kajian etika rekayasa
TRANSCRIPT
![Page 1: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB 1
KASUS DAN PERMASALAHAN
A. LATAR BELAKANG KASUS DAN PERMASALAHAN
Seiring perkembangan kehidupan manusia, perkembangan teknologi menjadi salah
satu hal yang tidak dapat dipungkiri. Bahkan teknologi sendiri telah menjadi penanda
peradaban manusia, sejak jaman batu hingga era digital saat ini. Teknologi sendiri berasal
dari bahasa Yunani, tekhne (seni, keterampilan) dan logia (ilmu), dan merupakan sebuah
cabang ilmu pengetahuan yang membahas penciptaan dan penggunaan alat dan cara teknis
dan interelasinya terhadap masyarakat, lingkungan, dan kehidupan manusia. Teknologi juga
dapat berupa sebuah proses atau penemuan saintifik atau industrial yang bersangkutan
dengan berbagai bidang ilmu seperti seni, teknik, sains terapan, dan sains murni. [1]
Perkembangan teknologi secara umum memberikan banyak manfaat terhadap
hidup manusia, namun juga dapat beresiko terhadap tata kehidupan manusia. Salah satu
perkembangan teknologi yang banyak memberikan manfaat adalah bidang medis dan
biologi, khususnya yang bersangkutan dengan tubuh manusia. Penelitian dan pembelajaran
terhadap tubuh manusia telah memberikan banyak solusi dan teknik dalam meningkatkan
mutu hidup, salah satu contohnya adalah human enhancement technologies (HET).
Human enhancement adalah suatu cara atau metode yang bertujuan untuk
meningkatkan atau memperbaiki limitasi tubuh manusia, baik secara temporal maupun
permanen, artifisial ataupun alamiah. Dalam human enhancement, selain untuk memberi
solusi terhadap penyakit dan disabilitas, teknologi digunakan untuk menyeleksi, mengubah,
atau mengembangkan karakteristik, sifat, dan kapasitas manusia yang berada di luar
kemampuan tubuhnya.[2]
Teknologi HET yang telah ada pada umumnya terbagi menjadi tiga golongan,
diantaranya teknologi reproduksi (fertilisasi in vitro, transfer sitoplasmik), enhancement
secara fisik (operasi plastik, prostetik, implan organ, dan sebagainya), dan enhancement
secara mental (neurostimulan, suplemen tubuh, bahkan teknologi seperti komputer dan
handphone yang digunakan untuk meningkatkan kondisi manusia agar hidup lebih efisien).
Sedangkan teknologi HET yang masih berkembang contohnya seperti genetic enginneering,
neuroteknologi, implan neuron, dan lain sebagainya.[2]
Saat ini teknologi human enhancement semakin umum digunakan, salah satu
contohnya dalam bidang olahraga, dimana tubuh manusia diuji melampaui batas yang
dimiliknya. Bukan rahasia umum bahwa dalam pentas olahraga profesional, penggunaan
![Page 2: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/2.jpg)
doping untuk meningkatkan performa atlet seringkali digunakan. Doping dalam olahraga
umumnya berupa obat artifisial yang adiktif.[3] Doping untuk meningkatkan performa atlet
secara umum dipandang sebagai suatu tindakan yang tidak etis oleh badan-‐badan
penyelenggara olahraga internasional karena dianggap sebagai suau tindakan yang ‘curang’
dan berlawanan dengan spirit berkompetisi. Doping juga dapat mempengaruhi atlet sendiri,
baik kesehatan maupun integritas dan reputasinya.
Contoh kasus doping yang mendapat perhatian media seluruh dunia adalah kasus
doping yang dilakukan oleh Lance Armstrong, seorang atlet sepeda profesional dari Amerika
Serikat yang terkenal sebagai seorang survivor kanker testis, pemenang gelar juara Tour de
France selama tujuh tahun berturut-‐turut (dari tahun 1999-‐2005); membuatnya dijuluki
sebagai atlet sepeda terbaik sedunia dan bahkan dijuluki sebagai seorang superhuman.
Namun, ternyata selama mengkuti perlombaan tersebut, Lance terbukti melakukan doping
hingga pada akhirnya reputasinya sebagai pemenang Tour de France dan juga sebagai
seorang atlet sirna.
