jurnal syiar tanpa syair (video dokumenter …jurnalkommas.com/docs/syiar tanpa syair -...

21
JURNAL SYIAR TANPA SYAIR (Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di Jawa) Disusun Oleh: BAYU ARDI ISNANTO D0208042 PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS SEBELAS MARET SURAKARTA 2015

Upload: buidan

Post on 06-Feb-2018

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

JURNAL

SYIAR TANPA SYAIR

(Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di

Jawa)

Disusun Oleh:

BAYU ARDI ISNANTO

D0208042

PROGRAM STUDI ILMU KOMUNIKASI

FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK

UNIVERSITAS SEBELAS MARET

SURAKARTA

2015

1

SYIAR TANPA SYAIR

(Video Dokumenter Tentang Tradisi Sekaten Sebagai Media Syiar Islam di

Jawa)

Bayu Ardi Isnanto

Chatarina Heny D. S.

Program Studi Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik

Universitas Sebelas Maret Surakarta

Abstract

The spread of Islam in Java is one of the great historic events in the

religious symbols of Islam in Indonesia. Walisongo who became the major

character in the greatness, leaving a trail of cultural traditions that are used as a

medium for spreading Islam, that was Sekaten. Ironically, society today is more

familiar know Sekaten as a market rather than Sekaten as a means of spreading

Islam.

Sekaten is still held in several cities in Java, one in Surakarta. Sekaten in

Surakarta still held the same as during the first Sekaten. However, over the ages,

the implementation of Sekaten expanded into the domain of economy. Now,

Sekaten also filled with entertainment and public market that sells various people

needs with relatively low prices.

This documentary can be a medium that leads people to know the

meaning of real Sekaten. By understanding the meaning of Sekaten, surely, the

tradition can be a reference to Muslims especially to preach without violence but

with a particular approach that can be accepted by society.

Keyword: Sekaten, spread of Islam, tradition

2

Pendahuluan

Sekitar 10 abad wilayah Nusantara dikuasai oleh kerajaan Hindu-Budha.

Mulai dari Kerajaan Kutai, Sriwijaya, hingga Majapahit. Bertahun-tahun pula

budaya kerajaan tersebut mengakar hingga ke sendi-sendi kehidupan masyarakat

di Nusantara. Namun ketika Islam mulai masuk ke wilayah Indonesia, Islam dapat

tersebar dan berkembang dengan pesat melalui perdagangan, kesenian, maupun

perebutan kekuasaan wilayah kerajaan.1

Penyebaran Islam di Pulau Jawa adalah salah satu peristiwa yang sangat

bersejarah dalam syiar agama Islam di Indonesia. Ada sebuah sarana syiar Islam

yang hingga kini masih menjadi tradisi yang tiap tahun selalu digelar, yaitu

Sekaten. Sekaten menjadi media dakwah Islam tanpa kekerasan karena

penyampaian pesan-pesan keagamaan dalam sekaten menggunakan pendekatan

budaya dan disimbolkan dalam beberapa benda seperti gamelan, gunungan,

kinang dan lain sebagainya.

Pesan yang disampaikan di dalam tradisi sekaten tidak hanya mengenai

agama, tetapi juga pesan sosial, medis, dan ekonomi. Selain melalui pemaknaan

simbol-simbol, penyampaian pesan juga melalui cerita-cerita yang dikemas

menggunakan mitos. Penggunaan mitos dianggap lebih efektif karena masyarakat

di masa itu belum mengenal sains. Mitos di sini berfungsi untuk

mentransformasikan keterbatasan pengetahuan manusia.

Upacara sekaten sarat dengan simbol-simbol yang berperan sebagai alat

komunikasi antar sesama warga masyarakat, dan juga dianggap sebagai

penghubung dengan Tuhan. Setiap upacara tradisional biasanya diadakan dalam

waktu dan periode tertentu. Ini berarti menyampaikan pesan yang mengandung

nilai-nilai kehidupan itu harus diulang-ulang terus, demi terjaminnya kepatuhan

para warga masyarakat terhadap pranata-pranata sosial yang berlaku2

1 A. Djamil, dkk., Sejarah dan Kebudayaan Islam. Semarang, Toha Putra, 1984, hal 28

2 Kundharu Saddhono, Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta, Jurnal Pendidikan dan

Kebudayaan (Depdikbud), 2009

3

Perumusan Masalah

Perumusan masalah dalam tugas akhir ini adalah :

“Bagaimanakah keadaan sekaten dari masa ke masa, dari perubahannya

sebagai media syiar Islam menjadi tempat hiburan dan pasar rakyat yang

digambarkan melalui format film dokumenter?”

