jurnal pettarani election review

130

Upload: others

Post on 30-Nov-2021

2 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

i Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

JURNAL PETTARANI ELECTION REVIEW

Volume 1 Nomor 1 Mei 2020

DEWAN REDAKSI

Mitra Bestari (peer review)

Prof. Dr. Irwansyah, S.H., M.H

Dr. Romi Librayanto, S.H, M.H

Dr. Mansyur Radjab, M.Si

Penasehat Pembina

Drs. H. L. Arumahi, M.H.

Dr. Adnan Jamal, S.H., M.H. Amrayadi, S.H.

Asradi, S.E. M.H.

Azry Yusuf, SH., MH. Hasmaniar Bachrun, S.Pi

Drs. Saiful Jihad, M. Ag.

Penanggung Jawab Redaktur

Sudirman Rahim, SE, MM Nurmalawati Pulubuhu, S.IP

Penyunting/ editor Desain grafis

Abdi, S.H. Hasryiadin, S.Kom

Fotografer Sekretariat

Chaidir Pratama, S.sos Hertaslin, S.H

Nuzri Isla, S.T Irwan Surya Dermawan S.M

ii Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

PENGANTAR REDAKSI

Sebagai sebuah siklus berkala yang dilakukan dalam negara Demokrasi, penyelenggaraan Pemilu

Demokratis pasca reformasi tahun 1998 yang dilaksanakan pertama kali pada tahun 1999 dan Pemilihan

Kepala daerah pada tahun 2005 hingga yang terakhir Pemilu Serentak tahun 2019, telah terjadi berbagai

dinamika dan perkembangan, hal ini menjadikan Pemilu / Pemilihan sesuatu yang dinamis dan menarik

untuk selalu dibahas.

Jurnal Pettarani Election Review mencoba mengangkat berbagai tema dalam pelaksanaan Pemilu/

Pemilihan, Pada Volume 1 Nomor 1 Mei 2020 menyuguhkan 8 karya yang membahas persoalan seputar

Pemilu dan Pemilihan.

Artikel pertama berjudul “Perbandingan Penanganan Pelanggaran Administrasi Antara Pemilu Dan

Pemilihan” Anas Malik dalam artikel ini membahas Perbedaan durasi waktu penanganan, untuk Pemilu

7 hari sedangkan untuk Pemilihan 3 hari; Perbedaan metode penanganan, dimana dalam Pemilu,

penanganannya di Bawaslu RI, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan mekanisme adjudikasi dan

melahirkan produk Putusan Bawaslu, sedangkan dalam Pemilihan penanganan laporan oleh Bawaslu

Provinsi atau Kabupaten/Kota bahkan hingga Panwascam dan Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) dengan

produk Rekomendasi kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti; Terdapat perbedaan

dari segi konsekuensi oleh KPU berjenjang jika tidak melaksanakan rekomendasi atau Putusan

Pelanggaran Administrasi Bawaslu.

Artikel kedua berjudul “Analisis Hukum Pencalonan Anggota Dpd Berdasarkan Putusan Mahkamah

Konstitusi Nomor 30/Puu-Xvi/2018”. Ambar Sidik dalam artikel ini membahas ratio decidendi Putusan

MK nomor 30/PUU-XVI/2018 dan akibat hukum Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018.

Artiel ketiga berjudul “Analisis Hukum Terhadap Nomenklatur Putusan Bawaslu Dalam Penyelesaian

Sengketa Proses Pemilu”. Muh. Alan Saputra D dalam artikel ini membahas nomenklatur yang

diterbitkan bawaslu pada penyelesaian sengketa proses pemilu. Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilu menyebutkan bahwa bawaslu mengeluarkan “putusan”. Sementara, putusan

sesungguhnya adalah produk hukum yang hanya diterbitkan oleh hakim (pengadilan), dan bawaslu

bukanlah suatu badan peradilan. Hal ini penting dilakukan karena setiap istilah yang berbeda

mempunyai penafsiran dan akibat hukumnya masing-masing.

Artikel keempat berjudul “Urgensi Pendidikan Politik Dalam Menciptakan Pemilu Damai Di Sulawesi

Selatan (Pendekatan Sosiologi Politik)”. Askar Nur dalam artikel ini membahas tentang urgensi dari

pendidikan politik dalam upaya menciptakan situasi dan kondisi damai dalam prosesi pemilihan umum

(Pemilu) di Sulawesi Selatan. Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan

metode kualitatif dan pendekatan sosiologi politik Maurice Duverger.

Artikel kelima berjudul “ Mendorong Transparansi Informasi Calon Kepala Daerah Berbasis Web

Dalam Rangka Mewujudkan Pemilih Yang Cerdas Dan Meminimalisir Penyebaran Hoaks Menjelang

Pilkada”. Dermawan Indar Jaya dan Aurelia Vanessa dalam artikel ini membahas terkait partisipasi

masyarakat berperan penting dalam proses pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh

rakyat. Oleh karena itu, dalam memilih calon pemimpin kepala daerah, sebagai pemilih yang cerdas,

masyarakat seharusnya dapat terlebih dahulu mencari tahu informasi mengenai pasangan calon kepala

daerah yang akan berlaga memperebutkan kursi politik daerah. Namun, di era digitalisasi informasi ini,

penyebaran hoaks nyatanya sangat deras dan tak terbendung. Apalagi mendekati pemilihan kepala

daerah, banyaknya info-info yang tidak akurat dan berpotensi hoaks bertebaran di jagad internet

Artikel keenam berjudul “Peran Penting Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda Dalam

Meminimalisasi Penyalahgunaan Hak Suara Pemilih Pemula Di Indonesia”. Muhammad Aswar

Basri dan Reza Matulatan dalam artikel ini membahas pemilih pemula yang akan berpartisipasi dalam

pemilihan umum merupakan sasaran yang rentan untuk penyogokan dan intervensi hak suara oleh

iii Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

beberapa oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab. Untuk itu, dalam menjawab tantangan

tersebut maka diperlukan peran bawaslu dan berbagai elemen terkait dalam memberikan pendidikan

politik. Tulisan ini akan menjelaskan tentang seberapa penting peran pendidikan politik untuk generasi

muda dan keterkaitannya dengan pemilih pemula.

Artikel ketujuh berjudul “Election (E-Vote For Regional Head's Selection In Red Zone): Upaya

Optimalisasi Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Di Masa New Normal”. Andi Annisyah Tenri

Sanna dan Muthia Ayu Pratiwi dalam artikel ini membahas terkait pemerintah merencanakan untuk

kembali melaksanakan pemilihan kepala daerah seperti biasanya.Namun, hal ini tentu cenderung kurang

dapat diaplikasikan jika melihat situasi saat ini yakni negara Indonesia yang masih berjuang melawan

virus COVID-19. Di era new normal ini masih terdapat 32 daerah yang ditetapkan sebagai zona merah

atau wilayah dengan angka kenaikan kasus COVID-19 yang tinggi.

Artikel kedelapan berjudul “Cegal Disparitas Dan Perpecahan Masyarakat Dengan Restrukturisasi

Pengaturan Lembaga Survei Dalam Pemilihan Umum”. Sardiil Mutaalif, Muhammad Amyusril

Baramirdin dan Nur Aulia Mentari dalam artikel ini terkait istilah perhitungan cepat atau dalam istilah

lain dikenal dengan quict count. Hasil yang diperoleh dari perhitungan cepat oleh beberapa lembaga

survei nyatanya tidak berbeda dari real count atau perhitungan resmi yang dilakukan oleh komisi

pemilihan umum sehingga dipercaya oleh banyak kalangan. Polemik terkait lembaga survei dalam hal

perhitungan cepat sempat memuncak pada pemilihan 2014 yang lalu.

Redaksi berharap semoga edisi Jurnal Pettarani Election Review Volume 1 Nomor 1 Mei 2020 dapat

menyajikan tulisan yang menginspirasi dan bermanfaat dalam bidang keilmuan. Kami juga berharap

sejumlah artikel yang dihadirkan mampu mendorong diskusi dan penelitian lanjutan.

Selamat membaca!

iv Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Pettarani Election Review

Daftar Isi

Anas Malik 1-16

Perbandingan Penanganan Pelanggaran Administrasi Antara Pemilu Dan Pemilihan

Ambar Sidik 17-32

Analisis Hukum Pencalonan Anggota DPD Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi

Nomor 30/Puu-Xvi/2018

Muh. Alan Saputra D. 33-48

Analisis Hukum Terhadap Nomenklatur Putusan Bawaslu Dalam Penyelesaian Sengketa

Proses Pemilu

Askar Nur 49-66

Urgensi Pendidikan Politik Dalam Menciptakan Pemilu Damai Di Sulawesi Selatan

(Pendekatan Sosiologi Politik)

Dermawan Indar Jaya, Aurelia Vanessa 67-82

Mendorong Transparansi Informasi Calon Kepala Daerah Berbasis Web Dalam Rangka

Mewujudkan Pemilih Yang Cerdas Dan Meminimalisir Penyebaran Hoaks Menjelang

PILKADA

Muhammad Aswar Basri, Reza Matulatan 83-96

Peran Penting Pendidikan Politik Bagi Generasi Muda Dalam Meminimalisasi

Penyalahgunaan Hak Suara Pemilih Pemula Di Indonesia

Andi Annisyah Tenri Sanna, Muthia Ayu Pratiwi 97-112

Election (E-Vote For Regional Head's Selection In Red Zone): Upaya Optimalisasi

Pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah Di Masa New Normal

Sardiil Mutaalif, Muhammad Amyusril Baramirdin Nur Aulia Mentari 113-125

Cegal Disparitas Dan Perpecahan Masyarakat Dengan Restrukturisasi Pengaturan

Lembaga Survei Dalam Pemilihan Umum

Opini / Artikel yang dimuat dalam Jurnal ini tidak mewakili pendapat resmi

Bawaslu Provinsi Sulawesi Selatan.

1 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

PERBANDINGAN PENANGANAN PELANGGARAN ADMINISTRASI

ANTARA PEMILU DAN PEMILIHAN

COMPARISON OF ADMINISTRATIVE VIOLATION HANDLING BETWEEN

ELECTION AND REGIONAL ELECTION

Anas Malik

Staf Bawaslu Provinsi Sulsel

Jl. AP. Pettarani 98A,

Makassar

E-mail:

[email protected]

Abstract

Handling administrative violations in Law number 7 of 2017 concerning Elections and Law number 1

of 2015 as last amended by Perppu Number 2 of 2020 concerning the Election of Governors, Regents

and Mayors is one form of authority of Bawaslu, Bawaslu Province, Bawaslu District / City, Subdistrict

Panwas and Village Panwas. These two regulations have several differences regarding the procedures

for handling administrative violations, namely the difference in the duration of handling time, for the

Election 7 days while for the Regional Election 3 days; The difference in handling methods, in which

in the Election, the handling at Bawaslu RI, Province and Regency / City with the adjudication

mechanism and producing the Bawaslu decision product, while in Regional Election the handling of

reports by Provincial or District / City Bawaslu even up to Panwascam and Village Supervisors (PKD)

with recommendation products to Provincial / Regency / City of KPU for follow up; There are

differences in terms of consequences by the tiered KPU if it does not implement recommendations or

decisions on tiered Bawaslu Administrative Violations, namely in the case that the Provincial KPU,

Regency / City KPU, PPK, PPS, or election participants do not follow up on recommendations or

decisions of Provincial Bawaslu and / or Regency / City Panwas, Provincial Bawaslu and / or Regency

/ Municipal Panwas will be given sanctions with oral warnings or written warnings and even criminal

sanctions; There are administrative decisions corrections for elections, while there are no corrections

for recommendations in Regional elections; as well as the output of the results of the handling of

Bawaslu Administration in the Election in the form of a decision, while in the Regional Election the

form of a recommendation. This paper uses normative legal research methods accompanied by

prescriptions related to ideal actions that should be taken. The results of this study indicate several

similarities and in particular the fundamental differences in the handling of administrative violations

by Bawaslu in election contestations (legislative and presidential) and election regional contestations

(governors, regents and mayors)

Keywords: Administrative Violations, Elections, Regional Elections

Abstrak

Penanganan pelanggaran administrasi pada Undang-undang nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu dan

Undang-undang nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2 Tahun

2020 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota merupakan salah satu bentuk kewenangan

Bawaslu, Bawaslu Provinsi, Bawaslu Kab/Kota, Panwas Kecamatan dan Panwas Kelurahan dan Desa.

Kedua regulasi ini mempunyai beberapa perbedaan terkait prosedur Penanganan pelanggaran

administrasi yaitu diantaranya Perbedaan durasi waktu penanganan, untuk Pemilu 7 hari sedangkan

untuk Pemilihan 3 hari; Perbedaan metode penanganan, dimana dalam Pemilu, penanganannya di

Bawaslu RI, Provinsi dan Kabupaten/Kota dengan mekanisme adjudikasi dan melahirkan produk

Putusan Bawaslu, sedangkan dalam Pemilihan penanganan laporan oleh Bawaslu Provinsi atau

Kabupaten/Kota bahkan hingga Panwascam dan Pengawas Kelurahan/Desa (PKD) dengan produk

Rekomendasi kepada KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk ditindaklanjuti; Terdapat perbedaan dari

2 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

segi konsekuensi oleh KPU berjenjang jika tidak melaksanakan rekomendasi atau Putusan Pelanggaran

Administrasi Bawaslu berjenjang yaitu dalam hal KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau

peserta Pemilihan tidak menindaklanjuti rekomendasi atau putusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas

Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/Kota akan diberikan sanksi peringatan

lisan atau peringatan tertulis dan bahkan sanksi pidana; Terdapat Koreksi putusan Administrasi untuk

Pemilu, sedangkan tidak ada koreksi untuk rekomendasi di Pemilihan; serta Output hasil penanganan

Administrasi Bawaslu di Pemilu berbentuk putusan, sementara di Pemilihan berbentuk rekomendasi.

Tulisan ini menggunakan metode penelitian hukum normatif yang disertai dengan preskriptif terkait

tindakan ideal yang seharusnya dilakukan. Hasil dari penelitian ini menunjukkan terkait beberapa

persamaan dan khususnya perbedaan mendasar penanganan pelanggaran Administrasi oleh Bawaslu

dalam kontestasi Pemilu (legisltif dan presiden) dan kontestasi Pemilihan (Gubernur, Bupati dan

Walikota).

Kata Kunci : Pelanggaran Administrasi, Pemilu, Pemilihan

1. Pendahuluan

Pelanggaran administrasi adalah

pelanggaran terhadap mekanisme, prosedur

dan tata cara pelaksanaan tugas,

kewenangan di semua tahapan Pemilihan.

Secara umum penanganan tindak lanjut

rekomendasi Bawaslu dan jajarannya oleh

KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota melalui

tahap, pencermatan isi rekomendasi,

klarifikasi, penyusunan kronologis dan

telaahan, penetapan keputusan hingga

pengumuman keputusan kepada publik dan

pelaporan.

Pelanggaran administrasi pemilihan,

yaitu pelanggaran yang meliputi tata cara,

prosedur, dan mekanisme yang berkaitan

dengan administrasi dalam setiap tahapan

penyelenggaraan pemilihan diluar tindak

pidana pemilihan dan pelanggaran kode

etik penyelenggara pemilihan. Bentuk

pelanggaran administrasi misalnya, data

pemilih ganda, ketidaksesuaian jumlah

DPT kecamatan dengan rekap kabupaten,

kesalahan prosedur penghitungan suara,

dan lainnya.

Jika menemukan bentuk pelanggaran

tersebut atau sejenisnya masyarakat dapat

melaporkan/mengadukan ke panwas yang

kemudian diteruskan kepada KPU, KPU

Provinsi, atau KPU Kabupaten/Kota untuk

diselesaikan.

Penegakan hukum pemilu pada

pelanggaran Administrasi harus

diidentifikasi dengan mengetahui

penggolongan masalah hukum pemilu.

Selain itu juga harus dipahami tentang alur

penyelesaian pelanggaran Administrasi

serta lembaga yang menanganinya. Melalui

penegakan hukum pemilu yang merupakan

mekanisme hukum untuk menegakkan hak

pilih warga negara (memilih dan dipilih),

baik melalui mekanisme pidana,

Administrasi, maupun Penyelesaian

Sengketa.

Penanganan pelanggaran administrasi

Pemilihan Serentak 2020 berbeda dengan

3 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

mekanisme penanganan dalam Pemilu

2019. Dasar hukum penanganan

pelanggaran administrasi Pemilu mengacu

pada Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum, sedangkan untuk

Pemilihan Serentak Tahun 2020 mengacu

pada Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015

sebagaimana diubah terakhir dengan

Perppu Nomor 2 Tahun 2020.

Mekanisme, tata cara dan prosedur

pelaksanaan setiap tahapan dan bekerja

sesuai regulasi serta kode etik

penyelenggara Pemilu dan Pemilihan. Hal

tersebut sangat beralasan karena jika tidak

demikian maka akan melahirkan persoalan

hukum baik pelanggaran administrasi

maupun kode etik penyelenggara Pemilu.

Wajib hukumnya, bagi setiap

penyelenggara Pemilu menjalankan tugas

berpedoman pada regulasi teknis

pelaksanaan tahapan dan pedoman kode

etik serta perilaku. Penanganan pelanggaran

administrasi pun harus kita laksanakan

sesuai kewenangan yang diberikan

peraturan perundang-undangan.

1.1. Dasar Kewenangan Bawaslu dalam

Penanganan Pelanggaran

Administrasi Pemilu

Menurut Pasal 73 ayat (2) UU 15/2011

tentang Penyelenggaraan Pemilu, lembaga

yang bertugas mengawasi penyelenggaraan

Pemilu adalah Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu). Meski demikian sebagai upaya

menjaga kualitas Pemilihan, masyarakat

selaku pemegang hak pilih juga perlu turut

menjadi pengawas dalam pelaksanaan

Pemilihan. Lantaran dalam prosedur

penanganan pelanggaran pemilihan, baik

Bawaslu Provinsi, Panwas Kabupaten/Kota,

Panwas Kecamatan, Pengawas Pemilihan

Lapangan (PPL), dan Pengawas TPS

bertugas menerima laporan pelanggaran

dari pemilih, pemantau pemilihan, dan

peserta pemilihan (pasangan calon).

1.2. Dasar Kewenangan Bawaslu

dalam Penanganan Pelanggaran

Administrasi Pemilihan

Jenis pelanggaran yang dapat dilaporkan

sebagaimana Pasal 135 ayat (1) Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana

diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2

Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur,

Bupati, dan Walikota meliputi pelanggaran

kode etik penyelenggara pemilihan,

pelanggaran administrasi pemilihan,

sengketa pemilihan, dan tindak pidana

pemilihan. Masing-masing jenis

pelanggaran tersebut memiliki substansi

dan prosedur penanganan yang berbeda.

Oleh karena itu agar dapat turut berperan

mengawasi penyelenggaraan Pemilihan

masyarakat harus mengenal dan memahami

jenis-jenis pelanggaran Pemilihan tersebut.

1.3. Syarat Formil dan Materil

4 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Dalam penanganan dugaan pelanggaran

administrasi, baik dalam pemilu maupun

pemilihan menggunakan syarat minimal

penerimaan laporan ataupun temuan dalam

lingkup pemenhan syarat formil dan

materil.

1. Syarat formil untuk penanganan

pelanggaran Admiistrasi Pemilu dan

pemilihan yaitu pihak yang berhak

melaporkan, waktu pelaporan tidak

melebihi ketentuan batas waktu; dan

keabsahan Laporan Dugaan

Pelanggaran yang meliputi kesesuaian

tanda tangan dalam formulir laporan

dugaan pelanggaran dengan kartu

identitas; dan tanggal dan waktu

Pelaporan.

2. Syarat materil berupa identitas Pelapor,

nama dan alamat terlapor, peristiwa

dan uraian kejadian, waktu dan tempat

peristiwa terjadi, saksi-saksi yang

mengetahui peristiwa tersebut dan

barang bukti yang mungkin diperoleh

atau diketahui..

3. Metode Penelitian

a. Jenis Penelitian

Penelitian ini adalah penelitian Yuridis

Normatif, yakni metode yang berdasarkan

bahan hukum utama dengan cara menelaah

teori-teori, konsep-konsep, asas-asas

hukum serta peraturan perundangundangan

yang berhubungan dengan penelitian ini.

b. Jenis Bahan Hukum

1) Bahan Hukum Primer yaitu Peraturan

Perundang-undangan antara lain:

Undang-Undang 1 Tahun 2015

sebagaimana diubah terakhir dengan

Perppu Nomor 2 Tahun 2020,

Undang-Undang Nomor 7 Tahun

2020, Peraturan Komisi Pemilihan

Umum (PKPU) dan Peraturan Badan

Pengawas Pemilu (PERBAWASLU)

sebagai bahan yang berkaitan dengan

pembahasan masalah dalam

penelitian ini.

2) Bahan Hukum Sekunder, yang

memberikan penjelasan mengenai

bahan hukum primer seperti buku-

buku teks yang ditulis oleh para ahli

hukum yang berpengaruh pada jurnal-

jurnal hukum, pendapat para sarjana,

dan yurisprudensi yang berkaitan

dengan permasalahan dalam

penelitian ini. Bahan hukum sekunder

yang digunakan dalam penelitian ini

terkait dengan permasalahan yang

dikaji yaitu berasal dari penjelasan

Undang-undang, buku-buku literatur,

artikel, internet dan pendapat para

ahli. Bahan Hukum Tersier yaitu

Bahan yang memberikan petunjuk

maupun penjelasan terhadap bahan

hukum primer dan sekunder seperti

kamus, ensiklopedia, indeks

kumulatif dan lain-lainnya. Bahan

5 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

hukum tersier yang digunakan dalam

penelitian ini meliputi kamus hukum,

kamus besar bahasa Indonesia, kamus

bahasa inggris indonesia dan black’s

Law Dictionary.

4. Perspektif Teori

4.1. Teori Pemilu

Pemilu menurut Joseph Scumpeter

adalah salah satu yang utama dari sebuah

demokrasi merupakan suatu konsepsi salah

satu konsepsi modern yang menempatkan

penyenggaraan pemilih umum yang bebas

dan berkala sebagai kriteria utama bagi

sebuah sistem politik agar dapat disebutkan

sebagai sebuah demokrasi. Pemilu

merupakan suatu pecerminan dari sistem

demokrasi, dengan dilakukannya pemilu

dianggap dapat menyuarakan suara rakyat

yang sesungguhnya.

Di negara-negara yang demokratis,

pemilihan umum merupakan alat untuk

memberikan kesempatan kepada rakyat

untuk ikut serta mempengaruhi

kebijaksanaan pemerintah dan sistem

politik yang berlaku, oleh sebab pemberian

suara pada saat pemilihan umum

merupakan bentuk partisipasi politik rakyat.

Pemilu merupakan cara yang paling kuat

bagi rakyat untuk partisipasi dalam

demokrasi pewakilan modern. Joko

Prihatmoko mengutip dalam Journal of

Democracy , bahwa pemilu disebut

“bermakna” apabila memenuhi krikeria,

yaiutu keterbukaan, ketepatan, keektifan.

Sebagai salah satu sarana demokrasis.

Pemilihan umum merupakan salah satu

bentuk pendidikan politik yang terbuka dan

bersifat massal, sehingga diharapkan dapat

berfungsi dalam proses pendewasaan dan

pencerdasan pemahaman politik

masyarakat. Melalui pemilu akan terwujud

suatu inflastruktur dan mekanisme

demokrasi serta membangkitkan kesadaran

masyarakat mengenai demokrasi.

Masyarakat di harapkan pula dapat

memahami bahwa fungsi pemilu itu adalah

sarana untuk mewujudkan kedaulatan

rakyat, keabsahan pemerintah, dan

pergantian pemerintah secara teratur.

Pemilu juga merupakan ajang perebutan

kekuasaan yang sah dalam demokrasi.

Melalui pemilu rakyat mendapatkan

kedaulatan yang sepenuhnya. Suara

terbesar dari rakyat lah yang akan

menentukan pihak mana yang boleh

memegang kekuasaan. Namun justru

disanalah dilema demokrasi. Ia menjunjung

tinggi suara terbanyak, namun

meminggirkan pihak minoritas. Pemilu

merupakan wahana kompetisi yang

mengharuskan adanya pemenang di atas

pihak yang kalah. Namun pada dasarnya,

ada tiga tujuan dari pemilu.

1) Pertama, sebagai mekanisme untuk

menyeleksi para pemimpin

pemerintahan dan alternatif kebijakan

umum. Dalam demokrasi, kedaulatan

6 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

rakyat sangat dijunjung tinggi sehingga

dikenal spirit dari, oleh dan untuk

rakyat. Dalam sistem demokrasi

perwakilan rakyat memiliki kedaulatan

penuh akan tetapi pelaksanaan

dilakukan oleh wakil-wakilnya melalui

lembaga perwakilan atau parlemen.

Wakil rakyat tidak bisa sembarang

orang. Seseorang yang memilik

otoritas ekonomi atau kultural sangat

kuat pun tidak layak menjadi wakul

rakyat tanpa moralitas, integritas dan

akuntabilitas yang memadai. Karena

itu diselenggarakan pemilihan umum

sebagai mekanisme penyeleksi dan

pendelegasian kedaulatan kepada

orang atau partai.

2) Kedua, pemilu juga merupakan

mekanisme memindahkan konflik

kepentingan dari masyarakat kepada

badan-badan perwakilan rakyat melalui

wakil-wakil yang terpilih atau partai

yang memenangkan kursi sehingga

intergrasi atau kesatuan masyarakat

tetap terjamin. Manfaat pemilu ini

berkaitan dengan asumsi bahwa

masyarakat memiliki kepentingan yang

berbeda-beda dan bahkan saling

bertentangan, dan pertentangan itu

semestinya diselesaikan melalui proses

musyawarah.

3) Ketiga, pemilu merupaka sarana

memobilisasi, menggerakan atau

menggalang dukungan rakyat

terhadapat proses politik. Hal yang

terakhir ini semakin urgen, karena

belakangan masyarakat mengalami

semacam alienasi dari proses

mengambilan kebijakan. Atau, ada

jarak yang lebar antara proses

pengambilan kebijakan dan

kepentingan elit dengan aspirasi

ditingkat akar rumput yang setiap saat

bisa mendorong ketidakpercayaan

terhadap partai politik dan pemerintah.

4.2.Teori Pengawasan

Menurut George R. Tery mengartikan

pengawasan sebagai mendeterminasi apa

yang telah dilaksanakan, artinya

mengevaluasi prestasi kerja dan apabila

perlu, dengan menerapkan tindakan-

tindakan korektif sehingga hasil pekerjaan

sesuai dengan rencana yang telah

ditetapkan.

Pengawasan menurut T. Hani Handoko

adalah proses untuk menjamin bahwa

tujuan tujuan organisasi dan manajemen

tercapai dimana hubungan yang sangat erat

antara perencanaan dan pengawasan.

Sementara menurut Siagian menyebutkan

bahwa yang dimaksud dengan pengawasan

adalah proses pengamatan daripada

pelaksanaan seluruh kegiatan organisasi

untuk menjamin agar supaya semua

pekerjaan yang sedang dilakukan berjalan

sesuai dengan rencana yang telah

ditentukan sebelumnya.

7 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Menurut Donnelly yang

mengelompokkan pengawasan menjadi 3

tipe pengawasan yaitu :

1) Pengawasan Pendahuluan

(Preliminary Control);

Pengawasan pendahuluan (preliminary

control), yakni pengawasan yang terjadi

sebelum kerja dilakukan. Dimana

pengawasan pendahuluan bisa

menghilangkan penyimpangan penting

pada kerja yang diinginkan, yang

dihasilkan sebelum penyimpangan

tersebut terjadi. Pengawasan

pendahuluan juga mencakup segala

upaya manajerial untuk memperbesar

kemungkinan hasil aktual akan

berdekatan hasilnya dibandingkan

dengan hasil-hasil yang direncanakan.

Memusatkan perhatian pada masalah

mencegah timbulnya deviasi-deviasi

pada kualitas serta kuantitas sumber-

sumber daya yang digunakan pada

organisasi-organisasi. Sumber daya ini

harus memenuhi syarat-syarat

pekerjaan yang ditetapkan oleh struktur

organisasi yang bersangkutan.

Diharapkan dengan manajemen akan

menciptakan kebijakan dan prosedur

serta aturan yang ditujukan untuk

menghilangkan perilaku yang

menyebabkan hasil kerja yang tidak

diinginkan. Dengan demikian, maka

kebijakan merupakan pedoman yang

baik untuk tindakan masa mendatang.

Pengawasan pendahuluan meliputi;

Pengawasan pendahuluan sumber daya

manusia, Pengawasan pendahuluan

bahan-bahan, Pengawasan pendahuluan

modal dan Pengawasan pendahuluan

sumber-sumber daya financial.

2) Pengawasan Pada Saat Kerja

Berlangsung (Cocurrent Control);

Pengawasan pada saat kerja

berlangsung (concurrent control)

adalah Pengawasan yang terjadi ketika

pekerjaan dilaksanakan. Memonitor

pekerjaan yang berlangsung untuk

memastikan bahwa sasaran telah

dicapai. Concurrent control terutama

terdiri dari tindakan para supervisor

yang mengarahkan pekerjaan para

bawahan mereka. Direction

berhubungan dengan tindakan-tindakan

para manajer sewaktu mereka berupaya

untuk mengajarkan kepada para

bawahan mereka bagaimana cara

penerapan metode serta prosedur yang

tepat dan mengawasi pekerjaan mereka

agar pekerjaan dilaksanakan

sebagaimana mestinya.

3) Pengawasan Feed Back (Feed Back

Control);

Pengawasan Feed Back (feed back

control) yaitu pengawasan dengan

mengukur hasil dari suatu kegiatan

yang telah dilaksanakan, guna

mengukur penyimpangan yang

mungkin terjadi atau tidak sesuai

8 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dengan standar. Pengawasan yang

dipusatkan pada kinerja organisasional

dimasa lalu. Tindakan korektif

ditujukan ke arah proses pembelian

sumber daya atau operasi aktual. Sifat

kas dari metode pengawasan feed back

(umpan balik) adalah bahwa

dipusatkan perhatian pada hasil-hasil

historikal, sebagai landasan untuk

mengoreksi tindakan-tindakan masa

mendatang.

Menurut Badruddin pengawasan

merupakan salah satu dari empat fungsi

manajemen, sebagaimana berikut ini, yaitu:

fungsi perencanaan (Planning), fungsi

pengorganisasian (Organizing), fungsi

pelaksanaan (Actuating) dan fungsi

pengawasan (Controlling).

Pengawasan merupakan salah satu fungsi

penting dalam fungsi manajemen. Hal

dikarenakan tanpa pengawasan, fungsi yang

lain tidak akan berjalan secara efisien,

efektif dan maksimal. Boleh dikatakan

bahwa masing-masing fungsi manajemen

tersebut merupakan satu kesatuan yang

menyeluruh dan sistemik, sehingga saling

mempengaruhi dan ketergantungan satu

sama lain.

Pengawasan juga merupakan suatu cara

agar tujuan dapat tercapai dengan baik.

Biasanya teori pengawasan dalam

manajemen dipakai oleh banyak

perusahaan-perusahaan untuk mencapai

tujuannya.

Dalam penelitian ini konsep pengawasan

digunakan bukan sebuah perusahaan tetapi

sebuah lembaga yang melakukan

pengawasan pemilu yakni Bawaslu.

Meskipun banyak para ahli membangun

teori pengawasan dalam perusahaan-

perusahaan, namun dalam hal ini

pengawasan berlaku pada level teori untuk

menganalisis penelitian ini.

Kemudian banyak para ahli yang

mengungkapkan tentang pengawasan

seperti Mathis dan Jackson , yang

menjelaskan bahwa pengawasan

merupakan cara untuk memantau kinerja

agar tercapai tujuan organisasi. Dengan

cara, sikap, sistem dan ruang lingkup

organisasi. Definisi ini sangat terpaku pada

pengawasan sebuah perusahaan.

Menurut Harahap bahwa pengawasan

merupakan suatu cara yang digunakan

seorang atasan untuk mengawasi anak

buahnya. Sama halnya dengan Simbolon ,

pengawasan merupakan hal penting dimana

pimpinan atau manajer ingin mengevaluasi

hasil pekerjaan stafnya. Dessler,

menyatakan juga bahwa pengawasan

merupakan sebuah tindakan untuk

mengoreksi terhadap hal-hal yang

dilakukan.

Pendapat para ahli diatas cenderung

kepada pengawasan terhadap perusahaan,

9 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

tentu berbeda dengan pengawasan yang

dimaksudkan dalam penelitian ini.

Pengawasan Pemilu oleh Bawaslu

bertujuan untuk mendeteksi potensi

kerawanan pemilu, mencegah terjadinya

pelanggaran, dan memastikan tidak

terjadinya pelanggaran melalui pengawasan

melekat dan menindak setiap pelanggaran

yang terjadi serta menyelesaikan sengketa

yang terjadi dalam proses penyelenggaraan

tahapan pemilu. Demikian pula jika

dikaitakan pada teori manajemen, Bawaslu

sebagai sebuah organisasi dimana

didalamya terdapat orang-orang

didalamnya untuk bekerjasama untuk

mencapai tujuan, memastikan seluruh

tahapan berjalan sesuai dengan

administrasinya, melakukan koreksi

terhadap setiap kesalahan dan

penyimpangan yang terjadi dalam

penyelenggaraan pemilu serta

merekomendasikan pemberian sanksi

sesuai ketentuan peraturan perundang-

undangan bagi setiap pelaku pelanggaran

proses pemilu.

5. Hasil dan Pembahasan

Pelanggaran Administrasi Pemilu dan

Pemilihan yang merupakan kewenangan

Badan Pengawas Pemilihan Umum adalah

dua hal yang berbeda, dimana keduanya

merupakan sebuah kontestasi Pemilu yang

berdasar pada undang-undang nomor 7

tahun 2017 dan Kontestasi Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota pada

Undang-undang nomor 1 tahun 2015

sebagaiamana sebagaimana diubah terakhir

dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020.

Beberapa perbedaan tersebut diantaranya:

1. Perbedaan durasi waktu penanganan

Perbedaan durasi penanganan dugaan

pelanggaran administrasi berdasarkan UU

Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu

dengan UU Nomor 1 Tahun 2015

sebagaimana diubah terakhir dengan

Perppu Nomor 2 Tahun 2020 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota

atau yang biasa disebut UU Pemilihan.

Dalam Pasal 134 ayat (5) UU Pemilihan,

dalam hal laporan pelanggaran pemilihan

sebagaimana dimaksud ayat (2) telah dikaji

dan terbukti kebenarannya oleh Bawaslu,

Bawaslu tingkat provinsi, Panitia Pengawas

(Panwas) tingkat kabupaten/kota, Panwas

Kecamatan, Pengawas Pemilu Lapangan

(PPL), dan Pengawas TPS wajib

menindaklanjuti laporan paling lama 3

(tiga) hari setelah laporan diterima.

Sedangkan, lanjutnya, dalam 454 ayat

(2) UU Pemilu ditegaskan, temuan dan

laporan pelanggaran pemilu sebagaimana

dimaksud ayat (5) dan ayat (6) yang telah

dikaji dan terbukti kebenarannya wajib

ditindaklanjuti oleh Bawaslu, Bawaslu

tingkat provinsi, Panwas tingkat

kabupaten/kota, Panwas Kecamatan, PPL,

10 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dan Pengawas TPS paling lama 7 (tujuh)

hari setelah laporan diterima.

Jadi jelas ada perbedaan durasi waktu

penanganan dugaan pelanggaran

administrasi antara UU Pemilu dengan UU

Pemilihan. Durasi waktu penanganan

dugaan pelanggaran administrasi juga

terdapat perbedaan tafsir. Dalam Pasal 1

angka 28 UU Pemilihan, yang dimaksud

hari adalah berdasarkan hitungan kalender.

Akan tetapi, Mahkamah Konstitusi melalui

Putusan MK Nomor 155/PUU-XIII/2015

dan Nomor 31/PUU-XVI/2018

menjelaskan hari adalah berdasarkan hari

kerja. Jadi, penjelasan hari pun juga ada

perbedaan.

Perlu diketahui, berdasarkan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana

diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2

Tahun 2020 pada Pasal 10 poin B1

dinyatakan KPU dalam penyelenggaraan

pemilihan wajib melaksanakan dengan

segera rekomendasi dan/atau putusan

Bawaslu mengenai sanksi administrasi

pemilihan (Pemilihan). Pasal 139 Ayat (2)

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015

sebagaimana diubah terakhir dengan

Perppu Nomor 2 Tahun 2020disebutkan

KPU Provinsi dan/atau KPU

Kabupaten/Kota wajib menindaklanjuti

rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau

Panwaslu (saat ini bernama Bawaslu)

Kabupaten/Kota dan pada Ayat (3)

disebutkan KPU Provinsi dan/atau KPU

Kabupaten/Kota menyelesaikan

pelanggaran administrasi Pemilihan

berdasarkan rekomendasi Bawaslu Provinsi

dan/atau Panwaslu (Bawaslu) Kabupaten/

Kota sesuai dengan tingkatannya.

Masa bagi KPU Provinsi dan/atau KPU

Kabupaten/Kota memeriksa dan memutus

pelanggaran administrasi paling lama 7

(tujuh) hari sejak rekomendasi Bawaslu

Provinsi dan/atau Bawaslu Kabupaten/Kota

diterima. Apabila KPU Provinsi, KPU

Kabupaten/Kota, PPK, PPS, atau peserta

pemilihan tidak menindaklanjuti

rekomendasi Bawaslu Provinsi atau

Bawaslu Kabupaten/Kota, akan diberikan

sanksi peringatan lisan atau peringatan

tertulis.

2. Perbedaan metode penanganan

Dalam Pemilu, penanganannya di

Bawaslu RI, Provinsi dan Kabupaten/Kota

dengan mekanisme adjudikasi dan

melahirkan produk Putusan Bawaslu.

Sedangkan dalam Pemilihan penanganan

laporan oleh Bawaslu Provinsi atau

Kabupaten/Kota bahkan hingga

Panwascam dan Pengawas Kelurahan/Desa

(PKD) dengan produk Rekomendasi kepada

KPU Provinsi/Kabupaten/Kota untuk

ditindaklanjuti.

Pelanggaran administrasi adalah

pelanggaran terhadap mekanisme, prosedur

dan tata cara pelaksanaan tugas,

kewenangan di semua tahapan Pemilihan.

11 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Secara umum penanganan tindak lanjut

rekomendasi Bawaslu dan jajarannya oleh

KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota melalui

tahap, pencermatan isi rekomendasi,

klarifikasi, penyusunan kronologis dan

telaahan, penetapan keputusan hingga

pengumuman keputusan kepada publik dan

pelaporan.

UU Pemilu 7/2017 yang menjadi dasar

pileg dan pilpres, semua produknya adalah

putusan, lewat ajudikasi. Tetapi ranah

pelanggaran administrasi Pemilihan ini

melalui mekanisme klarifikasi dan kajian

yang hasilnya adalah rekomendasi

(berdasarkan Undang-undang Nomor 1

Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir

dengan Perppu Nomor 2 Tahun 2020).

Bawaslu adalah lembaga yang

berwenang menangani dan menilai ada

tidaknya pelanggaran pemilihan atas

temuan atau laporan masyarakat dengan

mekanisme Perbawaslu (Peraturan

Bawaslu) Nomor 8 Tahun 2020 tentang

Penanganan Pelanggaran Pemilihan

Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan

Wakil Bupati, dan Walikota dan Wakil

Walikota.

Rekomendasi yang dikeluarkan

Bawaslu, lanjutnya, telah melalui tahap

klarifikasi dan kajian untuk memastikan

kebenaran formil maupun materiil atas

objek pelanggaran adminitrasi terpenuhi.

“Sehingga rekomendasi sebagaimana

norma UU Undang-undang Nomor 1 Tahun

2015 sebagaimana diubah terakhir dengan

Perppu Nomor 2 Tahun 2020 bersifat

mengikat, maka wajib ditindaklanjuti.

Terkait fungsi penangan pelanggaran

Bawaslu punya kewenangan dua hal, yaitu

pelanggaran yang sifatnya administratif dan

pidana. Ketika penanganan pelanggaran

administratif, Bawaslu pada hasilnya di

dalam Pemilihan ini berupa rekomendasi

kepada KPU maupun peserta. Hukumnya

wajib untuk ditindaklanjuti meskipun bukan

putusan.

3. Konsekuensi KPU jika tidak

melaksanakan rekomendasi atau

Putusan Pelanggaran Administrasi

Bawaslu

Dalam hal KPU Provinsi, KPU

Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, atau peserta

Pemilihan tidak menindaklanjuti

rekomendasi Bawaslu Provinsi dan/atau

Panwas Kabupaten/ Kota, Bawaslu Provinsi

dan/atau Panwas Kabupaten/Kota

memberikan sanksi peringatan lisan atau

peringatan tertulis.

Terkait sanksi, disebutkan dalam Pasal

141 dalam hal KPU Kabupaten/Kota dan

jajaran dibawahnya PPK hingga PPS tidak

menindaklanjuti rekomendasi Panwas

Kabupaten/Kota, Panwas Kabupaten/Kota

hanya dapat memberikan sanksi peringatan

lisan atau peringatan tertulis. Terlihat secara

Undang-Undang belum diatur secara tegas

terkait sanksi.

12 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

4. Koreksi putusan Administrasi untuk

Pemilu, tidak ada koreksi untuk

rekomendasi di Pemilihan

Terhadap hasil penanganan pelanggaran

Administrasi Pemilu oleh Bawaslu Kab/

Kota, pihak yang merasa dirugikan dapat

melakukan upaya koreksi ke Bawaslu

provinsi, begitupun untuk hasil penanganan

pelanggaran Administrasi Pemilu oleh

Bawaslu provinsi, pihak yang merasa

dirugikan dapat melakukan upaya koreksi

ke Bawaslu Republik Indonesia. Upaya

koreksi tersebut akan diputus paling lama

14 (empat belas) hari sejak pengajuan

koreksi.

Sementara hasil penanganan pelanggaran

administrasi Bawaslu Provinsi dan Bawaslu

Kab/Kota pada Pemilihan, tidak dikenal

adanya upaya koreksi sehingga hasil dari

rekomendasi Bawaslu tersebut menjadi

upaya terakhir untuk para pihak.

Terkait tindak lanjut rekomendasi oleh

KPU Kabupaten/ Kota mengenai

penanganan pelanggaran administrasi,

selanjutnya diatur dalam Peraturan KPU

berdasarkan undang-undang Pemilihan. Hal

ini berpotensi kontrol Bawaslu terkait

penerusan pelanggaran akan lemah,

mengingat sikap profesional dan integritas

antar lembaga akan dijaga. Disamping

sanksi yang lemah bila KPU Kabupaten/

Kota tidak menindaklanjuti rekomendasi

tersebut.

Sementara Dalam hal KPU Provinsi,

KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, atau

peserta Pemilihan tidak menindaklanjuti

putusan Bawaslu Provinsi dan/atau Panwas

Kabupaten/Kota, Bawaslu Provinsi

dan/atau Panwas Kabupaten/Kota dalam

pelanggaran administrasi makan akan

diberikan sanksi pidana oleh Undang-

undang Pemilu.

