kajian pemanfaatan ruang dalam kaitannya dengan resiko ... · kw ind = kawasan industri rmh =...
TRANSCRIPT
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil penelitian ini mengkaji aspek fisik dan aspek sosial. Pengkajian aspek
Gsik dilihat dari kondisi terkini penggunaan lahan serta kondisi fisik lainnya di
Kabupaten Bandung. Selanjutnya dari aspek fisik tersebut dilakukan pengolahan peta
untuk memperoleh peta resiko banjir. Pengkajian aspek sosial diperoleh dari data
primer berupa persepsi masyarakat terhadap penyebab terjadinya banjir, peuataan
ruang, maupun upaya konservasi.
Realisasi Pemanfaatan Ruang
Berdasarkan hasil up daling peta penggunaan lahan 2002 dari BPN Kabupaten
Bandung melalui verifikasi lapang, jenis penggunaan ataupun tutupan lahan di
Kabupaten Bandung dapat diklasifikasikan atas hutan, industri, kebun campwan,
ladang, perkebunan PTP, permukiman, situ/kolam/waduk, dan tanah kosonglsemak
(Gambar 17). Pengklasifikasian ini didasarkan dari klasifikasi penggunaanlpenutupan
lahan yang terdapat dalam RTRW Kabupaten Bandung (Pemkab Bandung 2001).
.. j-. , Ebb. P",x.**l
LEGENDA
,B,W ..,
>b.S,., ".I
,.6*, I'
r ~ n ~ a r o r o n o a n ~ r ,,,I> r,
Gambar 17 Penggunadpenutupan lahan Kabupaten Bandung (hasil verifikasi)
Keterangan :
[I7! peruntukan d a l m RTRW
1 : Hutan Lindung 8 : PerdaganganIJasa 2 : Hutan Produksi 9 : Perikanan 3 : Hutan Rakyat 10 : Perkebunan PTP 4 : Kawasan Indushi 11 : PerumahanIPermukiman 5 : Kehun 12 : Sawah Irigasi 6 : Ladang 13 : Sawah Tadah hujan 7 : PemerintahIFasum 14 : SitdDanauIWaduk Gambar 18 Grafik kesesuaian dan ketidaksesuaian terhadap RTRW.
H. H. H. Kw Kbn Ldg PmrIFas is ikan PTP Rmh Sw Sw SituIDa Lin Prd Ryt Ind um IRi Tdh nau
Hj n
Keterangan : H. Lin = Hutan Lindung Js = JasaIPerdagangan H. Prd = Hutan Produksi Ikan = Perikanan H. Ryt = Hutan Rakyat PTP = Perkebunan PTP Kw Ind = Kawasan Industri Rmh = Perumahan/Permukiman Kbn = Kebun Sw Iri= Sawah irigasi Ldg = Ladang Sw Tdh hjn = Sawah tadah hujan PmrIFasum = PemerintahadFasilitas umum SitulDanau = SituIDanaulWaduk
Gambar 19 Persentase luas penyimpangan masing-masing peruntukai lahan.
Berdasarkan Gambar 18 dan 19, ketidaksesuaian pemanfaatan ruang terjadi di
setiap jenis peruntukan pemanfaatan ruang, dan hampir semua mempunyai persentase
penyimpangan lebih dari SO%, kecuali perdagangan dan jasa yang 48.5%. Hal ini
menunjukkan ada yang tidak benar dengan penerapan rencana pemanfaatan ruang
yang telah dibuat dalam kurun waktu 5 tahun dari tahun 2001 sampai 2006 sekarang.
Peninjauan kembali terhadap RTRW dapat dilakukan untuk mengevaluasi tata ruang
sehingga dapat dilakukan revisi yang dapat mengakomodir kebutuhan d m
kepentingan daerah. Jangka waktu 5 (lima) tahun adalah waktu minimal untuk
meninjau ulang RTRW, agar pemerintah dapat mengadakan perbaikan dalam
penyusunan tata ruang sesuai Keputusan Menteri Kirnpraswil No. 327/KPTS/Mf2002
tentang Pedoman Peninjauan Kembali Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten.
Berdasarkan hasil analisis tumpang tindih yang telah dilakukan, maka
diketahui secara global daerah yang tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang
berlaku, lebih luas dibandingkan dengan daerah yang mengikuti RTRW, yaitu 225
474.4 ha atau sekitar 73% dari luas Kabupaten Bandung, dan dapat dilihat pada
Gambar 20. Tampak bahwa daerah dengan warna merah yang menunjukkan daerah
dengan penggunaan lahan tidak sesuai dengan rencana pemanfaatan ruang dalam
RTRW, mendominasi wilayah Kabupaten Bandung.
MWHTERll*OAP RTRW (Cbb.O Y*IUPATLNBANDUW
L ~ O S I I U I
[ ~ - - Z ~ W .>.a. x.
Gambar 20 Peta kontrol penggunaan lahan terhadap RTRW (global)
Daerah Bahaya Banjir
Daerah bahaya banjir adalah daerah dengan kondisi fisik alamiall yang jika
mengalami peristiwa alam seperti hujan, memiliki kemungkinan mengalami banjir,
dan dapat berulang dalam jangka waktu tertentu. Melalui data masukan berupa peta-
peta genangan banjir sebanyak 15 buah dari Balai PSDA Wilayah Citarum dengan
verifikasi (Gambar 21), maka dihasilkan peta bahaya banjir Kabupaten Bandung
berdasarkan jumlah kejadian banjir yang dialami oleh suatu daerah.
Analisis dilaksanakan melalui tumpang tindih 15 peta genangan banjir
tersebut, sehingga diperoleh peta bahaya banjir dengan 4 kelas bahaya berdasarkan
junllah kejadian banjir yang menimpa suatu daerah, dalam ha1 ini lebih menekankan
analisis pada daerah genangan di Kabupaten Bandung, karena terkait dengan data
pendukung yang ada. Teknis pembuatan peta bahaya banjir ini dapat dilihat pada Bab
Metodologi Penelitian. Adapun sebaran daerah bahaya banjir dapat dilihat pada
Gambar 22.
Berdasarkan sketsa genangan yang ada pada Gambar 21 tampak bahwa
genangan banjir yang terjadi sebagian besar berada dalam wilayah administratif
Kabupaten Bandung. Genangan di luar wilayah Kabupaten Bandung tampak pada
banjir yang terjadi tahun 1995, 1998, 1999, 2000, 2004, 2005 dan 2006. Selain itu,
pada peristiwa banjir tahun 2005 dan 2006, daerah-daerah yang pada tahun-tahun
sebelumnya tidak pemah banjir menjadi tergenang dengan lokasi genangan yang
terpencar-pencar, baik di Kabupaten maupun Kota Bandung. Genangan di Kabupaten
Bandung cenderung ke arah selatan dari lokasi banjir pada tahun-tahun sebelumnya,
sedangkan di Kota Bandung tampak daerah-daerah genangan baru.
Secara potensial luas daerah bahaya banjir cenderung bertambah, meskipuu
genangan banjir pada dua tahun terakhir berkurang luasannya. Hal ini dapat
diperkirakan dengan melihat timbulnya daerah-daerah genangan baru, sehingga
daerah yang sudah lama tidak mengalami banjir berpotensi akan terulang jika
masalah banjir ini tidak ditangani dengan baik.
Gambar 21 Daerah genangan di Bandung dan sekitiunya pada perstiwa banjir tahun 1986-2006 (verifikasi)
Gainbar 22 Peta bahaya banjir berdasarkan kejadian banjir.
PETA BAHAYA BANJlR KABUPATEN BANDUNG PROVINSI JAWA BARAT
(Brrdarwkw ICrjadian Bwjir)
-9. 5 O 3 K m
FGZ!!!!
