kajian wacana: pemanfaatan prinsip analogi …

12
75 KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI DALAM KUMPULAN CERKAK KEMBANG PASREN KARYA IMPIAN NOPITASARI (DISCOURSE ANALYSIS: THE APPLICATION OF THE ANALOGY CONCEPT IN SHORT STORIES SERIES KEMBANG PASREN BY IMPIAN NOPITASARI) Mila Indah Rahmawati Linguistik Deskriptif, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta Jalan Ir. Sutami Nomor 36-A, Surakarta, Indonesia Ponsel: +6285708315276 Pos-el: [email protected] Sumarlam Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta Jalan Ir. Sutami Nomor 36-A, Surakarta, Indonesia Ponsel: +6285867072900 Pos-el: [email protected] Abstract This article discusses the application of the analogy concepts in the short stories series of Kembang Pasren by Impian Nopitasari as a cultural discourse study. The aim is to find and describe the application of such analogies used by the author therein and their relations to the complexity of Javanese culture. This article uses a descriptive qualitative approach and the data were collected using literature study method and reading and writing techniques. The data were analyzed using discourse analysis theories of analogy concept related to Javanese culture. The result shows that the analogy concepts applied in the short stories series are the analogy of similarity of traits, the analogy of symbol resemblance and the analogy of similarity of state of being. Keywords: Kembang Pasren, analogy principle, cultural discourse Abstrak Artikel ini membahas pemanfaatan prinsip analogi kumpulan cerkak Kembang Pasren karya Impian Nopitasari dalam tinjauan wacana budaya. Tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan dan mendeskripsikan bagaimana pemanfaatan analogi yang diwacanakan dan direpresentasikan oleh Impian Nopitasari dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren dan keterkaitannya dengan nuansa Jawa yang melekat dalam diri masyarakatnya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan metode penyediaan data berupa metode pustaka dengan teknik simak dan catat. Teori yang digunakan adalah teori analisis wacana, khususnya merujuk pada pemanfaatan prinsip analogi yang kental dengan nilai dan nuansa budaya Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip analogi dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren ini berupa analogi persamaan sifat, analogi persamaan simbol, dan analogi persamaan keadaan. Kata kunci: Kembang Pasren, prinsip analogi, wacana budaya

Upload: others

Post on 16-Nov-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

Mila Indah R., et al : Kajian Wacana Pemanfaatan ...

75

KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGIDALAM KUMPULAN CERKAK KEMBANG PASREN

KARYA IMPIAN NOPITASARI(DISCOURSE ANALYSIS: THE APPLICATION OF THE ANALOGY CONCEPT IN SHORT STORIES SERIES KEMBANG PASREN BY

IMPIAN NOPITASARI)

Mila Indah RahmawatiLinguistik Deskriptif, Pascasarjana Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Jalan Ir. Sutami Nomor 36-A, Surakarta, IndonesiaPonsel: +6285708315276

Pos-el: [email protected]

SumarlamFakultas Ilmu Budaya, Universitas Sebelas Maret, Surakarta

Jalan Ir. Sutami Nomor 36-A, Surakarta, IndonesiaPonsel: +6285867072900

Pos-el: [email protected]

Abstract

This article discusses the application of the analogy concepts in the short stories series of Kembang Pasren by Impian Nopitasari as a cultural discourse study. The aim is to find and describe the application of such analogies used by the author therein and their relations to the complexity of Javanese culture. This article uses a descriptive qualitative approach and the data were collected using literature study method and reading and writing techniques. The data were analyzed using discourse analysis theories of analogy concept related to Javanese culture. The result shows that the analogy concepts applied in the short stories series are the analogy of similarity of traits, the analogy of symbol resemblance and the analogy of similarity of state of being.

Keywords: Kembang Pasren, analogy principle, cultural discourse

Abstrak

Artikel ini membahas pemanfaatan prinsip analogi kumpulan cerkak Kembang Pasren karya Impian Nopitasari dalam tinjauan wacana budaya. Tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan dan mendeskripsikan bagaimana pemanfaatan analogi yang diwacanakan dan direpresentasikan oleh Impian Nopitasari dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren dan keterkaitannya dengan nuansa Jawa yang melekat dalam diri masyarakatnya. Penelitian ini adalah penelitian deskriptif kualitatif yang menggunakan metode penyediaan data berupa metode pustaka dengan teknik simak dan catat. Teori yang digunakan adalah teori analisis wacana, khususnya merujuk pada pemanfaatan prinsip analogi yang kental dengan nilai dan nuansa budaya Jawa. Hasil penelitian menunjukkan bahwa prinsip analogi dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren ini berupa analogi persamaan sifat, analogi persamaan simbol, dan analogi persamaan keadaan.

Kata kunci: Kembang Pasren, prinsip analogi, wacana budaya

Page 2: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

76

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 75–86

1. PendahuluanBahasa cenderung terlibat di dalam

semua aspek kebudayaan. Keadaan ini mengakibatkan hubungan antara bahasa dengan budaya terjalin sedemikian erat. Hal-hal yang dapat menjadi bukti hubungan kedua aspek tersebut, misalnya 1) bahasa menjadi cermin dan wujud kebudayaan masyarakatnya, 2) bahasa dapat digunakan sebagai sarana pengembangan budaya, dan 3) budaya dapat dipelajari dari aspek bahasa yang digunakan (Mulyana, 2005:60). Secara filogenetik (hubungan jenis), bahasa adalah bagian dari kebudayaan. Akan tetapi, secara ontogenetik (terjadinya dalam perorangan), seseorang belajar budaya m elalui bahasanya. Dengan kata lain, gagasan-gagasan manusia tentang pengalaman dan realitas hidup di sekitarnya pada hakikatnya sangat dekat dengan sistem bahasa yang dimiliki dan diujarkannya (Koentjaraningrat, 1985:2).

Lebih lanjut, Fishman (dalam Mulyana, 2005:60) menyatakan bahwa bahasa adalah kunci atau pintu utama untuk mendalami kebudayaan suatu masyarakat. Artinya, hal-hal yang berkaitan dengan pola hidup, sistem nilai maupun tradisi/adat yang hidup dan berkembang di tengah-tengah masyarakat dapat dipahami dan dipelajari dari bahasanya. Dengan demikian, hubungan bahasa dan budaya bersifat timbal balik, saling bersinggungan. Singkatnya, bahasa menjadi cermin atau representasi budaya, sedangkan yang membentuk dan mengendalikan bahasa adalah budaya. Hubungan antara bahasa dan budaya tersebut dapat dimanifestasikan melalui karya sastra. Oleh karena itu, karya sastra juga dapat disebut sebagai produk budaya yang berfungsi untuk menyampaikan ide, nilai, dan makna budaya (Bungin, 2013:100). Dalam hal ini, upaya memperkuat pengaruh budaya dalam masyarakat dilakukan dengan cara memanfaatkan media massa sebagai jalur penyampaian komunikasi dan informasi, salah satunya melalui cerita pendek.

