kajian pkl_2010 edit
DESCRIPTION
PKLTRANSCRIPT
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa mengemban
tugas untuk mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh tanggung
jawab demi kesejahteraan umat manusia. Tuhan memberikan anugerah berupa
hak asasi yang dibawa manusia bersama dengan kelahirannya. Hak asasi
secara kodrati melekat erat pada diri manusia, bersifat universal dan abadi,
oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan, tidak boleh
diabaikan, dikurangi ataupun dirampas dari dan oleh siapapun. Hak asasi
adalah hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa karena
"kemanusiaannya". Hak asasi manusia (human rights) telah diterima sebagai
komitmen yang universal, sejak 10 Desember 1948 dengan dihasilkannya
Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Paris, Perancis. Selain
hak-hak sipil dan politik, dalam DUHAM terkandung pula hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya. Setiap manusia tentunya tidak hanya membutuhkan
kebebasan dan perlakuan tanpa diskriminasi, namun juga memerlukan
pekerjaan, penghasilan, barang-barang atau materi tertentu bagi pemenuhan
hidup dan kehidupannya.
Keberadaan DUHAM sebagai suatu deklarasi yang menitikberatkan
pada kemauan moral dan politik perlu dituangkan dalam suatu perjanjian
internasional agar mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, diratifikasi.
2
Dengan ratifikasi untuk kemudian diwujudkan dalam suatu perundang-
undangan yang bersifat nasional, bertujuan agar hak-hak asasi manusia selain
dihormati juga dijamin pemenuhannya oleh negara. Undang-Undang
termaksud adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi
Manusia yang selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Asasi Manusia.
Menurut Pasal 1 ke 1 Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39
Tahun 1999, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat
hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk
Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,
dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah dan setiap orang demi
kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi, menjadi
kewajiban umum negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to
protect) dan memenuhi (to fulfill) HAM tersebut.
Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, pemenuhan hak-hak ekonomi,
sosial dan budaya membutuhkan peran kekuasaan negara yang lebih besar,
turut campurnya pemerintah. Semua itu dikarenakan sumber-sumber ekonomi
dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan manusia bersifat terbatas. Misalnya
lapangan kerja, pangan, sandang dan perumahan yang bersifat terbatas,
sehingga di lain pihak ada sejumlah yang harus menganggur, kekurangan
pangan dan tidak mendapatkan kesempatan menikmati hak atas pembangunan
dan hasil-hasil pembangunan. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas
menyatakan dalam pasal 27 ayat (2) dan 28 huruf A :
3
Pasal 27 ayat (2) :
"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak
bagi kemanusiaan".
Pasal 28 huruf A :
" Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan
kehidupannya".
Pembangunan negara ini ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan
umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana
diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945
dan selanjutnya disebut UUD Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945
merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum
dalam penyelenggaraan negara, tempat atau sumber rujukan utama bagi
proses perumusan dan penetapan peraturan perundangan yang lain. Dengan
kata lain, UndangUndang Dasar 1945 sebagai kebijakan dasar
penyelenggaraan negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan
negara yang dicita-citakan. Pembangunan yang diarahkan pada pentingnya
manusia dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan prasyarat yang tidak dapat
ditawar-tawar. Agar pembangunan bermakna memberdayakan dapat dicapai
melalui apa yang disebut PBM (Pembangunan Bersama Masyarakat).
Pembangunan Bersama Masyarakat adalah suatu model pembangunan yang
bertujuan untuk meningkatkan peran serta aktif, melakukan upaya
pemberdayaan masyarakat pada semua tingkatan guna mengorganisasi diri
4
dalam menghimpun sumberdaya, merencanakan dan melaksanakan kegiatan
untuk memperbaiki keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan.
Bukanlah suatu hal yang mudah untuk bertahan hidup di tengah situasi
negara yang krisis saat ini, ditambah dengan kebijakan pemerintah
menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mengakibatkan inflasi.
Inflasi dimana laju pergerakan harga barang dan jasa kebutuhan hidup
melonjak. Inflasi yang berimbas pada setiap sudut kehidupan, banyak
perusahaan melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja agar tetap dapat
beroperasi. Bahkan beberapa harus menutup usahanya karena tidak lagi
mernpunyai daya saing. Jika sudah demikian yang terjadi adalah
bertambahnya jumlah pengangguran, angkatan kerja yang tidak memiliki
kekayaan dan makin bertambahnya masyarakat miskin.
Salah satu upaya untuk bertahan di tengah kesulitan adalah berusaha di
sektor informal sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Berusaha di sektor
informal menjadi pilihan dikarenakan tidak memerlukan modal besar. PKL
adalah juga warga negara yang berhak untuk mendapatkan penghidupan
yang layak dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Bagaimanapun
pilihan berusaha di sektor informal membuktikan bahwa dalam keadaan
krisis mereka tetap bertahan, dapat dikatakan keberadaan mereka amat
diperlukan agar roda perekonomian tetap dapat berputar walaupun dalam
skala "kecil".
Agar keberadaan mereka yang selama ini selalu dicap sebagai sumber
kekumuhan dan ketidaktertiban serta jauh dari keindahan, maka peranan
5
pemerintah yang menyangkut kebijakan publik di sektor informal hendaklah
dirumuskan secara arif dan bijaksana. Kebijakan publik di sektor informal
yang sungguh-sungguh memenuhi persyaratan yang menampakkan kemauan
sosial, ekonomi juga politik yang tidak memarginalkan sekelompok rakyat,
yakni PKL.
Terlebih di masa kini, di banyak tempat termasuk kota Surakarta,
terjadi "perlombaan" pembangunan pertokoan yang marak dibandingkan
dengan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima yang kondusif bagi
kaum marginal. Hampir setiap pemerintah kota di hadapkan pada pilihan
membangun pusat perdagangan, pertokoan atau membangun dan
memberdayakan kaum marginal di sektor informal.
Berdasarkan suatu penelitian, terungkap bahwa:
1. Sektor informal di perkotaan memang berperan besar dalam sistem
kegiatan ekonomi, namun kontribusi sektor informal terhadap GNP
(Gross National Product.) dan pertumbuhan ekonomi masih relatif kecil.
Di samping itu, berkembangnya sektor informal di perkotaan telah
mendorong menjamurnya pemukiman kumuh di perkotaan, kesulitan
perencanaan tata ruang keindahan kota, dan meningkatnya urbanisasi
dengan segala permasalahannya.
2. Pengembangan sektor modern (industrialisasi) walaupun benar dapat
memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GNP, sektor modern ini
tidak dapat secara mudah dan sederhana menciptakan lapangan kerja dan
pengentasan kemiskinan di perkotaan Indonesia. Malahan akibat tidak
6
meratanya perkembangan sektor modern dan industrialisasi di Indonesia,
banyak pengganggur di sektor formal termasuk bidang pertanian,
mencari pekerjaan di sektor informal. 1
Penulis mengamati, dari waktu ke waktu senantiasa ada pertambahan
jumlah pedagang kaki lima di kota Surakarta, khususnya pedagang kaki lima
di seputar Monumen 45 Banjarsari Surakarta. Pedagang kaki lima yang
tersebar tersebut acapkali menimbulkan kemacetan lalu lintas, oleh karena
trotoar bahkan badan jalan dipakai pedagang kaki lima mengelar
dagangannya. Belum lagi apabila para pedagang kaki lima tersebut
meninggalkan alat peraganya begitu saja usai berjualan tanpa
memperhitungkan kekumuhan yang ditimbulkannya. Maka makin
lengkaplah kejengkelan warga masyarakat yang terganggu dengan
keberadaan mereka, demikian juga pemerintah kota yang tidak henti-
hentinya selalu mengadakan penertiban. Tetapi selalu saja begitu petugas
pemerintah kota pergi, para pedagang kaki lima kembali ke tempat semula
untuk menggelar dagangannya.
Berbicara tentang pedagang kaki lima (PKL) yang demikian populer
ada pihak yang pro/mendukung di samping yang kontra/menentang. Yang
mendukung memandang dari sudut arti yang positif bahwa PKL dapat
menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah, PKL
sebagai awal seseorang bekerja, menampakkan sifatnya yang tahan pada
masa krisis sekaligus sebagai peluang kerja/memberikan lapangan pekerjaan
1 Alisjahbana. 2004. Sisi Gelap Perkembangan Kota Kependudukan, Birokrasi dan
Ekonomi, Jakarta: Rineka Cipta. Hal 14
7
dari sekian banyak penganggur. Para penganggur ini mencoba berkreasi,
berwirausaha dengan modal sendiri bahkan tanpa modal (uang). Mereka
adalah orang-orang yang optimis menatap kehidupan, berjuang memenuhi
tuntutan hidup. Oleh karenanya tidaklah berlebihan apabila Menaker beserta
ketua Kadin Pusat telah mencanangkan agar PKL dibina bukan dibinasakan,
jangan dikejar-kejar, jangan dimatikan karena mereka turut andil
membangun lapangan kerja. Melalui PKL konsumen mendapat kemudahan
dalam memenuhi kebutuhannya sambil berjalan jalan. Kebanyakan barang-
barang yang dijual PKL adalah barang-barang conveniences (berkategori
menyenangkan seperti souvenir atau kebutuhan sehari-hari di luar sembako)
yang dibeli dengan cara emosional artinya begitu melihat barang langsung
timbul keinginan membeli.
Pihak yang kontra, tidak mendukung dengan sudut pandang negatif
berpendapat membiarkan keberadaan PKL sama artinya dengan
melanggengkan kemiskinan, memperbesar ruang kriminalitas, PKL sumber
gangguan ketertiban dimana kebanyakan PKL tidak menghiraukan tata
tertib, kebersihan; dimana ada PKL di sana timbul kesemrawutan, kotor,
kumuh, banyak sampah. Dengan kata lain menimbulkan permasalahan
berkaitan dengan usaha pengembangan tata ruang kota karena
ketidaktertibannya sebagai akibat sulitnya mengendalikan perkembangan
sektor informal ini. Jelas PKL tidak pernah habis dan dimanapun selalu ada
sebagai implikasi pertambahan jumlah penduduk dan angkatan kerja;
8
angkatan kerja tahun ini belum terserap sudah menyusul angkatan kerja
selanjutnya demikian seterusnya.
Seorang mantan birokrat, Alisjahbana dalam acara Publik Bicara yang
diselenggarakan atas kerjasama Kompas dan Radio Sonora dengan tema
"PKL suatu berkah atau masalah?", bertempat di Surabaya, pada 1 April
2006, secara ekstrim mengatakan bahwa "Jangan mimpi apabila pemerintah
daerah dapat menghilangkan PKL, yang dapat dilakukan hanyalah
mereduksi".
Hal demikian harus disadari dengan memahami sejarah atau asal-usul
sebab terjadinya PKL agar permasalahan PKL mendapat solusi yang tepat.
Konsep industrialisasi yang tidak diikuti dengan kaidah penataan yang
aplikatif sehingga pertumbuhan serta perkembangan industrialisasi yang
pesat menjadikan angkatan kerja desa lari ke kota untuk memperebutkan
kesempatan kerja sektor formal. Sebagaimana diketahui bahwa laju
pertumbuhan perkotaan disebabkan oleh migrasi dari desa dikarenakan
ketidakmampuan pedesaan dalam menyediakan lapangan kerja bagi
penduduknya di samping daya tarik perkotaan dengan tersedianya lapangan
kerja bagi pendatang untuk meningkatkan pendapatan. Pada umumnya para
pendatang tidak memiliki keahlian khusus dan ketrampilan bahkan
pendidikan yang memadai, sehingga kecenderungan berusaha bagi mereka
ada pada sektor informal. Tentu saja karena sektor formal tidak dapat
menyerap semua tenaga kerja. Adapun ciri-ciri kegiatan informal ini adalah:
9
1. Kegiatan usaha, tidak terorganisir dengan baik;
2. Tidak memiliki surat izin usaha;
3. Tidak teratur dalam kegiatan usaha, baik ditinjau dari tempat usaha jenis
usaha maupun jam kerja;
4. Bergerombol di trotoar atau di tepi-tepi jalan protokol, di pusat-pusat
keramaian:
5. Menjajakan barang dagangannya sambil berteriak, kadang berlari
mendekati konsumen;
6. Teknologi yang dipergunakan sangat sederhana;
7. Modal usaha relatif kecil, barang dagangan milik sendiri atau orang
lain.2
Menurut Buchari Alma apabila dibandingkan antara kegiatan formal
dan informal ada beberapa perbedaan seperti di bawah ini :
Tabel 1
Perbedaan Kegiatan Formal dan Informal3
Karakter
Kegiatan Formal
Kegiatan lnformal
Modal Relatif mudah diperoleh
Sukar diperoleh
Teknologi Padat modal Padat karya
Organisasi Birokrasi Sanak sanak keluarga
Kredit Resmi
Lembaga Keuangan Di luar lembaga resmi
2 Buchari Alma. 2004. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa Marketing.
Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 78 3 Hassel. 2004. 36 Kasus Kebijakan Publik Asli Indonesia Edisi 2004/2005. Yogyakarta
, BPFE , 2004. Hal 95
10
Dalam pertumbuhan dan perkembangannya ternyata ada bermacam-
macam jenis pedagang kaki lima (PKL) yaitu :
l. Riil PKL dengan ciri modal kecil/seadanya dan memakai tenaga kerja
dirinya sendiri;
2. PKL bazar yakni PKL yang berusaha pada hari-hari tertentu misalnya hari
libur;
3. PKL dengan memakai tenaga kerja/orang lain;
4. Pengusaha PKL artinya seseorang dengan modal besar sengaja membuat
sarana penjualan/berusaha dengan memakai kendaraan/alat yang mudah
dipindahkan/mobilisasi untuk ditempatkan pada tempat strategis yang
tidak permanen. Misalnya pengusaha roti Holland memakai gerobak/mobil
berkeliling atau berhenti pada waktu dan tempat tertentu untuk menjajakan
dagangannya4
Tampak bahwa keberadaan sektor informal sebagai katup pengaman
bagi permasalahan ketenagakerjaan khususnya dan perekonomian pada
umumnya. Oleh karena itu PKL perlu dibina dan dilindungi agar mereka
dapat meningkatkan kesejahteraan hidup, juga ditata supaya tercipta
kenyamanan bagi warga kota, warga masyarakat mengingat bahwa kota
dikonsepkan sebagai suatu tempat atau wilayah kediaman yang nyaman,
sehat, bersih dan teratur.
4 Al-Faqih. 2005. KPI dan Hak Konsumen Penyiaran. Publik Bicara, Surabaya Post, 1
April 2006. Hal 90
11
Penataan PKL diberbagai kota di Indonesia seringkali diwarnai konflik
yang mengarah kepada terjadinya konflik fisik antara PKL dan aparat
penegak Peraturan Daerah atau yang sering disebut Satuan Polisi Pamong
Praja atau Satpol, tetapi hal tersebut tidak terjadi di Kota Surakarta.Penataan
PKL dibeberapa tempat di wilyah kota Surakarta seperti yang terjadi di
sekitar Monumen Perjuangan, Kecamatan Banjarsari, di depan Stadion
Manahan, disekitar Kentingan/Kampus UNS Kecamatan Jebres berlangsung
secara lancar dan damai.Perbedaan Penataan PKL di Kota Surakarta yang
dipandang berhasil karena tidak memunculkan konflik antara Pemerintah
Kota dengan PKL inilah yang menjadi daya tarik Penulis untuk melakukan
penelitian ini.
Dalam rangka Penataan PKL, Pemerintah Kota Surakarta memandang
perlu untuk mengeluarkan kebijakan publik yang tepat dalam wujud aturan
hukum yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Bertitik tolak dari pemikiran dan
keinginan Pemerintah Kota Surakarta sejalan dengan pelaksanaan Otonomi
Daerah dan dalam rangka meningkatkan taraf hidup bagi Pedagang Kaki
Lima (PKL) sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan perekonomian
saat ini, perlu adanya pengaturan dan pembinaan yang lebih terarah dan
terencana. Dengan kata lain kebijakan publik dalam bentuk Perda yang
membahas peran serta pedagang kaki lima dalam pembangunan yang
diantaranya terarah pada usaha untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan
keindahan Kota Surakarta menjadi hal yang menarik untuk menjadi obyek
12
penelitian. Terlebih pelaksanaan Perda tersebut telah di tindak lanjuti oleh
Walikota Surakarta sehubungan dengan program relokasi PKL dibeberapa
tempat di wilayah kota Surakarta, seperti PKL Klithikan Banjarsari yang
memenuhi seputaran monument 45 ke Pasar Notoharjo Semanggi, PKL di
depan Stadion Manahan di Jl. Adi Sucipto ke sampaing dan belakang
Stadion Manahan, PKL di Kentingan/sekitar Pagar Kampus UNS ke
belakang Kecamatan Jebres, dan sebagainya. Pelaksanaan tersebut tentulah
tidak semudah membalikkan tangan, hal ini penuh dengan opini yang pro
maupun kontra.
Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memilih untuk menulis
tesis ini dengan judul " PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI
KOTA SURAKARTA YANG BERJALAN TANPA KONFLIK FISIK
DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK”
B. Perumusan Masalah
Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan
masalahnya adalah sebagai berikut:
Bagaimana Pemerintah Kota Surakarta mengimplementasikan penataan
Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik
dalam perspektif hukum dan kebijakan publik?
13
C. Tujuan Penelitian
Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:
1. Untuk menjelaskan Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota
Surakarta dalam Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta
sehingga dapat berjalan tanpa konflik fisik.
2. Untuk mengetahui implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta
dalam Penataan PKL di Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik.
D. Manfaat Penelitian
1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi
pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kebijakan publik yang
berkaitan dengan penataan Pedagang Kaki Lima, khususnya di Kota
Surakarta.
2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu
gambaran mengenai pelaksanaan Kebijakan yang terkait dengan penataan
Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta.
3. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain
serta menambah wawasan pengetahuan di bidang kebijakan publik
khususnya mengenai Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta..
14
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Kajian Teori
1. Teori Bekerjanya Hukum
Sering muncul ketika membicarakan mengenai hukum adalah hukum
yang berlaku pada sebuah negara. Hukum semacam ini disebut hukum
positif. Asal mula hukum ini ialah penetapan oleh pimpinan yang sah
dalam negara.
Menurut pandangan tradisional, tidak mungkin untuk memahami
esensi suatu tata hukum nasional, yaitu principium individuations-nya,
kecuali jika negara dipostulasikan sebagai realita sosial yang fundamental5
Menurut pandangan ini, sistem norma memiliki kesatuan dan kekhasan
sehingga pantas disebut tata hukum nasional. Sistem norma ini berkaitan
dengan suatu cara yang berbeda dengan negara lain sebagai satu fakta
sosial, karena sistem norma ini diciptakan oleh satu negara atau sistem ini
valid bagi satu negara.
Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur
perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum
mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma,
oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.
5 Hans Kelsen. Teori Umum Hukum dan Negara. Dasar-dasar Ilmu Hukum sebagai
Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Bee media Indonesia Jakarta. 2007. Hal 46
15
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan
yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar,
yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu
akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi
manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang
individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial
dinamakan ’keadilan’6
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh
kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-
peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya
sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai
dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom masyarakat7.
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya
oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib,
dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan
perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum
yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk
hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.
Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seorang atau
hubungan antara orang-orang dalam masyarakat Untuk keperluan
pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam
berbagai fungsinya, yaitu :
6 Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 57
7 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. Hal 64
16
a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun
yang menentukan hubungan antara orang dengan orang;
b. Penyelesaian sengketa-sengketa;
c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi
perubahan-perubahan. 8
Hukum, dengan demikian digolongkan sebagai sarana untuk
melakukan kontrol sosial, yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang
untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu,
pengontrolan oleh hukum tersebut dijalankan dengan berbagai cara dan
melalui pembentukan badan-badan yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini,
hukum disebut sebagai suatu sarana untuk melakukan kontrol sosial yang
bersifat formal.
