jurusan sejarah dan peradaban islam · pdf filestudi kasus: tengku ibrahim mantiq skripsi ......
TRANSCRIPT
1
PERANAN ULAMA TANAH GAYO ACEH TENGAH DALAM
PENGEMBANGAN ISLAM
STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM MANTIQ
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh
Mantik
NIM:104022000803
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
2
PERANAN ULAMA TANAH GAYO ACEH TENGAH DALAM
PENGEMBANGAN ISLAM
STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM MANTIQ
Skripsi
Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh
Gelar Sarjana Humaniora (S. Hum)
Oleh
Mantik
NIM:104022000803
Dibawah Bimbingan
Drs. Azhar Saleh, M.A
NIP: 19581012 199203 1 004
JURUSAN SEJARAH DAN PERADABAN ISLAM
FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
2009
3
PENGESAHAN PANITIA UJIAN
Skripsi yang berjudul PERANAN ULAMA TANAH GAYO ACEH TENGAH
DALAM PENGEMBANGAN ISLAM STUDI KASUS: TENGKU IBRAHIM
MANTIQ telah diujikan dalam sidang munaqasyah Fakultas Adab dan Humaniora UIN
Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal 28 Juli 2009. Skripsi ini telah diterima sebagai
salah satu syarat untuk memperoleh gelar sarjana Program Strata 1 (S1) pada jurusan
Sejarah dan Peradaban Islam.
Jakarta, 28 Juli 2009
Sidang Munaqsyah
Ketua Merangkap Anggota, Sekretaris MerangkapAnggota,
Drs. M.Ma’ruf Misbah, MA Usep Abdul Matien, SAg, MA, MA
NIP:19591222 199103 1 003 NIP:150 288 304
Anggota
Penguji, Pembimbing,
Drs. Saidun Derani, MA Drs. Azhar Saleh, MA
NIP:19570227 199203 1 001 NIP:19581012 199293 1 004
4
LEMBAR PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa :
1. Skripsi ini merupakan hasil karya asli saya yang diajukan untuk memenuhi salah satu
persyaratan memperoleh gelar strata 1 di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
2. Semua sumber yang saya gunakan dalam penulisan ini telah saya cantumkan sesuai
dengan ketentuan-ketentuan yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif
Hidayatullah Jakarta.
3. Jika di kemudian hari terbukti bahwa karya ini bukan hasil karya asli saya atau
merupakan hasil jiblakan dari karya orang lain, maka saya bersedia menerima sanksi
yang berlaku di Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta.
Jakarta, 7 Juli 2009
Mantik
5
BAB 1
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG MASALAH
Bahwa ulama merupakan komponen penting dalam membina dan membangun
kehidupan umat manusia, umat Islam khususnya. Karena mereka sebagai pewaris, dan
sebagai penerus ajaran Islam yang telah dibawa oleh nabi Muhammad saw. Dalam
menjalankan tugas suci ini, mereka senantiasa tumbuh dan hadir untuk mengisi
kebutuhan zaman. Dengan demikian dapat ditegaskan, bahwa ulama bukan saja cerdas di
atas mimbar, tetapi fasih juga mengimplementasikannya di dalam segala segi kehidupan
bermasyarakat.
Dari sudut etimologis, istilah Ulama bersal dari kata kerja alima-ya’lamu ilman
yang berarti mengetahui.1 Orang yang memiliki ilmu disebut alim, sedangkan jamaknya
menjadi ulama. Sehingga istilah ulama diartikan sebagai suatu kelompok orang pandai
dalam suatu didiplin ilmu atau beberapa disiplin ilmu pengetahuan. Ulama dapat juga
diterjemahkan dengan Cendikiawan.2
Menurut Ibnu Qayim,3 pada era awal sejarah Islam, konsep ulama ini pernah
dimanifestasikan. Ulama tidak sja berarti seorang yang ahli dalam bidang ilmu agama,
melainkan seseorang yang ahli dalam bidang ilmu pengetahuan duniawi. Lebih lanjut
Ibnu Qayim menambahkan, karena itu pulalah maka dunia Islam pernah dikenal sebutan
1 Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara penterjemah pentapsiran AlQur’an: Jakarta, 1973) h.277
2 M. Dawam Raharjo, Intelektual, Itelegensia, dan perilaku Bangsa: Risalah CendikiawanMuslim; (Mizan: Bandung, 1999).
3 Ibnu Qoyim adalah Asisten Peneliti Madya PMB_LIPI tahun 1993
6
ulama-u al kimiyai (ilmuan kimia), ulama-u al-tarikhi (sejarawan), ulama-u al ijtimari
(ilmuan kemasyarakatan), ulama-u alfiqhi atau fuqaha, dan sebagainya.4
Sungguhpun demikian, istilah ulama sudah berkembang sebagai pengertian
khusus, yaitu mereka yang diakui masyarakat sebagai seorang yang di satu pihak
memiliki ilmu yang tinggi di bidang agama dan di lain pihak menjalankan akhlak sesuai
dengan ilmu agama yang diajarkan. Sehingga dengan demikian ia sendiri dapat menjadi
teladan atau panutan masyarakat.
Dalam sebuah hadits dikatakan, yang artinya “ulama itu adalah pewaris Nabi”.5
Dalam pengertian ini, ulama ditempatkan pada status social yang tinggi dalam komunitas
muslim. Masyarakat Islam abad pertengahan memberikan kedudukan yang tinggi pada
ulama, berkat pengetahuan keagamaan mereka.6 Yang diwarisi oleh ulama itu bukanlah
stutusnya, melainkan rislahnya. Untuk dapat menjalankan peranannya dalam meneruskan
rislah Nabi, ulama mengacu kepada empat sifat Nabi (1) shiddiq (jujur dan benar), (2)
amanah (dapat dipercaya) (3) tabligh (menyampaikan pesan-pesan agama kepada
manusia), (4) fathanah (bijaksana dalam menghadapi persoalan dan situasi yang
dihadapi).
Ciri-ciri di atas memang juga memiliki cirri kepemimpinan, sebab Nabi juga
menjadi pemimpin masyarakat. Oleh sebab itu seorang ulama dapat berkembang menjadi
seorang pemimpin masyarakat. Tetapi tugas utama ulama memang mempelajari dan
mendalami ilmu agama, dan kemudian menyampaikan kepada masyarakat, baik dengan
4 Ibnu Qayim, “Ulama Di Indonesia Pada Akhir Abad XIX dan Awal Abad XX”, sejarah, Vol 3,(1993) hal.12
5 Lihat shoheh al-Bukhari, (Daar wa Muthabi al-Syab), jilid I, h. 129
6 Saletore, “ulama”, dalam buku; Elie Dalam Perspektif Sejarah, disunting oleh SartonoKartojirdjo, (LP3ES: Jakarta, 1983)
7
cara Tabligh, mengajar atau dengan merealisasikannya pada proses perkembangan
masyarakat.
Demikian pula pemuda-pemuda Gayo (Aceh Tengah) yang telah memperoleh
predikat Tengku setlah menempuh pendidikan di pesantren mereka kembali ke Tanah
Gayo untuk memberikan dharma baktinya dalam usaha mengangkat harkat dan martabat
masyarakat Gayo. Dalam upaya tersebut mereka kelihatan berlomba-lomba untuk
mendirikan lembaga pendidikan modern seperti madrasah dan pesantren selain itu
mereka memelopori berdirinya tempat-tempat ibadah seperti masjid dan meunasah.
Disamping itu, lewat media dakwah mereka telah berhasil menyebarluaskan
ajaran Islam lewat pertemuan dan ceramah-ceramah sehingga secara bertahap,
masyarakat Gayo telah dapat meninggalkan tradisi-tradisi yang berbau bid’ah, tahayul
dan kurafat.
Dengan demikian perlu kiranya untuk mengangkat dan memperkenalkan kegiatn
ulama (Tengku) Gayo dalam upaya menyebarkn Islam. Hal ini dapat menjadi tolak ukur
tentang kemajuan di dalam masyarakat Tanah Gayo (Aceh Tengah) sebagai bagian yang
tidak dapat terlepaskan dari kemajuan bangsa.
B. PERUMUSAN MASALAH DAN RUANG LINGKUP MASLAH
Agar masalahnya lebih terfokus, maka saya merumuskan masalah sebagai berikut:
1. Bagaimana peran Tengku Ibrahim Mantiq dalam memajukan pendidikan dan
dakwah
2. Bagaimana respon rakyat Aceh Tengah terhadap kehadiran Tengku Ibrahim
Mantik dalam memajukan pendidikan dan dakwah.
8
Untuk memfokuskan masalah, maka penulis akan membatasi penulisan tentang
Peranan Ulama di Tanah Gayo Aceh Tengah Dalam Pengembangan Islam studi kasus
Tengku Ibrahim Mantiq tahun 1930-1950. Alasannya adalah karena pada periode tersebut
Tengku Ibrahim Mantiq salah satu Tengku berfikiran maju. Telah mencurahkan
perhatiaannya dalam bidang pendidikan dan dakwah. Karena dalam masa itu pemuda
Gayo setelah kembalinya dari perantauan mereka terus mengabdikan diri kepada
kepentingan masyarakat dengan mendirikan lembaga-lembaga pendidikan.
C. TUJUAN PENELITIAN
Penulisan skripsi ini bertujuan untuk mengangkat dan menulis sejarah yang
menyangkut tentang peranan ulama (Tengku) di Gayo (Aceh Tengah) dalam
pengembangan Islam. Dengan hasil penelitian ini akan dapat memperkaya khasanah
kesejarahan bangsa.
Tujuan utama penulisan skripsi ini adalah sebagai persyaratan dalam
menyelesaikan studi di Fakultas Adab dan Humaniora Jurusan Sejarah dan Peradaban
Islam UIN Syarif Hidatullah Jakarta.
E. METODE PENILITIAN
Masalah sejarawan dalam usaha memilih sesuatu subyek dan mengumpulkan
informasi mengenai subyek itu kegiatan tersebut belakangn seringkali diberi nama yunani
heuristic. Heuristic sejarah tidak berbeda dalam hakekatnya dengan kegiatan bibliografis
yang lain sejauh menyangkut buku-buku yang tercetak. Akan tetapi sejrawan harus
mempergunakan banyak material yang tidak terdapat didalam buku-buku. Jika bahan-
9
bahan itu berupa dokumen-dokumen resmi, maka ia harus mencari di arsip, pengadilan-
pengadilan, perpustakaan pemerintah, dan lain-lainnya.
Tujuan studi ini adalah untuk mencapai penulisan sejarah, maka upaya
merekontruksi masa lampau dari obyek yang diteliti itu ditempuh melalui metode sejarah.
Pengumpulan data atau sumber sebagai langkah pertama kali, dilangsungkan dengan
metode penggunaan bahan dokumen.7
Masih mengenai langkah pengumpulan data, observasi lapangan dilakukan
dengan jalan mengadakan wawancara kepada tokoh-tokoh dari peristiwa. Dalam hal ini,
informasi yang didapatkan adalah berupa sejarah lisan, yaitu dari tokoh-tokoh yang
langsung mengalami peristiwa baik sebagai tokoh utama maupun pengikutnya, atau
orang-orang yang langsung mendengar dari saksi pertama. Metode sejarah lisan ini
dipergunakan sebagai metode pelengkap terhadap bahan documenter.8
Untuk itu maka penulis akan melakukan serangkaian penelitian kepustakaan
(library reseach) dengan mengumpulkan data dari berbagai sumber seperti buku,
makalah, majalah, brosur, diktat, dan lain-lain. Untuk kepentingan ini penulis memilih
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Perpustakaan Fakultas Adab dan
Humaniora UIN Jakarta, Perpustakaan Nasional, Arsip Nasional dan lain-lain. Sedang
penelitian lapangan penulis telah melakukan serangkaian wawancara terutama dengan
muridnya serta tokoh-tokoh masyarakat Gayo baik di Aceh Tengah (Takengon)
khususnya masyarakat Kenawat yang berdomisili di Jakarta.
1. Margaret M. Poloma, Sosiologi Kontenporer, terj. YASOGAMA (Jakarta: CV. Rajawali, 1984)hal. 23; lihat pula selo soemardjan, loc. Cit.
2. Kuntowijoyo, Metodologi sejarah (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana, 1994, hal. 23
10
F. LANDASAN TEORITIS
Dengan menggunakan landasan teori sebagai landasan berpikir dalam penelitian
ini diharapkan dapat lebih terarah dalam penelitiannya dengan koridor dan teori. Serta
mempermudah peneliti dalam melakukan upaya pengkajian terhadap peristiwa-peristiwa
masa lampau.9
Sejarah sosial adalah kajian tentang seluruh lingkup kehidupan dan kebudayaan
dalam masyarakat yang tercatat dalam sejarah. Sartono Kartodirdjo mendefinisikan
sejarah sosial sebagai gejala sejarah yang memanifestasikan kehidupan sosial suatu
komunitas atau kelompok. Sartono menegaskan bahwa sejarah sosial mencakup berbagai
aspek kehidupan manusia kecuali aspek politik.10
Oleh karena itu maka dalam studi ini digunakan sudut pandang sosiologis dalam
mengkaji peristiwa-peristiwa sejarah yang dikaji. Secara metodologis dalam kajian
sejarah itu, sebagaimana dijelaskan oleh Weber, adalah bertujuan memahami arti
subyektif dari perolaku social, bukan semata-mata menyelidiki arti obyektif. Dari sini
tampaklah bahwa fungsional sosiologi mengarahkan pengkaji sejarah kepada pencarian
arti yang dituju oleh tindakan individual berkenan dengan peristiwa-peristiwa kolektif,
sehingga pengetahuan teoritislah yang akan mampu membimbing sejarawan dalam
menemukan motif-motif dari suatu tindakan atau factor-faktor dari suatu periatiwa. Oleh
karena itu pemahaman sejarawan dengan pendekatan tersebut lebih bersifat subyektif.
Sebagai konsekuensi dari sudut pandang yang dipakai dalam studi ini maka digunakan
pendekatan sosiologi-histories. Dengan pendekatan sejarah ini diharapkan dapat
9 Dudung Abdurahman, M. Hum, Metode Penelitian Sejarah, Logos, Jakarta 199910 Ibid
11
dihasilkan sebuah penjelasan Historical Explanation yang mampu mengungkapkan
peristiwa-perisriwa yang relevan.