Cerita pendek atau cerkak (cerita pendek berbahasa Jawa) merupakan salah satu wacana fiksi tulis yang bentuk dan isinya berorientasi pada fakta atau imajinasi dengan mempertimbangkan azas licentia poetica dan licentia grammatica. Dengan demikian, bahasa

yang digunakan dikemas secara literer (estetis), konotatif, analogis, dan multiinterpretatif.

Penelitian ini memanfaatkan wacana budaya yang terdapat dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren karya Impian Noptasari. Pemanfaatan bahasa dalam kumpulan cerkak tersebut merepresentasi kan aktivitas budaya yang bersifat kedaerahan. Peng gambaran perilaku kehidupan dan pengalaman sehari-hari masyarakat Jawa memiliki nuansa Jawa yang kental dan mengandung petuah-petuah luhur. Hal tersebut didasarkan atas kenyataan bahwa bahasa daerah merupakan sarana asli dan pertama yang digunakan oleh masyarakat untuk men gekspresikan hasil-hasil kebudayan nya.

Kentalnya nuansa Jawa dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren ini dikemas dalam ekspresi verbal berupa penganalogian yang secara implisit sarat akan filosofi dan falsafah hidup masyarakat Jawa. Hal ini berkaitan erat dengan ciri khas masyarakat Jawa yang ingin menjaga harmoni dan menghindari konflik. Di samping itu, masyarakat Jawa juga dikenal sopan, halus, dan di dalam menyampaikan sesuatu cenderung secara tidak langsung (indirectness), misalnya memanfaatkan penganalogian. Meskipun demikian, pemanfaatan bahasanya tidak lepas dari pondasi bahasa Jawa baku yang sesuai kaidah dengan tetap memadukan kata-kata maupun logika-logika baru yang sesuai dengan perkembangan dan perubahan zaman. Berdasarkan latar belakang tersebut, masalah yang akan diuraikan dalam penelitian ini adalah bagai mana kah pemanfaatan analogi untuk menguak nuansa Jawa yang tecermin dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren karya Impian Nopitasari?

Sesuai dengan masalah penelitian, tujuan yang ingin dicapai adalah menemukan dan mendeskripsikan bagai mana pemanfaatan analogi yang diwacanakan dan direpresentasikan oleh Impian Nopitasari dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren dan keterkaitannya dengan nuansa Jawa yang melekat dalam diri masyarakat Jawa.

2. Kajian TeoriKumpulan cerkak Kembang Pasren belum

pernah diteliti oleh peneliti lain, baik dalam

Page 3: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

Mila Indah R., et al : Kajian Wacana Pemanfaatan ...

77

bentuk artikel jurnal maupun artikel ilmiah lainnya. Adapun kajian pustaka yang dirujuk untuk mendukung penelitian ini antara lain, penelitian yang merepresentasi kan tentang Alam Papasangan, yaitu mengungkap nilai kasundaan (budaya Sunda) dalam mantra Poko Jampe yang diajarkan kepada anak yang baru belajar berbicara dari aspek pemanfaatan gaya bahasanya (Agustiningsih, 2018:167). Di samping itu, penelitian (Kurnianto, 2015:32) men deskripsi kan nilai falsafah hidup Jawa yang terdapat dalam novel Pengakuan Pariyem karya Linus Suryadi. Falsafah hidup Jawa yang dimaksud sebatas penyebutan dan dapat diganti dengan istilah yang lain, misalnya pandangan hidup bagi masyarakat Jawa. Adapun falsafah hidup dalam karya-karya sastra dapat ditafsirkan sesuai dengan perkembangan zaman pada saat karya sastra tersebut lahir.

Berdasarkan isinya, kedua penelitian terdahulu tersebut mengangkat tema budaya daerah. Hal tersebut mirip dengan kumpulan cerkak karya Impian Nopitasari yang sarat dengan budaya kedaerahan ini, yaitu budaya Jawa. Secara kultural, budaya Jawa dikenal sebagai budaya yang meng agungkan nilai artistik sehingga dalam penyampaian pesannya sering memanfaat kan bahasa-bahasa kiasan maupun yang bersifat analogis. Fenomena ini menunjukkan bahwa untuk memahami wacana secara utuh memerlukan kompetensi wacana.

Adanya kompetensi wacana tersebut berguna untuk mencapai keefektifan komunikasi dalam sebuah interaksi (Djatmika, 2014:1--3). Oleh karena itu, masyarakat Jawa yang bersifat sirkular ini berpengaruh terhadap peng-ungkapan sesuatu hal yang cenderung bersifat tidak langsung. Adanya sifat ketidaklangsungan ini menjadikan pesan yang ingin disampaikan dalam banyak interaksi memerlukan suatu pemahaman dan penghayatan sehingga tidak terjadi adanya salah tafsir. Hal tersebut dapat disebut sebagai sasmita. Istilah sasmita berasal dari bahasa Sanskerta yang berarti polataning praen; ngalamat, pratandha ‘gerak-gerik wajah’; ‘pertanda’ (Poerwadarminta, 1939:547). Adapun Winter dan Ranggawarsita juga berpendapat bahwa sasmita berarti ‘semu, tandha, pasemon’ (Winter & Ranggawarsita, 1994:242). Secara umum, sasmita berupa tanda verbal atau nonverbal terhadap partisipan yang

terlibat dalam suatu interaksi sosial. Partisipan dapat me ng interpretasikan tuturan itu sesuai dengan makna yang dimaksud oleh penutur. Meskipun demikian, inter pretasi terhadap sasmita tidaklah mudah karena pengalaman seseorang juga berpengaruh terhadap inter-pretasinya.

Mengacu pada latar belakang tersebut, penelitian ini dapat dibahas dengan teori analisis wacana, khususnya mengarah pada prinsip analogi. Dalam bukunya, Deese menyatakan bahwa wacana adalah seperangkat proposisi yang saling berhubungan untuk meng hasilkan suatu rasa kepaduan atau rasa kohesi bagi pembaca (Deese, 1984:72). Oleh karena itu, sebuah wacana memerlukan keterkaitan antarproposisi untuk menghasilkan kepaduan bentuk dan kepaduan makna yang menjelaskan isi komunikasi dari suatu pembicaraan (Sumarlam, 2013:17). Kepaduan yang dimaksud dalam hal ini adalah adanya ketercapaian makna yang sangat dekat dengan makna nuansa Jawa yang dimaksud Impian Nopitasari dalam kumpulan cerkak-nya.

