jurnal efisiensi bank

22
*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah **) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 1 Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia * Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta Izza Mafruhah ** Abstract In a industry, mechanism is a result which is influenced by structure and behaviour of its industry while economically mechanism has some aspects that certain it, but the experts more focus un three aspect, those are technology, efficiency and development in distribution. Mechanism in a company is usually measured by economy efficiency that is the comparasion between output that is resulted by input which is used or it can say that economy efficiency will reflect efficient input allocation because a company is always considered to operate in the limit line of production ( efficiency technic ) In a company in this research is the finance institution of bank, it can be said efficient if it uses less input unit compared to input that is produced by other companies to prduce more out put. From the result of the research is get the first conclusion that is the finance institution of bank in Indonesia pasca crisis in 1997 1998 generally has developed quite well, it is proved by the mechanism is rising well in the finance mechanism in each finance institution of the bank. Both public government bank has lower technic of efficiency level compared to the national private and foreign bank. From 13 numbers of sample banks that is researched, there are 3 banks has nit had full efficiency yet those are Bank BNI 46 with efficiency level 84,58%, and then Bank BTN has efficiency level 97,01% while the private bank side ABN AMRO has not reached maximum value with efficiency level 99,82%. Three resources of inefficiency in each bank is from input side Pendahuluan Industri Perbankan di Indonesia telah mengalami pasang surut, dimulai dari tahun 1983 ketika berbagai macam deregulasi muncul sampai dengan krisis ekonomi tahun 1997 1998 yang melanda Indonesia dan berimbas luar biasa bagi bisnis Perbankan. Pada era sebelum Juni 1983, ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral dalam pengaturan pagu kredit dan tingkat bunga terhadap bank bank nasional serta penyediaan likuiditas dalam jumlah yang melimpah. Deregulasi Perbankan tahun 1983 ini mengadung 3 unsur utama yaitu : a. Menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar. b. Bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat c. Mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral ( Bank Indonesia ) dengan cara mengurangi / meniadakan kredit likuiditas. Dengan liberalisasi tersebut diharapkan industri perbankan dapat membuka hambatan yang sebelumnya menimbulkan represi sektor keuangan dan sistem keuangan negara kita. Sejak adanya deregulasi tersebut, industri perbankan maju pesat. Paket deregulasi yang berikutnya adalah pada tanggal 27 Oktober 1988 sehingga dikenal dengan Pakto 1988. Maksud dari deregukasi ini adalah berupaya meningkatkan akses

Upload: zulva-aga-permana

Post on 13-Dec-2014

128 views

Category:

Documents


2 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 1

Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia *

Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta

Izza Mafruhah **

Abstract

In a industry, mechanism is a result which is influenced by structure and behaviour of

its industry while economically mechanism has some aspects that certain it, but the experts

more focus un three aspect, those are technology, efficiency and development in distribution.

Mechanism in a company is usually measured by economy efficiency that is the comparasion

between output that is resulted by input which is used or it can say that economy efficiency

will reflect efficient input allocation because a company is always considered to operate in

the limit line of production ( efficiency technic )

In a company in this research is the finance institution of bank, it can be said

efficient if it uses less input unit compared to input that is produced by other companies to

prduce more out put. From the result of the research is get the first conclusion that is the

finance institution of bank in Indonesia pasca crisis in 1997 – 1998 generally has developed

quite well, it is proved by the mechanism is rising well in the finance mechanism in each

finance institution of the bank. Both public government bank has lower technic of efficiency

level compared to the national private and foreign bank. From 13 numbers of sample banks

that is researched, there are 3 banks has nit had full efficiency yet those are Bank BNI 46 with

efficiency level 84,58%, and then Bank BTN has efficiency level 97,01% while the private

bank side ABN AMRO has not reached maximum value with efficiency level 99,82%. Three

resources of inefficiency in each bank is from input side

Pendahuluan

Industri Perbankan di Indonesia telah mengalami pasang surut, dimulai dari tahun

1983 ketika berbagai macam deregulasi muncul sampai dengan krisis ekonomi tahun 1997 –

