jurnal mas juan
DESCRIPTION
jurnal readingTRANSCRIPT
Berdasarkan kuesioner yang diberikan pada bulan ke 6, tahun pertama, dan tahun
kedua, 54% kelompok kontrol telah mencoba untuk menurukan berat badan dengan panduan
pelatih profesional, dan 46% tidak dengan panduan pelatih profesional.
Pemeriksaan fisik dilakukan pada saat pemeriksaan penyesuaian dan pemeriksaan
dasar dan setelah bulan ke 6 dan tahun ke 1, 2, 3, 4, 5, 6, 7, 8, 9, 10, dan tahun ke 15.
Biochemichal assays dilakukan saat kunjungan penyesuaian, saat pemeriksaan dasar, dan
setelah tahun ke 2, 10, dan tahun ke 15. Sejak 1987 sampai dengan 2009, konsentrasi glukosa
diukur pada darah vena di Laboratorium Pusat, Rumah Sakit Universitas Sahlgrenska, yang
mana sudah terakreditasi berdasarkan International Organization for
Standardization/International Electrotechnical Commission (ISO/IEC) 15, meliputi 189
standard. Setelah 2009, glukosa plasma vena diukur, dan pengukurannya dikonversi ke
glukosa darah.
Peserta penelitian menggunakan kuesioner yang sudah divalidasi untuk menilai
dirinya sendiri sebagai individu yang secara fisik aktif atau tidak aktif. Asupan energi diukur
menggunakan Kuesioner SOS Food Questionnaire yang sudah divalidasi.
Pengawasan Penelitian
Penelitian sudah disetujui oleh seluruh badan peninjau etik di Swedia, dan inform
konsen baik tertulis ataupun lisan sudah diperoleh dari seluruh peserta penelitian. Protokol
yang meliputi rencana analisis statistik tersedia di nejm.org. Pengarang menjamin
kelengkapan dan keakuratan data dan anlisis dan kebenran protokol. Semua pengarang
memiliki akses ke data mentah. Tidak ada satupun sponsor penelitian yang berperan dalam
menginterpretasikan data atau menulis manuskrip.
Diabetes
Peneliti menganggap peserta penelitian mengidap diabetes tipe 2 jikalau peserta
tersebut melaporkan penggunaan obat-obatan diabetes atau jikalau terdapat dokumentasi dari
kadar glukosa darah puasa sebesar 110 mg/dL (6,1 mmol/L) atau lebih tinggi. Jika glukosa
plasma puasa diukur, nilai titik-potong untuk diagnosis diabetes adalah 126 mg/dL (7,0
mmol/L) atau lebih tinggi. Konsentrasi glukosa puasa diukur pada saat penyesuaian, saat
pemeriksaan dasar, daan saat tahun ke 2, 10, dan tahun ke 15. Penelitian sudah dimulai
sebelum pengukuran berulang yang secara rutin digunakan untuk mendiagnosis diabetes tipe
2; oleh karena itu, penentuan glukosa puasa tunggal lah yang digunakan. Glukosa puasa
terganggu didefiniskan sebagai kadar glukosa darah puasa dengan kadar minimal 90 mg/dL
(5,0 mmol/L) dan kurang dari 110 mg/dL atau kadar glukosa plasma puasa dengan kadar
minmal 100 mg/dL (5,6 mmol/L) dan kurang dari 126 mg/dL.
Analisis Statistik
Nilai rerata dengan standard deviasi dan persentase digunakan untuk mendeskripsikan
karakteristik dasar. Perbedaan diantara kelompok terapi dievaluasi dengan penggunaan T-
Tests untuk variabel kontinyu dan dengan penguunaan model Logistic-regression untuk
variabel dikotomi. Peserta penelitian diikuti sampai terdiagnosis dibates tipe 2 atau sampai
pemeriksaan terakhir. Data dari peserta penelitian yang mana tidak mengidap diabetes tipe 2
selama periode pemeriksaan ulang akan disensor pada saat pemeriksaan ulangan terakhir.
