAD IQBAL RIVAI
151201026
Skripsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh
gelar sarjana di Fakultas Kehutanan
Universitas Sumatera Utara
DEPARTEMEN KONSERVASI SUMBERDAYA HUTAN
FAKULTAS KEHUTANAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
MEDAN
2019
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
i
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ii
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iii
ABSTRAK
MUHAMMAD IQBAL RIVAI : Keanekaragaman Tumbuhan Pakan Orangutan
Tapanuli (Pongo tapanuliensis) Di Areal Penggunaan Lain (APL) Sekitar
Kawasan Hutan Batang Toru Sumatera Utara, dibimbing oleh PINDI PATANA
dan MA’RIFATIN ZAHRAH
Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) merupakan satwa endemik
yang sebaran alaminya hanya ditemukan di ekosistem Batang Toru. Populasi
Orangutan Tapanuli terpecah ke dalam dua kawasan utama (blok barat dan timur),
oleh lembah patahan sumatera dan juga ada populasi kecil di cagar alam sibual –
buali di sebelah tenggara blok barat. Status satwa ini berdasarkan daftar merah
IUCN sudah tergolong “Critically Endangered” (sangat terancam punah). Perlu
adanya identifikasi terhadap keanekaragaman dan kelimpahan tumbuhan pakan
Orangutan Tapanuli dengan menggunakan metode analisis vegetasi, indeks
Shannon - Wieners dan Indeks Similarity pada kawasan hutan Batang Toru, hal
ini di lakukan agar dapat mengestimasi ketersediaan sumber pakan bagi
Orangutan. Pada keanekaragaman jenis pohon pakan orangutan tapanuli, total
indeks keanekaragaman (H’) sebesar 4,62 hal ini dapat diartikan bahwa tingkat
keanekaragaman tergolong tinggi. Upaya perlindungan sangat perlu dilakukan
terhadap ekosistem Hutan Batang Toru secara menyeluruh karena sampai saat ini
kawasan tersebut masih terancam dengan adanya alih fungsi lahan yang
menyebabkan berubahnya status kawasan dan berdampak pada kelestarian
ekosistem flora dan fauna yang terdapat dalam ekosistem hutan Batang Toru.
Kata kunci : Batang Toru, Ekosistem, Pongo tapanuliensis, Tumbuhan pakan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
iv
ABSTRACT
MUHAMMAD IQBAL RIVAI : Diversity of Feed Plant for Orangutan
Tapanuli (Pongo tapanuliensis) in Other Use Areas (APL) Around the Batang
Toru Forest Area in North Sumatra, supervised by PINDI PATANA and
MA’RIFATIN ZAHRAH
The Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) is an endemic animal
which natural distribution is only found in the Batang Toru ecosystem. The
population of Orangutan Tapanuli is divided into two main regions (west and east
blocks), by the Sumatran fault valley and also a small population in the natural
reserve - except to the southeast of the western block. This animal status based on
the IUCN red list is classified as "Critically Endangered". It is necessary to
identify the diversity and abundance of vegetation for Orangutan Tapanuli feed
using the method of vegetation analysis, Shannon-Wieners index and Similarity
Index in Batang Toru forest area this is done in order to estimate the availability
of food sources for Orangutans. The diversity of orangutan feed tree species has a
total diversity index (H ') of 4.62, which means that the level of diversity is very
high. Protection efforts are needed to do in Batang Toru Forest because until now
the area is still threatened by the land conversion that caused changes in the
status of area and has an impact on the sustainability of flora and fauna in
Batang Toru forest ecosystem.
Keywords: Batang Toru, Ecosystems, Pongo tapanuliensis, Feed Vegetation
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
v
RIWAYAT HIDUP
Penulis dilahirkan di Aek Nabara pada tanggal 14
November 1997 dari pasangan bapak Zulkifli dan
Rahmawati. Penulis merupakan anak ke dua dari tiga orang
bersaudara.
Pada tahun 2009 Penulis lulus dari MIN Buluh
Rampai Riau, Tahun 2012 lulus dari MTS Al – Kautsar Al –
Akbar Islamic Boarding School Medan, dan Tahun 2015
lulus dari MAN 1 Medan. Tahun 2015 Penulis melanjutkan
kuliah di Universitas Sumatera Utara (USU) Medan sebagai
Mahasiswa di Program Studi Konservasi Sumberdaya Hutan Fakultas Kehutanan
melalui jalur SNMPTN.
Selama mengikuti perkuliahan penulis aktif di berbagai Organisasi baik
Intra Kampus maupun Ekstra kampus seperti menjadi ketua umum BKM Baytul
Asyjaar di Fakultas Kehutanan, anggota Advokasi SAHIVA USU, serta anggota
media dan komunikasi KOPHI (Koalisi Pemuda Hijau Indonesia).
Selama mengikuti perkuliahan penulis mendapatkan beberapa prestasi
seperti menjadi Mahasiswa Berprestasi Fakultas Kehutanan tahun 2018, Delegasi
Ekspedisi Jalur Rempah tahun 2018 daerah Ternate dan Tidore, Delegasi Pemuda
Mendunia Chapter Singapore tahun 2017, Delegasi Jambore Bebas Sampah tahun
2017 daerah Banda Aceh, Peserta IYCS ( Indonesia Youth Contributor Summit) di
Jakarta, dan mendapatkan beberapa beasiswa dari LAZ Ulil Albab tahun 2015,
Peningkatan Prestasi Akademik(PPA) tahun 2016, Rumah Kepemimpinan tahun
2017, OIC (Orangutan Information Centre) tahun 2018. Penulis juga
melaksanakan Praktik Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Kawasan Hutan
Dengan Tujuan Khusus (KHDTK) Hutan Diklat Pondok Buluh, Kabupaten
Simalungun, Sumatera Utara dan Praktik Kerja Lapangan (PKL) di Balai
Kesatuan Pengelolaan Hutan (BKPH) Yogyakarta pada tahun 2018.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vi
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur penulis ucapkan kehadirat Allah SWT karena berkat
rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi ini berjudul Keanekaragaman Tumbuhan Pakan Orangutan Tapanuli
(Pongo tapanuliensis) Di Areal Penggunaan Lain (APL) Sekitar Kawasan Hutan
Batang Toru Sumatera Utara.
Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada
Bapak Pindi Patana, S.Hut, M.Sc selaku ketua komisi dosen pembimbing dan Ibu
Dr. Ir. Ma’rifatin Zahrah, M.Si selaku anggota komisi dosen pembimbing penulis
atas kesediaannya untuk membimbing penulis dalam menyelesaikan hasil
penelitian ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Lembaga Yayasan
Orangutan Sumatera Lestari – Orangutan Information Centre (YOSL – OIC)
yang bersedia memberikan dukungan materi dan moral untuk pelaksanaan dan
penyusunan skripsi ini.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang turut
membantu penulis secara langsung maupun tidak langsung dalam menyelesaikan
penulisan skripsi ini. Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari
sempurna. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang bersifat
membangun untuk hasil penelitian yang lebih baik. Akhir kata penulis
mengucapkan terima kasih.
Medan, Agustus 2019
Penulis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
vii
DAFTAR ISI
Halaman
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... i
PERNYATAAN ORISINALITAS ........................................................... ii
ABSTRAK ................................................................................................. iii
ABSTRACT ................................................................................................ iv
RIWAYAT HIDUP ................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ..................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN ............................................................................. xi
PENDAHULUAN
Latar Belakang ............................................................................................ 1
Tujuan Penelitian ........................................................................................ 3
Manfaat Penelitian ...................................................................................... 3
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Karakteristik Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis)
Habitat Orangutan ....................................................................................... 4
Lokasi dan Kondisi Umum ......................................................................... 5
Daya Jelajah Orangutan .............................................................................. 6
Keragaman Jenis Makanan ......................................................................... 7
Pakan Orangutan ......................................................................................... 8
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat ...................................................................................... 10
Bahan dan Alat ............................................................................................ 11
Prosedur Penelitian...................................................................................... 11
Orientasi Lapangan ............................................................................ 11
Pengumpulan Data ............................................................................. 11
Data Primer ................................................................................. 11
Data Sekunder ............................................................................ 11
Struktur dan Komposisi Vegetasi ...................................................... 12
Pengolahan Data ................................................................................ 12
Indeks Nilai Penting ................................................................. 13
Indeks Shannon - Wiener ......................................................... 14
Indeks Similarity ...................................................................... 14
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur dan Komposisi Vegetasi ........................................................ 15
Indeks Nilai Penting Jenis Tumbuhan Pada Tiap Tingkat Vegetasi
di Kawasan APL (Areal Penggunaan Lain) ......................................... 17
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Kawasan APL (Areal Penggu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
viii
naan Lain) ............................................................................................ 22
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan pakan Orangutan di Kawasan APL
(Areal Penggunaan Lain) ..................................................................... 24
Kemiripan (Similarity) dan Ketidakmiripan (Dissimilarity) Tipe Komu
nitas Vegetasi Pada Setiap Jalur di Kawasan APL (Areal Penggunaan
Lain) ..................................................................................................... 26
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan .......................................................................................... 30
Saran..................................................................................................... 30
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
ix
DAFTAR TABEL
No. Teks Halaman
1. Titik Koordinat DMS dan UTM Lokasi Penelitian................................. 10
2. Analisis Data Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon .................................. 13
3. Struktur dan Komposisi Vegetasi ........................................................... 15
4. Jenis Tumbuhan Dominan Pada Tingkat Pertumbuhan Pohon ............... 17
5. Jenis Tumbuhan Dominan Pada Tingkat Pertumbuhan Tiang ................ 18
6. Jenis Tumbuhan Dominan Pada Tingkat Pertumbuhan Pancang ........... 19
7. Jenis Tumbuhan Dominan Pada Tingkat Pertumbuhan Semai ............... 20
8. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis masing – masing jalur ................... 22
9. Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Orangutan Tapanuli .. 24
8. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan)
Antara Tiap Jalur Pada Tingkat Semai ................................................... 27
9. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan)
Antara Tiap Jalur Pada Tingkat Pancang ............................................... 27
10. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan)
Antara Tiap Jalur Pada Tingkat Tiang ................................................... 28
11. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan)
Antara Tiap Jalur Pada Tingkat Pohon ................................................... 28
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
x
DAFTAR GAMBAR
No. Teks Halaman
1. Peta Lokasi Penelitian ............................................................................. 10
2. Desain Unit Petak Contoh di Lapangan dengan Metode Garis Berpetak 12
3. Sebaran Komposisi Jenis Tumbuhan Pada Tiap Jalur ................................... 16
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
xi
DAFTAR LAMPIRAN
No. Teks Halaman
1. Foto Lokasi dan Kegiatan Selama di Lapangan ........................................... 35
2. Daftar Nama Lokal dan Nama Ilmiah Vegetasi yang Terdapat di
Kawasan Hutan Batang Toru ...................................................................... 37
3. Perhitungan Analisis Vegetasi dan Indeks Nilai Penting (INP)................... 40
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Indonesia merupakan salah satu negara terkaya dengan keanekaragaman
spesies primata. Dari seluruh spesies primata di dunia, 20% diantaranya dapat
ditemukan di Indonesia, salah satu dari spesies primata tersebut adalah orangutan.
Orangutan merupakan satu-satunya spesies kera besar yang dapat ditemukan di
Asia. Sebanyak 32 jenis primata dari 40 jenis yang ada di Indonesia telah tercatat
dalam Red Data Book IUCN dan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis)
termasuk salah satu diantaranya. Hal ini menunjukkan tingginya tingkat ancaman
terhadap satwa primata di Indonesia (Supriatna dan Wahyono 2000).
