k a n d a i undangan - jurnal-el badan bahasa

14
69 K A N D A I Volume 12 No. 1, Mei 2016 Halaman 7184 KOHESI GRAMATIKAL DALAM RAGAM BAHASA PERUNDANG- UNDANGAN (Grammatical Cohession in The Language of Legislations) Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur, Indonesia Pos-el: [email protected] (Diterima 15 Februari 2016; Direvisi 26 Maret 2016; Disetujui 7 April 2016) Abstract Types and forms of cohesion in Indonesian are numerous, but some cohesions employed in the legal language concist of particular types and forms. Since there is no one discussing about the cohesion in the legal language, this article attempts to deliberate grammatical cohesion in the legal language. The purpose is to describe the types and forms of cohesion in the legal language. The research method employed in this article comprises inferential descriptive which does not only display the forms and cohesion grammatical features in the legal language but also analyze it. It is found that the grammatical cohesion in a legal language possesses a bit difference from other registers, especially in case of the terms of reference. The anaphoric terms of reference are dominantly rather than that of cataphoric reference, either terms of reference of clitics –nya ‘his, hers, its’, definite articles dimaksud ‘referred’, tersebut ‘mentioned’, ini, or substitutes dia or ia ‘he/she’. The phrase sebagaimana dimaksud dalam is utilized to refer nominal phrases, clauses, or sentences possessing form of articles. Meanwhile, the phrase sebagaimana dimaksud pada is employed to refer the nominal phrase, clause, or sentences possessing form of clauses. Keywords: cohesion, grammatical, register, legislative Abstrak Jenis dan bentuk kohesi dalam bahasa Indonesia sangat banyak, tetapi dalam bahasa perundang-undangan kohesi yang digunakan hanya terbatas pada beberapa jenis dan bentuk tertentu. Karena belum ada yang membahas masalah itu, artikel ini akan mengupas kohesi gramatikal dalam ragam bahasa perundang-undangan. Tujuannya adalah mendeskripsikan jenis dan wujud kohesi dalam bahasa perundang-undangan. Metode yang digunakan adalah metode deskriptif inferensial yang bukan hanya memaparkan bentuk dan ciri kohesi gramatikal. dalam bahasa perundang-undangan melainkan juga meng- analisisnya. Hasilnya diketahu bahwa kohesi gramatikal dalam bahasa perundang- undangan sedikit berbeda denga ragam bahasa yang lain, terutama dalam hal pengacuan. Pengacuan yang bersifat anaforis lebih dominan daripada pengacuan yang bersifat kataforis, baik pengacuan yang berupa pronomina persona terikat (klitik -nya), pemarkah takrif (dimaksud, tersebut, dan ini), maupun penyulihan atau substitusi (dia atau ia). Frasa sebagaimana dimaksud dalam digunakan untuk mengacu frasa nominal, klausa, atau kalimat yang berbentuk pasal, sedangkan frasa sebagaimana dimaksud pada digunakan untuk mengacu frasa nominal, klausa, atau kalimat yang berbentuk ayat. Kata-kata kunci: kohesi, gramatikal, ragam, perundang-undangan PENDAHULUAN Kumpulan kalimat yang mampu mengungkapkan satu pikiran yang lengkap atau satu tema lazim disebut paragraf. Pikiran yang lengkap itu dapat diungkapkan jika kalimat-

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

0 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

69

K A N D A I

Volume 12 No. 1, Mei 2016 Halaman 71—84

KOHESI GRAMATIKAL DALAM RAGAM BAHASA PERUNDANG-UNDANGAN

(Grammatical Cohession in The Language of Legislations)

Sry Satriya Tjatur Wisnu SasangkaBadan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa

Jalan Daksinapati Barat IV, Rawamangun, Jakarta Timur, IndonesiaPos-el: [email protected]

(Diterima 15 Februari 2016; Direvisi 26 Maret 2016; Disetujui 7 April 2016)

AbstractTypes and forms of cohesion in Indonesian are numerous, but some cohesions employed

in the legal language concist of particular types and forms. Since there is no one discussingabout the cohesion in the legal language, this article attempts to deliberate grammaticalcohesion in the legal language. The purpose is to describe the types and forms of cohesion inthe legal language. The research method employed in this article comprises inferentialdescriptive which does not only display the forms and cohesion grammatical features in thelegal language but also analyze it. It is found that the grammatical cohesion in a legallanguage possesses a bit difference from other registers, especially in case of the terms ofreference. The anaphoric terms of reference are dominantly rather than that of cataphoricreference, either terms of reference of clitics –nya ‘his, hers, its’, definite articles dimaksud‘referred’, tersebut ‘mentioned’, ini, or substitutes dia or ia ‘he/she’. The phrasesebagaimana dimaksud dalam is utilized to refer nominal phrases, clauses, or sentencespossessing form of articles. Meanwhile, the phrase sebagaimana dimaksud pada is employedto refer the nominal phrase, clause, or sentences possessing form of clauses.Keywords: cohesion, grammatical, register, legislative

AbstrakJenis dan bentuk kohesi dalam bahasa Indonesia sangat banyak, tetapi dalam bahasa

perundang-undangan kohesi yang digunakan hanya terbatas pada beberapa jenis danbentuk tertentu. Karena belum ada yang membahas masalah itu, artikel ini akan mengupaskohesi gramatikal dalam ragam bahasa perundang-undangan. Tujuannya adalahmendeskripsikan jenis dan wujud kohesi dalam bahasa perundang-undangan. Metode yangdigunakan adalah metode deskriptif inferensial yang bukan hanya memaparkan bentuk danciri kohesi gramatikal. dalam bahasa perundang-undangan melainkan juga meng-analisisnya. Hasilnya diketahu bahwa kohesi gramatikal dalam bahasa perundang-undangan sedikit berbeda denga ragam bahasa yang lain, terutama dalam hal pengacuan.Pengacuan yang bersifat anaforis lebih dominan daripada pengacuan yang bersifatkataforis, baik pengacuan yang berupa pronomina persona terikat (klitik -nya), pemarkahtakrif (dimaksud, tersebut, dan ini), maupun penyulihan atau substitusi (dia atau ia). Frasasebagaimana dimaksud dalam digunakan untuk mengacu frasa nominal, klausa, ataukalimat yang berbentuk pasal, sedangkan frasa sebagaimana dimaksud pada digunakanuntuk mengacu frasa nominal, klausa, atau kalimat yang berbentuk ayat.Kata-kata kunci: kohesi, gramatikal, ragam, perundang-undangan

