kajian sosiopragmatik kefatisan berbahasa para abdi … · perundang-undangan yang berlaku....

232
i KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA TESIS Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat Memperoleh Gelar Magister Pendidikan Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister Oleh: GUSTI DINDA DAMARSASI NIM: 151232005 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA PROGRAM MAGISTER FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN UNIVERSITAS SANATA DHARMA YOGYAKARTA SEPTEMBER 2017 PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Upload: lengoc

Post on 23-Mar-2019

245 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

i

KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA

PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA

TESIS

Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Syarat

Memperoleh Gelar Magister Pendidikan

Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia

Program Magister

Oleh:

GUSTI DINDA DAMARSASI

NIM: 151232005

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN BAHASA DAN SASTRA INDONESIA

PROGRAM MAGISTER

FAKULTAS KEGURUAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS SANATA DHARMA

YOGYAKARTA

SEPTEMBER 2017

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 2: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

ii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 3: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

iii

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 4: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

iv

HALAMAN PERSEMBAHAN

Seiring dengan ucapan syukur kepada Allah SWT yang telah memberikan berkah dan

kelancaran dalam setiap langkah saya, tesis ini saya persembahkan untuk kedua orang tua

saya Bapak Gunawan Slamet Raharjo, Bc.HK, dan Ibu Soeryanti . Mereka adalah orang

teristimewa di dunia ini yang telah mencurahkan segala cinta demi kebahagian dan

kesuksesan saya.

Danu Mukti dan Gusti Nanda Wahyusari, yang selalu mengingatkan saya ketika saya malas,

memotivasi saya ketika putus asa, dan selalu menghibur serta terkadang menyebalkan.

Bernadus Tube dan Yuni Lundiarti, yang selalu memberikan motivasi, kritik,

saran dan selalu menanyakan perkembangan tesis saya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 5: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

v

MOTTO

Jer Basuki Mawa Bea (pepatah Jawa)

bahwa memang sebuah kesuksesan yang kita capai adalah

sebuah cerminan dari pengorbanan kita

Kawula Mung Saderma, Mobah-mosik Kersaning Hyang Sukmo

(pepatah Jawa)

berusaha memang tugas seorang manusia, selebihnya Tuhanlah

yang menentukan

Pekerjaan hebat tidak dilakukan dengan kekuatan tapi dengan ketekuan dan

kegigihan ~

(Samuel Jhonson)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 6: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

vi

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA

Saya menyatakan dengan sesungguhnya bahwa tesis yang saya tulis ini

tidak memuat karya atau bagian karya orang lain, kecuali yang telah disebutkan

dalam kutipan dan daftar pustaka, dengan mengikuti ketentuan sebagaimana

layaknya karya ilmiah. Apabila di kemudian hari ditemukan indikasi plagiarisme

dalam tesis ini, maka saya bersedia menanggung segala sanksi sesuai peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

Yogyakarta, 11 September 2017

Penulis

Gusti Dinda Damarsasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 7: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

vii

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN

PUBLIKASI KARYA ILMIAH UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS

Yang bertanda tangan di bawah ini, saya mahasiswa Universitas Sanata Dharma:

Nama : Gusti Dinda Damarsasi

Nomor Mahasiswa : 151232005

Demi pengembangan ilmu pengetahuan, saya memberikan kepada Perpustakaan

Universitas Sanata Dharma karya ilmiah saya yang berjudul:

KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA

PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA

Dengan demikian saya memberikan kepada Perpustakaan Universitas Sanata

Dharma hak untuk menyimpan, mengalihkan dalam bentuk media lain,

mengelolanya dalam bentuk pangkalan data, mendistribusikan secara terbatas, dan

mempublikasikannya di Internet atau media lain untuk kepentingan akademis

tanpa perlu meminta izin dari saya maupun memberikan royalti kepada saya

selama tetap mencantumkan nama saya sebagai penulis.

Demikian pernyataan ini saya buat dengan sebenarnya.

Dibuat di Yogyakarta

Pada tanggal: 11 September 2017

Yang menyatakan

( Gusti Dinda Damarsasi )

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 8: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

viii

ABSTRAK

Damarsasi, Gusti Dinda. 2017. Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta. Tesis. Yogyakarta: Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program Magister, Fakultas Keguruan Ilmu Pendidikan,Universitas Sanata Dharma.

Penelitian ini membahas mengenai kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Tujuan penelitian ini adalah 1. Mendeskripsikan wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta, 2. Mendeskripsikan pergeseran wujud dan makna pragmatik yang terdapat pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta, 3. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.

Penelitian ini tergolong dalam penelitian deskriptif kualitatif dengan berpijak pada teori komunikasi fatis dan sosiopragmatik. Sumber data lokasional penelitian ini adalah abdi dalem punakawan yang berada di Keraton Yogyakarta. Sumber data substantif penelitian ini adalah tuturan-tuturan para abdi dalem. Data penelitian ini adalah berupa tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan berbahasa dan cuplikan wawancara abdi dalem. Teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu teknik simak, diikuti dengan teknik dasar berupa teknik sadap. Metode analisis data yang digunakan yaitu metode padan. Selanjutnya, teknik analisis data yang digunakan adalah dasar pilah unsur penentu kemudian diikuti teknik lanjut hubung banding.

Berdasarkan hasil penelitian, peneliti dapat menyimpulkan bahwa wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua berdasarkan benar tidaknya tuturan yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi polar. Di dalam tuturan fatis tersebut juga terdapat maksud penutur atau makna pragmatik yang berhubungan dengan pemenuhan hubungan sosial yaitu, mempertahankan komunikasi, mencairkan suasana, bertegur sapa,mengawali pembicaraan dan mengakhiri pembicaraan. Di dalam tuturan komunikasi fatis tersebut terdapat wujud pergeseran honorifik dan eufemisme. Pergeseran honorifik sapaan dan eufemisme ini digunakan penutur untuk lebih memperhalus tuturan dengan maksud menghormati dan menujukkan kesopanan. Terjadinya pergeseran honorifik dan eufemisme disebabkan oleh beberapa faktor eksternal dan internal. Faktor internal berupa kebijakan kraton untuk bergabung dengan pemerintahan dan tidak adanya budaya magang serta penguasaan bahasa penutur dan mitra tutur yang tidak sederajat. Selanjutnya,faktor eksternal yaitu perkembangan pola pikir, perkembangan IPTEK dan perkembangan budaya

Kata kunci: komunikasi fatis, sosiopragmatik, pergeseran bahasa, abdi dalem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 9: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

ix

ABSTRACT

Damarsasi, Gusti Dinda. 2017. Sociopragmatic Study of Pathic Language of The Royal Servants in Yogyakarta Palace. Thesis. Yogyakarta: The Graduate School of The Indonesian Language and Literature Education Study Programme, Faculty of Teacher Traning and Education, Sanata Dharma University.

This study discusses the language of the speakers in Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat. The purposes of this research are (1) to describe the form and meaning of pragmatic phatic communication of the servant’s language in the Yogyakarta Palace, (2) to describe the shifting form and pragmatic phatic communication meaning which is occured in the use of the servant’s languange in the Yogyakarta Palace , (3) to describe the factors that cause the occurrence a shift in the form of the phatic communication of the servant’s language in Yogyakarta Palace .

This research was categorized as qualitative descriptive research based on communication theory of phatic communication and sociopragmatic. Locational data source of this research was Yogyakarta Palace by observing punakawan servents. The sources of substantive data of this research were the speeches of the servant. The data of this research was in the form of speeches that contained language of phatic communication. Technique of collecting the data used was listening technique, followed by basic technique in the form of tapping technique. Data analysis method used was matching method. Furthermore, the data analysis technique used was the basic of the decisive element and then followed by the advanced technique of appeal.

Based on the results of the research, the researcher can conclude that the form of language phatic communication of the servants can be grouped into two based on whether or not true speech communication pure phatic communication and polar communication. In the phatic utterance there is also the intention of speakers or pragmatic meanings related to the fulfillment of social relations that is: maintain communication, melting the atmosphere, greeting, starting the conversation and end the conversation. In the phatic communication, there are honorific and euphemisms shifts. This honorific shift of greetings and euphemisms was used by speakers to further refine speech with the intention of honoring and showing decency. The occurrence of honorificable shifts and euphemisms is caused by several external and internal factors. Internal factors in the form of a Palace policy to join the government and the absence of an internship culture as well as the mastery of speech languages and speech partners are not equal. While, the external factors are the development of mindset, development of science and technology and culture development.

Key Words: phatic communication, sociopragmatic, language shift, servant

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 10: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

x

KATA PENGANTAR

Puji syukur atas kehadirat Allah SWT karena berkah serta hidayahNya

penulis dapat menyelesaikan tesis dengan judul “ Kajian Sosiopragmatik

Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta “. Tesis ini disusun

sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi Pendidikan Bahasa Sastra

Indonesia Program Magister, Universitas Sanata Dharma Yogyakarta.

Penulis menyadari bahwa tesis ini berhasil diselesaikan karena bantuan dan

dukungan dari banyak pihak. Oleh karena itu, penulis mengucapkan terima kasih

yang sebesar-besarnya kepada:

1. Rohandi, Ph,D., Dekan FKIP USD yang telah mendukung proses

intelektual penulis dalam berbagai kegiatan di FKIP USD.

2. Dr. R. Kunjana Rahardi, M.Hum., selaku Ketua Program Studi

Pendidikan Bahasa Sastra Indonesia Program Magister yang telah

mendampingi secara akademis selama menempuh pendidikan di

MPBSI, USD. Sekaligus dosen pembimbing I yang dengan sabar

membimbing, memotivasi dan memberi masukan berharga sehingga

tesis ini dapat terselesaikan.

3. Prof. Dr. Pranowo. M.Pd., selaku dosen pembimbing II yang dengan

teliti telah membimbing dan berdiskusi sehingga tesis ini dapat

selesai.

4. Para Dosen P ro gra m S t ud i PBSI, Program Magister yang telah

mendid ik , memberikan pengalaman dan waktu untuk membimbing

penulis selama studi sehingga penulis dapat mempunyai bekal untuk

terjun ke dunia pendidikan sebagai pendidik..

5. R. Marsidiq selaku pegawai sekretariat P rog ra m S tu d i PBSI,

Program Magister yang dengan sabar membantu kelancaran

perkuliahan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 11: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

xi

6. GKR. Condrokirono, yang telah memberikan izin sehingga penulis

dapat melakukan penelitian di Keraton Yogyakarta.

7. Orang-orang yang selalu mendukung penulis sehingga penulis bisa

menyelesaikan tesis, Bapak Gunawan Slamet Raharjo, Bc.HK., Ibu

Soeryanti, Danu Mukti, S.Pd., dan Gusti Nanda Wahyusari.

8. Keluarga Besar SMP Santo Aloysius Turi, yang telah banyak

memberikan dukungan dan semangat. Terima kasih Bruder Kosmas,

Bu Agnes Natalia, Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati,

Bu Maya, Bu Ambar dan teman-teman guru lainnya.

9. Bernadus Tube, Brigita Yuni, Natalia Sulistyanti Harsanti, Ibu Angel

Gena, Dina Eka, Sofylia, Deni Pradita, Didit Setiawan, dan juga

teman-teman seperjuangan MPBSI yang selalu memberikan

dukungan, saran dan canda tawa selama berdinamika di MPBSI.

10. Yuni Lundiarti, Ade Supiyanto, S. Seno Kurniawan sahabat yang

selalu menanyakan tesis dan memberi semangat kepada penulis.

11. Marta Susanti, Melyda Agustin adik sekaligus sahabat yang tak bosan

mendengarkan keluh kesah dan selalu memberikan semangat pada

penulis.

12. Semua pihak yang telah membantu dan tidak dapat penulis sebutkan

satu per satu.

Penulis menyadari bahwa tesis ini masih jauh dari sempurna oleh karena itu

kritik dan saran sangat dibutuhkan oleh penulis. Penulis berharap tesis ini dapat

bermanfaat bagi pembaca.

Yogyakarta, 11 September 2017

Penulis,

Gusti Dinda Damarsasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 12: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

xii

DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL .................................................................................... i

HALAMAN PERSETUJUAN PEMBIMBING …………….................... ii

HALAMAN PENGESAHAN...................................................................... iii

HALAMAN PERSEMBAHAN ………………………………………….. iv

MOTTO ........................................................................................................ v

PERNYATAAN KEASLIAN KARYA ...................................................... vi

LEMBAR PERNYATAAN PERSETUJUAN PUBLIKASI KARYA

UNTUK KEPENTINGAN AKADEMIS ...................................................

vii

ABSTRAK .................................................................................................... viii

ABSTRACT ................................................................................................... ix

KATA PENGANTAR ................................................................................. x

DAFTAR ISI ................................................................................................ xii

BAB I: PENDAHULUAN ………………………………………………... 1

1.1 Latar Belakang Masalah .......................................................................... 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................................... 7

1.3 Tujuan Penelitian ..................................................................................... 8

1.4 Manfaat Penelitian ................................................................................... 8

1.5 Batasan Istilah .......................................................................................... 9

BAB II: LANDASAN TEORI ……………………………………………. 11

2.1 Teori Sosiopragmatik .............................................................................. 11

2.2 Kefatisan sebagai Fenomena Sosiopragmatik ......................................... 15

2.3 Teori Makna dan Maksud ........................................................................ 25

2.4 Teori Konteks .......................................................................................... 27

2.5 Tingkat Tutur dalam Berbahasa Jawa ...................................................... 36

2.5.1 Unggah-ungguh dalam Etika Jawa.................................................. 38

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 13: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

xiii

2.6 Pergeseran Bahasa .................................................................................. 45

2.7 Kerangka Berpikir ................................................................................... 52

BAB III: METODOLOGI PENELITIAN ………………………………. 54

3.1 Jenis Penelitian ........................................................................................ 54

3.2 Sumber Data, Data dan Objek Penelitian ............................................... 54

3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data .................................................... 55

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data.......................................................... 57

3.5 Triangulasi Data ...................................................................................... 59

BAB IV: HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAAN ……………... 61

4.1 Hasil Analisis Data ................................................................................. 61

4.1.1 Deskripsi Data ................................................................................ 61

4.1.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis ......................... 65

4.1.3 Pergeseran dalam Komunikasi Fatis ……………………………. 84

4.1.4 Faktor Penyebab Pergeseran …………………………………….. 93

4.2 Pembahasan ……………………………………………………………. 97

4.2.1 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis ............................ 97

4.2.2 Pergeseran dalam Komunikasi Fatis …………………………….. 103

4.2.3 Faktor Penyebab Pergeseran ……………………………………... 106

BAB V: PENUTUP ……………………………………………………….. 112

5.1 Simpulan …………………………………………………………… 112

5.2 Saran………………………………………………………………... 114

DAFTAR PUSTAKA .................................................................................. 115

LAMPIRAN ................................................................................................. 119

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 14: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Keraton Yogyakarta merupakan status yang menjadikan Yogyakarta

menjadi Daerah Istimewa (DI). Awalnya, Negara-negara penjajah memberikan

status Kesultanan Yogyakarta sebagai “Kerajaan Vassal atau Negara Bagian atau

Dependent State”. Bahkan, para penjajah Belanda menyebutnya sebagai

Zelfbestuurende Lanschappen, sedangkan penjajah Jepang menyebutnya dengan

istilah Koti atau Kooti (Kurniawati, 2013). Tentu, status tersebut membawa

konsekuensi sistem politik dan hukum yang otonom. Artinya bahwa Kesultanan

Yogyakarta memiliki kewenangan sendiri dalam mengatur dan mengurus wilayah

di bawah penerintahan penjajah tertentu. Keistimewaan Yogyakarta mengacu

pada UU Nomor 22 Tahun 1948 bahwa presiden mengangkat kepala Daerah

Istimewa Yogyakarta dari keturunan keluarga yang berkuasa di daerah itu dengan

syarat, yaitu kecakapan, kejujuran, dan kesetiaan, dan memiliki pengetahuan yang

luas tentang budaya Jawa secara umum, dan Yogyakarta secara khusus. .

Selain itu, Keraton Yogyakarta juga dipandang sebagai pusat kerajaan,

pusat kebudayaan, sekaligus tempat tinggal raja yang dikukuhkan sebagai figur

atau tokoh penerima pulung, ndaru, cahya nurbuat, atau wahyu Ilahi, untuk

menyampaikan kebajikan Allah kepada umat manusia di muka bumi. Hal senada

dinyatakan oleh Magnis-Suseno (2001: 103) bahwa kepercayaan Jawa

menganggap seorang raja sebagai subjek yang mendapat pulung, memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 15: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

2

kekuatan ilahi dan diibaratkan sebagai raja-dewa yang bertahta atas alam semesta.

Bahkan Subanar (Wardani, 2012) menegaskan kedudukan Sultan sebagai Sang

Sinuwun (Sinuhun) adalah lembaga, tempat segenap aparat dan kawula

mengharapkan anugerah. Sultan juga berperan sebagai institusi, yakni tempat

orang berguru sebagai Sang Arif Bijaksana, tempat memperoleh pendidikan,

pembinaan, dan pengemblengan watak berbudi bawa leksana (mengutamakan

kebaikan), ambeg adil para marta (berlaku adil kepada siapapun), serta tempat

melakukan penghayatan hidup yang berorientasi pada etika Jawa dengan

menjunjung rasa hormat, harmoni, sabar, legawa (terbuka menerima kenyataan

sebagaimana yang terjadi), dan memayu hayuning buwana (melestarikan

keindahan dunia).

Hal-hal tersebut berpengaruh terhadap kebijakan-kebijakan yang

diterapkan dalam Kesultanan. Banyak kebijakan Keraton yang membawa

perubahan yang menyentuh sendi-sendi kehidupan berbangsa dan bernegara.

Misalnya, perubahan Yogyakarta yang semula di bawah pengawasan penguasa

kolonial Belanda dan fasisme Jepang kemudian di bawah kekuasaan republik

menjadi sistem pemerintahan demokrasi. Bahkan, pada masa kekuasaan Sultan

Hamengku Buwana IX, Yogyakarta berubah menjadi Daerah Istimewa dan

menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) (Wardani,

2012). Perubahan lain yang lebih tampak pada fungsi Kesultanan Yogyakarta.

Awalnya, fungsi keraton bersifat tertutup, kini berubah menjadi lebih terbuka

kepada masyarakat umum, khususnya keterbukaan Kesultanan Yogyakarta bagi

dunia pendidikan dan pariwisata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 16: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

3

Fenomena-fenomena perubahan tersebut menunjukkan bahwa Kesultanan

Yogyakarta telah mengalami transformasi paradigma yang senantiasa

berhubungan dengan aspek-aspek kehidupan manusia, seperti kehidupan

ekonomi, politik, sosial, dan budaya. Tentu, di tengah perubahan, kedua wilayah

ini tetap memperlihatkan pentingnya warisan tradisi dan budaya yang dipandang

sebagai kearifan lokal dan aset budaya bangsa yang harus dipertahankan dan

ditransformasikan kepada generasi-generasi penerus, karena keduanya memberi

kontribusi positif bagi kehidupan masyarakat, baik masyarakat berbudaya Jawa

maupun masyarakat umum.

Masyarakat berbudaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan,

dan keserasian dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga sangat menjunjung

tinggi kesopanan dan kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai-nilai budaya yang

menjadi dasar utama bagi masyarakat Jawa dalam membangun hidup, khususnya

dalam berbahasa dan membangun komunikasi dengan sesama dan orang lain.

Misalnya, sikap ewuh pakewuh (Ewuh berarti repot dan pekewuh berarti tidak

enak perasaan) menjadi budaya yang hidup dalam masyarakat Jawa karena

menjadi dasar untuk melakukan ewuh pakewuh, yakni etika (Purwadi: 2008).

Sikap rasa tidak enak pada orang akan berpengaruh terhadap cara berkomunikasi

antarmasyarakatnya.

Budaya ewuh pekewuh pun menjadi dasar yang menunjukkan bahwa

masyarakat berlatar belakang budaya Jawa memiliki pola komunikasi yang khas,

yakni pola spiral atau tidak langsung pada pokok pembicaraan saat membangun

komunikasi dengan orang lain. Sikap budaya ini sebagai media dalam menjalin

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 17: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

4

sebuah hubungan sosial. Pola komunikasi ini bertujuan untuk menjaga perasaan

mitra tuturnya, sekaligus mempertahankan hubungan baik antarpenutur dengan

mitra tutur. Konsep ini dalam bidang pragmatik disebut komunikasi fatis.

Komunikasi fatis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang

digunakan oleh penutur untuk menanyakan hal yang sebenarnya sudah

diketahuinya dengan maksud untuk mempertahankan hubungan baik

anatarpenutur. Bentuk komunikasi ini sering terjadi dalam kehidupan sosial

masyarakat berlatar belakang budaya Jawa. Misalnya, dalam tuturan di bawah ini.

Orang 1 (O1) : Kiyambakan, Romo? (Sendirian - Bapak? (Sendirian, Bapak?)

Orang 2 (O2) : Enggeh,ajeng teng pundhi? (Iya-akan-pergi-mana?) (Iya, akan ke mana?)

Orang 1 (O1) : Niki jalan-jalan. (ini-jalan-jalan) (ini jalan-jalan)

Konteks (K) : O1 berjenis kelamin perempuan yang usianya jauh lebih muda dibanding O2. O1 berjalan melewati O2 yang sedang duduk sendiri.

Tuturan yang dikatakan oleh O1 (selanjutnyaakan ditulis penutur) dalam

pertuturan di atas merupakan bentuk komunikasi yang digunakan bukan untuk

menyampaikan atau menanyakan sebuah informasi, namun digunakan untuk

menjaga hubungan intrapersonal. Penutur yang merasa lebih muda dibanding

dengan O2 (selanjutnya akan ditulis mitra tutur), ketika betemu orang yang sudah

dikenal mempunyai kewajiban untuk menyapa mitra tutur terlebih dahulu, karena

keduanya berlatar belakang budaya Jawa. Kemudian, penutur memulai pembicara

dengan mengatakan tuturan tersebut. Tuturan Kiyambakan, Romo? dikatakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 18: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

5

bukan untuk menanyakan sebuah informasi, karena penutur jelas sudah

mengetahui bahwa mitra tutur sendiri dan tidak ada yang menemani. Tuturan

tersebut dikatakan untuk membangun atau mempertahankan sebuah hubungan

sosial antara penutur dan mitra tutur. Penutur berharap dengan tuturan tersebut

akan membangun interaksi selanjutnya yang lebih baik. Hal ini berarti bahasa

bukan lagi berfungsi untuk menanyakan atau memberikan informasi, tetapi bahasa

berfungsi fatis (Leech: 1981). Artinya bahwa bahasa digunakan dalam komunikasi

untuk membina dan memelihara hubungan antarpenuturnya. Walaupun memiliki

tugas ringan, fungsi fatis merupakan fungsi bahasa memiliki peran yang sangat

penting dalam kehidupan sosial karena fungsi fatis berkaitan dengan hubungan

interpersonal penuturnya.

Namun demikian, tidak dapat dimungkiri bahwa seiring berkembangnya

zaman, kehidupan masyarakat berlatar belakang budaya Jawa mulai dipengaruhi

dengan kehidupan global. Tentu, muncul pertanyaan bahwa apakah masyarakat

masih memertahankan budaya sebagai dasar dalam berkomunikasi, ataukah saat

ini telah mengalami pergeseran. Hal ini merupakan pertanyaan kegelisahan,

karena menurut Nafi’ah (2013) bahwa pemahaman masyarakat mengenai budaya

di era globalisasi semakin berkurang. Hal ini jelas terlihat dengan lunturnya

bahasa krama. Bahasa Krama merupakan salah satu budaya berupa tata cara atau

unggah ungguh dalam berkomunikasi. Padahal, dalam budaya komunikasi sosial

masyarakat Jawa terdapat fungsi bahasa untuk menjalin hubungan sosial

penuturnya (fungsi fatis).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 19: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

6

Sisi lain, masyarakat berlatar belakang budaya Jawa mengenal adanya

budaya unggah-ungguh. Hal ini sangat tampak dan senantiasa dihidupi oleh para

tokoh dan masyarakat Jawa zaman dahulu. Namun, zaman sekarang budaya

tersebut menjadi perbincangan publik, khususnya dunia pendidikan, keluarga, dan

lingkungan sosial. Para guru, orangtua, tokoh masyarakat, tokoh-tokoh agama, dan

para tokoh kesultanan merasa tidak dihormati oleh para generasi muda Jawa

maupun generasi muda yang datang dari luar Jawa. Para generasi muda kurang

menjalankan norma dan nilai-nilai budaya, khususnya budaya unggah ungguh

dalam membangun komunikasi (Sahlan, https://www.academia.edu/15562280).

Fenomena tersebut tentu dialami juga oleh para abdi dalem Kesultanan

Yogyakarta. Para abdi dalem merupakan contoh masyarakat berlatar belakang

budaya Jawa yang masih dekat dengan budaya-budaya Jawa yang mereka percayai

sehingga mereka masih memperhatikan aspek-aspek budaya Jawa dalam

berperilaku dan berbicara. Abdi dalem adalah orang-orang yang membantu atau

bekerja dan tinggal di Keraton Yogyakarta. Artinya, peran sosial para abdi dalem

di Kesultanan Yogyakarta menarik untuk dikaji lebih jauh, khususnya perubahan

komunikasi sosial yang mungkin berdampak pada pergeseran makna komunikasi

fatis yang dibangun sejalan dengan kebutuhan dan perkembangan zaman. Tentu,

kurun waktu pengabdian para abdi dalem juga akan menjadi perhatian untuk

menjawab persoalan mengenai pergeseran makna komunikasi fatis.

Dengan demikian, topik mengenai komunikasi fatis berlatar belakang

budaya Jawa yang terjadi di Keraton Kesultanan Yogyakarta menjadi fokus kajian

peneliti untuk mencari bentuk komunikasi fatis masyarakat Jawa dan pergeseran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 20: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

7

maknanya. Konsep pergeseran dipaparkan oleh Sulistyowati (2015: 221) sebagai

perubahan yang ditentukan oleh adanya perbedaan struktural antara dua sistem

bahasa yang terlibat dalam proses penerjemahan dan tindakan opsional (optional

actions). Pergeseran yang terjadi dalam komunikasi fatis dimaknai sebagai

perubahan maksud pragmatis berdasarkan konteks. Hal ini yang menjadi tujuan

penelitian ini. Tentu, fenomena pergeseran makna komunikasi fatis para abdi

dalem di Keraton Kesultanan Yogyakarta juga dapat dikaji dengan pendekatan

sosiopragmatik. Konsep sosiopragmatik dikemukakan Rahardi (2009: 21) sebagai

ilmu yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya

sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Penggunaan

bahasa oleh para abdi dalem sebagai bentuk komunikasi fatis sangat ditentukan

oleh konteks, baik konteks situasi maupun konteks budaya Jawa. Penelitian ini

akan dilakukan pada tahun 2017 dengan mengamati tuturan para abdi dalem dalam

berkomunikasi di Keraton Kesultanan Yogyakarta. Oleh karena itu, peneliti akan

melakukan penelitian bejudul, “ Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para

Abdi Dalem Keraton Yogyakarta”.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah utama penelitian

ini dapat dirumuskan, yakni “Bagaimana kefatisan berbahasa para abdi dalem

Keraton Yogyakarta?” Masalah utama tersebut dijabarkan dalam sub rumusan

masalah, antara lain:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 21: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

8

1. Bagaimana wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi

dalem Keraton Yogyakarta?

2. Pergeseran wujud dan makna pragmatik apa sajakah yang terdapat pada

pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta?

3. Faktor apa sajakah yang menyebabkan terjadinya pergeseran kefatisan

berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakartaq?

1.3 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah penelitian yang telah disebutkan di atas

maka tujuan penelitian ini,antara lain:

1. Mendeskripsikan wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa para

abdi dalem Keraton Yogyakarta.

2. Mendeskripsikan pergeseran wujud dan makna pragmatik yang terdapat

pada pemakaian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.

3. Menguraikan faktor yang menyebabkan terjadinya pergeseran wujud

kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta.

1.4 Manfaat Penelitian

Penelitian kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta dalam

perspektif sosiopragmatik ini diharapkan dapat bermanfaat bagi para pihak yang

memerlukan. Manfaat yang dapat diperoleh dari pelaksanaan penelitian ini, yaitu:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 22: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

9

1. Manfaat teoretis

Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberi sumbangsih terhadap

pengembangan ilmu sosiopragmatik yang berkaitan dengan komunikasi

fatis berlatarbelakang budaya Jawa. Selain itu, penelitian ini dapat

memberikan sumbangan pengetahuan terhadap masyarakat Jawa

mengenai keberadaan komunikasi fatis pada saat ini.

2. Manfaat praktis

Penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Jawa

dan memberikan masukan khususnya pihak Keraton Yogyakarta terkait

dengan komunikasi para abdi dalem. Selain itu, peneliti ini dapat

memberikan pengetahuan kepada masyarakat, khususnya para abdi dalem

dalam penggunaan kefatisan yang tepat dalam berkomunikasi agar

hubungan sosial antarabdi dalem akan tetap berjalan dengan baik.

1.5 Batasan Istilah

1. Kefatisan adalah ucapan-ucapan yang digunakan untuk membina

hubungan sosial antarpenutur

2. Abdi dalem adalah orang yang mau bekerja, tinggal, dan mengabdikan

dirinya kepada keraton dengan segala aturan yang ada tanpa

menghiraukan besarnya upah (gaji, imbalan).

3. Pergeseran bahasa adalah peralihan sebuah bahasa menjadi lebih luas

yang disebabkan oleh penutur bahasa itu sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 23: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

10

4. Sosiopragmatik adalah sebuah displin ilmu yang mengaji maksud dibalik

tuturan seseorang di dalam suatu lingkungan masyarakat tertentu.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 24: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

11

BAB II

LANDASAN TEORI

2.1 Teori Sosiopragmatik

Apabila dilihat dari awal munculnya, ada kesamaan antara sosiolinguitik

dan pragmatik karena keduanya muncul dengan langkah pendobrakan terhadap

kekuatan kelompok kegiatan yang menelah bahasa yang bercokol kuat pada tahun

1950-1960-an, yakni aliran transformasional-generatif. Akan tetapi, terdapat

sedikit perbedaan mengenai titik yang dikaji, menurut penganut sosiolinguitik

bahasa pada hakikatnya adalah heterogen, sehingga pencanang sosiolinguitik

melakukan tindakan meng-homogen-kan bahasa karena keanekaragaman bahasa

itu ada dari latar belakang sosial penuturnya yang berbeda-beda. Sementara itu,

aliran pragmatik melakukan tindakan dengan melucuti kalimat yang pada

hakikatnya berkonteks, dan yang pada hakikatnya ada karena digunakan di dalam

komunikasi. Oleh karena itu, upaya menyusun teori bahasa janganlah hanya

mendasarkan pada bentuk kalimat tetapi juga konteks yang melingkupinya,

penggunaannya pada komunikasi, dan interaksi antara pembicara dan lawan

bicara (Purwo, 1990:16).

Sosiopragmatik merupakan salah satu dari dua sisi pragmatik, selain

pragmalinguistik (Leech, 1983: 10-11). Kedua disiplin pragmatik tersebut

(pragmalinguistik dan sosiopragmatik) menunjukkan bahwa bahasa yang

digunakan oleh seseorang dalam berkomunikasi dapat dikaji secara internal

(aspek pragmalinguistik) maupun eksternal (aspek sosiopragmatik). Kajian secara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 25: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

12

internal dilakukan terbatas terhaduap strtuktur interen bahasa yang akan

menghasilkan perian-perian bahasa, tanpa ada keterkaitan dengan masalah lain di

luar aspek kebahasaan. Tentu, hal tersebut dilakukan dengan menggunakan teori-

teori dan prosedur-prosedur yang berlaku di dalam bidang linguistik. Sementara

itu, kajian eksternal akan membuahkan rumusan-rumusan atau kaidah-kaidah

yang bergayut dengan penggunaan bahasa dalam segala kegiatan manusia dalam

masyarakat. Karena itu, kajian ini tidak hanya menggunakan teori dan prosedur

linguistik, tetapi juga dikaitkan dengan teori dan prosedur dari disiplin ilmu lain

yang berkaitan dengan penggunaan bahasa. Misalnya kajian sosiopragmatik

melibatkan disiplin ilmu sosiolinguistik dengan pragmatik.

Konsep sosiopragmatik diawali dengan pemahaman mengenai

sosiolinguistik sebagai disiplin yang menghubungkan bahasa dengan masyarakat

dan pragmatik sebagai disiplin yang mempelajari arti ujaran atau bahasa secara

kontekstual (Yule, 1996: 3). Artinya bagaimana seseorang menggunakan bahasa

dalam berkomunikasi dengan masyarakat sosial berdasarkan konteks

keberadaannya. Hal tersebut sejalan dengan penelitian kefatisan para abdi dalem

dimana penelitian ini dilakukan untuk mengidentifikasi penggunaan kefatisan

berbahasa para abdi dalem yang dikaitkan dengan lingkungan masyarakat

tuturnya. Konsep tersebut juga telah dipaparkan oleh Nurjamily (2015) bahwa

sebuah penelitian sosiopragmatik mengaji penggunaan bahasa di dalam sebuah

masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Sosiopragmatik adalah telaah

mengenai kondisi-kondisi setempat dan kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus

mengenai penggunaan bahasa. Selain itu, sosiopragmatik merupakan suatu studi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 26: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

13

yang mengkaji tentang ujaran yang disesuaikan dengan situasi dalam suatu

lingkungan tertentu. Sementara itu Dike (2014) mengatakan bahwa secara konkrit

kajian sosiopragmatik merupakan kajian entitas kebahasaan yang menggabungkan

ancangan penulisan sosiolinguistik dan ancangan penulisan pragmatik dalam

wadah dan lingkup kebudayaan tertentu. Lebih dari itu, Dike mempertegas bahwa

sosiopragmatik tidak terlepas dari aspek konteks. Hal ini berlatarbelakang bahwa

fokus kajian sosiopragmatik lebih pada konteks penggunaan bahasa itu sendiri.

Hal ini berarti sosiopragmatik adalah cabang pragmatik umum yang kajiannya

menekankan pada aspek nonlinguistik, terbatas pada penggunaan bahasa pada

kondisi sosial tertentu, yang terikat oleh percakapan lokal, dan berdasarkan

konteks. Selain itu, Rini (2013) mengatakan bahwa objek sebuah kajian

sosiopragmatik ialah maksud dari sebuah tuturan yang memerhatikan aspek-aspek

masyarakat bahasa.

Konsep tersebut ditegaskan Rahardi (2009: 21) bahwa sosiopragmatik

adalah ilmu yang mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada

dasarnya sangat ditentukan oleh konteks situasi yang mewadahi bahasa itu.

Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial dan konteks sosietal. Konteks

sosial adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi antaranggota

masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sementara itu,

konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari

anggota-anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.

Sisi lain, kajian sosiopragmatik didasarkan pada prinsip kerjasama (PKS)

dan prinsip sopan santun (PSS), khususnya dalam kebudayaan dan masyarakat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 27: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

14

bahasa yang berbeda, dalam situasi sosial yang berbeda, dan dalam kelas sosial

yang berbeda. Hal ini berlatar belakang pada realitas adanya kesalahpahaman

dalam berkomunikasi antarmanusia berlatar sosial dan budaya berbeda yang

memungkinkan terjadinya pergeseran wujud dan maksud sebuah tuturan.

Masyarakat sosial yang berbeda tentu berpeluang memiliki perbedaan interpretasi

atau pemahaman terhadap makna suatu tuturan. Misalnya, para abdi dalem

memandang prilaku tertentu tidak sopan, sedangkan masyarakat Jawa lainnya,

khususnya generasi muda menganggap sopan. Karena itu, deskripsi

sosiopragmatik harus dikaitkan dengan kondisi-kondisi sosial tertentu.

Dengan demikian, peneliti memakai pendekatan sosiopragmatik sebagai

pisau analisis untuk mengkaji aspek-aspek non-kebahasaan, khususnya

penggunaan bahasa dalam percakapan lokal oleh para abdi dalem di lingkungan

Keraton Yogyakarta. Teori sosiopragmatik yang telah dipaparkan Yule (1996) dan

Rahardi (2009) peneliti gunakan untuk membantu menganalisis aspek non-

kebahasaa. Konteks penelitian ini menunjukkan bahwa kajian sosiopragmatik

diperlukan untuk menghasilkan deskripsi penggunaan bahasa oleh para abdi

dalem dalam komunikasi berdasarkan konteks sosial dan budaya Jawa. Dengan

kata lain, peneliti ingin mendeskripsikan tuturan fatis abdi dalem dalam

berkomunikasi dengan mengaitkan situasi kehidupan sosial penuturnya. Secara

khusus, penelitian ini akan berfokus pada wujud dan makna pragmatik tuturan

komunikasi fatis untuk mengkaji bentuk pergeseran wujud dan maksud

komunikasi fatis para abdi dalem dengan perspektif sosiopragmatik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 28: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

15

2.2 Kefatisan sebagai Fenomena Sosiopragmatik

Sosiopragmatik merupakan disiplin ilmu yang mengkaji bahasa atau

makna ujaran sebagai objek penelitian dan sosial masyarakat sebagai konteks

objek penelitiannya. Aspek sosial masyarakat di sini sesungguhnya tidak terlepas

dari aspek budaya masyarakatnya sehingga kerapkali dirangkaikan menjadi aspek

sosial budaya masyarakatnya. Bahasa mempunyai bentuk pragmatik yang

berbeda-beda bila dilihat dari fungsinya. Di masyarakat, fungsi bahasa sering

dikaitkan salah satunya dengan hubungan sosial oleh penggunanya yang peristiwa

itu sering disebut sebagai komunikasi fatis atau kefatisan berbahasa.

Halliday (Sudaryanto,1990:17) menjelaskan bahwa fungsi khas bahasa

yang tercermin pada struktur bahasa ada tiga, yaitu (1) fungsi “ideasional” dimana

bahasa berperan sebagai pengungkapan ‘isi’ pengungkapan pengalaman penutur

tentang dunia nyata, termasuk dunia dalam dari kesadarannya sendiri, (2) fungsi

“interpersonal” berkaitan dengan peranan bahasa untuk membangun dan

memelihara hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial

termasuk peranan-peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri, (3)

fungsi “tekstual” berkaitan dengan tugas bahasa untuk membentuk berbagai mata

rantai kebahasaan dan mata rantai unsure situasi (features of the situation) yang

memungkinkan digunakannya bahasa oleh para pemakainya.

Dalam hal ini, kefatisan berbahasa berkaitan erat dengan fungsi

interpersonal karena bahasa digunakan untuk membangun dan memelihara

hubungan sosial, untuk pengungkapan peranan-peranan sosial termasuk peranan-

peranan komunikasi yang diciptakan oleh bahasa itu sendiri. Fungsi interpersonal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 29: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

16

dapat dilihat pada struktur yang melibatkan modalitas dan system yang

dibangunnya. Membangun hubungan sosial berarti termasuk juga memelihara

hubungan atau kontak antara pembicara dengan penyimak.

Chaer (2009:16) menjelaskan bahwa ungkapan-ungkapan yang

digunakan dalam fatik biasanya sudah berpola tetap, seperti pada waktu berjumpa,

pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan keadaan keluarga. Ungkapan-

ungkapan yang digunakan tidak dapat diartikan atau diterjemahkan secara harfiah

karena ungkapan tersebut digunakan untuk tujuan untuk memelihara komunikasi

dan tidak untuk menyampaikan informasi yang berdampak pada hubungan sosial

penutur dan mitra tutur. Seperti contoh Apa kabar? Bagaimana kabar keluarga di

rumah? Mau kemana nih? dan sebagainya.

Komunikasi fatis diperkenalkan oleh Malinowski setelah ia menyumbang

gagasan mengenai ‘konteks situasi’ yang penting bagi teori bahasanya dalam buku

milik Ogden’s dan Richards, dengan konsep ‘persekutuan pahtic’ dalam

linguistik. Malinowski (Senft, 2009) mengatakan bahwa bahasa "free, aimless

social intercourse" yang maksudnya adalah bahwa bahasa bebas digunakan

dalam hubungan sosial antarmasyarakat yang tidak memiliki tujuan khusus.

Misalnya, seseorang menanyakan kesehatan, mengomentari cuaca, atau

memberikan sapaan. Hal ini ditegaskan Malinowski bahwa [...] to a natural man

another man's silence is not a reassuring factor, but on the contrary, something

alarming and dangerous [...]. Terjadinya keheningan atau diam di dalam

pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan hubungan sosial

antarpenuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 30: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

17

Artinya, penutur harus mengubah suasana hening atau diam yang terjadi

saat berkomunikasi untuk menyelamatkan hubungan keduanya. Contoh

menanyakan kesehatan, memberikan sapaan atau mengomentari cuaca merupakan

sesuatu yang bisa dikatakan bila terjadi keheningan yang dapat disebut

‘persekutuan phatic’. Persekutuan phatic bukan kumpulan kata yang digunakan

untuk menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic

sedang memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah

tujuan utama mereka. Lebih lanjut, Malinowski menjelaskan bahwa komunikasi

fatis bisa bukan hanya untuk basa-basi atau small talk dalam proses komunikasi

tetapi menjadi pembentuk hubungan antar individu (Seft, 2009).

Malinowski (1923) menganggap Phatic Communion sebagai languag e as

‘an instrument of r eflecti on’ and languag e as ‘a mode of action (Zegarac &

Clark, 1999). Artinya, bahasa digunakan sebagai alat untuk merefleksikan sebuah

keadaan dan juga digunakan sebagai cara untuk mengungkapakan suasana yang

berhubungan dengan perasaan pembicara tentang apa yang diucapkan atau terjadi.

Bahkan, dalam literatur terbarunya Malinowski mengatakan bahwa:

1. Dalam Phatic Communion bahasa digunakan sebagai mode

tindakan atau sebagai cara untuk melakukan tindakan bukan

untuk transmisi (pengiriman) pikiran. Jadi komunikasi fatis

tidak bersifat informatif, kalimat atau pernyataan yang

dituturakan oleh penutur bukan semata-mata untuk

menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada

mitra tuturnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 31: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

18

2. Berbagai macam jenis komunikasi fatis seperti salam, gossip

dan sejenisnya memiliki persamaan yang tipis; di mana situasi

terjadinya kefatisan tersebut dan munculnya wujud kefatisan

dihasilkan secara linguistik.

3. Dalam komunikasi fatis makna kata yang keluar dari penutur

hampir tidak relevan dengan topik pembicaraan utama tetapi

ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial.

4. Fungsi sosial tersebut digunakan untuk mengatasi ketegangan

atau hal tidak menyenangkan yang disebabkan oleh diam,

kesenyapan yang terjadi dalam berinteraksi atau digunakan

untuk menghargai lingkungan dan interpersonal antar

penuturnya.

Sementara itu, Jakosbson seorang ahli bahasa dan antropologi merujuk

istilah persekutan phatic dengan phatic communication. Istilah tersebut digunakan

untuk merujuk pada ucapan-ucapan yang dikatakan memiliki eksklusif sosial,

fungsi ikatan seperti membangun dan hal yang memuat suasana yang ramah dan

harmonis dalam hubungan interpersonal, terutama selama pembukaan dan

penutupan tahap sosial. Hal ini menyatakan bahwa persekutuan phatic ditandai

dengan tidak menyampaikan arti, tidak mengimpor informasi. Salam, komentar

pada cuaca, lewat pertanyaan tentang kesehatan seseorang, dan topik pembicaraan

kecil lainnya. Jakobson (1960) mencirikan fungsi fatis sebagai penggunaan bahasa

untuk berfokus pada saluran komunikasi. Namun hal itu bukan berfokus pada

informasi yang disampaikan melalui kode bahasa tetapi menunjukkan bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 32: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

19

pertukaran fatis yang berkepanjangan tepat terjadi ketika proses komunikasi

terancam (misalnya, oleh ketidakamanan dari lawan bicaranya). Mereka pun

menyadari bahwa kegiatan tersebut meruakan bagian dari 'chit-chat' dan

percakapan informatif.

Selanjutnya, Laver (1974) juga mengambil pandangan Malinowski dan

menjelaskan secara terperinci hubungan antara status sosial yang relatif dari lawan

bicaranya dan pilihan ekspresi wajah yang sesuai dalam pertukaran fatik. Dia

menyarankan agar fungsi sosial komunikasi fatik yang mendasar adalah

`rinciannya mengani pengaturan hubungan interpersonal pada keseimbangan

psikologis dari interaksi.

Arimi (1998:171) mengatakan bahwa komunikasi fatis dapat dibagi

menjadi dua yaitu murni dan polar. Komunikasi fatis murni yaitu ungkapan atau

tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang

muncul. Jadi apa yang dikatakan oleh penuturnya selaras dengan kenyataan atau

memang benar-benar terjadi. Sedangkan komunikasi fatis polar yaitu sebuah

ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan

dengan realitasnya, tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau

memilih ungkapan itu untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk

pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya.

Penelitian mengenai kefatisan mulai banyak dilakukan baik di dalam

budaya, dunia pendidikan, dunia kerja, dan lain sebagainya. Budaya Jawa

memiliki beberapa istilah kefatisan, seperti abang-abang lambe atau basa-basi.

Maria Budi Asih (2015) melakukan penelitian mengenai basa-basi berbahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 33: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

20

antarabdi dalem di Keraton Yogyakarta. Penelitian ini menjelaskan wujud tuturan

basa-basi yang diklasifikasikan berdasarkan maksud tuturannya. Asih

mengklasifikasikan tuturan menjadi menjadi sembilan berdasarkan maksud basa-

basi, yaitu sapaan, menerima, menolak, minta izin, memohon atau mengundang,

simpati, permisi, perendahan hati dan teguran. Wujud basa-basi yang

diklasifikasikan berdasarkan maksud tuturannya tersebut juga dapat ditemukan

penanda linguistik dan nonlinguistik dalam setiap tuturannya. Berdasarkan

sembilan klasifikasi tersebut, data tuturan basa-basi dengan maksud sapaan

memperoleh jumlah yang lebih banyak dibanding yang lain seperti menerima,

menolak, memohon dan lain sebagainya. Basa-basi sapaan tersebut berjumlah

sembilan belas tuturan yang memiliki variasi yang berbeda-beda.

Selanjutnya, penelitian Rukman Pala (2015) dalam artikel jurnal mengenai

bentuk komunikasi fatis dalam bahasa Bugis Soppeng. Pala menemukan sebanyak

12 bentuk fatis yang terdapatdalam bahasa Bugis Soppeng. Bentuk fatis tersebut,

yaitu bentuk fatis yang berbentuk kata, frasa dan kalimat. Fatis yang berbentuk

kata terbagi lagi atas dua, yaitu kata tunggal dan kata tunggal utuh. Fatis yang

berbentuk frasa adalah frasa Assalamu alaikum/waalaikumsalam dan frasa salam

akkik. Fatis kalimat berupa kalimat ajakan dan kalimat pertanyaan. Secara umum,

bentuk fatis bahasa Bugis Soppeng menempati posisi inisial, medial, dan final

suatu tuturan, sedangkan maksud makna fatis adalah mempertegas maksud,

pertanyaan, ajakan, dan menunjukkan penghormatan. Penelitian ini menggunakan

teori komunikasi fatis milik Malinowski, dan konsep beberapa ahli mengenai

komunikasi fatis berlandaskan konsep fatis Malinowski, Leech, dan Kridalaksana.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 34: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

21

Teori Malinowski mengenai adanya suatu situasi pembicaraan yang tidak

memiliki tujuan tertentu, tetapi pertukaran kata yang terjadi sudah merupakan

tujuan. Malinowski menambahkan bahwa dalam hal beramah-tamah secara tulus

(pure sociabilities) dan percakapan ringan (gossip), seseorang menggunakan

bahasa seperti halnya kaum primitif dan bahasa yang digunakan menjadi

‘komunikasi fatis’, yang berfungsi memantapkan ikatan personal antara orang-

orang yang terlibat karena kebutuhan akan kebersamaan, dan tidak bertujuan

mengomunikasikan ide.

