kacamata driyarkara : paham radikalisme dan kaum muda di
TRANSCRIPT
1
Kacamata Driyarkara adalah program kerja Kementerian Sosial Politik Badan Eksekutif Mahasiswa
Universitas Sanata Dharma 2021 berupa kajian yang berisi pemikiran-pemikiran atas isu-isu
kontemporer di bidang sosial dan politik yang dikaji dari perspektif BEM USD Selamat membaca!
Kacamata Driyarkara :
Paham Radikalisme dan Kaum Muda di Indonesia
Bernardin Chrisnaning Widowati
Benedicta Dyah Ayu Wulandari
Eugenia
Rainja Lois
Kementrian Sosial Politik BEM USD 2021
Radikalisme bisa didefinisikan sebagai upaya untuk melakukan perubahan sosial
dengan jalan kekerasan. Paham ini memiliki keyakinan akan satu tujuan yang dianggap benar.
Dalam artian bahasa, radikalisme adalah aliran yang menginginkan suatu perubahan atau
pembaharuan sosial maupun politik dengan cara kekerasan atau aksi drastis. Pada dasarnya,
radikalisme mengusung perubahan. Namun, radikalisme juga bisa diartikan sebagai suatu sikap
yang ekstrim dan revolusioner untuk memperjuangkan perubahan dari arus utama yang dianut
masyarakat.1
Ketua umum Dewan Masjid Indonesia, Dr. dr. KH. Tarmidzi Taher, mengemukakan
pengertian radikalisme dari segi politik. Menurut beliau, radikalisme memiliki makna tajdid
(pembaharuan) dan islah (perbaikan) yang menunjukkan suatu jiwa perubahan menuju
kebaikan. Dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, para pemikir radikal dianggap sebagai
seorang pendukung reformasi jangka panjang.2 Lebih lanjut, menurut pengamat terorisme,
Ridwan Habib, pemerintah seharusnya melakukan identifikasi kelompok dan gerakan yang
dianggap radikal. Hal ini dilakukan agar ada batasan yang jelas antara kelompok yang dapat
dikategorikan bergerak dengan paham radikalisme. Saat ini batasan radikalisme sendiri belum
1 Dina, A. (2019). Paham Radikalisme Di Indonesia Menurut Ideologi Pancasila. 2 Dosenpendidikan. (2021, January 4). Home. DosenPendidikan.Com.
https://www.dosenpendidikan.co.id/pengertian-radikalisme/. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:15
WIB)
2
jelas. Hal ini terlihat dari beragam definisi radikalisme yang justru menimbulkan kerancuan.3
Meskipun demikian, dari banyaknya definisi radikalisme, bisa ditarik kesimpulan bahwa
radikalisme merupakan suatu paham yang mengusung suatu perubahan, baik negatif ataupun
positif.
Menurut Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), ada 4 kriteria radikal
yang harus dipahami. Pertama, adalah sikap intoleran. Dalam hal ini semua orang yang tidak
sejalan dengannya dianggap salah. Kedua, adalah konsep takfiri dalam masyarakat. Takfiri
adalah sebutan bagi seorang Muslim yang menuduh Muslim lainnya sebagai seorang kafir atau
murtad. Ketiga, adalah menolak Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Direktur
Deradikalisasi BNPT, Prof. Irfan Idris, menyatakan bahwa Indonesia bukanlah negara agama,
tapi negara orang beragama. Keempat, adalah seseorang yang menolak Pancasila. Pancasila
adalah pedoman yang mendasari berdirinya tanah air dan tak dapat dipisahkan dari NKRI.
Namun, patut disayangkan karena sebagian orang justru membenturkan pemahaman agama
dengan negara. Hal ini menjadi salah satu faktor yang dapat menimbulkan konflik di tengah
masyarakat. 4
Landasan Hukum Radikalisme
Indonesia sebagai negara hukum ditegaskan pada Pasal 1 Ayat (3) amandemen ketiga
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945), yang
menyatakan bahwa semua orang harus diperlakukan sama di hadapan hukum. Maka dari itu,
para pelaku radikalisme harus menerima konsekuensi hukum atas apa yang ia perbuat.5
Jika ditinjau dari undang-undang yang berlaku di Indonesia, hukum lebih mengarah
pada penegakan hukum para pelaku terorisme, bukan penganut paham radikalisme. Menurut
Perpu Nomor 1 Tahun 2003 (sekarang menjadi Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003)
tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, disebutkan bahwa tindak pidana terorisme
adalah setiap tindakan dari seseorang yang dengan segaja menggunakan kekerasan atau
ancaman kekerasan yang menimbulkan suasana teror atau rasa takut terhadap publik secara
luas. Nikmah (2016) menyebutkan, terorisme adalah kejahatan yang dilakukan dengan cara
merampas kemerdekaan atau menghilangkan nyawa dan harta benda orang lain atau
menghancurkan objek-objek vital yang strategis atau fasilitas publik/internasional tersebut,
bahkan dapat menimbulkan korban yang bersifat massal.6 Tindak pidana terorisme dalam
hukum pidana Indonesia telah diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Buku II
tentang Kejahatan, pada Bab I tentang Kejahatan terhadap Keamanan Negara, Bab VII tentang
3 Aminah, A. N. (2019, November 4). Pemerintah Diimbau Identifikasi Batasan Kelompok Radikal. Republika
Online. https://nasional.republika.co.id/berita/q0g2w3384/pemerintah-diimbau-identifikasi-batasan-kelompok-
radikal. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:29 WIB)
4 Mudassir, R. (2019, November 5). Ini 4 Kriteria Radikal yang Harus Dipahami, Menurut BNPT: Kabar24.
Bisnis.com. https://kabar24.bisnis.com/read/20191105/15/1167259/ini-4-kriteria-radikal-yang-harus-dipahami
menurut-bnpt. (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 21:34 WIB) 5 Jamil, M. (2017). Hukum dan Radikalisme Agama di Indonesia. Nusantara IKPMDI.
https://osf.io/3k7gf/download. 6 Nikmah, K. (2016). Hukuman Pelaku Tindak Pidana Terorisme Dalam Perspektif Hukum Positif di Indonesia
dan Hukum Pidana Islam (thesis). Universitas Islam Negeri Sunan Ampel, Surabaya.