G. SISTEMATIKA PENULISAN
Penulisan skripsi ini terdiri dari atas 5 bab, yang masing-masing bab tersebut
tersiri atas beberapa sub bab yang merupakan penjelasan dari bab tersebut. Adapun
perinciannya sebagai berikut:
Bab 1. Berupa pendahuluan yang terdiri atas latar belakang masalah, rumusan
masalah, lingkup permslahan, manfaat penting penelitian, landasn teori, metode
penulisan, dan sistematika penulisan.
Bab 2. Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang mengenal masyarakat
Gayo Aceh Tengah, yaitu yang terdiri atas letak geografis Tanah Gayo, kondisi social
masyarakat Gayo, dan proses kedatangan Islam di Tanah Gayo.
Bab 3. Pada bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang riwayat hidup Tengku
Ibrahim Mantiq, yaitu mulai dari kehidupan keluarga, dan dalam mengikuti pendidikan.
Bab 4. Pasa bab ini penulis mencoba menjelaskan tentang peranan Tengku
Ibrahim Mantiq dalam memajukan pendidikan di Tanah Gayo Aceh Tengah yang terdiri
dari bidang pendidikan, bidang dakwah dan respon rakyat Aceh terhadap Tengku Ibrahim
Mantiq.
Bab 5. Merupakan bab terakhir dalam penulisan ini yaitu terdiri atas kesimpulan
dan saran-saran.
8
BAB II
MENGENAL MASYARAKAT GAYO ACEH TENGAH
A. LETAK GEOGRAFIS TANAH GAYO
Tanah Gayo yang sekarang dikenal dengan nama Kabupaten Aceh Tengah,
luasnya meliputi 5.155 km. kabupaten ini berbatas di sebelah Utara dengan kebupaten
Aceh Utara, sebelah Selatan dengan Kabupaten Aceh Tenggara, disebelah Barat
melintang Kabupaten Aceh Timur.
Secara administratif, Kabupaten Aceh Tengah terbagi atas tujuh kecamatan yaitu:
1) Kecamatan kota Takengon, yang juga sebagai ibukota kabupaten,
2) Kecamatan Bukit ibukotanya di Simpang Tiga
3) Kecamatan Bebesen ibukotanya Bebesen
4) Kecamatan Timang Gajah, ibukotanya Lampahan
5) Kecamatan Silin Nara, ibukotanya Angkup
6) Kecamatan Linge, ibukotanya di Isaq, dan
7) Kecamatan Bandar ibukotanya di Janarata.
Daerah kabupaten Aceh Tengah merupakan juga bagian dari jalur pegunungan
Bukit Barisan yang membentang sepanjang pulau Sumatra. Kawasan ini terletak di atas
dataran tinggi sekitar 1300 meter di atas permukaan air laut. Aceh Tengah termasuk
daerah beriklim tropis dengan banyak hujan dan kelembaban yang sangat tinggi. Suhunya
9
rendah 12 C-23 C. Angin Barat bertiup dari bulan April sampai dengan bulan Oktober,
sedang angin Timur bertiup pada bulan November sampai dengan bulan Maret11.
Secara keseluruhan, areal Kabupaten Aceh Tengah terbagi atas hutan lebat
484.300 Ha, hutan pinus 92.299 Ha, kebun kopi 22.134.40 Ha, tanah persawahan
10.680,80 Ha.
Penduduk yang mendiami Aceh Tengah adalah suku Gayo, suku Gayo tersebut
tersebar di daerah Aceh Tengah (Benermeriah dan Blangkejeren). Suku Gayo yang
mendiami disekitar laut tawar disebut Gayo Lut. Menurut dialeknya Gayo Lut terbagi dua
yaitu Bukit yang berpusat di Kebayakan dan Cik berpusat di Bebesen dan sekitarnya.
Sedang yang lain suku Gayo di luar Laut Tawar disebut Gayo Deret yang berpusat di
Linge. Konon Linge asal mula kehidupan suku Gayo.
Menurut sejarahnya, penduduk yang mendiami kampung Bebesen dan Kebayakan
merupakan kampung “inti” di Gayo Lut, mempunyai satu anggapan bahwa asal-usul
mereka berbeda. Penduduk kampung Kebayakan mengatakan bahwa mereka penduduk
“asli” di Gayo ini, sedang yang satu pihak lagi, yakni penduduk kampung Bebesen
memang menyadari bahwa mereka berasal dari luar daerah ini mereka datang dari Batak
(Tapanuli). Lebih populer lagi bahwa mereka berasal dari apa yang disebut “Batak 27”
karena mereka berasal usul dari 27 orang Batak yang datang ke daerah Gayo ini pada
zaman lampau12.
11 Mukhlis Paeni, RIAK di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan di Gayo AcehTengah. ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) kerjasama dengan Gadja Mada University Press.Jakarta 2003
12 A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran PadaSeminar di Aceh), Jakarta: Percetakan Offset, 1989, Cet Ke-2
10
B. KONDISI SOSIAL DAN BUDAYA MASYARAKAT GAYO
Masyarakat Gayo umumnya berdiam mengelompok dalam komunitas-komunitas
kecil yang disebut kampung, komunitas ini terdiri dari rumah-rumah yang dihuni oleh
masing-masing keluarga. Sedang pada masa lalu mereka tinggal dalam satu rumah
panjang yang berukuran 20-30 meter dengan lebar 6-9 meter. Rumah semacam ini dihuni
dalam keluarga inti atau keluarga luas yang masih ada hubungan kerabat. Sedang
sekarang bentuk rumah tersebut sudah ditinggalkan.
Sebuah perkampungan ditandai dengan tempat ibadah sehari-hari yang disebut
Mersah dan Joyah bagi kaum perempuan. Bangunan ini dilengkapi dengan tempat mandi
dan jamban untuk umum dan Mersah ini biasanya merupakan milik dari satu klen atau
belah, jadi setiap kampung ada beberapa klen dan beberapa Mersah atau Masjid.
Masyarakat Gayo memiliki sistem budaya sebagai acuan dalam kelangsungan
hidup sebagai suatu kesatuan sosial.sistem masyarakat Gayo telah terwujud dalam waktu
lama yang bersumber dari edet dan hukum. Edet adalah unsur-unsur penegetahuan,
kepercayaan, nilai dan norma-norma warisan nenek moyang yang disebut adat lama,
sedang Hukum adalah keyainan dan kaidah-kaidah yang berasal dari agama Islam. Kedua
sumber tersebut tak dapat dipisahkan, meskipun kadang-kadang masing-masing
mempunyai fungsi khusus.
Sedang sistem kekerabatan masyarakat Gayo adalah menarik garis keturunan
menurut prinsip patrilineal. Adat menetap sesudah menikah umumnya adalah virilokal,
yang mereka sebut juelen atau ango13; artinya sepasang pengantin menetap di
13 M. Junus Melalatoa, Ensiklopedi Suku Bangsa di Indonesia, Jakarta: Departemen Pendidikandan Kebudayaan, 1995,
11
lingkungan kerabat suami. Namun ada pula adat uxoriloka yang mereka sebut angkap14,
artinya pasangan pengantin menetap dilingkungan kerabat istri. Pada masa terakhir ini
mereka sudah bebas memilih ke salah satu pihak atau berdiam di tempat yang lain.
Di masa lalu, sebuah keluarga inti yang disebut sarana berine berdiam dalam
sebuah rumah panjang bersama sejumlah keluarga inti atau sejumlah keluarga luas
lainnya. Sebuah keluarga inti baru biasanya masih satu kesatuan dengan keluarga inti
seniornya sehingga merupakan sebuah keluarga luas yang disebut sara dapur.
Keseluruhan keluarga inti atau keluarga luas yang berdiam satu rumah itu disebut
kelompok sara umah, artinya “satu rumah”. Kelompok satu rumah ini masih terikat
dalam hubungan kerabat dan mereka masih terikat dalam ikatan satu klen (belah) dengan
jumlah rumah lain semacam itu. Mereka terikat oleh aturan-aturan adat berupa sistem
nilai budaya seperti tersebut di atas.
Di masa lalu masyarakat Gayo Lut hidup sebagai petani, terutama bercocok tanam
di sawah. Sawah yang luas adalah simbol gengsi. Dalam hal pertanian sawah, mereka
menjalankan macam-macam tradisi, mulai dari menabur benih, mengolah tanah, sampai
kepada memulai makan hasil panen yang baru. Tradisi ini menyangkut aktivitas tolong-
menolong yang terkait dengan kepercayaan. Dalam aktivitas pertanian ini tersirat
berbagai nilai budaya sebagai acuan, misalnya mengukur apakah seseorang punya rasa
saling menolong, disiplin dalam mengikuti aturan kegiatan pertanian, mengukur apakah
sesorang bersikap kerja keras, dan lain-lain. Jenis mata pencarian lain di masa lalu adalah
berternak kerbau dan menagkap ikan di Danau Laut Tawar, terutama bagi masyarakat di
sekitar danau tersebut. Banyaknya jumlah ternak yang dimiliki juga menjadi simbol
genarasi.
14 Ibid, hal 280
12
Pada periode lain orang Gayo kebanyakan lebih mengutamakan penanaman kopi
di kebun-kebun. Hutan-hutan yang memungkinkan untuk ditanami kopi mereka babat.
Kebun kopi menjadi salah satu simbol gengsi, meskipun hidup mereka jatuh bangun
sesuai jatuh bangunnya harga kopi, karena tata niaga kopi itu dikendalikan oleh orang
lain. Dalam periode ini sawah menjadi kurang penting dalam pandangan mereka, karena
dilihat dari perhitungan ekonomi penghasilan dari sawah tidak mampu memenuhi
macam-macam kebutuhan yang semakin berkembang dan bervariasi. Namun dalam jenis
mata pencarian ini sudah tidak banyak lagi aturan adat atau upacara yang menyangkut
nilai-nilai tadi. Orientasinya sudah lebih banyak kepada perhitungan materi, dan
berangsur-angsur meninggalkan nilai-nilai tersebut di atas
Orang Gayo Lut mengenal beberapa jenis kesenian, seperti seni sastra, seni suara,
seni tari, seni rupa, seni instrumental, dan ada juga kesenian didong yang merupakan
paduan antara seni sastra, seni suara dan seni tari. Seni lain bernama sa’er, yang
merupakan paduan seni suara dan seni sastra yang bernafaskan keagamaan. Seni sastra
lainnya adalah melengkan, seni pidato adat yang berbalas-balasan.
Kesenian Didong adalah induk dari beberapa cabang seni dan mempunyai kaitan
dengan sruktur sosial dan menjadi jiwa dari dinamika sosial masyarakat setempat.
Kesenian ini dimainkan dalam kelompok yang terdiri dari 25-35 orang yang pada
umumnya diperankan oleh kaum pria. Kesenian ini merupakan seni bersyair yang
dinyanyikan serta diiringi dengan gerak-gerak tertentu yang serasi dengan isi syair dan
irama lagunya.
13
Dalam setiap perkumpulan tadi ada beberapa orang yang disebut ceh dan yang
lainnya disebut pengiring (penunung). Seorang yang disebut ceh adalah seniman
komplit, artinya ia adalah seorang penyair atau orang yang mampu menciptakan puisi-
puisi sendiri, mampu menciptakan lagu sendiri, dan memiliki suara yang merdu. Dalam
satu kumpulan, para ceh-nya itu biasanya terbagi atas dua atau tiga kategori sesuai
dengan kemampuan yang dimiliki dalam menciptakan dan keindahan suara tadi, yaitu
ceh kul (seniman utama), ceh due (ceh dua), dan seterusnya.
Pada masa lalu, kesenian ini berfungsi sebagai hiburan dan sarana mengungkap
masalah-masalah adat, misalnya adat perkawinan, adat mendirikan rumah, pertanian dan
lain-lain. Dengan demikian pengetahuan tentang adat itu akan terus tetap hidup sebagai
pengetahuan masyarakat. Pada masa ini pagelaran pertandingan kesenian itu adalah antar
klen, yang juga berfungsi untuk mempertahankan sruktur sosial dalam wadah berupa
klen. Pada masa yang lebih terakhir, kesenian ini berkembang dan berubah, baik dalam
kekayaan variasi lagu, bentuk dan tata bunyi lirik dan fungsi dari kesenian ini yang
semakin kompleks.
C. PROSES KEDATANGAN ISLAM DI TANAH GAYO
Memperhatikan keanekaragaman penduduk Gayo yang tinggal di Kabupaten
Aceh Tengah itu menunjukkan bahwa daerah Aceh Tengah itu tidak menutup pintu bagi
orang-orang yang hendak tinggal disana. Kemungkinan besar bagi pendatang itu
mendapat tempat yang layak di kalangan masyarakat, apalagi yang datang itu selalu
membawa kebaikan dan keamanan bagi masyarakat. Maka suatu dugaan keras bahwa
masuknya Islam ke daerah Gayo adalah dibawa oleh pendatang-pendatang, baik
14
pendatang itu sebagai pedagang maupun sebagai Muballigh. Salah satu data yang dapat
dilihat adalah adanya sebuah kuburan Ya’kub, saudara misan dari Al-Malik Al-Kamil.
Ya’kub meninggal pada hari Jum’at 15 Muharram 630 H15. Sedang pada buku-buku
yang ditulis oleh penulis Belanda, yang isinya merupakan laporan dari bawah keatasan
menjelaskan bahwa sekitar tahun 1900-an suku Gayo telah memeluk Islam, namun dilain
pihak banyak juga melakukan penyimpangan-penyimpangan dari hukum Islam.
Kejurun Bukit adalah salah satu bagian dari pada raja-raja yang didapati di daerah
Gayo yang mempunyai hubungan baik dengan kejurun lain, yaitu Kejurun Linge,
Kejurun Nosar dan lain sebagainya. Menurut cerita, semua kejurun itu mempunyai
hubungan keturunan dengan nenek moyang orang Gayo di zaman dahulu.
Dalam pada itu sebagai bahan di kemukakan sebuah kisah mengenai suku Gayo
dan Kerajaan Linge yang ditulis oleh Dada Meuraxa dari catatan perjalanan pengembara
Marco Polo, ketika ia singgah di Perlak Aceh Timur, sekembalinya dari Cina dalam
perjalanan pulang ke Itali, pada tahun 1292.
