kata pengantar...kata pengantar puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat tuhan yang maha pengasih...

59

Upload: others

Post on 06-Feb-2021

10 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN i

    KATA PENGANTAR

    Puji dan syukur kami panjatkan ke hadirat Tuhan Yang Maha Pengasih dan

    Penyayang dengan selesainya penyusunan Modul Pemantauan dan Evaluasi Jalan

    Berkeselamatan. Modul ini disusun untuk memenuhi kebutuhan peserta

    pendidikan dan pelatihan di bidang jalan yang berasal dari kalangan pegawai

    pemerintah daerah dan Aparatur Sipil Negara (ASN).

    Modul Pemantauan dan Evaluasi Jalan Berkeselamatan ini disusun dalam 4

    (empat) bab yang terdiri dari Pendahuluan dan Kegiatan Belajar. Penyusunan

    modul yang sistematis diharapkan mampu mempermudah peserta pelatihan

    dalam memahami segala kebutuhan terkait jalan berkeselamatan. Penekanan

    orientasi pembelajaran pada modul ini diisi oleh adanya pergeseran aktivitas

    peserta latih dan pelatih yakni dengan menonjolkan peran serta aktif peserta

    latih.

    Akhirya, ucapan terima kasih dan penghargaan kami sampaikan kepada tim

    penyusun atas tenaga dan pikiran yang dicurahkan untuk mewujudkan modul ini.

    Penyempurnaan maupun perubahan modul di masa mendatang senantiasa

    terbuka dan dimungkinkan mengingat akan perkembangan situasi, kebijakan dan

    peraturan yang terus menerus terjadi. Harapan kami tidak lain modul ini dapat

    memberikan manfaat.

    Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Jalan, Perumahan,

    Permukiman, dan Pengembangan Infrastruktur Wilayah

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN ii

    DAFTAR ISI

    KATA PENGANTAR .................................................................................................. i

    DAFTAR ISI .............................................................................................................. ii

    DAFTAR GAMBAR .................................................................................................. iv

    DAFTAR TABEL ........................................................................................................ v

    PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL ....................................................................... vi

    BAB 1 PENDAHULUAN ........................................................................................... 1

    1.1. Latar Belakang ....................................................................................... 2

    1.2. Deskripsi Singkat ................................................................................... 3

    1.3. Standar Kompetensi .............................................................................. 3

    1.4. Kompetensi Dasar ................................................................................. 3

    1.5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok .................................................... 4

    1.6. Estimasi Waktu ..................................................................................... 4

    BAB 2 PENGENALAN OBSERVASI ........................................................................... 5

    2.1. Keselamatan dan Kecelakaan Lalu Lintas.............................................. 6

    2.2. Analisis Sebelum dan Sesudah Upaya Perbaikan.................................. 9

    2.3. Rangkuman ......................................................................................... 10

    2.4. Latihan ................................................................................................ 10

    BAB 3 METODE KAJIAN OBSERVASI .................................................................... 11

    3.1. Metode Analisis Observasi .................................................................. 12

    3.2. Metode Observasi Sederhana ............................................................. 17

    3.3. Metode Kombinasi regresi dan Empirikal Bayes ................................ 23

    3.4. Rangkuman ......................................................................................... 29

    3.5. Latihan ................................................................................................ 30

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN iii

    BAB 4 PENERAPAN APLIKASI ............................................................................... 31

    4.1. Penerapan Model Regresi pada Kasus Estimasi Tingkat Kecelakaan Lalu

    Lintas Nasional dan 6 Provinsi di Pulau Jawa ...................................... 32

    4.2. Contoh Aplikasi ................................................................................... 38

    DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................ 43

    GLOSARIUM ......................................................................................................... 44

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN iv

    DAFTAR GAMBAR

    Gambar 1 Keselamatan dan Rasa Aman ............................................................... 7

    Gambar 2 Contoh Data Pengamatan Kecelakaan Lalu Lintas ............................... 8

    Gambar 3 Contoh Rata-Rata Data Selama Lima Bulanan ..................................... 9

    Gambar 4 Contoh Posisi Observasi Kajian ‘Sebelum dan Sesudah’ .................... 13

    Gambar 5 Perubahan dari Perkiraan Awal sebagai Esensi Dasar EB ................... 25

    Gambar 6 Indeks Kecelakaan Berdasarkan Jumlah Kendaraan Tahun 2010-2012

    ........................................................................................................... 35

    Gambar 7 Kecelakaan Berdasaekan Jumlah Kendaraan Tahun 2010-2012 ........ 35

    Gambar 8 Indeks Kecelakaan dengan Luka Serius Berdasarkan Jumlah

    Kendaraan Tahun 2010-2012 ............................................................ 36

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN v

    DAFTAR TABEL

    Tabel 1 Pendekatan Kajian Observasi ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’ ......................... 17

    Tabel 2 Data Jumlah Penduduk dan Kendaraan Bermotor 6 Provinsi ................ 34

    Tabel 3 Data Kecelakaan Tahun 2010, 2011, 2012 ............................................. 34

    Tabel 4 Perbandingan Angka Kecelakaan Hasil Estimasi Model dan Data .......... 37

    Tabel 5 Perbedaan Antara Hasil Estimasi dan Data Polda .................................. 37

    Tabel 6 Jumlah Kecelakaan di Jalan Tol Sebelum Program Diimplementasikan

    (Studi Kasus) ........................................................................................... 38

    Tabel 7 Jumlah Kecelakaan di Jalan Tol Setelah Program Diimplementasikan

    (Studi Kasus) ........................................................................................... 39

    Tabel 8 Hasil Analisis Observasi ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’ (Studi Kasus) ............ 41

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN vi

    PETUNJUK PENGGUNAAN MODUL

    Petunjuk penggunaan modul Diklat Jalan Berkeselamatan ini digunakan untuk

    mempermudah peserta dalam memahami materi Pemantauan dan Evaluasi Jalan

    Berkeselamatan. Adapun teknik penggunaannya adalah sebagai berikut:

    1. Peserta Diklat Jalan Berkeselamatan membaca dengan seksama setiap

    bab dan coba dibandingkan dengan pedoman dari peraturan yang ada

    dan ketentuan terkait, kemudian disesuaikan dengan pengalaman

    peserta yang telah dialami di lapangan.

    2. Jawablah pertanyaan dan latihan, apabila masih belum dapat menjawab

    dengan sempurna, hendaknya peserta Diklat Jalan Berkeselamatan

    latihan mengulang kembali materi yang belum dikuasai

    3. Selanjutnya buatlah rangkuman, kemudian buatlah latihan dan diskusi

    dengan sesama peserta Diklat Jalan Berkeselamatan untuk

    memperdalam materi.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 1

    BAB 1

    PENDAHULUAN

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 2

    1. Pendahuluan

    1.1. Latar Belakang

    Kecelakaan di jalan adalah masalah yang sangat serius di Indonesia. Pada tahun

    2010, sekitar 32.000 kematian dilaporkan polisi akibat kecelakaan di jalan-jalan

    Indonesia dan tingkat kematian akibat kecelakaan lalu lintas per 100.000

    penduduk adalah sekitar 12. Ini adalah sangat tinggi dibandingkan dengan

    negara-negara tetangga seperti Singapura adalah 4.8 dan Australia adalah 5.2

    kematian per 100.000 orang.

    Dalam pembangunan nasional, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat mempunyai peranan penting dan strategis dalam menyediakan

    infrastruktur Transportasi Berkelanjutan berdasarkan tujuan Pemerintah

    termasuk membangun infrastruktur jalan berkeselamatan.

    Keselamatan jalan di Indonesia telah diatur di Undang- Undang No. 38 Tahun

    2004 tentang Jalan, Peraturan Pemerintah No. 34 Tahun 2006 tentang Jalan,

    Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan, serta

    RUNK (Rencana Umum Nasional Keselamatan) jalan yang telah diluncurkan.

    Direktorat Jenderal Bina Marga, Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat, sebagai instansi yang bertanggung jawab dalam pembinaan jalan di

    Indonesia dan dalam pembangunan jalan nasional telah melaksanakan berbagai

    upaya dalam peningkatan keselamatan jalan.

    Dalam mengupayakan peningkatan keselamatan jalan, perlu mengetahui kinerja

    keselamatan jalan pada jalan-jalan yang masuk dalam program jalan yang lebih

    berkeselamatan. Hal ini membutuhkan basis data kecelakaan yang akan dianalisis

    untuk kepentingan perbaikan kinerja keselamatan infrastruktur jalan.

    Di dalam Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan

    Jalan, dinyatakan bahwa pencatatan dan pengumpulan data kecelakaan lalu

    lintas merupakan kewenangan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Setiap

    kecelakaan wajib dicatat dalam formulir data kecelakaan lalu lintas, yang

    merupakan bagian dari data forensik. Data ini dikelola oleh POLRI dan dapat

    dimanfaatkan oleh pembina lalu lintas dan angkutan jalan, yaitu antara lain

    Kementerian PU-PR dan Kementerian Perhubungan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 3

    Kementerian PU-PR dan Kementerian Perhubungan telah berkomitmen akan

    mewujudkan ketersediaan infrastruktur, sarana dan prasarana transportasi serta

    konektivitas antar wilayah dengan menjamin tersedianya infrastruktur untuk

    kelancaran dan keselamatan lalu lintas.

    Upaya meningkatkan keselamatan jalan harus diupayakan tidak hanya kepada

    pengguna jalan semata, tetapi juga kepada pembuat kebijakan yaitu Aparatur

    Sipil Negara (ASN), dengan meningkatkan profesionalisme ASN melalui

    Pendidikan dan Pelatihan Jalan Berkeselamatan dengan modul Pemantauan dan

    Evaluasi Jalan Berkeselamatan.

    Dengan demikian para ASN Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan

    Rakyat atau Kemen PU-PR pada umumnya dan Ditjen Bina Marga khususnya

    diharapkan mampu menyediakan infrastruktur jalan yang memberikan

    keselamatan bagi penggunanya.

    1.2. Deskripsi Singkat

    Mata Diklat ini membekali peserta dengan pengetahuan tentang pemantauan

    dan evaluasi jalan berkeselamatan, khususnya pemanfaatannya agar tercipta

    jalan yang berkeselamatan. Diklat dilakukan dengan menggunakan metoda

    pelatihan orang dewasa (andragogi) yang meliputi ceramah, tanya jawab,

    pemaparan dan diskusi.

    1.3. Standar Kompetensi

    Setelah mengikuti pembelajaran ini para peserta diharapkan mampu memahami

    pemantauan dan evaluasi untuk dapat digunakan dalam mengupayakan jalan

    yang lebih berkeselamatan.

    1.4. Kompetensi Dasar

    Kompetensi dasar yang akan dicapai dari pembelajaran ini antara lain:

    1. Peserta mampu memahami tentang pengenalan observasi

    2. Peserta mampu memahami metode kajian observasi.

    3. Peserta mampu memahami penerapan aplikasi pemantauan dan

    evaluasi jalan berkeselamatan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 4

    1.5. Materi Pokok dan Sub Materi Pokok

    Dalam modul Pemantauan dan Evaluasi Jalan Berkeselamatan ada 2 (dua) materi

    yang akan dibahas, yaitu:

    1. Pengenalan Observasi, meliputi:

    a. Keselamatan dan Kecelakaan Lalu Lintas

    b. Analisis Sebelum dan Sesudah Upaya Perbaikan

    2. Metode Kajian Observasi, meliputi:

    a. Metode Analisis Observasi

    b. Metode Observasi Sederhana

    c. Metode Kombinasi Regresi dan Empirikal Bayes

    3. Penerapan Aplikasi, meliputi:

    a. Penerapan Model Regresi

    b. Contoh Aplikasi

    1.6. Estimasi Waktu

    Alokasi waktu yang diberikan untuk pelaksanaan kegiatan belajar mengajar untuk

    mata diklat “Pemantauan dan Evaluasi Jalan Berkeselamatan” pada peserta diklat teknis ini adalah 2 (dua) jam pelajaran.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 5

    BAB 2

    PENGENALAN OBSERVASI

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 6

    2. Pengenalan Observasi

    Indikator keberhasilan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan mampu memahami pengenalan observasi meliputi keselamatan dan kecelakaan lalu lintas dan

    analisis sebelum dan sesudah upaya perbaikan.