Populasi orangutan sepuluh ribu tahun yang lalu tersebar luas di daratan
Cina dan Asia Tenggara. Namun di Indonesia populasi orangutan yang tersisa
hanya terdapat di Pulau Sumatera dan Pulau Kalimantan. Orangutan di kedua
pulau tersebut berbeda spesiesnya yaitu orangutan sumatera (Pongo abelii) dan
orangutan kalimantan (Pongo pygmaeus) (Rowe, 1996). Namun pada tahun 2017
spesies orangutan baru telah ditemukan di Kawasan Ekosistem Hutan Batang
Toru dengan nama spesies Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis). Satwa ini
diketahui memiliki jenis panggilan jarak jauh (long call) yaitu cara jantan
menyebarkan informasi yang berbeda, serta jenis pakan unik yang hanya
ditemukan di ekosistem Batang Toru. Populasi Orangutan Tapanuli terpecah ke
dalam dua kawasan utama (blok barat dan timur), oleh lembah patahan Sumatera,
dan juga ada populasi kecil di Cagar Alam Dolok Sibual - buali di sebelah
tenggara blok barat. Satwa ini termasuk ke dalam daftar spesies “sangat terancam
punah” (critically endangered) berdasarkan daftar merah IUCN. Saat ini kawasan
ekosistem Batang Toru memiliki luas 150.000 Ha dan merupakan habitat terakhir
bagi Orangutan Tapanuli (Hadi, 2017).
Orangutan Sumatra (Pongo abelii Lesson) merupakan satwa endemik yang
sebaran alaminya hanya tersisa di Provinsi Aceh dan Sumatra Utara, dengan status
konservasi sebagai satwa yang kritis terancam punah. Salah satu habitatnya yang
masih cukup baik adalah di Hutan Batang Toru, Tapanuli, Sumatra Utara.
Keberadaan orangutan di Batang Toru (sebelah Selatan Danau Toba) telah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
2
menarik perhatian banyak pihak karena diduga memiliki pola kehidupan yang
berbeda dengan orangutan di Aceh (sebelah Utara Danau Toba). Kualitas dan luas
habitat orangutan Batang Toru saat ini diduga terus menurun karena masih
maraknya aktivitas konversi hutan menjadi areal perkebunan, pertanian dan
pemukiman masyarakat. Untuk itu, upaya konservasinya menjadi sangat penting
karena sebaran populasinya terus terfragmentasi pada luasan habitat yang sempit,
seperti pada kawasan konservasi. Segala upaya sebaiknya terus ditempuh untuk
melestarikan orangutan melalui tindakan yang nyata, bijaksana, dan rasional
(Kuswanda, 2014).
Melihat kondisi tersebut perlu adanya identifikasi dan data
keanekaragaman tumbuhan pakan Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) di
Areal Penggunaaan Lain (APL) ekosistem hutan Batang Toru. Hal ini dilakukan
agar diketahui seberapa besar indeks keanekaragaman tumbuhan pakan yang
terdapat pada kawasan tersebut dan apakah layak kawasan tersebut dijadikan
habitat bagi Orangutan Tapanuli (P. tapanuliensis).
Menurut Nowak et al. (2017) dikatakan bahwa pada ekosistem hutan
Batang Toru terdapat ancaman internal dan eksternal. Ancaman internal yang
terjadi bukan hanya pada pembangunan pembangkit listrik melainkan adanya
konversi lahan menjadi tambang emas dan perak serta lahan pertanian. Sedangkan
ancaman eksternal yang sering terjadi pada ekosistem ini berupa perburuan dan
perdagangan orangutan muda, serta pembunuhan akibat adanya konflik dengan
manusia. Baru-baru ini, pengembangan listrik tenaga air telah diusulkan dalam
daerah dengan kepadatan orangutan tertinggi, yang dapat berdampak sekitar 100
km² dari habitat Pongo tapanuliensis, atau hampir 10% dari seluruh populasi
spesies. Hal ini dapat membahayakan bahkan memperkecil peluang untuk
mempertahankan koridor antara habitat orangutan blok barat dan blok timur.
Apabila ancaman ini terus terjadi maka akan mempengaruhi keseimbangan
ekosistem. Hal ini akan berdampak luas pada lahan pakan satwa, karena adanya
perubahan konversi lahan. Galdikas (1984) menyatakan bahwa ketika pakan satwa
sudah sulit ditemukan maka akan terjadi penurunan kelompok pakan (Feeding
Group), sehingga berdampak pada sulitnya pertemuan dan adaptasi antara tiap
individu, yang berakibat pula pada turunnya angka fertilitas Orangutan Tapanuli.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
3
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah mengidentifikasi dan menghitung
keanekaragaman jenis tumbuhan pakan orangutan Tapanuli
(Pongo tapanuliensis) di kawasan Hutan Batang Toru.
Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat :
1. Sebagai data base bagi peneliti mengenai keanekaragaman tumbuhan pakan
Orangutan Tapanuli (P. tapanuliensis).
2. Sebagai bahan pertimbangan bagi para pengambil kebijakan atau Stakeholder
tentang pentingnya pelestarian Orangutan Tapanuli (P. tapanuliensis) di
Areal Penggunaan Lain (APL).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
4
TINJAUAN PUSTAKA
Taksonomi dan Karakteristik Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis)
Orangutan berasal dari bahasa melayu yaitu “orang hutan”. Orangutan
Pongo pygmaeus di Borneo dan orangutan Pongo abelii di Sumatera merupakan
satu-satunya kera besar yang hidup di Asia. Jenis kera besar lainnya di temukan di
Afrika, yaitu Bonobo (Pan panicus), Simpanse (Pan troglodytes) dan Gorilla
(Gorilla gorilla). Semua kera besar digolongkan ke dalam suku pongidae yang
merupakan bagian dari bangsa primata (Yuwono, 2007).
Menurut Nowak et al. (2017), klasifikasi orangutan Tapanuli adalah
sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Phylum : Chordata
Classis : Mamalia
Ordo : Primata
Famili : Hominidae
Genus : Pongo
Species : Pongo tapanuliensis (Nowak, 2017)
Perbedaan morfologis orangutan dapat dikenali dari perawakannya,
khususnya struktur rambut. Jenis dari Sumatera berambut lebih tipis, membulat,
mempunyai kolom pigmen gelap yang halus dan sering patah di bagian
tengahnya, biasanya jelas di dekat ujungnya dan kadang berujung hitam di bagian
luarnya. Ciri yang kedua, orangutan Kalimantan lebih tegap dan mempunyai kulit
dan warna rambut lebih gelap dari pada orangutan yang ada di Sumatera
(Meijaard et al., 2001).
Habitat Orangutan
Kurang dari 20.000 tahun yang lalu orangutan dapat dijumpai di seluruh
Asia Tenggara, dari Pulau Jawa di ujung selatan sampai ujung utara Pegunungan
Himalaya Cina bagian selatan. Akan tetapi, saat ini jenis kera besar ini hanya
ditemukan di Sumatera dan Kalimantan, dimana 90% berada di Indonesia.
Penyebab utama terjadi penyempitan daerah sebaran adalah karena manusia dan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
5
orangutan menyukai tempat hidup yang sama, terutama dataran alluvial disekitar
daerah aliran sungai dan hutan rawa gambut. Pemanfaatan lahan tersebut untuk
aktivitas sosial, ekonomi, dan budaya manusia umumnya berakibat fatal bagi
pihak orangutan. Diketahui jumlah populasi orangutan liar telah menurun secara
terus menerus dalam beberapa dekade terakhir akibat hilangnya hutan dataran
rendah, namun pada beberapa dekade tahun terakhir ini kecepatan penurunan
populasi orangutan terus meningkat. Prediksi para ahli, jika kondisi ini tidak
membaik, maka dalam 10 tahun terakhir kita akan kehilangan hampir 50% dari
jumlah populasi yang ada saat ini (Dephut, 2007).
Kelangsungan hidup orangutan sangat bergantung kepada habitatnya
dihutan hujan tropis mulai dari hutan dataran rendah, rawa, kerangas hingga hutan
pegunungan diketinggian 1.800 mdpl (Rijksen, 1978). Batas ketinggian itu
mencerminkan ketersediaan sumber pakan yang disukai dari pada faktor iklim.
Pada habitat alaminya, orangutan merupakan satwa liar tipe pengumpul atau
pencari makanan yang oportunis (memakan apa saja yang dapat diperolehnya).
Distribusi jumlah dan kualitas makanan, terutama buah-buahan sebagai makanan
pokok orangutan, sangat memengaruhi perilaku pergerakan, kepadatan populasi
dan organisasi sosialnya (Meijaard et al., 2001).
Lokasi dan Kondisi Umum
Fredriksson dan Usher (2017) menyatakan bahwa terdapat 11.072 Ha
wilayah ekosistem Hutan Batang Toru yang berstatus APL (Areal Penggunaan
Lain). Pada lahan APL dikatakan banyak usaha pertanian yang bergantung pada
air dari DAS (Daerah Aliran Sungai) seperti persawahan yang luas di lembah
Sarulla (di antara blok barat dan blok timur), serta perkebunan karet dan sawit di
hilir. Ekosistem Batang Toru merupakan hulu dari sembilan DAS dan mempunyai
fungsi yang sangat penting untuk menjaga penataan air di DAS tersebut. Yang
paling nyata adalah DAS Sipansihaporas dimana seluruh hulunya berada di
Ekosistem Batang Toru dan menjadi sumber air untuk PLTA berkapasitas 510
MW. Selain PLTA Sipansihaporas terdapat 2 instalasi pembangkit listrik tenaga
air di Aek Raisan, yang sumber airnya juga dari Ekosistem Batang Toru. Lebih
dari setengah Ekosistem Batang Toru adalah bagian dari DAS Batang Toru, yang
merupakan DAS terluas di wilayah ini. DAS Batang Toru hampir seluruh hulu
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
6
DAS-nya sudah merupakan lahan pertanian, sehingga hutan yang ada di
Ekosistem Batang Toru merupakan benteng terakhir untuk melindungi fungsi
DAS penting ini. Menurut informasi yang didapatkan dari Cahyani (2014),
keberadaan pohon sarang Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis) terdapat di
desa Huraba, Bulu Mario, Aek Nabara, Sitandiang, Tanjung Rompa, Simaretung,
Poken Arba, Sugi, Aek Sabaon, Sialaman dan Sibio-Bio.
Ekosistem Batang Toru, yang juga disebut “Harangan Tapanuli” dengan
luas total sekitar 150.000 ha terletak di ketiga Kabupaten Tapanuli, Provinsi
Sumatera Utara. Dari luas tersebut, hampir 142.000 ha merupakan hutan primer
yang tampak hijau tua pada citra satelit di peta. Selebihnya adalah kawasan
terdegradasi yang perlu di rehabilitasi sekaligus membangun koridor antar blok –
blok hutan yang telah terpisah. Sekitar 61,0% dari hutan primer terdapat di
kabupaten Tapanuli Utara, 29,7% di Tapanuli Selatan, dan 9,3 % di Tapanuli
Tengah. Titik terendah adalah 133 m di atas permukaan laut (dpl) namun sebagian
besar hutan primer berada di atas 850 mdpl dengan tingkat curah hujan yang
tinggi. Titik tertinggi adalah 1909 mdpl di Dolok Lubuk Raya. Karena variasi
ketinggian tersebut, tipe hutan yang ditemukan juga beragam, mulai dari hutan
hujan tropis dataran rendah, hingga hutan berlumut di dataran tinggi. Curah hujan
sangat tinggi di ekosistem Batang Toru (Fredriksson dan Usher, 2017).
