kata pengantar - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 kata pengantar dengan memanjatkan puji dan...
TRANSCRIPT
1
2
3
KATA PENGANTAR
Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian
dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang Izin Usaha Pertambangan
Batubara: Studi Kasus PT Satui Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu
Kalimantan Selatan, dapat diselesaikan dengan baik.
Kasus PT Satui Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan
menarik diteliti, mengingat dari segi legalitas PT Satui Baratma (PT SBT) sebagai
perusahaan pertambangan telah memiliki izin resmi dari pemerintah daerah untuk
menjalankan kegiatan usaha pertambangan, dalam hal ini berupa Kuasa
Pertambangan Batubara. Namun, lokasi tambang PT SBT yang sudah ditentukan
berdasarkan KP tersebut oleh penegak hukum diduga tumpang tindih (overlapping)
dengan kawasan hutan. Oleh karena itu, menurut versi penegak hukum, tindakan
yang dilakukan oleh PT SBT yang melakukan kegiatan pertambangan berdasarkan
KP tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana terhadap Undang-undang Kehutanan.
Tetapi, dari versi penasehat hukum PT SBT, kegiatan usaha pertambangan batubara
yang dilakukan oleh SBT adalah legal dan bukan merupakan tindak pidana, karena
dilakukan berdasarkan izin pertambangan (KP) dari pejabat yang berwenang dan
tidak berada di kawasan hutan. Apabila lokasi tambang yang ditentukan dalam izin
dianggap tumpang tindih dengan kawasan hutan, semestinya penegak hukum atau
pihak-pihak terkait mengajukan keberatan kepada pejabat yang menerbitkan izin atau
mengajukan gugatan pembatalan izin ke Peangadilan Tata Usaha Negara. Mengingat
izin merupakan produk hukum Keputusan Tata Usaha Negara.
Penelitian ini dilakukan berkat kerjasama dengan Tim Pengacara yang
menangani kasus tersebut yang diketuai oleh Saudara H. Fikri Chairman, SH, MH,
M.Si., yang berkantor pusat di Banjarmasin Kalimantan Selatan.
Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih
kepada Saudara H. Fikri Chairman, SH, MH, M.Si., atas kerjasamanya, terutama
berkat bantuan bahan-bahan penelitian berupa dokumen-dokumen perizinan, putusan
pengadilan, dan lain-lain yang terkait dengan penanganan kasus tersebut. Di samping
itu, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang
membantu penelitian ini, terutama kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam
yang telah memberikan izin dan persetujuannya dalam melakukan penelitian ini.
Kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak demi
perbaikan laporan penelitian ini.
Malang, 1 Juli 2014
4
ABSTRAK
Kriminalisasi terhadap Pemegang Izin Usaha Pertambangan Batubara
Batubara merupakan salah satu bahan galian yang bersifat vital dan strategis. Hal
ini menyebabkan batubara mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam
menunjang pembangunan di Indonesia. Pasca berlakunya Undang-undang Otonomi
Daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam penguasaan dan pengelolaan
sumber daya alam batubara, termasuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP) atau Izin
Usaha Pertambangan (IUP) batubara.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persoalan legalitas KP atau IUP
batubara yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan tindakan kriminalisasi terhadap
pemegang KP atau IUP batubara yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang
lokasinya tumpang tindih (overlapping) dengan kawasan hutan.
Penelitian ini penelitian yuridis normatif yang mengkaji secara kritis dan
komprehensif mengenai kebijakan kriminalisasi oleh penegak hukum terhadap PT Satui
Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan selaku pemegang izin usaha
pertambangan batubara yang mendapatkan izin resmi dari pemerintah daerah yang
diduga berlokasi di kawasan hutan, dan oleh karena itu oleh penegak hukum dipandang
melanggar ketentuan pidana dalam Undang-undang Kehutanan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) KP atau IUP pada hakikatnya
merupakan salah satu bentuk perizinan yang memberikan dasar hukum bagi
pemegangnya untuk melakukan usaha pertambangan. Izin dalam hukum administrasi
merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), karena itu pengujian terhadap
keabsahan KTUN merupakan kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara.
Dengan demikian, selama KTUN belum dicabut atau dibatalkan, maka secara yuridis
formal KTUN tersebut tetap sah sesuai dengan asas praesumptio iustae causa
(vermoeden van rechtmatigheid; praesumption of legality). (2) Penyelesaian terhadap
KP atau IUP batubara yang diduga tumpang tindih dengan kawasan hutan terlebih
dahulu harus diselesaikan secara administratif dengan cara mengajukan gugatan
terhadap keabsahan KP atau IUP di PTUN. Seorang atau badan hukum perdata yang
melaksanakan kegiatan usaha pertambangan berdasarkan izin tidak bisa begitu saja
dipidanakan dengan dalih izinnya melanggar peraturan perundang-undangan, tanpa
terlebih dahulu mengajukan gugatan pembatalan kepada PTUN. Penegakan hukum
pidana yang dilakukan dengan cara melanggar prinsip dan norma hukum formal
merupakan tindakan kriminalisasi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan.
Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kepada penegak hukum (polisi, jaksa,
hakim) disarankan untuk tidak melakukan kriminalisasi kepada penambang yang
melakukan kegiatan usaha pertambangan berdasarkan KP atau IUP yang dimilikinya.
Apabila ada pihak ketiga atau instansi penegak hukum yang mendalilkan bahwa KP atau
IUP melanggar ketentuan pidana dalam Undang-undang Kehutanan hendaknya
mengajukan keberatan terlebih dahulu kepada pejabat yang menerbitkan KP/IUP atau
mengajukan gugatan pembatalan KP/IUP ke PTUN.
Kata Kunci: Kriminalisasi; Pemegang Izin Usaha Pertambangan
5
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… i
HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………………………. ii
KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. iii
ABSTRAK....…………………………………………………………………………... iv
DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… v
BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 7
1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................7
1.2. Rumusan Masalah …………..………………………………………… 14
1.3. Tujuan Penelitian ………….……………………………………………14
1.4. Manfaat Penelitian ...…………….……….……………………………. 15
1.5. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep …..……………………….….. 15
1.5.1. Teori Negara Hukum ………………..……………………..…...15
1.5.2. Teori Penegakan Hukum Pidana …………………………..….. 17
1.5.3. Konsep Kewenangan ………………………………………...… 18
1.5.4. Konsep Perizinan ……………………………………………… 22
1.5.5. Penegakan Hukum Perizinan ………………………………….. 25
1.5.6. Konsep Kuasa Pertambangan ……………………………….… 27
1.5.7. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan ……………. 30
1.5.8. Perubahan Konsep dari Kontrak Pertambangan ke Izin
Usaha Pertambangan …………………………………………... 33
BAB II METODE PENELITIAN …………………………………………………… 35
2.1. Jenis Penelitian ………………………………………………………….. 35
2.2. Pendekatan Penelitian …………………………………………………... 36
2.3. Bahan Hukum Penelitian ………………………………………………... 36
2.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum Penelitian ..……….... 38
6
BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MASALAH ……………………… 40
3.1. Legalitas Perusahaan Pertambangan Batubara PT. Satui Bara Tama di
Kalimantan Selatan ……………………………………………………... 40
3.2. Tindakan Kriminalisasi terhadap Direktur Utama PT. Satui Bara Tama
di Kalimantan Selatan ……………………………………………………42
3.3. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan terhadap Direktur Utama
PT. SBT …………………………………………………………………. 43
3.3.1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri
Banjarmasin No. 1425/Pid.Sus/2009/PN. ……………………...… 44
3.3.2. Pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Kasasi
No. 1444 K/Pid.Sus/2010 ………………………………………… 56
3.3.3. Putusan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Peninjauan
Kembali No. 157 PK/PID.SUS/2011 …………………….………. 59
3.4. Kritik terhadap Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung RI ….………. 63
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………… 65
4.1. Kesimpulan .……………………………………………………………. 65
4.2. Saran …………………………………………………………………….. 66
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 68
7
BAB I
PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah
Pada Tahun 2003 PT Satui Barata Tama (PT SBT) selaku perusahaan yang
bergerak di bidang pertambangan mengajukan permohonan izin Kuasa Pertambangan
kepada Bupati Kotabaru selaku pejabat yang menurut peraturan perundangan berwenang
untuk itu. Bupati Kotabaru, setelah meneliti dan mempelajari persyaratan-persyaratan
yang diajukan oleh PT SBT telah mengabulkan permohonan tersebut dengan
menerbitkan produk-produk hukum perizinan sebagai berikut:
1. Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor: 545/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian
Kuasa Pertambangan Eksplorasi tertanggal 20 Januari 2003 seluas 1.904 ha untuk
jangka waktu 3 (tiga) tahun;
2. Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor: 545/31.I/KP.D.PE tentang Pemberian
Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KTB. 0304KP00025) tertanggal 15 April 2003
untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak SK tersebut diterbitkan (2003) dan
dapat diperpanjang.
Terbitnya produk-produk hukum perizinan tersebut didasarkan dan mengacu pada
Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Revisi Rencana
Tata Ruang Kabupaten Kotabaru dan peraturan perundang-undangan lainnya yang
relevan. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut di atas, koordinat areal Kuasa
Pertambangan yang diberikan oleh Bupati Kotabaru kepada PT SBT seperti tercantum
dalam point 2 .a dan b di atas tidak termasuk di dalam kawasan hutan, tetapi termasuk di
dalam Kawasan Budi Daya Tanaman Tahunan Perkebunan (KBTTP).
Setelah PT SBT memperoleh izin berupa Kuasa Pertambangan dari Bupati
Kotabaru, sebagai tidak lanjutnya maka pada tahun 2003 itu juga Bupati Kotabaru
mengirim surat kepada Camat dan Kepala Desa yang ada dalam wilayah hukum lokasi/
areal Kuasa Pertambangan PT SBT yang isinya agar Camat dan para Kepala Desa
membuat Pengumuman kepada warga masyarakat dengan maksud agar warga
8
masyarakat yang merasa memiliki atau ada hak lain atas lahan yang berada di dalam
lokasi/ areal Kuasa Pertambangan PT SBT segera melaporkan diri kepada PT SBT
selaku pemegang kuasa pertambangan. Pengumuman tersebut dilakukan selama 4
(empat) bulan.
Dengan adanya pengumuman tersebut banyak warga masyarakat yang datang
melapor dan mengklaim kepada PT SBT bahwa mereka memiliki atau mempunyai hak
atas lahan yang berada dalam areal Kuasa Pertambangan PT SBT dengan membawa
surat bukti kepemilikan atau bukti hak berupa Surat Keterangan di atas kertas bermeterai
(Segel) yang ditandatangani oleh Kepala Desa dan Camat setempat. Sedangkan PT
Menara Hutan Banua (PT MHB) yang selanjutnya berganti nama PT Hutan Rindang
Banua (PT HRB) tidak pernah melaporkan dan melakukan klaim kepada PT SBT.
Dalam menyikapi laporan dan klaim dari warga masyarakat tersebut, PT SBT
terlebih melakukan penelitian yang seksama baik mengenai keabsahan dan keaslian
surat bukti haknya maupun mengenai kesesuaiannya dengan Tata Ruang Kabupaten
Kotabaru seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3
Tahun 2002 tentang Revisi Tata Ruang Kabupaten Kotabaru.
Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh PT SBT tersebut dapat diketahui ternyata
memang banyak lahan milik anggota masyarakat yang termasuk dalam lokasi atau areal
lahan Kuasa Pertambangan PT SBT. Sehingga sesuai dengan persyaratan dan kewajiban
yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bagi setiap pemegang kuasa
pertambangan, maka berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat dengan pemilik lahan
tersebut PT SBT telah melakukan pembebasan terhadap lahan milik anggota masyarakat
tersebut dan kepada mereka telah dilakukan pembayaran ganti rugi yang besarnya atau
jumlah uang ganti ruginya sesuai dengan kesepakatan.
Setelah dilakukan pembayaran ganti rugi, berdasarkan perizinan berupa Kuasa
Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, PT SBT memulai
melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan Kuasa Pertambangan yaitu melakukan
penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi di areal KP sesuai dengan koordinat yang
tercantum dalam KP yang dimilikinya. Selama PT SBT melakukan kegiatan tersebut
tidak pernah ada gangguan dan tegoran-tegoran baik dari pihak Pemerintah Daerah
9
maupun pihak lainnya, termasuk dari pihak Instansi Kehutanan. Oleh karena itu, PT
SBT yakin bahwa segala kegiatan yang dilakukannya itu legal dan telah sesuai dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Pada tahun 2003 terjadi pemekaran Kabupaten Kotabaru, sehingga wilayah
Kabupaten Kotabaru yang lama terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten Kotabaru dan
Kabupaten Tanah Bumbu. Sebagai akibat terjadinya pemekaran tersebut, lokasi atau
areal KP milik PT SBT yang terletak di Desa Sungai Cuka Kecamatan Satui tersebut di
atas menjadi termasuk dalam wilayah hukum kabupaten pemekaran, yaitu Kabupaten
Tanah Bumbu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku
maka PT SBT selaku pemegang KP telah melaporkan dan melegalisir dokumen-
dokumen perizinan KP yang dimilikinya itu di Kantor Kabupaten Pemekaran, yakni
Kabupaten Tanah Bumbu.
Selanjutnya, pada sekitar tahun 2007 ada himbauan berupa Surat Edaran dari
Gubernur Kalimantan Selatan kepada warga Kalimantan Selatan yang menguasai atau
mengusahakan atau mengelola lahan pertambangan yang termasuk dalam kawasan hutan
agar mengajukan Permohonan Pinjam Pakai kepada Menteri Kehutanan. Tetapi, PT
SBT hingga saat ini tidak pernah mengajukan permohonan pinjam pakai kepada Menteri
Kehutanan, karena PT SBT memiliki izin berupa Kuasa Pertambangan yang diterbitkan
oleh Bupati Kotabaru, selaku pejabat yang berwenang untuk itu menentukan bahwa
lokasi atau areal tambang PT SBT tidak termasuk dalam kawasan hutan, tetapi berada
dalam Kawasan Tanaman Budi Daya Pertanian atau Perkebunan, sehingga anjuran atau
himbauan pinjam pakai kepada Menteri itu sama sekali tidak relevan untuk PT SBT.
Untuk mendapatkan kepastian hukum apakah areal atau lokasi Kuasa
Pertambangan PT SBT itu termasuk dalam kawasan hutan atau tidak, pada tanggal 16
Pebruari 2007 PT SBT meminta Advice Planning kepada Badan Perencanaan
Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Tanah Bumbu selaku lembaga
Pemerintahan Daerah yang mengetahui dan berwenang untuk itu. Berdasarkan
permohonan yang diajukan oleh PT SBT tersebut, maka PT SBT telah memperoleh
jawaban dari BAPPEDA seperti termuat dalam suratnya tertanggal 17 Pebruari 2007
yang pada dasarnya menyatakan bahwa: “areal atau lokasi KP dari PT Satui Bara
10
Tama berada dalam Kawasan Tanaman Budi Daya Pertanian”, artinya tidak berada di
dalam kawasan hutan.
