jurnal ilmiah “pengaturan restitusi kepada korban...
TRANSCRIPT
1
JURNAL ILMIAH
“PENGATURAN RESTITUSI KEPADA KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) (Studi Putusan Nomor
50/PID.B/2018/PN.BIT Dan Putusan Nomor 1507 K/PID/SUS/2016)”.
Oleh :
MUTIA AYU RAHMAN
D1A014238
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS MATARM
MATARAM
2019
2
Halaman Pengesahan Jurnal Ilmiah
“PENGATURAN RESTITUSI KEPADA KORBAN TINDAK PIDANA
PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG
NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK
PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) (Studi Putusan Nomor
50/PID.B/2018/PN.BIT Dan Putusan Nomor 1507 K/PID/SUS/2016)”.
Oleh :
MUTIA AYU RAHMAN
D1A014238
Menyetujui,
Mataram 13 Februari 2019
Pembimbing Pertama,
Prof.Dr.Hj. Rodliyah, SH.,MH NIP. 19560705 198403 2 001
3
“PENGATURAN RESTITUSI KEPADA KORBAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG BERDASARKAN UNDANG-UNDANG NOMOR 21 TAHUN 2007 TENTANG PEMBERANTASAN TINDAK PIDANA PERDAGANGAN ORANG (PTPPO) (Studi Putusan Nomor 50/PID.B/2018/PN.BIT dan Putusan Nomor 1507 K/PID/SUS/2016)”.
MUTIA AYU RAHMAN D1A014238
FAKULTAS HUKUM UNIVESITAS MATARAM
ABSTRAK
Pemberian hak kepada korban perdagangan orang tidak diberikan sebagaimana mestinya, terutama hak restitusi. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perlindungan hukum bagi korban terkait pemberian restitusi. Metode penelitian yang digunakan adalah Normatif. Ada 3 pendekatan yang digunakan, yaitu pendekatan kasus, pendekatan perundang-undang dan pendekatan konseptual. Sumber bahan hukum adalah keputusan hukum, jenis bahan hukum yang digunakan adalah bahan hukum primer, sekunder dan tersier. penelitian di analisis menggunakan metode deskriptif. Hasil penelitian dapat disimpulkan bahwa kasus perdagangan orang korban berhak untuk mendapatkan perlindungan hukum dalam memperoleh restitusi, karena dalam undang-undang telah di nyatakan tentang kewajiban memperoleh restitusi sebagaimana di rumuskan Pasal 48 ayat 1 dari Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Perdagangan Orang.
Kata Kunci : Perdagangan Orang, Korban, Restitusi. " Restitution Arrangements To Victims Of Criminal Action Of People Trade Based On Law Number 21 OF 2007 Concerning Eradication Of Criminal Action Of People (PTPPO) (Study of Decision Number 50 / PID.B / 2018 / PN.BIT and Decision Number 1507 K / PID / SUS / 2016) ".
ABSTRACT
The granting of rights to victims of trafficking is not given as it should, especially the right to restitution. This study aims to determine the legal protection for victims related to the provision of restitution. The research method used is Normative. There are 3 approaches used, namely the case approach, the legislative approach and the conceptual approach. Sources of legal materials are legal decisions, the types of legal materials used are primary, secondary and tertiary legal materials. research in the analysis using descriptive methods. The results of the study can be concluded that the case of trafficking of victims is entitled to legal protection in obtaining restitution, because in the law it has been stated about the obligation to obtain restitution as stated in Article 48 paragraph 1 of Law Number 21 Year 2007 concerning Trafficking in Persons.
