kajian manajemen persediaan perusahaan jasa … · pt aerowisata catering service menyusun rencana...
TRANSCRIPT
KAJIAN MANAJEMEN PERSEDIAAN PERUSAHAAN JASA BOGA MASKAPAI PENERBANGAN
(INFLIGHT CATERING SERVICES) Kasus PT Aerowisata Catering Service Jakarta, Indonesia
NOVINKA A07497205
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2005
Karya ini ku persembahkan untuk Mama dan Tya, Untuk kemuliaan Tuhan
Our Father Which art in Heaven
Hallowed be Thy name.
Thy Kingdom come, Thy Will be done
In earth as it is in Heaven.
Give us our daily bread, And forgive our debts
As we forgive our debtors
And lead us not into tempation But
Deliver us from evil
For thine is the Kingdom, And the Power
And the Glory, forever. Amen
RINGKASAN
NOVINKA. Kajian Manajemen Persediaan Perusahaan Jasa Boga Maskapai Penerbangan (Inflight Catering) Studi Kasus PT Aerowisata Catering Service, Jakarta. (Di bawah bimbingan DEDI BUDIMAN HAKIM). Jasa transportasi udara makin digemari karena memudahkan perpindahan/
pergerakan antar daerah dan antar negara dalam waktu yang cukup singkat.
Permintaan jasa transportasi yang meningkat disertai dengan peningkatan
permintaan akan penyedia makanan (jasa boga) bagi maskapai-maskapai
penerbangan. Jasa boga ini lebih dikenal dengan istilah Inflight Catering.
Perusahaan penyedia jasa boga ini menyediakan makanan siap saji yang nantinya
dikonsumsi oleh penumpang maskapai penerbangan.
Kegiatan katering yang dilakukan PT Aerowisata Catering Service
berbeda dari perusahaan katering biasa yang dikenal oleh masyarakat. PT ACS
menyediakan makanan jadi (siap makan) untuk kebutuhan selama penerbangan,
namun makanan yang dipersiapkan oleh PT ACS tidak langsung dikonsumsi oleh
penumpang setelah makanan itu diproduksi. Selain itu jumlah penumpang
pesawat yang tidak menentu mempengaruhi jumlah makanan yang akan
diproduksi. Maka penelitian ini bertujuan untuk : (1) membandingkan sistem
manajemen yang diterapkan oleh PT Aerowisata Catering Service dengan teori-
teori manajemen persediaan, (2) mengkaji bentuk kegiatan proses pembelanjaan
bahan baku yang dijalankan PT ACS, (3) mengidentifikasi faktor-faktor
pembelanjaan bahan baku dan (4) mengidentifikasi faktor-faktor yang harus
diterapkan dalam mempertahankan mutu produk. Hasil penelitian ini juga
diharapkan dapat memberikan masukan terhadap efisiensi dan efektivitas
pengadaan bahan baku PT ACS. Kepada masyarakat dan pembaca dapat
memberikan gambaran mengenai perusahaan penyedia jasa boga maskapai
penerbangan (Inflight Catering).
Metode yang digunakan dalam penelitian ini berupa studi kasus dengan
analisis kualitatif. Lokasi ditentukan secara sengaja dengan pertimbangan bahwa
PT Aerowisata Catering Service merupakan perusahaan pertama dan terbesar di
Indonesia yang bergerak dalam industri inflight catering. Data yang digunakan
adalah data primer dan data sekunder. Analisa kualitatif disajikan dalam bentuk
deskriptif dibantu dengan tabel dan gambar. Analisa atau kajian terhadap
penerapan manajemen persediaan perusahaan akan dilakukan berdasarkan aspek-
aspek dan konsep yang dibahas dalam teori-teori manajemen persediaan.
Perencanaan menu oleh pihak kitchen planning merupakan langkah awal
perencanaan pembelanjaan bahan baku. Menu selalu disesuaikan dengan
permintaan pelanggan dan jangka waktu penggunaan menu disesuaikan dengan
perjanjian kontrak antar pelanggan dan perusahaan. Menu diterjemahkan menjadi
rencana pengadaan baku dengan mempertimbangkan trend dan fluktuasi pesanan
baik secara harian, mingguan, bulanan serta mengevaluasi pula trend yang sedang
berkembang dan terjadi diluar.
PT Aerowisata Catering Service menyusun rencana pengadaan bahan
bakunya (permintaan terikat) dengan sistem penjadwalan mundur yang dimulai
dengan merencanakan produksi produk jadi. Perencanaan ini disusun secara
manual dibantu oleh komputer. Dalam perencanaan persediaan, PT Aerowisata
Catering Service menggunakan pola yang terintegrasi antara departemen
produksi, keuangan dan pengadaan bahan baku dalam perencanaannya. Kitchen
Planning menjadi pusat informasi dan bagian yang mengkoordinir keterkaitan
antar departemen tersebut. Proses perencanaan ini sudah sesuai dengan konsep
MRP.
Penetapan kuantitas dan frekuensi persediaan di PT ACS, mengikuti pola
order point system dan order cycle system sekaligus secara bersamaan. PT ACS
mengkombinasikan antara kedua sistem ini, sehingga pengadaan bahan baku
dilakukan dengan kuantitas dan frekuensi yang sama. Selain karena konsep biaya
yang ada pada EOQ tidak memungkinkan untuk diterapkan pada PT Aerowisata
Catering Service, ada beberapa hal lain yang kurang memungkinkannya
penerapan konsep EOQ sepenuhnya di perusahaan ini, antara lain asumsi harga
yang stabil.
Dalam proses produksi, PT ACS telah menerapkan konsep Just-in-time
yang memungkinkan adanya efisiensi produksi dan produkstivitas yang tinggi.
Hal ini terbukti dengan tidak adanya persediaan bahan setengah jadi (work in
process) yang menunggu proses berikutnya. Sedangkan untuk pengadaan bahan
baku, PT ACS mengusahakan agar pengadaan bahan baku segar seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan menerapkan konsep JIT, namun hal ini sangat
dipengaruhi kondisi pemasok bahan baku pertanian. Pengaplikasian sistem JIT
belum optimal.
ABC analysis tidak diterapkan pada PT Aerowisata Catering Service di
bagian persediaan karena kemungkinan akan ada kebutuhan yang tidak terpenuhi.
Hal ini disebabkan karena jenis-jenis persediaan atau komponen-komponen
tersebut saling berkaitan dan berintegrasi sebagai penyusun suatu produk jadi.
Proses produksi yang dilakukan oleh PT ACS sebagai Inflight Caterer
berbeda dari perusahaan katering biasa. Dalam proses produksi, inflight catering
menggunakan sistem cook-chill. Pengawasan mutu dilakukan saat bahan baku tiba
di bagian penerimaan sebelum dimasukkan ke gudang. Pengawasan mutu produk
makanan yang sudah jadi dilakukan dengan pengambilan sample untuk tiap
produksi.
Untuk kelancaran pencapaian tujuan perusahaan, maka hendaknya PT
Aerowisata Catering Service memberikan perhatian lebih terhadap manajemen
persediaan. Salah satu cara adalah dengan membenahi struktur manajemen
persediaan dan gudang, serta memisahkan manajemen persediaan PT ACS
sebagai anak perusahaan dengan PT Garuda Indonesia. Dengan pemisahan ini PT
ACS diharapkan dapat belaku sepenuhnya sebagai unit bisnis strategis dan
manajemen persediaan PT ACS akan menjadi lebih efektif.
KAJIAN MANAJEMEN PERSEDIAAN PERUSAHAAN JASA BOGA
MASKAPAI PENERBANGAN (INFLIGHT CATERING)
Studi Kasus PT Aerowisata Catering Service, Jakarta
Oleh:
NOVINKA
A07497205
Skripsi
sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar
Sarjana Pertanian
pada
Fakultas Pertanian
Institut Pertanian Bogor
PROGRAM STUDI ABRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
2005
PROGRAM STUDI AGRIBISNIS
FAKULTAS PERTANIAN
INSTITUT PERTANIAN BOGOR
Dengan ini menyatakan bahwa skripsi yang disusun oleh:
Nama : Novinka
NRP : A07497205
Program Studi : Agribisnis
Judul Skripsi : Kajian Manajemen Persediaan Perusahaan Jasa
Boga Maskapai Penerbangan (Inflight Catering)
Studi Kasus PT Aerowisata Catering Service,
Jakarta
Dapat diterima sebagai syarat kelulusan untuk memperoleh gelar Sarjana
Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Menyetujui,
Dosen Pembimbing
Dr. Dedi Budiman Hakim NIP. 131 846 871
Mengetahui,
Dekan Fakultas Pertanian
Prof. Dr. Ir. Supiandi Sabihan, M.Agr NIP. 130 422 698
Tanggal Kelulusan:
PERNYATAAN
DENGAN INI SAYA MENYATAKAN BAHWA SKRIPSI YANG
BERJUDUL “KAJIAN MANAJEMEN PERSEDIAAN PERUSAHAAN
JASA BOGA MASKAPAI PENERBANGAN (INFLIGHT CATERING)
STUDI KASUS PT AEROWISATA CATERING SERVICE JAKARTA”
ADALAH BENAR-BENAR HASIL KARYA SAYA SENDIRI YANG
BELUM PERNAH DIAJUKAN PADA PERGURUAN TINGGI LAIN
ATAU LEMABGA LAIN UNTUK TUJUAN MEMPEROLEH GELAR
AKADEMIK TERTENTU.
Bogor, Desember 2005 Novinka A07497205
RIWAYAT HIDUP
Novinka dilahirkan di Bandung pada tanggal 17 November 1979. Penulis
merupakan anak kedua dari dua bersaudara pasangan Bapak Budiarto Sudibyo
dan Ibu Goyan Urip Mulyanah.
Penulis mengawali pendidikan pada TK Harapan Bangsa di Purwokerto
pada tahun 1983. Pada tahun 1985, penulis diterima di SD Bruderan Purwokerto.
Tahun 1987 penulis pindah ke Medan, Sumatera Utara dan menyelesaikan
pendidikan SD di SD RK III Medan pada tahun 1991. Pada tahun yang sama
penulis melanjutkan pendidikan ke SMP Puteri Cahaya Medan dan lulus pada
tahun 1994. Jenjang pendidikan selanjutnya diteruskan di SMA ST THOMAS I
Medan dan lulus tahun 1997. Pada tahun yang sama pula penulis diterima di
Institut Pertanian Bogor melalui jalur Ujian Masuk Perguruan Tinggi Negeri
(UMPTN) sebagai mahasiswa Program Studi Agribisnis, Jurusan Sosial Ekonomi
Pertanian, Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Selama masa perkuliahan penulis aktif mengikuti kegiatan paduan suara
mahasiswa AgriaSwara IPB. Pada tahun 2000 penulis diterima bekerja pada
maskapai penerbangan Singapore Airlines. Di tahun 2004 penulis diterima bekerja
pada maskapai penerbangan Emirates Airlines hingga sekarang.
KATA PENGANTAR
Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala rahmat dan karunia-
Nya sehingga skripsi dengan judul “Kajian Manajemen Persediaan Pada
Perusahaan Jasa Boga Maskapai Penerbangan (Inflight Catering) Studi Kasus PT
Aerowisata Catering Service, Jakarta” dapat diselesaikan dengan baik. Skripsi ini
ditulis sebagai syarat untuk meraih gelar Sarjana Pertanian di Institut Pertanian
Bogor.
Dalam kesempatan ini penulis ingin mengucapkan terima kasih kepada pihak-
pihak yang telah membantu dalam proses penulisan skripsi ini baik secara
langsung maupun tidak lansgung, terutama kepada:
• Mama dan Cici Tya untuk cinta, doa dan dukungan yang tidak pernah
putus. Yang tanpa lelah memberikan dorongan untuk tidak menyerah.
• Papih, Tante Kris, Adi dan Billy untuk semua canda yang menghibur
penulis saat perjalanan pembuatan skripsi ini.
• Bapak Dr.Ir. Dedi Budiman Hakim selaku dosen pembimbing skripsi atas
perhatian dan yang telah begitu sabar mengakomodasi penulis serta
memberikan arahan yang sangat berarti bagi penulisan skripsi ini.
• Ibu Ir. Netty Tinaprilla, Mm dan Bapak Amzul Rifin, Sp yang telah
bersedia menjadi dosen penguji dan dosen wakil komisi pendidikan atas
saran dan kritiknya yang diberikan untuk menyempurnakan skripsi ini.
• Karyawan PT Aerowisata Catering Service terutama Pak Yadi Mulyadi,
Pak Nico, Ibu Maya, Pak Hartoto dan Pak Maxim serta semua pihak PT
ACS lain yang tidak dapat disebutkan satu persatu untuk semua waktu,
kesempatan dan tenaga serta informasi dan data yang melengkapi
penelitian ini.
• Sahabat-sahabat karibku Maya dan A Xhiang atas kebersamaannya selama
ini. Untuk bantuan, dorongan dan saran bagi penulis selama penyelesaian
skripsi ini.
• Dan kepada semua pihak yang telah membantu sehingga skripsi ini dapat
diselesaikan.
Penulis menyadari bahwa skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu saran dan kritik yang membangun sangat penulis harapkan untuk
kesempurnaan skripsi ini. Akhir kata, Penulis berharap semoga tulisan ini dapat
memberikan manfaat kepada semua pihak yang memerlukannya.
Dubai, Desember 2005
Penulis
DAFTAR ISI
Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................. ii
DAFTAR GAMBAR.............................................................................. iii
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... iv
I. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang .......................................................................... 1
1.2. Perumusan Masalah................................................................... 3
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian................................................ 5
1.4. Ruang Lingkup Penelitian ......................................................... 6
1.5. Keterbatasan Penelitian ............................................................. 6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1. Sejarah Maskapai Penerbangan.................................................. 8
2.2. Gambaran Umum Perusahaan Inflight Caterer
(Jasa Boga Maskapai Penerbangan) ........................................... 9
2.3. Pengelolaan Bahan Baku ........................................................... 12
2.4. Sistem Penyimpanan Bahan Baku.............................................. 13
2.5. Rotasi Bahan Baku.................................................................... 15
2.6. Persediaan ................................................................................. 15
2.6.1. Manfaat dan Fungsi Persediaan....................................... 16
2.6.2. Jenis Persediaan.............................................................. 17
2.6.3. Sistem Persediaan ........................................................... 19
2.6.4. Pengendalian Persediaan................................................. 22
2.6.5. Tujuan Pengendalian Persediaan ..................................... 22
2.7. Sistem Klasifikasi
2.7.1. Klasifikasi dalam Manajemen Persediaan........................ 24
2.7.2. ABC Analysis ................................................................ 26
2.8. Perencanaan dalamn Manajemen Persediaan ............................. 28
2.8.1. Material Requirement Planning (MRP) .......................... 29
2.8.2. Manufacturing Resources Planning (MRP II) .................. 34
2.9. Penetapan Kuantitas Persediaan dan Frekuensi Pemesanan........ 37
2.9.1. Order Point System .......................................................... 38
2.9.2. Order Cycle System ......................................................... 39
2.9.3. Economic Order Quantity (EOQ).................................... 39
2.10. Just In Time (JIT) ..................................................................... 42
2.11. Penelitian-penelitian Terdahulu ................................................ 46
III. KERANGKA PEMIKIRAN........................................................... 48
IV. METODE PENELITIAN
4.1. Lokasi Penelitian ....................................................................... 51
4.2. Jenis dan Sumber Data............................................................... 51
4.3. Metode Pengolahan dan Analisis Data....................................... 52
V. GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
5.1. Sejarah Umum........................................................................... 53
5.2. Struktur Organisasi Perusahaan ................................................. 56
5.3. Ketenagakerjaan ........................................................................ 59
5.4. Fasilitas Produksi ...................................................................... 61
5.5. Proses Produksi ......................................................................... 61
5.6. Pengawasan Mutu Produk ......................................................... 64
VI. HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1. Manajemen Persediaan PT Aerowisata Catering Service
6.1.1. Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan ........ 65
6.1.2. Seleksi Pemasok Bahan Baku .......................................... 67
6.1.3. Penetapan Kualitas dan Perencanaan Produksi ................. 68
6.1.4. Sistem Pembelian dan Penyimpanan Bahan Baku
(Raw Material) ............................................................... 72
6.1.5. Persediaan Bahan Baku
a. Bahan Baku................................................................. 74
b. Pengawasan Mutu Bahan Baku ................................... 76
c. Klasifikasi Jenis-jenis Persediaan ................................ 76
6.1.6. Manajemen Persediaan PT Aerowisata Catering
Service Jakarta................................................................ 77
6.2. Kemungkinan Penerapan Teori-teori Manajemen
Persediaan
6.2.1. Keterkaitan Antar Teori ................................................ 78
6.2.2. MRP dan MRP II ............................................................ 79
6.2.3. Economic Order Quantity ............................................... 80
6.2.4. Just In Time .................................................................... 82
6.2.5. ABC Analysis ................................................................. 83
6.3. Sintesa Analisis
6.3.1. Teori Klasifikasi Persediaan............................................ 84
6.3.2. Penetapan Kuantitas dan Frekuensi Pengadaan
Persediaan...................................................................... 85
6.3.3. Material Requirement Planning ..................................... 86
6.3.4. JIT (dalam proses produksi) ........................................... 86
6.3.5. JIT (dalam pengadaan bahan baku) ................................ 87
VII. KESIMPULAN DAN SARAN
7.1. Kesimpulan ............................................................................... 88
7.2. Saran ......................................................................................... 91
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................. 94
LAMPIRAN 96
DAFTAR TABEL
Nomor Halaman
1. Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Melalui Pelabuhan Udara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma (orang) Tahun 2001-2004 ......................................................................... 1 2. Perbedaan Manajemen Persediaan pada Masing-masing Kelas ..... 28 3. Jadwal Jam Kerja Bagian Operasional PT Aerowisata Catering Service, Jakarta............................................................................. 60
DAFTAR LAMPIRAN Nomor Halaman 1. Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Melalui Bandara
Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2001 ........................ 96 2. Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Melalui Bandara
Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2002 ........................ 97 3. Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Melalui Bandara
Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2003 ........................ 98 4. Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Melalui Bandara
Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2004 ........................ 99
5. Struktur Organisasi PT ACS, 2004 ............................................... 100 6. Bagan Operasi Produksi, 2004...................................................... 101 7. Bagan Proses Cook/Chill.............................................................. 102 8. Wall chart (diagaram warna/hari) PT ACS, 2004.......................... 103 9. Formulir PR Requesition.............................................................. 104
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Persediaan Bahan Baku.... 21
2 Ilustrasi Proses Perencanaan MRP.......................................... 33
3 Ilustrasi Manufacturing Resources Planning ........................... 36
4 Hubungan Biaya Pemesanan dan Biaya Penyimpanan ............ 41
5 Hierarki Kebutuhan dalam Suatu Lingkungan JIT ................. 46
6 Diagram Alir Kerangka Pemikiran ........................................ 50
7 Pola Perencanaan Kitchen Planning........................................ 66
8 Alur Pemilihan Suppliers........................................................ 67
9 Alur Perencanaan Persediaan Bahan Baku.............................. 69
10 Chain of PR Aprroval ............................................................. 71
11 Alur Kegiatan Kitchen Administration ................................... 73
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dalam beberapa tahun terakhir ini, jumlah maskapai penerbangan
Indonesia bertumbuh cukup pesat. Data statistik menunjukkan sampai akhir tahun
2004, di Indonesia terdapat 15 maskapai penerbangan yang melayani rute
domestik dan 5 di antara maskapai penerbangan ini melayani rute internasional.
Jasa transportasi udara makin digemari karena memudahkan pergerakan antar
daerah dan negara dalam waktu yang relatif singkat. Menurut Badan Pusat
Statistik, jumlah penumpang pesawat udara (domestik dan internasional) pada
tahun 2004 yang menggunakan fasilitas bandar udara Soekarno-Hatta dan Halim
Perdana Kusuma saja meningkat sebesar 33,08% jika dibandingkan dengan tahun
2003.
Tabel 1. Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Melalui Pelabuhan Udara Soekarno-Hatta dan Halim Perdana Kusuma (orang) Tahun 2001-2004
Sumber: Balai Pusat Statistik Jakarta,2005
Kebutuhan akan jasa transportasi udara yang meningkat ini disertai dengan
permintaan akan jasa pelayanan penyedia makanan (jasa boga) bagi maskapai-
maskapai penerbangan. Layanan jasa boga ini lebih dikenal dengan nama inflight
catering. Inflight caterer (penyedia jasa boga) mengolah bahan-bahan makanan
Tahun 2001 2002 2003 2004 Berangkat 2.207.957 2.510.948 2.405.379 2.792.104 Luar
Negeri Datang 2.195.309 2.517.307 2.381.951 2.789.418 Berangkat 3.101.642 4.909.454 6.651.747 9.129.879 Dalam
Negeri Datang 3.406.009 4.490.472 7.512.063 10.283.281 Luar Negeri 202.164 185.688 139.682 205.726 Transit
Dalam Negeri 393.545 479.265 951.346 1.273.536 Jumlah 11.506.626 15.093.134 20.042.168 26.472.944
% - 31,17% 32,80% 33,08%
menjadi makanan siap saji yang nantinya makanan ini akan dikonsumsi oleh
penumpang pengguna jasa maskapai penerbangan. Inflight caterer pada dasarnya
merupakan perusahaan yang bergerak dalam perdagangan makanan.