PENDAHULUAN

Kumpulan kalimat yang mampumengungkapkan satu pikiran yang

lengkap atau satu tema lazim disebutparagraf. Pikiran yang lengkap itudapat diungkapkan jika kalimat-

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

70

kalimat yang ada dalam suatu paragrafsaling berhubungan antara yang satudan yang lain. Jika tidak salingberhubungan, sangat mustahil suatupikiran yang lengkap atau suatu temadalam suatu paragraf dapat dipahamisecara mudah. Ramlan (1993)menyatakan bahwa paragrafmerupakan satuan informasi denganide pokok sebagai pengendalinya.Kepaduan suatu paragraf ditunjukkanoleh unsur-unsur kebahasaan yangberfungsi menghubungkan kalimat-kalimat dalam paragraf tersebut.Dengan demikian, agar bangun kalimatdalam paragraf itu saling berhubungan,diperlukan benang pengikat yangberfungsi sebagai perekat antarkalimat.

Dardjowidjojo dalam Purwo(1989, hlm. 93-110) berpendapatbahwa kalimat-kalimat yang digunakandalam paragraf akan membentuk suatupengertian apabila kalimat-kalimat ter-sebut serasi dan terpadu. Keserasiandan keterpaduan paragraf dapatdiperoleh dengan adanya benangpengikat antara kalimat yang satu dankalimat yang lain. Dengan demikian,benang pengikat merupakan perantiyang digunakan untuk mengikat antarakalimat yang satu dan kalimat yanglain dalam suatu paragraf, wacana, atauteks. Benang pengikat itu lazim disebutkohesi.

Kohesi dalam bahasa Indonesia,hampir dalam setiap laras bahasa, telahbanyak dibahas para ahli, misalnya,Arifin (1993) membahas kohesi yangterdapat dalam cerita pendek berbahasaSunda, Hoed (1976) membahas kohesidalam wacana berita surat kabar yangdifokuskan pada ciri ragam beritadalam bahasa Indonesia, Sugono(1991) membahas salah satu jeniskohesi, yaitu pelesapan (elipsis) yangdibatasi pada pelesapan subjek.Sementara itu, Suhaebah (2012) telahmengupas kohesi dalam tajuk rencana

surat kabar berbahasa Indonesia,terutama mengupas (i) mekanismekohesi wacana tajuk rencana, (ii) unsurkebahasaan yang digunakan sebagaipemarkah kohesi dalam teks tajukrencana, dan (iii) jenis pemarkahkohesi yang paling sering digunakandalam teks tajuk rencana.

Kohesi dalam berbagai ragammemang telah banyak dibahas paralinguis, tetapi kohesi dalam ragambahasa perundang-undangan, se-pengetahuan penulis, sama sekalibelum pernah dibahas. Jenis danbentuk kohesi dalam bahasa Indonesiasangat banyak, tetapi dalam bahasaperundang-undangan kohesi yangdigunakan hanya terbatas padabeberapa jenis dan bentuk kohesitertentu. Oleh karena itu, tulisan inimencoba mengungkapkan sepertiapakah wujud, jenis, dan ciri kohesiyang sering digunakan dalam ragambahasa perundang-undangan sehinggakekhasannya dapat diungkapkan secaramemadai.

Sehubungan dengan latarbelakang di atas, tulisan ini bertujuanuntuk memerikan wujud, jenis, dan cirikohesi dalam ragam bahasaperundang-undangan sehingga akandiketahui bentuk, jenis, dan ciri kohesiyang lazim digunakan dalam ragam itusecara memadai. Dengan diketahuinyabentuk, jenis, dan ciri kohesi tersebut,kualitas bahasa perundang-undangandiharapkan akan lebih baik, lebihlugas, dan tidak multitafsir sehinggatingkat kepahaman masyarakatterhadap suatu produk peraturanperundang-undangan diharapkan akanlebih baik pula.

LANDASAN TEORI

Kohesi berfungsi memadukansecara utuh unsur-unsur dalamparagraf, wacana, atau teks. Hoed

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka: Kohesi Gramatikal dalam…

71

(1994) dalam Sihombing (1994) ber-pendapat bahwa kohesi merupakankaitan semantis antara satuan ujaranyang satu dan satuan ujaran yang lainatau antara satu proposisi dan proposisiyang lain pada suatu teks. Kaitantersebut dalam tataran teksdiperlihatkan oleh alat kohesi, baik alatkohesi gramatikal maupun kohesileksikal. Dardjowidjojo (1986, hlm.93-110) menyebut kohesi sebagaibenang pengikat yang berfungsimemadukan informasi antarkalimatdalam suatu wacana. Benang pengikatitu adalah (i) penyebutan sebelumnya,(ii) sifat verba, (iii) peranan verbabantu, (iv) proposisi positif, (v)praanggapan, dan (vi) pemakaiankonjungsi.

Stubbs (1983) berpendapatbahwa kohesi hanya terbatas padahubungan kalimat dengan kalimat,sedangkan koherensi digunakan untukmenyatakan hubungan makna kalimat.Pendapat Stubbs tersebut diperkuatoleh Moeliono et al. (1988). Iamengemukakan bahwa kohesi wacanamerujuk pada pertautan bentuk,sedangkan koherensi merujuk padapertautan makna. Hal senadadiungkapkan pula oleh Alwi et al.(1993), ia menyatakan bahwa kohesimerupakan keserasian hubungan antaraunsur yang satu dan unsur yang laindalam wacana sehingga terciptalahpengertian yang apik atau koheren.