3
Kejahatan yang Membahayakan Keamanan Umum bagi Orang atau Barang, dan pada Bab
XXVII tentang Penghancuran atau Pengerusakan Barang.7
Saat ini, landasan hukum terkait radikalisme dapat dikatakan masih lemah. Staf Ahli
Kepala Kepolisian Republik Indonesia Bidang Sosial dan Budaya, Inspektur Jenderal Polisi
Saud Nasution, mengatakan bahwa penegakan hukum yang dilakukan oleh polisi selama ini
belum maksimal karena dasar hukum yang belum jelas, sehingga mengakibatkan adanya
keraguan dalam menindak pelaku.
Sejarah Radikalisme
Pemikiran radikalisme yang menyimpang dapat ditilik dari pemikiran yang dilahirkan
oleh Ibnu Taimiyah, seorang pemikir Islam yang pertama kali menyerukan kekufuran terhadap
sejumlah organisasi dan ormas Islam. Salah satunya kelompok Ikhwanul Muslimin yang
produktif mengorganisir aksi gerakan yang radikal. Contohnya gerakan Jama’ah Islamiyah
yang secara intens mengirimkan orang ke konflik Afganistan sejak pecah kepemimpinan
jamaah Negara Islam Indonesia pada awal tahun 1993. Pada tahun 1998, dimulai program
Diklat Akademi Militer Al-Jamaah Al-Islamiyah, dan pada tahun tersebut mereka dikirim ke
Ambon ketika sedang hangat konflik bersenjata antar suku beragama.8
Salah satu pengeboman karena paham kelompok radikal pertama kali terjadi di
Indonesia pada tahun 1962 di Kompleks Perguruan Cikini. Pengeboman ini bertujuan
membunuh Presiden Soekarno. Kelompok ini kemudian semakin dikenal di Indonesia ketika
terjadi peristiwa pengeboman di Kedutaan Besar Filipina di Jakarta pada Agustus 2000.
Mereka memiliki paham dan tujuan untuk menjadikan Indonesia sebagai negara Islam yang
diatur oleh Syariah Allah.
Dalam konteks agama yang sering dianggap berhubungan erat dengan radikalisme, kita
dapat melihat dari banyak sudut pandang agama yang berbeda. Dari sudut pandang Islam,
secara doktrinal agama Islam adalah agama yang menolak adanya kekerasan. Namun,
penaklukan atau pembebasan yang dilakukan mulai abad VII nyatanya menggandeng unsur
kekerasan. Radikalisme ekstrim pertama muncul di masa pemerintahan Ustam bin Afan. Ada
sebuah gerakan yang dipimpin oleh Abdulah bin Saba bersama dua ribu pengikutnya untuk
mengganti kedudukan Usman bin Afan sebagai khalifah dengan Ali bin Abi Tholib. Kelompok
ini berhasil membunuh Ustam bin Afan sehingga memicu kekacauan dan teror. Kemudian dari
sudut pandang Kristiani, agama yang memiliki misi mengedepankan cinta kasih, dalam
sejarahnya pun tidak jauh dari kekerasan. Banyak terjadi perang salib atau perang agama.
Radikalisme agama Kristen paling pertama muncul pada abad XVI dengan adanya reformasi
kelompok Protestan. Tokohnya, Martin Luther, yang dianggap radikal oleh kaum Katolik
karena dianggap mampu mengubah struktur Gereja baik secara fisik maupun ajaran. Dari sudut
pandang agama Hindu, ada ajaran yang memberi legitimasi pada kekerasan. Munculnya
radikalisme pada agama Hindu dapat dilihat dari adanya respon saat Mogul Emperor
menaklukkan India dan penjajahan Inggris yang menguasai India yang diikuti konversi Hindu
7 Ibid. 8 Husein, M. T. (2017). Fenomena Radikalisme Di Indonesia, 13.
https://doi.org/http://dx.doi.org/10.31000/rf.v13i2.404
4
ke Kristen oleh para misionaris. Respon radikal tersebut antara lain muncul gerakan-gerakan
seperti Bajrangdal, Rashtriya Svayam Sevak, dan lain-lain. Dari sudut pandang agama Buddha,
kelompok radikal tergambar oleh sekelompok biksu dan masa radikal yang dikoordinir oleh
Biksu U Wirathu di Myanmar yang mengusir kaum Muslim Rohingya dengan cara membunuh
dan membakar harta benda. 9
Bisa dikatakan bahwa sejarah radikalisme dunia dari segi agama banyak memengaruhi
gerakan radikalisme di Indonesia. Anggota masyarakat yang merasa tidak puas dan ingin
mengusung perubahan bisa terdorong untuk memegang paham radikal yang membawa
kekerasan dan meneyebabkan teror serta kekacauan di tengah masyarakat. Agama pun menjadi
hal yang tidak bisa terlepas dari sejarah radikalisme, baik di seluruh dunia maupun di Indonesia.
Faktor Penyebab Munculnya Gerakan Radikalisme
Gerakan radikalisme adalah persoalan yang tidak asing, terutama bagi kita sebagai
masyarakat Indonesia yang memiliki kemajemukan dalam berbagai hal. Namun, gerakan
radikalisme tidak muncul hanya karena faktor kemajemukan. Berikut adalah latar belakang
yang menjadi faktor pendorong munculnya gerakan radikalisme:
a. Faktor Sosial – Politik
Memburuknya posisi negara muslim dalam konflik utara-selatan menjadi
penopang munculnya radikalisme. Dalam hal ini kaum radikalisme memandang bahwa
agama yang dianutnya tidak diuntungkan dengan adanya peradaban global. Persoalan
tersebut menimbulkan perlawanan dan munculnya kaum yang membawa bahasa,
simbol serta slogan. Mereka berusaha menyulut emosi keagamaan tertentu dengan
maksud untuk mencapai tujuan “mulia” dari politiknya. Hal ini pun didukung dengan
adanya pemikiran masyarakat mengenai suatu pemimpin negara yang hanya berpihak
pada suatu golongan, sehingga menyebabkan adanya kelompok masyarakat yang
seolah menjadi penegak keadilan.