LEGENDA:
LUAS PERSEX Kelnr Ifalm~a Ilanjir MA) T A S E W )
= T ~ K AAHAYA 293 848.5 95.6
=RENDAH 83388 2.7
SEDAN G 2 767.2 0.9
~ T ~ C C I 2416.5 0.8
,i:\";/" Bataskabupatcn
S q s i
R j,
k
k C
101'1B<" IO"Jlro1~ L,?~.e9*,,
.. ....,- I .
1- \... i i.
Kah 'l:rwak+tta i I- -.,. )---
>&
C i Kat. t.Ciajw
/J
fj
5 -./I\ \ \
i / ,P' L--
'I < K,t. G w t 'VLY7V - .- -
,i' -, L b.,'\- <' /-- Su11bcr:
Prra p a n g a n hanjr tahihlm 1 9 ~ 6 . ' ~ 9 9 2 . 1994 ,. ,i 1995,1996,13?7, 199E. 1599,2103, 2011, 2002,
2003.2001.2305. 2001. d r n ~ m y L. > IIasil a ~ i a i r ~ ., ..I
.X' i
fp
-! x cj
m'191P' 101'31<01' I>?,&<%@,,
Berdasarkan jumlah kejadian banjir dari hasil operasi turnpang tindih pada 15
peta, daerah yang tidak pemah mengalami banjir merupakan daerah terluas di
Kabupaten Bandung, yang pada Gambar 22 tampak berwarna krem. Sedangkan
daerah yang pemah mengalami banjir berada di tengall Kabupaten Bandung dengan
berbagai macam tingkat bahaya. Adapun hasil analisis wilayah bahaya banjir
berdasarkan jumlah kejadian banjir dapat dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6 Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir)
No Kecamatan Luas Wilayah (Ha) pada kelas bahaya banjir tidak bahaya rendah sedang tinggi
1 Arjasari 6 366.3 131.5 - - 2 Baleendah 1731.8 1 863.8 492.2 94.4 3 Banjaran 4 187.9 104.4 4 Batujajar 8 368.4 - - - 5 Bojongsoang 448.4 882.4 676.7 726.1 6 Cangkuang 2 359.7 101.1 7 Cicalengka 3 554.8 11.6 8 Cihampelas 4 662.7 - - - 9 Cikalongwetan 11 207.8 - - - 10 Cikancung 4 025.7 27.7 - - 11 Cilengkrang 2 987.6 3.1 - - 12 Cileunyi 2 228.3 802.7 126.6 - 13 Cililin 8 154.5 - - - 14 Cimaung 5 395.6 104.2 - - 15 Cimenyan 5 287.1 - - - 16 Ciparay 4 017.0 265.8 334.8 - 17 Cipatat 12 549.7 - - - 18 Cipeundeuy 10 124.7 - - - 19 Cipongkor 7 614.7 - - - 20 Cisarua 5 536.4 - - - 21 Ciwidey 4 984.0 - - - 22 Dayeuhkolot 898.6 191.5 7.5 5.1 23 Gununghalu 6 079.6 - - - 24 Ibun 5 456.6 - - 25 Katapang 1 900.3 216.0 - - 26 Kertasari 15 207.4 - - 27 Lembang 9 826.6 - - - 28 Majalaya 2 048.3 467.7 - 20.0 - -
Luas daerah bahaya banjir (berdasarkan kejadian banjir) (lanjutan)
No Kecamatan Luas Wilayah (Ha) pada kelas bahaya banjir tidak bahaya rendah sedang tinggi
29 Margaasih 1713.6 83.0 - - -
30 Margahayu 31 Nagreg 32 Ngamprah 33 Pacet 34 Padalarang 35 Pameungpeuk 36 Pangalengan 37 Parongpong 38 Paseh 39 Pasirjambu 40 Rancabali 41 Rancaekek 42 Rongga 43 Sindangkerta 44 Solokanjeruk 45 Soreang 6 631.2 73.4 - 32.6
Total (Ha) 293 848.5 8 338.8 2 767.2 2 416.5 Persentase (%) 95.6 2.7 0.9 0.8
Sumber : Hasil analisis
Berdasarkan Tabel 6, daerah-daerah bahaya banjir dengan kategori rendah
sampai tinggi tersebar di 21 kecamalan yaitu Arjasari, Baleendah, Banjaran,
Bojongsoang, Cangkuang, Cicalengka, Cikancung, Cilengkrang, Cileunyi, Cimaung,
Ciparay, Dayeuhkolot, Katapang, Majalaya, Margaasih, Margahayu, Pameungpeuk,
Paseh, Rancaekek, Solokanjeruk, dan Soreang. Daerah-daerah tersebut ternlasuk
daerah-daerah aliran Sungai Cikapundung, Citarik, Cirasea, Cisangkuy, dan Ciwidey,
seperti dapat dilihat pada Gambar 23. Sebaran daerah bahaya tinggi tampak luas pada
Sub DAS Citarik dan Sub DAS Cikapundung. Pada lokasi tersebut aliran Sungai
Citarik dan anak-anak sungainya bertemu dengan aliran Sungai Cikapundung dan
Cirasea dengan muara Sungai Citarum, dapat diiengerti jika hujan deras daerah
tersebut dan sekitamya lebih sering mengalami banjir.
Tampak pula fenomena yang unik pada 2 kecamatan yaitu di Kecamatan
Bojongsoang yang berada di sub DAS Cikapundung dan sebagian Citarik, dan
Rancaekek pada sub DAS Citarik, dimana pada 2 kecamatan tersebut daerah yang
tidak pemah mengalami banjir (kelas tidak berbahaya) dalam kurun waktu 20 tahun
(1986-2006) mempunyai luas yang lebih rendah dibandingkan dengan luas daerah
yang pemah mengalami banjir. Di Kecamatan Bojongsoang hanya 448.4 bektar
wilayah yang bebas banjir, sedangkan di Kecamatan Rancaekek hanya 1 194.9
hektar. Dengan kata lain, sekitar 83% dari luas wilayah Kecamatan Bojongsoang dan
73% wilayah Kecamatan Rancaekek pemah mengalami banjir. Kondisi ini
dimungkinkan terjadi karena Kecamatan Bojongsoang dan Rancaekek mempunyai
morfologi dataran yang dilalui aliran sungai dan jika dikaitkan dengan sejarah, daerah
tersebut dahulu merupakan rawa (ranca = rawa; bojongsoang=rancaekek=rawa
bebeklangsa) yang selalu tergenang air kemudian menjadi sawah, sehingga dapat
dimengerti apabila tanah di daerah tersebut mempunyai sifat kedap air. Bila hujan
deras terjadi dengan intensitas tinggi, tanah menjadi jenuh air dan saluran-saluran
tidak mampu menampung air maka banjir pun melanda dataran sekitar sungai dan
tertampung di cekungan-cekungan. Daerah bahaya tinggi yang termasuk juga pada
sub DAS Cikapundung adalah sebagian Kecamatan Margahayu dan Dayeuhkolot.
Selain itu, daerah bahaya tinggi berada di Kecamatan Paseh yang termasuk sub DAS
Cirasea dengan luas 355.0 ha, Kecamatan Baleendah seluas 94.4 ha yang termasuk
sub DAS Cisangkuy dan Cirasea, Kecamatan Pameungpeuk seluas 6.1 ha yang
termasuk sub DAS Cisangkuy, dan Kecamatan Soreang seluas 32.6 ha yang termasuk
sub DAS Ciwidey. Adanya daerah bahaya tinggi pada setiap sub DAS penyuplai
banjir menunjukkan bahwa 5 sub DAS tersebut berada dalam kondisi bunik, karena
tidak mampu mengalirkan air dalam salurannya maupun meresapkan ke dalam tanah,
sehingga daerah bahaya tinggi tersebut mengalami fiekuensi banjir yang cukup sering
Gambar 23 Sub DAS yang meliputi daerah bahaya banjir.