Samsuri (1987) mengungkapkankohesi meliputi (i) hubungan sebab-akibat; (ii) referensi dengan pronominapersona dan demonstrativa; (iii)konjungsi; (iv) hubungan leksikal:hiponim, bagian-utuhan, kolokasi; dan(v) hubungan struktur lanjutan: elipsis,substitusi. Sementara itu, Moeliono etal. (1988) mengemukakan empat belasjenis kohesi, yaitu kohesi yangmenyatakan hubungan (i) sebab-akibat;(ii) pertentangan; (iii) kelebihan; (iv)

perkecualian; (v) konsesif; (vi) tujuan;(vii) perulangan; (viii) penggantianleksikal yang maknanya berbedadengan makna kata yang diacunya; (ix)penggantian bentuk yang tidakmengacu ke acuan yang samamelainkan ke kumpulan yang sama; (x)metaforis; (xi) elipsis; (xii) hiponimi(xiii) bagian-keutuhan; dan (xiv)referensi pengacuan.

Alwi et al. (1993) menyatakanbahwa kohesi merupakan keserasianhubungan antara unsur yang satu danunsur yang lain dalam wacanasehingga terciptalah pengertian yangapik atau koheren. Lebih lanjutdiungkapkannya beberapa jenis alatkohesi, yaitu (i) hubungan sebab-akibat; (ii) pertentangan, perkecualian,konsesif, tujuan; (iii) pengulangankata/frasa; (iv) kata yang maknanyasama sekali berbeda dengan maknakata yang diacunya tetapi keduanyamerujuk referen yang sama; (v) peng-gantian leksikal; dan (vi) hubunganleksikal: hiponimi, bagian-keseluruhan.

Kohesi dalam wacana menurutHalliday dan Ruqaya Hasan (1979)berupa (i) kohesi gramatikal dan (ii)kohesi leksikal. Kohesi gramatikalmeliputi pengacuan (reference),substitusi/penyulihan (substitution),pelesapan (elipsis), dan relasikonjungtif (conjunctive relation);kohesi leksikal meliputi pengulang-an/repetisi (repetition), sinonim(synonym), near synonym, nominaumum (general nouns), dan kolokasi(collocation). Sejalan dengan pendapatHalliday dan Ruqaya Hasan (1979),Ramlan (1993) mengemukakan limapenanda hubungan antarkalimat, yaitu(i) penunjukan, (ii) penggantian, (iii)pelesapan, (iv) perangkaian, dan (v)hubungan leksikal.

Berdasarkan beberapa pendapatdi atas, dapat disimpulkan bahwa

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

72

kohesi merupakan peranti sintaksisyang digunakan untuk menautkankalimat yang satu dengan kalimat yanglain dalam paragraf, wacana, atau tekssehingga proposisi-proposisi yangditautkannya itu menjalin satukesatuan yang apik (padu) dan dapatmengungkapkan kesatuan gagasanyang lengkap dan tertata rapi.

Untuk kepentinganpenganalisisan data digunakanpandangan Halliday dan Ruqaya Hasan(1979). Hal itu disebabkan bahwa pan-dangan Halliday dan Ruqaya Hasantidak mencampurkan antara kohesigramatikal dan kohesi leksikal.Namun, pendapat pakar lain tidakmenutup kemungkinan untukdimanfaatkan selama pendapat itumendukung keperluan dalampenganalisisan data.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini merupakanpenelitian kualitatif dan metode yangdigunakan adalah metode deskriptifinferensial, yaitu metode yang bukanhanya mendeskripsikan data yang ada,melainkan juga menganalisis data danmenyimpulkannya. Hasilnyadiharapkan dapat dimanfaatkan olehpara linguis, perancang undang-undang, pembuat undang-unadang,dan/atau ahli hukum untuk mengenaliwujud dan jenis kohesi dalam ragambahasa perundang-undangan secaramenyeluruh sehingga penuanganbahasa penormaan dalam undang-undang diharapkan semakinberkualitas.

Langkah-langkah yang dilakukandalam penelitian ini adalah (i)pengumpulan data, (ii)pengklasifikasian data, (iii) analisisdata, dan (iv) penyajian hasil analisisdata. Data yang digunakan dalampenelitian ini berupa undang-undang

yang telah disyahkan, bukan yangmasih berupa rancangan undang-undang atau yang sedang dibahasantara pemerintah dan DPR dan/atauDPD. Data hanya dibatasi padaUndang-Undang Dasar 1945 danperaturan undang-undang yang ada dibawahnya, yaitu Undang-UndangNomor 24 Tahun 2009 tentangBendera, Bahasa, dan LambangNegara, serta Lagu Kebangsaan.

Pemilihan Undang-Undang Dasar1946 sebagai sumber data primerpenelitian kohesi dilakukan denganpertimbangan bahwa Undang-UndangDasar 1945 tersebut mendudukihierarki tertinggi dalam tata urutanperaturan perundang-undangan diIndonesia, sedangkan pemilihanUndang-Undang Nomor 24 Tahun2009 tentang Bendera, Bahasa, danLambang Negara, serta LaguKebangsaan sebagai data skunderdilakukan dengan pertimbangan bahwaundang-undang ini mewakili modelperaturan perundang-undanga yanglain. Menurut TAP MPR NO.III/MPR/2000 tata urutan peraturanperundang-undangan RepublikIndonesia adalah (1) Undang-UndangDasar 1945, (2) Ketetapan MPR RI,(3) undng-undang, (4) peraturanpemerintah pengganti undang-undang,(5) peraturan pemerintah, (6)keputusan presiden, dan (7) peraturandaerah. Kedua jenis data tersebutdiyakini mewakili peraturanperundang-undangan yang ada.

PEMBAHASAN

Halliday dan Ruqaya Hasan(1979, hlm. 288) membagi kohesimenjadi kohesi gramatikal danleksikal. Kohesi gramatikal terdiri atas(i) pengacuan, (ii) substitusi(penyulihan), (iii) pelesapan (elipsis),serta (iv) relasi konjungtif (conjunctive

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka: Kohesi Gramatikal dalam…

73

relation), sedangkan kohesi leksikalterdiri atas (i) pengulangan (repetisi),(ii) kesinoniman, (iii) keantoniman,(iv) kehiponiman, dan (v) kolokasi.Namun, pada kesempatan ini hanyaakan dibahas kohesi gramatikal,sedangkan kohesi leksikal akandibahas dalam kesempatan lain.