Berdasarkan jawaban dari BAPPEDA Kabupaten Tanah Bumbu tersebut, maka PT
SBT melanjutkan kegiatan eksploitasinya seperti semula dalam koordinat areal KP yang
dimilikinya. Demikian pula, berdasarkan jawaban dari BAPPEDA tersebut PT SBT
bertambah yakin bahwa kegiatan penambangan batubara yang selama ini dilakukan di
koordinat lokasi KP yang dimilikinya itu telah benar dan tidak bertentangan dengan
hukum yang berlaku. Pihak PT SBT berpandangan bahwa penjelasan atau jawaban dari
BAPPEDA yang menyatakan bahwa areal Kuasa Pertambangan PT SBT tidak termasuk
dalam kawasan hutan merupakan jawaban yang benar secara hukum (legal) dan tidak
menyesatkan masyarakat. Oleh karena itu, berdasarkan asas kepercayaan dalam
penyelenggaraan hukum dan pemerintahan, maka PT SBT tidak mengajukan
permohonan pinjam pakai lahan kepada Menteri Kehutanan dan Surat Edaran Gubernur
tersebut sama sekali dipandang tidak relevan dengan Kuasa Pertambangan dan kegiatan
penambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT.
Pada tahun 2008, Kuasa Pertambangan PT SBT telah berakhir masa berlakunya,
oleh karena itu PT SBT mengajukan permohonan perpanjangan pertama kepada Bupati
Tanah Bumbu. Berdasarkan permohonan perpanjangan ini, Bupati Tanah Bumbu telah
menerbitkan: Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor: 545/24-EX/KP/D.PE
tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT
Satui Bara Tama tertanggal 13 Juni 2008 dan Keputusan Bupati Tanah Bumbu
Nomor: 545/24-PP/KP/D.PE tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa
Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan kepada PT Satui Bara Tama tertanggal 13
Juni 2008. Dengan dikabulkannya Permohonan Penjangan Pertama Kuasa Pertambangan
oleh Pejabat yang berwenang untuk itu, maka PT SBT semakin yakin bahwa segala
kegiatan penambangan batubara yang telah dilakukan selama ini telah benar dan sesuai
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak ada perbuatan melawan
hukum yang dilakukannya.
Keyakinan PT SBT bahwa eksploitasi tambang batubara yang dilakukannya bukan
merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana didasarkan pada kedua Surat
11
Keputusan (SK) Bupati tersebut di atas, mengingat dasar dan acuan hukum dari kedua
SK Perpanjangan dari Bupati Tanah Bumbu tersebut di atas adalah Peraturan Daerah
Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 29 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Tanah Bumbu (Perda RTRW). Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Tanah
Bumbu ini dalam bagian konsiderannya memperhatikan juga Peraturan Daerah
Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang RTRW Kabupaten Kotabaru sebagai
Kabupaten Induk.
Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 29 Tahun 2005
tentang RTRW Kabupaten Tanah Bumbu (yang menjadi dasar Perpanjangan KP PT
SBT), lokasi atau areal Kuasa Pertambangan PT Satui Bara Tama yang izinnya
diperpanjang tersebut koordinatnya tetap berada di Kawasan Budidaya Tanaman
Tahunan Pertanian, bukan berada dalam kawasan hutan. Dengan demikian, secara legal
formal, aktivitas pertambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT di areal KP
berdasarkan izin atau perpanjangan izin dari pejabat yang memiliki kewenangan untuk
menerbitkan dan memperpanjang izin bukanlah perbuatan melawan hukum, baik dari
aspek hukum administrasi maupun hukum pidana.
Apabila ada pertindihan (overlapping) dalam pemberian izin usaha pertambangan
(dalam hal ini KP) kepada PT SBT oleh Bupati Kotabaru dan diperpanjang oleh Bupati
Tanah Bumbu (daerah pemekaran Kabupaten Kotabaru) di areal atau kawasan yang
menurut Perda RTRW termasuk kawasan budidaya pertanian, sementara pada areal atau
kawasan yang sama PT Hutan Rindang Banua (PT HRB) juga mengklaim telah
memperoleh izin pengusahaan hutan berupa HPHTI dari Kementerian Kehutanan.
Adanya pertindihan atau benturan kawasan dalam pemberian izin pertambangan di satu
pihak dan izin pengusahaan hutan di pihak lain oleh pejabat yang berbeda itu disebabkan
oleh adanya konflik kewenangan (conflict of authority) dari masing-masing instansi
yang berbeda yang bersumber dari adanya konflik norma (conflict of norms) peraturan
perundang-undangan sektoral yang menjadi dasar kewenangannya. Persoalannya adalah
bagaimana mekanisme penentuan peruntukan suatu kawasan, khususnya kawasan hutan
yang ada di daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan? Apakah penentuan
peruntukan suatu kawasan hutan di daerah mengacu pada Perda RTRW berdasarkan
12
prinsip otonomi daerah atau berdasarkan keputusan sentralistik dari pemerintah pusat
(dalam hal ini Kementerian Kehutanan)?
Dalam kasus izin penambangan batubara PT SBT di Kalimantan Selatan,
tampaknya telah terjadi kriminalisasi terhadap perbuatan hukum dari suatu badan hukum
(dalam hal ini PT SBT) yang melakukan kegiatan eksploitasi pertambangan batubara
berdasarkan izin yang diterbitkan oleh Bupati Kotabaru dan diperpanjang oleh Bupati
Tanah Bumbu sebagai dari pemekaran dari Kabupatan Kotabaru. PT SBT merasa yakin
bahwa izin usaha pertambangan batubara yang diterbitkan dan diperpanjang oleh
Pemerintah Daerah tersebut adalah benar dan telah sesuai dengan kewenangan yang
dimiliki oleh Pemerintah Daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah. Namun, menurut
aparat penegak hukum, aktivitas pertambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT di
area KP yang telah mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah tersebut dipandang
sebagai tindak pidana, karena izin tersebut menurut penegak hukum berada di area
wilayah hutan. Oleh karena itu, menurut aparat penegak hukum, kegiatan pertambangan
batubara yang dilakukan PT SBT dinyatakan sebagai tindak pidana kehutanan
berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal,
berdasarkan izin dan perpanjangan izin usaha pertambangan dalam bentuk Kuasa
Pertambangan (KP) yang diterbitkan oleh Bupati Kotabaru dan diperpanjang oleh Bupati
Tanah Bumbu dengan mengacu pada Perda RTRW Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten
Tanah Bumbu tersebut di atas berada dalam kawasan tanaman budi daya pertanian atau
perkebunan, bukan dalam kawasan hutan.
Secara kronologis, tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum
(dalam hal ini kepolisian) adalah sebagai berikut:
1. Pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2008, tanpa adanya pemberitahuan terlebih
dahulu, beberapa aparat dari Badan Reserse Kriminal, Direkotorat V/ Tindak Pidana
Tertentu (Tipiter) Mabes Polri bersama aparat Ditreskrim Polda Kalimantan Selatan
bertempat di lokasi Kuasa Pertambangan (KP) telah menghentikan aktivitas
penambangan yang dilakukan oleh PT SBT di areal atau lokasi pertambangan
batubara yang dimilikinya. Pada hari itu juga dilakukan police line dalam areal
tambang serta dilakukan pula penyegelan terhadap alat-alat yang terdiri dari: (a) 5
13
(lima) unit Exapator; (b) 3 (tiga) unit Dozer; (c) 10 (sepuluh) unit Dump Truk; (d)
Batubara hasil tambang sebanyak kurang lebih 7.000. MT (Tujuh Ribu Metric Ton).
2. Berdasarkan Surat Tanda Terima Badan reserse Kriminal Polri-Direktorat V/Tindak
Pidana Tertentu No. Pol.: STP/06/XII/2008/Tipiter, tertanggal 2 Desember 2008
bahwa tindakan penyegelan yang dilakukan terhadap barang-barang hak milik PT
SBT serta police line itu adalah sebagai bukti dalam tindak pidana dalam bidang
kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2), ayat (6) jo. Pasal 50 ayat
(3) huruf a dan huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan.
3. Pada tanggal 19 Desember 2008 telah dilakukan penahanan oleh pihak Polda
Kalimantan Selatan terhadap Direktur Utama PT SBT, yaitu H. Parlin Riduansyah,
dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana dalam bidang kehutanan, yaitu
melakukan kegiatan penambangan batubara di dalam kawasan hutan tanpa adanya
Izin dari Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal ketentuan
Undang-undang Kehutanan seperti tersebut di atas.
1.2. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan hukum (legal issues) yang
menarik untuk diteliti dan dianalisis ialah mengapa penegak hukum melakukan tindakan
kriminalisasi terhadap PT. SBT yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan izin
pertambangan batubara yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang lokasinya diduga
bertindihan (overlapping) dengan kawasan hutan?
1.3. Tujuan Penelitian
Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah
untuk: menemukan dan menganalisis landasan dan pertimbangan hukum yang
digunakan penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dalam melakukan
tindakan kriminalisasi terhadap PT. SBT yang melakukan kegiatan penambangan
batubara sesuai dengan izin atau kuasa pertambangan dari pemerintah daerah.
14
1.4. Manfaat Penelitian
Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1.4.1. Manfaat Teoritis
a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan
solusi dalam bidang hukum terkait dengan persoalan kriminalisasi dalam pemberian
perizinan pertambangan di suatu area atau lokasi yang diduga bertindihan dengan
kawasan hutan.
b. Penelitian ini juga dapat dijadikan rujukan (referensi) bagi para peneliti lain yang
ingin mengkaji secara mendalam tentang praktek penegakan hukum dalam bidang
perizinan pertambangan batubara.
1.4.2. Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para
pihak dalam rangka meningkatkan kepastian hukum dalam perizinan dan penegakan
hukum pertambangan batubara, khususnya bagi:
a. Pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan memberikan izin baik di tingkat pusat
maupun daerah;
b. Aparatur penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dalam
menangani kasus pertambangan batubara.
1.5. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep
1.5.1. Teori Negara Hukum
Teori pertama yang dipergunakan untuk menganalisis persoalan hukum yang
dibahas dalam penelitian ini adalah teori negara hukum. Dipilihnya teori ini disamping
karena pertimbangan negara Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum,1
juga karena teori negara hukum menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin
kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat.
H.D. van Wijk dan Konijnenbelt mengutarakan bahwa konsep negara hukum
memiliki unsur-unsur utama, yaitu: (a) pemerintahan menurut hukum (rechtsmatig
1 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasca Amandemen secara tegas menyatakan “Negara Indonesia
adalah negara hukum”.
15
bestuur); (b) hak-hak asasi manusia; (c) pembagian kekuasaan; dan (d) pengawasan oleh
kekuasaan peradilan. Begitu pula menurut Zippelius, konsep negara hukum memiliki
unsur-unsut utama: (a) pemerintahan menurut hukum; (b) jaminan terhadap hak-hak
asasi; (c) pembagian kekuasaan; dan (d) pengawasan yustisial terhadap pemerintah.2
Di negara-negara Anglo-Saxon (Anglo-Amerika), pemahaman terhadap negara
hukum umumnya mengikuti konsep “Rule of Law” dari A.V. Dicey dengan unsur-unsur
utama: supremacy of law, equality before the law, dan the constitution based on
individual rights.3 Sementara, konsep negara hukum yang dianut negara Indonesia
tidaklah dalam artian formal, melainkan dalam artian materiil yang juga diistilahkan
dengan negara kesejahteraan (Welfare State) atau “negara kemakmuran”.4 Tujuan yang
hendak dicapai oleh negara hukum Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan
makmur baik spiritual maupun materiil yang merata berdasarkan Pancasila. Dengan
demikian, negara Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila.5
Sebagai negara hukum, menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, ada 4 (empat)
unsur atau ciri dasar yang dijumpai dan diterapkan dalam proses penyelenggaraan
pemerintahan di Indonesia, yakni:
a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus
berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;
b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);
c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;
d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.6
Berdasarkan keempat unsur negara hukum seperti di atas, unsur semua tindakan
termasuk tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan
2 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,
1990, h. 311 3 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, Terjemahan Wiratno dan
Djamaluddin Dt. Singomangkuto, PT Pembangunan, Jakarta, 1959, h. 248.
4 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri
Padjadjaran, Bandung, 1960, h. 21-22.
5 Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila, Rajawali, Jakarta,
1983, h. 2.
6 Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992, h. 29.
16
(termasuk melalui ketentuan) terhadap hak-hak asasi manusia menjadi dasar pembenar
perlunya perlindungan kelestarian fungsi lingkungan hidup, antara lain melalui sistem
pengelolaan lingkungan melalui instrumen hukum perizinan yang berwawasan
lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.
1.5.2. Teori Penegakan Hukum Pidana
Inti penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, adalah keserasian
hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan
berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk
menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih
lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan
perundang-undangan, walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah
demikian.7
Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo8 menjelaskan bahwa hakikat dari penegakan
hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum
menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan
pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan,
kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.
Menurut Alam Setia Zain, dalam sistem penegakan hukum nasional, pemidanaan
tidak dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia selaku
anggota masyarakat. Sebaliknya, pemidanaan merupakan penegakan norma hukum demi
perlindungan masyarakat, sekaligus koreksi terhadap pelaku tindak pidana untuk
menjadikannya orang baik dan berguna sehinga mampu hidup bernegara dan
bermasyarakat. Pemidanaan termasuk suatu langka penyelesaian konflik yang timbul
dalam tindak pidana yang dipulihkan dan diseimbangkan kembali agar tercipta rasa
tenteram dan aman di tengah kehidupan masyarakat.9
7 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,
1986, h. 3. 8 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung, t.t., h. 15 dan 24. 9 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-segi Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997, h. 16-17.
17
Sedangkan penegakan hukum pidana, menurut Soejono, adalah keseluruhan
proses penanganan pidana sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan (termasuk
pra-penuntutan), pemeriksaan di pengadilan, upaya hukum dan eksekusi.10
Dengan mengacu pada beberapa pendapat ahli hukum sebagaimana tersebut di
atas, maka yang dimaksudkan dengan penegakan hukum dalam tulisan ini adalah upaya
menanggulangi kejahatan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perbuatan
anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Oleh karena itu tujuan dari
penegakan hukum adalah untuk menanggulangi kejahatan. Kegiatan pertambangan baik
yang dilakukan di luar maupun di dalam kawasan hutan (yang mendapatkan izin atau
hak pakai dari Kementerian Kehutanan) yang merusak atau mencemari lingkungan
hidup merupakan tindakan atau perbuatan anti sosial yang apabila dibiarkan berlarut-
larut dapat membahayakan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya perlu
ditanggulangi dengan perangkat hukum, khususnya hukum pidana.
Dengan penegakan hukum pidana tersebut diharapkan sekaligus dapat
memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah
lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan
berguna dan sekaligus upaya menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak
pidana dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam
masyarakat.
1.5.3. Konsep Kewenangan
Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “kewenangan” atau
“wewenang” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik maupun hukum privat.
Secara umum istilah wewenang dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah
bevoegdheid yang dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia
berarti “wewenang atau kekuasan”,11
atau istilah authority yang dalam Black’s Law
10
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h. 3. 11
N.E. Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,
Bandung 1983, h. 74.