Dikatakan bahwa ketika Marco Polo singgah di Perlak tahun 1292, didapatinya
penduduk perlak telah memeluk agama Islam. Penduduk yang tidak mau masuk Islam
telah menyingkir ke pedalaman. Mereka yang menyingkir ke pedalaman ini, menjumpai
kerajaan kecil di pedalaman.
Rakyat asli pedalaman ini menyebut daerahnya dengan “Lainggow” dan
menyebut rajanya dengan Ghayo-ghayo atau “Raja gunung yang suci”. Di daerah
Linggow telah berdiri kerajaan kecil yaitu “Kerajaan Linggow”, dan sudah ada hubungan
dengan kerajaan Perlak di Aceh Timur yang ditandai dengan kirim mengirim bingkisan.
15A. Hasymy, Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (Kumpulan Prasaran PadaSeminar di Aceh), Jakarta: Percetakan Offset, 1989, Cet Ke-2, hal. 477.
15
Besar kemungkinan yang dimaksud dengan “Lainggow” dalam catatan Marco
Polo adalah “Linge”, sehingga yang dimaksud dengan “Kerajaan Lainggow” adalah
Kerajaan Linge, sedang yang dimaksud “Laut kecil” di pedalaman Perlak adalah “Danau
Laut Tawar”, karena satu-satunya danau di pedalaman daerah Aceh adalah Danau Laut
Tawar. Dari catatan Marco Polo itu diketahui bahwa di daerah pedalaman sudah didapati
penduduk asli, sebelum masuknya Islam dan orang-orang yang lari dari Kerajaan Perlak.
Jika itu benar maka ini dapat dipegang kebenarannya, maka dalam perkembangan
sejarah selanjutnya penduduk pedalaman ini disebut sebagai suku Gayo.
Sedang pendapat lain beranggapan bahwa suku Gayo berasal dari Perlak, yakni
orang-orang yang tidak mau masuk Islam melarikan diri ke pedalaman. Dan kata-kata
Gayo sama artinya “sudah takut” sehingga mereka mencari tempat persembunyian di
pedalaman.
Anggapan tersebut di atas mungkin bersumber dari Hikayat Raja-raja Pasai yang
pernah dikutip oleh Snouck dalam bukunya menyebutkan “Ada satu kaum dalam negeri
itu tidak mau masuk agama Islam maka ia lari ke hulu sungai Peusangan maka karena
itulah dinamai negeri Gayo hingga sekarang.”16
Memperhatikan sumber diatas bukanlah tidak mungkin bahwa agama Islam itu
masuk ke Daerah Gayo melalui Perlak atau Pase. Bahkan kalau dilihat dari segi
pemerintahan, bahwa sistem pemerintahan di daerah Gayo mempunyai pola yang sama
dengan kerajaan Aceh, namun ada cirri-ciri tersendiri bagi pemerintahan di tanah Gayo.
Faktor-faktor yang mempercepat Islam berkembang di daerah Gayo antara lain:
Adanya para pedagang Islam yang membawa barang dagangannya, sambil mengajarkan
ajaran Islam. Ada pula Muballigh yang sengaja datang ke Takengon untuk mengajak
16 Ibid, hal. 479.
16
masyarakat memeluk Islam. Bahwa seorang panglima yang bernama Ya’kub datang ke
Gayo untuk mengislamkan orang-orang Gayo. Kalau seseorang telah dapat mengetahui
ajaran Islam, tentu lambat laun akan berkembang sehingga meluas di kalangan
masyarakat. Hanya saja meluasnya itu kemungkinan dapat melalui jalur pemerintah atau
melalui rakyat jelata. Sebagian besar Islam berkembang melalui rakyat jelata. Hal ini
dapat dilihat bahwa agama Hindu datang ke Indonesia untuk kepentingan istana, seperti
teknik pembuatan candi yang merupakan aktifitas kraton, upacara istana dan lain
sebagainya. Karena itu agama tersebut hanya berpengaruh pada kalangan atas itu saja
sedangkan rakyat bawahan tidak begitu merasakannya17 Agama Islam yang datang
kemudiannya menyusup kebagian bawah. Dengan kata lain Islam itu masuk melalui
masyarakat awam. Dengan demikian Islam itu memasuki sesuatu yang belum terisi, oleh
sebab itu ajaran tersebut mendapat kekuatan massal18. Ditambah pula kehidupan orang
Gayo bergantung kepada pertanian. Dalam kehidupan agraris tersebut jiwa
kolektifismenya sangat laus sekali. Yang demikian ini mendapat penyaluran yang
sempurna dalam Islam dengan konsepsi hidup perdamaian dan suasana Muslim laksana
satu tumbuh yang apabila satu sakit yang lain ikut merasakannya serta berusaha
mengobati sakit tersebut. Hal ini menjadikan Islam mudah berkembang di kalangan
mayarakat.
Perkembangan Islam di daerah Gayo mungkin pula dapat melalui Muballigh
seperti yang telah disinggung di atas. Pekerjaannya khusus untuk mengajarkan agama.
Turut sertanya Muballigh atau guru-guru agama dalam islamisasi akan lebih
memperdalam pengertian-pengertian yang tercakup oleh orang Islam itu. Di samping itu
17 Ibid, hal. 481.18 Ibid
17
guru-guru agama atau muballigh-muballigh dengan menyelenggarakan pesantren-
pesantren yang akan membentuk kader-kader yang kelak menjadi ulama-ulama19. Di
kalangan masyarakat Gayo ada beberapa orang yang pergi menuntut ilmu ke daerah lain,
seperti pesantren-pesantren yang dikenal masyarakat Gayo yaitu peasntren Pulo Kitun
atau pesantren Teupin Raya. Mereka belajar tentang agama Islam. Bila mereka telah
menganggap memiliki bekal yang cukup tentang ajaran Islam, mereka kembali ke Gayo
dan disana mereka membuka pendidikan Islam yang dimulai dari keluarga, lalu tetangga,
kemudian berkembang pada masyarakat. Maka tidak mustahillah di daerah Aceh
umumnya dan Takengon khususnya banyak didapati sekolah-sekolah agama (Madrasah).
Bahkan lebih dari tu orang-orang yang sudah lanjut usianyapun dididik kembali untuk
belajar tentang agama Islam.
Kaum wanita yang sudah berusia lanjut ditampung pada sebuah rumah yang
disebut “Joyah” untuk diajarkan kembali ajaran-ajaran Islam, sehingga dengan jalan
demikian mereka akan lebih mendekatkan diri kepada Allah S.W.T.
Joyah sebagai sebuah bangunan samping yang kecil dekat masjid yang antara lain
dipakai untuk memberi pelajaran Agama Islam20. Sebuah Joyah dapat di samakan dengan
surau, adalah gedung kecil yang dipakai sebagai tempat sembahyang untuk kaum wanita.
Joya yang berperan sebagai pengembangan agama Islam terdapat di berbagai desa atau
kampung. Namun yang sangat menjadi perhatian masyarakat adalah Joyah Toa dan Joyah
Uken. Joyah Toa terletak pada bagian Timur kampung Bebesen, sedangkan Joya Uken
terletak pada bagian Barat kampung itu.
19 Ibid, hal.482.20 Ibid.
18
Masing-masing Joyah dikepalai oleh seorang Tengku wanita. Tetapi dalam
sejarah Joyah pernah juga Tengku pria menjadi ketua, seperti Tengku Lah. Namun
Tengku Lah itu tidak bertahan lama karena Hulubalang (kepala distrik) di Bebesen
menganggap hal itu tidak pantas dan kemudian digantikan dengan Tengku wanita. Salah
satu kriteria terpenting bagi Tengku adalah harus memiliki pengetahuan tentang hukum
Islam dan Agama. Karena dalam bidang itulah Tengku harus melebihi pengetahuannya
dari anggota lainnya. Tengku tidak hanya bertindak sebagai pemimpin Joyah sehar-hari,
tetapi juga memimpin dalam do’a dan menjadi juru bicara bagi penghuni Joyah. Jadi
pemegang prestie yang tertinggi dalam Joyah adalah Tengku Guru. Dua kali seminggu
Tengku Guru mengunjungi kedua Joyah secara bergilir untuk memberikan pelajaran
Agama dan untuk memimpin dalam Shalat. Ia dianggap sebagai ahli besar dalam urusan
keagaman dan apabila ada di kalangan anggota timbul pertentangan atau kesangsian
dalam soal-soal agama, Tengku guru bertindak sebagai penasehat yang memberikan
keterangan yang menentukan21. Dengan demikian dapat dimengerti bahwa pola-pola
kebudayaan masyarakat Gayo.
Jalur pengembangan Islam yang lebih pesat lagi adalah melalui mesjid. Dalam
kota Takengon didapati beberapa mesjid. Jarak antara Mesjid dan Mesjid lain kurang
lebih 300m. Sebagaimana halnya di mesjid lain, Mesjid-mesjid di Takengon
dipergunakan selain untuk tempat sembahyang Jum’at dan dijadikan benteng pertahanan,
juga sebagai tempat pengadilan. Dalam Mesjid para ahli fiqh mempelajari dan membahas
fiqh dan Hadist22. Tiap kampung yang ada di daerah Gayo ditemukan satu atau dua
mesjid. Apabila akan melaksanakan sembahyang Jum’at, sekitar jam 09.00 mereka telah
21 Ibid, hal. 483.22 Ibid.
19
turun dari rumah menuju mesjid. Mereka akan segera masuk Mesjid dan melaksanakan
zikir sambil menunggu waktu Jum’atan, sebagian ada yang keluar dengan segera untuk
melaksanakan keperluannya masing-masing. Dan sebagian lagi ada yang masih duduk-
duduk dalam Mesjid sambil berbincang bertukar pikiran tentang kehidupan sehari-hari
maupun yang berhubungan dengan agama. Dengan demikian Mesjid mempunyai peranan
penting dalam pengembangan agama Islam.
20
BAB III
RIWAYAT HIDUP TENGKU IBRAHIM MANTIQ
A. Keluarga
Tengku Ibrahim Mantiq ia lahir tahun 1914 di Kenawat Takengon, putra dari
Mude Berani Aman Nurcaya alias Empun Berhan23. Kampung Kenawat ini termasuk
sebuah wilayah kegecikan dalam wilayah pemukiman Laut Tawar kecamatan Kota
Takengon kabupaten Aceh Tengah, propinsi Nangroe Aceh Darussalam yang jauhnya ± 3
Km sebelah Tenggara kota Takengon
Ayahnya bernama Mude Berani alias Aman Nurcaya nama tuanya Empun Berhan
ia juga mendapat gelar Raja Setie Raja, karena ia pernah menjabat sebagai Raja kampung
Kenawat dalam satu periode. Ibunya bernama Sawiah berasal dari kampung Gunung
Tritit Redlong (sekarang kabupaten Bener Meriah). Perkawinan ini merupakan
perkawinan yang kedua karna Mude Berani telah menduda dan Sawiah janda karna suami
Sawiah telah gugur dalam pertempuran dengan tentara Belanda dalam mempertahankan
Aceh.
Kebahagiaan Tengku Ibrahim Mantiq pada masa kecilnya, seperti lazimnya
dirasakan seorang anak dengan belaian kasih sayang dari seorang ibu tidaklah lama
dinikmatinya. Karena sesudah ibunya meninggal ia diasuh oleh ayahnya sendiri.
Oleh karena itu Empun Berhan yang telah menduda menumpahkan perhatian
penuh pada Ibrahim. Karena ia berperan ganda, sebagai bapak dan sebagai ibu. Namun
demikian, bagaimana pun baiknya, tidaklah sempurna seperti kelembutan hati seorang
ibu. Hal ini tidak saja karena keterbatasan kemampuan, tetapi karena tuntutan kebutuhan
hidup sehari-harinya. Untuk menanggulangi kebutuhan hidup, Empun Berhan sering
23 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakarta
21
mondar mandir dagang sampai kedaerah Blang Kejeren, Gayo Lues. Karena itu Ibrahim
terpaksa dititipkan pada Empun Sami atau Empun Salamah, saudara sepupu. Oleh karena
itu perawatan Ibrahim bergantung pada kasih sayang saudara. Begitu juga untuk
mendapatkan makan, kadang-kadang ikut makan dengan Empun Sami dan kadang-
kadang ikut makan dengan Empun Salamah24.
Namun demikian, tidaklah menghambat langkah Ibrahim untuk menuju
pertumbuhannya. Segala cobaan itu telah menempa mental Ibrahim menjadi manusia
yang dinamis.
Empun Berhan, selaku orang tua yang bijaksana, meskipun Ibrahim sebagai anak
kesayangan tidaklah memanjakannya. Untuk menjadi manusia yang berguna, sejak awal
dia telah meletakkan rambu-rambu petunjuk agar dapat menempuh jalur yang benar.
Begitu juga dalam membimbing ia tidak bosan memberi nasehat dan petua-petuah yang
bijak dengan kata-kata lembut, penuh kasih sayang agar kelak menjadi manusia yang
berbudi dan berakhlak mulia.
Setelah menduda 2 tahun ia menikah lagi dengan seorang janda dari kampung
Rawe yang suaminya juga gugur dalam pertempuran melawan Belanda. Dari perkawinan
ini lahir 2 anak laki-laki yang di beri nama Abas dan Ahmad. Sedangkan perkawinan
yang pertama dengan seorang gadis dari kampung Linung Bulan (Bukit Bintang) putri
dari seorang keturunan bangsawan dari raja-raja Bukit dan melahirkan seorang anak
perempuan yang diberi nama Inen Sahar. Dengan demikian ia bersaudara satu bapak 5
orang dengan berlainan ibu.
24 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim. 10 Januari 2009 Jakarta
22
Asal usul Mude Berani merupakan tetesan darah dari seorang Musafir yang
berasal dari Meureuedu ( Aceh Pidie ) yang menikah dengan gadis Gayo di Kenawat
anak dari Datu Tunggal. Dari garis ini Mude Berani merupakan generasi ketiga dari
keturunan tersebut25.
Bercerita tentang Mude Berani, ayahnya Ibrahim seorang yang alim (Tengku)
yang diwariskan oleh kakeknya. Selain itu ia cerdas ahli adat, karena kecerdasannya ia
pernah diangkat menjadi Raja kampung Kenawat dengan Gelar Raja Setie Raja. Selain
itu ia sangat mahir dalam bercerita (kekeberen), sehingga boleh di katakan seorang
publish yang tiada bandingnya di kampung Kenawat.
