kasus bangsal fix.doc
TRANSCRIPT
STATUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : Tn. A
Jenis Kelamin : Laki-laki
Usia : 63 tahun
Agama : Islam
Suku : Betawi
Pendidikan Terakhir : Tamat SMP
Status Pernikahan : Menikah
Pekerjaan : Tidak Bekerja
Alamat : Mekarsari – Banjar
Tanggal Masuk RS : 16 Juni 2015
II. RIWAYAT PERAWATAN
a. Rawat Jalan : Belum pernah
b. Rawat Inap : Belum pernah
III. RIWAYAT PSIKIATRI
ALLOANAMNESIS
Tanggal : 16 Juni 2015
Nama : Ibu Citra
Hubungan dengan pasien : menantu pasien, akrab, dapat dipercaya
Keluhan Utama:
Suka jalan-jalan.
Riwayat Penyakit Sekarang:
(Alloanamnesa)
Pasien dibawa ke Rumah Sakit pada tanggal 16 Juni 2015 oleh
keluarga pasien dikarenakan pasien keluyuran malam hari mendatangi rumah
tetangga.
4 tahun SMRS pasien mulai pelupa (lupa menutup jok motor setelah isi
bensin). Sebelumnya pasien sempat pingsan sebentar, di rawat di RSUD
Banjar dan didiagnosa vertigo. Karena keluhan pelupa belum berat, keluarga
menganggap biasa.
Sejak 2 tahun yang lalu setelah istri pasien meninggal, pasien
mengalami perubahan perilaku yang semakin parah. Pasien berhenti bekerja
sejak istri meninggal, karena diminta oleh anak pasien. Sejak tidak bekerja,
pasien lebih banyak menyendiri dan sering tampak melamun. Pasien mulai
mudah lupa dengan apa yang akan di lakukan dan tampak tidak fokus. Pasien
sering tampak lupa waktu (adzan tidak pada waktunya), mudah marah.
Keluarga pasien masih menganggap biasa.
6 bulan SMRS, pasien semakin mudah lupa apa yang akan dilakukan.
Saat itu anak ke-3 pasien pindah ke dekat tempat tinggal pasien. Hubungan
pasien dengan anak ke-3 kurang harmonis. Anak ke-3 pasien tidak bisa
menerima keadaan pasien yang semakin pelupa dan menurut anak ke-3
semakin hari semakin aneh. Anak pertama dan anak ke-3 pasien sering
bertengkar di depan pasien membahas keadaan pasien. Sejak 6 bulan SMRS,
pasien sering keluar rumah dan pergi kerumah tetangga dan merasa dirinya
adalah hansip didaerah tersebut. Pasien sering memakai baju, celana dan
sendal terbalik. Pasien sering mondar-mandir dari rumah ke jamban dekat
rumah dan jika ditanya oleh anggota keluarga sedang apa pasien mengatakan
bahwa lupa apa yang hendak dilakukan. Pasien menjadi semakin mudah
marah, sering mengamuk, melempar barang, makin mudah curiga dan tidur
kurang.
1 bulan SMRS, pasien mengatakan bahwa pasien mendengar suara
yang meminta pasien untuk pergi ke jamban, menyuruh pasien untuk
membersihkan diri. Pasien semakin sering mondar mandir setiap waktu di
sekitar rumah dan mengatakan bahwa dirinya harus ke kelurahan untuk
membuat KTP.
1 minggu SMRS, keluarga merasa perilaku pasien semakin memburuk.
Pasien sering tidak berada dirumah, dan keluarga tidak mengetahui pasien
pergi kemana.
1 hari SMRS, pasien diantarkan oleh tetangga karena diketahui
mendatangi rumah warga sekitar tempat tinggal sambil mengatakan bahwa
pasien merupakan hansip yang sedang berkeliling. Untuk itu keluarga
memutuskan membawa pasien ke Psikiater RSUD Banjar.
(Autoanamnesa)
Pasien sulit di ajak berkomunikasi, ketika ditanya mengapa sering
keluar rumah pasien mengatakan lupa apa yang sudah pasien lakukan. Pasien
mengaku sering ke jamban dekat rumah karena ada suara diteling yang
memerintah pasien untuk melakukan hal tersebut. Pasien mengaku bahwa
pasien merupakan hansip didaerah tempat tinggal pasien.
Riwayat Penyakit Dahulu:
a. Gangguan psikiatrik
Pasien tidak memiliki gangguan psikiatri sebelumnya.
b. Gangguan Medik
Pasien pernah mengalami kecelakaan hingga patah tulang paha kiri,
ditabrak mobil, dan dirawat di rumah sakit hingga sembuh. Pasien pernah
mengalami abses di mulut dan dirawat hingga sembuh di rumah sakit.
Pasien memiliki riwayat menderita vertigo.
c. Gangguan Zat Psikoaktif
Konsumsi zat psikoaktif dan alkohol disangkal. Sebelum masuk
rumah sakit pasien masih mengkonsumsi rokok tiap hari.
Riwayat Kehidupan Pribadi
a. Riwayat Perkembangan Prenatal dan Perinatal
Pasien dilahirkan dalam keadaan yang sehat tidak ada trauma saat
kehamilan dan saat kehamilan ibu pasien tidak mengkonsumsi obat-
obatan, pada saat persalinan ibu pasien ditolong oleh bidan.
b. Riwayat Perkembangan Masa Kanak-kanak Awal (0 – 3 tahun)
Perkembangan fisiknya cukup baik, pola perkembangan motorik juga
baik. Riwayat tumbuh kembang pasien baik (sesuai dengan usianya).
c. Riwayat Kanak-kanak Pertengahan (3 – 11 tahun)
Pasien merupakan anak yang baik. Sejak sekolah, pasien memiliki
banyak teman, tidak pernah berkelahi/bermasalah di sekolah dan
lingkungan tempat tinggal. Prestasi di sekolah biasa saja.
d. Riwayat Masa Pubertas dan Remaja
Hubungan sosial
Sikap pasien terhadap orangtua, adik dan kakak kandung, kerabat, dan
tetangga cukup baik. Pasien dapat bergaul dengan baik dengan teman-
temannya.
Riwayat pendidikan
Pendidikan terakhir pasien sampai tamat SMP. Pasien sempat
bersekolah SMA namun tidak lulus SMA karena sering tidak masuk
sekolah.
Perkembangan kognitif
Pasien termasuk anak yang malas belajar dan sulit untuk
berkonsentrasi di sekolah.
Perkembangan motorik
Selama ini dirasa baik dan normal. Pasien mampu melakukan
aktivitas dan kegiatan sehari-hari dengan baik seperti makan, minum,
toilet, dan kebersihan diri.
Perkembangan emosi dan fisik
Pasien dinilai memiliki emosi yang biasa saja, kadang senang kadang
juga sedih.
Riwayat psikoseksual
Pasien memiliki banyak pacar, pasien sering bergaul baik dengan
teman laki-laki ataupun perempuan.
e. Riwayat Masa Dewasa
Riwayat pekerjaan
Pasien seorang siswsa tamatan SMP. Pasien tidak dapat
menyelesaikan SMA karena dikeluarkan dari sekolah karena sering tidak
masuk sekolah dan terlibat tawuran disekolah.
Riwayat pernikahan
Pasien sudah menikah 2 kali. Dengan istri kedua tidak pernah lagi
bertemu. Istri kedua tinggal di Jakarta, sedangkan pasien tahun 1997
pindah ke Banjar mengikuti istri pertama setelah orang tua pasien di
Jakarta meninggal.
Riwayat keagamaan
Menurut keluarga, pasien rajin beribadah. Pasien mengaku beragama
Islam.
Riwayat aktivitas sosial
Pasien bersama teman-teman dilingkungan rumah aktif dalam
kegiatan sosial didesanya. Pasien pernah menjadi motivator tentang KB di
Banjar.
Riwayat hukum
Pasien mengaku pernah bermasalah dengan hukum saat masih
dibangku SMA namun tidak pernah menjadi tahanan penjara.
f. Riwayat Keluarga
Pasien merupakan anak kedua dari 2 bersaudara. Orang tua pasien
setelah melahirkan pasien bercerai. Ibu pasien menikah lagi, ayah pasien
juga menikah lagi, dan kedua orang tua memiliki anak dari pernikahan
masing masing. Setelah beberapa tahun orang tua pasien kembali rujuk.
Pasien memiliki 3 saudara tiri. Hubungan pasien dengan 2 saudara tiri
harmonis dan juga dengan saudara kandung hubungan harmonis. Pasien
sering bertengkar dengan saudara tiri pasien yang ke-3, hubungan tidak
harmonis. Pasien dengan sepupu pasien berhubungan harmonis. Pasien
memiliki 4 anak, 2 anak perempuan dan 2 anak laki-laki. Hubungan pasien
dengan 3 anaknya harmonis, namun dengan anak ke-3 kurang harmonis,
pasien sebelum sakit sering bertengkar dengan anak ke-3 karena anak ke-3
mempunyai banyak masalah. Hubungan pasien dengan menantu-menantu
baik begitu pula dengan 4 cucu pasien.
g. Situasi Kehidupan Sekarang
Pasien tinggal bersama anak pertama beserta menantu dan juga 2
cucu pasien. Pasien dekat dan memiliki hubungan yang harmonis dengan
keluarga yang tinggal bersama pasien. Keluarga yang tinggal bersama
pasien juga tidak keberatan mengurus pasien dengan keadaan pasien saat
ini.
Berdasarkan home visit ke rumah pasien pada hari Jumat 10 Juni
2015 didapatkan : Rumah yang ditinggali pasien adalah milik anak
pertama pasien sendiri. Kondisi rumah pasien tampak dari luar dan dalam
terbuat dari bilik, berwarna putih usang, rumah dengan luas 5 x 5 m,
berada ditepi empang Beratapkan genteng, terdiri dari 1 kamar tidur, 1
ruang keluarga dan ruang tamu, dan 1 dapur.
Rumah terbilang tidak cukup untuk tempat tinggal yang dihuni oleh 5
orang. Lantai rumah dari semen yang di alas tikar. Perabotan yang ada
dirumah yaitu 1 tempat tidur dari kapuk di dalam kamar tidur, 1 setrika, 1
dispenser, 1 lemari baju, 2 kasur kapuk di ruang tamu, 1 tape dan 1 lemari
plastik di ruang tamu.