1998 yang melanda Indonesia dan berimbas luar biasa bagi bisnis Perbankan. Pada era

sebelum Juni 1983, ditandai dengan campur tangan Bank Indonesia sebagai Bank Sentral

dalam pengaturan pagu kredit dan tingkat bunga terhadap bank – bank nasional serta

penyediaan likuiditas dalam jumlah yang melimpah. Deregulasi Perbankan tahun 1983 ini

mengadung 3 unsur utama yaitu :

a. Menghapus pagu kredit sehingga bank nasional bisa memberikan kredit secara leluasa

sesuai dengan kemampuannya dengan harapan bank dapat berkembang secara wajar.

b. Bank diberikan kebebasan untuk menentukan tingkat suku bunganya sendiri dalam

rangka memobilisasi dana dari dan kepada masyarakat

c. Mengurangi sebanyak mungkin atau meniadakan ketergantungan kepada bank sentral

( Bank Indonesia ) dengan cara mengurangi / meniadakan kredit likuiditas.

Dengan liberalisasi tersebut diharapkan industri perbankan dapat membuka hambatan

yang sebelumnya menimbulkan represi sektor keuangan dan sistem keuangan negara kita.

Sejak adanya deregulasi tersebut, industri perbankan maju pesat.

Paket deregulasi yang berikutnya adalah pada tanggal 27 Oktober 1988 sehingga

dikenal dengan Pakto 1988. Maksud dari deregukasi ini adalah berupaya meningkatkan akses

Page 2: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 2

masyarakat terhadap financial market sambil mendorong perbankan ke arah kompetisi

(persaingan ) yang efisien dan sehat dengan kemudahan dalam mendirikan bank. Oleh karena

itu jumlah bank dan kantor cabang bank semakin banyak, persaingan antar bank secara sehat

ini diharapkan akan menumbuhkan kreatifitas dan inovasi dari masing – masing pengelola

perbankan.

Dengan Pakto 1988 yang memberikan kebebasan dan kemudahan bagi bank

komersiil untuk melakukan inovasi menyebabkan banyak bank yang salah langkah, kurang

hati – hati atau menyimpang dari aturan atau ketentuan yang berlaku. Hal ini menimbulkan

kecenderungan meningkatnya kredit macet. Untuk itu dalam rangka prudential banking

(prinsip kehati-hatian ) ini, maka dengan paket 29 Mei 1993 tentang penilaian tingkat

kesehatan bank, Bank Indonesia menetapkan adanya ketentuan tentang penilaian bank yang

dikenal dengan metode CAMEL (Capital, Assets, Manajemen Risks, Earning, Liquidity ).

Sebagai kelanjutan Paket Mei 1996, pemerintah meluncurkan PP No 68 th 1996,

Peraturan pemerintah ini terutama menekankan soal kewajiban bank dalam memelihara

kesehatan bank sesuai dengan ketentuan yang ditetapkan oleh Bank Indonesia serta

melaksanakan usaha – usaha sesuai dengan prinsip kehati – hatian. PP No 68 berisikan 3

unsur yaitu :

a. Peningkatan CAR ( Capital Adequacy Ratio ) minimal 8 % dari Aktiva Tertimbang

Menurut Resiko (ATMR ) menjadi 10 % pada akhir 1997 dan 12 % pada tahun 2001.

b. Peningkatan modal disetor menjadi Rp 50 miliar bagi bank umum non devisa dan Rp

150 miliar bagi bank devisa.

c. Peningkatan Giro wajib Minimum dari 3 % menjadi 5% per April 1997.

Seiring dengan terjadinya krisis ekonomi di Indonesia yang diikuti keputusan Menteri

Keuangan yang melikuidasi 16 Bank papan atas di Indonesia, masyarakat dilanda kepanikan

terutama bagi nasabah perbankan yang terlikuidasi. Kepercayaan masyarakat terhadap

lembaga perbankan terutama swasta merosot tajam , hal ini memperparah kondisi

perekonomian yang sudah jatuh. Secara kronologis, krisis ekonomi yang melanda Indonesia

bisa dirunut sebagai berikut :