Hal ini sejalan dengan pernyataan Soesono Kartomihardjo yang menjelaskan bahwa analisis wacana juga menggunakan pola-pola sosiolinguistik. Dengan demikian, secara tidak langsung pemahaman makna wacana juga melibatkan konteks dan situasi agar makna yang dipahami oleh pembaca setidaknya mendekati makna yang dimaksud oleh penulis (Kartomihardjo, 1993:23).

Lebih lanjut, Sumarlam (2013:71) membagi wacana menjadi dua kelompok, yaitu konteks bahasa (koteks) dan konteks di luar bahasa. Koteks disebut pula konteks internal bahasa atau konteks internal saja. Konteks di luar bahasa disebut juga sebagai konteks situasi, konteks budaya, konteks eksternal bahasa, konteks eksternal, atau konteks saja. Pemahaman konteks situasi dan budaya dalam wacana dapat dilakukan dengan berbagai prinsip penafsiran dan analogi, yaitu (1) prinsip penafsiran personal, (2) prinsip penafsiran lokasional, (3) prinsip penafsiran temporal, dan (4) prinsip analogi. Dengan demikian, dapat ditegaskan bahwa secara teoretis analisis wacana dalam penelitian ini dikaji melalui prinsip analogi. Untuk melakukan hal tersebut harus melibatkan aspek-aspek dari teks, percakapan,

Page 4: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

78

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 75–86

dan juga konteks, yaitu karakteristik lain dari situasi sosial atau peristiwa komunikasi yang secara sistematis dapat memengaruhi teks atau percakapan. Seorang penutur cenderung akan memperhatikan dan mempertimbang kan aspek budaya di dalam mengirim kan sebuah pesan kepada orang lain yang berbagi penguasaan budaya dengan penutur tersebut. Demikian pula, si mitra tutur juga akan berusaha menerjemahkan apa sebenarnya maksud dari sebuah pesan yang diberikan penutur kepadanya.

Penelitian ini dilakukan dengan menggunakan tiga tahapan strategi, yaitu (1) penyediaan data, (2) analisis data, dan (3) penyajian hasil analisis data (Sudaryanto, 1993:5). Dalam penelitian ini, sumber data yang digunakan adalah kumpulan cerita pendek berbahasa Jawa (cerkak) yang berjudul Kembang Pasren Karya Impian Nopitasari, sedangkan datanya dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat, atau wacana yang mengandung analogi bernilai nuansa Jawa di dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren tersebut.

Adapun penelitian yang digunakan untuk mengkaji kumpulan cerkak Kembang Pasren ini adalah penelitian deskriptif kualitatif. Pendekatan ini digunakan untuk mendukung tujuan penelitian, yaitu mendeskripsikan temuan-temuan penelitian berupa pemanfaatan analogi yang diwacana kan dan direpresentasikan oleh Impian Nopitasari dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren dan keterkaitannya dengan nuansa Jawa.

Berdasarkan media yang digunakan, penelitian ini termasuk ke dalam wacana tulis. Artinya, wacana disampaikan dengan bahasa tulis dan untuk memahaminya perlu suatu proses membaca. Oleh karena itu, penyediaan data menggunakan metode pustaka dengan teknik simak dan catat. Populasi yang digunakan berupa keseluruhan cerkak yang berjumlah 18 judul dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren karya Impian Nopitasari. Adapun untuk menentukan sampel yang representatif dengan penelitian, teknik penentuan sampel dilakukan secara purposive sampling. Artinya, penentuan sampel didasarkan pada tujuan penelitian dan hasil yang ingin didapatkan dalam penelitian ini.

Oleh karena itu, penentuan sampel dapat dilakukan melalui proses reduksi dan klasifikasi data yang dilakukan secara beriringan. Reduksi

data dilakukan bersamaan dengan proses klasifikasi data. Artinya, satuan-satuan lingual yang mengandung analogi berunsur nuansa Jawa digolongkan ke dalam tiga prinsip analogi. Ketiga unsur analogi tersebut adalah analogi persamaan sifat, analogi persamaan simbol, dan analogi persamaan keadaan.

Tahapan selanjutnya adalah meng analisis data dengan menggunakan metode analisis isi (content analysis). Maksudnya, data yang sudah diklasifikasi kan kemudian dianalisis secara mendalam agar struktur dan isi wacana dapat dideskripsikan secara komprehensif (Mulyana, 2005:82--83). Adapun strategi penyajian data menggunakan metode penyajian informal, yaitu dengan perumusan menggunakan kata-kata biasa (Sudaryanto, 1993:145).

3. Hasil dan PembahasanDalam upaya menginterpretasi kan sebuah

analogi, terlebih dahulu perlu mengembalikan analogi pada habitat budayanya, yakni pada komunitas penghasil analogi tersebut. Hal ini dimaksudkan agar analogi yang digunakan dapat dipahami secara rasional sebagai sebuah kekhasan suatu budaya.

Kumpulan cerkak Kembang Pasren ini memuat 18 judul cerkak yang kesemuanya sudah pernah dimuat di dalam media massa, khususnya media massa yang menyediakan rubrik khusus untuk karya berbahasa Jawa (Nopitasari, 2017). Media massa yang dimaksud adalah Kedaulatan Rakyat, Solopos, Panjebar Semangat, dan Jaya Baya. Keempat media massa tersebut berada di wilayah DIY, Jawa Tengah, dan Jawa Timur. Hal tersebut merujuk pada Pasal 42 ayat (1) UU Nomor 24 Tahun 2009 yang berbunyi “Pemerintah daerah wajib mengembang kan, membina, dan melindungi bahasa dan sastra daerah agar tetap memenuhi kedudukan dan fungsinya dalam kehidupan bermasyarakat sesuai dengan perkembangan zaman dan agar tetap menjadi bagian dari kekayaan budaya Indonesia” (UU RI, No. 24--2009, 2009).

Di wilayah DIY dan Jawa Tengah, usaha membina dan melindungi bahasa Jawa telah dilakukan oleh surat kabar Kedaulatan Rakyat melalui rubrik “Mekarsari” dan Solopos melalui rubrik “Jagad Jawa”. Di rubrik tersebut, generasi muda dapat belajar bahasa Jawa

Page 5: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

Mila Indah R., et al : Kajian Wacana Pemanfaatan ...