Konsep kefatisan menurut Leech yang dipaparkan dalam penelitian ini

adalah phatic communication sebagai bagian dari prinsip kesopanan dalam

bahasa. Leech memaparkan bahwa pengguna bahasa yang terampil pasti pernah

menghadapi kesulitan saat mengakhiri percakapan. Hal ini menyadarkan

seseorang tentang hubungan yang erat antara sopan santun dengan perilaku

berbicara. Kategori fatis menurut Leech (1993: 224) merupakan maksim

metalinguistik. Pertanyaan-pernyataan yang tidak informatif dalam komunikasi,

tetapi sangat penting dilakukan.

Teori fatis menurut Kridalaksana (2008:114) dalam penelitian ini sebagai

kategori fatis. Ia mengungkapkan bahwa kategori fatis adalah kategori yang

bertugas memulai, memertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi

antara pembicara dan kawan bicara. Lebih lanjut, ia memasukkan kategori fatis ini

menjadi salah satu dari kelas kata bahasa Indonesia. Selain itu Kridalaksana juga

menuliskan bahwa komunikasi fatis adalah pertuturan ungkapan beku, seperti,

Halo, apa kabar? yang tidak mempunyai makna, dalam arti untuk menyampaikan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 35: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

22

informasi, melainkan digunakan untuk mengadakan kontak sosial antara

pembicara atau kawan bicara untuk menghindari kesenyapan yang menimbulkan

rasa kikuk. Maksudnya, komunikasi fatis adalah salah satu bentuk komunikasi

yang dipakai untuk menjaga hubungan sosial. Adanya ungkapan yang tidak sesuai

dengan makna kata yang membentuknya biasanya ditujukan untuk mengawali

percakapan. Jika ditinjau dari aspek pragmatik, komunikasi ini sangat besar

manfaatnya.

Topik dalam penelitian milik Pala berkaitan dengan topik yang sedang

peneliti teliti, yaitu mengenai komunikasi fatis yang berhubungan dengan budaya

daerah. Namun, penelitian Pala mengkaji berdasarkan perspektif pragmatik

sedangkan penelitian ini mengaji komunikasi fatis dalam perspektif

sosiopragmatik. Tentu, hasil analisis yang diperoleh akan lebih mendalam. Jadi

penelitian ini memperluas kajian mengenai komunikasi fatis.

Selanjutnya, penelitian mengenai penggunaan komunikasi fatis di tempat

kerja dilakukan oleh Sari Ramadanty (2014). Hasil penelitiannya bahwa

Penggunaan komunilasi fatis sering terjadi di tempat kerja, karena dianggap

sebagai pembuka hubungan yang lebih akrab. Komunikasi fatis sangat berperan

dalam pembentukan hubungan dan menciptakan hubungan yang erat antarsesama

rekan kerja. Konteks budaya seseorang sangat berperan dalam penggunaan

komunikasi fatis, seseorang dengan konteks budaya tinggi cenderung lebih sering

menggunakan komunikasi fatis dalam hubungan komuniksi interpersonalnya.

Namun, bagi mereka yang berada pada konteks budaya rendah menempatkan

komunikasi fatis untuk berhubungan dengan para rekan kerja dalam kepentingan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 36: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

23

pekerjaan. Penelitian ini menegaskan bahwa komunikasi fatis sangat penting

dalam membangun hubungan di tempat kerja. Selain itu, konteks komunikasi fatis

juga berkaitan dengan pengelolaan bahasa verbal dan nonverbal.

Teori yang digunakan Ramadanty adalah komunikasi antarpribadi, termasuk

ciri-ciri dan karakteristik, komunikasi fatis dan budaya high contex dan low

contex. Teori antarpribadi ini dipaparkan Wiryanto (2006), Mulyana (2010),

Devito (2012) dan disimpulkan oleh Ramadanty adalah proses pengiriman dan

penerimaan pesan-pesan antara dua orang atau lebih yang berlangsung secara

langsung atau atap muka dan memungkinkan peserta menangkap reaksi orang lain

dan mendapatkan umpan balik pada waktu itu juga, baik secara verbal atau

nonverbal.

Ciri-ciri komunikasi antarpribadi, yakni pertama, arus pesan dua arah.

Artinya, komunikasi antarpribadi menempatkan sumber pesan dan penerima

dalam posisi yang sejajar, sehingga memicu terjadinya pola penyebaran pesan

mengikuti arus dua arah. Kedua, Suasana non-formal, yaitu komunikasi

antarpribadi biasanya berlangsung dalam suasana non-formal. Ketiga, Umpan

balik. Artinya, komunikasi antarpribadi biasanya mempertemukan para pelau

komunikasi secara bertatap muka. Karena itu, umpan balik dapat diketahui

dengan segera, baik secara verbal maupun nonverbal. Keempat, peserta

komunikasi berada dalam jarak dekat. Komunikasi antarpribadi menuntut

pesertanya berada dalam jarak dekat, baik fisik maupun psikologis. Kelima,

peserta komunikasi mengirim dan menerima pesan secara simultan dan

spontan secara verbal maupun non-verbal. Untuk meningkatkan keefektifan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 37: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

24

komunikasi antarpribadi, kekuatan pesan verbal maupun nonverbal, untuk

berupaya saling meyakinkan, dengan mengoptimalkan penggunaan pesan

verbal maupun nonverbal secara bersamaan, saling mengisi, saling

memperkuat sesuai dengan tujuan komunikasi.

Teori mengenai komunikasi fatis dalam penelitian Ramadanty memiliki

persamaan dengan teori fatis Pala. Konsep teori fatis dalam kedua penelitian

ini menggunakan teori Malinowski, hanya ada beberpa tambahan mengenai

konsep komunikasi fatis, yaitu komunikasi fatis adalah komunikasi yang tidak

dapat dipisahkan dalam kehidupan sehari-hari. Penggunaan komunikasi fatis

kita dengan orang lain sangat terkait dengan bagaimana budaya kita berperan

membentuknya. Lebih lanjut, Malinowski menjelaskan bahwa komunikasi

fatis bisa jadi bukan hanya bentuk basa-basi atau small talk dalam proses

komuniasi tersebut, tetapi bisa menjadi pembentuk hubungan antar individu.

Meskipun penelitian tersebut dilakukan tidak dalam budaya tertentu,

tetapi paparan teori mengenai komunikasi anatarbudaya telah dijelaskan.

Ramandanty menduga bahwa faktor penggunaan komunikasi fatis salah

satunya adalah latar belakang budaya penuturnya. Teori komunikasi

anatarbudaya yang dipaparkan dalam penelitian ini, yaitu interaksi dan

komunikasi antarpribadi yang dilakukan oleh beberapa orang yang memiliki

latar belakang budaya yang berbeda. Hall (Andriani, 2012) menyatakan bahwa

budaya dapat diklasifikasikan berdasarkan gaya komunikasi konteks tinggi dan

gaya komunikasi konteks rendah. Budaya konteks tinggi diinternalisasikan pada

orang yang bersangkutan, dan pesan nonverbal lebih ditekankan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 38: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

25

2.3 Teori Makna dan Maksud

Bahasa merupakan sebuah alat komunikasi yang berkaitan dengan makna.

Makna (sense) adalah arti atau maksud yang tersimpul dalam suatu kata karena

berhubungan dengan makna kata yang lain dalam sebuah tuturan (Subroto, 2011:

23). Ilmu yang mempelajari mengenai makna kata disebut semantik. Semantik

mempelajari makna yang ada dalam ujaran. Perlu dijelaskan bahwa terjemahan

meaning adalah ‘arti’ sedangkan sense adalah ‘makna’. Matthews (Nuryadi, 2017)

mendefinisikan arti sebagai hubungan antara bentuk bahasa dengan sesuatu di luar

bahasa, sedangkan makna didefinisikan sebagai hubungan di antarkata itu sendiri

di dalam bahasa. Sementara Subroto (2011) mengatakan bahwa arti (meaning)

bersifat umum, sedangkan makna (sense) memiliki kekhasan sifat, karena

ditentukan berdasarkan relasinya dengan satuan lingual lain dalam sebuah tuturan.

Sementara itu, Pateda (1985) mengatakan bahwa makna dapat dibicarakan

dari dua pendekatan yakni pendekatan analitik atau referensial dan pendekatan

operasional. Pendekatan analitik ingin mencari esensi makna dengan cara

menguraikan atas segmen-segemn utama. Pendekatan operasional ingin

mempelajari leksem dalam penggunaannya. Selain itu, dalam pendekatan

operasional lebih menekankan bagaimana leksem dioperasikan dalm tindak

sehari-hari (Pateda,1985: 48).

Makna sebuah ujaran dikatakan berbeda dengan maksud ujaran. Makna

merupakan gejala yang berada di dalam ujaran sedangkan maksud berada di luar

ujuran (Chaer, 2009). Artinya maksud ujuran dapat dilihat dari segi penuturnya.

Apabila makna ujaran dapat dipelajari dalam ilmu semantik, maksud dapat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 39: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

26

dipelajari dalam ilmu pragmatik. Sehingga maksud dapat dikatakan juga sebagai

makna pragmatik dalam setiap ujaran. Berdasarkan konsep penelitian ini, maksud

ujaranlah yang menjadi fokus dalam penelitian ini. Penelitian kefatisan berbahasa

tidak lepas dari maksud atau makna pragmatik dalam tuturanya. Dengan

demikian, makna pragamtik yang dimaksudkan dalam penelitian ini ialah maksud

yang ada dalam diri penutur yang berhubungan dengan hubungan sosial

antarpenutur.

Setiap penutur mengeluarkan tuturan pasti mempunyai maksud yang ingin

disampaikan. Maksud tersebut adalah milik si penutur, bukan tuturan. Tuturan

adalah media bagi penutur untuk menyampaikan maksud tersebut. Berkaitan

dengan maksud tersebut, sangat perlu dipahami bagaimana maksud dan makna

dapat dibedakan, karena kedua hal tersebut adalah berbeda jika telah

bersinggungan dengan konteks situasi.

Rahardi (2003:16−17) dalam bukunya telah berbicara perihal maksud dan

makna ini. Rahardi mengawali dengan memaparkan bahwa ilmu bahasa pragmatik

sesungguhnya mengkaji maksud penutur di dalam konteks situasi dan lingkungan

sosial-budaya tertentu. Karena yang dikaji di dalam pragmatik adalah maksud

penutur dalam menyampaikan tuturannya, maka dapat pula dikatakan bahwa

pragmatik dalam berbagai hal sejajar dengan semantik, yakni cabang ilmu bahasa

yang mengkaji makna bahasa, tetapi makna bahasa itu dikaji secara internal.

Istilah maksud dalam ilmu pragmatik dapat juga dikatakan sebagai makna

pragmatik. Jadi, sesungguhnya perbedaan yang sangat mendasar antar keduanya

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 40: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

27

adalah bahwa pragmatik mengkaji makna satuan lingual tertentu secara eksternal,

sedangkan sosok semantik mengkaji makna satuan lingual tersebut secara internal.

Rahardi memaparkan pula bahwa makna yang dikaji dalam pragmatik

bersifat terikat konteks (context dependent), sedangkan makna yang dikaji di

dalam semantik berciri bebas konteks (context independent). Makna yang dikaji di

dalam semantik bersifat diadik (diadic meaning), sedangkan dalam pragmatik

makna itu bersifat triadik (triadic meaning). Pragmatik mengkaji bahasa untuk

memahami maksud penutur, semantik mempelajarinya untuk memahami makna

sebuah satuan linguan an sich, yang notabene tidak perlu disangkutpautkan

dengan konteks situasi masyarakat dan kebudayaan tertentu yang menjadi

wadahya.

Selanjutnya, Wijana dan Muhammad (2008:10–11) membedakan ketiga

hal, yaitu makna, maksud, dan informasi dengan mengatakan dengan tegas bahwa

makna berbeda dengan maksud dan informasi karena maksud dan informasi

bersifat di luar bahasa. Maksud ialah elemen luar bahasa yang bersumber dari

pembicara, sedangkan informasi adalah elemen luar bahasa yang bersumber dari

isi tuturan. Maksud bersifat subjektif, sedangkan informasi bersifat objektif.

2.4 Teori Konteks

Sebuah wujud tuturan komunikasi fatis selalu berkaitan dengan maksud

penutur. Maksud penutur tersebut tentu berhubungan dengan hubungan sosial

antarpenutur. Namun, wujud dan maksud dari sebuah tuturan fatis tidak dapat

diidentifikasi apabila kita tidak memperhatikan konteks tuturan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 41: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

28

melingkupinya. Di dalam penelitian ini, selain teori komunikasi fatis, peneliti

menggunakan teori sosiopragmatik untuk membantu mengidentifikasi maksud

penutur dalam setiap tuturan. Oleh sebab itu, konteks sangat penting dalam

penelitian ini, tidak hanya konteks situasi saja tetapi juga konteks sosial yang di

dalamnya terdapat budaya masyarakat tuturnya.

Konteks dalam kajian sosiopragmatik merupakan aspek yang sangat

penting untuk memahami maksud penutur dalam peristiwa tuturan. Proses

komunikasi dalam lingkungan sosial menuntut pemakai bahasa atau penutur tidak

hanya menguasai aspek gramatikal, tetapi juga kesesuaian pemaiakan bahasa

dengan kontes situasi dan budaya, serta faktor-faktor lain di luar aspek

kebahasaan, aspek di luar kebahasaan tersebut juga ikut membedakan bahasa

sebagai ujaran.

Konsep konteks secara pragmatik (juga sosiopragmatik) adalah

pengetahuan mengenai ruang, mengenai identitas partisipan, dan pengetahuan

waktu pelaksanaan penuturan (Levinson,1983: 5). Pandangan Levinson tersebut

setidaknya mencakup pada konteks linguistik dan konteks fisik, yaitu konteks

yang mengarah pada konteks pertuturan. Hal senada dikemukakan oleh Firth

bahwa kajian bahasa sulit dilakukan tanpa ada pertimbangan konteks situasi yang

meliputi partisipan, tindakan partisipan (baik verbal maupun nonverbal), ciri-ciri

situasi lain yang bergayut dengan hal yang sedang berlangsung, dan akibat-akibat

dari tindak tutur yang diwujudkan dengan bentuk-bentuk perubahan yang muncul

akibat tindakan partisipan (Wijana, 1995: 47).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 42: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

29

Sementara itu, Jacob I. Mey (1983: 42-43) membedakan konteks situasi

dalam kajian pragmatik menjadi dua jenis, yaitu social context ‘konteks sosial’

dan societal context ‘konteks sosietal’. Social context adalah konteks kebahasaan

yang hadir sebagai dampak dari peristiwa komunikasi dan interaksi antaranggota

masyarakat dengan latar belakang sosial budaya tertentu. Societal context adalah

konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan sosial relatif masyarakat tutur

di dalam situasi sosial tertentu. Karena itu, konteks sosial didasarkan atas

solidarity ‘solidaritas’; sedangkan konteks sosietal pada power ‘kekuasaan’. Mey

mengungkapkan bahwa konteks sebagai sebuah konsep yang dinamis, bukan

statis. Secara umum, konteks tersebut dipahami sebagai lingkungan yang tidak

tetap (senantiasa berubah) yang memungkinkan peserta pertuturan berinteraksi,

dan dapat membantu mereka untuk memahami ungkapan-ungkapan kebahasaan

yang mereka gunakan dalam peristiwa berkomunikasi.

Hal tersebut sejalan dengan pandangan Leech (1993: 20) yang memberi

pengertian bahwa konteks sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang sama-

sama dimiliki oleh penutur dan petutur, serta yang membantu petutur di dalam

menafsirkan makna tuturan. Penelitian ini memfokuskan pada konteks situasi dan

didukung oleh konteks sosial budaya masyarakat (abdi dalem). Konteks situasi

adalah lingkungan langsung tempat sebuah teks berfungsi dengan unsur

pembentuknya mencakupi pembicara dan pendengar, pesan, latar dan situasi,

saluran, dan kode. Konteks budaya merujuk pada kumpulan pengetahuan, sikap

dan perilaku bahasa milik bersama suatu kelompok masyarakat sebagai suatu

keseluruhan yang sistematis dari prinsip-prinsip budaya, pola komunikasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 43: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

30

antaranggota masyarakat, wujud sikap dan pola prilaku lain secara bersama-sama

berterima dan berlaku dalam realitas kehidupan suatu guyub budaya tertentu.

Teori konteks Mey dan Leech digunakan peneliti untuk menganalisis data

yang diperoleh sehingga peneliti dapat merumuskan mengenai kefatisan

berbahasa para abdi dalem. Namun tidak hanya itu, konteks budaya juga

membantu peneliti dalam menganalisis data yang diperoleh. Konteks budaya

dibatasi sebagai kegiatan sosial yang bertahap dan berorientasi tujuan (Martin

1986 dalam Saragih 2003:198). Teks merupakan kegiatan atau aktivitas sosial

dengan pengertian bahwa teks wujud sebagai interaksi yang melibatkan dua sisi

pelibat. Konteks budaya juga menetapkan tahap (stages) yang harus dilalui untuk

mencapai suatu tujuan karena pemakai bahasa tidak mungkin mencapai suatu

tujuan dengan hanya sekali ucap. Dengan kata lain, konteks budaya menetapkan

langkah yang harus dilalui untuk mencapai tujuan sosial. Konteks budaya

merupakan suatu pendekatan yang menggambarkan cara-cara manusia

menggunakan bahasa untuk mencapai tujuan sesuai dengan budaya yang

melingkupinya (Rosmawaty, 2011).

Sementara itu, hubungan pragmatik dengan konteks juga dikemukakan

oleh Leech (1983: 19-22) bahwa pragmatik adalah kajian tentang makna dalam

kaitannya dengan situasi-situasi ujar (speech situation). Artinya, seseorang yang

berusaha menganalisis makna pragmatik harus memperhitungkan konsep-konsep

situasi ujar yang meliputi lima aspek, yakni:

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 44: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

31

1) Aspek Penyapa dan Pesapa

Penyapa (yang menyapa) sebagai penutur dan pesapa (yang disapa)

sebagai mitra tutur dalam sebuah peristiwa komunikasi. Pemahaman

terhadap siapa penutur dan siapa mitra tutur akan menentukan jalannya

komunikasi. pemahaman faktor penutur dan mitra tutur dalam komunikasi

para abdi dalem, perlu dicermati faktor-faktor yang berada dalam diri

penutur, yakni keyakinan, kondisi fisik, perilaku jabatan, usia, tingkat

keakraban, dan kedudukan dalam kesultanan dan kadipaten Yogyakarta.

2) Aspek Konteks

Aspek konteks adalah aspek-aspek yang berkaitan dengan lingkungan fisik

dan sosial sebuah tuturan. Konteks adalah latar belakang pengetahuan

yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan mitra tutur, serta hal-hal yang

penting (yang membantu) mitra tutur untuk menafsirkan makna tuturan.

3) Aspek Tujuan Tuturan

Bentuk sebuah tuturan yang diujarkan oleh seorang penutur tidak terlepas

dari maksud dan tujuan yang ingin disampaikan. Penyampaian suatu

maksud yang sama, dapat dinyatakan dengan tuturan yang beragam; atau

berbagai maksud disampaikan dengan tuturan yang sama. Artinya, setiap

tuturan memiliki tujuan tertentu.

4) Aspek Tindakan Ilokusi

Tindak ilokusi adalah bagian tuturan sebagai tindakan (tindak tutur).

Artinya, tuturan memengaruhi mitra tutur melakukan sesuatu sehingga

tindak tutur (speech act) adalah kekuatan ujar penutur. Pernyataan ini

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 45: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

32

mengisyaratkan peringatan para abdi dalem dalam berkomunikasi agar

tetap memertahankan kebudayaan Jawa dalam kehidupan zaman sekarang.

5) Aspek Tuturan

Aspek tuturan merupakan produk tindak verbal dengan memanfaatkan

teknik bertutur. Misalnya, intonasi kalimat yang diucapkan penutur dengan

intonasi naik atau keras bisa dipahami oleh mitra tutur bahwa ia marah,

menegur, menyangsikan, atau mendesak.

Lebih lanjut, Pranowo (2015) mengatakan bahwa konteks dalam

pragmatik dapat diindentifikasi melalui enam aspek, yaitu:

1. Dasar Pemahaman yang Sama

Artinya, dalam memahami maksud sebuah tuturan, penutur dan

mitra tutur harus mempunyai pengetahuan yang sama (common ground)

mengenai pokok pembicaraan. Hal ini membantu mitra tutur untuk dapat

menerima dengan baik apa yang disampaikan oleh penutur. Konteks di

dalam pragmatik berkaitan dengan unsur ekstralingual yang ada dalam

penuturnya. Misalnya, percakapan suami-istri mengenai pemahaman soal

waktu yang sama. Ketika suami menanyakan “Sudah jam berapa ya, Bu?

Istri menjawab “Kereta api belum lewat, tu Pak!” Suami tidak protes atas

jawaban sang istri. Hal ini membuktikan bahwa mereka memiliki

pemahaman sama mengenai waktu. Padahal, jawaban sang istri

sebenarnya tidak padu jika dilihat secara sintaksis.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 46: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

33

2. Latar Belakang Budaya

Latar belakang penuturnya juga dapat membantu untuk mengetahui

maksud sebuah tuturan. Latar belakang budaya dapat diketahui melalui

intensitas berkomunikasi bersemuka antarpenutur. Misalnya, seorang

dosen mengatakan tuturan “Tidak ada spidol ya?”. Tuturan tersebut dapat

menimbulkan dua jawaban. Jawaban pertama mahasiswa akan menjawab

bahwa memang spidol tersebut sejak tadi tidak ada; jawaban kedua

mahasiswa akan menjawab bahwa dosen tersebut diminta untuk menunggu

karena akan diambilakan spidol di sekretariat. Dua jawaban tersebut

memang tidak salah, tetapi jawaban kedua membuat dosen lebih berkenan.

Jika setiap dosen berbicara seperti itu tentu mahasiswa dengan latar

belakang berbeda tidak akan menangkap maksud yang diinginkan oleh

dosen. Setiap masyarakat memiliki latar belakang budaya yang berbeda-

beda, maka tidak perlu didebatkan tetapi dicari cara yang tepat untuk

memahaminya.

Latar belakang budaya dapat menjadi salah satu dasar dapat atau

tidaknya komunikasi berjalan dengan lancer. Latar belakang pengetahuan

budaya ini dapat dimiliki oleh seseorang melalui motivasi integratif dan

motivasi secara instrumental. Latar belakang pengetahuan budaya yang

dimiliki melalui motivasi integratif dapat terjadi apabila seseorang itu

menguasai budaya karena merka ingin menjadi bagian dari budaya

masyarakat yang dikuasainya. Latar belakang pengetahuan budaya yang

dimiliki melalui motivasi secara instrumental terjadi pada seseorang yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 47: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

34

ingin menguasai budaya baru dengan tujuan mempelajari budaya baru

tetapi mereka tetap bertahan pada budaya aslinya.

3. Asumsi Penutur terhadap Mitra Tutur

Seorang penutur dapat berkomunikasi secara lancer dengan mitra

tutur jika asumsi penutur terhadap mitra tutur selalu benar, demikkian

sebaliknya. Awal membangun asumsi dalam berkomunikasi, penutur dapat

melakukan berbagai cara untuk menjajagi mitra tutur agar dapat

menemukan persepsi yang sama.

4. Knowledge of the World

Dasar pemahaman yang sama dapat dibangun oleh penutur dan

mitra tutur melalui pengetahuan tentang dunia (knowledge of the world)

dan latar belakang pengetahuan budaya (culture knowledge background)

untuk saling memahami topik yang dituturkan. Pengetahuan tentang dunia

dapat dimiliki secara eksplisit maupun imlisit. Eksplicit knowledge of the

world dimiliki penutur dan mitra tutur karena mereka mempelajari secara

khusus tentang pengetahuan tersebut karena mereka belajar secara formal.

Sebaliknya, implicit knowledge of the world dimiliki penutur dan mitra

tutur karena mereka sering bersinggungan dengan bidang-bidang tertentu.

Ketika penutur berkomunikasi dengan mitra tutur memiliki knowledge of

the world yang sama, berarti keduanya memiliki dasar pemahaman yang

sama mengenai topik sehingga mereka mampu berkomunikasi dengan

lancar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 48: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

35

5. Kesantunan

Pemakaian bahasa dikatakan secara santun apabila penutur mampu

menjaga harkat dan martabat dirinya di hadapan mitra tutur sehingga

tuturannya tidak menyinggung perasaan mitra tutur. Santun tidaknya suatu

tuturan di samping ditentukan oleh unsur intralingual seperti kata-kata

beraura santun, yaitu tolong, terimakasih, maaf dll, juga ditentukan unsur

ekstralingual, yaitu empan papan, adu rasa, angon rasa, dll.

6. Bahasa Non-verbal

Salah satu situasi di luar tuturan tetapi ikut memperjelas maksud

penutur adalah bahasa non-verbal. Bahasa non-verbal (sebagai unsur

ekstralingual) juga penting dalam berkomunikasi. Bahasa nonverbal dapat

berupa gestur, yaitu gerakan tubuh atau bagian tubuh yang dapat berfungsi

penting dalam berkomunikasi. Gesture dapat berupa kinesik, kontak mata

(kerlingan, mata) dan kinestetik.

Dengan demikian, pengertian konteks dapat dipaparkan, yaitu (1) Konteks

yang mengarah pada konteks pertuturan, seperti konteks linguistik (referensi

tekstual) dan konteks fisik (referensi kontekstual); (2) Konteks bersifat dinamis,

bukan statis yang harus dipahami sebagai lingkungan yang tidak menetap (selalu

berubah-ubah) dalam arti yang luas, dan diketahui bersama oleh partisipan (baik

pengetahuan umum maupun interpersonal) yang memungkinkan partisipan

berinteraksi serta membantu partisipan dalam rangka saling memahami ungkapan-

ungkapan kebahasaan yang digunakan dalam berkomunikasi; (3) Konteks

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 49: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

36

digunakan untuk memahami maksud tuturan, bukan makna kalimat yang

berorientasi pada pengguna; dan (4) Konteks sebagai implikasi pragmatik.

2.5 Tingkat Tutur dalam Berbahasa Jawa

Tingkat tutur merupakan variasi bahasa yang didasarkan pada anggapan

penutur terhadap rekan bicaranya. Di dalam bahasa Jawa tingkat tutur dapat juga

disebut unggah-ungguh. Unggah-ungguh merupakan gabungan dua kata, yakni

unggah atau munggah yang berarti naik, mendaki, memanjat (Prawiroatmodjo,

1989: 296) dan ungguh yang berarti berada, bertempat, pantas, cocok sesuai

dengan sifatnya (Zoetmulder, 1995: 1334). Artinya bahwa kecendrungan

masyarakat yang memiliki latar belakang budaya Jawa menghormati orang lain

berdasarkan tingkat kedudukan atau derajat yang lebih tinggi. Selain itu, mereka

juga menghormati orang lain dengan selalu memperhatikan keadaan, selalu

berhati-hati (waspada) dalam membawa diri, agar sikap dan tingkah lakunya

sesuai, pantas, serta tidak mengganggu orang lain atau menimbulkan konflik

dalam masyarakat (Handayani, 2009). Dengan demikian unggah-ungguh berarti

sopan santun, basa basi atau tata karma (Mangunsuwito, 2002: 570). Hal ini

menunjukkan bahwa masyarakat Jawa selalu memerhatikan aturan sopan santun

dan tata krama demi menjaga keselarasan sosial dan tercapainya hidup rukun,

aman, dan damai.

Soepomo (1997) mengatakan bahwa masyarakat Jawa khususnya yang

berbahasa Jawa memiliki gejala-gejala khusus dalam sistem unda-usuk.

Maksudnya, dalam bahasa Jawa terdapat tingkat-tingkat tutur yang khas dan jelas

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 50: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

37

digunakan untuk membawakan arti kesopanan yang bertingkat-tingkat. Pertama,

tingkat tutur halus yang berfungsi membawakan rasa kesopanan yang tinggu atau

disebut tingkat tutur krama (sopan sekali). Kedua, tingkat tutur menengah yang

berfungsi membawakan arti kesopanan yang sedang atau biasanya disebut madya

(setengah-setengah). Ketiga, tingkat tutur biasa yang berfungsi membawakan rasa

kesopanan rendah atau biasa disebut ngoko (kesopanan rendah).

Sisi lain, Frans Magnis Suseno (1985: 60) mengidentikkan unggah-

ungguh dengan prinsip hormat. Artinya, masyarakat Jawa selalu menunjukkan

sikap hormat kepada orang lain, sesuai dengan derajat dan kedudukannya dalam

hal berbicara dan membawa diri. Umumnya, masyarakat Jawa menggunakan

bahasa keluarga dan bahasa krama yang terdiri dari dua tingkat, yaitu krama

sebagai bentuk sikap hormat dan ngoko sebagai bentuk sikap keakraban, serta

krama inggil sebagai pengungkapan sikap hormat yang paling tinggi dalam

menyapa atau membangun komunikasi orang lain. Tingkatan bahasa krama

tersebut dijadikan sebagai sarana ampuh dalam mencegah timbulnya konflik,

sehingga tatanan ngoko-krama memiliki fungsi mengatur semua bentuk

komunikasi, khususnya interaksi langsung dengan keluarga inti maupun di tengah

lingkungan sosial. Tatanan krama ini mengenai gerak badan, urutan duduk, isi dan

bentuk pembicaraan. Dengan demikian, unggah-ungguh dalam pandangan Suseno

merupakan bentuk manifestasi dari bentuk prinsip rukun dan prinsip hormat

(Handayani, 2009).

Maryono Dwiraharjo (2001: 67) pun mendefinisikan unggah-ungguh

sebagai tingkah laku berbahasa menurut adat sopan santun masyarakat yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 51: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

38

menyatakan rasa menghargai atau menghormati orang lain. Dengan demikian,

unggah-ungguh adalah sikap yang ditunjukkan oleh masyarakat Jawa dengan

membawa diri dalam kehidupan sosial. Mereka selalu memerhatikan tuturan atau

bahasa yang digunakan dan tingkah laku untuk menghargai dan menghormati

orang lain dengan memperhatikan derajat atau usia demi terwujudnya kehidupan

lebih baik dan selaras. Makna unggah-ungguh yang dikonotasikan dalam berbagai

bentuk tersebut berupa tatanan yang mengandung makna yang sama dan

mempunya tujuan yang sama pula.

Beberapa unsur dalam definisi tersebut, merupakan bentuk adanya sikap

dalam masyarakat. Sikap yang ditunjukkan biasanya hanya basa-basi. Misalnya,

penutur menawarkan mitra tutur untuk singgah, tetapi bukan tawaran yang serius.

Hal ini ditunjukan masyarakat Jawa hanya untuk memupuk rasa kerukunan dan

keakraban. Selain itu, beberapa literatur menyebutkan kepada siapa saja orang

harus melaksanakan unggah-ungguh (berperilaku dan berbicara) halus, biasa, dan

kasar. Karena itu, keseluruhan hal tersebut terbagi dalam beberapa kelompok,

yaitu berunggah-ungguh kepada orang yang memiliki kedudukan, orang yang

lebih tua, orang asing, orang yang setara, dan orang yang lebih muda atau

bawahan (Handayani, 2009).

2.5.1 Unggah-ungguh dalam Etika Jawa

Secara umum, etika membahas baik-buruk atau benar-tidaknya tingkah

laku dan sikap, sekaligus menyoroti kewajban manusia. Mohammad Hatta

(Handayani, 2009) menegaskan bahwa etika tidak mempersoalkan apa atau siapa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 52: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

39

manusia itu, tetapi bagaimana seharusnya manusia bertindak. Konsep ini

berkaitan dengan etika Jawa, karena mengandung makna filosofi yang mendalam.

Etika Jawa diartikan sebagai usaha lahir dan batin masyarakat Jawa untuk mencari

solusi terbaik dalam menelusuri kehidupan demi tujuan yang ingin dicapai

berdasarkan adat, keyakinan, golongan, dan kedudukan masing-masing. Hal ini

berarti masyarakat Jawa dapat dilihat dari aspek kebudayaan, adat istiadat,

kenikmatan hidup, dan keyakinan atau kepercayaan (Handayani, 2009). Hal ini

menjadi pola hidup masyarakat Jawa yang diatur dalam unggah-ungguh.

Unggah-ungguh merupakan bagian dari etika, atau sebagai etika terapan

yang berhubungan dengan cara bekomunikasi, bersikap, dan bertingkah laku

masyarakat Jawa (Handayani, 2009). Tentu, hal ini berhubungan dengan etika

Jawa. Suseno (2001: 43) mensosialisasikan etika Jawa dengan menanamkan

prinsip kerukunan dan prinsip hormat. Prinsip kerukunan bertujuan untuk

memertahankan masyarakat dalam keadaan harmonis. Rukun yang dimaksud

adalah suatu keadaan dimana suasana ada dalam keadaan selaras, tenang dan

tenteram, tanpa konflik, bersatu dengan satu tujuan untuk saling membantu dalam

segala bidang kehidupan. Suatu keutamaan yang sangat dihargai oleh masyarakat

Jawa adalah kemampuan untuk mengatakan hal-hal yang tidak enak secara tidak

langsung. Tampaknya, sikap ethok-ethok (pura-pura) sangat berharga demi

menutup aib, dengan harapan keselarasan menghindari terjadinya konflik. Inilah

salah satu ciri khas masyarakat Jawa sehingga bersikap tertutup dan tidak

transparan apa adanya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 53: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

40

Sementara itu, prinsip hormat berperan penting dalam interaksi

masyarakat Jawa. Prinsip ini mengutamakan sikap setiap orang dalam mambawa

diri dan cara berbicara selalu memperhatikan sikap hormat terhadap orang lain

sesuai derajat dan kedudukannya. Prinsip ini mengedepankan bahasa sebagai

pemeran yang penting, khususnya dalam unggah-ungguh. Suseno (2001: 65)

mengutip pandangan Hildred Geertz bahwa sikap hormat itu tercapai melalui tiga

perasaan, yaitu wedi (taktut), isin (malu), dan sungkan (enggan). Ketiga sifat

tersebut merupakan satu kesatuan sifat yang harus dimiliki oleh masyarakat Jawa

dalam membangun komunikasi dengan orang lain. Dengan demikian, unggah-

ungguh sangat berkaitan dengan nilai-nilai dan norma-norma dalam etika Jawa

menurut filsafat etika (Handayani, 2009).

Komunikasi yang dibangun seseorang tentu memperhatikan kaidah-kaidah

kebahasaan. Artinya, penutur harus mengetahui mitra tuturnya atau siapa orang

yang diajak berbicara. Ketika berkomunikasi dengan orang yang lebih tua, tentu

berbeda cara berbicaranya dibandingkan dengan orang lebih muda. Hal ini dalam

masyarkat Jawa disebut sebagai unggah-ungguhing basa. Meinsma (Purwadi,

1941) menyatakan bahwa dalam Babad Tanah Jawa telah diberitakan Senopati

lajeng jumeneng nata wonten ing Matawis, nanging mboten karan sultan, tetiyang

kathah sami mastani Penembahan senopati kemawon. Pemberitaan tersebut

mengatakan bahwa sebenarnya pemberiaan gelar mempunyai kesan kurang tinggi

tingkatanya atau kurang penuh kehormatannya. Dengan kata lain, dalam

membengun komunikasi dengan orang lain, masyarakat Jawa selalu memilih kata-

kata atau bahasa secara tepat yang memiliki kaidah unggah-ungguhing basa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 54: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

41

Ketetapan pemakaian bahasa dalam berkomunikasi berlandaskan pada tingkat

pokok bahasa Jawa, yakni ngoko, madya, dan krama (Soepomo, 1997:9). Ketiga

unggah-ungguhing basa tersebut dapat diuraikan di bawah ini.

1. Bahasa Ngoko

Secara umum, bahasa ngoko merupakan tingkat kesopanan

berbahasa rendah yang biasa digunakan dalam komunikasi. Tingkat tutur

ngoko mencerminkan rasa tak berjarak antara penutur dan mitra tutur.

Artinya penutur tidak mempunyai rasa enggan (jiguh pekewuh) terhadap

mitra tutur (Soepomo,1997:15b). Untuk menyatakan kearaban tingkatan

ngoko ini biasanya digunakan. Jenis-jenis bahasa Jawa Ngoko, yaitu

Ngoko Lugu, Antya-Basa dan Basa-Antya (Soepomo,1997). Sedangkan

Purwadi (2012) mengatakan bahasa Ngoko memiliki dua jenis yaitu Ngoko

Lugu dan Andhap. Bahasa Ngoko Lugu biasa digunakan dalam

komunikasi antara (a) Orang tua kepada anak, cucu atau anak muda

lainnya; (b) Percakapan orang-orang sederajat, tidak memperhatikan

kedudukan atau usia. Misalnya, percakapan antara anak-anak dengan

teman-teman sebayanya; (c) Percakapan atasan pada bawahannya. Namun,

sekarang kebanyakan atasan berbicara menggunakan bahasa krama kepada

bawahanya meskipun tidak lengkap; dan (d) Dipakai saat ngunandika

karena orang yang diajak berbicara adalah dirinya sendiri. Tentu, hal ini

tidak memerlukan penghormatan.

Sementara itu, bahasa Ngoko Andhap dibedakan menjadi dua

macam, yaitu Antya-basa dan Basa-antya. Bahasa Ngoko Andhap dipakai

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 55: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

42

oleh siapa saja yang telah akrab dengan lawan bicara atau mitra tuturnya,

tetapi masih saling menghormati. Basa Jawa Ngoko merupakan bahasa

yang disusun dari kata-kata ngoko seperti aku, kowe, lagi, dan ater-ater:

dak-, ko-, di-, serta penambang –ku, -mu, dan -e

2. Bahasa Madya

Tingkatan yang lebih tinggi dari ngoko adalah madya. Tingkat

tutur madya pada dasarnya ialah tingkat tutur krama yang telah mengalami

proses penurunan tingkat, proses informalisasi dan proses ruralisasi

(Soepomo, 1997). Tingkat madya berada di tengah-tengah antara tingkat

krama dan tingkat ngoko. Bahasa Madya menyatakan kesopanan

berbahasa tingkat menengah. Tingkat madya biasanya digunakan oleh

orang yang memiliki kedudukan atau usia yang setara. Basa Madya juga

biasa digunakan antarmasyarakat desa yang lain yang dianggap lebih tua

atau yang dihormati. Basa Madya dibagi menjadi tiga yaitu madya ngoko,

madya karma, dan madyantara.

Madya Ngoko adalah bahasa yang digunakan oleh orang-orang

pedesaan atau pegunungan. Kata-kata yang digunakan adalah kata madya

dicampur kata ngoko yang tidak ada kata madya. Madya Krama adalah

bahasa yang digunakan oleh orang-orang desa untuk berbicara pada orang

yang dianggap lebih tua atau dihormati. Madya Krama terbentuk dari kata-

kata madya dicampur dengan kata-kata krama yang tidak mempunyai kata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 56: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

43

madya. Madyantara merupakan bahasa yang digunakan oleh priyayi kecil

dengan suaminya, tetapi saat ini madyantara sudah jarang dipakai lagi.

3. Bahasa Krama

Tingkat selanjutnya adalah karma, yaitu menyatakan tingkat

kesopanan berbahasa paling tinggi. Tingkat krama merupakan tingkat

yang memancarkan arti penuh sopan santun. Tingkat ini menandakan

adanya perasaan enggan (pekewuh) penutur terhadapa mitra tutur karena

mitra tutur adalah orang yang belum dikenal, berpangkat, berwibawa dan

lain-lain (Soepomo, 1997:15). Soepomo (1997) mengatakan bahwa basa

krama terbagi menjadi tiga tingkatan yaitu muda-krama, kramantara,

wreda-krama. Muda-krama merupakan bahasa yang digunakan orang

muda kepada lawan bicara yang lebih tua, karena merasa lebih tua dan

lebih tinggi kedudukannya. Kramantara merupakan bahasa yang

digunakan untuk orang-orang yang sederajat. Wreda-krama merupakan

bahasa yang digunakan orang tua kepada orang muda.

Basa krama merupakan penggunaan bahasa yang disusun dari

kata-kata Krama. Purwadi (2012) mengatakan bahwa krama memiliki

enam jenis, yaitu mudha krama, kramantara, wredha krama, karma inggil,

krama desa dan basa kedhaton atau bagongan. Krama inggil, yang

mengenai pribadi, tindakan-tindakan, dan beberapa benda yang amat erat

hubungannya dengan pribadi manusia serta mengungkakan sikap hormat

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 57: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

44

yang amat tinggi, dan yang dikombinasikan baik dengan bahasa karma

maupun bahasa ngoko.

Sesungguhnya, penggunaan bahasa Jawa yang memiliki kaidah unggah-

ungguhing basa mengandaikan kesadaran akan kedudukan sosial masing-masing

lapisan masyarakat. Suseno (1985: 63) menegaskan hal tersebut, yaitu

penghalusan bahasa dari ngoko ke krama dan ke krama inggil disertai satu

pengaburan arti kata. Misalnya, kata-kata arep, bakal (masa depan), wani

(berani), dan gelem (mau) dalam bahasa krama menjadi hanya dua kata saja, yaitu

badhe atau purun, dan dalam krama inggil semuanya menjadi karsa. Kata tuku

atau tumbas (membeli), njupuk atau mendhet (mengambil), kata takon atau nedha

(bertanya), dan kata njaluk atau nedha (minta) menjadi empat kata dalam ngoko

dan tiga kata dalam krama, dalam krama inggil menjadi mundhut. Pengaburan arti

ini adalah tanda kehalusan dan sering dengan apa yang dalam hubungan dengan

prinsip rukun dikatakan tentang disimulasi, ethok-ethok dan sebagainya. Dalam

komunikasi yang halus, obyektivitas dalam arti kesesuaian dengan satu kenyataan

di luar kesadaran orang, semakin dianggap kurang penting dibandingkan dengan

hubungan-hubungan intersubyektif dan dengan emosi-emosi yang menyertainya.

Kedudukan (status) sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti kekayaan,

keturunan, pendidikan, pekerjaan, usia, kekeluargaan, dan kebangsaan. Namun,

yang penting adalah pilihan bentuk bahasa dua gaya, yaitu gaya bicara dalam

semua hal ditentukan untuk sebagaian oleh status relatif (atau keakraban) para

pembicara. Perbedaannya tidak kecil, seperti perbedaan kata du dan sie. Untuk

menyapa orang yang lebih rendah dari diri sendiri (atau seorang yang dikenal

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 58: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

45

dekat) orang mengatakan ‘apa pada slamet?” Tetapi orang menyapa mereka yang

lebih tinggi (atau seorang yang dikenal tapi tak begitu dekat) dengan bentuk

‘mengapa sami sugeng?’ yang kedua-duanya berarti “Apakah anda sehat?”

Begitu juga kata dalam kalimat berikut ini. “Panjenengan saking tindak pundhi?”

dan Kowe saka endi? adalah pertanyaan yang sama (“Dari mana anda”). Kalimat

yang pertama ditujukan kepada orang yang lebih tinggi, dan yang kedua kepada

orang yang lebih rendah. Pada dasarnya apa yang berlaku di sini adalah bahwa

pola berbahasa orang Jawa mengikuti sumbu alus sampai kasar, di sekitar mana

pada umumnya mereka mengorganisasi tingah laku sosial mereka.

Selain bahasa-bahasa yang telah disebutkan di atas, biasanya orang-orang

di istana atau kedhaton menggunakan bahasa Kedhaton atau Basa Bagongan

dalam berkomunikasi. Model bahasa Bagongan hanya digunakan oleh sesama

ratu, antar sultan dengan ratu, ratu dengan abdi dalem. Berikut merupakan

sepeuluh Basa Bagongan: hanggeh, mboya, menira, pekenira, punapi, peniki,

peniku, wenten, besahos, seyos, nedo.

2.6 Pergeseran Bahasa

Pergeseran bahasa merupakan konsekuensi jangka panjang dari pola-pola

pilihan bahasa yang konsisten. Sementara itu, Chaer (2004:142) menjelaskan

bahawa pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang

penutur atau sekelompok penutur yang bisa terjadi sebagai perpindahan dari satu

masyarakat tutur ke masyarakat tutur lain. Pergeseran sebuah bahasa terkadang

dapat dikatakan juga sebagai kepunahan bahasa (Suandi,2014). Sebuah bahasa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 59: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

46

dapat dikatakan bergeser apabila suatu guyup menghendaki untuk menghilangkan

identitasnya sebagai kelompok sosikulturural yang dapat diidentifikasi sendiri

demi identitas sebagai guyup lain. Sumarsono (2002;278) mengatakan bahwa

pergeseran bahasa akan terjadi hanya kalau suatu guyup menghendaki untuk

menghilangkan identitas sendiri demi identitas dari guyup lain. Biasanya

kelompok lain tersebut merupakan kelompok lebih besar yang mengontrol guyup

minoritas. Pergeseran bahasa dan kepunahan bahasa bertitik tolak dari kontak dua

bahasa dalam suatu masyarakat. Beberapa ahli bahasa menyebut berdwibahasa

dengan bilingualisme, sedangkan Ferguson (1959) memakai istilah diglosia.

Untuk membedakan kedua konsep antara bilingualisme dan diglosia, Fishman

(1972) menggunakan istilah bingualisme dan bilingualitas (Triyono, 2006).

Pergeseran dan pemertahanan sebuah bahasa seperti dua sisi mata uang:

bahasa menggeser bahasa lain atau bahasa yang tak tergeser oleh bahasa. Bahasa

bergeser adalah bahasa yang tidak mampu mempertahankan diri. Pergeseran

bahasa berarti suatu masyarkat tertentu meninggalkan suatu bahasa sepenuhnya

untuk memakai bahasa lain (Sumarsono, 2002:231). Sumarsono (2002:235)

mengatakan bahwa kedwibahasaan masyarakat bukan satu-satunya kondisi bagi

suatu pegeseran. Hampir semua kasus pergeseran bahasa terjadi melalui alih

generasi, menyangkut lebih dari satu generasi. Dengan kata lain, jarang terjadi

sejumlah besar individu dalam suatu masyarakat menanggalkan bahasa dan

mengganti dengan bahasa lain dalam kurun hidupnya.

Pergeseran sebuah bahasa didorong oleh adanya kedwibahasaan, tetapi

Sumarsono mengatakan bahwa ada faktor-faktor lain yang mendorong sebuah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 60: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

47

pergeseran bahasa terjadi yaitu faktor migrasi, ekonomi, sekolah. Sebuah

pergeseran bahasa juga telah dipaparkan Dorian (dalam Sumarsono) mengenai

pergeseran bahasa Gaelik di Sutherland Timur, Inggris Utara. Daerah Sutherland,

mengalami sejarah panjang kedwibahasaan, melibatkan bahasa Inggris (B2 di

tempat itu) dan bahasa Gaelik (B1). Bahasa Gaelik mempunyai sejarah panjang

tetapi statusnya lebih rendah. Sejak abad ke-14 pengadilan Skotlandia sudah

memakai bahasa Inggris. Bertahun-tahun bahasa Inggris diasosiasikan dengan

penduduk Lowland yang ‘beradab’ dan Gaelik diasosiasikan dengan penduduk

Highland (wilayah tempat Sutherland berada) yang ‘kasar’;’liar’. Pada awal abad

ke-18 Skotlandia disatukan dengan Inggris tetapi jarak geografi dan kurangnya

jalan menyebabkan Highland tetap terpencil. Pada awal abad 19 penduduk elite

yang berbahasa Inggris pindah keSkotlandia utara. Bahasa Inggris meluncur dari

puncak jenjang sosial dan menyebar kokoh ke bawah, sampai bahasa Gaelik

bergeser dari statusnya sebagai bahasa mayoritas ke bahasa minoritas. Ironisnya

ini justru terjadi di wilayah bahasa itu.