Page 3: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 3

KRISIS MONETER

- Depresiasi rupiah terhadap dolar AS

- Neraca Pembayaran LN negatif

- Utang luar negeri membengkak

KRISIS PERBANKAN

- Likuidasi 16 Bank

- Pembentukan BPPN

- Bank Beku Operasi & Bank Take Over

- Tingkat suku bunga pinjaman sangat tinggi

- Kelumpuhan sektor riil

KRISIS EKONOMI

- Tingkat inflasi yang sangat tinggi

- PHK di berbagai sektor riil

- Tingkat pengangguran meningkat

KRISIS SOSIAL

- Penduduk di bawah garis kemiskinan meningkat

- Kerusuhan penjarahan disertai unsur sara

- Kriminalitas meningkat

KRISIS KEPERCAYAAN

- Kepercayaan terhadap pemerintah turun drastic

KRISIS POLITIK

- Penggulingan terhadap rezim orde baru

- Terbentuknya partai – partai baru

- Sinisme terhadap program pemerintah

- Pro kontra sidang umum MPR

Sementara beberapa indikator yang bisa dilihat sebagai gejala dalam berbagai krisis

yang melanda Indonesia adalah sebagai berikut :

Krisis

Moneter

Krisis

Politik

Krisis

Kepercayaan

Krisis

Perbankan

Krisis

Ekonomi

Krisis

Sosial

Page 4: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 4

TABEL 1. INDIKATOR KRISIS DI INDONESIA

INDIKATOR KRISIS

MONETER

INDIKATOR KRISIS

KEUANGAN

INDIKATOR KRISIS

EKONOMI

1. Depresiasi rupiah

terhadap valuta asing

2. Balance Of Payment

yang negatif / defisit

3. L/C bank – bank

nasional tidak bisa

diterima oleh perbankan

internasional

4. Uang beredar baik M1,

M2 maupun M3

meningkat tajam

1. Tingkat suku bunga SBI

yang tinggi, mulai 305 p.a

sampai 45 % p.a ( untuk

jangka waktu 1 bulan 0

2. Tingkat suku bunga

deposito yang tinggi

mencapai 45% p.a sampai

dengan 65% ( untuk

jangka waktu 1 bulan )

3. Tingkat suku bunga kredit

perbankan sangat tinggi

4. Likuiditas bank – bank

pada posisi terpuruk

5. Banyak bank umum kalah

kliring

6. Utang Bank Umum dalam

bentuk BLBImelampauai

200% - 500% modal bank

1. Banyak perusahaan

menderita kerugian,

bahkan bangkrut

2. Harga 9 bahan pokok

meningkat dengan pesat

3. Inflasi mencapai 24%

dalam 3 bulan pertama

pada tahun 1998

4. PHK diberbagai

perusahaan baik BUMN

maupun swasta

5. BBM dan tarif listrik

terus naik.

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia berbagai edisi,diolah.

Krisis parah yang dialami oleh lembaga keuangan perbankan mengakibatkan

kepercayaan masyarakat terhadap bank merosot drastis, Masyarakat secara bersam – sama

mencoba menarik dana mereka yang tersimpan di perbankan. Terjadi rush atau penarikan

besar – besaran yang justru semakin memperparah kondisi keuangan bank yang terkena

likuidasi, perekonomian Indonesia bisa dikatakan lumpuh. Bank - bank pemerintah

mengalami booming nasabah yang mencari keamanan bagi kekayaan miliknya. Untuk

menyelesaikan masalah ini maka pemerintah memberikan jaminan bagi uang nasabah yang

disimpan pada lembaga keuangan perbankan.

Selanjutnya pemerintah menetapkan UU No 10 Tahun 1998, yang antara lain berisi :

a. Penegasan kemandirian Bank Indonesia dalam pembinaan dan pengawasan

perbankan dengan mengalihkan kewenangan seluruh perizinan di bidang Perbankan

dari semula berada pada menteri keuangan

b. Pembentukan badan khusus sebagai pelaksana penyehatan perbankan

c. Perubahan cakupan rahasia bank

d. Penyesuaian ketentuan pendirian dan kepemilikan bank dengan menghapus

diskriminasi pengaturan antara bank campuran dan bank umum

e. Kemudahan pelaksanaan prinsip syari’ah dalam kegiatan usaha bank.

Dengan adanya berbagai terpaan badai krisis yang menimpa, tinggal bank – bank yang

mempunyai kinerja bagus dan efisien yang mampu bertahan serta memperoleh kepercayaan

kembali dari masyarakat. Pasang surut industri Perbankan sejak masa deregulasi tahun 1988

bisa disimak pada table berikut ini.

