jurnal koagulasi darah.pdf

25
Koagulasi Darah: Hemostasis dan Regulasi Thrombin  Kenichi A.Tanaka, Nigel S. Key, Jerold H. Levy Perdarahan perioperatif merupakan salah satu masalah yang menantang karena saat ini telah terjadi peningkatan penggunaan obat-obatan antitrombotik poten. Memahami konsep koagulasi terkini merupakan hal yang penting dalam menentukan resiko  perdarahan preoperatif pada pasien dan penatalaksanaan terapi hemostatik secara  perioperatif. Serine protease thrombine memainkan peranan yang penting dalam mengaktivasi sejumlah serine protease zymogens (prekurson enzimatik inaktif), kofaktor dan reseptor permukaan sel. pembentukan thrombin hampi selalu diregulasi secara lokal untuk mencapai hemostasi yang cepat pasca-cedera tanpa harus menimbulkan thrombosis sistemik yang tak terkontrol. Selama pembedahan, terdapat  beberapa gangguan dalam koagulasi dan sistem inflamasi karena  perdarahan/hemodilusi, transfusi darah, dan stres pembedahan. Perdarahan  postoperatif (pasca-operasi) seringkali memerlukan transfusi darah alogenik, yang mendukung terjadinya pembentukan thrombin dan hemostasis. Namun, aktivitas  prokoagulasi dan inflamasi mengalami peningkatan pada periode pasca-operasi; sehingga, terapi antithrombotik mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya komplikasi thrombotik perioperatif. Sudah ada beberapa kemajuan dalam  penatalaksanaan hemostasis dan thrombosis perioperatif sejak adanya pengenalan obat-obatan hemostatik dan antitrombotik jenis baru. Namun, salah satu keterbatasan terapi terkini adalah uji pembekuan darah konvensional tidak dapat menunjukkan keseluruhan proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh, sehingga kita sulit untuk mengoptimalkan terapi farmakologis. Memahami mekanisme regulasi in vivo dan modulasi farmakologis pembentukan thrombin dapat membantu mengendalikan  perdarahan tanpa meningkatkan resiko prothrombik. Dalam tinjauan ini, k ami fokus terhadap mekanisme regulasi hemostasis dan pembentukan thrombin dengan menggunakan beberapa model koagulasi sederhana. (Anesth Analg 2009;108:1433– 46)

Upload: maghfirahekasarilaitjinara

Post on 11-Oct-2015

766 views

Category:

Documents


69 download

DESCRIPTION

ddyed

TRANSCRIPT

  • Koagulasi Darah: Hemostasis dan Regulasi Thrombin

    Kenichi A.Tanaka, Nigel S. Key, Jerold H. Levy

    Perdarahan perioperatif merupakan salah satu masalah yang menantang karena saat

    ini telah terjadi peningkatan penggunaan obat-obatan antitrombotik poten. Memahami

    konsep koagulasi terkini merupakan hal yang penting dalam menentukan resiko

    perdarahan preoperatif pada pasien dan penatalaksanaan terapi hemostatik secara

    perioperatif. Serine protease thrombine memainkan peranan yang penting dalam

    mengaktivasi sejumlah serine protease zymogens (prekurson enzimatik inaktif),

    kofaktor dan reseptor permukaan sel. pembentukan thrombin hampi selalu diregulasi

    secara lokal untuk mencapai hemostasi yang cepat pasca-cedera tanpa harus

    menimbulkan thrombosis sistemik yang tak terkontrol. Selama pembedahan, terdapat

    beberapa gangguan dalam koagulasi dan sistem inflamasi karena

    perdarahan/hemodilusi, transfusi darah, dan stres pembedahan. Perdarahan

    postoperatif (pasca-operasi) seringkali memerlukan transfusi darah alogenik, yang

    mendukung terjadinya pembentukan thrombin dan hemostasis. Namun, aktivitas

    prokoagulasi dan inflamasi mengalami peningkatan pada periode pasca-operasi;

    sehingga, terapi antithrombotik mungkin diperlukan untuk mencegah terjadinya

    komplikasi thrombotik perioperatif. Sudah ada beberapa kemajuan dalam

    penatalaksanaan hemostasis dan thrombosis perioperatif sejak adanya pengenalan

    obat-obatan hemostatik dan antitrombotik jenis baru. Namun, salah satu keterbatasan

    terapi terkini adalah uji pembekuan darah konvensional tidak dapat menunjukkan

    keseluruhan proses fisiologis yang terjadi dalam tubuh, sehingga kita sulit untuk

    mengoptimalkan terapi farmakologis. Memahami mekanisme regulasi in vivo dan

    modulasi farmakologis pembentukan thrombin dapat membantu mengendalikan

    perdarahan tanpa meningkatkan resiko prothrombik. Dalam tinjauan ini, kami fokus

    terhadap mekanisme regulasi hemostasis dan pembentukan thrombin dengan

    menggunakan beberapa model koagulasi sederhana. (Anesth Analg 2009;108:1433

    46)

  • Darah sudah dianggap sebagai hal yang suci sejak zaman kuno. Karakter huruf China

    untuk darah berasal dari simbol hieroglif yang artinya adalah hal suci yang disimpan

    dalam pembuluh (gambar 1). Kemampuan untuk mentransformasi komponen darah

    dari cair menjadi padat merupakan representasi dari aktivasi dan inhibisi enzimatik.

    Konsep moderen koagulasi diperkenalkan pada tahun 1964 dalam bentuk model

    Waterfall/Cascade (model riam atau air terjun), yang mana konsep ini dianggap

    terlalu rumit oleh para non-hematolog (gambar 2A). Model ini telah mengalami

    sejumlah perbaikan, hingga menghasilkan model berbasis sel yang dapat

    menguraikan jaringan kompleks ari berbagai elemen koagulasi (gambar 2B). Selama

    ini, koagulasi darah telah menjadi mekanisme pertahanan yang sangat rumit untuk

    mendeteksi cedera pada tubuh dan mencegah eksanguinasi (perdarahan berlebihan)

    agar dapat meningkatkan kemampuan bertahan hidup. Sistem pengawasan aksi

    koagulasi hemostatik yang terlokalisasi merupakan hal yang sangat penting karena

    terdapat banyak gangguan integritas vaskuler yang berlangsung setiap saat di

    sepanjang hidup manusia. Artikel ini menyajikan suatu perspektif terkini mengenai

    mekanisme dasar koagulasi, hemostasis dan pembentukan thrombin.

    Mekanisme koagulasi dasar.

    Untuk memahami evolusi hemostasis, kita harus meneliti sistem koagulasi primitif

    mahluk invertebrata. Kepitung sepatu kuda (Limulus) sudah ada di muka bumi ini

    lebih dari 350 juta tahun; sehingga, mereka seringkali disebut sebagai fosil yang

    hiduo. Di darah Limulus (hemolymph/hemolimfe), oksigen dihantarkan oleh protein

    hemocyanin yang mengandung tembaga. Sel darah yang bersirkulasi hanya

    amoebocytes (hemocytes) yang mengandung bakterisida dan protein zymogen

    koagulasi. Komponen kunci koagulasi Limulus adalah protease serine, protein

    pembekuan darah (coagulagen/koagulagen, Faktor C), dan transglutaminase (suatu

    enzim yang menyerupai Faktor XIII). Ketika amaebocyte/amebisit terpapar ooleh

    endotoksis (di dalam air laut) setelah cedera, protein serine mengkonversi koagulagen

    menjadi coagulin/koagulin, yang mana komponen ini akan dipolimerisasi oleh

  • transglutaminase. Sistem koagulasi dasar ini memungkinkan Limulus agar

    mengisolasi cedera dan patogen yang menginvasi (gambar 3A).