Pengacuan

Pengacuan merupakanpenunjukan atau perujukan padasesuatu yang menjadi antesedennya,baik anteseden yang telah disebutkanmaupun anteseden yang akandisebutkan. Anteseden yang diaculazimnya berupa nomina atau frasanominal. Richards (1985)mengemukakan bahwa antesedenmerupakan unsur bahasa (kata ataufrasa) yang dirujuk atau diacu olehkata atau frasa lain sebelum atausesudahnya. Halliday dan RuqayaHasan (1979) membagi pengacuanmenjadi dua, yaitu pengacuaneksoforis dan endoforis. Pengacuaneksoforis merupakan pengacuan yangantesedennya terdapat di luar bahasa(ekstratekstual), sedangkan pengacuanendoforis merupakan pengacuan yangantesedennya terdapat di dalam teks(intratekstual).

Pengacuan endoforis dibedakanmenjadi pengacuan anaforis dankataforis. Pengacuan anaforismerupakan pengacuan oleh pronomina,baik pronomina persona bebas maupunterikat terhadap anteseden yangterletak di sebelah kiri, sedangkanpengacuan kataforis merupakanpengacuan oleh pronomina, baikpronomina persona bebas maupunterikat, terhadap anteseden yangterletak di sebelah kanan.

Dalam bahasa perundang-undangan pengacuan yang seringdigunakan sebagai alat kohesi untuk

menghubungkan kalimat yang satudengan kalimat yang lain ataumenghubungkan ayat yang satu denganayat yang lain lazimnya berupa (a)pronomina persona dan (b) pemarkahtakrif.

Pronomina Persona

Pronomina persona yang seringdigunakan sebagai pengacuan dalambahasa perundang-undangan lazimnyaberupa bentuk terikat (klitik)pronomina ketiga tunggal, yaitu -nya.Pengacuan dengan menggunakanpronomina persona dalam bahasaperundang-undangan tampak padabeberapa contoh berkut.

(1) Presiden dan wakil presidenmemegang jabatan selama masalima tahun dan sesudahnyadapat dipilih kembali dalamjabatan yang sama hanya untuksatu kali masa jabatan. (Pasal 7UUD 1945)

(2) Negara memiliki suatu banksentral yang susunan,kedudukan, kewenangan,tanggung jawab, danindependensinya diatur denganundang-undang. (Pasal 23 UUD1945)

Klitik -nya pada contoh (1) dan(2) merupakan bentuk terikatpronomina ketiga tunggal yangmenyatakan makna ’kepemilikan’ atauposesif. Pengacuan posesif -nya padacontoh (1) bersifat anaforis karenamengacu pada referen yang telahdisebutkan sebelumnya, yaitu mengacupada frasa lima tahun. Klitik -nya padacontoh (2) juga bersifat anaforis karenamengacu pada referen yang telahdisebutkan sebelumnya, yaitu mengacupada bank sentral. Jika -nya sebagaipengacu tidak dimunculkan dalam ka-

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

74

limat, informasi yang akandiungkapkan kalimat (1) dan (2) tidakakan dipahami secara mudah karenaketerkaitan antarunsur dalam kalimattersebut tidak terjalin secara apik. Jika-nya diganti dengan anteseden yangdiacu, kalimat (1) dan (2) di atasmenjadi seperti pada (1a) dan (2a),sedangkan jika pengacu -nyadilesapkan, kalimat (1) dan (2) di atasmenjadi tidak berterima seperti tampakpada (1b) dan (2b) berikut.

(1)a. Presiden dan wakil presidenmemegang jabatan selama masalima tahun dan sesudah limatahun dapat dipilih kembalidalam jabatan yang sama hanyauntuk satu kali masa jabatan.b. *Presiden dan wakil presidenmemegang jabatan selama masalima tahun dan sesudah Ø dapatdipilih kembali dalam jabatanyang sama hanya untuk satu kalimasa jabatan.

(2)a. Negara memiliki suatu banksentral yang susunan banksentral, kedudukan bank sentral,kewenangan bank sentral,tanggung jawab bank sentral,dan independensi bank sentraldiatur dengan undang-undang.b. *Negara memiliki suatu banksentral yang susunan,kedudukan, kewenangan,tanggung jawab, danindependensi Ø diatur denganundang-undang.

Sementara itu, pengacuan yangbersifat kataforis tampak padabeberapa contoh data berkut.

(3) Sebelum memangku jabatannya,presiden dan wakil presidenbersumpah menurut agama, atauberjanji dengan sungguh-

sungguh di hadapan MajelisPermusyawaratan Rakyat atauDewan Perwakilan Rakyatsebagai berikut .... (Pasal 9 UUD1945)

(4) Dalam melaksanakan fungsinya,selain hak yang diatur dalampasal-pasal undang-undang dasarini, Dewan Perwakilan Rakyatmempunyai hak interpelasi, hakangket, dan hak menyatakanpendapat. (Pasal 20A UUD1945)

Klitik -nya pada contoh (3) dan(4) di atas bersifat kataforis karenamengacu referen yang berada disebelah kanan (referen yang akandisebutkan), yaitu mengacu presidendan wakil presiden pada contoh (3)dan mengacu pada Dewan PerwakilanRakyat pada contoh (4). Jika -nyasebagai pengacu tidak dimunculkandalam kalimat, informasi yang akandiungkapkan kalimat (3) dan (4) akanterganggu karena keterkaitanantarunsur dalam kalimat tersebuttidak terjalin secara apik. Apabila -nyadiganti dengan anteseden yang diacu,kalimat (3) dan (4) di atas menjadiseperti pada (3a) dan (4a), sedangkanjika pengacu -nya dilesapkan, kalimat(3) dan (4) di atas menjadi tidakberterima seperti tampak pada (3b) dan(4b) berikut.