B. KRONOLOGI KASUS DOPING LANCE ARMSTRONG
1. Awal karir hingga diagnosa kanker
Lance Edward Armstrong lahir pada tanggal 18 September 1971. Karir Lance bermula sejak
umur 16 tahun, dimana ia menjadi seorang atlet triathlon profesional.[4] Pada tahun 1989,
Lance bergabung dengan tim olimpiade Amerika Serikat dan berlatih untuk menjadi seorang
atlit sepeda. Pada tahun 1990, Lance mengikuti World Championship Road Race dan
mendapat juara ke-‐11 dengan rekor waktu terbaik untuk atlet Amerika sejak tahun 1976. Pada
tahun yang sama, Lance mendapat gelar juara amatir dan mengalahkan banyak atlet
profesional lainnya dalam dua perlombaan besar, yaitu First Union Grand Prix dan Thrift Drug
Classic.[5]
Pada tahun 1991 hingga 1992, Lance mengikuti beberapa perlombaan sepeda
internasional (Tour DuPont dan Settimana Bergamasca, 1991; Road Race Barcelona, tim atlet
sepeda Motorola, San Sebastian Classic, dan World Cup race di Zurich, 1992), dan mendapat
reputasi sebagai atlet profesional yang menjanjikan. Tahun 1993 Lance memenangi tiga
perlombaan berturut-‐turut (Thrift Drug Classic, Kmart West Virginia Classic, dan CoreStates
Race) hingga mendapat gelar juara “Triple Crown”. Lance mengikuti Tour de France pertama
kali di tahun yang sama, namun setelah memenangi tahap ke-‐8 dari perlombaan tersebut,
Lance mengeluarkan diri.[5]
![Page 3: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/3.jpg)
Pada tahun yang sama Lance memenangi World Road Race Championship di Oslo,
Norway. Ia mengikuti perlombaan tersebut sebagai pemimpin tim Motorola, dimana ia harus
melewati kondisi alam yang cukup sulit: jalan yang licin akibat hujan deras, bahkan
membuatnya sempat jatuh dua kali. Event tersebut hanya berlangsung sehari dan mengcover
jarak 161 mil (259 km). Pada tahun ini reputasi Lance semakin menguat karena ia menjadi
atlet termuda yang memenangi perlombaan tersebut, juga sebagai orang Amerika kedua yang
memenanginya.[5]
Tahun 1994 hingga 1996, Lance tetap mengikuti berbagai macam perlombaan sepeda dan
pada akhirnya mendapat ranking ketujuh dalam olahraga sepeda internasional. Sedangkan
pada tahun yang sama, Lance terdiagnosa positif kaker testis. Kanker ini ternyata termasuk
golongan tinggi karena tumor telah menyebar ke paru-‐paru, abdomen, hingga kelenjar getah
bening, bahkan hingga ke otak. Selama tahun 1996 hingga 1997, Lance mengikuti terapi medis
dan operasi tumor hingga akhirnya ia dinyatakan sembuh dari kanker.[5]
Setelah sembuh, Lance mendrikan yayasan Livestrong untuk membantu perkembangan
olahraga sepeda kepada anak muda di Amerika.[5]
2. Juara Tour de France dan kontroversi kasus doping
Lance kembali kepada perlombaan sepeda pada tahun 1998 setelah melewati masa
pelatihan tahun sebelumnya. Ia memenangi Tour of Luxembourg, Rheinland Pfalz Rundhfahrt,
dan Cascade Classic. Ia mengikuti Tour de France pada tahun 1999 dan memenangkan juara
selama tujuh tahun berturut-‐turut hingga tahun 2005.[6]
Tahun 2000 Lance juga memenangkan medali perunggu dalam olimpiade Sydney. Tahun
yang sama ia mengeluarkan buku biografi yang menceritakan perjuangannya melawan kanker,
berjudul It’s Not About the Bike: My Journey Back to Life. Ia mengeluarkan buku keduanya
pada tahun 2003, berjudul Every Second Counts. Prestasinya sebagai pemenang tujuh kali
berturut-‐turut Tour de France, perlombaan sepeda yang terkenal paling sulit dan paling
berprestise, menjadikannya sebagai atlet pesepeda dengan prestasi yang gemilang.[6]
Tuduhan-‐tuduhan doping kepada Armstrong pertama dipublikasikan oleh koran Perancis
L’Equipe, yang menyatakan bahwa Lance menggunakan EPO (erythropoietin). EPO merupakan
hormon yang menstimulasi produksi sel darah merah, dan digunakan oleh para atlet karena
meningkatkan jumlah masukan oksigen ke otot, hingga sangat berpengaruh kepada ketahanan
dan pemulihan badan.[3] Lance menyatakan pensiun dari perlombaan di tahun yang sama.[6]
Tahun-‐tahun berikutnya muncul pernyataan dan testimoni dari mantan rekan tim
pesepeda Lance, yang menyatakan bahwa Lance menggunakan obat atau suplemen ilegal
![Page 4: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/4.jpg)
untuk meningkatkan performanya. Diantaranya Betsy dan Frankie Andreu (Frankie merupakan
rekan tim Lance pada tahun 1998 hingga 2000) pada tahun 2006, Floyd Landis pada tahun
2010 (rekan tim yang juga terkena kasus doping, menyatakan Lance juga mengikuti prosedur
doping yang sama pada tahun 2002 dan 2003), Tyler Hamilton pada tahun 2011 (menyatakan
Lance dan dirinya menggunakan EPO selama tahun 1999 hingga 2001). Selain itu berbagai
publikasi juga memuat artikel penyelidikan terhadap Lance Armstrong, diantaranya Los
Angeles Times pada tahun 2006 yang memuat hasil analisa ahli terhadap tes LNDD
(Laboratoire National de Depistage du Dopage, uji doping pada atlet) yang menyatakan Lance
positif menggunakan EPO selama tahun 1999 di Tour de France. Lance menyatakan kembali
mengikuti perlombaan setelah dinyatakan bebas dari tuduhan doping (2006) dan mengikuti
Tour de France tahun 2009.[7]
Armstrong kemudian menyatakan pensiun lagi pada tahun 2011. Selama tahun 2011,
tuduhan terhadap Armstrong semakin meningkat. Semenjak tuduhan awal, Armstrong terang-‐
terangan menyangkal dirinya melakukan doping. Pada tahun 2012 Armstrong dan US Postal
Service dibebaskan dari tuduhan doping, konspirasi, dan penipuan yang diinvestigasi oleh
otoritas federal.[6]
USADA (United States Anti-‐Doping Agency) secara resmi menuntut Lance pada tahun 2012
atas dasar tuduhan doping dan trafficking obat-‐obatan doping yang dilarang. Armstrong
kemudian didakwa atas dua pekara hukum, pada akhirnya menyerah terhadap tuntutan-‐
tuntutan USADA.[6]
3. Sanksi dan pernyataan Lance Armstrong
USADA kemudian menyusun sebuah laporan yang berisi bukti tuduhannya (sebanyak
1000 lembar) kepada International Cycling Union (UCI) pada tahun 2012. UCI kemudian
mendukung tuduhan USADA, dan membatalkan titel juara Tour de France yang diraih oleh
Lance dari tahun 1999 hingga 2005. Sponsorship dari brand-‐brand olahraga seperti Nike,
Anheuser-‐Busch, dan Oakley and Trek kemudian mencabut kontrak Lance. Lance sendiri
mengundurkan diri dari direksi yayasan Livestrong.[6]
Tahun 2013 Lance menyatakan permintaan maaf dalam program talkshow Oprah.
