kata pengantar - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 kata pengantar dengan memanjatkan puji dan...

70
1

Upload: others

Post on 29-Jul-2021

1 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

1

Page 2: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

2

Page 3: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

3

KATA PENGANTAR

Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian

dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang Izin Usaha Pertambangan

Batubara: Studi Kasus PT Satui Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu

Kalimantan Selatan, dapat diselesaikan dengan baik.

Kasus PT Satui Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan

menarik diteliti, mengingat dari segi legalitas PT Satui Baratma (PT SBT) sebagai

perusahaan pertambangan telah memiliki izin resmi dari pemerintah daerah untuk

menjalankan kegiatan usaha pertambangan, dalam hal ini berupa Kuasa

Pertambangan Batubara. Namun, lokasi tambang PT SBT yang sudah ditentukan

berdasarkan KP tersebut oleh penegak hukum diduga tumpang tindih (overlapping)

dengan kawasan hutan. Oleh karena itu, menurut versi penegak hukum, tindakan

yang dilakukan oleh PT SBT yang melakukan kegiatan pertambangan berdasarkan

KP tersebut dinyatakan sebagai tindak pidana terhadap Undang-undang Kehutanan.

Tetapi, dari versi penasehat hukum PT SBT, kegiatan usaha pertambangan batubara

yang dilakukan oleh SBT adalah legal dan bukan merupakan tindak pidana, karena

dilakukan berdasarkan izin pertambangan (KP) dari pejabat yang berwenang dan

tidak berada di kawasan hutan. Apabila lokasi tambang yang ditentukan dalam izin

dianggap tumpang tindih dengan kawasan hutan, semestinya penegak hukum atau

pihak-pihak terkait mengajukan keberatan kepada pejabat yang menerbitkan izin atau

mengajukan gugatan pembatalan izin ke Peangadilan Tata Usaha Negara. Mengingat

izin merupakan produk hukum Keputusan Tata Usaha Negara.

Penelitian ini dilakukan berkat kerjasama dengan Tim Pengacara yang

menangani kasus tersebut yang diketuai oleh Saudara H. Fikri Chairman, SH, MH,

M.Si., yang berkantor pusat di Banjarmasin Kalimantan Selatan.

Pada kesempatan ini, penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih

kepada Saudara H. Fikri Chairman, SH, MH, M.Si., atas kerjasamanya, terutama

berkat bantuan bahan-bahan penelitian berupa dokumen-dokumen perizinan, putusan

pengadilan, dan lain-lain yang terkait dengan penanganan kasus tersebut. Di samping

itu, penulis juga ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada semua pihak yang

membantu penelitian ini, terutama kepada Dekan Fakultas Hukum Universitas Islam

yang telah memberikan izin dan persetujuannya dalam melakukan penelitian ini.

Kritik dan saran yang konstruktif sangat diharapkan dari semua pihak demi

perbaikan laporan penelitian ini.

Malang, 1 Juli 2014

Page 4: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

4

ABSTRAK

Kriminalisasi terhadap Pemegang Izin Usaha Pertambangan Batubara

Batubara merupakan salah satu bahan galian yang bersifat vital dan strategis. Hal

ini menyebabkan batubara mempunyai kedudukan yang sangat penting dalam

menunjang pembangunan di Indonesia. Pasca berlakunya Undang-undang Otonomi

Daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan dalam penguasaan dan pengelolaan

sumber daya alam batubara, termasuk menerbitkan Kuasa Pertambangan (KP) atau Izin

Usaha Pertambangan (IUP) batubara.

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis persoalan legalitas KP atau IUP

batubara yang diterbitkan oleh pemerintah daerah dan tindakan kriminalisasi terhadap

pemegang KP atau IUP batubara yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang

lokasinya tumpang tindih (overlapping) dengan kawasan hutan.

Penelitian ini penelitian yuridis normatif yang mengkaji secara kritis dan

komprehensif mengenai kebijakan kriminalisasi oleh penegak hukum terhadap PT Satui

Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu Kalimantan Selatan selaku pemegang izin usaha

pertambangan batubara yang mendapatkan izin resmi dari pemerintah daerah yang

diduga berlokasi di kawasan hutan, dan oleh karena itu oleh penegak hukum dipandang

melanggar ketentuan pidana dalam Undang-undang Kehutanan.

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa: (1) KP atau IUP pada hakikatnya

merupakan salah satu bentuk perizinan yang memberikan dasar hukum bagi

pemegangnya untuk melakukan usaha pertambangan. Izin dalam hukum administrasi

merupakan Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN), karena itu pengujian terhadap

keabsahan KTUN merupakan kompetensi absolut dari Peradilan Tata Usaha Negara.

Dengan demikian, selama KTUN belum dicabut atau dibatalkan, maka secara yuridis

formal KTUN tersebut tetap sah sesuai dengan asas praesumptio iustae causa

(vermoeden van rechtmatigheid; praesumption of legality). (2) Penyelesaian terhadap

KP atau IUP batubara yang diduga tumpang tindih dengan kawasan hutan terlebih

dahulu harus diselesaikan secara administratif dengan cara mengajukan gugatan

terhadap keabsahan KP atau IUP di PTUN. Seorang atau badan hukum perdata yang

melaksanakan kegiatan usaha pertambangan berdasarkan izin tidak bisa begitu saja

dipidanakan dengan dalih izinnya melanggar peraturan perundang-undangan, tanpa

terlebih dahulu mengajukan gugatan pembatalan kepada PTUN. Penegakan hukum

pidana yang dilakukan dengan cara melanggar prinsip dan norma hukum formal

merupakan tindakan kriminalisasi dalam bentuk penyalahgunaan kekuasaan.

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka kepada penegak hukum (polisi, jaksa,

hakim) disarankan untuk tidak melakukan kriminalisasi kepada penambang yang

melakukan kegiatan usaha pertambangan berdasarkan KP atau IUP yang dimilikinya.

Apabila ada pihak ketiga atau instansi penegak hukum yang mendalilkan bahwa KP atau

IUP melanggar ketentuan pidana dalam Undang-undang Kehutanan hendaknya

mengajukan keberatan terlebih dahulu kepada pejabat yang menerbitkan KP/IUP atau

mengajukan gugatan pembatalan KP/IUP ke PTUN.

Kata Kunci: Kriminalisasi; Pemegang Izin Usaha Pertambangan

Page 5: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

5

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL …………………………………………………………………… i

HALAMAN PERSETUJUAN …………………………………………………………. ii

KATA PENGANTAR…………………………………………………………………. iii

ABSTRAK....…………………………………………………………………………... iv

DAFTAR ISI …………………………………………………………………………… v

BAB I PENDAHULUAN ……………………………………………………………. 7

1.1. Latar Belakang Masalah ............................................................................7

1.2. Rumusan Masalah …………..………………………………………… 14

1.3. Tujuan Penelitian ………….……………………………………………14

1.4. Manfaat Penelitian ...…………….……….……………………………. 15

1.5. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep …..……………………….….. 15

1.5.1. Teori Negara Hukum ………………..……………………..…...15

1.5.2. Teori Penegakan Hukum Pidana …………………………..….. 17

1.5.3. Konsep Kewenangan ………………………………………...… 18

1.5.4. Konsep Perizinan ……………………………………………… 22

1.5.5. Penegakan Hukum Perizinan ………………………………….. 25

1.5.6. Konsep Kuasa Pertambangan ……………………………….… 27

1.5.7. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan ……………. 30

1.5.8. Perubahan Konsep dari Kontrak Pertambangan ke Izin

Usaha Pertambangan …………………………………………... 33

BAB II METODE PENELITIAN …………………………………………………… 35

2.1. Jenis Penelitian ………………………………………………………….. 35

2.2. Pendekatan Penelitian …………………………………………………... 36

2.3. Bahan Hukum Penelitian ………………………………………………... 36

2.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum Penelitian ..……….... 38

Page 6: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

6

BAB III HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MASALAH ……………………… 40

3.1. Legalitas Perusahaan Pertambangan Batubara PT. Satui Bara Tama di

Kalimantan Selatan ……………………………………………………... 40

3.2. Tindakan Kriminalisasi terhadap Direktur Utama PT. Satui Bara Tama

di Kalimantan Selatan ……………………………………………………42

3.3. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan terhadap Direktur Utama

PT. SBT …………………………………………………………………. 43

3.3.1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri

Banjarmasin No. 1425/Pid.Sus/2009/PN. ……………………...… 44

3.3.2. Pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Kasasi

No. 1444 K/Pid.Sus/2010 ………………………………………… 56

3.3.3. Putusan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Peninjauan

Kembali No. 157 PK/PID.SUS/2011 …………………….………. 59

3.4. Kritik terhadap Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung RI ….………. 63

BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN ……………………………………………… 65

4.1. Kesimpulan .……………………………………………………………. 65

4.2. Saran …………………………………………………………………….. 66

DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………………… 68

Page 7: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

7

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang Masalah

Pada Tahun 2003 PT Satui Barata Tama (PT SBT) selaku perusahaan yang

bergerak di bidang pertambangan mengajukan permohonan izin Kuasa Pertambangan

kepada Bupati Kotabaru selaku pejabat yang menurut peraturan perundangan berwenang

untuk itu. Bupati Kotabaru, setelah meneliti dan mempelajari persyaratan-persyaratan

yang diajukan oleh PT SBT telah mengabulkan permohonan tersebut dengan

menerbitkan produk-produk hukum perizinan sebagai berikut:

1. Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor: 545/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian

Kuasa Pertambangan Eksplorasi tertanggal 20 Januari 2003 seluas 1.904 ha untuk

jangka waktu 3 (tiga) tahun;

2. Surat Keputusan Bupati Kotabaru Nomor: 545/31.I/KP.D.PE tentang Pemberian

Kuasa Pertambangan Eksploitasi (KTB. 0304KP00025) tertanggal 15 April 2003

untuk jangka waktu 5 (lima) tahun terhitung sejak SK tersebut diterbitkan (2003) dan

dapat diperpanjang.

Terbitnya produk-produk hukum perizinan tersebut didasarkan dan mengacu pada

Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang Revisi Rencana

Tata Ruang Kabupaten Kotabaru dan peraturan perundang-undangan lainnya yang

relevan. Berdasarkan Peraturan Daerah tersebut di atas, koordinat areal Kuasa

Pertambangan yang diberikan oleh Bupati Kotabaru kepada PT SBT seperti tercantum

dalam point 2 .a dan b di atas tidak termasuk di dalam kawasan hutan, tetapi termasuk di

dalam Kawasan Budi Daya Tanaman Tahunan Perkebunan (KBTTP).

Setelah PT SBT memperoleh izin berupa Kuasa Pertambangan dari Bupati

Kotabaru, sebagai tidak lanjutnya maka pada tahun 2003 itu juga Bupati Kotabaru

mengirim surat kepada Camat dan Kepala Desa yang ada dalam wilayah hukum lokasi/

areal Kuasa Pertambangan PT SBT yang isinya agar Camat dan para Kepala Desa

membuat Pengumuman kepada warga masyarakat dengan maksud agar warga

Page 8: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

8

masyarakat yang merasa memiliki atau ada hak lain atas lahan yang berada di dalam

lokasi/ areal Kuasa Pertambangan PT SBT segera melaporkan diri kepada PT SBT

selaku pemegang kuasa pertambangan. Pengumuman tersebut dilakukan selama 4

(empat) bulan.

Dengan adanya pengumuman tersebut banyak warga masyarakat yang datang

melapor dan mengklaim kepada PT SBT bahwa mereka memiliki atau mempunyai hak

atas lahan yang berada dalam areal Kuasa Pertambangan PT SBT dengan membawa

surat bukti kepemilikan atau bukti hak berupa Surat Keterangan di atas kertas bermeterai

(Segel) yang ditandatangani oleh Kepala Desa dan Camat setempat. Sedangkan PT

Menara Hutan Banua (PT MHB) yang selanjutnya berganti nama PT Hutan Rindang

Banua (PT HRB) tidak pernah melaporkan dan melakukan klaim kepada PT SBT.

Dalam menyikapi laporan dan klaim dari warga masyarakat tersebut, PT SBT

terlebih melakukan penelitian yang seksama baik mengenai keabsahan dan keaslian

surat bukti haknya maupun mengenai kesesuaiannya dengan Tata Ruang Kabupaten

Kotabaru seperti yang diatur dalam Peraturan Daerah Kabupaten Kotabaru Nomor 3

Tahun 2002 tentang Revisi Tata Ruang Kabupaten Kotabaru.

Dari hasil penelitian yang dilakukan oleh PT SBT tersebut dapat diketahui ternyata

memang banyak lahan milik anggota masyarakat yang termasuk dalam lokasi atau areal

lahan Kuasa Pertambangan PT SBT. Sehingga sesuai dengan persyaratan dan kewajiban

yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan bagi setiap pemegang kuasa

pertambangan, maka berdasarkan hasil musyawarah dan mufakat dengan pemilik lahan

tersebut PT SBT telah melakukan pembebasan terhadap lahan milik anggota masyarakat

tersebut dan kepada mereka telah dilakukan pembayaran ganti rugi yang besarnya atau

jumlah uang ganti ruginya sesuai dengan kesepakatan.

Setelah dilakukan pembayaran ganti rugi, berdasarkan perizinan berupa Kuasa

Pertambangan (KP) yang dikeluarkan oleh pejabat yang berwenang, PT SBT memulai

melakukan kegiatan-kegiatan sesuai dengan Kuasa Pertambangan yaitu melakukan

penyelidikan umum, eksplorasi dan eksploitasi di areal KP sesuai dengan koordinat yang

tercantum dalam KP yang dimilikinya. Selama PT SBT melakukan kegiatan tersebut

tidak pernah ada gangguan dan tegoran-tegoran baik dari pihak Pemerintah Daerah

Page 9: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

9

maupun pihak lainnya, termasuk dari pihak Instansi Kehutanan. Oleh karena itu, PT

SBT yakin bahwa segala kegiatan yang dilakukannya itu legal dan telah sesuai dengan

peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Pada tahun 2003 terjadi pemekaran Kabupaten Kotabaru, sehingga wilayah

Kabupaten Kotabaru yang lama terbagi menjadi dua, yaitu Kabupaten Kotabaru dan

Kabupaten Tanah Bumbu. Sebagai akibat terjadinya pemekaran tersebut, lokasi atau

areal KP milik PT SBT yang terletak di Desa Sungai Cuka Kecamatan Satui tersebut di

atas menjadi termasuk dalam wilayah hukum kabupaten pemekaran, yaitu Kabupaten

Tanah Bumbu. Oleh karena itu, sesuai dengan ketentuan dan prosedur yang berlaku

maka PT SBT selaku pemegang KP telah melaporkan dan melegalisir dokumen-

dokumen perizinan KP yang dimilikinya itu di Kantor Kabupaten Pemekaran, yakni

Kabupaten Tanah Bumbu.

Selanjutnya, pada sekitar tahun 2007 ada himbauan berupa Surat Edaran dari

Gubernur Kalimantan Selatan kepada warga Kalimantan Selatan yang menguasai atau

mengusahakan atau mengelola lahan pertambangan yang termasuk dalam kawasan hutan

agar mengajukan Permohonan Pinjam Pakai kepada Menteri Kehutanan. Tetapi, PT

SBT hingga saat ini tidak pernah mengajukan permohonan pinjam pakai kepada Menteri

Kehutanan, karena PT SBT memiliki izin berupa Kuasa Pertambangan yang diterbitkan

oleh Bupati Kotabaru, selaku pejabat yang berwenang untuk itu menentukan bahwa

lokasi atau areal tambang PT SBT tidak termasuk dalam kawasan hutan, tetapi berada

dalam Kawasan Tanaman Budi Daya Pertanian atau Perkebunan, sehingga anjuran atau

himbauan pinjam pakai kepada Menteri itu sama sekali tidak relevan untuk PT SBT.

Untuk mendapatkan kepastian hukum apakah areal atau lokasi Kuasa

Pertambangan PT SBT itu termasuk dalam kawasan hutan atau tidak, pada tanggal 16

Pebruari 2007 PT SBT meminta Advice Planning kepada Badan Perencanaan

Pembangunan Daerah (BAPPEDA) Kabupaten Tanah Bumbu selaku lembaga

Pemerintahan Daerah yang mengetahui dan berwenang untuk itu. Berdasarkan

permohonan yang diajukan oleh PT SBT tersebut, maka PT SBT telah memperoleh

jawaban dari BAPPEDA seperti termuat dalam suratnya tertanggal 17 Pebruari 2007

yang pada dasarnya menyatakan bahwa: “areal atau lokasi KP dari PT Satui Bara

Page 10: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

10

Tama berada dalam Kawasan Tanaman Budi Daya Pertanian”, artinya tidak berada di

dalam kawasan hutan.

Berdasarkan jawaban dari BAPPEDA Kabupaten Tanah Bumbu tersebut, maka PT

SBT melanjutkan kegiatan eksploitasinya seperti semula dalam koordinat areal KP yang

dimilikinya. Demikian pula, berdasarkan jawaban dari BAPPEDA tersebut PT SBT

bertambah yakin bahwa kegiatan penambangan batubara yang selama ini dilakukan di

koordinat lokasi KP yang dimilikinya itu telah benar dan tidak bertentangan dengan

hukum yang berlaku. Pihak PT SBT berpandangan bahwa penjelasan atau jawaban dari

BAPPEDA yang menyatakan bahwa areal Kuasa Pertambangan PT SBT tidak termasuk

dalam kawasan hutan merupakan jawaban yang benar secara hukum (legal) dan tidak

menyesatkan masyarakat. Oleh karena itu, berdasarkan asas kepercayaan dalam

penyelenggaraan hukum dan pemerintahan, maka PT SBT tidak mengajukan

permohonan pinjam pakai lahan kepada Menteri Kehutanan dan Surat Edaran Gubernur

tersebut sama sekali dipandang tidak relevan dengan Kuasa Pertambangan dan kegiatan

penambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT.

Pada tahun 2008, Kuasa Pertambangan PT SBT telah berakhir masa berlakunya,

oleh karena itu PT SBT mengajukan permohonan perpanjangan pertama kepada Bupati

Tanah Bumbu. Berdasarkan permohonan perpanjangan ini, Bupati Tanah Bumbu telah

menerbitkan: Surat Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor: 545/24-EX/KP/D.PE

tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT

Satui Bara Tama tertanggal 13 Juni 2008 dan Keputusan Bupati Tanah Bumbu

Nomor: 545/24-PP/KP/D.PE tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa

Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan kepada PT Satui Bara Tama tertanggal 13

Juni 2008. Dengan dikabulkannya Permohonan Penjangan Pertama Kuasa Pertambangan

oleh Pejabat yang berwenang untuk itu, maka PT SBT semakin yakin bahwa segala

kegiatan penambangan batubara yang telah dilakukan selama ini telah benar dan sesuai

dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku dan tidak ada perbuatan melawan

hukum yang dilakukannya.