(3)a. Sebelum memangku jabatanpresiden dan wakil presiden,presiden dan wakil presidenbersumpah menurut agama, atauberjanji dengan sungguh-sungguh di hadapan MajelisPermusyawaratan Rakyat atauDewan Perwakilan Rakyatsebagai berikut ....b. *Sebelum memangkujabatanØ, presiden dan wakil

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka: Kohesi Gramatikal dalam…

75

presidenbersumpah menurutagama, atau berjanji dengansungguh-sungguh di hadapanMajelis Permusyawaratan Rakyatatau Dewan Perwakilan Rakyatsebagai berikut ....

(4)a. Dalam melaksanakan fungsiDewan Perwakilan Rakyat,selain hak yang diatur dalampasal-pasal undang-undang dasarini, Dewan Perwakilan Rakyatmempunyai hak interpelasi, hakangket, dan hak menyatakanpendapat.b. *Dalam melaksanakanfungsiØ, selain hak yang diaturdalam pasal-pasal undang-undang dasar ini, DewanPerwakilan Rakyat mempunyaihak interpelasi, hak angket, danhak menyatakan pendapat.

Berdasarkan data di atas tampakbahwa bentuk terikat pronominapersona ketiga -nya, baik yang anaforismaupun yang kataforis, ternyata dapatdigunakan untuk mengacu padaanteseden yang berupa rumpun nomina(nomina atau frasa numeral).Pronomina -nya tidak mutlak hanyadigunakan untuk mengacu padaanteseden yang berupa pronominapersona ketiga tunggal, tetapi jugapada pronomina persona ketiga jamak.

Pemarkah Takrif

Selain menggunakan pronominapersona ketiga sebagaimana telahdiutarakan di atas, pengacuan dalambahasa perundang-undangan jugamenggunakan pemarkah takrif.Pemarkah takrif (definite marker)merupakan penanda ketakrifan padanomina atau frasa nominal di sebelahkirinya dari nomina/frasa nominalumum menjadi nomina/frasa nominal

tertentu. Pemarkah takrif yang seringdigunakan sebagai pengacu, antaralain, adalah itu, tersebut,dan ini sepertitampak pada beberapa contoh berikut.

Pasal 20(1)....(2) Setiap rancangan undang-

undang dibahas oleh DewanPerwakilan Rakyat dan Presidenuntuk mendapatkan persetujuan.

(3) Jika rancangan undang-undangitu tidak mendapatpersetujuan bersama, rancanganundang-undangitutidak bolehdiajukan lagi dalam persidanganDewan Perwakilan Rakyat.

(4) Presiden mengesahkanrancangan undang-undang yangtelah disetujui bersama untukmenjadi undang-undang.

(5) Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujuibersama tersebut tidak disahkanoleh Presiden dalam waktu tigapuluh hari semenjak rancanganundan-undangtersebut disetujui,rancangan undang-undangtersebut sah menjadiundang-undang dan wajibdiundangkan.

Pemarkah itu pada frasa nominalrancangan undang-undang itu padaayat (3) menakrifkan anteseden yangtelah disebutkan terdahulu, yaitumenakrifkan rancangan undang-undang yang terdapat pada ayat (2).Tanpa pemarkah takrif itu katarancangan undang-undang pada ayat(3) tidak mempunyai kaitan kohesifdengan ujaran yang terdapat pada ayat(2). Sementara itu, pemarkah takriftersebut dalam ayat (5) menakrifkanfrasa rancangan undang-undang yangtelah disetujui bersama pada ayat (4).Jika frasa rancangan undang-undangyang telah disetujui bersama itu tidak

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

76

ditandai dengan pemarkah takrif, ayat(3) dan ayat (5) di atas tidak memilikihubungan kohesif. Ayat-ayat dalampasal tersebut akan berdiri sendirisebagai kalimat yang lepas tanpamempunyai kaitan kohesif denganayat-ayat yang lain seperti tampakpada perubahan berikut.

(1)....(2)Setiap rancangan undang-undang

dibahas oleh Dewan PerwakilanRakyat dan Presiden untukmendapatkan persetujuan.

(3)Jika rancangan undang-undangØ tidak mendapat persetujuanbersama, rancangan undang-undang Øtidak boleh diajukanlagi dalam persidangan DewanPerwakilan Rakyat.

(4)Presiden mengesahkanrancangan undang-undang yangtelah disetujui bersama untukmenjadi undang-undang.

(5)Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujuibersama Ø tidak disahkan olehPresiden dalam waktu tiga puluhhari semenjak rancangan undan-undang Ø disetujui, rancanganundang-undang tersebut sahmenjadi undang-undang danwajib diundangkan.

Pasal 72Pada saat undang-undang iniberlaku, semua peraturanperundang-undangan yangmengatur bendera, bahasa, danlambang negara, serta lagukebangsaan masih tetap berlakusepanjang tidak bertentangandan/atau belum diganti denganperaturan baru berdasarkanundang-undang. (UU No. 24Tahun 2009)

Pemarkah ini pada frasa nominalundang-undang ini dalam Pasal 72 diatas menakrifkan anteseden yangsedang dibicarakan, yaitu undang-undang. Tanpa pemarkah takrif inifrasa nominal undang-undang tidakmempunyai kaitan kohesif dengan isikeseluruhan dalam Pasal 72 di atas.Jika alat pemarkah kohesif tidakdimunculkan, Pasal 72 di atas akantampak seperti berikut ini.

Pada saat undang-undang Øberlaku, semua peraturanperundang-undangan yangmengatur bendera, bahasa, danlambang negara, serta lagukebangsaan masih tetap berlakusepanjang tidak bertentangandan/atau belum diganti denganperaturan baru berdasarkanundang-undang. (UU No. 24Tahun 2009)

Klausa subordinatif pada saatundang-undang ini berlaku dalam awalpasal tersebut sangat berbedamaknanya dengan pada saat undang-undang Ø berlaku. Klausa pada saatundang-undang ini berlakumenyiratkan makna bahwa yangberlaku adalah ’undang-undang ini’atau ’undang-undang teretntu yangsedang dibicarakan’, sedangkan klausasubordinatif pada saat undang-undangberlaku menyiratkan makna bahwayang berlaku adalah ’sembarangundang-undang’, bukan ’undang-undang tertentu’.