Page 5: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 5

Tabel 2. Pertumbuhan jumlah Bank dan Kantor Bank di Indonesia

NO JENIS BANK 1988 1997 1998 1999 2000 2003

1 Bank Pemerintah

Jumlah bank

Jumlah kantor

7

852

7

1463

7

1602

5

1579

5

1506

5

2072

2 Bank Pemerintah Daerah

Jumlah bank

Jumlah kantor

27

262

27

518

27

555

27

554

26

550

26

1033

3 Bank Umum Swasta Nasional

Jumlah bank

Jumlah kantor

66

593

160

4267

130

3976

92

3581

81

3228

36

4529

4 Bank asing dan campuran

Jumlah bank

Jumlah kantor

11

21

43

89

44

121

49

93

52

95

31

126

Jumlah seluruh Bank 111 237 206 173 164 138

Jumlah seluruh kantor 1728 6337 6254 5807 5279 7730

Sumber : Statistik Keuangan dan Ekonomi Indonesia, berbagai edisi diolah

Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa deregulasi perbankan Indonesia telah

membawa dampak yang sangat besar bagi perkembangan jumlah bank dan juga pembukaan

kantor bank di banyak tempat, namun setelah terjadinya krisis ekonomi maka jumlah bank

terutama swasta umum menurun sangat drastic, sehingga bisa disimpulkan bahwa hanya bank

– bank yang mempunyai tingkat kinerja bagus serta mempunyai tingiat efisiensi yang tinggi

yang mampu bertahan.

Sementara untuk bank pemerintah hanya terjadi penurunan karena adanya merger

bank yang dilakukan oleh pemerintah sendiri. Banyak kalangan yang menilai bahwa

perkembangan yang sangat pesat dari bank – bank pemerintah sebenarnya belum tentu

didukung oleh kinerjanya yang bagus, namun lebih banyak dipengaruhi oleh adanya unsur

pemerintah sebagai pemiliki bank tersebut, sehingga kepercayaan masyarakat terhadap bank –

bank pemerintah menjadi tinggi.

Penilaian Efisiensi Kinerja

Penilaian tingkat kesehatan bank di Indonesia sampai saat ini secara garis besar

didasarkan pada factor CAMEL ( Capital, Assets Quality, Management, Earning dan

Liquidity ). Kelima factor tersebut memang merupakan penentu kondisi suatu bank. Secara

umum factor CAMEL relevan dipergunakan untuk semua bank, tetapi bobot masing – masing

factor akan berbeda untuk masing – masing jenis bank. Bobot masing – masing Camel untuk

Bank umum ditetapkan sebagai berikut :

Page 6: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 6

Tabel 3. Bobot penilaian factor CAMEL untuk bank umum

NO Faktor CAMEL BOBOT

1 Permodalan 25 %

2 Kualitas Aktiva Produktif 30 %

3 Kualitas manajemen 25 %

4 Rentabilitas 10 %

5 Likuiditas 10 %

Total 100 %

Sumber : Seri kebanksentralan

Pada tahap awal penilaian tingkat kesehatan bank dilakukan dengan menghitung

secara kuantitatif atas komponen dari masing – masing factor tersebut. Faktor dan komponen

tersebut kemudian diberi bobot sesuai dengan besarnya pengaruh terhadap tingkat kesehatan

bank. Selanjutnya penilaian dilakukan dengan system kredit dengan memberi nilai antara 0

sampai dengan 100. Berdasarkan nilai – nilai kuantifikasi tersebut, kemudian dilakukan

evaluasi dengan memperhatikan informasi dan aspek – aspek lain yang secara materiil dapat

berpengaruh terhadap perkembangan masing – masing factor. Pada akhirnya akan diperoleh

angka yang dapat menentukan predikat kesehatan bank yaitu :

1. Sehat 81 – 100

2. Cukup sehat 66 – 80

3. Kurang sehat 51 – 65

4. Tidak sehat 0 – 50

Penilaian yang selama ini digunakan lebih banyak menyoroti aspek kinerja keuangan

yaitu dari sisi solvabilitas, likuiditas dan rentabilitas, jarang yang menyoroti dari sisi efisiensi

kinerja dari masing – masing input dan output. Yaitu sejauhmana input yang dimiliki lembaga

keuangan perbankan bisa menghasilkan output dalam jumlah yang optimal.

Bertitik tolak dari permasalahan tersebut, maka peneliti tertarik untuk meneliti

mengenai Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia ( Studi Perbandingan Bank

Umum Pemerintah dan Bank Umum Swasta Nasional).

