jurnal pembangunan perkotaan vol. 4 no. 1, juni 2016 isbn...
TRANSCRIPT
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[1]
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[2]
VOLUME 4 NOMOR 1
JANUARI – JUNI 2016
Pengarah : Ir. Qamarul Fattah, MM
Penanggung Jawab : Drs. Hasan Basri, MM
Koordinator/Pimpinan Redaksi : Dra. Siti Mahrani Hasibuan
Ketua : Bahrian Effendi, S.Sos., M.Si
Mitra Bebestari : Dr. Muhyarsyah, SE., M.Si
Syafrida Hani, SE., M.Si
Dr. Muhammad Said Siregar, M.Si
Sekretaris : Titri Suhandayani, S.Sos
Dewan Redaksi : Triratih Handayani, SH., MAP
Edward Sembiring, S.Sos
Toga Aruan, SE
Staf Redaksi : Ir. Sulfan Nasution
Wiwit Suryani, S.IP
Budi Hariono, SSTP
Yuni Rahma Astuti Ritonga
Editor & Design : Azuar Juliandi, SE., M.Si
Muhammad Marwan, S.Sos
Distributor : Juliana Pasaribu, SE
Ir. Netti Efridawati Purba
Osa Mestika DN, AMd
Alamat Redaksi : Jalan Kapten Maulana Lubis No. 2 Medan
Email: [email protected]
Penerbitan Jurnal Pembangunan Perkotaan bertujuan memajukan kegiatan
penelitian di bidang pembangunan perkotaan. Jurnal Pembangunan Perkotaan
ini terbit enam bulan sekali dalam satu tahun yakni bulan Juni dan Desember.
Redaksi menerima sumbangan tulisan ilmiah dan artikel dalam Bahasa
Indonesia dan Bahasa Inggris minimal 15 halaman maksimal 30 halaman
kwarto. Naskah yang dimuat tidak harus sejalan dengan pendapat redaksi.
Redaksi berhak menyunting sejauh tidak merubah atau mengganti isi dan
makna tulisan ilmiah yang diterima.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[3]
Puji dan syukur ke hadirat Allah SWT, Tuhan Yang Maha Esa, atas
rahmat dan perkenanNya, Jurnal Pembangunan Perkotaan yang dikelola Badan
Penelitian dan Pengembangan Kota Medan untuk Volume 4 Nomor 1 Edisi
Januari – Juni 2016 dapat diterbitkan. Jurnal Pembangunan Perkotaan ini memuat
pemikiran ilmiah, hasil-hasil kelitbangan atau tinjauan kepustakaan bidang
Pembangunan Perkotaan.
Dalam edisi kali ini redaksi menyajikan 10 (sepuluh) karya tulis ilmiah
yaitu: Pengaruh Fasilitas Fisik Dan Fasilitas Non Fisik Terhadap Kepuasan
Pelanggan Di Pasar JBBC Medan Johor, Facebook Komunitas Backpacker Medan
Dan Promosi Pariwisata Sumatera Utara, Implikasi Penghapusan Verifikasi
BPHTB Terhadap Pendapatan Daerah, Analisis Preferensi Konsumen Buah
Pisang Di Pasar Tradisional Dan Pasar Modern Di Kota Medan, Analisis
Pendapatan Dan Beban Operasional Dalam Menghasilkan Laba Operasi Pada Pt
Kereta Api Indonesia (Persero) Divisi Regional I Sumut, Analisis Jumlah
Pengangguran Dan Ketenagakerjaan Terhadap Keberadaan Usaha Mikro Kecil
Dan Menengah (UMKM) Tahun 2007-2012 Di Kota Medan, Analisis Perilaku
Konsumen Buah Durian Di Durian Ucok Kota Medan, Pengaruh Kepuasan Kerja
Dan Komitmen Organisasi Terhadap Intention Turn Over Pada Contact Center
PLN 123 Site Medan, Kajian Kawasan Strategis Menuju Kawasan Yang
Ekonomis Di Kota Medan, Analisis Perbandingan Penerimaan PBB P2 dan
BPHTB Sebelum dan Sesudah Penerapan Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
Pada Dinas Pendapatan Kota Medan.
Redaksi mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang telah
membantu sehingga Jurnal Pembangunan Perkotaan ini dapat diterbitkan. Semoga
jurnal ini dapat bermanfaat bagi para pembaca dan pengambil kebijakan serta
tambahan informasi untuk peningkatan ilmu pengetahuan.
Salam Redaksi
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[4]
Pengaruh Fasilitas Fisik Dan Fasilitas Non Fisik Terhadap
Kepuasan Pelanggan Di Pasar JBBC Medan Johor
(Muhammad Zuardi) (1-10)
Facebook Komunitas Backpacker Medan Dan Promosi
Pariwisata Sumatera Utara
(Eninta Yolanda G. Manik, Mazdalifah, Fatma Wardy Lubis) (11-32)
Implikasi Penghapusan Verifikasi BPHTB
Terhadap Pendapatan Daerah
(Fajaruddin) (33-46)
Analisis Preferensi Konsumen Buah Pisang Di Pasar
Tradisional Dan Pasar Modern Di Kota Medan
(Faoeza Hafiz Saragih) (47-51)
Analisis Pendapatan Dan Beban Operasional Dalam
Menghasilkan Laba Operasi Pada Pt Kereta Api Indonesia
(Persero) Divisi Regional I Sumut
(Fitri Wahyuni) (52-65)
Analisis Jumlah Pengangguran Dan Ketenagakerjaan
Terhadap Keberadaan Usaha Mikro Kecil Dan Menengah
(UMKM) Tahun 2007-2012 Di Kota Medan
(Koko Tampubolon, Herlin Silalahi, Fransisca Natalia Sihombing) (66-76)
Analisis Perilaku Konsumen Buah Durian Di Durian
Ucok Kota Medan
(Mitra Musika Lubis, Rahma Sari Siregar) (77-86)
Pengaruh Kepuasan Kerja Dan Komitmen Organisasi
Terhadap Intention Turn Over Pada Contact Center
PLN 123 Site Medan
(Willy Yusnandar, Sri Fitri Wahyuni) (87-92)
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[5]
Kajian Kawasan Strategis Menuju Kawasan Yang
Ekonomis Di Kota Medan
(Prawidya Hariani RS, Lailan Safina Hasibuan,
Jasman Saripuddin Hasibuan) (93-105)
Analisis Perbandingan Penerimaan PBB P2 dan BPHTB
Sebelum dan Sesudah Penerapan Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 Pada Dinas Pendapatan Kota Medan
(Pandapotan Ritonga) (106-117)
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[1]
PENGARUH FASILITAS FISIK DAN FASILITAS NON FISIK
TERHADAP KEPUASAN PELANGGAN
DI PASAR JBBC MEDAN JOHOR
Muhammad Zuardi
Dosen Jurusan Akuntansi Politeknik Negeri Medan
Surel: [email protected]
ABSTRACT
The decreasing number of consumers are becoming a major factor sluggishness
traditional market competitiveness. Some of the main reasons customers make the
shift from traditional markets to modern markets among others, the existence of
the decline of traditional markets is not entirely due to the modern market. Due to
the fact that the declining traditional market turnover is also influenced by the
availability of facilities given to the buyer. The facility consists of a non- physical
facilities and physical facilities. The purpose of this study was to determine the
influence of physical facilities and non-physical facilities to customer satisfaction
in Pasar JBBC Medan Johor, and analyze the most dominant factor influencing
customer satisfaction of shopping at Pasar JBBC Medan Johor. By using multiple
regression analysis, the result showed that non-physical facilities and physical
facilities of 54.8% impact on customer satisfaction shopping at Pasar JBBC
Medan Johor, while 45.2% influenced by other factors not examined in this study.
Factors of physical facilities provide the most dominant influence on customer
satisfaction market shopping at Pasar JBBC Medan Johor. Security during and
after shopping, the air around the hot market, odorless, neat arrangement of
goods as well as the friendliness of the seller into the factors affecting shopping
convenience.
Keywords: Physical facilities, non physical facilities, customer's decision.
Pendahuluan
JBBC Medan Johor merupakan
salah satu pasar tradisional yang
terletak di perbatasan Medan dengan
Deli Serdang. Keragaman jenis
barang ditambah kesegaran produk
ikan, daging dan sayuran menjadi
daya tarik konsumen berbelanja di
pasar ini. Penelitian AC Nielsen
(Halim, 2008) menyatakan bahwa
93% tujuan konsumen berbelanja
adalah hiburan dan rekreasi. Hal
tersebut menunjukkan bahwa pada
saat melakukan pembelian aktual,
konsumen tidak hanya sekedar
memenuhi kebutuhan biologis, tetapi
juga memenuhi kebutuhan
emosionalnya, seperti ingin
berekreasi, kebutuhan akan rasa
gengsi pada saat pelanggan, sehingga
konsumen cenderung mencari tempat
perbelanjaan yang memuaskan
harapannya.
Seiring dengan perkembangan
waktu, adanya modernisasi dan
meningkatnya kesejahteraan masya-
rakat, banyak masyarakat di Kota
Medan dan sekitarnya yang
pelanggan di pasar modern dan mulai
enggan belanja di pasar tradisional
(kecuali untuk produk-produk yang
tidak ada di supermarket atau
hipermarket). Menurut Limanjaya
dan Wijaya (2006) tidak sedikit
konsumen yang merubah perilaku
belanjanya dari pasar tradisional
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[2]
pindah, coba-coba, dan cari alternatif
ke supermarket dan hipermarket. Hal
ini wajar karena kondisi pasar
tradisional identik dengan becek,
kotor, dan kurang nyaman.
Kelemahan dari pasar tradisional
inilah yang menjadi daya jual bagi
pasar modern. Dalam hal ini
pelanggan sangat memperhatikan
hal-hal yang terkait dengan nilai
tambah terhadap kenyamanan
mereka dalam melakukan aktivitas
belanja mengingat berubahnya
pandangan bahwa belanja adalah
merupakan aktivitas rekreasi,
maupun pemenuhan keaneka-
ragaman kebutuhan mereka dalam
satu lokasi (one stop shopping).
Akan tetapi merosotnya eksistensi
pasar tradisional bukan sepenuhnya
akibat adanya pasar modern. Karena
pada kenyataannya menurunnya
omset pasar tradisional juga
dipengaruhi oleh perubahan selera
konsumen (masyarakat) dan keter-
sediaan fasilitas yang disediakan
pengelola pasar dan pedagang.
Menurut Sukandi (2010) menyatakan
bahwa fasilitas memberikan
pengaruh terhadap kepuasan
konsumen.
Pasar JBBC Medan Johor
memiliki latar belakang konsumen/
pembeli yang beragam dari
pendapatan kelas bawah, menengah
dan atas. Kondisi ini memicu
beragamnya tingkat konsumsi,
kebisaan atau perilaku belanja, dan
beragamnya keputusan mereka
ketika pelanggan di Pasar JBBC
Medan Johor. Berdasarkan uraian
yang telah dikemukakan, diduga
masih rendahnya kepuasan
pelanggan di Pasar JBBC Medan
Johor. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk mengetahui pengaruh
fasilitas fisik dan fasilitas non fisik
terhadap kepuasan pelanggan di
Pasar JBBC Medan Johor Medan.
Selanjutnya peneliti akan
menganalisis faktor yang paling
dominan mempengaruhi kepuasan
pelanggan berbelanja di Pasar JBBC
Medan Johor Kota Medan.
Kajian Teori
Penelitian Sukandi (2010)
menemukan adanya hubungan positif
antara fasilitas yang diberikan
kampus terhadap kepuasan
mahasiswa tetapi persentasenya kecil
yaitu sebesar 4%. Jika dilihat dari
harapan responden mengenai fasilitas
responden menyatakan sangat setuju
untuk kondisi ruang tata usaha dan
perlengkapannya, kondisi ruang
kantor pimpinan dan dosen, kondisi
ruang serbaguna dan fasilitas
laboratorium umum yang dirasakan
sudah memadai. Penelitian yang
dilakukan Apriani (2011) mengenai
pengaruh fasilitas, kualitas pelayanan
dan kepuasan pelanggan terhadap
minat mereferensikan, menggunakan
tiga variabel independen yaitu
fasilitas, kualitas pelayanan, dan
kepuasan pelanggan, dengan satu
variabel dependen yakni minat
mereferensikan. Menemukan bahwa
variabel fasilitas mempunyai
pengaruh positif dan berpengaruh
terbesar terhadap minat
mereferensikan dan kepuasan
pelanggan, variabel kepuasan
pelanggan mempunyai pengaruh
terhadap minat mereferensikan.
Fasilitas. Fasilitas merupakan segala
sesuatu yang memudahkan
konsumen dalam menggunakan jasa
perusahaan tersebut. Fasilitas adalah
sumberdaya fisik yang ada dalam
sebelum suatu jasa dapat ditawarkan
kepada konsumen (Tjiptono, 1997).
Fasilitas yaitu segala sesuatu yang
bersifat peralatan fisik dan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[3]
disediakan oleh pihak penjual jasa
untuk mendukung kenyamanan
konsumen (Kotler, 2005). Fasilitas
merupakan segala sesuatu yang
memudahkan konsumen dalam usaha
yang bergerak di bidang jasa, maka
segala fasilitas yang ada yaitu
kondisi fasilitas, kelengkapan, desain
interior, dan eksterior serta
kebersihan fasilitas harus
diperhatikan terutama yang berkaitan
erat dengan apa yang dirasakan atau
didapat konsumen secara langsung.
Pelanggan yang merasa tidak puas
akan meninggalkan perusahaan dan
menjadi pelanggan pesaing. Hal ini
akan menyebabkan penurunan
penjualan dan pada gilirannya akan
menurunkan pendapatan perusahaan.
Menurut Tjiptono (2006) desain
dan tata letak fasilitas jasa erat
kaitannya dengan pembentukan
persepsi pelanggan. Sejumlah tipe
jasa, persepsi yang terbentuk dari
interaksi antara pelanggan dengan
fasilitas berpengaruh terhadap
kualitas jasa tersebut di mata
pelanggan. Fasilitas adalah sarana
untuk melancarkan dan memudahkan
pelaksanaan fungsi. Fasilitas
merupakan komponen individual dari
penawaran yang mudah ditumbuhkan
atau dikurangi tanpa mengubah
kualitas dan model jasa (Lupiyoadi,
2006). Fasilitas merupakan suatu
faktor yang sangat penting dan
sangat menunjang suatu perusahaan
dalam memasarkan produk jasa
kepada konsumen. Fasilitas
merupakan suatu bentuk pembelian
manfaat dari perusahaan kepada
konsumen. Pada perusahaan jasa,
fasilitas yang disediakan berupa alat–
alat yang dapat menunjang dalam
memberikan pelayanan yang
memuaskan bagi konsumen.
Fasilitas sebagai sarana untuk
melancarkan dan memudahkan
pelaksanaan fungsi. Fasilitas
merupakan suatu faktor yang sangat
penting dan sangat menunjang suatu
pemasaran produk jasa kepada
konsumen. Pada perusahaan jasa,
fasilitas yang disediakan berupa alat–
alat yang dapat menunjang dalam
memberikan pelayanan yang
memuaskan bagi konsumen. Fasilitas
terdiri dari 2 (dua) jenis yakni
fasilitas fisik dan non fisik. Fasilitas
menurut Yulyaningsih (2010) terdiri
dari empat yakni fasilitas produksi,
fasilitas pelayanan, fasilitas rekreasi
dan fasilitas penunjang.
Dalam bauran pemasaran jasa,
fasilitas fisik sering juga disebut
physical evidence (bukti fisik). Bukti
fisik adalah lingkungan dimana jasa
disampaikan dan dimana perusahaan
dan konsumennya berinteraksi, dan
setiap komponen berwujud yang
memfasilitasi penampilan atau
komunikasi jasa tersebut (Stanton,
1996). Kondisi fisik merupakan
elemen substansi dalam konsep jasa.
Oleh karena itu para pemasar jasa
semestinya terlihat di dalam design
perencanaan dan pengawasan kondisi
fisik. Fasilitas fisik adalah aktivitas
maupun materi yang dapat melayani
konsumen saat beraktivitas belanja,
yaitu utilitas umum termasuk parkir,
tempat penitipan barang, kamar
mandi, kerapian susunan barang.
Ketersediaan infrastruktur kota dan
fasilitas kota secara bersama sering
disebut sebagai fasilitas umum
(urban public facility). Infrastruktur
kota meliputi gas, air, listrik, telepon,
dan drainase, pembuangan sampah
dan jalan.
Fasilitas fisik adalah segala
sesuatu yang berupa benda atau yang
dapat dibendakan, yang mempunyai
peranan dapat memudahkan dan
melancarkan suatu usaha. Fasilitas
fisik dapat disebut juga dengan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[4]
fasilitas materiil. Karena fasilitas ini
dapat memberi kemudahan dan
kelancaran bagi suatu usaha dan
biasanya diperlukan sebelum suatu
kegiatan berlangsung maka dapat
pula disebut sebagai saran materiil.
Apabila dikaitkan dengan pasar
tradisional maka fasilitas materiil
meliputi: kamar mandi untuk
pengunjung pasar, pengelolaan
sampah, pengelolaan saluran air atau
parit, ruangan atau meja toko tempat
berjualan, penataan barang
dagangan, area parker, fasilitas
tempat ibadah, ketersediaan mesin
ATM.
Fasilitas fisik sangat terkait
dengan kebersihan dan ketersediaan
fasilitas fisik. Dalam menentukan
kepuasan pelanggan khususnya
mengenai tempat, faktor kebersihan
juga memiliki pengaruh yang sangat
besar sekali karena pelanggan
dimanapun juga memiliki keinginan
yang sama dimana dalam
mendapatkan kebutuhan khususnya
makanan, tempatnya harus benar-
benar bersih, sehat dan terbebas dari
kuman penyakit (Yuliarsih, 2002).
Kebersihan adalah keadaan bebas
dari kotoran, termasuk di antaranya,
debu, sampah (Amro, 2011).
Kebersihan adalah segala usaha
untuk memelihara dan mempertinggi
derajat kesehatan.
Menurut Yuliarsih (2002) secara
umum kata sanitasi mengandung dua
pengertian, yaitu usaha pencegahan
penyakit dan kesehatan lingkungan
hidup. Pasar atau tempat jualan
dalam menjalankan usahanya harus
memenuhi syarat higienitas.
Yuliarsih (2002) menyatakan
persyaratan higienitas yang harus
dipenuhi berdasarkan indikator dari
kebersihan antara lain: memiliki
lokasi atau tempat yang bersih,
memiliki fasilitas sanitasi atau
kebersihan yang baik, menyimpan
dan menyajikan makanan yang
terjaga kebersihannya, memiliki
standar pengolahan yang tinggi.
Kebersihan mempunyai pengaruh
positif terhadap perpindahan
konsumen dalam menentukan tempat
pembelian atau tempat pelanggan
(Yuliarsih, 2002). Hal serupa
dinyatakan oleh Riyanto dalam Amri
(2012) bahwa kebersihan dapat
mempengaruhi konsumen
menentukan keputusan perpindahan
merek dalam memperoleh barang
atau jasa yang diinginkan. Kautsari
dkk (2012) menyatakan bahwa
kebersihan pasar merupakan faktor
yang dominan mempengaruhi
konsumen ketika pelanggan di pasar
tradisional. Kebersihan pasar
tradisional berkaitan dengan
kebersihan sarana dan prasarana
pasar serta kebersihan toko atau gerai
tempat berjualan.
Fasilitas non fisik adalah segala
sesuatu yang bersifat mempermudah
dan memperlancar kegiatan sebagai
akibat bekerjanya nilai-nilai non fisik
misalnya menyangkut aspek
keamanan dan keramahan dari
penjual. Pada pasar tradisional aspek
fasilitas non fisik terdiri dari:
keamanan saat berbelanja, keadaan
dan suasana pasar tidak panas, jauh
dari bau yang tidak sedap,
keramahan penjual. Fasilitas non
fisik dapat dirasakan oleh konsumen
dalam bentuk kenyamanan.
Kenyamanan atau nyaman adalah
suatu keadaan segar, sehat, sedap,
sejuk dan enak (Amri, 2011).
Kenyamanan lingkungan adalah
suatu keadaan yang membuat
seseorang terlindung dari ancaman
psikologis. Perubahan kenyamanan
lingkungan akan menyebabkan
perasaan yang tidak nyaman dan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[5]
respon terhadap stimulus yang
berbahaya (Carpenito, 2006).
Kondisi nyaman menunjukkan
keadaan yang bervariasi untuk setiap
individu, sehingga kenyamanan
bersifat subjektif dan berhubungan
dengan keadaan tingkat aktivitas,
pakaian, suhu udara, kecepatan
angin, rata-rata suhu pancaran
radiasi, dan kelembaban udara.
Manusia akan merasa nyaman pada
suhu lingkungan 20°C sampai 25°C,
pada suhu tubuh 37°C, dalam
keadaan normal. Brown dan
Gillespie dalam Amri (2011),
dinyatakan bahwa unsur-unsur iklim
memiliki peran yang penting dalam
menentukan kenyamanan suatu
wilayah/kawasan. Salah satu faktor
iklim yang mempengaruhi
kenyamanan yakni suhu udara,
sehingga semakin tinggi suhu udara
maupun semakin rendah suhu udara
akan mengurangi kenyamanan.
Kenyamanan di dalam tempat
pelanggan akan senantiasa
diharapkan konsumen dalam
memperoleh barang yang
diinginkannya. Mulai dari
kenyamanan tempat perbelanjaan,
keamanan, suasana dan juga
keramahan penjual. Menurut
Carpenito (2006), kenyamanan suatu
tempat akan mempengaruhi
konsumen dalam menentukan tempat
pembelian suatu barang. Hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa
kenyamanan mempunyai pengaruh
positif terhadap keputusan pemilihan
tempat pembelian. Hasil penelitian
Amri (2011) mengatakan bahwa
kenyamanan dapat berpengaruh
positif terhadap penentuan tempat
dimana konsumen akan mendapatkan
barang atau jasa yang diinginkannya
sehingga mampu mempengaruhi
keputusan perpindahan pelanggan.
Kepuasan merupakan fungsi dari
persepsi seseorang yang muncul
setelah membandingkan antara
persepsi atau kesannya terhadap
kinerja atau hasil suatu produk atau
jasa dan harapan-harapannya. Kotler
dan Amstrong (2001), menyatakan
bahwa kepuasan merupakan perasaan
senang atau kecewa yang dihasilkan
dari perbandingan antara atau jasa
yang dirasakan dengan yang
diharapkan. Sumarwan (2004),
menyatakan salah satu teori yang
dapat menjelaskan bagaimana
kepuasan dan ketidakpuasan
pelanggan adalah the expectancy
disconfirmation model, yang
mengemukakan bahwa kepuasan dan
ketidakpuasan pelanggan merupakan
dampak dari perbandingan antara
harapan yang sesungguhnya yang
dirasakan. Harapan (performance
expectation) merupakan standar
kualitas, sedangkan fungsi produk
atau jasa yang sesungguhnya
dirasakan pelanggan (actual
performance) adalah persepsi
pelanggan terhadap produk atau jasa.
Menurut Tjiptono (2002) adanya
kepuasan pelanggan akan dapat
menjalin hubungan harmonis antara
produsen dan konsumen.
Menciptakan dasar yang baik bagi
pembelian ulang serta terciptanya
loyalitas pelanggan dan membentuk
rekomendasi dari mulut ke mulut
yang akan dapat menguntungkan
sebuah perusahaan. Menurut Kotler
dan Amstrong (2001) kepuasan
adalah sejauh mana suatu tingkatan
produk dipersepsikan sesuai dengan
harapan pembeli.
Zeithaml (1988) merumuskan
kepuasan konsumen sebagai
“costumer’s evaluation of a product
or service in terms of whether that
product or service has met their
needs and expectation”. Dengan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[6]
demikian kepuasan konsumen
merupakan perilaku yang terbentuk
terhadap barang atau jasa sebagai
pembelian produk tersebut.
Kepuasan konsumen sangat penting
karena akan berdampak pada
kelancaran bisnis atau perusahaan.
Pelanggan yang merasa puas pada
produk/jasa yang digunakannya akan
kembali menggunakan jasa/produk
yang ditawarkan. Hal ini akan
membangun kesetiaan pelanggan.
Kepuasan konsumen sendiri
diartikan sebagai suatu keadaan
dimana harapan konsumen terhadap
suatu produk sesuai dengan
kenyataan yang diterima tentang
kemampuan produk tersebut oleh
konsumen. Jika produk tersebut jauh
dibawah harapan konsumen maka ia
akan kecewa. Sebaliknya jika produk
tersebut memenuhi harapan
konsumen, maka ia akan senang.
Harapan konsumen dapat diketahui
dari pengalaman mereka sendiri saat
menggunakan produk tersebut,
omongan orang lain dan informasi
iklan.
Kepuasan merupakan nilai yang
dirasakan pelanggan waktu
mengadakan pembelian. Tujuan
pengukuran kepuasan pelanggan
untuk memberikan informasi, supaya
pelanggan menjadi loyal dan dapat
meningkatkan kinerja keseluruhan
suatu perusahaan (Sumarno dan
Agustiono, 2006). Pada prinsipnya
ada 3 (tiga) kunci dalam memberikan
kepuasan pelanggan yaitu
kemampuan memahami kebutuhan
dan keinginan pelanggan, termasuk
memahami tipe-tipe pelanggan.
Mengembangkan database yang
akurat tentang pelanggan termasuk
kebutuhan dan keinginan setiap
segmen pelanggan dan pemanfaatan
informasi yang didapat dari riset
pasar dalam kerangka pemasaran
strategik (Tjiptono, 1997). Langkah
awal sistem pengukuran yang
dipercaya adalah menentukan
kualitas pelayanan dan kepuasan
pelanggan, kemudian menghubung-
kannya dengan ukuran obyektif
kinerja. Untuk mempertahankan
kepuasan pelanggan, organisasi jasa
harus melakukan 4 (empat) hal yaitu
mengidentifikasi setiap pelanggan,
memahami tingkat harapan
pelanggan atas kualitas pelayanan,
memahami strategi kualitas
pelayanan pelanggan dan memahami
siklus pengukuran serta umpan balik
dari kepuasan pelanggan (Tjiptono,
1997).
Kepuasan pelanggan sangat
tergantung pada perasaan atau kesan
pelanggan terhadap suatu produk,
setelah membandingkannya dengan
produk lain (Kotler, 2002). Kepuasan
pelanggan dapat dibangun melalui
kualitas pelayanan dan nilai yang
terdapat dalam inti pelayanan
tersebut. Kualitas pelayanan dapat
diperoleh dari persepsi pelanggan
terhadap produk yang diterima,
sedangkan nilai dari keseluruhan
jumlah total yang ditangkap
pelanggan sebagai hal yang bermutu
(Kotler, 2002). Kepuasan pelanggan
adalah pusat sasaran konsep
pemasaran. Sehingga segala
perencanaan pemasaran dan program
suatu perusahaan bertujuan untuk
memuaskan pelanggan. Karena
pelanggan akan memperhatikan
kualitas pelayanan yang diberikan
perusahaan (Sumarno dan
Agustiono, 2006).
Menurut Irawan (2004), faktor-
faktor yang pendorong kepuasan
pelanggan adalah sebagai berikut:
(a). Kualitas produk, pelanggan puas
kalau setelah membeli dan
menggunakan produk tersebut
ternyata baik; (b). Harga, untuk
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[7]
pelanggan yang sensitif, biasanya
harga murah adalah sumber
kepuasan yang penting karena
pelanggan akan mendapatkan value
for money yang tinggi; (c). Service
quality, kepuasan terhadap kualitas
pelayanan biasanya sulit ditiru; (d).
Emotional factor, pelanggan akan
merasa puas (bangga) karena adanya
emotional value yang diberikan oleh
brand dari produk tersebut; (e).
Biaya dan kemudahan, pelanggan
akan semakin puas apabila relatif
mudah, nyaman dan efisien dalam
mendapatkan produk atau pelayanan.
Gambar 1. Kerangka Konseptual
Hipotesis simultan pada
penelitian ini adalah: H0: Fasilitas
fisik dan fasilitas non fisik diduga
secara simultan tidak mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap
kepuasan pelanggan; Ha: Fasilitas
fisik dan fasilitas non fisik diduga
secara simultan mempunyai
pengaruh yang signifikan terhadap
kepuasan pelanggan.
Metode
Jenis penelitian yang digunakan
adalah penelitian korelasional.
Penelitian ini dilaksanakan dengan
tujuan mendeteksi sejauh mana
variasi-variasi pada suatu faktor
berkaitan atau berkorelasi dengan
satu atau lebih faktor lain
berdasarkan koefisien korelasi
(Sinulingga, 2011).
Populasi pada penelitian ini
adalah pembeli yang berbelanja di
Pasar JBBC Medan Johor selama
masa penelitian. Metode
pengambilan sampel yang digunakan
adalah metode non probability
sampling, dengan teknik
pengambilan sampel pada penelitian
ini dilakukan melalui accidental
sampling, yaitu sampel dipilih atas
dasar kemudahan, mudah dijangkau,
didatangi, ditemui.
Pada penelitian ini besar sampel
didasarkan pada rumus Slovin dalam
Umar (2005). 96 kuesioner
disebarkan di toko dan kios yang
berbeda di Pasar JBBC Medan Johor.
Teknik pengambilan sampel yang
digunakan adalah purposive
sampling. Pengambilan sampel
dengan penentuan kriteria yang
dibuat oleh peneliti (Sugiyono,
2006). Pada penelitian ini, kriteria
yang ditetapkan adalah pelanggan di
Pasar JBBC Medan Johor untuk
kedua kalinya, dan pendidikan
minimal SMA dan berusia minimal
18 tahun. Pembeli tersebut telah
menjadi pelanggan dan minimal dua
kali berbelanja sehingga lebih
mengetahui kondisi Pasar JBBC
Medan Johor dibanding pembeli
yang baru pertama kali datang
berbelanja.
Analisis data menggunakan
analisis regresi berganda. Dalam
analisis regresi, selain mengukur
kekuatan hubungan antara dua
variabel atau lebih, juga melanjutkan
arah hubungan antara variabel terikat
dengan variabel bebas (Ghozali
2006).
Tabel 1. Koefisien Determinasi
Model R
R
Square
Adjusted
R Square
Std. Error
of the
Estimate
1 .677a .458 .452 .17292
Hasil dan Pembahasan
Hasil penelitian ini menyajikan
tentang analisis koefisien determinasi
Fasilitas
Fisik (X1)
Fasilitas
Non Fisik (X2)
Kepuasan
Pelanggan (Y)
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[8]
dan koefisien korelasi, uji hipotesis
simultan, dan uji hipotesis parsial.
Pada tabel 1 nilai koefisien korelasi
sebesar 0,677 menunjukkan
hubungan erat antara variabel
kebersihan, kenyamanan, dan
fasilitas fisik terhadap kepuasan
pelanggan Pasar JBBC Medan Johor.
Jika nilai R diantara 0,6–0,79 maka
korelasi sangat erat (Situmorang dan
Lufti, 2012). Nilai koefisien
determinasi (R Square) sebesar
0,458. Artinya 45,8% kepuasan
pelanggan di Pasar JBBC Medan
Johor dipengaruhi oleh variabel
independen yakni kebersihan,
kenyamanan dan fasilitas fisik.
Sedangkan sisanya 54,2%
dipengaruhi oleh variabel lain.
Tabel 2. Nilai Fhitung
Model
Sum of
Squares Df
Mean
Square F Sig.
1 Regression 5.390 3 1.347 15.060 .000a
Residual 1.615 92 .030
Total 7.004 95
a. Predictors: (Constant), Fasilitas Non Fisik, Fasilitas Fisik
b. Dependent Variable: Kep_Pelanggan
Berdasarkan hasil pada Tabel 2
diperoleh nilai Fhitung sebesar 15,060,
untuk menguji hipotesis secara
simultan maka harus diketahui nilai
Ftabel. Dengan menggunakan tingkat
keyakinan 95%, a=5%, df1 (jumlah
variabel-1) =4-1 = 3, kemudian df2
(n-k-1)= 89-3-1 = 85, diperoleh nilai
Ftabel melalui formula Microsoft
Excell 2010 =FINV(0.05,3,85) yang
menghasilkan angka 2.543. Nilai
Fhitung > Ftabel (15,060 > 2,712), maka
Ho ditolak dan menerima Ha.
Artinya secara simultan terdapat
pengaruh yang sangat signifikan
antara variabel kebersihan,
kenyamanan, dan fasilitas fisik
terhadap kepuasan pelanggan. Dalam
hal ini ketiga faktor tersebut
memberikan pengaruh yang sangat
signifikan terhadap kepuasan
pelanggan di Pasar JBBC Medan
Johor.
Tabel 3. Hasil Uji Hipotesis Parsial
Model
Unstandardized
Coefficients t Sig.
B Std.
Error
1 (Constant) .392 .233 1.683 .098
Fasilitas Fisik .178 .059 3.034 .004
Fasilitas Non Fisik .120 .086 3.401 .003
Dalam uji hipotesis parsial
terlebih dahulu ditentukan nilai ttabel
dengan derajat kebebasan (df) =n-k-1
atau df=89-4-1=85 (n adalah jumlah
responden dan k adalah jumlah
variabel independen). Dengan
menggunakan formula
“=TINV(0.05,85)” pada Microsoft
Excell 2010 diperoleh nilai ttabel
sebesar 1,988. Dari Tabel 6.10
didapat hasil thitung variabel
kebersihan (X1) sebesar 3.03416
kemudian variabel kenyamanan (X2)
sebesar 8.017 dan variabel fasilitas
fisik (X3) sebesar 1.401. Karena nilai
thitung dari semua variabel independen
lebih besar dari ttabel (thitung>1,988)
maka Ho ditolak dan Ha diterima,
artinya bahwa secara parsial ada
pengaruh secara signifikan antara
faktor fasilitas fisik terhadap
kepuasan pelanggan berbelanja di
Pasar JBBC Medan Johor.
Variabel yang memberikan
pengaruh paling dominan terhadap
kepuasan pelanggan berbelanja
adalah fasilitas fisik (X1) karena
memiliki nilai coefficient terbesar
yaitu sebesar 0.178. Sedangkan
variabel yang memberikan pengaruh
paling rendah adalah fasilitas non
fisik (X2) yang memiliki nilai
coefficient sebesar 0.120 .
Simpulan
Hasil penelitian ini
memperlihatkan bahwa fasilitas fisik
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[9]
dan fasilitas non fisik memberikan
pengaruh sebesar 45,8% terhadap
kepuasan pelanggan berbelanja di
Pasar JBBC Medan Johor Kota
Medan, sedangkan 54,2%
dipengaruhi faktor lain yang tidak
diteliti pada penelitian ini. Faktor
fasilitas fisik memberikan pengaruh
paling dominan terhadap kepuasan
pelanggan berbelanja di Pasar JBBC
Medan Johor. Berbagai fasilitas fisik
masih belum lengkap dan cenderung
tidak bersih.
Berdasarkan hasil penelitian ini
disarankan agar: PD Pasar Kota
Medan sebagai pengelola Pasar
JBBC Medan Johor akan secara
intensif melakukan pengawasan
terhadap kebersihan, kenyamanan
pasar ditambah penambahan fasilitas
fisik. Dalam meningkatkan kepuasan
pelanggan berbelanja di Pasar JBBC
Medan Johor, langkah-langkah yang
dilakukan PD Pasar Kota Medan
adalah: (1) Memasukkan klausul
dalam perjanjian atau kontrak sewa
pedagang terhadap ruko agar
pedagang menjual produk-produk
yang bersih dan memiliki kemasan
serta barang-barang dagangan
tersusun rapi; (2) Menertibkan para
pedagang yang tidak memilki izin
berjualan, sehingga area untuk
berjalan konsumen menjadi lebih
luas; (3) Menambah fasilitas kipas
angin atau pendingin ruangan di
kawasan Pasar JBBC Medan Johor
yang sirkulasi udaranya tidak baik;
dan (4) Setiap harinya melakukan
pengawasan terhadap petugas
kebersihan, agar tidak ada kawasan
yang kotor dan berbau tidak sedap.
Daftar Pustaka
Amri, S., dan Yoestini. (2011).
Analisis pengaruh, kebersihan
dan kenyamanan di pasar
tradisional terhadap perpindahan
berbelanja dari pasar tradisional
ke pasar modern di Kota
Semarang (Tesis master).
Fakultas Ekonomi dan Bisnis
Universitas Diponegoro,
Semarang.
Apriani. (2011). Analisis pengaruh
fasilitas, kualitas pelayanan dan
kepuasan pelanggan terhadap
minat mereferensikan (Tesis
master). Universitas Diponegoro
Semarang.
Badan Penelitian dan Pengembangan
Kota Medan (2013). Survey
Kepuasan Pelanggan Terhadap
Pasar Tradisional di Kota Medan
(Laporan survey). Badan
Penelitian dan Pengembangan
Kota Medan, Medan.
Bhuono, A. N. (2005). Strategi jitu
memilih metode statistik
penelitian dengan SPSS.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Carpenito. (2006). Buku saku
diagnosis keperawatan. Jakarta:
EGC.
Ghozali, I. (2006). Aplikasi analisis
multivariate dengan program
SPSS 19. Semarang: Badan
Penerbit Universitas
Diponegoro.
Halim, D. K. (2008). psikologi
lingkungan perkotaan. Jakarta:
Sinar Grafika Offset.
Irawan, H. (2004). 10 faktor yang
mempengaruhi kepuasan
pelanggan. Jakarta: Elex Media
Komputindo.
Kautsari, A. R., Harisudin, M., dan
Utami, B. W. (2012). Analisis
perilaku konsumen dalam
pelanggan kacang mete di pasar
tradisional Kabupaten Wonogiri
(Skripsi Sarjana). Universitas
Sebelas Maret, Semarang.
Kotler, P. (2002). Manajemen
pemasaran. Jakarta:
Prenhallindo.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[10]
Kotler, P. (2005). Manajemen
pemasaran: Analisis,
implementasi dan pengendalian.
Jakarta: Salemba Empat.
Kotler, P., dan Amstrong, G. (2001).
Prinsip-prinsip pemasaran.
Jakarta: Erlangga.
Kuncoro, M. (2003). Metode riset
untuk bisnis dan ekonomi.
Jakarta: Erlangga.
Limanjaya, H., dan Wijaya, B.
(2006). Analisis faktor yang
mendorong tingkat perubahan
perilaku berbelanja konsumen
dari pasar tradisional ke Giant
Hypermarket Margarejo. Jurnal
Manajemen Pemasaran, 1(2),
11-20.
Lupiyoadi, R. (2006). Manajemen
pemasaran jasa: Teori dan
praktek. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Priyatno, D. (2008). Mandiri belajar
SPSS untuk analisis data dan uji
Statistik. Jakarta: MediaKom.
Sinulingga, S. (2011). Metode
penelitian. Medan, USU Press.
Situmorang, S. H., dan Lufti, M.
(2012). Analisis data untuk riset
manajemen dan bisnis. Medan,
USU Press.
Sugiyono. (2006). Metode penelitian
bisnis. Bandung: Alfabeta.
Sumarwan, U. (2004). Perilaku
konsumen. Bogor: Ghalia.
Sugiyono. (2008). Metode penelitian
kuantitatif, kualitatif dan R dan
D. Bandung: Alfabeta.
Sukandi. (2010), Hubungan antara
fasilitas kampus terhadap
kepuasan mahasiswa dalam
menghadapi daya saing jasa
pendidikan (Tesis master).
Universitas Pendidikan
Indonesia, Bandung.
Sumarno, dan Agustiono, B. (2006).
Analisis pengaruh kualitas
pelayanan jasa terhadap
kepuasan dan loyalitas pasien
rawat inap di Rumah Sakit St.
Elisabeth Semarang. Jurnal
Eksplanasi, 1(1), 1-18.
Tjiptono, F. (1997). Manajemen jasa.
Yogyakarta, Penerbit Andi.
Umar, H. (2005). Strategic
management in action. Jakarta:
Gramedia Pustaka Utama.
Yuliarsih, W. R. (2002). Higiene dan
sanitasi umum dan perhotelan.
Jakarta: Grasindo.
Yulyaningsih, N. (2010).
Perencanaan lanskap university
farm IPB Sindang Barang Kota
Bogor sebagai kebun agrowisata
(Skripsi Sarjana). Fakultas
Pertanian Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[11]
FACEBOOK KOMUNITAS BACKPACKER MEDAN DAN PROMOSI
PARIWISATA SUMATERA UTARA
1Eninta Yolanda G. Manik,
2Mazdalifah,
3Fatma Wardy Lubis
1Alumni Magister Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara,
2, 3Ketua Departemen Ilmu Komunikasi Universitas Sumatera Utara
Surel: [email protected]
ABSTRACT
The objective of this research is to determine the role and the eminence of Medan
Backpacker Community’s Facebook in supporting tourism promotion in North
Sumatera. Method of the data collection was by observation, interview and
documentationThis qualitative research used the theory of computer mediated
communication and electronic word of mouth to answer the questions. Result of
the study shows that Facebook has excellent in ability as a medium for the
promotion of tourism. Facebook is the main mediated communication of Medan
Backpacker community. Facebook of Medan Backpacker was instrumental in
supporting the promotion of tourism in North Sumatra, especially tourist
attractions which have not been recognized by the public. Facebook is more
interactive as a tools of communication, provides collective and complete
information for tourist.
Keywords: Facebook, Tourism Promotion in North Sumatera.
Pendahuluan
Promosi pariwisata berbasis
digital dan teknologi melalui media
sosial merupakan salah satu bentuk
efisiensi. Sejumlah penelitian
akademik telah menemukan adanya
dampak dan peran media sosial
dalam mempengaruhi keputusan
pengguna yang berkaitan dengan
perjalanan wisata. Bizirgiannia dan
Dionysopoulob (2013) menyatakan
bahwa 89% wisatawan menggunakan
internet sebagai sumber informasi
dalam merencanakan perjalanan
wisatanya. Selanjutnya, Fotis,
Buhalis, dan Rossides (2011)
menjelaskan bahwa media sosial
telah mengubah cara pengguna
internet online dari Rusia dan bekas
Republik Uni Soviet lainnya dalam
membuat rencana liburan mereka.
Selain itu, Tussyadiah, Park, dan
Fesenmaier (2011) menjelaskan
bahwa konten yang dibuat pengguna
dalam media sosial membantu
pengguna lainnya mendapatkan
informasi tentang suatu objek wisata.
Koherensi dalam konten tersebut
kemudian menghasilkan motivasi
yang lebih tinggi serta kesesuaian
hati bagi pengguna dalam
menentukan tujuan wisata. Hal ini
ditegaskan pula oleh Milanoa,
Baggioc, dan Piattellib (2011) dalam
penelitian mereka yang menyatakan
bahwa saat ini wisatawan cenderung
lebih mempercayai testimoni antar
wisatawan sendiri daripada iklan dan
promosi tempat wisata dalam
website yang dikelola oleh travel
agent maupun pemerintah.
Promosi sangat penting untuk
menyebarkan informasi pariwisata
Indonesia ke seluruh dunia. Promosi
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[12]
pariwisata bertujuan untuk mencapai
target wisatawan 20 (dua puluh) juta
orang pada tahun 2019. Menteri
Pariwisata Republik Indonesia, Arief
Yahya menyampaikan bahwa
Kementerian Pariwisata akan
„menggenjot‟ promosi pariwisata
melalui media sosial
(www.tempo.co).
Komunikasi merupakan elemen
penting dalam kegiatan promosi,
karena promosi adalah aktivitas
komunikasi antara individu ke
individu lainnya. Pan, MacLaurin,
dan Crotts (2007) menemukan fakta
bahwa berbagi pengalaman hidup
dan interaksi sosial adalah dua faktor
utama yang memotivasi pengguna
media sosial menghasilkan konten
yang dibuat oleh pengguna. Interaksi
sosial melalui konten yang dibuat
pengguna dalam media sosial
menjadikan sektor pariwisata
berkembang sebagai kebutuhan
primer bagi masyarakat.
Internet sebagai salah satu media
baru (new media) merupakan sebuah
fenomena dunia yang telah
berkembang menjadi sebuah medium
pencarian dan penyebaran informasi
bagi masyarakat yang memiliki akses
terhadap jaringan komputer global
tersebut dimanapun mereka berada.
Internet memberikan dampak
potensial terhadap individu,
organisasi, dan masyarakat di seluruh
disiplin ilmu. Internet telah
berkembang menjadi ranah virtual
tempat para penggunanya saling
berkomunikasi dan berinteraksi
melalui media komputer.
Perkembangan tersebut pada
akhirnya membentuk komunitas-
komunitas yang saling
berkomunikasi untuk bertukar
pikiran dan pendapat, melakukan
sharing pengalaman, membuat
rencana perjalanan wisata, diskusi
intelektual, berdagang serta berbagai
hal lainnya.
Facebook masih menjadi jejaring
sosial favorit di dunia. Indonesia
merupakan salah satu negara dengan
pengguna jejaring sosial terbesar di
dunia. Kementerian Komunikasi dan
Informatika Republik Indonesia
melansir data pengguna internet di
Indonesia saat ini mencapai 63 juta
orang. 95% dari pengguna tersebut
menggunakan internet untuk
mengakses jejaring sosial, dan
jejaring sosial yang paling banyak
diakses adalah Facebook. Indonesia
menempati peringkat ke-4 pengguna
Facebook terbesar setelah Amerika
Serikat, Brazil dan India
(Agustiningsih dan Anindhita, 2014).
Hal ini merupakan peluang bagi
sektor pariwisata untuk
memanfaatkan Facebook sebagai
sarana promosi.
Kelengkapan fitur dan fasilitas
yang disediakan Facebook
memberikan berbagai manfaat bagi
manusia dalam menjalin interaksi
sosialnya. Informasi yang
ditampilkan Facebook umumnya
merupakan data personality yang
dibuat dengan benar. Facebook juga
dilengkapi dengan fasilitas privacy
setting yang membuat pengguna
yakin terhadap keamanan
penggunaan dan akses informasi di
dalamnya (Putra, 2014).
Peran facebook dalam
mendukung promosi pariwisata telah
terbukti. Mark Zuckerberg (pejabat
eksekutif tertinggi Facebook)
mengunggah foto dirinya saat
menikmati matahari terbit di Candi
Borobudur pada 12 Oktober 2014 ke
akun Facebook miliknya. Foto
tersebut mendapatkan banyak
komentar positif dan telah
memperkuat promosi wisata
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[13]
“Borobudur sunrise” (m.liputan6.
com/news/read/211801).
Backpacker Medan merupakan
salah satu komunitas yang peduli
terhadap pengembangan pariwisata
di Provinsi Sumatera Utara.
Beranggotakan masyarakat pecinta
jalan-jalan yang berdomisili di Kota
Medan, komunitas ini memiliki visi
“meningkatkan kecintaan terhadap
tanah air” dan 3 (tiga) misi yaitu: (i)
melakukan trip ke tempat-tempat
wisata yang ada di Indonesia, (ii)
menjadi tuan rumah bagi semua
wisatawan yang akan berkunjung ke
Sumatera Utara, dan (iii) melakukan
kegiatan kemanusiaan, berbagi
kebahagiaan kepada masyarakat
yang tidak mampu
(www.facebook.com).
Komunitas ini dikenal melalui
akun grup Facebook Backpacker
Medan dengan jumlah anggota
sebanyak 9667 (sembilan ribu enam
ratus enam puluh tujuh) akun per
tanggal 14 April 2015. Facebook
Backpacker Medan dirilis sejak
tahun 2011, dan telah menampilkan
ribuan unggahan yang terdiri dari
foto maupun video perjalanan wisata
komunitas Backpacker Medan, foto
objek wisata lainnya di Sumatera
Utara, foto kegiatan sosial di
masyarakat serta rutinitas pertemuan
pada hari rabu di setiap minggunya,
informasi yang berkaitan dengan
kegiatan pariwisata, maupun
pertukaran informasi terkait
perjalanan wisata. Akun grup
Facebook yang bersifat terbuka
untuk umum ini, menjadi wadah
silaturahmi bagi para pecinta wisata
khususnya yang berdomisili di kota
Medan, yang awalnya tidak saling
mengenal hingga menjadi satu
keluarga Backpacker
(www.facebook.com).
Komunitas Backpacker Medan
telah berupaya mempromosikan
potensi wisata di Sumatera Utara
melalui penyebaran informasi dalam
akun facebook. Konten yang
diunggah oleh pengguna akun
facebook komunitas Backpacker
Medan secara tidak langsung telah
memperkenalkan objek wisata yang
ada di Sumatera Utara, bahkan yang
belum pernah dipublikasikan oleh
pemerintah setempat maupun yang
belum dikenal oleh masyarakat.
