kajian asap cair sebagai pengawet pada buah panenan (asap cair)
DESCRIPTION
NiningTRANSCRIPT
Kajian Asap Cair sebagai pengawet pada buah panenan
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Salah satu ciri dari komoditi hortikultura panenan adalah produk tersebut sebagian besar
dikonsumsi dalam keadaan masih segar. Hal ini berbanding terbalik dengan sifat komoditi
panenan tersebut yaitu mudah rusak (Perishable).
Kerusakan pada komoditi hortikultura panenan baik itu buah-buahan maupun sayuran dapat
disebabkan oleh berkurangnya cadangan makanan (karbohidrat) pada organ panenan tersebut
karena digunakan untuk melakukan proses respirasi atau metabolisme lainnya yang menandakan
bahwa organ panenan tersebut masih hidup.
Kehilangan dalam jumlah dan mutu terjadi cukup besar pada produk panenan hortikultura dari
saat panen hingga pada saat konsumsi. Kisaran kehilangan pasca panen buah segar dan sayuran
diperkirakan mencapai 5-25% pada negara-negara maju dan 20-50% pada negara-negara sedang
berkembang (Santoso, 2005). Sehingga diperlukan upaya pengelolaan pasca panen untuk
mempertahankan kesegaran dan memperpanjang masa simpan produk panenan tersebut. Namun
sangat disayangkan saat ini banyak hasil buah-buahan terbuang begitu saja karena kurang hati-
hati dalam penanganan pasca panen. Akibatnya terjadi kerusakan mekanis, fisiologis, dan
mikrobiologis.
Upaya yang telah dilakukan untuk mempertahankan kesegaran dan memperpanjang masa simpan
mutu buah adalah dengan memberikan perlakuan pelapisan buah. Biasanya digunakan fungisida
untuk menunda timbulnya penyakit. Penggunaan fungisida yang berlebihan mengakibatkan
peningkatan biaya produksi, resiko kesehatan petani dan konsumen, serta dapat merusak
lingkungan.
Kesadaran masyarakat akan pentingnya bahan pangan yang aman terhadap kesehatan dan
kelestarian lingkungan mendorong berkembangnya penelitian untuk menemukan alternatif cara
memperpanjang umur simpan serta menurunkan kehilangan hasil pasca panen. Upaya yang
dilakukan antara lain dengan menggunakan fungisida mudah terurai (biodegradable fungicide),
perlakuan panas, penyimpanan suhu rendah, pengemasan dan pemberian bahan pelapis serta
penggunaan asap cair digunakan untuk memperpanjang masa simpan dan mempertahankan mutu
buah.
Menurut wastono (2006) asap cair (liquid smoke) dari distilat tempurung kelapa dapat digunakan
sebagai pengawet karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil yang memiliki kemampuan
mengawetkan makanan. Asap cair dapat juga digunakan sebagai fungisida untuk
penanggulangan serangan patogen penyebab penyakit pasca panen hortikultura yang berperan
sebagai desinfektan untuk mencegah serangan penyakit pasca panen pada buah-buahan.
Asap cair mengandung lebih dari 400 komponen dan memiliki fungsi sebagai penghambat
perkembangan bakteri dan cukup aman sebagai pengawet alami. Selain itu juga memanfaatkan
limbah asap pada industri pembuatan arang tempurung kelapa menjadi asap cair akan menaikkan
nilai tambah bagi industry tersebut, nilai tambah bagi petani bahkan dapat mengatasi masalah
pencemaran lingkungan.
Bertitik tolak dari pemikiran tersebut perlu dilakukan kajian pustaka tentang Pemanfaatan Asap
Cair Tempurung Kelapa sebagai bahan pengawet buah panenan.
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan
Kajian ini bertujuan untuk mengkaji atau mempelajari pemanfaatan asap cair tempurung
kelapa untuk memperpanjang masa simpan hasil panenan buah-buahan.
Kegunaan
Kajian ini diharapkan dapat berguna sebagai informasi kepada para pembaca tentang
pemanfaatan asap cair tempurung kelapa dalam upaya memperpanjang masa simpan beberapa
hasil panenan buah-buahan serta sebagai bahan pertimbangan bagi para petani dalam memilih
bahan pengawet yang aman untuk kesehatan.
METODOLOGI
Jenis Penulisan
Tulisan ini disusun dan dimuat dalam bentuk analisa deskriptif berdasarkan hasil pengumpulan
data sekunder yang diperoleh dari berbagai hasil hasil penulusuran kajian pustaka sebelumnya.