Sirkulasi udara didalam rumah kurang baik. Akses jalan menuju
rumah pasien memadai karena masih terdapat jalan setapak ke rumah.
Keluarga mempunyai 1 kendaraan motor. Jarak antara rumah pasien
dengan tetangga sekitar 1-2 meter.
h. Tanggapan Keluarga Setelah Pasien Dirawat
Keluarga inti tidak merasa malu memiliki keluarga yang dirawat di
RSUD Banjar. Keluarga menyadari sepenuhnya bahwa pasien sedang
sakit dan perlu perawatan khusus di RSUD untuk penyakitnya. Keluarga
optimis pasien akan sembuh dari keadaan pasien saat ini.
i. Tanggapan tetangga sekitar rumah setelah pasien dirawat
Tetangga sekitar rumah pasien mendukung pasien dan masih optimis
bahwa pasien bisa sembuh. Tetangga sekitar mayoritas tidak menganggap
pasien gila.
IV. STATUS FISIK
Didapatkan hasil laboratorium pada tanggal 29 Juni 2015:
SGOT: 228 µ/L
SGPT: 56 µ/L
V. STATUS MENTAL
A. Deskripsi Umum
Penampilan
Pasien seorang laki-laki, dengan tinggi 160 cm dan berat badan 45 kg.
Pasien berkulit sawo matang, menggunakan baju yang disediakan oleh
RSUD Banjar. Pasien saat itu menggunakan pakaian rawat inap bangsal
tanjung, berwarna hijau. Cara berjalan pasien tampak kebingungan, dan
wajah bingung.
Perilaku dan aktivitas psikomotor
Pasien nampak gelisah, perhatian pasien kurang baik, kurang berminat
untuk diwawancara. Konsentrasi pasien kurang baik. Namun, saat ditanya
pasien selalu terlihat bingung. Agitasi (+), riwayat wandering (+).
Pembicaraan ( speech )
Cara berbicara : spontan
Volume berbicara : sedang
Kecepatan berbicara : lambat
Gangguan berbicara : tidak ada afasia, tidak ada disartria
B. Alam Perasaan
Mood : mudah kesal
Afek : irritable
Kesesuaian : sesuai
a. Gangguan Persepsi
Halusinasi
o Auditorik : ada
o Visual : tidak ada
o Taktil : ada
o Gustatorik : tidak ada
Ilusi: tidak ada
b. Gangguan Pikir
Bentuk : autistik (+)
Proses Pikir
o Produktivitas : terbatas
o Kontinuitas
Blocking : tidak ada
Asosiasi longgar : ada
Inkoherensia : tidak ada
Word salad : tidak ada
Neologisme : tidak ada
Flight of idea : tidak ada
Sirkumstansial : tidak ada
Isi pikir
o Gangguan isi pikiran
Waham
Bizarre : tidak ada
Persekutorik/paranoid : tidak ada
Curiga : ada
Kejar : tidak ada
Referensi : tidak ada
Kebesaran : tidak ada
Thought of insertion : tidak ada
Thought of broadcasting : tidak ada
Thought of withdrawal : tidak ada
Delution of influence : tidak ada
Obsesi : tidak ada
Kompulsi : tidak ada
Preokupasi pikiran : tidak ada
c. Sensorium dan Kognitif
Kesadaran : composmentis
Orientasi : kurang
o Waktu (pasien tidak mampu menyatakan sekarang ini
siang/sore/malam).
o Tempat (pasien tidak dapat menyebutkan bahwa saat ini
sedang berada di RS).
o Orang (pasien tidak tahu bahwa ia ke RSUD Banjar berobat
dengan dokter Psikiatri).
Daya ingat : kurang
o Daya ingat jangka panjang baik (pasien dapat mengingat nama
anaknya, nama istrinya).
o Daya ingat jangka pendek baik (pasien dapat mengingat menu
sarapan pagi tadi).
o Daya ingat yang baru-baru ini terjadi kurang (pasien tidak dapat
mengingat kapan ia datang ke rumah sakit dan diantar anak dan
menantunya).
o Daya ingat segera kurang (pasien tidak dapat mengingat nama
dokter muda yang wawancara saat itu).
Konsentrasi : kurang
d. Daya Nilai
Daya nilai sosial: baik
Menurut pasien mencuri adalah perbuatan tidak baik.
Uji daya nilai: kurang
Misalnya, jika pasien menemukan dompet (dengan identitas
pemilik) dijalan dan terdapat uang Rp. 1.000.000,- ia bingung untuk
mengembalikan dompet beserta uang tersebut kemana.
Daya nilai realitas: baik
e. Reality Test Ability (RTA) : terganggu
Karena pada pasien terdapat waham curiga maka pada pasien ini
RTA dinilai terganggu.
f. Tilikan: tilikan derajat I (pasien tidak menyadari bahwa dirinya sakit)
V. IKHTISAR PENEMUAN YANG BERMAKNA
RTA : terganggu
Tingkah laku : agitasi (+), riwayat wandering (+)
Mood : mudah kesal
Afek : irritable, sesuai
Gangguan persepsi : halusinasi (+), ilusi (-)
Gangguan bentuk pikir : autistik (+)
Gangguan proses pikir : asosiasi longgar (+)
Gangguan isi pikir : waham curiga (+)
Tilikan : tilikan derajat I
Faktor stresor : - Istri pasien meninggal sejak 2
tahun yang
lalu.
- Hubungan dengan anak ke-3 kurang harmonis
sejak 6 bulan SMRS.
VI. FORMULASI DIAGNOSTIK
Berdasarkan PPDGJ-III kasus ini digolongkan kedalam:
AKSIS I : F01.1 Demensia Multi Infark (dengan Behaviour Psychological
Symptoms of Dementia/BPSD)
Adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir.
Tidak ada gangguan kesadaran.
Tidak disebabkan gangguan akibat alkohol dan zat psikoaktif lainnya.
AKSIS II : Diagnosis tertunda
AKSIS III : Suspek drug-induced hepatitis
AKSIS IV : Masalah lingkungan keluarga
AKSIS V : GAF SCALE 1 tahun 70-61
GAF SCALE pemeriksaan 60-51
VII. EVALUASI MULTIAKSIAL
AKSIS I : F01.1 Demensia Multi Infark (dengan Behaviour
Psychological Symptoms of Dementia/BPSD)
AKSIS II : Diagnosis tertunda
AKSIS III : Suspek drug-induced hepatitis
AKSIS IV : Masalah lingkungan keluarga
AKSIS V : GAF SCALE 1 tahun 70-61
GAF SCALE pemeriksaan 60-51
VIII. DAFTAR MASALAH
a. Organobiologik : Suspek drug-induced hepatitis
b. Psikologi : riwayat wandering, agitasi, dan waham curiga
c. Sosial : tidak ada
d. Keluarga : - Istri pasien meninggal sejak 2 tahun yang
lalu.
- Hubungan dengan anak ke-3 kurang harmonis sejak 6
bulan SMRS.
IX. PROGNOSIS
Faktor-faktor yang mendukung kearah prognosis baik:
o Keluarga pasien masih mendukung pasien untuk sembuh.
Faktor-faktor yang mendukung kearah prognosis buruk:
o Tidak ada
Kesimpulan prognosisnya adalah:
Quo ad vitam : ad bonam
Quo ad functionam : dubia ad bonam
Quo ad sanationam : dubia ad malam
X. PENATALAKSANAAN
Rawat ruang isolasi, fiksasi bila perlu.
Pengobatan:
1. Farmakoterapi
Hari ke-1
Stesolid injeksi 10 mg ( ½ amp – 0 – ½ amp ) selama 3 hari
Hari ke-2 (ditambah injeksi + oral)
Lodomer injeksi 5 mg ( ½ amp – 0 – ½ amp ) selama 2 hari
Persidal tab 2 mg ( ½ tab – 0 – ½ tab)
Fridep tab 50 mg ( ½ tab – 0 – 0 )
Clobazam tablet 10 mg ( 0 – 0 – 1 tab )
Hari ke-3 (dihentikan injeksi)
Hari ke-7 (dosis persidal dinaikkan)
Persidal tab 2 mg (1 tab – 0 – 1 tab)
Hari ke-14 (ditambah injeksi)
Delladryl injeksi 2 x 2 cc selama 2 hari
Konsul ke dr. Sp.PD keluhan mencret
Hari ke-15
Sementara obat antipsikotik dihentikan dahulu sampai jelas etiologi
peningkatan SGOT (228 U/L) dan SGPT (56 U/L).
Hari ke-16
Terapi obat antipsikotik sementara belum masuk sampai etiologi
peningkatan SGOT dan SGPT jelas.
Clobazam tablet 10 mg (0 – 0 – ¼ tab)
Lain-lain sesuai terapi dr. Sp.PD
Hari ke-18 (coba obat antipsikotik diganti dengan dosis rendah)
Haloperidol tablet 1.5 mg (1 tab – 0 – 1 tab)
Clobazam tablet 10 mg (0 – 0 – ½ tab)
2. Terapi Psikoterapi
a. Memotivasi pasien agar minum obat teratur dan
kontrol rutin setelah pulang dari perawatan.
Dengan cara memberi tahu akibat yang terjadi apabila tidak rutin
minum obat, seperti : “Bapak/Ibu, harus rutin minum obat yang
diresepkan oleh dokter, karena apabila tidak rutin, gejala-gejala yang
menyebabkan bapak/ibu dirawat akan muncul kembali dan mungkin
bapak/ibu akan dirawat kembali”.
b. Memberikan edukasi kepada pasien bahwa obat yang diminum tidak
menimbulkan ketergantungan justru sebagai pengontrol zat kimia di otak
agar gejala yang dialami pasien bisa terkontrol dan pasien bisa menjalani
kehidupan sehari-hari seperti sebelum sakit. Hal ini sangat penting,
karena banyak pasien merasa seperti berbeda dari orang lain. Sehingga
pasien merasa tidak pantas untu berbaur ataupun bekerja. Hal ini harus
dicegah, karena sesungguhnya dengan melakukan aktivitas rutin, seperti
bekerja atau menyalurkan hobi, akan membantu kesembuhan pasien.
