jurnal vol 12, no. 02 2007

Upload: aisz93

Post on 10-Jul-2015

429 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

PENGANTAR REDAKSIStrategi pemberdayaan tampaknya menjadi pilihan bagi berbagai pihak terutama pemerintah dalam upaya memberi motivasi dan dorongan guna membangkitkan kesadaran masyarakat terutama kelompok rentan akan potensi yang dimilikinya. Salah satunya adalah program pengembangan distrik (PPD) yang dilaksanakan di provinsi Papua menjadi kajian menarik karena seharusnya dapat mengangkat masyarakat tidak mampu dari keterpurukannya tetapi ternyata program ini hanya dimanfaatkan oleh kalangan tertentu. Muchtar menyajikan bagaimana implementasi program ini di tingkat masyarakat. Sebaliknya pemberdayaan sebagai perwujudan dari Corporate Social Responsibility (CSR) yang dilakukan oleh PT Ultrajaya Milk Industry & Trading Co Tbk, mampu membantu komunitas rentan yang ada di lingkungannya. Lebih jauh Dewi Wahyuni melakukan studi pada lingkungan masyarakat yang menjadi sasaran program ini. Masih bicara tentang masyarakat miskin, Toton Witono lebih menyoroti pada kehidupan mereka di era otonomi daerah terutama mereka yang tinggal di Lereng Gunung Merapi, Jawa Tengah. Menurut penulis, tampaknya otonomi daerah tidak banyak menghasilkan kebijakan yang dapat mengentaskan kemiskinan di daerah tersebut. Sungguh ironis memang. Habibullah di dalam artikelnya, melihat bahwa kegagalan program penanganan masalah kemiskinan umumnya lebih disebabkan karena terbatasnya pemahaman tentang pola kehidupan masyarakat tersebut. Bahasan lain dalam edisi Jurnal kali ini tentang Anak Jalanan, tampaknya masih menjadi pembicaraan pada kalangan Pemerintah dan LSM. Hari Harjanto Setiawan melakukan penelitian tentang Anak Jalanan yang tinggal di Kampung Pedongkelan yang mendapat program bantuan income generating. Menurutnya, model community based yang diterapkan dalam program ini dianggap cukup efektif dikembangkan. Lain halnya dengan dua artikel yang dibahas oleh Dorita Setiawan yang menyoroti tentang kehidupan perempuan dengan aktivitasnya, serta Surya Wijaya dengan bahasannya tentang kepemimpinan dan motivasi kerja di kalangan PNS di lingkungan Departemen Sosial. Kepedulian Dorita terhadap KDRT yang akhir-akhir ini terjadi, memunculkan pemikiran tentang pentingnya metode pekerjaan sosial melalui pendekatan pengorganisasian masyarakat yang dianggap dapat lebih memahami bagaimana individu, kelompok dan kebersamaan saling terkait. Hal ini dilakukan karena penulis melihat ada pandangan umum yang menyatakan bahwa kekerasan terhadap perempuan adalah masalah kolektif, sehingga pemecahannya harus dilakukan bersama. Sementara dalam kehidupan komunitas pegawai yang disorot oleh Surya Wijaya, memunculkan pemikiran bahwa ternyata motivasi kerja sangat dipengaruhi oleh nilai (value), keyakinan dan sistem merit yang dianut dalam suatu organisasi. Temuan yang sangat menarik adalah ternyata motivasi kerja pada kalangan PNS yang diteliti belum cukup kuat mempengaruhi prestasi kerja mereka.

REDAKSI

i

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT MELALUI PROGRAM PENGEMBANGAN DISTRIKKajian Kebijakan dan Implementasinya di Provinsi PapuaMuchtar

ABSTRAKKajian Implementasi Program Pengembangan Distrik (PPD) di Provinsi Papua bertujuan memahami penanganan kemiskinan melalui strategi pemberdayaan. Pendekatan kajian ini adalah kualitatif yang menekankan esensi dan substansi (pemahaman, pandangan, dan tanggapan) informan yang menghasilkan data deskriptif, yakni gambaran implementasi program di lapangan. Data tersebut diperoleh melalui studi dokumen dan wawancara. Informan ditentukan secara purposive, yakni informan mengetahui secara baik pemasalahan yang sedang dikaji. Untuk itu, informan dalam penelitian ini adalah aparat Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Papua sebagai pengelola PPD. Hasil kajian menunjukkan, meskipun pelaku PPD di Propinsi Papua khususnya pada awal implementasi program mampu melakukan pembangunan sejumlah prasarana dasar desa melalui dana program ditambah swadaya masyarakat setempat dan menyalurkan dana program kepada kelompok masyarakat untuk usaha ekonomi produktif, tetapi jika dicermati, belum terjadi proses pemberdayaan khususnya bagi kelompok miskin, karena tidak ada transfer daya kepada kelompok miskin. Program lebih dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja, dan proses belajar sosial relatif kurang berlangsung, sebab program lebih bernuansa ekonomi saja. Untuk itu, saran ditekankan pada kualitas pelaku program di berbagai tingkatan (khususnya tingkat kampung), yaitu: (a) mereka perlu memahami program secara baik pentingnya pembekalan; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, yang tidak semata penyebaran informasi, tetapi juga perlu diarahkan pada penyadaran tentang permasalahan yang sedang dihadapinya, dan tumbuhnya semangat untuk memecahkan masalah secara mandiri; (c) perlunya pendampingan (fasilitator lokal) secara berkelanjutan terhadap para pelaku program di tingkat kampung, dalam kurun waktu tertentu, hingga mereka dinilai mampu melakukan penanganan masalah kemiskinan warganya secara mandiri. Untuk itu, diperlukan petugas pendamping yang memiliki kompetensi yang memadai, profesional, visionis, taktis, tekun, dan mempunyai semangat tinggi.

Kata kunci : Pemberdayan masyarakat,PPD.

I.A.

PENDAHULUANLatar Belakang

Daerah perdesaan (baca: kampung) tidak hanya ditandai oleh keadaan yang serba terbelakang, tapi ia juga menanggung beban mempekerjakan mayoritas angkatan kerja yang berpendidikan sekolah dasar atau kurang, menampung penganggur semu, serta menghidupi lapisan penduduk di bawah garis kemiskinan (Baswir, 1999: 72). Fenomena keterbelakangan masyarakat perdesaan di republik ini, telah lama mengemuka, yang terlihat dalam data dimana tahun 1980-an, terdapat 40,6 juta (27%)

penduduk Indonesia hidup dibawah garis kemiskinan. Dari jumlah itu, 70% berada di perdesaan (Data BPS 1981 dalam Sumodiningrat 1989: 120). Hal serupa dikemukakan oleh Sarbini (1989: 221), lebih dari 80% rakyat Indonesia hidup di perdesaan. Diantara mereka itu hanya 10-15% yang dapat disebut sebagai orang berada. Sisanya 85% rakyat desa hidup serba kekurangan, bahkan lebih kurang 40% tergolong sangat miskin. Tahun 1999, jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 48,4 juta jiwa (23,4%) sebagai dampak langsung krisis moneter (ekonomi), padahal pada tahun 1996 penduduk miskin hanya berjumlah 22,5 juta jiwa (11,9%). Tahun 2002, jumlah penduduk miskin

1

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

mengalami sedikit penurunan menjadi 35,7 juta jiwa (17,6%). Dari jumlah itu, sebagian besar tinggal di perdesaan, yang mencapai 22,6 juta jiwa (11,2%), dan selebihnya, 12,9 juta jiwa (6,4%) di perkotaan (BPS-Depsos R.I., 2003: 15-17). Tahun 2006, data Susenas menunjukkan, angka kemiskinan kembali melonjak, dari 35,10 juta (15,97%) tahun 2005 menjadi 39,05 juta jiwa (17,75%) tahun 2006, dengan garis kemiskinan Rp. 152.847 per kapita per bulan (setara konsumsi 2.100 kilogram kalori/kkal), bahkan Bank Dunia (November 2006) mencatat dengan kriteria yang mereka acu, angka kemiskinan di Indonesia mencapai 149 juta jiwa (49%) dari total penduduk Indonesia. Sebagian besar mereka itu (63,41%) ada di perdesaan (Kompas, 16 Maret 2007). Atas realitas itu, program pemberdayaan penduduk perdesaan/kampung (yang pada umumnya miskin), sudah mendesak untuk dilakukan oleh berbagai pihak, khususnya dari penyelenggara negara, baik di tingkat pusat maupun di daerah, sejalan dengan perubahan paradigma pembangunan dari sentralisasi ke desentralisasi (akhir 1990-an). Perubahan itu tidak hanya terbatas pada bidang politik, tetapi juga pada bidang lainnya khususnya pemenuhan kebutuhan pangan, kesehatan, dan kesejahteraan rakyat lainnya. Perbaikan berbagai bidang tersebut, sebagian besar harus dipenuhi di tingkat daerah sejalan dengan kebijakan otonomi daerah yang telah menjadi komitmen nasional dan telah harus diberlakukan. Searah dengan pemikiran itu, Pemerintah Propinsi Papua sejak tahun 1998 melaksanakan PPD dengan dukungan dana APBN dalam upaya pemberdayaan masyarakat miskin di wilayah Propinsi Papua, akan tetapi efektifitasnya belum seperti diharapkan. Atas permasalahan tersebut, pertanyaannya adalah: (1) bagaimana gambaran kemiskinan di Wilayah Propinsi Papua? (2) Bagamaimana gambaran PPD? (3) Bagaimana capaian program? dan (4) Apa kendala dalam implementasi program? Atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, kajian ini bertujuan memahami dan mendeskripsi: (1) kemiskinan di Wilayah Propinsi Papua, (2) implementasi program, (3) capaian program, dan (4) kendala dalam implementasi

program. Hasil kajian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak-pihak terkait guna penyempurnaan program yang akan datang, dan sebagai informasi awal bagi mereka yang ingin melakukan kajian secara lebih mendalam dalam upaya pemberdayaan penduduk miskin perdesaan kampung. B. 1) Telaah Pustaka Konsep pemberdayaan Pemberdayaan masyarakat merupakan strategi pembangunan. Dalam perspektif pembangunan ini, disadari betapa penting kapasitas manusia dalam upaya meningkatkan kemandirian dan kekuatan internal atas sumber daya materi dan nonmaterial. Sebagai suatu strategi pembangunan, pemberdayaan dapat diartikan sebagai kegiatan membantu klien untuk memperoleh daya guna mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan dilakukan, terkait dengan diri mereka termasuk mengurangi hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan melalui peningkatan kemampuan dan rasa percaya diri untuk menggunakan daya yang dimiliki dengan mentransfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997: 266 dalam buku Modern social work theory). Sementara itu Ife (1995: 182 dalam buku Community development: Creating community alternatives-vision, analysis and practice) memberikan batasan pemberdayaan sebagai upaya penyediaan kepada orang-orang atas sumber, kesempatan, pengetahuan, dan keterampilan untuk meningkatkan kemampuan mereka menentukan masa depannya dan untuk berpartisipasi di dalam dan mempengaruhi kehidupan komunitas mereka. Sementara itu, Sutrisno (2000:185) menjelaskan, dalam perspektif pemberdayaan, masyarakat diberi wewenang untuk mengelola sendiri dana pembangunan baik yang berasal dari pemerintah maupun dari pihak lain, disamping mereka harus aktif berpartisipasi dalam proses pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan pembangunan. Perbedaannya dengan

2

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

pembangunan partisipatif adalah keterlibatan kelompok masyarakat sebatas pada pemilihan, perencanaan, dan pelaksanaan program, sedangkan dana tetap dikuasai oleh pemerintah. Meskipun rumusan konsep pemberdayaan berbeda-beda antara ahli yang satu dengan yang lainnya, tetapi pada intinya dapat dinyatakan bahwa pemberdayaan adalah sebagai upaya berencana yang dirancang untuk merubah atau melakukan pembaruan pada suatu komunitas atau masyarakat dari kondisi ketidakberdayaan menjadi berdaya dengan menitikberatkan pada pembinaan potensi dan kemandirian masyarakat. Dengan demikian mereka diharapkan mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam menentukan masa depan mereka, dimana provider dari pemerintah dan lembaga non government organization/NGO hanya mengambil posisi partisipan, stimulan, dan motivator. 2) Konsep kemiskinan Kemiskinan adalah konsep yang cair, tidak pasti, dan mutidimensional. Oleh karena itu, terdapat banyak terminologi kemiskinan baik yang dikemukakan oleh pakar secara individu maupun secara kelembagaan. Dalam pengertian konvensional, kemiskinan (hanya) dimaknai sebagai permasalahan pendapatan (income) individu, kelompok, komunitas, masyarakat yang berada dibawah garis kemiskinan (Zikrullah, 2000:11). Hal ini setidaknya terlihat pada batasan yang dikemukakan UNDP (1997) dalam Cox (2004:9), bahwa seseorang dikatakan miskin jika tingkat pendapatannya (hanya) berada dibawah garis kemiskinan. Oleh Karena itu, upaya penanganan kemiskinan yang dilakukan pada negara dunia ketiga baik oleh pemerintah maupun organisasi non pemerintah, kebanyakan (hanya) bertumpu pada upaya peningkatan pendapatan. Padahal kemiskinan meliputi aspek ekonomi, sosial, dan aspek-aspek lainnya. Itu sebabnya, berbagai upaya penanganan kemiskinan itu tidak menyelesaikan masalah dan cenderung gagal.