    2.1. Keselamatan dan Kecelakaan Lalu Lintas

    Manifestasi keselamatan jalan adalah kecelakaan dan berbagai akibat yang

    merugikan. Walaupun demikian, “selamat” juga berkaitan dengan perasaan

    seseorang sewaktu menggunakan jalan. Akibatnya, dapat terjadi bahwa suatu

    program yang pada awalnya bertujuan untuk meningkatkan keselamatan jalan

    ditanggapi salah dalam pengertian tentang perasaan “selamat”. Konsekuensinya,

    kesalahpahaman itu justru dapat menghasilkan peningkatan kecelakaan.

    Demikian pula, apabila pengguna jalan merasakan cukup baik tingkat

    keselamatan suatu ruas jalan, mereka justru kurang memperhatikan

    “keselamatan” dan pada gilirannya mungkin saja terjadi peningkatan kecelakaan

    lalu lintas.

    Dari uraian di atas, terdapat 2 hal yang berbeda, yaitu:

    1. Pengukuran obyektif yang berkaitan dengan kecelakaan dan berbagai

    akibat yang merugikan.

    2. Persepsi subyektif tentang bagaimana rasa “selamat” di jalan.

    Butir (a) di atas terkait keselamatan (safety) berlalu lintas yang berasosiasi

    dengan kecelakaan lalu lintas, sedangkan butir (b) terkait rasa aman (security)

    berlalu lintas yang berasosiasi dengan perasaan subyektif.

    Kombinasi keduanya diilustrasikan pada gambar 1. Rasa aman (security) juga

    berkaitan dengan wujud kejahatan harta dan jiwa yang terjadi di jalan. Sebagai

    contoh: berdasarkan data, suatu lokasi penyeberangan pejalan kaki,

    menunjukkan tidak ada perubahan tingkat kecelakaan lalu lintas. Akan tetapi,

    saat hanya sebuah kejadian kecelakaan ditayangkan oleh media televisi dengan

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 7

    sangat menakutkan, persepsi rasa aman penyeberang jalan, menurun drastis

    (lihat AA1 pada Gambar1).

    Sebaliknya, pada lokasi penyeberangan pejalan kaki lain, walaupun secara

    obyektif, data menunjukkan terjadi peningkatan jumlah kecelakaan, namun

    karena publisitas yang gencar dan positif, terjadi peningkatan rasa aman pada

    masyarakat (lihat BB1 pada Gambar1). Idealnya, terjadi peningkatan baik

    keselamatan maupun rasa aman yang ditunjukkan (lihat CC1 pada Gambar1).

    Disepakati bahwa tidak ada seorangpun yang mengharapkan penurunan kedua-

    duanya, seperti (lihat DD1 pada Gambar1), atau yang disebut suatu skandal

    transportasi atau Fiasco.

    Gambar 1 Keselamatan dan Rasa Aman

    Sistem pengoperasian lalu lintas pada hakikatnya mengupayakan semaksimal

    mungkin semua pelaku perjalanan dapat bergerak lancar tanpa terganggu dari

    awal hingga akhir perjalanan. Kecelakaan lalu lintas timbul apabila salah satu atau

    lebih komponen sistem pengoperasian lalu lintas tidak berjalan seperti yang

    diharapkan ataupun terjadi konflik baik di antara pelaku perjalanan maupun di

    antara faktor-faktor penyebab kecelakaan lalu lintas: manusia, kendaraan dan

    lingkungan jalan.

    Sesungguhnya, kecelakaan lalu lintas merupakan peristiwa yang sangat jarang

    terjadi. Kecelakaan lalu lintas bukan suatu hal yang tiba-tiba terjadi. Pada

    hakikatnya kecelakaan lalu lintas diawali suatu konflik potensial terhadap

    kecelakaan atau kondisi berbahaya (unsafe condition) ketika kumpulan berbagai

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 8

    hazard sudah tidak diindahkan oleh semua pihak. Sebagian besar arus lalu lintas

    merupakan lalu lintas yang tidak terganggu dalam arti semua konflik terkendali

    dengan baik, tetapi semakin tinggi peluang konflik semakin besar potensi untuk

    terjadinya kecelakaan lalu lintas. Hal ini akan diperparah apabila perilaku dan

    disiplin berlalu lintas yang tidak benar.

    Pada kondisi itu, terjadi banyak peristiwa yang mendekati kecelakaan (near

    accident). Kecelakaan lalu lintas akan terjadi apabila konflik atau hazard melewati

    sistem batas pengendalian (system boundary) yang kemudian mengubah hazard

    menjadi kecelakaan lalu lintas.

    Sebagai contoh, mengemudi dengan kecepatan di atas kecepatan yang sesuai

    dengan lingkungan jalan akan meningkatkan hazard. Keadaan diperburuk dengan

    besarnya beban kerja seperti mengemudi sambil mengirim sms di telepon

    seluler.

    Kecelakaan berfluktuasi dari waktu ke waktu tetapi memiliki kecenderungan

    penyebaran data. Contoh: suatu data dari pengamatan selama 36 bulan

    menghasilkan sebaran kecelakaan lalu lintas seperti terlihat pada gambar 2.

    Gambar 2 Contoh Data Pengamatan Kecelakaan Lalu Lintas

    Kecenderungan data dalam gambar 2 tersebut akan sulit ditemukan jika data

    tersaji secara parsial. Jika diketahui rata-rata selama 5 (lima) bulan dengan cara

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 9

    bergerak ke data berikutnya (running average), akan terlihat kecenderungan

    yang lebih jelas seperti terlihat pada gambar 3.

    Gambar 3 Contoh Rata-Rata Data Selama Lima Bulanan

    Haeur (1997) mendefinisikan pengertian perubahan keselamatan lalu lintas

    adalah upaya pengamatan secara rata-rata dalam jangka pengamatan yang

    cukup panjang. Namun, kesulitan dalam pelaksanaan akan tetap terjadi karena

    keterbatasan data.

    2.2. Analisis Sebelum dan Sesudah Upaya Perbaikan

    Salah satu tujuan analisis keselamatan lalu lintas adalah memperkirakan

    perubahan tingkat keselamatan sebagai konsekuensi pengembangan

    infrastuktur ataupun implementasi program penanggulangan kecelakaan lalu

    lintas.

    Terdapat 2 (dua) kendala dalam memasukkan keselamatan jalan dalam evaluasi

    proyek.

    Pertama, sulitnya mendapatkan data kecelakaan lalu lintas yang handal

    (reliable) dan kemudian bagaimana mengevaluasi keselamatan lalu lintas

    dengan metode yang tepat.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 10

    Kedua, informasi tentang biaya akibat kecelakaan belum tersedia. Dalam

    evaluasi proyek, semua potensi manfaat proyek harus dapat

    dikuantifikasi dalam uang. Tanpa mendapat informasi biaya kecelakaan,

    akan sulit mengikutsertakan manfaat dari pengurangan kecelakaan lalu

    lintas dalam evaluasi proyek secara obyektif.

    Setidaknya dalam bahasan ini, dilakukan untuk masalah pertama dengan

    memperkirakan dampak keselamatan lalu lintas dari suatu implementasi

    program. Sebagai contoh, program pelebaran jalan pada hakekatnya bertujuan

    untuk meningkatkan kapasitas jalan, tetapi di lain pihak pelebaran ini dapat pula

    berdampak negatif terhadap keselamatan yang tentunya tidak diharapkan oleh

    perencana dan perancang jalan. Pengamatan setelah pelebaran jalan sebaiknya

    dilakukan untuk melihat dampak keselamatan lalu lintas yang terjadi untuk dapat

    ditindaklanjuti dengan upaya penanggulangan apabila terjadi peningkatan

    jumlah kecelakaan lalu lintas. Demikian pula, jika sebuah program yang secara

    tidak terduga menyebabkan pengurangan jumlah kecelakaan lalu lintas, maka

    informasi ini akan sangat berguna untuk dapat diterapkan di lokasi lainnya.

    2.3. Rangkuman

    Observasi studi dapat dilakukan untuk melakukan kajian “sebelum dan sesudah”

    (before and after) berdasarkan data beberapa tahun (time series data) atau studi

    “potongan melintang” (cross sectional). Studi cross sectional pada umumnya

    dilakukan untuk melihat apakah sebuah entitas (entity) yang sama memiliki

    kondisi yang sama. Sebagai contoh, dalam melakukan studi perlintasan kereta api

    sebidang, perlu melihat studi tentang dampak APILL/alat pemberi isyarat lalu

    lintas/traffic light pada keselamatan lalu lintas di persimpangan dan lainnya.

    2.4. Latihan

    Uraikan untuk kegiatan analisis, apa saja yang dapat digolongkan dalam observasi

    atau eksperimen!

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 11

    BAB 3

    METODE KAJIAN OBSERVASI

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 12

    3. Metode Kajian Observasi

    Indikator Keberhasilan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan mampu:

    - menjelaskan metode analisis observasi

    - menjelaskan metode observasi sederhana

    - menjelaskan metode kombinasi regresi dan empirikal bayes

    3.1. Metode Analisis Observasi

    Dalam studi observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ implementasi program, yang

    perlu diperhatikan adalah:

    1. observasi parameter pembanding, dan

    2. durasi observasi yang optimum.

    3.1.1. Observasi Parameter Pembanding

    Tujuan utama kajian observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ adalah

    membandingkan 2 (dua) situasi sebagai berikut:

    Situasi 1: Memperkirakan tingkat keselamatan lalu lintas setelah

    periode ‘sesudah’ apabila program tidak jadi diimplementasikan

    (posisi observasi ‘b’ di Gambar 4); dan

    Situasi 2: Memperkirakan tingkat keselamatan lalu lintas setelah

    periode ‘ sesudah’ apabila program telah diimplementasikan

    (posisi ‘c’ observasi di Gambar 4).

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 13

    Gambar 4 Contoh Posisi Observasi Kajian ‘Sebelum dan Sesudah’

    Situasi 1 mencerminkan kondisi tanpa perubahan (do-nothing)

    sedangkan situasi 2 mencerminkan kondisi dengan perubahan (do-

    something). Perbandingan yang paling sesuai dilakukan adalah

    membandingkan kedua situasi ini mengingat observasi sepatutnya

    dilakukan pada waktu yang bersamaan.

    Terminologi ‘sebelum’ mungkin sedikit rancu mengingat di dalam

    analisis, tidak membandingkan tingkat keselamatan lalu lintas sebelum

    program diimplementasikan (posisi observasi ‘a’ di Gambar 4) dengan

    setelah program telah diimplementasikan (posisi observasi ‘c’).

    Melakukan perbandingan dengan waktu observasi yang berbeda (antara

    observasi ‘a’ dan ‘c’) akan menyebabkan hasil yang bias mengingat

    perubahan-perubahan lainnya dapat terjadi antara kedua kurun waktu

    tersebut. Minimal volume lalu lintas akan selalu berubah dengan

    perbedaan waktu observasi.