Perdagangan produk-produk makanan memiliki resiko-resiko tersendiri,
hal ini disebabkan karena bahan makanan merupakan bahan yang cepat rusak
(perishable product) sehingga membutuhkan penanganan tertentu. Bagi
perusahaan yang bergerak dalam bidang makanan umumnya, mutu makanan yang
diproduksi merupakan salah satu unsur utama yang menentukan masa depan
perusahaan. Selain itu konsumen juga merupakan unsur penting dalam
menentukan strategi pemasaran dan menjadikan perusahaan berorientasi kepada
perubahan pasar (market oriented) (Bendell, Boulter dan Kelly, 1995 dalam
Assauri).
Dengan makin meningkatnya jumlah maskapai penerbangan di Indonesia
banyak muncul pemain-pemain baru dalam pasar jasa boga ini. Persaingan antara
penyedia jasa boga (inflight catering) ini memaksa perusahaan untuk bersifat
lebih adaptif dan reaktif. Memahami kebutuhan konsumen berarti perusahaan
harus mampu menempatkan diri ke dalam posisi konsumen dalam mendefinisikan
suatu produk.
Penyediaan produk yang sesuai dengan permintaan konsumen dan tepat
pada waktunya mempengaruhi keputusan konsumen terhadap permintaan
berulang dan kepercayaan konsumen terhadap perusahaan. Pemahaman akan
kebutuhan konsumen ini berperan penting terutama dalam usaha perusahaan
dalam upaya meningkatkan nilai penjualan, penguasaan pangsa pasar yang lebih
besar yang mempengaruhi perolehan laba. Penyediaan produk tidaklah mudah
karena maskapai pengguna jasa katering memiliki persyaratan produk yang
berbeda. Penyediaan bahan baku untuk produksi pun unik karena perusahaan
katering tidak memproduksi satu jenis barang saja, melainkan beragam sesuai
dengan menu makanan yang ingin disampaikan oleh pihak maskapai
penerbangan.
Jasa katering untuk maskapai penerbangan, berbeda dengan jasa katering
restoran (Emirates Catering, 2004). Perbedaan ini dapat dilihat dari:
Jeda waktu (time lag): untuk katering maskapai penerbangan, terdapat jeda waktu
yang panjang antara masa makanan diproduksi dan penyampaian produk ke
konsumen sampai makanan tersebut dikonsumsi, hal ini tidak terjadi di restoran-
restoran.
Fasilitas: pesawat terbang memiliki fasilitas terbatas untuk mengelola makanan,
baik ruang lingkup kerja, ruang penyimpanan dan peralatan-peralatan dapur
apabila dibandingkan dengan dapur sebuah restoran.
1.2. Perumusan Masalah
PT Aerowisata Catering Service (PT ACS) merupakan perusahaan
penyedia jasa katering pertama dan terbesar di Indonesia. PT ACS menyediakan
pelayanan jasa katering untuk perusahaan penerbangan domestik maupun
internasional. Berbeda dengan perusahaan katering yang lain, PT ACS tidak
berhadapan langsung dengan konsumen yang mengkonsumsi makanan yang
diproduksi. Sebagai inflight caterer, konsumen yang dihadapi PT ACS adalah
maskapai penerbangan yang menyewa jasa PT ACS. Sedangkan yang
mengkonsumsi produk makanan yand diproduski oleh PT ACS adalah konsumen
yang menggunakan jasa maskapai penerbangan.
Makanan yang diproduksi PT ACS tidak langsung dikonsumsi oleh
penumpang maskapai penerbangan, melainkan disimpan dahulu dalam jangka
waktu tertentu tergantung dengan jadwal penerbangan perusahaan pelanggan. PT
ACS mengadakan perjanjian kontrak dengan perusahaan penerbangan yang
menjadi pelanggan untuk jangka waktu tertentu atas menu makanan yang sudah
disetujui. Menu makanan ini berbeda-beda untuk setiap pelanggan dan dapat
berubah-ubah setelah jangka waktu tertentu sesuai dengan permintaan maskapai
penerbangan. Jumlah makanan yang diproduksi pun setiap saat dapat berubah-
ubah jumlahnya. Hal ini disebabkan karena jumlah penumpang yang
menggunakan jasa transportasi perusahaan penerbangan setiap harinya berubah.
Menu makanan yang telah disetujui menjadi landasan dalam perencanaan bahan
baku.
Karena menu berubah-ubah, maka bahan baku yang dibutuhkan untuk
proses produksi pun berubah-ubah secara berkala. Penyediaan bahan baku
memegang peranan penting dalam proses produksi. Kekurangan bahan baku
menghambat jalannya proses produksi dan mengakibatkan permintaan konsumen
tidak terpenuhi. Bahan baku makanan merupakan produk yang bersifat tidak tahan
lama (perishable) akibatnya perusahaan harus memiliki sistem penyimpanan dan
pengolahan yang baik. Selain itu perusahaan juga harus bisa menawarkan harga
yang sesuai dengan anggaran konsumen untuk tetap berada dalam pasar.
Perencanaan bahan baku membantu perusahaan untuk memastikan agar
perusahaan tidak kekurangan bahan baku selama menu yang diinginkan
konsumen berjalan. Saat menu tidak dipakai lagi maka bahan baku pun tidak
dibutuhkan lagi, perencanaan bahan baku membantu perusahaan agar tidak
mengalami kelebihan bahan baku. Jeda waktu antara setelah makanan di produksi
sampai makanan dikonsumsi panjang, makanan yang diproduksi harus memiliki
daya tahan khususnya terhadap bakteri Dari keunikan jasa pengolahan makanan
ini, timbul beberapa pertanyaan :
• Bagaimanakah manajemen persediaan yang diterapkan oleh perusahaan?
• Bagaimanakah proses pembelanjaan bahan baku yang dilakukan oleh
perusahaan?
• Faktor-faktor apakah yang dipertimbangkan perusahaan dalam
menentukan daftar belanja bahan baku?
• Faktor-faktor apa yang diperhatikan oleh perusahaan untuk mengawasi
mutu produk yang diproduksi?
1.3. Tujuan dan Kegunaan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka
penelitian ini bertujuan untuk :
• Membandingkan sistem manajemen yang diterapkan oleh PT ACS dengan
teori-teori manajemen persediaan
• Mengkaji bentuk kegiatan proses pembelanjaan bahan baku yang
dijalankan PT ACS
• Mengidentifikasi faktor-faktor pembelanjaan bahan baku
• Mengidentifikasi faktor-faktor yang harus diterapkan dalam
mempertahankan mutu produk.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan masukan yang berguna
terhadap efisiensi dan efektivitas sistem pengadaan bahan baku PT ACS, kepada
pembaca dan masyarakat dapat memberikan gambaran mengenai perusahaan
penyedia jasa boga maskapai penerbangan (Inflight Catering). Bagi Ilmu
Pengetahuan dan Teknologi (IPTEK) sebagai bahan perbandingan bagi penelitian
sejenis dalam bidangnya.
1.4. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini mempelajari kinerja penentuan pengadaan bahan baku,
proses pemesanan dan penyimpanan bahan baku, proses produksi serta masalah
yang dihadapi perusahaan. Pada penelitian ini pembahasan yang bersifat teknis
tidak dibahas secara detail, namun hal ini tidak mengurangi kegunaan yang ingin
dicapai dari penelitian ini.
1.5 Keterbatasan Penelitian
Dibandingkan dengan penelitian-penelitian sebelumnya (dengan topik
manajemen persediaan), maka penelitian ini memiliki keunggulan dan
keterbatasan/kekurangan. Keunggulannya adalah bahwa penelitian ini melihat
manajemen persediaan tidak hanya dari proses produksi dan penetapan kebutuhan
bahan baku saja tetapi juga proses perencanaannya.
Keterbatasan penelitian ini dibandingkan dengan hasil penelitian terdahulu
antara lain ukuran efektifitas dan efisiensi yang dipakai kurang jelas karena
diuraikan secara kualitatif daripada kuantitatif. Data-data kuantitatif yang dapat
diakses oleh penulis terbatas karena bertentangan dengan peraturan PT ACS.
Keterbatasan data kuantitatif yang diterima oleh penulis menyebabkan analisa
yang digunakan dalam penelitian ini lebih berfokus pada konsep dan aspek-aspek
dalam teori manajemen persediaan, bukan pada rumus matematisnya, sehingga
penelitian menghasilkan penjelasan yang kualitatif.
Analisis kuantitatif untuk metode Economic Order Quantity (EOQ)
menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut:
- bahan baku beras
- harga beras Rp. 3.000,-/ Kg (stabil)
- bunga bank 13% per tahun (stabil)
- gaji karyawan Rp. 18.750.000,-
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Sejarah Maskapai Penerbangan dan Jasa Katering
Maskapai penerbangan pertama kali dibentuk setelah Perang Dunia I
(1914-1918) oleh kumpulan veteran pilot militer di Amerika dan Eropa. Tujuan
utama adalah untuk menghantar surat-surat dan dokumen-dokumen antar daerah
dan negara. Kemudian berkembang menjadi alat tranportasi untuk penumpang dan
dokumen (kargo). Pada awalnya tidak ada tempat khusus untuk penumpang
sehingga di dalam pesawat penumpang harus bersedia untuk bercampur dengan
kargo. Setiap penerbangan penumpang harus berbagi makanan dengan pilot,
makannya hanya berupa roti lapis dan setermos kopi (Parrot,1996)
Dengan disertai perkembangan teknologi industri aviasi, pesawat moderen
saat ini dilengkapi dengan fasilitas tempat duduk dan toilet untuk penumpang.
Pesawat terbang menjadi alat transpotasi yang umum dipakai oleh penumpang.
Penumpang menjadi prioritas utama karena kondisi ini menjanjikan keuntungan
bagi perusahaan penerbangan. Untuk lebih menarik konsumen, perusahaan
penerbangan melengkapi pelayanan jasa transportasi salah satunya dengan menu
makanan yang menarik menyerupai restoran-restotan terkenal. Dining in the air
(Restoran di Udara) menjadi tren buat kalangan ekonomi kelas atas.
Jasa katering untuk maskapai penerbangan kemudian dibentuk di akhir
tahun 1930-an hampir secara serentak di Amerika dan Eropa, perusahaan-
perusahaan inimuncul karena pihak maskapai penerbangan menilai bahwa
penyediaan makanan ini akan lebih efisien dan relatif lebih murah apabila
dihibahkan ke pihak lain di luar maskapai penerbangan. Perkembangan industri
ini agak terhambat dikarenakan Perang Dunia II (1939-1945), namun temuan-
temuan baru di bidang teknologi penerbangan berkembang pesat yang pada
akhirnya menyokong industri layanan jasa penerbangan pasca perang, yang
menuntut permintaan yang lebih tinggi lahi terhadap penyediaan jasa katering.
(Haynes, 1992).
2.2 Gambaran umum inflight caterer (jasa katering maskapai penerbangan)
Istilah katering biasanya digunakan untuk menjelaskan keseluruhan proses
kegiatan memasak, mulai dari persiapan bahan makanan, pengolahan dan
penyajian dan juga meliputi penyedian alat transportasi dan penghantaran.
Industri jasa katering maskapai penerbangan bertujuan utama untuk
menyediakan makanan dan minuman kepada maskapai penerbangan untuk
dikonsumsi oleh penumpang selama penerbangan. Produk makanan dan minuman
dipersiapkan dan dikelola di dapur khusus kemudian dipindahkan ke bandara
udara untuk kemudian dimuat ke pesawat. Semua makanan dan peralatan dan siap
untuk diberangkatkan tepat pada waktunya sesuai dengan jadwal penerbangan.
Keterlambatan jadwal penerbangan yang disebabkan oleh masalah katering
merupakan masalah yang harus dihindari oleh penyedia jasa penerbangan (Mc
Cool, 1995).
Industri penyedia jasa katering saat ini merupakan pasar yang sangat
kompetitif khususnya karena maskapai-maskapai penerbangan saat ini sering
mengubah ketentuan-ketentuan menu makanannya. Perusahan penyedia jasa
katering harus mendiversifikasikan fasilitas produksinya dan terus berinovasi
untuk mengikuti perkembangan ini.
Selain menyediakan makanan dan minuman perusahaan katering juga
mengelola beberapa barang persediaan dan peralatan yang dimiliki perusahaan
penerbangan, pihak katering bertanggung jawab terhadap beberapa hal yang
menyertai penyediaan makanan dan minuman. Seperti:
1. Bongkar muat peralatan makan dari penerbangan sebelumnya. Bongkar
muat ini meliputi kereta makan , troli, kotak muatan peralatan makan, sisa
makanan dan sisa minuman serta sampah.
2. Mengatur aliran semua peralatan makan yang digunakan selama
penerbangan, begitu peralatan makan di bongkar dari pesawat secepatnya
dicuci dan dibersihkan untuk kemudian dipersiapkan untuk penerbangan
berikutnya. Dengan terbatasnya persediaan peralatan makan berlogo
maskapai penerbangan tertentu, pihak katering harus berusaha sedemikian
rupa supaya mereka tetap memiliki persediaan peralatan makan yang
bersih setiap saat.
3. Pengaturan/disain nampan makanan yang berbeda tiap kelas untuk kelas
eksekutif, kelas bisnis dan kelas ekonomi.
4. Penanganan dan penyimpanan produk-produk khusus milik maskapai
penerbangan tertentu yang digunakan dalam persiapan makanan dan
layanan makan (kertas tisu, peralatan makan yang diserati dengan logo
maskapai penerbangan)
5. Pihak katering juga bertanggung jawab terhadap laporan invetorisasi atas
produk-produk yang dimiliki maskapai penerbangan yang disimpan oleh
pihak katering (produk makanan dan minuman lain yang tidak diproduksi
oleh pihak katering, tetapi diperlukan untuk penerbangan).
6. Transportasi produk makanan dan minuman dari dapur pihak katering ke
pesawat.
Menurut Mc Cool, industri jasa katering (inflight caterer) merupakan
industri yang unik karena industri ini memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
1. Tidak adanya kontak langsung antara penumpang pesawat yang
mengkonsumsi makanan dengan orang yang menyiapkan makanan
tersebut.
2. Konsumen yang menggunakan jasa katering ini bukanlah konsumen yang
mengkonsumsi produk akhir.
3. Pemilihan menu yang disediakan pada industri ini sangat bergantung
kepada kondisi pasar dan laporan kebiasaan makan konsumen.
4. Setiap perusahaan jasa katering mengelola makanan dan minuman dalam
jumlah yang sangat besar.
5. Perusahaan katering bukanlah satu-satunya penyedia makanan dan
minuman untuk satu maskapai penerbangan. Maskapai penerbangan
memiliki beberapa perusahaan katering yang menyokong penerbangan,
satu perusahaan katering di tiap lokasi/ tujuan penerbangan.
6. Perusahaan jasa katering harus menyediakan produknya sesuai dengan
ketentuan tertentu agar produk yang dihasilkan konsisten.
7. Setelah produk selesai diproduksi dan meninggalkan tempat produksi,
biasanya ada jeda waktu yang cukup lama sebelum produk tersebut
dikonsumsi oleh penumpang pesawat terbang.
8. Makanan yang diproduksi oleh pihak katering sering kali dikonsumsi jauh
dari pihak katering.
9. Pihak katering biasanya tidak terlibat secara langsung terhadap sisa
makanan dan tidak melihat langsung makanan yang telah dipersiapkan
tersebut dikonsumsi.
10. Jumlah makanan yang diangkut pesawat harus dalam jumlah yang tepat
dan dalam kualitas yang baik dan tidak ada toleransi untuk kesalahan.
11. Sering terjadi perubahan jadwal waktu permintaan produk nmaun pihak
katering harus selalu mampu mengikuti perubahan dan menyediakan
produk tepat waktu.
12. Produk makanan yang diproduksi harus tahan akan kondisi penyimpanan
yang berubah-ubah, tahan banting karena penanganan yang kasar dan
tahan kondisi transportasi tanpa penurunan kualitas produk.
13. Semua makanan, minuman dan peralatan makan harus disimpan di tempat
tertentu yang sudah ditentukan di pesawat dan beratnya tidak boleh
melebihi ketentuan tertentu.
14. Perusahaan ini biasanya beroperasi 24 jam sehari sepanjang tahun.
15. Perusahaan jasa katering ini juga harus memenuhi standar ketentuan mutu
produk yang dihasilkan dan ketetapan waktu walaupun kondisi lain tidak
menentu, seperti cuaca dan masalah teknik pesawat terbang.
2.3 Pengelolahan Bahan Baku
Perusahaan katering menggunakan sistem makanan beku agar makanan
tetap segar dan berkualitas baik meskipun produk makanan tersebut disimpan
dalam waktu yang cukup lama sebelum dikonsumsi, terutama untuk penerbangan
jarak jauh. Sistem makanan beku ini pertama kali ditemukan oleh Bert Snowden
(Amerika, 1945), proses produksi makanan ini disebut sistem masak beku (cook-
chill system).
Dalam proses ini bahan makanan dipersiapkan jauh hari sebelum produk
makanan ini dibutuhkan. Untuk keperluan penerbangan, biasanya bahan baku
makanan ini disiapkan sehari lebih awal. Tahapan pertama adalah mempersiapkan
bahan baku makanan untuk diproses, kemudain dimasak. Selesai dimasak,
makanan yang sudah jadi secepatnya didinginkan sampai mencapai temperatur
5°C (40°F) atau lebih rendah. Sambil didinginkan, makanan ini dibagi-bagi
sesuai dengan besarnya porsi individu yang diminta oleh konsumen (dalam hal ini
disesuaikan dengan menu maskapai penerbangan tertentu). Pembagian ini
memudahkan penanganan yang diperlukan saat menyusun nampan makanan
nantinya.
Kondisi dingin beku ini dipertahanan setiap saat selama penyimpanan
bahkan selama perjalanan dari dapur pihak katering sampai pada saat makanan
beku ini dipanaskan kembali dengan menggunakan oven sebelum makanan ini
dikonsumsi oleh penumpang. Keadaan dan suhu makanan beku ini sangat penting
diperhatikan untuk mengurangi bahaya keracunan makanan yang disebabkan oleh
pertumbuhan bakteri selama proses persiapan (Miller dan Hayes, 1992).
2.4 Sistem Penyimpanan Bahan Baku
Menurut Dittmer (2002), sistem penyimpanan bahan baku memilik 5
faktor yang harus diperhatikan:
1. Kondisi Lingkungan dan Perlengkapan
Meliputi temperatur dan kebersihan ruang penyimpanan (gudang), rak-rak
yang tepat dan peralatan penunjang yang sesuai. Bila kondisi ini tidak
dipenuhi maka banyak bahan baku akan terbuang percuma atau rusak.
2. Pengaturan Letak Barang di dalam Gudang
Bahan baku harus diatur letaknya sehingga saat barang baku ini
dibutuhkan mudah didapat. Pengaturan letak bahan baku ini juga meliputi
pengaturan agar barang yang paling sering digunakan selalu tersedia,
pengaturan letak tertentu untuk barang tertentu dan rotasi persediaan.
3. Lokasi Gudang
Gudang sebaiknya terletak di antara lokasi penerimaan produk dan lokasi
produksi. Lokasi ini membantu efisiensi penyimpanan produk dan juga
kemudahan untuk mendapatkan produk yang dibutuhkan dalam waktu
yang relatif singkat. Selain itu pengawasan keamanan mudah dilakukan.
4. Keamanan Gudang
Gudang tidak boleh dibiarkan terbuka tanpa pengawasan keamanan. Perlu
adanya pengaturan jadwal dan ijin tertentu untuk mengambil barang dan
menyimpan barang. Hal ini perlu dilakukan sehingga tidak ada pihak lain
yang memindahkan barang tanpa ijin perusahaan.
5. Penanggalan dan Harga
Barang-barang yang disimpan di dalam gudang harus diberi tanggal.
Penanggalan ini penting agar rotasi barang lebih mudah dilakukan, bahan
baku harus digunakan sebelum rusak atau tua. Harga juga harus
dicantumkan, ini penting dilakukan untuk membantu kelancaran
pemesanan barang dan peramalan biaya pengeluaran.
2.5 Rotasi Bahan Baku
Davis dan Lockwood (1998) mengungkapkan bahwa industri yang
bergerak dalam bidang makanan harus memastikan bahwa produk yang
diproduksi selalu dalam kondisi yang terbaik untuk menghindari keracunan
makanan dan menghindari bahan baku terbuang dengan percuma. Bahan baku
untuk perusahaan yang bergerak dibidang makanan sebagian besar merupakan
bahan yang cepat busuk (perishable items) untuk iutu perusahaan harus
melakukan prosedur FIFO (first in first out). Prosedur ini memastikan bahwa
bahan baku yang pertama kali masuk atau diterima di gudang merupakan bahan
baku yang pertama kali digunakan untuk produksi. Personel gudang bertanggung
jawab atas penyimpanan barang masuk, harus memastikan bahwa barang yang
masuk disimpan dibelakang barang yang sudah ada. Prosedur pengambilan barang
dilakukan dengan mengambil barang yang berada diposisi terdepan dahulu.
2.6 Persediaan
Anoraga (1997) mengungkapkan bahwa persediaan (inventory) adalah
suatu istilah umum yang menunjukan segala sesuatu atau sumber-sumber daya
organisasi yang disimpan dalam antisipasinya terhadap pemenuhan permintaan.
Persediaan ini meliputi persediaan bahan mentah, barang dalam proses, barang
jadi atau produk akhir dan bahan-bahan lain yang menjadi bagian keluaran produk
perusahaan.
Sedangkan menurut Assauri (1980) mengatakan bahwa persediaan
merupakan aktiva perusahaan yang masih menunggu penggunaannya, baik untuk
keperluan produksi atau penjualan. Persediaan merupakan elemen utama dari
modal kerja, atau aktiva yang selalu berputar dan mengalami perubahan.