b. Faktor Emosi Keagamaan
Faktor sentimen keagamaan juga menjadi peran dalam penyebab munculnya
radikalisme karena adanya rasa solidaritas untuk membantu orang lain yang tertindas
oleh suatu kekuatan. Walaupun gerakan radikalisme selalu membawa simbol agama,
tetapi ini lebih tepat dikatakan sebagai faktor emosi keagamaan, bukan karena suatu
agama yang memberontak.
c. Faktor Kultural
Budaya sekularisme atau budaya barat yang mendominasi dianggap menjadi
ancaman bagi sebagian umat beragama. Perubahan yang lebih maju dan bersifat
universal ini dipandang sebagai salah satu faktor kultural yang membuat suatu
9 Mage, R. I. (2017). Prospek Gerakan Radikalisme di Indonesia. Jurnal Sosial dan Humaniora, 2(3).
5
kelompok menjadi terbelakang. Adanya pemikiran bahwa segala sesuatu harus
dikembalikan ke agama dengan cara apapun termasuk kekerasan juga menyebabkan
berkembangnya radikalisme. Didukung dengan adanya anggapan bahwa semua pihak
yang memiliki pandangan berbeda maka dianggap bersalah.
d. Faktor Ideologis Anti Westernisme
Westernisasi dianggap sebagai suatu pemikiran yang dapat membahayakan
dalam mengaplikasikan ajaran agama. Pemahaman tersebut mendorong simbol dan
gerakan Barat harus dihapuskan dan dihancurkan dengan cara apapun termasuk
kekerasan. Namun, justru hal inilah yang menunjukkan bahwa kaum radikalisme tidak
siap untuk bersaing dalam budaya dan peradaban yang semakin berkembang.
e. Faktor Kebijakan Pemerintah
Pemerintah kurang dapat menemukan akar penyebab munculnya tindak
kekerasan radikalisme sehingga tidak dapat mengatasi permasalahan sosial yang terjadi.
Ketidakmampuan ini menyebabkan rasa marah sebagian umat yang disebabkan adanya
dominasi ideologi, militer, maupun ekonomi. Selain itu, media barat yang dianggap
selalu membuat suatu kelompok agama menjadi terbelakang juga menjadi faktor
munculnya reaksi yang melibatkan kekerasan. Berbagai propaganda melalui pers
akhirnya tidak bisa pemerintah tanggapi secara lebih lanjut.
f. Faktor Ekonomi
Manusia akan melakukan segala cara untuk dapat bertahan hidup terlebih di
situasi yang terdesak dan cenderung mampu untuk melakukan apa saja. Hal ini
menyebabkan manusia untuk melakukan teror atau kekerasan terhadap manusia lain,
guna mencapai tujuan yang mereka inginkan. Terlebih diperparah dengan adanya
sebagian masyarakat berekonomi lemah dan memiliki pikiran sempit yang dapat
dengan mudah tertarik pada hal baru. Kelompok masyarakat tersebut cenderung mudah
percaya pada apa yang mereka anggap dapat membawa keberuntungan.
g. Faktor Pendidikan dan Pengalaman
Pendidikan sebenarnya merupakan salah satu sarana pembelajaran yang
seharusnya menjadi wadah untuk menimba pengetahuan yang positif. Tetapi, masih
banyak pendidikan non-formal yang justru “salah” dalam memberikan ajarannya,
terlebih pendidikan agama. Hal ini mendorong terjadinya radikalisme, terlebih dengan
6
adanya suatu peristiwa pahit dalam seseorang seperti masalah ekonomi, keluarga, rasa
benci, dendam, yang justru akan berpotensi membentuk paham radikalisme.10
Civitas Akademika yang Terpapar Radikalisme
Pendidikan merupakan salah satu tonggak penting dalam kehidupan, terutama dalam
kelangsungan hidup manusia. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Nanang Martono, yang
mengatakan bahwa pendidikan merupakan tema yang sangat menarik bagi manusia, karena
pendidikan adalah lembaga yang penting terutama dalam investasi jangka panjang untuk suatu
negara. Pendidikan yang baik adalah pendidikan yang dalam prosesnya turut mencapai tujuan
dan fungsi yang mulia, yaitu memanusiakan manusia. Selain itu, pendidikan juga dapat
dijadikan indikator kemajuan suatu bangsa. Hal tersebut ditegaskan dalam Pasal 1 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, pendidikan
adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran
agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan
spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan bagi dirinya, masyarakat, bangsa, dan negara. 11 Meskipun
demikian, tidak menutup kemungkinan bahwa dalam proses pelaksanaan pendidikan terdapat
beberapa campur tangan, misalnya radikalisme.