3. Terapi Kognitif
Menjelaskan pada pasien tentang penyakit dan gejala-gejalanya,
menerangkan tentang gejala penyakit yang timbul akibat cara berfikir,
perasaan dan sikap terhadap masalah yang dihadapi.
Apabila tedapat beban pikiran yang berlebihan pada pasien akan
menimbulkan kekambuhan gejala lagi, walaupun pasien diterapi obat. Hal
ini pentingnya pengetahuan pasien tentang keadaan pasien tersebut.
4. Terapi Sosial
Melibatkan pasien secara aktif dalam kegiatan terapi aktivitas
kelompok di lingkungan rumah agar ia dapat beraktivitas dan berinteraksi
dengan lingkungannya.
Proses terapi aktivitas kelompok pada dasarnya lebih kompleks dari
pada terapi individual, oleh karena itu untuk memimpinya memerlukan
pengalaman dalam psikoterapi individual. Dalam kelompok terapis akan
kehilangan sebagian otoritasnya dan menyerahkan kepada kelompok.
Terapis sebaiknya mengawali dengan mengusahakan terciptanya
suasana yang tingkat kecemasannya sesuai, sehingga pasien terdorong
untuk membuka diri dan tidak menimbulkan atau mengembalikan
mekanisme pertahanan diri. Setiap permulaan dari suatu terapi aktivitas
kelompok yang baru merupakan saat yang kritis karena prosedurnya
merupakan suatu yang belum pernah dialami oleh anggota kelompok dan
mereka dihadapkan dengan orang lain.
Setalah pasien berkumpul, mereka duduk melingkar, terapis memulai
dengan memperkenalkan diri terlebih dahulu dan juga memperkenalkan co-
terapis dan kemudian mempersilahkan anggota untuk memperkenalkan diri
secara bergilir, bila ada anggota yang tidak mampu maka terapis
memperkenalkannya. Terapis kemudian menjelaskan maksud dan tujuan
serta prosedur terapi kelompok dan juga masalah yang akan di bicarakan
dalam kelompok. Topik atau masalah dapat ditentukan oleh terapis atau
usul pasien. Ditetapkan bahwa anggota bebas membicarakan apa saja,
bebas mengkritik siapa saja termasuk terapis. Terapis sebaiknya bersifat
moderat dan menghindarkan kata-kata yang dapat diartikan sebagai
perintah.
Dalam prosesnya kalau terjadi blocking, terapis dapat membiarkan
sementara. Blocking yang terlalu lama dapat menimbulkan kecemasan yang
meningkat oleh karena terapisnya perlu mencarikan jalan keluar. Dari
keadaan ini mungkin ada indikasi bahwa ada beberapa pasien masih perlu
mengikuti terapi individual. Bisa juga terapis merangsang anggota yang
banyak bicara agar mengajak temannya yang kurang banyak bicara. Dapat
juga co-terapis membantu mengatasi kemacetan.
Kalau terjadi kekacauan, anggota yang menimbulkan terjadinya
kekacauan dikeluarkan dan terapi aktivitas kelompokn berjalan terus
dengan memberikan penjelasan kepada semua anggota kelompok. Setiap
komentar atau permintaan yang datang dari anggota diperhatikan dengan
sungguh-sungguh. Terapis bukanlah guru, penasehat, atau bukan pula wasit.
Terapis lebih banyak pasif atau katalisator. Terapis hendaknya menyadari
bahwa tidak menghadapi individu dalam suatu kelompok tetapi menghadapi
kelompok yang terdiri dari individu-individu.
Diakhir terapi aktivitas kelompok, terapis menyimpulkan secara
singkat pembicaraan yang telah berlangsung / permasalahan dan solusi
yang mungkin dilakukan. Dilanjutkan kemudian dengan membuat
perjanjian pada anggota untuk pertemuan berikutnya.
5. Terapi Keluarga
Menjelaskan kepada keluarga pasien mengenai penyakit pasien,
penyebabnya, faktor pencetus, perjalanan penyakit dan rencana terapi serta
memotivasi keluarga pasien untuk selalu mendorong pasien
mengungkapkan perasaaan dan pemikirannya.
Dikarenakan banyak keluarga pasien akibat stigma masyarakat,
keluarga pasien menjadi malu, sehingga keluarga kekurangan empati
terhadap pasien sendiri. Hal ini harus dicegah, dengan memberikan
dukungan kepada keluarga, untuk menyayangi pasien selayaknya keluarga
yang sedang sakit dan butuh perhatian keluarga untuk kesembuhannya.
6. Terapi Pekerjaan
Memanfaatkan waktu luang dengan melakukan hobi atau pekerjaan
yang bermanfaat. Kita tanyakan pasien, tanyakan pekerjaan dahulu dan
pekerjaan yang ditawari dari orang lain. Hal ini tentunya apabila insight of
ilness pasien sudah baik dan tidak ada gejala. Kita bantu untuk memulihkan
pekerjaan yang tepat sehingga pasien mempunyai aktifitas rutin sehari-hari
layaknya orang normal.
TINJAUAN PUSTAKA
Gangguan kesehatan pada golongan lansia terkait erat dengan proses
degenerasi yang tidak dapat dihindari. Seluruh sistem, cepat atau lambat akan
mengalami degenerasi. Manifestasi klinik, laboratorik dan radiologik bergantung pada
organ dan/atau sistem yang terkena. Perubahan yang normal dalam bentuk dan fungsi
otak yang sudah tua harus dibedakan dari perubahan yang disebabkan oleh penyakit
yang secara abnormal mengintensifkan sejumlah proses penuaan. Salah satu
manifestasi klinik yang khas adalah timbulnya demensia. Penyakit semacam ini sering
dicirikan sebagai pelemahan fungsi kognitif atau sebagai demensia. Memang,
demensia dapat terjadi pada umur berapa saja, bergantung pada faktor penyebabnya,
namun demikian demensia sering terjadi pada lansia.
Demensia merupakan sindroma yang ditandai oleh berbagai gangguan fungsi
kognitif tanpa gangguan kesadaran. Fungsi kognitif yang dapat dipengaruhi pada
demensia adalah inteligensia umum, belajar dan ingatan, bahasa, memecahkan
masalah, orientasi, persepsi, perhatian, konsentrasi, pertimbangan dan kemampuan
sosial. Disamping itu, suatu diagnosis demensia menurut Diagnostic and Statistical
Manual of Mental Disorders edisi keempat (DSM-IV) mengharuskan bahwa gejala
menyebabkan gangguan fungsi sosial atau pekerjaan yang berat dan merupakan suatu
penurunan dari tingkat fungsi sebelumnya.
Dari aspek medik, demensia merupakan masalah yang tak kalah rumitnya
dengan masalah yang terdapat pada penyakit kronis lainnya (stroke, diabetes mellitus,
hipertensi, keganasan). Ilmu kedokteran dan kesehatan mengemban misi untuk
meningkatkan kualitas hidup manusia. Seseorang yang mengalami demensia pasti
akan mengalami penurunan kualitas hidup. Keberadaannya dalam lingkungan
keluarga dan masyarakat menjadi beban bagi lingkungannya, tidak dapat mandiri lagi.
Keberhasilan pembangunan kesehatan dalam upaya menurunkan angka
kematian umum dan bayi, sangatlah membantu peningkatan umur harapan hidup
(UHH). Pada tahun 2000 umur harapan hidup antara 65-70 tahun meningkat menjadi
9,37 persen dari tahun sebelumnya. Dalam istilah demografi, penduduk Indonesia
sedang bergerak kearah struktur penduduk yang semakin menua (ageing population).
Peningkatan umur harapan hidup akan menambah jumlah lansia yang akan
berdampak pada pergeseran pola penyakit dari penyakit infeksi ke penyakit
degeneratif atau neoplasma. Peningkatan ini juga akan menambah populasi penderita
demensia.
Menurut WHO, penduduk lansia dibagi atas; usia pertengahan (middle age) :
45-69 tahun, usia lanjut (elderly) : 60-74 tahun, tua (old) : 75-90 tahun, dan usia
sangat tua (very old) : lebih dari 90 tahun.
Diantara orang Amerika yang berusia 65 tahun, kira-kira lima persen
menderita demensia berat dan 15 persen menderita demensia ringan. Diantara yang
berusia 80 tahun, kira-kira 20 persen menderita demensia berat. Dari semua pasien
dengan demensia, 50 sampai 60 persen menderita demensia Alzheimer, yang
merupakan tipe demensia paling sering. Kira-kira lima persen dari semua orang yang
mencapai usia 65 tahun menderita demensia Alzheimer, dibandingkan dengan 15
sampai 25 persen dari semua orang yang berusia 85 tahun atau lebih. Faktor risiko
untuk perkembangan demensia tipe Alzheimer adalah wanita, mempunyai sanak
saudara tingkat pertama dengan gangguan tersebut, dan mempunyai riwayat cedera
kepala.
Tipe demensia yang paling sering selain Alzheimer adalah demensia vaskular,
yaitu demensia yang secara kausatif berhubungan dengan penyakit serebrovaskular.
Demensia vaskular berjumlah 15-30 persen dari semua kasus demensia. Demensia
vaskular paling sering ditemukan pada orang yang berusia antara 60-70 tahun dan
lebih sering pada laki-laki dibandingkan wanita. Hipertensi merupakan predisposisi
seseorang terhadap penyakit.
Pada tahun 1970 Tomlinson dkk, melalui penelitian klinis-patologik,
mendapatkan bahwa bila demensia disebabkan oleh penyakit vaskular, hal ini
biasanya terjadi karena adanya infark di otak, dan hal ini melahirkan konsep
“demensia multi-infark”. Untuk menegakkan diagnosis demensia juga dibutuhkan
adanya gangguan memori sebagai suatu sarat. Hal ini dapat dibenarkan pada penyakit
Alzheimer, karena gangguan memori merupakan gejala dini. Namun pada demensia
vaskular sarat ini kurang tepat.