Daya Jelajah Orangutan
Pongo tapanuliensis hanya terdapat pada sejumlah kecil fragmen hutan
di kabupaten Tapanuli Tengah, Utara, dan Selatan (Indonesia). Total distribusi
mencakup sekitar 1.000 km2, dengan ukuran populasi diperkirakan kurang dari
800 individu. Distribusi Pongo tapanuliensis saat ini hampir sepenuhnya terbatas
pada bukit dengan tipe hutan submontana (300 - 1300 m di atas permukaan laut).
Meskipun kepadatan Orangutan tertinggi terdapat pada hutan primer, hal ini tidak
menutup kemungkinan terjadi juga kepadatan yang lebih rendah di agroforest
campuran di tepi area hutan primer. Sampai saat ini dari pola distribusi
Pongo tapanuliensis lebih luas mengarah ke selatan dan barat, meskipun bukti
untuk ini sebagian besar anekdot (Matthew et. al. 2017).
Menurut Kuswanda (2013) menyatakan bahwa sarang Pongo tapanuliensis
yang dijumpai secara umum sudah berumur relatif lama. Sarang yang ditemukan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
7
paling banyak sudah termasuk kelas C (sebesar 41,98%) dan kelas D (30,86%).
Sarang baru, yang termasuk kelas A hanya ditemukan sekitar 6,17%. Sarang baru
banyak ditemukan terutama pada tipe habitat hutan primer ketinggian 600-900
mdpl. Kategori kelas umur sarang yang ditemukan dilokasi penelitian didominasi
oleh kelas C dan kelas D, terutama pada tipe habitat dengan ketinggian 900 -
1.200 mdpl. Pada umumnya Orangutan selalu membuat sarang pada pohon
pakannya atau sekitar pohon pakannya, pada ketinggian 600 – 900 mdpl inilah
yang menjadi penyebab utama orangutan memiliki wilayah jelajah yang luas
untuk mendapatkan pakan yang berkualitas. Menurut Kuswanda dan Sukmana
(2005), ketersediaan sumber pakan, air, karakteristik vegetasi yang menjamin
keamanan dan kenyamanan lokasi bersarang adalah faktor utama yang menjadi
pertimbangan untuk pemilihan lokasi bersarang pada orangutan.
Individu jantan dengan individu betina orangutan Sumatera memiliki jarak
jelajah harian dan luas daerah teritori yang berbeda. Orangutan jantan dewasa
lebih besar home range-nya bila dibandingkan dengan betina dewasa. Estimasi
area jelajah betina dewasa Orangutan Sumatera 850 ha, sedangkan jantan dewasa
memiliki area jelajah yang lebih besar dari betina dewasa dengan jarak mencapai
1.500 ha (Singleton dan Van Schaik, 2000). Sedangkan menurut Meijaard dan
Kartikasari (2001), menyatakan bahwa wilayah jelajah orangutan jantan dewasa
dapat mencapai 2.500 ha dan betina dewasa sekitar 850 ha.
Keragaman Jenis Makanan
Idealnya hutan dapat menyediakan vegetasi yang mampu menyediakan
sumber pakan (buah) bagi orangutan. Produksi buah dihutan Sumatera jauh lebih
banyak dengan masa berbuah lebih panjang dibandingkan hutan di Kalimantan.
Contohnya beberapa jenis buah dari marga Aglaia, Blumeodendron, Castanopsis,
Garcinia, Litsea, Lithocarpus, Nephelium, dan Tetramerista. Jenis buah tersebut
memiliki produktivitas lebih tinggi di Sumatera dari pada di Kalimantan
(Marshall et al., 2009). Melimpahnya sumber pakan itu akan mendorong interaksi
sesama orangutan. Contoh interaksi itu terjadi pada masa kawin dan terbentuknya
feeding group ketika memanfaatkan sumber pakan di pohon yang sama
(Rijksen, 1978).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
8
Galdikas (1984) dalam penelitiannya menyatakan bahwa Orangutan (per
contoh sasaran) telah diamati sedang makan selama 3.805 jam dalam 11.338
aktivitas makan. Orangutan memakan 317 jenis makanan yang dapat di
identifikasi, yang terdiri atas 227 spesies tanaman yang berbeda, empat spesies
fungus, lima jenis serangga, satu jenis madu liar dan tanah. Meskipun variabilitas
pakan orangutan sangat besar, orangutan pada dasarnya bersifat Frugivora.
Selama empat tahun, waktu makan buah merupakan 61 % dari seluruh waktu
makan. Kebanyakan jenis makanan orangutan (74 %) berasal dari spesies
pepohonan. Selama satu bulan, orangutan kadang – kadang terlihat memanfaatkan
sebanyak 78 jenis makanan yang berbeda, kebanyakan berasal dari jenis tanaman
yang berbuah seperti buah Mezzetia sp., Calophyllus macrocarpus, Irvingia
malayana, dan beberapa species mangga hutan (Mangifera sp.), hal ini memberi
gambaran tentang kebiasaan pilah memilah makanan.
Pakan Orangutan
Kuswanda (2011) menyatakan bahwa proporsi jumlah pohon pakan
orangutan tertinggi ditemukan pada tipe habitat hutan primer pada ketinggian 600-
900 m dpl (rata-rata sebesar 71,9%), kemudian hutan sekunder (56,9%), hutan
primer ketinggian >900-1.200 m dpl (55,8%), dan yang terendah pada tipe habitat
pertanian dan semak belukar. Panjang dan luasnya daerah jelajah orangutan
dewasa sangat dipengaruhi oleh sebaran tumbuhan pakan.
Delgado dan van Schaik (2000) menyatakan bahwa ketersediaan sumber
pakan terutama buah yang langka ditemukan dalam kurun waktu lama akan
mempengaruhi kelangsungan hidup dan tingkat reproduksi orangutan. Bila
bertahan hidup, orangutan terpaksa mengonsumsi dedaunan yang bernutrisi
rendah serta menjelajah lebih jauh untuk memperoleh pakannya. Hal itu membuat
energi yang di keluarkan lebih besar sehingga menurunkan energisitas orangutan.
Galdikas (1984) mengatakan bahwa orangutan di Tanjung Puting
memanfaatkan buah, bunga, daun, kuncup dan kulit kayu serta cairan dari
berbagai spesies pohon, tanaman menjalar dan juga berbagai tanaman merambat
yang kecil. Selain itu orangutan juga memakan anggrek, rayap, ulat, semut, jamur,
madu, pangkal dan batang tunas rotan muda, tanaman menjalar, epifit, pakis dan
palma kecil sebagai makanan. Bunga dan buah sesuatu species waktunya sangat
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
9
terbatas dan tidak mudah diperkirakan kapan tersedia karena munculnya tidak
teratur. Pola berbunga/berbuah pohon dihutan hujan tropis tidak mengikuti daur
tahunan yang tetap, seperti kelihatannya pada spesies pohon di hutan beriklim
sedang. Akan tetapi secara umum gambaran hutan hujan tropis sebagai tempat di
mana selalu ada tumbuhan yang berbunga atau berbuah. Meskipun demikian,
walapun memang selalu ada beberapa buah tersedia, jumlahnya sangatlah
bervariasi. Selama enam tahun ketika catatan fenologis di buat terhadap 58 pohon
tertentu di hutan hujan malaya, rata-rata bulanan pohon-pohon yang berbuah
berkisar antara 1% dan 15%, meskipun selama 15 bulan (21%) dari 73 bulan tidak
satu pohon pun yang mengandung buah matang (Medway, 1972).
Ketersediaan pakan orangutan di habitat alami menjadi faktor utama yang
berpengaruh pada keberlangsungan hidup orangutan. Jenis pohon pakan
orangutan beragam, salah satu jenis yang sangat disukai orangutan adalah
Ficus sp. Faktor lain yang mempengaruhi preferensi orangutan terhadap
Ficus sp adalah aroma buahnya. Selain itu, Ficus sp adalah jenis pohon yang
berbuah sepanjang tahun sehingga pohon ini sebagai pohon penyokong
ketersediaan pakan orangutan. Ketersediaan Ficus sp sebagai sumber pakan
sekunder bagi orangutan baik orangutan semi liar maupun liar. Orangutan
Sumatera (Pongo abelii), menggunakan tumbuhan liana sebagai sumber pakan
sekunder yang diperoleh dari buah, bunga, kulit muda dan daun. Selain itu juga
digunakan sebagai sarana atau jembatan untuk berpindah dari satu pohon ke
pohon lain, yang menyebabkan kebertahanan orangutan dalam suatu habitat
tertentu. Dan hal ini yang menunjukkan bahwa orangutan sendiri termasuk
kategori hewan yang arboreal. Dengan kata lain, keberadaan tumbuhan jenis liana
dalam kawasan habitat tertentu mempunyai peran penting dalam keberlangsungan
hidup orangutan (Muda, 2016).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
10
METODE PENELITIAN
Waktu dan Tempat
Penelitian ini dilakukan selama tiga bulan di Desa Huraba Kecamatan
Marancar kawasan Hutan Batang Toru, Kabupaten Tapanuli Selatan, Sumatera
Utara. Peta lokasi penelitian dapat dilihat pada Gambar 1.
Gambar 1. Peta Lokasi Penelitian
Berdasarkan koordinat dengan format UTM (Universal Transverse Mercator) dan
DMS (Degree-Minute-Second), titik lokasi penelitian dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Titik koordinat DMS dan UTM lokasi penelitian
Jalur DMS UTM Tipe Komunitas
Vegetasi N E N E
1 1o35o060 99o1300 176850,651 524100,292 Hutan Sekunder
2 1o35o060 99o110030 176850,374 521319,493 Hutan Sekunder
3 1o35o191 99o110309 175066,028 521350,053 Hutan Sekunder
4 1o34o020 99o110080 173779,358 522864,683 Hutan Sekunder
5 1o33o050 99o100030 172857,953 519465,944 Hutan Sekunder
6 1o33o0 99o110030 171322,956 521319,990 Kebun Campuran
7 1o32o70 99o90090 171629,827 519466,046 Hutan Sekunder
8 1o32o020 99o1100 170094,747 520393,136 Kebun Campuran
9 1o31o0 99o100050 167638,467 520084,355 Hutan Sekunder
10 1o33o0 99o1000 165796,155 518539,541 Hutan Sekunder
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
11
Bahan dan Alat
Bahan dan objek yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan peta
kawasan, tally sheet analisis vegetasi dan satwa, dan catatan pengenal tanaman,
serta objek penelitian ini adalah tumbuhan sebagai sumber pakan Orangutan.
Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah kamera digital, GPS
(Global Positioning System), kompas, meteran, tali plastik, alat tulis, pita penanda
dan PC (Personal Computer).
Prosedur Penelitian
Orientasi Lapangan
Orientasi lapangan dilakukan sebagai langkah awal untuk menentukan
posisi plot dan posisi jalur yang akan digunakan. Dalam orientasi lapangan
dilakukan perencanaan untuk menentukan lokasi pengambilan data dengan
menggambarkan rencana posisi plot di atas peta kawasan PLTA. Lokasi yang
dipilih mewakili, terutama pada areal yang diperkirakan terdapat banyak jenis
tumbuhan sebagai sumber pakan.