Kekhasan pemarkah takrif yangdigunakan sebagai kohesi dalamperundang-undangan tampak padacontoh berikut.

Pasal 29(1)Bahasa Indonesia wajib

digunakan sebagai bahasa

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka: Kohesi Gramatikal dalam…

77

pengantar dalam pendidikannasional.

(2)Bahasa pengantar sebagaimanadimaksud pada ayat (1) dapatmenggunakan bahasa asinguntuk tujuan yang mendukungkemampuan berbahasa asingpeserta didik.

(3)Penggunaan bahasa Indonesia se-bagaimana dimaksud pada ayat(1) tidak berlaku untuk satuanpendidikan asing atau satuanpendidikan khusus yangmendidik warga negara asing.

Tampak bahwa frasasebagaimana dimaksud pada ayat (1)pada ayat (2) dan ayat (3) berfungsisebagai pemarkah takrif anteseden

yang diacunya, yaitu mengacu padabahasa pengantar dalam duniapendidikan dalam ayat (1) danmengacu pada penggunaan bahasaIndonesia sebagai bahasa pengantardalam pendidikan nasional. Kekahasanpengacuan dalam perundang-undangaan dalam pasal di atas ditandaidengan penggunaan pemarkah takrifsebagaimana dimaksud pada ayat (1).Tanpa menggunakan pemarkah itu,ayat (2) dan ayat (3) tidak menyatakanhubungan kohesif dengan ayat (1).Selain pemarkah takrif sebagaimanadimaksud pada ayat ..., pemarkahsebagaimana dimaksud dalam pasal ...juga lazim digunakan untuk mengacuanteseden yang telah disebutkansebelumnya.

Tabel 1Kohesi Gramatikal Jenis Pengacuan

Jenis Pengacuan Bentuk Pengacuan

Pronomina Persona (klitik) -nyaPemarkah Takrif itu, tersebut

sebagaimana dimaksud pada ayatsebagaimana dimaksud dalam pasal

Penyulihan (Substitution)

Penyulihan merupakan proses,cara, atau perbuatan menyulih ataumengganti. Penyulihan sama denganpenggantian. Dalam penyulihanterdapat hubungan leksikogramatisantara alat penyulih dan unsur yangdisulih. Menurut Halliday dan RuqayaHasan (1979), konstituen yang akandisulih diganti dengan konstituen lainyang memiliki acuan yang sama.Namun, antara yang disulih danpenyulih tidak memiliki makna yangsama. Dalam penyulihan terdapatpenggantian konstituen, yaitupenggantian dengan butir yang lain—yang berupa kata, frasa, atau klausadan yang maknanya sama sekali ber-beda—terhadap unsur yang digantinya.

Dalam bahasa perundang-undangan penyulihan sebagai alatkohesi untuk menyulih kata, frasa, atauklausa dengan butir lain ternyata tidakbanyak ditemukan. Penyulihan dalambahasa peraturan perundang-undangancenderung bersifat anaforis karenakonstituen yang akan disulih harusdisebutkan terlebih dahulu. Jika tidakdisebutkan terlebih dahulu, penyulihantidak dapat dilakukan. Perhatikancontoh berikut.

(5)Jika presiden mangkat, berhenti,diberhentikan, atau tidak dapatmelakukan kewajibannya dalammasa jabatannya, ia digantikanoleh wakil presiden sampai habismasa jabatannya. (Pasal 8 UUD1945)

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

78

Tampak bahwa pronomina iayang berfungsi sebagai subjek klausautama mengganti presiden yangberfungsi sebagai subjek pada klausasubordinatif. Secara semantis kata iadan presiden sama sekali tidakmemiliki hubungan makna sebab iabermakna ’orang ketiga tunggal’ atau’sesuatu/benda yang dibicarakan’,sedangkan presiden bermakna ’kepala,kepala negara, atau kepalapemerintahan’. Namun, pada contoh(5) tersebut ia memiliki acuan yangsama dengan presiden sehingga iadapat digunakan untuk menyulihpresiden yang telah diungkapkansebelumnya. Jika tidak disulih denganpronomina ia, kalimat (5) akan tampakmenjadi (5a) berikut.

(5a) Jika presiden mangkat,berhenti, diberhentikan, atautidak dapat melakukankewajibannya dalam masajabatannya, presiden digantikanoleh wakil presiden sampai habismasa jabatannya.

Namun, jika tidak ada penyulihan,berarti peranti kohesi tidak ada,kalimat tidak dapat menunjukkanhubungan yang serasi. Akibatnya,keserasian hubungan antara proposisiyang dibangun di dalam kalimattersebut tidak dapat diungkapkansecara apik seperti tampak pada (5b)berikut.

(5b) *Jika presiden mangkat,berhenti, diberhentikan,atau tidak dapat melakukankewajibannya dalam masajabatannya, Ødigantikanoleh wakil presiden sampaihabis masa jabatannya.

Pelesapan

Pelesapan lazim pula disebutpengelipsan dan pengilipsan

merupakan penggantian dengan bentuksifar atau bentuk kosong (substitutionby zero). Prinsip pelesapan adalahketerpeulangan (recoverability) padabentuk asalnya. Maksudnya adalahbentuk yang dilesapkan itu dapatdipulangkan kembali ke dalam bentukasalnya. Menurut Halliday dan RuqayaHasan (1979) pelesapan mensyaratkanbahwa bentuk yang dilesapkan harusterlebih dahulu disebutkan dalamparagraf, wacana, atau teks. Jika tidakdisebutkan terlebih dahulu, pelesapanitu tidak mungkin dapat dilakukan.

Dalam bahasa perundang-undangan pelesapan sebagai alatkohesi digunakan untuk menyulih kata,frasa, atau klausa yang telahdisebutkan terlebih dahulu. Pelesapandalam bahasa peraturan perundang-undangan cenderung bersifat anaforiskarena konstituen yang akan disulihdengan pelesapan tersebut harus telahdisebutkan terlebih dahulu. Perhatikancontoh berikut.

