kajian brahma widya dalam teks Śiwa tattwa purĀna
TRANSCRIPT
KAJIAN BRAHMA WIDYA DALAM TEKS ŚIWA TATTWA PURĀNA
Oleh: I GEDE PASEK MANCAPARA
UPT – PPKB UNIVERSITAS UDAYANA
DENPASAR 2019
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Agama Hindu merupakan agama yang universal dan memiliki ajaran
yang mencakup seluruh kehidupan baik itu mikro kosmos ataupun makrokosmos.
Hal itu ditunjukkan dengan terdapatnya konsep ketuhanan yang saguna yaitu
Tuhan yang memiliki sifat dan nirguna yaitu Tuhan yang tidak bersifat. Hal
tersebut jarang ditemui dalam agama lain yang bahkan melarang untuk
menyamakan Tuhan dengan ciptaannya. Sehingga hal tersebut menunjukkan
agama Hindu merupakan agama yang fleksibel dan universal, tidak hanya boleh
mewujudkan Tuhan sebagaimana manusia Hindu menghendakinya sesuai dengan
kebutuhan beragama, dari yang paling agung, cantik, tampan, hingga memiliki
rupa menyeramkan dengan demikian memudahkan manusia mendekatkan diri
dengan Tuhan yang transcendent melalui symbol-simbol serta perwujudan sifat-
Nya dalam dunia material (Imanent).
Keterbatasan umat Hindu yang masih awam tentang spiritual diberi
kemudahan dalam agama Hindu untuk memuja Tuhan melalui jalan bhakti marga
ataupun karma marga yang dimudahkan juga dengan konsep Saguna Brahman
tersebut, sebaliknya juga terdapat jalan yang lebih susah untuk dilaksanakan yaitu
jalan menuju Tuhan dengan Jnana marga ataupun Raja marga.
Ajaran yang terdapat dalam kitab suci agama Hindu sangatlah lengkap
untuk kehidupan manusia sebagai mikrokosmos ataupun kehidupan alam semesta
sebagai makro kosmos. Baik itu kebutuhan manusia mengenai benda material
ataupun non material atau juga disebut sebagai ilmu pengetahuan Para Widya dan
Apara Widya, yang tercakup dalam suatu ilmu pengetahuan ketuhanan dalam
agama Hindu disebut Brahma Widya, dimana Para Widya merupakan ilmu
pengetahuan tentang yang supernatural sedangkan pengetahuan Apara Widya
merupakan ilmu pengetahuan dalam Veda yang mengajarkan tentang ilmu
pengetahuan alamiah. Segala ajaran tersebut tertuang dalam kitab suci Hindu yang
demikian banyaknya. Mengingat ada banyak juga ilmu pengetahuan yang
dibutuhkan manusia di alam semesta ini sehingga tidak seperti kitab suci agama
alainnya, agama Hindu memiliki sangat banyak kitab suci dengan berbagai
macam ajaran yang tertuang didalamnya.
Secara umum kitab suci utama dalam agama Hindu disebut Catur Veda
sebagai kitab suci yang utama yaitu; Rg Veda, Yajur Veda, Sama Veda, dan
Atharva Veda, namun dewasa ini disebutkan adanya penyempurnaan dengan
menambahkan satu Veda lagi yaitu Bhagavad Gita sehingga disebut Pancama
Veda. Mengingat bahwa agama Hindu merupakan agama yang fleksibel dan
universal, maka penganut agama Hindu akan selalu menyesuaikan dengan lokus
dimana agama tersebut diterapkan dan berkembang. Dinyatakan bahwa untuk
mempeajari Veda yang utama tersebut sebagai Veda Sruti, sebaiknya terlebih
dahulu mempelajari Veda Smrti untuk mempermudah nantinya dalam
mempelajari Veda Sruti baik itu dalam kitab Itihasa, Purana, Upaveda,
Upangaveda, atau juga berbentuk berbentuk nibanda, serta lontar-lontar yang
telah dimodisikasi namun tidak menghilangkan esensi ataupun kontradiksi dengan
sumber aslinya yaitu Veda/ Veda Sruti.
Mengingat bahwa panjangnya waktu yang dilalui dari awal mula
turunnya Veda hingga sekarang ini, tentu semakin banyak naskah suci yang
mengalami perubahan-perubahan dalam bentuk ataupun isi naskah yang
disesuaikan dengan desa, kala, patra saat penulisannya dan tentunya melalui
penyaringan yang bijaksana sehingga memudahkan umat untuk mempelajarinya,
dari bnyaknya naskah suci yang ada tersebut, salah satu naskah bernama Siwa
Tattva Purana.
Adapun dalam makalah ini akan dibahas bahwa dalam naskah Siwa
Tattva Purana sebgai salah satu bentuk Brahma Widya juga memiliki nilai
ketuhanan yang masih sangat relevan untuk dipelajari dan tentunya diterapkannya
yang tercermin dari ajaran yang universal didalamnya seperti halnya keesaan
Tuhan, Tuhan yang ada dimana-mana, Tuhan sebagai sumber segala, Tuhan yang
maha gaib, Tuhan yang imanen dan transenden, hingga Tuhan sebagai penguasa
segala penjuru.