79

melalui geguritan (puisi Jawa), cerita cekak (cerita pendek), dan esai tentang kebudayaan Jawa. Selain itu, usaha pelestarian bahasa Jawa melalui media massa juga digalakkan dalam Panjebar Semangat dan Jaya Baya. Kedua majalah berbahasa Jawa tersebut dikelola oleh para pemerhati bahasa Jawa di wilayah Jawa Timur. Penyajian karya-karya sastra Jawa dalam masing-masing surat kabar dan majalah tersebut menunjukkan bahwa dirinya tetap berada di garda terdepan dalam upaya mengembangkan, membina, dan melindungi bahasa Jawa (Aditya, 2017). Dalam hal ini, Impian Nopitasari adalah salah satu “agen” yang turut berperan membina dan melestarikan bahasa Jawa melalui kumpulan cerkak-nya tersebut.

Adapun daftar kumpulan cerkak yang akan disajikan di dalam Tabel berikut diurutkan sesuai dengan huruf abjadnya.

Tabel 1Daftar Judul Kumpulan Cerkak Kembang Pasren

No. Judul (singkatan) Media massa1. Blendrang (B) Solopos2. Cewek Bonsai (CB) Panjebar

Semangat3. Dudu Ekalaya(DE) Solopos

4.Es Susu Soklat, Tesis 378, lan Dhasi Kupu (ETD)

Solopos

5. Eseme Mas Sejarawan (EMS) Solopos

6. Jodho Kanggo Bapak (JKB) Jaya Baya

7. Kembang Pasren (KP) Solopos8. Kupon Keramat Uda

Fajri (KKUF) Jaya Baya9. Lelakon Uripe Pri (LUP) Solopos10. Lintang, Ndaru, Pulung

(LNP) Solopos11. Mantu (M) Solopos12. Mas Budi Pustakawan

Nggantheng (MBPN)Kedaulatan

Rakyat13. Oglangan (O) Jaya Baya14. Pedhut ing Mripatmu

(PM) Solopos15. Satriya Keyboard (SK) Jaya Baya16. Sop Manten saka

Ngawen (SMN) Solopos17. Wirang (W) Solopos18. Wit Talok Ngarep Omah

(WTNO) Jaya Baya

Dari 18 judul cerkak tersebut, peneliti hanya mengangkat data-data yang relevan dengan masalah dan tujuan sebagai mana yang telah dijelaskan dalam latar belakang. Penggunaan prinsip analogi untuk menguak nuansa Jawa di dalam kumpulan cerkak Kembang Pasren Karya

Impian Nopitasari ini memuat adanya analogi dengan persamaan sifat, persamaan simbol, dan persamaan keadaan.

3.1 Analogi Persamaan SifatAnalogi persamaan sifat ini memberikan

gambaran bahwa sesuatu yang diacu memiliki kemiripan atau kesamaan sifat dengan sesuatu yang lain. Adapun data yang ditemukan adalah sebagai berikut.

(1) Aku slimutan, nyoba merem, nglerenke pikir saka samubarang sing mambu blendrang utawa kenangan. Pancen blendrang kuwi kaya kenangan, sisa-sisa masa lalu sing tansah mbeda kanggo disesep, dimamah lan diulu. Kayadene blendrang, kenangan ora samubarang sing seger lan terjamin gizine. Kaya ujare Rilla, yen mangane kakean ora bakal nyegerke uripe awake dhewe ing wektu iki. (B/Solopos/Jan 2017)

‘Aku menarik selimut, mencoba memejamkan mata, meng¬istirahat¬kan pikiran dari segala yang berbau blendrang atau kenangan. Memang blendrang (sayuran sisa kemarin) itu seperti kenangan, sisa-sisa masa lalu yang selalu menggoda untuk dihisap, dikunyah, dan ditelan. Seperti blendrang (sayuran sisa kemarin), kenangan tidak segalanya yang segar dan terjamin gizinya. Seperti perkataan Rilla, jika makannya terlalu banyak tidak akan menyegarkan hidup kita saat ini.’Data (1) menunjukkan adanya peng-

analogian kemiripan atau persamaan sifat antara blendrang (istilah untuk menyebut sayur sisa hari sebelum¬nya yang ketika akan dikonsumsi perlu untuk dihangatkan lagi) dengan kenangan. Istilah blendrang lazimnya hanya dikenal di dalam budaya Jawa, khususnya masyarakat Jawa yang tinggal di pedesaan.

Asal-usul istilah blendrang dilatarbelakangi sejarah bangsa Indonesia di tahun 1960-an yang pada saat itu mengalami musim paceklik. Hal tersebut mengakibatkan setiap orang harus makan secara irit. Terlebih di Jawa pada waktu itu sedang mengalami angka natalitas yang tinggi atau baby boom sehingga tidak mengherankan jika setiap pasangan suami istri memiliki anak yang berjumlah lebih dari enam.

Dengan demikian, untuk mencukupi

Page 6: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

80

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 75–86

kebutuhan pangan, masyarakat Jawa saat itu menyiasati dengan memasak sayur satu periuk besar dan tidak boleh dihabiskan di hari itu, namun untuk persediaan dua sampai tiga hari selanjutnya. Rasa bumbu yang sudah meresap akan menjadikan sayuran itu terasa lebih asin sehingga sayur tersebut menjadi awet karena ketika makan cukup mengambil sayur satu atau dua sendok saja.

Dengan demikian, berdasarkan data (1) dapat dipahami bahwa penganalogian blendrang yang sudah terlalu sering dipanaskan lama-kelamaan sudah tidak sesegar sayur yang baru dimasak dan gizinya kurang terjamin lagi. Begitu pun dengan kenangan kurang baik yang sudah terjadi di masa lalu menjadi kurang bijak jika selalu diingat atau dimunculkan lagi dalam memori. Akan tetapi, pada kenyatannya kenangan memang selalu menarik untuk kembali diingat. Tidak mengapa asalkan dengan cara yang sewajarnya dan sebagai bahan perenungan atau introspeksi diri.

(2) Sepisan maneh kenya iki satemene ayu, mung ora gelem brai wae, ora gelem dandan, iku sajake sing ndadekake praupane katon pucet kaya wong nandhang dhuhkita. Yen tak umpamake kaya kulkas mlaku. Anyep, ora nduwe daya sumringah. (CB/Panjebar Semangat/Jan 2013)

‘Sekali lagi gadis ini sebenarnya cantik, hanya tidak mau berias saja, tidak mau berdandan, itu mungkin yang membuat raut mukanya terlihat pucat seperti orang yang dilanda masalah. Kalau saya umpamakan seperti lemari es berjalan. Dingin, tidak memiliki keceriaan.’Data (2) mendeskripsikan seorang gadis

yang sebenarnya cantik tetapi raut wajahnya terlihat muram seperti sedang dilanda masalah. Penganalogian sikap dingin seperti lemari es pada data didasarkan atas sifat lemari es yang sangat dingin, segala yang ada di dalamnya akan beku atau kaku. Begitu pun dengan gadis tersebut, gadis yang sama sekali tidak menunjukkan raut muka yang bahagia atau berseri.