Dikarenakan status diabetes dievaluasi pada waktu pemeriksaan ulang yang berlainan,
pada tahun ke 2, ke 10, dan ke 15, peneliti menganggap bahwa data waktu pemeriksan
berkelanjutan pada diabetes merupakan data interval yang disensor. Oleh karena itu, peneliti
menggunakan pendekatan perbedaan waktu pemeriksaan yang berlainan, dengan model
compementary log-log regression untuk mengevaluasi insiden kumulatif dari diabetes tipe 2
dan efek terapi dari bedah bariatrik. Pendekatan tersebut sesuai dengan model Cox
proportional-hazards regression pada saat waktu pemeriksaan berkelanjutan diamati dengan
interval dan tersedi estimasi risiko relatif sebagai rasio hazard.
Efek terapi pada kelompok bedah bariatrik yang dibandingkan dengan kelompok
kontrol, yang dinyatakan dengan rasio hazard dengan 95% interval kepercayaan, dievaluasi
pada analsis penyesuaian dengan kovariat tunggal untuk kelompok terapi (bedah atau
kontrol) dan pada analisis yang disesuaikan dengan faktor risiko tradisional yang terpilih
untuk diabetes tipe 2. Asumsi proporsional hazard dievaluasi dengan penggunaan metode
grafik (log-log plot) dan dengan menguji interaksi antara waktu dan terapi. Pada analisis
subkelompok skunder, insiden kumulatif dari diabetes tipe 2 dihitung secara terpisah pada
berbagai subkelompok menurut fakdor dasar. Untuk variabel yang berkelanjutan,
pengelompokan tersebut didasarkan pada nilai dasar median.
Hubungan antara faktor risiko dan efek bedah bariatrik pada perkembangan terjadinya
diabetes dinilai dengan mengikutkan istilah interaksi yang sesuai (produk dari tipe terapi
[bedah atau kontrol] dan variabel yang sesuai) pada model complementary log–log
proportional-hazards. Variabel dikotomi bisa saja memiliki satu atau dua nilai (jenis kelamin
pria atau wanita). Untuk variabel lain, uji interaksi menggunakan variabel asli yang
berkelanjutan. Peneliti melakukan 19 analisis post-hoc subkelompok. Nilai p pada interaksi
sudah dikoreksi untuk 19 uji ganda dengan penggunaan metode falsediscovery-rate dari
Benjamini and Hochberg. Angka yang dibutuhkan untuk mengobati dan menecgah satu
kejadian diabetes selama periode 10 tahun dihitung sebagai timbal-balik dari perbedaan risiko
absolut diantara kelompok bedah bariatrik dan kelompok kontrol.
Sejak angka kehilangan pemeriksaan ulangan dianggap terlalu banyak, sensitifitas
analisis yang didasarkan pada tuduhan ganda dari hilangnya hasil data juga dilakukan oleh
peneliti. Sebagai tambahan, peneliti membndingkan karakteristik dasar dan karakteristik pada
tahun ke 10 dari peserta penelitian yang keluar pada tahun ke 15 dengan peserta penelitian
yang masih berada dalam penelitian pada tahun ke 15.
Semua nilai p merupakan 2 sisi, dan nilai p kurang daro 0,05 dianggap
mengindikasikan kesignifikanan statistik. Prinsip niat untuk mengobati diaplikasikan untuk
semua perhitungan. Paket Stata Statistik versi 12.1 digunakan.
HASIL PENELITIAN
Karakteristik Dasar, Angka Pemeriksaan Ulangan, dan Perubahan Berat Badan selama
Pemeriksaan Ulangan
Perbedaan diantara kelompok bedah dan kelompok kontrol meningkat diantara waktu
dan pemeriksaan penyesuaian dan juga waktu pemeriksaan dasar. Saat pemeriksaan dasar,
pasien pada kelompok bedah bariatrik ditimbang berat badannya, rata-rata lebih 6 kg, dan
kebanyakan faktor risiko yang dianalisis lebih jelas daripada mereka yang ada di kelompok
kontrol.
