kajian pkl_2010 edit

134

Upload: sri-yulita-pramulia-panani

Post on 28-Dec-2015

46 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

PKL

TRANSCRIPT

Page 1: Kajian PKL_2010 Edit
Page 2: Kajian PKL_2010 Edit

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Manusia adalah makhluk ciptaan Tuhan Yang Maha Esa mengemban

tugas untuk mengelola dan memelihara alam semesta dengan penuh tanggung

jawab demi kesejahteraan umat manusia. Tuhan memberikan anugerah berupa

hak asasi yang dibawa manusia bersama dengan kelahirannya. Hak asasi

secara kodrati melekat erat pada diri manusia, bersifat universal dan abadi,

oleh karena itu, harus dilindungi, dihormati dan dipertahankan, tidak boleh

diabaikan, dikurangi ataupun dirampas dari dan oleh siapapun. Hak asasi

adalah hak yang diberikan oleh Tuhan Yang Maha Esa karena

"kemanusiaannya". Hak asasi manusia (human rights) telah diterima sebagai

komitmen yang universal, sejak 10 Desember 1948 dengan dihasilkannya

Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) di Paris, Perancis. Selain

hak-hak sipil dan politik, dalam DUHAM terkandung pula hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya. Setiap manusia tentunya tidak hanya membutuhkan

kebebasan dan perlakuan tanpa diskriminasi, namun juga memerlukan

pekerjaan, penghasilan, barang-barang atau materi tertentu bagi pemenuhan

hidup dan kehidupannya.

Keberadaan DUHAM sebagai suatu deklarasi yang menitikberatkan

pada kemauan moral dan politik perlu dituangkan dalam suatu perjanjian

internasional agar mempunyai kekuatan mengikat sebagai hukum, diratifikasi.

Page 3: Kajian PKL_2010 Edit

2

Dengan ratifikasi untuk kemudian diwujudkan dalam suatu perundang-

undangan yang bersifat nasional, bertujuan agar hak-hak asasi manusia selain

dihormati juga dijamin pemenuhannya oleh negara. Undang-Undang

termaksud adalah Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak asasi

Manusia yang selanjutnya disebut Undang-Undang Hak Asasi Manusia.

Menurut Pasal 1 ke 1 Undang-Undang Hak Asasi Manusia Nomor 39

Tahun 1999, yang dimaksud dengan Hak Asasi Manusia adalah seperangkat

hak yang melekat pada hakikat dan keberadaan manusia sebagai makhluk

Tuhan Yang Maha Esa dan merupakan anugerah-Nya yang wajib dihormati,

dijunjung tinggi dan dilindungi oleh negara, pemerintah dan setiap orang demi

kehormatan serta perlindungan harkat dan martabat manusia. Jadi, menjadi

kewajiban umum negara untuk menghormati (to respect), melindungi (to

protect) dan memenuhi (to fulfill) HAM tersebut.

Berbeda dengan hak-hak sipil dan politik, pemenuhan hak-hak ekonomi,

sosial dan budaya membutuhkan peran kekuasaan negara yang lebih besar,

turut campurnya pemerintah. Semua itu dikarenakan sumber-sumber ekonomi

dan sosial bagi pemenuhan kebutuhan manusia bersifat terbatas. Misalnya

lapangan kerja, pangan, sandang dan perumahan yang bersifat terbatas,

sehingga di lain pihak ada sejumlah yang harus menganggur, kekurangan

pangan dan tidak mendapatkan kesempatan menikmati hak atas pembangunan

dan hasil-hasil pembangunan. Undang-Undang Dasar 1945 secara tegas

menyatakan dalam pasal 27 ayat (2) dan 28 huruf A :

Page 4: Kajian PKL_2010 Edit

3

Pasal 27 ayat (2) :

"Tiap-tiap warga negara berhak atas pekerjaan dan penghidupan yang layak

bagi kemanusiaan".

Pasal 28 huruf A :

" Setiap orang berhak untuk hidup serta berhak mempertahankan hidup dan

kehidupannya".

Pembangunan negara ini ditujukan untuk menciptakan kesejahteraan

umum dan keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia sebagaimana

diamanahkan oleh Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945

dan selanjutnya disebut UUD Tahun 1945. Undang-Undang Dasar 1945

merupakan hukum dasar tertulis yang memuat dasar dan garis besar hukum

dalam penyelenggaraan negara, tempat atau sumber rujukan utama bagi

proses perumusan dan penetapan peraturan perundangan yang lain. Dengan

kata lain, UndangUndang Dasar 1945 sebagai kebijakan dasar

penyelenggaraan negara yang akan, sedang dan telah berlaku, yang

bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan

negara yang dicita-citakan. Pembangunan yang diarahkan pada pentingnya

manusia dan nilai-nilai kemanusiaan merupakan prasyarat yang tidak dapat

ditawar-tawar. Agar pembangunan bermakna memberdayakan dapat dicapai

melalui apa yang disebut PBM (Pembangunan Bersama Masyarakat).

Pembangunan Bersama Masyarakat adalah suatu model pembangunan yang

bertujuan untuk meningkatkan peran serta aktif, melakukan upaya

pemberdayaan masyarakat pada semua tingkatan guna mengorganisasi diri

Page 5: Kajian PKL_2010 Edit

4

dalam menghimpun sumberdaya, merencanakan dan melaksanakan kegiatan

untuk memperbaiki keadilan sosial, ekonomi dan lingkungan.

Bukanlah suatu hal yang mudah untuk bertahan hidup di tengah situasi

negara yang krisis saat ini, ditambah dengan kebijakan pemerintah

menaikkan harga BBM (Bahan Bakar Minyak) yang mengakibatkan inflasi.

Inflasi dimana laju pergerakan harga barang dan jasa kebutuhan hidup

melonjak. Inflasi yang berimbas pada setiap sudut kehidupan, banyak

perusahaan melakukan pengurangan jumlah tenaga kerja agar tetap dapat

beroperasi. Bahkan beberapa harus menutup usahanya karena tidak lagi

mernpunyai daya saing. Jika sudah demikian yang terjadi adalah

bertambahnya jumlah pengangguran, angkatan kerja yang tidak memiliki

kekayaan dan makin bertambahnya masyarakat miskin.

Salah satu upaya untuk bertahan di tengah kesulitan adalah berusaha di

sektor informal sebagai Pedagang Kaki Lima (PKL). Berusaha di sektor

informal menjadi pilihan dikarenakan tidak memerlukan modal besar. PKL

adalah juga warga negara yang berhak untuk mendapatkan penghidupan

yang layak dalam menjalani hidup dan kehidupannya. Bagaimanapun

pilihan berusaha di sektor informal membuktikan bahwa dalam keadaan

krisis mereka tetap bertahan, dapat dikatakan keberadaan mereka amat

diperlukan agar roda perekonomian tetap dapat berputar walaupun dalam

skala "kecil".

Agar keberadaan mereka yang selama ini selalu dicap sebagai sumber

kekumuhan dan ketidaktertiban serta jauh dari keindahan, maka peranan

Page 6: Kajian PKL_2010 Edit

5

pemerintah yang menyangkut kebijakan publik di sektor informal hendaklah

dirumuskan secara arif dan bijaksana. Kebijakan publik di sektor informal

yang sungguh-sungguh memenuhi persyaratan yang menampakkan kemauan

sosial, ekonomi juga politik yang tidak memarginalkan sekelompok rakyat,

yakni PKL.

Terlebih di masa kini, di banyak tempat termasuk kota Surakarta,

terjadi "perlombaan" pembangunan pertokoan yang marak dibandingkan

dengan penataan dan pemberdayaan pedagang kaki lima yang kondusif bagi

kaum marginal. Hampir setiap pemerintah kota di hadapkan pada pilihan

membangun pusat perdagangan, pertokoan atau membangun dan

memberdayakan kaum marginal di sektor informal.

Berdasarkan suatu penelitian, terungkap bahwa:

1. Sektor informal di perkotaan memang berperan besar dalam sistem

kegiatan ekonomi, namun kontribusi sektor informal terhadap GNP

(Gross National Product.) dan pertumbuhan ekonomi masih relatif kecil.

Di samping itu, berkembangnya sektor informal di perkotaan telah

mendorong menjamurnya pemukiman kumuh di perkotaan, kesulitan

perencanaan tata ruang keindahan kota, dan meningkatnya urbanisasi

dengan segala permasalahannya.

2. Pengembangan sektor modern (industrialisasi) walaupun benar dapat

memberikan kontribusi yang signifikan terhadap GNP, sektor modern ini

tidak dapat secara mudah dan sederhana menciptakan lapangan kerja dan

pengentasan kemiskinan di perkotaan Indonesia. Malahan akibat tidak

Page 7: Kajian PKL_2010 Edit

6

meratanya perkembangan sektor modern dan industrialisasi di Indonesia,

banyak pengganggur di sektor formal termasuk bidang pertanian,

mencari pekerjaan di sektor informal. 1

Penulis mengamati, dari waktu ke waktu senantiasa ada pertambahan

jumlah pedagang kaki lima di kota Surakarta, khususnya pedagang kaki lima

di seputar Monumen 45 Banjarsari Surakarta. Pedagang kaki lima yang

tersebar tersebut acapkali menimbulkan kemacetan lalu lintas, oleh karena

trotoar bahkan badan jalan dipakai pedagang kaki lima mengelar

dagangannya. Belum lagi apabila para pedagang kaki lima tersebut

meninggalkan alat peraganya begitu saja usai berjualan tanpa

memperhitungkan kekumuhan yang ditimbulkannya. Maka makin

lengkaplah kejengkelan warga masyarakat yang terganggu dengan

keberadaan mereka, demikian juga pemerintah kota yang tidak henti-

hentinya selalu mengadakan penertiban. Tetapi selalu saja begitu petugas

pemerintah kota pergi, para pedagang kaki lima kembali ke tempat semula

untuk menggelar dagangannya.

Berbicara tentang pedagang kaki lima (PKL) yang demikian populer

ada pihak yang pro/mendukung di samping yang kontra/menentang. Yang

mendukung memandang dari sudut arti yang positif bahwa PKL dapat

menjadi sumber pendapatan asli daerah (PAD) bagi pemerintah daerah, PKL

sebagai awal seseorang bekerja, menampakkan sifatnya yang tahan pada

masa krisis sekaligus sebagai peluang kerja/memberikan lapangan pekerjaan

1 Alisjahbana. 2004. Sisi Gelap Perkembangan Kota Kependudukan, Birokrasi dan

Ekonomi, Jakarta: Rineka Cipta. Hal 14

Page 8: Kajian PKL_2010 Edit

7

dari sekian banyak penganggur. Para penganggur ini mencoba berkreasi,

berwirausaha dengan modal sendiri bahkan tanpa modal (uang). Mereka

adalah orang-orang yang optimis menatap kehidupan, berjuang memenuhi

tuntutan hidup. Oleh karenanya tidaklah berlebihan apabila Menaker beserta

ketua Kadin Pusat telah mencanangkan agar PKL dibina bukan dibinasakan,

jangan dikejar-kejar, jangan dimatikan karena mereka turut andil

membangun lapangan kerja. Melalui PKL konsumen mendapat kemudahan

dalam memenuhi kebutuhannya sambil berjalan jalan. Kebanyakan barang-

barang yang dijual PKL adalah barang-barang conveniences (berkategori

menyenangkan seperti souvenir atau kebutuhan sehari-hari di luar sembako)

yang dibeli dengan cara emosional artinya begitu melihat barang langsung

timbul keinginan membeli.

Pihak yang kontra, tidak mendukung dengan sudut pandang negatif

berpendapat membiarkan keberadaan PKL sama artinya dengan

melanggengkan kemiskinan, memperbesar ruang kriminalitas, PKL sumber

gangguan ketertiban dimana kebanyakan PKL tidak menghiraukan tata

tertib, kebersihan; dimana ada PKL di sana timbul kesemrawutan, kotor,

kumuh, banyak sampah. Dengan kata lain menimbulkan permasalahan

berkaitan dengan usaha pengembangan tata ruang kota karena

ketidaktertibannya sebagai akibat sulitnya mengendalikan perkembangan

sektor informal ini. Jelas PKL tidak pernah habis dan dimanapun selalu ada

sebagai implikasi pertambahan jumlah penduduk dan angkatan kerja;

Page 9: Kajian PKL_2010 Edit

8

angkatan kerja tahun ini belum terserap sudah menyusul angkatan kerja

selanjutnya demikian seterusnya.

Seorang mantan birokrat, Alisjahbana dalam acara Publik Bicara yang

diselenggarakan atas kerjasama Kompas dan Radio Sonora dengan tema

"PKL suatu berkah atau masalah?", bertempat di Surabaya, pada 1 April

2006, secara ekstrim mengatakan bahwa "Jangan mimpi apabila pemerintah

daerah dapat menghilangkan PKL, yang dapat dilakukan hanyalah

mereduksi".

Hal demikian harus disadari dengan memahami sejarah atau asal-usul

sebab terjadinya PKL agar permasalahan PKL mendapat solusi yang tepat.

Konsep industrialisasi yang tidak diikuti dengan kaidah penataan yang

aplikatif sehingga pertumbuhan serta perkembangan industrialisasi yang

pesat menjadikan angkatan kerja desa lari ke kota untuk memperebutkan

kesempatan kerja sektor formal. Sebagaimana diketahui bahwa laju

pertumbuhan perkotaan disebabkan oleh migrasi dari desa dikarenakan

ketidakmampuan pedesaan dalam menyediakan lapangan kerja bagi

penduduknya di samping daya tarik perkotaan dengan tersedianya lapangan

kerja bagi pendatang untuk meningkatkan pendapatan. Pada umumnya para

pendatang tidak memiliki keahlian khusus dan ketrampilan bahkan

pendidikan yang memadai, sehingga kecenderungan berusaha bagi mereka

ada pada sektor informal. Tentu saja karena sektor formal tidak dapat

menyerap semua tenaga kerja. Adapun ciri-ciri kegiatan informal ini adalah:

Page 10: Kajian PKL_2010 Edit

9

1. Kegiatan usaha, tidak terorganisir dengan baik;

2. Tidak memiliki surat izin usaha;

3. Tidak teratur dalam kegiatan usaha, baik ditinjau dari tempat usaha jenis

usaha maupun jam kerja;

4. Bergerombol di trotoar atau di tepi-tepi jalan protokol, di pusat-pusat

keramaian:

5. Menjajakan barang dagangannya sambil berteriak, kadang berlari

mendekati konsumen;

6. Teknologi yang dipergunakan sangat sederhana;

7. Modal usaha relatif kecil, barang dagangan milik sendiri atau orang

lain.2

Menurut Buchari Alma apabila dibandingkan antara kegiatan formal

dan informal ada beberapa perbedaan seperti di bawah ini :

Tabel 1

Perbedaan Kegiatan Formal dan Informal3

Karakter

Kegiatan Formal

Kegiatan lnformal

Modal Relatif mudah diperoleh

Sukar diperoleh

Teknologi Padat modal Padat karya

Organisasi Birokrasi Sanak sanak keluarga

Kredit Resmi

Lembaga Keuangan Di luar lembaga resmi

2 Buchari Alma. 2004. Manajemen Pemasaran dan Pemasaran Jasa Marketing.

Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama. Hal 78 3 Hassel. 2004. 36 Kasus Kebijakan Publik Asli Indonesia Edisi 2004/2005. Yogyakarta

, BPFE , 2004. Hal 95

Page 11: Kajian PKL_2010 Edit

10

Dalam pertumbuhan dan perkembangannya ternyata ada bermacam-

macam jenis pedagang kaki lima (PKL) yaitu :

l. Riil PKL dengan ciri modal kecil/seadanya dan memakai tenaga kerja

dirinya sendiri;

2. PKL bazar yakni PKL yang berusaha pada hari-hari tertentu misalnya hari

libur;

3. PKL dengan memakai tenaga kerja/orang lain;

4. Pengusaha PKL artinya seseorang dengan modal besar sengaja membuat

sarana penjualan/berusaha dengan memakai kendaraan/alat yang mudah

dipindahkan/mobilisasi untuk ditempatkan pada tempat strategis yang

tidak permanen. Misalnya pengusaha roti Holland memakai gerobak/mobil

berkeliling atau berhenti pada waktu dan tempat tertentu untuk menjajakan

dagangannya4

Tampak bahwa keberadaan sektor informal sebagai katup pengaman

bagi permasalahan ketenagakerjaan khususnya dan perekonomian pada

umumnya. Oleh karena itu PKL perlu dibina dan dilindungi agar mereka

dapat meningkatkan kesejahteraan hidup, juga ditata supaya tercipta

kenyamanan bagi warga kota, warga masyarakat mengingat bahwa kota

dikonsepkan sebagai suatu tempat atau wilayah kediaman yang nyaman,

sehat, bersih dan teratur.

4 Al-Faqih. 2005. KPI dan Hak Konsumen Penyiaran. Publik Bicara, Surabaya Post, 1

April 2006. Hal 90

Page 12: Kajian PKL_2010 Edit

11

Penataan PKL diberbagai kota di Indonesia seringkali diwarnai konflik

yang mengarah kepada terjadinya konflik fisik antara PKL dan aparat

penegak Peraturan Daerah atau yang sering disebut Satuan Polisi Pamong

Praja atau Satpol, tetapi hal tersebut tidak terjadi di Kota Surakarta.Penataan

PKL dibeberapa tempat di wilyah kota Surakarta seperti yang terjadi di

sekitar Monumen Perjuangan, Kecamatan Banjarsari, di depan Stadion

Manahan, disekitar Kentingan/Kampus UNS Kecamatan Jebres berlangsung

secara lancar dan damai.Perbedaan Penataan PKL di Kota Surakarta yang

dipandang berhasil karena tidak memunculkan konflik antara Pemerintah

Kota dengan PKL inilah yang menjadi daya tarik Penulis untuk melakukan

penelitian ini.

Dalam rangka Penataan PKL, Pemerintah Kota Surakarta memandang

perlu untuk mengeluarkan kebijakan publik yang tepat dalam wujud aturan

hukum yaitu Peraturan Daerah Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan

Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Bertitik tolak dari pemikiran dan

keinginan Pemerintah Kota Surakarta sejalan dengan pelaksanaan Otonomi

Daerah dan dalam rangka meningkatkan taraf hidup bagi Pedagang Kaki

Lima (PKL) sebagai akibat pertumbuhan dan perkembangan perekonomian

saat ini, perlu adanya pengaturan dan pembinaan yang lebih terarah dan

terencana. Dengan kata lain kebijakan publik dalam bentuk Perda yang

membahas peran serta pedagang kaki lima dalam pembangunan yang

diantaranya terarah pada usaha untuk menciptakan ketertiban, keamanan dan

keindahan Kota Surakarta menjadi hal yang menarik untuk menjadi obyek

Page 13: Kajian PKL_2010 Edit

12

penelitian. Terlebih pelaksanaan Perda tersebut telah di tindak lanjuti oleh

Walikota Surakarta sehubungan dengan program relokasi PKL dibeberapa

tempat di wilayah kota Surakarta, seperti PKL Klithikan Banjarsari yang

memenuhi seputaran monument 45 ke Pasar Notoharjo Semanggi, PKL di

depan Stadion Manahan di Jl. Adi Sucipto ke sampaing dan belakang

Stadion Manahan, PKL di Kentingan/sekitar Pagar Kampus UNS ke

belakang Kecamatan Jebres, dan sebagainya. Pelaksanaan tersebut tentulah

tidak semudah membalikkan tangan, hal ini penuh dengan opini yang pro

maupun kontra.

Berdasarkan latar belakang di atas, peneliti memilih untuk menulis

tesis ini dengan judul " PENATAAN PEDAGANG KAKI LIMA DI

KOTA SURAKARTA YANG BERJALAN TANPA KONFLIK FISIK

DALAM PERSPEKTIF HUKUM DAN KEBIJAKAN PUBLIK”

B. Perumusan Masalah

Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah di atas, maka rumusan

masalahnya adalah sebagai berikut:

Bagaimana Pemerintah Kota Surakarta mengimplementasikan penataan

Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik

dalam perspektif hukum dan kebijakan publik?

Page 14: Kajian PKL_2010 Edit

13

C. Tujuan Penelitian

Tujuan yang ingin dicapai dalam penelitian ini adalah sebagai berikut:

1. Untuk menjelaskan Kebijakan yang dibuat oleh Pemerintah Kota

Surakarta dalam Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta

sehingga dapat berjalan tanpa konflik fisik.

2. Untuk mengetahui implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta

dalam Penataan PKL di Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik.

D. Manfaat Penelitian

1. Dari segi teoritis, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi

pengembangan ilmu hukum, khususnya hukum kebijakan publik yang

berkaitan dengan penataan Pedagang Kaki Lima, khususnya di Kota

Surakarta.

2. Dari segi praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan suatu

gambaran mengenai pelaksanaan Kebijakan yang terkait dengan penataan

Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta.

3. Selain itu, hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi peneliti lain

serta menambah wawasan pengetahuan di bidang kebijakan publik

khususnya mengenai Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta..

Page 15: Kajian PKL_2010 Edit

14

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Kajian Teori

1. Teori Bekerjanya Hukum

Sering muncul ketika membicarakan mengenai hukum adalah hukum

yang berlaku pada sebuah negara. Hukum semacam ini disebut hukum

positif. Asal mula hukum ini ialah penetapan oleh pimpinan yang sah

dalam negara.

Menurut pandangan tradisional, tidak mungkin untuk memahami

esensi suatu tata hukum nasional, yaitu principium individuations-nya,

kecuali jika negara dipostulasikan sebagai realita sosial yang fundamental5

Menurut pandangan ini, sistem norma memiliki kesatuan dan kekhasan

sehingga pantas disebut tata hukum nasional. Sistem norma ini berkaitan

dengan suatu cara yang berbeda dengan negara lain sebagai satu fakta

sosial, karena sistem norma ini diciptakan oleh satu negara atau sistem ini

valid bagi satu negara.

Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur

perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum

mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma,

oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.

5 Hans Kelsen. Teori Umum Hukum dan Negara. Dasar-dasar Ilmu Hukum sebagai

Ilmu Hukum Deskriptif-Empirik. Bee media Indonesia Jakarta. 2007. Hal 46

Page 16: Kajian PKL_2010 Edit

15

Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan

yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar,

yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu

akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi

manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang

individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial

dinamakan ’keadilan’6

Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh

kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-

peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya

sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain hukum harus sesuai

dengan ideologi bangsa sekaligus sebagai pengayom masyarakat7.

Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya

oleh aparatur negara untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib,

dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan

perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum

yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk

hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.

Hukum bekerja dengan cara memancangi perbuatan seorang atau

hubungan antara orang-orang dalam masyarakat Untuk keperluan

pemancangan tersebut, maka hukum menjabarkan pekerjaannya dalam

berbagai fungsinya, yaitu :

6 Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 57

7 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada. Hal 64

Page 17: Kajian PKL_2010 Edit

16

a. Pembuatan norma-norma, baik yang memberikan peruntukan maupun

yang menentukan hubungan antara orang dengan orang;

b. Penyelesaian sengketa-sengketa;

c. Menjamin kelangsungan kehidupan masyarakat, yaitu dalam hal terjadi

perubahan-perubahan. 8

Hukum, dengan demikian digolongkan sebagai sarana untuk

melakukan kontrol sosial, yaitu suatu proses mempengaruhi orang-orang

untuk bertingkah laku sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu,

pengontrolan oleh hukum tersebut dijalankan dengan berbagai cara dan

melalui pembentukan badan-badan yang dibutuhkan. Dalam hubungan ini,

hukum disebut sebagai suatu sarana untuk melakukan kontrol sosial yang

bersifat formal.

Penyadaran akan hukum yang berkualitas terbatas itu menjadi

penting di tengah buruknya kualitas kehidupan hukum kita. Tetapi

sebenarnya kesadaran itu tidak hanya diperlukan pada masa-masa sulit

seperti sekarang, karena hal itu sudah menjadi bagian dari realitas dunia

hukum kapanpun dan di mana pun. Hukum sama sekali tidak dapat

dilepaskan dari partisipasi publik9

Hukum sebagai sarana kontrol sosial adalah suatu proses yang

dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai

dengan harapan masyarakat. Kontrol sosial ini dijalankan dengan

8 Satjipto Rahardjo, 1984, Hukum dan Masyarakat, Bandung : Angkasa. Hal 16

9 Sarjipto Rahardjo. 2008. Membedah Hukum Progresif. Jakarta : Kompas. Hal 87

Page 18: Kajian PKL_2010 Edit

17

menggunakan berbagai aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan

negara sebagai suatu lembaga yang diorganisasi secara politik maupun

melalui lembaga-lembaga yang dibentuknya.