Wilayah Resiko Banjir
Resiko diartikan sebagai jumlah kehidupan yang hilang, kerusakan properti
atau terhambatnya aktivitas ekonomi karena adanya bahaya dari suatu fenomena
alami atau buatan. Adapun properti yang dimaksud adalah infiastruktur, fasilitas
sosial dan umum, serta penggunaan lahan pada daerah tertentu yang jika mengalami
suatu fenomena bahayalkerawanan seperti banjir, akan mengalami kerugian.Wilayah
beresiko terhadap banjir adalah wilayah yang selain mempunyai potensi bahaya
banjir berdasarkan kondisi fisik alarniah, juga pada wilayah tersebut terdapat jiwa
manusia dan properti yang bernilai ekonomi tinggi, sehingga bila mengalami banjir
akan mengalami kerusakan dan kerugian jiwa dan harta benda (bencana).
Untuk mengetahui tingkat resiko banjir di Kabupaten Bandung maka
dilakukan operasi tumpang tindih pada peta bahaya banjir dengan peta penggunaan
lahan, peta infiastruktur, dan peta fasilitas sosial dan umum (fasos fasum). Sebaran
wilayah resiko banjir dapat dilihat pada Gambar 24.
PET-A RESIKO B-AN..JIR K.&EiUP.ATEN B.ANI)ITN(:: PROT'INSI .J-A\\-A B-$RAT
5 0 5 K ,
L P G E N I I A ,
0 TIDAKBERESIKO 293 8485 9 5 6 REMKO RENDAH 9 3 9 1 3 R E ~ K O ~ D A N G 3 9 7 1 6 RESIKO IINGGI 139.5
/V Batas-Bntns I<nbt~])tuta
Pch gexmgan (rol.iQkd),Psta jaliagrn jnhn Peh p=nggla=na hhan (rcrtakA), Peh fasol fpnrm
Asdl m&L
Gambar 24 Peta resiko banjir Kabupaten Bandung.
Secara teknis, pemetaan daerah resiko banjir dilakukan dengan menggunakan
Sistem Informasi Geografis dengan menggunakan konsep logika berbasis
pengetahuan yang diterjemahkan kedalarn nilai elemen-elemen resiko (kerugian)
yang diakibatkan oleh banjir. Nilai elemen tersebut terkait dengan nilai kerugian
akibat banjir, dalam ha1 ini diwakili oleh properti.
Pada Gambar 24 tarnpak bahwa daerah dengan resiko banjir tinggi terletak
pada daerab bahaya banjir di sebagian Kecamatan Baleendah, Bojongsoang,
Dayeuhkolot, Ciparay, Solokanjemk, dan Rancaekek. Kondisi ini terjadi karena di
daerah-daerah tersebut selain termasuk dalam wilayah bahaya banjir tinggi juga
mempunyai nilai propeiii yang tinggi. Penggunaan lahan sangat berpengaruh dalam
penentuan nilai resiko karena skor penggunaan lahan mendominasi dalam
perh'itungan total skor properti. Adapun luasan penggunaan lahan pada tiap tingkat
resiko banjir dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7 Penggunaan lahan pada berbagai tingkat resiko banjir
T.nas Pada Ke las Res iko Baniir (Ha) Jumlah
(Ha)
Hutan Industri Kebun Campuran Ladang Perkebunan PTP Perrnukiman Sawah Situ/Kolam/Waduk Tanah kosonglsemak - 11.2 22.3 8 772.4 9 005.9 Jumlah (Ha) 159.5 3 971.6 9 391.3 293 848.5 307 371.0
Sumber : Hasil analisis
Sebagian besar penggunaan lahan di daerah dengan kelas resiko banjir tinggi
adalah permukiman, dan terdapat pula industri, sawah, dan ladang dengan luasan
kecil. Adapun daerah terluas pada daerah berpotensi banjir ini merupakan daerah
dengan resiko rendah. Rendahnya resiko dapat dikarenakan daerah tersebut berada
pada daerah bahaya banjir rendah, atau meskipun berada pada daerah bahaya banjir
tinggi, properti di daerah tersebut tidak termasuk kategori bernilai tinggi.
Daerah tidak beresiko banjir adalah juga daerah yang kondisinya tidak bahaya
banjir, dimana lokasinya tersebar pada hampir seluruh kecarnatan yang berbatasan
dengan kabupaten-kabupaten lain di sebelah barat, timur, utara dan selatan Kabupaten
Bandung. Kondisi ini dapat dimengerti karena daerah-daerah tersebut sebagian besar
berada di daerah tinggi yang justru sebagai tempat sumber-sumber air, dimana air
tersebut kemudian mengalir secara alami ke tempat yang lebih rendali. Adapun
properti yang terdapat di daerah tersebut tidak ternlasuk bemilai tinggi seperti
jaringan jalan yang umumnya merupakan jalan lokal. Lebih jelas dapat dilihat
sebaran daerah beresiko banjir dengan properti yang ada pada Gambar 25. Pada
gambar tersebut tampak bahwa daerah-daerah beresiko sedang dan tinggi adalah
daerah yang dilalui oleh jalan raya, dengan adanya fasilitas sosial dan fasilitas umum
yang lokasinya dekat dengan jalan raya, selain itu penggunaan lahan adalah
permukiman dan industri, ataupun sawah yang terletak di sisi jalan raya sehingga
daerah tersebut cukup beresiko jika terlanda banjir.
Adapun daerah-daerah dengan resiko rendah adalah daerah dengan komponen
properti bemilai rendah seperti lokasi permukiman yang jauh dari jalan raya,dan
hanya dilalui oleh jalan lokal, ataupun kurangnya fasilitas sosial dan umum, sehingga
tingkat resiko pada daerah-daerah tersebut rendah. Sedangkan daerah yang tidak
beresiko banjir tidak termasuk daerah bahaya banjir, dan tampak bahwa hanya sedikit
memiliki fasos fasum, dan hanya dilalui oleh jalan lokal dimana penggunaan
lahamya pun bervariasi
Gambar 25 Jaringan jalan dan fasos fasum di daerah beresiko banjir
Adapun sebaran wilayah dengan berbagai tingkat resiko dapat dilihat pada
Tabel 8.