Untuk itu, menurut Max Neef dalam Zikrullah (2000:11), sekurang-kurangnya ada enam macam kemiskinan yang perlu di fahami oleh pihak-pihak yang menaruh perhatian terhadap penanganan kemiskinan, yaitu: (a) kemiskinan substensi, penghasilan rendah, jam kerja panjang, perumahan buruk, fasilitas air bersih mahal; (b) kemiskinan perlindungan, lingkungan buruk (sanitasi, sarana pembuangan sampah, polusi), kondisi kerja buruk, tidak ada jaminan atas hak pemilikan tanah; (c) kemiskinan pemahaman, kualitas pendidikan formal buruk, terbatasnya akses atas informasi yang menyebabkan terbatasnya kesadaran akan hak, kemampuan dan potensi untuk mengupayakan perubahan; (d) kemiskinan partisipasi, tidak ada akses dan kontrol atas proses pengambilan keputusan yang menyangkut nasib diri dan komunitas; (e) kemiskinan identitas, terbatasnya perbauran antara kelompok sosial, terfragmentasi; dan (f) kemiskinan kebebasan, stress, rasa tidak berdaya, tidak aman baik ditingkat pribadi maupun komunitas. Narhetali mengutip hasil penelitian tentang kemiskinan yang dilakukan Yeates & Mc Laughlin dari Bank Dunia (2000) menyatakan, orang miskin mempunyai penekanan yang berbeda dari pembuat kebijakan tentang hal-hal yang dipersepsi sebagai dimensi kemiskinan. Selain tingkat pendapatan, konsumsi, pen-didikan, dan kesehatan, kaum miskin juga menekankan faktor psikologis seperti kepercayaan diri, ketidakberdayaan (powerlesness) serta pengucilan fisik dan sosial sebagai sumber kemiskinan. Dengan demikian secara jelas terlihat bahwa bagi orang, kelompok, komunitas, masyarakat miskin, ternyata peningkatan pendapatan bukanlah satusatunya hal yang amat penting. Tetapi, perlakuan humanis penuh harga diri, selfrespect juga merupakan sesuatu yang amat bernilai (Kompas, 5 Maret 2003) Meskipun banyak terminologi mengenai kemiskinan, tetapi secara umum dapat dinyatakan, bahwa istilah kemiskinan selalu menunjuk pada sebuah kondisi yang serba kekurangan. Kondisi

3

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

serba kekurangan tersebut bisa diukur secara obyektif, dirasakan secara subyektif, atau secara relatif didasarkan pada perbandingan dengan orang lain, sehingga melahirkan pandangan obyektif, subyektif, dan relatif tentang kemiskinan. Berdasarkan kajian teoritik itu, penanganan kemiskinan melalui PPD mulai memandang, bahwa peningkatan pendapatan bukan satu-satunya hal yang amat penting, tetapi perlakuan humanis, mengakui potensi mereka dengan pendekatan pemberdayaan merupakan unsur lain yang ditekankan. C. Metode Kajian

pemusatan perhatian pada penyederhanaan, transformasi data kasar yang muncul dari catatan-catatan lapangan; (b) Penyajian data, kegiatan penyajian sekumpulan informasi dalam bentuk teks naratif; dan (c) penarikan kesimpulan, mencari arti, pola-pola, penjelasan, konfigurasi yang mungkin, alur sebab akibat. Penarikan kesimpulan dilakukan secara cermat dengan melakukan verifikasi berupa tinjauan ulang pada catatan-catatan lapangan sehingga data yang ada teruji validitas dan reliabilitasnya.

II. HASIL KAJIAN DAN PEMBAHASANA. Gambaran Kemiskinan di Papua Provinsi Papua berpenduduk 1.956.224 jiwa yang tersebar di 19 kabupaten/kota (219 distrik, 2500 kampung/kelurahan). Dari jumlah penduduk tersebut, 966.800 jiwa (38,69%) dalam kategori miskin (BPMD, 2006). Secara lebih jelas persebaran penduduk miskin di Provinsi Papua tersebut, terlihat pada matrik 1 berikut: Matriks 1: Data kemiskinan penduduk Propinsi Papua berdasarkan Kabupaten/KotaNO 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 KABUPATEN/KOTA Kota Jayapura Jayapura Sarmi Yapen Waropen Biak Numfor Supiori Nabire Paniai Jayawijaya Asmat Mappi Merauke Pegunungan Bintang Puncak Jaya Yahukimo Tolikara Waropen Mimika Boven Digul % 22,98 28,39 27,88 42,62 44,87 43,01 49,09 46,21 31,37 29,97 28,15 47,85 50,67 45,74 46,21 44,48 30,75 28,76

Kajian ini bermaksud mendapatkan gambaran nyata implementasi PPD secara sistematis dan faktual di lapangan, dan pencapaian hasil program. Oleh karena itu jenis kajian ini adalah deskriptif. Menurut Newman (1997:19), kajian deskriptif mampu menyajikan gambaran secara detail dari sebuah situasi dan atau setting social. Menurut Danim (2002:61), pada pendekatan kualitatif, data yang dikumpulkan umumnya berbentuk kata-kata, gambar dan bukan angka-angka, kalaupun ada angka-angka sifatnya hanya sebagai penunjang. Data dimaksud meliputi transkrip wawancara, catatan lapangan, foto-foto, dokumen pribadi, nota, dan catatan lain-lain. Atas alasan itulah dipilih pendekatan data kualitatif. Kajian ini dilakukan di Papua pada September 2006 selama lima hari. Penentuan informan dalam penelitian ini secara purposive. Artinya, informan dipilih berdasarkan pertimbangan mereka mengetahui secara baik pelaksanaan PPD. Untuk itu, informan yang telah dipertimbangkan sesuai dan mengetahui secara baik pelaksanaan program adalah aparat kantor Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD) Provinsi Papua. Pengumpulan data dan informasi di lapangan digunakan studi dokumen guna menghimpun dan merekam data yang bersifat dokumentatif, seperti: foto-foto kegiatan, arsiparsip penting, kebijakan, dan lainnya. Disamping itu juga digunakan teknik wawancara. Analisis data dilakukan dalam tiga tahapan: (a) Reduksi data, proses pemilihan,

Sumber: BPMD, 2006.

4

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

B.

Gambaran PPD

2)

PPD adalah suatu program pendesentralisasian kewenangan dan dana ke tingkat kampung, dimana masyarakat kampung mengelola secara sendiri pembangunan di kampungnya dengan prinsip dari, oleh, dan untuk masyarakat. 1) Tujuan PPD a) Meningkatkan keterlibatan orang miskin dan perempuan terutama dalam pengambilan keputusan Meningkatkan kualitas hidup masyarakat miskin melalui bidang pendidikan dan kesehatan Meningkatkan penyediaan prasarana sosial ekonomi masyarakat kampung Memperoleh kesempatan berusaha dan pengembangan usaha bagi masyarakat miskin di kampung Mengembangkan kemampuan/ kapasitas masyarakat dalam merencanakan, menyelenggarakan dan melestarikan pembangunan di kampung serta mengakses sumberdaya yang dimilikinya Meningkatkan kemampuan masyarakat dalam melakukan pengawasan terhadap program pembangunan di kampung Mengembangkan dan memperkuat kelembagaan pembangunan di kampung atau antar kampung 4) 3)

Prinsip PPD a) Transparansi b) Partisipasi c) Desentralisasi d) Kompetisi sehat e) Pertanggungjawaban pekerjaan f) Pelestarian/keberlanjutan Bentuk fasilitasi PPD a) Bantuan langsung masyarakat (BLM) 1) Dana untuk menyelenggarakan kegiatan pembangunan sarana prasarana sosial dasar dan ekonomi 2) Diperuntukkan kepada masyarakat di kampung terutama untuk penduduk miskin Bantuan teknis pendampingan 1) Berupa bantuan teknis kepada institusi sosial lokal, pemerintahan desa, unit pengelola keuangan (UPK) dan usaha-usaha kecil serta mikro terutama yang dikelola oleh penduduk miskin 2) Transformasi pendampingan kepada pendamping lokal, aparat pemerintah dan institusi lokal

b)

c)

d)

b)

e)

f)

g)

Jenis kegiatan PPD a) Sarana prasarana (SP) b) Usaha Ekonomi Produktif (UEP) c) Simpan pinjam untuk kelompok perempuan (SPP) d) Pendidikan e) Kesehatan Alokasi dana perdistrikKETERANGAN Selama kurun waktu 1988-2006 dialokasikan dana 121.250 Milyard. Tahun 2006, PPD melalui dana APBN dipersiapkan alih ke dana APBD (Otonomi khusus/Otsus) dengan alokasi dana 1 Milyard

5)LOKASI JUMLAH PENDUDUK/DISTRIK > 25.000 jiwa Seluruh distrik Provinsi Papua 15.000-25000 jiwa < 15.000 jiwa ALOKASI DANA 1 milyard 750 juta 500 juta

Jumlah KK/kampung Alokasi perkampung = x Alokasi dana/distrik Total KK semua kampung

5

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

6)

Mekanisme pencairan dana

7)

Dana dialokasikan untuk rekening kampung melalui Tim Pengelola kegiatan kampung di setiap distrik pada KPPN, Bank, Cabang pembantu bank terdekat. Pencairan dana direalisasikan setelah melakukan proses perencanaan melibatkan berbagai komponen di kampung dalam forum musyawarah kampung (Muskam) dan setelah diverivikasi/ disetujui dalam musyawarah distrik dapat dicairkan setelah ditandatangani oleh Tim Pengelola Kegiatan di kampung, Pendamping, dan Penanggung Jawab Operasional Kegiatan (PJOK) distrik. Proses pencairan pada tahap I sebesar 60%, tahap II 40%.

Dampak program yang diharapkan a) Adanya proses pembelajaran b) Proses bottom up planning terjadi di masyarakat c) Adanya lapangan pekerjaan d) Peningkatan kapasitas kelembagaan e) Perubahan prilaku f) Peningkatan swadaya masyarakat g) Keberanian/kritis mengemukakan pendapat h) Kompetensi i) Tersedia dana (perputaran, saving) di tingkat kampung untuk menggerakkan ekonomi lokal Struktur organisasi dan pelaku program a) Struktur organisasi di tingkat kampungBamuskam

8)

Tiga Tungku

Kepala Kampung

Fasilitator lokal

TPK

Masyarakat

Tim Penulis Usulan

Sumber : BPMD Provinsi Papua, 2006. Keterangan : 1. Tiga Tungku (Kepala Kampung, Tokoh Adat, Tokoh Agama) 2. Mamuskam (Badan Musyawarah Kampung) 3. TPKK (Tim Pengelola Kegiatan Kampung)

6

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

b)

Struktur organisasi di tingkat DistrikKepala Distrik

PjOK/PjAK

Fasilitator Distrik

Tim Verivikasi UPKD

Sumber: BPMD Provinsi Papua, 2006. Keterangan : 1. PJoK/PJAK (Penanggung Jawab Operasional Kegiatan/Penanggung Jawab Administrasi Kegiatan 2. UPKD (Unit Pengelola Kegiatan Distrik)

c)

d)