1.2 Tujuan
Kitab-kitab nibanda juga memiliki kedudukan yang sangat penting untuk
dipelajari yang memungkinkan untuk mempermudah pemahaman mengenai kitab
sruti. Sehingga dengan menggali nilai-nilai Brahma Widya yang terdapat dalam
salah satu kitab tersebut tidak lain bertujuan untuk mempermudah siapapun yang
memiliki ketertarikan terhadap ilmu yang terkandung didalamnya sekaligus
melestarikan khasanah budaya bangsa.
II
PEMBAHASAN
2.1 Gambaran Umum Naskah
Naskah Siwa Tattwa Purana seperti namanya merupakan salah satu
naskah/ susastra Hindu yang tergolong kitab Smrti yaitu tergolong kitab Purana.
Naskah Siwa Tattva Purana merupakan salah satu dari sekian banyaknya lontar
yang dimiliki agama Hindu yang memiliki ajaran Siwaistik. Lontar ini berisikan
terdiri dari 20 lembar lontar yang berisi tentang ajaran Siwa yang diwejangkan
oleh Siwa (Sanghyang Jagatpati yang mengajarkan Acara agama kepada putra-
putra-Nya dengan cara dialog dan ceramah.
Jika dilihat dan ditinjau dari latar belakang budaya serta bahasa yang
digunakan, teks dalam naskah Siwa Tattwa Purana ini ditulis pada saat jaman Bali
tengahan. Hal tersebut bisa dilihat dari bahasa kawi yang digunakan pada naskah
banyak yang menyerap istilah-istilah dan tradisi kebudayaan jaman Bali
pertengahan, bisa dilihat juga dari struktur bahsa yang kurang rapi dan sosial
budaya pada masyarakat Bali tengahan/ Bali tradisional dalam sistem upacaranya
yang sangat dominan menentukan perbedaan sistem pelaksanaan upacara/ acara
yang dilaksanakan seperti sarana upacara ngaben untuk mereka yang dari
keturunan brahmana sedikit berbeda dengan mereka yang berasal dari golongan
satriya, terlebih-lebih dari mereka yang berasal dari golongan sudra.
Adapun secara umum teks ini menceritakan tentang wejangan Dewa
Siwa (Sanghyang Jagatpati) di Siwaloka, pada bulan kartika mengadakan
pertemuan dengan putra-putra-Nya kemudian mewejangkan tentang upacara Pitra
Yadnya dari tingkatan nista, madya, hingga yang utama. Upacara yang
diterangkan diantaranya adalah; ngaben, nyekah, memukur, maligia, dan angluer.
Kemudian setelah itu diajarkan dan menitahkan juga tentang Manusa Yadnya,
Butha Yadnya, dan Dewa Yadnya hingga wariga/ astronomi.
Adapun Manusa Yadnya diantaranya yaitu; magedong-gedongan,
miyaksih, macolongan, mapetik, ototnan, matatah, pernikahan, madudus agung,
dan mapodgala. Kemudian Butha Yadnya diantaranya; Macaru, Sabuh rah,
Tawur Eka dasa Rudra, Otonan untuk senjata, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Dewa Yadnya diantaranya sebagai berikut: Galungan dan Kuningan, Ngusaba
Desa, Pagerwesi, Sugihan, dan Nyepi.
2.2 Tuhan Itu Esa
Sebelum lebih jauh, kiranya sebagai landasan sebaiknya diketahui hal-hal
yang mendasar yang terdapat dalam kitab suci Veda. Dapat ditemui pernyataan
yang secara tegas dalam kitab suci Veda bahwa Tuhan itu Esa adanya, para
bijaklah yang memberi nama atau abhisekanama yang berbeda-beda, seperti Agni,
Indra, Vayu, dan lain-lain (Titib, 2003: 14), Seperti dinyatakan dalam mantra
Veda berikut :
Indram Mitram varuņam agnim āhur Atho divyah sa suparņo garutmān, Ekam sadviprā bahudhāvadanty Agnim yamam matarisvānam āhuh.
(Ŗgveda I.164.46.) Artinya : Mereka menyebut-Nya dengan Indra, Mitra, Varuna, dan Agni, Ia yang bersayap keemasan Garuda, Ia adalah Esa, para maharsi (viprah) memberinya banyak nama, mereka menyebut Indra, Yama, Matarisvan. Didukung juga dalam kutipan Veda sebagai berikut : Tad eva agnis tad ādityas Tad vāyus tad u candramāh, Tad eva śukram tad brahma Ta ‘āpah sa prajāpatih. (Yajurveda XXXII.1.) Artinya : Sesungguhnya Ia adalah Agni, Ia adalah Aditya, Ia adalah Vayu, Ia adalah Candrama, Ia adalah Sukra, Ia adalah Apah, Ia Yang Esa itu adalah Prajapati (Titib, 2003: 14). Beberapa kutipan mantra diatas menjelaskan sesungguhnya agama Hindu
memiliki konsep ketuhanan yang Esa seperti agama yang lainnya, namunn para
bijak memberinya banyak nama. Baik itu Dewa Agni, Indra, Aditya, Garuda,
Yama, dan lain sebagainya merupakan Tuhan Yang Maha Esa. Hal tersebut diatas
juga didukung dalam pernyataan Donder (2006: 234) sebagai berikut :
Hinduisme sangat menyadari dan sangat meyakini akan ke Esaan Tuhan. Sebagaimana agama yang lain, Hinduisme juga memiliki konsep bahwa Tuhan itu tidak memiliki wujud tertentu, acintya, nirguna, dan tidak dapat dipikirkan tetapi konsep Tuhan yang demikian itu sifatnya hanya cocok dipedomani oleh orang yang telah mapan dalam pemahamannya tentang sesuatu yang absolut sekaligus abstract. Tuhan yang didefenisikan seperti itu sangat sulit dihayati oleh umat manusia pada umumnya. Oleh sebab itu demi kepentingan umat manusia secara keseluruhan (Tanpa terkecuali) agar dapat berbakti kepada Tuhan, maka Hinduisme memberikan pilihan jalan atau cara; muai dari tahap yang paling dasar hingga tahap yang paling tinggi dimana aktivitas pikiran harus dihentikan. Itulah sebabnya dalam HInduisme menyediakan tahap keyakinan dari animism, dinamisme, politheisme hingga monotheisme. Bisa dibilang bahwa agama Hindu hampir memiliki semua paham isme
ketuhanan yang ada, dari animism, dinamisme, antropomorfisme, pantheisme,
politheisme, hingga monotheisme terdapat dalam konsep isme agama Hindu.