Pengumpulan Data
Data primer
Data primer adalah data yang diperoleh berdasarkan hasil pengamatan di
lapangan. Data primer yang akan dikumpulkan, yaitu : data jumlah individu
tumbuhan tingkat semai dan pancang, dan jumlah individu, tinggi, diameter pada
pertumbuhan tingkat tiang dan pohon. Serta data sebaran titik lokasi vegetasi
pakan Orangutan Tapanuli (P. tapanuliensis) dan nama jenis tumbuhan yang
didapat dari masyarakat lokal.
Data sekunder
Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari beberapa sumber. Di
antaranya berupa data tumbuhan lokal dan tumbuhan pakan Orangutan Tapanuli
(Pongo tapanuliensis) yang diperoleh melalui sumber-sumber literatur di kawasan
ekosistem hutan Batang Toru.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
12
Struktur dan Komposisi Vegetasi
Data keanekaragaman, kesamaan dan ketidaksamaan jenis diperoleh
dengan melakukan kegiatan analisis vegetasi. Metode yang digunakan dalam
analisis vegetasi adalah metode garis berpetak. Pada analisis vegetasi terdapat
sebanyak 10 jalur lokasi. Setiap jalur memiliki panjang sejauh 1 km. Setiap jalur
dibuat plot secara sistematis dengan jumlah sebanyak 6 plot. Gambaran jalur
yang digunakan untuk analisis vegetasi dapat dilihat pada Gambar 2.
Gambar 2. Desain unit petak contoh di lapangan dengan metode garis berpetak
(Zahra, 2002).
Keterangan:
a = petak contoh semai (2 m x 2m)
b = petak contoh pancang (5 m x 5 m)
c = petak contoh tiang (10 m x 10 m)
d = petak contoh pohon (20 m x 20 m)
Pengolahan Data
Data vegetasi yang terkumpul kemudian dianalisis untuk mengetahui
kerapatan, kerapatan relatif, dominansi, dominansi relatif, frekuensi dan frekuensi
relatif serta Indeks Nilai Penting (INP) menggunakan rumus Dombois dan
Ellenberg (1974) sebagai berikut:
Rumus yang digunakan:
Kerapatan Suatu Jenis (K)
K= Jumlah Individu Suatu Jenis
Luas Seluruh Petak
Kerapatan Relatif (KR)
KR= Kerapatan Jenis ×100%
Kerapatan Seluruh Jenis
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
13
Frekuensi Suatu Jenis (F)
F= Petak ditemukan jenis
Petak Contoh
Frekuensi Relatif (FR)
FR= Frekuensi suatu jenis ×100%
Frekuensi seluruh jenis
Dominansi (D)
D= Jumlah luas bidang dasar suatu jenis
Luas Petak Contoh
Dominansi Relatif (DR)
DR= Dominansi suatu jenis ×100%
Dominansi Total Seluruh Jenis
Indeks Nilai Penting
Kedudukan ekologis suatu jenis serta kepentingan dan peranan suatu
jenis dalam komunitas digambarkan dengan Indeks Nilai Penting (INP) dari jenis
tersebut. Data-data yang dikumpulkan kemudian dihitung Indeks Nilai
Pentingnya. Nilai penting ini digunakan untuk menetapkan dominansi suatu jenis
terhadap jenis lainnya. Untuk tingkat tiang dan pohon, INP = KR+FR+DR,
nilainya berkisar antara 0 dan 300 (Dombois dan Ellenberg, 1974). Untuk tingkat
pertumbuhan semai dan pancang, INP = KR+FR, dengan nilai maksimum 200.
Analisis data dapat dibuat seperti pada Tabel 2.
Tabel 2. Analisis Data Vegetasi Tingkat Tiang dan Pohon
No.
Nama
Lokal
Nama
Latin K
KR
(%) F
FR
(%)
D DR
(%) INP
1.
2.
3.
4.
Indeks Nilai Penting (INP) (Dombois dan Ellenberg 1974).
INP= KR + FR + DR (Tingkat Tiang dan Pohon)
INP= KR + FR (Tingkat Semai dan Pancang)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
14
Indeks Shannon - Wiener (H’)
Keanekaragaman jenis suatu kawasan hutan dapat digambarkan dengan
Indeks Shannon - Wiener. Menurut Magurran (2004) menyatakan semakin besar
H’ suatu komunitas maka semakin beranekaragam jenis dalam komunitas
tersebut. Nilai H’=0 dapat terjadi bila hanya satu spesies dalam satu contoh
(sampel) dan H’ maksimal bila semua jenis mempunyai jumlah individu yang
sama dan ini menunjukkan kelimpahan terdistribusi secara sempurna.
Indeks Keragaman Shannon – Wiener (H’) (Krebs, 1989)
H = - pi log pi; dengan: pi = N
ni
H = indeks keanekaragaman Shannon-Wiener
ni = Indeks nilai penting satu jenis atau jumlah individu
satu jenis.
N = Jumlah indeks nilai penting dari seluruh jenis atau-
pun jumlah individu seluruh jenis.
Parameter Indeks Shannon - wiener:
• H’<1,5 keanekaragaman rendah
• 1,5 = H’ = 3,5 keanekaragaman tergolong sedang
• H’>3,5 keanekaragaman tergolong tinggi
Indeks Similarity (IS)
Untuk menganalisis data kesamaan jenis, di gunakan rumus indeks
similarity (Michael, 1984) yaitu :
IS =
IS = Indeks Kemiripan
A = Jumlah Jenis pada Habitat A
B = Jumlah Jenis pada Habitat B
C = Jumlah Jenis yang sama – sama di jumpai pada Habitat A & B
Parameter Indeks Similarity dikatakan sangat tidak mirip apabila
(IS=25%), tidak mirip apabila (25%<IS=50%), mirip apabila (50%<IS<75%) dan
sangat mirip apabila (IS = 75%).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
15
HASIL DAN PEMBAHASAN
Struktur dan Komposisi Vegetasi
Jenis tumbuhan yang terhimpun dari 10 jalur pengamatan seluruhnya
tercatat 132 jenis, terdiri dari semua tingkat pertumbuhan vegetasi baik semai,
pancang, tiang dan pohon. Hasil analisis vegetasi menunjukkan struktur dan
komposisi vegetasi di lokasi studi dapat dilihat pada Tabel 3.
Tabel 3. Struktur dan Komposisi Vegetasi Nomor
Jalur Semai Pancang Tiang Pohon
1 10 13 9 7
2 15 13 11 10
3 7 12 12 12
4 20 18 12 11
5 12 21 11 17
6 6 8 4 5
7 6 19 14 13
8 0 4 6 12
9 2 9 7 8
10 5 16 17 13
Komposisi vegetasi tertinggi terdapat pada jalur 4 dengan total individu
jenis sebanyak 62 dan tipe komunitas hutan ini adalah hutan sekunder. Pada
kondisi lain komposisi vegetasi terendah terdapat pada jalur 8 dengan total
individu jenis sebanyak 22 dan tipe komunitas vegetasi ini adalah lahan kering
bekas area pertanian-kebun campuran-semak belukar. Dapat dikatakan bahwa
pada jalur 4 didominasi oleh jenis tumbuhan yang sangat beragam sehingga di
setiap tingkatan vegetasi baik tingkat semai, pancang, tiang dan pohon, jenisnya
berbeda – beda. Sedangkan pada jalur 8 didominasi oleh jenis tanaman budidaya.
Sebaran komposisi jenis tumbuhan pada tiap jalur dapat dilihat pada Gambar 3.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
16
Gambar 3. Sebaran Komposisi Jenis Tumbuhan pada Tiap Jalur
Analisis vegetasi dilakukan untuk mengetahui struktur dan komposisi
vegetasi, sehingga dapat diidentifikasi jenis tumbuhan yang terdapat di sepanjang
jalur dan berapa banyak jenis tumbuhan tersebut di setiap tingkat vegetasi.
Purwaningsih dan Yusuf (2005) menyatakan bahwa proses regenerasi dan
pertumbuhan anakan beberapa jenis pohon adakalanya harus dimulai dari
terbentuknya celah atau bukaan kanopi. Tipe hutan sekunder yang terdapat pada
jalur 4 memiliki jumlah individu jenis yang tinggi, khususnya pada tingkat
pertumbuhan semai dan pancang. Dapat diartikan bahwa regenerasi tingkat
vegetasi pada jalur 4 akan terus ada, dimana vegetasi tingkat semai dan pancang
sekarang akan berubah menjadi pohon di masa mendatang seiring dengan adanya
celah cahaya yang masuk dari bukaan kanopi. Kusumo et al. (2016) mengatakan
bahwa dinamika populasi dan dominansi pohon dipengaruhi oleh kematian,
pertumbuhan dan proses regenerasi. Ada banyak jenis pohon yang tidak mampu
tumbuh dan berkembang di bawah naungan pohon induk.
0
5
10
15
20
25
Jumlah
Individu
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10
Jalur
Semai
Pancang
Tiang
Pohon
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
17
Indeks Nilai Penting Jenis Tumbuhan Pada Tiap Tingkat Vegetasi di
Kawasan APL (Areal Penggunaan Lain)
Indeks Nilai Penting (INP) merupakan nilai yang menunjukkan berapa
besar dominansi suatu jenis dikomunitasnya. Semakin tinggi Indeks Nilai
Pentingnya menunjukkan bahwa spesies tersebut lebih dominan dibandingkan
spesies yang lebih rendah Indeks Nilai Pentingnya. Dominansi jenis pada tiap
tingkat pertumbuhan dapat dilihat pada Tabel 4, 5, 6 dan 7.
Tabel 4. Jenis Tumbuhan Dominan pada Tingkat Pertumbuhan Pohon.
Jalur Jenis Nama Ilmiah INP
1. Tipa-Tipa Bauhina sp 63,11
2. Medang Litsea brachystacys 53,53
3. Hayu Ndolok Syzygium sp 49,92
4. Medang Litsea brachystacys 77,81
5. Karet Hevea brasiliensis 30,24
6. Karet Hevea brasiliensis 130,63
7. Beringin Ficus benjamina 38,67
8. Durian Durio zibhetinus 107,37
9. Siak-Siak Pternandra coerulescens 92,98
10. Lagan Dipterocarpus humenatus 45,43
Pada tingkat pertumbuhan pohon terdapat 2 jenis yang memiliki Indeks
Nilai Penting lebih dari pada 100, dapat dikatakan bahwa nilai 100 merupakan
sepertiga dari total Indeks Nilai Penting pada tingkat pertumbuhan pohon. Indeks
Nilai Penting dengan nilai diatas 100 terdapat pada jalur 6 dengan nilai 130,63
dan jalur 8 dengan nilai 107,37. Jenis tumbuhan pada kedua jalur tersebut adalah
karet (Hevea brasiliensis) dan Durian (Durio zibethinus). Tipe komunitas vegetasi
pada kedua jalur ini adalah kebun campuran, dimana tanaman karet dan durian
sengaja ditanam oleh masyarakat. Namun pada pada jalur 5 juga terdapat jenis
karet dengan nilai INP 30,24 dan tipe komunitas vegetasinya adalah hutan
sekunder, dimana pada jalur ini terdapat banyak jenis tumbuhan yang bervariasi.