Pelaku di tingkat Kabupaten/Kota 1) Bupati/Walikota 2) DPRD 3) Tim Koordinasi 4) Konsultan managemen kabupaten/kota (teknik & pemberdayaan) Pelaku di tingkat Provinsi 1) Gubernur (penanggung jawab) 2) Sekretaris Daerah (pengarah) 3) Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa/BPMD (Pengarah) 4) Tim Koordinasi 5) Konsultan

sarana prasarana, bidang usaha ekonomi produktif, bidang pendidikan, dan kesehatan , dan dikuatkan oleh informan melalui wawancara, diperoleh data sebagai berikut : A. 1) Pembangunan Sarana Prasarana Sarana air bersih di Kampung Asaryendi (Numfor Timur, Biak Numfor) dengan dana PPD Rp. 38.000.000,- dan dana swadaya masyarakat Rp. 3.287.000,Sarana air bersih di kampung Kalifan (Waris, Keerom) dengan dana PPD Rp.133.727.300,- dan dana swadaya masyarakat Rp. 13.717.500,Jembatan beton ukuran 6X4 m di Kampung Telagasari (Kurik, Merauke) dengan dana PPD Rp. 61.539.000,dan dana swadaya masyarakat Rp.29.915.000,Jembatan beton panjang lima meter di Kelurahan Awiyo (Abepura, Jayapura) dengan dana PPD Rp. 38.310.000,dan dana swadaya masyarakat Rp. 1.953.000,Jembatan kayu, ukuran 13X3 m di Kampung Agenggem (Sinak, Puncak Jaya) dengan dana PPD Rp. 30.142.697,Listrik desa di Kampung Pasi (Padaido, Biak Numfor) dengan dana PPD Rp. 46.001.000,- dan swadaya masyarakat Rp. 950.000,-

2)

9)

Jumlah pelaku PPD (1998-2006): a) Konsultan Provinsi : 10 orang b) Aparatur/PjOK : 101 orang c) Konsultan Manajemen Kabupaten : 19 orang d) Fasilitator Distrik : 432 orang e) Unit Pengelola Kegiatan (UPK) : 432 orang f) Fasilitator kampung/ lokal : 1300 orang

3)

4)

5)

III. CAPAIAN PPD DI PAPUAMencermati dokumen PPD yang ada, terkait capaian program bidang pembangunan

6)

7

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

7)

Lantai penjemuran coklat di kampung Yuwainda (Waris, Keerom) dengan dana PPD Rp. 66.131.300,- dan swadaya masyarakat Rp. 12.467.000,Bidang Usaha Ekonomi Produktif : Usaha jualan sayur keliling di Kampung Harapan Makmur (Kurik, Merauke tidak diperoleh informasi dana, baik dari PPD maupun swadaya masyarakat ). Usaha jualan di kios (Kampung Abatadi, Paradide, Paniai) dengan dana PPD Rp. 8.498.700,Usaha kios di Kampung Ampera (Mandobo, Boven Digul) dengan dana PPD Rp. 9.243.500,Bidang Kesehatan

IV. KENDALA DALAM IMPLEMENTASI PPDKendala-kendala yang ditemui selama pelaksanaan PPD sejak 1998, meliputi: a) Belum ada kesamaan persepsi dari sebagian pemerintah kabupaten/kota tentang program yang didanai APBD (Otonomi khusus). Pada tataran implementasi, kepala distrik (seringkali) menetapkan mekanisme diluar panduan yang telah ada, dan alokasi dana program tidak diturunkan ke bawah. Oleh karena itu, program ditangani oleh unit kerja pemerintah kabupaten/kota Sosialisasi program masih lemah khususnya di kabupaten pemekaran. Dalam pelaksanaan program pemberdayaan, cenderung tidak melibatkan masyarakat, baik pada saat perencanaan maupun pelaksanaan, sehingga rawan terjadi penyimpangan oleh aparat (distrik/ kab/kota).

B. 1)

2)

b)

3)

c)

C.

Pembangunan Puskesmas Pembantu (Pustu) di Kampung Amungun (Agim, Mimika) dengan dana PPD Rp. 40.000.000,- swadaya masyarakat Rp. 1.185.000,D. 1) Bidang Pendidikan Pemberian bea siswa dan pembelian pakaian seragam sekolah di Citak (tapi tidak diperoleh informasi dana, baik dari PPD maupun swadaya masyarakat ). Pengadaan sanggar belajar ukuran 7X6 m di Kampung Entiyebo (Deppapre Jayapura) dengan dana PPD. Rp. 84.306.400.- dan swadaya masyarakat Rp.14.830.000,-

Atas dasar gambaran program, capaian program (hasil), kendala dalam implementasi dan dianalisis berdasarkan kerangka teori pemberdayaan, dapat digambarkan sebagai berikut:

2)

8

Pemberdayaan Masyarakat melalui Program Pengembangan Distrik

(Muchtar)

TUJUAN PROGRAM

KERANGKA TEORITIK

HASIL PROGRAM

Membangkitkan semangat kemandirian dan kegiatan usaha ekonomi kelompok miskin Memberdayakan dan mengkoordinasikan masyarakat melalui kelembagaan lokal masyarakat

Sasaran pemberdayaan adalah kelompok masyarakat miskin

Implementasi program belum/tidak mampu menjangkau kelompok miskin Tidak terjadi transfer daya kepada kelompok miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh golongan tertentu saja. Transfer hanya terjadi di tingkat lembaga yang keberadaannya cenderung didominasi oleh elit birokrasi (kabupaten/kota, distrik, kampung).

Terjadinya transfer daya, sehingga mereka (beneficeries) mampu menentukan nasib/pilihannya

Adanya proses belajar sosial bagi kelompok sasaran menuju penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya Adanya kelembagaan yang mampu menampung dan menyuarakan kepentingan kelompok miskinGambar 4 : Olahan dari hasil bahasan

Proses belajar sosial relatif tidak berlangsung, karena program lebih bernuansa economic

V.A.

PENUTUPKesimpulan

karena program lebih bernuansa ekonomis (pengelola program memberikan pinjaman dana kepada peminjam). B. Saran

Berdasarkan hasil kajian dan pembahasan tersebut dapat disimpulkan, PPD belum mampu memberdayakan kelompok miskin, karena kurangnya pemahaman dari para pelaku program di berbagai tingkatan, khususnya di tingkat kampung dan distrik terhadap program. Hal itu diperburuk oleh sosialisasi program, dimana sosialisasi difahami oleh para pelaku program hanya sebatas penyebaran informasi proyek, bukannya sebagai bagian proses penyadaran terhadap masyarakat (kelompok miskin) terhadap visi dan missi program dalam upaya peningkatan kemandirian masyarakat dalam memecahkan masalah yang dihadapinya, serta (hanya) sekedar memenuhi target (formal) proyek. Tidak terjadinya proses pemberdayaan itu terlihat dari hasil capaian program, dimana: (a) tidak terjadi transfer daya kepada kelompok miskin, karena program lebih dimanfaatkan oleh kalangan tertentu saja (elit birokrasi: kabupaten/kota, distrik, kampung); (b) proses belajar sosial relatif tidak berlangsung,

Bertolak dari kesimpulan tersebut, saran yang diajukan lebih ditekankan pada kualitas pelaku program, yaitu: (a) para pelaku perlu mempunyai pemahaman terhadap PPD secara lebih baik. Untuk itu, diperlukan fasilitator lokal (kampung, distrik) secara lebih baik, dan perlunya pembekalan kepada mereka secara memadai; (b) perlunya pelaksanaan sosialisasi program kepada masyarakat secara benar, dimana sosialisasi bukan semata penyebaran informasi, tetapi lebih dari itu, sebagai bagian penyadaran tentang permasalahan yang dihadapi dan tumbuhnya semangat untuk memecahkannya secara mandiri, karena itu diperlukan petugas yang berkualitas; (c) perlunya pendampingan oleh fasilitator lokal secara berkelanjutan. Untuk itu, diperlukan fasilitator lokal yang mempunyai pemahaman baik terhadap program, ulet, sabar, tekun, dan mempunyai semangat yang tinggi.

9

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 1-10

DAFTAR PUSTAKABaswir, Revrisond. 1999. Pembangunan Pedesaan dan Penanggulangan Kemiskinan, Penyunting dalam Hasan Basri Pembangunan Ekonomi Rakyat di Pedesaan sebagai Strategi Penanggulangan Kemiskinan. Kerjasama Yayasan Adi Karya IKAPI & The Ford Foundation, Jakarta: Bina Rena Pariwara. BPS Kerjasama dengan Depsos R.I., 2003. Penduduk Fakir Miskin Indonesia 2002, Jakarta. Badan Pemberdayaan Masyarakat Desa (BPMD). Provinsi Papua. 2006. Cox. Poverty alleviation programs in the Asia-Pacific Region, Seminar, 3rd March, 2004, Jakarta. Danim, Sudarman. 2002. Menjadi Peneliti Kualitatif, Bandung: CV. Pustaka Setia. Ife, Jim. 1995. Community Development: Creating community Alternatives-vision, Analysis and Practice, Australia, Longman Pty Ltd. Narhetali, Erita. Kemiskinan yang Berkelanjutan, KOMPAS, Rabu, 3 Maret 2003. Neuman, L.W. 1997. Social Research Methodes: Qualitative & Quantitative Approach. Boston: Allyn Bacon. Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory. Second edition London: MacMillan Press Ltd. Qodir, Zuly. Islam dan Jeratan Kemiskinan. KOMPAS, 16 Maret 2007. Sarbini. 1989. Ekonomi Kerakyatan, dalam Penyunting Sjahrir dkk. Menuju Masyarakat Adil Makmur. 70 Tahun Prof. Sarbini Sumawinata, Jakarta: Gramedia. Soetrisno, Loekman. 1997. Kemiskinan, Perempuan, Pemberdayaan, Yogyakarta: Penerbit Kanisius. 1995. Menuju Masyarakat Partisipatif, Yogyakarta: Penerbit Kanisius Zikrullah, Y., Adam. 2000. Struktur Ekonomi dan Pengentasan Kemiskinan, Media Partisipatif-P2KP No. , 07 Edisi Oktober.

BIODATA PENULIS : Muchtar, Peneliti pada Pusat Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Badan Pendidikan dan Penelitian Kesejahteraan Sosial, Departemen Sosial RI.

10

CORPORATE SOCIAL RESPONSIBILITY (CSR) MEWUJUDKAN PEMBERDAYAAN MASYARAKATStudi atas Program PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company TBK Cimareme Padalarang Kabupaten BandungDewi Wahyuni

ABSTRAKPembangunan sosial masih dipandang sebagai pelengkap dari pembangunan ekonomi. Keberlanjutan pembangunan sosial sangat terkait dengan peran pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Untuk itu, pembangunan sosial harus dimulai oleh dunia usaha, salah satunya melalui tanggung jawab dunia usaha yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). Tujuan dari penelitian ini adalah mendeskripsikan pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. Hasil dari penelitian menunjukkan, bahwa aktivitas CSR PT Ultrajaya, mampu membantu kelompok rentan di komunitas, melalui program air bersih dan beasiswa bagi keluarga miskin. Meskipun demikian, masih perlu kerjasama yang kuat antara pemerintah, dunia usaha dan masyarakat dalam mewujudkan sustainability dari program yang telah dilaksanakan.

I.A.

PENDAHULUANLatar Belakang Masalah

Pembangunan sosial masih dipandang sebagai pelengkap dari pembangunan ekonomi. Pembangunan ekonomi dengan strategi pertumbuhan (growth oriented strategy) yang dilaksanakan bangsa Indonesia selama rezim orde baru 32 tahunan sering dipandang sebagai obat mujarab untuk mengatasi berbagai permasalahan bangsa ini. Asumsi dengan strategi tersebut menekankan bahwa apabila terjadi pergerakan ekonomi nasional (Gross National Product) yang tinggi, maka sebagai konsekuensinya akan terjadi tetesan rejeki ke bawah (Trickle down effect). Inilah yang diharapkan menyentuh lapisan masyarakat paling bawah (grass root) berupa pemerataan pendapatan dan kesempatan kerja terhadap standar kebutuhan minimum dapat dinikmati oleh seluruh anak bangsa (Wahyuni,2006). Namun kenyataannya, pertumbuhan ekonomi yang tinggi dengan Trickle down effect-nya tidak menjamin terciptanya pemerataan hasil-hasil pembangunan. Sebagian besar pendapatan nasional justru dikuasai oleh para elit dan pemilik modal. Mereka kemudian mendirikan

koorporasi untuk tujuan bisnis atau mencari keuntungan. Koorporasi perusahaan inilah yang dalam perkembangannya di Indonesia telah menjadi kekuatan besar yang mendorong terjadinya perubahan sosial. Perusahaan telah menjadi alat yang dominan dalam transformasi ilmu dan teknologi berupa barang dan jasa yang berdayaguna secara ekonomis. Ternyata pembangunan dengan pendekatan strategi pertumbuhan cenderung semakin memperlebar kesenjangan ekonomi di antara kelompok kaya dan miskin karena kepemilikan terhadap aset ekonomi tidak merata cenderung di satu pihak yang memperdalam jurang pemisah kehidupan sosial yang berwujud memudarkan kesetiakawanan sosial. Sudah saatnya pembangunan berorientasi pada penguatan kehidupan sosial. Penguatan kehidupan sosial dilaksanakan dengan memadukan sinergi antara ketiga pelaku utama pembangunan yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Kenyataan menunjukkan apabila tidak terjadi sinergi di antara ketiga pelaku pembangunan sosial dapat menimbulkan bencana sosial. Berbagai unjuk rasa banyak muncul sebagai protes pada dunia usaha yang tidak mempedulikan kepentingan masyarakat sekitarnya atau sebagai perlawanan terhadap kebijakan