Keyakinan PT SBT bahwa eksploitasi tambang batubara yang dilakukannya bukan

merupakan perbuatan melawan hukum atau tindak pidana didasarkan pada kedua Surat

Page 11: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

11

Keputusan (SK) Bupati tersebut di atas, mengingat dasar dan acuan hukum dari kedua

SK Perpanjangan dari Bupati Tanah Bumbu tersebut di atas adalah Peraturan Daerah

Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 29 Tahun 2005 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Tanah Bumbu (Perda RTRW). Peraturan Daerah RTRW Kabupaten Tanah

Bumbu ini dalam bagian konsiderannya memperhatikan juga Peraturan Daerah

Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang RTRW Kabupaten Kotabaru sebagai

Kabupaten Induk.

Menurut Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 29 Tahun 2005

tentang RTRW Kabupaten Tanah Bumbu (yang menjadi dasar Perpanjangan KP PT

SBT), lokasi atau areal Kuasa Pertambangan PT Satui Bara Tama yang izinnya

diperpanjang tersebut koordinatnya tetap berada di Kawasan Budidaya Tanaman

Tahunan Pertanian, bukan berada dalam kawasan hutan. Dengan demikian, secara legal

formal, aktivitas pertambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT di areal KP

berdasarkan izin atau perpanjangan izin dari pejabat yang memiliki kewenangan untuk

menerbitkan dan memperpanjang izin bukanlah perbuatan melawan hukum, baik dari

aspek hukum administrasi maupun hukum pidana.

Apabila ada pertindihan (overlapping) dalam pemberian izin usaha pertambangan

(dalam hal ini KP) kepada PT SBT oleh Bupati Kotabaru dan diperpanjang oleh Bupati

Tanah Bumbu (daerah pemekaran Kabupaten Kotabaru) di areal atau kawasan yang

menurut Perda RTRW termasuk kawasan budidaya pertanian, sementara pada areal atau

kawasan yang sama PT Hutan Rindang Banua (PT HRB) juga mengklaim telah

memperoleh izin pengusahaan hutan berupa HPHTI dari Kementerian Kehutanan.

Adanya pertindihan atau benturan kawasan dalam pemberian izin pertambangan di satu

pihak dan izin pengusahaan hutan di pihak lain oleh pejabat yang berbeda itu disebabkan

oleh adanya konflik kewenangan (conflict of authority) dari masing-masing instansi

yang berbeda yang bersumber dari adanya konflik norma (conflict of norms) peraturan

perundang-undangan sektoral yang menjadi dasar kewenangannya. Persoalannya adalah

bagaimana mekanisme penentuan peruntukan suatu kawasan, khususnya kawasan hutan

yang ada di daerah, berdasarkan peraturan perundang-undangan? Apakah penentuan

peruntukan suatu kawasan hutan di daerah mengacu pada Perda RTRW berdasarkan

Page 12: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

12

prinsip otonomi daerah atau berdasarkan keputusan sentralistik dari pemerintah pusat

(dalam hal ini Kementerian Kehutanan)?

Dalam kasus izin penambangan batubara PT SBT di Kalimantan Selatan,

tampaknya telah terjadi kriminalisasi terhadap perbuatan hukum dari suatu badan hukum

(dalam hal ini PT SBT) yang melakukan kegiatan eksploitasi pertambangan batubara

berdasarkan izin yang diterbitkan oleh Bupati Kotabaru dan diperpanjang oleh Bupati

Tanah Bumbu sebagai dari pemekaran dari Kabupatan Kotabaru. PT SBT merasa yakin

bahwa izin usaha pertambangan batubara yang diterbitkan dan diperpanjang oleh

Pemerintah Daerah tersebut adalah benar dan telah sesuai dengan kewenangan yang

dimiliki oleh Pemerintah Daerah berdasarkan prinsip otonomi daerah. Namun, menurut

aparat penegak hukum, aktivitas pertambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT di

area KP yang telah mendapatkan izin dari Pemerintah Daerah tersebut dipandang

sebagai tindak pidana, karena izin tersebut menurut penegak hukum berada di area

wilayah hutan. Oleh karena itu, menurut aparat penegak hukum, kegiatan pertambangan

batubara yang dilakukan PT SBT dinyatakan sebagai tindak pidana kehutanan

berdasarkan Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan. Padahal,

berdasarkan izin dan perpanjangan izin usaha pertambangan dalam bentuk Kuasa

Pertambangan (KP) yang diterbitkan oleh Bupati Kotabaru dan diperpanjang oleh Bupati

Tanah Bumbu dengan mengacu pada Perda RTRW Kabupaten Kotabaru dan Kabupaten

Tanah Bumbu tersebut di atas berada dalam kawasan tanaman budi daya pertanian atau

perkebunan, bukan dalam kawasan hutan.

Secara kronologis, tindakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum

(dalam hal ini kepolisian) adalah sebagai berikut:

1. Pada hari Selasa tanggal 2 Desember 2008, tanpa adanya pemberitahuan terlebih

dahulu, beberapa aparat dari Badan Reserse Kriminal, Direkotorat V/ Tindak Pidana

Tertentu (Tipiter) Mabes Polri bersama aparat Ditreskrim Polda Kalimantan Selatan

bertempat di lokasi Kuasa Pertambangan (KP) telah menghentikan aktivitas

penambangan yang dilakukan oleh PT SBT di areal atau lokasi pertambangan

batubara yang dimilikinya. Pada hari itu juga dilakukan police line dalam areal

tambang serta dilakukan pula penyegelan terhadap alat-alat yang terdiri dari: (a) 5

Page 13: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

13

(lima) unit Exapator; (b) 3 (tiga) unit Dozer; (c) 10 (sepuluh) unit Dump Truk; (d)

Batubara hasil tambang sebanyak kurang lebih 7.000. MT (Tujuh Ribu Metric Ton).

2. Berdasarkan Surat Tanda Terima Badan reserse Kriminal Polri-Direktorat V/Tindak

Pidana Tertentu No. Pol.: STP/06/XII/2008/Tipiter, tertanggal 2 Desember 2008

bahwa tindakan penyegelan yang dilakukan terhadap barang-barang hak milik PT

SBT serta police line itu adalah sebagai bukti dalam tindak pidana dalam bidang

kehutanan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 78 ayat (2), ayat (6) jo. Pasal 50 ayat

(3) huruf a dan huruf g Undang-Undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan.

3. Pada tanggal 19 Desember 2008 telah dilakukan penahanan oleh pihak Polda

Kalimantan Selatan terhadap Direktur Utama PT SBT, yaitu H. Parlin Riduansyah,

dengan tuduhan telah melakukan tindak pidana dalam bidang kehutanan, yaitu

melakukan kegiatan penambangan batubara di dalam kawasan hutan tanpa adanya

Izin dari Menteri Kehutanan sebagaimana dimaksud dalam pasal-pasal ketentuan

Undang-undang Kehutanan seperti tersebut di atas.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, permasalahan hukum (legal issues) yang

menarik untuk diteliti dan dianalisis ialah mengapa penegak hukum melakukan tindakan

kriminalisasi terhadap PT. SBT yang melakukan kegiatan usaha sesuai dengan izin

pertambangan batubara yang diterbitkan oleh pemerintah daerah yang lokasinya diduga

bertindihan (overlapping) dengan kawasan hutan?

1.3. Tujuan Penelitian

Sesuai dengan rumusan masalah tersebut di atas, tujuan penelitian ini adalah

untuk: menemukan dan menganalisis landasan dan pertimbangan hukum yang

digunakan penegak hukum (kepolisian, kejaksaan dan pengadilan) dalam melakukan

tindakan kriminalisasi terhadap PT. SBT yang melakukan kegiatan penambangan

batubara sesuai dengan izin atau kuasa pertambangan dari pemerintah daerah.

Page 14: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

14

1.4. Manfaat Penelitian

Manfaat yang diharapkan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1.4.1. Manfaat Teoritis

a. Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran atau memberikan

solusi dalam bidang hukum terkait dengan persoalan kriminalisasi dalam pemberian

perizinan pertambangan di suatu area atau lokasi yang diduga bertindihan dengan

kawasan hutan.

b. Penelitian ini juga dapat dijadikan rujukan (referensi) bagi para peneliti lain yang

ingin mengkaji secara mendalam tentang praktek penegakan hukum dalam bidang

perizinan pertambangan batubara.

1.4.2. Manfaat Praktis

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi para

pihak dalam rangka meningkatkan kepastian hukum dalam perizinan dan penegakan

hukum pertambangan batubara, khususnya bagi:

a. Pejabat pemerintah yang memiliki kewenangan memberikan izin baik di tingkat pusat

maupun daerah;

b. Aparatur penegak hukum, dalam hal ini kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan, dalam

menangani kasus pertambangan batubara.

1.5. Landasan Teori dan Penjelasan Konsep

1.5.1. Teori Negara Hukum

Teori pertama yang dipergunakan untuk menganalisis persoalan hukum yang

dibahas dalam penelitian ini adalah teori negara hukum. Dipilihnya teori ini disamping

karena pertimbangan negara Indonesia telah menyatakan diri sebagai negara hukum,1

juga karena teori negara hukum menjunjung tinggi adanya sistem hukum yang menjamin

kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak-hak rakyat.

H.D. van Wijk dan Konijnenbelt mengutarakan bahwa konsep negara hukum

memiliki unsur-unsur utama, yaitu: (a) pemerintahan menurut hukum (rechtsmatig

1 Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 Pasca Amandemen secara tegas menyatakan “Negara Indonesia

adalah negara hukum”.

Page 15: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

15

bestuur); (b) hak-hak asasi manusia; (c) pembagian kekuasaan; dan (d) pengawasan oleh

kekuasaan peradilan. Begitu pula menurut Zippelius, konsep negara hukum memiliki

unsur-unsut utama: (a) pemerintahan menurut hukum; (b) jaminan terhadap hak-hak

asasi; (c) pembagian kekuasaan; dan (d) pengawasan yustisial terhadap pemerintah.2

Di negara-negara Anglo-Saxon (Anglo-Amerika), pemahaman terhadap negara

hukum umumnya mengikuti konsep “Rule of Law” dari A.V. Dicey dengan unsur-unsur

utama: supremacy of law, equality before the law, dan the constitution based on

individual rights.3 Sementara, konsep negara hukum yang dianut negara Indonesia

tidaklah dalam artian formal, melainkan dalam artian materiil yang juga diistilahkan

dengan negara kesejahteraan (Welfare State) atau “negara kemakmuran”.4 Tujuan yang

hendak dicapai oleh negara hukum Indonesia adalah terwujudnya masyarakat adil dan

makmur baik spiritual maupun materiil yang merata berdasarkan Pancasila. Dengan

demikian, negara Indonesia ialah negara hukum (rechtsstaat) berdasarkan Pancasila.5

Sebagai negara hukum, menurut Sri Soemantri Martosoewignjo, ada 4 (empat)

unsur atau ciri dasar yang dijumpai dan diterapkan dalam proses penyelenggaraan

pemerintahan di Indonesia, yakni:

a. bahwa pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus

berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan;

b. adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara);

c. adanya pembagian kekuasaan dalam negara;

d. adanya pengawasan dari badan-badan peradilan.6

Berdasarkan keempat unsur negara hukum seperti di atas, unsur semua tindakan

termasuk tindakan pemerintah harus berdasarkan atas hukum dan adanya jaminan

2 A. Hamid S. Attamimi, Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas Indonesia, Jakarta,

1990, h. 311 3 J.J. Von Schmid, Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, Terjemahan Wiratno dan

Djamaluddin Dt. Singomangkuto, PT Pembangunan, Jakarta, 1959, h. 248.

4 E. Utrecht, Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri

Padjadjaran, Bandung, 1960, h. 21-22.

5 Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila, Rajawali, Jakarta,

1983, h. 2.

6 Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, 1992, h. 29.

Page 16: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

16

(termasuk melalui ketentuan) terhadap hak-hak asasi manusia menjadi dasar pembenar

perlunya perlindungan kelestarian fungsi lingkungan hidup, antara lain melalui sistem

pengelolaan lingkungan melalui instrumen hukum perizinan yang berwawasan

lingkungan hidup dalam rangka mewujudkan pembangunan yang berkelanjutan.

1.5.2. Teori Penegakan Hukum Pidana

Inti penegakan hukum, menurut Soerjono Soekanto, adalah keserasian

hubungan antara nilai-nilai yang terjabarkan dalam kaidah-kaidah yang mantap dan

berwujud dengan perilaku sebagai rangkaian penjabaran nilai tahap akhir untuk

menciptakan, memelihara dan mempertahankan kedamaian pergaulan hidup. Lebih

lanjut dikatakan bahwa penegakan hukum bukanlah semata-mata berarti pelaksanaan

perundang-undangan, walaupun kenyataan di Indonesia kecenderungannya adalah

demikian.7

Lebih lanjut, Satjipto Rahardjo8 menjelaskan bahwa hakikat dari penegakan

hukum adalah suatu proses untuk mewujudkan keinginan-keinginan atau ide-ide hukum

menjadi kenyataan. Keinginan-keinginan hukum adalah pikiran-pikiran badan

pembentuk undang-undang yang berupa ide atau konsep-konsep tentang keadilan,

kepastian hukum dan kemanfaatan sosial yang dirumuskan dalam peraturan hukum itu.

Menurut Alam Setia Zain, dalam sistem penegakan hukum nasional, pemidanaan

tidak dimaksudkan untuk menderitakan atau merendahkan martabat manusia selaku

anggota masyarakat. Sebaliknya, pemidanaan merupakan penegakan norma hukum demi

perlindungan masyarakat, sekaligus koreksi terhadap pelaku tindak pidana untuk

menjadikannya orang baik dan berguna sehinga mampu hidup bernegara dan

bermasyarakat. Pemidanaan termasuk suatu langka penyelesaian konflik yang timbul

dalam tindak pidana yang dipulihkan dan diseimbangkan kembali agar tercipta rasa

tenteram dan aman di tengah kehidupan masyarakat.9

7 Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,

1986, h. 3. 8 Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,

Bandung, t.t., h. 15 dan 24. 9 Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-segi Pidana, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997, h. 16-17.

Page 17: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

17

Sedangkan penegakan hukum pidana, menurut Soejono, adalah keseluruhan

proses penanganan pidana sejak dari penyelidikan, penyidikan, penuntutan (termasuk

pra-penuntutan), pemeriksaan di pengadilan, upaya hukum dan eksekusi.10

Dengan mengacu pada beberapa pendapat ahli hukum sebagaimana tersebut di

atas, maka yang dimaksudkan dengan penegakan hukum dalam tulisan ini adalah upaya

menanggulangi kejahatan dalam rangka memberikan perlindungan terhadap perbuatan

anti sosial yang merugikan dan membahayakan masyarakat. Oleh karena itu tujuan dari

penegakan hukum adalah untuk menanggulangi kejahatan. Kegiatan pertambangan baik

yang dilakukan di luar maupun di dalam kawasan hutan (yang mendapatkan izin atau

hak pakai dari Kementerian Kehutanan) yang merusak atau mencemari lingkungan

hidup merupakan tindakan atau perbuatan anti sosial yang apabila dibiarkan berlarut-

larut dapat membahayakan kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya perlu

ditanggulangi dengan perangkat hukum, khususnya hukum pidana.

Dengan penegakan hukum pidana tersebut diharapkan sekaligus dapat

memperbaiki pelaku kejahatan atau berusaha mengubah dan mempengaruhi tingkah

lakunya agar kembali patuh pada hukum dan menjadi warga masyarakat yang baik dan

berguna dan sekaligus upaya menyelesaikan konflik yang ditimbulkan oleh tindak

pidana dapat memulihkan keseimbangan dan mendatangkan rasa damai dalam

masyarakat.

1.5.3. Konsep Kewenangan

Dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia, istilah “kewenangan” atau

“wewenang” dapat ditemukan baik dalam konsep hukum publik maupun hukum privat.

Secara umum istilah wewenang dalam konsep hukum sering disejajarkan dengan istilah

bevoegdheid yang dalam Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia

berarti “wewenang atau kekuasan”,11

atau istilah authority yang dalam Black’s Law

10

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994, h. 3. 11

N.E. Algra, et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,

Bandung 1983, h. 74.

Page 18: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

18

Dictionary berarti: “right to exercise powers; to implement and enforce laws”.12

Oleh

karena itu, menurut Mochtar Kusumaatmadja, seseorang yang mempunyai wewenang

formal (formal authority) dengan sendirinya mempunyai kekuasaan untuk melakukan

suatu tindakan tertentu sesuai dengan ketentuan-ketentuan hukum yang mengatur

tentang pemberian wewenang itu.13

Pada dasarnya secara yuridis konsep wewenang (authority) selalu berkaitan

dengan kekuasaan (power) yang berdasarkan hukum, baik cara memperolehnya maupun

cara menggunakannya. Kekuasaan yang diperoleh dan dipergunakan berdasarkan hukum

yang demikian ini dalam kepustakaan lazim disebut “legal power” atau “rechtsmacht”.

Istilah “power” dalam hal ini berarti: “an ability on the part of a person to produce a

change in a given legal relation by doing or not doing a given act”.14

Oleh karena itu,

seperti halnya istilah “tangung jawab” dan “kewajiban” sebagaimana tersebut di atas,

dalam kepustakaan maupun undang-undang seringkali istilah “wewenang” dan

“kekuasaan” juga seringkali dipakai secara bergantian untuk menyebut makna yang

sama.

Sebagai konsekuensi dari negara hukum, wajib adanya jaminan bagi pemerintah

sebagai alat perlengkapan negara untuk dapat menjalankan pemerintahan dan warga

negara memiliki hak untuk memperoleh jaminan perlindungan atas apa yang dilakukan

oleh pemerintah. Oleh karena itu, kekuasaan pemerintah tidak lepas dari prinsip legalitas

yang di satu pihak bertujuan untuk menjamin kepastian hukum dan dasar kewenangan

dalam bertindak dan di lain pihak bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum

bagi setiap orang dari kemungkinan tindakan sewenang-wenang yang dilakukan oleh

pemerintah. Dengan asas legalitas (wetmatigheid van bestuur), kekuasaan dan

wewenang bertindak pemerintah sejak awal sudah dapat diprediksi. Wewenang

pemerintah yang didasarkan kepada ketentuan perundang-undangan memberikan

kemudahan bagi masyarakat untuk mengetahuinya, sehingga masyarakat dapat

12

Henry Campbell Black, Black’s Law Dictionary, 6th

Edition, West Publishing, St. Paul

Minnesota, 1990, h. 133 13

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

PT Binacipta, Jakarta, t.t., h. 4. 14

Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 1169.