    Dalam hal ini, maka observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ adalah

    memperbandingkan kondisi pada posisi ‘b’ dan ‘c’ seperti terlihat pada

    Gambar 4. Untuk itu dibutuhkan suatu pendekatan statistik yang

    memadai untuk memungkinkan mengetahui kondisi “tanpa perubahan”

    dari informasi posisi ‘a’ yang didapat dari data actual kecelakaan lalu

    lintas sebelum dilakukan implementasi program.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 14

    3.1.2. Durasi Observasi yang Optimum

    Untuk melakukan kajian observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ sebaiknya

    memperhatian berbagai faktor, baik secara teknis maupun praktis seperti

    yang diarahkan oleh Ben-Aktiva et al. (1999):

    Pertama, faktor teknis, minimal terdapat 3 (tiga) masalah yang

    perlu dipahami di dalam analisis empirikal keselamatan lalu

    lintas, yaitu:

    1. masalah fluktuasi frekuensi kecelakaan lalu lintas yang

    selalu bersifat acak (random);

    2. perubahan akibat faktor eksternal selama periode studi

    seperti arus lalu lintas, komposisi lalu lintas, perilaku lalu

    lintas dan pengemudi;

    3. efek dari regresi terhadap nilai rata-rata

    (RTR)/regression-to-mean atau secara mudahnya adalah

    bias yang diakibatkan pilihan lokasi dan/atau waktu

    studi.

    Kedua, masalah-masalah praktis. Sedikitnya ada 2 hal yang harus

    diperhatikan:

    1. ketersediaan data; dan

    2. durasi waktu observasi.

    Masalah ini timbul karena terjadinya kondisi pilihan yang masing-

    masing memiliki keuntungan dan kerugian tersendiri. Durasi

    waktu pengamatan ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ yang panjang akan

    mengurangi efek fluktuasi frekuensi kecelakaan lalu lintas yang

    bersifat acak dan masalah problematik efek regresi terhadap

    nilai rata-rata (RTR), tetapi kemungkinan terjadinya perubahan

    yang diakibatkan oleh faktor-faktor eksternal sangat mungkin

    terjadi seperti perubahan tata guna lahan sepanjang jalan yang

    diamati dan lain sebagainya. Tetapi dari kedua masalah praktis,

    tentunya yang terpenting seperti yang telah dijelaskan pada

    butir (1), kemungkinan untuk mendapatkan data menjadi lebih

    sulit apabila waktu pengamatan yang panjang.

    Bila tidak terdapat kesulitan untuk mendapatkan data dan secara teknis

    dapat diyakini tidak terdapat perubahan yang ekstrim akibat faktor

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 15

    eksternal, maka Haeur (1997) menyarankan untuk menggunakan durasi

    pengamatan 3 (tiga) tahun untuk periode ‘sebelum’ dan 3 (tiga) tahun

    untuk periode ‘sesudah’ implementasi program. Durasi ini dapat

    dijadikan ‘rule of thumb’ yang dipercaya oleh para ahli teknik lalu lintas

    dan keselamatan lalu lintas sebagai durasi yang optimum untuk

    menjawab masalah-masalah teknis dan praktis di lapangan (Haeur,

    2002).

    Secara garis besar, terdapat 4 (empat) pendekatan untuk melakukan

    kajian observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’, yaitu:

    a. Studi Observasi Sederhana ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’ Efektifitas setelah implementasi program dinyatakan oleh suatu

    faktor ataupun persentase perbedaan antara jumlah kecelakaan lalu

    lintas yang diukur pada periode ‘sebelum’ dan ‘sesudah’

    implementasi program terhadap hipotesis nol (h0) bahwa “frekuensi

    kecelakaan ‘sebelum’ akan sama besar dengan ‘sesudah’

    implementasi program”. Keuntungan penggunaan pendekatan ini

    adalah: metodologi kajian sangat sederhana dan tidak perlu

    memperhatikan perubahan akibat faktor eksternal (kecuali

    perubahan volume lalu lintas) dan masalah bias akibat pilihan lokasi

    pengamatan atau fenomena RTR.

    Hal ini secara singkat dapat dijelaskan sebagai berikut: apabila

    jumlah kecelakaan lalu lintas pada durasi observasi ‘sebelum’

    implementasi program di suatu lokasi dalam kondisi yang tidak

    normal seperti jumlah kecelakaan yang sangat tinggi sekali ataupun

    sangat rendah sekali, dan apabila jumlah kecelakaan ini dianggap

    sebagai estimator dari perkiraan jumlah kecelakaan lalu lintas, maka

    hasil yang didapat tentunya akan menjadi bias karena tidak

    menggambarkan kondisi sesungguhnya.

    b. Perkiraan dengan Menggunakan Metode Empirikal Bayesian (EB)

    Pendekatan ini menggunakan aturan Bayesian di mana perkiraan

    jumlah kecelakaan lalu lintas dapat disempurnakan dengan

    menggunakan informasi tambahan. Metode ini memperkirakan

    jumlah kecelakaan lalu lintas dengan data kecelakaan lalu lintas pada

    lokasi pengamatan yang kemudian dikoreksi dengan informasi

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 16

    kecelakaan di lokasi-lokasi lainnya yang diyakini memiliki kemiripan

    dengan lokasi kajian (kesetaraan entitas lokasi).

    Keuntungan metode ini adalah:

    1) metode ini secara langsung memperhitungkan efek dari RTR; dan

    2) dapat mengendalikan hasil dari suatu program (treatment

    control) akan menghasilkan perkiraan jumlah kecelakaan lalu

    lintas yang lebih akurat (Hauer, 1991).

    Walaupun demikian, metode ini masih mempunyai kekurangannya,

    yaitu:

    a) melibatkan asumsi terhadap sebaran probabilitas kejadian

    kecelakaan lalu lintas; dan

    b) tidak memperhitungkan semua perubahan baik yang bersifat

    internal maupun eksternal.

    c. Metode Regresi Secara dasar, perkiraan jumlah kecelakaan lalu lintas didasari oleh

    variable bebas yang mempengaruhinya baik untuk kondisi ‘sebelum’

    dan ‘sesudah’ implementasi program. Keuntungan metode ini

    memasukkan faktor-faktor internal dan eksternal (yang dinyatakan

    oleh variable bebas) di dalam memperkirakan jumlah kecelakaan lalu

    lintas. Kelemahan dari model ini tetap memungkinkan bias akibat

    dari efek RTR mengingat metode ini bukan bersifat analisis treatment

    control karena tidak menggunakan lokasi lain yang memiliki

    kemiripan dengan lokasi studi yang dapat dijadikan referensi.

    Teknik yang terbaik adalah menggunakan generalized linear models

    (GLM) mengingat regresi pada umumnya mengikuti pula distribusi

    normal, sebaran kecelakaan lalu lintas diyakini mengikuti distribusi

    Poisson (nilai rata-rata akan setara dengan varian) ataupun negatif

    binomial (varian di atas nilai rata-rata). Hal ini mengingat kecelakaan

    lalu lintas merupakan kejadian yang sangat jarang terjadi, bersifat

    acak dan tidak dapat bernilai negatif.

    d. Kombinasi Regresi dan Pendekatan Empirikal Bayes (EB) Metode ini menggabungkan keunggulan-keunggulan dari metode

    regresi dan pendekatan EB. Model regresi diadopsi ke dalam teknik

    EB sebagai fungsi kinerja keselamatan lalu lintas (safety performance

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 17

    function) yang dikembangkan berdasarkan model prediksi

    kecelakaan lalu lintas dari lokasi yang diyakini memiliki kemiripan

    dengan lokasi kajian. Tabel 1 memperlihatkan tipologi metodologi

    untuk kajian observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’.

    Tabel 1 Pendekatan Kajian Observasi ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’

    Selanjutnya pembahasan akan ditekankan kepada metode observasi

    sederhana dan metode kombinasi regresi dan empirical Bayesian.

    3.2. Metode Observasi Sederhana

    Metode ini pada prinsipnya hanya dapat dilakukan apabila suatu program telah

    diimplementasikan dan memiliki data kecelakaan yang memadai. Analisis

    dilakukan untuk melihat sejauh mana terjadi perubahan tingkat keselamatan lalu

    lintas (untuk memonitor dampak keselamatan lalu lintas). Metode ini tidak dapat

    dilakukan untuk memprediksi tingkat perubahan keselamatan lalu lintas suatu

    program sebelum dilaksanakan mengingat keterbatasan metodologi yang ada.

    Untuk memprediksi perubahan keselamatan lalu lintas sebelum suatu program

    dilaksanakan (analisis dalam tahap perencanaan atau perancangan), dapat

    dilakukan dengan metode kombinasi persamaan regresi dan Empirikal Bayes.

    Dasar Analisis untuk Pemantauan Indikasi Keselamatan Lalu Lintas Jalan

    Pendekatan umum ini adalah untuk memprediksi perkiraan jumlah kecelakaan

    (atau fatalitas) lalu lintas pada periode tertentu apabila implementasi program

    atau proyek tidak dilakukan.

    Apabila nilai tersebut lebih kecil dari jumlah kecelakaan aktual yang diobservasi

    setelah implementasi program dilakukan, maka program atau proyek tersebut

    berdampak negatif terhadap indikator keselamatan lalu lintas, atau sebaliknya,

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 18

    bila nilai ini lebih besar dari jumlah kecelakaan aktual, maka program dinyatakan

    berdampak positif.

    Jumlah kecelakaan lalu lintas diasumsikan mengikuti sebaran Poisson. Walaupun

    demikian, apabila jumlah kecelakaan lalu lintas pada suatu waktu tertentu sangat

    besar, atau melebihi 40, pendekatan dengan menggunakan sebaran normal

    dapat dilakukan.

    Beberapa koreksi dapat dilakukan untuk metode observasi sederhana dengan

    keyakinan bahwasanya pertambahan volume lalu lintas pada tahun-tahun

    pengamatan akan menambah jumlah kecelakaan lalu lintas sehingga koreksi

    terhadap pertumbuhan dapat dilakukan apabila informasi tersedia.

    Perkiraan jumlah kecelakaan pada tahun pengamatan adalah sebagai berikut:

    π = rd. rtf. K…………………………………………………………………………(1)

    Dimana:

    π = Jumlah kecelakaan pada periode waktu pengamatan tertentu. Perkiraan jumlah kecelakan dinyatakan oleh: π^

    rtf = Pertumbuhan arus lalu lintas antara tahun pengamatan dan tahun dasar. Sebagai contoh 1,02 menyatakan pertumbuhan lalu lintas sebesar 2%.

    rd = Durasi kajian setelah tahun pengamatan relatif terhadap periode total sebelum observasi. Sebagai contoh: 1/36 menyatakan pengamatan 1 bulan setelah implementasi program (periode waktu pengamatan ‘sesudah’ berjalan) relatif terhadap 3 tahun data ‘sebelum’ perubahan program dilaksanakan.

    K = Jumlah kecelakaan dari suatu kelompok yang diobservasi pada tahun dasar hingga dimulainya tahun pengamatan.

    Penggunaan persamaan (1) dapat dilihat dalam contoh sebagai berikut: Jumlah

    kecelakaan pada tiga tahun observasi sebelum dilaksanakan program sebesar

    162 peristiwa. Pengamatan dilakukan setelah satu bulan program dijalankan dan

    terdapat pertumbuhan lalu lintas sebesar 2%, maka π = (1/36).(1,02).(162) =

    4,589 kecelakaan. Bila setelah program dilaksanakan selama satu bulan, jumlah

    kecelakaan (λ) di bawah 4,589 makan terjadi perubahan positif.