Dalam program tersebut, Lance mengakui tindakan doping yang dilakukannya selama Tour
de France. Berikut beberapa pernyataan Lance dalam Oprah[8]:
• Bahwa ia memang menggunakan obat-‐obatan yang dilarang untuk meningkatkan
performanya selama tahun 1999 hingga 2005
![Page 5: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/5.jpg)
• Kenyataannya doping merupakan salah satu proses yang dibutuhkan agar memenangi
tour, tidak mungkin bisa memenangkan perlombaan tersebut tanpa bantuan obat
• Ia tidak merasa bahwa ia ‘curang’ saat itu, karena ia menganggap ia meratakan level
kompetisi
• Ia tidak takut tertangkap saat itu
• Ia bertanggung jawab terhadap pilihan dan kesalahannya
• Ia menjadi seorang bully terhadap orang-‐orang yang tidak disukainya
• Perjuangannya melawan kanker pada tahun 90an telah memberinya mental dan sikap
‘untuk menang dengan cara apapun’
• Ia bersedia berkooperasi untuk memberi pernyataan resmi perihal doping dalam
olahraga sepeda
Sejak pernyataan Lance dalam Oprah, timbul banyak perdebatan soal penggunaan obat
doping dalam olahraga. Dalam bidang kompetisi yang menekan kemampuan manusia hingga batas
akhir, apakah salah menggunakan obat untuk membantu performa badan? Nyatanya, tubuh
manusia akan selalu memiliki batas. Dalam kasus Lance sendiri setelah gelar juara dicabut, gelar
tersebut tidak diberikan kepada orang lain. Hal ini karena menurut UCI, kompetitor yang lain juga
‘mencurigakan’, berpotensi menggunakan obat-‐obatan pendukung.[9] Faktanya dalam perlombaan
sepeda, seperti kata Armstrong, doping telah biasa dilakukan, bahkan menjadi semacam budaya
tersembunyi diantara atlet-‐atlet profesionalnya.
Kasus doping dalam olahraga sepeda dapat ditelusuri kembali sejak tahun 1886 oleh Arthur
Linton yang berakibat kepada kematian. Doping semakin marak digunakan seiring dengan
perkembangan jenis obat dan teknik penggunaanya.[10] Lance sendiri mengaku selain menggunakan
EPO, ia juga menggunakan cortocosteroids (hormon artifisial yang mirip dengan hormon cortisol,
digunakan untuk meningkatkan kekuatan dan daya tahan tubuh), dan testosterone (untuk
membesarkan dan menguatkan badan).[3]
Lalu pertanyaannya adalah apakah etis tindakan doping dalam olahraga? Di luar kode etik
yang ada, bukankah dengan adanya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam bidang
human enhancement akan berpotensi memberikan kesempatan bagi manusia untuk memperbaiki
kemampuan yang dimilikinya? Bukankah sama saja, misalnya, doping untuk meningkatkan performa
tubuh dengan operasi plastik untuk meningkatkan tampilan tubuh? Bahkan mungkin saja di masa
depan, ras manusia bisa menjadi ras superhuman melalui genetic engineeering dengan kapabilitas
yang jauh melampaui keterbatasan manusia saat ini, dan olahraga bisa menjadi salah satu sumber
pembelajarannya.
![Page 6: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/6.jpg)
BAB 2 TEORI DAN KAJIAN ETIKA REKAYASA
1. Pengertian dan Pemahaman Etika Rekayasa
Etika rekayasa memiliki beberapa pengertian, pertama bisa didefinisikan sebagai
studi tentang soal-‐soal dan keputusan moral yang menghadang individu dan organisasi
yang terlibat suatu rekayasa. Kedua, bisa juga dikatakan sebagai studi tentang
pertanyaan-‐pertanyaan yang erat berkaitan satu sama lain tentang perilaku moral,
karakter, cita-‐cita, dan hubungan orang-‐orang dan organisasi-‐organisasi yang terlibat
dalam pengembangan teknologi (Martin & Schinzinger, 1994).
Tujuan utama etika rekayasa adalah untuk menemukan dan membenarkan
kewajiban, hak, dan cita-‐cita moral dari individu maupun organisasi yang terlibat. Dalam
etika rekayasa terdapat kajian yang menentukan arahan-‐arahan dari kewajiban dasar
dan cita-‐cita yang lebih tinggi yang harus dibangun atas landasan moral, dan berusaha
menerapkan hasil-‐hasilnya pada situasi khusus dalam bentuk pedoman praktis.