Tabel 8 Luas daerah resiko banjir pada wilayah kecamatan Luas Wilayah (Ha) pada kelas resiko banjir
No Kecamatan tidak beresiko rendah sedang tinggi
1 Aqasari 6 366.3 131.5 - - 2 Baleendah 1731.8 1 996.6 439.3 14.4 3 Banjaran 4 187.9 104.4 - - 4 Batujajar 8 368.4 - - - 5 Bojongsoang 448.4 1 565.4 676.7 43.1 6 Cangkuang 2 359.7 100.6 0.5 - 7 Cicalengka 3 554.8 9.6 2.0 - 8 Cihampelas 4 662.7 - - - 9 Cikalongwetan 11 207.8 - - - 10 Cikancung 4 025.7 27.7 - - 1 1 Cilengkrang 2 987.6 3.1 - - 12 Cileunyi 2 228.3 817.3 112.0 - 13 Cililin 8 154.5 - - - 14 Cimaung 5 395.6 104.2 - - 15 Cimenyan 5 287.1 - - - 16 Ciparay 4 017.0 296.7 303.91 - 17 Cipatat 12 549.7 - - - 18 Cipeundeuy 10 124.7 - - - 19 Cipongkor 7 614.7 - - - 20 Cisarua 5 536.4 - - - 21 Ciwidey 4 984.0 - - - 22 Dayeuhkolot 898.6 196.783 7.4 - 23 Gununghalu 16 079.6 - - - 24 Ibun 5 456.6 - - -
25 Katapang 1900.3 204.1 11.9 -
26 Kertasari 15 207.4 - - -
27 Lembang 9 826.6 - - -
28 Majalaya 2 048.3 456.0 27.3 4.4 29 Margaasih 1713.6 83.0 - - 30 Margahayu 977.1 58.2 17.0 2.1 31 Nagreg 4 859.0 - - -
32 Ngamprah 3 608.6 - - -
Luas Wilayah (Ha) pada kelas resiko banjir No Kecamatan tidak
beresiko rendah sedang tinggi 33 Pacet 9 194.0 - - - 34 Padalarang 5 157.7 - - - 35 Pameungpeuk 1 092.4 367.6 2.3 - 36 Pangalengan 19 542.4 - - - 37 Parongpong 4 339.4 - - - 33 Paseh 5 155.5 511.1 158.4 - 39 Pasirjambu 23 949.4 - - - 40 Rancabali 14 700.0 - - - 41 Rancaekek 1 194.9 1 780.0 1498.8 56.2 42 Rongga 11 312.0 - - - 43 Sindangkerta 12 034.8 - - - 44 Solokanjemk 1 176.1 483.1 702.5 39.3 45 Soreang 6 631.2 94.3 11.7 -
Total (Ha) 293 848.5 9 391.3 3 971.6 159.5 Persentase (%) 95.6 3.1 1.3 0.1
Daerah dengan wilayah resiko tinggi yang terluas adalah Kecarnatan
Rancaekek (56.2 hektar). Kondisi ini dapat dimaklumi karena Rancaekek adalah
kecamatan yang berbatasan dengan Kabupaten Surnedang, sehingga nlempakan
daerah dengan lokasi aksesibilitas strategis berupa jalan arteri yang juga merupakan
jalur antar kota menuju timur pulau Jawa. Selain itu, indushi-industri banyak tersebar
di Kecamatan Rancaekek. Pembahan penggunaan lahan memang pesat tejadi di
daerah ini yang dahulu masih me~pakan sawah irigasi. Perumahan dan permukiman
pun tumbuh dengan subur. Fasilitas sosial dan umum berupa pasar dan sekolah yang
terdapat di Kecamatan Rancaekek selalu ramai oleh penduduk, termasuk pula stasiun
kereta api Rancaekek yang berada dalam sebuah komplek perumahan. Apabila banjir
menerjang Rancaekek, maka resiko yang akan diterima pun tinggi.
Kaitan Penggunaan Lahan Aktual Terhadap Banjir
Daerah beresiko banjir dapat dikaitkan pula dengan penggunaan lahan pada
daerah, aliran sungai yang mempengaruhi bahaya banjir di Kabupaten Bandung
seperti tehh &ai&an sebelumnya, yaitu Sub DAS Cikapundung, Cisawghy,
Cirasea, dan Citarik, yang dapat dilihat pada Gambar 26.
Gambar 26 Pengylnaan ld~an pada Sub DAS yang meliputi daerah beresiko banjir.
Pada Gambar 26 tersebut, tampak bahwa daerah-daerah yang terkena banjir
sebagian besar terjadi di permukiman pada tiap sub DAS. Selain itu genangan juga
menimpa industri, sawah, ladang, sebagian kecil kebun campuran, dan semak. Hal ini
dapat ditinjau dari penggunaan lahan yang terletak pada hulu hiigga hilir sub DAS-
sub DAS tersebut.
Hutan masih mendominasi penggunaan lahan di Sub DAS Cirasea seluas 11
895.4 ha, yang diikuti oleh permukiman seluas 6 259.5 ha. Luas hutan di sub DAS ini
sekitar 35% dari luas sub DAS, sehingga masih memenuhi persyaratan luas hutan
pada DAS yang minimal hams 30% menurut UU No. 41 tahun 1999 tentang
Kehutanan. Daerah genangan berada pada permukiman, sawah, dan semak yang
tersebar di Kecamatan Majalaya, Solokanjeruk, dan Bojongsoang, yaitu daerah hilir
pertemuan dengan Sungai Cikapundung dan Citarik.
Pada sub DAS Cikapundung, tampak kebun campuran mendominasi
penggunaan lahan seluas 8 176.8 ha, yang diikuti oleh permukiman seluas 6 405.2 ha.
Luas butan adalah 4 483.2 atau sekitar 17% dari luas sub DAS tersebut, sehingga jauh
dari persyaratan minimal 30%. Kondisi di sub DAS Cikapundung ini belum termasuk
dengan penggunaan lahan di Kota Bandung dan Kota Cimahi. Seperti umumnya kota,
apalagi sebagai ibukota provinsi, maka jenis penggunaan lahan di Kota Bandung
hampir seluruhnya merupakan permukiman. Demikian pula dengan Cimahi yang baru
dikukuhkan menjadi kota pada tahun 2001, merupakan sebuah kota yang padat
dengan industri. Sehingga bisa digeneralisir bahwa dominasi penggunaan lahan di
sub DAS Cikapundung adalah permukiman. Kurangnya daerah resapan di sub DAS
Cikapundung turut berperan dalam banjir yang terjadi di bagian hilir sungai, dan ha1
ini berpengaiuh terhadap resiko yang dihadapi bagi properti di daerah bahaya banjir.
Banjir yang terjadi di Sub DAS Cikapundung sebenamya juga tejadi di Kota
Bandung, namun dalam penelitian ini hanya ditelaah di daerah Kabupaten Bandung,
berkaitan dengan data pendukung yang ada.
Pada Sub DAS Cisangkuy, penggunaan lahan didominasi oleh ladang seluas
12 322.1 ha, diikuti permukiman 5 519.1 ha. Sedangkan, luas hutan adalah 4 477.9
ha, atau 14% dari luas sub DAS. Bila perkebunan PTP diasurnsikan pula sebagai
vegetasi permanen yang berfungsi meresapkan air dan menghambat laju aliran
permukaan setara dengan hutan, maka dengan luas 2 163.5 ha yang bila dijumlahkan
dengan luas hutan hanya mencapai 6 641.4 ha, atau sekitar 21% dari luas sub DAS.
Luasnya penggunaan lahan ladang dapat meningkatkan laju air larian melalui
aktivitas pengolahan tanah sehingga air membawa butiran tanah ke arah hilir yang
berkontribusi terhadap pendangkalan sungai. Adapun permitkiman dan industri yang
berada di bagian hilir sungai beresiko terhsdap banjir yang dapat mengakibatkan
kerugian.
Sub DAS Citarik didominasi oleh permukiman yang terletak berbatasan
dengan Kabupaten Sumedang yaitu di Kecamatan Rancaekek, dan di daerah ini pun
terdapat industri-industri yang termasuk wilayah Kabupaten Bandung maupun
Kabupaten Sumedang. Hutan seluas 6 453.8 ha sebagian besar terletak di Kecamatan
Nagrek, berbatasan dengan Kabupaten Garut dimana terdapat anak Sungai Citarik di
G. Mandalawangi. Persentase luasan hutan tidak bisa ditentukan di Sub DAS Citarik
ini, karena untuk perhitungan hams memperhatikan pula penggunaan lahan pada
daerah yang termasuk Kecamatan Sumedang dan Gamt. Pada Gambar 25 tampak
daerah bahaya yang cukup luas di Sub DAS Citarik, dimana beberapa lokasi
merupakan daerah beresiko tinggi. Hal ini dapat dipengaruhi oleh buruhya kondisi
daerah hulu Sungai Citarik yang berada di G. Kareurnbi di Kabupaten Sumedang,
maupun maraknya pembangunan permukiman dan industri di hilir sungai, yang
merupakan alih fungsi lahan besar-besaran dari penggunaan lahan sawah dalam 15
tahun terakhir. Industri-industri yang limbahnya langsung dibuang ke sungai tanpa
melalui pengolahan terlebih dahulu berkontribusi dalam pendangkalan sungai,
sehingga dapat mempengaruhi penurunan kapasitas pengaliran sungai.