Penyadaran akan hukum yang berkualitas terbatas itu menjadi
penting di tengah buruknya kualitas kehidupan hukum kita. Tetapi
sebenarnya kesadaran itu tidak hanya diperlukan pada masa-masa sulit
seperti sekarang, karena hal itu sudah menjadi bagian dari realitas dunia
hukum kapanpun dan di mana pun. Hukum sama sekali tidak dapat
dilepaskan dari partisipasi publik9
Hukum sebagai sarana kontrol sosial adalah suatu proses yang
dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai
dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial ini dijalankan dengan
8 Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa. Hal 16
9 Sarjipto Rahardjo. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas. Hal 87
17
menggunakan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan
negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik maupun
melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.
Keadaan tersebut berbeda dengan hukum sebagai sarana social
engineering. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan
hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat
sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-
perubahan yang diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya hanya
dilekatkan pada hukum modern.
Dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum
(rechsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan
alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung
jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi, adanya pembagian
kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-
undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan
pemerintah tersebut. Prinsip wawasan negara hukum yang dikemukakan
oleh Zippelius tadi pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada pada
materi muatan konstitusi. Berarti berbicara tentang esensi hukum positif,
wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechsstaat), inklusif di
dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang
terlembagakan oleh alat-elat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar
18
yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu
mengikat seluruh warga negara10
.
Robert B. Seidman menyatakan bahwa tindakan apapun yang akan
diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun
pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas
kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan lain-lain
sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam
setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku,
menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktifitas lembaga-
lembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada akhirnya
dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil dari
bekerjanya berbagai macam faktor. Robert B. Seidman mencoba untuk
menerapkan pandangannya tersebut mengenai bekerjanya hukum dalam
masyarakat yang dilukiskan dalam bagan sebagai berikut :
10
Dahlan Thaib, dkk. Opcit. Hal. 76
19
Bagan 1
Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat11
Kekuatan-kekuatan Pengaruh
Umpan balik
Umpan balik
Umpan balik
Kekuatan-kekuatan Kekuatan-kekuatan
Pengaruh Pengaruh
Bagan tersebut diuraikan di dalam dalil-dalil sebagai berikut :
a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang
pemegang peranan itu diharapkan bertindak.
b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai
suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-
peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari
11
Ibid. hlm. 78
Pembuat
Undang-
Undang
Pelaksana
Pemegang
Peran
20
lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan
sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.
c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai
respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-
peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya,
keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-
lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang
datang dari para pemegang peranan.
d. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak
merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku
mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan
sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka
serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta
birokrasi.
Dengan menggunakan model dari Seidmen tersebut dapat dijelaskan
pengaruh faktor-faktor atau ketentuan-ketentuan sosial mulai dari tahap
pembuatan undang-undang, penerapannya dan sampai kepada peran yang
diharapkan. Demikian pula, pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan
juga dalam bidang penerapan hukum.
Peranan yang diharapkan dari warga masyarakat juga sangat
ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama
sistem budaya. Yang dimaksud “pemegang peran” adalah semua warga
negara baik itu hakim, polisi dan sebagainya. Apapun terminologi yang
21
diajukan untuk menjelaskan apa itu hukum, pada dasarnya hukum
merupakan budaya masyarakat atau aktivitas mesyarakat tertentu yang
berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat12
Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-
harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang
peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh
kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain.
Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana respon yang akan
diberikan oleh pemegang peran, antara lain : (a) sanksi-sanksi yang
terdapat di dalamnya, (b) aktifitas dari lembaga pelaksana hukum, dan (c)
seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja
atas diri pemegang peranan di situ. Perubahan-perubahan itu juga
disebabkan oleh berbagai reaksi yang ditimbulkan oleh pemegang peran
terhadap pembuat undang-undang dan birokrasi. Demikian pula
sebaliknya. Komponen birokrasi juga memberikan umpan balik terhadap
pembuat undang-undang maupun pemegang peran.
Dengan menggunakan model Seidman tersebut dijelaskan bahwa
setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui
perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi
ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan
sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya.
12
Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang :
Suryandaru Utama. Hal 48
22
Perubahan itu terutama disebabkan oleh pemegang peran terhadap
pembuat undang-undang dan terhadap birokrasi penegakan, dan demikian
sebaliknya.
Berdasarkan teori berlakunya hukum di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa hukum sebagai sarana kontrol sosial merupakan suatu
proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah
laku sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu, setiap undang-
undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal
maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak.
Perubahan ini disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya,
ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya.
2. Teori Sistem Hukum Stufenbau
Secara teoritis, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat
dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai “Stufenbau des Rechts”
atau “The hierarchy of Law” yang berintikan, bahwa “kaidah hukum
merupakan susunan berjenjang dan setiap kaidah yang lebih rendah
bersumber dari kaidah hukum yang lebih”13
Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Rechts, harus
dihubungkan dengan ajaran Hans Kelsen tentang “Reine Rechtslehre atau
The pure theory of law (teori hukum murni) dan bahwa hukum itu tidak
lain dari kehendak penguasa (command of the souvereign).
13
Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH MI Yogyakarta. Hal
59
23
Menurut teori hukum murni “hukum tidak lain dari sistem hukum
positif yang dibuat oleh penguasa. Hukum positif dapat berupa peraturan
perundang-undangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidah-
kaidah yang terjadi karena putusan hakim sebagai kaidah khusus
(individual norm). Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan
asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini seang
berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau
melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara14
Karena tidak mungkin menempatkan putusan hakim dalam tata
urutan, maka pengertian Stufenbau des Rechts adalah tata urutan peraturan
perudang-undangan (kaidah umum).
Menurut teori hukum murni, bahwa objek kajian hukum (legal science)
hanyalah mengenai isi hukum positif. Sedangkan mengenai baik atau buruk suatu
kaidah yang mencerminkan sistem nilai tertentu, masalah tujuan hukum dan lain-
lain, bersifat filosofis, bukan objek teori hukum, melainkan objek filsafat.
Pandangan ini bertalian dengan paham “legal positivism” dan Hans Kelsen
merupakan salah seorang penganut Aliran Positivis.
Komponen substantif dalam hukum merupakan hasil dari sistem
hukum, berupa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang
digunakan baik oleh pihak yang mengatur dan pihak yang diatur. Hukum
adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang ditentukan
menurut kriteria yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan yuridis.
Suatu peraturan baru dapat diakui legal, bila tidak bertentangan dengan
14
Ibid. hlm. 1
24
peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi,
yang dikenal dengan teori Stufenbau. Teori stufenbau memperlihatkan
bahwa seluruh system hukum mempunyai suatu struktur piramida, mulai
dari yang abstrak sampai yang konkret 15
.
Menurut Fuller, ukuran mengenai adanya suatu sistem hukum yang
baik dalam rangka efektivitas hukum yang hendak diwujudkan terdapat
dalam delapan asas yang disebut principles of legality, yaitu:
a. Suatu sistem hukum yang harus mengandung suatu peraturanperaturan,
tidak boleh, mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat
ad-hoc.
b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.
c. Tidak boleh peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila ada
yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu bilamana menjadi
pedoman tingkah laku, membolehkan peraturan secara berlaku surut
berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku
bagi waktu yang akan datang.
d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa
dimengerti.
e. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang
bertentangan satu sama lain.
f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi
apa yang dapat dilakukan.
15
Theo Huijbers, 1986. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Bina Cipta.
Hal 82
25
g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan sehingga
menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.
h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan
pelaksanaannya sehari-hari. 16
Ketentuan perundang-undangan tidak hanya mengatur wewenang normatif
yang diatur dalam sebuah undang-undang sehingga sifatnya kaku,
melainkan juga wewenang bebas (diskresi). Namun dalam praktiknya
seringkali diskresi digunakan secara berlebihan.
Diskresi merupakan pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang
menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus
berdasarkan ketentuan undang-undang. Diskresi dalam penegakan hukum
dinilai sangat penting, karena pertimbangan adanya kelambatan-
kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan
perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga
menimbulkan ketidakpastian dan diberlakukan pada kasus-kasus yang
memerlukan penanganan khusus17
3. Teori Konflik
Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan
kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai
sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori
konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok
16
Esmi Wirasih. Op Cit. hal. 31 17
Soerjono Soekanto.1984. Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat.Jakarta:
CV.Rajawali. hal 37
26
dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan
mengontrol bakan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau
undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk
menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan
kelompok-kelompok lainnya. Menurut Wallase dan Alison, teori konflik
memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan:
a. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka
berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.
b. “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak
merata, sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai
sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai
sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali.
c. Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang
dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih
tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.
Teori Konflik dalam Pandangan Dahrendorf. Pendekatan konflik
Marxian dan Weberian, banyak dianut oleh sosiolog modern, tetapi bukan
berarti pendekatan ini mendasari dukungan universal. Dipahami bahwa
gagasan konflik Marx dan Weber banyak kegunaanya. Strategi konflik
Marxian, memandang masyarakat sebagai kebutuhan dan keinginannya.
Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi.
Kelompok yang dominant memanfaatkan kekuasaan mereka untuk
menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok
27
mereka sendiri. Asumsi yang mendasari teori sosial non Marxian
Dahrendorf adalah (1) manusia sebagai makhluk sosial mempunyai andil
dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial, (2) Masyarakat selalu
dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam
berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi
(borjuasi) yang menguasai proletar. Karena tidak adanya pemisahan antara
pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi18
.
Ia mengkritk teori Marx dengan alasan : (1) Marxian, lemah dalam
konseptualnya dengan mencampuradukkan konflik kelas sebagai
perubahan dengan masyarakat kapitalis, (2) pendapat Marx tetang hak
milik dalam arti sempit, (3) kapitalisme yang diterangkan Marx
mengalami transformasi bukan evolusi, (4) keadaan kapitalisme hanyalah
salah satu subtype masyarakat industri pasca industri, dan (5) konflik kelas
memuncak karena melibatkan faktor ekonomi dan politik.
Fenomena sosial yang dijelaskan meliputi : (1) konflik atau dominasi
dalam hal ekonomi dan politik, (2) konflik tidak bisa dihilangkan atau
diselesaikan, tetapi hanya bisa diatur, (3) proses konflik dapat dilihat dari
intensitasdan sarana (kekerasan).
Fungsi konflik menurut Dahendorf adalah (1) membantu
membersihkan suasana yang sedang kacau, (2) katub penyelamat ( proses /
salah satu sikap serta ide) yang berfungsi dalam permusuhan, (3)
keagresifan dalam konflik yang realitas (dalam kekecewaan) dan konflik
18
Dahrendorf, Ralf. 1983. Konflik dalam Masyarakat Industri. Rajawali Jakarta. Hal 65
28
tidak realitas (dalam kebutuhan untuk meredakan ketegangan) mungkin
terakumulasi dalam proses interaksi lain sebelum ketengangan dalam
situasi konflik diredakan, (4) konflik tidak selalu berakhir dengan rasa
permusuhan, (5) konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan
stabilitas suatu hubungan, dan (6) konflik dengan berbagai Outgruop dapat
memperkuat kohesi (hubungan atau kerjasama) internal suatu kelompok.
Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik “wewenang” dan ‘posisi’
sebagai konseptual sentral teorinya. Ia melihat yang terlibat konflik adalah
kelompok semu yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan
kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok
kepentingan. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok kepentingan,
yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan
ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang
jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya
konflik dalam masyarakat.
Seperti halnya konsensus dan konflik adalah sebuah realitas sosial.
Teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan
sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai. Menurut Marx
“kepentingan” selalu dipandang dari segi materialnya saja tetapi
sebenarnya menurut Dahrendorf “kepentingan” selalu memiliki suatu
harapan-harapan. Dalam memegang peran penguasa seseorang tersebut
akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan
dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.
29
Dahrendorf melihat masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik
dan sisi kerjasama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisa dengan
fungsionalisme struktual dan dapat pula dengan konflik. Harapannya
bersama Coser, agar perspektif konflik dapat digunakan dalam rangka
memahami dengan lebih baik fenomena sosial. Sebalikmya, Durkheim
cenderung, meihat konflik yang berlebihan sebagai sesuatu yang tidak
normal dalam integrasi masyarakat. Simmel juga berasumsi bahwa konflik
dan ketegangan adalah sesuatu yang “abnormal” atau keduanya
merusakkan persatuan kelompok, merupakan suatu perspektif yang penuh
bias yang tidak didukung oleh kenyataan. Dahrendorf dalam mejelaskan
konflik berpindah dari struktur peran kepada tingkah laku peran. Tetapi
keduanya tidak bisa berjalan bersama-sama dalam bentuk hubungan
sebaba-akibat. Karena keduanya tidak dipisahkan secara jelas sebagai
fenomena yang berbeda. Masing-masing tergantung pada yang lain tanpa
melakukan penjelasan satu sama lain.
Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf sering kali
disebut teori konflik dialektik. Bagi Dahrendorf, masyarakat mempunyai
dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Kita tidak mungkin mengalami
konflik kalau sebelumnya tidak ada konsensus. Misalnya, si A dan si B
dalam kelas ini tidak mungkin terlibat dalam konflik karena mereka tidak
pernah mengenal satu sama lain dan hidup bersama19
.
19
Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka. Hal 29
30
Demikianpun sebaliknya, konflik bisa menghantar orang kepada
konsensus. Kerjasama yang sangat erat antara Jepang dan Amerika Serikat
pada saat ini terjadi sesudah mereka terlibat dalam konflik yang sangat
hebat pada waktu perang dunia II.
Sekalipun hubungan yang sangat erat antara keduanya, Dahrendorf
tidak terlalu optimis bisa membangun satu teori itu, dia berusaha
membangun suatu teori konflik yang kritis tentang masyarakat. Lewat
teorinya itu, ia ingin menerjemahkan pikiran-pikiran Marx ke dalam suatu
teori sosiologi. Dia memulai teorinya dengan kembali bersandar pada
fungsionalisme struktural. Dia mengatakan bahwa dalam fungsionalisme
struktural, keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama
yang sukarela atau karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan
dalam teori-teori konflik, kestabilan atau keseimbangan terjadi karena
paksaan. Hal itu berarti bahwa dalam masyarakat ada beberapa posisi yang
mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga
keastabilan bisa tercapai.
Jonathan Turner berusaha merumuskan kembali teori konflik. Dia
mengemukakan bahwa ada tiga soal utama dalam teori konflik. Pertama,
tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu konflik, yakni apa yang
termasuk ke dalam konflik dan apa yang bukan konflik. Ada banyak istilah
yang dipakai untuk konflik, seperti perumusan, perang, persaingan,
antagonisme, tekanan, pertengkaran, perbedaan pendapat, kontroversi,
kekejaman, revolusi, perselisihan, dan lain-lain. Persoalannya ialah istilah
31
manakah yang dimaksudkan oleh teori konflik itu? Kedua, teori konflik
kelihatannya mengambang karena ia tidak menjelaskan unit analisa yang
entah karena konflik antara individu, kelompok, organisasi, kelas-kelas,
atau konflik antara bangsa-bangsa. Ketiga, oleh karena ia merupakan
reaksi atas fungsionalisme struktural, maka ia sulit melepaskan diri dari
teori itu. Hal ini membuat teori konflik semakin jauh dari akarnya
Marxisme.
Turner lalu memusatkan perhatiannya pada ”konflik sebagai suatu
proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada interaksi yang
disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan sembilan
tahap menuju konflik terbuka. Adapun kesembilan tahap itu adalah
sebagai berikut.
a. Sistem sosial terdiri dari unit-unit atau kelompok-kelompok yang
saling berhubungan satu sama lain.
b. Di dalam unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat
ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau sumber-sumber
penghasilan.
c. Unit-unit atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak
mendapat bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai
mempertanyakan legitimasi sistem tersebut.
d. Pertanyaan atas legitimasi itu membawa mereka kepada kesadaran
bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-
sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.
32
e. Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing
untuk marah.
f. Kemarahan tersebut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak
terorganisir.
g. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang.
h. Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan
untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa.
i. Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok berkuasa dan
tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan di dalam konflik itu sangat
bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang bertikai
untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara obyektif
atau kemampuan masing-masing pihak untuk menangani, mengatur
dan mengontrol konflik itu. 20
Dalam ke sembilan tahap itu Turner merumuskan kembali proses
terjadinya konflik di dalam sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada
akhirnya konflik yang terbuka antara kelompok-kelompok yang bertikai
sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak untuk
mendefinisikan kepentingan mereka secara obyektif dan untuk menangani,
mengatur dan mengontrol kelompok itu.
Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali
disebut teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik
bagi sistem sosial atau masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul The
20
Ibid. hal. 94
33
Functions of Social Conflicts, Lewis Coser memusatkan perhatiannya pada
fungsi-fungsi dari konflik. Dari judul itu bisa dilihat bahwa uraian Coser
terhadap konflik bersifat fungsional dan terarah kepada pengintegrasian
teori konflik dan teori fungsionalisme struktural. Tetapi sebetulnya kalau
ia mau konsekuen dengan usahanya itu maka ia juga harus menguraikan
akibat-akibat dari keteraturan (order) terhadap konflik atau
ketidakseimbangan. Misalnya, penekanan yang terlalu banyak terhadap
peraturan bisa menimbulkan ketidakstabilan. Pemerintahan yang totaliter,
misalnya sekalipun menekankan aturan yang ketat bisa menimbulkan
ketidakstabilan di dalam masyarakat. Sayang, Lewis Coser tidak sempat
mendalami aspek-aspek itu21
.
Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori
konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk
mempertahankan keutuhan kelompok. Pada hal pendukung teori konflik
lainnya memusatkan analisa mereka pada konflik sebagai penyebab
perubahan sosial. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik,
yakni :
a. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar.
Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan
masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan. Dalam
hal ini, ia sebetulnya mengambangkan apa yang sudah dikatakan oleh
George Simmel sebelumnya. Misalnya : Negara Indonesia pada masa
21
Ibid hal. 78
34
Soekarno dengan politik ”Ganyang Malaysia” atau penciptaan label-
label pada masa Orba, seperti PKI, Subversif, GPK.
b. Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam
kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada
aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain. Konflik yang
berkepanjangan antara Israel dan negara-negara Arab yang
menyebabkan Israel menjalin kerjasama yang begitu erat dengan
Amerika Serikat. Bisa saja terjadi bahwa kalau perdamaian jangka
panjang antara negara-negara Arab dan Israel tercapai, maka ikatan
antara Israel dan Amerika menjadi kendur.
c. Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang
terisolir menjadi berperan secara aktif. Misalnya, sesudah mahasiswa
memperoleh rezim orde baru pada awal kehancurannya banyak orang
tampil ke depan dan dianggap sebagai pejuang reformasi. Tidak sedikit
tokoh yang barang kali tidak dikenal sebelumnya tetapi berperan aktif
pada masa peralihan itu.
d. Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi. Sebelum terjadinya
konflik, anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan
merencanakan apa yang akan dilakukan lewat tukar menukar pikiran
itu mereka bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang
harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan ataupun untuk
menciptakan perdamaian.
35
Secara teoritis fungsionalisme struktural dan teori konflik kelihatan
bisa diperdamaikan dengan menganalisa fungsi-fungsi dari konflik
sebagaimana diuraikan oleh Lewis Coser ini. Tetapi harus diakui bahwa
dalam banyak hal, konflik juga menghasilkan ketidakfungsian, atau
disfungsi. Artinya, fungsi-fungsi yang disebutkan oleh Coser itu tidak
seberapa dibandingkan dengan ketidakstabilan atau kehancuran yang
disebabkan oleh konflik itu.