Pada jalur 1 didominasi jenis tipa – tipa (Bauhinia sp) dengan Indeks Nilai
Penting 63,11, pada jalur 3 didominasi jenis Hayu ndolok (Syzigium sp) dengan
nilai 49,92, pada jalur 9 didominasi jenis siak – siak (Pternandra coerulescens)
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
18
dan pada jalur 10 didominasi jenis Lagan (Dipterocarpus humenatus). Keempat
jalur ini memiliki tipe komunitas vegetasi hutan sekunder. Terdapat 2 jenis
tumbuhan pakan yang dapat dimakan Orangutan pada tingkat pertumbuhan pohon
yaitu beringin (Ficus benjamina) dan durian (Durio zibethinus) yang terdapat
pada jalur 7 dan 8.
Tabel 5. Jenis Tumbuhan Dominan pada Tingkat Pertumbuhan Tiang
Jalur Jenis Nama Ilmiah INP
1. Kayu Horsik Ilex pleiobrachiata 75,66
2. Medang Litsea brachystacys 98,62
3. Hayu Ndolok Syzygium sp 67,49
4. Kulit Anjing Calicarpa sp 53,55
5. Medang Litsea brachystacys 75,95
6. Karet Hev ea brasiliensis 227
7. Medang Litsea brachystacys 52,41
8. Kayu Manis Cinnamomum burmannii 118,85
9. Siak-Siak Pternandra coerulescens 116,67
10. Dabudakka Ardisia sp 29,69
Pada tingkat pertumbuhan tiang, terdapat 3 jalur yang memiliki 1 jenis
yang sama yaitu medang (Litsea brachystacys), diantaranya tedapat pada jalur 2
dengan Indeks Nilai Penting 98,62, jalur 5 dengan Indeks Nilai Penting 75,95 dan
pada jalur 7 dengan nilai 52,41. Tipe komunitas vegetasi dari ketiga jalur ini
adalah hutan sekunder. Jenis dominan pada jalur 6 memiliki Indeks Nilai Penting
sebesar 227 sedangkan pada jalur 8 memiliki Indeks Nilai Penting sebesar 118,85.
Tipe komunitas vegetasi pada kedua jalur ini adalah kebun campuran, karena
didominasi oleh jenis tumbuhan karet (H. brasiliensis) dan kayu manis
(C. burmanii). Tipe vegetasi hutan sekunder pada tingkat pertumbuhan tiang juga
terdapat pada jalur 1, 3, 9, dan 10. Tumbuhan dominan dengan Indeks Nilai
Penting tertinggi yang terdapat pada tingkat pertumbuhan tiang di setiap jalurnya
tidak ditemukan tumbuhan pakan Orangutan, sehingga ketersediaan pakan pada
tingkat pertumbuhan tiang sangat sedikit yang hanya didapat dari jenis yang
bukan dominan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
19
Tabel 6. Jenis Tumbuhan Dominan pada Tingkat Pertumbuhan Pancang
Jalur Jenis Nama Ilmiah INP
1. Kayu Manis Cinnamomum burmannii 29,65
2. Medang Litsea brachystacys 34,29
3. Hayu Ndolok Syzygium sp. 72,31
4 Medang Litsea brachystacys 51,02
5 Siak – siak Pternandra coerulescens 21,25
6 Karet Hevea brasiliensis 66,67
7 Hapinis Sloetia elongata 17,39
Suri-Suri Syzygium zeylanicum 17,39
Habo Archidendron bubalinum 17,39
Sapot Macaranga gigantea 17,39
8 Cokelat Theobroma cacao 80
9 Latong Laportea stimulans 33,33
Kemiri Aleurites moluccanus 33,33
Andulpak Macaranga tanarius 33,33
10 Hapinis Sloetia elongata 28,57
Jambu-Jambu Syzigium acuminatisimum 28,57
Pada Tabel 6 tercatat 3 jalur yang memiliki jenis dominan yang terdiri dari
beberapa jenis. Di antaranya terdapat pada jalur 7 yang memiliki Indeks Nilai
Penting sebesar 17,39 dan terdapat 4 jenis tumbuhan yang berbeda, diantaranya
adalah Hapinis (Sloetia elongata), Suri – Suri (Syzigium zeylanicum), Habo
(Archidendron bubalinum) dan Sapot (Macaranga gigantea). Pada lain sisi dijalur
9 terdapat Indeks Nilai Penting sebesar 33,33 dan terdapat 3 jenis yang berbeda,
diantaranya adalah Latong (Laportea stimulans), Kemiri (Aleurites moluccanus),
dan Andulpak (Macaranga tanarius). Pada jalur 10 terdapat Indeks Nilai Penting
sebesar 28,57 dan terdapat 2 jenis yang berbeda, diantaranya Hapinis (S. elongata)
dan Jambu – Jambu (Syzigium acuminatisimum), dari ketiga jalur ini tipe
vegetasinya adalah hutan sekunder. Terdapat sebanyak 4 jenis tumbuhan pakan
yang dapat dimakan Orangutan pada tingkat pertumbuhan pancang yaitu Habo
(Archidendron bubalinum), Sapot (Macaranga gigantea), Cokelat
(Theobroma cacao) dan Jambu – jambu (Syzigium acuminatisimum).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
20
Tabel 7. Jenis Tumbuhan Dominan pada Tingkat Pertumbuhan Semai
Jalur Jenis Nama Ilmiah INP
1 Rukam Flaoourtin rukam 33,11
2 Sitarak Macaranga sp 28,27
3 Sitarak Macaranga Sp 41,90
4 Hayu Ndolok Syzygium sp 30,56
5 Mahang Macaranga dioponhorstii 22,29
6 Sitarak Macaranga sp 50
7 Jambu – Jambu Syzigium acuminatisimum 66,67
8 - - -
9 Kemiri Aleurites moluccanus 200
10 Habo Archidendron bubalinum 57,14
Jambu – Jambu Syzigium acuminatisimum 57,14
Pada tingkat pertumbuhan semai dijalur 9 terdapat 1 jenis tumbuhan yang
dominan dengan Indeks Nilai Penting 100. Jenis tersebut adalah Kemiri
(Aleurites moluccanus). Tipe komunitas vegetasi pada jalur 9 adalah hutan
sekunder, dimana jenis Kemiri hanya tumbuh dominan pada tingkat semai di jalur
tersebut. Tumbuhan Jambu – jambu (Syzigium acuminatisimum) dan Habo
(Archidendron bubalinum) yang terdapat pada jalur 7 dan 10 dapat dijadikan
tumbuhan pakan bagi Orangutan.
Data penghitungan dan pengumpulan vegetasi pohon dan tingkat
pertumbuhannya perlu dideskripsikan agar diketahui kondisi komunitas
tumbuhan. Tiga parameter kuantitatif untuk mendeskripsikan kondisi komunitas
tumbuhan yaitu densitas atau kerapatan, frekuensi dan dominansi yang diukur
melalui luas bidang dasar (basal cover) atau penutupan tajuk (canopy cover).
Tumbuhan yang dominan memberikan ciri utama terhadap fisiognomi suatu
komunitas hutan (Indriyanto, 2006).
Nilai penting suatu jenis vegetasi pohon menyatakan nilai kerapatan,
frekuensi dan dominansi suatu spesies sehingga akan terlihat peran vegetasi
tersebut dalam suatu komunitas (Indriyanto, 2006). Dari data indeks nilai penting
pada tabel 4, 5, 6, 7 terlihat bahwa Indeks Nilai Penting (INP) tertinggi pada
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
21
tingkat pertumbuhan pohon terdapat pada jalur 6 dengan nilai 130 dengan jenis
tumbuhan Karet (Hevea braziliensis), pada tingkat pertumbuhan tiang terdapat
pada jalur 2 dengan nilai 98,62 dengan jenis tumbuhan Medang
(Litsea brachystacys), pada tingkat pertumbuhan pancang terdapat pada jalur 6
dengan nilai 66,67 dengan jenis tumbuhan karet (H. brasiliensis), dan pada tingkat
pertumbuhan semai terdapat pada jalur 9 dengan nilai 100 dengan jenis tumbuhan
Kemiri (A. moluccanus).
Perbandingan nilai INP pada setiap strata tingkatan vegetasi
menunjukkan bahwa jenis tersebut lebih adaptif terhadap kondisi lingkungan,
dengan kata lain jenis ini lebih mampu menyesuaikan diri dengan lingkungan
tempat hidupnya. hal ini sesuai dengan pernyataan Destaranti et al. (2017) yang
menyatakan bahwa Nilai INP yang tinggi menunjukkan bahwa suatu tumbuhan
mempunyai daya adaptasi, daya kompetisi, dan kemampuan reproduksi yang lebih
baik dibandingkan dengan tumbuhan lain dalam suatu areal tertentu.
Keempat tingkatan vegetasi dari Indeks Nilai Penting yang dominan
diantaranya menunjukkan tidak adanya perbedaan yang sangat jauh pada tiap
tingkatan vegetasi. Tumbuhan dominan dengan Indeks Nilai Penting tertinggi
yang terdapat pada tiap tingkat vegetasi memiliki peranan penting dalam menjaga
kestabilan ekosistem di sekitarnya. Sedangkan keberadaan tumbuhan pakan yang
terdapat pada beberapa jalur dengan Indeks Nilai Penting tertinggi memiliki peran
penting dalam menjaga ketersediaan pohon pakan bagi orangutan. Jalur yang
memiliki ketersediaan pohon pakan Orangutan dapat diestimasikan bahwa akan
ada kemungkinan Orangutan akan mencari makanan atau membuat sarang pada
jalur tersebut. Sesuai dengan pernyataan Perbatakusuma et al. (2006) yang
menyatakan bahwa tidak ada jenis tumbuhan yang sangat mendominasi pada tiap
– tiap lokasi, hal ini ditunjukkan oleh indeks nilai penting (INP) antara satu
spesies dengan spesies lainnya yang tidak terlalu jauh berbeda. Dengan demikian,
setiap spesies memiliki peran yang hampir sama pentingnya dalam menjaga
keanekaragaman maupun stabilitas ekosistem hutan di kawasan tersebut.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
22
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan di Kawasan APL (Areal Penggunaan
Lain)
Nilai indeks keanekaragaman Shannon-Wiener menggambarkan
kekayaan jenis tumbuhan yang berada pada lokasi penelitian. Nilai indeks
keanekaragaman tergantung dari variasi jumlah jenis dan jumlah individu setiap
jenis yang ditemukan. Semakin besar jumlah jenis dan variasi jumlah individu tiap
jenis maka keanekaragaman suatu ekosistem akan semakin besar, dan sebaliknya.
Indriyanto (2006) menyatakan bahwa nilai indeks keanekaragaman jenis
dipengaruhi oleh jumlah jenis tumbuhan dan jumlah individu jenis yang terdapat
pada suatu komunitas vegetasi.
Tabel 8. Nilai Indeks Keanekaragaman Jenis Masing-masing Jalur
Nomor Jalur Jumlah Jenis Total
Individu H Hmaks
Indeks
Kemerataan
(E)
1 26 110 3,74 4,7 0,79
2 31 83 4,47 4,95 0,90
3 25 155 3,28 4,64 0,70
4 40 115 4,54 5,32 0,85
5 39 144 4,06 5,29 0,76
6 15 79 2,87 3,90 0,73
7 30 68 4,63 4,90 0,94
8 15 53 3,11 3,90 0,79
9 11 72 2,95 3,45 0,85
10 35 67 4,91 5,12 0,95
Berdasarkan nilai indeks keanekaragaman jenis yang dihasilkan
sebagaimana yang terlihat pada Tabel 8, jalur 10 merupakan jalur yang paling
tinggi tingkat keanekaragaman jenisnya dengan nilai indeks shanon-wienner
sebesar 4,91 dan nilai indeks shannon-wiener terendah terdapat pada jalur 6
dengan nilai 2,87.