Dengan menyandang predikat Tengku, tahun 1936 Tengku Ibrahim kembali
pulang ke kampung halamannya di Takengon. Penampilannya telah memperlihatkan gaya
hidup orang-orang yang terpelajar dan berpikiran maju. Begitu juga cara berpakaian, ia
telah dapat mengikuti gaya hidup zaman mutahir yang ditandai dengan mengenakan
pantaloon (celana panjang) dan baju cut (jas). Singkat kata penampilannya penuh daya
pesona yang mengesankan.
Namun demikian, kepribadiannya tetap kukuh berpegang pada budaya bangsa
yang Islami. Ilmunya telah membentuk jati dirinya menjadi manusia yang berbudi dan
berakhlak mulia dan ini kelihatan terpancar di dalam kehalusan budi bahasa yang luhur.
Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan segala perobahanya tampaknya
belum mendapat simpati dari kalangan tua yang masih terbelenggu dalam tradisi, bahkan
mereka membuat opini. Mereka memandang bahwa kehadiran Tengku Ibrahim dengan
segala aksesoris yang identik dengan pakaian orang kafir (Belanda). Namun demikian,
25 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim10 Januari 2009, Jakrata
23
mereka tidak mempunyai keberanian untuk memprotes dengan terus terang, hanya lewat
desas desus.
Sementara itu, kehadiran Tengku Ibrahim dengan prototipe Gayo, dengan bangun
tubuh yang sedang, berwajah simpatik serta penampilan yang menjanjikan, dapat di duga,
bahwa ia telah mengundang hati dari para remaja putri untuk memuja. Gelar Tengku
yang telah disandangnnya, agaknya dapat diduga, para ibu dan bapak yang mempunyai
anak perawan berhasrat besar untuk mengambil jadi menantu dan ini di tandai, karena
ketika itu, telah berdatangan tawaran-tawaran yang menjanjikan untuk mempersunting
dengan anak gadisnya dari Pegasing dan Kebayakan. Namun demikian, tawaran tersebut
belum sempat terfikir oleh Tengku Ibrahim, karena selain berusia masih muda, ia juga
ingin meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya.
Berhubung karena adanya tawaran-tawaran tersebut, maka pihak keluarga dan
masyarakat Kenawat merasa khawatir, kalau Tengku Ibrahim menikah dengan gadis di
luar Kenawat dan kalau sampai terjadi, dia biarkan meninggalkan kampung Kenawat.
Oleh karena itu sebelum terjadi, pihak keluarga meminta kepada Tengku Ibrahim untuk
menunjuk gadis pilihannya dan mereka akan meminang.
Karena keadaan terdesak, akhirnya Tengku Ibrahim menjatuhkan pilihannya pada
Siti Asiah, seorang gadis tinggi semampai, wajah menawan, putri kedua dari Tamat
Aman Rukiah dari belah Cik Kenawat. Siti Asiah bersaudarakan 4 orang yang tertua
adalah Rukiah, adik nomor tiga adalah Abu Bakar dan Said Usman adalah yang bungsu.
Ibunya adalah Rami Inen Rukiah yang berasal dari Bebesen26.
26 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
24
Untuk menyambut perkawinan Tengku Ibrahim dan Siti Asiah, seperti lazimnya
tradisi masyarakat Gayo, maka diselenggarakan pesta sebagai tanda kegembiraan. Status
perkawinan Tengku Ibrahim, adalah perkawinan angkap, yaitu sesuai dengan tradisi
masyarakat Gayo, maka tengku Ibrahim menetap di rumah mertua. Dengan demikian,
Tengku Ibrahim masuk kedalam garis keluarga isteri dengan kewajiban memelihara dan
merawat mertua sampai hari tuanya.
Sejalan dengan keadaan, pada masa itu masyarakat Gayo, Kenawat khususnya,
masih menggantungkan hidup pada pertanian, terutama sawah. Untuk memenuhinya,
orang berusaha untuk mencari lahan-lahan yang dapat di cetak menjadi sawah, karena
sawalah yang menjadi tumpuan utama dalam menaggulangi hidup. Dengan memiliki
tanah sawah berarti masalah pangan sudah tidak menjadi problema lagi. Sejalan dengan
tuntutan hal tersebut, maka Tengku Ibrahim yang baru mendirikan rumah tangga terpaksa
ikut bersama orang-orang sekampung untuk membuka daerah baru di Pante Raya terletak
30 Km antara jalan Takengon-Bireun, tepatnya terletak pada bagian kaki bagian selatan
gunung Burnitelong. Daerah ini tanahnya subur dan tersedia aliran air yang juga berhulu
di kaki gunung Burnitelong, sehingga dapat dicetak menjadi sawah.
Akan tetapi setelah selesai ditebang, dengan alasan yang kurang jelas orang
Kenawat meninggalkan daerah ini dan akhir tahun 1930-an penduduk Kenawat membuka
daerah di daerah Delung. Sejalan dengan itu, Tengku Ibrahim ikut membawa keluarganya
bersamaan dengan perpindahan penduduk Kenawat ke daerah Delung. Daerah ini
kemudian lebih dikenal dengan sebutan Redlong Simpang Tiga.
25
Dalam mengikuti derap langkah ini, Tengku Ibrahim bersama istri membabat
hutan belantara, sehingga dalam waktu singkat pohon-pohon raksasa satu persatu
tumbang dan dalam waktu singkat pula daerah ini siap menjadi lahan yang siap tanam.
Sejalan dengan itu Tengku Ibrahim turut menanam kentang, karena tanaman ini
merupakan komoditi pasar. Karenanya dalam waktu yang relatif singkat daerah ini
berubah menjadi daerah pertanian yang ditanami kentang.
Dengan demikian keadaan Tengku Ibrahim semakin membaik, karena
penghasilannya, selain mengajar juga ia telah memiliki sawah dan kebun. Karena itu
simbol kemewahan masyarakat desa yang telah dapat diperlihatkan oleh Tengku Ibrahim
yang ditandai dari penampilan suami isteri dengan pakaiannya. Juga Tengku Ibrahim
telah dapat memiliki sebuah sepeda dengan merk terkenal, buatan Inggris, sehimgga ia
dapat mempelancar perjalanan kemana pun ia pergi.
Kebahagian rumah tangga Tengku Ibrahim di tandai dengan kelahiran putra
putrinya, yaitu yang sulung laki-laki yang di beri nama Muchtaruddin yang panggilannya
Tarudin dan anak ini tinggal bersama mertua di Kenawat Lut, anak kedua perempuan dan
di namakan Suhaini dan anak yang ketiga perempuan yang diberi nama Rukiyah.
Kemudia pada zaman Jepang lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Marsuli,
sedang pada zaman merdeka lahir dua anak perempuan, yaitu Charmina dan Murniawati,
sedang dua anak laki-laki meninggal sewaktu kecil. Jadi anak Tengku Ibrahim yang
hidup berjumlah 6 orang27
27 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
26
Demikianlah dalam rentang waktu 1938-1950-an rumah tangga Tengku Ibrahim
penuh dalam keharmonisan dan kebahagiaan, sebagai rumah tangga yang sakinah, punya
papan, cukup sandang dan cukup pangan serta dikaruniai anak-anak sebagai harta yang
tak ternilai harganya.
B. PENDIDIKAN
Berangkat dari filosofi Islam, yang menyatakan “tuntutlah ilmu mulai dari ayunan
sampai ke liang kubur”, telah menuntun umat Islam untuk melaksanakan pendidikan
anaknya sejak dini. Berpedoman pada dalil tersebut, orang tua bukan saja dituntut
berperan sebagai pelindung, tetapi dituntut pula untuk mencerdaskan anak-anaknya.
Proses demikian, telah lama berjalan di Tanah Gayo, sejalan dengan masuk dan
berkembangnya Islam diseluruh wilayah Aceh. Pendidikan khususnya, pendidikan agama
terus berjalan dan sudah mentradisi sampai hadirnya pendidikan modern.
Perlu dijelaskan sebagai gambaran bahwa di Kenawat pendidikan Islam telah
berkembang pesat dengan ditandai dengan pendidikan moderen. Tokohnya adalah
Tengku Kadhi Rampak, seorang pendidik yang berfikiran maju. Ia telah berguru kepada
Tengku Muhammad Saleh Pulokitun.
Proses demikian di Kenawat telah lama berjalan dan sejalan dengan proses
tersebut, Ibrahim sejak dini telah mendapat kesempatan untuk mengikuti pendidikan. Ia
bernasib baik, karena langsung belajar pada ayahnya, Empun Berhan. Karena Empun
Berhan adalah salah seorang tengku (guru) yang memimpin pengajian. Murid-muridnya
terdiri dari orang laki dan perempuan, dewasa dan anak-anak yang bertempat di Mersah
27
(Meunasah). Pelajarannya adalah belajar tulis Al Qur’an dan sebagai pemula adalah surat
Juz Amma, bagi yang dewasa Al-Qur’an, soal ibadah, hukum tarikh dan masalah dunia.
Dengan ditunjang dengan kecerdasan dan keinginan yang kuat, Ibrahim telah
berhasil memperkaya ilmunya. Karena ia telah dapat membaca langsung dari kitab-kitab
milik ayahnya, seperti Masailal dan Sabilal. Kitab-kitab tersebut pada intinya berisi
tentang syariat, ibadah dan ahlak, bahasanya adalah bahasa Melayu Kuno dan tulisan
Arab gundul. Sedang kitab-kitab tersebut pada masa itu termasuk kitab langka dan
merupakan kitab pegangan tengku-tengku di Gayo Aceh Tengah.
Pada tahun 1929 Ibrahim meninggalkan kampung halaman dan meneruskan
pendidikannya ke daerah pesisir di Aceh. Momentum yang baik yakni karena tahun
1929-an isolasi Tanah Gayo, sebagai daerah pedalaman yang tertutup telah terbuka ruas
jalan Takengon-Bireun sepanjang 100 Km oleh pemerintah kolonial Belanda. Kemudian
untuk kepentingan pemerintah kolonial Belanda juga membuka lembaga pendidikan
tingkat dasar (perpolkschool) di kota Takengon.
Dampak positif dari perobahan tersebut telah mendorong pemuda-pemuda Gayo
keluar beramai-ramai untuk menuntut ilmu di luar kota Takengon. Tujuan utama mereka
adalah lembaga-lembaga pendidikan Islam di kota-kota di pesisir Aceh seperti Bireun,
Samarlanga, Sigli dan keluar daerah Aceh, seperti Padang Panjang, Sumatra Barat dan
ada yang ke Jawa.
Mengikuti arus tersebut, Ibrahim memilih Pesantren Pulokitun, pimpinan Tengku
Muhammad Saleh, lebih dikenal dengan panggilan Tengku Pulokitun28. Pesantren
tersebut telah menjadi tujuan utama pemuda-pemuda Kenawat, karena telah terjalin baik
dengan Tengku Kadhi Rampak, ulama Kenawat.
28 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
28
Ibrahim hanya bertahan satu tahun di Pesantren Pulokitun, dan selama itu ia
hanya mempelajari nahwu dan syaraf , sehingga ia sangat menguasai kedua pelajaran
tersebut. Karena menurut anjuran Tengku Pulokitun, selaku guru, kalau dapat menguasai
ilmu tersebut, maka akan lebih mudah mempelajari semua kitab yang berbahasa Arab.
Sementara itu, Tengku Pulokitun dengan dukungan Tengku Hanafiah dan Tengku
Haji Ridwan membuka Madrasah moderen di Cut Meurak. Pimpinannya, Tengku
Pulokitun, sedang tenaga pengajar adalah semua Tengku pendukung Madrasah tersebut.
Lembaga pendidikan tersebut bernafaskan Islam, tetapi telah berani menerapkan sistem
pendidikan moderen dengan memasukkan mata pelajaran menulis latin dan berhitung.
Bersamaan dengan ini, Ibrahim ikut pindah mondok di Cut Meurak dan
bergabung satu pondok bersama Muhammad Yusup dari Pegasing, kakak kandung
Muammad Hasan Gayo. Untuk menghemat biaya hidup, sesuai dengan kemampuan
ekonomi, mereka berdua memasak sendiri.
Setelah berjalan satu tahun lamanya, pimpinan madrasah mengeluarkan
kebijakan, yaitu melakukan ujian umum untuk penyaringan terhadap murid-murid. Bagi
murid yang mendapat nilai kurang akan ditempatkan di kelas I, bagi murid yang
mendapat nilai sedang akan duduk dikelas II dan bagi murid yang memperoleh nilai
tinggi akan ditempatkan di kelas III. Dengan demikian menjelang tahun ajaran kedua
telah berdiri tiga kelas, yaitu kelas I, kelas II dan kelas III.
Dalam mengikuti ujian umum tersebut, Ibrahim tidak mengalami kesulitan,
karena semua pelajaran yang di ujikan sudah dikuasai dengan baik. Sehingga tidak
mengalami hambatan yang berarti, ia dapat menjawab sempurna soal-soal yang diberikan
29
panitia ujian. Karena itu, ia dan Abdul Wahab terpilih duduk di kelas III dan Husin naik
kelas III sebagi percobaan.
Sementara itu, ketika Ibrahim dan murid-murid lainnya sedang tekun
mencurahkan perhatian, Tengku Pulokitun, sebagai pegagas berdirinya Madrasah Cut
Meurak mengundurkan diri dan minta berhenti, dengan alasan bahwa ia akan mencari
kebutuhan hidup keluarga. Mundurnya Tengku Pulokitun telah memberi pengaruh akan
kelancaran proses belajar mengajar di Madrasah Cut Meurak.
Begitu juga Ibrahim yang telah ikut 3 kwartal di kelas III semangat belajar
menjadi kendor dan ada rasa enggan untuk meneruskan pendidikan di Madrasah tersebut.
Padahal waktunya tinggal tidak lama untuk mengikuti ujian akhir ke kelas 4.
Meskipun demikian, untuk sementara waktu Ibrahim masih tetap bertahan di Cut
Meurak. Untuk mengisi kekosongan waktu, ia mendalami ilmu-ilmu yang telah di
perolehnya dan kalau ada yang kurang jelas ia bertanya langsung pada guru di Cut
Meurak, sehingga semua ilmu yang telah diperolehnya dapat dikuasai dengan baik.