(6) Presiden dengan persetujuanDewan Perwakilan Rakyatmenyatakan perang, membuatperdamaian dan perjanjiandengan negara lain. (Pasal 11UUD 1945)

(7) Badan Pemeriksa Keuangan ber-kedudukan di ibu kota negaradan memiliki perwakilan disetiap provinsi. (Pasal 23GUUD 1945)

(8) Setiap orang berhak untuk hidupserta berhak mempertahankanhidup dan kehidupannya. (Pasal28A UUD 1945)

Data di atas memperlihatkanbahwa presiden pada klausa keduadalam contoh (6), Badan PemeriksaKeuangan pada klausa kedua dalamcontoh (7), dan setiap orang padaklausa kedua dalam contoh (8) tidak

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka: Kohesi Gramatikal dalam…

79

diungkapkan secara nyata, tetapisengaja dilesapkan. Jika tidakdilesapkan, kalimat tersebut tidak salahdari segi sintaksis, tetapi keapikaninformasi kalimat akan terganggu. Jikasubjek klausa kedua tidak dilesapkan,kalimat di atas akan menjadi (6a), (7a),dan (8a) berikut.

(6a) Presiden dengan persetujuanDewan Perwakilan Rakyatmenyatakan perang, presidenmembuat perdamaian danperjanjian dengan negara lain.

(7a) Badan Pemeriksa Keuanganberkedudukan di ibu kota negaradan Badan Pemeriksa Keuanganmemiliki perwakilan di setiapprovinsi.

(8a) Setiap orang berhak untuk hidupserta setiap orang berhak mem-pertahankan hidup dankehidupannya.

Meskipun pelesapan biasanyamemiliki hubungan yang anaforis yaitumengacu pada anteseden yang telahdisebutkan sebelumnya, data berikutmemperlihatkan pelesapan yangmemiliki hubungan kataforis, yaitumengacu pada anteseden yang akandisebutkan.

(6)Majelis Permusyawaratan Rakyatberwenang mengubah danmenetapkan Undang-UndangDasar. (Pasal 3 ayat 1 UUD1945)

(7)Susunan, kedudukan,keanggotaan, dan hukum acaraMahkamah Agung serta badanperadilan di bawahnya diaturdengan undang-undang. (Pasal24A ayat 5 UUD 1945)

(8)Susunan, kedudukan, dankeanggotaan Komisi Yudisialdiatur dengan undang-undang.(Pasal 24B ayat 4 UUD 1945)

Data di atas memperlihatkanbahwa Undang-Undang Dasar padaklausa mengubah Undang-UndangDasar dalam contoh (9), MahkamahAgung pada frasa nominal susunanMahkamah Agung, kedudukanMahkamah Agung, dan keanggotaanMahkamah Agung dalam contoh (10)dilesapkan. Demikian pula KomisiYudisial pada frasa nominal susunanKomisi Yudisial dan kedudukan KomisiYudisial dalam contoh (11) jugadilesapkan. Pelesapan pada contoh (9)s.d. (11) di atas merupakan pelesapanyang bersifat kataforis karenapelesapan itu mengacu pada antesedenyang akan disebutkan, yaitu mengacupada objek Undang-Undang Dasardalam contoh (9), pada atribut frasanominal Mahkamah Agung dalamcontoh (10), dan Komisi Yudisialdalam contoh (11). Jika objek padaklausa (9) serta atribut frasa nominalpada (10) dan (11) di atas tidakdilesapkan, kalimat di atas akanmenjadi (9a) s.d. (11a) berikut.

(9a) Majelis PermusyawaratanRakyat berwenang mengubahUndang-Undang Dasar danmenetapkan Undang-UndangDasar.

(10a) Susunan Mahkamah Agung, ke-dudukan Mahkamah Agung, ke-anggotaan Mahkamah Agung,dan hukum acara MahkamahAgung serta badan peradilan dibawahnya diatur denganundang-undang.

(11a) Susunan Komisi Yudisial,kedudukan Komisi Yudisial,dan keanggotaan KomisiYudisial diatur dengan undang-undang.

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

80

Tabel 2Kohesi Gramatikal

Jenis Penyulihan dan Pelesapan

Jenis Pengacuan Bentuk Pengacuan

Penyulihan Berupa PronominaPersona Ketiga

ia, dia

Pelesapan Berupa Elipsis pelesapan subjekpelesapan inti frasapelesapan dan, atau

Relasi Konjungtif (ConjunctiveRelation)

Suhaebah (2012, hlm. 63-71)sejalan dengan Halliday dan RuqayaHasan menyatakan bahwa relasikonjungtif merupakan relasi dua unsurbahasa, baik relasi antarklausa, relasiantarkalimat, maupun relasiantarparagraf. Untuk menyatakanhubungan konjungtif itu, digunakankohesi yang berupa kata atau ungkapanpenghubung antarkata, antarfrasa,antarklausa, atau antarkalimat.

Dalam bahasa perundang-undangan relasi konjungtif sebagai alatkohesi untuk menyatakan hubunganantarklausa ataupun hubungan antar-kalimat ditemukan pada beberapacontoh berikut.

(12)Dalam hal tidak ada pasangancalon Presiden dan WakilPresiden terpilih, dua pasangancalon yang memperoleh suaraterbanyak pertama dan keduadalam pemilihan umum dipiliholeh rakyat secara langsung, danpasangan yang memperolehsuara rakyat terbanyak dilantiksebagai presiden dan wakilpresiden. (Pasal 6A ayat 4 UUD1945)

Relasi konjungtif pada contoh(12) ditunjukkan dengan penggunaan

konjungsi dalam hal dan dan.Konjungsi dalam hal menyatakanrelasi syarat, sedangkan danmenyatakan relasi komulatif ataupenjumlahan. Relasi konjungtif yanglain yang sering digunakan dalambahasa perundang-undangan ialahapabila, bila, dan jika yang semuanyadigunakan untuk menyatakan relasisyarat.