Terdapat perbedaan nilai pada jalur 2 dan 5 dimana H’ pada jalur 5 lebih
kecil dibandingkan dengan H’ pada jalur 2, padahal nilai jumlah jenis dan total
individu pada jalur 5 lebih banyak dari pada jalur 2. Perbedaan nilai ini dapat
dipengaruhi oleh jumlah banyaknya individu dari masing – masing jenis. Sesuai
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
23
dengan pernyataan Purwaningsih dan Yusuf (2005) yang menyatakan bahwa
tingkat keanekaragaman jenis pohon juga dapat dilihat dari jumlah individu dalam
setiap jenis. Semakin kecil jumlah individu dalam setiap jenis, maka semakin
tinggi keanekaragaman jenisnya.
Barbour et al. (1987) menyatakan bahwa adakalanya kekayaan jenis
tumbuhan berkorelasi positif dengan keanekaragaman jenis tumbuhan, namun
kondisi lingkungan disepanjang jalur penelitian bersifat heterogen, sehingga
penurunan kekayaan jenis tumbuhan dapat disertai dengan peningkatan
keanekaragaman. Hal ini sangat memungkinkan karena jumlah individu pada
setiap jalur sangat bervariasi. Jika semua jenis tumbuhan mempunyai jumlah
individu yang sama pada setiap jalur pengamatan maka kemerataan akan menjadi
maksimum dan homogen.
Fenomena individu memiliki kemerataan dalam jumlah sangat jarang
terjadi di alam, karena setiap spesies mempunyai kemampuan untuk beradaptasi
dan toleransi. Disamping itu, kondisi lingkungan di alam sangat kompleks dan
bervariasi. Loveless (1983) mengemukakan bahwa faktor lain yang menentukan
kehadiran suatu tumbuhan atau komunitas tumbuhan tidak hanya mencakup
kondisi fisik dan kimia, tetapi juga hewan dan manusia yang mempunyai
pengaruh besar terhadap tumbuhan.
Tingkat keanekaragaman jenis Shannon – wiener pada tiap – tiap jalur
memiliki kesamaan kategori tinggi dalam penelitian Nurmansyah (2012) pada
kawasan hutan batang toru, ia menyatakan bahwa Indeks keanekaragaman
Shanon-Wiener (H’) yang terdapat pada ketiga tipe habitat masing-masing
memiliki nilai sebesar 3,65 Formasi hutan peralihan hill-montana (FHHM), 3,22
formasi hutan Gambut (FHG) dan 4,42 formasi hutan Dipterocarpaceae (FHDA).
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
24
Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Orangutan di Kawasan APL
(Areal Penggunaan Lain)
Dari 10 jalur yang dianalisis dan diidentifikasi terdapat beberapa jenis vegetasi
pakan Orangutan Tapanuli dan memiliki nilai indeks keanekaragaman jenis pohon
pakan, hal ini dapat dilihat pada Tabel 9.
Tabel 9. Indeks Keanekaragaman Jenis Tumbuhan Pakan Orangutan Tapanuli
No Nama
lokal Nama Ilmiah Jalur
Total
individu pi
-
log2pi H Hmax
Bagian
yang
dimakan
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
1. Ambacang Mangifera
foetida 2 2
0,006 7,219 0,048 5,20 Buah
2. Aren Arenga pinnata 6, 7,
8, 10 17
0,057 4,131 0,235 Buah
3 Beringin Ficus
benjamina 7 3
0,010 6,634 0,066 Buah
4 Cempedak Artocarpus
integer 8, 9 7
0,023 5,411 0,127 Buah
5 Cokelat Theobroma
cacao 6, 8 6 0,020 5,634 0,113 Buah
6 Kedondong Spondias dulcis 5 2 0,006 7,219 0,048 Buah
7 Dondong Ficus
auriculata 1 1 0,003 8,219 0,027 Buah
8 Durian Durio
zibethinus
2, 4,
6, 8, 9 42 0,140 2,826 0,398 Buah
9 Habo Archidendron
bubalinum
6, 7,
10 10 0,033 4,897 0,164 Buah
10 Hayu
Hotang
Podocarpus
neriifolius 3 2 0,006 7,219 0,048 Buah
11 Hopong Macaranga
lowii 8, 10 6 0,020 5,634 0,113 Buah
12 Hoteng
Barangan Quercus sp. 1 2 0,006 7,219 0,048 Buah
13 Jambu –
jambu
Syzigium
acuminatisimum 10 13 0,043 4,518 0,197 Buah
14 Jengkol Archidendron
pauciflorum 2, 8 5 0,016 5,897 0,098 Buah
15 Kandis Garcinia
nigrolineata 1, 4 4 0,013 6,219 0,083 Buah
16 Kelapa Cocos nucifera 8 12 0,040 4,634 0,186 Buah
17 Kopi - kopi Aidia densiflora 1, 3,
5, 6, 9 29 0,097 3,361 0,327 Buah
18 Mangga Mangifera
indica 8 2 0,006 7,219 0,048 Buah
19 Manggis Garcinia
mangostana 8 2 0,006 7,219 0,048 Buah
20 Matoa Pometia
pinnata
4, 5,
7, 10 21 0,070 3,826 0,269 Buah
21 Nangka Artocarpus
teysmanni 8, 9 4 0,013 6,219 0,083 Buah
22 Pege –
pege
Ficus
crassiramea 5 2 0,006 7,219 0,048 Buah
23 Petai Parkia javanica 2, 10 7 0,023 5,411 0,127 Buah
24 Pisang
Hutan
Kandelia
candal 9 2 0,006 7,219 0,048 Buah
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
25
(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8) (9) (10)
25 Rambutan Nephelium
lapaceum 2, 4, 5 8 0,026 5,219 0,140 Buah
26 Rambutan
Harangan
Solanum
mutabile 2, 5 5 0,016 5,897 0,098 Buah
27 Rimbang Solanum torvum 7 2 0,006 7,219 0,048 Buah
28 Rotan Calamus manan 7, 10 5 0,016 5,897 0,098 Buah
29 Rukam Flaoourtin
rukam 1, 6 8 0,026 5,219 0,140 Buah
30 Salak Salacca zalacca 8, 9 9 0,030 5,049 0,152 Buah
31 Sapot Macaranga
gigantea 7, 10 14 0,046 4,411 0,207 Umbut
32 Sanduduk Begonia
isoptera
6, 7,
10 14 0,046 4,411 0,207 Buah
33 Siala Etlingera
elatior 1, 6, 7 6 0,020 5,634 0,113 Umbut
34 Sikkut Korthalsia
flagelaris 7, 8, 9 9 0,030 5,049 0,152 Umbut
35 Singkong Manihot
esculenta 8, 9 4 0,013 6,219 0,083 Buah
36 Torop Artocarpus
elasticus
1, 4,
6, 10 11 0,036 4,759 0,175 Buah
Total 300 4,62
Hasil pengamatan di lapangan sebagaimana terlihat pada Tabel 9 mencatat
terdapat 36 jenis tumbuhan pakan orangutan dengan indeks keanekaragaman
jenis (H’) sebesar 4,62 dan Hmax sebesar 5,20 yang bisa dikategorikan sangat
tinggi (Barbour et al., 1987). Total jumlah individu jenis pohon pakan yang
dijumpai di lokasi studi sebanyak 300, yang didominasi oleh jenis-jenis: Durian
(Durio zibethinus), Kopi - kopi (Aidia densiflora), Matoa (Pometia pinnata), sapot
(Macaranga gigantea) dan sanduduk (Begonia isoptera).
Pada keanekaragaman jenis tumbuhan pakan Orangutan Tapanuli total
indeks keanekaragaman (H’) sebesar 4,62 hal ini dapat diartikan bahwa tingkat
keanekaragaman sangat tinggi. Hal ini sesuai dengan pernyataan krebs (1989)
dimana apabila H’ < 1,5 = tingkat keanekaragaman rendah, 1,5 = H’ = 3,5 =
tingkat keanekaragaman sedang, dan H’ > 3,5 = tingkat keanekaragaman tinggi.
Perbedaan nilai keanekaragaman tersebut seiring dengan perubahan
komposisi jenis dan keunikan dari ciri-ciri ekosistem yang terdapat di Kawasan
APL (Areal Penggunaan Lain). Semakin banyak jumlah jenis maka semakin
tinggi keanekaragamannya atau sebaliknya jika nilainya kecil maka komunitas
tersebut didominasi oleh jenis yang lebih sedikit (Odum 1996).
Salah satu terbentuknya tipe hutan disebabkan karena adanya perbedaan
adaptasi dari setiap jenis tumbuhan, serta adanya persaingan antara tumbuhan
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
26
yang memiliki luas naungan yang tinggi dan tumbuhan yang berada dibawah
naungan, sehingga terjadi perebutan sinar matahari dan nutrisi dalam tanah. Hal
ini menyebabkan tumbuhan yang berada dibawah naungan tidak sepenuhnya
mendapatkan cahaya untuk proses fotosintesis dan pada umumnya tipe hutan ini
ialah hutan sekunder. Sesuai dengan pernyataan Resosoedarmo et al. (1984),
keanekaragaman rendah terdapat pada komunitas yang ada di daerah hutan
sekunder, seperti daerah yang bercampur dengan komunitas tanaman perkebunan,
dan tanah yang miskin nutrisi. Sementara itu keanekaragaman tinggi terdapat di
daerah dengan lingkungan optimum. Menurut Indriyanto (2006) yang menyatakan
bahwa keanekaragaman spesies yang tinggi menunjukkan bahwa suatu komunitas
memiliki kompleksitas tinggi, karena interaksi yang terjadi dalam komunitas
tersebut sangat tinggi.
Menurut Ariyati et al. (2007) menjelaskan bahwa apabila nilai indeks
keanekaragaman rendah menunjukkan bahwa terdapat tekanan ekologi yang
sangat tinggi, baik yang berasal dari faktor biotik (persaingan antar individu
tumbuhan untuk setiap tingkatan) atau faktor abiotik. Tekanan ekologi yang tinggi
tersebut menyebabkan tidak semua jenis tumbuhan dapat bertahan hidup di suatu
lingkungan.
Kemiripan (Similarity) dan Ketidakmiripan (Dissimilarity) Tipe
Komunitas Vegetasi Pada Setiap Jalur di Kawasan APL (Areal Penggunaan
Lain)
Dari 10 jalur yang sudah diidentifikasi akan didapat jumlah jenis pada
jalur A dan B dari tiap tingkatan vegetasi, dari kedua jalur tersebut akan
digunakan untuk mengetahui seberapa besar tingkat kesamaan dan ketidaksamaan
komposisi vegetasi. Penarikan kesimpulan dapat dilakukan dengan cara
membandingkan jumlah jenis yang sama dan tidak sama yang terdapat pada jalur
A dan jalur B. Berikut ini adalah nilai Indeks Similarity (IS) dan Dissimilarity
(ID) antara tiap jalur pada tingkat pertumbuhan pohon dapat dilihat pada Tabel
10.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
27
Tabel 10. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan) antara
Tiap Jalur Pada Tingkat Semai Semai
(ID/IS) I II III IV V VI VII VIII IX X
I X 8 11.76 12.5 18.18 17.39 0 0 8 0
II 92 X 36.36 32.43 37.03 7.14 0 0 0 5.88
III 88.24 63.64 X 41.37 52.63 20 7.69 0 9.09 0
IV 87.5 67.57 58.63 X 29.41 11.42 0 0 0 0
V 81.82 62.97 47.37 70.59 X 0 6.45 0 7.40 6.45
VI 82.61 92.86 80 88.58 100 X 18.75 23.07 35.71 6.25
VII 100 100 92.31 100 93.55 81.25 X 18.75 29.41 48.64
VIII 100 100 100 100 100 76.93 81.25 X 42.85 1.5
IX 92 100 90.91 100 92.6 64.29 70.59 57.15 X 5.88
X 100 94.12 100 100 93.55 93.75 51.36 98.5 94.12 X
Pada vegetasi tingkat semai lokasi III dan V mempunyai indeks
kesamaan komunitas paling besar (52.63%) dibandingkan pasangan lokasi lain.