II.1. DEFINISI
Ada sejumlah definisi tentang demensia, tetapi semuanya harus mengandung
tiga hal pokok, yaitu gangguan kognitif, gangguan tadi harus melibatkan berbagai
aspek fungsi kognitif dan bukannya sekedar penjelasan defisit neuropsikologik, dan
pada penderita tidak terdapat gangguan kesadaran, demikian pula delirium yang
merupakan gambaran yang menonjol.
Definisi lain mengenai demensia adalah hilangnya fungsi intelektual seperti
daya ingat, pembelajaran, penalaran, pemecahan masalah, dan pemikiran abstrak,
sedangkan fungsi vegetatif (diluar kemauan) masih tetap utuh.
Di dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi
keempat (DSM-IV) demensia dicirikan oleh adanya defisit kognitif multipleks
(termasuk gangguan memori) yang secara langsung disebabkan oleh gangguan
kondisi medik secara umum, bahan-bahan tertentu (obat, narkotika, toksin), atau
berbagai faktor etiologi. Demensia dapat progresif, statik atau dapat pula mengalami
remisi. Reversibilitas demensia merupakan fungsi patologi yang mendasarinya serta
bergantung pula pada ketersediaan dan kecepatan terapi yang efektif.
II.2. KLASIFIKASI
Demensia berhubungan dengan beberapa jenis penyakit.
a. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Medik: Hal ini meliputi
hipotiroidisme, penyakit Cushing, defisiensi nutrisi, kompleks
demensia AIDS, dan sebagainya.
b. Penyakit yang berhubungan dengan Sindrom Neurologi: Kelompok ini
meliputi korea Huntington, penyakit Schilder, dan proses demielinasi
lainnya; penyakit Creutzfeldt-Jakob; tumor otak; trauma otak; infeksi
otak dan meningeal; dan sejenisnya.
c. Penyakit dengan demensia sebagai satu-satunya tanda atau tanda yang
mencolok: Penyakit Alzheimer dan penyakit Pick adalah termasuk
dalam kategori ini.
Demensia dari segi anatomi dibedakan antara demensia kortikal dan demensia
subkortikal. Dari etiologi dan perjalanan penyakit dibedakan antara demensia
yang reversibel dan irreversibel (tabel).
Tabel 1. Perbedaan demensia kortikal dan subkortikal
Ciri Demensia Kortikal Demensia Subkortikal
Penampilan Siaga, sehat Abnormal, lemah
Aktivitas Normal Lamban
Sikap Lurus, tegak Bongkok, distonik
Cara berjalan Normal Ataksia, festinasi,
seolah berdansa
Gerakan Normal Tremor, khorea,
diskinesia
Output verbal Normal Disatria, hipofonik,
volum suara lemah
Berbahasa Abnormal, parafasia,
anomia
Normal
Kognisi Abnormal (tidak mampu
memanipulasi
pengetahuan)
Tak terpelihara
(dilapidated)
Memori Abnormal (gangguan
belajar)
Pelupa (gangguan
retrieval)
Kemampuan visuo-
spasial
Abnormal (gangguan
konstruksi)
Tidak cekatan
(gangguan gerakan)
Keadaan emosi Abnormal (tak
memperdulikan, tak
menyadari)
Abnormal (kurang
dorongan drive)
Contoh Penyakit Alzheimer,
Pick
Progressive
Supranuclear Palsy,
Parkinson, Penyakit
Wilson, Huntington.
Dikutip dari Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994,
69.
Tabel 2. Beberapa penyebab demensia pada dewasa yang belum dapat diobati/
irreversibel.
Primer degeneratif
- Penyakit Alzheimer
- Penyakit Pick
- Penyakit Huntington
- Penyakit Parkinson
- Degenerasi olivopontocerebellar
- Progressive Supranuclear Palsy
- Degenerasi cortical-basal ganglionic
Infeksi
- Penyakit Creutzfeldt-Jakob
- Sub-acute sclerosing panencephalitis
- Progressive multifocal leukoencephalopathy
Metabolik
- Metachromatic leukodyntrophy
- Penyakit Kuf
- Gangliosidoses
Dikutip dari Guberman A. Clinical Neurology. Little Brown and Coy, Boston, 1994,
67.
Tabel 3. Beberapa penyebab demensia yang dapat diobati/ reversibel.
Obat-obatan anti-kolinergik (mis. Atropin dan sejenisnya); anti-
konvulsan (mis. Phenytoin, Barbiturat); anti-hipertensi
(Clonidine, Methyldopa, Propanolol); psikotropik
(Haloperidol, Phenothiazine); dll (mis. Quinidine,
Bromide, Disulfiram).
Metabolik-gangguan
sistemik
gangguan elektrolit atau asam-basa; hipo-hiperglikemia;
anemia berat; polisitemia vera; hiperlipidemia; gagal
hepar; uremia; insufisiensi pulmonal; hypopituitarism;
disfungsi tiroid, adrenal, atau paratiroid; disfungsi
kardiak; degenerasi hepatolenticular.
Gangguan intrakranial insufisiensi cerebrovascular; meningitis atau encephalitis
chronic, neurosyphilis, epilepsy, tumor, abscess,
hematoma subdural, multiple sclerosis, normal pressure
hydrocephalus.
Keadaan defisiensi vitamin B12, defisiensi folat, pellagra (niacin).
Gangguan collagen-
vascular
systemic lupus erythematosus, temporal arteritis,
sarcoidosis, syndrome Behcet.
Intoksikasi eksogen alcohol, carbon monoxide, organophosphates, toluene,
trichloroethylene, carbon disulfide, timbal, mercury,
arsenic, thallium, manganese, nitrobenzene, anilines,
bromide, hydrocarbons.
Dikutip dari Gilroy J. Basic Neurology. Pergamon press, New York, 1992, 195.
II.3. ETIOLOGI
Demensia mempunyai banyak penyebab, tetapi demensia tipe Alzheimer dan
demensia vaskular sama-sama berjumlah 75 persen dari semua kasus. Penyebab
demensia lainnya yang disebutkan dalam DSM-IV adalah penyakit Pick, penyakit
Creutzfeldt-Jakob, penyakit Parkinson, Human Immunodeficiency Virus (HIV), dan
trauma kepala.
II.3.1. Demensia tipe Alzheimer
Alois Alzheimer pertama kali menggambarkan suatu kondisi yang selanjutnya
diberi nama dengan namanya dalam tahun 1907, saat ia menggambarkan seorang
wanita berusia 51 tahun dengan perjalanan demensia progresif selama empat setengah
tahun. Diagnosis akhir penyakit Alzheimer didasarkan pada pemeriksaan
neuropatologi otak; namun demikian, demensia tipe Alzheimer biasanya didiagnosis
dalam lingkungan klinis setelah penyebab demensia lainnya telah disingkirkan dari
pertimbangan diagnostik.
Penyakit Alzheimer adalah suatu jenis demensia umum yang tidak diketahui
penyebabnya. Penelitian otopsi mengungkapkan bahwa lebih dari setengah penderita
yang meninggal karena demensia senil mengalami penyakit jenis Alzheimer ini. Pada
kebanyakan penderita, berat kasar otak pada saat otopsi jauh lebih rendah dan
ventrikel dan sulkus jauh lebih besar dibandingkan yang normal untuk seukuran usia
tersebut. Demielinasi dan peningkatan kandungan air pada jaringan otak ditemukan
berdekatan dengan ventrikel lateral dan dalam beberapa daerah lain di bagian dalam
hemisfer serebrum pada penderita manula, khususnya mereka yang menderita
penyakit Alzheimer.
Pada penderita dengan demensia senil jenis Alzheimer terdapat peningkatan
dramatis (dibandingkan dengan penderita manula normal) dalam jumlah kekusutan
neurofibril dan plak neuritik dan juga penurunan 60-90 persen dalam kadar kolin
asetiltransferase (enzim yang menghasilkan sintesis asetilkolin) di korteks.
Neuropatologi. Observasi makroskopis neuro-anatomik klasik pada otak dari seorang
pasien dengan penyakit Alzheimer adalah atrofi difus dengan pendataran sulkus
kortikal dan pembesaran ventrikel serebral. Temuan mikroskopis klasik dan
patognomonik adalah bercak-bercak senilis, kekusutan neurofibriler, hilangnya
neuronal (kemungkinan sebanyak 50 persen di korteks), dan degenerasi
granulovaskular pada neuron. Kekusutan neurofibriler bercampur dengan elemen
sitoskeletal, terutama protein berfosforilasi, walaupun protein sitoskeletal lainnya juga
ditemukan. Kekusutan neurofibriler adalah tidak unik pada penyakit Alzheimer,
karena keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma Down, demensia pugilistic
(punch-drunk syndrome), kompleks demensia Parkinson dari Guam, penyakit
Hallervorden-Spatz, dan otak orang lanjut usia yang normal. Kekacauan neurofibriler
biasanya ditemukan di korteks, hipokampus, substansia nigra, dan lokus sereleus.
Plak senilis juga dikenal sebagai plak amiloid, adalah jauh lebih indikatif
untuk penyakit Alzheimer, walaupun keadaan tersebut juga ditemukan pada sindroma
Down dan sampai derajat tertentu, pada penuaan normal.
Protein prekursor amiloid. Gen untuk protein prekursor amiloid adalah pada lengan
panjang kromosom 21. Melalui proses penyambungan diferensial, sesungguhnya
terdapat empat bentuk protein prekursor amiloid. Protein beta/A4, yang merupakan
kandungan utama dari plak senilis, adalah suatu peptida dengan 42 asam amino yang
merupakan produk penghancuran protein prekursor amiloid. Pada sindroma Down
(trisomi 21), terdapat tiga cetakan protein prekursor amiloid, dan pada penyakit
dimana terjadi mutasi pada kodon 717 dalam gen protein prekursor amiloid, suatu
proses patologis menghasilkan deposisi protein beta/A4 yang berlebihan. Pertanyaan
apakah proses pada protein prekursor amiloid yang abnormal adalah penyebab utama
yang penting pada penyakit Alzheimer masih belum terjawab. Tetapi, banyak
kelompok peneliti secara aktif mempelajari proses metabolik normal dari protein
prekursor amiloid dan prosesnya pada pasien dengan demensia tipe Alzheimer dalam
usaha untuk menjawab pertanyaan tersebut.