Dari berbagai macam literatur mengenai kinerja perbankan di Indonesia, terutama

mengenai tingkat kesehatan, maka tercermin bahwa efisiensi merupakan salah satu kunci

utama pengembangan market share perbankan. Efisiensi perbankan dilihat melalui dua sisi

yaitu dari sisi output dan sisi input yang antara lain terdiri dari jumlah tenaga kerja, jumlah

kantor bank, biaya operasional, jumlah kredit yang dikucurkan dan juga jumlah dana pihak

ketiga yang masuk dalam lembaga keuangan perbankan.Penelitian ini berusaha untuk

menjawab (1) Bagaimana kinerja yang dicerminkan dari efisiensi pada masing – masing bank

umum pemerintah dan bank umum swasta nasional pada tahun 2004? (2) Apa yang menjadi

sumber inefisiensi pada masing – masing bank baik pemerintah maupun bank swasta dan

bagaimana cara mengatasinya ?

Page 7: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 7

Dalam suatu industri, kinerja dapat diartikan sebagai hasil kerja yang dipengaruhi

oleh struktur dan perilaku industri itu sendiri. Sementara secara ekonomis, kinerja mempunyai

banyak aspek yang menentukan, namun para ahli lebih banyak memusatkan pada 3 aspek

tujuan saja yaitu tehnologi, efisiensi dan perkembangan dalam distribusi (Wihana, 2001 :15).

Kinerja pada perusahaan biasanya diukur pada efisiensi ekonomi yang merupakan

perbandingan antara out put yang dihasilkan dengan input yang digunakan, atau bisa

dikatakan bahwa efisiensi ekonomis akan mencerminkan alokasi input yang efisien, karena

perusahaan dianggap selalu beroperasi pada garis batas produksi (efisiensi teknis).

Suatu perusahaan ,yang dalam penelitian ini adalah lembaga keuangan perbankan,

dapat dikatakan efisien bila :

1. Menggunakan jumlah unit input yang lebih sedikit dibandingakn dengan jumlah input

yang dikeluarkan oleh perusahaan lain untuk menghasilkan output yang sama.

2. Menggunakan jumlah input yang sama untuk menghasilkan output yang lebih banyak.

Efisiensi secara ekonomis terdiri atas efisiensi tehnis dan efisiensi alokatif. Efisiensi

tehnis adalah kombinasi antara kemampuan dan kapasitas unit ekonomi untuk memproduksi

sampai tingkat output maksimum dari sejumlah input dan tehnologi. Efisiensi alokasi adalah

kemampuan dan kesediaan unit ekonomi untuk beroperasi pada nilai produk marginal sama

dengan biaya marginal.

Terdapat 3 kegunaan mengukur efisiensi terutama secara ekonomis yaitu :

1. Sebagai tolak ukur memperoleh efisiensi relative, mempermudah untuk perbandingan

antara unit ekonomi satu dengan unit ekonomi yang lain

2. Apabila terdapat variasi tingkat efisiensi dari beberapa unit ekonomi yang ada maka

dapat dilakukan penelitian untuk menjawab factor – factor apa yang menentukan

perbedaan tingkat efisiensi, sehingga akan bisa dicari solusi yang tepat.

3. Informasi mengenai efisiensi memiliki implikasi kebijakan karena manajer dapat

menentukan kebijakan perusahaan secara tepat.

Unit Kegiatan Ekonomi ( UKE )

Cara paling sederhana untuk mengukur efisiensi setiap UKE adalah dengan

menghitung rasio antara input UKE tersebut dengan factor produksi yang digunakan. Apabila

UKE hanya memproduksi satu macam output dengan menggunakan satu macam factor

produksi maka bukan merupakan satu masalah pelik untuk mencapai efisiensi, namun dalam

kenyataannya banyak UKE yang menghasilkan lebih dari satu macam output dengan

menggunakan lebih dari satu macam input. Dalam kasus ini efisiensi UKE bisa diukur

dengan mentransformasikan menjadi output dan factor produksi tunggal. Transformasi ini

dapat dilakukan dengan menentukan pembobotan yang tepat.

Page 8: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 8

Data Envelopment Analysis ( DEA ) dapat digunakan untuk menyelesaikan masalah

tersebut dengan jalan memberikan kesempatan pada setiap UKE untuk menentukan

pembobotannya masing – masing. Mereka juga menjamin bahwa setiap pembobotan yang

dipilih setiap UKE akan menghasilkan efisiensi yang terbaik bagi UKE yang bersangkutan.