Kata etis membedakan pertanyaan moral dari pertanyaan politik, hukum, dan
seni. Dalam arti ini, etika rekayasa mengacu ke seperangkat problem dan isu moral yang
secara khusus terkait dengan kerekayasaan. Di sisi lain etika juga bisa dikatakan acuan
pada seperangkat keyakinan, sikap, dan kebiasaan tertentu yang dilakukan seseorang
atau kelompok. Dengan demikian begitu juga dengan etika rekayasa yang merupakan
standar-‐standar yang diterima dewasa ini. Selanjutnya kata etika digunakan sebagai
sinonim untuk arti “benar secara moral”. Jadi tindakan manusia dapat dinilai etis (bagus,
baik, diizinkan) atau tidak etis (imoral). Dalam penggunaan ini, etika rekayasa berarti
seperangkat prinsip-‐prinsip moral yang sahih dalam bentuk kewajiban, hak, dan cita-‐cita
moral, yang harus dijalankan mereka yang terlibat dalam kerekayasaan.
Jadi jelas obyek studi rekayasa adalah permasalahan moral yang berkait erat
dengan kerekayasaan. Rekayasa adalah padan kata dari engineering yang selama ini kita
kenal dengan kata teknik. Arti kata teknik itu sendiri adalah penerapan sains untuk
kesejahteraan umat manusia (Zen, 1981: 10). Martin & Schinzinger (1994: 17)
mempersempit definisi itu, sehingga rekayasa adalah penerapan ilmu pengetahuan
dalam penggunaan sumber daya alam demi manfaat bagi masyarakat dan umat
![Page 7: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/7.jpg)
manusia; sedangkan rekayasawan adalah mereka yang menciptakan produk dan proses-‐
proses untuk memenuhi kebutuhan dasar manusia (pangan, papan dan sandang),
dengan akibat tambahan, meningkatkan kemudahan, kekuatan dan keindahan di dalam
kehidupan manusia sehari-‐hari.
Walaupun ditekankan lebih pada rekayasawan, etika rekayasa sendiri lebih luas
lingkupnya dibanding etika untuk para rekayasawan. Etika rekayasa juga mencakup
keputusan-‐keputusan oleh pihak-‐pihak lain yang terlibat dalam bisnis teknologi,
termasuk ilmuwan, manajer, pekerja produksi, dan para supervisor mereka, teknisi,
penulis tekbis, pejabat pemerintahan, ahli hukum, dan masyarakat luas.
2. Teori-‐Teori Etika
Teori-‐teori dalam normative ethics digunakan untuk menilai etis atau tidaknya suatu
tindakan. Secara garis besar teori dalam normative ethics dapat digolongkan menjadi dua,
yakni consequential ethics dan non-‐consequential ethics (Copp, 2006).[11]
2.1. Consequential Ethics
“In consequentialism, the basic truths are or include propositions about intrinsic value or
goodness.” (David Copp, 2006:20)
Dalam consequentialism, kebenaran mendasar merupakan dan termasuk
pemahaman mengenai nilai-‐nilai intrinsik atau kebaikan.[11] Nilai-‐nilai itu menjadi dasar
ketika mempertimbangkan suatu tindakan yang etis. Prinsip dari consequential ethics
ada dua, yang pertama nilai kebenaran dari sebuah tindakan terletak pada akibat dari
tindakan/sikap yang diambil tersebut. Kedua, semakin banyak akibat baik yang
dihasilkan suatu tindakan, semakin baik dan benar pula tindakan tersebut.[12]
Hingga dalam consequentialism, seseorang haruslah memilih tindakan yang
memaksimalkan adanya konsekuensi yang baik, dan ia seharusnya pula hidup untuk
memaksimalkan konsekuensi-‐konsekuensi yang baik itu.
2.1.1. Utilitarianisme
Istilah utilitarianisme berasal dari kata 'utility' yang berarti kegunaan. Label
ini dipasangkan kepada kelompok gerakan reformasi sosial yang radikal di
Inggris pada awal abad ke-‐19, mereka diberi label in karena mereka menjadikan
![Page 8: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/8.jpg)
kepraktisan dan kegunaan dari institusi sosial sebagai standar pengukuran yang
lebih baik daripada penilaian berdasarkan kepentingan religius atau fungsi
tradisional (Graham, 2004:129).[13]
Sederhananya, teori utilitarianisme memahami bahwa tindakan yang paling
etis adalah ketika tindakan yang diambil tersebut menghasilkan manfaat yang
lebih banyak bagi mayoritas orang-‐orang yang terlibat. Dalam paham ini, suatu
tindakan dianggap etis ketika ia dapat memaksimalkan kesejahteraan dan
kebaikan manusia.
2.1.2. Egoisme
Graham (2004:22) menyebutkan bahwa dalam teori egoisme terdapat dua
jenisnya, yaitu egoisme psikologis dan egoisme rasional. Egoisme psikologis
mengklaim bahwa orang-‐orang hanya melakukan apa yang ingin dilakukannya
(motivasi yang berdasarkan keinginan subjektif).[13] Dalam paham ini, manusia
dianggap melakukan tindakan yang moral ketika sesuai dengan kepentingan diri
sendirinya. Misal, seseorang tidak akan membunuh karena takut masuk
penjara.
Sedangkan egoisme rasional memahami bahwa manusia seharusnya bisa
bertindak untuk kepentingan dirinya sendiri.[13] Di sini egoisme rasional
menempatkan bahwa tindakan yang diambil dianggap rasional jika dan hanya
jika tindakan tersebut dapat memaksimalkan kepentingan diri sendiri.