Radikalisme dalam pendidikan bisa dilakukan oleh siapa saja; guru atau dosen dengan
siswa atau mahasiswa, siswa atau mahasiswa dengan guru atau dosen, maupun guru atau dosen
dengan orang tua. Singkatnya, bisa dilakukan oleh bawahan terhadap atasan ataupun atasan
terhadap bawahan, maupun dari salah satu civitas akademika yang melakukan radikalisme ke
luar lingkup pendidikan. Misalnya, perencanaan peledakan bom di gedung DPRD Riau dan
DPR RI oleh tiga mahasiswa Universitas Riau. Ketiga pelaku tersebut yakni ZM alumni
jurusan Ilmu Pariwisata FISIP Universitas Riau angkatan 2004, BM alumni jurusan
Administrasi Publik FISIP Universitas Riau angkatan 2005, dan ED alumni jurusan Ilmu
Komunikasi FISIP Universitas Riau angkatan 2005.12 Ketiga pelaku tersebut menginap dan
merakit serta merencanakan pengeboman Gedung DPRD Riau dan DPR RI di sekretariat
Mapala Sakai yang merupakan bagian dari Kampus Universitas Riau. Setelah kejadian tersebut
BNPT, Halim mengeluarkan statement bahwa terdapat tujuh universitas yang sedang
diawasinya karena terpapar radikalisme. Ketujuh universitas tersebut adalah Universitas
Indonesia, Universitas Diponegoro, Universitas Airlangga, Universitas Brawijaya, Institut
Teknologi Bandung, Institut Pertanian Bogor, dan Institut Sepuluh November. Sedangkan
menurut hasil kajian Setara Institute pada tahun 2019, ada beberapa universitas yang juga
10Raka Nur Wahyudi, “Makalah Radikalisme di Tinjau Dari Ideologi Pancasila”
https://www.academia.edu/33008417/MAKALAH_RADIKALISME_DI_TINJAU_DARI_IDEOLOGI_PANC
ASILA_docx (diakses pada Kamis, 17 Juni 2021, pukul 17:56 WIB)
11 Muchith, M. S. (2016). Radikalisme dalam dunia pendidikan. Addin, 10(1), 163-180. 12 Novitra R. (2018, Juni 03). Terduga Teroris di Universitas Riau Berencana Ledakkan Gedung DPR. Terduga
Teroris di Universitas Riau Berencana Ledakkan Gedung DPR - Nasional Tempo.co. (diakses pada Sabtu, 19
Juni 2021, pukul 19:54 WIB)
7
terpapar radikalisme.13 Berikut merupakan ketiga belas universitas yang terpapar radikalisme,
berdasarkan gabungan kajian BNPT tahun 2016 dan Setara Institute tahun 2019; Universitas
Indonesia, Institut Teknologi Bandung, Universitas Gadjah Mada, Institut Pertanian Bogor,
UIN Jakarta, UIN Bandung, Universitas Brawijaya, Universitas Samratulangi, Universitas
Negeri Yogyakarta, Universitas Airlangga, Institut Teknologi Sepuluh November, dan
Universitas Diponegoro.14 Kemudian, berdasarkan Survei Alvara Research Center pada tahun
2017 pun menunjukkan bahwa 29,5% mahasiswa menolak pemimpin non-muslim, 23,5%
mahasiswa mendukung terbentuknya negara islam, sedangkan 17,8% mahasiswa mendukung
khilafah.15
Radikalisme di Kalangan Pelajar SMA dan/atau SMP
Remaja atau adolescence merupakan sebuah fase peralihan dari anak-anak menuju
dewasa yang biasa disebut juga sebagai masa transisi. Menurut Elizabeth B. Hurlock,
adolescence atau remaja berasal dari kata latin yaitu adolescentia yang memiliki arti tumbuh
atau tumbuh menjadi dewasa. Sedangkan menurut John W. Santrock, masa remaja merupakan
periode transisi dari masa kanak-kanak menuju dewasa, dengan perubahan pada beberapa
aspek yaitu terkait biologis, kognitif serta sosial emosi. 16 Masa remaja merupakan masa di
mana seseorang sedang mencari jati dirinya. Dalam proses pencarian jati diri penting untuk
memilah hal yang baik dan buruk karena pilihan yang diambil akan berpengaruh untuk fase-
fase kehidupan selanjutnya.
Beberapa tahun terakhir, radikalisme sudah mulai masuk ke ranah pendidikan, tentu
saja remaja menjadi sasaran empuk bagi mereka yang menyebarkan paham radikal. Selain
remaja yang mudah dipersuasi dan didoktrin, jaringan pertemanan remaja yang luas dan
otonom juga menjadi incaran yang cocok untuk memasukkan paham-paham radikalisme. Hal
tersebut didukung oleh riset MAARIF Institute tahun 2011 tentang pemetaan problem
radikalisme di 50 SMU Negeri di 4 daerah (Pandeglang, Cianjur, Yogyakarta, dan Solo), yang
menyatakan bahwa sekolah menjadi ruang yang terbuka bagi diseminasi paham apa saja,
karena pihak sekolah terlalu terbuka, sehingga dapat dengan mudah dimanfaatkan oleh
kelompok radikali terutama keagamaan untuk masuk dan secara aktif menyebarkan pahamnya
dan memperluas jaringan. Selain itu, terdapat survei serupa yang dilakukan oleh Lembaga
Kajian Islam dan Perdamaian (LaKIP), yang dilakukan pada 2010 hingga 2011. Survei tersebut
dilakukan di 59 sekolah swasta dan 41 sekolah negeri di 10 wilayah Jabodetabek (Jakarta,
Bogor, Depok, Tangerang, dan Bekasi), dengan sampel 993 siswa SMP dan SMA. Survei
tersebut menunjukkan bahwa terdapat 50% dari pelajar setuju tindakan kekerasan atau aksi
radikal demi agama, kemudian 14,2% siswa menyatakan setuju dengan terorisme yang
dilakukan Imam Samudra, Amrozi, dan Noordin M. Top, serta 84,8% siswa menyatakan setuju
13 Setiawan D. (2020, Maret 12). Fakta-fakta seputar radikalisme di kampus.
https://www.alinea.id/infografis/fakta-fakta-seputar-radikalisme-di-kampus-b1ZJF9ssl. (diakses pada Sabtu, 19
Juni 2021, pukul 20:15 WIB) 14 Ibid. 15 Ibid. 16 Lubis, D., & Siregar, H. S. (2021). Bahaya Radikalisme terhadap Moralitas Remaja melalui Teknologi
Informasi (Media Sosial). Aplikasia: Jurnal Aplikasi Ilmu-ilmu Agama, 20(1), 21-34.
8
dengan penegakan syariat Islam. Selain itu, 25,8% lainnya menganggap bahwa Pancasila sudah
tidak relevan lagi sebagai ideologi negara.17 Najib M. (2012) mengemukakan tiga faktor yang
dapat menjelaskan mengenai radikalisme di kalangan kaum muda; adanya ketidakpastian
dalam dinamika sosial politik di fase awal transisi menuju demokrasi yang membuka struktur
kesempatan politik atau political opportunity structure, genealogi sebagian gerakan radikal
yang sudah ada sejak kemerdekaan, dan tingginya angka pengangguran di kalangan kaum
muda Indonesia.