    Gambar 1: Huruf China untuk darah. Sebuah garis diagonal di atas simbol piring,

    berarti persembahan yang diletakkan di atas piring.

    Gambar 2: (A) Model riam konvensional untuk menjelaskan koagulasi (karena

    bentuk alur mekanismenya menyerupai air terjun). Model air terjun/riam (cascade)

    terdiri atas dua awalan jalur yang berbeda, jalur intrinsik (kontak) dan ekstrinsik,

    yang berakhir pada persatuan jalur di tingkat Faktor Xa (jalur bersama). (B) Regulasi

    pembentukan thrombin. Koagulasi terpicu oleh (terinsiasi oleh) faktor VIIa yang

    bersirkulasi dan faktor jaringan (TF/tissue factor) lokal. Pembentuka fXa dan

    thrombin diregulasi oleh tissue factor pathway inhibitor (TFPI) dan antithrombin

    (AT). Jika sudah mencapai ambang batas, terbentuklah thrombin, lalu thrombin

  • mengaktivasi platelet, Faktor V, faktor VIII dan faktor XI untuk semakin memperkuat

    produksi thrombin (efek propagasi/perambatan)

    Koagulasi Limulus memiliki beberapa implikasi langsung untuk manusia. Pertama,

    tes Limulus (amoebocyte lysate) digunakan secara klinis dan komersial untuk

    mendeteksi kontaminasi bakteri dalam darah, material (seperti mikrochip) dan

    lingkungan. Kedua, tahap terakhir koagulasi manusia menyerupai Limulus, yakni

    thrombin (protease serine) mengkonversi fibrinogen (protein pembekuan darah)

    menjadi monomer fibrin, yang kemudian dipolimerisasi oleh Faktor XIII yang

    sebelumnya telah teraktivasi oleh thrombin (salah satu jenis transglutaminase)

    (gambar 3B). Kita dapat bertanya, jika tahap terakhir hemostasis memang sederhana

    dan sudah efektif selama ratusan juta tahun, lalu apa manfaat sejumlah faktor

    koagulasi dan jalur kompleks yang ada di tubuh manusia jika kita hanya bertujuan

    untuk mencapai fungsi pembekuan darah yang sama seperti pada invertebrata? Di

    antara vertebrata nonmamalia dan mamalia, rangkaian asam amino prothrombin dan

    fibrinogen telah terbentuk dengan baik. Perbedaan evolusioner antara sistem

    koagulasi vertebrata dan invertebrata adalah terletak pada kebutuhan untuk

    menghasilkan thrombosis terlokalisasi dalam suatu jaringan pembuluh darah tertutup

    bertekanan tinggi yang hanya ditemukan pada vertebrata, sedangkan pada

    invertebrata, jaringan pembuluh darahnya terbuka dan bertekanan rendah.

    Inisiasi Koagulasi

    Sama halnya pada amoebosit yang mendeteksi kebocoran pembuluh darah pada

    cangkang kepiting tapal kuda, pada manusia, darah yang beredar bereaksi cepat

    terhadap disrupsi endotel vaskuler untuk membatasi perdarahan. Respon awal

    hemostatic dipicu oleh Tissue Factor (TF; tromboplastin) yang diekspresikan pada

    subendotelial perisitdan fibroblast. Acivated factor VII (fVIIa), sebuah protease serin

    yang normalnya beredar dalam darah dengan konsentrasi rendah, berikatan dengan

  • lTF untuk mengaktifkan Faktor X menjadi fXa. Selanjutnya, fXa (yang juga

    merupakan protease serin) menghasilkan sejumlah (0.1-1 nM) thrombin. Terdapat

    dua inhibitor yang meregulasi respon prokoagulan yang dipicuoleh TF, sehingga

    membatasi aksi protease serin di lokasi cedera vaskuler (Gambar 2B). Inhibitor jalur

    faktor jaringan (Tissue factor pathway inhibitor/TFPI) menetralisasi fXa ketika

    bentuk ini dalam sebuah kompleks dengan TF-fVIIa. Regulator lain respon

    prokoagulan yang dipicu TF, yaitu antitrombin (AT, sebelumnya disebut antitrombin

    III; sebuah inhibitor protease serin; SERPIN), yang beredar dalam konsentrasi yang

    tinggi (150 g/mL) dan menetralkan pembentukan awal fXa dan thrombin. Sehingga,

    prokoagulan memicu reaksi hanya terjadi ketika TF terekspos cukup tinggi pada

    kadar yang melebihi inhibisi TFPI dan AT (Gambar 2B). dalam kata lain, fVIIa

    mengikuti sirkulasi dalam mencari lokasi kerusakan vaskuler (misalnya dimana TF

    terekspos), dan melacak jumlah fXa dan thrombin sebagai suara alarm adanya

    bahaya potensia;. Aktivitasi ini dipantau secara ketat oleh inhibitor yang muncul

    secara alami untuk mencegah alarm palsu atau respon yang terlalu berlebihan.

    Propagasi Koagulasi

    Platelet yang beredar berkontribusi untuk melokalisasi formasi thrombus pada lokasi

    kerusakan vaskuler dengan pertama-tama berikatan dengan kolagen subendotelial

    faktor von Willebrand (vWF) melalui reseptor glikoproten (GP) Ibmereka. Thrombin

    yang dihasilkanoleh TF-fVIIa/fXa (jalurekstrinsik) mampu mengaktivasi

    perlekatan platelet dengan sekitarnya melalui reseptor protease teraktivasi (protease

    activated receptors) 1 dan 4 (PAR1 dan PAR4). Platelet yang teraktivasi oleh

    Trombin memainkan peran yang sangat penting dalam kelanjutan proses koagulasi

    dalam beberapa cara. Pertama, reseptor platelet GPIbberikatandenganfaktor XI, dan

    juga melokalisasi FaktorVIII kelokasi disrupsi endotel melalui protein pembawanya

    vWF. Kemudian, secara terpisah, Faktor V teraktivasi, dilepaskandari platelet -

    granulpadaaktivasi platelet. Faktor XI, VIII, dan V dilibatkan dalam mempertahankan

    respon prokoagulan (jalur intrinsic) setelah aktivasi mediasi thrombin (Gambar

    2B). Protease serin Faktor XIa memediasi aktivasi Faktor IX menjadi fIXa, dan

  • fVIIIa sebagai kofaktor fIXa. FaktorIXa, sebuah protease serin mengaktivasi Faktor

    X menajadi fXa, dan fVa sebagai kofaktor fXa. Dengan tidak adanya fVIIIa atau

    fIXa, seperti yang terjadi pada Hemofilia A atau B, masing-masing, inisiasi

    koagulasinya berjalan normal, tapi, tahap propagasinya sangat berkurang (Gambar

    2B). pasien dengan hemophilia mengalami perdarahan berulang pada otot dan sendi

    karena rendahnya ekspresi TF (sehingga, inisiasi koagulasi diredam secara cepat oleh

    TFPI dan AT). Dengan menggunakan rekombinan fVIIa dosis tinggi (90-120 g/kg),

    perdarahan rekuren dapat dikurangi dengan meningkatkan produksu fXa hingga

    melebihi TFPI dan AT (sehingga memperbaiki pembentukan thrombin) pada pasien

    hemophilia dengan antibody penghambat melawan Faktor VIII atau Faktor IX.