2.1.3. Hedonisme
"Hedonism – the belief that the point of living is to enjoy life and that
accordingly the best life is the most pleasurable one." (Graham, 2004:39)
Hedonisme etis memandang bahwa kenikmatan merupakan hal yang utama,
atau kebaikan intrinsik yang paling penting. Dalam paham ini, semua orang
memiliki hak untuk melakukan apapun dalam kempampuannya untuk
mendapatkan kenikmatan sebanyak mungkin, dengan asumsi bahwa tindakan
yang diambil untuk mencapai tujuan tersebut tidak melanggar hak-‐hak orang
lain yang setara. Hedonisme etis berusaha keras untuk mencapai kenikmatan
pribadi yang melampaui kesakitan pribadi (pleasure minus pain).[14]
![Page 9: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/9.jpg)
2.2. Non-‐Consequential Ethics
Paham non-‐consequential ethics menilai baik atau tidaknya suatu tindakan
berdasarkan faktor lain di luar konsekuensi tindakan tersebut.[15] Misal, non-‐
consequential ethics lebih memandang niat atau maksud dibalik sebuah tindakan.
Sebagai contoh, politisi yang 'membeli' hak suara rakyat miskin. Secara paham
consequential, tindakan tersebut bisa dibenarkan (meskipun untuk kebaikan politisi
sendiri), namun secara non-‐consequential tindakan tersebut bukan suatu tindakan
moral karena tidak memiliki niat yang etis.
2.2.1. Natural and Virtue Ethics (Teori Keutamaan)
Teori etika ini menekankan peran dari karakter, sikap, dan akhlak seseorang
untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Semakin baik watak yang
dimiliki seseorang, maka lebih memungkinkan baginya untuk bertingkah laku
baik secara moral.[15] Misalnya sifat kerja keras yang mendorong seseorang
untuk menghasilkan kerja yang optimal.
2.2.2. Deontology
Paham ini mengatakan bahwa etis tidaknya suatu tindakan tidak berkaitan
dengan tujuan ataupun konsekuensi dari tindakan tersebut, namun kepada
ketaatan tindakan tersebut terhadap hukum. Dalam paham ini, aturan dan
hukum lah yang mengikat tindakan tersebut.[16] Berbeda dari golongan
consequential ethics, teori deontologi ini mementingkan tindakan (action)
daripada akibat (consequences). Salah satu teori yang berada di bawah
Deontologi adalah teori etika Kant oleh Immanuel Kant.
Dalam teori etika Kant, ia memandang bahwa manusia hanya dapat
melakukan tindakan moral yang benar jika tindakan itu berasal dari aturan
(duty/deon). Di sini, motif atau niat di balik tindakan tersebut lah yang perlu
dipertimbangkan, bukan hasil dari tindakan tersebut.[16]
2.2.3. Rights-‐Based Ethics (Teori Hak)
![Page 10: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/10.jpg)
Pada dasarnya konsep teori hak berlandaskan kepada pemahaman bahwa
mertabat semua manusia adalah sama. Dalam teori ini terdapat hak-‐hak yang
dimiliki oleh semua manusia berdasarkan fakta bahwa ia adalah seorang
manusia; seperti hak hidup, hak kemerdekaan, hak beragama, hak bekerja, hak
kesetaraan, hak bebas dari siksaan, dan seterusnya. Hak-‐hak ini biasanya
memiliki sifat hukum, atau berkenaan dengan hak asasi manusia atau hak
moral.[17]
3. Kajian dalam Etika Rekayasa
Di dalam kerekayasaan, studi tentang moral/etika dapat dibedakan ke dalam tiga
jenis kajian yang saling melengkapi dan terkait satu terhadap yang lain, yaitu: kajian
normatif, kajian konseptual dan kajian deskriptif (Martin & Schinzinger, 1994).
• Kajian normatif (evaluatif): mempertanyakan tindakan-‐tindakan yang diambil
oleh pelaku individu atau kelompok untuk memperoleh standar moral
sebagai landasan tindakan, sikap, kebijakan di dalam kerekayasaan.
Memberikan evaluasi berdasarkan penalaran atas perilaku dan karakter dan
respon alternatif yang tersedia untuk menyelesaikan problem konkret.
• Kajian konseptual (makna): membahas prinsip-‐prinsip yang sudah ada
terhadap tindakan tersebut contohnya dengan pemahaman kode etik.
Menyangkut penjernihan ide-‐ide prinsip, isu, dan tipe argument dasar yang
terkait dengan problem moral dalam kerekayasaan.
• Kajian deskriptif (fakta): mengarah kepada fakta yang terkait dengan isu-‐isu
konseptual dan normatif. Kajian ini juga untuk mencari pemecahan masalah
moral yang timbul akibat praktek yang berkaitan dengan kerekayasaan.
Kajian ini berkaitan dengan spesifikasi dan pengumpulan data yang relevan.
TABEL 1. Teori Etika dalam Kajian Normatif (Martin &Schinzinger, 1994)
Aliran Penulis Tindakan-‐tindakan adalah benar secara moral, jika:
Utilitarianisme Mill Tindakan yang dilakukan menghasilkan kebaikan bagi
![Page 11: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/11.jpg)
jumlah orang terbanyak.
Brandt Tindakan yang dilakukan mengikuti aturan maka apabila
dilaksanakan akan menghasilkan kebaikan bagi jumlah
orang terbanyak.
Teori
Kewajiban
Kant Tindakan yang dilakukan mengikuti prinsip-‐prinsip yang
menghormati otonomi dan rasionalitas orang, dan yang
secara universal berlaku bagi semua orang.
Rawls Tindakan yang dilakukan mengikuti prinsip-‐prinsip yang
akan disetujui oleh semua pelaku yang rasional dalam
situasi kontrak hipotetis yang menjamin sikap tidak
berpihak.