C. Wright Mills (1916-1962) adalah salah seorang sosiolog
Amerika yang berusaha menggabungkan perspektif konflik dengan kritik
terhadap keteraturan sosial. Mills banyak dikritik karena karya-karyanya
terlalu bersifat polemis dan menyerang kelompk-kelompok tertentu. Tetapi
di pihak lain, ia juga mempunyai banyak pengagum. Ia tidak pernah
merasa sendirian walaupun pada akhirnya dia cukup pesimis dengan apa
yang sedang terjadi pada waktu itu. Mills banyak dikritik karena karya-
karyanya terlalu bersifat polemis dan menyerang kelompok-kelompk
tertentu. Tetapi di pihak lain, ia juga mempunyai banyak pengagum. Ia
tidak pernah merasa sendirian walaupun pada akhirnya dia cukup pesimis
dengan apa yang sedang terjadi pada waktu itu. Mills percaya bahwa
masyarakat Amerika telah dibangun dalam sistem yang tidak bermoral.
Dia sendiri tidak pernah mengikuti pemilu karena dia menganggap partai-
partai politik itu adalah penipu dan tidak rasional. Dia juga menyerang
rekan-rekan kaum intelektual karena mengabaikan tanggungjawab
36
sosialnya dan mengabdikan dirinya pada penguasa padahal di belakang
layar mereka mengatakan bahwa mereka itu bebas nilai22
.
Mills yakin bahwa adalah mungkin menciptakan suatu masyarakat
yang baik di atas dasar pengetahuan dan bahwa kaum intelektual harus
mengambil tanggungjawab ini, yakni menciptakan sebuah masyarakat
yang baik. Dia percaya pada sosialisme liberal dan mendukung revolusi
Kuba serta mengutuk reaksi Amerika atas revolusi di Kuba itu karena dia
yakin bahwa revolusi di Kuba itu akan menyatukan sosialisme
revolusioner dan kebebasan. Tema-tema yang dibahas secara khusus
dalam sosiologi Mills adalah hubungan antara alienasi dan birokrasi dan
kekuasaan kaum elit.
4. Teori Kebijakan Publik
a. Kebijakan Publik
Perilaku yang nyata dari keberadaan negara dan mempunyai
kaitan langsung dengan dinamika sosial masyarakat adalah kebijakan
publik. Bahkan Harold Laswell mengatakan bahwa kebijakan publik
diperoleh dari sebuah kebijakan publik. ialah segala yang dilakukan
maupun tidak dilakukan oleh negara atau pemerintah (everything
government do or not to do)23
.
Kebijakan publik ini telah dikenai sejak masa Babilonia dalam
Code Hammurabi. Code Hammurabi adalah alat bagi Raja Hammurabi
22
Ibid. hal. 82 23
Muchsin dan Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes
Press. Hal 81
37
untuk mengatur dan mengendalikan negara dan masyarakat yang
dipimpinnya. Code Hammurabi ini memperlihatkan bukti bahwa Raja
sebagai pejabat institusi kerajaan memiliki hak dan legitimasi untuk
memerintah dan mengatur.
Kebijakan publik adalah alat, instrumen penguasa sebagai
perwujudan dari kekuasaannya. Oleh karena bertalian dengan
kekuasaan, dimana makin besar kekuasaan makin besar pula
kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya, sebagaimana
dikatakan Lord Acton24
Pada dasarnya kebijakan publik merupakan tindakan nyata
pemerintah, organisasi pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang
banyak, warga masyarakat. Yang lebih kongretnya, tugas kepublikan
tersebut berupa serangkaian program-program tindakan yang hendak
direalisasikan. Untuk itu diperlukan tahapan, proses tertentu agar dapat
dicapai tujuannya. Rangkaian proses untuk merealisasikan tujuan
program publik itulah yang dimaksudkan dengan kebijakan publik.
Menurut Islamy dalam Muchsin dan Fadillah Putra pada
dasarnya kebijakan publik memiliki implikasi sebagai berikut :
1. Bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan
penetapan tindakan-tindakan pemerintah;
24
Saidi, Ridwan. Wacana kebijakan publik Indonesia. Yogyakarta : Lukman Offset. Hal
64
38
2. Bahwa kebijakan publik tersebut tidak cukup hanya dinyatakan
dalam bentuk teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan
atau diimplementasikan secara nyata;
3. Bahwa kebijakan publik tersebut pada hakekatnya harus memiliki
tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun
jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih
dahulu;
4. Dan pada akhirnya segala proses yang ada di atas adalah
diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat. 25
Dalam penyelenggaraan negara sehari-hari hukum dan kebijakan
publik menjadi suatu hal yang teramat penting. Keduanya saling
menunjang untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang
baik, dikenal dengan istilah good governance. Hukum sebagai pranata
sosial yang menciptakan dan menjaga keteraturan dan keselarasan
dalam kehidupan bernegara harus senantiasa ditegakkan.. Dalam
perkembangannya masyarakat menuju model civil society, yang
tampak pada pembentukan kelompok-kelompok yang berfungsi
menampung aspirasi anggota masyarakat yang beragam. Sejalan
dengan konsep good governance, partisipasi warga masyarakat terlihat
mulai dari perumusan kebijakan publik hingga evaluasi . Sehingga
kebijakan publik yang dihasilkan sebagai produk kebijakan publik
25
Muchsin dan Fadillah Putra. OpCit. hlm. 28
39
adalah hasil dari pembahasan dan kesepakatan bersama antara warga
masyarakat dengan pemerintah melalui pejabat publiknya.
b. Bentuk Bentuk Kebijakan Publik
Kebijakan publik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, antara
lain :
1. Berupa aturan atau ketentuan yang mengatur kehidupan masyarakat
(regulasi).
Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan
Presiden juga Peraturan Daerah dapat digolongkan dalam bentuk ini.
Sebagai aturan yang mengatur tata kehidupan masyarakat, kebijakan
dapat berubah mengikuti perubahan masyarakat dan sasaran-sasaran
yang hendak dicapai pada suatu waktu.
Namun demikian, pada saat ini ada kecenderungan dan
tuntutan masyarakat untuk mengurangi campur tangan pemerintah
secara langsung dengan lebih banyak melibatkan pihak swasta dalam
pelayanan masyarakat. Pertimbangan untuk efisiensi bagi pihak
pemerintah di samping tentu saja kemampuan pihak swasta yang
lebih besar. Efisien karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan
biaya tenaga kerja, pemeliharaan gedung dan sebagainya. Tentunya
biaya termaksud dapat dipergunakan untuk keperluan pembiayaan
lain.
40
2. Distribusi atau alokasi sumber daya
Kebijakan yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu
golongan ekonomi lemah, pada perkembangannya menjadi kebijakan
yang ditujukan untuk mengimbangi berbagai kesenjangan antar
golongan dan daerah dalam suatu negara. Kesenjangan yang
disebabkan oleh pembangunan dimana daerah tertinggal makin
tertinggal apabila tidak ada kebijakan khusus dalam hal distribusi
dan alokasi sumber daya atau fasilitas.
3. Redistribusi atau relokasi
Kebijakan ini merupakan usaha perbaikan sebagai akibat dari
kesalahan kebijakan industri sebelumnya. Sasarannya pada
pemerataan ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu kegiatan ekonomi
golongan maju lebih sedikit dibebani untuk memberi fasilitas
berkembang bagi yang lemah.
4. Pembekalan atau pemberdayaan
Pembekalan atau pemberdayaan ini dimaksudkan sebagai
modal atau melengkapi masyarakat dengan sarana-sarana yang perlu
agar dapat berdiri sendiri dengan tujuan untuk pemerataan. Namun
pemerataan di sini lebih pada pemerataan kemampuan agar dapat
berkembang sendiri. Sebagai contoh adalah pemberian kredit tanpa
bunga.
41
5. Etika
Aturan-aturan moral berdasarkan kaidah yang berlaku, baik
berupa aturan agama ataupun adat yang dapat dijadikan arahan atau
pedoman bagi tindakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk
memperlakukan aturan-aturan tersebut merupakan kebijakan
pelaksanaan26
Satu hal yang patut diingat oleh pembuat kebijakan adalah bahwa
apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai bahkan bertentangan
dengan nilai-nilai yang ada atau diterima dalam masyarakat. Maka dapat
dipastikan bahwa kebijakan tersebut akan mengalami berbagai kesulitan
dalam pelaksanaanya.
Model kebijakan tidak dapat dihindarkan untuk menyumbang
distorsi seleketif atas realitas. Sesungguhnya terdapat beberapa model
kebijakan, yang dapat digunakan dalam perumusan dan penentuan
kebijakan tetapi hanya ada dua bentuk utama dari model kebijakan itu
sendiri. Beberapa model yang dimaksud dapat dideskripsikan sebagai
berikut:
1) Model deskriptif, bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi
sebab dan konsekuensi dari pilihan kebijakan. Model deskripsi
digunakan untuk memantau hasil dari aksi kebijakan.
2) Model normatif, model ini bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan
dan memprediksi, tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi
26
Alisjahbana. Op.Cit. hlm. 67
42
untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas atau nilai.
Beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis
kebijakan adalah : (1) model antri, yaitu model normatif yang
membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum;
(2) model penggantian, yaitu pengaturan waktu pelayanan dan
perbaikan yang optimum; (3) model inventaris, yaitu pengantran
volume dan waktu yang optimum; (4) model biaya-manfaat, yaitu,
perlunya keuntungan optimum pada investasi publik.
3) Model verbal, model ini merupakan ekspresi dalam tiga bentuk
utama, yaitu, verbal, simbol, dan prosedural. Model verabal
diekspresikan dalam bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan model
ini, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi
dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan
argumen kebijakan, tetapi bukan dalam bentuk nilai-nilai angka yang
pasti. Model verbal secara relatif mudah dikomunikasikan ke publik
dan berbiaya murah dan dapat mengandalkan debat publik.
Keterbatasan model verbal adalah bahwa masalah yang digunakan
untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau
tersembunyi, sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara
kritis argumen tersebut secara keseluruhan.
4) Model simbolis, model ini menggunakan simbol statistik, matematik,
dan logika. Model simbolis sulit untuk dikomunikasikan kepada
publik, bahkan diantara para ahli pembuat model sering terjadi
43
kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model simbolis.
Biaya model simbolis mungkin tidak lebih besar dari model verbal.
Namun, kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya mungkin
tidak mudah diintreprestasikan, bahkan diantara para spesialis,
karena asumsinya mungkin tidak dinyatakan secara memadai.
5) Model prosedural, model ini menampilkan hubungan yang dinamis di
antara variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan.
Prediksi dan solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan
meneliti seperangkat hubungan. Biaya model ini relatif lebih tinggi
jika dibanding dengan model verbal dan simbolis. 27
c. Implementasi kebijakan publik
Menurut Kamus Webster28
mengimplementasikan berarti
menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu sehingga
menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Dalam hal ini
implementasi kebijakan sebagai suatu proses melaksanakan keputusan
kebijakan/peraturan perundang-undangan. Van Meter dan Van Horn
merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang
dilakukan baik oleh individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau
27
Lijan Poltak Sinambela. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan
Implementasi.. hal 59 28
Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi. Rineka
Cipta, Jakarta.hal 70
44
swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah
digariskan dalam keputusan kebijakan29
Setiap implementasi atau penerapan hukum memerlukan kebijakan
publik sebagai sarana untuk memperlancar proses penerapan hukum
tersebut. Sebab hukum adalah produk kebijakan publik yang di
dalamnya berisikan aturan, tujuan yang hendak dicapai dan bagaimana
produk hukum atau undang-undang itu harus dilaksanakan agar
tercapai hasil yang diharapkan.
Lineberry menyatakan bahwa proses implementasi suatu produk
hukum memiliki empat (4) elemen sebagai yang berikut :
1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana;
2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana;
3. Koordinasi dan pembagian tugas di dalam dan di antara dinas
pelaksana;
4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan. 30
Penerapan atau implementasi dan kebijakan publik pada
umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah hingga
jenjang yang terendah. Dan setiap pelaksanaan kebijakan publik
memerlukan pembentukan kebijakan dalam wujud peraturan
perundang-undangan.
Menurut Daniel S. Lev budaya hukum dibedakan atas nilai-nilai
hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substansif. Nilai hukum
29
Ibid. hlm. 65 30
Muchsin dan Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes
Press.hal 5
45
prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyarakat
dan mengelola konflik. Sedangkan nilai-nilai hukum substantif dari
budaya hukum berkaitan pemahaman masyarakat mengenai adil dan
tidak adil31
.
Oleh karena itu baik buruk kebijakan publik bergantung pada
penilaian masyarakat, sebagai sarana pemenuhan kepentingan
masyarakat. Apabila masyarakat merasakan manfaat kebijakan publik
maka dapatlah dianggap bahwa fungsi kebijakan publik tersebut
sukses. Dan sebaliknya, apabila masyarakat merasa dengan kebijakan
publik tersebut mereka dirugikan maka kebijakan publik tersebut dapat
dikatakan gagal mengemban misinya.
Kebijakan publik yang terbingkai dalam suatu bentuk aturan
hukum, menyitir pendapat Gustav Radbruch maka hukum yang ideal
haruslah berorientasi kepada 3 (tiga) nilai dasar yaitu keadilan,
kemanfaatan-kegunaan dan kepastian hukum. Jadi, suatu aturan hukum
yang dikatakan baik belum cukup apabila hanya memenuhi
persyaratan filosofis, ideologis dan yuridis saja; tetapi secara sosiologis
aturan hukum tersebut juga harus berlaku. Tidak selalu membawa
konsekuensi aturan hukum termaktub diganti apabila dalam
kenyataannya ada gejala aturan hukum tadi tidak hidup. Aturan hukum
atau peraturan perundangan harus diberi waktu agar diresapi dan
dihayati oleh warga masyarakat. Terhadap pelanggaran yang terjadi
31
Esmi Wirasih. Op Cit. hlm 89
46
tidak selalu mengindikasikan bahwa secara sosiologis peraturan
tersebut tidak berlaku di masyarakat. Mungkin saja para pelaksana
peraturan tidak bertindak tegas dan kurang bertanggung jawab dalam
pekerjaannya32
.
Hukum dan kebijakan publik mempunyai hubungan yang erat,
terutama pada tahap pembentukan hukum dan formulasi kebijakan
publik. Artinya bahwa hubungan erat tersebut diharapkan dapat
menghasilkan produk hukum yang baik secara substansial dan produk
kebijakan publik yang legitimated dan dipatuhi stakeholder,
masyarakat. Dapat dikatakan bahwa setiap produk hukum pada
dasarnya adalah hasil dari proses kebijakan publik. Proses
pembentukan kebijakan publik dimulai dari realitas yang ada dalam
masyarakat, berupa aspirasi yang berkembang, masalah yang ada
maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan. Berbekal
realitas tersebut selanjutnya mencoba untuk mencari pemecahan
masalah, jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi persoalan yang
muncul atau memperbaiki keadaan saat ini. Hasil dari pilihan solusi
itulah yang dinamakan sebagai hasil kebijakan publik. Bagaimana
hukum hadir sebagai pemberi legalitas pada hasil-hasil kesepakatan
yang telah diperoleh dari sebuah kebijakan publik.
32
Satjipto Rahardjo, 2005, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : PT. Citra
Aditya Bakti. Hal 4
47
d. Evaluasi Kebijakan Publik
Dalam proses kebijakan publik, evaluasi kebijakan publik
memegang peranan yang teramat penting mengingat bahwa dalam
evaluasi kebijakan publik termaktub akan tampak apakah suatu
kebijakan publik itu dapat mencapai tujuan, dan dampak yang
dihasilkan sudahkah sesuai dengan yang diharapkan atau belum?
Dengan kata lain evaluasi kebijakan publik sebagai penentu
kesuksesan atau kegagalan dari tujuan yang hendak dicapai beserta
dampak-dampaknya. Hasil evaluasi ini kelak menjadi dasar bagi
tindakan selanjutnya yang dapat berupa : kebijakan yang ada layak
diteruskan, kebijakan mengalami revisi atau tidak menutup
kemungkinan untuk dihentikan sama sekali.
Manfaat dari evaluasi ternyata tidaklah sama bergantung pada
kepentingan masing-masing pihak dan dalam keadaan demikian sangat
dimungkinkan terjadi bahwa hasil evaluasi tersebut dimanipulasikan.
Kepentingan masing-masing pihak tersebut dapat diuraikan sebagai di
bawah ini33
Pertama adalah dilihat dari kepentingan para pejabat yang
bertanggungjawab pada tingkat kebijakan; Kedua adalah dilihat dari
kepentingan para pejabat yang bertanggung jawab pada tingkat
program; Ketiga dilihat dari kepentingan para staf program yang
bekerja pada tingkat lokal yang berkaitan dengan usaha
33
Abdulwahab dalam Muchsin. Op Cit. Hlm. 126
48
menyempurnakan cara kerja/efektifitas peIayanan; keempat dilihat dari
kepentingan kelompok sasaran yaitu individu dan kelompok yang
menjadi sasaran program. Tidak menutup kemungkinan demi
melindungi kepentingannya maka pihak tersebut akan memanipulatif
hasil evaluasi kebijakan sedemikian rupa. Dalam keadaan yang
demikian peran hukum amat diperlukan sebagai pihak yang
independen dan netral.
Pada dasarnya menurut Leo Agustino fungsi dari evaluasi
kebijakan publik ada tiga yaitu untuk:
1. Memberi informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Pada
fungsi ini, evalauasi kebijakan publik beorientasi pada
instrumental/organ kebijakan publik yang ada. Berkaitan dengan
efektifitas organ kebijakan publik sebagai raison d'etre.
2. Menilai kepantasan tujuan atau target dengan masalah yang
dihadapi. Pada fungsi ini, evaluasi kebijakan publik terfokus pada
substansi dari kebijakan yang ada; apakah tujuan yang ditetapkan
kebijakan publik tersebut telah benar-benar mampu menyelesaikan
masalah yang ada. Berkaitan dengan implementing agents demi
tercapainya tujuan ditetapkannya kebijakan publik tersebut.
3. Memberi sumbangan pada kebijakan lain terutama dari segi
metodologinya. Pada fungsi ini, evaluasi kebijakan publik lebih
diarahkan pada upaya untuk menghasilkan rekomendasi, bahan
49
belajar bagi pelaku kebijakan publik lanjutan ataupun yang lain.
Dilakukan pada akhir kebijakan publik (ex-post evaluation). 34
Evaluasi kebijakan publik dibedakan dalam tiga macam, yaitu:
1. Evaluasi administratif, adalah evaluasi kebijakan publik yang
dilakukan di dalam lingkup pemerintahan dengan titik berat pada
segi finansiil dan prosedural;
2. Evaluasi Yudisiil, adalah evaluasi yang dilakukan yang berkaitan
dengan objek-objek hukum dengan titik berat amatan adalah
pelanggaran-pelanggaran hukum yang ada pada kebijakan publik
tersebut. Pelaku evaluasi ini adalah lembaga-lembaga hukum;
3. Evaluasi Politik, adalah evaluasi yang dilakukan aleh lembaga-
lembaga politik baik parlemen maupun parpol bahkan masyarakat
umum berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan politik dari
suatu kebijakan publik. Mengingat bahwa kebijakan publik adalah
sebuah proses politik tentu saja suatu kebijakan publik tersebut 35
.
Dari ketiga evalusi kebijakan publik tersebut di atas,
kenyataannya evaluasi politik dapat mengalahkan dua macam evaluasi
yang lainnya yakni administratif dan yudisiil. Mengapa demikian?
Karena evaluasi politik adalah menyangkut persepsi politik terhadap
suatu kebijakan publik yang seringkali bersifat sangat subjektif.
Menurut Fadiilah Putra dalam Muchsin36
hal demikian tidaklah
menjadi masalah sepanjang semua dilakukan secara transparan,
34
Agustino, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta. Hal 126 35
Muchsin. Op Cit. hlm. 130 36
Ibid. hlm. 132
50
terbuka dan, fair serta tidak ada dominasi dan tentu saja dapat
dipertanggungjawabkan secara hukum.
5. Peraturan Daerah
Sering terjadi perbedaan penafsiran dalam analisis kajian otonomi
daerah di kalangan pakar, baik pengertian otonomi itu sendiri maupun
prinsip-prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah
merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik, namun
dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti zelwetgeving
(membuat perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri).
Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen
huishounding (menjalankan rumah tangga sendiri). Otonomi adalah
pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah
mempunyai kebebasan inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan
pemerintahan di daerah. Selain itu, bisa dimaknai sebagai kebebasan dan
kemandirian (vrijheid dan zelftandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah
untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan
pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu,
menjadi tanggungjawab satuan pemerimtahan yang lebih rendah. Kebebasan
dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.
Porsi otonomi daerah menurut Laica, tidak cukup dalam wujud
otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab, tetapi harus diwujudkan
dalam format otonomi daerah yang seluas-luasnya. Format otonomi yang
51
seluas-luasnya mengundang perdebatan di kalangan pakar. Disatu sisi,
konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya berkonotasi untuk membangun
image bakal munculnya ide negara bagian dalam negara federasi (federal
state), sementara sisi lainnya menganggap bahwa hal tersebut beralasan
karena dengan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, rakyat
cenderung tidak lagi membayangkan negara federal. Konsep pemerintahan
otonomi yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya untuk
menghindari ide negara federal. Sekalipun ide negara federal tidak
dipandang secara apriorim, tetapi itu sebagai suatu hal yang tabu dalam
membangun kehidupan bernegara bagi rakyat banyak di indonesia. Cakupan
otonomi seluas-luasnya adalah bermakna penyerahan urusan sebanyak
mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri37
.
Disisi lain, Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi seluas-
luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah
untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Nasroen berpendapat bahwa
otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan
negara kesatuan. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi
daerah tidak boleh meretakkan apalagi memecah belah negara kesatuan.
Kaitan antara negara kesatuan dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya,
Nasroen menyatakan bahwa teramat pentinglah dasar kesatuan ini dalam
mendudukannya dengan dasar otonomi seluas-luasnya. Otonomi seluas-
37
Agussalim Andi Gadjong. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum.
Bogor : Ghalia Indonesia. Hal 101
52
luasnya tentunya tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan dan dasar
kesatuan sebaliknya, tentulah tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi
seluas-luasnya. Tentulah yang akan di cari dan ditetapkan ialah sesuatu
perseimbangan antara dasar kesatuan dan dasar otonomi seluas-luasnya di
daerah.
Tresna berpendapat, janganlah perkataan seluas-luasnya diartikan
sebagai suatu yang tidak berujung. Di dalam negara kesatuan, seluas-luasnya
sistem otonomi dibatasi oleh kekuasaan pemerintah negara kesatuan. Negara
kesatuan (eenheidstaat) tidak dapat meniadakan otonomi daerah, namun
betapapun luasnya otonomi daerah, tidaklah dapat menapikan wadah negara
kesatuan. Makna otonomi yang seluas-luasnya menjadikan pemerintah pusat
hanya akan mengatur hal-hal dan masalah yang harus diatur pemerintah
pusat itu sendiri dan segala sesuatu yang tidak termasuk keharusan itu, pada
pokoknya harus diatur oleh pemerintah daerah.
Agar tidak terdapat berbagai penafsiran otonomi yang seluas-luasnya
dalam sistem ketatanegaraan, selayaknya dalam undang-undang
pemerintahan daerah dirumuskan ketentuan hukum yang memberikan
definisi yang sah bahwa mengurus dan mengatur rumah tangga otonomi
yang seluas-luasnya meliputi segala sesuatu kepentingan umum (openbare
belangen) masyarakat di daerah, sepanjang tidak termasuk atau di tarik ke
dalam pengurusan pemerintahan pusat atau daerah yang lebih atas.
Prinsip otonomi daerah dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan
di Indonesia didasari pada landasan hukum yang berbeda-beda. Pada masa
53
pemerintahan Ir. Soekarno (Orde Lama) lain dengan pada masa
pemerintahan Soeharto (Orde Baru), demikian pula pada masa pemerintahan
B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, serta masa
Susilo Bambang Yudhoyono (masa transisi dan Orde Reformasi).
Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal,
yaitu harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa; dapat
menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas
dasar keutuhan negara kesatuan; harus dapat menjamin perkembangan dan
pembangunan daerah.
Jika dirangkaikan secara sistematik, tujuan dan cita-cita pelaksanaan
pemerintahan di Indonesia bersendikan sistem desentralisasi. Sistem tersebut
diyakini sebagai salah satu sumber pelaksanaan pemerintahan demokratis,
yang secara langsung melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk turut
serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan
rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak bisa ditawar
karena keduduklan rakyat menjadi sentral dalam kehidupan bernegara.
Persoalannya adalah, bagaimana merealisasikan hal tersebut?
Disadari, bahwa permasalahan otonomi daerah sebagai suatu bentuk
bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi bagaimana merealisasilannya.
Begitu pula dalam realisasinya, membutuhkan berbagai prasyarat dan
instrumen hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan gerak, tidak saja
bersifat struktural, melainkan kultural, bahkan kesungguhan penyelenggara
negara. Disinilah relevansinya untuk menguji dan mengungkap bagaimana
54
tafsir hostoris, yang kemudian dari tafsir tersebut otonomi daerah dalam
penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia di realisasikan.
Hatta berpendapat bahwa dasar kedaulatan rakyat adalah hak rakyat
untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan
negeri, melainkan juga pada tiap tempat (daerah). Tiap-tiap golongan atau
bagian rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan
sendiri) dan zetbestuur (menjalankan peraturan yang dibuat oleh dewan yang
lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena keperluan tiap empat dalam
satu negeri tidak sama, melainkan berbeda-beda.
Sementara, menurut Logmann, otonomi adalah kekuasaan untuk
mengurus rumah tangga daerah berdasarkan inisiatif sendiri (vrije beweging)
bagi satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri berdasarkan inisiatif
sendiri, yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.
Menurut Amrah Muslimin, otonomi berarti pemerintahan sendiri, dengan
mengacu pada akar kata “auto” yang diartikan “sendiri” dan “nomes”
diartikan “pemerintahan”.
Jadi, pemerintahan di sini secara dogmatis dalam arti luas dan fungsi,
seperti pandangan Vollen Hoven. Membedakan desentralisasi menjadi
desentralisasi politik yang merupakan pelimpahan kewenangan dari
pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah
tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah, yang dipilih oleh rakyat
dalam daerah tertentu (sama desentralisasi teritorial), fungsional (sama yang
55
lain), dan kebudayaan diartikan sebagai pemberian hak pada golongan-
golongan kecil dalam masyarakat melaksanakan kebudayaannya sendiri.
Tresna mengartikan otonomi (otonomie) sebagai mengatur sendiri
(bahasa yunani) dalam lingkup bebas bertindak, bukan karena diperintah
dari atas, melainkan karena atas kehendak dan inisiatif sendiri untuk
kepentingan daerah sendiri yang harus dan diurus. Otonomi dan
desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham
demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan negara
bukan lagi demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan
negara bukan lagi demokrasi namanya, melainkan menjadi otokrasi. Jadi
dalam negara kesatuan, pemerintahan daerah otonom merupakan ciri negara
demokrasi yang mengedepankan aspek kebebasan.
Kata desentralisasi dan otonomi dalam pemaknaannya sangat
berbeda karena makna desentralisasi bersebtuhan dengan ”proses”, dalam
arti pembentukan daerah otonom dan disertai/diikuti penyerahan kekuasaan
(urusan pemerintahan) dan untuk itu harus dituangkan dalam suatu peraturan
perundang-undangan, sedangkan otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan
hasil dari proses pembentukan daerah otonom. Pembentukan daerah otonom
berarti pembentukan organisasi penyelenggara otonomi atau pemerintahan
daerah.
Pemerintahan daerah, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah
pembagian politik suatu bangsa yang diberi kuasa oleh undang-undang, yang
mempunyai kewenangan mengontrol secara substansi terhadap unsur-unsur
56
lokal, yang merupakan badan hasil pemilihan atau seleksi secara lokal.
Mathur menyatakan bahwa definisi pemerintahan daerah yang diberikan
oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan dasar bahwa pemerintah
lokal adalah tingkat pemerintahan yang lebih rendah bila dibandingkan
dengan pemerintahan negara. Pemerintah lokal dibentuk dengan undang-
undang, memiliki tanggungjawab dan biasanya dihasilkan dalam suatu
pemilihan lokal.
Banovets menyebutkan bahwa pemerintahan lokal (daerah) adalah
sendiri dari sistem pemerintahan, baik negara kesatuan maupun federal
(local goverment also was the cornerstone of the goverment system).
Pemerintahan lokal mempunyai satu dari dua arti, yaitu (1) pemerintahan
dari semua bagian dari negara memakai alat-alat lokal yang disetujui dan
bertanggungjawab hanya kepada pemerintah sentral. Jadi, ini meruapakan
bagian dari sistem sentralisasi, disebut pemerintahan negara lokal dan (2)
pemerintahan oleh badan-badan lokal, dipilih secara bebas dan tunduk
kepada supremasi pemerintah nasional, ditopang dalam beberapa
kehormatan dengan kekuasaan, kebijakan dan tanggung jawab yang bisa
mereka lalukan tanpa pengawasan pemerintah yang lebih tinggi.
Menurut Prabawa, dikenal ada dua jenis pemerintahan lokal, yaitu
pemerintahan lokal administratif dan pemerintahan lokal yang mengurus
rumah tangga sendiri. Menurut Nasroen, daerah otonom adalah suatu bentuk
pergaulan hidup oleh sebab itu antara rakyat/penduduk daerah otonom itu
harus ada ikatan, diantaranya kepentingan bersama. Jadi, daerah otonom
57
tidak boleh bertentangan dan merusak bingkai dasar kesatuan dalam negara.
Menurut Burns, dalam negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada
di tangan pemerintah pusat, pemerintah pusat dapat mendelegasikan
kekuasaannya kepada unit-unit tetapi memungkinkan juga ditarik kembali38
.
Wolhoff menyatakan bahwa pada dasarnya kekuasaan yang ada pada
negara kesatuan dimiliki seluruhnya oleh pemerintah pusat. Artinya,
peraturan-peraturan pemerintah pusat yang menentukan bentuk dan susunan
pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luanya otonomi menurut
inisiatifnya sendiri. Pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan
pengawasan terhadap daerah-daerah otonom. Pertama, the relative otonomy
model, yang diasumsikan bahwa kewenangan-kewenangan lokal tidak
mengingkari realitas negara nasional. Kedua, the agency model, yang
diasumsikan bahwa otoritas lokal dilihat sebagai agen bagi kebijakan-
kebijakan pusat. Kebijakan secara khusus dan detail dituangkan dalam
undang-undang yang pelaksaannya dikontrol. Ketiga, antara pemerintah
pusat dengan daerah terlibat dalam pola relasi-relasi yang kompleks, kedua
pihak saling mempengaruhi, dalam proses politik keduanya saling
berhubungan melalui mandat rangkap.
Menurut John Alder, hubungan pemerintah pusat dengan daerah
sebagai partnership yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.
Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Salah satu
permasalahan yang menonjol di antara sekian banyak permasalahan yang
38
Ibid. Hal. 112
58
muncul dalam konteks kebijakan desentralisasi adalah perbedaan persepsi
yang luas mengenai pengertian kewenangan (authority) dan urusan
(functions).
Sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang
menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kemudian
diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang
Pemerintahan Daerah dan selanjutnya disebut Undang-Undang
Pemerintahan Daerah, ada harapan besar untuk mempersiapkan Daerah di
masa depan agar lebih otonom dan demokratis. Menemukan keseimbangan
yang tepat hubungan antara Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan untuk
mendukung pembangunan secara efektif.
Pemerintah pasca Orde Baru kemudian mengubah tata pemerintahan
dengan mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah
yang secara otomatis diikuti oleh perubahan manajemen pemerintahan
termasuk sistem perencanaan pembangunan yang mengacu pada
PERMENDAGRI No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan
Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) mengambil
peran yang dikenal dengan bottom up planing. Pada masa lalu (Orba)
pemerintah lebih dominan dalam pelaksanaan pembangunan tetapi sekarang
dengan acuan yang baru (UU No 22 Tahun 1999) pemerintah diharapkan
59
hanya menjadi pelaksana pembangunan dan masyarakat mempunyai
tanggungjawab lebih besar dalam pembangunan39
.
Desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan, tetapi juga
pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan
pemerintahan negara antara Pemerintah Pusat dan satuan-satuan
pemerintahan tingkat lebih rendah. Dengan demikian, sistem desentralisasi
mengandung maksud pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah
terhadap potensi dan kemampuan Daerah dengan melibatkan wakil-wakil
rakyat di daerah dalam menyeIenggarakan pemerintahan juga pembangunan.
UU No.32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintah daerah dalam
menyelengarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan
Pemerintah Pusat dan dengan Pemerintah daerah lainnya; Pemerintah
Daerah Propinsi, kabupaten dan kota atau antar Pemerintah Daerah.
Hubungan yang meliputi wewenang keuangan, pelayanan umum,
pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang dilaksanakan
secara adil dan selaras; menimbulkan hubungan administrasi dan
kewilayahan antar susunan pemerintahan
Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan wajib
yang menjadi kewenangan Pemerintah daerah untuk kabupaten/kota
merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota yang meliputi :
a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;
39 I Made Suwandi, dkk. 2004. Reformasi Pemerintahan Daerah. Surakarta : Pustaka
Cakra. Hal 131-132.
60
b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;
c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;
d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;
e. Penanganan bidang kesehatan;
f. Penyelenggaraan pendidikan;
g. Penanggulangan masalah sosial;
h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;
i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;
j. Pengendalian lingkungan hidup;
k. Pelayanan pertanahan;
1. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;
m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;
n. Pelayanan administrasi penanaman modal;
o. Penyelenggaraan pelayanan dasar Iainnya; dan
n Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-
undangan
Agar supaya semua tindakan pemerintah daerah sah dan dapat
diterima oleh rakyat di daerahnya, maka semua kebijakan di daerah harus
ada dasar pijakan yuridis sehingga memudahkan daerah mengatur dirinya
sesuai aspirasi masyarakat antara lain dalam Peraturan daerah (Perda)
Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan
Perahiran Penmdangan-undangan, yang menggantikan Ketetapan MPR
No.1IUMPR/2000, ditegaskan dalam pasal 12 bahwa materi muatan
61
Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka
penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan (medebewind), dan
menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan
Perundang-undanan yang lebih tinggi. Sistem otonomi yang dijalankan
sekarang adaIah otonomi nyata (faktor riil masing-masing daerah) dan
bertanggungjawab.
Dari cara pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah setara
dengan Undang-Undang dalam arti semata-mata merupakan produk
hukum lembaga legislatif. Namun dari segi isinya, kedudukan peraturan
yang mengatur materi dalan ruang lingkup daerah yang lebih sempit
dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan
dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Jadi, sesuai dengan prinsip
hierarkhi peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu
tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.
Menurut Bagir Manan mengingat bahwa Peraturan Daerah dibuat
oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkuugan
wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap
peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata
berdasarkan "pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan
wewenangnya" kecuali UUD40
.
40
Huda, 2005, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan problematika /
Ni'matul Huda Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal 128
62
Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-
Undangan menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala
sumber hukum negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis.
Adapun jenis dan hierarkhi peraturan penmdang-undangan diatur
dalam Pasal 7 sebagaimana tersebut di bawah ini :
a. UUD Negara Republik Indonesia Talnm 1945
b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang
c. Peraturan Pemerintah
d. Peraturan Presiden
e. Peraturan Daerah :
l . Perda Provinsi
2. Perda Kabupaten/Kota
3. Peraturan yang setingkat
Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan
daerah yang bersangkutan, untuk melaksanakan peraturan perundangan
yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan tugas
wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan
daerah (pimpinan eksekutif daerah). Kepala daerah mempunyai
kewenangan membuat ketetapan (heschikking) dan peraturan
kebijaksanaan (beleidsregel atau pseudo-wetgeving) seperti pembuatan
"Juklak dan Juknis".
63
Keputusan Kepala Daerah, yang melaksanakan Peraturan Daerah
adalah peraturan delegasi, karena itu materi muatannya semata-mata
mengenai hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah bersangkutan.
Kepala Daerah dapat membuat keputusan untuk melaksanakan
suatu Peraturan Daerah apabila memang diperlukan walaupun tidak ada
delegasi yang tegas dalam Peraturan Daerah tersebut41
.Dengan demikian
Keputusan Kepala Daerah merupakan keputusan yang mengikat secara
umum dan dibuat berdasarkan kewenangan adalah termasuk perundang-
undangan dalam bidang desentralisasi.
B. Peneltian yang Relevan
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Danang Vidri Aditya
(2006) tentang Implementasi Kebijakan Bupati Daerah Tingkat II Sukoharjo
Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan
terhadap Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaen
Sukoharjo, menghasilkan temuan bahwa Pertama, implementasi kebijakan
Bupati Sukoharjo terinspirasi dalam Pasal 5 huruf f, g dan h penegakan Perda
Tingkat II Sukoharjo Nomor 6 Tahun 1993. Diketahui hasil survey terbukti
jumlah Pedagang Kaki Lima yang berada di 7 wilayah Kecamatan Sukoharjo
sebesar 805 dengan keragaman kegiatan 45 jenis, sehingga terdapat 1.610
orang termasuk tenaga kerja aktif dan lowongan pekerjaan yang terdata
tersedia 45 jenis. Keuntungan munculnya Pedagang Kaki Lima, maka
41
Abdul Latif bin Wahab Al Ghomidi; Fisik: Buku kecil, Softcover; 136 hal; Penerbit
Pustaka At-Tibyan. Hal 20
64
pengangguran dapat teratasi 50% dari ketersediaan pekerjaan diluar program
Pemerintah yang diketemukan dalam penelitian melalui keberadaan Pedagang
Kaki Lima. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan
Bupati Sukoharjo tersebut, antara lain : faktor hukum, penegak hukum, sarana
dan fasilitas, masyarakat, ekonomi, sosial, dan politik. Ketiga, proses penataan
letak dan bentuk dasaran Pedagang Kaki Lima sesuai Perda Tingkat II
Sukoharjo No. 6 Tahun 1993 membuktikan hasil operasi yang dilakukan
Satpol PP jumlah keseluruhan Pedagang Kaki Lima sebesar 805 rincian hasil
penataan yang diperingatkan 49,7% dan pembongkaran rerata 24%,
selanjutnya diklasifikasikan menjadi kategori Pedagang Kaki Lima tertib 274,
kategori Pedagang Kaki Lima dibina 357dan kategori Pedagang Kaki Lima
liar 174. Akhirnya kinerja Satpol PP dalam penataan representatif belum
optimal karena masih 23,98 % Pedagang Kaki Lima liar, menjadi program
kerja tahun anggaran 2008 kategori yang belum ditangani 212 Pedagang Kaki
Lima.
Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah dalam
penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah Pemberdayaan dan
Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta dalam Perspektif Hukum dan
Kebijakan Publik.
C. Kerangka Pemikiran
65
Istilah Pedagang Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan
yang lebarnya lima kaki (5 feet), umumnya terletak di trotoar, di depan toko
dan di tepi jalan. Ada pula yang menyatakan bahwa istilah pedagang kaki lima
berasal dari orang yang berdagang yang menggelarkan barang dagangannya,
mereka cukup menyediakan tempat darurat berupa lapak-lapak yang biasanya
berkaki empat, ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya sehingga
berjumlah lima yang kemudian dijuluki sebagai pedagang kaki lima.
PKL sebagai pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah agar
berkembang, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.
Pengaturan tempat usaha dimaksudkan supaya PKL dalam melakukan
kegiatannya berada pada area/tempat-tempat umum yang telah ditentukan oleh
pemerintah. Penentuan area/tempat tersebut dengan mempertimbangkan antara
lain ketertiban, keamanan dan keindahan lingkungan sekitar/keindahan kota.
Penunjukan dan penempatan pada area tertentu dimaksudkan agar supaya
mudah memantau dan mendata keberadaan PKL di wilayah kerja pemerintah
Kota Surakarta. Pendataan mana berkaitan dengan upaya lanjutan berupa
pembinaan yang telah menjadi program pemerintah kota Surakarta dalam
rangka meningkatkan kesejahteraan dan peran serta PKL dalam pembangunan
Kota Surakarta.