    Tiga komponen kunci (substrat, ensim, akselerator [kofaktor]) yang terkonsentrasi

    padapermukaan platelet teraktivasi dibutuhkan untuk menghasilkan thrombin secara

    lokal.satu platelet yang teraktivasi thrombin mengekspos lebih dari 12.000 salinan

    reseptor GPIIb/IIIa yang dapat mengonsentrasi fibrinogen untuk formasi fibrin yang

    efisien. Lebih lanjut lagi, Faktor XIII turunan plasma dan platelet diaktivasi oleh

    thrombin menjadi fXIIIa, sebuah transglutaminasi yang secara cepat menyerangkan

    monomer fibrin. Sehingga, fibrinogen danfaktor XIII terlokalisasi merupakn substrat

    akhir thrombin yang memiliki peran yang sangat penting dalam menstabilkan

    penyumbatan hemostatik primer. Pada defisiensi fibrinogen berat, platelet

    terlokalisasi oleh interaksi vWF-GPIb tapi tidak dapat mengerahkan molekul

    fibrinogen kereseptor GPIIb/IIIa. Kurangnya formasi fibrin pada permukaan platelet

    menyebabkan terlepasnya tautan platelet. Secara klinis, situasi ini terlihat sebagai

    perdarahan rekuren, dan sebuah thrombosis paradoksikal pada afibrinogenemia

    kongenital.

    Koagulasi In Vitro

    Prothrombin time (PT) dan activated partial thromboplastin time (aPTT) sejauh ini

    merupakan tes skrining yang paling sering digunakan pada abnormalitas koagulasi.

    Tes ini masing-masing berhubungan dengan jalur ekstrinsik dan intrinsic model

    Waterfall/Cascade (Gambar 2A). PT awalnya dikembangkan oleh Quick untuk

  • mengukur kadar prothrombin dengan menambahkan sejumblah besar TF (ekstrak

    otak kelinci) ke plasma. Sekarang telah dipahami bahwa PT dipengaruhi oleh reduksi

    Faktor VII, X, V dan prothrombin seperti yang terjadi pada terapi antagonis vitamin

    K atau penyakit hepar berat (Tabel 1). Pada pemeriksaan PT, jumlah TF yang

    digunakan untuk memicu pembekuan in vitro lebih besar dibandingkan dengan

    kondisi in vivo, menyebabkan pembentukan thrombin secara cepat, dan umpan

    baliknya aktivasi Faktor V (Gambar 2B). Bagaimanapun, jelas bahwa mekanisme

    koagulasi in vivo tidaksecarapenuh ditunjukkan oleh PT karena perdarahan rekuren

    terjadi pada hemofilia (defisiensiFaktor VIII ataufaktor IX) meskipunnilai PT normal.

    Konsentrasi TF nampaknyalebihrendahpadain vivo, sehingga, PT

    dimodifikasiuntukmengevaluasi plasma hemofilikmenggunakan

    tromboplastinparsial (misalnya fosfolipiddengan minimal TF yang diisolasidari

    tromboplastin mentah oleh ultrasentrifugasi dan dilusi). Padates PTT (partial

    thromboplastin time), produksifXadan thrombin mediasi fVIIa dibatasi olehkondisi

    TF rendah, dan, sebagaihasilnya, aktivitas fIXa dan fVIIIa sebagai alternative sumber

    fX menjadi penting untuk pembekuan (Gambar 2). PTT selanjutnya dikembangkan

    untuk reprodusibilitas dengan menambahkan activator kontak (misalnya kaolin,

    celite, atau asam elagik) menjadi sebuah pemeriksaan yang dikenalsebagaiactivated

    PTT (aPTT). Denganadanya activator sistemkontak, rentetanaktivasi protease serin

    terjadi dalam urutan desenden FaktorXIIaXIaIXaXa, menghasilkan pembetukan

    thrombin (Gambar 2A). meskipun aktivasi Faktor XII oleh activator

    kontaktidakdianggappentinguntuk hemostasis normal (karenapasiendefisiesiFaktor

    XII tidakberdarah), aPTT sensitive terhadapreduksibesarFaktor XII, XI, IX, VIII, V,

    danhinggatingkatynglebihrendah, rothrombin (Tabel 1). Rentetanaktivasi protease

    serine berjalansangatlambatpadaaPTTkarenakofaktor, fVIIIadanfVa,

    tidaktersediahingga thrombin dihasilkan untuk mengaktivasi mereka (Gambar 2B).

    sehingga, aPTT digunakan secaraklinis untuk memantau antikoagulasi unfractioned

    heparin, argatroban, bivalirudin, dan lepirudin (catatan: kalibrasi spesifik dibutuhkan

  • untuk setiap antikoagulasi), karena semua inhibitor thrombin ini mereduksi aktivasi

    umpan balik Faktor VIII dan V yang dimediasi oleh thrombin.

    Meskipun PT/aPTTdapat diguakan untuk memandu antikoagulasi, beberapa batasan

    penting harus diperhatikan ketika mereka diukur untuk mengevaluasi perdarahan.

    Secara perioperative, perdarahandisebabkanolehdefekkoagulasi multiple

    karenahemodelusi, kehilangankonsumptif, fibrinolysis, penggunaanantikoagulan,

    hipotermia, dankerusakanmekaniksertametabolik lain. Pentingbahwa PT/aPTT tidak

    menyediakan informasi interaksi in vivo platelet dengan faktor koagulasi. Platelet

    teraktivasi mampu secara lokal mengumpulkan faktor koagulasi, dan dengan

    demikian, tingkat perdarahan di bawah PT / aPTT berkepanjangan dapat bervariasi

    sesuai dengan jumlah dan / atau fungsi platelet. Selanjutnya, tidak mungkin untuk

    memperkirakan stabilitas keseluruhan trombus hemostatik menggunakan PT / aPTT

    karena kedua tes berhenti sebelum fibrin dipolimerisasi oleh fXIIIa. Defisiensi Faktor

    XIII congenital dikaitkan dengan perdarahan tali pusat dan perdarahan intrakranial,

    tetapi kekurangan ini tidak terdeteksi oleh skrining PT / aPTT. PT / aPTT juga tetap

    normal ketika perdarahan disebabkan oleh meningkatnya kerusakan fibrin (yaitu,

    keadaan hiperfibrinolitik) seperti terjadi defisiensi kongenital 2-antiplasmin. Berbeda

    dengan PT / aPTT, penggunaan thrombelastografi/metri memungkinkan aktivitas

    fungsional fibrinogen, Faktor XIII, dan protein fibrinolitik.

    REGULASI KOAGULASI ENDOTELIAL

    Endotelium intak memiliki beberapa fungsi antikoagulan yang mempertahankan

    darah dalam keadaan cairan (Tabel 2). Endotelium melemahkan aktivitas platelet

    dengan melepaskan oksida nitrat, prostasiklin, dan ecto-ADPase (yang kemudian

    mendegradasi adenosin difosfat). Ada beberapa inhibitor koagulasi yang diproduksi

    oleh sel endotel. TFPI yang diturunkan dari endothelium terlokalisir pada

    permukaannya, dan dengan cepat dilepaskan ke dalam sirkulasi setelah pemberian

    heparin, mengurangi aktivitas prokoagulan sel TF-fVIIa. Endotel juga mengeluarkan

    heparan sulfat, glikosaminoglikan yang mengkatalisis aktivitas antikoagulan dari AT.