Teori Hak Locke &
Melden
Tindakan yang dilakukan merupakan cara terbaik untuk
menghormati hak-‐hak asasi manusia dari setiap orang
yang terkena pengaruh tindakan tersebut.
Teori
Keutamaan
Aristoteles
MacIntyre
Tindakan yang dilakukan sepenuhnya mewujudkan atau
mendukung keutamaan-‐keutamaan yang relevan yang
dimengerti sebagai ciri-‐ciri karakter yang memungkinkan
untuk mencapai kebaikan-‐kebaikan sosial.
4. Kajian kasus
Berdasarkan teori-‐teori etika yang telah diuraikan pada poin sebelumnya, berikut kajian
mengenai kasus doping Lance Armstrong.
4.1. Natural and Virtue Ethics
Teori etika ini menekankan peran dari karakter, sikap, dan akhlak seseorang
untuk menilai etis atau tidaknya suatu tindakan. Semakin baik watak yang dimiliki
seseorang, maka lebih memungkinkan baginya untuk bertingkah laku baik secara
moral. Lance Armstrong, sebagai seorang olahragawan tidak memiliki sikap sportif
![Page 12: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/12.jpg)
dan menghalalkan segala cara dengan menggunakan doping untuk meningkatkan
kemampuan ketika perlombaan sehingga dia dapat memenangi kejuaraan beberapa
tahun berturut-‐turut. Dengan melakukan hal tersebut dia juga telah berlaku tidak
jujur kepada dirinya sendiri dan tidak jujur serta tidak adil terhadap orang lain.
Berdasarkan teori virtue ethics, dimana peran dari karakter, sikap, dan akhlak
seseorang menjadi dasar penilaian tindakan etis, Lance Armstrong digolongkan ke
jenis orang yang tidak memiliki sikap etis. Selain Lance Armstrong, pihak-‐pihak
dalam yang mendukung seperti dokter yang memberikan doping serta pihak yang
meloloskan tes penggunaan doping juga bersikap tidak etis. Disamping
permasalahan hukum, mereka juga telah melanggar etika karena hal tersebut
merupakan bentuk pengkhianatan terhadap profesionalisme atau integritas mereka
dalam pekerjaan mereka masing-‐masing.
4.2. Deontology Ethics
Dalam paham deontologi dimana aturan mengikat tindakan moral seseorang,
maka terjadi pelanggaran etika dalam hal pelanggaran peraturan bagi olahragawan
akan pelarangan penggunaan doping ketika perlombaan. Pengawasan yang tidak
ketat terhadap pelaksanaan birokrasi menyebabkan adanya peluang bagi
keserakahan birokrasi untuk memanfaatkan keadaan, yaitu lolosnya Lance
Armstrong saat tes penggunaan doping sebelum pertandingan. Hal tersebut juga
merupakan tindakan yang tidak etis.
4.3. Kaidah Normatif
Lance Armstrong, dokter yang memberi doping, dan pihak yang meloloskan
Lance Armstrong dalam tes doping, telah melanggar etika. Hal tersebut dapat dilihat
khususnya berdasarkan teori Utilitarianisme (Brandt) dan teori kewajiban (Kant dan
Rawls). Pihak-‐pihak tersebut tidak mengikuti aturan dan telah berlaku tidak adil
kepada orang lain. Selain itu, mereka telah bertindak tidak profesional terhadap
pekerjaan dan kewajiban mereka masing-‐masing.
4.4. Kaidah Konseptual
• Kode Etik Atlet
![Page 13: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/13.jpg)
Tiga hal utama yang harus dipegang teguh oleh atlet adalah etika; keadilan;
dan kejujuran, kesehatan, dan keunggulan dalam kinerja. Nilai-‐nilai seperti etika,
keadilan dan kejujuran serta sportivitas memiliki relevansi khusus untuk
olahraga. Adil dalam bertanding, oleh karena itu, dapat dilihat sebagai aplikasi
olahraga khusus dari komitmen untuk keadilan.
• Kode Etik Dokter
Salah satu asas pokok dari etika kedokteran adalah asas keadilan yang
bertujuan untuk menyelenggarakan keadilan dalam transaksi dan perlakuan
antar manusia, umpamanya mulai mengusahakan peningkatan keadilan
terhadap si individu dan masyarakat dimana mungkin terjadi risiko dan imbalan
yang tidak wajar dan bahwa segolongan manusia janganlah dikorbankan untuk
kepentingan golongan lain. Dengan memberikan doping kepada Lance
Armstrong, dokter telah melanggar kode etiknya sendiri karena telah bersikap
tidak adil kepada orang lain. Dalam kode etik kedokteran juga terdapat pasal
yang berbunyi, dokter harus senantiasa berupaya melaksanakan profesinya
sesuai dengan standar profesi yang tertinggi. Yang dimaksud dengan ukuran
tertinggi dalam melakukan profesi kedokteran adalah yang sesuai dengan ilmu
kedokteran mutakhir, sarana yang tersedia, kemampuan pasien, etika umum,
etika kedokteran, hukum dan agama. Etika umum dan etika kedokteran harus
diamalkan dalam melaksanakan profesi secara tulus ikhlas, jujur dan rasa cinta
terhadap sesama manusia, serta penampilan tingkah laku.
• Aturan Penyelenggara Lomba dalam Hal Doping Atlet
Lance Armstrong mengikuti beberapa pertandingan dan dinyatakan juara.
Dalam setiap pertandingan terdapat aturan untuk tes penggunaan doping. Lance
Armstrong selalu berhasil lolos dalam tes, hal tersebut mengindikasikan adanya
ketidak profesionalan dalam penyelenggaraan lomba.