Sedangkan penggunaan lahan di Sub DAS Ciwidey didominasi oleh kebun
campuran seluas 10 765.7 ha, kemudian hutan seluas G 527.5 ha atau 24% dari luas
sub DAS. Bila kondisi kebun campuran dan hutan masih cukup baik maka dapat
menghambat laju aIiran permukaan. Tampak bahwa daerah genangan di sub DAS
Ciwidey adalah yang paling sedikit dibanding dengan genangan pada sub DAS
laixu~ya, dan sebagian besar termasuk beresiko rendah. Hal ini perlu diwaspadai
karena meskipun jarang terkena banjir tapi banjir dapat terjadi setiap saat di daerah
bahaya tersebut. Daerah resiko banjir tinggi pada sub DAS Ciwidey ini berada di
pemukiman di Kecarnatan Soreang, dimana kondisi ini diperoleh dari hasil
wawancara dengan responden yang menyatakan banjir selalu terjadi di daerah
tersebut tiap hujan mengguyur deras.
Bila ditinjau secara agregat, maka luas hutan pada sub DAS-sub DAS
penyuplai banjir adalah 33 837.8 ha atau sekitar 23% dari luas kelima sub DAS yang
termasuk wilayah Kabupaten Bandung. Hal ini dapat menjadi gambaran kondisi
hutan pada sub DAS stimulan banjir meskipun belum ditinjau dari hutan yang berada
di sub DAS Citarik yang termasuk Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Gamt,
karena sedikitnya daerah aliran sungai tersebut yang berada di kedua kabupaten.
Persentase luas hutan yang tidak mencapai persyaratan minimal dalam suatu DAS
menurut UU No. 41 tahun 1999 tersebut, dapat merupakan kendala dalam menangani
banjir. Selain itu, bila ditinjau sepintas jenis penggunaan lahan di Kota Bandung
pada sub DAS Cikapundung yang didorninasi permukiman, maka ha1 ini pun
mempakan faktor-faktor terjadinya banjir di Kabupaten Bandung, mengingat
topografi Kota Bandung yang lebih tinggi dibandingkan daerah bahaya banjir di
Kabupaten Bandung, sehingga air larian di Kota Bandung mengalir ke lokasi yang
lebih rendah, yaitu muara Sungai Cikapundung di sekitar Kecamatan Dayeuhkolot,
Kabupaten Bandung. Selain itu, tingginya perbedaan debit Sungai Citarum saat banjir
dibandingkan debit sungai rata-rata tahunan menunjukkan kondisi daerah aliran
sungai yang tidak mampu menahan laju aliran permukaan dari hulu ke hilir.
Kondisi ini mempakan salah satu faktor yang dapat mendorong peningkatan
resiko akibat banjir yang terjadi di hilir-hilir sungai tersebut. Selain itu, tampak hulu-
hulu DAS dengan penggunaan lahan hutan yang sedikit, bahkan terdapat pula
pem~ukiman. Bagian hulu sungai yang seharusnya menjadi daerah resapan menjadi
berkurang fungsinya karena semakin hilangnya hutan akibat kegiatan budidaya lain
seperti ladang, kebun campuran, bahkan permukiman. Maka, bila tejadi huja11, air
yang jatuh di kawasan ini akan inenjadi aliran permukaan, yang kemudian masuk ke
saluran-saluran/penampung air seperti sungai, kolam, danau, maupun cekungan-
cekungan di permukaan tanah. Jika volume air tersebut melebih kapasitas
saluranlpenampung air, maka air akan meluap mencari saluran lain, sehingga terjadi
genangan pada daerah-daerah sekitar saluran atau sungai.
Genangan yang terjadi di Kabupaten Bandung sebenarnya tidak luput pula
dari kondisi saluran ataupun drainase perrnukiman. Saluran yang buruk akibat
sampah yang dibuang masyarakat dapat menghambat aliran air di salurah tersebut
dan meluap jika air yang masuk ke saluran tersebut melebihi kapasitas. Selain
sampah, kondisi bangunan drainase tersebut juga harus diperhatikan apakah masih
baik ataupun rusak. Untuk itu pengkajian dalarn masalah drainase sebaiknya
dilakukan tersendiri secara lebih mendalam.
Penggunaan lahan pada 5 Sub DAS tersebut dapat ditinjau pula dari rencana
pemanfaatan ruang yang telah ditetapkan melalui Perda RTRW untuk melihat
seberapa besar penyimpangan yang terjadi (Gambar 27).
Pada Gambar 27 tampak bahwa hampir seluruh penggunaan lahan pada
daerah aliran sungai tidak sesuai dengan alokasi pemanfaatan ruang (RTRW), yaitu
sekitar 71% dari luas kelima Sub DAS yang berada di wilayah Kabupaten Bandung
tersebut. Namun, terdapat pula daerah yang sesuai dengan RTRW tapi merupakan
daerah beresiko banjir, maka jelas terlihat bahwa RTRW yang disusun tidak
memperhatikan daerah banjir. Penyimpangan pemanfaatan ruang dapat menjadi
stimulan banjir jika RTRW yang dibuat sudah benar-benar mempertirnbangkan
seluruh kondisi daerah yang dikaitkan dengan masalah banjir. Perhatian terhadap
aktivitas yang berIangsung pada daerah-daerah aliran sungai yang melalui wilayah
resiko banjir merupakan ha1 yang penting karena di Icabupaten Bandung sungai
merupakan penyuplai banjir yang utama, sehingga harus ditinjau secara komprehensif
dari hulu hingga hilir.
Melihat tingginya penyimpangan pemanfaatan ruang pada kelima sub DAS
penyuplai banjir yang tennasuk Kabupaten Bandung ini, maka peninjauan ulang
terhadap RTRW sebaiknya segera dilakukan secara menyelumh.
Persepsi Masyarakat
Masyarakat adalah salah satu unsur dalam wilayah pemerintahan dan sangat
diharapkan peran sertanya dalam kegiatan pembangunan. Masukan, baik berupa saran
atau pendapat merupakan bentuk partisipasi masyarakat dalam mendorong
tenvujudnya kualitas ruang yang lebih baik.
Peran serta masyarakat tersebut terkait dengan pengetahuan masyarakat
sehubungan dengan kebutuhan-kebutuhan di daerahnya, sehingga penataan ruang
yang dibuat dapat efektif terlaksana dan masyarakat bersama stakeholder lain secara
sadar saling menunjang dalam memajukan daerahnya.
Penataan ruang yang bemawasan lingkungan adalah suatu cara non strukturai
dalam upaya mengatasi bencana alam, tennasuk juga bencana banjir, sehingga
pelibatan masyarakat dalam proses perencanaan tata ruang sangat diperlukan. Pada
tahap ini, pengetahuan mengenai wilayahnya serta kepedulian dalanl mengelola
bencana penting dimiliki oleh penduduk sehingga partisipasi yang diharapkan dari
masyarakat dapat berjalan optimal.
Pada penelitian ini, bersamaan dengan verifikasi lapang dilakukan wawancara
kepada masyarakat Kabupaten Bandung untuk mengetahui sejauh mana pengetahuan
dan wawasan mereka mengenai banjir dan tata ruang secara u m m . Adapun hasil
yang ingin diperoleh adalah informasi mengenai frekuensi banjir, penyebab banjir,
pengetahuan konservasi, dan penataan mang secara umum. Pada era otonomi daerah,
kewenangan penanganan bencana menjadi tanggung jawab daerah, dan dengan
adanya paradigma pengurangan resiko atau mitigasi sebagai konsep, maka setiap
individu, masyarakat dapat ditingkatkan kemampuannya dalam menekan dan
mengelola resiko (Departemen PU 2005). Kebijakan penanganan banjir melalui
penataan mang adalah ha1 yang diupayakan oleh pemerintah pada tahun-tahun
terakhir ini.