2.6.1. Manfaat dan Fungsi Persediaan
Manfaat persediaan menurut Leenders (1989) adalah:
1 Fungsi pemutus (the decoupling function) dalam proses produksi, jika
perusahaan tidak menyimpan persediaan akan terjadi banyak penundaan dan
inefisiensi. Sebagai contoh ketika satu aktivitas produksi harus diselesaikan
sebelum aktivitas produksi kedua dimulai, sedangkan perusahaan tidak
menyimpan persediaan di antara proses (work in process) maka kegiatan
produksi bisa terhenti.
2. Menyimpan sumberdaya. Produk pertanian dan seafood sering tergantung oleh
musim dalam pemanenannya atau penangkapannya, tetapi permintaan akan
keduanya selalu konstan sepanjang tahun. Pada kasus seperti ini dan kasus lain
yang sama, persediaan bisa digunakan untuk menyimpan sumberdaya.
3. Proteksi terhadap inflasi. Terkadang lebih baik menyimpan investasi dalam
bentuk persediaan tetapi tentu saja harus diperhitungkan biaya pemeliharaan
atau penyimpanan persediaan.
4. Ketika suplai dan permintaan yang tidak biasa terjadi, maka persediaan sangat
penting khususnya untuk produksi yang penjualannya tergantung pada musim
atau keadaan tertentu.
5. Memanfaatkan diskon kuantitas. Pembelian dalam jumlah besar dapat
mengurangi biaya produk, tetapi hal ini tidak selalu menguntungkan.
6. Menghindari kehabisan stok. Bila hal ini sering terjadi maka pelanggan akan
lebih senang membeli produk lain untuk memuaskan kebutuhannya.
Sedangkan menurut Assauri (1993) persediaan yang diadakan mulai dari
bentuk bahan mentah sampai barang jadi, antara lain berguna untuk :
1. Menghilangkan resiko keterlambatan datangnya barang atau bahan-bahan
yang dibutuhkan perusahaan.
2. Menghilangkan resiko dari material yang dipesan tidak baik sehingga
harus dikembalikan.
3. Untuk menumpuk bahan-bahan yang dihasilkan secara musiman sehingga
dapat digunakan bila bahan itu tidak ada di pasaran.
4. Mempertahankan stabilitas operasi perusahaan atau menjamin kelancaran
arus produksi.
5. Mencapai penggunaan mesin optimal.
6. Memberikan pelayanan (service) kepada pelanggan dengan sebaik-baiknya
dimana keinginan pelanggan pada suatu waktu dapat dipenuhi atau
memberikan jaminan tetap tersedianya barang tersebut.
7. Membuat pengadaan atau produksi tidak perlu sesuai dengan penggunaan
atau penjualannya.
2.6.2 Jenis Persediaan
Menurut Handoko (1991), persediaan dapat dibedakan menurut urutan
pengerjaan produk antara lain:
1. Persediaan bahan mentah (raw materials), yaitu persediaan barang-barang
berwujud yang digunakan dalam proses produksi. Bahan mentah dapat
diperoleh dari sumber-sumber alam, dibeli dari para supplier atau dibuat
sendiri oleh perusahaan untuk digunakan dalam proses produksi selajutnya.
2. Persediaan komponen-komponen rakitan (purchased part component stock),
yaitu persediaan barang-barang yang terdiri dari komponen-komponen yang
diperoleh dari perusahaan lain dimana secara langsung dapat dirakit menjadi
suatu produk.
3. Persediaan bahan pembantu atau penolong (supplies stock), yaitu persediaan
barang-barang yang diperlukan dalam proses produksi tetapi tidak merupakan
bagian atau komponen barang jadi.
4. Persediaan barang dalam proses (work in process stock), yaitu persediaan
barang-barang yang keluar dari tiap bagian dalam proses produksi atau telah
diolah menjadi suatu bentuk tetapi masih perlu diproses lebih lanjut menjadi
barang jadi.
5. Persediaan barang jadi (finished goods stock), yaitu persediaan barang-barang
yang telah diolah dalam pabrik dan siap dijual kepada konsumen.
Assauri (1993) membedakan persediaan berdasarkan fungsinya sebagai
berikut:
1. Batch Stock atau Lot Size Inventory, yaitu persediaan yang diadakan karena
perusahaan memberi atau membuat bahan-bahan atau barang-barang dalam
jumlah yang lebih besar dari jumlah yang dibutuhkan saat itu.
2. Fluctuation Cost, yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi
permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan.
3. Anticipation Cost, yaitu persediaan yang diadakan untuk menghadapi fluktuasi
permintaan konsumen yang tidak dapat diramalkan, berdasarkan pola
musiman.
2.6.3 Sistem Persediaan
Sistem persediaan adalah serangkaian kebijaksanaan dan pengendalian
yang memonitor tingkat persediaan dan menentukan tingkat persediaan yang
harus dijaga,kapan persediaan harus diisi dan berapa besar pesanan yang harus
dilakukan. Sistem ini bertujuan menetapkan dan menjamin tersedianya sumber-
sumber daya yang tepat, dalam kuantitas yang tepat, pada waktu yang tepat
(Stevenson, 1990). Sistem dan model persediaan bertujuan untuk
meminimumkan biaya total melalui penentuan apa, berapa dan kapan pesanan
dilakukan secara optimal (Anoraga, 1997).
Pelaksanaan persediaan bahan baku yang dilakukan perusahaan akan
ditentukan oleh faktor-faktor yang saling berkaitan dengan bahan baku. Faktor-
faktor tersebut menurut Ahyari (1981) antara lain:
1. Perkiraan pemakaian adalah perkiraan kebutuhan bahan baku ini merupakan
perkiraan tentang besarnya jumlah bahan baku yang akan dipergunakan dalam
perusahaan untuk keperluan produksi yang akan datang.
2. Harga bahan baku, merupakan dasar penyusunan perhitungan berapa besar
dana perusahaan yang harus disediakan untuk investasi dalam persediaan
bahan baku.
3. Biaya-biaya persediaan yang secara umum terdiri dari biaya pemesanan dan
biaya penyimpanan.
4. Kebijakan pembelian. Besarnya persediaan bahan baku mendapatkan dana
dari perusahaan tergantung kepada kebijakan pembelanjaan dari dalam
perusahaan tersebut.
5. Pemakaian sesungguhnya. Untuk dapat menyusun perkiraan kebutuhan bahan
baku mendekati kepada kenyataan, harus dianalisa besarnya penyerapan bahan
baku oleh proses produksi perusahaan serta hubungannya dengan pemakaian
yang sudah disusun. Selain itu harus diperhatikan faktor pemakaian bahan
baku sesungguhnya dari periode-periode lalu (actual demand).
6. Waktu tunggu (lead time) merupakan tenggang waktu yang diperlukan (yang
terjadi) antara satu pemesanan bahan baku dengan datangnya bahan baku itu
sendiri. Waktu tunggu harus diperhatikan karena berhubungan dengan
penentuan saat pemesanan kembali (reorder) bahan baku. Dengan
diketahuinya waktu tunggu yang tepat maka perusahaan akan dapat membeli
pada waktu yang tepat pula, sehingga resiko penumpukan persediaan atau
kekurangan persediaan dapat ditekan seminimal mungkin.
Gambar 1. Faktor-faktor yang mempengaruhi persediaan bahan baku (Ahyari, 1995)
Biaya variabel yang harus diperhitungkan dalam penentuan biaya
persediaan seperti biaya penyiapan dan biaya kekurangan bahan baku
(Handoko,1984), uraiannya adalah sebagai berikut :
a. Biaya penyimpanan (holding cost atau carrying cost). Biaya-biaya
penyimpanan per periode akan semakin besar apabila kuantitas bahan yang
dipesan semakin banyak atau rata-rata persediaan semakin tinggi
b. Biaya pemesanan/pembelian (order cost atau procurement cost). Secara
normal, biaya per pesanan (di luar biaya bahan dan potongan kuantitas) tidak
naik bila kuantitas bertambah besar. Tetapi bila semakin banyak komponen
yang dipesan setiap kali pemesanan, jumlah pesanan per periode akan turun,
maka biaya pemesanan total juga akan turun. Ini berarti biaya pemesanan total
per periode (tahunan) adalah sama dengan jumlah pesanan yang dilakukan
Biaya-biaya Persediaan
Perkiraan Pemakaian
Pemakaian Sesungguhnya
Waktu Tunggu Pembelian/ Pemesanan Kembali
Persediaan Pengaman
JUMLAH PEMBELIAN OPTIMAL
Harga Bahan Baku
PRODUKSI
Persediaan Bahan Baku
Kebijakan Pembelian
setiap periode dikalikan biaya yang harus dilakukan setiap periode dikalikan
biaya yang harus dikeluarkan setiap kali pesan.
c. Biaya persiapan (set up cost), terjadi pada perusahaan yang memproduksi
sendiri bahan bakunya. Biaya penyiapan total periode adalah sama dengan
biaya penyiapan dikalikan jumlah penyiapan per periode.
d. Biaya kehabisan bahan (shortage cost), yaitu biaya yang timbul bilamana
persediaan tidak mencukupi adanya permintaan bahan. Biaya ini merupakan
biaya yang paling sulit diperkirakan dan diukur dalam praktek, karena pada
kenyataannya sering merupakan opportunity cost yang sulit diperkirakan
secara obyektif.
2.6.4 Pengendalian Persediaan
Dalam pengendalian persediaan diusahakan untuk mencapai jumlah
persediaan yang tepat, pada waktu yang tepat dengan kualitas yang tepat pula
sebab kelebihan ataupun kekurangan persediaan akan menimbulkan kerugian
dalam perusahaan. Persediaan yang terlalu besar menimbulkan resiko kerusakan,
penurunan nilai besarnya dana yang harus ditanamkan sehingga dana untuk
investasi lain berkurang dan juga kenaikan biaya-biaya untuk penyimpanan,
asuransi dan biaya-biaya lainnya yang berhubungan dengan persediaan
meningkat.
Assauri (1993) menyatakan bahwa pengendalian persediaan dapat
dikatakan sebagai suatu kegiatan untuk menentukan tingkat dan komposisi
pesediaan komponen rakitan (spare parts), bahan baku dan barang hasil/produk,
sehingga perusahaan dapat melindungi kelancaran produksi dan penjualan serta
kebutuhan kebutuhan pembelanjaan perusahaan dengan efektif dan efisien.
Star dan Miller dalam Askar (1994) mendefinisikan pengendalian
persediaan sebagai suatu teori untuk menemukan prosedur optimal dalam
penentuan jumlah optimal bahan yang harus disimpan untuk memenuhi
permintaan di masa yang akan datang.
2.6.5 Tujuan Pengendalian Persediaan
Menutur Assauri (1993) tujuan dari pengendalian persediaan dinyatakan
sebagai usaha untuk:
1. Menjaga jangan sampai perusahaan kehabisan persediaan sehingga dapat
mengakibatkan terhentinya prose produksi.
2. Menjaga agar pembentukan persediaan oleh perusahaan tidak terlalu besar
atau berlebihan, sehingga biaya-biaya yang timbul akibat persediaan bahan
baku tidak terlalu besar.
3. Menjaga agar pembelian kecil-kecilan dapat dihindari, karena hal ini akan
mengakibatkan biaya pemesanan menjadi besar.
Fungsi utama dari pengendalian persediaan dilihat dari sudut pandang
produksi adalah (Bedworth dan Bailey, 1987):
1. Meyakinkan atau menjamin bahwa fungsi produksi tidak terhalang oleh
kekurangan dari barang-barang yang dibutuhkan atau kelebihan dari barang-
barang.
2. Meyakinkan atau menjamin bahwa prosedur yang dibangun untuk
memperoleh dan menyimpan persediaan yang dibutuhkan berada pada biaya
minimum yang dikeluarkan dalam fungsi persediaan dan juga proporsional
dengan tujuan memuaskan sistem.
Persyaratan pengendalian persediaan yang efektif menurut Stevenson
(1990) adalah:
1. Mempunyai sebuah sistem akuntansi persediaan, sistem akuntansi ini bisa
berupa sistem akuntansi periodik atau sistem akuntansi perpetual. Untuk dapat
mendukung perusahaan dalam membuat keputusan tentang besarnya pesanan,
penjadwalan serta pengangkutan diperlukan suatu sistem akuntansi yang
akurat.
2. Memiliki ramalan permintaan yang dapat dipercaya dimana didalamnya
terdapat ramalan kemungkinan kealahan.
3. Mengetahui jangka waktu antar pesanan dilakukan dan pesanan diterima, serta
varians dari jangka waktu tersebut.
4. Estimasi biaya-biaya persediaan (holding cost, ordering cost, shortage cost).
5. Sistem klasifikasi untuk jenis-jenis persediaan.
2.7 Sistem Klasifikasi
2.7.1 Klasifikasi dalam Manajemen Persediaan
Pengadaan persediaan membutuhkan sejumlah modal, oleh sebab itu
supaya modal yang dialokasikan menjadi efisien, maka kuantitas persediaan harus
dikelola sedemikian rupa, sehingga menghasilkan biaya minimal. Pengelolaan
inilah yang dinamakan manajemen persediaan. Pada beberapa perusahaan
manajemen persediaan menjadi bagian tanggung jawab manajer produksi, tetapi
pada perusahaan lainnya menjadi tanggung jawab akuntan atau bagian
administrasi (Warman,1997).
Pada perusahaan-perusahaan tertentu, terdapat banyak jenis persediaan
(items) yang harus diawasi, bahkan kadang sampai ribuan items. Pengawasan dan
pengendalian persediaan pada perusahaan semacam ini, membutuhkan banyak
tenaga dan biaya. Oleh karena itu untuk meningkatkan efisiensi dan efektifitas
manajemen persediaan, perlu adanya pengelompokan (sistem klasifikasi) jenis-
jenis persediaan tersebut.
Ada beberapa macam sistem klasifikasi bagi jenis-jenis persediaan, antara
lain mengadakan pengelompokan berdasarkan (Leenders,1989):
1) Fungsi atau tipe persediaan, misalkan persediaan bahan baku utama(raw
materials), bahan baku tambahan (part and subassemblies), persediaan
dagang (resale items), barang modal (capital goods) dan sebagainya.
2) Frekuensinya pemesanan dan pembelian. Beberapa jenis persediaan
dipesan secara teratur (repetetive basis), dan beberapa jenis lainnya
dipesan dengan frekuensi yang tidak teratur (infrequently).
3) Perlu atau tidaknya stock, yaitu membedakan barang-barang yang dibeli
untuk langsung dipakai (dibeli karena memang dibutuhkan) dan barang
yang dibeli untuk disimpan sebagai persediaan pengaman. Asumsi dari
pengelompokan ini adalah bahwa semua jenis persediaan dipesan/dibeli
secara teratur (repetitive basis). Asumsi lain yaitu perbedaan resiko yang
timbul bila membeli terlalau banyak anatar pembelian secara teratur,
dengan yang tidak teratur dapat terlihat dengan jelas.
4) Pengelompokan berdasarkan bentuk fisik persediaan misalnya padat, cair
atau gas, atau pengelompokan berdasarkan sifat fisik persediaan misalnya
stabil, mudah menguap, mudah rusak atau tahan lam, berbahaya atau tidak.
Hal ini akan berimplikasi pada cara penanganannya, misalnya kondisi
gudang, kuantitas pembelian, pengepakan, ukuran rak dan
penumpukannya , dan sebagainya.
5) Pengelompokan berdasarkan bentuk atau tipe transportasi, misalnya
transportasi darat atau laut, atau udara. Implikasinya adalah biaya yang
dikeluarkan untuk memesan dan membeli.
6) Pengelompokan berdasarkan nilai mata uangnya (monetary value).
Pertama kali ditemukan oleh Vilfredo Pareto, dan kini dikenal dengan
ABC Analysis. Pengaplikasian sistem ini pada tiap-tiap perusahaan
berbeda-beda, terkadang ada perusahaan yang membagi persediaannya
lebih dari tiga kelas. ABC analysis adalah sistem klasifikasi yang paling
banyak dibahas dalam manajemen persediaan.
2.7.2 ABC Analysis
ABC analysis adalah langkah pertama atau paling tidak salah satu dari
langkah-langkah dalam pengendalian persediaan (Forgaty, 1991). Prosedur
pengelompokkan jenis-jenis persediaan berdasarkan ABC analysis sistem adalah
sebagai berikut:
1. Identifikasi kuantitas penggunaan tahunan (annual usage) dari setiap jenis
persediaan (item).
2. Kalikan kuantitas penggunaan tahunan tadi, dengan biaya yang
dikeluarkan untuk tiap-tiap jenis persediaan. Hasilnya adalah Nilai
penggunaan tahunan untuk tiap jenis persediaan (annual dollar usage).
3. Jumlahkan nilai penggunaan tahunan untuk semua jenis persediaan, untuk
mendapatkan total pengeluaran tahunan (aggregate annual expenditure).
4. Hitung persentase nilai penggunaan tahunan untuk tiap-tiap jenis
persediaan terhadap penggunaan total tahunannya.
5. Angka-angka persentase tersebut akan menjadi dasar pengelompokan.
Contoh perbedaan pengendalian bagi setiap kelas menurut Fogarty, adalah
sebagai berikut:
Kelas A:
- Adanya kontinuitas dalam mengevaluasi metode peramalan yang
digunakan dan hasilnya.
- Perhitungan keuangan bulanan dengan toleransi yang ketat akan kesalahan
atau penyimpangan.
- Catatan harian yang dievaluasi setiap hari
- Evaluasi yang kontinu mengenai permintaan, kuantitas order (yang
umumnya menghasilkan kuantitas seminimum mungkin), persediaan
pengaman (safety stock)
- Menindaklanjuti dan mengusahakan pengurangan waktu tunggu (lead
time)
Kelas B:
- Serupa dengan kelas A, tapi dengan frekuensi yang lebih jarang.
Kelas C:
- Tujuan dasar dari manajemen persediaan untuk kelas ini adalah untuk
memiliki persediaan ( to have them).
- Catatan sederhana atau tanpa catatan, dapat juga digunakan penghitungan
langsung secara fisik di gudang setiap periode.
- Pesanan dan pengadaan safety stock dalam jumlah yang besar.
- Penghitungan persediaan secara periodik, dengan tingkat toleransi
kesalahan yang relatif lebih besar.
Menurut Leenders, perbedaan manajemen persediaan bagi kelas A, B dan
C ini terletak pada waktu dan tenaga dari manajemen persediaan, yang lebih
difokuskan untuk mengendalikan kelas A dan B dari pada kelas C. Umumnya
untuk kelas C, manajemen akan mengadakan persediaan dengan kuantitas yang
relatif lebih besar (dari pada kelas A dan B), dan pengecekan persediaan secara
periodik (lebih jarang dari pada kelas A dan B).
Tabel 2. Perbedaan manajemen persediaan pada masing-masing kelas A B C
Frekuensi penghitungan
persediaan
Setiap bulan Setiap 6 bulan sekali
Tahunan
Kuantitas Order Kecil/sedikit Sedang (berdasarkan EOQ)
Besar/banyak
Persediaan pengaman
Banyak Banyak Sedikit atau tidak sama sekali
Klasifikasi ulang Setiap 6 bulan sekali
Setiap 6 bulan sekali
Tahunan
Sumber Vollman,1993
2.8 Perencanaan dalam Manajemen Persediaan
Salah satu fungsi manajemen adalah perencanaan, begitu pula dengan
manajemen persediaan yang juga membutuhkan perencanaan. Dalam perencanaan
persediaan (Material Planning) di perusahaan-perusahaan moderen ada saling
keterkaitan antara rencana penjualan, rencana produksi, persediaan bahan baku
dan produk jadi dan kapasitas produksi. Seluruh perencanaan tersebut saling
berintegrasi sebagai satu kesatuan proses. Salah satu metode perencanaan
persediaan yang terkenal adalah Material Requirement Planning (MRP).
2.8.1 Material Requirements Planning System (MRP)
Material Requirement Planning adalah suatu sistem perencanaan dan
penjadwalan kebutuhan material untuk produksi yang memerlukan beberapa
tahapan/fase atau dengan kata lain adalah suatu rencana produksi untuk sejumlah
produk jadi yang diterjemahkan ke bahan mentah (komponen) yang dibutuhkan
dengan menggunakan waktu tenggang, sehingga dapat ditentukan kapan dan
berapa banyak dipesan untuk masing-masing komponen suatu produk yang akan
dibuat (Stevenson, 1992). Sistem ini tidak mencoba untuk membuat jenis
persediaan tersedia setiap saat. Sistem ini merencanakan ukuran lot sehingga
barang-barang tersebut tersedia saat dibutuhkan. Tingkat persediaan dapat lebih
rendah dan biaya penyimpanan dapat dikurangi. Untuk menerima keuntungan ini,
MRP harus membangun sistem penjadwalan yang dapat menunjukan kapan
permintaan tersebut dibutuhkan.
MRP merupakan sistem penjadwalan mundur yang dimulai dengan produk
akhir. Kemudian dikerjakan mundur yaitu menuju bahan, melalui berbagai tingkat
perakitan dan pabrikasi. Tujuannya adalah merencanakan persediaan sehingga
tersedia ketika dibutuhkan.
Untuk itu maka, manajer perusahaan harus mengetahui (Heizer dan
Render, 1993) :
1. Jadwal Produksi Master (Master Production Schedule) menjabarkan apa
yang harus dibuat dan kapan. Jadwal ini harus sesuai dengan rencana
produksi.
2. Spesifikasi dari bill of material merupakan daftar kuantitas komponen,
kandungan dan kebutuhan bahan unutuk membuat produk yang
mengambarkan struktur produk. Bill of material ini tidak hanya
menjabarkan kebutuhan, tetapi uga penting dalam pembiayaan dan dapat
memberikan daftar barang-barang yang harus diproduksi atatu dirakit.