Tujuan

Tujuan dari tugas akhir ini adalah :

Memberi pelajaran terhadap masyarakat tentang budaya lokal, terutama

melalui sejarah sekaten yang awalnya ialah sebagai sarana penyebaran agama

Islam. Dengan demikian, diharapkan masyarakat akan mengenal dan

mengembalikan esensi sekaten yang sebenarnya.

Tinjauan Pustaka

1. Komunikasi Antar Budaya dan Inkulturasi

Beberapa pendapat klasik mengatakan bahwa komunikasi dan

kebudayaan tidak dapat dipisahkan. Komunikasi adalah kebudayaan dan

kebudayaan adalah komunikasi. Apabila komunikasi merupakan bentuk,

metode, teknik, proses sosial dari kehidupan manusia yang membudaya maka

komunikasi adalah sarana transmisi kebudayaan, oleh karena itu kebudayaan

adalah komunikasi.3

Beberapa fungsi sosial dari komunikasi antarbudaya diantaranya

ialah sebagai penjembatan dan sosialisasi nilai. Melalui komunikasi,

perbedaan-perbedaan latar belakang antara komunikator dan komunikan

dapat terkontrol melalui pesan-pesan yang mereka pertukarkan, keduanya

saling menjelaskan tafsir dari sebuah pesan sehingga menghasilkan makna

yang sama. Kemudian komunikasi juga berfungsi memperkenalkan nilai-nilai

suatu kebudayaan kepada masyarakat dengan budaya yang lain. Dalam fungsi

ini mungkin sering muncul ketidakpahaman terhadap perilaku-perilaku

3 Alo Liliweri, Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2009, hal 20-

21

4

nonverbal yang disampaikan, namun yang lebih penting ialah bagaimana

nilai-nilai yang terkandung dalam perilaku nonverbal dapat ditangkap.4

Pendekatan-pendekatan dalam berkomunikasi sangat penting

dilakukan untuk kelancaran sebuah proses komunikasi, salah satunya dengan

proses inkulturasi. Inkulturasi adalah sejenis penyesuaian dan adaptasi kepada

masyarakat, kelompok umat, kebiasaan, bahasa, dan perilaku yang biasa

terdapat pada suatu tempat.5 Istilah inkulturasi sering digunakan dalam ajaran

Katolik.

Oleh Ary Roest Crollius (1984), inkulturasi dapat terjadi melalui tiga

tahapan. Tahap pertama adalah akulturasi, yaitu ketika dua atau lebih budaya

yang berbeda bertemu dan dapat berjalan beriringan. Menurut

Koentjaraningrat (1990) titik penting dari akulturasi ialah bertahannya kedua

unsur kebudayaan tersebut tanpa ada salah satu berusaha menghilangkan

budaya yang lain. Tahapan kedua dalam proses inkulturasi adalah asimilasi,

yaitu ketika kebudayaan- kebudayaan tersebut mulai berpadu menjadi

kebudayaan baru. Tahapan terakhir adalah transformasi, yaitu kedua

kebudayaan direinterpretasikan terus-menerus ke arah bentuk kebudayaan

baru dengan tidak kehilangan identitas dari masing-masing kebudayaan asal.6

Dalam studi kebudayaan lokal, inkulturasi mengandaikan sebuah

proses internalisasi sebuah ajaran baru ke dalam konteks kebudayaan lokal

dalam konteks akomodasi atau adaptasi. Inkulturasi dilakukan dalam rangka

mempertahankan identitas.7

Seperti gagasan K.H.Abdurrahman Wahid yang mulai disuarakan

sejak tahun 80-an, yaitu “pribumisasi Islam”. Ini adalah sebuah upaya

rekonsialisasi Islam dengan budaya setempat, agar budaya lokal itu tidak

menghilang, malah dapat menjadi sumber kekuatan bagi perkembangan

4 Ibid, hal 40-41

5 Hari Kustanto, Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa, Yogyakarta, PPY, 1989,

hlm.40. 6 Huub J.W.M. Boelaars, Indonesianisasi, Yogyakarta, Kanisius, 2005, hal 338-339

7 Anna Zakiyah Hastriana, Pribumisasi Hukum Islam Dalam Pesantren, Jurnal Al-Manahij 7.1,

2013

5

Islam. Pribumisasi Islam bukanlah penggabungan atau perpaduan dengan

budaya lokal, konsep ini hanya mempertimbangkan kebutuhan-kebutuhan

lokal di dalam merumuskan hukum-hukum agama, tanpa mengubah hukum

itu sendiri. Berikut petikan tulisan Gus Dur di media Tempo, 16 Juli 1983.