Pergeseran sebuah bahasa berupa pergeseran budaya sapaan juga telah

dipaparkan oleh Mukminatun (2007) dalam jurnal dengan judul Pergeseran

Budaya Sapaan dan Kekerabatan Di Wilayah Kecamatan Keraton Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta. Mukminatun memaparkan bahwa terdapat bentuk

pergeseran dalam sapaan di dalam wilayah Keraton Yogyakarta. Pergeseran

tersebut berupa (l) penyingkatan sapaan nomma, (2) penghormatan karena

stratifikasi sosial lebih diutamakan, (3) bagi kalangan bawah lebih meninggikan

sapaannya dalam rangka mencari posisi dan kedudukan dalam masyarakat. Hal itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 61: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

48

disebabkan karena status sosial, usia, stratifikasi sosial, jenis kelamin ber-

pengaruh terhadap pemakaian sapaan nomina. Masalah penelitian ini hampir

meyerupai penelitian yang dilakukan oleh peneliti yaitu pergeseran bahasa

(pergeseran sapaan) yang berhubungan dengan keraton. Namun, dalam penelitian

ini Mukminatun melalukan penelitian di wilayah Kecamatan Keraton Yogyakarta

Daerah Istimewa Yogyakarta sedangkan peneliti hanya dalam lingkup karaton

saja.

Selain itu, pergeseran bahasa akibat sebuah masyarakat dapat

menyebabkan pergeseran wujud bahasa itu sendiri. Wujud suatu tuturan dalam

komunikasi dapat mengalami pergeseran atau lazim disebut pergeseran wujud.

Seperti halnya di dalam lingkungan karaton yang menggunakan bahasa Bagongan,

saat ini bahasa Bagongan mengalami pergeseran dalam penggunaannya. Beberapa

wujud bahasa bagongan bergeser menjadi bahasa Jawa Krama Inggil, Madya dan

lain sebagainya menjadi salah satu bukti wujud pergeseran bahasa dari sebuah

masyarkat. Selain itu, makna pragmatik yang muncul pada diri penutur dalam

sebuah komunikasi dapat mengalami pergeseran atau lazim disebut pergeseran

makna pragmatik. Pergeseran yang terjadi karena sebuah guyup disebabkan oleh

sosial, budaya sebuah masyarakat bahasa tersebut.

Dengan demikian, pergeseran wujud dan makna pragmatik yang

dimaksudkan dalam penelitian ini adalah perubahan tuturan berdasarkan konteks

sosial budaya, cara pandang masyarakat, dan faktor-faktor luar yang dihadirkan

sebagai pendukung identitas sosial masyarakat. Pergeseran wujud dan makna

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 62: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

49

pragmatik dalam penelitian ini juga berhubungan dengan perubahan sosial dan

budaya masyarakat Jawa khususnya para abdi dalem karaton.

Sementara itu, Romaine (Suandi, 2014:99) memaparkan faktor yang

menyebabkan pergeseran bahasa yaitu kekuatan kelompok mayoritas terhadap

minoritas, kelas sosial, latarbelakang agama dan pendidikan, hubungan dengan

tanah leluhur atau asal, kebijakan politik pemerintah terhadap bahasa. Begitu juga

dengan Grosjean (1982) memaparkan faktor penyebab pergeseran bahasa yaitu

sosial, sikap, pemakaian bahasa dan kebijakan pemerintah. Adanya pola sosial

dan budaya yang beragam dalam suatu masyarakat ikut menentukan identitas

sosial dan keanggotaan kelompok sosial, faktor-faktor sosial itu meliputi status

sosial, kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seorang dalam suatu jaringan. Faktor-

faktor yang telah dipaparkan tersebut dapat memperkuat penelitian mengenai

faktor penyebab terjadi pergeseran kefatisan berbahasa. Faktor bergesernya

sebuah bahasa dapat disebabkan adanya faktor sosial masyarakat yang

didalamnya terdapat faktor budaya masyarakat penutur dalam konteks penelitian

ini yaitu budaya masyarakat Jawa.

Salah satu hal yang menyebabkan sebuah bahasa mengalami pergeseran

yaitu faktor budaya. Budaya atau kebudayaan merupakan tata kelakuan manusia,

hasil dari tata kelakuan itu dan juga cara kelakuan itu terjari dan tersusun dalam

system masyarakat. Kebudayaan juga merupakan keseluruhan dari kelakuan dan

hasil kelakuan manusia, yang teratur tata kelakuan yang didapatkannya dengan

belajar dan tersusun dalam kehidupan masyarakat (Koentjoroningrat, 1990:79).

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 63: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

50

Ihrom (1987:21) mengatakan bahwa bila kita berbicara menngenai kebiasaan

bersama dalam suatu masyarakat dan hal itu menjadi pusat perhatian antropologi

budaya maka kebiasaan tersebut merupakan sebuah kebudayaan.

Sebuah ilmu antropologi membagi tiap-tiap kebudayaan kedalam beberapa

unsur besar yang disebut culture universals (Koentjoroningrat, 1990:82). Istilah

universal artinya ada dan bisa didapatkan dalam semua kebudayaan dari semua

bangsa di mana pun. Unsur-unsur budaya tersebut adalah peralatan dan

perlengkapan hidup manusia (pakaian, rumah, alat rumah tangga, transportasi dll),

mata pencaharian hidup dan sistem ekonomi (pertanian, pertenakan, sistem

produksi, sistem distribusi dll), sistem kemasyarakatan (kekerabatan, organisasi

politik, sistem hukum, sistem perkawinan), bahasa (lisan dan tulisan), kesenian

(seni rupa, seni suara, seni gerak dll), sistem pengetahuan, religi.

Paparan mengenai unsur besar kebudayaan yang bisa ditemukan secara

universal, bahasa masuk dalam unsur kebudayaan. Oleh sebab itu bahasa

merupakan bagian dari kebudayaan sebuah masyarakat. Budaya dan masyarakat

memang sangat berkaitan sehingga salah satu di antarnya berubah maka keduanya

juga akan ikut berubah. saat ini tidak bisa dimungkiri bahwa keduanya seiring

mengalami proses perubahan. Sudah menjadi ketentuan proses-proses perubahan

masyarakat dan kebudayaan atau culture change berlaku amat lambat sehingga

hanya dapat dilihat dengan mata orang-orang ahli saja. Namun, proses perubahan

itu juga dapat berlaku amat cepat hingga dapat dilihat dengan mata orang yang

bukan ahli. Perubahan budaya dan masyarakat dikelompokkan dalam beberapa

istilah, seperti difusi, asimilasi, dan akulturasi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 64: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

51

Difusi adalah proses persebaran dari unsur-unsurkebudayaan dari satu

individu keindividu yang lain, dan dari satu masyarakat ke masyarakat lain.

Proses pertama yaitu persebaran dari individu ke individu dalam satu masyarkat

atau biasanya disebut intra-masyarakat. kedua, ialah persebaran dari masyarakat

ke masyarakat yang biasa disebut inter-masyarakat atau intersociety.

Sementara itu, asimilasi adalah proses masyarakat yang timbul ketika

terjadi (a) kelompok-kelompok manusia yang bersal dari lingkungan yang

mempunyai perbedaan kebudayaan; dan (b) individu-individu dari kelompok yang

sling bergaul, berkomunikasi secara intensif dengan waktu yang cukup lama

sehingga kebudayaan kelompok masing-masing menjadi saling menyesuaikan.

Dengan kata lain, salah satu kelompok budaya harus melebur ikut menyesuaikan.

Proses asimilasi inti dapat dicegah apabila kelompok masyarakat tersebut mampu

bersikap tolerensi dan simpati terhadap kelompok lain. Misalnya, orang Batak

berada di Jawa khususnya Yogyakarta dan bergaul secara luas dan intensif dengan

orang Jawa tetapi orang tersebut mampu mempertahankan budayanya. Hal itu

disebabkan karena orang itu mampu bertoleransi terhadap budaya lain.

Akulturasi atau acculturation atau culture contract mempunyai arti yang

berbeda dari berbagai sarjana antropologi, tetapi semuanya sesuai dengan paham

bahwa proses akulturasi timbul bila suatu kelompok manusia dengan kebudayaan

tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayan asing yang berbeda

sehingga unsur kebuayaan asing itu dengan lambat laun diterima dan diolah dalam

kebudayaan sendiri tanpa menghilangkan kepribadian kebudayaan sendiri.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 65: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

52

2.7 Kerangka Berpikir

Tuturan para abdi dalem dalam berkomunikasi diduga mengandung

kefatisan yang digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Oleh

sebab itu, peneliti akan meneliti tuturan fatis yang digunakan oleh para abdi dalem

untuk membina dan mempertahankan hubungan sosial dengan mitra tutur atau

lawan bicaranya. Untuk menganalisis setiap tuturan fatis para abdi dalem, peneliti

menggunakan teori komunikasi fatis dan teori sosiopragmatik. Teori komunikasi

fatis digunakan untuk menentukan wujud tuturan fatis para abdi dalem, sedangkan

teori sosiopragmatik digunakan untuk menentukan maksud tuturan atau makna

pragmatik dalam tiap tuturan fatis. Teori komunikasi fatis dan sosiopragmatik pun

selalu terikat oleh konteks, yaitu konteks situasi dan sosial. Konteks situasi dan

sosial membantu peneliti dalam mengidentifikasi kefatisan. Data yang telah

diperoleh berupa tuturan fatis para abdi dalem diklasifikasikan. Selanjutnya, data

dianalisis sesuai rumusan masalah berdasarkan teori yang relevan. Data yang telah

dianalisis, dibahas dan, dikritis berdasarkan wujud dan makna pragmatik,

kemudian peneliti dapat menemukan pergeseran bahasa dalam setiap tuturan fatis

dan dapat menemukan faktor yang menyebabkan pergeseran. Kerangka berpikir

penelitian ini dapat dilihat pada bagan berikut ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 66: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

53

TUTURAN KOMUNIKASI FATIS PARA

ABDI DALEM

SOSIOPRAGMATIK

KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI

DALEM

WUJUD DAN

MAKNA

PRAGMATIK

KOMUNIKASI

FATIS

PERGESERAN

DALAM

PEMAKAIAN

KEFATISAN

BERBAHASA

FAKTOR YANG

MENYEBABKAN

TERJADINYA

PERGESERAN

PRAGMATIK SOSIOLINGUISTIK

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 67: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

54

BAB III

METODOLOGI PENELITIAN

3.1 Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini bersifat deskriptif kualitatif, dan berikut akan diuraikan

hal-hal yang menandainya. Penelitian kualitatif adalah penelitian yang tidak perlu

menggunakan prosesdur statistisk dalam pencapaiannya karena penelitian

kualitatif digunakan untuk meneliti hal-hal yang berhubungan dengan kehidupan

masyarakat, sejarah, tingkah laku manusia, gerakan sosial, atau hubungan

kekerabatan (Baswori & Suwandi, 2008: 1). Hal-hal tersebut dikaitkan dengan

konteks tertentu atau khusus yang alamiah. Penelitian deskriptif, yaitu peneliti

mengumpulkan data-data atau informasi kemudian menggambarkan apa yang

ditemukan dengan apa adanya dalam bentuk kata dan bahasa

Sejalan dengan konsep tersebut, penelitian ini mengharuskan peneliti akan

menemukan data-data berupa tuturan fatis para abdi dalem di Keraton

Yogyakarta. Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti berusaha untuk,

mendeskripsikan bagaimana bentuk pergeseran wujud dan makna pragmatik

kefatisan berbahasa serta faktor yang menyebabkannya.

3.2 Sumber Data, Data, dan Objek Penelitian

Sumber data dalam penelitian ini adalah abdi dalem punakawan yang

berada di Keraton Yogyakarta. Abdi dalem sendiri terbagi menjadi dua, yakni

abdi dalem kaprajan dan abdi dalem punakawan. Abdi dalem kaprajan memiliki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 68: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

55

derajat atau kasta lebih tinggi dibanding punakawan. Jumlah abdi dalem kaprajan

juga tidak begitu banyak dibanding jumlah abdi dalem punakawan. Perbedaan

dari kedua abdi dalem tersebut adalah uang pituas (gaji) dari pihak keraton. Abdi

dalem kaprajan tidak mendapatkan uang pituas karena mereka sudah

mendapatkan uang pensiun. Sedangkan punakawan mendapatkan uang pituas

meskipun dalam jumlah kecil.

Sumber data lokasional penelitian ini adalah para abdi dalem Keraton

Yogyakarta yang berada di Jalan Rotowijayan Blok No. 1, Kota Yogyakarta,

Daerah Istimewa Yogyakarta. Sedangkan, sumber data substantif penelitian ini

adalah tuturan-tuturan para abdi dalem dalam berkomunikasi dan transkip

wawancara yang dilakukan kepada abdi dalem. Data dalam penelitian ini berupa

tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan dan cuplikan wawancara . Tuturan

yang mengandung kefatisan tersebut akan selalu didasarkan pada konteks tuturan.

Selain itu, data dalam penelitian ini juga berupa uraian hasil wawancara peneliti

dengan abdi dalem. Objek penelitian ini adalah kefatisan berbahasa para abdi

dalem. Kefatisan berbahasa diperoleh melalui komunikasi sehari-hari para abdi

dalem dengan abdi dalem lain atau orang lain (wisatawan).

3.3 Metode dan Teknik Penyediaan Data

Penyedian data merupakan sebuah upaya yang dilakukan oleh peneliti

untuk menyediakan data penelitia secukupnya. Data yang dimaksud di sini ialah

fenomena yang berkaitan dengan masalah dalam penelitian. Metode yang

digunakan dalam penyediaan data penelitian ini pertama, menggunakan metode

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 69: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

56

simak. Disebut metode simak karena data diperoleh dengan menyimak, yaitu

menyimak penggunaan bahasa yang dilakukan oleh para abdi dalem ketika

berbicara dengan sesama abdi dalem atau orang lain (tamu, wisatawan atau

sultan).

Metode simak ini diikuti dengan teknik dasar berupa teknik sadap. Peneliti

untuk mendapatkan data harus menyadap pembicaraan yang dilakukan oleh para

abdi dalem. Namun, tidak hanya berhenti pada penyadapan saja kegiatan

menyadap ini dilanjutkan dengan teknik simak libat cakap dan teknik simak bebas

libat cakap (Sudaryanto;2016). Di dalam teknik simak libat cakap peneliti

memperoleh data dengan cara berpartisipasi sambil menyimak pembicaraan yang

dilakukan oleh para abdi dalem. Peneliti juga terlibat dalam dialog tersebut

sehingga disamping memperhatikan penggunaan bahasa mitra tutur (abdi dalem)

peneliti juga turut serta dalam pembicaraan. Peneliti terkadang aktif angkat bicara

tetapi terkadang juga mendengarkan dan sedikit untuk berbicara. Munculnya data

kefatisan berbahasa yang diharapkan dapat melibatkan peneliti secara langsung.

Selain itu, dalam memperoleh data peneliti juga menggunakan teknik

simak bebas libat cakap. Jadi, dalam teknik ini peneliti tidak ikut serta dalam

pembicaraan para abdi dalem dan mitra tuturnya tetapi peneliti hanya sebagai

pemerhati apa yang dikatakan oleh abdi dalem. Para abdi dalem dan mitra

tuturnya akan hanyut dalam percakapan tetapi peneliti hanya memperhatikan

percakapan mereka saja tidak ikut serta dalam pembicaraan. Dalam teknik simak

bebas libat cakap alat yang digunakan sama seperti teknik simak libat cakap

dalam memperoleh data yaitu peneliti itu sendiri. Dalam pelaksanaan kedua

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 70: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

57

teknik tersebut dilakukan juga teknik rekam dan catat. Peneliti yang merekam

pembicaraan atau percakapan para abdi dalem dan juga mencatat ketika data yang

diperoleh ketika melakukan teknik tersebut. Sehingga ketika peneliti mengalami

kesulitan dalam mengidentifikasi data, peneliti dapat memutar ulang percakapan

dalam alat perekam yang telah disediakan.

Metode yang digunakan dalam penyediaan data kedua yaitu metode cakap.

Metode ini dapat disejajarkan dengan metode wawancara (Sudaryanto;2016).

Dalam melakukan metode ini, peneliti mendapatkan data dengan cara memancing

narasumber yang diwawancarai agar berkenan untuk berbicara. Narasumber yang

dapat diwawancarai yaitu para abdi dalem dan ahli bahasa dalam lingkungan

keraton. Kegiatan tersebut dapat disebut sebagai teknik pancing yang merupakan

teknik dasar dalam metode simak. Teknik pancing tersebut dilanjutkan dengan

teknik cakap semuka yaitu melakukan percakapan atau wawancara dengan

narasumber secara langsung atau bertatap muka. Dalam melakukan wawancara

tersebut peneliti mencatat informasi yang diperoleh dari narasumber dan merekam

percakapan yang terjadi.

3.4 Metode dan Teknik Analisis Data

Analisis merupakan upaya yang dilakukan oleh peneliti untuk menangani

masalah yang terkandung dalam data (Sudaryanto, 2016). Analisis dimulai tepat

pada saat penyedian data selesai dilakukan. Dalam menganalisis masalah yang

terjadi peneliti perlu menggunakan metode dan teknik tertentu. Metode yang

digunakan peneliti dalam penelitian kefatisan berbahasa ini adalah metode padan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 71: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

58

Metode padan adalah metode atau cara yang digunakan dalam upaya menemukan

kaidah dalam tahap analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak

menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan. Dalam konteks ini

metode padan akan digunakan untuk menganalisis komunikasi fatis yang

dikaitkan dengan konteks sosial budaya penuturnya.

Teknik analisis data merupakan suatu proses mengatur dan menganalisis

data, mengorganisasikannya dalam suatu pola, kategori dan satuan uraian dasar.

Sudaryanto (1993) menyatakan bahwa teknik analisis data merupakan upaya

peneliti untuk menangani langsung masalah yang terkandung pada data. Metode

padan yang digunakan dalam penelitian ini diikuti dengan teknik dasar pilah unsur

penentu, kemudian diikuti teknik lanjut hubung banding menyamakan (HBS).

Kegiatan analisis dapat dihentikan bila peneliti menemukan kaidah, atau dalil

yang berkaitan dengan objek yang menjadi masalah penelitian (Sudaryanto, 1993:

6). Langkah-langkah proses analisis dalam penelitian ini yaitu:

1. Data yang telah terkumpul ditranskip ke dalam bahasa Indonesia.

2. Data hasil transkip dipilah peneliti berdasarkan topik penelitian, yaitu

kefatisan berbahasa. Artinya, peneliti memilah tuturan yang mengindikasi

komunikasi fatis.

3. Data yang mengindikasi komunikasi fatis ditabulasi berdasarkan wujud

tuturannya.

4. Data hasil tabulasi ditriangulasikan kepada ahli. Triangulator dalam

penelitian ini Dr. BB. Dwijatmoko, MA.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 72: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

59

5. Hasil triangulasi dikaji dan dianalisis untuk menjawab rumusan masalah

dan tujuan penelitian.

6. Data hasil kajian dan analisis kemudian dikritisi dalam pembahasan.

7. Terakhir, peneliti mengambil kesimpulan berdasarkan hasil dalam

pembahasan.

3.5 Triangulasi Data

Pada tahap ini data yang telah dikumpulkan akan dicetak keabsahannya.

Pengujian keabsahan hasil penelitian data diuji dengan teknik Triangulasi.

Triangulasi adalah upaya penggunaan cara-cara lain untuk mengatasi masalah

yang timbul dalam penyediaan data (Mahsun, 2005:236). Triangulasi dapat

dibedakan menjadi dua, yaitu triangulasi data dan teori. Trianggulasi data

dilakukan untuk menguji data yang terkumpul kepada ahli, ahli dalam kaitan

dengan penelitian ini yang dimaksud adalah ahli sosiopragmatik. Ahli tersebut

akan melihat bahwa data yang dikumpulkan sudah dapat dikatakan memadai

(representatif), dan untuk mengkomfirmasi bahwa data yang didapat sudah

dikatakan mencukupi hingga sudah tidak ditemukan data lagi.

Selain itu, triangulasi data juga bukan semata-mata untuk mencari

kebenaran data penelitian tetapi juga untuk mengecek kredibilitas data dan

keterpercayaan hasil temuan yang diperoleh dari berbagai sumber. Sedangkan,

triangulasi teori dilakukan dengan mengkomfirmasi kajian teori dan hasil

penelitian terdahulu dengan meminta justifikasi kepada ahli untuk memastikan

bahwa teori dan hasil penelitian yang dikaji memang sudah cukup sebagai dasar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 73: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

60

untuk menganalisis. Triangulator data dalam penelitian kefatisan berbahasa para

abdi dalem ini adalah Dr. BB. Dwijatmoko, MA.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 74: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

61

BAB IV

HASIL ANALISIS DATA DAN PEMBAHASAN

Pada bab ini berisi uraian tentang hasil penelitian dan pembahasan. Pada

bagian Hasil Penelitian, peneliti akan menjelaskan mengenai deskripsi data, hasil

analisis wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa, wujud pergeseran

bahasa dalam komunikasi fatis dan faktor penyebab pergeseran. Selanjutnya, pada

bagian Pembahasan, peneliti akan membahas, menegaskan dan mengkritisi hasil

penelitian yang telah dipaparkan dala hasil penelitian.

4.1 Hasil Penelitian

Bagian hasil penelitian ini peneliti memeparkan mengenai deskripsi data

yang telah diperoleh dalam penelitian dan menganalisis data berdasarkan dengan

masalah penelitian. Hal tersebut penulis paparkan sebagai berikut.

4.1.1 Deskripsi Data

Data penelitian ini berupa tuturan fatis para abdi dalem di Keraton

Yogyakarta yang diindikasikan mengandung tuturan komunikasi fatis. Data ini

diperoleh melalui pengamatan atau observasi yang dilakukan oleh peneliti terkait

komunikasi fatis para abdi dalem di dalam lingkungan Keraton Yogyakarta.

Peneliti juga ikut bergabung dan mendengar percakapan baik antarabdi dalem

mupun para abdi dalem dengan orang lain. Peneliti juga melakukan wawancara

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 75: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

62

dengan para abdi dalem untuk memperoleh data. Hal ini dilakukan sekaligus

untuk menggali informasi mengenai para komunikasi fatis abdi dalem.

Tuturan yang digunakan sebagai data penelitian ini berupa komunikasi

para abdi dalem Keraton Yogyakarta terdiri dari dua bahasa yaitu bahasa

Indonesia, bahasa Jawa (Bagongan dan Krama Inggil). Bahasa Indonesia biasanya

digunakan para abdi dalem ketika berbicara dengan tamu atau wisatawan yang

berkunjung ke Keraton Yogyakarta. Sementara bahasa Bagongan dan bahasa Jawa

Karma Inggil biasanya digunakan ketika berbicara dengan sesama abdi dalem

atau dengan raja.

Data komunikasi fatis yang penelitian ini berdasarkan benar tidaknya

tuturanya dibagi menjadi dua (Arimi, 1998) yaitu komunikasi murni dan

komunikasi fatis polar. Komunikasi fatis murni yaitu ungkapan atau tuturan yang

dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa

yang dikatakan oleh penutur selaras dengan kenyataan atau memang benar-benar

terjadi. Sementara itu, komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan

yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau

tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih suatu ungkapan

untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial

antar penuturnya. Selanjutnya, di dalam klasifikasi tersebut terdapat lima

pengelompokan komunikasi fatis berdasarkan makna pragmatiknya yaitu

mengawali pembicaraan, mengakhiri pembicaraan, mencairkan suasana,

mempertahan komunikasi dan bertegur sapa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 76: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

63

Data komunikasi fatis murni dikelompokkan dan diberi paparan konteks

situasi, soisal yang dapat mendukung wujud kefatisannya. Di dalam

pengelompokkan, tuturan komunikasi fatis murni memiliki kode A/KFM Contoh

data-data komunikasi fatis murni dapat dipaparkan di bawah ini.

Tuturan komunikasi fatis murni: O1: Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini- sertifikat-untuk- kanjeng) (Ini sertifikat untuk kanjeng) O2: Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo-lha-dapat-sertifikat-sendiri-bahkan) (Wo lha dapat sertifikat sendiri bahkan) ……. (senyap) O1: Wah sepi dinten niki, Bu.(A1/KFM) (Wah-sepi-hari-ini-Bu) (Wah, sepi hari ini Bu) O2: Inggeh niki, lha ujian. (Iya-ini-lha-ujian) (Iya ini, lha ujian) O1: …. Konteks: O1 dan O2 adalah abdi dalem karaton. Mereka sedang berbincang-bincang di tepas security. Di tengah pembicaraan, orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat penghargaan untuk kanjeng. Kemudian mereka membicarakan tentang setifikat penghargaan tersebut. Namun, membahas sertifikat berakhir, O1 dan O2 terjadi keheningan atau senyap tidakada pembicaraan. Kemudian O1 mengatakan tuturan Wah sepi dinten niki.

Tuturan A1/KFM merupakan contoh tuturan komunikasi fatis murni.

Tuturan tersebut digunakan untuk mengisi kesenyapan atau keheningan yang

terjadi di tengan pembicaraan. Tuturan A1/KFM tuturan yang sesuai dengan

situasi yang terjadi ketika tuturan itu terjadi. Tentunya, tuturan tersebut digunakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 77: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

64

agar pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Contoh tuturan komunikasi fatis

murni lainnya dapat dilihat dalam tabulasi penelitian ini.

Sementara itu, komunikasi fatis polar juga memiliki peranan dalam

membangun komunikasi. Data komunikasi fatis polar juga dikelompokkan dan

diberi paparan konteks situasi, soisal yang dapat mendukung wujud kefatisannya.

Di dalam pengelompokkan, tuturan komunikasi fatis polar memiliki kode B/KFP.

Contoh data-data komunikasi fatis polar dapat dipaparkan di bawah ini.

Tuturan Komunikas Fatis Polar O1: Yaa, begitu. Bisa dikatakan dari situlah bahasa bagongan mulai bergeser karena sudah tidak ada lagi istilah magang. O2: Iya, baik kanjeng. Ehmm (melihat daftar pertanyaan) Senyap O1: Sudah jalan-jalan keliling keraton belum? (B1/KFP) O2: Baru sampai belakang situ, kanjeng. Ini Kanjeng, saya mau Tanya lagi. O1: Oiya, iya silahkan tadi hanya selingan saja. …… Konteks: O1 sedang diwawancari oleh O2 di tepas Dwarapura. Ketika O2 sedang sibuk mencari daftar pertanyaanuntuk wawancara, suasana menjadi hening tidak ada pembicaraan. O2 juga tampak bingung karena kehilangan daftar pertanyaan. Kemudian O1 mengatakan tuturan Sudah jalan-jalan keliling keraton belumn? Ketika O2 yang sedang mencari daftar pertanyaa wawancara untuk mengisi keheningan yang terjadi antara O1 dan O2. Setelah itu O1, O2 melakukan tanya jawab kembali.

Tuturan B1/KFP merupakan contoh dari komunikasi fatis polar. Tuturan

tersebut digunakan oleh penutur untuk mengisi kenyapan yang terjadi dalam

pembicaraan. Tuturan B1/KFP merupakan tuturan yang tidak sesuai dengan

realitas atau kenyataan yang terjadi. Tentunya, tuturan tersebut digunakan agar

pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Contoh tuturan komunikasi fatis polar

lainnya dapat dilihat dalam tabulasi penelitian ini.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 78: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

65

4.1.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis

Wujud tuturan komunikasi fatis para abdi dalem dikelompokkan menjadi

dua yaitu komunikasi fatis murni dan polar. Hal itu sejalan dengan pendapat

Arimi yang mengatakan bahwa Arimi (1998:171) mengatakan bahwa komunikasi

fatis dapat dibagi menjadi dua yaitu murni dan polar. Setiap kelompok

komunikasi fatis mempunyai makna pragmatik yang terdiri dari mempertahankan

komunikasi, memulai pembicaraan, mengakhiri pembicaraan, mencairkan

suasana, dan bertegur sapa. Uraian mengenai wujud dan makna pragmatik

komunikasi tersebut akan dipaparkan secara terperinci di bawah ini.

4.1.2.1 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis Murni

Pada bagian ini akan memaparkan data komunikasi fatis murni (KFM)

berdasarkan wujud dan makna pragmatik dalam tuturannya. Uraian tersebut

dipaparkan sebagai berikut.

1. Tuturan KFM: O1: Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini- sertifikat-untuk- kanjeng) (Ini sertifikat untuk kanjeng) O2: Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo-lha-dapat-sertifikat sendiri-bahkan) (Wo lha dapat sertifikat sendiri bahkan) ……. (senyap) O1: Wah sepi dinten niki, Bu. (A1/KFM) (Wah, sepi hari ini Bu) (Wah, sepi hari ini Bu) O2: Inggeh niki, lha ujian. (Iya-ini-lha-ujian) (Iya ini, lha ujian) O1: ….

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 79: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

66

Konteks: O1 dan O2 adalah abdi dalem karaton. Mereka sedang berbincang-bincang di tepas security. Di tengah pembicaraan, orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat penghargaan untuk kanjeng. Kemudian mereka membicarakan tentang setifikat penghargaan tersebut. Namun, membahas sertifikat berakhir, O1 dan O2 terjadi keheningan atau senyap tidakada pembicaraan. Kemudian O1 mengatakan tuturan Wah sepi dinten niki.

2. Tuturan KFM ….. O1: Sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (A2/KFM) (Sudah-luhur-to-ini-Saya mendahului) (Sudah luhur to ini? Saya mendahului) O2: Nggeh, monggo. (Iya-silahkan) (Iya, silahkan) Konteks: O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem di karaton. Mereka sudah mengenal cukup lama. O1 dan O2 sedang berbincang-bincang di tepas sudah cukup lama. O1 sudah berkali-kali melihat langit dan terlihat tidak tenang. Setelah pembicaraan cukup serius O1 dan O2 saling diam dan tidak ada pembicaraan. Kemudian O1 mengatakan tuturan sampun luhur to niki? Dan tanpa mendengar jawaban O2, O1 langsung berpamitan untuk mendahului. Dilihat dari usianya O2 lebih tua dibanding O1. 3. Tuturan KFM

O1: Sugeng enjang. (A9/KFM) (Selamat pagi) (Selamat pagi) O2: Mangga (Mari) (Mari) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O2 sedang berdiri mengawasi para wisatawan sedangkan O1 sedang membawa nampan yang berisi buah dan bunga (sesajen). Dari jauh O1 tidak tahu kalau O2 berada di tempat itu, karena dikerumuni oleh wisatawan. Pada waktu O1 berjalan mendekati O2, para wisatawan itu pergi dan O1 dapat melihat O2. Ketika O1 melewati persis di depan O2, O1 mengatakan tuturan sugeng enjang pada O2. O2 yang megetahui hal itu kemudian menjawab tuturan O1. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicraan antara O1 dan O2.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 80: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

67

4. Tuturan KFM

O1: Keseso mas? (Terburu-buru-mas) (Terburu-buru mas?) O2: Kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? (A7/KFM) (Kanjeng-ada-siapa-kok-sendirian?) (Kanjeng, ada siapa kok sendirian?) O1 : Hanggeh (Iya) (Iya) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O1 sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. O1 tahu bawah O2 sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan O1. O1 mengatakan tuturan keseso mas? O2 pun menanggapi O1 dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. O1 dan O2 sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian. 5. Tuturan KFM

O1: Wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan. (A3/KFM) ( Wah – teh – nya – pahit – ini – mbak. Yang – buat – memang) (Wah, tehnya pahit ini mbak, yang buat itu ,memang.) O2 : Hehe. O1 : Sudah masukin surat belum mbak? O2 : sudah, pak. Kemarin bapak juga yang menerima sama bu Yatmi. Konteks : O1 merupakan abdi dalem yang sedang berjaga di tepas security. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa (O2) datang ingin berkunjung ke perpustakaan keraton. O2 yang sedang menunggu temannya duduk di depan tepas bersama O1. Mereka duduk bersebelahan dan di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan di antara mereka. 6. Tuturan KFM

O1 : Wilujeng injing, Co. A5/KFM (Selamat – pagi – man) (Selamat pagi, teman) O2: Mangga (silakan) (mari) Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem. P berjalan membawa sesaji, ketika sampai pedopo gamelan barat P bertemu abdi dalem lain dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 81: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

68

mereka berpapasan. Mereka sudah sama-sama tahu bahwa mereka akan berpapasan karena dari jauh sudah bisa diketahui. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut di antar mereka.

Tuturan A1 merupakan bentuk dari tuturan fatis murni. Tuturan tersebut

digunakan untuk mengisi kesenyapan yang benar-benar terjadi antara penutur O1

(selanjutnya ditulis penutur) dan O2 (selanjutnya ditulis mitra tutur). Kesenyapan

yang terjadi dalam komunikasi antarpenutur yang sudah saling mengenal dapat

mengganggu hubungan mereka. Kefatisan dalam tuturan A1 juga terlihat dari

konteks situasi dan budayanya, masyarakat berlatarbelakang budaya Jawa

menganggap kesenyapan tersebut tidak biasa karena akan muncul kesan tidak

sopan atau menimbulkan prasangka buruk. Konsep tersebut sejalan dengan

pendapat Malinowsky yang mengatakan bahwa terjadinya keheningan atau diam

di dalam pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan hubungan

sosial antarpenuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan (Senft, 2009). Hal ini

berarti wujud situasi senyap dalam komunikasi dapat membawa dampak positif

maupun negatif. Dampak positifnya bahwa senyap dapat membantu penutur untuk

merenungkan sesaat tentang suatu persoalan. Namun, suasana senyap dapat

membawa dampak negatif yaitu memutuskan komunikasi bahkan dianggap tidak

sopan dalam masyarakat budaya Jawa. Begitu juga dalam tuturan A11/KFM dan

A21/KFM tuturan tersebut juga digunakan untuk mengisi kesenyapan yang terjadi

dalam pembicaraan. Tujuannya adalah untuk mempertahankan komunikasi agar

keduanya tetap terjalin komunikasi.

Ciri yang menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan bentuk tuturan

fatis adalah ketidakrelevanan topik yang penutur gunakan dalam mengisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 82: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

69

kesenyapan komunikasi yang terjadi. Topik sebelumnya penutur dan mitra tutur

membicarakan mengenai sertifikat karena terjadi kesenyapan penutur

menggunakan kefatisan berupa memberikan pernyataan suasana ketika tuturan itu

terjadi kemudian berganti topik, yaitu membicarakan mengenai sekolah.

Ketidakrelevanan tersebut juga telah dipaparkan oleh Malinowski bahwa

tuturan fatis yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan topik

pembicaraan utama tetapi ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi

sosial. Artinya bahwa sebuah tuturan fatis dapat berfungsi menutup kesenyapan

komunikasi agar komunikasi antarpenutur terus terjaga. Hal ini juga menunjukkan

peran tuturan fatis dalam membangun kesadaran setiap penutur untuk membangun

komunikasi agar tujuan komunikasi senantiasa terjalin baik dan komunikasi pun

tercapai. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh penutur merupakan hal yang sama-

sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Jadi tuturan tersebut bukan dimaknai

sebagai kalimat informatif tetapi berfokus sebagai tuturan yang komunikatif.

Konsep tersebut sepahaman dengan Jakobson dan Malinowski bahwa komunikasi

fatis bukanlah tuturan atau kalimat yang semata-mata untuk menanyakan atau

memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra tuturnya (Zegarac & Clark:1999).

Oleh karena itu tuturan A1, A11, dan A21 merupakan bentuk dari komunikasi

fatis.

Lebih dari itu, tuturan tersebut merupakan wujud komunikasi fatis murni.

Tuturan A1 merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut

memang benar-benar terjadi pada waktu lingkungan karaton benar-benar sepi.

Mitra tutur pun mengetahui bahwa konteks situasi pada waktu itu memang sedang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 83: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

70

sepi karena di karaton belum banyak pengunjung yang datang. Wujud kefatisn

tersebut terbukti dengan pandangan Arimi bahwa komunikasi fatis murni adalah

ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa

tutur yang muncul (Arimi,1998). Hal ini berarti sebuah situasi dapat menjadikan

momen seseorang atau penutur untuk membangun komunikas. Situasi lingkungan

karaton yang sepi saat keberadaan penuur dan mitra tutur dijadikan penutur untuk

mengisi kesenyapan komunikasi, sekaligus menjalin hubungan komunkasi yang

sempat terhenti. Oleh sebab itu tuturan A1 merupakan wujud komunikasi fatis

murni.

Dalam konteks budaya Jawa, dua orang yang saling mengenal dan berada

dalam satu tempat jika tidak berkomunikasi akan membuat hubungan

antarpenutur menjadi tidak lazim atau tidak baik (berprasangka buruk). Hal

tersebut dapat berupa prasangka buruk dari penuturnya seperti sombong, tidak

ramah, tidak sopan dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam situasi serupa kefatisan

sering kali penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal. Kefatisan

dalam pertuturan tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu untuk

mempertahankan komunikasi agar tetap berjalan atau tetap terjadi interaksi

antarpenuturnya. Makna pragmatik tersebut ditegaskan oleh Malinowsky bahwa

terjadinya keheningan dalam komunikasi akan mengkhawatirkan hubungan sosial

penuturnya. Masyarakat Jawa dalam hal ini para abdi dalem memiliki pandangan

yang serupa terkait hal itu. Oleh sebab itu tuturan A1 mempunyai makna

pragmatik yaitu untuk mempertahan komunikasi antarpenuturnya agar hubungan

sosial mereka tetap terjalin baik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 84: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

71

Sama halnya dengan tuturan A1, tuturan A2 merupakan bentuk tuturan

komunikasi fatis. Tuturan tersebut digunakan untuk mengakhiri percakapan antara

penutur dan mitra tutur. Tuturan tersebut juga bukan digunakan untuk

menginformasikan kepada mitra tutur bahwa sudah waktunya luhur atau dzuhur,

tetapi lebih bersifat komunikatif yaitu untuk mengakhiri sebuah percakapan. Di

dalam masyarakat Jawa tidak mungkin bagi penutur untuk langsung mengkahiri

pembicaraan setelah keperluan selesai karena sebelumnya penutur dan mitra tutur

sedang berbicara dengan serius. Hal itu dapat merusak hubungan sosial

antarpenutur. Konsep tersebut sejalan dengan pendapat Malinoswki bahwa fatis

digunakan dalam rangka pemenuhan hubungan sosial. Artinya bahwa suatu

tuturan fatis dapat digunakan untuk menjaga hubungan sosial, khususnya saat

mengakhiri sebuh pembicaraan serius. Penutur dapat mengakhiri pembicaraan

serius dengan tuturan fatis agar mitra tutur tidak merasa tersinggung atau tidak

dihormati.

Selain itu, waktu luhur yang penutur katakan merupakan hal yang sama-

sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur sehingga tuturan fatis tersebut

sebenarnya senada dengan mengomentari situasi yang sudah jelas. Dengan kata

lain, situasi dapat menjadi bahan kefatisan. Penutur mengungkapkan situasi yang

sama dengan kenyataan dapat menjadi makna yang dimaksudkan penutur. Oleh

sebab itu, tuturan tersebut dikatakan sebagai tuturan fatis karena tuturan tersebut

bukanlah sebuah tuturan informasi tetapi tuturan yang didalamnya memiliki nilai

sosial khusus yang digunakan dalam mengakhiri sebuah percakapan. Pernyataan

tersebut sejalan dengan pendapat Malinowski (1923) bahwa fatis bukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 85: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

72

digunakan untuk menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakannya

sedang memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah

tujuan utama mereka.

Lebih dari itu, tuturan A2 merupakan wujud dari komunikasi fatis murni,

karena tuturan A2 merupakan tuturan yang memang terjadi atau selaras dengan

kenyataan. Ketika tuturan terjadi, waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB yang

menandakan bahwa sudah saatnya sholat dzuhur atau istirahat. Pengetahuan

tersebut juga sama-sama diketahui oleh mitra tutur bahwa pada pukul 12.00

waktunya untuk sholat dan juga istirahat. Wujud komunikasi fatis murni tersebut

sejalan dengan pendapat Arimi yang mengatakan bahwa komunikasi fatis murni

adalah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan

peristiwa tutur yang muncul (Arimi,1998).

Masyarakat Jawa memiliki sikap bahwa, orang yang akan berpamitan atau

mengakhiri pembicaran dan sebelumnya telah berbincang-bincang cukup serius

mereka tidak akan langsung mengatakan akan pergi atau tidak langsung

mengakhiri. Hal itu dilakukan agar mitra tutur tidak tersinggung apabila masih

ada hal yang harus dibicarakan dan juga akan memperlihatkan bahwa penutur

adalah orang yang tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan A2 dituturkan oleh penutur

agar ia terlihat sopan, tidak menyinggung perasaan mitra tutur, dan tentunya akan

meninggalkan kesan baik sehingga dalam pertemuan selanjutnya mitra tutur akan

senang untuk berbicara kembali dengan penutur. Selain itu, penutur merupakan

abdi dalem yang usianya lebih muda dibanding mitra tutur, di dalam sosial

masyarakat Jawa penutur mempunyai kewajiban untuk menghormati mitra tutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 86: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

73

karena usianya yang lebih muda dibanding mitra tutur. Oleh sebab itu, penutur

menerapkan prinsip sopan santun dengan mengatakan tuturan A2 untuk

mengakhiri pembicaraan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat Geertz

(Pranowo,2009:47) yang mengatakan bahwa dalam ajaran budaya Jawa untuk

menciptakan kesantunana dalam berkomunikasi ada ajaran dalam berbahasa yaitu

harus selalu kurmat. Pengetahuan tersebut juga sama-sama diketahui antara

penutur dan mitra tutur. Hal itu tampak dengan tanggapan mitra tutur yang

langsung mempersilakan penutur untuk mengakhiri pembicaraan dan pergi

sebagai benuk menghargai penutur. Dengan demikian tuturan A2 sebagai wujud

komunikasi murni tersebut mempunyai makna pragamatik untuk menjaga relasi

dengan mitra tutur, tidak menyinggung perasaan, dan untuk berlaku sopan.

Tuturan A9 dan A7 merupakan bentuk tuturan fatis. Tuturan tersebut

digunakan oleh penutur untuk menyapa mitra tutur yang sudah penutur kenal.

Sikap saling menyapa atau bertegur sapa ketika berpapasan merupakan sebuah

komunikasi sangat berpengaruh pada hubungan atau relasi antarpenutur.

Masyarakat budaya Jawa mengenal sikap bertegur sapa merupakan sebuah

komunikasi yang dapat dikatakan wajib untuk dilakukan apabila kedua penutur

saling mengenal. Apabila tidak dilakukan hal tersebut akan mengganggu

hubungan sosial atau relasi dari penuturnya. Sikap saling bertegur sapa dengan

mengucapkan salam atau menanyakan sebuah situasi masuk dalam jenis

komunikasi fatis. Tuturan A9 menggambarkan salam yang dituturkan bukan

semata-mata digunakan untuk memberikan informasi pada mitra tutur bahwa pada

waktu itu pagi hari. Sementara itu tuturan A7 pertanyaan yang dituturkan bukan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 87: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

74

semata-mata menanyakan hal yang sudah jelas dilakukan oleh mitra tutur karena

kefatisan bukan merupakan tuturan yang bersifat informative tetapi komunikatif.

Komunikatif di dalam tuturan tersebut adalah penutur ingin menunjukkan

keramahannya dengan mengatakan tuturan A9 dan A7 . Pendapat itu sejalan

dengan Malinowski (Zegarac&Clark:1999) bahwa komunikasi fatis tidak bersifat

informatif, kalimat atau pernyataan yang dituturakan oleh penutur bukan semata-

mata untuk menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra

tuturnya.

Oleh karena kefatisan bukan merupakan penyampaian informasi,

tanggapan dari mitra tutur yang tidak relevan adalah hal yang dianggap sah dalam

sebuah komunikasi. Baik mitra tutur maupun penutur tidak pernah

mempermasalahkan tanggapan atas tuturan fatis karena tuturan tersebut digunakan

untuk pemenuhan hubungan sosial. Apapun tanggapannya hal itu sudah

menandakan bahwa mitra tutur memahami maksud penutur. Jawaban dari mitra

tutur yang tidak relevan dalam pertuturan semakin memperjelas bahwa tuturan A9

dan A7 mengandung kefatisan berbahasa.

Selanjutnya, tuturan A9 dan A7 merupakan wujud dari komunikasi fatis

murni. Artinya, penutur mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan situasi yang

sedang terjadi. Namun, tuturan yang sesuai dengan situasi tersebut penutur

gunakan untuk pemenuhan hubungan sosial mereka. Dalam tuturan A9 penutur

dan mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa mereka berpapasan pada waktu

pagi hari sedangkan dalam tuturan A7 penutur sudah melihat bahwa mitra tutur

tergesa-gesa dengan berjalan cepat sehingga mereka sebenarnya mengatakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 88: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

75

sesuatu yang sudah jelas diketahui bersama. Pandangan tersebut sejalan dengan

pendapat Arimi bahwa komunikasi fatis murni adalah ungkapan atau tuturan yang

dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul

(Arimi,1998).

Orang yang sudah sama-sama saling mengenal khususnya di dalam

masyarakat Jawa ketika bertemu atau berpapasan akan saling menyapa karena

apabila tidak saling dilakukan hal itu akan membuat buruk hubungan sosial

antarpenuturnya. Hal itu dapat berupa prasangkan buruk satu sama lain seperti

prasangkan sombong, tidak peduli, acuh tak acuh dan lain sebagainya. Konsep

serupa juga telah dipaparkan oleh Lever (1974) bahwa fungsi sosial komunikasi

fatik yang mendasar adalah pengaturan hubungan interpersonal pada

keseimbangan psikologis dari interaksi. Dengan penutur mengatakan tuturan fatis,

secara tidak langsung penutur dan mitra tutur sedang menyeimbangkan hubungan

sosial yang terjalin. Oleh karena itu, dalam situasi serupa kefatisan sering kali

penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal. Kefatisan dalam A9

tersebut mempunyai makna pragmatik dengan bertegur sapa penutur ingin

menunjukkan sikap ramah kepada mitra tutur yang sudah dikenalnya sedangkan

dalam tuturan A7 penutur ingin menunjukkan kepedulian terdapat mitra tutur

sehingga hubungan mereka tertap berjalan dengan baik. Dengan demikian, tuturan

A9 dan A7 yang merupakan wujud komunikasi fatis murni mempunyai makna

pragmatik yaitu menunjukkan sikap ramah dan kepedulian terdapat mitra tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 89: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

76

4.1.2.2 Wujud dan Makna Pragmatik Komunikasi Fatis Polar

Pada bagian ini akan memaparkan data komunikasi fatis polar (KFP)

berdasarkan wujud dan makna pragmatik dalam tuturannya. Uraian tersebut

dipaparkan sebagai berikut.