Dalam keadaan demikian, Tengku Pulokitun menganjurkan Ibrahim supaya
melanjutkan pendidikan di Al Muslim Glumpang Dua, sebuah Madrasah moderen yang
telah didirikan pada 13 April 1930, pimpinannya adalah Habib Mahmud serta dibantu
oleh tenaga pengajar yang berkualitas.29
Lembaga tersebut, sebenarnya sudah digagas sejak tahun 1929, tepatnya pada 21
Jumadil Akhir H, bertepatan dengan 14 Nopember 1929 oleh Tengku Abdurrahman
Meunasah Karang Meucap, seorang ulama yang ternama di Peusangan dan sebagai ketua
serta dibantu oleh Ulebalang Tengku Chik Peusangan.
29 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
30
Sistem belajar mengajar yang dianut di lembaga tersebut adalah sistem moderen,
karena mata pelajaran yang diberikan, selain mata pelajaran agama sebagai mata
pelajaran pokok, juga diberikan mata pelajaran umum. Bahasa pengantar yang dipakai
adalah bahasa Arab. Karena itu mata pelajaran umum pun disebut dalam bahasa Arab,
seperti ilmu berhitung disebut ilmu Hisab, ilmu bumi disebut Jografi, logika disebut
Ilmu Mantiq, ilmu kesehatan disebut Ilmu Shihah, ilmu jiwa disebut Ilmu Nafs dan
lain-lain. Selain itu, madrasah tersebut juga mengajarkan ilmu berpidato dan kepanduan
yang disebut Kassa’ful Muslimin.
Sementara itu, Ibrahim yang berminat untuk meneruskan pandidikan di Al-
Muslim Glumpang Dua, dia pulang dulu ke Kenawat Takengon untuk melapor kepada
ayahnya Empun Berhan tentang maksud kepindahannya. Akan tetapi permintaan tersebut
ditolak, ayahnya agak keberatan, karena selain jauh, juga terbentur soal biaya. Alasan
ayahnya, sedang sekolah dekat di Cut Meurak ia tidak lancar mengirim belanja, apalagi
pindah di Glumpang Dua yang lebih jauh, tentu sangat keberatan.
Mendengar alasan tersebut, Aman Rinah, sebagai keponakan dan Aman Gaseh
selaku anak angkat, memberi dorongan semangat kepada Empun Berhan dan mereka
berdua telah sepakat untuk mendukung cita-cita Ibrahim meneruskan pendidikannya.
Karena menurut pengamatan mereka, bahwa Ibrahim memiliki kemampuan belajar yang
bagus. Juga harapan mereka agar Ibrahim menjadi seorang tengku yang berilmu. Adapun
masalah biaya akan ditanggulangi bersama dan mereka bersedia membantu.
Akan tetapi sewaktu mendaftar di Al Muslim timbul perbedaan kehendak antara
Ibrahim dengan kepala sekolah tersebut. Ibrahim memohon kepada kepala sekolah agar ia
dapat duduk langsung dikelas IV, dengan alasan, bahwa ia selain sanggup, juga ia telah
31
duduk di kelas III sudah lebih 3 kwartal di Cut Meurak dan hanya tinggal mengikuti ujian
naik kelas IV saja. Oleh karena itu dengan pertimbangan rugi waktu serta mempunyai
kesanggupan, ia memohon kepada kepala sekolah untuk dapat duduk di kelas IV. Namun
kepala sekolah tersebut tetap menolak.
Oleh karena itu, untuk dapat meyakinkan kepala sekolah Al Muslim, Ibrahim
kembali ke Cut Meurak untuk mendapatkan surat keterangan. Kemudian dengan modal
surat keterangan tersebut ia langsung menghadap, Tengku Abdurrahman Karang Meucap
selaku pimpinan pengurus madrasah Al Muslim untuk membicarakan tentang
permasalahannya.
Akhir pembicaraan, Ibrahim dapat diterima menjadi murid di kelas IV, tetapi
dengan perjanjian, apabila kelak tidak sanggup mengikuti pelajaran ia kembali duduk di
kelas III. Ibrahim yang punya keinginan menyanggupi dan berjanji akan memenuhi
tuntutan tersebut.
Hari-hari pertama mengikuti mata pelajaran, Ibrahim mendudukan dirinya sebagai
pendengar yang baik. Karena ia masih dalam masa penyesuaian diri dengan situasi ruang
dan lingkungan belajar. Sikap yang demikian berlangsung selama satu minggu. Dalam
masa itu ia belum merasa perlu bertanya pada guru, begitu juga sebaliknya guru belum
mengajukan pertanyaan kepadanya. Namun demikian ia berusaha untuk memusatkan
perhatiannya pada setiap mata pelajaran yang diberikan guru.
Pada masa-masa selanjutnya, sesuai dengan janjinya, Ibrahim menunjukkan
dirinya, bahwa ia sanggup mengikuti semua mata pelajaran dengan baik. Dengan
demikian, apa yang telah ia ucapkan, telah dapat dibuktikannya dan sukses. Bahwa ia
mulai tampil beda dengan teman-teman sekelasnya. Ia telah dapat menunjukkan
32
kecerdasannya. Begitu juga caranya berpakian, ia tidak kalah, sehingga banyak orang
menduga bahwa ia adalah anak orang yang berkelas.
Kecerdasan Ibrahim mulai ditunjukkannya dan ini tampak didalam penguasaan
semua mata pelajaran, cara berdialog, cara menjawab dan jernih dalam adu pendapat.
Keistimewaannya ia dapat bergaul dengan kalangan luas. Ia dapat berkomunikasi lancar
dengan guru-guru dan merangkul semua teman serta akrab dengan orang di luar
lingkungan sekolah.
Rahasia keberhasilan Ibrahim, sebenarnya terletak pada daya ingat30, ingatannya
kuat. Setiap guru yang memberikan mata pelajaran, ia sangat memusatkan perhatiannya.
Ia berusaha untuk menangkap inti pembicaraan atau penjelasan guru. Semua itu ia
tangkap dan kemudian ia kemas baik dikepalanya. Selain itu, ia memasang kuping lebar-
lebar seawaktu teman-temannya belajar dan membaca, ia menyimak sambil tiduran.
Sehingga tanpa sepengetahuan mereka, Ibrahim telah dapat menangkap apa yang mereka
baca atau hapalkan. Sedangkan cara lain adalah sewaktu teman-teman sudah pada tidur
lelap, ia bangun dan belajar dengan sebaik-baiknya.
Untuk memperkaya ilmu, Ibrahim selalu memanfaatkan kesempatan-kesempatan
yang baik untuk bertanya kepada guru. Pendekatan yang ia lakukan kepada guru,
bukanlah mengemis agar si guru dapat memberikan nilai bagus, tetapi kesempatan ia
pergunakan untuk mendapatkan penjelasan tentang ilmu yang belum ia fahami dengan
baik. Untuk hal tersebut ia tidak segan-segan bertanya dimanapun bertemu dengan
gurunya.
30 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
33
Dengan cara demikian Ibrahim menjadi lebih dikenal oleh guru-guru di Al
Muslim. Ia kenal dan akrab dengan Tengku Abbas guru ilmu Mantiq, kenal dengan
Tengku Isman dan guru lainnya. Karena keramahannya itu, ia dijuluki oleh guru-guru dan
teman-teman dengan sebutan anak Gayo atau Ibrahin Kenawat. Semua sebutan tersebut
tidaklah mengecilkan hati Ibrahim, bahkan telah mengangkat popularitas di mata orang
banyak, sehingga ia dikenal, bukan di sekolah saja, tetapi di luar sekolah pun ia di kenal.
Dengan kedudukan sebagai pelajar Al Muslim, maka Ibrahim duduk pula didalam
kumpulan sekolah yaitu, Jami’atul Tulab (perkumpulan murid-murid). Dalam periode
tahun 1934-1935 ia duduk menjadi ketua. Kegiatan badan ini selain untuk mengatur
kesejahteraan murid-murid juga melakukan dakwah. Untuk melancarkan geraknya, maka
setiap murid dipungut iuran. Badan ini sering mendapat undangan dari kampung-
kampung sekitarnya untuk pengajian, maulid dan kegiatan lainnya. Kegiatan tersebut
memberi kesempatan kepada Ibrahim untuk memberikan ceramah pada pengajian-
pengajian pada masyarakat setempat.
Kemahiran berpidato, telah dapat ditunjukkan oleh Ibrahim di Pesantern
Awegetah, pesantren tertua di Peusangan. Dalam kesempatan itu ia dapat menyampaikan
tentang keteladanan Nabi Muhammad saw yang intinya uraian adalah tentang kesabaran,
ketekunan dan istikomah. Nilai lebih dari pidato itu terletak pada cara penyampaiannya,
konseptual dan sistematis dengan bahasa yang jelas, sehingga enak di dengar dan
gampang menaggkap makna. Sehingga karenanya dalam setiap hati para pendengar
bertanya “anak siapa gerangan?” maka mendapat tepuk tangan yang gemuruh dari para
hadirin untuk mengantar Ibrahim duduk. Oleh karena itu Tengku Asyik, sebagai
34
pembawa acara memberi komentar. “inilah dia anak Gayo yang menjadi bintang di Al
Muslim”.
Demikianlah, dengan bermodalkan kecerdasan yang prima dan dorongan
kemauan yang keras, Ibrahim terus berusaha dengan segala daya untuk meraih cita-
citanya. Karena itu kelas dan kelas dapat ia lalui dengan langkah gemilang, sehingga ia
dapat memperoleh nilai baik yang melebihi teman-temannya. Perihal tersebut sejak ia
masuk tahun 1932, pada tahun 1933 ia naik kelas V dengan nilai baik, selanjutnya tahun
1934 naik kelas VI nilai baik. Kemudian tahun 1935 ia naik kelas VII, tetap nilai baik.
Dan pada kelas akhir ini murid-murid hanya tinggal 14 orang dan yang ikut ujian akhir
hanya 12 orang.
Pada tahun 1936 yang sejalan dengan sistem pendidikan yang modern, Al Muslim
menyelenggarakan ujian akhir untuk memperoleh diploma. Pelaksanaan tersebut untuk
menyatakan bahwa setiap murid yang telah menyelesaikan pendidikan di lembaga ini
harus memiliki diploma. Untuk memenuhi kriteria tersebut, maka murid-murid kelas VII
diwajibkan mengikuti ujian akhir. Konon penyelenggaraan ini merupakan pelaksanaan
yang pertama kali yang dilakukan oleh lembaga pendidikan swasta di Aceh.
Proses pelaksanaan ujian tersebut dilakukan dalam dua tahap yaitu tahap pertama
ujian tulis yang disebut tahriri, tahap kedua ujian lisan yang disebut sapawi. Mata
pelajaran yang diujikan sebanyak 10 buah, diantaranya: Nahwu, Shorof, Ilmu Mantiq,
Mustalahah Hadis, Hadis, Usul Fikh, Tarikh (Sejarah Islam) dan ilmu Bumi.
Penyelenggaraan ujian tersebut dilaksanakan selama 10 hari.
35
Dalam mengikuti ujian tahriri (tulis), Ibrahim dapat melakukan dengan baik, ia
dapat menjawab semua pertanyaan dalam waktu yang relatif singkat, dan sempurna.
Karena semua soal yang diberikan oleh dewan penguji telah tersimpan baik didalam
kepalanya. Bahkan selama mengikuti ujian, ia yang paling cepat menyerahkan kertas
jawaban kepada panitia pengawas. Karena itu, ia ditegur oleh panitia pengawas, “jangan
terburu-buru sebab waktu masih panjang, teliti lagi”. Ibrahim dapat menyelesaikan
jawaban rata-rata 15 menit setiap mata pelajaran, seolah-olah tinggal menuliskan saja,
karena semua jawaban telah ada di kepalanya.
Sedang ujian safawi (lisan) diselenggarakan di dalam sidang umum. Dewan
penguji 6 orang, seorang pimpinan dan 5 orang yang terdiri dari guru-guru di Al Muslim
dan guru-guru yang di datangkan dari luar. Sistem ujiannya mengingatkan kita pada ujian
sarjana dalam mempertahankan karya tulisnya di perguruan tinggi. Demikian pula
pelaksanaan ujian tersebut bagi mereka yang mengikuti ujian duduk menghadap dewan
penguji dan menjawab semua pertanyaan dari dewan penguji.
Ketika Ibrahim mendapat giliran, ia maju tenang, percaya diri dan dengan pakaian
rapi, ia duduk sopan menghadap dewan penguji. Untuk memulai sidang, pemimpin
sidang memerintahkan panitia membuka selubung papan tulis yang telah dituliskan
sebuah ayat yang dikutip dari Al-Qur’an. Selanjutnya pimpinan sidang mempersilakkan
Ibrahim untuk membacanya. Ibrahim membaca “wa minan naasi may yaquulu
aamannaa billaahi wa bilyaumil aakhiri wa maa hum bimu’minin” dengan lancar dan
kemudian ia terjemahkan dengan pas dan benar. Sesudah itu ketua dewan penguji
bertanya, “dimanakah terdapat ayat tersebut?” Ibrahim menjawab lancer “didalam Al-
Qur’an, Juz I surat Al Baqarah ayat 8.” Selanjutnya pimpinan sidang, mempersilahkan
36
kepada para anggota untuk bertanya yang sesuai dengan bidang kajian ilmu masing-
masing.31
Singkat cerita, Ibrahim dapat menjawab semua pertanyaan dewan juri dengan
jelas, baik dari segi tata bahasa, tafsir dan makna yang terkandung dalam ayat tersebut.
Pertanyaan terakhir dari salah seorang anggota penguji yang menyatakan, sesuai dengan
ayat tersebut, “coba saudara jelaskan manusia itu terbagi dalam berapa golongan?”
Ibrahim menjelaskan “bahwa manusia itu terbagi kedalam tiga golongan, yaitu muslim,
munafik dan kafir” demikian semua pertanyaan dari anggota dewan penguji dapat
dijawab oleh Ibrahim baik dan lancar.
Setelah semua peserta ujian mendapat giliran, sidang diistirahatkan, sedang
dewan penguji melakukan sidang untuk penentuan rengking pemenang. Kemudian untuk
mendengar hasil akhir para peserta ujian masuk ruangan sidang undangan untuk
mendengarkan pengumuman.