“Yang ‘dipribumikan’ adalah manifestasi kehidupan Islam belaka.

Bukan ajaran yang menyangkut inti keimanan dan peribadatan formalnya.

Tidak diperlukan “Qur’an Batak’ dan Hadis Jawa”. Islam tetap Islam, dimana

saja berada. Namun tidak berarti semua harus disamakan ‘bentuk-luar’nya.

Salahkah kalau Islam ‘dipribumikan’ sebagai manifestasi kehidupan?”8

2. Sejarah Sekaten

Tradisi sekaten berawal ketika masa Kerajaan Demak yang didirikan

oleh Raden Patah setelah keruntuhan Kerajaan Majapahit pada abad ke-15.

Ketika itu agama Islam mulai berkembang di tanah Jawa, berpusat di

Kerajaan Demak dengan pemuka agama yang dalam Agama Islam disebut

wali. Para wali ini dikenal berjumlah sembilan orang, karena itu disebut Wali

Songo. Nama mereka masing-masing adalah Sunan Ampel, Sunan Bonang,

Sunan Giri, Sunan Kalijaga, Sunan Kudus, Sunan Gunungjati, Sunan Muria,

Syeh Maulana Maghribi, Syeh Siti Jenar. Tiap-tiap wali memiliki wilayah

penyebarannya masing-masing. Tiap tahun para wali itu mengadakan

pertemuan di kota Demak. Pertemuan tahunan tersebut diselenggarakan pada

bulan Rabiul Awal, tanggal 6 sampai dengan tanggal 12, tepat ketika

memperingati Maulid Nabi Muhammad SAW.9

Kesulitan dirasakan oleh para wali karena masih banyak masyarakat

yang menganut agama Hindu yang merupakan ajaran Kerajaan Majapahit.

Masyarakat masih sangat dekat dengan adat istiadat agama Hindu. Maka

dalam syiarnya, para wali, terutama Sunan Kalijaga menggunakan

pendekatan kebudayaan yang masih diusung oleh masyarakat Jawa. Beberapa

8 Ibid

9 Kundharu Saddhono, Loc.Cit.

6

cara yang dilakukan ialah dengan membiarkan tetap dilaksanakannya adat

atau tata cara dalam agama Hindu, tetapi dimasuki pelajaran Islam, misalnya:

a. Semedi

Semedi dalam agama Hindu mempunyai maksud memuja kepada

dewa-dewa. Karena agama Islam tidak mengenal dewa, maka diganti

dengan memuja Allah SWT dengan dzikir dan sholat.

b. Sesaji

Sesaji menurut agama Hindu mempunyai maksud memberi

makanan kepada dewa-dewa dan jin, agar sesuai dengan ajaran Islam

diganti dengan zakat fitrah pada fakir miskin.

c. Keramaian

Dalam agama Hindu keramaian mempunyai maksud menghormat

kepada dewa-dewa, diganti keramaian menghormat hari raya dan

peringatan Islam.

Para wali juga mengetahui bahwa masyarakat sangat menyukai suara

gamelan dan gemar dengan keramaian. Atas usul Sunan Kalijaga, para wali

lalu mengatur penyelenggaraan peringatan Maulid Nabi Muhammad SAW

dengan penyesuaian dengan tradisi rakyat pada waktu itu, yaitu mengganti

kesenian rebana dengan kesenian gamelan. Untuk melaksanakan hal itu

Sunan Kalijaga membuat seperangkat gamelan yang dinamakan Kyai Nogo

Wilogo.10

Untuk memeriahkan perayaan itu, maka ditempatkanlah gamelan

Kyai Nogo Wilogo di halaman Masjid Demak. Gamelan itu dipukul bertalu-

talu tidak henti-hentinya, mula-mula dengan irama dan suara lembut dan

halus, lama kelamaan dipukul keras-keras. Karena tertarik dengan bunyi

gamelan yang nyaring mengalun tersebut, maka orang-orang dari berbagai

penjuru datang berduyun-duyun ke pusat kota, sehingga alun-alun kerajaan

Demak menjadi penuh sesak dibanjiri orang yang ingin menikmati kesenian

gamelan dan menyaksikan keramaian yang diselenggarakan. Keramaian

itulah yang kemudian disebut sekaten, dan yang sampai sekarang masih

10

Wawancara dengan K.P. Winarnokusumo, 14 Januari 2014

7

dilestarikan. Sementara gamelan dibunyikan, para wali bergantian

memberikan wejangan dan ajaran tentang agama Islam di mimbar yang

didirikan di depan gapura masjid.11

Orang yang datang tersebut diperbolehkan juga masuk ke dalam

serambi masjid tetapi harus terlebih dahulu membaca dua kalimat syahadat.