11

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

regulasi pemerintah yang dipandang tidak berpihak pada kepentingan masyarakat. Masyarakat merasa kehadiran perusahaanperusahaan besar umumnya perusahaan asing menjadi pemicu munculnya masalah ekologi, sosial dan budaya (ekososbud), seperti polusi (air, udara, suara), kesenjangan sosial ekonomi yang sangat tajam antara masyarakat perusahaan dengan penduduk lokal dan terjadinya pemiskinan masyarakat secara struktural dengan eksploitasi dan perusakan lingkungan yang dilakukan perusahaan. Namun, saat ini ada secercah harapan di sektor dunia usaha berkaitan dengan penguatan kehidupan sosial. Hal ini ditandai dengan munculnya paradigma baru di sektor dunia usaha dengan konsep Triple Bottom line bahwa kinerja perusahaan bukan hanya dievaluasi dari satu dimensi keuangan (financial result) belaka. Namun harus memperhatikan dua dimensi lain yaitu dampaknya terhadap orang (karyawan/komunitas di sekitar perusahaan) dan lingkungan alam (Elkington dalam Pambudi, 2005). Paradigma baru di dunia usaha inilah yang mendorong perusahaan untuk melaksanakan kegiatan tertentu sebagai wujud tanggung jawab perusahaan kepada lingkungannya yang dikenal dengan istilah Corporate Social Responsibility (CSR). CSR menunjuk pada perluasan peran perusahaan yang tidak hanya mengurusi kesejahteraan pegawai dan kebutuhan konsumen saja, melainkan turut peduli akan kehidupan masyarakat yang tinggal di seputar perusahaan (Suharto, 2005). CSR lahir didorong oleh adanya perubahan model perusahaan yang lebih berorientasi pada model sosio ekonomis dari pada model ekonomis. Ciri pendekatan model sosio ekonomis menekankan pada kualitas kehidupan secara keseluruhan, kelestarian sumber daya, kepentingan masyarakat, keterlibatan aktif pemerintah dan pandangan sistem terbuka perusahaan. Sedangkan ciri perusahaan dengan pendekatan model ekonomis menekankan pada aspek produksi, eksploitasi sumber daya, kepentingan individual, peran pemerintah sangat sedikit dan perusahaan sebagai sistem tertutup (Purnama, 2005). Salah satu contoh perusahaan yang melibatkan masyarakat di sekitarnya dilaksanakan oleh PT. Ultrajaya Milk Industry. Namun

apakah kegiatan yang dipraktikkan perusahaan tersebut sudah merupakan perwujudan dari konsep CSR belum diketahui validitas dan reliabilitasnya. Oleh karena itu, kajian ini lebih difokuskan analisa data pelaksanaan pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan konsep CSR dimaksud. B. Rumusan Masalah

Pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk masih lebih menitikberatkan pada pemberian bantuan daripada pendekatan pemberdayaan masyarakat. C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini dilakukan untuk mendeskripsikan dan analisa pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan Corporate Social Responsibility (CSR) di PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk CimaremePadalarang Kabupaten Bandung.

II. TINJAUAN PUSTAKAPada tahun 1980-an dan 1990-an kepedulian sosial sebagian besar perusahaan berfokus pada sponsorship untuk kegiatan tertentu, seperti olah raga. Namun saat ini perhatian perusahaan mulai pada isu-isu sosial, kemiskinan dan pemberdayaan ekonomi komunitas lokal. Keberadaan perusahaan akan memperhatikan kesejahteraan bukan hanya pada pemilik modal (shareholder) namun juga bagi komunitas sekitar perusahaan dan masyarakat terkait (stakeholder). Perusahaan sudah mulai melaksanakan konsep Corporate Social Responsibility (CSR). Schermerhon (1993) dalam Suharto (2006) dengan judul buku Pekerjaan Sosial di Dunia Industri mengartikan CSR sebagai suatu kepedulian organisasi bisnis untuk bertindak dengan cara-cara mereka sendiri dalam melayani kepentingan organisasi dan publik eksternal. Suatu kegiatan dikatakan CSR lebih menekankan pada prinsip keberlanjutan dari kegiatan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitar perusahaan. Hal ini sebagaimana dikemukakan Widjajanti Direktur Eksekutif Yayasan Pembangunan Berkelanjutan dan Direktur Program National Lead Indonesia.

12

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

Sebenarnya yang terpenting, dari program CSR menekankan pada prinsipprinsip keberlanjutan. Artinya, perusahaan membuat program yang berjalan secara berkesinambungan, bukan sekedar membagibagi uang dalam jangka yang sangat pendek. Perlu ada desain program terencana, termonitoring dan evaluasi perbaikan yang kontiniu. Aktivitas CSR yang terbaik adalah program yang bersumber dari hasil pertanyaan apa yang sebenarnya dibutuhkan masyarakat dan lingkungan sekitar kita, sehingga lebih mengena dan tepat sasaran. (Pambudi, 2005 dengan judul artikel CSR Sebuah Keharusan). Porter ketika berbicara di Sekolah Bisnis Copenhagen, September 2003, ketika itu ia mengkritik perusahaan yang mempraktikkan CSR hanya sebagai reaksi terhadap tekanan mengatakan bahwa : Sekecil apapun, dan semurah apapun, perusahaan bisa mempraktekkan CSR. Buatlah dan berilah nilai tambah sebanyak mungkin kepada lingkungan dan masyarakat, terutama untuk yang mereka tak memiliki. Lebih lanjut Porter mencontohkan bahwa : Jika sebuah perusahaan berada di lingkungan yang sistem pendidikanya kurang bagus, bantulah sebisa mungkin. Seyogyanya CSR bukanlah sebagai reaksi, tapi kegiatan proaktif yang dirancang dengan tujuan memberi nilai tambah buat stakeholders. (Pambudi, 2005 dengan judul artikel CSR Sebuah Keharusan). Pada dasarnya CSR merupakan suatu standar minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan. Jadi CSR ditujukan untuk memenuhi harapan stakeholder dalam memaksimumkan dampak positif perusahaan terhadap lingkungan sosial dan fisik, dengan tetap menyediakan suatu pengembalian keuntungan kompetitif kepada shareholder finansial, sehingga CSR diposisikan sebagai suatu kewajiban sosial perusahaan untuk mempertimbangkan kepentingan stakeholder dalam menjalankan bisnis. CSR penting bagi perusahaan agar keberadaan perusahaan mendapat dukungan dan memberikan manfaat bagi masyarakat sekitarnya. Apabila perusahaan tidak memberikan kontribusi pada lingkungan di sekitarnya, perusahaan akan mengalami berbagai kendala dalam bisnisnya. Tidak jarang komunitas sekitar perusahaan berusaha

menghentikan aktivitas perusahaan antara lain lewat berdemo. Jadi CSR berfungsi memelihara kelangsungan perusahaan sepanjang masa yang memungkinkan perusahaan terhindar dari berbagai risiko dari masyarakat sekitar perusahaan. CSR pada jangka panjang menjadi aset strategis dan kompetitif bagi perusahaan di tengah iklim bisnis yang menuntut praktik-praktik etis dan tanggung jawab. Praktik tanggung jawab sosial dipercaya menjadi landasan fundamental bagi pertumbuhan berkelanjutan, bukan hanya untuk perusahaan itu sendiri, tapi juga stakeholders secara keseluruhan. Pemberdayaan merupakan salah satu wujud dari konsep CSR. Pemberdayaan berhubungan dengan kekuatan individu dan kompetensinya serta sistem yang saling bergantung dan perilaku proaktif pada aktivitas sosial, kebijakan sosial, perubahan sosial, dan pengembangan masyarakat. Itu semua dapat diterapkan secara praktis pada semua tingkat (Anderson dalam Dubois dan Miley, 2005 dalam buku Social Work An Empowering Profession). Jadi, pemberdayaan sebagai proses peningkatan kemampuan individu, keluarga, kelompok dan masyarakat agar dapat mengambil peran dalam meningkatkan kondisi mereka. Pemberdayaan adalah upaya membangun daya dengan mendorong/memotivasi dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimiliki serta berupaya untuk mengembangkannya (Kartasasmita, 1996 dalam buku Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan). Pemberdayaan juga berarti upaya untuk menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu agar mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang m e n j a d i pilihan hidupnya (Pranaka dan Moeljarto, 1994 dalam buku Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan Implementasinya). Pemberdayaan adalah suatu proses yang bertujuan untuk membantu klien memperoleh daya untuk mengambil keputusan dan menentukan tindakan yang akan ia lakukan yang terkait dengan diri mereka, termasuk mengurangi efek hambatan pribadi dan sosial dalam melakukan tindakan. Hal ini dilakukan melalui peningkatan kemampuan dan rasa

13

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

percaya diri untuk menggunakan daya yang ia miliki, antara lain melalui transfer daya dari lingkungannya (Payne, 1997 dalam buku Modern Social Work Theory). Pemberdayaan masyarakat dapat menjadikan masyarakat sekitar perusahaan dapat mengaktualisasikan dirinya dan memahami keberadaannya sebagai elemen penting dari perusahaan. Interaksi masyarakat dengan perusahaan akan harmonis, apabila perusahaan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan dan sebaliknya, sehingga tercipta modal sosial (social capital) di lingkungan perusahaan. Inilah yang menjadi prasyarat long life corporate yang seyogyanya menjadi dambaan setiap perusahaan. Kepedulian perusahaan dalam menyisihkan dananya untuk CSR bukan sesuatu yang dipaksanakan melainkan justru menjadi kebutuhan bagi perusahaan. Mengingat keuntungan dari CSR dalam bentuk pemberdayaan masyarakat bukan hanya intangible yang nilai moralitasnya jauh melebihi nilai finansialnya, namun secara tangible juga mampu mendatangkan nilai finansial yang lebih tinggi melalui brand image produk. Keuntungan CSR secara intangible lebih menekankan pada aspek psikologis, nilai-nilai dan moral, seperti kerjasama, rasa aman, memahami potensi, mampu mengambil keputusan, dan lain-lain. Sementara keuntungan secara tangible lebih menekankan pada bantuan permodalan dan peluang usaha di sektor formal dan informal, mengembangkan sarana dan prasarana masyarakat serta pembangunan sarana dan fasilitas masyarakat, dan lain-lain. Keuntungan CSR yang lain terutama dapat mempertinggi citra diri (brand image) perusahaan yang tidak hanya dibangun melalui anggaran iklan, tetapi juga ditunjukkan oleh akuntabilitasnya kepada kepentingan masyarakat melalui pemberdayaan masyarakat. Justru pemberdayaan masyarakat inilah yang menjadi iklan paling baik dan sekaligus berfungsi sebagai tali pengaman (seat belt) bagi perusahaan agar tetap mampu menarik simpati para pelanggannya agar tetap percaya pada produk perusahaan.

III. METODELOGI PENELITIAN YANG DIGUNAKANA. Metode Penelitian Penelitian ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan data kualitatif khususnya menggunakan studi kasus. Penelitian ini berusaha untuk memberi gambaran tentang pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan CSR di PT. Ultrajaya Milk Industry Cimareme Padalarang. B. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah : 1. Wawancara : Wawancara dilakukan kepada para manajer dan karyawan di PT. Ultrajaya Milk Industry tentang pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan CSR. Wawancara juga dilakukan kepada tokoh masyarakat, warga masyarakat dan orangtua dari anak penerima beasiswa. 2. Observasi : Dilakukan untuk mengetahui pemanfaatan bantuan (air bersih, beasiswa dan fasilitas lainnya) oleh masyarakat. 3. Studi litelatur : Dilakukan untuk mempelajari konsep CSR dan pemberdayaan serta mencermati data tentang pemberdayaan masyarakat di perusahaan tersebut. Pengumpulan data kualitatif dilakukan dengan memilih informan. Informan dalam penelitian ini ditentukan secara purposive sampling yang ditentukan berdasarkan tujuan yang ingin dicapai dari penelitian ini (Nasution, 2003). Informan pada penelitian ini berjumlah sepuluh orang yang di bagi menjadi dua bagian yaitu : 1. Karyawan PT. Ultrajaya Milk Industry sebanyak 5 orang terdiri dari 3 orang dari kalangan manajer dan 2 orang staff yang dapat memberikan gambaran tentang pemberdayaan masyarakat sebagai pelaksanaan Corporate Social Responsibility (CSR).