Kelainan neurotransmiter. Neurotransmiter yang paling berperan dalam
patofisiologis adalah asetilkolin dan norepinefrin, keduanya dihipotesiskan menjadi
hipoaktif pada penyakit Alzheimer. Beberapa penelitian telah melaporkan data yang
konsisten dengan hipotesis bahwa suatu degenerasi spesifik pada neuron kolinergik
ditemukan pada nukleus basalis Meynerti pada pasien dengan penyakit Alzheimer.
Data lain yang mendukung adanya defisit kolinergik pada penyakit Alzheimer adalah
penurunan konsentrasi asetilkolin dan kolin asetiltransferase di dalam otak. Kolin
asetiltransferase adalah enzim kunci untuk sintesis asetilkolin, dan penurunan
konsentrasi kolin asetiltransferase menyatakan penurunan jumlah neuron kolinergik
yang ada. Dukungan tambahan untuk hipotesis defisit kolinergik berasal dari
observasi bahwa antagonis kolinergik, seperti skopolamin dan atropin mengganggu
kemampuan kognitif, sedangkan agonis kolinergik, seperti physostigmin dan arecolin,
telah dilaporkan meningkatkan kemampuan kognitif. Penuaian aktivitas norepinefrin
pada penyakit Alzheimer diperkirakan dari penurunan neuron yang mengandung
norepinefrin didalam lokus sareleus yang telah ditemukan pada beberapa
pemeriksaan patologis otak dari pasien dengan penyakit Alzheimer. Dua
neurotransmiter lain yang berperan dalam patofisiologi penyakit Alzheimer adalah
dua peptida neuroaktif, somatostatin dan kortikotropin, keduanya telah dilaporkan
menurun pada penyakit Alzheimer.
Penyebab potensial lainnya. Teori kausatif lainnya telah diajukan untuk menjelaskan
perkembangan penyakit Alzheimer. Satu teori adalah bahwa kelainan dalam
pengaturan metabolisme fosfolipid membran menyebabkan membran yang
kekurangan cairan yaitu lebih kaku dibandingkan normal. Beberapa peneliti telah
menggunakan pencitraan spektroskopik resonansi molekular (molecular resonance
spectroscopic: MRS) untuk memeriksa hipotesis tersebut pada pasien dengan
demensia tipe Alzheimer. Toksisitas aluminium juga telah dihipotesiskan sebagai
faktor kausatif, karena kadar aluminium yang tinggi telah ditemukan dalam otak
beberapa pasien dengan penyakit Alzheimer.
Suatu gen (E4) telah dihubungkan dalam etiologi penyakit Alzheimer. Orang
dengan satu salinan gen menderita penyakit Alzheimer tiga kali lebih sering daripada
orang tanpa gen E4. Orang dengan dua gen E4 mempunyai kemungkinan menderita
penyakit delapan kali lebih sering daripada orang tanpa gen E4.
II.3.2. Demensia Vaskular
Penyebab utama dari demensia vaskular dianggap adalah penyakit vaskular
serebral yang multipel, yang menyebabkan suatu pola gejala demensia. Gangguan
dulu disebut sebagai demensia multi-infark dalam Diagnostic and Statistical Manual
of Mental Disorders edisi ketiga yang di revisi (DSM-III-R). Demensia vaskular
paling sering pada laki-laki, khususnya pada mereka dengan hipertensi yang telah ada
sebelumnya atau faktor risiko kardiovaskular lainnya. Gangguan terutama mengenai
pembuluh darah serebral berukuran kecil dan sedang, yang mengalami infark
menghasilkan lesi parenkim multipel yang menyebar pada daerah otak yang luas.
Penyebab infark mungkin termasuk oklusi pembuluh darah oleh plak arteriosklerotik
atau tromboemboli dari tempat asal yang jauh (sebagai contohnya katup jantung).
Suatu pemeriksaan pasien dapat menemukan bruit karotis, kelainan funduskopi, atau
pembesaran kamar jantung.
II.3.3. Penyakit Pick
Berbeda dengan distribusi patologi parietal-temporal pada penyakit
Alzheimer, penyakit Pick ditandai oleh atrofi yang lebih banyak dalam daerah
frontotemporal. Daerah tersebut juga mengalami kehilangan neuronal, gliosis, dan
adanya badan Pick neuronal yang merupakan massa elemen sitoskeletal. Badan Pick
ditemukan pada beberapa spesimen postmortem tetapi tidak diperlukan untuk
diagnosis. Penyebab penyakit Pick tidak diketahui. Penyakit Pick berjumlah kira-kira
lima persen dari semua demensia yang irreversibel. Penyakit ini paling sering terjadi
pada laki-laki, khususnya mereka yang mempunyai sanak saudara derajat pertama
dengan kondisi tersebut. Penyakit Pick sulit dibedakan dari demensia tipe Alzheimer,
walaupun stadium awal penyakit Pick lebih sering ditandai oleh perubahan
kepribadian dan perilaku, dengan fungsi kognitif lain yang relatif bertahan. Gambaran
sindroma Kluver-Bucy (sebagai contohnya, hiperseksualitas, plasiditas, hiperoralitas)
adalah jauh lebih sering pada penyakit Pick dibandingkan pada penyakit Alzheimer.
II.3.4. Penyakit Creutzfeldt-Jakob
Penyakit Creutzfeldt-Jakob adalah penyakit degeneratif otak yang jarang, yang
disebabkan oleh agen yang progresif secara lambat, dan dapat ditransmisikan (yaitu,
agen infektif), paling mungkin suatu prion, yang merupakan agen proteinaseus yang
tidak mengandung DNA atau RNA. Penyakit-penyakit lain yang berhubungan dengan
prion adalah scrapie (penyakit pada domba), kuru (suatu gangguan degeneratif sistem
saraf pusat yang fatal pada suku di dataran tinggi Guinea dimana prion ditransmisikan
melalui kanibalisme ritual), dan sindroma Gesrtman-Straussler (suatu demensia
progresif, familial, dan sangat jarang). Semua gangguan yang yang berhubungan
dengan prion menyebabkan degenerasi berbentuk spongiosa pada otak, yang ditandai
dengan tidak adanya respon imun inflamasi.
Bukti-bukti menunjukkan bahwa pada manusia penyakit Creutzfeldt-Jakob
dapat ditransmisikan secara iatrogenik, melalui transplantasi kornea atau instrumen
bedah yang terinfeksi. Tetapi, sebagian besar penyakit, tampaknya sporadik,
mengenai individual dalam usia 50-an. Terdapat bukti bahwa periode inkubasi
mungkin relatif singkat (satu sampai dua tahun) atau relatif lama (delapan sampai 16
tahun). Onset penyakit ditandai oleh perkembangan tremor, ataksia gaya berjalan,
mioklonus, dan demensia. Penyakit biasanya secara cepat progresif menyebabkan
demensia yang berat dan kematian dalam 6 sampai 12 tahun. Pemeriksaan cairan
serebrospinal biasanya tidak mengungkapkan kelainan, dan pemeriksaan tomografi
komputer dan MRI mungkin normal sampai perjalanan gangguan yang lanjut.
Penyakit ditandai oleh adanya pola elektroensefalogram (EEG) yang tidak biasa, yang
terdiri dari lonjakan gelombang lambat dengan tegangan tinggi.
II.3.5. Penyakit Binswanger
Penyakit Binswanger juga dikenal sebagai ensefalopati arteriosklerotik
kortikal. Penyakit ini ditandai dengan adanya banyak infark-infark kecil pada
substansia alba, jadi menyerang daerah kortikal. Walaupun penyakit Binswanger
sebelumnya dianggap sebagai kondisi yang jarang, kemajuan teknik pencitraan yang
canggih dan kuat, seperti pencitraan resonansi magnetik (magnetic resonance
imaging: MRI), telah menemukan bahwa kondisi tersebut adalah lebih sering daripada
yang sebelumnya dipikirkan.
II.3.6. Penyakit Huntington
Penyakit Huntington biasanya disertai dengan perkembangan demensia.
Demensia yang terlihat pada penyakit Huntington adalah tipe demensia subkortikal,
yang ditandai oleh kelainan motorik yang lebih banyak dan kelainan bicara yang lebih
sedikit dibandingkan tipe demensia kortikal (tabel 1). Demensia pada penyakit
Huntington ditandai oleh perlambatan psikomotor dan kesulitan melakukan tugas
yang kompleks, tetapi ingatan, bahasa, dan tilikan tetap relatif utuh pada stadium awal
dan menengah dari penyakit. Tetapi, saat penyakit berkembang, demensia menjadi
lengkap dan ciri yang membedakan penyakit ini dari demensia tipe Alzheimer adalah
tingginya insidensi depresi dan psikosis, disamping gangguan pergerakan koreoatetoid
yang klasik.
II.3.7. Penyakit Parkinson
Seperti penyakit Huntington, parkinsonisme adalah suatu penyakit pada
ganglia basalis yang sering disertai dengan demensia dan depresi. Diperkirakan 20
sampai 30 persen pasien dengan penyakit Parkinson menderita demensia, dan
tambahan 30 sampai 40 persen mempunyai gangguan kemampuan kognitif yang dapat
diukur. Pergerakan yang lambat pada pasien dengan penyakit Parkinson adalah
disertai dengan berpikir yang lambat pada beberapa pasien yang terkena, suatu ciri
yang disebut oleh beberapa dokter sebagai bradifenia (bradyphenia).
II.3.8. Demensia yang berhubungan dengan HIV
Infeksi dengan Human Immunodeficiency Virus (HIV) seringkali
menyebabkan demensia dan gejala psikiatrik lainnya. Pasien yang terinfeksi dengan
HIV mengalami demensia dengan angka tahunan kira-kira 14 persen. Diperkirakan 75
persen pasien dengan sindroma immunodefisiensi didapat (AIDS) mempunyai
keterlibatan sistem saraf pusat saat otopsi. Perkembangan demensia pada pasien yang
terinfeksi HIV seringkali disertai oleh tampaknya kelainan parenkimal pada
pemeriksaan MRI.