Dalam Undang-Undang Pemilu No 7

tahun 2017, Pada Pasal 101, Pasal 103, dan

Pasal 104 terkait dengan tugas, wewenang,

dan kewajiban Bawaslu Kabupaten/Kota,

disebutkan dengan tegas ranah pengawasan

dan penindakan pelanggaran pemilu ada di

Bawaslu Kabupaten/ Kota. Hal ini terdapat

dalam Pasal 101 disebutkan Bawaslu

Kabupaten/ Kota bertugas melakukan

pencegahan dan penindakan di wilayah

kabupaten/ kota terhadap pelanggaran

administrasi pemilu dan sengketa pemilu.

Dalam Pasal 102 disebutkan Tugas

Bawaslu Kabupaten/ Kota Dalam

melakukan penindakan pelanggaran Pemilu

diantaranya adalah menginvestigasi

informasi awal atas dugaan pelanggaran

Pemilu di wilayah kabupaten/kota,

memeriksa dan mengkaji dugaan

pelanggaran Pemilu di wilayah kabupaten/

kota, memeriksa, mengkaji, dan memutus

pelanggaran administrasi Pemilu, dan

merekomendasikan tindak lanjut

pengawasan atas pelanggaran Pemilu di

13 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

wilayah kabupaten/kota kepada Bawaslu

melalui Bawaslu Provinsi.

Dalam Pasal 103 disebutkan wewenang

Bawaslu Kabupaten/ Kota diantaranya,

menerima dan menindaklanjuti laporan

yang berkaitan dengan dugaan pelanggaran

terhadap pelaksanaan peraturan perundang-

undangan yang mengatur mengenai Pemilu,

memeriksa dan mengkaji pelanggaran

Pemilu di wilayah kabupaten/kota serta

merekomendasikan hasil pemeriksaan dan

pengkajiannya kepada pihak-pihak yang

diatur dalam Undang-Undang, dan meminta

bahan keterangan yang dibutuhkan kepada

pihak terkait dalam rangka pencegahan dan

penindakan pelanggaran Pemilu dan

sengketa proses Pemilu di wilayah

kabupaten/kota.

Terkait melakukan penindakan

pelanggaran pemilu, Bawaslu diberi

kewenangan untuk menindak lanjuti

informasi awal baik informasi lisan,

dan/atau informasi tertulis sebagaimana

ditegaskan dalam Pasal 13 ayat (1)

Peraturan Badan Pengawas Pemilu

(Perbawaslu) Nomor 7 Tahun 2018 Tentang

Penanganan Temuan dan Laporan

Pelanggaran Pemilihan Umum. Perlu

disampaikan Perbawaslu Nomor 7 Tahun

2018 adalah amana Pasal 455 ayat (2)

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

tentang Pemilihan Umum, dimana Bawaslu

Republik Indonesia perlu menetapkan

Peraturan Badan Pengawas Pemilihan

Umum tentang Penangananan Temuan dan

Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.

Selanjutnya Hasil Investigasi atas

informasi awal yang dilakuakn oleh

Bawaslu, atas dugaan pelanggaran pemilu

tersebut dijadikan Temuan Bawaslu. Secara

yuridis, pengertian wewenang adalah

kemampuan yang diberikan oleh peraturan

perundang-undangan untuk menimbulkan

akibat-akibat hukum. Atas dasar wewenang

tersebut Bawaslu Kota Bengkulu

berdasarkan aturan sudah menjalankan

wewenangnya dalam penindakan

pelanggaran pemilihan umum.

5. Output hasil penanganan

Administrasi Bawaslu di Pemilu

berbentuk putusan, sementara di

Pemilihan berbentuk rekomendasi

Terhadap output penanganan

pelanggaran Administrasi Pemilu oleh

Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu

Kab/ Kota akan mengeluarkan produk

hukum berupa putusan Bawaslu, Bawaslu

Provinsi dan Bawaslu Kab/ Kota,

sedangkan Terhadap output penanganan

pelanggaran Administrasi Pemilihan oleh

Bawaslu, Bawaslu Provinsi dan Bawaslu

Kab/Kota akan mengeluarkan produk

hukum berupa rekomendasi Bawaslu,

Bawaslu Provinsi dan Bawaslu Kab/ Kota

kepada para pihak.

14 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

6. Simpulan

1. Persamaan Penanganan pelanggaran

administrasi pada Undang-undang

nomor 7 tahun 2017 dan Undang-undang

Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana

diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2

Tahun 2020 yaitu a) Persamaan

kewenangan dimana Bawaslu, Bawaslu

Provinsi, Bawaslu Kab/Kota, Panwas

Kecamatan dan Panwas Kelurahan dan

Desa berwenang untuk memproses

pelanggaran Administrasi yang terjadi

dalam Pemilu dan Pemilihan; dan b)

Persamaan ketentuan syarat formil dan

materil dugaan pelanggaran yaitu dalam

penanganan dugaan pelanggaran

administrasi, baik dalam pemilu maupun

pemilihan menggunakan syarat mnimal

penerimaan laporan ataupun temuan

dalam lingkup pemenhan syarat formil

dan materil.

2. Perbedaan Penanganan pelanggaran

administrasi pada Undang-undang

nomor 7 tahun 2017 dan Undang-

undang Nomor 1 Tahun 2015

sebagaimana diubah terakhir dengan

Perppu Nomor 2 Tahun 2020 yaitu a)

Perbedaan durasi waktu penanganan,

untuk Pemilu 7 hari sedangkan untuk

Pemilihan 3 hari; b) Perbedaan metode

penanganan. Dalam Pemilu,

penanganannya di Bawaslu RI,

Provinsi dan Kabupaten/ Kota dengan

mekanisme adjudikasi dan melahirkan

produk Putusan Bawaslu. Sedangkan

dalam Pemilihan penanganan laporan

oleh Bawaslu Provinsi atau Kabupaten/

Kota bahkan hingga Panwascam dan

Pengawas Kelurahan/ Desa (PKD)

dengan produk Rekomendasi kepada

KPU Provinsi/ Kabupaten/ Kota untuk

ditindaklanjuti; c) Konsekuensi KPU

jika tidak melaksanakan rekomendasi

atau Putusan Pelanggaran Administrasi

Bawaslu. Dalam hal KPU Provinsi,

KPU Kabupaten/ Kota, PPK, PPS, atau

peserta Pemilihan tidak

menindaklanjuti rekomendasi Bawaslu

Provinsi dan/atau Panwas Kabupaten/

Kota, Bawaslu Provinsi dan/atau

Panwas Kabupaten/Kota memberikan

sanksi peringatan lisan atau peringatan

tertulis; d) Terdapat Koreksi putusan

Administrasi untuk Pemilu, sedangkan

tidak ada koreksi untuk rekomendasi di

Pemilihan; e) Output hasil penanganan

Administrasi Bawaslu di Pemilu

berbentuk putusan, sementara di

Pemilihan berbentuk rekomendasi.

15 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Badruddin, 2015. Dasar-dasar Manajemen. Penerbit AlfabeT. Bandung.

Damang Averros. 2018. https://www.negarahukum.com/ Diakses pada Tanggal 18 Oktober

2020, 09.00 WITA.

Donnelly. 2011. “Organisasi, Perilaku, Struktur, Proses”. Bina Rupa Aksara. Jakarta.

Handoko, T Hani. 2011, Manajemen dan Sumber Daya Manusia, Liberty. Yogyakarta.

Mahmud Marzuki, P. (2010). Metode Penelitian Hukum. Jakarta : Kencana.

Mathis, R.L. & J.H. Jackson. 2017. “Human Resource Management: Manajemen Sumber Daya

Manusia”. Terjemahan Dian Angelia. Salemba Empat. Jakarta.

Moh Mahfud MD.( 2012) Evaluasi Pemilukada dalam Perspektif Demokrasi dan Hukum

Dalam Demokrasi Lokal Evaluasi Pemilukada di Indonesia, , Jakarta : Konstitusi Press.

Prihatmoko, Joko J. 2008. “Mendemokratiskan Pemilu”. Pustaka Belajar. Yogyakarta.

R.Terry, George. 2012. “Prinsip-Prinsip Manajemen”. Bumi Aksara. Jakarta.

Scumpeter. Joseph. 2013. “Capitalism, Socialsm, and Democracy”, New Nork: Jarper.

Siagian, S.P. 2010. “Manajemen Sumber Daya Manusia (Human Resources Management)

Suatu Pendekatan Mikro”. Cetakan Kedua Penerbit Djambatan. Jakarta.

Simbolon, Maringan Masry. 2014. “Dasar-dasar dan Administrasi Manajemen”. Ghalia

Indonesia. Jakarta.

Sofyan, Harahap. 2010. “Sistem Pengawasan Manajemen”. Penerbit Quantum. Jakarta.

Sudijono, Sastroatmodjo. 2005. “Perilaku Politik”, Semarang: IKIP, Semarang Press.

16 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Surbakti, Ramlan. 2012. “Memahami Ilmu Politik”. Grasindo. Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan

Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum,

Undang-undang Nomor 1 Tahun 2015 sebagaimana diubah terakhir dengan Perppu Nomor 2

Tahun 2020 tentang Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati,

dan Wali Kota dan Wakil Wali Kota.

Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 7 Tahun 2018 Tentang Penanganan Temuan dan

Laporan Pelanggaran Pemilihan Umum.

Peraturan Badan Pengawas Pemilu Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penanganan Pelanggaran

Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, dan Walikota dan

Wakil Walikota.

17 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

ANALISIS HUKUM PENCALONAN ANGGOTA DPD BERDASARKAN PUTUSAN

MAHKAMAH KONSTITUSI NOMOR 30/PUU-XVI/2018

LEGAL ANALYSIS OF DPD NOMINATION BASED ON CONSTITUTIONAL COURT

DECESION NUMBER 30/PUU-XVI/2018

Ambar Sidik

Sekertariat Pengawas Pemilu

Kecamatan Ujung Tanah Kota Makassar

Jalan Sabutung Baru No 2

Email:

[email protected]

Abstract

This study aims to analyze the decident ratio and the legal consequences of the MK Decision number

30/PUU-XVI/2018. This study uses a normative legal research type. The results indicate: (1) Decidendi

Ratio on the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-XVI/2018 which stipulates the amar to

fulfill all petitioners and stipulates the phrase "other jobs" in Article 182 letter “i” of the Election Law

must also be interpreted as including the management (functionaries) of political parties are as follows

that the DPD Institution must return according to the original intent and original meaning of the

formation of the DPD which independent from the elements of political parties, providing checks and

balances between the DPD and the DPR. To prevent the occurrence of double representation in legal

policy making, if the DPD also includes political parties in the nomination for DPD members and to

maintain the progress balances and national economic in accordance with Article 33 Paragraph (4) of

the Constitution. 2) The legal implications of the Constitutional Court Decision Number 30/PUU-

XVI/2018, namely PKPU Revision Number 26 of 2018 on PKPU Number 14 of 2018 which adds Article

60A regarding the submission of resignation letters for candidates for DPD members as managers

(functionaries) of political parties. Canceling a DPD member candidate who has not submitted a

resignation letter as a political party administrator (functionary).

Keywords: Regional Representative Council; Elections; Political parties.

Abstrak

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis ratio decidendi Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018 dan

akibat hukum Putusan MK nomor 30/PUU-XVI/2018. Penelitian ini menggunakan tipe penelitian

hukum normatif. Hasil penelitian menunjukkan: (1) Ratio Decidendi atas Putusan MK Nomor 30/PUU-

XVI/2018 yang menetapkan amar untuk memenuhi seluruh permohonan pemohon dan menetapkan

frasa “pekerjaan lain” pada Pasal 182 Huruf l UU Pemilu harus dimaknai pula termasuk pengurus

(fungsionaris) partai politik adalah sebagai berikut bahwa Lembaga DPD harus kembali sesuai original

intent dan original meaning pembentukan DPD yang terlepas dari unsur partai politik, memberikan

check and balance antara DPD dan DPR agar tercipta keseimbangan dalam menyalurkan aspirasi daerah

dan aspirasi partai politik. Untuk mencegah terjadinya double representation dalam pengambilan

kebijakan hukum, jika DPD juga mencakup partai politik dalam bursa pencalonan anggota DPD dan

untuk menjaga keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional sesuai dengan Pasal 33 Ayat

(4) UUD 1945, sehingga dibutuhkan keterwakilan DPD di parlemen sebagai perwakilan daerah agar

menyeimbangkan keterwakilan DPR sebagai perwakilan partai politik. 2) Implikasi hukum Putusan MK

Nomor 30/PUU-XVI/2018 yaitu Revisi PKPU Nomor 26 Tahun 2018 atas PKPU Nomor 14 Tahun 2018

yang menambahkan Pasal 60A terkait pengajuan surat pengunduran diri calon anggota DPD sebagai

18 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

pengurus (fungsionaris) partai politik. Membatalkan calon anggota DPD yang tidak mengajukan surat

pengunduran diri sebagai pengurus (fungsionaris) partai politik.

Kata Kunci: Dewan Perwakilan Daerah; Pemilu; Partai Politik.

1. Pendahuluan

Menurut Laica Marzuki (2005)

perubahan UUD 1945 tak terlepas dari

hadirnya Dewan Perwakilan Daerah

(selanjuntnya disingkat DPD) yang secara

mendasar telah mengubah sistem

ketatanegaraan Indonesia mulai dari sistem

ketatanegaraan dengan prinsip supremasi

MPR menjadi sistem ketatanegaraan

dengan prinsip supremasi Konstitusi.

Peningkatan dari aspirasi daerah dapat

terwujud apabila peran DPD dapat

terakomodasi dalam pengambilan

keputusan politik di tingkat nasional.

Dalam artian kebijakan legislasi atau

pembentukan undang-undang yang

berkaitan langsung dengan kepentingan

daerah. Hal ini bermaksud bahwa DPD

dirancang sebagai kekuatan dalam

mengimbangi DPR sebagai lembaga yang

diberi kekuasaan membentuk undang-

undang bersama Presiden seperti tertuang

UUD 1945.

Meski DPD dapat mengambil kebijakan

dalam pembentukan undang-undang yang

berhubungan langsung dengan kepentingan

daerah, namun DPD tidak boleh menjadi

sarana akomodasi dan kompromi kekuatan

politik yang merupakan wujud dari

representasi politik seperti DPR dan

Presiden yang meski sama-sama dipilih

oleh rakyat tetapi pengisian jabatannya

melalui pengusulan dilakukan melalui

sarana partai politik. Dalam hal ini

keberadaan DPD diharpkan dapat

mengimbangi kekuatan yang dimaksud.

Maka untuk mengisi jabatan dari anggota

DPD harus berasal dari luar partai politik.

Anggota DPD dirancang haruslah berasal

dari tokoh daerah yang sangat memahami

dan memiliki kemampuan untuk

menyuarakan serta memperjuangkan

kebutuhan daerahnya dalam pengambilan

keputusan politik nasional berkaitan

langsung dengan kepentingan daerah,

terkhusus dalam proses pembentukan

undang-undang (Bidaya, J. 2012). Bahwa

atas dasar itulah dibutuhkan calon-calon

anggota DPD yang benar-benar mampu

menyerap aspirasi rakyat didaerah dan

memiliki indepedensi tanpa intervensi

kepentingan politik manapun.

Namun yang menjadi persoalan pada

konteks pencalonan anggota DPD terdapat

frasa ketidakjelasan atas salah syarat

pencalonan anggota DPD yang mana dalam

UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan

Umum (selanjutnya disebut UU Pemilu)

19 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

pada Pasal 182 huruf I , yang diantaranya

menyatakan: bersedia untuk tidak

berpraktik sebagai akuntan publik,

advokat, notaris, pejabat pembuat akta

tanah, dan/atau tidak melakukan pekerjaan

penyedia barang dan jasa yang

berhubungan dengan keuangan negara

serta Pekerjaan Lain yang dapat

menimbulkan konflik kepentingan dengan

tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota

DPD sesuai ketentuan peraturan

perundang-undangan;

Pasal 182 UU Pemilu tidak menegaskan

pelarangan bagi pengurus partai politik

untuk mencalonkan diri sebagai calon

anggota DPD. Bahwa frasa pekerjaan lain

sebagaimana termuat dalam huruf i dalam

pasal a quo menimbulkan suatu

ketidakjelasan frasa yang dapat

menimbulkan konflik kepentingan dengan

tugas, wewenang, dan hak anggota DPD.

Selain itu dalam penafsiran otentik UU

Pemilu pun terhadap pasal ini dinyatakan

cukup jelas. Bahwa kehadiran pasal ini

kemudian membuka ruang kemungkinan

pencalonan anggota DPD yang berasal dari

partai politik. Sementara yang menjadi

harapan awal adalah adanya DPD yang

bebas dari campur tangan partai politik,

yang dapat menjadikan DPD sebagai

pondasi demokrasi lokal dan salah satu

tumpuan bagi aspirasi rakyat daerah.

Bahwa permasalahan ini kemudian

diajukan ke Mahkamah Konstitusi untuk

dilakukan uji materil terhadap

ketidakjelasan dan ketidaktegasan norma

tersebut. Hasil uji materil pasal melalui

Putusan Nomor 30/PUU-XVI/2018 MK

menyatakan: frasa pekerjaan lain dalam

pasal tersebut tidak mempunyai kekuatan

hukum mengikat secara bersyarat

sepanjang tidak dimaknai mencakup pula

pengurus (fungsionaris) partai politik.

Bahwa atas dasar ini kemudian

memuculkan suatu probematika hukum

dimana sebelum adanya pengujian tentang

frasa ketidakjelasan pada norma in casu

telah banyak calon anggota DPD yang

sekaligus merupakan pengurus partai

politik, sehingga menimbulkan masalah

terkait akibat hukum Putusan MK Nomor

30/PUU-XVI/2018 terhadap subjek hukum

yang telah mendaftar sebagai calon anggota

DPD. Hal ini terbukti pada tahun 2018,

adalah Oesman Sapta Odang (OSO) yang

merupakan ketua umum dari partai politik

Hanura mencalonkan dirinya sebagai

anggota DPD pada Pemilu 2019, dan telah

menjadi Daftar Calon Tetap (DCT) untuk

pemilihan anggota DPD. Lalu bagaimakah

status hukum dari pencalonan OSO pasca

keluarnya putusan MK a quo? Namun

sebelum memasuki pembahasan tersebut,

perlu pula dikasi terlebi dahulu apa yang

menjadi ratio decidendi (alasan putusan)

sehingga MK menetapkan demikian dalam

putusannya.

20 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

2. Metode Penelitian

Penelitian ini menggunakan penelitian

hukum normatif yang mengkaji hukum

sebagai norma atau kaidah yang berlaku

dalam masyarakat dan menjadi acuan

perilaku setiap orang. Norma hukum yang

berlaku itu berupa norma hukum positif

tertulis bentukan lembaga perundang-

undangan, kodifikasi, undang-undang,

peraturan pemerintah, norma hukum tertulis

bentukan lembaga peradilan (judge made

law), atau norma hukum tertulis buatan

pihak-pihak yang berkepentingan

(Muhammad, A. 2004, hlm. 52).

Penulis menggunakan bahan hukum

primer berupa Putusan Nomor 30/PUU-

XVI/2018 dan juga peraturan perundangan

lainnya, serta bahan hukum sekunder

berupa buku-buku hukum, jurnal, makalah

dan hasil seminar yang berkaitan dan dapat

mengarahkan pada jawaban atas

permasalahan yang diajukan. Pengumpulan

bahan dilakukan dengan melakukan

pencatatan data secara langsung dari

dokumen yang isinya berkaitan dengan

masalah penelitian. Selanjutnya bahan

tersebut dianalisis dengan menggunakan

metode kualitatif. Hasil yang diperoleh

dipaparkan secara deskriptif, yaitu dengan

menguraikan, menjelaskan, dan

menggambarkan sesuai dengan

permasalahan dalam penelitian ini.

3. Perspektif Teori

3.1.Kedudukan Dewan Perwakilan

Daerah

Kelembagaan negara atau alat-alat

perlengkapan merupakan salah satu

komponen yang harus diatur dalam sebuah

hukum yang disebut konstitusi.

Sebagaimana diajukan Sri Soemantri

Martosoewignjo (2002) bahwa apabila

mempelajari konstitusi-konstitusi yang ada

di dunia, di dalamnya selalu dapat

ditemukan adanya pengaturan tiga

kelompok materi muatan, yaitu:

a. Adanya pengaturan tentang

perlindungan hak asasi manusia dan

warganegara;

b. Adanya pengaturan tentang susunan

ketatanegaraan suatu Negara yang

mendasar, dan;

c. Adanya pembatasan dan pembagian

tugas-tugas ketatanegaraan yang

mendasar.

Dalam pada itu, yang dimaksud dengan

susunan ketatanegaraan yang mendasar

ialah ditetapkannya alat-alat perlengkapan

negara dalam konstitusi. Di Negara

Republik Indonesia, hal itu terdiri Majelis

Permusyawaratan Rakyat, Presiden dan

Wakil Presiden, Dewan Perwakilan Rakyat,

Dewan Perwakilan Daerah, Badan

Pemeriksa Keuangan, Mahkamah Agung,

Mahkamah Konstitusi. Salah satu

perubahan penting setelah dilakukannya

amandemen terhadap Undang-Undang

21 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Dasar 1945 adalah perubahan terhadap

Pasal 2 ayat (1) UUD 1945. Menurut I

Dewa Palguna (2003), dengan perubahan

tersebut bukan saja berarti tidak lagi ada

Utusan Daerah dan Utusan Golongan dalam

keanggotaan MPR serta tidak adanya lagi

anggota MPR yang diangkat tetapi juga

dibentuknya sebuah badan baru yang

bernama Dewan Perwakilan Daerah (DPD).

DPD perlu diatur lebih rinci dalam

peraturan perundang-undangan yang

derajatnya lebih rendah dari konstitusi,

seperti undang-undang tentang susunan dan

kedudukan DPD (Soemantri. S, 2003, hlm.

8). Sementara mengenai tugas dan

wewenang DPD telah daitur dalam Pasal

249 Undang-Undang Nomor 17 Tahun

2014 Tentang Majelis Permusyawaratan

Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah. DPD diharapkan mampu

menjamin dan menampung perwakilan

kepentingan daerah-daerah secara

memadai, serta memperjuangkan aspirasi

dan kepentingan daerah dalam lembaga

legislatif. Bukan berarti dengan cara seperti

itu kepentingan nasional akan dikurangi,

karena bagaimanapun DPD RI adalah

lembaga negara yang bersifat nasional,

sebagaimana juga DPR RI. Hanya saja

mekanisme pemilihannya dan persyaratan

pencalonan anggotanya lebih banyak

dikaitkan dengan daerah, bukan penduduk.

Sedangkan dasar pertimbangan politis

kehadiran DPD RI adalah memperkuat

ikatan daerah-daerah dalam wadah Negara

Kesatuan Republik Indonesia, meneguhkan

persatuan dan semangat kebangsaan

seluruh daerah dalam forum yang

mempertemukan pelbagai latar persoalan

kedaerahan, meningkatkan agregasi dan

akomodasi aspirasi serta kepentingan

daerah-daerah dalam perumusan kebijakan

nasional; serta mendrong percepatan

demokrasi, pembangunan dan kemajuan

daerah secara berkeadilan, kesetaraan dan

berkesinambungan (MPR RI, 2001).

3.2.Mahkamah Konstitusi

Sebagai pelaku kekuasaan kehakiman,

fungsi konstitusional yang dimiliki oleh

MK adalah fungsi peradilan untuk

menegakkan hukum dan keadilan. Di dalam

Penjelasan Umum UU MK disebutkan

bahwa tugas dan fungsi MK adalah

menangani perkara ketatanegaraan atau

perkara konstitusional tertentu dalam

rangka menjaga konstitusi agar

dilaksanakan secara bertanggung jawab

sesuai dengan kehendak rakyat dan cita-cita

demokrasi. Selain itu, A. Mukhtie Fadjar

(2006, hlm. 199) mengungkapkan bahwa

keberadaan MK juga dimaksudkan sebagai

koreksi terhadap pengalaman

ketatanegaraan yang ditimbulkan oleh tafsir

ganda atas konstitusi.

Dalam kajian ilmu hukum

ketatanegaraan, keberadaan Mahkamah

22 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Konstitusi diidealkan sebagai lembaga

pengawal konstitusi (the guardian of the

constitution). Menurut Jimly Asshiddiqie,

Mahkamah Konstitusi sebagaimana yang

diadopsikan dalam UUD 1945 memiliki

dua fungsi ideal yaitu; Pertama, dia

dikonstruksi sebagai pengawal konstitusi.

Sebagai pengawal konstitusi dia berfungsi

untuk menjamin, mendorong,

mengarahkan, membimbing, serta

memastikan bahwa UUD 1945 dijalankan

dengan sebaik-baiknya oleh penyelenggara

negara dan subjek hukum konstitusi lainnya

seperti warga negara, supaya nilai-nilai

yang terkandung di dalamnya dijalankan

dengan benar dan bertanggungjawab.

Kedua, dia juga harus bertindak sebagai

penafsir konstitusi (the sole interpreter of

the constitution), sebab Mahkamah

Konstitusi dikonstruksikan sebagai

lembaga tertinggi, satu-satunya penafsir

resmi UUD 1945. Melalui fungsinya yang

kedua ini Mahkamah Konstitusi berfungsi

untuk menutupi segala kelemahan dan/atau

kekurangan yang terdapat di dalam UUD

1945 (Soimin & Mashuriyanto, 2013).

Hukum acara pengujian Undang-

Undang di Mahkamah Konstitusi pada

dasarnya dibagi menjadi 2 (dua) yaitu

pengujian formil dan materiil. Hal ini sesuai

dengan teori pengujian (toetsing) Undang-

Undang yang menurut Jimly Asshiddiqie

(2006), dibedakan antara materiele toetsing

dan formele toetsing. Kedua bentuk

pengujian tersebut dibedakan dengan istilah

pembentukan Undang-Undang dan materi

muatan Undang-Undang. Jika pengujian

Undang-Undang dilakukan atas materinya

maka pengujian tersebut merupakan

pengujian materiil yang dapat

mengakibatkan dibatalkannya sebagian

materi Undang-Undang yang bersangkutan,

sedangkan jika pengujian Undang-Undang

dilakukan terhadap proses pembentukannya

maka pengujian demikian disebut

pengujian formil.

3.3.Partai Politik

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011

tentang Partai Politik menyebutkan bahwa

Partai Politik adalah organisasi yang

bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga negara Indonesia secara

sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan

cita-cita untuk memperjuangkan dan

membela kepentingan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta

memelihara keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Partai memainkan peran penghubung

yang sangat strategis antara proses-proses

pemerintahan dengan warga negara.

Banyak yang mendapat bahwa partai

politiklah yang sebetulnya menentukan

demokrasi, seperti dikatakan oleh

Schattscheider (1942), “Political parties

23 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

created democracy”. Karena itu, partai

merupakan pilar yang sangat penting untuk

diperkuat derajat pelembagaannya (the

degree of institutionalization) dalam setiap

sistem politik yang demokratis. Bahkan,

oleh Schattscheider di katakan pula,

“Modern democracy is unthinkable save in

terms of the parties”. Namun demikian,

banyak juga pandangan politik kritis dan

bahkan skeptis terhadap partai politik. Yang

paling serius di antaranya menyatakan

bahwa partai politik itu sebenarnya tidak

lebih daripada kendaraan politik bagi

sekelompok elite yang berkuasa atau

berniat memuaskan nafsu birahi

kekuasaannya sendiri.

Oleh karena itu, sistem kepartaian yang

baik sangat menentukan bekerjanya sistem

ketatanegaraan berdasarkan prinsip checks

and balances dalam arti yang luas.

Sebaliknya, efektif bekerjanya fungsi-

fungsi kelembagaan negara itu sesuai

prinsip checks and balances berdasarkan

konstitusi juga sangat menentukan kualitas

sistem kepartaian dan mekanisme

demokrasi yang dikembangkan di suatu

negara. Semua ini tentu berkaitan erat

dengan dinamika pertumbuhan tradisi dan

kultur berpikir bebas dalam kehidupan

bermasyarakat. Tradisi berpikir atau

kebebasan berpikir itu pada gilirannya

mempengaruhi tumbuh-berkembangnya

prinsip-prinsip kemerdekaan berserikat dan

berkumpul dalam dinamika kehidupan

masyarakat demokratis yang bersangkutan

(Budiarjo. M, 1999).

Partai politiklah yang bertindak sebagai

perantara dalam proses- proses

pengambilan keputusan bernegara, yang

menghubungkan antara warga negara

dengan institusi-institusi kenegaraan.

Menurut Robert Michels dalam bukunya,

“Political Parties, A Sociological Study of

the Oligarchical Tendencies of Modern

Democracy”, “…organisasi…merupakan

satu-satunya sarana ekonomi atau politik

untuk membentuk kemauan kolektif.”

3.4.Pemilihan Umum

Negara Republik Indonesia adalah

negara kesatuan berbentuk republik yang

menjalankan pemerintahan dalam bentuk

demokrasi. UUD 1945 yang merupakan

Konstitusi Negara Republik Indonesia

mengatur masalah pemilihan umum dalam

Bab VII B Tentang Pemilihan Umum Pasal

22 E sebagai hasil amandemen ketiga UUD

1945 tahun 2001. Secara lengkap, bunyi

pasal 22 E tersebut adalah sebagai berikut:

a. Pemilihan umum dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, rahasia, jujur,

dan adil setiap lima tahun sekali;

b. Pemilihan umum diselenggarakan untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan Wakil Presiden, dan

Dewan Perwakilan Rakyat Daerah;

c. Peserta pemilihan umum untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat dan

anggota Dewan Perwakilan Rakyat

Daerah adalah Partai Politik;

24 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

d. Peserta pemilihan umum untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Daerah

adalah perseorangan;

e. Pemilihan umum diselenggarakan oleh

suatu komisi pemilihan umum yang

bersifat nasional, tetap dan mandiri;

f. Ketentuan lebih lanjut tentang pemilihan

umum diatur dengan undang-undang.

Pada zaman moderen ini Pemilu

menempati posisi penting karena terkait

dengan beberapa hal. Pertama, Pemilu

menjadi mekanisme terpenting bagi

keberlangsungan demokrasi perwakilan.

Kedua, Pemilu menjadi indikator negara

demokrasi. Ketiga, Pemilu penting

dibicarakan juga terkait dengan implikasi-

implikasi yang luas dari Pemilu

(Pamungkas. S, 2009). Pemilu mempunyai

fungsi sebagai (1) sarana legitimasi politik,

(2) sarana perwakilan politik, (3) sebagai

mekanisme pergantian elit penguasa, dan

(4) sebagai sarana pendidikan politik bagi

rakyat. Sedangkan fungsi pemilu, menurut

Abdul Bari Azed (2000) ada tiga, yaitu

pertama memungkinkan terjadinya

pergantian pemerintah secara damai dan

tertib, kedua, kemungkinan lembaga negara

berfungsi sesuai dengan maksud Undang-

Undang Dasar 1945, dan ketiga, untuk

melaksanakan hak-hak asasi warga negara.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1.Ratio Decidendi Putusan MK Nomor

30/PUU-XVI/2018

Pasal 182 huruf i menetapkan bahwa

perseorangan keanggotaan DPD harus

memenuhi persyaratan yaitu “bersedia

untuk tidak berpraktik sebagai akuntan

publik, advokat, notaris, pejabat pembuat

akta tanah, dan/atau tidak melakukan

pekerjaan penyedia barang dan jasa yang

berhubungan dengan keuangan negara serta

pekerjaan lain yang dapat menimbulkan

konflik kepentingan dengan tugas,

wewenang, dan hak sebagai anggota DPD

sesuai dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan”.

Namun tidak adanya penjelasan terhadap

frasa “pekerjaan lain yang dapat

menimbulkan konflik kepentingan dengan

tugas, wewenang, dan hak sebagai anggota

DPD” dalam pasal tersebut menimbulkan

ketidakpastian hukum bagi calon anggota

DPD dari yang sekaligus pengurus partai

politik apabila diperbolehkan menjadi calon

anggota DPD. Hal ini terbukti pada tahun

2018, pada pemilu anggota DPD, Oesman

Sapta Odang (OSO) yang merupakan ketua

umum dari partai politik Hanura,

mencalonkan dirinya sebagai anggota DPD

pada Pemilu 2019, dan telah menjadi Daftar

Calon Tetap (DCT) untuk pemilihan

anggota DPD pra-terbitnya Putusan MK

Nomor 30/PUU-XVI/2018.

Akan tetapi dengan hadirnya Putusan

Mahkamah Konstitusi Nomor 30/PUU-

XVI/2018, OSO kemudian dikeluarkan

daftar calon tetap oleh KPU. Sebab yang

25 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

bersangkutan masih aktif sebagai pengurus

partai politik dan belum menyerahkan surat

pengunduran diri sebagai pengurus partai

politik tersebut. Dikeluarkannya OSO dari

DCT mengacu pada Putusan MK atas

permohonan judicial review oleh

Muhammad Hafidz, yang dalam amar

putusannya menetapkan bahwa: Frasa

“pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf i

UU Pemilu bertentangan dengan UUD

1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum

memgikat secara bersyarat sepanjang tidak

dimaknai mencakup pula pengurus

(fungsionaris) partai politik;

Dalam ratio decidendi pada putusan a

quo, pertimbangan hukum mahkamah,

apabila calon anggota DPD yang

merupakan perseorangan, juga memiliki

aktifitas sebagai pengurus partai politik,

menimbulkan benturan kepentingan yang

tidak terhindarkan sehingga akan

mengubah original intent pembentukan

DPD sebagai representasi daerah.

Kepentingan daerah dan kepentingan

partai politik adalah dua hal yang berbeda.

Kepentingan partai politik ini berkaitan

langsung dalam agenda yang ada dalam

partai politik dalam jangka pendek, yang

bergantung apakah ia mendukung

pemerintah aau sebaliknya yang membuat

hal tersebut berbenturan. Benturan

dikarenakan adanya dua hal. Pertama, soal

posisi politik terhadap pemerintah yang

dianggap penting oleh daerahnya belum

tentu tidak dianggap penting oleh partai

politik karena ketidasesuaian dengan posisi

politik pada partai yang bersangkutan.

Kedua, persoalan kepentingan politik dan

ekonomi lokal, yang biasanya sudah

diambil oleh para elit lokal yang tergambar

dalam partai politik. sebagaimana dapat

diperjuangkan untuk daerahnya

memungkinkan menimbulkan rintangan

bagi partai politiknya atau menutup akses

ekonomi tertentu.

Sementara pertimbangan mahkamah

dalam putusan a quo dilihat dari desain

konstitusi pembentukan DPD, Mahkamah

berpandangan hukum bahwa:

1. DPD merupakan representasi daerah

(territorial representation) yang

membawa dan memperjuangkan

aspirasi dan kepentingan daerah dalam

kerangka kepentingan nasional,

sebagai imbangan atas dasar prinsip

“checks and balances” terhadap DPR

yang merupakan representasi politik

(political representation) dari aspirasi

dan kepentingan politik partai-partai

politik dalam kerangka kepentingan

nasional;

2. Keberadaan DPR dan DPD dalam

sistem ketatanegaraan Indonesia yang

seluruh anggotanya menjadi anggota

MPR bukanlah berarti bahwa sistem

perwakilan Indonesia menganut sistem

perwakilan bikameral, melainkan

26 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

sebagai gambaran tentang sistem

perwakilan yang khas Indonesia;

3. Meskipun kewenangan konstitusional

DPD terbatas, namun dari seluruh

kewenangannya di bidang legislasi,

anggaran, pengawasan, dan

pertimbangan sebagaimana diatur

dalam Pasal 22D UUD 1945,

kesemuanya terkait dan berorientasi

kepada kepentingan daerah yang harus

diperjuangkan secara nasional

berdasarkan postulat keseimbangan

antara kepentingan nasional dan

kepentingan daerah;

4. Bahwa sebagai representasi daerah dari

setiap provinsi, anggota DPD dipilih

melalui Pemilu dari setiap provinsi

dengan jumlah yang sama, berdasarkan

pencalonan secara perseorangan,

bukan melalui Partai, sebagai peserta

Pemilu.

Selain dari itu, Mahkamah Konstitusi

juga menilai dari segi hakikatnya, DPD

dibentuk sebagai representasi dari aspirasi

daerah dalam ikut serta menjadi bagian dari

pengambilan keputusan politik nasional

yang berkaitan dengan kepentingan daerah.

Kemudian pertimbangan Mahkamah

selanjutnya juga mengacu pada salah satu

penambahan ayat dalam Pasal 33 UUD

1945 ditambahkan frasa “serta dengan

menjaga keseimbangan kemajuan dan

kesatuan ekonomi nasional”, sebagaimana

termaktub dalam Pasal 33 ayat (4) UUD

1945. Sehingga, untuk menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional dan daerah maka

dibutuhkan adanya keterwalian daerah di

parlemen melalui DPD untuk mengimbangi

keterwakilan partai politik. Keseimbangan

lembaga DPD dan DPR untuk mencegah

terjadinya pertentangan Pasal 20 ayat (1)

UUD 1945 yang telah disetujui sebelumnya

dalam perubahan tahap pertama UUD 1945,

berlaku secara tegas menyatakan kekuasaan

membentuk undang-undang ada di tangan

DPR. Artinya, pembentukan lembaga

perwakilan yang sifatnya bikameral ditolak.

Hal ini kemudian akan mencegah adanya

benturan antara Pasal 20 Ayat (1) dan Pasal

22D UUD 1945.

Pertimbangan lain adalah mengacu pada

proses pembahasan dalam merumuskan

terbentuknya lembaga DPD oleh Panitia Ad

Hoc I Badan Pekerja MPR, yang desain

keanggotaan DPD diharapkan berasal dari

tokoh daerah yang sangat memahami

kebutuhan dan menyuarakan sera

memperjuangkan kebutuhan daerahnya

dalam pengambilan keputusan politik

nasional yang berkaitan langsung dengan

kepentingan daerah, terkhusus dalam proses

pembentukan undang-undang.

Secara rasional, kita menilai bahwa

pertimbang-pertambangan mahkamah

tersebut memiliki landasan konseptual yang

kuat, misalnya terkait fungsi-fungsi ideal

27 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

politik yang jika kita telusuri secara

mendalam, bahkan untuk demokrasi yang

telah matang-pun, partai politik belum tentu

mampu merepresentasikan seluruh aspirasi

rakyat Indonesia. Hal inilah yang

menyebabkan hadirnya calon-calon

perwakilan yang sifatnya independen.

Dalam analisa lainnya dalam persyaratan

anggota DPD tidak boleh menjadi pengurus

ataupun berasal dari pengurus partai politik

adalah untuk mencegah terjadinya

perwakilan ganda yang dapat

mengakibatkan distorsi partai politik dalam

pengambilan keputusan, apalagi keputusan

politik seperti perubahan UUD 1945. Pasal

2 ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa

MPR terdiri atas anggota Dewan

Perwakilan Rakyat dan anggota Dewan

Perwakilan Daerah. Selain itu menurut

Pasal 3 ayat (1) UUD 1945, MPR memiliki

kewenangan mengubah dan menetapkan

Undang-Undang Dasar. Maka jika dilihat

anggota DPD bisa jadi berasal dari

pengurus partai politik, dalam artian akan

menimbulkan perwakilan ganda dalam

keanggotaan MPR. secara tidak langsung

hal ini telah mengubah desain

ketatanegaraan yang membuat MPR

sebagai representasi dari perwakilan politik

dan perwakilan daerah.

Pertimbangan-pertimbangan di atas

menjadi penting untuk menegaskan bahwa

perseorangan warga negara Indonesia yang

mencalonkan diri sebagai anggota DPD

tidak boleh merangkap sebagai pengurus

partai politik sehingga Pasal 182 huruf l UU

Pemilu harus dimaknai sebagaimana

tertuang dalam amar Putusan ini.

4.2.Akibat Hukum Putusan MK Nomor

30/PUU-XVI/2018

Jika kita meninjau UU Pemilu pada pasal

yang dilakukan judicial review berdasarkan

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018

yaitu Pasal 182 huruf l, pasca-terbitnya

putusan tersebut tidak merubah redaksi

pasalnya atau terjadi penambahan pasal

pada UU Pemilu. Ini dikarenakan

Mahkamah Konstitusi dalam menguji

Undang-Undang terhadap UUD 1945,

hanyalah bersifat negative legislator, yaitu

membatalkan norma pasal Undang-Undang

yang bertentangan dengan UUD 1945. Hal

ini sejalan dengan apa yang disampaikan

Moh. Mahfud MD (2012) bahwa “negative

legislator dapat diartikan sebagai tindakan

Mahkamah Konstitusi yang dapat

membatalkan norma dalam judicial review

undang-undang terhadap UUD 1945 atau

membiarkan norma yang diberlakukan oleh

lembaga legislatif tetap berlaku dengan

menggunakan original intent UUD 1945

sebagai tolak ukurnya, sementara positive

legislator adalah lembaga (merujuk pada

lembaga negara yaitu Dewan Perwakilan

Rakyat DPR dan Pemerintah) yang

28 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

memiliki kewenangan untuk membuat

norma”.

Dalam salah satu amar putusan MK

Nomor 30/PUU-XVI/2018 berbunyi Frasa

“pekerjaan lain” dalam Pasal 182 huruf l

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilihan Umum bertolak

belakang dengan UUD 1945 dan tidak

mempunyai kekuatan hukum megikat

secara bersyarat selama tidak dimaknai

mencakup pada pengurus (fungsionaris)

partai politik. Artinya, frasa “pekerjaan

lain” pada Pasal 182 huruf l UU Pemilu

tersebut, harus mencakup pula pengurus

partai politik, jika tidak demikian maka

norma pasal tersebut dikatakan

inkonstitusional. Konsekuensi logisnya,

dianggap tidak mengikat secara hukum.

Implikasi hukum lain yang timbul adalah

terjadinya revisi Peraturan Komisi

Pemilihan Umum (PKPU) terkait

pencalonan anggota DPD. Dengan

diterbitkannya PKPU Nomor 26 Tahun

2018 tentang Perubahan Kedua PKPU

Nomor 14 Tahun 2018 Tentang Pencalonan

Perseorangan Calon Peserta Pemilihan

Umum Anggota DPD. Diantara Pasal 60

dan 61 ditambahkan Pasal 60A yang

berkaitan dengan syarat pengunduran diri

dari partai politik untuk calon perseorangan

anggota DPD.

Pasal 60A menetapkan :

(1) Pemenuhan persyaratan perseorangan

peserta Pemilu menjadi bakal calon

Anggota DPD sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 60 ayat (1) huruf p,

termasuk tidak dalam kedudukannya

sebagai pengurus partai politik tingkat

pusat, pengurus partai politik tingkat

daerah provinsi dan pengurus partai

politik tingkat daerah kabupaten/kota.

(2) Bakal calon Anggota DPD

sebagaimana dimaksud pada ayat (1)

wajib mengundurkan diri dari

kedudukannya sebagai pengurus partai

politik sebelum masa pendaftaran

calon Anggota DPD.