18
Dictionary berarti: “right to exercise powers; to implement and enforce laws”.12
Oleh
karena itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, seseorang yang mempunyai wewenang
formal (formal authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan
suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur
tentang pemberian wewenang itu.13
Pada dasarnya secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu berkaitan
dengan kekuasaan (power) yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun
cara menggunakannya. Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum
yang demikian ini dalam kepustakaan lazim disebut “legal power” atau “rechtsmacht”.
Istilah “power” dalam hal ini berarti: “an ability on the part of a person to produce a
change in a given legal relation by doing or not doing a given act”.14
Oleh karena itu,
seperti halnya istilah “tangung jawab” dan “kewajiban” sebagaimana tersebut di atas,
dalam kepustakaan maupun undang-undang seringkali istilah “wewenang” dan
“kekuasaan” juga seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna yang
sama.
Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi pemerintah
sebagai alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan dan warga
negara memiliki hak untuk memperoleh jaminan perlindungan atas apa yang dilakukan
oleh pemerintah. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintah tidak lepas dari prinsip legalitas
yang di satu pihak bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan dasar kewenangan
dalam bertindak dan di lain pihak bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum
bagi setiap orang dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh
pemerintah. Dengan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur), kekuasaan dan
wewenang bertindak pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi. Wewenang
pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan memberikan
kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat
12
Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th
Edition, West Publishing, St. Paul
Minnesota, 1990, h. 133 13
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
PT Binacipta, Jakarta, t.t., h. 4. 14
Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1169.
19
menyesuaikannya.15
Konsekuensi dari asas tersebut berarti setiap tindakan badan/pejabat
tata usaha negara harus berdasarkan undang-undang formal, sebagai manifestasi adanya
pengakuan dan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat.16
Ruang lingkup wewenang pemerintah dipengaruhi oleh karakteristik tugas yang
dibebankan kepadanya. Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu
menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai organisasi kekuasaan. Adapun
tugas pemerintah, menurut Mac Iver dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) cultural
function, (2) general welfare function, (3) economic control function.17
Di Indonesia
tugas pemerintah harus sesuai dengan tujuan dibentuknya pemerintah Indonesia menurut
Pembukaan UUD 1945 adalah “ . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh
tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan
kehidupan bangsa dan . . . .”
Berdasarkan uraian tersebut di atas, berarti negara Indonesia menganut paham
negara kesejahteraan yang tidak jauh berbeda negara-negara lain yang menganut paham
yang sama. Dalam rangka menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah
yang merupakan salah satu penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang
tepat dan jelas maksud dan tujuannya. Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud
dan tujuannya itu terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum
tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak)
misalnya membuat suatu peraturan (regulasi) dan dapat pula konkrit dalam bentuk
keputusan pemberian izin atau suatu rencana.18
Adapun sumber wewenang pemerintah, dalam hukum administrasi dikenal tiga
sumber kewenangan pemerintah, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.
Atribusi adalah kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan oleh undang-
undang. H.D. van Wijk memberikan pengertian “atributie” sebagai pemberian
15
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 84. 16
S.F. Marbun, Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997, h. 158. 17
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, PT
Alumni, Bandung, 2004, h. 36. 18
S.F. Marbun, Op. Cit., h. 154.
20
wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah.19
Sedang, Indroharto mengatakan bahwa “atributie” adalah pemberian wewenang
pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan baik yang diadakan
oleh original legislator maupun delegated legislator.20
Adanya pengaruh perubahan
pandangan dari wetmatigheid van bestuur menjadi rechtsmatigheid van bestuur
mempengaruhi juga konsep atribusi. Sumber wewenang pemerintah tidak lagi semata-
mata dari undang-undang sebagai produk originaire wetgevers, melainkan dari
perundang-undangan sebagai produk gedelegeerde wetgevers yang dipegang
pemerintah.
Delegasi, menurut van Wijk adalah: “overdracht van een bevoegdheid van het een
bestuursorgaan aan een ander” (penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan
atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain). Setelah
wewenang diserahkan, pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.21
Delegasi
hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai
wewenang melalui atribusi lebih dahulu. Karena itu, delegasi oleh Indroharto diartikan
sebagai pelimpahan suatu wewenang yang sudah ada oleh badan atau pejabat pemerintah
yang telah memperoleh wewenang pemerintah secara atribusi kepada badan atau pejabat
pemerintah lain.22
Menurut van Wijk, wewenang yang didapat dari delegasi dapat
disubdelegasikan lagi kepada subdelegataris. Ketentuan delegasi mutatis mutandis
berlaku juga untuk subdelegasi.23
Selanjutnya, wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat
dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang memperoleh
wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. Melalui mandat, suatu organ
pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.
Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans (pemberi mandat) tetap berwenang
untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk
19
Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 49. 20
Indroharto, Op. Cit., h. 91. 21
Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 50-51. 22
Indroharto, Loc. Cit. 23
Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 52.
21
kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya. Mandans tetap bertanggung
jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. Indroharto menambahkan bahwa pada
mandat tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan
internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama
dan atas tanggung jawab mandans.24
Atribusi, delegasi dan mandat merupakan sumber wewenang yang sangat penting
bagi suatu negara hukum demokratis, sebab sesuai dengan salah satu asas negara hukum
demokratis adalah setiap tindakan pemerintah harus dilakukan berdasarkan wewenang
yang dimiliknya, baik wewenang yang diperoleh secara atributif maupun berdasarkan
delegasi atau mandat. Persoalannya adalah apakah izin yang diberikan oleh pemerintah
kepada perseorangan atau badan usaha swasta dapat dianalogikan sebagai delegasi
wewenang atau mandat pemerintah kepada perseorangan atau badan usaha swasta yang
diberi izin? Untuk itu perlu dipahami dulu tentang konsep perizinan dalam perspektif
hukum administrasi.
1.5.4. Konsep Perizinan
Perizinan merupakan bentuk jamak dari kata “izin” yang oleh Poerwadarminta
diartikan dengan “perkenan atau pernyataan mengabulkan tiada melarang atau surat
yang menyatakan boleh melakukan sesuatu”.25
Dalam Blak’s Law Dictionary, izin
(license) berarti: “a permit, granted by an appropriate govermental body, generally for a
consideration, to a person, firm, or corporation to pursue some occupation or to carry
on some business subject to regulation . . . A license is not a contract between the state
and the licensee, but is a mere personal permit”.26
Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai perkenan atau
izin dari pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya
memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai
24
Indroharto, Op. Cit., h. 92. 25
W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h. 390. 26
Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 920
22
hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.27
Menurut Sjahran Basah, izin adalah
perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan
dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh
ketentuan peraturan perundang-undangan.28
Sedangkan, Bagir Manan mengatakan
bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan
perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan
tertentu yang secara umum dilarang.
Pengertian izin, menurut Spelt dan ten Berge, ialah “suatu persetujuan dari
penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan
tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan”.29
Izin menurut
Ateng Syafrudin berarti dan bertujuan menghilangkan halangan, atau hal yang dilarang
menjadi boleh.30
Dengan memberi izin, pemerintah (Pejabat Tata Usaha Negara)
memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu
yang sebenarnya dilarang.
Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum
administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan
tingkah laku para warga.31
Perizinan merupakan bagian dari hubungan hukum antara
pemerintah (administrasi) dengan warga masyarakat dalam rangka menjaga
keseimbangan kepentingan warga masyarakat dengan lingkungannya dan upaya
mewujudkan kepastian hukum bagi anggota masyarakat yang berkepentingan.32
Perizinan, menurut Spelt dan ten Berge adalah izin dalam arti luas, sedangkan izin
dalam arti sempit disebut “izin” saja. Izin (dalam arti sempit) lebih lanjut dibedakan
dengan bentuk-bentuk perizinan lainnya seperti dispensasi, konsesi, rekomendasi, tanda
27
http://lutfichakim.blogspot.com/2011/12/penegakan-hukum-perizinan.html, 19 Desember
2011. 28
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2003, h. 152 29
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M.
Hadjon, Utrecht, 1991, h. 3. 30
Ateng Syafrudin, Pengurusan Perizinan (Licensing Handling), Pusat Pendidikan dan Pelatihan
St. Aloysius, Bandung, t.t., h. 9. 31
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Loc. Cit. 32
Ateng Syafrudin, Op. Cit., h. 4.
23
daftar, surat persetujuan, dan pendaftaran.33
Sejalan dengan pembedaan ini, Tatiek Sri
Djatmiati mengemukakan “perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi,
sertifikasi, penentuan kuota, dan izin melakukan suatu usaha”.34
Pendapat yang hampir
sama juga dikemukakan A.M. Donner yang mengemukakan perizinan (vergunningen)
dibedakan dalam 3 (tiga) katagori, yakni lisensi, dispensasi, dan konsesi.35
Bentuk perizinan adalah keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk hal
yang konkrit dan merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang
bersifat umum atau mengatur kepentingan umum. Oleh karena itu, perizinan dalam
hukum administrasi (negara) termasuk dalam kategori “beschikking”, yang dalam
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut
dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN adalah suatu penetapan
tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final,
yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Mengacu pada beberapa pengertian di atas, maka unsur-unsur yang dapat dijumpai
dalam pengertian izin, adalah: (a) adanya suatu tindakan hukum pemerintah berupa
suatu penetapan yang merupakan persetujuan membebaskan pemohon dari suatu
larangan; (b) adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh si pemohon untuk
adanya pembebasan; dan (c) penetapan dilakukan melalui prosedur tertentu.
Menurut Spelt dan ten Berge, ada lima motif atau tujuan yang mendasari
penetapan perizinan oleh pemerintah, yakni:
a. keinginan mengarahkan atau mengendalikan (“sturen”) aktivitas-aktivitas
tertentu;
b. untuk mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);
c. keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin terbang, izin membongkar
pada monumen-monumen);
33
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit., h. 1-2. 34
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga,
Surabaya, 2002, h. 16. 35
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h. 123.
24
d. hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat
penduduk);
e. pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.36
Motif atau tujuan perizinan lebih diarahkan kepada perlindungan obyek
perizinan. Motif atau tujuan perizinan juga berkaitan dengan perlindungan subyek atau
pihak yang menerima perizinan. Sebagai bagian dari produk hukum, perizinan tentunya
juga memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang menjadi subyek atau
penerima suatu perizinan berkenaan dengan keberlangsungan kegiatan dan/atau usaha
yang menjadi obyek perizinan dari gangguan pihak lain.
Ditinjau dari akibat hukumnya, izin adalah KTUN yang menciptakan hukum
(konstitutif). Ini berarti bahwa dengan pemberian izin dibentuk suatu hubungan hukum
tertentu. Dalam hubungan hukum ini oleh organ pemerintahan diciptakan hak-hak (izin)
dan kewajiban-kewajiban tertentu bagi yang berhak menurut ketentuan. Ketentuan
adalah syarat-syarat yang menjadi dasar bagi organ pemerintahan memberikan izin.
Syarat-syarat yang ditentukan dalam permohonan izin berhubungan erat dengan fungsi
sistem perizinan sebagai salah satu instrumen pengarah (pengendalian) dari pemerintah
(penguasa).
1.5.5. Penegakan Hukum Perizinan
Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintahan
dimaksudkan sebagai suatu upaya preventif agar pemerintah dalam menjalankan
aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum. Pengawasan juga dimaksudkan sebagai
upaya represif untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran
norma-norma hukum. Di samping itu, yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini
diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.
Sarana penegakan hukum itu di samping pengawasan adalah sanksi. Sanksi
merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan. Sanksi biasanya
36
N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit., h. 4-5.
25
diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan yang dalam bahasa Latin dapat disebut in
cauda venenum, artinya di ujung suatu kaidah hukum terdapat sanksi.37
Arti sanksi adalah reaksi tentang tingkah laku, dibolehkan atau tidak dibolehkan
atau reaksi terhadap pelanggaran norma, menjaga keseimbangan dalam kehidupan
masyarakat.38
Dalam Hukum Adminisrasi Negara dikenal beberapa macam sanksi,
yaitu:39
a. Paksaan Pemerintah (Bestuurdwang);
b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan;
c. Pengenaan denda administratif ;
d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).
Dwangsom dapat diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa
guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi
atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena
bertentangan dengan undang-undang.40
Pengenaan denda adminsitratif dimaksudkan untuk menambah hukuman yang
pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Pembuat undang-
undang dapat memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menjatuhkan
hukuman yang berupa denda terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran
peraturan perundang-undangan.41
Adapun kegunaan sanksi adalah sebagai berikut:42
a. Pengukuhan perbuatan secara norma.
b. Alat pemaksa bertindak sesuai dengan norma.
c. Untuk menghukum perbuatan/tindakan diangap tidak sesuai dengan norma.
d. Merupakan ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma.
37
http://lutfichakim.blogspot.com/2011/12/penegakan-hukum-perizinan.html, 19 Desember 2011 38
A.W. Widjaja, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Cetakan Kedua, Jakarta, 1999, h. 21 39
Philipus M. Hadjon, et.all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993, h. 245 40
Ibid, h. 246 41
Ridwan HR, Op.Cit, h. 246 42
A.W Widjaja, Op.Cit, hlm.21
26
1.5.6. Konsep Kuasa Pertambangan
Istilah kuasa pertambangan untuk pertama kalinya digunakan dalam Undang-
Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1950 tentang Pertambangan. Semula kuasa pertambangan
dimaksudkan sebagai pengganti konsesi (concessie) atau hak pertambangan yang diatur
dalam Indische Minjwet 1899 yang berlaku di Hindia Belanda sejak pada tahun 1907
dan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 masih diberlakukan hingga tahun
1960, yakni sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang
Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
Meskipun demikian, kuasa pertambangan dimaksudkan sebagai pengganti hak
pertambangan, namun dari optik hukum administrasi negara terdapat perbedaan antara
keduanya. Bagaimanakah pengertian dan apa saja yang mendasari perbedaan itu?
Bagaimanakah bentuk-bentuk kuasa pertambangan dan kaitannya dengan ajaran
kewenangan. Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa kuasa pertambnagan
adalah salah satu bentuk perizinan atau dasar hukum untuk melakukan usaha
pertambangan.43
Bermacam bentuk perizinan atau dasar hukum melakukan usaha pertambangan
menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan (untuk selanjutnya disingkat UUUP 1967) dan Undang-Undang Nomor
44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.
a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan.
b. Surat Keputusan (Izin) Pertambangan Rakyat.
c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan.
d. Surat (Izin) Pertambangan Daerah.
e. Kontrak Karya (KK).
f. Kontrak Kerjasama (dengan BUMN) dan Perjanjian Karya Pengusahaan
Pertambangan Batubara (PKP2B).
g. Kontrak Production Sharing (Perjanjian Bagi Hasil).
43
Bentuk kuasa pertambangan diperjelas dalam Penjelasan Umum 2a Peraturan Pemerintah
Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-
ketentuan Pokok Pertambangan.