Fenomena penggunaan facebook
oleh komunitas Backpacker Medan,
merupakan salah satu bukti bahwa
jejaring sosial tersebut mendukung
promosi pariwisata. Facebook
merupakan media yang menjadikan
Backpacker Medan dapat terlibat
secara langsung mempromosikan
pariwisata Sumatera Utara.
Pengguna aktif facebook sangat
banyak jumlahnya di Indonesia,
sehingga aktivitas penggunaan yang
cenderung tinggi akan memberikan
nilai positif bagi kegiatan promosi
pariwisata Indonesia. Berdasarkan
fenomena di atas, penelitian ini
bermaksud mengkaji bagaimana
peran facebook Komunitas
Backpacker Medan dalam
mendukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara.
Tinjauan Pustaka
Computer Mediated Communi-
cation (CMC). Computer mediated
communication adalah komunikasi
antara individu yang terjadi melalui
komputer misalnya e-mail, chat
room, pesan singkat, dan permainan
video (DeVito, 2013). Komunikasi
interpersonal sering berlangsung
melalui beberapa jenis jaringan
komputer yakni melalui short
message service, e-mail, unggahan
facebook, telepon maupun tweeting.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[14]
Bentuk komunikasi melalui jaringan
komputer adalah synchronous dan
asynchronous. Boorgon et al.
menjelaskan bahwa teknologi
komunikasi baru membuka arena
baru untuk komunikasi, tetapi juga
membawa potensi risiko dari
kesalahpahaman, ketidakpercayaan,
dan keputusan yang buruk apabila
mengabaikan perbedaan tujuan,
kasus, dan tingkat hubungan
interpersonal (Bubas, 2001).
Walther (2006) menjelaskan
bahwa dalam computer mediated
communication, tanda-tanda
nonverbal menyaring informasi
interpersonal yang dikirim dan
diterima. Kontak fisik, ekspresi
wajar, nada suara, jarak
interpersonal, posisi tubuh,
penampilan, isyarat, sentuhan, dan
bau tidak ada di dalam komunikasi
ini. Extended time juga dianggap
penting dalam computer mediated
communication. Walther (2006) juga
mengatakan bahwa rentang waktu
dimana pengguna computer mediated
communication mengirim pesan-
pesan mereka menjadi faktor kunci
yang menentukan keberhasilan pesan
menjangkau tingkat keintiman atau
keakraban seperti yang terjalin dalam
komunikasi tatap muka. Oleh sebab
itu kemudian disarankan untuk
mengirimkan pesan lebih sering
dalam berkomunikasi secara online.
Analisis komunikasi face to face
telah menguraikan banyak kualitas
yang absen di sebagian besar
interaksi computer mediated
communication, yaitu: (1) saluran
komunikasi nonverbal audio dan
visual tidak diaktifkan dalam
computer mediated communication;
(2) nilai keeratan hubungan lebih
sedikit dalam computer mediated
communication karena sifatnya yang
asynchronous dan kurangnya isyarat
nonverbal; (3) tidak terdapat
informasi tentang gambaran fisik
maupun anonimitas komunikator
dalam computer mediated commu-
nication; (4) informasi yang
berkaitan dengan latar belakang
budaya dan etnis, status sosial, jenis
kelamin, dan usia dapat
disembunyikan atau tidak diketahui
dalam computer mediated communi-
cation; (5) kehadiran sosial dari
penerima pesan berkurang dalam
computer mediated communication,
dan hal ini memfasilitasi perasaan
yang tidak lazim misalnya malu dan
berseri-seri atau lain sebagainya
(Bubas, 2001).
Promosi. Promosi menurut Tjiptono
(Prisgunanto, 2014) adalah suatu
bentuk kreativitas pemasaran yang
berusaha menyebarkan informasi,
mempengaruhi atau membujuk, dan
atau mengingatkan pasar sasaran atas
perusahaan dan produknya yang
ditawarkan perusahaan yang
bersangkutan. Promosi merupakan
salah satu variabel integrated
marketing communication yang
digunakan oleh perusahaan untuk
mengadakan komunikasi dengan
pasarnya, dengan tujuan untuk
memberitahukan bahwa suatu produk
itu ada dan memperkenalkan produk
serta memberikan keyakinan akan
manfaat produk tersebut kepada
pembeli atau calon pembeli
(Rangkuti, 2009).
Keberadaan internet yang
menghadirkan era digital menyebab-
kan manusia memiliki pola
komunikasi yang baru melalui media
(computer mediated communication)
yang mengesampingkan pentingnya
tatap muka secara langsung. Pola
komunikasi computer mediated
communication ini menyebabkan
informasi dengan lebih cepat
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[15]
menyebar melalui media sosial. Hal
ini memungkinkan masyarakat
informasi tidak lagi pasif dalam
pencarian informasi, sebaliknya
menjadi reaktif, interaktif, sangat
cerdas dan penuh pertimbangan yang
matang dalam melihat sebuah produk
dan jasa sebelum melakukan
pembelian.
Media sosial menyediakan
saluran baru untuk produksi dan
sirkulasi makna dalam menjelaskan
imajinasi akan pengalaman wisata
(Munar dan Jacobsen, 2014). Hal ini
menjadikan media sosial semakin
relevan sebagai bagian dari media
pemasaran kegiatan pariwisata yang
mempengaruhi pemilihan tujuan
wisata dan bisnis di bidang
pariwisata. Aktivitas dalam media
sosial menimbulkan artikulasi
berharga dari interaksi dan dukungan
emosional yang menjadi pertimbang-
an dasar dalam pengambilan
keputusan saat merencanakan
kegiatan wisata.
Facebook adalah sebuah situs
jejaring sosial yang dipakai manusia
untuk berinteraksi dengan manusia
lain dengan jarak jauh (Putra, 2014).
Facebook merupakan salah satu
media sosial yang memungkinkan
seseorang dapat bertemu kembali
dengan teman-teman lama,
membangun silaturahmi yang dahulu
sempat terputus dan dapat
berkomunikasi dengan lancar
walaupun berjauhan. Facebook juga
sebagai media promosi online yang
mempermudah seseorang mem-
promosikan barang dagangannya
karena banyaknya pengguna. Selain
itu Facebook juga sebagai tempat
diskusi yang tepat. Komentar yang
ditulis seseorang secara bebas, akan
direspon oleh orang lain, sehingga
jejaring sosial ini dapat dijadikan
sebagai ajang tukar pikiran yang
baik. Hal ini sangat menarik sebab di
satu sisi masyarakat jadi lebih mudah
berkomunikasi jarak jauh, tapi juga
mulai menggerogoti interaksi sosial
masyarakat sebab mereka mulai
lebih cenderung berinteraksi di dunia
virtual daripada bertemu bertatap
muka.
Electronic Word of Mouth. Arndt
(Erkan dan Evans, 2014) menuliskan
pengertian word of mouth sebagai
komunikasi di antara orang per
orang, dimana orang menerima pesan
non-komersial mengenai merk,
produk maupun jasa. Word of mouth
dengan kata lain diartikan sebagai
aktivitas berbagi maupun pertukaran
informasi tentang pengalaman
mengkonsumsi suatu merk, produk
ataupun jasa. Literatur tentang word
of mouth memfokuskan perhatiannya
kepada perbedaan dari word of
mouth dengan teknik pemasaran
lainnya.
Penyebaran word of mouth tidak
melakukan penyebaran seperti
halnya iklan, tetapi komunikasi ini
sangatlah efektif, karena pada
dasarnya manusia selalu melakukan
komunikasi atau berbicara dengan
kelompoknya, yang pada dasarnya
memiliki kesamaan. Word of mouth
ini memiliki pengaruh di dalam
melakukan pemasaran suatu produk
atau jasa. Smith (Gurning, 2014)
menuliskan bahwa yang paling
berpengaruh di dalam word of mouth
adalah adanya pengalaman pribadi
akan suatu perusahaan produk atau
jasa atau juga pelayanannya.
Bentuk struktur alami word of
mouth mampu meninjau ulang
kondisi sebenarnya dan informasi
tentang produk dan jasa, oleh karena
itu, word of mouth betul-betul
dipertimbangkan oleh konsumen
sebagai cara yang sangat efektif
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[16]
untuk mengurangi perasaan beresiko
saat menerima informasi tentang
suatu produk (Erkan dan Evans,
2014). Konsumen dapat melakukan
word of mouth saat offline maupun
online, dengan demikian word of
mouth dibagi menjadi dua kategori
yaitu, offline word dan electronic
word of mouth.
Electronic word of mouth saat ini
memiliki perbedaan dengan word of
mouth tradisional. Perbedaan
tersebut dapat dijelaskan sebagai
berikut: (1) pada word of mouth
pertukaran informasi terjadi secara
langsung (face to face), namun pada
electronic word of mouth pertukaran
informasi alami terjadi secara
elektronik tanpa adanya pertemuan
langsung; (2) pada word of mouth
pemberi informasi memberikan
informasi kepada penerima yang
mencari tahu tentang informasi yang
dibutuhkan serta memiliki perhatian
pada informasi tersebut, namun pada
electronic word of mouth pemberi
informasi memberikan rujukan
informasi kepada seluruh penerima,
baik yang mencari informasi tersebut
maupun yang tidak mencari
informasi tersebut (Sari, 2012).
Keller dalam penelitiannya pada
tahun 2007 menyimpulkan bahwa
informasi tentang pembuat konten di
media sosial yang tidak lengkap
(anonimitas), dipertimbangkan
sebagai kelemahan dari electronic
word of mouth. Namun kehadiran
media sosial menjadikan electronic
word of mouth tidak hanya terjadi di
antara orang yang saling tidak
mengenal, tetapi juga terjadi di
antara orang-orang yang sebelumnya
sudah saling mengenal (Erkan dan
Evans, 2014). Selanjutnya, para
peneliti mulai menemukan kekuatan
dan kelemahan dari fenomena
komunikasi electronic word of mouth
tersebut. Meskipun electronic word
of mouth lemah karena ketiadaan
pertemuan langsung (face to face),
electronic word of mouth lebih kuat
karena responnya yang bersifat
segera dan dapat diakses oleh semua
orang (Thurau, T.H., Gwinner, K.P.,
Walsh, G., dan Gremler, D.D, 2004).
Electronic word of mouth
dikatakan lebih efektif karena
informasinya yang lebih reliabel.
Orang yang menerima rekomendasi
berdasarkan komunikasi electronic
word of mouth cenderung lebih yakin
bahwa pemberi rekomendasi
berbicara jujur dan tidak memiliki
motif tersembunyi (Christy dan Lee,
2010). Sebagian besar orang
cenderung lebih percaya pada
pemasaran electronic word of mouth
dibandingkan metode promosi
lainnya yang sifatnya lebih formal.
Jenis komunikasi dengan pesan non-
komersial ini memiliki tingkat
persuasif yang lebih tinggi dengan
kepercayaan dan kredibilitas yang
tinggi pula (Jalilvand, 2012).
Komunikasi electronic word of
mouth dapat dilakukan dengan
berbagai cara seperti media opini
berbasis web, forum diskusi online,
boycott website, grup berita online
(Thurau, et al., 2004).
Metode
Penelitian ini menggunakan
pendekatan kualitatif. Pendekatan
kualitatif menekankan pada makna
dan pemahaman dari dalam,
penalaran, definisi suatu situasi
tertentu (dalam konteks tertentu),
lebih banyak meneliti hal-hal yang
berhubungan dengan kehidupan
sehari-hari. Penelitian kualitatif lebih
menekankan pada penggunaan diri si
peneliti sebagai instrumen. Lincoln
dan Guba (1985) mengemukakan
bahwa dalam pendekatan kualitatif,
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[17]
peneliti seyogianya memanfaatkan
diri sebagai instrumen, karena
instrumen non manusia sulit
digunakan secara luwes untuk
menangkap berbagai realitas dan
interaksi yang terjadi (Mulyadi,
2012).
Peneliti menggunakan pende-
katan kualitatif ini karena peneliti
merasa tidak memiliki informasi
yang memadai terhadap objek yang
diteliti, yaitu peran facebook
komunitas Backpacker Medan dalam
mendukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara. Informasi yang
dibutuhkan tersebut merupakan
realita dan keberadaannya merupa-
kan besaran yang dapat diukur.
Melalui pengamatan dan wawancara,
peneliti akan memperoleh informasi
terkait peran facebook komunitas
Backpacker Medan dalam
mendukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara. Peneliti dalam
paradigma ini meyakini bahwa
variabel yang ingin diamati tersebut,
merupakan sesuatu yang telah ada di
dunia, dalam hal ini ada dalam akun
facebook komunitas Backpacker
Medan.
Subjek penelitian ini adalah akun
facebook komunitas Backpacker
Medan. Informan dalam penelitian
ini adalah anggota komunitas
Backpacker Medan. Metode
pengumpulan data dilakukan melalui
observasi terhadap konten akun grup
facebook komunitas Backpacker
Medan dan aktivitas komunitas
Backpacker Medan. Data pendukung
lainnya diperoleh melalui wawancara
terhadap kelima informan utama
yang merupakan bagian dari
komunitas Backpacker Medan, serta
dokumentasi terhadap peristiwa
lampau yang terkait dengan fokus
penelitian ini.
Analisis data yang digunakan
dalam penelitian ini menggunakan
analisis deskriptif kualitatif.
Penekanannya pada deskriptif
menyebabkan format deskriptif
kualitatif lebih banyak menganalisis
permukaan data, hanya memper-
hatikan proses-proses kejadian suatu
fenomena (Bungin, 2007). Analisis
data dimulai berdasarkan hasil
pengamatan, didukung dengan hasil
wawancara terhadap informan, yaitu
seseorang yang benar-benar
memahami dan mengetahui situasi
subjek penelitian. Setelah melakukan
wawancara, analisis data dimulai
dengan membuat transkrip hasil
wawancara, mendengarkan dengan
seksama, kemudian menuliskan kata-
kata yang didengar sesuai dengan
apa yang ada di rekaman tersebut.
Upaya interpretasi data dilakukan
peneliti dengan membangun
deskripsi keseluruhan dari hasil
wawancara dengan informan pene-
litian, serta dokumentasi terhadap
aktivitas facebook komunitas
Backpacker Medan.
Informan tambahan dibutuhkan
untuk melakukan triangulasi data.
Informan tambahan penelitian ini
adalah 2 (dua) orang pengusaha/
pekerja di bidang trip organizer yang
juga bergabung dalam akun
Facebook Backpacker Medan, yaitu
Fitri Girsang mewakili PT. Enous
Tour, dan Eko Suryo dari Pariwisata
Sumut. Selain itu, Kepala Bidang
Pemasaran Dinas Budaya dan
Pariwisata Provinsi Sumatera Utara,
Muchlis Muchus Nasution mewakili
pihak pemerintah juga akan menjadi
informan tambahan dalam penelitian
ini.
Hasil dan Pembahasan
Global merupakan salah satu dari
8 (delapan) sifat yang dimiliki oleh
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[18]
media baru (Prajanto et.al, 2012),
dimana konten media mengalir
melintasi batasan negara, serta
masyarakat menyebarkan jaringan
komunikasi baru untuk berinteraksi
dengan orang lain di seluruh dunia.
Facebook Backpacker Medan yang
pengaturannya bersifat „public
group‟ membuat semua orang dapat
mengakses informasi dan menye-
barkan kepada jaringannya. Apa
yang dikomunikasikan di dalam
kedua jejaring sosial tersebut
memberikan efek kekuatan tersendiri
karena akses pembangunannya
berupa teknologi dan juga „berbagai
media interaksi‟ yang dikomuni-
kasikan dengan teks, gambar, foto,
audio juga video (Juju dan Sulianta,
2010). Hal ini memampukan
facebook mengubah cara kita
memandang diri kita dan tempat kita
hidup di dunia melalui informasi
yang disebarkan di dalamnya.
Backpacker Medan pada
mulanya terbentuk dan berkembang
melalui jejaring sosial facebook.
Wilson dalam penelitiannya
menuliskan paling tidak ada tiga
karakteristik dari komunitas di dunia
virtual, yang membedakannya
dengan komunitas tatap muka, yaitu:
(1) liberty, kebebasan dari kondisi
sosial geografis yang membatasi
identitas yang melekat pada diri
seseorang; (2) equality, penghilangan
hierarki yang berhubungan dengan
identitas yang melekat, sehingga
anggota komunitas dapat terbuka
terhadap segala hal; dan (3)
fraternity, hubungan yang terbentuk
antar anggota dalam komunitas
tersebut (Sugihartati, 2014).
DeVito (2013) telah menguraikan
kelebihan yang dimiliki oleh
komunikasi bermedia komputer bila
dibandingkan dengan komunikasi
tatap muka, diantaranya anonimitas
dalam pengungkapan diri dan
manajemen kesan sangat mudah
karena karakteristik pribadi akan
terungkap apabila ingin diungkap.
Kesempatan untuk berbicara tidak
terbatas, dan kompetisi giliran
berbicara sebagaimana saat komu-
nikasi tatap muka tidak terjadi dalam
komunikasi bermedia komputer.
Penerima pesan dalam komunikasi
bermedia komputer hampir tak
terbatas, karena pesan dapat diambil
oleh orang lain atau diteruskan
kepada pihak ketiga bahkan ribuan
pihak lainnya. Kesempatan dalam
berinteraksi tidak terbatas. Kesan
dalam komunikasi bermedia
didasarkan pada teks pesan dan
unggahan foto maupun video. Hal ini
lah yang menjadi kekuatan
komunikasi bermedia komputer,
meskipun pertemuan secara tatap
muka jarang dilakukan.
Kekuatan computer mediated
communication didukung pula oleh
pernyataan Olaniran (1994) bahwa
dalam beberapa kasus computer
mediated communication lebih
bermanfaat daripada komunikasi face
to face, tetapi computer mediated
communication akan sangat efektif
jika dikombinasikan dengan
komunikasi face to face (Bubas,
2001). „Kopdar‟ merupakan saat
dimana sebagian kecil dari
komunitas backpacker Medan dapat
bertemu dan komunikasi secara
langsung. Meskipun hanya
dilaksanakan 1 (satu) kali dalam
seminggu, kedekatan hubungan yang
terjalin di antara anggota komunitas
tersebut terjalin erat karena
komunikasi yang intensif melalui
facebook.
Pesan yang disampaikan dalam
media sosial bersifat bebas, tanpa
harus melalui suatu gatekeeper
(Cahyani, 2014). Pesan maupun
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[19]
informasi yang dimuat dalam konten
yang diunggah pengguna dalam
Facebook Backpacker Medan adalah
murni hasil pemikiran dan
berdasarkan pengalaman anggota
komunitas tersebut maupun akun
pengguna lainnya yang bergabung di
dalam jejaring sosial itu saat
berwisata di Sumatera Utara. Tidak
adanya intervensi maupun tujuan
tertentu selain ingin memper-
kenalkan objek wisata Sumatera
Utara kepada masyarakat luas, akun
pengguna yang bergabung dalam
kedua jejaring sosial komunitas
backpacker Medan ini secara tidak
langsung telah mendukung promosi
pariwisata di Sumatera Utara.
Konten yang diunggah dalam
akun grup Facebook Backpacker
Medan telah dikategorikan ke dalam
8 (delapan) jenis, yaitu (1) sapaan
perkenalan oleh anggota baru; (2)
ajakan trip; (3) informasi tentang
lokasi wisata baru; (4) feedback; (5)
ajakan „kopdar‟ maupun kegiatan
sosial; (6) pertanyaan tentang
informasi wisata di Sumatera Utara;
(7) unggahan foto; (8) share
informasi tentang pariwisata. Konten
tersebut diperoleh dari hasil
pengamatan terhadap akun grup
facebook backpacker Medan sampai
dengan aktivitas di tanggal 19 Juni
2013, sebagaimana pada Tabel 1.
Tabel 1. Konten Akun Grup
Facebook Backpacker Medan
Konten/Tahun 2013 2014 2015 Total
A 182 93 11 286
B 81 69 18 168
C 39 34 11 84
D 217 210 78 505
E 234 192 53 479
F 303 206 54 563
G 224 120 92 436
H 191 140 44 375
Jumlah 1471 1064 361 2896
Sumber: www.facebook.com/groups/Backpackermedan
Temuan penelitian telah
memperlihatkan keragaman konten
yang mewarnai akun grup Facebook
Backpacker Medan dari tahun 2013
hingga tahun 2015. Keragaman
konten yang diunggah di setiap tahun
menggambarkan alur aktivitas
Backpacker Medan dalam
mewujudkan visi dan misinya.
Konten pertanyaan tentang
informasi wisata di Sumatera Utara
merupakan unggahan terbanyak
selama semester 2 (Juni hingga
Desember) tahun 2013. Feedback
pada tahun 2014 mendominasi akun
grup Facebook Backpacker Medan.
Semester 1 tahun 2015 (Januari
hingga Juni), unggahan foto
merupakan konten yang paling
banyak ditemukan dalam akun grup
Facebook Backpacker Medan.
Secara keseluruhan dari hasil
pengamatan, konten yang paling
banyak ditemukan dalam akun grup
Facebook Backpacker Medan secara
berurutan yaitu (1) pertanyaan
tentang informasi wisata di Sumatera
Utara; (2) feedback; (3) ajakan
„kopdar‟ maupun kegiatan sosial.
Alur aktivitas akun grup
Facebook Backpacker Medan
menunjukkan bahwa pada tahun
2013, aktivitas backpacker Medan
lebih sering memberikan informasi
kepada wisatawan yang ingin
mengeksplorasi Sumatera Utara. Hal
ini berlangsung hingga tahun 2014,
dimana feedback dari wisatawan
mendominasi konten dalam facebook
backpacker Medan. Konten files
(informasi wisata Sumatera Utara)
dan album foto trip yang diunggah
dalam facebook juga sangat
bermanfaat bagi siapa saja yang
ingin mengeksplorasi wisata di
Sumatera Utara. Keseluruhan konten
yang terdapat dalam Facebook
Backpacker Medan tersebut dapat
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[20]
menjadi informasi yang sangat
berguna bagi penyusunan kebijakan
Pemerintah Provinsi Sumatera Utara
untuk mengembangkan sektor
pariwisata.
Hadirnya media baru dalam
komunikasi memungkinkan sese-
orang melakukan aktivitas
komunikasi dan menjalin hubungan
tanpa terjadinya pertemuan secara
langsung atau tatap muka (Triyono,
2011). Pengaruh sosial yang muncul
akibat interaksi dalam komunitas
Backpacker Medan melalui
facebook, telah memicu munculnya
komunitas-komunitas baru yang
memiliki minat yang sama dengan
Backpacker Medan.
Beberapa bentuk komunikasi
melalui jaringan komputer tersebut
adalah synchronous dan
asynchronous (DeVito, 2013).
Synchronous adalah bentuk
komunikasi melalui media komputer
yang dapat dilakukan dalam waktu
yang bersamaan. Contohnya adalah
interaksi di antara akun pengguna
dalam Facebook Backpacker Medan
dalam memberi komentar pada
konten yang diunggah, maupun
melalui fitur chat. Respon yang
diberikan pada saat yang bersamaan
merupakan bentuk komunikasi
synchronous melalui jaringan
komputer. Bentuk komunikasi
lainnya melalui jaringan komputer
juga bersifat asynchronous, dimana
komunikasi yang terjadi tidak dalam
waktu yang bersamaan. Komunikasi
asynchronous ini terjadi ketika
konten yang diunggah pengguna
dalam kedua jejaring sosial tersebut
baru mendapatkan respon beberapa
waktu lamanya atau dapat dikatakan
tidak secara langsung mendapatkan
respon pada waktu yang bersamaan.
Van Dijk (Hapsari, 2014)
menegaskan bahwa media baru
memiliki kemampuan menyimpan
data yang memungkinkan
komunikasi asynchronous (tidak
bergantung pada waktu) “realtime”
(waktu yang sesuai saat kejadian).
Barnes (Griffin, 2012)
menjelaskan bahwa computer
mediated communication mencakup
teknologi yang memfasilitasi
komunikasi dan sharing informasi
secara interaktif melalui jaringan
komputer, seperti email, discussion
groups, newsgroup, chat, instant
message, dan halaman web.
Computer mediated communication
dapat mendukung komunikasi
interpersonal dari satu orang ke
banyak penerima pesan yang lain
dengan menggunakan saluran
komunikasi yang potensial.
Facebook merupakan media
komunikasi yang utama bagi
komunitas Backpacker Medan.
Facebook memberikan ruang
komunikasi yang memudarkan jarak
dan waktu bagi komunitas karena
keterbatasan mereka untuk bertemu
secara langsung. Komunikasi intensif
dan interaktif yang terjalin melalui
facebook menjadikan komunitas ini
bertahan sejak awal terbentuk, dan
sejalan dalam mewujudkan visi misi
mereka.
Informasi yang diunggah dalam
facebook komunitas Backpacker
Medan merupakan akivitas yang
terbaru dari komunitas tersebut. Hal
ini menjadi daya tarik tersendiri bagi
akun pengguna lainnya. Teknik dan
tata cara baru dalam penyampaian
dan pertukaran pesan, yang benar-
benar mengedepankan prinsip
newness merupakan salah satu
kelebihan dari new media
(Sugihartati, 2014). Harapannya
adalah pertukaran informasi wisata
yang terjadi dalam komunikasi
melalui Facebook Backpacker
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[21]
Medan akan menjadi daya tarik besar
bagi masyarakat untuk semakin
sering mengakses kedua jejaring
sosial tersebut untuk mengetahui
lebih banyak tentang informasi
pariwisata di Sumatera Utara.
Konten album foto, files dalam
facebook telah menyajikan informasi
secara online dalam rentang yang
sangat luas sehingga informasi pesan
yang disampaikan dapat dimaknai
dengan mudah dalam perspektif yang
telah disaring melalui tampilan foto,
dan ketahanan informasi bersifat
permanen. Hal ini ditegaskan oleh
DeVito (2013) bahwa pesan verbal
dan nonverbal dalam komunikasi
bermedia adalah berupa kata, foto,
video, dan pesan audio serta
ketahanan pesan tersebut relatif
bersifat permanen. Pesan relatif
bersifat permanen dalam artian bisa
dilihat kapan saja tanpa ada batasan
waktu.
Pesan yang disampaikan melalui
media sosial cenderung lebih cepat
dibandingkan media lainnya
(Cahyani, 2014). Keberadaan akun
Facebook Backpacker Medan
menyebabkan masyarakat memiliki
kecenderungan intensif melakukan
pola komunikasi bermedia komputer.
Hal ini menunjukkan kecenderungan
masyarakat informasi tidak lagi pasif
dalam pencarian informasi,
sebaliknya menjadi reaktif, interaktif,
sangat cerdas dan penuh
pertimbangan yang matang dalam
melihat sebuah produk dan jasa
sebelum melakukan pembelian
(Prisgunanto, 2014). Oleh sebab itu,
pengemasan konten yang benar dan
menarik sebagai informasi wisata
merupakan faktor yang sangat
penting dalam penggunaan facebook
komunitas Backpacker Medan untuk
mendukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara. Harapannya adalah,
informasi yang benar dan menarik
dalam kedua akun jejaring sosial
komunitas tersebut akan mening-
katkan jumlah wisatawan di
Sumatera Utara.
Pertukaran informasi alami
secara online tanpa adanya
pertemuan langsung terjadi pada
Facebook komunitas Backpacker
Medan, selain itu pemberi informasi
memberikan rujukan informasi
kepada seluruh penerima, baik yang
mencari informasi tersebut maupun
yang tidak mencari informasi
tersebut (Sari, 2012). Orang yang
menerima rekomendasi berdasarkan
komunikasi electronic word of mouth
cenderung lebih yakin bahwa
pemberi rekomendasi berbicara jujur
dan tidak memiliki motif
tersembunyi (Christy dan Lee, 2010).
Kesamaan minat menjadikan
komunitas Backpacker Medan
bersedia memberikan informasi yang
benar secara rinci tentang objek-
objek wisata yang ada di Sumatera
Utara. Jenis komunikasi dengan
pesan non-komersial ini memiliki
tingkat persuasif yang lebih tinggi
dengan kepercayaan dan kredibilitas
yang tinggi pula (Jalilvand, 2012).
Saat ini, kehadiran media sosial
menjadikan electronic word of mouth
tidak hanya terjadi di antara orang
yang saling tidak mengenal, tetapi
juga terjadi di antara orang-orang
yang sebelumnya sudah saling
mengenal (Erkan dan Evans, 2014).
Meskipun electronic word of mouth
lemah karena ketiadaan pertemuan
langsung (face to face), electronic
word of mouth lebih kuat karena
responnya yang bersifat segera dan
dapat diakses oleh semua orang
(Thurau, et al., 2004). Hal ini terjadi
pada Facebook Backpacker Medan.
Akun pengguna yang bergabung di
dalam jejaring sosial tersebut tidak
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[22]
saling mengenal pada awalnya,
namun bisa menjadi seperti saudara
atau teman yang sudah kenal lama
akibat interaksi pertukaran informasi
wisata yang terjadi di dalam
facebook komunitas Backpacker
Medan.
Facebook merupakan medium
komunikasi yang kaya karena
memiliki empat dimensi yang
dituliskan Knapp dan Daly sebagai
berikut: (1) jumlah sistem tanda yang
dimiliki, (2) kesegeraan umpan balik,
(3) penggunaan bahasa yang natural
atau nonformal, dan (4) personalisasi
pesan (tingkatan dimana pesan bisa
dibuat untuk ditujukan kepada
individu-individu yang spesifik)
(Cahyani, 2014). Peran facebook
sebagai sarana komunikasi ini
didukung oleh ketersediaan fitur dan
fasilitas yang ada di dalamnya.
Berdasarkan wawancara dengan
informan serta observasi terhadap
akun Facebook Backpacker Medan,
fitur-fitur dan fasilitas di facebook
yang sangat membantu interaksi
komunitas Backpacker Medan
diantaranya, yaitu:
(1) facebook berita terkini (status
update). Fitur ini adalah salah satu
fitur yang dimiliki facebook untuk
menarik perhatian para
penggunanya. Fitur ini digunakan
untuk melakukan unggahan pesan,
baik berupa teks, gambar, link
ataupun video (Putra, 2014). Status
update ini dapat dilihat oleh akun
pengguna lainnya yang ada di
facebook, tergantung pada
pengaturan yang digunakan pemilik
akun.
(2) Friends (pertemanan). Fitur ini
digunakan oleh pengguna facebook
untuk mencari dan mendapatkan
teman baru (akun pengguna facebook
lainnya). Pengguna facebook dapat
menemukan akun facebook yang
dicarinya hanya dengan mengetikkan
kata pencarian (nama orang, grup,
berdasarkan lokasi, nama sekolah,
dan lain sebagainya) (Putra, 2014).
Temuan penelitian telah mema-
parkan bahwa informan kedua dan
keempat menyatakan bahwa
pengalaman pertamanya mengenal
komunitas Backpacker Medan adalah
karena menggunakan fitur yang
dimiliki facebook ini. Kata pencarian
„backpacker‟ telah membantu kedua
informan tersebut menemukan akun
grup Facebook Backpacker Medan.
(3) Suka (like). Fitur ini dibuat oleh
pihak Facebook sebagai bagian dari
mekanisme atau cara untuk
menyampaikan pesan „positive
feedback‟ dari akun pengguna
lainnya yang melihat kiriman update
dari suatu akun facebook (Putra,
2014). Like biasanya digunakan
untuk memberikan respon positif
kepada orang yang membuat
unggahan terbaru misalnya status,
foto, video, dan lain sebagainya.
Semakin banyak yang menyukai
(memberikan like), maka unggahan
terbaru tersebut akan menjadi berita
terpopuler.
Temuan penelitian telah
menguraikan manfaat fitur like pada
facebook ini dalam interaksi
komunitas Backpacker Medan di
akun facebook komunitas tersebut.
Informan pertama dalam penje-
lasannya juga telah menginfor-
masikan bahwa fitur like ini telah
dimanfaatkan untuk menentukan
slogan Backpacker Medan.
Keterbatasan ruang dan waktu
seluruh anggota komunitas
Backpacker Medan telah menjadikan
akun grup Facebook Backpacker
Medan sarana untuk diskusi dan
menemukan solusi dari berbagai
kepentingan yang berkaitan dengan
komunitas ini, termasuk dalam
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[23]
menentukan slogan maupun logo
Backpacker Medan. Sifat komunitas
ini yang terbuka untuk umum juga
membuat fitur like ini sangat
berperan dalam pengambilan
keputusan di komunitas Backpacker
Medan. Seluruh anggota baik yang
berdomisili di Sumatera Utara
maupun dari luar Sumatera Utara;
anggota komunitas Backpacker
Medan maupun anggota komunitas
lainnya berhak memberikan respon
dengan membuat like pada
kemungkinan pilihan yang perlu
ditetapkan dalam komunitas
Backpacker Medan. Jumlah like
terbanyak yang akan menjadi
keputusan bersama.
(4) Pesan dan Messenger. Facebook
mempunyai fitur pesan dan
messenger. Fitur ini digunakan untuk
mengirimkan pesan kepada akun
pengguna lainnya secara pribadi.
Pengguna juga dapat mengirimkan
pesan kepada banyak akun pengguna
lainnya sekaligus. Pesan yang
dikirimkan dan diterima akan
tersimpan oleh kedua belah pihak,
yaitu pengirim dan penerima (Putra,
2014). Apabila pesan ini dihapus
oleh salah satu pihak, maka pesan
tersebut masih ada di pihak lainnya.
Facebook juga memiliki fitur
messenger yang penggunaannya
sama dengan aplikasi populer di
smartphone seperti WhatsApp, Line,
BBM.
Fasilitas pada messenger mem-
buat percakapan lebih interaktif dan
„hidup‟, sebagaimana telah diuraikan
dalam temuan penelitian yang
diperoleh dari informan kedua.
Interaksi dalam komunikasi dunia
virtual semakin menarik karena
fasilitas messenger dilengkapi
dengan sticker, emoticon, dan video
call. Perbedaan waktu dan jarak
tidak lagi menjadi penghalang dalam
komunikasi diantara akun pengguna
facebook. Facebook messenger saat
ini juga sudah dilengkapi dengan
fasilitas „last seen at….‟ dan juga
menampilkan lokasi pengguna saat
mengirim atau menerima pesan
(tergantung pengaturan yang
digunakan). Dokumen dan foto yang
bersifat pribadi juga dapat
dikirimkan ke pengguna facebook
lainnya melalui messenger.
Percakapan yang lebih pribadi juga
dapat dilakukan melalui messenger.
Kelima informan menyatakan bahwa
wisatawan yang ingin berkunjung ke
Sumatera Utara lebih sering memulai
percakapan dan pertanyaan tentang
objek-objek wisata di Sumatera
Utara melalui messenger. Messenger
meminimalisir perasaan „enggan‟,
„malu‟ yang dialami anggota baru
yang bergabung di akun grup
Facebook Backpacker Medan untuk
memulai pembicaraan dengan teman-
teman Backpacker Medan yang
sudah lebih dulu bergabung dalam
akun grup Facebook Backpacker
Medan. Hal inilah yang dijelaskan
oleh seluruh informan sebagai
kemudahan dan daya tarik yang
dimiliki facebook dalam
berkomunikasi.
(5) Pemberitahuan (notification).
Pemberitahuan adalah salah satu fitur
yang dimiliki facebook yang
memberikan informasi berupa pesan
pemberitahuan yang muncul pada
bagian atas toolbar, biasanya berupa
pop-up berwarna merah (Putra,
2014). Seluruh aktivitas baru dalam
akun grup Facebook Backpacker
Medan dapat diketahui oleh seluruh
anggota dalam akun tersebut.
Penyebaran informasi sepeti ini
sangat efektif dalam menjangkau
seluruh anggota komunitas yang
berasal dari berbagai daerah.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[24]
Seluruh informan juga menyatakan
bahwa fitur pemberitahuan dalam
facebook ini merupakan fitur andalan
yang memudahkan untuk menyam-
paikan informasi kepada seluruh
akun pengguna dalam akun grup
Facebook Backpacker Medan.
Informan pertama dalam penelitian
ini juga menjelaskan bahwa di awal
pembuatan akun grup Facebook
Backpacker Medan ini, mereka
sering melalukan unggahan dengan
berbagai aktivitas. Harapannya
adalah dengan semakin banyak
pemberitahuan masuk ke akun
pengguna lainnya, maka semakin
banyak respon terhadap aktivitas
unggahan tersebut dan akun grup
Facebook Backpacker Medan
semakin populer. Akun grup
Facebook Backpacker Medan
semakin populer dengan harapan
semakin banyak yang bergabung dan
pada akhirnya informasi pariwisata
Sumatera Utara menyebar semakin
luas, semakin dikenal, sebagaimana
misi komunitas Backpacker Medan.
(6) Tag photo. Fasilitas tag foto atau
dapat kita tuliskan dengan penanda
foto, juga merupakan salah satu
andalan dari peran facebook dalam
mendukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara. Foto yang diunggah
di akun grup Facebook Backpacker
Medan dapat disebarkan oleh akun
pengguna lainnya dalam akun grup
Facebook Backpacker Medan ke
akun pengguna facebook lainnya
hanya dengan memberi tanda dalam
foto tersebut. Memberi tanda suatu
foto dengan akun pengguna facebook
lainnya membuat seluruh jaringan
akun pengguna facebook dalam akun
yang diberi tanda juga dapat melihat
foto tersebut beserta komentar dan
informasi yang ada di dalamnya
(Putra, 2014).
Temuan penelitian telah
menjelaskan bahwa informasi terkait
objek wisata yang diunggah dalam
akun grup Facebook Backpacker
Medan sangat bermanfaat bagi trip
organizer dalam membantu
pekerjaan mereka. Trip organizer
memanfaatkan informasi yang
diperoleh dari akun grup Facebook
Backpacker Medan dan menye-
barkan informasi tersebut kembali
namun dalam bentuk penawaran jasa
yang berorientasi pada keuntungan.
Komunitas Backpacker Medan
menyebarkan informasi terkait
objek-objek wisata yang potensial di
Sumatera Utara atas dasar
keprihatinan terhadap potensi wisata
yang belum dieksplorasi pemerintah,
serta secara sukarela menjadi tuan
rumah bagi wisatawan yang ingin
berkunjung ke wilayah Sumatera
Utara, sebagaimana yang
disampaikan oleh informan ketiga.
Fenomena perilaku informasi ini
sangat menarik untuk dikaji,
terutama dalam era digital seperti
saat ini.
Perilaku informasi kaum muda di
era digital dikategorikan dalam 3
(tiga) tipe oleh Eliza T. Dresang dan
Koh Kyungwon (Sugihartati, 2014).
Ketiga tipe tersebut, yaitu: (1)
perubahan wujud penelusuran
informasi dan pembelajaran; (2)
perubahan perspektif; (3) perubahan
batasan. Secara garis besar,
karakteristik yang berkaitan dengan
perilaku tipe tiga sebagai berikut: (a)
memperoleh akses instan pada
ketersediaan informasi yang luas; (b)
penelusuran, berbagi, dan penciptaan
informasi secara kolaboratif; (c)
pembentukan tipe jaringan sosial
baru; dan (d) partisipasi dalam
komunitas.
Perilaku informasi kaum muda
era digital tipe perubahan batasan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[25]
menjelaskan perubahan lingkungan
akses informasi dalam era digital
yang dikarakteristikkan oleh akses
cepat dan luas pada informasi, serta
partisipasi mereka dalam lingkungan
informasi. Jenkins (2006)
menyebutnya fenomena budaya
partisipatoris, “budaya dimana
penggemar dan konsumen lainnya
diundang untuk berpartisipasi secara
aktif dalam penciptaan dan sirkulasi
konten baru” (Dresang dan
Kyungwon, 2009).
Pertama, kaum muda pada
umumnya memperoleh akses yang
cepat pada ketersediaan informasi
yang luas. Kaum muda bukan hanya
bisa memperoleh berbagai informasi
tentang hobi atau apa yang menjadi
kesukaan mereka seketika, tetapi
lebih dari itu mereka juga bisa meng-
update informasi setiap saat melalui
hubungan jejaring yang mereka
kembangkan di antara sesama
komunitas cyberspace.
Kedua, di zaman digital ini, salah
satu pola perilaku yang dikembang-
kan kaum muda di dunia maya,
diantaranya penelusuran, berbagi,
dan penciptaan informasi secara
kolaboratif. Talja dan Hansen (2008)
menjelaskan bahwa perilaku
informasi kolaboratif dibangun dari
membagi informasi secara tidak
sengaja hingga berkolaborasi,
mencari informasi, menyeleksi
informasi, interpretasi, dan sintesis
(Dresang dan Kyungwon, 2009).
Kaum muda di zaman digital
berkolaborasi bukan saja untuk
memecahkan permasalahan, melain-
kan disaat yang bersamaan juga
melakukan sirkulasi dan berbagi
informasi serta bertukar foto. Pola
perilaku ini terjadi dalam komunitas
Backpacker Medan. Seorang anggota
Backpacker Medan yang menemu-
kan lokasi wisata yang sangat indah
namun belum dikenal lalu meng-
unggah foto objek wisata tersebut ke
akun grup Facebook Backpacker
Medan, dan dalam hitungan detik
informasi tersebut telah menyebar ke
berbagai komunitas dalam ruang
virtual.
Ketiga, dengan dukungan
perangkat teknologi informasi dan
komunikasi yang canggih serta
kemampuan kaum muda meng-
eksplorasi ruang virtual, maka
kemudian terjadi pembentukan tipe
jaringan sosial baru. Kaum muda
mengembangkan kolaborasi dengan
sesama anggota komunitasnya
melalui ruang virtual. Ito et al.
menjelaskan bahwa terdapat dua tipe
partisipasi online pada kaum muda
yaitu (1) dikendalikan oleh hubungan
pertemanan; dan (2) partisipasi yang
didorong oleh minat (Sugihartati,
2014). Umumnya kesamaan minat
yang mendasari partisipasi online
karena adanya kepentingan untuk
membentuk struktur guna memper-
lebar lingkaran sosial individu.
Komunitas Backpacker Medan
sebagai contoh karakteristik tersebut.
Sekumpulan orang-orang dengan
kesamaan minat jalan-jalan
berkumpul dalam satu komunitas dan
membuat akun grup Facebook
Backpacker Medan sebagai sarana
komunikasi mereka yang utama.
Keempat, intensitas kaum muda
beraktivitas dengan berbagai macam
informasi di dunia virtual, tidak
hanya mempengaruhi sikap kritis
mereka tetapi juga partisipasi kaum
muda tersebut dalam komunitas yang
lebih luas, termasuk dalam kegiatan
sosial politik sebagai bagian dari
masyarakat madani. Kelima
informan yang merupakan anggota
komunitas Backpacker Medan telah
menguraikan karakteristik keempat
ini sebagai alasan utama mereka
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[26]
bergabung dalam komunitas tersebut.
Kepedulian dan keprihatinan mereka
terhadap potensi wisata yang sangat
potensial namun belum dieksplorasi
secara maksimal oleh pemerintah,
mendorong mereka untuk memper-
kenalkan potensi wisata daerah
tersebut ke dunia luar, hingga pada
akhirnya penduduk di sekitar objek
wisata tersebut menerima manfaat
dari meningkatnya kunjungan
wisatawan ke daerah tersebut.
Era digital memungkinkan ada
forum tidak nyata, bahwa tempat
bertemunya pembicara dengan
pendengar dalam waktu bersamaan
sehingga pola mereka satu dengan
yang lain saling mengisi dan
memperbaiki hubungan. Hal tersebut
menekankan bahwa kesalahan
interpretasi dalam pemaknaan pesan
informasi diprediksikan bisa
berkurang. Terlebih diketahui, bahwa
salah satu faktor masalah
berkomunikasi terletak pada faktor
gangguan (noise) bisa teratasi dan
bukan menjadi masalah berarti dalam
proses komunikasi tersebut
(Prisgunanto, 2014). Kelima
informan utama dalam penelitian ini
juga menyatakan bahwa selama ini
tidak ada gangguan yang berarti
dalam pola komunikasi komunitas
Backpacker Medan melalui face-
book, karena ikatan kekeluargaan
berdasarkan kesamaan minat ini
lebih tinggi dari noise apapun.
Perkembangan teknologi, khusus-
nya jejaring sosial, kini telah
membentuk pola promosi pariwisata
yang berbeda dibandingkan beberapa
waktu sebelumnya. Media massa
konvensional tidak lagi menjadi
sumber bacaan yang menarik setelah
internet hadir dengan kemampuan
digitalnya dalam menyampaikan
informasi dengan lengkap dan
interaktif. Gurning (2004)
menuliskan bahwa pengalaman
pribadi merupakan bentuk promosi
tersulit namun bisa menjadi cara
terbaik yang mempengaruhi komu-
nikasi word of mouth. Online word of
mouth atau lebih dikenal dengan
electronic word of mouth melalui
Facebook Backpacker Medan
membantu penyebaran informasi
terkait objek wisata Sumatera Utara
ke dunia luar.
Informasi yang tadinya bersifat
“one to many” telah berubah menjadi
“many to many” (Julianto dan
Subrata, 2014). Isi media yang
dahulu cenderung seragam, sekarang
menjadi beragam dan customized.
Teknologi di bidang informasi dan
komunikasi telah menghilangkan
batas antara dunia virtual dengan
dunia nyata. Penggunaan smartphone
yang dilengkapi dengan fitur
mengakses dunia virtual, bukan saja
menyebabkan lahirnya alienasi dan
isolasi sosial di kalangan masyarakat,
melainkan juga menyebabkan biaya
konsumtif untuk kegiatan wisata
meningkat pesat. Hal inilah yang
menjadi salah satu alasan mengapa
facebook bisa digunakan sebagai
media promosi pariwisata.
Facebook Backpacker Medan
memungkinkan penggunanya berpar-
tisipasi secara aktif, sehingga
memberikan kesempatan pengguna
menjadi kontributor. Hal ini
mengakibatkan kaburnya batas
antara sumber dan penerima. Jika
sebelumnya publik hanya pasif
sebagai konsumen media, kini publik
memainkan peran yang baru sebagai
penyedia informasi. Pada titik inilah
berlangsung emansipasi publik, dan
hal ini juga bisa berlaku dalam
kegiatan promosi pariwisata.
Sulianta (2014) menjelaskan
bahwa salah satu keuntungan dari
fungsi media sosial sebagai media
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[27]
komunikasi adalah hadirnya sarana
promosi dengan bentuk yang baru.
Informasi yang berkaitan dengan
kegiatan wisata tersebar sangat cepat
melalui dunia virtual. Media sosial
menyediakan saluran baru untuk
produksi dan sirkulasi makna dalam
menjelaskan imajinasi akan
pengalaman wisata (Munar dan
Jacobsen, 2014). Hal ini dapat
dimaknai bahwa facebook sebagai
bagian dari media sosial relevan
menjadi bagian dari media
pemasaran kegiatan pariwisata yang
mempengaruhi pemilihan tujuan
wisata dan bisnis di bidang
pariwisata.
Aktivitas dalam media sosial
menimbulkan artikulasi berharga dari
interaksi dan dukungan emosional
yang menjadi pertimbangan dasar
dalam pengambilan keputusan saat
merencanakan kegiatan wisata.
Menurut Kepala Bidang Pemasaran
Pariwisata Dinas Budaya dan
Pariwisata Provinsi Sumatera Utara,
kelak sebagian dari fungsi travel
agent tidak ada lagi, terutama bagi
wisatawan yang bukan bersifat
rombongan. Kehadiran internet telah
memperbesar kemungkinan pembeli
mengumpulkan informasi tentang
produk maupun pengalaman
konsumen terdahulu sebelum
membuat keputusan untuk membeli
suatu produk maupun jasa tersebut
(Thurau, et al., 2004). Oleh sebab itu
Backpacker Medan hendaknya selalu
mengunggah informasi yang benar
dan menarik dalam facebook agar
wisatawan terbantu dengan informasi
yang ada di dalam kedua jejaring
sosial tersebut. Fenomena tersebut
memperlihatkan bahwa kegiatan
wisata saat ini telah menjadi
kebutuhan primer bagi manusia.
Bentuk promosi terhadap
pariwisata di Sumatera Utara yang
dilakukan komunitas Backpacker
Medan melalui facebook cenderung
terdapat pada konten foto. Temuan
penelitian telah memberikan
dokumentasi unggahan konten foto
Pulau Mursala dengan aktivitas
orang yang sedang menikmati
keindahan alam lautan dilator-
belakangi air terjun yang indah. Foto
tersebut mampu menarik perhatian
pengguna facebook yang bergabung
dalam akun grup facebook komunitas
Backpacker Medan yang memuncul-
kan minat terhadap objek wisata
tersebut. Minat memotivasi
seseorang untuk mencari informasi
tentang objek wisata Pulau Mursala
tersebut. Hasrat yang dibangkitkan
oleh informasi terkait Pulau Mursala
tersebut menimbulkan keputusan
untuk pergi mengunjungi objek
wisata tersebut.