3. Catatan persediaan yang akurat akan menciptakan manajemen persediaan
yang baik. Dan manajemen persediaan yang baik merupakan syarat untuk
jalannya sistem MRP.
4. Pengetahuan atas perjanjian pesanan pembelian harus dimiliki dalam
bagian pengendalian persediaan. Ketika pemesanan pembelian terjadi,
catatan tentang pesanan tersebut dan jadwal pengantaran harus tersedia
sehingga manajer dapat menyiapkan rencana produksi yang baik dan
melakukan sistem MRP dengan baik.
5. Pengetahuan atas waktu ancang-ancang untuk masing-masing komponen
diperlukan dalam menentukan kapan waktu yang tepat untuk melakukan
pembelian, produksi atau perakitan yang sesaui dengan kapan produk
tersebut dibutuhkan.
Hasil dari pengolahan informasi-informasi tersebut akan menghasilkan
output berupa:
1. Informasi primer, yaitu mengenai produksi dan rencana pengadaan dan
pengendalian persediaan. Informasi primer terdiri dari:
a. Jadwal pemesanan, yang berisi waktu dan kuantitas pemesanan
b. Jadwal penerimaan, yangberisi waktu penerimaan barang yang
dipesan
c. Perubahan pemesanan (bila ada)
2. Informasi sekunder, yang terdiri dari:
a. Performance control report , yang digunakan untuk mengevaluasi
sistem persediaan. Hasil evaluasi ini dapat memperlihtakan
penyimpangan-penyimpangan kondisi nyata dari rencana,
(misalnya kesalahan pengiriman, kehabisan persediaan) dan biaya
yang telah dikeluarkan.
b. Planning reports, untuk mengetahui permintaan persediaan pada
periode yang akan datang.
c. Exception reports, yang menginformasikan tentang keterlambatan,
kehilangan bahan (lost) saat produksi yang berlebihan.
Informasi yang dihasilkan oleh MRP dapat lebih fleksibel sesuai dengan
kebutuhan manajemen pada perusahaan tidak mutlak sama seperti yang tercantum
diatas.
Beberapa kelebihan MRP (Heizer dan Render, 1993; dan Stevenson, 1992)
antara lain; (a) Meningkatkan pelayanan dan kepuasan pelanggan, (b)
Meningkatkan kegunaan dan fasiltas tenaga kerja, (c) Perencanaan dan
penjadwalan persediaa yang lebih baik, (d) respon lebih cepat terhadap perubahan
pasar, (e) Mengurangi tingkat persediaan, terutama untuk permintaan terikat,
tanpa mengurangi pelayanan, (f) Pengendalian persediaan yang lebih terkontrol,
(g) Mempermudah analisis terhadap kapasitas produksi, (h) memungkinkan
pengalokasian waktu produksi.
Selain keuntungan, penggunaan konsep MRP juga memiliki kelemahan
yang terletak pada awal penerapan MRP, yaitu biaya ekstra yang dibutuhkan
untuk meneliti dan menghitung kuantitas kebutuhan bahan baku dengan tepat,
pada suatu periode tertentu, sehingga memungkinkan perencanaan bahan baku
yang lebih baik. Umumnya perusahaan membutuhkan waktu 1 tahun untuk
menerapkan konsep MRP secara sempurna. Selain biaya dan waktu, perusahaan
juga harus mengadakan pendidikan/pelatihan bagi karyawannya sebelum
penerapan (Stevenson, 1992).
Selain input, proses dan output, ada dua aspek lain yang perlu
diperhatikan, dan dapat menjadi bahan pertimbangan dalam pengolahan informasi
dengan MRP, yaitu: safety stock (persediaan pengaman) dan lot sizing (kuantitas
pemesanan). Idealnya, dengan pendekatan MRP tidak lagi diperlukan persediaan
pengaman untuk bahan baku, yang merupakan permintaan terikat (dependent
demand), karena kebutuhan sudah dapat diperkiarakan sebelumnya. Persediaan
pengaman lebih ditujukan bagi produk jadi yang merupakan permintaan bebas.
Konsep MRP yang berusaha menekan bahkan meniadakan persediaan pengaman,
lebih mengacu pada safety time. Safety time merupakan tenggang waktu
tambahan, yang dimasukkan dalam pertimbangan dalam rencana dan pejadwalan.
Sehingga bila ada keterlambatan, kesalahan maupun penyimpangan-
penyimpangan lain yang berbeda dari rencana, tetap tidak mengganggu
kelancaran/kontinuitas produksi dan pemasaran.
Sumber : Stevenson, 1992 Gambar 2. Ilustrasi proses perencanaan dengan MRP
Dalam perencanaan MRP, terdapat beberapa metode untuk menghitung
ukuran lot pembelian ( Buffa dan Sarin, 1996), dibawah ini akan dibahas beberapa
teknik dalam penentuan ukuran lot.
1. Metode lot for lot, ukuran lot untuk memenuhi kebutuhan bersih tepat satu
periode tunggal, tanpa persediaan pengaman. Kebijakan ini hanya efektif
bilamana biaya awal pemesanan sangat kecil dibandingkan dengan biaya
penyimpanan.
2. EOQ ( Economic Order Quantity), dihitung berdasarkan kebutuhan yang
diperkirakan dan dihitung dengan rumus EOQ. Umumnya biaya
pemesanan akan lebih rendah dan biaya penyimpanan akan lebih tinggi
dibandingkan dengan metode lot for lot.
Order Forecast
Receipt Whit drawls
Master production Schedule
Bill of material file
Inventory records file
MRP Computer program
Design Changes
MRP Input MRP Output
Order release
Planned order schedules
Performance control reports
Proses
Changes
Exception reports
Planning reports
Inventory transaction
3. POQ (Periode Order Quantity), ukuran lot ditetapkan sama dengan
kebutuhan aktual dalam jumlah periode tertentu yang telah ditetapkan
sebelumnya, dengan demikian kelebihan persediaan akibat kebijakan EOQ
dihilangkan.
4. Part – periode total cost balancing (penyeimbangan biaya total bagian
periode), dalam kebijakan ini biaya penyimpanan dan biaya pemesanan
diseimbangkan sedapat mungkin untuk keputusan lot.
2.8.2. Manufacturing Resources Planning (MRP II)
Dalam perencanaan persediaan (Material Planning) di perusahaan-
perusahaan moderen ada saling keterkaitan antara rencana penjualan, rencana
produksi, persediaan bahan baku atau produk jadi, dan kapasitas produksi.
Seluruh perencanaan tersebut saling berintegrasi sebagai kesatuan proses. MRP II
bukan konsep pengganti MRP, namun sebagai perkembangan dari konsep MRP
untuk mengatisipasi kebutuhan proses perencanaan yang saling terintegrasi tadi.
MRP II memperluan lingkup perencanaannya, dengan melibatkan departemen lain
(selain produksi) dari perusahaan yang terkait dengan perencanaan manajemen
persediaan. Umumnya pemasaran dan keuangan adalah dua departemen yang
memiliki keterkaitan kuat dengan manajemen persediaan.
Tujuan utama konsep MRP II adalah mengitegrasikan ketiganya dalam
manajemen persediaan tanpa mengabaikan fungsi-fungsi lain seperti personalia,
teknik (engineering) maupun pembelian (purchasing). Perusahaan memiliki
perencanaan bisnis yang akan menjadi pedoman dan tujuan yang akan dicapai.
Perencanaan penjualan merupakan bagian dari perencanaan bisnis, yang
meramalkan tentang penjualan di periode yang akan datang, berdasarkan
penjualan periode-periode sebelumnya (Gambar 3). Hasil ramalan penjualan
tersebut, dterjemahkan oleh bagian produksi ke dalam bentuk perencanaan
produksi, dan akan menentukan produksi sesuai dengan yang diminta oleh bagian
pemasaran.
Bagian produksi akan melihat sumber daya yang ada, baik itu berupa
input/bahan baku, kapasitas mesin, tenaga kerja, hari kerja, dan sebagainya.
Apabila sumber daya yang ada tidak dapat memenuhi kebutuhan produksi yang
direncanakan, maka bagian produksi akan menganalisis dan merencanakan ulang
produksi yang dibutuhkan. Selain bagian produksi, bagian penjualan juga
merencanakan kembali rencana penjualannya yang disesuaikan dengan sumber
daya yang ada. Namun, apabila sumber daya telah sesuai dengan rencana
produksi, maka bagian produksi akan membuat jadwal produksi, perencanaan
kebutuhan bahan baku, dan perencanaan kapasitas.
Apabila perencanaan telah siap direalisasikan, maka bagian pembelian
akan melakukan pemesanan dan pembelian bahan baku. Selama proses produksi,
bagian produksi atau quality control akan melakukan pemeriksaan/pengawasan
terhadap seluruh rangkaian proses, dan hasilnya. Hasil pengawasan ini akan
menjadi bahan analisa dan evaluasi bagi perencanaan periode berikutnya.
Gambar 3. Ilustrasi Manufacturing Resources Planning
Keterangan Gambar :
Yes
No
SHOP FLOOR CONTROL
PURCHASING
BUSINESS PLANNING
SALES PLANNING
PRODUCTION PLANNING
RESOURCES OK?
MASTER SCHEDULLING
MATERIALS PLANNING
CAPACITY PLANNING
PLANNING OK?
PERFORMANCE MEASUREMENT
Yes
No
Feed back atau umpan balik, yang akan menjadi bahan evaluasi dan masukan untuk perencanaan periode berikutnya
Loop/ siklus tertutup dalam MRP II
MRP I (Material Requirement Planning
2.9 Penetapan Kuantitas Persediaan dan Frekuensi Pemesanan
Penetapan kuantitas (lot sizing) adalah suatu hal yang sangat penting
dalam manajemen persediaan. Baik penetapan kuantitas pemesaan persediaan
yang merupakan permintaanterikat, maupun penetapan kuantitas produksi produk
jadi yang merupakan permintaan bebas.
Persediaan yang terlalu besar akan mengakibatkan kerugian sebagai
berikut (Ahyari, 1986) :
a. Biaya penyimpanan dan pemeliharaan yang tinggi
b. Kebutuhan dana yang besar untuk pembelian
c. Kerugian yang timbul apabila harga pasar bahan baku menurun
d. Penggunaan dana yang terlalu besar, sehingga tidak dapat dialokasikan untuk
keperluan lain
Selain kerugian-kerugian tersebut di atas perusahaan juga menanggung
(Riyanto,1991):
e. Resiko kerusakan atau penurunan kualitas persediaan yang lebih tinggi
f. Biaya-biaya tambahan yang meningkat, misalnya biaya asuransi, beban bunga
Tetapi kekurangan persediaan juga akan menimbulkan kerugian dan biaya
yang tidak kecil (Ahyari,1986):
a. Untuk persediaan bahan baku yaitu:
- Proses produksi terinterupsi atau tidak kontinu
- Kualitas produk akhir yang tidak seragam, akibat
ketidaklancaran bahan baku
- Biaya pemesanan yang relatif tinggi, akibat
frekuensi pembelian bahan baku yang semakin tinggi
- Pabrik tidak dapat bekerja pada kapasitas penuh,
sehingga selaintidak dapat menggunakan sumber daya sepenuhnya, juga
akan meningkatkan biaya produksi rata-rata.
b. Untuk persediaan produk jadi yaitu:
- Kontinuitas pemasaran terinterupsi, dan beresiko terhadap kepercayaan
pelanggan
- Kehilangan kesempatan mendapatkan keuntungan dari pesanan yang tidak
dapat dipenuhi.
2.9.1 Order Point System
Sistem pemesanan persediaan, yang dilakukan bila kuantitas
persediaan mencapai titik/tingkat tertentu. Kuantitas pemesanan selalu sama,
tetapi pada interval waktu yang berbeda, atau sama (interval waktu ini tergantung
pada fluktuasi penggunaan persediaan tersebut dan waktu tunggu /lead time).
Tingkat persediaan dinilai terus menerus, dan ketika posisi persediaan mencapai
suatu titik (reorder point) yang telah ditentukan sebelumnya, maka dilakukan
pemesanan dalam jumlah yang tetap. Sistem ini juga disebut sistem ukuran
pemesanan tetap. Keuntungan dari sistem ini adalah pengawasan kuantitas dan
waktu pemesanan lebih mudah dan cermat, karena adanya pengawasan yang
terus-menerus atas penggunaan persediaan. Selain itu, akibat kuantitas pesanan
yang tetap, maka manajer dapat menentukan kuantitas pesanan yang ekonomis.
Tetapi kelemahannya adalah pelaksanaan sistem ini semakin rumit bila,
perusahaan menggunakan beberapa jenis persediaan, yang saat pemesanannya
tidak sama dan biaya pengawasan persediaan yang relatif tinggi.
2.9.2 Order Cycle System
Sistem pemesanan yang dilakukan pada interval waktu yang tetap,
dengan kuantitas pesanan yang berbeda-beda, tergantung kuantitas yang
dibutuhkan dalam suatu interval. Tingkatan persediaan dinilai secara berkala
dengan sistem periodik. Sehingga pemesanan dilakukan tanpa memperhatikan
kuantitas persediaan yang masih ada. Sistem ini juga disebut sistem interval
pemesanan tetap atau fixed order interval system.
Keuntungan sistem ini adalah pengawasan persediaan yang lebih
mudah dilakukan karena interval waktu yang tetap. Sedangkan kelemahannya
antara lain; (1) Perlu dilakukan perlindungan terhadap resiko kekurangan
persediaan dalam periode tersebut, karena kemungkinan kekurangan persediaan
dalam periode sebelumnya, (2) kebutuhan peninjauan ulang bagi kuantitas
persediaan yang dibutuhkan setiap periode, (3) Bila tidak diteliti, maka persediaan
akan mengalami stock out.
2.9.3 EOQ (Economic Order Quantity)
Economic Order Quantity atau kuantitas pembelian
ekonomis/optimal, adalah kuantitas barang yang dapat diperoleh dengan biaya per
unit minimal (Siswanto,1985). Metode ini dikembangkan berdasarkan biaya-biaya
yang timbul, sebagai akibat persediaan. Biaya yang dapat diperkecil, dengan
mengatur kuantitas dan frekuensi pembelian terutama adalah, biaya
pengadaan/pemesanan dan biaya penyimpanan. Kedua biaya ini saling
bertentangan, semakin kecil biaya pemesanan, maka semakin besar biaya
penyimpanan, sebaliknya semakin kecil biaya penyimpanan maka semakin besar
biaya pemesanan (Gambar 4).
Menurut Assauri (1993), EOQ merupakan jumlah atau besarnya
pesanan yang memiliki jumlah biaya pemesanan (ordering cost) dan biaya
penyimpanan (carrying cost) per tahun yang paling minimal. Untuk dapat
menentukan jumlah pemesanan yang ekonomis (EOQ) perlu dilihat pertambahan
biaya pemesanan dan biaya penyimpanan. Perhitungan EOQ dapat dilakukan
denga tiga cara, yaitu:
1) Tabular approach dengan cara menyusun daftar atau tabel jumlah pesanan
dan jumlah biaya per tahun, kemudian dipilih jumlah pesanan yang
mengandung jumlah biaya terkecil.
2) Graphical approach dengan cara menggambar grafik-grafik biaya
pemesanan, biaya penyimpanan dan biaya total dalam suatu gambar,
kemudian dipilih perpotongan antara biaya pemesanan an biaya penyimpanan
atau pada titik terendah kurva biaya total.
3) Formula approach dengan menentukan di dalam rumus matematika dapat
dilakukan dengan memperhatikan bahwa jumlah biaya persediaan minimum
terdapat apabila biaya pemesanan dama dengan biaya penyimpanan.
Teknik EOQ relatif lebih mudah digunakan, tetapi memiliki sejumlah
asumsi, diantaranya adalah:
1. Permintaan diketahui dan konstan.
2. Waktu ancang-ancang (lead time), yaitu waktu antara pesanan dilakukan dan
diterima, diketahui dan konstan.
3. Keseluruhan ukuran pesanan ditambahkan ke dalam persediaan pada waktu
yang sama.
4. Kekurangan (stock out) dapat dihindari jika pemesanan dilakukan tepat
waktu.
5. Struktur biaya adalah tetap, biaya pesanan tetap (set up) adalah sama tanpa
memperhatikan ukuran pesanan, biaya penyimpanan adalah fungsi linier
berdasarkan atas persediaan rata-rata dan tidak diberikan potongan kuantitas
dalam pembelian jumlah besar.
6. Terdapat ruangan, kapasitas dan modal yang mencukupi untuk memperoleh
jumlah yang diinginkan.
7. Barang merupakan produk tunggal, tidak berinteraksi dengan barang-barang
persediaan lain
Gambar 4. Hubungan Biaya Pemesanan dan Biaya Penyimpanan
(Buffa&Sharin, 1996)
Minimum
Biaya Total Persediaan Rata-rata
Biaya Penyimpanan per
Unit
Biaya Pemesanan per Unit
Q Optimal
Biaya Tahunan
Pendekatan secara matematisnya sebagai berikut :
Total biaya persediaan (TC) = (RxC) + { (RxS)/Q} + {Q x K x (C/2)}
Dimana:
TC : Total Biaya persediaan (Total Inventory Cost)
R : kebutuhan penggunaan persediaan selama setahun
C : harga (atau biaya produksi untuk produk jadi)
S : biaya pemesanan (set up cost)
Q : kuantitas pemesanan
K : biaya penyimpanan
N : frekuensi pemesanan
Untuk mencari Q yang optimal, maka persamaan TC di atas dibuatkan
turunan turunan pertamanya dari fungsi Q, yang akan memberikan total biaya atas
pengadaan persediaan yang minimal. Sehingga diperoleh rumus sebagai berikut :
Qo =• 2 (RxS)/ (KxC)
2.10 Just-in-time Inventory System
Just-in-time Inventory System atau JIT System pertama kali diperkenalkan
di Jepang pada tahun 70-an dan baru ditetapkan di Amerika 20 tahun kemudian.
JIT memiliki filosofi bahwa perusahaan mengeluarkan biaya persediaan yang
minimal, karena pengadaan persediaan diminimisasi, namun tetap
mempertahankan kelangsungan produksi dan pemasaran.
Sistem ini mengusahakan bahan baku tiba ditempat produksi, tepat pada
saat diperlukan (Leenders, 1989), dan produk jadi diproduksi sesuai dengan yang
akan terjual. Setiap pembelian bahan hanya untuk keperluan produksi, dan
kuantitas yang diproduksi juga sama dengan permintaan. Produksi tidak akan
terjadi sebelum ada tanda dari permintaan pasar, dan dengan demikian bahan baku
juga tidak akan ada sebelum ada tanda akan memproduksi.
JIT umumnya digunakan untuk proses manufaktur yang berulang, dimana
terdapat serangkaian kegiatan yang akan membentuk titik-titik operasi (work
centers) yang saling berkaitan. Misalnya pengolahan pertama dengan mesin A
kemudian dilanjtkan dengan mesin B, C dan seterusnya, sampai bahan baku
menjadi produk jadi. Hal ini akan menimbulkan penanganan/ pengendalian bahan
(material handling), waktu penyimpanan (storage time), waktu tunggu bagi bahan
sebelum diolah dari titik operasi satu ke titik operasi lain, kerusakan bahan selama
proses transfer, dan tenaga pengawas untuk mengawasi jalannya bahan dari awal
sampai proses berakhir. Tidak ada satu pun dari hal-hali yang timbul merupakan
kegiatan penambah nilai (value added activity).
Tujuan utama JIT adalah meminimisasi kegiatan-kegiatan yang tidak
menambah nilai (non-added value) tersebut dengan mengubah bentuk proses
produksi melalui titik-titik operasi (job-flow proses) menjadi sebuah arus produksi
yang berurutan (flow process). Karena keuntungan utama dari sistem JIT adalah
memperbaiki arus proses produksi. JIT mendorong semua antrian pada titik-titik
operasi menuju nol dan memeproleh kuantitas yang ideal.
Konsep JIT adalah mengurangi waktu, energi, materi, tugas-tugas
administrasi, biaya overhead, dan kesalahan. Konsep ini dibangun berdasarkan
fokus JIT yang berusaha untuk mengurangi segala pemborosan, baik pemborosan
waktu, tenaga, materi dan kesalahan. Supaya JIT dapat digunakan maka
dibutuhkan beberapa kondisi awal seperti rencana kapasitas yang seragam
(umumnya untuk sebulan), teknologi, pengendalian kualitas atas standar (zero
defect atau kesalahan = nol), mengurangi waktu set up (kurang dari 10 menit),
sistem pengendalian produksi sistem kartu, dan pemasok lokal yang dekat
(Assauri,1980).
Kondisi pasar dan pola produksi yang sesuai untuk penggunaan metode
Just-in-time adalah sebagai berikut (Stevenson, 1986):
- Pasar menghargai dan memilih produksi yang memiliki kualitas standar/
seragam
- Permintaan pasar tidak terlalu berfluktuasi
- Variasi produk relatif terlalu kecil
- Volume produksi tinggi
- Manajemen persediaan dan produksi yang terintegrasi sehingga
memungkinkan pelaksanaan dalam waktu singkat.