Objek Kajian
Data atau informasi yang ditelusuri terkait dengan hasil panenan hortikultura dan asap cair dari
berbagai sumber tersebut berupa :
1. Penelusuran kajian yang terkait dengan Perubahan Fisiologi Komoditas Hortikultura Panenan
2. Penelusuran kajian yang terkait dengan asap cair yaitu kandungan Asap Cair, aplikasi asap cair,
pemanfaata n asap cair pada pasca panen dan standar mutu asap cair
Metode Pengumpulan Data
Dalam mengumpulkan data tulisan yang dikaji digunakan metode pengumpulan data sekunder
melalui penelusuran dari berbagai sumber informasi berupa Penelusuran melalui buku Literatur,
journal hasil penelitian, internet, hasil kuliah, konsultasi dengan pelaku usaha dan Konsultasi
dengan Dinas instansi terkait.
Hasil penelusuran tersebut diverifikasi dan dirangkum dalam sebuah tulisan yang diberi judul
“Pemanfaatan Asap Cair Tempurung Kelapa sebagai bahan pengawet buah panenan
HASIL dan PEMBAHASAN
Perubahan Fisiologi Komodoti Hortikultura Panenan
Menurut Santoso (2005) beberapa perubahan yang terjadi pada pematangan buah adalah
sebagai berikut :
a. Warna
Pada buah klimaterik kehilangan warna hijau sangat cepat setelah memasuki
titik awal pemasakan. Perubahan warna pada buah terjadi karena klorofil tidak
nampak dan terjadi sedikit pembentukan karoten.
b. Karbohidrat
Perubahan kuantitatif karbohidrat berkaitan dengan proses pemasakan,
perubahan terjadi akibat pemecahan polimer karbohidrat, khususnya perubahan
pati menjadi glukose (gula). Perubahan ini tentunya mempengaruhi rasa dan
tekstur buah. Peningkatan kadar gula cenderung menyebabkan rasa manis pada
buah. Oleh karena itu buah akan lebih dapat diterima oleh konsumen bilamana
perubahan ini telah terjadi pada saat buah tersebut dikonsumsi.
c. Gula Sederhana
Meskipun dalam sayuran dan buah-buahan terkandung banyak sekali jenis
gula, tetapi peruhahannya terutama hanya menyangkut tiga macam gula, yaitu
sukrosa, glukosa dan fruktosa.
d. Asam organik
Umumnya kandungan asam organik menurun selama pemasakan. Hal ini
disebabkan karena asam organik direspirasikan atau diubah menjadi gula.
Perkecualian bagi pisang dan nanas. Pada kedua buah tersebut kandungan asam
yang tinggi diperoleh pada stadia masak penuh, namun kandungan asam pada
kedua jenis buah ini tidak tinggi saat stadia perkembangan. Fenomena ini bertolak
belakang dengan fenomena yang terjadi pada jenis buah lainnya.
e. Aroma
Aroma memainkan peranan penting dalam perkembangan kualitas pada
bagian buah yang dapat dikonsumsi (edible portion). Aroma terjadi karena adanya
sintesis banyak senyawa organik yang bersifat mudah menguap (volatile) selama
fase pemasakan.
f. Lemak
TeIah diketahui bahwa meskipun dalam sayuran dan buah-buahan kadar
Iemaknya rendah, namun peranannya besar dalam hal tesktur, serta pembentukan
flavor dan pigmen buah.
g. Kadar Air
Air merupakan komponen yang sangat penting dalam bahan makanan, semua
bahan makanan mengandung air dalam jumlah yang berbeda-beda. Kandungan air
dalam makanan ikut menentukan kesegaran dan daya tahan bahan (Winarno,
1995).
h. Tekstur
Selama penyimpanan dan pemasakan, komoditas yang segar akan menurun
kesegarannya disebabkan oleh perubahan yang terjadi pada dinding sel dan lamella
tengah buah.
Komponen-komponen diatas sering dijadikan indicator dalam mengukur
sejauh mana pengaruh bahan pengawet pada produk pasca panen buah sehingga
penulis merasa perlu untuk mengajak para pembaca menelaah hal tersebut diatas.
Panen dan Penangan Pasca Panen Buah-Buahan
a. Panen
Pemanenan dilakukan terhadap buah-buah yang telah menunjukkan kriteria yang ditetapkan.
Penetapan ini sangat terkait dengan tujuan dan jarak pemasaran. Namun demikian, pemanenan
dilakukan pada kondisi matang optimal (Santoso, 2005).
b. Penanganan Pasca Panen
Langkah yang harus dilakukan dalam penanganan buah setelah dipanen meliputi pemilihan
(sorting), pemisahan berdasarkan ukuran (sizing), pemilihan berdasarkan mutu (grading), dan
pengepakan (packing). Namun demikian, untuk beberapa komoditi atau jenis buah tertentu
memerlukan tambahan penanganan seperti degreening, pencucian, penggunaan bahan kimia,
pelapisan (coating), dan pendinginan awal (pre-cooling) (Santoso, 2005)..