Upaya Pemerintah Kota Surakarta untuk meningkatkan kesejahteraan
PKL disamping untuk meningkatkan daya guna tata ruang kota Surakarta,
adalah dengan membuat dan mengimplementasikan Kebijakan Pemberdayaan
dan Penataan PKL baik itu berupa Peraturan Daerah maupun Program
66
Kebijakan yang lain. Untuk memperjelas konsep berpikir dalam penelitian ini,
maka akan lebih jelas bila tergambar dalam bagan berikut:
Bagan 2
Kerangka Berpikir
Fenomen Keberadaan
Pedagang Kaki Lima
Lokasi Lama
Lokasi Baru
Implementasi Perda
Peraturan daerah PKL,
Perda Tata Ruang Kota
Permasalahan dan
Solusi
67
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Jenis Penelitian
Tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang pengertian
hukum. Artinya, pengertian hukum itu bermacam-macam sebab hukum
mempunyai banyak aspek yang meliputi banyak hal. Meskipun demikian
batasan tentang hukum diperlukan untuk penelitian ini agar dapat diketahui
dan dimengerti hukum yang bagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini.
Hal ini berkaitan dengan metode penelitian yang hendak dilakukan dimana
metode penelitian yang akan dipakai tergantung pada konsep hukumnya.
Mengikuti pendapat Soetandyo Wignyosoebroto ada 5 (lima) konsep
hukum, yaitu :
1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan
berlaku universal;
2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan
hukum nasional;
3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan
tersistematisasi sebagai judge made law;
4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai
variabel sosial yang empirik;
68
5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial
sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. 42
Memperhatikan konsep hukum di atas, jenis penelitian ini adalah
berdasarkan pada konsep hukum 5 (lima), yaitu hukum adalah manifestasi
makna-makna simbolik pada perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi
antar mereka. Jenis penelitian hukum ini adalah sosio-legal dengan metode
penelitian kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan Penataan Pedagang Kaki
Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dalam Pesrpektif
Hukum dan Kebijakan Publik di Kota Surakarta (Studi Kasus Pemindahan
Pedagang Kaki Lima di Sekitar Monumen Banjarsari ke Pasar Notoharjo
Surakarta).
B. Lokasi Penelitian
Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Surakarta. Alasan dipilihnya
lokasi penelitian tersebut adalah karena Kota Surakarta memberi perhatian
yang serius terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai
kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian
Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era kepemimpinan
Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisai di
tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006,
membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari
42
Setiono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Program Studi Pascasarjana UNS.
Hal 8
69
Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan
permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya,
menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan
shelter-shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi
dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi
bangunan/tempat berdagang.
C. Jenis Data dan Sumber Data
1. Jenis Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
a. Data primer
Data primer adalah sejumlah fakta-fakta yang diperoleh secara
langsung dari sumbernya. Data diperoleh secara langsung dari
wawancara, yaitu orang yang dijadikan key informant. Adapun sumber
data primer ini adalah :
1) Pemerintah Terkait
2) Pedagang Kaki Lima
3) LSM
4) Masyarakat.
b. Data sekunder
Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari
lapangan, yang memberikan keterangan tambahan atau pendukung
kelengkapan data primer. Termasuk dalam data ini adalah, dokumen-
70
dokumen, tulisan-tulisan, buku ilmiah dan literatur-literatur yang
mendukung.
2. Sumber Data
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan keterangan yang diperoleh
secara langsung dari sumber pertama. Dalam penelitian ini sumber
data primer berupa hasil wawancara langsung di lokasi penelitian.
Sedangkan yang dipilih sebagai informan adalah :
1) Pemerintah Terkait
2) Pedagang Kaki Lima
3) LSM
4) Masyarakat
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak
secara langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung
sumber data primer. Termasuk dalam sumber data ini adalah buku-
buku serta dokumen lain. Juga berbagai literatur lain berupa
peraturan-peraturan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.
Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:
1) Bahan Hukum Primer
Yaitu peraturan perundang-undangan termasuk Perda
71
2) Bahan Hukum Sekunder
Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan
hukum primer. Yang termasuk bahan hukum sekunder adalah
buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti
serta artikel-artikel, jurnal.
D. Teknik Pengumpulan Data
Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka teknik-teknik
pengumpulan data yang digunakan berbeda dengan penelitian kuantitatif yang
mengarahkan pada perhitungan statistik. Dalam penelitian kualitatif,
pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai pertimbangan
berdasar konsep teknik yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik
empiris dan sebagainya43
. Untuk memperoleh gambaran mengenai penataan
pedagang kaki lima di Kota Surakarta, maka penulis menggunakan teknik :
a. Wawancara
Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh
keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.
Dalam suatu
wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu
pengejar informasi yang biasa disebut pewawancara atau interviewer dan
pemberi informasi yang disebut informan, atau responden 44
43
HB. Sutopo. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS
Press. Hal 12
44
Burhan Ashshofa. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka
Cipta. Hal 9
72
Wawancara ini menggunakan wawancara mendalam (depth
interview) dengan wawancara tidak berpatokan atau bebas terpimpin.
Alasan penggunaan jenis ini adalah dengan wawancara tidak berpatokan
atau bebas terpimpin akan dicapai kewajaran secara maksimal, dapat
diperoleh data secara mendalam dan akan dimungkinkan masih
dipenuhinya prinsip batas keabsahan data hasil wawancara yang masih
berada dalam garis kerangka pertanyaan serta dapat diarahkan secara
langsung pada pokok permasalahan dalam penelitian ini. Wawancara ini
bertujuan untuk mendapat keterangan atau untuk keperluan informasi.
Oleh karena itu, individu yang menjadi sasaran wawancara adalah
informan.
b. Studi kepustakaan
Studi pustaka dalam menulis tesis ini, penulis mempelajari data-data
sekunder yang diperoleh antara lain dari : buku-buku literatur, undang-
undang, dan dokumen-dokumen lainnya.
c. Dokumen
Dokumen merupakan bahan catatan rekaman yang bersifat formal
dan terencana dalam organisasi, yang berkaitan dengan suatu peristiwa
tertentu dan dapat secara baik di manfaatkan sebagai sumber data dalam
penelitian45
.
45
HB. Sutopo. 2002. Opcit. hal. 54
73
E. Teknik Analisis Data
Analisis data menurut Lexy J. Moleong adalah upaya yang dilakukan
dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-
milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari
dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang
dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain46
Untuk lebih jelasnya tahap-tahap analisis kualitatif menurut Matthew B.
Miles dan A. Michael Huberman meliputi:
1. Reduksi data, merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian,
pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar.
Reduksi data dalam hal ini merupakan suatu bentuk analisis yang
menajamkan penggolongan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu
dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga
kesimpulan finalnya dapat ditarik.
2. Penyajian data merupakan informasi tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
Dengan melihat penyajian-penyajian data itu dapat dipahami apa yang
terjadi dan apa yang dapat dilakukan, lebih jauh menganalisis ataukah
mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang diperoleh dari
penyajian data.
46
Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.
Hal 49
74
3. Penarikan kesimpulan (verifikasi)
Kegiatan analisis yang penting adalah menarik kesimpulan dan
verifikasi. Dimana dari yang semula kesimpulan yang belum jelas
kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh.
Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat
dipertanggungjawabkan. 47
Reduksi dan sajian data disusun pada waktu penulis sudah
mendapatkan data-data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam
penelitian yaitu hal-hal yang terkait dengan Penataan Pedagang Kaki Lima
di Kota Surakarta.
Dalam mereduksi data penulis menyisihkan data-data yang tidak
diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk penyajian data
penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun secara logis.
Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai
melakukan untuk menarik kesimpulan yang didasarkan pada semua yang
terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Metode analisis yang
digunakan bersifat deskriptif kualitatif. Untuk lebih jelasnya, proses
analisis data dengan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai
berikut.
47
Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, Jakarta:
UI Press. Hal 12
75
Gambar 1
Model Analisis Interaktif
Pengumpulan data
Sajian data
Penarikan
simpulan/
verifikasi
Reduksi data
76
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
A. Hasil Penelitian
1. Dasar Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Surakarta
a. Deskripsi Lokasi Penelitian
Kota Surakarta terletak antara 110-111 dan antara 7,6-8 LS,
dengan batas-batas wilayah sebagai berikut.
1) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan
Kabupaten Boyolali.
2) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan
Kabupaten Karanganyar.
3) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.
4) Sebelah barat berbatasan dengan dengan Kabupaten Sukoharjo dan
Kabupaten Karanganyar.
Wilayah Kota Surakarta terletak pada ketinggian ± 92 m di atas
permukaan air laut, yang berarti berada pada dataran rendah.
Merupakan pertemuan antara Sungai Pepe, Sungai Anyar, Sungai Jenes,
dengan Sungai Bengawan Solo di sebelah timur, sehingga Surakarta
yang lebih dikenal dengan kota “Solo” dapat dikatakan beriklim panas
dengan :
- Suhu udara rata-rata 27,04 ºC dengan suhu maksimum 34,08 ºC
dan suhu minimum 21 ºC.
77
- Rata-rata tekanan udara 1009,5 mbs.
- Kelembaban udara 74,83%.
Luas wilayah Kota Surakarta ± 4404, 0593 ha yang sebagian besar
terdiri dari tanah liat dengan pasir (regosol kelabu) di sana-sini terdapat
tanah padas dan di tengah-tengah dan di sebelah timur terdiri dari
endapan lumpur (Kraton dan daerah Kedung Lumbu) karena dulu
adalah daerah rawa.
Wilayah Kota Surakarta didiami oleh lebih dari 500.000 jiwa,
dengan tingkat kepadatan penduduk 12.177 per km. Jumlah penduduk
di wilayah kota ini terbagi ke dalam 5 wilayah kecamatan meliputi :
Tabel 1
Keadaan Penduduk Wilayah Kota Surakarta
No. Kecamatan Luas (km2) Jml. Penduduk Tingk. Kepadatan
1.
2.
3.
4.
5.
Laweyan
Serengan
Psr. Kliwon
Jebres
Banjarsari
8,638
3,194
4,815
12,562
14,811
10.178
62.112
82.784
123.492
158.558
11.776
19.446
17.185
10.212
10.705
Sumber : Kantor Statistik Kota Surakarta
Berdasarkan tabel tersebut, jika dilihat dari tingkat kepadatan
penduduk dari masing-masing kecamatan di wilayah Kota Surakarta,
maka terlihat bahwa Kecamatan Banjarsari memiliki jumlah penduduk
78
yang paling besar. Hal ini jika diasumsikan tingginya tingkat angkatan
kerja di Kecamatan Banjarsari. Pemerintah Kota Surakarta terdiri dari 5
(lima) kecamatan yang dibagi dalam 51 (lima puluh satu) kelurahan,
562 Rukun Warga (RW), dan 2.515 Rukun Tetangga (RT).
b. Visi dan Misi Kota Surakarta
Rencana stratejik Pemerintah Kota Surakarta merupakan
serangkaian rencana tindakan (rencana tindak) dan kegiatan mendasar
yang dibuat untuk diimplementasikan, diterapkan oleh seluruh jajaran
penyelengara pemerintahan dalam kerangka pencapaian visi, misi
pemerintah kota Surakarta.
Visi dan Misi Pemerintah Kota Surakarta :
1) Visi :
Visi Pemerintah Kota Surakarta adalah "Terwujudnya Kota
Surakarta sebagai sentra perdagangan, jasa dan pendidikan menuju
masyarakat berdaya dan sejahtera dalam suasana tertib dan aman".
Visi Pemerintah Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari
penterjemahan mandat Walikota sebagai pimpinan tertinggi dari
penyelenggara pemerintahan dalam membawa rnasyarakat Kota
menuju pada cita-cita luhur yang diharapkan dalam kerangka waktu
masa jabatan politis yang diembannya.
79
2) Misi :
Misi berfungsi sebagai pemersatu gerak langkah serta tindakan
nyata penyelenggara pemerintahan. Misi memberikan inspirasi bagi
setiap aparat untuk mengarahkan sumberdaya yang dimiliki
Pemerintah Kota untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi
terwujudnya kesejahteraan warga Kota. Adapun Misi Pemerintah
Kota Surakarta adalah :
"Menciptakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang
beorientasi pada pelayanan publik dan kemandirian ekonomi
masyarakat kota dengan tetap mengutamakan peningkatan
pembangunan partisipatif dan kerjasama pengelolaan
pembangunan".
Tujuan dan sasaran ditetapkan berdasarkan hasil analisa
lingkungan pada masing-masing bidang kewenangan yang telah
ditetapkan dengan tetap pada koridor Visi dan Misi yang dirumuskan
terlebih dahulu. Atas dasar hal tersebut tujuan dan sasaran
pemerintah kota yang berkaitan dengan tujuan untuk misi frasa
keempat, "Meningkatkan kenyamanan, keindahan dan ketertiban
kota dengan mempertahankan keseimbangan partisipasi penggunaan
lahan dan penegakan terhadap norma-norma yang berlaku.
80
c. Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam
Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta
Bagi pemerintah sendiri, keberadaan birokrasi sangat
dibutuhkan agar program-program pemerintah dapat dilaksanakan
sampai tingkat paling bawah. Birokrasi adalah aktor yang
menggerakkan hukum. Hukum hanyalah tinggal hukum yang berupa
konsep-konsep idealis di atas kertas, abstrak. Hukum baru bergerak,
berjiwa apabila sudah berada dalam tangan aktor penggerak hukum
yakni birokrasi.
Jadi, hukum merupakan aspek yang fundamental dalam
mekanisme birokrasi. Dalam setiap mekanisme birokrasi sebaiknya
dilakukan dengan dasar hukum tertentu. Dasar hukum akan
memberikan dan merumuskan landasan hukum yang berkaitan dengan
batas-batas tugas, fungsi, kekuasaan dan kewenangan masing-masing
pemerintah. Dasar hukum juga dimaksudkan agar pelaksanaan fungsi
badan-badan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara
hukum.
Dasar hukum diperlukan agar dapat dihindari multitafsir dan
kesalahan bagi masing-masing badan pemerintahan melalui rumusan
wewenang dan tanggungjawab yang jelas dan tegas sesuai dengan
kebutuhan masyarakat, publik. Dasar hukum Pemerintah Kota
Surakarta dalam melakukan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota
Surakarta, antara lain :
81
1) Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor
8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki
Lima.
2) Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan
Pembiaan PKL.
3) Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang
Penyeleggaraan Kawasan Tertib.
4) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Pengendalian Lingkungan Hidup.
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang
menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) keberadaannya tidak boleh
mengganggu fungsi politik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik
visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan
istilah di Perancis tentang pedestrian untik pejalan kaki di sepanjang jalan
raya, yaitu Trotoir (baca : trotoar). Disepanjang jalan raya kebanyakan
berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan
ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5
m). Pada perkembangan berikutnya pada pedagang informal akan
menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang
Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).
82
Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan
PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait
dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan
sebagai berikut :
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1,
(c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan
atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan
sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha.
(d) Tempat Usaha Pedagang Kali Lima adalah tempat umum yaitu tepi-
tepi jalan umum. trotoar dam lapangan serta tempat lain diatas tanah
negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.
Sebagai upaya untuk mentertibkan PKL yang berada di Kota
Surakarta, maka di diperlukan hukum yang mengatur keberadaan PKL
tersebut. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap
produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh imbangan
kekuatan politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan
produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi
dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.
Meskipun dari sudut idealnya politik harus tunduk pada ketentuan hukum,
namun lebih melihat pada kenyataannya, politik justru melatarbelakangi
munculnya hukum.
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan
83
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang
berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam hal ini tugas politik hukum adalah meneliti perubahan-
perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar
memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat.
Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum
Bersama lajunya perkembangan jaman tidak dapat disangkal lagi bahwa
ruang gerak politik hukum berkembang, tidak hanya sebatas Negara
sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas Negara hingga ke
tingkat Internasional
Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur
perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum
mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma,
oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan
yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar,
yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu
akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi
manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang
84
individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial
dinamakan ’keadilan’48
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh
kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-
peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya
sesuai dengan hukum sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain
hukum harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom
masyarakat49
.
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya
oleh aparatur menaga untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib,
dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan
perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum
yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk
hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.
Pemkot Surakarta memiliki perhatian yang besar pada pembinaan
dan penataan PKL melalui pendekatan pemberdayaan. Beberapa kebijakan
tersebut terutama didasarkan pada :
a. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8
Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Substansi kebijakan yang termaktub pada peraturan
perundangan di atas dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini.
48
Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 43
49 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. Hal 59
85
Selain definisi tentang PKL, Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga memuat beberapa ketentuan lain,
yaitu :
Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :
1. Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima ditetapkan oleh
Walikotamadya Kepala Daerah.
2. Walikotamadya Kepala Daerah dalam menetapkan tempat usaha
sebagaimana dimaksud ayat (1), pasal ini, mempertimbangkan
faktor sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan
kesehatan serta tata ruang kota sesuai dengan Peraturan Daerah
yang belaku.
Pada Pasal 3 disebutkan bahwa :
1) Setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap
ketertiban, kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan
dan keamanan di sekitar tempat usaha.
2) Untuk mewujudkan akebersihan, kerapian, dan keindahan tenpat
usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.
Walikotamadya Kepala Daerah menetapkan persyaratan-
persyaratan lebih lanjut.
b. Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL.
86
Langkah pembinaan dan penataan PKL secara lebih
operasional didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Surakarta
Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Penataan dan Pembinaan PKL. Pada bab II berisi tentang Larangan
Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima.
Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :
1) Untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan
di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau
fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau,
cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar
bangunan Tempat ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang
Kaki Lima.
2) Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1)
Pasal ini, Jl. Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha
Pedagang Kaki Lima.
Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa :
1) Untuk Alun-alun dan lapangan olahraga, pada acara-acara yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau Pihak Swasta yang
telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan
Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus
bersih dari Pedagang Kaki Lima.
87
2) Dalam menetapkan tempat-tempat usaha atau fasilitas umum dan
sebagainya Walikota mempertimbangkan akepentingan sosial,
ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keseshatan serta
keindahan.
c. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang
Penyeleggaraan Kawasan Tertib.
Selain itu penataan dan pembinaan PKL di lapangan juga
didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun
2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib. Pada peraturan
tersebut ditegaskan bahwa Kawasan Tertib adalah suatu kawasan di
sebagian Kota Surakarta yang ditetapkan sebagai kawasan tertib
berdasarkan Peraturan, dan apabila melanggar dapat terkena sanksi.
Sebagai pilot project/percontohan kawasan tertib ditetapkan sepanjang
Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip
Sumoharjo.
d. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Pengendalian Lingkungan Hidup.
Terkait dengan aspek lingkungan, pembinaan dan penataan
juga memperhatikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun
2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pada peraturan tersebut
dilarang:
88
1) melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada sumber-
sumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan
sebagai tempat pembuanagan sampah.
2) mendirikan bangunan, melakukan usaha dan / atau kegiatan di
tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman
kota, resapan air dan daerah sepadan sungai.
d. Eksistensi PKL Kota Surakarta
Perkembangan aspek sosial ekonomi PKL tidak akan terlepas
dari perkembangan kota Surakarta secara keseluruhan. Oleh
karenanya di bawah ini disajikan data dan perkembangan Kota
Surakarta berdasarkan Buku Kota Surakarta Dalam Angka tahun 2006
serta Buku RT/RW Kota Surakarta tahun 2007-2016.
Berdasarkan Buku Direktori PKL tahun 2003, jumlah PKL di
Kota Surakarta sebanyak 3.843 PKL tersebar di 5 wilayah kecamatan.
Di Kecamatan Banjarsari sebanyak 1.405 PKL, di Kecamatan Jebres
678 PKL, di Kecamatan Laweyan 571 PKL, di Kecamatan Pasar
Kliwon 604 PKL dan di Kecamatan Serengan 396 PKL.