Mudahnya penyebaran paham radikal maupun hoax terhadap remaja, dipengaruhi juga
oleh perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi banyak menciptakan hal baru, seperti
smartphone, internet maupun media sosial (youtube, instagram, line, whatsapp, telegram, dan
lain-lain). Media sosial menjadi wadah yang sangat strategis dalam penyebaran hoax maupun
paham radikal. Di media sosial orang dapat mengeluarkan statement apa saja, termasuk paham
radikalisme. Tak kalah modern, saat ini banyak pihak radikal yang menyebarkan paham
radikalisme dengan mengikuti arus perkembangan zaman seperti melalui video, tulisan di web,
gambar, bahkan meme yang bisa disebar di berbagai platform media sosial. Selain pengaruh
teknologi, Yusuf ”al-Qardawi” menjelaskan ada tujuh faktor yang memengaruhi kemunculan
radikalisme yaitu; pengetahuan agama yang setengah-setengah melalui proses belajar yang
doktriner, literal dalam memahami teks-teks agama sehingga kalangan radikal hanya
memahami Islam dari kulitnya saja tetapi pengetahuannya sangat minim tentang wawasan dan
esensi agama, tersibukkan oleh masalah-masalah sekunder (memanjangkan jenggot,
meninggikan celana) namun melupakan masalah primer, berlebihan dalam mengharamkan,
lemahnya wawasan sejarah dan sosiologi, dan munculnya radikalisme sebagai reaksi bentuk-
bentuk radikalisme lainnya (sikap radikal kaum sekuler yang menolak agama). 18 Selain
teknologi dan ketujuh faktor tersebut, tidak adanya proteksi dari dalam diri remaja serta
lemahnya nilai-nilai agama yang terkandung dalam kitab suci oleh pemangku kebijakan di
sekolah juga menjadi salah satu faktor penguat terjadinya radikalisme pada kaum muda
terutama remaja.
Bahaya Radikalisme di Kalangan Mahasiswa/Pelajar dan Karakteristik Kerentanan
Suatu kehendak yang dipaksakan apalagi menggunakan kekerasan pada dasarnya
memang tidak baik. Adanya gerakan radikalisme di Indonesia tentu menjadi salah satu tanda
bahwa pemerintah dan masyarakat perlu lebih berhati-hati. Salah satunya adalah pengaruh
paham radikalisme pada remaja yang tak dapat dianggap sepele. Masa remaja kerap kali
dianggap sebagai masa yang tidak stabil, baik pikiran, tindakan, maupun keadaan emosi. Aspek
kognitif dan sosial emosi menjadi salah satu alasan mengapa remaja kerap kali dianggap tidak
stabil. Kedua aspek tersebut masih terus dilatih dan beradaptasi dengan perubahan sehingga
hal tersebut membuat remaja mejadi lebih mudah untuk dipersuasi atau didoktrin.
17 Baedowi, A., AF, A., Maarif, A. S., Farikhatin, A., Darraz, M. A., Azca, M. N., & Qodir, Z. (2013).
Menghalau Radikalisasi Kaum Muda: Gagasan dan Aksi. Maarif, 8(1), 4-242. 18 Ibid.
9
Berkaca pada aspek kerentanan tersebut, gerakan radikalisme yang terus-menerus
berkembang di Indonesia dapat mengancam negara dalam berbagai hal. Melemahnya
ketahanan negara karena rendahnya sikap nasionalisme dan cinta tanah air merupakan sikap-
sikap anti nasionalisme yang sering terjadi di ranah Pendidikan. Salah satu contoh konkretnya
adalah penolakan upacara bendera. Melemahnya sikap nasionalisme masyarakat akan menjalar
ke berbagai aspek kehidupan. Adanya perpecahan menjadi hal yang pasti apabila radikalisme
semakin menguat, terlebih berdasarkan hasil survei di atas menyatakan bahwa banyak remaja,
pelajar, dan mahasiswa yang mendukung terbentuknya negara Islam dan membenarkan
kekerasan demi membela agama tertentu. Hal tersebut merupakan bibit disintegrasi dan
gerakan separatisme, padahal bila disintegrasi dan gerakan separatisme secara terang-terangan
terjadi, tentu Indonesia tidak akan utuh lagi bahkan dapat dikatakan negara akan ‘habis’.
Pepatah Soekarno yang berbunyi ‘Beri aku 1.000 orang tua, niscaya akan kucabut semeru dari
akarnya. Beri aku 10 pemuda niscaya akan kuguncangkan dunia’, tentu tidak akan berlaku lagi.
Opini dan pemikiran remaja serta mahasiswa yang membenarkan perilaku kekerasan untuk
mendukung atau membela suatu agama, menjadi bukti bahwa adanya bibit-bibit terorisme pada
kaum muda. Hal tersebut didukung oleh pernyataan Rizal Sukma (2004) yang menyatakan
bahwa radikalisme merupakan satu tahapan sebelum terorisme, hal itu tampak ketika banyak
teroris yang melegitimasi tindakannya dengan paham keagamaan radikal yang mereka anut.19
Sehingga apabila gerakan dan paham radikalisme tidak segera ditangani, tentu Indonesia bukan
lagi menjadi Indonesia, tidak ada kerukunan, kesatuan dan kedamaian.
Upaya Pencegahan Paham Radikalisme di Sekolah dan Kampus
Program Deradikalisasi
Teroris merupakan ancaman serius yang setiap saat dapat membahayakan keselamatan
bangsa dan negara serta kepentingan nasional. Pemerintah melalui lembaga terkait (salah
satunya pihak Kepolisian) telah menangkap, mengadili serta memenjarakan aktor utama
serangan terorisme dan melumpuhkan sebagian besar jaringan operasional teroris di
Indonesia. Akan tetapi dalam praktiknya, langkah yang dilakukan oleh pemerintah tidak
begitu efektif untuk merehabilitasi narapidana kasus terorisme dan membuat efek jera.
Bahkan tindakan tersebut cenderung akan menimbulkan masalah baru di mana para pelaku
teror merasa diperlakukan tidak adil, sehingga menghasilkan siklus kekerasan yang tidak
menyelesaikan masalah terorisme hingga ke akarnya. Hal ini tentu menunjukkan bahwa
penanganan terorisme tidak hanya bertumpu pada pendekatan hukum saja. Pendekatan yang
dikenal dengan istilah hard approach, dinilai tidak dapat sepenuhnya merehabilitasi
ideologi radikal yang diyakini oleh para narapidana terorisme karena kurang menyentuh
aspek personal dari individu tersebut.