27
Berdasarkan jenis-jenis dasar hukum dalam melakukan pengusahaan
pertambangan di atas, pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu melalui izin
pertambangan dalam bentuk kuasa pertambangan dan melalui perjanjian/kontrak
kerjasama. Dari ke tujuh jenis dasar hukum pengusahaan pertambangan berdasarkan
pembagian tersebut, maka poin 1 sampai dengan poin 4 dikualifikasikan sebagai izin
usaha pertambangan dalam bentuk kuasa pertamabangan dan poin 5 sampai dengan poin
7 dikualifikasikan sebagai dasar hukum untuk melakukan usaha pertambangan yang
lahir dari perjanjian/kontrak kerja sama baik antara pemerintah dengan perusahaan
swasta asing dalam rangka PMA maupun antara pemegang kuasa pertambangan dengan
perusahaan swasta nasional/asing (PMA/PMDN).
Pemberian Kuasa Pertambangan merupakan kekuasaan negara dalam lingkup
mengatur (regeleren), sedangkan pengusahaan pertambangan berdasarkan kontrak kerja
merupakan kekuasaan negara dalam lingkup mengurus (besturen).44
Mengingat karakteristik usaha pertambangan yang beresiko tinggi dan tidak
quick yielding, maka usaha pertambangan mutlak memerlukan jaminan kepastian hukum
dan perizinan yang berkesinambungan (conjuctive title).45
Sebelum istilah kuasa
pertambangan dikenalkan dalam Undang-Undang Pokok Pertambangan 1967, istilah
yang dikenal untuk semua bentuk izin melakukan usaha pertambangan adalah hak-hak
pertambangan.46
Kuasa pertambangan yang terdiri atas kata: “kuasa” dan “pertambangan”.
Pengertian “kuasa” (volmacht, gezag, authority) adalah wewenang atas sesuatu atau
untuk menentukan dengan (memerintah, mewakili, mengurus),47
sedangkan pengertian
“pertambangan” (mijnbouw, mining) ialah kegiatan teknologi dan bisnis yang berkaitan
dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan,
pengolahan, pemurnian, pengangkutan sampai pemasaran. Dengan demikian, “kuasa
44
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 80 45
Soetaryo Sigit, Analisis Kebijakan Sektor Pertambangan Indonesia, Makalah Jurusan Teknik
Pertambangan FTM-ITB, Bandung, 27 September 1997, h. 5. 46
Sajuti Thalib, Kuasa Pertambangan di Indonesia, Akademi Geologi dan Pertambangan,
Bandung, 1977, h. 2. 47
Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai
Pustaka, Jakarta, h. 533.
28
pertambangan” (mining authorisation) adalah wewenang yang diberikan kepada badan/
perseorangan untuk melakukan usaha pertambangan. Namun, kuasa pertambangan
bukanlah satu-satunya instrumen atau cara bagi badan hukum atau perseorangan untuk
melakukan usaha pertambangan. Sebab usaha pertambangan dapat juga dilakukan oleh
badan hukum melalui perjanjian kerjasama dengan pemerintah. Dengan demikian,
hakikat kuasa pertambangan adalah pemberian wewenang/izin kepada seorang atau
badan hukum untuk melakukan usaha pertambangan. Apabila dibandingkan dengan
konsesi (consessie) pertambangan di masa berlakunya Indische Mijnwet 1899, maka
kuasa pertambangan dan konsesi pertambangan terdapat persamaan, yaitu keduanya
sebagai dasar yang memberi izin untuk melakukan usaha pertambangan. Di samping
persamaan itu, terdapat pula perbedaan yang prinsipil antara keduanya sebagai berikut:48
a. Konsesi adalah hak pertambangan yang luas dan kuat, artinya pemegang konsesi
langsung menjadi pemilik atas bahan galian yang diusahakannya, sedangkan kuasa
pertambangan hanyalah kekuasaan untuk melakukan usaha pertambangan dan tidak
memberikan hak pemilikan atas bahan galian yang diusahakannya.
b. Konsesi pertambangan adalah hak kebendaan (property rights), sehingga dapat
dijadikan sebagai jaminan hipotik sedangkan kuasa pertambangan merupakan izin
usaha untuk melakukan kegiatan pertambangan pada tempat (areal) tertentu.
c. Konsesi pertambangan diatur bersamaan dengan hak-hak lain yang lebih luas,
sedangkan kuasa pertambangan diatur secara terpisah dengan hak-hak atas sumber
daya alam lainnya yang terkait dengan usaha pertambangan (tanah, hutan,
perkebunan dan lain-lain).
d. Konsesi pertambangan diberikan kepada badan hukum atau perorangan yang tunduk
kepada hukum Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan kuasa pertambangan diberikan
kepada mereka yang tunduk kepada hukum Indonesia.
Menurut Sutedi,49
baik kuasa pertambangan maupun konsesi tidaklah patut
dibedakan dari aspek publik atau privatnya, tetapi sebaiknya dipahami sebagai izin yang
diberikan oleh yang mempunyai kewenangan (berwenang) untuk melakukan usaha
48
Adrian Sutedi, op. cit., h. 81-82 49
Sutedi, op. cit., h. 83
29
pertambangan. Oleh sebab itu, baik pemegang konsesi maupun kuasa pertambangan
dalam menjalankan usahanya memadukan atau senantiasa menyeimbangkan kedua
kepentingan, yaitu kepentingan perusahaan dengan profit oriented-nya dan kepentingan
publik dengan public service-nya.
Kuasa pertambangan diberikan oleh pemerintah kepada badan hukum atau
perseorangan melalui surat keputusan dalam bentuk izin (vergunning) baik berupa
konsesi maupun pertambangan. Keputusan tersebut, merupakan salah satu instrumen
yuridis pemerintahan untuk melakukan tindakan-tindakannya.
Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UUPP 1967 kuasa pertambangan diberikan dengan
Keputusan Menteri (ESDM) keputusan (beschikking) berisi wewenang yang diberikan
kepada badan hukum atau perseorangan untuk melakukan usaha pertambangan pada
wilayah dan areal tertentu. Sumber kewenangan Menteri ini adalah Pasal 4 ayat (1) jo.
Pasal 15 ayat (3) UUPP 1967. Sumber kewenangan yang bersumber dari undang-undang
tersebut disebut atribusi, artinya kewenangan secara jelas dan tegas ditentukan dalam
Undang-Undang Pertambangan.
Kewenangan Menteri secara atributif di atas, kemudian dilimpahkan kepada
Direktur Jenderal Pertambangan Umum melalui Surat Keputusan Menteri Pertambangan
dan Energi Nomor 2027/K/201/MPE/1985 tanggal 18 September 1985 tentang
Pelimpahan Wewenang Pemberian Kuasa Pertambangan dan Perpanjangan Kuasa
Pertambangan serta Pengaturannya. Dalam Diktum Surat Keputusan Pelimpahan
Wewenang tersebut Direktur Jenderal Pertambangan Umum diberikan kewenangan
untuk menandatangani keputusan pemberian kuasa pertambangan. Selain itu, juga
diinstruksikan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum untuk menetapkan
peraturan-peraturan pelaksanaan dari keputusan tersebut yang meliputi tata cara
pengajuan dan penialaian permohonan kuasa pertambangan, serta kewajiban-kewajiban
pemegang kuasa pertambangan.
1.5.7. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan
Surat keputusan pemberian kuasa pertambangan diberikan oleh Menteri ESDM
kepada BUMN, Perusahaan Daerah, Koperasi Pertambangan, Perusahaan swasta dan
30
perorangan untuk melakukan usaha pertambangan. Pemberian kuasa pertambangan
berbeda dengan bentuk kuasa pertambangan lainnya yang lebih khusus. Pemberian
kuasa pertambangan selain subjek hukum yang dapat diberikan bervariasi juga
pemberian kuasa pertambangan disesuaikan dengan jenis usaha pertambangan yang
dilakukan. Jenis usaha yang dimaksud, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UUPP
1967 adalah: (a) penyelidikan umum; (b) eksplorasi; (c) eksploitasi; (d) pengolahan/
pemurnian; (e) pengangkutan dan; (f) penjualan.
Pemberian kuasa pertambangan kepada badan hukum atau perseorangan dilakukan
dengan suatu bentuk keputusan (beschikking) dari pejabat tata usaha negara (dalm hal
ini, Menteri ESDM) yang berisi sejumlah wewenang dan kewajiban yang berhubungan
dengan usaha pertambangan.
Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan
kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan
untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai
kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak
terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,
berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan memperoleh manfaat
sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.
Guna mematuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,
telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan
Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa
sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi
pembangunan nasional.
Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi
muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi
sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan
harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional
maupun internasional. Tntangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan
batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah,
31
hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas
kekayaan intelektual, serta tuntutan peran swasta dan masyarakat.
Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah
permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-undangan baru di bidang
pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi
langka-langka pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan
pertambangan mineral dan batubara. Undang-undang ini mengandung pokok-pokok
pikiran sebagai berikut:
a) Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara
dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan
pemerintah daerah bersama pelaku usaha.
b) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang
berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat
untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan
dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah
sesuai dengan kewenangannya masing-masing.
c) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan
pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,
akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintahdan pemerintah daerah.
d) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-
besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.
e) Usaha pertambangan dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong
kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong
tumbuhnya industri penunjang pertambangan.
f) Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha
pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup,
transparansi, dan partisipasi masyarakat.
Dengan demikian, dengan adanya Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batubara
Nomor 4 Tahun 2009 yang baru, diperkenalkan Izin Usaha Pertambangan di Wilayah
Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak dipergunakan lagi Perjanjian Kontrak
32
Karya bagi Investor Pertambangan Umum yang mengajukan izin usaha pertambangan
umum.
Konsep dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan pertambangan umum
yang 30 tahun yang lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya undang-undang yang
baru ini, akan diubah berbentuk pemberian izin usaha pertambangan.
Selain Izin Usaha Pertambangan (IUP) di atas, terdapat juga Izin Pertambangan
Rakyat (IPR) untuk melakukan aktivitas pertambangan di WPR (Wilayah Pertambangan
Rakyat) dan ada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan aktivitas
kegiatan pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).
1.5.8. Perubahan Konsep dari Kontrak Pertambangan ke Izin Usaha
Pertambangan
Sungguh sangat menarik untuk menelusuri konsep hukum pertambangan umum
dan mineral di Indonesia. Semula, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967,
perjanjian pertambangan umum di Indonesia dalam prakteknya adalah berbentuk
Perjanjian Kontrak Karya (Contract of Work) yang berlaku untuk jangka waktu tertentu.
Dalam Perjanjian Kontrak Karya ini, pihak yang mendatangani adalah Menteri
Pertambangan Umum selaku wakil dari Pemerintah yang mendapatkan wewenang
Kuasa Pertambangan dari rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan
pertambangan umum yang berlaku, di satu pihak, dengan Pihak Kontraktor
Pertambangan Umum, di pihak lain.
Dalam Kontrak Karya ini sudah diatur adanya beberapa tahapan kegiatan mulai
dari Penyelidikan Umum, Pertambangan Eksplorasi, Eksploitasi, Pengelolaan dan
Pemurnian, Produksi, Pengangkutan dan Penjualan.
Hal di atas adalah sesuai dengan prinsip pemberian Kuasa Pertambangan Bahan
Galian Starategis dan Bahan Galian Vital atas tahapan usaha pertambangan yang
meliputi usaha pertambangan di atas. Ketentuan dasarnya yang dahulu adalah Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 berikut
peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi dari
waktu ke waktu.
33
Pada saat itu, Pemerintah Daerah Propinsi memberikan Surat Izin Pertambangan
Daerah (SIPD) sebagai Kuasa Pertambangan bahan galian bukan strategis dan bukan
vital (bahan galian C) atas 5 usaha pertambangan umum yang dilaksanakan secara
bertahap berupa: SIPD Explorasi, SIPD Exploitasi, SIPD Pengolahan dan
Pemurnian, SIPD Pengangkutan, SIPD Penjualan.
Konsep kepemilikan dari kekayaan alam bangsa Indonesia yang berasal dari
Bahan Galian Tambang adalah “milik seluruh rakyat Indonesia”, hal mana sesuai
dengan Pasal 33 (3) UUD 1945.
Ini berbeda dengan konsep yang dianut di negara lain yang menganut bahwa
pemilik dari tambang yang ditemukan dalam wilayah area tanah dari seseorang adalah
dimiliki oleh orang tersebut. Hal ini juga berlaku pada jaman Penjajahan Belanda
dimana pada saat itu, dikenal adanya konsep hak konsesi, dimana perusahaan swasta
berhak untuk memiliki kandungan kekayaan bahan galian tambang.
Yang menarik untuk ditelusuri di Indonesia adalah bahwa terdapat pemisahan
pengaturan antara kekayaan alam yang berada “di bawah tanah” atau “di kandungan
bumi” yang berbentuk bahan tambang galian dengan ketentuan yang mengatur mengenai
tanaman yang berada di permukaan bumi atau tanah di wilyah hukum Republik
Indonesia.
Bahan galian tambangpun dibedakan antara bahan tambang yang berasal dari
karbon atau kandungan minyak dan gas dengan bahan tambang umum yang berbentuk
keras. Namun pengaturan antara bahan galian yang keras (misalnya nikel, timah,
tembaga dll.) dengan bahan tambang minyak/gas/karbon dan goethermal/upa air diatur
dalam perangkat rezim peraturan yang berbeda.
Hal yang seringkali dialami dalam praktek kegiatan pertambangan umum adalah
adanya tumpang tindih antara kegiatan pertambangan umum dengan kegiatan terkait
dengan aktivitas perkebunan, pertanian maupun hutan lindung. Hal ini disebabkan
terjadi kurangnya koordinasi antar instansi departemen yang berwenang atas pengaturan
kegiatan yang berbeda tersebut, baik di tingkat Pemerintahan Pusat maupun
Pemerintahan Daerah. Hal ini jelas seringkali menimbulkan kerancuan di lapangan atas
pelaksanaan kegiatan pertambangan umum maupun kegiatan yang tumpang tindih
34
tersebut. Harusnya dalam Peta Blok atau Lahan yang dilampirkan pada Perjanjian
Kontrak Karya, sudah disebutkan, mengenai adanya daerah hutan lindung misalnya yang
sudah dikeluarkan dari Wilayah Area Kuasa Pertambangan tersebut.
Dalam pertambangan umum, selain Perjanjian Kontrak Karya terdapat juga
Perjanjian Kerjasama Batubara. Terkait dengan kegiatan penambangan batubara dimana
Direktorat yang membidangi juga berbeda dengan kegiatan pertambangan umum,
dimana untuk bahan galian pertambangan umum adalah di bawah Direktorat
Jenderal Pertambangan Umum, sedangkan batubara adalah berada di bawah wewenang
Direktorat Jenderal Batubara.
Kini dengan adanya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan
Mineral dan Batubara (UU Minerba), diperkenalkan Izin Usaha Pertambangan di
Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak dipergunakan lagi perjanjian
Kontrak Karya bagi investor pertambangan umum yang mengajukan izin usaha
pertambangan umum.
Konsep dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan pertambangan umum
yang menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 melalui perjanjian, dengan adanya
undang-undang yang baru ini (UU Minerba) diubah berbentuk pemberian Izin Usaha
Pertambangan (IUP).