Frekuensi Banjir
Pada tahap ini dilakukan analisis dari hasil wawancara mengenai frekuensi
banjir di daerah responden. Hal ini dimaksudkan untuk meagetahui seberapa sering
banjir melanda daerah responden ketika t m n hujan yang sangat deras. Hasil
wawancara dapat dilihat pada Gambar 28.
Berdasarkan pemetaan persepsi masyarakat pada Gambar 28, temyata banjir
selalu teljadi di Kecamatan Rancaekek, Majalaya, Solokanjeruk, Bojongsoang,
Baleendah, Banjaran, Margaasih, Soreang, dan Pameungpeuk. Pada lokasi-lokasi
tersebut, seluruh responden (100%) yang bertempat tinggal di daerah beresiko tinggi
menyatakan daerahnya selalu mengalami banjir, sedangkan di daerah resiko sedang
terdapat 77.7% responden dan 34.6% responden di daerah resiko rendah inenyatakan
daerahnya selalu banjir. Pada daerah dengan frekuensi banjir tinggi belum tentu
resiko banjir yang dihadapi tinggi pula, karena ha1 ini terkait dengan nilai properti
yang ada sehingga mempengaruhi tingkat resikonya. Selain itu responden yang
ditanya dapat mempunyai persepsi yang berbeda mengenai banjir yang terjadi di
daerahnya karena walaupun berada pada desa yang sama tapi lokasi dan tinggi
genangan banjir belum tentu sama.
L E G E N D A : PETA FHEKUENSI BANJIR
FREKUOUSI BANJlR MENURUT MASYARAKAI' (Ilsril Wawsnmra)
m SELALU * IIDAK PEI1NAH m KADANG-KADANG
N Batas kabupaten Sumber : Kuesioner,Pc!a resiko banjir
Sungai Has11 analisis
Gambar 28 Frekuensi banjir menurut masyarakat
Persepsi Penyebab Banjir
Persepsi masyarakat terl~adap penyebab banjir dalam penelitian ini didasarkan
oleh 2 faktor, yaitu faktor alam dan manusia. Penyebab alam dalam ha1 ini bahwa
banjir mempakan peristiwa alam dan wajar saja jika terjadi begitu saja. Faktor
manusia mempakan hasil aktivitas manusia seperti membuang sampah di sungai,
membangun mmah di bantaran sungai, tidak adanya penegakan hukum bagi
pelanggar aturan yang berkaitan dengan lingkungan, dan sebagainya yang
mengakibatkan kemsakan lingkungan. Sebaran persepsi masyarakat tentang
penyebab banjir ini dapat dilihat pada Gambar 29.
Berdasarkan hasil wawancara, temyata sebagian besar responden di tiap
tingkat resiko mempunyai persepsi bahwa banjir disebabkan oleh manusia. Mereka
berpendapat bahwa tindakan manusia yang selalu membuang sampah di sungai
maupun saluran lainnya mengakibatkan saluran tersumbat, aliran air terhambat
sehingga meluap. Hal itu terjadi karena selain kebiasaan juga karena keterpaksaan,
seperti tidak adanya lokasi pembuangan sampah yang dekat dengan permukiman.
Dilain pihak, tidak adanya aparat yang mengambil tindakan tegas akibat perbuatan
itu. Selain itu, masyarakat pun menyalahkan industri yang membuang limbahnya di
sungai tanpa pengolahan terlebih dahulu, sehingga mengakibatkan air sungai menjadi
hitam dan bau karena limbah.
Maka dari hasil wawancara tersebut disimpulkan bahwa sebenarnya menurut
sebagian besar masyarakat, stimulan banjir di Kabupaten Bandung adalah perilaku
manusia yang rnembuang sampah ke saluran air, dan ha1 ini terjadi dari daerah hulu
hingga hilir sungai. Kondisi ini tejadi karena faktor kebiasaan untuk mencari
kemudahan dalam melenyapkan sampah di sekitar lingkungan mereka, dan juga
karena tidak adanya sanksi. Masyarakat juga berpendapat bahwa penyebab banjir
akibat kondisi dan peristiwa alam juga bukan ha1 yang tidak mungkin, dapat dilihat
dari hasil wawancara bahwa masyarakat pun tnengetahui faktor-faktor alamiah yang
dapat menyebabkan banjir seperti curah hujan yang tinggi maupun luapan sungai.
PETA PENYEBAB BANSIR PENYEBAD BANIlR hlENURLiT MASYARAKAT
(Ifasil Wawsneara)
I e MANUSIA I Tingkst Re~ iko PENYBBAB B A W I I Benennn Bsniir ALAS, MANUSIA Jnn.
N Batas kabupatcn
Sungai
Surnbor : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis
Gambar 29 Distribusi persepsi penyebab banjir
Pengetahuan Konservasi
Pada analisis pengetahuan konservasi, wawancara dilakukan untuk
mengetahui sejauh mana pengetahuan responden tentang konsewasi alam. Responden
diharapkan dapat menerangkan pentingnya konsewasi terutama bagi lingkungan, agar
te Gaga dari peningkatan aliran permukaan yang menimbulkan bahaya erosi sehingga
terjadi penumpukan sedimentasi yang dapat menurunkan kapasitas aliran sungai
sehingga mudah meluap dan akhimya banjir. Adapun d a i hasil wawancara dapat
dilihat distribusi persepsi masyarakat tersebut pada Gambar 30.
Garnbar 30 menunjukkan bahwa di daerah tidak beresiko, 53.3% responden
tidak mengetahui teknik-teknik konsewasi dan ha1 ini dapat mempengaruhi pola
hidup mereka terhadap lingkungan seperti penggunaan lahan yang tidak mengikuti
kaidah konsewasi, penebangan liar, dan sebagainya. Hal ini terjadi pada beberapa
responden yang berada di daerah pertanian, yang meskipun sudah dilakukan upaya
konservasi tanah seperti pembuatan teras, namun teras itu dibongkar lagi dengan
alasan bibit yang ditanam menjadi lebih sedikit, meskipun tidak berpengaruh
terhadap produksi. Selain itu, terdapat kecenderungan yang serupa di daerah resiko
rendah, sedang dan tinggi yaitu persentase responden yang tidak mengetahui
konservasi berkisar 40%.
Maka, dari hasil wawancara yang dilakukan secara acak tersebut
menunjukkan tingkat pengetahuan dan pemahaman masyarakat terhadap konservasi
masih sangat terbatas. M e n u t hasil wawancara yang telah dilakukan, mayoritas
responden berpendapat konservasi dilakukan cukup dengan menanan pohon-
pohonan atau penghijauan, sedangkan pengetahuan tentang teknik konsewasi lain
yang dapat mendukung dalam penanaman pohon tersebut agar efektif berfungsi
konservasi, seperti penggunaan lahan berbasis konservasi tanah, macam bangunan
konservasi seperti penggunaan bronjong, clzeck dam, dan sumw resapan tidak begitu
mereka pahami.
e MENOETAHUI * TlDAK MENGETAIIUI
Q TIDAKPEDULI
RUlKORENDAl l 14(53.8%) 11(42.3%) 1(3.8%) 26
REIKOSEDANC x55.5%) 4(44.4%)
N Batas kabupaten Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir Hasil analisis
Garnbar 30 Distribusi pengetahuan konservasi masyarakat
Pengetahuan Informasi Tata Ruang
Informasi tata ruang yang dimaksud adalah untuk mengetahui sejauh mana
penyebaran informasi atau sosialisasi mengenai rencana penataan ruang sampai ke
masyarakat. Hal ini untuk mengetahui apakah pemerintah setempat telah mengikuti
peraturan yang menyatakan bahwa masyarakat berhak untuk ikut berpartisipasi dalam
penataan ruang, mulai dari perencanaan, pemanfaatan, rlan pengendalian pemanfaatan
ruang.