Oleh karena itu, pendekatan yang bersifat persuasif dan humanis, juga diperlukan agar
penanganan terorisme di Indonesia dapat berjalan secara komprehensif dan efektif.
Pendekatan yang dikenal dengan istilah soft approach tersebut akhirnya diwujudkan dalam
bentuk strategi deradikalisasi. Menurut Agus Surya Bakti, program deradikalisasi ingin
19 Ibid.
10
mengajarkan kepada para mantan teroris untuk kembali menjadi warga negara Indonesia
yang benar sesuai Pancasila dan UUD 1945 dalam wilayah NKRI, di bawah prinsip bersatu
dalam perbedaan dan berbeda dalam persatuan yang dirangkum dalam Bhineka Tunggal
Ika. 20 Dalam upaya untuk merealisasikan pendekatan soft approach ini, pemerintah
Indonesia pada tahun 2010 mengeluarkan Perpres 46 Tahun 2010 tentang Pembentukan
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.21
Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) kemudian menjadi badan negara yang
mengurusi tindak kriminal terorisme di tanah air. BNPT sendiri memiliki beberapa fungsi
dan tugas yang salah satunya adalah melaksanakan program deradikalisasi. Dalam
implementasi program deradikalisasi, BNPT membagi progam tersebut ke dalam dua
klasifikasi. Program pertama adalah program deradikalisasi di dalam lapas yang dilakukan
melalui tahapan identifikasi, rehabilitasi, reedukasi, resosialisasi, serta pengamatan dan
evaluasi. Program ini menyasar pada narapidana kasus terorisme yang sedang menjalani
masa tahanannya. Program yang kedua adalah program deradikalisasi di luar lapas yang
dilakukan melalui tahapan identifikasi, pembinaan kontra radikalisme, pengamatan dan
evaluasi. Program ini menyasar pada mantan narapidana kasus terorisme dan kelompok
masyarakat yang rentan terhadap pengaruh ideologi radikal. Program ini lebih
dikonsentrasikan terhadap kemandirian ekonomi dari keluarga narapidana terorisme, proses
resosialisasi, dan reintegrasi mantan narapidana terorisme yang telah berhasil ter-
deradikalisasi ke dalam lingkungan masyarakat sosial mainstream serta pencegahan agar
nantinya mantan narapidana terorisme tidak kembali melakukan aksi-aksi terorisme.
Dalam pelaksanaan program deradikalisasi, BNPT juga bekerjasama dan berkoordinasi
dengan lembaga terkait, baik itu antar lembaga pemerintah maupun non pemerintah,
diantaranya: Kementerian Agama, Kementerian Pendidikan, Lembaga Dakwah dan Ormas
Islam. Kerjasama dan koordinasi tersebut dilakukan agar program dan tujuan deradikalisasi
BNPT dapat berjalan dengan baik dan lancar tanpa adanya hambatan. Apalagi BNPT tidak
bisa bekerja sendiri dalam program deradikalisasi ini, karena bagaimanapun program
deradikalisasi merupakan tugas kita bersama agar paham-paham radikal tidak berkembang
di tengah masyarakat dan akhirnya menimbulkan disintegrasi.
Pembinaan Ideologi Pancasila
Tidak dapat dipungkiri bahwa penyebaran paham radikalisme di negara kita sudah sampai
pada tahap lampu merah, di mana penyebarannya sudah hampir ke berbagai sektor
kehidupan bernegara. Dilansir dari bpip.go.id, Staf Khusus Ketua Dewan Pengarah Badan
Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP), Antonius Benny Susetyo, menyampaikan bahwa
20 Indrawan Jerry dan Aji, M. Prakoso. “Efektifitas Program Deradikalisasi Badan Nasional Penanggulangan
Terorisme Terhadap Narapidana Terorisme di Indonesia”. Jurnal Pertahanan & Bela Negara. Volume 9.
Nomor 2. Agustus 2019. 21 Perpres 46 Tahun 2010 tentang Badan Nasional Penanggulangan Terorisme.
https://jdih.kemsos.go.id/pencarian/www/storage/repository/Perpres%20No.%2046%20Tahun%202010.pdf
(dikses pada Minggu, 13 Juni 2021, pukul 8:44 WIB)
11
“radikalisme itu sudah sampai tahap lampu merah, sehingga kita perlu warning dan lakukan
pencegahan”.22 Ken Setiawan juga menambahkan bahwa para pelaku tindak radikal ini
membangun sebuah gagasan anti-Pancasila dengan mengaitkannya pada ayat-ayat. Artinya,
Pancasila yang dianggap berhala atau thogut harus ditinggalkan dengan perumpamaan ayat-
ayat.23
Tentu penyebaran paham radikal anti-Pancasila tidak bisa dianggap remeh, karena
bagaimanapun Pancasila sudah final dan tidak bisa diganggu-gugat atau digantikan dengan
ideologi-ideologi yang lain. Untuk mengatasi masalah ini, tentu langkah yang harus
dilakukan adalah dengan lebih menggalakkan pembinaan Ideologi Pancasila baik itu di
lingkungan pendidikan maupun di lingkungan sosial. Seperti yang sudah diamanatkan
dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional
bahwa pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara
Republik Indonesia Tahun 1945.24 Bagaimanapun dunia pendidikan kita merupakan ranah
yang paling memungkinkan untuk menanamkan dan membina ideologi Pancasila kepada
generasi penerus bangsa.