Membaca kalimat syahadat adalah syarat bagi seseorang untuk memeluk

agama Islam. Kalimat syahadat ditulis di gapura masjid agar dapat dibaca

oleh masyarakat yang akan masuk ke dalam masjid. Gapura sendiri berasal

dari bahasa Arab ghafura yang berarti ampunan. Ini merupakan doa sekaligus

simbol bahwa setelah melewati gapura, orang akan mendapatkan ampunan

dari Allah SWT.12

Selain itu, sebelum masuk ke dalam masjid, orang-orang

disuruh membasuh tangan, muka dan kaki mereka dengan air kolam luar

serambi masjid dengan maksud berwudhu membersihkan diri dari kotoran.

Demikianlah keramaian sekaten itu diselenggarakan sekali dalam

setahun tiap bulan Rabiul Awal, dari tanggal 6 sampai dengan tanggal 12.

Tradisi sekaten ini tetap dilestarikan oleh raja-raja yang memerintahkan

berikutnya hingga masa Kerajaan Surakarta.

3. Prosesi Upacara Sekaten

Prosesi pertama ialah miyos gongso. Miyos gongso adalah prosesi

gamelan yang disimpan di dalam keraton diboyong keluar menuju halaman

Masjid Agung melewati sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan

dibunyikan selama tujuh hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling

gamelan atau gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid

Agung pada tanggal 5 Rabiul Awal. Miyos gongso disertai dengan kebiasaan

lain yakni mengunyah kinang pada saat gamelan dibunyikan. Masih banyak

masyarakat yang percaya, mengunyah kinang pada saat itu akan membuat

awet muda. Selain mengunyah kinang, masyarakat juga antusias berebut

11

Kundharu Saddhono, Loc.Cit. 12

Wawancara dengan K.P. Winarnokusumo, 14 Januari 2014

8

janur untuk memperoleh keberkahan. Ada pula telur asin, mainan pecut, dan

celengan sebagai ciri khas sekaten.

Puncak acara sekaten adalah grebeg maulud atau yang biasa orang

menyebut gunungan. Pada prosesi ini, gunungan yang berisi hasil bumi dan

kekayaan alam dikirab dari keraton menuju halaman Masjid Agung Surakarta

untuk didoakan dan selanjutnya diperebutkan. Prosesi ini sekaligus

mengakhiri segala prosesi sekaten di tahun tersebut.

4. Simbol dan Makna dalam Sekaten

a. Sekaten

Kata “sekaten” berasal dari bahasa Arab syahadatain yaitu

kalimat syahadat yang merupakan suatu kalimat yang merupakan syarat

seseorang untuk masuk Islam. Selain berasal dari kata syahadatain,

sekaten juga berasal dari kata beberapa kata:13

1) Sakatain : menghentikan atau menghindari perkara dua, yakni sifat

pengecut dan menyeleweng;

2) Sakhatain : menghilangkan perkara dua, yaitu watak hewan dan sifat

setan, karena watak tersebut sumber kerusakan;

3) Sakhotain : menanamkan perkara dua, yaitu selalu memelihara budi

suci atau budi luhur dan selalu menghambakan diri pada Tuhan;

4) Sekati : setimbang, orang hidup harus bisa menimbang atau menilai

hal-hal yang baik dan buruk;

5) Sekat : batas, orang hidup harus membatasi diri untuk tidak berbuat

jahat serta tahu batas-batas kebaikan dan kejahatan.

b. Miyos Gongso dan Ungeling Gamelan

Miyos gongso adalah prosesi ketika gamelan yang disimpan di

dalam keraton diboyong keluar menuju halaman Masjid Agung melewati

sitinggil dan alun-alun, kemudian gamelan akan dibunyikan selama tujuh

13

Tim Penulis Masjid Agung Surakarta, Sejarah Masjid Agung Surakarta, Yogyakarta, Absolute

Media, 2014, hal 129-130

9

hari tujuh malam. Prosesi ini juga disebut ungeling gamelan atau

gamelan yang dibunyikan. Gamelan dibawa ke halaman Masjid Agung

pada tanggal 5 Rabiul Awal dan akan dibawa kembali ke keraton pada

tanggal 12 Rabiul Awal sebelum prosesi Garebeg Maulud atau yang juga

disebut gunungan.