14

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

2.

Masyarakat di sekitar perusahaan sebanyak 5 orang terdiri dari Kepala Desa Gadobangkong, tokoh masyarakat, warga masyarakat (2 orang) dan orangtua dari anak penerima beasiswa yang dapat memberikan gambaran tentang manfaat Corporate Social Responsibility (CSR) bagi masyarakat.

C. Analisis Data Data yang diperoleh dianalisis secara kualitatif dan bersifat terbuka (open ended), artinya terbuka terhadap perubahan, perbaikan dan penyempurnaan berdasarkan data baru yang masuk (Nasution, 2003). Analisis data kualitatif merupakan upaya yang berlanjut, berulang dan terus menerus selama pengkajian berlangsung melalui reduksi data, penyajian data dan penarikan kesimpulan. Data kualitatif yang diperoleh dari hasil wawancara direduksi yang dimaksud adalah dilakukannya pemilihan, pemusatan perhatian pada penyederhanaan untuk menajamkan, menggolongkan, mengarahkan, membuang data yang tidak perlu dan mengorganisasi data sehingga kesimpulan akhir dapat diambil.

PT. Ultrajaya Milk Industry terletak di Jalan Cimareme Nomor 131 Padalarang Kabupaten Bandung yang merupakan lokasi strategis di daerah lintasan peternakan dan pertanian sehingga memudahkan untuk memperoleh pasokan bahan baku dan pengiriman hasil produksinya. PT. Ultrajaya Milk Industry merupakan perseroan yang bergerak dalam bidang makanan dan minuman. Makanan yang diproduksi, seperti mentega, susu bubuk, susu kental manis dan bermacam-macam minum, seperti minuman susu, sari buah, teh, minuman tradisional dan minuman untuk kesehatan yang diproses dengan teknologi UHT (Ultra High Temperature) dan dikemas dalam kemasan antiseptik (Antiseptic packaging material) serta memproduksi teh celup dan konsentrat buahbuahan tropis. Kegiatan PT. Ultrajaya Milk Industry dalam kerangka CSR dilaksanakan dengan memperhatikan kebutuhan hajat hidup orang banyak khususnya warga masyarakat yang bertempat tinggal disekitar lokasi perusahaan dengan harapan mempunyai dampak langsung terhadap pemenuhan sebagian kebutuhan mereka diantaranya : A. Air Bersih

IV. PEMBAHASANPT. Ultrajaya Milk Industry merupakan salah satu perusahaan susu cair dan sari buah yang cukup tua yang sudah mulai beroperasi sejak tahun 1971 dan mulai tahun 2000 menjadi PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk dengan melakukan penawaran umum sahamnya kepada masyarakat. PT. Ultrajaya Milk Industry memiliki visi menjadi perusahaan industri makanan dan minuman yang terbaik dan terbesar di Indonesia dengan senantiasa mengutamakan kepuasan konsumen serta menjunjung tinggi kepercayaan para pemegang saham dan mitra kerja perusahaan. Untuk mewujudkan misi tersebut dirumuskan misi : menjalankan usaha dengan dilandasi kepekaan yang tinggi untuk senantiasa berorientasi kepada pasar/ konsumen dan kepercayaan serta kepedulian untuk senantiasa memperhatikan lingkungan yang dilakukan secara optimal agar dapat memberikan nilai tambah sebagai wujud pertanggungjawaban kepada para pemegang saham.

Menyadari bahwa air memiliki arti yang sangat penting bagi kelangsungan hidup manusia dan perusahaan menggunakan air bawah tanah sebagai bahan penunjang produksi, maka PT. Ultrajaya Milk Industry memberikan sebagian air yang diambilnya untuk disalurkan kepada masyarakat sekitarnya sesuai dengan batas kewajaran. Pengambilan Air Bawah Tanah (ABT) dikaitkan dengan upaya pemberian air bersih kepada masyarakat sekitar selalu menjadi perhatian yang serius dan diupayakan semaksimal mungkin agar tidak menimbulkan dampak negatif. Oleh karena itu PT. Ultrajaya Milk Industry selalu peduli dan memberikannya dengan alokasi sebagai berikut: a. Di RW 04 Desa Gadobangkong (seberang jalan raya Cimareme), diberikan air bersih dengan menyalurkannya melalui pipa dan ditampung pada sebuah bak penampungan.

15

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

b.

Di RW 05 Desa Gadobangkong, diberikan air bersih dengan menyalurkan ke pipa-pipa induk penyaluran dan dibuatkan juga 2 (dua) bak penampungan. Pendistribusian air agar sampai ke warga dilakukan dengan swadaya menyediakan paralon. Di RW 06 Desa Gadobangkong, diberikan juga air bersih dengan menyalurkannya ke pipa-pipa induk dan dibuatkan juga 3 (tiga) bak penampungan. Pada tahap awal pendistribusian air untuk sampai ke warga masyarakat dikelola oleh warga dengan swadaya menyediakan paralon. Di RW 05 dan RW 06 Desa Cimareme yang jumlah penduduknya padat, dibuatkan 1 (satu) sumur bor tersendiri lengkap dengan pipanya. Untuk mengurus pendistribusian air sampai ke warga dikelola oleh tim pengelola RW setempat dan untuk pemeliharaan teknis masih dibantu oleh PT. Ultrajaya Milk Industry. Air bersih langsung disalurkan melalui pipa untuk rumah-rumah ibadah dan sekolah yang letaknya berdekatan dengan lokasi perusahaan.

tempat tinggalnya jauh dari lokasi perusahaan, mendapatkan air tanah dari sumur pantek maupun sumur tradisional miliknya. Mereka khawatir apabila di setiap RW dimana mereka tinggal dibuatkan sumur bor, akan mengakibatkan sumur-sumur mereka tidak lagi keluar airnya. B. Pemberian Beasiswa

c.

Pemberian bantuan beasiswa untuk membantu menunjang program pemerintah tentang wajib belajar 9 tahun. Dasar pemikiran pemberian beasiswa bagi anak yang tinggal di sekitar perusahaan antara lain : a. Mahalnya biaya pendidikan yang mengakibatkan banyaknya orang tua yang tidak mampu membiayai pendidikan anaknya meskipun hanya sampai ke sekolah lanjutan tingkat petama. Perusahaan berkepentingan, apabila masyarakat disekitarnya memiliki tingkat pendidikan yang memadai, maka perusahaan apabila membutuhkan tenaga kerja diharapkan dapat menyerap dari warga setempat.

d.

b.

e.

PT. Ultrajaya Milk Industry memberikan air bersih kepada warga sekitar berdasarkan perhitungan dari flow meter yang terpasang mencapai hampir 2 (dua) sumur bor yang ada di dalam komplek pabrik dengan debit pengambilan sesuai dengan Surat Izin Pengambilan Air (SIPA) adalah 146 - 154 m3 per hari. Memang hal ini berpengaruh pada persediaan air untuk produksi yang pada akhirnya berpengaruh pada proses produksi selanjutnya. Guna meringankan beban semua pihak, perusahaan berniat untuk membuat sumur bor di setiap RW tersebut di atas dengan biaya sepenuhnya ditanggung perusahaan. Namun sebagian warga belum menyetujui pembuatan sumur bor dimaksud. Selama ini warga yang

Beasiswa diberikan kepada anak-anak lulusan sekolah dasar yang akan melanjutkan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP) dengan persyaratan sebagai berikut : a. b. c. Anak yang berasal dari keluarga tidak mampu. Berminat melanjutkan pendidikan ke Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP). Adanya dukungan orang tua untuk menyekolahkan anak.

Program pemberian beasiswa dimulai pada tahun ajaran 2001/2002 dengan jumlah penerima beasiswa yang terus bertambah dan besarnya dana yang diterima pun meningkat pula. Secara lebih rinci jumlah penerima beasiswa dan besaran dana yang diterima dapat di lihat pada tabel di bawah ini :

16

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

Tabel 1JUMLAH PENERIMA BEASISWA PT. ULTRAJAYA MILK INDUSTRY TAHUN 2001 S.D TAHUN 2007NO. 1. 2. 3. 4. 5. 6. TAHUN 2001 2002 2003 2004 2005 2006 JUMLAH PENERIMA BEASISWA 47 Orang siswa 116 Orang siswa 158 Orang siswa 192 Orang siswa 230 Orang siswa 278 Orang siswa KELAS (Jumlah Siswa) 1 (25 orang) 2 (22 orang) 1 (62 orang) 2 (32 orang) 3 (20 orang) 1 (53 orang) 2(32 orang) 1 (80 orang) 2 (51 orang) 3 (61 orang) 1( 98 orang) 2 (80 orang) 3 (52 orang) 1 (104 orang) 2 (97 orang) 3 (77 orang) BESAR BEASISWA RATA-RATA PER BULAN Rp. 63.696,00 Rp. 66.295,00 Rp. 73.508,00 Rp. 76.174,00 Rp. 83.560,00 Rp. 95.875,00

Sumber : PT. Ultrajaya Milk Industry, 2006

Penerima beasiswa tersebut tersebar di berbagai SLTP di wilayah Ngamprah, Cimahi dan Padalarang. Beasiswa diberikan langsung kepada pihak sekolah dengan terlebih dahulu pihak perusahaan meminta pihak sekolah untuk merinci kebutuhan pendidikan siswa selama setahun. Pemberian bantuan bea siswa meliputi: Dana Sumbangan Pendidikan (DSP), Dana BP3, seragam sekolah & pramuka sampai pada buku LKS (Lembar Kerja Siswa dan alat tulis termasuk dana untuk karya wisata. Jadi beasiswa yang diberikan tidak diterima langsung oleh orang tua siswa, namun langsung diserahkan kepada pihak sekolah sesuai dengan kebutuhan siswa selama setahun. Besarnya dana yang dikeluarkan perusahaan untuk setiap bulannya akan berbeda. Pengeluaran dana terbesar terjadi saat penerimaan siswa baru di SLTP, karena penerima beasiswa yang masuk di kelas 1 harus membayar Dana Sumbangan Pendidikan (DSP) yang besarannya bervariasi tergantung pada kebijakan sekolah. Apabila dihitung rata-rata, dana yang dikeluarkan untuk setiap siswa pada tahun 2007 sebesar Rp. 95.875,00. Di bidang pendidikan keagamaan, pada setiap Bulan Ramadhan, semua penerima beasiswa diundang untuk buka puasa dan Sholat Tarawih bersama sekaligus di isi dengan ceramah pembinaan rohani oleh perusahaan.

Setiap akhir semester dan kenaikan kelas diselenggarakan acara silaturahmi antara penerima beasiswa bersama orang tua siswa, guru dan perwakilan manajemen PT. Ultrajaya sekaligus dilakukan evaluasi dan memantau kemajuan proses belajar siswa. Perusahaan tidak menutup kemungkinan memberikan beasiswa lanjutan kepada siswa lulusan terbaik penerima beasiswa PT. Ultrjaya yang ternyata lulus Ujian Akhir Nasional (UAN) dan diterima disekolah Negeri favorit. C. Bantuan Sosial Lain

Bentuk kepedulian lain yang dapat dikategorikan sebagai kepedulian Perusahaan terhadap masyarakat disekelingnya adalah berupa : a. Bantuan yang sifatnya rutin : Pemberian bantuan rutin tahunan berupa iuran desa pada Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa baik Desa Cimareme maupun Desa Gadobangkong. Bantuan rutin keamanan kepada aparat Desa dan RW sekitar perusahaan. Bantuan partisipasi kerja bhakti lingkungan maupun desa setempat.

17

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

Pemberian kesempatan kepada desa setempat membeli barangbarang sisa pembungkus untuk selanjutnya dijual kembali kepada yang membutuhkan. Pemberian bantuan berupa infaq maupun sodakoh kepada masyarakat tidak mampu di sekitar perusahaan, terutama pada hari Raya Idul Fitri dan hari-hari besar Islam lainnya.