Untuk menentukan rengking bagi yang lulus, panitia mulai menyebut urutan
nama-namanya dari rengking yang paling bawah. Setelah menyebutkan nama satu
persatu dan sampailah pada nomor ke-11. pada nomor ini tersebutlah nama Asyik, asal
Aceh Utara teman akrab dan saingan Ibrahim dalam perebutan kedudukan. Dan setelah
nama tersebut barulah tiba giliran yang terakhir menyebutkan nama Ibrahim sebagai juara
I.dengan demikian tercatatlah nama Ibrahim anak dari Gayo Aceh Tengah sebagai
rengking I dari 12 peserta ujian. Berhasilnya Ibrahim meraih peringkat juara I merupakan
prestasi yang membanggakan bagi daerah Gayo, karena ia telah dapat menunjukkan
31 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
37
kecerdasannya. Ia merupakan murid terbaik, lepasan pertama dari Al Muslim Glumpang
Dua yang meraih peringkat juara I 32
Dengan bermodalkan diploma yang telah diperolehnya, ia meminta kepada orang
tuanya, Empun Berhan agar dapat meneruskan pendidikan pada tingkat selanjutnya. Hal
ini, karena ia telah mendapat anjuran dari gurunya, Tengku Usman Lhoksukon untuk
meneruskan pendidikan pada Collegschooll di Padang Sumatra Barat.
Akan tetapi permintaan tersebut tampaknya tidak pernah serius dipertimbangkan
oleh sang ayah Empun Berhan dan ia hanya menyatakan “bahwa ia tidak mempunyai
kesanggupan untuk mencari biayanya”. Dengan demikian gagallah cita-cita Tengku
Ibrahim untuk meneruskan pendidikan pada jenjang selanjutnya.
32 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
38
BAB IV
USAHA TENGKU IBRAHIM MANTIQ DALAM MEMAJUKAN PENDIDIKAN
DAN DAKWAH DI TANAH GAYO ACEH TENGAH
A. BIDANG PENDIDIKAN
Pada tahun 1936, Ibrahim setelah memperoleh dipeloma dari Al Muslim
Gelumpang Dua, ia kembali ke daerah Gayo dan sesuai dengan tradisi ia sudah berhak
menyandang gelar Tengku. Untuk sementara ia menetap di kampungnya di Kenawat
Takengon.
Sementara itu Raja Cik Kenawat, selaku orang nomor satu di Kenawat,
menawarkan harapan kepada Tengku Ibrahim untuk memimpin dan mengajar di
madrasah Kenawat. Karena gedung madrasah tersebut telah berdiri sejak tahun 1926
yang di bangun oleh swadaya masyarakat Kenawat. Tanah untuk tempat ini yang terletak
dibagian hulu Kenawat yang diwakafkan oleh Aman Murah. Sedangkan untuk
membangunnya masyarakat Kenawat bergotong royong mencari bahan-bahan ke hutan
dan yang dibeli hanya lah bagian atap saja yang terdiri dari seng33. Sedang tenaga
pengajar belum ada, tetapi tenaga pengajar yang cocok belum ada. Oleh karena itu, Raja
Cik Kenawat sangat mengharapkan kesediaan Tengku Ibrahim untuk memimpin
madrasah tersebut.
Tawaran baik tersebut secara halus ditolak oleh Tengku Ibrahim, perihal ini
karma ia melihat bahwa Tengku Abdul Kadir Aman Siti Rani, santri pertama Tengku
Kadhi Rampak telah lama mengabdi dan mendapat kepercayaan penuh dari masyarakat
Kenawat. Dengan demikian Tengku Abdul Khadir telah cukup berjasa dalam meneruskan
33 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
39
dan mengembangkan pendidikan di Kenawat. Oleh karena itu, menurut hemat Tengku
Ibrahim agaknya kurang etis, kalau ia menerima tawaran Raja Cik Kenawat untuk
memimpin madrasah baru tersebut. Kalau ia terima, ini sama artinya ia telah turut
menyingkirkan kedudukan Tengku Abdul Khadir yang juga saudara ipar dari
kedudukanya sebagai guru yang sangat dihargai di Kenawat.
Sementara itu, pada tahun 1928 Muhammadiyah telah masuk ke daerah Gayo
dibawa oleh P.K.Abd. Madjid.34 Didalam perkembangannya, Muhammadiyah telah
banyak membari sumbangan bagi pertumbuhan pendidikan, khususnya pendidikan Islam
yang bercorak moderen. Kehadiran Muhammadiyah telah memberi inspirasi bagi tokoh
pendidik untuk mendirikan lembaga-lembaga pendidikan dan usaha tersebut telah
memberi kesempatan bagi semua lapisan masyarakat untuk menikmati pendidikan di
Gayo.
Mengikuti perkembangan tersebut pada tahun 1938, Tengku Ahmad Damanhuri
atau lebih dikenal dengan sebutan Tengku Silang mendirikan sebuah lembaga pendidikan
Islam moderen, Tarbiyah Islamiyah di kebayakan. Bersamaan dengan ini ia mendirikan
pula pesantren yang disebut Mersah Atu35.
Lembaga pendidikan yang telah dibangun oleh Tengku Silang sangat besar
artinya bagi perkembangan pendidikan Islam di Gayo. Karena sejak itu sistem pendidikan
tradisional yang semula diselenggarakan di Mersah dan Joyah secara berangsur-angsur
mulai pindah pada sistem pendidikan madrasah di dalam pengertian sekolah. Dengan
34 Mukhlis Paeni, RIAK di Laut Tawar, Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan di Gayo AcehTengah. ANRI (Arsip Nasional Republik Indonesia) kerjasama dengan Gadja Mada University Press.Jakarta 2003
35 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
40
demikian terjadilah perobahan posisi duduk bersila di lantai berpindah duduk pada
bangku didalam ruangan kelas yang berpetak-petak
Mengikuti perkembangan tadi pada akhir tahun 1938, di Kute Lintang dibangun
madrasah diatas tanah wakaf Tengku Bahagia Cut atau lebih dikenal dengan sebutan
Tengku Lah. Pimpinan madrasah tersebut juga sepenuhnya dipercayakan kepada Tengku
Silang. Seiringan dengan tahun ini juga, Tengku Abdul Jalil, santri lepasan PERSIS36 dan
Tengku Muchlis, santri lepasan Al Irsyad37 mendirikan taman Pendidikan Islam (PI) di
Hakim-Bale Takengon. Lembaga ini berkembang pesat karena mendapat dukungan dana
dari keluarga Tengku Abdul Jalil yang terkenal sebagai pedagang kaya di Aceh Tengah.
Mengikuti langkah tersebut seorang ulama dan tokoh kaya Delung Tue Tengku
Cut mempelopori masyarakatnya untuk mendirikan Madrasah Tarbiyah Islamiyah di
Delung Tue Simpang Tiga Redlong. Untuk memimpin dan tenaga pengajar dipercayakan
kepada Tengku Ibrahim dan dibantu oleh Abdul Wahab santri lepasan Cut Muerak.
Mereka ini dua-duanya dari kenawat. Sebagai pimpinan madrasah, Tengku Ibarahim
hanya dibayar f 15 (golden, uang Belanda).
Berdirinya madrasah ini telah cukup mendapat perhatian dari masyarakat
sekitarnya. Peminatnya bukan saja datang dari masyarakat Delung Tue, tatapi juga dari
masyarakat Kenawat Delung, sebagai kampung baru dan Wih Ilang, sehingga murid-
murid yang terdaftar berjumlah 50. mata pelajaran yang diberikan mengikuti kurikulum
yang diterapkan di Madrasah Cut Meurak.38
36 Persis atau Persatuan Islam didirikan di Bandung 1920 oleh kelompok modernis yang terdiriatas Yusuf ZamZam, Qamaruddin dan Abdulrahman.
37 Al Irsyad: (Jam’iiyat Al Islam Wal Ersyad Al Arabia) berdiri tahun 1913 oleh Syaikb Soorkatti(Deliar Noer, 1980, 96)
38 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
41
Kedatangan Jepang telah membawa malapetaka bagi kelangsungan pendidikan di
Indonesia dan Aceh khususnya. Karena itu madrasah yang dipimpin oleh Tengku Ibrahim
terpaksa ditutup untuk selama-lamanya. Tindakan ini terpaksa diambil, karena mengikuti
peratutan pemerintah Jepang yang melarang berdirinya sekolah swasta. Kemudian
Tengku Ibrahim sebagai komponen ulama bersama ulama lainnya telah dimanfaatkan
untuk kepentingan perang dengan selogan untuk Asia Timur Raya.
Meskipun Pemarintah Jepang melakukan tekanan-tekanan, tetapi secara bergerilia
Tengku Ibrahim dan Tengku Muchklis masih menyempatkan waktunya untuk mengajar
anak-anak gadis di Kampung Bale Simpang Tiga Redlong. Pelaksanaan waktunya
dilakukan antara waktu Dhuhur dan Ashar setiap harinya.
Pada masa kemerdekaan Tengku Ibrahim dan Ramli serta dukungan masyarakat
Kenawat Redlong mendirikan Sekolah Rendah Islam (SRI). Gagasan untuk mendirikan
lembaga tersebut, selain jauhnya lembaga pendidikan dari Kenawat, juga karena
masyarakat Kenawat sudah merasa perlu membuka lembaga pendidikan untuk
menampung anak-anak yang jumlahnya sudah pantas untuk mendapatkan pendidikan.
Juga yang paling utama adalah harapan mereka agar lembaga pendidikan ini dapat
memasukkan pelajaran ilmu umum dan agama. Dengan demikian lepasan sekolah dapat
menguasai ilmu dunia dan ilmu akhirat.
Tenaga-tenaga intinya, seperti Ramli sebagai kepala dan guru untuk mata
pelajaran umum, Tengku Ibrahim guru yang memberikan pelajaran agama. Sedang guru-
guru lainnya adalah Tengku Mataridi, Tengku Ali Jadun dan dibantu oleh Aman
Hasbalah.
42
Perkembangan sekolah ini cukup mengembirakan, karena peminatnya datang dari
Delung Tue, Wih Ilang dan kampung lainnya. Kegiatan di luar sekolah adalah
terbentuknya unit drum band yang instrumennya hanya drum dan seruling bambu.
Namun kemahiran anak-anaknya telah dapat memainkan sebuah simponi yang kompak
dan lagu-lagu yang disuguhkan bernada gembira, sehingga yang dapat membangkitkan
semangat.
Dalam perkembangan selanjutnya, Pemerintah lewat Departemen Agama RI
mengangkat Tengku Ibrahim sebagai guru agama pada SRI Kenawat. Dengan pangkat
ini berarti ia duduk sebagai pegawai negeri dengan tugas sebagai guru. Karir sebagai guru
ia tekuni hanya berlangsung sampai pada tahun 195o-an, karena sesudah itu ia turut di
dalam gerakan DI TII Aceh. Sedang sekolah tersebut terus berjalan, menjalankan sebagai
lembaga pendidikan oleh tenaga-tenaga muda belakangan sekolah tersebut namanya
diganti menjadi Madrasah Ibtidaiyah Negeri (MIN).
B. BIDANG DAKWAH
Setelah menghilang satu decade Tengku Ibrahim kembali tampil di panggung
dakwah. Wawasannya semakin luas dengan warna dan corak yang tegas. Bahkan
kajiannya tidak terpaku pada literatur-literatur kelasik, buah pemikiran ulama-ulama
salaf, tetapi ruang kajiannya telah dapat beradaptasi dengan arus zaman. Konsepsinya
yang jernih ia tuangkan dalam ruang-ruang pengajian, baik dalam kelompok kecil
maupun kelompok besar.
43
Dalam meyampaikan dakwah selalu konseptual dan urainnya sistematis. Untuk
melangkah kedepan ia melakukan muhasabah (koreksi diri). Toleransinya terhadap
tradisi yang menyesatkan ia bersihkan dan celah-celah yang mengganggu ia tutup rapat.
Untuk mengelementasikan perihal tersebut, Tengku Ibrahim meletakkan
Pesantren Al Huda yang berpusat di Mersah Uken Kenawat sebagai ajang dialog untuk
menegakkan akidah, syariat dan akhlak sesuai dengan Al Qu’an dan Hadist.39 Kegiatan
pesantren ini tidak hanya sebagai pentas dialog untuk merenung-renung kejayaan Islam,
tetapi dimanfaatkan untuk melakukan telaah dan kajian-kajian yang berkualitas, sehingga
dapat mengenal Islam sebagai mana mestinya. Untuk mengaktualisasikan hal tersebut,
Tengku Ibrahim memadatkan frekuwensi kerjanya siang dan malam.
Dalam memberikan pelajarannya ia tidak bertindak seperti seorang guru dengan
murid disekolahan, tetapi sebagi teman dengan menghidupkan dialog-dialog aktif.
Karena tidak mengherankan para muridnya bukan saja menjadi mahir, tetapi dapat
mengaktualisasikannya didalam kehidupan sehari-hari.
Mencermati akan padangan-padangan yang telah disampaikan oleh Tengku
Ibrahim, menyatakan bahwa ia tidak berpihak pada golongan manapun, baik Kaum Tua
atau Kaum Muda baik NU ataupun Muhammdiyah. Hal ini terlihat jelas dari sikap, kata
dan perbuatan, bahwa ia adalah pengikut Ahlussunah Waljama’ah.
Menurut Tengku Ibrahim, bahwa pengertian Ahlussunah Waljama’ah adalah
segala perbuatan, segala tindakan haruslah sama dengan perbuatan dan tindakan Rasullah
saw. Umpama kaidah, bagaimana kaidah Rasullah saw begitu juga kita perbuat, syariat
39 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
44
bagaimana syariat nabi Muhammad saw begitu juga kita kerjakan. Umpama moral kita
harus berakhlak seperti nabi. Inilah yang disebut Ahlussunah Waljama’ah.40
Kalau kita kembali kepada akidah, bahwa kaidah nabi, tidak jauh berkisar dari
rubu’iah dan uluhiyah, artinya sesuatau yang terjadi adalah ciptaan Allah SWT, kendati
dengan kecelakaan, karena semua itu dengan kehendak Allah SWT. Dengan berdasrkan
kepada Lailahaillah, tiada tuhan yang disembah Allah, maka segala tindak tanduk,
akidah, akhlak dan tidakan harus pas menurut perbuatan nabi. Itulah yang disebut
Ahlussunah Waljama’ah.