Page 19: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

19

menyesuaikannya.15

Konsekuensi dari asas tersebut berarti setiap tindakan badan/pejabat

tata usaha negara harus berdasarkan undang-undang formal, sebagai manifestasi adanya

pengakuan dan penghargaan terhadap kedaulatan rakyat.16

Ruang lingkup wewenang pemerintah dipengaruhi oleh karakteristik tugas yang

dibebankan kepadanya. Tugas pemerintah adalah mengikuti tugas negara, yaitu

menyelenggarakan sebagian dari tugas negara sebagai organisasi kekuasaan. Adapun

tugas pemerintah, menurut Mac Iver dapat digolongkan menjadi tiga, yaitu: (1) cultural

function, (2) general welfare function, (3) economic control function.17

Di Indonesia

tugas pemerintah harus sesuai dengan tujuan dibentuknya pemerintah Indonesia menurut

Pembukaan UUD 1945 adalah “ . . . melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh

tumpah darah Indonesia dan untuk memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan

kehidupan bangsa dan . . . .”

Berdasarkan uraian tersebut di atas, berarti negara Indonesia menganut paham

negara kesejahteraan yang tidak jauh berbeda negara-negara lain yang menganut paham

yang sama. Dalam rangka menjalankan tugas sesuai tujuan negara tersebut, pemerintah

yang merupakan salah satu penyelenggara negara harus diberikan kewenangan yang

tepat dan jelas maksud dan tujuannya. Sifat wewenang pemerintahan yang jelas maksud

dan tujuannya itu terikat pada waktu tertentu dan tunduk pada batasan-batasan hukum

tertulis dan hukum tidak tertulis. Sedangkan isinya dapat bersifat umum (abstrak)

misalnya membuat suatu peraturan (regulasi) dan dapat pula konkrit dalam bentuk

keputusan pemberian izin atau suatu rencana.18

Adapun sumber wewenang pemerintah, dalam hukum administrasi dikenal tiga

sumber kewenangan pemerintah, yaitu atribusi, delegasi, dan mandat.

Atribusi adalah kekuasaan pemerintah yang langsung diberikan oleh undang-

undang. H.D. van Wijk memberikan pengertian “atributie” sebagai pemberian

15

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993, h. 84. 16

S.F. Marbun, Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, 1997, h. 158. 17

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, PT

Alumni, Bandung, 2004, h. 36. 18

S.F. Marbun, Op. Cit., h. 154.

Page 20: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

20

wewenang pemerintahan oleh pembuat undang-undang kepada organ pemerintah.19

Sedang, Indroharto mengatakan bahwa “atributie” adalah pemberian wewenang

pemerintah yang baru oleh suatu ketentuan perundang-undangan baik yang diadakan

oleh original legislator maupun delegated legislator.20

Adanya pengaruh perubahan

pandangan dari wetmatigheid van bestuur menjadi rechtsmatigheid van bestuur

mempengaruhi juga konsep atribusi. Sumber wewenang pemerintah tidak lagi semata-

mata dari undang-undang sebagai produk originaire wetgevers, melainkan dari

perundang-undangan sebagai produk gedelegeerde wetgevers yang dipegang

pemerintah.

Delegasi, menurut van Wijk adalah: “overdracht van een bevoegdheid van het een

bestuursorgaan aan een ander” (penyerahan wewenang pemerintahan dari suatu badan

atau pejabat pemerintah kepada badan atau pejabat pemerintah yang lain). Setelah

wewenang diserahkan, pemberi wewenang tidak mempunyai wewenang lagi.21

Delegasi

hanya dapat dilakukan apabila badan yang melimpahkan wewenang sudah mempunyai

wewenang melalui atribusi lebih dahulu. Karena itu, delegasi oleh Indroharto diartikan

sebagai pelimpahan suatu wewenang yang sudah ada oleh badan atau pejabat pemerintah

yang telah memperoleh wewenang pemerintah secara atribusi kepada badan atau pejabat

pemerintah lain.22

Menurut van Wijk, wewenang yang didapat dari delegasi dapat

disubdelegasikan lagi kepada subdelegataris. Ketentuan delegasi mutatis mutandis

berlaku juga untuk subdelegasi.23

Selanjutnya, wewenang yang diperoleh melalui atribusi maupun delegasi dapat

dimandatkan kepada badan atau pegawai bawahan, apabila pejabat yang memperoleh

wewenang itu tidak sanggup melakukan sendiri. Melalui mandat, suatu organ

pemerintah mengizinkan kewenangannya dijalankan oleh organ lain atas namanya.

Berbeda dengan delegasi, pada mandat, mandans (pemberi mandat) tetap berwenang

untuk melakukan sendiri wewenangnya apabila ia menginginkan, dan memberi petunjuk

19

Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 49. 20

Indroharto, Op. Cit., h. 91. 21

Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 50-51. 22

Indroharto, Loc. Cit. 23

Irfan Fachruddin, Op. Cit., h. 52.

Page 21: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

21

kepada mandataris mengenai apa yang diinginkannya. Mandans tetap bertanggung

jawab atas tindakan yang dilakukan mandataris. Indroharto menambahkan bahwa pada

mandat tidak terjadi perubahan wewenang yang sudah ada dan merupakan hubungan

internal pada suatu badan, atau penugasan bawahan melakukan suatu tindakan atas nama

dan atas tanggung jawab mandans.24

Atribusi, delegasi dan mandat merupakan sumber wewenang yang sangat penting

bagi suatu negara hukum demokratis, sebab sesuai dengan salah satu asas negara hukum

demokratis adalah setiap tindakan pemerintah harus dilakukan berdasarkan wewenang

yang dimiliknya, baik wewenang yang diperoleh secara atributif maupun berdasarkan

delegasi atau mandat. Persoalannya adalah apakah izin yang diberikan oleh pemerintah

kepada perseorangan atau badan usaha swasta dapat dianalogikan sebagai delegasi

wewenang atau mandat pemerintah kepada perseorangan atau badan usaha swasta yang

diberi izin? Untuk itu perlu dipahami dulu tentang konsep perizinan dalam perspektif

hukum administrasi.

1.5.4. Konsep Perizinan

Perizinan merupakan bentuk jamak dari kata “izin” yang oleh Poerwadarminta

diartikan dengan “perkenan atau pernyataan mengabulkan tiada melarang atau surat

yang menyatakan boleh melakukan sesuatu”.25

Dalam Blak’s Law Dictionary, izin

(license) berarti: “a permit, granted by an appropriate govermental body, generally for a

consideration, to a person, firm, or corporation to pursue some occupation or to carry

on some business subject to regulation . . . A license is not a contract between the state

and the licensee, but is a mere personal permit”.26

Di dalam kamus istilah hukum, izin (vergunning) dijelaskan sebagai perkenan atau

izin dari pemerintah yang disyaratkan untuk perbuatan yang pada umumnya

memerlukan pengawasan khusus, tetapi yang pada umumnya tidaklah dianggap sebagai

24

Indroharto, Op. Cit., h. 92. 25

W.J.S. Poerwadarminta, Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984, h. 390. 26

Henry Campbell Black, Op. Cit., h. 920

Page 22: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

22

hal-hal yang sama sekali tidak dikehendaki.27

Menurut Sjahran Basah, izin adalah

perbuatan hukum administrasi negara bersegi satu yang mengaplikasikan peraturan

dalam hal konkret berdasarkan persyaratan dan prosedur sebagaimana ditetapkan oleh

ketentuan peraturan perundang-undangan.28

Sedangkan, Bagir Manan mengatakan

bahwa izin dalam arti luas berarti suatu persetujuan dari penguasa berdasarkan peraturan

perundang-undangan untuk memperbolehkan melakukan tindakan atau perbuatan

tertentu yang secara umum dilarang.

Pengertian izin, menurut Spelt dan ten Berge, ialah “suatu persetujuan dari

penguasa berdasarkan undang-undang atau peraturan pemerintah, untuk dalam keadaan

tertentu menyimpang dari ketentuan-ketentuan larangan perundangan”.29

Izin menurut

Ateng Syafrudin berarti dan bertujuan menghilangkan halangan, atau hal yang dilarang

menjadi boleh.30

Dengan memberi izin, pemerintah (Pejabat Tata Usaha Negara)

memperkenankan orang yang memohonnya untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu

yang sebenarnya dilarang.

Izin adalah salah satu instrumen yang paling banyak digunakan dalam hukum

administrasi. Pemerintah menggunakan izin sebagai sarana yuridis untuk mengendalikan

tingkah laku para warga.31

Perizinan merupakan bagian dari hubungan hukum antara

pemerintah (administrasi) dengan warga masyarakat dalam rangka menjaga

keseimbangan kepentingan warga masyarakat dengan lingkungannya dan upaya

mewujudkan kepastian hukum bagi anggota masyarakat yang berkepentingan.32

Perizinan, menurut Spelt dan ten Berge adalah izin dalam arti luas, sedangkan izin

dalam arti sempit disebut “izin” saja. Izin (dalam arti sempit) lebih lanjut dibedakan

dengan bentuk-bentuk perizinan lainnya seperti dispensasi, konsesi, rekomendasi, tanda

27

http://lutfichakim.blogspot.com/2011/12/penegakan-hukum-perizinan.html, 19 Desember

2011. 28

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2003, h. 152 29

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M.

Hadjon, Utrecht, 1991, h. 3. 30

Ateng Syafrudin, Pengurusan Perizinan (Licensing Handling), Pusat Pendidikan dan Pelatihan

St. Aloysius, Bandung, t.t., h. 9. 31

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Loc. Cit. 32

Ateng Syafrudin, Op. Cit., h. 4.

Page 23: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

23

daftar, surat persetujuan, dan pendaftaran.33

Sejalan dengan pembedaan ini, Tatiek Sri

Djatmiati mengemukakan “perizinan dapat berbentuk pendaftaran, rekomendasi,

sertifikasi, penentuan kuota, dan izin melakukan suatu usaha”.34

Pendapat yang hampir

sama juga dikemukakan A.M. Donner yang mengemukakan perizinan (vergunningen)

dibedakan dalam 3 (tiga) katagori, yakni lisensi, dispensasi, dan konsesi.35

Bentuk perizinan adalah keputusan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk hal

yang konkrit dan merupakan pelaksanaan dari peraturan perundang-undangan yang

bersifat umum atau mengatur kepentingan umum. Oleh karena itu, perizinan dalam

hukum administrasi (negara) termasuk dalam kategori “beschikking”, yang dalam

Undang-undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara disebut

dengan istilah Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN). KTUN adalah suatu penetapan

tertulis yang dikeluarkan oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang berdasarkan

peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat konkrit, individual dan final,

yang menimbulkan akibat hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.

Mengacu pada beberapa pengertian di atas, maka unsur-unsur yang dapat dijumpai

dalam pengertian izin, adalah: (a) adanya suatu tindakan hukum pemerintah berupa

suatu penetapan yang merupakan persetujuan membebaskan pemohon dari suatu

larangan; (b) adanya syarat-syarat tertentu yang harus dipenuhi oleh si pemohon untuk

adanya pembebasan; dan (c) penetapan dilakukan melalui prosedur tertentu.

Menurut Spelt dan ten Berge, ada lima motif atau tujuan yang mendasari

penetapan perizinan oleh pemerintah, yakni:

a. keinginan mengarahkan atau mengendalikan (“sturen”) aktivitas-aktivitas

tertentu;

b. untuk mencegah bahaya bagi lingkungan (izin-izin lingkungan);

c. keinginan melindungi obyek-obyek tertentu (izin terbang, izin membongkar

pada monumen-monumen);

33

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit., h. 1-2. 34

Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Universitas Airlangga,

Surabaya, 2002, h. 16. 35

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum

Administrasi, Alumni, Bandung, 1985, h. 123.

Page 24: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

24

d. hendak membagi benda-benda yang sedikit (izin penghuni di daerah padat

penduduk);

e. pengarahan, dengan menyeleksi orang-orang dan aktivitas-aktivitas.36

Motif atau tujuan perizinan lebih diarahkan kepada perlindungan obyek

perizinan. Motif atau tujuan perizinan juga berkaitan dengan perlindungan subyek atau

pihak yang menerima perizinan. Sebagai bagian dari produk hukum, perizinan tentunya

juga memberikan jaminan kepastian hukum bagi pihak yang menjadi subyek atau

penerima suatu perizinan berkenaan dengan keberlangsungan kegiatan dan/atau usaha

yang menjadi obyek perizinan dari gangguan pihak lain.

Ditinjau dari akibat hukumnya, izin adalah KTUN yang menciptakan hukum

(konstitutif). Ini berarti bahwa dengan pemberian izin dibentuk suatu hubungan hukum

tertentu. Dalam hubungan hukum ini oleh organ pemerintahan diciptakan hak-hak (izin)

dan kewajiban-kewajiban tertentu bagi yang berhak menurut ketentuan. Ketentuan

adalah syarat-syarat yang menjadi dasar bagi organ pemerintahan memberikan izin.

Syarat-syarat yang ditentukan dalam permohonan izin berhubungan erat dengan fungsi

sistem perizinan sebagai salah satu instrumen pengarah (pengendalian) dari pemerintah

(penguasa).

1.5.5. Penegakan Hukum Perizinan

Dalam suatu negara hukum, pengawasan terhadap tindakan pemerintahan

dimaksudkan sebagai suatu upaya preventif agar pemerintah dalam menjalankan

aktivitasnya sesuai dengan norma-norma hukum. Pengawasan juga dimaksudkan sebagai

upaya represif untuk mengembalikan pada situasi sebelum terjadinya pelanggaran

norma-norma hukum. Di samping itu, yang terpenting adalah bahwa pengawasan ini

diupayakan dalam rangka memberikan perlindungan hukum bagi masyarakat.

Sarana penegakan hukum itu di samping pengawasan adalah sanksi. Sanksi

merupakan bagian penting dalam setiap peraturan perundang-undangan. Sanksi biasanya

36

N.M. Spelt dan J.B.J.M. ten Berge, Op. Cit., h. 4-5.

Page 25: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

25

diletakkan pada bagian akhir setiap peraturan yang dalam bahasa Latin dapat disebut in

cauda venenum, artinya di ujung suatu kaidah hukum terdapat sanksi.37

Arti sanksi adalah reaksi tentang tingkah laku, dibolehkan atau tidak dibolehkan

atau reaksi terhadap pelanggaran norma, menjaga keseimbangan dalam kehidupan

masyarakat.38

Dalam Hukum Adminisrasi Negara dikenal beberapa macam sanksi,

yaitu:39

a. Paksaan Pemerintah (Bestuurdwang);

b. Penarikan kembali keputusan (ketetapan) yang menguntungkan;

c. Pengenaan denda administratif ;

d. Pengenaan uang paksa oleh pemerintah (dwangsom).

Dwangsom dapat diuraikan sebagai tindakan-tindakan yang nyata dari penguasa

guna mengakhiri suatu keadaan yang dilarang oleh suatu kaidah hukum administrasi

atau (bila masih) melakukan apa yang seharusnya ditinggalkan oleh para warga karena

bertentangan dengan undang-undang.40

Pengenaan denda adminsitratif dimaksudkan untuk menambah hukuman yang

pasti, terutama denda administrasi yang terdapat dalam hukum pajak. Pembuat undang-

undang dapat memberikan wewenang kepada organ pemerintah untuk menjatuhkan

hukuman yang berupa denda terhadap seseorang yang telah melakukan pelanggaran

peraturan perundang-undangan.41

Adapun kegunaan sanksi adalah sebagai berikut:42

a. Pengukuhan perbuatan secara norma.

b. Alat pemaksa bertindak sesuai dengan norma.

c. Untuk menghukum perbuatan/tindakan diangap tidak sesuai dengan norma.

d. Merupakan ancaman hukuman terhadap pelanggaran norma.

37

http://lutfichakim.blogspot.com/2011/12/penegakan-hukum-perizinan.html, 19 Desember 2011 38

A.W. Widjaja, Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Cetakan Kedua, Jakarta, 1999, h. 21 39

Philipus M. Hadjon, et.all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 1993, h. 245 40

Ibid, h. 246 41

Ridwan HR, Op.Cit, h. 246 42

A.W Widjaja, Op.Cit, hlm.21

Page 26: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

26

1.5.6. Konsep Kuasa Pertambangan

Istilah kuasa pertambangan untuk pertama kalinya digunakan dalam Undang-

Undang Nomor 37 Prp. Tahun 1950 tentang Pertambangan. Semula kuasa pertambangan

dimaksudkan sebagai pengganti konsesi (concessie) atau hak pertambangan yang diatur

dalam Indische Minjwet 1899 yang berlaku di Hindia Belanda sejak pada tahun 1907

dan berdasarkan Pasal II Aturan Peralihan UUD 1945 masih diberlakukan hingga tahun

1960, yakni sejak berlakunya Undang-Undang Nomor 44 Prp. Tahun 1960 tentang

Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

Meskipun demikian, kuasa pertambangan dimaksudkan sebagai pengganti hak

pertambangan, namun dari optik hukum administrasi negara terdapat perbedaan antara

keduanya. Bagaimanakah pengertian dan apa saja yang mendasari perbedaan itu?

Bagaimanakah bentuk-bentuk kuasa pertambangan dan kaitannya dengan ajaran

kewenangan. Sebagaimana dijelaskan pada bagian terdahulu bahwa kuasa pertambnagan

adalah salah satu bentuk perizinan atau dasar hukum untuk melakukan usaha

pertambangan.43

Bermacam bentuk perizinan atau dasar hukum melakukan usaha pertambangan

menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan (untuk selanjutnya disingkat UUUP 1967) dan Undang-Undang Nomor

44 Prp. Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi.

a. Surat Keputusan Penugasan Pertambangan.

b. Surat Keputusan (Izin) Pertambangan Rakyat.

c. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan.

d. Surat (Izin) Pertambangan Daerah.

e. Kontrak Karya (KK).

f. Kontrak Kerjasama (dengan BUMN) dan Perjanjian Karya Pengusahaan

Pertambangan Batubara (PKP2B).

g. Kontrak Production Sharing (Perjanjian Bagi Hasil).

43

Bentuk kuasa pertambangan diperjelas dalam Penjelasan Umum 2a Peraturan Pemerintah

Nomor 32 Tahun 1969 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-

ketentuan Pokok Pertambangan.

Page 27: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

27

Berdasarkan jenis-jenis dasar hukum dalam melakukan pengusahaan

pertambangan di atas, pada pokoknya dapat dibedakan menjadi dua, yaitu melalui izin

pertambangan dalam bentuk kuasa pertambangan dan melalui perjanjian/kontrak

kerjasama. Dari ke tujuh jenis dasar hukum pengusahaan pertambangan berdasarkan

pembagian tersebut, maka poin 1 sampai dengan poin 4 dikualifikasikan sebagai izin

usaha pertambangan dalam bentuk kuasa pertamabangan dan poin 5 sampai dengan poin

7 dikualifikasikan sebagai dasar hukum untuk melakukan usaha pertambangan yang

lahir dari perjanjian/kontrak kerja sama baik antara pemerintah dengan perusahaan

swasta asing dalam rangka PMA maupun antara pemegang kuasa pertambangan dengan

perusahaan swasta nasional/asing (PMA/PMDN).