Gamelan tersebut berjumlah dua perangkat yang diberi nama

Kyai Guntur Sari dan Kyai Guntur Madu. Keduanya diletakkan di dalam

bangsal Pradonggo di halaman Masjid Agung. Kyai Guntur Madu

diletakkan di selatan, Kyai Guntur Sari diletakkan di utara.

Kyai Guntur Madu memainkan gendhing Rambu yang berasal

dari kata Robbuna yang berarti Allah Tuhanku, sehingga gamelan ini

disimbolkan sebagai syahadat tauhid. Sedangkan, Kyai Guntur Sari

memainkan gendhing Rangkung yang berasal dari kata Roukhun yang

berarti jiwa besar atau jiwa yang agung. Rangkung menurut etimologi

atau lebih tepatnya kerata basa atau jarwa dhasaknya berasal dari kata

‘barang kakung’ yang menginterpretasikan pada seorang Nabi, Khalifah,

dan Raja-Raja Mataram yang kesemuanya laki-laki. Dan kemudian

gamelan Kyai Guntur Sari disimbolkan sebagai syahadat rasul.

Kedua perangkat gamelan dibunyikan secara bergantian dari

pukul 9 pagi hingga pukul 12 malam. Namun ketika waktu sholat lima

waktu tiba, gamelan akan berhenti agar masyarakat dapat bersama-sama

menunaikan ibadah sholat. Selain pada waktu sholat lima waktu, gamelan

juga diistirahatkan pada hari Jum’at, karena hari Jum’at adalah hari

agung bagi umat Islam.

c. Kinang

Dalam prosesi sekaten, terdapat tradisi mengunyah kinang.

Tradisi ini diyakini oleh masyarakat dapat membuat awet muda.

Mengunyah kinang atau dalam Bahasa Jawa nginang, dilakukan ketika

gamelan mulai dibunyikan, yaitu pada tanggal 5 Rabiul Awal atau pada

prosesi miyos gongso.

10

Kinang terdiri dari lima unsur, yang juga menyimbolkan rukun

Islam yang jumlahnya juga lima. Kelima unsur itu adalah daun sirih,

injet, gambir, tembakau, dan bunga kantil. Orang yang mengunyah

kinang menggunakan tiga unsur yang terdiri atas suruh, gambir dan injet

itu sudah enak, artinya orang yang sudah melaksanakan tiga rukun Islam

yakni syahadat, sholat, puasa itu sudah baik, apalagi melakukan zakat

dan haji, maka lebih sempurna.14

Dalam dunia medis, masing-masing kandungannya berkhasiat

bagi kesehatan tubuh. Kandungan inilah yang sebenarnya membuat awet

muda. Banyak orang-orang tua kita yang masih berwajah cerah dan

memiliki gigi yang utuh meskipun telah berusia lanjut. Tradisi ini

dilakukan sebagai ajakan kepada masyarakat agar senantiasa hidup sehat.

d. Gunungan

Pada puncak acara sekaten yang dalam bahasa Jawa disebut

Garebeg Maulud, terdapat upacara membawa gunungan dari keraton ke

halaman Masjid Agung untuk dibagikan kepada masyarakat. Namun

pada kenyataannya, masyarakat tidak bisa tertib dan saling berebut untuk

mendapatkan gunungan.

Gunungan ialah wujud syukur kepada Allah SWT atas limpahan

rejeki yang diberikan kepada manusia. Oleh karenanya, gunungan

dibentuk dari hasil bumi, seperti sayuran, buah-buahan, dan biji-bijian.

Disebut gunungan karena dibentuk seperti gunung yang semakin ke atas

semakin kecil. Di atas gunungan juga tertancap bendera merah putih.

Bendera merah putih merupakan bendera kerajaan Majapahit yang juga

disebut gulo klopo, kemudian bendera ini juga digunakan kerajaan

Mataram dan hingga saat ini digunakan sebagai bendera Republik

Indonesia.

Gunungan kakung dan putri melambangkan lingga-yoni atau

organ vital lelaki dan perempuan. Dalam kehidupan, manusia terlahir dari

14

Ibid, hal 141

11

ayah dan ibu. Dan apabila diurutkan ke urutan teratas, manusia juga

dimulai dari laki-laki dan perempuan, yaitu Nabi Adam AS dan Hawa.