    Plasma AT mengikat heparan sulfat yang terletak pada permukaan luminal, dan

  • membran basal endothelium. Trombomodulin adalah protein endotelium-terikat lain

    dengan fungsi antikoagulan dan antiinflamasi. Dalam respon terhadap rangsangan

    prokoagulan sistemik, aktivator plasminogen tipe jaringan (tissue-type plasminogen

    activator/TPA) dilepaskan secara transient dari Weibel-Palade sel endotel untuk

    mendukung fibrinolisis. Endotelium diaktifkan oleh respon prokoagulan modulasi

    inflamasi dengan menyintesis TF, vWF, inhibitor activator plasminogen (PAI) -1, dan

    PARs.

    Area permukaan endotelium yang luas membutuhkan perbaikan konstan, dan dengan

    demikian, platelet dan faktor koagulasi dikonsumsi pada tingkat basal tanpa adanya

    cedera vaskular klinis yang jelas. Pembentukan thrombin basal (homeostatis)

    ditunjukkan oleh sirkulasi kompleks trombin-AT dan penanda koagulasi lain

    (misalnya, protrombin fragmen 1.2) bahkan tanpa adanya perdarahan terbuka.

    Demikian pula, konsumsi basal platelet berjumlah sekitar 7 x 103 mm

    -3 per hari

    (hitungan normal 150-350 x 103 mm-3

    ), tingkat trombosit yang sesuai dengan

    ambang batas (10 x 103 mm

    -3) untuk perdarahan spontan.

    Respon hemostatik umumnya terbatas pada lokasi cedera vaskular karena protease

    serin kunci terikat membran pada permukaan trombosit yang diaktifkan. Relatif

    sedikit molekul FXA dan trombin dibawa keluar dari lingkungan setempat. Hilir dari

    cedera vaskular, kompleks TF-fVIIa/fXa dihambat oleh TFPI. Plasma (bebas) FXA

    dan trombin dengan cepat dinetralisir oleh AT yang terikat denganheparin. Trombin

    juga diambil oleh endotel trombomodulin permukaan-terikat. Pengikatan

    trombomodulin ke Exosite I trombin mengoptimalkan aktivitas katalitik trombin

    terhadap pembentukan alami antikoagulan protein C dan TAFI (trombin-activatable

    fibrinolisis inhibitor). Dalam sirkulasi sistemik, protein C (APC) teraktivasi telah

    terbukti mengerahkan beberapa fungsi antiinflamasi dan sitoprotektif dengan

    memodulasi reseptor protein C endotel dan protease-activated receptor-1 (PAR-1,

    reseptor trombin) melalui mekanisme yang masih dalam investigation. TAFI juga

    memberikan efek antiinflamasi dengan memecah bradikinin dan C5a.

  • Pelepasan terus menerus FXA, trombin, dan fibrin larut ke dalam sirkulasi sistemik

    mengarah pada aktivasi sistem fibrinolitik (pelepasan tPA), yang melarutkan fibrin

    tak larut dan mencegah iskemia yang diinduksi oleh deposisi trombus di organ akhir.

    Multimer besar vWF juga meningkat selama peradangan, dan mereka diturunkan oleh

    disintegrin dan metalloprotease dengan motif thrombospondin tipe 1, member 13

    (ADAMTS-13), yang juga disintesis oleh sel endotel. Pada pasien dengan

    thrombositopenik purpura trombotik kronis rekuren, aktivitas ADAMTS-13 yang

    sangat berkurang (

  • ternyata menjadi fibrin. Dalam hemodilusi parah, protein antikoagulan, termasuk

    TFPI, AT, protein C, protein S, dan endotelium-terikat trombomodulin, secara

    progresif menurun. Dengan demikian, prokoagulan dan proinflamasi aktivitas

    trombin mungkin tidak akan cepat ditekan setelah trombin dilepaskan (dari bekuan

    lemah di lokasi cedera) ke dalam sirkulasi. Defisiensi baik fibrinogen maupun Faktor

    XIII tampaknya berkaitan dengan peningkatan penanda plasma dari pembentukan

    trombin.

    Terapi hemostatik saat ini untuk perdarahan pasca operasi terdiri dari alogenik fresh

    frozen plasma, kriopresipitat, dan konsentrat platelet. Baru-baru ini, faktor faktor

    konsentrat plasma, seperti fibrinogen, Faktor XIII, dan fVIIa rekombinan teraktivasi,

    telah semakin banyak digunakan pada pasien pasca operasi di sebagai terapi empiris.

    Komponen-komponen ini memungkinkan pemulihan yang cepat terhadap elemen

    tertentu dari koagulasi tanpa perlu cross-match, sambil menghindari kelebihan

    volume intravaskular. Selain itu, risiko penularan infeksi menurun karena mereka

    dipasteurisasi terhadap virus yang dikenal saat ini. Namun, penelitian tambahan

    diperlukan untuk membuktikan keamanan mereka dalam kondisi perioperatif karena

    pasien bedah menunjukkan adanya beberapa defisiensi dalam protein prokoagulan

    dan antikoagulan. Misalnya, perdarahan perioperatif parah setelah transfusi masif

    sering ditingkatkan dengan penggunaan rekombinan fVIIa (20-90 g/kg); Namun,

    ada beberapa lkasus trombosis sistemik yang dilaporkan.

    Penuruana faktor dan inhibitor koagulasi pulih setelah operasi selama beberapa hari.

    Respon inflamasi akut terkait dengan cedera pembuluh darah dan penyembuhan luka

    sering mengakibatkan peningkatan sitokin, jumlah platelet, fibrinogen, vWF-Factor

    VIII, dan kadar PAI-1 diatas batas normal. Sintesis TFPI dan AT tidak meningkat,

    dan ekspresi trombomodulin endotel menurun akibat sitokin inflamasi (misalnya,

    tumor necrosis factor, interleukin-1). Ketidakseimbangan elemen prokoagulan dan

    antikoagulan ini dapat meningkatkan risiko komplikasi prothrombotik pada periode

    pasca operasi. Penggunaan profilaksis terapi antitrombotik harus dipertimbangkan

  • berdasarkan jenis operasi, riwayat hematologi, dan karakteristik pasien lain

    (misalnya, usia, obesitas).

    KONTROL HIPEKOAGULABILITAS

    Keseimbangan yang terganggu antara prokoagulan dan antikoagulan elemen

    koagulasi dapat menyebabkan peristiwa prothrombotik dan berkaitan dengan

    morbiditas serta mortalitas. Trombosis dapat diinduksi oleh fungsi faktor prokoagulan

    yang berlebihan atau kegagalan protein antikoagulan untuk menekan respon

    koagulasi. Kondisi ini mungkin akibat dari perubahan fisiologis (misalnya, penuaan),

    penyebab herediter, penyakit yang diperoleh (misalnya, penyakit ateromatosa,

    kanker, sindrom antifosfolipid), obat-obatan (misalnya kontrasepsi oral), dan

    penyebab iatrogenik (misalnya, stent drug-eluting) (Tabel 3).