Pemberian Kuasa Pertambangan merupakan kekuasaan negara dalam lingkup

mengatur (regeleren), sedangkan pengusahaan pertambangan berdasarkan kontrak kerja

merupakan kekuasaan negara dalam lingkup mengurus (besturen).44

Mengingat karakteristik usaha pertambangan yang beresiko tinggi dan tidak

quick yielding, maka usaha pertambangan mutlak memerlukan jaminan kepastian hukum

dan perizinan yang berkesinambungan (conjuctive title).45

Sebelum istilah kuasa

pertambangan dikenalkan dalam Undang-Undang Pokok Pertambangan 1967, istilah

yang dikenal untuk semua bentuk izin melakukan usaha pertambangan adalah hak-hak

pertambangan.46

Kuasa pertambangan yang terdiri atas kata: “kuasa” dan “pertambangan”.

Pengertian “kuasa” (volmacht, gezag, authority) adalah wewenang atas sesuatu atau

untuk menentukan dengan (memerintah, mewakili, mengurus),47

sedangkan pengertian

“pertambangan” (mijnbouw, mining) ialah kegiatan teknologi dan bisnis yang berkaitan

dengan industri pertambangan mulai dari prospeksi, eksplorasi, evaluasi, penambangan,

pengolahan, pemurnian, pengangkutan sampai pemasaran. Dengan demikian, “kuasa

44

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012, h. 80 45

Soetaryo Sigit, Analisis Kebijakan Sektor Pertambangan Indonesia, Makalah Jurusan Teknik

Pertambangan FTM-ITB, Bandung, 27 September 1997, h. 5. 46

Sajuti Thalib, Kuasa Pertambangan di Indonesia, Akademi Geologi dan Pertambangan,

Bandung, 1977, h. 2. 47

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Balai

Pustaka, Jakarta, h. 533.

Page 28: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

28

pertambangan” (mining authorisation) adalah wewenang yang diberikan kepada badan/

perseorangan untuk melakukan usaha pertambangan. Namun, kuasa pertambangan

bukanlah satu-satunya instrumen atau cara bagi badan hukum atau perseorangan untuk

melakukan usaha pertambangan. Sebab usaha pertambangan dapat juga dilakukan oleh

badan hukum melalui perjanjian kerjasama dengan pemerintah. Dengan demikian,

hakikat kuasa pertambangan adalah pemberian wewenang/izin kepada seorang atau

badan hukum untuk melakukan usaha pertambangan. Apabila dibandingkan dengan

konsesi (consessie) pertambangan di masa berlakunya Indische Mijnwet 1899, maka

kuasa pertambangan dan konsesi pertambangan terdapat persamaan, yaitu keduanya

sebagai dasar yang memberi izin untuk melakukan usaha pertambangan. Di samping

persamaan itu, terdapat pula perbedaan yang prinsipil antara keduanya sebagai berikut:48

a. Konsesi adalah hak pertambangan yang luas dan kuat, artinya pemegang konsesi

langsung menjadi pemilik atas bahan galian yang diusahakannya, sedangkan kuasa

pertambangan hanyalah kekuasaan untuk melakukan usaha pertambangan dan tidak

memberikan hak pemilikan atas bahan galian yang diusahakannya.

b. Konsesi pertambangan adalah hak kebendaan (property rights), sehingga dapat

dijadikan sebagai jaminan hipotik sedangkan kuasa pertambangan merupakan izin

usaha untuk melakukan kegiatan pertambangan pada tempat (areal) tertentu.

c. Konsesi pertambangan diatur bersamaan dengan hak-hak lain yang lebih luas,

sedangkan kuasa pertambangan diatur secara terpisah dengan hak-hak atas sumber

daya alam lainnya yang terkait dengan usaha pertambangan (tanah, hutan,

perkebunan dan lain-lain).

d. Konsesi pertambangan diberikan kepada badan hukum atau perorangan yang tunduk

kepada hukum Pemerintah Hindia Belanda, sedangkan kuasa pertambangan diberikan

kepada mereka yang tunduk kepada hukum Indonesia.

Menurut Sutedi,49

baik kuasa pertambangan maupun konsesi tidaklah patut

dibedakan dari aspek publik atau privatnya, tetapi sebaiknya dipahami sebagai izin yang

diberikan oleh yang mempunyai kewenangan (berwenang) untuk melakukan usaha

48

Adrian Sutedi, op. cit., h. 81-82 49

Sutedi, op. cit., h. 83

Page 29: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

29

pertambangan. Oleh sebab itu, baik pemegang konsesi maupun kuasa pertambangan

dalam menjalankan usahanya memadukan atau senantiasa menyeimbangkan kedua

kepentingan, yaitu kepentingan perusahaan dengan profit oriented-nya dan kepentingan

publik dengan public service-nya.

Kuasa pertambangan diberikan oleh pemerintah kepada badan hukum atau

perseorangan melalui surat keputusan dalam bentuk izin (vergunning) baik berupa

konsesi maupun pertambangan. Keputusan tersebut, merupakan salah satu instrumen

yuridis pemerintahan untuk melakukan tindakan-tindakannya.

Berdasarkan Pasal 15 ayat (3) UUPP 1967 kuasa pertambangan diberikan dengan

Keputusan Menteri (ESDM) keputusan (beschikking) berisi wewenang yang diberikan

kepada badan hukum atau perseorangan untuk melakukan usaha pertambangan pada

wilayah dan areal tertentu. Sumber kewenangan Menteri ini adalah Pasal 4 ayat (1) jo.

Pasal 15 ayat (3) UUPP 1967. Sumber kewenangan yang bersumber dari undang-undang

tersebut disebut atribusi, artinya kewenangan secara jelas dan tegas ditentukan dalam

Undang-Undang Pertambangan.

Kewenangan Menteri secara atributif di atas, kemudian dilimpahkan kepada

Direktur Jenderal Pertambangan Umum melalui Surat Keputusan Menteri Pertambangan

dan Energi Nomor 2027/K/201/MPE/1985 tanggal 18 September 1985 tentang

Pelimpahan Wewenang Pemberian Kuasa Pertambangan dan Perpanjangan Kuasa

Pertambangan serta Pengaturannya. Dalam Diktum Surat Keputusan Pelimpahan

Wewenang tersebut Direktur Jenderal Pertambangan Umum diberikan kewenangan

untuk menandatangani keputusan pemberian kuasa pertambangan. Selain itu, juga

diinstruksikan kepada Direktur Jenderal Pertambangan Umum untuk menetapkan

peraturan-peraturan pelaksanaan dari keputusan tersebut yang meliputi tata cara

pengajuan dan penialaian permohonan kuasa pertambangan, serta kewajiban-kewajiban

pemegang kuasa pertambangan.

1.5.7. Surat Keputusan Pemberian Kuasa Pertambangan

Surat keputusan pemberian kuasa pertambangan diberikan oleh Menteri ESDM

kepada BUMN, Perusahaan Daerah, Koperasi Pertambangan, Perusahaan swasta dan

Page 30: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

30

perorangan untuk melakukan usaha pertambangan. Pemberian kuasa pertambangan

berbeda dengan bentuk kuasa pertambangan lainnya yang lebih khusus. Pemberian

kuasa pertambangan selain subjek hukum yang dapat diberikan bervariasi juga

pemberian kuasa pertambangan disesuaikan dengan jenis usaha pertambangan yang

dilakukan. Jenis usaha yang dimaksud, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 14 UUPP

1967 adalah: (a) penyelidikan umum; (b) eksplorasi; (c) eksploitasi; (d) pengolahan/

pemurnian; (e) pengangkutan dan; (f) penjualan.

Pemberian kuasa pertambangan kepada badan hukum atau perseorangan dilakukan

dengan suatu bentuk keputusan (beschikking) dari pejabat tata usaha negara (dalm hal

ini, Menteri ESDM) yang berisi sejumlah wewenang dan kewajiban yang berhubungan

dengan usaha pertambangan.

Undang-Undang Dasar 1945 Pasal 33 ayat (3) menegaskan bahwa bumi, air, dan

kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan

untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Mengingat mineral dan batubara sebagai

kekayaan alam yang terkandung di dalam bumi merupakan sumber daya alam yang tidak

terbarukan, pengelolaannya perlu dilakukan seoptimal mungkin, efisien, transparan,

berkelanjutan, dan berwawasan lingkungan, serta berkeadilan memperoleh manfaat

sebesar-besar bagi kemakmuran rakyat secara berkelanjutan.

Guna mematuhi ketentuan Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 tersebut,

telah diterbitkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan

Pokok Pertambangan. Undang-undang tersebut selama lebih kurang empat dasawarsa

sejak diberlakukannya telah dapat memberikan sumbangan yang penting bagi

pembangunan nasional.

Dalam perkembangan lebih lanjut, undang-undang tersebut yang materi

muatannya bersifat sentralistik sudah tidak sesuai dengan perkembangan situasi

sekarang dan tantangan di masa depan. Di samping itu, pembangunan pertambangan

harus menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan strategis, baik bersifat nasional

maupun internasional. Tntangan utama yang dihadapi oleh pertambangan mineral dan

batubara adalah pengaruh globalisasi yang mendorong demokratisasi, otonomi daerah,

Page 31: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

31

hak asasi manusia, lingkungan hidup, perkembangan teknologi dan informasi, hak atas

kekayaan intelektual, serta tuntutan peran swasta dan masyarakat.

Untuk menghadapi tantangan lingkungan strategis dan menjawab sejumlah

permasalahan tersebut, perlu disusun peraturan perundang-undangan baru di bidang

pertambangan mineral dan batubara yang dapat memberikan landasan hukum bagi

langka-langka pembaruan dan penataan kembali kegiatan pengelolaan dan pengusahaan

pertambangan mineral dan batubara. Undang-undang ini mengandung pokok-pokok

pikiran sebagai berikut:

a) Mineral dan batubara sebagai sumber daya yang tak terbarukan dikuasai oleh negara

dan pengembangan serta pendayagunaannya dilaksanakan oleh pemerintah dan

pemerintah daerah bersama pelaku usaha.

b) Pemerintah selanjutnya memberikan kesempatan kepada badan usaha yang

berbadan hukum Indonesia, koperasi, perseorangan, maupun masyarakat setempat

untuk melakukan pengusahaan mineral dan batubara berdasarkan izin, yang sejalan

dengan otonomi daerah, diberikan oleh pemerintah dan/atau pemerintah daerah

sesuai dengan kewenangannya masing-masing.

c) Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dan otonomi daerah, pengelolaan

pertambangan mineral dan batubara dilaksanakan berdasarkan prinsip eksternalitas,

akuntabilitas, dan efisiensi yang melibatkan pemerintahdan pemerintah daerah.

d) Usaha pertambangan harus memberi manfaat ekonomi dan sosial yang sebesar-

besar bagi kesejahteraan rakyat Indonesia.

e) Usaha pertambangan dapat mempercepat pengembangan wilayah dan mendorong

kegiatan ekonomi masyarakat/pengusaha kecil dan menengah serta mendorong

tumbuhnya industri penunjang pertambangan.

f) Dalam rangka terciptanya pembangunan berkelanjutan, kegiatan usaha

pertambangan harus dilaksanakan dengan memperhatikan prinsip lingkungan hidup,

transparansi, dan partisipasi masyarakat.

Dengan demikian, dengan adanya Ketentuan Pertambangan Mineral dan Batubara

Nomor 4 Tahun 2009 yang baru, diperkenalkan Izin Usaha Pertambangan di Wilayah

Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak dipergunakan lagi Perjanjian Kontrak

Page 32: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

32

Karya bagi Investor Pertambangan Umum yang mengajukan izin usaha pertambangan

umum.

Konsep dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan pertambangan umum

yang 30 tahun yang lalu adalah melalui perjanjian, dengan adanya undang-undang yang

baru ini, akan diubah berbentuk pemberian izin usaha pertambangan.

Selain Izin Usaha Pertambangan (IUP) di atas, terdapat juga Izin Pertambangan

Rakyat (IPR) untuk melakukan aktivitas pertambangan di WPR (Wilayah Pertambangan

Rakyat) dan ada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan aktivitas

kegiatan pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK).

1.5.8. Perubahan Konsep dari Kontrak Pertambangan ke Izin Usaha

Pertambangan

Sungguh sangat menarik untuk menelusuri konsep hukum pertambangan umum

dan mineral di Indonesia. Semula, berdasarkan Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967,

perjanjian pertambangan umum di Indonesia dalam prakteknya adalah berbentuk

Perjanjian Kontrak Karya (Contract of Work) yang berlaku untuk jangka waktu tertentu.

Dalam Perjanjian Kontrak Karya ini, pihak yang mendatangani adalah Menteri

Pertambangan Umum selaku wakil dari Pemerintah yang mendapatkan wewenang

Kuasa Pertambangan dari rakyat Indonesia berdasarkan ketentuan peraturan

pertambangan umum yang berlaku, di satu pihak, dengan Pihak Kontraktor

Pertambangan Umum, di pihak lain.

Dalam Kontrak Karya ini sudah diatur adanya beberapa tahapan kegiatan mulai

dari Penyelidikan Umum, Pertambangan Eksplorasi, Eksploitasi, Pengelolaan dan

Pemurnian, Produksi, Pengangkutan dan Penjualan.

Hal di atas adalah sesuai dengan prinsip pemberian Kuasa Pertambangan Bahan

Galian Starategis dan Bahan Galian Vital atas tahapan usaha pertambangan yang

meliputi usaha pertambangan di atas. Ketentuan dasarnya yang dahulu adalah Undang-

undang Nomor 11 Tahun 1967 dan Peraturan Pemerintah Nomor 32 Tahun 1969 berikut

peraturan pelaksanaannya yang dikeluarkan oleh Menteri Pertambangan dan Energi dari

waktu ke waktu.

Page 33: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

33

Pada saat itu, Pemerintah Daerah Propinsi memberikan Surat Izin Pertambangan

Daerah (SIPD) sebagai Kuasa Pertambangan bahan galian bukan strategis dan bukan

vital (bahan galian C) atas 5 usaha pertambangan umum yang dilaksanakan secara

bertahap berupa: SIPD Explorasi, SIPD Exploitasi, SIPD Pengolahan dan

Pemurnian, SIPD Pengangkutan, SIPD Penjualan.

Konsep kepemilikan dari kekayaan alam bangsa Indonesia yang berasal dari

Bahan Galian Tambang adalah “milik seluruh rakyat Indonesia”, hal mana sesuai

dengan Pasal 33 (3) UUD 1945.

Ini berbeda dengan konsep yang dianut di negara lain yang menganut bahwa

pemilik dari tambang yang ditemukan dalam wilayah area tanah dari seseorang adalah

dimiliki oleh orang tersebut. Hal ini juga berlaku pada jaman Penjajahan Belanda

dimana pada saat itu, dikenal adanya konsep hak konsesi, dimana perusahaan swasta

berhak untuk memiliki kandungan kekayaan bahan galian tambang.

Yang menarik untuk ditelusuri di Indonesia adalah bahwa terdapat pemisahan

pengaturan antara kekayaan alam yang berada “di bawah tanah” atau “di kandungan

bumi” yang berbentuk bahan tambang galian dengan ketentuan yang mengatur mengenai

tanaman yang berada di permukaan bumi atau tanah di wilyah hukum Republik

Indonesia.

Bahan galian tambangpun dibedakan antara bahan tambang yang berasal dari

karbon atau kandungan minyak dan gas dengan bahan tambang umum yang berbentuk

keras. Namun pengaturan antara bahan galian yang keras (misalnya nikel, timah,

tembaga dll.) dengan bahan tambang minyak/gas/karbon dan goethermal/upa air diatur

dalam perangkat rezim peraturan yang berbeda.

Hal yang seringkali dialami dalam praktek kegiatan pertambangan umum adalah

adanya tumpang tindih antara kegiatan pertambangan umum dengan kegiatan terkait

dengan aktivitas perkebunan, pertanian maupun hutan lindung. Hal ini disebabkan

terjadi kurangnya koordinasi antar instansi departemen yang berwenang atas pengaturan

kegiatan yang berbeda tersebut, baik di tingkat Pemerintahan Pusat maupun

Pemerintahan Daerah. Hal ini jelas seringkali menimbulkan kerancuan di lapangan atas

pelaksanaan kegiatan pertambangan umum maupun kegiatan yang tumpang tindih

Page 34: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

34

tersebut. Harusnya dalam Peta Blok atau Lahan yang dilampirkan pada Perjanjian

Kontrak Karya, sudah disebutkan, mengenai adanya daerah hutan lindung misalnya yang

sudah dikeluarkan dari Wilayah Area Kuasa Pertambangan tersebut.

Dalam pertambangan umum, selain Perjanjian Kontrak Karya terdapat juga

Perjanjian Kerjasama Batubara. Terkait dengan kegiatan penambangan batubara dimana

Direktorat yang membidangi juga berbeda dengan kegiatan pertambangan umum,

dimana untuk bahan galian pertambangan umum adalah di bawah Direktorat

Jenderal Pertambangan Umum, sedangkan batubara adalah berada di bawah wewenang

Direktorat Jenderal Batubara.

Kini dengan adanya Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan

Mineral dan Batubara (UU Minerba), diperkenalkan Izin Usaha Pertambangan di

Wilayah Izin Usaha Pertambangan (WIUP) dan tidak dipergunakan lagi perjanjian

Kontrak Karya bagi investor pertambangan umum yang mengajukan izin usaha

pertambangan umum.

Konsep dasar pemberian hak untuk melakukan kegiatan pertambangan umum

yang menurut Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 melalui perjanjian, dengan adanya

undang-undang yang baru ini (UU Minerba) diubah berbentuk pemberian Izin Usaha

Pertambangan (IUP).

Selain Izin Usaha Pertambangan (IUP) di atas, terdapat juga Izin Pertambangan

Rakyat (IPR) untuk melakukan aktivitas pertambangan di WPR (Wilayah Pertambangan

Rakyat) dan ada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) untuk melaksanakan

aktivitas kegiatan pertambangan di Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus

(WIUPK).

Pengelompokan dari bahan galiannya pun terjadi perbedaan pengelompokan

dimana ada pertambangan mineral yang terdiri dari radioaktif, logam, non logam dan

batuan, serta ada pengelompokan batubara.

Pemberian izin dari Kuasa Pertambangan dibedakan berdasarkan jenis bahan

mineral serta dikaitkan dengan luasnya lahan maupun kapasitas kemampuan finansial

dari Pihak Kontraktor (Badan Usaha dan/atau BUMN/BUMD), koperasi maupun

perorangan yang akan melakukan kegiatan pertambangannya.

Page 35: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

35

BAB II

METODE PENELITIAN

Secara garis besar metode penelitian yang digunakan dalam penelitian ini

mencakup jenis penelitian, pendekatan penelitian, bahan hukum penelitian, serta

prosedur pengumpulan bahan hukum penelitian, dan analisis bahan hukum penelitian.

2.1. Jenis Penelitian

Penelitian hukum, menurut Peter Mahmud Marzuki, adalah “suatu proses untuk

menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna

menjawab isu hukum yang dihadapi”.50

Penelitian hukum ini dilakukan untuk mencari

pemecahan atas isu-isu hukum (legal issues) terkait dengan kriminalisasi izin usaha

pertambangan batubara dalam kasus PT Satui Baratama di Kabupaten Tanah Bumbu

Propinsi Kalimantan Selatan.