Penyakit Pascapanen Produk Buah-Buahan
Kehilangan hasil akibat busuk merupakan dasar dikembangkannya teknik-teknik
penanganan hasil bagi produk panenan hortikultura. Pengetahuan tentang organisme penyebab
penyakit dan komoditi inang serta teknik-teknik penanganan merupakan tiga hal yang saling
terkait bagi suksesnya upaya mempertahankan produk panenan tetap segar hingga sampai pada
konsumen. Praktek-praktek penanganan yang diterapkan atau dilakukan mungkin saja
berpengaruh terhadap kepekaan produk panenan terhadap penyebab penyakit. Hal ini karena
tingkat kematangan, pemasakan dan senescen (penuaan). Selain itu, bekas-bekas pemotongan,
luka memar ataupun lecet membuat kesempatan organisme penyebab penyakit akan lebih mudah
menginfeksi komoditi panenan tersebut. Kondisi tekanan (stress) akibat suhu tinggi atau rendah
memungkinkan menyebabkan perubahan dalam aspek fisiologis yang tentunya akan
memudahkan bagi berkembangnya organisme penyebab penyakit dan semakin pekanya komoditi
tersebut terhadap suatu jenis penyebab penyakit. Faktor-faktor utama bagi perkembangan
penyakit pasca panen komoditi hortikultura adalah inang (tanaman), penyebab penyakit
(microorganisme) dan lingkungan. Faktor lingkungan terdiri atas suhu, kelembaban relatif dan
komposisi atmosfir ruang simpan. Jadi terdapat tiga faktor utama yang sering juga dikenal
sebagai segi tiga penyakit (pathogen/microorganisme – inang - lingkungan). (Santoso, 2005)
Selanjutnya Santoso (2005) mengemukakan bahwa jenis penyakit pasca panen
parasiter merupakan penyakit-penyakit produk panenan yang disebabkan oleh
patogen seperti jamur, bakteri dan virus. Penyakit parasit pasca panen dapat
merupakan penyakit yang memang terjadi atau proses infeksi patogen terjadi pada
saat komoditi telah dipanen. Namun dapat juga telah terjadi infeksi pada saat di
lapang (sebelum dipanen), hanya saja patogen pada saat itu dalam keadaan
dorman, dan setelah panenan serta kondisi mendukung bagi berkembangnya atau
aktifnya patogen tersebut, barulah terjadi perkembangan penyakit yang ditandai
terlebih dahulu dengan adanya tanda-tanda penyakit (sympton).
Asap Cair
Asap cair adalah kondensat komponen asap yang dapat digunakan untuk menciptakan flavor
asap pada produk (Whittle dan howgate, 2002). Asap cair sudah dibuat pada akhir tahun 1800-
an, tetapi baru sepuluh sampai lima belas tahun belakangan digunakan secara komersial pada
industry pengasapan ikan (Moody dan Flick, 1990). Asap cair pertama kali diproduksi pada
tahun 1980 oleh sebuah pabrik farmasi di Kansas City, dikembangkan dengan metode distilasi
kayu asap (Pszczola, 1995).
Asap cair diproduksi dengan cara pembakaran tidak sempurna yang melibatkan reaksi
dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa organic dengan berat molekul rendah karena
pengaruh panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerisasi, dan kondensasi (Girrard, 1992).
Media pendingin yang digunakan pada kondensor adalah air yang dialirkan melalui
pipa inletyang keluar dari hasil pembakaran tidak sempurna kemudian dialirkan melewati
kondensor dan dikondensasikan menjadi distilat asap (Hanendoyo, 2005).
Destilasi dan Penyaringan Asap Cair
Asap cair yang diperoleh dari tahap pirolisis atau grade 3 masih mengandung kadar tar dan
benzonpiren tinggi sehingga belum aman diaplikasikan untuk pengasapan dan pengawet
makanan. Asap cair grade 3 tersebut memerlukan proses lebih lanjut untuk meningkatkan mutu
asap cair menjadi grade 2 dan 1 agar aman diaplikasikan untuk makanan dengan tahap
permunian destilasi, kemudian penyaringan dengan karbon aktif dan zeolit.
Destilasi merupakan proses pemisahan komponen dalam campuran berdasarkan perbedaan titik
didihnya, atau pemisahan campuran berbentuk cairan atas komponennya dengan proses
penguapan dan pengembunan sehingga diperoleh destilat dengan komponen-komponen yang
hampir murni. Destilasi adalah suatu proses pemisahan suatu komponen dari suatu campuran
dengan menggunakan dasar bahwa beberapa komponen dapat menguap lebih cepat daripada
komponen yang lainnya. Ketika uap diproduksi dari campuran, uap tersebut lebih banyak berisi
komponen-komponen yang bersifat lebih volatil, sehingga proses pemisahan komponen-
komponen dari campuran dapat terjadi (Earle dalam Astuti, 2000).