Gunungan kakung dibentuk dari bahan-bahan mentah, gunungan putri

dibentuk dari makanan olahan. Ini melambangkan bahwa laki-laki yang

berkewajiban mencari nafkah dan perempuan yang mengolahnya.

Sedangkan gunungan anakan berisi makanan berwarna-warni yang

melambangkan anak-anak.

e. Makanan dan Mainan Khas Sekaten

Dalam tradisi sekaten, terdapat makanan maupun mainan yang

selalu dijual dan menjadi ikon dari sekaten. Tentunya mainan dan

makanan tersebut juga merupakan simbol-simbol yang memiliki makna.

1) Telur Asin

Telur asin dalam Bahasa Jawa disebut endhog kamal atau

endhog amal, yang dimaksudkan agar kita beramal. Selain itu, Ada

pula yang menghubungkan dengan istilah dalam bahasa Arab, kamal

berarti sempurna, yakni sempurna melaksanakan rukun Islam.15

2) Pecut

Pecut biasa digunakan oleh orang-orang dari desa ketika

membajak sawah. Pecut digunakan untuk menggiring kerbau atau

sapi, bukan digunakan untuk melukai hewan tersebut, sehingga pecut

diibaratkan sebagai pengarah ke jalan yang benar.16

Dan bunyinya pun memiliki makna bahwa pecut ini dapat

melecut semangat pemiliknya, semangat untuk bekerja, beribadah,

dll.

3) Celengan

Celengan juga dihubungkan dengan pecut di atas. Ketika

orang membeli celengan, mereka akan semangat bekerja, semangat

menabung dengan keinginan agar tahun berikutnya dapat kembali

15

Ibid, hal 143-144 16

Ibid

12

datang ke sekaten dengan uang yang ditabungnya di dalam celengan.

Kemudian ketika di sekaten, mereka membeli celengan lagi, dan

begitu seterusnya. Sehingga hidup mereka penuh semangat, tidak

hanya berdiam diri.

4) Gasing

Gasing ini dimaknai seperti hidup manusia yang selalu

berputar. Dalam hidupnya, manusia boleh berputar ke mana saja,

tetapi harus selalu pada porosnya, yaitu Allah SWT. Poros pada

gasing ialah tiang di tengah gasing yang mengarah vertikal seperti

hubungan manusia dengan Tuhannya.17

Metodologi

Tugas akhir ini menggunakan metode observasi dan wawancara. Pawito

(2007: 111) mengemukakan metode observasi (observation research) dilakukan

untuk melacak secara sistematis dan langsung gejala-gejala komunikasi terkait

dengan persoalan-persoalan sosial, politis, dan kultural masyarakat. Metode

wawancara merupakan alat pengumpulan data yang sangat penting yang

melibatkan manusia sebagai subjek (pelaku, aktor) sehubungan dengan realitas

atau gejala yang dipilih untuk diteliti. Kedua metode tersebut bertujuan untuk

mendapatkan data dan informasi yang dibutuhkan dalam penyusunan tugas akhir

(Pawito, 2007: 132).

Di dalam film dokumenter ini, penulis melakukan observasi di Alun-Alun

Utara Surakarta yang merupakan lokasi diadakannya sekaten tiap tahunnya dan di

Keraton Kasunanan Surakarta yang merupakan penyelenggara Sekaten. Penulis

juga melakukan wawancara dengan beberapa narasumber dengan latar belakang

akademisi, budayawan, dan perwakilan dari Keraton Kasunanan Surakarta.

17

Ibid

13

Sajian dan Analisis Data

a. Judul

Syiar Tanpa Syair

b. Lokasi

Keraton Kasunanan Surakarta, Masjid Agung Surakarta, dan Alun-Alun

Utara Surakarta.

c. Durasi

19 menit 19 detik

d. Segmentasi

Masyarakat umum

e. Film Statement

Saat ini kebanyakan masyarakat, terutama kaum pemuda hanya

mengetahui sekaten sebagai tradisi yang rutin digelar tiap tahunnya tanpa

mengetahui fungsi dari tiap prosesi di sekaten. Sekaten hanya dikenal

dengan keramaian dan hiburan rakyatnya. Padahal sekaten memiliki

filosofi yang mendalam di tiap prosesinya. Dan sekarang tujuan asli

sekaten sebagai media penyebaran agama Islam telah luntur.

Dengan hilangnya pengetahuan tentang sekaten sebagai media

dakwah Islam, masyarakat seperti kekurangan referensi untuk melakukan

dakwah-dakwah Islam secara cerdas. Sekaten dibuat oleh para wali

melalui proses berfikir yang cerdas, bagaimana agar Islam dapat diterima

oleh masyarakat Jawa yang pada waktu itu menganut agama Hindu.