Keadaan tersebut berbeda dengan hukum sebagai sarana social

engineering. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan

hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat

sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-

perubahan yang diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya hanya

dilekatkan pada hukum modern.

Dilihat dari prinsip-prinsip wawasan negara berdasar atas hukum

(rechsstaat) sebagaimana dikatakan oleh Zippelius, konstitusi merupakan

alat untuk membatasi kekuasaan negara. Prinsip-prinsip ini mengandung

jaminan terhadap ditegakkannya hak-hak asasi, adanya pembagian

kekuasaan dalam negara, penyelenggaraan yang didasarkan pada undang-

undang, dan adanya pengawasan yudisial terhadap penyelenggaraan

pemerintah tersebut. Prinsip wawasan negara hukum yang dikemukakan

oleh Zippelius tadi pada dasarnya sama dengan ketentuan yang ada pada

materi muatan konstitusi. Berarti berbicara tentang esensi hukum positif,

wawasan negara berdasarkan atas hukum (rechsstaat), inklusif di

dalamnya pemahaman tentang konstitusi sebagai dokumen formal yang

terlembagakan oleh alat-elat negara dan sekaligus sebagai hukum dasar

Page 19: Kajian PKL_2010 Edit

18

yang tertinggi. Bila demikian halnya, maka konstitusi akan selalu

mengikat seluruh warga negara10

.

Robert B. Seidman menyatakan bahwa tindakan apapun yang akan

diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana maupun

pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup kompleksitas

kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan lain-lain

sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut bekerja dalam

setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang berlaku,

menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktifitas lembaga-

lembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada akhirnya

dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil dari

bekerjanya berbagai macam faktor. Robert B. Seidman mencoba untuk

menerapkan pandangannya tersebut mengenai bekerjanya hukum dalam

masyarakat yang dilukiskan dalam bagan sebagai berikut :

10

Dahlan Thaib, dkk. Opcit. Hal. 76

Page 20: Kajian PKL_2010 Edit

19

Bagan 1

Bekerjanya Hukum Dalam Masyarakat11

Kekuatan-kekuatan Pengaruh

Umpan balik

Umpan balik

Umpan balik

Kekuatan-kekuatan Kekuatan-kekuatan

Pengaruh Pengaruh

Bagan tersebut diuraikan di dalam dalil-dalil sebagai berikut :

a. Setiap peraturan hukum memberitahu tentang bagaimana seorang

pemegang peranan itu diharapkan bertindak.

b. Bagaimana seorang pemegang peranan itu akan bertindak sebagai

suatu respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-

peraturan yang ditujukan kepadanya, sanksi-sanksinya, aktivitas dari

11

Ibid. hlm. 78

Pembuat

Undang-

Undang

Pelaksana

Pemegang

Peran

Page 21: Kajian PKL_2010 Edit

20

lembaga-lembaga pelaksana serta keseluruhan kompleks kekuatan

sosial, politik dan lain-lainnya mengenai dirinya.

c. Bagaimana lembaga-lembaga pelaksana itu akan bertindak sebagai

respons terhadap peraturan hukum merupakan fungsi peraturan-

peraturan hukum yang ditujukan kepada mereka, sanksi-sanksinya,

keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-

lainnya yang mengenai diri mereka serta umpan-umpan balik yang

datang dari para pemegang peranan.

d. Bagaimana para pembuat undang-undang itu akan bertindak

merupakan fungsi peraturan-peraturan yang mengatur tingkah laku

mereka, sanksi-sanksinya, keseluruhan kompleks kekuatan-kekuatan

sosial, politik, ideologis dan lain-lainnya yang mengenai diri mereka

serta umpan-umpan balik yang datang dari pemegang peranan serta

birokrasi.

Dengan menggunakan model dari Seidmen tersebut dapat dijelaskan

pengaruh faktor-faktor atau ketentuan-ketentuan sosial mulai dari tahap

pembuatan undang-undang, penerapannya dan sampai kepada peran yang

diharapkan. Demikian pula, pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan

juga dalam bidang penerapan hukum.

Peranan yang diharapkan dari warga masyarakat juga sangat

ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama

sistem budaya. Yang dimaksud “pemegang peran” adalah semua warga

negara baik itu hakim, polisi dan sebagainya. Apapun terminologi yang

Page 22: Kajian PKL_2010 Edit

21

diajukan untuk menjelaskan apa itu hukum, pada dasarnya hukum

merupakan budaya masyarakat atau aktivitas mesyarakat tertentu yang

berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat12

Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-

harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang

peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh

kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain.

Faktor-faktor yang turut menentukan bagaimana respon yang akan

diberikan oleh pemegang peran, antara lain : (a) sanksi-sanksi yang

terdapat di dalamnya, (b) aktifitas dari lembaga pelaksana hukum, dan (c)

seluruh kekuatan-kekuatan sosial, politik dan lain-lainnya yang bekerja

atas diri pemegang peranan di situ. Perubahan-perubahan itu juga

disebabkan oleh berbagai reaksi yang ditimbulkan oleh pemegang peran

terhadap pembuat undang-undang dan birokrasi. Demikian pula

sebaliknya. Komponen birokrasi juga memberikan umpan balik terhadap

pembuat undang-undang maupun pemegang peran.

Dengan menggunakan model Seidman tersebut dijelaskan bahwa

setiap undang-undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui

perubahan formal maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi

ketika bertindak. Ia berubah disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan

sosial, budaya, ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya.

12

Esmi Warassih, 2005, Pranata Hukum Sebuah Telaah Sosiologis, Semarang :

Suryandaru Utama. Hal 48

Page 23: Kajian PKL_2010 Edit

22

Perubahan itu terutama disebabkan oleh pemegang peran terhadap

pembuat undang-undang dan terhadap birokrasi penegakan, dan demikian

sebaliknya.

Berdasarkan teori berlakunya hukum di atas, maka dapat

disimpulkan bahwa hukum sebagai sarana kontrol sosial merupakan suatu

proses yang dilakukan untuk mempengaruhi orang-orang agar bertingkah

laku sesuai dengan harapan masyarakat. Oleh karena itu, setiap undang-

undang sekali dikeluarkan akan berubah baik melalui perubahan formal

maupun melalui cara-cara yang ditempuh birokrasi ketika bertindak.

Perubahan ini disebabkan oleh adanya perubahan kekuatan sosial, budaya,

ekonomi, politik dan lain-lain yang melingkupinya.

2. Teori Sistem Hukum Stufenbau

Secara teoritis, tata urutan peraturan perundang-undangan dapat

dikaitkan dengan ajaran Hans Kelsen mengenai “Stufenbau des Rechts”

atau “The hierarchy of Law” yang berintikan, bahwa “kaidah hukum

merupakan susunan berjenjang dan setiap kaidah yang lebih rendah

bersumber dari kaidah hukum yang lebih”13

Untuk lebih memahami teori Stufenbau des Rechts, harus

dihubungkan dengan ajaran Hans Kelsen tentang “Reine Rechtslehre atau

The pure theory of law (teori hukum murni) dan bahwa hukum itu tidak

lain dari kehendak penguasa (command of the souvereign).

13

Bagir Manan. 2004. Menyongsong Fajar Otonomi Daerah, PSH MI Yogyakarta. Hal

59

Page 24: Kajian PKL_2010 Edit

23

Menurut teori hukum murni “hukum tidak lain dari sistem hukum

positif yang dibuat oleh penguasa. Hukum positif dapat berupa peraturan

perundang-undangan sebagai kaidah umum (general norm) dan kaidah-

kaidah yang terjadi karena putusan hakim sebagai kaidah khusus

(individual norm). Menurut Bagir Manan, hukum positif adalah kumpulan

asas dan kaidah hukum tertulis dan tidak tertulis yang pada saat ini seang

berlaku dan mengikat secara umum atau khusus dan ditegakkan oleh atau

melalui pemerintah atau pengadilan dalam negara14

Karena tidak mungkin menempatkan putusan hakim dalam tata

urutan, maka pengertian Stufenbau des Rechts adalah tata urutan peraturan

perudang-undangan (kaidah umum).

Menurut teori hukum murni, bahwa objek kajian hukum (legal science)

hanyalah mengenai isi hukum positif. Sedangkan mengenai baik atau buruk suatu

kaidah yang mencerminkan sistem nilai tertentu, masalah tujuan hukum dan lain-

lain, bersifat filosofis, bukan objek teori hukum, melainkan objek filsafat.

Pandangan ini bertalian dengan paham “legal positivism” dan Hans Kelsen

merupakan salah seorang penganut Aliran Positivis.

Komponen substantif dalam hukum merupakan hasil dari sistem

hukum, berupa peraturan-peraturan dan keputusan-keputusan yang

digunakan baik oleh pihak yang mengatur dan pihak yang diatur. Hukum

adalah legal, bilamana undang-undang dan peraturan yang ditentukan

menurut kriteria yang berlaku sehingga mempunyai kekuatan yuridis.

Suatu peraturan baru dapat diakui legal, bila tidak bertentangan dengan

14

Ibid. hlm. 1

Page 25: Kajian PKL_2010 Edit

24

peraturan-peraturan yang berlaku pada suatu jenjang yang lebih tinggi,

yang dikenal dengan teori Stufenbau. Teori stufenbau memperlihatkan

bahwa seluruh system hukum mempunyai suatu struktur piramida, mulai

dari yang abstrak sampai yang konkret 15

.

Menurut Fuller, ukuran mengenai adanya suatu sistem hukum yang

baik dalam rangka efektivitas hukum yang hendak diwujudkan terdapat

dalam delapan asas yang disebut principles of legality, yaitu:

a. Suatu sistem hukum yang harus mengandung suatu peraturanperaturan,

tidak boleh, mengandung sekadar keputusan-keputusan yang bersifat

ad-hoc.

b. Peraturan-peraturan yang telah dibuat harus diumumkan.

c. Tidak boleh peraturan yang berlaku surut, oleh karenanya apabila ada

yang demikian itu wajib ditolak, maka peraturan itu bilamana menjadi

pedoman tingkah laku, membolehkan peraturan secara berlaku surut

berarti akan merusak integritas peraturan yang ditujukan untuk berlaku

bagi waktu yang akan datang.

d. Peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa

dimengerti.

e. Suatu sistem hukum tidak boleh mengandung peraturan yang

bertentangan satu sama lain.

f. Peraturan-peraturan tidak boleh mengandung tuntutan yang melebihi

apa yang dapat dilakukan.

15

Theo Huijbers, 1986. Filsafat Hukum dalam Lintasan Sejarah. Bandung: Bina Cipta.

Hal 82

Page 26: Kajian PKL_2010 Edit

25

g. Tidak boleh ada kebiasaan untuk mengubah peraturan sehingga

menyebabkan seseorang akan kehilangan orientasi.

h. Harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan

pelaksanaannya sehari-hari. 16

Ketentuan perundang-undangan tidak hanya mengatur wewenang normatif

yang diatur dalam sebuah undang-undang sehingga sifatnya kaku,

melainkan juga wewenang bebas (diskresi). Namun dalam praktiknya

seringkali diskresi digunakan secara berlebihan.

Diskresi merupakan pelengkap asas legalitas, yaitu asas hukum yang

menyatakan bahwa setiap tindak atau perbuatan administrasi Negara harus

berdasarkan ketentuan undang-undang. Diskresi dalam penegakan hukum

dinilai sangat penting, karena pertimbangan adanya kelambatan-

kelambatan untuk menyesuaikan perundang-undangan dengan

perkembangan-perkembangan di dalam masyarakat, sehingga

menimbulkan ketidakpastian dan diberlakukan pada kasus-kasus yang

memerlukan penanganan khusus17

3. Teori Konflik

Jika kalangan fungsionalis melihat adanya saling ketergantungan dan

kesatuan di dalam masyarakat dan hukum atau Undang-undang sebagai

sarana untuk meningkatkan integrasi sosial maka kalangan penganut teori

konflik justru melihat masyarakat merupakan arena dimana satu kelompok

16

Esmi Wirasih. Op Cit. hal. 31 17

Soerjono Soekanto.1984. Beberapa Teori Tentang Stuktur Masyarakat.Jakarta:

CV.Rajawali. hal 37

Page 27: Kajian PKL_2010 Edit

26

dengan yang lain saling bertarung untuk memperebutkan “power” dan

mengontrol bakan melakukan penekanan dan juga melihat hukum atau

undang-undang itu tidak lain merupakan cara yang digunakan untuk

menegakkan dan memperkokoh suatu ketentuan yang menguntungkan

kelompok-kelompok lainnya. Menurut Wallase dan Alison, teori konflik

memiliki tiga asumsi utama yang saling berhubungan:

a. Manusia memiliki kepentingan-kepentingan yang asasi dan mereka

berusaha untuk merealisasikan kepentingan-kepentingannya itu.

b. “Power” bukanlah sekedar barang langkah dan terbagi secara tidak

merata, sebagai merupakan sumber konflik, melainkan juga sebagai

sesuatu yang bersifat memaksa (coercive). Sebagian menguasai

sumber, sedangkan yang lainnya tidak memperolehnya sama sekali.

c. Ideologi dan nilai-nilai dipandangnya sebagai senjata yang

dipergunakan oleh berbagai kelompok yang berbeda untuk meraih

tujuan dan kepentingan mereka masing-masing.

Teori Konflik dalam Pandangan Dahrendorf. Pendekatan konflik

Marxian dan Weberian, banyak dianut oleh sosiolog modern, tetapi bukan

berarti pendekatan ini mendasari dukungan universal. Dipahami bahwa

gagasan konflik Marx dan Weber banyak kegunaanya. Strategi konflik

Marxian, memandang masyarakat sebagai kebutuhan dan keinginannya.

Konflik dan pertentangan menimbulkan dominasi dan subordinasi.

Kelompok yang dominant memanfaatkan kekuasaan mereka untuk

menentukan struktur masyarakat sehingga menguntungkan bagi kelompok

Page 28: Kajian PKL_2010 Edit

27

mereka sendiri. Asumsi yang mendasari teori sosial non Marxian

Dahrendorf adalah (1) manusia sebagai makhluk sosial mempunyai andil

dalam terjadinya disintegrasi dan perubahan sosial, (2) Masyarakat selalu

dalam keadaan konflik menuju proses perubahan. Masyarakat dalam

berkelompok dan hubungan sosial didasarkan atas dasar dominasi

(borjuasi) yang menguasai proletar. Karena tidak adanya pemisahan antara

pemilikan dan pengendalian sarana-sarana produksi18

.

Ia mengkritk teori Marx dengan alasan : (1) Marxian, lemah dalam

konseptualnya dengan mencampuradukkan konflik kelas sebagai

perubahan dengan masyarakat kapitalis, (2) pendapat Marx tetang hak

milik dalam arti sempit, (3) kapitalisme yang diterangkan Marx

mengalami transformasi bukan evolusi, (4) keadaan kapitalisme hanyalah

salah satu subtype masyarakat industri pasca industri, dan (5) konflik kelas

memuncak karena melibatkan faktor ekonomi dan politik.

Fenomena sosial yang dijelaskan meliputi : (1) konflik atau dominasi

dalam hal ekonomi dan politik, (2) konflik tidak bisa dihilangkan atau

diselesaikan, tetapi hanya bisa diatur, (3) proses konflik dapat dilihat dari

intensitasdan sarana (kekerasan).

Fungsi konflik menurut Dahendorf adalah (1) membantu

membersihkan suasana yang sedang kacau, (2) katub penyelamat ( proses /

salah satu sikap serta ide) yang berfungsi dalam permusuhan, (3)

keagresifan dalam konflik yang realitas (dalam kekecewaan) dan konflik

18

Dahrendorf, Ralf. 1983. Konflik dalam Masyarakat Industri. Rajawali Jakarta. Hal 65

Page 29: Kajian PKL_2010 Edit

28

tidak realitas (dalam kebutuhan untuk meredakan ketegangan) mungkin

terakumulasi dalam proses interaksi lain sebelum ketengangan dalam

situasi konflik diredakan, (4) konflik tidak selalu berakhir dengan rasa

permusuhan, (5) konflik dapat dipakai sebagai indikator kekuatan dan

stabilitas suatu hubungan, dan (6) konflik dengan berbagai Outgruop dapat

memperkuat kohesi (hubungan atau kerjasama) internal suatu kelompok.

Dahrendorf adalah tokoh utama teori konflik “wewenang” dan ‘posisi’

sebagai konseptual sentral teorinya. Ia melihat yang terlibat konflik adalah

kelompok semu yaitu para pemegang kekuasaan atau jabatan dengan

kepentingan yang sama yang terbentuk karena munculnya kelompok

kepentingan. Sedangkan kelompok kedua adalah kelompok kepentingan,

yang terdiri dari kelompok semu yang lebih luas. Kelompok kepentingan

ini mempunyai struktur, organisasi, program, tujuan serta anggota yang

jelas. Kelompok kepentingan inilah yang menjadi sumber nyata timbulnya

konflik dalam masyarakat.

Seperti halnya konsensus dan konflik adalah sebuah realitas sosial.

Teori konflik Dahrendorf adalah mata rantai antara konflik dan perubahan

sosial yang mengabaikan norma-norma dan nilai-nilai. Menurut Marx

“kepentingan” selalu dipandang dari segi materialnya saja tetapi

sebenarnya menurut Dahrendorf “kepentingan” selalu memiliki suatu

harapan-harapan. Dalam memegang peran penguasa seseorang tersebut

akan bertindak demi keuntungan organisasi sebagai suatu keseluruhan dan

dalam kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.

Page 30: Kajian PKL_2010 Edit

29

Dahrendorf melihat masyarakat berisi ganda, memiliki sisi konflik

dan sisi kerjasama, sehingga segala sesuatunya dapat dianalisa dengan

fungsionalisme struktual dan dapat pula dengan konflik. Harapannya

bersama Coser, agar perspektif konflik dapat digunakan dalam rangka

memahami dengan lebih baik fenomena sosial. Sebalikmya, Durkheim

cenderung, meihat konflik yang berlebihan sebagai sesuatu yang tidak

normal dalam integrasi masyarakat. Simmel juga berasumsi bahwa konflik

dan ketegangan adalah sesuatu yang “abnormal” atau keduanya

merusakkan persatuan kelompok, merupakan suatu perspektif yang penuh

bias yang tidak didukung oleh kenyataan. Dahrendorf dalam mejelaskan

konflik berpindah dari struktur peran kepada tingkah laku peran. Tetapi

keduanya tidak bisa berjalan bersama-sama dalam bentuk hubungan

sebaba-akibat. Karena keduanya tidak dipisahkan secara jelas sebagai

fenomena yang berbeda. Masing-masing tergantung pada yang lain tanpa

melakukan penjelasan satu sama lain.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Ralf Dahrendorf sering kali

disebut teori konflik dialektik. Bagi Dahrendorf, masyarakat mempunyai

dua wajah, yakni konflik dan konsensus. Kita tidak mungkin mengalami

konflik kalau sebelumnya tidak ada konsensus. Misalnya, si A dan si B

dalam kelas ini tidak mungkin terlibat dalam konflik karena mereka tidak

pernah mengenal satu sama lain dan hidup bersama19

.

19

Bernard Raho. 2007. Teori Sosiologi Modern. Jakarta : Prestasi Pustaka. Hal 29

Page 31: Kajian PKL_2010 Edit

30

Demikianpun sebaliknya, konflik bisa menghantar orang kepada

konsensus. Kerjasama yang sangat erat antara Jepang dan Amerika Serikat

pada saat ini terjadi sesudah mereka terlibat dalam konflik yang sangat

hebat pada waktu perang dunia II.

Sekalipun hubungan yang sangat erat antara keduanya, Dahrendorf

tidak terlalu optimis bisa membangun satu teori itu, dia berusaha

membangun suatu teori konflik yang kritis tentang masyarakat. Lewat

teorinya itu, ia ingin menerjemahkan pikiran-pikiran Marx ke dalam suatu

teori sosiologi. Dia memulai teorinya dengan kembali bersandar pada

fungsionalisme struktural. Dia mengatakan bahwa dalam fungsionalisme

struktural, keseimbangan atau kestabilan bisa bertahan karena kerjasama

yang sukarela atau karena konsensus yang bersifat umum. Sedangkan

dalam teori-teori konflik, kestabilan atau keseimbangan terjadi karena

paksaan. Hal itu berarti bahwa dalam masyarakat ada beberapa posisi yang

mendapat kekuasaan dan otoritas untuk menguasai orang lain sehingga

keastabilan bisa tercapai.

Jonathan Turner berusaha merumuskan kembali teori konflik. Dia

mengemukakan bahwa ada tiga soal utama dalam teori konflik. Pertama,

tidak ada definisi yang jelas tentang apa itu konflik, yakni apa yang

termasuk ke dalam konflik dan apa yang bukan konflik. Ada banyak istilah

yang dipakai untuk konflik, seperti perumusan, perang, persaingan,

antagonisme, tekanan, pertengkaran, perbedaan pendapat, kontroversi,

kekejaman, revolusi, perselisihan, dan lain-lain. Persoalannya ialah istilah

Page 32: Kajian PKL_2010 Edit

31

manakah yang dimaksudkan oleh teori konflik itu? Kedua, teori konflik

kelihatannya mengambang karena ia tidak menjelaskan unit analisa yang

entah karena konflik antara individu, kelompok, organisasi, kelas-kelas,

atau konflik antara bangsa-bangsa. Ketiga, oleh karena ia merupakan

reaksi atas fungsionalisme struktural, maka ia sulit melepaskan diri dari

teori itu. Hal ini membuat teori konflik semakin jauh dari akarnya

Marxisme.

Turner lalu memusatkan perhatiannya pada ”konflik sebagai suatu

proses dari peristiwa-peristiwa yang mengarah kepada interaksi yang

disertai kekerasan antara dua pihak atau lebih. Dia menjelaskan sembilan

tahap menuju konflik terbuka. Adapun kesembilan tahap itu adalah

sebagai berikut.

a. Sistem sosial terdiri dari unit-unit atau kelompok-kelompok yang

saling berhubungan satu sama lain.

b. Di dalam unit-unit atau kelompok-kelompok itu terdapat

ketidakseimbangan pembagian kekuasaan atau sumber-sumber

penghasilan.

c. Unit-unit atau kelompok-kelompok yang tidak berkuasa atau tidak

mendapat bagian dari sumber-sumber penghasilan mulai

mempertanyakan legitimasi sistem tersebut.

d. Pertanyaan atas legitimasi itu membawa mereka kepada kesadaran

bahwa mereka harus mengubah sistem alokasi kekuasaan atau sumber-

sumber penghasilan itu demi kepentingan mereka.

Page 33: Kajian PKL_2010 Edit

32

e. Kesadaran itu menyebabkan mereka secara emosional terpancing

untuk marah.

f. Kemarahan tersebut seringkali meledak begitu saja atas cara yang tidak

terorganisir.

g. Keadaan yang demikian menyebabkan mereka semakin tegang.

h. Ketegangan yang semakin hebat menyebabkan mereka mencari jalan

untuk mengorganisir diri guna melawan kelompok yang berkuasa.

i. Akhirnya konflik terbuka bisa terjadi antara kelompok berkuasa dan

tidak berkuasa. Tingkatan kekerasan di dalam konflik itu sangat

bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak yang bertikai

untuk mendefinisikan kembali kepentingan mereka secara obyektif

atau kemampuan masing-masing pihak untuk menangani, mengatur

dan mengontrol konflik itu. 20

Dalam ke sembilan tahap itu Turner merumuskan kembali proses

terjadinya konflik di dalam sebuah sistem sosial atau masyarakat. Pada

akhirnya konflik yang terbuka antara kelompok-kelompok yang bertikai

sangat bergantung kepada kemampuan masing-masing pihak untuk

mendefinisikan kepentingan mereka secara obyektif dan untuk menangani,

mengatur dan mengontrol kelompok itu.

Teori konflik yang dikemukakan oleh Lewis Coser sering kali

disebut teori fungsionalisme konflik karena ia menekankan fungsi konflik

bagi sistem sosial atau masyarakat. Di dalam bukunya yang berjudul The

20

Ibid. hal. 94

Page 34: Kajian PKL_2010 Edit

33

Functions of Social Conflicts, Lewis Coser memusatkan perhatiannya pada

fungsi-fungsi dari konflik. Dari judul itu bisa dilihat bahwa uraian Coser

terhadap konflik bersifat fungsional dan terarah kepada pengintegrasian

teori konflik dan teori fungsionalisme struktural. Tetapi sebetulnya kalau

ia mau konsekuen dengan usahanya itu maka ia juga harus menguraikan

akibat-akibat dari keteraturan (order) terhadap konflik atau

ketidakseimbangan. Misalnya, penekanan yang terlalu banyak terhadap

peraturan bisa menimbulkan ketidakstabilan. Pemerintahan yang totaliter,

misalnya sekalipun menekankan aturan yang ketat bisa menimbulkan

ketidakstabilan di dalam masyarakat. Sayang, Lewis Coser tidak sempat

mendalami aspek-aspek itu21

.