Pada tahun 2005, Kantor PKL melakukan pendataan kembali.
Jumlah PKL pada tahun tersebut sebanyak 5.817 PKL yang juga
tersebar di 5 (lima) wilayah Kecamatan. Dari tahun 2003 sampai 2005
terjadi peningkatan jumlah PKL sebesar 51,7%. Peningkatan jumlah
89
tersebut juga meningkatkan variasi maupun intensitas permasalahan
yang ditimbulkan oleh PKL.
Berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara tuntas dapat
diketahui jumlah dan penyebaran PKL. Jumlah PKL yang berada di
jalan-jalan arteri dan kolektor di Kota Surakarta pada tahun 2007
sebanyak 3.917 PKL, tersebar di 5 wilayah Kecamatan. Sebagian
besar PKL berada di wilayah Kecamatan Jebres dan Banjarsari. Di
Kecamatan Banjarsari terdapat 1.050 PKL (26,81%) dan di
Kecamatan Jebres 1.172 PKL (29,92%).
Jika dibandingkan dengan jumlah PKL pada tahun 2005, terlihat
penurunan jumlah PKL secara signifikan (menurun 32,66%).
Penurunan tersebut secara langsung maupun tidak langsung
merupakan prestasi Pemkot Surakarta dalam melakukan pembinaan
dan penataan PKL melalui program relokasi (dimasukkan ke dalam
pasar tradisional, ke dalam kantong-kantong PKL maupun berbagai
lokasi lainnya), penyuluhan, penertiban dan lain sebagainya.
Tabel 2
Jumlah PKL per Kecamatan di Kota Surakarta
Tahun 2007
No Kecamatan Jumlah %
1 Banjarsari 1,050 26.81
2 Jebres 1,172 29.91
3 Laweyan 697 17.79
4 Pasar Kliwon 617 15.75
5 Serengan 381 9.73
Total 3,317 100
90
Tabel 3
Jumlah dan penyebaran PKL di Kota Surakarta tahun 2007
No Nama Jalan Kode Jumlah
1 Abdul Muis AM 5
2 Adi Sucipto AS 202
3 Dahlan AD 4
4 Jend. A. Yani AY 83
5 Arifin (Mashela) ARF 27
6 Balapan BA 18
7 Bhayangkara BH 15
8 Brigjend. Katamso KA 95
9 Brigjend. Slamet Riyadi SR 364
10 Brigjend. Sudiarto BS 55
11 Cokroaminoto (Pucangsawit) COK 44
12 Cut Nya Dien CUT 4
13 Demangan DE 20
14 Dewi Sartika DS 4
15 Dilangan DIL 12
16 Diponegoro DIP 11
17 Dr. Cipto Mangun Kusumo MK 4
18 Dr. Muwardi DRM 16
19 Dr. Rajiman RJ 133
20 Dr. Wahidin DW 16
21 Gajah Mada GM 31
22 Gatot Subroto GS 41
23 Gotong Royong GTR 33
24 Griyan GR 6
25 Kahar Mujakar KH 9
26 Hasanuddin HAS 55
27 Honngowongso HO 80
28 Imam Bonjol IB 5
29 Ir. Juanda Kartasanjaya JKS 175
30 Ir. Sutami SUT 99
31 Jambu Raya JR 3
32 Jaya Wijaya JW 61
33 Joko Tingkir JK 6
34 Kahuripan KUT 6
35 Kalilarangan KL 37
36 Kapt. Adi Sumarmo KAS 57
37 Kapt. Mulyadi KM 114
38 Pattimura KP 2
39 Kapt Tendean TE 78
40 KS Tubun KST 24
91
41 Kartini KAR 6
42 Kebangkitan Nasional KN 13
43 Kelud KU 5
44 Kerinci KER 12
45 K.H Agus Salim KAGS 19
46 KH. Maskur MAS 22
47 Ki Hajar Dewantara KHD 125
48 Kol. Sugiono KSG 24
49 Kol. Sutarto SU 102
50 Mayjend. Kusmanto KUS 5
51 Kyai Gede Sala KGS 28
52 Mangun Sarkoro KMS 36
53 Kyai Mojo MO 55
54 Letjen Suparman SP 61
55 Letjen Suprapto LS 21
56 Letjen Sutoyo STY 34
57 Lumban Tubing LT 40
58 Manunggal MAN 28
59 Panjaitan MDP 15
60 Mayor Sunaryo MS 77
61 Menteri Supeno MSU 30
62 M. Husni Tamrin MT 5
63 Moh. Yamin MY 31
64 Monginsidi MOS 9
65 MT Haryono MTH 18
66 Nangka (Kenari) NA 8
67 Pangeran Wiji PW 3
68 Perintis Kemerdekaan PK 1
69 Prof. Dr. Supomo SUP 33
70 Prof.Yohanes YOH 39
71 RE Martadinata REM 38
72 Reksoniten REK 12
73 Ring Road RR 52
74 RM. Said RS 29
75 Ronngowarsito RO 24
76 Sam Ratulangi SRL 12
77 KH Samanhudi SAM 12
78 Sambas SAMB 8
79 Sampangan SAMP 20
80 Syamsul Pijal SMR 5
81 Soropadan SO 20
82 Sugiyopranoto SUG 55
83 DR. Suharso SUH 32
84 Sumpah Pemuda SMP 72
92
85 Sumpah Pemuda Nayu SPN 15
86 Suryo SUR 46
87 Suryaprawoto SRP 10
88 Sutan Syahrir SS 31
89 Tangkuban Perahu TPR 20
90 Tentara Pelajar TP 68
91 Transito TR 3
92 Untung Suropati USR 19
93 Urip Sumoharjo US 91
94 Veteran VE 129
95 Werdi Sastro WS 15
96 Yos Sudarso YS 75
97 Yosodipuro YOS 41
98 Yudhistira YU 4
Jumlah Total PKL 3,917
Berdasarkan alamat PKL sebagaimana tercantum pada KTP, sebagian
besar PKL merupakan penduduk Kota Surakarta, yaitu sebanyak 3.057 PKL
atau 78,04%. Namun demikian PKL yang berasal dari luar kota jumlahnya
juga cukup besar, yaitu 860 Pkl atau 21,96% dari total PKL. Jika dikaitkan
dengan jumlah penduduk kota Surakarta, maka PKL menjadi penopang 2,84%
keluarga di kota Surakarta (dengan asumsi 1 keluarga terdiri dari 4 orang).
Jika dikaitkan dengan jumlah commuter (penglajo) dari luar kota ke dalam
Kota Surakarta (menurut informasi, jumlah penduduk Kota Surakarta di siang
hari mencapai sekitar 1,5 juta hingga 2 juta orang, sehingga jumlah commuter
diperkirakan 1 juta hingga 1,5 juta orang), maka proporsi PKL sebagai
commuter hanya 0,06%-0,09%.
93
Tabel 4
Asal (KTP) PKL
No Asal (KTP) PKL Jumlah %
1 Kota Surakarta 3.057 78.04
2 Luar Kota Surakarta 860 21.96
Jumlah 3917 100.00
Makanan merupakan jenis dagangan yang dipilih sebagai komoditi utama
oleh sebagian besar PKL, jumlahnya mencapai 2.445 PKL atau 62,42%.
Buah-buahan, rokok an kelontong menempati urutan kedua, meskipun
proporsinya jauh lebih kecil yaitu berkisar 2-3 %.
Selain makanan, pakaian dan onderdil kendaraan bermotor merupakan
jenis dagangan yang diminati oleh PKL. Data terakhir menunjukkan bahwa
PKL di tepi jalan raya saat ini menjual pakaian dan onderdil jumlahnya sangat
kecil (0,84% dan 1,10%). Pengurangan jumlah tersebut bisa dikarenakan
sebagian besar telah direlokasi di tempat-tempat lainnya (ke dalam Pasar
Klitikhan Semanggi dan ke dalam Lapangan Gelora Manahan).
Tabel 5
Jenis dagangan PKL
No Jenis Dagangan Jumlah %
1 Makanan/minuman 2,445 62.42
2 Buah-buahan 112 2.86
3 Pakaian 33 0.84
4 Rokok 128 3.27
5 Voucher HP 51 1.30
6 Onderdil 43 1.10
7 Kelontong 113 2.88
8 Mainan anak 14 0.36
9 Tanaman hias/buah 44 1.12
94
10 Alat elektronik 28 0.71
11 Furniture 8 0.20
12 Binatang 7 0.18
13 Lain-lain 891 22.75
Jumlah 3,917 100.00
Ditinjau dari sisi waktu berdagang, jumlah PKL yang menempati lokasi
secara relative permanent jumlahnya cukup besar mencapai 52,85%. Proporsi
tersebut terdiri dari PKL yang berjualan dari pagi hingga sore hari sebanyak
1.322 PKL (33,75%), pagi hingga malam hari sebanyak 86 PKL (2,2%) dan
siang hingga malam hari sebanyak 662 PKL (16,9%). Lamanya waktu
berdagang PKL biasanya terkait dengan bangunan tempat berdagang PKL,
semakin pemanen bangunan, semakin lama pula PKL menempati area
tersebut.
Tabel 6
Waktu berdagang PKL
No Waktu Berdagang PKL Jumlah %
1 Pagi 73 1,86
2 Siang 371 9,47
3 Sore 265 6,77
4 Malam 17 0,43
5 Pagi-siang 383 9,78
6 Pagi-sore 1,322 33,75
7 Pagi-malam 86 2,20
8 Siang-sore 299 7,63
9 Siang-malam 662 16,90
10 Sore-malam 439 11,21
jumlah 3,917 100,00
95
Sebagian besar PKL merupakan pedagang yang cenderung menetap,
jumlahnya mencapai 3.624 PKL atau 92,52%. Dari jumlah tersebut, sebagian
besar merupakan PKL dengan bangunan permanen (seluruh maupun sebagian
bangunan selalu berada di tempat), jumlahnya mencapai 2.280 atau 62,91PKL
dengan bangunan permanent sebagian. Type bangunan permanen juga sering
digabung dengan bangunan bongkar pasang, gerobak atau
gelaran/dasaran/lesehan. PKL dengan bangunan bongkar pasang jumlahnya
juga cukup banyak, yaitu 645 PKL atau 17,81%. PKL dengan sarana
berdagang yang bersifat moveable proporsinya juga cukup besar. Hal yang
menarik, banyak PKL yang menggunakan mobil sebagai saranna untuk
berdagang, jumlahnya mencapai 50 mobil atau 1,38% dari total PKL yang
cenderung menetap.
Sedangkan PKL yang cenderung bergerak/berkeliling, jumlahnya hanya
293 PKL atau 7,48 %. Selain di lapangan jumlahnya tidak terlalu banyak, PKL
tipe ini sulit dideteksi keberadaan lokasinya. Bisa jadi pada waktu survey,
PKL yang bersangkutan berada di lokasi lain. PKL type bergerak sebagian
besar menggunakan gerobag sebagai sarana berdagangnya, proporsinya
mencapai 68,94%, kemudian disusul dengan PKL dengan seeda kayuh yaitu
39 PKl atau 13,31%.
96
Tabel 7
Type Bangunan/sarana PKL
No Type Bangunan/Sarana Cenderung
Menetap
Cenderung
Bergerak
Jumlah
1 Permanen 2,280 2,280
2 Bongkar pasang/tenda 645 645
3 Gerobag (cenderung berhenti) 427 427
4 Mobil (cenderung berhenti) 50 50
5 Gelaran/oprokan 222 222
6 Pikulan 13 13
7 Gendongan 3 3
8 Sepeda kayuh 39 39
9 Sepeda roda tiga 19 19
10 Sepeda motor 17 17
11 Gerobag (keliling) 202 202
Jumlah 3,624 293 3,917
% 92,52 7,48 100,00
Tabel 8
Type bangunan / tempat PKL yang cenderung menetap
No Type bangunan/tempat Jumlah %
1 Permanen 2.280 62,91
2 Bongkar pasang 645 17,80
3 Gerobag (cenderung berhenti) 427 11,78
4 Mobil (cenderung berhenti) 50 1,38
5 Gelaran / oprokan 222 6,13
Jumlah 3,624 100.00
Tabel 9
Type sarana PKL yang cenderung bergerak
No Type sarana Jumlah %
1 Pikulan 13 4.44
2 Gendongan 3 1.02
3 Sepeda rodatiga 39 13.31
4 Sepeda roda tiga 19 6.48
5 Sepeda motor 17 5.80
6 Gerobag (keliling) 202 68.94
Jumlah 293 100.00
97
Belum tinggi tingkat kesadaran PKL dalam mengelola limbah yang
dihasilkannya (bahkan cenderung masih rendah). Dari seluruh PKL 49,2%
diantaranya belum mengelola limbah yang dihasilkanya dengan baik. Jika
dikaitkan dengan jenis dagangannya, PKL yang relative menghasilkan limbah
adalah PKL yang menjual makanan (PKL jenis ini proporsinya sebesar 62,42
%). Hal ini berarti hanya 13,22% PKL penjual makanan yang telah melakukan
pengelolaan limbahnya dengan baik.
Tebel 10
Pengelolaan limbah oleh PKL
No Nama Jalan Jumlah %
1 PKL mengelola limbah dengan baik 1.990 50,80
2 PKL tidak mengelola limbah dengan baik 1.927 49,20
Jumlah 3.917 100,00
Meskipun limbah belum terkelola dengan baik (disalurkan begitu saja
ke selokan atau ditampung ke dalam wadah tersendiri), secara fisik visual
sebagian besar PKL sudah terlihat bersih dan rapi (2.762 PKL atau 70,51
PKL). Hal ini perlu terus ditingkatkan, sebagai amanah Perda Pembinaan dan
Penataan PKL, dimana PKL diwajibkan untuk menjaga kebersihan dan
kerapian lingkungannya.
Tabel 11
Kebersihan dan kerapian lingkungan PKL
No lingkungan PKL Jum2lah %
1 Bersih dan rapi 2,762 70,51
2 Belum bersih dan rapi 1,155 29,49
Jumlah 3,917 100,00
98
Sebagian besar PKL memiliki omset kurang dari Rp.500.000,00 perhari.
PKL dengan omset antara Rp.100.000,00-Rp.499.000,00, proporsinya
mencapai 57,54%. PKL dengan omset sangat kecil proporsinya cukup banyak,
yaitu 18,77% untuk PKL dengan omset Rp. 50.000,00-Rp.99.000,00 dan
14,77 % untuk PKL dengan omset kurang dari Rp. 50.000,00 per hari. Lihat
tabel di bawah ini.
Tabel 12
Omset PKL perhari
No Omset per hari Jumlah %
1 < Rp.50.000,00 48 14,77
2 Rp.50.000,00-Rp.99.000,00 61 18,77
3 Rp.100.000,00-Rp.499.000,00 187 57,54
4 Rp.500.000,00-Rp.999.000,00 17 5,23
5 Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00 12 3,69
Jumlah 325 100,00
Sebagian besar PKL berpendidikan tingkat SLTA, SD, dan SLTP
(37,23%, 32,62% dan 22,15%). PKL dengan tingkat pendidikan Perguruan
Tinggi dan PKL tidak sekolah proporsinya sangat kecil, masing-masing 3,69%
dan 4,31%.
Jka dikaitkan dengan omset, tingginya tingkat pendidikan tidak terkait
langsung dengan tingginya omset PKL. PKL dengan omset sangat besar
(Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00) didominasi oleh PKL dengan tingkat
pendidikan SLTP dan SLTA.
99
Tabel 13
Keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan
No Tingkat
pendidikan
Omset per hari (dalam rupiah)
<
50.000
50.000-
90.000
100.000-
499.000
500.000-
999.000
1.000.000-
1.500.000
jumlah
1 Tidak
sekolah
1 2 8 0 1 12
2 SD-
sederajat
21 22 60 1 2 106
3 SLTP-
sederajat
11 12 43 2 4 72
4 SLTA-
sederajat
13 24 69 11 4 121
5 Perguruan
Tinggi
(D1, D2,
D3, S1)
2 1 7 3 1 14
Jumlah 48 61 187 17 12 325
Tabel 14
Persentase keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan
No Tingkat
pendidikan
Omset per hari (dalam rupiah)
<
50.000
50.000-
99.000
100.000-
499.000
500.000-
999.000
1.000.000-
1.500.000
jumlah
1 Tidak
sekolah
2.08 3.28 4.28 0.00 8.33 3.69
2 SD-
sederajat
43.75 36.07 32.09 5.88 16.67 32.62
3 SLTP-
sederajat
22.92 19.67 22.99 11.76 33.33 22.15
4 SLTA-
sederajat
27.08 39.34 36.90 64.71 33.33 37.23
5 Perguruan
Tinggi
(D1, D2,
D3, S1)
4.17 1.64 3.74 17.65 8.33 4.31
jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
100
Tabel 15
Persentase keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan
no Tingkat
pendidikan
omset per hari (dalam rupiah) jumlah
<
50.000
50.000-
99.000
100.000-
499.000
500.000-
999.000
1.000.000-
1.500.000
1 Tidak
sekolah
8.33 16.67 66.67 0.00 8.33 100.00
2 SD-
sederajat
19.81 20.75 56.60 0.94 1.89 100.00
3 SLTP-
sederajat
15.28 16.67 59.72 2.78 5.56 100.00
4 SLTA-
sederajat
10.74 19.83 57.02 9.09 3.31 100.00
5 Perguruan
Tinggi
(D1, D2,
D3, S1)
14.29 7.14 50.00 21.43 7.14 100.00
jumlah 14.77 18.77 57.54 5.23 3.69 100.00
Sumber : Tim Peneliti, 2007
Dikaitkan dengan dagangan omset, makanan dan buah-buahan
merupakan jenis dagangan yang berpeluang meningkatkan omset PKL.
PKL Rp.1000.000,00-Rp.1.500.000,00 yang memiliki jenis dagangan
makanan proporsinya mencapai 66,67%, sedangkan yang menjual buah-
buahan sebesar 16,67%. Namun demikian PKL penjual makanan yang
omsetnya sangat kecil (kurang dari Rp.50.000,00) proporsinya juga cukup
besar (43,75%) dibanding dengan jenis dagangan lainnya.
101
Tabel 16
Keterkaitan omset/hari dengan jenis dagangan
no Jenis dagangan omset per hari (dalam rupiah) jumlah
<
50.000
50.000-
99.000
100.000-
499.000
500.000-
999.000
1.000.000-
1.500.000
1 makanan/minuman 21 45 145 14 8 233
2 buah-buahan 0 1 5 0 2 8
3 Pakaian 0 0 4 0 0 4
4 Rokok 6 1 5 1 0 13
5 voucher HP 1 0 2 0 0 3
6 Onderdil 0 0 1 0 0 1
7 Kelontong 1 3 6 0 1 11
8 mainan anak 0 0 1 0 0 1
9 tanaman hias/buah 0 0 3 0 0 3
10 Furniture 0 0 2 0 0 2
11 lain-lain 19 11 13 2 1 46
jumlah 48 61 187 17 12 325
Tabel 17
Persentase keterlaitan omset/hari dengan jenis dagangan
no Jenis dagangan omset per hari (dalam rupiah) jumah
<
50.000
50.000-
99.000
100.000-
499.000
500.000-
999.000
1.000.000-
1.500.000
1 makanan/minuman 43.75 73.77 77.54 82.35 66.67 71.69
2 buah-buahan 0.00 1.64 2.67 0.00 16.67 2.46
3 Pakaian 0.00 0.00 2.14 0.00 0.00 1.23
4 Rokok 12.5 1.64 2.67 5.88 0.00 4.00
5 voucher HP 2.08 0.00 1.07 0.00 0.00 0.92
6 Onderdil 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.31
7 Kelontong 2.08 4.92 3.21 0.00 8.33 3.38
8 mainan anak 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.31
9 tanaman hias/buah 0.00 0.00 1.60 0.00 0.00 0.92
10 Furniture 0.00 0.00 1.07 0.00 0.00 0.62
11 lain-lain 39.58 18.03 6.95 11.76 8.33 14.15
jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00
102
Tabel 18
Persentase Keterkaitan Omset/hari dengan Jenis Dagangan
No Jenis Dagangan Omset per hari (dalam rupiah) Jumlah
< 50.000
50.000-99.000
100.000-499.000
500.000-999.000
1.000.000-1.500.000
1 Makanan/minuman 9.01 19.31 62.23 6.01 3.43 100.00
2 Buah-buahan 0.00 12.50 62.50 0.00 25.00 100.00
3 Pakaian 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00
4 Rokok 46.15 7.69 38.46 7.69 0.00 100.00
5 Voucher HP 33.33 0.00 66.67 0.00 0.00 100.00
6 Onderdil 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00
7 Kelontong 9.09 27.27 54.55 0.00 9.09 100.00
8 Mainan anak 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00
9 Tanaman hias/buah 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00
10 Furniture 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00
11 Lain-lain 41.30 23.91 28.26 4.35 2.17 100.00
Jumlah 14.77 18.77 57.54 5.23 3.69 100.00
PKL dengan bangunan permanen dan bongkar pasang memiliki omset
yang sangat besar. PKL yang memiliki omset Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00
secara keseluruhan merupakan type bangunan permanen dan bongkar pasang,
73,29% merupakan type PKL dengan type bangunan permanen dan 16,77%
adalah PKL dengan type bangunan bongkar pasang. PKL dengan type bangunan
bongkar pasang sebagian besar memiliki omset Rp.100.000,00-Rp.499.000,00,
proporsinya mencapai 55,56%.