Files dan album foto yang
diunggah dalam akun grup Facebook
Backpacker Medan telah membang-
kitkan perhatian kaum muda maupun
masyarakat yang aktif di dunia
virtual. Event yang dilaksanakan oleh
komunitas Backpacker Medan pun
mampu membangkitkan perhatian
masyarakat di Kota Medan pada
umumnya terhadap aktivitas
komunitas tersebut. Informasi yang
disampaikan melalui aktivitas akun
grup Facebook Backpacker Medan
pada akhirnya mampu membangkit-
kan minat para akun pengguna di
dalamnya untuk mengetahui lebih
jauh tentang kegiatan komunitas
tersebut.
Aktivitas komunitas Backpacker
Medan telah membangkitkan
perhatian dan minat wisatawan,
sehingga hasrat mereka pun muncul
untuk mengunjungi objek wisata di
Sumatera Utara setelah melihat
dokumentasi kegiatan trip
Backpacker Medan. Hasrat tersebut
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[28]
menimbulkan keinginan untuk
mencari tahu lebih lanjut tentang
informasi selengkapnya tentang
objek wisata yang ingin dikunjungi.
Foto yang diunggah dalam akun
Facebook Backpacker Medan
mampu membangkitkan perhatian
masyarakat yang aktif menggunakan
aplikasi facebook . Informasi lokasi
objek wisata yang disampaikan
dalam foto tersebut pada akhirnya
mampu membangkitkan minat para
akun pengguna untuk mengetahui
lebih jauh tentang objek wisata
tersebut. Hasrat masyarakat yang
melihat keindahan foto melalui akun
Facebook Backpacker Medan pun
muncul, karena pesona yang
ditampilkan dalam foto tersebut.
Hasrat tersebut menimbulkan
keinginan untuk mencari tahu lebih
lanjut informasi selengkapnya
tentang objek wisata itu. Pada tahap
inilah, Backpacker Medan berfungsi
sebagai tuan rumah yang baik bagi
siapa saja yang ingin mengunjungi
Sumatera Utara, sebagaimana isi dari
visi komunitas tersebut.
Nilai keuntungan dari penggunaan
media elektronik dalam pemasaran
adalah media elektronik akan selalu
ada, dimana saja dan kapan saja,
dengan demikian maka media
elektronik ini bisa dikatakan sarana
pemasaran tanpa henti dan terbatas
oleh kekuatan apapun (Prisgunanto,
2014). Mereka yang menggunakan
media sosial (social media) lebih pro
aktif dan peka dengan segala isu
yang beredar di jejaring sosial.
Perhatian yang besar dengan hal
ihwal di jejaring sosial ini
menjadikan dunia digital lebih
interaktif dalam memaknai hubungan
antar manusia (Prisgunanto, 2014).
Hal ini sejalan dengan kenyataan saat
ini terkait promosi pariwisata di
media sosial yang kian berkembang
pesat. Penggunaan facebook dengan
tepat akan meningkatkan peran
komunitas Backpacker Medan dalam
mendukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara. Unggahan foto,
video, ataupun informasi seputar
objek wisata secara rutin diharapkan
dapat mendukung pemerintah
Sumatera Utara dalam mempromosi-
kan objek wisata di Sumatera Utara.
Bentuk bahasa komunikasi visual
berupa pengolahan pesan-pesan ini
dikenal juga dengan desain
komunikasi visual. Pesan yang akan
disampaikan dapat berupa informasi
terkait produk, jasa atau gagasan
yang nantinya di sampaikan kepada
target audiensi, dalam upaya
peningkatan promosi, peningkatan
citra, dan publikasi sebuah program
atau kegiatan untuk tujuan sosial atau
komersial, dari individu atau
kelompok yang ditujukan kepada
individu atau lainnya. Sukmahati
(2013) dalam penelitiannya menemu-
kan bahwa pengaruh intensitas,
durasi dan isi pesan yang merupakan
sub variabel dari komunikasi visual
bila dilihat secara keseluruhan
memiliki pengaruh terhadap pemben-
tukan kognitif konsumen yang pada
akhirnya memiliki pengaruh terhadap
minat beli konsumen. Hal ini
menegaskan bahwa peran pengelola-
an bahasa visual dalam konten yang
diunggah di facebook Komunitas
Backpacker Medan erat kaitannya
dengan upaya mendukung promosi
pariwisata di Sumatera Utara.
Informasi yang lengkap, dan
kesediaan anggota Backpacker
Medan secara sukarela untuk
menjadi pendamping bagi wisatawan
yang ingin berkunjung ke objek
wisata di Sumatera Utara membuat
wisatawan berada pada tahap
pengambilan keputusan. Keputusan
untuk pergi melakukan wisata ke
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[29]
objek wisata di Sumatera Utara
dengan mempedomani informasi
yang diberikan oleh Backpacker
Medan, merupakan tindakan secara
nyata oleh wisatawan untuk
melakukan kegiatan wisata di
Sumatera Utara.
Sumber: Facebook Backpacker Medan
Gambar 1. Promosi Wisata Melalui Foto
di Akun Grup Facebook Backpacker
Medan
Keterbatasan anggaran pemerin-
tah Provinsi Sumatera Utara dalam
mengakomodir kegiatan promosi
pariwisata Sumatera Utara,
membutuhkan dukungan dan
kerjasama dari pihak swasta dan
masyarakat. Program tahunan Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Sumatera Utara bidang Pemasaran
terbatas hanya pada pelaksanaan
event tahunan Festival Danau Toba
dan pameran wisata di luar Provinsi
Sumatera Utara. Kerjasama dari
berbagai pihak akan sangat
membantu pengembangan kondisi
pariwisata di Sumatera Utara yang
kian hari semakin memprihatinkan
(Badan Penelitian dan Pengem-
bangan Provinsi Sumatera Utara,
2011), dan hal ini diakui pula oleh
Kepala Bidang Pemasaran Dinas
Kebudayaan dan Pariwisata Provinsi
Sumatera Utara.
Pemasaran dengan menggunakan
komunikasi online dari mulut ke
mulut (electronic word of mouth)
penting pada saat ini disebabkan
persaingan iklan terus meningkat,
biaya operasional media tradisional
semakin meningkat, dengan iklan
terkadang orang merasa dibohongi,
selain itu teknologi semakin
mempercepat pencapaian word of
mouth seperti SMS, email, chatting,
blog dan juga online networking
(Hughes, 2007). Publisitas (publicity)
merupakan salah satu dari 4 (empat)
variabel alat promosi, yakni aktivitas
untuk mempromosikan perusahaan
atau produknya dengan memuat
berita mengenai subjek itu tanpa
dibayar oleh sponsor (Rangkuti,
2009). Komunitas Backpacker
Medan, telah melakukan publikasi
objek wisata di Sumatera Utara
melalui akun Facebook Backpacker
Medan dan akun Backpacker Medan.
Kehadiran sosial media berbasis
internet membuat orang dengan
mudah berinteraksi dalam konteks
manusia, dalam konteks jaringan
sosial antara orang dengan orang
atau orang dengan lembaga. Alhasil
perusahaan tidak perlu riset, cukup
berinteraksi langsung dengan
konsumen mereka mengetahui apa
yang diinginkan konsumennya
(Prisgunanto, 2014). Komunitas
Backpacker Medan dapat menjadi
salah satu alternatif yang mampu
mendukung pemerintah Sumatera
Utara dalam promosi pariwisata.
Informasi dan pengetahuan medan
area objek wisata di Sumatera Utara
didukung dengan kemampuan peng-
gunaan facebook maupun sebagai
media komunikasinya, diharapkan
promosi pariwisata di Sumatera
Utara mengalami peningkatan yang
signifikan, bila Pemerintah Provinsi
Sumatera Utara mampu meng-
gandeng komunitas Backpacker
Medan dan mengelola semua potensi
ini dengan baik.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[30]
Simpulan
Peran facebook komunitas
Backpacker Medan dalam men-
dukung promosi pariwisata di
Sumatera Utara, sebagai berikut: (1).
Ruang publik virtual yang tersedia
melalui jejaring sosial Facebook,
merupakan ranah publik yang
mampu mendukung promosi pari-
wisata. Interaksi yang terjadi di
antara komunitas Backpacker Medan
dalam akun grup facebook mampu
meningkatkan aktivitas wisata dalam
masyarakat, sekaligus memper-
kenalkan objek wisata yang ada di
Sumatera Utara. (2). Jejaring sosial
dapat menjadi alat pemasaran
pariwisata. Hal ini dikarenakan sifat
interaktivitas dari media baru yang
memungkinkan setiap orang bertukar
informasi tanpa terbatas ruang dan
waktu. Komunitas yang mengguna-
kan jejaring sosial harus memiliki
pesan (konten) yang menarik dan
memudahkan publik untuk mela-
kukan aksi nyata. Keberhasilan
jejaring sosial ini sebagai media
pemasaran selain harus mencakup
gerakan online juga harus didukung
dengan kegiatan offline secara tatap
muka langsung. (3). Facebook
memiliki kemampuan yang sangat
baik sebagai media promosi
pariwisata. Jejaring sosial ini
memiliki ciri khas tersendiri dalam
perannya sebagai media promosi
pariwisata. Facebook mampu
memberi ruang komunikasi yang
interaktif bagi penggunanya. Selain
itu fitur album foto dalam facebook
memungkinkan informasi tentang
satu objek wisata diperoleh dengan
lengkap secara kolektif.
Daftar Pustaka
Agustiningsih, G., dan Anindhita, W.
(2014). Media Sosial Sebagai
Fungsi Pengawasan Dalam
Praktek Bernegara Di Indonesia.
Dalam Boer, R.F (editor). “Masa
Depan Komunikasi, Masa Depan
Indonesia Demokrasi Dalam
Ruang Virtual” h.84-113.
Jakarta, Ikatan Sarjana
Komunikasi Indonesia.
Bizirgiannia, I., dan Dionyso-
pouloub, P. (2013).The influence
of tourist trends of Youth
Tourism through Social Media
(SM) dan Information and
Communication Technologies
(ICTs). Procedia-Social and
Behavioral Sciences 73 (2013)
652–660. Elsevier Ltd.
Bubas, G. (2001). Computer
mediated communication
theories and phenomena: Factors
that influence collaboration over
the Internet. Paper submitted for
the 3rd CARNet Users
Conference, Zagreb. Diunduh 01
Mei 2015, dari
www.pdfdrive.org/computer-
mediated-communication-
theories-and-citeseer-
e11004386.html
Bungin, B. (2007). Penelitian
Kualitatif: Komunikasi,
Ekonomi, Kebijakan Publik, dan
Ilmu Sosial Lainnya. Jakarta,
Kencana.
Cahyani, D.Y. (2014). Dari Media
Sosial Indonesia Bergerak.
Dalam Boer, R.F (editor). “Masa
Depan Komunikasi, Masa Depan
Indonesia Demokrasi Dalam
Ruang Virtual” h.26-44. Jakarta,
Ikatan Sarjana Komunikasi
Indonesia.
Christy, M.K.C., dan Lee, M.K.O.
(2010). What Drives Consumers
to Spread Electronic Word of
Mouth in Online Consumer-
Opinion Platforms. Article Of
Decision Support System.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[31]
DeVito, J. A. (2013). The
Interpersonal Communication
Book. 13th edition. New York,
Pearson Education, Inc.
Dresang, E.T., dan Koh, K. (2009).
Radical Change Theory, Youth
Information Behavior, and
School Libraries. Library Trends,
Volume 58, Number 1, Summer
2009, pp. 26-50 (Article).
Diakses dari http://muse.jhu.edu.
Effendy,O.U. (2004). Ilmu
Komunikasi Teori dan Praktek.
Bandung, Remaja Rosdakarya.
Erkan, I. dan Evans, C. (2014). The
Impacts of Electronic Word of
Mouth in Social Media on
Consumers Purchase Intentions.
Paper presented at the
International Conference on
Digital Marketing on 3rd-4th
June in Colombo, Sri Lanka.
Diunduh pada 11 Mei 2015 dari
tiikm.com/publication/ICODM-
2014 Online-Proceeding-
Book.pdf.
Fotis, J., Buhalis, D., dan Rossides,
N. (2011). Social media impact
on holiday travel: The case of the
Russian and the FSU markets.
International Journal of Online
Marketing, 1(4), 1-19.
Griffin, E.M. (2012). A First look at
Communication Theory Eigth
Edition, New York, McGraw-
Hill.
Gurning, M. (2014). Kepemilikan
Media Sebagai Sebuah Identitas.
Dalam Boer, R.F (editor). “Masa
Depan Komunikasi, Masa Depan
Indonesia Demokrasi Dalam
Ruang Virtual” h. 289-307.
Jakarta: Ikatan Sarjana
Komunikasi Indonesia.
Hapsari, D.R. (2014). Peran Media
Baru Dalam Perkembangan
Gerakan Sosial. Dalam Boer, R.F
(editor). “Masa Depan
Komunikasi, Masa Depan
Indonesia Demokrasi Dalam
Ruang Virtual” h. 114-127.
Jakarta, Ikatan Sarjana
Komunikasi Indonesia.
Hughes, M. (2007). Buzz Marketing.
Jakarta, Elex Media Komputindo.
Juju, D., dan Sulianta, F. (2010).
Branding Promotion With Social
Network. Jakarta, PT Elex Media
Komputindo.
Milanoa, R., Baggioc, R., dan
Piattellib, R. (2011). The effects
of online social media on tourism
websites. 18th International
Conference on Information
Technology and Travel and
Tourism January 26-28, 2011-
Innsbruck, Austria. Diunduh
pada tanggal 11 Januari 2015
dariwww.researchgate.net/public
ation/221357525_The_effects_of
_online_social_media_on_touris
m_websites.
Mulyadi, M. (2012). Riset Desain
Dalam Metodologi Penelitian.
Jurnal Studi Komunikasi dan
Media, Vol. 16 No. 1.
Munar, A.M. dan Jacobsen, J.K.
(2014). Motivations for Sharing
Tourism Experiences Through
Social Media. Journal Tourism
Management, 43,46-54. Diunduh
tanggal 01 Mei 2015 dari
www.sciencedirect.com/science/
article/pii/s0261517714000132.
Pan, B., MacLaurin, T., dan Crotss,
J, C. (2007). Travel blogs and the
implications for destination
marketing. Journal of Travel
Research, 46(1), 35-45.
Putra, E. D. (2014). Mendalami dan
Menguak Jejaring Sosial.
Serpong, Universitas Surya
Press.
Prajanto, Nunung, dan Nurlatifah.
(2012). „Fungsi, Malfungsi dan
Disfungsi Media.‟ Dalam Wisnu
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[32]
Martha Adipura (ed). Media
Baru: Studi Teoritis dan Telaah
dari Perspektif Politik dan
Sosiokultural. Yogyakarta,
Penerbit Fisipol UGM.
Prisgunanto, I. (2014). Komunikasi
Pemasaran Era Digital. Jakarta,
Prisani Cendekia.
Rangkuti, F. (2009). Strategi
Promosi Yang Kreatif dan
Analisis Kasus Integrated
Marketing Communication.
Jakarta, PT Gramedia Pustaka
Utama.
Sari, V.M. (2012). Pengaruh
Electronic Word Of Mouth
(eWOM) Di Social Media
Twitter Terhadap Minat Beli
Konsumen. Depok, Universitas
Indonesia.
Sugihartati, R. (2014).
Perkembangan Masyarakat
Informasi dan Teori Sosial
Kontemporer. Jakarta, Kencana.
Thurau, T.H., Gwinner, K.P., Walsh,
G., dan Gremler, D.D. (2004).
Electronic Word-of-Mouth Via
Consumer-Opinion Platforms:
What Motivates Consumers To
Articulate Themselves On The
Internet? Journal of Interactive
Marketing,18. 2004.
Tussyadiah, I., Park, S., dan
Fesenmaier, D.R. (2011).
Assessing the effectiveness of
consumer narratives for
destination marketing. Journal of
Hospitality dan Tourism
Research, 35(1), 64-78.
Walther, J. (2006). Social
Information Processing Theory.
In EM. Griffin (Ed). A First
Look at Communication Theory
(6th ed). New York: McGraw
Hill.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[33]
IMPLIKASI PENGHAPUSAN VERIFIKASI BPHTB
TERHADAP PENDAPATAN DAERAH
Fajaruddin
Fakultas Hukum Universitas Muhammadyah Sumatera Utara
Surel:[email protected]
ABSTRACT
Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BHPTB) or Tax on Acquisition of
Land and Building is a local tax arising as a result of an act or legal events that
resulted in obtaining rights to land and/or buildings by private persons or entities,
and the right to land and/or building is a total right to land, including rights
management and building on it, as referred to in the legislation in land and
buildings (Vide; Clause 1 No. 42 dan 43 UU 28/2009). Technically, voting
BPHTB further stipulated in local legislation in each local government
district/city. One of the rules set out in the regulation as a policy associated
verification BPHTB calculation. At the same time the Ministry of Agricultural and
Spatial/BPN together with a number of departments issued a joint decree of the
Minister of Finance, Minister of the Internal Affairs and Director of National
Land Affairs Agency (BPN) with No. SE-12/MK.07/2014,593/2278/SJ and
4/SE/V/2014 dated May 6, 2014 on Guidelines for Polling BPHTB In Relation
With Land Rights Registration or Transfer of Rights to Land Registration wrong
the article mentions BPN not prerequisite verification of counting in polling
BPHTB. The implications are then raised in the regulation are open wide gap to
the possibility of manipulation of the value of the land rights that affected the
decline in local revenues from the tax sector of BPHTB.
Keywords: Application, verification, local revenue, regional income.
Pendahuluan
Lahirnya Undang-Undang No. 22
tahun 1999 Tentang Pemerintahan
Daerah pasca reformasi 1998
merupakan peletak batu pertama azas
otonomi daerah untuk pelaksanaan
Pemerintahan Daerah. Akan tetapi
kerena masih mengandung beberapa
kelemahan dan perlu disesuaikan
dengan pelaksanaan ide pemilihan
Kepala Daerah secara langsung dan
juga karena adanya perubahan UUD
1945, maka undang-undang itu
direvisi dengan Undang-Undang No.
32 tahun 2004 Tentang Pemerintahan
Daerah (selanjutnya disebut UU No.
32 tahun 2004) sebagai pengganti
Undang-Undang No. 22 tahun 1999.
Pelimpahan wewenang oleh
pemerintah kepada pejabatnya di
daerah untuk menjalankan roda
pemerintahan disebut dengan
dekonsentrasi. Hal ini berarti
dekonsentrasi tersebut wewenang
untuk mengurus persoalan yang
terjadi di Daerah dilimpahkan oleh
Pemerintah Pusat kepada Pemerintah
Daerah, dengan arti kata lain
desentralisasi yang dianut dalam
konsep Negara kesatuan pada
akhirnya juga mempengaruhi
hubungan antara pemerintah dan
daerah, khusunya yang berkaitan
dengan distribusi kewenangan
pengaturan atas urusan-urusan
pemerintahan. Oleh karena itu,
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[34]
adanya satuan pemerintah yang
berlapis-lapis maupun bertingkat
tujuannya antara lain adalah untuk
mencegah dominasi pemerintah yang
lebih tinggi. (Muhammad Fauzan,
2006).
Pasca berlakunya UU No. 32
tahun 2004, pemerintah daerah
memiliki beban berat di balik
kewenangan untuk mengurus rumah
tangganya sendiri, yang salah
satunya adalah terkait dengan tujuan
mensejahterakan masyarakat di
daerahnya, termasuk bagaimana
dapat menggali potensi sumber-
sumber pendanaan di daerahnya.
Menyinggung persoalan sumber
pendanaan bagi pemerintah menjalan
roda organisasinya, sudah barang
tentu salah satunya adalah dari sektor
Pajak, dan untuk memenuhi sesaknya
desakan hawa era otonomi daerah
tersebut, kemudian pemerintah
Republik Indonesia memberikan
kewenangan penuh dalam mengurus
sektor pajak ini, dimana selama ini
beberapa jenis pajak yang menjadi
kewenangan pusat dikembalikan
kepada pemerintah daerah dengan
mengundangkan Undang-Undang
Nomor 28 Tahun 2009 tentang
Pajak dan Retribusi Daerah,
Untuk mengimplementasikan
undang-undang tersebut, pemerintah
daerah diperintahkan agar segera
menyusun peraturan daerah sebagai
petunjuk pelaksanaannya. Salah satu
jenis pajak yang kini dikelola
pemerintah daerah yang wajib diatur
kemudian dengan peraturan daerah
di masing-masing pemerintah daerah
adalah terkait petunjuk teknis dalam
pemungutan pajak Bea Perolehan
Hak Atas Tanah dan Bangunan
(BPHTB).
Salah satu yang menarik
terhadap segi substansi dari
peraturan daerah yang kemudian
disusun dan diundangkan oleh
beberapa pemerintah daerah adalah
adanya pasal yang mengatur tentang
kewajiban verifikasi penghitungan
BPHTB yang harus terlebih dahulu
dilakukan oleh pemohon hak atas
tanah sebelum dilakukannya
pendaftaran tanah oleh Institusi
Kementrian Agraria dan tata
Ruang/Badan Pertanahan Nasional
(BPN). Pihak BPN mengklaim
bahwa salah satu alasan penghapusan
kewajiban verifikasi penghitungan
BPHTB disebabkan oleh adanya
hambatan dalam menjalankan
pelayanan pertanahan sehubungan
dengan pemberlakuan perda tersebut.
Untuk menghindari perdebatan
panjang antara BPN dengan
pemerintah daerah di seluruh
Indonesia terkait kebijakan verifikasi
penghitungan dan pemungutan
BPHTB, maka diterbitkanlah Surat
Edaran Bersama antara Menteri
Keuangan, Menteri Dalam Negeri
dan Ka. BPN dengan Nomor SE-
12/MK.07/2014, 593/2278/SJ/ dan
4/SE/V/2014 tanggal 6 Mei 2014
tentang Petunjuk Pemungutan
BPHTB Dalam Kaitannya Dengan
Pendaftaran Hak Atas Tanah atau
Pendaftaran Peralihan Hak Atas
Tanah. Anehnya, salah satu butir
surat edaran tersebut menegaskan
bahwa BPN tidak memprasyaratkan
verifikasi penghitungan BPHTB
dalam proses pendaftaran hak atas
tanah.
Regulasi dimaksud tentunya
membawa dampak buruk bagi
pemerintah daerah yang salah
satunya adalah menurunnya
pendapatan daerah dari sektor pajak
BPHTB. Tulisan ini bertujuan untuk
mengetahui latar belakang kewajiban
dilakukannya verifikasi BPHTB
sebelum dilakukannya pendaftaran
tanah dan implikasi apa yang
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[35]
mungkin terjadi akibat penghapusan
verifikasi BPHTB tersebut.
Metode
Metode pengumpulan data yang
dilakukan dalam penulisan ini adalah
metode pengumpulan data yuridis
normatif. Penelitian dilakukan
dengan cara melakukan studi
kepustakaan. Pembahasan didasarkan
pada berbagai literatur berupa; buku-
buku, dokumen dan peraturan
perundang-undangan serta referensi
lainnya. Dan pendekatan masalah
yang dilakukan adalah dengan
melakukan pendekatan hasil kajian
teoritis dengan melihat berbagai
pendapat para ahli, penulis dan
kajian-kajian terhadap peraturan
perundang-undangan.
Hasil dan Pembahasan
Kewajiban Verifikasi BPHTB.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah menyebutkan bahwa Bea
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan (BPHTB) adalah pajak
perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan (Pasal 1 ayat (41)), dimana
Perolehan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan adalah perbuatan atau
peristiwa hukum yang mengakibat-
kan diperolehnya hak atas tanah
dan/atau bangunan oleh orang
pribadi atau badan (ayat 42).
Lebih lanjut, pengertian
perolehan hak atas tanah dan atau
bangunan sebagaimana diuraikan
dalam peraturan tersebut adalah
merupakan perbuatan atau peristiwa
hukum yang mengakibatkan
diperolehnya hak atas tanah dan
bangunan oleh orang pribadi atau
badan. Hak atas tanah adalah hak
atas tanah termasuk hak pengelolaan,
beserta bangunan diatasnya sebagai-
mana dimaksud dalam Undang-
Undang No. 5 tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-Pokok
Agraria.
Merujuk kepada Pasal 1 ayat
(42) Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 sebagaimana diuraikan
sebelumnya dapat dipahami bahwa
yang menjadi subjek pajak adalah
orang pribadi atau badan yang
memperoleh hak atas tanah dan atau
bangunan sedangkan yang menjadi
objek pajak adalah perolehan hak
atas tanah dan atau bangunan.
Sedangkan yang menjadi tolok ukur
sebagai penyebab timbulnya
kewajiban pajak BPHTB adalah
timbulnya suatu hak atas tanah
dan/atau bangunan bagi subjek
hukum (perorangan maupun badan
hukum) baik yang disebabkan oleh
karena adanya suatu peristiwa
hukum atau suatu perbuatan hukum.
Pemungutan pajak BPHTB
didasarkan pada nilai filosofis yang
memandang bahwa setiap orang
pribadi atau badan hukum yang
mendapatkan nilai ekonomis serta
manfaat dari tanah dan bangunan
karena adanya perolehan hak atas
tanah dan bangunan akan dikenakan
pajak oleh negara (Budi Ispriyarso,
2005; 277). Dengan demikian,
perlohan hak atas tanah/bangunan
yang terjadi di tengah-tengah
masyarakat diharapkan mampu
memberikan pemasukan ke kas
negara/daerah berupa pajak dalam
jumlah yang relatif besar.
Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 juga telah merumuskan
penghitungan BPHTB yaitu: BPHTB
= 5% x (NPOP–NPOPTKP), dengan
penjelasan bahwa NPOP (Nilai
Perolehan Obyek Pajak) ditentukan
berdasarkan Nilai tertinggi antara
NJOP (Nilai Jual Obyek Pajak)
sebagaimana tertera pada SPPT PBB
dengan nilai transaksi/nilai pasar
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[36]
(mana yang tertinggi). Sedangkan
besarnya pengurangan pajak BPHTB
sebelum dikalikan 5% atau yang
dikenal dengan sebutan Nilai
Perolehan Objek Pajak Tidak Kena
Pajak (NPOPTKP) yaitu sebesar Rp.
60.000.000 (enam puluh juta rupiah)
terhadap perolehan hak baru maupun
peralihan hak terkecuali karena
Waris, dan Hibah Wasiat maka
besarnya NPOPTKP adalah Rp.
300.000.000 (tiga ratus juta rupiah)
(vide; Pasal 85 s/d Pasal 87 Undang-
Undang 28/2009).
Lebih lanjut, duraikan bahwa
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan sebagai dasar pemungutan
BPHTB meliputi antara lain;
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan yang disebabkan oleh
terjadinya peralihan hak maupun
dikarenakan penerbitan hak baru atas
tanah maupun bangunan yang
berstatus hak milik, hak guna usaha,
hak guna bangunan, hak pakai, hak
milik atas satuan rumah susun dan
hak pengelolaan (vide; Pasal 85
Undang-Undang 28/2009).
Hal menarik yang kemudian
muncul dari rumusan penghitungan
BPHTB adalah adanya ruang bebas
yang diberikan oleh Undang-Undang
28/2009 bagi wajib pajak untuk
memilah dan memilih antara Nilai
Transaksi atau NJOP PBB (mana
yang paling tinggi nilainya) sebagai
dasar pengurangan penghitungan
NPOP terhadap pajak BPHTB
sebagaimana tertuang dalam Pasal 87
ayat (2).
Melihat fakta bahwa meningkat-
nya kegiatan pembangunan disegala
bidang, menyebabkan meningkatnya
keperluan akan tersedianya tanah dan
atau bangunan. Sedangkan tanah dan
atau bangunan persediaannya sangat
terbatas. Mengingat pentingnya
tanah dan atau bangunan tersebut
dalam kehidupan, maka sudah
sewajarnya jika orang pribadi atau
badan hukum yang mendapatkan
nilai ekonomis serta manfaat dari
tanah dan atau bangunan karena
adanya perolehan hak atas tanah dan
atau bangunan dikenakan pajak oleh
negara.
Transaksi jual beli tanah dan
bangunan merupakan suatu aktivitas
yang dilakukan oleh masyarakat
yang dapat memberikan pemasukan
berupa pajak dalam jumlah yang
relatif besar bagi negara. Karena jual
beli merupakan suatu perbuatan
hukum yang dapat menimbulkan
hutang pajak (Budi Ispriyarso, 2005;
278). Dengan demikian seharusnya
transaksi jual beli tanah dapat
menjadi pemasok dana yang
potensial ke kas daerah dari sektor
pajak BPHTB.
Transaksi maupun NJOP sebagai
dasar penghitungan NPOP masih
memiliki celah antara para pihak
yang berkepentingan untuk mengelak
dari kewajiban BPHTB. Terlebih
pemungutan pajak BPHTB
menggunakan sistem self assessment.
Seperti yang diketahui bersama,
bahwa sistem self assessment
mengandung arti bahwa wajib pajak
diwajibkan untuk menghitung,
memperhitungkan, membayar sendiri
dan melaporkan pajak yang terutang
sesuai peraturan perundang-
undangan perpajakan, sehingga
penentuan besarnya pajak yang
terutang dipercayakan kepada wajib
pajak.
Dalam pelaksanaan pemungutan
pajak BPHTB ini menuntut wajib
pajak mengerti serta menguasai
tentang ketentuan perpajakan
sebagaimana diatur dalam peraturan
perpajakan yang berlaku, sehingga
dengan adanya sistem self
assessment ini tidak menutup
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[37]
kemungkinan wajib pajak akan
mengalami kesulitan dalam
pemenuhan kewajiban bagi wajib
pajak tersebut. Keadaan ini masih
diperparah lagi dengan sikap dan
mental oknum aparatur dan pejabat
negara yang berkaitan dengan pajak
BPHTB yang kerap memberikan
pemahaman negatif kepada
masyarakat untuk berbuat ‟curang‟
dalam memenuhi kewajibannya
menyetor BPHTB.
Fakta konspirasi negatif
berbagai pihak menyangkut
penyimpangan dalam pemenuhan
kewajiban BPHTB tampaknya telah
berlangsung lama bahkan jauh
sebelum BPHTB ini menjadi
kewenangan pemerintah daerah.
Uniknya, jika dahulu BPHTB masih
dikelola pemerintah pusat dengan
NOPTKP sebesar Rp.10.000.000
maka nilai transaksi jual beli tanah
dan bangunan banyak yang di bawah
NOPTKP begitu BPHTB menjadi
kewenangan pemerintah daerah dan
NOPTKP menjadi Rp.60.000.000
banyak transaksi jual beli yang
melonjak menjadi kisaran
Rp.40.000.000 sampai dengan
Rp.55.000.000 namun masih di
bawah NOPTKP yaitu
Rp.60.000.000. Tentu hal ini
memunculkan pertanyaan, berapa
nilai pasar terhadap harga tanah
sebenarnya?
Seperti telah diuraikan di atas
bahwa dasar pengenaan pajak
apabila harga transaksi atau nilai
pasar tidak diketahui atau lebih
rendah dari NJOP PBB ditetapkan
adalah sebesar NJOP PBB. Dalam
transaksi jual beli, pihak yang paling
mengetahui besarnya harga transaksi
adalah pembeli dan penjual,
sedangkan PPAT hanya mengetahui
berdasarkan pengakuan atau
pernyataan dari pembeli dan penjual.
Besarnya harga transaksi yang
tercantum dalam akta notaris (PPAT)
adalah murni berdasarkan pengakuan
para pihak. Sehingga untuk
kepentingan tertentu ada
kecenderungan untuk menyatakan
besarnya harga transaksi yang tidak
sesuai dengan kenyataan.
Biasanya mengarah lebih tinggi
sedikit dibandingkan dengan NJOP
PBB yang berlaku. Demikian pula
dengan perolehan hak yang diperoleh
dari transaksi lainnya yang
menyatakan bahwa NPOP-nya
adalah nilai pasar. Karena tidak
adanya patokan nilai pasar yang pasti
yang dapat dipakai sebagai rujukan,
maka NJOP PBB-lah salah satu
rujukan yang dapat dihandalkan.
Sehingga dalam transaksi perolehan
hak atas tanah dan/atau bangunan
seperti ini, ada kecenderungan wajib
pajak akan menentukan besarnya
nilai pasar sesuai atau mungkin
berada sedikit diatas NJOP PBB
yang berlaku.
Untuk diketahui pula bahwa
besarnya NJOP PBB yang berlaku
saat ini cenderung masih jauh
dibawah harga pasar yang
sebenarnya. Bahkan masih mencapai
30% sampai dengan 70% dari harga
pasar. Untuk daerah tertentu masih
ada yang dibawah 30% dari harga
pasar sebenarnya. Namun demikian,
untuk beberapa daerah tertentu juga
sudah ada yang mendekati 100% dari
harga pasar. Besarnya selisih antara
harga pasar dan NJOP PBB,
memungkinkan terjadinya rekayasa
penentuan harga transaksi, sehingga
besarnya harga transaksi yang
tercantum dalam akta notaris
cenderung tidak sesuai dengan
kenyataan (I Wayan Sukada, 2013).
Kecenderungan pencantuman harga
transaksi sedikit lebih besar dari
NJOP PBB yang berlaku
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[38]
mengakibatkan jumlah pajak
(khususnya BPHTB) yang harus
dibayar menjadi lebih rendah.
Timbulnya Kewajiban Pajak
BPHTB. Seperti yang telah
disebutkan di atas bahwa pajak
BPHTB adalah timbulnya suatu hak
atas tanah dan/atau bangunan bagi
subjek hukum (perorangan maupaun
badan hukum) baik yang disebabkan
oleh karena adanya suatu peristiwa
hukum atau suatu perbuatan hukum.
Peristiwa hukum adalah semua
kejadian atau fakta yang terjadi
dalam kehidupan masyarakat yang
mempunyai akibat hukum, contoh-
nya kematian, kelahiran, perkawinan
dan lain sebagainya (Muhammad
Erzal, 2014). Sedangkan perbuatan
hukum menurut R. Soeroso, adalah
setiap perbuatan subjek hukum
(manusia atau badan hukum) yang
akibatnya diatur oleh hukum dan
karena akibat tersebut dapat
dianggap sebagai kehendak dari yang
melakukan hukum (dalam Ali,
2015).
Jika merujuk pada Peraturan
Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah, maka
timbulnya hak atas tanah adalah
merupakan produk yang dihasilkan
dari adanya suatu rangkaian
pendaftaran tanah, dimana
pendaftaran tanah beradasarkan
peraturan pemerintah tersebut di atas
adalah berupa kegiatan pendaftaran
tanah pertama kali dan pemeliharaan
data pendaftaran tanah.
Sesuai dengan title-nya BPHTB
adalah pajak atas perolehan hak
tanah dan/atau bangunan. Dalam
konteks perolehan hak atas tanah
maka berdasarkan uraian di atas,
dapat dirumuskan bahwa BPHTB
timbul oleh karenanya adanya suatu
kegiatan pendaftaran tanah baik yang
didasarkan oleh suatu alat bukti
karena adanya peristiwa hukum
(seperti waris karena kematian)
maupun oleh karena adanya
perbuatan hukum (seperti hibah, jual
beli dan lain sebagainya).
Lalu yang menjadi pertanyaan
bagaimana dengan kewajiban pajak
atas bangunan yang melekat pada
hak atas tanah dimaksud? Apakah
Undang-Undang No. 28 Tahun 2009
tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah khususnya terkait dengan
pelaksanaan setoran BPHTB atas
permohonan hak atas tanah yang
diatasnya dibangun rumah oleh
pemiliknya sendiri, apakah
perhitungan BPHTB-nya hanya
terhadap tanahnya saja atau termasuk
bangunan rumahnya? UNDANG-
UNDANG dimaksud secara umum
mengharuskan bangunan jadi pajak
terutang dalam hal pemberian hak
pertamakali. Artinya cendrung
bangunan juga menjadi beban
kewajiban pemegang hak untuk
dihitungkan pajaknya.
Padahal berdasarkan
nomenklatur yang ada sesuai dengan
Peraturan Menteri Negara
Agrarian/Ka. BPN Nomor 3 Tahun
1997 tentang Peraturan Pelaksana
Perutarn Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah menyebutkan dalam hal
pendaftaran tanah pertama kali yang
diterbitkan adalah Surat Keputusan
tentang Pemberian Hak Atas Tanah
saja (bukan pemberian hak atas
Tanah dan Bangunan).
Sehingga rasanya tidak masuk
akal jika dalam pendaftaran hak
pertama kali atas tanah yang
rumahnya dibangun sendiri oleh
pemilik tanah lantas bangunanya
juga dikenakan BPHTB, walaupun
berdasarkan Undang-Undang Nomor
28 Tahun 2009 tidak lagi dibaca
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[39]
istilahnya ada yang menggunakan
bea perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan. Jika demikian
berarti bisa alternatif maupun
komulatif, artinya bisa tanah dan
bangunan maupun bisa tanahnya
saja. Ini berarti untuk kasus seperti di
atas yang dikenakan BPHTB hanya
tanahnya saja (Seksi SKP Kantor
Pertanahan Kabupaten Tomohon
Prov. Sulawesi Utara, 2013).
Lebih jauh, dalam hukum
agraria dari semula berlaku azas self
assesment dan bukan pemisahan
horisontal, dibuktikan pada Pasal 4
UUPA Perihal pengertian 'tanah'. Hal
demikian ternyata juga dianut pada
Undang-Undang No. 4 Tahun 1996
tentang HakTanggungan dimana
tanah beserta tanam tumbuh
diatasnya menjadi obyek yang
dipertanggungkan. Sehingga pada
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009, perkiraan dapat diberlakukan
yang sama. Azas pemisahan
horisontal itu malah yang dianut oleh
hukum pertanahan nasional yang
maknanya pemilik tanah tidak
otomatis sebagai pemilik bangunan
atau pun tanaman yang berada di atas
tanah tesebut. Sebelumnya dianut
azas asesi atau perlekatan
sebagaimana yang diatur dalam buku
II Kitab Undang-Undang Hukum
Perdata, namun dengan berlakunya
UUPA maka buku II tersebut
sepanjang yang mengatur tentang
tanah dicabut, oleh karennya azas
perlekatan ini ditinggalkan.
Meski penafsiran tata laksana
hukum pertanahan di Indonesia
memposisikan bangunan tidak ikut
menjadi variable BPHTB, namun
dalam Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tegas menyebutkan
bahwa bangunan adalah salah satu
unsur penghitung sebagai variabel
pembayaran BPHTB. Oleh
karenanya tanah dan bangunan
menjadi satu kesatuan variabel yang
tidak terpisahkan dalam hitung-
hitungan pajak yang muncul akibat
timbulnya hak atas tanah dan
bangunan berdasarkan rumus
penghitungan BPHTB sebagaimana
dijelaskan di atas.
a. Kewajiban verifikasi BHPTB
Undang-Undang Nomor 28
Tahun 2009 tentang Pajak dan
Retribusi Daerah telah
memerintahkan masing-masing
pemerintah daerah untuk segera
menyusun peraturan daerahnya
sebagai petunjuk pelaksanaan dan
petunjuk teknis dalam pemungutan
pajak BPHTB. Terhitung setahun
setelah undang-undang tersebut
diundangkan kemudian disusun dan
diberlakukannya peraturan
daerah/Perda sebagai Juklak
(petunjuk pelaksanaan) berikut
Peraturan Bupati (Perbub) dan
Perwal (Peraturan Walikota) sebagai
Juknis (Petunjuk Teknis) terhadap
pemungutan BPHTB dimaksud di
masing-masing pemerintah daerah
kabupaten/kota di seluruh wilayah
Indonesia.
Perintah undang-undang tersebut
di atas bermaksud agar tercipta
mekanisme kontrol penghitungan
dan pemungutan BPHTB yang
dituangkan dalam Perda, Perbub
maupun Perwal yang lebih menitik
beratkan aspek Verifikasi BPHTB
yang tertuang dalam Surat Setoran
Pajak Daerah BPHTB (SSPD-
BPHTB) sebagai gerbang
penyaringan dalam penghitungan dan
pemungutan BPTHB. Tujuannya
adalah agar tidak terjadi lose control
dalam pelaksanaannya sehingga
pemungutan pajak BPHTB benar-
benar diharapkan mampu
mendongkrak pendapatan daerah.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[40]
Meski dalam berbagai Perda,
Perbub maupun Perwal telah menitik
beratkan aspek verifikasi dan
validasi bukti pemenuhan pajak
BPHTB yang tertuang dalam Surat
Setoran Pajak Daerah BPHTB
(SSPD-BPHTB) sebagai gerbang
penyaringan dan penghitungan
BPTHB, namun sayangnya persoalan
peluang „main mata‟ terhadap
penghitungan BPHTB khususnya
yang bersumber dari transaksi Jual
Beli tak juga kunjung terbendung
sehingga dapat dikatakan sebagai
kebijakan yang lepas kendali (lose
control).
Pasal 91 ayat (1), (2), dan (3)
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 mengatur sebagai berikut: (1)
Pejabat Pembuat Akta Tanah/Notaris
hanya dapat menandatangani akta
pemindahan Hak atas Tanah dan/atau
Bangunan setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran
pajak. (2) Kepala kantor yang
membidangi pelayanan lelang negara
hanya dapat menandatangani risalah
lelang Perolehan Hak atas Tanah
dan/atau Bangunan setelah Wajib
Pajak menyerahkan bukti
pembayaran pajak. (3) Kepala kantor
bidang pertanahan hanya dapat
melakukan pendaftaran Hak atas
Tanah atau pendaftaran peralihan
Hak atas Tanah setelah Wajib Pajak
menyerahkan bukti pembayaran
pajak.
Dari aturan tersebut sangat jelas
bahwa proses peralihan hak atas
tanah melalui PPAT dan melalui
Pejabat Lelang Negara serta
pendaftaran atau peralihan hak di
BPN hanya dapat dilakukan apabila
si penerima hak telah membayar
BPHTB. Memang dalam aturan
tersebut tidak secara implisit
mengatur bahwa pembayaran
BPHTB yang dilakukan wajib pajak
harus telah mendapatkan persetujuan
dari fiskus, namun demikian demi
membantu kelancaran penerimaan
kas daerah penelitian atas SSDP
BPHTB sebelum wajib pajak
membayar BPHTB terutang sangat
diperlukan.
Pada tahap inilah sebenarnya
diperlukan sinergi yang saling
mendukung antara BPN sebagai
instansi yang mempunyai
kewenangan atas pemberian hak atas
tanah dan pemerintah kota/kabupaten
sebagai pengelola BPHTB. Disatu
sisi, kehati-hatian fiskus dalam
penelitian SSDP BPHTB sangat
diperlukan dan disisi lain kecepatan
pelayanan di BPN juga sangat
diperlukan. Kunci utamanya adalah
bagaimana kedua instansi pemerintah
tersebut saling bersinergi untuk dapat
memberikan layanan kepada
masyarakat secara cepat, tepat, dan
akurat
Sebagai konsekuensi dari sistem
self assessment dalam pemungutan
BPHTB, fiskus mempunyai peran
selain pembinaan juga melakukan
pemeriksaan. Pembinaan dilakukan
untuk menumbuhkan kesadaran
wajib pajak dalam membayar pajak
sesuai dengan aturan perundangan
yang berlaku. Pemeriksaan dilakukan
dalam menguji kepatuhan pelak-
sanaan kewajiban perpajakan oleh
wajib pajak. Tentu dalam menguji
kepatuhan tersebut, fiskus harus
memiliki data yang valid dan dapat
dipertanggungjawabkan.
Selain itu, harus ada petugas
pemeriksa yang mempunyai
kompetensi dalam melaksanakan
proses pemeriksaan. Kebijakan
penelitian SSDP BPHTB dilakukan
untuk melaksanakan fungsi
pembinaan dan sekaligus pemerik-
saan yang merupakan kewenangan
fiskus dalam sistem self assessment.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[41]
Pelaksanaan kebijakan penelitian
SSDP BPHTB dilakukan untuk
mengecek kebenaran tentang objek
(tanah dan atau bangunan) yang
dilakukan peralihan. Hal ini
berkaitan dengan lokasi serta persil
bidang tanah dan atau bangunan
yang dilakukan pendaftaran hak atas
tanahnya.
Selanjutnya dilakukan penelitian
terhadap kepatuhan wajib pajak
dalam melaksanaan kewajiban Pajak
Bumi dan Bangunan (PBB) atas
objek yang ditransaksikan. Penelitian
kepatuhan pembayaran PBB
dilakukan agar setelah peralihan hak,
sipenerima hak tidak terbebani
dengan utang PBB atas objek
tersebut sebelum menjadi haknya.
Penelitian juga dilakukan terhadap
perhitungan dan penentuan NPOP
yang dilakukan oleh wajib pajak.
Sebagaimana dijelaskan di atas
bahwa besarnya NPOP ditentukan
sebesar NJOP PBB yang berlaku
dalam tahun pajak yang
bersangkutan apabila harga transaksi
atau nilai pasar tidak diketahui atau
lebih rendah dari NJOP PBB.
Pada umumnya pelaksanaan
kebijakan penelitian SSDP BPHTB
dilakukan sebelum wajib pajak
melunasi BPHTB terutang menurut
perhitungan wajib pajak. Hasil
penelitian yang dilakukan fiskus
dituangkan dalam persetujuan hasil
penelitian dan disertakan tanda
tangan serta cap dinas pada blanko
SSDP BHTBP yang telah diisi oleh
wajib pajak. Besarnya BPHTB
terutang yang tercantum dalam
blanko SSDP BPHTB yang telah
disertakan persetujuan fiskus atas
hasil penelitian dipakai sebagai dasar
pembayaran BPHTB.
Hal ini dilakukan agar fiskus
tidak perlu lagi melakukan
pemeriksaan atas BPHTB terutang
yang telah dilunasi oleh wajib pajak,
mengingat pelaksanaan pemeriksaan
tersebut membutuhkan waktu yang
cukup lama serta SDM yang
kompeten. Selain itu akan
membutuhkan usaha lebih, dalam
menyampaikan surat keputusan
berdasarkan hasil pemeriksaan
kepada wajib pajak, apalagi domisili
wajib pajaknya tidak di lokasi tanah
dan atau bangunan yang diperoleh
haknya. Namun demikian, pelaksa-
naan penelitian SSDP BPHTB ini
tidak serta merta menutup
kemungkinan dilakukan pemeriksaan
kembali oleh fiskus.
Pemeriksaan kembali dapat saja
dilakukan apabila setelah proses
transaksi peralihan hak dilakukan
dan BPHTB telah dibayar wajib
pajak, diketemukan data baru yang
mengindikasi bahwa data yang
tercantum dalam SSDP BPHTB
tersebut tidak benar. Mengingat
dalam pelaksanaan penelitian SSDP
BPHTB tersebut juga tercakup
fungsi pemeriksaan, maka diperlukan
kehati-hatian fiskus dalam
menyetujui atau tidak menyetujui
perhitungan serta penentuan NPOP
yang disampaikan wajib pajak.
Sehingga untuk mencapai ketepatan
yang objektif, dimungkinkan
dilakukan penelitian lapangan selain
penelitian setempat.
Penelitian lapangan dilakukan
untuk mengetahui kebenaran objek
serta lokasi objek tanah dan atau
bangunan yang ditransaksikan.
Penelitian lapangan dilakukan
apabila fiskus merasa tidak yakin
atas berkas yang disampaikan wajib
pajak. Namun apabila fiskus sudah
merasa yakin akan berkas pendukung
dari wajib pajak, cukup dilakukan
penelitian setempat.Untuk menjamin
kelancaran pelayanan kepada wajib
pajak, hendaknya kehati-hatian
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[42]
tersebut tidak sampai menjadi alasan
yang menyebabkan lambatnya
pelayanan, yang pada akhirnya akan
merembet pada lambatnya pelayanan
pelaksanaan pendaftaran hak di BPN
yang merupakan kewenangan BPN.
b. Implikasi akibat dihapusnya
kewajiban verifikasi BPHTB
Pasalnya, kebijakan verifikasi
dan validasi sebagaimana dimaksud
di atas kemudian memunculkan
keluh kesah baru bagi PPAT
diseluruh penjuru tanah air terkait
panjangnya waktu dalam proses
verifikasi dan validasi SSPD-BPHTB
oleh Pemda yang berimbas kepada
molornya pelayanan akta-akta
peralihan hak (bukan hanya sekedar
akta jual beli) yang dijajakan oleh
Notaris/PPAT kepada konsumennya/
masyarakat.