4.5. Kaidah Deskriptif
Doping merupakan salah satu usaha pemakaian zat atau obat dengan cara
tidak wajar untuk tujuan meningkatkan prestasi atau memenangkan suatu
pertandingan. Namun di balik peningkatan prestasi, pemakaian doping ternyata
menyebabkan hal yang merugikan, seperti timbulnya penyakit, cacat, bahkan
![Page 14: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/14.jpg)
beberapa laporan mengungkapkan ada atlet yang meninggal karena pemakaian
doping. Dalam peraturan dikatakan, doping dilarang digunakan dengan maksud
untuk menjaga kesehatan dan keselamatan atlet, menjamin sportivitas, dan
menjaga keluhuran nilai-‐nilai olahraga.
![Page 15: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/15.jpg)
BAB 3
USULAN PENYELESAIAN BERDASARKAN KAJIAN
Berdasarkan World Anti Doping Code (WADC) tertuang dalam bab 9 mengenai
diskualifikasi secara otomatis bagi individual dan bab 10 mengenai sanksi individual.
Berdasarkan bab 9 WADC, apabila seorang atlet terbukti menggunakan doping saat
kompetisi, maka sang atlet langsung dinyatakan diskualifikasi sehingga medali, poin dan,
hadiah harus dicabut dari sang atlet. Bab 10 WADC berisi mengenai ketentuan pencabutan
medali, poin, dan hadiah (bab 10.1.1), sanksi larangan bermain selama 4 tahun sampai
seumur hidup (jika terbukti disengaja) dan sanksi larangan bermain maksimum 2 tahun (jika
terbukti tidak disengaja) bagi atlet yang menggunakan doping. Bila doping digunakan oleh
grup atau tim, maka ketentuannya adalah bila lebih dari dua ornag dalam satu tim terbukti
menggunakan doping, sanksi seperti bab 9 dan 10 akan berlaku.
Hal di atas membuktikan adanya aturan yang mengikat bagi para atlet. Karena
memang pada dasarnya aturan doping dilarang ini adalah bahaya doping itu sendiri bagi
para atlet. Dalam beberapa sumber mengatakan bahwa doping memiliki beberapa dampak
yang negatif bagi atlet, antara lain:
1. Konsumsi obat doping pada atlet dapat meningkatkan prestasi yang melampai
batas kemampuan normal. Keadaan ini tidak wajar dan berbahaya, karena rasa
letih merupakan peringatan dari tubuh bahwa seseorang tersebut telah sampai
batas kemampuannya. Jika dipaksakan bisa menimbulkan “exhaustion” yang
membahayakan kesehatan. Overdose dapat berbahaya, dapat menimbulkan
kekacauan pikiran, delirium, halusinasi, perilaku ganas, dan juga aritmia jantung
yang dapat menimbulkan masalah serius. Untuk mengatasi gejala ini digunakan
sedative misalnya diazepam.
2. Doping dengan suntikan darah akan menimbulkan reaksi alergi, meningkatnya
sirkulasi darah di atas normal, dan mungkin gangguan ginjal. Golongan obat
peptide hormonis dan analognya dapat berakibat si atlet menderita sakit kepala,
perasaan selalu letih, depresi, pembesaran buah dada pada atlet pria, dan mudah
tersinggung.
![Page 16: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/16.jpg)
3. Dampak buruk dari suntikan eritropoetin adalah darah menjadi lebih pekat
sehingga mudah menggumpal dan memungkinkan terjadinya stroke (pecahnya
pembuluh darah di otak).
4. Pemakaian deuretika yang terlalu berlebihan dapat menyebabkan pengeluaran
garam mineral yang berlebihan. Sehingga mengakibatkan timbulnya kejang otot,
mual, sakit kepala, dan pingsan. Pemakaian yang terlalu sering mungkin akan
menyebabkan gangguan ginjal dan jantung.
5. Pemakaian obat analgesic pada atlit perempuan berfungsi menghilangkan rasa sakit
ketika haid. Namuan dampak buruknya jika salah memilih obat bisa menyebabkan
sulit bernapas, mual, konsentrasi yang hilang, dan mungkin menimbulkan adiksi
atau ketagihan.
6. Salah satu jenis obat doping yang paling sering digunakan para atlet adalah obat-‐
obatan anabolik, seperti hormon androgenik steorid. Jenis hormon ini punya efek
berbahaya, baik bagi atlet pria maupun atlet perempuan karena mengganggu
keseimbangan hormon tubuh dan dapat juga meningkatkan risiko terkena penyakit
hati dan jantung. Jika atlit wanita mengkonsumsi obat ini, dapat menyebabkan
tumbuhnya sifat pria, seperti berkumis, suara berat, dan serak. Selanjutnya,
menimbulkan gangguan menstruasi, perubahan pola distribusi pertumbuhan
rambut, mengecilkan ukuran buah dada, dan meningkatkan agresivitas. Bagi atlet
remaja, penggunaan obat ini dapat menyebabkan timbulnya jerawat. Dan yang
paling mengkhawatirkan adalah pertumbuhannya akan berhenti.
7. Beta-‐blockers membendung penyampaikan rangsangan ke jantung, paru-‐paru dan
aliran darah, memperlambat rata-‐rata detak jantung. Itu dilarang dalam olahraga
seperti panahan dan menyelam karena menghindarkan getaran. Efek merugikan
yang terjadi antar alain mimpi buruk, susah tidur, kelelahan, depresi, gula darah
rendah dan gagal jantung.