    Penggunaaan cara ini perlu berhati-hati karena tidak memperhatikan variasi-

    variasi yang mungkin timbul seperti pengaruh musim dan cuaca dan mungkin saja

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 19

    menjadi bias apabila digunakan untuk membandingkan jumlah korban meninggal

    dunia karena akibat satu kejadian peristiwa menonjol yang membawa korban

    jiwa sangat besar maka akan merusak logika di dalam melakukan perbandingan.

    3.2.1. Tahapan Analisis

    Telah dibahas mekanisme dasar dalam melakukan observasi secara

    sederhana keselamatan lalu lintas. Metode observasi sederhana ini

    kemudian dikembangkan berdasarkan arah oleh Haeur (1997). Empat

    tahapan analisis disarankan untuk menganalisis tingkat keselamatan lalu

    lintas sebagai berikut:

    a. Tahapan 1. Memperkirakan Jumlah Kecelakaan Lalu Lintas Periode Sebelum dan Sesudah Program Dilaksanakan

    Perkiraan jumlah kecelakaan lalu lintas di suatu lokasi ‘setelah’

    program dilaksanakan (λ) dapat ditentukan dengan menggunakan

    secara langsung data kecelakaan lalu lintas yang ada. Sedangkan

    prediksi jumlah kecelakaan lalu lintas di suatu lokasi ‘sebelum’

    program diimplementasikan (π) dilakukan dengan mengasumsikan

    jumlah kecelakaan lalu lintas akan mengikuti kondisi lalu lintas

    ‘sebelum’ implementasi atau kondisi lama yang kemudian dikoreksi

    dengan faktor-faktor akibat perbedaan arus lalu lintas dan

    perbedaan durasi observasi antara ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ program

    dilaksanakan (ingat bahwa perbandingan harus dilakukan antara

    posisi observasi ‘b’ dengan ‘c’ pada Gambar 4 di atas).

    Perbedaan jumlah kecelakaan lalu lintas (δ) didapat berdasarkan

    persamaan 2 di bawah ini (tanda positif menyatakan terjadi reduksi

    sedangkan tanda negatif menyatakan terjadi peningkatan

    kecelakaan lalu lintas):

    δ = π - λ ……………………………………………………...........................(2)

    Dimana:

    δ = perbedaan jumlah lalu lintas. Perkiraan jumlah ini dinotasikan oleh δ^

    π = jumlah kecelakaan lalu lintas pada periode ‘sesudah’ apabila program tidak jadi dilaksanakan. Perkiraan jumlah ini dinotasikan oleh π ^

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 20

    λ = jumlah kecelakaan lalu lintas pada periode ‘sesudah’ program diimplementasikan. Perkiraan jumlah ini dinotasikan oleh λ^

    b. Tahapan 2. Perkiraan Varians Kecelakaan Lalu Lintas Dengan mengasumsikan bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas antara

    ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ program diimplementasikan (π^ dan λ^)

    secara statistik terjadi secara independen, maka varians perbedaan

    kecelakaan lalu lintas antara ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ akan mengikuti

    persamaan 3 sebagai berikut:

    VAR { δ^ } = VAR { π ^ } + VAR { λ^ }………………………………....(2)

    c. Tahapan 3. Penilaian Dampak Keselamatan Lalu Lintas Salah satu cara untuk melakukan penilaian dampak keselamatan lalu

    lintas yaitu dengan menggunakan indeks efektivitas program (θ) dan

    sebenarnya secara sederhana indeks ini dapat dinyatakan dengan

    λ/π , sehingga θ^ = λ^/π^. Walaupun demikian, untuk mendapatkan

    nilai yang secara statistikal tidak bias (karena mempertimbangkan

    varians yang ada), maka pengukuran indeks efektifitas disarankan

    mengikuti persamaan sebagai berikut:

    θ^ = (λ^/π^)/[1+VAR{ π ̂ / π ̂ 2}]……………………..……………………....(4)

    Perlu diingat bahwa perkiraan varians dibutuhkan untuk melihat

    sejauh mana presisi hasil estimasi kita mengingat arti dari hasil

    estimasi merupakan jumlah kecelakaan lalu lintas rata-rata dalam

    kurun waktu tertentu.

    Interpretasi persamaan di atas adalah sebagai berikut:

    Bila lebih besar dari satu, maka implementasi program

    membawa dampak peningkatan jumlah kecelakaan lalu lintas.

    Bila sama dengan satu, maka implementasi program tidak

    membuat perubahan tingkat keselamatan lalu lintas.

    Bila lebih kecil dari satu, maka implementasi program membawa

    dampak pengurangan jumlah kecelakaan lalu lintas.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 21

    d. Tahapan 4. Varians dari Dampak Keselamatan Lalu Lintas Berdasarkan persamaan 4, maka varians dari θ^ dapat diperkirakan

    dengan menggunakan persamaan 5 di bawah ini:

    VAR (θ^) =͌ θ^2 [(VAR{λ^}/ λ^2)+(VAR{π ̂ }/π2 )]/[1+VAR{π ̂ }/π2] 2……..(5)

    Dengan mengasumsikan bahwa frekuensi kecelakaan lalu lintas

    mengikuti sebaran Poisson (karena kecelakaan lalu lintas bersifat

    acak, diskret, dan tidak mungkin menghasilkan nilai negatif serta

    merupakan suatu kejadian yang sangat jarang terjadi), maka Interval

    yang diyakini atau 95% CI (Confidence Interval) untuk π ^ akan

    mengikuti persamaan berikut ini:

    .............(6)

    Di mana, adalah fungsi masa peluang (probability

    mass function) dari jumlah kecelakaan lalu lintas, к, dan (π ^-g) serta

    (π ^+h) adalah nilai minimum dan maksimum dari fungsi masa

    tersebut dengan tingkat signifikansi sekitar 95% dan к, adalah

    perkiraan jumlah kecelakaan lalu lintas dan seringkali juga

    dinyatakan sebagai target kecelakaan lalu lintas. Persamaan ini dapat

    digunakan untuk melihat sejauh mana secara statistikal terjadi

    perubahan kondisi keselamatan lalu lintas. Apabila jumlah

    kecelakaan lalu lintas cukup besar (lebih besar dari 30), maka

    pendekatan 95% CI dapat merujuk ke sebaran normal sebagai

    berikut:

    95% CI = π^)+̲1,96√VAR(𝛑 ^)…………………………………………………….(7)

    Perlu dicatat bahwa penggunaan persamaan 6 maupun persamaan 7

    hanya untuk memperlihatkan apakah perubahan kecelakaan lalu

    lintas setelah implementasi program (λ^) masih di dalam rentang 95%

    CI jumlah kecelakaan apabila program tidak jadi dilaksanakan (π ^)

    dan rentang ini akan menjadi lebih lebar apabila jumlah perkiraan

    kecelakaan semakin tinggi. Interpretasi hasil analisis sebaiknya

    berbasis terhadap persamaan 5 dan 6 untuk mengetahui besaran

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 22

    variansnya dan 95% CI digunakan untuk lebih memperkuat

    argumentasi secara menyeluruh.

    3.2.2. Faktor-Faktor Koreksi

    Akan sangat naïf apabila mengasumsikan bahwa setiap pengurangan

    (ataupun peningkatan) kecelakaan lalu lintas ‘setelah’ implementasi

    semata-mata hanya disebabkan oleh pengaruh program yang

    diimplementasikan saja. Setidak-tidaknya terdapat 2 faktor yang

    memungkinkan dikoreksi dalam metode observasi sederhana ini, yaitu:

    durasi periode observasi antara ‘sebelum’ dan ‘sesudah’; dan

    arus lalu lintas. Faktor-faktor lainnya seperti perubahan perilaku dan

    lain sebagainya tidak memungkinkan dilakukan dalam metode ini.

    Untuk ini penggunaan durasi waktu yang relatif pendek (tiga tahun

    ‘sebelum’ dan tiga tahun ‘sesudah’ implementasi program) akan dapat

    mengurangi kemungkinan timbulnya perubahan-perubahan faktor

    lainnya.

    Proses dari koreksi kedua faktor tersebut dapat dilakukan dengan melihat

    kemungkinan-kemungkinan sebagai berikut (Haeur, 1997):

    1. kedua periode observasi (‘sebelum’ dan ‘sesudah’) memiliki durasi

    waktu yang sama, arus lalu lintas tidak berubah (pertumbuhan lalu

    lintas nol persen) serta faktor-faktor lainnya juga diasumsikan tidak

    berubah pada kedua periode observasi, maka: π = µ di mana µ

    adalah jumlah kecelakaan lalu lintas sebelum implementasi

    program dilaksanakan (posisi observasi ‘a’ pada Gambar 4);

    2. periode observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ berbeda durasi

    waktunya, arus lalu lintas dan faktor-faktor lainnya tidak berubah

    pada kedua periode observasi, maka: π=rd x µ di mana rd adalah

    koreksi perbedaan durasi observasi antara ‘sebelum’ dan ‘sesudah’

    implementasi program. Sebagai contoh apabila durasi waktu

    observasi ‘sebelum’ implementasi adalah 36 bulan (3 tahun) dan

    durasi waktu observasi ‘sesudah’ hanya 1 bulan, maka nilai rd =

    1/36;

    3. baik durasi waktu observasi antara ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ dan

    arus lalu lintas berbeda (terjadi pertumbuhan arus lalu lintas).

    Faktor-faktor lainnya tetap diasumsikan tidak berubah, maka: π =

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 23

    rd x rtf x µ di mana rtf adalah koreksi perbedaan arus lalu lintas

    antara ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ implementasi program. Sebagai

    contoh apabila pertumbuhan lalu lintas antara observasi ‘sebelum’

    dan ‘sesudah’ implementasi sebesar 5%, maka nilai rd = 1,05.

    Dengan memperhatikan bahwa salah satu persyaratan sebaran Poisson

    adalah varians harus sebanding dengan jumlah nilai rata-rata (mean)

    kecelakaan lalu lintas. Maka perkiraan parameter dan varians dapat

    dinyatakan oleh persamaan 8 dan 9 sebagai berikut:

    Parameter: λ^= λ, maka

    VA^R{λ^} = λ……………………………………………...........................................(8)

    Parameter: π^ = rd rtf µ, maka

    VA^R{π^} = (rd) 2 [(rtf)2 µ + µ2 VA^R{rtf}]…………………………………….……... (9)

    3.3. Metode Kombinasi regresi dan Empirikal Bayes

    Salah satu teknik observasi tingkat keselamatan lalu lintas ‘sebelum’ dan

    ‘sesudah’ implementasi program adalah dengan menggunakan metode

    kombinasi regresi dan Empirikal Bayes (EB). Metode ini lebih unggul

    dibandingkan dengan metode observasi sederhana karena dapat memberikan

    jawaban pada dua masalah utama dalam analisis:

    1. metode kombinasi regresi dan EB dapat meningkatkan presisi estimasi

    dengan keterbatasan data yang ada; dan,

    2. metode ini juga dapat mengkoreksikan phenomenon regresi terhadap

    nilai rata-rata (RTR) atau regression-to-the mean.

    Metode ini didasari keyakinan bahwa data kecelakaan lalu lintas pada lokasi yang

    dikaji bukan satu-satunya informasi untuk mengetahui tingkat keselamatan

    sesuatu entitas yang sedang diamati. Informasi lainnya yang juga digunakan

    adalah pengetahuan tentang tingkat keselamatan di enttitas lainnya yang

    diyakini memiliki kesamaan dengan lokasi yang sedang diamati. Kerangka teori

    untuk mengkombinasikan informasi yang didapat dari data kecelakaan lalu lintas

    di entitas yang sedang diamati dengan informasi pengetahuan tentang

    keselamatan lalu lintas pada entitas lainnya yang memiliki kesamaan dengan

    lokasi yang sedang diamati merupakan prinsip dasar dari metode EB.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 24

    Pendekatan EB

    Pada hakekatnya prosedur EB berupaya memprediksi sesuatu dengan tidak

    menggunakan hanya satu petunjuk (clue) saja tetapi setidaknya dua petunjuk.