Median waktu pemeriksaan ulangan yaitu 10 tahun (berkisar dari 0-15 tahun). Angka
kehilangan pemeriksaan ulangan yaitu 12,9% pada tahun ke 2 dan 31,2% pada tahun ke 10.
Pada tahun ke 15, kehilangan pemeriksaan ulangan meningkat menjadi 36,2%;
sebagai tambahan, 30,9% dari peserta penelitian tidak diikuti selama 15 tahun dan oleh
karena itu tidak memenuhi syarat untuk analisis pada tahun ke 15. Hal ini berdampak pada
penyesuaian angka peserta penelitian tahun ke 15 hanya menjadi 32,9%. Setelah penyesuaian
untuk pemeriksaan ulangan kurang dari 15 tahun dan kematian, angka peserta penelitian
tahun ke 15 mencapai 53,5%. Dikarenakan rendahnya angka peserta enelitian, khususnya
tahun ke 15, peneliti melakukan analisis sensitifitas.
Pada kelompok bedah bariatrik, peserta penelitian memiliki rerata penurunan berat
badan sebesar 31 kg setelah satu tahun. Berat pasial mulai kembali dan terjadi, dan rerata
penurunan berat badan dari nilai dasar pada tahun ke 10 dan tahun ke 15 diperkirakan 20 kg.
Perubahan rerata berat badan pada kelompok kontrol tidak pernah melebihi 3 kg dalam
kenaikan berat badan atau penurunan berat badan. Rerata berat badan berubah pada tahun ke
2 diantara peserta penelitian kelompok kontrol yang mencoba untuk menurunkan berat
badannya dengan bantuan pelatih profesional (54% subjek kelompok kontrol) dengan
penurunan 0,6 kg, dibandingkan dengan kenaikan 1,4 kg diantara peserta penelitian yang
tidak mendapatkan bantuan (p<0,001). Perbedan di perubahan berat badan menghilang
setelah pemeriksaan ulangan lebih lama. Pada semua waktu pemeriksaan, penurunan berat
badan paling besar terjadi setelah bypass gaster daripada setelah gastroplasty.
Insiden Diabetes
Selama periode pemeriksaan ulangan, diabetes tipe 2 terjadi pada 392 pasien pada
kelompok kontrol dan 110 pada kelompok bedah bariatrik, sesuai dengan angka insidensi
28,4 kasus per 1000 orang per tahun dan 6,8 kasus per 1000 orang per tahun (P<0,001), pada
data yang diamati selama 15 tahun. Rasio hazard penyesuaian dengan bedag 0,22 (P<0,001).
Setelah penyesuaian multivariabel, rasio hazard menjadi 0,17 (P<0,001). Sebagai tambahan
pada kelompok terapi (bedah atau kontrol), prediktor univariabel terkuat dari hasil diabetes
adalah konsentrasi glukosa darah dasar dan keberadan atau ketiadaan glukosa puasa
terganggu.
Analisis Sensitifitas
Karakteristik dasar dan saat tahun ke 10 tiap kelompok penelitian hampir sama
diantara peserta penelitian yang masih dalam penelitian selama 25 tahun dan yang keluar dari
penelitian sebelum penilaian tahun ke 15. Dengan pertimbangan rendahnya ngka pastisipasi
dan efek terapi yang kuat pada yahun ke 15, peneliti juga memeruasa efek bedah pada waktu
pemeriksaan ulangan lainnya. Efek terapi pada insiden diabetes tipe 2 setidaknya sama
kuatnya dengan tahun ke 2 dan tahun ke 10 pada pemeriksaan ulangan dan juga tahun ke 15.
Akhirnya, analisis efek terapi dihitung dari data pengamatan dan perhitungan pada tahun ke
10 dan tahun ke 15 yang menghasilkan efek relatif dari terapi diabetes (rasio hazard bedah
bariatrik 0,16 dan 0,21) yang mirip dengan perhitungan hanya dari data pengamatan saja
(rasio hazard 0,16 dan 0,22).