- Peralataan dan tata letak (lay-out) pabrik diatur membentuk titik-titik
operasi (work centers)
Persediaan yang Just-in-time ini akan dapat dicapai dengan sistem
pembelian yang Just-in-time pula. Keuntungan pembeliaan dengan Just-in-time
adalah sebagai berikut (Heizer dan Render, 1991):
a. Mengurangi aktifitas yang dilakukan oleh manajemen, seperti penerimaan dan
pengawasan terhadap bahan baku secara ketat. Aktifitas tersebut tidak
diperlukan lagi, karena pembelian telah melakukan seleksi terhadap pemasok
bahan baku secara seksama.
b. Mengurangi persediaan di gudang. Persediaan bahan baku dan produk jadi
tidak diperlukan jika persediaan tersebut telah memiliki kualitas standar dan
diserahkan pada tempat dan eaktu yang tepat. Persediaan bahan baku hanya
diperlukan dengan alasan yakin bahwa pemasok kurang dipercaya dalam
memenuhi kebutuhan bahan baku perusahaan. Demikian juga jumlah bahan
baku, seharusnya diserahkan dalam jumlah lot yang kecil karena akan lebih
sedikit mengandung masalah. Jika masalah itu dapat diidentifikasi,
dipecahkan, dan diorganisasikan dengan lebih baik, maka hal itu merupakan
langkah yang efisien.
c. Mengurangi persediaan di perjalanan (intransit inventory). Penjualan secara
moderen, mengurangi persediaan dalam perjalanan dengan cara mendorong
pemasok dan calon pemasok untuk ditempatkan dekat pabrik.
d. Kualitas yang dapat diandalkan. Kondisi ini dapat dicapai dengan baik melalui
pengurangan jumlah pemasok dan memperpanjang perjanjian dengan
pemasok yang ada. Untuk memperoleh perbaikan mutu dan kepercayaan,
penjual dan pembeli harus saling menjaga kepercayaan. Pemasok dan sistem
pengiriman yang tepat dapat menjamin bahwa pengiriman bahan baku dapat
dilakukan pada saat dan jumlah yang tepat, dengan kualitas yang sesuai
dengan standar serta terhindar dari kerusakan. Dengan demikian untuk
menggunakan metode JIT, pendekatan yang lebih baik adalah menentukan
keseragaman pemasok dalam kualitas, kuantitas dan waktu tunggu.
Dalam lingkungan Just-in-time perlu adanya hierarki kebutuhan yang
menunjukkan tingkat kebutuhan yang harus diperhatikan oleh para pengambil
keputusan dalam suatu perusahaan. Hierarki kebutuhan dalam suatu lingkungan
tersebut dapat dilihat pada Gambar 5, yang menunjukan bahwa penyerahan tepat
waktu merupakan yang diutamakan dalam Just-in-time. Kemudiaan penyerahan
tepat waktu tersebut memiliki beberapa faktor yang merupakan kebutuhan
sekunder dalam Just-in-time yang salah satunya adalah ukuran lot yang kecil.
Ukuran lot yang kecil memiliki beberapa faktor lagi yang merupakan kebutuhan
sekunder dalam sistem ini.
Dampak-dampak yang ditimbulkan oleh JIT antara lain adalah
pengaruhnya terhadap tata letak pabrik (plant lay out) dan penyedia jasa
pendukung (Muladi, 1993). Selain itu juga berkurangnya tingkat persediaan ke
titik yan sangat rendah dibandingkan dengan sistem inventarisasi dan produski
yang tradisional. Dimana dalam produksi yang tradisional bahan mentah
disediakan dan diproduksi pada titik awal dan kemudiaan di transfer ke titik
produksi berikutnya tanpa memperhatikan permintaan dari titik tersebut.
Gambar 5. Hierarki Kebutuhan dalam Suatu Lingkungan Just-in-time (Fernandes, 1996)
2.11 Penelitian-penelitian Terdahulu
Beberapa penelitian terdahulu diantaranya adalah penelitian dengan judul
Analisis Pengendalian Persediaan Benang Sutera Sebagai Bahan Baku Kain
Penyerahan tepat waktu
Ukuran lot yang kecil
Jadwal 15 menit lebih
awal
Pada tempat kerja
Biaya penyimpanan lebih rendah
Tidak ada kekurangan/
kelebihan
Biaya transportasi
rendah
Kebutuhan primer
Kebutuhan Sekunder
Kebutuhan tersier Jumlah yang tepat
Kapasitas
Sutera, membandingkan sistem persediaan yang dilakukan perusahaan dengan
metode MRP teknik EOQ (Economic Order Quantity). Hasil penelitian
menunjukkan apabila perusahaan menganut sistem MRP dengan teknik EOQ
maka perusahaan akan dapat mengoptimalisasi biaya total persediaan bahan baku.
Pada penelitian di PT Alam Aneka Aroma membandingkan sistem
persediaan bahan baku perusahaan kecap asin dengan metode teknik PBB dan
teknik EOQ. Hasil penelitian menyarankan agar perusahaan menggunakan teknik
PBB (Part Periode Balancing) apabila diterapkan pada perusahaan kecap asin ini
menghasilkan penghematan dalam biaya persediaan.
Penelitian dengan judul “Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku
Untuk Susu Pasteurisasi Coklat Studi Kasus pada PT Fajar Taurus, Jakarta,
menganalisis bahan baku susu segar dengan metode JIT yang disimulasikan dan
metode EOQ untuk bahan baku gula pasir dan coklat bubuk. Penelitian ini
membandingkan pengendalian bahan baku susu segar yang telah dilakukan oleh
perusahaan dengan metode JIT yang memberikan biaya paling minimal. Demikian
pula dengan bahan baku gula pasir dan coklat bubuk membandingkan metode
perusahaan dengan metode EOQ, mana yang memberikan biaya paling minimum.
Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa metode JIT dan EOQ memberikan biaya
paling minimum.
Semua penelitian tersebut memakai dan menerapkan data persediaan untuk
bahan baku, dan menghasilkan kesimpulan bahwa metode-metode penelitian
tersebut lebih optimal dalam menghitung persediaan yang diterapkan oleh
perusahaan.
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan transportasi
udara setiap tahun menyebabkan peningkatan akan kebutuhan penyedia jasa
katering. PT Aerowisata Catering Service merupakan perusahaan yang berhasil
dalam penyediaan jasa ini dan merupakan perusahaan jasa katering terbesar di
Indonesia. Untuk menjadi yang terbaik di bidangnya perusahaan harus menjadi
pilihan konsumen dalam pembelian produk. Pembelian berulang terjadi apabila
konsumen merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh perusahaan. Unsur-
unsur yang harus diperhatikan oleh perusahaan untuk menjamin kepuasan
konsumen adalah mutu dan ketersediaan produk setiap kali konsumen
mengadakan pembelian.
Agar perusahaan dapat mempertahankan posisinya dan bahkan
memperluas pangsa pasarnya, perusahaan perlu memiliki sistem pengadaan
produk yang baik. Penelitian ini mengkaji majemen persediaan bahan baku PT
Aerowisata Catering Service. Alur penelitian ini akan dimulai dengan
menganalisa kondisi yang ada di PT Aerowisata Catering Service. Adapun
kondisi yang dikaji berupa pola produksi, bahan baku yang dipakai dan produk
yang dihasilkan, perencanaan produksi dan pengendalian persediaan, dan sekilas
mengenai sistem pemasaran (yaitu bagaimana perusahaan meramalkan kebutuhan
dan permintaan pasar).
Hasil kajian mengenai pengadaan dan pembelian bahan baku yang ada di
perusahaan dibandingkan dengan teori pengadaan dan pengendalian bahan baku.
Serta dipertimbangkan implementasi secara nyata, apakah dapat diterapkan di
perusahaan.
Hasil kajian terhadap kondisi perusahaan ini, mempertimbangkan latar
belakang perusahaan dalam membentuk sistem manajemen persediaannya. Kajian
terhadap manajemen persediaan memaparkan sistem yang selama ini diterapkan
perusahaan.
Selanjutnya, dari hasil analisa penerapan manajemen persediaan pada
perusahaan akan dirumuskan karakteristik umum perusahaan sesuai dengan
aspek-aspek yang dibahas dalam teori-teori manajemen persediaan yang ada.
Teori-teori manajemen persediaan yang digunakan adalah ; (1) Sistem klasifikasi
persediaan (dengan fokus ABC analysis), (2) Sistem perencanaan Material
Requirement Planning (MRP), (3) Metode Just-in-time. Pada akhirnya akan
dilihat kemungkinan penerapan teori tersebut pada PT Aerowisata Catering
Service. Bagan alir pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
BAB III
KERANGKA PEMIKIRAN
Dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kebutuhan akan transportasi
udara setiap tahun menyebabkan peningkatan akan kebutuhan penyedia jasa
katering. PT Aerowisata Catering Service merupakan perusahaan yang berhasil
Sistem Pengadaan Bahan Baku
Jenis dan Asal Bahan Baku
Pemakaian Bahan Baku
Organisasi Pengadaan Bahan Baku
Prosedur Pembelian
dan Spesifikasi
Pengawasan Kualitas Bahan
Baku
Kemungkinan penerapan teori
Metode Perusahaan
Kajian Pengendalian Bahan Baku
• ABC Analysis
• MRP/MRP II
• JIT
Perusahaan PT Aerowisata Catering Service
dalam penyediaan jasa ini dan merupakan perusahaan jasa katering terbesar di
Indonesia. Untuk menjadi yang terbaik di bidangnya perusahaan harus menjadi
pilihan konsumen dalam pembelian produk. Pembelian berulang terjadi apabila
konsumen merasa puas dengan layanan yang diberikan oleh perusahaan. Unsur-
unsur yang harus diperhatikan oleh perusahaan untuk menjamin kepuasan
konsumen adalah mutu dan ketersediaan produk setiap kali konsumen
mengadakan pembelian.
Agar perusahaan dapat mempertahankan posisinya dan bahkan
memperluas pangsa pasarnya, perusahaan perlu memiliki sistem pengadaan
produk yang baik. Penelitian ini mengkaji majemen persediaan bahan baku PT
Aerowisata Catering Service. Alur penelitian ini akan dimulai dengan
menganalisa kondisi yang ada di PT Aerowisata Catering Service. Adapun
kondisi yang dikaji berupa pola produksi, bahan baku yang dipakai dan produk
yang dihasilkan, perencanaan produksi dan pengendalian persediaan, dan sekilas
mengenai sistem pemasaran (yaitu bagaimana perusahaan meramalkan kebutuhan
dan permintaan pasar).
Hasil kajian mengenai pengadaan dan pembelian bahan baku yang ada di
perusahaan dibandingkan dengan teori pengadaan dan pengendalian bahan baku.
Serta dipertimbangkan implementasi secara nyata, apakah dapat diterapkan di
perusahaan.
Hasil kajian terhadap kondisi perusahaan ini, mempertimbangkan latar
belakang perusahaan dalam membentuk sistem manajemen persediaannya. Kajian
terhadap manajemen persediaan memaparkan sistem yang selama ini diterapkan
perusahaan.
Selanjutnya, dari hasil analisa penerapan manajemen persediaan pada
perusahaan akan dirumuskan karakteristik umum perusahaan sesuai dengan
aspek-aspek yang dibahas dalam teori-teori manajemen persediaan yang ada.
Teori-teori manajemen persediaan yang digunakan adalah ; (1) Sistem klasifikasi
persediaan (dengan fokus ABC analysis), (2) Sistem perencanaan Material
Requirement Planning (MRP), (3) Metode Just-in-time. Pada akhirnya akan
dilihat kemungkinan penerapan teori tersebut pada PT Aerowisata Catering
Service. Bagan alir pemikiran dapat dilihat pada Gambar 6.
Gambar 6. Diagram Alir Kerangka Pemikiran
Sistem Pengadaan Bahan Baku
Jenis dan Asal Bahan Baku
Pemakaian Bahan Baku
Organisasi Pengadaan Bahan Baku
Prosedur Pembelian
dan Spesifikasi
Pengawasan Kualitas Bahan
Baku
Kemungkinan penerapan teori
Metode Perusahaan
Kajian Pengendalian Bahan Baku
• ABC Analysis
• MRP/MRP II
• JIT
Perusahaan PT Aerowisata Catering Service
BAB IV
METODE PENELITIAN
4.1 Lokasi Penelitian
Penelitian mengenai Kajian Sistem Pengadaan dan Pengendalian Bahan
Baku Perusahaan Katering (Kasus: PT Aerowisata Catering Service, Jakarta)
mengambil lokasi di PT Aerowisata Catering Service Bandara Internasional
Soekarno-Hatta, Jakarta. Pemilihan perusahaan sebagai tempat penelitian
dilakukan secara sengaja (purposive) berdasarkan pertimbangan bahwa
perusahaan ini merupakan market leader dalam bidangnya dan merupakan
perusahaan yang terbesar dibidangnya.
Penelitian ini dilakukan pada tanggal 1 Maret 2005 sampai dengan 31 Juni
2005.
4.2 Jenis dan Sumber Data
Data yang digunakan dalam penelitian ini ada dua jenis, yaitu data primer
dan data sekunder, baik yang bersifat kulitatif maupun kuantitatif. Data sekunder
yang merupakan pelengkap data primer diperoleh dari data yang dimiliki oleh
perusahan, laporan tahunan dan bahan pustaka yang diambil dari penelitian-
penelitian sebelumnya.
Jenis data dan keterangan yang dikumpulkan dari perusahaan antara lain (data
sekunder) adalah:
a. Gambaran umum perusahaan: sejarah perusahaan, keadaan umum,
struktur perusahaan
b. Proses produksi
c. Produk dan Pemasaran
d. Sistem pembelian bahan baku dan penyimpanan persediaan
e. Karakteristik dan variasi bahan baku maupun produk jadi
f. Manajemen persediaan yang diterapkan untuk bahan baku.
Tujuan pengumpulan data sekunder ini adalah untuk menunjang jalannya
penelitian. Sedangkan data primer diperoleh melalui pengamatan langsung di
lapang, hasil wawancara dengan pihak karyawan dan manajemen perusahaan.
4.3 Metode Pengolahan dan Analisis Data
Dalam menganalisis sistem pembelian bahan baku perusahaan dilakukan
secara kualitatif dengan wawancara dan pengamatan langsung, demikian juga
untuk mengetahui kegiatan produksi dari mulai pemesanan bahan baku hingga
menjadi produk akhir. Data kualitatif disajikan dalam bentuk uraian dibantu
dengan tabel bagan/gambar. Analisa atau kajian terhadap penerapan manajemen
persediaan perusahaan akan dilakukan berdasarkan aspek-aspek dan konsep yang
dibahas dalam teori-teori manajemen persediaan. Teori-teori tersebut adalah
sistem klasifikasi persediaan, konsep Material Requierement Planning dan konsep
ketepatan waktu Just-in-time.
Penyusunan karakteristik umum perusahaan yang dapat menerapkan
sistem menejemen persediaan yang serupa dengan PT Aerowisata Catering
Service, dilakukan dengan cara merumuskan karakteristik umum dari perusahaan.
Karakteristik umum disini adalah karakteristik yang dapat mewakili perusahaan
lain yang sejenis, bukan karakteristik yang sangat spesifik dan terkait erat denga
permasalahan dan kondisi yang dihadapi perusahaan. Kemungkinan penerapan
konsep-konsep teori pada manajemen persediaan PT Aerowisata Catering Service,
dilihat dengan cara membandingkan kondisi dan asumsi-asumsi yang dibutuhkan
untuk penerapan teori-teori tersebut dengan perusahaan.
BAB V
GAMBARAN UMUM PERUSAHAAN
5.1 Sejarah Umum
PT Aerowisata Catering Service merupakan anak perusahaan PT Garuda
Indonesia. Usaha jasa katering penerbangan ini dimulai pertama kali pada tahun
1970 dimana pada awalnya ditujukan hanya untuk melayani penerbangan Garuda
Indonesia di Bandar Udara Kemayoran Jakarta dengan nama Garuda Airline
Flight Kitchen dan usaha jasa boga ini terus aktif beroperasi sampai dengan tahun
1974. Pada September 1974 kegiatan operasional perusahaan dipindahkan ke
Bandar Udara Halim Perdanakusumah, seiring dengan perpindahan tersebut
terbentuk pula kerja sama antara PT Garuda Indonesia dengan Dairy Farm Hong
Kong pada tanggal 23 Desember 1974, Garuda Airline Flight Kitchen berganti
nama menjadi Aero Garuda Dairy Farm Catering Service.
Pada tanggal 23 Desember 1981 Garuda mengambil alih kepemilikan
seluruh saham Aero Garuda Dairy Farm Catering Service dan berperan menjadi
pemilik tunggal perusahaan yang selanjutnya berganti nama menjadi PT Aero
Garuda Catering Service dengan nama dagang PT Aerowisata Catering Service
(ACS). Pada saat Bandar Udara Internasional Jakarta Soekarno Hatta yang
berlokasi di Cengkareng dibuka, seluruh kegiatan operasional ACS pun
dipindahkan ke Cengkareng pada tanggal 20 Maret 1985.
Bidang usaha yang dilakukan oleh inflight catering adalah melayani jasa
boga dan kebutuhan Inflight Service material untuk baik penerbangan domestik
maupun internasional, jenis jasa yang ditawarkan adalah:
• Makanan : hot meal, cold meal, buah-buahan, sayuran segar, snack
dan lain-lain.
• Minuman : jus buah-buahan, minuman ringan, minuman mengandung
alkohol, es batu dan penyediaan air minum alami.
• Inflight Service material: barang-barang keperluan toilet, majalah .
• Galley service: pengangkutan makanan ke dalam pesawat dan
penyimpanan makanan di dalam pesawat serta sebaliknya.
• Bar exchange: melakukan pergantian dan penambahan kebutuhan
minuman ( beralkohol) pada penerbangan sesuai dengan kebutuhan atau
permintaan perusahaan penerbangan.
• Laundry (jasa binatu): menyediakan jasa pencucian seperti selimut, alas
nampan, handuk kecil, taplak meja dan napkin (serbet)
• Cabin setting: mempersiapkan seluruh kebutuhan kabin pesawat seperti,
alat pendengar, dokumen penerbangan, majalah, bunga hiasan dalam
pesawat.
• Aircraft cleaning: meliputi kegiatan penggantian alas sandaran kepala,
sarung bantal, pembuangan sampah, pembersihan toilet dan galley.
• On ground service: meliputi penyediaan makanan di ruang tunggu
penumpang kelas eksekutif.
• Kegiatan di luar Inflight catering seperti: penyediaan jasa boga untuk
gedung-gedung pertemuan (rapat) dan hotel.
Begitu luasnya cakupan jasa layanan yang ditawarkan maka ACS membentuk
strategic business unit (SBU) :
1. Inflight Catering Service : unit usaha ini lebih memprioritaskan kepada
layanan jasa boga bagi perusahaan penerbangan. Unit ini beroperasi hampir
di seluruh bandar udara besar Indonesia. Layanan yang ditawarkan meliputi
penerbangan domestiok, internasional, penerbangan khusus seperti
penerbangan carter, VVIP dan haji.
2. Industrial catering : unit usaha ini bergerak di bidang layanan jasa boga dan
jasa terkait lainnya diluar pelayanan maskapai penerbangan. Layanan yang
ditawarkan ditujukan bagi perusahaan-perusahaan besar dengan banyak
sumber daya manusia misalnya lokasi-lokasi pemondokan karyawan
pengeboran minyak dan gas bumi, pengelolaan kantin karyawan pabrik,
kantin sekolah atau universitas, juga layanan kebutuhan jasa boga untuk
rumah sakit, baik menu normal untuk karyawan maupun makanan dengan
diet khusus untuk pasien. Unit usaha ini juga menawarkan jasa binatu dan
jasa pengelolaan dan perawatan wisma (house keeping dan maintance).
3. Inflight logistic: Unit usaha ini memberikan layanan pengelolaan logistik
untuk pelayanan dalam penerbangan. Layanan ini meliputi jasa konsultasi
perencanaan dan pengelolaan barang penerbangan (airlines equipment
handle serta cabin services), pengadaan barang untuk penerbangan seperti
barang sekali pakai baik dry goods, minuman (beverages), peralatan pecah
belah, dan bahan bacaan; jasa penyimpanan barang penerbangan (bonded
strores), dan jasa pengiriman barang penerbangan
Saat ini ACS memiliki beberapa cabang yang dimiliki sepenuhnya oleh Garuda
Indonesia di: Denpasar (Bali), Medan (Sumatera Utara), Balikpapan ( Kalimantan
Tengah), Surabaya (Jawa Timur). Sedangkan cabang di Batam merupakan
kerjasama ACS dengan PT Nurthi Falta Sakti perusahaan katering ini bernama
(PT Aeronurthi Catering Service), di Makasar merupakan kerjasama dengan PT
Mandai Prima bernama PT Aeroprima.
PT ACS memiliki visi untuk menjadi market leader di bidang industri jasa
boga untuk perusahaan penerbangan di Indonesia dan menjadi salah satu usaha
jasa boga terbaik di Asia Tenggara. Aerowisata Catering Service is the market
leader in inflight catering industry in Indonesia and among the best in South East
Asia Region. Usaha PT ACS yang bersetifikat Halal ini untuk mengembangkan
dan memajukan perusahaan dibuktikan dengan diraihnya ISO 9002 pada tahun
1997 yang diperbaharui pada tahun 2000. Pada tahun 2000 juga PT ACS
mendapatkan sertifikat HACCP.
PT Aerowisata Catering Service Jakarta berlokasi diperbatasan antara
Jakarta Utara dengan Kabupaten Tanggerang , tepatnya di area bisnis Bandar
Udara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta.
5.2 Struktur Organisasi Perusahaan
PT Aerowisata Catering Service sebagai anak perusahaan PT Garuda
Indonesia memiliki seorang General Manager yang memimpin jalannya
perusahaan. Sesuai dengan tanggung jawab dan tugas PT ACS membagi struktur
perusahaan menjadi dua departemen, masing-masing departemen dipimpin oleh
seorang eksekutif manajer. Kedua departemen itu adalah departemen Operasional
dan Administrasi (lampiran 5).