(13)Sebelum memangkujabatannya, presiden dan wakilpresiden bersumpah menurutagama, atau berjanji dengansungguh-sungguh di hadapanMajelis PermusyawaratanRakyat atau Dewan PerwakilanRakyat. (Pasal 9 ayat 1 UUD1945)

Relasi konjungtif pada contoh(13) ditunjukkan dengan penggunaankonjungsi sebelum dan tetapi.Konjungsi sebelum menyatakan relasitemporal (urutan waktu), sedangkankonjungsi atau menyatakan relasialternatif atau pemilihan. Sementaraitu, relasi konjungtif pada contoh (14)berikut ditunjukkan denganpenggunaan konjungsi untuk dandengan.

(14)Rancangan undang-undanganggaran pendapatan dan belanjanegara diajukan oleh presiden

Sry Satriya Tjatur Wisnu Sasangka: Kohesi Gramatikal dalam…

81

untuk dibahas bersama DewanPerwakilan Rakyat denganmemperhatikan pertimbanganDewan Perwakilan Rakyat.(Pasal 23 ayat 2 UUD 1945)Secara leksikal untuk dan dengan

merupakan preposisi, tetapi setelahdigunakan dalam kalimat, kedua kataitu berubah menjadi konjungsi.Konjungsi untuk pada kalimat tersebutmenyatakan relasi tujuan, sedangkan

konjungsi dengan menyatakan relasicara atau alat.

Relasi konjungtif yang digunakandalam Undang-Undang Dasar 1945adalah dalam hal, terhadap, bahwa,untuk, setelah, jika, jika ... maka,sebelum, dengan, sepanjang, dalam,apabila, dan, serta, dan dalam rangka.Namun, dalam perkembangannyarelasi konjungtif jika ... makacenderung tidak digunakan lagi pasca-amandemen ke-4 UUD 1945.

Tabel 3Kohesi Gramatikal

Jenis Relasi Konjungsi

Jenis Pengacuan Bentuk Pengacuan

Relasi Syarat dalam hal, apabila, bila, jikaRelasi Komulatif DanRelasi Alternatif AtauRelasi Tujuan UntukRelasi Cara/Alat DenganRelasi Temporal Sebelum

PENUTUP

Berdasarkan paparan di atasdapat disimpulkan bahwa kohesigramatikal—baik yang berupa (i)pengacuan, (ii) substitusi (penyulihan),(iii) pelesapan (elipsis), serta (iv) relasikonjungtif (conjunctive relation)—dalam bahasa perundang-undangantidaklah berbeda dengan kohesigramatikal dalam ragam bahasa yanglain. Semua peranti kohesi gramatikalyang ada dalam ragam lain jugadigunakan dalam ragam bahasaperundang-undangan. Namun,penggunaan kohesi gramatikal dalamragam bahasa perundang-undanganyang membedakan dengan ragam yanglain tampak menonjol pada peng-gunaan kohesi yang berupa pengacuan.Frasa sebagaimana dimaksud dalampasal atau sebagaimana dimaksudpada ayat.... selalu digunakan sebagaipengacuan yang bersifat anaforis

terhadap anteseden yang telahdisebutkan sebelumnya. Sementara itu,jika pasal yang diacu, peranti kohesiyang digunakan ialah frasasebagaimana dimaksud dalam ....Namun, jika ayat yang diacu, frasayang digunakan ialah sebagaimanadimaksud pada ....

Pengacuan yang bersifat anaforislebih dominan daripada pengacuanyang bersifat kataforis, baik pengacuanyang berupa pronomina persona terikat(klitik -nya), pemarkah takrif, maupunpenyulihan atau substitusi. Penyulihandengan menggunakan pronominapersona tunggal ia (dia)hanyaditemukan dalam UUD 1945,sedangkan dalam peraturan perundang-undangan di bawahnya, penyulihansemacam itu tidak lagi ditemukan.

Relasi konjungtif sebagai alatkohesi untuk menyatakan hubunganantarklausa ataupun hubunganantarkalimat yang sering ditemukan

Kandai Vol. 12, No. 1, Mei 2016; 71—84

82

dalam bahasa perundang-undanganhanya berupa dalam hal, apabila, ataujika.

DAFTAR PUSTAKA

Alwi, H. et al. (1993). Tata bahasabaku bahasa Indonesia edisikedua. Jakarta: DepartemenPendidikan dan Kebudayaan RI.

Arifin, E. Z. (1993). "Alat kohesi gra-matikal dan leksikal dalamwacana cerita pendek bahasaSunda". Tesis PPS UI.

Dardjowidjojo, S. (1986). "Benangpengikat dalam wacana" dalamBambang Kaswanti Purwo (Ed.)1989. Pusparagam lingistikIndonesia. Jakarta: PenerbitArcan.

Halliday, M.A.K. & Ruqaya, H.(1979). Cohession in English.London: Longman Group.

Hoed, B. H. (1976). "Wacana beritadalam surat kabar HarianBerbahasa Indonesia" (LaporanPenelitian).

___________. (1994). "Wacana, teks,dan kalimat" dalam Sihombing(Ed.) 1994. Bahasawan cendikia.Jakarta: FSUI dan Intermasa.

Moeliono, A. M. et al. (1988). Tatabahasa baku bahasa Indonesia.Jakarta: Balai Pustaka.

Purwo, B. K. (Ed.). (1989). Pus-paragam linguistik danpengajaran bahasa. Jakarta:Penerbit Arcan.

Ramlan, M. (1993). Paragraf: Alurpikiran dan kepaduannya dalambahasa Indonesia. Yogyakarta:Andi Offset.

Richards, J. et al. (1985). Longmandictionary of applied linguistics.London: Longman. Samsuri.1987. "Analisis wacana".Malang: IKIP Malang.

Sihombing (Ed.). (1994). Bahasawancendikia. Jakarta: FSUI danIntermasa.

Stubbs, M. (1983). Discourse analysis.Oxford: Basil Blackwell.

Samsuri. (1987). Analisa bahasa.Surabaya: Erlangga.

Sugono, D. (1991). "Pelesapan subjekdalam bahasa Indonesia".Disertasi Fakultas PascasarjanaUI.

Suhaebah, E. (2012). Kohesi dalambahasa Indonesia. Yogyakarta:Elmatera Publishing.