Dibalik itu semua dalam konsep ketuhanan agama Hindu tetap mengakui adanya
satu Tuhan yaitu Tuhan Yang Maha Esa dengan berbagai macam sebutannya
sesuai dengan budaya daerah agama Hindu tersebut diterapkan dan berkembang,
salah satunya di Bali Tuhan Yang Maha Esa disebut sebagai Ida Sang Hyang
Widhi Wasa. Kemudian Tuhan/ Ida Sang Hyang Widhi Wasa yang Esa dalam
kosmologi Hindu yang tertuang dalam kitab Manavadharmasastra I.6 sebagai
berikut :
Tatah svayambhūr bhagavān Avyakto vyañjannidam, Mahābuthādi vŗttaujāh Prādurāsītta monudah. (Manavadharmasastra I.6) Artinya : Kemudian dengan kekuatan tapa-Nya Yang Maha Ada dengan sendirinya walaupun tanpa wujud, menciptakan alam semesta ini secara bertahap, dari mahabutha (unsur alam semesta) dan lainnya, yang melenyapkan kegelapan. Kemudian dilanjutkan pada sloka Manavadharmasastra I.8 sebagai
berikut : So’ bhidhāyah śarīrāt swāt- Sisŗkşur vividhā prajāh, Apa eva sasarjādau Tāsu bījam avā sŗjat. (Manavadharmasastra I.8) Artinya : Ia yang berkeinginan menciptakan berbagai jenis makhluk hidup dari badan-Nya sendiri, pertama kali menciptakan air dan meletakkan benih di dalamnya. Kutipan sloka diatas menjelaskan keesaan Tuhan sebagai sumber alam
semesta. Untuk memahami Tuhan yang tidak terpikirkan dan Yang Maha Esa
tersebut kemudian para maha Rsi terdahulu dengan bijaksana memudahkannya
dengan cara membentuk suatu konsep ketuhanan yang Saguna Brahman. Konsep
ketuhanan Saguna Brahman tidak hanya diajarkan dalam kitab Smrti saja, bahkan
dalam kitab Sruti sekalipun juga terdapat konsep Tuhan Yang Saguna Brahman
dengan adanya pemujaan terhadap dewa Agni yang tberarti api yang tentunya
memiliki sifat panas, demikian juga Dewa Vayu, Indra dan lainnya.
Demikian juga halnya konsep ketuhanan dalam lontar Siwa Tattwa
Purana. Adapun dalam Siwa Tattwa Purana memilki konsep Saguna Brahman
yang tercermin dari nama-nama dewa yang disebutkan yang memiliki fungsiya
dan tugasnya masing-masing, jika ditelusuri dari isi teks, maka naskah ini
termasuk juga ke henotheisme/ kathenoisme yaitu ada satu dewa tertinggi diantara
dewa-dewa lainnya pada satu masa tertentu. Tiak hanya itu terdapat konsep
politheisme yaitu ada banyak nama Dewa, hingga kosep monotheise yaitu Tuhan
Ynag Maha esa, yang bisa dilihat dari kutipan teks Siwa Tattwa Purana 14.a
sebagai berikut :
“…Ia adalah Widhi Wasa, …hari-hari itu disebut wuncal walung. Tetapi baik untuk Tuhan..” Kemudian terdapat juga disebutkan agar mempersembahkan banten
lkepada Tuhan dalam teks Siwa Tattwa Purana 17.a hingga 18.a sebagai berikut :
“….mereka sepatutnya mempersembahkan banten kepada Tuhan. Hari itu disebut Pagerwesi…Dewa Yadnya adalah melaksanakan pemujaan yang ditujukan kepada Tuhan, Widhi Widana …” Beberapa kutipan teks diatas menunjukkan terdapatnya suatu eksistensi
Tuhan Yang Maha Esa dibalik dari eksistensi para Dewa yang tertuang dalam teks
sehingga sesuai dengan konsep ketuhanan agama Hindu bahwa Ia yang nirguna
merupakan sumber dari para Dewa bahkan juga para maha rsi seperti yang
tertuang dalam Bhagavad Gita X : 2
Na me viduh sura-ganah Prabhavam na maharsayah Aham adir hi devanam Maharsinam ca sarvasah (Bhagavad Gita X : 2)
Artinya :
Baik para dewa maupun rsi-rsi yang mulia tidak mengenal asal mula maupun kehebatan-Ku, sebab dalam segala hal, aku adalah sumber dewa-dewa dan rsi-rsi. Kutipan sloka diatas menjelaskan dengan gamblang bahwa sumber dari
para Dewa yang Saguna/ sebagai Tuhan yang memiliki sifat, tidak lain adalah
bersumber dari Tuhan Yang Maha Esa yang tidak terpikirkan, tidak berwujud,
tidak bersifat yang dikenal sebagai Nirguna Brahman itu. Tuhan Yang maha Esa
memanifestasikan diri-Nya sesuai dengan tugas dan fungsinya berwujud para
Dewa (Saguna Brahman) untuk proses penciptaan, pemeliharaan/ berlangsungnya
kehidupan, hingga peleburan alam semesta beserta isinya yang terus mengalami
perputaran utpeti, stiti, pralina demikian seterusnya yang terjadi berulang-ulang
sesuai dengan hukum rta yang diciptakan oleh Tuhan Yang Maha Esa.