Gunung Halu, Cililin. Namun semuanya belum dilaksanakan karena tidak ada investor yang tertarik. Kegiatan yang dilaksanakan PT. Ultrajaya Milk Industry sudah mencerminkan pelaksanaan konsep CSR, seperti pemberian air kepada masyarakat secara cuma-cuma. Suatu kegiatan dikatakan sebagai pelaksanaan CSR apabila kegiatan yang dilaksanakan berkelanjutan dan benar-benar sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Penulis memandang bahwa pemberian air kepada masyarakat sekitar perusahaan adalah wujud kepedulian perusahaan pada masyarakat sekitar. Masyarakat sekitar memang sangat memerlukan air untuk kelangsungan hidupnya, karena sumur mereka sedikit sekali bisa mengeluarkan air bahkan ada yang sama sekali tidak mengeluarkan air. Warga masyarakat di sekitar perusahaanpun sangat merasakan manfaat bantuan air bersih dari perusahaan. Hal ini sebagaimana disampaikan oleh kepala desa, tokoh masyarakat dan warga masyarakat ketika dilakukan wawancara dengan mereka. Pemberian air dari perusahaan kepada masyarakat sifatnya berkelanjutan, karena tanpa air yang diberikan oleh perusahaan, kehidupan warga sekitar akan sangat berat. Sebaliknya warga masyarakatpun sangat bertanggung jawab untuk memelihara dan memanfaatkan air yang disalurkan perusahaan. Mereka membentuk pengelola pada tingkat RW dan melakukan swadaya untuk pengadaan paralon agar air sampai ke warga. Manfaat bantuan air bersih dari perusahaan akan dirasakan menurun oleh masyarakat apabila ada kerusakan pada pipa induk di perusahaan dan ini akan segera dapat diatasi apabila warga melapor dan perusahaan memperbaikinya. Selain itu, kegiatan pemberian beasiswa kepada anak dari keluarga tidak mampu yang tinggal di sekitar perusahaan merupakan bentuk pemberdayaan sebagai pelaksanaan dari konsep CSR. Artinya kehadiran PT. Ultrajaya Milk Industry mampu memberikan nilai tambah bagi kemajuan pendidikan di sekitar perusahaan. Penulis memandang pemberian beasiswa tersebut adalah bentuk pemberdayaan. Pada hakikatnya pemberdayaan dapat dimaknai sebagai suatu proses yang berisi serangkaian kegiatan untuk memberikan sebagian kekuatan

b.

Bantuan yang sifatnya insidental, meliputi: Bantuan peralatan 2 Set komputer lengkap kepada Desa Cimareme dan Desa Gadobangkong. Bantuan pengerasan dan pengaspalan jalan desa di Kampung Sindangsari yang menghubungkan Jalan Raya Cimareme ke jalan desa di Kampung Bunisari, Desa Gadobangkong sepanjang 500 meter. Pemberian pinjaman 1 (satu) bangunan rumah tinggal karyawan untuk digunakan sebagai gedung Kantor dan Posyandu RW 06 Desa Cimareme. Pemberian bantuan perbaikan/ renovasi bangunan tempat-tempat ibadah di sekitar perusahaan.

Bentuk pemberdayaan yang masih direncanakan untuk dilaksanakan adalah pemberdayaan di bidang ekonomi. Kegiatan yang akan dilaksanakan dikaitkan dengan kegiatan perusahaan yang bergerak di bidang makanan dan minuman. Perusahaan berupaya untuk memanfaatkan lahan kosong milik perusahaan di Desa Gadobangkong untuk istal/ kandang koloni ternak sapi perah yang berorientasi mandiri dengan menyerap tenaga calon peternak dari warga setempat yang berminat dan belum memiliki pekerjaan tetap. Lahan untuk kandang ternak disediakan oleh PT Ultrajaya. Kesulitan saat ini menyediakan lahan untuk menanam pakan ternak berupa rumput hijau. Sudah dilakukan penjajagan ke daerah Cijapati Desa Bojong Kecamatan Nagreg, Perkebunan Cisadea, Cigombong perbatasan Cianjur dan

18

Corporate Social Responsibility (CSR) Mewujudkan Pemberdayaan Masyarakat

(Dewi Wahyuni)

dan kemampuan agar individu menjadi lebih berdaya. Jadi pemberdayaan merupakan upaya berkesinambungan untuk meningkatkan daya yang ada. Dengan beasiswa yang diberikan, keluarga yang semula tidak mampu membiayai sekolah anaknya menjadi mampu menyekolahkan anaknya. Melalui pendidikan juga diharapkan dapat menjadi bekal bagi anak untuk merubah masa depannya menjadi lebih baik, sehingga anak dapat menolong dirinya sendiri di masa yang akan datang. Pada dasarnya pendidikan merupakan investasi manusia (human invesment) yang hasilnya baru akan dinikmati setelah melalui proses. Prasyarat diperolehnya beasiswa adalah anak dari keluarga tidak mampu yang tinggal di sekitar perusahaan tanpa melihat anak tersebut berprestasi atau tidak di sekolahnya. Hal ini menarik untuk ditelaah karena keluarga yang tidak berdaya memiliki banyak keterbatasan untuk menjadikan anaknya seorang yang berprestasi. Apabila ukuran anak yang berprestasi menjadi salah satu prasyarat untuk mendapatkan beasiswa, maka anak dari keluarga tidak mampu di sekitar perusahaan tidak akan pernah mendapat kesempatan. Dengan demikian, bantuan yang diberikan PT. Ultrajaya Milk Industry sudah sesuai dengan kebutuhan masyarakat dan merupakan pemberdayaan masyarakat sebagai pelaksanaan dari konsep CSR. Pemberdayaan masyarakat menjadikan masyarakat sekitar perusahaan dapat mengaktualisasikan dirinya dan memahami keberadaannya sebagai elemen penting dari perusahaan. Interaksi masyarakat dengan perusahaan akan harmonis, apabila perusahaan mampu memberikan manfaat bagi masyarakat di sekitar perusahaan, sehingga tercipta modal sosial (social capital) di lingkungan perusahaan. Kepedulian PT. Ultrajaya Milk Industry dalam menyisihkan dananya untuk pemberdayaan masyarakat bukan sesuatu yang dipaksakan melainkan justru menjadi kebutuhan perusahaan agar memberikan manfaat sekecil apapun bagi masyarakat di sekitar perusahaan.

IV. KESIMPULAN DAN REKOMENDASIA. Kesimpulan CSR dalam berbagai manifestasinya penting dilaksanakan mengingat sebagian besar masyarakat masih hidup dalam kondisi serba kekurangan. Sudah saatnya CSR yang sekarang masih bersifat kesukarelaan berubah menjadi suatu keharusan untuk dilaksanakan oleh perusahaan. Hal ini disebabkan masalah sosial di masyarakat khususnya yang berkaitan dengan kondisi sosial dan ekonomi sudah sangat berat, sehingga pemerintah tidak sanggup lagi menanggungnya sendiri. Kegiatan yang dilaksanakan PT. Ultrajaya Milk Industry merupakan kegiatan CSR untuk memberdayakan masyarakat di sekitar perusahaan. Wujud nyatanya berupa pemberian air bersih secara cuma-cuma kepada masyarakat dan pemberian bea siswa bagi anak dari keluarga tidak mampu di sekitar perusahaan. Suatu kegiatan dapat dikatakan sebagai kegiatan CSR, apabila kegiatan yang dilakukan lebih menekankan pada prinsip keberlanjutan sesuai dengan kebutuhan masyarakat di sekitar perusahaan dan kegiatan tersebut dapat memberikan nilai tambah pada masyarakat, terutama untuk warga yang tidak mampu. Kenyataannya yang dilaksanakan perusahaan adalah pemberian air bersih dapat memberikan manfaat bagi masyarakat dan dapat menumbuhkan pemberdayaan masyarakat dengan mengelola air bersih secara swadaya. Selain itu, pemberian beasiswa kepada anak dari keluarga tidak mampu di sekitar perusahaan adalah bentuk pemberdayaan. Mengingat pemberdayaan itu sendiri dapat dimaknai sebagai suatu proses yang manfaatnya baru akan dirasakan di masa yang akan datang. B. Rekomendasi

Terdapat beberapa rekomendasi agar pemberdayaan masyarakat sebagai perwujudan konsep CSR di PT. Ultrajaya Milk Industry dapat mencapai hasil yang maksimal, antara lain :

19

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 11-20

1.

PT. Ultrajaya Milk Industry perlu lebih meningkatkan kerjasama dengan Pemerintah Kabupaten Bandung, Dinas Koperasi dan Usaha Kecil Kabupaten Bandung serta masyarakat di sekitar perusahaan untuk mewujudkan pemberdayaan ekonomi warga sekitar yang sampai saat ini belum terwujud.

2.

Apabila pemberdayaan masyarakat di PT. Ultrajaya Milk Industry meningkat, kiranya perlu dipikirkan untuk bekerja sama dengan organisasi sosial setempat, bahkan perlu dipikirkan untuk membentuk unit khusus sebagai pelaksana CSR yang berisi tenaga profesional tidak bersatu dengan manajemen seperti yang dilaksanakan selama ini.

DAFTAR PUSTAKADubois, B dan Milley K. 1992. Social Work An Empowering Profession. Boston: Allyn and Bacon. Kartasasmita, Ginanjar. 1996. Pembangunan untuk Rakyat Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan. Jakarta: Dides. Majalah SWAsembada. Perusahaan-perusahaan Dermawan, 19 Desember 2005 11 Januari 2006. Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito. Nuryana, Muman. 2005. Sumber Dana Sosial dari Corporate Social Responsibility Perusahaan (Isu-isu Tematik Pembangunan Sosial Konsepsi dan Strategi). Jakarta: Balatbangsos. Payne, Malcolm. 1997. Modern Social Work Theory, Second Edition. London: MacMillan Press. London. PT. Ultrajaya Milk Industry & Trading Company Tbk. 2005. Profil Perseroan Company Profile. Pranarka, A.M.W dan Moeljarto, Vindyandika. 1994. Pemberdayaan, Konsep Kebijakan dan Implementasinya. Jakarta: Center For Strategic and International Studies. Purnama, Asep Sasa. 2005. Tanggung Jawab Sosial Dunia Usaha dalam Pembangunan Kesejahteraan Sosial. (Investasi Sosial). Jakarta: La Tofi Enterprise. Suharto, Edi. 2005. Membangun Masyarakat Memberdayakan Rakyat Kajian Strategis Pembangunan Kesejahteraan Sosial dan Pekerjaan Sosial. Bandung: Refika Aditama. Suharto, Edi. 2007. Pekerjaan Sosial di Dunia Industri. Bandung: Refika Aditama. Pambudi, Teguh Sri. 2005. CSR Sebuah Keharusan (Investasi Sosial). Jakarta: La Tofi Enterprise. Wahyuni, Dewi. 2006. Konsep dan Praktik Pengembangan Masyarakat. Bandung: BBPPKS.

BIODATA PENULIS : Dewi Wahyuni, Menyelesaikan pendidikan S1 di Sekolah Tinggi Kesejahteraan Sosial (STKS) Bandung tahun 1992 dan pada tahun 2005 menyelesaikan pendidikan Magister Profesional Pengembangan Masyarakat di Institut Pertanian Bogor (IPB). Saat ini menjabat widyaiswara di Balai Besar Pendidikan dan Pelatihan Kesejahteraan Sosial (BBPPKS) Bandung.

20

KEMISKINAN DAN LINGKUNGAN DALAM KERANGKA OTONOMI DAERAHStudi Kasus di Lereng Gunung Merapi, Magelang, Jawa TengahToton Witono ABSTRAKPenelitian ini menggali pelaksanaan otonomi daerah di tingkat bawah dan mengungkap perannya dalam pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan melalui kasus penambangan pasir di kawasan Gunung Merapi. Dengan pendekatan induktif, teknik pengumpulan data yang digunakan yaitu: (i) mengkaji dokumen terkait; (ii) mewawancarai berbagai pihak; dan (iii) mengobservasi kegiatan penambangan, kehidupan para penambang, dan kondisi lingkungan. Hasil kajian eksploratori ini menunjukkan pelaksanaan otonomi daerah tingkat desa sangat bergantung pada pemerintah kabupaten. Dominasi tingkat atas dan ketergantungan desa masih sangat kentara. Di samping itu, otonomi daerah tidak banyak menghasilkan kebijakan-kebijakan yang dapat berperan mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan bagi aktivitas penambangan pasir Merapi. Kebijakan yang ada cenderung berorientasi pendapatan daerah tanpa mempertimbangkan kelestarian lingkungan. Kebijakan tersebut lebih memihak pada kaum pemodal (para pengusaha) dan memarginalkan penambang manual. Sistem penambangan rakyat lebih tepat untuk mengentaskan kemiskinan dan dengan pengawasan ketat demi menghindari kerusakan lingkungan.

Kata kunci : otonomi daerah, kemiskinan, dan lingkungan

I.