Untuk mengetahui situasi hati seseorang dapat dilihat dari raut mukanya, yaitu ulat kang padhang ‘pandangan yang cerah atau ceria’ dan ulat kang peteng ‘pandangan yang cenderung

murung’. Penganalogian pada data (2) yang diperjelas dengan keterangan bahwa praupane katon pucet, sajak kaya nandang dhuhkita ‘raut mukanya terlihat pucat seperti sedang dilanda masalah’ semakin menginterpretasikan bahwa gadis tersebut sedang dalam situasi kekakuan. Artinya, ada sesuatu yang sedang dipikirkan dan menjadikan dirinya dalam suasana hati yang kurang baik.

(3) Ora krasa, dina kuwi teka. Ewuh gedhen-gedhen sing arang ing desa kuwi kelakon tenan. Temu mantene gayeng. Manten sakloron katon bagus lan ayu, pancen wis dhasare ngono apa karana riyase sing top tenan. Dhayohe mbanyu mili. Regeng tenan pokoke. (M/Solopos/Agust 2013)

‘Tidak terasa, hari itu datang. Acara meriah yang jarang terjadi di desa itu benar-benar terlaksana. Resepsi pernikahan sukses. Kedua mempelai tampan dan cantik, entah sudah dasarnya seperti itu apa karena periasnya yang memang top. Tamu undangan layaknya air yang terus mengalir, datang silih berganti tak henti-henti. Sangat meriah pokoknya.’Frasa mbanyu mili ‘seperti air yang

mengalir’ pada data (3) menganalogikan dhayoh ‘tamu undangan’ yang datang silih berganti di acara resepsi pernikahan tersebut. Peng guna an frasa mbanyu mili ‘seperti air yang mengalir’ meng interpretasi kan bahwa tamu yang datang banyak dan terus menerus berdatangan secara bergantian. Dalam budaya Jawa, lazimnya ungkapan tersebut memang diper untukkan saat acara-acara yang mengundang banyak orang, dalam hal ini dalam suatu acara resepsi pernikahan.

Ungkapan mbanyu mili ‘mengalir bagaikan air’ merupakan suatu bukti bahwa bahasa menjadi cermin dan wujud kebudayaan/fakta sehari-hari yang terjadi di dalam masyarakatnya. Di samping itu, ungkapan tersebut berfungsi sebagai ungkapan ekspresivitas terhadap banyaknya jumlah tamu yang hadir. Pemilihan frasa mbanyu mili ‘seperti air yang mengalir’ yang dianalogikan dengan para tamu tersebut terkesan lebih indah dan tidak biasa.

Adapun bukti data lain yang mendukung adanya pemanfaatan prinsip analogi terkait dengan keadaan (penyebutan waktu) akan

Page 7: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

Mila Indah R., et al : Kajian Wacana Pemanfaatan ...

81

dipaparkan sebagai berikut.

(4) Milih Walfajri apa Waddhuha? Tak othak-athik gathuk ki ya lucu. Jenenge wae pajar, mesthi lak isih adhem, peteng, kaya Fajri. Yen dhuha wis wektu esuk, nalika srengenge munggah segenter, mesthi wae wis padhang, anget, kaya Dhuha. (SMN/Solopos/Sep 2016)

‘Pilih Walfajri apa Waddhuha? Aku coba mengotak-atik ternyata lucu juga. Namanya saja fajar, pasti masih pagi, dingin, gelap, seperti Fajri. Jika duha sudah masuk waktu pagi, ketika matahari naik sepenggalah, pasti sudah terang, hangat, seperti Dhuha.’Penanda keadaan dalam data (4) berupa

waktu fajar dan waktu duha. Waktu fajar dapat dideskripsikan masih berhawa dingin, belum muncul cahaya matahari sehingga masih terlihat gelap. Dalam data ini waktu fajar dianalogikan seperti tokoh yang bernama Fajri yang cenderung bersikap dingin (acuh tak acuh), tidak berbicara jika tidak diajak bicara terlebih dahulu, dan tidak mudah akrab dengan sembarang orang. Adapun waktu duha dianalogikan seperti tokoh Dhuha yang sikapnya hangat (ramah) dan senang berdiskusi dengan siapa pun. Dalam data ini, objek yang dimaksud oleh pengarang adalah dua orang tokoh yang bernama Fajri dan Dhuha yang dianalogikan dengan sifat-sifat dari waktu fajar dan waktu duha.

3.2 Analogi Persamaan SimbolMelihat dan mempertimbang kan unsur

budaya Jawa yang bersifat khas, dimungkinkan setiap bahasa yang muncul isinya mengandung amanat atau pesan bagi anggota masyarakat disertai dengan aneka simbol di dalamnya. Kebudayaan adalah sistem arti yang bersifat simbolik dan bahasa merupakan sistem tanda yang berfungsi sebagai simbol sehingga simbol dapat diidentifikasi sebagai kekhasan bahasa (Setiyadi, 2010:194--195).

Dalam penelitian ini ditemu kan adanya simbol-simbol yang merepre sentasi kan ciri khas penggunaan bahasa bagi masyarakat Jawa. Berikut data-datanya.

(5) Yen arep mulih dhasi kupu kuwi diambung, terus dilebokake tas. “Kurang rong ons

bocah iki”, batinku. Sapungkure kenya jilbaban aeng kuwi, aku ora langsung mulih. Embuh, kadingaren iki mau aku pengin sok-sokan dadi dhetektif, saking penasaran, aku takon karo mase bakul susu. (ETD/Solopos/Okt 2015).

‘Ketika akan pulang dasi kupu-kupu itu dicium, lalu dimasukkan ke tas. Kurang dua ons anak ini, batinku. Setelah gadis jilbaban aneh itu pergi, aku tidak langsung pulang. Entah, tumben hari ini tadi aku ingin sok-sokan menjadi detektif, karena penasaran aku tanya kepada Mas penjual susu.’Data (5) menunjukkan adanya penggunaan

simbol berupa ukuran berat, yaitu kurang rong ons ‘kurang dua ons’. Dalam hal ini, antara pembicara (penulis) dan lawan bicara (pembaca) memerlukan adanya kompetensi komunikasi atau communi cative competence agar pesan yang disampaikan oleh pembicara dapat diterima dan dimaknai dengan baik oleh lawan bicara. Data kurang rong ons ‘kurang dua ons’ harus dimaknai secara utuh dan tidak secara mentah-mentah. Artinya, secara konteks sosial, pemilihan bahasa kiasan yang berupa frasa kurang rong ons ‘kurang dua ons’ bukan hanya penunjukan kekurangan berat timbangan, namun bermakna kurang genap atau kurang lengkap.