Bagian Security dan Hygene and Quality Assurance mempunyai
koordinasi langsung di bawah GM bertanggung jawab langsung ke GM. Hal ini
dilakukan untuk menghindari kompromi antar bagian perusahaan yang nantinya
merugikan perusahaan. Hygene and Quality Assurance memiliki fungsi yang
sangat penting karena jasa yang ditawarkan PT ACS berkisar produk makanan,
apabila makanan yang diproduksi PT ACS rusak atau terkontaminasi akan
menyebabkan keracunan makanan, selain merugikan PT ACS secara finansial,
juga akan mengakibatkan kehilangan konsumen, bahkan dapat mengakibatkan
tuntutan hukum dari konsumen yang secara finansial dapat mencapai milyaran
rupiah, dan hilangnya kepercayaan konsumen baik konsumen domestik maupun
internasional. Hygene and Quality Assurance berfungsi untuk memeriksa kualitas
barang yang diterima di gudang dan mengaudit produk akhir yang dihasilkan.
Departemen Administrasi bertugas untuk membantu para manajer
mempelancar pekerjaan mereka. Secara periodik, bagian Administrasi mengaudit
kondisi perusahaan baik kondisi finansial maupun kondisi persediaan barang
perusahaan. Bagian Administrasi dibagi lagi menjadi bagian Keuangan (finance),
Pembukuan (Accounting), Human Resource Departement, Customer Service dan
Purchasing.
Purchasing officer mempunyai tugas untuk menanggani semua pembelian
yang dilakukan oleh PT ACS, termasuk pembelian bahan baku yang diperlukan
untuk proses produksi dengan mengeluarkan purchasing order (PO). Jumlah
bahan baku yang dibeli disesuaikan dengan kebutuhan produksi, untuk itu pihak
purchasing harus menunggu purchasing requisition (PR) yang disusun oleh
Kitchen Planning.
Untuk menyusun PR, pihak Kitchen Planning harus menggunakan
informasi yang tercantum dalam menu yang sudah dipilih oleh maskapai
penerbangan dan feed back dari koki-koki yang bekerja di dapur. Setelah disusun
PR harus mendapat persetujuan dari pihak executive chef, store manager, cost
controller, puchasing manager dan general manager, barulah diserahkan ke pihak
Purchasing. Departemen Purchasing juga memiliki tugas untuk memilih vendor
(supplier) bahan baku. Setelah mendapat PR dari pihak kitchen planning,
Purchasing Officer akan menghubungi beberapa pemasok. Pihak pemasok
kemudian akan mengirim sampel barang yang diinginkan. Dari sampel ini akan
dilakukan seleksi kemudian ditentukan 3 pemasok yang akan menjadi penyedia
barang tersebut. Untuk mengurangi peluang ketergantungan terhadap satu
pemasok, biasanya untuk satu barang PT ACS memiliki minimum 2 pemasok.
Pemilihan menu merupakan proses tersendiri. Pihak maskapai
penerbangan akan mendekati PT ACS dan mengajukan menu makanan yang
diinginkan untuk rute penerbangan tertentu. Pihak PT ACS kemudian menyusun
menu sesuai dengan permintaan dan juga menawarkan menu alternatif. Setelah
pihak maskapai penerbangan menentukan pilihan terhadap menu makanan, maka
diadakan perjanjian kontrak yang menyangkut berapa lama menu tersebut akan
dipakai dan harga yang disetujui dan kondisi kontrak lainnya. Sedangkan jumlah
berapa porsi makanan yang diproduksi disesuaikan dengan jumlah penumpang
setiap harinya. Dari informasi ini maka pihak Kitchen Planning akan menyusun
PR dan menyerahkannya ke pihak purchasing yang kemudian akan menyusun
PO. Jumlah produksi makanan berubah-ubah setiap harinya untuk itu pihak
Kitchen Planning harus mengantisipasi jumlah pembelian agar bahan baku yang
dibeli tidak berlebihan atau berkekurangan.
Departemen produksi pada dasarnya merupakan pusat kegiatan PT ACS,
departemen ini dipimpin oleh seorang manajer dan membawahi sub departemen
bakery/pastry, hot kitchen, pre-production, cold kitchen, kitchen administration,
preparation dan tray setting. Bagian bakery/pastry bertanggung jawab untuk
penyediaan roti , kue-kue dan cokelat. Bagian pre-production tugasnya meliputi
penyiapan sayur-mayur, buah, daging dan seafood. Hot kitchen adalah tempat
dimana makanan dimasak, sedangkan cold kitchen adalah dapur yang
mengerjakan makanan-makanan dingin seperti salad, hidangan pembuka
(appetizer), canape,buah, roti lapis dan lain sebagainya.
PT ACS sebagai anak perusahaan PT Garuda Indonesia tidak melakukan
promosi secara aktif. PT ACS melakukan pendekatan langsung ke maskapai
penerbangan yang melakukan bisnis di Indonesia. Saat ini hanya 2 perusahaan
yang melayani jasa boga maskapai penerbangan di Jakarta, untuk itu pendekatan
langsung mudah dilakukan. Selain itu pihak maskapai penerbangan biasanya
mengajukan proposal ke PT ACS.
5.3 Ketenagakerjaan
Saat ini PT ACS memiliki tenaga kerja tetap sejumlah 1351 orang dan
tidak ada tenaga kerja kontrak, tenaga kerja kontrak biasanya hanya dipekerjakan
untuk musim-musim tertentu seperti musim lebaran, lebaran haji dan musim
liburan sekolah dimana permintaan akan jasa layanan penerbangan meningkat
yang mempengaruhi permintaan akan produksi makanan. Untuk departemen
Operasional, jumlah tenaga kerja pria lebih banyak dibandingkan dengan jumlah
tenaga kerja wanita, hal ini disebabkan karena tenaga kerja pria dianggap lebih
mudah menyesuaikan diri terhadap perubahan jam kerja dan tuntutan jam lembur.
Bagian Operasional bekerja 24 jam sehari, 7 hari seminggu. Jam kerja
dibagi-bagi (shifting) masing-masing pekerja akan bekerja selama 8 jam sehari
dalam 7 hari kerja, tiap pekerja memiliki hak untuk libur selama 2 hari yang tentu
saja dilakukan secara bergantian.
Tabel 3. Jadwal Jam Kerja Bagian Operasional PT ACS
Shift Mulai Selesai
1 22.00 06.00
2 00.00 08.00
3 03.00 11.00
4 06.00 14.00
5 08.00 16.00
6 14.00 22.00
7 16.00 00.00
8 08.00 17.00
Pembagian jam kerja ini dilakukan untuk menyokong produksi makanan
yang dilakukan terus-menerus. Masing-masing shift sebelum jam kerjanya
berakhir harus membuat laporan mengenai hal-hal apa yang sudah dilakukan dan
apa yang belum dan harus dilakukan. Dengan laporan ini maka tidak ada
pekerjaan yang dilakukan dua kali, dan proses produksi berlangsung lancar dan
terorganisasi.
Sedangkan bagian Admistrasi memiliki jam kerja yang lebih teratur,
08.30-16.30 setiap hari dari hari Senin sampai dengan hari Jumat, Sabtu dan
Minggu merupakan hari libur. Setiap tenaga kerja memiliki hak atas cuti tahunan
masing-masing selama 12 hari kerja dan jaminan asuransi Jamsostek berupa
asuransi jiwa dan asuransi kesehatan.
Pelatihan karyawan, khususnya yang bekerja di bagian operasional
dilakukan secara berkala demi menjamin keterampilan tenaga kerja terhadap
perubahan tehnologi di bidang perusahaan katering. PT ACS selain mengadakan
perbandingan dengan perusahaan katering yang lebih besar di luar negeri seperti
Thailand dan Singapura, juga mengadakan seminar untuk kalangan sendiri yang
biasanya bahan pelatihan didapat dari International Flight Catering Association.
5.4 Fasilitas Produksi
Produksi dilakukan di dapur, dapur dibagi atas hot kitchen, cold kitchen
dan bakery/pastry. Makanan di masak di hot kitchen, kapasitas makanan yang
diproduksi di hot kitchen adalah 35.000 porsi per hari. Sedangkan bagian bakery
dapat memproduksi 3000 roti per shift. Untuk penyediaan air, PT ACS
menggunakan air PAM. Listrik disediakan dengan menggunakan jasa PT PLN,
untuk keadaan darurat, PT ACS juga memiliki 2 generator listrik.
Untuk proses produksi, PT ACS juga memiliki 3 buah blast chiller untuk
membantu proses pendinginan makanan yang sudah jadi.
5.5 Proses Produksi
Produk yang dihasilkan oleh PT Aerowisata Catering Service berupa
makanan yang nantinya akan dikonsumsi oleh penumpang selama penerbangan.
Jumlah porsi makanan yang akan diproduksi sudah ditentukan satu hari
sebelumnya sesuai dengan informasi yang diberikan oleh maskapai penerbangan
(AMOS = Airlines Meal Order Sheet). Jumlah porsi makanan ini disesuaikan
dengan jumlah penumpang yang akan diangkut oleh karenanya informasi dapat
berubah sewaktu-waktu ini. Adapun proses produksi yang dilakukan dibagi
menjadi 3 bagian utama, yaitu (Lampiran 6):
1. Proses Pembersihan dan Persiapan (pre-production)
2. Proses Pemasakan dan Pendinginan
3. Proses Pengemasan
Proses pembersihan dan persiapan (pre-production) dimulai 12 jam
sebelum jadwal keberangkatan penerbangan. Kegiatan yang dilakukan berupa
pencucian bahan baku di dalam mesin untuk membersihkan bahan makanan dari
kotoran, debu, logam, biji-bijian lain dan sebagainya. Cairan yang digunakan
untuk pembersihan ini adalah campuran air dan klorin. Setelah dibersihkan bahan
baku kemudian di tampung ke keranjang atau kereta (trolley) penampungan sesuai
dengan jenisnya dan di bawa ke ruang persiaapan. Di ruang persiapan bahan baku
di potong sesuai dengan ukuran kebutuhan, persiapan ini tentu saja dilakukan di
ruangan yang berbeda untuk tiap jenis bahan yag dipersiapkan untuk menghindari
kontaminasi bau, kimia dan kontaminasi secara fisik. Kondisi ruang bagian pre-
production harus selalu dingin dengan suhu udara 16°C untuk memastikan kondisi
makanan selalu segar dan tidak terkontaminasi bakteri. Untuk bahan baku yang
perlu dimasak, bahan baku ini kemudian dibawa ke hot kitchen untuk dimasak,
sedangkan bahan baku yang tidak perlu dimasak, seperti sayuran segar untuk
salad dan buah-buahan segar disimpan di ruang penampungan.
Pada proses pemasakan dan pendinginan dilakukan di hot kitchen,
pertama-tama bahan baku dimasak sesuai dengan menu yang sudah ditentukan,
dengan bumbu-bumbu yang sudah dibakukan. Setelah dimasak, makanan di
masukan ke blast chiller (-18°C) untuk memulai proses pendinginan dengan
cepat. Pendinginan dilakukan sampai kondisi makanan mencapai suhu 2°- 4°C.
Kondisi dingin yang diinginkan ini dipertahanan sampai pada saat
makanan dibawa ke ruang pengemasan dengan suhu ruang 16°C (meal setting)
dan pada proses pengemasan. Proses pengemasan yang dimaksud adalah proses
dimana makanan dibagi-bagi sesuai dengan porsi dan jumlah yang diinginkan.
Makanan yang sudah diporsikan ini kemudian disusun ke nampan makan yang
nantinya akan diterima oleh penumpang (tray setting). Setelah disusun di nampan
makan, nampan-nampan makanan ini dimasukan ke dalam trolley makan yang
nantinya akan diangkut ke dalam pesawat. Sebelum diangkut ke pesawat, trolley-
trolley makanan ini disimpan di ruang penampungan (holding room dengan suhu
0°-5°C), kereta-kereta makan ini sudah harus dalam kondisi siap untuk diangkut,
3 jam sebelum jadwal penerbangan. Semua proses ini dilakukan di ruang yang
kondisinya selalu dingin.
Kegiatan produksi ini ditunjang oleh kegiatan off loading. Sesaat setelah
pesawat mendarat di bandara dan penumpang keluar dari pesawat, PT ACS akan
mengeluarkan semua peralatan yang ada di dalam pesawat yang berhubugan
dengan kegiatan katering. Setelah dikeluarkan peralatan ini dicuci dan dibersihkan
untuk pemakaian selanjutnya. Proses off loading dan pencucian ini sangat penting
dilakukan tepat waktu untuk menunjang rotasi penggunaan peralatan makan yang
diperlukan untuk meal dan tray setting. Biasanya sebagai cadangan, pihak
maskapai penerbangan menyimpan satu set peralatan makan lengkap.
Transportasi dari dapur katering ke pesawat dilakukan dengan menggunakan truk-
truk yang dilengkapi dengan pendingin.
5.6 Pengawasan Mutu Produk Jadi
Dalam setiap proses pemasakan dilakukan pengawasan mutu dan
pemeriksaan makanan. Setelah makanan dimasak, sampel makanan diambil dan
kemudian diperiksa.
Pemeriksaan terhadap bahan makanan ini diutamakan kepada pemeriksaan
microbiology yang berupa salmonella dan shigella, E-coli, coliform,
staphylacoccus aereous, yeast (jamur), mold (kapang), bacillicus cereus.
Pemeriksaan mikrobiologi ini membutuhkan sampel makanan untuk dikarantina
selama 4-5 hari, karena bakteri-bakteri ini diperkirakan baru muncul 4-5 hari.
Oleh karena itu pengawasan mutu dalam setiap tahapan proses produksi sangat
penting diperhatikan.
Hasil pemeriksaan ini disimpan dan didokumentasikan dan akan
dipergunakan sebagai bahan pembanding apabila ada umpan balik (complaint)
dari pihak maskapai penerbangan.
BAB VI
HASIL DAN PEMBAHASAN
6.1 Manajemen Persediaan PT Aerowisata Catering Service
6.1.1 Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan
Manajemen persediaan PT Aerowisata Catering Service merupakan
tanggung jawab Kitchen Planning di bawah bagian Kitchen Administration.
Seperti yang sudah dijelaskan pada Bab sebelumnya, bahwa Kitchen Planning
adalah bagian yang merencanakan, mengatur pengadaan bahan baku sesuai
dengan rencana produksi, dengan mempertimbangkan beberapa faktor.
Pola perencanaan material secara menyeluruh dengan Kitchen Planning
sebagai koordinator dapat dilihat dari Gambar 7. Perencanaan menu atau menu
planning selalu disesuaikan dengan permintaan pelanggan dan jangka waktu
pemakaian bahan yang diperuntukan memproduksi suatu menu yang telah
diperjanjikan dengan pelanggan. Umumnya menu dipakai selama 3 bulan. Menu
ini diterjemahkan oleh Kitchen Planning menjadi rencana pengadaan bahan baku
dengan mempertimbangkan trend dan fluktuasi pesanan makanan baik secara
harian, mingguan, bulanan serta mengevaluasi pula trend yang sedang
berkembang dan terjadi diluar. Pertimbangan lainnya adalah kapasitas gudang,
stok awal dan master schedulling.
Material planning akan diberikan kepada bagian pembelian (purchasing)
untuk kemudian dilakukan pemesanan dan pembelian. Sedangkan permintaan
produksi diberikan kepada bagian produksi yang kemudiaan menterjemahkannya
menjadi jadwal produksi. Dalam kegiatannya kitchen planning dibantu oleh
perangkat komputer ACCPAC dan InFlite Manager. ACCPAC merupakan sistem
back office yang lebih banyak berkaitan dengan accounting, masalah
keuangan/biaya dan pemesanan. Sedangkan InFlite Manager merupakan program
komputer yang berkaitan dengan peramalan jumlah penumpang, ramalan
kebutuhan bahan baku dan rancangan pembuatan PO.
Keterangan:
........... Feed back
Gambar 7. Pola Perencanaan Kitchen Planning
Perencanaan Menu
Kitchen Planning (InFlite Manager) • Capacity planning • Stock awal • Space gudang • Master schedulling
Material Planning (ACCPAC)
Purchasing
Raw Material
PRODUKSI
PRODUCTION SCHEDULE
FINISH GOOD
6.1.2 Seleksi Pemasok Bahan Baku
Calon suplier atau pemasok akan diseleksi terlebih dahulu sebelum terpilih
menjadi pemasok (Gambar 8). PT ACS menetapkan beberapa persyaratan
(terutama yang menyangkut kualitas) untuk pemilihan suplier, pihak kitchen
administration bersama dengan pihak purchasing memutuskan suplier mana yang
akan dipilih. Sebelumnya diadakan negosiasi harga antara purchasing dengan para
suplier.
Selama tidak ada perubahan harga yang ditawarkan oleh suplier, atau
perubahan harga pasar maka pembelian kepada suplier tersebut akan berlangsung
terus. Apabila ada perubahan harga, maka akan dilakukan negosiasi kembali oleh
pihak purchasing.
Sumber: PT Aerowisata Catering Service, 2004
Gambar 8. Alur Pemilihan Suplier
Pemasok
Sampel bahan baku
Purchase Order
Testing sampel
Quality Assurance
Negosiasi harga
Bahan baku
info
6.1.3 Penetapan Kualitas dan Perencanaan Produksi
Sebelum melakukan pemesanan/pembelian, pihak kitchen administration
terlebih dahulu menetapkan kualitas bahan baku yang dibutuhkan untuk periode
produksi yang akan datang. Mekanisme perencanaannya adalah sebagai berikut:
pertama pihak kitchen administration menentukan produksi berdasarkan kondisi
permintaan bulan sebelumnya dan ramalan terhadap kebutuhan transportasi udara
di bulan yang akan datang.
Setekah mendapatkan informasi ini ditambah dengan mempertimbangkan
beberapa faktor, kitchen administrator menentukan kuantitas bahan baku yang
dibutuhkan dan mengeluarkan Permintaan Pembelian (Purchasing Order) kepada
bagian purchasing. Karena kondisi permintaan yang selalu berubah-ubah maka
penentuan kualitas pembelian bahan baku masih dilakukan secara manual.
Faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan kitchen administrator
untuk menentukan kebutuhan bahan baku adalah sebagai berikut:
a. Persediaan bahan baku (stock raw material)
b. Kapasitas (space) gudang
c. Umur bahan baku (quality storage)
d. Faktor-faktor eksternal seperti suplier, musim, harga, situasi sosial-ekonomi-
politik, dan sebagainya.
Data yang dibutuhkan untuk menyusun perencanaan bahan baku:
a. Rencana permintaan produksi yang diterjemahkan dari perencanaan menu
yang sudah disetujui pihak maskapai penerbangan (ditentukan dengan
peramalan berdasarkan produksi bulan lalu)
b. Jadwal produksi, yang ditentukan oleh bagian produksi disesuiakan dengan
proiritas kebutuhan makanan.
c. Waktu tunggu (Raw material ordering lead time) pemesanan barang,
diperoleh dari bagian purchasing yang sekaligus menjadi penghubung
dengan pemasok.
d. Batas minimal kuantitas pemesanan (raw material minimum order), yang
ditentukan oleh suplier.
e. Rata-rata pemakaian bahan baku, yaitu jumlah pemakaian bahan baku rata-
rata tiap bulan selama 3 bulan
f. Persediaan bahan baku awal dan akhir periode.
Sumber: PT Aerowisata Catering Service, 2004
Gambar 9. Alur Perencanaan Persediaan Bahan Baku
Penentuan persediaan bahan baku
Pengumpulan dan pengolahan data
Perencanaan kebutuhan bahan baku
Perencanaan pemesanan bahan baku
Pembuatan PR dan PO
monitoring
Penyusunan laporan
feed back (umpan balik)
Estimasi persediaan bahan baku awal periode, oleh perusahaan dihitung
dengan cara sebagai berikut:
PrB = PrA + J – Pm
Dimana:
Prb : Persediaan bahan baku awal bulan produksi yang akan datang
PrA : Persediaan bahan baku awal bulan berjalan
J : jumlah bahan masuk selama bulan berjalan
Pm : Pemakaian bahan baku selama bulan berjalan
Estimasi persediaan bahan baku akhir periode:
sab + barang masuk dari suplier – pemakaian produksi
sab = stok awal bulan
Sisa stok bahan baku dihitung pada hari ke-21 setiap bulannya. Dari sisa stok
bahan baku dapat dihitung berapa hari bahan baku ini bertahan sampai habis.
Sisa stok + barang pending Pemakaian harian
= Jumlah hari, sampai bahan baku habis.
Penentuan persediaan bahan baku (buffer stock), ditentukan oleh:
a. Waktu tunggu pemesanan (ordering lead time)
b. Rata-rata pemakaian bahan baku per bulan
c. Minimum order
Sesuai dengan kebijakan perusahaan, pemesananan bahan baku untuk bulan yang
akan datang selalu ditambah dengan keperluan bahan baku selama beberapa hari
(safety stock). Untuk bahan baku segar safety stock yang direncanakan adalah
kebutuhan untuk 2-3 hari, sedangkan untuk dry goods 10-14 hari.
Selain menentukan kuantitas bahan baku yang dipesan kitchen
administrator juga menentukan jadwal pemesanan. Hal ini nantinya akan
berpengaruh pada jadwal kedatangan bahan baku. Setelah rencana pemesanan
bahan baku (yang mencakup kuantitas dan jadwal pemesanan) tersusun, maka
kitchen administrator akan mengeluarkan Purchasing Requisition (PR). Sebelum
diserahkan ke bagian Purchasing, PR harus mendapat persetujuan dari executive
chef, store manager, cost controller, purchasing manager dan GM. Kemudian PR
akan diberikan ke bagian Purchasing, dan dilanjutkan dengan pembuatan
Purchasing Order (PO) oleh bagian Purchasing.