    Insidens trombosis vena dan arteri meningkat secara eksponensial seiring dengan

    bertambahnya usia, dan ini dapat dijelaskan, sebagian, akibat penyakit lanjut

    ateromatosa, kanker, berbagai prosedur bedah, dan imobilitas. Oklusi trombotik arteri

    koroner dan serebral berhubungan dengan aktivasi platelet dan koagulasi yang dipicu

    oleh pecahnya plak aterosklerosis, yang menyebabkan infark miokard dan strok

    iskemik. Pada pasien kanker, mediator pertumbuhan tumor, termasuk TF dan sitokin

    lain (misalnya, interleukin-1), dapat memicu koagulasi dan menurunkan sistem

    antikoagulan, meningkatkan kejadian tromboembolis vena. Sejumlah obat-obat

    kemoterapi juga dikaitkan dengan peningkatan trombosis (l-asparaginase,

    lenalidomide, tamoxifen, dll). Osteoarthritis dan osteoporosis menjadikan pasien

    lansia rentan untuk fraktur, dan kemudain mejalani bedah reparatif dan imobilitas,

    sehinggan meningkatkan risiko trombosis vena.

    Defisiensi AT, protein C, dan protein S congenital menyebabkan berkurangnya

    kemampuan untuk mengatur pembentukan trombin, dan dengan demikian,

    mempengaruhi kerentanan individu mengalami trombosis vena dalam (deep vein

    thrombosis) dan emboli paru. Sebuah polimorfisme nukleotida tunggal dalam gen

    Faktor V (umumnya Arg506Gln; Factor V Leiden) adalah contoh lain dari regulasi

    thrombin disfungsional karena inaktivasi yang dimediasi APC pada Factor Va Leiden

  • lebih lambat dari biasanya. Mutasi Leiden V yang biasa di Eropa utara (heterozigot

    5% -10%) meningkatkan risiko untuk trombosis vena oleh tiga sampai delapan kali

    lipat pada heterozigot, dan hingga 80 kali lipat pada homozigot. Sebuah polimorfisme

    protrombin (varian G20210A) dikaitkan dengan protrombin plasma tingkat tinggi

    (>115% dari normal) dan peningkatan risiko trombosis vena dalam (deep vein

    thrombosis) dan emboli paru. sindrom antifosfolipid adalah contoh dari keadaan

    trombofilik yang diperoleh, dan dikaitkan dengan peningkatan risiko emboli vena dan

    keguguran. Hal ini ditandai dengan adanya ikatan antibodi fosfolipid (disebut

    anticoagulant lupus). Meskipun PT dan aPTT memanjang, antibodi lupus tidak

    mengerahkan antikoagulasi. Sebaliknya, kompleks yang terbentuk antara autoantibodi

    dan 2-GP I (apolipoprotein H) dianggap mengganggu antikoagulan endogen

    (misalnya, TFPI, APC) dan meningkatkan koagulasi serta system inflamasi.

    Meskipun kejadian tromboemboli rendah (3-30 per 10.000 per tahun), penggunaan

    kontrasepsi oral (kombinasi estrogen dan progestogen) berpotensi dapat menginduksi

    keadaan prokoagulan. Hal ini disebabkan peningkatan yang Faktor VII, IX, X, dan

    XIII, dan penurunan AT dan protein S yang diinduksi oleh estrogen.

    Gambar 4: Endothelium dan aktivasi protein C. Thrombomodulin (TM) yang

    diekspresikan pada endothelium intak (utuh) dapat berikatan dengan cepat pada

    thrombin (fIIa), yang kemudian akan memecah protein C dan thrombin activatable

    fibrinolysis inhibitor (TAFI) untuk bisa menghasilkan activated protein C (APC) dan

  • TAFIa. APC memiliki efek antiinflamasi melalui reseptor protein C endothelial, yang

    mana hal ini memicu hantaran sinyal sitoprotektif intraseluler. TAFIa juga memiliki

    efek antiinflamasi dengan cara mendegradasi komplemen (C5a) dan bradikinin. APC

    mengikat protein S (PS) dan menonaktifkan Faktor V (fV) dan Faktor VIII pada

    endotelium yang sudah aktif. Inaktivasi fVa mengalami keterlambatan pada Faktor V

    Leiden. Inaktivasi fVIIIa dapat diperkuat oleh fV.

    Gambar 5: Mekanisme prokoagulan heparin-induced thrombocytopenia (HIT).

    Antibodi IgG (Ab) berikatan dengan kompleks heparin-platelet factor 4 (PF4) pada

    permukaan platelet. Antibodi ini menginduksi aktivasi platelet dengan cara berikatan

    dengan reseptor Fc-gamma-RIIA dan menimbulkan mobilisasi kalsium. Aktivasi

    platelet mendukung pembentukan thrombin sistemik dengan cara mengkatalisasi

    prothrombinase (kompleks fXa-fVa) dan melepaskan mikropartikel prokoagulan.

    Pelepasan PF4 dari granule- platelet juga meningkatkan antigenisitas kompleks PF4-

    heparin.

  • Gambar 6: Interaksi thrombin (fIIa) dengan fibrinogen, platelet dan DTI. Domain

    fibrinogen bermuatan negatif dan platelet PAR1 (protease-activated receptor 1)

    berikatan dengan thrombin melalui Exosite I yang bermuatan positif. Thrombin

    memecah fibrinogen dan reseptor PAR1 pada domain katalitik, sehingga

    menghasilkan formasi fibrin dan aktivasi platelet. Argatroban mengikat domain

    katalitik thrombin, dan menghambat aktivitas enzimatik thrombin. Lepirudin dan

    bivalirudin mengkiat Exosite I dan domain katalitik thrombin.

    Setelah diagnosis klinis thrombofilia bermanifestasi dalam bentuk thrombosis arterial

    dan vena, maka penatalaksanaan antithrombosis profilaksis dan terapeutik biasanya

    diperlukan untuk mencegah terjadi rekurensi thrombosis, dan untuk menurunkan

    morbiditas dan mortalitas akibat oklusi vaskuler di organ besar. Karena sejak awal

    abad ke-20, derivat coumarin dan heparin tak terfraksinasi digunakan sebagai

    profilaksis dan penatalaksanaan untuk berbagai kondisi thrombosis. Selama lebih dari

    beberapa tahun terakhir, obat-obatan baru telah dikembangkang, termasuk low

    molecular weight heparin (LMWH) dan pentasakarida sintetik (Fondaparinux).

    Dalam sirkulasi arterial, aktivasi platelet dipicu oleh berbagai kondisi thrombosis,

    suatu proses yang tidak dapat disupresi secara adekuat oleh heparin dan coumarin.

    Sehingga, terapi antiplatelet merupakan strategi primer untuk mencegah thrombosis

    arterial. Obat-obatan yang sering digunakan untuk tujuan tersebut adalah aspirin dan

  • clopidogrel (Plavix). Obat antiplatelet parenteral yang dapat digunakan antara lain

    inhibitor GP IIb/IIIa, yang mana obat ini dapat diberikan selama intervensi arteri

    koroner perkutaneus. Beberapa jenis obat antiplatelet IV dan oral saat ini sedang

    dikembangkan. Seperti yang dirangkum pada tabel 4, ahli anestesi saat ini harus

    menghadapi berbagai jenis regimen antikoagulan baru yang kompleks. Sehingga kita

    harus bisa memahami mekanisme aksi dan profil farmakokinetika dan

    farmakodinamika obat-obatan ini.