Tentunya para wali adalah ulama-ulama yang dilebihkan ilmunya oleh

Alloh SWT, sehingga segala tidakan yang dilakukan para wali semata-

mata hanya berdasarkan keimanan.

14

Ringkasan Film

Film dokumenter Syiar Tanpa Syair ini terdiri dari empat sekuen.

1. Sekuen I

Menggambarkan prosesi Miyos Gongso sebagai tanda bahwa sekaten

telah dibuka. Pada gambar tersebut dijelaskan bahwa ajaran Islam telah

dimasukkan ke dalam prosesi ini, seperti makna gamelan dan gendhing yang

dimainkan, lalu juga diceritakan bahwa dahulu gamelan inilah yang dapat

menarik minat masyarakat untuk masuk Islam.

Gambar 1 : Gamelan dibawa masuk ke dalam Masjid Agung

Sumber : dokumen pribadi

Gambar 2 : Gamelan dimainkan para niyaga

Sumber : dokumen pribadi

Selain menceritakan sejarah sekaten menurut Keraton Surakarta,

dalam sekuen ini terdapat pendapat akademisi, Prof. Dr. Dharsono, M.Si yang

menganggap sekaten adalah politik kebudayaan. Dia menganggap demikian

15

karena sekaten digunakan para penguasa di masa itu agar masyarakat

menyesuaikan pemerintahan di masa itu yang menganut agama Islam.

2. Sekuen II

Menjelaskan tradisi yang masih dilakukan masyarakat saat gamelan

dibunyikan, yaitu berebut janur dan menginang. Selain itu, digambarkan pula

bahwa sekaten memiliki ciri khas filosofis mengenai makanan dan mainan

yang dijual di sekitar masjid, seperti telur asin, pecut, gasing, dll.

Gambar 3 : Masyarakat berebut janur

Sumber : dokumen pribadi

Gambar 4 : Masyarakat menginang

Sumber : dokumen pribadi

16

K.P. Winarnokusumo sebagai budayawan Keraton Kasunanan

Surakarta menjelaskan tentang tradisi menginang yang ternyata memiliki

banyak fungsi dari segi medis dan filosofis. K.G.P.H Puger sebagai kerabat

Keraton juga menjelaskan tentang filosofi mainan yang terdapat di dalam

sekaten.

3. Sekuen III

Sekuen ini menceritakan perkembangan sekaten di masa kini yang

telah berubah bentuk maupun fungsi.

Gambar 5 : Wahana Permainan Bianglala

Sumber : dokumen pribadi

Gambar 6 : Musik yang tidak sesuai semangat syiar Islam

Sumber : dokumen pribadi

17

Keadaan sekaten yang telah berubah digambarkan dengan beberapa

hal, yaitu seperti keramaian pasar malam, wahana permainan yang

mengandung unsur judi, dan pedagang VCD musik dangdut. Dipertegas pula

dengan vox pop masyarakat yang tidak tahu esensi sekaten yang sebenarnya.

4. Sekuen IV

Sekuen ini menceritakan prosesi Grebeg Maulud yang sering dikenal

dengan gunungan sebagai puncak acara sekaten. Dan sekuen ini digunakan

sebagai penutup.

Gambar 8 : Gunungan keluar dari Keraton

Sumber : Dokumen pribadi

Gambar 9 : Masyarakat berebut gunungan

Sumber : Dokumen pribadi

18

Sekuen ini menjelaskan makna simbolis gunungan dan tujuan yang

terkandung di dalamnya. Digambarkan pula proses pembuatan gunungan

beberapa hari sebelum puncak perayaan sekaten. Terakhir ditutup oleh K.P.

Winarnokusumo yang menjelaskan bahwa tradisi di Keraton Kasunanan

Surakarta akan tetap lestari selamanya.

Kesimpulan

Kesimpulan dalam tugas akhir ini, antara lain:

1. Banyak masyarakat, khususnya anak muda sudah tidak mengetahui sejarah

dan makna sekaten. Mereka hanya mengetahui sekaten sebagai tempat

hiburan dan pasar rakyat saja, bukan sebagai sarana media syiar agama Islam.

2. Semangat sekaten juga telah berkurang untuk menyemarakkan hari lahirnya

Nabi Muhammad SAW. Nampak dari banyaknya permainan yang

mengandung unsur judi dan banyak musik yang tidak sesuai dengan semangat

syiar Islam. Bergesernya fungsi sekaten tidak terlepas dari arus globalisasi

yang juga semakin mengancam kebudayaan asli di Indonesia.