Dalam pembuatan asap cair, distilasi bertujuan untuk memisahkan tar yang bersifat karsinogenik.
Suhu yang dibutuhkan pada destilasi tidak setinggi pada pirolisis. Suhu sekitar 150oC – 200oC
sudah cukup untuk menghasilkan asap cair yang bagus. Destilasi sederhana dilakukan secara
bertahap, sejumlah campuran dimasukkan ke dalam sebuah reaktor destilasi, dipanaskan
bertahap dan dipertahankan selalu berada dalam tahap pendidihan kemudian uap yang terbentuk
dikondensasikan dan ditampung dalam derigen plastik. Produk destilat yang pertama kali
tertampung mempunyai kadar komponen yang lebih ringan dibandingkan destilat yang lain.
Komponen-komponen dominan yang mendukung sifat-sifat fungsional dari asap cair adalah
senyawa fenolat, karbonil dan asam.
Asap cair yang diperoleh dari tahap destilasi pertama atau grade 2 dapat digunakan untuk
pengawet ikan pengganti formalin, namun untuk diaplikasikan sebagai alternatif pengganti
pengawet makanan dengan taste asap yang rendah atau langsung digunakan sebagai pelarut
adonan diperlukan tahap lebih lanjut penyaringan dengan zeolit dan karbon aktif.
Zeolit merupakan senyawa aluminosilikat terhidrasi yang memiliki kerangka struktur tiga
dimensi (3D), mikroporous, dan merupakan padatan kristalin dengan kandungan utama silikon,
aluminium, dan oksigen serta mengikat sejumlah tertentu molekul air didalam porinya (Bambang
Setiaji, 2000).
Karbon aktif adalah karbon yang diproses sedemikian rupa sehingga pori – porinya terbuka,
dan dengan demikian akan mempunyai daya serap yang tinggi. Karbon aktif merupakan karbon
yang akan membentuk amorf, yang sebagian besar terdiri dari karbon yang bebas serta memiliki
permukaan dalam ( internal surface ), sehingga mempunyai daya serap yang baik. Keaktifan
menyerap dari karbon aktif ini tergantung dari jumlah senyawa karbonnya yang berkisar antara
85 % sampai 95 % karbon bebas, karbon aktif dapat digunakan sebagai bahan pemucat, penyerap
gas, penyerap logam, menghilangkan polutan micro misalnya zat organik, detergen, bau,
senyawa phenol dan lain sebagainya (DeMarco, 1998)
Tahapan-tahapan penyaringan sebagai berikut: Proses Pemurnian asap cair
Pemurnian asap cair bertujuan untuk meminimalisir jumlah tar pada asap cair. Proses tersebut
dapat dilakukan dengan proses distilasi seperti yang telah dijelaskan diatas. Namun asap cair
yang baru keluar dari distilasi masih belum langsung dapat digunakan sebagai pengawet
makanan. Karena masih ada proses yang harus dilalui. Filtrasi dengan Zeolit Aktif
Tujuan penyaringan distilat menggunakan zeolit adalah untuk memperoleh asap cair yang benar-
benar bebas dari zat berbahaya seperti benzopyrene. Caranya dengan mengalirkan asap cair
distilat kedalam kolom zeolit aktif sehingga diperoleh filtrat asap cair yang benar-benar aman
dari zat berbahaya seperti benzopyrene. Filtrasi dengan Karbon aktif
Filtrasi dengan Karbon aktif bertujuan untuk mendapatkan filtrat asap cair dengan bau asap yang
ringan dan tidak menyengat. Caranya dengan mengalirkan filtrat hasil filtrasi zeolit aktif
kedalam kolom yang berisi karbon aktif sehingga diperoleh asap cair dengan bau yang ringan
dan tidak menyengat. sehingga, sempurnalah asap cair yang diperoleh sebagai pengawet
makanan.
Mekanisme Penyaringan Menggunakan Zeolit Aktif
Zeolit bersifat adsorben karena memiliki struktur berongga -rongga, sehingga senyawa tar dan
benzopiren yang terdapat dalam asap cair saat dilewati penyaring zeolit aktif akan terjebak di
dalam rongga zeolit, disini zeolit mampu menyerap sejumlah besar molekul yang berukuran
lebih kecil atau sesuai dengan ukuran rongganya. Sedangkan asap cair yang molekulnya jauh
lebih kecil dapat melewati rongga dari zeolit keluar sebagai filtrat yang bebas senyawa tar dan
benzopiren, dan zeolit juga dapat melepaskan molekul air dari dalam permukaan rongga
sehingga menyebabkan medan listrik meluas ke dalam rongga utama yang menyebabkan
terjadinya interaksi saling mengikat antara zeolit dengan senyawa tar dan benzopiren (Bambang
Setiaji,2000).