Salah satu hal yang membedakan Coser dari pendukung teori

konflik lainnya ialah bahwa ia menekankan pentingnya konflik untuk

mempertahankan keutuhan kelompok. Pada hal pendukung teori konflik

lainnya memusatkan analisa mereka pada konflik sebagai penyebab

perubahan sosial. Lewis Coser menyebutkan beberapa fungsi dari konflik,

yakni :

a. Konflik dapat memperkuat solidaritas kelompok yang agak longgar.

Dalam masyarakat yang terancam disintegrasi, konflik dengan

masyarakat lain bisa menjadi kekuatan yang mempersatukan. Dalam

hal ini, ia sebetulnya mengambangkan apa yang sudah dikatakan oleh

George Simmel sebelumnya. Misalnya : Negara Indonesia pada masa

21

Ibid hal. 78

Page 35: Kajian PKL_2010 Edit

34

Soekarno dengan politik ”Ganyang Malaysia” atau penciptaan label-

label pada masa Orba, seperti PKI, Subversif, GPK.

b. Konflik dengan kelompok lain dapat menghasilkan solidaritas di dalam

kelompok tersebut dan solidaritas itu bisa menghantarnya kepada

aliansi-aliansi dengan kelompok-kelompok lain. Konflik yang

berkepanjangan antara Israel dan negara-negara Arab yang

menyebabkan Israel menjalin kerjasama yang begitu erat dengan

Amerika Serikat. Bisa saja terjadi bahwa kalau perdamaian jangka

panjang antara negara-negara Arab dan Israel tercapai, maka ikatan

antara Israel dan Amerika menjadi kendur.

c. Konflik juga bisa menyebabkan anggota-anggota masyarakat yang

terisolir menjadi berperan secara aktif. Misalnya, sesudah mahasiswa

memperoleh rezim orde baru pada awal kehancurannya banyak orang

tampil ke depan dan dianggap sebagai pejuang reformasi. Tidak sedikit

tokoh yang barang kali tidak dikenal sebelumnya tetapi berperan aktif

pada masa peralihan itu.

d. Konflik juga bisa berfungsi untuk berkomunikasi. Sebelum terjadinya

konflik, anggota-anggota masyarakat akan berkumpul dan

merencanakan apa yang akan dilakukan lewat tukar menukar pikiran

itu mereka bisa mendapat gambaran yang lebih jelas akan apa yang

harus dibuat entah untuk mengalahkan lawan ataupun untuk

menciptakan perdamaian.

Page 36: Kajian PKL_2010 Edit

35

Secara teoritis fungsionalisme struktural dan teori konflik kelihatan

bisa diperdamaikan dengan menganalisa fungsi-fungsi dari konflik

sebagaimana diuraikan oleh Lewis Coser ini. Tetapi harus diakui bahwa

dalam banyak hal, konflik juga menghasilkan ketidakfungsian, atau

disfungsi. Artinya, fungsi-fungsi yang disebutkan oleh Coser itu tidak

seberapa dibandingkan dengan ketidakstabilan atau kehancuran yang

disebabkan oleh konflik itu.

C. Wright Mills (1916-1962) adalah salah seorang sosiolog

Amerika yang berusaha menggabungkan perspektif konflik dengan kritik

terhadap keteraturan sosial. Mills banyak dikritik karena karya-karyanya

terlalu bersifat polemis dan menyerang kelompk-kelompok tertentu. Tetapi

di pihak lain, ia juga mempunyai banyak pengagum. Ia tidak pernah

merasa sendirian walaupun pada akhirnya dia cukup pesimis dengan apa

yang sedang terjadi pada waktu itu. Mills banyak dikritik karena karya-

karyanya terlalu bersifat polemis dan menyerang kelompok-kelompk

tertentu. Tetapi di pihak lain, ia juga mempunyai banyak pengagum. Ia

tidak pernah merasa sendirian walaupun pada akhirnya dia cukup pesimis

dengan apa yang sedang terjadi pada waktu itu. Mills percaya bahwa

masyarakat Amerika telah dibangun dalam sistem yang tidak bermoral.

Dia sendiri tidak pernah mengikuti pemilu karena dia menganggap partai-

partai politik itu adalah penipu dan tidak rasional. Dia juga menyerang

rekan-rekan kaum intelektual karena mengabaikan tanggungjawab

Page 37: Kajian PKL_2010 Edit

36

sosialnya dan mengabdikan dirinya pada penguasa padahal di belakang

layar mereka mengatakan bahwa mereka itu bebas nilai22

.

Mills yakin bahwa adalah mungkin menciptakan suatu masyarakat

yang baik di atas dasar pengetahuan dan bahwa kaum intelektual harus

mengambil tanggungjawab ini, yakni menciptakan sebuah masyarakat

yang baik. Dia percaya pada sosialisme liberal dan mendukung revolusi

Kuba serta mengutuk reaksi Amerika atas revolusi di Kuba itu karena dia

yakin bahwa revolusi di Kuba itu akan menyatukan sosialisme

revolusioner dan kebebasan. Tema-tema yang dibahas secara khusus

dalam sosiologi Mills adalah hubungan antara alienasi dan birokrasi dan

kekuasaan kaum elit.

4. Teori Kebijakan Publik

a. Kebijakan Publik

Perilaku yang nyata dari keberadaan negara dan mempunyai

kaitan langsung dengan dinamika sosial masyarakat adalah kebijakan

publik. Bahkan Harold Laswell mengatakan bahwa kebijakan publik

diperoleh dari sebuah kebijakan publik. ialah segala yang dilakukan

maupun tidak dilakukan oleh negara atau pemerintah (everything

government do or not to do)23

.

Kebijakan publik ini telah dikenai sejak masa Babilonia dalam

Code Hammurabi. Code Hammurabi adalah alat bagi Raja Hammurabi

22

Ibid. hal. 82 23

Muchsin dan Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes

Press. Hal 81

Page 38: Kajian PKL_2010 Edit

37

untuk mengatur dan mengendalikan negara dan masyarakat yang

dipimpinnya. Code Hammurabi ini memperlihatkan bukti bahwa Raja

sebagai pejabat institusi kerajaan memiliki hak dan legitimasi untuk

memerintah dan mengatur.

Kebijakan publik adalah alat, instrumen penguasa sebagai

perwujudan dari kekuasaannya. Oleh karena bertalian dengan

kekuasaan, dimana makin besar kekuasaan makin besar pula

kesempatan untuk menyalahgunakan kekuasaannya, sebagaimana

dikatakan Lord Acton24

Pada dasarnya kebijakan publik merupakan tindakan nyata

pemerintah, organisasi pemerintah yang menyangkut hajat hidup orang

banyak, warga masyarakat. Yang lebih kongretnya, tugas kepublikan

tersebut berupa serangkaian program-program tindakan yang hendak

direalisasikan. Untuk itu diperlukan tahapan, proses tertentu agar dapat

dicapai tujuannya. Rangkaian proses untuk merealisasikan tujuan

program publik itulah yang dimaksudkan dengan kebijakan publik.

Menurut Islamy dalam Muchsin dan Fadillah Putra pada

dasarnya kebijakan publik memiliki implikasi sebagai berikut :

1. Bahwa kebijakan publik itu bentuk awalnya adalah merupakan

penetapan tindakan-tindakan pemerintah;

24

Saidi, Ridwan. Wacana kebijakan publik Indonesia. Yogyakarta : Lukman Offset. Hal

64

Page 39: Kajian PKL_2010 Edit

38

2. Bahwa kebijakan publik tersebut tidak cukup hanya dinyatakan

dalam bentuk teks-teks formal, namun juga harus dilaksanakan

atau diimplementasikan secara nyata;

3. Bahwa kebijakan publik tersebut pada hakekatnya harus memiliki

tujuan-tujuan dan dampak-dampak, baik jangka panjang maupun

jangka pendek, yang telah dipikirkan secara matang terlebih

dahulu;

4. Dan pada akhirnya segala proses yang ada di atas adalah

diperuntukkan bagi pemenuhan kepentingan masyarakat. 25

Dalam penyelenggaraan negara sehari-hari hukum dan kebijakan

publik menjadi suatu hal yang teramat penting. Keduanya saling

menunjang untuk terwujudnya penyelenggaraan pemerintahan yang

baik, dikenal dengan istilah good governance. Hukum sebagai pranata

sosial yang menciptakan dan menjaga keteraturan dan keselarasan

dalam kehidupan bernegara harus senantiasa ditegakkan.. Dalam

perkembangannya masyarakat menuju model civil society, yang

tampak pada pembentukan kelompok-kelompok yang berfungsi

menampung aspirasi anggota masyarakat yang beragam. Sejalan

dengan konsep good governance, partisipasi warga masyarakat terlihat

mulai dari perumusan kebijakan publik hingga evaluasi . Sehingga

kebijakan publik yang dihasilkan sebagai produk kebijakan publik

25

Muchsin dan Fadillah Putra. OpCit. hlm. 28

Page 40: Kajian PKL_2010 Edit

39

adalah hasil dari pembahasan dan kesepakatan bersama antara warga

masyarakat dengan pemerintah melalui pejabat publiknya.

b. Bentuk Bentuk Kebijakan Publik

Kebijakan publik dapat dibedakan dalam beberapa bentuk, antara

lain :

1. Berupa aturan atau ketentuan yang mengatur kehidupan masyarakat

(regulasi).

Undang-Undang, Peraturan Pemerintah dan Keputusan

Presiden juga Peraturan Daerah dapat digolongkan dalam bentuk ini.

Sebagai aturan yang mengatur tata kehidupan masyarakat, kebijakan

dapat berubah mengikuti perubahan masyarakat dan sasaran-sasaran

yang hendak dicapai pada suatu waktu.

Namun demikian, pada saat ini ada kecenderungan dan

tuntutan masyarakat untuk mengurangi campur tangan pemerintah

secara langsung dengan lebih banyak melibatkan pihak swasta dalam

pelayanan masyarakat. Pertimbangan untuk efisiensi bagi pihak

pemerintah di samping tentu saja kemampuan pihak swasta yang

lebih besar. Efisien karena pemerintah tidak perlu mengeluarkan

biaya tenaga kerja, pemeliharaan gedung dan sebagainya. Tentunya

biaya termaksud dapat dipergunakan untuk keperluan pembiayaan

lain.

Page 41: Kajian PKL_2010 Edit

40

2. Distribusi atau alokasi sumber daya

Kebijakan yang pada awalnya dimaksudkan untuk membantu

golongan ekonomi lemah, pada perkembangannya menjadi kebijakan

yang ditujukan untuk mengimbangi berbagai kesenjangan antar

golongan dan daerah dalam suatu negara. Kesenjangan yang

disebabkan oleh pembangunan dimana daerah tertinggal makin

tertinggal apabila tidak ada kebijakan khusus dalam hal distribusi

dan alokasi sumber daya atau fasilitas.

3. Redistribusi atau relokasi

Kebijakan ini merupakan usaha perbaikan sebagai akibat dari

kesalahan kebijakan industri sebelumnya. Sasarannya pada

pemerataan ekonomi dalam masyarakat. Untuk itu kegiatan ekonomi

golongan maju lebih sedikit dibebani untuk memberi fasilitas

berkembang bagi yang lemah.

4. Pembekalan atau pemberdayaan

Pembekalan atau pemberdayaan ini dimaksudkan sebagai

modal atau melengkapi masyarakat dengan sarana-sarana yang perlu

agar dapat berdiri sendiri dengan tujuan untuk pemerataan. Namun

pemerataan di sini lebih pada pemerataan kemampuan agar dapat

berkembang sendiri. Sebagai contoh adalah pemberian kredit tanpa

bunga.

Page 42: Kajian PKL_2010 Edit

41

5. Etika

Aturan-aturan moral berdasarkan kaidah yang berlaku, baik

berupa aturan agama ataupun adat yang dapat dijadikan arahan atau

pedoman bagi tindakan pemerintah. Kebijakan pemerintah untuk

memperlakukan aturan-aturan tersebut merupakan kebijakan

pelaksanaan26

Satu hal yang patut diingat oleh pembuat kebijakan adalah bahwa

apabila kebijakan yang dikeluarkan tidak sesuai bahkan bertentangan

dengan nilai-nilai yang ada atau diterima dalam masyarakat. Maka dapat

dipastikan bahwa kebijakan tersebut akan mengalami berbagai kesulitan

dalam pelaksanaanya.

Model kebijakan tidak dapat dihindarkan untuk menyumbang

distorsi seleketif atas realitas. Sesungguhnya terdapat beberapa model

kebijakan, yang dapat digunakan dalam perumusan dan penentuan

kebijakan tetapi hanya ada dua bentuk utama dari model kebijakan itu

sendiri. Beberapa model yang dimaksud dapat dideskripsikan sebagai

berikut:

1) Model deskriptif, bertujuan untuk menjelaskan dan memprediksi

sebab dan konsekuensi dari pilihan kebijakan. Model deskripsi

digunakan untuk memantau hasil dari aksi kebijakan.

2) Model normatif, model ini bukan hanya bertujuan untuk menjelaskan

dan memprediksi, tetapi juga memberikan dalil dan rekomendasi

26

Alisjahbana. Op.Cit. hlm. 67

Page 43: Kajian PKL_2010 Edit

42

untuk mengoptimalkan pencapaian beberapa utilitas atau nilai.

Beberapa jenis model normatif yang digunakan oleh para analis

kebijakan adalah : (1) model antri, yaitu model normatif yang

membantu menentukan tingkat kapasitas pelayanan yang optimum;

(2) model penggantian, yaitu pengaturan waktu pelayanan dan

perbaikan yang optimum; (3) model inventaris, yaitu pengantran

volume dan waktu yang optimum; (4) model biaya-manfaat, yaitu,

perlunya keuntungan optimum pada investasi publik.

3) Model verbal, model ini merupakan ekspresi dalam tiga bentuk

utama, yaitu, verbal, simbol, dan prosedural. Model verabal

diekspresikan dalam bahasa sehari-hari. Dalam menggunakan model

ini, analis bersandar pada penilaian nalar untuk membuat prediksi

dan menawarkan rekomendasi. Penilaian nalar menghasilkan

argumen kebijakan, tetapi bukan dalam bentuk nilai-nilai angka yang

pasti. Model verbal secara relatif mudah dikomunikasikan ke publik

dan berbiaya murah dan dapat mengandalkan debat publik.

Keterbatasan model verbal adalah bahwa masalah yang digunakan

untuk memberikan prediksi dan rekomendasi bersifat implisit atau

tersembunyi, sehingga sulit untuk memahami dan memeriksa secara

kritis argumen tersebut secara keseluruhan.

4) Model simbolis, model ini menggunakan simbol statistik, matematik,

dan logika. Model simbolis sulit untuk dikomunikasikan kepada

publik, bahkan diantara para ahli pembuat model sering terjadi

Page 44: Kajian PKL_2010 Edit

43

kesalahpahaman tentang elemen-elemen dasar dari model simbolis.

Biaya model simbolis mungkin tidak lebih besar dari model verbal.

Namun, kelemahan praktis model simbolis adalah hasilnya mungkin

tidak mudah diintreprestasikan, bahkan diantara para spesialis,

karena asumsinya mungkin tidak dinyatakan secara memadai.

5) Model prosedural, model ini menampilkan hubungan yang dinamis di

antara variabel yang diyakini menjadi ciri suatu masalah kebijakan.

Prediksi dan solusi optimal diperoleh dengan mensimulasikan dan

meneliti seperangkat hubungan. Biaya model ini relatif lebih tinggi

jika dibanding dengan model verbal dan simbolis. 27

c. Implementasi kebijakan publik

Menurut Kamus Webster28

mengimplementasikan berarti

menyediakan sarana untuk melaksanakan sesuatu sehingga

menimbulkan dampak/akibat terhadap sesuatu. Dalam hal ini

implementasi kebijakan sebagai suatu proses melaksanakan keputusan

kebijakan/peraturan perundang-undangan. Van Meter dan Van Horn

merumuskan proses implementasi sebagai tindakan-tindakan yang

dilakukan baik oleh individu/pejabat atau kelompok pemerintah atau

27

Lijan Poltak Sinambela. 2008. Reformasi Pelayanan Publik Teori, Kebijakan dan

Implementasi.. hal 59 28

Abdul Wahab. 1997. Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Implementasi. Rineka

Cipta, Jakarta.hal 70

Page 45: Kajian PKL_2010 Edit

44

swasta yang diarahkan pada tercapainya tujuan-tujuan yang telah

digariskan dalam keputusan kebijakan29

Setiap implementasi atau penerapan hukum memerlukan kebijakan

publik sebagai sarana untuk memperlancar proses penerapan hukum

tersebut. Sebab hukum adalah produk kebijakan publik yang di

dalamnya berisikan aturan, tujuan yang hendak dicapai dan bagaimana

produk hukum atau undang-undang itu harus dilaksanakan agar

tercapai hasil yang diharapkan.

Lineberry menyatakan bahwa proses implementasi suatu produk

hukum memiliki empat (4) elemen sebagai yang berikut :

1. Pembentukan unit organisasi baru dan staf pelaksana;

2. Penjabaran tujuan ke dalam berbagai aturan pelaksana;

3. Koordinasi dan pembagian tugas di dalam dan di antara dinas

pelaksana;

4. Pengalokasian sumber-sumber untuk mencapai tujuan. 30

Penerapan atau implementasi dan kebijakan publik pada

umumnya diserahkan kepada lembaga-lembaga pemerintah hingga

jenjang yang terendah. Dan setiap pelaksanaan kebijakan publik

memerlukan pembentukan kebijakan dalam wujud peraturan

perundang-undangan.

Menurut Daniel S. Lev budaya hukum dibedakan atas nilai-nilai

hukum prosedural dan nilai-nilai hukum substansif. Nilai hukum

29

Ibid. hlm. 65 30

Muchsin dan Fadillah Putra, 2002, Hukum dan Kebijakan Publik, Malang : Averroes

Press.hal 5

Page 46: Kajian PKL_2010 Edit

45

prosedural mempersoalkan tentang cara-cara pengaturan masyarakat

dan mengelola konflik. Sedangkan nilai-nilai hukum substantif dari

budaya hukum berkaitan pemahaman masyarakat mengenai adil dan

tidak adil31

.

Oleh karena itu baik buruk kebijakan publik bergantung pada

penilaian masyarakat, sebagai sarana pemenuhan kepentingan

masyarakat. Apabila masyarakat merasakan manfaat kebijakan publik

maka dapatlah dianggap bahwa fungsi kebijakan publik tersebut

sukses. Dan sebaliknya, apabila masyarakat merasa dengan kebijakan

publik tersebut mereka dirugikan maka kebijakan publik tersebut dapat

dikatakan gagal mengemban misinya.

Kebijakan publik yang terbingkai dalam suatu bentuk aturan

hukum, menyitir pendapat Gustav Radbruch maka hukum yang ideal

haruslah berorientasi kepada 3 (tiga) nilai dasar yaitu keadilan,

kemanfaatan-kegunaan dan kepastian hukum. Jadi, suatu aturan hukum

yang dikatakan baik belum cukup apabila hanya memenuhi

persyaratan filosofis, ideologis dan yuridis saja; tetapi secara sosiologis

aturan hukum tersebut juga harus berlaku. Tidak selalu membawa

konsekuensi aturan hukum termaktub diganti apabila dalam

kenyataannya ada gejala aturan hukum tadi tidak hidup. Aturan hukum

atau peraturan perundangan harus diberi waktu agar diresapi dan

dihayati oleh warga masyarakat. Terhadap pelanggaran yang terjadi

31

Esmi Wirasih. Op Cit. hlm 89

Page 47: Kajian PKL_2010 Edit

46

tidak selalu mengindikasikan bahwa secara sosiologis peraturan

tersebut tidak berlaku di masyarakat. Mungkin saja para pelaksana

peraturan tidak bertindak tegas dan kurang bertanggung jawab dalam

pekerjaannya32

.

Hukum dan kebijakan publik mempunyai hubungan yang erat,

terutama pada tahap pembentukan hukum dan formulasi kebijakan

publik. Artinya bahwa hubungan erat tersebut diharapkan dapat

menghasilkan produk hukum yang baik secara substansial dan produk

kebijakan publik yang legitimated dan dipatuhi stakeholder,

masyarakat. Dapat dikatakan bahwa setiap produk hukum pada

dasarnya adalah hasil dari proses kebijakan publik. Proses

pembentukan kebijakan publik dimulai dari realitas yang ada dalam

masyarakat, berupa aspirasi yang berkembang, masalah yang ada

maupun tuntutan atas kepentingan perubahan-perubahan. Berbekal

realitas tersebut selanjutnya mencoba untuk mencari pemecahan

masalah, jalan keluar yang terbaik untuk mengatasi persoalan yang

muncul atau memperbaiki keadaan saat ini. Hasil dari pilihan solusi

itulah yang dinamakan sebagai hasil kebijakan publik. Bagaimana

hukum hadir sebagai pemberi legalitas pada hasil-hasil kesepakatan

yang telah diperoleh dari sebuah kebijakan publik.

32

Satjipto Rahardjo, 2005, Fungsi Hukum dan Perubahan Sosial, Bandung : PT. Citra

Aditya Bakti. Hal 4

Page 48: Kajian PKL_2010 Edit

47

d. Evaluasi Kebijakan Publik

Dalam proses kebijakan publik, evaluasi kebijakan publik

memegang peranan yang teramat penting mengingat bahwa dalam

evaluasi kebijakan publik termaktub akan tampak apakah suatu

kebijakan publik itu dapat mencapai tujuan, dan dampak yang

dihasilkan sudahkah sesuai dengan yang diharapkan atau belum?

Dengan kata lain evaluasi kebijakan publik sebagai penentu

kesuksesan atau kegagalan dari tujuan yang hendak dicapai beserta

dampak-dampaknya. Hasil evaluasi ini kelak menjadi dasar bagi

tindakan selanjutnya yang dapat berupa : kebijakan yang ada layak

diteruskan, kebijakan mengalami revisi atau tidak menutup

kemungkinan untuk dihentikan sama sekali.

Manfaat dari evaluasi ternyata tidaklah sama bergantung pada

kepentingan masing-masing pihak dan dalam keadaan demikian sangat

dimungkinkan terjadi bahwa hasil evaluasi tersebut dimanipulasikan.

Kepentingan masing-masing pihak tersebut dapat diuraikan sebagai di

bawah ini33

Pertama adalah dilihat dari kepentingan para pejabat yang

bertanggungjawab pada tingkat kebijakan; Kedua adalah dilihat dari

kepentingan para pejabat yang bertanggung jawab pada tingkat

program; Ketiga dilihat dari kepentingan para staf program yang

bekerja pada tingkat lokal yang berkaitan dengan usaha

33

Abdulwahab dalam Muchsin. Op Cit. Hlm. 126

Page 49: Kajian PKL_2010 Edit

48

menyempurnakan cara kerja/efektifitas peIayanan; keempat dilihat dari

kepentingan kelompok sasaran yaitu individu dan kelompok yang

menjadi sasaran program. Tidak menutup kemungkinan demi

melindungi kepentingannya maka pihak tersebut akan memanipulatif

hasil evaluasi kebijakan sedemikian rupa. Dalam keadaan yang

demikian peran hukum amat diperlukan sebagai pihak yang

independen dan netral.

Pada dasarnya menurut Leo Agustino fungsi dari evaluasi

kebijakan publik ada tiga yaitu untuk:

1. Memberi informasi yang valid tentang kinerja kebijakan. Pada

fungsi ini, evalauasi kebijakan publik beorientasi pada

instrumental/organ kebijakan publik yang ada. Berkaitan dengan

efektifitas organ kebijakan publik sebagai raison d'etre.

2. Menilai kepantasan tujuan atau target dengan masalah yang

dihadapi. Pada fungsi ini, evaluasi kebijakan publik terfokus pada

substansi dari kebijakan yang ada; apakah tujuan yang ditetapkan

kebijakan publik tersebut telah benar-benar mampu menyelesaikan

masalah yang ada. Berkaitan dengan implementing agents demi

tercapainya tujuan ditetapkannya kebijakan publik tersebut.

3. Memberi sumbangan pada kebijakan lain terutama dari segi

metodologinya. Pada fungsi ini, evaluasi kebijakan publik lebih

diarahkan pada upaya untuk menghasilkan rekomendasi, bahan

Page 50: Kajian PKL_2010 Edit

49

belajar bagi pelaku kebijakan publik lanjutan ataupun yang lain.