103
2. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam
Penataan PKL di Surakarta yang tidak menimbulkan konflik fisik
Warga masyarakat yang peduli keberadaan PKL menyambut baik
keberadaan Perda disertai upaya Pembinaan, karena bagaimanapun PKL
adalah warga masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Walaupun selanjutnya mempertanyakan kenyataan bahwa PKL
berada dimana-mana, di setiap ruas jalan umum tanpa menghiraukan
kepentingan orang lain sebagai pemakai jalan, fasilitas umum, PKL berada
di setiap sudut, di luar tempat/lokasi yang ditentukan, untuk mendekati
konsumen.
Pemindahan PKL dilakukan melalui proses yang panjang.
Pedagang diberi pengarahan, agar pada waktu yang ditentukan menempati
tempat relokasi PKL dapat berlangsung dengan baik. Pemerintah Kota
Surakarta dapat memberikan solusi yang baik bagi para PKL. Selain itu
juga adanya konsekuansi dan ketegasan aturan yang dijalankan oleh
Pemerintah Kota Surakarta.
Hubungan dekat dan simpati antara Pemerintah Kota dengan PKL
membuat ketegangan proses pemindahan dapat melunak. Pelan-pelan
Namur pasti Pemerintah Kota Surakarta yang di Pimpin Oleh Joko
Widodo (Walikota) terjun langsung mendekati PKL untuk berbicara dari
hati kehati dan melakukan musyawarah untuk melaksanakan relokasi.
Selain itu keamanan dapat diwujudkan karena Pemerintah Kota sendiri
memberikan waktu yang cukup lepada para PKL untuk berbenah.
104
Penyeragaman, penampilan yang indah dan menarik untuk sarana
PKL berjualan misalnya, gerobak, tenda dan sebagainya disetujui oleh
PKL dengan syarat ada bantuan berupa dana. Sebab sebagian besar PKL
adalah pengusaha golongan ekonomi lemah modal kecil dengan barang
dagangan yang tidak beragam. Demikian juga jika PKL ditempatkan pada
suatu lokasi tertentu yang tidak merusak keindahan taman kota atau
fasilitas umum lainnya, PKL mensyaratkan bahwa tempat tersebut
haruslah ramai, didatangi banyak pelanggan.
Sikap, perilaku, cara pandang warga masyarakat, PKL tentang
keindahan mempengaruhi implementasi Perda PKL dalam rangka
mewujudkan keindahan Kota Surakarta. Budaya hukum suatu masyarakat
akan tampak pada penghayatan terhadap hukum yang berlaku, dalam hal
ini tentang Perda No 08 Tahun 1995, penghayatan PKL tentang nilai
keindahan mempunyai akibat langsung dan tidak langsung terhadap
kepatuhan Perda. Oleh karena penghayatan terhadap arti keindahan adalah
sebagai nomor kesekian, maka kepatuhan dan rasa ikut mewujudkan serta
memiliki kota yang indah adalah tindakan nanti-nanti saja, tindakan nomor
kesekian.
Kota Surakarta memberi perhatian yang serius terhadap keberadaan
PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan
pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini
semakin meningkat dalam era kepemimpinan Joko Widodo, Walikota
Surakarta. Dimulai dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan
105
dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras
semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke
bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi
upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan
pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-
shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi
dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi
bangunan/tempat berdagang.
B. Pembahasan
1. Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam
Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta
Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang
menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) keberadaannya tidak boleh
mengganggu fungsi politik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, social, fisik
visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan
istilah di Perancis tentang pedestrian untik pejalan kaki di sepanjang jalan
raya, yaitu Trotoir (baca : trotoar). Disepanjang jalan raya kebanyakan
berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan
ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5
m). Pada perkembangan berikutnya pada pedagang informal akan
menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang
Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).
106
Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan
PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah
Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang
Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait
dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan
sebagai berikut :
Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1,
(c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan
atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan
sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha.
(d) Tempat Usaha Pedagang Kali Lima adalah tempat umum yaitu tepi-
tepi jalan umum. trotoar dam lapangan serta tempat lain diatas tanah
negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.
Sebagai upaya untuk mentertibkan PKL yang berada di Kota
Surakarta, maka di diperlukan hukum yang mengatur keberadaan PKL
tersebut. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap
produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh imbangan
kekuatan politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan
produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi
dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.
Meskipun dari sudut idealnya politik harus tunduk pada ketentuan hukum,
namun lebih melihat pada kenyataannya, politik justru melatarbelakangi
munculnya hukum.
Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada
hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan
107
terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa
Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang
berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik
Indonesia.
Dalam hal ini tugas politik hukum adalah meneliti perubahan-
perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar
memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat.
Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum
Bersama lajunya perkembangan jaman tidak dapat disangkal lagi bahwa
ruang gerak politik hukum berkembang, tidak hanya sebatas Negara
sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas Negara hingga ke
tingkat Internasional
Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur
perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum
mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma,
oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.
Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan
yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar,
yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu
akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi
manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang
108
individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial
dinamakan ’keadilan’50
Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh
kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-
peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya
sesuai dengan hukum sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain
hukum harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom
masyarakat51
.
Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya
oleh aparatur menaga untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib,
dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan
perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum
yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk
hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.
Pemkot Surakarta memiliki perhatian yang besar pada pembinaan
dan penataan PKL melalui pendekatan pemberdayaan. Beberapa kebijakan
tersebut terutama didasarkan pada :
a Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8
Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.
Substansi kebijakan yang termaktub pada peraturan
perundangan di atas dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini.
50
Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 135
51 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo
Persada. Hal 9
109
Selain definisi tentang PKL, Peraturan Daerah Kotamadya Daerah
Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan
Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga memuat beberapa ketentuan lain,
yaitu :
Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :
1. Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima ditetapkan oleh
Walikotamadya Kepala Daerah.
2. Walikotamadya Kepala Daerah dalam menetapkan tempat usaha
sebagaimana dimaksud ayat (1), pasal ini, mempertimbangkan
faktor sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan
kesehatan serta tata ruang kota sesuai dengan Peraturan Daerah
yang belaku.
Pada Pasal 3 disebutkan bahwa :
1) Setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap
ketertiban, kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan
dan keamanan di sekitar tempat usaha.
2) Untuk mewujudkan kebersihan, kerapian, dan keindahan tempat
usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.
Walikotamadya Kepala Daerah menetapkan persyaratan-persyaratan
lebih lanjut.
b Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang
Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II
Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL.
110
Langkah pembinaan dan penataan PKL secara lebih
operasional didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Surakarta
Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan
Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995
tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Pada bab II berisi tentang
Larangan Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima.
Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :
1) Untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan
di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau
fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau,
cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar
bangunan Tempat ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang
Kaki Lima.
2) Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1)
Pasal ini, Jl. Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha
Pedagang Kaki Lima.
Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa :
1) Untuk Alun-alun dan lapangan olahraga, pada acara-acara yang
diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau Pihak Swasta yang
telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan
Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus
bersih dari Pedagang Kaki Lima.
111
2) Dalam menetapkan tempat-tempat usaha atau fasilitas umum dan
sebagainya Walikota mempertimbangkan akepentingan sosial,
ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keseshatan serta
keindahan.
c Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang
Penyeleggaraan Kawasan Tertib.
Selain itu penataan dan pembinaan PKL di lapangan juga
didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun
2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib. Pada peraturan
tersebut ditegaskan bahwa Kawasan Tertib adalah suatu kawasan di
sebagian Kota Surakarta yang ditetapkan sebagai kawasan tertib
berdasarkan Peraturan, dan apabila melanggar dapat terkena sanksi.
Sebagai pilot project/percontohan kawasan tertib ditetapkan sepanjang
Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip
Sumoharjo.
d Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang
Pengendalian Lingkungan Hidup.
Terkait dengan aspek lingkungan, pembinaan dan penataan
juga memperhatikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun
2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pada peraturan tersebut
dilarang:
112
1) melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada sumber-
sumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan
sebagai tempat pembuanagan sampah.
2) mendirikan bangunan, melakukan usaha dan / atau kegiatan di
tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman
kota, resapan air dan daerah sepadan sungai.
Berdasarkan paparan diatas dapat dikatakan bahwa hukum sebagai
sarana kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk
mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan
masyarakat. Kontrol sosial ini dijalankan dengan menggunakan berbagai
aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu
lembaga yang diorganisasi secara politik maupun melalui lembaga-
lembaga yang dibentuknya.
Keadaan tersebut berbeda dengan hukum sebagai sarana social
engineering. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan
hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat
sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-
perubahan yang diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya hanya
dilekatkan pada hukum modern.
Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai Dasar hukum
dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Pemberdayaan dan
Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta, sesuai dengan
pendapat Robert Seidman yang menyatakan bahwa tindakan apapun yang
113
akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana
maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup
kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan
lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut
bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang
berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktifitas
lembaga-lembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada
akhirnya dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil
dari bekerjanya berbagai macam faktor. Dengan menggunakan model dari
Seidmen tersebut dapat dijelaskan pengaruh faktor-faktor atau ketentuan-
ketentuan sosial mulai dari tahap pembuatan undang-undang,
penerapannya dan sampai kepada peran yang diharapkan. Demikian pula,
pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan juga dalam bidang
penerapan hukum.
Peranan yang diharapkan dari warga masyarakat juga sangat
ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama
sistem budaya. Yang dimaksud “pemegang peran” adalah semua warga
negara baik itu hakim, polisi dan sebagainya. Apapun terminologi yang
diajukan untuk menjelaskan apa itu hukum, pada dasarnya hukum
merupakan budaya masyarakat atau aktivitas mesyarakat tertentu yang
berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat.
Sebagaimana yang dinyatakan oleh Eran Vigoda-Gadot sebagai
berikut:
114
”Without doubt, we live in an era of great challenges for modern
societies. The tenty-first century will necessitate enormous changes in our
conventional perceptions of governmental activities and responsibilities. It
will similarly require a reformation of the meaning of citizenship and a
redefinition of the role of citizens, businesses and private sector firms, the
third sector, the media, and academia. All these players, and others, will
need to collaborate to some serious extent. Most importantly, they will
need to collaborate with public administration as its impact grows, in
order to provide the people with better services and with the high quality
goods they deserve”.52
(Tanpa ragu, kita hidup di era tantangan besar bagi masyarakat
modern. Pada abad ke-21 akan memerlukan perubahan besar dalam
persepsi konvensional mengenai kegiatan pemerintah dan tanggung jawab.
Ini juga akan memerlukan reformasi arti kewarganegaraan dan redefinisi
peran warga, bisnis dan perusahaan swasta, sektor ketiga, media, dan
akademisi. Semua pemain, tanpa kecuali, akan perlu untuk berkolaborasi
dalam beberapa hal serius. Yang paling penting, mereka harus
berkolaborasi dengan administrasi publik sebagai dampak yang tumbuh,
dalam rangka memberikan layanan kepada masyarkat dengan lebih baik
serta memperoleh kualitas produk yang layak.
Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-
harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang
peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh
kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain,
antara lain : (a) sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya, (b) aktifitas dari
lembaga pelaksana hukum, dan (c) seluruh kekuatan-kekuatan sosial,
politik dan lain-lainnya yang bekerja atas diri pemegang peranan di situ.
52
Gadot, Eran Vigoda, 2004, “Collaborative Public Administration Some Lessons from the
Israeli Experience”, Managerial Auditing Journal, Vol. 19 No. 6, pp.700-711, Israel : University
of Haifa. Hal. 710.
115
2. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota
Surakarta yang tidak memunculkan konflik fisik
Pendorong utama munculnya PKL di perkotaan adalah faktor
ekonomi. himpitan kebutuhan ekonomi di satu sisi dan terbatasnya
lapangan pekerjaan di sisi lainnya menyebabkan PKL menjadi alternative
yang banyak dipilih.
Terkait dengan sejarah munculnya peristilahan PKL, dalam
perkembangan pola penyebaran PKL di trotoar hampir dijumpai pada
semua fungsi kawasan, baik dengan fungsi utama perkantoran, pendidikan,
kesehatan, perumahan maupun perdagangan. Secara umum, faktor utama
pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan
perdagangan muncul banyak PKL, karena kawasan tersebut lebih banyak
pejalan kakinya. Demikian pula jika diarea pabrik banyak karyawan yang
berjalan kaki, maka disitupun banyak PKL.
Namun demikian bukan berarti kawasan yang sedikit pejalan
kakinya akan steril dari PKL. Terdapat beberapa kawasan yang bukan
tempat lalu lalang pejalan kaki, tetapi banyak di huni PKl. Sebut saja PKL
dilapangan Banjarsari-Solo (sebelum relokasi ke Pasar Klitikan di
Notoharjo tahun 2006). PKl di tempat ini bukan lagi didatangi sambil lalu
atau kebetulan lewat, tetapi menjadi tujuan utama perjalanan para pembeli.
Kebanyakan, mereka datang dengan kendaraan dengan menggunakan
kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua. Meskipun
116
demikian yang datang dengan menggunakan sepeda ”onthel” (kayuh)
maupun berjalan kaki, jumlahnya juga tidak sedikit.
Warga masyarakat yang peduli keberadaan PKL menyambut baik
keberadaan Perda desertai upaya Pembinaan, karena bagaimanapun PKL
adalah warga masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan
hidupnya. Walaupun selanjutnya mempertanyakan kenyataan bahwa PKL
berada dimana-mana, di setiap ruas jalan umum tanpa menghiraukan
kepentingan orang lain sebagai pemakai jalan, fasilitas umum, PKL
mermaba setiap sudut, di luar tempat/lokasi yang ditentukan, untuk
mendekati konsumen.
Kenyataan bahwa sebagian besar PKL dan masyarakat belum atau
tidak mengetahui tentang Perda No 08 Tahun 1995 hal ini menandakan
kurangnya sosialisasi sehingga pengenalan serta pemahaman terhadap
keberadaan Perda demikian minim. Penetapan tempat/lokasi dan
pembentukan tim pembina yang ada tidak ditindaklanjuti dengan
pelaksanaan sekaligus pengawasan secara maksimal di lapangan; terkesan
“asal ada” saja. Sementara itu setiap pihak yang terlibat bersikap
menunggu, tidak aktif berinisiatif karena birokratisasi.
Dari hasil penelitian yangelah penulis lakukan, maka dalam
pembahasan ini dapat diketahui indikator keberhasilan implementasi
kebijakan pemberdayaan dan penataan pedagang kaki lima di Kota
Surakarta yang tidak memunculkan konflik adalah ketertiban, keamanan
dan keindahan.
117
a. Ketertiban
Menurut kamus Bahasa Indonesia tertib berarti teratur, aturan,
rapi, peraturan yang baik. Jadi ketertiban adalah menyiratkan suatu
keteraturan, keadaan sesuai dengan aturan. Ketertiban diperlukan agar
kehidupan tidak berubah menjadi anarki; keadaan tanpa aturan, kacau,
chaos.
Hanya melalui hukum-lah manusia hendak menghindarkan diri
dari anarki, mengingat fungís hukum yang mendasar adalah mencegah
terjadinya konflik karena kepentingan masing-masing anggota
masyarakat. Secara konseptual, ketertiban (umum) dipahami sebagai
manifestasi dari statu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan
kolektif, yaitu statu tatanan, dimana manusia merasa aman secara
kolektif. Kebebasan individu dibatasi oleh kepentingan kolektif.
Apeldoorn dalam Budiono berpandangan bahwa hukum secara
substansi berlaku umum dan tidak diskriminatif, sehingga tertib hukum
menjadi tertib yang berlaku umum. Hukum dapat menciptakan tertib
(umum) hanya jika hukum berhasil menjaga keseimbangan
kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Hukum bisa ditegakkan
apabila mendatangkan keadilan bagi mereka yang berkepentingan
terhadap keadaan tertib itu.
Hukum menjaga pemenuhan terhadap kepentingan dasar
manusia, misalnya kebebasan untuk bekerja dan berusaha memenuhi
kebutuhan hidupnya. Perda No 08 Tahun 1995 sebagai wujud hukum
118
untuk menjaga pemenuhan terhadap kepentingan dasar PKL yakni
bekerja dan berusaha sebagai PKL; Pasal 27 (2) UUD 1945. Apabila
kepentingan dasar tidak terlindungi manusia akan berusaha
memperoleh perlindungan dan keadilan bagi dirinya sendiri, bisa
dibayangkan apabila setiap manusia mengejar pemenuhan
lepentingannya dengan mengorbankan ketertiban umum.
Dengan demikian jika ketertiban umum harus merupakan tertib
hukum maka ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan
tertib yang adil. Memahami pandangan Gustav Radbruch, bahwa
fungsi utama nilai dasar hukum mencerminkan adanya keadilan,
menegakkan keadilan. Bukankan tujuan hukum menurut pandangan
teori campuran adalah ketertiban sebagai syarat terbentuknya
masyarakat yang teratur; ketertiban yang diharapkan tercipta melalui
Perda No 08 Tahun 1995.
Eko (30 tahun) seorang PKL pada wawancara tanggal 9 Maret
2010, berpendapat bahwa ketertiban itu adalah menurut aturan. Pada
kenyataannya, yang bersangkutan berjualan di luar tempat/lokasi yang
ditentukan alias liar. Eko berpandangan bahwa aturan itu buatan
manusia sehingga boleh, sah-sah saja bila dilanggar. Apalagi penegak
hukumnya juga tidak keberatan aturannya dilanggar? “Kalo aturan
Tuhan tidak boleh dilanggar”, demikian lanjutnya. Dengan demikian
untuk menciptakan ketertiban (umum) memerlukan sesuatu yang
mampu mengakibatkan bahwa keadaan secara umum adalah tertib.
119
Sesuatu itu selain berupa aturan (hukum) juga ada pihak yang
berperan untuk menjalankan prosedur penertiban itu sendiri. Dalam hal
ini adalah Satpol PP, aparat pemerintah/birokrasi. Tentunya sulit
menciptakan, mewujudkan ketertiban (umum) jika aparat pemerintah
sendiri tidak memperhatikan citra tertib; secara teratur dan berkala
mengawasi juga mengadakan pembinaan terhadap PKL misalnya.
Seperti yang dikatakan oleh Eko, bahwa pemindahan PKL
dilakukan melalui proses yang panjang. “Awalnya pedagang diberi
pengarahan, lalu pada waktu yang ditentukan menempati tempat
relokasi” Hal ini diamini oleh Agus (42 Tahun) yang mengatakan
bahwa pemindahan atau relokasi PKL dapat berlangsung dengan baik
karena Pemerintah Kota Surakarta dapat memberikan solusi yang baik
bagi para PKL. Selain itu juga adanya konsekuansi dan ketegasan
aturan yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surakarta.