    Antagonis Vitamin K

    Derivat coumarin saat ini digunakan sebagai satu-satunya obat untuk terapi

    antikoagulan oral (warfarin untuk daerah Amerika Utara dan phenprocoumon untuk

    daerah Eropa). Derivat coumarin merupakan antagonis vitamin K yang menghambat

    gamma-carboxylasi zyomogen protease serine, termasuk prothrombin, Faktor VII,

    IX, X, protein C, dan protein S. Domain gamma-carboxylasi (yang disebut juga Gla-

    domain) merupakan domain yang penting untuk fungsi enzimatik protein yang

    bergantung pada vitamin K karena domain protein ini berikatan dengan ion kalsium

    pada permukaan fosfolipid yang bermuatan negatif. Coumarin dapat mengurangi

    aktivasi enzimatik protease serine, namun coumarin tidak secara langsung

    berkompetisi dengan aktivitas thrombin, hal ini berbeda dengan kompleks heparin-

    AT. Prokoagulan (prothrombin, Faktor VII, IX, X) dan antikoagulan (Protein C dan

    S) juga dapat dipengaruhi oleh derivat coumarin, namun efek klinis akhir antagonis

    vitamin K adalah antikoagulasi karena pembentukan thrombin tertekan oleh

    prothrombin nonfungsional dan Faktor X. Namun, selama induksi antikoagulasi oral,

    fungsi Faktor VII dan protein C langsung hilang karena waktu paruhnya yang singkat

    (6-9 jam), namun prothrombin dan Faktor X tetap berfungsi selama 2-3 hari (waktu

    paruh masing-masing, 42-72 jam dan 27-48 jam). Meskipun PT dan international

    normalized ratio (INR) mengalami pemanjangan akibat penurunan faktor VII,

    pembentukan thrombin in vivo dari Faktor X residual dan prothrombin dapat terus

    berlanjut selama induksi coumarin. Normalnya, thrombin melakukan regulasi mandiri

  • untuk membentuk dirinya sendiri melalui aktivasi APC (inaktivasi fVa dan fVIIIa)

    setelah berikatan dengan thrombomodulin endotelial (gambar 4), namun penurunan

    yang drastis pada protein C dapat mengakibatkan pembentukan thrombin yang tak

    terkendali. Gangren ekstremitas dan nekrosis kulit merupakan salah satu komplikasi

    thrombosis serius dari coumarin. Penggunaan coumarin tidak direkomendasikan pada

    fase akut thrombosis (seperti pada heparin-induced thrombocytopenia [HIT]) dan

    induksi coumarin harus ditimpali oleh heparin (jika tidak ada kontraindikasi) atau

    direct thrombin inhibitor (DTI) untuk menekan aktivitas thrombin residual.

    Coumarin cukup efektif untuk antikoagulasi pada pasien yang memiliki katup jantung

    prostetik, fibrilasi atrial, dan stroke iskemik. Seringkali sulit untuk mempertahankan

    kisaran terapeutik coumarin (INR 2.0-4.0), karena metabolisme coumarin dipengaruhi

    oleh faktor genetika, berbagai jenis medikasi, dan diet. Perdarahan gastrointestinal

    dan traktus urinarius terjadi pada 6.5% pasien coumarin tiap tahunnya, sedangkan

    perdarahan intrakranial, yang merupakan komplikasi paling serius, terjadi pada 1%

    pasien tiap tahunnya. Penatalaksanaan coumarin pada pasien yang menjalani

    pembedahan cenderung lebih sulit karena pemulihan fungsi hemostatik butuh waktu

    beberapa hari, dan perdarahan atau thrombosis tetap dapat terjadi. Warfarain pada

    umumnya dihentikan dalam 4 hari sebelum memulai pembedahan untuk

    menormalisasi INR ketika operasi. Penggunaan vitamin K saja, tidak cukup untuk

    membalikkan efek coumarin secara akut karena onset aksinya yang lambat (4-6 jam

    setelah pemberian secara IV). Fresh frozen plasma (FFP) paling sering digunakan

    untuk tujuan ini di AS, namun dosis 30 mL/kg dibutuhkan untuk mencapai kadar

    hemostatik faktor pendukung vitamin K. Faktor pendukung vitamin K dapat

    ditemukan di negara-negara Eropa (yang dikenal juga sebagai konsentrat kompleks

    prothrombin, yang saat ini belum disetujui penggunaannya di AS). Konsentrat ini

    membutuhkan volume besar dan waktu yang banyak untuk dapat bekerja pada pasien

    yang menjalani operasi beresiko tinggi.

  • Gambar 7: Regulasi fibrinolisis. Fibrin menghasilkan residu lysine yang bermuatan

    positif, yang menjadi tempat ikatan tissue plasminogen activator (tPA) dan

    plasminogen (Plg), yang mana ikatan ini menghasilkan plasmin (Plm) pada fibrin.

    Plasminogen activator inhibitor-1 (PAI-1) menghambat tPA. Thrombin (fIIa)

    menimbulkan efek antifibrinolitik dengan cara mengaktivasi Faktor XIII dan

    thrombin-activatable fibrinolysis inhibitor (TAFI). fXIIIa berikatan dengan 2-

    antiplasmin (inhibitor plasmin) dan TAFI pada residu lysine. TAFI yang teraktivasi

    (TAFIa) memecah residu lysine (tempat ikatan plasminogen) dari fibrin, dan

    mengurangi aktivasi plasmin.

    Heparin, LMWH, dan Fondaparinux.

    Heparin merupakan suatu campuran glycosaminoglycan yang berat molekulnya

    beragam (3000-30.000 Da). Heparin memiliki efek antikoagulan jika berikatan

    dengan AT, yang bersirkulasi dalam konsentrasi yang lebih tinggi (150 g/mL, 2.6

    M) jika dibandingkan dengan prothrombin (90 g/mL, 1.4 M) maupun Faktor X

    (10 g/mL, 0.17 M). Fraksi molekul heparin besar dapat mengkatalisis interaksi 1:1

    antara AT dan thrombin, sedangkan fraksi molekul heparin kecil mengkatalisis

    interaksi antara AT dan Faktor Xa (fXa). Meskipun memiliki efek antikoagulan, ada

    beberapa keterbatasan heparin, seperti waktu paruhnya yang singkat (30-90 menit)

    setelah injeksi IV, farmakokinetikanya yang sulit diprediksi jika diberikan secara

    subkutan, hipersensitivitas, dan thrombositopenia. LMWH tersusun atas fraksi

    heparin yang rantai molekulnya lebih pendek (4000-6000 Da). Jika dibandingkan

  • dengan heparin tak terfraksinasi, LMWH dan fondaparinux memiliki keunggulan

    bioavaibilitas, waktu paruh yang lebih panjang (3-6 jam), jarang menimbulkan HIT,

    dan efek samping perdarahan mayor-nya lebih minimal. Sehingga, LMWH dan

    fondaparinux lebih sering digunakan untuk mengatasi DVT (deep vein thrombosis)

    pada pasien perioperatif (Tabel 4).

    LMWH cenderung lebih selektif terhadap fXa jika dibandingkan dengan heparin

    karena unit sakarida yang lebih panjang dibutuhkan untuk menjembatani thrombin

    (Exosite II) dan AT. Fondaparinux merupakan suatu LMWH sintetis yang berikatan

    dengan lima unit sakarida (pentasakarida). AT yang berikatan dengan fondaparinux

    hanya menghambat fXa. Obat ini sangat efektif dalam menghambat prokoagulan fXa.