Di samping verifikasi dan
validasi dianggap merepotkan dan
berbelit-belit, pemerintah daerah
dinilai belum siap menerima
pelimpahan pengelolaan pajak
BPHTB yang tadinya dikelola
pemerintah pusat. Selain itu,
barometer uji kelayakan dan
penilaian yang dilakukan oleh Pemda
secara formil (aspek ZNT) juga
menjadi tanda tanya besar terhadap
verifikasi dan validasi SSPD BPHTB
tersebut.
BPN sebagai eksekutor
pemberian dan peralihan hak atas
tanah juga mengalami kendala dan
keterlambatan dalam proses
percepatan pendaftaran tanah
khususnya dalam konteks penetapan
hak atas tanah dan pelayanan
pemeliharaan data pendaftaran tanah.
Penegasan dalam menghadapi
kewajiban verifikasi BPHTB untuk
setiap perolehan hak atas tanah-pun
kemudian diperkuat dengan
diterbitkannya Surat Edaran Kepala
BPN Nomor 5/SE/IV2013 tanggal 10
April 2013 tentang Pendaftaran Hak
Atas Tanah Atau Pendaftaran
Peralihan Hak Atas Tanah Terkait
Dengan Pelaksanaan Undang-
Undang Nomor 28 Tahun 2009
Tentang Pajak Daerah dan Retribusi
Daerah. Uniknya, justru Surat
Edaran Ka. BPN tersebut dinilai
bertolak belakang dengan tujuan
nilai filsofi pengenaan pajak oleh
negara terhadap perolehan dan
pemanfaatan nilai ekonomis tanah
bagi rakyatnya sebagaimana
diuraikan di atas.
Pada angka 6 Surat Edaran BPN
tersebut secara tegas menyatakan
tidak diprasyaratkan pengecekan
(verifikasi dan validasi) tanda bukti
setoran BPHTB. Dengan kata lain,
pendaftaran tanah dalam konteks
pendaftaran hak dan peralihan hak
dapat terus berlangsung meskipun
belum terbukti benar tidaknya materi
pelaporan pajak oleh penerima
hak/wajib pajak terhadap SSPD-
BPHTB yang dilampirkannya dalam
permohonan hak atas tanah.
Meskpun dalam surat edaran tersebut
memprasyaratkan bukti pendukung
formil berupa rangkaian pernyataan
tentang kebenaran informasi laporan
pajak BPHTB dari si penerima hak,
namun lagi-lagi kebijakan BPN
sebagaimana tertuang dalam surat
edaran tersebut dinilai berpotensi
memperkuat terjadinya lose control
dalam perspektif monitoring dan
kendali atas penyerapan pendapatan
negara/daerah dari sektor pajak
BPHTB.
Adagium yang berkembang di
kalangan BPN terhadap kompleksitas
verifikasi dan validasi BPHTB bagi
BPN adalah bahwa pemanfaatan
BPHTB sepenuhnya merupakan hak
Pemda yang digunakan untuk
kepentingan pembangunan daerah.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[43]
BPN hanya berperan dalam konteks
penghitungan BPHTB sedangkan
hasil pemungutan BPHTB tersebut
untuk belanja penunjang kinerja
BPN kabupaten/kota sehingga
memposisikan kebijakan verifikasi
dan validasi BPHTB hanya sebagai
penghambat pelayanan kepada
masyarakat.
Surat Edaran BPN tersebut
berdampak pada kegelisahan di
kalangan Pemda di seluruh Indonesia
dan kemudian melakukan
penyederhanaan terhadap kebijakan
controlling penghitungan BPHTB
oleh pemerintah pusat, dengan
diterbitkannya Surat Edaran Bersama
antara Menteri Keuangan, Menteri
Dalam Negeri dan Kepala BPN
dengan Nomor SE-12/MK.07/2014,
593/2278/SJ/ dan 4/SE/V/2014
tanggal 6 Mei 2014 tentang Petunjuk
Pemungutan BPHTB Dalam
Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak
Atas Tanah atau Pendaftaran
Peralihan Hak Atas Tanah.
Namun, surat edaran bersama
dimaksud tidak membawa perubahan
apapun terhadap pengawasan atas
penghitungan BPHTB. Sebab pada
angka 6 Surat Edaran Bersama
secara tegas menyebutkan tetap
memberlakukan SE Kepala BPN
Nomor 5/SE/IV/2013 yang artinya
verifikasi dan validasi (pengecekan)
SSPD-BPHTB tidak dipersyaratkan
dan/atau tidak menjadi syarat mutlak
dalam proses permohonan
pendaftaran hak atas tanah atau
pendaftaran peralihan hak atas tanah
di lingkungan BPN.
Adagium yang menyatakan
bahwa verifikasi BPHTB bukan
domein BPN tampaknya menjadi
alasan utama pencabutan kewajiban
verifikasi SSDP BPHTB
sebagaimana dituangkan dalam
Surat Edaran Bersama antara
Menteri Keuangan, Menteri Dalam
Negeri dan Kepala BPN. Secara
prinsip undang-undang hanya
mengatur norma yang bersifat umum
saja, sedangkan teknisnya diatur
dalam peraturan dibawahnya
termasuk Perda, Perbub dan Perwal.
Sehingga masih dalam kerangka
hukum yang benar jika kemudian
dalam hal Perda, Perbub dan Perwal
mengatur adanya kewajiban
verifikasi BPHTB sebelum
pendaftaran hak, hal tersebut masih
dalam kerangka keterikatan aturan
pelaksanan yang didelegasikan oleh
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 terhadap hal-hal teknis
pelaksanaan pajak dan retribusi
daerah termasuk BPHTB kepada
Pemda dengan membuat Perda,
Perbub dan Perwal.
Penghapusan kewajiban verifi-
kasi BPHTB sebagaimana tertuang
pada angka 6 Surat Edaran Bersama
antara Menteri Keuangan, Menteri
Dalam Negeri dan Ka. BPN Nomor
SE-12/MK.07/2014, 593/2278/SJ/
dan 4/SE/V/2014 tanggal 6 Mei 2014
tentang Petunjuk Pemungutan
BPHTB Dalam Kaitannya Dengan
Pendaftaran Hak Atas Tanah atau
Pendaftaran Peralihan Hak Atas
Tanah dinilai telah menghambat
upaya pemerintah daerah dalam
meningkatkan income daerah dari
sektor pajak BPHTB.
Implikasi atas kebijakan
penghapusan kewajiban verifikasi
BPHTB sebagaimana disebutkan
dalam surat edaran bersama tersebut
di atas adalah kemungkinan
terjadinya lose control terhadap
penghitungan dan pemungutan
BPHTB yang berimbas kepada
merosotnya pendapatan daerah dari
sektor pajak BPHTB dimaksud.
Meskipun didalam surat edaran
telah memprasyaratkan bukti
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[44]
pendukung formil berupa rangkaian
pernyataan tentang kebenaran
informasi laporan pajak BPHTB dari
si penerima hak/wajib pajak sebagai
wujud dari sistem self assessment
dalam pemungutan pajak BPHTB,
namun kebijakan BPN sebagaimana
tertuang dalam surat edaran tersebut
dinilai belum memberikan peran
yang maksimal dalam konteks
monitoring pajak BPHTB.
Implikasi tersebut juga didukung
oleh tiga hal yang kerap terjadi,
yaitu; Pertama, pemungutan pajak
BPHTB menggunakan sistem self
assessment yang berarti bahwa wajib
pajak diwajibkan untuk menghitung/
memperhitungkan, membayar sendiri
dan melaporkan pajak yang terutang
sesuai peraturan perundang-
undangan perpajakan, sehingga
penentuan besarnya pajak yang
terutang dipercayakan kepada wajib
pajak. Beberapa hal yang perlu
diperhatikan adalah wajib pajak yang
tidak memahami terhadap tata cara
penghitungan BPHTB, selain itu
masih pihak yang memanipulasi
dalam penghitungan sehingga
membuka peluang bagi wajib pajak
melakukan kecurangan dalam
penghitungan pajak (BPTHB).
Belum tertibnya tata kelola
administrasi pemerintah daerah
dalam konteks pemuktahiran data
Pajak Bumi dan Bangunan (PBB)
pasca pengalihan pajak dari
pemerintah pusat kepada pemerintah
daerah, sehingga kalkulasi nilai dasar
NJOP terhadap masing masing
bidang tanah dan bangunan di suatu
daerah belum up-date, dan tentunya
akan berdampak pada rendahnya
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
sebagaimana tertuang dalam SPPT-
PBB atas bidang-bidang tanah
dimaksud. Dampak terbesarnya
adalah tidak update-nya
penghitungan BPHTB jika
didasarkan pada besarnya nilai NJOP
berdasarkan SPPT PBB.
Zona Nilai Tanah (ZNT)
terhadap bidang-bidang tanah
(khususnya bidang tanah yang telah
bersertifikat/ terdaftar) di suatu
wilayah pemerintah daerah belum
tersedianya, hal ini berdampak
kepada tidak adanya standar nilai
transaksi jual beli terhadap bidang-
bidang tanah di wilayah tersebut.
Sehingga nilai jual beli yang
dituangkan dalam Akta Jual Beli
yang ditandatangani dihadapan
PPAT (Pejabat Pembuat Akta Tanah)
hanya sekedar formalitas
berdasarkan asas standar harga
logika sosial bukan standar logika
hukum pajak yang dipakai dalam
perspektif jual beli.
Simpulan
Implikasi atas kebijakan
penghapusan kewajiban verifikasi
BPHTB sebagaimana disebutkan
dalam surat edaran bersama
kemungkinan besar masih terjadi
lose control terhadap penghitungan
dan pemungutan BPHTB yang
berimbas kepada merosotnya
pendapatan daerah dari sektor pajak
BPHTB. Hal ini disebabkan karena
wajib pajak yang tidak memahami
terhadap tata cara penghitungan
BPHTB, selain itu masih pihak yang
memanipulasi dalam penghitungan
sehingga membuka peluang bagi
wajib pajak melakukan kecurangan
dalam penghitungan pajak (BPTHB).
Tata kelola administrasi
pemerintah daerah dalam konteks
pemuktahiran data Pajak Bumi dan
Bangunan (PBB) pasca pengalihan
pajak dari pemerintah pusat kepada
pemerintah daerah belum tertib,
sehingga perhitungan nilai dasar
NJOP terhadap tanah dan bangunan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[45]
di suatu daerah belum up-date,
sehingga berdampak pada rendahnya
Nilai Jual Objek Pajak (NJOP)
sebagaimana tertuang dalam SPPT-
PBB atas bidang-bidang tanah
Penghapusan kewajiban melaku-
kan verifikasi BPHTB sebagaimana
tertuang pada angka 6 Surat Edaran
Bersama antara Menteri Keuangan,
Menteri Dalam Negeri dan Ka. BPN
Nomor SE-12/MK.07/2014,
593/2278/SJ/ dan 4/SE/V/2014
tanggal 6 Mei 2014 tentang Petunjuk
Pemungutan BPHTB Dalam
Kaitannya Dengan Pendaftaran Hak
Atas Tanah atau Pendaftaran
Peralihan Hak Atas Tanah dinilai
telah menghalangi upaya pemerintah
daerah dalam meningkatkan
penerimaan daerah dari sektor pajak
BPHTB.
Beberapa saran yang dapat
dikemukakan antara lain: Pertama,
pelaksanaan verifikasi BPHTB pada
sebagian pemerintah daerah masih
sulit dilaksanakan oleh karena belum
tertibnya tata kelola administrasi
pemerintah daerah dalam konteks
pemuktahiran data PBB pasca
pengalihan pajak dari pemerintah
pusat kepada pemerintah daerah,
sehingga kalkulasi nilai dasar NJOP
terhadap masing masing bidang
tanah dan bangunan di suatu daerah
belum up-date, sehingga perlu untuk
menjadi perhatian pemerintah daerah
agar segera ditindaklanjuti dan
ditingkatkan lagi.
Kedua, belum tersedianya Zona
Nilai Tanah (ZNT) terhadap bidang-
bidang tanah (khususnya bidang
tanah yang telah bersertifikat/
terdaftar) di suatu wilayah
pemerintah daerah yang berdampak
kepada tidak terstandarkannya nilai
transaksi jual beli terhadap bidang-
bidang tanah di wilayah tersebut.
Sehingga hal ini butuh perhatian dan
penanganan yang serius bagi masing-
masing pemerintah daerah guna
terlaksananya manajemen kontrol
dalam pelaksanaan verifikasi
BHPTB ke depannya.
Ketiga, terhadap persoalan
‟lempar bola‟ pada konteks
penghapusan kewajiban verifikasi
BPHTB salah satunya adalah duduk
bersama membahas secara teknis
antara Pemda, PPAT dan BPN di
masing-masing daerah. Bahkan trik
‟share benefit’ antara berbagai pihak
dalam hal pemanfaatan hasil
pemungutan BPHTB dinilai sebagai
sebuah posisi tawar untuk
meningkatkan gairah para
stakeholder untuk lebih berperan
dalam memonitor penghitungan
BPHTB bagi masyarakat calon
penerima hak atas tanah (dan
bangunan). Sehingga, peningkatan
pendapatan daerah melalui
monitoring penghitungan dan
pemungutan BPHTB dapat
dilaksanakan dan diyakini hal
tersebut akan memiliki dampak
positif pada peningkatan pendapatan
asli daerah dari sektor pajak
Daftar Pustaka
Ali, Pengertian Perbuatan Hukum
Menurut Para Pakar dalam
http://www.pengertianpakar.com/
2015/04/pengertian-perbuatan-
hukum-menurut-pakar.html#,
diakses padal hari Selasa, 09
Februari 2016 Pukul 23.52Wib.
Budi Ispriyarso, Aspek Perpajakan
dalam Pengalihan Hak Atas
Tanah dan/atau Bangunan
karena Adanya Transaksi Jual
Beli, Masalah-masalah Hukum,
Volume 34. No. 4 Oktober –
Desember 2005.
I Wayan Sukada, Perlunya Penelitian
SSB dalam Penerapan Undang-
Undang Pajak daerah dan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[46]
Retribusi Daerah (Menyikapi
Surat Edaran Kepala BPN
Nomor: 5/SE/IV/2013) dalam
http://www.kemenkeu.go.id/sites/
default/files/artikel_220813.pdf,
Rabu, 10 Februari 2016 Pukul
01.34Wib.
Muhammad Erzal, Pengertian Dasar
Hukum dalam
http://bloganakjahat.blogspot.co.i
d/2014/12/pengertian-peristiwa-
akibat-dan.html, diakses pada
hari Selasa, 09 Februari 2016
Pukul 23.52Wib
Muhammad Fauzan, Hukum
Pemerintahan Daerah, Kajian
tentang Hubungan antara Pusat
dan Daerah, Yogyakarta:
Kerjasama PKHKD FH
UNSOED dengan UII Press,
2006.
Peraturan Menteri Negara
Agraria/Ka.BPN Nomor 3 Tahun
1997 tentang Ketentuan
Pelaksanaan PP 24 Tahun 1997
tentang Pendaftaran Tanah.
Peraturan Pemerintah Nomor 24
Tahun 1997 tentang Pendaftaran
Tanah.
Seksi SKP Kantor Pertanahan
Kabupaten Tomohon Provinsi
Sulawesi Utara dalam
http://seksiskpkantahkotatomoho
n.blogspot.co.id/2013/10/uu-no-
28-tahun-2009-tentang-
pajak.html, diakses padal 10
Februari 2016.
Undang-Undang Nomor 28 Tahun
2009 tentang Pajak dan Retribusi
Daerah.
Undang-Undang Nomor 5 Tahun
1960 tentang Ketentuan Dasar
Pokok-pokok Agraria.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[47]
ANALISIS PREFERENSI KONSUMEN BUAH PISANG
DI PASAR TRADISIONAL DAN PASAR MODERN DI KOTA MEDAN
Faoeza Hafiz Saragih
Staf Pengajar Prodi Agribisnis Universitas Medan Area
Surel: [email protected]
ABSTRACT
Traditional market and modern market were last part of bananas marketing that
has an advantages for consumers. The aim of this study was to analyze the factors
which influence the consumer behaviour of bananas fruits in the traditional
markets and modern markets. The method used in this research is analysis factor.
Factors that influence consumers behavior in traditional market bananas fruit is
the the factor with atribute fruit product variables and packaging, while the
factors that influence the oranges consumers behaviour in modern markets is the
factor with atribute fruit product variables and access variable.
Keywords: Bananas, behavior, modern, traditional,market.
Pendahuluan
Indonesia dengan struktur
perekonomian yang cenderung
agraris harus memperkokoh sektor
pertanian melalui strategi
pembangunan sektor pertanian yang
semakin tangguh. Pengembangan
agribisnis sebagai salah satu strategi
pembangunan pertanian merupakan
suatu upaya yang sangat penting
untuk mencapai beberapa tujuan,
antara lain menarik dan mendorong
industri baru di sektor pertanian,
menciptakan struktur perekonomian
yang tangguh, orefisien dan fleksibel,
menciptakan nilai tambah (value
added), meningkatkan penerimaan
devisa, menciptakan lapangan kerja
dan memperbaiki distribusi
pendapatan. Pengembangan agro-
industri merupakan salah satu upaya
untuk meningkatkan nilai tambah
produk primer komoditas pertanian yang sekaligus dapat mengubah
sistem pertanian tradisional menjadi
lebih maju (Artika dan Marini, 2016).
Komoditi pertanian yang saat ini
cukup potensial untuk dikembangkan
adalah komoditi buah-buahan.
Indonesia merupakan negara tropis
yang kaya dengan aneka jenis buah-
buahan. Beberapa komoditi buah-
buahan ada yang diekspor dan
dikonsumsi di dalam negeri yang
berarti budidaya buah-buahan juga
dilakukan secara komersil.
Buah pisang merupakan buah
yang sangat bermanfaat bagi
kehidupan manusia, yang dapat
dikonsumsi kapan saja dan pada
segala tingkatan usia. Di daerah
sentra buah pisang, ketersediaan
buah pisang seringkali dalam jumlah
banyak dan keragaman varietas yang
luas sehingga dapat membantu
mengatasi kerawanan pangan. Pisang
dapat digunakan sebagai alternatif
pangan pokok karena mangandung
karbohidrat yang tinggi, sehingga
dapat menggantikan sebagian
konsumsi beras dan terigu. Untuk keperluan tersebut, digunakan buah
pisang mentah yang kemudian diolah
menjadi berbagai produk, baik
melalui pembuatan gaplek dan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[48]
tepungnya maupun olahan langsung
dari buahnya (Prabawati, dkk, 2008).
Pisang merupakan salah satu
diantara tanaman asli Indonesia.
Dimana salah satu jenis pisang yang
terdapat di Indonesia adalah pisang
barangan (musa paradisiaca
sapientum L.) Pisang barangan
merupakan salah satu komoditi buah
unggulan nasional, hampir setiap
wilayah banyak dijumpai pisang
jenis ini. Tanaman pisang barangan
dibudidayakan secara komersial dan
keuntungannya tidak kalah jika
dibandingkan dengan komoditi lain
(Satuhu, 2006).
Sejalan dengan perkembangan
dunia, masyarakat mulai beralih pada
hal yang bersifat modern dan
meninggalkan hal yang bersifat
tradisional. Dimana terlihat dari
perilaku konsumen saat ini yang
lebih suka berbelanja di pasar
modern dari pada di pasar
tradisional. Di pasar modern kualitas
barang yang diperjualbelikan lebih
baik, kemasan yang higienis dan
suasana yang nyaman sehingga
konsumen leluasa untuk memilih
barang (Kartika,N.Y. 2010).
Pada pasar tradisional jenis
barang yang dihasilkan biasanya
mempunyai kualitas yang kurang
baik, kemasan yang tidak ada serta
suasana yang kurang nyaman.
Namun masih banyak juga
konsumen yang tetap belanja di pasar
tradisional dikarenakan harganya
yang murah. Buah pisang yang
terdapat di kedua pasar ini
mempunyai spesifikasi yang
berbeda, dimana pada pasar modern
buah pisang biasanya telah disortir
berdasarkan atribut produk tertentu
seperti ukuran, warna, bentuk dan
lain-lain. Pada pasar tradisional buah
pisang yang dijual tidak mempunyai
atribut produk sendiri, sehingga
pisang yang dijual tidak mempunyai
keseragaman bentuk, warna dan
ukuran. Oleh karena itu perlu
kiranya untuk melihat faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku
konsumen buah pisang di pasar
modern dan pasar tradisional
Metode
Metode yang digunakan dalam
penelitian ini adalah metode survai
(Singarimbun,1989). Jumlah sampel
yang diambil sebanyak 60 sampel
konsumen buah posang. Pada pasar
tradisional dan pasar modern jumlah
sampel yang akan diambil masing-
masing 30 sampel, sehingga jumlah
sampel yang diuji dalam penelitian
ini sebanyak 60 orang. Adapun pasar
tradisonal dan pasar modern yang
dijadikan sampel dalam penelitian ini
adalah Pasar Tuntungan dan
Carefour.
Untuk menganalisis pengaruh
atribut produk terhadap konsumsi
pisang dipasar tradisional dan pasar
modern dilakukan dengan statistik
parametrik. Statistik parametrik yang
digunakan adalah analysis factor.
Metode ini untuk mengetahui
prioritas masyarakat dalam membeli
buah di pasar tradisional dan pasar
modern secara demografis dengan
jenis buah dan tingkat ekonomi
masyarakat.
Untuk mengukur preferensi dan
persepsi atribut buah pisang
digunakan kuesioner yang berisi
pertanyaan mengenai preferensi
masyarakat beserta alasannya,
persepsi masyarakat terhadap atribut
kualitas dalam membeli buah yang
terdapat di Pasar Tradisional dan
Pasar Modern. Kuesioner disebarkan
terhadap sejumlah konsumen.
Pertanyaan persepsi masyarakat
dalam membeli buah pada kuesioner
dibatasi dengan bantuan atribut,
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[49]
seperti: ukuran buah, bentuk buah,
warna buah, rasa buah, kehiegenisan
buah dan aroma buah. Disampng
atribut buah variabel lain yang diuji
adalah ketersediaan buah, promosi,
harga, akses, pelayanan dan
potongan harga Sistem penilaiannya
ini menggunakan jawaban dengan
nilai1-5.
Hasil dan Pembahasan
Pisang merupakan buah yang
sepanjang tahun dijual dipasar
tradisional dengan berbagai jenis
variannya. Terdapat perbedaan
pisang yang dijual dipasar tradisional
dan pasar modern. Dipasar
tradisional, pisang yang dijual tidak
mempunyai standar baik ukuran,
warna, bentuk dan kesegaran,
sedangkan dipasar modern pisang
yang dijual mempunyai standar yang
tidak dimiliki oleh pasar tradisional.
Dari 12 variabel yang diuji untuk
pisang dibedakan berdasarkan
pasarnya, yaitu pasar tradisional dan
pasar modern. Berikut adalah hasil
analisis faktor untuk kedua pasar
tersebut.
a. Pasar Tradisional.
Pasar Tuntungan yang dijadikan
sampel dalam penelitian ini banyak
terdapat pedagang buah. Dimana
buah yang dijual di pasar Tuntungan
beraneka ragam termasuk didalam-
nya pisang barangan. Berikut adalah
hasil analisis faktor preferensi
konsumen buah pisang barangan.
Dari hasil analisis faktor pada
tabel 1 diketahui bahwa terdapat 12
variabel yang dikelompokkan
menjadi 3 faktor konsumen membeli
pisang dipasar tradisional. Besarnya
pengaruh faktor-faktor tersebut
terhadap pembelian pisang di pasar
tradisional berdasarkan pada
besarnya persentase varians yang
dirumuskan pada tabel 2.
b. Pasar Modern
Pasar modern dalam penelitian
ini adalah Supermarket Carefour.
Dimana buah yang dijual di Carefour
tidak hanya dari buah lokal namun
juga buah impor. Berikut adalah
hasil analisis faktor preferensi
konsumen buah pisang barangan.
Tabel 1. Hasil Analisis Faktor Komoditi Pisang pada Pasar Tradisional
Atribut Variabel Faktor
1 2 3
Rasa .828 -.164 -.184
Segar .844 .225 .000
Aroma .847 .324 .109
Pengemasan .839 .009 .326
Warna .367 .822 .076
Ketersediaan -.188 .831 .185
Akses .198 .858 .134
Ukuran .096 .512 -.165
Promosi -.325 .518 .552
HargaMurah .211 -.026 .917
Diskon .049 .355 .916
Pelayanan .000 .477 -.660
% Varians 26.583 26.404 22.138
% Cumulative 26.583 52.987 75.125
Sumber : Data Diolah
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[50]
Tabel 2. Hasil Analisis Pengaruh Tiga Faktor Konsumen Membeli Pisang
Berdasarkan Persentase Varians di Pasar Tradisional Faktor Persentase Varian
Faktor 1 (Rasa, Segar, Aroma, Pengemasan)
Faktor 2 (Warna, Ketersediaan, Akses, Ukuran)
Faktor 3 (Promosi, Harga, Diskon, Pelayanan)
26,583
26,404
22,138
Sumber : Data Diolah
Tabel 3. Hasil Analisis Faktor Komoditi Pisang pada Pasar Modern
Atribut Variabel Faktor
1 2 3 4
Rasa .892 .165 .043 -.054
Kesegaran .922 .194 .000 -.052
Warna .778 .057 .168 -.151
Akses .644 .328 .026 .486
Aroma .554 .672 -.076 .114
Promosi -.066 .852 -.075 -.008
HargaMurah .375 .729 -.255 .091
Diskon .268 .823 .032 -.110
Pengemasan .517 .223 -.711 .274
Pelayanan .159 -.398 .760 .190
Ukuran .460 .289 .736 .150
Ketersediaan -.173 -.080 .087 .934
% Varians 41,424 18,208 10,716 9,876
% Cumulative 41,424 59,631 70,347 80,214
Sumber : Data Diolah
Tabel 4. Hasil Analisis Pengaruh Empat Faktor Konsumen Membeli Pisang
Berdasarkan Persentase Varians di Pasar Modern Faktor Persentase Varian
Faktor 1 (Rasa, Kesegaran, Warna, Akses)
Faktor 2 (Aroma, Promosi, Harga, Diskon)
Faktor 3 (Pengemasan, Pelayanan, Ukuran)
Faktor 4 (Ketersediaan)
42,424
18,208
10,716
9,876
Sumber : Data Diolah
Berdasarkan hasil analisis faktor
pada tabel 3 diketahui bahwa
terdapat 12 variabel yang
dikelompokkan menjadi 4 faktor
konsumen membeli pisang dipasar
modern. Besarnya pengaruh faktor-
faktor tersebut terhadap pembelian
pisang di pasar modern berdasarkan
pada besarnya persentase varians
yang dirumuskan pada tabel 4 dapat
diketahui bahwa faktor 1 mempunyai
tingkat persentase yang cukup besar
apabila dibandingkan dengan ketiga
faktor yang lain. Didalam faktor 1
selain variabel atribut buah terdapat
variabel akses didalamnya, hal ini
menunjukkan kemudahan konsumen
dalam menjangkau pasar modern
yang terletak dipusat kota menjadi
variabel penting konsumen untuk
membeli pisang barangan. Untuk
faktor keempat yaitu variabel
ketersediaan menjadi pilihan terakhir
konsumen dalam memutuskan untuk
membeli pisang.
Konsumen dalam memutuskan
untuk membeli pisang di pasar
tradisional dan pasar modern sangat
berbeda. Di pasar tradisional 12
variabel terbagi menjadi 3 faktor
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[51]
sedangkan di pasar modern terbagi
atas 4 faktor konsumen memutuskan
membeli pisang. Pada pasar
tradisional ketiga faktor yang
terbentuk tidak mempunyai persen-
tase perbedaan pengaruh yang cukup
besar namun rasa, kesegaran, aroma
dan pengemasan menjadi variabel
yang menjadi pertimbangan utama
konsumen membeli. Pada pasar
modern rasa dan kesegaran juga
menjadi variabel yang dipertim-
bangkan oleh konsumen ditambah
dengan warna dan akses.
Pada pasar modern aroma tidak
menjadi variabel yang dipertim-
bangkan dikarenakan konsumen
mempunyai keloyalan terhadap
produk yang dijual dipasar modern
dengan penyampaian promosi yang
dilakukan. Hal ini ditunjukkan
dengan variabel promosi terdapat
pada faktor 2, sedangkan pada pasar
tradisional variabel promosi terdapat
pada faktor yang ketiga. Kemasan
dipasar tradisional sangat diperhi-
tungkan dikarenakan pisang tidak
mempunyai standar yang baku,
sedangkan dipasar modern semua
produk buah dikemas dengan baik
dan rapi.
Simpulan
Faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumen buah pisang pada
pasar tradisional adalah faktor yang
terdiri variabel atribut produk buah
yaitu rasa, kesegaran, aroma dan
pengemasan, sedangkan faktor yang
tidak berpengaruh besar terhadap
perilaku konsumen adalah variabel
atribut harga. Pada pasar modern
faktor yang mempengaruhi perilaku
konsumen buah pisang adalah faktor
yang terdiri variabel atribut produk
buah yaitu rasa, kesegaran, warna
dan akses, sedangkan faktor yang
tidak berpengaruh besar terhadap
perilaku konsumen adalah
ketersediaan.
Berdasarkan hasil penelitian ini,
pedagang sebaiknya mempertim-
bangkan faktor-faktor beserta
variabel yang mempengaruhi
keputusan konsumen dalam membeli
buah pisang sebagai salah satu
strategi dalam meningkatkan
penjualan sehingga pendapatan akan
meningkat.
Daftar Pustaka
Artika, I.B dan Marini, I. A. (2016).
Analisis Nilai Tambah (Value
Added) Buah Pisang Menjadi
Kripik Pisang di Kelurahan
Babakan Kota Mataram. Jurnal
GaneC Swara Vol. 10 No. 1
Kartika, N.Y. dkk. (2010). Analisis
Perilaku Konsumen Buah di
Pasar Tradisional dan Pasar
Modern Kecamatan Kaliwates,
Kabupaten Jember. Jurnal J-SEP
Vol. 4 No. 1.
Prabawati, S dkk. (2008). Teknologi
Pascapanen dan Pengolahan
Buah Pisang. Balai Besar
Penelitian dan Pengembangan
Pascapanen Pertanian Balitbang
Pertanian.Jakarta
Sujianto, E.A. (2007). Aplikasi
Statistik Dengan SPSS Untuk
Pemula. Prestasi Pustaka.
Jakarta
Singarimbun, M. (1989). Metode
Penelitian Survai. LP3ES.
Jakarta
Satuhu, S. (2006). Budidaya,
Pengolahan dan Prospek Pasar
Pisang. Penebar Swadaya.
Jakarta.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[52]
ANALISIS PENDAPATAN DAN BEBAN OPERASIONAL
DALAM MENGHASILKAN LABA OPERASI
PADA PT KERETA API INDONESIA (PERSERO)
DIVISI REGIONAL I SUMUT
Fitri Wahyuni
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Surel: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana pendapatan dan beban
operasional dalam menghasilkan laba operasi, faktor-faktor yang menyebabkan
perusahaan mengalami kerugian, serta upaya yang telah dilakukan perusahaan
dalam menghasilkan laba operasi. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
perusahaan tidak mampu mengoptimalkan pendapatan dan mengefesiensikan
beban operasionalnya sehingga perusahaan tidak dapat menghasilkan laba operasi.
Faktor yang menyebabkan perusahaan mengalami kerugian yaitu besarnya beban
operasi sarana dan meningkatnya beban operasi prasarana dan beban optimalisasi
aset setiap tahunnya serta menurunnya pendapatan yang berasal dari angkutan
kereta api (KA) barang dan pendapatan pendukung angkutan KA. Upaya yang
dilakukan perusahaan dalam menghasilkan laba operasi yaitu lebih
mengoptimalkan pendapatan angkutan KA penumpang dan barang, serta
pendapatan optimalisasi aset, memaksimalkan kinerja unit operasional,
meningkatkan pelayanan terhadap kepuasan pelanggan serta membatasi dan
memilah biaya yang akan dikeluarkan oleh setiap unit.
Kata Kunci: efisiensi, optimalisasi, kinerja unit operasional
Pendahuluan
Dalam menjalankan kegiatan
operasionalnya, PT KAI (Persero)
membagi tanggung jawab ke dalam
Divisi Regional (Divre), salah
satunya adalah Divre I Sumatera
Utara. Berbagai sumber bacaan yang
membahas mengenai keunggulan
kereta api diantaranya, transportasi
ini berdampak ekonomis dalam
pemakaian ruang karena dapat
mengangkut banyak penumpang
dalam sekali pemberangkatan dan
sarana transportasi ini tidak polutif
sehingga menjawab masalah
lingkungan hidup yang kini menjadi
perhatian banyak pihak serta kereta
api ini juga merupakan sarana
transportasi yang memiliki tingkat
keamanan yang tinggi. Seharusnya
hal tersebut menjadi peluang besar
dalam meningkatkan pendapatan
karena kebutuhan masyarakat
terhadap kereta api akan semakin
besar.
Pendapatan pada PT KAI
(Persero) Divre I Sumut terbagi atas
5 macam pendapatan yaitu:
pendapatan angkutan kereta api
penumpang, pendapatan angkutan
kereta api barang, pendapatan
pendukung angkutan kereta api,
pendapatan usaha non angkutan dan
kompensasi pemerintah. Pendapatan
angkutan kereta api penumpang yaitu
pendapatan yang diperoleh dari
angkutan penumpang yang berasal
dari kelas eksekutif, bisnis dan
ekonomi. Pendapatan angkutan
kereta api barang yaitu pendapatan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[53]
yang diperoleh dari angkutan barang
berupa batu bara, bahan bakar
minyak, peti kemas, perkebunan,
parcel/hantaran dan lainnya.
Pendapatan pendukung angkutan
kereta api yaitu pendapatan yang
diperoleh dari pendukung angkutan
kereta api. Pendapatan usaha non
angkutan yaitu pendapatan yang
diperoleh selain dari angkutan kereta
api. Kompensasi pemerintah yaitu
pendapatan yang berasal dari subsidi
pemerintah.
Beban operasional merupakan
salah satu faktor penting karena
semua kegiatan perusahaan tidak
terlepas dari biaya. Menurut
Suwardjono (2003; 82) beban
operasional merupakan beban yang
terjadi dalam rangka untuk
memperoleh pendapatan operasional.
Jika perusahaan dapat
mengendalikan beban operasional
seminimal mungkin, maka
perusahaan tersebut dapat
mengoptimalkan pendapatannya
yang akan berdampak baik terhadap
laba.
Laba merupakan salah satu
ukuran kemampuan perusahaan
dalam melakukan kegiatan
operasional usahanya. Laba
dibutuhkan sebagai tolak ukur bagi
manajemen sejauhmana efisiensi
kebijakan yang diambil dalam usaha
peningkatan laba operasi. Untuk
memperoleh laba operasi, perusaha-
an dapat berupaya meningkatkan
pendapatan perusahaan dengan biaya
yang efisien sehingga pada akhir
periode biaya yang akan dibebankan
akan bernilai rendah. Menurut
Mulyadi (2002; 22) menyatakan
bahwa sebagai upaya untuk
menghasilkan dan meningkatkan
laba, ada dua hal yang dapat
diupayakan. Pertama, dengan
berupaya untuk menghasilkan
pemasukan dan pendapatan sebesar
mungkin dengan biaya yang rendah.
Kedua, apabila pemasukan tidak
dapat optimal maka biaya yang harus
turun.
Pada PT KAI (Persero) Divre I
Sumut beban operasional yang terdiri
dari beban operasi sarana, beban
operasi prasarana dan beban
optimalisasi aset. Beban operasi
sarana adalah semua beban yang
dikeluarkan untuk kegiatan operasi
perawatan sarana perkereta-apian.
Sementara beban operasi prasarana
adalah semua beban yang
dikeluarkan untuk kegiatan operasi
prasarana pendukung perkeretaapian.
Dan beban optimalisasi aset adalah
semua beban yang dikeluarkan untuk
perawatan guna mengoptimalisasi-
kan aset kereta api.
Tidak semua perusahaan dapat
mencapai laba operasi yang positif
atau bahkan meningkat. Ada
sebagian perusahaan yang
memperoleh laba operasi yang
meningkat namun ada juga
perusahaan yang tidak mampu
menghasilkan laba operasi
disebabkan terjadinya kerugian.
Tabel 1
Pendapatan, Beban Operasional dan Laba (Rugi) Operasi
PT KAI (Persero) Divre I Sumut
Tahun Pendapatan Beban Operasional Laba (Rugi) Operasi
2011 Rp137.383.174.388 Rp171.843.230.512 (Rp34.460.056.124)
2012 Rp164.619.911.433 Rp195.249.636.370 (Rp30.629.724.937)
2013 Rp162.630.893.192 Rp182.089.153.505 (Rp19.458.260.313)
Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[54]
Tabel 1 menunjukkan bahwa
selama 3 tahun terakhir, PT KAI
(Persero) Divre I Sumut mengalami
kerugian mulai tahun 2011 hingga
tahun 2013 disebabkan beban
operasional lebih besar dari pada
pendapatan yang diperoleh. Walau-
pun kerugian perusahaan setiap
tahunnya mengalami penurunan,
namun perusahaan belum juga
mampu untuk menghasilkan laba
operasi.
Pada tahun 2012, pendapatan
mengalami peningkatan yang
kemungkinan disebabkan oleh
peningkatan pendapatan angkutan
kereta api penumpang dan barang.
Akan tetapi, peningkatan pendapatan
tersebut juga diikuti dengan
peningkatan terhadap beban
operasional yang mengalami
peningkatan pula pada tahun 2012.
Penentuan beban operasional
akan berbeda pada setiap perusahaan.
Dimana semakin besar perusahaan
akan memiliki beban operasional
yang semakin besar pula. Hal ini
mengharuskan adanya manajemen
yang terampil dalam mengelola
setiap biaya yang dikeluarkan
perusahaan guna menghasilkan laba
yang maksimal. Perusahaan akan
memperoleh laba jika pendapatan
yang diperoleh lebih besar dari
biayanya.
Pada tahun 2011 sampai dengan
tahun 2013, besarnya beban
operasional yang melebihi besarnya
pendapatan kemungkinan disebabkan
perusahaan tidak melakukan efisiensi
terhadap biaya yang dikeluarkan
yaitu beban operasi prasarana dan
beban optimalisasi aset yang
semakin besar pula sehingga
perusahaan tidak mampu untuk
menghasilkan laba operasi. Keadaan
perusahaan yang mengalami
kerugian ini menyebabkan harus
adanya kebijakan yang dilakukan
perusahaan untuk dapat meminimal-
kan beban operasional sehingga
perusahaan memanfaatkan penda-
patan yang terus meningkat agar
dapat menghasilkan laba operasi.
Salah satu unsur kesuksesan dari
aktivitas operasional perusahaan
adalah adanya laba operasi.
Alasannya untuk mencapai laba
diukur dari operating profit karena
operating profit ini disebut murni
(pure profit). Hal ini dikarenakan
jumlah tersebutlah yang benar-benar
diperoleh dari operasional peru-
sahaan. (Soemarso 2009; 227).
Dengan tercapainya laba operasi
yang optimal, maka akan
memberikan kesejahteraan bagi
semua pihak yang berkepentingan
terhadap perusahaan dan akan
meningkatkan nilai dari perusahaan
serta menjaga kelangsungan hidup
perusahaan (going concern).
Pentingnya laba operasi ini sejalan
dengan Henry Simamora (2000; 45)
yang menyatakan bahwa laba operasi
diharapkan akan dicapai setiap tahun,
oleh karenanya angka ini
menyatakan kemampuan perusahaan
untuk hidup dan mencapai laba yang
pantas.
Rumusan masalah.
a. Bagaimana pendapatan dan beban
operasional dapat menghasilkan
laba operasi perusahaan?
b.Faktor-faktor apa saja yang
menyebabkan perusahaan
mengalami kerugian?
c. Apa saja upaya yang telah
dilakukan perusahaan dalam
menghasilkan laba operasi?
Dari rumusan diatas maka tujuan dari
penelitian ini adalah untuk
mengetahui bagaimana pendapatan
dan beban operasional dapat
menghasilkan laba operasi
perusahaan dan untuk mengetahui
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[55]
faktor-faktor yang menyebabkan
perusahaan mengalami kerugian.
Selanjutnya untuk mengetahui upaya
yang telah dilakukan perusahaan
dalam menghasilkan laba operasi.
Kajian Teori
Pendapatan menjadi faktor
terbesar dalam meningkat ataupun
menurunnya laba yang dihasilkan
perusahaan setiap tahunnya. Setiap
perusahaan tidak hanya berpatokan
pada kemampuan menghasilkan
pendapatan yang tinggi dari
penjualan barang atau jasa, tetapi
juga pengendalian terhadap beban.
Dimana dalam menghasilkan
pendapatan selalu dibarengi dengan
beban operasional yang melekat
padanya. Keduanya sangat berkaitan
erat dalam setiap kegiatan
operasional perusahaan dalam rangka
menghasilkan laba.
Pada dasarnya beban operasional
merupakan dasar yang memberikan
perlindungan bagi perusahaan dari
kemungkinan kerugian. Kerugian
akan mengakibatkan suatu usaha
tidak dapat tumbuh dan akan
mencerminkan kemunduran bagi
perusahaan. Untuk menghindari
keadaan tersebut, salah satunya
adalah dengan menghasilkan
pendapatan yang paling tidak bisa
menutupi beban operasional yang
dikeluarkan perusahaan. Oleh karena
itu, penetapan beban operasional
sangat berpengaruh terhadap laba
yang diperoleh perusahaan nantinya.
Laba operasi merupakan selisih dari
pendapatan dengan beban
operasional. Dalam mencapai tingkat
pendapatan yang optimal, perusa-
haan harus mampu mengendalikan
beban operasional. Untuk itu,
perusahaan dikatakan baik apabila
mampu menghasilkan laba operasi
yang maksimal dengan
mengoptimalkan pendapatan yang
tinggi serta mampu meng-
efesiensikan beban operasionalnya
Metode
Penelitian dimulai bulan
November 2014 sampai dengan
bulan Maret 2015. Sumber data
berasal dari laporan keuangan
auditan seperti laporan laba rugi
selama 3 tahun terakhir dimulai dari
tahun 2011, 2012, dan 2013 serta
data yang dikumpulkan melalui
wawancara.
Teknik pengumpulan data yang
digunakan adalah studi dokumentasi
dan wawancara. Teknik analisis data
adalah analisis deskriptif. Adapun
langkah-langkah yang dilakukan
penulis dalam analisis deskriptif ini
adalah sebagai berikut: Tahap
Pertama: (a) Mengumpulkan data
yang dibutuhkan untuk penelitian
berupa laporan keuangan seperti
laporan laba rugi selama 3 tahun
terakhir. (b) Mengikhtisarkan
pendapatan dan beban operasional
selama 3 tahun terakhir. (c)
Membandingkan pendapatan dan
beban operasional dengan laba (rugi)
operasi selama 3 tahun terakhir. (d)
Menginterprestasikan terhadap
pendapatan, beban operasional
dengan laba (rugi) operasi tersebut.
Tahap Kedua: (a) Melakukan
wawancara kepada pejabat yang
bersangkutan yaitu asisten manajer
anggaran dan asisten manajer
keuangan mengenai faktor yang
menyebabkan perusahaan mengalami
kerugian dan upaya apa saja yang
telah dilakukan perusahaan dalam
menghasilkan laba operasi. (b)
Menarik kesimpulan jawaban atas
wawacara tersebut.
Tahap Ketiga: Menganalisis hasil
temuan penelitian kemudian
memberikan kesimpulan dan saran
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[56]
sehingga memberikan gambaran
yang jelas mengenai keadaan
perusahaan tersebut
Operasional Variabel
a. Pendapatan
Pendapatan merupakan sumber
pemasukan yang diperoleh
perusahaan dalam rangka melakukan
kegiatan operasional perusahaan.
Pendapatan itu terdiri dari jumlah
pendapatan angkutan kereta api
penumpang, jumlah pendapatan
angkutan kereta api barang, jumlah
pendapatan pendukung angkutan
kereta api, jumlah pendapatan usaha
non angkutan dan jumlah
kompensasi pemerintah.
1. Pendapatan angkutan kereta api
penumpang diperoleh dari
jumlah pendapatan angkutan
penumpang dari kelas eksekutif,
kelas bisnis dan kelas ekonomi.
2. Pendapatan kereta api barang
diperoleh dari jumlah
pendapatan yang angkutan
barang berupa kereta api barang
batu bara, bahan bakar minyak,
peti kemas, semen, perkebunan,
parcel/hantaran, logam/besi baja
dan kereta barang lainnya.
3. Pendapatan pendukung angkutan
kereta api diperoleh dari jumlah
suplisi, bagasi, pendapatan
angkutan lanjutan dan
pendapatan pendukung angkutan
kereta api lainnya.
4. Pendapatan usaha non angkutan
diperoleh dari jumlah
pendapatan yang diperoleh
selain dari angkutan kereta api
yaitu pekerjaan pihak ketiga
(penjualan jasa teknis),
pendapatan optimalisasi aset
yaitu sewa menyewa,
pendapatan KSO dan
pendapatan KSU serta
pendapatan non angkutan
lainnya.
5. Kompensasi pemerintah yaitu
pendapatan yang berasal dari
subsidi pemerintah baik sebagai
bentuk kewajiban pelayanan
publik (PSO), sebagai bentuk
subsidi angkutan perintis dan
kontribusi Negara untuk
penyediaan prasarana (IMO).
b. Beban Operasional
Beban operasional adalah beban-
beban yang dikeluarkan dalam
kegiatan operasional perusahaan
untuk memperoleh pendapatan.
Beban operasional itu terdiri dari
jumlah beban operasi sarana, jumlah
beban operasi prasarana dan jumlah
beban optimalisasi aset.
1. Beban operasi sarana merupakan
jumlah beban yang dikeluarkan
untuk operasi sarana seperti beban
bahan bakar minyak dan listrik
aliran atas, beban perawatan
sarana perkeretaapian serta beban
penyusutan gedung dan fasilitas
perawatan sarana baik di Dipo dan
Balaiyasa, beban pendukung
kantor unit sarana, beban
pendukung operasional, beban
sewa guna usaha sarana dan
fasilitas bengkel, beban bahan
bakar minyak All In, beban
pegawai operasional dan komersil,
beban penyusutan sarana
perkeretaapian, beban pendukung
angkutan kereta api, dan beban
terminal peti kemas.
2. Beban operasi prasarana
merupakan jumlah beban yang
dikeluarkan untuk operasi
prasarana seperti beban perawatan
prasarana pendukung angkutan
kereta api, beban perawatan dan
operasi prasarana perkeretaapian
(IMO), beban sewa prasarana
(TAC), beban penyusutan aktiva
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[57]
tetap prasarana, beban amortisasi,
beban stasiun, beban K.3, dan
beban asuransi penyelenggaraan
prasarana.
3. Beban optimalisasi aset
merupakan jumlah beban yang
dikeluarkan untuk mengoptimali-
sasikan aset yang dimiliki seperti
beban perawatan optimalisasi aset
PT Kereta Api Indonesia, beban
pendukung kantor unit komersil,
beban pegawai komersil bagian
optimalisasi aset, dan beban
penyusutan aktiva tetap.
c. Laba Operasi
Laba operasi adalah selisih antara
pendapatan dengan beban
operasional.
Hasil dan Pembahasan.
Pendapatan. Pendapatan mengalami
peningkatan pada tahun 2012 bila
dibandingkan tahun 2011. Hal ini
disebabkan oleh peningkatan penda-
patan angkutan KA penumpang yang
terjadi karena melonjaknya kenaikan
jumlah penumpang yang berasal dari
kelas eksekutif dan kelas bisnis, serta
peningkatan pendapatan angkutan
KA barang yang terjadi pada tahun
2012 karena meningkatnya peng-
angkutan kereta api yang
mengangkut barang hasil perkebunan
dan barang lainnya.
Peningkatan pendapatan pada
tahun 2012 juga disebabkan oleh
peningkatan pendapatan usaha non
angkutan. Peningkatan pendapatan
usaha non angkutan disebabkan oleh
adanya pekerjaan pihak ke-3 yaitu
penjualan jasa teknis di tahun 2012
serta meningkatnya pendapatan dari
optimalisasi aset berupa sewa
menyewa aset KA kepada pihak
umum.