Keywords: Human Trafficking, Victim, Restitution
i
I. PENDAHULUAN
Pengertian menurut Pasal 1 Ayat 1 Undang-Undang No 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (PTPPO) menyatakan
bahwa:
Tindak Pidana Perdagangan Orang merupakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan. Penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan hutang atau pemberian bayaran atau manfaat sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antarnegara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi”.1
Dalam pelaksanaan sering terjadi didalam pemberian restitusi kepada
korban tindak pidana perdagangan orang dalam kasus Putusan Nomor
50/PID.B/2018/PN.BIT yang putusannya hakim menyatakan tidak memberikan
restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang dan pada kasus Putusan
Nomor 1507 K/PID.SUS.2016 yang di dalam putusan tersebut hakim menyatakan
memberikan restitusi kepada korban kejahatan tindak pidana perdagangan orang.
mengingat bahwa restitusi ini adalah bagian dari pemberian perlindungan hukum
terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dari pemerintah ataupun
Negara dan merujuk pada undang-undang tindak pidana perdagangan orang dalam
Pasal 48 tentang pemberian restitusi dimana setiap korban tindak pidana
perdagangan orang berhak mendapatkan restitusi.
1 Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal.1
ii
Pokok permasalahan dalam penyusunan skripsi ini adalah Bagaimana
pengaturan restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dalam
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang dan Bagaimana pertimbangan hakim dalam pemberian
restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang dalam Putusan Nomor
50/PID.B/2018/PN.BIT Dan Putusan Nomor 1507 K/Pid.Sus/2016. Penelitian ini
bertujuan Tujuan penelitian Untuk mengetahui pengaturan pemberian restitusi
didalam Undang-Undang Nomor 21 tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak
Pidana Perdagangan Orang dan Untuk mengetahui pertimbangan hakim dalam
menjatuhkan putusan pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana
perdagangan orang didalam Putusan Nomor 50/Pid.B/2018/Pn.Bit Dan Putusan
Nomor 1507 K/Pid.Sus/2016. Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian
hukum normatif.
iii
II. PEMBAHASAN
Pengaturan Restitusi Menurut Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pengertian Tindak Pidana Perdagangan Orang .
Pengertian perdagangan orang menurut Undang-Undang Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang
Pasal 1 Ayat 1 ialah:
Tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekerasan, atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan dalam negara meupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.”2
Dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, pengertian eksploitasi
dalam tindak pidana perdagangan orang di jelaskan dalam Pasal 1 angka 7
yang menyebutkan bahwa:
Eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi, tetapi tidak terbatas pada perbudakan, pelacuran, atau praktik serupa perbudakan, kerja atau pelayanan paksa, pemanfaatan fisik, penindasan, pemerasan, organ reproduksi, seksual, atau secara melawan hukum. Mentranspalasi atau memindahkan organ dan/atau jaringan tubuh, atau kemampuan seseorang atau tenaga seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik bersifat materil maupun immateril.3
2 Indonesia, Unda Ng-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 Ayat 1 3 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan, Pasal 1 Angka 7
iv
Dengan adanya pengertian tindak pidana dan pengertian Tindak
pidana perdagangan orang diatas maka dapat dipahami menurut Heri
Santoso bahwa Tindak pidana perdagangan orang merupakan suatu bentuk
perbuatan melawan hukum yang di lakukan oleh orang, perseorangan atau
badan hukum yang melakukan perekrutan, pengiriman, penampungan,
pemindahan, atau penerimaan seorang dengan ancaman atau penggunaan
kekerasan atau bentuk-bentuk lain dari pemaksaan, penculikan, penipuan,
penjeratan utang sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang
memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan didalam
negara maupun antar negara, demi tujuan eksploitasi, sehingga perbuatan
yang dilakukan tersebut dapat dikenakan saksi pidana sesuai dengan
ketentuan perundang-undangan yang berlaku.4
Unsur-unsur Tindak Pidana Perdagangan Orang
Dengan adanya pengertian dari pedagangan orang di dalam Pasal
1 Angka 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, maka tindak pidana
perdagangan orang dapat terjadi dalam 3 bentuk unsur, sebagai berikut :1.