Penyebaran informasi tata ruang yang sampai pada sasaran, yaitu turut
sertanya masyarakat dalam membahas tata ruang di wilayahnya adalah yang
diharapkan dari hasil wawancara ini. Adapun hasil wawancara melalui kuesioner
yang disebarkan dapat dilihat pada Gambar 31.
Gambar 31 menunjukkan bahwa sebagian besar responden di Kabupaten
Bandung tidak pemah mengetahui tentang adanya informasi rencana penataan ruang,
dengan persentase lebih dari 50%. Hal ini dimungkinkan karena penyebaran
infoimasi ataupun pengumuman mengenai akan diadakannya penataan ruang tidak
gencar dan kurang intensif, padahal partisipasi masyarakat sangat diharapkan dalam
perencanaan tata ruang tersebut. Adapun para responden yang mengetahui adanya
pengumuman mengenai penataan ruang biasanya adalah para profesional, dalam ha1
ini pengembang yang ikut berpartisipasi dalam kegiatan pembangunan. Selain itu
pelaksanaan penataan ruang kabupaten dalam tenggang waktu 10 tahun juga
merupakan salah satu faktor informasi penataan ruang kurang meninggalkan kesan di
masyarakat. Salah satu kesan yang dapat ditimbulkan oleh pemerintah bagi
masyarakat adalah terealisasinya rencana pemanfaatan ruang.
107'1510"
Kab. Purwakarta
L E G E N D A : [p/71p) PEL4 PENGETAflUAN MASYARAKAT
NFORMASI PENATAAN RUANC TERHADAP INFORMAS1
I'ENA'rAAN RUANG (Hnsil Wawancsra)
/V Batas kabupaten
Sungai
Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir ITasil analisis
Gambar 3 1 Pengetahuan masyarakat tentang penyebaran informasi tata ruang
Kesadaran partisipasi masyarakat
Partisipasi masyarakat dalam berbagai kegiatan pembangunan adalah ha1 yang
sangat diharapkan untuk mendorong tercapainya kemakmuran yang diharapkan
dalam suatu wilayah. Apalagi dalam era otonomi daerah, masyarakat sangat
berkepentingan dengan setiap kegiatan yang akan dilaksanakan pemerintah di
daerahnya. Salah satu peran serta masyarakat yang diharapkan adalah dalam kegiatan
penatsan ruang sesuai dengan PP 69/96 tentang Pelaksanaan Hak dan Kewajiban,
Serta Bentuk dan Tata Cara Peran Serta Masyarakat dalam Penataan Ruang.
Dari wawancara yang telah dilakukan diperoleh informasi mengenai
kemungkinan masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan penataan ruang. Pada
daerah beresiko banjir tinggi, mayoritas masyarakat menyatakan keinginannya untuk
ikut dalam penataan mang supaya daerah mereka terbebas banjir Hasil dari
wawancara tersebut disajikan dalam Gambar 32.
Berdasarkan wawancara tersebut, tampak bahwa hampir seluruh responden
pada tiap daerah resiko banjir mempunyai keinginan untuk berpartisipasi dalam
kegiatan penataan ruang, dengan persentase pada daerali tidak beresiko adalah 99.30/0,
pada daerah resiko rendah loo%, daerah resiko sedang loo%, dan pada daerah resiko
tinggi 90.0%. Responden sangat antusias terhadap berbagai kegiatan yang
dilaksanakan pemsrintah apalagi yang menyangkut dengan kegiatan yang akan
diadakan di daerahnya, termasuk responden yang tinggal di daerah bahaya banjir.
Sebenamya responden di daerah bahaya banjir selalu menunggu tindakan pemerintah
untuk mengatasi masalah mereka dan pada dasamya mereka siap mengikuti langkah
terbaik yang diputuskan. Namun terdapat pula responden yang tidak peduli dengan
apapun kegiatan yang direncanakan pemerintah. Hal ini perlu mendapatkan perhatian
agar dapat ditumbuhkan kesadaran masyarakat untuk membangun daerahnya agar
dapat terhindar dari resiko yang dapat muncul sewaktu-waktu.
Masyarakat perlu mendapatkan penerangan tentang kegiatan penataan ruang
dan sosialisasi ini sebaiknya mencapai seluruh pelosok di daerah Kabupaten
Bandung, sehingga wawasan dan pemahaman masyarakat bertambah.
L E G E N D A : [ ~ r - - - - 1-1 PETA KE'NGINAN PARTISIPASI MASYARAKAT DALAM
KEINOINAN BERPARTISIPASI PENATAAN RUANG
I s MAU I (Hnsil Waxancam)
/,/ Batas kabupaten Sumber : Kuesioner,Peta resiko banjir
Sungai Hasil analisis
Gambar 32 Sebaran keinginan partisipasi masyarakat dalam penataan ruang
Upaya Penataan Ruang Berdasarkan Aspek Resiko Banjir
Penataan ruang merupakan proses perencanaan, pemanfaatan, dan
pengendalian tata ruang, karena itu dalam kajian ini dibahas arahan penataan ruang
sebagai masukan dalam penentuan kebijakan pemerintah daerah Kabupaten Bandung
sebagai berikut :
Perencanaan Tata Ruang
Belum tersedianya peraturan dan perundangan mengenai penanganan
bencana banjir skala kabupaten sampai saat ini, menyebabkan penataan ruang yang
dilaksanakan tidak memperhatikan aspek kebencanaan, maka ha1 tersebut seyogyanya
segera ditetapkan dalam suatu perundangan sehingga mempunyai berkekuatan hukum
dan bersinergi dalam rangka penataan ruang, termasuk di Kabupaten Bandung.
Dengan demikian sifat dan resiko kebencanaan terutama banjir di Kabupaten
Bandung bisa dipertimbangkan sebagai aspek penting dalarn penataan ruang.
RTRW Kabupaten Bandung yang telah disusun tampaknya tidak
memperhatikan aspek resiko bencana dengan adanya daerah yang sesuai dengan
RTRW tapi termasuk dalam daerah beresiko banjir. Selain itu belum selaras ditinjau
dari penggunaan lahan aktual mengingat tingginya persentase ketidaksesuain,
khususnya pada daerah-daerah aliran sungai yang terdapat daerah bahaya banjir.
Kondisi ini hendaknya menjadi bahan pemikiran para pengambil kebijakan dalam
penataan ruang.
Peninjauan kembali terhadap RTRW yang sudah ada sebaiknya dilakukan
untuk mengevaluasi dan memperbaiki segala kekeliruan maupun kekurangan-
kekurangan yang telah dibuat, sehingga perbaikan terhadap RTRw tersebut dapat
dipertanggungjawabkan dan dilaksanakan dengan konsisten. Dalam ha1 ini, untuk
perbaikan RTRW Kabupaten Bandung, sebaiknya mempertimbangkan daerah-daerah
bahaya banjir. Alangkah baiknya jika untuk selanjutnya perencanaan pembangunan
industri, permukiman, termasuk fasos fasum berada di luar daerah bahaya banjir, dan
kemungkinan relokasi adalah ha1 yang hams dipikirkan dan menjadi pertimbangan
penanganan banjir, sehingga resiko di daerah bahaya banjir dapat dikurangi. Selain
itu, untuk mengurangi resiko di daerah bahaya banjir, maka revisi RTRW agar
memperhatikan pula kondisi DAS stimulan banjir, yaitu Sub DAS Cirasea, Sub DAS
Ciwidey, Sub DAS Cikapundung, Sub DAS Citarik, dan Sub DAS Cisangkuy.