Dilakukan pada akhir kebijakan publik (ex-post evaluation). 34

Evaluasi kebijakan publik dibedakan dalam tiga macam, yaitu:

1. Evaluasi administratif, adalah evaluasi kebijakan publik yang

dilakukan di dalam lingkup pemerintahan dengan titik berat pada

segi finansiil dan prosedural;

2. Evaluasi Yudisiil, adalah evaluasi yang dilakukan yang berkaitan

dengan objek-objek hukum dengan titik berat amatan adalah

pelanggaran-pelanggaran hukum yang ada pada kebijakan publik

tersebut. Pelaku evaluasi ini adalah lembaga-lembaga hukum;

3. Evaluasi Politik, adalah evaluasi yang dilakukan aleh lembaga-

lembaga politik baik parlemen maupun parpol bahkan masyarakat

umum berkaitan dengan pertimbangan-pertimbangan politik dari

suatu kebijakan publik. Mengingat bahwa kebijakan publik adalah

sebuah proses politik tentu saja suatu kebijakan publik tersebut 35

.

Dari ketiga evalusi kebijakan publik tersebut di atas,

kenyataannya evaluasi politik dapat mengalahkan dua macam evaluasi

yang lainnya yakni administratif dan yudisiil. Mengapa demikian?

Karena evaluasi politik adalah menyangkut persepsi politik terhadap

suatu kebijakan publik yang seringkali bersifat sangat subjektif.

Menurut Fadiilah Putra dalam Muchsin36

hal demikian tidaklah

menjadi masalah sepanjang semua dilakukan secara transparan,

34

Agustino, Leo. Dasar-Dasar Kebijakan Publik. Bandung: CV. Alfabeta. Hal 126 35

Muchsin. Op Cit. hlm. 130 36

Ibid. hlm. 132

Page 51: Kajian PKL_2010 Edit

50

terbuka dan, fair serta tidak ada dominasi dan tentu saja dapat

dipertanggungjawabkan secara hukum.

5. Peraturan Daerah

Sering terjadi perbedaan penafsiran dalam analisis kajian otonomi

daerah di kalangan pakar, baik pengertian otonomi itu sendiri maupun

prinsip-prinsip dalam pelaksanaan otonomi daerah. Otonomi daerah

merupakan esensi pelaksanaan pemerintahan yang desentralistik, namun

dalam perkembangan otonomi daerah, selain mengandung arti zelwetgeving

(membuat perda), juga mencakup zelfbestuur (pemerintahan sendiri).

Van der Pot memahami konsep otonomi daerah sebagai eigen

huishounding (menjalankan rumah tangga sendiri). Otonomi adalah

pemberian hak kepada daerah untuk mengatur sendiri daerahnya. Daerah

mempunyai kebebasan inisiatif dalam penyelenggaraan rumah tangga dan

pemerintahan di daerah. Selain itu, bisa dimaknai sebagai kebebasan dan

kemandirian (vrijheid dan zelftandigheid) satuan pemerintahan lebih rendah

untuk mengatur dan mengurus sebagian urusan pemerintahan. Urusan

pemerintahan yang boleh diatur dan diurus secara bebas dan mandiri itu,

menjadi tanggungjawab satuan pemerimtahan yang lebih rendah. Kebebasan

dan kemandirian merupakan hakikat isi otonomi.

Porsi otonomi daerah menurut Laica, tidak cukup dalam wujud

otonomi daerah yang luas dan bertanggungjawab, tetapi harus diwujudkan

dalam format otonomi daerah yang seluas-luasnya. Format otonomi yang

Page 52: Kajian PKL_2010 Edit

51

seluas-luasnya mengundang perdebatan di kalangan pakar. Disatu sisi,

konsep otonomi daerah yang seluas-luasnya berkonotasi untuk membangun

image bakal munculnya ide negara bagian dalam negara federasi (federal

state), sementara sisi lainnya menganggap bahwa hal tersebut beralasan

karena dengan mewujudkan otonomi daerah yang seluas-luasnya, rakyat

cenderung tidak lagi membayangkan negara federal. Konsep pemerintahan

otonomi yang seluas-luasnya merupakan salah satu upaya untuk

menghindari ide negara federal. Sekalipun ide negara federal tidak

dipandang secara apriorim, tetapi itu sebagai suatu hal yang tabu dalam

membangun kehidupan bernegara bagi rakyat banyak di indonesia. Cakupan

otonomi seluas-luasnya adalah bermakna penyerahan urusan sebanyak

mungkin kepada daerah untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri37

.

Disisi lain, Soehino berpandangan bahwa cakupan otonomi seluas-

luasnya bermakna penyerahan urusan sebanyak mungkin kepada daerah

untuk menjadi urusan rumah tangga sendiri. Nasroen berpendapat bahwa

otonomi daerah yang seluas-luasnya bukan tanpa batas sehingga meretakkan

negara kesatuan. Otonomi daerah berarti berotonomi dalam negara. Otonomi

daerah tidak boleh meretakkan apalagi memecah belah negara kesatuan.

Kaitan antara negara kesatuan dengan otonomi daerah yang seluas-luasnya,

Nasroen menyatakan bahwa teramat pentinglah dasar kesatuan ini dalam

mendudukannya dengan dasar otonomi seluas-luasnya. Otonomi seluas-

37

Agussalim Andi Gadjong. 2007. Pemerintahan Daerah Kajian Politik dan Hukum.

Bogor : Ghalia Indonesia. Hal 101

Page 53: Kajian PKL_2010 Edit

52

luasnya tentunya tidak boleh bertentangan dengan dasar kesatuan dan dasar

kesatuan sebaliknya, tentulah tidak boleh melenyapkan wujud dari otonomi

seluas-luasnya. Tentulah yang akan di cari dan ditetapkan ialah sesuatu

perseimbangan antara dasar kesatuan dan dasar otonomi seluas-luasnya di

daerah.

Tresna berpendapat, janganlah perkataan seluas-luasnya diartikan

sebagai suatu yang tidak berujung. Di dalam negara kesatuan, seluas-luasnya

sistem otonomi dibatasi oleh kekuasaan pemerintah negara kesatuan. Negara

kesatuan (eenheidstaat) tidak dapat meniadakan otonomi daerah, namun

betapapun luasnya otonomi daerah, tidaklah dapat menapikan wadah negara

kesatuan. Makna otonomi yang seluas-luasnya menjadikan pemerintah pusat

hanya akan mengatur hal-hal dan masalah yang harus diatur pemerintah

pusat itu sendiri dan segala sesuatu yang tidak termasuk keharusan itu, pada

pokoknya harus diatur oleh pemerintah daerah.

Agar tidak terdapat berbagai penafsiran otonomi yang seluas-luasnya

dalam sistem ketatanegaraan, selayaknya dalam undang-undang

pemerintahan daerah dirumuskan ketentuan hukum yang memberikan

definisi yang sah bahwa mengurus dan mengatur rumah tangga otonomi

yang seluas-luasnya meliputi segala sesuatu kepentingan umum (openbare

belangen) masyarakat di daerah, sepanjang tidak termasuk atau di tarik ke

dalam pengurusan pemerintahan pusat atau daerah yang lebih atas.

Prinsip otonomi daerah dalam sejarah perkembangan ketatanegaraan

di Indonesia didasari pada landasan hukum yang berbeda-beda. Pada masa

Page 54: Kajian PKL_2010 Edit

53

pemerintahan Ir. Soekarno (Orde Lama) lain dengan pada masa

pemerintahan Soeharto (Orde Baru), demikian pula pada masa pemerintahan

B.J Habibie, Abdurrahman Wahid, Megawati Soekarno Putri, serta masa

Susilo Bambang Yudhoyono (masa transisi dan Orde Reformasi).

Pada dasarnya, prinsip otonomi daerah harus mencerminkan tiga hal,

yaitu harus serasi dengan pembinaan politik dan kesatuan bangsa; dapat

menjamin hubungan yang serasi antara pemerintah pusat dan daerah atas

dasar keutuhan negara kesatuan; harus dapat menjamin perkembangan dan

pembangunan daerah.

Jika dirangkaikan secara sistematik, tujuan dan cita-cita pelaksanaan

pemerintahan di Indonesia bersendikan sistem desentralisasi. Sistem tersebut

diyakini sebagai salah satu sumber pelaksanaan pemerintahan demokratis,

yang secara langsung melibatkan seluruh potensi masyarakat untuk turut

serta berpartisipasi dalam penyelenggaraan pemerintahan. Keterlibatan

rakyat dalam penyelenggaraan pemerintahan di Indonesia tidak bisa ditawar

karena keduduklan rakyat menjadi sentral dalam kehidupan bernegara.

Persoalannya adalah, bagaimana merealisasikan hal tersebut?

Disadari, bahwa permasalahan otonomi daerah sebagai suatu bentuk

bukan terletak pada konsep itu sendiri, tetapi bagaimana merealisasilannya.

Begitu pula dalam realisasinya, membutuhkan berbagai prasyarat dan

instrumen hukum yang bisa dijadikan sebagai landasan gerak, tidak saja

bersifat struktural, melainkan kultural, bahkan kesungguhan penyelenggara

negara. Disinilah relevansinya untuk menguji dan mengungkap bagaimana

Page 55: Kajian PKL_2010 Edit

54

tafsir hostoris, yang kemudian dari tafsir tersebut otonomi daerah dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah di Indonesia di realisasikan.

Hatta berpendapat bahwa dasar kedaulatan rakyat adalah hak rakyat

untuk menentukan nasibnya, yang tidak hanya ada pada pucuk pemerintahan

negeri, melainkan juga pada tiap tempat (daerah). Tiap-tiap golongan atau

bagian rakyat mendapat otonomi (membuat dan menjalankan peraturan

sendiri) dan zetbestuur (menjalankan peraturan yang dibuat oleh dewan yang

lebih tinggi). Hal ini menjadi penting karena keperluan tiap empat dalam

satu negeri tidak sama, melainkan berbeda-beda.

Sementara, menurut Logmann, otonomi adalah kekuasaan untuk

mengurus rumah tangga daerah berdasarkan inisiatif sendiri (vrije beweging)

bagi satuan-satuan kenegaraan yang memerintah sendiri berdasarkan inisiatif

sendiri, yang dapat digunakan untuk menyelenggarakan kepentingan umum.

Menurut Amrah Muslimin, otonomi berarti pemerintahan sendiri, dengan

mengacu pada akar kata “auto” yang diartikan “sendiri” dan “nomes”

diartikan “pemerintahan”.

Jadi, pemerintahan di sini secara dogmatis dalam arti luas dan fungsi,

seperti pandangan Vollen Hoven. Membedakan desentralisasi menjadi

desentralisasi politik yang merupakan pelimpahan kewenangan dari

pemerintah pusat yang menimbulkan hak mengurus kepentingan rumah

tangga sendiri bagi badan-badan politik di daerah, yang dipilih oleh rakyat

dalam daerah tertentu (sama desentralisasi teritorial), fungsional (sama yang

Page 56: Kajian PKL_2010 Edit

55

lain), dan kebudayaan diartikan sebagai pemberian hak pada golongan-

golongan kecil dalam masyarakat melaksanakan kebudayaannya sendiri.

Tresna mengartikan otonomi (otonomie) sebagai mengatur sendiri

(bahasa yunani) dalam lingkup bebas bertindak, bukan karena diperintah

dari atas, melainkan karena atas kehendak dan inisiatif sendiri untuk

kepentingan daerah sendiri yang harus dan diurus. Otonomi dan

desentralisasi merupakan bagian dari negara yang menganut paham

demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan negara

bukan lagi demokrasi, sebab tanpa otonomi dan desentralisasi, pemerintahan

negara bukan lagi demokrasi namanya, melainkan menjadi otokrasi. Jadi

dalam negara kesatuan, pemerintahan daerah otonom merupakan ciri negara

demokrasi yang mengedepankan aspek kebebasan.

Kata desentralisasi dan otonomi dalam pemaknaannya sangat

berbeda karena makna desentralisasi bersebtuhan dengan ”proses”, dalam

arti pembentukan daerah otonom dan disertai/diikuti penyerahan kekuasaan

(urusan pemerintahan) dan untuk itu harus dituangkan dalam suatu peraturan

perundang-undangan, sedangkan otonomi bersentuhan dengan isi, akibat dan

hasil dari proses pembentukan daerah otonom. Pembentukan daerah otonom

berarti pembentukan organisasi penyelenggara otonomi atau pemerintahan

daerah.

Pemerintahan daerah, menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa adalah

pembagian politik suatu bangsa yang diberi kuasa oleh undang-undang, yang

mempunyai kewenangan mengontrol secara substansi terhadap unsur-unsur

Page 57: Kajian PKL_2010 Edit

56

lokal, yang merupakan badan hasil pemilihan atau seleksi secara lokal.

Mathur menyatakan bahwa definisi pemerintahan daerah yang diberikan

oleh Perserikatan Bangsa-Bangsa memberikan dasar bahwa pemerintah

lokal adalah tingkat pemerintahan yang lebih rendah bila dibandingkan

dengan pemerintahan negara. Pemerintah lokal dibentuk dengan undang-

undang, memiliki tanggungjawab dan biasanya dihasilkan dalam suatu

pemilihan lokal.

Banovets menyebutkan bahwa pemerintahan lokal (daerah) adalah

sendiri dari sistem pemerintahan, baik negara kesatuan maupun federal

(local goverment also was the cornerstone of the goverment system).

Pemerintahan lokal mempunyai satu dari dua arti, yaitu (1) pemerintahan

dari semua bagian dari negara memakai alat-alat lokal yang disetujui dan

bertanggungjawab hanya kepada pemerintah sentral. Jadi, ini meruapakan

bagian dari sistem sentralisasi, disebut pemerintahan negara lokal dan (2)

pemerintahan oleh badan-badan lokal, dipilih secara bebas dan tunduk

kepada supremasi pemerintah nasional, ditopang dalam beberapa

kehormatan dengan kekuasaan, kebijakan dan tanggung jawab yang bisa

mereka lalukan tanpa pengawasan pemerintah yang lebih tinggi.

Menurut Prabawa, dikenal ada dua jenis pemerintahan lokal, yaitu

pemerintahan lokal administratif dan pemerintahan lokal yang mengurus

rumah tangga sendiri. Menurut Nasroen, daerah otonom adalah suatu bentuk

pergaulan hidup oleh sebab itu antara rakyat/penduduk daerah otonom itu

harus ada ikatan, diantaranya kepentingan bersama. Jadi, daerah otonom

Page 58: Kajian PKL_2010 Edit

57

tidak boleh bertentangan dan merusak bingkai dasar kesatuan dalam negara.

Menurut Burns, dalam negara kesatuan, semua kekuasaan pemerintahan ada

di tangan pemerintah pusat, pemerintah pusat dapat mendelegasikan

kekuasaannya kepada unit-unit tetapi memungkinkan juga ditarik kembali38

.

Wolhoff menyatakan bahwa pada dasarnya kekuasaan yang ada pada

negara kesatuan dimiliki seluruhnya oleh pemerintah pusat. Artinya,

peraturan-peraturan pemerintah pusat yang menentukan bentuk dan susunan

pemerintahan daerah otonom, termasuk macam dan luanya otonomi menurut

inisiatifnya sendiri. Pemerintah pusat tetap mengendalikan kekuasaan

pengawasan terhadap daerah-daerah otonom. Pertama, the relative otonomy

model, yang diasumsikan bahwa kewenangan-kewenangan lokal tidak

mengingkari realitas negara nasional. Kedua, the agency model, yang

diasumsikan bahwa otoritas lokal dilihat sebagai agen bagi kebijakan-

kebijakan pusat. Kebijakan secara khusus dan detail dituangkan dalam

undang-undang yang pelaksaannya dikontrol. Ketiga, antara pemerintah

pusat dengan daerah terlibat dalam pola relasi-relasi yang kompleks, kedua

pihak saling mempengaruhi, dalam proses politik keduanya saling

berhubungan melalui mandat rangkap.

Menurut John Alder, hubungan pemerintah pusat dengan daerah

sebagai partnership yang masing-masing mempunyai hak dan kewajiban.

Pemerintah pusat mempunyai kekuasaan yang lebih besar. Salah satu

permasalahan yang menonjol di antara sekian banyak permasalahan yang

38

Ibid. Hal. 112

Page 59: Kajian PKL_2010 Edit

58

muncul dalam konteks kebijakan desentralisasi adalah perbedaan persepsi

yang luas mengenai pengertian kewenangan (authority) dan urusan

(functions).

Sejak kelahiran Undang-Undang Nomor 22 Tahun 1999 yang

menggantikan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1974, kemudian

diperbaharui menjadi Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah dan selanjutnya disebut Undang-Undang

Pemerintahan Daerah, ada harapan besar untuk mempersiapkan Daerah di

masa depan agar lebih otonom dan demokratis. Menemukan keseimbangan

yang tepat hubungan antara Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan untuk

mendukung pembangunan secara efektif.

Pemerintah pasca Orde Baru kemudian mengubah tata pemerintahan

dengan mengeluarkan UU No 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah

yang secara otomatis diikuti oleh perubahan manajemen pemerintahan

termasuk sistem perencanaan pembangunan yang mengacu pada

PERMENDAGRI No 9 Tahun 1982 tentang Pedoman Penyusunan

Perencanaan dan Pengendalian Pembangunan di Daerah (P5D) mengambil

peran yang dikenal dengan bottom up planing. Pada masa lalu (Orba)

pemerintah lebih dominan dalam pelaksanaan pembangunan tetapi sekarang

dengan acuan yang baru (UU No 22 Tahun 1999) pemerintah diharapkan

Page 60: Kajian PKL_2010 Edit

59

hanya menjadi pelaksana pembangunan dan masyarakat mempunyai

tanggungjawab lebih besar dalam pembangunan39

.

Desentralisasi bukan sekedar pemencaran kewenangan, tetapi juga

pembagian kekuasaan untuk mengatur dan mengurus penyelenggaraan

pemerintahan negara antara Pemerintah Pusat dan satuan-satuan

pemerintahan tingkat lebih rendah. Dengan demikian, sistem desentralisasi

mengandung maksud pengakuan penentu kebijaksanaan pemerintah

terhadap potensi dan kemampuan Daerah dengan melibatkan wakil-wakil

rakyat di daerah dalam menyeIenggarakan pemerintahan juga pembangunan.

UU No.32 Tahun 2004 menegaskan bahwa Pemerintah daerah dalam

menyelengarakan urusan pemerintahan memiliki hubungan dengan

Pemerintah Pusat dan dengan Pemerintah daerah lainnya; Pemerintah

Daerah Propinsi, kabupaten dan kota atau antar Pemerintah Daerah.

Hubungan yang meliputi wewenang keuangan, pelayanan umum,

pemanfaatan sumber daya alam dan sumber daya lainnya yang dilaksanakan

secara adil dan selaras; menimbulkan hubungan administrasi dan

kewilayahan antar susunan pemerintahan

Pasal 14 UU No.32 Tahun 2004 menegaskan bahwa urusan wajib

yang menjadi kewenangan Pemerintah daerah untuk kabupaten/kota

merupakan urusan yang berskala kabupaten/kota yang meliputi :

a. Perencanaan dan pengendalian pembangunan;

39 I Made Suwandi, dkk. 2004. Reformasi Pemerintahan Daerah. Surakarta : Pustaka

Cakra. Hal 131-132.

Page 61: Kajian PKL_2010 Edit

60

b. Perencanaan, pemanfaatan, dan pengawasan tata ruang;

c. Penyelenggaraan ketertiban umum dan ketentraman masyarakat;

d. Penyediaan sarana dan prasarana umum;

e. Penanganan bidang kesehatan;

f. Penyelenggaraan pendidikan;

g. Penanggulangan masalah sosial;

h. Pelayanan bidang ketenagakerjaan;

i. Fasilitas pengembangan koperasi, usaha kecil dan menengah;

j. Pengendalian lingkungan hidup;

k. Pelayanan pertanahan;

1. Pelayanan kependudukan dan catatan sipil;

m. Pelayanan administrasi umum pemerintahan;

n. Pelayanan administrasi penanaman modal;

o. Penyelenggaraan pelayanan dasar Iainnya; dan

n Urusan wajib lainnya yang diamanatkan oleh Peraturan Perundang-

undangan

Agar supaya semua tindakan pemerintah daerah sah dan dapat

diterima oleh rakyat di daerahnya, maka semua kebijakan di daerah harus

ada dasar pijakan yuridis sehingga memudahkan daerah mengatur dirinya

sesuai aspirasi masyarakat antara lain dalam Peraturan daerah (Perda)

Berdasarkan UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan

Perahiran Penmdangan-undangan, yang menggantikan Ketetapan MPR

No.1IUMPR/2000, ditegaskan dalam pasal 12 bahwa materi muatan

Page 62: Kajian PKL_2010 Edit

61

Peraturan Daerah adalah seluruh materi muatan dalam rangka

penyelengaraan otonomi daerah dan tugas pembantuan (medebewind), dan

menampung kondisi khusus daerah serta penjabaran lebih lanjut Peraturan

Perundang-undanan yang lebih tinggi. Sistem otonomi yang dijalankan

sekarang adaIah otonomi nyata (faktor riil masing-masing daerah) dan

bertanggungjawab.

Dari cara pembuatannya, kedudukan Peraturan Daerah setara

dengan Undang-Undang dalam arti semata-mata merupakan produk

hukum lembaga legislatif. Namun dari segi isinya, kedudukan peraturan

yang mengatur materi dalan ruang lingkup daerah yang lebih sempit

dianggap mempunyai kedudukan lebih rendah dibandingkan peraturan

dengan ruang lingkup wilayah yang lebih luas. Jadi, sesuai dengan prinsip

hierarkhi peraturan perundang-undangan, peraturan yang lebih rendah itu

tidak boleh bertentangan dengan peraturan yang derajatnya lebih tinggi.

Menurut Bagir Manan mengingat bahwa Peraturan Daerah dibuat

oleh satuan pemerintahan yang mandiri (otonom), dengan lingkuugan

wewenang yang mandiri pula, maka dalam pengujiannya terhadap

peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi tidak boleh semata-mata

berdasarkan "pertingkatan", melainkan juga pada "lingkungan

wewenangnya" kecuali UUD40

.

40

Huda, 2005, Otonomi Daerah; Filosofi, Sejarah Perkembangan dan problematika /

Ni'matul Huda Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Hal 128

Page 63: Kajian PKL_2010 Edit

62

Undang-Undang No. 10 Tahun 2004 tentang Peraturan Perundang-

Undangan menegaskan bahwa Pancasila merupakan sumber dari segala

sumber hukum negara. UUD 1945 merupakan hukum dasar tertulis.

Adapun jenis dan hierarkhi peraturan penmdang-undangan diatur

dalam Pasal 7 sebagaimana tersebut di bawah ini :

a. UUD Negara Republik Indonesia Talnm 1945

b. Undang-Undang/Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang

c. Peraturan Pemerintah

d. Peraturan Presiden

e. Peraturan Daerah :

l . Perda Provinsi

2. Perda Kabupaten/Kota

3. Peraturan yang setingkat

Keputusan Kepala Daerah dibuat untuk melaksanakan peraturan

daerah yang bersangkutan, untuk melaksanakan peraturan perundangan

yang lebih tinggi tingkatannya atau dalam rangka menjalankan tugas

wewenang dan tanggung jawabnya sebagai penyelenggara pemerintahan

daerah (pimpinan eksekutif daerah). Kepala daerah mempunyai

kewenangan membuat ketetapan (heschikking) dan peraturan

kebijaksanaan (beleidsregel atau pseudo-wetgeving) seperti pembuatan

"Juklak dan Juknis".

Page 64: Kajian PKL_2010 Edit

63

Keputusan Kepala Daerah, yang melaksanakan Peraturan Daerah

adalah peraturan delegasi, karena itu materi muatannya semata-mata

mengenai hal-hal yang diatur dalam Peraturan Daerah bersangkutan.

Kepala Daerah dapat membuat keputusan untuk melaksanakan

suatu Peraturan Daerah apabila memang diperlukan walaupun tidak ada

delegasi yang tegas dalam Peraturan Daerah tersebut41

.Dengan demikian

Keputusan Kepala Daerah merupakan keputusan yang mengikat secara

umum dan dibuat berdasarkan kewenangan adalah termasuk perundang-

undangan dalam bidang desentralisasi.