Proses yang dilakukan pelaku yaitu memindahkan korban jauh dari
komunitasnya, dengan merekrut, mengangkut. Mengirim, atau menerima.
2. Cara yang dilakukan pelaku yaitu dengan mengancam, menggunakan
kekerasan, penculikan, penipuan, penyekapan, pemalsuan,
penyalahgunaan kekuasaan/posisi rentan, atau jeratan hutang untuk dapat
4 Heri Santoso, Op.Cit., Hlm. 31
v
mengendalikan korban, sehingga dapat melakukan pemaksaan atas
kehendak pelaku. 3. Tujuanya adalah mengeksploitasi untuk keuntungan
finansial pelaku yang di hubungkan dengan prostitusi, mengurung korban
dengan cara kekerasan fisik atau psikologis (kerja paksa), perbudakan
dimana hal ini juga dapat berarti atau pemanfaatan transplantasi organ
tubuh.5
Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang Pasal 1 angka 13
menyebutkan ;
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan
kepada pelaku berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap atas
kerugian materiil dan atau yang diderita korban atau ahli warisnya.6
Korban Tindak Pidana Perdagangan Orang
Korban merupakan individu atau kelompok yang menderita secara
fisik, mental, dan sosial karena tindakan kejahatan. Secara yuridis,
pengertian korban dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang
Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang
Perlindungan Saksi dan Korban.
Menurut Arief Gosita yang dimaksud dengan korban ialah: Mereka yang
menderita jasmani dan rohaniah sebagai akibat tindakan orang lain yang
mencari pemenuhan kepentingan diri sendiri atau orang lain.
5 Farhana, Op.Cit., Hlm. 21 6 Yulia, Rena. 2011.Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Edisi 2. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, Graha Ilmu,Hlm,18.
vi
Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang diatur dalam Pasal 1
Angka 3 bahwa “korban adalah seseorang yang mengalami penderitaan
psikis, mental, fisik, seksual, ekonomi, dan/atau sosial, yang diakibatkan
tindak pidana perdagangan orang. 7
Bentuk-Bentuk Perlindungan Hukum
Perlindungan hukum korban kejahatan sebagai bagian dari
perlindungan masyarakat, dapat diwujudkan dalam berbagai bentuk,
seperti melalui pemberian restitusi dan kompensasi, pelayanan medis, dan
bantuan hukum.8 Perbedaan antara kompensasi dan restitusi adalah
“kompensasi timbul dari permintaan korban, dan dibayar oleh masyarakat
atau merupakan bentuk pertanggungjawaban dari negara (The responsivble
of the society), sedangkan restitusi lebih bersifat pidana, yang timbul dari
putusan pengadilan pidana dan di bayar oleh terpidana atau merupakan
wujud pertanggungjawaban terpidana.9
Menurut Muchsin, perlindungan hukum merupakan suatu hal yang
melindungi subyek-subyek hukum melalui peraturan perundang-undangan
yang berlaku dan di paksakan pelaksanaanya dengan suatu sanksi. Bentuk
perlindungan hukum dapat di bedakan menjadi dua, yaitu:
7 Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tinak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 1 Angka 3
8 Dikdik.M. Arief Mansyur, Urgensi Perlindungan Korban Kejahatan Antara Norma Dan Realita, Pt. Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2007, Hlm. 31
9 Stephen Schafer, The Victim And Criminal, New York:Random House , 1968, Hlm.112
vii
1. Perlindungan Hukum Preventif perlindungan yang diberikan oleh pemerintah dengan tujuan untuk
mencegah sebelum terjadinya pelanggaran. Hal ini terdapat dalam
peraturan perundang-undangan dengan maksud untuk mencegah suatu
pelanggaran serta memberikan rambu-rambu atau batasan-batasan dalam
melakukan suatu kewajiban.