Dilihat dari jenisnya, penelitian hukum51

yang memfokuskan kajiannya pada

persoalan kebijakan kriminalisasi dalam penerapan izin usaha pertambangan yang

dilakukan melalui studi dokumentasi terhadap putusan pengadilan merupakan penelitian

hukum normatif. Istilah penelitian hukum normatif dalam tradisi civil law memiliki

kesamaan dengan istilah penelitian doktrinal (doctrinal research) dalam kepustakaan

common law.52

Penelitian (hukum) doktrinal, menurut Soetandyo Wignjosoebroto, mencakup

tiga hal berupa: (1) usaha penemuan hukum positif; (2) usaha penemuan asas-asas dan

dasar falsafah (dogma atau doktrin); dan (3) usaha penemuan hukum a quo yang layak

50

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005, h.

35. 51

Penelitian hukum, “dapat semata-mata hanya mendasarkan pada penelitian kepustakaan saja

(penelitian hukum normatif). Akan tetapi penelitian kepustakaan itu dapat dilengkapi dengan penelitian

lapangan”. Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty,Yogyakarta, 1996, h. 30. 52

Menurut Terry Hutchinson, “doctrinal research is library based, focusing on reading and

analysis of the primary and secondary materials. The primary materials are the actual sources of the law.

The secondary materials include the commentary on the law found in textbooks and legal journals”. Lihat,

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing, Malang,

2006, h. 44-45.

Page 36: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

36

diterapkan untuk menyelesaikan suatu perkara hukum tertentu.53

Sejalan dengan

penelitian hukum doktrinal, penelitian hukum normatif, menurut Jan Gijssels dan

Mark van Hoecke, bertitik tolak dari hakikat keilmuan hukum yang secara teoritik

terbagi dalam tiga lapisan utama, yakni dogmatik hukum, teori hukum, dan filsafat

hukum,54

yang kajiannya dilakukan menurut karakter masalah hukumnya sendiri-

sendiri.55

2.2. Pendekatan Penelitian

Untuk menjawab ketiga isu hukum tersebut di atas, metode pendekatan penelitian

yang digunakan adalah pendekatan konseptual (conceptual approach), pendekatan

undang-undang (statute approach), dan pendekatan kasus (case approach).

Tentang mekanisme penentuan status hukum suatu kawasan hutan menurut

peraturan perundang-undangan di bidang kehutanan, dikaji dengan pendekatan konsep

dan pendekatan undang-undang, khususnya Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan dan peraturan pelaksanaannya. Selanjutnya, tentang legalitas

kegiatan penambangan batubara yang dilakukan oleh PT SBT dan kebijakan

kriminalisasi terhadap pemegang izin usahan pertambangan dikaji dengan pendekatan

undang-undang dan pendekatan kasus. Kedua pendekatan dilakukan untuk menemukan

kaidah-kaidah hukum positif yang digunakan sebagai dasar hukum oleh penegak hukum,

khususnya pengadilan, dalam menangani kasus PT SBT.

2.3. Bahan Hukum Penelitian

Sebagai penelitian hukum normatif, untuk memecahkan isu-isu hukum dan

sekaligus memberikan preskripsi mengenai permasalahan yang diteliti, dalam penelitian

hukum ini digunakan bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder.

53

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &

Huma, Jakarta, 2002, h. 56. Lihat juga: Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo

Persada, Jakarta, 2005, h. 42. 54

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Apakah Teori Hukum itu?, Terjemahan B. Arief Sidharta,

FH Unpar, Bandung, 2000, h. 109. 55

Sunaryati Hartono, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung,

1994, h. 134.

Page 37: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

37

Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat otoritatif, yang terdiri

dari peraturan perundang-undangan, catatan-catatan resmi atau risalah dalam pembuatan

peraturan perundang-undangan dan putusan hakim. Sedangkan bahan-bahan hukum

sekunder berupa semua publikasi tentang hukum yang bukan merupakan dokumen

resmi, seperti buku-buku teks hukum, kamus-kamus hukum, jurnal-jurnal hukum, dan

komentar-komentar atas putusan pengadilan,56

termasuk pendapat para pakar yang

dimuat dalam media cetak (koran atau majalah hukum) dan media elektronik (khususnya

media internet).

Sejalan dengan pendapat Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, bahan-bahan

hukum yang digunakan dalam penelitian ini dapat diklasifikasikan ke dalam tiga jenis,

yaitu:

a. bahan hukum primer (primary resource; authoritative record), berupa peraturan

perundang-undangan57

yang terkait dengan isu-isu hukum yang diteliti dan dikaji

dalam penelitian ini, meliputi:

(1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945);

(2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok

Pertambangan;

(3) Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Acara Pidana (KUHAP);

(4) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

(5) Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah;

(6) Undang-undang Nomor 4 Tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara;

(7) Peraturan Menteri Kehutanan Nomor 50 Tahun 2009 tentang Penegasan Status

dan Fungsi Kawasan Hutan;

56

Peter Mahmud Marzuki, Op. Cit., h. 141. Bandingkan: Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji,

Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994, h. 12-13,

yang membagi bahan-bahan hukum penelitian hukum normatif menjadi tiga klasifikasi, yaitu bahan

hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. 57

Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal

Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1974, h. 19, menyatakan: “perundang-undangan dan yurisprudensi

merupakan bahan hukum primer dalam penelitian hukum normatif.

Page 38: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

38

(8) Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 453/Kpts-II/1999 tentang

Penunjukan Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Kalimantan

Selatan;

(9) Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor 29 Tahun 2005 tentang

Rencana Tata Ruang Wilayah;

(10) Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor 1452/Pid.Sus/2009/PN.Bjm,

tanggal 19 April 2010;

(11) Putusan Kasasi Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 1444

K/Pid.Sus/2010, tanggal 8 Oktober 2010;

(12) Putusan Mahkamah Agung RI dalam Peninjauan Kembali Nomor 157

PK/PID.SUS/2011, tanggal 16 September 2011;

(13) Peraturan perundang-undangan dan keputusan lainnya yang terkait.

b. bahan hukum sekunder (secondary resource; not authoritative record), yakni bahan

hukum yang dapat memberikan kejelasan terhadap bahan hukum primer, seperti

literatur hukum yang berupa buku, makalah, majalah (jurnal ilmiah), hasil penelitian

terdahulu, artikel dalam tabloit, surat kabar dan lain-lain, termasuk bahan-bahan

hukum yang diperoleh melalui akses internet, yang berkaitan dengan permasalahan

penelitian;

c. bahan hukum tersier (tertiary resource), yakni bahan yang dapat memberikan

petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, seperti: kamus

hukum, ensiklopadia hukum, risalah sidang atau rapat dan sebagainya yang terkait

isu hukum yang dikaji dalam penelitian ini.

2.4. Teknik Pengumpulan dan Analisis Bahan Hukum Penelitian

Sebagai penelitian hukum normatif, langkah pertama yang dilakukan oleh peneliti

adalah mengumpulkan bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum

tersier sepanjang isinya relevan dengan pokok masalah (topik) penelitian. Bahan-bahan

hukum yang telah dikumpulkan tersebut kemudian diinventarisasi dan diklasifikasi

sesuai dengan isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini. Keseluruhan bahan hukum

dalam penelitian ini diperoleh melalui studi pustaka (library research), studi

Page 39: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

39

dokumentasi, penelusuran bahan hukum melalui download internet, pertemuan ilmiah,

seperti seminar, diskusi dengan ahli hukum, dan lain-lain.

Setelah bahan-bahan hukum diinventarisasi dan diklasifikasi, langkah kedua yang

dilakukan peneliti adalah melakukan sistematisasi dan interpretasi terhadap bahan

hukum primer dan kemudian dilakukan pengkajian (analisis) secara yuridis kualitatif,

yaitu analisis hukum yang mendasarkan atau bertumpu pada penalaran hukum (legal

reasoning) dan argumentasi hukum (legal argumentation).

Analisis hukum tersebut dilakukan untuk menghasilkan proposisi atau konsep

sesuai dengan isu hukum yang dibahas dalam penelitian ini. Setelah melakukan analisis

(telaah) atas isu hukum yang diajukan berdasarkan bahan-bahan hukum yang telah

dikumpulkan, langkah ketiga yang dilakukan oleh peneliti adalah menarik kesimpulan

dalam bentuk argumentasi yang menjawab isu hukum.

Akhirnya, langkah keempat yang dilakukan oleh peneliti adalah memberikan

preskripsi berdasarkan argumentasi yang telah dibangun dalam kesimpulan. Langkah ini

dilakukan sesuai dengan karakter ilmu hukum sebagai ilmu yang bersifat preskriptif,

yang mempelajari tujuan hukum, nilai-nilai keadilan, validitas aturan hukum, konsep-

konsep hukum, dan norma-norma hukum.

Page 40: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

40

BAB III

HASIL PENELITIAN DAN ANALISIS MASALAH

Permasalahan hukum yang muncul terkait dengan kasus ini adalah apakah PT.

SBT (dalam hal ini Direktur PT. SBT) dalam melakukan kegiatan penambangan

batubara di atas areal atau lokasi yang sesuai dengan izin (dalam hal ini berupa Kuasa

Pertambangan) Batubara yang diberikan Bupati dapat dikualifikasikan sebagai suatu

tindak pidana?

Untuk menganalisis permasalahan hukum tersebut, perlu diuraikan terlebih dahulu

mengenai legalitas perusahaan PT. SBT, kronologis tindakan hukum pidana yang

dilakukan oleh aparat penegak hukum, khususnya pada saat penghentian kegiatan

tambang, serta dasar pertimbangan hukum yang digunakan oleh pengadilan dalam

mengambil putusan dalam perkara a quo.

3.1. Legalitas Perusahaan Pertambangan Batubara PT. Satui Bara Tama di

Kalimantan Selatan

Secara garis besar, legalitas PT. SBT sebagai perusahaan pertambangan batubara

dapat dijelaskan sebagai berikut:

(1) Tahun 2003 PT. SBT telah memperoleh izin eksplorasi sesuai dengan Keputusan

Bupati Kotabaru Nomor: 545/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa

Pertambangan Eksplorasi tanggal 20 Januari 2003 seluas 1.904 ha untuk jangka

waktu 3 (tiga) tahun. Berdasarkan Peraturan Daerah Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Kotabaru titik koordinat Kuasa

Pertambangan tersebut berada dalam Areal Penggunaan Lain atau Kawasan

Budidaya Tanaman Tahunan Perkebunan di luar Kawasan Hutan. Untuk

melaksanakan aktivitas penambangan, PT. SBT telah membebaskan lahan

masyarakat yang berada di dalam KP seluas kurang lebih 900 ha, selebihnya belum

ada kesepakatan harga dan masih berupa kebun kepala sawit produktif.

Page 41: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

41

(2) Berdasarkan Undang-undang Nomor 2 Tahun 2003 terbentuklah Kabupaten Tanah

Bumbu, pemekaran dari Kabupaten Kotabaru. Mengacu pada undang-undang ini,

selanjutnya KP PT. SBT berada di dalam wilayah administratif Kabupaten Tanah

Bumbu, sehingga kewajiban PT. SBT sebagai penerima KP untuk

menginventarisasi dan melaporkan kepada Kabupaten Pemekaran terkait

pemanfaatan fungsi ruang tetap mengacu pada RTRW. Kabupaten Kotabaru.

(3) Tanggal 16 Pebruari 2007 PT. SBT telah mengirim surat resmi kepada Badan

Perencana Pembangunan Daerah (Bappeda) Kabupaten Tanah Bumbu dengan

Nomor 108/SBT/Btl/II/2007 untuk meminta penjelasan tentang posisi areal wilayah

KP PT. SBT, dan Bappeda Kabupaten Tanah Bumbu melalui Kepala Bidang Fisik

dan Prasarana menjawab dengan surat resmi Nomor: 050/036/FISPRA/BAPPEDA

tanggal 17 Pebruari 2007, menyatakan bahwa fungsi kawasan telah dijustifikasi

berdasarkan Peraturan Daerah Kabupaten Tanah Bumbu Nomor : 29 Tahun 2005

tentang RTRW.Kabupaten Tanah Bumbu dengan memperhatikan Peraturan Daerah

Kabupaten Kotabaru Nomor 3 Tahun 2002 tentang RTRW.Kabupaten Kotabaru

(sebagai Kabupaten Induk). Berdasarkan surat jawaban Bappeda tersebut dapat

diketahui bahwa “wilayah KP Eksploitasi Batubara PT. Satui Bara Tama (PT. SBT)

pada peta RTRW. Kabupaten Tanah Bumbu berada dalam Kawasan Budi Daya

Tanaman Tahunan Pertanian atau Areal Penggunaan Lain (Bukan Kawasan

Hutan)”.

(4) PT. SBT telah mendapatkan perpanjangan Kuasa Pertambangan Eksploitasi melalui

Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 545/24-EXSP/KP.DE tentang Pemberian

Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT. Satui Bara

Tama, dan Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor 545/24-24-PP/KP/D.PE tentang

Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Pengangkutan dan

Penjualan kepada PT. Satui Bara Tama (TB.08 JUNPR 54) tanggal 13 Juni 2008,

sehingga kegiatan penambangan PT.SBT terus berlanjut.

(5) PT. SBT mendapatkan advise Spatial Planning dari Bappeda Propinsi Kalimantan

Selatan melalui Surat Nomor: 650/773/TR/ Bappeda tanggal 9 Desember 2008,

yang menyatakan bahwa berdasarkan Peraturan Daerah Propinsi Kalimantan

Page 42: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

42

Selatan Nomor 9 Tahun 2000 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi

Kalimantan Selatan “lokasi kerja/kegiatan penambangan yang dilakukan oleh PT.

SBT tidak berada di dalam kawasan hutan, tetapi berada di dalam kawasan budidaya

tanaman tahunan perkebunan”.

Oleh karena hingga saat ini belum ada pencabutan dan pembatalan terhadap izin-

izin eksploitasi batubara PT. SBT, maka sesuai dengan asas praesumptio iustae causa

(vermoeden van rechtmatigheid; praesumption of legality), semua keputusan pemerintah

tersebut tetap sah (legal) sebelum dicabut atau dibatalkan oleh pejabat yang

berwenang,58

Asas ini merupakan perwujudan dari salah satu tujuan hukum, yakni

tercapainya kepastian hukum terhadap keputusan pemerintahan.

3.2. Tindakan Kriminalisasi terhadap Direktur Utama PT. Satui Bara Tama di

Kalimantan Selatan

Tindakan kriminalisasi terhadap PT. SBT diawali dengan penghentian kegiatan

tambang batubara oleh aparat penegak hukum (kepolisian), yang secara kronologis dapat

dideskripsikan sebagai berikut:

(1) Selama tahun 2003-2008 aktivitas penambangan PT. SBT berjalan dengan baik dan

lancar tanpa ada gangguan dan peringatan/teguran dari pihak manapun, baik dari

pemerintah daerah (Dinas Kehutanan), pemerintah pusat (Kementerian Kehutanan)

maupun dari instansi-instansi terkait serta masyarakat luas;

(2) Secara tiba-tiba pada tanggal 2 Desember 2008 aparat dari bagian Kriminal Markas

Besar Polri Direktorat V/Tindak Pidana Tertentu (Tipiter) dan Rekrim Polda

Kalimantan Selatan telah melakukan penghentian aktivitas penambangan PT. SBT

yang dilakukan di areal Kuasa Pertambangan Batubara milik PT. SBT dan sekaligus

menyita serta melakukan police line terhadap alat berat dan benda-benda yang

digunakan untuk menjalankan aktivitas penambangan, termasuk penyitaan terhadap

batubara sebanyak kurang lebih 7.000 MT, dengan mendasarkan pada Keputusan

Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor : 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan

Kawasan Hutan di Wilayah Propinsi Kalimantan Selatan, padahal Kepmenhutbun

58

Philipus M. Hadjon, Asas Legalitas Keputusan Pemerintahan, 12 Maret 2011.

Page 43: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

43

tersebut secara hukum tidak dapat dijadikan dasar untuk menentukan kawasan

hutan, sebab hanya berupa suatu keputusan (beschikking) yang berlaku secara

internal dan hanya merupakan tahapan awal dalam menetapkan kawasan hutan yang

definitif;

(3) H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad Syahdan selaku Direktur Utama PT. SBT

telah dituduh atau didakwa melakukan tindak pidana di bidang kehutanan

sebagaimana diatur dalam Pasal 78 ayat (2) dan ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf a

dan g Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan:

- Pasal 78 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf a, diancam dengan pidana penjara paling

lama 15 (lima belas) tahun atau denda paling banyak Rp. 5000.000.000,00 (lima

milyar rupiah).”

- Pasal 78 ayat (6) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan

menyebutkan: “Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 50 ayat (3) huruf h, diancam dengan pidana penjara paling

lama 5 (lima) tahun atau denda paling banyak Rp. 10.000.000.000,00 (sepuluh

milyar rupiah).”

- Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan menyebutkan: “Setiap orang dilarang: a. mengerjakan dan atau

menggunakan dan atau menduduki kawasan hutan secara tidak sah;”

- Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang

Kehutanan menyebutkan: “melakukan kegiatan penyelidikan umum atau

eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan, tanpa izin

Menteri;”

3.3. Pertimbangan Hukum Putusan Pengadilan terhadap Direktur Utama PT. SBT

Pertimbangan-pertimbangan hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim baik di

Pengadilan Negeri maupun Mahkamah Agung pada tingkat kasasi dan peninjauan

Page 44: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

44

kembali terhadap H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad Syahdan selaku Direktur

Utama PT. SBT adalah sebagai berikut:

3.3.1. Pertimbangan Hukum dalam Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.

1425/Pid.Sus/2009/PN.

Pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Negeri Banjarmasin dalam perkara a

quo antara lain:59

- Setelah Majelis Hakim mempelajari berkas perkara ini bahwa diprosesnya perkara

ini berkaitan dengan laporan PT. Hutan Rindang Banua (PT. HRB) yang

melaporkan PT. Satui Bara Tama (PT. SBT) telah memasuki areal kerja dari PT.

HRB sebagai pemilik Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI),

sehingga tanaman yang berupa akasia mangium rusak dan punah, sebagai akibat

kegiatan penambangan yang dikeluarkan PT. SBT tersebut;

- Terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT dengan legalitas yang telah dimilikinya

telah melakukan eksplorasi dan eksploitasi atas areal yang telah di izinkan, dengan

legalitas formal berupa:

1) Keputusan Bupati Kotabaru No. 545/97.a/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa

Pertambangan Eksplorasi tertanggal 20 Januari 2003;

2) Keputusan Bupati Kotabaru No. 545/31.I/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa

Pertambangan Eksploitasi tertanggal 20 April 2003;

3) Keputusan Bupati Tanah Bumbu No. 545/24-EX/KP/D.PE tentang Pemberian

Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi kepada PT. Satui

Bara Tama;

4) Keputusan Bupati Kotabaru No. 545/31.A/KP/D.PE tentang Pemberian Kuasa

Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan;

5) Keputusan Bupati Tanah Bumbu No. 545/24.PP/KP/D.PE tentang Pemberian

Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Pengangktan dan Penjualan

kepada PT. Satui Bara Tama;

59

Lihat Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 1425/Pid.Sus/2009/PN.Bjm.,tanggal 19

April 2010, h. 213 dst.