PENDAHULUAN

Banyak kalangan menilai kebijakan otonomi daerah (Otda) adalah semacam kompensasi ketakpuasan orang-orang daerah akibat sistem pemerintahan sentralistik (Huda, 2004). Krisis ekonomi tahun 1997 memicu berbagai tuntutan daerah untuk mendapatkan kekuasaan atau kewenangan lebih besar mengurus dan menyelesaikan masalahmasalah mereka sendiri dan pembagian keuntungan hasil eksploitasi sumber daya alam (Ismawan, 2002; McCharty, 2004). Atas dasar itu, diterbitkanlah Undang-undang No. 22 tahun 1999 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 25/1999 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Kedua UU ini menjadi pijakan pelaksanaan kebijakan desentralisasi. Tahun 2004, UU No. 22/1999 direvisi menjadi UU No. 32/2004 dengan beberapa perubahan signifikan. Pada kenyataannya, efektivitas pelaksanaan kebijakan Otda ini belum mampu menyelesaikan masalah. Otda menciptakan kesenjangan ekonomi antar daerah yang sebagian disebabkan oleh perbedaan kekayaan sumber daya alamnya. Setelah krisis

ekonomi, pertumbuhan ekonomi juga tidak berdaya menurunkan angka pengangguran. Sebagai ilustrasi, angka pengangguran tahun 1994 hanya 3,2%. Satu dekade kemudian, tahun 2004, persentasenya meningkat hingga 10,3% (Usman, 2004; Maryatmo, 2005). Di samping itu, dalam hal pengentasan kemiskinan kontribusi Otda masih dipertanyakan. Alih-alih mengakomodasi aspirasi dan partisipasi rakyat dalam pembangunan, Otda telah menjadi alat pemuas kepentingan elit lokal dan para pemodal. Pemerintah daerah (Pemda) bahkan berlomba-lomba mengeruk kekayaan alam untuk meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD) tanpa mempertimbangkan kondisi lingkungan dan ekonomi masyarakat bawah (Ismawan, 2002; Setiaji, 2004). Dengan latar belakang seperti ini, usaha pelestarian lingkungan dan perbaikan kesejahteraan masyarakat masih jauh dari harapan. Penelitian tentang tema ini pada intinya bertujuan untuk: (i) mengetahui bagaimana implementasi konsep Otda di tingkat pemerintahan paling bawah; (ii) memahami peran Otda dalam mengentaskan kemiskinan dan menjaga kelestarian lingkungan; dan (iii)

21

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

mengetahui pola hubungan antara kemiskinan dan lingkungan dalam kasus komunitas penambang pasir di lereng Merapi. Pada akhirnya, penelitian ini diharapkan dapat memberi kontribusi bagi perbaikan kebijakan Otda yang sarat akan utopis pengentasan kemiskinan dan sustainabilitas ekologi.

Akibatnya, karena ketiadaan izin tersebut, pekerjaan mereka dikatakan sebagai penambangan liar. Deposit pasir ditambang tidak hanya dari sungai (riverbank), tetapi juga dari tebing sungai, hutan, dan tanah pertanian. Di samping mengancam nyawa para penambang itu sendiri ketika mereka menambang, seperti ancaman longsoran tebing dan aliran lahar atau awan panas ketika Merapi aktif, penambangan tersebut juga menimbulkan kerusakan lingkungan yang luas, di antaranya penggundulan hutan (deforestasi), pengupasan tanah/soil di lahan hutan dan pertanian (land clearing), dan pengurangan suplai air bagi pertanian dan wilayah lereng bawah. Berangkat dari gambaran di atas, rumusan masalah (research question) penelitian ini adalah: Kebijakan otonomi daerah berperan dalam melahirkan kesenjangan aktivitas penambangan pasir di wilayah Gunung Merapi. Perumusan ini dikaitkan dengan kegagalan pengentasan kemiskinan dan pelestarian lingkungan dimana ruh kebijakan Otda di tingkat bawah dieksplorasi untuk mendapatkan kerangka bagi kebijakan pengelolaan tambang pasir, khususnya yang terkait dengan masalah kemiskinan dan lingkungan.

II. DESKRIPSI MASALAHKawasan Merapi memiliki kandungan sumber daya alam melimpah. Salah satunya adalah tambang pasir. Akan tetapi, kemakmuran penduduk yang mendiaminya sulit terwujud dan kondisi ekologinya pun semakin terancam. Dalam kasus aktivitas penambangan di lereng Gunung Merapi, Otda diuji dari sisi peluang dan tantangan dalam pemberantasan kemiskinan dan upaya pelestarian lingkungan. Aktivitas penambangan pasir berada di sepanjang sungai-sungai yang berhulu di puncak Merapi. Material volkanik hasil erupsi Merapi dimuntahkan dan dialirkan sepanjang sungai-sungai di lereng Merapi. Sudah sejak lama material pasir dan batu ditambang secara manual oleh penduduk lokal maupun pendatang. Mereka disebut penambang tradisional. Sejak awal tahun 1990-an, alat berat seperti backhoe (dalam bahasa lokal disebut bego) dan excavator mulai digunakan untuk mengeruk pasir dan batu dalam skala besar. Eksploitasi dengan teknologi berat ini dilegalkan oleh pemerintah provinsi Jawa Tengah dengan maksud mengatur aktivitas penambangan dan memperoleh pemasukan dana bagi provinsi. Selanjutnya, terkait dengan pelaksanaan kebijakan Otda (UU No. 22/1999 dan UU No. 25/1999), kewenangan pengelolaan Bahan Galian Golongan C (BGGC) diserahkan ke Pemda kabupaten dan kota. Bahan tambang pasir dan batu termasuk dalam BGGC. Baik regulasi penambangan pasir Merapi yang dibuat pemerintah provinsi maupun Pemda berdasarkan kebijakan Otda ternyata tidak jauh berbeda. Regulasi tesebut, pada intinya, mengharuskan setiap kegiatan penambangan memiliki izin dari pemerintah. Namanya Surat Izin Penambangan Daerah (SIPD). Sementara ada ribuan penambang tradisional yang menggantungkan hidupnya pada pekerjaan menambang ini, kebanyakan dari mereka tidak mampu memiliki SIPD karena satu dan lain hal.

III. DAERAH PENELITIANPenelitian ini dilakukan pada paruh awal tahun 2005 di kawasan Gunung Merapi, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Kabupaten Magelang terdiri dari 21 kecamatan. Tiga di antaranya berada di lereng baratdaya-selatan Gunung Merapi, yakni Srumbung, Dukun, dan Sawangan. Srumbung berada di lereng baratdaya. Kecamatan ini memiliki luas wilayah 53,18 km2 dan 17 desa dengan ketinggian rata-rata 501 m di atas permukaan laut. Daerah penelitian mencakup tujuh desa di Kecamatan Srumbung: Kaliurang, Kemiren, Ngablak, Ngargosuko, Mranggen, Tegalrandu, dan Sudimoro. Alasan pemilihan daerah penelitian adalah karena ketujuh desa tersebut dilewati lima dari 13 sungai yang ada di lereng Merapi dimana endapan pasir volkanik sangat potensial ditambang. Kelima sungai tersebut yaitu Kali Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng,

22

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

dan Krasak. Di lima sungai ini pula aktivitas penambangan pasir masih intensif dilakukan baik oleh perusahaan tambang maupun para penambang manual dan penduduk lokal kondisi kualitas hidup yang kurang baik.

IV. METODE PENELITIANMetode induktif digunakan untuk mengeksplorasi penerapan kebijakan Otda kaitannya dengan isu kemiskinan dan lingkungan di wilayah Merapi, karena literatur tentang tema ini belum kuat untuk menjawab rumusan masalah penelitian ini (Friedman, 1998). Alasan lain adalah bahwa peneliti memiliki keterbatasan pemahaman akan masalah yang dikaji (Marlow, 2001; Singleton dan Straits, 1999). Rumusan masalah penelitian ini menggunakan kerangka process question, yang secara eksplisit tidak perlu ada variabel yang akan diobservasi untuk kemudian diuji ada tidaknya hubungan kausalitas antar variabel (Maxwell, 1996). Dengan demikian, penelitian ini menggunakan kajian eksploratori (exploratory study). Strategi penelitian yang dipakai berupa studi kasus (case study). Gambaran tentang pelaksanaan Otda di tingkat bawah diperoleh dari tujuh desa wilayah penelitian. Informasi ini diperlukan sebagai konteks dimana kegiatan penambangan pasir berada. Kegiatan penambangan di lereng Merapi sejak awal sampai penelitian ini berjalan ditelusuri untuk memahami berbagai konsekuensi penerapan Otda terhadap kondisi lingkungan dan ekonomi penduduk lokal. Terakhir, pola hubungan antara kemiskinan dan lingkungan dalam kasus ini juga dianalisis. Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah kajian literatur, interview, dan observasi lapangan. Teknik ini digunakan untuk memperoleh pemahaman yang baik tentang fenomena yang diteliti. Penggunaan teknik dan instrumen yang berbeda dalam penelitian kualitatif dinamakan triangulasi (interdisciplinary triangulation) yang bertujuan untuk validasi data. Data atau berbagai penemuan diperoleh melalui penggunaan dua sampai tiga teknik atau pendekatan berbeda yang tidak punya kelemahaman serupa secara metodologis (Singleton dan Straits, 1999; Janesick, 2003; Denzin dan Lincoln, 2003).

Kajian literatur pertama sekali dilakukan dalam rangka memahami konsep Otda dan berbagai kebijakan menyangkut pengelolaan sumber daya alam secara umum. Berbagai dokumen yang relevan, semacam perundangundangan, lembar kebijakan (peraturan atau keputusan), arsip, draft, dan lain-lain, juga dimanfaatkan semaksimal mungkin. Wawancara open-ended dilaksanakan untuk lima kategori informan kunci: tiga pejabat pemerintah daerah Magelang; sepuluh elit lokal (enam kepala desa dan empat ketua atau anggota Badan Perwakilan Desa); enam pengurus organisasi setempat; tiga aktivis lembaga non-pemerintah; dan tujuh pekerja/ buruh yang terkait dengan kegiatan penambangan pasir. Wawancara mendalam (in-depth interview) dijabarkan dari pedoman wawancara yang telah tersusun (interview guide) untuk mengembangkan diskusi dan mengecek/ membandingkan data yang telah diperoleh dari satu sumber ke sumber lain sebagai bagian dari proses analisis hasil pengumpulan data (Ezzy, 2002). Hal ini dimaksudkan sebagai tes validitas dan reliabilitas data. Meskipun demikian, informasi atau pandangan satu informan tidak secara eksplisit dikonfrontasikan dengan informan lain. Ketika membandingkan suatu data, anonimitas informan tetap dijaga demi mengeliminasi segala kemungkinan resiko baik bagi informan maupun peneliti (Punch, 1994; Babbie, 1998; Rubin dan Babbie, 2001). Karena in-depth interview dilakukan terhadap beberapa kategori informan yang berbeda, otomatis dijumpai komentar dan/atau pandangan yang berbeda-beda, meskipun tema masalah yang diwawancarakan sama. Pada tahap ini, peneliti menggunakan kristalisasi ketimbang triangulasi. Kristalisasi adalah satu istilah yang dipakai Richardson untuk merujuk ke satu desain penelitian yang relatif baru yang muncul dalam konteks Posmodern. Konsep ini mengibaratkan subjek penelitian seperti layaknya citra (image) kristal yang memiliki warna dan struktur yang memantulkan keindahan internal dan akan menampakkan citra yang berbeda-beda tergantung dari sisi mana dilihat (angle). Segala kenampakan kristal dari berbagai arah tersebut adalah relevan. Dengan kristalisasi, akan diperoleh pemahaman tentang topik tertentu secara mendalam, kompleks, dan

23

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

tajam. Kita tahu lebih, akan tetapi kita meragukan apa yang kita tahu (Richardson, 1994: 522). Dengan demikian, pandangan, perspektif, dan tanggapan yang berbeda-beda tentang tema yang sama diakomodasi dalam penelitian ini. Dengan kata lain, penelitian ini menampung suara dari berbagai informan yang berbeda dari segi kelas sosial, status, atau profesi. Observasi lapangan dilaksanakan untuk mendapatkan data tentang aktivitas penambangan pasir di wilayah penelitian. Selaku pengamat murni (complete observer), peneliti membuat catatan yang menggambarkan kegiatan penambangan yang dilakukan para penambang manual dan kondisi hidup keseharian mereka dan juga kondisi lokasi penambangan (Rubin dan Babbie, 2001).