Sumber: PT Aerowisata Catering Service, 2004
Gambar 10. Chain of Purchase Requesition Approval
Kitchen Planning Executive Chef
Store manager
Cost Controller
Purchasing Manager
General Manager
Di periksa
Diserahkan untuk kemudian dijadikan PO
6.1.4 Sistem Pembelian dan Penyimpanan Bahan Baku (Raw Material)
Waktu rata-rata yang dibutuhkan mulai pembuatan permintaan pembelian
oleh kitchen administrator sampai pemasok siap mengirimkan bahan, kurang
lebih satu bulan. Ketika bahan baku sampai di gudang (bagian penerimaan),
bagian Quality Control langsung memeriksa surat jalan yang dibawa oleh
pengantar. Bahan diperiksa baik kuantitas maupun kualitas. Kualitas yang dicari
adalah patokan syarat bahan yang sudah disetujui oleh pemasok berdasarkan
permintaan PT ACS.
Sampel yang diperiksa, dipilih dan diambil secara acak. Pengecekan
dilakukan berdasarkan PO yang telah dibuat bagian purchasing. Bahan baku yang
tidak sesuai dengan standar akan langsung dikembalikan ke pihak pemasok.
Apabila sudah memenuhi ketentuan yang berlaku, maka gudang akan
mengeluarkan Surat Terima Barang (STB). Pihak kitchen administratior nantinya
juga akan ikut mengecek barang setelah barang sampai di gudang. Apabila saat
dicek di gudang kuantitas barang tidak sesuai dengan yang dipesan, maka pihak
kitchen administration harus mengawasi dari dekat agar barang yang kurang
akhirnya diterima, untuk itu pihak kitchen administration harus bekerja sama
dengan pihak purchasing.
Dalam keadaan terdesak, dimana barang yang dikirim tidak dapat diterima
karena kualitas barang atau karena kuantitas kurang, maka pihak kitchen
administration dan bagian produksi harus memutuskan solusinya dengan mencari
alternatif barang. Bagian produksi mengeluarkan Bon Permintaan Barang ke
gudang beberapa kali dalam satu hari, untuk mendapatkan bahan baku sesuai
dengan kebutuhan produksi hari itu. Setelah gudang mengeluarkan surat
penyerahan maka bahan akan dikirimkan ke bagian produksi. Pengawasan jumlah
kuantitas bahan baku dilakukan setiap minggu, kecuali untuk bahan baku segar,
pengawasannya dilakukan setiap hari.
Dengan demikian apabila ditarik kesimpulan, seluruh alur kegiatan yang
menyangkut Perencanaan Produksi dan Pengendalian Persediaan adalah sepert
Gambar 11 :
Gambar 11. Alur kegiatan Kitchen Administration secara keseluruhan
Informasi dari menu
Mengolah data rencana permintaan
Penyusunan rencana pemakaian, pemesanan
bahan baku
Pembuatan Purchasing Requisition
Menerima copy PO dari Purchasing
Data persediaan akhir bahan
baku
Produksi
Purchasing
Pembuatan Purchasing
Order
6.1.5 Persediaan Bahan Baku
a. Bahan Baku
Bahan baku pada PT Aerowisata Catering Service, sesuai dengan
karakteriktik barang dibagi atas tiga jenis, yaitu: bahan baku segar/mentah, bahan
baku kering dan bahan baku beku. Bahan baku mentah terdiri dari bahan baku
segar seperti sayur-mayur, buah-buahan, telur dan produk susu. Bahan baku
kering contohnya adalah beras putih, kacang-kacangan, tepung dan bumbu.
Sedangkan bahan baku beku adalah daging, ikan dan seafood. Hampir semua
pemasok bahan baku adalah pemasok lokal, kecuali untuk bahan-bahan menu
tertentu yang harus diimpor untuk memenuhi permintaan menu oleh pihak
maskapai penerbangan.
Adapun karakteristik bahan baku mentah yang diinginkan perusahaan
adalah sebagai berikut :
Sayuran : - Kondisi sayur harus segar
- Warna dan bentuk ukuran dan tekstur dalam kondisi baik
- Tidak ada benda-benda asing seperti ulat, semut, serangga
- Untuk sayuran beku, harus dilihat tanggal kadaluarsa,
toleransinya adalah minimum 6 bulan dari tanggal kadaluarsa.
Buah : - Buah harus dalam keadaan bersih, tidak busuk, tidak cacat
- Warna buah dan wangi buah harus segar
- Tingkat kematangan buah
- Pencicipan rasa dilakukan secara acak
Telur : - Kebersihan dan keutuhan telur
- Tidak berbau busuk
- Dalam keadaan utuh, tidak pecah maupun retak
Produk susu : - Kondisi kemasan
- Temperatur produk disarankan 0°-5°C toleransinya dibawah
8°C. Untuk suhu 5-8C bahan harus segera dimasukkan ke
ruang pendingin (chiller)
- Tanggal produksi dan tanggal kadaluarsa produk
Untuk bahan baku beku karakteristik bahan baku yang diinginkan adalah:
- Suhu bahan harus • -12°C atau kondisi bahan baku masih beku
tidak ada tanda-tanda pencairan.
- Tanggal produksi dan kadaluarsa produk, umur produk tidak
lebih dari 3-6 bulan
- Kemasan produk, tidak bocor atau berlubang
Untuk bahan baku kering, karakteristik barang yang diinginkan adalah:
- Kondisi kemasan barang harus baik dan aman, tidak bocor
ataupun rusak
- Kondisi barang harus bersih bebas dari benda-benda asing
seperti baru, kutu, pasir dan tidak hancur, tidak berjamur dan
tidak berbau apek.
- Tanggal produksi dan kadaluarsa produk kurang dari 1 tahun
b. Pengawasan mutu bahan baku
Pengawasan mutu bahan baku, baik kualitas dan kuantitas dimulai sejak
bahan tiba dibagian penerimaan sebelum masuk ke gudang. Sebelum bagian
gudang memberikan tanda terima kepada pemasok, bagian Quality Control (QC)
akan memeriksa terlebih dahulu kualitas dan kuantitas bahan. Bila sudah sesuai
dengan standar perusahaan, atau tidak penyimpangannya masih dalan kondisi
yang dapat ditolerir, bagian gudang akan mengeluarkan surat terima barang.
Tetapi bila bahan yang dikirim oleh pemasok dinyatakan tidak memenuhi syarat
oleh QC, maka barang tersebut akan dikembalikan pada pemasok.
Bagian penerimaan merupakan critical control point PT ACS, untuk
pemeriksaan temperatur bahan baku, bagian penerimaan menggunakan gun point
yang langsung dapat menunjukkan temperatur bahan saat diarahkan ke bahan.
c. Klasifikasi Jenis-jenis Persediaan
Sistem klasifikasi yang dipakai oleh PT ACS adalah sebagai berikut:
a. Setiap jenis persediaan mendapat perlakuan khusus
b. Faktor-faktor yang menentukan besarnya kuantitas pemesanan adalah
kebutuhan masing-masing jenis persediaan dan kemampuan pemasok
c. Pemasok akan menentukan batas minimum pemesanan dan juga batas waktu
pemesanan.
d. Hal ini akan mempengaruhi waktu tunggu dari tiap jenis persediaan akan
berbeda satu sama lain
e. Sedangkan safety stock dihitung dengan perkiraan atas kondisi yang akan
datang (dihitung secara manual, berdasarkan kondisi bulan yang lalu)
f. Semua jenis persediaan dicatat, dikendalikan dan dievaluasi dengan cara dan
frekuensi yang sama.
g. Pengecekan dan pencatatan persediaan yang dipakai PT ACS menggunakan
sistem bin card. Pengecekan dan pencatatan masih dilakukan secara manual.
6.1.6 Manajemen Persediaan PT ACS
Manajemen persediaan yang di lakukan oleh PT Aerowisata Catering
Service dapat dijabarkan sebagai berikut:
a. Merupakan perusahaan yang bergerak di bidang agroindustri makanan
b. Menggunakan input yang berasal dari produk pertanian
c. Menghasilkan produk jadi yang sangat bervariasi
d. Produk yang dihasilkan tersusun dari beberapa bahan baku
e. Menjadikan pola permintaan produk sebagai dasar penentuan pengadaan
bahan baku
f. Menggunakan konsep perencanaan yang terintegrasi anatara bagian kitchen
planning, kitchen, pengadaan bahan baku dan keuangan.
g. Pada perencanaan ada umpan balik (feed back) yang memungkinkan
terjadinya perubahan rencana
h. Melakukan seleksi terhadap pemasok
i. Penentuan persediaan pengaman berdasarkan waktu dan kapasitas gudang
j. Penyusunan rencana pembelanjaan sebagian besar dilakukan secara manual di
bantu dengan program komputer ACCPAC dan InFlite Manager. Penggunaan
bahan yang bervariasi membutuhkan penanganan yang lebih canggih, karena
keterkaitan kebutuhan bahan menjadikan manajemen persediaan lebih
kompleks, oleh karena itu fasilitas komputer sangat dibutuhkan. Penyusunan
rencana yang dibantu oleh komputer mempermudah pengolahan dan
penyimpanan data, selain itu penyimpangan pengolahan data dapat terdeteksi
dengan mudah
k. Pola perencanaan yang dilakukan PT ACS merupakan pola perencanaan
mundur berdasarkan permintaan/rencana produksi. Pola ini seperti pola MRP
yang dimodifikasi sesuai dengan kebutuhan manajemen perusahaan
l. Biaya penyimpanan variabel di PT ACS relatif lebih besar dari pada biaya
pemesanan variabelnya, maka manajemen persediaan lebih menekankan pada
pengendalian biaya penyimpanan. Biaya penyimpanan di PT ACS dianggap
penting karena; (1) Prosedur pemilihan supplier kurang fleksibel, (2)
Kuantitas kebutuhan bahan baku PT ACS relatif besar, sehingga untuk
mengantisipasi kehabisan bahan baku relatif sulit, dan (3) Biaya pemesanan
variabel sangat tidak signifikan untuk dikendalikan.
m. Pertimbangan mengenai opportunity cost dan kapasitas gudang menjadi
pertimbangan yang penting dalam pengadaan perencanaan persediaan.
6.2 Kemungkinan Penerapan Teori-teori Manajemen Persediaan Pada PT
Aerowisata Catering Service 6.2.1 Keterkaitan antar Teori
Penetapan kuantitas dan frekuensi pemesanan adalah bagian dari
perencanaan dalam manajemen persediaan. Konsep apapun yang digunakan oleh
perusahaan dalam perencanaannya, manajemen persediaan harus selalu menjawab
berapa kuantitas yang harus dipesan dalam pengadaan bahan. Perencanaan dengan
menggunakan konsep Material Requirement Planning membutuhkan penetapan
kuantitas dan frekuensi pengadaan persediaanm sebagai salah satu hasil dari
perencanaan.
Pemesanan dapat dilakukan dengan memilih antara dua sistem, yaitu
Order Point System (pemesanan dengan kuantitas tetap) atau Order Cycle System
(pemesanan dengan frekuensi yang tetap) (Assauri, 1980). Teori Economic Order
Quantity dapat digunakan untuk menetapkan kuantitas pemesanan (lot size) yang
optimaldengan biaya total yang minimal. Setelah kuantitas pemesanan optimal
diketahui, maka dengan sendirinya akan dapat diketahui frekuensi pemesanan
optimalnya.
Metode Just-in-time pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan
pelayanan terhadapa konsumen, mengurangi persediaan, dan meningkatkan
produktivitas. Metode ini meminimisasi bahkan meniadakan persediaan dan
menghilangkan aktivitas yang tidak menambah nilai (non value added activities).
ABC Analysis merupakan salah satu bentuk klasifikasi barang-barang
persediaan dalam manajemen persediaan yang mengendalikan banyak jenis
barang/persediaan. Adapun tujuan dari pengklasifikasian ini adalah untuk
mengefektifkan manajemen persediaan.
6.2.2 MRP dan MRP II
PT Aerowisata Catering Service menyusun rencana pengadaan bahan
bakunya (permintaan terikat) dengan sistem penjadwalan mundur yang dimulai
dengan merencanakan produksi produk jadi. Perencanaan ini disusun secara
manual dibantu oleh komputer. Dalam perencanaan persediaan, PT Aerowisata
Catering Service menggunakan pola yang terintegrasi antara departemen
produksi, keuangan dan pengadaan bahan baku dalam perencanaannya. Kitchen
Planning menjadi pusat informasi dan bagian yang mengkoordinir keterkaitan
antar departemen tersebut. Proses perencanaan ini sudah sesuai dengan konsep
MRP.
6.2.3 Economic Order Quantity
Penetapan kuantitas dan frekuensi persediaan di PT ACS, mengikuti pola
order point system dan order cycle system sekaligus secara bersamaan. PT ACS
mengkombinasikan antara kedua sistem ini, sehingga pengadaan bahan baku
dilakukan dengan kuantitas dan frekuensi yang sama.
Biaya persediaan variabel yang terdapat pada PT ACS hanya biaya bunga
saja. Biaya ini termasuk biaya penyimpanan, yang akan meningkat sesuai dengan
peningkatan kuantitas persediaan yang disimpan. PT ACS memiliki sendiri
gudang-gudangnya sehingga tidak ada biaya sewa.
Sebagian besar persediaan yang dibeli dan disimpan oleh PT ACS adalah
komoditi pertanian yang dapat menimbulkan penurunan kualitas atau kerusakan
akibat disimpan terlalu lama, tetapi hal ini telah dipertimbangkan oleh perusahaan.
Manajemen sudah memperhitungkan kuantitas dan jadwal pemesanan, sehingga
kerugian akibat persediaan terlalu lama disimpan tidak pernah terjadi. Biaya
penyimpanan yang meningkat sesuai dengan besarnya kuantitas, snagat kecil
proporsinya. Biaya penyimpanan lainnya merupakan biaya tetap yang tidak
terpengaruh oleh kuatitas persediaan, misalanya biaya keamanan, biaya
pemeliharaan gudang, biaya tenaga kerja dan sebagainya.
Biaya maintance atau pemeliharaan sulit dipisahkan, karena biaya
pemeliharaan terdiri dari gudang cold storage, gudang kering dan dapur, misalnya
biaya semen atau cat. Untuk biaya pemesanan hampir semua adalah biaya tetap.
Misalnya biaya rencana pemesanan atau pembelian bahan, biaya pembuatan
permintaan pembelian (PR dan PO) atau biaya pengecekan mutu saat bahan tiba
di gudang. Biaya-biaya tersebut merupakan biaya gaji karyawan yang
mengerjakan segala sesuatunya mulai dari perencanaan pemesanan sampai barang
tiba di gudang dan diperiksa. Gaji karyawan tersebut tidak terpengaruh frekuensi
pemesanan. Biaya pemesanan variabel dapat dikatakan mendekati nol, walaupun
ada, namun jumlahnya sangat kecil (tidak signifikan). Misalnya pembuatan PO
dan PR, yaitu biaya beberapa lembar kertas (kurang lebih totalnya adalah 10
lembar kertas)
Simulasi EOQ (untuk beras) pada PT Aerowisata Catering Service
menghasilkan biaya total sebagai berikut:
- Holding cost/ biaya penyimpanan adalah biaya bunga (interest)
- Ordering cost / biaya pemesanan adalah biaya gaji karyawan
Total cost = Holding Cost + Ordering Cost
= (10.943 x 3.000 x 13%) + 18.750.000
= 4.267.770 + 18.750.000
= 23.017.770 (annual total cost)
Dimana :
Qo = •2 CR/ H
= •(2 x 3.000 x 10.943)/ 0,13
= •(65658000 / 0,13)
= 22473,57
• 22474 kg
Selain karena konsep biaya yang ada pada EOQ tidak memungkinkan
untuk diterapkan pada PT Aerowisata Catering Service, ada beberapa hal lain
yang kurang memungkinkannya penerapan konsep EOQ sepenuhnya di
perusahaan ini, antara lain asumsi harga yang stabil.
6.2.4 Just-in-time (JIT)
Dalam proses produksi, PT ACS telah menerapkan konsep Just-in-time
yang memungkinkan adanya efisiensi produksi dan produkstivitas yang tinggi.
Hal ini terbukti dengan tidak adanya persediaan bahan setengah jadi (work in
process) yang menunggu proses berikutnya. Sedangkan untuk pengadaan bahan
baku, PT ACS mengusahakan agar pengadaan bahan baku segar seperti sayur-
sayuran dan buah-buahan menerapkan konsep JIT, namun hal ini sangat
dipengaruhi kondisi pemasok bahan baku pertanian.pengaplikasian sistem JIT
belum optimal.
Berikut ini adalah hasil simulasi Just-in-time di PT Aerowisata catering
Service. Asumsi :
- Bahan baku yang dimasukan, ke dalam mesin sebesar 200 kg dan produk
jadi yang dihasilkan akan keluar juga 200 kg.
- Mesin beroperasi selama 24 jam
- Line yang dianalisis hanya 1
Set up time :
a. Pembongkaran daging ayam beku dari truk memakan waktu 1 jam atau 60
menit.
b. Pemeriksaaan kualitas daging ayam beku dengan sistem sampel oleh pihak
quality control selama 30 menit.
c. Persiapan bahan-bahan tambahan untuk diolah bersama bahan utama
sebelum pengadukan memakan waktu 30 menit
d. Pemuatan produk jadi dari ruang setting meal ke truk pengangkut
memakan waktu 30 menit.
Operation time:
a. Pelunakan daging ayam (thawing) dilakukan 19 sampai 24 jam sebelum
estimasi keberangkatan pesawat terbang (Estimated Time of Departure).
b. Daging ayam yang sudah lunak ini di campur bersama dengan bumbu-
bumbu lain dan proses pemasakan dilakukan 13 jam sebelum ETD.
c. Makanan dibagi-bagi ke piring makan (dishing) dilakukan 7 jam sebelum
ETD dan proses ini harus selesai dalam waktu 45 menit, dan suhu
makanan dipertahankan pada suhu – 13°C.
6.2.5 ABC Analysis
ABC analysis tidak mungkin diterapkan pada PT Aerowisata Catering
Service di bagian persediaan karena kemungkinan akan ada kebutuhan yang tidak
terpenuhi. Hal ini disebabkan karena jenis-jenis persediaan atau komponen-
komponen tersebut saling berkaitan dan berintegrasi sebagai penyusun suatu
produk jadi.
ABC analysis lebih cocok diterapkan untuk manajemen persediaan suatu
perusahaan dagang, atau retailer, dimana jenis-jenis persediaannya tidak saling
berkaitan. Atau perusahaan yang selain menjual produk jadi juga menyediakan
suku cadang atau perlengkapan aksesoris, seperti perusahaan-perusahaan yang
bergerak di bidang industri otomotif atau komputer. ABC analysis kurang tepat
diterapkan pada PT ACS karena perlakuan pengadaan dan pengendalian
persediaan yang berbeda lebih disebabkan karena sifat bahan-bahan yang
berlainan. Sifat-sifat ini misalnya umur bahan, kebutuhan akan bahan,
perputarannya dan sebagainya.
6.3 Sintesa Analisis
6.3.1 Teori Klasifikasi Persediaan
ABC analisis merupakan pengelompokkan jenis-jenis persediaan
berdasarkan nilai penggunaannya, dengan tujuan untuk memudahkan pengawasan
dalam manajemen persediaan. Masing-masing kelompok telah diklasifikasikan
tadi akan mendapat perlakuan pengendalian persediaan yang berbeda
(pengawasan yang ketat atau longgar). ABC analisis dapat efektif bila diterapkan
pada perusahaan yang jenis-jenis persediaannya tidak saling berkaitan. Perusahaan
yang jenis-jenis persediaannya saling berkaitan, umumnya mengelompokkan
persediaannya berdasarkan sifat, umur dan kebutuhan bahan. Perbedaan
pengendalian bukan terletak pada ketat atau longgarnya pengendalian/pengawasan
persediaan tetapi lebih pada frekuensi, jadwal dan waktu tunggu pada pembelian
juga pengadaan persediaannya.
6.3.2 Penetapan Kuantitas dan Frekuensi Pengadaan Persediaan
Order Point System merupakan pengadaan persediaan dengan kuantitas
tetap tetapi frekuensi berbeda. Perusahaan yang pola pengadaan bahan bakunya
sudah sangat teratur akan menjadi tidak efektif apabila menerapkan pola ini.
Konsep ini efektif untuk digunakan pada perusahaan yang pola permintaannya
relatif stabil dan mudah diprediksi. Perusahaan yang belum mengadakan
kontrak/kerjasama resmi dengan pihak penyalur/ supplier dapat menggunakan
konsep ini sebagai penentuan waktu pembelian.
Order Cycle System adalah sistem pengadaan persediaan dengan frekuensi
tetap tetapi kuantitas yang dipesan berbeda. Perusahaan dengan sistem manajemen
persediaan yang sudah sangat teratur, akan cenderung menghasilkan kuantitas
pemesanan yang tetap, bila frekuensi pemesanannya tetap. Perusahaan yang
mengelompokkan jenis persediaannya berdasarkan usia bahan dapat efektif
menerapkan konsep ini. Konsep ini dapat digunakan perusahaan yang mengetahui
dengan tepat berapa kebutuhan persediaan untuk suatu periode tertentu, dan masih
menggunakan sistem annual dalam perencanaannya, sehingga konsep ini dapat
membantu perencanaan/penjadwalan pengadaan persediaan.
Economic Order Quantity merupakan pengadaan persediaan dengan
kuantitas yang menghasilkan biaya per unit minimal. Biaya penyimpanan per unit
variabel berhubungan negatif dengan persediaan. Asumsi-asumsi yang mengikat
konsep ini tidak dapat diterapkan di perusahaan yang menghadapi pasar input
yang relatif tidak stabil, terutama dalam harga dan kontinuitas ketersediaannya.