    Berikut ini sebuah contoh untuk memudahkan bagaimana suatu proses EB dapat

    berjalan.

    Sebagai contoh: sebuah persilangan sebidang antara jalan dan kereta api di suatu

    tempat (misalnya di lokasi x) di Jakarta tidak terdapat sama sekali kecelakaan lalu

    lintas antara pengguna jalan dan kereta api dalam lima tahun terakhir. Tetapi

    berdasarkan data yang dad, rata-rata kecelakaan pada persilangan sebidang di

    Jakarta dalam lima tahun terakhir adalah 0,002 kecelakaan per tahun. Semisal

    informasi kecelakaan = 0 (tidak ada kecelakaan) pada lokasi x merupakan

    petunjuk (clue) 1, sedangkan rata-rata kecelakaan = 0,002 merupakan petunjuk

    2. Pertanyaan yang timbul: dapatkah memperkirakan jumlah kecelakaan di lokasi

    x adalah 0 (nol) kecelakaan per tahun? Atau sebaliknya dapat dikatakan

    bahwasanya tingkat keselamatan persimpangan sebidang di Jakarta adalah 0,002

    dengan menutupi kenyataan bahwa di lokasi x terdapat hanya 0 (nol) kecelakaan

    per tahun.

    Perkiraan yang masuk akal tentunya harus memperhatikan kedua petunjuk

    (clues) yang ada. Artinya perkiraan jumlah rata-rata kecelakaan per tahun

    berkisar antara 0 hingga 0,002 per tahun. Untuk mendapatkan perkiraan terbaik

    dibutuhkan suatu faktor pembebanan (weighting factor) yang dapat

    menghasilkan suatu nilai di antara kedua nilai petunjuk yang ada. Hal inilah yang

    menjadikan esensi dasar dari teori EB.

    Terdapat tiga cara untuk mencari peluang dari suatu entitas sejenis atau

    memprediksi kecelakaan lalu lintas, yaitu dengan cara:

    1. memperkirakan secara subyektif;

    2. dengan melakukan penelitian secara empirikal dari data tahun-tahun

    sebelumnya;

    3. dengan menggunakan pendekatan matematis untuk menjabarkan secara

    teori distribusi kecelakaan lalu lintas.

    Secara skematik Jessop (1990) menguraikan proses EB seperti pada Gambar 5.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 25

    Gambar 5 Perubahan dari Perkiraan Awal sebagai Esensi Dasar EB

    Tujuan dari EB adalah bagaimana dapat menggabungkan dua buah informasi

    tentang sebuah entitas yang sedang diamati. Informasi pertama adalah data

    jumlah kecelakaan lalu lintas dan informasi kedua adalah perkiraan jumlah

    kecelakaan lalu lintas yang didapatkan dari persamaan fungsi kinerja

    keselamatan lalu lintas (FKKL). Di dalam prosedur EB, untuk menggabungkan

    kedua buah informasi ini dilakukan dengan mengimplementasikan suatu faktor

    pembebanan (weight). Sehingga, hasil estimasi jumlah kecelakaan lalu lintas akan

    berada di antara jumlah kecelakaan lalu lintas dari informasi pertama dan

    informasi kedua.

    Fungsi kenerja keselamatan lalu lintas (FKKL) didapat dari data kecelakaan yang

    memiliki kesetaraan atau kemiripan dengan entitas yang sedang diamati.

    Merupakan persamaan regresi dari data kecelakaan pada periode tertentu (time

    series data) di entitas yang setara. Regresi dengan distribusi negatif binomial atau

    Poisson merupakan pilihan yang paling tepat disesuaikan dengan sifat dari

    distribus kecelakaan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 26

    Dalam salah satu makalah Hauer (2001) mengingatkan bahwa harus secara serius

    diperhatikan masalah dispersi yang sangat besar (over dispersion) suatu model

    FKKL.

    Di dalam model prediksi kecelakaan lalu lintas, seperti diketahui bersama bahwa

    data kecelakaan lalu lintas pada umumnya selalu menunjukkan kondisi dispersi

    yang sangat besar. Besarnya nilai dispersi ini juga berdasarkan hasil estimasi

    (khususnya bila digunakan model negatif binomial). Terlihat bahwa pengaruh dari

    dispersi ini akan berdampak terhadap parameter-parameter persamaan yang

    didapat dengan menggunakan metode maximum likelihood estimation.

    Aplikasi penggunaan parameter dispersi dalam FKKL dengan menggunakan

    model negatif binomial harus diperhatikan keserupaan antara model FKKL

    dengan lokasi yang sedang dikaji. Sebagai contoh, apabila model FKKL

    dikembangkan berdasarkan panjang ruas jalan 5 km, maka perkiraan maximum

    likelihood parameter akan tidak sesuai bila digunakan untuk mengkaji ruas jalan

    yanglebih pendek atau lebih panjang dari 5 km. Untuk menghindari masalah ini

    sebaiknya digunakan panjang ruas jalan yang fleksibel, Hauer (2001)

    menyarankan untuk menggunakan unit panjang tertentu seperti 1 km sehingga

    dapat digunakan dengan mudah untuk semua situasi.

    Sebagai contoh, apabila dilakukan observasi pada suatu ruas jalan dengan

    panjang 5,5 km, maka dengan menggunakan model FKKL berbasis satu kilometer,

    maka hasil akhir akan didapat dengan mengalikan hasil perkiraan per km dengan

    panjang ruas pengamatan menjadi hasil perkiraan seluruh ruas pengamatan.

    Saran ini juga sebaiknya dilakukan pula apabila digunakan FKKL berdasarkan

    model Poisson mengingat perbedaannya di dalam model ini, tidak mengabaikan

    parameter dispersi dengan mengasumsikan rata-rata jumlah kecelakaan lalu

    lintas sebanding dengan varians.

    3.3.1. Metodologi

    Metode perkiraan Empirikal Bayes (EB) memperhatikan setiap penyesuaian

    berdasarkan informasi kecenderungan yang ada dan dapat dinyatakan

    sebagai berikut:

    Posterior (setelah program) ἀ kececderungan (likelihood) x sebelum

    program.

    Prosedur penyesuaian dapat dilakukan berdasarkan dua asumsi, yaitu:

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 27

    kecelakaan lalu lintas terjadi mengikuti sebaran Poisson; dan

    rata-rata dari sebaran Poisson bervariasi dari satu entitas ke entitas

    lainnya mengikuti sebaran Gamma atau sebaran negatif binomial.

    Hakiki dari pendekatan EB, setiap informasi kecenderungan (likelihood)

    harus didasari 2 petunjuk (Hauer, 1997), yaitu;

    1. petunjuk yang didasari dari karakter suatu entitas yang sedang

    diobservasi, di mana karakter ini mirip dengan karakter entitas lainnya

    di mana data tentang keselamatan lalu lintas tersedia;

    2. petunjuk berdasarkan pencatatan kecelakaan lalu lintas yang mana

    merefleksikan tingkat keselamatan entitas yang sedang diobservasi.

    Kembali ke contoh di atas, petunjuk pertama adalah informasi keselamatan

    lalu lintas yang menyatakan jumlah kecelakaan lalu lintas di persimpangan

    di kota ‘A’ adalah 2, sedangkan petunjuk kedua adalah kecelakaan lalu

    lintas di persimpangan ‘X’ adalah nol atau tidak ada kecelakaan sama sekali

    pada tahun 2002.

    3.3.2. Prosedur Observasi Kombinasi Regresi dan EB

    Hauer (2002) mengembangkan prosedur singkat yang diharapkan dengan

    mudah dapat dipahami. Secara umum estimasi dari perkiraan jumlah

    kecelakaan lalu lintas pada suatu observasi mengikuti persamaan berikut

    ini:

    Estimasi dari perkiraan jumlah kecelakaan lalu lintas pada entitas

    tertentu yang diobservasi =

    [nilai pembanding x perkiraan jumlah kecelakaan lalu lintas pada

    entitas serupa] + {(1-nilai pembanding) x jumlah kecelakaan pada

    entitas yang diobservasi].........................................................(10)

    di mana 0 ≤ nilai pembanding ≤ 1.

    3.3.3. Tiga tahapan dalam penggunaan EB

    a. Tahap 1

    Hitung frekuensi rata-rata kecelakaan lalu lintas pada entitas yang

    sedang diobservasi dan entitas-entitas lainnya yang memiliki

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 28

    kemiripan dengan entitas yang sedang diobservasi. Frekuensi rata-

    rata entitas serupa didapat dari Fungsi Kinerja Keselamatan Lalu

    Lintas (FKKL) atau safety performance function. FKKL ini didapat dari

    model regresi berdasarkan variabel-variabel penentunya seperti

    arus lalu lintas dan besaran standar geometrik jalan. Apabila FKKL

    dikembangkan dengan menggunakan model negatif binomial, maka

    parameter despersi (over-dispersion) harus diestimasikan dalam

    satuan unit θ/km. Akibatnya untuk analisis EB, panjang ruas jalan

    harus ditentukan dengan tegas pada fungsi FKKL dan panjang ruas

    harus sama dengan entitas yang sedang diobservasi. Sebagai

    contoh: tidak menggunakan FKKL yang dikembangkan untuk

    segmen jalan sepanjang 4,5 km untuk analisis EB pada segmen yang

    memiliki panjang 3,5 km. Untuk memudahkan, dalam menggunakan

    FKKL 3,5 km berbasiskan sebaran negatif binomial dianjurkan

    menggunakan basis panjang segmen 1 km. Sebagai konsekuensinya,

    maka estimasi rata-rata frekuensi kecelakaan lalu lintas juga dalam

    besaran per km. Nilai ini kemudian dapat dikalikan dengan panjang

    aktual ruas jalan yang sedang diobservasi untuk mendapatkan hasil

    estimasi akhir.

    b. Tahap 2

    Menetapkan nilai pembanding untuk menghubungkan kedua

    petunjuk keselamatan lalu lintas yaitu data kecelakaan lalu lintas

    dan estimasi perkiraan rata-rata kecelakaan lalu lintas yang didapat

    dari FKKL (tahap 1). Secara umum, nilai pembanding diperoleh dari

    persamaan sebagai berikut:

    Dimana:

    Y = jumlah tahun data yang tersedia untuk analisis

    µ = estimasi frekuensi rata-rata kecelakaan lalu lintas dari suatu entitas serupa atau hasil dari tahap 1 (FKKL)

    θ = parameter dispersi yang berlebihan dari FKKL

    Nilai pembanding =

    ……………………………………………(11)

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 29

    Perlu dicatat apabila FKKL berdasarkan sebaran Poisson di mana

    frekuensi rata-rata diasumsikan sebanding dengan nilai variansnya,

    maka nilai parameter dispersi, θ, sama dengan 1. Demikian pula

    untuk analisis persimpangan atau sejenisnya yang tidak ada

    pengaruhnya dengan panjang ruas, maka nilai θ juga sama dengan

    1.

    c. Tahap 3:

    Estimasi perkiraan frekuensi rata-rata kecelakaan lalu lintas pada

    suatu entitas tertentu didapat berdasarkan persamaan (12) berikut

    ini:

    σ (estimasi) = √(1 – 𝑛𝑖𝑙𝑎𝑖 𝑝𝑒𝑚𝑏𝑎𝑛𝑑𝑖𝑛𝑔)𝐸𝑠𝑡𝑖𝑚𝑎𝑠𝑖………………...(12)

    3.4. Rangkuman

    Dalam studi observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ implementasi program, yang

    perlu diperhatikan adalah observasi parameter pembanding, dan durasi

    observasi yang optimum.