(3) Bakal calon Anggota DPD yang telah

memenuhi syarat calon atau belum

memenuhi syarat calon dan sedang

dalam proses perbaikan syarat calon atau

sedang dilakukan verifikasi syarat calon,

dapat tetap menjadi bakal calon Anggota

DPD dengan wajib menyampaikan:

a. surat pengunduran diri sebagai

pengurus partai politik yang bernilai

hukum dan tidak dapat ditarik

kembali, yang ditandatangani oleh

bakal calon Anggota DPD yang

bersangkutan dan dibubuhi materai

cukup; dan

b. keputusan pimpinan partai politik

sesuai dengan kewenangannya

berdasarkan anggaran dasar dan

anggaran rumah tangga partai

politik, tentang pemberhentian

bakal calon Anggota DPD yang

29 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

bersangkutan sebagai pengurus

partai politik.

(4) Surat pernyataan pengunduran diri

sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

huruf a disampaikan kepada KPU

melalui KPU Provinsi/KIP Aceh paling

lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan

DCS Anggota DPD.

(5) Keputusan pimpinan partai politik

sebagaimana dimaksud pada ayat (3)

huruf b, disampaikan kepada KPU

melalui KPU Provinsi/KIP Aceh paling

lambat 1 (satu) hari sebelum penetapan

DCT Anggota DPD.

(6) Dalam hal surat pernyataan

pengunduran diri dan keputusan

pimpinan partai politik tidak

disampaikan pada masa sebagaimana

dimaksud pada ayat (4) dan ayat (5),

bakal calon Anggota DPD dinyatakan

tidak memenuhi syarat dan namanya

tidak dicantumkan dalam DCS

Anggota DPD atau DCT Anggota

DPD.

Implikasi hukum terhadap calon anggota

DPD yang tidak mengudurkan diri dari

fungsionaris partai politik adalah tidak

dimasukkaN sebagai Daftar Calon

Sementara (DCS) apalagi sebagai Daftar

Calon Tetap (DCT) untuk bursa pencalonan

keanggotaan DPD. Hal inilah yang terjadi

pada Ketua Umum Partai Hati Nurani

Rakyat (Hanura), OSO, saat mendaftarkan

diri dalam bursa calon anggota DPD pada

Pemilu 2019 yang lalu.

Hal ini bermula ketika OSO mendaftar

sebagai anggota DPD pada pemilu 2019.

KPU kemudian menetapkan Daftar Calon

Tetap (DCT) calon anggota DPD pada surat

keputusan KPU Nomor 1130/PL.01.4-

Kpt/06/KPU/IX/2018 pada 20 September

2018 yang telah diubah dengan Keputusan

KPU Nomor 1174/PL/01.4-

Kpt/06/IX/2018. Melalui perubahan

keputusan tersebut, beberapa calon anggota

DPD dicoret dari Daftar Calon Tetap

(DCT), termasuk nama OSO yang saat itu

mencalonkan sebagai anggota DPD.

Tidak sepakat dengan keputusan KPU

yang menurutnya Putusan MK Nomor

30/PUU-XVI/2018 tersebut berlaku surut,

karena penetapan Daftar Calon Tetap

(DCT) oleh KPU terbit sebelum putusan

MK Nomor 30/PUU-XVI/2018 tersebut

terbit. Osman Sapta Odang kemudian

menajukan judicial review Peraturan KPU

Nomor 26 Tahun 2018 di Mahkamah

Agung dan melakukan gugatan atas Putusan

KPU di Peradilan tata Usaha Negara

(PTUN). Mahkamah Agung kemudian

mengeluarkan Putusan Nomor

65P/HUM/2018 yang menyatakan bahwa

Pasal 60A dalam Peraturan KPU Nomor 26

Tahun 2018 tersebut tidak sah dan batal

demi hukum dengan pertimbangan bahwa

Putusan MK Nomor 30/PUU-XVI/2018

tidak berlaku surut.

30 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Hal ini berkaitan dengan Pasal 58 UU

Mahkamah Konstitusi yang menetapkan

bahwa “Undang-udang yang diuji oleh

Mahkamah Konstitusi tetap berlaku,

sebelum ada putusan yang menyatakan

bahwa undang- undang tersebut

bertentangan dengan Undang-Undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945.” Norma yang termuat dalam Pasal 58

UU Mahkamah Konstitusi tersebut

dimaknai menjadi dua pengertian. Pertama,

bahwa berlaku prinsip presumption of

contitutionality dalam pengujian

konstitusionalitas undang-undang dalam

artian dalam undang-undang harus tidak

bertentangan dengan Konstitusi selama

belum ada putusan pengadilan, yang

berkekuatan hukum tetap dan menyatakan

bahwa undang-undang tersebut

bertentangan dengan Konstitusi. Kedua,

bahwa sebagaimana prinsip umum yang

berlaku dalam perundangan satu undang-

undang yang dibuat oleh pembentuk

undang-undang (positive legislature)

berlaku prospektif. Hal itu juga berlaku

terhadap putusan Mahkamah Konstitusi

sehingga dalam putusan Mahkamah

menjadi berlaku prospektif.

Pada faktanya, KPU tetap melaksanakan

kebijakan berdasarkan Putusan MK Nomor

30/PUU-XVI/2018, dengan surat keputusan

KPU memberikan jangka waktu kepada

para bakal calon anggota DPD yang masih

menjadi pengurus (fungsionaris) partai

politik untuk mengundurkan diri terlebih

dahulu. Olehnya itu, 200 (dua ratus) calon

anggota DPD yang mematuhi Putusan MK

tersebut mengundurkan diri sebagai

pengurus (fungsionaris) partai politik.

Oleh karena OSO tidak mengajukan

surat pengunduran diri sampai pada batas

waktu yang ditetapkan oleh KPU, KPU

kemudian mencoret namanya dari daftar

calon anggota DPD. Bahkan KPU

melakukan kelonggaran lagi dengan

melayangkan surat kepada OSO pada

tanggal 8 Desember 2018 untuk

memberikan tambahan waktu sampai pada

tanggal 21 Desember 2018. Akan tetapi

samai pada tanggal tersebut yang

bersangkutan tetap tidak memberikan surat

penguduran dirinya dari Partai Hanura.

Konsekuensi logisnya adalah, pada tanggal

22 Desember 2018 KPU tetap tidak

melakukan perubahan Surat Keputusan

Daftar Calon Tetap (DCT) calon anggota

DPD, sehingga OSO tetap tidak tercantum

dalam Daftar Calon Tetap (DCT) anggota

DPD.

5. Simpulan

Ratio Decidendi atas Putusan MK

Nomor 30/PUU-XVI/2018 yang

menetapkan amar untuk memenuhi seluruh

permohonan pemohon dan menetapkan

frasa “pekerjaan lain” pada Pasal 182 Huruf

l UU Pemilu harus dimaknai pula termasuk

pengurus (fungsionaris) partai politik

31 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

adalah sebagai berikut bahwa Lembaga

DPD harus kembali sesuai original intent

dan original meaning pembentukan DPD

yang terlepas dari unsur partai politik,

memberikan check and balance antara DPD

dan DPR agar tercipta keseimbangan dalam

menyalurkan aspirasi daerah dan aspirasi

partai politik, Untuk mencegah terjadinya

double representation dalam pengambilan

kebijakan hukum, jika DPD juga mencakup

partai politik dalam bursa pencalonan

anggota DPD dan untuk menjaga

keseimbangan kemajuan dan kesatuan

ekonomi nasional sesuai dengan Pasal 33

Ayat (4) UUD 1945, sehingga dibutuhkan

keterwakilan DPD di parlemen sebagai

perwakilan daerah agar menyeimbangkan

keterwakilan DPR sebagai perwakilan

partai politik.

Implikasi hukum Putusan MK Nomor

30/PUU-XVI/2018 yaitu Revisi PKPU

Nomor 26 Tahun 2018 atas PKPU Nomor

14 Tahun 2018 yang menambahkan Pasal

60A terkait pengajuan surat pengunduran

diri calon anggota DPD sebagai pengurus

(fungsionaris) partai politik. Membatalkan

calon anggota DPD yang tidak mengajukan

surat pengunduran diri sebagai pengurus

(fungsionaris) partai politik.

32 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Asshiddiqie, J. (2006). Hukum Acara Pengujian Undang-Undang. Jakarta, Konstitusi Perss.

Azed, A.B. (editor). (2000). Sistem-sistem Pemilihan Umum. Depok, Badan Penerbit Fakultas

Hukum Universitas Indonesia.

Fadjar, A.M. (2006). Hukum Konstitusi dan Mahkamah Konstitusi. Jakarta, Sekretariat Jenderal

dan Kepaniteraan MK RI.

Mahfud, M.MD. (2012). Konstitusi dan Hukum Dalam Kontroversi Isu. Jakarta, Rajawali Perss.

Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia. (2001). Buku Keempat Jilid 2 A: Risalah

Rapat Komisi A Ke-2 (Lanjutan) s/d Ke-5 Tanggal 6 November s/d 8 November 2001. Jakarta,

Sekretariat Jenderal MPR RI.

Muhammad, A. (2004). Hukum dan Penelitian Hukum. Bandung, Citra Aditya Bakti.

Palguna, I.D.G. (2003). Susunan dan Kedudukan Dewan Perwakilan Daerah. Jakarta, Sekretariat

Jenderal MPR.

Pamungkas, S. (2009). Perihal Pemilu, Yogyakarta: Laboratorium Jurusan Ilmu Pemerintahan dan

Jurusan Ilmu Pemerintahan Universitas Gajah Mada.

Soemantri, S. (2002). Undang-Undang Dasar 1945 dan Aspek-aspek Perubahannya. Bandung,

Unpad Press.

______ (2003). Perihal Dewan Perwakilan Daerah Dalam Perspektif Ketatanegaraan. Jakarta,

Sekretariat Jenderal MPR RI.

Soimin dan Mashuriyanto, (2013). Mahkamah Konstitusi dalam Sistem Ketatanegaraan

Indonesia. Cetakan Pertama. Yogyakarta, UII Press.

Artikel Jurnal

Bidaya, J. (2012). Kewenangan DPD Dalam Sistem Ketatanegaraan RI Menurut UUD 1945. Jurnal

Media Bina Ilmiah, Vol. 6, No. 6.

Marzuki, L. (2005). Keberadaan DPD dan Kaitannya dalam Pembentukan UndangUndang. Jurnal

Legislasi Indonesia, Vol. 2, No. 3.

33 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

ANALISIS HUKUM TERHADAP NOMENKLATUR PUTUSAN BAWASLU

DALAM PENYELESAIAN SENGKETA PROSES PEMILU

LEGAL ANALYSIS OF THE NOMENCLATURE OF BAWASLU'S DECISION IN

ELECTION PROCESS DISPUTE RESOLUTION

Muh. Alan Saputra D.

DPP Kesatuan Mahasiswa Nusantara

Alamat: Jl Perintis Kemerdekaan III, BTN Antara, Blok D 11, No. 1.

Email:

[email protected]

Abstract

This study was initiated aimed at examining the legal status of products issued by Bawaslu on dispute

resolution in the electoral process. Law Number 7 of 2017 concerning Elections states that the Bawaslu

issues a "decision". Meanwhile, verdicts are actually legal products issued only by judges (courts), and

Bawaslu is not a judicial body. This is important because every different term has its own interpretation

and legal consequences. This research is a normative research. Data is collected through research of

library materials in the form of laws and regulations, books, journals and other scientific works related

to this research topic. The analysis was carried out using a statutory approach. The results showed that

the use of the term "decision" to refer to Bawaslu's decisions regarding the dispute resolution of the

election process is incompatible with the character of Bawaslu in the Indonesian constitutional structure

as a public administrative body. So the correct term to describe Bawaslu's decisions is "decision".

Keywords: Bawaslu Decision; Election Process Disputes; Law Number 7 of 2017 Concerning Elections.

Abstrak

Studi ini dimulai bertujuan untuk meneliti nomenklatur yang diterbitkan bawaslu pada penyelesaian

sengketa proses pemilu. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilu menyebutkan bahwa

bawaslu mengeluarkan “putusan”. Sementara, putusan sesungguhnya adalah produk hukum yang hanya

diterbitkan oleh hakim (pengadilan), dan bawaslu bukanlah suatu badan peradilan. Hal ini penting

dilakukan karena setiap istilah yang berbeda mempunyai penafsiran dan akibat hukumnya masing-

masing. Penelitian ini merupakan penelitian normatif. Data dikumpulkan melalui penelitian bahan

pustaka baik berupa peraturan perundang-undangan, buku, jurnal dan karya ilmiah lain yang

berhubungan dengan topik penelitian ini. Analisis dilakukan dengan pendekatan undang-undang.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan istilah “putusan” untuk menyebut ketetapan Bawaslu

terkait penyelesaian sengketa proses pemilu merupakan hal yang tidak sesuai dengan karakter Bawaslu

dalam struktur ketatanegaraan Indonesia sebagai badan adminitrasi publik. Maka istilah yang tepat

untuk menyebut ketetapan Bawaslu adalah “keputusan”.

Kata Kunci: Putusan Bawaslu; Sengketa Proses Pemilu; Undang - Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilu.

1. Pendahuluan

Demokrasi Indonesia pasca amandemen

Undang-Undang Dasar 1945 telah

mulaimenunjukkan perubahan. Bila

sebelum amandemen UUD 1945 kekuasaan

memilih presiden dan wakil presiden oleh

MPR, pasca amandemen kekuasaan

tersebut beralih ke tangan rakyat

(Muhammad Zulfan Hakim, 2008).

34 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Perwujudan kedaulatan rakyat ini

dilaksanakan melalui Pemilu. Jimly

Asshidiqie (2017) memberikan

pendapatnya mengenai fungsi

penyelenggaraan pemilu yaitu:

a. untuk memungkinkan terjadinya

peralihan kepemimpinan

pemerintahan secara tertib dan damai,

b. untuk memungkinkan terjadinya

pergantian pejabat yang akan

mewakili kepentingan rakyat di

lembaga perwakilan,

c. untuk melaksanakan prinsip

kedaulatan rakyat, dan

d. untuk melaksanakan prinsip hak-hak

asasi warga Negara.

Di Indonesia, pengaturan mengenai

Pemilu dapat dilihat pada Pasal 22E UUD

NRI 1945.1 Rumusan pasal tersebut sebagai

berikut:

(1) Pemilihan umum dilaksanakan

secara langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil setiap lima

tahun sekali.***

(2) Pemilihan umum diselenggarakan

untuk memilih anggota Dewan

Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Presiden dan

wakil presiden dan Dewan

Perwakilan Rakyat Daerah.***

(3) Peserta pemilihan umum untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan

1 UUD NRI 1945 amandemen ketiga

2Pasal 1 angka 7 (tujuh) UU Pemilu

berbunyi: “Penyelenggara Pemilu adalah

lembaga yang menyelenggarakan Pemilu yang

terdiri atas Komisi Pemilihan Umum, Badan

Pengawas Pemilu dan Dewan Kehormatan

Rakyat dan Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah adalah partai

politik.***

(4) Peserta pemilihan umum untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan

Daerah adalah perseorangan.***

(5) Pemilihan umum diselenggarakan

oleh suatu komisi pemilihan umum

yang bersifat nasional, tetap dan

mandiri.***

(6) Ketentuan lebih lanjut tentang

pemilihan umum diatur dengan

undang-undang.***

Salah satu hal mendasar terkait

kepemiluan yang diatur dalam pasal di atas

yaitu mengenai penyelenggara pemilu.

Keberadaan penyelenggara pemilu menjadi

sangat penting karena lembaga ini adalah

semacam kaki dan tangan negara dalam

melaksanakan pemilu. Lembaga inilah yang

melaksanakan tahapan demi tahapan

pemilu. Maka jelas penguatan lembaga

pemilu sangat dibutuhkan demi

penyelenggaraan pemilu yang lancar dan

demokratis.

Di dalam UU Pemilu, lembaga

penyelenggara pemilu yang dimaksud yaitu

Komisi Pemilihan Umum (KPU), Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Dewan

Kehormatan Penyelenggara Pemilu

(DKPP).2 Secara sinergis ketiga lembaga

Penyelenggara Pemilu sebagai satu kesatuan

fungsi Penyelenggara Pemilu untuk memiilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan

Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil

Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan

35 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

ini bekerja sebagai satu kesatuan fungsi

penyelenggaraan pemilu untuk memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

anggota Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk

memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.

Adapun sub fungsinya yaitu KPU sebagai

pelaksana tahapan demi tahapan pemilu,

Bawaslu sebagai pengawas pemilu dan

DKPP sebagai lembaga yang menangani

masalah pelanggaran kode etik

penyelenggara pemilu.

Bila kita mencermati rumusan Pasal 93

undang-undang ini, dalam menjalankan

fungsi pengawasannya Bawaslu bertugas

antara lain melakukan pencegahan dan

penindakan terhadap pelanggaran pemilu

dan sengketa proses pemilu3. Adapun yang

dimaksud sengketa proses pemilu, Pasal

466 menjelaskan sebagai berikut:

“Sengketa proses pemilu meliputi sengketa

yang terjadi terjadi antar- Peserta Pemilu

dan sengketa Peserta Pemilu dengan

Penyelenggara Pemilu sebagai akibat

dikeluarkannya keputusan KPU, keputusan

KPU Provinsi, dan keputusan

Kabupaten/Kota”.

Perwakilan Rakyat Daerah secara langsung

oleh rakyat.”

3 Pasal 93 huruf b UU Pemilu: Bawaslu

bertugas melakukan pencegahan dan

Pasal 468 dan Pasal 469 menjelaskan

bahwa Bawaslu berwenang melakukan

tindakan penyelesaian apabila terjadi

sengketa proses pemilu seperti dijelaskan di

atas. Penulis menemukan terdapat

permasalah terkait nomenklatur yang

digunakan untuk menyebut produk yang

dikeluarkan Bawaslu terkait penyelesaian

sengketa proses ini. Bahwa jika mengacu

pada Undang-Undang Nomor 30 Tahun

2014 Tentang Administrasi Pemeritahan,

proses penyelesaian yang dilakukan oleh

Bawaslu merupakan upaya adminstratif.

Maka dapat dimengerti bahwa produk

hukum yang diterbitkan atas itu adalah

berupa keputusan administrasi/ tata usaha

Negara. Namun, Pasal 468 dan Pasal 469

UU Pemilu secara konsisten justru

menggunakan frasa “putusan Bawaslu”.

Artinya, UU Pemilu menganggap Bawaslu

sebagai lembaga peradilan. Hal ini

menambah deretan masalah dalam regulasi

kepemiluan kita. Sebab sebagaimana kita

tahu, Bawaslu merupakan lembaga mandiri

yang tidak berada di bawah kekuasaan

Mahkamah Agung. Sehingga dengan

demikian, seharusnya produk hukum

Bawaslu tidak dapat dianggap sebagai

putusan lembaga peradilan.

penindakan terhadap (1) pelanggaran pemilu,

dan (2) sengketa proses pemilu.

36 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

2. Metode Penelitian

Penelitian bertujuan untuk

mengungkapkan kebenaran secara

sistematis, metodologis, dan konsisten

(Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2011,

hlm. 1). Di dalam penelitian ini, penulis

menggunakan metode normatif, yaitu

mengkaji hukum sebagai norma atau kaidah

yang hidup dalam masyarakat dan menjadi

standar dan pedoman bagi setiap orang

dalam berperilaku. Penelitian normatif

dikenal juga sebagai penelitian doktrinal.

Dalam pengretian Soerjono Soekanto dan

Sri Mamudji (2011) penelitian doktrinal

adalah penelitian yang memberikan

penjelasan sistematis aturan yang mengatur

suatu kategori hukum teretentu,

menganalisis hubungan antar peraturan,

menjelaskan daerah kesulitan dan mungkin

memprediksi bangunan masa depan.

Adapun pendekatan yang dipakai adalah

pendekatan perundang-undangan (statute

approach). Pendekatan ini dipilih karena

penulis hendak melakukan telaah terhadap

UU Pemilu dan peraturan terkait laiinya

mengenai kedudukan KPU terhadap

putusan Bawaslu dalam penyelesaian

sengketa proses Pemilu.

Oleh karena penelitian ini merupakan

penelitian normatif/doktrinal, maka penulis

menggunakan bahan data sekunder, yaitu

bahan hokum primer berupa Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang

Pemilu dan juga peraturan perundangan

lainnya. Penulis juga menggunakan bahan

hukum sekunder berupa buku-buku hukum,

jurnal, makalah dan hasil seminar terkait

yang dapat mengarahkan pada jawaban atas

permasalahan yang dikemukakan.

Pengumpulan bahan dilakukan dengan

melakukan pencatatan data secara langsung

dari dokumen yang isinya berkaitan dengan

masalah penelitian. Selanjutnya bahan

tersebut dianalisis dengan menggunakan

metode kualitatif. Hasil yang diperoleh

dipaparkan secara deskriptif, yaitu dengan

menguraikan, menjelaskan, dan

menggambarkan sesuai dengan

permasalahan dalam penelitian ini.

3. Perspektif Teori

3.1.Pengertian Pemilu

Pasal 1 ayat (1) UU Pemilu menjelaskan

pengertian pemilu sebagai sarana memilih

anggota Dewan Perwakilan Rakyat,

anggota Dewan Perwakilan Daerah,

Presiden dan Wakil Presiden serta untuk

memilih anggora Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah yang dilaksanakan secara

langsung, umum, bebas, jujur dan adil

dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia

berdasarkan katentuan Pancasila dan

Undang-Undang Dasar Negara Republik

Indonesia Tahun 1945. Menurut Dahlan

Thaib dan Sri Hastuti (2009, hlm. 98)

pemilu adalah suatu proses pergantian

kekuasaan secara damai yang dilakukan

37 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

secara berkala sesuai dengan prinsip-

prinsip yang digariskan kontitusi.

Menurut G.J. Wolhoff sebagaimana

disarikan Fajlurahman Jurdi (2018) dalam

Pengantar Hukum Pemilihan Umum,

pemilu adalah mekanisme dalam demokrasi

tidak langsung untuk memilih wakil rakyat

yang akan menjalankan pemerintahan, di

mana para wakil rakyat tersebut

menjalankan amanat pemerintahan

berdasarkan mandat dari rakyat, oleh

karena tidak memungkinkan seluruh rakyat

terlibat secara langsung dalam

pemerintahan.

Dari penjabaran di atas dapat kita tarik

satu kesamaan pendirian para ahli bahwa

pemilu adalah sarana legitimatif

pelimpahan kekuasaan Negara kepada

wakilnya-wakilnya untuk menjalankan

pemerintahan Negara itu. Parulian Donald,

meskipun mengatakan bahwa pemilu

bukanlah segal-galanya menyangkut

demokrasi, juga tetap mengakui pemilu

sebagai sarana pelaksanaan asas demokrasi

yang memiliki arti penting dalam dinamika

Negara demokrasi.

Bagaimanapun, tidak dapat dipungkiri

pemilu merupakan cara paling masuk akal

untuk menentukan pemerintahan yang

benar-benar merupakan representasi dari

kehendak rakyat. Hanya melalui pemilu lah

kehendak untuk membentuk jajaran

pemerintahan yang bekerja untuk dan atas

nama rakyat dapat diwujudkan.

3.2.Bawaslu sebagai Penyelenggara

Pemilu

Membahas mengenai penyelenggara

pemilu –dalam hal ini di Indonesia, artinya

kita menjabarkan isi Pasal 22E Ayat (5)

UUD NRI 1945 “Pemilihan Umum

diselenggarakan oleh suatu komisi

pemilihan umum yang bersifat nasional,

tetap, dan mandiri”. Dalam rumusan pasal

tersebut, terdapat klausula “komisi

pemilihan umum”. Terhadap pengertian

klausula tersebut, Lukman Hakim

Syaifuddin (Fraksi Partai Persatuan

Pembangunan) dalam proses amandemen

ketiga UUD NRI 1945 berpendapat:

“Ayat (5) ini menurut saya memang

mendasar adanya kalimat yang bersifat

nasional, tetap dan mandiri. Jadi Tim

Ahli hanya terbatas pada Pemilu

diselenggarakan oleh komisi pemilihan

umum dan Komisi Pemilihan Umumnya

ini dengan huruf besar, seakan-akan

sudah menunjuk intitusi tertentu.

Padahal Undang-Undang Dasar ini

sebaiknya tidak langsung menunjuk

institusi”. (Sekretariat Jenderal dan

Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi,

2010, hlm. 455-456)

Serupa dengan pernyataan Lukman,

Jimly Asshidiqie (2006, hlm. 234 – 235)

mengatakan:

“Dalam Pasal 22E UUD 1945 sendiri,

nama lembaga penyelenggara pemilu itu

tidak diharuskan bernama Komisi

Pemilihan Umum (KPU). Itu sebabnya

38 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dalam rumusan Pasal 22E UUD 1945 itu,

perkataan komisi pemilihan umum

ditulis huruf kecil. Artinya, komisi

pemilihan umum yang disebut dalam

Pasal 22E bukanlah nama, melainkan

perkataan umum untuk menyebut

lembaga penyelenggara pemilu itu.”

Dari dua pendapat ahli di atas dapat kita

simpulkan bahwa komisi pemilihan umum

yang dimaksud dalam konstitusi bukanlah

Komisi Pemilihan Umum (KPU)

sebagaimana yang kita kenal sekarang,

melainkan berupa sebuah penegasan akan

fungsi lembaga penyelenggara pemilihan

umum yang bersifat nasional, tetap dan

mandiri. Berdasarkan penafsiran ini, UU

Pemilu kemudian menetapkan tiga lembaga

yang secara sinergis bekerja sama

menyelenggarakan pemilu di Indonesia,

yaitu Komisi Pemilihan Umum (KPU)

sebagai pelaksana pemilu, Badan Pengawas

Pemilu (Bawaslu) sebagai lembaga yang

bertugas mengawasi pelaksaan pemilu

tersebut dan Dewan Kehormatan

Penyelenggara Pemilu (DKPP) sebagai

lembaga yang bertugas menangani masalah

kode etik penyelenggara pemilu.4

Sebagaimana amanat kontitusi Pasal 22E

ayat (5) bahwa pemilu diselenggarakan oleh

lembaga yang bersifat nasional, tetap dan

4 Pasal 1 Ayat (7) UU Pemilu berbunyi:

“Penyelenggara Pemilu adalah lembaga yang

menyelenggarakan Pemilu yang terdiri atas

Komisi Pemilihan Umum, Badan Pengawas

Pemilu dan Dewan Kehormatan Penyelenggara

Pemilu sebagai satu kesatuan fungsi

mandiri. Oleh karena hal ini, keberadaan

lembaga pengawas pemilu yang awalnya

merupakan sub fungsi bagian dari KPU,

melalui UU No 22 Tahun 2007 tentang

Penyelenggara Pemilu dibentuklah sebuah

lembaga mandiri di luar struktur KPU yang

juga bersifat nasional dan permanen. Di

tahun 2011, pemerintah melakukan

penguatan terhadap posisi Bawaslu melalui

UU No 15 Tahun 2011 tentang

Penyelenggara Pemilu. Dengan berlakunya

UU Penyelenggara Pemilu yang baru ini,

maka struktur Bawaslu yang awalnya hanya

ada pada tingkat pusat, kini diturunkan

sampai pada tingkat provinsi.

Tahun 2019, karena pelaksanaan pemilu

Indonesia dilakukan serentak antara

pemilu presiden dan pemilu legislative,

maka diadakan lagi pembaruan UU Pemilu.

Melalui UU No 7 Tahun 2017 Tentang

Pemilihan Umum, struktur Bawaslu

kemudian dirampungkan sampai pada

tingkat kabupaten/kota sebagaimana

struktur KPU. Adapun tugas Bawaslu

menurut Pasal 93 UU Pemilu terbaru ini

sebagai berikut:

1. Menyusun standar tata laksana

pengawasan Penyelenggaraan Pemilu

Penyelenggara Pemilu untuk memiilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan

Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan

untuk memilih anggota Dewan Perwakilan

Rakyat Daerah secara langsung oleh rakyat.”

39 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

untuk pengawas Pemilu di setiap

tingkatan;

2. Melakukan pencegahan dan

penindakan terhadap:

1. pelanggaran Pemilu; dan

2. sengketa proses Pemilu;

3. Mengawasi persiapan

Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri

atas:

1. perencanaan dan penetapan

jadwal tahapan Pemilu;

2. perencanaan pengadaan logistik

oleh KPU;

3. sosialisasi Penyelenggaraan

Pemilu; dan

4. pelaksanaan persiapan lainnya

dalam Penyelenggaraan Pemilu

sesuai dengan ketentuan

peraturan perundang-undangan;

4. Mengawasi pelaksanaan tahapan

Penyelenggaraan Pemilu, yang terdiri

atas:

1. pemutakhiran data pemilih dan

penetapan daftar pemilih

sementara serta daftar pemilih

tetap;

2. penataan dan penetapan daerah

pemilihan DPRD

kabupaten/kota;

3. penetapan Peserta Pemilu;

4. pencalonan sampai dengan

penetapan Pasangan Calon,

calon anggota DPR, calon

anggota DPD, dan calon

anggota DPRD sesuai dengan

ketentuan peraturan perundang-

undangan;

5. Pelaksanaan dan dana kampanye;

6. Pengadaan logistik Pemilu dan

pendistribusiannya;

7. Pelaksanaan pemungutan suara

dan penghitungan suara hasil

Pemilu di TPS;

8. \Pergerakan surat suara, berita

acara penghitungan suara, dan

sertifikat hasil penghihrngan

suara dari tingkat TPS sampai

ke PPK;

9. rekapitulasi hasil penghitungan

perolehan suara di PPK, KPU

Kabupaten/Kota, KPU

Provinsi, dan KPU;

10. pelaksanaan penghitungan dan

pemungutan suara ulang,

Pemilu lanjutan, dan Pemilu

susulan; dan

11. penetapan hasil Pemilu;

5. Mencegah terjadinya praktik politik

uang;

6. Mengawasi netralitas aparatur sipil

negara, netralitas anggota Tentara

Nasional Indonesia, dan netralitas

anggota Kepolisian Republik

Indonesia;

7. Mengawasi pelaksanaan

putusan/keputusan, yang terdiri atas:

1. putusan DKPP;

40 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

2. putusan pengadilan mengenai

pelanggaran dan sengketa

Pemilu;

3. putusan/keputusan Bawaslu,

Bawaslu Provinsi, dan Bawaslu

kabupaten/ Kota;

4. keputusan KPU, KPU Provinsi,

dan KPU l(abupaten/Kota; dan

5. keputusan pejabat yang

berwenang atas pelanggaran

netralitas aparahrr sipil negara,

netralitas anggota Tentara

Nasional Indonesia, dan

netrditas anggota Kepolisian

Republik Indonesia;

8. Menyampaikan dugaan pelanggaran

kode etik Penyelenggara Pemilu

kepada DKPP;

9. Menyampaikan dugaan tindak pidana

Pemilu kepada Gakkumdu;

10. Mengelola, memelihara, dan merawat

arsip serta melaksanakan

penyusutannya berdasarkan jadwal

retensi arsip sesuai dengan ketentuan

peraturan perundangundangan;

11. Mengevaluasi pengawasan Pemilu;

12. Mengawasi pelaksanaan Peraturan

KPU; dan

13. Melaksanakan tugas lain sesuai

dengan ketentuan peraturan

perundang-undangan.

3.3. Sengketa Proses Pemilu

Menurut Winardi (2007), sengketa

adalah pertentangan atau konflik yang

terjadi antara individu-individu atau

kelompok-kelompok yang mempunyai

hubungan atau kepentingan yang sama atas

suatu objek kepemilikan, yang

menimbulkan akibat hukum antara satu

dengan yang lain. Disini Winardi

menjelaskan bahwa sengketa dapat terjadi

pada individu maupun kelompok-kelompok

yang berselisih mengnai satu objek

kepentingan yang sama, yang mana objek

tersebut menimbulkan akibat hukum bagi

mereka. Senada dengan itu, Takdir

Rahmadi (2011) menjelaskan bahwa

konflik atau sengketa merupakan situasi

dan kondisi dimana orang-orang saling

mengalami perselisihan yang bersifat

faktual maupun perselisihan-perselisihan

yang terjadi dalam persepsi mereka saja.

Berdasarkan ketentuan Pasal 466 UU

Pemilu, Sengketa proses pemilu meliputi

sengketa yang terjadi terjadi antar- Peserta

Pemilu dan sengketa Peserta Pemilu

dengan Penyelenggara Pemilu sebagai

akibat dikeluarkannya keputusan KPU,

keputusan KPU Provinsi, dan keputusan

Kabupaten/Kota. Selanjutnya Pasal 1 angka

8 PERMA 5/2017 memberikan penjelasan

lebih rinci tentang sengketa proses pemilu

yaitu sengketa yang timbul dalam bidang

tata usaha Negara pemilihan umum antara

partai politik calon Peserta Pemilu atau

41 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

calon anggota DPR, DPD, DPRD Provinsi,

DPRD Kabupaten/Kota, atau bakal

Pasangan Calon Presiden dan Wakil

Presiden yang tidak lolos verifikasi dengan

KPU, KPU Provinsi, KPU Kabupaten/Kota

sebagai akibat dikeluarkannya keputusan

KPU, KPU Provinsi, KPU

Kabupaten/Kota.

Terhadap sengketa proses pemilu ini,

ada dua lembaga Negara yang diberikan

kewenangan oleh UU Pemilu untuk

menyelesaikannya; yaitu Bawaslu dan

PTUN. Adapun langkah penyelesaian yang

dapat ditempuh melalui Bawaslu adalah

mediasi dan adjudikasi. Selanjutnya,

apabila para pihak merasa keberatan dengan

putusan Bawaslu, maka dapat mengajukan

upaya hukum ke PTUN.

4. Hasil dan Pembahasan

4.1.Sengketa Proses Pemilu sebagai

Sengketa Tata Usaha Negara

Pasal 1 angka 4 Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha

Negara Jo. Pasal 1 angka 10 Undang-

Undang Nomor 9 Tahun 2004 Jo. Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 2009 (selanjutnya

disebut UU Peratun) memberikan

pengertian mengenai Sengketa Tata Usaha

Negara yaitu sengketa yang timbul dalam

bidang Tata Usaha Negara antara orang

atau badan hukum perdata dengan Badan

atau Pejabat Tata Usaha Negara, baik di

pusat maupun di daerah sebagai akibat

dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha

Negara, termasuk sengketa kepegawaian

berdasarkan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

Dari pengertian Sengketa Tata Usaha

Negara menurut UU Peraturan di atas, dapat

ditarik beberapa unsur yang terdapat dalam

Sengketa Tata Usaha Negara yaitu:

1. Sengketa yang timbul dalam bidang

TUN;

2. Antara orang atau badan hukum

perdata dengan Badan atau Pejabat

TUN;

3. Sebagai akibat dikeluarkannya

KTUN, termasuk sengketa

kepegawaian, berdasarkan peraturan

perundang-undangan yang berlaku.

(Yusrizal, 2015)

Terkait jenis sengketa ini, ada beberapa

bentuk penyelesaian yang dapat ditempuh.

Salah satunya adalah upaya administratif.

Ketentuan mengenai upaya administratif

termuat dalam Pasal 48 UU Peratun:

(1) Dalam hal suatu Badan atau Pejabat

Tata Usaha Negara diberi wewenang

oleh atau berdasarkan peraturan

perundang-undangan untuk

menyelesaikan secara sengketa tata

usaha Negara tertentu, maka sengketa

Tata Usaha Negara tersebut harus

diselesaikan melalui upaya

administratif yang tersedia.

42 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

(2) Pengadilan baru berwenang

memeriksa, memutus, dan

menyelesai-kan sengketa Tata Usaha

Negara sebagaimana dimaksud dalam

ayat (1) jika seluruh upaya

administratif yang bersangkutan telah

digunakan.

Penjelasan Pasal 48 UU ini menerangkan

sebagai berikut:

(1) Upaya administratif adalah suatu

prosedur yang dapat ditempuh oleh

seorang atau badan hukum perdata

apabila ia tidak puas terhadap suatu

Keputusan Tata Usaha Negara,

Prosedur tersebut dilaksanakan di

lingkungan pemerintahan sendiri dan

terdiri atas dua bentuk. Dalam hal

penyelesaian-nya itu harus dilakukan

oleh instansi atasan atau instansi lain

dari yang mengeluarkan keputusan

yang bersangkutan, maka prosedur

tersebut dinamakan “banding

administratif”.

Dalam hal penyelesaian Keputusan Tata

Usaha Negara tersebut harus dilakukan

sendiri oleh badan atau pejabat Tata Usaha

Negara yang mengeluarkan keputusan itu,

maka prosedur yang ditempuh tersebut

disebut “keberatan”.

(2) Apabila seluruh prosedur dan

kesempatan tersebut pada penjelasan

ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang

ber-sangkutan masih tetap belum

merasa puas, maka barulah

persoalannya dapat digugat dan

diajukan ke Pengadilan.

Berdasarkan ketentuan Pasal 48 di atas,

dapat kita tarik beberapa kesimpulan

mengenai upaya admintratif ini:

1. Upaya administratif merupakan upaya

pertama yang dapat ditempuh terhadap

penyelesaian sengketa tata usaha

Negara di luar pengadilan;

2. Terdapat frasa “sengketa tata usaha

tertentu” dalam Pasal 48 ayat (1),

artinya tidak semua sengketa tata usaha

Negara dapat diselesaikan melalui

upaya adminitratif, melainkan hanya

sengeta tata usaha Negara tertentu;

3. Ada dua jenis prosedur dalam upaya

administratif; keberatan dan banding.

4. PTUN baru mempunyai wewenang

untuk memeriksa, memutus, dan

menyelesaikan sengketa tata usaha

Negara, jika keberatan dan banding

administratif telah dilalui namun tidak

menghasilkan keputusan yang

memuaskan pihak yang bersangkutan.

4.2. Produk Hukum yang

Dikeluarkan Bawaslu pada

Penyelesaian Sengeketa Proses Pemilu

Menurut Bakhrul Amal (2019),

penegakan hukum Pemilu terkait dengan

sengketa proses Pemilu ditangani oleh

Lembaga Negara Badan Pengawas Pemilu

43 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

(Bawaslu). Hal ini sesuai dengan prinsip

pembentukan Bawaslu yang merupakan

lembaga Negara dengan tujuan

meningkatkan fungsi pengawasan terhadap

tahapan demi tahapan pemilu. Untuk

menunjang pelaksanaan fungsi tersebut,

UU Pemilu memberikan kewenangan yang

cukup besar kepada lembaga ini salah

satunya untuk memutus penyelesaian

sengketa proses pemilu. Ketentuan terkait

hal tersebut dapat dilihat dari pasal-pasal

berikut:

➢ Pasal 95 huruf d. Bawaslu berwenang

menerima, memeriksa, memediasi atau

mengadjudikasi, dan memutus

penyelesaian sengketa proses pemilu;

➢ Pasal 468 Ayat (1). Bawaslu, Bawaslu

Propinsi, Bawaslu Kabupaten/Kota

berwenang menyelesaikan sengketa

proses pemilu.

Pada prinsipnya sengketa proses pemilu

dapat dikategorikan sebagai sengketa tata

usaha Negara, sebab sengketa ini lahir

sebagai akibat dikeluarkannya suatu

keputusan tata usaha Negara (dalam hal ini

keputusan KPU, KPU Provinsi dan KPU

Kabupaten/Kota). Terhadap keputusan

tersebut, para calon ataupun bakal calon

peserta pemilu yang merasa dirugikan dapat

mengajukan gugatan kepada Bawaslu

sesuai dengan tingkatan pencalonannya

masing-masing. Setelah menerima dan

memeriksa permohonan, Bawaslu

kemudian mempertemukan pihak pemohon

dengan KPU untuk melakukan

musyawarah. Apabila dari proses tersebut

tidak berujung pada hasil yang disepakati

kedua pihak, maka Bawaslu menggelar

sidang adjudikasi. Di dalam sidang

adjudikasi ini, prosesnya berjalan relatif

sama meskipun tidak persis dengan sidang

sebagaimana yang dilakukan oleh lembaga

peradilan umumnya. Ada majelis sidang,

ada pembacaan isi permohonan, jawaban

termohon, proses pembuktian oleh para

pihak, para pihak dapat pula mengajukan

saksi dan ahli, sampai pada dikeluarkannya

putusan penyelesaian oleh majelis sidang.

Teknis beracara di Bawaslu ini diatur

tersendiri dalam Peraturan Bawaslu.

Adapun yang menjadi perhatian penulis

dalam pokok bahasan ini adalah mengenai

jenis produk hukum yang dihasilkan

Bawaslu. Dalam UU Pemilu dan Peraturan

Bawaslu Nomor 18 Tahun 2017 Tentang

Tata Cara Penyelesaian Sengketa Proses

Pemilihan Umum sampai dengan tiga kali

perubahannya (perubahan pertama dengan

Perbawaslu No 27 Tahun 2018, perubahan

kedua dengan Perbawaslu No 18 Tahun

2018, dan perubahan ketiga dengan

Perbawaslu Nomor 5 Tahun 2019) secara

konsisten menggunakan istilah “putusan”

untuk menyebut produk hukum yang

dihasilkan Bawaslu. Hal mana yang

menurut penulis tidak sesuai dengan

44 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

karakter Bawaslu sebagai lembaga

adminitrasi pemerintahan. Artinya Bawaslu

tidak berwenang menjatuhkan vonis kepada

lembaga administrasi pemerintahan

lainnya. Ditambah, proses adjudikasi

Bawaslu tidak dilakukan oleh hakim yang

terverifikasi kualitasnya menangani

peradilan. Melainkan oleh majelis sidang

yang dibentuk oleh dan dari anggota

Bawaslu sendiri yang dalam perekrutannya

sama sekali tidak mensyaratkan kualifikasi

seorang akademisi atau praktisi hukum.

Bila mengacu pada UU Peratun dan juga

UU Administrasi Pemerintahan, jelas

bahwa proses penyelesaian sengketa proses

pemilu yang dilakukan Bawaslu merupakan

upaya administratif. Yaitu suatu prosedur

yang dapat ditempuh oleh seorang atau

badan hukum perdata apabila ia tidak puas

terhadap suatu Keputusan Tata Usaha

Negara. Prosedur tersebut dilaksanakan di

lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam

kasus ini, proses adjudikasi dilaksanakan di

lingkungan pemerintahan pemilu, yaitu

oleh Bawaslu. Penyelesaian semacam ini

oleh Pasal 48 Ayat (1) UU Peratun

dinamakan “banding admintratif”. Dalam

hal banding admintratif tersebut

dikabulkan, Badan dan/atau Pejabat

Pemerintahan wajib menetapkan

5Pasal 78 ayat (1) UU Administrasi

Pemerintahan

keputusan sesuai dengan permohonan

banding.5

Ketidaktepatan penggunaan istilah ini

tidak dapat dianggap sepele. Pasalnya,

setiap peristilahan mengandung penafsiran

dan akibat hukumnya masing-masing.

Apabila produk hukum yang ditetapkan

Bawaslu dipaksakan tetap disebut sebagai

putusan, maka implikasi pertamanya adalah

status Bawaslu dianggap/ disamakan

dengan lembaga peradilan. Sehingga

terhadap putusannya tersebut, dapat

dimintakan banding ke Pengadilan Tinggi

Tata Usaha Negara (PTTUN).