Page 45: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

45

6) Surat Nomor 050/039/Fispras/Bappeda dari Badan Perencanaan Pembangunan

Daerah tertanggal 17 Pebruari 2007 Perihal Penjelasan Fungsi Kawasan atas

Wilayah Tambang PT. Satui Bara Tama dalam Rencana Tata Ruang Wilayah

Kabupaten Tanah Bumbu;

7) Peta Lokasi KP Eksploitasi PT. Satui Bara Tama berdasarkan Peta RTRW

Kabupaten Kotabaru Perda Nomor 3 Tahun 2002.

- Menurut hemat Majelis Hakim bahwa setiap izin yang berkaitan dengan fungsi

ruang harus mengacu pada rencana tata ruang yang sudah ditetapkan dengan

Peraturan Daerah;

- Dalam perkara a quo adalah Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang

RTRW Propinsi Kalimantan Selatan, Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002

tentang RTRW Kabupaten Kotabaru, dan Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2005

tentang RTRW Kabupaten Tanah Bumbu, yang telah dipaduserasi pada tanggal 13

April 2007, antara pihak Departemen Dalam Negeri, Pemerintah Propinsi

Kalimantan Selatan dan Pemerintah Kabupaten Tanah Bumbu di Jakarta, dan

Perda-perda ini sampai saat ini tidak pernah dicabut ataupun dinyatakan tidak

berlaku oleh suatu produk hukum tertentu maka Perda-perda tersebut masih tetap

sah dan berlaku;

- Berdasar pada pertimbangan di atas maka kedudukan tiga Perda tersebut di atas

apabila disandingkan dengan Kepmenhutbun No. 453/KPTS-II/1999 tentang

Penunjukan Kawasan Hutan Propinsi Kalimantan Selatan, menurut Prof. Dr. H.

Syamsul Wahidin, SH, MH adalah bahwa Kepmenhutubun tersebut tidak dapat

disandingkan apalagi dibandingkan dengan Perda tersebut, karena Peraturan

Daerah termasuk di dalam tata urutan peraturan perundang-undangan

sebagaimana diatur dalam UU No. 10 Tahun 2004, sedangkan Keputusan Menteri

tidak termasuk dalam tata urutan peraturan perundang-undangan. Di samping itu

sifat internal beschikking dari Kepmenhutbun tersebut: Pertama, menggunakan

istilah KEPUTUSAN; kedua, dictum kelima memerintahkan kepada Baplan

(Badan Planologi Departemen Kehutanan) untuk melakukan pengukuhan, dan

ketiga, salinan dari Keputusan tersebut disampaikan kepada instansi-instansi lain;

Page 46: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

46

- Namun demikian, apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa Perda-perda

tersebut bertentangan dengan peraturan lainnya yang lebih tinggi maka menurut

pendapat para saksi ahli, yaitu Prof. Dr. Zudan Arif Fakhrulloh, SH, MH, Prof. Dr.

HM. Hadin Muhjat, SH, MH, dan lain-lain, peraturan tersebut tidak serta merta

batal atau tidak berlaku, akan tetapi secara hukum harus terlebih dahulu diuji

melalui prosedur hukum yang berlaku;

- Berdasarkan pertimbangan di atas, menurut hemat Majelis Hakim bahwa yang

dapat dijadikan dasar hukum dalam menentukan apakah lokasi/areal kerja Kuasa

Pertambangan PT. SBT itu termasuk Kawasan Hutan atau tidak adalah Peraturan

Daerah Nomor 9 Tahun 2000 tentang RTRW Propinsi Kalimantan Selatan,

Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang RTRW Kabupaten Kotabaru, dan

Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2005 tentang RTRW Kabupaten Tanah

Bumbu;

- Bahwa Peta lokasi Kuasa Pertambangan Eksploitasi PT. SBT berdasarkan Peta

RTRW Kabupaten Kotabaru Peraturan Daerah Nomor 3 Tahun 2002 tentang

RTRW Kabupaten Kotabaru dan Peraturan Daerah Nomor 29 Tahun 2005 tentang

RTRW Kabupaten Tanah Bumbu, serta Peraturan Daerah Nomor 9 Tahun 2000

tentang RTRW Propinsi Kalimantan Selatan, hasil paduserasi Tata Guna Hutan

Kesepakatan (TGHK) dengan RTRW Propinsi Kalimantan Selatan Perda No. 3

Tahun 1993 dan berkesuaian pula dengan keterangan saksi Drs. H. Muhammad

Amin, MT bin Umar Durahman, selaku Kepala Dinas Pertambangan Batulicin,

yang tugas pokoknya adalah membantu Kepala Daerah khususnya di bidang

pertambangan serta bertanggungjawab kepada Bupati Tanah Bumbu dan Dinas

Pertambangan, menyatakan bahwa areal kerja PT. SBT Tidak Termasuk dalam

Kawasan Hutan melainkan masuk dalam Kawasan Budidaya Tanaman Tahunan

Pertanian (non kehutanan), dengan demikian diperoleh fakta bahwa lokasi Kuasa

Pertambangan dari PT. SBT berada pada kawasan budidaya tanaman tahunan

pertanian buka kawasan hutan sebagaimana yang dimaksud dalam unsur pasal ini;

- Majelis Hakim memandang perlu untuk mempertimbangkan pula mengenai

Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.50/Menhut-II/2009 tentang Penegasan

Page 47: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

47

Status dan Fungsi Kawasan Hutan, yang ditetapkan tanggal 27 Juli 2009 dan telah

diundangkan tanggal 29 Juli 2009, yang dijadikan dasar oleh Jaksa Penuntut

Umum di dalam upaya membuktikan unsure ini yang terkait dengan Surat

Kepmenhutbun No. 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan Kawasan Hutan

Propinsi Kalimantan Selatan sebagaimana diuraikan dalam Surat Tuntutannya

tersebut;

- Apabila dicermati Peraturan Menteri Kehutanan RI No. P.50/Menhut-II/2009 yang

mulai berlaku sejak tanggal diundangkan yaitu 29 Juli 2009, maka peraturan ini

tidak dapat diberlakukan atau diterapkan terhadap perkara a quo mengingat tempos

delicti dari peristiwa pidana yang didakwakan ini adalah mulai sekitar tahun 2003

sampai 2 Desember 2008, yaitu mulai PT. SBT melakukan eksplorasi dan

eksploitasi serta pengangkutan dan penjualan atas penambangan batubara hingga

areal/wilayah kerja Kuasa Pertambangan PT. SBT di-police line atau dihentikan

oleh Penyidik Polda Kalimantan Selatan, sedangkan Peraturan Menteri tersebut

mulai berlaku sejak tanggal 29 Juli 2009, sehingga peraturan ini tidak dapat

berlaku surut;

- Terkait dengan adanya tumpang tindih areal kerja PT. SBT dengan kawasan hutan,

maka saksi ahli Prof. Dr. H. Syamsul Wahidin, SH, MH. memberikan pendapat

yang pada intinya menyatakan bahwa: 1. Pemohon (dalam hal ini PT. SBT) telah

menyampaikan berbagai aspek-aspek prosedural administratif; 2. Ketika itu sudah

dilaksanakan dengan baik, tidak ada masalah, termasuk telah membebaskan lahan

dan seterusnya, 3. Mengajukan permohonan eksploitasi, menunjukkan bahwa ia

telah melalui mekanisme perizinan sebagaimana peraturan yang berlaku.

- Di samping uraian pertimbangan fakta di atas, saksi Drs. H. Muhammad Amin,

MT bin Umar Durahman, selaku Kepala Dinas Pertambangan Batulicin,

menerangkan pada pokoknya bahwa benar perpanjangan Kuasa Pertambangan

eksploitasi PT. SBT dari Bupati Tanah Bumbu tertanggal 13 Juni 2008 yang

terletak di Kecamatan Satui Kabupaten Tanah Bumbu dengan luas blok I: 1.492 ha

dan blok II: 320 ha dan dasar perpanjangan pertama yang dimohonkan oleh PT.

SBT adalah Kepmen ESDM No. 1453.K/29/MEM/2000 tanggal 3 November 2000

Page 48: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

48

tentang Pedoman Teknis Penyelenggaraan Tugas Pemerintahan di Bidang

Pertambangan Umum, serta sewaktu pemohon mengajukan permohonan

perpanjangan tidak ada komplain dari masyarakat, Pemerintah ataupun Badan

Hukum, oleh karenanya Dinas Pertambangan Kabupaten Tanah Bumbu berani

mengeluarkan perpanjangan Kuasa Pertambangan;

- Berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas, Majelis Hakim tidak sependapat

dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena menurut Majelis Hakim unsur

“memasuki kawasan hutan” tidak terpenuhi atas perbuatan Terdakwa;

Berdasarkan pertimbangan-pertimbangan tersebut di atas, Majelis Hakim

Pengadilan Negeri Banjarmasin yang memeriksa dan mengadili perkara tersebut telah

memutuskan, yang amar putusannya nomor 1: “Menyatakan terdakwa H. Parlin bin

H.M. Syahdan tidak terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak

pidana sebagaimana dakwaan kesatu primer kesatu subsider atau dakwaan kedua,

oleh karenanya membebaskan terdakwa dari segala dakwaan kesatu Primer maupun

kesatu Subsider atau dakwaan kedua;”

Putusan bebas terhadap terdakwa yang dijatuhkan oleh Majelis Hakim

Pengadilan Banjarmasin antara lain juga didasarkan pada pertimbangan-

pertimbangan hukum sebagai berikut:60

- Untuk menyatakan terdakwa bersalah terdakwa terbukti bersalah atas dakwaan

tersebut, maka semua perbuatan terdakwa harus memenuhi unsur-unsur dari pasal-

pasal yang didakwakan kepadanya;

- Di persidangan terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum telah didakwa melakukan

tindak pidana yaitu Kesatu: Primer sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 78 ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan; Subsider sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam

Pasal 78 ayat (2) Jo. Pasal 50 ayat (3) huruf a Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan; atau Kedua: Perbuatan terdakwa diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 31 ayat (2) Undang-undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang

Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan;

60

Lihat Salinan Putusan PN Banjarmasin No. 1425/Pid.Sus/2009/PN.Bjm.,h. 199 dst.

Page 49: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

49

- Dakwaan Kesatu Primer Jaksa Penuntut Umum sebagaimana diatur dan diancam

pidana dalam Pasal 78 ayat (6) jo. Pasal 50 ayat (3) huruf g Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan yang unsur-unsurnya adalah sebagai

berikut: (1) setiap orang; (2) dengan sengaja; (3) melakukan kegiatan penyelidikan

umum atau eksplorasi atau ekaploitasi bahan tambang; (4) di dalam kawasan

hutan; (5) tanpa izin Menteri.

Ad. 1. Unsur “Setiap Orang”

- Yang dimaksud dengan “setiap orang” menurut ketentun undang-undang adalah

subyek hukum yaitu orang atau badan hukum, yang dapat dipertanggung-jawabkan

atas perbuatan yang dilakukannya di hadapan hukum;

- Yang diajukan ke persidangan sebagai terdakwa oleh Jaksa Penuntut Umum

adalah “orang” yang bernama H. Parlin Riduansyah bin H. Muhamad Syahdan;

- Berdasarkan keterangan para saksi dan dari keterangan terdakwa sendiri

berdasarkan Akta Notaris Kasmuri No. 18 tanggal 31 Agustus 1999 yang

diperbarui dengan Akta Notaris/PPAT Linda Kenari, SH, MH tanggal 19 Pebruari

2008, diperoleh fakta bahwa benar terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H.

Muhamad Syahdan adalah sebagai Direktur Utama PT. Satui Bara Tama;

- Menurut ahli Hukum Perusahaan Universitas Lambung Mangkurat H.A. Chadari

ADP, SH, MH, menerangkan bahwa berdasarkan ketentuan pasal 98 ayat (1)

Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas, dalam sebuah

Badan Hukum, Direktur adalah bertanggung jawab di dalam maupun di luar

Pengadilan;

- Terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Muhamad Syahdan selaku Direktur Utama

PT. Satui Bara Tama adalah subyek hukum yang dapat dipertanggungjawabkan

atas segala perbuatannya dan terdakwa mampu bertanggung jawab, sehingga unsur

“setiap orang” secara hukum terpenuhi atas diri terdakwa tersebut.

Ad. 2. Unsur “dengan sengaja”

- Apa yang dimaksud “dengan sengaja”, dalam undang-undang tidak dijelaskan,

namun dalam doktrin dan yurisprudensi unsur “sengaja” dikenal beberapa bentuk

Page 50: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

50

kesengajaan, yaitu: sengaja sebagai tujuan, sengaja sebagai kepastian, dan sengaja

sebagai kemungkinan;

- Yang dimaksud “dengan sengaja” di sini adalah dolus (opzet) yang mengandung

suatu pengertian bahwa setiap orang yang melakukan dalam hal ini pelaku

mengetahui dan menghendaki perbuatan yang dilakukan dan/atau akibat yang

mungkin timbul dari perbuatannya tersebut;

- Berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan terdakwa H. Parlin Riduansyah

bin H. Muhamad Syahdan adalah Direktur Utama PT. Satui Bara Tama, pemegang

izin Kuasa Pertambangan Eksplorasi dari Bupati Kotabaru seluas 1.904 Ha dan

izin Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi dari

Bupati Tanah Bumbu seluas 1.812 Ha yang terletak di Desa Sungai Cuka,

Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, yang berdasarkan keterangan Saksi

H. Iwan Yunus pernah menerima surat dari PT. Hutan Rindang Banua (PT. HRB)

tertanggal 19 Juli 2007 yang isinya memperingatkan kepada terdakwa selaku

Direktur Utama PT. Satui Bara Tama (PT. SBT) bahwa penebangan (pohon

akasia) dan pengangkutanbatubara yang dilakukan oleh PT. SBT telah masuk ke

dalam areal/wilayah Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri (HPHTI) PT.

HRB di Desa Sungai Cuka, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, dan

akibatnya merusak dan menghancurkan tanaman industrI pulp pada blok SB-3,

petak tanaman No. 49, 50, 51, 52, 53 dan 54, tetapi terdakwa tetap mengerjakan

penambangan batubara di lokasi kawasan HPHTI milik PT. HRB;

- Atas surat dari PT. HRB tersebut, Saksi H. Iwan Yunus juga menerangkan bahwa

4 (empat) bulan kemudian dengan surat tanggal 6 Nopember 2007, PT. SBT

mengirim surat kepada PT. HRB dengan surat No. 131/SBT-Adm/XI/2007 tanggal

6 Nopember 2007 ditandatangani H. Iwan Yunus (Direktur PT. SBT) yang isinya

agar PT. HRB tidak meneruskan penanaman pohon akasia di Desa Sungai Cuka,

Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, yang merupakan tanah masyarakat

yang telah diganti rugi oleh PT. SBT, kemudian PT. HRB mengirim surat kembali

kepada terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT No. 01/HRB-Lgl/XI/07 tanggal

26 Nopember 2007 yang isinya antara lain agar PT. SBT menghentikan kegiatan

Page 51: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

51

penambangan batubara di Desa Sungai Cuka, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah

Bumbu, tersebut. Namun, PT. SBT tetap melakukan penambangan yang memang

“dikehendaki atau menjadi tujuan” dari perbuatan yang dilakukan terdakwa;

- Sebagaimana fakta yang diperoleh di persidangan terdakwa selaku Direktur Utama

PT. SBT di dalam melakukan kegiatannya tersebut telah memiliki Surat

Keputusan Bupati Kotabaru Nomor: 545/97.a/KP/D.PE tanggal 20 Januari 2003

tentang Pemberian Kuasa Pertambangan Eksplorasi seluas 1.904 Ha, Surat

Keputusan Bupati Tanah Bumbu Nomor: 545/24-EX/KP/D.PE tanggal 13 Juni

2008 tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa Pertambangan Eksploitasi

kepada PT. Satui Bara Tama, Surat Keputusan Nomor: 545/24-PP/KP/D.PE

tanggal 13 Juni 2008 tentang Pemberian Perpanjangan Pertama Kuasa

Pertambangan, Pengangkutan dan Penjualan kepada PT. Satui Bara Tama,

sehingga dengan dasar legalitas tersebut terdakwa melakukan kegiatannya berupa

penambangan di areal yang telah dizinkan tersebut hingga pada bulan Desember

2008;

- Oleh karena itu menurut hemat Majelis Hakim, terdakwa telah mempunyai niat,

mempunyai maksud atau mempunyai tujuan untuk melakukan penambangan di

lokasi sebagaimana telah ditentukan di dalam Surat Kuasa Pertambangan yang

dimilikinya tersebut, sehingga dengan demikian unsur “dengan sengaja” telah

terpenuhi.

Ad. 3. Unsur melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau

eksploitasi bahan tambang

- Yang dimaksud dengan “melakukan kegiatan penyelidikan umum, atau eksplorasi

atau eksploitasi bahan tambang” menurut Penjelasan Pasal 50 ayat (3) huruf g

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah:

a. Yang dimaksud dengan penyelidikan umum adalah penyelidikan secara geologi

umum atau geofisika di daratan, perairan dan dari udara, dengan maksud untuk

membuat peta geologi umum atau untuk menetapkan tanda-tanda adanya bahan

galian.

Page 52: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

52

b. Yang dimaksud dengan eksplorasi adalah penyelidikan geologi pertambangan

untuk menetapkan lebih teliti dan lebih seksama adanya bahan galian dan sifat

letakannya.

c. Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah kegiatan menambang untuk

menghasilkan bahan galian dan memanfaatkannya.

- Apabila uraian di atas dikaitkan dengan keterangan para saksi dan bukti-bukti

surat baik yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum maupun yang diajukan oleh

Penasehat Hukum terdakwa, ternyata terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H.

Muhamad Syahdan selaku Direktur Utama PT. SBT pemegang izin Kuasa

Pertambangan Eksplorasi, Eksploitasi, Pengangkutan dan Penjualan bahan galian

(tambang) sebagaimana tersebut di atas, telah melakukan eksplorasi yang

kemudian dilanjutkan dengan melakukan eksploitasi bahan tambang batubara di

lokasi atau areal yang telah ditentukan sesuai dengan Kuasa Pertambangan yang

dimilikinya. Dengan demikian, unsur inipun telah terpenuhi pula.

Ad. 4. Unsur di dalam kawasan hutan

- Yang dimaksud dengan “Kawasan Hutan” menurut ketentuan Pasal 1 angka 3

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan adalah wilayah tertentu

yang ditunjuk atau ditetapkan oleh Pemerintah untuk dipertahankan

keberadaannya sebagai hutan tetap.

- Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 12 Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan menentukan bahwa perencanaan kehutanan sebagaimana

dimaksud dalam pasal 10 ayat (2) huruf a meliputi:

a. Inventarisasi hutan;

b. Pengukuhan kawasan hutan;

c. Penatagunaan kawasan hutan;

d. Pembentukan wilayah pengelolaan hutan.

- Selanjutnya dalam Pasal 14 ayat (1) Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999

tentang Kehutanan ditentukan bahwa berdasarkan inventarisasi hutan sebagaimana

dimaksud dalam Pasal 13, Pemerintah menyelenggarakan pengukuhan kawasan

Page 53: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

53

hutan. Sedangkan di dalam Pasal 14 ayat (2) Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan menyatakan bahwa kegiatan pengukuhan kawasan hutan

sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilakukan untuk memberikan kepastian

hukum atas kawasan hutan. Selanjutnya, dalam Pasal 15 ayat (1) ditentukan bahwa

pengukuhan kawasan hutan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 dilakukan

melalui proses sebagai berikut:

1. Penunjukan kawasan hutan;

2. Penataan batas kawasan hutan;

3. Pemetaan kawasan hutan; dan

4. Penetapan kawasan hutan.

- Berkaitan dengan hal tersebut, dalam Penjelasan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan dijelaskan bahwa penunjukan kawasan

hutan adalah kegiatan persiapan pengukuhan kawasan hutan, antara lain berupa:

a. Pembuatan peta penunjukan yang bersifat arahan tentang batas luar;

b. Pemancangan batas sementara yang dilengkapi dengan lorong-lorong;

c. Pembuatan parit batas pada lokasi-lokasi rawan; dan

d. Pengumuman tentang rencana batas kawasan hutan, terutama di lokasi-lokasi

yang berbatasan dengan tanah milik.

- Dalam kaitan itu yang dijadikan dasar yang substansial dari dakwaan Jaksa

Penuntut Umum adalah kawasan hutan sebagaimana Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999 tentang Penunjukan

Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah Tingkat I Kalimantan

Selatan, tanggal 17 Juni 1999, seluas 1.839.494 Ha;

- Berkaitan dengan Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:

453/Kpts-II/1999 tersebut serta Peta Asli sebagai lampirannya dikaitkan dengan

Undang-undang Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan sebagaimana telah

diuraikan di atas, maka beberapa saksi ahli yang diajukan di muka persidangan

telah memberikan pendapat (hukum), di antaranya adalah: Saksi Ahli Prof. Dr.

HM. Hadin Muhjat, SH, MH, Saksi Ahli Prof. Dr. H. Samsul Wahidin, SH, MH,

Saksi Ahli Dr. H. Sadjiono, SH, MH, Saksi Edi Djaya, SH, MH (Departemen

Page 54: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

54

Kehutanan RI), Saksi Ahli Ir. Sutaji Benu (Dinas Kehutanan Propinsil Kalimantan

Selatan), dan Saksi Ahli Prof. Dr. Zudan Fakhrulloh, SH, MH. Pendapat Saksi-

saksi Ahli tersebut dapatlah disimpulkan bahwa:

1) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999

tersebut merupakan produk hukum yang berupa “keputusan” (beschikking)

yang bersifat internal, sehingga tidak berlaku secara umum (keluar) atau tidak

berdampak hukum keluar, akibatnya secara hukum tidak dapat dijadikan dasar

hukum untuk menentukan kebijakan-kebijakan apalagi yang berimplikasi pada

perbuatan pidana;

2) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999

tersebut hanyalah merupakan penunjukan yang merupakan tahap awal untuk

melakukan tahapan-tahapan berikutnya dalam proses pengukuhan kawasan

hutan. Jadi, Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:

453/Kpts-II/1999 tersebut belum menentukan adanya kawasan hutan yang final

dan definitif;

3) Secara teoritis adanya kawasan hutan yang definitif itu ditandai dengan adanya

penetapan dari Menteri Kehutanan;

4) Oleh karena itu Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor:

453/Kpts-II/1999 tersebut belum selesai/belum tuntas oleh karena pengukuhan

kawasan hutan melalui beberapa tahapan yang terdiri dari penataan batas,

pemetaan, dan penetapan, bersifat kumulatif, artinya semua harus dipenuhi atau

selesai dilaksanakan, baru ada kawasan hutan yang definitif sesuai dengan

ketentuan Pasal 14 dan Pasal 15 ayat (1) dan Penjelasannya Undang-undang

Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan;

5) Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999

tersebut tidak termasuk dalam hirarki tata urutan peraturan perundang-

undangan menurut Pasal 7 ayat (1) Undang-undang Nomor 10 Tahun 2004

yang menentukan bahwa peraturan perundang-undangan selain sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) diakui keberadaannya dan mempunyai kekuatan hukum

Page 55: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

55

mengikat sepanjang diperintahkan oleh peraturan perundang-undangan yang

lebih tinggi, antara lain Peraturan Menteri (bukan Keputusan Menteri);

Bertitiktolak dari uraian di atas maka menurut Majelis Hakim penunjukan

kawasan hutan tersebut in casu Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan

Nomor: 453/Kpts-II/1999 itu hanyalah merupakan tahapan awal dalam kegiatan

pengukuhan kawasan hutan, dengan kata lain adanya penunjukan dalam Surat

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor: 453/Kpts-II/1999 itu belum

menentukan adanya kawasan hutan yang definitif atau tetap, melainkan hanya

merupakan kegiatan persiapan dalam rangka pengukuhan kawasan hutan yang harus

ditindaklanjuti dengan tahapan-tahapan berikutnya, yaitu penataan batas, pemetaan,

dan penetapan, sehingga dengan berdasar pada pengukuhan kawasan hutan tersebut

kemudian Pemerintah menyelenggarakan penatagunaan kawasan hutan. Oleh karena

itu, sangatlah keliru apabila ada pendapat yang mengatakan bahwa kawasan hutan

yang ditunjuk oleh Menteri walaupun belum dilakukan pengukuhan sudah

mempunyai kepastian hukum sesuai dengan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Nomor

41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Berdasarkan keseluruhan pertimbangan di atas, Majelis Hakim tidak sependapat

dengan tuntutan Jaksa Penuntut Umum, karena menurut Majelis Hakim unsur

“memasuki kawasan hutan” tidak terpenuhi atas perbuatan terdakwa. Oleh karena itu

salah satu unsur dari dakwaan Kesatu Primer Jaksa Penuntut Umum tidak terpenuhi,

maka terhadap unsure-unsur selebihnya tidak perlu dibuktikan lagi, dan oleh

karenanya harus dinyatakan bahwa terdakwa tidak terbukti secara sah dan

meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana dalam dakwaan Kesatu

Primer sehingga terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Kesatu Primer tersebut.

Terhadap putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin tersebut di atas, ternyata

Jaksa Penuntut Umum telah melakukan kasasi, padahal secara yuridis formal

berdasarkan pasal 244 KUHAP dengan jelas dan tegas dinyatakan bahwa terhadap

putusan bebas (bebas murni) tidak boleh diajukan upaya hukum kasasi. Ketentuan

KUHAP yang menyatakan bahwa putusan bebas tidak boleh diajukan kasasi ini juga

dikuatkan oleh pendapat hukum (legal opinion) yang dikemukakan oleh beberapa

Page 56: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

56

pakar hukum antara lain: Prof. Dr. Andi Hamzah, SH (Guru Besar Hukum Pidana dan

Ketua Tim RUU KUHAP), Prof. Dr. Indriyanto Seno Adji, SH, MH (Guru Besar

Hukum Pidana Universitas Indonesia), dan Dr. Masdari Tasmin, SH, MH (Advokad

dan Dosen Program Magister Ilmu Hukum Program Pascasarjana Universitas

Lambung Mangkurat Banjarmasin).

3.3.2. Pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Kasasi No. 1444

K/Pid.Sus/2010

Pihak Kepaniteraan Mahkamah Agung Republik Indonesia menerima

permohonan Kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dan meregisterasi perkara tersebut

dan selanjutnya perkara tersebut diperiksa, diadili dan diputuskan oleh Majelis Hakim

Agung, yang amar putusannya adalah sebagai berikut:

(1) Mengabulkan permohonan kasasi dari Pemohon Kasasi/Jaksa Penuntut Umum

pada Kejaksaan Negeri Banjarmasin tersebut;

(3) Membatalkan putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin Nomor: 1425/Pid.Sus/

2009/PN.Bjm, tanggal 19 April 2010;

Selanjutnya, Mahkamah Agung mengadili sendiri:

(1) Menyatakan terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad Syahdan, terbukti

secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak pidana

“Melakukan kegiatan eksploitasi dalam kawasan hutan tanpa ijin Menteri”;

(2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Muhammad

Syahdan dengan pidana penjara selama 3 (tiga) tahun penjara;

Adapun alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan Mahkamah Agung dalam

memutuskan perkara a quo antara lain adalah sebagai berikut:61

1. Pada dasarnya dalam kasus a quo telah terdapat tumpang tindih (overlapping)

tentang pengelolaan kawasan pertambangan di wilayah Desa Makmur Mulia KM

12 Sompul, Kecamatan Satui, Kabupaten Tanah Bumbu, antara PT. HRB dengan

terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT;

61

Lihat Salinan Putusan Mahkamah Agung No. 1444 K/Pid.Sus/2010, tanggal 8 Oktober 2010, h.

52-56.

Page 57: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

57

2. Awalnya PT. HRB dengan dasar izin untuk pengelolaan kawasan hutan dari

Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 146/Kpts-II/1998 tanggal 27 Pebruari

1998 tentang Pemberian Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri Pulp seluas

kurang lebih 268.585 Ha. Lokasi tersebut merupakan bagian dari seluruh kawasan

hutan di Kalimantan Selatan seluas 1.839.494 Ha yang ditunjuk berdasarkan

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 tanggal 17

Juni 1999 tentang Kawasan Hutan dan Perairan di Wilayah Propinsi Daerah

Tingkat I Kalimantan Selatan;

3. Di sisi lain terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT telah mendapatkan pula izin

resmi dari Bupati Kotabaru dan Bupati Tanah Bumbu yang terdiri dari:

a. Surat Keputusan No. 545/97.a/KP/D.PE tanggal 23 Januari 2003 tentang Kuasa

Pertambangan Eksplorasi seluas 1.904 Ha;

b. Surat Keputusan No. 545/24-EX/KP/D.PE tanggal 13 Juni 2008 tentang Kuasa

Pertambangan Eksploitasi seluas 1.812 Ha;

c. Surat Keputusan No. 545/24-PP/KP/D.PE tanggal 13 Juni 2008 tentang Kuasa

Pertambangan Pengangkutan dan Penjualan;

4. Ternyata surat-surat Keputusan Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan Eksploitasi

yang dikeluarkan oleh Bupati Kotabaru dan Bupati Tanah Bumbu kepada PT. SBT

seluas 1.904 Ha dan 1.812 Ha tersebut sesuai dengan kenyataan di lapangan adalah

masuk atau terletak di Kawasan Hak Pengusahaan Hutan Tanaman Industri

(HPHTI) dari PT. HRB. Selain itu dalam Surat Keputusan Bupati Kotabaru

mengenai eksploitasi pada lampiran II Romawi V tercantum kewajiban-kewajiban

Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi maupun Eksploitasi yaitu antara lain:

“Jika terjadi pertindihan wilayah kuasa pertambangan dengan kepentingan lahan

lainnya, maka pemegang kuasa pertambangan sebelum melaksanakan kegiatan

harus terlebih dahulu menyelesaikannya dengan ketentuan yang berlaku”;

5. Dari uraian fakta-fakta tersebut di atas ternyata telah terjadi pertindihan wilayah

kuasa pertambangan dengan kepentingan lain yaitu dalam hal ini adalah antara PT.

HRB yang telah mendapatkan izin HPHTI dari Menteri Kehutanan dan

Perkebunan tersebut di atas dengan Surat Keputusan Bupati Kotabaru dan Bupati

Page 58: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

58

Tanah Bumbu atas hak pertambangan eksplorasi dan eksploitasi atas tanah untuk

kuasa pertambangan di wilayah Desa Makmur Mulia KM 12 Sompul, Kecamatan

Satui, Kabupaten Tanah Bumbu kepada terdakwa selaku Direktur Utama PT. SBT.

Jika mengacu kepada Surat Keputusan Bupati pada lampiran II Romawi V tersebut

di atas, maka terdakwa sebagai Pemegang Kuasa Pertambangan Eksplorasi dan

Eksploitasi berkewajiban terlebih dahulu menyelesaikan masalah tumpang tindih

wilayah kuasa pertambangan tersebut kepada PT HRB sesuai dengan ketentuan

yang berlaku dan bukan kepada masyarakat yang berada di wilayah tersebut

sebagaimana terbukti dalam tanda bukti T. 465 s/d T. 668 berupa penggantian

pembebasan lahan yang menjadi areal kerja dari PT. SBT yang telah ditaksir

sejumlah kurang lebih Rp 250.000.000,-;

Ganti rugi tersebut bukan sebagai tujuan atau dimaksud untuk penyelesaian

tumpang tindih wilayah kuasa pertambangan namun sebagai ganti rugi kepada

masyarakat yang dianggap menguasai/menduduki wilayah kuasa pertambangan

yang dikelola oleh terdakwa sebagai Direktur Utama PT. SBT;

6. Seharusnya terdakwa dapat menyelesaikan terlebih dahulu Keputusan Menteri

Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 tanggal 17 Juni 1999 tersebut di

atas dinyatakan tidak berlaku berdasarkan suatu keputusan dari instansi yang

berwenang untuk membatalkan SKEP dimaksud, karenanya sebagai akibatnya

terdakwa telah dinyatakan melakukan perbuatan melawan hukum, untuk itu harus

dijatuhi hukuman;

7. Selain harus dilakukan uji materiel terhadap 2 (dua) Keputusan dari Pejabat

tersebut di atas, maka berdasarkan hasil titik koordinat dari Penyidik sesuai Berita

Acara Pemeriksaan lapangan dengan ditandatangani oleh BPHK yang kemudian

diproses dengan menggunakan software dan overlite kawasan hutan yang

memakai peta bersayap dengan mengacu Keputusan Menteri Kehutanan dan

Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 dengan Berita Acara Tata Batas Kelompok

Hutan Tanah Bumbu diperoleh hasil koordinat dari tanah oleh obyek sengketa

tetap berada di kawasan hutan, dan sesuai dengan peta asli berdasarkan lampiran

Surat Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999

Page 59: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

59

koordinat jatuh pada kawasan hutan milik PT. HRB yang dahulu namanya PT.

Menara Hutan Banua (PT. MHB);

8. Dari uraian pertimbangan tersebut di atas, maka Jaksa Penuntut Umum dapat

membuktikan bahwa putusan Pengadilan Negeri tersebut bukan bebas murni,

karena ternyata terdakwa telah terbukti bersalah melakukan tindak pidana

sebagaimana tersebut dalam Dakwaan Kesatu Primer;

Berdasarkan alasan-alasan di atas Mahkamah Agung berpendapat bahwa

putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No.1425/PID.SUS/ 2009/PN.Bjm. tanggal

19 April 2010 tidak dapat dipertahankan lagi, oleh karena itu harus dibatalkan.

Selanjutnya, Mahkamah Agung mengadili sendiri perkara tersebut, yang pada

pokoknya mengabulkan permohonan kasasi Jaksa Penuntut Umum dan menyatakan

Terdakwa bersalah dan menjatuhkan pidana oleh karenanya.62

3.3.3. Pertimbangan Mahkamah Agung RI dalam Putusan Peninjauan Kembali

No. 157 PK/PID.SUS/2011

Alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon Peninjauan Kembali (Terdakwa)

dalam perkara a quopada pokoknya sebagai berikut:63

1. Majelis Mahkamah Agung yang memeriksa dan mengadili perkara ini pada tingkat

kasasi telah berbuat kekeliruan yaitu melanggar asas dan tidak melaksanakan

ketentuan hukum yang berlaku atau telah melakukan kekeliruan/kekhilafan atau

salah menerapkan ketentuan hukum/undang-undang sebagaimana mestinya. Hal

tersebut dapat dilihat dari fakta-fakta hukum sebagai berikut:

1.1. Majelis Hakim Mahkamah Agung RI melanggar atau tidak melaksanakan

ketentuan Pasal 244 KUHAP yang dengan tegas melarang putusan bebas

untuk dilakukan upaya hukum kasasi. Padahal dalam putusan Pengadilan

Negeri Banjarmasin No. 1425/PID.SUS/2009/PN.Bjm tanggal 19 April 2010

tersebut Pemohon PK/Terdakwa telah diputus dengan putusan bebas dari

segala dakwaan alias bebas murni. Kekeliruan atau kesalahan menerapkan

62

Ibid., h. 56-57 63

Lihat Salinan Putusan MA-RI dalam tingkat PK dalam perkara Terpidana H. Parlin Riduansyah

bin Muhamad Syahdan No. 157PK/Pid.Sus/2011, tanggal 16 September 2011, h. 23-36.

Page 60: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

60

hukum yang dilakukan oleh Mahkamah Agung tersebut jelas merupakan

pelanggaran terhadap asas legalitas dan bertentangan dengan salah satu tujuan

hukum yaitu kepastian hukum. Di samping itu, juga merusak sendi-sendi atau

prinsip-prinsip negara hukum sebagaimana digariskan dalam Pasal 1 ayat (3)

UUD 1945.

1.2. Secara yuridis tindakan Majelis Mahkamah Agung tersebut keliru, karena

alasan-alasan dalam memori kasasi yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum

semuanya berisi penilaian terhadap fakta dan alat-alat bukti yang telah

diungkapkan secara jelas dalam pemeriksaan/persidangan di Pengadilan

Negeri Banjarmasin. Pemeriksaan terhadap hal-hal tersebut secara hukum

bukan merupakan kewenangan Mahkamah Agung dalam pemeriksaan tingkat

kasasi, tetapi merupakan kewenangan Judex Fakti;

1.3. Majelis Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan dalam memutus

perkara tingkat kasasi a quo, sebab dalam pertimbangan hukum putusannya

sama sekali tidak mempertimbangkan legalitas (perizinan) yang mendasari

kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh Pemohon PK/Terdakwa.;

1.4. Majelis Mahkamah Agung telah melakukan kekeliruan atau kekhilafan dalam

memutus perkara tingkat kasasi a quo, karena putusannya didasarkan pada

Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan No. 453/Kpts-II/1999 dalam

menentukan kawasan hutan. Pendapat yang demikian itu keliru sebab

keputusan tersebut belum final (baru tahap awal) dalam menentukan kawasan

hutan yang definitif. (Lihat Pasal 14 dan 15 Undang-undang Nomor 41 Tahun

1999 tentang Kehutanan).

Atas alasan-alasan yang diajukan oleh Pemohon PK/Terdakwa tersebut

dalam pertimbangannya Mahkamah Agung berpendapat:64

Mengenai alasan ad. 1.1. Alasan ini tidak dapat dibenarkan oleh karena

sungguhpun dalam Pasal 244 KUHAP terhadap putusan bebas tidak dapat

diajukan permintaan kasasi, akan tetapi dalam praktek peradilan, Mahkamah

Agung berpendapat selaku Badan Peradilan tertinggi yang mempunyai tugas untuk

64

Ibid., h. 36-37.