Selain asumsi, perusahaan ynag menerapkan konsep ini dengan efektif harus
memiliki biaya penyimpanan per unit yang hubungannya berlawanan dengan
biaya pemesanan per unit (dikaitkan dengan kuantitas persediaan).
6.3.3 Material Requirement Planning
MRP adalah sistem perencanaan dengan penjadwalan mundur yang
menterjemahkan kebutuhan bahan baku dari permintaan produk jadinya,
umumnya sistem informasi ini dibantu dengan fasilitas komputer.
Perusahaan dengan skala besar membutuhkan fasilitas pengolaan data
persediaan yang lebih canggih. Sistem penjadwalan mundur ini umumnya sudah
banyak diterapkan perusahaan dan sangat efektif dalam perencanaan pengadaan
bahan baku, bila permintaan produk jadinya dapat diprediksi.
6.3.4 JIT (dalam proses produksi)
JIT bertujuan untuk mengurangi non added value activities dengan
membentuk pola proses produksi sehingga meniadakan/ mengurangi persediaan
bahan setengah jadi.
Perusahaan katering dalam skala besar maupun dalan skala kecil dapat
menerapkan konsep ini apabila perancangan pola proses produksinya dapat
meniadakan atau mengurangi persediaan bahan setengah jadi. Baik proses
produksi yang didominasi oleh mesin atau tenaga kerja manusia dapat
menerapkan sistem ini. Sistem ini sangat membantu perusahan yang bergerak
dalam produk makanan (dalam hal ini PT ACS) dalam menjaga kualitas mutu
makanan yang dihasilkan.
6.3.5 JIT (dalam pengadaan bahan baku)
Just In Time dalam pengadaan bahan baku memiliki konsep bahwa
pemesanan bahan baku hanya dilakukan pada saat bahan dibutuhkan dan bahan
tersebut tiba digudang pada saat akan digunakan.
Konsep ini dapat diterapkan bila harga bahan baku di pasar input relatif
stabil dan kontinuitas ketersediaan bahan baku terjamin. Kondisi pemasok dan
pasar input di Indonesia belum memungkinkan penerapan konsep ini di
perusahaan-perusahaan manufaktur (kasus PT ACS).
BAB VII
KESIMPULAN DAN SARAN
7.1 Kesimpulan
Teori dibentuk dan dirumuskan dari pengalaman-pengalaman yang ada.
Pengumpulan data dari lapang, diolah, dikelompokkan sesuai dengan karakteristik
variabel-variabelnya, kemudian digenerasikan dan dipaparkan. Ketika teori akan
diterapkan kembali ke lapang, hal-hal yang sudah digeneralisasi tadi berhadapan
kembali dengan situasi dan kondisi yang khusus, maka penerapan teori harus
selalu diadaptasikan dengan kondisi khusus tersebut. Generalisasi yang dibentuk
oleh teori mempermudah dalam mempelajari dan mengetahui kondisi suatu hal
secara umum tetapi tidak dapat langsung diterapkan ke lapang tanpa melalui
modifikasi-modifikasi untuk kondisi khusus. Begitu pula halnya dengan teori-
teori manajemen persediaan, yang dirumuskan dari kondisi lapang, tetapi telah
melewati tahap pengelompokan dan generalisasi. Untuk menerapkan kembali
teori-teori tersebut di lapang, harus terlebih dahulu diadaptasikan sesuai dengan
kondisi khusus yang ada di perusahaan.
Manajemen persediaan PT Aerowisata Catering Service dibangun
berdasarkan kondisi dan permasalahan yang dihadapai perusahaan (bottom up)
bukan hanya berdasarkan teori. Teori yang ada dijadikan garis besar dan panduan
yang disesuaikan dengan kondisi perusahaan. Manajemen persediaan yang
memberikan hasil optimal dan efektif dalam penerapannya, adalah manajemen
persediaan yang selalu berubah mengikuti perkembangan kondisi eksternal dan
internal perusahaan, karena sejalan dengan perubahan tersebut, bentuk manajemen
persediaan yang dibutuhkan oleh perusahaan juga akan berubah.
PT Aerowisata Catering Service dalam perencanaannya, menggunakan
sistem perencanaan manual dibantu dengan program komputer (sistem
perencanaan mundur). Walaupun skala usahanya besar, namun dengan jumlah
permintaan produksi yang bisa dikatakan berubah-ubah setiap harinya, PT ACS
membutuhkan fleksibilitas apabila ada perubahan perencanaan. Variasi jenis
persediaan yang saling berkaitan dan struktur organisasi yang kompleks lebih
mudah diikuti perkembangannya dengan sistem perencanaan manual. Demikian
juga apabila ada umpan balik yang diterima dari pihak produksi maka perubahan
perencanaan sangat mudah untuk dilakukan.
Proses pembelanjaan bahan baku yang dilakukan perusahaan disesuaikan
dengan peramalan penggunaan bahan baku, yang didasarkan pada perjanjian
kontrak penggunaan menu antara perusahaan dengan maskapai penerbangan.
Proses pembelanjaan yang dilakukan perusahaan meliputi kegiatan pemilihan
mutu bahan baku, pemilihan pemasok bahan baku, penetapan kuantitas dan jadwal
kedatangan bahan baku. Proses pembelanjaan bahan baku melibatkan pihak
bagian produksi, bagian perencanaan (kitchen planning/administrator), pihak
purchasing dan gudang.
Sedangkan faktor-faktor yang menjadi bahan pertimbangan kitchen
administrator untuk menentukan kebutuhan bahan baku adalah sebagai berikut:
e. Persediaan bahan baku (stock raw material)
f. Kapasitas (space) gudang
g. Umur bahan baku (quality storage)
h. Faktor-faktor eksternal seperti suplier, musim, harga, situasi sosial-ekonomi-
politik, dan sebagainya.
Sebagai perusahaan yang bergerak di bidang makanan, PT ACS lebih
mengutamakan mutu produk yang dihasilkan, ketimbang rasa. Pengawasan mutu
dilakukan sejak awal perencanaan pembelanjaan dimana dalam perencanaan pihak
kitchenplanning sudah menentukan jenis, rasa, bentuk dan warna bahan baku yang
akan dibeli. Pengawasan mutu juga dilakukan pada saat bahan baku diterima,
disimpan di dalam gudang, sebelum dimasak samapi bahan baku menjadi produk
makanan.
Setelah menganalisis manajemen persediaan PT Aerowisata Catering
Service, maka karakteristik umum perusahaan dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Perusahaan berskala internasional
2. Merupakan anak perusahaan
3. Pembuatan keputusan-keputusan melibatkan banyak pihak
4. Toleransi terhadap kesalahan dalam pembuatan perencanaan sangat kecil
5. Memiliki struktur organisasi yang sangat kompleks
6. Pengawasan manajemen terdiri dari beberapa tingkatan
7. Manajemen tidak ditangani oleh pemilik
8. Menghasilkan produk jadi yang bervariasi dengan bahan baku yang juga
bervariasi
9. Mutu merupakan hal yang sangat penting bagi kelangsungan hidup
perusahaan.
Manajemen yang diterapkan oleh PT ACS memiliki keunggulan dan
kelemahan. Model manajemen persediaan ini dapat diterapkan di perusahaan-
perusahaan yang memiliki karakteristik-karakteristik umum yang serupa. Namun
keefektifan dan hasil optimal yang dicapai dalam manajemen persediaan tetap
bergantung kepada adaptasi yang dilakukan perusahaan terhadap model
manajemen persediaan. Begitu pula dengan teori-teori manajemen persediaan,
tidak semua teori dapat diaplikasikan pada suatu perusahaan. Kemungkinan
penerapan teori, selain tergantung dari kondisi dan masalah yang dihadapi
perusahaan juga tergantung dari asumsi-asumsi yang mengikat teori dan
tergantung pula pada karakteristik yang dimiliki perusahaan, baik karakteristik
manjemennya maupun karakteristik produk dan bahannya.
7.2 Saran
Saran bagi PT Aerowisata Catering Service, yang pertama terus menerus
mengadakan perbandingan dengan perusahaan inflight catering manca negara lain
dalam efisiensi manajemen persediaan. Dengan menganalisa kembali manajemen
persediaan dalam jangka waktu tertentu, maka inovasi-inovasi baru yang lebih
efektif dapat membantu PT ACS dalam perkembangannya di masa mendatang.
Kedua, efisiensi prosedur pembuatan purchase request (PR) dengan
mengurangi/memperpendek rantai pihak-pihak yang menyetujui pembuatan PR.
Pihak Cost Controller dan Store Manager perlu mendapat informasi mengenai
bahan baku yang dipesan dan yang akan diterima namun tidak perlu terlibat dalam
penyetujuan pembuatan PR (PR approval). Pada akhir bulan pihak Cost
Controller akan mengadakan pengecekkan mengenai biaya-biaya, dari informasi
yang sudah ada akan dibandingkan dengan kondisi yang sebenarnya. Demikian
juga pihak Store Manager hanya akan membutuhkan informasi mengenai jumlah
bahan baku yang dipesan untuk dibandingkan dengan jumlah bahan baku yang
sebenarnya diterima di gudang.
Ketiga, pihak Purchasing seharusnya memiliki tanggung jawab untuk
menindaklanjuti pemesanan bahan baku yang tidak sesuai dengan jumlah yang
dipesan (sesuai dengan PR dan PO), sehingga pihak kitchen planning lebih
berkonsentrasi kepada perencanaan pembelian dan memenuhi feed back dari
bagian produksi. Pihak purchasing seharusnya bertindak lebih aktif dalam
menindaklanjuti perbedaan jumlah pesanan dan jumlah bahan baku yang
sebenarnya diterima.
Keempat, sebaiknya persediaan di gudang, dipisahkan antara persediaan
PT ACS inflight catering dengan persediaan milik PT Garuda Indonesia. Hal ini
memudahkan proses audit. Dengan pemisahan manajemen gudang, PT ACS
inflight catering akan lebih mudah melihat perkembangan perusahaan secara
finansial (jumlah pengeluaran/ biaya belanja perusahaan untuk bahan baku dan
jumlah bahan baku yang sebernarnya digunakan PT ACS inflight catering dalam
proses produksi). Dalam hal ini PT ACS sungguh-sungguh berlaku sebagai
strategic business unit dan beroperasi sepenuhnya sebagai SBU.
Kelima, untuk kelebihan bahan baku (bahan baku yang sudah ada di
gudang tetapi tidak dapat dipergunakan karena perubahan menu) sebaiknya
dikelola oleh SBU Industrial Catering dengan pembukuan yang jelas. Apabila
dikelola oleh SBU lain dan dikelola sebagai bahan baku untuk produksi Industrial
Catering, selain menghasilkan pemasukan juga mengurangi kepadatan kapasitas
gudang inflight catering PT ACS.
Saran bagi peneliti yang tertarik dengan topik manajemen persediaan,
untuk memperhatikan karakteristik perusahaan dalam memilih metode penelitian.
Bagi peneliti yang tertarik dengan perusahan yang bergerak dalam inflight
catering, khususnya PT Aerowisata Catering Service untuk memperhatikan
struktur organisasi perusahaan yang kompleks dan mencermati lebih lanjut
kondisi-kondisi strategic business unit lain yang ada dibawah naungan PT Garuda
Indonesia, sehingga masing-masing SBU dapat beroperasi dengan sebenarnya.
DAFTAR PUSTAKA
Adam, Everette E. Jr & Ronald J. Ebert. 1992. Production and Operations Management. Prentice Hall. USA.
Ahyari, A. 1981. Manajemen Produksi dan Pengendalian Persediaan. BPFE.
Yogyakarta. Anoraga, P. 1997. Manajemen Bisnis. Rineka Cipta. Jakarta. Assauri, S. 1993. Manajemen Produksi dan Operasi. Edisi Empat. Lembaga
Penerbit FEUI. Jakarta Bedworth, D.J and T.E Bailey. 1987. Integrated Production Control System
Management Analysis Design. Second Edition. John Wiley and Sons. USA.
Buffa, Elwood. S & Rakesh K. Sarin 1996. Manajemen Operasi dan Produksi
Moderen. Edisi Delapan.Binarupa Aksara. Jakarta. Dittmer, Paul. 2003. Principles of Food, Beverages and Labor Control. 7th
Edition. John Willey & Sons Inc. NYC. USA. Fitria, Tanti. 2003. Analisis Persediaan Benang Sutera Sebagai bahan Baku Kain
Sutera (Studi Kasus Pada Perusahaan sutera Alam “Aman Sahuri”, Garut). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Handoko, H. 1991. Dasar-dasar Manajemen Produksi dan Operasi. BPFE.
Yogyakarta. Haynes, Karla (ed). 1992. Sky Chefs: From Beginning. Arlington, Texas: Sky
Chefs. USA. Heizer, Jay & Barry Render. 1995. Operation Management. Fifth Edition.
Prentice Hall International, Inc. USA. Leenders, Fearon & England. 1989. Purchasing and Material Management. 9th
Edition. Irwin Boston.USA. Manullang, M. Drs. 1991. Pengantar Ekonomi Perusahaan. BKLM. Yogyakarta. Mc.Cool, Audrey C. 1995. Inflight Catering Management. University of Nevada,
Las Vegas. USA. Miller, Jack E & David K. Hayes. 1992. Basic Food and Beverages Cost Control.
John, Willey & Son Inc. USA.
Nastaria, Desty. 2002. Kajian Sistem Pengadaan dan Pengendalian Persediaan
Bahan Baku Susu Kental Manis (Kasus: PT Friesche Vlag Indonesia, Jakarta). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Parrot, Philip J. 1996. The History of Inflight Food Service. International
Publishing Company of America. Miami, Florida. USA. Rulsan, Deni. 2002. Sistem Pengendalian Persediaan Bahan Baku Kecap Asin (di
PT Alam Aneka Arom, Kec. Citamiang, Kodya Sukabumi). Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Situs Emirates Airlines Catering. http://www.ekflightcatering.com Situs Balai Pusat statistik Jakarta. http://www.bps.jakarta.go.id Situs PT Aerowisata Catering Service. http://www.aerowisata.com Sudjana, Nana Dr. 1997. Tuntutan Penyusunan Karya Ilmiah. Edisi ke-4. Sinar
Baru Algesindo. Bandung. Stevenson, William J. 1990. Production/Operation Management. Second Edition.
Prentice Hall. USA. Wahyuningsih, Sri. 2003. Analisis Pengendalian Persediaan Bahan Baku Obat
Tradisional di Fa. Pustaka Ambon Jakarta. Skripsi. Jurusan Ilmu-ilmu Sosial Ekonomi Pertanian. Fakultas Pertanian. Institut Pertanian Bogor.
Warman, John. 1997. Manajemen Pergudangan. Pustaka Sinar Harapan. Jakarta.
Lampiran 1
Tabel 1 Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Datang dan Berangkat Melalui
Pelabuhan Udara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2001
(orang)
Luar Negeri
Dalam Negeri
Transit
Bulan
Berangkat Datang Barangkat Datang Luar Negeri
Dalam Negeri
Jumlah
Januari 177.942 213.160 262.561 324.602 16.650 36.151 1.031.066
Pebruari 215.766 148.171 205.784 238.800 15.779 32.886 857.186
Maret 181.189 223.802 273.296 284.958 16.624 33.622 1.013.491
April 170.723 180.567 239.325 271.725 15.583 33.283 911.206 Mei 174.464 174.559 245.551 271.249 16.089 27.472 909.384
Juni 196.571 194.192 258.715 284.530 20.331 32.388 986.727
Juli 200.502 198.076 263.889 290.221 20.738 33.036 1.006.462 Agustus 204.512 202.037 269.167 296.025 21.152 33.696 1.026.589 September 188.645 173.647 253.161 284.412 21.086 36.169 957.120
Oktober 149.224 135.506 244.290 258.925 13.184 24.753 825.882 Nopember 136.527 145.500 231.979 247.292 12.383 26.864 800.545 Desember 211.892 206.092 353.924 353.270 12.565 43.225 1.180.968
JUMLAH 2.207.957 2.195.309 3.101.642 3.406.009 202.164 393.545 11.506.626
Lampiran 2
Tabel 2 Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Datang dan Berangkat melalui
Pelabuhan Udara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2002
(orang)
Luar Negeri Dalam Negeri Transit
Bulan Berangkat Datang Berangkat Datang Luar Negeri
Dalam Negeri
Jumlah
Januari 204.547 198.603 351.052 290.776 16.338 38.406 1.009.772
Pebruari 161.136 199.127 266.914 246.914 11.914 34.243 920.248
Maret 249.075 196.686 363.638 341.904 15.161 37.210 1.203.674
April 185.228 185.757 352.797 310.100 21.946 30.370 1.086.198
Mei 203.256 196.573 375.541 344.781 15.746 41.165 1.177.062
Juni 222.815 225.462 406.653 365.784 16.986 38.206 1.275.816
Juli 264.913 225.999 485.316 451.934 18.571 48.176 1.494.909
Agustus 221.392 224.955 435.533 383.505 22.983 42.380 1.303.748
September 197.219 218.044 427.181 381.734 18.554 38.677 1.281.409
Oktober 202.462 225.426 289.946 451.706 13.634 39.806 1.411.980
Nopember 181.886 188.782 396.764 383.422 6.761 39.473 1.197.088
Desember 217.019 231.893 558.209 537.912 7.044 51.153 1.603.230
Jumlah 2.510.948
2.517.307
4.909.454 4.490.472
185.688
479.265 15.093.134
Lampiran 3
Tabel 3 Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Datang dan Berangkat melalui
Pelabuhan Udara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2003
(orang)
Luar Negeri Dalam Negeri Tansit
Bulan Berangkat Datang Berangkat Datang Luar Negeri
Dalam Negeri
Jumlah
Januari 252.868 218.098 475.440 561.189 12.318 47.179 1.567.092
Pebruari 192.610 198.911 413.386 473.795 10.815 49.312 1.388.829
Maret 164.808 212.071 499.594 533.662 10.715 57.302 1.478.152
April 108.867 119.101 461.944 534.408 6.908 61.078 1.292.215
Mei 130.364 133.695 542.220 603.016 8.814 59.915 1.478.024
Juni 188.183 181.615 567.888 647.468 9.721 87.246 1.682.121
Juli 225.715 250.666 670.538 719.164 11.226 90.251 1.967.560
Agustus 220.752 207.798 562.354 657.601 14.948 85.605 1.749.058
September 216.225 119.263 571.337 663.950 15.473 90.696 1.756.944
Oktober 231.058 210.338 625.054 713.254 14.130 93.289 1.887.173
Nopember 227.405 213.099 559.788 583.277 11.731 97.408 1.692.708
Desember 246.524 237.337 702.204 821.279 12.883 132.065 2.152.292
Jumlah 2.405.379
2.381.951
6.651.747 7.512.063
139.682
951.346 20.042.168
Lampiran 4
Tabel 4 Jumlah Penumpang Pesawat Udara yang Datang dan Berangkat Melalui
Pelabuhan Udara Soekarno Hatta dan Halim Perdana Kusuma 2004
(orang)
Luar Negeri Dalam Negeri Transit Bulan Berangkat Datang Berangkat Datang Luar
Negeri Dalam Negeri
Jumlah
Januari 263.068 230.584 664.820 805.015 16.358 109.866 2.089.711
Pebruari 192.863 235.728 654.391 767.685 10.963 99.501 1.961.131
Maret 207.835 213.867 695.058 759.692 13.037 94.440 1.983.929
April 200.085 192.908 640.428 762.739 11.478 108.687 1.916.325
Mei 207.085 212.470 737.016 851.664 15.666 112.993 2.136.894
Juni 236.982 236.166 783.591 886.085 27.661 132.371 2.302.856
Juli 245.588 279.712 885.290 965.692 24.966 99.900 2,501.148
Agustus 242.839 239.186 813.158 928.692 21.222 104.632 2.348.729
September 236.910 219.714 787.119 893.015 23.944 93.172 2.253.874
Oktober 237.024 223.085 764.670 841.982 16.923 83.053 2.166.737
Nopember 227.139 266.105 822.386 890.741 12.229 135.226 2.353.896
Desember 294.686 239.893 881.952 930.279 11.209 99.695 2.457.714
Jumlah 2.792.104 2.789.418
9.129.879 10.283.281
205.726 1.273.536
26.472.944
STORE PREPARATION
LAUNDRY
DISHWASHING
OFFLOADING
EQUIPMENT
ASSEMBLY
HOLDING ROOM
OPERATION
HOT KITCHEN/ BAKERY/COLD KITCHEN
MEAL SETTING STORE
PLANNING
RECEIVING
VENDOR
PURCHASING
T R A N S P O R T
A I R L I N E S
CUSTOMER SUPPLIED ITEMS
Lampiran 6
PRODUCTION OPERATION Sumber: PT Aerowisata Catering Service, 2004
Lampiran 7
Proses Cook Chill
Bahan baku makanan masuk ke ruang persiapan
Bulk Preparation :Bahan baku dipersiapkan: - sayur dicuci dan dipotong - daging dibersihkan dan di potong
AIRLINES (Maskapai Penerbangan)
Holding room: Makanan siap diberangkatkan, kondisi dingin dipertahankan sampai makanan siap untuk di sajikan
Meal setting:Kondisi makanan beku, makanan dibagi-bagi sesuai dengan porsi yang dibutuhkan
Blast chiller Makanan dibekukan dengan cepat (-5°C)
Bulk cooking: Bahan makanan kemudian dimasak sesuai dengan menu
Lampiran 8
Wall Chart
Sumber: PT Aerowisata Catering Service, 2005
Minggu
Sabtu
Jumat
Senin
Selasa
Rabu
Kamis
Lampiran 5