Kenyataanya, Pasal 469 Ayat (2) UU

Pemilu menyebutkan bahwa dalam hal para

pihak menerima putusan Bawaslu terkait

penyelesaian sengketa proses pemilu maka

dapat mengajukan upaya hukum kepada

Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Itupun, yang dijadikan objek sengketa di

PTUN bukanlah Putusan Bawaslu,

melainkan kembali lagi ke Keputusan

KPU.6 Sehingga dapat dimengerti bahwa

proses sidang di PTUN bukanlah sidang

banding, melainkan sidang pertama/ biasa.

Di titik ini, pada saat yang sama UU Pemilu

juga tidak menganggap Bawaslu sebagai

lembaga peradilan.

6Pasal 1 angka 11 Perma 5/2017

45 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Ketidakjelasan peristilahan ini seakan ini

“menyalakan lampu merah” kepada semua

pihak bagaimana pengaturan kepemiluan

kita masih jauh dari nilai sempurna.

Semangat integrasi regulasi kepemiluan

yang didorong oleh pelaksanaan pemilu

serentak ke dalam satu undang-undang

(baca: UU Pemilu) rupanya belum mampu

dibersamakan dengan peningkatan kualitas

regulasi yang semakin baik. Beberapa

kewenangan baru yang diberikan kepada

Bawaslu oleh beberapa pihak justru

dianggap sebagai semacam “proyek

eksperimen” melalui undang-undang

sembari terus meramu posisi dan wewenang

apakah yang paling tepat bagi Bawaslu.

Pembentukan Bawaslu pada prinsipnya

dilakukan dengan tujuan meningkatkan

fungsi pengawasan pemilu dalam rangka

mewujudkan pemilu yang benar-benar

demokratis bagi seluruh rakyat

sebagaimana cita-cita konstitusi. Dalam

pengertian yang substantif, keberadaan

lembaga pengawas ini sebenarnya telah

lama dikenal di Indonesia, bahkan sejak

sebelum masa reformasi. Pada saat itu

nama pertama yang digunakan untuk

menyebut lembaga ini adalah Panitia

Pengawas Pelaksanaan (Panwaslak) Pemilu

yang secara struktural berada di bawah

KPU. Panitia pengawas ini hanya bertugas

sebagai “mata” KPU di lapangan. Adapun

jika ditemukan adanya pelanggaran

pemilu, maka akan dilaporkan ke KPU

untuk selanjutnya ditangani oleh KPU

sendiri. Fakta sejarah membuktikan hal

tersebut sangat sulit -jika tidak ingin

dikatakan mustahil- mewujudkan pemilu

yang berkeadilan.

Adapun keberadaan pengawas pemilu

dengan nama Badan Pengawas Pemilu

(Bawaslu) sebagai lembaga yang

melakukan fungsi pengawasan dalam

pelaksanaan pemilu pertama kali

disebutkan dalam Undang-Undang Nomor

22 Tahun 2007 Tentang Penyelenggara

Pemilu (selanjutnya disebut UU 22/2007).

Meskipun undang-undang ini sudah

menetapkan Bawaslu sebagai lembaga

negara yang sifatnya permanen, namun

ketidakmandirian Bawaslu sebagai lembaga

pengawas terhadap KPU belum banyak

berubah. Mekanisme pengangkatan

anggota Bawaslu dimulai dari tahap seleksi

yang tim seleksinya masih dibentuk oleh

KPU. Atas alasan inilah, lima orang

anggota Bawaslu pada tahun 2010

kemudian mengajukan uji materi terhadap

sebagian pasal dalam UU 22/2007.

Hasilnya MK mengabulkan sebagian

permohonan tersebut melalui Putusan MK

No. 11/PUU-VIII/2010. Pada bagian

Pertimbangan Hukum putusan ini

dijelaskan sebagai berikut:

Klausula “suatu komisi pemilihan

umum” dalam UUD 1945 tidak merujuk

46 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

kepada sebuah nama istitusi, akan tetapi

menunjuk kepada fungsi

penyelenggaraan pemilihan umum yang

bersifat nasional, tetap dan mandiri.

Dengan demikian, menurut Mahkamah,

fungsi penyelenggaraan pemilihan

umum tidak hanya dilaksanakan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU), akan

tetapi termasuk juga lembaga pengawas

pemilihan umum dalam hal ini Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai

satu kesatuan fungsi penyelenggaraan

pemilihan umum yang bersifat nasional,

tetap dan mandiri.

Dengan dasar putusan MK di atas,

kemudian terbitlah Undang-Undang Nomor

15 Tahun 2011 Tentang Penyelenggara

Pemilu sebagai pengganti undang-undang

sebelumnya. Melalui undang-undang ini

Bawaslu ditetapkan sebagai lembaga

pengawas pemilu yang mandiri dari

lembaga manapun. Penguatan posisi dan

wewenang Bawaslu terus berlanjut hingga

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017

Tentang Pemilu.

Ditilik dari sisi hintoris, sangat wajar jika

kemudian undang-undang kepemiluan yang

terbaru memberikan kewenangan kepada

Bawaslu salah satunya untuk memutus

penyelesaian sengketa proses pemilu.

Namun, kewenangan tersebut tidak mesti

dilakukan melalui forum adjudikasi

sehingga menghasilkan sebuah putusan.

Penyelesaian sengketa tersebut dapat saja

dilakukan dalam rapat kajian seperti diatur

sebelumnya. Para pihak juga tetap dapat

diberikan keluasan untuk membela diri,

termasuk untuk menghadirkan saksi dan

ahli. Sebab menurut hemat penulis, forum

adjudikasi inilah satu-satunya yang

menyebabkan para perumus UU Pemilu

tidak menyadari kesalahan penggunaan

istilah putusan dan keputusan. Jika dilihat

dari sifat normanya, antara putusan dan

keputusan memang tidaklah berbeda, yakni

sama-sama bersifat individual dan konkrit.

Perbedaannya hanya pada karakter lembaga

yang mengeluarkan, apakah lembaga

eksekutif atau lembaga yudikatif.

Dalam praktek kelembagaan Negara

dewasa ini, memang tidak dapat dipungkiri

telah berkembang jenis kelembagaan baru

yang memiliki fungsi campuran antara dua

atau tiga fungsi dasar lembaga Negara

sebagaimana mengacu pada teori trias

politica ala Montesqieu. Salah satu jenis

baru tersebut adalah lembaga kuasi

peradilan. Bawaslu dapat dikelompokkan

dalam kategori ini, karena selain bertindak

sebagai adminitrasi publik, pada saat yang

bersamaan Bawaslu juga memiliki fungsi

yudikasi seperti lembaga peradilan. Namun,

bagaimanapun pada prinsipnya keberadaan

lembaga jenis ini hanyalah bersifat semi

atau seolah-olah seperti peradilan, dan oleh

karena itu Bawaslu tidak boleh disamakan

dengan lembaga peradilan umumnya. Dan

pada kenyataannya, Bawaslu tidak berada

di bawah kekuasaan kehakiman manapun.

47 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Kembali ke kacamata yuridis, Pasal 471

Ayat (1) UU Pemilu juga sudah menyebut

secara eksplisit bahwa prosedur

penyelesaian sengketa proses pemilu di

Bawaslu merupakan upaya admintratif.7

Artinya, mengacu pada Pasal 78 Ayat (1)

UU Administrasi Pemerintahan, maka

produk hukum yang seharusnya

dikeluarkan Bawaslu terkait penyelesaian

sengketa proses pemilu ialah keputusan,

bukan putusan. Akhirnya, bagaimanapun

penulis tetap meyakini bahwa kekeliruan

peristilahan ini murni ketidaksengajaan.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah

dipaparkan, penulis berkesimpulan bahwa

terdapat kekeliruan pada UU Pemilu

khususnya mengenai nomenklatur yang

dihasilkan Bawaslu terkait penyelesaian

sengketa proses pemilu. Bahwa UU Pemilu

menggunakan istilah “putusan” untuk

menyebut produk yang dikeluarkan

Bawaslu, yang mana hal ini bertentangan

dengan karakter Bawaslu sebagai badan

administrasi publik dan tidak sama sekali

berada di bawah kekuasaan kehakiman

manapun. Bahwa proses penyelesaian

sengketa proses pemilu di Bawaslu

7Pengajuan gugatan atas sengketa tata

usaha negara Pemilu sebagaimana dimaksud dalam

Pasal 470 ke pengadilan tata usaha negara,

merupakan prosedur banding administratif

terhadap keputusan KPU. Dan berdasarkan

UU Administrasi Pemerintahan, produk

hukum yang dikeluarkan oleh

badan/pejabat administrasi publik terkait

hasil banding administratif adalah

berbentuk “keputusan”, bukan “putusan”.

Maka produk hukum yang dikeluarkan

Bawaslu terkait penyelesaian sengketa

proses pemilu seharusnya adalah

“Keputusan”, bukan “Putusan”.

Setelah meneliti, membahas dan

menyimpulkan, penulis kemudian

menyodorkan pula saran terkait hasil

penelitian ini agar diadakan upaya bagi

pemerintah dan seluruh pihak terkait untuk

menertibkan penggunaan istilah

“keputusan” dan “putusan” pada seluruh

peraturan perundang-undangan Indonesia,

khususnya UU Pemilu.

dilakukan setelah upaya administratif di Bawaslu

sebagaimana dimaksud dalam Pasal 467, Pasal 468,

dan Pasal 469 ayat (2) telah digunakan.

48 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Buku V Pemilihan Umum, 2010. Naskah Komprehensif Perubahan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945: Latar Belakang, Proses dan Hasil Pembahasan 1999-2002.

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, hlm. 455-456.

Dahlan Thaib, Sri Hastuti Puspitasari. 2009. Ketatanegaraan Indonesia Perspektif Konstitusional. Total

Media. Yogyakarta.

Fajlurrahman Jurdi. 2018. Pengantar Hukum Pemilihan Umum - Edisi Pertama. Kencana

Prenadamedia Group. Jakarta.

Jimly Asshidiqie, 2006, “Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi”,

Sekretariat Jenderal dan Kepaniteraan Mahkamah Konstitusi, Jakarta. , 2017, Pengantar Ilmu

Hukum Tata Negara, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji, 2011, “Penelitian Hukum Normatif – Suatu Tinjauan Singkat” cetakan

ke 13, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta.

Takdir Rahmadi, 2011, Mediasi Penyelesaian Sengketa Melalui Pendekatan Mufakat, Rajawali Pers,

Jakarta.

Winardi, 2007, Management Konflik (Konflik Perubahan dan Perkembangan) Mandar Maju, Bandung.

Yusrizal. Cetakan Pertama, 2015. Modul Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Unimal Press.

Artikel Jurnal

Bakhrul Amal, 2019, Kewenangan Mengadili Oleh Bawaslu Atas Sengketa Proses Pemilu Yang Diatur

Dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum, Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jilid 48 No.3, Juli

2019

Muhammad Zulfan Hakim. 2008. Demokrasi Dalam Pilkada Di Indonesia, Jurnal Humanis UNM,

Makassar.

Peraturan Perundang-Undangan

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum;

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Undang-Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986

tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Undang Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor

5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Adminintrasi Pemerintahan;

49 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

URGENSI PENDIDIKAN POLITIK DALAM MENCIPTAKAN PEMILU

DAMAI DI SULAWESI SELATAN (PENDEKATAN SOSIOLOGI POLITIK)

THE URGENCY OF POLITICS EDUCATION IN CREATING THE

TRANQUILLITY OF GENERAL ELECTION IN SOUTH SULAWESI

(POLITICS SOCIOLOGY APPROACH)

Askar Nur

Bahasa dan Sastra Inggris, FAH – Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar

Jalan H.M. Yasin Limpo No. 36 Samata, Kabupaten Gowa, Sulawesi Selatan, Indonesia Telepon

(0411) 841879 Faksimile (0411) 8221400

E-mail:

[email protected]

Abstract

This research explains about the urgency of politics education for creating calm and honestly

situation and condition in general election process in South Sulawesi. This research is descriptive

research using qualitative method and Maurice Duverger’s politics sociology approach. This

research is conducted for identifying conflict or other problem either general or district election in

South Sulawesi. After doing research process, the researcher found that variable which is able to

create calm and honestly general or district election concept is to increase learning quality to the

society as elector in this case politics education.

Keywords: Politics Education; General Election; District Election; Sociology; South Sulawesi.

Abstrak

Penelitian ini menjelaskan tentang urgensi dari pendidikan politik dalam upaya menciptakan situasi

dan kondisi damai dalam prosesi pemilihan umum (Pemilu) di Sulawesi Selatan. Penelitian ini

merupakan penelitian deskriptif dengan menggunakan metode kualitatif dan pendekatan sosiologi

politik Maurice Duverger. Penelitian ini dilaksanakan dengan tujuan mengidentifikasi konflik atau

permasalahan lainnya baik dalam pemilu maupun pilkada di Sulawesi Selatan. Setelah melakukan

proses penelusuran, peneliti menemukan bahwa variabel yang mampu menciptakan konsepsi pemilu

atau pilkada damai dan jujur adalah dengan meningkatkan mutu pembelajaran kepada masyarakat

selaku pemilih dalam hal ini pendidikan politik.

Kata Kunci : Pendidikan Politik, Pemilu, Pilkada, Sosiologi, Sulawesi Selatan

1. Pendahuluan

Menciptakan kestabilan dan

kesejahteraan bagi masyarakat merupakan

salah satu dari beberapa tujuan ultim dari

negara. Konsepsi bernegara tidak terlepas

daripada tanggung jawab dalam

memberikan jaminan kesejahteraan kepada

seluruh masyarakat. Dalam rangka

mencapai tujuan tersebut maka dipandang

perlu dan atau dibutuhkan kehadiran sosok

pemimpin yang memiliki kapasitas dan

integritas dalam mencapai tujuan dari

walfare state. Prosesi pemilihan pemimpin

tidak terlepas daripada prinsip demokratis

sesuai amanah UUD 1945 dalam hal ini

masyarakat diberikan kebebasan dalam

50 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

memilih suatu perkara khususnya dalam hal

memilih pemimpin yang tetap

mengedepankan asas dan prinsip

demokrasi. Indonesia sebagai negara

hukum dan menjunjung tinggi nilai-nilai

demokrasi merupakan ciri khas tersendiri

sepanjang sejarah kelahirannya (Zega et al.,

2019).

Dalam proses memilih pemimpin

tentunya dibutuhkan sebuah perangkat atau

wadah tersendiri yang mampu mendukung

lahirnya sosok pemimpin berdasarkan

pilihan masyarakat. Tercatat sejak tahun

1955, Indonesia telah menyelenggarakan

pemilu (pemilihan umum) yang merupakan

proses dalam memilih seseorang untuk

menduduki posisi kepemimpinan di negeri

ini (Rohim & Wardana, 2019).

Pelaksanaan pemilu pada tahun 1955

diselenggarakan dua kali berdasarkan

amanat UU No. 7 Tahun 1953 dengan

keterangan sebagai berikut:

1) Pemilu pertama dilaksanakan pada

tanggal 29 September 1955 untuk

memilih anggota-anggota Dewan

Perwakilan Rakyat (DPR).

Pemilihan Umum pertama diikuti

oleh 11 peserta yang terdiri dari 36

partai politik, 34 organisasi

kemasyarakatan, dan 48

perorangan.

2) Pemilihan Umum kedua dilakukan

pada 15 Desember 1955 untuk

memilih anggota-anggota Dewan

Konstituante. Pemilihan Umum

kedua diikuti oleh 91 peserta yang

terdiri dari 39 partai politik, 23

organisasi kemasyarakatan, dan 29

perorangan (Solihah, 2018).

Pemilu pada tahun 1955 menggunakan

sistem proporsional atau sistem berimbang.

Hal ini berarti bahwa kursi yang tersedia

dibagikan kepada partai politik sesuai

dengan imbangan perolehan suara yang

didapat oleh partai politik. Pada sistem ini

wilayah negara adalah daerah pemilihan

(Purba, Sivadabert, 2015). Namun, karena

wilayah negara yang terlalu luas maka

dibagikan berdasarkan daerah pemilihan

dengan membagi sejumlah kursi dengan

perbandingan jumlah penduduk.

Selanjutnya, pemilu pada tahun 1971

yang dilaksanakan pada Masa Orde Baru

berdasarkan UU No. 15 Tahun 1969.

Pemilu kedua ini diselenggarakan pada

tanggal 5 Juli 1971 (Masrizal & Sos, 2016).

Pemilu 1971 bertujuan memilih anggota

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dengan

sistem perwakilan berimbang

(proporsional) dengan stelsel daftar. Jumlah

partai politik nasional yang mengikuti

Pemilihan Umum 1971 adalah 10 partai

politik nasional. Partai politik tersebut

terdiri dari Partai Nadhalatul Ulama, Partai

Muslim Indonesia, Partai Serikat Islam

Indonesia, Persatuan Tarbiyah Islamiiah,

Partai Nasionalis Indonesia, Partai Kristen

51 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Indonesia, Partai Katholik, Partai Ikatan

Pendukung Kemerdekaan Indonesia, Partai

Murba, dan Sekber Golongan Karya (Sair,

2016).

Hal yang sangat membedakan dengan

Pemilu 1955 adalah para pejabat negara

diharuskan bersikap netral. Namun pada

praktiknya, para pejabat pemerintah

berpihak kepada salah satu peserta pemilu

yaitu Golkar. Pembagian kursi Pemilu 1971

juga berbeda dengan Pemilu 1955, yaitu

semua kursi terbagi habis di setiap daerah

pemilihan (Sinamora, 2019).

Ketiga, pemilu pada periode 1977-1997

menggunakan sistem yang sama dengan

pemilu 1971. pemilu pada Masa Orde Baru

ini diawali pada tanggal 2 Mei 1977

(Yustiningrum et al., 2015). Pada pemilu

periode ini terjadi peleburan atau fusi

parpol peserta pemilu, sehingga hanya

diikuti oleh 3 partai politik nasional yaitu:

1) Partai Golongan Karya

2) Partai Persatuan Pembangunan

(PPP) yang merupakan gabungan

dari Partai NU, Parmusi, Perti, dan

PSII. Baca juga artikel mengenai

sejarah Partai PPP.

3) Partai Demokrasi Indonesia (PDI)

yang merupakan gabungan dari

PNI, Partai Katolik, Parkindo, Partai

IPKI, dan Partai Murba.

Setelah pemilu 1977, pemilu berikutnya

selalu diselenggarakan setiap 5 tahun

sekali. Hal lain yang membedakan adalah

sejak Pemilu 1977 pesertanya jauh lebih

sedikit, yaitu dua partai politik dan Golkar

(Efyanti et al., 2019). Pemilu pada periode

ini pemenangnya selalu sama, yaitu Golkar.

Keempat, pemilu 1999 yang

persiapannya tergolong singkat, tetapi

pemilu tetap dilakukan sesuai jadwal yaitu

7 Juni 1999. Pemilu 1999 merupakan

penanda pemilihan pertama pada Masa

Reformasi dan dilakukan serentak di

seluruh Indonesia. Pemilu 1999 juga

menandai kebangkitan demokrasi di

Indonesia (Liando, 2016). Hal ini terbukti

dari banyaknya jumlah peserta yang

mengikuti pemilihan, yaitu sebanyak 48

partai politik.

Cara pembagian kursi pada pemilu kali

ini tetap menggunakan sistem proporsional

dengan mengikuti varian Roget (Bashori,

2018). Hal ini berarti bahwa sebuah partai

memperoleh kursi seimbang dengan suara

yang diperolehnya di daerah pemilihan.

Namun, ada yang berbeda dengan cara

penetapan calon terpilih dibandingkan

dengan pemilu periode sebelumnya. Pada

Pemilu kali ini, calon terpilih ditetapkan

berdasarkan suara terbesar atau terbanyak

dari daerah tempat seseorang dicalonkan

(Tata et al., 2019). Hal ini berbeda dengan

sejak Pemilu 1977, pada saat itu nomor urut

pertama dalam daftar calon partai secara

otomatis terpilih apabila partai itu mendapat

kursi.

52 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Kelima, pemilu tahun 2004 dimana

masyarakat secara langsung dapat memilih

DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil

Presiden. Pemilu 2004 dilaksanakan secara

serentak pada 5 April 2004 untuk memilih

550 anggota DPR, 128 anggota DPD serta

DPRD untuk periode 2004-2009. Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden RI

dilaksanakan pada 5 Juli 2004 (Putaran I)

dan 20 September 2004 (Putaran II).

Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden

pada Pemilihan Umum 2004 dimenangkan

oleh Susilo Bambang Yudhoyono

(Presiden) dan Jusuf Kalla (Wakil

Presiden).

Pemilu 2004 menunjukkan kemajuan

demokrasi di Indonesia. Masyarakat dapat

memilih secara langsung dan bukan lagi

melalui anggota MPR seperti pemilu

sebelumnya. Selain itu, pemilu 2004 juga

diikuti oleh banyak partai politik peserta

pemilu. Partai peserta pemilu 2004 yakni

Partai Buruh Sosial Demokrat; Partai

Merdeka; Partai Perhimpunan Indonesia

Baru; Partai Nasional Banteng

Kemerdekaan; Partai Persatuan Nahdlatul

Ummah Indonesia; Partai Patriot Pancasila;

Partai Sarikat Indonesia; Partai Persatuan

Daerah, Partai Pelopo; Partai Nasional

Indonesia Marhaenisme; Partai Keadilan

dan Persatuan Indonesia, dan Partai

Penegak Demokrasi Indonesia. Partai

Karya Peduli Bangsa; Partai Pelopor; Partai

Persatuan Demokrasi Kebangsaan; Partai

Damai Sejahtera; Partai Bulan Bintang;

Partai Persatuan Pembangunan; Partai

Demokrat; Partai Amanat Nasional; Partai

Kebangkitan Bangsa; Partai Keadilan

Sejahtera; Partai Bintang Reformasi; Partai

Demokrasi Indonesia Perjuangan; dan

Partai Golongan Karya (Suryana, 2020).

Keenam, pemilu 2009 adalah pemilihan

umum kedua setelah pemilu 2004 yang

diikuti dengan pemilihan langsung Presiden

dan Wakil Presiden Republik Indonesia.

Pasangan calon terpilih pada pemilihan

presiden dan wakil presiden adalah

pasangan yang memperoleh suara lebih dari

50% dari jumlah suara dengan sedikitinya

20% suara di setiap provinsi yang tersebar

lebih dari 50% jumlah provinsi di

Indonesia. Peserta pemilu 2009 untuk

pemilihan anggota DPR, DPD, dan DPRD

diikuti oleh 44 partai politik, yaitu 3 partai

nasional dan 6 partai lokal Aceh. Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden pada

Pemilihan Umum 2009 dimenangkan oleh

Susilo Bambang Yudhoyono (Presiden) dan

Boediono (Wakil Presiden).

Ketujuh, pemilu 2014 yang

diselenggarakan dua kali. Pemilu pertama

dilaksanakan pada tanggal 9 April 2014

dengan tujuan pemilihan para anggota

legislatif. Pemilu legislatif ini bertujuan

memilih 560 anggota DPR, 132 anggota

DPD, dan anggota DPRD Provinsi maupun

DPRD Kabupaten/ Kota Se-Indonesia

untuk periode 2014-2019. Pemilu kedua

53 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dilakukan pada tanggal 9 Juli 2014 dengan

tujuan pemilihan Presiden dan Wakil

Presiden (Arianto & Ali Haji, n.d.).

Pemilihan Presiden diikuti oleh dua pasang

calon Presiden dan Wakil Presiden yaitu

Prabowo Subianto yang berpasangan

dengan Hatta Rajasa dan Joko Widodo yang

berpasangan dengan Jusuf Kalla.

Pemilu 2014 diikuti oleh 10 partai

politik. Partai politik tersebut adalah Partai

Amanat Nasional (PAN), Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai

Demokrat, Partai Gerakan Indonesia Raya

(Gerindra), Partai Golongan Karya

(Golkar), Partai Hati Nurani Rakyat

(Hanura), Partai Keadilan Sejahtera (PKS),

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), Partai

Nasional Demokrat (Nasdem), dan Partai

Persatuan Pembangunan (PPP). Pemilihan

Presiden dan Wakil Presiden pada

Pemilihan Umum 2014 dimenangkan oleh

Joko Widodo (Presiden) dan Jusuf Kalla

(Wakil Presiden).

Lebih lanjut, Indonesia kembali

menyelenggarakan pemilihan umum di

tahun 2019. Pada Pemilu 2019 ada 16 partai

politik nasional yang berpartisipasi

(Masyarakat et al., 2019). Keenam belas

partai politik nasional tersebut adalah Partai

Amanat Nasional (PAN); Partai Demokrasi

Indonesia Perjuangan (PDIP); Partai

Demokrat; Partai Gerakan Indonesia Raya

(Gerindra); Partai Golongan Karya

(Golkar); Partai Hati Nurani Rakyat

(Hanura); Partai Keadilan Sejahtera (PKS);

Partai Kebangkitan Bangsa (PKB); Partai

Nasional Demokrat (Nasdem); Partai

Persatuan Pembangunan (PPP); Partai

Persatuan Indonesia (Perindo); Partai

Solidaritas Indonesia (PSI); Partai Beringin

Karya (Berkarya); Partai Bulan Bintang

(PBB); Partai Gerakan Perubahan

Indonesia (Garuda); dan Partai Keadilan

dan Persatuan Indonesia (PKPI); ditambah

4 partai politik lokal Aceh yaitu Partai

Aceh, Partai Sira, Partai Daerah Aceh, dan

Partai Nanggroe Aceh.

Pemilu 2019 diselenggarakan secara

serentak antara Pemilu Legislatif dan

Pemilu Presiden dan Wakil Presiden, yaitu

digelar dalam satu hari yang sama tanggal

17 April 2019. Pasangan calon Presiden dan

Wakil Presiden yang bertanding dalam

Pemilihan Umum Presiden 2019 adalah

pasangan Joko Widodo dan Ma’ruf Amin

dengan pasangan Prabowo Subianto dan

Sandiaga Salahuddin Uno dan

dimenangkan oleh pasangan Joko Widodo

dan Ma’ruf Amin.

Sementara itu, pemilu tahun 2020 untuk

pemilihan kepala daerah akan digelar

serentak pada Desember 2020 mendatang.

Di Sulawesi Selatan khususnya terdapat

beberapa kandidat yang akan bertarung di

masing-masing daerah. Hal tersebut tentu

akan melahirkan serangkaian persaingan

dari masing-masing kandidat.

54 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Dalam konteks pemilu, salah satu tujuan

dari pemilukada adalah memilih pemimpin

yang berkualitas, namun demikian tujuan

dari pemilukada yang damai adil justru

memiliki kendala tersendiri terlebih potensi

konflik yang sering terjadi pada setiap

pelaksanaan pemilukada di Indonesia

secara umum dan di Sulawesi Selatan

khususnya. Potensi konflik pemilukada

seringkali terjadi pada masyarakat, yang

membawa gesekan pada level elit sehingga

tujuan dari pemilukada yang damai dan adil

seringkali jauh dari tujuan hadirnya

Undang-Undang tentang Pemilu.

Konflik seringkali terjadi dalam proses

interaksi antar-individu, individu dengan

kelompok, maupun kelompok dengan

kelompok yang masing-masing disebabkan

oleh perbedaan baik dalam latar belakang

interaksi, kemampuan berinteraksi, maupun

tujuan berinteraksi (Makmur, 2020). Tidak

terkecuali konflik juga terjadi pada

masyarakat Indonesia yang mempunyai

latar belakang politik, etnis, dan agama

yang berbeda. Dari latar belakang yang

beragam ini, corak konflik di Indonesia pun

juga beragam.

Dalam proses pelaksanaannya,

pemilihan kepala daerah (pilkada) langsung

ternyata seringkali menyebabkan sejumlah

persoalan terkait proses pelaksanaannya

yang dinilai cenderung menghamburkan

dana rakyat termasuk dugaan money

politics, serta tidak jarang hasil pilkada

langsung itu direspon secara negatif

sehingga berbuntut kerusuhan dan

kekerasan.

Money politics, politik identitas dan

serangkaian konflik lainnya yang

mengisyaratkan tidak berjalannya konsepsi

jujur dan adil sesuai amanat UU tentang

Pemilu merupakan fenomena yang acapkali

mewarnai dunia perpolitikan di Indonesia

khususnya di Sulawesi Selatan. Hal

demikian pun menjadi penanda minimnya

pendidikan politik bagi para pemilih.

Dalam pasal 1 ayat (4) UU No. 2 Tahun

2008 tentang partai politik menyebutkan

bahwa pendidikan politik merupakan

proses pembelajaran dan pemahaman

tentang hak, kewajiban, dan tanggung

jawab setiap warga negara dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara. Pasal ini

menjelaskan bahwa partai politik berhak

memberikan pendidikan politik kepada

setiap warga negara dan setiap warga

negara juga berhak menerima pendidikan

itu (Amruddin, 2020).

Misalnya pendidikan politik yang

diberikan oleh partai politik kepada

masyarakat, dalam hal ini memberikan

pendidikan politik secara berkala kepada

masyarakat. Dengan adanya pendidikan

politik yang diberikan oleh partai politik,

maka masyarakat mulai memahami apa itu

politik dan pendidikan politik. Dengan

adanya pendidikan politik yang diberikan,

maka masyarakat juga akan dapat

55 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

memberikan partisipasi yang tepat bagi

negaranya, seperti berpartisipasi dalam

memberikan suara pada pemilihan umum

dan terhindar dari segala konflik yang

umumnya hadir dalam kontestasi

perpolitikan (Freire et al., n.d.).

Senada dengan itu, pendidikan politik

yang simultan akan membawa pengaruh

positif kepada para masyarakat khususnya

dari segi ruang sosiologi politik. Sosiologi

politik sebagai bentuk perkawinan antara

ilmu sosiologi dan ilmu politik yang

berfokus pada masyarakat, negara dan

kekuasaan untuk melihat hubungan

masyarakat dengan lembaga-lembaga

politik, seperti sosialisasi politik, partisipasi

politik, rekrutmen politik, komunikasi

politik, konflik dan demokrasi; dan

hubungan masyarakat dengan lembaga

politik dan proses politik secara bersamaan,

seperti budaya politik dan civil society

sehingga tercipta sebuah keselarasan antara

kontestasi politik dan kesejahteraan

masyarakat sebagai fokus utama dari

produk-produk politik (Pahlevi &

Amrurobbi, 2020).

Oleh karena itu, penelitian ini bertujuan

untuk menggambarkan urgensi pendidikan

politik di Sulawesi Selatan sebagai upaya

untuk menciptakan pemilu jujur dan adil

melalui serangkaian masalah atau konflik

yang pernah terjadi di Sulawesi Selatan

dengan merujuk kepada pendekatan

sosiologi politik Maurice Duverger.

2. Metode Penelitian

Objek penelitian ini ialah fenomena-

fenomena tentang masalah atau konflik

pemilu yang terjadi di Sulawesi Selatan

yang mengharuskan hadirnya pendidikan

politik. Penelitian ini menggunakan teknik

pengumpulan data dokumentasi

pemberitaan masalah atau konflik pemilu

yang terjadi di Sulawesi Selatan untuk

memperoleh sumber data primer dan kajian

pustaka untuk data sekunder. Analisis

dilakukan dengan terlebih dahulu

mengelompokkan pesan berdasarkan

dokumentasi masalah atau konflik yang

terjadi di Sulawesi Selatan. Teknik analisis

penelitian menggunakan analisis sosiologi

politik Maurice Duverger. Penelitian ini

menekankan penyelesaian masalah dengan

merujuk kepada metode penelitian

kualitatif deskriptif.

3. Hasil dan Pembahasan

1. Fenomena Permasalahan Pemilu di

Sulawesi Selatan

Di Sulawesi Selatan, kasus dan polemik

seputaran pemilu bukan lagi menjadi

rahasia dalam pandangan publik. Hampir di

setiap kontestasi perpolitikan diwarnai

peristiwa baik yang sifatnya lumrah

maupun yang fatal (Asti, 2014). Selain

maraknya pesta demokrasi yang diwarnai

adegan kecurangan seperti money politics,

56 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

politik identitas dan politik dinasti juga

acapkali terjadi tindakan yang menyentuh

ranah-ranah fisikal seperti yang pernah

terjadi pasca Pemilihan Gubernur Sulawesi

Selatan tahun 2009 yang membuat kondisi

provinsi itu baik bidang keamanan dan

stabilitas politik memanas (Sasmita, 2011).

Beberapa polemik konflik di Sulawesi

Selatan selain konflik pasca Pemilihan

Gubernur Sulawesi Selatan tahun 2009,

juga terdapat konflik pada sejumlah daerah.

Misalnya, konflik yang terjadi di

Kabupaten Pangkep tahun 2005 dimana

massa pada saat itu menyegel kantor KPU

(Sitepu, 2016). Hal serupa juga terjadi di

Kabupaten Toraja dan Kabupaten Soppeng

tahun 2008. Terjadi amuk massa yang

berdampak pada penyegelan kantor KPU

dan rusaknya kertas suara yang dibakar

massa. Hal ini dipicu oleh adanya

kecurigaan massa terhadap penyelenggara

pemilu yang tidak terbuka pada msyarakat

dalam penghitungan suara.

Mengurai permasalahan-permasalahan

yang dihadir sebelum dan sesudah pemilu

tersebut yang juga berefek kepada

masyarakat awam khususnya pada

kehidupan masyarakat, Maurice Duverger

dalam teori sosiologi politiknya

mengambarkan bahwa sosiologi politik

sebagai ilmu tentang kekuasaan,

pemerintahan, otoritas, komando dalam

semua masyarakat, yang bukan saja

masyarakat nasional, tetapi juga dalam

masyarakat lokal dan internasional. Jadi

dapat disimpulkan bahwa sosiologi politik

adalah disiplin ilmu yang mempelajari

antara masyarakat dan politik; hubungan

masyarakat dengan lembaga-lembaga

politik di satu sisi dan masyarakat dengan

proses politik (sosialisasi, partisipasi,

rekrutmen, komunikasi dan konflik) di sisi

lain (Yusnedi Achmad, S.H., 2019).

Sosiologi politik Duverger mencakup

struktur politik, faktor-faktor antagonis

politik, bentuk-bentuk konflik politik.

Struktur politik menjelaskan batas-batas

teritorial atau wilayah-wilayah kekuasaan,

sumber-sumber alami, dan alat-alat

teknologi yang bisa menimbulkan konflik

antar individu atau kelompok dalam

masyarakat. Faktor-faktor antagonis politik

adalah suatu sikap yang menentang atau

bertolak belakang dengan kekuasaan politik

yang menjelaskan faktor-faktor timbulnya

konflik antar individu atau kelompok dalam

kehidupan masyarakat (Vol & Sosial,

2010).

Antagonis politik sendiri terdiri dari

kepentingan individual di antaranya bakat-

bakat individual serta sebab-sebab

psikologis dan kepentingan kolektif

diantaranya ada perjuangan kelas, konflik

rasial, konflik antar kelompok horizontal,

serta konflik antara kelompok teritorial.

Bentuk-bentuk konflik politik menjelaskan

57 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

bentuk-bentuk atau wujud-wujud dari

konflik politik yang terjadi pada individu

maupun kelompok-kelompok dalam

masyarakat.

Permasalahan dalam setiap pemilu baik

pemilihan presiden dan wakil presiden

maupun pilkada akan membawa pengaruh

besar terhadap budaya yang terbangun

dalam masyarakat. Sosiologi politik

Duverger menggambarkan dampak-

dampak yang ditimbulkan oleh konflik

yang terjadi dalam prosesi pemilu maupun

pemilukada terhadap kehidupan politik

masyarakat sehingga sebuah kegelisahan

tersendiri di tubuh sosial kemasyarakatan

yang mengharuskan hadirnya wadah

pembelajaran terkait esensi dan tujuan

daripada hadirnya pemilu dan pesta-pesta

demokrasi lainnya (Amsori, 2017).

Salah satu kabupaten atau kota yang ada

di Sulawesi Selatan yang akan

menyelenggarakan pilkada pada tahun 2020

adalah Makassar. Beberapa pakar

menyebutkan bahwa pilkada 2020 di

Makassar rawan akan konflik. Hal tersebut

diutarakan pula oleh Komisioner Bawaslu

Sulsel dalam sebuah wawancara yang

dilansir di Tribun-Timur.com, setidaknya

terdapat 10 dimensi yang menjadi faktor

rawannya konflik dalam kontestasi pilkada

2020 di Makassar, di antaranya

pemasangan alat peraga yang tidak sesuai

aturan, praktik politik uang kepada pemilih

untuk memilih calon tertentu, praktik mahar

politik, penggunaan fasilitas negara dalam

kampanye oleh peserta pemilu, peserta

pemilu melakukan kampanye di luar

jadwal, politik uang pada masyarakat dalam

bentuk kegiatan sosial dalam memilih calon

tertentu, iklan kampanye di luar jadwal,

konflik antar pendukung, konflik antara

peserta dan praktik uang kepada tokoh

untuk memilih calon tertentu (Sukendar,

2017).

2. Urgensi Pendidikan Politik di

Sulawesi Selatan

Keberadaan parpol dalam suatu negara

merupakan konsekuensi dari lahirnya

sistem demokrasi perwakilan, hal ini karena

institusi partai politik memang lahir dan

berkembang guna merealisasi sistem

perwakilan ini. Di dalam sistem demokrasi

modern (baca demokrasi perwakilan), maka

parpol harus dapat memainkan peranan

penting dalam proses perwakilan tersebut.

Dengan demikian maka sekali partai itu

terbentuk atau muncul maka ia harus segera

membangun sendi-sendi yang mampu

memperkuat kelangsungan demokrasi itu

sendiri dan pemerintahan konstitusional.

Gagasan tentang partai politik dapat kita

temukan baik pada negara yang menganut

sistem politik demokratis maupun otoriter.

Dalam sistem politik demokratis gagasan

mengenai partisipasi rakyat mempunyai

58 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dasar idiologis bahwa rakyat berhak untuk

turut menentukan siapa- siapa yang akan

menjadi pemimpin yang nantinya akan

menentukan kebijakan umum. Sementara di

negara yang menganut faham otoriter

gagasan partisipasi rakyat dilandasi oleh

pandangan elit politiknya bahwa rakyat

perlu dibimbing dan dibina untuk mencapai

stabilitas yang langgeng, dan untuk

mencapai hal itu parpol merupakan alat

yang baik.

Beragam definisi tentang Partai Politik

yang dikemukakan oleh para pakar

berdasarkan perspektifnya masing-masing

(Santoso, 2013). Secara umum Partai

Politik merupakan suatu organisasi yang

bersifat nasional dan dibentuk oleh

sekelompok warga negara Indonesia secara

sukarela atas dasar kesamaan kehendak dan

cita-cita untuk memperjuangkan dan

membela kepentingan politik anggota,

masyarakat, bangsa dan negara, serta

memelihara keutuhan Negara Kesatuan

Republik Indonesia berdasarkan Pancasila

dan Undang-Undang Dasar Negara

Republik Indonesia Tahun 1945.

Menurut ketentuan Pasal 11 UU Nomor

2 tahun 2008 fungsi partai politik adalah

melakukan;

1) Pendidikan politik bagi anggota dan

masyarakat luas agar menjadi warga

negara Indonesia yang sadar akan

hak dan kewajibannya dalam

kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara;

2) Penciptaan iklim yang kondusif

bagi persatuan dan kesatuan bangsa

Indonesia untuk kesejahteraan

masyarakat;

3) Penyerap, penghimpun, dan

penyalur aspirasi politik masyarakat

dalam merumuskan dan

menetapkan kebijakan negara;

4) Partisipasi politik warga negara

Indonesia; dan

5) Rekrutmen politik dalam proses

pengisian jabatan politik melalui

mekanisme demokrasi dengan

memperhatikan kesetaraan dan

keadilan gender.

Secara normatif pendidikan politik oleh

partai politik, baru mulai dicantumkan

dalam UU parpol sejak era reformasi

melalui UU Nomor 3 Tahun 1999 jo UU

Nomor 31 Tahun 2002 dan UU Nomor 2

Tahun 2008. Sementara pada masa Orde

Baru melalui UU Nomor 3 Tahun 1975 jo

UU Nomor 3 Tahun 1985 fungsi

pendidikan politik tidak dibebankan pada

parpol namun dilaksanakan oleh

pemerintah. UU Nomor 2 Tahun 2008

menjadi undang-undang pertama yang

secara spesifik mengamanatkan perlunya

59 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

pendidikan politik dengan memperhatikan

keadilan dan kesetaraan gender yang

ditujukan untuk meningkatkan kesadaran

akan hak dan kewajiban, meningkatkan

partisipasi politik dan inisiatif warga

negara, serta meningkatkan kemandirian

dan kedewasaan dalam kehidupan

berbangsa dan bernegara.

Pendidikan politik harus terus

ditingkatkan agar terbangun karakter

bangsa yang merupakan watak atau

kepribadian bangsa Indonesia yang

terbentuk atas dasar kesepahaman bersama

terhadap nilai-nilai kebangsaan yang lahir

dan tumbuh dalam kehidupan bangsa,

antara lain kesadaran kebangsaan, cinta

tanah air, kebersamaan, keluhuran budi

pekerti, dan keikhlasan untuk berkorban

bagi kepentingan bangsa (Hemafitria,

2015).

Pendidikan politik dalam undang-

undang ini didefinisikan sebagai proses

pembelajaran dan pemahaman tentang hak,

kewajiban, dan tanggung jawab setiap

warga negara dalam kehidupan berbangsa

dan bernegara. Komitmen ini lebih

dipertegas dalam Bab ke VIII Pasal 31

dengan menyatakan, bahwa:

1) Partai Politik melakukan pendidikan

politik bagi masyarakat sesuai dengan

ruang lingkup tanggung jawabnya

dengan memperhatikan keadilan dan

kesetaraan gender dengan tujuan antara

lain:

a) Meningkatkan kesadaran hak dan

kewajiban masyarakat dalam

kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara;

b) Meningkatkan partisipasi politik

dan inisiatif masyarakat dalam

kehidupan bermasyarakat,

berbangsa, dan bernegara; dan

c) Meningkatkan kemandirian,

kedewasaan, dan membangun

karakter bangsa dalam rangka

memelihara persatuan dan

kesatuan bangsa.

2) Pendidikan politik sebagaimana

dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan

untuk membangun etika dan budaya

politik sesuai dengan Pancasila.

Di samping itu pendidikan politik juga

menjadi kewajiban dari partai politik

sebagaimana ketentuan dalam Pasal 13

huruf e yang menyatakan bahwa parpol

berkewajiban melakukan pendidikan politik

dan menyalurkan aspirasi politik

anggotanya. Berbagai fungsi partai politik

tersebut yang meliputi pendidikan politik,

stabilitas politik, partisipasi politik, seleksi

kepemimpinan dan penyalur aspirasi rakyat

belum bisa dilaksanakan secara

proporsional (Muwazah & 2011, n.d.).

60 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Urgensi pendidikan politik itu

didasarkan pada asumsi kedaulatan rakyat

yang mempunyai postulat bahwa

pemerintahan yang adil adalah, siapa yang

memperoleh kekuasaan, dia itulah yang

bertanggung jawab. Manakala rakyat

mendapat kekuasaan menurut dasar

kedaulatan rakyat, maka rakyat pulalah

yang bertanggung jawab. Menurut

Mohammad Hatta (1980), hal itu berarti,

jika rakyat tak memiliki kesadaran politik,

maka rasa tanggung jawabnya akan amat

kurang. Menurut Hatta, pemerintah dan

masyarakat sama-sama berkepentingan

adanya rakyat yang mempunyai kesadaran

politik. Karena itu, pendidikan politik harus

datang dari kedua belah pihak (Hemafitria,

2015).