Namun, pada tahun 2013
pendapatan mengalami penurunan
bila dibandingkan tahun 2012. Hal
ini disebabkan pendapatan pendu-
kung angkutan KA yang berasal dari
suplisi (pungutan ongkos di atas
kereta api tanpa tiket) mengalami
penurunan. Penurunan pendapatan
pada tahun 2013 juga disebabkan
oleh pendapatan angkutan KA
barang yang mengalami penurunan.
Penurunan pendapatan angkutan KA
barang disebabkan oleh menurunnya
pengangkutan KA yang mengangkut
barang hasil perkebunan, barang
parcel/hantaran, dan barang lainnya
di tahun 2013.
Beban operasi. Dari data tabel 3
terlihat bahwa beban operasional
mengalami peningkatan pada tahun
2012 bila dibandingkan tahun 2011.
Hal ini disebabkan oleh peningkatan
beban optimalisasi aset yang terjadi
karena adanya beban perawatan aset
property dan beban penyusutan
aktiva tetap pada tahun 2012 serta
meningkatnya beban pendukung
kantor unit komersial dan beban
pegawai komersial di tahun 2012.
Peningkatan beban operasional
pada tahun 2012 juga disebabkan
oleh peningkatan beban operasi
sarana. Peningkatan beban operasi
sarana terjadi karena meningkatnya
beban penyusutan sarana perkereta-
apian serta meningkatnya beban
BBM All In yang terjadi pada tahun
2012.
Namun, pada tahun 2013 beban
operasional mengalami penurunan
bila dibandingkan tahun 2012. Hal
ini disebabkan menurunnya beban
operasi sarana. Penurunan beban
operasi sarana ini disebabkan oleh
menurunnya beban perawatan sarana
perkeretaapian di Balaiyasa, beban
BBM All In, dan beban penyusutan
sarana perkeretaapian di tahun 2013.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[58]
Tabel 2 Pendapatan PT KAI (Persero) Divre I Sumut Tahun 2011-2013
Pendapatan Tahun % Peningkatan/Penurunan
2011 2012 2013 2011 2012 2013
1. Pendapatan Angkutan KA Penumpang
a.Kelas Eksekutif 18.500.097.000 23.370.046.354 21.530.435.100 - 26,32% -7,87%
b. Kelas Bisnis 40.661.325.000 45.787.172.500 42.026.114.500 - 12,61% -8,21%
c. Kelas Ekonomi 20.463.554.400 20.235.281.596 26.407.797.500 - -1,12% 30,50%
Jumlah 79.624.976.400 89.392.500.450 89.964.347.100 - 12,27% 0,64%
2. Pendapatan Angkutan KA Barang
a. KA Barang BBM 21.952.902.556 21.947.820.443 21.982.209.600 - -0,02% 0,16%
b. KA Barang
Perkebunan 27.083.875.755 42.890.574.850 37.489.309.682 - 58,36% -12,59%
c. KA Barang
Parcel/Hantaran 2.862.407.300 2.981.745.000 2.699.175.500 - 4,17% -9,48%
d. KA Barang
Lainnya 361.556.220 859.967.220 238.325.782 - 137,85% -72,29%
Jumlah 52.260.741.831 68.680.107.513 62.409.020.564 - 31,42% -9,13%
3. Pendapatan Pendukung Angkutan KA
a. Suplisi 79.938.500 76.987.500 24.537.500 - -3,69% -68,13%
4. Pendapatan Usaha Non Angkutan
a. Penjualan
Jasa Teknis - 5.000.000 4.940.965.791 - 100,00% 98719,3%
b. Pendapatan
Optimalisasi Aset (Sewa
Menyewa)
5.239.927.657 6.300.510.970 5.254.760.204 - 20,24% -16,60%
c. Pendapatan
Nonangkutan
Lainnya
177.590.000 164.805.000 37.262.033 - -7,20% -77,39%
Jumlah 5.417.517.657 6.470.315.970 10.232.988.028 - 19,43% 58,15%
5. Kompensasi
Pemerintah - - - - - -
Total Pendapatan 137.383.174.388 164.619.911.433 162.630.893.192 - 19,83% -1,21%
Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut
Tabel 3. Beban Operasional PT KAI (Persero) Divre I Sumut
Tahun 2011-2013 Beban
Operasional
Tahun % Peningkatan/Penurunan
2011 2012 2013 2011 2012 2013
Beban Operasi Sarana
Beban BBM dan
Listrik Aliran Atas 25.873.620.270 23.138.578.594 25.234.811.108 - -10,57% 9,06%
Perawatan Sarana
Perkeretaapian di
Dipo
12.509.910.912 14.972.388.691 20.316.391.841 - 19,68% 35,69%
Perawatan Sarana
Perkeretaapian di
Balaiyasa
27.424.521.310 30.409.008.776 2.766.835.818 - 10,88% -
90,90%
Beban Pendukung
Operasional 4.990.128.549 3.288.207.182 8.072.454.745 - -34,11%
145,50
%
Beban Pendukung
Kantor Unit Sarana - - 202.323.312 - -
100,00
%
Beban BBM All In 5.012.663.227 7.889.003.746 2.675.362.115 - 57,38% -
66,09%
Beban Pegawai Operasional dan
Komersial
24.448.616.019 28.744.457.808 30.295.585.122 - 17,57% 5,40%
Beban Penyusutan (5.290.365.912) 4.329.731.100 2.076.773.018 - 181,84% -
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[59]
Beban
Operasional
Tahun % Peningkatan/Penurunan
2011 2012 2013 2011 2012 2013
Sarana
Perkeretaapian
52,03%
Beban Pendukung
Angkutan KA 1.216.528.091 411.954.546 3.400.544.202 - -66,14%
725,47
%
Jumlah Beban
Operasi Sarana 96.185.622.466 113.183.330.443 95.041.081.281 - 17,67%
-
16,03
%
Beban Operasi
Prasarana
Beban Perawatan
Prasarana
Pendukung Angkutan KA
483.561.771 574.394.727 543.929.655 - 18,78% -5,30%
Beban Perawatan
dan Operasi Prasarana
Perkeretaapian
68.368.331.376 62.254.905.652 76.163.661.321 - -8,94% 22,34%
Beban Penyusutan
AT Prasarana 236.744.473 151.203.683 995.822.054 - -36,13%
558,60
%
Beban Amortisasi - - 193.496.100 - - 100,00
%
Beban Stasiun 4.773.908.903 11.141.997.105 2.212.496.013 - 133,39% -
80,14%
Beban K3 990.970.107 3.337.458.809 1.551.446.010 - 236,79% -
53,51%
Jumlah Beban
Operasi
Prasarana
74.853.516.630 77.459.959.976 81.660.851.153 - 3,48% 5,42%
Beban Optimalisasi Aset
Beban Perawatan
Aset Property
PTKA
- 806.371.059 891.743.773 - 100,00% 10,59%
Biaya Pdkg
Kantor Unit
Komersial-Property
526.258.735 990.755.382 1.060.874.791 - 88,26% 7,08%
Beban Pegawai Komersial-
Property-
Optimalisasi
277.832.681 2.711.706.552 3.350.510.665 - 876,02% 23,56%
Beban
Penyusutan AT - 97.512.958 84.091.843 - 100,00%
-
13,76%
Jumlah Beban
Optimalisasi
Aset
804.091.416 4.606.345.951 5.387.221.072 - 472,86% 16,95%
Total Beban
Operasional 171.843.230.512 195.249.636.370
182.089.153.50
6 - 13,62% -6,74%
Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut
Dari data tabel 4 terlihat bahwa
pertumbuhan laba operasi mengalami
peningkatan pada tahun 2012 dan
2013 walaupun perusahaan masih
mengalami kerugian. Hal ini di-
sebabkan peningkatan pendapatan,
namun perusahaan belum mampu
mengurangi beban operasional,
bahkan ada beberapa akun beban
yang meningkat.
Pada tahun 2012, pendapatan
yang mengalami peningkatan yaitu
pendapatan KA barang dan
pendapatan usaha non angkutan. Dan
di tahun 2012, beban operasional
juga mengalami peningkatan yang
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[60]
disebabkan oleh meningkatnya beban
operasi sarana dan beban
optimalisasi aset.
Pada tahun 2013, penurunan
beban operasional juga diikuti
dengan penurunan pendapatan. Dan
penurunan beban operasional lebih
besar dari pendapatan yang juga
mengalami penurunan, sehingga
memperkecil kerugian. Tahun 2013,
beban operasional yang mengalami
penurunan yaitu beban operasi
sarana. Sedangkan pendapatan yang
juga mengalami penurunan yaitu
berasal dari pendapatan KA barang
dan pendapatan pendukung angkutan
KA. Pendapatan PT Kereta Api
Indonesia (Persero) Divre I Sumut
tahun 2012, mengalami peningkatan
dari tahun 2011. Pendapatan yang
mengalami peningkatan yaitu penda-
patan angkutan KA penumpang dan
barang serta pendapatan usaha non
angkutan. Beban operasional juga
mengalami peningkatan, yakni beban
operasi sarana, beban operasi
prasarana dan beban optimalisasi
aset. Peningkatan beban operasi
sarana dan beban operasi prasarana
ini dilakukan untuk menunjang
pendapatan angkutan KA penum-
pang dan pendapatan angkutan KA
barang. Dan peningkatan beban
optimalisasi aset ini dilakukan untuk
menunjang pendapatan usaha non
angkutan yang bersumber dari
penjualan jasa teknis kepada pihak
ketiga dan sewa menyewa aset KA
kepada pihak umum. Dari tahun
2011 sampai dengan tahun 2013,
perusahaan masih mengalami
kerugian sehingga perusahaan tidak
mampu menghasil-kan laba operasi
setiap tahunnya.
Tabel 4 Laba Operasi PT KAI (Persero) Divre I Sumut Tahun 2011-2013 Laporan Laba
Rugi
Tahun % Peningkatan/Penurunan
2011 2012 2013 2011 2012 2013
Pendapatan
Pendapatan KA
Penumpang 79.624.976.400 89.392.500.450 89.964.347.100 - 12,27% 0,64%
Pendapatan KA
Barang 52.260.741.831 68.680.107.513 62.409.020.564 - 31,42% -9,13%
Pendapatan
Pendukung
Angkutan KA
79.938.500 76.987.500 24.537.500 - -3,69% -
68,13%
Pendapatan
Usaha Non
Angkutan
5.417.517.657 6.470.315.970 10.232.988.028 - 19,43% 58,15%
Kompensasi
Pemerintah - - - - - -
Total
Pendapatan 137.383.174.388 164.619.911.433 162.630.893.192 - 19,83% -1,21%
Beban
Operasional -
Beban Operasi
Sarana 96.185.622.466 113.183.330.443 95.041.081.281 - 17,67% -16,03%
Beban Operasi
Prasarana 74.853.516.630 77.459.959.976 81.660.851.153 - 3,48% 5,42%
Beban
Optimalisasi Aset 804.091.416 4.606.345.951 5.387.221.072 -
472,86
% 16,95%
Total Beban
Operasional 171.843.230.512 195.249.636.370 182.089.153.506 - 13,62% -6,74%
Laba (Rugi)
Operasi (34.460.056.124) (30.629.724.937) (19.458.260.314) - 12,51% 57,41%
Sumber : Laporan Keuangan Auditan PT KAI (Persero) Divre I Sumut
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[61]
Hal ini disebabkan beban
operasional yang dikeluarkan lebih
besar dari pendapatan yang
diperoleh. Namun demikian,
kerugian yang dialami perusahaan
mengalami penurunan setiap
tahunnya. Henry Simamora (2000,
hal 45) menyatakan bahwa laba
operasi diharapkan akan dicapai
setiap tahun, oleh karenanya angka
ini menyatakan kemampuan
perusahaan untuk hidup dan
mencapai laba yang pantas.
Faktor-faktor Penyebab Kerugian.
Faktor penentu laba adalah
pendapatan dan beban. Jika
pendapatan lebih besar dari pada
beban operasional maka perusahaan
akan mendapatkan laba operasi.
Namun, apabila terjadi sebaliknya
beban operasional lebih besar dari
pada pendapatan maka perusahaan
mendapatkan rugi operasi.
Pada tahun 2012, peningkatan
beban operasional lebih besar dari
pada peningkatan pendapatannya.
Hal ini disebabkan meningkatnya
beban operasi sarana, beban operasi
prasarana dan beban optimalisasi
aset. Peningkatan beban operasi
sarana disebabkan meningkatnya
beban perawatan sarana perkereta-
apian di Dipo dan Balaiyasa, beban
BBM All In, beban pegawai
operasional dan komersial, serta
beban penyusutan sarana
perkeretaapian. Peningkatan beban
operasi prasarana disebabkan
meningkatnya beban perawatan
prasarana pendukung angkutan KA,
beban stasiun, dan beban K3
(Keindahan, Kebersihan dan
Keamanan). Peningkatan beban
operasi sarana dan beban operasi
prasarana ini dilakukan untuk
menunjang pendapatan angkutan KA
penumpang dan pendapatan
angkutan KA barang. Peningkatan
beban optimalisasi aset di tahun 2012
disebabkan meningkatnya beban
perawatan aset properti, beban
pendukung kantor Unit Komersial,
beban pegawai komersial, dan beban
penyusutan aktiva tetap. Peningkatan
beban optimalisasi aset ini dilakukan
untuk menunjang pendapatan usaha
non angkutan yang bersumber dari
penjualan jasa teknis kepada pihak
ketiga dan sewa menyewa aset KA
kepada pihak umum.
Pada tahun 2013, penurunan
pendapatan lebih besar dari pada
penurunan beban operasionalnya.
Hal ini disebabkan penurunan
pendapatan angkutan KA barang dan
pendapatan pendukung angkutan
KA. Penurunan pendapatan angkutan
KA barang disebabkan tingkat
pendapatan KA barang yang
dilakukan untuk mengangkut hasil
perkebunan, pengiriman parcel/
hantaran dan barang lainnya oleh
pihak/instansi pengguna jasa kereta
api mengalami penurunan.
Penurunan pendapatan pendu-
kung angkutan KA yang diperoleh
dari suplisi terus mengalami
penurunan di tahun 2013 karena
telah diberlakukannya secara efektif
pembayaran tiket dengan sistem
online sehingga pendapatan
pungutan ongkos di atas kereta tanpa
tiket (suplisi) menjadi berkurang.
Pada 3 (tiga) tahun periode
pengamatan, perusahaan masih
mengalami kerugian. Tahun 2012,
disebabkan pendapatan mengalami
peningkatan disertai dengan beban
operasional yang mengalami
peningkatan pula. Dan pada tahun
2013, beban operasional mengalami
penurunan, tetapi pendapatan juga
mengalami penurunan. Rendahnya
pendapatan ini disebabkan
perusahaan kurang mampu
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[62]
mengoptimalkan pendapatan yang
berasal dari angkutan KA barang
diantaranya barang bahan bakar
minyak, barang perkebunan, barang
parcel/hantaran, dan barang lainnya.
Demikian pula dengan tingginya
beban operasional sehingga
pendapatan yang diterima tidak
mampu menutupi beban operasional
walaupun pendapatan mengalami
peningkatan. Pendapatan merupakan
faktor penentu dalam menghasilkan
laba, tetapi jika tidak mampu
meminimalisir beban maka tidak
akan bisa menghasilkan laba yang
tinggi.
Upaya Yang Telah Dilakukan
Perusahaan Dalam Menghasilkan
Laba Operasi. Setiap perusahaan
tidak hanya berpatokan pada
kemampuan menghasilkan
pendapatan yang tinggi dari
penjualan barang atau jasa, tetapi
juga pengendalian terhadap beban.
Laba yang maksimal akan diperoleh
dengan pendapatan yang optimal dan
mengefisiensikan beban operasi.
Setiap tahunnya, perusahaan
tidak mampu untuk menghasilkan
laba operasi karena beban
operasional lebih besar dari pada
pendapatannya sehingga perusahaan
mengalami kerugian. Hal ini
menunjukkan bahwa perusahaan
tidak mampu dalam mengefisiensi
beban operasionalnya. Hasil ini
sejalan dengan penelitian Pebriyanti
(2013) di PT Petro Multi Guna
Tanjung Pinang yang meneliti
tentang pengaruh efisiensi biaya
operasional terhadap laba bersih
dengan perputaran persediaan
sebagai variabel pemoderasi yang
menunjukkan bahwa efisiensi biaya
operasional berpengaruh positif
terhadap laba bersih. Artinya, bahwa
jika perusahaan melakukan tingkat
efesiensi terhadap biaya
operasionalnya semakin tinggi maka
laba yang akan dihasilkan akan
semakin tinggi pula. Sebaliknya, jika
perusahaan melakukan tingkat
efesiensi terhadap biaya
operasionalnya semakin rendah maka
laba yang akan dihasilkan akan
semakin rendah pula.
Namun, kerugian yang dialami
perusahaan mengalami penurunan.
Hal ini membuktikan bahwa ada
upaya yang telah dilakukan oleh
perusahaan dalam menghasilkan laba
operasi. Menurut Mulyadi (2002, hal
22) menyatakan bahwa sebagai
upaya untuk menghasilkan dan
meningkatkan laba, ada dua hal yang
dapat diupayakan. Pertama, dengan
berupaya untuk menghasilkan
pemasukan dan pendapatan sebesar
mungkin dengan biaya yang rendah.
Kedua, apabila pemasukan tidak
dapat optimal maka biaya yang harus
turun.
Upaya yang telah dilakukan
perusahaan dalam menghasilkan laba
operasi adalah:
(1). Meningkatkan pendapatan
sebesar mungkin dengan biaya yang
rendah, caranya dengan
mengoptimalkan pendapatan angkut-
an KA penumpang dan barang. Hal
ini menjadi tanggung jawab Manajer
Komersial. Asisten Manajer
Pengusahaan Aset bertanggungjawab
untuk mampu mengoptimalkan aset
perusahaan, seperti memaksimalkan
aset perusahaan dengan melakukan
revitalisasi rumah-rumah dinas dan
melakukan penyewaan tanah untuk
disewakan ke umum sehingga dapat
menunjang pendapatan dari
optimalisasi aset perusahaan.
Dalam menunjang peningkatan
pendapatan ini dibarengii dengan
peran penting dari Unit Penagihan.
Hal ini menjadi tanggung jawab
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[63]
Asisten Manajer Penagihan untuk
melakukan penagihan secara
maksimal atas aset-aset perusahaan
yang disewakan tersebut.
Memaksimalkan kinerja Unit
Operasi, Unit Sarana dan Unit Jalan
Rel dan Jembatan. Hal ini dilakukan
untuk memperlancar kegiatan
operasional perusahaan dan mendu-
kung sarana dan prasarana dalam
menunjang pendapatan untuk
menghasilkan laba, termasuk
meningkatkan pelayanan terhadap
kepuasan pelanggan dengan
diterapkannya pembayaran tiket
secara online yang dapat
memudahkan pengguna jasa kereta
api.
(2). Mengefesiensikan beban.
Asisten Manajer Anggaran
bertanggungjawab untuk mengecek
kewajaran biaya yang dianggarkan
oleh setiap unit tersebut dan memilah
pengeluaran yang akan diajukan oleh
setiap unit agar dapat menekan
pengeluaran biaya sehingga
mendahulukan pengeluaran yang
lebih prioritas untuk segera
direalisasikan. Hal ini dimaksudkan
agar biaya yang akan dikeluarkan
dapat diefesiensikan penggunaannya.
Namun, kenyataannya beban
operasional perusahaan setiap
tahunnya lebih besar dari pada
pendapatannya.
Dari upaya-upaya yang telah
dilakukan, akan tetapi perusahaan
tetap tidak mampu untuk
menghasilkan laba operasi setiap
tahunnya. Hal demikian menjadi
tanggung jawab manajemen di
seluruh unit yang ada untuk dapat
menghasilkan laba operasi.
Simpulan
Pendapatan dan beban operasional
perusahaan mengalami penurunan di
tahun 2013. Hal ini menunjukkan
bahwa perusahaan tidak mampu
untuk mengoptimalkan pendapatan
sehingga pendapatan tersebut tidak
dapat menutupi beban operasional
yang telah dikeluarkan oleh
perusahaan.
Beban operasional perusahaan
dari tahun 2011 sampai dengan tahun
2013 lebih besar dari pada
pendapatan. Hal ini menunjukkan
bahwa perusahaan tidak mampu
untuk melakukan efesiensi terhadap
beban operasionalnya, walaupun
kerugian yang dialami perusahaan
mengalami penurunan setiap
tahunnya.
Faktor yang menyebabkan
perusahaan mengalami kerugian
yaitu besarnya beban operasi sarana
dan meningkatnya beban operasi
prasarana dan beban optimalisasi
aset setiap tahunnya. Serta
menurunnya pendapatan yang
berasal dari angkutan KA barang
diantaranya barang Bahan Bakar
Minyak, barang perkebunan, barang
parcel/hantaran, dan barang lainnya
serta menurunnya pendapatan
pendukung angkutan KA yang
berasal dari suplisi.
Upaya yang dilakukan
perusahaan dalam menghasilkan laba
operasi yaitu lebih mengoptimalkan
pendapatan angkutan KA
penumpang dan barang,
mengoptimalkan pendapatan yang
bersumber dari optimalisasi aset,
memaksimalkan kinerja Unit
Operasi, Unit Sarana dan Unit Jalan
Rel dan Jembatan, meningkatkan
pelayanan terhadap kepuasan
pelanggan serta membatasi dan
memilah biaya yang akan
dikeluarkan oleh setiap unit. Hal
demikian menjadi tanggung jawab
manajemen di seluruh unit yang ada
untuk mampu menghasilkan laba
operasi.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[64]
Daftar Pustaka
Arfan Ikhsan, dkk. (2013). Teori
Akuntansi. Bandung: Citapustaka
Media Perintis.
Bastian Bustami dan Nurlela (2013).
Akuntansi Biaya (Edisi 4).
Jakarta: Mitra Wacana Media.
Darsono Prawironegoro dan Ari
Purwanti (2008). Akuntansi
Manajemen. Jakarta: Mitra
Wacana Media.
Destiana Rahayu (2013). “ Pengaruh
Beban Pemeliharaan Sarana dan
Prasarana Terhadap Laba Operasi
Pada PT KAI (Persero) DAOP II
Bandung Periode 2006-2011”.
Skripsi Akuntansi. Program Studi
Pendidikan Akuntansi
Universitas Pendidikan
Indonesia, 2013.
Firdaus Ahmad Dunia (2008).
Ikhtisar Lengkap Pengantar
Akuntansi (Edisi Ketiga). Jakarta:
Salemba Empat.
___________________ dan Wasilah
Abdullah (2014). Akuntansi
Biaya (Edisi 3). Jakarta: Salemba
Empat.
Hansen dan Mowen (2009).
Managerial Accounting. Jakarta:
Salemba Empat.
Harahap, Sofyan Safri (2013). Teori
Akuntansi Edisi Revisi. Jakarta:
Rajawali Pers.
Harnanto (2003). Akuntansi
Keuangan Menengah.
Yogyakarta: BPFE Yogyakarta.
Ikatan Akuntan Indonesia (2009).
Standar Akuntansi Keuangan.
Jakarta: Salemba Empat.
I Wayan Bayu Wisesa1, dkk. (2014).
“Pengaruh Volume Penjualan
Mente dan Biaya Operasional
Terhadap Laba Bersih Pada UD.
Agung Esha Karangasem Tahun
2013”. Jurnal Akuntansi. Jurusan
Pendidikan Ekonomi Universitas
Pendidikan Ganesha Singaraja,
Indonesia.
Meiza Efilia (2014). “Pengaruh
Pendapatan Usaha dan Beban
Operasional Terhadap Laba
Bersih Pada Perusahaan Kimia
dan Keramik, Porselin dan Kaca
Yang Terdaftar di Bursa Efek
Indonesia Periode 2008-2012”.
Jurnal Akuntansi. Fakultas
Ekonomi Universitas Maritim
Raja Ali Haji Tanjung Pinang.
M. Hanafi dan Abdul Halim (2007).
Analisis Laporan Keuangan
(Edisi 3). Yogyakarta: UPP
STIM YKPN.
Mulyadi (2001). Akuntansi
Manajemen (Konsep, Manfaat
dan Rekayasa Edisi 3). Jakarta:
Salemba Empat.
_______(2002). Akuntansi
Manajemen. Bandung: Program
Studi Akuntansi.
Nakman Harahap dan Dwi kumala
(2008). “Pengaruh Efisiensi
Biaya Produksi Terhadap Laba
Bersih (Studi Kasus PT
Perkebunan Nusantara III
(Persero) Medan”. Jurnal
Akuntansi. Fakultas Ekonomi
Universitas Sumatera Utara.
Pebriyanti (2013). “Pengaruh
Efisiensi Biaya Operasional
Terhadap Laba Bersih Dengan
Perputaran Persediaan Sebagai
Variabel Pemoderasi (Studi
Kasus Pada PT Petro Multi Guna
Tanjung Pinang)”. Jurnal
Akuntansi. Fakultas Ekonomi
Universitas Maritim Raja Ali
Haji Tanjung Pinang.
Sigit Hermawan dan Masyhad
(2006). Akuntansi Untuk
Perusahaan Jasa Dan Dagang.
(edisi pertama). Yogyakarta:
Graha Ilmu.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[65]
Simamora, Henry (2000). Akuntansi,
Basis Pengambilan Keputusan
Bisnis. Jakarta: Salemba Empat.
Soemarso (2009). Akuntansi Suatu
Pengantar. Jakarta: Salemba
Empat.
Sugiyono (2007). Metode Penelitian
Bisnis Bandung: CV. Alfabeta
Suwardjono (2008). Teori Akuntansi
Perekayasaan Pelaporan
Keuangan. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Ummi Habibi Husni Anas (2014).
“Analisis Penjualan Dan Biaya
Operasional Dalam Menghasil-
kan Laba Operasi Pada PT. Coca
Cola Distribution Indonesia
Medan”. Skripsi Akuntansi.
Fakultas Ekonomi Universitas
Muhammadiyah Sumatera Utara,
Mei 2014.
Usman Kusumah dan Amalia
Suzanti (2009). “Analisis
Pengaruh Biaya Produksi dan
Penjualan Bersih Terhadap Laba
Bersih (Studi Kasus Pada PT
PDAM Tirtanadi)”. Jurnal
Akuntansi. Fakultas Ekonomi
Universitas Siliwangi.
Zaki Baridwan (2004). Intermediate
Accounting. Yogyakarta: BPFE
Yogyakarta.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[66]
ANALISIS JUMLAH PENGANGGURAN DAN KETENAGAKERJAAN
TERHADAP KEBERADAAN USAHA MIKRO KECIL DAN MENENGAH
(UMKM) TAHUN 2007-2012 DI KOTA MEDAN
1Koko Tampubolon,
2Herlin Silalahi,
3Fransisca Natalia Sihombing
1Program Magister Agroekoteknologi, Fakultas Pertanian USU, Medan 2Program Studi Pendidikan Ekonomi, Fakultas Ekonomi UNIMED, Medan
3Program Studi Pendidikan Tataniaga, Fakultas Ekonomi UNIMED, Medan
Surel: [email protected]
ABSTRACT
The presence and role of micro, small and medium enterprises (SMEs) have an
impact on economic progress and improvement of the economic situation both at
regional and at the center. With the SMEs are expected to absorb the labor force,
thereby reducing the number of unemployed in Medan city. This study was
conducted to determine whether there is a relationship between unemployment
and employment of the SMEs in Medan city. This research was conducted in
Medan city with descriptive research. The results of this study are variable
number of unemployed (X1) can reduce the number of micro, small and medium
enterprises in Medan city at 0.005 units. The number of unemployed increased by
1 percent, the number of SMEs in Medan city decreased by 0.18%. Variable
employment (X2) can increase the number of micro, small and medium enterprises
in Medan city at 0.004 units. Total employment increased by 1 percent, the
number of SMEs in Medan city increased by 1.07%. The coefficient of multiple
determination (r2) of 0.5580. This shows that 55.80% of SMEs affected by
unemployment and employment in Medan city, while 44.20% are influenced by
other factors not examined (lack of capital, lack of business networks, limited
facilities and infrastructure business, the implications of regional autonomy, and
the implications of free trade). Correlation coefficient (r) of 0.747. This indicates
that the independent variable (the number of unemployed and employment) and
the dependent variable (SMEs) were positively correlated linear, unidirectional
and the relationship is very strong.
Keywords: Unemployment, employment, SMEs and Medan City.
Pendahuluan
Di era globalisasi, saat dunia
semakin transparan, kita akan
menyaksikan bagaimana hebatnya
persaingan bisnis dan perusahaan
nasional, perang ekonomi lewat
perdagangan antarbangsa yang
berebut menguasai pasar dunia
dalam bidang barang dan jasa. Salah
satunya usaha yang mampu
mengeimbangi di era globalisasi ini
adalah usaha mikro kecil menenga
(UMKM) yang sedang di gerakkan
oleh pemerintah dalam salah satu
kebijakanya yaitu ekonomi kreatif
untuk memperdayakan masyarakat.
Usaha mikro, kecil dan
menengah (UMKM) merupakan
basis usaha rakyat, yang secara
mengejutkan mampu bertahan di
masa kritis 1997/1998. Saat itu
banyak usaha besar bergelimpangan,
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[67]
mengalami pailit didera pahitnya
krisis. Pada saat bersamaan,
perbankan tidak mampu lagi
membantu usaha besar karena
mereka sendiri memiliki masalah
pula sehingga menambah parah
penderitaan usaha besar. Tidak
demikian halnya dengan UMKM,
yang dapat bertahan pada badai krisis
karena struktur keuangan mereka
yang tidak banyak bergantung pada
perbankan, meski mereka tetap
memanpaatkan jasa perbankan, baik
untuk transaksi maupun untuk
menjaga keamanan. Sebagian besar
pelaku UMKM ini mengandalkan
seluruh permodalannya sendiri yang
bersumber pada tabungan pribadi,
pinjaman dari bank, kerabat atau
tetangga bahkan tak jarang yang
perolehannya melalui pinjaman ke
lembaga keuangan bukan bank. Di
sisi lain, UMKM yang umumnya
padat karya ini juga mampu
menyerap tenaga kerja dalam jumlah
cukup besar.
Jumlah usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) saat ini
berjumlah 99.8% dari total usaha
ekonomi yang ada di kota Medan.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 60,4 juta atau
87,5 persen dari total tenaga kerja
keseluruhan. Kenyataan ini telah
membuka mata sekaligus
menyadarkan kita betapa besar
ketergantungan roda perekonomian
nasional terhadap sektor ini. UMKM
yang umumnya padat karya ini juga
mampu menyerap tenaga kerja dalam
jumlah yang cukup besar. Kenyataan
ini telah membuka mata sekaligus
menyadarkan kita betapa besar
ketergantungan roda perekonomian
nasional terhadap sektor ini.
Di tingkat daerah khususnya
Kota Medan, kita dapat melihat
bahwa secara umum pertumbuhan
perekonomian Kota Medan tidak
terlepas dari kontribusi UMKM. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah
pertumbuhan UMKM yang ada di
Kota Medan, yaitu dari tahun 2007-
2012 mengalami fluktuasi jumlah
usaha. Pada tahun 2012 Usaha Mikro
Kecil dan Menengah meningkat
sebanyak 3635 unit. Keseluruhan
jumlah UMKM berada di 21
kecamatan yang ada di kota Medan.
Dalam beberapa dekade ini
masalah pengangguran dan
ketenagakerjaan masih merupakan
masalah besar yang dihadapi bangsa
Indonesia sekarang ini dan beberapa
tahun kedepan termasuk di tingkat
kota yaitu Medan. Tingkat
pengagguran di kota medan tercatat
dalam data Badan Pusat Statistik
(BPS), jumlah pengangguran pada
tahun 2007-2010 mengalami
peningkatan sebesar 8,20% dari
123.670 jiwa menjadi 133.811 jiwa.
Sedangkan jumlah pengangguran
pada tahun 2010-2012 mengalami
penurunan sebesar 58,35% dari
133.811 jiwa menjadi 84.501 jiwa.
Hal ini diduga adanya pengaruh
sektor UMKM dalam mengurangi
jumlah pengangguran di Kota
Medan.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), jumlah angkatan
kerja di Kota Medan pada tahun
2007-2012 mengalami fluktuasi. Hal
ini dipengaruhi pendidikan angkatan
kerja yang didominasi dari SMA
sederajat dan penerapan teknologi
dalam suatu industri UMKM. Dalam
kondisi seperti itu, Pemerintah terus
menurunkan tingkat pengangguran
menjadi sekitar 5%. Oleh sebab itu
mengatasai pengangguran di kota
Medan untuk 5–10 tahun ke depan
haruslah melalui penciptaan
kesempatan kerja langsung dalam
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[68]
bentuk kerja mandiri, usaha
keluarga, atau usaha kecil.
Berdasarkan fenomenan diatas,
model potensi perluasan kesempatan
kerja untuk mengatasi pengangguran
perlu dikembangkan. Dengan
dikembangkan berbagai potensi
perluasan kesempatan kerjanya
diharapkan skala dapat menciptakan
lapangan kerja yang dapat menyerap
tenaga kerja yang pada giliranya
dapat membantu guna
menanggulangi kemiskinan.
Berdasarkan situasi diatas,
kehadiran dan peranan UMKM tentu
saja akan memberikan pengaruh
terhadap kemajuan perekonomian
dan perbaikan pada keadaan
ekonomi baik di daerah maupun di
pusat. Dengan adanya UMKM
diharapkan mampu menyerap tenaga
kerja sehingga mengurangi jumlah
pengangguran di Kota Medan.
Kajian Pustaka
Pengertian Usaha Mikro Kecil
Menengah (UMKM). Ketentuan
Undang-Undang No. 9 Tahun 1995
tentang Usaha Kecil dan kemudian
dilaksanakan lebih lanjut dengan
Peraturan Pemerintah Nomor 44
Tahun 1997 tentang Kemitraan, di
mana pengertian UMKM adalah
sebagaimana diatur dalam Pasal 1
Undang-Undang Nomor 9 Tahun
1995 sebagai berikut: (1). Usaha
Kecil adalah kegiatan ekonomi
rakyat yang berskala kecil dan
memenuhi kriteria kekayaan bersih
atau hasil penjualan tahunan serta
kepemilikan sebagaimana diatur
dalam undang-undang ini. (2). Usaha
Menengah dan Usaha Besar adalah
kegiatan ekonomi yang mempunyai
kriteria kekayaan bersih atau hasil
penjualan tahunan lebih besar dari
kekayaan bersih dan hasil penjualan
tahunan usaha kecil.
Biro Pusat Statistik (BPS)
Indonesia Tahun 2003, meng-
gambarkan bahwa perusahaan
dengan: (1). Jumlah tenaga kerja 1-4
orang digolongkan sebagai industri
kerajinan dan rumah tangga. (2).
Perusahaan dengan tenaga kerja 5-19
orang sebagai industri kecil; (2).
Perusahaan dengan tenaga kerja 20-
99 orang sebagai industri sedang atau
menengah. (3). Perusahaan dengan
tenaga kerja lebih dari 100 orang
sebagai industri besar.
Menurut Badan Pusat Statistik
(BPS) tahun 2003, yang
mendefenisikan UMKM menurut
dua kategori, yaitu: (1). Menurut
omset. Usaha kecil adalah usaha
yang memiliki aset tetap kurang dari
Rp.200 juta dan omset per tahun
kurang Rp.1 milyar; (2). Menurut
jumlah tenaga kerja. Usaha kecil
adalah usaha yang memiliki tenaga
kerja sebanyak 5 sampai 9 orang.
Industri rumah tangga adalah industri
yang memperkerjakan kurang dari
lima orang.
Usaha mikro kecil menengah
adalah usaha yang mempunyai
modal awal yang kecil, atau nilai
kekayaan (aset) yang kecil dan
jumlah pekerja yang kecil (terbatas),
nilai modal (aset) atau jumlah
pekerjanya sesuai dengan definisi
yang diberikan oleh pemerintah atau
institusi lain dengan tujuan tertentu
(Sukirno 2004). UMKM adalah
usaha yang masih dalam skala kecil
dengan modal awal yang kecil dan
jumlah pekerja yang masih terbatas.
Karakteristik UMKM. Dalam
ketentuan UU No. 9 Tahun 1995
tentang usaha kecil, yang menjadi
kriteria usaha kecil adalah: (1).
Memiliki kekayaan paling banyak
Rp 200.000.000,- (tidak termasuk
tanah dan bangunan tempat usaha);
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[69]
(2). Memiliki hasil penjualan
tahunan paling banyak Rp
1.000.000.000; (3). Milik warga
negara Indonesia; (4). Berdiri
sendiri, bukan merupakan anak
perusahaan atau cabang perusahaan
yang dimiliki, dikuasai atau
berafiliasi baik langsung maupun
tidak langsung dengan usaha
menengah atau usaha besar; (5).
Berbentuk usaha orang perorangan,
badan usaha tidak berbadan hukum
atau badan usaha yang berbadan
hukum termasuk koperasi.
Selain itu, Sutojo (2004)
mengemukakan bahwa ciri-ciri usaha
kecil di Indonesia adalah: (1). Lebih
dari setengah usaha didirikan sebagai
pengembangan dari usaha kecil-
kecilan; (2). Selain masalah
permodalan, masalah lain yang
dihadapi usaha kecil bervariasi
tergantung dengan tingkat
perkembangan usaha; (3). Sebagian
besar usaha kecil tidak mampu
memenuhi persyaratan-persyaratan
administrasi guna memperoleh
bantuan bank; (4). Hampir 60%
usaha kecil masih menggunakan
teknologi tradisional; (5). Hampir
setengah perusahaan kecil hanya
menggunakan kapasitas terpasang
kurang dari 60%; (6). Pangsa pasar
usaha kecil cenderung menurun baik
karena faktor kekurangan modal,
kelemahan teknologi dan kelemahan
manajerial; (7). Hampir 70% usaha
kecil melakukan pemasaran langsung
kepada konsumen; (8). Tingkat
ketergantungan terhadap fasilitas-
fasilitas pemerintah sangat besar.
Tabel 1. Batasan/ Karakteristik UKM menurut beberapa organisasi Organisasi Jenis Usaha Keterangan Kriteria
Badan Pusat
Statistik (BPS)
Usaha Mikro Pekerja <5 orang termasuk keluarga yang
tidak dibayar
Usaha Kecil Pekerja 5-19 orang
Usaha Menengah Pekerja 20-99 orang
Menneg
Koperasi dan
UKM
Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Aset < Rp. 200 Juta di luar tanah dan
bangunan. Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar
Usaha Menengah (Inpres
10/1999)
Aset Rp. 200 juta Rp. 10 Milyar
Bank Indonesia Usaha Mikro (SK Dir BI No.
31/24/KEP/DIR Tgl 5 Mei
1998)
Usaha yang dijalankan oleh rakyat miskin
atau mendekati miskin: Dimiliki oleh
keluarga sumberdaya lokal dan teknologi
sederhana; Lapangan usaha mudah untuk
exit dan entry
Usaha Kecil (UU No. 9/1995) Aset < Rp. 200 juta di luar tanah dan
bangunan: Omzet tahunan < Rp. 1 Milyar
Aset < Rp. 200 juta di luar
tanah dan bangunan: Omzet
tahunan < Rp. 1 Milyar
Aset < Rp. 5 Milyar untuk sektor industri;
Aset < Rp. 600 Juta di luar tanah dan
bangunan untuk manufakturing; Omzet
tahunan < Rp.3 M
Bank Dunia Usaha Mikro Kecil Menengah Pekerja < 20 orang; Pekerja 20-150 orang;
Aset < US$. 500 ribu di luar tanah dan
bangunan
Sumber: http: //www.menlh.go.id/usaha-kecil/top/kriteria.htm
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[70]
Tabel 2. Penggolongan Jenis Usaha MODAL GOLONGAN
< 5 Juta Usaha Mikro
5 -200 Juta Usaha Kecil
201-500 Juta Usaha Menengah
>500 Juta Usaha Besar
Keterangan: *Tidak termasuk tanah dan bangunan
Sumber Dirperindag Kota Medan
Menurut Isono, dkk., (2001)
ada beberapa karakteristik yang
menjadi ciri usaha kecil, antara lain
adalah: (1). Mempunyai skala usaha
kecil, baik modal, penggunaan
tenaga kerja maupun orintasi pasar;
(2). Banyak berlokasi di wilayah
pedesaan dan kota-kota atau daerah
pinggiran kota besar; (3). Status
usaha milik pribadi atau keluarga;
(4). Sumber tenaga kerja berasal dari
lingkungan sosial budaya (etnis
geografis); (5). Pola bekerja sering
kali part time atau sebagai usaha
sampingan dari kegiatan ekonomi
lainnya; (6). Memiliki kemampuan
terbatas dalam mengadopsi
teknologi, pengelolaan usaha dan
administrasinya sendiri masih
sederhana; (7). Struktur
permodalannya sangat tergantung
pada fiskal aset, berarti kekurangan
modal kerja dan sangat tergantung
terhadap sumber modal sendiri serta
lingkungan pribadinya
Jenis-Jenis UKM. Secara umum
UKM bergerak dalam 2 (dua)
bidang, yaitu bidang perindustrian
dan bidang barang dan jasa. Menurut
Keppres No. 127 Tahun 2001,
adapun bidang/jenis usaha terbuka
bagi usaha kecil dan menengah di
bidang industri dan perdagangan
adalah sebagai berikut: (1). Industri
makanan dan minuman olahan yang
melakukan pengawetan dengan
proses pengasinan, penggaraman,
pemanisan, pengasapan, pengering-
an, perebusan, penggorengan, dan
fermentasi dengan cara-cara
tradisional; (2). Industri
penyempurnaan benang dari serat
buatan menjadi benang
bermotif/celup, ikat dengan
menggunakan alat yang digunakan
oleh tangan; (3). Industri tekstil
meliputi pertenunan, perajutan,
pembatikan, dan pembordiran yang
memiliki ciri dikerjakan dengan
ATB, atau alat yang digerakkan
tangan termasuk batik, peci, kopiah,
dan sebagainya; (4). Pengolahan
hasil hutan dan kebun golongan non
pangan : Bahan bangunan atau
rumah tangga, bambu, nipah, sirap,
arang, sabut dan Bahan industri:
getah-getahan, kulit kayu, sutra alam,
gambir; (5). Industri perkakas tangan
yang diproses secara manual atau
semi mekanik untuk pertukangan dan
pemotongan; (7). Industri perkakas
tangan untuk pertanian yang
diperlukan untuk persiapan lahan,
proses produksi, pemanenan, pasca
panen, dan pengolahan, kecuali
cangkul dan sekop; (8). Industri
barang dari tanah liat, baik yang
diglasir, maupun tidak diglasir untuk
keperluan rumah tangga; (9). Industri
jasa pemeliharaan dan perbaikan
yang meliputi otomotif, kapal
dibawah 30 GT, elektronik dan
peralatan rumah tangga yang
dikerjakan secara manual atau semi
otomatis; (10). Industri kerajinan
yang memiliki kekayaan khasanah
budaya daerah, nilai seni yang
menggunakan bahan baku alamiah
maupun imitasi.
Metode Lokasi penelitian ini dilakukan
di Kota Medan Provinsi Sumatera
Jenis penelitian ini adalah penelitian
deskriptif dengan analisis kuantitatif.
Jenis data yang digunakan dalam
penelitian ini adalah data primer
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[71]
dengan menggunakan data 5 tahun
(2007-2012) Di Kota Medan.
Sumber data yang didapatkan dari
penelitian ini adalah data primer
yaitu BPS dan dinas koperasi Kota
Medan.
Penelitian ini menggunakan
metode linear regresi berganda untuk
mengetahui seberapa besar hubungan
antara variabel independen yaitu
jumlah pengangguran dan
ketenagakerjaan terhadap variabel
dependen yaitu UMKM Di Kota
Medan. Dengan bentuk persamaan
regresi linear berganda yang dapat
dirumuskan: Y = α + β1X1 + β2X2 + e
[Keterangan: Y (usaha mikro kecil
menengah); α (koefisien konstanta);
β1 (koefisien variabel
pengangguran); β2 (koefisien
ketenagakerjaan); X1 (variabel
pengangguran); dan X2 (variabel
ketenagakerjaan)].
Hasil dan Pembahasan
Keadaan Pengangguran dan
Ketenagakerjaan di Kota Medan.
Kota Medan memiliki luas 26.510
Hektar atau 265,10 Km2 atau sama
dengan 3,6 persen dari total luas
wilayah Provinsi Sumatera Utara.
Oleh karena itu, selain memiliki
modal dasar pembangunan dengan
jumlah penduduk dan letak geografis
serta peranan regional yang relatif
terus berkembang semakin besar dan
strategis, namun Kota Medan juga
memiliki keterbatasan ruang sebagai
bagian dari daya dukung lingkungan
kota.
Kota Medan pada saat ini sedang
mengalami masa transisi demografi yang ditunjukkan dengan adanya
proses pergeseran dari suatu keadaan
dimana tingkat kelahiran dan
kematian relatif tinggi menuju
keadaan dimana tingkat kelahiran
dan kematian semakin menurun.
Dalam dimensi ketenagakerjaan,
yang sering dilihat adalah angka
pengangguran. Salah satu persoalan
pokok pembangunan kota Medan
yang dihadapi selama periode 2007-
2012 adalah relatif masih tingginya
tingkat pengangguran terbuka.
Munculnya pengangguran
disebabkan laju pertumbuhan
angkatan kerja yang jauh melampau
laju pertumbuhan kesempatan kerja,
sehingga mengakibatkan relatif
masih tingginya angka pengangguran
terbuka Di Kota Medan. Indikator
ketenagakerjaan diperoleh dari
penduduk usia 15 tahun keatas yang
dikelompokkan menjadi Penduduk
yang termasuk angkatan kerja,
bekerja, pengangguran dan penduduk
bukan angkatan Kerja. Penduduk
angkatan kerja terdiri dari mereka
yang bekerja dan menganggur
(termasuk didalamnya mereka yang
mencari kerja). Sedangkan penduduk
bukan angkatan kerja adalah mereka
yang sekolah, mengurus rumah
tangga dan lainnya.
Dalam membahas aspek
ketenagakerjaan, pada umumnya
yang paling sering dilihat adalah
angka pengangguran. Salah satu
persoalan pokok pembangunan kota
yang dihadapi selama periode 2007-
2012 adalah relatif masih tingginya
tingkat pengangguran terbuka.
Munculnya pengangguran ini
disebabkan laju pertumbuhan
angkatan kerja yang jauh melampaui
laju pertumbuhan kesempatan kerja
sehingga mengakibatkan relatif
masih tingginya angka pengangguran
terbuka di Kota Medan.
Faktor-faktor penyebab
pengangguran secara global di Kota
Medan adalah sebagai berikut: (1).
Besarnya angkatan kerja sehingga
tidak seimbang dengan kesempatan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[72]
kerja, ketidakseimbangan terjadi
karena jumlah angkatan kerja lebih
besar dari pada kesempatan kerja
yang tersedia; (2). Pendidikan
rendah, pendidikan yang rendah
dapat mengakibatkan seseorang
kesulitan mendapatkan pekerjaan;
(3). Adanya budaya pilih-pilih
pekerjaan; (4). Latar belakang
pendidikan tidak sesuai dengan
pekerjaan yang disediakan; (5).
Malasnya mencari pekerjaan,
misalnya ada seseorang lulusan
sarjana yang kemudian tidak mau
bekerja dan lebih suka meng-
gantungkan hidup pada orang tua dan
pasangannya bila sudah menikah;
(6). Tidak mau berwirausaha,
umumnya seseorang yang baru lulus
sekolah atau kuliah, mereka hanya
terpaku dalam mencari pekerjaan,
seolah itu tujuan mutlak; (7).
Kurangnya keterampilan, banyak
mahasiswa atau lulusan SMA yang
sudah mempunyai keriteria bekerja,
namun dalam teknisnya keteram-
pilannya masih kurang, sehingga
susah mencari pekerjaan.
Angka pengangguran pada tabel
3 perlu menjadi perhatian, baik yang
berkaitan langsung dengan upaya
setiap orang untuk memenuhi
kebutuhan dasarnya, sehingga dapat
hidup layak dan tidak menjadi beban
sosial, maupun untuk mendorong
mereka supaya dapat aktif secara
ekonomi. Oleh karena itu, adanya
kebijakan dasar Pemerintah Kota
Medan selama periode 2007-2012,
untuk mendorong terciptanya
lapangan kerja baru yang salah
satunya melalui penanaman modal.