II.3.9. Demensia yang berhubungan dengan Trauma Kepala
Demensia dapat merupakan suatu sekuela dari trauma kepala, demikian juga
berbagai sindroma neuropsikiatrik.
II.4. GAMBARAN KLINIK
Gambaran utama demensia adalah munculnya defisit kognitif multipleks,
termasuk gangguan memori, setidak-tidaknya satu di antara gangguan gangguan
kognitif berikut ini: afasia, apraksia, agnosia, atau gangguan dalam hal fungsi
eksekutif. Defisit kognitif harus sedemikian rupa sehingga mengganggu fungsi sosial
atau okupasional (pergi ke sekolah, bekerja, berbelanja, berpakaian, mandi, mengurus
uang, dan kehidupan sehari-hari lainnya) serta harus menggambarkan menurunnya
fungsi luhur sebelumnya.
II.4.1. Gangguan memori
Dalam bentuk ketidakmampuannya untuk belajar tentang hal-hal baru, atau
lupa akan hal-hal yang baru saja dikenal, dikerjakan atau dipelajari. Sebagian
penderita demensia mengalami kedua jenis gangguan memori tadi. Penderita
seringkali kehilangan dompet dan kunci, lupa bahwa sedang meninggalkan bahan
masakan di kompor yang menyala, dan merasa asing terhadap tetangganya. Pada
demensia tahap lanjut, gangguan memori menjadi sedemikian berat sehingga
penderita lupa akan pekerjaan, sekolah, tanggal lahir, anggota keluarga, dan bahkan
terhadap namanya sendiri.
II.4.2. Gangguan orientasi
Karena daya ingat adalah penting untuk orientasi terhadap orang, tempat, dan
waktu. Orientasi dapat terganggu secara progresif selama perjalanan penyakit
demensia. Sebagai contohnya, pasien dengan demensia mungkin lupa bagaimana
kembali ke ruangannya setelah pergi ke kamar mandi. Tetapi, tidak masalah
bagaimana beratnya disorientasi, pasien tidak menunjukkan gangguan pada tingkat
kesadaran.
II.4.3. Afasia
Dapat dalam bentuk kesulitan menyebut nama orang atau benda. Penderita
afasia berbicara secara samar-samar atau terkesan hampa, dengan ungkapan kata-kata
yang panjang, dan menggunakan istilah-istilah yang tak menentu misalnya “anu”,
“itu”, “apa itu”. Bahasa lisan dan tertulis dapat pula terganggu. Pada tahap lanjut,
penderita dapat menjadi bisu atau mengalami gangguan pola bicara yang dicirikan
oleh ekolalia (menirukan apa yang dia dengar) atau palilalia yang berarti mengulang
suara atau kata terus-menerus.
II.4.4. Apraksia
Adalah ketidakmampuan untuk melakukan gerakan meskipun kemampuan
motorik, fungsi sensorik dan pengertian yang diperlukan tetap baik. Penderita dapat
mengalami kesulitan dalam menggunakan benda tertentu (menyisir rambut) atau
melakukan gerakan yang telah dikenali (melambaikan tangan). Apraksia dapat
mengganggu keterampilan memasak, mengenakan pakaian, menggambar.
II.4.5. Agnosia
Adalah ketidakmampuan untuk mengenali atau mengidentifikasi benda
maupun fungsi sensoriknya utuh. Sebagai contoh, penderita tak dapat mengenali
kursi, pena, meskipun visusnya baik. Akhirnya, penderita tak mengenal lagi anggota
keluarganya dan bahkan dirinya sendiri yang tampak pada cermin. Demikian pula,
walaupun sensasi taktilnya utuh, penderita tak mampu mengenali benda yang
diletakkan di tangannya atau yang disentuhnya misalnya kunci atau uang logam.
II.4.6. Gangguan fungsi eksekutif
Yaitu merupakan gejala yang sering dijumpai pada demensia. Gangguan ini
mempunyai kaitan dengan gangguan di lobus frontalis atau jaras-jaras subkortikal
yang berhubungan dengan lobus frontalis. Fungsi eksekutif melibatkan kemampuan
berpikir abstrak, merencanakan, mengambil inisiatif, membuat urutan, memantau, dan
menghentikan kegiatan yang kompleks. Gangguan dalam berpikir abstrak dapat
muncul sebagai kesulitan dalam menguasai tugas/ide baru serta menghindari situasi
yang memerlukan pengolahan informasi baru atau kompleks.
II.4.7. Perubahan Kepribadian
Perubahan kepribadian pasien demensia merupakan gambaran yang paling
mengganggu bagi keluarga pasien yang terkena. Sifat kepribadian sebelumnya
mungkin diperkuat selama perkembangan demensia. Pasien dengan demensia juga
mungkin menjadi introvert dan tampaknya kurang memperhatikan tentang efek
perilaku mereka terhadap orang lain. Pasien demensia yang mempunyai waham
paranoid biasanya bersikap bermusuhan terhadap anggota keluarga dan pengasuhnya.
Pasien dengan gangguan frontal dan temporal kemungkinan mengalami perubahan
kepribadian yang jelas dan mungkin mudah marah dan meledak-ledak.
II.4.8. Gangguan Lain
Psikiatri. Disamping psikosis dan perubahan kepribadian, depresi dan
kecemasan adalah gejala utama pada kira-kira 40 sampai 50 persen pasien demensia,
walaupun sindroma gangguan depresif yang sepenuhnya mungkin hanya ditemukan
pada 10 sampai 20 persen pasien demensia. Pasien dengan demensia juga
menunjukkan tertawa atau menangis yang patologis, yaitu emosi yang ekstrim tanpa
provokasi yang terlihat.
Neurologis. Disamping afasia pada pasien demensia, apraksia dan agnosia
adalah sering, dan keberadaannya dimasukkan sebagai kriteria diagnostik potensial
dalam DSM-IV. Tanda neurologis lain yang dapat berhubungan dengan demensia
adalah kejang, yang terlihat pada kira-kira 10 persen pasien dengan demensia tipe
Alzheimer dan 20 persen pasien dengan demensia vaskular, dan presentasi neurologis
yang atipikal, seperti sindroma lobus parietalis nondominan. Refleks primitif-seperti
refleks menggenggam, moncong, mengisap, kaki-tonik, dan palmomental-mungkin
ditemukan pada pemeriksaan neurologis, dan jerks mioklonik ditemukan pada lima
sampai sepuluh persen pasien.
Pasien dengan demensia vaskular mungkin mempunyai gejala neurologis
tambahan-seperti nyeri kepala, pusing, pingsan, kelemahan, tanda neurologis fokal,
dan gangguan tidur-mungkin menunjukkan lokasi penyakit serebrovaskular. Palsi
serebrobulbar, disartria, dan disfagia juga lebih sering pada demensia vaskular
dibandingkan demensia lain.
Reaksi katastropik. Pasien demensia juga menunjukkan penurunan
kemampuan untuk menerapkan apa yang disebut oleh Kurt Goldstein sebagai perilaku
abstrak. Pasien mempunyai kesulitan dalam generalisasi dari suatu contoh tunggal,
dalam membentuk konsep, dan dalam mengambil perbedaan dan persamaan di antara
konsep-konsep. Selanjutnya, kemampuan untuk memecahkan masalah, untuk
memberikan alasan secara logis, dan untuk membuat pertimbangan yang sehat adalah
terganggu. Goldstein juga menggambarkan suatu reaksi katastropik, yang ditandai
oleh agitasi sekunder karena kesadaran subjektif tentang defisit intelektualnya di
bawah keadaan yang menegangkan. Pasien biasanya berusaha untuk mengkompensasi
defek tersebut dengan menggunakan strategi untuk menghindari terlihatnya kegagalan
dalam daya intelektual, seperti mengubah subjek, membuat lelucon, atau mengalihkan
pewawancara dengan cara lain. Tidak adanya pertimbangan atau control impuls yang
buruk sering ditemukan, khususnya pada demensia yang terutama mempengaruhi
lobus frontalis. Contoh dari gangguan tersebut adalah bahasa yang kasar, humor yang
tidak sesuai, pengabaian penampilan dan higiene pribadi, dan mengabaikan aturan
konvensional tingkah laku sosial.
Sindroma Sundowner. Sindroma ini ditandai oleh mengantuk, konfusi,
ataksia, dan terjatuh secara tidak disengaja. Keadaan ini terjadi pada pasien lanjut usia
yang mengalami sedasi berat dan pada pasien demensia yang bereaksi secara
menyimpang bahkan terhadap dosis kecil obat psikoaktif. Sindroma juga terjadi pada
pasien demensia jika stimuli eksternal, seperti cahaya dan isyarat yang menyatakan
interpersonal, adalah menghilang.
Pemeriksaan neurologis dasar tidak menemukan sesuatu yang abnormal. Hasil
dari semua pemeriksaan laboratorium adalah normal, termasuk B12, folat, T4 dan
serologi; tetapi pemeriksaan tomografi komputer menunjukkan atrofi kortikal yang
nyata.
II.5. DIAGNOSIS
Diagnosis demensia didasarkan pada pemeriksaan klinis pasien, termasuk
pemeriksaan suatu mental, dan pada informasi dari anggota keluarga, teman-teman,
dan perusahaan. Keluhan perubahan kepribadian pada seorang pasien yang berusia
lebih dari 40 tahun menyatakan bahwa suatu diagnosis demensia harus
dipertimbangkan dengan cermat.
Keluhan dari pasien tentang gangguan intelektual dan menjadi pelupa harus
diperhatikan, demikian juga tiap bukti pengelakan, penyangkalan, atau rasionalisasi
yang ditujukan untuk menyembunyikan defisit kognitif. Keteraturan yang berlebihan,
penarikan sosial atau kecenderungan untuk menghubungkan peristiwa-peristiwa
dalam perincian yang kecil-kecil dapat merupakan karakteristik. Ledakan kemarahan
yang tiba-tiba atau sarkasme dapat terjadi. Penampilan dan perilaku pasien harus
diperhatikan. Labilitas emosional, dandanan yang kotor, ucapan yang tidak tertahan,
gurauan yang bodoh, atau ekspresi wajah atau gaya yang bodoh, apatik atau kosong
menyatakan adanya demensia, terutama jika disertai dengan gangguan ingatan.