8. HGH atau Human Growth Hormone (hormon pertumbuhan manusia),
somatotrophin. menyamai hormon pertumbuhan dalam darah yang dikendalikan
oleh mekanisme kompleks yang merangsang pertumbuhan, membantu sintesa
protein dan menghancurkan lemak. HGH disalahgunakan oleh saingan untuk
merangsang otot dan pertumbuhan jaringan. Efek yang merugikan termasuk
kelebihan kadar glukosa, akumulasi cairan, sakit jantung, masalah sendi dan
![Page 17: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/17.jpg)
jaringan pengikat, kadar lemak tinggi, lemahnya otot, aktivitas thyroid yang rendah
dan cacat.
Berdasarkan dampak dari bahayanya penggunaan doping, wajar jika seluruh cabang
olahraga melarang penggunaan doping, walau memang efek awal saat memakainya para
atlet akan merasakan energi yang lebih, dan menambah stamina dan kekuatan badan.
Memang dalam kasus ini orang lain tidak terkena dampak dari atlet yang menggunakan
doping, namun secara tidak langsung mereka merasa dirugikan, akibat tindakan Lance
Armstrong yang tidak sportif.
Jika dikaji dari teori natural and virtue ethics, Menurut teori natural and virtue
ethics, peran dari karakter, sikap dan akhlak ini yang menentukan Lance dalam bertindak.
Seharusnya dia bisa menyingkirkan keegoisan pada dirinya yang ingin memenangkan
dengan berbagai cara. Jika semua atlet dapat berpikir untuk melakukan kompetisi dengan
sportif tanpa menggunakan doping, maka akan terjadi kesetaraan pada semua atlet.
Kompetisi akan berjalan tanpa ada pihak yang merasa dirugikan, dan fair bagi siapapun.
Selain dari sisi keegoisan, berdasarkan teori deontology seharusnya Lance dan atlet lainnya
sadar akan adanya aturan yang melarang penggunaan doping. Sangat tidak etis jika ada
aturan yang sudah dijelaskan untuk semua cabang olahraga, namun masih ada tindakan
pelanggaran.
Faktanya Pada tahun 2012 Armstrong dan US Postal Service dibebaskan dari tuduhan
doping, konspirasi, dan penipuan yang diinvestigasi oleh otoritas federal. Hal ini dapat
menjadi pertanyaan masyarakat, bagaimana bisa dia yang menggunakan doping dinyatakan
bebas dari tuduhan doping oleh otoritas federal? Dalam kasus ini ada pihak federal telah
melanggar hukum, dan berpihak pada Lance. Seperti yang dijelaskan pada kaidah normatif
tepatnya pada teori kewajiban, pihak otoritas federal sama dengan Lance, mereka harus
mengikuti prinsip yang ada tanpa adanya keberpihakan.
Pada kaidah konseptual, seharusnya lance memahami akan adanya aturan. Tidak
hanya Lance, dokter yang menjadi penasihat atas kesehatannya, juga seharusnya
memahami aturan larangan doping. Dokter bisa melarang terjadi pemakaian doping yang
berbahaya bagi Lance. Terutama bagi kesehatan lance yang mempunyai riwayat pernah
terkena tumor.
Doping dilarang oleh International Olympic Committee (IOC) dengan alasan untuk
menjaga kesehatan atlet dan menjamin suatu pertandingan yang bersifat fair play. Untuk
![Page 18: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/18.jpg)
mencegah kasus akibat tindakan doping, maka spesialis kedokteran olahraga diharapkan
dapat mengetahui sejarah dan perkembangan doping, farmakologi zat doping sekaligus
peraturan doping pada beberapa cabang prioritas. Hal inni berkaitan dengan kajian
deskriptif yang ada. Disamping itu perlu mengetahui prosedur pengumpulan sample doping
dan analisis doping serta upaya pengawasan melalui identifikasi zat doping dan edukasi.
![Page 19: Kajian Etika Rekayasa](https://reader035.vdocuments.mx/reader035/viewer/2022072107/55cf8efa550346703b97a6fd/html5/thumbnails/19.jpg)
SUMBER PENULISAN
[1] http://dictionary.reference.com/browse/technology
[2] http://en.wikipedia.org/wiki/Human_enhancement
[3] http://edition.cnn.com/2013/01/15/health/armstrong-‐ped-‐explainer/
[4] http://en.wikipedia.org/wiki/Lance_Armstrong
[5] http://www.biography.com/people/lance-‐armstrong-‐9188901#synopsis
[6] http://bleacherreport.com/articles/1484496-‐timeline-‐of-‐lance-‐armstrongs-‐career-‐and-‐eventual-‐downfall
[7] http://en.wikipedia.org/wiki/History_of_Lance_Armstrong_doping_allegations
[8] http://www.bbc.com/sport/0/cycling/21066354
[9] http://www.wsj.com/articles/SB10001424052970203922804578080742064696944
[10] http://thesportdigest.com/2012/06/doping-‐part-‐of-‐professional-‐cyclings-‐culture/
Ikatan Dokter Indonesia; Kode Etik Kedokteran
http://www.fims.org/about/code-‐ethics/
http://edition.cnn.com/2013/01/15/health/armstrong-‐ped-‐explainer/
https://jefrihutagalung.wordpress.com/tag/dampak-‐efek-‐doping/
Martin, Mike W., dan Roland Schinzinger. 1994. Etika Rekayasa.
http://media-‐online.id/2014/10/efek-‐pemakaian-‐doping-‐pada-‐atlet.html