Selain Izin Usaha Pertambangan (IUP) di atas, terdapat juga Izin Pertambangan
Rakyat (IPR) untuk melakukan aktivitas pertambangan di WPR (Wilayah Pertambangan
Rakyat) dan ada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan
aktivitas kegiatan pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus
(WIUPK).
Pengelompokan dari bahan galiannya pun terjadi perbedaan pengelompokan
dimana ada pertambangan mineral yang terdiri dari radioaktif, logam, non logam dan
batuan, serta ada pengelompokan batubara.
Pemberian izin dari Kuasa Pertambangan dibedakan berdasarkan jenis bahan
mineral serta dikaitkan dengan luasnya lahan maupun kapasitas kemampuan finansial
dari Pihak Kontraktor (Badan Usaha dan/atau BUMN/BUMD), koperasi maupun
perorangan yang akan melakukan kegiatan pertambangannya.
35
BAB II
METODE PENELITIAN
Secara garis besar metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini
mencakup jenis penelitian, pendekatan penelitian, bahan hukum penelitian, serta
prosedur pengumpulan bahan hukum penelitian, dan analisis bahan hukum penelitian.
2.1. Jenis Penelitian
Penelitian hukum, menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah “suatu proses untuk
menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna
menjawab isu hukum yang dihadapi”.50
Penelitian hukum ini dilakukan untuk mencari
pemecahan atas isu-isu hukum (legal issues) terkait dengan kriminalisasi izin usaha
pertambangan batubara dalam kasus PT Satui Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu
Propinsi Kalimantan Selatan.
Dilihat dari jenisnya, penelitian hukum51
yang memfokuskan kajiannya pada
persoalan kebijakan kriminalisasi dalam penerapan izin usaha pertambangan yang
dilakukan melalui studi dokumentasi terhadap putusan pengadilan merupakan penelitian
hukum normatif. Istilah penelitian hukum normatif dalam tradisi civil law memiliki
kesamaan dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) dalam kepustakaan
common law.52
Penelitian (hukum) doktrinal, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, mencakup
tiga hal berupa: (1) usaha penemuan hukum positif; (2) usaha penemuan asas-asas dan
dasar falsafah (dogma atau doktrin); dan (3) usaha penemuan hukum a quo yang layak
50
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h.
35. 51
Penelitian hukum, “dapat semata-mata hanya mendasarkan pada penelitian kepustakaan saja
(penelitian hukum normatif). Akan tetapi penelitian kepustakaan itu dapat dilengkapi dengan penelitian
lapangan”. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty,Yogyakarta, 1996, h. 30. 52
Menurut Terry Hutchinson, “doctrinal research is library based, focusing on reading and
analysis of the primary and secondary materials. The primary materials are the actual sources of the law.
The secondary materials include the commentary on the law found in textbooks and legal journals”. Lihat,
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,
2006, h. 44-45.
36
diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.53
Sejalan dengan
penelitian hukum doktrinal, penelitian hukum normatif, menurut Jan Gijssels dan
Mark van Hoecke, bertitik tolak dari hakikat keilmuan hukum yang secara teoritik
terbagi dalam tiga lapisan utama, yakni dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat
hukum,54
yang kajiannya dilakukan menurut karakter masalah hukumnya sendiri-
sendiri.55
2.2. Pendekatan Penelitian
Untuk menjawab ketiga isu hukum tersebut di atas, metode pendekatan penelitian
yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan
undang-undang (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach).
Tentang mekanisme penentuan status hukum suatu kawasan hutan menurut
peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, dikaji dengan pendekatan konsep
dan pendekatan undang-undang, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan dan peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya, tentang legalitas
kegiatan penambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT dan kebijakan
kriminalisasi terhadap pemegang izin usahan pertambangan dikaji dengan pendekatan
undang-undang dan pendekatan kasus. Kedua pendekatan dilakukan untuk menemukan
kaidah-kaidah hukum positif yang digunakan sebagai dasar hukum oleh penegak hukum,
khususnya pengadilan, dalam menangani kasus PT SBT.
2.3. Bahan Hukum Penelitian
Sebagai penelitian hukum normatif, untuk memecahkan isu-isu hukum dan
sekaligus memberikan preskripsi mengenai permasalahan yang diteliti, dalam penelitian
hukum ini digunakan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.
53
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &
Huma, Jakarta, 2002, h. 56. Lihat juga: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo
Persada, Jakarta, 2005, h. 42. 54
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Apakah Teori Hukum itu?, Terjemahan B. Arief Sidharta,
FH Unpar, Bandung, 2000, h. 109. 55
Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung,
1994, h. 134.
37
Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif, yang terdiri
dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan
peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum
sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen
resmi, seperti buku-buku teks hukum, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan
komentar-komentar atas putusan pengadilan,56
termasuk pendapat para pakar yang
dimuat dalam media cetak (koran atau majalah hukum) dan media elektronik (khususnya
media internet).
Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahan-bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis,
yaitu:
a. bahan hukum primer (primary resource; authoritative record), berupa peraturan
perundang-undangan57
yang terkait dengan isu-isu hukum yang diteliti dan dikaji
dalam penelitian ini, meliputi:
(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);
(2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok
Pertambangan;
(3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP);
(4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
(5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;
(6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan
Batubara;
(7) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan Status
dan Fungsi Kawasan Hutan;
56
Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 141. Bandingkan: Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,
Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 12-13,
yang membagi bahan-bahan hukum penelitian hukum normatif menjadi tiga klasifikasi, yaitu bahan
hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 57
Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal
Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1974, h. 19, menyatakan: “perundang-undangan dan yurisprudensi
merupakan bahan hukum primer dalam penelitian hukum normatif.
38
(8) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 453/Kpts-II/1999 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan
Selatan;
(9) Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 29 Tahun 2005 tentang
Rencana Tata Ruang Wilayah;
(10) Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 1452/Pid.Sus/2009/PN.Bjm,
tanggal 19 April 2010;
(11) Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1444
K/Pid.Sus/2010, tanggal 8 Oktober 2010;
(12) Putusan Mahkamah Agung RI dalam Peninjauan Kembali Nomor 157
PK/PID.SUS/2011, tanggal 16 September 2011;
(13) Peraturan perundang-undangan dan keputusan lainnya yang terkait.
b. bahan hukum sekunder (secondary resource; not authoritative record), yakni bahan
hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti
literatur hukum yang berupa buku, makalah, majalah (jurnal ilmiah), hasil penelitian
terdahulu, artikel dalam tabloit, surat kabar dan lain-lain, termasuk bahan-bahan
hukum yang diperoleh melalui akses internet, yang berkaitan dengan permasalahan
penelitian;
c. bahan hukum tersier (tertiary resource), yakni bahan yang dapat memberikan
petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus
hukum, ensiklopadia hukum, risalah sidang atau rapat dan sebagainya yang terkait
isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini.
2.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum Penelitian
Sebagai penelitian hukum normatif, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti
adalah mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum
tersier sepanjang isinya relevan dengan pokok masalah (topik) penelitian. Bahan-bahan
hukum yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diinventarisasi dan diklasifikasi
sesuai dengan isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini. Keseluruhan bahan hukum
dalam penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka (library research), studi
39
dokumentasi, penelusuran bahan hukum melalui download internet, pertemuan ilmiah,
seperti seminar, diskusi dengan ahli hukum, dan lain-lain.
Setelah bahan-bahan hukum diinventarisasi dan diklasifikasi, langkah kedua yang
dilakukan peneliti adalah melakukan sistematisasi dan interpretasi terhadap bahan
hukum primer dan kemudian dilakukan pengkajian (analisis) secara yuridis kualitatif,
yaitu analisis hukum yang mendasarkan atau bertumpu pada penalaran hukum (legal
reasoning) dan argumentasi hukum (legal argumentation).
Analisis hukum tersebut dilakukan untuk menghasilkan proposisi atau konsep
sesuai dengan isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah melakukan analisis
(telaah) atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah
dikumpulkan, langkah ketiga yang dilakukan oleh peneliti adalah menarik kesimpulan
dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum.
Akhirnya, langkah keempat yang dilakukan oleh peneliti adalah memberikan
preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan. Langkah ini
dilakukan sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif,
yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-
konsep hukum, dan norma-norma hukum.
40
BAB III
HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MASALAH
Permasalahan hukum yang muncul terkait dengan kasus ini adalah apakah PT.
SBT (dalam hal ini Direktur PT. SBT) dalam melakukan kegiatan penambangan
batubara di atas areal atau lokasi yang sesuai dengan izin (dalam hal ini berupa Kuasa
Pertambangan) Batubara yang diberikan Bupati dapat dikualifikasikan sebagai suatu
tindak pidana?
Untuk menganalisis permasalahan hukum tersebut, perlu diuraikan terlebih dahulu
mengenai legalitas perusahaan PT. SBT, kronologis tindakan hukum pidana yang
dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya pada saat penghentian kegiatan
tambang, serta dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh pengadilan dalam
mengambil putusan dalam perkara a quo.
3.1. Legalitas Perusahaan Pertambangan Batubara PT. Satui Bara Tama di
Kalimantan Selatan
Secara garis besar, legalitas PT. SBT sebagai perusahaan pertambangan batubara
dapat dijelaskan sebagai berikut:
(1) Tahun 2003 PT. SBT telah memperoleh izin eksplorasi sesuai dengan Keputusan
Bupati Kotabaru Nomor: 545/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa
Pertambangan Eksplorasi tanggal 20 Januari 2003 seluas 1.904 ha untuk jangka
waktu 3 (tiga) tahun. Berdasarkan Peraturan Daerah Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002
tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru titik koordinat Kuasa
Pertambangan tersebut berada dalam Areal Penggunaan Lain atau Kawasan
Budidaya Tanaman Tahunan Perkebunan di luar Kawasan Hutan. Untuk
melaksanakan aktivitas penambangan, PT. SBT telah membebaskan lahan
masyarakat yang berada di dalam KP seluas kurang lebih 900 ha, selebihnya belum
ada kesepakatan harga dan masih berupa kebun kepala sawit produktif.
41
(2) Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 terbentuklah Kabupaten Tanah
Bumbu, pemekaran dari Kabupaten Kotabaru. Mengacu pada undang-undang ini,
selanjutnya KP PT. SBT berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Tanah
Bumbu, sehingga kewajiban PT. SBT sebagai penerima KP untuk
menginventarisasi dan melaporkan kepada Kabupaten Pemekaran terkait
pemanfaatan fungsi ruang tetap mengacu pada RTRW. Kabupaten Kotabaru.
(3) Tanggal 16 Pebruari 2007 PT. SBT telah mengirim surat resmi kepada Badan
Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tanah Bumbu dengan
Nomor 108/SBT/Btl/II/2007 untuk meminta penjelasan tentang posisi areal wilayah
KP PT. SBT, dan Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu melalui Kepala Bidang Fisik
dan Prasarana menjawab dengan surat resmi Nomor: 050/036/FISPRA/BAPPEDA
tanggal 17 Pebruari 2007, menyatakan bahwa fungsi kawasan telah dijustifikasi
berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor : 29 Tahun 2005
tentang RTRW.Kabupaten Tanah Bumbu dengan memperhatikan Peraturan Daerah
Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang RTRW.Kabupaten Kotabaru
(sebagai Kabupaten Induk). Berdasarkan surat jawaban Bappeda tersebut dapat
diketahui bahwa “wilayah KP Eksploitasi Batubara PT. Satui Bara Tama (PT. SBT)
pada peta RTRW. Kabupaten Tanah Bumbu berada dalam Kawasan Budi Daya
Tanaman Tahunan Pertanian atau Areal Penggunaan Lain (Bukan Kawasan
Hutan)”.
(4) PT. SBT telah mendapatkan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi melalui
Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 545/24-EXSP/KP.DE tentang Pemberian
Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT. Satui Bara
Tama, dan Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 545/24-24-PP/KP/D.PE tentang
Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan
Penjualan kepada PT. Satui Bara Tama (TB.08 JUNPR 54) tanggal 13 Juni 2008,
sehingga kegiatan penambangan PT.SBT terus berlanjut.
(5) PT. SBT mendapatkan advise Spatial Planning dari Bappeda Propinsi Kalimantan
Selatan melalui Surat Nomor: 650/773/TR/ Bappeda tanggal 9 Desember 2008,
yang menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan
42
Selatan Nomor 9 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi
Kalimantan Selatan “lokasi kerja/kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT.
SBT tidak berada di dalam kawasan hutan, tetapi berada di dalam kawasan budidaya
tanaman tahunan perkebunan”.
Oleh karena hingga saat ini belum ada pencabutan dan pembatalan terhadap izin-
izin eksploitasi batubara PT. SBT, maka sesuai dengan asas praesumptio iustae causa
(vermoeden van rechtmatigheid; praesumption of legality), semua keputusan pemerintah
tersebut tetap sah (legal) sebelum dicabut atau dibatalkan oleh pejabat yang
berwenang,58
Asas ini merupakan perwujudan dari salah satu tujuan hukum, yakni
tercapainya kepastian hukum terhadap keputusan pemerintahan.
3.2. Tindakan Kriminalisasi terhadap Direktur Utama PT. Satui Bara Tama di
Kalimantan Selatan
Tindakan kriminalisasi terhadap PT. SBT diawali dengan penghentian kegiatan
tambang batubara oleh aparat penegak hukum (kepolisian), yang secara kronologis dapat
dideskripsikan sebagai berikut:
(1) Selama tahun 2003-2008 aktivitas penambangan PT. SBT berjalan dengan baik dan
lancar tanpa ada gangguan dan peringatan/teguran dari pihak manapun, baik dari
pemerintah daerah (Dinas Kehutanan), pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan)
maupun dari instansi-instansi terkait serta masyarakat luas;
(2) Secara tiba-tiba pada tanggal 2 Desember 2008 aparat dari bagian Kriminal Markas
Besar Polri Direktorat V/Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) dan Rekrim Polda
Kalimantan Selatan telah melakukan penghentian aktivitas penambangan PT. SBT
yang dilakukan di areal Kuasa Pertambangan Batubara milik PT. SBT dan sekaligus
menyita serta melakukan police line terhadap alat berat dan benda-benda yang
digunakan untuk menjalankan aktivitas penambangan, termasuk penyitaan terhadap
batubara sebanyak kurang lebih 7.000 MT, dengan mendasarkan pada Keputusan
Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan
Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, padahal Kepmenhutbun
58
Philipus M. Hadjon, Asas Legalitas Keputusan Pemerintahan, 12 Maret 2011.
43
tersebut secara hukum tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kawasan
hutan, sebab hanya berupa suatu keputusan (beschikking) yang berlaku secara
internal dan hanya merupakan tahapan awal dalam menetapkan kawasan hutan yang
definitif;
(3) H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad Syahdan selaku Direktur Utama PT. SBT
telah dituduh atau didakwa melakukan tindak pidana di bidang kehutanan
sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (2) dan ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf a
dan g Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:
- Pasal 78 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, diancam dengan pidana penjara paling
lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 5000.000.000,00 (lima
milyar rupiah).”
- Pasal 78 ayat (6) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling
lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh
milyar rupiah).”
- Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menyebutkan: “Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau
menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;”
- Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang
Kehutanan menyebutkan: “melakukan kegiatan penyelidikan umum atau
eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan, tanpa izin
Menteri;”
3.3. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan terhadap Direktur Utama PT. SBT
Pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim baik di
Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan peninjauan
44
kembali terhadap H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad Syahdan selaku Direktur
Utama PT. SBT adalah sebagai berikut:
3.3.1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.
1425/Pid.Sus/2009/PN.
Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin dalam perkara a
quo antara lain:59
- Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas perkara ini bahwa diprosesnya perkara
ini berkaitan dengan laporan PT. Hutan Rindang Banua (PT. HRB) yang
melaporkan PT. Satui Bara Tama (PT. SBT) telah memasuki areal kerja dari PT.
HRB sebagai pemilik Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI),
sehingga tanaman yang berupa akasia mangium rusak dan punah, sebagai akibat
kegiatan penambangan yang dikeluarkan PT. SBT tersebut;
- Terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT dengan legalitas yang telah dimilikinya
telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas areal yang telah di izinkan, dengan
legalitas formal berupa:
1) Keputusan Bupati Kotabaru No. 545/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa
Pertambangan Eksplorasi tertanggal 20 Januari 2003;
2) Keputusan Bupati Kotabaru No. 545/31.I/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa
Pertambangan Eksploitasi tertanggal 20 April 2003;
3) Keputusan Bupati Tanah Bumbu No. 545/24-EX/KP/D.PE tentang Pemberian
Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT. Satui
Bara Tama;
4) Keputusan Bupati Kotabaru No. 545/31.A/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa
Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan;
5) Keputusan Bupati Tanah Bumbu No. 545/24.PP/KP/D.PE tentang Pemberian
Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Pengangktan dan Penjualan
kepada PT. Satui Bara Tama;
59
Lihat Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 1425/Pid.Sus/2009/PN.Bjm.,tanggal 19
April 2010, h. 213 dst.
45
6) Surat Nomor 050/039/Fispras/Bappeda dari Badan Perencanaan Pembangunan
Daerah tertanggal 17 Pebruari 2007 Perihal Penjelasan Fungsi Kawasan atas
Wilayah Tambang PT. Satui Bara Tama dalam Rencana Tata Ruang Wilayah
Kabupaten Tanah Bumbu;
7) Peta Lokasi KP Eksploitasi PT. Satui Bara Tama berdasarkan Peta RTRW
Kabupaten Kotabaru Perda Nomor 3 Tahun 2002.
- Menurut hemat Majelis Hakim bahwa setiap izin yang berkaitan dengan fungsi
ruang harus mengacu pada rencana tata ruang yang sudah ditetapkan dengan
Peraturan Daerah;
- Dalam perkara a quo adalah Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang
RTRW Propinsi Kalimantan Selatan, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002
tentang RTRW Kabupaten Kotabaru, dan Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2005
tentang RTRW Kabupaten Tanah Bumbu, yang telah dipaduserasi pada tanggal 13
April 2007, antara pihak Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Propinsi
Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu di Jakarta, dan
Perda-perda ini sampai saat ini tidak pernah dicabut ataupun dinyatakan tidak
berlaku oleh suatu produk hukum tertentu maka Perda-perda tersebut masih tetap
sah dan berlaku;
- Berdasar pada pertimbangan di atas maka kedudukan tiga Perda tersebut di atas
apabila disandingkan dengan Kepmenhutbun No. 453/KPTS-II/1999 tentang
Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan, menurut Prof. Dr. H.
Syamsul Wahidin, SH, MH adalah bahwa Kepmenhutubun tersebut tidak dapat
disandingkan apalagi dibandingkan dengan Perda tersebut, karena Peraturan
Daerah termasuk di dalam tata urutan peraturan perundang-undangan
sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, sedangkan Keputusan Menteri
tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Di samping itu
sifat internal beschikking dari Kepmenhutbun tersebut: Pertama, menggunakan
istilah KEPUTUSAN; kedua, dictum kelima memerintahkan kepada Baplan
(Badan Planologi Departemen Kehutanan) untuk melakukan pengukuhan, dan
ketiga, salinan dari Keputusan tersebut disampaikan kepada instansi-instansi lain;
46
- Namun demikian, apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa Perda-perda
tersebut bertentangan dengan peraturan lainnya yang lebih tinggi maka menurut
pendapat para saksi ahli, yaitu Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, SH, MH, Prof. Dr.
HM. Hadin Muhjat, SH, MH, dan lain-lain, peraturan tersebut tidak serta merta
batal atau tidak berlaku, akan tetapi secara hukum harus terlebih dahulu diuji
melalui prosedur hukum yang berlaku;
- Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut hemat Majelis Hakim bahwa yang
dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan apakah lokasi/areal kerja Kuasa
Pertambangan PT. SBT itu termasuk Kawasan Hutan atau tidak adalah Peraturan
Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang RTRW Propinsi Kalimantan Selatan,
Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang RTRW Kabupaten Kotabaru, dan
Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2005 tentang RTRW Kabupaten Tanah
Bumbu;
- Bahwa Peta lokasi Kuasa Pertambangan Eksploitasi PT. SBT berdasarkan Peta
RTRW Kabupaten Kotabaru Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang
RTRW Kabupaten Kotabaru dan Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2005 tentang
RTRW Kabupaten Tanah Bumbu, serta Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000
tentang RTRW Propinsi Kalimantan Selatan, hasil paduserasi Tata Guna Hutan
Kesepakatan (TGHK) dengan RTRW Propinsi Kalimantan Selatan Perda No. 3
Tahun 1993 dan berkesuaian pula dengan keterangan saksi Drs. H. Muhammad
Amin, MT bin Umar Durahman, selaku Kepala Dinas Pertambangan Batulicin,
yang tugas pokoknya adalah membantu Kepala Daerah khususnya di bidang
pertambangan serta bertanggungjawab kepada Bupati Tanah Bumbu dan Dinas
Pertambangan, menyatakan bahwa areal kerja PT. SBT Tidak Termasuk dalam
Kawasan Hutan melainkan masuk dalam Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan
Pertanian (non kehutanan), dengan demikian diperoleh fakta bahwa lokasi Kuasa
Pertambangan dari PT. SBT berada pada kawasan budidaya tanaman tahunan
pertanian buka kawasan hutan sebagaimana yang dimaksud dalam unsur pasal ini;
- Majelis Hakim memandang perlu untuk mempertimbangkan pula mengenai
Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan
47
Status dan Fungsi Kawasan Hutan, yang ditetapkan tanggal 27 Juli 2009 dan telah
diundangkan tanggal 29 Juli 2009, yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut
Umum di dalam upaya membuktikan unsure ini yang terkait dengan Surat
Kepmenhutbun No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan
Propinsi Kalimantan Selatan sebagaimana diuraikan dalam Surat Tuntutannya
tersebut;
- Apabila dicermati Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.50/Menhut-II/2009 yang
mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 29 Juli 2009, maka peraturan ini
tidak dapat diberlakukan atau diterapkan terhadap perkara a quo mengingat tempos
delicti dari peristiwa pidana yang didakwakan ini adalah mulai sekitar tahun 2003
sampai 2 Desember 2008, yaitu mulai PT. SBT melakukan eksplorasi dan
eksploitasi serta pengangkutan dan penjualan atas penambangan batubara hingga
areal/wilayah kerja Kuasa Pertambangan PT. SBT di-police line atau dihentikan
oleh Penyidik Polda Kalimantan Selatan, sedangkan Peraturan Menteri tersebut
mulai berlaku sejak tanggal 29 Juli 2009, sehingga peraturan ini tidak dapat
berlaku surut;
- Terkait dengan adanya tumpang tindih areal kerja PT. SBT dengan kawasan hutan,
maka saksi ahli Prof. Dr. H. Syamsul Wahidin, SH, MH. memberikan pendapat
yang pada intinya menyatakan bahwa: 1. Pemohon (dalam hal ini PT. SBT) telah
menyampaikan berbagai aspek-aspek prosedural administratif; 2. Ketika itu sudah
dilaksanakan dengan baik, tidak ada masalah, termasuk telah membebaskan lahan
dan seterusnya, 3. Mengajukan permohonan eksploitasi, menunjukkan bahwa ia
telah melalui mekanisme perizinan sebagaimana peraturan yang berlaku.
- Di samping uraian pertimbangan fakta di atas, saksi Drs. H. Muhammad Amin,
MT bin Umar Durahman, selaku Kepala Dinas Pertambangan Batulicin,
menerangkan pada pokoknya bahwa benar perpanjangan Kuasa Pertambangan
eksploitasi PT. SBT dari Bupati Tanah Bumbu tertanggal 13 Juni 2008 yang
terletak di Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu dengan luas blok I: 1.492 ha
dan blok II: 320 ha dan dasar perpanjangan pertama yang dimohonkan oleh PT.
SBT adalah Kepmen ESDM No. 1453.K/29/MEM/2000 tanggal 3 November 2000
48
tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang
Pertambangan Umum, serta sewaktu pemohon mengajukan permohonan
perpanjangan tidak ada komplain dari masyarakat, Pemerintah ataupun Badan
Hukum, oleh karenanya Dinas Pertambangan Kabupaten Tanah Bumbu berani
mengeluarkan perpanjangan Kuasa Pertambangan;
- Berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas, Majelis Hakim tidak sependapat
dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena menurut Majelis Hakim unsur
“memasuki kawasan hutan” tidak terpenuhi atas perbuatan Terdakwa;
Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim
Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah
memutuskan, yang amar putusannya nomor 1: “Menyatakan terdakwa H. Parlin bin
H.M. Syahdan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak
pidana sebagaimana dakwaan kesatu primer kesatu subsider atau dakwaan kedua,
oleh karenanya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan kesatu Primer maupun
kesatu Subsider atau dakwaan kedua;”
Putusan bebas terhadap terdakwa yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim
Pengadilan Banjarmasin antara lain juga didasarkan pada pertimbangan-
pertimbangan hukum sebagai berikut:60
- Untuk menyatakan terdakwa bersalah terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan
tersebut, maka semua perbuatan terdakwa harus memenuhi unsur-unsur dari pasal-
pasal yang didakwakan kepadanya;
- Di persidangan terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melakukan
tindak pidana yaitu Kesatu: Primer sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 78 ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan; Subsider sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam
Pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan; atau Kedua: Perbuatan terdakwa diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang
Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan;
60
Lihat Salinan Putusan PN Banjarmasin No. 1425/Pid.Sus/2009/PN.Bjm.,h. 199 dst.
49
- Dakwaan Kesatu Primer Jaksa Penuntut Umum sebagaimana diatur dan diancam
pidana dalam Pasal 78 ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang unsur-unsurnya adalah sebagai
berikut: (1) setiap orang; (2) dengan sengaja; (3) melakukan kegiatan penyelidikan
umum atau eksplorasi atau ekaploitasi bahan tambang; (4) di dalam kawasan
hutan; (5) tanpa izin Menteri.
Ad. 1. Unsur “Setiap Orang”
- Yang dimaksud dengan “setiap orang” menurut ketentun undang-undang adalah
subyek hukum yaitu orang atau badan hukum, yang dapat dipertanggung-jawabkan
atas perbuatan yang dilakukannya di hadapan hukum;
- Yang diajukan ke persidangan sebagai terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum
adalah “orang” yang bernama H. Parlin Riduansyah bin H. Muhamad Syahdan;
- Berdasarkan keterangan para saksi dan dari keterangan terdakwa sendiri
berdasarkan Akta Notaris Kasmuri No. 18 tanggal 31 Agustus 1999 yang
diperbarui dengan Akta Notaris/PPAT Linda Kenari, SH, MH tanggal 19 Pebruari
2008, diperoleh fakta bahwa benar terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H.
Muhamad Syahdan adalah sebagai Direktur Utama PT. Satui Bara Tama;
- Menurut ahli Hukum Perusahaan Universitas Lambung Mangkurat H.A. Chadari
ADP, SH, MH, menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 98 ayat (1)
Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam sebuah
Badan Hukum, Direktur adalah bertanggung jawab di dalam maupun di luar
Pengadilan;
- Terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Muhamad Syahdan selaku Direktur Utama
PT. Satui Bara Tama adalah subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan
atas segala perbuatannya dan terdakwa mampu bertanggung jawab, sehingga unsur
“setiap orang” secara hukum terpenuhi atas diri terdakwa tersebut.
Ad. 2. Unsur “dengan sengaja”
- Apa yang dimaksud “dengan sengaja”, dalam undang-undang tidak dijelaskan,
namun dalam doktrin dan yurisprudensi unsur “sengaja” dikenal beberapa bentuk
50
kesengajaan, yaitu: sengaja sebagai tujuan, sengaja sebagai kepastian, dan sengaja
sebagai kemungkinan;
- Yang dimaksud “dengan sengaja” di sini adalah dolus (opzet) yang mengandung
suatu pengertian bahwa setiap orang yang melakukan dalam hal ini pelaku
mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukan dan/atau akibat yang
mungkin timbul dari perbuatannya tersebut;
- Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan terdakwa H. Parlin Riduansyah
bin H. Muhamad Syahdan adalah Direktur Utama PT. Satui Bara Tama, pemegang
izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi dari Bupati Kotabaru seluas 1.904 Ha dan
izin Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi dari
Bupati Tanah Bumbu seluas 1.812 Ha yang terletak di Desa Sungai Cuka,
Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, yang berdasarkan keterangan Saksi
H. Iwan Yunus pernah menerima surat dari PT. Hutan Rindang Banua (PT. HRB)
tertanggal 19 Juli 2007 yang isinya memperingatkan kepada terdakwa selaku
Direktur Utama PT. Satui Bara Tama (PT. SBT) bahwa penebangan (pohon
akasia) dan pengangkutanbatubara yang dilakukan oleh PT. SBT telah masuk ke
dalam areal/wilayah Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT.