II.5.1. Demensia tipe Alzheimer
Kriteria diagnostik DSM-IV untuk demensia tipe Alzheimer menekankan
adanya gangguan ingatan dan disertai terdapatnya sekurang-kurangnya satu gejala lain
dari penurunan kognitif (afasia, apraksia, agnosia, atau fungsi eksekutif yang
abnormal). Kriteria diagnostik juga memerlukan suatu penurunan yang terus menerus
dan bertahap pada fungsi, gangguan fungsi sosial atau pekerjaan, dan menyingkirkan
penyebab demensia lainnya. DSM-IV menyatakan bahwa usia dari onset dapat
digolongkan sebagai awal (pada usia 65 tahun atau kurang) atau lambat (setelah usia
65 tahun) dan gejala perilaku yang predominan dapat diberi kode dengan diagnosis,
jika sesuai.
II.5.2. Demensia Vaskular
Gejala umum dari demensia vaskular adalah sama dengan gejala untuk
demensia tipe Alzheimer, tetapi diagnosis demensia vaskular memerlukan bukti klinis
maupun laboratoris yang mendukung penyebab vaskular dari demensia.
II.5.3. Demensia karena kondisi medis lainnya
DSM-IV menuliskan enam penyebab spesifik demensia yang dapat diberi
kode secara langsung: penyakit HIV, trauma kepala, penyakit Parkinson, penyakit
Huntington, penyakit Pick,
dan penyakit Creutz-feldt-Jakob. Suatu kategori ketujuh memungkinkan dokter
menspesifikasi kondisi medis nonpsikiatrik lainnya yang berhubungan dengan
demensia.
II.5.4. Demensia menetap akibat zat
Alasan utama bahwa kategori DSM-IV ini dituliskan dengan demensia dan
gangguan yang berhubungan dengan zat adalah untuk mempermudah dokter berpikir
tentang diagnosis banding. Zat spesifik yang merupakan referensi silang DSM-IV
adalah alkohol, inhalan, sedatif, hipnotik, atau ansiolitik, dan zat lain atau yang tidak
diketahui.
II.6. DIAGNOSIS BANDING
Perbaikan yang terus menerus dalam teknik pencitraan otak, khususnya MRI,
telah membuat perbedaan antara demensia, terutama demensia tipe Alzheimer dan
demensia vaskular agak lebih cepat dibandingkan di masa lalu pada beberapa kasus.
Suatu bidang penelitian yang sedang giat dilakukan adalah menggunakan tomografi
komputer emisi foton tunggal (single photon emission computed tomography;
SPECT) untuk mendeteksi pola metabolisme otak dalam berbagai jenis demensia; dan
tidak lama lagi, penggunaan pencitraan SPECT dapat membantu dalam diagnosis
banding klinis penyakit demensia.
II.6.1. Demensia tipe Alzheimer lawan demensia vaskular
Biasanya demensia vaskular telah dibedakan dari demensia tipe Alzheimer
dengan pemburukan yang mungkin menyertai penyakit serebrovaskular selama satu
periode waktu. Walaupun pemburukan yang jelas dan bertahap mungkin tidak
ditemukan pada semua kasus, gejala neurologis fokal adalah lebih sering pada
demensia vaskular dibandingkan pada demensia tipe Alzheimer, demikian juga faktor
risiko standar untuk penyakit serebrovaskular.
II.6.2. Demensia vaskular lawan Serangan Iskemik Transien
Serangan iskemik transien (transient ischemic attacks/ TIA) adalah episode
singkat disfungsi neurologis fokal yang berlangsung kurang dari 24 jam (biasanya
lima sampai 15 menit). Walaupun terdapat berbagai mekanisme yang mungkin
bertanggung jawab, episode seringkali disebabkan oleh mikroembolisasi dari suatu
lesi intrakranial proksimal yang menyebabkan iskemia otak transien, dan episode
biasanya menghilang tanpa perubahan patologis yang bermakna pada jaringan
parenkim. Kira-kira sepertiga pasien dengan serangan iskemik transien yang tidak
diobati selanjutnya mengalami suatu infark otak; dengan demikian, pengenalan
serangan iskemik transien adalah suatu strategi klinis yang penting untuk mencegah
infark otak.
II.6.3. Delirium
Gangguan memori terjadi baik pada delirium maupun pada demensia.
Delirium juga dicirikan oleh menurunnya kemampuan untuk mempertahankan dan
memindahkan perhatian secara wajar. Gejala delirium bersifat fluktuatif, sementara
demensia menunjukkan gejala yang relatif stabil. Gangguan kognitif yang bertahan
tanpa perubahan selama beberapa bulan lebih mengarah kepada demensia daripada
delirium. Delirium dapat menutupi dejala demensia. Dalam keadaan sulit untuk
membedakan apakah terjadi delirium atau demensia, maka dianjurkan untuk memilih
demensia sebagai diagnosa sementara, dan mengamati penderita lebih lanjut secara
cermat untuk menentukan jenis gangguan yang sebenarnya.
II.6.4. Depresi
Depresi yang berat dapat disertai keluhan tentang gangguan memori, sulit
berpikir dan berkonsentrasi, dan menurunnya kemampuan intelektual secara
menyeluruh. Kadang-kadang penderita menunjukkan penampilan yang buruk pada
pemeriksaan status mental dan neuropsikologi. Terutama pada lanjut usia, sering kali
sulit untuk menentukan apakah gejala gangguan kognitif merupakan gejala demensia
atau depresi. Kesulitan ini dapat dipecahkan melalui pemeriksaan medik yang
menyeluruh dan evaluasi awitan gangguan yang ada, urutan munculnya gejala depresi
dan gangguan kognitif, perjalanan penyakit, riwayat keluarga, serta hasil pengobatan.
Apabila dapat dipastikan bahwa terdapat demensia bersama-sama dengan depresi,
dengan etiologi yang berbeda, kedua diagnosis dapat ditegakkan bersama-sama.
II.6.5. Amnesia
Amnesia dicirikan oleh gangguan memori yang berat tanpa gangguan fungsi
kognitif lainnya (afasia, apraksia, agnosia, dan gangguan eksekutif/daya abstraksi).
II.6.6. Retardasi mental
Retardasi mental dicirikan oleh fungsi intelektual di bawah rata-rata, yang
diiringi oleh gangguan dalam penyesuaian diri, yang awitannya di bawah 18 tahun.
Apabila demensia tampak pada usia di bawah 18 tahun, diagnosis demensia dan
retardasi mental dapat ditegakkan bersama-sama asal kriterianya terpenuhi.
II.6.7. Skizofrenia
Pada skizofrenia mungkin terjadi gangguan kognitif multipleks, tetapi
skizofrenia muncul pada usia lebih muda; disamping itu dicirikan oleh pola gejala
yang khas tanpa disertai etiologi yang spesifik. Yang khas, gangguan kognitif pada
skizofrenia jauh lebih berat daripada gangguan kognitif pada demensia.
II.7. TERAPI
Beberapa kasus demensia dianggap dapat diobati karena jaringan otak yang
disfungsional dapat menahan kemampuan untuk pemulihan jika pengobatan dilakukan
tepat pada waktunya. Riwayat medis yang lengkap, pemeriksaan fisik, dan tes
laboratorium, termasuk pencitraan otak yang tepat, harus dilakukan segera setelah
diagnosis dicurigai. Jika pasien menderita akibat suatu penyebab demensia yang dapat
diobati, terapi diarahkan untuk mengobati gangguan dasar.
Pendekatan pengobatan umum pada pasien demensia adalah untuk
memberikan perawatan medis suportif, bantuan emosional untuk pasien dan
keluarganya, dan pengobatan farmakologis untuk gejala spesifik, termasuk gejala
perilaku yang mengganggu. Pemeliharaan kesehatan fisik pasien, lingkungan yang
mendukung, dan pengobatan farmakologis simptomatik diindikasikan dalam
pengobatan sebagian besar jenis demensia. Pengobatan simptomatik termasuk
pemeliharaan diet gizi, latihan yang tepat, terapi rekreasi dan aktivitas, perhatian
terhadap masalah visual dan audiotoris, dan pengobatan masalah medis yang
menyertai, seperti infeksi saluran kemih, ulkus dekubitus, dan disfungsi
kardiopulmonal. Perhatian khusus karena diberikan pada pengasuh atau anggota
keluarga yang menghadapi frustasi, kesedihan, dan masalah psikologis saat mereka
merawat pasien selama periode waktu yang lama.
Jika diagnosis demensia vaskular dibuat, faktor risiko yang berperan pada
penyakit kardiovaskular harus diidentifikasi dan ditanggulangi secara terapetik.
Faktor-faktor tersebut adalah hipertensi, hiperlipidemia, obesitas, penyakit jantung,
diabetes dan ketergantungan alkohol. Pasien dengan merokok harus diminta untuk
berhenti, karena penghentian merokok disertai dengan perbaikan perfusi serebral dan
fungsi kognitif.
II.7.1. Sikap umum
Terdapat lima hambatan utama sehubungan dengan terapi demensia:
1. Kompleksitas biologi dan biokimia otak; interaksi dan ketergantungan antar
komponen belum diketahui secara jelas
2. Kesulitan dalam hal menentukan diagnosis etiologik dari sindrom psiko-
organik
3. Tiadanya korelasi antara perilaku, gejala neurologik atau neuropsikologik, dan
perubahan metabolik yang ada
4. Belum diketahuinya batas-batas biologik gangguan yang ada, sehubungan
dengan aspek farmakologik
5. Kesulitan dalam hal metodologi untuk mengevaluasi efek terapetik, terutama
dalam menginterpretasi hasil kelompok-kelompok penelitian
Untuk demensia tidak ada terapi spesifik atau drug of choice. Terapi demensia
bukan sekedar pemberian obat-obatan. Pihak keluarga harus diberi penyuluhan
tentang situasi demensia; dengan demikian keluarga dapat merawat penderita di
rumah dengan tepat.