2.3 Tuhan ada Dimana-Mana
Isi naskah Siwa Tattwa Purana menjelaskan bahwa eksistensi Tuhan ada
dimana-mana, atau dalam bahasa keilmuannya disebut sebagai paham/ isme yang
memiliki pandangan bahwa Tuhan ada dimana-mana yang disebut sebagai
pantheisme. Hal tersebut bisa dilihat dari teks Siwa Tattwa Purana 9.a yang
menyatakan bahwa air membawa sumber kehidupan yang disebut sebagai amerta
yang akan muncul jika Sanghyang Antabogha merasa bahagia akibat suatu
persembahyan korban suci/ Yadnya yang dilaksanakan kepada-Nya. Seperti
kutipan dalam terjemahan teks 9a berikut “…Sesajen yang patut dipersembahkan
di danau disesuaikan dengan upacara yang lainnya. Maka bahagialah Sanghyang
Antabogha. Musim kemarau berubah menjadi musim hujan. Segala yang kena air
Hujan berubah menjadi sumber kehidupan, amreta. Negara menjadi sejahtera…”.
Selanjutnya disampaikan dalam diri manusia juga terdapat Tuhan,
diantaranya disebutkan bahwa Hyang Semara ada didalam setiap tubuh manusia,
sesuai dengan halnya kutipan Siwa Tattwa Purana 9.b sampai 10.a berikut; “Hai
anakku, Hyang Uma. Engkau yang patut memahami proses terciptanya manusia.
Hyang Semara ada di dalam setiap tubuh manusia, ada yang disebut hyang Harun,
bertahta dipusat pikiran, perbawanya bagaikan mutiara. Lintasannya adalah otot
mata.demikian disebutkan, dan ada sesuatu yang bening bertempat di bagian putih
mata. Lintasannya di otot mata bagian kanan. Dan mengambil tempat di gedong
emas. Sanghyang Semara menjadi air mani, Sanghyang Ratih menjadi sel telur.
Setelah bersatu mereka menuju gedong emas. Disanalah mereka bertemu dan
menjadi satu. Kemudian berubah wujud menjadi janin,…setelah menjadi janin
disebut Hyang Tiksna, setelah berwujud bayi disebut Kula Maya…”.
Selanjutnya dinyatakan bahwa Tuhan juga terdapat dalam sanggar yaitu
dengan menanam rambut si bayi yang telah diupacarai 3 bulanan dengan banten
Madudus Nawa Ratna, sebagai penghormatan karena Beliau yang menganugerahi
tulang tempat melekatnya otot, menganugerahi tenaga, suara, dan pikiran, seperti
yang tertuang dalam teks 11.a yaitu :
“Setelah berumur 3 bulan, bayi itu kembali dibuatkan upacara dengan upacara banten Madudus Nawa ratna, lainnya adalah Mapetik. Rambut bayi itu digunting, dimasukkan kedalam balyag, yaitu tempat membersihkan rambut dimaksud, dibuatkan upacara pebangkit 1 soroh, dinaikkan pada Udupeji. Pelaksanaan upacaranya dipimpin oleh seorang sulinggih. Kemudian tanamlah rambut itu didepan sanggar. Sebab Beliaulah yang menganugerahi tulang tempat melekatnya otot, menganugerahi tenaga, suara, dan pikiran”. Dijelaskan selanjutnya bahwa pada tanahpun juga terdapat Tuhan yaitu
Sanghyang Pertiwi. Si anak tidak diperkenankan menginjak tanah sebelum
diupacarai otonan yang dilaksanakan jika anak telah berusia enam bulan. Jika
belum diupacarai otonan itu, anak tidak diperkenankan menginjak tanah, hal itu
dinyatakan dalam teks Siwa Tattwa Purana 11.a sebagai berikut :
“…Setelah berumur 6 bulan, buatkanlah upacara otonan yang pertama. Saat itu bayi baru dibolehkan untuk diturunkan untuk menginjak tanah…jika belum diupacarai seperti tersebut diatas, bayi itu tidak dibenarkan untuk turun ke tanah. Oleh karena Hyang Prethiwi belum mendapat upah dan upacara Mapetik”. Bahkan dalam haripun dinyatakan terdapat Tuhan sebagai manifestasinya
menjadi dewa-dewa diantaranya Sanghyang Brahma menjadi pahing, Sanghyang
Mahadewa menjadi Pwon, Sanghyang Iswara menjadi Umanis, Sanghyang Wisnu
menjadi Wage, Sanghyang Siwa menjadi Kliwon, hal tersebut dinyatakn dalam
Siwa Tattwa Purana 13.a hingga 13.b sebagai berikut :
“..dan ini titahKu untuk menciptakan hari. Sanghyang Brahma menjadi pahing, Sanghyang Mahadewa menjadi Pwon, Sanghyang Iswara menjadi Umanis, Sanghyang Wisnu menjadi Wage, Sanghyang Siwa menjadi Kliwon..”