Jika dianalogikan dengan manusia, arti dari kurang rong ons ‘kurang dua ons’ berarti menunjuk kepada referen manusia yang secara pola pikir atau tingkah laku mungkin di luar batas manusia pada umumnya. Dalam hal ini, cara berpikir dan tingkah lakunya aneh sehingga kurang dapat berterima bagi manusia normal lainnya.

Data (5) juga menggambarkan mahasiswi perempuan berjilbab yang setiap kali datang ke perpustakaan membawa dasi berbentuk kupu-kupu yang biasanya digunakan untuk wisuda bagi mahasiswa. Di setiap kesempatan di perpustakaan, gerak-gerik mahasiswi perempuan itu mengindikasikan gelagat yang aneh, yaitu ketika beranjak dari kursi perpustakaan ia selalu mencium dasi berbentuk kupu-kupu yang dibawanya itu, lalu memasukkan dasi tersebut ke dalam tasnya.

Tingkah laku yang tidak biasa dilakukan oleh orang pada umumnya itu menghadirkan

Page 8: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

82

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 75–86

sebuah istilah baru, yaitu kurang rong ons ‘kurang dua ons’. Maknanya, mengacu pada sesuatu hal yang dianggap tidak lumrah, aneh, dan kurang dapat dipahami dengan baik.

Data lain yang mengandung analogi persamaan simbol juga ditemukan pada cerkak yang berjudul Kembang Pasren atau bunga hiasan.

(6) Nalika iku Wimbadi oleh tugas neng Aceh saperlu melu operasi Jaring Merah II. Nalika arep mangkat, Wimbadi pamitan marang Pramesthi. Pramesthi nangis aneng dhadhane Wimbadi. Wimbadi ngelungke kembang kamboja kanggo simbol kasetyan.

“Tanduren, openana, yen kembang kuwi isih urip ngrembuyung, pratandha aku isih urip, semana uga tresnaku. Yen kembang kuwi mati, bisa wae aku ya mati. Awakmu oleh milih wong liya kanggo neruske uripmu,” ujare Wimbadi kang ndadekake Pramesthi saya seru anggone ngesok luh. (KP/Solopos/April 2013).

‘Ketika itu Wimbadi mendapat tugas ke Aceh untuk ikut operasi Jaring Merah II. Ketika akan berangkat, Wimbadi berpamitan kepada Pramesthi. Pramesthi menangis di dada Wimbadi. Wimbadi mem berikan bunga kamboja sebagai simbol kesetiaan.’

‘Tanamlah, rawatlah. Jika bunga itu masih hidup lebat pertanda aku masih hidup, begitu pula cintaku. Jika bunga itu mati, dapat saja aku juga mati. Kamu boleh memilih laki-laki lain untuk meneruskan hidupmu,” kata Wimbadi yang menjadikan Pramesthi semakin menangis tersedu-sedu.’Data (6) menganalogikan bunga kamboja

sebagai simbol kesetiaan atas komitmen dan perasaan cinta kasihnya kepada Pramesthi. Dalam pesannya, Wimbadi meminta Pramesthi untuk menanam dan merawat bunga kamboja tersebut dengan baik. Hal itu sebagai interpretasi bahwa jika kamboja masih hidup dan tumbuh lebat sama halnya dengan cinta Wimbadi kepada Pramesthi. Namun, jika kamboja itu mati, bisa jadi sebagai pertanda bahwa Wimbadi juga gugur dalam keikut sertaannya di Jaring Merah II.

Meskipun jika pada akhirnya Wimbadi gugur dalam operasi militer dan bunga kamboja

itu juga mati, pada dasarnya kesetiaan cinta Wimbadi untuk Pramesthi tidak begitu saja dapat terhenti. Simbol bunga kamboja dan kesetiaan ini juga masih relevan jika dikaitkan dengan budaya Jawa. Bunga kamboja yang berwarna putih, kuning, atau merah muda biasanya disebut sebagai bunga kuburan karena kebanyakan tumbuh di tanah pemakaman. Akan tetapi, hal ini dapat diinterpretasikan bahwa meskipun tumbuh di pemakaman, (pohon) bunga kamboja tetap berdiri kuat dan kokoh, daun serta bunga kamboja yang tumbuh di ranting-rantingnya memayungi nisan dan pekuburan jasad-jasad yang telah mati.

Selain itu, analogi persamaan simbol juga terdapat pada data (7) berikut.

(7) Ing nikahane Mas Dhuha iki beda, panganane sop, jan ora ngumumi blas. Bab iki sansaya ndadekake atiku kelara-lara amarga jarene Mas Aryo kancaku cangkruk, sop kuwi saka tembung “stop” sing tegese mandheg.

“Dadi yen pas nekani adicara mantenan entuk suguhan rupa sop, sejatine sing duwe gawe kirim pesen kanthi cara alus sing isine kurang luwih becike eklasna lan lalekna kang wus kawuri. Mandheg lan wis cukup anggon­mu ngupaya ngluluhake atiku. Saiki aku wis dadi manten. Mung donga pangestumu sing tak jaluk”. (SMN/Solopos/Sept 2016)

‘Di resepsi pernikahan Mas Dhuha ini beda, makanannya sup, beda dari yang lain. Bab ini semakin menjadikan hatiku tersakiti karena kata Mas Aryo temanku berbagi cerita, sup itu dari kata “stop” yang artinya ‘berhenti’. Jadi, ketika meng hadiri resespsi pernikahan dan mendapat sajian berupa sup, sejatinya yang memiliki hajat menyampaikan pesan secara halus yang isinya kurang lebih baiknya ikhlaskan dan lupakan kejadian yang sudah terjadi. Berhenti dan sudah cukup olehmu berupaya meluluhkan hatiku. Sekarang aku sudah menikah. Hanya doa restumu yang ku minta.’Unsur simbolik berupa hidangan berupa

sop ‘sup’ dianalogikan dan dimaknai sebagai permintaan secara halus untuk stop atau berhenti mengharapkan dan meluluhkan hati seseorang, terlebih seseorang yang sudah menjadi milik

Page 9: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

Mila Indah R., et al : Kajian Wacana Pemanfaatan ...

83

orang lain. Dalam kaitannya dengan budaya masyarakat Jawa, makanan hidangan di resepsi pernikahan yang berupa sop ‘sup’ ini cukup jarang ditemukan. Makanan yang biasa dihidangkan adalah sambal goreng, becek (semacam olahan daging sapi), atau soto. Akan tetapi, hal itu juga berkaitan dengan kondisi budaya di lingkungan sekitarnya.

Dengan demikian, proses mempelajari teks atau wacana yang berkembang di dalam suatu masyarakat sangat terkait dengan fenomena sosial yang sedang terjadi dalam masyarakat tersebut. Dengan kata lain, kondisi sosio-budaya suatu lingkungan akan ber pengaruh terhadap suatu bahasa di lingkungan tersebut.