Pada satu sisi, pemerintah bisa

memudahkan jalan pendidikan politik

dengan mempertinggi kecerdasan umum

rakyat; sedangkan dari masyarakat,

pendidikan politik merupakan tanggung

jawab utama bagi partai-partai politik. Bagi

masyarakat yang secara politis sudah

menjadi pemilih tradisional dengan

indikator keanggotaannya dalam parpol,

pendidikan politik tetap penting sekalipun

mungkin menjadi nomor dua sesudah

kampanye atau pemantapan kader.

Partisipasi politik mereka tidak layak

diragukan karena interes politiknya telah

terbangun.

Sementara bagi massa mengambang,

pendidikan politik akan menemukan

urgensi dan relevansinya. Massa

mengambang inilah yang harus menjadi

fokus voter education, sebab di samping

kelompok apolitik dan golput berada di

sana, kelompok ini juga paling rentan

(rawan) terhadap praktik money politics

(politik uang) (Putri, 2017). Meskipun

terdapat perbedaan definisi massa

mengambang, ada satu hal yang jelas bahwa

kelompok sasaran yang menjadi bagian

massa mengambang setidaknya terdiri dari

rakyat awam non-anggota parpol, para

wirausahawan dan profesional, pegawai

dan bekas pegawai negeri (PNS,

wredhatama, KBA dan purnawirawan),

pegawai/ karyawan swasta,

wartawan/jurnalis, serta mahasiswa dan

intelektual.

Sebagian kecil di antara mereka memang

sudah mengecap pendidikan politik lewat

beragam wahana sehingga mereka ada

memiliki kesadaran politik.akan tetapi

pengetahuan mereka tentang kondisi riel

politik justru akan meningkatkan kecuekan

dan sikap apolitiknya. Tujuan pendidikan

politik setidaknya agar para calon pemilih

yang sudah terdaftar tidak akan berubah

menjdi golput di bilik suara saat

pencoblosan/pencontrengan dalam Pemilu

(Adi Soeprapto, Susilasti DN, 2015).

61 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Urgensi pendidikan politik secara

khusus juga sangat dibutuhkan di Sulawesi

Selatan. Melalui analisis sosiologi politik

Duverger terhadap permasalahan politik di

seputaran pemilu ataupun pemilukada yang

melahirkan sebuah struktur sosial dan

politik dalam kehidupan masyarakat yang

secara tidak langsung mampu melahirkan

arena budaya baru dalam masyarakat yang

tergantung pada dinamika politik yang

dihadapi (Supriadi, 2018).

Massifnya sosialisasi tentang pendidikan

politik dalam ruang lingkup masyarakat

Sulawesi Selatan akan semakin membuat

masyarakat dewasa dalam menghadapi

dinamika politik dan juga mampu terhindar

dari praktik-praktik politik praktis. Sebagai

upaya dalam menciptakan pemilih cerdas

dan jujur maka hal yang mendasar yang

perlu dikumandangkan adalah pendidikan

politik itu sendiri. Bagi Duverger, terdapat

beberapa lembaga yang dapat difungsikan

sebagai wadah pendidikan bagi masyarakat

sehingga hal demikian mampu menciptakan

situasi dan kondisi yang tenteram

khususnya ruang sosiologi masyarakat

dalam memandang konsep perpolitikan

seperti lembaga kepemudaan dan lembaga

kebudayaan.

Minimnya pendidikan politik menjadi

pemicu mendasar dari lahirnya konflik dan

masalah-masalah baik dalam kontestasi

pemilu maupun pemilukada (Nadir &

Wardani, 2019). Keharusan bagi partai

politik dalam memberikan pendidikan

politik kepada masyarakat tentu bukanlah

variabel satu-satunya yang dapat digunakan

melainkan terdapat beberapa variabel

lainnya seperti mahasiswa yang melakukan

pembinaan di pedesaan atau dalam hal ini

pelaksanaan KKN (Kuliah Kerja Nyata)

yang menjadi ruang pengedukasian

mahasiswa terhadap masyarakat desa. Hal

tidak boleh luput dalam konsep pembinaan

tersebut adalah edukasi politik bagi

masyarakat setempat.

Dimulai dari pemahaman mendasar

tentang hakikat dan urgensi pemilu atau

pemilukada hingga bagaimana menjadi

pemilih yang kritis, yang mampu memilih

calon pemimpin berdasarkan gagasan

ideologis sehingga praktik-praktik

kecurangan dalam prosesi pemilu mampu

diminimalisir secara perlahan (Yusriati &

Amrizal, 2020). Konstruksi pemilu dan

pilkada yang memiliki orientasi dan prinsip

demokrasi tentu merupakan perkara yang

ideal akan tetapi perkara tersebut harus

didukung oleh segenap pemahaman dasar

terkait politik dan kaitannya terhadap

kehidupan masyarakat.

4. Simpulan

Urgensi pendidikan politik demi

menciptakan pemilu damai dan jujur

62 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

khususnya di Sulawesi Selatan merupakan

perkara dasar dan ultim. Maurice Duverger

dalam analisa sosiologi politiknya

memaparkan analisisnya tentang konstruksi

sosial-kemasyarakatan yang damai dan

tenteram dibangun berdasarkan

pemahaman terkait dunia perpolitikan.

Memahami pendidikan politik di

masyarakat merupakan hal yang sangat

menarik untuk diketahui. Karena

pendidikan politik itu merupakan suatu

proses dialogik diantara pemberi dan

penerima pesan. Melalui proses ini para

anggota masyarakat mengenal dan

mempelajari nilai-nilai, norma-norma, dan

simbol-simbol politik negaranya dari

berbagai pihak dalam sistem politik seperti

sekolah, pemerintah, dan partai politik.

Pendidikan politik mengajarkan masyarakat

untuk lebih mengenal sistem politik

negaranya.

Selain itu, hadirnya pendidikan politik

dalam kehidupan masyarakat pada

umumnya mampu mempengaruhi

partisipasi masyarakat dalam prosesi

pemilu maupun pilkada serta mampu

meminimalisir Golput. Seperti kita ketahui

bersama bahwa sebagian pemilih pemula

masih dipengaruhi ikatan emosional dan

komersial dalam menentukan pilihan

politiknya. Kecenderungan irasional dari

pemilih pemula ini hendaknya dapat

dihindari melalui pendidikan politik yang

secara intensif dilakukan pemerintah

melalui KPU, partai politik dan mahasiswa.

Pemerintah tidak bisa melepaskan tanggung

jawab pelaksanaan pendidikan politik

kepada LSM. Partai politik pun harus

mampu membuktikan komitmennya kepada

pemilih pemula hingga pemilih pemula

tidak enggan berpartisipasi dalam

kehidupan politik dan kenegaraan.

Hasil dari penelitian ini pada akhirnya

memberikan gambaran tentang penyebab

terjadinya konflik dan permasalahan

seputaran pemilu dan pilkada. Hal tersebut

dapat diantisipasi dengan melibatkan

beberapa elemen dalam masyarakat baik

KPU, Partai Politik, mahasiswa maupun

lembaga kepemudaan serta kebudayaan

dalam memberikan pendidikan politik

kepada masayarakat sebagai pemilih

sehingga dengan demikian kontestasi

perpolitikan dapat berjalan damai dan jujur

sesuai amanah UU tentang Pemilu serta

meningkatkan kedewasaan masyarakat

dalam hal pemilihan pemimpin ke

depannya.

5. Saran

Hasil penelitian ini diharapkan

kedepannya dapat dikembangkan lebih

lanjut mengingat pentingnya pendidikan

politik sebagai upaya menciptakan pemilu

dan pilkada damai dan jujur serta mampu

meningkatikan kedewasaan masyarakat

63 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dalam memilih pemimpin. Pengembangan

yang dimaksud misalnya dapat dilakukan

dengan membahas tentang konsep

pendidikan politik sebagai upaya

mengantisipasi golput dalam konstestasi

politik yang tidak dibahas secara

komprehensif di dalam peneltian ini.

64 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Adi Soeprapto, Susilasti DN, B. A. S. (2015). Komunikasi Dalam Proses Pendidikan Politik Pemilih

Pemula Dalam Pemilihan Umum 2014 di DIY. Jurnal Ilmu Komunikasi, 12(1), 39–54.

Amruddin, A. (2020). Pilkada Serentak Dan Potensi Konflik Di Sulawesi-Selatan. Jurnal Arajang, 3(1),

30–42. https://doi.org/10.31605/arajang.v3i1.584

Amsori. (2017). Penyuluhan Pendidikan Politik Bagi Pemilih Pemula Guna Meningkatkan Partisipasi

Hak Pilih Pada Pemilihan Gubernur Dki Jakarta Tahun 2017. Journal of Empowerment, 1(1).

Arianto, B., & Ali Haji, R. (n.d.). Analisis Penyebab Masyarakat Tidak Memilih Dalam Pemilu. 2011,

1(1), 51–60.

Asti, I. M. (2014). Pengaruh Tayangan Indonesia Lawyers Club “Tvone” Terhadap Peningkatan

Pendidikan Politik Masyarakat Gunung Kelua Samarinda. Ejournal.Ilkom.Fisip-Unmul.Ac.Id,

2(3), 94–108. https://ejournal.ilkom.fisip-unmul.ac.id/site/wp-content/uploads/2014/08/ika maya

-genap- (08-21-14-04-05-55).pdf

Bashori, K. (2018). Pendidikan Politik di Era Disrupsi. Sukma: Jurnal Pendidikan, 2(2), 287–310.

https://doi.org/10.32533/02207.2018

Efyanti, Y., Zufriani, Z., & Halim, H. (2019). Pemilihan Umum (Pemilu) Langsung di Indonesia

Perspektif Sosiologis dan Hukum Islam. Al-Qisthu: Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum, 17(2), 51–

60. https://doi.org/10.32694/010770

Freire, P., Indonesia, B., Tertindas, P. K., & Pembebasan, P. (n.d.). Pendidikan berpola dialog yang

berjalur kritis-progresif digambarkan oleh Paulo Freire dalam dua bukunya yang telah

diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia, Pendidikan Kaum Tertindas dan Pendidikan sebagai

Praktek Pembebasan , buku yang berisi pemikiran radikal dalam dunia pendidikan meskipun ia

sendiri tidak pernah menganggap karyanya seperti itu.

Hemafitria. (2015). Pembelajaran pkn sebagai pendidikan politik pemilih pemula. Edukasi, 13(2), 175–

189.

Liando, D. M. (2016). Pemilu Dan Partisipasi Politik Masyarakat ( Studi Pada Pemilihan Anggota

Legislatif Dan Pemilihan Presiden Dan Calon Wakil Presiden Di Kabupaten Minahasa Tahun

2014 ). Jurnal LPPM Bidang EkoSosBudKum, 3(2), 14–28.

https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lppmekososbudkum/article/viewFile/17190/16738

Makmur, Z. (2020). Membangun Kesadaran Apokaliptik melalui Sastra di Masa Pandemi.

https://osf.io/preprints/utvyk/

Masrizal, O., & Sos, S. I. (2016). Gelombang Transformasi Sosial Politik Dalam Kajian Foucault dan

Coleman (Kajian Sosiologis Pergolakan Partai Lokal dan Nasional di Pilkada Aceh). Jurnal

Sosiologi USK (Media Pemikiran & Aplikasi), 9(1), 35–54.

Masyarakat, P., Pedurungan, K., Politik, P., & Hukum, D. A. N. (2019). Laporan penelitian reguler.

407.

Muwazah, A. S.-J. of, & 2011, undefined. (n.d.). Urgensi Pendidikan Politik Bagi Perempuan. E-

Journal.Iainpekalongan.Ac.Id,325–333. http://e

journal.iainpekalongan.ac.id/index.php/Muwazah/article/view/7

65 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Nadir, N., & Wardani, W. Y. (2019). Membangun Pendidikan Politik Dalam Fatsun Demokrasi

Pancasila Dan Deliberative. The Journal of Society & Media, 3(1), 126.

https://doi.org/10.26740/jsm.v3n1.p126-141

Pahlevi, M. E. T., & Amrurobbi, A. A. (2020). Pendidikan Politik dalam Pencegahan Politik Uang

Melalui Gerakan Masyarakat Desa. Jurnal Antikorupsi INTEGRITAS, 6(1), 141–152.

Purba, Sivadabert, A. (2015). Potret Pandangan Akademisi Di Jurnal Ilmu Sosial Dan Ilmu Politik UGM

( JSP ) Mengenai Permasalahan Demokrasi Di Indonesia. Jurnal Politik Muda, 4(1), 1–12.

Putri, N. E. (2017). Dampak Literasi Politik Terhadap Partisipasi Pemilih Dalam Pemilu. Jurnal

Agregasi : Aksi Reformasi Government Dalam Demokrasi, 5(1).

https://doi.org/10.34010/agregasi.v5i1.219

Rohim, M., & Wardana, A. (2019). Analisis Politik Milenial : Persepsi Siswa SMA Terhadap Dinamika

Politik Pada PEMILU 2019 di Indonesia. JIP (Jurnal Ilmu Pemerintahan) : Kajian Ilmu

Pemerintahan Dan Politik Daerah, 4(1), 47–63. https://doi.org/10.24905/jip.4.1.2019.47-63

Sair, A. (2016). Kampus dan Degradasi Pengetahuan Politik Mahasiswa. Jurnal Sosiologi Pendidikan

Humanis, 1(1), 9–20. https://doi.org/10.17977/um021v1i12016p009

Santoso, M. A. F. (2013). Kontribusi Etika Islam pada Pendidikan Politik: Solusi bagi Problema Civil

Society Indonesia Era Reformasi. Tsaqafah, 9(2), 225. https://doi.org/10.21111/tsaqafah.v9i2.51

Sasmita, S. (2011). Peran_Informasi_Politik_Terhadap_Partisi. Administratio, 1(2), 217–224.

https://s3.amazonaws.com/academia.edu.documents/38692998/abstrak.pdf?AWSAccessKeyId=

AKIAIWOWYYGZ2Y53UL3A&Expires=1555825447&Signature=6x9rqN2jNC%2FySDQ1%

2B3MOU%2BqznaQ%3D&response-content-disposition=inline%3B

filename%3dperan_Informasi_Politik_Terhadap

Sinamora, J. (2019). Menyongsong Rezim Pemilu Serentak. Jurnal RechtsVinding, 3(4), 1–18.

Sitepu, E. (2016). Peranan Partai Politik dalam Memberikan Pendidikan Politik Yang Berkarakter

Terhadap Masyarakat. Jurnal Ilmiah Research Sains, 2(1), 1–8.

Solihah, R. (2018). Peluang dan tantangan pemilu serentak 2019 dalam perspektif politik. Jurnal Ilmiah

Ilmu Pemerintahan, 3(1), 73. https://doi.org/10.14710/jiip.v3i1.3234

Sukendar, M. U. (2017). Pemilihan Presiden , Media Sosial Dan Pendidikan Politik Bagi Pemilih

Pemula. Ikon, 1(5), 1–6.

Supriadi, H. (2018). Prodi ilmu pemerintahan fisip unikom. Agresi, 6(2), 139–148.

Suryana, Y. (2020). Pengaruh Pelaksanaan Pemilihan Umum Serentak Terhadap Budaya Politik.

Supremasi Hukum: Jurnal Penelitian Hukum, 29(1), 13–28.

Tata, K., Pemilu, K., Ilmu, F., Dan, S., Politik, I., & Andalas, U. (2019). NUSANTARA : Jurnal Ilmu

Pengetahuan Sosial Pendidikan Politik Bagi Masyarakat Sebagai. 6(2), 314–328.

Vol, S., & Sosial, I. (2010). Dalam Pendidikan Politik Peran Komisi Pemilihan Umum …………… Yusuf

, A . R Peran Komisi Pemilihan Umum …………… Yusuf , A . R. 4(1), 13–16.

Yusnedi Achmad, S.H., M. H. (2019). Sosiologi Politik. 79.

https://books.google.co.id/books?id=t3uMDwAAQBAJ&printsec=frontcover&dq=sosiologi+po

litik&hl=id&sa=X&ved=2ahUKEwiI89KTk7bqAhVfILcAHcnDBQYQ6AEwAXoECAYQAg#

v=onepage&q=sosiologi politik&f=false

66 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Yusriati, Y., & Amrizal, D. (2020). Efektivitas Model Pendidikan Politik Dalam Pelaksanaan Sosialisasi

Pemilu di Kabupaten Deli Serdang. Warta Dharmawangsa, 14(3), 500–507.

https://doi.org/10.46576/wdw.v14i3.831

Yustiningrum, Emilia, R., Ichwanuddin, & Wawan. (2015). Partisipasi Politik dan Perilaku Memilih

pada Pemilu 2014. Jurnal Penelitian Politik. Jurnal Penelitian Politik, 12(1), 117–135.

Zega, M. A., Muda, I., Batubara, B. M., & Suharyanto, A. (2019). Pengaruh Program Rumah Pintar

Pemilu terhadap Partisipasi Politik Masyarakat pada Kantor Komisi Pemilihan Umum Kota

Medan. Perspektif, 7(2), 60. https://doi.org/10.31289/perspektif.v7i2.2531

67 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

MENDORONG TRANSPARANSI INFORMASI CALON KEPALA DAERAH

BERBASIS WEB DALAM RANGKA MEWUJUDKAN PEMILIH YANG CERDAS

DAN MEMINIMALISIR PENYEBARAN HOAKS MENJELANG PILKADA

ENCOURAGING TRANSPARENCY OF WEB-BASED REGIONAL HEAD

CANDIDATES IN ORDER TO CREATE SMART VOTERS AND MINIMIZE THE

SPREAD OF HOAXES AHEAD OF THE REGIONAL HEAD ELECTION

Dermawan Indar Jaya Aurelia Vanessa

Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan KM. 10, Tamalanrea Indah Kec. Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi

Selatan 90245

E-mail

[email protected]

[email protected]

Abstract

Direct regional head elections are a place for local political contestation by upholding democratic

values. Since becoming the direct Regional Head Election, community participation has played an

important role in the process of electing regional heads who are directly elected by the people.

Therefore, in choosing candidates for regional head leaders, as smart voters, the public should first be

able to find out information about the pairs of candidates for regional heads who will compete for

regional political seats. However, in this era of digitalization of information, the spread of hoaxes is in

fact very heavy and unstoppable. Moreover, approaching the regional head election, there is a lot of

inaccurate information and potentially hoaxes scattered on the internet. The expert staff of the Minister

of Communication and Informatics, Henri Subiakto, revealed that the trend of hoaxes via the internet

was increasing ahead of the election. Henri considered that hoaxes have now become part of politics

and cannot be separated. Therefore, this article is written to encourage transparency of information on

regional head candidate pairs in the era of digitalization of information. This article uses a qualitative

research method with a library research approach. The results of this study found that in this era of

digitalization of information, a web-based transparency of regional head candidate pair information is

needed in order to make it easier for voters to find out information on regional head candidate pairs

and minimize the spread of hoaxes ahead of the elections.

Keywords: Hoax Spread, Information on Regional Head Candidates, Information Transparency, , Smart

Voters, Web-based Information Systems

Abstrak

Pemilihan kepala daerah langsung merupakan ajang kontestasi politik lokal dengan menjunjung tinggi

nilai-nilai demokrasi. Sejak menjadi pilkada langsung, partisipasi masyarakat berperan penting dalam

proses pemilihan kepala daerah yang dipilih secara langsung oleh rakyat. Oleh karena itu, dalam

memilih calon pemimpin kepala daerah, sebagai pemilih yang cerdas, masyarakat seharusnya dapat

terlebih dahulu mencari tahu informasi mengenai pasangan calon kepala daerah yang akan berlaga

memperebutkan kursi politik daerah. Namun, di era digitalisasi informasi ini, penyebaran hoaks

nyatanya sangat deras dan tak terbendung. Apalagi mendekati pemilihan kepala daerah, banyaknya info-

info yang tidak akurat dan berpotensi hoaks bertebaran di jagad internet. Staf ahli Menteri Komunikasi

dan Informatika, Henri Subiakto mengungkapkan bahwa tren penyebaran hoaks melalui internet

meningkat menjelang pemilu. Henri menilai bahwasanya, hoaks kini telah menjadi bagian dari politik

dan tidak bisa dipisahkan. Oleh karena itu penulisan artikel ini dilakukan untuk mendorong adanya

68 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

transparansi informasi pasangan calon kepala daerah di era digitalisasi informasi. Artikel ini

menggunakan metode penelitian kualitatif dengan pendekatan penelitian kepustakaan (Library

Research). Hasil dari penelitian ini menemukan bahwasanya di era digitalisasi informasi ini, perlu

adanya suatu transparansi informasi pasangan calon kepala daerah yang berbasis web dalam rangka

memudahkan pemilih mengetahui informasi pasangan calon kepala daerah dan meminimalisir

penyebaran hoaks menjelang pilkada.

Kata Kunci: Informasi Calon Kepala Daerah, Pemilih Cerdas, Penyebaran Hoaks, , Sistem Informasi

berbasis web, Transparansi Informasi

1. Pendahuluan

Indonesia sejatinya telah lama

mengadopsi nilai-nilai demokrasi dalam

sistem pemerintahannya. Hal ini telah

mendarah daging dalam bangsa Indonesia

sebagai negara demokrasi. Salah satu

bentuk implementasi dari demokrasi ini

dapat kita lihat melalui sistem pemilihan

kepala daerah gubernur, bupati/walikota

yang secara langsung dipilih oleh rakyat

melalui kontestasi pilkada. Pemilihan

kepala daerah dilakukan secara demokratis

berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur dan adil dengan calon

pasangan yang diusulkan oleh partai politik

atau gabungan partai politik atau

perseorangan yang didukung oleh

sejumlah orang (Diputra,dkk, 2017).

Pemilihan kepala daerah menjadi sebuah

ajang kontestasi demokrasi lokal yang

diselenggarakan untuk memilih pemimpin

daerah baik dalam lingkup Provinsi

maupun Kabupaten/Kota. Pilkada yang

sebelumnya pada orde baru dilakukan

secara tidak langsung, yakni melalui

pengusulan oleh DPRD yang kemudian

dipilih oleh Menteri Dalam

Negeri/Presiden hingga kemudian setelah

reformasi pada tahun 2005 menjadi pilkada

langsung dengan partisipasi secara

langsung dari masyarakat untuk memilih

pemimpin daerah (Haboddin,2016).

Pergeseran prosedur pemilihan kepalah

daerah pasca reformasi benar-benar

memberikan makna demokrasi yang

sesungguhnya kepada masyarakat dalam

pemilihan kepala daerah. Dengan pilkada

langsung ini akan mengimplementasi hak-

hak konstitusional masyarakat untuk

memilih dan dipilih yang diatur dalam

UUD NRI 1945.

Amanat Undang-Undang Dasar

menentukan bahwa pemilihan kepala

daerah harus dipilih secara demokratis, hal

ini telah tercantum dalam pasal 18 ayat 4

UUD NRI 1945 yang berbunyi “Gubernur,

Bupati, dan Walikota masing-masing

sebagai kepala pemerintah daerah provinsi,

kabupaten dan kota dipilih secara

demokratis”.

Dalam menjalankan hak demokrasinya,

masyarakat harus menjadi pemilih yang

cerdas. Menurut Anggota Bawaslu Ratna

69 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Dewi Pettalolo, pemilih yang cerdas

merupakan pemilih yang memilih dengan

berdasarkan dipertimbangkan secara

rasional yang didasarkan pada apa yang

menjadi visi, misi dan program yang

diusung calon kepala daerah

(Bawaslu.go.id,2020). Masyarakat dalam

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

seyogyangya harus mencari informasi

mengenai pasangan calon yang akan

menjadi pemimpin daerah. Informasi calon

kepala daerah dapat memberikan

gambaran awal terhadap pemilih terhadap

kualitas dari para calon kepala daerah.

Apalagi dengan perkembangan teknologi

yang semakin pesat, akses informasi yang

semula dilakukan secara konvensional kini

semakin mengarah ke digitalisasi

informasi. Sehingga akan memberikan

kesempatan yang lebih luas bagi

masyarakat dalam menelusuri informasi

yang perlu diketahui mengenai calon

pemimpin daerahnya.

Namun banyaknya info-info yang tidak

akurat dan berpotensi bohong (hoaks)

nyatanya bertebaran dijagad internet. Staf

ahli Menteri Komunikasi dan Informatika,

Henri Subiakto mengungkapkan bahwa

tren penyebaran hoaks melalui internet

meningkat menjelang pemilu. Henri

menilai bahwasanya, hoaks kini telah

menjadi bagian dari politik dan tidak bisa

dipisahkan (Kominfo,2019). Berdasarkan

dari permasalahan tersebut, maka artikel

ini akan membahas sedikit mengenai

bagaimana suatu sistem informasi berbasis

web dapat memberikan informasi aktual

bagi pemilih dalam pemilihan kepala

daerah di era digitalisasi informasi.

Mengingat rawannya penyebaran berita

hoaks yang berkembang mendekati pilkada

sehingga dengan adanya sebuah website

informasi tersebut diharapkan mampu

memberikan kepada masyarakat informasi

yang akurat mengenai calon kepala daerah

melalui sumber yang jelas dan terpercaya

dan dapat menjadi acuan masyarakat dalam

menentukan pilihannya.

2. Metode Penelitian

Artikel ini menggunakan metode

penelitian kualitatif, yakni penelitian

dengan berusaha mencari makna,

pemahaman, pengertian, kejadian baik

terlibat secara langsung maupun tidak

langsung yang diteliti secara menyeluruh.

Metode ini mengumpulkan data kemudian

diolah menjadi bentuk naratif. Artikel ini

menggunakan pendekatan penelitian

kepustakaan (Library Research) berupa

mengumpulkan sumber buku, jurnal,

karya tulisan, dan pada sumber-sumber

resmi lainnya. Data yang telah

dikumpulkan kemudian diolah dengan

menggunakan prinsip triangulasi, yakni

memperoleh data dari sumber lain untuk

meningkatkan ketepatan dan kebenaran

penelitian (Yusuf,2014).

70 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

3. Perspektif Teori

3.1.Pemilihan Kepala Daerah yang

Berintegritas dan Berkualitas

Pemilihan Kepala Daerah atau yang

disingkat PILKADA merupakan proses

politik yang tidak hanya sebagai

mekanisme untuk mengisi jabatan

demokratis, tetapi juga sebagai

implementasi pelaksanaan otonomi daerah

yang sesungguhnya. Sejak tahun 2005,

tepatnya pada bulan Juni, Pilkada di

Indonesia dilaksanakan secara langsung,

yakni dipilih oleh rakyat itu sendiri. Pada

tahun 2020 ini, Pilkada dilaksanakan pada

270 daerah, yang terdiri dari 9 Provinsi, 37

Kota, dan 224 Kabupaten.

Untuk menyelenggarakan Pilkada, telah

disahkan Undang – undang Nomor 6 Tahun

2020 tentang Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang – Undang Nomor 2

Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas

UU Nomor 1 Tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

UU Nomor 1 Tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota

menjadi Undang – undang.

Sebagai tolok ukur Pilkada yang

berkualitas adalah pilkada yang

berlandaskan pada asas – asas demokrasi.

Pasal 22E Ayat (1) UUD 1945 telah

menentukan enam asas Pilkada demokratis,

yakni langsung, umum, bebas, rahasia,

jujur, dan adil. Kemudian UU Pemilu

menambahkan dua kriteria lagi, yaitu

transparan dan akuntabel.

• Asas Langsung, yaitu rakyat sebagai

pemilih mempunyai hak untuk

memberikan suaranya secara langsung

sesuai dengan kehendak dan hati

nuraninya tanpa perantara.

• Asas Umum, yaitu pada dasarnya

semua warga negara yang memenuhi

syarat berhak mengikuti pemilu.

• Asas Bebas, yaitu setiap warga negara

berhak memilih, bebas menentukan

pilihannya tanpa tekanan dan paksaan

dari siapapun.

• Asas Rahasia, yaitu dalam memberikan

suaranya, pemilih dijamin bahwa

pilihannya tidak akan diketahuhi oleh

pihak manapun dan dengan jalan

apapun.

• Asas Jujur, yaitu dalam

penyelenggaraan pemilu, setiap

penyelenggara pemilu, aparat

pemerintah, pasangan calon, partai

politi, tim kampanye, pengawas

pemilu, pemilih, semua pihak terkait

harus bersikap dan bertindak jujur

sesuai dengan perundang – undangan.

• Asas Adil, yaitu setiap penyelenggara

pemilu dan semua pihak yang terkait

harus bersikap dan bertindak adil.

Ramlan Surbakti (dalam Hertanto,

2018:26) merumuskan pemilu yang adil

dan berintegritas dengan memadukan

71 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

electoral integrity dan electoral justice

sebagai parameter pemilu demokratis.

Menurut Surbakti, pemilu yang

berintegritas dan adil ditandai dengan 7

(tujuh) kriteria :

• Pemilu adil dan berintegritas adalah

kesetaraan antarwarga negara, baik

dalam pemungutan dan perhitungan

suara maupun alokasi kursi DPR dan

DPRD dan pembentukan daerah

pemilihan.

• Pemilu adil dan berintergritas adalah

kepastian hukum yang dirumuskan

berdasarkan asas pemilu demokratis.

• Pemilu adil dan berintegritas adalah

persaingan bebas dan adil

antarkontestan pemilu.

• Pemilu adil dan berintegritas adalah

partisipasi seluruh pemangku

kepentingan dalam seluruh rangkaian

penyelenggaraab tahap pemilu.

• Pemilu adil dan berintegritas adalah

badan penyelenggara pemilu yang

professional, independen, dan

imparsial.

• Pemilu adil dan berintegritas adalah

integritas pemungutan, penghitungan,

tabulasi dan pelaporan suara pemilu.

• Pemilu adil dan berintegritas adalah

penyelesaian sengketa pemilu yang

adil dan tepat waktu.

3.2. Sistem Informasi Berbasis Web

Sistem informasi berbasis web adalah

seperangkat komponen yang saling

berhubungan yang berfungsi untuk

mengumpulkan, memproses, menyimpan,

dan mentransferkan informasi dalam

bentuk teks, gambar, suara, dan informasi

yang dipresentasikan dalam bentuk

hypertext serta dapat diakses oleh perangkat

lunak untuk mendukung pembuatan

kegiatan dalam mencapai

tujuan(Alamsyah,2009).

Sistem informasi berbasis web ini telah

digunakan beberapa institusi pemerintah

maupun swasta. Data yang akurat, valid,

dan up to date merupakan hal penting dalam

penyelenggaraan suatu sistem informasi

guna memenuhi kebutuhan infomasi.

Kemajuan teknologi informasi yang ada

saat ini sangat membantu dalam

memberikan informasi maupun menerima

informasi dimana pun dan kapan pun

seseorang membutuhkan suatu informasi

sudah dapat diperoleh dengan cepat,

mudah, dan murah.

Penggunaan teknologi informasi telah

merambah hampir semua sendi kehidupan

manusia, adapun unsur – unsur yang

diperlukan untuk membuat sebuah website

sebagaimana dipaparkan oleh Yadi Utama

(2011:361-362) adalah sebagai berikut :

• Nama Domain, adalah alamat unik di

dunia internet yang digunakan untuk

mengidentifikasikan sebuah website,

atau dengan kata lain untuk

72 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

menemukan sebuah website pada

dunia internet.

• Rumah Tempat Website, adalah

sebagai ruangan yang terdapat dalam

harddisk tempat menyimpan berbagai

data, file, gambar, dan lain

sebagainya yang akan ditampilkan

dalam website.

• Bahasa Program, adalah bahasa yang

digunakan untuk menerjemahkan

setiap perintah dalam website pada

saat diakses.

• Desain White, hal ini menentukan

kualitas dan keindahan sebuah

website.

• Publikasi White, keberadaan situs tidak

ada gunanya dibangun tanpa

dikunjungi atau dikenal oleh

pengunjung internet. Untuk

mengenalkan situs kepada

masyarakat memerlukan apa yang

disebut publikasi atau promosi.

• Pemeliharaan website, untuk

mendukung kelanjutan dari situs

diperlukan pemeliharaan setiap tiap

waktu sesuai yang diinginkan seperti

penambahan informasi, berita, artikel,

link, gambar, dan lain sebagainya,

tanpa pemeliharaan yang baik situs

akan terkesan membosankan atau

monoton juga akan segera

ditinggalkan pengunjung.

Kelebihan dari penggunaan sistem

informasi berbasis web adalah web tersebut

mudah untuk dikembangkan, sebab pada

umumnya bahasa pemrograman yang

digunakan untuk mengembangkan aplikasi

web adalah HTML ( Hypertext Markup

Language ), PHP (Hypertext

Preprocessor), dimana bahasa

pemrograman ini pada umumnya sudah

dikuasai oleh sebagian besar web

developer, selain itu kita dapat mengakses

informasi dimana pun dan kapan pun, sebab

sistem informasi berbasis web mudah untuk

diakses, serta sistem informasi ini dapat

menyesuaikan pada berbagai devices dan

sistem operasi.

3.3. Transparansi Informasi

Sejak Tahun 1946 Majelis Umum PBB

mengadopsi Resolusi 59 (1) yang

menyatakan bahwa kebebasan informasi

adalah hak asasi yang fundamental dan

merupakan tanda dari seluruh kebebasan

yang akan menjadi titik perhatian PBB.

Oleh karena hak atas informasi kemudian

menjadi salah satu hak yang diakui secara

internasional. Dengan demikian, hak atas

informasi tidak hanya menjadi hak asasi

melainkan juga hak konstitusional rakyat

Indonesia.

Hak untuk mendapat informasi

merupakan hak yang sangat penting dan

strategis bagi warga negara. Hak ini tidak

hanya dijamin dalam kesepakatan

Internasional tetapi dijamin juga secara

73 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

tegas dalam Konstitusi Negara Republik

Indonesia. Pasal 28 F Undang – undang

Dasar Negara Republik Indonesia Tahun

1945 menyatakan bahwa : “Setiap orang

berhak untuk berkomunikasi dan

memperoleh informasi untuk

mengembangkan pribadi dan lingkungan

sosialnya, serta berhak untuk mencari,

memperoleh, memiliki, dan menyimpan

informasi dengan menggunakan segala

jenis saluran yang tersedia”.

Kebebasan dan kemudahan untuk

memperoleh informasi merupakan sarana

kehidupan berdemokrasi. Hak atas

informasi yang merupakan hak asasi dan

hak konstitusional tidak akan efektif apabila

tidak ada keterbukaan dan kemudahan

dalam memperoleh informasi yang lebih

luas dan tidak terdistorsi, karena

keterbukaan informasi merupakan

penentuan kadar dan nilai bagi kehidupan

demokrasi. Transparansi informasi

merupakan alat bagi masyarakat untuk

mengawasi dan mengontrol setiap langkah

yang diambil oleh penyelenggara negara.

3.4.Berita Bohong (Hoaks)

Peran komunikasi dalam politik sangat

penting karena tanpa komponen

komunikasi, infrastruktur, dan

suprastruktur akan mengalami putus

hubungan sehingga mekanisme yang

harusnya dijalankan tidak berkembang

secara dinamis. Dengan memanfaatkan

komunikasi sebagai proses politik, berbagai

tatanan politik yang tidak sesuai dengan

tuntutan masyarakat akan berubah.

(Mukarom, 2016).

Seiring dengan perkembangan zaman,

proses komunikasi saat ini sudah bergeser

dari media konvensional menjadi media

cetak dan elektronik. Karena berbasis

internet, media baru ini bersifat fleksibel

dan dapat diakses di manapun sepanjang

terkoneksi dengan jaringan internet

(Simarmata, 2014). Dalam

perkembangannya, media informasi

berbasis internet ini kemudian memiliki

dampak positif dan negative. Dampak

positif dari media informasi berbasis

internet ini adalah masyarakat menjadi

lebih up to date dalam mengakses

informasi. Sedangkan, dampak negatif dari

media informasi ini adalah penyebaran

berita-berita bohong ( hoaks ) yang semakin

banyak.

Berita bohong ( hoaks ) adalah suatu

informasi yang belum tentu nilai

kebenarannya. Berita bohong merupakan

informasi yang ditambah-tambahi atau

dikurang-kurangi isi dari berita yang

sebenarnya. Adanya unsur manipulasi atau

modifikasi guna mendapat respon yang

cukup banyak dan menjadi viral. Pemicu

informasi hoaks memiliki dua motif yaitu

ekonomi dan politik. Ada situs-situs yang

memang sengaja dibuat bertujuan

mendapatkan kunjungan sebanyak

mungkin, ada pula yang bertujuan untuk

74 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

menyalurkan aspirasi politik melalui media

sosial dengan membuat kabar palsu.

(Pomounda, 2015). Hoaks mempengaruhi

setiap orang yang membaca agar orang

tersebut percaya dengan berita tersebut

seolah benar adanya (Juditha, 2018).

Berita hoaks saat ini menjadi ancaman

informasi karena efeknya yang berbahaya

dan berhubungan dengan hukum.

Hebohnya dunia maya yang diwarnai

dengan kebohongan membuat negara

mengambil tindakan tegas terhadap hal

tersebut. Masyarakat yang memiliki hak

dalam menyampaikan opini, kreatifitas, dan

lain sebagainya menjadi ruang public yang

cukup strategis untuk mendapatkan dan

menyalurkan informasi, tetap bertanggung

jawab atas ayang yang disebarkan.

Hermeneutika Paul Ricoeur, dalam

memahami dan mengidentifikasi hoaks, ada

beberapa teori yang dikemukakan oleh

Ricoceur, yakni :

• Teori Fiksasi, teori ini berfungsi

menjaga wacana dari kemusnahan.

Menurut Ricoeur jika pemaknaan teks

mau diungkap atau dipahami oleh

seorang penafsir, harus melakukan

salah satu dari dua alternatif berikut

ini : melalui jalan langsung yaitu

seorang penafsir memahami teks

secara langsung tanpa menggunakan

metodologi untuk memahami dan

menyelidiki makna yang terkandung

dalam teks. (Afandi. 2017)

• Teori Distansiasi, teori ini berfungsi

untuk menemukan makna asli dari

suatu kejadian sebelum kejadian

tersebut menjadi suatu wacana atau

teks oleh orang yang menerima dan

menyebarkannya. Dalam teori ini,

Ricoeur melatari teori ini dengan

studi bahasa yaitu bahasa wacana dan

bahasa sebagai bahasa/fakta. Bahasa

wacana merupakan bahasa yang pasif

seperti bahasa yang ada di dalam

kamus, sementara bahasa yang sesuai

bahasa/fakta merupakan bahasa yang

telah diterima oleh seseorang dalam

suatu waktu dan tempat tertentu.

(Afandi.2007 Hal-92)

4. Hasil dan Pembahasan

4.1.Urgensi Keterbukaan Informasi

Calon Kepala dan Wakil Kepala

Daerah

Menjelang pemilihan kepala daerah,

pemilih tentunya membutuhkan informasi

yang aktual mengenai para kandidat

sebelum menentukan pilihannya. Informasi

calon kepala daerah merupakan sarana bagi

pemilih dalam mengetahui lebih dalam para

calon kepala daerah dalam kontestasi

pilkada. Masyarakat tentunya memiliki hak

untuk mengetahui informasi seputar calon

pemimpin daerahnya sebelum memberikan

hak pilihnya. Dimana hak pilih tersebut

akan digunakan untuk memilih pemimpin

untuk masa lima tahun kedepan. Sehingga

akan dibutuhkan adanya transparansi

75 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

informasi mengenai para kandidat kepala

dan wakil kepala daerah.

Transparansi informasi calon kepala dan

wakil daerah tersebut tentunya dapat sangat

mempengaruhi kualitas demokrasi yang

sedang berlangsung dalam proses menuju

pemilihan kepala daerah. Hal ini karena

keterbukaan informasi kepada publik

merupakan hal yang cukup fundamental

demi terwujudnya pelaksanaan Pilkada

yang berkualitas dan berintegritas. Publik

memiliki hak dalam mengetahui informasi

calon kepala dan wakil kepala daerah, agar

publik yang sudah memenuhi syarat dalam

memilih tidak lagi salah dalam memilih

pemimpin untuk lima tahun yang akan

datang. Selain itu, keterbukaan informasi

juga merupakan amanat UU Nomor 10

tahun 2016 tentang Pilkada yang

mengemukakan bahwasanya keterbukaan

ini merupakan salah satu asas dalam

penyelenggaraan pemilu. Keterbukaan

informasi dalam pilkada ini menyangkut

regulasi, anggaran, kelembagaan,

pelaksanaan tahapan dan hasil pemilihan.

Hal ini juga diperkuat dalam Undang-

Undang Nomor 14 Tahun 2018 tentang

Keterbukaan Informasi Publik Jo. Peraturan

Komisi Informasi nomor 1 tahun 2014

tentang Standar layanan dan Prosedur

Penyelesaian Sengketa Informasi Pemilu

(komisiinformasi.jabarprov.go.id, 2020).

Oleh karena itu, melalui transparansi

informasi calon kepala dan wakil kepala

daerah ini dapat menjadi sarana dalam

menyosialisasikan para kandidat calon

kepala dan wakil kepala daerah secara jujur.

Melalui keterbukaan informasi tersebut

diharapkan dapat meningkatkan

kepercayaan masyarakat terhadap para

calon pemimpin daerah yang mengikuti

kontestasi Pilkada. Serta diharapkan dapat

meningkatkan partisipasi masyarakat dalam

menyuarakan hak pilihnya serta dapat

menghasilkan pemimpin daerah yang

sesuai dengan kehendak rakyat itu sendiri.

4.2.Informasi Calon Kepala Daerah

yang Perlu Diketahui Publik

Masyarakat memiliki hak dalam

memilih kandidat kepala daerah sesuai

pilihan masing-masing. Oleh karena itu,

masyarakat seharusnya menggunakan hak

pilihnya secara maksimal. Hal ini

dikarenakan, pilihan kepala daerah tersebut

akan berdampak pada daerah tempat tinggal

masyarakat itu sendiri apabila nantinya

terpilih kepala dan wakil kepala daerah

yang baru. Oleh karena itu, pemilih harus

cerdas dalam menyeleksi para kandidat

calon kepala daerah yakni memilih dengan

berdasarkan dipertimbangkan secara

rasional yang didasarkan pada apa yang

menjadi visi, misi dan program yang

diusung calon kepala daerah. Selain itu,

pemilih juga harus cermat dalam membaca

informasi yang beredar, dan cermat dalam

menyebarkannya. Pemilih harus senantiasa

berfikir secara kritis mengenai informasi

76 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

yang beredar, yang dapat terindikasi

sebagai berita hoaks. Dengan begitu dapat

mewujudkan pemilih yang cerdas untuk

pilkada yang berkualitas.