1. Tuturan KFP O1: Gimana mba penelitiannya? O2: Alhamdulilah, saya sering ke sini pak buat ambil data. ….. O1: Setelah ini mau ngapain? (B4/KFP) O2: Mau masuk pak, observasi. O1: Njiih, kalau gitu monggo Konteks: O1 merupakan seorang abdi dalem yang sering bertugas di tepas security dan O2 seorang tamu.. O2 yang baru saja datang dan masuk tepas kaget melihat O1 sedang duduk di pojok. O2 hanya tersenyum karena O2 harus presensi dan mengisi data terlebih dahulu. Setelah O2 selesai, O2 mendekati O1 tetapi ketika O2 belum sampai pada O1, O1 sudah memulai pembicaraan. O1 terlihat seperti terburu-buru, karena O1 dan O2 berbicara dengan berdiri dan tidak menanggapi banyak pembicaraan O2. O1 mengangkat tas sambil mendengarkan pembicaraan O2, setelah O2 selesai berbicara O1 langsung mengatakan tuturan setelah ini mau ngapain? 2. Tuturan KFP

O1: Ngapunten Co, kolo wingi wonten tamu saking pundi? (B6/KFP) (Maaf–teman-kemarin-ada-tamu-dari-mana?) (Maaf teman, kemarin ada tamu dari mana?) O2: Nggeh kanjeng, wonten saking Kompas. (Iya-kanjeng-ada-dari-Kompas) (Iya kanjeng, ada dari Kompas) O1: Matur nuwun (ucap-terima-kasih) (terima kasih) konteks situasi: O1 seorang abdi dalem. O1 pada waktu itu sedang diwawancarai oleh mahasiswa yang sedang melakukan penelitian, pada waktu O1 menjelaskan ia lupa mengenai tamu yang beberapa hari lalu datang menemui O1. O2 yang pada waktu itu sedang menyimak pembicaraan O1 dan mahasiswa tersebut ditanyai oleh O1 untuk membantu mengingatkan O1. O1 yang tidak mengetahui bahwa

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 90: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

77

sebenarnya ikut menyimak mengawali pembicaraan dengan mengatakan tuturan Ngapunten Co, kolo wingi wonten tamu saking pundi? 3. Tuturan KFP

O1: Dahar dereng niki? (B8/KFP) (Makan-belum-ini?) (Sudah makan belum?) O2: Matur nuwun, kesusu. (Ucap-terimakasih-terburu-buru) (Terimakasih, terburu-buru) O1: Monggo. (silahkan) (silahkan) Konteks: O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem yang saling mengenal. O1 sedang makan di depan pintu masuk keraton Yogyakarta bersama dua abdi dalem lain. Ketika O1 sedang menikmati makannya, O1 melihat O2 keluar dari pintu utama dan akan melewati O1. O1 dan O2 sama-sama mengetahui bahwa mereka akan bertemu karena mereka sudah saling melempar senyum. Pada waktu O2 melewati depan O1, O1 mengatakan tuturan Dahar dereng niki? Untuk menyapa O2. O2 hanya berjalan lebih pelan sambil menjawab pertanyaan O1. 4. Tuturan KFP

O1: Mangga (B12/KFP) (mari) (mari) O2: menundukkan kepala Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O2 sedang berdiri di pintu masuk utama untuk bertugas. O1 akan melewati pintu masuk utama dari arah gerbang utama Karaton. Ketika O1 melewati O2, O1 mengatakan tuturan Mangga dengan mengurangi kecepatan berjalan. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaran antara O2 dan O1. O1 dan O2 merupakan abdi dalem yang saling mengenal tetapi mereka jarang bertemu karena bertugas di tempat yang berbeda. antara O1 dan O2 juga jarang terjadi komunikasi cukup lama. 5. Tuturan KFP

O1: Mari makan pak.

O2: Sudah, matur nuwun. (B10/KFP)

(Sudah – bilang- terimakasih)

(sudah-trimakasih)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 91: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

78

Konteks: O1 merupakan seorang tamu. O2 seorang abdi dalem yang

sedang bertugas. O1 dan O2 sudah saling mengenal. ketika O1 sedang

makan di warung dalam karaton O2 berjalan melewati O1. O1 kemudian

menyapa dan menawrkan makan kepada O2, kemudian O2 merespon

dengan tuturan sudah, matur nuwun. percakapan mereka pun cenderung

cepat karena tidak ada topik pembicaraan lain setelah tuturan tersebut.

6. Tuturan KFP

…..

O1: Mangga

(Mari)

(Mari)

O2:Sampun, jam sementen niku wayahipun jalan-jalan. Kulo

ngrumiyini. B13/KFP

(Sudah- jam - segini – itu - waktunya - jalan-jalan. - saya -

mendahului)

(Sudah, jam segini itu waktunya jalan-jalan. saya mendahului)

O1: Hahaha, njeh monggo

(Hahaha-iya-mari)

(Hahaha, iya mari)

Konteks : O2 seorang abdi dalem sedangkan O1 adalah tamu. Mereka berada di tepas security. O1 teman seorang abdi dalem yang berada di tepas security juga. Mereka bertiga sedang asyik ngobrol. Setelah beberapa menit berlangsung Mt terlihat tidak nyaman seperti ingin keluar dari tepas tetapi mereka sedang ngobrol. Mt merasa tidak enak untuk memotong pembicaraan. di tengah pembicaraan O1 ingin minum dan menawari O2. O2 yang sudah tidak nyaman karena ada keperluan mengatakan tuturan

Tuturan B4 merupakan bentuk dari tuturan komunikasi fatis. Tuturan

tersebut digunakan penutur untuk mengakhiri pembicaraan yang terjadi.

Mengakhiri pembicaraan dengan mengatakan secara langsung dapat mengganggu

hubungan sosial antar penuturnya. Di dalam masyarakat Jawa mengakhiri

pembicaraan secara langsung ketika baru saja berjumpa penutur dapat

menimbulkan prasangka tidak baik yang berujung pada terganggunya relasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 92: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

79

antarpenuturnya. Konsep tersebut sejalan dengan pendapat Malinowski (1923)

yang mengatakan bahwa phatic bukan kumpulan kata yang digunakan untuk

menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic sedang

memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi. Tujuan sosial

yang penutur penuhi adalah ingin mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur

dengan santun.

Dalam pertuturan tersebut, tuturan yang dikatakan O1 (selanjutnya akan

ditulis penutur) juga tidak terlihat relevan dengan topik sebelumnya. O1 dan O2

(selanjutnya akan ditulis mitra tutur) membicarakan mengenai penelitian dan

dengan tiba-tiba topik berubah penutur menanyakan aktivitas yang akan mitra

tutur lakukan. Namun hal itu tampak sah dan diperbolehkan dalam komuniksi

fatis karena memang kefatisan merupakan ungkapan yang hampir tidak relevan

dengan topik pembicaraan yang keluar dari topik utama. Selain itu tuturan

tersebut bukan digunakan untuk menyampaikan atau menanyakan sebuah

informasi kepada mitra tutur tetapi tuturan tersebut penutur gunakan untuk

pengantar mengakhiri pembicaraan kepada mitra tutur. Hal tersebut disebabkan

mitra tutur merupakan seorang tamu dan keduanya saling mengenal meskipun

jarang sekali untuk bertemu. Apabila pembicaraannya masih terlalu singkat dan

penutur langsung mengakhiri pembicaraan penutur akan terlihat tidak sopan juga

akan mengganggu hubungan sosial antarpenuturnya. Prasangka buruk akan timbul

dari mitra tutur dan akan merusak hubungan sosial keduanya misalnya

ketidaknyaman komunikasi dalam pertemuan selanjutanya, anggapan sombong

dan juga sikap tidak sopan. Pendapat tersebut dijalan dengan teori yang Jakobson

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 93: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

80

dan Malinowski bahwa komunikasi fatis bukanlah tuturan atau kalimat yang

semata-mata untuk menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada

mitra tuturnya.

Lebih dari itu, tuturan B4 merupakan wujud dari komunikasi fatis polar.

Artinya, tuturan tersebut disampaikan penutur tidak sesuai dengan realitasnya atau

berlawanan. Mitra tutur tidak tersinggung atas tuturan tersebut karena mitra tutur

nenahami maksud dari penutur. Konsep tersebut sependapat dengan teori Arimi

(1998) yang mengatakan komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau

tuturan yang dipakai dalam sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan

realitasnya, tidak sesuai dengan kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih

ungkapan itu untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan

hubungan sosial antar penuturnya.

Di dalam masyarakat budaya Jawa, tuturan fatis semacam itu kerap kali

dilakukan dalam mengakhiri pembicaraan karena memang tuturan tersebut akan

berdampak baik bagi hubungan sosial penuturnya. Pemahaman semacam itu

tampak penutur dan mitra tutur ketahui karena mitra tutur tidak protes atau

menanggapi tuturan dengan pas atau sesuai. Mitra tutur mengetahui maksud

penutur bahwa ia akan mengakhiri pembicaraan. Dengan demikian, tuturan B4

yang berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna pragmatik,

yaitu mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur dengan santun dan tidak

menyinggung perasaan mitra tutur.

Tidak berbeda dengan tuturan B4, tuturan B6 merupakan bentuk

komunikasi fatis. Tuturan tersebut penutur gunakan untuk mengwali pembicaraan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 94: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

81

kepada rekan sesama abdi dalem. Dalam berkomunikasi mengatakan langsung

pada pokok pembicaraan akan tampak tidak sopan dan dapat membuat mitra tutur

tidak berkenan sehingga ketidaknyamanan antarpenutur dapat terjadi sehingga

relasi keduanya bisa terganggu. Hal tersebut sejalan dengan Kridalaksana

(2008:114) bahwa kategori fatis adalah kategori yang bertugas memulai,

mempertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi antara pembicara

dan kawan bicara. Dalam komunikasi khususnya membuka atau mengawali

pembicaraan penutur kerap mengalami kebingungan antar sopan santun dan

perilaku berbahasa sehingga fatis tersebut dapat membantu penutur dalam

menyampaikan tujuaanya. pemeliharaan dan menciptakan hubungan baik dalam

berkomunikasi selalu tetap dilakukan oleh sebab itu komunikasi fatis sangat

berperan dalam hal tersebut (Ramadanti, 2014)

Selanjutya, tuturan B6 mempunyai wujud komunikasi fatis polar. Artinya,

tuturan B6 penutur katakan berlawanan dengan realitasnya. Permintaan maaf

penutur bukan disebabkan karena penutur melakukan kesalahan sehingga ia harus

meminta maaf tetapi sebagai bentuk pengantar untuk masuk dalam inti

pembicaraan. Pendapat tersebut sejalan dengan Arimi yang mengatakan bahwa

komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam

sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya, tidak sesuai dengan

kenyataan. Penutur memilih untuk mengatakan tuturan B6 untuk menunjukkan

sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial. Oleh sebab itu,

tuturan B6 merupakan wujud dari komunikasi fatis polar.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 95: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

82

Masyarakat Jawa beranggapan bahwa, orang akan dikatakan tidak sopan

apabila dalam pembicaraan ia langsung menuju pada pokok pembicaraan tanpa

menggunakan pengantar terlebih dahulu. Oleh sebab itu tuturan B6 mempunyai

maksud untuk bersikap sopan dengan berbicara santun kepada mitra tuturnya. Hal

tersebut dapat mempertahankan atau membina hubungan baik antar penutur

karena terjadi kenyamanan dalam berkomunikasi. Dengan demikian, tuturan B6

mempunyai wujud komunikasi fatis polar dengan maksud tuturan yaitu

mengawali pembicaraan dengan bertutur santun agar mitra tutur berkenan untuk

berbicara dengan penutur.

Tuturan B8 dan B12 merupakan bentuk dari komunikasi fatis. Tuturan

tersebut digunakan penutur untuk menyapa mitra tutur yang sudah mereka kenal.

Penutur yang saling mengenal apabila bertemu tidak saling menyapa hal itu akan

mengganggu hubungan sosial keduanya. Dalam masyarakat Jawa saling menyapa

merupakan sesuatu yang harus dilakukan agar tidak muncul prasangka buruk dari

masing-masing penuturnya. Tuturan tersebut dapat dikatakan sebagai tuturan fatis

yang bentuk tuturannya dapat berupa tuturan B8 dan B12. Pemahaman seperti itu

sesuai dengan pendapat bahwa fatis bukan kumpulan kata yang digunakan untuk

menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakan persekutan phatic sedang

memenuhi fungsi sosial mereka, memenuhi ikatan antarpribadi. Tuturan B8 dan

B12 juga dituturkan bukan bersifat informatif, dalam B8 penutur bukan untuk

menanyakan kepada mitra tutur apakah sudah makan dan tanggapan mitra tutur

yang tidak relevan juga tetap dianggap sah serta tidak di protes oleh penuturnya.

Oleh sebab itu, tuturan B8 dan B12 merupakan wujud kefatisan berbahasa.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 96: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

83

Selebihnya, tuturan B8 dan B12 merupakan wujud dari komunikasi fatis

polar. Tuturan komuikasi fatis polar merupakan tuturan yang tidak sesuai atau

berlawanan dengan situasi tuturnya. Dalam tuturan B12 penutur pada waktu itu

tidak berhenti dan kemudian mengajak mitra tutur yang sedang melewat gerbang,

penutur hanya berjalan lebih pelan dari sebelumnya. Begitu juga dalam tuturan

B8. Konsep komunikasi fatis polar tersebut didukung dengan pendapat Arimi

(1998) yang mengatakan bahwa fatis polar adalah tuturan yang dipakai dalam

sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya, tidak sesuai dengan

kenyataan. Penutur mengatakan atau memilih ungkapan itu untuk menunjukkan

sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya.

Pemenuhan hubungan sosial tersebut dapat dilihat dari maksud penutur

dalam mengatakan tuturan tersebut. Dalam konteks masyarakat budaya Jawa

bertegur sapa merupakan sesuatu yang dimanfaatkan untuk pemenuhan hubungan

sosial. Dalam tuturan B12 penutur mengtakan tuturan tersebut ingin menunjukkan

sikap ramah dan menghormati mitra tuturnya karena pada waktu penutur berjalan

melewati mitra tutur. Akan terjadi prasangka buruk apabila penutur hanya diam

dan lewat begitu saja tanpa adanya tuturan fatis tersebut. Selanjutnya, dalam

tuturan B8, penutur mengatakan tuturan tersebut untuk menyapa sehingga dapat

mengakrabkan hubungan dengan mitra tutur. Oleh karena itu tuturan B8 dan B12

yang berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu

bertegur sapa untuk menunjukkan keramahan, menghormati dan keakrabn dengan

mitra tuturnya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 97: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

84

4.1.3 Pergeseran Wujud dan Makna Pragmatik dalam Kefatisan Berbahasa

Pergeseran wujud merupakan bagian dari sebuah pergeseran bahasa.

Pergeseran bahasa menyangkut masalah penggunaan bahasa oleh seorang penutur

atau sekelompok penutur yang bisa terjadi karena pertemuan dua kebudayaan

yang berbeda dan saling berkomunikasi secara langsung cukup lama. Pergeseran

tersebut dapat berupa honorifik dan eufemisme. Kedua pergeseran terssebut

terdapat di dalam tuturan komunikasi fatis murni dan polar para abdi dalem

keraton. Pergeseran tersebut akan dipaparkan sebagai berikut.

4.1.3.1 Pergeseran Honorifik

Honorifik sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan

penghormatan, yang dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain

(Kridalaksana,2008:85). Honorifik ditemukan dalam tuturan fatis murni dan polar

para abdi dalem sebagai wujud pergeseran sapaan. Uraian pergeseran honorifik

dalam tuturan komunikasi fatis murni dipaparkan berikut ini.

1. Tuturan KFM

O1: Keseso mas? (Terburu-buru-mas) (Terburu-buru mas?) O2: Kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? (A7/KFM) (Kanjeng-ada-siapa-kok-sendirian?) (Kanjeng, ada siapa kok sendirian?) O1: Hanggeh (Iya) (Iya) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem. O1 sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. O1 tahu bawah O2 sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan O1. O1 mengatakan tuturan keseso mas? O2 pun menanggapi O1

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 98: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

85

dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. O1 dan O2 sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian.

2. Tuturan KFM

O1: Sehat, Romo. (A12/KFM) (Sehat-bapak?) (Sehat bapak?) O2: Pengestunipun (Doanya) (Doanya) O1: …. Konteks: O2 sedang duduk dan menonton televise di pos jaga parkiran belakang bersama abdi dalem lain. Pada waktu itu sepi bahkan seperti tidak ada pembicaraan di antara para abdi dalem lain di pos tersebut. Beberapa menit kemudian, O1 datang dari dalam ingin bergabung dan sepertinya ada keperluan dengan O2. O1 pun mendekati O2 dengan mengatakan tuturan Sehat, Romo. O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem tetapi dilihat dari usianya, O2 lebih tua dibandingkan dengan O1. Setelah tuturan tersebut keduanya duduk berhadapan dan membicarakan sesuatu.

3. Tuturan KFP

O1: Njenengan pun dhahar dereng niki Romo? (B5/KFP) (Kamu-sudah-makan-belum-ini-pak?) (Kamu sudah makan belum ini, pak?) O2: Wah pun tigang mangkok. (Wah-sudah-tiga-mangkok) (Wah sudah tiga mangkok) O1: Waa lha niku, waras sak kabehipun. Pripun wau dhalu? (Waa-lha-itu-sehat-satu-semuanya-Gimana-tadi-malam?) (Waa lha itu, sehat semuanya. Gimana tadi malam?) Konteks: O1 dan O2 adalah seorang abdi dalem karaton berjenis kelamin laki-laki. Di pos jaga belakang Karaton, terdapat dua abdi dalem yang sedang minum teh dan menonton televise. Ada pembicaraan di antara mereka, pembicaraan tersebut mereka lakukan dengan menonton televise (berita) tetapi sering kali senyap. Beberapa menit kemudian, O1 datang dari tepas security di saat para abdi dalem lain sedang tidak ada pembicaraan di pos jaga belakang. O1 yang ingin bergabung duduk dan menonton televise, datang dan bertanya “Njenengan pun dhahar dereng niki Romo?” (kamu sudah makan belum ini, pak?)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 99: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

86

4.Tuturan KFP

O1: Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo? (B7/KFP) (Permisi-kamu-sibuk-tidak-Bapak?) (Permisi, kamu sedang sibuk tidak, Bapak?) O2: Pripun? (Bagaimana?) (Bagaimana?) O1: Dipadhosi Kanjeng. (Dicari-kanjeng) (Dicari kanjeng) O2: Wo, nggeh matur nuwun. (Wo-ya-ucap-terima kasih) (Wo, ya terima kasih)

Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem yang bertugas di Tepas Dwirapura. O1 mendapat perintah untuk memanggilkan O2 yang berada di Tepas Dwirapura juga tetapi berada di dekat pintu masuk. O1 tahu, bahwa MT hanya sedang membaca buku dan duduk. Namun O1 tetep mengatakan tuturan “Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo?” Untuk menyampaikan pesan kepada O2.

Tuturan fatis A7 dan A13 terdapat wujud pergeseran honorifik yaitu pada

kata mas dan romo. Sebelumnya, di dalam lingkungan karaton para abdi dalem

karaton menggunakan kata co atau konco yang artinya teman untuk menyapa

sesama dalam berkomunikasi. Namun, kata co mengalami pergeseran menjadi

mas (dalam tuturan A7) dan romo (dalam tuturan A13). Pergeseran tersebut

merupakan pergeseran honorifik karena sebutan romo digunakan dalam sapaan

umum atau digunakan untuk menyapa orang (laki-laki) yang lebih tua atau

‘dituakan’ sedangkan mas digunakan untuk sapaan umum atau digunakan untuk

menyapa orang (laki-laki) yang lebih muda dalam masyarakat Jawa. Keduanya

penutur gunakan semata-mata untuk menghormati mitra tuturnya dan secara tidak

langsung menunjukkan adanya tingkat sosial. Hal itu berarti sebelumnya sebutan

co hanya digunakan secara khusus dalam lingkungan karaton. Dengan demikian,

dalam tuturan A7 dan A13 terdapat pergeseran dengan wujud honorifik.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 100: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

87

Pergeseran honorifik dalam tuturan fatis murni di atas juga berpengaruh

terhadap maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturan dengan kata lain

wujud pergseran honorifik secara otomatis memengaruhi maksud wujud tuturan

tersebut. Tuturan co berfungsi untuk menyamakan status atau kesetaraan status

sosial para abdi dalem di lingkungan karaton. Oleh sebab itu kata co yang

digunakan untuk bertegur sapa mempunyai maksud untuk saling mengakrabkan

antarpenuturnya. Namun dengan kata sapaan yang bergeser menjadi mas (dalam

tuturan A7) tentu mempunyai maksud yang bergeser pula yaitu bertegur sapa

digunakan untuk menghargai mitra tutur. Begitu juga dalam tuturan A13, kata

sapaan yang bergeser menjadi romo juga mempunyai maksud yang bergeser pula

yaitu mengawali pembicaraan dengan menghormati mitra tutur yang sedang

melakukan aktivitas lain. Dengan demikian, wujud pergeseran tuturan yang

berbentuk sapaan dapat disebut sebagai wujud pergeseran honorifik. Artinya,

wujud honorifik lebih mengarah pada maksud sapaan.

Tidak hanya dalam tuturan komunikasi fatis murni saja, pergeseran

honorifik juga terdapat dalam tuturan komunikasi fais polar. Tuturan fatis polar

B5 dan B7 terdapat wujud pergeseran honorifik pada kata romo. Sebelumnya, di

dalam lingkungan keraton para abdi dalem keraton menggunakan kata co atau

konco yang artinya teman untuk menyapa sesama dalam berkomunikasi. Namun

kata tersebut mengalami pergeseran menjadi romo. Romo digunakan oleh

masyarakat untuk berbicara pada orang yang lebh tua atau dihormati. Pergeseran

tersebut merupakan pergeseran honorifik karena sebutan romo digunakan dalam

sapaan umum atau digunakan untuk menyapa orang (laki-laki) yang lebih tua.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 101: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

88

Penutur menggunakan sapaan romo semata-mata untuk menghormati mitra

tuturnya dan menunjukkan adanya tingkat sosial di dalam tuturan tersebut. Hal itu

berarti sebelumnya sebutan co hanya digunakan secara khusus dalam lingkungan

karaton dan sapaan tersebut dipakai untuk menunjukkan kesetaraaan. Dengan

demikian, dalam tuturan B5 dan B7 terdapat pergeseran dengan wujud honorifik.

Pergeseran honorifik dalam tuturan fatis polar di atas juga berpengaruh

terhadap maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturan dengan kata lain

wujud pergseran honorific secara otomatis memengaruhi maksud wujud tuturan

tersebut. Tuturan co berfungsi untuk menyamakan status atau kesetaraan status

sosial para abdi dalem di lingkungan karaton. Oleh sebab itu kata co yang

digunakan untuk mengawali pembicaraan dan membuat antarpenutur lebih akrab.

Namun dengan kata sapaan yang bergeser menjadi romo (dalam tuturan B5 dan

B7) tentu mempunyai maksud yang bergeser pula yaitu mengawali pembicaraa

untuk lebih menghormati mitra tutur. Dengan demikian, wujud pergeseran tuturan

yang berbentuk sapaan dapat disebut sebagai wujud pergeseran honorifik.

Artinya, wujud honorifik lebih mengarah pada maksud sapaan.

4.1.3.2 Pergeseran Eufemisme

Eufemisme atau eufemia atau penghalusan merupakan gejala yang

ditampilkannya kata atau bentuk yang dianggap memiliki makna yang lebih halus

atau sopan dari yang digantikan (Chaer,1990). Tidak hanya honorifik saja,

eufemisme juga merupakan wujud pergeseran yang ditemukan dalam tuturan

kefatisan abdi dalem. Pergeseran dengan wujud tersebut juga akan berpengaruh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 102: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

89

terhadap pergeseran maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturannya.

Uraian pergeseran eufemisme dalam tuturan komunikasi fatis murni dipaparkan

berikut ini.

1. Tuturan KFM:

O1: Njenengan sampun sayah niki jam sementen? (A6/KFM) (Kamu-sudah-capek-ini-jam-segini?) (kamu sudah capek jam segini?) O2: Ngantuk hawane (Ngantuk-suasananya) (Ngantuk-suasananya) O1: Inggih, monggo. (Iya-mari) (Iya, mari) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem berjenis kelamin perempuan. Pada waktu itu, O1 sedang mengantar tamu yang sedang berwisata di Keraton. O1 melihat O2 sedang berpatroli di samping tepas Banjarwilopo. Beberapa saat kemudian, O1 yang akan mengantar tamu untuk keluar melihat O2 yang sedang duduk dengan wajah capek di dekat pendopo sambil melihat gamelan. O1 melewati O2 sehingga O1 mengatakan tuturan “njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?)”

2. Tuturan KFM:

…. O1: Wah, jam sementen pun mboten panas. (A12/KFM) (Wah-jam-segini-sudah-tidak-panas) (Wah jam segini sudah tidak panas) O2: Pun sakniki mboten saget ditebak. (Sudah-sekarang-tidak-bisa-ditebak) (Sekarang tidak bisa ditebak) O1: Wau dalu kulo niku medhal walah uademe. (Tadi-malam-saya-keluar-walah dingin) (Tadi malam saya keluar walah dingin) ….. Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem karaton. Pada waktu itu O1 sedang mengawasi para wisatawan. Tiba-tiba O2 datang untuk menghampiri O1 yang sedang berdiri sendiri. Di tengah-tengah pembicaraan ada wisatawan yang datang untuk bertanya pada O2 dan O1. Pembicaraan mereka pun terhenti. Setelah wisatawan itu pergi mereka tidak melanjutkan pembicaraan tetapi diam sejenak. Kemudian O1 mengatakan tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas. hal itu tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 103: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

90

sesuai dengan topik pembicaraan di awal. Setelah tuturan tersebut O2 dan O1 kembali membicarakan topik sebelumnya.

3. Tuturan KFP

….. O1: Kanjeng wonten niki? (B14/KFP) (Kanjeng-ada-ini?) (Kanjeng ada ini?) O2: Wau wonten. (Tadi-ada) (Tadi ada) O1: Kolo wingi kulo tenggene Romo. (Kemarin-saya-ke tempat-romo) (Kemarin saya ke tempat romo) …… Konteks: O1 dan O2 sedang berbincang-bincang di pendopo. Mereka sedang membahas dengan topik gamelan. perbincangan tersebut terjadi cukup lama dan lancar. setelah topik tersebut selesai, O1 dan O2 saling terdiam dan tidak terjadi pembincaraan. beberapa detik setelah keheningan O1 mengatakan tuturan kanjeng wonten niki? O2 pun menjawab tuturan tersebut tetapi setelah tuturan yang dikatakan oleh O1, O1 dan O2 membahas mengenai topik yang berbeda dengan tuturan pertama setelah terjadinya keheningan.

4. Tuturan KFP

O1: Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo? (B7/KFP) (Permisi-kamu- sibuk-tidak-Bapak?) (Permisi, kamu sedang sibuk tidak, Bapak?) O2: Pripun? (Bagaimana?) (Bagaimana?) O1: Dipadhosi Kanjeng. (Dicari-kanjeng) (Dicari kanjeng) O2: Wo, ngeh matur nuwun. (Wo-ya-ucap-terima kasih) (Wo, ya terima kasih) Konteks: O1 dan O2 merupakan abdi dalem yang bertugas di Tepas Dwirapura. O1 mendapat perintah untuk memanggilkan O2 yang berada di Tepas Dwirapura juga tetapi berada di dekat pintu masuk. O1 tahu, bahwa O2 hanya sedang membaca buku dan duduk. Namun O1 tetap mengatakan tuturan “Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten Romo?” Untuk menyampaikan pesan kepada O2.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 104: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

91

Tuturan fatis murni A6 dan A12 terdapat wujud pergeseran eufemisme

yaitu pada kata njenengan dan mboten. Sebelumnya, di dalam lingkungan keraton

para abdi dalem keraton menggunakan kata pekeniro dan mboya dalam

berkomunikasi sesama abdi dalem. Namun, kata pekeniro mengalami pergeseran

menjadi njenengan dan mboya menjadi mboten. Pekeniro dan mboya merupakan

bahasa Bagongan yang hanya digunakan dalam lingkungan keraton sedangkan

Njenengan dan mboten merupakan bahasa Jawa Krama Madya yang digunakan

untuk berbicara dengan orang yang lebih tua atau dihormati sehingga berdasarkan

tingkat tuturnya bahasa Jawa Krama Madya dapat dikatakan lebih halus sehingga

mempunyai tingkat kesopanan yang paling tinggi (Mangunsuwito,2002).

Pergeseran tersebut merupakan pergeseran eufemisme karena tuturan Njenengan

dan mboten merupakan basa Jawa Krama yang mempunyai tingkat kehalusan dan

tingkat kesopanan paling tinggi. Dengan demikian, dalam tuturan fatis A6 dan

A12 terdapat pergeseran dengan wujud eufemisme.

Pergeseran eufemisme dalam tuturan fatis murni di atas juga berpengaruh

terhadap maksud atau makna pragmatik dalam setiap tuturan dengan kata lain

wujud pergeseran eufemisme secara otomatis memengaruhi maksud wujud

tuturan tersebut. Tuturan Pekeniro dan mboya (basa bagongan) berfungsi untuk

menyamakan status atau kesetaraan status sosial para abdi dalem di lingkungan

keraton. Oleh sebab itu kata tersebut digunakan untuk mengawali pembicaraan

dan membuat antarpenutur lebih akrab. Namun dengan adanya pergeseran

pekeniro menjadi njenengan (A6) dan mboya menjadi mboten (A12) tentu

mempunyai maksud yang bergeser pula yaitu mengawali pembicaraa untuk lebih

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 105: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

92

menghormati mitra tutur. Dengan demikian, wujud pergeseran tuturan yang

berbentuk penghalusan untuk menunjukkan penghormatana dapat disebut sebagai

wujud pergeseran eufemisme. Artinya, wujud eufemisme lebih mengarah pada

maksud penghormatan.

Tidak hanya dalam tuturan komunikasi fatis murni saja, pergeseran

eufemisme juga terdapat dalam tuturan komunikasi fais polar. Tuturan fatis polar

B7 dan B14 terdapat wujud pergeseran eufemisme yaitu pada kata njenengan,

mboten (B7) dan wonten (B14). Sebelumnya, di dalam lingkungan karaton para

abdi dalem karaton menggunakan kata pekeniro, mboya, wenten dalam

berkomunikasi sesama abdi dalem. Namun, kata pekeniro mengalami pergeseran

menjadi njenengan, mboya menjadi mboten dan wenten menjadi wonten.

Pekeniro, mboya dan wenten merupakan bahasa Bagongan yang hanya digunakan

dalam lingkungan karaton sedangkan Njenengan, mboten dan wonten merupakan

bahasa Jawa Krama Madya yang digunakan untuk berbicara dengan orang yang

lebih tua atau dihormati sehingga berdasarkan tingkat tuturnya bahasa Jawa

Krama Madya dapat dikatakan lebih halus sehingga mempunyai tingkat

kesopanan yang paling tinggi (Dwiraharjo, 2001: 67). Pergeseran tersebut

merupakan pergeseran eufemisme karena tuturan Njenengan, mboten dan wonten

merupakan basa Jawa Krama yang mempunyai tingkat kehalusan dan tingkat

kesopanan paling tinggi. Dengan demikian, dalam tuturan fatis polar B7 dan B14

terdapat pergeseran dengan wujud eufemisme.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 106: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

93

4.1.4 Faktor-faktor Penyebab Terjadinya Pergeseran Bahasa

Wujud tuturan komunikasi fatis merupakan cermin masyarakat tutur dalam

membina hubungan sosial antarsesamanya. Namun, tidak bisa dimungkiri bahwa

wujud tersebut telah bergeser. Bergesernya wujud tersebut disebabkan oleh

beberapa faktor-faktor yang mempengaruhi.

4.1.4.1 Faktor Internal

Pergeseran wujud dan makna pragmatik disebabakan salah satunya dari

faktor dalam keraton itu sendiri. Hal tersebut juga telah dipaparkan oleh

narasumber yang berasal dari keraton melalui wawancara khusus terkait bahasa

para abdi dalem. Faktor internal penyebab pergeseran tersebut diuraikan sebagai

berikut.

Kebijakan dari pihak karaton untuk bergabung dengan pemerintahan

merupakn faktor penyebab pergeseran terjadi. Hal itu sejalan dengan pendapat

KRT Jati Ningrat dalam wawancara yang mengatakan “Perubahan di sini

(karaton) terjadi dimulai dari ketika sultan memutuskan untuk bergabung dengan

pemerintahan. Perubahan tersebut termasuk dalam berbahasa”. Kebijakan tersebut

membuat keraton lebih terbuka pada masyarakat umum yang tentunya hal itu

membuat adanya pergeseran salah satunya pergeseran budaya, dalam hal ini

termasuk pergeseran bahasa. Kebijakan sultan tersebut membuat abdi dalem lebih

luas untuk berinteraksi dengan masyarakat umum sehingga cara berkomunikasi

abdi dalem seiiring berjalannya waktu akan mengikuti bahasa yang digunakan

dalam masyarakat mayoritas. Masyarakat mayoritas biasanya berkomunikasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 107: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

94

menggunakan bahasa Indonesia dan juga bahasa Jawa dalam berinteraksi

kesehariannya.

Faktor yang disebabkan karena kebijakan karaton tersebut salah satunya

terlihat dalam pergeseran kata sapaan yang digunakan oleh abdi dalem. Para abdi

dalem menggunakaan sapaan umum (pak, bu, romo, mas) ketika berkomunikasi.

Padahal, abdi dalem memiliki budaya berbahasa sendiri yaitu dengan kata sapaan

khusus sesame abdi dalem co. Penggunaan sapaan umum untuk berkomunikasi

fatis terlihat dalam tuturan berikut.

1. Tuturan KFM

O1: Sehat, Romo. (A13/KFM) (Sehat-bapak?) (Sehat bapak?) O2: Pengestunipun (Doanya) (Doanya) O1: …. Konteks: O2 sedang duduk dan menonton televise di pos jaga parkiran belakang bersama abdi dalem lain. Pada waktu itu sepi bahkan seperti tidak ada pembicaraan di antara para abdi dalem lain di pos tersebut. Beberapa menit kemudian, O1 datang dari dalam ingin bergabung dan sepertinya ada keperluan dengan O2. O1 pun mendekati O2 dengan mengatakan tuturan Sehat, Romo. O1 dan O2 merupakan sesama abdi dalem tetapi dilihat dari usianya, O2 lebih tua dibandingkan dengan O1. Setelah tuturan tersebut keduanya duduk berhadapan dan membicarakan sesuatu.

Berdasarkan tuturan tersebut kita dapat melihat bahwa bergabungnya

keraton dalam pemrintah sehingga membuat interaksi semakin luas dapat

menyebabkan pergeseran salah satunya kata sapaan. Abdi dalem terbiasa

berkomunikasi tidak hanya dengan abdi dalem lain tetapi masyarakat umum di

dalam lingkungan keraton

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 108: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

95

Selanjutnya, budaya ‘magang’ di kerabat dan juga pangeran karaton yang

sudah tidak dilakukan lagi. Budaya menunjuk pada aspek kehidupan yang

meliputi cara-cara berlaku, kepercayaan, sikap-sikap dan juga hasil dari kegiatan

manusia yang khas untuk suatu masyarakat tertentu (Ihromi,1987). Budaya

‘magang’ dalam lingkungan keraton dapat menghasilkan sesuatu yang khas

termasuk dalam hal berbahasa. Calon abdi dalem akan ’magang’ terlebuh dahulu

sebelum diterima menjadi abdi dalem yang sah karena dalam ‘magang’ tersebut

calon abdi dalem belajar baik dalam hal berbahasa, bersikap dan lainnya sehingga

mereka tahu kebudayaan yang ada dalam lingkungan keraton.

Budaya ‘magang’ yang ada di dalam keraton merupakan salah satu

kebiasaan yang berpengaruh terhadap penguasaan bahasa para abdi dalem karena

di dalam ‘magang’ itulah para abdi dalem belajar atau pawiyatan terkait bahasa

Bagongan. Namun, kebiasaan itu mulai hilang salah satunya karena berkurangnya

pangeran dalam keraton. Oleh sebab itu, para abdi dalem yang lebih lama

mengabdi atensi mereka dalam menggunakan bahasa Bagongan lebih banyak

dalam berkomunikasi meskipun tidak utuh dalam satu percakapan.

Faktor internal terakhir adalah penutur (O1) dan mitra tutur (O2) yang tidak

lagi sederajat. Artinya tidak sederajat adalah dalam penguasaan bahasa Bagongan.

Hilangnya pawiyatan untuk para calon abdi dalem membuat penguasaan

khususnya berbahasa para abdi dalem menjadi tidak lancar. Jadi ketika abdi dalem

‘baru’ berbicara dengan abdi dalem yang sudah lama di situ terlihat

ketidaksederajatan berbahasa mereka sehingga para abdi dalem lama mengikuti

berbahasa mereka, di sisi lain bahasa abdi dalem baru sama dengan masyarakat di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 109: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

96

luar lingkungan karaton. Apalagi mereka seringkali berinteraksi di dalam

lingkungan karaton sehingga ketidaksederajatan tersebut dapat dikatakan sebagai

salah satu faktor iternal pergeseran bahasa.

4.1.4.2 Faktor Eksternal

Selain faktor internal pergeseran wujud dan makna pragmatik dalam tuturan

fatis tersebut disebabkan oleh adanya faktor ekternal, seperti pola pikir penutur

bahasa yang berkembang. Faktor eksternal yang menyebabkan pergeseran adalah

pola pikir penuturnya yang makin berkembang. penutur dalam hal ini abdi dalem

memiliki pemikiran yang berkembang yang disebabkan oleh lingkungan sosial.

Penggunaan kata njenengan (dalam A6/KFM) dan wonten (dalam B14/KFP)

dalam bahasa Jawa Krama Inggil digunakan untuk berbicara dengan orang yang

lebih tua atau dihormati atau mempunyai status sosial yang tinggi ((Dwiraharjo,

2001: 67). Penutur menggunakan bahasa Jawa Krama Inggil mempunyai maksud

ingin dihormati dam menghormati oleh mitra tutur ketika berbicara. Oleh sebab

itu dapat diartikan bahwa kini pola pikir penutur (abdi dalem) berkembang dengan

dibuktikkannya penutur memperhatikan status sosial mitra tutur (pekerjaan, usia,

kekeluargaan, dan kebangsaan) karena di dalam masyarkat status sosial sangat

diperhatikan sedangkan dalam lingkungan keraton tidak. Namun, tuturan tersebut

menunjukkan bahwa masyarakat luar mempengaruhi pola pikir penutur terutama

dalam berbahasa para abdi dalem keraton. Hal tersebut sejalan dengan pendapat

Suseno (1985: 63) yang mengatakan bahwa sesungguhnya, penggunaan bahasa

Jawa yang memiliki kaidah unggah-ungguhing basa mengandaikan kesadaran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 110: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

97

akan kedudukan sosial masing-masing lapisan masyarakat. Kedudukan (status)

sangat dipengaruhi oleh banyak hal, seperti kekayaan, keturunan, pendidikan,

pekerjaan, usia, kekeluargaan, dan kebangsaan.

Selain itu, faktor penyebab pergeseran tersebut adalah perkembangan ilmu

pengetahuan dan teknologi (IPTEK). Saat ini masyarakat sudah semakain cerdas

dan berkembang dengan kemudahan dalam berteknologi sehingga bisa

mempengaruhi masyarakat termasuk dalam hal kosa kata berbahasa. Hal tersebut

tentu membuat para abdi dalem dapat memguasai kosa kata yang beragam dan

mengikuti perkembangan zaman sehingga dalam berkomunikasi kemungkinan

untuk menggunakan bahasa yang semestinya dapat bergeser. Tuturan fatis yang

telah diperoleh dapat menjadi bukti bahwa perkembangan tersebut bisa menjadi

pngaru terhadap pengguna bahasa. Seperti kata sapaan khusus sesama abdi dalem

yang telah bergeser menjadi sapaan umum.

4.2 Pembahasan

Berdasarkan hasil analisis yang telah peneliti lakukan mengenai wujud dan

makna pragmatik, wujud pergeseran, serta faktor penyebab terjadinya pergeseran,

maka peneliti akan membahas ketiga hal tersebut dalam bagian ini.

4.2.1 Wujud dan Makna Pragamatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem

Kefatisan seperti yang telah diungkapkan Malinowsky adalah kumpulan

kata yang tidak digunakan untuk menyampaikan makna tetapi untuk pemenuhan

fungsi sosial antarpribadi (Seft, 2009). Kefatisan atau tuturan fatis diungkapkan

oleh para abdi dalem dalam situasi santai dan juga dalam situasi formal untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 111: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

98

pemenuhan hubungan sosial dalam komunikasi sehari-hari, sekaligus membina

atau mempertahankan hubungan sosial dengan mitra tutur.

Kefatisan dalam tuturan para abdi dalem ini dikelompokkan menjadi dua

berdasarkan benar atau tidaknya tuturan itu terjadi. Pertama, tuturan komunikasi

fatis murni. Arimi (1998:171) menjelaskan bahwa komunikasi fatis murni adalah

ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa

tutur yang muncul. Artinya, penutur menggunakan tuturan yang sesuai dengan

kenyataan atau benar-benar terjadi untuk hal yang berhubungan dengan sosial

mitra tuturnya. Tuturan fatis murni para abdi dalem berupa sampun luhur to

niki? Kulo ngrumiyini. (A2/KFM), wilujeng injing, Co (A5/KFM). Kedua

tuturan fatis tersebut dapat dikatakan sebagai wujud kefatisan murni karena

tuturan A2 dan A5 bukan semata-mata penutur katakan untuk memberikan

informasi bahwa pada waktu itu sudah zuhur (A2/KFM) waktunya untuk sholat

zuhur dan bahwa pagi itu pagi hari (A5/KFM) pada mitra tutur, tetapi digunakan

untuk pemenuhan hubungan sosial dengan mitra tutur. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Kridalaksana (2008: 114) yang mengatakan bahwa kategori fatis

bertugas memulai, mempertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi

antara pembicara dan kawan bicara. Selain itu, tuturan tersebut sesuai dengan

kenyataan atau benar-benar terjadi sehingga kefatisan dalam tuturan tersebut

dikatakan sebagai murni atau komunikasi fatis murni. Komunikasi fatis murni

tersebut mempunyai wujud yang selaras dengan situasi dan kenyataan sehingga

bisa terlihat cukup jelas oleh mitra tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 112: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

99

Wujud komunikasi fatis murni lebih cenderung tidak bervariasi karena

topik yang digunakan untuk memenuhi hubungan sosial antarpenutur biasanya

berupa menginformasikan keadaan yang sudah sama-sama diketahui seperti

Sampun, Romo? (A13/KFM), Sampun luhur to niki? (A2/KFM), Wah teh e pait

iki mbak. Seng gawe jan. (A3/KFM), menanyakan sebuah kabar Sehat, Romo?

(A12/KFM), Sami wilujeng? A18/KFM dan bertegur sapa Sugeng enjang

A19/KFM, Wilujeng injing, Co A5/KFM. Wujud komunikasi seperti itu jelas

sama-sama diketahui masing-masing penutur sehingga kefatisan dalam tuturan

bisa sama-sama dimengerti atau mudah dipahami.

Wujud tuturan fatis murni (dan polar) memiliki makna pragmatik. Makna

pragmatik merupakan maksud yang ingin disampaikan penutur kepada mitra tutur.

Yule (1985) menyebutkan makna pragmatik sebagai makna tambahan dalam teks

atau tutran. Hal itu berarti tuturan-tuturan fatis para abdi dalem mengandung

makna pragmatik, maksud, atau makna tambahan. Makna pragmatik atau maksud

dalam tuturan fatis tidak terlepas dari konteks situasi dan konteks sosial penutur.

Misalnya, dalam tuturan A2/KFM dan A5/KFM. Tuturan A2/KFM mempunyai

makna pragmatik, yaitu penutur ingin mengakhiri pembicaraan dengan dengan

sopan. Penutur tidak ingin menyinggung perasaan mitra tutur karena sebelumnya

penutur dan mitra tutur berbincang-bincang cukup serius. Sementara itu, tuturan

A5 memberikan makna pragmatik bahwa penutur ingin menunjukkan sikap ramah

kepada mitra tutur dengan cara bertegur sapa. Kedua makna pragmatik atau

maksud, yaitu mengakhiri pembicaraan dengan tidak menyinggung perasaan mitra

tutur dan bertegur sapa merupakan salah satu fungsi dari komunikasi fatis yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 113: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

100

berkaitan dengan hubungan sosial antarpenutur. Pendapat tersebut sejalan dengan

konsep Kridalaksana (2008:114) yang menjelaskan bahwa kategori fatis bertugas

memulai, mempertahankan, mengukuhkan atau mengakhiri komunikasi antara

pembicara dan kawan bicara.

Selain itu, sikap mengakhiri pembicara secara langsung dalam budaya

Jawa akan mengganggu hubungan sosial antarpenuturnya sehingga mitra tutur

yang mempunyai latarbelakang budaya sama dengan penutur mengetahui maksud

mitra tutur dengan mempersilakan penutur. Demikian budaya bertegur sapa,

merupakan wujud informasi yang jelas sudah diketahui oleh mitra tutur bahwa

pada waktu itu pagi hari juga tidak akan membuat mitra tutur kesal atau marah.

Hal itu justru akan membuat hubungan sosial antarpenutur semakin baik. Pranowo

(2015) menegaskan bahwa dalam menyimpulkan suatu maksud tuturan penutur

membutuhkan pemahaman yang sama mengenai topik pembicaraan antara

penutur dan mitra tutur itu sendiri. Tentu hal ini berlatarbelakang pemahaman

yang sama antara penutur dan mitra tutur bahwa pada saat itu pagi hari.

Selain bertegur sapa dan mengakhiri pembicaraan, secara keseluruhan, di

dalam kelompok tuturan komunikasi fatis murni para abdi dalem terdapat

beberapa makna pragmatik yang penutur gunakan sebagai pemenuhan hubungan

sosial antarpenutur. Makna pragmatik yang muncul dalam tuturan komunikasi

fatis murni para abdi dalem adalah mempertahankan komunikasi, mengawali

pembicaraan, dan juga mencairkan suasana. Makna pragmatik tersebut muncul

dalam penutur sebagai cara penutur untuk fungsi sosial. Masing-masing maksud

atau makna pragmatik tersebut memiliki karakteristik yang sama yaitu setiap

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 114: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

101

tuturan fatis murni baik bentuk atau wujud maupun maksudnya bergantung pada

konteks. Secara khusus konteks yang lebih menonjol dalam setiap tuturan fatis

murni para abdi dalem adalah konteks situasi dan sosial budaya masyarakat.

Kedua, yaitu komunikasi fatis polar. Arimi (1998:171) menjelaskan bahwa

komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam

sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau tidak sesuai dengan

kenyataan. Maksudnya, penutur mengatakan atau memilih ungkapan yang tidak

sesuai dengan realitas untuk menunjukkan sesuatu yang digunakan sebagai

pemenuhan hubungan sosial antarpenuturnya. Realitas dalam setiap tuturan dapat

dilihat sebelum, sesudah atau ketika tuturan itu terjadi. Tuturan komunikasi fatis

polar para abdi dalem dapat berupa Setelah ini mau ngapain? (B4/KFP), Sudah

jalan-jalan keliling keraton belum? (B1/KFP)

Tuturan komunikasi fatis polar bukan semata-mata ingin menanyakan

agenda kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk pemenuhan sosial agar mitra

tutur tidak tersinggung. Tuturan B4 masuk dalam tuturan fatis polar karena

tuturan tersebut tidak sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur tidak ingin

mengetahui agenda mitra tutur yang sesungguhnya tetapi hal tersebut dikatakan

sebagai pengantar untuk mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur.

Wujud komunikasi fatis polar berbeda dengan dengan komunikasi fatis

murni. Abdul Chaer dan Leonie Agustina (2004:16) mengatakan bahwa

ungkapan-ungkapan yang digunakan dalam fatik biasanya sudah berpola tetap,

seperti pada waktu berjumpa, pamit, membicarakan cuaca, atau menanyakan

keadaan keluarga. Namun, pendapat tersebut tidak berlaku pada komunikasi fatis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 115: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

102

polar. Wujud dari komunikasi fatis polar lebih bervariasi dengan topik yang

bervariasi pula misalnya abdi dalem mengatakan Sudah jalan-jalan keliling

keraton belum? (B1/KFP), Njenengan ngobrol kaleh mbak e niki nggeh

angsal kok. Hehe. Nggeh to mba? (B3/KFP) untuk megisi kesenyapan yang

terjadi dalam komunikasi, atau abdi dalem mengatakan Setelah ini mau

ngapain? (B4/KFP) pada tamu yang sudah dikenal untuk mengakhiri

pembicaraan. Penutur mengandalkan pikiran semata atau imajinasi untuk

membangun komunikasi agar tujuan komunikasi senantiasa terjalin baik dan

tujuan komunikasi pun tercapai. Selain itu, komunikasi fatis polar lebih sulit

untuk diidentifikasi kefatisannya, perlu kecermatan dalam melihat konteks

tuturan.