Indikator ketenagakerjaan di
Kota Medan dapat dilihat dari jumlah
penduduk usia 15 tahun ke atas yang
dapat dikelompokkan menjadi 2
bagian yaitu penduduk yang
termasuk angkatan kerja dan
penduduk yang bukan angkatan
kerja. Penduduk angkatan kerja
terdiri dari mereka yang berkerja dan
penganggur (termasuk di dalamnya
orang yang mencari kerja).
Sedangkan penduduk yang bukan
angkatan kerja adalah mereka yang
sedang sekolah, mengurus rumah
tangga (IRT) dan lainnya.
Berdasarkan tabel 3 diperoleh
bahwa yang termasuk angkatan kerja
selama periode 2007-2012
mengalami perkembangan yang
fluktuatif. Dari jumlah angkatan
kerja di Kota Medan pada tahun
2007 sebanyak 729.892 jiwa, namun
pada tahun 2008 meningkat menjadi
833.832 jiwa, pada tahun 2009
menurun menjadi 824.250 jiwa, pada
tahun 2010 meningkat menjadi
886.815 jiwa, pada tahun 2011
meningkat menjadi 902.097 jiwa dan
pada tahun 2012 menurun menjadi
851.642 jiwa.
Tabel 3. Jumlah Pengangguran, Angkatan Kerja dan UMKM di Kota Medan
Tahun 2007-2012
Tahun Pengangguran (jiwa) Jumlah Angkatan Kerja (jiwa) UMKM
(unit)
2007 123.670 729.892 2570
2008 125.477 833.832 2801
2009 137.160 824.250 3235
2010 133.811 886.815 3342
2011 99.916 902.097 3184
2012 84.501 851.642 3635
Jumlah 704.535 5.028.528 18.767
Rata-Rata 117.422,50 838.088 3.127,83
Sumber : BPS Kota Medan, UMKM data yang diolah, Dinas UMKM Kota Medan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[73]
Peran UMKM Dalam Penyerapan
Tenaga kerja dan Mengurangi
Jumlah Pengangguran.
Perkembangan usaha mikro kecil dan
menengah (UMKM) di Kota Medan
pada tahun 2007-2012 terus
mengalami peningkatan kecuali pada
tahun 2011. Pertumbuhan dan
perkembangannya dari tahun ke
tahun menunjukan arah yang
signifikan. Kita dapat melihat bahwa
secara umum pertumbuhan
perekonomian kota medan tidak
terlepas dari kontribusi UMKM. Hal
ini dapat dilihat dari jumlah
pertumbuhan UMKM yang ada di
kota Medan, yaitu pada tahun 2007
jumlah usaha mikro kecil dan
menengah sebanyak 2570 unit.
Tahun 2008 jumlah usaha mikro
kecil dan menengah meningkat
menjadi 2801 unit, tahun 2009
jumlah usaha kecil menengah
meningkat menjadi 3235 unit, tahun
2010 jumlah usaha kecil menengah
meningkat menjadi 3341 unit, tahun
2011 jumlah usaha kecil menengah
menurun menjadi 3184 unit dan
tahun 2012 jumlah usaha kecil
menengah meningkat 3635 unit.
Usaha mikro kecil dan
menengah ini terdiri dari usaha
makanan, minuman, kerajinan
tangan, furniture, jasa, dan
percetakan. Jumlah usaha mikro
kecil dan menengah (UMKM) saat
ini berjumlah 99.8% dari total usaha
ekonomi yang ada di kota Medan.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), mampu menyerap
tenaga kerja sebanyak 60,4 juta atau
87,5 persen dari total tenaga kerja
keseluruhan.
Jika kita lihat dari jumlah usia,
maka usia kisaran 26-35 tahun
sebanyak (43.28%). Selanjutnya
diikuti oleh umur 36-45 tahun
sebanyak (40.30%). Untuk umur 17-
25 tahun sebanyak (5.97%). Untuk
umur 46-55 tahun sebanyak (5.97%).
Untuk umur 56-65 tahun sebanyak
(2.99%). Sedangkan persentase
terkecil berada pada kisaran >65
tahun sebanyak (1.49%). Gambaran
keadaan tersebut menjelaskan bahwa
sebagian besar pengusaha UMKM
termasuk dalam umur produktif.
Deskriptif karakteristik sampel
berdasarkan tingkat pendidikan
dimana persentase terbanyak adalah
SMA/Sederajat sebanyak (62.69%).
Pendidikan SMP sebanyak (17.9%).
Sarjana (S1) sebanyak (13.43%). SD
sebanyak (4.49%). Sedangkan
persentase terkecil berada pada
Diploma (D1, D2, D3) sebanyak
(1.49%). Ini menunjukan bahwa
sebagian besar pengusaha UMKM
masih di dominasi oleh orang-orang
yang lulusan di tingkat SMP dan
SMA sederajat.
Pengaruh Jumlah Pengangguran
dan Ketenagakerjaan Terhadap
keberadaan UMKM Berdasarkan hasil perhitungan
diperoleh koefisien regresi linear
berganda untuk X1 = -0.005 X2 =
0.004 . Sedangkan konstanta regresi
adalah 504.622 sehingga persamaan
regresi linear berganda adalah
sebagai berikut:
Y = α + β1X1 + β2X2
Y = 504.622 - 0.005 X1 + 0.004 X2
Nilai konstanta ( ) nilai ini berarti jika semua variabel
independen (jumlah pengangguran
dan tenaga kerja) sama dengan nol
atau dianggap konstan maka jumlah
usaha mikro kecil dan menengah di
Kota Medan sebesar 504.622 unit.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[74]
Tabel 4. Koefisisen Korelasi
Berganda (R)
Nilai koefisien ( ) ,
artinya setiap kenaikan 1 (satu) nilai
variabel independen (jumlah
pengangguran) akan menurunkan
variabel dependen (jumlah usaha
mikro kecil dan menengah) di Kota
Medan sebesar 0.005 unit. Untuk
mengetahui tingkat responsif
(sensitifitas) dari variabel dependen
(UMKM) terhadap variabel
independen (jumlah pengangguran),
maka dihitung elastisitas rata-rata
dari variabel Y terhadap variabel X1
dengan menggunakan rumus:
= elastisitas rata-rata dugaan
= koefisien regresi dari variabel X1
= nilai rata-rata dari variabel independen X1
= nilai rata-rata dari variabel dependen
Maka nilai elastisitas rata-rata
dugaan dalam penelitian ini adalah:
E1 = -0,187
Nilai koefisien ( ) artinya setiap kenaikan 1 (satu) nilai
variabel independen (tenaga kerja)
akan meningkatkan variabel
dependen (jumlah usaha mikro kecil
dan menengah) di Kota Medan
sebesar 0.004 unit. Untuk
mengetahui tingkat responsif
(sensitifitas) dari variabel dependen
(UMKM) terhadap variabel
independen (ketenagakerjaan), maka
dihitung elastisitas rata-rata dari
variabel Y terhadap variabel X2
dengan menggunakan rumus:
Dimana: = elastisitas rata-rata dugaan; = koefisien
regresi dari variabel X2; = nilai rata-rata dari variabel
independen X2; = nilai rata-rata dari variabel
dependen.
Maka nilai elastisitas rata-rata dugaan
dalam penelitian ini adalah:
E1 = 1,072
Uji F untuk mengetahui apakah
variabel-variabel independen (X)
secara simultas (keseluruhan)
signifikan terhadap variabel dependen
(Y). Dengan taraf kepercayaan 0,05. Uji F di atas menunjukkan bahwa
nilai F hitung sebesar 1.892 lebih
kecil dibandingkan dengan nilai Sig
0.294b maka variabel jumlah
pengangguran dan ketenagakerjaan
berpengaruh nyata (terima H1)
terhadap variabel UMKM.
Uji determinasi menunjukkan
bahwa nilai (R Square) sebesar
0,558. Hal ini menunjukkan bahwa
55,80% keragaman variabel usaha
mikro kecil dan menengah (UMKM)
dapat dijelaskan oleh variabel jumlah
pengangguran dan ketenagakerjaan
melalui hubungan linier dan sisanya
44,20% dipengaruhi oleh variabel
lain yang tidak diteliti (kurangnya
modal, lemahnya jaringan usaha,
terbatasnya sarana dan prasarana
usaha, implikasi otonomi daerah, dan
implikasi perdagangan bebas).
Tabel 5. Uji F variabel dependen
UMKM ANOVA
a
Model Sum of
Squares
df Mean
Square
F Sig.
1
Regression 410419.183 2 205209.591 1.892 .294b
Residual 325303.651 3 108434.550
Total 735722.833 5
Tabel 6. Koefisisen determinasi (R)
dan Uji autokorelasi Durbin-
Watson Model Summary
b
Model R R Square
Adjusted R
Square
Std. Error of the
Estimate
Durbin-Watson
1 .747a .558 .263 329.294 2.489
Dari tabel 6 terlihat bahwa nilai
Durbin-Watson pada uji autokorelasi
terhadap variabel jumlah
pengangguran dan ketenagakerjaan
Coefficientsa
Model Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
t Sig.
B Std.
Error
Beta
1
(Constant) 504.622 2495.108 .202 .853
Jumlah Pengangguran
-.005 .007 -.286 -.716 .525
Ketenagakerjaan .004 .003 .615 1.539 .221
Sumber : Pengolahan Data dengan IBM SPSS Statistics 20
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[75]
sebesar 2,489. Hal ini menunjukkan
tidak terjadinya autokorelasi atau
tidak adanya penyimpangan yang
terjadi antara residual pada satu
pengamatan dengan pengamatan lain
pada model regresi ini.
Berdasarkan tabel 6 diperoleh
koefisien korelasi (r) sebesar 0,747.
Hal ini menunjukkan bahwa variabel
X (jumlah pengangguran dan
ketenagakerjaan) dan variabel Y
(UMKM) berkorelasi linier yang
positif, searah dan hubungannya
sangat kuat.
Keberadaan UMKM di Kota
Medan sangat berpengaruh terhadap
jumlah pengangguran dan penyera-
pan tenaga kerja. Oleh sebab itu
pemerintahan Kota Medan sebaiknya
meningkatkan kepedulian terhadap
UMKM dengan cara memberikan
perhatian lebih terhadap perkem-
bangannya melalui pemberian
bantuan modal, seminar usaha,
pelatihan dan izin usaha. Selain itu,
pemerintah Kota Medan sebaiknya
mengadakan pameran per tiga bulan
di setiap kecamatan untuk
memperkenalkan produk-produk
home industry kepada masyarakat
sehingga masyarakat berminat untuk
mengkonsumsi dan memakai produk
yang dihasilkan, bahkan dapat
melakukan penjualan ke kabupaten
lainnya yang ada di Provinsi
Sumatera Utara. Hal ini akan
berdampak pada peningkatan laba
usaha, peningkatan output, dan
perluasan usaha. Dengan adanya
perluasan usaha maka UMKM
mampu menyerap tenaga kerja dan
mengurangi jumlah pengangguran Di
Kota Medan.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa jumlah pengangguran dapat
menurunkan jumlah UMKM di Kota
Medan sebesar 0.005 unit. Elastisitas
dari jumlah pengangguran -0,187
dapat diinterprestasikan bahwa
jumlah pengangguran meningkat 1
persen maka jumlah UMKM di Kota
Medan mengalami penurunan
sebesar 0,18%.
Ketenagakerjaan dapat mening-
katkan jumlah UMKM di Kota
Medan sebesar 0.004 unit. Elastisitas
dari jumlah pengangguran sebesar
1,072 dapat diinterprestasikan bahwa
jumlah ketenagakerjaan meningkat 1
persen maka jumlah UMKM di Kota
Medan mengalami peningkatan
sebesar 1,07%. Koefisien deter-
minasi 55,80% jumlah UMKM
dipengaruhi oleh jumlah pengang-
guran dan ketenagakerjaan di Kota
Medan sedangkan 44,20%
dipengaruhi oleh faktor lain seperti
kurangnya modal, lemahnya jaringan
usaha, terbatasnya sarana dan
prasarana usaha, implikasi otonomi
daerah, dan implikasi perdagangan
bebas)
Nilai koefisien korelasi (r)
sebesar 0,747. Hal ini menunjukkan
bahwa variabel independen (jumlah
pengangguran dan ketenagakerjaan)
dan variabel dependen (UMKM)
berkorelasi linier yang positif, searah
dan hubungannya sangat kuat.
Melalui hasil penelitian ini
diharapkan seluruh masyarakat
bekerjasama dengan pemerintah
Kota Medan dalam meningkatkan
UMKM sehingga perekonomian
Kota Medan semakin membaik dan
tingkat pengangguran semakin
sedikit.
Daftar Pustaka
Badan Pusat Statistik (BPS). 2003.
Sumatera Utara Dalam Angka
2003. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara, Medan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[76]
Badan Pusat Statistik (BPS). 2007.
Sumatera Utara Dalam Angka
2007. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara, Medan
Badan Pusat Statistik (BPS). 2013.
Sumatera Utara Dalam Angka
2013. Badan Pusat Statistik
Provinsi Sumatera Utara, Medan
http://www.menlh.90.id/usah_kecil/t
op/kriteria.htm
Isono, Sadoko dan Heryadi. 2001.
Pengembangan Usaha Kecil.
Bandung, Penerbit Yayasan
Akagita
Kaufman, B., E. Julie dan L.
Hotchkiss. 1999. The Economics
Of Labor Market. Yogyakarta,
BPFE UGM
Keppres RI No. 127 Tahun 2001
tentang Bidang/ Jenis Usaha
yang Disadangkan Untuk Usaha
Kecil dan Bidang/ Jenis Usaha
yang Terbuka Untuk Usaha
Menengah atau Besar Dengan
Syarat Kemitraan
Peraturan Pemerintah No. 44 Tahun
1997 Tentang Kemitraan
Peraturan Pemerintah Republik
dalam UU Nomor 13 Tahun
2003 Tentang Ketenagakerjaan
Peraturan Pemerintah Republik
dalam UU Nomor 9 Tahun 1995
Tentang Usaha Mikro Kecil
Sukirno, S. 1994. Pengantar Makro
Ekonomi. Jakarta, Penerbit Raja
Grafindo Persada
Sukirno, S. 2004. Pengantar Teori
Mikro Ekonomi. Jakarta, PT
Raja Grafindo Persada.
Sutojo, S. 2004. Membangun Citra
Perusahaan. Jakarta, Damar
Mulia Pustaka.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[77]
ANALISIS PERILAKU KONSUMEN BUAH DURIAN
DI DURIAN UCOK KOTA MEDAN
Mitra Musika Lubis dan Rahma Sari Siregar
Staf Pengajar Program Studi Agribisnis Pertanian Universitas Medan Area
Surel: [email protected]
ABSTRACT
This study is to analyze consumer behavior in Durian Ucok and the factors that
influence it. The research location is determined based purposive method. The
data collected is of secondary data and primary. The data analysis methods is
ordinal regression. The results showed: 1). Customer-specific characteristics in
Durian fruit durian Ucok ranges are 25-37 years old, educated to degree level,
and the average income of one million to five million rupiah. 2) factors that
influence positively influence consumer behavior simultaneously is the attitude,
perception, families, price and place. Partially, a factor which significantly is the
price, but the attitude, perception, and the family did not have a significant
influence.
Keywords: characteristic, perception, families, price and place
Pendahuluan
Indonesia dikenal sebagai negara
yang memiliki kekayaan sumber
daya. Posisi tersebut mengisyaratkan
bahwa kebijakan pembangunan
nasional masih harus bertumpu pada
bidang pertanian, salah satunya
hortikultura. Komoditas hortikultura
mempunyai nilai ekonomi yang
tinggi, sehingga usaha agribisnis
hortikultura (buah, sayur, flori-
kultura, dan tanaman obat) dapat
menjadi sumber pendapatan bagi
masyarakat dan petani baik berskala
kecil, menengah maupun besar,
karena memiliki keunggulan berupa
nilai jual yang tinggi, keragaman
jenis, ketersediaan sumberdaya lahan
dan teknologi, serta potensi serapan
pasar di dalam negeri dan
internasional yang terus meningkat.
Pasokan produk hortikultura
nasional diarahkan untuk memenuhi
kebutuhan konsumen dalam negeri,
baik melalui pasar tradisional, pasar
modern, maupun pasar luar negeri
(Direktorat Jenderal Hortikultura,
2011). Salah satu primadona
hortikultura di dalam negeri adalah
buah-buahan. Komoditas buah
unggulan di Indonesia ialah buah
durian. Buah durian memiliki
prospek ekonomi yang cukup bagus
disamping buah-buah lainnya.
Pemasaran buah durian yang selalu
meningkat setiap tahunnya
menandakan bahwa buah durian
semakin digemari oleh masyarakat,
terutama di kota-kota besar di
Indonesia. Peluang pasar buah durian
di Indonesia masih menjanjikan,
(Susenas, BPS).
Pengembangan tanaman buah di
Indonesia bisa dikatakan sudah
meluas diberbagai provinsi. Menurut
Badan Pusat Statistika Sumatera
Utara (2014), buah durian
merupakan salah satu dari sepuluh
komoditas unggulan di Sumatera
Utara. Penggemar buah durian
memang luar biasa, siapapun tak
dapat memungkirinya. Diluar negeri
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[78]
buah durian ini terkenal dengan
nama “king of fruits”, rajanya buah.
Oleh karena penggemar buah
durian sangat banyak maka harganya
selalu naik. Meskipun buah durian
selalu membanjiri pasar setiap
musimnya, harganya tidak pernah
goyah bahkan kian melonjak (Susilo,
2013).
Menurut Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian perkembangan
luas panen buah durian di Indonesia
pada periode tahun 1990–2013
berfluktuatif namun cenderung
mengalami peningkatan dengan rata-
rata pertumbuhan per tahun sebesar
3,73%. Peningkatan yang cukup
signifikan terjadi pada tahun 2001
dan 2011 masing masing naik
sebesar 55,56% dan 49,16%
dibandingkan tahun sebelumnya,
sementara penurunan luas panen
buah durian yang cukup signifikan
pada tahun 1997 dan 2010 masing-
masing turun sebesar 35,21% dan
25,16%.
Sejalan dengan perkembangan
luas panennya, produksi buah durian
selama tahun 1990-2013 berfluktuasi
cenderung meningkat dengan rata-
rata pertumbuhan produksi buah
durian Indonesia hanya 1,99% per
tahun. Secara lengkap Sentra buah
durian di Sumatera Utara tahun
1990–2013 dapat dilihat pada
gambar 1.
Perkembangan harga buah
durian di tingkat produsen di
Indonesia selama tahun 2004–2013
menunjukkan kecenderungan me-
ningkat. Pada periode tersebut harga
buah durian di tingkat produsen
mengalami pertumbuhan dengan
rata-rata sebesar 13,70% per tahun.
Harga produsen pada tahun 2004
sebesar Rp.54.117 per 10 buah, atau
harga per kilogramnya sebesar
Rp.1.804 per kg dengan asumsi berat
1 buah durian sebesar 3 kg. Harga
produsen tertinggi dicapai pada
tahun 2013 dengan harga Rp.
165.828 per 10 buah atau sebesar Rp.
5.528 per kg dengan asumsi berat 1
buah durian sebesar 3 kg.
Gambar 1. Sentra buah durian
di Sumatera Utara tahun
1990–2013
Peningkatan harga buah durian
dari tahun ke tahun menggambarkan
bahwa buah durian ini sangat
disenangi konsumen di Indonesia
maupun mancanegara. Ini terbukti
begitu banyaknya penggemar
sehingga menyebabkan hukum pasar
bagi buah durian yang dijajakan di
kota seakan tidak berlaku meskipun
buah durian melimpah harganya
tidak pernah turun.
Gambar 2. Kenaikan Harga Buah
Durian Tahun 1990–2013
Berdasarkan data Survei Sosial
Ekonomi Nasional (SUSENAS)
tahun 2002–2013, konsumsi buah
durian per kapita per tahun di
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[79]
Indonesia berfluktuasi. Rata-rata
konsumsi buah durian tahun 2002–
2013 sebesar 1,18 kg/kapita/tahun,
atau mengalami peningkatan dengan
rata-rata sebesar 28,89% per tahun.
Sementara bila dilihat konsumsi
buah durian tahun 2013 sebesar 1,41
kg/kapita, dengan konsumsi
mencapai mencapai 350,33 ribu ton.
Secara lengkap konsumsi buah
durian tahun 1990–2013 dapat dilihat
pada grafik gambar 3.
Gambar 3. Konsumsi Buah
Durian Tahun 1990-2013
Banyaknya penggemar buah
durian di Kota Medan, maka hal ini
menyebabkan banyak tempat yang
ditemukan menjadi lokasi untuk
membeli buah durian, baik secara
musiman maupun tetap. Diantara
banyaknya pedagang buah durian di
kota Medan, yang sudah bersifat
permanen dan banyak dikunjungi
konsumen adalah Durian Ucok dan
Durian Pelawi yang berada di
Kecamatan Petisah, Kota Medan
Sumatera Utara
Melihat perkembangan usaha
dibidang perdagangan buah durian di
kota Medan, maka perlu adanya
penelitian tentang perilaku konsumen
dalam pembelian buah durian di
Durian Ucok. Berdasarkan latar
belakang diatas maka peneliti tertarik
untuk mengetahui karakteristik
konsumen buah durian di Durian
Ucok dan mengetahui faktor yang
mempengaruhi perilaku konsumen
buah durian di Durian Ucok.
Metode
Metode pengumpulan data
dilakukan dengan metode survey.
Data yang dikumpulkan berupa data
primer dan data sekunder.
Pengumpulan data primer dilakukan
dengan metode wawancara dengan
menggunakan daftar pertanyaan
(kuisioner) kepada pembeli
(konsumen) buah durian di Durian
Ucok. Data sekunder adalah data
yang diperoleh dari hasil studi
kepustakaan maupun publikasi resmi
dari berbagai instansi.
Kriteria sampel untuk konsumen
tersebut adalah konsumen tetap yang
membeli buah durian di lokasi
penelitian. Sampel diambil di lokasi
penelitian, sumber informasi berasal
dari penjual buah durian (pemilik
Durian Ucok). Sampel yang diambil
adalah sebanyak 30 sampel
konsumen yang membeli buah
durian.
Analisis
Metode analisis data yang
digunakan dalam penelitian ini untuk
mencapai tujuan penelitian pertama
adalah deskriptif kuantitatif yaitu
mengidentifikasi karakteristik konsu-
men buah durian. Pengolahan data
yang akan dilakukan dengan
mentabulasi data secara sederhana ke
dalam bentuk yang lebih mudah
dibaca dan diinterprestasikan.
Untuk mengetahui faktor-faktor
yang mempengaruhi perilaku konsu-
men buah durian yang akan
dianalisis dengan model regresi
linear berganda yaitu: Y = bo+b1X1+b2X2+b3X3+b4X4+b5X5+e
Keterangan: Y = perilaku konsumen;
b0 = Konstanta; X1 = Sikap; X2 = Persepsi;
X3 = Keluarga; X4 = Harga, X5 = Tempat,
dan e = Standar Eror
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[80]
Hasil dan Pembahasan
Karakteristik Konsumen. Pada
penelitian ini, tingkat umur
konsumen buah Durian Ucok
diketahui bahwa umur terendah
konsumen adalah umur 14 tahun dan
umur tertinggi konsumen buah
durian adalah umur 50 tahun.
Berdasarkan hasil penelitian umur
rata–rata konsumen buah durian di
Durian Ucok adalah umur 25-37
tahun dengan persentase rata–rata
46,67%. Hal ini menunjukkan bahwa
konsumen yang datang ke Durian
Ucok adalah dari kalangan usia
muda. Mereka biasanya datang
bersama teman kelompok maupun
rekan bisnis untuk menikmati buah
durian di Durian Ucok. Mereka
memilih Durian Ucok di karenakan
fasilitas yang lengkap dan
kenyamanan pelayanan.
Menurut Sumarwan (2003)
tingkat pendidikan akan mem-
pengaruhi nilai–nilai yang dianutnya,
cara berfikir, cara pandang bahkan
persepsinya terhadap suatu masalah.
Pada penelitian ini, diperoleh
berbagai latar belakang pendidikan
konsumen buah durian di Durian
Ucok. Tingkat pendidikan rata–rata
konsumen buah durian di Durian
Ucok terbesar adalah pada tingkat
Sarjana dengan persentase rata–rata
yaitu 66,67%. Hal ini menunjukkan
bahwa konsumen buah durian rata–
rata berpendidikan tinggi, diduga
semakin tinggi tingkat pendidikan
konsumen semakin luas cara berpikir
dan cara pandang konsumen untuk
memilih tempat mengkonsumsi buah
durian. Konsumen yang memiliki
pendidikan tinggi akan memilih
tempat yang membuat mereka
nyaman, dan memiliki fasilitas yang
lengkap seperti yang dimiliki oleh
Durian Ucok.
Menurut Sumarwan (2003) jenis
pekerjaan konsumen akan
mempengaruhi pendapatan yang
mereka terima. Pendapatan tersebut
kemudian akan mempengaruhi
proses keputusan dan pola
konsumsinya yang selanjutnya akan
mempengaruhi daya beli konsumen
terhadap barang yang ingin dibeli.
Pekerjaan konsumen buah durian
terbanyak di Durian Ucok adalah
wiraswasta sebanyak 13 orang
dengan persentase 43,33%. Biasanya
mereka datang ke Durian Ucok
bersama rekan bisnis maupun teman
kumpul untuk membahas pekerjaan.
Mereka memilih Durian Ucok
sebagai tempat konsumsi buah
durian karena fasilitas yang di
berikan di Durian Ucok lengkap dan
nyaman, sesuai untuk melakukan
pertemuan bisnis.
Pendapatan terendah konsumen
buah durian di Durian Ucok adalah
Rp.800.000 dan pendapatan tertinggi
konsumen buah durian adalah
Rp.10.000.000. Rata–rata pendapat-
an konsumen buah durian di Durian
Ucok adalah Rp.1.000.000-
Rp.5.000.000 sebanyak 21 orang
dengan persentase rata–rata adalah
70%. Hal ini sesuai dengan jenis
pekerjaan konsumen buah durian di
Durian Ucok yang rata–rata sebagai
wiraswasta, dengan tingkat
pendapatan mulai dari menengah ke
atas.
Frekuensi pembelian buah
durian di Durian Ucok berdasarkan
informasi dari pekerja di Durian
Ucok yang menjadi konsumen tetap
adalah konsumen yang berkunjung
ke Durian Ucok dilakukan 2 (dua)
kali dalam setiap bulan dengan
persentase 83,33%. Konsumen tetap
Durian Ucok yang berusia rata-rata
25 sampai dengan 37 tahun dengan
pekerjaan rata–rata sebagai
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[81]
wiraswasta dan tingkat pendapatan
antara Rp. 1.000.000 sampai dengan
Rp.5.000.000 per tiap bulannya..
Analisis Perilaku Konsumen Buah
Durian di Durian Ucok. Analisis
yang dilakukan dalam penelitian ini
menggunakan uji Regresi Ordinal
dengan bantuan perangkat lunak
SPSS 18. Uji Regresi Ordinal
dilakukan untuk menganalisis faktor-
faktor yang mempengaruhi perilaku
konsumen buah durian di Durian
Ucok.
Tabel 1. Case Processing
Summary
N Marginal Percentage
Perilaku Setuju 23 76,7%
sangat setuju 7 23,3%
Valid 30 100,0%
Missing 0
Total 30
Tabel Case Processing Summary
menerangkan bahwa terdapat 30
responden yang mengkonsumsi
buah durian di Durian Ucok.
Diantara 30 responden tersebut,
sekitar 76,7% konsumen menjawab
setuju pada pernyataan dari kuisioner
penelitian yaitu “Saya membeli buah
durian di tempat ini karena sesuai
dengan pendapatan saya” dan 23,3%
konsumen menjawab sangat setuju
pada pernyataan kuisioner yang
sama.
Tabel 2. Model Fitting
Information
Model -2 Log
Likelihood
Chi-
Square df Sig.
Intercept
Only
27,627
Final 14,173 13,454 5 ,019
Dapat diketahui pada tabel
model Fitting Information
menerangkan dengan memasukkan
variabel independen yaitu variabel
sikap, persepsi, keluarga, harga, dan
tempat dalam model perilaku
konsumen akan memberikan
kontribusi pada model perilaku
konsumen. Pada tabel 9 diperoleh
penurunan Chi-Square sebesar
13,454 atau perubahan nilai -2 log
likehood dari 27,627 menjadi 14,173
dan signifikan 0,019 (<5%). Hal ini
menunjukkan bahwa pemasukkan
variabel independen yaitu variabel
sikap, persepsi, keluarga, harga dan
tempat memberikan kontribusi dalam
model perilaku konsumen.
Tabel 3. Goodness – of – Fit
Chi-Square Df Sig.
Pearson 10,892 15 ,760
Deviance 10,825 15 ,765
Berdasarkan hasil pada tabel 3,
uji kesesuaian model dengan data
empiris model perilaku konsumen
dalam penelitian ini adalah fit atau
layak digunakan. Data hasil prediksi
model sesuai dengan data empiris.
Nilai signifikansi pearson sebesar
0,760 dan nilai signifikansi deviance
sebesar 0,765 lebih besar dari 0,05.
Tabel 4. Pseudo R-Square
Cox and Snell ,361
Nagelkerke ,545
McFadden ,413
Hasil pada tabel 4 menunjukkan
bahwa Pseudo R-Square
menunjukkan nilai nagelkerke 0,545.
Hal ini berarti bahwa 54,5%
variabilitas perilaku konsumen
mampu dijelaskan oleh variabel
sikap, persepsi, keluarga, harga, dan
tempat. Sementara sisanya 46,5%
ditentukan oleh variabel lain yang
tidak disebutkan didalam model ini.
Tabel parameter estimates
menunjukkan bahwa faktor sikap, persepsi, keluarga, dan tempat tidak
berpengaruh signifikan terhadap
perilaku Konsumen buah durian di
Durian Ucok. Hal ini diketahui dari
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[82]
nilai statistic wald yang memiliki
nilai signifikansi lebih besar dari
0,05. Hanya variabel harga, hal itu di
ketahui dari nilai statistic wald yang
memiliki nilai signifikansi lebih kecil
dari 0,05.
Tabel 5. Parameter Estimates
Perilaku Konsumen Durian Ucok
Model regresi ordinal logistic
adalah sebagai berikut:
Interpretasi model dari regresi di
atas adalah: (a). Sikap (X1).Dari
model diatas, interpretasi model
regresi ordinal adalah jika variabel
selain variabel sikap di anggap
konstan maka setiap peningkatan
skor sikap akan menaikkan odd ratio
e (0,133)=1,142 perilaku konsumen
buah durian di Durian Ucok.
(b). Persepsi (X2). Dari
model diatas, interpretasi model
regresi ordinal adalah jika variabel
lain kecuali variabel persepsi di
anggap konstan maka setiap
penurunan skor akan menaikkan odd
ratio e (-0,334)=0,716 perilaku
konsumen buah durian di Durian
Ucok.
(c). Keluarga (X3). Dari model
diatas, interpretasi model regresi
ordinal adalah jika variabel lain
kecuali variabel keluarga di anggap
konstan maka setiap penurunan skor
keluargaakan menaikkan odd ratio e
(-18,239)= 9,119 perilaku konsumen
buah durian di Durian Ucok.
(d). Harga (X4). Dari model
diatas, interpretasi model regresi
ordinal adalah jika variabel lain
kecuali variabel harga di anggap
konstan maka setiap peningkatan
skor harga akan menaikkan odd ratio
e (2,756)= 15,737perilaku konsumen
buah durian di Durian Ucok.
(e). Tempat (X5). Dari model
diatas, interpretasi model regresi
ordinal adalah jika lain kecuali
variable tempat di anggap konstan
maka setiap penurunan skor tempat
akan menaikkan odd ratio e (-,653) =
1,921 perilaku konsumen buah
durian di Durian Ucok.
Konsumen buah durian di Durian
Ucok yang dijadikan sampel
penelitian berjumlah 30 orang di
pilih secara purposive (sengaja)
memperlihatkan hasil pada tabel
Model fitting information
menerangkan bahwa variabel
independen secara keseluruhan yaitu
variabel sikap, persepsi, keluarga,
harga, dan tempat memberikan
kontribusi atau mempengaruhi pada
model perilaku konsumen dengan
besar nilai penuruna Chi-Square
sebesar 14,454 dan signifikan <5%
yaitu 0,019.
Pada model Goodness-of-Fit,
diperoleh nilai signifikansi pearson
>5% yaitu 0,760 dan nilai
signifikansi deviance >5% yaitu
0,765. Dengan di peroleh nilai
tersebut terpenuhilah syarat untuk di
katakan model fit (layak) digunakan
yaitu nilai dearson dan deviance
lebih besar dari 5%. Pada tabel
Pseudo R-Square menunjukkan nilai
nagalkerke sebesar 0,545. Dengan
nilai tersebut dapat dikatakan bahwa
54,5% variabilitas perilaku
konsumen dapat dijelaskan oleh
variabel seperti sikap, persepsi,
keluarga, harga, dan tempat. Sekitar
45,5% di tentukan oleh variabel di
luar variabel sikap, persepsi,
keluarga, harga dan tempat.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[83]
Dengan dipenuhinya ketiga
syarat yaitu signifikansi pada tabel
fitting of information di bawah 5%,
tabel goodness of fit di atas 5% dan
tabel Pseudo R-Square tidak boleh
sama dengan 1. Maka dapat
disimpulkan bahwa variabel sikap,
persepsi, keluarga, harga dan tempat
mempengaruhi perilaku konsumen
buah durian di Durian Ucok dan H1
terbukti.
Namun ketika diuji secara
parsial, hasil yang didapatkan bahwa
variabel sikap, persepsi, keluarga,
dan tempat tidak berpengaruh
terhadap perilaku konsumen tetap
buah durian di Durian Ucok. Hanya
variabel harga yang berpengaruh
terhadap perilaku konsumen buah
durian di Durian Ucok.
Hal itu dapat dilihat dari hasil uji
regresi ordinal pada tabel parameter
estimates interpretasi dari variabel
sikap adalah nilai odd ratio yang
naik sebesar e (0,133)=1,142
perilaku konsumen dan nilai
signifikan sebesar 0,912 artinya
sikap tidak berpengaruh dalam
perilaku konsumen buah durian di
Durian Ucok sebagai tempat
membeli buah durian. Menurut hasil
penelitian Puspita Ayu R bahwa
sikap dan perilaku konsumen
terhadap produk olahan durian
menunjukkan bahwa sikap konsumen
terhadap produk olahan durian, yakni
pancake durian menunjukkan
cenderung kearah proporsi sikap
positif, hal ini sama dengan hasil dari
penelitian ini, yaitu nilai koefisien
sikap adalah positif.
Namun berdasarkan nilai
signifikansi dari variabel sikap,
penelitian yang dilakukan di Durian
Ucok, variabel sikap tidak
berpengaruh terhadap perilaku
konsumen buah durian di Durian
Ucok, hal itu dapat diketahui dari
nilai signifikansi sebesar 0,912 atau
lebih besar dari 0,05. Banyak hal
yang melatarbelakangi tidak
berpengaruhnya sikap terhadap
perilaku konsumen tersebut, seperti
karena tidak ada penawaran khusus
dari Durian Ucok. Selain itu alasan
yang melatarbelakangi tidak
berpengaruhnya sikap konsumen
tersebut ialah tidak sesuai dengan
pendapatan konsumen.
Interpretasi hasil dari uji regresi
ordinal pada tabel parameter
estimates dari variabel persepsi
adalah nilai odd ratio yang naik
sebesar e (-0,334) = 0,716, artinya
variabel persepsi tidak berpengaruh
dalam perilaku konsumen buah
durian di Durian Ucok sebagai
tempat mengkonsumsi buah durian.
Swasta dan Handoko (2000)
mengatakan bahwa salah satu faktor
yang mempengaruhi perilaku
konsumen ialah persepsi, konsumen
akan menampakkan perilakunya
setelah melakukan penilaian terhadap
keputususan yang akan di ambil
dalam membeli suatu produk.
Namun berdasarkan hasil
penelitian yang dilakukan di Durian
Ucok, persepsi tidak mempengaruhi
perilaku konsumen dalam memilih
membeli buah durian di Durian
Ucok. Konsumen tidak hanya
membeli buah durian di karenakan
persepsi yang mereka miliki, seperti
bagaimana cita rasa durian, apa
khasiat durian atau amankah durian
dikonsumsi. Hal ini berbanding
terbalik dengan teori tentang persepsi
yang menyebutkan perilaku
konsumen dipengaruhi persepsi.
Dalam hal ini menunjukkan bahwa
persepsi tidak selalu mempengaruhi
perilaku konsumen, khususnya
konsumen buah durian yang saat ini
sedang diteliti di Durian Ucok.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[84]
Interpretasi hasil dari uji regresi
ordinal pada tabel parameter
estimates dari variabel keluarga
adalah nilai odd ratio yang naik
sebesar e (-18,239) = 9,789, artinya
variabel keluarga tidak berpengaruh
dalam perilaku konsumen buah
durian di Durian Ucok. Menurut
Kotler (2001) anggota keluarga
merupakan kelompok acuan primer
yang paling berpengaruh.Bahkan jika
pembeli sudah tidak berhubungan
lagi dengan orang tua, pengaruh
terhadap perilaku pembeli tetap ada.
Maksudnya ialah perilaku yang
didapat dalam lingkungan keluarga.
Berdasarkan hasil penelitian yang
diperoleh variabel keluarga tidak
berpengaruh dimana konsumen
memilih mengkonsumsi buah durian
di Durian Ucok tidak hanya karena
keluarga konsumen yang memesan
buah durian maupun konsumen yang
di ajak keluarganya untuk
mengkonsumsi buah durian di
Durian Ucok. Hal ini menunjukkan
bahwa hasil penelitian di Durian
Ucok berbanding terbalik dengan
teori Kotler yang menyebutkan
keluarga berpengaruh terhadap
perilaku konsumen. Hal ini dapat
disebabkan karena kebanyakan
konsumen yang mengunjungi Durian
Ucok ialah konsumen dengan kisaran
umur 25 tahun sampai dengan 37
tahun, yang sebagian besar belum
berkeluarga.
Interpretasi hasil dari uji regresi
ordinal pada tabel parameter
estimates dari variabel harga adalah
nilai odd ratio yang naik sebesar e
(2,785)= 16,200, artinya variabel
harga berpengaruh dalam perilaku
konsumen buah durian di Durian
Ucok. Hal ini disebabkan karena
harganya sesuai dengan kualitas
yang diberikan.
Berdasarkan hasil penelitian yang
di lakukan di Durian ucok, selain
harga yang terjangkau, harga buah
durian di Durian Ucok tidak berubah
sepanjang tahun karena mereka
memiliki stock (persediaan) buah
durian sepanjang musim dan terdapat
banyak pilihan dari berbagai jenis
durian. Sesuai harga yang
ditawarkan, konsumen sudah
dilayani dengan baik oleh pekerja di
Durian Ucok mulai dari konsumen
datang dan diantarkan di tempat
duduk lalu dipilihkan buah durian
sesuai dengan keinginan konsumen.
Sedangkan interpretasi hasil dari
uji regresi ordinal pada tabel
parameter estimates dari variabel
tempat adalah nilai odd ratio yang
naik sebesar e (-0,029)=0,971,
artinya variabel tempat tidak
berpengaruh dalam perilaku
konsumen buah durian di Durian
Ucok sebagai tempat mengkonsumsi
buah durian. Hal yang membuat
variabel tempat tidak berpengaruh
karena meskipun pelayanan nyaman
dan fasilitas disediakan tetapi begitu
banyak tempat yang mirip dengan
Durian Ucok serta berdekatan
dengan Durian Ucok seperti Durian
Pelawi, Durian Sitepu dan lain-lain.
Simpulan
Hasil penelitian menunjukkan
bahwa kriteria konsumen buah
durian di Durian Ucok berumur
antara 25 hingga 37 tahun, 70%
berpendidikan sarjana. Besarnya
pendapatan pengunjung antara Rp.
1.000.000,00 sampai Rp.
5.000.000,00. Secara simultan,
faktor–faktor yang mempengaruhi
perilaku konsumen buah durian
adalah variabel sikap, persepsi,
keluarga, harga, dan tempat
berpengaruh pada perilaku konsumen
buah durian di Durian Ucok. Secara
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[85]
parsial, faktor yang berpengaruh
adalah variabel harga karena harga
yang dibayar oleh konsumen sesuai
dengan hal yang didapatkan
konsumen. Penelitian ini tidak
berhasil membuktikan adanya
pengaruh sikap, persepsi, dan
keluarga terhadap prilaku konsumen
buah durian.
Untuk pemilik usaha disarankan
agar memberikan penawaran harga
maupun penawaran khusus kepada
para pelanggan, hal itu dapat
menambah loyalitas konsumen tetap
membeli buah durian di Durian
Ucok. Untuk peneliti selanjutnya
dapat lebih memperdalam variabel
yang tidak berpengaruh dalam
penelitian ini, seperti variabel sikap,
persepsi, keluarga, dan tempat agar
didapatkan hasil yang lebih baik.
Daftar Pustaka
Ai, Assaf. 2009. Penelitian
BisnisKuantitatif PT Grasindo.
Jakarta.
Badan Pusat Statistika. 2014. Survey
Sosial Ekonomi Nasional.
Jakarta.
Chasanah, Nur. 2010. Analisis
Perilaku Konsumen Dalam
Membeli Produk Susu Instan di
Pasar Modern Kota Surakarta.
Universitas Sebelas Maret.
Diakses 17 Februari 2015.
Departemen Pertanian. 2014.
Sumatera Utara Dalam Angka
2014. Badan Pusat Statistika
Sumatera Utara. Medan.
Direktorat Jenderal Hortikultura.
2011. Statistik Produksi
Hortikultura Kementerian
Pertanian.
Engel JF, Blackwell GD, Minard
PW. 2006. Perilaku konsumen
jilid I, edisi keenam. Jakarta
Binapura Aksara.
Hawkins, D, Best R.J, dan Coney.
2004. Consumen Behavior:
Implication for Marketing
Strategy. Homewood. Illinois.
Iriani, Yani, Mariah Barokah. 2012.
Analisis Faktor – Faktor Yang
Mempengaruhi Perilaku
Konsumen dalam Pembelian
LPG 3KG (Studi Kasus di PT
Graff Ferdiana GerritsEnergi).
Universitas Widyatama.
Bandung.
Kotler, Philip. 2005. Manajemen
Pemasaran, Edisi Kesebelas Jilid
1. Jakarta, PT. Indeks Kelompok
Gramedia. Lamb, Hair, Mc Daniel. 2006.
Pemasaran (terjemahan).Edisi
Bahasa Indonesia, Jilid Pertama.
Jakarta, Salemba empat. Mamang, Etta Sangadji, Sopiah.
2013. Perilaku Konsumen:
Pendekatan Praktis. Jakarta,
Penerbit Andi.
Mayasari, Hesti. 2012. Analisis
Perilaku Pembelian Ponsel
Cerdas (Smartphone): Antara
Kebutuhan dan Gaya Hidup
Konsumen di Kota Padang.
Universitas Taman Siswa.
Mowen, John C. Michael, Minor a.
2002. Perilaku Konsumen. Jilid
1. Jakarta, Erlangga.
Pusat Data dan Sistem Informasi
Pertanian. 2013. Statistik SDM,
Penduduk dan Kemiskinan.
Jakarta, Pusat Data dan Sistem
Informasi Pertanian.
Kementerian Pertanian.
Schiffman, Leon G and Leslie
Kanuk. 2000. Consumer
/Behaviour. 7th edition.
Prentice-Hall, Inc. Sunarjono, Hendro, 1990. IImu
Produksi Tanaman Buah-
Buahan. Bandung: Sinar Baru.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[86]
Susilo, Joko, 2013. Sukses Bertanam
Durian Varietas Unggul.
Yogyakarta, Pustaka Baru Press.
WisnuWinardi. 2013. Dampak
Pembatasan Impor Hortikultura
Terhadap Aktivitas
Perekonomian, Tingkat Harga
dan Kesejahteraan. Buletin
Ekonomi Moneter dan
Perbankan. www.bi.go.id/
publikasi/jurnal-ekonomi
[diaksesjuni 2015]
Walpole, R.E. 1995. Pengantar
Statistik Edisi ke-3. PT.
Gramedia Pustaka Utama.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[87]
PENGARUH KEPUASAN KERJA DAN KOMITMEN ORGANISASI
TERHADAP INTENTION TURN OVER PADA CONTACT CENTER PLN
123 SITE MEDAN
Willy Yusnandar dan Sri Fitri Wahyuni
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Email: [email protected]
ABSTRACT
This study is to analyse the effect of job satisfaction, and work commitment
intention to turn over PLN 123 in Contact Center Site Medan. Samples were 47
CSO (Customer Service Officer). The analysis technique used in this research is
the analysis of quantitative data, using multiple linear regression. The results
using the t test showed that job satisfaction and work commitment partially
significant effect on intention to turn over. F test results showed job satisfaction
and work commitment significant effect on intention to turn over, while the
coefficient of determination shows a very strong relationship amounted to 91,9%.
Keywords: Job satisfaction, job commitment, intention turnover.
Pendahuluan Sumber daya manusia dalam
artian tenaga kerja atau orang-orang
yang berada dalam suatu organisasi
merupakan aset perusahaaan yang sangat penting, hal ini dikarenakan
manusia merupakan sumber daya
yang selalu dibutuhkan dalam setiap
proses produksi barang dan jasa.
Untuk dapat bersaing dengan
industri/perusahaan yang sejenis
lainnya, perusahaan harus
mempunyai keunggulan yang
kompetitif yang sangat sulit ditiru
oleh perusahaan lain, dan itu semua
hanya akan diperoleh dari karyawan
yang produktif, inovatif, kreatif
selalu bersemangat dan loyal.
Karyawan yang memenuhi kriteria
seperti itu hanya akan dimiliki
melalui penerapan konsep yang tepat
dengan memperhatikan
kesejahteraan SDM atau karyawan
perusahaan tersebut. Salah satu cara
untuk meningkatkan kesejahteraan
karyawan dapat dilihat melalui
kepuasan kerja yang dirasakan.
Keberhasilan dan kinerja
seseorang dalam suatu bidang
pekerjaan banyak ditentukan oleh
tingkat kompetensi, profesionalisme, kepuasan dan juga komitmennya
terhadap bidang yang ditekuninya.
Komitmen merupakan suatu
konsistensi dari wujud keterkaitan
seseorang terhadap suatu hal, spirit
karir, keluarga, lingkungan dan
sebagainya. Adanya komitmen dapat
menjadi suatu dorongan bagi
seseorang untuk bekerja lebih baik.
Penanganan perilaku individu dalam
organisasi seperti komitmen,
kepuasan kerja adalah sangat penting
karena semua itu terkait dengan
penanganan sumber daya manusia
oleh organisasi. Organisasi perlu me-
manage sumber daya manusianya
dalam upaya mencapai tujuan secara
efektif.
PT. Icon Plus semula didirikan
untuk menyediakan jasa
telekomunikasi dan teknologi
informasi guna mendukung operasi
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[88]
perusahaan induknya yakni PT. PLN.
Namun kini sebagai perusahaan yang
berdiri sendiri PT. Icon Plus juga
berperan sebagai penyedia jaringan
dan jasa terkait lainnya bagi
konsumen perusahaan masyarakat
umum di seluruh Indonesia dan
sekitarnya PT. PLN telah menyerah-
kan sebagian asetnya kepada PT.
Icon Plus sebagai penyertaan modal.
Salah satu jasa yang dikelola oleh
Icon Plus adalah layanan Contact
Center PLN 123. Contact Center
PLN 123 merupakan salah satu
sarana pelayanan listrik yang dibuat
untuk mendekatkan dan memudah-
kan pelanggan berkomunikasi
dengan PLN. Dengan Contact Center
PLN 123, pelanggan dapat
mengajukan pasang baru, perubahan
daya, penyambungan baru sementara
sampai dengan 197 KVA dan
pelanggan dapat memperoleh infor-
masi perihal keluhan kelistrikan
melalui Contact Center PLN 123.
Contact Center PLN 123 terdiri
dari 7 Site di seluruh Indonesia,
terdiri dari Site Medan, Site Jakarta,
Site Semarang, Site Denpasar, Site
Surabaya, Site Palembang, dan Site
Bandung. CSO (Customer Service
Officer) melayani pelanggan
terutama dalam memberikan
kemudahan dan kenyamanan dalam
memperoleh informasi, konsultasi,
kebutuhan dan permasalahan
pelanggan setiap saat, kapanpun dan
dimanapun yang dapat diakses
melalui telepon selama 24 jam sehari
dan 7 hari dalam seminggu. Dalam
pelaksanaan layanan tersebut,
Contact Center PLN 123 selalu
berupaya untuk menjaga kualitas
pelayanan pelanggan selalu
mendapatkan informasi yang tepat
dan sikap layanan yang memuaskan
dengan standar kinerja yang jelas.