Masyarakat sebelum memilih pasangan

calon kepala daerah harus mulai mengenali

kandidat, rekam jejak, visi-misi dan

program kerja, partai pengusung, serta

informasi lainnya yang dapat digunakan

pemilih untuk mengetahui gambaran

kualitas para kandidat. Direktur Eksekutif

Perkumpulan untuk Pemilu Demokrasi

(Perludem) Titi Anggraini mengatakan

masyarakat yang memiliki hak pilih harus

cermat dalam menggunakan haknya secara

maksimal demi keberlangsungnan daerah

yang bakal dipimpin kepala daerah terpilih

(Hukumonline.com,2018). Hal-hal yang

perlu diketahui publik dalam memlih

kandidat kepala daerah diantaranya dengan

menelusuri visi-misi dan program kandidat

sehingga dapat mengetahui apa saja

program yang akan dijalankan selama masa

kepemimpinannya, apakah program

tersebut telah sesuai dengan permasalahan

yang banyak terjadi di daerah tersebut dan

bagaimana bentuk implementasi dari

program tersebut. Selain itu, masyarakat

juga perlu mengetahui rekam jejak dari

para kandidat. Rekam jejak kandidat perlu

diketahui oleh masyarakat sebagai bentuk

transparansi terhadap informasi calon

kepala daerah mengenai keterlibatan para

kandidat terhadap kasus korupsi maupun

kasus pidana lainnya. Dalam putusan MK

No. 4/PUU-VII/2009, meskipun telah

membatasi pencalonan mantan narapidana.

Namun, bagi mantan narapidana yang telah

5 (lima) tahun selesai menjalani hukuman

dapat mencalonkan diri kembali dengan

syarat mengungkapkan dirinya sebagai

mantan narapidana. Sehingga rekam jejak

tersebut juga perlu dilakukan adanya

transparansi agar publik benar-benar

mengetahui rekam jejak kandidat apabila

pernah terkait kasus pidana. Rekam jejak

lainnya yang juga diperlukan adalah untuk

mengetahui pengalaman para kandidat di

bidang pemerintahan dan politik. Sehingga

pemilih dapat mengetahui bagaimana

kinerja dari para kandidat sebelum

memberikan hak pilihnya.

4.3.Transparansi Informasi Calon

Kepala Daerah Berbasis Web dalam

Rangka Mewujudkan Pemilih

Cerdas dan Meminimalisir

Penyebaran Hoaks Menjelang

Pilkada

Perkembangan teknologi telah

membawa dampak yang siginifikan dalam

perubahan penyebaran informasi dari

konvensional menjadi elektronik, dalam hal

ini melalui internet. Perubahan tersebut

telah membawa dampak besar dalam

kemudahan akses informasi masyarakat.

Digitalisasi informasi menjadi alternatif

bagi masyarakat untuk menemukan

informasi secara cepat melalui gawai

77 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

telepon pintar maupun gadget lainnya.

Sehingga kecenderungan masyarakat jauh

lebih tinggi dalam mencari informasi

melalui media internet dibandingkan harus

membaca melalui media konvensional

seperti koran dan majalah. Tak terkecuali

dalam memperoleh berita, internet menjadi

media penyebaran berita tercepat karena

banyaknya jumlah penggunanya. Di

Indonesia saja, data terbaru menunjukkan

terdapat 175,4 juta pengguna internet,

belum lagi jika dihitung secara global,

sehingga melihat dari hal tersebut

menjadikan internet begitu vital dalam

kehidupan manusia saat ini.

Berdasarkan data dari Hootsuite (We

Are Sosial), Pengguna internet di Indonesia

kian tahun semakin meningkat. Data

menunjukkan setidaknya terdapat 175,4

juta pengguna internet di Indonesia. Hal ini

meningkat dibandingkan pada tahun

sebelumnya, dengan kenaikan sejumlah

17% atau 25 juta pengguna internet di

Indonesia. Berdasarkan pada total populasi

Indonesia yang berjumlah 272,1 juta jiwa,

berarti telah terdapat 64% dari penduduk

Indonesia yang merasakan akses terhadap

internet. Berarti sudah lebih dari separuh

polulasi masyarakat Indonesia yang telah

mengakses internet. Berdasarkan data

tersebut, presentase pengguna internet

berusia 16 hingga 64 tahun yang memiliki

jenis perangkat diantaranya mobile phone

(96%), smartphone (94%), non-smartphone

mobile phone (21%), laptop atau komputer

dekstop (66%), tablet (23%), konsol game

(16%), hingga virtual reality device (5,1%)

(Detik.com, 2020).

Melihat dari tingginya angka pengguna

internet di Indonesia tersebut, sehingga

membuat penyebaran informasi melalui

internet dapat menyebar dengan sangat

cepat dalam rentan waktu yang singkat.

Sehingga internet ini merupakan media

penyebaran informasi yang sangat efektif.

Oleh karena kecepatan dan

keefektivitasannya tersebut membuat

internet banyak digunakan oleh orang-

orang untuk menyebarluaskan sebuah

informasi demi tujuan tertentu. Hal ini

tentunya menimbulkan rasa kekhawatiran

akan informasi yang beredar melalui jagad

internet tersebut. Kekhawatiran tersebut

terkait maraknya kasus penyebaran hoaks

yang beredar subur di jagad internet. Berita

hoaks sering digunakan oleh sekelompok

ornang untuk menggiring opini masyarakat

sesuai arahan dan keinginan si penyebar

hoaks. Hal yang lebih mengkhawatirkan

lagi, berita hoaks ini dapat menyebarkan

kebencian terhadap pihak yang diberitakan

dalam hoaks tersebut. Apalagi jika telah

menyebar hingga menjadi berita yang viral.

Berita hoaks ini dapat menjatuhkan pihak-

pihak yang ditujukannya dalam masyarakat.

Tren penyebaran hoaks ini juga sering

meningkat menjelang pemilu maupun

pemilihan kepala daerah. Hal ini

78 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

diungkapkan oleh Staf ahli Menteri

Komunikasi dan Informatika Henri

Subiakto, bahwasanya tren penyebaran

hoaks melalui internet meningkat

menjelang pemilu. Henri menilai

bahwasanya, hoaks kini telah menjadi

bagian dari politik dan tidak bisa dipisahkan

(Kominfo,2019). Sehingga penyebaran

hoaks ini berpotensi mengancam nilai-nilai

jujur dan adil dalam proses pemilu maupun

pilkada.

Berdasarkan pada penelitian yang

dilakukan oleh Aminah dan Novita Sari

(2019) yang mengkaji mengenai

penyebaran berita hoaks menjelang pemilu

2019, menemukan bahwasanya peredaran

berita hoaks di internet menjelang pemilu

dapat menimbulkan efek negatif terkhusus

pada pemilih pemula dalam mengakses

informasi terkait pemilu. Pertama,

penyebaran berita hoaks di internet

berdampak pada sulitnya pemilih dalam

menentukan kebenaran berita yang tersebar,

apalagi jika telah disebarkan ratusan kali

yang menyulitkan menentukan benar atau

tidaknya informasi tersebut sehingga dapat

menyulitkan dalam menyaring informasi

yang ada. Kedua, membuat mudah

terprovokasi. Terlihat bahwasanya

informasi yang dibagikan melalui media

sosial internet berpotensi menimbulkan

provokasi, apalagi bagi orang-orang yang

malas untuk berfikir kritis, hingga

fanatisme terhadap satu kandidat yang

menimbulkan pudarnya sikap kritis akan

informasi yang dibagikan. Ketiga,

menimbulkan rasa mudah membenci.

Informasi terindikasi hoaks banyak beredar

di internet yang mengunggulkan salah satu

pasangan calon dan menjelekkan pasangan

calon yang lainnya. Hal ini dapat

menimbulkan rasa benci terhadap pasangan

calon yang dijelekkan tersebut. keempat,

menimbulkan perubahan pilihan/dukungan.

Salah satu yang menimbulkan perubahan

penentuan pilihan dalam pemilu adalah

informasi yang tidak benar dari kandidat

sehingga memberikan citra buruk dan tidak

sesuai dengan pandangan pemilih dan

membuat perubahan pilihan/dukungan

terhadap kandidat yang sebelumnya akan

dipilih.

Melihat dari rawannya penyebaran berita

hoaks serta ujaran kebencian menjelang

pemilu dan pilkada tersebut, maka perlu

untuk dilakukan keterbukaan informasi dari

calon kepala dan wakil kepala daerah

berbasis web untuk memberikan akses

informasi yang aktual dan terpercaya

terhadap pemilih mengenai calon kepala

dan wakil kepala daerah. Melalui website

tersebut, juga dapat memuat mengenai

klarifikasi terhadap hoaks yang beredar

dalam masyarakat berkaitan dengan

masing-masing calon kepala daerah.

Sehingga melalui website tersebut, pemilih

dapat lebih leluasa dalam menentukan

pilihan dengan melihat data-data rekam

79 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

jejak para kandidat dan dapat membaca

klarifikasi hoaks yang beredar di msyarakat

menyangkut para kandidat. Dalam

implementasi website tersebut, tentunya

diperlukan lembaga yang berkompeten dan

netral dalam pemilihan kepala daerah

sehingga informasi yang disampaikan

benar-benar faktual dan terpercaya. Dalam

hal ini Komisi Pemilihan Umum sebagai

lembaga yang berwenang dalam

memberikan informasi-informasi terkait

pelaksanaan pemilu dapat menjadi lembaga

yang mengelola website tersebut dalam

rangka menjamin kebenaran dari informasi

tersebut. KPU dapat memberikan informasi

secara transparan mengenai informasi para

kandidat calon kepala daerah yang dapat

menjadi penunjang pemilih dalam

menentukan pilihannya. Sehingga dengan

adanya website informasi tersebut dapat

menjadi wadah bagi masyarakat untuk

mencari tahu fakta-fakta para kandidat

untuk dapat menjadi pedoman dalam

memilih pemimpin daerah dan dapat

menyaring informasi-informasi yang

berpotensi hoaks yang banyak bertebaran di

internet.

5. Simpulan

Dalam memberikan kesempatan yang

seluas-luasnya kepada masyarakat

terhadap akses informasi calon kepala

daerah yang faktual dan terpercaya di era

digitalisasi informasi, maka dipelukan

adanya transparansi informasi melalui

sistem informasi berbasis web sebagai

upaya untuk memberikan keleluasaan

terhadap pemilih dalam mengetahui

informasi dari para kandidat pemimpin

daerah serta menghindari informasi hoaks

yang banyak bertebaran melalui media

internet mengenai informasi calon kepala

daerah. Dalam pengimplementasiannya,

pengelolaan sistem informasi berbasis web

tersebut diperlukan peran lembaga KPU

sebagai lembaga yang berwenang

memberikan informasi terkait pemilihan

kepala daerah sehingga dapat menjamin

transparansi dan kebenaran informasi

tersebut.

80 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Afandi, Abdullah Khozin.( 2007). Hermeneutika (Surabaya: Alpha)

Haboddin, Muhtar. (2016). Dinamika Pilkada dan Demokrasi Lokal di Indonesia.Malang:Ub

Press

Mukarom, Zaenal (2016), Komunikasi Politik (Bandung: Pustaka Setia)

Yusuf, Muri. (2014). Metode Penelitian: Kuantitatif, Kualitatif, dan Penelitian

gabungan.(Jakarta:Kencana)

Jurnal

Aminah, dan Novita Sary. (2019). Dampak Hoax di Media Sosial Facebook terhadap Pemilih

Pemula.Jurnal Komunikasi Global.Vol. 8 (1). Hlm. 56-59

Aliamsyah, M. (2009). Pemanfaatan Sistem Informasi Bagi Perancangan Peraturan Perundang-

Undangan, Jurnal Legislasi Indonesia.

Juditha, Christiany. (2018) Interaksi Komunikasi Hoax di Media Sosial serta Antisipasinya,

Jurnal Pekommas, Vol. 3(1), hlm. 31-44.

Diputra, I Gede Aristana,dkk.(2017). Transparansi dan Akuntabilitas Penggunaan Anggaran

Hibah Pilkada dan Laporan Dana Kampanye Pasangan Calon Bupati dan Wakil Bupati Bangli Tahun

2015 (Studi Kasus Pada Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Bangli. e-Journal S1 Ak

Universitas Pendidikan Ganesha.Vol.8 (2),hlm. 3

Hertanto (2018). Mendorong Pemilu 2019 Bekualitas dan Berintegritas Di Provinsi Lampung.

Jurnal Analisis Sosial Politik. Hlm. 25-26

Kosasih, Ade (2017). Menakar Pemilihan Umum Kepala Daerah Secara Demokratis. Jurnal

Pemerintahan dan Politik Islam. hlm. 41

Pomounda, Ika. (2015).Perlindungan Hukum Bagi Korban Penipuan Melalui Media Elektronik

(Suatu Pendekatan Viktimologi), Jurnal Ilmu Hukum Legal Opinion, Vol. 3 (4)

Simarmata, Salvatore (2014). Media Baru, Ruang Publik Baru, dan Transformasi Komunikasi

Politik di Indonesia, Interact, Vol. 3(2) , hlm. 18–36.

Utama, Yadi (2010). Sistem Informasi Berbasis Web Jurusan Sistem Informasi Fakultas Ilmu

Komputer Universitas Sriwijaya. Jurnal Sistem Informasi . hlm. 360-361

81 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Internet

Hidayat, Rofiq. (2018, Juni 26). Panduan Memilih Pasangan Calon Kepala Daerah.Diakses

dari https://search.hukumonline.com/berita/baca/lt5b320148cd371/panduan-memilih-pasangan-calon-

kepala-daerah?page=all

Faisal, Ijang. (2020, Agustus 15). Pilkada 2020 dan Keterbukaan Informasi Publik. Diakses

dari http://komisiinformasi.jabarprov.go.id/pilkada-2020-dan-keterbukaan-informasi-publik/

Haryanto, Agus Tri. (2020, Februari 20). Riset: Ada 175,2 Juta Pengguna Internet di Indonesia.

Diakses dari https://inet.detik.com/cyberlife/d-4907674/riset-ada-1752-juta-pengguna-internet-di-

indonesia

Karti, Christina. (2020, Februari 18). Perguruan Tinggi Diharapkan Jadi Institusi yang

Lahirkan Pemilih Cerdas. Diakses dari https://www.bawaslu.go.id/id/berita/perguruan-tinggi-

diharapkan-jadi-institusi-yang-lahirkan-pemilih-cerdas

82 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

83 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

PERAN PENTING PENDIDIKAN POLITIK BAGI GENERASI MUDA DALAM

MEMINIMALISASI PENYALAHGUNAAN HAK SUARA PEMILIH PEMULA DI

INDONESIA

THE SIGNIFICANT ROLES OF POLITICAL EDUCATION IN MINIMIZING THE

SUFFRAGE MISAPPLICATION OF BEGINNER VOTERS IN INDONESIA

Muhammad Aswar Basri

Reza Matulatan

Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan KM 10, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea, Kota Makassar, Sulawesi

Selatan 90245

E-mail: [email protected]

[email protected]

Abstract

Suffrage or the voting right is the right held by the community to vote referred to in the context of democratic country. The legal basis that guarantees the existence and validity of this voting right is the fourth principle of Pancasila as a philosophical foundation and Article 27 Paragraph (1), Article 28D Paragraph (3), Article 28E Paragraph (3) of the 1945 Constitution of the Republic of Indonesia as a constitutional basis, which proves that this right is truly recognized and protected by the state. Suffrage is also part of human rights, and it is specifically regulated in Act No. 39 of 1999 regarding Human Rights. However, this article will explain that beginner voters who will participate in general elections are a vulnerable target for bribery and voting rights intervention by some irresponsible individuals or parties. For this reason, in responding to these challenges, the role of Bawaslu and many related elements in providing political education are needed. This article will explain how important the role of political education is for the younger generation and to its relationship with beginner voters. The research method used is the normative legal research supported by a political concept approach. Finally, the expected outcome is that the political education for the beginner voters can be maximized in Indonesia.

Keywords: Political Education, Young Generation, General Election, Beginner Voters

Abstrak

Hak suara atau hak pilih merupakan hak yang dimiliki oleh masyarakat untuk memilih yang dirujukkan

pada konteks negara demokrasi. Adapun dasar hukum yang menjamin eksistensi dan keberlakuan dari

hak suara ini adalah sila keempat Pansacila sebagai landasan filosofis, serta Pasal 27 Ayat (1), Pasal

28D Ayat (3), Pasal 28E Ayat(3) UUD NRI 1945 sebagai landasan konstitusional, yang membuktikan

bahwa hak ini benar-benar diakui keberadaannya dan dilindungi oleh negara. Hak suara juga

merupakan bagian dari hak asasi manusia sehingga diatur secara khusus dalam Undang-Undang Nomor

39 Tahun 1999 Tentang Hak Asasi Manusia. Namun, dalam tulisan ini akan menjelaskan bahwa

pemilih pemula yang akan berpartisipasi dalam pemilihan umum merupakan sasaran yang rentan untuk

penyogokan dan intervensi hak suara oleh beberapa oknum atau pihak yang tidak bertanggung jawab.

Untuk itu, dalam menjawab tantangan tersebut maka diperlukan peran bawaslu dan berbagai elemen

terkait dalam memberikan pendidikan politik. Tulisan ini akan menjelaskan tentang seberapa penting

peran pendidikan politik untuk generasi muda dan keterkaitannya dengan pemilih pemula. Adapun

metode penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum normatif yang didukung dengan

pendekatan konsep politik. Kemudian luaran yang diharapkan adalah agar pendidikan politik bagi

pemilih pemula dapat dimasifkan di Indonesia.

Kata Kunci : Generasi Muda; Pemilihan Umum; Pemilih Pemula; Pendidikan Politik; Pendidikan Politik

84 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

1. Pendahuluan

Secara umum pemilihan umum lahir dari

konsepsi dan gagasan besar Demokrasi

yang berarti merujuk John Locke dan

Rousseau, keterjaminan kebebasan,

keadilan dan kesetaraan bagi individu

dalam segala bidang. Dalam demokrasi, ada

nilai-nilai partisipatif dan kedaulatan yang

dijunjung tinggi dan harus dijalankan oleh

warga negara dan instrumen negara baik

pada level legislatif, yudikatif maupun

eksekutif. Hubungan antara warga negara

dan negara meskipun masih berjarak namun

dapat difasilitasi oleh berbagai lembaga dan

elemen masyarakat karena adanya

kebebasan bagi semua pihak untuk ikut

serta secara aktif dalam pembangunan

nasional baik pembangunan politik maupun

bidangbidang lainnya.

Pemilihan umum ternyata telah menjadi

suatu jembatan dalam menentukan

bagaimana pemerintahan dapat dibentuk

secara demokratis. Rakyat menjadi penentu

dalam memilih pemimpin maupun

wakilnya yang kemudian akan

mengarahkan perjalanan bangsa. Pemilihan

umum menjadi seperti transmission of belt,

sehingga kekuasaan yang berasal dari

rakyat dapat berubah menjadi kekuasaan

negara yang kemudian menjelma dalam

bentuk wewenang-wewenang pemerintah

untuk memerintah dan mengatur rakyat.

Dalam sistem politik, pemilihan umum

bermakna sebagai saran penghubung antara

infrastruktur politik dengan suprastruktur

politik, sehingga memungkinkan

terciptanya pemerintahan dari oleh dan

untuk rakyat. Kemudian dari pemaparan

tersebut kita tidak dapat menafikkan bahwa

pemilih pemula memiliki peran penting

dalam menyukseskan pemilu, karena pada

pemilu di tahun 2019 saja angkanya sudah

mencapai lima juta jiwa, yang artinya akan

ada lima juta suara yang akan memengaruhi

hasil akhir dari pemilihan umum.

Untuk memaksimalkan hal tersebut,

maka diperlukan optimalisasi berupa

pendidikan politik agar dapat menangkal

hal-hal yang tidak diinginkan. Menurut

Kartini Kartono, pendidikan politik

merupakan upaya pendidikan yang

disengaja dan sistematis untuk membentuk

individu agar mampu menjadi partisipan

yang bertanggung jawab secara etis/moral

dalam pencapaian tujuan politik.

Pendidikan politik ini kemudian memiliki

tujuan di antaranya:

1. Membuat masyarakat sebagai pemilih

mampu memahami situasi sosial politik

penuh konflik;

2. Berani bersikap tegas memberikan

kritik membangun terhadap kondisi

masyarakat yang mantap;

3. Aktivitasnya diarahkan pada proses

demokratisasi individu atau

perorangan, dan demokratisasi semua

lembaga kemasyarakatan serta

lembaga negara;

85 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

4. Sanggup memperjuangkan

kepentingan dan ideologi tertentu,

khususnya yang berkolerasi dengan

keamanan dan kesejahteraan hidup

bersama.

5. Mengupayakan peranan insani dari

setiap individu sebagai warga negara

(melaksanakan realisasi diri/aktualisasi

diri dari dimensi sosialnya);

6. Mengembangkan semua bakat dan

kemampuan insani yang terdidik dari

berbagai aspek (aspek kognitif,

wawasan, kritis, sikap positif,

keterampilan politik);

7. Agar orang bisa aktif berpartisipasi

dalam proses politik, demi

pembangunan diri, masyarakat sekitar,

bangsa, dan negara.

Namun, peran penting dari hak suara

pemilih pemula saat ini masih belum dapat

dimaksimalkan. Hal ini dikarenakan oleh

salah satu faktornya yaitu hak suara dari

pemilih pemula rentan untuk diintervensi

dan disalahgunakan oleh pihak-pihak yang

tidak bertanggung jawab dan pihak-pihak

yang sengaja ingin mengedepankan

kepentingan pribadi atau golongan tertentu.

Pemilih pemula dalam hal ini generasi

muda biasanya tidak mengikuti kata hatinya

dalam menentukan pilihan terhadap wakil

rakyat. Tanpa pengetahuan dasar terkait

politik menyebabkan mereka rentan untuk

dipengaruhi baik dengan cara diberi

penghasutan, sogokan, serangan fajar, dan

lain-lain agar menuruti perintah untuk

memilih calon tertentu.

Peristiwa-peristiwa yang seperti

dijelaskan sebelumnya pada dasarnya

mampu mencederai prinsip negara

demokrasi yang dianut di Indonesia.

Terlebih lagi jika di dalamnya mengandung

unsur ancaman atau paksaan dari pihak-

pihak tertentu yang jelas hal tersebut

bertentangan dengan hak asasi manusia.

Dengan demikian hal ini menjadi tantangan

tersendiri untuk negara Indonesia.

Untuk menjawab tantangan tersebut,

maka penulis akan mengupas secara tajam

terkait peran penting pendidikan politik

dengan sasarannya yakni generasi muda

yang akan berperan aktif sebagai pemilih

pemula baik pada pemilihan kepala daerah

secara serentak maupun pemilihan langsung

di tahun 2024 mendatang. Penulis juga akan

menyajikan mekanisme seperti apa yang

tepat guna dalam implementasi pendidikan

politik bagi pemilih pemula.

1.1. Subbab

• Alasan Diperlukannya Pendidikan

Politik di Indonesia

Negara Kesatuan Republik Indonesia

merupakan negara demokrasi. Karena itu

segala praktek penyelenggaraan kekuasaan

negara haruslah berdasarkan pada kehendak

rakyat. Secara eksplisit landasan

konstitusional penyelenggaraan kekuasan

negara secara demokratis tertuang dalam

pasal 1 ayat 2 UUD 1945 yang telah

86 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

diamandemen. Dalam pasal tersebut secara

jelas dinyatakan bahwa “Kedaulatan

Negara berada Ditangan Rakyat dan

dilaksanakan menurut Undang Undang

Dasar”. Dengan demikian, segala

pengambilan keputusan politik haruslah

bersumber pada kehendak rakyat. Bagi

pemilih pemula, pendidikan politik harus

menjadi urgensi yang dapat menjangkau

mereka untuk memberikan pemahaman

yang efisien tentang sucinya melaksanakan

kehendak diri sebagai bagian dari rakyat

dan menjunjung tinggi prinsip demokrasi

tanpa hambatan. Hal ini disebabkan

manusia merupakan tonggak penggerak

arah kebijakan politik dan pemerintahan di

Indonesia, untuk itu pendidikan politik ini

memiliki peran dalam mengarahkan mereka

untuk tetap berada pada koridor arah dan

kebijakan politik dan pemerintahan yang

beriringan dengan apa yang dijelaskan

dalam batang tubuh konstitusi dan

berkesesuaian dengan tujuan dan cita-cita

Negara Kesatuan Republik Indonesia.

• Permasalahan Penyalahgunaan Hak

Suara Pemilih Pemula

Pada dasarnya pemilih pemula

merupakan mereka yang akan memasuki

usia memilih dan akan menggunakan hak

pilihnya untuk pertama kali dalam pemilu.

Perlu ditekankan pada frasa pertama kali

dalam pemilu yang merujuk pada

rentannya pemilih pemula untuk tidak

menggunakan hak suaranya secara

maksimal. Adapun yang mampu

menyebabkan hal tersebut adalah hal-hal

yang berbau money politic, intervensi hak

suara dari pihak-pihak tertentu terlebih jika

didalamnya mengandung unsur ancaman

atau paksaan, serta mereka yang kurang

memahami pentingnya budaya politik

dalam mewujudkan prinsip demokrasi yang

ideal.

• Agen yang Berperan Aktif dalam

Pendidikan Politik

Secara sosiologis, peran agen terhadap

pelaksanaan partisipasi politik generasi

muda belum berjalan secara baik.

Selanjutnya, pendidikan politik generasi

muda belum memberi dampak yang

signifikan terhadap pelaksanaan partisipasi

politik. Untuk itu, pihak yang harus

berperan aktif dan memberi sinergi dalam

memberikan pendidikan politik adalah:

a. Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

Bawaslu merupakan lembaga

penyelenggara Pemilu yang bertugas

mengawasi penyelenggaraan Pemilu di

seluruh wilayah Negara Kesatuan

Republik Indonesia. Terkait landasan

hukumnya, Bawaslu diatur dalam bab

IV Undang-Undang Nomor 15 Tahun

2011 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum.

b. Komisi Pemilihan Umum (KPU)

87 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

KPU merupakan lembaga negara yang

berfungsi secara efektif dan mampu

memfasilitasi pelaksanaan Pemilu yang

jujur dan adil. Terlaksananya Pemilu

yang jujur dan adil tersebut merupakan

faktor penting bagi terpilihnya wakil

rakyat yang lebih berkualitas, dan

mampu menyuarakan aspirasi rakyat.

Sebagai anggota KPU, integritas moral

sebagai pelaksana pemilu sangat

penting, selain menjadi motor

penggerak KPU juga membuat KPU

lebih kredibel di mata masyarakat

karena didukung oleh personal yang

jujur dan adil.

c. Ilmuwan di Bidang Politik

Ilmuwan politik merupakan orang yang

aktif dalam mempelajari alokasi dan

transfer kekuasaan dalam pembuatan

keputusan, peran dan sistem

pemerintahan termasuk pemerintah dan

organisasi internasional, perilaku

politik dan kebijakan publik. Ilmuwan

politik dapat terlihat bekerja di

pemerintahan atau memberikan

pelayanan publik.

• Sasaran Pendidikan Politik

Sasaran yang dimaksud oleh penulis

adalah generasi muda yang akan

berpartisipasi sebagai pemilih pemula baik

dalam Pilkada serentak maupun Pemilu.

Adapun syarat dan kriteria yang harus

dipenuhi adalah:

- Warga Negara Indonesia,

- Warga yang telah genap berusia tujuh

belas tahun,

- Terdaftar sebagai pemilih di DPT,

- Tidak sedang terganggu

jiwa/ingatannya,

- Tidak sedang dicabut hak pilihnya

berdasarkan keputusan pengadilan

yang telah mempunyai kekuatan

hukum tetap.

• Mekanisme Pendidikan Politik yang

Ideal

Pendidikan politik tentunya tidak akan

terlaksana tanpa adanya penyelenggaraan

yang dilakukan secara konkret di lapangan

atau di tengahtengah masyarakat. Menurut

Kuntowijoyo, mengemukakan tentang

bentuk pendidikan politik, yakni

(1) Pendidikan politik formal yakni

pendidikan politik yang

diselenggarakan melalui indoktrinasi,

(2) Pendidikan politik yang dilakukan

secara nonformal, seperti melalui

pertukaran pendidikan melalui mimbar

bebas.

Bentuk pendidikan politik yang

dilakukan secara formal dapat berupa

melakukan edukasi dan seminar di sekolah-

sekolah menengah atas, dengan siswa yang

akan menjadi pemilih pemula yang

merupakan pastisipator dalam kegiatan

tersebut. Dan untuk mereka yang tidak

dalam lingkup pendidikan formal tetap

88 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dapat dijangkau dengan cara pendidikan

politik secara informal. Adapun yang

menjadi fasilitator dalam hal ini adalah

Bawaslu, KPU, dan Ilmuwan Politik yang

saling bersinergi dan bekerja sama.

Kemudian jika hal tersebut dimasifkan,

jelas akan memberikan solusi terhadap

permasalahan-permasalahan terkait hak

suara pemilih pemula.

2. Metode Penelitian

Metode penelitian yang digunakan oleh

penulis adalah penelitian hukum normatif.

Penulis mengategorikan ke dalam

penelitian normatif karena substansi dari

tulisan ini berdasar pada analisis terkait

norma hukum yang berlaku dalam Pemilu

maupun Pilkada. Selanjutnya, penulis juga

menggunakan pendekatan konsep politik

untuk menjabarkan sasaran dan mekanisme

yang akurat dalam tulisan ini. Penulis juga

mengaitkan antara konsep dan teori yang

kemudian disusun secara sistematis agar

keterkaitan antara setiap variabel yang

dibahas dalam tulisan ini dapat

dijapaparkan dengan saksama.

3. Perspektif Teori

3.1. Konsep Budaya Politik Demokratis

Budaya politik biasanya berpusat pada

imajinasi/mindset (pikiran dan perasaan)

pada basis individu, yang merupakan dasar

semua tingkah laku politik masyarakat.

Sementara sistem nilai yang hidup di

masyarakat adalah merupakan variable

penting bagi pembentukannya yang

merupakan refleksi terhadap orientasi,

sikap dan perilaku politik masyarakat dalam

merespons setiap objek dan proses politik

yang sedang berjalan sebab nilai tersebut

adalah sebuah kebajikan bagi masyarakat

tersebut. Budaya Politik pada hakikatnya

merupakan lingkungan psikologis dimana

kegiatan-kegiatan politik berlangsung dan

memberikan rasionalisasi untuk dapat

memberikan penolakan atau penerimaan

sejumlah nilai dan norma yang lain. Dalam

kondisi masyarakat Indonesia yang

majemuk, maka kesediaan bangsa untuk

dapat meningkatkan integrasi politik hanya

dapat dimaknai ketika masyarakat bersedia

untuk mempersempit gerakan ikatan-ikatan

primordial yang dicapai melalaui tindakan

sadar, sukarela yang bersumber dari

berbagai komponen masyarakat yang ada.

Jika ditinjau dari budaya politik secara

demokratis yang berlaku di Indonesia, maka

kita menganut budaya politik yang lebih ke

arah partisipan. Di mana masyarakat sudah

memulai melibatkan diri secara intensif

dalam berbagai kegiatan politik yang

berlangsung.Menurut Nazaruddin

Sjamsuddin, pada dasarnya sebuah proses

yang baik akan tercipta dalam kultur yang

lebih baik jika dapat melibatkan tahap

penyerasian antara budaya politik lokal

dengan struktur politik nasional, atau

penataan berbagai struktur politik bangsa

senantiasa mengambil keberagaman

89 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

karakter budaya politik local yang baik

(indegienus local) sehingga dapat

mengurangi resistensi penolakan di

masyarakat.

3.2. Penyalahgunaan Hak Suara

Penyalahgunaan hak suara yang

dimaksud oleh penulis dalam hal ini adalah

segalah bentuk intervensi baik yang

melibatkan unsur money politic ataupun

tidak yang mampu mencederai hak suara

seseorang serta ketika yang perbuatan yang

diatur dalam Pasal 510 -511 Undang-

Undang Nomor 7 Tahun 2017 yang

ditujukan kepada setiap individu yang resmi

berstatus sebagai pemilih pemula, adapun

penjelasan dari pasal terkait adalah:

Pasal 510

“Setiap orang yang dengan sengaja

menyebabkan orang lain kehilangan

hak pilihnya dipidana dengan pidana

penjara paling lama 2 (dua) tahun dan

denda paling banyak

Rp24.000.000,00 (dua puluh

empatjuta rupiah). “

Pasal 511

“Setiap orang yang dengan kekerasan,

dengan ancaman kekerasan, atau

dengan menggunakan kekuasaan

yang ada padanya pada saat

pendaftaran Pemilih menghalangi

seseorang untuk terdaftar sebagai

Pemilih dalam Pemilu menurut

Undang-Undang ini dipidana dengan

pidana penjara paling lama 3 (tiga)

tahun dan denda paling banyak

Rp36.000.000,00 (tiga puluh

enamjuta rupiah).”

3.3. Pendidikan Politik

Al-Khumaisi dalam tesis magister-nya

mendefinisikan pendidikan politik sebagai

upaya formal maupun nonformal yang

dicurahkan untuk membantu pada generasi

dan pemuda agar bisa berpikir merdeka

tentang hukum dan kekuasaan, memberikan

penyadaran kepada mereka tentang

persoalan-persoalan kontemporer regional,

nasional maupun internasional dengan

tujuan untuk membentuk dan

menumbuhkan pengetahuan, nilai, dan

organisasi yang menjamin peningkatan

partisipasi politik individu, bingkai falsafah

masyarakat, tujuan-tujuan dan

kemaslahatannya. Dalam buku Political

Education (Patricia) diterangkan bahwa

beberapa argumentasi untuk mendukung

adanya pendidikan politik pada awal

perkembangannya, antara lain

dikemukakan oleh berikut ini:

1. Nicolas Haines, dalam bukunya Person

to Person dia mengajukan pertanyaan

"ada berapa orang dalam masyarakat kita

yang mengetahui bahwa pendidikan

mereka itu dapat membantu membentuk

pikiran mereka tentang isu-isu penting

yang ada di luar bidang mereka? Berapa

banyak orang yang berpendidikan amat

yakin akan perannya yang besar dalam

90 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

kehidupan politik dan sosial? Dalam

pandangan Haines, adanya spesialisasi di

pendidikan tinggi membuat orang

menjadi kurang kompeten dalam bidang

yang ada di luar spesialisasi mereka

sehingga apabila mereka bukan

spesialisasi politik akan membatasi diri

dalam minat kegiatan politik. Akan

tetapi, ternyata masyarakat modern

sangat bergantung pada kelas menengah

berpendidikan yang sedang tumbuh.

Dalam sistem demokrasi setiap orang

harus berpartisipasi dalam pengambilan

keputusan politik, akan tetapi proses

pendidikan tidak mempersiapkan kelas

profesional untuk kegiatan partisipasi

tersebut.

2. Robert Stradling memberikan bukti

bahwa ternyata lulusan persekolahan

tidak mengetahui masalah politik.

3. Robert Dunn menyatakan bahwa

pendidikan politik di persekolahan

memiliki tempat yang sah dalam

kurikulum sekolah karena pengetahuan

politik merupakan salah satu syarat

mutlak menjadikan warga negara yang

dewasa.

4. Hasil dan Pembahasan

Kenyaataan bahwa negara terbentuk dari

hubungan-hubungan politik membawa

dampak terjadinya proses politik sepanjang

kelangsungan hidup negara. Karena

itu,proses politik yang terjadi baik bentuk

maupun intensitas tidak mungkin dihindari

setiap warga dalam negara. Setiap warga

negara pasti akan berhubungan atau

bersinggungan dengan proses politik, entah

itu disukai atau atau tidak disukai. Ini

menunjukan betapa proses politik memiliki

dampak yang signifikan terhadap

kehidupan setiap warga dalam negara. Oleh

karena itu, udah seyogianya setiap warga

dalam negara untuk mengambil bagian atau

berpartisipasi dalam setiap proses politik

yang terjadi. Sebaliknya Jika warga negara

tidak mengambil bagian dalam proses

politik yang terjadi maka kepentingan

politiknya sebagai warga negara akan

terabaikan.

Di Negara Demokrasi partisipasi politik

warga negara berangkat dari pemahaman

bahwa kedaulatan negara berasal dari

rakyat. Karena itu dalam implementasinya

segala pengambilan keputusan politik harus

melibatkan peran serta rakyat di dalamnya.

Hal tersebut bertujuan agar setiap kebijakan

politik yang nanti dihasilkan benar-benar

merepresentasikan kepentingan rakyat.

Telah dijelaskan di awal bahwa negara

dengan budaya politik demokratis

merupakan negara yang rakyatnya berperan

aktif dalam proses politik dan pesta

demokrasi yang kemudian disebut budaya

politik partisipan. Dalam analisis politik

modern partisipasi politik merupakan suatu

masalah penting, dan akhir-akhir ini banyak

91 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dipelajari terutama dalam hubungan dengan

negara-negara berkembang. Pada awalnya

mengenai partisipasi politik memfokuskan

diri padapartai politik sebagai pelaku

utama, tetapi dengan berkembangnya

demokrasi banyak muncul kelompok

masyarakat yang juga ingin memengaruhi

proses pengambilan keputusan. Hal

tersebutlah yang dimaksud oleh penulis

sebagai bentuk penyalahgunaan hak suara

di mana pemilih pemula merupakan objek

yang rentan. Ketidaktahuan mereka akan

eksistensi dan nilai luhur dari penggunaan

hak suara membuat para pihak yang tidak

bertanggungjawab dan atas kepentingan

golongan tertentu mengincar generasi muda

ini.

Pada dasarnya perbuatan tersebut sangat

ditentang secara hukum dan HAM,

ditambah lagi bahwa hak suara sangat

dilindungi dan dijamin oleh konstitusi.

Mengapa hak suara khususnya bagi yang

dimiliki oleh pemilih pemula sagat

dilindungi oleh konstitusi? Jawabannya

karena pemilih pemula tersebut memiliki

peranan yang sangat signifikan terhadap

partisipasi politik kedepannya. Adapun

kegiatan yang dapat dikategorikan sebagai

partisipasi politik ketika menunjukkan

berbagai bentuk dan identitas. orang yang

merupakan generasi muda yang tercederai

atau disalahgunakan hak suaranya dapat

dikategorikan sebagai orang yang

mengikuti kegiatan politik secara tidak

intensif, yaitu kegiatan yang biasanya tidak

berdasarkan prakarsa sendiri. Ketika

peristiwa tersebut terjadi, maka akan

membahayakan keutuhan konsep

demokrasi yang kemudian jika dibudayakan

akan berdampak pada lemahnya daya pilih

dan pemikiran selektif masyarakat dalam

memilih wakil rakyat.

Dalam sejarah demokrasi Indonesia,

perkembangan demokrasi telah mengalami

pasang surut. Masalah pokok yang dihadapi

oleh bangsa Indonesia khususnya generasi

muda adalah bagaimana meningkatkan

kehidupan ekonomi dan membangun

kehidupan sosial politik yang demokratis

dalam masyarakat. Pada variabel

kehidupan ekonomi ini biasanya menjadi

faktor utama generasi mudah dengan rentan

menerima sogokan prapemilu/prapilkada.

Kebutuhan akan materi di usia muda

merupakan penyebab mengapa mereka

dengan mudah dapat terjebak masuk ke

dalam segala sesuatu dengan unsur money

politik. Jelas masalah ini berkisar pada

penyusunan suatu sistem politik dengan

menghindarkan prinsip diktator perorangan

ataupun partai.

Dalam menjawab tantangan-tantangan di

atas, maka diperlukan sebuah regulasi yang

disebut sebagai pendidikan politik yang

harus disinergikan secara masif dengan

melibatkan berbagai elemen terkait yang

92 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

mampu bekerja sama dalam melaksanakan

pendidikan politik ini kepada sasaran yang

tepat yakni pemilih pemula. Adapun yang

perlu dilakukan adalah dengan

mengindahkn beberapa hal yang mengarah

pada pendidikan politik itu sendiri, di

antaranya:

a. Dengan mengandalkan pengaruh

keluarga

Pengaruh keluarga baik yang langsung

maupun yang tidak langsung yang

merupakan struktur sosialisasi pertama

yang dialami seseorang-sangat kuat dan

kekal. Yang paling jelas pengaruh dari

keluarga ini adalah dalam pembentukan

sikap terhadap wewenang kekuasaan

(authority). Keluarga biasanya membuat

keputusan bersama, dan bagi si anak

keputusan yang dibuat itu bisa otoritatif,

dalam arti keengganan untuk mematuhinya

dapat mengundang hukuman.pengalaman

berpartisipasi dalam pembuatan keputusan

keluarga dapat meningkatkan perasaan

kompetensi si anak, memberinya

kecakapan-kecakapan untuk melakukan

interaksi politik,serta membuatnya lebih

mungkin berpartisipasi dengan aktif dalam

sistem politik sesudah menjadi dewasa.

keluarga juga membentuk sikap-sikap

politik masa depan dengan menempatkan

individu dalam dalam dunia

kemasyarakatan luas; dengan membentuk

ikatan-ikatan ethnis, linguistis, religius, dan

kelas sosialnya; dengan memperkuat nilai-

nilai dan prestasi kulturil dan

pendidikannya; dan dengan mengarahkan

aspirasi-aspirasi pekerjaan dan

ekonomisnya.

b. Dengan melibatkan lingkungan sekolah

dan lingkungan pergaulan

Orang yang terpelajar lebih sadar akan

pengaruh pemerintah terhadap kehidupan

mereka, lebih memperhatikan kehidupan

politik, memperoleh lebih banyak informasi

tentang proses-proses politik,dan lebih

kompeten dalam tingkah laku politiknya.

Untuk itu, sekolah harus memberi

pengetahuan kepada kaum muda tentang

dunia politik dan peranan mereka

didalamnya karena sekolah memberi

pandangan yang lebih kongkrit tentang

lembaga lembaga politik dan hubungan-

hubungan politik.

Meskipun sekolah dan keluarga

merupakan sarana yang paling jelasterlibat

dalam proses sosialisasi, ada juga beberapa

unit sosial lain yang bisa membentuk sikap-

sikap politik sesorang. Salah satunya adalah

kelompok pergaulan yang setiap individu

dalam kelompok itu menyesuaikan

pendapatnya dengan teman temannya

mungkin karena ia menyukai atau

menghormati mereka, atau mungkin pula

karena ia ingin sama dengan mereka. Jadi

kelompok pergaulan itu mensosialisasikan

93 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

anggota-anggotanya dengan cara

mendorong atau mendesak mereka untuk

menyesuaikan diri terhadap sikap-sikap

atau tingkah laku yang dianut oleh

kelompok itu. Seseorang mungkin menjadi

tertarik pada politik, atau mulai mengikuti

peristiwa-peristiwa politik karena teman-

temannya berbuat begitu.

c. Peran serta lingkungan pekerjaan

Pekerjaan dan organisasi-organisasi

formil maupun non formil yang dibentuk

berdasarkan lingkungan pekerjaan itu,

seperti serikat buruh, klub sosial, dan yang

yang semacam itu juga merupakan saluran

komunikasi informasi dan keyakinan yang

jelas. Individu-individu

mengidentifikasikan diri dengan suatu

kelompok tertentu, seperti serikat buruh,

dan menggunakan kelompok itu sebagai

“penyuluh”(reference)dalam kehidupan

politik. Mereka mejadi sensitif terhadap

norma-norma kelompok itu dan menilai

tindakan-tindakannya berdasar apa yang

paling baik bagi kelompok itu.

d. Interaksi Politik secara langsung

Tidak peduli betapa positif pandangan

terhadap sistem politik yang telah

ditanamkan oleh keluarga atau sekolah

tetapi bila seseorang diabaikan oleh

partainya, ditipu oleh polisi, kelaparan

tanpa ditolong, dan dipaksa masuk wajib

militer, pandangannya terhadap dunia

politik sangat mungkin berubah. Partai

politik, kampanye pemilihan umum, krisis-

krisis politik luar negeri dan perang, dan

daya tanggap badan-badan pemerintah

terhadap tuntutantuntutan individu dan

kelompok-kelompok dapat mempengaruhi

kesetiaan dan kesediaan mereka untuk

mematuhi hukum.