Sama halnya dengan komunikasi fatis murni, dalam setaip tuturan fatis

memiliki makna pragmatik. Makna pragmatik atau maksud penutur merupakan

makna tambahan yang ingin disampaikan oleh penutur kepada mitra tutur.

Misalnya, contoh dalm tuturan B4. Tuturan B4 mempunyai makna pragmatik

yaitu penutur ingin mengakhiri pembicaraan dengan mitra tanpa harus

menyinggung perasaan mitra tutur yang merupakan tamu karaton. Mitra tutur

yang mengetahui maksud penutur tidak menunjukkan sikap marah atau

tersinggung karena penutur ingin mengetahui aktivitasnya. Mitra tutur mengetahui

bahwa penutur segera ingin pergi atau terburu-buru sehingga makna pragamatik

dalam tuturan tersebut tersampaikan pada mitra tutur. Pemahaman mengenai hal

tersebut sejalan dengan pendapat Pranowo (2015) yang mengatakan bahwa

menyimpulkan suatu maksud tuturan penutur membutuhkan pemahaman yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 116: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

103

sama mengenai topik pembicaraan antara penutur dan mitra tutur itu sendiri.

Tentu, hal ini berlatar belakang pada konteks pemahaman yang sama antara

penutur dan mitra tutur bahwa saat itu penutur sedang terburu-buru. Selain itu,

tuturan fatis polar digunakan untuk mengakhiri pembicaraan saja, makna

pragmatik yang muncul dalam tuturan fatis polar yang penutur gunakan sebagai

pemenuhan hubungan sosial antarpenutur adalah mempertahankan komunikasi,

mengawali pembicaraan, bertegur sapa dan mencairkan suasana.

Pengantar untuk menuju pokok pembicaraan yang merupakan wujud

komunikasi fatis polar tersebut dapat dikatakan sebagai wujud kespriralan (tidak

langsung pada inti persoalan) yang identik dengan masyarakat Jawa dalam

berbicara. Pada dasarnya tuturan komunkasi fatis ini merupakan tuturan yang

menempel pada tuturan-tuturan penutur untuk memenuhi sesuatu yang

berhubungan dengan sosial.

Dengan demikian, wujud dan makna sebuah kefatisan berbahasa

bergantung pada konteks situasi dan juga sosial yang di dalamnya terdapat

konteks budaya. Hal itu sejalan dengan pendapat Pranowo (2015) yang

mengatakan bahwa konteks dalam ilmu pragmatik berupa dasar pemahaman yang

sama, latar belakang budaya, asumsi penutur terhadap mitra tutur, bahasa

nonverbal dan juga kesantunan.

4.2.2. Pergeseran Wujud dan Makna Pragmatik Kefatisan Berbahasa

Tidak bisa dimungkiri bahwa sebuah bahasa dapat mengalami pergeseran.

Pergeseran tersebut terjadi dalam tuturan fatis para abdi dalem yang gunakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 117: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

104

untuk memenuhi hubungan sosial. Berdasarkan hasil analisis data yang telah

dilakukan sebelumnya terdapat dua wujud pergeseran yang ditemukan dalam

tuturan komunikasi fatis abdi dalem yaitu honorifik dan eufemisme.

Pada dasarnya wujud pergeseran tersebut digunakan penutur untuk

penghormatan terhadap mitra tutur agar hubungan intrapersonal antarpenutur tetap

terbangun dengan baik. Penghormatan tersebut bisa berupa sapaan (honorifik) dan

juga penghalusan (eufemisme) kata yang dipilih untuk berkomunikasi fatis. Kedua

wujud pergeseran tersebut secara otomatis juga akan mempengaruhi makna

pragmatik dalam setiap tuturan. Pengaruh tersebut berupa ikut bergesernya makna

pragamtik dalam setiap tuturan kefatisan.

Seperti yang telah disampaikan oleh KRT Jati Ningrat dalam sebuah

wawancara, seharusnya para abdi dalem menggunakan bahasa Kedaton atau

Bagongan dalam berkomunikasi karena bahasa tersebut merupakan bahasa yang

telah ditetapkan pihak karaton sebagai bahasa yang digunakan oleh para abdi

dalem dalam lingkungan karaton. Namun saat ini bahasa tersebut telah mengalami

pergeseran, hal tersebut dapat dilihat dari tuturan komunikasi fatis yang muncul

dari para abdi dalem. Wujud pergeseran pertama yaitu Honorifik. Honorifik

sebagai suatu bentuk lingual yang dipakai untuk menyatakan penghormatan, yang

dalam bahasa tertentu digunakan untuk menyapa orang lain

(Kridalaksana,2008:85). Maksudnya, wujud pergeseran ini terdapat dalam kata

sapaan khusus para abdi dalem keraton menjadi sapaan umum yang

memperhatikan tingkat tutur dalam berbahasa. Sebelumnya, dalam lingkungan

keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 118: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

105

atau teman. Namun sekarang, konco atau co mengalami pergeseran co yang

bergeser menjadi bu dalam tuturan A1/KFM, mas A7/KFM, romo A12/KFM atau

seperti sapaan yang digunakan dalam masyarakat umum. Sapaan tersebut

digunakan dalam masyarakat dengan memperhatikan status sosial yang

melingkupi kedudukan sosial ekonomi, umur, jenis kelamin, tingkat pendidikan,

pekerjaan atau jabatan, serta keanggotaan seorang dalam suatu jaringan

(Grosjean,1982).

Pergeseran eufemisme juga penutur gunakan utnuk penghormatan dan

juga kesopanan. Tuturan kefatisan abdi dalem yang telah diperoleh, menunjukkan

bahwa bahasa para abdi dalem mengalami pergeseran menjadi bahasa yang lebih

halus dan menunjukkan sikap lebih hormat yaitu basa bagongan menjadi Jawa

Krama. Misalnya dalam tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas

(A11/KFM) dan kanjeng wonten niki? (B14/KFP). Kata mboten dn wonten

meruakan bahasa Jawa Krama Inggil yang digunakan dengan maksud untuk

menghormati mitra tutur Suseno (1985: 63). Hal tersebut akan berbeda ketika

penutur menggunakan mboya dan wenten, penutur seperti berbicara dengan rekan

sesamanya yang tentunya tujuannya untuk mengakrabkan.

Bahasa kedaton atau bagongan hanya terdiri dari beberapa kata yaitu

hanggeh, mboya, menira, pekenira, punapi, peniki, peniku, wenten, besahos,

seyos, nedo. Berdasarkan analisis data yang telah dilakukan dari kesebelas kata

yang telah ditetapkan, kata yang mengalami pergeseran dalam tuturan komunikasi

fatis yaitu pekeniro, mboya, wenten. Kata pekeniro bergeser menjadi njenengan,

mboya bergeser menjadi mboten dan wenten bergeser menjadi wonten. Selain itu,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 119: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

106

kata sapaan khusus untuk para abdi dalem co juga bergeser menjadi sapaan umum

yang digunakan dalam masyarakat umum yaitu mas, romo, bapak, ibu. Kata-kata

dalam bahasa Bagongan tersebut bergeser dalam penggunaanya menjadi bahasa

Krama Inggil.

4.2.3 Faktor-faktor Penyebab Pergeseran

Tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan yang terjadi di dunia

membuat pergeseran yang berdampak pada beberapa aspek. Salah satunya dalam

hal berbahasa. Pergeseran bahasa yang muncul dalam tuturan komunikasi fatis

para abdi dalem disebabkan oleh beberapa faktor. Faktor –faktor tersebut dibagi

menjadi dua yaitu faktor internal dan juga faktor eksternal. Hal itu akan

dipaparkan sebagai berikut.

Faktor internal penyebab pergeseran yaitu pertama kebijakan keraton

untuk bergabung dalam pemerintahan. Hal ini secara jelas dikatakan oleh salah

satu abdi dalem keraton bahwa perubahan yang terjadi di dalam karaton berawal

dari bergabungnya karaton dalam pemerintahan (KRT Jati Ningrat,2017).

Perubahan tersebut terjadi dalam banyak aspek salah satunya dalam berbahasa.

Karena dengan bergabunganya keraton dalam pemerintahan, warga keraton

khususnya para abdi dalem lebih luas berinteraksi terhadap masyarakat sehingga

menimbulkan berbagai dampak terhadap para abdi dalem sendiri. Salah satu hal

yang berkaitan dengan bahasa adalah penggunaan bahasa Bagongan para abdi

dalem yang sudah jarang atau berkurang pemakaiannya. Mereka lebih sering

menggunakan bahasa mayoritas untuk berinterkasi yaitu bahasa Jawa Krama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 120: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

107

Inggil atau Madya. Bahasa merupakan bagian dari kebudayaan, hal tersebut

sejalan dengan Koentjarningrat (1974:82) yang mengatakan bahwa bahasa lisan

maupun tulis merupakan bagian dari culture universal yang ada dan bisa didapat

di semua kebudayaan. Dengan begitu, kebijakan tersebut membuat bahasa para

abdi dalem sebagai budaya dalam keraton mengalami pergeseran. Selain itu,

watak masyarkat Jawa yang suka ‘mengalah’ terbawa dalam berbahasa. Para abdi

dalem lebih mengikuti apa yang orang lain suka atau lebih mengalah sehingga

budaya mereka dapat bergeser.

Selanjutnya, juga mengenai pawiyatan atau kebiasaan ‘magang’ untuk

para abdi dalem di tempat pangeran dan kerabat keraton yang sudah tidak

dilakukan lagi. Pernyataan tersebut juga jelas diterangkan oleh abdi dalem keraton

dalam sebuah wawancara yang mengatakan “ Dulu para calon abdi dalem akan

magang terlebih dahulu ditempat pangeran dan kerabat karaton. Ya untuk belajar

sebelum diwisuda menjadi abdi dalem ” (KRT Jati Ningrat,2017). Namun,

sekarang kebiasaan tersebut sudah tidak ada selain telah berkurangnya pangeran

di dalam keraton, pegeseran tersebut juga disebabkan karena perkembangan

zaman. Budaya ‘magang’ yang ada di dalam keraton merupakan salah satu

kebiasaan yang berpengaruh terhadap penguasaan bahasa para abdi dalem.

Dengan bergesernya kebiasaan tersebut mengakibatkan atensi para abdi dalem

menggunakan bahasa Bagongan berkurang.

Pawiyatan atau pendidikan bagi calon abdi dalem yang mulai hilang

akhirnya membuat penutur (O1) dan mitra tutur (O2) tidak lagi sederajat dalam

hal berbahasa. Hal itu dapat juga menjadi faktor penyebab internal pergeseran

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 121: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

108

bahasa. Apabila abdi dalem baru berkomunikasi dengan abdi dalem lama

kemungkinan adanya pergeseran tersebut terjadi, apalagi bahasa yang digunakan

oleh para abdi dalem baru merupakan bahasa keseharian di masyarakat yaitu

bahasa Jawa Krama atau Madya. Sehingga pengaruh untuk abdi dalam yang

sudah fasih berbahasa bagongan untuk mengikuti mitra tutur yang tidak fasih akan

sangat besar karena di dalam berkomunikasi mereka lebih mengutamakan

penyampaian informasi dibandingkan cara mereka untuk menyampaikannya. Hal

itu sejalan dengan pendapat Jati Ningrat (2017) yang mengatakan “… karena saat

ini ada abdi dalem tidak magang terlebih dahulu,penguasaan bahasanya kurang

jadi ketika berkomunikasi termasuk sultan mereka lebih mengutamakan informasi

tersebut sampai, terkadang menggunakan Krama terkadang bahasa Indonesia

kalau dengan tamu”. Dengan demikian penguasaan bahasa yang tidak sederajat

dapat dikatakan sebagai faktor internal pergeseran.

Selanjutnya, faktor penyebab secara eksternal. Pertama, berkembanganya

pola pikir masyarakat tutur. Masyarakat tutur atau para abdi dalem saat ini

berpikir lebih ke depan mengikuti perubahan yang terjadi di dalam sosial

masyarakat. Mereka saat ini lebih memandang bahwa dalam berkomunikasi status

sosial perlu diperhatikan karena secara sosial mereka ingin dihormati dan juga

menghormati oleh mitra tutur. Masyarakat tidak bisa mempertahankan bahwa

keraton memiliki budaya tersendiri karena intensitas mereka berinteraksi dengan

masyarakat umum juga lebih banyak dibanding dengan sesama abdi dalem.

Sistem kemasyarakatan tersebut juga merupakan bagian dari kebudayaan yang

ada di dalam lingkungan karaton. Sistem masyarakat tersebut juga masuk dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 122: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

109

culture universal yang bisa ditemukan dalam setiap masyarkat berbudaya

(Koentjarningrat,1974:82).

Faktor selanjutnya adalah masuknya masyarakat luar ke dalam lingkungan

karaton. Hal itu menjadi dampak dari kebijakan keraton yang bergabung dengan

pemerintahan. Masuknya masyarakat tersebut bisa dikatakan sebagai pertemuan

kebudayaan yang berbeda. Para abdi dalem sering berkomunikasi, bertemu dan

juga berinteraksi dengan masyarakat luar yang tentu mempunyai budaya

berbahasa yang berbeda. Masyarakat di luar lingkungan keraton mengenal dengan

ungah-ungguh basa dalam berkomunikasi sedangkan para abdi dalem tidak

mengenal tingat tutur dalam lingkungan keraton. Pertemuan kebudayaan yang

berbeda ini dapat menyebabkan asimilasi dan juga akulturasi.

Proses asimilasi terjadi karena pertemuan dua budaya berbeda dan salah

satunya tidak bisa mempertahankan budayanya. Hal tersebut sejalan dengan

Koentjarningrat (1974:149) yang mengatakan bahwa proses asimilasi timbul

karena kelompok-kelompok manusia asal dari lingkungan yang berbeda, individu-

individu dari kelompok-kelompok tadi saling bergaul langsung secara intensif

untuk waktu yang cukup lama, sehingga kebudayaan dari kelompok tadi masing-

masing berubah saling menyesuaikan diri menjadi satu. Karakter khas masyarakat

Jawa yang tidak keras atau ngalah atau pekewuh membuat mereka untuk lebih

sering mengikuti bahasa yang digunakan masyarakat (luar keraton) untuk

berbicara dan hal itu juga terbawa ketika berkomunikasi dengan sesama abdi

dalem. Para abdi dalem yang mulai tidak menggunakan bahasa khas mereka

merupakan contoh dari proses asimilasi tersebut. Namun, tidak semua para abdi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 123: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

110

dalem tidak menggunakan bahasa bagongan masih ada abdi dalem yang

mempertahankan bahasa khas mereka. Hal tersebut dapat dikatakan sebagai

proses akulturasi. Akulturasi merupakan suatu kelompok manusia dengan suatu

kebudayaan tertentu dihadapkan dengan unsur-unsur dari suatu kebudayan asing

yang berbeda sehingga unsur kebuayaan asing itu dengan lambat laun diterima

dan diolah ke dalam kebudayaan sendiri tanpa menyebabkan hilangnya

kepribadian kebudayaan sendiri (Koentjarningrat,1974:152).

Terakhir, faktor ekternal penyebab pergeseran adalah perkembangan Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK). Berkembangnya IPTEK juga menyebabkan

pergeseran terjadi yaitu salah satunya dengan bertambahnya kosa kata penutur

bahasa. Masyarakat saat ini mudah untuk menggunakan berteknologi sehingga

mereka dapat memperoleh informasi yang banyak. Tentunya hal itu dapat

menambah variasi kata yang beragam sehingga dalam berkomunikasi

kemungkinan untuk menggunakan bahasa yang semestinya dapat juga bergeser.

Bahkan seperti yang dikatakan oleh Jati Ningrat “ Kita (masyarakat) akan

dikatakan sebagai masyarakat zaman dahulu apabila kita tidak bisa menggunakan

satu atau dua kata bahasa asing”. Oleh sebab itu, hal tersebut sebagai salah satu

sebab bahasa daerah (bahasa Bagongan) mulai bergeser.

Dengan demikian faktor penyebab pergeseran yang terdapat dalam tuturan

fatis para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu faktor internal yang

terdiri dari kebijakan dari pihak karaton, penguasaan bahasa penutur (O1) dan

mitra tutur (O2) yang tidak sederajat dan hilangnya budaya magang atau

pawiyatan untuk calon abdi dalem. Kemudian faktor internal yaitu pola pikir

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 124: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

111

penutur yang semakin berkembang, perkembangan IPTEK dan perkembangan

budaya yang disebabkan masuknya masyarakat luar dalam lingkungan keraton.

Beberapa faktor penyebab bergesernya sebuah bahasa telah menyadarkan

pihak keraton dan juga masyarakat tutur untuk perlu adanya pemertahanan terkait

hal tersebut. Saat ini, pemertahanan yang telah dilakukan yaitu pertama dengan

menyadari bahwa bahasa Bagongan mulai bergeser selanjutnya dengan

mengadakan sebuah pawiyatan khusus untuk para abdi dalem mengenai bahasa.

Pawiyatan tersebut wajib diikuti oleh para abdi dalem terutama para abdi dalem

punokawan. Bentuk pemertahanan tersebut dapat menyelamatkan bahasa yang

akan mengalami kepunahan karena hilangnya budaya dan juga pengaruh

masyarakat umum.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 125: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

112

BAB V

PENUTUP

Bab ini terdiri dari dua hal pokok, yaitu simpulan dan saran. Simpulan berisi

rangkuman keseluruhan isi hasil penelitian. Sementara itu, saran berisi hal-hal

yang perlu diperhatikan untuk peneliti dan pihak-pihak terkait yang berhubungan

dengan penelitian ini. Berikut ini adalah pemaparan dari kedua hal tersebut.

5.1 Simpulan

Berdasarkan hasil analisis data dan juga pembahasan secara kritis dapat

disimpulkan bahwa wujud komunikasi fatis para abdi dalem Keraton Yogyakarta

dikelompokkan menjadi dua, yaitu komunikasi fatis murni dan polar. Komunikasi

fatis murni, yaitu ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai

dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa yang dikatakan oleh penutur selaras

dengan kenyataan atau memang benar-benar terjadi. Sementara itu, komunikasi

fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam sebuah

percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau tidak sesuai dengan

kenyataan. Setiap wujud tuturan fatis memiliki makna pragmatik. Makna

pragmatik yang terdapat dalam tuturan fatis para abdi dalem yaitu mengawali

pembicaraan, mencairkan suasana, mempertahankan komunikasi, bertegur sapa,

dan mengakhiri pembicaran.

Selanjutnya, tidak bisa dimungkiri bahwa perkembangan zaman dapat

membuat pergeseran bahasa. Berdasarkan analisis data dan pembahasan kritis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 126: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

113

pergseran yang ditemukan dalam kefatisan berbahasa para abdi dalem keraton

berwujud pertama honorifik. Pegeseran secara honorifik sapaan ini terdapat pada

kata co yang bergeser menjadi bu, mas, romo dalam komunikasi abdi dalem.

Kedua eufemisme, pegeseran dengan wujud eufemisme ini terdapat pada kata

mboya, wenten, pekeniro yang bergeser menjadi mboten, wenten dan njenengan.

Tentunya ketiga pergeseran yang ditemukan juga memengaruhi makna pragmatik

dalam setiap tuturan fatis. Misalnya, dahulu antarabdi dalem mengatakan tuturan

fatis untuk mengakrabkan hubungan mereka tetapi dengan pergeseran wujud

tersebut makna pragmatik dalam setiap tuturan dapat berubah menjadi

menghormati mitra tutur.

Pergeseran wujud dan makna pragmatik di atas dapat dipengaruhi oleh

beberapa faktor. Pertama, faktor internal yang berupa kebijakan karaton untuk

bergabung dalam pemerintahan. Bergabungan karaton dalam pemerintahan warga

karaton khususnya para abdi dalem lebih luas berinteraksi terhadap masyarakat

sehingga menimbulkan dampak terhadap para abdi dalem. Salah satu hal yang

berkaitan dengan bahasa adalah penggunaan bahasa Bagongan para abdi dalem

yang sudah jarang atau berkurang pemakaiannya. Kedua budaya ‘magang’ yang

sudah tidak ada lagi. Magang merupakan pawiyatan yang dilakukan oleh calon

abdi dalem sebelum diwisuda. Pada kegiatan tersebut abdi dalem belajar

berbahasa dan bersikap yang sesuai dengan lingkungan keraton. Ketiga

penguasaan bahasa penutur (O1) dan mitra tutur (O2) yang tidak sederajat. Kedua

faktor eksternal, yaitu berkembanganya pola pikir masyarakat khususnya para

abdi dalem. Mereka saat ini beranggapan bahwa dalam bekomunikasi status sosial

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 127: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

114

perlu diperhatikan karena secara sosial mereka ingin dihormati dan juga

menghormati oleh mitra tutur. Perkembangan IPTEK dan perkembangan budaya

yang disebabkan masuknya masyarakat luar dalam lingkungan keraton.

5.2 Saran

Komunikasi fatis para abdi dalem merupakan sebuah tuturan tidak

memiliki makna karena di dalam setiap tuturan fatis terdapat makna pragmatik

yang berhubungan dengan sosial penutur. Oleh karena itu, peneliti ingin

memberikan saran untuk berbagai pihak terkait peelitian ini.

1. Peneliti menyarankan kepada para abdi dalem agar terus menyadari

pentingnya kefatisan berbahasa dalam berkomunikasi sehingga antarabdi

dalem tetap terjalin hubungan baik dalam komunikasi maupun dalam

hubungan sosial.

2. Selain itu peneliti juga menyarankan kepada para abdi dalem agar terus

menggunakan bahasa khusus dalam lingkungan karaton agar tidak terjadi

kepunahan.

3. Peneliti menyarankan pada pihak keraton agar budaya berbahasa dalam

lingkungan karaton terus dipertahankan.

4. Peneliti menyarankan kepada peneliti selanjutnya agar mendalami

kefatisan berupa fatis nonverbal yang juga sering digunakan para abdi

dalem dalam mempererat hubungan sosial.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 128: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

115

DAFTAR PUSTAKA

Arimi, Sailal. 1998. “Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”. Tesis. Yogyakarta: UGM.

Arikunto, Suharsimi. 2009. Manajemen Penelitian. Jakarta: Rineka Cipta. Chaer, Abdul. 2009. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia. Jakarta: Rineka

Cipta. ____________. 2013. Pengantar Semantik Bahasa Indonesia (edisi revisi).

Jakarta: Rineka Cipta. Dwirahardjo, M. 2001. Bahasa Jawa Krama. Surakarta: Yayasan Pustaka Cakra. Handayani, S. 2009. “Unggah-Ungguh dalam Etika Jawa”. Skripsi. Jakarta:

Jurusan Aqidah-Filsafat, Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah.

Ihrom, T.O. 1987. Pokok-pokok Antropologi Budaya. Jakarta: PT Gramedia. Koentjaranigrat. 1974. Pengantar Antropologi. Jakarta: Aksara Baru. Kridalaksana, Harimurti. 1994. Kelas Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: PT.

Gramedia. ________________. 2008. Kamus Linguistik (ed. ke-4). Jakarta: Gramedia. Kurniawati, L.D. 2013. “Sejarah Perkembangan Daerah Istimewa Yogyakarta”.

(online). Terbaca: https://www.academia.edu/. Diakses tanggal 23 November 2016.

Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka.

Jakarta: Universitas Indonesia. Levinson, S.C. 1983. Pragmatics. New York: Cambridge University Press. Mahsun. 2005. Metode Penelitian Bahasa. Jakarta: Raja Grafindo Persada. Mangunsuwito, S.A. 2002. Kamus Lengkap Bahasa Jawa. Bandung: CV. Yrama

Widya.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 129: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

116

Moleong, Lexy. 2006. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya.

Mukminatun. 2007. Pergeseran Budaya Sapaan dan Kekerabatan di Wilayah

Kecamatan Kraton Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta. Jurnal Humanika No.2, Vol.12.

Nababan, P.W.J. 1991. Sosiolinguistik: Suatu Pengantar. Jakarta: PT Gramedia

Pustaka. Nadar, FX. 2009. Pragmatik dan Penelitian Pragmatik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Nurjamily, Wa Ode. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan

Keluarga (Kajian Sosiopragmatik). Jurnal Humaniora No.15, Vol.3. Nuryadi. (-). Hubungan Makna: Suatu Kajian Semantik. Diambil dari e-jounal:

ejournal-unisma.net/ojs/index.php/makna/article/download/396/364 (23 Agustus 2017)

Pala, Rukman. 2015. Bentuk Komunikasi Fatis dalam Bahasa Bugis Soppeng.

Jurnal Sawerigading. Pateda, Mansoer. 1985. Semantik Leksikal. Flores: Nusa Indah. Poedjosoedarmo, Soepomo. 19977. Unda-Usuk Bahasa Jawa. Yogyakarta.

Laporan penelitian Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta. Pustaka Pelajar _______. 2015. Tergantung pada Konteks. Jurnal PIBSI. Purwadi, Eko Priyo Purnomo. 2008. Kamus Sansekerta Indonesia. e-book

(online) diakses tanggal 05 November 2016. Purwadi, Mahmudi dkk. 2012. Tata Bahasa Jawa. Yogyakarta: Pura Pustaka. Prawiroatmodjo, S. 1989. Bausastra Jawa-Indonesia Jilid II. Jakarta: CV. Haji

Masagung. Rahardi, Kunjana. 2003. Berkenalan dengan Ilmu Bahasa Pragmatik. Malang:

Dioma Malang. ______________. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 130: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

117

Ramadanti, Sari. 2014. Penggunaan Komunikasi Fatis dalam Pengelolaan Hubungan di Tempat Kerja. Jurnal. (online) Diakses tanggal 20 September 2016.

Rosmawaty. 2011. Tautan Konteks Situasi dan Konteks Budaya: Kajian

Linguistik Sistemik Fungsional pada Cerita Terjemahan Fiksi “Halilian”. Jurnal Litera. Vol.10, Nomor 1

Sahlan, M. (-). “Budaya Unggah-Ungguh dalam Masyarakat Jawa, sebagai Salah

Satu Strategi Pembangunan Nasional”. (online). Terbaca: https://www.academia.edu/. Diakses tanggal 24 November 2016.

Saragih, Amrin. 2006. Bahasa dalam Konteks Sosial. Medan: PPs Unimed.

Sasmaya,F Dike. 2014. “Tingkat Kesantunan Berbahasa Pedagang ‘Perko’ Trotoar Malioboro Yogyakarta (Suatu Tinjauan Sosiopragmatik”. Skripsi Prodi PBSI Universitas Sanata Dharma Yogyakarta. [online]. Tersedia: http://www.library.usd.ac.id/. [6 November 2016].

Senft, Gunter. 2009. Phatic Communion. Max Planck Institute for Psycholinguistics, Nijmegen.

Setiyanto, Aryo Bimo. 2007. Parama Sastra Bahasa Jawa. Yogyakarta: Panji Pustaka.

Suandi, I Nengah. 2014. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Graha Ilmu. Sudaryanto. 1990. Menguak Fungsi Hakikat Bahasa. Yogyakarta: Duta Wacana

University Press. _________. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis Bahasa. Yogyakarta: Sanata

Dharma University Press. Sofiah. 2010. “Komunikasi Phatic dalam Keluarga (Studi Deskriptif tentang

Penggunaan Komunikasi Phatic sebagai Sarana Pemenuhan Fungsi Efektif dan Sosialisasi dalam Keluarga Di Kawasanhunian Liar Kampung Kentingan Baru Surakarta)”. Jurnal Komunikasi Massa Vol.3,No.2

Sulistyowati, I. 2015. “Menerjemahkan Permainan Bahasa dalam Novel Anak

Judy Moody, Girl Detective” RETORIKA: Jurnal Ilmu Bahasa, Vol. 1, No. 2 Oktober 2015, 220-232. (online). Terbaca: ejournal.warmadewa.ac.id/index.php/jret/. Diakses tanggal 23 September 2016.

Sumarsono, dan Paina Partana. 2002. Sosiolinguistik. Yogyakarta: Pustaka Pelajar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 131: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

118

Suseno, F.M. 1985. Etika Jawa: Sebuah Analisis Falsafah tentang Kebijaksanaan Hidup Jawa. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.

Triyono, Sulis. 2006. Pergeseran Bahasa Daerah Akibat Kontak Bahasa Melalui

Pembauran. Jurnal Litera. Wardani, L.K. 2012. “Pengaruh Pandangan Sosio-Kultural Sultan

Hamengkubuwana IX terhadap Eksistensi Keraton Yogyakarta”. (online). Terbaca: http://journal.unair.ac.id/table_of_content_15_volume25_nomor1.html. Diakses tanggal 24 November 2016

Wijana, I Dewa Putu & Muhammad Rohmadi. 2008. Semantik: Teori dan

Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. ________________________________________.2009. Analisis Wacana

Pragmatik: Kajian Teori dan Analisis. Surakarta: Yuma Pustaka. Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Zegarac, Vladimir. 2009. What is Phatic Communication, Cambridge Journal Online.

Zoetmulder, P.S. 1995. Kamus Jawa Kuna-Indonesia Bagian 2 P-Y. Jakarta: PT.

Gramedia Pustaka Utama.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 132: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

DATA PENELITIAN KOMUNIKASI FATIS PARA ABDI DALEM DI KARATON

NGAYOGYAKARTA HADININGRAT

Data penelitian komunikasi fatis para abdi dalem di karaton diklasifikasikan menjadi dua yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi fatis polar. Kode

A diberikan pada komunikasi fatis murni (KFM) dan kode B diberikan pada komunikasi fatis polar (KFP). Data berdasarkan pengklasifikasian tersebut

dipaparkan sebagai berikut.

KODE DATA PERTUTURAN

DAN KONTEKS MAKNA

PRAGMATIK PERGESERAN FAKTOR PENYEBAB KETERANGAN

A1/KFM P: Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (ini - sertifikat – untuk – Kanjeng) (Ini, sertifikat untuk kanjeng) MT : Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (wo – lha – dapat – sertifikat - sendiri -bahkan) (Wo lha dapat setifikat sendiri bahkan) ……. (senyap) P: Wah sepi dinten niki Bu (wah – sepi – hari – ini, Bu) (Wah, sepi hari ini Bu) MT : Inggeh niki,lha ujian. (Iya-ini- lha-ujian) (Iya ini, lha ujian) P : ….

Mempertahanka

n komunikasi

agar tetap

berlangsung

Honorifik : konco ke bu

Bahasa bagongan sudah jarang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dalam lingkungan karaton

semakin sering dan luas interaksi para abdi dalem di luar masyarakat karaton sehingga abdi dalem terbiasa dengan sapaan atau kosa kata bahasa Indonesia

Tuturan Wah sepi dinten niki Bu (Wah, sepi hari ini Bu) merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tturan tersebut bukan untuk memberitahu atau bersifat informative pada mitra tuturnya karena mereka sudah sama-sama mengetahui akan hal itu (hari itu sepi) . Dalam tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran secara generalisasi yaitu pada kata Bu. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu bu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 133: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang sudah saling mengenal karena sering bertugas ditepas yang sama. P dan Mt berada di tepas security sedang berbincang-bincang. Di tengah pembicaraan ada orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat untuk kanjeng. Setelah orang tersebut menyerahkan sertifikat P dan Mt membahas mengenai sertifkat yang diberikan untuk kanjeng. Setelah membahas sertifikat berakhir, P dan Mt diam melihat ke arah pendopo. Senyap yang terjadi secara tiba-tiba membuat merasa canggung karena mereka berada di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan. Kemudian P mengatakan tuturan wah sepi dinten niki untuk mengisi pembicaraan antara P dan Mt. Mt pun menanggapi dan kemudian terjadi pembicaraan lebih lanjut dengan topik yang berbeda dari tuturan tersebut..

A2/KFM ….. P: Sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (Sudah – luhur – to – ini? Saya- mendahuluhi ) (Sudah luhur to ini? Saya mendahului) Mt: Nggeh, monggo. (Iya- silahkan) (Iya, silahkan).

Mengakhiri

pembicaraan

- -

Tuturan sampun luhur to

niki? Kulo ngrumiyini. (Sudah

luhur to ini? Saya mendahului)

merupakan tuturan yang tidak

dimaksudkan untuk

pemberitauan kepada mitra

tutur tetapi digunakan

mengantarkan penutur untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 134: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Konteks : P dan Mt merupakan sesama abdi dalem di keraton. Mereka sudah mengenal cukup lama. P dan Mt sedang berbincang-bincang di tepas, mereka berbicara sudah cukup lama. Mereka saling berhadapan. P sudah berkali-kali melihat langit dan terlihat tidak tenang. Setelah pembicaraan cukup serius P dan Mt saling diam dan tidak ada pembicaraan. P dan Mt hanya melihat para wisatawan yang sedang melakukan kunjungan dan sesekali membahas topik yang mereka bicarakan. Kemudian P mengatakan tuturan sampun luhur to niki? Dan tanpa mendengar tanggapan Mt, P langsung berpamitan untuk mendahului Dilihat dari usianya Mt lebih tua dibanding P. P menghormati Mt sehingga ketika P ingin pergi dan mengakhiri pembicaraan ia tidak langsung pamit tetapi mengatakan sesuatu yang sudah sama-sama mereka ketahui. Mt yang menghargai P sudah mengetahui maksud P sehingga Mt langsung menpersilakan P.

menyampaikan maksud dalam

konteks ini mengakhiri

pembicaraan

A3/KFM Suasana sepi P: Wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan. ( Wah – teh – nya – pahit – ini – mbak. Yang – buat – memang) (Wah, tehnya pahit ini mbak, yang buat itu ,memang.)

Mengawali atau

memulai

pembicaraan

- - Tuturan wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan bukan untuk memnginformasikan kepada mitra tutur bahwa teh yang diminum oleh penutur itu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 135: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

MT : Hehe.. P : Sudah masukin surat belum mbak? MT : sudah, pak. Kemarin bapak juga yang menerima sama bu Yatmi. Konteks: P merupakan abdi dalem yang sedang berjaga di tepas security. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa (MT) datang ingin berkunjung ke perpustakaan keraton. MT yang sedang menunggu temannya duduk di depan tepas bersama P. Mereka duduk bersebelahan dan di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hal itu terjadi selama beberapa menit. Kemudian P masuk untuk mengambil minum dan mengatakan tuturan “wah the e pait iki mbak. Seng gawe jan” P masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, ia merasa tidak nyaman ketika bersama MT tetapi tidak ada pembicaraan atau interaksi. P mengatakan tuturan yang sudah ia ketahui dan membicarakannya pada MT agar P bisa memulai pembicaraan lanjut dan saling berinteraksi. P seorang abdi dalem keraton yang ingin menujukkan keramahan pada tamu-tamu yang sedang berkunjung ke Kraton.

pahit tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan dengan mitratutur agar akrab dan menunjukkan keramahan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 136: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A4/KFM P : Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? Kalau mau duduk sini boleh kok. MT: Iya bu. Oow, duduk di sini boleh ya? P: Boleh kalau mau duduk di sini, pokoknya kalau tidak ada tulisan dilarang boleh silahkan. MT: Yaya, ibu. Terimakasih P: Asalnya dari mana? Konteks : P sedang duduk di Pendopo gamelan untuk istirahat. P sudah agak lama memperhatikan MT yang sibuk mengurus tasnya yang besar dan terlihat berat serta bingung untuk mencari tempat. P mengetahui bahwa Mt berwisata sendiri. Di Pendopo Gamelan pada waktu itu masih sepi belum ada pengunjung. Para abdi dalem lain sedang siap-siap untuk bermain gamelan. Pada waktu MT berada di dekat P ia mengatakan tuturan Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? P tidak mengenal Mt karena Mt seorang wisatawan. P yang tahu bahwa Mt mencari tempat duduk. P tidak langsung meminta Mt untuk duduk meskipun ia tahu. P mengatakan tuturan tersebut untuk menunjukkan keramahan kemudian memberitahu Mt.

Mengawali atau

memulai

pembicaraan

- Mitra tutur bukan orang Jawa

Tuturan Sendiri ini mas

wisatanya, gak sama teman-

temanya? Merupakan bentuk

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut digunakan

bukan untuk menanyakan

sesuatu yang sudah diketahui

oleh penutur tetapi tuturan

tersebut digunakan untuk

mengawali pembicaraan.

Wujud komunikasi fatis dalam

tuturan tersebut yaitu murni

karena tuturan tersebut sesuai

dengan realitasnya yaitu mitra

tutur sedang berwista ke

karaton sendiri.

Tuturan tersebut mengalami

pergeseran dengan maksud

agar komunikasi mudah

dipahami. Lebih dari itu,

penutur menggunakan

komunikasi dengan bahasa

Indonesia karena mitra tutur

berasal dari luar jawa yang

sedang berwisata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 137: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A5/KFM PT : Wilujeng injing, Co (selamat – pagi – teman) (Selamat pagi, teman) MT : Mangga (silakan) (mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. P berjalan membawa sesaji, ketika sampai pedopo gamelan barat P bertemu abdi dalem lain dan mereka berpapasan. P mengatakan tuturan wilujeng injing, Co ketika tepat berpapasan dengan Mt. Mereka sudah sama-sama tahu bahwa mereka akan berpapasan karena dari jauh sudah bisa diketahui. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut di antar mereka. P dan Mt sasama abdi dalem keraton. P lebih muda dibanding Mt sehingga ketika berpapasan P mengatakan tuturan terlebih dahulu. P ingin menghormati Mt meskipun mereka merupakan sesame abdi dalem. Begitu juga dengan Mt, dan Mt juga ingin menghargai dengan menanggapi tuturan P.

Bertegur sapa - - Tuturan wilujeng injing, Co

merupakan bentuk komunikasi

fatis karena digunakan bukan

untuk menginformasikan

kepada mitra tutur bahwa hari

itu pagi, tetapi merupakan

wujud tuturan untuk menjalin

hubungan baik antarpenutur.

Tuturan tersebut merupakan

wujud komunikasi fatis murni

artinya tuturan tersebut sesuai

dengan realitasnya pagi hari.

Masyarakat jawa memiliki budaya tegur sapa sebagai salah satu cara membina hubungan baik antarpenuturnya. Hal ini tampak dalam tuturan tersebut karena merupakan Hal yang sudah sama-sama

diketahui atau dimengerti.

A6/KFM P: Njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu- sudah – capek – ini – jam—segini?) (kamu sudah capek jam segini?) MT: Ngantuk hawane

Bertegur sapa Eufemisme : Pekeniro ke njenengan

abdi dalem yang sudah tidak fasih berbahasa bagongan karena penggunaan bahasa jawa krama,madya yang

Tuturan njenengan sampun

sayah niki jam sementen?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 138: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

(ngantuk –udaranya ) (suasananya ngantuk) P : Inggih, mangga. (iya- mari) (iya, mari) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem berjenis kelamin perempuan. Pada waktu itu, P sedang mengantar tamu yang sedang berwisata di Kraton. P melihat MT sedang berpatroli di samping tepas Banjarwilopo. Beberapa saat kemudian, P yang akan mengantar tamu untuk keluar melihat MT yang sedang duduk dengan wajah capek di dekat pendopo sambil melihat gamelan. P melewati MT sehingga P mengatakan tuturan “njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?) ” Mt dan P merupakan abdi dalem yang sudah saling mengenal. P yang sudah mengenal MT dengan baik akan menyapa ketika bertemu dengan MT, meskipun P mengatakan tuturan yang sudah P ketahui .

lebih sering dipakai.

digunakan untuk menanyakan

informasi pada mitra tutur

tetapi tuturan tersebut

digunakan untuk membina

hubungan sosial.

Selain itu tuturan tersebut

merupakan wujud dari

komunikasi fatis murni karena

kefatisan dalam tuturan

tersebut sesuai dengan

realitasnya

Tuturan fatis tersebut terdapat

wujud pergeseran asosiasi

yaitu pada kata njenengan .

Sebelumnya, abdi dalem

karaton menggunakan kata

pekeniro sekarang kata

tersebut bergeser menjadi

njenengan. Artinya,

sebenarnya P menggunakan

kata pekenira untuk menyapa

sesame abdi dalem di dalam

percakapannya.

A7/KFM PT : Keseso mas? (terburu-buru – mas?) (terburu-buru mas?) MT : Kanjeng. Wonten sinten kok

Bertegur sapa honorifiki : konco ke mas

eufemisme : wenten ke

perkembangan sosial

budaya yaitu pihak

karaton yang sudah

terbuka dan

Tuturan tercetak tebal tersebut

merupakan wujud komunikasi

fatis murni karena penutur

mengatakan sesuatu yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 139: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

kiyambakan? (Kanjeng. Ada – siapa – kok – sendirian?) (kanjeng. Ada siapa kok sendirian?) PT : Hanggeh (Iya) Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem. P sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. Ketika sedang duduk, P tahu bawah Mt sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan P. P mengatakan tuturan keseso mas? Ketika Mt melewati depan P sebagai bentuk sapaan karena mereka sudah saling mengenal. MT pun menjawab dengan singkat dengan tuturan kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? sebagai bentuk kepedulian terhadap P. Mt pun menanggapi P dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. P dan Mt sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian.

wonten menerima

masyarakat dari luar.

abdi dalem yang

sudah tidak fasih

menggunakan bahasa

bagongan karena

penggunaan bahasa

jawa krama lebih

sering dipakai.

sudah ia ketahui jawabannya

tetapi P katakana untuk

menunjukkan kepedulian.

Di dalam tuturan fatis tersebut

terdapat pergeseran dengan

wujud generalisasi pada kata

mas. Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan kata

sapaan co yang maksudnya

konco atau teman. Namun,

sekarang konco atau co

mengalami pergeseran yaitu

mas untuk menyebut mitra

tutur yang laki-laki yang lebih

muda dan dihargai.

A8KFM P : Sinten niku? Duhh hehe (siapa – itu? Duh hehe) (siapa-itu-Duh-hehe) (siapa itu? Duh hehe) MT: Ndak pundhi, niki (pergi – kemana – ini)

Bertegur sapa - - Tuturan Sinten niku? Duhh

hehe merupkan bentuk

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut bukan penutur

gunakan untuk bertanya dan

ingin megetahui siapa yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 140: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

(mau kemana, ini?) P : menunjuk arah Konteks: P merupakan abdi dalem dan Mt penjual di

dalem lingkungan keraton. Mt sedang

berbincang-bincang dengan salah satu

wisatawan dan melihat keberadaan P yang

akan melewati warung miliknya. P dan Mt

sudah terlihat sama-sama tahu dan terlihat

akan bertegur sapa. Ketika P sudah hampir

mendekati Mt, P mengatakan tuturan

Sinten niku,duhh? Hehe. Mt menjawab

dengan berbalik bertanya pada P. P tidak

menjawab hanya menunjukkan arah, Mt

yang sedang berbicara dengan wisatawan

tidak merespon kembali. P menyapa

terlebih dahulu karena P mengetahui bahwa

Mt sedang berbicara dengan orang lain.

berbicara dengan mitra tutur

tetapi digunakan untuk saling

bertegur sapa. Selain itu,

tuturan tersebut berwujud

komunikasi fatis murni karena

penutur mengatakan tuturan

yang sesuai dengan realitas

bahwa mitra tutur sedang

berbincang-bincang dengan

orang lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 141: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A9/KFM P : Sugeng enjang. (Selamat -pagi) (Selamat pagi) Mt : Mangga (Mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. Mt sedang berdiri mengawasi para wisatawan sedangkan P sedang membawa nampan yang berisi buah dan bunga (sesajen). Dari jauh P tidak tahu kalau Mt berada di tempat itu, karena dikerumuni oleh wisatawan. Pada waktu P berjalan mendekati Mt, para wisatawan itu pergi dan P dapat melihat MT. Ketika P melewati persis di depan Mt, P mengatakan tuturan sugeng enjang pada Mt. Mt yang megetahui hal itu kemudian menjawab tuturan P. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicraan antara P dan Mt.

Bertegur sapa - - Tuturan sugeng enjang

merupakan bentuk dari

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut digunakan

untuk menjaga hubungan

sosial antarpenutur yaitu

ramah tamah. Tuturan tersebut

bukan merupakan tuturan

untuk menginformasikan atau

bersifat informative. Selain itu

wujud tuturan tersebut yaitu

komunikasi fatis murni karena

penutur membina hubungan

sosial dengan mitra tutur

dengan mengtakan tuturan

yang sesuai dengan realitasnya

yaitu pagi hari.

A10/KFM P : Sendirian mbak? (sedang sendiri- mbak) (Sendirian mbak?) Mt: njeh. (Iya) (Iya) P: …… Konteks:

Mengawali

pembicaraan

- - Tuturan sendirian mbak?

Merupakan bentuk kmuikasi

fatis karena tuturan bukan

digunakan untuk menanyakan

informasi. Tuturan tersebut

merupakan tuturan yang

penutur gunakan untuk

mengawali pembicaraan

dengan seorang tamu yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 142: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

P seorang abdi dalem dan Mt merupakan tamu yang sedang duduk di tepas security. Sebelumnya Mt pernah bertemu P di tempat lain dan ketika bertemu Mt memang selalu sendiri. Pada waktu itu P baru selesai berpatroli mengelilingi karaton danmenuju ke tepas. P mengatakan tuturan sendirian mba? Dan kemudian duduk bersebelahan dengan Mt. Setelah tuturan tersebut P berbincang-bincang dengan Mt.

sudah dikenal. Selain itu

penutur juga ingin

menunjukkan kesopanan

karena penutur ingin duduk di

sebelah mitra tutur sambil

istirahat. Selain itu tuturan

sendirian mbak? Merupakan

wujud dari komunikasi fatis

murni karena tuturan tersebut

sesuai dengan realitas bahwa

mitra tutur memang sedang

sendiri

A11/KFM …. P: Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah- jam- segini- sudah- tidak- panas) (Wah jam segini sudah tidak panas) Mt : Pun sakniki mboten saget ditebak. (Sudah-sekarang-tidak –bisa-ditebak) (Yasekarang tidak bisa ditebak) P: Wau dalu kulo niku medhal walah uademe. (tadi-malam-saya-keluar-walah-dinginnya) (tadi malam saya keluar walah dinginnya) ….. Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem kraton. Pada waktu itu P sedang mengawasi para wisatawan. Tiba-tiba Mt datang untuk

Mempertahanka

n komunikasi

eufemisme : Mboya ke mboten

perkembangan

bahasa dan juga

sosial budaya yaitu

pihak karaton yang

sudah terbuka dan

menerima

masyarakat dari luar.

Tuturan Wah, jam sementen

pun mboten panas

merupakan wujud komunikasi

fatis murni karena (bukan

sebuah informasi yang akan

diberikan kepada mitra tutur

bahwa cuaca sudah tidak panas

tetapi penutur gunakan untuk

menjaga komunikasi.

Tuturan fatis tersebut mengalami pergeseran dengan wujud asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata Mboya tetapi sekarang konco

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 143: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

menghampiri P yang sedang berdiri sendiri. Mt memang ada keperluan, membicarakan sesuatu yang penting. Di tengah-tengah pembicaraan ada wisatawan yang datang untuk bertanya pada Mt dan P. Pembicaraan mereka pun terhenti. Setelah wisatawan itu pergi mereka tidak melanjutkan pembicaraan tetapi diam sejenak. Kemudian P mengatakan tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah jam segini tidak panas) hal itu tidak sesuai dengan topik pembicaraan di awal. Setelah tuturan tersebut Mt dan P kembali membicarakan topik sebelumnya.

atau co mengalami pergeseran yaitu mboten

A12/KFM P: sehat, Romo? (sehat-bapak?) (sehat, bapak?) Mt: pengestunipun (doanya) P: …. Konteks : Mt sedang duduk dan menonton televise di

pos jaga parkiran belakang bersama abdi

dalem lain. Pada waktu itu sepi bahkan

seperti tidak ada pembicaraan di antara para

abdi dalem lain di pos tersebut. Beberapa

menit kemudian, P datang dari dalam ingin

bergabung dan sepertinya ada keperluan

Mengawali

pembicaraan

Honorifik : Co ke romo

Perkembangan

sosial budaya yaitu

pihak karaton yang

sudah terbuka dan

menerima

masyarakat dari luar.