Mekanisme Penyaringan Karbon Aktif
Karbon aktif memiliki permukaan karbon yang luas dan struktur berongga karena berbentuk
granula, sehingga senyawa aromatis yang memilki ukuran molekul yang sama atau lebih kecil
dari rongga dapat diadsorpsi saat penyaringan, dengan cara menjebak senyawa aromatis didalam
rongga tersebut. Dan sifat kepolaran yang sama antara karbon aktif dengan senyawa aromatis
juga menyebabkan terjadinya interaksi saling mengikat, senyawa aromatis yang terjebak akan
menyebabkan kandungannya dalam filtrat asap cair setelah dilewati karbon aktif akan berkurang,
sehingga diperoleh asap cair dengan aroma asap dan rasa asam yang netral (DeMarco, 1998).
Kandungan Asap Cair
Penelitian mengenai komposisi asap dilakukan pertama kali oleh Pettet dan Lana tahun
1940 (Girrard, 1992), bahwa senyawa kimia yang terdapat dalam asap kayu jumlahnya lebih dari
1000, 300 senyawa diantaranya dapat diisolasi dan yang sudah dideteksi antara lain: fenol 85
macam telah diidentifikasikan dalam kondensat dan 20 macam dalam asap, karbonil, keton dan
aldehid 45 macam dalam kondensat, asam 35 macam, furan 11 macam. Alkohol dan ester 15
macam, lakton 13 macam, hidrokarbon alifatik 1 macam dalam kondensat dan 20 macam dalam
produk asap. Komposisi kimia asap cair dapat dilihat pada Tabel 2.Tabel 1. Komposisi Kimia Asap Cair
Komposisi Kimia Kandungan (%)
Air 11-92
Fenol 0,2-2,9
Asam 2,8-4,5
Karbonil 2,6-4,6
Ter 1-17
Sumber: Maga (1988)
Zaitsev et al. (1969) mengemukakan bahwa asap mengandung beberapa zat antimikroba, antara
lain:
a. Asam dan turunannya: format, asetat, butirat, propionat, metal ester.
b. Alkohol: metal, etil, propil, alkil, dan isobutil alkohol.
c. Aldehid: formaldehid, asetaldehid, furfural, dan metal furfural.
d. Hidrokarbon: silene, kumene, dan simene.
e. Keton: aseton, metal etil keton, metil propil keton, dan etil propil keton.
f. Fenol
g. Piridin dan metal piridin.
Senyawa-senyawa alkohol, aldehid, keton, asam organik termasuk furfural, formaldehid
merupakan bahan pengawet yang sudah dikenal sedangkan fenol, quinol, quicol dan pirogalol
merupakan bagian dari 20 jenis senyawa-senyawa antioksidan dan antiseptik (Moeljanto, 1982).
Aplikasi Asap Cair
Tujuan pengasapan pada awalnya hanya untuk pengawetan bahan makanan, namun dalam
pengembangannya berubah, yaitu menghasilkan produk dengan aroma tertentu, meningkatkan
cita rasa, memperbaiki penampilan dan meningkatkan daya simpan produk yang diasap (Girrard,
1992).
Mekanisme senyawa fenol dalam membunuh mikroba adalah reaksi antara asam fenoleat
dengan protein (dalam hal ini mikroba). Pada kondisi enzimatis dengan adanya enzim fenolase
yang bekerja secara alami pada pH netral, asam fenoleat dioksidasi menjadi kuinon yang dapat
bereaksi dengan lisin dari protein yang menyebabkan protein tersebut tidak dapat digunakan
secara biologis (Hurrell, 1984).
Pengasapan cair lebih mudah diaplikasikan karena konsentrasi asap cair dapat dikontrol agar
member flavor dan warna yang sama dan seragam. Asap cair telah disetujui banyak negara untuk
digunakan pada bahan pangan dan sekarang ini banyak digunakan pada produk daging (Eklund,
1982). Pengasapan cair dilakukan dengan merendam produk pada asap yang sudah dicairkan
melalui proses pirolisis. Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan larutan
asap, baik asap cair alami ataupun sintetik (Maga, 1988).
Penggunaan asap cair menurut Pearson dan Tauber (1973), pada pembuatan makanan
yang diasap adalah dengan cara:
a. Mencampur secara langsung ke dalam bahan makanan.
b. Pencelupan
c. Pemercikan cairan (spraying).
d. Penyemprotan kabut asap cair ke dalam ruang pengasapan (atomizing).
e. Asap cair diuapkan dengan cara meletakkan asap cair tersebut di atas permukaan yang panas.