    Tujuan utama kajian adalah membandingkan 2 (dua) situasi yaitu Memperkirakan

    tingkat keselamatan lalu lintas setelah periode ‘sesudah’ apabila program tidak

    jadi diimplementasikan dan Memperkirakan tingkat keselamatan lalu lintas

    setelah periode ‘sesudah’ apabila program telah diimplementasikan.

    Pendekatan Kajian Observasi ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’ sangat bergantung pada

    kesediaan data yang akurat seperti digambarkan pada tabel :

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 30

    3.5. Latihan

    1. Dalam studi observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ implementasi program,

    apa saja yang perlu diperhatikan?

    2. Apa tujuan utama dari observasi parameter pembanding?jelaskan!

    3. Untuk melakukan kajian observasi ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ sebaiknya

    memperhatian berbagai faktor, baik secara teknis maupun praktis,

    jelaskan!

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 31

    BAB 4

    PENERAPAN APLIKASI

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 32

    4. Penerapan Aplikasi

    Indikator Keberhasilan

    Setelah mengikuti pembelajaran ini, peserta diklat diharapkan mampu memahami penerapan model regresi pada kasus estimasi tingkat kecelakaan lalu lintas nasional dan 6 (enam) propinsi di pulau jawa indonesia dan aplikasi

    program manajemen lalu lintas terpadu diterapkan pada suatu ruas jalan tol

    4.1. Penerapan Model Regresi pada Kasus Estimasi Tingkat Kecelakaan Lalu Lintas Nasional dan 6 Provinsi di Pulau Jawa

    4.1.1. Tujuan Penelitian

    Penelitian ini bertujuan untuk :

    1. Mengidentifikasi faktor-faktor atau variabel-variabel yang

    mempengaruhi tingkat kecelakaan lalu lintas

    2. Mengembangkan model estimasi tingkat kecelakaan lalu lintas di

    jalan

    3. Membuat prediksi tingkat kecelakaan lalu lintas di masa yang akan

    datang

    4.1.2. Identifikasi dan Perumusan Masalah

    Ada beberapa permasalahan yang ada disini antara lain adalah:

    Jumlah pemilikan dan penggunaan kendaraan pribadi terutama

    sepeda motor yang meningkat sangat signifikan.

    Jumlah penduduk dan aktivitas yang semakin meningkat terutama

    di kota-kota yang menyebabkan julah pergerakan semakin

    meningkat

    Jumlah pelanggaran yang didata tetapi tidak terukur penyebab dan

    dampaknya

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 33

    Jumlah data kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat namun

    sangat sulit untuk validasinya

    4.1.3. Metodologi

    Sebelum dilakukan analisis model estimasi perlu dilihat indeks

    kecelakaan untuk melihat bagaimana hubungan jumlah kendaraan

    terhadap tingkat kecelakaan dari masing-masing data kecelakaan

    yaitu jumlah kecelakaan, kecelakaan fatal dan kecelakaan dengan luka

    serius.

    Model Smeed adalah model yang sesuai untuk mengestimasi jumlah

    kecelakaan, jumlah kecelakaan fatal dan jumlah kecelakaan dengan luka

    serius. Model ini sangat baik untuk mengestimasi kecelakaan fatal namun

    cukup baik untuk mengestimasi jumlah kecelakaan dan kecelakaan

    dengan luka serius

    Rumus dasar Smeed adalah sebagai berikut:

    ……………………………………………………………………………………..(13)

    Dimana: F = Fatalitas kecelakaan lalu lintas

    V = Jumlah kendaraan bermotor

    P = Jumlah Penduduk

    Dengan melakukan regresi linier dari data 38 negara berkembang Jacobs

    dan Cutting (1986) mendapatkan parameter α dan β sebesar 0,0021 dan

    0,720.

    4.1.4. Pengumpulan Data

    Data tahun 2010 menunjukan korban meninggal akibat kecelakaan lalu

    lintas telah mencapai sekitar 31.234 jiwa dan proporsi kecelakaan yang

    melibatkan sepeda motor menempati urutan tertinggi yaitu 70%

    kecelakaan dan sisanya 30% lain-lain tanpa sepeda motor (68% tahun

    2010 dan 72% tahun 2011)

    Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) di mana rata-rata

    pertumbuhan penduduk Indonesia sekitar 2,20%, sedangkan

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 34

    pertumbuhan rata-rata kendaraan berdasarkan data korlantas sebesar

    15% (termasuk dengan sepeda motor).

    Berdasarkan penelitian setiap 1 korban meninggal dunia dibelakangnya

    setidak-tidaknya terdapat 10 korban luka berat dan 100 orang kecelakaan

    dengan kerugian material saja. Teori ini disebut dengan teori piramida,

    maka di belakang 31.234 korban meninggal dunia terdapat 312.340

    korban luka berat (harus dirawat di rumah sakit).

    Data jumlah Penduduk dan kendaraan bermotor (Ranmor) tahun 2010,

    2011 dan tahun 2012 dapat dilihat pada tabel 2 berikut ini:

    Tabel 2 Data Jumlah Penduduk dan Kendaraan Bermotor 6 Provinsi

    Polda 2010 2011 2012

    Ranmor Penduduk Ranmor Penduduk Ranmor Penduduk

    Metro Jaya 11,997,519 9,607,787 13,347,802 9,819,158 15,844,292 10,035,180

    Jabar 5,230,328 43,053,732 6,132,506 44,000,914 7,423,435 44,968,934

    Jateng 9,552,790 32,382,657 10,481,143 33,095,075 12,271,745 33,823,167

    DIY 1,488,522 3,457,491 1,618,457 3,533,556 1,906,106 3,611,294

    Jatim 10,414,192 37,476,757 11,172,039 38,301,246 13,102,630 39,143,873

    Banten 1,609,514 10,632,166 1,768,737 10,866,074 2,051,451 11,105,127

    Indonesia 72,942,425 237,641,326 84,193,057 242,869,435 100,543,538 248,212,563

    Tabel 3 Data Kecelakaan Tahun 2010, 2011, 2012

    Polda Tahun 2010 Tahun 2011 Tahun 2012

    Jumlah

    Laka Fatal Serius

    Jumlah

    Laka Fatal Serius

    Jumlah

    Laka Fatal Serius

    Metro Jaya

    6073 781 1957 6352 845 1965 6106 721 2199

    Jabar 6734 1664 2216 7896 1783 2833 7113 1963 2779

    Jateng 15450 2264 3014 15582 2385 2710 17930 2720 3163

    DIY 3313 429 1893 3283 413 2310 3337 317 503

    Jatim 19046 2924 4349 17770 3015 3492 18990 3198 3307

    Banten 1093 291 336 1058 397 284 1128 407 451

    Indonesia 87370 18091 31138 87088 18743 29855 90213 19886 31371

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 35

    4.1.5. Analisis Data

    Indeks Kecelakaan

    Sebelum melakukan analisis atau kalibrasi model perlu dilakukan

    terlebih dahulu analisis indeks kecelakaan lalu lintas berdasarkan jumlah

    kendaraan yang terdaftar pada Polda di masing-masing provinsi.

    Gambar 6 Indeks Kecelakaan Berdasarkan Jumlah Kendaraan Tahun 2010-2012

    Gambar 7 Kecelakaan Berdasaekan Jumlah Kendaraan Tahun 2010-2012

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 36

    Gambar 8 Indeks Kecelakaan dengan Luka Serius Berdasarkan Jumlah Kendaraan Tahun 2010-2012

    4.1.6. Kalibrasi Data

    Kalibrasi model Smeed berdasarkan data jumlah penduduk, jumlah

    kendaraan yang terdaftar dan masing-masing data kecelakaan maka

    didapatkan koefisien dari model untuk setiap data kecelakaan seperti

    jumlah kecelakaan, kecelakaan fatal dan kecelakaan dengan luka serius.

    1. Koefisen untuk data jumlah kecelakaan: a = 0.000185

    b = -0.989 RMSE : 8%

    2. Koefisien untuk data kecelakaan fatal:

    a = 0.0000710

    b = -0.819

    RMSE : 6%

    3. Koefisien untuk data kecelakaan dengan luka serius: a = 0.0000305

    b = -1.011

    RMSE : 4%

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 37

    Tabel 4 Perbandingan Angka Kecelakaan Hasil Estimasi Model dan Data

    Polda

    Jumlah Kecelakaan Fatal Luka Serius

    Estimasi Data Estimasi Data Estimasi Data

    Metro Jaya 6717 6106 937 721 2221 2199

    Jabar

    9937

    7113

    2748

    1963

    3613

    2779

    Jateng 17948 17930 2734 2720 3166 3163

    DIY

    3370

    3337

    323

    317

    508

    503

    Jatim

    19750

    18990

    3262

    3198

    3472

    3307

    Banten

    1420

    1128

    490

    407

    657

    451

    Indonesia 126298 90213 22869 19886 34508 31371

    Tabel 5 Perbedaan Antara Hasil Estimasi dan Data Polda

    Polda Jumlah Kecelakaan Fatal Luka Serius

    Metro Jaya 10% 30% 1%

    Jabar 40% 40% 30%

    Jateng 0% 1% 0%

    DIY 1% 3% 1%

    Jatim 4% 2% 5%

    Banten 26% 45% 46%

    Indonesia 40% 15% 10%

    Kesimpulan

    Dari analisis indeks kecelakaan didapatkan bahwa semakin tinggi

    jumlah kendaraan pada satu provinsi maka jumlah kecelakaan

    terlihat semakin menurun, namun untuk kecelakaan fatal dan

    kecelakaan dengan luka serius tidak begitu jelas.

    Perbedaan antara hasil estimasi dan data terlihat cukup besar

    pada data provinsi Jawa Barat, Banten dan Metro Jaya (hanya

    kecelakaan fatal). Demikian juga keseluruhan provinsi atau

    Indonesia.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 38

    4.2. Contoh Aplikasi

    Program Manajemen Lalu Lintas Terpadu Diterapkan Pada Suatu Ruas Jalan Tol

    Suatu program manajemen lalu lintas terpadu diterapkan pada suatu ruas jalan

    tol. Tujuan utama program ini adalah untuk melancarkan lalu lintas pada jam-jam

    puncak dengan memformalkan penggunaan bahu jalan sebagai tambahan lajur

    (hard shoulder running) dan melakukan pembatasan arus lalu lintas di beberapa

    gerbang tol. Walaupun tujuan program ini tidak secara eksplisit menyatakan

    untuk peningkatan keselamatan lalu lintas, tetapi operator jalan tol tetap

    mengharapkan agar program ini tidak menyebabkan peningkatan jumlah

    kecelakaan lalu lintas atau setidak-tidaknya secara statistic dapat diyakini

    minimal akan sama dengan kondisi semula sebelum implementasi program

    dilakukan.

    Tabel 2 memperlihatkan data kecelakaan lalu lintas pada tiga tahun terakhir

    sebelum program dilaksanakan dan Tabel 3 memperlihatkan jumlah kecelakaan

    lalu lintas setelah manajemen lalu lintas terpadu diimplementasikan pada bulan

    pertama, keenam, dan keduabelas (satu tahun setelah dioperasikan).

    Berdasarkan pengamatan lapangan, pada bulan pertama terdapat peningkatan

    lalu lintas sebesar 2% (=1,02), kemudian pada bulan keenam meningkat menjadi

    5% (=1,05), dan pada bulan keduabelas meningkat menjadi 7% (=1,07), dengan

    mengasumsikan varians arus lalu lintas konstan sebesar = 0,02.