Beberapa hal tersebut diatas menyatakan bahwa Tuhan sebagai
manifestasi-Nya yang berbeda-beda menempati setiap hal yang ada didunia baik
mikro kosmos ataupun makro kosmos.
2.4 Tuhan Sumber Segala
Konsep ketuhanan dalam agama Hindu yaitu Nirguna Brahman dan
Saguna Brahman. Nirguna Brahman berarti Tuhan yang tak bersifat dan tak
terpikirkan ataupun tidak terwujud, sedangkan kebalikannya Tuhan sebagai
Saguna Brahman merupakan Tuhan yang memiliki sifat dan bisa dibayangkan
wujudnya sehingga memudahkan mausia untuk memuja-Nya. Dalam konsep
ketuhanan politheisme yang juga ada dalam Agama Hindu yang berpandangan
adanya lebih dari satu perwujudan Tuhan Yang Maha Esa yaitu berkaitan dengan
konsep Saguna Brahman sehingga dalam agama Hindu juga mengenal banyak
nama Dewa sebagai manifestasi Tuhan Yang maha Esa.
Mengingat bahwa Siwa Tattwa Purana merupakan salah satu lontar
Siwaistik, tentu sesuai dengnan konsep henotheisme menyatakan bahwa Siwa
sebagai sumber semua Dewa yaitu Tuhan tertinggi. Siwa tattwa Purana
megajarkan bahwa Tuhan merupakan sumber segalanya. Dari awal mulanya
mikro kosmos berawal dari manifestasi Tuhan yang maha Esa berwujud para
dewa, tidak hanya sebatas penciptaan tersebut, namun bagaimana proses dalam
menjalani kehidupan di dunia ini baik kebahagiaan, ataupun kesedihan (suka
dhukka) disebabkan oleh-Nya. Hal itu dituangkan dalam teks Siwa Tattwa Purana
9b sampai 10a berikut;
“Hai anakku, Hyang Uma. Engkau yang patut memahami proses terciptanya manusia. Hyang Semara ada di dalam setiap tubuh manusia,
ada yang disebut hyang Harun, bertahta dipusat pikiran, perbawanya bagaikan mutiara. Lintasannya adalah otot mata.demikian disebutkan. Dan ada sesuatu yang bening bertempat di bagian putih mata. Lintasannya di otot mata bagian kanan. Dan mengambil tempat di gedong emas. Sanghyang Semara menjadi air mani, Sanghyang Ratih menjadi sel telur. Setelah bersatu mereka menuju gedong emas. Disanalah mereka bertemu dan menjadi satu. Kemudian berubah wujud menjadi janin,…setelah menjadi janin disebut Hyang Tiksna, setelah berwujud bayi disebut Kula Maya…”.
Kutipan tersebut diatas menunjukkan bahwa penciptaan manusia atau
mikro kosos berawal dari Tuhan sebagai Sanghyang Semara yang ada disetiap
tubuh manusia dan Sanghyang Ratih yang jika bertemu akan menghasilkan suatu
penciptaan kehidupan/ janin dan membentuk bayi dan terciptalah suatu kehidupan
mikrokosmos yang baru. Untuk memperoleh kebahagiaan juga dipengaruhi oleh
Tuhan sebagai teks Siwa Tattwa Purana 9.a menyatakan sebagai berikut:
“…Sesajen yang patut dipersembahkan di danau disesuaikan dengan upacara yang lainnya. Maka bahagialah Sanghyang Antabogha. Musim kemarau berubah menjadi musim hujan. Segala yang kena air Hujan berubah menjadi sumber kehidupan, amreta. Negara menjadi sejahtera…”. Teks diatas menjelaskan bahwa kebahagiaan Tuhan turut menentukan
kesejahteraan yang didapatkan manusia dalam makro kosmos ini. Seperti kutipan
diatas yang menyatakan bahwa kebahagiaan Tuhan dalam manifestasinya sebagai
Antabogha turut menentukan kesejahteraan manusia, dengan bahagianya
Sanghyang Antabogha maka musim kemaraupun berubah menjadi musim hujan
yang memberkati kehidupan manusia di dunia ini. Hal tersebut bisa menyatakan
bahwa turunnya Hujan sekalipun disebabkan oleh Tuhan atau dengan kata lain,
Tuhan sebagai sumber hujan. Sesuai juga dengan kutipan dalam Bhagavad Gita
beriut :
Istan bhogan hi vo deva dasyante yajna bhavitah Tair dattan apradayaibhyo yo bhunke stena eva sah. (Bhagavad Gita, III. 2). Artinya : Sesungguhnya keinginan untuk mendapatkan kesenangan telah diberikan kepadamu oleh para dewa karena yajna mu, sedangkan ia yang telah memperoleh kesenangan tanpa melakukan yajna sesungguhnya ia adalah pencuri. Melalui kutipan sloka diatas menunjukkan bahwa Tuhan sebagai sumber
segalanya, termasuk kesejahteraan yang manusia dapatkan didunia ini, dinyatakan
juga melalui suatu persembahan yang tulus iklas oleh manusia kepada Tuhan
ataupun para dewa akan menghasilkan kebahagiaan tertinggi untuk manusia itu
sendiri, seperti dinyatakan oleh Donder (2007: 318) kesenangan tertinggi yang
disebut bahagia (Anandam)hanya akan mungkin didapat melalui sebuh proses
latihan spiritual, salah satunya yaitu beryadnya. Beberapa hal yang menunjukkan
bahwa Tuhan merupakan sumber segala yang ada di alam semesta ini.