Saat ini asap cair yang beredar di pasaran adalah asap cair yang telah dipisahkan dari
komponen tar. Di dalam tar terkandung senyawa Polisiklik Aromatik Hidrokarbon (PAH) yang
karsinogenik terhadap manusia. Cara pemisahan komponen tar dari asap cair dilakukan dengan
cara mengekstrak kondensat hasil pirolisis dengan menggunakan pelarut antara lain gugus CO,
propane, metana, etilen, methanol, air dan campuran dari satu atau lebih komponen tersebut
(Plaschke, 2002).
Pengasapan cair dilakukan dengan merendam produk pada asap yang sudah dicairkan melalui
proses pirolisis. Pengasapan dengan cara ini dilakukan dengan menggunakan larutan asap, baik
asap cair alami ataupun sintetik (Maga, 1988).
Pemanfaatan Asap Cair pada Pasca Panen
Kuntjahjawati dan Darmaji (2001) menyatakan bahwa pemakaian asap cair mempunyai
banyak keuntungan. Yaitu (1) selama pembuatan asap cair, senyawa PAH dapat dipisah, (2)
konsentrasi pemakaian asap cair dapat diatur dan dikontrol serta kualitas produk akhir menjadi
lebih seragam, (3) biaya pengasapan menjadi lebih rendah dibandingkan dengan cara
konvensional, dan (4) pemakaian asap cair lebih mudah yaitu dengan cara direndam atau
disemprotkan serta (5) mencampurkan langsung ke dalam bahan pangan.
Menurut Wastono (2006), asap cair (liquid smoke) dapat digunakan sebagai pengawet
karena adanya senyawa asam, fenolat dan karbonil yang memiliki kemampuan mengawetkan
bahan makanan seperti daging, ikan, mie, dan bakso.
Asap cair dapat juga digunakan sebagai fungisida untuk penanggulangan serangan
patogen penyebab penyakit pasca panen hortikultura yang berperan sebagai disinfektan untuk
menjamin buah-buahan atau sayuran dari serangan penyakit pasca panen.
Standar Mutu Asap Cair
Asap cair yang digunakan untuk pengawet bahan pangan harus bebas dari senyawa-senyawa
berbahaya seperti hidrokarbon aromatik polisiklik (polycyclic aromatic hydrocarbon) atau PAH.
Menurut Anonymous (2009), senyawa PAH dapat bersifat karsinogenik. Diantara senyawa-
senyawa PAH, yang sering digunakan sebagai indikator tingkat keamanan PAH
adalahbenzopyrene karena paling tinggi sifat karsinogeniknya. Di beberapa negara seperti
Jerman telah menetapkan bahwa batas maksimum bezopyrene dalam produk adalah 1 ppb
(Anonymous, 2009). Selain bebas dari senyawa-senyawa berbahaya, asap cair yang digunakan
sebagai pengawet bahan pangan haruslah memiliki flavor yang dapat diterima konsumen
(Siroriri, 2010). Menurut Siroriri, Asap cair dibagi menjadi 3 grade yaitu :
Asap cair grade 3
Asap cair grade 3 tidak dapat digunakan untuk pengawet makanan, karena masih banyak
mengandung tar yang karsinogenik. Asap cair grade 3 tidak digunakan sebagai pengawet bahan
pangan, tetapi digunakan pada pengolahan karet penghilang bau dan pengawet kayu biar tahan
terhadap rayap.
Asap cair grade 2
Asap cair digunakan untuk pengawet makanan sebagai pengganti formalin
dengantaste Asap (daging Asap, Ikan Asap / bandeng Asap) berwarna kecoklatan transparan,
rasa asam sedang, aroma asap lemah.
Asap cair grade 1
Asap cair grade 1 digunakan sebagai pengawet makanan seperti bakso, mie, tahu, bumbu-
bumbu barbaque, berwarna bening, rasa sedikit asam, aroma netral, merupakan asap cair yang
paling bagus kualitasnya dan tidak mengandung senyawa yang berbahaya lagi untuk
diaplikasikan untuk produk makanan.
Mekanisme Asap Cair dalam Mengawetkan Makanan
Asap cair mengandung komponen-komponen yang bersifat bakteristatis dan bakterisidal
yang dapat berperan sebagai bahan pengawet. Hal ini dapat terjadi jika asap mengendap pada
permukaan atau meresap ke dalam bahan yang diasap (Winarno, 1980). Senyawa yang sangat
berperan sebagai antimikrobial adalah senyawa fenol dan asam asetat, dan peranannya semakin
meningkat apabila kedua senyawa tersebut ada besama-sama (Darmadji, 1995).