    Namun, PT dan aPTT tidak sensitif dalam memantau terapi LMWH dan

    fondaparinux karena produksi fXa yang suprafisiologis dalam PT/aPTT. Pemeriksaan

    aktivitas anti-fXa spesifik dibutuhkan untuk mengukur efek antikoagulasi LMWH

    dan fondaparinux. Meskipun komplikasi perdarahan hebat jarang ditemukan pada

    penggunaan LMWH dan fondaparinux jika dibandingkan dengan heparin, aktivitas

    anti-Xa AT yang ditimbulkan oleh senyawa ini tidak dapat dibalikkan efeknya secara

    cepat oleh protamine sulfate. Resiko perdarahan dapat meningkat jika obat-obatan ini

    tidak dihentikan dalam 12-24 jam sebelum dilakukannya prosedur invasif. Tidak

    seperti heparin, LMWH lebih banyak diekskresikan pada ginjal dan penurunan dosis

    LMWH harus dipertimbangkan untuk mencegah komplikasi perdarahan pada pasien

    yang memiliki bersihan creatinine < 30 mL/menit.

    Heparin dan derivatnya sangat berguna dalammencegah thrombosis akut dan kronik,

    namun karena ketergantungannya pada AT, suatu SERPIN endogen, maka hal ini bisa

    menimbulkan masalah. Khasiat heparin dapat menurun jika aktivitas AT mengalami

    penurunan (

  • berhubungan dengan kadar AT yang rendah antara lain kehamilan, luka bakar berat,

    disfungsi hati, sindrom nefrotik, sepsis, dan penggunaan estrogen, atau L-

    asparaginase. Heparin berikatan dengan beberapa protein plasma seperti platelet

    factor 4 (PF4, suatu chemokine yang dilepaskan dari platelet). Pada sekitar 50%

    pasien yang mendapatkan heparin selama bedah jantung, dapat ditemukan antibodi

    IgG yang melawan kompleks heparin-PF4. Pada sejumlah pasien yang menjalani

    bedah jantung (1%-3%), dapat terjadi suatu kondisi thrombositopenia dan keadaan

    prothrombosis, yang disebut juga dengan HIT. Insidensi HIT (5%) cenderung lebih

    banyak ditemukan pada pasien bedah ortopedi yang mendapatkan heparin untuk

    thromboprofilaksis selama lebih dari 2 minggu. In vivo, kompleks PF4-heparin pada

    permukaan platelet dapat mengaktivasi platelet dengan cara berikatan silang pada

    reseptor Fc-gamma-RIIa sehingga hal ini menimbulkan mobilisasi kalsium (gambar

    5). Proses ini mengakibatkan pelepasan isi granul platelet dan mikropartikel

    prokoagulan, yang mendukung pembentukan thrombin. Dengan demikian, HIT

    merupakan suatu kondisi prokoagulan, meskipun sebenarnya terjadi thrombositopenia

    (50-60 x 103 mm

    -3). Jika HIT dicurigai terjadi dan ditemukan titer antibodi HIT,

    maka heparin dan LMWH haus dihentikan dan penggunaan DTI dapat

    dipertimbangkan. Jika riwayat HIT sudah lama (>3 bulan) dan titer antibodi masih

    rendah, maka lebih aman memberikan heparin, terutama untuk prosedur operasi

    pintasan jantung (cardiac bypass). Hal ini karena respon imunitas HIT tidak

    berhubungan dengan respon anamnestik.

    Inhibitor langsung pada thrombin (Direct thrombin inhibitor)

    Setelah terjadinya aktiviasi proteolitik oleh fXa, thrombin berikatan secara cepat

    dengan platelet dan fibrinogen melalui Exosite I (lokasi ikatan anion, gambar 6).

    Thrombin mengaktivasi platelet dengan memecah reseptor PAR1 dan PAR4 pada

    permukaan platelet dan menghasilkan fibrin dengan cara melepaskan Fibrinopeptide

  • A dan B. DTI berkompetisi dengan platelet dan fibrinogen untuk berikatan dengan

    thrombin Exosite I dan/atau lokasi katalitik (Tabel 4; Gambar 6). Argatroban

    merupakan salah satu lokasi katalitik inhibitor thrombin, sedangkan bivalirudin dan

    lepirudin merupakan inhibitor bivalen yang mengikat Exosite I dan lokasi aktif

    (gambar 6). DTI memiliki efek antikoagulan yang tidak bergantung pada AT endoten,

    dan agen ini ini memiliki ukuran molekul yang lebih kecil jika dibandingkan dengan

    heparin (Tabel 4). Dengan demikian, DTI menghambat ikatan thrombin pada fibrin,

    sedangkan kompleks heparin-AT tidak melakukannya. Indikasi penggunaan DTI

    antara lain antikoagulan untuk HIT, intervensi perkutaneus koroner, dan untuk

    kondisi kontraindikasi heparin (seperti pada kasus alergi heparin).

    DTI memiliki efek antithrombik yang poten di arteri dan vena dengan cara

    menghambat thrombin agar tidak mengaktivasi platelet, Faktor V, dan VIII. Pada

    pasien HIT, DTI efektif dalam mengurangi komplikasi thrombosis seperti hilangnya

    ekstremitas. Komplikasi perdarahan penggunaan DTI merupakan salah satu hal yang

    dikhawatirkan dari penggunaan DTI karena saat ini belum ada antidot untuk DTI.

    Penyesuaian dosis berdasarkan aPTT merupakan hal yang penting dalam mengurangi

    komplikasi perdarahan jika inhibitor bivalen digunakan pada pasien gangguan ginjal.

    Argatroban membutuhakn penurunan dosis pada pasien yang mengalami insufisiensi

    hepatis.

    Perbedaan berat molekul pada beberapa jenis DTI memiliki implikasi klinis.

    Antikoagulan DTI harus dipantau dengan aPTT, diharapkan agar aPTT tetap

    dipertahankan pada batasan dua hingga tiga kali lipat dari nilai normal. Meskipun

    lepirudin dan argatroban digunakan pada konsentrasi yang sama pada HIT tunggal,

    konsentrasi milar argatroban cenderung lebih tinggi dari lepirudin. Pemanjangan PT

    yang timbul akibat inhibisi thrombin yag berlebihan, cenderung lebih sering

    ditemukan pada argatroban jika dibandingkan dengan lepirudin meskipun berada

    pada kadar terapeutik. Pemeriksaan fibrinogen dengan menggunakan metode Clauss

    juga cenderung lebih rendah jika dibandingkan dengan lepirudin karena penambahan

  • reagen bovine akan dihancurkan oleh lebih banyak molekul argatroban meskipun

    masih dalam kadar terapeutik.

    Meskipun menjadi obat inhibitor thrombin oral pertama, ximelagatran ditarik dari

    pasar karena obat ini berhubungan erat dengan disfungsi hati, sedangkan obat DTI

    oral dan IV terbaru hingga saat ini masih dalam tahap percobaan klinis. Golongan

    obat baru yang merupakan inhibitor faktor Xa (seperti rivaroxaban dan apixaban)

    merupakan obat-obatan yang paling maju perkembangannya. Perbedaan golongan

    antara anti-Xa dan DTI dapat memberikan keleluasaan pada kita untuk memiliki

    terapi antithrombotik sesuai profil farmakokinetika, jenis intervensi, dan kondisi yang

    mendasari.