2.5 Tuhan Maha Gaib
Gaib secara psikologi agama berarti suatu cara-cara dan maksud
menggunakan kekuatan-kekuatan yang diduga ada di alam gaib, yaitu yang tidak
dapat diamati oleh rasio dan pengalaman fisik manusia (Jalaluddin, 2015: 118).
Adapun dalam teks Siwa Tattwa Purana sangat banyak hal yang menunjukkan
bahwa Tuhan Yang Maha Gaib. Melalui isi naskah yang menjelaskan bagaimana
proses dalam wejangan-wejangan Dewa Siwa bersama anak-anaknya baik
mengenai upacara agama yang bersifat diluar nalar manusia seperti pitra yadnya
pitra yadnya, manusa yadnya, hingga dewa yadnya yang melibatkan kekuatan
supernatural.
Tidak hanya itu dimasing-masing penjuru arah juga terdpat kekuatan
supernatural yang dikuasai oleh dewa-dewa, terdapatnya istana/ sthana para dewa
dimasing-masing penjuru yang dikuasainya, kemudian hingga peristiwa turunnya
hujan, dan tanah sekalipun juga terdapat dewa yang bersthana padanya. Seperti
salah satu kutipan Siwa Tattwa Purana 1.b sampai 3.a diantaranya :
“…Sanghyang Brahma datang dari selatan. PerbawaNya merah demikian juga busananya, berpayung emas. Diikuti oleh Ki Butha Bang. Di Brahmaloka alam kekuasaannya,…Sanghyang Wisnu dari utara, perbawaNya hitam, demikian juga dengan busanaNya, Wisnu Loka nama alam kekuasaannya. Sanghyang Iswara datang dari timur, berbusana serba putih, alam kekuasaannya adalah Iswaraloka. …Sanghyang Mahadewa datang dari barat, dengan busana kuning,..wilayah kekuasaannya disebut Rudra Bhuwana. Sanghyang Mahesora dan Sanghyang Indra datang dari tenggara, berbusana putih kemerah-merahan, …alam kekuasaannya disebut Indra Bhuwana. …Sanghyang Satarudra datang dari barat daya, berbusana merah kekuning-kuningan, alamnya disebut Rudra Loka. Sanghyang Sangkara datang dari arah barat laut, berbusana serba hijau dengan alam kekuasaannya adalah Sangkara Loka. …Sanghyang Kwera yang datang terahir, berbusana aneka warna yang datang dari timur laut, dunianya adalah Kweraloka…”.
Dinyatakan dalam kutipan teks diatas bahwa masing-masing penjuru
dikuasai oleh para dewa dengan perbawaNya yang tentunya tidak bisa dilihat
melalui kasat mata. Dengan adanya penguasa penjuru tersebut, maka diharapkan
dengan mempelajari naskah ini setiap orang/ manusia yang akan melaksanakan
kegiatan aktivitas memohon pada masing-masing dewa sesuai dengan perhitungan
hari baik yang diajarkan pada bagian terahir naskah Siwa Tattwa Purana,
sehingga menemukan keselamatan dan keberhasilan dalam aktivitas tersebut.
Demikian keterlibatan Tuhan dalam setiap hal yang ada di dunia ini yang tidak
terlihat oleh kasat mata ataupun penginderaan manusia, sehingga hal tersebut
termasuk hal yang gaib dan menunjukkan bahwa Tuhan Maha Gaib.
2.6 Tuhan Imanen dan Transenden
Tuhan Transenden merupakan Tuhan yang Maha esa berada jauh diluar
ciptaan-Nya, Tuhan Yang Maha Esa dan Maha Luhur tidak terjangkau oleh akal
pikiran manusia. Sedangkan Tuhan yang Imanen merupakan Tuhan sebagai
pencipta alam semesta beserta isinya, Tuhan Yang Maha Esa tersebut berada
diluar dan sekaligus didalam ciptaan-Nya (Titib, 2003: 32).