Oleh karenanya terhadap PKL yang memperjualbelikan
tempat/lokasi dan atau kemudian yang berjualan di luar tempat/lokasi
yang telah ditentukan patut untuk diproses sesuai Perda, yakni izin
dicabut, denda atau bahkan pidana kurungan. Pada saat tertentu
encaman pidana yang diterapkan dengan tegas dan bijaksana mampu
mengurangi, menimbulkan efek jera pada pelanggar. Hal ini bertalian
dengan pandangan instrumental terhadap hukum yang menyatakan
bahwa seseorang akan mematuhi hukum sepanjang kepatuhan itu akan
mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pribadinya. Jadi sanksi
120
merupakan unsur yang sangat penting. Menurut keterangan Denny
(anggota Satpol PP) dalam wawancara pada 22 Pebruari 2010,
bertempat di Kantor PP menjelaskan, baginya memproses PKL untuk
dipidanakan memerlukan waktu dan koordinasi yang tidak mudah di
samping kekurangan personal yang mempunyai kewenangan untuk
bertindak selaku Penyidik PNS.
Penambahan jumlah PKL (diluar tempat/lokasi yang ditunjuk)
yang tidak ditindak tegas menimbulkan rasa ketidakadilan bagi PKL
yang berada di lokasi resma/berizin. Tidak adil karena di lokasi liar
lebih resma pelanggan sepi, dilokasi liar ramai sebab biasanya lokasi
liar lebih strategis dan dekat serta mudah dijangkau oleh konsumen,
pelanggan. Ketidakadilan tersebut menimbulkan kekacauan yang
mengarah kepada tindakan brutal seperti yang terjadi beberapa waktu
yang lalu, perkelahian antara PKL “resmi” dan “liar”. Jadi peraturan
yang berkeadilan dapat menciptakan ketertiban. Berkeadilan serta
sikap tegas aparat pemerintah Kota Surakarta sangat berpengaruh pada
keberhasilan implementasi Perda agar tercipta ketertiban (umum).
Pada kenyataanya, pelaksanaan relokasi PKL yang
dilaksanakan Pemerintah Kota Surakarta tidak seperti yang dialami
oleh kota-kota lain. Kota Surakarta memberi perhatian yang serius
terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai
kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan.
Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era
121
kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai
dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi
penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua
pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke bangunan
Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi
upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan
pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-
shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi
dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui
fasilitasi bangunan/tempat berdagang.
Berdasarkan uraian di atas dikatakan bahwa ketertiban yang
diinginkan oleh Perda No 08 Tahun 1995 melalui tindakan menunjuk
dan menentukan tempat/lokasi berjualan bagi PKL berjalan
sebagaimana seharusnya/ tercapai
b. Keamanan
Aman mempunyai arti bebas dari bahaya, terlindung (Daryanto
1998 : 33). Keamanan artinya keadaan aman atau ketentraman yakni
statu keadaan dimana seseorang merasa bebas dari bahaya, merasa
terlindungi dan tenteram (keadaan damai, tidak terdapat kekacauan).
Sarjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum hendaknya bisa memberi
kebahagiaan, kedamaian bukan sebaliknya membuat ketidaknyamanan
bahkan ketidaktentraman hidup.
122
Walaupun ada keraguan bahwa keberadaan PKL menimbulkan
kerawanan keamanan sebagaimana dikatakan oleh Sumarwan dari
Disperindata dalam wawancara pada 19 April 2006, pada
kenyataannya tahun 2005, kerusuhan yang dilakukan PKL pada saat
relokasi tidak terjadi.
Pandangan dan pendapat serta pemikiran PKL tentang
keamanan adalah keadaan dimana tidak ada penggusuran, obrakan,
“penertiban” oleh petugas. Keamanan dalam pandangan Satpol PP
adalah keadaan dimana PKL patuh untuk tidak membuat keributan dan
pada kenyataannya PKL tidak berjualan di tempat/lokasi yang dilarang
(wawancara dengan Denny pada 18 Maret 2010).
Hubungan dekat dan simpati antara Pemerintah Kota dengan
PKL membuat ketegangan proses pemindahan dapat melunak. Pelan-
pelan Namur pasti Pemerintah Kota Surakarta yang di Pimpin Oleh
Joao Widodo (Walikota) terjun langsung mendekati PKL untuk
berbicara dari hati kehati dan melakukan musyawarah untuk
melaksanakan relokasi. Selain itu keamanan dapat diwujudkan karena
Pemerintah Kota sendiri memberikan waktu yang cukup lepada para
PKL untuk berbenah (Wawancara dengan Manto PKL)
Pada bulan November 2008 pemerintah kota Solo mempunyai
kebijakan untuk melakukan relokasi PKL yang berada di Jebres untuk
menciptakan kebersihan dan tata kota yang baik. Akan tetapi kebijakan
ini tentu memakan korban PKL yang sudah bertahun-tahun mencari
123
nafkah di tempat tersebut. Kebijakan pemerintah kota ini tidak hanya
sekedar menggusur akan tetapi menyediakan tempat yang lebih teratur
dan rapi dengan biaya dari APBD. Pada dasarnya anggota PKL ini
tidak menolak akan tetapi perlu mengambil beberapa sikap untuk
melakukan pengawalan pendataannya, sehingga para anggota PKL
tidak ada yang tercecer. Untuk melakukan proses pengawalan ini PKL
meminta kepada SOMPIS melakukan advokasi rencana relokasi yang
dilakukan oleh Pihak pemkot. Kegiatan advokasi dilakukan kepada
kelompok pedagang kaki lima (PPSK) yang diketuai oleh mbah sukir.
Agenda advokasi yang dilakukan adalah :
1) Melakukan pendataan ulang etrhadap kios yang akan direlokasi
dan rencana huniannya mbah sulir di sekitar bantaran sungai
Bengawan Solo tepatnya di Kampung Sawah Karang, kelurahan
Jebres.
2) Pendataan ulang dengan melibatkan dinas PKL agar tidak
menimbullkan konflik di tingkat basis. Begitu juga dengan pihak
kelurahan juga telah melakukan pendataan karena pada tahun 2009
relokasi ini akan segera dilakukan menunggu kios yang disediakan
jadi.
Proses advokasi ini sampai di bulan Desember masih belum selesai.
Masih ada anggota PKL yang belum terdata dan mempunyai
kekhawatiran tercecer. Dengan berbagai perbincangan yang terus
dilakukan antara PPSK dan SOMPIS serta pemerintah kota akhirnya
124
dihasilkan kesepakatan-kesepakatan bahwa yang belum terdata akan
mendapatkan kios pada tahun 2009. Pada bulan Januari persoalan ini
belum kelar, dan pihak pemkot meminta kepada KOMPIP dan
SOMPIS untuk memfasilitasi pertemuan dengan para PKL (PPSK)
agar terjadi proses penyelesaian secara dialogis dan cara yang baik.
Akhirnya pada hari senin, 12 Januari 2009 dilakukan pertemuan antara
KOMPIP, SOMPIS dan PPSK bertempat di rumah makan Boga Bogi
dengan dihadiri oleh Pemkot, Satpol PP dan tokoh masyarakat Jebres.
Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan sebagai 1) Adanya
kesepahaman bersama bahwa PKL sejumlah 176 sampai 200 PKL
yang belum terakomodir akan melalui APBD Kota Solo sebesar 2,4 m.
2) Sikap KOMPIP terhadap Relokasi ke Pasar; menolak konsep
penataan PKL dengan model Pasar dan ”Pasarisasi” adalah Cara Halus
dari Penggusuran, karena :
a. Ahistoris
Pada perjalanan sejarahnya pasar secara struktural, berada kesatuan
ekologi cultural sebagai bagian dari bangunan njobo keraton (luar
kraton), antara lain pasar, tugu pemendengan ndalem, gapura
gladhag, gapura pamurakan, alun-alun, masjid agung, pagelaran
dan siti (hi)nggil dan fungsi pasar selain sebagai tempat jual beli
juga melambangkan sakral magis karena melahirkan konsep dasar
pasar candi. Oleh karena itu pasar tradisional di kota Solo
mengandung memori kolektif yang melekat di hati rakyatnya dan
125
begitu juga dengan pasar-pasar tradisional yang lain. Sehingga
konsep penataan PKL dengan membangun Pasar Tradisional
menyalahi konsep historinya Pasar Tradisional di kota Solo.
b. Merubah Identitas
Secara umum pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual
dan pembeli. Pedagang informal dalam hal ini PKL (Pedagang
Kaki Lima) identik dengan jemput bola atau menjemput
keramaian, kegiatan belanjanya bisa barter, dengan modal kecil,
sedang Pasar tradisional atau pasar formal identik dengan modal
besar, menetap dan dengan modal besar. Sehingga penataan PKL
dengan Pasarisasi akan merubah identitas Pedagang informal
menjadi formal akan menyebabkan ”gagap” identitas, yang
akibatnya apabila tidak bi sa menyesuaikan ”tradisi” akan tergusur
dengan sendirinya, dan cita-cita kesejahteraan tidak akan terwujud.
Hal ini bisa kita lihat di Pasar Notoharjo, ketika di bulan pertama
banyak yang harus gulung tikar, karena tidak bisa memenuhi target
penjualan, kendaraan harus ditarik leasing dan lain sebagainya.
c. Pengkondisian Yang Cukup Lama
Proses Transisi menuju kondisi Jual Beli di Pasar Tradisional baru
membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dibutuhkan konsep
yang matang tidak parsial dalam proses penkondisian seperti
komunikasi dengan PKL, tata letak, design pasar, promosi,
rekayasa transportasi, permodalan.
126
d. Tingkat Konflik Tinggi
Penataan PKL dengan Pasarisasi akan menyebabkan Konflik
kepentingan dan gesekan di internal PKL sangat tinggi, dan yang
paling rentan adalan pada pendataan dan pembagian jatah kios.
e. Resiko Gagal Lebih Tinggi
Melihat konsep paparan diatas konsep ini akan rawan gagal, dan
jauh dari cita-cita kesejahteraan kelompok miskin.
Berdasarkan paparan diatas, karenanya selama sikap, perilaku
pembuat peraturan (Pemkot Surakarta) dan petugas Satpol PP sebagai
pelaksana masih sudah sedemikian rupa berusaha mendekati PKL dan
melakukan musyawarah untuk mencari solusi terbaik, maka keamanan
pemindahan PKL dapat tercipta.
Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang
dilakukan oleh Mitchell F. Rice sebagai berikut:
”Incorporating cultural competency into the study of public
administration/public service delivery and moving a public agency
toward cultural competence is an ongoing effort that requires the
recognition of several activities. First, the study of public
administration should acknowledge that cultural differences are
important in the delivery of public services and programs. Second,
continuous internal leadership and support are required by all
members of the agency. Third, culturally competent public
administration and public service delivery requires the following
attributes: cultural appropriateness, cultural accessibility, and
cultural acceptability”.53
(Memasukkan kompetensi budaya ke dalam studi administrasi
publik/umum layanan pengiriman dan bergerak suatu instansi publik
terhadap kompetensi budaya adalah berkelanjutan upaya yang
mengharuskan pengakuan beberapa kegiatan. Pertama, studi tentang
53
Rice, Mitchell F, 2007, “A post-modern Cultural Competency Framework for Public
Adminitration and Public Service Delivery”, International Journal of Public Sector Management
Vol. 20 No. 7, USA : Texas A&M University. Hal. 630
127
masyarakat administrasi harus mengakui bahwa perbedaan budaya
yang penting dalam pelayanan publik dan program. Kedua,
kepemimpinan internal, berkesinambungan dan dukungan yang
diperlukan oleh semua anggota badan tersebut. Ketiga, budaya
kompeten publik administrasi dan pelayanan publik memerlukan
atribut-atribut berikut: kesesuaian budaya, budaya aksesibilitas, dan
budaya penerimaan.
c. Keindahan
Keindahan adalah suatu keadaan yang indah, elok dan
menyenangkan jika dipandang mata, demikian menurut Kamus Bahasa
Indonesia. Keindahan suatu kota, dalam hal ini kota Surakarta, tampak
pada penataan tata ruang Kota Surakarta yang memperhatikan
beberapa hal antara lain: keberadaan ruang terbuka atau taman kota,
jalan-jalan yang bersih dan teratur, pedagang yang berjualan pada
tempat yang telah disediakan dengan penampilan yang menarik dan
tidak kumuh, taman yang terpelihara, lingkungan yang tidak tercemar
dan sebagainya. Untuk itu perlu pengelolaan lingkungan kota dengan
memperhatikan daerah atau sumber yang berpotensi menimbulkan
permasalahan ketertiban, kesemrawutan, juga pencemaran karena
daripadanya dihasilkan sampah.
Hartoyo dan beberapa PKL yang berjualan mentol bakso ini
menyatakan pendapatnya tentang keindahan sebagai sesuatu yang
nomor kesekian dan mengatakan,”untuk apa kota tampak indah jika
rakyatnya sengsara, tenderita, tidak berpenghasilan?”. Menjaga
kebersihan sebagai konsekuensi terwujudnya keindahan sulit
diterapkan oleh karena PKL menganggap dengan membayar retribusi
128
kebersihan/sampah maka kewajiban membersihkan sampah kegiatan
mereka gugur dan menjadi beban kewajiban Pemerintah Kota melalui
DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) Kota Surakarta
Penyeragaman, penampilan yang indah dan menarik untuk
sarana PKL berjualan misalnya, gerobak, tenda dan sebagainya
disetujui oleh PKL dengan syarat ada bantuan berupa dana. Sebab
sebagian besar PKL adalah pengusaha golongan ekonomi lemah modal
kecil dengan barang dagangan yang tidak beragam. Demikian juga jika
PKL ditempatkan pada suatu lokasi tertentu yang tidak merusak
keindahan taman kota atau fasilitas umum lainnya, PKL mensyaratkan
bahwa tempat tersebut haruslah ramai, didatangi banyak pelanggan.
Sikap, perilaku, cara pandang warga masyarakat, PKL tentang
keindahan mempengaruhi implementasi Perda PKL dalam rangka
mewujudkan keindahan Kota Surakarta. Budaya hukum suatu
masyarakat akan tampak pada penghayatan terhadap hukum yang
berlaku, dalam hal ini tentang Perda No 08 Tahun 1995, penghayatan
PKL tentang nilai keindahan mempunyai akibat langsung dan tidak
langsung terhadap kepatuhan Perda. Oleh karena penghayatan terhadap
arti keindahan adalah sebagai nomor kesekian, maka kepatuhan dan
rasa ikut mewujudkan serta memiliki kota yang indah adalah tindakan
nanti-nanti saja, tindakan nomor kesekian.
Budaya hukum dibedakan antara budaya hukum prosedural dan
hukum substantif. Secara prosedural PKL mempunyai kewajiban
129
membayar retribuís kebersihan, hasil retribuís tersebut dipergunakan
untuk “menjaga” kebersihan kota yang dilaksanakan oleh Dinas
Kebersihan dan Pertamanan. Jadi menjaga kebersihan dan keindahan
kota adalah kewajiban DKP karena PKL telah memenuhi
kewajibannya membayar retribusi. Di pihak lain secara substansif,
adalah adil jika yang melaksanakan pekerjaan membersihkan, menjaga
kebersihan keindahan kota dan taman-taman kota adalah DKP bukan
PKL. Apabila demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Perda No
08 Tahun 1995 akan terlaksana dengan baik.
Beberapa PKL memiliki kepekaan terhadap unsur keindahan
tampak pada penampilan gerobak dan rombong atau tempat berjualan
yang dilata dengan Apik dan kreatif sehingga menimbulkan kesan
menarik. Namun sebagian besar berpenampilan seadanya bahkan
cenderung kotor. Keberadaan PKL yang teratur, tertib, tertata Apik
dalam suasana aman tentu menarik wisatawan, pengunjung yang
berakibat pada meningkatnya PAD Pemkot Surakarta.
Dari deskripsi di atas maka tingkat ketercapaian akan ketertiban,
keamanan dan keindahan dalam implementasi Perda No 08 Tahun
1995 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan PKL telah
dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini sesuai dengan teori yang
dikemukakan oleh Teori konflik dahrendorf bahwa mata rantai antara
konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan
nilai-nilai. Menurut Marx “kepentingan” selalu dipandang dari segi
130
materialnya saja tetapi sebenarnya menurut dahrendorf “kepentingan”
selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam memegang peran
penguasa seseorang tersebut akan bertindak demi keuntungan
organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk
mempertahankan kekuasaan. Dahrendorf melihat masyarakat berisi
ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama, sehingga segala
sesuatunya dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktual dan dapat
pula dengan konflik
131
BAB V
PENUTUP
A. Kesimpulan
Pemerintah Kota Surakarta berhasil menata Pedagang Kaki Lima di Kota
Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dengan cara :
1. Pemerintah Kota Surakarta membuat Regulasi atau Peraturan Peraturan
yang Jelas dan tegas serta konperhensif.Regulasi tersebut tidak hanya
mengatur keberadaan PKL secara fisik, tetapi juga memberi tugas dan
tanggungjawab kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk melakukan
pemberdayaan kepada PKL agar bisa bertahan hidup dan eksis melakukan
usahanya ditempat tempat yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota.
2. Regulasi atau Peraturan Peraturan tersebut diimplementasikan melalui
kebijakan dan Program Relokasi yaitu memasukan PKL ke Pasar Pasar
Tradisional, baik itu Pasar yang sudah ada atau Pasar Pasar yang memang
dibangun untuk menampung PKL, menempatkan PKL di Kantung
Kantung PKL dengan cara membuat shelter shelter PKL.
3. Melakukan proses sosialisasi terhadap program Relokasi secara kontinyu
dengan melibatkan para PKL, Tokoh Masyarakat,LSM, sampai didapatkan
titik temu bahwa Program Relokasi adalah menguntungkan semua pihak,
yaitu PKL sendiri, masyarakat, dan Pemerintah Kota.
4. Malakukan penegakan hukum terhadap PKL yang melanggar Peraturan
Daerah Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.
132
B. Implikasi
Penataan Pedagang Kaki Lima dapat dilakukan tanpa adanya konflik
yang berarti apabila pemerintah daerah dapat memberikan solusi yang baik
bagi keberadaan para pedagang kaki lima tanpa harus menggusur keberadaan
mereka. Pada saat akan dilakukan penataan, pemerintah daerah dapat
melakukan dialog dengan para pedagang kaki lima sehingga konflik yang
mungkin terjadi dapat diminimalkan atau bahkan dihindari apabila ada
komunikasi yang baik. Penataan pedagang kaki lima memaang diperlukan
untuk menciptakan kawasan yang tertib dan indah di Kota Surakarta namun
penataan itu sendiri juga harus tetap memberikan ruang bagi pedagang kaki
lima karena bagaimanapun, keberadaan pedagang kaki lima jika dikelola
dengan dengan akan memberikan kontribusi bagi peningkana pendapatan asli
daerah.
C. Saran
1. Pemerintah Kota Surakarta yang telah merelokasi PKL ke dalam Pasar
Pasar Tradisional terutama pasar yang baru, harus selalu memberdayakan
PKL dengan cara antara lain: memberi fasiltas Modal Usaha dengan
pinjaman lunak (bunga rendah atau tampa bunga), mendorong PKL untuk
berkoperasi, membuka akses seluas luasnya dan semudah mungkin kepada
masyarakat untuk masuk ke Pasar Tradisional dimana PKL membuka
Usahanya, melakukan kegiatan dan program produktif yang mempercepat
keramaian Pasar Pasar Tradisional tersebut.
133
2. Menindak tegas PKL yang keluar dari Pasar Tradisional dan kembali ke
tempat berjualan semula, atau PKL PKL baru yang berjualan dengan cara
melangar Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penataan dan
Pemberdayaan PKL.