Secara pelafalan, kata sop ‘sup’ memiliki kedekatan dengan kata stop ‘berhenti’ dibandingkan dengan kata-kata yang lainnya, misalnya kata sambel goreng ‘sambal goreng’, becek ‘olahan daging sapi’, maupun soto ‘soto’. Di dalam bahasa dan budaya Jawa yang mengenal istilah othak-athik-gathuk, kata sop ‘sup’ yang dimaknai stop ‘berhenti’ tersebut mungkin terkesan diada-adakan. Akan tetapi, secara nilai kemanusiaan masyarakat Jawa, pemaknaan kata tersebut mengandung sebuah petuah yang baik, yaitu untuk mengajarkan dan menyadarkan kepada diri kita agar berhenti mengharapkan seseorang yang sudah memilih untuk bersama orang lain.

Lebih lanjut, kesinambungan prinsip analogi pada data (7) tecermin dalam data berikut.

(8) Aku uga ora isa mangan thethelan sing kabeneran ana ing sop, thethelan iki kaya mra lambang ke cuilan rasa kang tau ana, sing saiki wis thethel. Aku mesem, iya aku lali ing njerone sop iku ana gudhe, senenganku. Mung gudhe iku sing dak pangan. Gudhe ngandhut pra lambang kanugrahan sing gedhe. (SMN/Solopos/Sept 2016)

‘Aku juga tidak dapat makan thethelan yang kebetulan ada di sup, thethelan (istilah untuk menyebut bagian daging sapi yang ulet dan menempel pada daging yang besar) ini seperti melambang kan serpih an rasa yang pernah ada yang sekarang sudah putus. Aku tersenyum, ya aku lupa di dalamnya sup itu ada gudhe, kesukaanku. Hanya gudhe itu yang ku makan. Gudhe merupakan pralambang anugerah yang besar.’

Thethelan ‘bagian daging sapi yang ulet dan menempel pada daging yang besar’ di dalam sup yang bentuknya berupa potongan-potongan (bukan daging utuh) pada data (8) disimbolkan sebagai cuilan-cuilan atau serpihan-serpihan atau bagian-bagian rasa yang dulu pernah ada. Penganalogian seperti ini wajar mengingat perasaan yang tertinggal hanyalah sebagian yang diasumsikan sebagai thethelan ‘bagian daging sapi yang ulet dan menempel pada daging yang besar’. Di samping itu, gudhe ‘komponen pelengkap sup’ dianalogikan sebagai sesuatu hal yang dapat dinikmati yang mengandung arti bahwa yang memakan gudhe tersebut akan diberikan keanugerahan yang besar oleh Yang Mahakuasa.

Simbol-simbol seperti itu seyogyanya dipahami oleh pembicara dan lawan bicara agar pesan tersirat yang ingin disampaikan oleh pembicara dapat ditangkap dengan jelas oleh lawan bicara. Oleh karena itu, untuk memahami konteks pembicaraan tersebut, ada baiknya jika pembicara dan lawan bicara yang terlibat saling memahami dan memiliki pengetahuan umum yang sama sehingga memini mal kan adanya kesalahpahaman atau kemultitafsiran dalam memperoleh informasi.

3.3 Analogi Persamaan KeadaaanAnalogi persamaan keadaan menyoroti

adanya kemiripan atau kesamaan suatu keadaan satu dengan keadaan yang lainnya. Penganalogian ini untuk mengetahui dan menyelidiki bagaimana nuansa Jawa yang dimuncul kan pengarang dalam menyampaikan sebuah pesan yang terkait dengan keadaan tertentu. Adapun keadaan tertentu yang dimaksudkan dalam penelitian ini, yaitu keadaan yang berkaitan dengan waktu.

(9) Nanging, nasibe manungsa pancen angel dibadhe. Wingi sugih mblegedhu, saiki kari awu. Akeh uga sing nasibe wage mece­mece, pon ora kambon. Tegese wingi seneng-seneng nganti ora eling ngendi-endi, pungkasane nemoni susah. Kahanan sing kaya ngene ora tau dipikir dening wong-wong ing paran iku. (W/Solopos/Feb 2014).

‘Akan tetapi, nasib manusia memang susah ditebak. Kemarin kaya raya, sekarang tinggal seperti debu. Banyak juga yang

Page 10: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

84

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 75–86

nasibnya Wage berfoya-foya, Pon tidak bisa makan apa-apa. Artinya kemarin bersenang-senang sampai tidak ingat mana-mana, akhirnya menemui kesusahan. Keadaan yang seperti ini tidak pernah dipikirkan oleh orang-orang yang merantau itu.’Data (9) memperlihatkan bukti pemanfaatan

analogi nasib manusia yang disandingkan dengan persamaan keadaan. Dalam data tersebut, persamaan keadaan dinyatakan dengan adanya pasangan penanda waktu wingi ‘kemarin’ dan saiki ‘sekarang’, dan waktu yang digunakan dalam hari pasaran, yaitu Pon ‘Pon’ dan Wage ‘Wage’.

Nasib manusia memang tidak dapat ditebak, terlebih orang yang bekerja ikut proyek bangunan di perantauan. Dapat saja hari kemarin diiming-imingi banyak janji untuk kehidupan yang lebih baik di esok hari, dapat pula setelah bekerja dengan mengerahkan tenaga akhirnya ditipu dan tidak diberikan upah. Hal itu dianalogikan dengan penanda waktu wingi ‘kemarin’ dapat berfoya-foya, dan penanda waktu saiki ‘sekarang’ hanya bagaikan debu yang tidak dapat berbuat apa-apa.

Dalam hal ini, menunjukkan adanya pengetahuan istilah pancawara, yaitu suatu tradisi yang diadopsi dari agama Hindu berupa hitungan selama 5 hari. Di dalam masyarakat Jawa, pada umumnya perhitungan dimulai di hari Pon, lalu berlanjut Wage, Kliwon, Legi, dan Paing. Di samping itu, nasib manusia juga dianalogikan dengan penanda waktu pasaran (hitungan per 5 hari), yaitu hari Wage yang dapat berfoya-foya dan hari Pon yang tidak dapat makan apa-apa.

Selain itu, di dalam cerkak yang berjudul Sop Nganten Saka Ngawen juga menggunakan analogi tentang waktu yang dihubungkan dengan urutan pertemuan. Berikut tampilan datanya.