Bahkan pasangan lokasi I&VII, I&VIII, I&X, II&VII, II&VIII, II&IX, III&VIII,
III&X, IV&VII, IV&VIII, IV&IX, IV&X, V&VI, V&VIII, mempunyai indeks
kesamaan komunitas sebesar 0% atau indeks ketidaksamaan 100%, sehingga pada
tingkat ini tidak terdapat kemiripan. Sementara itu nilai Indeks Similarity dan
Dissimilarity antara tiap jalur pada tingkat pancang dapat dilihat pada Tabel 11.
Tabel 11. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan) antara
Tiap Jalur pada Tingkat Pancang Pancang
(ID/IS) I II III IV V VI VII VIII IX X
I X 30.76 24 25.80 29.41 19.04 6.25 11.76 9.09 0
II 69.24 X 16 45.16 17.64 19.04 18.75 28.57 18.18 12.90
III 76 84 X 33.33 36.36 10 19.35 0 9.52 13.33
IV 74.2 54.84 66.67 X 35.89 15.38 27.02 9.09 0 16.66
V 70.59 82.36 63.64 64.11 X 13.79 25 8 6.66 15.38
VI 80.96 80.96 90 84.62 86.21 X 22.22 50 23.52 15.38
VII 93.75 81.25 80.65 72.98 75 77.78 X 8.69 7.14 43.24
VIII 88.24 71.43 100 90.91 92 50 91.31 X 30.76 0
IX 90.91 81.82 90.48 100 93.34 76.48 92.86 69.24 X 0
X 100 87.1 86.67 83.34 84.62 84.62 56.76 100 100 X
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
28
Pada tingkat pancang indeks kesamaan komunitas paling besar terdapat
pada pasangan lokasi II dan IV sebesar (45.16%), sedangkan indeks
ketidaksamaan terdapat pada pasangan lokasi I&X, III&VIII, IV&IX, VIII&X,
dan IX&X, dengan jumlah persentase 100% atau indeks kesamaan komunitas
sebesar 0%. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (ketidakmiripan)
antara tiap jalur pada tingkat tiang dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan) antara
Tiap Jalur pada Tingkat Tiang Tiang
(ID/IS) I II III IV V VI VII VIII IX X
I X 10 9.52 9.52 10 0 0 0 0 0
II 90 X 26.08 17.39 9.09 0 8 0 0 0
III 90.48 73.92 X 25 26.08 0 15.38 0 0 0
IV 90.48 82.61 75 X 17.39 0 7.69 0 0 0
V 90 90.91 73.92 82.61 X 0 24 0 0 7.14
VI 100 100 100 100 100 X 11.11 20 0 9.52
VII 100 92 84.62 92.31 76 88.89 X 0 0 32.25
VIII 100 100 100 100 100 80 100 X 0 0
IX 100 100 100 100 100 100 100 100 X 8.33
X 100 100 100 100 92.86 90.48 67.75 100 91.67 X
Pasangan lokasi VII&X memiliki tingkat kesamaan tertinggi pada vegetasi
tingkat tiang, yaitu sebesar (32.25%); sedangkan pasangan lokasi II&III, III&V
hanya sebesar (26.08%) masih lebih besar di bandingkan pasangan lokasi lainnya.
Pada vegetasi tingkat tiang derajat kesamaan komunitasnya secara umum paling
rendah, ditunjukkan dari nilai indeks ketidaksamaan yang ada pada 25 pasangan
lokasi dengan besarnya 100%. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity
(ketidakmiripan) antara tiap jalur pada tingkat pohon dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13. Nilai Indeks Similarity (Kemiripan) dan Dissimilarity (Ketidakmiripan) antara
Tiap Jalur pada Tingkat Pohon Pohon
(ID/IS) I II III IV V VI VII VIII IX X
I X 11.76 10.52 33.33 8.33 0 10 0 0 0
II 88.24 X 36.36 28.57 37.03 13.33 26.08 9.09 11.11 17.39
III 89.48 63.64 X 26.08 20.68 0 24 0 0 8
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
29
IV 66.67 71.43 73.92 X 42.85 0 25 0 0 8.33
V 91.67 62.97 73.92 57.15 X 18.18 20 6.89 16 13.33
VI 100 86.67 100 100 81.82 X 22.22 11.76 46.15 0
VII 90 73.92 76 75 80 77.78 X 8 9.52 23.07
VIII 100 90.91 100 100 93.11 88.24 92 X 30 0
IX 100 88.89 100 100 84 53.85 90.48 70 X 0
X 100 82.61 92 91.67 86.67 100 76.93 100 100 X
Indeks kesamaan komunitas tertinggi pada vegetasi tingkat pohon sebesar
(46.15%) dimiliki oleh lokasi VI&XI, sedangkan untuk lokasi IV&V dan II&V
masing-masing sebesar (42.84%) dan (37.03%). Hal ini menunjukkan bahwa
pada vegetasi tingkat pohon untuk semua lokasi tidak ditemukan kesamaan.
Indeks similarity yang terdapat di kawasan APL (Areal Penggunaan Lain)
pada umumnya memiliki persentase kemiripan <52.63% hal ini berbanding lurus
dengan penelitian Kuswanda (2014) yang menyatakan bahwa analisis indeks
kesamaan komunitas Sorensen pada bagian kondisi vegetasi disetiap bagian
(Barat, Timur, dan Utara) pada ekosistem Batang Toru ternyata berbeda nyata
untuk setiap tingkat pertumbuhan vegetasi dengan persentase <50%.
Astuti (2010) menyatakan bahwa tingkat pengelompokkan tipe komunitas
dapat dikategorikan menjadi empat tingkat yaitu sangat tidak mirip (IS=25%),
tidak mirip (25%<IS=50%), mirip (50%<IS<75%) dan sangat mirip (IS = 75%).
Pada kawasan APL (Areal Penggunaan Lain) ekosistem hutan Batang Toru
memiliki nilai indeks kemiripan tertinggi disetiap tingkatan vegetasinya, pada
tingkat pohon memiliki nilai indeks tertinggi sebesar 46.15%, pada tingkat tiang
sebesar 32.25%, pada tingkat pancang sebesar 45.16% dan tingkat semai sebesar
52.63%. Dari keempat tingkatan vegetasi hanya tingkat semai yang memiliki nilai
lebih dari pada 50% dan hal ini dikategorikan mirip sedangkan pada tingkatan
yang lain dikategorikan tidak mirip.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
30
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
1. Jenis tumbuhan di lokasi penelitian sebanyak 132 jenis dengan jenis tumbuhan
pakan sebanyak 36 jenis.
2. Indeks keanekaragaman jenis Shannon Wiener tumbuhan pakan Orangutan
Tapanuli memiliki nilai sebesar 4,62 yang berarti tingkat keanekaragamannya
tinggi.
Saran
Kawasan APL (Areal Penggunaan Lain) memiliki karakteristik fisik dan
biologis yang cocok sebagai habitat Orangutan Tapanuli (Pongo tapanuliensis),
dengan tingginya nilai indeks keanekaragaman jenis tumbuhan pakan di kawasan
tersebut maka sebaiknya status kawasan APL ditingkatkan menjadi kawasan
konservasi.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
31
DAFTAR PUSTAKA
Ariyati, R.W., L. Sya’rani, E. Arini. 2007. Analisis Kesesuaian Perairan Pulau
Karimunjawa dan Pulau Kemujan Sebagai Lahan Budidaya Rumput Laut
Menggunakan Sistem Informasi Geografis. Jurnal Pasir Laut. 3(1): 27-
45.
Astuti SS. 2010. Struktur Vegetasi dan Komposisi Pohon dan Pole di Sekitar Jalur
Wisata Taman Wisata Alam Sicikeh-cikeh Kabupaten Dairi Sumatera
Utara. Medan: Departemen Biologi, Fakultas Matemarika dan Ilmu
Pengetahuan Alam, Universitas Sumatera Utara.
Barbour, G.M., J.K. Burk and W.D. Pitts. 1987. Terrestrial Plant Ecology. New
York: The Benyamin/Cummings Publishing Company, Inc.
Cahyani, N. C. 2014. Identifikasi dan Pemetaan Pohon Sarang Orangutan
Sumatera (Pongo abelii) di Kawasan Cagar Alam Dolok Sibual – buali.
Universitas Sumatera Utara. Medan
Departemen Kehutanan Republik Indonesia, 2007. Strategi dan Rencana Aksi
Konservasi Orangutan Indonesia 2007 – 2017. Siaran-pers.
Jakarta/September 2008. www.dephut.go.id/Orangutan/action/Plan 2007
-2017.pdf [Di akses pada 27 Februari 2019].
Delgado Jr, R. A., and C. P. Van Schaik. 2000. The behavioral ecology and
conservation of the orangutan (Pongo pygmaeus): a tale of two islands.
Evolutionary Anthropology: Issues, News, and Reviews: Issues, News,
and Reviews, 9 (5), 201-218.
Destaranti N, Sulistyani, Yani E. 2017. Struktur dan vegetasi tumbuhan bawah
dan tegakan pinus di RPH Kalirajut dan RPH Baturaden Banyumas.
Script Biol. 4(3): 155-160.
Dombois, M., and Ellenberg, D. 1974. Aims and methods of vegetation ecology.
Wiley. New York.
Fredriksson G. M. and G.Usher, 2017. Menuju Pengelolaan Lestari Ekosistem
Batang Toru (Edisi III). 16 hal. Yayasan Ekosistem Lestari. Medan.
Galdikas, B.M.F. 1984. Adaptasi Orangutan di Suaka Tanjung Puting Kalimantan
Tengah. Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Hadi, D. W. 2017. Jenis Orangutan Baru Ditemukan di Tapanuli, Indonesia.
Siaran-pers. Jakarta 3 November 2017. Kementerian Lingkungan Hidup
dan Kehutanan. http://ksdae.menlhk.go.id/assets/publikasi/Sipers______
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
32
Jenis_Orangutan_Baru_Ditemukan_di_Tapanuli,_Indonesia.pdf
[Di akses pada 31 Maret 2019].
Indriyanto. (2006). Ekologi Hutan. PT Bumi Aksara. Jakarta.
Kusumo, A., A. N. Bambang, M. Izzati. 2016. Struktur Vegetasi Kawasan Hutan
Alam dan Hutan Rerdegradasi di Taman Nasional Tesso Nilo. Jurnal
Ilmu Lingkungan. Universitas Diponegoro. Semarang. Vol 14 : 19 – 26
Kuswanda, W. (2011). Pemilihan habitat oleh orangutan sumatera
(Pongo abelii Lesson) di Cagar Alam Sipirok. Thesis Program
Pascasarjana. Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta.
Kuswanda, W. 2013. Pendugaan Populasi Orangutan (Pongo abelii Lesson 1827)
Berdasarkan Sarang Di Cagar Alam Sipirok, Sumatera Utara.