Page 61: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

61

membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang di seluruh wilayah

negara diterapkan secara tepat dan adil Mahkamah Agung wajib memeriksa

apabila ada pihak yang mengajukan permohonan kasasi terhadap putusan

pengadilan bawahannya yang membebaskan terdakwa, yaitu guna menentukan

sudah tepat atau adilkah putusan pengadilan bawahannya itu;

Mengenai alasan-alasan ad. 1.2. s/d 1.3. yang menyatakan bahwa Mahkamah

Agung telah melampaui wewenang yaitu memeriksa bukti-bukti pada tingkat

kasasi, alasan ini juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena apabila Mahkamah

Agung berpendapat bahwa alasan-alasan kasasi dari Jaksa Penuntut Umum dapat

dibenarkan, maka Mahkamah Agung akan membatalkan putusan bebas pengadilan

bawahannya dan akan mengadili sendiri. Dalam hal ini Mahkamah Agung akan

mengadili sendiri perkara tersebut, maka dipakai hukum pembuktian yang berlaku

bagi Pengadilan Tingkat Pertama sebagaimana maksud Pasal 50 ayat (2) Undang-

undang Nomot 14 Tahun 1985 sebagaimana telah diubah dengan Undang-undang

Nomor 5 Tahun 2004 dan perubahan kedua dengan Undang-undang Nomor 3

Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung;

Mengenai alasan ad. 1.4. juga tidak dapat dibenarkan, oleh karena bukti baru

PK 1 sampai dengan PK 4 adalah pendapat ahli tentang suatu perkara, yang dibuat

setelah putusan perkaranya, lagi pula beda pendapat tidak dapat dijadikan alasan

hukum permohonan Peninjauan Kembali, sedangkan bukti baru PK 5, Surat Jaksa

Agung pada Menteri Kehutanan yang tidak menimbulkan keadaan baru

sebagaimana dimaksud Pasal 263 ayat (2) huruf a KUHAP;

Berdasarkan pertimbangan di atas, lagi pula ternyata, putusan Judex Facti

dalam perkara ini tidak bertentangan dengan hukum dan/atau undang-undang,

maka permohonan Peninjauan Kembali dari Terdakwa tersebut harus ditolak. Oleh

karena Pemohon Peninjauan Kembali/Terdakwa dipidana, maka harus dibebani

untuk membayar biaya perkara dalam tingkat Peninjauan Kembali.

Mengacu pada alasan-alasan yang dijadikan pertimbangan oleh Mahkamah

Agung dalam memutuskan perkara a quo, baik pada tingkat kasasi maupun tingkat

Page 62: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

62

peninjauan kembali, maka paling tidak ada dua kritik yang dapat digunakan

sebagai pintu analisis terhadap putusan tersebut.

Pertama, berdasarkan Putusan Pengadilan Negeri Banjarmasin No. 1425/

Pid.Sus/2009/PN. Bjm, tanggal 19 April 2010, terdakwa H. Parlin Riduansyah bin

H. Muhamad Syahdan selaku Direktur PT. Satui Bara Tama telah diputus dengan

putusan bebas murni (vrijspraak), mestinya secara yuridis formal putusan yang

demikian itu menurut Pasal 244 KUHAP tidak boleh dilakukan upaya hukum

kasasi. Namun, anehnya dalam praktek di peradilan tanpa didasari alasan dan

dasar hukum yang kuat, Jaksa Penuntut Umum telah mengajukan upaya hukum

kasasi terhadap putusan bebas tersebut ke Mahkamah Agung dan Mahkamah

Agung menerima permohonan kasasi yang menyalahi KUHAP tersebut. Dalam

amar putusan kasasi No. 1444 K/Pid.Sus/2010, tanggal 8 Oktober 2010,

Mahkamah Agung mengabulkan permohonan kasasi dan membatalkan Putusan

Pengadilan Negeri Banjarmasin sebagaimana tersebut di atas, dengan mengadili

sendiri menyatakan Terdakwa H. Parlin Riduansyah bin H. Mohamad Syahdan

terbukti secara sah dan meyakinkan menurut hukum bersalah melakukan tindak

pidana “melakukan kegiatan eksploitasi dalam kawasan hutan tanpa izin Menteri”.

Kedua, menurut hemat saya peradilan pada tingkat kasasi yang dilakukan

oleh Mahkamah Agung tersebut dapat dikualifikasikan sebagai peradilan yang

melanggar hukum formal, karena secara prosedural permohonan kasasi yang

diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum serta diterima dan dikabulkan oleh

Mahkamah Agung tersebut bertentangan dengan Pasal 244 KUHAP. Menurut

terdakwa, putusan kasasi a quo banyak mengandung kekeliruan dan kekhilafan

nyata baik menurut hukum pidana formal maupun hukum pidana materiil. Dengan

ditemukannya beberapa keadaan baru (novum), terdakwa telah mengajukan upaya

hukum luar biasa, yakni peninjauan kembali terhadap putusan kasasi a quo. Akan

tetapi, sebagaimana telah diuraikan di atas, permohonan peninjauan kembali

tersebut ditolak oleh Mahkamah Agung.

Page 63: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

63

3.4. Kritik terhadap Pertimbangan Hukum Mahkamah Agung RI.

Apabila dikaji secara cermat dan teliti, pertimbangan hukum Mahkamah Agung,

khususnya dalam putusan peninjauan kembali, yang menyatakan bahwa “alasan-alasan

ini tidak dapat dibenarkan oleh karena sungguhpun Pasal 244 KUHAP terhadap putusan

bebas tidak dapat diajukan permintaan kasasi, akan tetapi dalam praktik peradilan

Mahkamah Agung berpendapat selaku badan peradilan tertinggi yang mempunyai tugas

untuk membina dan menjaga agar semua hukum dan undang-undang secara tepat dan

adil Mahkamah Agung wajib memeriksa apabila ada pihak yang mengajukan

permohonan kasasi terhadap putusan pengadilan bawahannya yang membebaskan

terdakwa yaitu guna menentukan sudah tepat atau adilkah putusan pengadilan

bawahannya itu”.65

Adapun kritik terhadap pertimbangan hukum Mahkamah Agung RI dalam

putusan peninjauan kembali perkara a quo adalah sebagai berikut:

1. Majelis Hakim secara tegas telah mengetahui dan mengakui bahwa Pasal 244

KUHAP telah melarang permohonan pengajuan kasasi terhadap putusan bebas, akan

tetapi dengan sengaja Majelis Hakim melanggarnya. Sikap hakim yang demikian ini

merupakan tindakan yang “tidak taat norma” dan “tidak taat asas” yang sekaligus

memberikan preseden buruk dalam praktik peradilan yang tidak menjunjung tinggi

asas kepastian hukum;

2. Dalam pertimbangan hukum tersebut Majelis Hakim tidak mengemukakan secara

jelas dasar hukum yang digunakan oleh Majelis Hakim melakukan penyimpangan

terhadap ketentuan Pasal 244 KUHAP, sehingga dapat dikatakan bahwa Majelis

Mahkamah Agung telah melakukan peradilan yang tidak benar, karena bertentangan

dengan hukum formal (Pasal 244 KUHAP) yang isinya sangat jelas dan tegas

melarang upaya hukum kasasi terhadap putusan bebas;

3. Majelis Mahkamah Agung yang memutuskan perkara a quo rupanya tidak peka

memaknai jiwa (suasana kebatinan) dan latar belakang filosofis ketentuan pasal 244

KUHAP, yang pada hakikatnya antara lain bertujuan agar tidak terjadi penumpukan

65

Lihat Putusan Peninjauan Kembali No. 157 PK/PID.SUS/2011, tertanggal 16 September 2011,

h. 36

Page 64: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

64

perkara yang diperiksa dan diadili di Mahkamah Agung dalam rangka menunjang

asas peradilan cepat, sederhana, dan biaya ringan;

4. Majelis Hakim Mahkamah Agung telah mendasarkan putusannya pada kebiasaan

atau praktik peradilan yang salah kaprah, yang bertentangan dengan hukum dan

undang-undang, sebab mengenai hal tersebut telah diatur secara jelas dan tegas dalam

Pasal 244 KUHAP. Sikap Mahkamah Agung yang demikian ini telah mencederai

penegakan hukum yang semestinya dilakukan berdasarkan prinsip-prinsip dalam

negara hukum yang menjunjung tinggi kepastian hukum, di samping keadilan;

5. Jaksa Penuntut Umum selaku Pemohon Kasasi dalam memori kasasinya kecuali

berisi penilaian atas fakta dan alat bukti serta pengulangan atas fakta-fakta dan

pembuktian dalam judex facti juga sama sekali tidak berhasil membuktikan bahwa

putusan bebas yang diputuskan oleh Pengadilan Negeri Banjarmasin bukan putusan

bebas murni atau bebas terselubung, demikian seharusnya berdasarkan Pasal 244

KUHAP Mahkamah Agung tidak berwenang memeriksa dan mengadilinya dalam

tingkat kasasi.

Page 65: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

65

BAB IV

KESIMPULAN DAN SARAN

4.3. Kesimpulan

Berdasarkan penelitian dan analisis masalah sebagaimana telah diuraikan pada bab

III tersebut di atas, maka hasil penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

a. Legalitas izin atau Kuasa Pertambangan (KP) batubara ditentukan oleh kewenangan

dari pejabat yang menerbitkannya. Semula berdasarkan Pasal 15 ayat (3) Undang-

undang Nomor 11 Tahun 1967 tentang Ketentuan-ketentuan Pokok Pertambangan,

KP diberikan dengan Keputusan Menteri Pertambangan (ESDM). Akan tetapi, sejak

berlakunya Undang-undang Otonomi Daerah, yakni Undang-undang Nomor 22

Tahun 1999 sebagaimana diubah dengan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004

tentang Pemerintahan Daerah, pemerintah daerah diberikan kewenangan untuk

menerbitkan Izin Usaha Pertambangan (IUP). Berdasarkan asas praesumptio iustae

causa (vermoeden van rechtmatigheid; praesumption of legality), setiap keputusan

pemerintahan harus dianggap sah sampai ada pembatalan. Mengacu pada asas ini

maka izin usaha pertambangan yang dimiliki oleh PT SBT secara hukum sah sebelum

ada pembatalan dari Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN), mengingat pengujian

terhadap keabsahan izin sebagai produk KTUN merupakan kompetensi absolut dari

Pengadilan Tata Usaha Negara.

b. Penegakan hukum terhadap kejahatan di bidang kehutanan tidak lepas dari konsep

penegakan hukum terhadap lingkungan hidup, mengingat hutan merupakan bagian

Page 66: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

66

dari lingkungan hidup. Sanksi pidana dalam perlindungan lingkungan hidup

dipergunakan sebagai ultimum remedium, artinya bahwa sanksi pidana dalam bidang

lingkungan, termasuk kehutanan, hanya merupakan penunjang saja bagi sanksi

lainnya seperti sanksi administrasi dan sanksi perdata. Berdasarkan prinsip ini, maka

perkara izin pertambangan batubara yang diduga lokasinya bertindihan (overlapping)

dengan kawasan hutan, semestinya terlebih dahulu diselesaikan melalui upaya hukum

administrasi dengan cara mengajukan gugatan terhadap keabsahan terhadap izin

usaha pertambangan tersebut di PTUN. Karena berdasarkan asas legalitas dalam

penyelenggaraan pemerintahan yang berdasarkan hukum (rechtmatigheid van

bestuur; wetmatigheid van bestuur) yang merupakan salah satu sendi dalam konsep

negara hukum yang menjunjung tinggi asas kepastian hukum, seorang atau badan

hukum perdata yang melaksanakan kegiatan usaha berdasarkan izin atau legalitas dari

pemerintah tidak bisa begitu saja dikriminalisasi oleh penegak hukum (polisi, jaksa,

dan hakim) dengan dalih perbuatannya melanggar Undang-undang Kehutanan, tanpa

terlebih dahulu mengajukan gugatan pembatalan terhadap izin tersebut kepada

PTUN. Penegakan hukum pidana dengan cara melanggar prinsip legalitas dan norma

hukum formal (KUHAP) merupakan kebijakan kriminalisasi yang melanggar hukum

atau merupakan bentuk penyalahgunaan kekuasaan (abuse of power; detournement

du pouvoir) dalam penegakan hukum pidana.

4.2. Saran

a. Izin merupakan keputusan dari organ atau pejabat tata usaha negara yang dibuat

berdasarkan peraturan perundang-undangan. Keabsahan dari sebuah izin antara lain

Page 67: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

67

ditentukan oleh kewenangan dari organ atau pejabat yang menerbitkannya. Apabila

ada pihak ketiga atau instansi penegak hukum yang mendalihkan bahwa izin tersebut

melanggar peraturan perundang-undangan, hendaknya mereka mengajukan keberatan

terlebih dahulu kepada organ atau pejabat yang menerbitkannya atau mengajukan

gugatan pembatalan kepada PTUN. Oleh karena itu, penegak hukum hendaknya tidak

melakukan upaya kriminalisasi terhadap seseorang atau badan hukum yang

melakukan aktivitas usaha berdasarkan izin yang diberikan oleh pejabat yang

berwenang berdasarkan penafsiran sendiri.

b. Dalam hal diduga terjadi tumpang tindih (overlapping) kawasan hutan dan area

pertambangan sebagai akibat dari adanya dua KTUN yang diterbitkan oleh organ atau

pejabat tata usaha negara yang masing-masing memiliki kewenangan sendiri-sendiri

berdasarkan undang-undang sektoral, maka hendaknya penyelesaiannya terlebih

dahulu dilakukan melalui mekanisme hukum administrasi dengan cara menguji

keabsahan masing-masing KTUN.

Page 68: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

68

DAFTAR PUSTAKA

Adrian Sutedi, Hukum Pertambangan, Sinar Grafika, Jakarta, 2012

Alam Setia Zain, Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-segi Pidana, Rineka Cipta,

Jakarta, 1997, h. 16-17.

Algra, N.E., et al., Kamus Istilah Hukum Fockema Andreae Belanda Indonesia, Binacipta,

Bandung 1983

Amrah Muslimin, Beberapa Asas dan Pengertian Pokok tentang Administrasi dan Hukum

Administrasi. Alumni, Bandung, 1985

Ateng Syafrudin, Pengurusan Perizinan (Licensing Handling), Pusat Pendidikan dan Pelatihan

St. Aloysius, Bandung, t.t.

Attamimi, A. Hamid S., Peranan Keputusan Presiden Republik Indonesia dalam

Penyelenggaraan Pemerintahan Negara. Disertasi Fakultas Pascasarjana Universitas

Indonesia, Jakarta, 1990

Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005

Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary, 6th Edition, West Publishing, St. Paul

Minnesota, 1990

Indroharto, Usaha Memahami Undang-undang tentang Peradilan Tata Usaha Negara, Buku I,

Beberapa Pengertian Dasar Hukum Tata Usaha Negara, Sinar Harapan, Jakarta, 1993

Irfan Fachruddin, Pengawasan Peradilan Administrasi terhadap Tindakan Pemerintah, PT

Alumni, Bandung, 2004

Jan Gijssels dan Mark van Hoecke, Apakah Teori Hukum itu?, Terjemahan B. Arief Sidharta,

FH Unpar, Bandung, 2000

Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Bayumedia Publishing,

Malang, 2006

Marbun, S.F., Peradilan Adminstrasi Negara dan Upaya Administratif di Indonesia, Liberty,

Yogyakarta, 1997

Mochtar Kusumaatmadja, Fungsi dan Perkembangan Hukum dalam Pembangunan Nasional,

PT Binacipta, Jakarta, t.t.

Padmo Wahjono, Sistem Hukum Nasional dalam Negara Hukum Pancasila, Rajawali, Jakarta,

1983

Page 69: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

69

Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, 2005

Philipus M. Hadjon, et.all, Pengantar Hukum Administrasi Indonesia, Gadjah Mada University

Press, Yogyakarta, 1993

-------, “Asas Legalitas Keputusan Pemerintahan”, Pendapat Hukum, 12 Maret 2011

Poerwadarminta, W.J.S., Kamus Umum Bahasa Indonesia, Balai Pustaka, Jakarta, 1984

Ridwan HR, Hukum Administrasi Negara, UII Press, Cetakan Kedua, Yogyakarta, 2003

Sajuti Thalib, Kuasa Pertambangan di Indonesia, Akademi Geologi dan Pertambangan,

Bandung, 1977

Satjipto Rahardjo, Masalah Penegakan Hukum: Suatu Tinjauan Sosiologis, Sinar Baru,

Bandung, t.t.

Soejono, Kejahatan dan Penegakan Hukum di Indonesia, Rineka Cipta, Jakarta, 1994

Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Penegakan Hukum, Rajawali, Jakarta,

1986

Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat,

Radja Grafindo Persada, Jakarta, 1994

Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum, Paradigma, Metode dan Dinamika Masalahnya, Elsam &

Huma, Jakarta, 2002

Soetaryo Sigit, Analisis Kebijakan Sektor Pertambangan Indonesia, Makalah Jurusan Teknik

Pertambangan FTM-ITB, Bandung, 27 September 1997

Spelt, N.M., dan J.B.J.M. ten Berge, Pengantar Hukum Perizinan, Penyunting Philipus M.

Hadjon, Utrecht, 1991

Sri Soemantri Martosoewignjo, Bunga Rampai Hukum Tata Negara Indonesia, Alumni,

Bandung, 1992

Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Liberty,Yogyakarta, 1996

Sunaryati Hartono, Masalah-masalah dalam Joint Ventures antara Modal Asing dan Modal

Indonesia, PT Alumni, Bandung, 1974

-------, Penelitian Hukum di Indonesia pada Akhir Abad ke-20, Alumni, Bandung, 1994

Tatiek Sri Djatmiati, Prinsip Izin Usaha Industri di Indonesia, Disertasi, Universitas

Airlangga, Surabaya, 2002

Utrecht, E., Pengantar Hukum Administrasi Negara Indonesia, FHPM Univ. Negeri

Padjadjaran, Bandung, 1960

Page 70: KATA PENGANTAR - infodiknas.com · 2016. 4. 15. · 3 KATA PENGANTAR Dengan memanjatkan puji dan syukur atas kehadirat Allah SWT, penelitian dengan judul: Kriminalisasi terhadap Pemegang

70

Von Schmid, J.J., Ahli-ahli Pemikir Besar tentang Negara dan Hukum, Terjemahan Wiratno

dan Djamaluddin Dt. Singomangkuto, PT Pembangunan, Jakarta, 1959

Widjaja, A.W., Etika Administrasi Negara, Bumi Aksara, Cetakan Kedua, Jakarta, 1999

http://lutfichakim.blogspot.com/2011/12/penegakan-hukum-perizinan.html, 19 Desember 2011.