B. Peneltian yang Relevan

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Danang Vidri Aditya

(2006) tentang Implementasi Kebijakan Bupati Daerah Tingkat II Sukoharjo

Nomor 6 Tahun 1993 Tentang Kebersihan, Ketertiban dan Keindahan

terhadap Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima di Kabupaen

Sukoharjo, menghasilkan temuan bahwa Pertama, implementasi kebijakan

Bupati Sukoharjo terinspirasi dalam Pasal 5 huruf f, g dan h penegakan Perda

Tingkat II Sukoharjo Nomor 6 Tahun 1993. Diketahui hasil survey terbukti

jumlah Pedagang Kaki Lima yang berada di 7 wilayah Kecamatan Sukoharjo

sebesar 805 dengan keragaman kegiatan 45 jenis, sehingga terdapat 1.610

orang termasuk tenaga kerja aktif dan lowongan pekerjaan yang terdata

tersedia 45 jenis. Keuntungan munculnya Pedagang Kaki Lima, maka

41

Abdul Latif bin Wahab Al Ghomidi; Fisik: Buku kecil, Softcover; 136 hal; Penerbit

Pustaka At-Tibyan. Hal 20

Page 65: Kajian PKL_2010 Edit

64

pengangguran dapat teratasi 50% dari ketersediaan pekerjaan diluar program

Pemerintah yang diketemukan dalam penelitian melalui keberadaan Pedagang

Kaki Lima. Kedua, faktor-faktor yang mempengaruhi Implementasi Kebijakan

Bupati Sukoharjo tersebut, antara lain : faktor hukum, penegak hukum, sarana

dan fasilitas, masyarakat, ekonomi, sosial, dan politik. Ketiga, proses penataan

letak dan bentuk dasaran Pedagang Kaki Lima sesuai Perda Tingkat II

Sukoharjo No. 6 Tahun 1993 membuktikan hasil operasi yang dilakukan

Satpol PP jumlah keseluruhan Pedagang Kaki Lima sebesar 805 rincian hasil

penataan yang diperingatkan 49,7% dan pembongkaran rerata 24%,

selanjutnya diklasifikasikan menjadi kategori Pedagang Kaki Lima tertib 274,

kategori Pedagang Kaki Lima dibina 357dan kategori Pedagang Kaki Lima

liar 174. Akhirnya kinerja Satpol PP dalam penataan representatif belum

optimal karena masih 23,98 % Pedagang Kaki Lima liar, menjadi program

kerja tahun anggaran 2008 kategori yang belum ditangani 212 Pedagang Kaki

Lima.

Adapun perbedaan dengan penelitian yang dilakukan adalah dalam

penelitian ini, peneliti memfokuskan pada masalah Pemberdayaan dan

Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta dalam Perspektif Hukum dan

Kebijakan Publik.

C. Kerangka Pemikiran

Page 66: Kajian PKL_2010 Edit

65

Istilah Pedagang Kaki Lima diambil dari pengertian tempat di tepi jalan

yang lebarnya lima kaki (5 feet), umumnya terletak di trotoar, di depan toko

dan di tepi jalan. Ada pula yang menyatakan bahwa istilah pedagang kaki lima

berasal dari orang yang berdagang yang menggelarkan barang dagangannya,

mereka cukup menyediakan tempat darurat berupa lapak-lapak yang biasanya

berkaki empat, ditambah dengan sepasang kaki pedagangnya sehingga

berjumlah lima yang kemudian dijuluki sebagai pedagang kaki lima.

PKL sebagai pelaku ekonomi golongan ekonomi lemah agar

berkembang, sehingga dapat meningkatkan kesejahteraan dan taraf hidupnya.

Pengaturan tempat usaha dimaksudkan supaya PKL dalam melakukan

kegiatannya berada pada area/tempat-tempat umum yang telah ditentukan oleh

pemerintah. Penentuan area/tempat tersebut dengan mempertimbangkan antara

lain ketertiban, keamanan dan keindahan lingkungan sekitar/keindahan kota.

Penunjukan dan penempatan pada area tertentu dimaksudkan agar supaya

mudah memantau dan mendata keberadaan PKL di wilayah kerja pemerintah

Kota Surakarta. Pendataan mana berkaitan dengan upaya lanjutan berupa

pembinaan yang telah menjadi program pemerintah kota Surakarta dalam

rangka meningkatkan kesejahteraan dan peran serta PKL dalam pembangunan

Kota Surakarta.

Upaya Pemerintah Kota Surakarta untuk meningkatkan kesejahteraan

PKL disamping untuk meningkatkan daya guna tata ruang kota Surakarta,

adalah dengan membuat dan mengimplementasikan Kebijakan Pemberdayaan

dan Penataan PKL baik itu berupa Peraturan Daerah maupun Program

Page 67: Kajian PKL_2010 Edit

66

Kebijakan yang lain. Untuk memperjelas konsep berpikir dalam penelitian ini,

maka akan lebih jelas bila tergambar dalam bagan berikut:

Bagan 2

Kerangka Berpikir

Fenomen Keberadaan

Pedagang Kaki Lima

Lokasi Lama

Lokasi Baru

Implementasi Perda

Peraturan daerah PKL,

Perda Tata Ruang Kota

Permasalahan dan

Solusi

Page 68: Kajian PKL_2010 Edit

67

BAB III

METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Tidak ada kesatuan pendapat di antara para ahli tentang pengertian

hukum. Artinya, pengertian hukum itu bermacam-macam sebab hukum

mempunyai banyak aspek yang meliputi banyak hal. Meskipun demikian

batasan tentang hukum diperlukan untuk penelitian ini agar dapat diketahui

dan dimengerti hukum yang bagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini.

Hal ini berkaitan dengan metode penelitian yang hendak dilakukan dimana

metode penelitian yang akan dipakai tergantung pada konsep hukumnya.

Mengikuti pendapat Soetandyo Wignyosoebroto ada 5 (lima) konsep

hukum, yaitu :

1. Hukum adalah asas kebenaran dan keadilan yang bersifat kodrati dan

berlaku universal;

2. Hukum adalah norma-norma positif di dalam sistem perundang-undangan

hukum nasional;

3. Hukum adalah apa yang diputuskan oleh hakim inconcreto, dan

tersistematisasi sebagai judge made law;

4. Hukum adalah pola-pola perilaku sosial yang terlembagakan, eksis sebagai

variabel sosial yang empirik;

Page 69: Kajian PKL_2010 Edit

68

5. Hukum adalah manifestasi makna-makna simbolik para perilaku sosial

sebagai tampak dalam interaksi antar mereka. 42

Memperhatikan konsep hukum di atas, jenis penelitian ini adalah

berdasarkan pada konsep hukum 5 (lima), yaitu hukum adalah manifestasi

makna-makna simbolik pada perilaku sosial sebagai tampak dalam interaksi

antar mereka. Jenis penelitian hukum ini adalah sosio-legal dengan metode

penelitian kualitatif yang bertujuan mendeskripsikan Penataan Pedagang Kaki

Lima di Kota Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dalam Pesrpektif

Hukum dan Kebijakan Publik di Kota Surakarta (Studi Kasus Pemindahan

Pedagang Kaki Lima di Sekitar Monumen Banjarsari ke Pasar Notoharjo

Surakarta).

B. Lokasi Penelitian

Penelitian ini mengambil lokasi di Kota Surakarta. Alasan dipilihnya

lokasi penelitian tersebut adalah karena Kota Surakarta memberi perhatian

yang serius terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai

kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian

Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era kepemimpinan

Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai dengan sosialisai di

tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006,

membuktikan kerja keras semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari

42

Setiono, 2005, Metode Penelitian Hukum, Surakarta: Program Studi Pascasarjana UNS.

Hal 8

Page 70: Kajian PKL_2010 Edit

69

Lapangan Banjarsari ke bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan

permanen dilengkapi upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya,

menunjukkan pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan

shelter-shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi

dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi

bangunan/tempat berdagang.

C. Jenis Data dan Sumber Data

1. Jenis Data

Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

a. Data primer

Data primer adalah sejumlah fakta-fakta yang diperoleh secara

langsung dari sumbernya. Data diperoleh secara langsung dari

wawancara, yaitu orang yang dijadikan key informant. Adapun sumber

data primer ini adalah :

1) Pemerintah Terkait

2) Pedagang Kaki Lima

3) LSM

4) Masyarakat.

b. Data sekunder

Data sekunder adalah data yang tidak langsung diperoleh dari

lapangan, yang memberikan keterangan tambahan atau pendukung

kelengkapan data primer. Termasuk dalam data ini adalah, dokumen-

Page 71: Kajian PKL_2010 Edit

70

dokumen, tulisan-tulisan, buku ilmiah dan literatur-literatur yang

mendukung.

2. Sumber Data

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini adalah :

a. Sumber data primer

Sumber data primer merupakan keterangan yang diperoleh

secara langsung dari sumber pertama. Dalam penelitian ini sumber

data primer berupa hasil wawancara langsung di lokasi penelitian.

Sedangkan yang dipilih sebagai informan adalah :

1) Pemerintah Terkait

2) Pedagang Kaki Lima

3) LSM

4) Masyarakat

b. Sumber data sekunder

Sumber data sekunder merupakan sumber data yang tidak

secara langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung

sumber data primer. Termasuk dalam sumber data ini adalah buku-

buku serta dokumen lain. Juga berbagai literatur lain berupa

peraturan-peraturan yang ada kaitannya dengan penelitian ini.

Data sekunder dalam penelitian ini terdiri dari:

1) Bahan Hukum Primer

Yaitu peraturan perundang-undangan termasuk Perda

Page 72: Kajian PKL_2010 Edit

71

2) Bahan Hukum Sekunder

Yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan

hukum primer. Yang termasuk bahan hukum sekunder adalah

buku-buku yang berhubungan dengan masalah yang diteliti

serta artikel-artikel, jurnal.

D. Teknik Pengumpulan Data

Penelitian ini menggunakan penelitian kualitatif, maka teknik-teknik

pengumpulan data yang digunakan berbeda dengan penelitian kuantitatif yang

mengarahkan pada perhitungan statistik. Dalam penelitian kualitatif,

pengumpulan data dilakukan dengan menggunakan berbagai pertimbangan

berdasar konsep teknik yang digunakan, keingintahuan pribadi, karakteristik

empiris dan sebagainya43

. Untuk memperoleh gambaran mengenai penataan

pedagang kaki lima di Kota Surakarta, maka penulis menggunakan teknik :

a. Wawancara

Wawancara merupakan cara yang digunakan untuk memperoleh

keterangan secara lisan guna mencapai tujuan tertentu.

Dalam suatu

wawancara terdapat dua pihak yang mempunyai kedudukan berbeda, yaitu

pengejar informasi yang biasa disebut pewawancara atau interviewer dan

pemberi informasi yang disebut informan, atau responden 44

43

HB. Sutopo. 2002. Pengantar Metodologi Penelitian Kualitatif. Surakarta : UNS

Press. Hal 12

44

Burhan Ashshofa. 1996. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Rineka

Cipta. Hal 9

Page 73: Kajian PKL_2010 Edit

72

Wawancara ini menggunakan wawancara mendalam (depth

interview) dengan wawancara tidak berpatokan atau bebas terpimpin.

Alasan penggunaan jenis ini adalah dengan wawancara tidak berpatokan

atau bebas terpimpin akan dicapai kewajaran secara maksimal, dapat

diperoleh data secara mendalam dan akan dimungkinkan masih

dipenuhinya prinsip batas keabsahan data hasil wawancara yang masih

berada dalam garis kerangka pertanyaan serta dapat diarahkan secara

langsung pada pokok permasalahan dalam penelitian ini. Wawancara ini

bertujuan untuk mendapat keterangan atau untuk keperluan informasi.

Oleh karena itu, individu yang menjadi sasaran wawancara adalah

informan.

b. Studi kepustakaan

Studi pustaka dalam menulis tesis ini, penulis mempelajari data-data

sekunder yang diperoleh antara lain dari : buku-buku literatur, undang-

undang, dan dokumen-dokumen lainnya.

c. Dokumen

Dokumen merupakan bahan catatan rekaman yang bersifat formal

dan terencana dalam organisasi, yang berkaitan dengan suatu peristiwa

tertentu dan dapat secara baik di manfaatkan sebagai sumber data dalam

penelitian45

.

45

HB. Sutopo. 2002. Opcit. hal. 54

Page 74: Kajian PKL_2010 Edit

73

E. Teknik Analisis Data

Analisis data menurut Lexy J. Moleong adalah upaya yang dilakukan

dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-

milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari

dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang

dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain46

Untuk lebih jelasnya tahap-tahap analisis kualitatif menurut Matthew B.

Miles dan A. Michael Huberman meliputi:

1. Reduksi data, merupakan suatu proses pemilihan, pemusatan perhatian,

pada penyederhanaan, pengabstrakan dan transformasi data kasar.

Reduksi data dalam hal ini merupakan suatu bentuk analisis yang

menajamkan penggolongan, mengarahkan, membuang yang tidak perlu

dan mengorganisasikan data dengan cara sedemikian rupa sehingga

kesimpulan finalnya dapat ditarik.

2. Penyajian data merupakan informasi tersusun yang memberi

kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.

Dengan melihat penyajian-penyajian data itu dapat dipahami apa yang

terjadi dan apa yang dapat dilakukan, lebih jauh menganalisis ataukah

mengambil tindakan berdasarkan atas pemahaman yang diperoleh dari

penyajian data.

46

Moleong, Lexy. 2007. Metode Penelitian Kualitatif. Bandung : Remaja Rosdakarya.

Hal 49

Page 75: Kajian PKL_2010 Edit

74

3. Penarikan kesimpulan (verifikasi)

Kegiatan analisis yang penting adalah menarik kesimpulan dan

verifikasi. Dimana dari yang semula kesimpulan yang belum jelas

kemudian meningkat menjadi lebih rinci dan mengakar dengan kokoh.

Kesimpulan perlu diverifikasi agar cukup mantap dan dapat

dipertanggungjawabkan. 47

Reduksi dan sajian data disusun pada waktu penulis sudah

mendapatkan data-data dari sejumlah unit yang diperlukan dalam

penelitian yaitu hal-hal yang terkait dengan Penataan Pedagang Kaki Lima

di Kota Surakarta.

Dalam mereduksi data penulis menyisihkan data-data yang tidak

diperlukan dan mengambil data yang diperlukan. Untuk penyajian data

penulis membuat dalam bentuk narasi yang disusun secara logis.

Pada waktu pengumpulan data sudah berakhir, penulis mulai

melakukan untuk menarik kesimpulan yang didasarkan pada semua yang

terdapat dalam reduksi data dan sajian data. Metode analisis yang

digunakan bersifat deskriptif kualitatif. Untuk lebih jelasnya, proses

analisis data dengan model interaktif ini dapat digambarkan sebagai

berikut.

47

Matthew B. Miles dan A. Michael Huberman, 2007, Analisis Data Kualitatif, Jakarta:

UI Press. Hal 12

Page 76: Kajian PKL_2010 Edit

75

Gambar 1

Model Analisis Interaktif

Pengumpulan data

Sajian data

Penarikan

simpulan/

verifikasi

Reduksi data

Page 77: Kajian PKL_2010 Edit

76

BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Hasil Penelitian

1. Dasar Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima Di Kota Surakarta

a. Deskripsi Lokasi Penelitian

Kota Surakarta terletak antara 110-111 dan antara 7,6-8 LS,

dengan batas-batas wilayah sebagai berikut.

1) Sebelah utara berbatasan dengan Kabupaten Karanganyar dan

Kabupaten Boyolali.

2) Sebelah timur berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo dan

Kabupaten Karanganyar.

3) Sebelah selatan berbatasan dengan Kabupaten Sukoharjo.

4) Sebelah barat berbatasan dengan dengan Kabupaten Sukoharjo dan

Kabupaten Karanganyar.

Wilayah Kota Surakarta terletak pada ketinggian ± 92 m di atas

permukaan air laut, yang berarti berada pada dataran rendah.

Merupakan pertemuan antara Sungai Pepe, Sungai Anyar, Sungai Jenes,

dengan Sungai Bengawan Solo di sebelah timur, sehingga Surakarta

yang lebih dikenal dengan kota “Solo” dapat dikatakan beriklim panas

dengan :

- Suhu udara rata-rata 27,04 ºC dengan suhu maksimum 34,08 ºC

dan suhu minimum 21 ºC.

Page 78: Kajian PKL_2010 Edit

77

- Rata-rata tekanan udara 1009,5 mbs.

- Kelembaban udara 74,83%.

Luas wilayah Kota Surakarta ± 4404, 0593 ha yang sebagian besar

terdiri dari tanah liat dengan pasir (regosol kelabu) di sana-sini terdapat

tanah padas dan di tengah-tengah dan di sebelah timur terdiri dari

endapan lumpur (Kraton dan daerah Kedung Lumbu) karena dulu

adalah daerah rawa.

Wilayah Kota Surakarta didiami oleh lebih dari 500.000 jiwa,

dengan tingkat kepadatan penduduk 12.177 per km. Jumlah penduduk

di wilayah kota ini terbagi ke dalam 5 wilayah kecamatan meliputi :

Tabel 1

Keadaan Penduduk Wilayah Kota Surakarta

No. Kecamatan Luas (km2) Jml. Penduduk Tingk. Kepadatan

1.

2.

3.

4.

5.

Laweyan

Serengan

Psr. Kliwon

Jebres

Banjarsari

8,638

3,194

4,815

12,562

14,811

10.178

62.112

82.784

123.492

158.558

11.776

19.446

17.185

10.212

10.705

Sumber : Kantor Statistik Kota Surakarta

Berdasarkan tabel tersebut, jika dilihat dari tingkat kepadatan

penduduk dari masing-masing kecamatan di wilayah Kota Surakarta,

maka terlihat bahwa Kecamatan Banjarsari memiliki jumlah penduduk

Page 79: Kajian PKL_2010 Edit

78

yang paling besar. Hal ini jika diasumsikan tingginya tingkat angkatan

kerja di Kecamatan Banjarsari. Pemerintah Kota Surakarta terdiri dari 5

(lima) kecamatan yang dibagi dalam 51 (lima puluh satu) kelurahan,

562 Rukun Warga (RW), dan 2.515 Rukun Tetangga (RT).

b. Visi dan Misi Kota Surakarta

Rencana stratejik Pemerintah Kota Surakarta merupakan

serangkaian rencana tindakan (rencana tindak) dan kegiatan mendasar

yang dibuat untuk diimplementasikan, diterapkan oleh seluruh jajaran

penyelengara pemerintahan dalam kerangka pencapaian visi, misi

pemerintah kota Surakarta.

Visi dan Misi Pemerintah Kota Surakarta :

1) Visi :

Visi Pemerintah Kota Surakarta adalah "Terwujudnya Kota

Surakarta sebagai sentra perdagangan, jasa dan pendidikan menuju

masyarakat berdaya dan sejahtera dalam suasana tertib dan aman".

Visi Pemerintah Kota merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari

penterjemahan mandat Walikota sebagai pimpinan tertinggi dari

penyelenggara pemerintahan dalam membawa rnasyarakat Kota

menuju pada cita-cita luhur yang diharapkan dalam kerangka waktu

masa jabatan politis yang diembannya.

Page 80: Kajian PKL_2010 Edit

79

2) Misi :

Misi berfungsi sebagai pemersatu gerak langkah serta tindakan

nyata penyelenggara pemerintahan. Misi memberikan inspirasi bagi

setiap aparat untuk mengarahkan sumberdaya yang dimiliki

Pemerintah Kota untuk kepentingan sebesar-besarnya bagi

terwujudnya kesejahteraan warga Kota. Adapun Misi Pemerintah

Kota Surakarta adalah :

"Menciptakan peningkatan kualitas sumberdaya manusia yang

beorientasi pada pelayanan publik dan kemandirian ekonomi

masyarakat kota dengan tetap mengutamakan peningkatan

pembangunan partisipatif dan kerjasama pengelolaan

pembangunan".

Tujuan dan sasaran ditetapkan berdasarkan hasil analisa

lingkungan pada masing-masing bidang kewenangan yang telah

ditetapkan dengan tetap pada koridor Visi dan Misi yang dirumuskan

terlebih dahulu. Atas dasar hal tersebut tujuan dan sasaran

pemerintah kota yang berkaitan dengan tujuan untuk misi frasa

keempat, "Meningkatkan kenyamanan, keindahan dan ketertiban

kota dengan mempertahankan keseimbangan partisipasi penggunaan

lahan dan penegakan terhadap norma-norma yang berlaku.

Page 81: Kajian PKL_2010 Edit

80

c. Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam

Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta

Bagi pemerintah sendiri, keberadaan birokrasi sangat

dibutuhkan agar program-program pemerintah dapat dilaksanakan

sampai tingkat paling bawah. Birokrasi adalah aktor yang

menggerakkan hukum. Hukum hanyalah tinggal hukum yang berupa

konsep-konsep idealis di atas kertas, abstrak. Hukum baru bergerak,

berjiwa apabila sudah berada dalam tangan aktor penggerak hukum

yakni birokrasi.

Jadi, hukum merupakan aspek yang fundamental dalam

mekanisme birokrasi. Dalam setiap mekanisme birokrasi sebaiknya

dilakukan dengan dasar hukum tertentu. Dasar hukum akan

memberikan dan merumuskan landasan hukum yang berkaitan dengan

batas-batas tugas, fungsi, kekuasaan dan kewenangan masing-masing

pemerintah. Dasar hukum juga dimaksudkan agar pelaksanaan fungsi

badan-badan pemerintahan dapat dipertanggungjawabkan secara

hukum.

Dasar hukum diperlukan agar dapat dihindari multitafsir dan

kesalahan bagi masing-masing badan pemerintahan melalui rumusan

wewenang dan tanggungjawab yang jelas dan tegas sesuai dengan

kebutuhan masyarakat, publik. Dasar hukum Pemerintah Kota

Surakarta dalam melakukan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota

Surakarta, antara lain :

Page 82: Kajian PKL_2010 Edit

81

1) Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor

8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki

Lima.

2) Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang

Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah

Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan

Pembiaan PKL.

3) Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang

Penyeleggaraan Kawasan Tertib.

4) Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang

Pengendalian Lingkungan Hidup.

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang

menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) keberadaannya tidak boleh

mengganggu fungsi politik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, sosial, fisik

visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan

istilah di Perancis tentang pedestrian untik pejalan kaki di sepanjang jalan

raya, yaitu Trotoir (baca : trotoar). Disepanjang jalan raya kebanyakan

berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan

ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5

m). Pada perkembangan berikutnya pada pedagang informal akan

menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang

Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).

Page 83: Kajian PKL_2010 Edit

82

Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan

PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah

Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang

Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait

dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan

sebagai berikut :

Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1,

(c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan

atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan

sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha.

(d) Tempat Usaha Pedagang Kali Lima adalah tempat umum yaitu tepi-

tepi jalan umum. trotoar dam lapangan serta tempat lain diatas tanah

negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.

Sebagai upaya untuk mentertibkan PKL yang berada di Kota

Surakarta, maka di diperlukan hukum yang mengatur keberadaan PKL

tersebut. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap

produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh imbangan

kekuatan politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan

produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi

dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.

Meskipun dari sudut idealnya politik harus tunduk pada ketentuan hukum,

namun lebih melihat pada kenyataannya, politik justru melatarbelakangi

munculnya hukum.

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada

hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan

Page 84: Kajian PKL_2010 Edit

83

terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa

Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang

berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Dalam hal ini tugas politik hukum adalah meneliti perubahan-

perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar

memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat.

Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum

Bersama lajunya perkembangan jaman tidak dapat disangkal lagi bahwa

ruang gerak politik hukum berkembang, tidak hanya sebatas Negara

sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas Negara hingga ke

tingkat Internasional

Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur

perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum

mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma,

oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.

Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan

yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar,

yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu

akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi

manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang

Page 85: Kajian PKL_2010 Edit

84

individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial

dinamakan ’keadilan’48

Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh

kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-

peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya

sesuai dengan hukum sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain

hukum harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom

masyarakat49

.

Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya

oleh aparatur menaga untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib,

dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan

perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum

yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk

hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.

Pemkot Surakarta memiliki perhatian yang besar pada pembinaan

dan penataan PKL melalui pendekatan pemberdayaan. Beberapa kebijakan

tersebut terutama didasarkan pada :

a. Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8

Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.

Substansi kebijakan yang termaktub pada peraturan

perundangan di atas dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini.

48

Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 43

49 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada. Hal 59

Page 86: Kajian PKL_2010 Edit

85

Selain definisi tentang PKL, Peraturan Daerah Kotamadya Daerah

Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan

Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga memuat beberapa ketentuan lain,

yaitu :

Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :

1. Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima ditetapkan oleh

Walikotamadya Kepala Daerah.

2. Walikotamadya Kepala Daerah dalam menetapkan tempat usaha

sebagaimana dimaksud ayat (1), pasal ini, mempertimbangkan

faktor sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan

kesehatan serta tata ruang kota sesuai dengan Peraturan Daerah

yang belaku.

Pada Pasal 3 disebutkan bahwa :

1) Setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap

ketertiban, kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan

dan keamanan di sekitar tempat usaha.

2) Untuk mewujudkan akebersihan, kerapian, dan keindahan tenpat

usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.