    Catatan: Arus lalu lintas seyogyanya juga akan memiliki variasi sebagai

    konsekuensi menggunakan angka rata-rata mengingat pada umumnya besaran

    yang dipakai adalah lalu lintas harian rata-rata tahunan (LHR tahunan). Hal lain

    yang perlu kita ketahui bahwa jumlah kecelakaan pada umumnya berkaitan

    secara proporsional dengan arus lalu lintas mengikuti persamaan: jumlah

    kecelakaan = α x Flow β (bentuk persamaan ini dipercayai memberikan hasil

    terbaik, lihat Walmsley et al., 1999).

    Tabel 6 Jumlah Kecelakaan di Jalan Tol Sebelum Program Diimplementasikan (Studi Kasus)

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 39

    Tabel 7 Jumlah Kecelakaan di Jalan Tol Setelah Program Diimplementasikan (Studi Kasus)

    4.2.1. Durasi Waktu

    Contoh aplikasi berikut ini dibuat berdasarkan durasi waktu 3 tahun untuk

    ‘sebelum’ dan 1 bulan untuk ‘setelah’ program dilaksanakan untuk

    mengevaluasi kecelakaan tanpa korban (kendaraan rusak saja). Seperti

    yang telah diutarakan di atas, setelah 1 bulan dioperasikan, arus lalu lintas

    meningkat sebesar 2% dan varians lalu lintas diasumsikan sebesar 0,02.

    a. Tahap 1. Memperkirakan λ dan π λ^ = 6 kecelakaan/bulan

    r^tf = 1,02

    π^ = (1/36) x 1,02 x 162 = 4,59 kecelakaan/bulan

    δ^ = 4,59 – 6 = -1,41 kecelakaan/bulan

    b. Tahap 2. Memperkirakan VAR {λ^} dan VAR {π^} VA^R{λ^} = 6 kecelakaan/bulan

    VA^R{π^} = (1/36) [1,02 x 162 + 162 x 0,02]

    = 0,54 kecelakaan/bulan

    VA^R {δ^} = 6 + 0,54 =6,54 kecelakaan/bulan

    σ^{δ^} = √ 6,54 = 2,56 kecelakaan/bulan

    c. Tahap 3. Memperkirakan θ θ^ = (6/4,59)/[1+0,54/4,592] = 1,27

    d. Tahap 4. Memperkirakan VAR {θ^} VA^R {θ^} = 1,272 [6/62 +0,54/4,592]/[1+0,54/4,592]2 = 0,30

    σ^{ θ^} = √ 0.30 = 0,54

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 40

    e. Tahap 5. (tambahan tahapan untuk melihat signifikansi perubahan) Kembali ke Tahap 1:

    λ^ = 6 kecelakaan/bulan

    π^ = 4,59 atau 5 kecelakaan/bulan

    Batas bawah dan atas untuk 95% CI = 5 kecelakaan/bulan berada di antara

    1 dan 9 kecelakaan/bulan. Akibatnya λ^ dan π^ secara statistik tidak

    signifikan berbeda.

    Kesimpulan: Untuk pemantauan kecelakaan tanpa korban (hanya

    kendaraan rusak) didapatkan indeks efektifitas dalam bulan pertama

    sebesar: 1,27 ± 0,54 (0,73 hingga 1,81) dan jumlah kecelakaan bertambah

    sebesar 1,41 ± 2,56. Dengan kata lain dalam bulan pertama setelah

    program diimplementasikan terjadi peningkatan jumlah kecelakaan tanpa

    korban sebesar ± 27% atau secara rata-rata jumlah kecelakaan bertambah

    dengan satu kejadian dan penambahan ini secara statistik diyakini tidak

    signifikan. Analogi dengan contoh aplikasi di atas, Tabel 4 memperlihatkan

    kinerja keselamatan lalu lintas untuk kecelakaan lalu lintas fatal (terdapat

    korban yang tewas), kecelakaan yang membawa korban (baik tewas

    maupun luka-luka), dan kecelakaan hanya menyebabkan kerusakan

    kendaraan (tanpa korban).

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 41

    4.2.2. Hasil Analisis Observasi ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’

    Tabel 8 Hasil Analisis Observasi ‘Sebelum’ dan ‘Sesudah’ (Studi Kasus)

    4.2.3. Kesimpulan dari Studi Kasus

    1. pada bulan pertama setelah implementasi program terlihat

    bahwa jumlah kecelakaan meningkat. Walaupun demikian

    peningkatan kecelakaan secara statistikal tidak signifikan.

    Peningkatan terbesar terjadi pada kecelakaan yang membawa

    korban luka-luka;

    2. pada bulan keenam setelah implementasi program terlihat

    bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas tetap meningkat dan

    kecelakaan dengan membawa korban luka-luka secara

    statistikan menjadi signifikan. Walaupun demikian, kecelakaan

    fatal maupun hanya kerusakan benda (kendaraan rusak) tetap

    tidak signifikan. Peningkatan terbesar tetap terjadi pada

    kecelakaan yang membawa korban luka-luka;

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 42

    3. pada bulan keduabelas setelah implementasi program terlihat

    bahwa jumlah kecelakaan lalu lintas tetap meningkat dan baik

    kecelakaan fatal maupun kecelakaan dengan korban luka-luka

    menjadi signifikan berbeda. Hanya kecelakaan kerugian

    material saja yang tidak signifikan. Pola peningkatan kecelakaan

    lalu lintas tetap mirip dengan bulan pertama dan keenam.

    Hasil analisis ini memperlihatkan bahwa penerapan manajemen lalu lintas

    terpadu menyebabkan peningkatan kecelakaan yang membawa korban

    tewas maupun luka-luka walaupun kecelakaan yang hanya membawa

    kerusakan material tetap terkendali. Berdasrkan hasil ini, maka ada baiknya

    operator tol untuk mengkaji ulang sistem pelaksanaan manajemen lalu

    lintas terpadu mengingat terjadi peningkatan jumlah korban kecelakaan

    lalu lintas.

    Kesimpulan metode ini harus digunakan secara hati-hati mengingat

    metode observasi sederhana ‘sebelum’ dan ‘sesudah’ tidak membahas

    semua aspek yang dapat mempengaruhi penyebab suatu kecelakaan lalu

    lintas.

    Berdasarkan Hauer (1997) hal-hal yang perlu dicermati antara lain:

    1. Perubahan tingkat keselamatan lalu lintas tidak saja disebabkan oleh

    implementasi program manajemen lalu lintas terpadu tetapi juga

    dimungkinkan akibat perubahan-perubahan lainnya seperti perilaku

    lalu lintas, cuaca, dan perilaku pengemudi, dan mungkin saja

    perubahan akibat cara pelaporan kecelakaan lalu lintas. Secara

    singkat, hasil ini tidak dapat diyakini sepenuhnya akibat

    implementasi program manajemen lalu lintas terpadu.

    2. Selain itu, hal yang paling mendasar di dalam analisis keselamatan

    lalu lintas adalah perubahan keselamatan lalu lintas dapat saja

    disebabkan hanya oleh phenomenon regresi terhadap nilai rata-rata

    (RTR) atau ‘regression-to-mean’ dan bukan oleh implementasi

    program.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 43

    DAFTAR PUSTAKA

    Undang Undang No. 38 Tahun 2004 Tentang Jalan

    Undang-Undang No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan

    Peraturan Pemerintah Republik Indonesia No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan

    Instruksi Presiden Republik Indonesia No 4 Tahun 2013 Tentang Program decade

    Aksi Keselamatan Jalan

    Peraturan Menteri Pekerjaan Umum No. 21 Tahun 2010 terkait dengan Tugas

    dan Fungsi Audit Keselamatan Jalan

    Instruksi Direktur Jenderal Bina Marga No. 02/in/db/2012 Tentang Panduan

    Teknis Rekayasa Keselamatan Jalan

    Rencana Umum Nasional Keselamatan (RUNK)

    Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 13 Tahun 2014 tentang Rambu Lalu

    Lintas

    Direktorat Jenderal Bina Marga, 036/T/BM/1997, Manual Kapasitas Jalan

    Indonesia, Departemen Pekerjaan Umum, 1997;

    Direktorat Jenderal Bina Marga, No. 038/T/BM/1997, Perencanaan Geometrik

    Jalan Antar Kota, Departemen Pekerjaan Umum, 1997;

    Direktorat Jenderal Bina Marga, 032/T/BM/1999, Pedoman Perencanaan Jalur

    Pejalan Kaki pada Jalan Umum, Departemen Pekerjaan Umum, 1999;

    Peraturan Menteri Perhubungan No. PM 34 Tahun 2014 tentang Marka Jalan

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 44

    GLOSARIUM

    Abutmen/Kepala atau Pangkal Jembatan (Abutment): bangunan bawah

    jembatan yang terletak pada kedua ujung jembatan, berfungsi sebagai

    pemikul seluruh beban pada ujung bentang dan gaya-gaya lainnya yang

    didistribusikan pada tanah pondasi.

    Alat Pengendali Isyarat Lalu Lintas - APILL (Traffic Control Signal): perangkat

    peralatan teknis yang menggunakan isyarat lampu untuk mengatur lalu lintas

    orang dan/atau kendaraan di persimpangan atau pada ruas jalan.

    APILL untuk pejalan kaki berupa:

    APILL yang Dioperasikan oleh Pejalan Kaki (Pedestrian Operated

    Signals - Pos): APILL yang memiliki tiga aspek dan ditempatkan di

    tengah blok antar simpang. APILL ini dilengkapi dengan tombol tekan

    yang dipasang di tiang utamanya untuk memberi tahu kehadiran

    pejalan kaki yang menunggu. Selain itu, ada tampilan isyarat penjalan

    kaki menghadap ke seberang. Tampilan merah, kuning, dan hijau

    untuk pengemudi/pengendara, sedangkan ikon manusia berdiri

    berwarna merah atau manusia berjalan berwarna hijau untuk pejalan

    kaki.

    Penyeberangan PELICAN (Pedestrian Light Controlled Crossing -

    Pelican Crossing): tipe penyeberangan yang dioperasikan oleh pejalan

    kaki, yang memiliki fase kuning berkedip yang ditampilkan sesaat

    sebelum fase hijau bagi pengemudi.

    Penyeberangan PUFFIN (Pedestrian User Friendly Intelligent Crossing

    - PUFFIN Crossing): penyeberangan ini beroperasi mirip APILL pejalan

    kaki lainnya, namun memiliki detektor untuk menengarai kehadiran

    pejalan kaki yang bergerak lambat (misal manula) sehingga mampu

    menambah waktu jalan dan/atau waktu bebas APILL untuk

    membantu mereka.

    Alinyemen (Alignment): proyeksi garis sumbu jalan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 45

    Alinyemen Horizontal (Horizontal Alignment): proyeksi garis sumbu

    jalan pada bidang horizontal.

    Alinyemen Vertikal (Vertical Alignment): proyeksi garis sumbu jalan

    pada bidang vertikal yang melalui sumbu jalan.

    Area Bebas (Clear Zone): daerah di dekat lajur lalu lintas yang harus dijaga

    terbebas dari hazard sisi jalan.

    Audit Keselamatan Jalan (Road Safety Audit): suatu pemeriksaan formal

    jalan atau proyek lalu lintas oleh tim ahli independen yang melaporkan

    potensi kecelakaan dan kinerja keselamatan suatu ruas jalan (Austroads,

    2009).

    Bahu Jalan (Shoulder): bagian daerah manfaat jalan yang berdampingan

    dengan jalur lalu lintas untuk menampung kendaraan yang berhenti,

    keperluan darurat, dan untuk pendukung samping bagi lapis pondasi bawah,

    dan lapis permukaan.