(10) Yen nuju esuk pancen kudu nglewati pajar dhisik. Kudu ketemu Fajri dhisik sadurunge ketemu Dhuha. (SMN/Solopost/Sept 2016)

‘Ketika menjelang pagi memang harus melewati fajar terlebih dahulu. Harus bertemu Fajri dulu sebelum bertemu Dhuha.’Data (10) mendeskripsikan analogi yang

terkait tentang jenis waktu dengan urutan pertemuan. Dari segi pengetahuan sosial dapat

diketahui bahwa waktu menjelang pagi hari sebelum matahari terbit biasa disebut waktu fajar, sedangkan waktu pagi hari setelah terbit adalah waktu duha. Dengan demikian, secara logika memunculkan adanya pengetahuan urutan waktu, yaitu untuk memasuki waktu duha harus melewati waktu fajar terlebih dahulu.

Di sisi lain, urutan waktu tersebut juga memuncul kan adanya sistem pengetahuan waktu beribadah bagi umat Islam. Lazimnya, waktu fajar merupakan waktu bagi umat Islam untuk melaksanakan ibadah salat, yaitu ibadah salat sunnah fajar kemudian dilanjutkan salat Subuh. Adapun waktu duha merupakan waktu umat Islam untuk melakukan ibadah salat yaitu salat sunah Duha.

Hal tersebut memperlihatkan bahwa dalam mengemas cerita, Impian Nopitasari sangat piawai dan lihai membuat suatu dasar analogi. Sebelum mengenal tokoh yang bernama Dhuha, ia telah lebih dulu mengenal tokoh yang bernama Fajri. Singkatnya, tokoh Fajri muncul terlebih dulu di kehidupan pengarang, baru setelah itu datang tokoh Dhuha.

Adapun pembagian jenis waktu pajar ‘fajar’ dan duha dalam kehidupan masyarakat Jawa merupakan waktu dimulainya aktivitas. Pada masyarakat Jawa tradisional yang bermatapencaharian sebagai petani atau pedagang, misalnya, mereka sudah bangun di waktu fajar dan lazimnya sudah memulai aktivitas maupun rutinitas sehari-hari. Bagi masyarakat Jawa yang berprofesi sebagai guru atau pegawai kantor, misalnya, mereka biasanya berangkat bekerja ketika sudah tiba waktu duha.

4. Penutup4.1 Simpulan

Kumpulan cerkak Kembang Pasren Karya Impian Nopitasari ini adalah sebuah karya yang berusaha mengungkap nilai nuansa Jawa dalam setiap ceritanya. Melalui kumpulan cerkak ini, peneliti telah mengkaji bagaimana pemanfaatan analogi yang digunakan oleh pengarang dalam menguraikan nilai rasa dalam budaya Jawa sesuai dengan fenomena yang terjadi dan berkembang di dalam masyarakat.

Karya sastra dan bahasa sebagai produk budaya tidak hanya memiliki unsur estetis saja, tetapi juga memiliki unsur etik. Dari aspek

Page 11: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

Mila Indah R., et al : Kajian Wacana Pemanfaatan ...

85

analogi yang digunakan, kumpulan cerkak Kembang Pasren ini cukup baik dan unik dalam mengeksplorasi penggunaan bahasa yang erat kaitannya dengan ciri khas kehidupan sehari-hari masyarakat Jawa. Adapun hasil penelitian dan pembahasan yang ditemukan peneliti, pemanfaatan analogi dalam kumpulan cerkak ini dapat diklasifikasikan menjadi tiga bagian, yaitu analogi persamaan sifat, analogi persamaan simbol, dan analogi persamaan keadaan.

Ditinjau dari segi teorinya, penelitian

ini memanfaatkan wacana budaya, dalam hal ini bentuk-bentuk kebahasaan yang muncul merupakan representasi dari aktivitas budaya yang bersifat kedaerahan.

4.2 SaranBerdasarkan temuan sementara, peneliti

belum menemukan teori khusus terkait pengklasifikasian prinsip analogi secara lebih spesifik. Untuk itu, mudah-mudahan peneliti lain dapat mengembangkannya.

Daftar PustakaAditya, Ivan. 2017. “KR dan Eksistensi Bahasa Jawa. Krjogja.Com”. https://www.krjogja.com/

kolom/opini/kr-dan-eksistensi-bahasa-jawa/, diakses pada 8 Maret 2020 pukul 22.28 WIB.Agustiningsih, Dheka Dwi. 2018. “Alam Papasangan : Representasi Nilai Kasundaan dalam Poko

Jampe (Concept of Coupleness : Sundanese Values in The Spell of”. Metalingua, Vol.16 No.2 Desember 2018, 167–178.

Bungin, Burhan. 2013. Sosiologi Komunikasi: Teori, Paradigma, dan Diskursus Teknologi Komunikasi di Masyarakat. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Deese, James. 1984. Thought into Speech: The Psychology of A Language. New Jersey: Prentice-Hall, Inc.

Djatmika. 2014. Pernik Kajian Wacana. Yogyakarta: Graha Ilmu.Kartomihardjo, Soeseno. 1993. “Analisis Wacana dengan Penerapannya pada Beberapa Wacana”

dalam PELLBA 6 (p. 21). Jakarta: Lembaga Bahasa Unika Atma Jaya.Koentjaraningrat. 1985. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta: Aksara Baru.Kurnianto, Ery Agus. 2015. “Refleksi Falsafah Ajaran Hidup Masyarakat Jawa dalam Prosa Lirik”.

Madah, Vol.6 No.1 April 2015, 215–222.Mulyana. 2005. Kajian Wacana. Yogyakarta: Tiara Wacana.Nopitasari Impian. 2017. Kembang Pasren. Yogyakarta: Garudhawaca.Poerwadarminta, W.J.S. 1939. Baoesastra Djawa. Batavia: J.B. Wolters Uitgevers Maatshappij NV.Setiyadi, Dwi B.P. 2010. “Wacana Tembang Macapat sebagai Pengungkap Sistem Kognisi dan

Kearifan Lokal Etnik Jawa”. Kajian Linguistik dan Sastra, Vol.22 No.2 Desember 2010, 193–210. https://doi.org/10.23917/kls.v22i2.4375

Sudaryanto. 1993. Metode dan Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: SERI ILDEP.Sumarlam. 2013. Teori dan Praktik Analisis Wacana. Surakarta: Buku Katta.UU-RI-No.24-2009. (2009). UU RI No 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang

Negara, serta Lagu Kebangsaan (Law No. 24 of 2009 on the National Flag, Language, Emblem and Anthem). http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/UU_2009_24.pdf, diakses pada 10 Maret 2020 pukul 13.10 WIB.

Winter SR. C.F. & Ranggawarsita R.Ng. 1994. Kamus Kawi-Jawa. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Page 12: KAJIAN WACANA: PEMANFAATAN PRINSIP ANALOGI …

86

Metalingua, Vol. 18 No. 1, Juni 2020: 75–86