Tuturan sehat, Romo?

Merupakan wujud komunikasi

fatis murni karena tuturan

tersebut bukan sebuah tuturan

yang digunakan tetapi sebagai

pengantar kepada mitra tutur

untuk berbicara mengenai

suatu hal.

Tuturan fatis tersebut terdapat

pergeseran secarageneralisasi

pada kata romo..

Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan kata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 144: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

dengan Mt. P pun mendekati Mt dengan

mengatakan tuturan sehat, Romo. P dan Mt

merupakan sesame abdi dalem tetapi dilihat

dari usianya, Mt lebh tua dibandingkan

dengan P. Setelah tuturan tersebut

keduanya duduk berhadapan dan

membicarakan sesuatu.

sapaan co yang maksudnya

konco atau teman. Namun,

sekarang konco atau co

mengalami pergeseran yaitu

romo.

A13/KFM P: Sampun, Romo? (Sudah - bapak?) (Sudah, bapak?) Mt: Niki kok saged babarengan.hehe. Monggo. (ini- kok – bisa- bersama-sama. Hehehe- Mari ) (ini kok bisa bersama-sama. Hehehe.Mari ) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang

sedang melakukan presensi. Mt datang

terlebih dahulu kemudian tanda tangan. Di

belakang P ada Mt yang akan tanda tangan

juga. Ketika Mt sudah selesai Mt berbalik

dan melihat P. Mt dan P saling mengenal

sehingga P mengatakan tuturan Sampun,

Romo? Mt yang mengetahui maksud P

pun membalas dengan niki kok saged

babarengan.hehe. Monggo.

Bertegur sapa Honorifik Co ke romo

perkembangan sosial

budaya yaitu pihak

karaton yang sudah

terbuka dan

menerima

masyarakat dari luar.

Tuturan terssebut bukan

merupakan tuturan yang

menanyakan sebuah

informasi. Artinya penutur

mengatakan tuturan tersebut

tidak mengharapkan jawaban

sesuai dengan pertanyaan

karena P sudah mengetahui

jawaban dari tuturan tersebut.

Dengan demikian tuturan

tersebut merupakan wujud

komunikasi fatis murni

Tuturan fatis tersebut terdapat

pergeseran secara generalisasi

pada kata romo. Sebelumnya,

dalam lingkungan keraton

sesama abdi dalem

menggunakan kata sapaan co

yang maksudnya konco atau

teman. Namun, sekarang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 145: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

konco atau co mengalami

pergeseran yaitu romo.

A14/KFM P: Mboten mriko? (tidak - ke sana) tidak ke sana) MT: Ngantuk. Konteks: P sedang berjalan dari arah tepas security menuju gerbang utama. ketika berjalan melewati pendopo gamelan ia berpapasan dengan MT . Mereka sudah sama-sama mengetahui bahwa akan berpapasan. setelah jarak semakin dekat P mengatakan tuturan Mboten mriko? (tidak ke sana?). Mt pun menjawab dengan ala kadarnya. setelah mengatakan tuturan tersebut P dan Mt tidak melanjutkan pembicaraan.

Bertegur sapa Eufemisme : Mboya ke mboten

abdi dalem yang

sudah tidak fasih

karena

penggunaan

bahasa jawa

krama lebih

sering dipakai.

Tuturan tersebut merupakan wujud komuniaksi fatis murni. Kefatisan tuturan tersebut lebih jelas dilihat ketika mitra tutur menjawab pertanyaan penutur tidak sesuai dengan topik tetapi penutur tidak menanyakan ulang atau sudah merasa puas. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan realita saat tuturan itu terjadi. Selanjutnya, tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran sevara asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata mboya. Namun, mboya mengalami pergeseran yaitu mboten.

A15/FKM P: Ngeteh niki? (Sedang- minum – teh- ini?) (Sedang minum teh ini?) MT: Enggeh men padang. (Iya-agar-terang) (Iyaagar terang) Konteks:

Bertegur sapa - - Tuturan tersebut penutur katakan bukan untuk menanyakan sesuatu hal yang sudah penutur ketahui yaitu mitra tutur minum teh. Namun penutur katakana sebagai bentuk sapaan karena penutur tiba di ruangan tersebut. Dengan demikian tuturan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 146: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

P dari arah luar masuk ke tepas sequrity. ketika sampai dalam, P melihat MT yang sedang minum teh. di dalam tepas mereka hanya berdua sehingga P mengatakan tuturan Ngeteh niki? (minum teh ini?) Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan kembali antara P dan Mt. Mt berdiri di dekat pintu sedang P sedang menulis sesuatu.

tersebut mempunyai wujud komunikasi fatis murni

A16/KFM P: Kulon nuwun (permisi) MT: Mangga, sehat mbak? (silakan- sehat- mbak?) (silakan, sehat mbak?) P: Njeh pak, matur nuwun. Bu Yati rawuh dereng pak? (Iya pak, terima kasih. Bu Yati sudah datang?) Konteks: P merupakan tamu di karaton. P datang ke tepas sequrity untuk mencari Bu Yati. Pada waktu itu Mt sedang membaca Koran di dalam tepas. P dan Mt sudah saling mengenal. Ketika tuturan terjadi, di tepas hanya ada MT. setelah tuturan terjadi P dan MT membicarakan topik yang berbeda.

Mengawali pembicaraan

Tuturan terebut merupakan wujud dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan pertanyaan yang benar-benar membutuhkan jawaban. Artinya tuturan tersebut bersifat komunikatif bukan informative. Tuturan tersebut dituturkan untuk menghargai penutur yang menunjukkan sikap sopan terhadap mitra tutur. Hal itu akan mempengaruhi hubungan sosial antar penuturnya.

A17/KFM P: Sugeng enjang kanjeng, wenten tamu. (Selamat - pagi – kanjen – ada- tamu.) (Selamat pagi kanjeng, ada tamu.)

Mengawali pembicaraan

Tuturan sugeng enjang (selamat pagi )merupakan wujud dari komunikasi fatis

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 147: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mt: Enggeh, saking pundi? (Iya, dari mana?) Konteks : P dan MTmerupakan abdi dalem yang berada dalam satu tepas. Pada waktu itu P sedang bertemu dengan tamu. MT tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh P karena pada waktu itu MT sedang duduk membaca buku dan menulis. Tamu tersebut ternyata ingin bertemu dengan MT. P mengantar tamu tersebut untuk bertemu MT yang sedang membaca buku di dalam ruangan itu juga. P dan MT merupakan masyarakat berlatarbelakang Jawa yang berusia lebih dari 50 tahun.

murni karena tuturan tersebut sesuai dengan situasi pada waktu tuturan terjadi yaitu pagi hari. Namun, tuturan tersebut bukan digunakan untuk menyampaikan informasi pada mitra tutur bahwa pada waktu itu pagi hari, tetapi digunakan untuk hubungan sosial yaitu bersikap sopan agar mitra tutur tidak tersinggung.

A18/KFM P: Sami wilujeng? (Sama-selamat) (Kabar baik?) MT: pengestunipun (doanya) P:Pekeniro rapat jam pinten? (Kamu rapat jam berapa?). ….. Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang berada di dalam tepas yang sama. sebelum berbicara dengan MT, P berbicara dengan

Mengawali pembicaraan

Tuturan sami wilujeng? Merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk mencari atau menanyakan keadaan mitra tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan ada itra tutur. Selian itu tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa mitra tutur sedang baik-baik saja atau sehat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 148: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

abdi dalem lain cukup lama. MT pada waktu itu sedang membaca buku dan mengetahui keberadaan P. setelah P selesai berbicara dengan abdi dalem lain, P menemui MT. Mt tidak lagi membaca buku tetapi sedang mencari sesuatu di mejanya ketika P datang. P mengatakan tuturan sami wilujeng? (kabarnya baik?) Kepada MT. setelah tuturan tersebut P duduk dan berbicara cukup lama dengan MT.

A19/KFM P: Sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? (Selamat- pagi – baru- datang- kanjeng?) (Selamat pagi, baru datang kanjeng?) MT: Wenten tamu wau. monggo. (Ada tamu tadi. Mari ) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. dalam setiap harinya P dan MT bertugas di tepas yang sama. P sedang menulis di tepas. dari kejauhan MT berjalan menuju tepas. P tahu bahwa MT akan masuk dan melewati depan P. ketika MT masuk P mengatakan tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut, P dan MT melanjutkan aktivitas masing-masing.

Bertegur sapa Tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan dignakan oleh penutur utnuk menanyakan nformasi tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenutur dengan bertegur sapa. Selain itu, dapat dikatakan murni karena penutur mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan. Artinya pada waktu tuturan tersebut memang mitra tutur sedang datang dan berpapasan oleh penutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 149: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A20/KFM P: Ngawan ngawani niki? (kesiangan ini?). MT: Sugeng enjang, monggo. (selamat pagi, mari) Konteks : P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. P berada dari arah barat dan MT dari arah timur dan baru datang.mereka berpapasan. ketika mereka berpapasan P mengatakan tuturan ngawan ngawani niki? dan Mt tidak menjawab sesuai dengan topik yang dibicarakan. setelah Mt merespon P , mereka tidak melanjutkan pembicaraan dan melalukan aktivitas masing-masing.

Bertegur sapa Tuturan ngawan ngawani niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan semata-mata untuk menanyakan informasi pada mitratutur tetapi untuk bertegur sapa. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa ketika mereka bertemu mitra tutur sedang tiba di karaton dan lebih siang dibanding penuturnya.

A21/KFM P: Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? (Bagaimana- ini - Bu Yati - beritanya - kok isinya- seperti - gini?) (Bagaimana ini Bu Yati, beritanya kok isinya begini?) Mt: Hahahah,pripun maleh pak. (Pripun meleh pak) ….. Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang

sedang berada di tepas security. Dalam

tepas tersebut terdapat tiga orang yang

Mencairkan

suasana

Honorifik : co ke bu

perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.

abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

Tuturan Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? Merupakan bentuk komunkasi fatismurni karena tuturan tersebut bukan untuk menyampaikan protes atau pemberitahuan sesungguhnya kepada mitra tutur. Namun, penutur mencaikan suasana pada waktu itu. Selanjutnya, tuturan tersebut berwujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan tersebut benar-benar terjadi, berita yang sedang dibaca

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 150: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

salah satunya tamu. Tidak ada pembicraan

di antara mereka. P sedang membaca

Koran, Mt sedang duduk dan hanya

melamun. Dalam keadaan hening P tiba-

tiba mengatakan tuturan Dhos pundhi niki

bu Yati beritane kok isine koyo ngene?

Sambil menutup Koran yang dibaca. Mt

sepertinya sudah paham bahwa hal itu tidak

perlu dikomentari sehingga Mt tidak

menanggapi terlalu banyak. Setlah tuturan

tersebut P dan Mt berbincang-bingan

mengenai topik yang berbeda.

penutur memprihatinkan dan lain sebagainya. Tuturan tersebut terdapat

pergeseran secara generalisasi

pada kata bu bu Yati .

Sebelumnya, dalam lingkungan

keraton sesama abdi dalem

menggunakan kata sapaan co

yang maksudnya konco atau

teman. Namun, sekarang konco

atau co mengalami pergeseran

yaitu bu.

A22/KFM P: Minggu-minggu, uwong uwong ki do piknik yo mbak biasane? (Minggu-minggu-orang-orang-itu-pada piknik-ya- mba-biasanya?) (Minggu-minggu, orang-orang itu pada piknik ya mba biasanya?) Mt: Njih pak, kesempatan. (Iya pak, kesempatan.) P: Mbake ki asli pundhi to? (Mbak e asli mana?) Konteks : P adalah abdi dalem sedangkan Mt adalah

tamu.P sedang berada di depan gerbang

pintu masuk karaton. P dan Mt sudah saling

mengenal karena Mt sedang melakukan

penelitian di Karaton. Mt berdiri di dekat P

Mengawali

pembicaraan

- - Tuturan Minggu-minggu,

uwong uwong ki do piknik

yo mbak biasane? Merupakan

bentuk komunikasi fatis karena

tuturan tersebut bukan bersifat

informative atau digunakan

untuk memberikan informasi

kepada mitra tutur. Tuturan

tersebut penutur gunakan

untuk mengawali pembicaraan

kepada mitra tutur agar

keduanya dapat berbincang-

bincang dan lebih akrab.

Selain itu tuturan tersebut

sesuai dengan realitas. Artinya

bahwa tuturan tersebut penutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 151: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

dan wisatawan sedang datang secara

bergerombolan. Sebelumnya memang tidak

ada pembicaraan karena Mt baru saja

datang kemudian berada di dekat P. Ketika

wisatawan sudah tidak begitu banyak yang

datang suasana menjadi sepi kemudian P

mengatakan Minggu-minggu, uwong

uwong ki do piknik yo mbak biasane?

Setelah tuturan tersebut P dan Mt

berbincang-bincang membahas mengenal

daerah tempat tinggal Mt.

katkan karena melihat melihat

banyak wisatawan yang

berkunjung ke karaton.

A23/KFM P: Ndak pundi niki? (pergi kemana ini?) MT: Padhos angin niki.hehe monggo (cari angina ini,hehe mari) Konteks: P dan MT seorang abdi dalem. P sedang berdiri di depan pintu utama untuk mengawasi para wisatwan. MT dari arah dalam karaton keluar melewati pintu utama. tuturan tersebut terjadi ketika MT melwati depan P. sebelumnya P sudah mengetahui bahwa MT akan berjalan melewati. ketika MT berjalan dan berada di dekat P, P mengataan tuturan ndak pundi niki? Setelah tuturan tersebut P dan MT tidak melanutkan pembicaraan.

Bertegur sapa Tuturan ndak pundi niki? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Tuturan tersebut penutur katakan bukan semata-mata untuk bertanya kepada mitra tutur kemana ia akan pergi tetapi digunakan untuk bertegur sapa agar tidak ada prasangka buruk keduanya. Selain itu, tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur mengtakan tuturan tersebut karena melihat mitratutur keluar dari pintu utama karaton.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 152: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A24/KFM P: Sugeng enjang, sehat? (selamat pagi, sehat) MT: pangestunipun,kanjeng (doanya kanjeng) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem karatan. namun P merupakan kerabat sultan yang mempunyai jabatan lebih tinggi dibanding dengan MT. Tuturan terjadi ketika P ingin beremu dengan abdi dalem lain yang bertugas di tempat yang sama dengan MT. P masuk dalam tepas dan melihat MT sedang membaca buku. MT melihat P yang masuk ke dalam tepas sehingga P mengatakan tuturan sugeng enjang, sehat?. MT pun merespon tuturan P tetapi setelah itu tidak ada pembicaraan lebih lanjut. P kemudian bertemu abdi dalem lain dan MT melanjutkan aktivutasnya.

Bertegur sapa Tuturan sugeng enjang, sehat? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan untuk menanyakan dan memberi sebuah informais kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Hubungan sosial tersebut dapat berupa keramahtamahan, kepedulian. Selain itu tanggapan mitra tutur yang tidak relevan memperkuat bahwa tuturan tersebut berupakan bentuk dari komunikasi fatis. Selanjutnya tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan terjadi pada pagi hari dan mitra tutur tampak sehat karena bisa melakukan aktivitas di karaton dengan baik.

A25/KFM P: Kiyambakan, Romo? (Sendirian- romo?) (Sendirian, romo?) MT: saking pundhi niki? (Dari mana ini?) P: ….. Konteks: P dan MT mrupakan abdi dalem. Mt abdi dalem yang mempunyai usia lebih tua dibanding P.

Mengawali pembicaraan

Honorifik: co ke romo

Tuturan kiyambakan, Romo? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan keberadaan mitra tutur tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan. Tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya pada waktu tuturan terjadi mitra tutur sedang sendiri. Oleh

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 153: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mt sedang duduk dan menonton televisi pos parkiran belakang. MT dari arah dalam melihat P yang sedang duduk sendiri di tempat itu. MT memang sengaja ingin duduk dan bergabung bersama MT. tuturan kiyambakan, Romo? dikatakan oleh P ketika ia masuk dalam pos tersebut

sebab itu pernyataan yang sesuai realitasnya tersebut digunakan penutur untuk mempertahankan hubungan sosial yaitu penutur ingin bersikap sopan terhadap mitra tutur. Tuturan fatis tersebut terdapat pergseran secara generalisasi pada kata romo Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu romo

KODE DATA PERTUTURAN DAN KONTEKS

MAKNA

PRAGMATIK PERGESERAN FAKTOR PENYEBAB Keterangan

B1/KFP P : Yaa, begitu. Bisa dikatakan dari situlah

bahasa bagongan mulai bergeser karena

sudah tidak ada lagi istilah magang.

MT: Iya, baik kanjeng. Ehmm (melihat

daftar pertanyaan)

Senyap

P: Sudah jalan-jalan keliling kraton

belum?

MT: Baru sampai belakang situ, kanjeng.

Mempertahanka

n komunikasi

- - Tuturan sudah jalan-jalan

keliling kraton belum?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut tidak semata-

mata digunakan untuk

menanyakan sebuah informasi

tetapi digunakan untuk

mempertahankan komunikasi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 154: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Ini Kanjeng, saya mau Tanya lagi.

P: Oiya,iya silahkan tadi hanya selingan

saja.

……

Konteks :

P sedang diwawancari oleh Mt. P

menjelaskan mengenai bahasa bagongan

yang sudah jarang digunakan oleh para abdi

dalem. Mt menengaskan pernyataan P

mengenai pertanyaan wawancara. Ketika

Mt sedang sibuk mencari daftar pertanyaan

selajutnya, terjadi kesenyapan antara P dan

Mt. Mt terlihat bingng karena kehilangan

daftar pertanyaan dan P yang hanya

menunggu dan melihat Mt. P mengatakan

tuturan sudah jalan-jalan keliling kraton

belumn? Ketika Mt yang sedang mencari

daftar pertanyaa wawancara untuk mengisi

keheningan yang terjadi antara P dan Mt.

Setelah itu Mt, P melakukan Tanya jawab

kembali.

yang sedang berlangsung.

Kesenyapan yang terjadi di

dalam sebuah komunikasi akan

mengganggu hubungan sosial

antarpenutur terlebih P sedang

berbicara dengan seorang

tamu. Wujud dari komunikasi

fatis tersebut yaitu polar.

Artinya tuturan tersebut tidak

sesuai dengan realitasnya,

tuturan tersebut dituturkan

agar

B2/KFP P : Cucu saya kemarin juga minta saya

suruh nambani mbak. Lalu saya mintakan

ke situ

MT: Langsung sembuh ya Bu?

P1 : Iya mba.

Senyap (P1 dan P2 hanya diam dan tidak

Mempertahankan

komunikasi agar

tetap berlangsung

Daerah (bahasa Jawa) ke bahasa

Indonesia

Mitra tutur tidak berlatarbelakang budaya

Jawa.

Tuturan mbak e kalau hari

Minggu ada acara gak?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebu bukan semata-

mata untuk mengetahui

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 155: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

terjadi interaksi)

P : Mbak e kalau hari Minggu ada acara

gak?

MT : Jarang, Bu.

P : …..

Konteks :

P seorang abdi dalem berjenis kelamin

perempuan. MT seorang mahasiswa yang

sedang melakukan penelitian. MT datang

terlalu pagi dan melihat di dalam keraton

belum banyak aktivitas. MT menunggu di

tepas security dan ditemani P. P bercerita

mengenai aturan-aturan yang berhubungan

dengan adat budaya di dalam keraton.

Setelah beberapa menit mereka berbicara

MT dan P berhenti karena tidak ada yang

diceritaan lagi. MT dan PT sama menatap

pendopo untuk melihat gamelan.

Kesenyapan terjadi di antara mereka, tidak

ada pembicaaran dan di tepas tersebut

mereka hanya berdua. Sehingga P

mengatakan tuturan “mbak e kalau hari

Minggu ada acara gak?” Kepada Mt dan

berlanjut berbincang-bincang meskipun

dengan topik yang berbeda.

aktivitas mitra tutur tetapi

digunakan untuk mengakraban

dan menunjukkan

keramahtamahan. Selanjutnya,

tuturan tersebut tidak sesuai

dengan realitas yang

sebenarnya. Artinya tuturan

tersebut tidak benar-benar

digunakan untuk mencari tahu

agenda mitra tutur pada hari

Minggu tetap hanya unuk

mengisi kesenyapan dalam

komunikasi.

Tuturan tersebut terdapat

pergeseran dari bahasa daerah

(bahasa JAwa) ke bahasa

Indonesia. Sebenarnya,

penutur menggunakan bahasa

Jawa untuk berkomunikasi

tetapi agar mudah

dipahamioleh mitra tutur,

tuturan bergeser menjadi

bahasa Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 156: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

B3/KFP P : Sekedap nggih mas.

(sebentar –ya-mas)

(sebentar ya mas)

MT : Injih.

(Iya)

Senyap

PT: Njenengan ngobrol kaleh mbak e niki

nggeh angsal kok. Hehe. Nggeh to mba?

(Anda-berbicara-dengan-mbak-itu- dulu

boleh-kok-Heheh-Iya kan mba?)

(Anda berbicara sama mbaknya dulu boleh

kok. Heheh. Iya kan mba?)

MT2: senyum

PT : Niki sampun bener nanging dereng

pener. Ngapunten nggih njenengan gantos

riyen.

(Ini-sudah-bener-tapi-belum-tepat. Maaf –

ya-Anda-ganti-dahulu)

(Ini sudah bener tapi belum tepat. Maaf ya

Anda ganti dahulu)

MT1: Inggih mas, matur nuwun

(Iya-mas-ucap-terima-kasih)

(Iya mas ucap terima kasih)

Konteks :

MT bertemu dengan P untuk

Mempertahankan

komunikasi

Ameliorasi dan asosiasi: pekeniro ke njenengan

abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai.

dalam masyarkat status sering kali menjadi perhatian

Dalam konteks tuturan tersebut

Apa yang dikatakan oleh P

bukanlah tuturan yang semata-

mata meminta Mt2 dan Mt1

untuk berbincang-bincang. P

hanya ingin mempertahan

komunikasi tetap berjalan agar

mitra tutur 1 dan mitra tutur 2

tidak merasa canggung. Bagi

Mt2, tuturan P akan membuat

lebih akrab. Dengan demikian

tuturan njenengan ngobrol

kaleh mbak e niki nggeh

angsal kok. Hehe. Nggeh to

mba? Merupakan bentuk

komunikasi fatis. Selain

tuturan tersebut berwujud

komunikasi fatis polar karena

tersebut tidak sesuai dengan

realitasnya. Artinya penutur

tidak benar-benar meminta

mitra tutur untuk saling

berbicara hal tersebut hanya

digunakan untukmengisi

kesenyapan dalam komunkasi

tersebut.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 157: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

menyampaikan berkas di Tepas Panitra

Pura. Ketika MT di Tepas Panitra Pura P

sedang berbicara dengan MT2. P tahu

bahwa MT akan menyerahkan berkas

tersebut sehingga P meminta MT untuk

memberikannya pada P. Tidak ada

pembicaraan ketika P sedang memeriksa

berkas yang MT berikan dan hal itu terjadi

hingga beberapa menit. Setelah dua menit

tersebut P mengatakan tuturan “njenengan

ngobrol kaleh mbak e niki nggeh angsal

kok. Hehe. Nggeh to mba?”.

P merasa tidak enak karena telah

membiarkan MT2 yang merupakan tamu

untuk menunggu dan dibiarkan begitu saya.

P mengatakan hal itu sebagai bentuk

keakraban agar MT2 merasa nyaman

berada dilingkungan tersebut.

Tuturan tersebut terdapat

pergeseran secara asosiasi

pada kata njenengan.

Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan kata

pekeniro. Namun, sekarang

pekeniro mengalami

pergeseran yaitu njenengan.

selanjutnya, dalam lingkungan

keraton sesama abdi dalem

menggunakan kata pekeniro

agar tidak terlihat adanya jarak

atau tingkatan sosial

ddalamnya. Namun saat ini

bergeser menjadi njenengan

yang mempunyai maksud

menghormati mitra tuturnya.

B4/KFP P: Gimana mba penelitiannya?

Mt: Alhamdulilah, saya sering kesini pak

buat ambil data.

…..

P: Setelah ini mau ngapain?

Mt:Mau masuk pak, observasi.

P: Njiih, kalau gitu monggo

Mengakhiri

pembicaraan

- - Tuturan setelah ini mau

ngapain? Merupakan bentuk

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut bukan untuk

mencari informasi mengenai

Mt. Tuturan tersebut

digunakan untuk mengakhiri

pembicaran karena akan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 158: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Konteks :

P merupakan seorang abdi dalem yang

sering bertugas di tepas security. P dan Mt

saling mengenal tetapi jarang bertemu. Mt

yang baru saja datang dan masuk tepas

kaget melihat P sedang duduk dipojok. Mt

hanya tersenyum karena Mt harus presensi

dan mengisi data terlebih dahulu. Setelah

Mt selesai, Mt mendekati P tetapi ketika

MT belum sampai pada P, P sudah memulai

pembicaraan. P terlihat seperti terburu-

buru, karena P dan Mt berbicara dengan

berdiri dan tidak menanggapi banyak

pembicaraan Mt. P mengangkat tas sambil

mendengarkan pembicaraan Mt, setelah Mt

selesai berbicara P langsung mengatakan

tuturan setelah ini mau ngapain? Untuk

segera mengakhiri pembicaraan dengan Mt.

P langsung pergi setelah selesai berbicara

dengan Mt.

P dan Mt sudah mengenal. Mt menghormati

P karena P lebih tua dan merupakan teman

dosen pembimbing Mt. P juga menghargai

Mt karena Mt merupakan tamu di keraton

yang sedang melakukan penelitian. P

mengatakan tuturan tersebut agar Mt

nyaman.

terkesan tidak sopan apabila

baru saja bertemu tetapi sudah

ingin segera mengakhiri.

Selain itu, tuturan tersebut

tidak sesuai dengan realitas.

Realitas tersebut dapat dilihat

salah satunya berlanjutnya

topik pembicaraan itu

dibicarakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 159: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

B5/KFP P : Njenengan pun dhahar dereng

niki Romo?

(Kamu- sudah - makan - belum – ini - pak?)

(Kamu sudah makan belum ini, pak?)

MT : Wah pun tigang mangkok.

(Wah- sudah - tiga - mangkok)

(Wah sudah tiga mangkok)

P : Waa lha niku, waras sak

kabehipun. Pripun wau dhalu?

(Waa-lha- itu – sehat- semuanya. –

Bagaimana- tadi- malam?)

(Waa lha itu, sehat semuanya. Bagaimana

tadi malam)

Konteks :

P adalah seorang abdi dalem Kraton

berjenis kelamin laki-laki. MT juga seorang

abdi dalem berjenis kelamin laki-laki. Pada

waktu itu di pos jaga belakang Kraton,

terdapat dua abdi dalem yang sedang

minum teh dan menonton televise. Ada

pembicaraan di antara mereka, pembicaraan

tersebut mereka lakukan dengan menonton

televise (berita) tetapi sering kali senyap..

Beberapa menit kemudian, P datang dari

tepas security di saat para abdi dalem lain

Mengawali

pembicaraan

Asosiasi dan generalisasi

Perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.

Abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

Tuturan njenengan pun

dhahar dereng niki Romo?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut digunakan

bukan semata-mata untuk

menanyakan sebuah informasi

tetapi digunakan untuk

menggali sebuah pembicaraan.

Selain itu tuturan tersebut

tidak sesuai dengan realitas.

Artinya, sebelumnya tidak ada

topik pembicaraan yang

relevan dengan tuturan

tersebut.

Tuturan fatis tersebut terdapat

pergeseran dengan wujud

asosiasi yaitu pada kata

njenengan. Sebelumnya,

dalam lingkungan keraton

sesama abdi dalem

menggunakan kata pekeniro.

Namun, sekarang pekeniro

pergeseran yaitu njenengan.

Selanjutunya, di dalam tuturan

fatis tersebut juga mengalami

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 160: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

sedang tidak ada pembicaraan di pos jaga

belakang. P yang ingin bergabung duduk

dan menonton televise, datang dan bertanya

“njenegngan pun dhahar dereng niki

Romo?”

(kamu sudah makan belum ini, pak?)

pergeseran secara generalisasi

pada kata romo. Penutur

sehurusnya menggunakan kata

co sebagai sapaan dalam

tuturan tersebut karena co

merupakan sapaan untuk

sesame abdi dalem. Namun,

kata co mengalami pergeseran

dalam penggunaannya secara

generalisasi menjadi romo.

B6/KFP PT : Ngapunten Co, kolo wingi wenten

tamu saking pundi?

(Maaf –teman- kemarin- ada-tamu - dari

mana?)

(Maaf teman, kemarin ada tamu dari

mana?)

MT : Nggeh kanjeng, wenten saking

kompas .

(Iya- kanjeng – ada - dari -Kompas)

(Iya, kanjeng ada dari Kompas)

PT: Matur nuwun.

(ucap-terima-kasih)

(terima kasih)

Konteks :

P seorang abdi dalem. P pada waktu itu

sedang diwawancarai oleh mahasiswa yang

Mengawali

pembicaraan

- - Tuturan ngapunten Co, kolo

wingi wonten tamu saking

pundi? Merupakan bentuk

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut bukan tuturan

informative yang digunakan

penutur untuk meminta maaf

tetapi Penutur katakan untuk

mengawali pembicraan dengan

cara yang lebih sopan. P

mengatakan tuturan tersebut

untuk menghargai kegiatan

yang dilakukan oleh Mt atau

Mt yang mungkin pada waktu

itu sedang sibuk.

Selain itu, tuturan fatis tersebut

tidak sesuai dengan

realitasnya. Artinya penutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 161: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

sedang melakukan penelitian,pada waktu P

menjelaskan ia lupa mengenai tamu yang

beberapa hari lalu datang menemui P. Mt

yang pada waktu itu sedang menyimak

pembicaraan P dan mahasiswa tersebut

ditanyai oleh P untuk membantu

mengingatkan P. P yang tidak mengetahui

bahwa sebenarnya ikut menyimak

mengawali pembicaraan dengan

mengatakan tuturan ngapunten Co, kolo

wingi wonten tamu saking pundi?

mengatakan permintaan maaf

bukan karena ia elakukan

kesalahan tetapi sebagai

Pembina hubungan sosial

antarpenutur

B7/KFP P : Nuwun sewu, njenengan sibuk mboten

Romo?

(Minta-seribu- kamu – sedang- sibuk -

tidak, Bapak?)

(Permisi, kamu sedang sibuk tidak, Bapak?)

MT: Pripun?

(Bagaimana?)

(Bagaimana?)

P: Dipadhosi Kanjeng.

(Dicari- kanjeng)

(Dicari kanjeng)

MT: Wo, nggeh matur nuwun.

( Wo-ya-terima-kasih)

( Wo,ya terima kasih)

Mengawali

pembicaraan

Asosiasi: pekeniro ke njenengan

generalisasi: co ke romo

perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.

abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

Tuturan nuwun sewu,

njenengan sibuk mboten

Romo? Merupakan bentuk

komunikasi fatis polar.

Penutur menanyaka sesuatu

yang sudah ia ketahui

jawbannya. Penutur ingin

menghormati MT agar P dapat

tetap menjalin hubungan baik

dan tidak menyinggung MT.

Selanjutnya, tuturan tersebut

tidak sesuai dengan realitas.

Penutur pada waktu tuturan

tersebut tidak sedang sibuk.

Tuturan fatis tersebut terdapat

pergeseran dengan wujud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 162: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Konteks:

P danmt merupakan abdi dalem yang

bertugas di Tepas Dwirapura. P mendapat

perintah untuk memanggilkan MT yang

berada di Tepas Dwirapura juga tetapi

berada di dekat pintu masuk. P tahu, bahwa

MT hanya sedang membaca buku dan

duduk. Namun P tetep mengatakan tuturan

“nuwun sewu, njenengan sibuk mboten

Romo?” Untuk menyampaikan pesan

kepada Mt.

asosiasi yaitu pada kata

njenengan. Sebelumnya,

dalam lingkungan keraton

sesama abdi dalem

menggunakan kata pekeniro.

Namun, sekarang pekeniro

pergeseran yaitu njenengan.

Selanjutunya, di dalam tuturan

fatis tersebut juga mengalami

pergeseran secara generalisasi

pada kata romo. Penutur

sehurusnya menggunakan kata

co sebagai sapaan dalam

tuturan tersebut karena co

merupakan sapaan untuk

sesame abdi dalem. Namun,

kata co mengalami pergeseran

dalam penggunaannya secara

generalisasi menjadi romo.

B8/KFP P : Dahar dereng niki?

(Makan- belum- ini)

(Makan belum ini)

Mt: Matur nuwun, keseso.

(ucap terimakasih- terburu-buru)

(terimakasih, terburu-buru)

Bertegur sapa - - Dalam situasi tersebut tuturan

dahar dereng niki?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut tidak dimaknai

sebagai pertanyaan yang

membutuhkan jawaban. Oleh

karena itu jawaban dari mitra

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 163: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

P: Mangga.

(silahkan)

Konteks:

P dan Mt merupakan sesama abdi dalem

yang saling mengenal. P sedang makan di

depan pintu masuk keraton Yogyakarta

bersama dua abdi dalem lain. Ketika P

sedang menikmati makannya, P melihat Mt

keluar dari pintu utama dan akan melewati

P. P dan Mt sama-sama mengetahui bahwa

mereka akan bertemu karena mereka sudah

saling melempar senyum. Pada waktu Mt

melewati depan P, P mengatakan tuturan

dahar dereng niki? Untuk menyapa Mt.

Mt tidak berhenti dan berbincang-bincang

dengan P. Mt hanya berjalan lebih pelan

sambil menawab pertanyaan P.

tutur pun tidak relevan dengan

tuturan penutur tetapi tetap

dianggap sah karena tuturan

tersebut digunakan untuk

bertegur sapa Selain itu,

tuturan tersebut tidak sesuai

dengan realitasnya. Artinya

penutur tidak benar-benar

bertanyaa untuk menunjukkan

kepedulian atau menawarkan

makan tetapi tuturan

digunakan untuk pemenuhan

hubungan sosial lain yitu

bertegur sapa agar terlihat

ramah.

B9/KFP P: Pripun?

(bagaimana)

Mt : Duh, kayane kok sumringah.

(Duh- sepertinya- kok- bahagia)

(Duh, sepertinya kok bahagia)

P: Mangga,mangga pinarak riyen.

(Mari-mari –mampir- dulu)

(Mari-mari mampir dulu)

Mengawali

pembicaraan

- - Tuturan pripun? Dalam

konteks tersebut merupakan

tuturan komuikasi fatis karena

tuturan tersebut tidak

digunakan untuk menanyakan

informasi yang sesungguhnya.

Dalam masyarakat Jawa uturan

pripun? Mempunyai maksud

yang luas bisa menanyakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 164: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

…..

Konteks :

P merupakan abdi dalem dan Mt tamu yang

akan bertemu dengan P. P kaget melihat Mt

datang ketika P sedang keluar tepas dan

melihat Mt sudah diluar. P kemudian

mengatakan tuturan pripun? . Mt pun

menanggapi tuturan P yang sepertinya

sudah tahu maksud P . Setelah hal tersebut

P mempersilakan Mt untuk masuk dalam

tepas dan mereka pun berbicara dengan

serius.

kabar, keadaan, apa yang

dilakukan dan lai-lain. Apa

pun jawaban dari mitra tutur

tetap dianggap benar atau sah

karena hal itu hanya sebagai

pemenuhan hubungan soial

antar penuturnya. Selain itu

tuturan terseut mempunyai

wujud komunikasi fatis polar

karena tuturan tidak selaras

dengan realitas. Artinya tidak

ada sesuatu yang terjadi pada

mitra tutur.

B10/KFP P: Mari makan pak. MT: Sudah, matur nuwun. (Sudah, terimakasih) Konteks:P merupakan seorang tamu. MT seorang abdi dalem yang sedang bertugas. P dan MT sudah saling mengenal. ketika P sedang makan di warung dalam karaton Mt berjalan melewati P. P kemudian menyapa dan menawrkan makan kepada MT, kemudian MT merespon dengan tuturan sudah, matur nuwun. percakapan mereka pun cenderung cepat karena tidak ada topik pembicaraan lain setelah tuturan terseut.

Bertegur sapa - - Tuturan sudah, matur nuwun merupakan bentuk komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Mitra tutur menolak ajakan penutur dengan mengatakan tuturan tersebut agar penutur tidak tersinggung. Tuturan tersebut juga tersebut tidak selaras dengan realitas. Artinya mitra tutur mengatakan hal yang tidak sebenarnya

B11/KFP …….

P: Njenengan mbenjang mriki mboten?

Mengakhiri

pembicaraan

Asosiasi : pekeniro ke njenengan

abdi dalem yang sudah

tidak fasih karena

Tuturan njenengan mbenjang mriki

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 165: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mbenjang kulo critani meleh. Hehehe.

Kulo tak mriko riyen.

(Kamu-besok-ke- sini-tidak-Besok-saya

critakan-lagi-Hehehe-Saya-ke-sana-dulu)

(Kamu besok ke sini tidak? Besok saya

critakan lagi. Hehehe. Saya ke sana dulu

Mt: Enjeh pak, kulo tenggo critanipun

maleh.

(Iya-pak-saya-tunggu-critanya-lagi)

(Iya pak, saya tunggu critanya lagi)

P: Ngapunten nggeh.

(maaf ya)

Konteks :

P seorang abdi dalem dan Mt adalah tamu

yang sedang melakukan penelitian. P dan

Mt sudah sering bertemu meskipun tidak

setiap hari. Dari Mt datang P sudah berada

di tepas security dan sedang membaca

Koran. Setelah Mt mengisi presensi Mt dan

P berbincang-bincang mengenai kejadian

mistis di keraton. Mereka berbincang-

bincang cukup lama. Ketika P dan Mt

berbincang-bincang ada seorang abdi dalem

yang memanggil P kemudian P mengatakan

tuturan njenengan mbenjang mriki

penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

mboten? Mbenjang kulo

critani meleh. Hehehe. Kulo

tak mriko riyen merupakan

wujud komunikasi fatis polar

karena tuturan tersebut

digunakan bukan untuk

menyampaikan atau

menanyakan informasi tetapi

digunakan untuk mengakhiri

pembicaraan agar penuturnya

terlihat sopan,tidak

menyinggung perasaan mitra

tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 166: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

mboten? Mbenjang kulo critani meleh.

Hehehe. Kulo tak mriko riyen.

B12/KFP P: Mangga (mari)

Mt: (menundukkan kepala)

Konteks :

P dan Mt seorang abdi dalem. Mt sedang

berdiri di pintu masuk utama untuk

bertugas. P berjalan akan melewati pintu

masuk utama dari arah gerbang utama

Karaton. Ketika P melewati Mt, P

mengatakan tuturan monggo dengan

mengurangi kecepatan berjalan. Setelah

tuturan tersebut tidak ada pembicaran

antara Mt dan P.

Bertegur sapa - - Tuturan monggo merupakan

bentuk komunikasi fatis polar

merupakan tuturan yang

bersifat informative tetapi

tuturan tersebut tersebut

bersifat komunikatif yang

berhubungan dengan

hubungan sosial penuturnya.

Sehingga jawaban apa pun dari

mitra tutur akan tampak sah

bagi penuturnya. tuturan

tersebut juga tidak sesuai atau

berlawanan dengan realitas.

Artinya penutur sebenarnya

tidak mengajak sesuai dengan

tuturan tersebut, tuturan itu

hanya digunakan sebagai

pemenuhunan hubungan

sosial.

B13/KFP …..

P: Mangga

(Mari)

(Mari)

Mt: Sampun, jam sementen niku

wayahipun jalan-jalan. Kulo ngrumiyini.

(Sudah- jam - segini - itu –waktunya -

Mengakhiri

pembicaraan

- - Tuturan tersebut tidak

dimaknai sebagai tuturan yang

informative. Tuturan tersebut

digunakan untuk mengakhiri

pembicaraan agar penutur

dapat terlihat sopan. Di dalam

masyarakat Jawa, ketika

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 167: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

jalan-jalan. - saya - mendahului)

(Sudah, jam segini itu waktunya jalan-jalan.

saya mendahului)

P: Hahaha, njeh monggo

(hahaha-iya-mari)

(hahaha, iya mari)

Konteks :

Mt seorang abdi dalem sedangkan P adalah

tamu. Mereka berada di tepas security. P

teman seorang abdi dalem yang berada di

tepas security juga. Mereka bertiga sedang

asyik ngobrol. Setelah beberapa menit

berlangsung Mt terlihat tidak nyaman

seperti ingin keluar dari tepas tetapi mereka

sedang ngobrol. Mt merasa tidak enak

untuk memotong pembicaraan. di tengah

pembicaraan P ingin minum dan menawari

Mt. Mt yang sudah tidak nyaman karena

ada keperluan mengatakan tuturan sampun,

jam sementen niku wayahipun jalan-

jalan. Kulo ngrumiyini. Untuk

menanggapi tuturan P.

sedang berbincang-bincang

mengakhiri pembicaraan

langsung dapat menyinggung

perasaan mitra tuturnya. Oleh

sebab itu, tuturan tersebut

penutur gunakan agar mitra

tutur tidak tersinggung dan

mitra tutur pun sudah

mengetahui maksud penutur

sehingga mempersilakan.

B14/KFP ….. P: Kanjeng wonten niki? (Kanjeng -ada -ini?) (Kanjeng ada ini?)

Mempertahan komunikasi

Asosiasi: wenten ke wonten

Tuturan : kanjeng wonten niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 168: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

MT: Wau wonten. (tadi ada) P: Kolo wingi kulo tenggene Romo. (kemarin saya ketempat romo) …… Konteks : P dan MT sedang berbincang-bincang di pendopo. Mereka sedang membahas dengan topik gamelan. perbincangan tersebut terjadi cukup lama dan lancar. setelah topik tersebut selesai, P dan MT saling terdiam dan tidak terjadi pembincaraan. beberapa detik setelah keheningan P mengatakan tuturan kanjeng wonten niki? MT pun menjawab tuturan tersebut tetapi setelah tuturan yang dikatakan oleh P, P dan MT membahas mengenai topik yang berbeda dengan tuturan pertama setelah terjadinya keheningan.

informasi kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk mengisi kesenyapan sehingga komunikasi tetap berjalan. Tuturan tersebut tidak sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur dan mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa kanjeng masih berada di tempat yang sama seperti yang mereka mereka lihat sebelum berkomunikasi tetapi penutur menanyakan untuk mengisis kesenyapan yang terjadi. Tuturan tersebut terdapat pergeseran secara asosiasi. Kata yang telah bergeser dalam tuturan tersebut yaitu wonten. Penutur sebenarnya menggunakan wenten dalam berkomunikasi antarabdi dalem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 169: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

DATA FAKTOR-FAKTOR PENYEBAB PERGESERAN

Narasumber : KRT. H. Jati Ningrat, S.H.

Jabatan : Pengageng Tepas Dwarapura Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat

Cuplikan wawancara 1:

…….

Pewawancara : Apakah dalam hal berbahasa mengelami perubahan juga?

Narasumber : Jadi begini, dulu para calon abdi dalem biasanya magang sebagai calon abdi dalem itu ditempatkan para pangeran-pangeran, saudara dari sultan, sultan yang ada di luar mereka kan punya sultan HB, pangeran Bintara, HB Kusumo, Natajaya dsb jadi dulu mereka itu belum masuk seperti. Dulu gak ada istilah kaprajan. ……… Ini sebagai perkembangan baru dengan sendirinya yang tadi calon sebelumnya magang di tempat pangeran sekarang langsung karena para pangeran semakin lama berkurang. Semakin tipis, apalagi sultan ke-10 tidak punya putra laki-laki. Brarti tidak ada pangeran. Nah untuk berikutnya gimna? Nah ini harus ditata yang macam-macam begitu tantangan yang ada di depan kita.

Pewawancara : Brarti secara tidak langsung perubahan setelah HB IX yang tidak punya …

Narasumber : Oo bukan,bukan itu. Itu sekarang. Setelah sultan HB IX mengatakan bergabung dengan republik sudah ada perubahan. Dulu kerajaan penuh bersifat kerajaan. Supayaapa? Supaya tidak ada negara di dalam negara dari situ maka UU Istimewa Yogyakarta mewajibkan memelihara budaya ini agar tidak hilang.

…….

Cuplikan wawancara 2:

Pewawancara : Kanjeng mohon maaf saya kurang paham, sebagai abdi dalem pernah mendengar para abdi dalem menggunakan bahasa lain.

Narasumber : Sering, saya sendiri sering begitu. Terus terang malah menggunakan krama inggil. Di sadari atau tidak disadari masih ada ungkapan-ungkapan ketika ngajak bicara. Itu sudah menggunakan bahasa bagongan lama-lama menggunakan krama inggil atau campuran atau bahasa Indonesia. Tapi dalam kraton tidak menonjol tapi pandangan kata-kata bahasa Indonesia dengan Jawa dalam otak kita sering Indonesia tapi kita harus bicara Jawa. Lha ini menerjemahkan kalau tidak sering beda. Ini sering jadi kendala jangan sampai terjadi seperti itu, bagaimana setidaknya kita sadari kemudian ada upaya pendidikan ini upaya untuk tetap dan kita harus pahami dan hargai kesadaran yang seperti ini. biasanya orang jawa sering banyak mengalah menyesuaikan kemauan pihak lain kurang keras pendiriannya. Kamu harus gini tapi gak bisa begitu. Kalau kita

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 170: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

sadari Sri Sultan HBIX terjun ke internasional apa yang dilakukan beliau meyesuaikan bahasanya dan disukai apalagi istri HB IX salah satunya dari Bangka.

……..

Cuplikan wawancara 3:

……..

Pewawancara : Berarti secara tidak langsung perubahan setelah HB IX yang tidak punya …

Narasumber : Oo bukan,bukan itu. Itu sekarang. Setelah sultan HB IX mengatakan bergabung dengan republik sudah ada perubahan. Dulu kerajaan penuh bersifat kerajaan. Supaya apa? Supaya tidak ada negara di dalam negara dari situ maka UU Istimewa Yogyakarta mewajibkan memelihara budaya ini agar tidak hilang.

Pewawancara : Perubahan budaya termasuk, budaya berbahasa itu tadi.

Narasumber : Iyaa termasuk budaya berbahasa itu juga. itu tanggung jawab bukan dari kraton saja tapi dari masyarakat jogja maka panjenengan meneliti ini dan menulis setidaknya di kampus ada catatan mengenai upaya untuk mempertahankan budaya.

……….

Cuplikan wawawancara 4:

……

Pewawancara : Wong Jawa. Hehe

Narasumber : Wong Jawa,semua itu bisa diakali, bisa dirembug itu istilahnya sedangkan atauran keras. Lha itu kita masih lunak sehingga kita masih tidak sama dalam itu. Sikap kita yang seperti ini dalam upaya melestarikan budaya ini menjadi kendala. Tapi saya yakin kalau kitasa dari itu tidak masalah apalgi tugas saya di sini.

……

Cuplikan wawawancara 5:

Pewawancara : Perkembangan zaman yang terjadi saat ini apakah juga mempengaruhi bahasa di sini, Kanjeng?

Narasumber : Iya, memang itu terjadi. Kita sering bertemu dengan tamu bahkan tamu dari luar atau asing brarti kita tidak bisa menggunakan bahasa Jawa. Sekarang karena zaman sudah berkembang, mempengaruhi.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 171: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Pewawancara : Termasuk pola pikir kanjeng?