Walikotamadya Kepala Daerah menetapkan persyaratan-

persyaratan lebih lanjut.

b. Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang

Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II

Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL.

Page 87: Kajian PKL_2010 Edit

86

Langkah pembinaan dan penataan PKL secara lebih

operasional didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Surakarta

Nomor 2 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah

Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang

Penataan dan Pembinaan PKL. Pada bab II berisi tentang Larangan

Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima.

Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :

1) Untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan

di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau

fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau,

cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar

bangunan Tempat ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang

Kaki Lima.

2) Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1)

Pasal ini, Jl. Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha

Pedagang Kaki Lima.

Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa :

1) Untuk Alun-alun dan lapangan olahraga, pada acara-acara yang

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau Pihak Swasta yang

telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan

Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus

bersih dari Pedagang Kaki Lima.

Page 88: Kajian PKL_2010 Edit

87

2) Dalam menetapkan tempat-tempat usaha atau fasilitas umum dan

sebagainya Walikota mempertimbangkan akepentingan sosial,

ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keseshatan serta

keindahan.

c. Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang

Penyeleggaraan Kawasan Tertib.

Selain itu penataan dan pembinaan PKL di lapangan juga

didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun

2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib. Pada peraturan

tersebut ditegaskan bahwa Kawasan Tertib adalah suatu kawasan di

sebagian Kota Surakarta yang ditetapkan sebagai kawasan tertib

berdasarkan Peraturan, dan apabila melanggar dapat terkena sanksi.

Sebagai pilot project/percontohan kawasan tertib ditetapkan sepanjang

Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip

Sumoharjo.

d. Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang

Pengendalian Lingkungan Hidup.

Terkait dengan aspek lingkungan, pembinaan dan penataan

juga memperhatikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun

2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pada peraturan tersebut

dilarang:

Page 89: Kajian PKL_2010 Edit

88

1) melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada sumber-

sumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan

sebagai tempat pembuanagan sampah.

2) mendirikan bangunan, melakukan usaha dan / atau kegiatan di

tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman

kota, resapan air dan daerah sepadan sungai.

d. Eksistensi PKL Kota Surakarta

Perkembangan aspek sosial ekonomi PKL tidak akan terlepas

dari perkembangan kota Surakarta secara keseluruhan. Oleh

karenanya di bawah ini disajikan data dan perkembangan Kota

Surakarta berdasarkan Buku Kota Surakarta Dalam Angka tahun 2006

serta Buku RT/RW Kota Surakarta tahun 2007-2016.

Berdasarkan Buku Direktori PKL tahun 2003, jumlah PKL di

Kota Surakarta sebanyak 3.843 PKL tersebar di 5 wilayah kecamatan.

Di Kecamatan Banjarsari sebanyak 1.405 PKL, di Kecamatan Jebres

678 PKL, di Kecamatan Laweyan 571 PKL, di Kecamatan Pasar

Kliwon 604 PKL dan di Kecamatan Serengan 396 PKL.

Pada tahun 2005, Kantor PKL melakukan pendataan kembali.

Jumlah PKL pada tahun tersebut sebanyak 5.817 PKL yang juga

tersebar di 5 (lima) wilayah Kecamatan. Dari tahun 2003 sampai 2005

terjadi peningkatan jumlah PKL sebesar 51,7%. Peningkatan jumlah

Page 90: Kajian PKL_2010 Edit

89

tersebut juga meningkatkan variasi maupun intensitas permasalahan

yang ditimbulkan oleh PKL.

Berdasarkan hasil survey yang dilakukan secara tuntas dapat

diketahui jumlah dan penyebaran PKL. Jumlah PKL yang berada di

jalan-jalan arteri dan kolektor di Kota Surakarta pada tahun 2007

sebanyak 3.917 PKL, tersebar di 5 wilayah Kecamatan. Sebagian

besar PKL berada di wilayah Kecamatan Jebres dan Banjarsari. Di

Kecamatan Banjarsari terdapat 1.050 PKL (26,81%) dan di

Kecamatan Jebres 1.172 PKL (29,92%).

Jika dibandingkan dengan jumlah PKL pada tahun 2005, terlihat

penurunan jumlah PKL secara signifikan (menurun 32,66%).

Penurunan tersebut secara langsung maupun tidak langsung

merupakan prestasi Pemkot Surakarta dalam melakukan pembinaan

dan penataan PKL melalui program relokasi (dimasukkan ke dalam

pasar tradisional, ke dalam kantong-kantong PKL maupun berbagai

lokasi lainnya), penyuluhan, penertiban dan lain sebagainya.

Tabel 2

Jumlah PKL per Kecamatan di Kota Surakarta

Tahun 2007

No Kecamatan Jumlah %

1 Banjarsari 1,050 26.81

2 Jebres 1,172 29.91

3 Laweyan 697 17.79

4 Pasar Kliwon 617 15.75

5 Serengan 381 9.73

Total 3,317 100

Page 91: Kajian PKL_2010 Edit

90

Tabel 3

Jumlah dan penyebaran PKL di Kota Surakarta tahun 2007

No Nama Jalan Kode Jumlah

1 Abdul Muis AM 5

2 Adi Sucipto AS 202

3 Dahlan AD 4

4 Jend. A. Yani AY 83

5 Arifin (Mashela) ARF 27

6 Balapan BA 18

7 Bhayangkara BH 15

8 Brigjend. Katamso KA 95

9 Brigjend. Slamet Riyadi SR 364

10 Brigjend. Sudiarto BS 55

11 Cokroaminoto (Pucangsawit) COK 44

12 Cut Nya Dien CUT 4

13 Demangan DE 20

14 Dewi Sartika DS 4

15 Dilangan DIL 12

16 Diponegoro DIP 11

17 Dr. Cipto Mangun Kusumo MK 4

18 Dr. Muwardi DRM 16

19 Dr. Rajiman RJ 133

20 Dr. Wahidin DW 16

21 Gajah Mada GM 31

22 Gatot Subroto GS 41

23 Gotong Royong GTR 33

24 Griyan GR 6

25 Kahar Mujakar KH 9

26 Hasanuddin HAS 55

27 Honngowongso HO 80

28 Imam Bonjol IB 5

29 Ir. Juanda Kartasanjaya JKS 175

30 Ir. Sutami SUT 99

31 Jambu Raya JR 3

32 Jaya Wijaya JW 61

33 Joko Tingkir JK 6

34 Kahuripan KUT 6

35 Kalilarangan KL 37

36 Kapt. Adi Sumarmo KAS 57

37 Kapt. Mulyadi KM 114

38 Pattimura KP 2

39 Kapt Tendean TE 78

40 KS Tubun KST 24

Page 92: Kajian PKL_2010 Edit

91

41 Kartini KAR 6

42 Kebangkitan Nasional KN 13

43 Kelud KU 5

44 Kerinci KER 12

45 K.H Agus Salim KAGS 19

46 KH. Maskur MAS 22

47 Ki Hajar Dewantara KHD 125

48 Kol. Sugiono KSG 24

49 Kol. Sutarto SU 102

50 Mayjend. Kusmanto KUS 5

51 Kyai Gede Sala KGS 28

52 Mangun Sarkoro KMS 36

53 Kyai Mojo MO 55

54 Letjen Suparman SP 61

55 Letjen Suprapto LS 21

56 Letjen Sutoyo STY 34

57 Lumban Tubing LT 40

58 Manunggal MAN 28

59 Panjaitan MDP 15

60 Mayor Sunaryo MS 77

61 Menteri Supeno MSU 30

62 M. Husni Tamrin MT 5

63 Moh. Yamin MY 31

64 Monginsidi MOS 9

65 MT Haryono MTH 18

66 Nangka (Kenari) NA 8

67 Pangeran Wiji PW 3

68 Perintis Kemerdekaan PK 1

69 Prof. Dr. Supomo SUP 33

70 Prof.Yohanes YOH 39

71 RE Martadinata REM 38

72 Reksoniten REK 12

73 Ring Road RR 52

74 RM. Said RS 29

75 Ronngowarsito RO 24

76 Sam Ratulangi SRL 12

77 KH Samanhudi SAM 12

78 Sambas SAMB 8

79 Sampangan SAMP 20

80 Syamsul Pijal SMR 5

81 Soropadan SO 20

82 Sugiyopranoto SUG 55

83 DR. Suharso SUH 32

84 Sumpah Pemuda SMP 72

Page 93: Kajian PKL_2010 Edit

92

85 Sumpah Pemuda Nayu SPN 15

86 Suryo SUR 46

87 Suryaprawoto SRP 10

88 Sutan Syahrir SS 31

89 Tangkuban Perahu TPR 20

90 Tentara Pelajar TP 68

91 Transito TR 3

92 Untung Suropati USR 19

93 Urip Sumoharjo US 91

94 Veteran VE 129

95 Werdi Sastro WS 15

96 Yos Sudarso YS 75

97 Yosodipuro YOS 41

98 Yudhistira YU 4

Jumlah Total PKL 3,917

Berdasarkan alamat PKL sebagaimana tercantum pada KTP, sebagian

besar PKL merupakan penduduk Kota Surakarta, yaitu sebanyak 3.057 PKL

atau 78,04%. Namun demikian PKL yang berasal dari luar kota jumlahnya

juga cukup besar, yaitu 860 Pkl atau 21,96% dari total PKL. Jika dikaitkan

dengan jumlah penduduk kota Surakarta, maka PKL menjadi penopang 2,84%

keluarga di kota Surakarta (dengan asumsi 1 keluarga terdiri dari 4 orang).

Jika dikaitkan dengan jumlah commuter (penglajo) dari luar kota ke dalam

Kota Surakarta (menurut informasi, jumlah penduduk Kota Surakarta di siang

hari mencapai sekitar 1,5 juta hingga 2 juta orang, sehingga jumlah commuter

diperkirakan 1 juta hingga 1,5 juta orang), maka proporsi PKL sebagai

commuter hanya 0,06%-0,09%.

Page 94: Kajian PKL_2010 Edit

93

Tabel 4

Asal (KTP) PKL

No Asal (KTP) PKL Jumlah %

1 Kota Surakarta 3.057 78.04

2 Luar Kota Surakarta 860 21.96

Jumlah 3917 100.00

Makanan merupakan jenis dagangan yang dipilih sebagai komoditi utama

oleh sebagian besar PKL, jumlahnya mencapai 2.445 PKL atau 62,42%.

Buah-buahan, rokok an kelontong menempati urutan kedua, meskipun

proporsinya jauh lebih kecil yaitu berkisar 2-3 %.

Selain makanan, pakaian dan onderdil kendaraan bermotor merupakan

jenis dagangan yang diminati oleh PKL. Data terakhir menunjukkan bahwa

PKL di tepi jalan raya saat ini menjual pakaian dan onderdil jumlahnya sangat

kecil (0,84% dan 1,10%). Pengurangan jumlah tersebut bisa dikarenakan

sebagian besar telah direlokasi di tempat-tempat lainnya (ke dalam Pasar

Klitikhan Semanggi dan ke dalam Lapangan Gelora Manahan).

Tabel 5

Jenis dagangan PKL

No Jenis Dagangan Jumlah %

1 Makanan/minuman 2,445 62.42

2 Buah-buahan 112 2.86

3 Pakaian 33 0.84

4 Rokok 128 3.27

5 Voucher HP 51 1.30

6 Onderdil 43 1.10

7 Kelontong 113 2.88

8 Mainan anak 14 0.36

9 Tanaman hias/buah 44 1.12

Page 95: Kajian PKL_2010 Edit

94

10 Alat elektronik 28 0.71

11 Furniture 8 0.20

12 Binatang 7 0.18

13 Lain-lain 891 22.75

Jumlah 3,917 100.00

Ditinjau dari sisi waktu berdagang, jumlah PKL yang menempati lokasi

secara relative permanent jumlahnya cukup besar mencapai 52,85%. Proporsi

tersebut terdiri dari PKL yang berjualan dari pagi hingga sore hari sebanyak

1.322 PKL (33,75%), pagi hingga malam hari sebanyak 86 PKL (2,2%) dan

siang hingga malam hari sebanyak 662 PKL (16,9%). Lamanya waktu

berdagang PKL biasanya terkait dengan bangunan tempat berdagang PKL,

semakin pemanen bangunan, semakin lama pula PKL menempati area

tersebut.

Tabel 6

Waktu berdagang PKL

No Waktu Berdagang PKL Jumlah %

1 Pagi 73 1,86

2 Siang 371 9,47

3 Sore 265 6,77

4 Malam 17 0,43

5 Pagi-siang 383 9,78

6 Pagi-sore 1,322 33,75

7 Pagi-malam 86 2,20

8 Siang-sore 299 7,63

9 Siang-malam 662 16,90

10 Sore-malam 439 11,21

jumlah 3,917 100,00

Page 96: Kajian PKL_2010 Edit

95

Sebagian besar PKL merupakan pedagang yang cenderung menetap,

jumlahnya mencapai 3.624 PKL atau 92,52%. Dari jumlah tersebut, sebagian

besar merupakan PKL dengan bangunan permanen (seluruh maupun sebagian

bangunan selalu berada di tempat), jumlahnya mencapai 2.280 atau 62,91PKL

dengan bangunan permanent sebagian. Type bangunan permanen juga sering

digabung dengan bangunan bongkar pasang, gerobak atau

gelaran/dasaran/lesehan. PKL dengan bangunan bongkar pasang jumlahnya

juga cukup banyak, yaitu 645 PKL atau 17,81%. PKL dengan sarana

berdagang yang bersifat moveable proporsinya juga cukup besar. Hal yang

menarik, banyak PKL yang menggunakan mobil sebagai saranna untuk

berdagang, jumlahnya mencapai 50 mobil atau 1,38% dari total PKL yang

cenderung menetap.

Sedangkan PKL yang cenderung bergerak/berkeliling, jumlahnya hanya

293 PKL atau 7,48 %. Selain di lapangan jumlahnya tidak terlalu banyak, PKL

tipe ini sulit dideteksi keberadaan lokasinya. Bisa jadi pada waktu survey,

PKL yang bersangkutan berada di lokasi lain. PKL type bergerak sebagian

besar menggunakan gerobag sebagai sarana berdagangnya, proporsinya

mencapai 68,94%, kemudian disusul dengan PKL dengan seeda kayuh yaitu

39 PKl atau 13,31%.

Page 97: Kajian PKL_2010 Edit

96

Tabel 7

Type Bangunan/sarana PKL

No Type Bangunan/Sarana Cenderung

Menetap

Cenderung

Bergerak

Jumlah

1 Permanen 2,280 2,280

2 Bongkar pasang/tenda 645 645

3 Gerobag (cenderung berhenti) 427 427

4 Mobil (cenderung berhenti) 50 50

5 Gelaran/oprokan 222 222

6 Pikulan 13 13

7 Gendongan 3 3

8 Sepeda kayuh 39 39

9 Sepeda roda tiga 19 19

10 Sepeda motor 17 17

11 Gerobag (keliling) 202 202

Jumlah 3,624 293 3,917

% 92,52 7,48 100,00

Tabel 8

Type bangunan / tempat PKL yang cenderung menetap

No Type bangunan/tempat Jumlah %

1 Permanen 2.280 62,91

2 Bongkar pasang 645 17,80

3 Gerobag (cenderung berhenti) 427 11,78

4 Mobil (cenderung berhenti) 50 1,38

5 Gelaran / oprokan 222 6,13

Jumlah 3,624 100.00

Tabel 9

Type sarana PKL yang cenderung bergerak

No Type sarana Jumlah %

1 Pikulan 13 4.44

2 Gendongan 3 1.02

3 Sepeda rodatiga 39 13.31

4 Sepeda roda tiga 19 6.48

5 Sepeda motor 17 5.80

6 Gerobag (keliling) 202 68.94

Jumlah 293 100.00

Page 98: Kajian PKL_2010 Edit

97

Belum tinggi tingkat kesadaran PKL dalam mengelola limbah yang

dihasilkannya (bahkan cenderung masih rendah). Dari seluruh PKL 49,2%

diantaranya belum mengelola limbah yang dihasilkanya dengan baik. Jika

dikaitkan dengan jenis dagangannya, PKL yang relative menghasilkan limbah

adalah PKL yang menjual makanan (PKL jenis ini proporsinya sebesar 62,42

%). Hal ini berarti hanya 13,22% PKL penjual makanan yang telah melakukan

pengelolaan limbahnya dengan baik.

Tebel 10

Pengelolaan limbah oleh PKL

No Nama Jalan Jumlah %

1 PKL mengelola limbah dengan baik 1.990 50,80

2 PKL tidak mengelola limbah dengan baik 1.927 49,20

Jumlah 3.917 100,00

Meskipun limbah belum terkelola dengan baik (disalurkan begitu saja

ke selokan atau ditampung ke dalam wadah tersendiri), secara fisik visual

sebagian besar PKL sudah terlihat bersih dan rapi (2.762 PKL atau 70,51

PKL). Hal ini perlu terus ditingkatkan, sebagai amanah Perda Pembinaan dan

Penataan PKL, dimana PKL diwajibkan untuk menjaga kebersihan dan

kerapian lingkungannya.

Tabel 11

Kebersihan dan kerapian lingkungan PKL

No lingkungan PKL Jum2lah %

1 Bersih dan rapi 2,762 70,51

2 Belum bersih dan rapi 1,155 29,49

Jumlah 3,917 100,00

Page 99: Kajian PKL_2010 Edit

98

Sebagian besar PKL memiliki omset kurang dari Rp.500.000,00 perhari.

PKL dengan omset antara Rp.100.000,00-Rp.499.000,00, proporsinya

mencapai 57,54%. PKL dengan omset sangat kecil proporsinya cukup banyak,

yaitu 18,77% untuk PKL dengan omset Rp. 50.000,00-Rp.99.000,00 dan

14,77 % untuk PKL dengan omset kurang dari Rp. 50.000,00 per hari. Lihat

tabel di bawah ini.

Tabel 12

Omset PKL perhari

No Omset per hari Jumlah %

1 < Rp.50.000,00 48 14,77

2 Rp.50.000,00-Rp.99.000,00 61 18,77

3 Rp.100.000,00-Rp.499.000,00 187 57,54

4 Rp.500.000,00-Rp.999.000,00 17 5,23

5 Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00 12 3,69

Jumlah 325 100,00

Sebagian besar PKL berpendidikan tingkat SLTA, SD, dan SLTP

(37,23%, 32,62% dan 22,15%). PKL dengan tingkat pendidikan Perguruan

Tinggi dan PKL tidak sekolah proporsinya sangat kecil, masing-masing 3,69%

dan 4,31%.

Jka dikaitkan dengan omset, tingginya tingkat pendidikan tidak terkait

langsung dengan tingginya omset PKL. PKL dengan omset sangat besar

(Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00) didominasi oleh PKL dengan tingkat

pendidikan SLTP dan SLTA.

Page 100: Kajian PKL_2010 Edit

99

Tabel 13

Keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan

No Tingkat

pendidikan

Omset per hari (dalam rupiah)

<

50.000

50.000-

90.000

100.000-

499.000

500.000-

999.000

1.000.000-

1.500.000

jumlah

1 Tidak

sekolah

1 2 8 0 1 12

2 SD-

sederajat

21 22 60 1 2 106

3 SLTP-

sederajat

11 12 43 2 4 72

4 SLTA-

sederajat

13 24 69 11 4 121

5 Perguruan

Tinggi

(D1, D2,

D3, S1)

2 1 7 3 1 14

Jumlah 48 61 187 17 12 325

Tabel 14

Persentase keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan

No Tingkat

pendidikan

Omset per hari (dalam rupiah)

<

50.000

50.000-

99.000

100.000-

499.000

500.000-

999.000

1.000.000-

1.500.000

jumlah

1 Tidak

sekolah

2.08 3.28 4.28 0.00 8.33 3.69

2 SD-

sederajat

43.75 36.07 32.09 5.88 16.67 32.62

3 SLTP-

sederajat

22.92 19.67 22.99 11.76 33.33 22.15

4 SLTA-

sederajat

27.08 39.34 36.90 64.71 33.33 37.23

5 Perguruan

Tinggi

(D1, D2,

D3, S1)

4.17 1.64 3.74 17.65 8.33 4.31

jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Page 101: Kajian PKL_2010 Edit

100

Tabel 15

Persentase keterkaitan omset/hari dengan tingkat pendidikan

no Tingkat

pendidikan

omset per hari (dalam rupiah) jumlah

<

50.000

50.000-

99.000

100.000-

499.000

500.000-

999.000

1.000.000-

1.500.000

1 Tidak

sekolah

8.33 16.67 66.67 0.00 8.33 100.00

2 SD-

sederajat

19.81 20.75 56.60 0.94 1.89 100.00

3 SLTP-

sederajat

15.28 16.67 59.72 2.78 5.56 100.00

4 SLTA-

sederajat

10.74 19.83 57.02 9.09 3.31 100.00

5 Perguruan

Tinggi

(D1, D2,

D3, S1)

14.29 7.14 50.00 21.43 7.14 100.00

jumlah 14.77 18.77 57.54 5.23 3.69 100.00

Sumber : Tim Peneliti, 2007

Dikaitkan dengan dagangan omset, makanan dan buah-buahan

merupakan jenis dagangan yang berpeluang meningkatkan omset PKL.

PKL Rp.1000.000,00-Rp.1.500.000,00 yang memiliki jenis dagangan

makanan proporsinya mencapai 66,67%, sedangkan yang menjual buah-

buahan sebesar 16,67%. Namun demikian PKL penjual makanan yang

omsetnya sangat kecil (kurang dari Rp.50.000,00) proporsinya juga cukup

besar (43,75%) dibanding dengan jenis dagangan lainnya.

Page 102: Kajian PKL_2010 Edit

101

Tabel 16

Keterkaitan omset/hari dengan jenis dagangan

no Jenis dagangan omset per hari (dalam rupiah) jumlah

<

50.000

50.000-

99.000

100.000-

499.000

500.000-

999.000

1.000.000-

1.500.000

1 makanan/minuman 21 45 145 14 8 233

2 buah-buahan 0 1 5 0 2 8

3 Pakaian 0 0 4 0 0 4

4 Rokok 6 1 5 1 0 13

5 voucher HP 1 0 2 0 0 3

6 Onderdil 0 0 1 0 0 1

7 Kelontong 1 3 6 0 1 11

8 mainan anak 0 0 1 0 0 1

9 tanaman hias/buah 0 0 3 0 0 3

10 Furniture 0 0 2 0 0 2

11 lain-lain 19 11 13 2 1 46

jumlah 48 61 187 17 12 325

Tabel 17

Persentase keterlaitan omset/hari dengan jenis dagangan

no Jenis dagangan omset per hari (dalam rupiah) jumah

<

50.000

50.000-

99.000

100.000-

499.000

500.000-

999.000

1.000.000-

1.500.000

1 makanan/minuman 43.75 73.77 77.54 82.35 66.67 71.69

2 buah-buahan 0.00 1.64 2.67 0.00 16.67 2.46

3 Pakaian 0.00 0.00 2.14 0.00 0.00 1.23

4 Rokok 12.5 1.64 2.67 5.88 0.00 4.00

5 voucher HP 2.08 0.00 1.07 0.00 0.00 0.92

6 Onderdil 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.31

7 Kelontong 2.08 4.92 3.21 0.00 8.33 3.38

8 mainan anak 0.00 0.00 0.53 0.00 0.00 0.31

9 tanaman hias/buah 0.00 0.00 1.60 0.00 0.00 0.92

10 Furniture 0.00 0.00 1.07 0.00 0.00 0.62

11 lain-lain 39.58 18.03 6.95 11.76 8.33 14.15

jumlah 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00 100.00

Page 103: Kajian PKL_2010 Edit

102

Tabel 18

Persentase Keterkaitan Omset/hari dengan Jenis Dagangan

No Jenis Dagangan Omset per hari (dalam rupiah) Jumlah

< 50.000

50.000-99.000

100.000-499.000

500.000-999.000

1.000.000-1.500.000

1 Makanan/minuman 9.01 19.31 62.23 6.01 3.43 100.00

2 Buah-buahan 0.00 12.50 62.50 0.00 25.00 100.00

3 Pakaian 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00

4 Rokok 46.15 7.69 38.46 7.69 0.00 100.00

5 Voucher HP 33.33 0.00 66.67 0.00 0.00 100.00

6 Onderdil 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00

7 Kelontong 9.09 27.27 54.55 0.00 9.09 100.00

8 Mainan anak 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00

9 Tanaman hias/buah 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00

10 Furniture 0.00 0.00 100.00 0.00 0.00 100.00

11 Lain-lain 41.30 23.91 28.26 4.35 2.17 100.00

Jumlah 14.77 18.77 57.54 5.23 3.69 100.00

PKL dengan bangunan permanen dan bongkar pasang memiliki omset

yang sangat besar. PKL yang memiliki omset Rp.1.000.000,00-Rp.1.500.000,00

secara keseluruhan merupakan type bangunan permanen dan bongkar pasang,

73,29% merupakan type PKL dengan type bangunan permanen dan 16,77%

adalah PKL dengan type bangunan bongkar pasang. PKL dengan type bangunan

bongkar pasang sebagian besar memiliki omset Rp.100.000,00-Rp.499.000,00,

proporsinya mencapai 55,56%.