3. Tradisi sekaten selalu digelar setiap tahun dengan prosesi yang masih

lengkap, yaitu dari mulai miyos gongso atau keluarnya gamelan dan

jenggleng pertama kali, hingga prosesi grebeg mulud atau gunungan.

Saran

Saran yang diharapkan untuk Tradisi Sekaten untuk masyarakat pada

umumnya, dan Keraton Kasunanan Suarakarta pada khususnya, antara lain:

1. Masyarakat agar mau memperlajari sejarah kebudayaan di daerahnya, seperti

sekaten agar dapat lestari sesuai esensi semula.

2. Keraton Kasunanan Surakarta sebagai penyelenggara seharusnya lebih

mengedukasi masyarakat tentang sejarah dan esensi sekaten agar masyarakat

19

juga paham. Mungkin dapat dilakukan dengan menambahkan media

sosialisasi di beberapa titik di Alun-Alun Utara, Masjid Agung, dan

Pagelaran.

3. Keraton Kasunanan Surakarta seharusnya juga menerbitkan buku tentang

sekaten secara khusus, karena literatur tentang sekaten sangat minim. Dengan

demikian, pengetahuan sejarah sekaten dapat terus terjaga.

4. Keraton Kasunanan Surakarta dan Pemerintah Kota Surakarta harus lebih

tegas dalam membuat aturan untuk wahana permainan dan pasar rakyat di

Alun-Alun Utara agar esensi sekaten sebagai media syiar Islam tetap terjaga.

Pasalnya masih banyak permainan yang mengandung unsur judi dan sering

pula tercium bau minuman keras di beberapa wahana permainan.

Daftar Pustaka

Ayawaila, Gerzon Ron. (2008). Dokumenter Dari Ide Sampai Produksi. Jakarta:

FFTV-IKJ Press.

Beattie, Keith. (2004). Documentary Screens. New York: Palgrave Macmillan.

Boelaars, Huub J.W.M. (2005). Indonesianisasi. Yogyakarta: Kanisius.

Djamil, A. (1984). Sejarah dan Kebudayaan Islam. Semarang: Toha Putra.

Effendy, Heru. (2002). Mari Membuat Film. Yogyakarta: Panduan.

Effendy, Onong Uchjana. (1990). Ilmu Komunikasi: Teori dan Praktek. Bandung:

Remaja Rosdakarya.

Gaarder, Jostein. (1996). Dunia Sophie : Sebuah Novel Filsafat. Bandung: Mizan.

Himawan. (2008). Memahami Film, Jakarta: Homerian Pustaka.

Kustanto, Hari. (1989). Inkulturasi Agama Katolik dalam Kebudayaan Jawa.

Yogyakarta: PPY.

Liliweri, Alo. (2009). Dasar-Dasar Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Liliweri, Alo. (2001). Gatra-Gatra Komunikasi Antarbudaya. Yogyakarta:

Pustaka Pelajar.

Mulyana, Deddy. (2007). Ilmu Komunikasi Suatu Pengantar. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

Pawito. (2007). Penelitian Komunikasi Kualitatif. Yogyakarta: LKiS.

Rabiger, Michael. (1998). Directing the Documentary. Burlington: Focal Press.

Sumarno, Marselli. (1996). Dasar-dasar Apresiasi Film. Jakarta: PT Gramedia

Widiasarana Indonesia.

Sutardi, Tedi, (2007). Antropologi : Mengungkap Keragaman Budaya. Bandung:

PT. Setia Purna Inves.

Sutisno, P.C.S. (1993). Pedoman Praktis Penulisan Skenario Televisi dan Video.

Jakarta: Grasindo.

20

Tim Penulis Masjid Agung Surakarta. 2014. Sejarah Masjid Agung Surakarta.

Yogyakarta: Absolute Media.

Wibowo, Fred. 1997. Dasar-dasar Produksi Program Televisi. Jakarta: Grasindo.

Hastriana, Anna Zakiyah (2013). Pribumisasi Hukum Islam Dalam Pesantren,

Jurnal Al-Manahij 7.1.

Saddhono, Kundharu (2009). Tradisi Sekaten di Keraton Kasunanan Surakarta,

Jurnal Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Pendidikan dan

Kebudayaan Indonesia.

Williams, Linda (1993). Mirrors Without Memories, Film Quarterly, Vol. 46,

No. 3, 9-21.