Narasumber : Bisa itu, kita menggunakan bahasa nasional dengan tamu kalau dengan orang asing kita sering menggunakan bukan bahasa Indonesia itu sudah sifat kita. Bahasa Indonesia saat ini dalam artian global juga menemui bahaya.

Pewawancara : Bahaya ya?

Narasumber : Iya, jadi bukan bahasa daerah saja tapi juga bahasa nasional . Kita lebih seneng dengan bahasa Inggris ya to. Di media banyak menggunakan bahasa asing kan zaman sudah berkembang. Di media malah justru kita dikatakan kalau tidak tau bahasa inggris satu atau dua kata dikatakan jadul.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 172: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

DATA PENELITIAN KOMUNIKASI FATIS PARA ABDI DALEM

DI KERATON YOGYAKARTA KETERANGAN:

Data penelitian komunikasi para abdi dalem di Keraton Yogyakarta diklasifikasikan menjadi dua yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi fatis polar. Kode

A diberikan pada komunikasi fatis murni (KFM) dan kode B diberikan pada komunikasi fatis polar (KFP). Di bawah ini merupakan data-data penelitian

berjudul “Kajian Sosiopragmatik Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta”. Berilah tanda centang pada kolom penilaian (S) apabila Anda

setuju bahwa makna pragmatik, pergeseran wujud dan makna dan faktor penyebab pergeseran yang diidentifikasi oleh peneliti dapat membantu pemahaman

mengenai kefatisan berbahasa para abdi dalem. Sebaliknya ber tanda centang pada kolom penilaian (TS) apabila Anda tidak setuju bahwa makna pragmatik,

pergeseran wujud dan makna dan faktor penyebab pergeseran yang diidentifikasi oleh peneliti dapat membantu pemahaman mengenai kefatisan berbahasa para

abdi dalem dan berikan alasan atau komentar.

KODE DATA PERTUTURAN

DAN KONTEKS

MAKNA

PRAGMA

TIK PERGESERAN

FAKTOR PENYEBAB

KETERANGAN

TRIANGULATOR

KOMENTAR Setuju Tidak

setuju

A1/KFM P: niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini, sertifikat untuk kanjeng) MT : wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo lha dapat setifikat sendiri malahan) ……. (senyap) P: wah sepi dinten niki Bu (Wah, sepi hari ini Bu) MT : inggeh niki,lha ujian. (Iya ini, lha ujian) P : ….

Mempertah

ankan

komunikasi

agar tetap

berlangsung

honorifik : konco ke bu

Bahasa bagongan sudah jarang dipakai dalam komunikasi sehari-hari dalam lingkungan karaton

semakin sering dan luas interaksi para abdi dalem di luar masyarakat karaton sehingga abdi dalem

Tuturan wah sepi dinten niki Bu (Wah, sepi hari ini Bu) merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tturan tersebut bukan untuk memberitahu atau bersifat informative pada mitra tuturnya karena mereka sudah sama-sama mengetahui akan hal itu (hari itu sepi) . Dalam tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran secara generalisasi yaitu pada kata Bu. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 173: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem yang sudah saling mengenal karena sering bertugas ditepas yang sama. P dan Mt berada di tepas security sedang berbincang-bincang. Di tengah pembicaraan ada orang lain datang untuk menyampaikan sertifikat untuk kanjeng. Setelah orang tersebut menyerahkan sertifikat P dan Mt membahas mengenai sertifkat yang diberikan untuk kanjeng. Setelah membahas sertifikat berakhir, P dan Mt diam melihat ke arah pendopo. Senyap yang terjadi secara tiba-tiba membuat merasa canggung karena mereka berada di tempat yang sama tetapi tidak ada pembicaraan. Kemudian P mengatakan tuturan wah sepi dinten niki untuk mengisi pembicaraan antara P dan Mt. Mt pun menanggapi dan kemudian terjadi pembicaraan lebih lanjut dengan topik yang berbeda dari tuturan tersebut..

terbiasa dengan sapaan atau kosa kata bahasa Indonesia

abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu bu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 174: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A2/KFM ….. P: sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (Sudah luhur to ini? Saya mendahului) Mt: nggeh, monggo. (Iya, silahkan). Konteks : P dan Mt merupakan _esame abdi dalem di keraton. Mereka sudah mengenal cukup lama. P dan Mt sedang berbincang-bincang di tepas, mereka berbicara sudah cukup lama. Mereka saling berhadapan. P sudah berkali-kali melihat langit dan terlihat tidak tenang. Setelah pembicaraan cukup serius P dan Mt saling diam dan tidak ada pembicaraan. P dan Mt hanya melihat para wisatawan yang sedang melakukan kunjungan dan sesekali membahas topik yang mereka bicarakan. Kemudian P mengatakan tuturan sampun luhur to niki? Dan tanpa mendengar tanggapan Mt, P langsung berpamitan untuk mendahului Dilihat dari usianya Mt lebih tua dibanding P. P

Mengakhi

ri

pembicaraa

n

- -

Tuturan sampun luhur to

niki? Kulo ngrumiyini.

(Sudah luhur to ini? Saya

mendahului) merupakan

tuturan yang tidak

dimaksudkan untuk

pemberitauan kepada mitra

tutur tetapi digunakan

mengantarkan penutur

untuk menyampaikan

maksud dalam konteks ini

mengakhiri pembicaraan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 175: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

menghormati Mt sehingga ketika P ingin pergi dan mengakhiri pembicaraan ia tidak langsung pamit tetapi mengatakan sesuatu yang sudah sama-sama mereka ketahui. Mt yang menghargai P sudah mengetahui maksud P sehingga Mt langsung menpersilakan P.

A3/KFM Suasana sepi P: wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan. (wah, tehnya pahit ini mbak, yang buat itu ,memang.) MT : hehe.. P : sudah masukin surat belum mbak? MT : sudah, pak. Kemarin bapak juga yang menerima sama bu Yatmi. Konteks: P merupakan abdi dalem yang sedang berjaga di tepas security. Tiba-tiba ada seorang mahasiswa (MT) datang ingin berkunjung ke perpustakaan keraton. MT yang sedang menunggu temannya duduk di depan tepas bersama P. Mereka duduk bersebelahan dan di tempat yang sama tetapi

Mengawali

atau memulai

pembicaraan

- - Tuturan wah teh e pait iki mbak. Seng gawe jan merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan bukan untuk memnginformasikan kepada mitra tutur bahwa teh yang diminum oleh penutur itu pahit tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan dengan mitratutur agar akrab dan menunjukkan keramahan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 176: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

tidak ada pembicaraan di antara mereka. Hal itu terjadi selama beberapa menit. Kemudian P masuk untuk mengambil minum dan mengatakan tuturan “wah the e pait iki mbak. Seng gawe jan” P masyarakat berlatar belakang budaya Jawa, ia merasa tidak nyaman ketika bersama MT tetapi tidak ada pembicaraan atau interaksi. P mengatakan tuturan yang sudah ia ketahui dan membicarakannya pada MT agar P bisa memulai pembicaraan lanjut dan saling berinteraksi. P seorang abdi dalem keraton yang ingin menujukkan keramahan pada tamu-tamu yang sedang berkunjung ke Kraton.

A4/KFM P : Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? Kalau mau duduk sini boleh kok. MT: Iya bu. Oow, duduk di sini boleh ya? P: boleh kalau mau duduk di sini, pokoknya kalau tidak ada tulisan dilarang boleh silahkan.

Mengawali

atau

memulai

pembicaraa

n

Mitra tutur bukan orang jawa

Tuturan Sendiri ini mas

wisatanya, gak sama

teman-temanya?

Merupakan bentuk

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut digunakan

bukan untuk menanyakan

sesuatu yang sudah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 177: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

MT: yaya, ibu. Terimakasih P: asalnya dari mana? Konteks : P sedang duduk di Pendopo gamelan untuk istirahat. P sudah agak lama memperhatikan MT yang sibuk mengurus tasnya yang besar dan terlihat berat serta bingung untuk mencari tempat. P mengetahui bahwa Mt berwisata sendiri. Di Pendopo Gamelan pada waktu itu masih sepi belum ada pengunjung. Para abdi dalem lain sedang siap-siap untuk bermain gamelan. Pada waktu MT berada di dekat P ia mengatakan tuturan Sendiri ini mas wisatanya, gak sama teman-temanya? P tidak mengenal Mt karena Mt seorang wisatawan. P yang tahu bahwa Mt mencari tempat duduk. P tidak langsung meminta Mt untuk duduk meskipun ia tahu. P mengatakan tuturan tersebut untuk menunjukkan keramahan

diketahui oleh penutur

tetapi tuturan tersebut

digunakan untuk

mengawali pembicaraan.

Wujud komunikasi fatis

dalam tuturan tersebut yaitu

murni karena tuturan

tersebut sesuai dengan

realitasnya yaitu mitra tutur

sedang berwista ke karaton

sendiri.

Tuturan tersebut mengalami

pergeseran dengan maksud

agar komunikasi mudah

dipahami. Lebih dari itu,

penutur menggunakan

komunikasi dengan bahasa

Indonesia karena mitra

tutur berasal dari luar jawa

yang sedang berwisata.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 178: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

kemudian memberitahu Mt.

A5/KFM PT : wilujeng injing, Co (Selamat pagi, Co) MT : mangga (mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. P berjalan membawa sesaji, ketika sampai pedopo gamelan barat P bertemu abdi dalem lain dan mereka berpapasan. P mengatakan tuturan wilujeng injing, Co ketika tepat berpapasan dengan Mt. Mereka sudah sama-sama tahu bahwa mereka akan berpapasan karena dari jauh sudah bisa diketahui. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut di antar mereka. P dan Mt sasama abdi dalem keraton. P lebih muda dibanding Mt sehingga ketika berpapasan P mengatakan tuturan terlebih dahulu. P ingin menghormati Mt meskipun mereka merupakan sesame abdi dalem. Begitu juga dengan Mt, dan Mt juga ingin

Bertegur

sapa

- - Tuturan wilujeng injing,

Co merupakan bentuk

komunikasi fatis karena

digunakan bukan untuk

menginformasikan kepada

mitra tutur bahwa hari itu

pagi, tetapi merupakan

wujud tuturan untuk

menjalin hubungan baik

antarpenutur. Tuturan

tersebut merupakan wujud

komunikasi fatis murni

artinya tuturan tersebut

sesuai dengan realitasnya

pagi hari.

Masyarakat jawa memiliki budaya tegur sapa sebagai salah satu cara membina hubungan baik antarpenuturnya. Hal ini tampak dalam tuturan tersebut karena merupakan Hal yang sudah sama-sama

diketahui atau dimengerti.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 179: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

menghargai dengan menanggapi tuturan P.

A6/KFM P: njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?) MT: ngantuk hawane (suasananya ngantuk) P : inggih, mangga. (iya, mari) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem berjenis kelamin perempuan. Pada waktu itu, P sedang mengantar tamu yang sedang berwisata di Kraton. P melihat MT sedang berpatroli di samping tepas Banjarwilopo. Beberapa saat kemudian, P yang akan mengantar tamu untuk keluar melihat MT yang sedang duduk dengan wajah capek di dekat pendopo sambil melihat gamelan. P melewati MT sehingga P mengatakan tuturan “njenengan sampun sayah niki jam sementen? (kamu sudah capek jam segini?) ” Mt dan P merupakan abdi dalem yang sudah saling

Bertegur

sapa

Eufemisme : Pekeniro ke njenengan

abdi dalem yang sudah tidak fasih berbahasa bagongan karena penggunaan bahasa jawa krama,madya yang lebih sering dipakai.

Tuturan njenengan

sampun sayah niki jam

sementen? Merupakan

bentuk dari komunikasi

fatis karena tuturan tersebut

tidak digunakan untuk

menanyakan informasi pada

mitra tutur tetapi tuturan

tersebut digunakan untuk

membina hubungan sosial.

Selain itu tuturan tersebut

merupakan wujud dari

komunikasi fatis murni

karena kefatisan dalam

tuturan tersebut sesuai

dengan realitasnya

Tuturan fatis tersebut

terdapat wujud pergeseran

asosiasi yaitu pada kata

njenengan . Sebelumnya,

abdi dalem karaton

menggunakan kata pekeniro

sekarang kata tersebut

bergeser menjadi

njenengan. Artinya,

sebenarnya P menggunakan

kata pekenira untuk

menyapa sesame abdi

dalem di dalam

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 180: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

mengenal. P yang sudah mengenal MT dengan baik akan menyapa ketika bertemu dengan MT, meskipun P mengatakan tuturan yang sudah P ketahui .

percakapannya.

A7/KFM PT : keseso mas? (terburu-buru mas?) MT : kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? (kanjeng,ada siapa kok sendirian? PT : Hanggeh (Iya) Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem. P sedang duduk di pendopo menyaksikan pertujukkan tari dan sedang mengawasi wisatawan. Ketika sedang duduk, P tahu bawah Mt sedang berjalan cepat seperti terburu-buru dan akan melewati depan P. P mengatakan tuturan keseso mas? Ketika Mt melewati depan P sebagai bentuk sapaan karena mereka sudah saling mengenal. MT pun menjawab dengan singkat dengan tuturan kanjeng. Wonten sinten kok kiyambakan? sebagai bentuk kepedulian

Bertegur

sapa

Honorifik : konco ke mas

Eufemisme : wenten ke wonten

perkembangan

sosial budaya

yaitu pihak

karaton yang

sudah terbuka

dan menerima

masyarakat dari

luar.

abdi dalem yang

sudah tidak fasih

menggunakan

bahasa bagongan

karena

penggunaan

bahasa jawa

krama lebih

sering dipakai.

Tuturan tercetak tebal

tersebut merupakan wujud

komunikasi fatis murni

karena penutur mengatakan

sesuatu yang sudah ia

ketahui jawabannya tetapi P

katakana untuk

menunjukkan kepedulian.

Di dalam tuturan fatis

tersebut terdapat pergeseran

dengan wujud generalisasi

pada kata mas.

Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan

kata sapaan co yang

maksudnya konco atau

teman. Namun, sekarang

konco atau co mengalami

pergeseran yaitu mas untuk

menyebut mitra tutur yang

laki-laki yang lebih muda

dan dihargai.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 181: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

terhadap P. Mt pun menanggapi P dengan tetap berjalan tetapi lebih pelan dibanding sebelumnya. P dan Mt sudah saling mengenal sehingga dua hubungan sosial keduanya akan tetap terjalin jika ada rasa kepedulian.

A8KFM P : Sinten niku? Duhh hehe (siapa itu? Duh hehe) MT: ndak pundhi, niki (mau kemana, ini?) P : menunjuk arah Konteks: P merupakan abdi dalem

dan Mt penjual di dalem

lingkungan keraton. Mt

sedang berbincang-bincang

dengan salah satu

wisatawan dan melihat

keberadaan P yang akan

melewati warung miliknya.

P dan Mt sudah terlihat

sama-sama tahu dan terlihat

akan bertegur sapa. Ketika

P sudah hampir mendekati

Mt, P mengatakan tuturan

Sinten niku,duhh? Hehe.

Mt menjawab dengan

Bertegur

sapa

- - Tuturan Sinten niku?

Duhh hehe merupkan

bentuk komunikasi fatis

karena tuturan tersebut

bukan penutur gunakan

untuk bertanya dan ingin

megetahui siapa yang

berbicara dengan mitra

tutur tetapi digunakan

untuk saling bertegur sapa.

Selain itu, tuturan tersebut

berwujud komunikasi fatis

murni karena penutur

mengatakan tuturan yang

sesuai dengan realitas

bahwa mitra tutur sedang

berbincang-bincang dengan

orang lain.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 182: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

berbalik bertanya pada P. P

tidak menjawab hanya

menunjukkan arah, Mt

yang sedang berbicara

dengan wisatawan tidak

merespon kembali. P

menyapa terlebih dahulu

karena P mengetahui bahwa

Mt sedang berbicara

dengan orang lain.

A9/KFM P : sugeng enjang. (Selamat pagi) Mt : mangga (Mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi dalem. Mt sedang berdiri mengawasi para wisatawan sedangkan P sedang membawa nampan yang berisi buah dan bunga (sesajen). Dari jauh P tidak tahu kalau Mt berada di tempat itu, karena dikerumuni oleh wisatawan. Pada waktu P berjalan mendekati Mt, para wisatawan itu pergi dan P dapat melihat MT. Ketika P melewati persis di depan Mt, P mengatakan tuturan sugeng enjang pada Mt. Mt yang megetahui hal itu kemudian menjawab

Bertegur

sapa

- - Tuturan sugeng enjang

merupakan bentuk dari

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut digunakan

untuk menjaga hubungan

sosial antarpenutur yaitu

ramah tamah. Tuturan

tersebut bukan merupakan

tuturan untuk

menginformasikan atau

bersifat informative. Selain

itu wujud tuturan tersebut

yaitu komunikasi fatis

murni karena penutur

membina hubungan sosial

dengan mitra tutur dengan

mengtakan tuturan yang

sesuai dengan realitasnya

yaitu pagi hari.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 183: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

tuturan P. Setelah tuturan tersebut tidak ada pembicraan antara P dan Mt.

A10/KFM P : sendirian mbak? (menundukkan kepala) Mt: njeh. P: …… Konteks: P seorang abdi dalem dan Mt merupakan tamu yang sedang duduk di tepas security. Sebelumnya Mt pernah bertemu P di tempat lain dan ketika bertemu Mt memang selalu sendiri. Pada waktu itu P baru selesai berpatroli mengelilingi karaton danmenuju ke tepas. P mengatakan tuturan sendirian mba? Dan kemudian duduk bersebelahan dengan Mt. Setelah tuturan tersebut P berbincang-bincang dengan Mt.

Mengawali

pembicaraa

n

- - Tuturan sendirian mbak?

Merupakan bentuk

kmuikasi fatis karena

tuturan bukan digunakan

untuk menanyakan

informasi. Tuturan tersebut

merupakan tuturan yang

penutur gunakan untuk

mengawali pembicaraan

dengan seorang tamu yang

sudah dikenal. Selain itu

penutur juga ingin

menunjukkan kesopanan

karena penutur ingin duduk

di sebelah mitra tutur

sambil istirahat. Selain itu

tuturan sendirian mbak?

Merupakan wujud dari

komunikasi fatis murni

karena tuturan tersebut

sesuai dengan realitas

bahwa mitra tutur memang

sedang sendiri

A11/KFM …. P: Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah jam segini sudah tidak panas) Mt : pun sakniki mboten

Memperta

hankan

komunikasi

Eufemisme : Mboya ke mboten

perkembangan

bahasa dan juga

sosial budaya

yaitu pihak

karaton yang

Tuturan Wah, jam

sementen pun mboten

panas merupakan wujud

komunikasi fatis murni

karena (bukan sebuah

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 184: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

saget ditebak. P: wau dalu kulo niku medhal walah uademe. ….. Konteks: P dan Mt merupakan abdi dalem kraton. Pada waktu itu P sedang mengawasi para wisatawan. Tiba-tiba Mt datang untuk menghampiri P yang sedang berdiri sendiri. Mt memang ada keperluan, membicarakan sesuatu yang penting. Di tengah-tengah pembicaraan ada wisatawan yang datang untuk bertanya pada Mt dan P. Pembicaraan mereka pun terhenti. Setelah wisatawan itu pergi mereka tidak melanjutkan pembicaraan tetapi diam sejenak. Kemudian P mengatakan tuturan Wah, jam sementen pun mboten panas. (Wah jam segini tidak panas) hal itu tidak sesuai dengan topik pembicaraan di awal. Setelah tuturan tersebut Mt dan P kembali membicarakan topik sebelumnya.

sudah terbuka

dan menerima

masyarakat dari

luar.

informasi yang akan

diberikan kepada mitra

tutur bahwa cuaca sudah

tidak panas tetapi penutur

gunakan untuk menjaga

komunikasi.

Tuturan fatis tersebut mengalami pergeseran dengan wujud asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata Mboya tetapi sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu mboten

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 185: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A12/KFM P: sehat, Romo? (sehat, bapak?) Mt: pengestunipun (doanya) P: …. Konteks : Mt sedang duduk dan

menonton televise di pos

jaga parkiran belakang

bersama abdi dalem lain.

Pada waktu itu sepi

bahkan seperti tidak ada

pembicaraan di antara para

abdi dalem lain di pos

tersebut. Beberapa menit

kemudian, P datang dari

dalam ingin bergabung

dan sepertinya ada

keperluan dengan Mt. P

pun mendekati Mt dengan

mengatakan tuturan sehat,

Romo. P dan Mt

merupakan sesame abdi

dalem tetapi dilihat dari

usianya, Mt lebh tua

dibandingkan dengan P.

Setelah tuturan tersebut

keduanya duduk

berhadapan dan

membicarakan sesuatu.

Mengawali

pembicaraa

n

Honorifik : Co ke romo

Perkembangan

sosial budaya

yaitu pihak

karaton yang

sudah terbuka

dan menerima

masyarakat dari

luar.

Tuturan sehat, Romo?

Merupakan wujud

komunikasi fatis murni

karena tuturan tersebut

bukan sebuah tuturan yang

digunakan tetapi sebagai

pengantar kepada mitra

tutur untuk berbicara

mengenai suatu hal.

Tuturan fatis tersebut

terdapat pergeseran

secarageneralisasi pada kata

romo..

Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan

kata sapaan co yang

maksudnya konco atau

teman. Namun, sekarang

konco atau co mengalami

pergeseran yaitu romo.

A13/KFM P: Sampun, Romo? (Sudah, bapak?)

Bertegur

sapa

Honorifik Co ke romo

perkembangan

sosial budaya

Tuturan terssebut bukan

merupakan tuturan yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 186: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mt: (menundukkan kepala). Niki kok saged babarengan.hehe. Monggo. (ini kok bisa bersama-sama.hehehe.mari) Konteks : P dan Mt merupakan abdi

dalem yang sedang

melakukan presensi. Mt

datang terlebih dahulu

kemudian tanda tangan. Di

belakang P ada Mt yang

akan tanda tangan juga.

Ketika Mt sudah selesai

Mt berbalik dan melihat P.

Mt dan P saling mengenal

sehingga P mengatakan

tuturan Sampun, Romo?

Mt yang mengetahui

maksud P pun membalas

dengan niki kok saged

babarengan.hehe.

Monggo.

yaitu pihak

karaton yang

sudah terbuka

dan menerima

masyarakat dari

luar.

menanyakan sebuah

informasi. Artinya penutur

mengatakan tuturan

tersebut tidak

mengharapkan jawaban

sesuai dengan pertanyaan

karena P sudah mengetahui

jawaban dari tuturan

tersebut. Dengan demikian

tuturan tersebut merupakan

wujud komunikasi fatis

murni

Tuturan fatis tersebut

terdapat pergeseran secara

generalisasi pada kata

romo. Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan

kata sapaan co yang

maksudnya konco atau

teman. Namun, sekarang

konco atau co mengalami

pergeseran yaitu romo.

A14/KFM P: Mboten mriko? (tidak ke sana) MT: Ngantuk. Konteks: P sedang berjalan dari arah tepas security menuju gerbang utama. ketika

Bertegur sapa

Eufemisme : Mboya ke mboten

abdi dalem

yang sudah

tidak fasih

karena

penggunaan

bahasa jawa

krama lebih

Tuturan tersebut merupakan wujud komuniaksi fatis murni. Kefatisan tuturan tersebut lebih jelas dilihat ketika mitra tutur menjawab pertanyaan penutur tidak sesuai dengan topik tetapi penutur tidak

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 187: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

berjalan melewati pendopo gamelan ia berpapasan dengan MT . Mereka sudah sama-sama mengetahui bahwa akan berpapasan. setelah jarak semakin dekat P mengatakan tuturan Mboten mriko? (tidak ke sana?). Mt pun menjawab dengan ala kadarnya. setelah mengatakan tuturan tersebut P dan Mt tidak melanjutkan pembicaraan.

sering

dipakai.

menanyakan ulang atau sudah merasa puas. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan realita saat tuturan itu terjadi. Selanjutnya, tuturan fatis tersebut terdapat pergeseran sevara asosiasi pada kata mboten. Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata mboya. Namun, mboya mengalami pergeseran yaitu mboten.

A15/FKM P: Ngeteh niki? (minum teh ini?) MT: Enggeh men padang. Konteks: P dari arah luar masuk ke tepas sequrity. ketika sampai dalam, P melihat MT yang sedang minum teh. di dalam tepas mereka hanya berdua sehingga P mengatakan tuturan Ngeteh niki? (minum teh ini?) Setelah tuturan tersebuttidak ada pembicaraan kembali antara P dan Mt. Mt berdiri di dekat pintu sedang P sedang menulis sesuatu.

Bertegur sapa

- - Tuturan tersebut penutur katakan bukan untuk menanyakan sesuatu hal yang sudah penutur ketahui yaitu mitra tutur minum teh. Namun penutur katakana sebagai bentuk sapaan karena penutur tiba di ruangan tersebut. Dengan demikian tuturan tersebut mempunyai wujud komunikasi fatis murni

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 188: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A16/KFM P: kulon nuwun (permisi) MT: mangga, sehat mbak? (silahkan, sehat mbak?) P:njeh pak, matur nuwun. Bu Yati rawuh dereng pak? (Iya pak, terima kasih. Bu Yati sudah datang?) Konteks: P merupakan tamu di karaton. P datang ke tepas sequrity untuk mencari Bu Yati. Pada waktu itu Mt sedang membaca Koran di dalam tepas. P dan Mt sudah saling mengenal. Ketika tuturan terjadi, di tepas hanya ada MT. setelah tuturan terjadi P dan MT membicarakan topik yang berbeda.

Mengawali pembicaraan

Tuturan terebut merupakan wujud dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan pertanyaan yang benar-benar membutuhkan jawaban. Artinya tuturan tersebut bersifat komunikatif bukan informative. Tuturan tersebut dituturkan untuk menghargai penutur yang menunjukkan sikap sopan terhadap mitra tutur. Hal itu akan mempengaruhi hubungan sosial antar penuturnya.

A17/KFM P: sugeng enjang kanjeng, wenten tamu. (selamat pagi kanjeng, ada tamu.) Mt: enggeh, saking pundi? (iya, dari mana?) Konteks : P dan MTmerupakan abdi dalem yang berada dalam satu tepas. Pada waktu itu P sedang bertemu dengan tamu. MT tidak tahu apa yang sedang dilakukan oleh P karena pada waktu

Mengawali pembicaraan

Tuturan sugeng enjang (selamat pagi )merupakan wujud dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut sesuai dengan situasi pada waktu tuturan terjadi yaitu pagi hari. Namun, tuturan tersebut bukan digunakan untuk menyampaikan informasi pada mitra tutur bahwa pada waktu itu pagi hari, tetapi digunakan untuk hubungan sosial yaitu

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 189: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

itu MT sedang duduk membaca buku dan menulis. Tamu tersebut ternyata ingin bertemu dengan MT. P mengantar tamu tersebut untuk bertemu MT yang sedang membaca buku di dalam ruangan itu juga. P dan MT merupakan masyarakat berlatarbelakang Jawa yang berusia lebih dari 50 tahun.

bersikap sopan agar mitra tutur tidak tersinggung.

A18/KFM P: sami wilujeng? (kabarnya baik?) MT: pengestunipun (doanya) P: pekeniro rapat jam pinten? (kamu rapat jam berapa?). ….. Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang berada di dalam tepas yang sama. sebelum berbicara dengan MT, P berbicara dengan abdi dalem lain cukup lama. MT pada waktu itu sedang membaca buku dan mengetahui keberadaan P. setelah P selesai berbicara dengan abdi dalem lain, P menemui MT. Mt tidak lagi membaca buku tetapi

Mengawali pembicaraan

Tuturan sami wilujeng? Merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk mencari atau menanyakan keadaan mitra tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan ada itra tutur. Selian itu tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa mitra tutur sedang baik-baik saja atau sehat.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 190: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

sedang mencari sesuatu di mejanya ketika P datang. P mengatakan tuturan sami wilujeng? (kabarnya baik?) Kepada MT. setelah tuturan tersebut P duduk dan berbicara cukup lama dengan MT.

A19/KFM P: sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? (selamat pagi kanjeng, baru datang?) MT: wenten tamu wau. monggo. (ada tamu tadi. mari) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. dalam setiap harinya P dan MT bertugas di tepas yang sama. P sedang menulis di tepas. dari kejauhan MT berjalan menuju tepas. P tahu bahwa MT akan masuk dan melewati depan P. ketika MT masuk P mengatakan tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? setelah tuturan tersebut tidak ada pembicaraan lebih lanjut, P dan MT melanjutkan aktivitas masing-masing.

Bertegur sapa

Tuturan sugeng enjang, nembe dugi kanjeng? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan dignakan oleh penutur utnuk menanyakan nformasi tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenutur dengan bertegur sapa. Selain itu, dapat dikatakan murni karena penutur mengatakan tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan. Artinya pada waktu tuturan tersebut memang mitra tutur sedang datang dan berpapasan oleh penutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 191: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A20/KFM P: ngawan ngawani niki? (kesiangan ini?). MT: sugeng enjang, monggo. (selamat pagi, mari) Konteks : P dan MT merupakan abdi dalem yang saling mengenal. P berada dari arah barat dan MT dari arah timur dan baru datang.mereka berpapasan. ketika mereka berpapasan P mengatakan tuturan ngawan ngawani niki? dan Mt tidak menjawab sesuai dengan topik yang dibicarakan. setelah Mt merespon P , mereka tidak melanjutkan pembicaraan dan melalukan aktivitas masing-masing.

Bertegur sapa

Tuturan ngawan ngawani niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan semata-mata untuk menanyakan informasi pada mitratutur tetapi untuk bertegur sapa. Selain itu tuturan tersebut sesuai dengan kenyataan bahwa ketika mereka bertemu mitra tutur sedang tiba di karaton dan lebih siang dibanding penuturnya.

A21/KFM P: Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? (bagaimana ini Bu Yati, beritanya kok isinya seperti gini?) Mt: hahahah,pripun maleh pak. (Pripun meleh pak) ….. Konteks : P dan Mt merupakan abdi

dalem yang sedang berada

Mencairka

n suasana

Honorifik : co ke bu perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.

abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa

Tuturan Dhos pundhi niki bu Yati beritane kok isine koyo ngene? Merupakan bentuk komunkasi fatismurni karena tuturan tersebut bukan untuk menyampaikan protes atau pemberitahuan sesungguhnya kepada mitra tutur. Namun, penutur mencaikan suasana pada waktu itu. Selanjutnya, tuturan tersebut berwujud

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 192: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

di tepas security. Dalam

tepas tersebut terdapat tiga

orang yang salah satunya

tamu. Tidak ada

pembicraan di antara

mereka. P sedang

membaca Koran, Mt

sedang duduk dan hanya

melamun. Dalam keadaan

hening P tiba-tiba

mengatakan tuturan Dhos

pundhi niki bu Yati

beritane kok isine koyo

ngene? Sambil menutup

Koran yang dibaca. Mt

sepertinya sudah paham

bahwa hal itu tidak perlu

dikomentari sehingga Mt

tidak menanggapi terlalu

banyak. Setlah tuturan

tersebut P dan Mt

berbincang-bingan

mengenai topik yang

berbeda.

krama lebih sering dipakai

komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan tersebut benar-benar terjadi, berita yang sedang dibaca penutur memprihatinkan dan lain sebagainya. Tuturan tersebut terdapat

pergeseran secara

generalisasi pada kata bu bu

Yati . Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama

abdi dalem menggunakan

kata sapaan co yang

maksudnya konco atau

teman. Namun, sekarang

konco atau co mengalami

pergeseran yaitu bu.

A22/KFM P: Minggu-minggu, uwong uwong ki do piknik yo mbak biasane? (Minggu-minggu, orang-orang itu pada piknik ya mba biasanya?) Mt: njih pak, kesempatan. (Iya pak, kesempatan.)

Mengawali

pembicaraa

n

- - Tuturan Minggu-minggu,

uwong uwong ki do

piknik yo mbak biasane?

Merupakan bentuk

komunikasi fatis karena

tuturan tersebut bukan

bersifat informative atau

digunakan untuk

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 193: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

P: Mbake ki asli pundhi to? (Mbak e asli mana?) Konteks : P adalah abdi dalem

sedangkan Mt adalah

tamu.P sedang berada di

depan gerbang pintu

masuk karaton. P dan Mt

sudah saling mengenal

karena Mt sedang

melakukan penelitian di

Karaton. Mt berdiri di

dekat P dan wisatawan

sedang datang secara

bergerombolan.

Sebelumnya memang

tidak ada pembicaraan

karena Mt baru saja datang

kemudian berada di dekat

P. Ketika wisatawan sudah

tidak begitu banyak yang

datang suasana menjadi

sepi kemudian P

mengatakan Minggu-

minggu, uwong uwong ki

do piknik yo mbak

biasane? Setelah tuturan

tersebut P dan Mt

berbincang-bincang

membahas mengenal

daerah tempat tinggal Mt.

memberikan informasi

kepada mitra tutur. Tuturan

tersebut penutur gunakan

untuk mengawali

pembicaraan kepada mitra

tutur agar keduanya dapat

berbincang-bincang dan

lebih akrab. Selain itu

tuturan tersebut sesuai

dengan realitas. Artinya

bahwa tuturan tersebut

penutur katkan karena

melihat melihat banyak

wisatawan yang berkunjung

ke karaton.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 194: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

A23/KFM P: ndak pundi niki? (pergi kemana ini?) MT: padhos angin niki.hehe monggo (cari angina ini,hehe mari) Konteks: P dan MT seorang abdi dalem. P sedang berdiri di depan pintu utama untuk mengawasi para wisatwan. MT dari arah dalam karaton keluar melewati pintu utama. tuturan tersebut terjadi ketika MT melwati depan P. sebelumnya P sudah mengetahui bahwa MT akan berjalan melewati. ketika MT berjalan dan berada di dekat P, P mengataan tuturan ndak pundi niki? Setelah tuturan tersebut P dan MT tidak melanutkan pembicaraan.

Bertegur sapa

Tuturan ndak pundi niki? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Tuturan tersebut penutur katakan bukan semata-mata untuk bertanya kepada mitra tutur kemana ia akan pergi tetapi digunakan untuk bertegur sapa agar tidak ada prasangka buruk keduanya. Selain itu, tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur mengtakan tuturan tersebut karena melihat mitratutur keluar dari pintu utama karaton.

A24/KFM P: sugeng enjang, sehat? (selamat pagi, sehat) MT: pangestunipun,kanjeng (doanya kanjeng) Konteks: P dan MT merupakan abdi dalem karatan. namun P merupakan kerabat sultan yang mempunyai jabatan

Bertegur sapa

Tuturan sugeng enjang, sehat? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan untuk menanyakan dan memberi sebuah informais kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk membina hubungan sosial antarpenuturnya. Hubungan sosial tersebut

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 195: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

lebih tinggi dibanding dengan MT. Tuturan terjadi ketika P ingin beremu dengan abdi dalem lain yang bertugas di tempat yang sama dengan MT. P masuk dalam tepas dan melihat MT sedang membaca buku. MT melihat P yang masuk ke dalam tepas sehingga P mengatakan tuturan sugeng enjang, sehat?. MT pun merespon tuturan P tetapi setelah itu tidak ada pembicaraan lebih lanjut. P kemudian bertemu abdi dalem lain dan MT melanjutkan aktivutasnya.

dapat berupa keramahtamahan, kepedulian. Selain itu tanggapan mitra tutur yang tidak relevan memperkuat bahwa tuturan tersebut berupakan bentuk dari komunikasi fatis. Selanjutnya tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya tuturan terjadi pada pagi hari dan mitra tutur tampak sehat karena bisa melakukan aktivitas di karaton dengan baik.

A25/KFM P: kiyambakan, Romo? (sendirian, romo?) MT: saking pundhi niki? (Dari mana ini?) P: ….. Konteks: P dan MT mrupakan abdi dalem. Mt abdi dalem yang mempunyai usia lebih tua dibanding P. Mt sedang duduk dan menonton televisi pos parkiran belakang. MT dari arah dalam melihat P yang sedang duduk sendiri di tempat itu. MT memang

Mengawali pembicara

an

Honorifik: co ke romo

Tuturan kiyambakan, Romo? Merupakan bentuk komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan keberadaan mitra tutur tetapi digunakan untuk mengawali pembicaraan. Tuturan tersebut sesuai dengan realitasnya. Artinya pada waktu tuturan terjadi mitra tutur sedang sendiri. Oleh sebab itu pernyataan yang sesuai realitasnya tersebut digunakan penutur untuk mempertahankan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 196: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

sengaja ingin duduk dan bergabung bersama MT. tuturan kiyambakan, Romo? dikatakan oleh P ketika ia masuk dalam pos tersebut

hubungan sosial yaitu penutur ingin bersikap sopan terhadap mitra tutur. Tuturan fatis tersebut terdapat pergseran secara generalisasi pada kata romo Sebelumnya, dalam lingkungan keraton sesama abdi dalem menggunakan kata sapaan co yang maksudnya konco atau teman. Namun, sekarang konco atau co mengalami pergeseran yaitu romo

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 197: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

KODE DATA PERTUTURAN

DAN KONTEKS

MAKNA

PRAGMA

TIK PERGESERAN

FAKTOR PENYEBAB

Keterangan

TRIANGULATOR

KOMENTAR Setuju

Tidak

setuju

B1/KFP P : yaa, begitu. Bisa

dikatakan dari situlah

bahasa bagongan mulai

bergeser karena sudah

tidak ada lagi istilah

magang.

MT: iya, baik kanjeng.

Ehmm (melihat daftar

pertanyaan)

Senyap

P: sudah jalan-jalan

keliling kraton belum?

MT: baru sampai

belakang situ, kanjeng.

Ini Kanjeng, saya mau

Tanya lagi.

P: oiya,iya silahkan tadi

hanya selingan saja.

……

Konteks :

P sedang diwawancari

oleh Mt. P menjelaskan

mengenai bahasa

bagongan yang sudah

jarang digunakan oleh para

abdi dalem. Mt

menengaskan pernyataan

P mengenai pertanyaan

Mempertah

ankan

komunikasi

- - Tuturan sudah jalan-jalan

keliling kraton belum?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut tidak semata-

mata digunakan untuk

menanyakan sebuah informasi

tetapi digunakan untuk

mempertahankan komunikasi

yang sedang berlangsung.

Kesenyapan yang terjadi di

dalam sebuah komunikasi akan

mengganggu hubungan sosial

antarpenutur terlebih P sedang

berbicara dengan seorang tamu.

Wujud dari komunikasi fatis

tersebut yaitu polar. Artinya

tuturan tersebut tidak sesuai

dengan realitasnya, tuturan

tersebut dituturkan agar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 198: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

wawancara. Ketika Mt

sedang sibuk mencari

daftar pertanyaan

selajutnya, terjadi

kesenyapan antara P dan

Mt. Mt terlihat bingng

karena kehilangan daftar

pertanyaan dan P yang

hanya menunggu dan

melihat Mt. P mengatakan

tuturan sudah jalan-jalan

keliling kraton belumn?

Ketika Mt yang sedang

mencari daftar pertanyaa

wawancara untuk mengisi

keheningan yang terjadi

antara P dan Mt. Setelah

itu Mt, P melakukan

Tanya jawab kembali.

B2/KFP P : cucu saya kemarin

juga minta saya suruh

nambani mbak. Lalu saya

mintakan ke situ

MT: langsung sembuh ya

Bu?

P1 : Iya mba.

Senyap (P1 dan P2 hanya

diam dan tidak terjadi

interaksi)

P : mbak e kalau hari

Minggu ada acara gak?

MT : Jarang, Bu.

Mempertaha

nkan

komunikasi

agar tetap

berlangsung

Mitra tutur tidak berlatarbelakang

budaya Jawa.

Tuturan mbak e kalau hari

Minggu ada acara gak?

Merupakan bentuk dari

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebu bukan semata-

mata untuk mengetahui aktivitas

mitra tutur tetapi digunakan

untuk mengakraban dan

menunjukkan keramahtamahan.

Selanjutnya, tuturan tersebut

tidak sesuai dengan realitas yang

sebenarnya. Artinya tuturan

tersebut tidak benar-benar

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 199: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

P : …..

Konteks :

P seorang abdi dalem

berjenis kelamin

perempuan. MT seorang

mahasiswa yang sedang

melakukan penelitian. MT

datang terlalu pagi dan

melihat di dalam keraton

belum banyak aktivitas.

MT menunggu di tepas

security dan ditemani P. P

bercerita mengenai aturan-

aturan yang berhubungan

dengan adat budaya di

dalam keraton. Setelah

beberapa menit mereka

berbicara MT dan P

berhenti karena tidak ada

yang diceritaan lagi. MT

dan PT sama menatap

pendopo untuk melihat

gamelan. Kesenyapan

terjadi di antara mereka,

tidak ada pembicaaran dan

di tepas tersebut mereka

hanya berdua. Sehingga P

mengatakan tuturan

“mbak e kalau hari

Minggu ada acara gak?”

Kepada Mt dan berlanjut

digunakan untuk mencari tahu

agenda mitra tutur pada hari

Minggu tetap hanya unuk

mengisi kesenyapan dalam

komunikasi.

Tuturan tersebut terdapat

pergeseran dari bahasa daerah

(bahasa JAwa) ke bahasa

Indonesia. Sebenarnya, penutur

menggunakan bahasa Jawa

untuk berkomunikasi tetapi agar

mudah dipahamioleh mitra tutur,

tuturan bergeser menjadi bahasa

Indonesia.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 200: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

berbincang-bincang

meskipun dengan topik

yang berbeda.

B3/KFP P : sekedap nggih mas.

(sebentar ya mas)

MT : injih. (Iya)

Senyap

PT: njenengan ngobrol

kaleh mbak e niki nggeh

angsal kok. Hehe. Nggeh

to mba? (Anda berbicara

sama mbaknya dulu boleh

kok. Heheh. Iya kan mba?)

MT2: senyum

PT : niki sampun bener

nanging dereng pener.

Ngapunten nggih

njenengan gantos riyen.

(Ini sudah bener tapi

belum tepat. Maaf ya Anda

ganti dahulu)

MT1: inggih mas, matur

nuwun

Konteks :

MT bertemu dengan P

untuk menyampaikan

berkas di Tepas Panitra

Pura. Ketika MT di Tepas

Panitra Pura P sedang

berbicara dengan MT2. P

tahu bahwa MT akan

Mempertah

ankan

komunikasi

Eufmisme pekeniro ke njenengan

abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai.

dalam masyarkat status sering kali menjadi perhatian

Dalam konteks tuturan tersebut

Apa yang dikatakan oleh P

bukanlah tuturan yang semata-

mata meminta Mt2 dan Mt1

untuk berbincang-bincang. P

hanya ingin mempertahan

komunikasi tetap berjalan agar

mitra tutur 1 dan mitra tutur 2

tidak merasa canggung. Bagi

Mt2, tuturan P akan membuat

lebih akrab. Dengan demikian

tuturan njenengan ngobrol

kaleh mbak e niki nggeh

angsal kok. Hehe. Nggeh to

mba? Merupakan bentuk

komunikasi fatis. Selain tuturan

tersebut berwujud komunikasi

fatis polar karena tersebut tidak

sesuai dengan realitasnya.

Artinya penutur tidak benar-

benar meminta mitra tutur untuk

saling berbicara hal tersebut

hanya digunakan untukmengisi

kesenyapan dalam komunkasi

tersebut.

Tuturan tersebut terdapat

pergeseran secara asosiasi pada

kata njenengan. Sebelumnya,

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 201: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

menyerahkan berkas

tersebut sehingga P

meminta MT untuk

memberikannya pada P.

Tidak ada pembicaraan

ketika P sedang

memeriksa berkas yang

MT berikan dan hal itu

terjadi hingga beberapa

menit. Setelah dua menit

tersebut P mengatakan

tuturan “njenengan

ngobrol kaleh mbak e

niki nggeh angsal kok.

Hehe. Nggeh to mba?”.

P merasa tidak enak

karena telah membiarkan

MT2 yang merupakan

tamu untuk menunggu dan

dibiarkan begitu saya. P

mengatakan hal itu sebagai

bentuk keakraban agar

MT2 merasa nyaman

berada dilingkungan

tersebut.

dalam lingkungan keraton

sesama abdi dalem

menggunakan kata pekeniro.

Namun, sekarang pekeniro

mengalami pergeseran yaitu

njenengan. selanjutnya, dalam

lingkungan keraton sesama abdi

dalem menggunakan kata

pekeniro agar tidak terlihat

adanya jarak atau tingkatan

sosial ddalamnya. Namun saat

ini bergeser menjadi njenengan

yang mempunyai maksud

menghormati mitra tuturnya.

B4/KFP P: gimana mba

penelitiannya?

Mt: alhamdulilah, saya

sering kesini pak buat

ambil data.

…..

Mengakhiri

pembicaraan

- - Tuturan setelah ini mau

ngapain? Merupakan bentuk

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut bukan untuk

mencari informasi mengenai Mt.

Tuturan tersebut digunakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 202: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

P: setelah ini mau

ngapain?

Mt:mau masuk pak,

observasi.

P: njiih, kalau gitu

monggo

Konteks :

P merupakan seorang abdi

dalem yang sering

bertugas di tepas security.

P dan Mt saling mengenal

tetapi jarang bertemu. Mt

yang baru saja datang dan

masuk tepas kaget melihat

P sedang duduk dipojok.

Mt hanya tersenyum

karena Mt harus presensi

dan mengisi data terlebih

dahulu. Setelah Mt selesai,

Mt mendekati P tetapi

ketika MT belum sampai

pada P, P sudah memulai

pembicaraan. P terlihat

seperti terburu-buru,

karena P dan Mt berbicara

dengan berdiri dan tidak

menanggapi banyak

pembicaraan Mt. P

mengangkat tas sambil

mendengarkan

untuk mengakhiri pembicaran

karena akan terkesan tidak sopan

apabila baru saja bertemu tetapi

sudah ingin segera mengakhiri.

Selain itu, tuturan tersebut tidak

sesuai dengan realitas. Realitas

tersebut dapat dilihat salah

satunya berlanjutnya topik

pembicaraan itu dibicarakan.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 203: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

pembicaraan Mt, setelah

Mt selesai berbicara P

langsung mengatakan

tuturan setelah ini mau

ngapain? Untuk segera

mengakhiri pembicaraan

dengan Mt. P langsung

pergi setelah selesai

berbicara dengan Mt.

P dan Mt sudah mengenal.

Mt menghormati P karena

P lebih tua dan merupakan

teman dosen pembimbing

Mt. P juga menghargai Mt

karena Mt merupakan

tamu di keraton yang

sedang melakukan

penelitian. P mengatakan

tuturan tersebut agar Mt

nyaman.

B5/KFP P : njenengan pun

dhahar dereng niki

Romo? (kamu sudah

makan belum ini, pak?)

MT : wah pun tigang

mangkok. (Wah sudah tiga

mangkok)

P : waa lha niku,

waras sak kabehipun.

Pripun wau dhalu? (Waa

lha itu, sehat semuanya.

Mengawali

pembicaraan

Honorifik: co ke romo

Perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.

Abdi

Tuturan njenengan pun dhahar

dereng niki Romo? Merupakan

bentuk dari komunikasi fatis

polar karena tuturan tersebut

digunakan bukan semata-mata

untuk menanyakan sebuah

informasi tetapi digunakan untuk

menggali sebuah pembicaraan.

Selain itu tuturan tersebut tidak

sesuai dengan realitas. Artinya,

sebelumnya tidak ada topik

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 204: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Bagaimana tadi malam)

Konteks :

P adalah seorang abdi

dalem Kraton berjenis

kelamin laki-laki. MT juga

seorang abdi dalem

berjenis kelamin laki-laki.