Page 104: Kajian PKL_2010 Edit

103

2. Implementasi Kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam

Penataan PKL di Surakarta yang tidak menimbulkan konflik fisik

Warga masyarakat yang peduli keberadaan PKL menyambut baik

keberadaan Perda disertai upaya Pembinaan, karena bagaimanapun PKL

adalah warga masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Walaupun selanjutnya mempertanyakan kenyataan bahwa PKL

berada dimana-mana, di setiap ruas jalan umum tanpa menghiraukan

kepentingan orang lain sebagai pemakai jalan, fasilitas umum, PKL berada

di setiap sudut, di luar tempat/lokasi yang ditentukan, untuk mendekati

konsumen.

Pemindahan PKL dilakukan melalui proses yang panjang.

Pedagang diberi pengarahan, agar pada waktu yang ditentukan menempati

tempat relokasi PKL dapat berlangsung dengan baik. Pemerintah Kota

Surakarta dapat memberikan solusi yang baik bagi para PKL. Selain itu

juga adanya konsekuansi dan ketegasan aturan yang dijalankan oleh

Pemerintah Kota Surakarta.

Hubungan dekat dan simpati antara Pemerintah Kota dengan PKL

membuat ketegangan proses pemindahan dapat melunak. Pelan-pelan

Namur pasti Pemerintah Kota Surakarta yang di Pimpin Oleh Joko

Widodo (Walikota) terjun langsung mendekati PKL untuk berbicara dari

hati kehati dan melakukan musyawarah untuk melaksanakan relokasi.

Selain itu keamanan dapat diwujudkan karena Pemerintah Kota sendiri

memberikan waktu yang cukup lepada para PKL untuk berbenah.

Page 105: Kajian PKL_2010 Edit

104

Penyeragaman, penampilan yang indah dan menarik untuk sarana

PKL berjualan misalnya, gerobak, tenda dan sebagainya disetujui oleh

PKL dengan syarat ada bantuan berupa dana. Sebab sebagian besar PKL

adalah pengusaha golongan ekonomi lemah modal kecil dengan barang

dagangan yang tidak beragam. Demikian juga jika PKL ditempatkan pada

suatu lokasi tertentu yang tidak merusak keindahan taman kota atau

fasilitas umum lainnya, PKL mensyaratkan bahwa tempat tersebut

haruslah ramai, didatangi banyak pelanggan.

Sikap, perilaku, cara pandang warga masyarakat, PKL tentang

keindahan mempengaruhi implementasi Perda PKL dalam rangka

mewujudkan keindahan Kota Surakarta. Budaya hukum suatu masyarakat

akan tampak pada penghayatan terhadap hukum yang berlaku, dalam hal

ini tentang Perda No 08 Tahun 1995, penghayatan PKL tentang nilai

keindahan mempunyai akibat langsung dan tidak langsung terhadap

kepatuhan Perda. Oleh karena penghayatan terhadap arti keindahan adalah

sebagai nomor kesekian, maka kepatuhan dan rasa ikut mewujudkan serta

memiliki kota yang indah adalah tindakan nanti-nanti saja, tindakan nomor

kesekian.

Kota Surakarta memberi perhatian yang serius terhadap keberadaan

PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai kendala, upaya penataan dan

pembinaan PKL terus dilakukan. Perhatian Pemkot terhadap PKL ini

semakin meningkat dalam era kepemimpinan Joko Widodo, Walikota

Surakarta. Dimulai dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan

Page 106: Kajian PKL_2010 Edit

105

dengan realisasi penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras

semua pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke

bangunan Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi

upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan

pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-

shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi

dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui fasilitasi

bangunan/tempat berdagang.

B. Pembahasan

1. Dasar hukum dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam

Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta

Pedagang Kaki Lima (PKL) adalah pedagang informal yang

menempati kaki lima (trotoar-pedestrian) keberadaannya tidak boleh

mengganggu fungsi politik, baik ditinjau dari aspek ekonomi, social, fisik

visual, lingkungan dan pariwisata. Istilah PKL erat kaitannya dengan

istilah di Perancis tentang pedestrian untik pejalan kaki di sepanjang jalan

raya, yaitu Trotoir (baca : trotoar). Disepanjang jalan raya kebanyakan

berdiri bangunan bertingkat. Pada lantai paling bawah biasanya disediakan

ruang untuk pejalan kaki (trotoir) selebar 5 kaki (5 feet setara dengan 1,5

m). Pada perkembangan berikutnya pada pedagang informal akan

menempati trotoir tersebut, sehingga disebut dengan istilah Pedagang

Lima Kaki (di Indonesia disebut Pedagang Kaki Lima = PKL).

Page 107: Kajian PKL_2010 Edit

106

Selain definisi secara umum, Kota Surakarta telah mendefinisikan

PKL secara khusus sebagaimana dimuat dalam Peraturan Daerah

Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang

Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima. Beberapa pasal terkait

dengan definisi PKL, tempat usaha dan pembinaannya dapat diuraikan

sebagai berikut :

Bab I Ketentuan Umum, Pasal 1,

(c) Pedagang Kaki Lima adalah orang yang melakukan usaha dagang dan

atau jasa, di tempat umum baik menggunakan atau tidak menggunakan

sesuatu, dalam melakukan kegiatan usaha.

(d) Tempat Usaha Pedagang Kali Lima adalah tempat umum yaitu tepi-

tepi jalan umum. trotoar dam lapangan serta tempat lain diatas tanah

negara yang ditetapkan oleh Walikota Kepala Daerah.

Sebagai upaya untuk mentertibkan PKL yang berada di Kota

Surakarta, maka di diperlukan hukum yang mengatur keberadaan PKL

tersebut. Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap

produk hukum akan sangat ditentukan dan diwarnai oleh imbangan

kekuatan politik yang melahirkannya. Setiap produk hukum merupakan

produk keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi

dari pemikiran politik yang saling berinteraksi di kalangan politisi.

Meskipun dari sudut idealnya politik harus tunduk pada ketentuan hukum,

namun lebih melihat pada kenyataannya, politik justru melatarbelakangi

munculnya hukum.

Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 pada

hakikatnya berkewajiban untuk memberikan perlindungan dan pengakuan

Page 108: Kajian PKL_2010 Edit

107

terhadap penentuan status pribadi dan status hukum setiap Peristiwa

Kependudukan dan Peristiwa Penting yang dialami oleh Penduduk yang

berada di dalam dan/atau di luar wilayah Negara Kesatuan Republik

Indonesia.

Dalam hal ini tugas politik hukum adalah meneliti perubahan-

perubahan mana yang perlu diadakan terhadap hukum yang ada agar

memenuhi kebutuhan-kebutuhan baru di dalam kehidupan masyarakat.

Politik hukum tersebut merumuskan arah perkembangan tertib hukum

Bersama lajunya perkembangan jaman tidak dapat disangkal lagi bahwa

ruang gerak politik hukum berkembang, tidak hanya sebatas Negara

sendiri saja melainkan meluas sampai keluar batas Negara hingga ke

tingkat Internasional

Hukum, walaupun diciptakan oleh negara dianggap mengatur

perbuatan negara, yang dipahami seperti seorang manusia, di mana hukum

mengatur perbuatan manusia. Hukum termasuk ke dalam kategori norma,

oleh karena itu hukum merupakan suatu sistem norma.

Hukum sebagai kategori moral serupa dengan keadilan, pernyataan

yang ditujukan untuk pengelompokkan sosial tersebut sepenuhnya benar,

yang sepenuhnya mencapai tujuannya dengan memuaskan semua. Rindu

akan keadilan, yang dianggap secara psikologis, adalah kerinduan abadi

manusia akan kebahagiaan, yang tidak bisa ditemukannya sebagai seorang

Page 109: Kajian PKL_2010 Edit

108

individu dan karenanya mencarinya dalam masyarakat. Kebahagiaan sosial

dinamakan ’keadilan’50

Hukum sebagai pengaturan perbuatan-perbuatan manusia oleh

kekuasaan dikatakan sah bukan hanya dalam keputusan (peraturan-

peraturan yang dirumuskan) melainkan juga dalam dalam pelaksaannya

sesuai dengan hukum sesuai dengan hukum kodrati. Dengan kata lain

hukum harus sesuai dengan ideology bangsa sekaligus sebagai pengayom

masyarakat51

.

Dalam pelaksanaannya hukum dapat dipaksakan daya berlakunya

oleh aparatur menaga untuk menciptakan masyarakat yang damai, tertib,

dan adil. Terhadap perilaku manusia, hukum menuntut supaya melakukan

perbuatan yang lahir, sehingga manusia terikat pada norma-norma hukum

yang berlaku dalam masyarakat Negara. Kendatipun hukum dalam bentuk

hukum positif daya berlakunya terikat oleh ruang dan waktu.

Pemkot Surakarta memiliki perhatian yang besar pada pembinaan

dan penataan PKL melalui pendekatan pemberdayaan. Beberapa kebijakan

tersebut terutama didasarkan pada :

a Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8

Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembinaan Pedagang Kaki Lima.

Substansi kebijakan yang termaktub pada peraturan

perundangan di atas dapat dijelaskan sebagaimana uraian berikut ini.

50

Hans Kelsen. 2008. Pengantar Teori Hukum. Bandung : Nusamedia. Hal 135

51 Dahlan Thaib, dkk. 1999.Teori dan Hukum Konstitusi. Jakarta : PT Raja Grafindo

Persada. Hal 9

Page 110: Kajian PKL_2010 Edit

109

Selain definisi tentang PKL, Peraturan Daerah Kotamadya Daerah

Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan

Pembinaan Pedagang Kaki Lima juga memuat beberapa ketentuan lain,

yaitu :

Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :

1. Tempat Usaha Pedagang Kaki Lima ditetapkan oleh

Walikotamadya Kepala Daerah.

2. Walikotamadya Kepala Daerah dalam menetapkan tempat usaha

sebagaimana dimaksud ayat (1), pasal ini, mempertimbangkan

faktor sosial, ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan dan

kesehatan serta tata ruang kota sesuai dengan Peraturan Daerah

yang belaku.

Pada Pasal 3 disebutkan bahwa :

1) Setiap Pedagang Kaki Lima harus bertanggung jawab terhadap

ketertiban, kerapian, kebersihan, keindahan, kesehatan lingkungan

dan keamanan di sekitar tempat usaha.

2) Untuk mewujudkan kebersihan, kerapian, dan keindahan tempat

usaha serta keamanan sebagaimana dimaksud ayat (1) pasal ini.

Walikotamadya Kepala Daerah menetapkan persyaratan-persyaratan

lebih lanjut.

b Surat Keputusan Walikota Surakarta Nomor 2 Tahun 2001 tentang

Pedoman Pelaksanaan Peraturan Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II

Surakarta Nomor 8 Tahun 1995 tentang Penataan dan Pembiaan PKL.

Page 111: Kajian PKL_2010 Edit

110

Langkah pembinaan dan penataan PKL secara lebih

operasional didasarkan pada Surat Keputusan Walikota Surakarta

Nomor 22 Tahun 2001 tentang Pedoman Pelaksanaan Peraturan

Daerah Kotamadya Daerah Tingkat II Surakarta Nomor 8 Tahun 1995

tentang Penataan dan Pembinaan PKL. Pada bab II berisi tentang

Larangan Tempat Berusaha Pedagang Kaki Lima.

Pada Pasal 2 disebutkan bahwa :

1) Untuk menjaga ketertiban, keamanan, ketentraman dan kebersihan

di kota Surakarta, dilarang menggunakan tempat-tempat atau

fasilitas umum termasuk parit, tanggul, taman kota, jalur hijau,

cagar budaya, monumen, sekolah Taman Pahlawan, sekitar

bangunan Tempat ibadah sebagai tempat kegiatan usaha Pedagang

Kaki Lima.

2) Selain tempat-tempat yang dilarang sebagaimana tersebut ayat (1)

Pasal ini, Jl. Jenderal Sudirman dilarang sebagai tempat Usaha

Pedagang Kaki Lima.

Pada Pasal 3 dijelaskan bahwa :

1) Untuk Alun-alun dan lapangan olahraga, pada acara-acara yang

diselenggarakan oleh Pemerintah Daerah atau Pihak Swasta yang

telah mendapat izin dari Walikota, dapat digunakan berjualan

Pedagang Kaki Lima dengan ketentuan setelah acara selesai harus

bersih dari Pedagang Kaki Lima.

Page 112: Kajian PKL_2010 Edit

111

2) Dalam menetapkan tempat-tempat usaha atau fasilitas umum dan

sebagainya Walikota mempertimbangkan akepentingan sosial,

ekonomi, ketertiban, keamanan, kebersihan, dan keseshatan serta

keindahan.

c Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun 2006 tentang

Penyeleggaraan Kawasan Tertib.

Selain itu penataan dan pembinaan PKL di lapangan juga

didasarkan pada Peraturan Walikota Surakarta Nomor 11-C Tahun

2006 tentang Penyelenggaraan Kawasan Tertib. Pada peraturan

tersebut ditegaskan bahwa Kawasan Tertib adalah suatu kawasan di

sebagian Kota Surakarta yang ditetapkan sebagai kawasan tertib

berdasarkan Peraturan, dan apabila melanggar dapat terkena sanksi.

Sebagai pilot project/percontohan kawasan tertib ditetapkan sepanjang

Jalan Slamet Riyadi, Jalan Jenderal Sudirman dan Jalan Urip

Sumoharjo.

d Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun 2006 tentang

Pengendalian Lingkungan Hidup.

Terkait dengan aspek lingkungan, pembinaan dan penataan

juga memperhatikan Peraturan Daerah Kota Surakarta Nomor 2 Tahun

2006 tentang Pengendalian Lingkungan Hidup. Pada peraturan tersebut

dilarang:

Page 113: Kajian PKL_2010 Edit

112

1) melakukan pembuangan sampah atau limbah padat pada sumber-

sumber air, dan tempat-tempat lain yang tidak diperuntukkan

sebagai tempat pembuanagan sampah.

2) mendirikan bangunan, melakukan usaha dan / atau kegiatan di

tempat yang ditetapkan sebagai hutan kota, jalur hijau kota, taman

kota, resapan air dan daerah sepadan sungai.

Berdasarkan paparan diatas dapat dikatakan bahwa hukum sebagai

sarana kontrol sosial adalah suatu proses yang dilakukan untuk

mempengaruhi orang-orang agar bertingkah laku sesuai dengan harapan

masyarakat. Kontrol sosial ini dijalankan dengan menggunakan berbagai

aktivitas yang melibatkan penggunaan kekuasaan negara sebagai suatu

lembaga yang diorganisasi secara politik maupun melalui lembaga-

lembaga yang dibentuknya.

Keadaan tersebut berbeda dengan hukum sebagai sarana social

engineering. Hukum sebagai sarana social engineering adalah penggunaan

hukum secara sadar untuk mencapai suatu tertib atau keadaan masyarakat

sebagaimana yang dicita-citakan atau untuk melakukan perubahan-

perubahan yang diinginkan. Kemampuan seperti ini biasanya hanya

dilekatkan pada hukum modern.

Maka dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai Dasar hukum

dan kebijakan Pemerintah Kota Surakarta dalam Pemberdayaan dan

Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota Surakarta, sesuai dengan

pendapat Robert Seidman yang menyatakan bahwa tindakan apapun yang

Page 114: Kajian PKL_2010 Edit

113

akan diambil baik oleh pemegang peran, lembaga-lembaga pelaksana

maupun pembuat undang-undang selalu berada dalam lingkup

kompleksitas kekuatan-kekuatan sosial, budaya, ekonomi dan politik, dan

lain-lain sebagainya. Seluruh kekuatan-kekuatan sosial itu selalu ikut

bekerja dalam setiap upaya untuk memfungsikan peraturan-peraturan yang

berlaku, menerapkan sanksi-sanksinya, dan dalam seluruh aktifitas

lembaga-lembaga pelaksanaannya. Dengan demikian, peranan yang pada

akhirnya dijalankan oleh lembaga dan pranata hukum itu merupakan hasil

dari bekerjanya berbagai macam faktor. Dengan menggunakan model dari

Seidmen tersebut dapat dijelaskan pengaruh faktor-faktor atau ketentuan-

ketentuan sosial mulai dari tahap pembuatan undang-undang,

penerapannya dan sampai kepada peran yang diharapkan. Demikian pula,

pengaruh kekuatan-kekuatan sosial dirasakan juga dalam bidang

penerapan hukum.

Peranan yang diharapkan dari warga masyarakat juga sangat

ditentukan dan dibatasi oleh kekuatan-kekuatan sosial tersebut, terutama

sistem budaya. Yang dimaksud “pemegang peran” adalah semua warga

negara baik itu hakim, polisi dan sebagainya. Apapun terminologi yang

diajukan untuk menjelaskan apa itu hukum, pada dasarnya hukum

merupakan budaya masyarakat atau aktivitas mesyarakat tertentu yang

berjalinan erat dengan aspek-aspek lain dalam masyarakat.

Sebagaimana yang dinyatakan oleh Eran Vigoda-Gadot sebagai

berikut:

Page 115: Kajian PKL_2010 Edit

114

”Without doubt, we live in an era of great challenges for modern

societies. The tenty-first century will necessitate enormous changes in our

conventional perceptions of governmental activities and responsibilities. It

will similarly require a reformation of the meaning of citizenship and a

redefinition of the role of citizens, businesses and private sector firms, the

third sector, the media, and academia. All these players, and others, will

need to collaborate to some serious extent. Most importantly, they will

need to collaborate with public administration as its impact grows, in

order to provide the people with better services and with the high quality

goods they deserve”.52

(Tanpa ragu, kita hidup di era tantangan besar bagi masyarakat

modern. Pada abad ke-21 akan memerlukan perubahan besar dalam

persepsi konvensional mengenai kegiatan pemerintah dan tanggung jawab.

Ini juga akan memerlukan reformasi arti kewarganegaraan dan redefinisi

peran warga, bisnis dan perusahaan swasta, sektor ketiga, media, dan

akademisi. Semua pemain, tanpa kecuali, akan perlu untuk berkolaborasi

dalam beberapa hal serius. Yang paling penting, mereka harus

berkolaborasi dengan administrasi publik sebagai dampak yang tumbuh,

dalam rangka memberikan layanan kepada masyarkat dengan lebih baik

serta memperoleh kualitas produk yang layak.

Suatu peraturan dibuat atau dikeluarkan tentunya berisi harapan-

harapan yang hendaknya dilakukan oleh subyek hukum sebagai pemegang

peran. Namun bekerjanya harapan itu tidak ditentukan hanya oleh

kehadiran peraturan itu sendiri, melainkan juga oleh beberapa faktor lain,

antara lain : (a) sanksi-sanksi yang terdapat di dalamnya, (b) aktifitas dari

lembaga pelaksana hukum, dan (c) seluruh kekuatan-kekuatan sosial,

politik dan lain-lainnya yang bekerja atas diri pemegang peranan di situ.

52

Gadot, Eran Vigoda, 2004, “Collaborative Public Administration Some Lessons from the

Israeli Experience”, Managerial Auditing Journal, Vol. 19 No. 6, pp.700-711, Israel : University

of Haifa. Hal. 710.

Page 116: Kajian PKL_2010 Edit

115

2. Implementasi Kebijakan Penataan Pedagang Kaki Lima di Kota

Surakarta yang tidak memunculkan konflik fisik

Pendorong utama munculnya PKL di perkotaan adalah faktor

ekonomi. himpitan kebutuhan ekonomi di satu sisi dan terbatasnya

lapangan pekerjaan di sisi lainnya menyebabkan PKL menjadi alternative

yang banyak dipilih.

Terkait dengan sejarah munculnya peristilahan PKL, dalam

perkembangan pola penyebaran PKL di trotoar hampir dijumpai pada

semua fungsi kawasan, baik dengan fungsi utama perkantoran, pendidikan,

kesehatan, perumahan maupun perdagangan. Secara umum, faktor utama

pemicu hadirnya PKL adalah pejalan kaki. Jika kemudian pada kawasan

perdagangan muncul banyak PKL, karena kawasan tersebut lebih banyak

pejalan kakinya. Demikian pula jika diarea pabrik banyak karyawan yang

berjalan kaki, maka disitupun banyak PKL.

Namun demikian bukan berarti kawasan yang sedikit pejalan

kakinya akan steril dari PKL. Terdapat beberapa kawasan yang bukan

tempat lalu lalang pejalan kaki, tetapi banyak di huni PKl. Sebut saja PKL

dilapangan Banjarsari-Solo (sebelum relokasi ke Pasar Klitikan di

Notoharjo tahun 2006). PKl di tempat ini bukan lagi didatangi sambil lalu

atau kebetulan lewat, tetapi menjadi tujuan utama perjalanan para pembeli.

Kebanyakan, mereka datang dengan kendaraan dengan menggunakan

kendaraan bermotor, baik roda empat maupun roda dua. Meskipun

Page 117: Kajian PKL_2010 Edit

116

demikian yang datang dengan menggunakan sepeda ”onthel” (kayuh)

maupun berjalan kaki, jumlahnya juga tidak sedikit.

Warga masyarakat yang peduli keberadaan PKL menyambut baik

keberadaan Perda desertai upaya Pembinaan, karena bagaimanapun PKL

adalah warga masyarakat yang bekerja untuk memenuhi kebutuhan

hidupnya. Walaupun selanjutnya mempertanyakan kenyataan bahwa PKL

berada dimana-mana, di setiap ruas jalan umum tanpa menghiraukan

kepentingan orang lain sebagai pemakai jalan, fasilitas umum, PKL

mermaba setiap sudut, di luar tempat/lokasi yang ditentukan, untuk

mendekati konsumen.

Kenyataan bahwa sebagian besar PKL dan masyarakat belum atau

tidak mengetahui tentang Perda No 08 Tahun 1995 hal ini menandakan

kurangnya sosialisasi sehingga pengenalan serta pemahaman terhadap

keberadaan Perda demikian minim. Penetapan tempat/lokasi dan

pembentukan tim pembina yang ada tidak ditindaklanjuti dengan

pelaksanaan sekaligus pengawasan secara maksimal di lapangan; terkesan

“asal ada” saja. Sementara itu setiap pihak yang terlibat bersikap

menunggu, tidak aktif berinisiatif karena birokratisasi.

Dari hasil penelitian yangelah penulis lakukan, maka dalam

pembahasan ini dapat diketahui indikator keberhasilan implementasi

kebijakan pemberdayaan dan penataan pedagang kaki lima di Kota

Surakarta yang tidak memunculkan konflik adalah ketertiban, keamanan

dan keindahan.

Page 118: Kajian PKL_2010 Edit

117

a. Ketertiban

Menurut kamus Bahasa Indonesia tertib berarti teratur, aturan,

rapi, peraturan yang baik. Jadi ketertiban adalah menyiratkan suatu

keteraturan, keadaan sesuai dengan aturan. Ketertiban diperlukan agar

kehidupan tidak berubah menjadi anarki; keadaan tanpa aturan, kacau,

chaos.

Hanya melalui hukum-lah manusia hendak menghindarkan diri

dari anarki, mengingat fungís hukum yang mendasar adalah mencegah

terjadinya konflik karena kepentingan masing-masing anggota

masyarakat. Secara konseptual, ketertiban (umum) dipahami sebagai

manifestasi dari statu keadaan damai yang dijamin oleh keamanan

kolektif, yaitu statu tatanan, dimana manusia merasa aman secara

kolektif. Kebebasan individu dibatasi oleh kepentingan kolektif.

Apeldoorn dalam Budiono berpandangan bahwa hukum secara

substansi berlaku umum dan tidak diskriminatif, sehingga tertib hukum

menjadi tertib yang berlaku umum. Hukum dapat menciptakan tertib

(umum) hanya jika hukum berhasil menjaga keseimbangan

kepentingan antar manusia dalam masyarakat. Hukum bisa ditegakkan

apabila mendatangkan keadilan bagi mereka yang berkepentingan

terhadap keadaan tertib itu.

Hukum menjaga pemenuhan terhadap kepentingan dasar

manusia, misalnya kebebasan untuk bekerja dan berusaha memenuhi

kebutuhan hidupnya. Perda No 08 Tahun 1995 sebagai wujud hukum

Page 119: Kajian PKL_2010 Edit

118

untuk menjaga pemenuhan terhadap kepentingan dasar PKL yakni

bekerja dan berusaha sebagai PKL; Pasal 27 (2) UUD 1945. Apabila

kepentingan dasar tidak terlindungi manusia akan berusaha

memperoleh perlindungan dan keadilan bagi dirinya sendiri, bisa

dibayangkan apabila setiap manusia mengejar pemenuhan

lepentingannya dengan mengorbankan ketertiban umum.