Merujuk pada pengertian tersebut diatas, bahwa dalam teks Siwa Tattwa
Purana juga terdapat ajaran ketuhanan yang imanen dan transenden. Tuhan yang
transenden dan imanen bisa dilihat dalam teks berikut ini :
Sanghyang Girinatha kembali bersabda: Ia adalah Dewa, Ia adalah Sanghyang, Ia adalah Widhi, Ia adalah Cahaya, Ia adalah tanpa bentuk, Ia adalah suci, Ia adalah Butha, Ia adalah Kala, Ia adalah Dengen. Ia adalah Durggha, Ia juga adalah ayam. Pahamilah perilakunya masing-masing. Ya demikianlah, pahamilah itu anak-Ku, tentang diciptakannya ratmka : rat adalah dunia, ma adalah jalan, dan ka adalah waktu. Hendaknya engkau memahami jalan dimaksud. Ialah yang menciptakan sorga dan neraka, hidup dan mati. (Siwa Tattwa Purana, 13.a) Kutipan teks tersebut diatas menunjukkan sekaligus kedudukan Tuhan
yang imanen dan transenden. Sebagai Tuhan yang transenden jelas dinyatakan
dalam teks tersebut dengan penggunaan kata “Ia” yang menunjukkan adanya
eksistensi yang tertinggi sebagai awal dari segala yang ada atau causa prima,
dimana Sanghyang Girinatha/ Jagatpati/ Sanghyang Siwa sebagai personifikasi
Tuhan Yang Maha Esa dalam dialognya dengan anak-anaknya menyebutkan kata
Ia sebagai segalanya termasuk ayam yang ada di dunia sebagai Tuhan yang
imanen.
2.7 Tuhan Penguasa Penjuru
Teks yang terdapat dalam naskah Siwa Tattva Purana juga berisikan
tentang Tuhan sebagai penguasa penjuru. Hal itu bisa dilihat dalam isi teks yang
menyatakan bahwa para Dewa penguasa arah mata angin/ penjuru/ yang disebut
sebagai Ista Dewata yang dinyatakan sebagai anak dari dewa Siwa, seperti yang
diketahui bahwa naskah ini merupakan naskah Siwaistik sehingga kedudukan
Siwa sebagai Dewa tertinggi. Dinyatakan bahwa para Dewa penguasa penjuru
menghadiri pertemuan pada bulan Kartika tersebut.
Adapun para Dewa penguasa penjuru tersebut diantaranya; Dewa
Brahma sebagai penguasa arah selatan dengan warna perbawa-Nya berwarna
merah, kemudian Dewa Wisnu sebagai penguasa arah utara dengan warna
perbawa-Nya yang berwarna Hitam, Dewa Iswara sebagai penguasa arah timur
dengan perbawa-Nya berwarna serba putih, Sang Hyang Mahadewa yang dating
dari barat sebagai penguasa arah barat dengan busana, dan perbawa-Nya berwarna
kuning, Sang Hyang Mahesora dan Sang Hyang Indra sebagai penguasa arah
Tenggara dengan busana dan perbawa-Nya berwarna putih kemerah-merahan,
Sang Hyang Satarudra sebagai penguasa arah barat daya dengan warna perbawa-
Nya merah kekuning-kuningan, Sang Hyang Sangkara yang sebagai penguasa
arah barat laut dengan warna perbawa-Nya yang berwarna hijau, Sang Hyang
Kwera sebagai penguasa arah timur laut. Hal tersebut diatas bisa dilihat dari
kutipan teks Siwa Tattva Purana 1b sampai 3a diantaranya :
“…Sanghyang Brahma datang dari selatan. PerbawaNya merah demikian juga busananya, berpayung emas. Diikuti oleh Ki Butha Bang. Di Brahmaloka alam kekuasaannya,…Sanghyang Wisnu dari utara, perbawaNya hitam, demikian juga dengan busanaNya, Wisnu Loka nama
alam kekuasaannya. Sanghyang Iswara dating dari timur, berbusana serba putih, alam kekuasaannya adalah Iswaraloka. …Sanghyang Mahadewa dating dari barat, dengan busana kuning,..wilayah kekuasaannya disebut Rudra Bhuwana. Sanghyang Mahesora dan Sanghyang Indra dating dari tenggara, berbusana putih kemerah-merahan, …alam kekuasaannya disebut Indra Bhuwana. …Sanghyang Satarudra dating dari barat daya, berbusana merah kekuning-kuningan, alamnya disebut Rudra Loka. Sanghyang Sangkara datang dari arah barat laut, berbusana serba hijau dengan alam kekuasaannya adalah Sangkara Loka. …Sanghyang Kwera yang datang terahir, berbusana aneka warna yang datang dari timur laut, dunianya adalah Kweraloka…”.