Selain fenol, senyawa aldehid, aseton dan keton juga memiliki daya bakteriostatik dan
bakteriosidal pada produk asap. Girrard (1992) menyatakan bahwa asap dalam bentuk cair
berpengaruh terhadap keseluruhan jumlah asam dalam kondensat asap, yaitu mencapai 40%
dengan 35 jenis asam. Kandungan asam yang mudah menguap dalam asap akan menurunkan pH,
sehingga dapat memperlambat pertumbuhan mikroorganisme (Buckle et al., 1985). Menurut
Haris dan Karmas (1989), kerja bakteriosidal dari pengasapan adalah faktor nyata dalam
perlindungan nilai gizi produk yang diasap terhadap kerusakan biologis.
Fenol selain bersifat bakteriosidal juga sebagai antioksidan. Sifat ini terutama pada senyawa
fenol dengan titik didih tinggi, seperti 2,6-dimethoksi fenol, 2,6-dimethoksi-4-metil fenol dan
2,6-dimethoksi-4-ethyl fenol (Pearson dan Tauber, 1973). Senyawa-senyawa fenolat lainnya
yang terdapat dalam asap dan memperlihatkan aktivitas oksidatif adalah pirokathkol,
hidrokuinon, guaiakol, eugenol, isoeugenol, vanillin, salisilaldehid, asam 2-hidroksibenzoat, dan
senyawa-senyawa tersebut hampir semuanya bersifat larut dalam eter (Maga, 1988; Fiddler et
al., 1970).
Senyawa fenol dengan titik didih rendah memiliki sifat antioksidan yang agak rendah.
Aktivitas antioksidan dari komponen asap adalah sifat yang penting dalam melindungi
penyusutan nilai gizi produk yang diasap sehingga dapat menghambat kerusakan pangan dengan
cara mendonorkan hidrogen sehingga efektif dalam jumlah sangat kecil untuk menghambat
autooksidasi lemak, sehingga dapat mengurangi kerusakan pangan karena oksidasi lemak oleh
oksigen. Dan kandungan asam pada asap cair juga sangat efektif dalam mematikan dan
menghambat pertumbuhan mikroba pada produk makanan yaitu dengan cara senyawa asam ini
menembus dinding sel mikroorganisme yang menyebabkan sel mikroorganisme menjadi lisis
kemudian mati, dengan menurunnya jumlah bakteri dalam produk makanan maka kerusakan
pangan oleh mikroorganisme dapat dihambat sehingga meningkatkan umur simpan produk
pangan.
Asap Cair Sebagai Pengawet Produk Buah–Buahan
Hasil penelitian mengenai pemanfaatan asap cair untuk Memperpanjang masa simpan
produk buaha-buahan belum banyak dilakukan peneliti. Penelitian asap cair tempurung kelapa
untuk pengawetan produk buah pepaya telah dilakukan oleh Budiajanto, et.al, 1997, Metode
penelitian, mengambil sampel industri pengolahan arang tempurung kelapa ”Wulung Prima” di
Ciampea Bogor untuk dilakukan identifikasi komponen asap cair dan melakukan uji aktifitas
antibakteri dan kapang pada penyakit antraknosa; serta mengkaji pemanfaatan asap cair sebagai
disinfektan untuk memperpanjang masa simpan buah pepaya.
Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa modifikasi sistem produksi asap cair
mampu meningkatkan produksi asap cair dari 1,7 liter/jam menjadi 3,5 liter/jam. Dari hasil
spektra kromatografi gas, senyawa dominan dari asap cair tempurung kelapa tersebut adalah
senyawa-senyawa fenolik. Empat senyawa dengan area terbesar adalah senyawa phenol,
Pyrogallol 1,3-dimethyl ether 15,64%, 2-Methoxy-p-cresol 11,53%, Pyrogallol trimethyl ether
8,65%, dan p-Ethylguaicol 6,58%. Tidak ditemukan senyawa-senyawa PAH, formaldehyde,
termasuk Benzopyren pada asap cair yang diuji. Kandungan LD50 pada asap cair lebih besar dari
15000 mg/kg BB dan dikategorikan sebagai bahan yang tidak toksik. Pada uji aktivitas
antimikroba dan kapang menunjukkan asap cair dengan konsentrasi 1% sudah dapat
menghambat pertumbuhan bakteri dan kapang. Perlakuan konsentrasi asap cair dan pelilinan
pada pepaya memberikan pengaruh yang berbeda nyata pada susut bobot, penurunan kekerasan,
total padatan terlarut dan total kapang. Pelilinan memberikan pengaruh berbeda nyata terhadap
laju susut bobot, perubanan nilai kekerasan, perubahan nilai total padatan terlarut namun belum
memberikan pengaruh nyata pada total kapang. Konsentrasi asap cair 1% dikombinasikan
dengan pelilinan memberikan hasil terbaik dalam mempertahankan mutu buah pepaya.