Setelah dilakukan wawancara
dengan DC (Dest Control) bahwa
tingkat intention turn over customer
service office (CSO) selama periode
tahun 2011 sampai dengan 2014
mengalami kenaikan. Berikut ini
merupakan data turn over agen
customer service office (CSO)
Contact Center PLN 123 Site
Medan selama empat tahun terakhir.
Tabel 1. Data Turn Over Contact
Center PLN 123 Site Medan
Periode Tahun 2011 s/d 2014
No Periode
Jumlah
Karyawan
(orang)
Jumlah
Turn Over
(orang)
Alasan
1 2011 50 10 Mendapatkan
pererjaan
lain
2 2012 70 12 Alasan
pribadi
3 2013 85 15 Mendapat
pekerjaan
lain
4 2014 95 20 Mendapat
pekerjaan
lain
Sumber : Contact Center PLN 123 Site Medan
Pada tabel 1 terlihat turn over
agen contact center relatif tinggi
disebabkan lebih banyak CSO keluar
karena sudah mendapatkan pekerjaan
baru atau pekerjaan lain di luar
perusahaan. Hal ini menunjukkan
kemungkinan adanya ketidakpuasan
CSO terhadap perusahaan dan
komitmen organisasi yang masih
rendah. Indikasi ketidakpuasan CSO
ditandai dengan tingkat
ketidakhadiran yang cukup tinggi,
tingkat absensi karyawan akan
berdampak negatif terhadap
komitmen organisasi. Berikut
terlampir daftar ketidakhadiran CSO
selama periode Januari sampai
dengan Desember 2014.
Berdasarkan tabel 2 terlihat
bahwa tingkat kehadiran karyawan
yang belum optimal, hal tersebut
dapat dilihat dari data absensi yang
mengalami fluktuasi setiap bulannya,
yaitu terlihat rata-rata ketidakhadiran
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[89]
karyawan setiap bulannya mencapai
39 orang. Hal tersebut dikarenakan
sakit, ijin dan tanpa keterangan.
Tabel 2.Data Ketidakhadiran CSO
Periode Januari Sd Desember 2014
NO Bulan Jumlah Data
Ketidakhadiran (Orang)
1 Januari 40
2 Februari 36
3 Maret 30
4 April 46
5 Mei 48
6 Juni 52
7 Juli 26
8 Agustus 28
9 September 30
10 Oktober 33
11 November 58
Sumber : Contact Center PLN 123 Site Medan
Kebanyakan karyawan tidak
hadir tanpa keterangan. Hal ini
mengindikasi bahwa karyawan
merasa tidak puas dalam bekerja dan
komitmen organisasi tidak dijalankan
dengan baik. Hal ini akan berdampak
pada kemajuan perusahaan.
Perusahaan yang baik ditunjukkan
dengan kepuasan karyawan dalam
bekerja dan komitmen organisasi
dijalankan dan baik sehingga tingkat
intention turn over rendah.
Hal ini mendorong peneliti
untuk mengetahui bagaimana
pengaruh kepuasan kerja dan
komitmen organisasi terhadap
intention turn over pada Contact
Center PLN 123 site Medan.
Kajian Pustaka
Perusahaan yang tidak dapat
menghadapi tantangan perubahan
dalam perusahaan akan mengambil
kebijakan sepihak dengan melakukan
pemberhentian kerja dari perusahaan
terhadap karyawan yang tidak
berpotensial. Kebijakan perusahaan
yang tidak sesuai dengan kebutuhan
dan harapan karyawan akan
membawa dampak buruk pada sikap
kerja karyawan. Robbins (2006; hal.
73) mendefinisikan turnover sebagai
pemberhentian pegawai yang bersifat
permanen dari perusahaan baik yang
dilakukan oleh pegawai sendiri
(secara sukarela) maupun yang
dilakukan oleh perusahaan.
Menurut Hartono (2002, hal. 52)
intensi turnover adalah kadar atau
intensitas dari keinginan untuk
keluar dari perusahaan. Intensi
turnover di definisikan sebagai
intensi seseorang untuk melakukan
pemisahan aktual (turnover) dari satu
organisasi. Hartono (2002; hal.2)
menyatakan: “turnover intentions
adalah kadar atau intensitas dari
keinginan untuk keluar dari
perusahaan, banyak alasan yang
menyebabkan timbulnya turnover
intentions ini dan diantaranya adalah
keinginan untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik.”
Berdasarkan beberapa uraian
definisi yang dikemukakan di atas,
dapat disimpulkan bahwa intensi
turnover adalah keinginan karyawan
untuk berhenti dari keanggotaan
suatu organisasi atau memutuskan
hubungan dengan organisasi dimana
ia menerima penghasilan.
Menurut Rivai (2004; hal.309)
Kepuasan kerja merupakan perilaku
nyata yang ditampilkan setiap orang
sebagai prestasi kerja yang
dihasilkan oleh karyawan sesuai
dengan perannya dalam perusahaan.
Kemudian menurut Mangkunegara
(2000; hal. 67) kepuasan kerja adalah
hasil kerja secara kualitas dan
kuantitas yang dicapai oleh
seseorang karyawan dalam
melaksanakan tugasnya sesuai
dengan tanggung jawab yang
diberikan kepadanya.
Pendapat dari ahli yang lain,
Bernandin dan Russell (2003; hal.
135), kepuasan kerja adalah catatan
yang dihasilkan dari fungsi suatu
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[90]
pekerjaan tertentu atau kegiatan
selama periode waktu tertentu. Maka
kesimpulan dari pengertian diatas
adalah kepuasan kerja merupakan
prestasi kerja atau prestasi
sesungguhnya yang dicapai oleh
seorang karyawan.
Mathis dan Jackson (2000;
hal.78) kepuasan kerja mengacu pada
prestasi karyawan yang diukur
berdasarkan standar atau kriteria
yang ditetapkan perusahan.
Pengertian kepuasan kerja atau
prestasi kerja diberi batasan sebagai
kesuksesan seseorang di dalam
melaksanakan suatu pekerjaan.
Kepuasan kerja mempengaruhi
seberapa banyak karyawan
memberikan kontribusi kepada
organisasi, antaralain yaitu kualitas
keluaran, kuantitas keluaran, jangka
waktu keluaran, kehadiran di tempat
kerja.
Menurut Porter, dkk (2004; 78),
komitmen adalah kuatnya penge-
nalan dan keterlibatan seseorang
dalam suatu organisasi tertentu. Di
lain pihak, menggambarkan
komitmen sebagai kecenderungan
untuk terikat dalam garis kegiatan
yang konsisten karena menganggap
adanya biaya pelaksanaan kegiatan
yang lain (berhenti bekerja)
(Panggabean, 2004; 50).
Meyer dan Allen (2007; 31)
definisi mengenai komitmen dalam
berorganisasi sebagai suatu konstruk
psikologis yang merupakan
karakteristik hubungan anggota
organisasi dengan organisasinya dan
memiliki implikasi terhadap
keputusan individu untuk melanjut-
kan keanggotaannya dalam
berorganisasi. Berdasarkan definisi
tersebut anggota yang memiliki
komitmen terhadap organisasinya
akan lebih dapat bertahan sebagai
bagian dari organisasi dibandingkan
anggota yang tidak memiliki
komitmen terhadap organisasi.
Dari beberapa pengertian diatas
berarti komitmen organisasi
menjelaskan kekuatan relatif dari
sebuah identifikasi individu dengan
keterlibatan dalam sebuah organisasi.
Komitmen menghadirkan sesuatu
diluar loyalitas belaka terhadap suatu
organisasi. Disamping itu, hal ini
meliputi suatu hubungan yang aktif
dengan organisasi dimana individu
bersedia memberikan sesuatu dari
diri mereka untuk membantu
keberhasilan organisasi.
Menurut Sjahbandhyni (2004;
460) ada tiga penyebab komitmen
organisasi, yaitu: karakteristik
pribadi (kebutuhan berprestasi, masa
kerja/jabatan, dan lain-lain),
karakteristik pekerjaan (umpan balik,
identitas tugas, kesempatan untuk
berinteraksi, dan lain-lain), dan
pengalaman kerja. Model tersebut
kemudian dimodifikasi menjadi
karakteristik pribadi (usia, masa
kerja, tingkat pendidikan, jenis
kelamin), karakteristik peran/
pekerjaan, karakteristik struktural
(berkaitan dengan tingkat formali-
sasi, ketergantungan fungsional dan
desentralisasi, partisipasi dalam
pengambilan keputusan dan
kepemilikan pegawai, serta kontrol
organisasi), dan pengalaman kerja
(Steers dan Porter 2004; 426).
Metode
Jumlah sampel dalam penelitian
ini adalah sebanyak 47 orang CSO
(Customer Service Officer) pada
Contact Center PLN 123 Site Medan.
Pengumpulan data dalam instrumen
ini menggunakan angket yang
ditujukan kepada para karyawan
Contact Center PLN 123 Site Medan
dengan menggunakan skala likert
dalam bentuk checklist. Analisis data
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[91]
menggunakan uji regresi linear
berganda.
Intention turnover adalah
keinginan untuk mendapatkan
pekerjaan yang lebih baik. Kepuasan
kerja yang digunakan mengacu pada
prestasi karyawan yang diukur
berdasarkan standar atau kriteria
yang ditetapkan perusahan. Sedang-
kan komitmen organisasi diukur
dengan karakteristik pribadi (usia,
masa kerja, tingkat pendidikan, jenis
kelamin), karakteristik peran/
pekerjaan, karakteristik struktural
(berkaitan dengan tingkat formali-
sasi, ketergantungan fungsional dan
desentralisasi, partisipasi dalam
pengambilan keputusan dan
kepemilikan pegawai, serta kontrol
organisasi), dan pengalaman kerja.
Hasil dan Pembahasan
Berdasarkan hasil pengolahan
data didapat persamaan regresi
berganda model regresi sebagai
berikut:
Y= 6,207+0,762X1+0,058X2
Jadi persamaan regresi di atas
bermakna: (1). Nilai 6,207
menunjukkan bahwa apabila variabel
kepusan kerja dan komitmen
organisasi adalah nol (0) maka nilai
intention turn over sebesar 6,207.
(2). Nilai 0,762 menunjukkan bahwa
apabila variabel kepuasan kerja
ditingkatkan 100% maka nilai
intention turn over akan meningkat
sebesar 76,2%. (3). Nilai 0,058
menunjukkan bahwa apabila variabel
komitmen organisasi ditingkatkan
100% maka nilai intention turn over
akan meningkat sebesar 5,8%.
Dari hasil penelitian ini diperoleh
nilai signifikansi kepuasan kerja
berdasarkan uji t diperoleh sebesar
0.000 (Sig 0.000<α 0.05). dengan
demikian Ho ditolak dan H1 diterima
artinya ada pengaruh signifikan
kepuasan kerja terhadap intention
turn over.
Dari hasil penelitian ini diperoleh
nilai signifikansi komitmen organiasi
berdasarkan uji t diperoleh sebesar
0.005 (Sig 0.005<α0.05). dengan
demikian Ho ditolak dan H1 diterima
artiinya ada pengaruh signifikan
komitmen organisasi terhadap
intention turn over.
Berdasarkan hasil uji F
diperoleh nilai signifikan 0.000 (Sig.
0.000<α0.05), dengan demikian H0
ditolak. Artinya, ada pengaruh signi-
fikan kepuasan kerja dan komitmen
organisasi terhadap intention turn
over.
Dari hasil uji determinasi dapat
dilihat bahwa 0,919 dan hal ini
menyatakan bahwa variabel penga-
ruh kepuasan kerja dan komitmen
organisasi sebesar 91,9% untuk
mempengaruhi variabel intention
turnover sisanya dipengaruhi oleh
faktor lain atau variabel lain.
Simpulan
Penelitian ini berhasil mene-
mukan adanya pengaruh yang
signifikan kepuasan kerja terhadap
intention turn over pada Contact
Center PLN 123 Site Medan.
Komitmen organisasi berpengaruh
signifikan terhadap intention turn
over pada Contact Center PLN 123
Site Medan. Ada pengaruh signifikan
kepuasan kerja dan komitmen
organisasi terhadap intention turn
over pada Contact Center PLN 123
Site Medan.
Daftar Pustaka
Dessler, Gary. 2006. Manajemen
Sumber Daya Manusia. Edisi ke-
10. Jilid 2. Jakarta: Penerbit
Indeks.
Gomes, Faustino Cardoso. 2003.
Manajemen Sumber Daya
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[92]
Manusia. Yogyakarta: Penerbit
Andi.
Handoko, T. Hani. 2000. Manajemen
Personalia dan Sumberdaya
Manusia. Yogyakarta: Penerbit
BPFE.
Mangkunegara, DR. A.A. Anwar
Prabu. 2005. Evaluasi Kepuasan
kerja SDM. Bandung: Penerbit
Refika Aditama.
Mathis, Robert L. dan Jackson. John
H. 2002. Manajemen Sumber
Daya Manusia. Jakarta: Penerbit
Salemba Empat.
Mondy, R. Wayne. dan Noe, Robert
M. 2005. Human Resources
Management, Edisi ke-9. New
Jersey: Penerbit Prentice Hall.
Ranupandojo, Hedjrachman, dan
Suad, Husnan. 2002.
Manajemen Personalia, Edisi
Ke-4. Yogyakarta: Penerbit
BPFE.
Rivai, Veithzal. 2004. Manajemen
Sumber Daya Manusia Untuk
Perusahaan. Jakarta: Penerbit
Raja Grafindo Persada.
Sugiyono, Prof. Dr. 2007. Metode
Penelitian Bisnis. Bandung:
Penerbit Alfabeta
Sunyoto, Drs. Danang. 2012.
Manajemen Sumber Daya
Manusia. Yogyakarta: Penerbit
CAPS.
Suwarno, Prof. H. Bambang. 2005.
Rumus dan Data dalam Analisis
Statistika. Bandung: Penerbit
Alfabeta
Umar, Dr. Husein. 2008. Desain
Penelitian MSDM dan Perilaku
Karyawan. Jakarta: Penerbit
Rajagrafindo Persada
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[93]
KAJIAN KAWASAN STRATEGIS MENUJU
KAWASAN YANG EKONOMIS DI KOTA MEDAN
1Prawidya Hariani RS,
2Lailan Safina Hasibuan,
3Jasman Saripuddin Hasibuan
1,2,3Fakultas Ekonomi Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Surel:[email protected]
ABSTRACT
Studies on the strategic area of Medan City Government aims to do the analysis
and mapping of Strategic Area profiles in the area of Medan based document
Spatial Plan (RTRW) of Medan Year 2011-2031. In addition, this study also
analyses the impact determination in accordance with the Strategic Region
Economic Sector, main city of Medan in achieving Urban Economic Zone. Lastly,
this study would like to create a criteria in determining the strategic areas
contained in the RUTRK city of Medan, so according to the characteristics of the
region and its links with other economic activities. Based on the findings obtained
from the study of this Strategic Area, that the CBD Polonia should be evaluated
as the area that encourage economic growth through the formal sector of trade
and an office area. In addition, the northern region of Medan widely used as a
strategic area of the town-oriented economic growth. As well as Belawan sea
port area which is equipped with the Port and the container port for goods
transportation between islands and between the both countries. Mabar industrial
area, including the largest industrial estates in North Sumatra. There is also a
region that gave the carrying capacity of the environment and provide an
opportunity in the development of tourism in coastal areas in particular, namely
the mangrove forest in Medan Belawan, Labuhan and Marelan, tourist areas
Siombak Lake (artificial lake). The northern area of Medan city, especially
Marelan also designated as cultivated areas with a concentration of agribusiness
products such as vegetables and fish farming, livestock and poultry, in order to
meet local demand community Medan.
Keywords: strategic area, economic area, economic growth
Pendahuluan
Aspek ruang memiliki dimensi
geografis dan lansekap ekonomi
(economic landscape) yang menjadi
variabel tambahan penting dalam
kerangka teori ekonomi
pembangunan. Sesuai dengan
perkembangan ilmu saat ini, maka
munculah konsep baru dalam
mengkombinasikan kedua aspek
tersebut yakni aspek geografi dan
aspek ekonomi, dan dikenal dengan
istilah geografi ekonomi (economic
geography). Konsep ini mampu
menjelaskan tentang tabir misteri
(blackbox) permasalahan dari
ketidakseimbangan spasial dalam
proses pembangunan.
Pembangunan daerah dan
pertumbuhan ekonomi daerah dalam
kerangka kebijakan pembangunan
sangat tergantung pada permasalahan
dan karakteristik spesifik wilayah
yang terkait. Perbedaan tingkat
pembangunan dapat dilihat dari
adanya perbedaan peranan sektoral
yang mempengaruhi pembentukan
PDRB di suatu wilayah. Secara
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[94]
hipotesis, dapat dirumuskan bahwa
semakin besar peranan sektor
ekonomi yang memiliki keunggulan
baik secara alamiah maupun non-
alamiah, maka semakin tinggi
pertumbuhan PDRB wilayah
tersebut. Peranan dari setiap sektor
dapat dilihat dari data PDRB pada
setiap tahunnya.
PDB dan PDRB memiliki 9
sektor ekonomi, dari kesembilan
sektor itu ada beberapa sektor yang
memiliki tingkat keunggulan
(economic base) lebih baik
dibandingkan dengan sektor-sektor
lainnya. Sektor basis tersebut
memiliki peranan yang penting
dalam mendorong pertumbuhan
ekonomi dan pertumbuhan sekto
lainnya, sehingga melihat sektor-
sektor yang memiliki keunggulan
dan kelemahan di wilayahnya
menjadi sangat penting.
Bila suatu sektor dikatakan basis
atau memiliki keunggulan tertentu,
maka nilai tambah dari sektor
tersebut akan lebih baik jika
dibandingkan dengan sektor-sektor
lain dan juga jika dibandingkan
dengan sektor tersebut dengan
daerah lainnya. Sehingga sektor basis
tersebut merupakan komoditas
ekspor utama dari daerah tersebut.
Ricardo dalam teorinya menyatakan
bahwa sektor yang disebut basis
merupakan sektor ekspor utama bagi
daerah tersebut dan mempengaruhi
pertumbuhan ekonomi daerah
tersebut (Tarigan 2009; 56). Namun
sektor unggulan dapat juga
didefinisikan sebagai sektor yang
mampu menggerakkan roda
perekonomian di suatu wilayah
dalam meningkatkan aktivitas
ekonomi dan mampu menggerakkan
(economic driven) pertumbuhan
ekonomi kearah yang lebih baik dan
berkesinambungan (suistanability).
Kawasan strategis wilayah
kabupaten atau kota merupakan
bagian dari wilayah kabupaten/kota
yang penataan ruangnya sangat
diprioritaskan. Kawasan strategis ini
mempunyai pengaruh sangat penting
dalam lingkup kabupaten terhadap
ekonomi, sosial budaya, dan/atau
daya dukung lingkungan hidup.
Penentuan kawasan strategis
kabupaten/kota lebih bersifat
indikatif. Batasan fisik kawasan
strategis akan ditetapkan lebih lanjut
di dalam rencana tata ruang kawasan
strategis (RTRK).
Kawasan strategis merupakan
kawasan yang didalamnya
berlangsung kegiatan yang
mempunyai pengaruh besar terhadap,
tata ruang di wilayah sekitarnya,
kegiatan lain dibidang sejenis dan
atau kegiatan dibidang lainnya, serta
peningkatan kesejahteraan masya-
rakat di wilayah tersebut. Kawasan
strategis di wilayah kota atau
kabupaten berfungsi juga dalam
mengembangkan, melestarikan,
melindungi, dan/atau mengkoor-
dinasikan keterpaduan pembangunan
nilai strategis kawasan yang
bersangkutan dalam mendukung
penataan ruang wilayah.
Kawasan strategis dari sudut
kepentingan ekonomi diidentifikasi
melalui penentuan sektor-sektor
ekonomi kunci pada wilayah
tersebut, sektor-sektor unggulan
yang dimiliki oleh setiap
kabupaten/kota, preferensi investasi
di masing-masing kabupaten/kota,
serta pengembangan kebijakan
infrastruktur pendukung pengem-
bangan wilayah. Kemudian
diidentifikasi juga karakteristik
tingkat perkembangan masing-
masing kabupaten atau kota.
Untuk Kota Medan, arah dalam
pengembangan ekonomi lebih jelas
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[95]
dijabarkan melalui penentuan
kawasan-kawasan strategis ekonomi
dengan melihat posisi tingkat
perkembangan setiap kecamatan,
prioritas sektor unggulan apa yang
dapat dikembangkan di kawasan
tersebut berdasar sektor unggulan di
kota Medan, serta kebutuhan
infrastruktur pendukung wilayahnya;
prioritas investasi jangka pendek dan
jangka panjang menjadi bahan
masukan dalam menetapkan fokus
dari sektor-sektor untuk setiap
kawasan strategis yang
dikembangkan; serta potensi kerja
sama antar daerah disekitarnya.
Kawasan-kawasan strategis tersebut
telah dijabarkan pada RUTR Kota
Medan. Oleh karena itu perlu
dilakukan kajian untuk melihat
bagaimana kawasan strategis tersebut
dapat dapat dikembangkan sehingga
menjadi kawasan yang mempunyia
nilai ekonomis.
Kawasan strategis wilayah
kabupaten atau kota merupakan
bagian wilayah kabupaten/kota yang
penataan ruangnya diprioritaskan,
karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten
terhadap ekonomi, sosial budaya,
dan/atau lingkungan. Penentuan
kawasan strategis kabupaten atau
kota lebih bersifat indikatif. Batasan
fisik kawasan strategis kabupaten
akan ditetapkan lebih lanjut di dalam
rencana tata ruang kawasan strategis,
dalam (Indonesian Institute for
Infastructure Studies; 2013)
Kajian Pustaka
Proses dari pembangunan
ekonomi akan selalu fokus pada
permasalahan daya saing industri,
ketersediaan infrastruktur, angkatan
kerja dan pengembangan pasar,
sehingga proses yang terjadi dalam
pembangunan ekonomi ini akan
berkesinambungan (suistanable
development) dan dapat meningkat-
kan kesejahteraan masyarakat.
Pembangunan ekonomi akan
mengisyaratkan adanya proses
pertumbuhan ekonomi yang juga
berkesinambungan. Bicara tentang
pembangunan ekonomi, sekaligus
membahas pertumbuhan ekonomi
dan faktor sosial lainnya, jadi
pembangunan ekonomi menyiratkan
dimensi jamak. Berdasarkan pada
aspek waktu, maka pembangunan
ekonomi akan membahas tentang
transformasi ekonomi dan sosial
dalam kurun waktu panjang biasanya
antara 20 tahun sampai dengan 25
tahun.
Pembangunan ekonomi akan
dapat menghasilkan keadaan berupa
ketimpangan ekonomi dan penduduk
sebagai konsekwensi alamiah, karena
ada daerah yang dapat beraglomerasi
secara ekonomi lebih dahulu dan
menghasilkan daerah konsentrasi
ekonomi serta penduduk.
Perbedaan pokok antara ilmu
ekonomi wilayah dan ekonomi
perkotaan dengan ekonomi
tradisional (mikro ekonomi dan
makro ekonomi) adalah menyangkut
aspek lokasi dan tata ruang (space).
Teori lokasi dan analisis ekonomi
spasial (spatial economic analysis)
merupakan landasan pokok dan
menjadi karakteristik utama dari
ilmu ekonomi wilayah (regional
economics) dan ekonomi perkotaan
(urban economics). Jadi dalam
analisis ekonomi spasial dimana tata
ruang dan lokasi kegiatan ekonomi
(economic activity) merupakan unsur
yang sangat penting.
Teori lokasi akan memberikan
kerangka analisis yang sistematis
mengenai pemilihan lokasi kegiatan
ekonomi dan sosial, serta analisis
interaksi antarwilayah. Teori lokasi
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[96]
menjadi sangat penting karena
pemilihan lokasi yang tepat akan
dapat memberikan penghematan
cukup besar pada ongkos angkut dan
biaya produksi sehingga mendorong
terjadinya efisiensi baik dalam
bidang produksi maupun pemasaran
produk. Sedangkan interaksi antar
wilayah akan mempengaruhi
perkembangan bisnis yang pada
gilirannya akan mendorong pertum-
buhan ekonomi wilayah yang
bersangkutan.
Pada konsep spasial, faktor jarak
menjadi sangat dominan dalam
menentukan suatu lokasi industri,
karena terkait langsung dengan biaya
transportasi, baik biaya angkut dari
sumber bahan baku ke unit
pengolahan dan dari unit pengolahan
menuju pasar. Total biaya
transportasi ini disebut dengan istilah
biaya lokasional. Harga jual produk
per-satuan unit di pasar, tergantung
pada biaya basis (biaya produksi
ditambah dengan laba marginal) dan
biaya lokasional, sehingga harga jual
produk per satuan unit akan semakin
tinggi jika semakin jauh dari lokasi
industri (pabrik). Dengan asumsi
tidak ada perlakuan pada
diskriminasi harga. Biaya lokasional
bertambah besar akibat munculnya
biaya distribusi (biaya angkut produk
dari pabrik ke pasar) yang
merupakan fungsi dari jarak tempuh
meskipun (biaya angkut bahan baku
ke pabrik) diasumsikan konstan.
Formulasi dari teori lokasi dan
analisis ekonomi spasial, dilakukan
dengan memperhatikan faktor-faktor
utama yang menentukan pemilihan
lokasi kegiatan ekonomi, baik bidang
pertanian, maupun industri dan jasa.
Pemilihan lokasi tidak hanya
ditentukan oleh faktor ekonomi saja,
tetapi juga oleh faktor sosial,
geografi maupun kebijakan
pemerintah. Ada enam faktor
ekonomi dan sosial yang
mempengaruhi lokasi seperti yang
diuraikan dalam Syafrizal (2012),
yakni adanya biaya pengangkutan,
perbedaan upah antar wilayah,
keuntungan aglomerasi, kompetisi
antar wilayah, konsentrasi
permintaan dan harga sewa tanah.
Kawasan strategis wilayah
kabupaten atau kota merupakan
bagian wilayah kabupaten/kota yang
penataan ruangnya diprioritaskan,
karena mempunyai pengaruh sangat
penting dalam lingkup kabupaten
terhadap ekonomi, sosial budaya,
dan/atau lingkungan. Penentuan
kawasan strategis kabupaten atau
kota lebih bersifat indikatif. Batasan
fisik kawasan strategis kabupaten
akan ditetapkan lebih lanjut di dalam
rencana tata ruang kawasan strategis,
dalam (Indonesian Institute for
Infastructure Studies; 2013).
Penentuan batasan fisik kawasan
strategis kota pada RTRW kota lebih
bersifat indikatif. Penetapan kawasan
strategis harus didukung oleh tujuan
tertentu daerah sesuai pertimbangan
aspek strategis masing-masing kota.
Kawasan strategis yang ada di kota
memiliki peluang sebagai kawasan
strategis nasional dan provinsi.
Penetapan kawasan strategis kota
didasarkan pada kesepakatan para
pemangku kepentingan dan
kebijakan yang ditetapkan.
Tujuan dalam penetapan untuk
Kawasan Strategis Kota Medan
sebagai berikut: (1). Mengembang-
kan, melestarikan, melindungi, dan
atau mengkoordinasikan keterpaduan
pembangunan nilai strategis kawasan
yang bersangkutan dalam
mendukung penataan ruang wilayah
kota; (2). Lokasi ruang untuk
berbagai kegiatan pertumbuhan
ekonomi, sosial dan budaya, serta
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[97]
fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup dalam wilayah kota yang
dinilai mempunyai pengaruh sangat
penting terhadap wilayah kota; (3).
Sebagai pertimbangan dalam
penyusunan indikasi program utama
RTRW kota; dan (4). Sebagai dasar
penyusunan rencana rinci tata ruang
wilayah kota.
Sedangkan dasar penetapan
kawasan strategis kota Medan
sebagai berikut: (1). Tujuan,
kebijakan dan strategi dari penataan
ruang wilayah kota; (2). Nilai
strategis dari aspek-aspek ekster-
nalitas, akuntabilitas dan efisiensi
penanganan kawasan; (3).
Kesepakatan para pemangku
kepentingan dan kebijakan yang
telah ditetapkan terhadap tingkat
kestrategisan nilai ekonomi, sosial
budaya dan lingkungan pada
kawasan yang akan ditetapkan; (4).
Daya dukung dan daya tampung
wilayah kota berdasarkan pada Pola
Ruang dan Tata Ruang Kota Medan;
dan (5). Ketentuan peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
Metode
Kajian ini secara metode
penelitian lebih bersifat deskriptif
yang bertujuan lebih melakukan
evaluasi agar penentuan kawasan
strategis yang telah ditetapkan dapat
diperbaiki agar dampak ekonominya
lebih luas lagi.
Berdasarkan atas klasifikasi
data, maka pada penelitian kali ini
digunakan data kuantitatif dengan
jenis rasio dan beberapa data
kualitatif. Sedangkan berdasarkan
dimensi waktu, maka data yang
digunakan adalah data runtun waktu
(time series) yakni data yang secara
kronologis disusun menurut waktu
pada suatu variabel tertentu
(Mudrajat Kuncoro, 2003).
Adapun sumber data yang
digunakan adalah: (a) Data primer;
yang diperoleh dengan survei dan
wawancara langsung kepada
Bappeda, SKPD dan Kecamatan
terkait yang berhubungan dengan
kawasan strategis dan sektor-sektor
ekonomi unggulan di kota Medan
dan para stakeholders lainnya
sebagai pelaku ekonomi dalam
bentuk asosiasi pengusaha. (b) Data
sekunder; diperoleh dari lembaga
pengumpul data baik dari pemerintah
dalam hal ini BPS (Biro Pusat
Statistik ) Kota Medan, dan Bappeda
dalam bentuk dokimen RTRW dan
RUTR Kota Medan yang telah
dipublikasikan kepada masyarakat
pengguna data. Sedangkan untuk
SKPD Pertanian, Kelautan dan
Perikanan diperoleh data kuantitatif
dan kualitatif.
Adapun teknik pengambilan data
baik yang berbentuk kuantitatif
maupun kualitatif diambil langsung
pada institusi yang bersangkutan,
Data kuantitatif berbentuk data
sekunder berasal dari BPS,
sedangkan data kualitatif diambil
dari SKPD dan institusi yang terkait
dalam mendukung penelitian
tersebut. Maka teknik analisi data
yang akan dipakai dalam kajian ini
berupa: (1). Dokumen RUTR dan
RTRW dikaji khususnya bahagian
penetapan kawasan-kawasan
strategis di kota Medan. (2).
Kemudian data yang berasal dari
masyarakat pelaku ekonomi kota
Medan dalam bentuk asosiasi
pengusaha, dengan cara membuat
daftar pertanyaan (questioner) yang
akan digunakan dalam tehnik
wawancara terstruktur dan mendalam
dengan beberapa dinas terkait dan
beberapa asosiasi pengusaha sektor
riil dikota Medan yang sangat
tradebale dalam perekonomian kota
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[98]
Medan, guna mendapatkan informasi
yang akurat tentang potensi, hasil
produksi dan ekspektasi kedepan dari
bisnis tersebut. (3). Data yang
berasal dari Kantor Statistik Kota
Medan, maka pencarian data
dilakukan dengan cara langsung ke
instansi tersebut untuk pengambilan
data yang telah dipublikasikan secara
resmi, baik dari Buku Medan Dalam
Angka dari tahun 2002-2011 maupun
publikasi lainnya yang mendukung.
Data statistik KADIN (Kamar
Dagang dan Industri) kota Medan,
Dinas Perindustrian dan Perdagangan
Kota Medan, Dinas KOMINFO,
Asosiasi PHRI kota Medan dan
Asosiasi Pengusaha Ritel Kota
Medan. (4). Teknik evaluasi
kawasan, hanya melakukan cross
check dokumen RUTR dan RTRW
kota Medan, kemudian ditinjau ke
lapangan.
Hasil dan Pembahasan
Kawasan Strategis Kota Medan
berdasarkan Rencana Tata Ruang
Wilayah (RTRW) Tahun 2010-
2030. Kawasan strategis merupakan
kawasan yang di dalamnya
berlangsung kegiatan yang
mempunyai pengaruh besar terhadap:
(a). Tata ruang di wilayah sekitarnya;
(b). Kegiatan lain di bidang yang
sejenis dan kegiatan di bidang
lainnya; dan/atau (c). Peningkatan
kesejahteraan masyarakat.
Kawasan Strategis berdasarkan
Kepentingan Pertumbuhan
Ekonomi. Kawasan strategis dari
sudut kepentingan pertumbuhan
ekonomi, antara lain, adalah kawasan
metropolitan, kawasan ekonomi
khusus, kawasan pengembangan
ekonomi terpadu, kawasan tertinggal,
serta kawasan perdagangan dan
pelabuhan bebas. Berdasarkan
kriteria diatas maka Kawasan
Strategis Kota (KSK) Medan yang
dapat dikembangkan sebagai
Kawasan Strategis Pertumbuhan
Ekonomi KSPE), antara lain: (1).
Pusat Pelayanan Kota di Bagian
Pusat Kota (CBD Polonia); Di Kota
Medan terdapat 7 (tujuh) kecamatan
di pusat kota yang ditetapkan sebagai
Pusat Kawasan Metropolitan
Mebidangro, yaitu Kecamatan
Medan Polonia, Medan Maimun,
Medan Barat, Medan Petisah, Medan
Baru, Timur dan Medan Kota. (2).
Kawasan Ekonomi Khusus (KEK);
yang akan di kembangkan adalah di
Kecamatan Medan Labuhan; (3).
Kawasan Pengembangan Ekonomi
Terpadu (KAPET). Kawasan
pengembangan ekonomi terpadu
ditetapkan dengan kriteria sebagai
berikut: (a). Memiliki aksesibilitas
tinggi yang didukung oleh prasarana
transportasi yang sangat memadai.
(b). Memiliki potensi strategis yang
memberikan keuntungan dalam
pengembangan sosial ekonomi. (c).
Berdampak luas terhadap
pengembangan regional, nasional
dan internasional. (d). Memiliki
peluang investasi yang menghasilkan
nilai tinggi. Berdasarkan kriteria
diatas maka kawasan yang dapat
dikembangkan sebagai kawasan
pertumbuhan ekonomi terpadu
adalah: Kecamatan Medan Belawan,
Kecamatan Medan Labuhan,
Kecamatan Medan Deli, Pusat Kota
(CBD Polonia) dan Kecamatan
Medan Amplas. (4). Kawasan
Perdagangan dan Pelabuhan Bebas;
Kawasan perdagangan dan
pelabuhan bebas adalah Kawasan
Pelabuhan Belawan di Kecamatan
Medan Belawan dan Pusat Primer
dan Sekunder.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[99]
Kawasan Strategis berdasarkan
Kepentingan Bidang Sosial
Budaya. Kawasan strategis dari
sudut kepentingan sosial dan budaya,
antara lain, adalah: (1). Kawasan
adat tertentu; (2). Kawasan
konservasi warisan budaya, termasuk
warisan budaya yang diakui sebagai
warisan dunia.
Kawasan-kawasan di Kota
Medan yang dapat dikategorikan
sebagai kawasan strategis sosial
budaya meliputi wilayah: (1).
Kawasan Polonia; (2). Kawasan Kota
Lama Labuhan Deli; yang terdiri dari
Toapekong Labuhan, Rumah-rumah
Toko Pekong, Rumah-rumah
Melayu, Mesjid Raya Labuhan,
Bangunan Eks Bea Cukai dan
Stasiun Kereta Api Belawan. (3).
Kawasan Perumahan dan Pergu-
dangan Eks DSM (Deli Spoorweg
Maatsehappij) di Pulo Brayan; (4).
Kawasan Istana Maimun; yang
meliputi Mesjid Raya Kota Medan,
Istana Maimun dan Taman Sri Deli;
(5). Kawasan Kampung Keling;
Kuil Sri Maryamman; (6). Kawasan
Kesawan; Kota Tua Pusat Kota
Medan (dengan gedung-gedung tua
bekas pusat perdagangan kota di
zaman Belanda); Rumah Tradisonal
Tionghoa peninggalan Tjong A Fie.
Kawasan Kesawan memiliki daya
tarik tersendiri bagi masyarakat
Medan, baik untuk berkumpul
dengan beberapa jenis komunitas
anak muda, termasuk hobi fotografi
dan menjadi lokasi untuk melakukan
aktivitas fotografi.
Kawasan Strategis berdasarkan
Fungsi dan Daya Dukung
Lingkungan Hidup. Kawasan
strategis dari sudut kepentingan
fungsi dan daya dukung lingkungan
hidup, antara lain, adalah kawasan
perlindungan dan pelestarian ling-
kungan hidup, termasuk kawasan
yang diakui sebagai warisan dunia
seperti Taman Nasional.
Kriteria kawasan perlindungan
yang strategis adalah: (1). Memiliki
peran ekologis dan penyelamatan
lingkungan dan mengantisipasi
bencana banjir; (2). Memiliki
peranan ekonomi yang cukup besar,
jika dapat dikelola dengan baik; (3).
Kebutuhan pemberian identitas kota
dengan pengembangan tanaman.
Kawasan strategis yang perlu
dan bisa dikembangkan sebagai
kawasan strategis yang memiliki
kepentingan untuk fungsi dan daya
dukung lingkungan hidup di Kota
Medan adalah: (1). Kawasan
Agrobisnis di Kecamatan Medan
Marelan; wilayah ini menghasilkan
tananaman holtikultura seperti sawi
hijau, kacang panjang, cabe, terong,
timun, kangkung dan bayam. (2).
Kawasan Hutan Manggrove dan
rawa di Kecamatan Medan Belawan;
(3). Kawasan Wisata (Theme Park
dan Natural Park) di Kecamatan
Medan Marelan; (4). Kawasan
rencana pengembangan waduk-
waduk buatan yang menyebar di
Kecamatan Medan Labuhan.
Kawasan Agrobisnis Kota Medan.
Pemerintah kota Medan telah
menetapkan suatu kawasan agribisnis
di sebahagian wilayah kota Medan
yang posisinya berada di bahagian
utara kota Medan. Wilayah agribisnis
di bagian utara Medan meliputi
Kecamatan Medan Marelan, Medan
Deli dan Medan Labuhan.
Sedangkan wilayah bagian selatan
meliputi kecamatan Medan Amplas,
Medan Tuntungan dan Medan
Selayang. Selanjutnya wilayah
Medan bagian barat meliputi
kecamatan Medan Helvetia dan
Medan Sunggal.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[100]
Wilayah ini menghasilkan
tananaman holtikultura seperti sawi
hijau, kacang panjang, cabe, terong,
timun, kangkung, bayam dan bawang
merah .Pada tahun 2015, produksi
pertanian holtikultura berupa sayur-
mayur di Kecamatan Medan Marelan
adalah sebagai berikut:
Tabel 1. Total Produksi Sayur-
Mayur dan Cabe di Medan
Marelan Tahun 2015 No Komoditi Produksi (Ton)
1
2
3
4
5
Sawi
Cabe merah
Kangkung
Bayam
Bawang merah
115
16
96
54
3
Sumber: Dinas Pertanian, Kelautan dan
Perikanan Kota Medan
Untuk mendorong kegiatan
agribisnis ini, maka Pemerinta Kota
Medan dalam hal ini dinas pertanian,
kelautan dan perikanan memberikan
bantuan kepada para petani. Bantuan
yang diberikan dalam bentuk benih,
pupuk dan obat-obatan. Untuk tahun
2015, bantuan yang diberikan antara
lain: benih cabe (375 gr), pupuk
kandang (1.633 kg), kapur (dolomit)
sebanyak 2.175 kg, NPK (545 kg),
Insektisida (Promexin) sebanyak 2.5
kg, fungisida (antracol) sebanyak 2.5
kg, fungisida (factory) sebanyak 2.5
kg dan mulsa sebanyak 23 ball.
Pengembangan Kawasan Budi
Daya Perikanan. Kawasan budidaya
adalah kawasan yang kondisi dan
potensi sumber alamnya dapat dan
perlu dimanfaatkan guna
kepentingan produksi dalam rangka
memenuhi kebutuhan manusia,
seperti: kawasan perumahan dan
permukiman; kawasan perdagangan
dan jasa; kawasan Industri; kawasan
fasilitas pelayanan; dan kawasan
khusus. Budidaya perikanan menjadi
sangat penting, khususnya dalam
memenuhi permintaan domestik kota
Medan, baik yang berasal; dari
rumah tangga (household) maupun
dari usaha rumah makan dan
restoran.
Tabel 2. Daftar Nama Kelompok Tani Pembudidaya Ikan Air Payau
Kota Medan
No Nama
Kelompok
Lokasi
Budidaya
Jumlah
Anggota
(orang)
Keterangan
1 Gurame Labuhan Deli 11 Medan Labuhan
2 Mina Sejahtera Labuhan Deli 28 Medan Labuhan
3 Mina Karya I Labuhan Deli 12 Medan Labuhan
4 Mujahir Paya Pasir 10 Medan Labuhan
5 Amanah Secanang 12 Medan Belawan
6 Anugerah M Sentosa Secanang 11 Medan Belawan
7 Suka Karya VI Secanang XX 10 Medan Belawan
8 Suka Karya VII Secanang 10 Medan Belawan
9 Suka Karya VIII Secanang 10 Medan Belawan
10 Sukakarya IV Secanang XX 12 Medan Belawan
11 Sukakarya XI Secanang XX 10 Medan Belawan
12 Taruna Tani Secanang XX 10 Medan Belawan
13 Lestari Secanang XX 10 Medan Belawan
14 Sukakarya XII Secanang XVIII 10 Medan Belawan
15 Sukakarya XIII Secanang XX 13 Medan Belawan
16 Mina Soka Labuhan Deli 10 Medan Labuhan
17 Seruai Kel. Sei Mati 10 Medan Labuhan
18 Udang Windu Sejahtera I Kel. Sei Mati 10 Medan Labuhan
19 Keluarga Mandiri Nelayan Indah 27 Medan Labuhan
20 Mina Jaya Pesisir Labuhan Deli 10 Medan Labuhan
21 Forum Petani Batang Kilat Kel. Sei Mati 30 Medan Labuhan
22 Udang Sejahtera Kel. Sei Mati 15 Medan Labuhan
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan Tahun 2014
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[101]
Kawasan Budidaya Perikanan Air
Payau. Wilayah selatan dalam
RUTR (Rencana Umum Tata Ruang)
kota Medan dari tahun 1996 sudah
meneetapkan, bahwa wilayah selatan
sebagai wilayah tangkapan air (wáter
cacthment área) yang berfungsi
sebagai penyangga dan penyimpan
air bagi warga Medan. Jadi dalam
melengkapi dan mempertahankan
tata ruang wilayah tangkapan air
tersebut, sangat cocok sekali
dikembangkan usaha produksi
pertanian tanaman pangan yang
kegiatnnya lebih pertanian perkotaan
dan menjadi kawasan budi daya
perikanan air tawar. Karena produksi
ikan ini dapat mempertahankan
wilayah ruang terbuka hijau yang
menjadi paru-paru kota untuk
menyerap karbon dioksida (CO2)
dan karbon monoksida (CO) yang
dihasilkan dari beberapa kegiatan
ekonomi dan kegiatan transportasi
perkotaan.
Berdasarkan data statistik Kota
Medan dalam Angka tahun 2010,
rumah tangga dengan kategori budi
daya perikanan untuk daratan adalah
967 rumah tangga di tahun 2008 dan
962 rumah tangga pada tahun 2009.
Adapun budi daya perikanan ini
sangat didominasi oleh pembudi-
dayaan ikan darat dengan kolam dan
tambak. Tapi untuk rumah tangga
nelayan laut tidak terdapat datanya,
dan kemungkinan belum diperba-
harui. Data pembudidayaan perikan-
an di kota Medan Tahun 2014 seperti
terlihat dalam tabel 2.
Kawasan Budidaya Perikanan Air
Tawar. Untuk kelompok petani
pembudidaya ikan air tawar,
umumnya berlokasi di wilayah
selatan kota Medan. Sebahagian
besar mereka tergabung dalam
kelompok-kelompok petani
pembudidaya ikan air tawar yang
telah diinventarisir oleh Pemerintah
kota Medan melalui Kantor Dinas
Perikanan dan Kelautan.
Tabel 3
Daftar Nama Kelompok Tani Pembudidaya Ikan Air Tawar Kota
Medan No Nama Kelompok Lokasi Budidaya Jumlah Anggota (orang) Keterangan
1 Mina Permai I Kemenanngan Tani 20 Medan Tuntungan
2 Mina Permai II Tanjung Selamat 15 Medan Tuntungan
3 Nusa Indah Ladang Bambu 21 Medan Tuntungan
4 Mina Bakti Jaya Simalingkar B 12 Medan Tuntungan
5 Suka Indah Medan Johor 18 Medan Johor
6 Eka Minakiati Jl. Ekasuka III 13 Medan Johor
7 Mina Mekar Harjosari II 10 Medan Denai
8 Mina Serumpun Bangun Mulia 8 Medan Denai
9 Makmur Medan Denai 10 Medan Denai
10 Mina Sejahtera Medan Sunggal 9 Medan Sunggal
11 PTP II 10 KSS Medan Denai 10 Medan Denai
12 Bersama 99 Menteng 13 Medan Denai
13 Indah Lestari Sudi Rejo II 16 Medan Denai
14 Laris Manis Sudi Rejo II 18 Medan Denai
15 Sukamaju Bersama Sukamaju 13 Medan Denai
16 Sukamaju Sukamaju 15 Medan Denai
17 Mina Marati Petisah Hulu 16 Medan Petisah
18 Mina Bersama Ladang Bambu 14 Medan Tuntungan
19 Mina Mandiri Helvetia 12 Medan Helvetia
Sumber : Dinas Perikanan dan Kelautan Kota Medan Tahun 2014
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[102]
Namun banyak kelompok petani
budidaya ikan air tawar ini hanya
mengandal-kan bantuan dari
pemerintah dalam bentuk bantuan
dana, sehingga untuk mengem-
bangkan usaha budidaya menjadi
kurang efektif jika uang bantuan
yang diberikan sudah habis
digunakan. Kemudian mereka akan
menunggu kembali bantuan dana
berikutnya, sehingga bantuann dana
ini menjadi tidak mendidik. Adapaun
daftar nama kelompok tani pembudi-
daya ikan air tawar dapat dilihat pada
tabel 3.
Kawasan Strategis Nasional dan
Provinsi di Wilayah Kota
Medan. Rencana tata ruang Kota
Medan juga mengakomodir
kawasan-kawasan strategis nasional
dan provinsi yang yang berperan
penting dan diprioritaskan pengem-
bangannya. Kawasan strategis
nasional dan kawasan strategis
provinsi dalam wilayah Kota Medan:
(1). Kawasan Strategis Nasional
(KSN); yang terdapat dalam wilayah
Kota Medan adalah Kawasan
Perkotaan Mebidangro; (2). Kawasan
Strategis Provinsi (KSP); yang
terdapat dalam wilayah Kabupaten
Deli Serdang adalah Kawasan
Andalan Perkotaan Mebidangro; (3).
Kawasan Strategis Nasional dari
sudut kepentingan pertahanan
keamanan; yang diperuntukkan bagi
kepentingan pemeliharaan dan
pertahanan negara berdasarkan
geosrategic national yang terdapat
dalam wilayah Kota Medan adalah
(Pangkalan Udara) Lanud Polonia di
Kecamatan Medan Polonia,
Pangkalan TNI Angkatan Laut
(Lanal) Belawan di Kecamatan
Medan Belawan dan Kodam di
Kecamatan Medan Helvetia.
Penentuan kawasan strategis
kota harus menyesuaikan dengan
Kawasan strategis Nasional dan atau
Provinsi, sehingga tidak terjadi
tumpang tindih fungsi dari kawasan
tersebut. Sebaiknya penentuan
kawasan-kawasan strategis ini harus
saling mendukung pemanfaatannya,
sehingga pola ruang dan tata ruang
menjadi lebih efisien dan efektif.
Penyebaran lokasi dari kawasan
strategis juga akan memperhitungkan
tingkat daya dukung lingkungan,
baik secara sosial, ekonomi maupun
alam.