    Bahaya Sisi Jalan: semua objek tetap yang terdapat di sisi jalan di dalam

    daerah bebas yang dapat memperbesar tingkat keparahan kecelakaan.

    Bundaran (Roundabout): persimpangan tempat kendaraan berjalan searah

    mengelilingi pulau lalu lintas.

    Caping (Crown): bentuk mahkota pada potongan melintang di dua lajur jalan

    yang memiliki dua arah kemiringan melintang.

    Efek Lapis Tipis Air (Aqua Planing): terjadi ketika ada lapis tipis air yang

    menyelimuti roda sehingga kendaraan tergelincir tidak terkendali di jalan

    yang basah.

    Garis Pandang (Line of Sight): garis langsung pada pandangan tak terhalang

    antara pengemudi dan sebuah objek dengan tinggi tertentu di atas jalan.

    Jalan Terbagi (Divided Road): jalan dua arah yang dipisahkan dengan median,

    pagar, atau objek fisik lain. Jalur Jalan (Carriageway): bagian jalan yang

    diperuntukkan untuk lalu lintas kendaraan

    Jarak Berhenti yang Berkeselamatan (Safe Stopping Distance - SSD): jarak

    yang dibutuhkan oleh pengemudi kendaraan untuk menangkap hazard,

    bereaksi, dan mengerem untuk berhenti. Untuk keperluan perancangan,

    kondisi cuaca basah dan pengereman dengan roda terkunci diperhitungkan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 46

    Jarak Mendahului (Overtaking Distance): jarak yang dibutuhkan sebuah

    kendaraan untuk mendahului kedaraan lain.

    Jarak Mengerem (Braking Distance): jarak yang dibutuhkan oleh rem

    kendaraan untuk menghentikan kendaraan.

    Jarak Pandang (Sight Distance): jarak di sepanjang tengah-tengah suatu jalur

    dari mata pengemudi ke suatu titik dimuka pada garis yang sama yang dapat

    dilihat oleh pengemudi [RSNI T-14-2004].

    Jarak Pandang Berkeselamatan di Persimpangan (Safe Intersection Sight

    Distance - ISD): jarak pandang yang diperlukan pengendara pada jalan major

    untuk mengamati kendaraan pada jalan minor sehingga dapat mengurangi

    kecepatannya, atau berhenti bila diperlukan.

    Jarak Pandang Henti (Stopping Sight Distance): jarak pandangan pengemudi

    ke depan untuk berhenti dengan aman dan waspada dalam keadaan biasa,

    didefinisikan sebagai jarak pandangan minimum yang diperlukan oleh

    seorang pengemudi untuk menghentikan kendaraannya dengan aman begitu

    melihat adanya halangan di depannya. Jarak pandang henti diukur

    berdasarkan anggapan bahwa tinggi mata pengemudi adalah 108 cm dan

    tinggi halangan adalah 60 cm diukur dari permukaan jalan [RSNI T-14-2004].

    Jarak Pandang Manuver (Maneuver Sight Distance): jarak pandang yang

    dibutuhkan oleh pengemudi kendaraan yang waspada untuk menyadari objek

    di atas jalan dan melakukan tindakan menghindar.

    Jarak Pandang Masuk (Entering Sight Distance - ESD): jarak pandang yang

    diperlukan pengendara pada jalan minor untuk memotong/masuk ke jalan

    major, tanpa mengganggu arus di jalan major.

    Jarak Pandang Mendahului (Overtaking Sight Distance): jarak pandang yang

    dibutuhkan oleh pengemudi untuk memulai dan menyelesaikan dengan

    selamat manuver mendahului.

    Jarak Pandang Pendekat (Approach Sight Distance - ASD): jarak pandang

    henti pada suatu persimpangan.

    Kanalisasi: sistem pengendalian lalu lintas dengan menggunakan pulau lalu

    lintas atau marka jalan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 47

    Kecepatan Operasional (Operating Speed): 85 persentil kecepatan

    kendaraan pada suatu waktu saat kondisi lalu lintas lancar yang

    memungkinkan kendaraan untuk bebas memilih kecepatan.

    Kecepatan Operasional Truk (Operating Speed of Trucks): kecepatan 85

    persentil truk yang diukur pada suatu waktu saat kondisi lalu lintas lancar yang

    memungkinkan kendaraan untuk bebas memilih kecepatan.

    Kecepatan Rencana (Design Speed): kecepatan maksimum kendaraan yang

    aman yang dapat dipertahankan sepanjang bagian jalan tertentu bila kondisi

    sedemikian baik sehingga ketentuan desain jalan merupakan faktor yang

    menentukan.

    Kelandaian (Grade): kelandaian memanjang jalan yang dinyatakan dalam

    persen.

    Kemiringan Balik (Adverse Crossfall): kemiringan perkerasan yang terbalik di

    tikungan horizontal akan menimbulkan gaya sentrifugal pada kendaraan

    sehingga tidak mampu bertahan di jalur tikungan dan menimbulkan risiko

    “keluar jalan”.

    Kemiringan Galian atau Timbunan (Batter): kemiringan sisi jalan, rasionya 1

    unit Vertikal (V) X lebih dari 1 unit Horizontal (H). Kemiringan ini dapat berupa

    kemiringan galian (memotong lahan berbukit) atau kemiringan timbunan (di

    jalan yang dibangun di atas lahan sekitarnya). Rasio kemiringan timbunan 4H

    : 1V atau kurang dianggap layak dilalui, namun dengan kemiringan 6H : 1V

    lebih baik untuk keselamatan sisi jalan.

    Kemiringan Melintang (Crossfall): kemiringan melintang jalan untuk drainase

    permukaan.

    Lajur Belok (Turning Lane): lajur khusus untuk lalu lintas berbelok.

    Lajur Lalu Lintas (Traffic Lane): bagian dari jalur tempat lalu lintas bergerak,

    untuk satu kendaraan.

    Lajur Mendahului (Overtaking Lane): lajur khusus yang memungkinkan

    kendaraan lebih lambat didahului. Lajur ini harus diberi marka garis agar

    semua lalu lintas diarahkan dahulu ke lajur sebelah kiri karena lajur tengah

    digunakan untuk mendahului.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 48

    Lajur Pendakian (Climbing Lane): lajur khusus yang disediakan pada bagian

    ruas jalan yang melampaui panjang kritis tanjakan untuk menampung

    kendaraan berat saat menanjak.

    Lajur Penyelamat dengan Bantalan Penahan (Arrester Bed): fasilitas

    keselamatan yang digunakan untuk melambatkan dan menghentikan

    kendaraan dengan mengkonversi energi kinetiknya melalui pergeseran

    agregat dalam gundukan pasir atau tanah keras. Bantalan penahan

    merupakan perangkat keselamatan yang berguna di sisi jalan menurun yang

    sering menimbulkan tabrakan truk dengan rem blong.

    Lajur Percepatan (Acceleration Lane): lajur khusus yang berfungsi untuk

    menyesuaikan kecepatan kendaraan pada saat bergabung dengan lajur cepat.

    Lajur Tambahan (Auxiliary Lane): lajur yang disediakan khusus untuk belok

    kiri/kanan, perlambatan/percepatan, dan tanjakan.

    Lalu Lintas (Traffic): gerak kendaraan dan orang di ruang lalu lintas jalan

    (prasarana yang diperuntukkan bagi gerak pindah kendaraan, orang,

    dan/atau barang yang berupa jalan dan fasilitas pendukung).

    Lengkung Peralihan (Transition Curve): lengkung yang disisipkan diantara

    bagian jalan yang lurus dan bagian jalan yang melengkung berjari-jari tetap R

    dimana bentuk lengkung peralihan merupakan clothoide.

    Lengkung Vertikal (Vertical Curve): bagian jalan yang melengkung dalam

    arah vertikal yang menghubungkan dua segmen jalan dengan kelandaian

    berbeda.

    Lokasi Rawan Kecelakaan (Blackspot): suatu lokasi dimana memiliki angka

    kecelakaan yang tinggi, serta terjadi secara berulang dalam suatu rentang

    waktu.

    Manajemen Bahaya Sisi Jalan (Road Side Hazard Management): manajemen

    sisi jalan yang bertujuan untuk menurunkan tingkat keparahan kecelakaan.

    Median Jalan (Median): bagian dari jalan yang tidak dapat dilalui oleh

    kendaraan dengan bentuk memanjang sejajar jalan, terletak di sumbu/

    tengah jalan, dimaksudkan untuk memisahkan arus lalu lintas yang

    berlawanan.

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 49

    Panjang Lengkung Peralihan (Transition Length for Alignment): panjang jalan

    yang dibutuhkan untuk mencapai perubahan dari bagian lurus ke bagian

    lingkaran dari tikungan.

    Panjang Pencapaian Superelevasi (Transition Length for Superelevation):

    panjang jalan yang dibutuhkan untuk mencapai kemiringan melintang dari

    kemiringan normal sampai dengan kemiringan penuh superelevasi.

    Pejalan Kaki (Pedestrians): pemakai jalan yang berjalan kaki, termasuk

    mereka yang menarik gerobak, bekerja di jalan, berjalan di sepanjang, atau

    menyeberangi jalan.

    Persimpangan (Intersection): pertemuan jalan dari berbagai arah, yang dapat

    merupakan simpang sebidang yaitu simpang 3, simpang 4 atau lebih dan/atau

    berupa simpang tak sebidang.

    Persimpangan dengan Kanalisasi (Channelised Intersection): persimpangan

    yang menggunakan sistem kanalisasi.

    Persimpangan Normal: persimpangan di sebuah jalur jalan yang

    menunjukkan perincian dimensi, lokasi furnitur, dan fitur bangunan jalan

    yang normal.

    Persimpangan Tak Sebidang (Interchange): separasi gradasi dua atau lebih

    jalan yang mempunyai setidaknya satu jalur jalan yang menghubungkan.

    Artinya, paling tidak satu jalur jalan mengambil lalu lintas dari salah satu jalan

    ke yang lain. Banyak tipe persimpangan tak sebidang.

    Potongan Melintang (Cross Section): elemen transversal di elemen

    memanjang jalan.

    Potongan Memanjang (Longitudinal Section): potongan memanjang,

    biasanya dengan skala vertikal yang lebih besar dibandingkan skala

    horizontal, yang menunjukkan perubahan desain di sepanjang sebuah garis

    memanjang sebuah jalan, atau garis lain yang ditentukan.

    Potongan Normal Melintang Jalan (Normal Cross Section): potongan

    melintang jalan yang tidak dipengaruhi oleh superelevasi ataupun pelebaran

    jalan di tikungan.

    Pulau Lalu Lintas (Traffic Island): bagian dari persimpangan yang ditinggikan

    dengan kereb, yang dibangun sebagai pengarah arus lalu lintas serta

  • MODUL 11 | PEMANTAUAN DAN EVALUASI JALAN BERKESELAMATAN 50

    merupakan tempat lapak tunggu untuk pejalan kaki pada saat menunggu

    kesempatan menyeberang.

    Rambu Lalu Lintas (Traffic Sign): bagian dari perlengkapan jalan berupa

    lambang, huruf, angka, kalimat dasar atau perpaduannya, diantaranya

    berfungsi sebagai peringatan, larangan, perintah atau petunjuk bagi pemakai

    jalan.

    Segitiga Pandang (Sight Triangle): area antara dua jalur jalan yang

    bersimpangan dimana kendaraan dari kedua jalur dapat terlihat oleh setiap

    pengemudi.

    Segmen Jalan Rawan Kecelakaan (Black Length): segmen jalan–biasanya