II.7.2. Obat untuk demensia
a. Cholinergic-enhancing agents
Untuk terapi demensia jenis Alzheimer, telah banyak dilakukan
penelitian. Pemberian cholinergic-enhancing agents menunjukkan
hasil yang lumayan pada beberapa penderita; namun demikian secara
keseluruhan tidak menunjukkan keberhasilan sama sekali. Hal ini
disebabkan oleh kenyataan bahwa demensia alzheimerntidak semata-
mata disebabkan oleh defisiensi kolinergik; demensia ini juga
disebabkan oleh defisiensi neurotransmitter lainnya. Sementara itu,
kombinasi kolinergik dan noradrenergic ternyata bersifat kompleks;
pemberian obat kombinasi ini harus hati-hati karena dapat terjadi
interaksi yang mengganggu sistem kardiovaskular.
b. Choline dan lecithin
Defisit asetilkolin di korteks dan hipokampus pada demensia
Alzheimer dan hipotesis tentang sebab dan hubungannya dengan
memori mendorong peneliti untuk mengarahkan perhatiannya pada
neurotransmitter. Pemberian prekursor, choline dan lecithin merupakan
salah satu pilihan dan memberi hasil lumayan, namun demikian tidak
memperlihatkan hal yang istimewa. Dengan choline ada sedikit
perbaikan terutama dalam fungsi verbal dan visual. Dengan lecithin
hasilnya cenderung negatif, walaupun dengan dosis yang berlebih
sehingga kadar dalam serum mencapai 120 persen dan dalam cairan
serebrospinal naik sampai 58 persen.
c. Neuropeptide, vasopressin dan ACTH
Pemberian neuropetida, vasopressin dan ACTH perlu memperoleh
perhatian. Neuropeptida dapat memperbaiki daya ingat semantik yang
berkaitan dengan informasi dan kata-kata. Pada lansia tanpa gangguan
psiko-organik, pemberian ACTH dapat memperbaiki daya konsentrasi
dan memperbaiki keadaan umum.
d. Nootropic agents
Dari golongan nootropic substances ada dua jenis obat yang sering
digunakan dalam terapi demensia, ialah nicergoline dan co-dergocrine
mesylate. Keduanya berpengaruh terhadap katekolamin. Co-dergocrine
mesylate memperbaiki perfusi serebral dengan cara mengurangi
tahanan vaskular dan meningkatkan konsumsi oksigen otak. Obat ini
memperbaiki perilaku, aktivitas, dan mengurangi bingung, serta
memperbaiki kognisi. Disisi lain, nicergoline tampak bermanfaat untuk
memperbaiki perasaan hati dan perilaku.
e. Dihydropyridine
Pada lansia dengan perubahan mikrovaskular dan neuronal, L-type
calcium channels menunjukkan pengaruh yang kuat. Lipophilic
dihydropyridine bermanfaat untuk mengatasi kerusakan susunan saraf
pusat pada lansia. Nimodipin bermanfaat untuk mengembalikan fungsi
kognitif yang menurun pada lansia dan demensia jenis Alzheimer.
Nimodipin memelihara sel-sel endothelial/kondisi mikrovaskular tanpa
dampak hipotensif; dengan demikian sangat dianjurkan sebagai terapi
alternatif untuk lansia terutama yang mengidap hipertensi esensial.
KESIMPULAN
Kesulitan pada ingatan jangka pendek dan jangka panjang, berpikir abstrak
(kesulitan menemukan antara benda-benda yang berhubungan), dan fungsi kortikal
yang tinggi lainnya (sebagai contoh, ketidakmampuan untuk menamakan suatu benda,
mengerjakan perhitungan aritmatika, dan mencontoh suatu gambar)-semuanya cukup
berat untuk mengganggu fungsi sosial dan pekerjaan, terjadi dalam keadaan kesadaran
yang jernih, dan tidak disebabkan oleh gangguan mental seperti gangguan depresif
berat-menyatakan suatu demensia.
Demensia disebabkan oleh bermacam-macam penyebab. Memperhatikan
faktor penyebab tadi, maka ada beberapa jenis demensia yang dapat ditolong dengan
mengobati penyebabnya walaupun kadang-kadang tidak mempunyai hasil sempurna.
Disamping itu ada jenis demensia yang sampai saat ini belum ada obatnya, ialah
demensia pada Creutzfeldt-Jakob dan AIDS. Sementara itu, untuk demensia
Alzheimer belum ada obat yang benar-benar manjur.
Diagnosis demensia ditegakkan berdasarkan pemenuhan kriteria yang telah
ditetapkan/disepakati dalam DSM-IV. Untuk itu diperlukan kehati-hatian dalam
melakukan pemeriksaan. Penentuan faktor etiologi merupakan hal yang sangat
esensial oleh karena mempunyai nilai prognostik.
Penatalaksanaan demensia secara menyeluruh melibatkan seluruh anggota
keluarga terdekat. Dengan demikian kepada anggota keluarga perlu diberikan
penyuluhan agar penderita dapat dirawat dengan sebaik-baiknya.
DAFTAR PUSTAKA
Gabbard GO : Organic Mental Disorder : The DSM IV Edition, American Psychiatric
Press, Washington, 1994
Kaplan, Sadock : Synopsis of Psychiatry, 7th Edition, William & Wilkins, Baltimore,
1993
Ibrahim A. S : Gangguan Mental Organik, PT. Dian Ariesta,Jakarta, 2003
Andreasen. N.C and Black. D.W, 2001, “Introductory Textbook of Psychiatry. 3rd ed,
British Libarry, USA: 335-342
Tugas Laporan Kasus
1. Darimana diagnosis demensia multi infark?
Jawaban: menurut PPDGJ-III, demensi multi infark masuk ke dalam demensia
vaskular dimana pedoman diagnostiknya, yaitu terdapatnya gejala demensia
(adanya penurunan kemampuan daya ingat dan daya pikir yang sampai
mengganggu kegiatan harian seseorang, tidak ada gangguan kesadaran/clear
consciousness, gejala dan disabilitas sudah nyata untuk paling sedikit 6 bulan);
hendaya fungsi kognitif biasanya tidak merata (mungkin terdapat hilangnya daya
ingat, gangguan daya pikir, gejala neurologis fokal), daya tilik diri (insight) daya
nilai (judgment) secara relatif tetap baik; suatu onset yang mendadak atau
deteriorasi yang bertahap, disertai adanya gejala neurologis fokal, meningkatkan
kemungkinan diagnosis demensia vaskular, pada beberapa kasus penetapan hanya
dapat dilakukan dengan pemeriksaan CT-Scan atau pemeriksaan neuro-patologis;
demensia multi-infark onsetnya lebih lambat, biasanya setelah serangkaian episode
iskemik minor yang menimbulkan akumulasi dari infark pada parenkim otak). Pada
kasus didapatkan riwayat penyakit dahulu pasien adalah vertigo.
2. Masalah utama pada demensia?
Jawaban: Merawat orang dengan demensia vaskular dapat menjadi sangat
menegangkan bagi Anda. Anda dapat membuat situasi lebih mudah dengan
menyediakan lingkungan yang stabil dan mendukung. Memodifikasi lingkungan
caregiving untuk mengurangi potential stressor yang dapat membuat agitasi dan
disorientasi pada pasien demensia. Hindari suara yang keras atau tidak dikenali,
pencahayaan gelap, cermin atau permukaan yang mencerminkan lainnya, warna
yang sangat kontras, dan pola wallpaper. Gunakan musik yang menenangkan atau
bermain jenis musik favorit sebagai cara untuk bersantai pada saat pasien gelisah.
Lingkungan yang stabil dimulai dengan stabil, kesehatan Anda. Sangat mudah
untuk melupakan kebutuhan Anda sendiri ketika berurusan dengan demensia.
Tetapi merawat diri sendiri adalah tidak opsional. Stres dan burnout umum bagi
caregivers-dan itu buka hal yang baik untuk Anda atau orang yang merawat.
Memelihara dan melindungi kesehatan emosional dan fisik Anda sendiri tidak
egois. Ini hal terbaik yang dapat Anda lakukan untuk orang yang Anda cintai.
Kecemasan atau marah dapat meningkatkan stres atau agitasi. Cobalah untuk tetap
fleksibel, sabar, dan santai. Jika Anda menemukan diri Anda menjadi cemas atau
kehilangan kontrol, ambil waktu untuk berpikir dingin. Cobalah untuk tidak
mengambil masalah perilaku pribadi dan melakukan yang terbaik untuk menjaga
rasa humor.
3. Bagaimana caregiving pada demensia?
Jawaban: Buat rutinitas. Anda akan merasa lebih nyaman dan kegelisahan
berkurang ketika berada pada rutinitas dan dalam lingkungan yang akrab.
Gunakan kalender dan jam. Tempatkan kalender besar dan jam di sekitar ruang
tamu. Mereka dapat membantu orang dengan demensia untuk reorientasi jika
mereka sudah lupa tanggal atau waktu. Terus mendukung kesibukannya.
Dorongan untuk melanjutkan kegiatan fisik dan sosial selama mungkin. Apakah itu
pergi berjalan-jalan atau menghabiskan waktu, penting bahwa ia memiliki kegiatan
rutin untuk berpartisipasi. Tugas sehari-hari seperti mencuci baju, menyiram
tanaman, atau mengupas sayuran dapat membantu. Memberikan banyak
stimulasi. Pastikan kamarnya berwarna-warni dan inviting. Apakah ada pandangan
baik di luar? Jika tidak, bisa membawa tambahkan beberapa bunga atau tanaman.
Latihan interaksi dengan orang yang berbeda dalam satu situasi, atau bermain
dengan terlatih, memelihara hewan peliharaan juga dapat membantu untuk
memberikan stimulasi dan meningkatkan aktivitas fisik dan sosial. Pastikan untuk
berkomunikasi, bahkan jika tidak yakin Anda mengerti. Jika saatnya untuk
makan malam, misalnya, mengatakan begitu. Jangan hanya membawa ke dapur
tanpa menjelaskan apa yang terjadi. Bahkan jika ia tidak memahami kata-kata
Anda, gunakan nada suara, kontak mata, tersenyum, atau sentuhan meyakinkan
untuk membantu menyampaikan pesan Anda dan menunjukkan kasih sayang Anda.