Hanya saja pembobotan itu dibatasi agar jumlahnya tidak melebihi nilai tertentu, misalnya

100%.

Sehingga kinerja bisa dirumuskan sebagai berikut :

Kinerja = jumlah output yang ada

Jumlah input yang ada

Angka rasio tersebut akan bervariasi antara 0 ( nol ) dengan 1 ( satu). Unit kegiatan

ekonomi ( UKE ) yang efisien akan memiliki angka rasio 1 atau 100% sedangkan yang

inefisien adalah dibawah 100%. Semakin rendah nilai rasionya maka perusahaan tersebut

akan semakin inefisiensi.

Dalam penelitian dengan judul Analisis Efisiensi Kinerja Perbankan di Indonesia (

Studi Perbandingan Bank Pemerintah dan Bank Swasta ) ini, variable dibedakan menjadi

input dan output bank. Variable – variable yang berpengaruh terhadap efisiensi adalah dari

sisi input yaitu modal yang digunakan, beban operasional , beban bunga dan modal .

Sementara sisi outputnya adalah kredit yang diberikan , dana pihak ketiga dan pendapatan

yang bisa masuk pada lembaga tersebut. Sehingga dari hasil penelitian nanti akan terlihat dari

sumber input yang digunakan akan mampu menghasilkan sebesar berapa output.

Menurut Tobin, terdapat 4 faktor yang menyebabkan efisiensi dalam lembaga

keuangan yaitu pertama artibtrase informasi, kedua efisiensi karena ketepatan penilaian dasar

asset – asetnya, ketiga efisiensi karena lembaga keuangan bank mampu mengantisipasi resiko

yang akan muncul dan keempat fungsional efisiensi yaitu mekanisme pembayaran yang

dilakukan oleh sebuah lembaga keuangan perbankan.

Hasil Penelitian Sebelumnya

Masih sangat sedikit penelitian mengenai kinerja suatu usaha yang menggunakan alat

analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ), namun terdapat beberapa penelitian mengenai

perbankan dengan menggunakan alat analisis yang lain yaitu regresi. Antara lain Penelitian

yang dilakukan oleh Iswandono ( 2000 ) yang berjudul Analysis Efisiensi Industri Perbankan

di Indonesia ( Studi kasus bank – bank devisa di Indonesia ). Inti penelitian tersebut adalah

untuk menganalisis efisiensi secara teknis dan efisiensi ekonomis di antara bank pemerintah,

bank swasta dan bank asing. Dalam penelitian ini data yang digunakan adalah data sekunder

tahun 1991 – 1996 dengan menggunakan analisis regresi dari fungsi cobb Douglas dengan

model estimasi :

Ln Y = ∂0 + ∂1 Ms + ∂2 lnX1 + ∂3 ln X2+ ∂4 ln X3 + ∂5D5 + e

Page 9: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 9

Dari hasil penelitian tersebut diperoleh kesimpulan sebagai berikut :

1. Dilihat dari prespektif efisiensi teknis, secara keseluruhan bank sample sudah

mempunyai efisiensi tehnis yang mampu mendukung usahanya, sedangkan bila

dilihat dari kelompok bank maka kelompok bank pemerintah mempunyai koefisien

tehnologi yang tinggi baru kemudian disusul oleh kelompok bank asing sementara

kelompok bank swasta mempunyai koefisien tehnologin yang bersifat negative atau

mengalami inefisiensi.

2. Dilihat dari efisiensi ekonomi terlihat bahwa penggunaan input belum efisien.

3. Pangsa pasar untuk industri perbanakn di Indonesia pengaruhnya tidak signifikan

terhadap tingkat keuntungan yang diperoleh oleh perbankan. Hal ini disebabkan

industri perbankan di Indonesia terkonsentrasi pada beberapa kelompok bank atau

bersifat monopsoni.