Untuk mendukung pola pendidikan

politik tersebut harus pula didukung dengan

pendidikan politik yang langsung

melibatkan lembaga negara. Adapun

lembaga negara yang dimaksud ialah Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Komisi

Pemilihan Umum (KPU). Kemudian

Ilmuwan yang menggeluti bidang ilmu

politik juga perlu dilibatkan untuk terjun

langsung dalam menerapkan pendidikan

politik bagi generasi muda sebagai pemilih

pemula dengan mengedepankan

mekanismes sebagai berikut:

a. Pendidikan politik formal yakni

pendidikan politik yang

diselenggarakan melalui indoktrinasi,

b. Pendidikan politik yang dilakukan

secara nonformal, seperti melalu

pertukaran pendidikan melalui mimbar

bebas yang dapat menjangkau mereka

yang tidak mampu mengenyam

pendidikan formal.

94 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

5. Simpulan

Hak suara adalah hak yang sangat

penting dalam dunia politik khususnya bagi

generasi muda sebagai pemilih pemula.

Dalam penerapannya dalam masyarakat,

sangat banyak terjadi penyalahgunaan hak

suara oleh pemilih pemula baik dalam

bentuk penyogokan maupun intevensi

berbau money politic yang dilakukan oleh

oknum yang tidak bertanggung jawab, yang

biasanya disertai dengan unsur ancaman

dan paksaan. Perbuatan tersebut sangat

ditentang secara hukum dan HAM,

ditambah lagi hak suara sangat dilindungi

dan dijamin oleh konstitusi berdasarkan UU

Nomor 7 Tahun 2017. Langkah yang dapat

diambil untuk meminimalisir hal tersebut

adalah dengan adanya pendidikan politik

bagi generasi muda khususnya bagi pemilih

pemula. Adanya pendidikan politik yang

ditujukan kepada pemili pemula bertujuan

untuk memberikan pemahaman yang

efisien mengenai pemenuhan kehendak

dalam memaksimalkan hak suaranya dan

sekaligus menjadi tonggak penggerak

kebijakan politik dan pemerintahan

Indonesia.

Dalam kasus terjadinya penyalahgunaan

hak suara oleh pemilih pemula, disebabkan

oleh beberapa faktor. Faktor utama dari

penyalahgunaan hak suara adalah faktor

ekonomi. Kebutuhan akan materi di usia

muda sekarang ini yang menyebabkan

pemilih pemula sekarang ini mudah

terjebak dalam hasutan money politic.

Namin, perlu diingatkan bahwa output dari

penyalahgunaan hak suara oleh pemilih

pemula nantinya akan memberikan hasil

yang baik bagi kehidupan negara. Oleh

karena itu, diperlukan sebuah regulasi yaitu

pendidikan politik yang harus disinergikan

secara massif kepada generasi muda

pemilih pemula dengan melibatkan

beberapa elemen utama seperti pengaruh

keluarga, lingkungan sekolah, lingkungan

pergaulan, lingkungan pekerjaan, serta

interaksi politik secara langsung. Elemen-

elemen tersebut merupakan elemen yang

mampu bekerka sama dalam mewujudkan

pendidikan politik bagi pemilih pemula.

Adapun badan lembaga negara yang

dilibatkan untuk mendukung pola

pendidikan politik ini yaitu Badan

Pengawas Pemilu (Bawaslu), Komisi

Pemilihan Umum (KPU), dan Ilmuwan

yang menggeluti bidang ilmu politik.

Pendidikan politik ini nantinya dapat

dijalankan dengan dua mekanisme yaitu

pendidikan politik formal dan pendidikan

politik informal. Dengan adanya

pendidikan politik bagi pemilih pemula

dapat menjadi tonggak utama bagi

pemaksimalan hak suara rakyat dan

menjadi penunjuk arah bagi kebijakan

politik dan pemerintahan Indonesia yang

baik dan benar.

95 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Budiardjo, Miriam. (2015). Dasar-Dasar Ilmu Politik. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama

Charda, Ujang. (2018). Pendidikan Kewarganegaraan Untuk Perguruan Tinggi. Depok: Rajawali Pers

Ramadhanil, Fadli, dkk. (2019). Perlindungan Hak Memilih Warga Negara di Pemilu 2019 dan

Keterwakilan Perempuan di Lembaga Penyelenggara Pemilu. Jakarta: Perkumpulan untuk

Pemilu dan Demokrasi (Perludem) dengan Dukungan Kedutaan Besar Belanda.

Jurnal

Alamsyah, N. M. (2010). Budaya Politik dan Iklim Demokrasi di Indonesia. JURNAL ACADEMICA

Fisip Untad, 2(2), hlm. 413-425.

Bachtiar, F. R. (2014). Pemilu Indonesia: Kiblat Negara Demokrasi Sebagai Refresentasi. Jurnal Politik

Profetik, 3(1), hlm. 1-17

Pasaribu, T., Sumadinata, S., Muradi. (2018). Penerapan Pemilu Berintegritas dan Jaminan Kesetaraan

Hak Politik dalam Pendaftaran Pemilih: Studi Kasus Pilkada Samosir 2015. Jurnal Wacana

Politik, 3(2), hlm. 121-128.

Saputra, R. (2017). Partisipasi Politik Pemilih Pemula pada Pemilihan Presiden di Kecamatan Mandau

Kabupaten Bengkalis Tahun 2014. JOM FISIP, 4(1), hlm. 1-12.

Sugianto, B. (2017). Analisis Yuridis Penerapan dan Bentuk-Bentuk Tindak Pidana Pemilu Menurut

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017. Jurnal Al-Adl’, IX(3), hlm. 295-318.

Website

A ffandi, Indrus & Karim Suryadi. Teori dan Konsep dalam Konteks Pendidikan Politik. Diakses pada

tanggan 5 November 2020 pukul 04.23 dari http://repository.ut.ac.id/4009/1/PKNI4423-

M1.pdf

Undang-Undang

Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2017 Tentang Pemilihan Umum

96 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

97 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

ELECTION (E-VOTE FOR REGIONAL HEAD'S SELECTION IN RED ZONE):

UPAYA OPTIMALISASI PELAKSANAAN PEMILIHAN KEPALA DAERAH DI

MASA NEW NORMAL

ELECTION (E-VOTE FOR REGIONAL HEAD'S SELECTION IN RED ZONE):

OPTIMIZING EFFORT ON IMPLEMENTATION

OF REGIONAL HEAD ELECTIONS IN NEW NORMAL

Andi Annisyah Tenri Sanna

Muthia Ayu Pratiwi

Universitas Hasanuddin

Jl. Perintis Kemerdekaan Jl. Perintis Kemerdekaan KM.10, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea, Kota

Makassar, Sulawesi Selatan 90245

E-mail:

[email protected]

[email protected]

Abstract

The implementation of regional head elections is a sacred event in the context of the leadership relay

in regions in Indonesia. Indonesia always carry out regional head elections directly and

simultaneously. This year, the government plans to resume holding regional head elections as usual.

However, it tends to be less applicable consider the current situation, that Indonesia still struggling

against COVID-19 virus. There are still 32 areas designated as red zones or areas with a high rate of

increase of COVID-19 cases. The purpose of this writing is to provide a solution to carry out regional

head elections online as a step to suppress the growth of COVID-19 cases in these red zone areas.

Research method in this paper is to use normative and empirical research methods, namely describing

regulations related to regional head elections and implementation and connecting people's desires and

how ideally regional head elections are held in red zone areas. The results of this study indicate that

there is a significant desire from the citizens to postpone the regional head elections in this 2020 and

there are some areas that are red zones. The solution is that Election Supervisory Agency must

completed the tools to support health protocols, ensure education on how the regional head elections

would be and proclaim an e-vote for regional head's selection in red zone (Election), an online voting

mechanism in the red zone area. Thus, the implementation of regional head elections in the middle of

era new normal will run optimally.

Keywords : Election Supervisory Agency; E-Vote For Regional Head’s Selection In Red Zone

(Election); New Normal; Red Zone; Regional Head Elections.

Abstrak

Pelaksanaan pemilihan kepala daerah menjadi ajang sakral dalam rangka estafet kepemimpinan di

daerah-daerah di Indonesia. Sudah menjadi kebiasaan di Indonesia melaksanakan pemilihan kepala

daerah secara langsung dan serentak.Di tahun ini, pemerintah merencanakan untuk kembali

melaksanakan pemilihan kepala daerah seperti biasanya.Namun, hal ini tentu cenderung kurang dapat

diaplikasikan jika melihat situasi saat ini yakni negara Indonesia yang masih berjuang melawan virus

COVID-19. Di era new normal ini masih terdapat 32 daerah yang ditetapkan sebagai zona merah atau

wilayah dengan angka kenaikan kasus COVID-19 yang tinggi.Maka tujuan dari penulisan ini adalah

memberikan solusi untuk melaksanakan pemilihan kepala daerah secara daring sebagai langkah

menekan pertumbuhan kasus COVID-19 di daerah-daerah zona merah tersebut.Dengan demikian

metode penelitian dalam tulisan ini yakni menggunakan metode penelitian normatif dan empiris yakni

menjabarkan regulasi-regulasi terkait pemilihan kepala daerah dan pelaksanaan serta mengaitkan antara

keinginan masyarakat dan bagaimana idealnya pemilihan kepala daerah dilaksanakan di daerah zona

98 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

merah.Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa terdapat keinginan yang signifikan dari masyarakat

agar pelaksanaan pemilihan kepala daerah ditunda di tahun 2020 ini dan masih terdapat beberapa daerah

yang merupakan zona merah. Solusinya Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) sebagai penyelenggara

harus lebih mengoptimalisasi kelengkapan alat untuk menunjang protokol kesehatan dan memasifkan

edukasi awal mengenai akan bagaimana pelaksanaan pemilihan kepala daerah nantinya serta

mencanangkan e-vote for regional head’s selection in red zone (Election) yang merupakan mekanisme

pemilihan secara daring di wilayah zona merah. Dengan demikian pelaksanaan pemilihan kepala daerah

di tengah masa new normal ini akan berjalan secara optimal dan dapat menekan pertumbuhan kasus

COVID-19.

Kata Kunci : Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu); E-Vote For Regional Head’s Selection In Red Zone

(Election); New Normal; Pemilihan Kepala Daerah; Zona Merah.

1. Pendahuluan

Konsep demokrasi menempatkan

kedaulatan tertinggi berada di tangan

rakyat, begitulah amanat konstitusi yang

menginginkan seluruh warga Negara

berperan serta secara aktif dalam memilih

pemimpin. Dalam Undang–Undang Dasar

1945 Pasal 1 Ayat (2), yang berbunyi:

“kedaulatan berada di tangan rakyat dan

dilaksanakan menurut undang–undang

dasar”, kaidah undang–undang

menerangkan jika praktik kedaulatan

diterjemahkan dalam bentuk partisipasi

rakyat dalam pemilihan langsung di

berbagai level pemerintahan, mulai dari

memilih pemimpin negara, pemimpin

daerah, hingga memilih anggota perwakilan

rakyat.

Sebagai suatu sistem politik, demokrasi

telah menempati stratum teratas yang

diterima oleh banyak negara karena dalam

hal ini dianggap mampu untuk mengatur

dan menyelesaikan persoalan hubungan

sistem dan politik, baik yang melibatkan

kepentingan hubungan antar individu dalam

bermasyarakat, hubungan antar masyarakat,

masyarakat dan negara maupun antar

negara lain. Sebagai sebuah konsep,

demokrasi memiliki makna luas dan

mengandung banyak elemen yang

kompleks. Demokrasi adalah suatu metode

politik, sebuah mekanisme untuk memilih

pemimpin politik. Warga negara diberi

kesempatan untuk memilih salah satu

diantara pemimpin-pemimpin politik yang

bersaing meraih suara (David, 1989).

Kemampuan untuk memilih diantara

pemimpin-pemimpin politik pada masa

pemilihan inilah yang disebut demokrasi.

Dalam praktik ketatanegaraan dewasa

ini, partisipasi dalam konsep kedaulatan

rakyat diterjemahkan dalam bentuk praktik

demokrasi langsung (direct democracy)

yang benar–benar memposisikan

masyarakat secara total dalam proses

penentuan seorang pimpinan pemerintahan

dalam berbagai tingkatan. Ajang

pelaksanaan demokrasi langsung dapat

terlihat dari pesta demokrasi di level

99 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

pemerintahan lokal atau daerah, disitulah

masyarakat diajak berpartisipasi langsung

untuk menentukan masa depan di

daerahnya masing-masing (Simamora,

2011). Dalam pemilihan kepala daerah

secara langsung ini telah berlangsung sejak

tahun 2005, yang didasarkan pada

ketentuan UU No. 32 Tahun 2004 dengan

berlandaskan pada ketentuan Pasal 18 ayat

(4) UUD NRI 1945 yang menentukan

bahwa Gubernur, Bupati, dan Wali Kota

masing-masing sebagai kepala

pemerintahan daerah provinsi, kabupaten,

dan kota dipilih secara demokratis. Apabila

dicermati, sesunggunnya konteks dipilih

secara demokratis yang ada pada ketentuan

Pasal 18 ayat (4) UUD NRI 1945 tersebut

tidak menegaskan keharusan bahwa

Gubernur, Bupati dan Walikota harus

dipilih melalui suatu pemilihan yang

dilaksanakan secara langsung.

Penyelenggaraan Pemilihan Kepala

Daerah secara langsung yang akan

dilaksanakan serentak di tengah kondisi

new normal (era kebiasaan baru) telah

diatur dalam Instrumen dalam pemilihan

kepala daerah dijelaskan dalam Undang-

Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020

tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang 1 Tahun 2015 tentang Penetapan

Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-

Undang Nomor 1 tahun 2014 tentang

Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

saat ini layak untuk dipertimbangkan

kembali. Pemilihan secara langsung saat ini

tentu memiliki tingkat resiko yang cukup

tinggi. Hal ini akan sangat berdampak

buruk, mengingat jumlah kasus penyebaran

COVID-19 masih terus mengalami

peningkatan.Di sisi lainpendidikan politik

terhadap masyarakat terbatasi dengan

pandemi saat ini. Padahal I Gede Hendra

Juliana, yang menjadi pemantik Indonesian

Controlling Community (ICC)

menyebutkan kekhawatirannya jika

penyelenggara tidak melakukan sosialisasi

dan edukasi terhadap warga terkait prosedur

serta tata cara pemilihan di musim pandemi,

tentu hal ini bisa menjadikan penyebaran

COVID-19 akan semakin masif. Selain itu,

pada pelaksanaan Pemilihan Kepala Daerah

di tengah pandemi ini juga akan

menyebabkan naiknya anggaran Pilkada

karena setiap TPS pasti membutuhkan Alat

Kesehatan (Alkes) seperti Alat Pelindung

Diri (APD). Ketua Komisi II DPR Ahmad

Doli Kurnia Tandjung mengatakan, dari

sekian nominal angka anggaran yang

diajukan KPU, Bawaslu dan DKPP adalah

80 hingga 90 persen itu untuk alat kesehatan

yang dibutuhkan. Selain itu, penambahan

jumlah TPS yang mencapai sekitar 690

TPS, ada aturan pembatasan jumlah pemilih

per TPS, dari 800 orang dikurangi menjadi

500 orang per TPS akan koheren dengan

peningkatan anggaran. Permasalahan-

100 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

permasalahan tersebut menjadikan perlu

inovasi pemilihan kepala daerah yang

konstitusional tanpa menegasikan

kesehatan masyarakat di era pandemi saat

ini.

2. Metode Penelitian

Metode pada artikel ini menggunakan

jenis penelitian empiris yang didukung

dengan pendekatan penelitian berupa studi-

studi empiris untuk menemukan teori-teori

mengenai proses terjadinya dan mengenai

proses bekerjanya hukum di dalam

masyarakat. Kajian empiris memandang

hukum sebagai kenyataan yang mencakup

kenyataan sosial, kultur. Penelitian empiris

atau hukum sosiologis, data yang diteliti

terlebih dahulu adalah data sekunder yang

dilanjutkan dengan penelitian terhadap data

primer lapangan atau terhadap masyarakat

(Soerjono Soekanto).

Pengumpulan data dalam studi pustaka

ini dilakukan penelitian dengan cara

mempelajari dan mengumpulkan data yang

berhubungan dengan objek penelitian.

Data-data tersebut diperoleh dari buku-

buku kepustakaan, peraturan perundang-

undangan, browsing internet, dan dokumen-

dokumen lainnya. Dalam hal ini peneliti

mencari buku-buku yang dibutuhkan.

Penelitian hukum empiris, yang

digunakan oleh Soetandyo

Wignyosoebroto, yaitu penelitian doktrinal

dan penelitian non-doktrinal. Perbedaan

yang tampak pada hukum normatif ialah

pada sisi peristilahan, bukan pada sisi

substansi. Pertama, Penelitian hukum

empiris, hukum dikonsepsikan sebagai

sebuah gejala sosial yang dipengaruhi oleh

variabel-variabel sosial lainnya dan

sekaligus merupakan determinan

mempengaruhi perilaku individu atau

kelompok masyarakat kearah perilaku yang

lebih diinginkan. Kedua, Menekankan pada

langkah-langkah observasi dengan model

analisis empiric-kuantitatif. Ketiga,

Menjadikan data primer sebagai data dasar

penelitian, karena data primer yang dapat

menggambarkan perilaku individu atau

kelompok sebagai sasaran penelitian dalam

penelitian hukum empiris. Keempat,

Mengutamakan teknik probability

sampling.

3. Perspektif Teori

3.1 Konsep Demokrasi di Indonesia

Demokrasi adalah sebuah bentuk

pemerintahan oleh rakyat.Jika dirunut

secara historis, konsep demokrasi awalnya

dikemukakan oleh Socrates. Kemudian,

Plato memberikan kritik terhadap

demokrasi di Athena yang dipandangnya

sebagai sebuah kemerosotan akibat

kekalahan kota dalam perang melawan

Sparta dan pembusukan korlaitas

kepemimpinan. Di Athena, demokrasi

berarti pemerintahan oleh mayoritas kaum

miskin. Plato mengungkapkan bahwa

101 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

hukum tidak akan dihormati, tetapi akan

dilihat sebagai serangan terhadap

kebebasan rakyat, menimbulkan tirani,

kekacauan dan memberi jalan bagi

pemerintahan yang diktator. Solusi yang

ditawarkan oleh Plato adalah menganjurkan

pemerintahan oleh orang yang bijak, terlatih

dan terpelajar. Pemikiran Plato kemudian

dikembangkan oleh muridnya, Aristoteles

mengembangkan pendapat Plato dengan

memperdebatkan ruang bagi pengaruh

rakyat misalnya dalam pembuatan undang-

undang. Aliran pemikiran baru tentang

demokrasi yang berdasarkan pada

masyarakat modern tidak pernah muncul

hinggga abad ke-19 sampai pada masa

Rennaisance. Pada jaman Rennaisance

tersebut kemudian mulai terbentuk konteks

pembangunan masyarakat industrialis-

kapitalis-modern. Di jaman tersebut mulai

terdapat sumbangan pemikiran dalam

perdebatan tentang demokrasi yang tujuan

pokoknya adalah gambaran mengenai

wajah demokrasi dalam konteks modern.

Pengertian demokrasi secara sempit

dirumuskan oleh Joseph Schumpeter

sebagaimana dikutip dalam Held yang

menyatakan bahwa: demokrasi secara

sederhana merupakan sebuah metode

politik, sebuah mekanisme untuk memilih

pemimpin politik. Warga negara diberikan

kesempatan untuk memilih salah satu di

antara pemimpin-pemimpin politik yang

bersaing meraih suara.Di antara pemilihan,

keputusan dibuat oleh politisi.Pada

pemilihan berikutnya, warga negara dapat

mengganti wakil yang mereka pilih

sebelumnya. Kemampuan untuk memilih di

antara pemimpinpemimpin politik pada

masa pemilihan inilah yang disebut dengan

demokrasi. Singkatnya, Schumpeter hendak

menjelaskan bahwa metode demokratis

adalah penataan kelembagaan untuk sampai

pada keputusan politik di mana individu

meraih kekuasaan untuk mengambil

keputusan melalui perjuangan kompetitif

untuk meraih suara.

Demokrasi yang berasal dari Yunani

“demos” yang berarti “rakyat”

menekankan bahwa sesungguhnya

kekuasaan kekuasaan dalam demokrasi

adalah berada di tangan rakyat. Dari

pemaknaan yang sama dan karenanya

universal, demokrasi substansial telah

memberikan daya pikat normatif yaitu

dalam demokrasi harusnya berkembang

nilai kesetaraan, keragaman, penghormatan

atas perbedaan, kemanusiaan, kebebasan,

tanggungjawab, kebersamaan, dan

sebagainya. Di sisi lain, sebagai suatu

sistem politik, demokrasi juga mengalami

perkembangan dalam implementasinya.

Banyak model demokrasi hadir dan

semuanya tidak terlepas dari ragam

perspektif pemaknaan demokrasi

substansial. Demokrasi berkembang dalam

berbagai model antara lain terkait dengan

kreativitas para aktor politik di berbagai

102 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

tempat dalam mendesain praktik demokrasi

prosedural sebagai kultur, sejarah dan

kepentingan.

Landasan filosofis yuridis yang

mendasari dinamika perdebatan Pilkada

adalah bunyi Pasal 18 ayat (4) Undang-

Undang Dasar Negara Republik Indonesia

Tahun 1945 yang mengamanatkan bahwa

Gubernur, Bupati, dan Walikota masing-

masing sebagai kepala pemerintah daerah

dipilih secara demokratis.

3.2 Dasar Juridis Pelaksanaan

Pemilihan Kepala Daerah

Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah, pada dasarnya merupakan

konsekuensi pergeseran konsep otonomi

daerah, berikut diajukan tinjauan hukum

tentang pemilihan kepala daerah menurut

peraturan perundang-undangan, baik

menurut undang-undang maupun aturan

pelaksananya.Gagasan pemilihan Kepala

Daerah secara langsung lahir dari keinginan

agar Kepala Daerah yang terpilih benar-

benar representatif. Artinya seorang

Gurbenur atau Bupati misalnya, terpilih

atau dipilih bukan hasil rekayasa politik

atau produk “kongkalikong”, yang pada

akhirnya Kepala Daerah bukanlah hasil

keinginan rakyat yang sebenarnya.

Pemilihan Kepala Daerah secara sederhana

dapat dikatakan sebagai penyeleksian

rakyat terhadap tokoh-tokoh yang

mencalonkan diri sebagai kepada daerah,

baik Gubernur ataupun Walikota (Adhani,

2019).

Berdasarkan Pasal 56 Undang-Undang

Nomor 32 Tahun 2004 disebutkan bahwa

Kepala daerah dan wakil kepala daerah

dipilih dalam satu pasangan calon yang

dilaksanakan secara demokratis

berdasarkan asas langsung, umum, bebas,

rahasia, jujur, dan adil.

Dalam undang-undang ini, Pilkada

(Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil

Kepala Daerah) belum dimasukkan dalam

rezim Pemilihan Umum (Pemilu). Pilkada

pertama kali diselenggarakan pada bulan

Juni 2005. Peraturan lain yang terkait

dengan Pilkada adalah:

a. Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2005

tentang Perubahan Atas Undang-

Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah;

b. Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2005

tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 3 Tahun 2005 tentang

Perubahan Atas UndangUndang

Nomor 32 Tahun 2004 tentang

Pemerintahan Daerah Menjadi

UndangUndang;

c. Undang-Undang Nomor 22 Tahun

2007 tentang Penyelenggara Pemilihan

Umum;

d. Peraturan Pemerintah Nomor 6 Tahun

2005 tentang Pemilihan, Pengesahan,

103 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Pengangkatan dan Pemberhentian

Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah;

e. Peraturan Pemerintah Nomor 17 Tahun

2005 tentang Perbahan Atas Peraturan

Pemerintah Nomor 6 Tahun 2005

tentang Pemilihan, Pengesahan,

Pengangkatan dan Pemberhentian

Kepala Daerah dan Wakil Kepala

Daerah.

f. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020

tentang Penetapan Peraturan

Pemerintah Pengganti Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2020 tentang

Perubahan Ketiga Atas Undang-

Undang 1 tahun 2015 tentang

Penetapan Peraturan Pemerintah

Pengganti Undang-Undang Nomor 1

tahun 2014 tentang Pemilihan

Gubernur, Bupati dan Walikota.

Pilkada diselenggarakan oleh

Komisi Pemilihan Umum (KPU) Provinsi

dan KPU Kabupaten/Kota dengan diawasi

oleh Panitia Pengawas Pemilihan Umum

(Panwaslu) Provinsi dan Panwaslu

Kabupaten/Kota. Khusus di Nanggroe Aceh

Darussalam, Pilkada diselenggarakan oleh

Komisi Independen Pemilihan (KIP)

dengan diawasi oleh Panitia Pengawas

Pemilihan Aceh (Panwaslih Aceh).

Dalam melaksanakan tugasnya pun juga,

Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD)

menyampaikan laporan penyelenggaraan

pemilihan kepala daerah dan wakil kepala

daerah kepada DPRD.Dalam mengawasi

penyelenggaraan pemilihan kepala daerah

dan wakil kepala daerah, dibentuk panitia

pengawas pemilihan kepala daerah dan

wakil kepala daerah yang keanggotaannya

terdiri atas unsur kepolisian, kejaksaan,

perguruan tinggi, pers, dan tokoh

masyarakat. Anggota panitia pengawas

berjumlah lima orang untuk provinsi, lima

orang untuk kabupaten/kota dan tiga orang

untuk kecamatan.

Pemantauan pemilihan kepala

daerah dan wakil kepala daerah dapat

dilakukan oleh pemantau pemilihan yang

meliputi lembaga swadaya masyarakat, dan

badan hukum dalam negeri yang harus

mendaftarkan, dan memperoleh akreditasi

dari KPUD, tetapi harus memenuhi

persyaratan yang meliputi:

a. bersifat independen; dan

b. mempunyai sumber dana yang jelas.

Selain itu, pemantau pemilihan wajib

menyampaikan laporan hasil

pemantauannya kepada KPUD paling

lambat tujuh hari setelah pelantikan kepala

daerah dan wakil kepala daerah terpilih.

Pemantau pemilihan wajib mematuhi segala

peraturan perundang-undangan. Pemantau

pemilihan yang tidak memenuhi kewajiban

dan/atau tidak lagi memenuhi persyaratan

dicabut haknya sebagai pemantau

pemilihan dan/atau dikenai sanksi sesuai

peraturan perundang-undangan.

104 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

3.3 Konsep New Normal

New normal merupakan sebuah istilah

yang digunakan untuk menggambarkan

kondisi yang berbeda dengan kondisi

sebelumnya yang pada akhirnya akan

menjadi suatu hal lumrah yang baru. New

normal hadir untuk memastikan respons

berbagai aspek dalam masyarakat yang

dimulai dari makro, meso, dan mikro dan

efisiensi adaptasi terhadap perubahan yang

terjadi. Hal ini akan memastikan kesiapan

masyarakat dalam membangun kembali

apa yang telah dibuat rubuh oleh suatu krisis

maupun pandemi dengan kondisi yang lebih

kuat (Buheji & Ahmed, 2020). Sebenarnya,

new normal merupakan istilah yang telah

digunakan jauh sebelum terjadinya

COVID-19, yang dimana istilah tersebut

muncul pada sektor ekonomi setelah

terjadinya krisis ekonomi (Davis, 2009).

Kendati begitu, dalam konteks pandemi,

new normal juga diartikan sebagai

perubahan yang terjadi pada perilaku

manusia yang akan terjadi pada pasca

pandemi COVID-19, dimana manusia akan

cenderung lebih membatasi sentuhan fisik

dan juga akan cenderung lebih berjauhan

dengan sesama (Griffith, 2020).

Wiku Adisasmita selaku Ketua Tim Pakar

Gugus Tugas Percepatan Penanganan

COVID-19 menegaskan bahwa masyarakat

harus merubah pola hidup serta perilaku

menjadi lebih sehat setiap hari agar dapat

meminimalisir transmisi penyakit COVID-

19 sampai ditemukannya vaksin yang tepat

(WHO, 2020). Dalam segi infrasturktur

teknologi informasi dan komunikasi,

daerah-daerah yang memiliki infrastruktur

informasi yang lebih maju, akan lebih

mudah dalam mendistribusikan informasi

mengenai dampak penyebaran COVID-19

terutama karena adanya media sosial yang

sudah disisipkan fitur untuk memantau

perkambangan kasus COVID-19 di dunia

dan juga Indonesia (Sampurno,

Kusumandyoko, & Islam, 2020).

Selain itu, penambahan kasus COVID-

19 yang semakin melonjak setiap harinya

juga akan menjadi hambatan pada sektor

kesehatan. New normal memang seiring

pula dengan penerapan protokol kesehatan

pada kehidupan sehari-hari penduduk

Indonesia, namun ketaatan terhadap

protokol tersebut tidak dapat dijamin, atau

dengan kata lain, akan terdapat penduduk

Indonesia yang mengabaikan protokol

kesehatan tersebut dan daripadanya akan

menambahkan jumlah kasus COVID-19

yang akan menjadikan berbagai daerah

menjadi zona merah dan dapat berpotensi

pada timbulnya second wave.

3.4 Teori Kesejahteraan Rakyat

Membangun negara kesejahteraan,

menjadi obsesi banyak negara baru

terutama di Asia yang merdeka setelah

Perang Dunia II. Beberapa negara seperti

Korea Selatan, Taiwan, dan Singapura,

105 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

telah cukup berhasil membangun negara

kesejahteraannya (Triwibowo & Bahagio,

2006:xvii). Demikian pula, negara

Kesatuan Republik Indonesia, sebagaimana

diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar

1945, didesain sebagai Negara

Kesejahteraan (welfare state). Menurut

Pierson (2007:9), kata kesejahteraan

(welfare) di dalamnya paling tidak

mengandung tiga subklasifikasi, yakni: (1)

Social welfare, yang mengacu kepada

penerimaan kolektif kesejahteraan; (2)

Economic welfare, yang mengacu kepada

jaminan keamanan melalui pasar atau

ekonomi formal; dan (3) State welfare, yang

mengacu kepada jaminan pelayanan

kesejahteraan sosial melalui agen dari

negara.

Konsep kesejahteraan dikembangkan

menjadi lebih luas dibandingan sekedar

mengukur aspek pendapatan

nominal.Kesejahteraan adalah standard

living, wellbeing, welfare, dan quality of

life. Kesejahteraan sebagai kualitas

kepuasan hidup yang bertujuan untuk

mengukur posisi anggota masyarakat dalam

membangun keseimbangan hidup

mencakup antara lain, (a) kesejahteraan

materi, (b) kesejahteraan bermasyarakat, (c)

kesejahteraan emosi, (d) keamanan

(Brudeseth, 2015).

Ukuran lainnya kesejahteraan adalah

proporsi pengeluaran untuk

pangan.Kesejahteraan merupakan

pencerminan dari kualitas hidup manusia

(quality of human life), yaitu suatu keadaan

ketika terpenuhinya kebutuhan dasar serta

terealisasikannya nilai-nilai hidup. Istilah

kesehatan sosial keluarga dan kesejahteraan

sosial keluarga bagi keluarga yang dapat

melahirkan individu dengan pertumbuhan

dan perkembangan yang baik.

Pada kondisi new normal COVID-19

tidak hanya berdampak terhadap sektor

kesehatan publik, tetapi juga banyak sektor

lain mulai dari ekonomi, pendidikan,

budaya, sosial, politik, hingga

pemerintahan. Secara khusus dalam bidang

politik, menurut Kennedy & Suhendarto

(2020), pandemi COVID-19 telah

mengakibatkan pemilihan kepala daerah

(pilkada) 2020 mengalami penurunan

tingkat kesejahteraan masyarakat. Pew

Research Center di Amerika Serikat baru-

baru ini juga menunjukkan bahwa di tengah

dominannya isu krisis kesehatan ternyata

publik masih lebih concern terhadap

masalah ekonomi. Bahkan, isu ekonomi dan

kesehatan mengalahkan isu terkait politik.

Pandemi COVID-19 telah membuat

masyarakat dan sistem politik berada pada

tingkat stress yang tinggi. Kondisi ini rentan

memicu konflik horizontal.Krisis ekonomi

akibat COVID-19 bisa menjadi benih

gejolak sosial di daerah. Belum lagi,

sebagai imbas dari pilkada, kalangan elite

politik seringkali mengeksploitasi kondisi

tersebut demi kepentingan kekuasaan. Hal

106 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

ini yang membuktikan tingkat

kesejahteraan masyarakat tergolong rendah.

4. Hasil dan Pembahasan

Ditemukannya 60 orang bakal calon

kepala daerah yang positif terpapar

COVID-19 menjadi indikasi awal

(kompas.com, 2020). Calon kepala daerah

yang terpapar ini berasal dari 21 provinsi

dari 32 provinsi yang akan menggelar

Pilkada Serentak. Data ini disampaikan

langsung oleh Ketua KPU RI, Arief

Budiman pada Rapat Kerja Komisi II

dengan Menteri Dalam Negeri, KPU,

Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu), dan

Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu

(DKPP) pada 10 September 2020. Selain

itu, tahapan pilkada mulai dari pendaftaran

calon telah menyebabkan terjadinya

kerumunan massa, ditambah lagi dengan

bakal calon yang seringkali mengabaikan

protokol kesehatan. Ratusan bakal calon

kepala daerah terindikasi melanggar aturan

protokol kesehatan COVID-19, seperti

membawa massa, berkumpul, dan

melakukan arak-arakan saat mendaftar ke

KPU, seperti yang terjadi di Kota Surabaya.

Munculnya klaster baru dalam dua minggu

pasca-proses, menjadi tidak terhindarkan.

Tidak hanya itu, Pilkada Serentak 2020

juga diprediksi akan mengalami degradasi

kualitas yang disebabkan oleh turunnya

angka partisipasi masyarakat sebagaimana

yang dilansir dalam Tempo, bahwasanya

pada jajak pendapat yang digelar tempo.co

pada 21-28 September 2020, dari 1.445

responden, sebanyak 1.294 orang atau

89,55 persen setuju Pilkada 2020 ditunda

(Tempo.co, 2020). Partisipasi masyarakat

menurun sebagai dampak pandemi yang

menimbulkan kekhawatiran dalam diri

masyarakat apabila ingin ikut berpartisipasi

dalam setiap tahapan atau proses Pilkada,

termasuk dalam menyalurkan hak pilihnya

di Tempat Pemungutan Suara (TPS) pada

hari pelaksanaan Pilkada Serentak.

Setidaknya ada 3 perubahan mendasar

yang diatur dalam Perppu No. 2 Tahun

2020, Pertama, Pasal 120 yang menyatakan

faktor bencana non-alam sebagai alasan

penundaan rangkaian pilkada. Kedua, Pasal

122 A berkenaan dengan penundaan dan

penetapan pilkada lanjutan ditetapkan

berdasarkan kesepakatan Pemerintah, DPR

RI, dan KPU. Ketiga, Pasal 201A pilkada

yang pada awalnya akan dilaksanakan pada

bulan September 2020 ditunda dan akan

diselenggarakan pada bulan Desember

2020, dengan alasan bencana non-alam

pandemi COVID-19. Apabila pada bulan

Desember 2020 pilkada belum dapat

dilakukan, maka bisa ditunda kembali

sesuai ketentuan yang tercantum pada Pasal

122A. Namun demikian, menurut Yang dan

Ren (2020), Pasal 201A Perppu No. 2

Tahun 2020 sebagai open legal

policy (kebijakan hukum terbuka) masih

107 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

memungkinkan terjadinya perubahan, yakni

penundaan kembali pilkada lanjutan apabila

situasi pandemi COVID-19 belum mereda.

Dalam penyelenggaraan pilkada, kita

dapat belajar dari negara-negara yang

sukses menyelenggarakan pemilu di tengah

pandemi. Terhitung sejak 21 Februari 2020

hingga 7 Mei 2020 terdapat sembilan

negara yang telah menyelenggarakan

pemilu, diantaranya adalah Singapura,

Jerman, Prancis, Mongolia, dan Korea

Selatan (International Institute for

Democracy and Electoral Assistance,

2020). Setiap negara memiliki mekanisme

dan tata cara tersendiri yang diterapkan

selama pandemi. Ada yang melaksanakan

pemilihan dengan protokol kesehatan

COVID-19 secara ketat, pemilihan lewat

kantor pos atau elektronik, ada juga yang

memakai teknologi termasuk saat

rekapitulasi suara. Bahkan ada negara yang

membuat tempat pemungutan suara khusus

untuk kelompok usia rentan 60 tahun ke

atas. Sementara Indonesia memilih untuk

menggunakan protokol kesehatan.

Kematangan mekanisme, ketersediaan

APD, ketersediaan dan ketercukupan

anggaran demi suksesnya penyelenggaraan

pemilihan, serta berbagai antisipasi apabila

dibutuhkan, harus dipersiapkan dengan

matang. Negara benar-benar harus hadir

dalam menjamin kesuksesan pilkada dan

keselamatan warga negara dengan harapan

proses penyelenggaraan dari awal hingga

pemungutan suara dapat berjalan dengan

lancar dan sukses, serta masyarakat juga

tetap aman dari COVID-19. Selanjutnya,

Bawaslu sebagai representasi

penyelenggara pemilu perlu untuk

melakukan sosialisasi kepada masyarakat

mengenai bagaimana mekanisme

pelaksanaan Pilkada serentak 2020 nantinya

yang tidak akan seperti Pilkada sebelumnya

dan tentunya mengedepankan protokol

kesehatan. Sehingga dengan adanya

pengetatan protokol kesehatan dalam

pelaksanaan Pilkada, tentu Pilkada dapat

dilaksanakan secara optimal.

Di sisi lain, fakta bahwasanya masih

terdapat beberapa daerah di Indonesia yang

tergolong rawan untuk diadakan Pilkada

atau disebut zona merah menjadi tanggung

jawab besar bagi pemerintah untuk

kemudian mencanangkan mekanisme lain

dalam pelaksanaan Pilkada. Walau

tergolong sedikit, yakni sebanyak 32

kabupaten atau kota (Kompas.com, 2020)

atau hanya 6,2% dari total kabupaten atau

kota yang ada di Indonesia, namun sistem

zonasi ini sangat mencerminkan bagaimana

penurunan kasus di daerah tersebut (CNN

Indonesia, 2020), sehingga semakin sedikit

angka penurunan kasus atau sederhananya

selalu meningkatnya kasus di daerah

tersebutlah yang menjadi dasar

ditetapkannya daerah tersebut sebagai zona

108 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

merah. Hal ini mengindikasikan bahwa

akan menjadi suatu hal yang riskan ketika

pelaksanaan Pilkada dilaksanakan secara

langsung atau luring di daerah tersebut.

Sehingga sistem E-Vote atau pemilihan

secara daring menjadi solusi yang solutif

untuk menjawab hal tersebut. Sistem ini

tidak semerta-merta diterapkan tanpa

adanya edukasi awal, melainkan terlebih

dahulu dimasifkan melalui media penyiaran

yang ada bahwasanya pelaksanaan Pilkada

untuk zona merah akan dilaksanakan secara

daring, dalam hal ini tentu melibatkan peran

besar Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu)

dan Kementerian Komunikasi dan

Informatika (Kemenkominfo) yang

berkoordinasi dengan stasiun televisi, radio,

serta melakukan pengadaan iklan-iklan di

aplikasi seperti You Tube, Spotify, serta

Netflix, hal ini dilakukan agar mencapai

penyebaran informasi yang lebih masif

mengingat telah menurunnya minat

masyarakat untuk menonton televisi

konvensional dan mendengarkan radio,

Pemerintah Daerah setempat juga akan

memasifkan informasi mengenai hal ini.

Kemudian, dalam tahap pendaftaran,

calon pemilih akan mengisi pada format

pendaftaran yang ada di dalam web yang

telah disediakan, akan ada kewajiban bagi

calon pemilih untuk menulis nama lengkap,

nomor telepon serta mengunggah dokumen

pindaian Kartu Keluarga serta Kartu Tanda

Penduduk mereka, untuk menjamin

keaslian dokumen tersebut serta menjaga

kerahasiaan informasi, tahapan pendaftaran

ini juga melibatkan Bawaslu berkoordinasi

dengan Direktorat Jenderal Kependudukan

dan Pencatatan Sipil dan Badan Siber dan

Sandi Negara.

Dalam proses pelaksanaan, akan

dikirimkan kode tertentu ke nomor telepon

pemilih yang telah mereka tulis di laman

pendaftaran, kode ini bersifat rahasia dan

hanya satu kali pakai, sehingga tidak akan

ada penyalahgunaan hak suara dalam proses

E-Vote ini. Bersamaan dengan dikirimkan

kode tersebut, dikirimkan pula tautan untuk

mengakses web pemilihan. Di dalam web

nantinya hanya akan berisi foto pasangan

calon Kepala Daerah dan Wakil Kepada

Daerah yang dapat diklik untuk dipilih.

Setelahnya, akan terdapat tulisan bahwa

pemilih telah memilih pasangan calon

nomor tersebut dan tidak akan ada pilihan

untuk kembali, hanya akan terdapat pilihan

‘OK’ dan pemilih akan kembali ke tampilan

pesan di gawai mereka, pesan yang

memberikan tautan untuk mengakses web

tersebut. tentunya, tahap ini pun diawasi

oleh Bawaslu. Setelah semua proses

tersebut terlaksana, Bawaslu yang

kemudian akan menyimpan hasil perolehan

suara untuk kemudian ditindaklanjuti dalam

proses perhitungan suara.

109 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Mekanisme tersebut tentu akan efektif

untuk mengurangi potensi penyebaran

COVID-19 dan tentunya langkah ini

tidaklah inkonstitusional mengingat hak

untuk memperoleh kehidupan yang sehat

juga merupakan hak konstitusional warga

negara, selain itu mekanisme ini juga tidak

berkontradiksi dengan tujuan pelaksanaan

Pilkada mengingat salah satu penentu

Pilkada Serentak 2020 adalah lahirnya

pemimpin-pemimpin yang berkualitas, adil,

bijaksana, dan demokratis pasca COVID-

19. Ini tentu menjadi harapan kita semua,

pemimpin-pemimpin baru yang nanti

diharapkan akan mampu bekerjasama serta

berkolaborasi dengan pemerintah pusat agar

membawa masyarakat keluar dari krisis

akibat COVID-19, sehingga kita bisa keluar

dari tantangan dan tampil menjadi bangsa

pemenang serta mencapai Indonesia maju.