Karena itu seperti yang dikaji tadi, amat keliru, kalu Kaum Muda menyatakan,
bahwa mereka menyatakan, kami adalah pengikut Ahlussunah Waljama’ah. Begitu juga
dengan Kaum Tuanya menyatakan, bahwa mereka adalah pengikut Ahlussunah
Waljama’ah. Keliru juga kalau kita kembalikan kepada definisinya, apakah azas dan
tujuannya, bahwa kami pemangku Ahlussunah Waljama’ah. Begitu juga organisasi
politik atau organisasi sosial masing-masing. Akan tetapi, apabila akidah sudah
mengikuti akidah nabi, betul-betul syariat seperti nabi, apakah perbuatan benar-benar
seperti nabi, itulah yang disebut Ahlussunah Waljama’ah. Jadi jelasnya Ahlussunah
Waljama’ah bukan karena Kaum Tuanya dan bukan karena kaum Mudanya.
Oleh karena itu, Ahlussunah Waljama’ah tidaklah begitu susah dan juga tidak
mudah. Kita tidak perlu menambah-nambah dari ibadah nabi, kita tidak perlu mengurangi
dari ibadah nabi. Apa yang telah digariskan oleh nabi enteng, tidak berat, karna itu buat
apa kita menambah-nambah, seperti sebuah contoh, apakah ada orang Islam disuruh
mengadakan khalwat, umpama tahlil seribu, tahmid seribu. Itu merupakan suatu
perbuatan yang membatas-bataskan, memberat-beratkan yang tidak pernah dikerjakan
40 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakarta
45
oleh nabi. Dengan demikian orang-orang yang berbuat demikian itu amatlah keliru, itu
bukan perbuatan Nabi Muhammad saw.
Ahlussunah Waljama’ah adalah berasal dari perkataan nabi Muhammad saw.
“Pada suatu hari nabi pernah bercerita pada para sahabat, wahai sahabatku, bahwa agama
Yahudi sesudah nabi Musa terpecah dalam 71 firkah”. Semua mereka menganggap
bahwa agama Yahudi, firkah mereka yang benar karena berasal dari Nabi Musa.
Kemudian Nabi melanjutkan ceritanya, Nabi Isa (Yesus), kata nabi Muhammad, bahwa
umatku nanti terpecah menjadi 71 firkah, tetapi kesemuanya hanya satu yang benar.
Demikian juga Nabi Muhammad saw, umatku terpecah dalam 73 firkah, hanya satu yang
benar. Yang benar satu itu siapa ya Rasull?, Ahlussunah Waljamaa’ah. Lalu para sahabat
bertanya lagi, yang benar itu siapa ya Rasull? Baik agama Nabi Musa atau agama Nabi
Isa? “ajaranku sendirilah yang benar”, kata Nabi Muhammad saw.41
Berangkat dari semua itu, maka dengan ini saya berpendapat dan menyatakan
bahwa, Ahlussunah Waljama’ah yang betul-betul pas akidahnya yang dijalankan oleh
Nabi Muhammad, ibadatnya dan moral seperti nabi, itulah Ahlussunah Waljama’ah. Jadi
bukan karena organisasinya, seperti Muhammadiyah Ahlussunah waljama’ah, kalau
Muhammadiyah karena Allah, tetapi Muhammadiyah bukan karena Muhammadiyahnya.
Begitu juga dengan Al Washliyah, bukan karena Washliyahnya, tetapi betul-betul seperti
ajaran nabi Muhammad saw, demikian juga dengan yang lainnya. Apabila tidak sesuai
dengan perbuatan Rasullah saw, walaupun mengaku Islam seperti Kaum Tua, Kaum
Muda, Muhammadiyah, NU dan lain-lainya, dengan demikian ditegaskan bahwa
Ahlussunah waljama’ah, akidahnya seperti Nabi syariatnya sperti Nabi dan moral
seperti Nabi.
41 Wawancara dengan Tgk. H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
46
Demikianlah pendapat Tengku Ibrahim tentang Ahlussunah Waljama’ah. Hal ini
telah diyakininya dengan seyakin-yakinnya dan dipegang dengan erat, seerat-eratnya
untuk menjadi rujukan di dalam segala aspek kehidupan, baik diri pribadi maupun yang
telah disampaikannya kepada orang banyak. Karena itu ia terus mengingatkan, agar
pedoman tersebut patut dipegang dengan erat.42
Pedoman tersebut telah dituangkan secara transparan kepada khalayak ramai,
khususnya masyarakat Kenawat. Dengan harapan supaya anak negri Kenawat yang sudah
memiliki karakteristik yang Islami dapat menjadi lampu penerang, contoh teladan dan
dapat menyebar luaskan bagi masyarakat yang masih terbelenggu di dalam kehidupan
kegelapan seperti di tahun 1930-an.
Dari apa yang telah disampaikan oleh Tengku Ibrahim membenami nyata didalam
masyarakat Kenawat didalam pelaksanaannya. Dalam prakteknya telah tampak didalam
ibadat, seperti shalat. Dalam pelaksanaannya telah diterapkan, seperti cara yang telah
diajarkan atau dikerjakan oleh Nabi Muhammad saw, tidak ditambah-tambah dan tidak
dikurangi. Oleh karena itu didalam praktek shalat, hal yang ditambah seperti ushali dan
yang sunat seperti qunut telah ditinggalkan.
Seperti juga yang menyangkut tradisi seperti dalam upacara kematian, talkin dan
keduri sudah ditinggalkan. Karena perbuatan tersebut selain tidak ada dalam perintah
agama, juga secara logika berarti sama dengan membuang-buang harta dan mengingat-
ingat atau memperbaharui kesedihan bagi para ahlinya.
Sedang sebagai pengganti keduri Tengku Ibrahim, seperti yang telah dihidupkan
oleh Nabi Muhammad saw, sebagai rasa turut berduka cita bagi keluarga yang
ditinggalkan mengadakan takziyah selama tiga hari berturut-turut. Dalam kesempatan
42 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
47
tersebut, khususnya di Kenawat, Tengku Ibrahim telah menghidupkan acara dengan
memberikan ceramah yang bermanfaat, guna menghilangkan kesedihan bagi keluarga
yang ditinggalkan.43
Selain itu untuk mendekatkan jurang pemisah dengan faham yang berseberangan,
Tengku Ibrahim mengajak berdialog dan bersama-sama mencari sumber yang jernih.
Untuk mencari titik temu dan kebenaran, ia sering melontarkan pertanyaan: “siapa yang
menyuruh kita melakukan kenduri, adakah perintah yang tertera dalam Al-Qur’an dan
Hadis? “atau adakah imam yang melakukannya, Imam Syafi’i umpama? Kalau memang
ada, mari sama-sama kita buka kitabnya, apakah ada perintah untuk melakukannya?
Kalau pertanyaan demikian yang dilontarkan, biasanya orang diam dan tak berkutik,
beluh gere bersinen (pergi tanpa permisi).
Untuk memecahkan permasalahan ia membuka pintu dialog selebar-lebarnya
dengan siapa saja. Karena ia merasa prihatin terutama kepada tengku-tengku muda yang
bidang kajiannya masih terbelenggu kuat dengan faham yang hidup pada tahun 1930-
1940-an
Demikianlah Tengku Ibrahim ia tidak lagi berpegang pada prinsip kebersamaan,
tetapi pandangan telag berfokus dalam mencari kebenaran, karena itu ia sangat gigih
untuk membangun kekuatan dan kebersamaan guna membendung segala penyimpangan.
Untuk mecari kebenaran, ia sangat bersemangat melakukan dialog-dialog dengan tengku-
tengku muda, agar mereka dapat memperkaya ilmu untuk mencari sumber-sumber,
sehingga dapat menyaring dan kemudian dapat melepaskan diri dari faham-faham yang
keliru. Oleh karena itu jalan yang terbaik adalah menawarkan kepada mereka untuk
43 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
48
bersama-sama menelaah atau mengkaji sumber-sumber yang saheh, sehingga dapat
memisahkan, mana yang benar dan mana yang salah, agar aman melalui jalan yang benar.
C. RESPON RAKYAT ACEH TENGAH TERHADAP TENGKU IBRAHIM
MANTIQ.
Pada tahun 1936, tercatatlah nama Tengku Ibrahim sebagai seorang da’i yang
cerdas dan penuh enerjik memulai debutnya dalam bidang dakwah Islamiyah di Tanah
Gayo. Ketika itu ia masih berjalan sendiri, karena Tengku Ahmad Damanhuri dengan
nama panggilan Tengku Silang sedang melanjutkan pendidikannya di Candung Bukit
Tinggi, Sumatra Barat dan Tengku Abdurrahman Bebesen masih berguru di Cot Meurak
Bireun. Sedang Tengku Abdul Jalil dan Tengku Mukhlis masih mencari ilmu di Jawa44.
Oleh karena itu dalam menjalankan missi ini, jadwalnya cukup padat. Ia kadang-
kadang berhari-hari lamanya tidak pulang, sehingga membuat ibunya gelisah menunggu
di Kenawat. Karena ia memberikan ceramah dari kampung yang satu pindah ke kampung
yang lain. Sehingga ruang jelajahnya terbentang luas, mulai dari kampung Bintang
dibagian timur sampai ke kampung Pegasing di bagian barat.
Namun demikian kehadirannya dalam arena dakwah di tahun 1930-an,
nampaknya belum dapat berjalan pas dengan situasi dan kondisi zaman. Karena itu dalam
awal geraknya, ia bergerak hati-hati dan menyamakan langkah dengan keadaan tersebut.
Dan untuk mencari jalan yang aman ia belum menyentuh perihal yang bersifat khalafiyah
yang sudah mentradisi dalam masyarakat luas. Untuk menghindari benturan-benturan
faham di dalam masyarakat, ia belum menawarkan suatu perubahan secara revolusioner,
meskipun obsesinya ingin menempatkan Islam itu pada kedudukan yang sebenarnya.
44 Wawancara dengan Tengku H. Zainal Abidin, 3 Mei 2009, Ciputat
49
Sebagai gambaran, bahwa kedudukan agama Islam, sebelum dan sesudah tahun
1930-an telah menjadi keyakinan kuat sebagai agama yang benar dan karena itu tiada
seorangpun yang boleh merendahkan martabatnya. Kalau itu sampai terjadi, maka
seseorang akan mempertaruhkan nyawa demi untuk mempertahankan kedudukan agama
itu. Akan tetapi didalam praktek sehari-hari agama ini banyak dimanfaatkan menjadi alat
pengesah tradisi. Karena perihal ini terlihat dalam perintah wajib baru dilakukan oleh
kalangan yang tertentu saja. Sedang selebihnya banyak melakukan perbuatan yang masih
berkiblat kepada perbuatan khurafat, bid’ah dan bahkan sirik.
Pada tahun 1930-an praktek-praktek demikian kelihatan sangat kental dalam
kehidupan masyarakat Gayo. Sebagai contoh, di Joyah Kenawat selalu tersedia rukuh
(baju shalat wanita), tetapi yang memanfaatkan untuk shalat hanya ibu-ibu atau nenek-
nenek yang sudah hampir mendekati kuburan. Contoh lain, seorang nenek yang sedang
melakukan shalat, tetapi karena cucunya pulang dan mengatakan; “ini ikan nek”, maka si
nenek spontan menghentikan shalatnya dan ia menyimpan ikan tersebut pada tempat
yang aman dan kemudian dia meneruskan shalatnya.
Dari gambaran di atas bahwa keadaan masyarakat Gayo pada masa itu boleh
dikatakan masih dalam kesederhanaan. Pengetahuan mereka belum dapat memisahkan
antara budaya sebagai konsepsi manusia dengan agama sebagai wahyu Ilahi. Karena
didalam praktek, masalah-masalah yang berhubungan dengan budaya manusia mereka
anggap sebagai perintah agama dan untuk kepentingan perihal tersebut mereka
mengeluarkan harta benda, seperti contoh, pelaksanaan kenduri. Sedangkan perintah
agama yang wajib dikerjakan mereka lewatkan begitu saja.
50
Berangkat dari permasalahan tersebut, maka didalam menyampaikan pesan
dakwah, tengku Ibrahim selalu berusaha untuk menciptakan suasana hidup dalam
kebersamaan dan berusaha memperkecil jurang perbedaan yang dalam artian ia berusaha
agar materi pembicaraan jangan sampai menyinggung masalah yang menyangkut yang
sifatnya khalafiah. Begitu juga kalau umpama ada suatu pertanyaan, missal masalah
talkin dan kenduri, ia belum memberikan jawaban, “itu masalah nanti”, jawabnya.
Karena menurutnya bahwa masalah tersebut masih memerlukan waktu dan penjelasan
yang panjang. Oleh karena itu, seolah-olah ia memberi lampu hijau untuk melakukan
tradisi yang bertentangan dengan perintah agama. Namun demikian, ia terus memberikan
kesadaran kepada masyarakat pendengarnya supaya tidak terjerembab kedalam syirik dan
bid’ah.45
Karena itu, untuk mengikis segala penyimpangan, ia bertindak secara perlahan-
lahan dan bertahap yang menurut istilahnya perubahan itu dilakukan secara evolusi dan
bukan secara revolusi. Ia mencontohkan, ibaratnya anak sekolah, kalau sianak masih
duduk di kelas I berikanlah pelajaran yang sesuai dengan pelajaran kelas I, maka
janganlah diberikan mata pelajaran kelas II, tentu anak tersebut belum dapat menerima
bahkan anak yang tidak mampu, bukan tidak mungkin akan meninggalkan kelas itu. Jadi
dengan demikian, menurutnya untuk memberikan ilmu, apalagi yang menyangkut agama
kepada seseorang ataupun kelompok harus dilakukan pelan-pelan dan bertahap. Jadi
jelasnya, dakwah harus dilakukan secara bertahap, tahap pertama adalah menanamkan
pengertian yang kedua membangkitkan kesadaran dan tahap akhir adalah mendorong
akan pengenalan.
45 Wawancara dengan Muchtaruddin Ibrahim, 10 Januari 2009, Jakrata
51
Demikianlah cara Tengku Ibrahim dalam melakukan dakwah. Karena itu untuk
memuluskan geraknya, ia tidak memakai kunci pas, tetapi memakai kunci Inggris yang
dapat disetel menurut kegunaannya. Cara demikian sebenarnya berpedoman pada
Rasulullah saw, bahwa beliau menerima wahyu berlangsung selama 23 tahun. Turunnya
ayat-ayat AQl Qur’an secara bertahap dan kadang-kadang sesuai dengan kepentingan
ketika itu, seperti perintah mengharamkan arak dan judi. Hukum tentang larangan minum
arak dan judi tidak diturunkan sekaligus, tetapi Allah swt menurunkan secara bertahap
dan baru dalam tahap ketiga Allah swt menegaskan bahwa arak dan judi haram.