Koordinasi antar stakeholder dalam revisi RTRW ini selain yang berada di wilayah
Kabupaten Bandung, juga harus melibatkan para stakeholder yang berada di
Kabupaten Sumedang dan Kabupaten Garut untuk membahas pengelolaan sub DAS
Citarik, serta Kota Bandung dan Cimahi dalam pembahasan Sub DAS Cikapundung.
Berdasarkan analisis persepsi, mayoritas masyarakat merasa tidak dilibatkan
dalam perencanaan tata ruang, karena mereka tidak mengetahui penyebaran informasi
tentang rencana penataan ruang di daerahnya. Padahal sebenamya, keingilian
masyarakat untuk berpartisipasi cukup tinggi, sehingga dalam kegiatan revisi RTRW,
ataupun penataan ruang selanjutnya, sosialisasi penataan ruang hams lebih
menjangkau masyarakat dengan mengikutsertakan mereka dalam penyusunan
rencana pemanfaatan ruang. Masyarakat yang berada di daerah-daerah bahaya banjir
maupun yang berada di daerah-daerah aliran sungai stimulan banjir hams
diikutsertakan dalam pembahasan yang menyangkut aspek resiko banjir, sehingga
dapat diperoleh masukan yang mengangkat masalah banjir dengan memperhatikan
pula kepentingan masyarakat maupun lingkungan.
Perbaikan terhadap RTRW ini diharapkan dapat menetapkan aturan baru yang
mempertimbangkan aspek resiko kebencanaan suatu kawasan bahaya banjir.
Pemanfaatan Ruang
Adanya perubahan fungsi lahan di daerah akumulasi air, terutama pada
berbagai daerah dataran rendah yang beresiko banjir secara alaini agar disikapi
dengan serius, terutama makin maraknya permukiman di bantaran sungai. Perubahan
fungsi lahan di Kabupaten Bandung mengakibatkan terjadinya pula penyimpangan
dari yang sudah direncanakan dalam RTRW. Upaya pengendalian secara fisik berupa
pengerukan saluran-saluran drainase termasuk sungai maupun pengaturan bangunan-
bangunan dengan meninggikannya di daerah banjir agar air tidak mudah masuk ke
dalam rumah tangga dapat dipertimbangkan untuk menghindari banjir untuk
sementara. Namun untuk program jangka panjang agar dipertimbangkan
keberlanjutan pemanfaatan ruang yang optimal, yaitu dengan mempertimbangkan
berbagai aspek kehidupan dan berbagai aspek kepentingan daerah, sehingga banjir
tidak menimbulkan masalah lagi.
Berdasarkan kajian yang telah dilakukan, penataan ruang yang dapat
dilakukm untuk mengurangi resiko banjir adalah dengan lebih memfokuskan
perhatian pada kondisi daerah-daerah aliran sungai yang selama ini mempakan,
stimulan banjir di Kabupaten Bandung, yaitu Sungai Cikapundung, Ciwidey,
Cisangkuy, Cirasea, dan Citarik karena sungai-sungai tersebut bermuara di Sungai
Citamm pada daerah dataran. Keberadaan hutan dapat dipertahankan, dan dapat
diperluas lagi dengan melakukan reboisasi di bagian hulu-hulu sungai tersebut yang
dalam kondisi gundul. Aktivitas budidaya pertanian seperti kebun campuran maupun
ladang di daerah berlereng agar memperhatikan kaidah-kaidah konservasi tanah
seperti pembuatan teras, dan penanaman searah kontur, sehingga dapat mengurangi
laju aliran permukaan. Penataan kawasan permukiman juga agar dilakukan pada
daerah yang tidak termasuk daerah bahaya banjir, karena masih banyak daerah di
Kabupaten Bandung yang mempunyai potensi untuk dilakukan pembangunan
permukiman sehingga tidak terkonsentrasi di daerah bahaya banjir, nlisalnya di
daerah yang tidak dilalui oleh sungai-sungai tersebut di atas.
Adapun pemanfaatan ruang yang berada di luar wilayah administratif
Kabupaten Bandung tapi termasuk dalam daerah aliran sungai yang sama, yaitu Kota
Bandung dan Cimahi yang termasuk Sub DAS Cikapundung, serta Kabupaten
Sumedang yang termasuk Sub DAS Citarik, hams diupayakan bersama baik oleh
aparat maupun masyarakat karena masalah banjir ini juga dialami oleh daerah-daerah
tersebut. Pemanfaatan ruang di Kota Bandung kemungkinan hams menitikberatkan
pada drainase maupun pemanfaatan lahan sempit sebagai ruang terbuka hijau karena
sebagian besar lahan yang digunakan adalah permukiman
Berdasarkan hasil wawancara, harus diupayakan pengelolaan sampah,
mengingat persepsi masyarakat bahwa penyebab banjir adalah perilaku manusia yang
membuang sampah ke sungai dan saluran karena praktis. Pengelolaan sampah
organik dapat menggunakan lahan-lahan di sekitar permukiman jarang penduduk
seperti pembuatan kompos. Bagaimanapun, lokasi untuk pengolahan sampah hams
ada dan jauh dari permukiman, karena itu perlu dipikirkan lokasi yang cocok untuk
pengolahan sampah.
Pengendalian Tata Ruang
Berdasarkan data primer melalui wawancara, menunjukkan masih rendahnya
pemahaman masyarakat dan aparat pemerintah tertentu dalam mensikapi kondisi
alam yang berada di kawasan rawan bencana karena kurangnya informasi dan
sosialisasi berbagai resiko kebencanaan. Masalah banjir di Kabupaten Bandung
mempakan masalah yang tidak ada hentinya sejak dulu, dan pengendalian tata mang
adalah salah satu cara non struktural untuk menanganinya. Namun, kondisi yang
terjadi tidak menunjukkan upaya ke arah pengendalian tata mang tersebut.
Persentase yang tinggi ketidaksesuaian penggunaan lahan dengan RTRW
mempakan salah satu indikasi kurang berfungsinya aparat penegakan hukum dalarn
tata mang. Bahkan, kondisi tersebut seolah-oleh dimanfaatkan oleh pihak-pihak
teitentu baik yang mengetahui RTRW maupun yang tidak. Ketidaktahuan masyarakat
mengenai konservasi juga mempakan ha1 yang perlu diperhatikan. Penyuluhan yang
intensif dengan tema konservasi dapat dilaksanakan oleh para petugas lapangan
terutama pada sub DAS-sub DAS stimulan banjir.
Pengendalian tata ruang ini juga h m s mengantisipasi kemungkinan arus
urbanisasi, sehingga penggunaan lahan permukiman tidak akan menimbulkan
masalah di kemudian hari, temtama banjir. Hal ini diantisipasi dengan melihat
kemungkinan-kemunglanan pembangunan yang lebih ke arah fisik, sipil teknis, dan
dapat dijadikan kajian lanjutan.
Meskipun demikian, pada dasarnya kemauan masyarakat cukup besar untuk
ikut membantu kegiatan pemerintah asal jelas-jelas manfaat bagi mereka. Karena itu
perlu adanya penyebarluasan informasi yang efektif dan tepat sasaran mengenai
penataan ruang dengan memperhatikan resiko banjir di Kabupaten Bandung.
Alternatif kawasan permukiman di
0 luar daerah bahaya banjir, merupakan daerah landai
Pertanian lahan kering berbasis konservasi tanah
Gambar 33 Skema upaya penataan ruang Kabupaten Bandung memperhatikan aspek resiko banjir