Dengan demikian jika ketertiban umum harus merupakan tertib

hukum maka ketertiban umum itu haruslah merupakan suatu keadaan

tertib yang adil. Memahami pandangan Gustav Radbruch, bahwa

fungsi utama nilai dasar hukum mencerminkan adanya keadilan,

menegakkan keadilan. Bukankan tujuan hukum menurut pandangan

teori campuran adalah ketertiban sebagai syarat terbentuknya

masyarakat yang teratur; ketertiban yang diharapkan tercipta melalui

Perda No 08 Tahun 1995.

Eko (30 tahun) seorang PKL pada wawancara tanggal 9 Maret

2010, berpendapat bahwa ketertiban itu adalah menurut aturan. Pada

kenyataannya, yang bersangkutan berjualan di luar tempat/lokasi yang

ditentukan alias liar. Eko berpandangan bahwa aturan itu buatan

manusia sehingga boleh, sah-sah saja bila dilanggar. Apalagi penegak

hukumnya juga tidak keberatan aturannya dilanggar? “Kalo aturan

Tuhan tidak boleh dilanggar”, demikian lanjutnya. Dengan demikian

untuk menciptakan ketertiban (umum) memerlukan sesuatu yang

mampu mengakibatkan bahwa keadaan secara umum adalah tertib.

Page 120: Kajian PKL_2010 Edit

119

Sesuatu itu selain berupa aturan (hukum) juga ada pihak yang

berperan untuk menjalankan prosedur penertiban itu sendiri. Dalam hal

ini adalah Satpol PP, aparat pemerintah/birokrasi. Tentunya sulit

menciptakan, mewujudkan ketertiban (umum) jika aparat pemerintah

sendiri tidak memperhatikan citra tertib; secara teratur dan berkala

mengawasi juga mengadakan pembinaan terhadap PKL misalnya.

Seperti yang dikatakan oleh Eko, bahwa pemindahan PKL

dilakukan melalui proses yang panjang. “Awalnya pedagang diberi

pengarahan, lalu pada waktu yang ditentukan menempati tempat

relokasi” Hal ini diamini oleh Agus (42 Tahun) yang mengatakan

bahwa pemindahan atau relokasi PKL dapat berlangsung dengan baik

karena Pemerintah Kota Surakarta dapat memberikan solusi yang baik

bagi para PKL. Selain itu juga adanya konsekuansi dan ketegasan

aturan yang dijalankan oleh Pemerintah Kota Surakarta.

Oleh karenanya terhadap PKL yang memperjualbelikan

tempat/lokasi dan atau kemudian yang berjualan di luar tempat/lokasi

yang telah ditentukan patut untuk diproses sesuai Perda, yakni izin

dicabut, denda atau bahkan pidana kurungan. Pada saat tertentu

encaman pidana yang diterapkan dengan tegas dan bijaksana mampu

mengurangi, menimbulkan efek jera pada pelanggar. Hal ini bertalian

dengan pandangan instrumental terhadap hukum yang menyatakan

bahwa seseorang akan mematuhi hukum sepanjang kepatuhan itu akan

mengakibatkan pemenuhan kebutuhan pribadinya. Jadi sanksi

Page 121: Kajian PKL_2010 Edit

120

merupakan unsur yang sangat penting. Menurut keterangan Denny

(anggota Satpol PP) dalam wawancara pada 22 Pebruari 2010,

bertempat di Kantor PP menjelaskan, baginya memproses PKL untuk

dipidanakan memerlukan waktu dan koordinasi yang tidak mudah di

samping kekurangan personal yang mempunyai kewenangan untuk

bertindak selaku Penyidik PNS.

Penambahan jumlah PKL (diluar tempat/lokasi yang ditunjuk)

yang tidak ditindak tegas menimbulkan rasa ketidakadilan bagi PKL

yang berada di lokasi resma/berizin. Tidak adil karena di lokasi liar

lebih resma pelanggan sepi, dilokasi liar ramai sebab biasanya lokasi

liar lebih strategis dan dekat serta mudah dijangkau oleh konsumen,

pelanggan. Ketidakadilan tersebut menimbulkan kekacauan yang

mengarah kepada tindakan brutal seperti yang terjadi beberapa waktu

yang lalu, perkelahian antara PKL “resmi” dan “liar”. Jadi peraturan

yang berkeadilan dapat menciptakan ketertiban. Berkeadilan serta

sikap tegas aparat pemerintah Kota Surakarta sangat berpengaruh pada

keberhasilan implementasi Perda agar tercipta ketertiban (umum).

Pada kenyataanya, pelaksanaan relokasi PKL yang

dilaksanakan Pemerintah Kota Surakarta tidak seperti yang dialami

oleh kota-kota lain. Kota Surakarta memberi perhatian yang serius

terhadap keberadaan PKL ini. Meskipun menghadapi berbagai

kendala, upaya penataan dan pembinaan PKL terus dilakukan.

Perhatian Pemkot terhadap PKL ini semakin meningkat dalam era

Page 122: Kajian PKL_2010 Edit

121

kepemimpinan Jokowi (Joko Widodo, Walikota Surakarta). Dimulai

dengan sosialisai di tahun 2005 yang dilanjutkan dengan realisasi

penataan PKL pada tahun 2006, membuktikan kerja keras semua

pihak. Relokasi PKL ’Klitikan” dari Lapangan Banjarsari ke bangunan

Pasar Klitikan Notoharjo yang megah dan permanen dilengkapi

upacara ”boyongan” dengan prosesi kirab budaya, menunjukkan

pendekatan yang humanis dalam penataan PKL. Pembangunan shelter-

shelter permanen di Kompleks Gelora Manahan dan Kleco, tendanisasi

dan grobagisasi PKL dengan pendekatan pemberdayaan melalui

fasilitasi bangunan/tempat berdagang.

Berdasarkan uraian di atas dikatakan bahwa ketertiban yang

diinginkan oleh Perda No 08 Tahun 1995 melalui tindakan menunjuk

dan menentukan tempat/lokasi berjualan bagi PKL berjalan

sebagaimana seharusnya/ tercapai

b. Keamanan

Aman mempunyai arti bebas dari bahaya, terlindung (Daryanto

1998 : 33). Keamanan artinya keadaan aman atau ketentraman yakni

statu keadaan dimana seseorang merasa bebas dari bahaya, merasa

terlindungi dan tenteram (keadaan damai, tidak terdapat kekacauan).

Sarjipto Rahardjo menegaskan bahwa hukum hendaknya bisa memberi

kebahagiaan, kedamaian bukan sebaliknya membuat ketidaknyamanan

bahkan ketidaktentraman hidup.

Page 123: Kajian PKL_2010 Edit

122

Walaupun ada keraguan bahwa keberadaan PKL menimbulkan

kerawanan keamanan sebagaimana dikatakan oleh Sumarwan dari

Disperindata dalam wawancara pada 19 April 2006, pada

kenyataannya tahun 2005, kerusuhan yang dilakukan PKL pada saat

relokasi tidak terjadi.

Pandangan dan pendapat serta pemikiran PKL tentang

keamanan adalah keadaan dimana tidak ada penggusuran, obrakan,

“penertiban” oleh petugas. Keamanan dalam pandangan Satpol PP

adalah keadaan dimana PKL patuh untuk tidak membuat keributan dan

pada kenyataannya PKL tidak berjualan di tempat/lokasi yang dilarang

(wawancara dengan Denny pada 18 Maret 2010).

Hubungan dekat dan simpati antara Pemerintah Kota dengan

PKL membuat ketegangan proses pemindahan dapat melunak. Pelan-

pelan Namur pasti Pemerintah Kota Surakarta yang di Pimpin Oleh

Joao Widodo (Walikota) terjun langsung mendekati PKL untuk

berbicara dari hati kehati dan melakukan musyawarah untuk

melaksanakan relokasi. Selain itu keamanan dapat diwujudkan karena

Pemerintah Kota sendiri memberikan waktu yang cukup lepada para

PKL untuk berbenah (Wawancara dengan Manto PKL)

Pada bulan November 2008 pemerintah kota Solo mempunyai

kebijakan untuk melakukan relokasi PKL yang berada di Jebres untuk

menciptakan kebersihan dan tata kota yang baik. Akan tetapi kebijakan

ini tentu memakan korban PKL yang sudah bertahun-tahun mencari

Page 124: Kajian PKL_2010 Edit

123

nafkah di tempat tersebut. Kebijakan pemerintah kota ini tidak hanya

sekedar menggusur akan tetapi menyediakan tempat yang lebih teratur

dan rapi dengan biaya dari APBD. Pada dasarnya anggota PKL ini

tidak menolak akan tetapi perlu mengambil beberapa sikap untuk

melakukan pengawalan pendataannya, sehingga para anggota PKL

tidak ada yang tercecer. Untuk melakukan proses pengawalan ini PKL

meminta kepada SOMPIS melakukan advokasi rencana relokasi yang

dilakukan oleh Pihak pemkot. Kegiatan advokasi dilakukan kepada

kelompok pedagang kaki lima (PPSK) yang diketuai oleh mbah sukir.

Agenda advokasi yang dilakukan adalah :

1) Melakukan pendataan ulang etrhadap kios yang akan direlokasi

dan rencana huniannya mbah sulir di sekitar bantaran sungai

Bengawan Solo tepatnya di Kampung Sawah Karang, kelurahan

Jebres.

2) Pendataan ulang dengan melibatkan dinas PKL agar tidak

menimbullkan konflik di tingkat basis. Begitu juga dengan pihak

kelurahan juga telah melakukan pendataan karena pada tahun 2009

relokasi ini akan segera dilakukan menunggu kios yang disediakan

jadi.

Proses advokasi ini sampai di bulan Desember masih belum selesai.

Masih ada anggota PKL yang belum terdata dan mempunyai

kekhawatiran tercecer. Dengan berbagai perbincangan yang terus

dilakukan antara PPSK dan SOMPIS serta pemerintah kota akhirnya

Page 125: Kajian PKL_2010 Edit

124

dihasilkan kesepakatan-kesepakatan bahwa yang belum terdata akan

mendapatkan kios pada tahun 2009. Pada bulan Januari persoalan ini

belum kelar, dan pihak pemkot meminta kepada KOMPIP dan

SOMPIS untuk memfasilitasi pertemuan dengan para PKL (PPSK)

agar terjadi proses penyelesaian secara dialogis dan cara yang baik.

Akhirnya pada hari senin, 12 Januari 2009 dilakukan pertemuan antara

KOMPIP, SOMPIS dan PPSK bertempat di rumah makan Boga Bogi

dengan dihadiri oleh Pemkot, Satpol PP dan tokoh masyarakat Jebres.

Pertemuan ini menghasilkan kesepakatan sebagai 1) Adanya

kesepahaman bersama bahwa PKL sejumlah 176 sampai 200 PKL

yang belum terakomodir akan melalui APBD Kota Solo sebesar 2,4 m.

2) Sikap KOMPIP terhadap Relokasi ke Pasar; menolak konsep

penataan PKL dengan model Pasar dan ”Pasarisasi” adalah Cara Halus

dari Penggusuran, karena :

a. Ahistoris

Pada perjalanan sejarahnya pasar secara struktural, berada kesatuan

ekologi cultural sebagai bagian dari bangunan njobo keraton (luar

kraton), antara lain pasar, tugu pemendengan ndalem, gapura

gladhag, gapura pamurakan, alun-alun, masjid agung, pagelaran

dan siti (hi)nggil dan fungsi pasar selain sebagai tempat jual beli

juga melambangkan sakral magis karena melahirkan konsep dasar

pasar candi. Oleh karena itu pasar tradisional di kota Solo

mengandung memori kolektif yang melekat di hati rakyatnya dan

Page 126: Kajian PKL_2010 Edit

125

begitu juga dengan pasar-pasar tradisional yang lain. Sehingga

konsep penataan PKL dengan membangun Pasar Tradisional

menyalahi konsep historinya Pasar Tradisional di kota Solo.

b. Merubah Identitas

Secara umum pasar merupakan tempat pertemuan antara penjual

dan pembeli. Pedagang informal dalam hal ini PKL (Pedagang

Kaki Lima) identik dengan jemput bola atau menjemput

keramaian, kegiatan belanjanya bisa barter, dengan modal kecil,

sedang Pasar tradisional atau pasar formal identik dengan modal

besar, menetap dan dengan modal besar. Sehingga penataan PKL

dengan Pasarisasi akan merubah identitas Pedagang informal

menjadi formal akan menyebabkan ”gagap” identitas, yang

akibatnya apabila tidak bi sa menyesuaikan ”tradisi” akan tergusur

dengan sendirinya, dan cita-cita kesejahteraan tidak akan terwujud.

Hal ini bisa kita lihat di Pasar Notoharjo, ketika di bulan pertama

banyak yang harus gulung tikar, karena tidak bisa memenuhi target

penjualan, kendaraan harus ditarik leasing dan lain sebagainya.

c. Pengkondisian Yang Cukup Lama

Proses Transisi menuju kondisi Jual Beli di Pasar Tradisional baru

membutuhkan waktu yang cukup lama, karena dibutuhkan konsep

yang matang tidak parsial dalam proses penkondisian seperti

komunikasi dengan PKL, tata letak, design pasar, promosi,

rekayasa transportasi, permodalan.

Page 127: Kajian PKL_2010 Edit

126

d. Tingkat Konflik Tinggi

Penataan PKL dengan Pasarisasi akan menyebabkan Konflik

kepentingan dan gesekan di internal PKL sangat tinggi, dan yang

paling rentan adalan pada pendataan dan pembagian jatah kios.

e. Resiko Gagal Lebih Tinggi

Melihat konsep paparan diatas konsep ini akan rawan gagal, dan

jauh dari cita-cita kesejahteraan kelompok miskin.

Berdasarkan paparan diatas, karenanya selama sikap, perilaku

pembuat peraturan (Pemkot Surakarta) dan petugas Satpol PP sebagai

pelaksana masih sudah sedemikian rupa berusaha mendekati PKL dan

melakukan musyawarah untuk mencari solusi terbaik, maka keamanan

pemindahan PKL dapat tercipta.

Hal tersebut di atas sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh Mitchell F. Rice sebagai berikut:

”Incorporating cultural competency into the study of public

administration/public service delivery and moving a public agency

toward cultural competence is an ongoing effort that requires the

recognition of several activities. First, the study of public

administration should acknowledge that cultural differences are

important in the delivery of public services and programs. Second,

continuous internal leadership and support are required by all

members of the agency. Third, culturally competent public

administration and public service delivery requires the following

attributes: cultural appropriateness, cultural accessibility, and

cultural acceptability”.53

(Memasukkan kompetensi budaya ke dalam studi administrasi

publik/umum layanan pengiriman dan bergerak suatu instansi publik

terhadap kompetensi budaya adalah berkelanjutan upaya yang

mengharuskan pengakuan beberapa kegiatan. Pertama, studi tentang

53

Rice, Mitchell F, 2007, “A post-modern Cultural Competency Framework for Public

Adminitration and Public Service Delivery”, International Journal of Public Sector Management

Vol. 20 No. 7, USA : Texas A&M University. Hal. 630

Page 128: Kajian PKL_2010 Edit

127

masyarakat administrasi harus mengakui bahwa perbedaan budaya

yang penting dalam pelayanan publik dan program. Kedua,

kepemimpinan internal, berkesinambungan dan dukungan yang

diperlukan oleh semua anggota badan tersebut. Ketiga, budaya

kompeten publik administrasi dan pelayanan publik memerlukan

atribut-atribut berikut: kesesuaian budaya, budaya aksesibilitas, dan

budaya penerimaan.

c. Keindahan

Keindahan adalah suatu keadaan yang indah, elok dan

menyenangkan jika dipandang mata, demikian menurut Kamus Bahasa

Indonesia. Keindahan suatu kota, dalam hal ini kota Surakarta, tampak

pada penataan tata ruang Kota Surakarta yang memperhatikan

beberapa hal antara lain: keberadaan ruang terbuka atau taman kota,

jalan-jalan yang bersih dan teratur, pedagang yang berjualan pada

tempat yang telah disediakan dengan penampilan yang menarik dan

tidak kumuh, taman yang terpelihara, lingkungan yang tidak tercemar

dan sebagainya. Untuk itu perlu pengelolaan lingkungan kota dengan

memperhatikan daerah atau sumber yang berpotensi menimbulkan

permasalahan ketertiban, kesemrawutan, juga pencemaran karena

daripadanya dihasilkan sampah.

Hartoyo dan beberapa PKL yang berjualan mentol bakso ini

menyatakan pendapatnya tentang keindahan sebagai sesuatu yang

nomor kesekian dan mengatakan,”untuk apa kota tampak indah jika

rakyatnya sengsara, tenderita, tidak berpenghasilan?”. Menjaga

kebersihan sebagai konsekuensi terwujudnya keindahan sulit

diterapkan oleh karena PKL menganggap dengan membayar retribusi

Page 129: Kajian PKL_2010 Edit

128

kebersihan/sampah maka kewajiban membersihkan sampah kegiatan

mereka gugur dan menjadi beban kewajiban Pemerintah Kota melalui

DKP (Dinas Kebersihan dan Pertamanan) Kota Surakarta

Penyeragaman, penampilan yang indah dan menarik untuk

sarana PKL berjualan misalnya, gerobak, tenda dan sebagainya

disetujui oleh PKL dengan syarat ada bantuan berupa dana. Sebab

sebagian besar PKL adalah pengusaha golongan ekonomi lemah modal

kecil dengan barang dagangan yang tidak beragam. Demikian juga jika

PKL ditempatkan pada suatu lokasi tertentu yang tidak merusak

keindahan taman kota atau fasilitas umum lainnya, PKL mensyaratkan

bahwa tempat tersebut haruslah ramai, didatangi banyak pelanggan.

Sikap, perilaku, cara pandang warga masyarakat, PKL tentang

keindahan mempengaruhi implementasi Perda PKL dalam rangka

mewujudkan keindahan Kota Surakarta. Budaya hukum suatu

masyarakat akan tampak pada penghayatan terhadap hukum yang

berlaku, dalam hal ini tentang Perda No 08 Tahun 1995, penghayatan

PKL tentang nilai keindahan mempunyai akibat langsung dan tidak

langsung terhadap kepatuhan Perda. Oleh karena penghayatan terhadap

arti keindahan adalah sebagai nomor kesekian, maka kepatuhan dan

rasa ikut mewujudkan serta memiliki kota yang indah adalah tindakan

nanti-nanti saja, tindakan nomor kesekian.

Budaya hukum dibedakan antara budaya hukum prosedural dan

hukum substantif. Secara prosedural PKL mempunyai kewajiban

Page 130: Kajian PKL_2010 Edit

129

membayar retribuís kebersihan, hasil retribuís tersebut dipergunakan

untuk “menjaga” kebersihan kota yang dilaksanakan oleh Dinas

Kebersihan dan Pertamanan. Jadi menjaga kebersihan dan keindahan

kota adalah kewajiban DKP karena PKL telah memenuhi

kewajibannya membayar retribusi. Di pihak lain secara substansif,

adalah adil jika yang melaksanakan pekerjaan membersihkan, menjaga

kebersihan keindahan kota dan taman-taman kota adalah DKP bukan

PKL. Apabila demikian dapat dikatakan bahwa implementasi Perda No

08 Tahun 1995 akan terlaksana dengan baik.

Beberapa PKL memiliki kepekaan terhadap unsur keindahan

tampak pada penampilan gerobak dan rombong atau tempat berjualan

yang dilata dengan Apik dan kreatif sehingga menimbulkan kesan

menarik. Namun sebagian besar berpenampilan seadanya bahkan

cenderung kotor. Keberadaan PKL yang teratur, tertib, tertata Apik

dalam suasana aman tentu menarik wisatawan, pengunjung yang

berakibat pada meningkatnya PAD Pemkot Surakarta.

Dari deskripsi di atas maka tingkat ketercapaian akan ketertiban,

keamanan dan keindahan dalam implementasi Perda No 08 Tahun

1995 tentang Pengaturan Tempat Usaha dan Pembinaan PKL telah

dapat dilaksanakan secara efektif. Hal ini sesuai dengan teori yang

dikemukakan oleh Teori konflik dahrendorf bahwa mata rantai antara

konflik dan perubahan sosial yang mengabaikan norma-norma dan

nilai-nilai. Menurut Marx “kepentingan” selalu dipandang dari segi

Page 131: Kajian PKL_2010 Edit

130

materialnya saja tetapi sebenarnya menurut dahrendorf “kepentingan”

selalu memiliki suatu harapan-harapan. Dalam memegang peran

penguasa seseorang tersebut akan bertindak demi keuntungan

organisasi sebagai suatu keseluruhan dan dalam kepentingan untuk

mempertahankan kekuasaan. Dahrendorf melihat masyarakat berisi

ganda, memiliki sisi konflik dan sisi kerjasama, sehingga segala

sesuatunya dapat dianalisa dengan fungsionalisme struktual dan dapat

pula dengan konflik

Page 132: Kajian PKL_2010 Edit

131

BAB V

PENUTUP

A. Kesimpulan

Pemerintah Kota Surakarta berhasil menata Pedagang Kaki Lima di Kota

Surakarta sehingga berjalan tanpa konflik fisik dengan cara :

1. Pemerintah Kota Surakarta membuat Regulasi atau Peraturan Peraturan

yang Jelas dan tegas serta konperhensif.Regulasi tersebut tidak hanya

mengatur keberadaan PKL secara fisik, tetapi juga memberi tugas dan

tanggungjawab kepada Pemerintah Kota Surakarta untuk melakukan

pemberdayaan kepada PKL agar bisa bertahan hidup dan eksis melakukan

usahanya ditempat tempat yang telah disediakan oleh Pemerintah Kota.

2. Regulasi atau Peraturan Peraturan tersebut diimplementasikan melalui

kebijakan dan Program Relokasi yaitu memasukan PKL ke Pasar Pasar

Tradisional, baik itu Pasar yang sudah ada atau Pasar Pasar yang memang

dibangun untuk menampung PKL, menempatkan PKL di Kantung

Kantung PKL dengan cara membuat shelter shelter PKL.

3. Melakukan proses sosialisasi terhadap program Relokasi secara kontinyu

dengan melibatkan para PKL, Tokoh Masyarakat,LSM, sampai didapatkan

titik temu bahwa Program Relokasi adalah menguntungkan semua pihak,

yaitu PKL sendiri, masyarakat, dan Pemerintah Kota.

4. Malakukan penegakan hukum terhadap PKL yang melanggar Peraturan

Daerah Tentang Penataan dan Pemberdayaan PKL.

Page 133: Kajian PKL_2010 Edit

132

B. Implikasi

Penataan Pedagang Kaki Lima dapat dilakukan tanpa adanya konflik

yang berarti apabila pemerintah daerah dapat memberikan solusi yang baik

bagi keberadaan para pedagang kaki lima tanpa harus menggusur keberadaan

mereka. Pada saat akan dilakukan penataan, pemerintah daerah dapat

melakukan dialog dengan para pedagang kaki lima sehingga konflik yang

mungkin terjadi dapat diminimalkan atau bahkan dihindari apabila ada

komunikasi yang baik. Penataan pedagang kaki lima memaang diperlukan

untuk menciptakan kawasan yang tertib dan indah di Kota Surakarta namun

penataan itu sendiri juga harus tetap memberikan ruang bagi pedagang kaki

lima karena bagaimanapun, keberadaan pedagang kaki lima jika dikelola

dengan dengan akan memberikan kontribusi bagi peningkana pendapatan asli

daerah.

C. Saran

1. Pemerintah Kota Surakarta yang telah merelokasi PKL ke dalam Pasar

Pasar Tradisional terutama pasar yang baru, harus selalu memberdayakan

PKL dengan cara antara lain: memberi fasiltas Modal Usaha dengan

pinjaman lunak (bunga rendah atau tampa bunga), mendorong PKL untuk

berkoperasi, membuka akses seluas luasnya dan semudah mungkin kepada

masyarakat untuk masuk ke Pasar Tradisional dimana PKL membuka

Usahanya, melakukan kegiatan dan program produktif yang mempercepat

keramaian Pasar Pasar Tradisional tersebut.

Page 134: Kajian PKL_2010 Edit

133

2. Menindak tegas PKL yang keluar dari Pasar Tradisional dan kembali ke

tempat berjualan semula, atau PKL PKL baru yang berjualan dengan cara

melangar Peraturan Daerah yang mengatur tentang Penataan dan

Pemberdayaan PKL.