Kuswanda, W. 2014. Orangutan Batang Toru : Kritis Di ambang Punah. Forda
Press.
Krebs, C. J. (1989). Ecological methodology. New York: Harper & Row.
Loveless, A.R. 1983. Prinsip-Prinsip Biologi Tumbuhan untuk Daerah Tropik 2.
Jakarta: Gramedia.
Magurran, A. E. 2004. Measuring Biological Diversity. Blackwell Publishing:
Oxford University. British.
Marshall, A. J., M. Ancrenaz, F. Q. Brearley, G.M. Fredriksson, N. Ghaffar, M.
Heydon, S.J. Husson, M. Leighton, K.R. McConkey, H.C Morrogh-
Bernard, J. Proctor, C.P. Van Schaik, C.P Yeager and S.A Wich. 2009.
The effect of forest phenology and floristics on population of bornean
and Sumateran orangutans. Orangutans: Geographic variation in
behavioral ecology and conservation. Oxford University Press, Oxford,
97-117.
Matthew, G. N., E. Meijaard, A. Nater, M. P. Mattle-Greminger, A. Nurcahyo,
and M. Krutzen. 2017. Morphometric, Behavioral, and Genomic
Evidence for a New Orangutan Species. Current Biology. Cell Press.
Medway, L. 1972. Phenology of a Tropical Rain Forest in Malaya. Biological
Journal of the Linnean Society. 4 : 117 – 146. University of Malaya.
Malaysia.
Meijaard, E., H. D. Rijksen, and S. N. Kartikasari. (2001). Di Ambang
Kepunahan. Kondisi Orangutan Liar di Awal Abad ke-21. Tropenbos,
Gibbon Foundation.
Michael, P. 1984. Metoda Ekologi Untuk Penyelidikan Ladang dan Laboratorium.
UI Press. Jakarta.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
33
Muda, R. H. 2016. Identifikasi Jenis Liana Sebagai Pakan Orangutan Sumatera
(Pongo abelii) di Hutan Sekunder Taman Nasional Gunung Leuser
Resort Sei Betung Kecamatan Besitang Kabupaten Langkat, Sumatera
Utara. Universitas Sumatera Utara. Medan.
Nowak, M.G., P. Rianti, S. A. Wich, E. Meijaard, and G. Fredriksson. 2017.
Pongo tapanuliensis. The IUCN Red List of Threatened Species 2017:
e.T120588639A120588662.http://dx.doi.org/10.2305/IUCN.UK.2013.RL
TS.T120588639A120588662.en. [Di akses pada 20 Maret 2019].
Nurmansyah, I. 2012. Struktur dan Komposisi Jenis Vegetasi Pada Habitat Ungko
(Hylobates agilis Gloger 1841) Dan Siamang (Symphalangus syndactylus
Gloger 1841) Di Stasiun Penelitian Hutan Btang Toru Bagian Barat,
Sumatera Utara. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Odum, P. E. 1996. Fundamentals of Ecology. Philadelphia (US): WB Sounders.
Perbatakusuma, E.A, Supriatna, J., Siregar, R.S.E., Wurjanto, D., Sihombing, L.,
& Sitaparasti, D. (2006). Mengarusutamakan kebijakan konservasi
biodiversitas dan sistem penyangga kehidupan di kawasan hutan alam
Sungai Batang Toru Provinsi Sumatera Utara. Laporan Teknik Program
Konservasi Orangutan Batang Toru. Conservation International
Indonesia-Departemen Kehutanan.
Purwaningsih dan Yusuf, R. 2005. Komposisi Jenis dan Struktur Vegetasi Hutan
di Kawasan Pakuli, Taman Nasional Lore Lindu, Sulawesi Tengah.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia. Bogor
Rijksen, H. D. (1978). A field study on Sumatran orang utans (Pongo pygmaeus
abelii Lesson 1827), H. Veenman and zonen B.V Wageningen : iv + 419
hlm.
Resosoedarmo, R. S., K. Kuswata, S. Aprilani. 1984. Pengantar Ekologi.
Bandung: CV. Remaja Karya.
Rowe, N. 1996. The Pictorial Guide to The Living Primates. Pogonias Press. East
Hampton New York.
Singleton, I and C. Van Schaik. 2000. Orangutan Home Range Size and Its
Determinants in a Sumatran Swamp Forest. International Journal of
Primatology, 22.
Supriatna, J., dan E. H. Wahyono. 2000. Panduan Lapangan Primata Indonesia.
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Yuwono. E. H., 2007. Guidelines for the Better Management Partices on
Avoidance Mitigation and management of Human - Orangutan Conflict
in and around Oil Palm Plantations. WWF-Indonesia. Medan.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
34
Zahra, M. 2002. Analisis Karakteristik Komunitas Vegetasi Habitat Gajah
Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Kawasan Hutan kabupaten
Aceh Timur dan Kabupaten Langkat. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
35
LAMPIRAN
Lampiran 1. Foto Lokasi dan Kegiatan selama dilapangan
Gambar 1. Kantor Kepala Desa Huraba
Gambar 2. Kantor Kecamatan Marancar
Gambar 3. Pasar Sempurna, Kec. Marancar
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
36
Gambar 4. Pencatatan Data Vegetasi Tiap Tingkat Pertumbuhan
Gambar 5.Pengamatan Vegetasi
Gambar 6. Sarang Orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) di
Lokasi Penelitian
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
37
Lampiran 2. Daftar nama lokal dan nama ilmiah vegetasi yang terdapat di
kawasan Hutan Batang Toru
Nomor Nama Lokal Nama Ilmiah
1. Alngit Neonauclea subtida
2. Ambacang Mangifera foetida
3. Andarasi Ficus aurita
4. Andilo Heriteria simplisicolia
5. Andulpak Macaranga tanarius
6. Aren Hutan / Bargot Arenga pinnata
7. Atumbus Knema glaucia
8. Baja Rhodannia sp.
9. Balutan Ijuk Gardenia tubifera
10. Bayur Pterospermum javanicum
11. Beringin Ficus benjamina
12. Bongang Neesia glabra
13. Bosi-Bosi Baccaurea sumatrana
14. Cempedak Artocarpus integer
15. Cengkeh Syzigium aromaticum
16. Cokelat Theobroma cacao
17. Dabu Dakka Ardisia sp
18. Dap Dap Zanthoxylum rhetsa
19. Daun Salam Syzygium polyanthum
20. Dondong Hutan Ficus auriculata
21. Dori Cratoxylon arborescens
22. Durian Durio zibethinus
23. Durian Hutan Durio carinathus
24. Gang Xylopia altissima
25. (Eng) Golam Syzigium sp.
26. Goti Un-identified
27. Gumbot Ficus toxicaria
28. Habo Archidendron bubalinum
29. Hapas Exbucklandia populnea
30. Hapinis Sloetia elongata
31. Hatapang Terminalia copelandii
32. Hatopul Artocarpus communis
33. Hayu Aek Jackia ornata
34. Hayu Horsik Ilex pleiobrachiata
35. Hayu Hotang Podocarpus neriifolius
36. Hayu Ndolok Syzygium sp.
37. Hayu Ndolok Jambu Syzygium racemosum
38. Hayu Ndolok Baringin Syzygium acuminatum
39. Hayu Raja Compasia malaccensis
40. Hio Hio Canarium apertum
41. Hopong Macaranga lowii
42. Hoteng Quercus gemelliflora
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
38
43. Hoteng Barangan Quercus sp.
44. Hoteng Bunga Lithocarpus hystrize
45. Hoteng Maranak Lithocarpus sp.
46. Ingul Toona sinensis
47. Jambu Jambu Syzigium acuminatisimum
48. Jengkol Archidendron pauciflorum
49. Jimarbosi Glutarenghas sp.
50. Jomak-Jomak Dissochaeta divaricata
51. Junjung Buhit Teysmanniodendron
pteropodum
52. Kandis Garcinia nigrolineata
53. Karet Hevea brasiliensis
54. Kayu Horsik Ilex pleiobrachiata
55. Kayu Manis Cinnamomum burmannii
56. Kedondong Spondias dulcis
57. Kelapa Cocos nucifera
58. Kemenyan Styrax benzoin
59. Kemiri Aleurites moluccanus
60. Kenari Canarium ovatum
61. Koje Ficus elastica
62. Kopi - Kopi Aidia densiflora
63. Kopi Ateng Coffea arabica
64. Kulit Anjing Calicarpa sp
65. Lagan Dipterocarpus humenatus
66. Landayuk Ficus fistulosa
67. Lando-Lando Artocarpus sp.
68. Latong Laportea stimulan
69. Loba - Loba Microcos sp.
70. Losa Cinnamomum parthenoxylon
71. Mahang Macaranga dioponhorstii
72. Mais – mais Un-identified
73. Mali Mali Leea indica
74. Mangga Mangifera indica
75. Manggis Garcinia mangostana
76. Matoa/Hase Pometia pinnata
77. Mayang Palaquium obovatum
78. Medang Litsea brachystachys
79. Medang Kuning Litsea odorifera
80. Meranti Shorea ovata
81. Meranti Kombung Shorea dsyphylla
82. Meranti Kuning Shorea hopeifolia
83. Modang Hulim Zizphus angustifolius
84. Modang Landit Engelhardia roxburghiana
85. Modang Siak-Siak Cinnamomum subavenium
86. Nangka Artocarpus teysmanni
87. Pahu Engelhardia serrata
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA
39
88. Palas Butea monosperma
89. Pege-Pege Ficus crassiramea
90. Petai Parkia Javanica
91. Pisang Hutan Kandelia candal
92. Rambutan Nephelium lapaceum
93. Rambutan Harangan Nephelium mutabile
94. Randuk Aporusa fruitescens
95. Randuk Hambong Alstonia macrophylla
96. Rao Dracontomelon dao
97. Rasak Vatica pauciflora blume
98. Rimbang Solanum torvum
99. Rotan Calamus manan
100. Rube Pouzolzia zeylanica
101. Rukam Flaoourtin rukam
102. Rumput Manis Hierochloe odorata
103. Rumput Merdeka Chromolaena odorata
104. Sapot Macaranga gigantea
105. Sanduduk Begonia isoptera
106. Siak-Siak Pternandra coerulescens
107. Siala Etlingera elatior
108. Sidabu Ranggas Litsea mappacea
109. Sihasar Baccaurea bracteta
110. Sihondung Symplocos sp
111. Sikkam Bischofia javanica
112. Sikkut Korthalsia flagelaris
113. Simaragong-Agong Ardisia tomentosa
114. Simarloba-Loba Mellettia atropurpurea
115. Simarsiala Pimeleodendron sp.
116. Simartolu Schima wallichii
117. Simartulan Macaranga javanica
118. Singkong Manihot esculenta
119. Sitarak Macaranga sp.
120. Sitakkol Un-identified
121. Songgak Turpinia sp.
122. Suhul-Suhul Macaranga bankana
123. Suri Suri Syzygium zeylanicum.
124. Tipa Tipa Bauhinia sp.
125. Tada-Tada Casearia grewiifolia
126. Tambiski Eurya acuminata
127. Tapak Kuda Calicarpa pentandra
128. Tinggiran Rapanea sp.
129. Torop / Takki Gatal Artocarpus elasticus
130. Tuba Engelhardia roxburghiana
131. Tulason Altingia excelsa
132. Ubar Eugenia sp.
UNIVERSITAS SUMATERA UTARA