Selain itu, untuk semakin mempermudah dan memperluas jaringan dalam membina Ideologi
Pancasila terutama pada kalangan masyarakat luas, pemerintah kemudian melalui Perpres
Nomor 54 Tahun 2017 membentuk Unit Kerja Presiden Pembinaan Ideologi Pancasila
(UKP-PIP) kemudian pada tahun 2018 melalui Perpres Nomor 7 Tahun 2018 lembaga ini
kemudian diganti oleh Presiden menjadi Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP).25
BPIP adalah lembaga yang berada di bawah dan bertanggung jawab kepada Presiden yang
memiliki tugas membantu Presiden dalam merumuskan arah kebijakan pembinaan ideologi
Pancasila, melaksanakan koordinasi, sinkronisasi, dan pengendalian pembinaan ideologi
Pancasila secara menyeluruh. BPIP juga bertanggung jawab untuk menyelenggarakan
pelatihan, serta memberikan rekomendasi berdasarkan hasil kajian terhadap kebijakan atau
regulasi yang bertentangan dengan pancasila kepada lembaga tinggi negara,
kementerian/lembaga, pemerintah daerah, organisasi sosial politik, dan komponen
masyarakat lainnya. 26
Sosialisasi terkait bahaya radikalisme
Dalam menyebarluaskan ajarannya, para kelompok radikal anti-Pancasila tidak pandang
bulu, semua lapisan masyarakat menjadi incaran mereka. Namun, kalangan generasi muda
22 Berita. “Cegah Paham Radikal Antipancasila”. https://bpip.go.id/bpip/berita/1035/373/cegah-paham-
radikal-antipancasila.html. (diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 16:23 WIB). 23 Yeremia Sukoyo. 2021. “Penyebaran Paham Radikal di Indonesia Mengkhawatrikan”.
https://www.beritasatu.com/nasional/677781/penyebaran-paham-radikal-di-indonesia-mengkhawatirkan.
(diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 16:40 WIB). 24 Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional.
https://sipuu.setkab.go.id/PUUdoc/7308/UU0202003.htm (diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 16:40 WIB). 25 Perpres No 7 Tahun 2018 tentang Badan Pembinaan Ideologi Pancasila.
https://jdih.setkab.go.id/PUUdoc/175451/Perpres%20Nomor%207%20Tahun%202018.pdf (diakses pada
Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:00 WIB). 26 https://bpip.go.id/bpip/profil/440/profil.html (diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:09 WIB).
12
merupakan kelompok yang paling diincar oleh kelompok radikal ini. Kemudian, muncul
pertanyaan, kenapa kaum muda menjadi kaum yang paling diincar oleh kelompok radikal?
Dilansir dari news.detik.com, mantan Menteri Negara Riset dan Teknologi, Muhammad AS
Hikam, menyampaikan bahwa anak muda menjadi target penyebaran radikalisme karena
masih punya jiwa muda. Selain itu, biasanya anak muda yang terpapar radikalisme ialah
yang baru mendalami agama. Faktor lainnya ialah sifat ingin menunjukkan eksistensi diri.27
Mengingat bahwa sasaran empuk dari kelompok radikal ini adalah dari kalangan anak muda,
tentu hal ini merupakan keprihatinan kita bersama. Bagaimanapun generasi muda
merupakan aset bangsa di mana pada merekalah nantinya estafet kepemimpinan,
pembangunan, dan masa depan bangsa ini diletakkan. Apabila generasi muda sudah terpapar
paham radikal sudah barang tentu kita dapat memprediksi kemana arah bangsa ini akan
berlabuh. Oleh karena itu tindakan sosialisasi terkait bahaya radikalisme perlu digalakkan
lagi terutama kepada kaum muda. Mengenai sosialisasi bahaya radikalisme, salah satunya
Kepolisian RI melakukan upaya kontra radikalisme di lingkungan perguruan tinggi (PT),
antara lain program Goes To Campuss. Kepala Bagian Penerangan Umum Divisi Humas
Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menyampaikan “Program Goes to Campuss dari
Direktorat Bimbingan Masyarakat (Binmas) baik Binmas Baharkam maupun Polda turun
ke kampus bekerja sama dengan tokoh formal dan informal, tokoh agama dan Majelis
Ulama Indonesia (MUI) yang ada di daerah untuk memberikan pemahaman bahaya
radikalisme di Indonesia”.28
Kendatipun tindakan sosialisasi sudah dilaksanakan, bukan berarti tugas kita sudah selesai.
Bagaimanapun tindakan sosialisasi bahaya radikalisme ini merupakan tindakan yang harus
berkelanjutan dan tidak cukup hanya melibatkan pihak kepolisian dan lembaga negara
lainnya akan tetapi juga harus melibatkan unsur-unsur masyarakat. Karena bagaimanapun
masyarakat merupakan pihak yang langsung bersentuhan dengan lingkungan sosial yang
rentan dengan penyebaran paham radikalisme. Apabila masyarakat bisa libatkan lebih aktif
lagi, maka program sosialisasi bahaya radikalisme akan lebih mudah dilaksanakan dan
pesan dari sosialisasi bahaya radikalisme pun dapat sampai ke kalangan masyarakat bawah.
Selain langkah “Program Goes to Campuss, langkah lainnya yang dapat dilakukan dalam
menggalakkan sosialisasi bahaya paham radikalisme adalah dengan membangun kesadaran
literasi. Melihat bahwa media sosial menjadi wadah yang sangat strategis dalam penyebaran
hoax, ujaran kebencian hingga paham radikalisme, maka langkah membangun kesadaran
literasi merupakan langkah yang efektif guna membangun pribadi kritis di kalangan
masyarakat Indonesia terhadap berita-berita yang beredar, baik itu di media cetak maupun
di media massa. Hanya saja yang sangat disayangkan bahwa minat baca masyarakat
Indonesia sangat rendah. Dilansir dari kominfo.go.id, UNESCO menyebutkan bahwa
27 Putri Zunita. 2018. “Mantan Menteri Ini Ungkap Alasan Anak Muda Jadi Target Radikalisme”.
https://news.detik.com/berita/d-4184478/mantan-menteri-ini-ungkap-alasan-anak-muda-jadi-target-radikalisme
(diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:27 WIB). 28 Jurnalisto Reza. 2018. “Polri Tujurn ke Kampus untuk Sosialisasi Bahaya Radikalisme”.
https://nasional.kompas.com/read/2018/11/21/10501381/polri-turun-ke-kampus-untuk-sosialisasi-bahaya-
radikalisme?page=all (diakses pada Selasa, 15 Juni 2021, pukul 17:41 WIB).