Selain penjuru arah mata angina tersebut terdapat juga penguasa alam
baik itu alam diantaranya alam Swaraloka (Sanghyang Iswinodewa ), Hanaloka
(Sanghyang Dharmmika), Sunyaloka (Sanghyang Kala dan Sanghyang Gelap),
Bhuwana Loka (Sanghyang Bharuna) Suryaloka (Sanghyang Rawi), Yamaloka
(Sanghyang Yama), yang disuratkan dalam Siwa Tattwa Purana 2b hingga 3a
seperti berikut :
“…Sanghyang Iswinodewa datang, berbusana lima macam warnanya, berpayung halus cemerlang. prabawaNya menawan hati, alamnya adalah Swaraloka,. Sanghyang Dharmmika berbusana serba biru. Berpayung permata cemerlang. negaraNya adalah Hanaloka. Sanghyang Kala tiba bersama Sanghyang Gelap. PrabhawaNya menakutkan. Berbusana merah loreng. Berpayung hitam-putih. Diiringi oleh Ki Butha Anggarupa. Datang dari Sunyaloka. Sanghyang Bharuna tiba dengan busana beraneka warna. Alam tempat beliau bertahta bernama bhuwanaloka. Sanghyang Rawi datang dari langit berbusana dengan buah jenetri. Bersepatu indah cemerlang berpayung putih, di Suryaloka alamNya. Beliaulah sebagai saksi para dewa. …adalah Sanghyang Yama. Beliau datang dari selatan bagaikan kala gerak-geriknya menakutkan. Berbusana merah loreng. Bertedung tiga warna, bercahaya kerlap-kerlip. Diiringi oleh Butha Saliwah. AlamNya adalah Yamaloka”. Kemudian disinggung juga mengenai upacara persembahan kepada
Sembilan dewata, yang disebut sebagai Nawa Dewata seperti yang disebutkan
dalam teks Siwa Tattwa Purana berikut :
“…ndah kawenanganya angeka dasa rudra bhumi. Sang sadhaka wenang harepakena Nawa Dewata, ring Madhya Siwa Buddha. Ajha tan wruh ring ungguhaning Nawa Dewata…” (Siwa Tattva Purana, 8.b). Artinya :
“…..upacara yang patut memimpin upacara persembahan kepada Sembilan Dewata, nawa dewata, yang ditengah adalah pendeta Siwa dan pendeta Buddha. Jangan tidak mengetahui sthana kesembilan dewata ini…”
III
PENUTUP
Kesimpulan
Siwa Tattva Purana merupakan suatu naskah suci yang didalamnya
terdapat teks-teks mengenai wejangan Sanghyang Jagatpati (Sanghyang Siwa)
ataupun dialog yang terjadi antara Sanghyang Jagatpati dengan anak-anaknya
mengenai proses upacara ngaben (Pitra Yadnya), Dewa Yadnya, hingga Manusa
Yadnya, berisi tentang penugasan para dewa oleh Sanghyang Jagatpati mengenai
tugas penciptaan material sebagai kebutuhan manusia hingga hari baik/ wariga.
Naskah Siwa Tattva Purana merupakan salah satu dari sekian banyaknya lontar
yang dimiliki agama Hindu yang memiliki ajaran Siwaistik. Lontar ini berisikan
terdiri dari 20 lembar lontar yang berisi tentang ajaran Siwa yang diwejangkan
oleh Siwa (Sanghyang Jagatpati) yang mengajarkan Acara agama kepada putra-
putra-Nya dengan cara dialog dan ceramah.
Adapun secara umum teks ini menceritakan tentang wejangan Dewa
Siwa (Sanghyang Jagatpati) di Siwaloka, pada bulan kartika, mengadakan
pertemuan dengan putra-putra-Nya kemudian mewejangkan tentang upacara Pitra
Yadnya dari tingkatan nista, madya, hingga yang utama. Upacara yang
diterangkan diantaranya adalah; ngaben, nyekah, memukur, maligia, dan angluer.
Kemudian setelah itu diajarkan dan menitahkan juga tentang Manusa Yadnya,
Butha Yadnya, dan Dewa Yadnya hingga wariga/ astronomi.
Adapun Manusa Yadnya diantaranya yaitu; magedong-gedongan,
miyaksih, macolongan, mapetik, ototnan, matatah, pernikahan, madudus agung,
dan mapodgala. Kemudian Butha Yadnya diantaranya; Macaru, Sabuh rah,
Tawur Eka dasa Rudra, Otonan untuk senjata, binatang, dan tumbuh-tumbuhan.
Dewa Yadnya diantaranya sebagai berikut: Galungan dan Kuningan, Ngusaba
Desa, Pagerwesi, Sugihan, dan Nyepi.
Sebagai suatu naskah suci yang usianya sudah sangat tua, dan sebagai
kitab hasil olah para bijaksana terdahulu yang disesuaikan dengan desa, kala, dan
patra namun ternyata isinya tidaklah kontradiksi dengan kitab Veda, hal itu
ditunjukkan dengan adanya nilai ketuhanan yan termuat dalam teks ini dan dapat
ditemui juga dalam kitab suci Veda diantaranya yaitu Tuhan itu Esa, Tuhan ada
dimana-mana, Tuhan sebagai sumber segalanya, Tuhan transenden dan imanen,
Tuhan Yang Maha Gaib, hingga Tuhan sebagai penguasa penjuru.
DAFTAR PUSTAKA
Donder, I Ketut, 2007. Kosmologi Hindu Penciptaan, Pemeliharaan, dan
Peleburan Serta Penciptaan Kembali Alam Semesta. Surabaya: Pāramita.
Donder, I Ketut, 2006. Brahmavidyā : Teologi Kasih Semesta & Kritik Terhadap
Epistemologi Teologi, Klaim Kebenaran, Program Misi, Komparasi
teologi, dan Konversi. Surabaya: Pāramita.
Jalaluddin, 2015. Psikologi Agama: Memahami Perilaku dengan
Mengaplikasikan Prinsip-Prinsip Psikologi. Jakarta: Rajawali Pers.
Maswinara, I Wayan, 1999. Veda Śruti Ŗg Veda Samhitā (Sākala Śākhā) Resensi
Dari Śākala Maņdala I, II, III. Surabaya: Pāramita.
Naskah Lontar Siwa Tattwa Purana.
Pudja, G., dan Tjokorda Rai Sudharta, 2004. Mānava Dharmaśāstra (Manu
Dharmaśāstra) atau Veda Smŗti Compedium Hukum Hindu. Surabaya:
Pāramita.
Titib, I Made, 1996. Veda Sabda Suci Pedoman Praktis Kehidupan. Surabaya:
Pāramita.
Titib, I Made, 2003. Teologi dan Simbol-Simbol dalam Agama Hindu. Surabaya:
Pāramita.