2. Perlindungan Hukum Represif
perlindungan hukum represif merupakan perlindungan akhir berupa sanksi
seperti denda, penjara, dan hukuman tambahan yang di berikan apabila
sudah terjadi sengketa atau telah di lakukan suatu pelanggaran.10
Restitusi
Restitusi atau ganti kerugian merupakan biaya yang di bayarkan oleh
seseorang karena adanya kerugian yang di derita oleh orang lain secara
ekonomi.11
Di dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang
Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang pasal Pasal 1 angka 13
menyebutkan ;
Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada
pelaku berdasarkan putusan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian
materiil dan/atau yang diderita korban atau ahli warisnya.12
10 Henny Nuraeny, Tindak Pidana Perdagangan Orang, Kebijakan Hukum Pidana Dan
Pencegahannya, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, Hlm 143 11 Farhana,Op.Cit., Hlm. 32 12 Yulia, Rena. 2011.Viktimologi Perlindungan Hukum Terhadap Korban Kejahatan Edisi 2. Graha Ilmu, Yogyakarta, 2011, Graha Ilmu,Hlm,18.
viii
Salah satu dasar pertimbangan diundangkannya Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang, karena selama ini peraturan yang berkaitan dengan
perdagangan orang belum memberikan landasan hukum yang menyeluruh
dan terpadu bagi pemberantasan tindak pidana perdagangan orang.
Diundangkannya Undang-undang ini, maka penanganan perkara tindak
pidana perdagangan orang berlandaskan pada pasal dalam Undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007, termasuk perlindungan terhadap hak-hak korban
perdagangan orang.
Restitusi sebagai bentuk ganti rugi kepada korban, menurut
ketentuan Pasal 48 ayat (2) Undang Undang Nomor 21 Tahun 2007 berupa
ganti kerugian atas :13
a. Kehilangan kekayaan atau penghasilan. b. Penderitaan. c. Biaya untuk tindakan perawatan medis dan atau psikologis
dan/atau. d. Kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan
orang yang meliputi: 1) kehilangan harta kekayaan; 2) biaya transportasi dasar; 3) biaya pengacara atau biaya lain yang berhubungan dengan proses
hukum; 4) kehilangan penghasilan yang dijanjikan pelaku.
permohonan restitusi tersebut dapat mengadopsi ketentuan dalam
Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 21 Tahun 2007:
Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban
melaporkan kasus yang dialaminya kepada Kepolisian Negara Republik
13 Muhadar, Edi Abdullah Dan Husni Thamrin, Perlindungan Saksi & Korban Dalam Sistem Peradilan Pidana, Putra Media Nusantara, Surabaya, 2009, Hal,20.
ix
Indonesia setempat, dan ditangani oleh penyidik bersamaan dengan
penanganan tindak pidana yang dilakukan. Penuntut umum
memberitahukan kepada korban tentang haknya untuk mengajukan
restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah kerugian
yangdiderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang bersamaan
dengan tuntutan.Mekanisme ini tidak menghilangkan hak korban untuk
mengajukan sendiri gugatan atas kerugiannya.14
Bagaimana pertimbangan hakim dalam menjatuhkan putusan mengenai
pemberian restitusi terhadap korban tindak pidana perdagangan orang
dalam Putusan Nomor 50/PID.B/2018/PN.BIT Dan Putusan Nomor 1507
K/Pid.Sus/2016
Dalam perkara putusan nomor 50/Pid.B/2018/Pn.Bit terdapat disparitas
pidana (Disparity Of Sentenceing) dalam hal ini adalah penerapan pidana yang
tidak sama (Same Offence) tanpa dasar yang jelas yang berarti hakim tidak
memenuhi peraturan perundang-undangan yang tertera dalam undang-undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Maka di sini kita dapat melihat contoh salah satu hak korban yang