Dari hasil penelitian tersebut terlihat bahwa dengan inovasi berupa modifikasi system
produksi ternyata mampu meningkatkan produksi asap cair 2 kali lipat dibandingkan system
produksi konvensional,
Hasil penelitian tersebut juga menunjukkan bahwa dalam asap cair tempurung kelapa
ditemukan senyawa Fenolik yang menurut para ahli dapat menjadi desinfektan yang berperan
menekan pertumbuhan mikroorganisme penyebab penyakit pasca panen buah. Selain itu dapat
diketahui bahwa asap cair yang digunakan tidak ditemukan senyawa PAH yang bersifat toksik
bagi konsumen.
Hasil penelitian tersebut paling tidak memberikan gambaran bahwa asap cair tempurung
kelapa berpeluang untuk dijadikan sebagai alternative bahan pengawet alami dalam
mempertahankan mutu buah panenan, meskipun masih harus dikombinasi dengan pelilinan.
Penelitian pemanfaatan asap cair masih harus dilanjutkan pada produk buah panenan lainnya
seperti pisang dan produk buah lainnya. Penelitian sejenis masih harus dilakukan terhadap
indikator lain seperti aroma dan citarasa.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Bertitik tolak dari tujuan kajian ini dan berdasarkan hasil penelusuran pustaka dapat
dikemukakan beberpa kesimpulan sebagai berikut :
1. Asap cair tempurung kelapa dapat dimanfaatkan sebagai bahan pengawet buah terutama dalam
menekan perkembangan mikroorganisme penyebab penyakit pasca panen buah sehingga dapat
memperpanjang masa simpan buah khususnya pepaya.
2. Senyawa PAH tidak ditemukan pada asap cair yang telah diproses lanjut dengan penyaringan
karbon aktif dan zeolit aktif (asap cair grade 3).
Saran – Saran
Berdasarkan uraian diatas dikemukakan beberapa saran yaitu :
1. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui peluang pemanfaatan asap cair sebagai pengawet
produk buah panenan selain pepaya.
2. Perlu penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh aplikasi (cara aplikasi dan konsentrasi)
asap cair terhadap indikator-indikator lain misalnya terhadap citarasa dan aroma pada produk
buah panenan.
DAFTAR PUSTAKAAshari, Sumeru. 2004. Biologi Reproduksi Tanaman Buah-buahan Komersial. Bayumedia Publishing.
Malang.
Asrorudin. 2004. Pemanfaatan Asap Cair pada pasca Panen.http://eternalmovement.blogspot.com/2004/08/likopensebagaisenyawa fitonutrien.html/ . Diakses Pada tanggal 23 April 2011.
Buckle, K. A., R. A. Edwards, G. H. Fleet dan M. Wooton. 1985. Ilmu Pangan. Terjemahan H. Purnomo dan Adiono. Indonesian University Press. Jakarta.
Darmadji, P. 1995 Produksi Asap Cair dan Sifat-Sifat Fungsionalnya. Fakultas Teknologi Pangan, Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta
Firdaus, Miftahul. 2005. Pengolahan dan Pemasaran Hasil Hortikultura.http://miftakhulfirdaus.wordpress.com/2011/03/28/pasca-panen-pengolahan-dan-pemasaran-hasil-pisang/. Diakses pada tanggal 24 Maret 2011.
Hanendoyo, C. 2005. Kinerja Alat Ekstraksi Asap Cair dengan Sistem Kondensasi. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Harris, R. S.dan E. Karmas. 1989. Evaluasi Gizi dan Pengolahan Pangan. Terjemahan Achmadi S., Bandung Technology Institute Press. Bandung
Martoredjo, Toekidjo. 1983. Ilmu Penyakit Lepas Panen. Ghalia Indonesia. Yogyakarta.
Moeljanto. 1982. Pengasapan dan Fermentasi Ikan Buku. PT. Penebar Swadaya IKAPI. Jakarta
Online Ensiklopedi. 2007. www.wikipedia.comPantastico, ER.B. 2006. Fisiologi Pasca panen, penanganan dan Pemanfaatan Buah- Buahan dan
Sayuran Tropik dan Sub Tropik. Diterjemahkan oleh Karmayani dan G. Tjitrosupomo. Gajah Mada Univ. Press. Yogyakarta.
Santoso, B.B. 2005. Bahan Ajar Pasca Panen Hortikultura. www.fapertaunram.ac.id/ . diakses pada tanggal 5 Maret 2011.
Wastono. 2006. Kajian Sistem Produksi Destilat Asap Tempurung Kelapa dan Aplikasinya sebagai Disinfektan untuk Memperpanjang Masa Simpan Buah Pisang. Institut Pertanian Bogor. Bogor
Winarno, F. G. dan M. A. Wirakartakusumah. 1981. Fisiologi Lepas Panen. Sastra Hudaya. Jakarta