HRB di Desa Sungai Cuka, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, dan
akibatnya merusak dan menghancurkan tanaman industrI pulp pada blok SB-3,
petak tanaman No. 49, 50, 51, 52, 53 dan 54, tetapi terdakwa tetap mengerjakan
penambangan batubara di lokasi kawasan HPHTI milik PT. HRB;
- Atas surat dari PT. HRB tersebut, Saksi H. Iwan Yunus juga menerangkan bahwa
4 (empat) bulan kemudian dengan surat tanggal 6 Nopember 2007, PT. SBT
mengirim surat kepada PT. HRB dengan surat No. 131/SBT-Adm/XI/2007 tanggal
6 Nopember 2007 ditandatangani H. Iwan Yunus (Direktur PT. SBT) yang isinya
agar PT. HRB tidak meneruskan penanaman pohon akasia di Desa Sungai Cuka,
Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, yang merupakan tanah masyarakat
yang telah diganti rugi oleh PT. SBT, kemudian PT. HRB mengirim surat kembali
kepada terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT No. 01/HRB-Lgl/XI/07 tanggal
26 Nopember 2007 yang isinya antara lain agar PT. SBT menghentikan kegiatan
51
penambangan batubara di Desa Sungai Cuka, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah
Bumbu, tersebut. Namun, PT. SBT tetap melakukan penambangan yang memang
“dikehendaki atau menjadi tujuan” dari perbuatan yang dilakukan terdakwa;
- Sebagaimana fakta yang diperoleh di persidangan terdakwa selaku Direktur Utama
PT. SBT di dalam melakukan kegiatannya tersebut telah memiliki Surat
Keputusan Bupati Kotabaru Nomor: 545/97.a/KP/D.PE tanggal 20 Januari 2003
tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi seluas 1.904 Ha, Surat
Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor: 545/24-EX/KP/D.PE tanggal 13 Juni
2008 tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi
kepada PT. Satui Bara Tama, Surat Keputusan Nomor: 545/24-PP/KP/D.PE
tanggal 13 Juni 2008 tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa
Pertambangan, Pengangkutan dan Penjualan kepada PT. Satui Bara Tama,
sehingga dengan dasar legalitas tersebut terdakwa melakukan kegiatannya berupa
penambangan di areal yang telah dizinkan tersebut hingga pada bulan Desember
2008;
- Oleh karena itu menurut hemat Majelis Hakim, terdakwa telah mempunyai niat,
mempunyai maksud atau mempunyai tujuan untuk melakukan penambangan di
lokasi sebagaimana telah ditentukan di dalam Surat Kuasa Pertambangan yang
dimilikinya tersebut, sehingga dengan demikian unsur “dengan sengaja” telah
terpenuhi.
Ad. 3. Unsur melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau
eksploitasi bahan tambang
- Yang dimaksud dengan “melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi
atau eksploitasi bahan tambang” menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf g
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah:
a. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi
umum atau geofisika di daratan, perairan dan dari udara, dengan maksud untuk
membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan
galian.
52
b. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah penyelidikan geologi pertambangan
untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat
letakannya.
c. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk
menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.
- Apabila uraian di atas dikaitkan dengan keterangan para saksi dan bukti-bukti
surat baik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun yang diajukan oleh
Penasehat Hukum terdakwa, ternyata terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H.
Muhamad Syahdan selaku Direktur Utama PT. SBT pemegang izin Kuasa
Pertambangan Eksplorasi, Eksploitasi, Pengangkutan dan Penjualan bahan galian
(tambang) sebagaimana tersebut di atas, telah melakukan eksplorasi yang
kemudian dilanjutkan dengan melakukan eksploitasi bahan tambang batubara di
lokasi atau areal yang telah ditentukan sesuai dengan Kuasa Pertambangan yang
dimilikinya. Dengan demikian, unsur inipun telah terpenuhi pula.
Ad. 4. Unsur di dalam kawasan hutan
- Yang dimaksud dengan “Kawasan Hutan” menurut ketentuan Pasal 1 angka 3
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah wilayah tertentu
yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan
keberadaannya sebagai hutan tetap.
- Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan menentukan bahwa perencanaan kehutanan sebagaimana
dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a meliputi:
a. Inventarisasi hutan;
b. Pengukuhan kawasan hutan;
c. Penatagunaan kawasan hutan;
d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan.
- Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999
tentang Kehutanan ditentukan bahwa berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana
dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan
53
hutan. Sedangkan di dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan
sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan kepastian
hukum atas kawasan hutan. Selanjutnya, dalam Pasal 15 ayat (1) ditentukan bahwa
pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan
melalui proses sebagai berikut:
1. Penunjukan kawasan hutan;
2. Penataan batas kawasan hutan;
3. Pemetaan kawasan hutan; dan
4. Penetapan kawasan hutan.
- Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa penunjukan kawasan
hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:
a. Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;
b. Pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong;
c. Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan
d. Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi
yang berbatasan dengan tanah milik.
- Dalam kaitan itu yang dijadikan dasar yang substansial dari dakwaan Jaksa
Penuntut Umum adalah kawasan hutan sebagaimana Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan
Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan
Selatan, tanggal 17 Juni 1999, seluas 1.839.494 Ha;
- Berkaitan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:
453/Kpts-II/1999 tersebut serta Peta Asli sebagai lampirannya dikaitkan dengan
Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah
diuraikan di atas, maka beberapa saksi ahli yang diajukan di muka persidangan
telah memberikan pendapat (hukum), di antaranya adalah: Saksi Ahli Prof. Dr.
HM. Hadin Muhjat, SH, MH, Saksi Ahli Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, SH, MH,
Saksi Ahli Dr. H. Sadjiono, SH, MH, Saksi Edi Djaya, SH, MH (Departemen
54
Kehutanan RI), Saksi Ahli Ir. Sutaji Benu (Dinas Kehutanan Propinsil Kalimantan
Selatan), dan Saksi Ahli Prof. Dr. Zudan Fakhrulloh, SH, MH. Pendapat Saksi-
saksi Ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa:
1) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999
tersebut merupakan produk hukum yang berupa “keputusan” (beschikking)
yang bersifat internal, sehingga tidak berlaku secara umum (keluar) atau tidak
berdampak hukum keluar, akibatnya secara hukum tidak dapat dijadikan dasar
hukum untuk menentukan kebijakan-kebijakan apalagi yang berimplikasi pada
perbuatan pidana;
2) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999
tersebut hanyalah merupakan penunjukan yang merupakan tahap awal untuk
melakukan tahapan-tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan kawasan
hutan. Jadi, Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:
453/Kpts-II/1999 tersebut belum menentukan adanya kawasan hutan yang final
dan definitif;
3) Secara teoritis adanya kawasan hutan yang definitif itu ditandai dengan adanya
penetapan dari Menteri Kehutanan;
4) Oleh karena itu Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:
453/Kpts-II/1999 tersebut belum selesai/belum tuntas oleh karena pengukuhan
kawasan hutan melalui beberapa tahapan yang terdiri dari penataan batas,
pemetaan, dan penetapan, bersifat kumulatif, artinya semua harus dipenuhi atau
selesai dilaksanakan, baru ada kawasan hutan yang definitif sesuai dengan
ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-undang
Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;
5) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999
tersebut tidak termasuk dalam hirarki tata urutan peraturan perundang-
undangan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004
yang menentukan bahwa peraturan perundang-undangan selain sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum
55
mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang
lebih tinggi, antara lain Peraturan Menteri (bukan Keputusan Menteri);
Bertitiktolak dari uraian di atas maka menurut Majelis Hakim penunjukan
kawasan hutan tersebut in casu Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan
Nomor: 453/Kpts-II/1999 itu hanyalah merupakan tahapan awal dalam kegiatan
pengukuhan kawasan hutan, dengan kata lain adanya penunjukan dalam Surat
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999 itu belum
menentukan adanya kawasan hutan yang definitif atau tetap, melainkan hanya
merupakan kegiatan persiapan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan yang harus
ditindaklanjuti dengan tahapan-tahapan berikutnya, yaitu penataan batas, pemetaan,
dan penetapan, sehingga dengan berdasar pada pengukuhan kawasan hutan tersebut
kemudian Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan. Oleh karena
itu, sangatlah keliru apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa kawasan hutan
yang ditunjuk oleh Menteri walaupun belum dilakukan pengukuhan sudah
mempunyai kepastian hukum sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor
41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.
Berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas, Majelis Hakim tidak sependapat
dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena menurut Majelis Hakim unsur
“memasuki kawasan hutan” tidak terpenuhi atas perbuatan terdakwa. Oleh karena itu
salah satu unsur dari dakwaan Kesatu Primer Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi,
maka terhadap unsure-unsur selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi, dan oleh
karenanya harus dinyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan
meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu
Primer sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Kesatu Primer tersebut.
Terhadap putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin tersebut di atas, ternyata
Jaksa Penuntut Umum telah melakukan kasasi, padahal secara yuridis formal
berdasarkan pasal 244 KUHAP dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa terhadap
putusan bebas (bebas murni) tidak boleh diajukan upaya hukum kasasi. Ketentuan
KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas tidak boleh diajukan kasasi ini juga
dikuatkan oleh pendapat hukum (legal opinion) yang dikemukakan oleh beberapa
56
pakar hukum antara lain: Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Guru Besar Hukum Pidana dan
Ketua Tim RUU KUHAP), Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH (Guru Besar
Hukum Pidana Universitas Indonesia), dan Dr. Masdari Tasmin, SH, MH (Advokad
dan Dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas
Lambung Mangkurat Banjarmasin).
3.3.2. Pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Kasasi No. 1444
K/Pid.Sus/2010
Pihak Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia menerima
permohonan Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dan meregisterasi perkara tersebut
dan selanjutnya perkara tersebut diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Majelis Hakim
Agung, yang amar putusannya adalah sebagai berikut:
(1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum
pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin tersebut;
(3) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 1425/Pid.Sus/
2009/PN.Bjm, tanggal 19 April 2010;
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengadili sendiri:
(1) Menyatakan terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad Syahdan, terbukti
secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana
“Melakukan kegiatan eksploitasi dalam kawasan hutan tanpa ijin Menteri”;
(2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad
Syahdan dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun penjara;
Adapun alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam
memutuskan perkara a quo antara lain adalah sebagai berikut:61
1. Pada dasarnya dalam kasus a quo telah terdapat tumpang tindih (overlapping)
tentang pengelolaan kawasan pertambangan di wilayah Desa Makmur Mulia KM
12 Sompul, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, antara PT. HRB dengan
terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT;
61
Lihat Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 1444 K/Pid.Sus/2010, tanggal 8 Oktober 2010, h.
52-56.
57
2. Awalnya PT. HRB dengan dasar izin untuk pengelolaan kawasan hutan dari
Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 146/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari
1998 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri Pulp seluas
kurang lebih 268.585 Ha. Lokasi tersebut merupakan bagian dari seluruh kawasan
hutan di Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 Ha yang ditunjuk berdasarkan
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 tanggal 17
Juni 1999 tentang Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah
Tingkat I Kalimantan Selatan;
3. Di sisi lain terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT telah mendapatkan pula izin
resmi dari Bupati Kotabaru dan Bupati Tanah Bumbu yang terdiri dari:
a. Surat Keputusan No. 545/97.a/KP/D.PE tanggal 23 Januari 2003 tentang Kuasa
Pertambangan Eksplorasi seluas 1.904 Ha;
b. Surat Keputusan No. 545/24-EX/KP/D.PE tanggal 13 Juni 2008 tentang Kuasa
Pertambangan Eksploitasi seluas 1.812 Ha;
c. Surat Keputusan No. 545/24-PP/KP/D.PE tanggal 13 Juni 2008 tentang Kuasa
Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan;
4. Ternyata surat-surat Keputusan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Eksploitasi
yang dikeluarkan oleh Bupati Kotabaru dan Bupati Tanah Bumbu kepada PT. SBT
seluas 1.904 Ha dan 1.812 Ha tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan adalah
masuk atau terletak di Kawasan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri
(HPHTI) dari PT. HRB. Selain itu dalam Surat Keputusan Bupati Kotabaru
mengenai eksploitasi pada lampiran II Romawi V tercantum kewajiban-kewajiban
Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi maupun Eksploitasi yaitu antara lain:
“Jika terjadi pertindihan wilayah kuasa pertambangan dengan kepentingan lahan
lainnya, maka pemegang kuasa pertambangan sebelum melaksanakan kegiatan
harus terlebih dahulu menyelesaikannya dengan ketentuan yang berlaku”;
5. Dari uraian fakta-fakta tersebut di atas ternyata telah terjadi pertindihan wilayah
kuasa pertambangan dengan kepentingan lain yaitu dalam hal ini adalah antara PT.
HRB yang telah mendapatkan izin HPHTI dari Menteri Kehutanan dan
Perkebunan tersebut di atas dengan Surat Keputusan Bupati Kotabaru dan Bupati
58
Tanah Bumbu atas hak pertambangan eksplorasi dan eksploitasi atas tanah untuk
kuasa pertambangan di wilayah Desa Makmur Mulia KM 12 Sompul, Kecamatan
Satui, Kabupaten Tanah Bumbu kepada terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT.
Jika mengacu kepada Surat Keputusan Bupati pada lampiran II Romawi V tersebut
di atas, maka terdakwa sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan
Eksploitasi berkewajiban terlebih dahulu menyelesaikan masalah tumpang tindih
wilayah kuasa pertambangan tersebut kepada PT HRB sesuai dengan ketentuan
yang berlaku dan bukan kepada masyarakat yang berada di wilayah tersebut
sebagaimana terbukti dalam tanda bukti T. 465 s/d T. 668 berupa penggantian
pembebasan lahan yang menjadi areal kerja dari PT. SBT yang telah ditaksir
sejumlah kurang lebih Rp 250.000.000,-;
Ganti rugi tersebut bukan sebagai tujuan atau dimaksud untuk penyelesaian
tumpang tindih wilayah kuasa pertambangan namun sebagai ganti rugi kepada
masyarakat yang dianggap menguasai/menduduki wilayah kuasa pertambangan
yang dikelola oleh terdakwa sebagai Direktur Utama PT. SBT;
6. Seharusnya terdakwa dapat menyelesaikan terlebih dahulu Keputusan Menteri
Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tersebut di
atas dinyatakan tidak berlaku berdasarkan suatu keputusan dari instansi yang
berwenang untuk membatalkan SKEP dimaksud, karenanya sebagai akibatnya
terdakwa telah dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, untuk itu harus
dijatuhi hukuman;
7. Selain harus dilakukan uji materiel terhadap 2 (dua) Keputusan dari Pejabat
tersebut di atas, maka berdasarkan hasil titik koordinat dari Penyidik sesuai Berita
Acara Pemeriksaan lapangan dengan ditandatangani oleh BPHK yang kemudian
diproses dengan menggunakan software dan overlite kawasan hutan yang
memakai peta bersayap dengan mengacu Keputusan Menteri Kehutanan dan
Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 dengan Berita Acara Tata Batas Kelompok
Hutan Tanah Bumbu diperoleh hasil koordinat dari tanah oleh obyek sengketa
tetap berada di kawasan hutan, dan sesuai dengan peta asli berdasarkan lampiran
Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999
59
koordinat jatuh pada kawasan hutan milik PT. HRB yang dahulu namanya PT.
Menara Hutan Banua (PT. MHB);
8. Dari uraian pertimbangan tersebut di atas, maka Jaksa Penuntut Umum dapat
membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut bukan bebas murni,
karena ternyata terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana
sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Kesatu Primer;
Berdasarkan alasan-alasan di atas Mahkamah Agung berpendapat bahwa
putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.1425/PID.SUS/ 2009/PN.Bjm. tanggal
19 April 2010 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan.
Selanjutnya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut, yang pada
pokoknya mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan
Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana oleh karenanya.62
3.3.3. Pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Peninjauan Kembali
No. 157 PK/PID.SUS/2011
Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (Terdakwa)
dalam perkara a quopada pokoknya sebagai berikut:63
1. Majelis Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini pada tingkat
kasasi telah berbuat kekeliruan yaitu melanggar asas dan tidak melaksanakan
ketentuan hukum yang berlaku atau telah melakukan kekeliruan/kekhilafan atau
salah menerapkan ketentuan hukum/undang-undang sebagaimana mestinya. Hal
tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta hukum sebagai berikut:
1.1. Majelis Hakim Mahkamah Agung RI melanggar atau tidak melaksanakan
ketentuan Pasal 244 KUHAP yang dengan tegas melarang putusan bebas
untuk dilakukan upaya hukum kasasi. Padahal dalam putusan Pengadilan
Negeri Banjarmasin No. 1425/PID.SUS/2009/PN.Bjm tanggal 19 April 2010
tersebut Pemohon PK/Terdakwa telah diputus dengan putusan bebas dari
segala dakwaan alias bebas murni. Kekeliruan atau kesalahan menerapkan
62
Ibid., h. 56-57 63
Lihat Salinan Putusan MA-RI dalam tingkat PK dalam perkara Terpidana H. Parlin Riduansyah
bin Muhamad Syahdan No. 157PK/Pid.Sus/2011, tanggal 16 September 2011, h. 23-36.