Analisis Subkelompok
Pada kelompok kontrol, tidak ada perbedaan pada insiden diabetes tipe 2 diantara
peserta penelitian yang mencoba untuk menurunkan berat badan dengan bantuan
pelatihprofesional dan yang tidak menerima bantuan pelatih profesional (Raio hazard 0,89;
P=0,20). Semua tipe bedah bariatrik berhubungan dengan penurunan insiden diabetes tipe 2.
Rasio hazard dengan bypass gaster 0,12 (P<0,001), namun analisis hanya berdasarkan dari 6
kasus diabetes diantara 207 subyek. Rasio hazard banding 0,20 (P<0,001) dan vertical banded
gastroplasty 0,25 (P<0,001) tidak berbeda secara signifikan dari rasio hazard bypass gaster.
Efek bedah bariatrik pada insiden diabetes tipe 2 sangat signifikan pada semua
subkelompok, tetapi interaksi diantara faktor risiko dasar dan terapi hanya signifikan pada
sub kelompok: ada-tidaknya glukosa puasa terganggu (P=0,002 untuk interaksi), kadar gula
darah puasa (P=0,007), konsentrasi serum insulin puasa (P=0,007), dan nilai dari uji
homeostasis resistensi insulin (P=0,001). Interaksi diantara terapi dan BMI dengan
hubungannya dengan insiden diabetes tidak signifikan (P=0,55). Risiko diabetes tipe 2 dan
efek pencegahan relatif dari bedah bariatrik meningkat dengan menigkatnya glukosa dasar
dan kadar insulin, dimana BMI dasar tidak berhubungan dengan insiden diabetes tipe 2 atau
efek pencegahan bedah.
Angka yang dibutuhkan untuk mengobati untuk mencegah satu kejadian diabetes
rendah pada semua subkelompok, mencerminkan efek terapi yang kuat dari bedah bariatrik.
Pada subgroup ada tidaknya glukosa puasa terganggu, nilai angka yang dibutuhkan untuk
mengobati sebesar 1,3.
Efek Samping
Mortalitas post operasi dan komplikasi lain dari bedah bariatrik setelah 90 hari
dilaporkan. Total 3 pasien (0,2%) meninggal sebelum 90 hari setelah pembedahan, dan
setidaknya 1 komplikasi dilaporkan pada 245 pasien (14,8%). Pada 46 pasien (2,8%),
komplikasi cukup serius untuk membutuhkan operasi ulangan. Total 89% operasi dilakukan
dengan pembedahan terbuka.
DISKUSI
Hasil dari analisis menunjukkan bahwa bedah bariatrik, dibandingkan dengan
perawatan biasa, menurunkan insiden jangka panjang dari diabetes tipe 2 sebanyak 78%
pada pasien dengan obesitas. Penurunan risiko tersebut dicapai meskipun profil riskiko yang
menguntungkan menunjukkan angka yang rendaH pada kelompok bedah saat pemeriksaan
dasar. Diantara pasien dengan glukosa puasa terganggu, bedah bariatrik menurunkan risiko
sebesar 87%, dan tidak terjadi diabetes tipe 2 pada sekitar 10 dari 13 pasien obesitas yang
menjalani bedah bariatrik. Penurunan risiko tersebut setidaknya dua kali lebih besar dari
intervensi gaya hidup yang diamati pada obesitas sedang, orang dengan prediabetik. Hasil ini
kosisten dengan pengamatan sebelumnya dari peneliti yang dipublikasikan tahun 2004.
Panduan dari the International Diabetes Federation, the American Diabetes Association dan
organisasi lain, mengenali bedah bariatrik sebagai pilihan untuk pasien obesitas yang
memiliki diabetes tipe 2 tetapi tidak dianjurkan untuk menjalani bedah bariatrik sebagai
pencegahan dari diabetes tipe 2.