Sektor Ekonomi Unggulan Kota
Medan. Secara lebih detail melihat
kontribusi dari semua sektor dan sub
sektor akan dapat dilihat pada tabel
4. Sektor unggulan adalah sektor
yang paling besar memberi
kontribusi pada PDRB kota Medan
lebih dari 10%, berturut-turut adalah
sektor perdagangan, hotel dan
restoran dengan kontribusi lebih dari
25% dan didorong oleh sub sektor
perdagangan besar serta eceran
berkisar lebih dari 22%. Kemudian
diikuti oleh sektor pengangkutan
yang mencapai kontribusi lebih dari
16%, dengan dukungan tertinggi
pada angkutan udara serta jalan raya,
dengan sumbangan produksinya
mencapai lebih dari 8%, dapat dilihat
dari gambar grafik 4-12 bahwa trend
nya meningkat cepat untuk
berkontribusi dalam PDRB kota
Medan. Berikutnya sektor bangunan
dan jasa-jasa berkontribusi hampir
sama, yakni berkisar 10%. Untuk
sektor jasa-jasa yang paling besar
kontribusinya adalah sub sektor jasa
pemerintahan yang mencapai lebih
dari 6% sedangkan jasa swasta hanya
4% saja
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[103]
Tabel 4. Perkembangan kontribusi (%) dari Sektor dan
sub-Sektor PDRB Kota Medan
Simpulan
(1). Kawasan strategis merupakan
kawasan yang di dalamnya
berlangsung kegiatan yang
mempunyai pengaruh besar terhadap
tata ruang di wilayah sekitarnya,
kegiatan lain di bidang yang sejenis
dan kegiatan di bidang lainnya serta
peningkatan kesejahteraan masya-
rakat. (2). Kawasan Strategis
berdasarkan Kepentingan Pertum-
buhan Ekonomi terdiri dari Pusat
Pelayanan Kota di Bagian Pusat Kota
(CBD Polonia), Kawasan Ekonomi
Khusus (KEK), Kawasan Pengem-
bangan Ekonomi Terpadu (KAPET)
dan Kawasan Perdagangan dan
Pelabuhan Bebas. (3). Kawasan
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2009 2010 2011
3. Industri Pengolahan 16.32 16.07 15.77 15.2 15.04 14.8 14.39 13.73 13.38 12.86
a. Industri Migas
1) Penggalian Minyak Bumi
2) Gas Alam Cair
b. Industri tanpa Migas 16.32 16.07 15.77 15.2 15.04 14.8 14.39 13.73 13.38 12.86
1) Makanan, Minuman, dan Tembakau 6.016 5.908 5.805 5.637 5.56 5.55 5.415 5.201 5.097 4.877
2) Tekstil, Barang dari Kulit, dan Alas Kaki 0.415 0.41 0.402 0.388 0.385 0.381 0.378 0.351 0.334 0.32
3) Barang dari Kayu dan Hasil Hutan Lainnya 1.251 1.226 1.205 1.165 1.149 1.114 1.079 1.023 0.963 0.903
4) Kertas dan Barang Cetakan 0.286 0.288 0.28 0.27 0.27 0.266 0.255 0.245 0.243 0.235
5) Pupuk Kimia dan Barang dari Karet 1.145 1.182 1.137 1.101 1.113 1.101 1.074 1.024 0.987 0.939
6) Semen dan Brg Galian Bukan Logam 1.381 1.343 1.325 1.288 1.264 1.259 1.184 1.131 1.107 1.075
7) Logam Dasar Besi dan Baja 2.579 2.505 2.472 2.346 2.32 2.24 2.158 2.02 1.905 1.82
8) Alat Angkutan Mesin dan Peralatannya 2.96 2.882 2.842 2.716 2.683 2.594 2.552 2.461 2.477 2.441
9) Barang Lainnya 0.292 0.322 0.302 0.292 0.293 0.295 0.293 0.28 0.265 0.249
4. Listrik, Gas, dan Air Bersih 1.719 1.763 1.711 1.636 1.6 1.442 1.411 1.391 1.389 1.346
a. Listrik 0.842 0.844 0.829 0.748 0.753 0.736 0.715 0.698 0.688 0.669
b. Gas Kota 0.421 0.42 0.395 0.433 0.362 0.216 0.205 0.214 0.218 0.209
c. Air Bersih 0.456 0.499 0.486 0.455 0.484 0.491 0.491 0.479 0.483 0.467
5. Bangunan 10.15 10.14 10.68 10.73 11.06 10.92 11.04 11.21 11.18 11.17
6. Perdagangan, Hotel, dan Restoran 27.23 26.66 26.26 27.11 26.7 26.24 25.93 26.4 26.76 27.09
a. Perdagangan Besar dan Eceran 22.93 22.33 22.02 22.97 22.53 22.13 21.8 22.27 22.6 22.99
b. Hotel 0.658 0.64 0.604 0.567 0.551 0.543 0.563 0.541 0.538 0.531
c. Restoran 3.645 3.691 3.63 3.572 3.622 3.574 3.568 3.589 3.616 3.567
7. Pengangkutan dan Komunikasi 16.44 17.25 18.24 18.35 19.3 19.81 20.04 20.54 20.51 20.52
a. Pengangkutan 14.7 15.26 15.99 16.05 16.83 17.13 17.23 17.67 17.61 17.61
1) Angkutan Rel 0.047 0.052 0.051 0.05 0.051 0.05 0.05 0.053 0.052 0.051
2) Angkutan Jalan Raya 5.268 5.163 4.907 4.7 4.634 4.674 4.704 4.917 4.804 4.734
3) Angkutan Laut 1.736 1.171 1.031 0.909 0.856 0.828 0.781 0.77 0.755 0.74
4) Angkutan Sungai, Danau, dan Penyebrangan
5) Angkutan Udara 4.613 5.712 6.869 7.198 7.948 8.177 8.243 8.378 8.637 8.86
6) Jasa Penunjang Angkutan 3.035 3.157 3.134 3.193 3.343 3.402 3.457 3.553 3.362 3.226
b. Komunikasi 1.744 1.99 2.249 2.298 2.468 2.674 2.806 2.871 2.898 2.906
1) Pos dan Telekomunikasi
8. Keuangan, Persewaan, dan Jasa Perusahaan 14.23 14.57 14.16 13.88 13.53 14.17 14.62 14.12 14.33 14.52
a. Bank 4.053 3.963 3.598 3.512 3.479 3.884 4.373 3.803 3.941 4.071
b. Lembaga Keuangan bukan Bank 0.548 0.648 0.615 0.621 0.636 0.614 0.596 0.633 0.613 0.582
c. Jasa Penunjang Keuangan 0.09 0.087 0.087 0.081 0.079 0.09 0.088 0.077 0.078 0.079
d. Sewa Bangunan 6.76 7.025 6.953 6.76 6.591 6.791 6.668 6.702 6.718 6.798
e. Jasa Perusahaan 2.777 2.85 2.901 2.904 2.749 2.787 2.894 2.906 2.981 2.985
9. Jasa-Jasa 10.72 10.58 10.38 10.44 10.3 10.21 10.23 10.31 10.3 10.45
a. Pemerintahan 6.273 6.055 5.844 6.012 5.998 5.993 6.029 6.208 6.257 6.449
1) Adm. Pemerintahan dan Pertahanan 3.776 3.671 3.662 3.618 3.659 3.716 3.67 3.773 3.813 3.928
2) Jasa Pemerintah Lainnya 2.497 2.383 2.182 2.393 2.339 2.278 2.359 2.435 2.444 2.521
b. Swasta 4.452 4.524 4.539 4.426 4.301 4.215 4.198 4.102 4.046 4.001
1) Sosial Kemasyarakatan 1.023 1.005 0.988 0.936 0.927 0.925 0.868 0.847 0.85 0.849
2) Hiburan dan Rekreasi 1.555 1.626 1.66 1.634 1.528 1.514 1.548 1.515 1.491 1.479
3) Perorangan dan Rumah Tangga 1.874 1.894 1.891 1.855 1.846 1.775 1.782 1.739 1.705 1.673
Share (sektoral) terhadap PDRB Medan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[104]
Strategis berdasarkan Kepentingan
Bidang Sosial Budaya meliputi
Kawasan Polonia, Kawasan Kota
Lama Labuhan Deli, Kawasan
Perumahan dan Pergudangan Eks
DSM, Kawasan Istana Maimun,
Kawasan Kampung Keling, dan
Kawasan Kesawan. (4). Kawasan
Strategis berdasarkan Fungsi dan
Daya Dukung Lingkungan Hidup
meliputi Kawasan Agrobisnis di
Kecamatan Medan Marelan,
Kawasan Hutan Manggrove dan
rawa di Kecamatan Medan Belawan,
Kawasan Wisata (Theme Park
dan Natural Park) di Kecamatan
Medan Marelan dan Kawasan
rencana pengembangan waduk-
waduk. (5). Kawasan Strategis
Nasional dan Provinsi di Wilayah
Kota Medan terdiri dari Kawasan
Strategis Nasional (KSN), Kawasan
Strategis Provinsi (KSP) dan
Kawasan Strategis Nasional dari
sudut kepentingan pertahanan
keamanan. (6). Untuk kota Medan
dari semua sektor kegiatan yang ada,
maka sektor perdagangan dan jasa
merupakan sektor unggulan bagi
kota Medan, yang diikuti dengan
sektor industri, pengangkutan dan
komunikasi, keuangan, bangunan
serta jasa lainnya.
Dengan demikian, rekomendasi
dari penelitian ini adalah: (1).
Seharusnya master plan untuk
kawasan strategis yang sudah
tertuang pada RPJMD untuk tahun
2011 – 2015 sudah selesai
dilaksanakan, dan sudah dapat
diakses oleh stakeholder. (2).
Sebaiknya telah dikerjakan dari
Rencana Detail Tata Ruang Wilayah
Kota Medan tahun 2011 – 2031 yang
disesuaikan dengan RTRW Kota
Medan 2011 – 2031. (3). Kemudahan
untuk memperoleh informasi tentang
tata ruang kota Medan bagi
masyarakat baik melalui internet atau
papan informasi pada ruang-ruang
publik. (4). Penetapan kawasan
strategis hendaknya dilengkapi
dengan sarana dan prasara
pendukung lainnnya yang saling
terkait antara satu dengan yang lain
sehingga dapat meminimumkan
biaya transportasi. (5). Sebaiknya
dilakukan peninjauan ulang tentang
penetapan kawasan strategis yang
telah ada di RPJMD ataupun di
RTRW kota Medan, sehingga dapat
disesuaikan dengan kondisi yang ada
pada saat ini (melakukan evaluasi
capaian)
Daftar Pustaka
Ambardi, U.M dan Socia, P. 2002.
“Pengembangan Wilayah dan
Otonomi Daerah”. Pusat
Pengkajian Kebijakan
Pengembangan Wilayah
(P2KTPW-BPPT), Jakarta.
Azhar et al, 2003, “Analisis Sektor
Basis dan Non Basis di Propinsi
Nangroe Aceh Darussalam”,
Faperta Unsyah, Banda Aceh.
Boediono, 1998, “Ekonomi Makro”,
Erlangga, Jakarta.
Chuzaimah dan Mabruroh, (2008);
Identifikasi Produk Unggulan
berbasis Ekonomi Lokal untuk
Meningkatkan PAF di Era
Otonomi Daerah, Jurnal sains
dan Teknologi, IST Yogyakarta.
Dornbusch, Rudiger dan Stanley
Fischer, 2008, “Makroekonomi”,
PT. Media Global Edukasi,
Jakarta (terjemahan).
Fachrurrazy, 2009,” Analisis
Penentuan Sektor Unggulan
Perekonomian Wilayah
Kabupaten Acah Utara dengan
Pendekatan Sektor Pembentuk
PDRB, PPs, USU.
Ghufron, Muhammad. 2008. Analisis
Pembangunan Wilayah Berbasis
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[105]
sektor Unggulan Kabupaten
Lamongan Propinsi Jawa Timur.
[Skripsi]. Institut Pertanian
Bogor, Bogor.
Hariani, P (1994); Konsep dan
Strategi Pembangunan Daerah
pada Wilayah Pembangunan III
Sumatera Utara (suatu tinjauan
deskripsi), USU, Medan.
Kartika (2007); Kajian Tingkat
Produksi dan Pendapatan Usaha
Tani Sayuran Dataran Rendah di
Kawasan Agribisnis Kota
Medan,skripsi, USU Press,
Medan.
Kuncoro, M, (2013); Metode Riset
untuk Bisnis dan Ekonomi :
Bagaimana meneliti dan
menulis), Edisi ke-4, Erlangga,
Jakarta.
Pemerintah Kota Medan (2011);
Perda Kota Medan No, 14
Tahun 2011, tentang Rencana
Pembangunan Jangka Menengah
(RPJMD) Kota Medan Tahun
2011-2015.
Rencana Tata Ruang Wilayah
(RTRW) (2012 ) Kota Medan
Tahun 2010-2030.
BPS Kota Medan (berbagai Tahun);
Medan dalam angka dan
kecamatan2 dalam angka,
Medan.
Pemerintah Kota Medan (2011);
Perda Kota Medan No, 13
Tahun 2011, tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Kota
(RTRW) Kota Medan Tahun
2011-2015.
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[106]
ANALISIS PERBANDINGAN PENERIMAAN PBB P2 DAN BPHTB
SEBELUM DAN SESUDAH PENERAPAN UNDANG-UNDANG NO. 28
TAHUN 2009 PADA DINAS PENDAPATAN KOTA MEDAN
Pandapotan Ritonga
Universitas Muhammadiyah Sumatera Utara
Surel: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk menganalis perbedaan penerimaan PBB P2
dan penerimaan BPHTB sebelum dan sesudah penerapan UU No. 28 Tahun
2009. Selanjutnya dilakukan analisis terhadap kendala yang dihadapi
pemerintahan daerah Kota Medan dalam memungut PBB P2 dan BPHTB. Hasil
penelitian ini tidak berhasil menemukan perbedaan yang signifikan penerimaan
PBB P2 sebelum dan sesudah penerapan UU No. 28 Tahun 2009. Sedangkan
untuk penerimaan BPHTB sebelum dan sesudah penerapan UU No. 28 Tahun
2009 terdapat perbedaan yang signifikan. Kendala yang dihadapi oleh Dinas
Pendapatan Daerah dalam mengelolah dan memungut PBB P2 dan BPHTB
adalah masih lemahnya pemahaman petugas, kurangnya tenaga ahli dalam hal
pengelolaan dan pemungutan PBB P2 dan BPHTB sehingga membuat
penggalian potensi PBB P2 dan BPHTB kurang maksimal.
Kata kunci: penerimaan, target, pemungutan pajak
Pendahuluan
Pembiayaan pemerintah daerah
dalam melaksanakan tugas pemerin-
tahan dan pembangunan senantiasa
memerlukan sumber penerimaan
yang dapat diandalkan. Kebutuhan
ini semakin dirasakan daerah
terutama sejak diberlakukannya
otonomi daerah di Indonesia.
Dengan adanya otonomi, daerah
dipacu untuk dapat mencari sumber
penerimaan daerah untuk dapat
membiayai pengeluaran daerah.
Dari berbagai alternatif sumber
penerimaan yang mungkin dipungut
oleh daerah, Undang-Undang
tentang Pemerintahan Daerah
menetapkan pajak dan retribusi
daerah menjadi salah sumber
penerimaan yang berasal dari daerah
dan dapat dikembangkan sesuai
kondisi masing-masing daerah.
Pemberlakuan pajak dan
retribusi daerah sebagai sumber
penerimaan daerah pada dasarnya
tidak hanya menjadi urusan
pemerintah daerah sebagai pihak
yang menetapkan dan memungut
pajak dan retribusi daerah, tetapi
juga berkaitan dengan masayarakat
pada umumnya. Ditinjau dari
lembaga pemungutnya, pajak
dibedakan menjadi 2 yaitu Pajak
Pusat dan Pajak Daerah. Kemudian,
pemerintah daerah dibagi lagi
menjadi 2 yaitu Pemerintah Propinsi
dan Pemerintah Kabupaten/kota.
Setiap tingkatan pemerintah hanya
dapat memungut pajak yang
ditetapkan menjadi kewenangannya.
Hal ini dimaksudkan untuk
menghindari tumpang tindih dalam
pemungutan pajak terhadap masya-
rakat. Pajak Pusat ditetapkan oleh
Pemerintah pusat melalui Undang-
Undang yang wewenang pungutan-
nya ada pada pemerintah pusat dan
hasilnya digunakan untuk
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[107]
membiayai pengeluaran pemerintah
pusat dan pembangunan. Pajak pusat
sebelum keluarnya Undang-undang
No. 28 tahun 2009 terdiri dari Pajak
Penghasilan, Pajak Pertambahan
Nilai atas Barang Mewah, Pajak
Pertambahan Nilai atas Barang dan
Jasa, Bea Materai, Bea Perolehan
Atas Tanah dan Bangunan, Bea
Masuk, Bea Keluar (Pajak Ekspor),
dan Cukai. Tetapi, setelah
dikeluarkannya Undang-undang No.
28 tahun 2009 Pajak Bumi dan
Bangunan serta Bea Perolehan Hak
Atas Tanah dan Bangunan sudah
bukan lagi merupakan cakupan dari
Pajak Pusat.
Pajak daerah merupakan iuran
wajib yang dilakukan oleh daerah
kepada orang pribadi atau badan
tanpa imbalan langsung yang
seimbang yang dapat dipaksakan
berdasarkan peraturan perundang-
undangan yang berlaku yang
digunakan untuk membiayai
penyelenggaran pemerintah daerah
dan pembangunan daerah.
Pajak daerah sebelum
dikeluarkannya Undang-undang No.
28 tahun 2009 tentang PDRD terdiri
dari Pajak Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan Diatas Air, Bea Balik
Nama Kendaraan Bermotor dan
Kendaraan Diatas Air, Pajak Bahan
Bakar Kendaraa Bermotor, dan
Pajak Air Bawah Tanah dan Air
Permukaan, Pajak Hotel, Pajak
Restoran, Pajak Hiburan, Pajak
Reklame, Pajak Penerangan Jalan,
Pajak Pengambilan Bahan Galian
Golongan C, serta Pajak Parkir.
Pasca dikeluarkannya Undang-
Undang No. 28 tahun 2009 tentang
PDRD ditetapkan lah struktur pajak
daerah menjadi 16 yang sebelumnya
ada 11, pajak daerah setelah UU.
No. 28 tahun 2009 terdiri dari pajak
kendaraan bermotor, bea balik nama
kendaraan bermotor, pajak bahan
bakar kendaraan bermotor, pajak air
permukaan, pajak rokok, pajak
hotel, pajak hiburan, pajak reklame,
pajak penerangan jalan, pajak
mineral bukan logam dan bantuan,
pajak parker, pajak air tanah, pajak
sarang burung wallet, pajak bumi
dan bangunan perdesaan dan
perkotaan, dan bea perolehan hak
atas tanah dan bangunan. (Marihot
Pahala, 2013)
Undang-Undang No. 28 Tahun
2009 mendefinisikan Pajak Bumi
dan Bangunan Perkotaan dan
Pendesaan (PBB P2) adalah pajak
atas bumi dan/atau bangunan yang
dimiliki, dikuasai, dan/atau
dimanfaatkan oleh orang pribadi
atau badan, kecuali kawasan yang
digunakan untuk kegiatan usaha
perkebunan, perhutanan, dan
pertambangan. Sedangkan Biaya
Perolehan Hak Atas Tanah dan
Bangunan adalah pajak atas
perolehan hak atas tanah dan/atau
bangunan.
Tabel 1.
Penerimaan PBB P2 Sebelum dan Sesudah Penerapan
Tahun 2009-2014 Tahun Sebelum Tahun Sesudah
Target Realisasi Target Realisasi
2009
2010
2011
150.051.635.355
157.902.847.000
192.902.847.000
154.338.173.378
164.338.784.961
182.494.747.833
2012
2013
2014
353.346.171.700
383.000.000.000
365.000.000.000
274.853.657.632
234.325.129.214
289.000.000.000
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[108]
Perolehan hak atas tanah
dan/atau bangunan adalah
perbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya
ha katas tanah dan/atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan. PBB
P2 dan BPHTB pada dasarnya
merupakan suatu jenis pajak pusat
yang dipungut oleh pemerintah
pusat melalui Direktorat Jenderal
Pajak dimana hasilnya sebagai
besar akan diserahkan kepada
daerah. PBB P2 tetap menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat
sampai dengan akhir tahun 2013.
Sedangkan BPHTB tetap menjadi
kewenangan Pemerintah Pusat
sampai dengan akhir tahun 2010.
PBB P2 dan BPHTB termasuk
salah satu dari sumber pajak daerah
yang berperan dalam peningkatan
penerimaan PAD bagi Kota Medan.
Hampir sebagian besar masyarakat
pastinya memiliki tanah dan
bangunan, itu tentunya sebuah
keuntungan besar khususnya bagi
penerimaan PBB dan BPHTB
karena tanah dan bangunan dapat
ditemukan dan diidentifikasi dari
waktu ke waktu.
Berdasarkan tabel 2, diketahui
bahwa sebelum menjadi pajak
daerah penerimaan BPHTB
melampaui dari target anggaran
yang ditetapkan sedangkan sesudah
menjadi pajak daerah penerimaan
BPHTB selalu jauh dibawah target
anggaran yang ditetapkan. Pada
tahun 2012 sampai 2014, BPHTB
merupakan bagian dari pajak daerah,
pada penerimaan BPHTB selalu
menurun pada tahun 2012 sampai
2014. PBB dan BPHTB sangat
berpotensi untuk menunjang
pendapatan daerah guna
melaksanakan otonomi daerah dan
pembangunan (McCluskey, William
J. dan Plimmer, dalam Ni Putu Dian
Damayanti dkk, 2014).
Dengan pengalihan ini,
penerimaan PBB-P2 dan BPHTB
akan sepenuhnya masuk ke
pemerintah Kabupaten/kota
sehingga diharapkan mempu
meningkatkan jumlah pendapatan
asli daerah. Pada saat PBB-P2
dikelola oleh pemerintah pusat,
pemerintah kabupaten/kota hanya
mendapatkan bagian sebesar 64,8%
dan BPHTB hanya mendapatkan
64%. Setelah pengalihan ini, semua
pendapatan dari sektor PBB-P2 dan
BPHTB akan masuk ke dalam kas
pemerintah daerah. Padahal dengan
pengalihan PBB P2 dan BPHTB
dari pajak pusat menjadi pajak
daerah diharapkan dapat menjadi
salah satu sumber Pendapatan Asli
Daerah yang cukup potensial bagi
daerah dibandingkan dari
keseluruhan penerimaan pajak-
pajak daerah yang selama ini ada.
(Sunyoto dan Ery Hidayanti, 2011).
Tabel. 2
Penerimaan BPHTB Sebelum dan Sesudah Penerapan
Tahun 2009-2014
Tahun Sebelum
Tahun Sesudah
Target Realisasi Target Realisasi
2009
2010
68.000.000.000
101.644.549.000
92.347.343.623
131.583.982.750
2011
2012
2013
2014
175.000.000.000
280.974.000.000
330.974.000.000
330.974.000.000
254.217.144.362
259.114.429.583
243.748.815.689
228.392.967.245
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[109]
Dari penelitian awal yang
dilakukan ke Dinas Pendapatan
Daerah Kota Medan diperoleh data
dan informasi tentang permasalahan
yang timbul. Tidak tercapainya
penerimaan PBB P2 sesuai dengan
target yang telah dianggarkan
sesudah penerapan UU No. 28
Tahun 2009. Tapi pemerintah
sendiri sudah melakukan sosialisasi
dan upaya pendekatan kepada wajib
pajak PBB P2 dan BPHTB. Namun
masyarakat masih kurang sadar
untuk memenuhi kewajiban pajak.
Padahal target PBB P2 yang
diturunkan pada tahun 2013 ke
2014. Namun penerimaan BPHTB
sesuai dengan target yang telah
dianggarkan sesudah penerapan UU
No. 28 Tahun 2009 masih belum
tercapaiTujuan penelitian ini adalah
untuk menganalis perbedaan
penerimaan PBB P2 dan penerimaan
BPHTB sebelum dan sesudah
penerapan UU No. 28 Tahun 2009.
Selanjutnya dilakukan analisis
terhadap kendala yang dihadapi
pemerintahan daerah Kota Medan
dalam memungut PBB P2 dan
BPHTB. Penelitian ini diharapkan,
dapat dijadikan sebagai bahan
pertimbangan dan perbaikan yang
diperlukan sehubungan dengan PBB
P2 dan BPHTB bagi Dinas
Pendapatan, dan menjadi sebagai
bahan informasi dan referensi
pengetahuan di bidang PBB P2 dan
BPHTB.
Hipotesis
H1: Terdapat perbedaan yang
signifikan penerimaan PBB
Perdesaan dan perkotaan sebelum
dan sesudah penerapan UU Nomor
28 tahun 2009.
H2: Terdapat perbedaan yang
signifikan penerimaan BPHTB
sebelum dan sesudah penerapan UU
Nomor 28 tahun 2009
Gambar 1
Kerangka konseptual
DINAS
PENDAPATAN
DAERAH
PBB P2
BPHTB
SEBELUM
PENERAPAN UU SESUDAH
PENERAPAN UU
No. 28 Tahun
UJI MANN
WHITNEY
(U TEST)
KESIMPULAN
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[110]
Metode
Penelitian ini menggunakan
pendekatan deskriptif komperatif,
yakni membandingkan permasalah-
an suatu objek dengan objek lainnya
(Azuar Juliandi dan Irfan 2013).
Variabel yang digunakan adalah
PBB P2 dan BPHTB. PBB P2
adalah pajak yang dipungut atas
kepemilikan bumi dan bangunan
oleh orang pribadi atau badan.
Sedangkan BPHTB adalah pajak
atas perolehan hak atas tanah dan
bangunan yang dimaksud perolehan
hak atas tanah dan bangunan adalah
pernbuatan atau peristiwa hukum
yang mengakibatkan diperolehnya
hak atas tanah, dan atau bangunan
oleh orang pribadi atau badan. Dari
tabel 5 diketahui bahwa BPHTB
menghasilkan pertumbuhan sebesar
42,48% pada tahun 2010.
Penerimaan Pertumbuhan BPHTB
sebelum penerapan UU No 28 tahun
2009. Hal ini menunjukan bahwa
perkembangan BPHTB dalam
peningkatan cukup baik.
Tabel 6 menunjukkan BPHTB
pada tahun 2012 menghasilkan
1,92% dan pada tahun berikutnya
justru mengalami penurunan dari
1,92 menjadi -5,93% dan 6,29%,
sesudah penerapan UU No 28 tahun
2009 pertumbuhan penerimaan PBB
P2 dan BPHTB mengalami
penurunan yang sangat signifikan. Jenis data yang digunakan
berupa data kuantitatif yaitu data
yang berbentuk angka-angka baik
secara langsung dari hasil penilitian
maupun hasil pengelolahan data
kualitatif menjadi data kuantitatif.
Sumber data berdasarkan informasi
yang diperoleh dari Dinas
Pendapatan Daerah Kota Medan
berupa data target dan realisasi
penerimaan PBB P2 dan BPHTB.
Metode pengumpulan data melalui
dokumen yang diperoleh berupa
realisasi dan target penerimaan PBB
P2 dan BPHTB serta realisasi
pendapatan asli daerah dari Dinas
Pendapatan Kota Medan.
Teknik analisa data mengguna-
kan Uji Mann Whitney merupakan
alternatif bagi uji-t. Uji Mann
Whitney merupakan uji non-
parametrik yang digunakan untuk
membandingkan dua populasi yang
berasal dari populasi yang sama. Uji
Mann Whitney juga digunakan
untuk menguji apakah dua populasi
sama atau tidak.
Hasil
Dinas Pendapatan Kota Medan
sehubungan dengan instruksi Menteri
Dalam Negeri KUPD No.7/12/41–10
tentang Penyelenggaraan Struktur
Organisasi Dinas Pendapatan Daerah
di seluruh Indonesia. Maka
Pemerintah Kota Medan,
berdasarkan Peraturan Daerah No. 12
tahun 1978 menyesuaikan dan
membentuk struktur organisasi Dinas
Pendapatan yang baru. Dalam
struktur organisasi Dinas Pendapatan
pada bidang administrasi dibentuk
Bagian Tata Usaha yang membawahi
3 (tiga) Kepala Sub Bagian yaitu sub
sektor perpajakan, retribusi daerah,
dan pendapatan daerah lainnya yang
merupakan kontribusi yang cukup
penting bagi pemerintah daerah
dalam mendukung serta memelihara
pembangunan dan peningkatan
penerimaan pendapatan daerah.
PBB merupakan jenis pajak
yang dipungut oleh pemerintah atas
kepemilikan tanah dan bangunan.
Pajak Bumi dan Bangunan sebelum
disahkannya Undang-Undang No. 28
Tahun 2009 merupakan pajak yang
dipungut oleh Pemerintah Pusat yang
dilakukan oleh Kantor Pelayanan
Pajak Pratama, pajak bumi dan
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[111]
bangunan menjadi pajak pusat
berakhir pada tahun 2011. Pajak
Bumi dan Bangunan setelah
dikeluarkannya UU No. 28 Tahun
2009 merupakan jenis pajak yang
potensial dalam meningkatkan
penerimaan daerah dari sektor PAD.
Perkembangan PBB P2 dan BPHTB
Sebelum penerapan UU No 28
Tahun 2009 pada tahun 2010
menghasilkan pertumbuhan PBB P2
sebesar 6,47% dan tahun berikutnya
PBB P2 mengalami peningkatan
sebesar 11,04%. Hal ini menunjuk-
kan bahwa perkembangan PBB P2
dalam meningkatan PAD cukup
baik.
Dari tabel 4 dapat dilihat bahwa
setelah penerapan UU No 28 tahun
2009 ternyata pertumbuhan PBB P2
pada tahun 2013 hanya -14,74%
namun pada tahun 2014 mengalami
kenaikan sebesar 23,33%. Hal ini
menunjukan bahwa perkembangan
PBB P2 dalam peningkatan cukup
baik.
Dari tabel 5 diketahui bahwa
BPHTB menghasilkan pertumbuhan
sebesar 42,48% pada tahun 2010.
Penerimaan Pertumbuhan BPHTB
sebelum penerapan UU No 28 tahun
2009. Hal ini menunjukan bahwa
perkembangan BPHTB dalam
peningkatan cukup baik. Tabel 6
menunjukkan BPHTB pada tahun
2012 menghasilkan 1,92 % dan pada
tahun berikutnya justru mengalami
penurunan dari 1,92 menjadi -5,93%
dan 6,29%, sesudah penerapan UU
No 28 tahun 2009 pertumbuhan
penerimaan PBB P2 dan BPHTB
mengalami penurunan yang sangat
signifikan.
Tabel 3
Perkembangan PBB P2 Sebelum Penerapan UU No 28 Tahun 2009
Tahun 2009-2011 Tahun
Anggaran
Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Persentase
(%)
Pertumbuhan
(%)
2009
2010
2011
150.051.635.355
157.902.847.000
192.902.847.000
154.338.173.378
164.338.784.961
182.494.747.833
102,85
104,07
99,60
-
6,47
11,04
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)
Tabel 4
Perkembangan PBB P2 Sesudah Penerapan UU No 28 tahun 2009
Tahun 2012 – 2014 Tahun
Anggaran
Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Persentase
(%)
Pertumbuhan
(%)
2012
2013
2014
353.346.171.700
383.000.000.000
365.000.000.000
274.853.657.632
234.325.129.214
289.000.000.000
77,78
61,18
79,17
-
-14,74
23,33
Tabel 5
Perkembangan BPHTB Sebelum penerapan UU. No 28 tahun 2009
Tahun 2009 – 2010 Tahun
Anggaran
Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Persentase
(%)
Pertumbuhan
(%)
2009 2010
68.000.000.000 101.644.549.000
92.347.343.623 131.583.982.750
135,80 129,45
- 42,48
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)
Jurnal Pembangunan Perkotaan Vol. 4 No. 1, Juni 2016 ISBN 2338-6754
[112]
Tabel 6
Perkembangan BPHTB Sebelum penerapan UU. No 28 tahun 2009
Tahun 2009 – 2010
Tahun
Anggaran
Target
(Rp)
Realisasi
(Rp)
Persentase
(%)
Pertumbuhan
(%)
2011
2012
2013
2014
175.000.000.000
280.974.000.000
330.974.000.000
330.974.000.000
254.217.144.362
259.114.429.583
243.748.815.689
228.392.967.245
145.26
92,22
73,64
69,00
-
1,92
-5,93
-6,29
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)
Tabel 7
Pajak Bumi dan Bangunan P2 Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
PBB P2 Sebelum 3 154338173378 182494747833 167057235390.67 14273774932.158
PBB P2 Sesudah 3 234325129214 289000000000 266059595615.33 28378460475.001
Valid N (listwise) 3
Sumber: Dinas Pendapatan Daerah (2015)
Tabel 8
Bea Perolehan Hak atas Tanah dan Bangunan Descriptive Statistics
N Minimum Maximum Mean Std. Deviation
BPHTB sebelum 2 92347343623.00 131583982750.00 111965663186.5000 27744493597.67112
BPHTB sesudah 4 228392967245.00 259114429583.00 246368339219.7500 13589732188.53025
Valid N
(listwise) 2
Tabel 9
Pajak Bumi dan Bangunan P2
Ranks
Kelompok
N
Mean
Rank
Sum of
Ranks
PBB Sebelum 3 2.00 6.00
Sesudah 3 5.00 15.00
Total 6
Tabel 10
BPHTB
Ranks
Kelompok
N
Mean
Rank
Sum of
Ranks
BPHTB Sebelum 2 1.50 3.00
Sesudah 4 4.50 18.00
Total 6
[113]
Dari output ranks tabel 9,
diketahui bahwa nilai mean untuk
PBB P2 sesudah penerapan lebih
besar dari pada nilai mean sebelum
penerapan (2.00 < 5.00) Dari output
ranks pada tabel 10, nilai mean untuk
BPHTB sesudah penerapan lebih
besar dari pada nilai mean sebelum
penerapan (1.50 < 4.50).
Tabel 11
Pajak Bumi dan Bangunan P2
Test Statisticsb
PBB
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 6.000
Z -1.964
Asymp. Sig. (2-tailed) .050
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .100a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Terlihat pada tabel 11 dari nilai
uji Mann Whitey U, dapat kita lihat
output “Test Statistic” untuk PBB P2
dimana kolom Asymp.Sig (2-tailed)
adalah 0,050 dan Mann Whitey U
adalah 0,000, maka didapat
probabilitasnya diatas 0,050 maka
tidak terdapat perbedaan signifikan
terhadap penerimaan PBB P2
sebelum dan sesudah penerapan UU
No. 28 Tahun 2009. Artinya
penerimaan PBB P2 antara sebelum
dan sesudah penerapan tidak
mengalami perubahan yang signifkan
atau tidak mengalami banyak
perubahan.
Peralihan PBB dari pajak pusat
dan dialihkan menjadi pajak daerah
akan berdampak terhadap
peningkatan penerimaan PAD. Jadi,
walaupun penerimaan PBB sebelum
dan sesudah penerapan mengalami
perubahan atau penurunan tetapi
perubahan atau penurunannya tidak
berdampak signifikan. Pada tabel 12,
kolom Asymp.Sig (2-tailed) BPHTB
adalah 0,064 dan Mann Whitey U
adalah 0,000 didapat probilitasnya
diatas 0,050 maka terdapat
perbedaan signifikan terhadap
penerimaan BPHTB sebelum dan
sesudah penerapan UU No. 28
Tahun 2009.
Tabel 12
BPHTB
Test Statisticsb
BPHTB
Mann-Whitney U .000
Wilcoxon W 3.000
Z -1.852
Asymp. Sig. (2-tailed) .064
Exact Sig. [2*(1-tailed Sig.)] .133a
a. Not corrected for ties.
b. Grouping Variable: Kelompok
Berarti penerimaan BPHTB
sebelum dan sesudah penerapan
mengalami perubahan yang
signifkan atau mengalami banyak
perubahan. Tidak bisa dipungkiri,
dengan lepasnya BPHTB dari pajak
pusat dan dialihkan menjadi pajak
daerah akan berdampak terhadap
peningkatan penerimaan PAD.
Walaupun penerimaan PBB
sebelum dan sesudah penerapan
mengalami perubahana atau
penurunan tetapi perubahan atau
penurunannya tidak berdampak
signifikan.
PEMBAHASAN
Perbedaan Penerimaan PBB
Sebelum dan Sesudah Penerapan
UU No. 28 Tahun 2009. Dari
penelitian yang telah dilakukan,
diperoleh hasil bahwa penerimaan
PBB sebelum dan sesudah tidak
terdapat perbedaan yang signifikan. Dengan kata lain penerimaan PBB
di Kota Medan sebelum menjadi
Pajak Daerah dan sesudah menjadi
[114]
Pajak Daerah tidak mengalami
perubahan yang signifikan atau
tidak mengalami banyak perubahan.
Tidak bisa dipungkiri, dengan
lepasnya PBB P2 dari pajak pusat
yang menjadi jenis pajak daerah baru
di Kota Medan akan berdampak pada
peningkatan penerimaan Pajak
Daerah. Dari laju pertumbuhan
penerimaan PBB P2 sebelum
penerapan UU No. 28 Tahun 2009
menunjukkan tingkat pertumbuhan
yang sangat baik dimana laju
pertumbuhannya menunjukkan tren
peningkatan dari tahun ke tahun. Hal
ini dikarenakan pada saat sebelum
PBB dipungut oleh KPP dimana
pada KPP terdapat tenaga ahli yang
sudah paham tentang cara
pemungutan PBB dengan baik.
Sedangkan sesudah penerapan
penerimaan PBB P2 menunjukkan
tingkat pertumbuhannya menunjuk-
kan tren negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa Pemerintah
Kota Medan masih belum maksimal
dalam memanfaatkan potensi PBB
P2 yang telah dialihkan menjadi
pajak daerah.
Sebelum penerapan, total
penerimaan PBB P2 adalah
Rp.501.171.706.172 sedangkan
setelah pemekaran totalnya
Rp.798.178.786.846 atau mening-
kat sebesar Rp.297.007.080.674.
Untuk meningkatkan penerimaan
pajak daerah melalui sektor PBB P2,
pemerintah Kota Medan memiliki
strategi tertentu. Diantaranya
melalui kegiatan intensifikasi yang
meliputi pendataan PBB P2 dan
potensi PBB P2 di Kota Medan,
melakukan pemanggilan terhadap
wajib pajak yang belum terdata
tanah ataupun bangunannya, serta
mengadakan sosialisasi dengan
wajib pajak. Selain itu juga ada
kegiatan ekstensifikasi yang
meliputi melaksanakan Peraturan
Daerah Nomor 03 Tahun 2011 dan
Peraturan Walikota Nomor 70
tahun 2011 berkoordinasi dengan
dinas terkait khususnya Badan
Pertanahan Nasional (Kementerian
Agraria dan Tata Ruang Wilayah)
ataupun Dinas Pertanahan dan juga
Pejabat Pembuat Akta Tanah terkait
dengan penerbitan surat hak milik
tanah. Walaupun penerimaan PBB
P2 sebelum penerapan di Kota
Medan mengalami perubahan atau
penurunan tetapi setelah adanya
penerapan UU No. 28 Tahun 2009,
perubahan atau penurunannya tidak
berdampak signifikan.
Perbedaan Penerimaan BPHTB
Sebelum dan Sesudah Penerapan
UU No. 28 Tahun 2009. Hasil
temuan menunjukkan bahwa
penerimaan BPHTB sebelum dan
sesudah terdapat perbedaan yang
signifikan. Penerimaan BPHTB di
Kota Medan sebelum menjadi Pajak
Daerah dan sesudah menjadi Pajak
Daerah mengalami perubahan yang
signifikan atau mengalami banyak
perubahan. Dengan lepasnya
BPHTB dari pajak pusat yang
menjadi jenis pajak daerah baru
yang dimulai pada 1 Januari 2011 di
Kota Medan akan berdampak pada
peningkatan penerimaan Pajak
Daerah.
Dari laju pertumbuhan
penerimaan BPHTB sebelum
penerapan UU No. 28 Tahun 2009
menunjukkan tingkat pertumbuhan
yang sangat baik dimana laju
pertumbuhannya menunjukkan tren
peningkatan dari tahun ke tahun.
Hal ini dikarenakan pada saat
sebelum BPHTB dialihkan menjadi
pajak daerah dipungut oleh KPP
dimana pada KPP memiliki tenaga
ahli yang sudah paham tentang cara
[115]
pemungutan BPHTB dengan baik.
Sedangkan sesudah penerapan
penerimaan BPHTB menunjukkan
tingkat pertumbuhannya menunjuk-
kan tren negatif. Hal ini
menunjukkan bahwa Pemerintah
Kota Medan masih belum maksimal
dalam memanfaatkan potensi
BPHTB yang telah dialihkan
menjadi pajak daerah.
Sebelum pemekaran, total
penerimaan BPHTB adalah
Rp.223.931.300.000 sedangkan
setelah pemekaran totalnya
Rp.985.473.400.000 atau meningkat
sebesar Rp.761.542.100.000. Untuk
meningkatkan penerimaan pajak
daerah melalui sektor BPHTB,
pemerintah Kota Medan memiliki
strategi tertentu. Diantaranya
melalui kegiatan intensifikasi yang
meliputi pendataan BPHTB dan
potensi BPHTB di Kota Medan,
melakukan pemanggilan terhadap
wajib pajak yang belum terdata
tanah ataupun bangunannya, serta
mengadakan sosialisasi dengan
wajib pajak.
Selain itu juga ada kegiatan
ekstensifikasi yang meliputi
melaksanakan Peraturan Daerah
Nomor 03 Tahun 2011 dan
Peraturan Walikota Nomor 70
tahun 2011 berkoordinasi dengan
dinas terkait khususnya Badan
Pertanahan Nasional (Kementerian
Agraria dan Tata Ruang Wilayah)
ataupun Dinas Pertanahan dan juga
Pejabat Pembuat Akta Tanah terkait
dengan penerbitan surat hak milik
tanah. Penerimaan BPHTB di Kota
Medan mengalami perubahan atau
penurunan setelah adanya
penerapan UU No. 28 Tahun 2009,
tetapi perubahan atau penurunannya
berdampak signifikan terhadap
penerimaan sector Pajak Daerah.
Kendala Yang Dihadapi dalam
Memungut PBB dan BPHTB.
Kendala yang dihadapi dalam hal
pemungutan PBB P2 dan BPHTB
oleh Fiskus atau petugas pajak di
Dinas Pendapatan Daerah:
a. Masih lemahnya pemahaman
petugas pajak tentang
pengelolaan dan pemungutan
PBB P2 dan BPHTB.
b. Masih kurangnya tenaga ahli
dalam hal pengelolaan dan
pemungutan PBB P2 dan
BPHTB yang sebelumnya di
kelolah oleh DJP.
c. Adanya potensi objek bangunan
yang baru dibangun dan belum
terdata serta belum dimasukkan
dalam komponen penilaian dan
perhitungan pengenaan PBB-P2
dan BPHTB.
Kurangnya kesadaran Wajib Pajak
dalam melakukan kewajiban
perpajakannya.
Simpulan
Tidak terdapat perbedaan yang
signifikan penerimaan PBB P2
sebelum dan sesudah penerapan UU
No. 28 Tahun 2009. Sedangkan
untuk penerimaan BPHTB sebelum
dan sesudah penerapan UU No. 28
Tahun 2009 terdapat perbedaan
yang signifikan. Kendala-kendala
yang dihadapi oleh Dinas
Pendapatan Daerah dalam
mengelolah dan memungut PBB P2
dan BPHTB adalah masih lemahnya
pemahaman petugas, kurangnya
tenaga ahli dalam hal pengelolaan
dan pemungutan PBB P2 dan
BPHTB sehingga membuat
penggalian potensi PBB P2 dan
BPHTB kurang maksimal.
Terlepas dari keterbatasan yang
dimiliki, penelitian ini diharapkan
dapat bermanfaat sebagai bahan
masukan bagi Dinas Pendapatan
[116]
Daerah dalam rangka meningkatkan
penerimaan pajak daerah dari sektor
PBB P2 dan BPHTB yang
mengingat bahwa PBB P2 dan
BPHTB ini merupakan jenis pajak
baru di Kota Medan.
Untuk mengurangi kendala
yang ada, sebaiknya pihak Dinas
Pendapatan Daerah bekerja sama
dengan pihak Kementerian
Keuangan khususnya Direktorat
Jenderal Pajak dalam hal
pengiriman tenaga ahli dari DJP
yang ditempatkan untuk sementara
di Kota Medan yang berguna untuk
memberikan pengarahan bagaimana
teknis dari pengelolahan dan
pemungutan PBB P2 dan BPHTB
sehingga dapat meningkatkan
penerimaan PAD sekor Pajak
Daerah.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Halim dan Muhammad Syam
Kusufi, (2011). Akuntansi
Keuangan Daerah, Penerbit
Salemba Empat, Yogyakarta.
Azuar Juliandi dan Irfan, (2013).
Metodologi Penelitian Kualitatif,
Penerbit Citapustaka Media
Perintis, Bandung
Ade Yudistian, (2014). Evaluasi
Realisasi Penerimaan
Pendapatan Asli dan Pajak Bumi
dan Bangunan Terhadap APBD.
(Studi Kasus Kota Bandar
Lampung Periode 2012-2014).
Universitas Bandar Lampung.
Kurniawaty Fitri, (2014). Dampak
pengalihan Dampak Pengalihan
Pengelolaan PBB-P2 Terhadap
Penerimaan PBB di Kelurahan
Cinta Raja Kecamatan Sail Kota
Pekanbaru. Skipsi akuntansi.
Universitas Riau.
Mardiasmo, (2011). Perpajakan
(Edisi Revisi). Yogyakarta: Andi
Ni Putu Dian Damayanti, (2013).
Analisis Efektivitas Dan
Kontribusi Penerimaan PBB
PAD Kota Denpasar Tahun
2009-2013. Skripsi Akuntansi.
Universitas Udayana, Bali,
Indonesia.
Nurcholis, Hanif, (2007). Teori dan
Praktik Pemerintahan dan
Otonomi Daerah, Jakarta:
Grasindo.
Siahaan, P Marihot, (2008). Pajak
Daerah dan Retribusi Daerah
(Edisi Revisi), Jakarta, Rajawali
Pers. Diakses 14 Desember
2015.
Suniyoto, (2012). Pelimpahan Pajak
Bumi dan Bangunan Sektor
Perdesaan Dan Perkotaan dan
Bea Perolehan Hak Atas tanah
Dan Bangunan menjadi Pajak
Daerah, anatara peluang Dan
Tantangan. Skripsi Akuntansi.
STIE Widya Gamalumajang.
Tiara Juniar Soewardi (2014).
Dinamika Pengolahan BPHTB
Setelah Dialihkan Menjadi Pajak
Daerah. Skipsi Akuntansi.
Universitas Brawijaya, Malang,
Indonesia.
Undang-undang Nomor 28 Tahun
2009, Tentang Pajak Daerah dan
Retribusi Daerah. 2009. Jakarta
diperbanyak oleh sekretariat
Negara Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Pajak daerah dan
Retribusi Daerah. 2004.
Jakarta: lembaran Negara
Republik Indonesia.
Undang-Undang Nomor 32 tahun
2004 tentang Perimbangan
Keuangan antara Pemerintah
Pusat dan Pemerintah Pusat Dan
pemerintah Daerah. Jakarta:
Lembaran Negara Republik
Indonesia tahun 2004
Nomor126.
[117]
Peraturan pemerintah tahun Nomor
16 tahun 2011 Tentang Pajak
Daerah
Peraturan Walikota Medan Nomor
27 tahun 2011 tentang
pelaksanaan Peraturan Daerah
Kota Medan Nomor 3 tahun
2011 tentang pajak bumi dan
Bangunan Perkotaan dan
Perdesaan.
Peraturan Daerah Kota Medan
Nomor 1 tahun 2011 Tentang
Bea Perolehan Hak atas Tanah
Dan Bangunan.
Peraturan walikota Medan Nomor 9
Tahun 2011 Tentang
Pelaksanaan Peraturan Daerah
Kota Medan Nomor 1 tahun
2011 tentang Bea Perolehan
Hak atas Tanah dan Bangunan.
Vinna Kunnarto (2013). Pengaruh
Pajak Bumi Dan Bangunan
(PBB) Dan Bea Perolehan Hak
Atas Tanah Dan Bangunan
(BPHTB) Terhadap Pendapatan
Asli Daerah (PAD) di kota
Bandung. Skripsi Akuntansi.
Universitas Kristen Maranatha.
Bandung.