5. Simpulan

Sebagai negara demokrasi, Indonesia

akan tetap mengadakan pemilihan kepala

daerah untuk melanjutkan atau menggilir

kepemimpinan di daerah di Indonesia.

Penyelenggaran pemilihan kepada daerah

sebelumnya telah mengimplementasi

penjunjungan atas hak rakyat dalam

memilih kepala daerahnya. Namun, di era

new normal ini, masih terdapat 32 wilayah

yang ditetapkan sebagai wilayah zona

merah.Hal inilah yang menjadi tantangan

pelaksanaan pemilihan kepala daerah di

tahun 2020 ini. Pemerintah dihadapkan oleh

dua pilihan yang tentunya harus sama-sama

diutamakan; kedemokratisan dan

keselamatan masyarakat. Di sisi lain, proses

ini harus tetap berjalan untuk keberlanjutan

pemerintahan daerah. Namun di sisi lain,

hal ini tentu akan memperparah kondisi di

wilayah zona merah, karena salah satu

indikator wilayah ditetapkan sebagai

wilayah zona merah yakni tingginya angka

kenaikan kasus COVID-19

Penjaminan akan dua hal tersebut

menjadi fokus utama untuk saat ini, dengan

memanfaatkan kecanggihan teknologi yang

ada dan mengerahkan sistem pengawasan

yang baik, tentunya proses pemilihan

kepala daerah di wilyah zona merah dapat

dilaksanakan secara daring. Untuk itu,

penulis menawarkan solusi yaitu E-Vote for

Regional Head’s Selection in Red Zone

(ELECTION) yang dijalankan melalui

tahap persiapan, pendaftaran, pelaksanaan

dengan melibatkan elemen-elemen yang

memiliki kompetensi dalam aspek-aspek

pada tahapan tersebut.

110 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Buku

Hani Adhani. (2019). Sengketa Pilkada: Penyelesaian dari Mahkamah Agung ke Mahkamah Konstitusi.

Depok: RajaGrafindo Persada.

Irwansyah., Ahsan, Y. (2020). Penelitian Hukum: Pilihan Metode & Praktik Penulisan Artikel.

Yogyakarta: Mirra Buana Media.

Jurnal

Arifulloh, A. (2016). Pelaksanaan Pilkada Serentak Yang Demokratis Damai dan Bermartabat.Jurnal

Pembaharuan Hukum.3 (3), hlm.301-311. http://dx.doi.org/10.26532/iph.v3i3.1376.

Irawan, B. (2007). Perkembangan Demokrasi di Negara Indonesia.Jurnal Hukum dan Dinamika

Masyarakat.5 (1), hlm.54-64.http://203.89.29.50/index.php/hdm/article/viewFile/312/364.

Sukmana, O. (2016). Konsep dan Desain Negara Kesejahteraan (Welfare State).Jurnal Sospol, 2 (1)

Hlm. 103-122.http://ejournal.umm.ac.id/index.php/sospol/article/view/4759/4900.

Internet

Arista Rmadhani, B. (2020, September). Pilkada Saat Pandemi COVID-19, Pengamat: e-Voting Bisa

Jadi Solusi. Diakses dari https://jateng.suara.com/read/2020/09/23/073024/pilkada-saat-

pandemi-covid-19-pengamat-e-voting-bisa-jadi-solusi?page=all.

Fajar, WH. (2020, Mei).Mengenal Konsep New Normal.Diakses dari

https://indonesia.go.id/ragam/komoditas/ekonomi/mengenal-konsep-new-normal.

Gustav Rizal, J. (2020, Oktober). 32 Daerah di Indonesia Berstatus Zona Merah COVID-19, Mana Saja?.

Diakses dari https://www.kompas.com/tren/read/2020/10/23/183100165/32-daerah-di-

indonesia-berstatus-zona-merah-covid-19-mana-saja-?page=all.

Hayat, Nurul. (2020, September).Pakar: "E-voting" belum bisa dilakukan pada Pilkada 2020. Diakses

dari https://www.antaranews.com/berita/1742057/pakar-e-voting-belum-bisa-dilakukan-pada-

pilkada-2020.

Herlan, U. (2020, Juni).Benarkah Pilkada 2020 di Era New Normal Sangat Beresiko?.Diakses dari

https://jurnalsukabumi.com/2020/06/14/benarkah-pilkada-2020-di-era-new-normal-sangat-

beresiko/.

111 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Imandiar, Y. (2020, Oktober).Ketua MPR Ingin Pilkada & Pemilu Pakai e-Voting buat Cegah

Kericuhan.Diakses dari https://news.detik.com/berita/d-5219714/ketua-mpr-ingin-pilkada--

pemilu-pakai-e-voting-buat-cegah-kericuhan.

Kholis, N. (2020, September).Pilkada Serentak 2020: Antara Demokrasi dan Kesehatan Publik. Diakses

dari http://www.politik.lipi.go.id/kolom/kolom-2/politik-sains-kebijakan/1417-pilkada-

serentak-2020-antara-demokrasi-dan-kesehatan-publik.

Novellno, A. (2020, Juli).Syarat Daerah Ditetapkan Zona Merah Corona di Indonesia.Diakses dari

https://www.cnnindonesia.com/nasional/20200727201252-20-529522/syarat-daerah-

ditetapkan-zona-merah-corona-di-indonesia.

Puspa Sari, H. (2020, Juni).Komisi II: Penambahan Anggaran Pilkada Untuk Pengadaan Alat Kesehatan.

Diakses dari https://nasional.kompas.com/read/2020/06/04/18234741/komisi-ii-penambahan-

anggaran-pilkada-untuk-pengadaan-alat-kesehatan?page=all.

Prima, E. (2020, September) Masyarakat Dukung Pilkada Serentak 2020 Ditunda. Diakses dari

https://nasional.tempo.co/read/1391188/masyarakat-dukung-pilkada-serentak-2020-ditunda.

Romelt. (2020, Agustus). Pilkada Masa New Normal, Harapan dan Tantangan. Diakses dari

https://fixpadang.pikiran-rakyat.com/padang/pr-40687816/pilkada-masa-new-normal-harapan-

dan-tantangan.

Salim, A. (2020, September). BPPT: Gunakan e-voting untuk Pilkada 2020 agar aman dari COVID-19.

Diakses dari https://www.antaranews.com/berita/1748225/bppt-gunakan-e-voting-untuk-

pilkada-2020-agar-aman-dari-covid-19.

Sumarlin, A,W. (2020, Oktober). Pilkada dan Kesejahteraan Pascapandemi.Diakses dari

https://investor.id/opinion/pilkada-dan-kesejahteraan-pascapandemi.

Undang-Undang

Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2020 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang 1 tahun

2015 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2014

tentang Pemilihan Gubernur, Bupati dan Walikota

Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 Pemilihan Umum

Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004

112 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Sumber Lain

Noor, M.A, 2009, Pengkajian Hukum Tentang Pemilihan Kepala Daerah. Laporan Akhir, Diakses dari

https://bphn.go.id/data/documents/pkj_pilkada.pdf.

113 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

CEGAL DISPARITAS DAN PERPECAHAN MASYARAKAT DENGAN RESTRUKTURISASI

PENGATURAN LEMBAGA SURVEI DALAM PEMILIHAN UMUM

DECIDING THE DISPARITY AND DIVISION OF SOCIETY BY RESTRUCTURING

THE ARRANGEMENTS OF SURVEY AGENCIES IN THE GENERAL ELECTION

Sardiil Mutaalif

Muhammad Amyusril Baramirdin

Nur Aulia Mentari

Universitas Hasanuddin, Makassar

Jl. Perintis Kemerdekaan Km 10, Tamalanrea Indah, Kec. Tamalanrea Indah, Kota Makasssar,

Sulawesi Selatan 90245

E-mail:

[email protected]

[email protected]

[email protected]

Abstract

Today's elections and elections are familiar with the term quick calculation or in other terms known

as quict count.The results obtained from the rapid calculation by some survey agencies are not

different from the real count or official calculations conducted by the electoral commission so that

it is trusted by many circles. Polemics related to survey institutions in terms of rapid calculations

peaked in the last 2014 election. Because there are several survey institutions that contrast with

each other, others win joko widodo and jusuf kalla and some others figure prabowo and hatta rajasa

pairs.Responding to the polemic through PKPU is standardized in terms of rapid calculation in

2018. However, another problem later arose because PKPU only regulates sanctions and

regulations for registered survey agencies and does not regulate sanctions on survey agencies that

perform quick calculations even if they are not registered with the KPU.The unregistered survey

institution then announces the results of its calculations which are in stark contrast to the results of

accredited survey institutions and KPU calculations. The sanction stipulated to the jurdil agency is

only limited to administrative sanctions in the form of site blocking, this sanction has not been

basically regulated in PKPU so it is considered indesolute in cracking down on the survey

institutions abal-abal. This article is written in normative method that examines regulations related

to rapid calculation and survey institutions in Election Commission Regulation No. 10/2018.

Keywords: elections, Quick count, survey agencies

Abstrak

Pelaksaan pemilu dan pilkada dewasa ini telah mengenal istilah perhitungan cepat atau dalam istilah

lain dikenal dengan quict count. Hasil yang diperoleh dari perhitungan cepat oleh beberapa lembaga

survei nyatanya tidak berbeda dari real count atau perhitungan resmi yang dilakukan oleh komisi

pemilihan umum sehingga dipercaya oleh banyak kalangan. Polemik terkait lembaga survei dalam hal

perhitungan cepat sempat memuncak pada pemilihan 2014 yang lalu. Pasalnya terdapat beberapa

lembaga survei yang hasil kontras satu sama lain, beberapa yang lain memenangkan pasangan Joko

Widodo dan Jusuf Kalla dan beberapa yang lain memenangkabn pasangan Prabowo dan Hatta Rajasa.

Menanggapi polemik tersebut melalui PKPU dilakukan standarisasi dalam hal perhitungan cepat pada

tahun 2018. Namun masalah lain kemudian muncul karena PKPU hanya mengatur sanksi dan regulasi

bagi lembaga survei yang terdaftar dan tidak mengatur sanksi pada lembaga survei yang melakukan

perhitungan cepat meskipun tidak terdaftar di KPU. Lembaga survei yang tidak terdaftar tersebut

kemudian mengumumkan hasil perhitungannya yang nyatanya sangat kontras dengan hasil dari

114 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

lembaga survei yang terakreditasi dan perhitungan KPU. Sanksi yang diberikan kepada lembaga jurdil

hanya sebatas sanksi administrasi berupa pemblokiran situs, sanksi inipun pada dasarnya belum diatur

di PKPU sehingga dinilai tidak tegas dalam menindak lembaga survei abal-abal. Tulisan ini ditulis

dengan metode normatif yang mengkaji peraturan terkait perhitungan cepat dan lembaga survei dalam

Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 10 Tahun 2018.

Kata Kunci : Pemilu, Perhitungan Cepat, Survei.

1. Pendahuluan

Indonesia adalah sebuah negara dari

sekian banyak negara di dunia yang

menggunakan paham demokrasi dengan

Pancasila sebagai dasar bergeraknya suatu

demokrasi. Prof Sukamto Notonagoro

bahwa Demokrasi Pancasila adalah

kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat

kebijaksanaan dan permusyawaratan dan

perwakilan. Yang ber-ketuhanan Yang

Maha Esa, yang ber-kemanusiaan adil dan

beradab, yang mempersatukan Indonesia,

dan yang berkeadilan sosial bagi seluruh

rakyat Indonesia.

Prinsip Demokrasi Pancasila

menempatkan rakyat sebagai pemegang

kedaulatan tertinggi yang mana Pemilihan

Umum (Pemilu) merupakan sarana untuk

melaksanakan kedaulatan tersebut. Pemilu

di negara Indonesia bermula sejak tahun

1955 yang kemudian telah mengalami

perubahan dari segi substansi hingga

prosedural selama beberapa dekade hingga

pada titik puncak pada tahun 1999 pasca

orde baru yang mulai memasuki sistem

pemilihan umum yang berkedaulatan rakyat

dilaksanakan langsung oleh rakyat.

Pergantian presiden ke-2 bapak Soeharto

menuju presiden ke-3, Pak B.J Habibie

yang menandai awal mulanya peran rakyat

sebagai bagian dari demokrasi Pancasila di

Indonesia menjadi sangat sentral.

Perkembangan berkemajuan dari Pemilu di

Indonesia tidak hanya berhenti pada saat

partisipasi rakyat pertama kali dibuka pasca

reformasi, pada pemilu tahun 2004, pemilu

ini kemudian menjadi bukti dari kemajuan

demokrasi sejarah Indonesia dalam

mewujudkan partisipasi dalam

penyelengggaraan, bahwa orang sipil

berhak mengemukakan suara baik dalam

pandangan, sistem usulan atau

partisipasinya dalam pemilu yang ditandai

oleh pemilihan presiden dan wakil Presiden

secara langsung untuk pertama kali sejak

kemerdekaan Indonesia. (Fahmi, Khairul,

2011).

Pemilu yang berkembang dan

bertumbuh hingga sampai pada tahap ini,

merupakan salah satu tolak ukur yang

penting untuk menilai keberhasilan

demokrasi di suatu Negara. Semakin baik

penyelenggaraan pemilu menunjukkan

115 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

semakin baik pula pelaksanaan demokrasi

suatu negara.8

Ikhtiar yang diperlukan demi

mewujudkan demokrasi yang baik melalui

pemilu secara gambaran kasar diawali

dengan dasar persiapan yang matang

(kampanye) kemudian dilanjutkan pada

tahap proses pelaksanaan pemilihan

(Pemilu) dan disempurnakan melalui

penyelesaian yang sesuai dengan

kesepakatan rakyat yang berkedaulatan

(perhitungan suara). Ketiga tahapan yang

telah disebutkan di atas seringkali menemui

problematika yang berujung pada

perpecahan dan tidak menggambarkan

sikap demokrasi yang baik nan positif.

Salah satunya adalah ketika memasuki

proses akhir dari suatu pemilu yaitu

perhitungan suara.Perhitungan suara dalam

tahap akhir pemilu, berkembang bukan

hanya pada perhitungan manual yang

memakan waktu dan biaya yang sangat

lama dan tidak murah harganya, namun

dikenal melalui perkembangan zaman dan

kemajuan teknologi sehingga melahirkan

sebuah metode perhitungan cepat atau yang

sering kita kenal sebagai Quick count.

Negara Indonesia juga menggunakan

metode ini dimulai pada era tahun 1990-an.

8 ”Demokrasi yang baik terlihat baik kalau kualitas

Pemilu juga semakin baik” (Hamdan Zoelva dalam

seminar Nasional penyelesaian Perkara PHPU

Metode Quick count sebenarnya sudah

dilaksanakan sejak pemilu 1997 dan pemilu

1999 oleh LP3ES. Sayangnya, tidak terlalu

dipublikasikan secara besar-besaran

hasilnya. Seiring berjalannya waktu, teknik

yang digunakan dalam Quick count

semakin berkembang. hitung cepat (Quick

count) pertama kali dilakukan oleh

Lembaga Penelitian, Pendidikan, dan

Penerangan Ekonomi dan Sosial (LP3ES)

untuk mengetahui hasil pemilu tahun

1997(Ardiyanti handrini,2013). Hasil

hitung cepat yang dilakukan cukup sukses

untuk memperkirakan hasil pemilu di DKI

Jakarta yang sayangnya tidak

dipublikasikan akibat kondisi keamanan.

Pada pemilu tahun 1999, LP3ES kembali

melakukan hitung cepat dan dengan

spektakuler mampu memprediksi hasil

pemilu di Pulau Jawa dan Provinsi NTB.

Kemudian memasuki tahun 2004, LP3ES

melakukan kerjasama dengan National

Democratic Institute for International

Affairs (NDI) melakukan hitung cepat

pemilu dan secara luar biasa mampu

memprediksi pemenang pemilu termasuk

urutan pemenang pemilu. Keberhasilan

suatu pelaksanaan hitung cepat pemilu,

Legislatif di Hotel Inna Grand Bali Beach, Selasa 8

April 2014)

116 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

menurut (Sumargo, 2015) ditentukan

beberapa faktor, yakni:

Perhitungan Suara Cepat (Quick count)

atau juga dikenal sebagai Tabulasi Suara

Paralel (Parallel Vote Tabulation)

merupakan salah satu metode yang

digunakan untuk memantau proses

pemungutan suara pada pemilihan umum.

Quick count merupakan sebuah proses

pengumpulan data dan informasi oleh

ratusan bahkan ribuan relawan melalui

pemantauan langsung saat pemungutan dan

perhitungan suara di seluruh tempat

pemungutan suara (TPS) yang ada. Quick

count bukanlah sebuah opini dan tidak

menanyakan pada pemilih siapa dan

bagaimana mereka memilih, melainkan

berdasarkan fakta karena data diambil

langsung di TPS sehingga datanya pun lebih

dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu Menurut Pasal 1 Butir 10

Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013,

Penghitungan Cepat (Quick count) hasil

pemilu adalah kegiatan penghitungan suara

secara cepat dengan menggunakan

teknologi informasi, atau berdasarkan

metodologi tertentu. Berbeda dengan survei

perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau

survei exit poll, hitung cepat memberikan

gambaran dan akurasi yang lebih tinggi,

karena hitung cepat menghitung hasil

pemilu langsung dari TPS target, bukan

berdasarkan persepsi atau pengakuan

responden.

Quick count sebagai suatu cara untuk

mengetahui lebih cepat siapa yang menang

atau kalah dalam pemilu pada hakikatnya

lahir dari kebutuhan untuk menjaga agar

penghitungan suara pemilu tidak dilakukan

dengan cara-cara yang curang. Metode ini

bertujuan menjaga suara pemilih dan

membantu agar proses pemilu berjalan

secara jujur dan adil. Quick count

mempunyai fungsi utama sebagai alat

kontrol terhadap penyelenggara pemilu dan

memperkirakan perolehan suara pemilu.

Sebagai alat kontrol, Quick count mampu

mendeteksi dan melaporkan penyimpangan

atau mengungkapkan kecurangan.

Quick count dilakukan dengan

menggunakan metode-metode penelitian

yang benar, sahih, beretika, terbuka untuk

diperiksa akuntabilitasnya, netral dalam

pengertian mengedepankan kebenaran

nilai-nilai ilmiah. Dengan penghitungan

cepat (Quick count) maka mampu

memenuhi keingintahuan segera publik atas

hasil pemilu. Keberhasilan Quick count dan

exit poll sangat dipengaruhi oleh teknik

penarikan sampel yang baik dan keakuratan

serta presisi dari hitungan yang dihasilkan.

Sehingga dengan demikian proses

penghitungan cepat (Quick count) dapat

menimbulkan banyak perbedaan pendapat

117 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dan perbedaan hasil berupa angka terhadap

penghitungan suara pada pemilihan umum.

Dewasa ini, standarisasi dari indikator

perhitungan cepat (Quick count) yang di

tuangkan dalam bentuk Peraturan Komisi

Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 10 tahun

2018 telah mengatur beberapa hal mulai

dengan

Polemik dari fenomena quick count

berasal dari lembaga survey yang tidak

mendaftarkan diri ke KPU tetapi tetap

mempublikasi hasil perhitungannya, yang

pada beberapa kasus hasilnya kontras

dengan lembaga survey yang terdaftar di

KPU yang pada akhirnya menyebabkan

kekacauan dan suasana yang tidak kondusif

di masyarakat. Sayangnya sanksi untuk

pelanggaran semacam itu belum diatur

secara tegas dalam PKPU Nomor 10 Tahun

2018 sehingga pelanggaran semacam ini

akan berpotensi terulang. Kasus yang paling

hangat yakni terjadi pada pemilu 2019

adalah ketika lembaga survey Jurdil

melalui hasil perhitungan cepatnya

menyatakan pasangan Prabowo dan

Sandiaga Uno Memperoleh suara sekitar 60

persen. Hal ini kemudian sangat kontras

dengan perhitungan suara di lembaga survei

yang terdaftar di KPU. Menanggapi

masalah tersebut pemerintah melalui

kominfo hanya memblokir situs dari Jurdil

yang dalam hal ini merupakan sanksi

administrasi yang meskipun ini adalah

diskresi dari pemerintah sebab hal ini belum

diatur. Penulis melihat sanksi yang hanya

sebatas berupa sanksi administrasi kurang

tegas dan efektif sebab perhitungan cepat

yang abal-abal dan tidak terdaftar sangat

mengganggu stabilitas masyarakat.

Oleh karenanya, perlu penormaan yang

mengatur secara tegas dan terang terkait

lembaga survei yang meskipun tidak

terdaftar di KPU kemudian tetap

melakukan perhitungan cepat dan

mempublikasi datanya yang pada akhirnya

tidak bisa dipertanggungjawabkan untuk

diberikan sanksi tegas dan pengaturan yang

jelas.

Penormaan ini kemudian sebagai bentuk

ikhtiar untuk menjaga kondusifitas pasca

pemilihan agar tidak ada saling tuding

menuding yang menyebabkan kekacauan

dan perselisihan.

2. Metode Penelitian

Metode yang digunakan adalah

penelitian hukum normative-empiris.

Termasuk dalam penelitian normative -

empirik dikarenakan penelitian ini

dilakukan dengan cara menganalisis norma

hukum terkait dengan lembaga survei hasil

pemilu kemudian di dukung oleh data data

empirik. Penelitian ini juga akan

menganalisis norma, konsep ataupun teori

sistematis, juga akan mengaitkan hubungan

antara ketentuan ketentuan tersebut.

118 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

3. Perspektif Teori

3.1. Konsep Lembaga Survei

Dalam era politik modern kehadiran

lembaga survei memiliki peran strategis

bagi seorang politisi maupun partai politik.

Arti penting lembaga survei dalam transisi

demokrasi karena prinsip keterwakilan

(representativeness) dan keilmiahannya

(scientificness) adalah unsur utama dalam

merumuskan sebuah keputusan dan

kebijakan yang relevan dengan kebutuhan

masyarakat. Hasil survei juga kerap

digunakan oleh politisi untuk mengukur

tingkat elektabilitas dan opini publik terkait

citra partainya maupun citra politisi itu

sendiri. Oleh karena itu, sulit terpisahkan

antara politik dan lembaga survei. Suatu

proses politik akan lebih terukur dan

objektif dengan keterlibatan lembaga survei

di dalamnya, namun lembaga survei juga

harus berada pada jalur yang terkontrol agar

keberadaannya bukan justru merusak

tatanan demokrasi.

Lembaga survei pada dasarnya lebih

bertujuan idealis, seperti yang dilakukan

oleh Yayasan Pengembang Demokrasi

Indonesia (YPDI). Lembaga ini mendapat

pembantuan dana dari donor Jepang untuk

memonitor pertumbuhan dan

perkembangan demokrasi Indonesia. Dari

tujuan itu kemudian, berdiri sebuah

Lembaga Survei Indonesia (LSI) pada

tahun 2003 yang dikembangkan untuk

menjalankan survei pendapat umum yang

akhir akhir tahun 2012 hingga tahun tahun

berikutnya dianggap sebagai perintis

dengan standar ideal. Tumbuh dan

berkembangnya lembaga survei beriringan

dengan perkembangan demokrasi dan

dinamika politik yang terjadi.

3.2.Konsep Pemilu

Pengisian lembaga perwakilan dalam

praktek ketatanegaraan lazimnya

dilaksanakan melalui Pemilihan Umum.

Pasca perubahan amandemen UUD 1945,

semua anggota lembaga perwakilan dan

bahkan presiden serta Kepala Daerah

dipilih dengan mekanisme Pemilihan

Umum. Pemilihan umum menjadi agenda

yang diselenggarakan secara berkala di

Indonesia. Ibnu Tricahyo (2009:6),

mendefinisikan Pemilihan Umum sebagai

berikut:”Secara universal Pemilihan Umum

adalah instrumen mewujudkan kedaulatan

rakyat yang bermaksud membentuk

pemerintahan yang absah serta sarana

mengartikulasikan aspirasi dan kepentingan

rakyat”. Definisi di atas menjelaskan bahwa

pemilihan umum merupakan instrumen

untuk mewujudkan kedaulatan rakyat,

membentuk pemerintahan yang sah serta

sebagai sarana mengartikulasi aspirasi dan

kepentingan rakyat.Negara Indonesia

mengikutsertakan rakyatnya dalam rangka

penyelenggaraan negara.Kedaulatan rakyat

dijalankan oleh wakil rakyat yang duduk

119 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

dalam parlemen dengan sistem perwakilan

(representative democracy) atau demokrasi

tidak langsung (indirect democracy).

Wakil-wakil rakyat ditentukan sendiri oleh

rakyat melalui 9 Pemilu (general election)

secara berkala agar dapat memperjuangkan

aspirasi rakyat. Soedarsono (2005:1).

Mengemukakan bahwa yang dimaksud

dengan pemilihan umum adalah syarat

minimal bagi adanya demokrasi dan

diselenggarakan dengan tujuan memilih

wakil rakyat, wakil daerah, presiden untuk

membentuk pemerintahan demokratis”.

Penjelasan di atas menyebutkan bahwa

pemilihan umum merupakan syarat

minimal adanya demokrasi yang bertujuan

memilih wakil-wakil rakyat, wakil daerah,

presiden untuk membentuk pemerintahan

demokratis. Kedaulatan rakyat dijalankan

oleh wakil-wakil rakyat yang duduk di

dalam lembaga perwakilan. Kedaulatan

rakyat atas penyelenggaraan pemerintahan

dijalankan oleh presiden dan Kepala Daerah

yang juga dipilih secara langsung. Anggota

legislatif maupun Presiden dan Kepala

Daerah karena telah dipilih secara langsung,

maka semuanya merupakan wakil-wakil

rakyat yang menjalankan fungsi kekuasaan

masing-masing. Kedudukan dan fungsi

wakil rakyat dalam siklus ketatanegaraan

yang begitu penting dan agar wakil-wakil

rakyat benarbenar bertindak atas nama

rakyat, maka wakil rakyat tersebut harus

ditentukan sendiri olehrakyat, yaitu melalui

pemilihan umum. Menurut Jimly

Asshidiqqie (2006:169-171)pentingnya

penyelenggaraan Pemilihan Umum secara

berkala tersebut dikarenakan beberapa

sebab diantaranya sebagai berikut:

a. pendapat atau aspirasi rakyat

cenderung berubah dari waktu ke

waktu;

b. kondisi kehidupan masyarakat yang

dapat juga berubah;

c. pertambahan penduduk dan rakyat

dewasa yang dapat menggunakan

hak pilihnya;

d. guna menjamin regulasi

kepemimpinan baik dalam cabang

eksekutif dan legislatif.

Berdasarkan pernyataan di atas

bahwa beberapa sebab pentingnya

pemilihan umum diantaranya adalah

aspirasi rakyat cenderung berubah, kondisi

kehidupan rakyat berubah, pertambahan

penduduk dan regulasi

kepemimpinan.Pemilihan umum menjadi

sarana untuk menyalurkan aspirasi rakyat.

Kondisi kehidupan rakyat yang cenderung

berubah memerlukan adanya mekanisme

yang mewadahi dan mengaturnya yaitu

melalui proses pemilihan umum. Setiap

penduduk dan rakyat Indonesia yang telah

dewasa memiliki hak untuk menggunakan

hak pilihnya dalam pemilihan umum.

Regulasi kepemimpinan baik cabang

120 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

eksekutif maupun legislatif akan terlaksana

secara berkala dengan adanya pemilihan

umum.

3.3.Konsep Quick count

Perhitungan Suara Cepat (Quick count)

atau juga dikenal sebagai Tabulasi Suara

Paralel (Parallel Vote Tabulation)

merupakan salah satu metode yang

digunakan untuk memantau proses

pemungutan suara pada pemilihan umum.

Quick count merupakan sebuah proses

pengumpulan data dan informasi oleh

ratusan bahkan ribuan relawan melalui

pemantauan langsung saat pemungutan dan

perhitungan suara di seluruh tempat

pemungutan suara (TPS) yang ada. Quick

count bukanlah sebuah opini dan tidak

menanyakan pada pemilih siapa dan

bagaimana mereka memilih, melainkan

berdasarkan fakta karena data diambil

langsung di TPS sehingga datanya pun lebih

dapat dipertanggungjawabkan.

Selain itu Menurut Pasal 1 Butir 10

Peraturan KPU Nomor 23 Tahun 2013,

Penghitungan Cepat (Quick count) hasil

pemilu adalah kegiatan penghitungan suara

secara cepat dengan menggunakan

teknologi informasi, atau berdasarkan

metodologi tertentu. Berbeda dengan survei

perilaku pemilih, survei pra-pilkada atau

survei exit poll, hitung cepat memberikan

gambaran dan akurasi yang lebih tinggi,

karena hitung cepat menghitung hasil

pemilu langsung dari TPS target, bukan

berdasarkan persepsi atau pengakuan

responden. Selain itu, hitung cepat bisa

menerapkan teknik sampling probabilitas

sehingga hasilnya jauh lebih akurat dan

dapat mencerminkan populasi secara tepat

Indonesia.

Metode pengumpulan data secara

komprehensif (data dari semua TPS)

dengan menggunakan relawan-relawan dari

kandidat masing-masing. Selain itu, karena

Quick count merupakan prediksi hasil

pemilu berdasarkan fakta bukan

berdasarkan opini, oleh karena itu ia tidak

sama dengan jajak pendapat terhadap

pemilih yang baru saja mencoblos atau yang

biasa disebut exit poll. Untuk

kepentingan quick count, ribuan relawan

ditugaskan untuk mengamati dan

mengawasi pemilu secara langsung demi

memperoleh informasi yang diperlukan.

Mereka mencatat ke dalam formulir yang

telah disediakan mengenai informasi proses

pencoblosan dan penghitungan suara di

TPS yang diamati, termasuk perolehan

suara masing-masing kandidat. Setelah

selesai mereka akan menyampaikan

temuan-temuannya ke pusat data (data

center). Data yang diperoleh dapat menjadi

data alternatif terhadap penghitungan yang

dilakukan oleh Komisi Pemilihan Umum

(KPU). Quick count dapat memperkirakan

121 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

perolehan suara Pemilu secara cepat

sehingga dapat memverifikasi hasil resmi

KPU. Lebih jauh quick count mampu

mendeteksi dan melaporkan penyimpangan,

atau mengungkapkan kecurangan. Banyak

contoh membuktikan Quick count dapat

membangun kepercayaan atas kinerja

penyelenggara pemilu dan memberikan

legitimasi terhadap proses pemilu.

Quick count sebagai suatu cara untuk

mengetahui lebih cepat siapa yang menag

atau kalah dalam pemilu pada hakikatnya

lahir dari kebutuhan untuk menjaga agar

penghitungan suara pemilu tidak dilakukan

dengan cara-cara yang curang. Metode ini

bertujuan , menjaga suara pemilih dan

membantu agar proses pemilu berjalan

secara jujur dan adil. Metode ini mulai

dikenal di Negara-negara yang baru

membangun demokrasi pada era tahun

1980-an, misalnya di negara Eropa Timur

dan Afrika. Quick count atau penghitungan

cepat dalam catatan di Asia Tenggara

pertama dilakukan pada tahun 1986 di

Pemilu Philipina. Sebuah LSM yang

bernama NAMFREL melaksanakan PVT

(parallel vote tabulation) yaitu pencatatan

atau penabulasian secara paralel hasil

penghitungan suara pemilu (kismiantini,

2007).

Keberhasilan suatu pelaksanaan hitung

cepat pemilu, menurut (Sumargo, 2015)

ditentukan beberapa faktor, yakni:

1. Syarat yang harus dimiliki lembaga

penyelenggara hitung cepat, mulai dari

akses TPS; kredibilitas dan

independensi; jaringan relawan; dan

dukungan perangkat komunikasi data;

2. Pelatihan yang diterima oleh seluruh

elemen baik dalam mekanisme

pengumpulan data, metode

pengumpulan data, hingga pengolahan

data;

3. Quality Control meliputi validasi hasil

perolehan data, baik validitas data yang

diterima maupun validitas tata cara

pengumpulan data.

Secara teknis, pelaksanaan hitung

cepat yang dilakukan oleh lembaga survei,

dalam hal ini LSI, dilakukan dengan :

1. Penentuan jumlah TPS yang akan

diamati

2. Pemilihan TPS yang akan diamati

3. Manajemen data (pengamatan, 4.

pencatatan, dan analisa data)

4. Publikasi hasil hitung cepat

Sehingga jika diamati dari tahapan

di atas, maka pemilihan TPS yang akan

diamati dan manajemen data menjadi hal

yang sangat krusial dalam pelaksanaan

hitung cepat hasil pemilu sebagai salah satu

wujud penelitian lapangan Quick count

dilakukan dengan menggunakan metode-

metode penelitian yang benar, sahih,

beretika, terbuka untuk diperiksa

akuntabilitasnya, netral dalam pengertian

mengedepankan kebenaran nilai-nilai

ilmiah.

122 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

Secara umum (kismiantini, 2007),

terdapat 2 (dua) jenis pengambilan sampel

yang dikenal dalam ilmu statistika, yakni:

1. Sampel Stratifikasi (Stratified Random

Sampling).

Sampel stratifikasi merupakan

teknik penarikan sampel dengan sampling

unit yang dikelompokkan menjadi beberapa

strata (kelompok). Kelebihan penggunaan

metode sampel stratifikasi adalah

kemudahan analisis yang dapat disajikan

baik secara keseluruhan, per strata, ataupun

perbandingan antar strata. (scheaffer RI,

mendenhall W & ott L, 1990).

2. Sampel Klaster (Cluster Sampling)

Sedangkan sampel klaster adalah sampel

peluang dengan masing-masing unit sampel

(Sampling Unit) adalah kumpulan atau

klaster dari elemen. Elemen diartikan

sebagai objek dimana pengukuran

dilakukan. Cara pengambilan sampel pada

sampel klaster dilakukan dengan

pembagian populasi kedalam beberapa

klaster yang kemudian dari klaster tersebut

akan dipilih secara acak sub-klaster yang

akan diambil seluruh elemennya. (scheaffer

RI, mendenhall W & ott L, 1990).

Quick count mempunyai fungsi utama

sebagai alat kontrol terhadap penyelenggara

pemilu dan memperkirakan perolehan suara

pemilu. Sebagai alat kontrol, quick count

mampu mendeteksi dan melaporkan

penyimpangan atau mengungkapkan

kecurangan. Banyak sampel membuktikan

quick count dapat membangun kepercayaan

atas kinerja penyelenggara pemilu dan

memberikan legitimasi terhadap proses

pemilu. Kegiatan pengumpulan data dengan

quick count seringkali diikuti oleh kegiatan

exit poll. Exit poll sangat berguna dalam

mengetahui kecenderungan pemilih. Proses

perhitungan suara oleh lembaga resmi

seperti Komisi Pemilihan Umum (KPU),

meskipun memakai sistem teknologi

informasi yang canggih dan berbiaya mahal

namun kenyataannya sangat lamban. Hasil

kasar perhitungan suara baru dapat

diketahui dua minggu setelah perhitungan

suara. Sementara perhitungan resmi baru

dapat dilakukan satu bulan setelah

pemungutan suara. Dengan penghitungan

cepat (quick count) maka mampu

memenuhi keingintahuan segera publik atas

hasil pemilu. Keberhasilan quick count dan

exit poll sangat dipengaruhi oleh teknik

penarikan sampel yang baik dan keakuratan

serta presisi dari hitungan yang dihasilkan.

4. Hasil dan Pembahasan

Berbicara mengenai standar atau

metodologi yang harus dilakukan setiap

lembaga survei diantaranya adalah

menentukan sample, harus mewakili

karakter suara di daerah tersebut. Biasanya,

penentuan sample menggunakan metode

random sampling. Apabila menentukan

123 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

mekanisme sampling sudah ditentukan,

barulah ditetapkan data yang ingin diambil.

Daerah mana saja yang dijadikan sampling,

dalam hal ini yang dijadikan sumber data

adalah Tempat Pemungutan Suara (TPS).

Biasanya jumlah sampling yang diambil

oleh lembaga survei lazimnya adalah 2.000

TPS, bahkan ada juga yang mengambil

sample hingga 4000 TPS. Penentuan jumlah

sampel ini tergantung dari berapa besar

mergin error yang ingin diambil. semakin

banyak sample, maka mergin errornya akan

semakin kecil.

Setelah itu barulah mekanisme tabulasi

atau pengumpulan data, setiap lembaga

servei harus membuka proses tabulasi

kepada publik. media pengiriman data dari

sumber data dilapangan ke pusat

perhitungan haruslah bisa

dipertanggungjawabkan. Setiap proses

input data harus disertai verifikasi, cek dan

ricek ke sumber lapangan. Hal ini untuk

mencegah data yang dinput agar tidak salah.

Dengan metodologi yang sudah baku, setiap

lembaga survei akan dijaga kredibilitasnya,

jika menyalahi maka akan dikeluarkan.

Hadirnya lembaga survei kemungkinan

didorong kepentingan politik yang beragam

pemilu, misalnya guna memenangkan

kandidat presiden tertentu sehingga survei

abal-abal pun dikeluarkan demi

mempengaruhi sikap pemilih yang masih

mengambangan. Padahal makna

sesuangguhhnya penelitian atau survei itu

adalah bagaimana melihat pendapat atau

opini publik yang sesungguhnya di

masyarakat. Maka dari itu objektifitas

survei perlu didorong aspek etika bagi

lembaga survei. Aspek etika ini diharapkan

dapat menghindari adanya manipulasi hasil

survei untuk kepentingan tertentu atau

pesanan tertentu. Tentunya yang membatasi

adalah aturan-aturan tertulis tapi juga harus

dibarengi dengan etika.

Lembaga Survei tentunya harus

diakreditasi. Akreditasi adalah sangat

penting demi menghasilkan publikasi yang

kredibel. Lembaga survei memberikan

suatu informasi yang penting, terkait

polling parpol, pemilu. Maka Lembaga

survei juga harus terdaftar, lembaga survei

yang terdaftar berarti lembaga yang sudah

diverifikasi oleh KPU serta memenuhi

syarat sebagai lembaga jajak pendapat dan

hitung cepat pemilu. Dalam proses

verifikasi, lembaga survei harus memenuhi

persyaratan antara lain melaporkan sumber

dana yang digunakan dalam kegiatan survei

guna menjamin lembaga itu independen.

Kemudian, lembaga itu juga harus

memberikan informasi lengkap mengenai

metodologi survei serta melaporkan seluruh

personelnya yang akan melakukan survei.

Sementara untuk penayangan hitung

cepat hasil pemilu, lembaga survei haruslah

124 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

mematuhi perundang-undangan dimana

hasil dari hitung cepat itu disampaikan

kepada publik dua jam setelah kegiatan

pemungutan dan perhitungan suara

berakhir. pada pemilu 2019 lembaga yang

terdaftar sekitar 40 lembaga, di luar dari 40

lembaga yang sudah terdaftar dilarang

melakukan survei atau hitung cepat yang

dipublikasikan ke publik, karena menurut

undang-undang, lembaga survei harus

mendaftar terlebih dahulu ke KPU. Selain

itu jika ada selain 40 lembaga survei itu

merilis maka itu merupakan pelanggaran.

Untuk menanggapi persoalan lembaga

survei yang tidak terdaftar di KPU dan tetap

melakukan perhitungan cepat dan

mengumumkan hasilnya dan tidak dapat

dipertanggungjawabkan akan diberikan

sanksi tegas melalui penormaan dalam

revisi PKPU nantinya.

5. Simpulan

Berdasarakan uraian pada hasil dan

pembahasan diatas, maka penulis dapat

menarik suatu kesimpulan bahwa

pengaturan dalam bentuk norma terhadap

semua lembaga survei harus dilakukan

untuk mencegah dan menindak tegas

lembaga survei yang abal-abal dan

mengancam stabilitas masyarakat.

Lembaga Survei tentunya harus

diakreditasi. Akreditasi adalah sangat

penting demi menghasilkan publikasi yang

kredibel. Lembaga survei memberikan

suatu informasi yang penting, terkait

polling parpol, pemilu. Maka Lembaga

survei juga harus terdaftar, lembaga survei

yang terdaftar berarti lembaga yang sudah

diverifikasi oleh KPU serta memenuhi

syarat sebagai lembaga jajak pendapat dan

hitung cepat pemilu. Sementara untuk

penayangan hitung cepat hasil pemilu,

lembaga survei haruslah mematuhi

perundang-undangan dimana hasil dari

hitung cepat itu disampaikan kepada publik

dua jam setelah kegiatan pemungutan dan

perhitungan suara berakhir. Sehingga

dengan demikian standarisasi terhadap

lembaga survei dalam melakukan Quick

count terhadap hasil pemilihan umum

memeng sangat perlu dan harus dilakukan

oleh pemerintah dalam rangka

meningkatkan kualitas dan kredibilitas dari

lembaga survei yang ada. Selain itu, terkait

hasil pemilihan umum juga akan

mengurangi perbedaan jumlah dari setiap

lembaga survei terhadap hasil pemilihan

umum.

Ini bukan merupakan pengendalian

lembaga survei melainkan upaya untuk

mengawasi lembaga survei agar

melaksanakan perhitungan cepat yang dapat

dipertanggung jawabkan.

125 Jurnal Pettarani Election Review, Volume 1 Nomor 1, Mei 2020

DAFTAR PUSTAKA

Wawan Sobari. 2014. Elektabilitas Dan Mitos Pemilih Rasional: Debat Hasil-Hasil Riset Opini

Menjelang Pemilu 2014. Jurnal Penelitian Politik. Volume 10 No. 1.

------------------ 2004. JAJAK PENDAPAT DAN PEMILU DI INDONESIA Kinerja Lembaga Jajak

Pendapat dalam Meramal Hasil Pemilu 1999 dan 2004. Lembaga Survey Indonesia (LSI)

Andi Muhammad Abdi, Iqbal Sultan, Hasrullah. 2014. Pendapat Politisi Terhadap Kredibilitas

Lembaga Survei Tentang Elektabilitasnya Dalam Pemilihan Legislatif Dprd Sulsel 2014.

Jurnal Komunikasi KAREBA. Vol. 3 No. 4.

Dr. Widodo Ekatjahjana, S.H, M.Hum. 2009. Tinjauan Tentang Mekanisme Penyelesaian Perselisihan

Hasil Pemilu Anggota Dpr, Dpd Dan Dprd Berdasarkan Peraturan Mk No. 16 Tahun 2009.

Jurnal Kontitusi. Vol. II No. 1

RMOLBanten. 2019. Sahihkah Hasil Quick Count Pemilu 2019 Dari Lembaga Survei?. di akses dari

https://www.rmolbanten.com/read/2019/05/07/8121/Sahihkah-Hasil-Quick-Count-Pemilu-

2019-Dari-Lembaga-Survei-

RMOL.ID. 2014. Perlu Standarisasi dan Etika Untuk Hindari Hasil Survei Abal-abal. di akses dari

https://rmol.id/amp/2014/07/09/162998/https-rmol-id-read-2014-07-09-162998

Ghita Intan. 2019. Dituduh Tukang Bohong, Lembaga Survei Ungkap Data dan Metodologi Quick

Count. di akses dari https://www.voaindonesia.com/amp/dituduh-tukang-bohong-lembaga-

survei-ungkap-data-dan-metodologi-quick-count/4885243.html

------------. Lingkaran Survei Indonesia. https://id.m.wikipedia.org/wiki/Lingkaran_Survei_Indonesia