    Obat-obatan Fibrinolitik

    Intervensi akut dengan obat-obatan fibrinolitik dapat menyelamatkan hidup pasien

    yang mengalami emboli paru-paru, stroke iskemia (seperti oklusi arteri serebri

    media), dan pasien yang mengalami infark myokardial akut tanpa harus melakukan

    intervensi perkutaneus koroner. Komplikasi perdarahan (5%-30%) dapat terjadi jika

    fibrinolitik diinjeksikan secara sistemik maupun secara langsung ke arteri yang

    terserang oklusi. Saat ini fibrinolitik yang tersedia antara lain streptokinase,

    urokinase, dan tPA. Obat-obatan ini mengaktivasi plasminogen menjadi plasmin,

    suatu protease serine yang mendegradasi fibrin (ogen) dan Faktor V dan VIII. Di

    praktek klinis, tPA merupakan jenis obat yang paling sering digunakan karena efek

    katalitiknya yang terlokalisasi pada aktivasi plasminogen jika terdapat fibrin. Aliran

    darah ke thrombus merupakan hal yang vital dalam penghantaran tPA, sehingga

    aktivasi fibrinolisis yang terlokalisasi melalui pemberian obat lewat kateter dianggap

    lebih baik jika dibandingkan dnegan pemberian sistemik.

    Fibrinolisis yang terinduksi oleh tPA biasanya diatur oleh inhibitor protease. PAI-1

    merupakan suatu inhibitor protease serine yang disintesis dalam hati dan

    endothelium, dan ekspresinya meningkat pada kondisi inflamasi. PAI-1 berikatan

  • dengan cepat pada tPA di plasma , saat berikatan, tPA mengalami netralisasi; PAI-1

    juga menghambat urokinase namun tidak pada streptokinase. Plasminogen dan tPA

    berikatan pada residu lysine yang bermuatan positif pada permukaan fibrin. Pada

    sirkulasi sistemuk, plasmin dihambat dengan cepat oleh 2-antiplasmin, namun

    plasmin yang berikatan dengan fibrin cenderung lebih resisten terhadap 2-

    antiplasmin (gambar 7). Thrombin memodulasi aktivasi fibrinolitik dengan cara

    mengaktivasi FXIIIa dan TAFI. Faktor XIII bersirkulasi dalam bentuk heterotetramer

    yang terdiri atas dua subunit A dan dua subunit B (platelet juga mengandung subunit

    A Faktor XIII dalam sitoplasmanya). Monomer fibrin mengalami ikatan silang

    dengan subunit A aktif dari Faktor XIIIa, yang membuat fibrin lebih resisten dari

    berikatan dengan 2-antiplasmin dan TAFI pada fibrin. konsentrasi thrombin lokal

    yang tinggi (sekitar 150 nM) dapat tercapai karena aktivasi TAFI, dan aktivasi TAFI

    akan memecah residu lisin dari permukaan fibrin, sehingga hal ini mencegah ikatan

    tPA dan plasminogen.

    APC dan Thrombomodulin

    Pada orang sehat, pembentukan thrombin untuk hemostasis terjadi secara lokal karena

    aktivitas antikoagulan pada sel endotelial dapat menghambat pelepasan sistemik

    thrombin dan protease prokoagulasi lainnya. APC merupakan protease serine yang

    unik karena memiliki sifat antikoagulan dan antiinflamasi. Protein C zimogen APC

    bersirkulasi dalam plasma dengan konsentrasi 4-5 g/mL (0.08 M) dan diaktivasi

    secara proteolitik oleh thrombin. Dalam thrombus, tingkat aktivasi protein C

    mengalami keterbatasan karena kadar fibrinogen plasma yang tinggi (2500 g/mL,

    7.6 M), sehingga fibrinogen yang lebih banyak dipecahkan oleh thrombin. Namun,

    ketika thrombin bebas berikatan dengan thrombomodulin endothelial, protein C dapat

    teraktivasi oleh APC karena thrombodulin memblokade ikatan antara fibrinogen

    dengan thrombin Exosite I (gambar 4 dan 6). APC menginaktivasi Faktor Va dan

    Faktor VIIIa, dua kofaktor yang penting dalam pembentukan thrombin (gambar 2B).

    fungsi Protein S adalah sebagai kofaktor untuk aktivitas enzimatik APC. Kadar

  • Protein C yang sangat rendah berhubungan erat dengan thrombosis, seperti pada

    kasus purpura fulminans dan nekrosis kulit yang terinduksi oleh warfarin. Percobaan

    acak prospektif mengenai APC pada pasien yang mengalami sepsis berat

    menunjukkan bahwa APC dapat menurunkan tingkat kegagalan organ dan tingkat

    kematian. Perbaikan tingkat bertahan hidup pada pasien sepsis terjadi karena adanya

    efek antiinflamasi (bukannya efek antikoagulan) APC. Peranan antiinflamasi APC

    dimediasi oleh inaktivasi reseptor protein C endotelial, sehingga hal ini memicu

    sinyal sitoprotektif intraseluler.

    Kesimpulan

    Koagulasi darah memainkan peranan penting dalam menjaga agar tidak terjadi

    kehilangan darah dan dalam proses perbaikan pembuluh darah yang cedera (luka).

    Seiring dengan bertambahnya usia, cedera vaskuler dapat terjadi melalui berbagai

    proses penyakit (seperti atherosklerosis, diabetes), yang mana hal ini dapat

    mengakibatkan aktivasi yang tidak perlu pada respon prokoagulan dan proinflamasi,

    sehingga hal mengakibatkan oklusi vaskuler thrombotik. Beberapa jenis obat

    antithrombotik dan antiplatelet telah berhasil dikembangkan untuk mencegah

    komplikasi vaskuler pada pasien yang rentan dengan menggunakan teknik sintesis

    kimiawi dan perancangan biomedis. Namun, penatalaksanaan hemostatik perioperatif

    semakin meningkatkan komplikasi karena adanya kebutuhan untuk mengurangi

    perdarahan tanpa menimbulkan komplikasi thrombosis. Meskipun begitu,

    pemahaman kita mengenai sistem koagulasi telah mengalami perkembangan yang

    pesat dalam beberapa abad terakhir, dan perkembangan teknologi juga telah

    menghasilkan sistem pemeriksaan koagulasi yang lebih terspesialisasi, sehingga kita

    dapat memantau berbagai fase koagulasi darah. Termasuk pemeriksaan fungsi platelet

    (agregasi), thrombelastography/metry, dan pemeriksaan pembentukan thrombin yang

    terkalibrasi. Pemantauan koagulasi akan menjadi topik yang penting di masa depan

    karena intervensi hemostatik semakin mengalami peningkatan seiring dengan adanya

    penggunaan konsentrat faktor rekombinan, yang merupakan tambahan untuk terapi

  • konvensional yang sudah ada sebelumnya, seperti fresh frozen plasma (FFP) dan

    kryopresipitat. Validasi dan penggunaan alat pemantau koagulasi akan dapat

    membantu kita dalam meningkatkan pemahaman dan penatalaksanaan mengenai cara

    menyeimbangkan fungsi hemostatik dan antithrombotik dalam koagulasi darah.