Pada waktu itu di pos jaga

belakang Kraton, terdapat

dua abdi dalem yang

sedang minum teh dan

menonton televise. Ada

pembicaraan di antara

mereka, pembicaraan

tersebut mereka lakukan

dengan menonton televise

(berita) tetapi sering kali

senyap.. Beberapa menit

kemudian, P datang dari

tepas security di saat para

abdi dalem lain sedang

tidak ada pembicaraan di

pos jaga belakang. P yang

ingin bergabung duduk

dan menonton televise,

datang dan bertanya

“njenegngan pun dhahar

dereng niki Romo?”

(kamu sudah makan belum

ini, pak?)

dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

pembicaraan yang relevan

dengan tuturan tersebut.

Tuturan fatis tersebut terdapat

pergeseran dengan wujud

asosiasi yaitu pada kata

njenengan. Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama abdi

dalem menggunakan kata

pekeniro. Namun, sekarang

pekeniro pergeseran yaitu

njenengan.

Selanjutunya, di dalam tuturan

fatis tersebut juga mengalami

pergeseran secara generalisasi

pada kata romo. Penutur

sehurusnya menggunakan kata

co sebagai sapaan dalam tuturan

tersebut karena co merupakan

sapaan untuk sesame abdi

dalem. Namun, kata co

mengalami pergeseran dalam

penggunaannya secara

generalisasi menjadi romo.

B6/KFP PT : ngapunten Co, kolo Mengawali - - Tuturan ngapunten Co, kolo

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 205: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

wingi wenten tamu saking

pundi? (Maaf Co,

kemarin ada tamu dari

mana?)

MT : nggeh kanjeng,

wenten saking kompas .

(Iya, kanjeng ada dari

Kompas)

PT: matur nuwun. (terima

kasih)

Konteks :

P seorang abdi dalem. P

pada waktu itu sedang

diwawancarai oleh

mahasiswa yang sedang

melakukan penelitian,pada

waktu P menjelaskan ia

lupa mengenai tamu yang

beberapa hari lalu datang

menemui P. Mt yang pada

waktu itu sedang

menyimak pembicaraan P

dan mahasiswa tersebut

ditanyai oleh P untuk

membantu mengingatkan

P. P yang tidak

mengetahui bahwa

sebenarnya ikut menyimak

mengawali pembicaraan

dengan mengatakan

tuturan ngapunten Co,

pembicaraan wingi wonten tamu saking

pundi? Merupakan bentuk

komunikasi fatis polar karena

tuturan tersebut bukan tuturan

informative yang digunakan

penutur untuk meminta maaf

tetapi Penutur katakan untuk

mengawali pembicraan dengan

cara yang lebih sopan. P

mengatakan tuturan tersebut

untuk menghargai kegiatan yang

dilakukan oleh Mt atau Mt yang

mungkin pada waktu itu sedang

sibuk.

Selain itu, tuturan fatis tersebut

tidak sesuai dengan realitasnya.

Artinya penutur mengatakan

permintaan maaf bukan karena ia

elakukan kesalahan tetapi

sebagai Pembina hubungan

sosial antarpenutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 206: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

kolo wingi wonten tamu

saking pundi?

B7/KFP P : nuwun sewu,

njenengan sibuk mboten

Romo? (permisi, kamu

sedang sibuk tidak,

Bapak?)

MT: pripun?

(Bagaimana?)

P: dipadhosi Kanjeng.

(Dicari kanjeng)

MT: wo, ngeh matur

nuwun. ( Wo,ya terima

kasih)

Konteks:

P danmt merupakan abdi

dalem yang bertugas di

Tepas Dwirapura. P

mendapat perintah untuk

memanggilkan MT yang

berada di Tepas Dwirapura

juga tetapi berada di dekat

pintu masuk. P tahu,

bahwa MT hanya sedang

membaca buku dan duduk.

Namun P tetep

mengatakan tuturan

“nuwun sewu, njenengan

sibuk mboten Romo?”

Untuk menyampaikan

pesan kepada Mt.

Mengawali

pembicaraa

n

eufemisme pekeniro ke njenengan

Honorifik co ke romo

perkembangan sosial budaya yaitu pihak karaton yang sudah terbuka dan menerima masyarakat dari luar.

abdi dalem yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

Tuturan nuwun sewu,

njenengan sibuk mboten

Romo? Merupakan bentuk

komunikasi fatis polar. Penutur

menanyaka sesuatu yang sudah

ia ketahui jawbannya. Penutur

ingin menghormati MT agar P

dapat tetap menjalin hubungan

baik dan tidak menyinggung

MT. Selanjutnya, tuturan

tersebut tidak sesuai dengan

realitas. Penutur pada waktu

tuturan tersebut tidak sedang

sibuk.

Tuturan fatis tersebut terdapat

pergeseran dengan wujud

asosiasi yaitu pada kata

njenengan. Sebelumnya, dalam

lingkungan keraton sesama abdi

dalem menggunakan kata

pekeniro. Namun, sekarang

pekeniro pergeseran yaitu

njenengan.

Selanjutunya, di dalam tuturan

fatis tersebut juga mengalami

pergeseran secara generalisasi

pada kata romo. Penutur

sehurusnya menggunakan kata

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 207: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

co sebagai sapaan dalam tuturan

tersebut karena co merupakan

sapaan untuk sesame abdi

dalem. Namun, kata co

mengalami pergeseran dalam

penggunaannya secara

generalisasi menjadi romo.

B8/KFP P : dahar dereng niki?

(Makan belum ini)

Mt: matur nuwun,

keseso. (terimakasih,

terburu-burur)

P: mangga. (silahkan)

Konteks:

P dan Mt merupakan

sesama abdi dalem yang

saling mengenal. P sedang

makan di depan pintu

masuk keraton Yogyakarta

bersama dua abdi dalem

lain. Ketika P sedang

menikmati makannya, P

melihat Mt keluar dari

pintu utama dan akan

melewati P. P dan Mt

sama-sama mengetahui

bahwa mereka akan

bertemu karena mereka

sudah saling melempar

senyum. Pada waktu Mt

melewati depan P, P

Bertegur

sapa

- - Dalam situasi tersebut tuturan

dahar dereng niki? Merupakan

bentuk dari komunikasi fatis

polar karena tuturan tersebut

tidak dimaknai sebagai

pertanyaan yang membutuhkan

jawaban. Oleh karena itu

jawaban dari mitra tutur pun

tidak relevan dengan tuturan

penutur tetapi tetap dianggap sah

karena tuturan tersebut

digunakan untuk bertegur sapa

Selain itu, tuturan tersebut tidak

sesuai dengan realitasnya.

Artinya penutur tidak benar-

benar bertanyaa untuk

menunjukkan kepedulian atau

menawarkan makan tetapi

tuturan digunakan untuk

pemenuhan hubungan sosial lain

yitu bertegur sapa agar terlihat

ramah.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 208: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

mengatakan tuturan dahar

dereng niki? Untuk

menyapa Mt. Mt tidak

berhenti dan berbincang-

bincang dengan P. Mt

hanya berjalan lebih pelan

sambil menawab

pertanyaan P.

B9/KFP P: pripun? (bagaimana)

dengan wajah kaget dan

bersalaman

Mt : Duh, kayane kok

sumringah. (Duh,

sepertinya kok bahagia)

P: mangga,mangga

pinarak riyen. (Mari-mari

mampir dulu)

…..

Konteks :

P merupakan abdi dalem

dan Mt tamu yang akan

bertemu dengan P. P kaget

melihat Mt datang ketika P

sedang keluar tepas dan

melihat Mt sudah diluar.

P kemudian mengatakan

tuturan pripun? . Mt pun

menanggapi tuturan P

yang sepertinya sudah tahu

maksud P . Setelah hal

tersebut P mempersilakan

Mengawali

pembicaraa

n

- - Tuturan pripun? Dalam konteks

tersebut merupakan tuturan

komuikasi fatis karena tuturan

tersebut tidak digunakan untuk

menanyakan informasi yang

sesungguhnya. Dalam

masyarakat Jawa uturan pripun?

Mempunyai maksud yang luas

bisa menanyakan kabar,

keadaan, apa yang dilakukan dan

lai-lain. Apa pun jawaban dari

mitra tutur tetap dianggap benar

atau sah karena hal itu hanya

sebagai pemenuhan hubungan

soial antar penuturnya. Selain itu

tuturan terseut mempunyai

wujud komunikasi fatis polar

karena tuturan tidak selaras

dengan realitas. Artinya tidak

ada sesuatu yang terjadi pada

mitra tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 209: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mt untuk masuk dalam

tepas dan mereka pun

berbicara dengan serius.

B10/KFP P: mari makan pak. MT: sudah, matur nuwun. (sudah, terimakasih) Konteks:P merupakan seorang tamu. MT seorang abdi dalem yang sedang bertugas. P dan MT sudah saling mengenal. ketika P sedang makan di warung dalam karaton Mt berjalan melewati P. P kemudian menyapa dan menawrkan makan kepada MT, kemudian MT merespon dengan tuturan sudah, matur nuwun. percakapan mereka pun cenderung cepat karena tidak ada topik pembicaraan lain setelah tuturan terseut.

Bertegur sapa

- - Tuturan sudah, matur nuwun merupakan bentuk komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antarpenutur. Mitra tutur menolak ajakan penutur dengan mengatakan tuturan tersebut agar penutur tidak tersinggung. Tuturan tersebut juga tersebut tidak selaras dengan realitas. Artinya mitra tutur mengatakan hal yang tida sebenarnya.

B11/KFP …….

P: njenengan mbenjang

mriki mboten?

Mbenjang kulo critani

meleh. Hehehe. Kulo tak

mriko riyen. (Kamu

besok ke sini tidak? Besok

saya critakan lagi. Hehehe.

Saya ke sana dulu.

Mengakhiri

pembicaraa

n

eufemisme : pekeniro ke njenengan

abdi dalem

yang sudah tidak fasih karena penggunaan bahasa jawa krama lebih sering dipakai

Tuturan njenengan mbenjang mriki

mboten? Mbenjang kulo

critani meleh. Hehehe. Kulo

tak mriko riyen merupakan

wujud komunikasi fatis polar

karena tuturan tersebut

digunakan bukan untuk

menyampaikan atau menanyakan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 210: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mt: enjeh pak, kulo

tenggo critanipun maleh.

(Iya pak, saya tunggu

critanya lagi)

P: ngapunten nggeh. (maaf

ya)

Konteks :

P seorang abdi dalem dan

Mt adalah tamu yang

sedang melakukan

penelitian. P dan Mt sudah

sering bertemu meskipun

tidak setiap hari. Dari Mt

datang P sudah berada di

tepas security dan sedang

membaca Koran. Setelah

Mt mengisi presensi Mt

dan P berbincang-bincang

mengenai kejadian mistis

di keraton. Mereka

berbincang-bincang cukup

lama. Ketika P dan Mt

berbincang-bincang ada

seorang abdi dalem yang

memanggil P kemudian P

mengatakan tuturan

njenengan mbenjang

mriki mboten?

Mbenjang kulo critani

meleh. Hehehe. Kulo tak

mriko riyen.

informasi tetapi digunakan untuk

mengakhiri pembicaraan agar

penuturnya terlihat sopan,tidak

menyinggung perasaan mitra

tutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 211: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

B12/KFP P: monggo (mari)

Mt: (menundukkan

kepala)

Konteks :

P dan Mt seorang abdi

dalem. Mt sedang berdiri di

pintu masuk utama untuk

bertugas. P berjalan akan

melewati pintu masuk

utama dari arah gerbang

utama Karaton. Ketika P

melewati Mt, P mengatakan

tuturan monggo dengan

mengurangi kecepatan

berjalan. Setelah tuturan

tersebut tidak ada

pembicaran antara Mt dan

P.

Bertegur

sapa

- - Tuturan monggo merupakan

bentuk komunikasi fatis polar

merupakan tuturan yang bersifat

informative tetapi tuturan

tersebut tersebut bersifat

komunikatif yang berhubungan

dengan hubungan sosial

penuturnya. Sehingga jawaban

apa pun dari mitra tutur akan

tampak sah bagi penuturnya.

tuturan tersebut juga tidak sesuai

atau berlawanan dengan realitas.

Artinya penutur sebenarnya

tidak mengajak sesuai dengan

tuturan tersebut, tuturan itu

hanya digunakan sebagai

pemenuhunan hubungan sosial.

B13/KFP …..

P: Mangga (mengambil

gelas)

Mt: sampun, jam

sementen niku

wayahipun jalan-jalan.

Kulo ngrumiyini. (Sudah,

jam segini itu waktunya

jalan-jalan. saya

mendahului)

P: hahaha, njeh monggo

Konteks :

Mengakhiri

pembicaraa

n

- - Tuturan tersebut tidak dimaknai

sebagai tuturan yang

informative. Tuturan tersebut

digunakan untuk mengakhiri

pembicaraan agar penutur dapat

terlihat sopan. Di dalam

masyarakat Jawa, ketika sedang

berbincang-bincang mengakhiri

pembicaraan langsung dapat

menyinggung perasaan mitra

tuturnya. Oleh sebab itu, tuturan

tersebut penutur gunakan agar

mitra tutur tidak tersinggung dan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 212: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Mt seorang abdi dalem

sedangkan P adalah tamu.

Mereka berada di tepas

security. P teman seorang

abdi dalem yang berada di

tepas security juga.

Mereka bertiga sedang

asyik ngobrol. Setelah

beberapa menit

berlangsung Mt terlihat

tidak nyaman seperti ingin

keluar dari tepas tetapi

mereka sedang ngobrol.

Mt merasa tidak enak

untuk memotong

pembicaraan. di tengah

pembicaraan P ingin

minum dan menawari Mt.

Mt yang sudah tidak

nyaman karena ada

keperluan mengatakan

tuturan sampun, jam

sementen niku

wayahipun jalan-jalan.

Kulo ngrumiyini. Untuk

menanggapi tuturan P.

mitra tutur pun sudah

mengetahui maksud penutur

sehingga mempersilakan.

B14/KFP ….. P: kanjeng wonten niki? (Kanjeng ada ini?) MT: Wau wonten. (tadi ada) P: Kolo wingi kulo tenggene Romo. (kemarin

Mempertahan komunikasi

Eufemisme : wenten ke wonten

Tuturan : kanjeng wonten niki? Merupakan bentuk dari komunikasi fatis polar karena tuturan tersebut bukan digunakan untuk menanyakan informasi kepada mitra tutur tetapi digunakan untuk mengisi

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 213: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

saya ketempat romo) …… Konteks : P dan MT sedang berbincang-bincang di pendopo. Mereka sedang membahas dengan topik gamelan. perbincangan tersebut terjadi cukup lama dan lancar. setelah topik tersebut selesai, P dan MT saling terdiam dan tidak terjadi pembincaraan. beberapa detik setelah keheningan P mengatakan tuturan kanjeng wonten niki? MT pun menjawab tuturan tersebut tetapi setelah tuturan yang dikatakan oleh P, P dan MT membahas mengenai topik yang berbeda dengan tuturan pertama setelah terjadinya keheningan.

kesenyapan sehingga komunikasi tetap berjalan. Tuturan tersebut tidak sesuai dengan realitasnya. Artinya, penutur dan mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa kanjeng masih berada di tempat yang sama seperti yang mereka mereka lihat sebelum berkomunikasi tetapi penutur menanyakan untuk mengisis kesenyapan yang terjadi. Tuturan tersebut terdapat pergeseran secara asosiasi. Kata yang telah bergeser dalam tuturan tersebut yaitu wonten. Penutur sebenarnya menggunakan wenten dalam berkomunikasi antarabdi dalem

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 214: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

WUJUD DAN MAKNA PRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA

PARA ABDI DALEM KERATON YOGYAKARTA

Gusti Dinda Damarsasi, R. Kunjana Rahardi, dan Pranowo Universitas Sanata Dharma Yogyakarta

Email : [email protected]

Abstact

The purpose of this phatic communication research is to describe the pragmatic forms and meanings of phatic communication of the royal servants in Yogyakarta Palace. Based on the validity of utterance, it can be inferred that the form of phatic communication of the royal servants can be grouped into two, they are the genuine phatic communication and polar communication. In that phatic utterance, there are pragmatic purpose and meaning related to the fulfillment of social relations, such as maintaining communication, greeting, starting communication and leave taking.

Keywords : phatic communication, the royal servants, sociopragmatic

Abstrak

Tujuan dari penelitian kefatisan berbahasa ini adalah mendeskripsikan wujud-wujud dan makna-makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem di Keraton Yogyakarta. Berdasarkan benar tidaknya tuturan, dapat disimpulkan bahwa wujud kefatisan berbahasa para abdi dalem dapat dikelompokkan menjadi dua yaitu komunikasi fatis murni dan komunikasi polar. Di dalam tuturan fatis tersebut juga terdapat maksud atau makna pragmatik yang berhubungan dengan pemenuhan hubungan sosial yaitu, mempertahankan komunikasi, bertegur sapa,mengawali pembicaraan dan mengakhiri pembicaraan.

Kata kunci : kefatisan berbahasa, abdi dalem, sosiopragmatik

A. PENDAHULUAN

Masyarakat berbudaya Jawa mengutamakan keseimbangan, keselarasan, dan keserasian

dalam kehidupan sehari hari. Budaya Jawa juga sangat menjunjung tinggi kesopanan dan

kesederhanaan. Hal itu merupakan nilai-nilai budaya yang menjadi dasar utama bagi

masyarakat Jawa dalam membangun hidup, khususnya dalam berbahasa dan membangun

komunikasi dengan sesama dan orang lain. Misalnya, sikap ewuh pakewuh (Ewuh berarti

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 215: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

repot dan pekewuh berarti tidak enak perasaan) menjadi budaya yang hidup dalam

masyarakat Jawa karena menjadi dasar untuk melakukan ewuh pakewuh, yakni etika

(Purwadi: 2008). Sikap rasa tidak enak pada orang akan berpengaruh terhadap cara

berkomunikasi antarmasyarakatnya.

Budaya ewuh pekewuh pun menjadi dasar yang menunjukkan bahwa masyarakat

berlatar belakang budaya Jawa memiliki pola komunikasi yang khas, yakni pola spiral atau

tidak langsung pada pokok pembicaraan saat membangun komunikasi dengan orang lain.

Sikap budaya ini sebagai media dalam menjalin sebuah hubungan sosial. Pola komunikasi ini

bertujuan untuk menjaga perasaan mitra tuturnya, sekaligus mempertahankan hubungan baik

antarpenutur dengan mitra tutur. Konsep ini dalam bidang pragmatik disebut komunikasi

fatis. Komunikasi fatis merupakan salah satu bentuk komunikasi yang digunakan oleh

penutur untuk menanyakan hal yang sebenarnya sudah diketahuinya dengan maksud untuk

mempertahankan hubungan baik anatarpenutur. Bentuk komunikasi ini sering terjadi dalam

kehidupan sosial masyarakat berlatar belakang budaya Jawa. Tuturan ‘Sendirian saja?’,

‘Kabar sehat?’ , Sedang apa?’ sering kali digunakan sekadar untuk mengawali pembicaraan

atau bertegur sapa. Hal ini berarti bahasa bukan lagi berfungsi untuk menanyakan atau

memberikan informasi, tetapi bahasa berfungsi fatis (Leech: 1981). Artinya bahwa bahasa

digunakan dalam komunikasi untuk membina dan memelihara hubungan antarpenuturnya.

Dengan mendasarkan pada paparan latar belakang di atas, rumusan masalah

penelitian tentang kefatisan berbahasa yang hendak dikaji adalah bagaimana wujud dan

makna pragmatik kefatisan berbahasa para abdi dalem Keraton Yogyakarta. Manfaat dari

penelitian ini adalah (a) dapat memberi sumbangsih terhadap pengembangan ilmu

sosiopragmatik yang berkaitan dengan komunikasi fatis berlatarbelakang budaya Jawa, (b)

penelitian ini dapat menjadi salah satu bentuk pelestarian budaya Jawa terkait dengan

komunikasi para abdi dalem.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 216: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Sumber data substantif penelitian ini adalah tuturan-tuturan para abdi dalem punakawan

dalam berkomunikasi sehari-hari. Tuturan- tuturan tersebut merupakan bahasa natural yang

dituturkan oleh para abdi dalem di Keraton Yogyakarta. Data dalam penelitian ini berupa

tuturan-tuturan yang mengandung kefatisan. Tuturan yang mengandung kefatisan tersebut

akan selalu didasarkan pada konteks tuturan.

Metode yang digunakan dalam penyediaan data penelitian ini pertama, menggunakan

metode simak dan metode cakap (Sudaryanto,2016). Metode tersebut diikuti dengan teknik

dasar berupa teknik sadap. Peneliti untuk mendapatkan data harus menyadap pembicaraan

yang dilakukan oleh para abdi dalem. Selain itu diikuti juga dengan teknik simak bebas libat

cakap. Kedua metode tersebut sering kali digunakan dalam penelitian bahasa seperti prgamtik

atau sosiopragmatik.

Metode yang digunakan peneliti dalam penelitian kefatisan berbahasa ini adalah

metode padan. Metode padan adalah metode atau cara yang digunakan dalam upaya

menemukan kaidah dalam tahap analisis data yang alat penentunya di luar, terlepas, dan tidak

menjadi bagian dari bahasa (langue) yang bersangkutan (Sudaryanto, 2015). Dalam konteks

ini metode padan akan digunakan untuk menganalisis komunikasi fatis yang dikaitkan

dengan konteks sosial budaya penuturnya.

Selanjutnya, dalam penelitian ini peneliti menggunakan teori phatic communion yang

digagas oleh Malinowsky. Malinowski (Senft, 2009) mengatakan bahwa bahasa bebas

digunakan dalam hubungan sosial antarmasyarakat yang tidak memiliki tujuan khusus.

Misalnya, seseorang menanyakan kesehatan, mengomentari cuaca, atau memberikan sapaan.

Hal ini ditegaskan Malinowski bahwa [...] to a natural man another man's silence is not a

reassuring factor, but on the contrary, something alarming and dangerous [...]. Terjadinya

keheningan atau diam di dalam pembicaraan bukan merupakan hal baik bila dikaitkan dengan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 217: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

hubungan sosial antar penuturnya, tetapi sebaliknya mengkhawatirkan. Artinya, penutur

harus mengubah suasana hening atau diam yang terjadi saat berkomunikasi untuk

menyelamatkan hubungan keduanya. Contoh menanyakan kesehatan, memberikan sapaan

atau mengomentari cuaca merupakan sesuatu yang bisa dikatakan bila terjadi keheningan

yang dapat disebut ‘persekutuan phatic’.

Dalam literatur Malinowski mengatakan bahwa (1) Phatic Communion bahasa

digunakan sebagai mode tindakan atau sebagai cara untuk melakukan tindakan bukan untuk

transmisi (pengiriman) pikiran. Jadi komunikasi fatis tidak bersifat informatif, kalimat atau

pernyataan yang dituturakan oleh penutur bukan semata-mata untuk menanyakan atau

memberi tahu sebuah kebenaran kepada mitra tuturnya, (2) berbagai macam jenis komunikasi

fatis seperti salam, gossip dan sejenisnya memiliki persamaan yang tipis; di mana situasi

terjadinya kefatisan tersebut dan munculnya wujud kefatisan dihasilkan secara linguistic, (3)

dalam komunikasi fatis makna kata yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan

topik pembicaraan utama tetapi ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial,

(4) fungsi sosial tersebut digunakan untuk mengatasi ketegangan atau hal tidak

menyenangkan yang disebabkan oleh diam, kesenyapan yang terjadi dalam berinteraksi atau

digunakan untuk menghargai lingkungan dan interpersonal antarpenuturnya.

Selain teori phatic communion peneliti menggunakan teori sosiopragmatik untuk

menganalisis wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa. Konsep sosiopragmatik

diawali dengan pemahaman mengenai sosiolinguistik sebagai disiplin yang menghubungkan

bahasa dengan masyarakat dan pragmatik sebagai disiplin yang mempelajari arti ujaran atau

bahasa secara kontekstual (Yule, 1996: 3). Artinya bagaimana seseorang menggunakan

bahasa dalam berkomunikasi dengan masyarakat sosial berdasarkan konteks keberadaannya.

Hal tersebut sejalan dengan penelitian kefatisan para abdi dalem dimana penelitian ini

dilakukan untuk mengidentifikasi penggunaan kefatisan berbahasa para abdi dalem yang

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 218: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

dikaitkan dengan lingkungan masyarakat tuturnya. Konsep tersebut juga telah dipaparkan

oleh Nurjamily (2015) bahwa sebuah penelitian sosiopragmatik mengaji penggunaan bahasa

di dalam sebuah masyarakat budaya di dalam situasi sosial tertentu. Sosiopragmatik adalah

telaah mengenai kondisi-kondisi setempat dan kondisi-kondisi lokal yang lebih khusus

mengenai penggunaan bahasa. Selain itu, sosiopragmatik merupakan suatu studi yang

mengkaji tentang ujaran yang disesuaikan dengan situasi dalam suatu lingkungan tertentu.

Konsep tersebut ditegaskan Rahardi (2009: 21) bahwa sosiopragmatik adalah ilmu yang

mempelajari kondisi penggunaan bahasa manusia, yang pada dasarnya sangat ditentukan oleh

konteks situasi yang mewadahi bahasa itu. Konteks yang dimaksud adalah konteks sosial dan

konteks sosietal. Konteks sosial adalah konteks yang timbul akibat munculnya suatu interaksi

antaranggota masyarakat dalam suatu masyarakat sosial dan budaya tertentu. Sementara itu,

konteks sosietal adalah konteks yang faktor penentunya adalah kedudukan dari anggota-

anggota yang ada di dalam masyarakat dan budaya tertentu.

B. KATEGORI WUJUD KEFATISAN BERBAHASA

Berdasarkan data penelitian kefatisan para abdi dalem peneliti mendapatkan sejumlah

data tentang wujud dan makna pragmatik kefatisan berbahasa. Secara terperinci, kefatisan

berbahasa tersebut dapat dipaparkan sebagai berikut.

1. Kefatisan Berbahasa Berwujud Murni

Wujud kefatisan berbahasa muncul dengan beberapa makna pragmatik. Contoh kefatisan

tersebut dalam tuturan berikut.

Orang1 (O1): Niki, sertifikat dingge Kanjeng. (Ini-sertifikat-untuk-kanjeng) (Ini sertifikat buat kanjeng)

Orang2 (O2): Wo lha enthuk sertifikat dewe malahan. (Wo-lha-dapat-sertifikat-sendiri-bahkan) (Wo lha dapat sertifikat sendiri bahkan)

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 219: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

……. (senyap) Orang1 (O1): Wah sepi dinten niki, Bu (A1) (Wah-sepi-hari-ini-Bu?) (Wah sepi hari ini, Bu?) Orang1 (O2): Inggeh niki, lha ujian.

(Iya ini, lha ujian) (Iya-ini-lha-ujian)

O1: ….

Tuturan A1 merupakan bentuk dari tuturan fatis murni. Tuturan tersebut digunakan

untuk mengisi kesenyapan yang benar-benar terjadi antara penutur O1 (selanjutnya ditulis

penutur) dan O2 (selanjutnya ditulis mitra tutur). Kefatisan dalam tuturan A1 juga terlihat

dari konteks situasi dan budayanya, masyarakat berlatarbelakang budaya Jawa menganggap

kesenyapan tersebut tidak biasa karena akan muncul kesan tidak sopan atau menimbulkan

prasangka buruk. Hal ini berarti wujud situasi senyap dalam komunikasi dapat membawa

dampak positif maupun negatif. Dampak positifnya bahwa senyap dapat membantu penutur

untuk merenungkan sesaat tetntang suatu persoalan. Namun, suasana senyap dapat membawa

dampak negatif yaitu memutuskan komunikasi bahkan dianggap tidak sopan dalam

masyarakat budaya Jawa.

Ciri yang menandakan bahwa tuturan tersebut merupakan bentuk tuturan fatis adalah

ketidakrelevanan topik yang penutur gunakan dalam mengisi kesnyapan komunikasi yang

terjadi. Topik sebelumnya penutur dan mitra tutur membicarakan mengenai sertifikat

sedangkan karena terjadi kesenyapan penutur menggunakan kefatisan berupa memberikan

pernyataan suasana ketika tuturan itu terjadi kemudian berganti topik, yaitu membicarakan

mengenai sekolah.

Ketidakrelevanan tersebut juga telah dipaparkan oleh Malinowski bahwa tuturan fatis

yang keluar dari penutur hampir tidak relevan dengan topik pembicaraan utama tetapi

ungkapan yang digunakan tersebut memenuhi fungsi sosial. Artinya bahwa sebuah tuturan

fatis dapat berfungsi menutup kesenyapan komunikasi agar komunikasi antarpenutur terus

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 220: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

terjaga. Hal ini juga menunjukkan peran tuturan fatis dalam membangun kesadaran setiap

penutur untuk membangun komunikasi agar tujuan komunikasi senantiasa terjalin baik dan

komunikasi pun tercapai. Selanjutnya, apa yang dikatakan oleh penutur merupakan hal yang

sama-sama diketahui oleh penutur dan mitra tutur. Jadi tuturan tersebut bukan dimaknai

sebagai kalimat informatif tetapi berfokus sebagai tuturan yang komunikatif. Konsep tersebut

sepahaman dengan Jakobson dan Malinowski bahwa komunikasi fatis bukanlah tuturan atau

kalimat yang semata-mata untuk menanyakan atau memberi tahu sebuah kebenaran kepada

mitra tuturnya (Zegarac & Clark:1999). Oleh karena itu tuturan A1 merupakan bentuk dari

komunikasi fatis.

Lebih dari itu, tuturan tersebut merupakan wujud komunikasi fatis murni. Tuturan A1

merupakan wujud komunikasi fatis murni karena tuturan tersebut memang benar-benar

terjadi pada waktu lingkungan keraton benar-benar sepi. Mitra tutur pun mengetahui bahwa

konteks situasi pada waktu itu memang sedang sepi karena di karaton belum banyak

pengunjung yang datang. Wujud kefatisn tersebut terbukti dengan pandangan Arimi bahwa

komunikasi fatis murni adalah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai

dengan peristiwa tutur yang muncul (Arimi,1998). Hal ini berarti sebuah situasi dapat

menjadikan momen seseorang atau penutur untuk membangun komunikas. Situasi

lingkungan karaton yang sepi saat keberadaan penuur dan mitra tutur dijadikan penutur untuk

mengisi kesenyapan komunikasi, sekaligus menjalin hubungan komunkasi yang sempat

terhenti. Oleh sebab itu tuturan A1 merupakan wujud komunikasi fatis murni.

Dalam konteks budaya Jawa, dua orang yang saling mengenal dan berada dalam satu

tempat jika tidak berkomunikasi akan membuat hubungan antarpenutur menjadi tidak lazim

atau tidak baik (berprasangka buruk). Hal tersebut dapat berupa prasangka buruk dari

penuturnya seperti sombong, tidak ramah, tidak sopan dan lain-lain. Oleh karena itu, dalam

situasi serupa kefatisan sering kali penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 221: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Kefatisan dalam pertuturan tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu untuk

mempertahankan komunikasi agar tetap berjalan atau tetap terjadi interaksi antarpenuturnya.

Makna pragmatik tersebut ditegaskan oleh Malinowsky bahwa terjadinya keheningan dalam

komunikasi akan mengkhawatirkan hubungan sosial penuturnya. Masyarakat Jawa dalam hal

ini para abdi dalem memiliki pandangan yang serupa terkait hal itu. Oleh sebab itu tuturan A1

mempunyai makna pragmatik yaitu untuk mempertahan komunikasi antarpenuturnya agar

hubungan sosial mereka tetap terjalin baik.

Cuplikan tuturan lain yang menunjukkan kefatisan berbahasa berwujud murni dapat

dilihat sebagai berikut.

Orang1(O1) : Sampun luhur to niki? Kulo ngrumiyini. (A2)

(Sudah-luhur-to-ini-Saya-mendahului) (Sudah luhur to ini? Saya mendahului.)

Orang2 (O2): Nggeh, monggo. (Iya-silakan) (Iya, silakan)

Sama halnya dengan tuturan A1, tuturan A2 merupakan bentuk tuturan komunikasi

fatis. Tuturan tersebut digunakan untuk mengakhiri percakapan antara penutur dan mitra

tutur. Tuturan tersebut juga bukan digunakan untuk menginformasikan kepada mitra tutur

bahwa sudah waktunya luhur atau dzuhur, tetapi lebih bersifat komunikatif yaitu untuk

mengakhiri sebuah percakapan. Di dalam masyarakat Jawa tidak mungkin bagi penutur untuk

langsung mengkahiri pembicaraan setelah keperluan selesai karena sebelumnya penutur dan

mitra tutur sedang berbicara dengan serius. Hal itu dapat merusak hubungan sosial

antarpenutur. Konsep tersebut sejalan dengan pendapat Malinoswki bahwa fatis digunakan

dalam rangka pemenuhan hubungan sosial. Artinya bahwa suatu tuturan fatis dapat

digunakan untuk menjaga hubungan sosial, khususnya saat mengakhiri sebuh pembicaraan

serius. Penutur dapat mengakhiri pembicaraan serius dengan tuturan fatis agar mitra tutur

tidak merasa tersinggung atau tidak dihormati.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 222: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Selain itu, waktu luhur yang penutur katakan merupakan hal yang sama-sama

diketahui oleh penutur dan mitra tutur sehingga tuturan fatis tersebut sebenarnya senada

dengan mengomentari situasi. Dengan kata lain, situasi dapat menjadi bahan kefatisan.

Penutur mengungkapkan situasi yang sama dengan kenyataan dapat menjadi makna yang

dimaksudkan penutur. Oleh sebab itu, tuturan tersebut dikatakan sebagai tuturan fatis karena

tuturan tersebut bukanlah sebuah tuturan informasi tetapi tuturan yang didalamnya memiliki

nilai sosial khusus yang digunakan dalam mengakhiri sebuah percakapan. Pernyataan

tersebut sejalan dengan pendapat Malinowski (1923) bahwa fatis bukan digunakan untuk

menyampaikan makna tetapi mereka yang menggunakannya sedang memenuhi fungsi sosial

mereka, memenuhi ikatan antarpribadi dan itulah tujuan utama mereka.

Lebih dari itu, tuturan A2 merupakan wujud dari komunikasi fatis murni, karena

tuturan A2 merupakan tuturan yang memang terjadi atau selaras dengan kenyataan. Ketika

tuturan terjadi, waktu menunjukkan pukul 12.00 WIB yang menandakan bahwa sudah

saatnya sholat dzuhur atau istirahat. Pengetahuan tersebut juga sama-sama diketahui oleh

mitra tutur bahwa pada pukul 12.00 waktunya untuk sholat dan juga istirahat. Wujud

komunikasi fatis murni tersebut sejalan dengan pendapat Arimi yang mengatakan bahwa

komunikasi fatis murni adalah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam percakapan sesuai

dengan peristiwa tutur yang muncul (Arimi,1998).

Masyarakat Jawa memiliki sikap bahwa, orang yang akan berpamitan atau mengakhiri

pembicaran dan sebelumnya telah berbincang-bincang cukup serius mereka tidak akan

langsung mengatakan akan pergi atau tidak langsung mengakhiri. Hal itu dilakukan agar

mitra tutur tidak tersinggung apabila masih ada hal yang harus dibicarakan dan juga akan

memperlihatkan bahwa penutur adalah orang yang tidak sopan. Oleh sebab itu, tuturan A2

dituturkan oleh penutur agar ia terlihat sopan, tidak menyinggung perasaan mitra tutur, dan

tentunya akan meninggalkan kesan baik sehingga dalam pertemuan selanjutnya mitra tutur

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 223: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

akan senang untuk berbicara kembali dengan penutur. Selain itu, penutur merupakan abdi

dalem yang usianya lebih muda dibanding mitra tutur, di dalam sosial masyarakat Jawa

penutur mempunyai kewajiban untuk menghormati mitra tutur karena usianya yang lebih

muda dibanding mitra tutur. Oleh sebab itu, penutur menerapkan prinsip sopan santun dengan

mengatakan tuturan A2 untuk mengakhiri pembicaraan. Hal tersebut sejalan dengan pendapat

Geertz (Pranowo,2009:47) yang mengatakan bahwa dalam ajaran budaya Jawa untuk

menciptakan kesantunana dalam berkomunikasi ada ajaran dalam berbahasa yaitu harus

selalu kurmat. Pengetahuan tersebut juga sama-sama diketahui antara penutur dan mitra

tutur. Hal itu tampak dengan tanggapan mitra tutur yang langsung mempersilakan penutur

untuk mengakhiri pembicaraan dan pergi sebagai benuk menghargai penutur. Dengan

demikian tuturan A2 sebagai wujud komunikasi murni tersebut mempunyai makna

pragamatik untuk menjaga relasi dengan mitra tutur, tidak menyinggung perasaan, dan untuk

berlaku sopan.

Begitu juga dalam tuturan Sugeng enjang. (Selamat pagi) (A3). Tuturan A3

merupakan wujud dari komunikasi fatis murni. Artinya, penutur mengatakan tuturan tersebut

sesuai dengan situasi yang sedang terjadi. Namun, tuturan yang sesuai dengan situasi tersebut

penutur gunakan untuk pemenuhan hubungan sosial mereka. Dalam tuturan A3 penutur dan

mitra tutur sama-sama mengetahui bahwa mereka berpapasan pada waktu pagi hari. Orang

yang sudah sama-sama saling mengenal khususnya di dalam masyarakat Jawa ketika bertemu

atau berpapasan akan saling menyapa karena apabila tidak saling dilakukan hal itu akan

membuat buruk hubungan sosial antarpenuturnya. Hal itu dapat berupa prasangkan buruk

satu sama lain seperti prasangkan sombong, tidak peduli, acuh tak acuh dan lain sebagainya.

Dengan penutur mengatakan tuturan fatis, secara tidak langsung penutur dan mitra

tutur sedang menyeimbangkan hubungan sosial yang terjalin. Oleh karena itu, dalam situasi

serupa kefatisan sering kali penutur gunakan untuk hal-hal yang bersifat intrapersonal.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 224: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Kefatisan dalam A3 tersebut mempunyai makna pragmatik dengan bertegur sapa penutur

ingin menunjukkan sikap ramah kepada mitra tutur yang sudah dikenalnya sehingga

hubungan mereka tertap berjalan dengan baik. Dengan demikian, tuturan A3 wujud

komunikasi fatis murni mempunyai makna pragmatik yaitu menunjukkan sikap ramah dan

kepedulian terdapat mitra tutur. Secara lengkap, cuplikan tuturan berikut dapat dicermati

untuk memperjelas hal tersebut.

Orang1 (O1) : Sugeng enjang. (A3) (Selamat pagi) Orang2 (O2) : Mangga

(Mari)

2. Kefatisan Berbahasa Berwujud Polar

Selain kefatisan berbahasa berwujud murni terdapat juga kefatisan berbahasa berwujud

polar (Arimi,1998) dengan makna pragmatik yaitu berkaitan dengan hubungan sosial

antarpenutur. Di dalam tuturan Setelah ini mau ngapain? (B1) terdapat kefatisan berbahasa

berwujud polar. Tuturan tersebut disampaikan penutur tidak sesuai dengan realitasnya atau

berlawanan. Mitra tutur tidak tersinggung atas tuturan tersebut karena mitra tutur nenahami

maksud dari penutur. Penutur mengatakan atau memilih ungkapan itu untuk menunjukkan

sesuatu yang digunakan untuk pemenuhan hubungan sosial antar penuturnya.

Di dalam masyarakat budaya Jawa, tuturan fatis semacam itu kerap kali dilakukan dalam

mengakhiri pembicaraan karena memang tuturan tersebut akan berdampak baik bagi

hubungan sosial penuturnya. Pemahaman semacam itu tampak penutur dan mitra tutur

ketahui karena mitra tutur tidak protes atau menanggapi tuturan dengan pas atau sesuai.

Mitra tutur mengetahui maksud penutur bahwa ia akan mengakhiri pembicaraan. Dengan

demikian, tuturan B1 yang berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna

pargamtik, yaitu mengakhiri pembicaraan dengan mitra tutur dengan santun dan tidak

menyinggung perasaan mitra tutur. Untuk membantu memahami tuturan tersebut dapat di

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 225: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

lihat dalam tuturan secara lengkap berikut.

Orang1 (O1): Gimana mba penelitiannya? Orang2 (O2): Alhamdulilah, saya sering ke sini pak buat ambil data. ….. Orang1 (O1): Setelah ini mau ngapain? (B1) Orang2 (O2: Mau masuk pak, observasi. Orang1 (O1): Njiih, kalau gitu manga

Selanjutnya, kefatisan berbahasa berwujud polar dapat terlihat dalam tuturan lengkap

berikut.

Orang1 (O1) : Ngapunten Co, kolo wingi wonten tamu saking pundi? (B2) (Mohon-maaf-Co-kemarin-ada-tamu-dari-mana?) (Maaf Co, kemarin ada tamu dari mana?) Orang2 (O2): Nggeh kanjeng, wonten saking Kompas. (Iya-kanjeng-ada-dari-Kompas) (Iya kanjeng, ada dari Kompas) Orang1 (O1): Matur nuwun

(ucapkan-maaf) (terima kasih)

Tuturan B2 mempunyai wujud komunikasi fatis polar. Artinya, tuturan B2 penutur

katakan berlawanan dengan realitasnya. Permintaan maaf penutur bukan disebabkan karena

penutur melakukan kesalahan sehingga ia harus meminta maaf tetapi sebagai bentuk

pengantar untuk masuk dalam inti pembicaraan.

Masyarakat Jawa beranggapan bahwa, orang akan dikatakan tidak sopan apabila

dalam pembicaraan ia langsung menuju pada pokok pembicaraan tanpa menggunakan

pengantar terlebih dahulu. Oleh sebab itu tuturan B2 mempunyai maksud atau makna

pragmatik untuk bersikap sopan dengan berbicara santun kepada mitra tuturnya. Hal tersebut

dapat mempertahankan atau membina hubungan baik antar penutur karena terjadi

kenyamanan dalam berkomunikasi. Dengan demikian, tuturan B2 mempunyai wujud

komunikasi fatis polar dengan maksud tuturan yaitu mengawali pembicaraan dengan bertutur

santun agar mitra tutur berkenan untuk berbicara dengan penutur.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 226: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

Kefatisan berbahasa dengan wujud polar juga terlihat dalam tuturan Dahar dereng

niki? (Makan belum ini?) (B8). Tuturan tersebut merupakan bentuk dari komunikasi fatis.

Tuturan tersebut digunakan penutur untuk menyapa mitra tutur yang sudah mereka kenal.

Penutur yang saling mengenal apabila bertemu tidak saling menyapa hal itu akan

mengganggu hubungan sosial keduanya. Dalam masyarakat Jawa saling menyapa merupakan

sesuatu yang harus dilakukan agar tidak muncul prasangka buruk dari masing-masing

penuturnya. Tuturan B8 bukan bersifat informatif, dalam B8 penutur bukan untuk

menanyakan kepada mitra tutur apakah sudah makan dan tanggapan mitra tutur yang tidak

relevan juga tetap dianggap sah serta tidak di protes oleh penuturnya. Oleh sebab itu, tuturan

B3 merupakan wujud kefatisan berbahasa.

Pemenuhan hubungan sosial tersebut dapat dilihat dari maksud penutur dalam

mengatakan tuturan tersebut. Di dalam tuturan B8, penutur mengatakan tuturan tersebut

untuk menyapa sehingga dapat mengakrabkan hubungan dengan mitra tutur. Oleh karena itu

tuturan B8 berwujud komunikasi fatis polar tersebut mempunyai makna pragmatik yaitu

bertegus sapa untuk menunjukkan keramahan, menghormati dan keakraban dengan mitra

tuturnya. Secara lengkap, cuplikan tuturan tersebut dapatdilihat berikut ini

Orang1 (O1) : Dahar dereng niki? (B8/KFP) (Makan belum ini) Orang2 (O2) : Matur nuwun, kesusu.

(terimakasih, terburu-buru) Orang1 (O1) : Monggo.

(silahkan)

C. SIMPULAN

Berdasarkan paparan yang telah disampaikan dapat disimpulkan bahwa kefatisan

berbahasa atau komunikasi fatis para abdi dalem Keraton Yogyakarta dikelompokkan

menjadi dua, yaitu fatis murni dan polar. Pengelompokkan tersebut didasarkan pada benar

tidaknya tuturan tersebut dikatakan, Komunikasi fatis murni, yaitu ungkapan atau tuturan

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 227: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

yang dipakai dalam percakapan sesuai dengan peristiwa tutur yang muncul. Jadi apa yang

dikatakan oleh penutur selaras dengan kenyataan atau memang benar-benar terjadi.

Sementara itu, komunikasi fatis polar yaitu sebuah ungkapan atau tuturan yang dipakai dalam

sebuah percakapan tetapi berlawanan dengan realitasnya atau tidak sesuai dengan kenyataan.

Setiap wujud tuturan fatis memiliki makna pragmatik. Makna pragmatik yang terdapat dalam

tuturan fatis para abdi dalem yaitu mengawali pembicaraan, mempertahankan komunikasi,

bertegur sapa, dan mengakhiri pembicaran.

DAFTAR PUSTAKA

Arimi, Sailal. 1998. “Basa-basi dalam Masyarakat Bahasa Indonesia”. (Tesis). Yogyakarta:

UGM.

Leech, G. 1993. Prinsip-prinsip Pragmatik. Diterjemahkan oleh M.D.D. Oka. Jakarta:

Universitas Indonesia.

Pranowo. 2009. Berbahasa secara Santun. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Purwadi, Eko Priyo Purnomo. 2008. Kamus Sansekerta Indonesia. e-book (online) diakses

tanggal 05 November 2016.

Rahardi, Kunjana. 2009. Sosiopragmatik. Jakarta: Erlangga.

Senft, Gunter. 2009. Phatic Communion. Max Planck Institute for Psycholinguistics,

Nijmegen.

Sudaryanto. 2015. Metode dan Aneka Teknik Analisis bahasa. Yogyakarta: Sanata Dharma

University Press.

Nurjamily, Wa Ode. 2015. Kesantunan Berbahasa Indonesia dalam Lingkungan Keluarga

(Kajian Sosiopragmatik). Jurnal Humanika No.15, Vol.3.

Yule, George. 1996. Pragmatik. Yogyakarta. Pustaka Pelajar.

Zegarac, Vladimir. 2009. What is Phatic Communication, Cambridge Journal Online.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 228: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

BUKTI SUBMITE JURNAL

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 229: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 230: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 231: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI

Page 232: KAJIAN SOSIOPRAGMATIK KEFATISAN BERBAHASA PARA ABDI … · perundang-undangan yang berlaku. Yogyakarta, ... Bu Restituta, Bu Sisil, Bu Ita, Bu Yanti, Bu Dati, ... .. 103 4.2.3 Faktor

BIODATA PENULIS

Gusti Dinda Damarsasi, lahir di Yogyakarta pada 26 Agustus

1992. Penulis memulai pendidikan formal di SD Netral C dan selesai

pada tahun 2004. Setelah lulus SD melanjutkan pendidikan di SMP N

12 Yogyakarta dan selesai pada tahun 2007. Pendidikan SMA di

selesaikan pada tahun 2010 di SMA N 1 Gamping. Tahun 2010, penulis

melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas dan Ilmu

Pendidikan (FKIP), Jurusan Pendidikan bahasa dan Seni, Program Studi Pendidikan Bahasa

dan Sastra Indonesia. Lulus pada tahun 2014. Selanjutnya, pada tahun 2015 penulis

melanjutkan pendidikan di Universitas Sanata Dharma Yogyakarta, Fakultas Keguruan dan

Ilmu Pendidikan (FKIP), Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Program

Magister. Penulis lulus pada tahun 2017 dengan tesis yang berjudul Kajian Sosiopragmatik

Kefatisan Berbahasa Para Abdi Dalem Keraton Yogyakarta.

PLAGIAT MERUPAKAN TINDAKAN TIDAK TERPUJI