Merapi membuat para penambang manual dikategorikan sebagai penambang liar (Anonim, 2000). Hal ini karena mereka tidak mengantongi izin menambang (SIPD) karena ketakmampuan finansial dalam memenuhi persyaratan yang terkait dengan uang. Karena hidup mereka bergantung pada kegiatan ini, mereka terpaksa menambang secara ilegal. Sampai era Reformasi berjalan, status mereka tetap sebagai penambang liar di bawah peraturan daerah (Perda) No. 23/2001 karena alasan yang sama, yakni masalah finansial. Bahkan, ketika Bupati Magelang mengeluarkan Keputusan No. 19/2004 untuk menghentikan kegiatan penambangan di lima sungai di akhir 2004, mereka masih melakukan aktivitas penambangan seperti biasa. Di samping ketiadaan modal, izin prinsip dari Bupati, sebagai rekomendasi yang sangat menentukan di tahap awal memperoleh SIPD, bisa menjadi alasan lain mengapa mereka tidak mampu mengantongi izin. Kebanyakan penambang manual adalah buta huruf dan tidak paham akan prosedur birokratis. Keluarnya izin prinsip menjadi sangat bergantung pada kehendak Bupati. Ini bisa jadi karena didorong oleh kenyataan bahwa usaha penambangan yang berstatus badan hukum (perusahaan tambang) dapat memberi kontribusi pendapatan daerah yang jauh lebih besar dibanding para penambang tradisional. Kenaikan PAD dari sektor tambang inilah yang tampaknya menjadi motif utama diterbitkannya Perda pengelolaan penambangan pasir. Jumlah penambang pasir selalu berubah dan tidak pasti. Satu sumber mengestimasi sekitar 1500 penambang manual di tahun 1995, 3000 orang pada 1998, dan 4370 penambang pada 2001. Sumber lain, sebagaimana dilaporkan Kompas, mencatat ada 4000-an penambang. Sebagian besar masuk dalam keanggotaan Paguyuban Gotong Royong (GORO), sebuah organisasi berpengaruh yang terkait dekat dengan aktivitas penambangan pasir di Kabupaten Magelang (Kompas, 16 Februari 2005). Lokasi tambang atau bekas tambang tersebar di banyak tempat, terutama di lahan hutan di lereng Gunung Merapi. Endapan pasir dikeruk dimana-mana oleh para penambang manual secara berkelompok tiga sampai lima orang. Para pengeruk dan pengumpul pasir ini

V.A.

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANPenambangan Pasir di Merapi

Ada 13 atau 14 sungai di lereng Merapi yang sangat potensial mengandung endapan pasir. Akan tetapi, sebagian besar pasir volkanik dialirkan ke sungai-sungai di lereng selatan hingga barat puncak Gunung Merapi, yaitu Pabelan (Trising and Senowo), Lamat, Blongkeng, Putih, Batang, Bebeng, dan Krasak yang terletak di Kabupaten Magelang. Di antara sungai-sungai tersebut, Pabelan/ Senowo, Lamat, Putih, dan Bebeng paling intensif ditambang. Sejarahnya, para penambang manual telah jauh memulai pekerjaannya sejak dekade 1980-an. Kegiatan penambangan ini masih bebas dilakukan dan semakin menjadi sumber penghidupan bagi penduduk lokal Merapi maupun bagi para pendatang dari sekitar Magelang, Temanggung, Wonosobo, Semarang, Salatiga, dan wilayah lain di provinsi Jawa Tengah. Di awal tahun 1990-an, alat-alat berat mulai digunakan untuk menambang pasir dan mulai menggeser aktivitas para penambang tradisional. Sejak saat itu, deposit pasir di kawasan Merapi secara masif dieksploitasi baik secara manual maupun dengan teknologi modern. Pemberlakuan peraturan pemerintah provinsi Jawa Tengah No. 6 tahun 1994 tentang manajemen penambangan pasir di lereng

24

Kemiskinan dan Lingkungan dalam Kerangka Otonomi Daerah

(Toton Witono)

dalam bahasa keseharian mereka disebut pengepul. Sedimen pasir volkanik ditambang dengan tiga cara: menggali lahan/tanah; mengepras tebing sungai atau bukit; dan menambang bukit. Teknik pertama dilakukan untuk menambang deposit pasir di lahan hutan atau pertanian dengan cara menghilangkan lapisan soilnya (land clearing) dimana pohon dan semak-belukar ditebang dan disingkirkan terlebih dahulu. Penggalian deposit pasir dengan metode ini hingga sedalam 1-2 m. Penggalian dilakukan di sembarang lahan secara ekstensif, sehingga deforestasi juga menjadi intensif dan lubang-lubang bekas galian dibiarkan dimana-mana. Cara kedua adalah dengan cara menggali tebing sungai atau bukit. Cara penggalian seperti ini menyisakan lubang-lubang horisontal dan bukit-bukit kecil yang curam dan labil. Kondisi macam ini sangat mengancam keselamatan para penambang karena bukit-bukit tersebut bisa runtuh setiap saat. Cara terakhir adalah dengan menggali pasir dari atas bukit pada ketinggian tertentu dan hasil galian dijatuhkan ke kaki bukit. Cara penambangan seperti ini juga sangat membahayakan karena tebing bukit mudah longsor. B. Penambangan Pasir dalam Kerangka Otonomi Daerah

memegang peran kunci. Peran tersebut di antaranya meliputi rekomendasi boleh-tidaknya suatu perusahaan menambang pasir beserta dana sumbangan dari pemberian rekomendasi tersebut, kompensasi tanah melalui kontrak, dan retribusi. Kemudian, pada level pusat, kewenangan pemerintah dalam hal konservasi kawasan telah digunakan untuk mengubah status Merapi menjadi Taman Nasional. Kewenangan ini juga masih harus melibatkan penduduk lokal dalam proses pembuatan kebijakan. Di sini, institusiinstitusi demokratis tingkat desa diharuskan dapat menampung aspirasi dan harapan orang-orang desa. Penerapan kebijakan desentralisasi di tingkat bawah terutama tercermin pada kewenangan desa untuk membuat Perdes yang menampung segala peraturan, cita-cita dan kepentingan masyarakat, dan keuangan desa (Perda No. 1/2000). Kemudian, pendapatan desa, APBDesa, dan kerjasama antar desa diatur dalam Perdes; dan aktor dari pembuatan Perdes ini adalah BPD dengan melibatkan eksekutif desa dan masyarakat (Perda No. 10/ 2000). Pada kenyataannya, secara garis besar pembuatan Perdes di kebanyakan desa di kecamatan Srumbung terlalu didominasi oleh eksekutif dan legislatif desa dan dikendalikan kabupaten. Sebagai contoh, Perdes seputar APBDesa yang akan ditetapkan telah ditentukan atau harus sesuai dengan kehendak Bupati melalui keputusan-keputusannya. Dengan begitu, tidak berlebihan apabila apa yang disebut Dwipayana dan Eko (2003: xi) sebagai formalisasi politik desa atau oleh Dwipayana et al. (2003a: 96) disebut formalisme demokratik di desa telah terbukti adanya. Hal yang sama terjadi pada institusi BPD. Secara umum, badan ini belum mampu mendorong demokratisasi tingkat desa karena tidak muncul dari bawah, tetapi dari atas. Hal ini terjadi karena BPD berposisi sebagai sebuah institusi formal-korporatif di tingkat desa (Dwipayana et al., 2003b). Ada beberapa sumber bagi pendapatan desa. Sumber pertama adalah tanah Bengkok. Keputusan Bupati No. 188.4/353/KEP/06/ 2001 secara khusus merujuk ke peralihan kepemilikan atau pemanfaatan Bengkok sebagai sumber pendapatan desa, meskipun tidak mencukupi atau tidak memadai sebagai

Dalam kegiatan penambangan pasir terkait dengan isu kesejahteraan sosial dan kelestarian lingkungan, kebijakan Otda dilihat dan diuji pada tiga tingkatan pemerintahan: pemerintah desa, Pemda, dan pemerintah pusat. Secara keseluruhan, kebijakan Otda memposisikan pemerintah dan/atau warga desa sebagai peran penentu di tingkatan daerah dan pusat. Pada tingkatan pemerintah desa, pelaksanaan Otda ditunjukkan oleh kehadiran beberapa elemen desa. Bentuk-bentuk pelaksanaannya berupa Perda dan Keputusan Bupati, peraturan desa (Perdes), Badan Perwakilan Desa (BPD), sumber pendapatan desa, Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDesa), dan kerjasama antar desa. Di tingkatan daerah, salah satu bentuk kewenangan kabupaten yang berupa regulasi penambangan pasir melalui penerbitan SIPD memungkinkan pemerintah desa bisa

25

Jurnal Penelitian dan Pengembangan Kesejahteraan Sosial, Vol 12, No. 02, 2007 : 21-32

sumber pemasukan. Sumber pemasukan lain, sebagaimana diatur dalam Perda No. 3/2001, dapat diperoleh dari donasi berbagai sumber. Sebagian besar berasal dari beberapa perkumpulan atau perusahaaan yang terkait erat dengan aktivitas penambangan pasir. Sumber pemasukan tersebut berbentuk bantuan finansial dan barang, retribusi, kompensasi atau ganti rugi, dan dana komitmen. Sayangnya, sumbersumber pemasukan ini kurang punya kontribusi terhadap kondisi ekonomi penduduk lokal. Sumber pendapatan berikutnya adalah dana block grant yang diperoleh setiap tahun dari pemerintah kabupaten. Lebih jauh, desa-desa wilayah penelitian punya sektor penambangan yang sejatinya dapat dimanfaatkan untuk mendapatkan sumber pemasukan yang sangat potensial. Akan tetapi, tidak ada pembagian secara proprosional dengan kabupaten. Kemudian, tidak ada Perda atau Keputusan Bupati yang mengatur pemanfaatan sektor tambang bagi desa. Dari semua sumber pemasukan tadi, tampaknya hanya block grant yang selama ini menjadi sumber pendapatan utama bagi desa. Sebagai sumber utama pemasukan desa, secara otomatis block grant juga menjadi satusatunya sumber bagi pembiayaan APBDesa (lihat Perda No. 6/2001) dimana anggaran belanjanya harus sesuai dengan apa yang telah digariskan Bupati melalui Keputusan No. 188.4/353/KEP/06/2001. Walaupun demikian, masih ada ruang bagi keterlibatan masyarakat dalam menentukan anggaran belanja umum. Dengan kondisi seperti ini, pemerintah kabupaten menciptakan ketergantungan desa dan tetap mendominasi desa. Dalam pandangan Sukasmanto (2004), block grant digunakan sebagai instrumen untuk mengontrol desa. Sebetulnya, ada beberapa kemungkinan bagi desa-desa yang bertetangga di lereng Merapi untuk melakukan kerjasama terkait dengan penambangan pasir, sejalan dengan Perda No. 7/2001 tentang kerjasama antar desa. Seperti telah dijelaskan, masyarakat desa dapat berperan sebagai faktor penentu dalam penerbitan SIPD berdasarkan Perda No. 23/ 2001. Dalam menerbitkan rekomendasi, yang diinginkan oleh perusahaan-perusahaan untuk menambang pasir yang terkandung di lebih dari satu wilayah desa, diperlukan adanya koordinasi antar kepala desa untuk memutuskan

layak-tidaknya rekomendasi diberikan kepada perusahaan yang mengajukan. Hal ini seharusnya dapat menjadi kesempatan untuk menaikkan posisi tawar desa dalam mendapatkan dana komitmen dari perusahaan tambang sekaligus posisi tawar di hadapan Bupati yang hendak mengeluarkan izin prinsip. Koordinasi antara desa juga penting untuk mengatur pembagian retribusi dan dana kompensasi dari dampak lingkungan yang ditimbulkan oleh aktivitas tambang. Sayang sekali, kenyataannya tidak ditemui adanya kerjasama antar desa. Hal ini setidaknya karena dua hal: tidak terakomodasi dalam kebijakan (Perda atau Keputusan Bupati); dan kurangnya inisiatif warga desa. Secara garis besar kebijakan daerah tentang SIPD hampir serupa dengan kebijakan provinsi sebelumnya. Keduanya sama-sama berorientasi pada peningkatan PAD yang cenderung memihak perusahaan-perusahaan tambang bermodal besar dan, akhirnya, mengkesampingkan para pekerja tambang manual. Dengan kata lain, mereka dimiskinkan oleh kedua kebijakan tersebut. Lebih buruk lagi, kondisi lingkungan kawasan Merapi menjadi terancam dan semakin parah karena eksploitasi besar-besaran dengan menggunakan alat-alat ber