seharusnya diperoleh haknya tetapi oleh hakim tidak di berikan. Pada
umumnya kita mengetahui bahwa korban adalah pihak yang paling di rugikan
baik secara fisik maupun psikologis. seperti contoh salah satu kasus di atas
yang seharusnya korban peroleh restitusi tetapi tidak di berikan. Sedangkan
hak restitusi ini wajib di berikan kepada korban (korban berhak untuk
14 Indonesia, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang, Pasal 48.
x
mendapatkanya) dan hak restitusi ini telah di atur dalam Undang-Undang
Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan
Orang. Undang-undang tersebut mencantumkan restitusi tersebut untuk
memberikan keringanan terhadap korban, undang-undang tersebut juga
sampai mengatur bagi pelaku yang tidak mampu membayar di kenakan sanksi
seperti di sebutkan dalam Pasal 50 ayat 4 yang menyatakan :
Pasal 50 ayat 4.
Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana
kurungan pengganti paling lama 1 (satu) tahun.
Berarti sudah sangat di tekankan kepada para pelaku bahwa hak restitusi
korban ini wajib di berikan kepada korban sebagaimana menurut Undang-
Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Tindak Pidana Perdagangan Orang.
xi
III. PENUTUP
Kesimpulan
Berdasarkan hasil pembahasan skripsi yang penyusun tulis mengenai
pemberian restitusi kepada korban tindak pidana perdagangan orang
berdasarkan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang (Study Putusan Nomor 1507
K/Pid.Sus/2016 Dan Nomor 50/Pid.B/2018/Pn.Bit), maka penyusun dapat
mengambil kesimpulan Bahwa korban berhak memperoleh restitusi, karena
telah di cantumkan di dalam peraturan perundang-undangan yang di
rumuskan dalam Pasal 48 Ayat 1 Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007
Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang.
Mekanisme pengajuan restitusi dilaksanakan sejak korban melaporkan
kasus yang dialaminya kepada Kepolisian setempat dan ditangani oleh
penyidik. Penuntut umum memberitahukan kepada korban tentang haknya
untuk mengajukan restitusi, selanjutnya penuntut umum menyampaikan jumlah
kerugian yang diderita korban akibat tindak pidana perdagangan orang.
Berdasarkan hasil penelitian yang di lakukan penyusun terhadap Putusan
Perkara Nomor 1507 K/Pid.Sus/2016 Dan 50/Pid.B/2018/PN.BIT. Bahwa
dalam Perkara Nomor 50/Pid.B/2018/PN.BIT terjadi disparitas pidana dalam
hal ini adalah penerapan pidana yang tidak sama. sedangkan 2 (dua) putusan
yang penyusun teliti adalah perkara yang sama dalam undang-undang yang
sama yaitu Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 Tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Perdagangan Orang.
xii
SARAN
Adapun saran yang mungkin bermanfaat yang penyusun sampaikan pada
BAB akhir skripsi ini semoga bermanfaat sebagai masukan di antaranya:
1.Perlunya memberikan pendidikan dan penyuluhan baik formal maupun non-
formal secara bersinambungan mengenai tindak pidana perdagangan orang dan
adanya restitusi terhadap korban, agar masyarakat sadar hukum dan menaati
peraturan yang berlaku. 2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 21
Tahun 2007 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang , Pasal
2 Ayat 1 sebagai salah satu bentuk hukum yang dihasilkan oleh pakar yang
mestinya tidak hanya di pahami sebatas wacana hukum akan tetapi perlu di
jadikan ketegasan dalam menegakan hukum dalam penjatuhan hukuman dari
kejahatan-kejahatan yang ada. 3. Perlunya dibuat peraturan perundang-
undangan tersendiri terkait mekanisme restitusi mulai dari penyidikan,
penuntutan, dan hakim sehingga penegak hukum dapat memberikan
perlindungan secara maksimal dalam upaya pemenuhan restitusi bagi korban
tindak pidana perdagangan orang dan dikumulatifkan pidana pokok dengan
pidana tambahan agar hakim dalam memberi putusan akan terikat oleh pidana
tambahan. 4. Hendaknya hakim mempertimbangkan dan memperhatikan
penderitaan korban dan dalam memutus perkara seluruh hakim seharusnya
memakai pidana tambahan dalam menjatuhkan putusan terhadap pelaku tindak
pidana.