13
Indonesia urutan kedua dari bawah soal literasi dunia, artinya minat baca sangat rendah.
Menurut data UNESCO, minat baca masyarakat Indonesia sangat memprihatinkan, hanya
0,001%. Artinya, dari 1,000 orang Indonesia, Cuma 1 orang yang rajin membaca 29 .
Mengetahui fakta tentang kurangnya kesadaran literasi masyarakat Indonesia tentu
merupakan masalah yang harus segera dibenahi. Hal ini merupakan tanggung jawab negara
baik itu dari pusat maupun pada tingkat daerah dan semua komponen bangsa untuk
memenuhinya. Apalagi jika dikaitkan dengan amanat konstitusi kita yang menyatakan
bahwa negara berkewajiban “mencerdaskan kehidupan bangsa” (Alinea keempat
Pembukaan UUD 1945).
Penegakan Keadilan Sosial-ekonomi
Ada banyak spekulasi yang beredar tentang “kenapa orang-orang melakukan aksi terorisme
atau mudah terpapar paham radikalisme”, salah satunya untuk menegakkan ajaran agama
kembali ke jalurnya. Tentu spekulasi-spekulasi yang beredar ini tidak semuanya dapat
dibenarkan, karena bagaimanapun pasti ada alasan utama kenapa para pelaku terorisme ini
melakukan aksinya. Dilansir dari okenews, Anggota Komisi III DPR, Akbar Faisal
mengatakan, “penyebab terjadinya aksi terorisme itu, disebabkan oleh tiga faktor, yakni
faktor domestik, faktor internasional dan faktor kultural. Faktor domestik yakni masalah
kemiskinan, ketidakadilan dan kecewa kepada pemerintah membuat orang-orang itu
bergabung ke kelompok teroris atau ISIS…” 30 Fathali M. Assaf Moghadam juga
menyampaikan bahwa ada 5 tahap deradikalisasi. Tahap pertama adalah pra-deradikalisasi
dimana individu yang merupakan bagian dari suatu kelompok masyarakat, mempertanyakan
apakah dirinya diberlakukan secara adil oleh ruling power atau pemerintah dan berakhir
pada krisis identitas.31
Berdasarkan pernyataan tersebut, faktor domestik adalah salah satu faktor yang
memengaruhi penyebaran paham radikalisme. Apabila melihat penjelasan sebelumnya, dapat
disimpulkan bahwa seseorang memiliki kecenderungan untuk terpapar paham radikalisme
salah satunya karena ingin mendapatkan keadilan dalam hal sosial-ekonomi. Tidak dapat
dipungkiri bahwa keadilan sosial-ekonomi merupakan dambaan semua orang sehingga harus
berjuang untuk mendapatkannya. Segala cara akan ditempuh agar keadilan sosial-ekonomi
dapat terpenuhi, dari tindakan yang moderat hingga tindakan yang ekstrim termasuk dengan
melakukan tindakan kekerasan bahkan hingga aksi teror. Jika berbicara mengenai keadilan
sosial-ekonomi, dalam sila kelima Pancasila sudah terpampang jelas membahas “keadilan
sosial bagi seluruh bangsa Indonesia”. Selain itu juga dalam UUD 1945 Bab XIV tentang
Perekonomian Nasional dan Kesejahteraan Sosial Pasal 33 dan Pasal 34 telah mengamanatkan
29 Evita Devega. 2017. “Teknoligi Masyarakat Indonesia: Malas Baca Tapi Cerewet di Medsos”.
https://www.kominfo.go.id/content/detail/10862/teknologi-masyarakat-indonesia-malas-baca-tapi-cerewet-di-
medsos/0/sorotan_media (diakses pada Senin, 28 Juni 2021, pukul 9:38 WIB). 30 Mohammad Saifulloh. 2015. “Tiga Faktor Pemicu Radikalisme”.
https://nasional.okezone.com/read/2015/07/30/337/1187812/tiga-faktor-pemicu-radikalisme. (diakses pada
Rabu, 16 Juni 2021, pukul 20:35 WIB). 31 Fitriana Saella. “Upaya BNPT Dalam Melaksanakan Program Deradikalisasi di Indonesia”. Jurnal of
International Relations. Volume 2. Nomor 3. Tahun 2016. https://media.neliti.com/media/publications/91026-
ID-20-upaya-bnpt-dalam-melaksanakan-program.pdf. (diakses pada Rabu, 16 Juni 2021, pukul 20:48 WIB).
14
tugas dan kewajiban negara dalam merealisasikan keadilan sosial-ekonomi bagi rakyat.32.
Selain faktor sosial-ekonomi, terdapat juga beberapa faktor yang mempengaruhi generasi muda
saat ini untuk mempunyai pemikiran yang radikal, misalnya faktor lingkungan, pendidikan, dll.
Ditambah lagi dengan adanya perkembangan teknologi saat ini, banyak kaum muda yang
dengan mudah dapat terpapar paham radikalisme. Oleh karena itu, sangat penting untuk
memberikan sosialisasi kepada kaum muda mengenai pentingnya ideologi pancasila serta
bahaya radikalisme. Diharapkan dengan adanya serangkaian upaya tersebut, generasi muda
Indonesia dapat mengenal falsafah dan jiwa bangsa Indonesia yang berciri majemuk dan
toleransi, serta terhindar dari paham radikal.
PERNYATAAN SIKAP
Maka dari itu, berdasarkan uraian komprehensif di atas, Badan Eksekutif
Mahasiswa Universitas Sanata Dharma melalui Kementerian Sosial Politik 2021
menyatakan sikap untuk:
- Menolak segala bentuk paham radikalisme yang berupaya untuk menggaggu 4 pilar
kebangsaan Indonesia
- Mendukung segala bentuk usaha pemerintah dalam upaya penanggulangan paham-
paham radikalisme di Indonesia
- Mendorong peran aktif masyarakat dalam menanggulangi radikalisme di kalangan
pemuda
32 Undang-Undang Dasa Negara Republik Indonesia Tahun 1945. http://luk.tsipil.ugm.ac.id/atur/UUD1945.pdf
(diakses pada Jumat, 18 Juni 2021, pukul 17:56 WIB).