Dengan cara demikian dan didukung oleh kefasihan berbicara, maka Tengku
Ibrahim telah menjadi da’i yang selalu dinantikan oleh masyarakat pengagumnya. Karena
itu, bukan saja ia bolak balik dari kampung ke kampung di daerah Lut (Takengon), tetapi
bahkan menyebrang sampai di Kutekering. Begitulah kegiatan Tengku Ibrahim,
jadwalnya cukup padat untuk mengisi acara dakwah.
52
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Demikianlah uraian tentang Tengku Ibrahim, bahwa ia adalah seorang Tengku
(ulama) Gayo yang mempunyai wawasan yang luas. Ia lahir di Kenawat Takengon tahun
1914, anak dari Empun Berhan yang pernah duduk sebagai Raja Kenawat dengan gelar
Raja Setia Raja. Tersebutlah ia seorang Raja yang arif dan bijaksana, karena selaim
memperhatikan kesejahteraan rakyatnya, ia juga ahli adapt dan faham soal agama.
Pada tahun 1936 Tengku Ibrahim Mantiq telah dapat menyelesaikan
pendidikannya di Al-Muslim Glumpang Dua Aceh Utara, sebuah lembaga pendidikan
Islam yang moderen dan tercatatlah ia sebagai lulusan pertama dengan memperoleh
predikat nomor satu.
Sejak tahun 1936 ia memulai debutnya dalam bidang dakwah dan tercatatlah ia
sebagai Da’i yang kondang di Gayo (Aceh Tengah), khususnya Gayo Lut. Karena pada
masa itu, Tengku Silang sedang menuntut ilmu di Sumatra Barat dan Tengku Abdul Jalil
masih berguru pada Persis di Jawa. Oleh karena itu ruang jelajah Tengku Ibrahim
bergerak luas diseputar Danau Laut Tawar yang dimulai dari kampung Bintang sampai di
Pegasing dan bahkan menyeberang sampai Kute Kering.
Awal geraknya moderat, karena ia tidak manawarkan sebuah perubahan secara
revolusioner dan ia menyesuiakan diri dengan keadaan masyarakat pada jamannya.
Karena itu ketika timbul perselisihan paham antara yang menamakan diri Kaum Tua yang
dikondisikan oleh Tengku Silang dan Kaum Muda di pelopori oleh Tengku Abdul Jalil
53
pada tahun 1939, ia tidak memihak pada siapa pun. Akan tetapi untuk menjernihkan
ajaran yang dianggapnya menyimpang, dia tidak segan-segan untuk melakukan dialog-
dialog (debat), baik dengan tokoh dari Kaum Tua, maupun tokoh-tokoh Kaum Muda.
Mengingat akan arti pentingnya pendidikan, maka selain bidang dakwah, dalam
periode 1936-1950an ia aktif dalam bidang pendidikan. Pada masa sebelum kemerdekaan
ia mengajar di Madrasah Diniyah Islamiyah di kampong Delung Tue dan setelah merdeka
ia bersama-sama masyarakat mendirikan SRI di Kenawat Redlong.
Akan tetapi pada tahun 1950 ia tampil beda dalam pentas dakwah. Pesan-pesan
yang disampaikannya menunjukkan warna yang jelas dan tegas ia tidak lagi kompromi
dengan faham-faham yang sesat dan menyesatkan. Untuk menjernihkan semua itu ia
terus mengumandangkan kebenaran lewat ceramah, pengajian dan dialog-dialog kreatif
dan ia membuka kran dialog dengan siapa saja guna untuk mencari kebenaran yang
sesuai dengan Al-Qur’an dan Hadist. Dan semua itu telah di transparasikannya dalam
kehidupan masyarakat luas, khususnya masyarakat Kenawat.
Demikianlah aktifitas Tengku Ibrahim Mantiq, meskipun fisiknya semakin lemah,
tetapi semangat dakwahnya tetap menyala. Fikirannya masih jernih. Ia tampil garang
manakala menentang kemungkaran dan bersemangat manakala menyuruh kebenaran.
B. SARAN-SARAN
1. Pentingnya sebuah perjuangan untuk mengangkat harkat dan martabat bangsa di
mata Internasional. Juga, penting pula memelihara dan mempertahankan
kemerdekaan dengan diisi oleh pembangunan fisik dan mental bangsa menuju
54
kesejahteraan rakyat yang adil dan merata. Terlebih-lebih pada masa
pembangunan dewasa ini, jiwa dan semangat perjuangan perlu dipupuk.
2. Untuk staff perpustakaan, baik Perpustakaan Utama maupun Perpustakaan
Fakultas, agar lebih memperhatikan literature-literatur tentang Aceh Tengah,
karena di kedua perpustakaan tersebut sedikit sekali buku-buku yang membahas
tentang Aceh Tengah.
3. Untuk para dosen, ketika datang dan selesai mengajar tolong tepat waktu, tidak
membawa maslah pribadi ke dalam ruang kuliah, dan jangan membawa unsure-
unsur politik di dalam kelas.
55
DAFTAR PUSTAKA
Abdurrahman, Dudung. Metode Penelitian Sejarah. ed. Jakarta: Logos Wacana Ilmu,
1999.
Baihaiki. A.K. Ulama dan Madrasah di Aceh, dalam agama dan perubahan sosial.
Departemen Pendidikan dan Kubudayaan. Sejarah Pendidikan Daerah Propinsi Daerah
Istimewa Aceh, 1981.
Departemen Pendidikan dan Kubudayaan. Sejarah Daerah Propinsi Daerah Istimewa
Aceh, 1997.
Ekadjati, Edi S. Penyebaran Islam di Pulau Sumatra, Singa Buana Bandung, Jakarta,
1983
Facrurrazi, Aziz. dkk. Pedoman Penulisan Skripsi. Jakarta, 2007.
Gayo, M.H. Perang Gayo Melawan Kolonialisme Belanda, Balai Pustaka, Jakarta, 1983.
Gottschalk, Louis. MENGERTI SEJARAH, Pengantar Metode Sejarah. ter. Nugroho
Notosusanto. Yayasan Penerbit Universitas Indonesia,
Hurgronje, C. Snouck. Tanah Gayo dan Penduduknya, Jakarta: Indonesian-Nederlands
Cooperation in Islamic Stadies (INIS), 1996.
Hasymy, Ali. Sejarah Masuk dan Berkembangnya Islam di Indonesia (KumpulanPrasaran Pada Seminar di Aceh), Jakarta: Percetakan Offset, 1989, Cet Ke-2
Ismuha, Ulama Aceh Teuku Rahman Meunasah Meucap, Pustaka Awi Geutah, 1949.
Kartodirdjo, Sartono. Pendekatan Ilmu Sosial dalam Metodologi Sejarah. Jakarta:
Gramedia, 1993.
Kuntowijoyo. Pengantar Ilmu Sejarah. Yoyakarta: Bentang, 1995.
Kuntowijoyo. Metodologi Sejarah. Yogyakarta: Tiara Wacana, 2003
56
M. Dawam Raharjo, Intelektual, Itelegensia, dan perilaku Bangsa: Risalah CendikiawanMuslim; (Mizan: Bandung, 1999).
Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, Yayasan Penyelenggara penterjemah
pentapsiran Al Qur’an: Jakarta, 1973) h.277
Melalatoa, M.J. Kebudayaan Gayo, PN Balai Pustaka, Jakarta 1982
Melalatoa, M.J. Ensiklopedi Suku Bangsa Di Indonesia, Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI. 1995.
Paini, Mukhlis. RIAK di Laut Tawar Kelanjutan Tradisi Dalam Perubahan Sosial Di
Gayo Aceh Tengah. Jakarta: Arsip Nasional Republik Indonesia kerjasama dengan
Gadjah Mada University Press. 2003.
57
BERITA WAWANCARA
Nama : Tgk. H. Zaenal Abidin
Jabatan : Ustad
Alamat : Pondok Ranji Ciputat
Waktu : 3 Mei 2009
1. Dari mana bapak mengenal Tengku Ibrahim?
Jawab : Saya mengenal beliau di Kenawat Takengon. Beliau adalah guru saya
sewaktu saya belajar di SRI di Kenawat.
2. Sejak kapan SRI Kenawat Berdiri dan siapa-siapa saja tokohnya?
Jawab : Sejak tahun 1926 dan tokoh-tokohnya yaitu Tengku Ibrahim Mantiq,
Tengku Kadhi Rampak, Tengku Haji Yunus, Tengku Abduk Kadir dan
Empun Berhan.
3. Dari mana saja dananya?
Jawab : Dari masyarakat, jadi masyarakat bergotong royong mencari bahan-bahan
ke hutan dan hanya bagian atap saja yang di beli yaitu seng.
4. Tengku Ibrahim Mantiq sebagai apa?
Jawab : Dia hanya mengajar pelajaran agama.
5. Mata pelajaran apa saja yang diajarkan?
Jawab : Fikih, Tauhid, dan Hahwu
6. Dari mana saja asal murid-muridnya dan berapa jumlah muridnya?
Jawab : Dari penjuru Aceh Tengah dan muridnya berjumlah ratusan.
58
7. Apa aliran Tengku Ibrahim Mantiq NU atau Muhammadiyah?
Jawab : Tidak ada
8. Kenapa di Panggil Mantiq
Jawab: Itu pemberian dari gurunya Tengku Pulo Kitun karma ia menguasai ilmu
Mantiq.
9. Apa itu Ahli Sunnah Waljamaah
Jawab : Segala perbuatan dan kelakuan kita seperti Nabi tidak dikurangi dan
tidak ditambah-tambah.
10. Apa rahasia keberhasilan Tengku Ibrahim Mantiq?
Jawab : Sebenarnya rahasia keberhasilan Tengku Ibrahim terletak pada daya
ingatnya, ingatannya sangat kuat sekali.
59
BERITA WAWANCARA
Nama : Muchtaruddin Ibrahim
Jabatan : Pensiunan PNS
Alamat : Manggarai Jakarta
Waktu : 10 Januari 2009
1. Dari mana bapak mengenal Tengku Ibrahim?
Jawab : Dia adalah orang tua saya
2. Kapan ia lahir?
Jawab : Tengku Ibrahim Mantiq lahir tahun 1914 di Kenawat Takengon
3. Sipa nama orang tuanya?
Jawab : Ayahnya bernama Mude Berani alias Aman Aman Cahya atau nama
tuanya Empun Berhan ia jua mendapat gelar Raja Setie Raja karma ia
pernah menjabat sebagai Raja kampung Kenawat dalam satu priode dan
ibunya bernama Sawiah. Perkawinan ini telah melahirkan 2 anak,
pertama Ibrahim dan yang kedua Said. Kelahiran anak kedua ini
menyebabkan ibunya meninggal sehingga menjadi yatim.
4. Bisa ceritakan tentang asal usul Mude Berani?
Jawab : Asal usul Mude Berani Merupakan tetesan dari seorang musafir yang
berasal dari Meureuedu ( Aceh Pidie) yang menikah dengan gadis Gayo
di Kenawat anak dari Datu Tunggal. Dari garis ini Mude Berani
merupakan genarasi ketika dari keturunan tersebut.
60
5. Apa pekerjaan Mude Berani?
Jawab : Ia seorang Tengku yang diwariskan oleh kakeknya. Selain itu ia juga
cerdas ahli adat, karma kecerdasan ia pernah diangkat menjadi Raja
kampung Kenawat. Selain itu ia sangat mahir dalam bercerita
(kekeberen), sehingga boleh dikatakan seorang publish yang tiada
bandingnya di kampung Kenawat.
6. Dimana Tengku Ibrahim Mengikuti Pendidikan?
Jawab :Ibrahim sejak dini mendapat kesempatan mengikuti pendidikan, ia
bernasip baik, karma langsung belajar pada ayahnya, Empun Berhan.
Karna Empun Berhan adalah seorang Tengku yang memimpin
pengajian. Pada tahun 1929 Ibrahim meninggalkan kampungnya dan
meneruskan pendidikannya ke daerah pesisir di Aceh. Ia memilih
Pesantren Pulokitun Pimpinan Muhammad Saleh, yang lebih dikenal
dengan panggilan Tengku Pulokitun. Sementara itu, Tengku Pulokitun
dengan dukungan dari Tengku Hanafiah, Tengku Haji Ridwan membuka
madrasah moderen di Cut Meurak. Bersamaan dengan ini, Ibrahim ikut
pindah mondok di Cut Meurak. Ketika Ibrahim dan murid-murid lainnya
sedang tekun mencurahkan perhatian, Tengku Pulokitun, sebagai
penggagas berdirinya pesantren tersebut mengundurkan diri dan minta
berhenti. Dalam keadaan demikian, Tengku Pulokitun menganjurkan
Ibrahim supaya melanjutkan pendidikan di Al-Muslim Glumpang Dua.
Pada tahun 1936 Tengku Ibrahim telah dapat menyelesaikan
61
pendidikannya di Al-Muslim dan tercatatlah ia sebagai lulusan pertama
dengan meraih peringkat juara I.
7. Setelah menyelesaikan pendidikan, apa pekerjaan Tengku Ibrahim?
Jawab : Ia berdakwah dan mengajar
8. Dengan siapa ia membangun rumah tangga?
Jawab : Ia menikah dengan Siti Asiah, seorang gadis tinggi semampai, wajah
menawan, putrid kedua dari Tamat Aman Rukiah dari belah Cik Kenawat
dan ibunya bernama Rami Inen Rukiah yang berasal dari Bebesen.
Kebahagian rumah tangga Tengku Ibrahim di tandai dengan kelahiran
putra putrinya, yaitu yang sulung laki-laki yang di beri nama
Muchtaruddin yang panggilannya Tarudin dan anak ini tinggal bersama
mertua di Kenawat Lut, anak kedua perempuan dan di namakan Suhaini
dan anak yang ketiga perempuan yang diberi nama Rukiyah. Kemudia
pada zaman Jepang lahir seorang anak laki-laki yang dinamakan Marsuli,
sedang pada zaman merdeka lahir dua anak perempuan, yaitu Charmina
dan Murniawati, sedang dua anak laki-laki meninggal sewaktu kecil. Jadi
anak Tengku Ibrahim yang hidup berjumlah 6 orang46