Angka remisi dari diabetes tipe 2 lebih tinggi setelah bypass gaster daripada setelah
banding, dan mungkin berhubungan dengan lebih besarnya penurunan berat badan setelah
bypass gaster atau efek mandiri dari penurunan berat badan. Pada penelitian ini, angka
insiden diabetes tipe 2 setelah bypass gaster tidak lebih rendah secara signifikan daripada
angka banding atau vertical banded gastroplasty. Bagaimanapun juga, penelitia SOS tidak
bisa untuk mendeteksi perbedaan semacam itu.
Pasien obesitas dengan glukosa puasa terganggu, dibandingkan dengan orang obesitas
dengan kadar glukosa puasa normal, memiliki risiko yang lebih tinggi untuk diabetes tipe 2
(insiden diantara pasien yang menerima perawatan biasa, 91 kasus pr 1000 orang per tahun
VS 20 kasus per 1000 orang per tahun) dan tampaknya memiliki keuntungan yang lebih besar
dari bedah bariatrik (P=0.002 untuk interaksi). Sebagai perbedaan, insisden diabetes tipe 2
dan efek pencegahan bedah bariatrik mirip dintara peserta penelitian dengan BMI setinggi
atau dibawah median. Peneliti sebelumnya mengamati bahwa BMI dasar tidak memprediksi
keuntungan dari bedah bariatrik dengan hubungannya terhadap kematian, kanker, infark
miokard, atau stroke, dan hasil sekarang ini menunjukkan bahwa BMI dasar tidak
memprediksi keuntungan bedah bariatrik dengan hubungannya terhadap diabetes tipe 2.
Dibetes tipe 2 merupakan penyakit progesif, dan kemampuan untuk memproduksi
insulin merosost berdasarkan waktu. Perbaikan sensitifitas insulin dengan kata lain
penurunan berat abdan tidak cukup untuk menimbulkan remisi dari dibetes jika destruksi sel
beta sudah lanjut, dan angka remisi diabetes berhubungan kebalikan dengan durasi diabetes
pada bedah bariatrik. Pengamatan ini, bersamaan dengan penurunan jangka panjang angka
insiden diabetes tipe 2 diantara peserta penelitian dengan prediabetes, juga menunjukkan
bahwa gangguan metabolisme glukosa dapat diobati dini, bahkan sebelum diabetes tipe 2
diobati.
Penelitian SOS mempunyai beberapa keterbatasan. Pertama, penelitian bukan
merupakan penelitian acak, memiliki alasan etik yang berhubungan dengan tingginya
mortalitas post operatif yang berhubungan dengan bedah bariatrik pada tahun 1980-an.
Kedua, diagnosis diabetes tipe 2 didasarkan pada kadar glukosa puasa dan laporan individu
penggunaan obat-obatan diabetes. Diagnosis diabetes tipe 2 yang didasarkan pada hasil uji
toleransi glukosa oral atau kadar glycated hemoglobin akan memberikan perbedaan hasil
yang bermakna, jika, pada contohnya, terdapat perbedaan kelompok pada penggunaan obat-
obatan diabetes untuk pencegahan diabetes. Rendahnya angka keikutsertaan pada tahun ke 15
juga merupakan sebuah keterbatasan, namun dengan analisis sensitifitas, mengindikasikan
bahwa hasil laporan peneliti adalah valid. Idealnya, temuan post hoc harus dikonfirmasi
secara prospektif, controlled trial yang didisain untuk mempelajari efek gterapi pada hasil
akhir subkelompok.
Data peneliti menunjukkan bahwa bedah bariatrik memiliki efek pencegahan pada
insiden diabetes tipe 2, khususnya pada peserta penelitian dengan glukosa puasa terganggu.
Sebaliknya, BMI dasar tidak berpengaruh efek pencegahan bedah bariatrik pada diabetes tipe
2, yang menyiratkan bahwa data antrpometrik tidak berguna dalam pemilihan kandidat untuk
bedah bariatrik, dimana data glukosa puasa terganggu malah dapat membantu.