60
hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut jelas merupakan
pelanggaran terhadap asas legalitas dan bertentangan dengan salah satu tujuan
hukum yaitu kepastian hukum. Di samping itu, juga merusak sendi-sendi atau
prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3)
UUD 1945.
1.2. Secara yuridis tindakan Majelis Mahkamah Agung tersebut keliru, karena
alasan-alasan dalam memori kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum
semuanya berisi penilaian terhadap fakta dan alat-alat bukti yang telah
diungkapkan secara jelas dalam pemeriksaan/persidangan di Pengadilan
Negeri Banjarmasin. Pemeriksaan terhadap hal-hal tersebut secara hukum
bukan merupakan kewenangan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat
kasasi, tetapi merupakan kewenangan Judex Fakti;
1.3. Majelis Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan dalam memutus
perkara tingkat kasasi a quo, sebab dalam pertimbangan hukum putusannya
sama sekali tidak mempertimbangkan legalitas (perizinan) yang mendasari
kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh Pemohon PK/Terdakwa.;
1.4. Majelis Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan atau kekhilafan dalam
memutus perkara tingkat kasasi a quo, karena putusannya didasarkan pada
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 dalam
menentukan kawasan hutan. Pendapat yang demikian itu keliru sebab
keputusan tersebut belum final (baru tahap awal) dalam menentukan kawasan
hutan yang definitif. (Lihat Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 41 Tahun
1999 tentang Kehutanan).
Atas alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon PK/Terdakwa tersebut
dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat:64
Mengenai alasan ad. 1.1. Alasan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena
sungguhpun dalam Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak dapat
diajukan permintaan kasasi, akan tetapi dalam praktek peradilan, Mahkamah
Agung berpendapat selaku Badan Peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk
64
Ibid., h. 36-37.
61
membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah
negara diterapkan secara tepat dan adil Mahkamah Agung wajib memeriksa
apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan
pengadilan bawahannya yang membebaskan terdakwa, yaitu guna menentukan
sudah tepat atau adilkah putusan pengadilan bawahannya itu;
Mengenai alasan-alasan ad. 1.2. s/d 1.3. yang menyatakan bahwa Mahkamah
Agung telah melampaui wewenang yaitu memeriksa bukti-bukti pada tingkat
kasasi, alasan ini juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena apabila Mahkamah
Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dapat
dibenarkan, maka Mahkamah Agung akan membatalkan putusan bebas pengadilan
bawahannya dan akan mengadili sendiri. Dalam hal ini Mahkamah Agung akan
mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku
bagi Pengadilan Tingkat Pertama sebagaimana maksud Pasal 50 ayat (2) Undang-
undang Nomot 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang
Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3
Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung;
Mengenai alasan ad. 1.4. juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena bukti baru
PK 1 sampai dengan PK 4 adalah pendapat ahli tentang suatu perkara, yang dibuat
setelah putusan perkaranya, lagi pula beda pendapat tidak dapat dijadikan alasan
hukum permohonan Peninjauan Kembali, sedangkan bukti baru PK 5, Surat Jaksa
Agung pada Menteri Kehutanan yang tidak menimbulkan keadaan baru
sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP;
Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti
dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,
maka permohonan Peninjauan Kembali dari Terdakwa tersebut harus ditolak. Oleh
karena Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani
untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali.
Mengacu pada alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan oleh Mahkamah
Agung dalam memutuskan perkara a quo, baik pada tingkat kasasi maupun tingkat
62
peninjauan kembali, maka paling tidak ada dua kritik yang dapat digunakan
sebagai pintu analisis terhadap putusan tersebut.
Pertama, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 1425/
Pid.Sus/2009/PN. Bjm, tanggal 19 April 2010, terdakwa H. Parlin Riduansyah bin
H. Muhamad Syahdan selaku Direktur PT. Satui Bara Tama telah diputus dengan
putusan bebas murni (vrijspraak), mestinya secara yuridis formal putusan yang
demikian itu menurut Pasal 244 KUHAP tidak boleh dilakukan upaya hukum
kasasi. Namun, anehnya dalam praktek di peradilan tanpa didasari alasan dan
dasar hukum yang kuat, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan upaya hukum
kasasi terhadap putusan bebas tersebut ke Mahkamah Agung dan Mahkamah
Agung menerima permohonan kasasi yang menyalahi KUHAP tersebut. Dalam
amar putusan kasasi No. 1444 K/Pid.Sus/2010, tanggal 8 Oktober 2010,
Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan Putusan
Pengadilan Negeri Banjarmasin sebagaimana tersebut di atas, dengan mengadili
sendiri menyatakan Terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Mohamad Syahdan
terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak
pidana “melakukan kegiatan eksploitasi dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri”.
Kedua, menurut hemat saya peradilan pada tingkat kasasi yang dilakukan
oleh Mahkamah Agung tersebut dapat dikualifikasikan sebagai peradilan yang
melanggar hukum formal, karena secara prosedural permohonan kasasi yang
diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum serta diterima dan dikabulkan oleh
Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP. Menurut
terdakwa, putusan kasasi a quo banyak mengandung kekeliruan dan kekhilafan
nyata baik menurut hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil. Dengan
ditemukannya beberapa keadaan baru (novum), terdakwa telah mengajukan upaya
hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali terhadap putusan kasasi a quo. Akan
tetapi, sebagaimana telah diuraikan di atas, permohonan peninjauan kembali
tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.
63
3.4. Kritik terhadap Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung RI.
Apabila dikaji secara cermat dan teliti, pertimbangan hukum Mahkamah Agung,
khususnya dalam putusan peninjauan kembali, yang menyatakan bahwa “alasan-alasan
ini tidak dapat dibenarkan oleh karena sungguhpun Pasal 244 KUHAP terhadap putusan
bebas tidak dapat diajukan permintaan kasasi, akan tetapi dalam praktik peradilan
Mahkamah Agung berpendapat selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas
untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang secara tepat dan
adil Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan
permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan
terdakwa yaitu guna menentukan sudah tepat atau adilkah putusan pengadilan
bawahannya itu”.65
Adapun kritik terhadap pertimbangan hukum Mahkamah Agung RI dalam
putusan peninjauan kembali perkara a quo adalah sebagai berikut:
1. Majelis Hakim secara tegas telah mengetahui dan mengakui bahwa Pasal 244
KUHAP telah melarang permohonan pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, akan
tetapi dengan sengaja Majelis Hakim melanggarnya. Sikap hakim yang demikian ini
merupakan tindakan yang “tidak taat norma” dan “tidak taat asas” yang sekaligus
memberikan preseden buruk dalam praktik peradilan yang tidak menjunjung tinggi
asas kepastian hukum;
2. Dalam pertimbangan hukum tersebut Majelis Hakim tidak mengemukakan secara
jelas dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim melakukan penyimpangan
terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa Majelis
Mahkamah Agung telah melakukan peradilan yang tidak benar, karena bertentangan
dengan hukum formal (Pasal 244 KUHAP) yang isinya sangat jelas dan tegas
melarang upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas;
3. Majelis Mahkamah Agung yang memutuskan perkara a quo rupanya tidak peka
memaknai jiwa (suasana kebatinan) dan latar belakang filosofis ketentuan pasal 244
KUHAP, yang pada hakikatnya antara lain bertujuan agar tidak terjadi penumpukan
65
Lihat Putusan Peninjauan Kembali No. 157 PK/PID.SUS/2011, tertanggal 16 September 2011,
h. 36
64
perkara yang diperiksa dan diadili di Mahkamah Agung dalam rangka menunjang
asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan;
4. Majelis Hakim Mahkamah Agung telah mendasarkan putusannya pada kebiasaan
atau praktik peradilan yang salah kaprah, yang bertentangan dengan hukum dan
undang-undang, sebab mengenai hal tersebut telah diatur secara jelas dan tegas dalam
Pasal 244 KUHAP. Sikap Mahkamah Agung yang demikian ini telah mencederai
penegakan hukum yang semestinya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dalam
negara hukum yang menjunjung tinggi kepastian hukum, di samping keadilan;
5. Jaksa Penuntut Umum selaku Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya kecuali
berisi penilaian atas fakta dan alat bukti serta pengulangan atas fakta-fakta dan
pembuktian dalam judex facti juga sama sekali tidak berhasil membuktikan bahwa
putusan bebas yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin bukan putusan
bebas murni atau bebas terselubung, demikian seharusnya berdasarkan Pasal 244
KUHAP Mahkamah Agung tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya dalam
tingkat kasasi.
65
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.3. Kesimpulan
Berdasarkan penelitian dan analisis masalah sebagaimana telah diuraikan pada bab
III tersebut di atas, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:
a. Legalitas izin atau Kuasa Pertambangan (KP) batubara ditentukan oleh kewenangan
dari pejabat yang menerbitkannya. Semula berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-
undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan,
KP diberikan dengan Keputusan Menteri Pertambangan (ESDM). Akan tetapi, sejak
berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah, yakni Undang-undang Nomor 22
Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004
tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk
menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berdasarkan asas praesumptio iustae
causa (vermoeden van rechtmatigheid; praesumption of legality), setiap keputusan
pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Mengacu pada asas ini
maka izin usaha pertambangan yang dimiliki oleh PT SBT secara hukum sah sebelum
ada pembatalan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengingat pengujian
terhadap keabsahan izin sebagai produk KTUN merupakan kompetensi absolut dari
Pengadilan Tata Usaha Negara.
b. Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan tidak lepas dari konsep
penegakan hukum terhadap lingkungan hidup, mengingat hutan merupakan bagian
66
dari lingkungan hidup. Sanksi pidana dalam perlindungan lingkungan hidup
dipergunakan sebagai ultimum remedium, artinya bahwa sanksi pidana dalam bidang
lingkungan, termasuk kehutanan, hanya merupakan penunjang saja bagi sanksi
lainnya seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata. Berdasarkan prinsip ini, maka
perkara izin pertambangan batubara yang diduga lokasinya bertindihan (overlapping)
dengan kawasan hutan, semestinya terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya hukum
administrasi dengan cara mengajukan gugatan terhadap keabsahan terhadap izin
usaha pertambangan tersebut di PTUN. Karena berdasarkan asas legalitas dalam
penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan hukum (rechtmatigheid van
bestuur; wetmatigheid van bestuur) yang merupakan salah satu sendi dalam konsep
negara hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum, seorang atau badan
hukum perdata yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan izin atau legalitas dari
pemerintah tidak bisa begitu saja dikriminalisasi oleh penegak hukum (polisi, jaksa,
dan hakim) dengan dalih perbuatannya melanggar Undang-undang Kehutanan, tanpa
terlebih dahulu mengajukan gugatan pembatalan terhadap izin tersebut kepada
PTUN. Penegakan hukum pidana dengan cara melanggar prinsip legalitas dan norma
hukum formal (KUHAP) merupakan kebijakan kriminalisasi yang melanggar hukum
atau merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power; detournement
du pouvoir) dalam penegakan hukum pidana.
4.2. Saran
a. Izin merupakan keputusan dari organ atau pejabat tata usaha negara yang dibuat
berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keabsahan dari sebuah izin antara lain
67
ditentukan oleh kewenangan dari organ atau pejabat yang menerbitkannya. Apabila
ada pihak ketiga atau instansi penegak hukum yang mendalihkan bahwa izin tersebut
melanggar peraturan perundang-undangan, hendaknya mereka mengajukan keberatan
terlebih dahulu kepada organ atau pejabat yang menerbitkannya atau mengajukan
gugatan pembatalan kepada PTUN. Oleh karena itu, penegak hukum hendaknya tidak
melakukan upaya kriminalisasi terhadap seseorang atau badan hukum yang
melakukan aktivitas usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh pejabat yang
berwenang berdasarkan penafsiran sendiri.
b. Dalam hal diduga terjadi tumpang tindih (overlapping) kawasan hutan dan area
pertambangan sebagai akibat dari adanya dua KTUN yang diterbitkan oleh organ atau
pejabat tata usaha negara yang masing-masing memiliki kewenangan sendiri-sendiri
berdasarkan undang-undang sektoral, maka hendaknya penyelesaiannya terlebih
dahulu dilakukan melalui mekanisme hukum administrasi dengan cara menguji
keabsahan masing-masing KTUN.
68
DAFTAR PUSTAKA
Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012
Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-segi Pidana, Rineka Cipta,
Jakarta, 1997, h. 16-17.
Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,
Bandung 1983
Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum
Administrasi. Alumni, Bandung, 1985
Ateng Syafrudin, Pengurusan Perizinan (Licensing Handling), Pusat Pendidikan dan Pelatihan
St. Aloysius, Bandung, t.t.
Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam
Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas
Indonesia, Jakarta, 1990
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005
Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing, St. Paul
Minnesota, 1990
Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,
Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993
Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, PT
Alumni, Bandung, 2004
Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Apakah Teori Hukum itu?, Terjemahan B. Arief Sidharta,
FH Unpar, Bandung, 2000
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,
Malang, 2006
Marbun, S.F., Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,
Yogyakarta, 1997
Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,
PT Binacipta, Jakarta, t.t.
Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila, Rajawali, Jakarta,
1983
69
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005
Philipus M. Hadjon, et.all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University
Press, Yogyakarta, 1993
-------, “Asas Legalitas Keputusan Pemerintahan”, Pendapat Hukum, 12 Maret 2011
Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984
Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2003
Sajuti Thalib, Kuasa Pertambangan di Indonesia, Akademi Geologi dan Pertambangan,
Bandung, 1977
Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,
Bandung, t.t.
Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994
Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,
1986
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,
Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &
Huma, Jakarta, 2002
Soetaryo Sigit, Analisis Kebijakan Sektor Pertambangan Indonesia, Makalah Jurusan Teknik
Pertambangan FTM-ITB, Bandung, 27 September 1997
Spelt, N.M., dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M.
Hadjon, Utrecht, 1991
Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,
Bandung, 1992
Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty,Yogyakarta, 1996
Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal
Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1974
-------, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994
Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Universitas
Airlangga, Surabaya, 2002
Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri
Padjadjaran, Bandung, 1960
70
Von Schmid, J.J., Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, Terjemahan Wiratno
dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, PT Pembangunan, Jakarta, 1959
Widjaja, A.W., Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Cetakan Kedua, Jakarta, 1999
http://lutfichakim.blogspot.com/2011/12/penegakan-hukum-perizinan.html, 19 Desember 2011.