xiii
DAFTAR PUSTAKA
Buku Arief, Barda Nawawi. 2002. Kebijakan Hukum Pidana. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung. .Dirdjosisworo, Soedjono. 2010. Pengadilan Hak Asasi Manusia Indonesia. Citra
Aditya Bakti: Bandung. Effendi, Yazid. 2001. Pengantar Victimologi Rekonsiliasi Korban dan Pelaku
Kejahatan. Penerbit Universitas Jenderal Soedirman: Purwokerto. Farhana. 2010. Aspek Hukum Perdagangan Orang di Indonesia. Sinar Grafika:
Jakarta. Hamzah, Andi. 1986. Perlindungan Hak-Hak Asasi Manusia dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Binacipta: Bandung. Harkrisnowo, Harkristuti. 2003. Indonesia Court Report: Human Trafficking.
Universitas Indonesia, Human Right Center: Jakarta. Kansil, C. S. T dan Christine S. T. KansiL. Pokok-pokok Hukum Pidana. Pradnya
Paramita: Jakarta. Lamintang. 1997. Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia. PT. Citra Aditya Bakti:
Bandung. Mansur, Dikdik Arif dan Elistaris Gultom. 2007. Urgensi Perlindungan Korban
Kejahatan antara Norma dan Realita. PT Raja Grafindo Persada: Jakarta.
Moeljatno. 1987. Asas-Asas Hukum Pidana. Bina Aksara: Jakarta. Muladi. 2000. Hak Asasi Manusia, Politik, dan Sistem Peradilan Pidana. Badan
Penerbit Universitas Diponegoro: Semarang. 1995. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Badan Penerbitan Universitas Diponegoro: Semarang.
Muladi dan Barda Nawawi Arif. 1992. Bunga Rampai Hukum Pidana. PT.
Alumni: Bandung. Mulyadi, Lilik. 2007. Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Kriminologi dan
Viktimologi. Penerbit Djambaran: Jakarta. Prodjodikoro, Wiryono. 2002. Asas-asas Hukum Pidana di Indonesia. PT. Eresco:
Jakarta.
xiv
Rahardjo, Satjipto. 2009. Hukum Progresif. Genta Publishing: Yogyakarta. Rodliyah.2013. Perlindungan Hukum Bagi Perempuan Pelaku Tindak Pidana.
CV. Arti Bumi Intaran: Yogyakarta Sapardjaja, Komariah Emong. 2002. Ajaran Sifat Melawan Hukum Materil dalam
Hukum Pidana, Studi Kasus tentang Penerapan dan Perkembangannya dalam Yurisprudensi. Alumni: Bandung.
Syafaat, Rachmad. Dagang Manusia Kajian Trafficking terhadap Perempuan dan
Anak di Jawa Timur. Lappera Pustaka Utama: Yogyakarta. Waluyo, Bambang. 2011. Viktimologi Perlindungan Korban dan Saksi. Sinar
Grafika: Jakarta. Wibowo, Adhi. 2013. Perlindungan Hukum Korban Amuk Massa, Sebuah
Tinjauan Viktimologi. Thafa Media: Yogyakarta. Yulia, Rena. 2010. Viktimologi Perlindungan Hukum terhadap Korban
Kejahatan. Graha Ilmu: Yogyakarta. Peraturan Perundang-undangan Undang-Undang Dasar NKRI Tahun 1945 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia
(HAM). Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana
Perdagangan Orang. Undang-Undang Nomor 31 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2006 tentang Perlindungan Saksi dan Korban. Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang
Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pemberian Kompensasi,
Restitusi, dan Bantuan kepada Saksi dan Korban. Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2002 tentang Tata Cara Perlindungan
terhadap Korban dan Saksi-Saksi dalam Pelanggaran HAM.