Kemudian penelitian yang dilakukan oleh Puji lestasi ( 2003) dengan judul Efisiensi

Tehnis Perbakan Indonesia tahun 1995 sampai 1999. Penelitian ini bertujuan untuk

membandingkan efisiensi teknis antara 6 kelompok bank yang terdiri atas 30 sampel bank

dan untuk melihat perbedaan efisiensi tehnis bank di Indonesia di masa sebelum dan sesudah

krisis. Untuk mengetahui efisiensi tehnis relative antara kelompok – kelompok bank tersebut

maka digunaka DEA. Variabel input yang digunakan di sini adalah tenaga kerja, modal, biaya

operasional, sedangkan oputput yang digunakan dalam penelitian ini adalah kredit dan

deposito berjangka. Untuk mengetahui perbedaan efisiensi sebelum dan sesudah krisis

digunakan analisis regresi. Dari hasil estimasi secara umum ditemukan bahwa sebelum krisis

ternyata nilai efisiensi yang terendah jusatru dimiliki oleh bank – bank pemerintah, sedangkan

selama krisis hampir semua bank mengalami penurunan efisiensi. Dari hasil analisis dengan

menggunakan metode regresi ternyata diketahui bahwa deposito mempunyai pengaruh yang

positif terhadap efisiensi tehnik perbankan baik pemerintah, asing maupun swasta nasional.

Penelitian yang lain dilakukan oleh Maysun ( 2005) berjudul Analisis Kinerja Bank

Umum Syari’ah dan Konvensional Di Indonesia ( Studi Kasus 14 Bank Umum Dengan

Kinerja Keuangan Sangat Bagus pada asset 1 – 10 trilyun ). Penelitian tersebut

membandingkan kinerja antara bank konvensional dan bank syariah, dengan

menggunakannalat analisis DEA. Hasil yang diperoleh beberapa hasil yaitu pertama adalah

bahwa baik bank konvensional maupun bank umum ternyata tidak semuanya efisien secara

teknis. Hanya 7 bank yang mampu mempunyai efisiensi teknis 100%, sedang 7 bank lainnya

masih inefisiensi yang ditunjukkan dengan tingkat efisiensi di bawah 100%. Hal ini

menunjukkan bahwa bank yang mempunyai kinerja keuangan yang sangat bagus belum tentu

mempunyai tingkat efisiensi secara teknis dalam produksi/ operasionalnya. Hasil yang kedua

adalah sumber inefisiensi dari bank – bank yang inefisien adalah pada variable input yang

digunakan yaitu modal, tenaga kerja, biaya operasional dan jumlah kantor bank.

Page 10: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 10

Metodologi Penelitian

Penelitian ini merupakan studi kasus terhadap bank pemerintah dan swasta sehingga

perbankan akan dikelompokkan ke dalam 3 kelompok yaitu bank umum pemerintah, bank

umum swasta nasional dan bank umum swasta asing.

Jumlah Bank umum pemerintah di Indonesia adalah sebanyak 5 buah yang terdiri

atas Bank Tabungan Negara , Bank Negara Indonesia 1946, Bank Mandiri, Bank Rakyat

Indonesia dan Bank Ekspor Indonesia. Kelima Bank tersebut akan diikutkan dalam analisis

ini dengan alasan bahwa kelima Bank pemerintah selama ini lebih banyak mendapatkan

kepercayaan dari masyarakat karena dari sisi kepemilikan pemerintah.

Kriteria yang akan digunakan adalah efisiensi usaha yang merupakan rasio dari

penggunaan input terhadap penggunaan output. Di mana yang digunakan sebagai input dalam

penelitian ini adalah modal, beban operasional, dan beban bunga sedangkan yang digunakan

sebagai sisi output adalah kredit dan dana pihak ketiga dan pendapatan bank.

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data sekunder yang diperoleh dari

Bank Indonesia dengan menggunakan data terakhir tahun 2004 yang dikeluarkan oleh Bank

Indonesia. Data diambil dari laporan keuangan yang dilaporkan untuk setiap bank pada bulan

desember 2004, yang diperoleh melalui website Bank Indonesia dan beberapa sumber data

yang lain.

Untuk mengukur efisiensi pada usaha – usaha perbankan tersebut akan digunakan alat

analisis DEA ( Data Envelopment Analysis ) terdiri atas variable input dan output serta

diformulasikan dalam dua asumsi yaitu CRS (Constant Return to Scale ) dan VRS (

Variabel Return to Scale ). Alat analisis DEA digunakan karena keunggulannya yang bisa

menangani banyak input dan banyak output dengan menggunakan alat ukur yang berbeda

tanpa membutuhkan asumsi mengenai hubungan fungsional antara kedua variable. Oleh sebab

itu DEA bisa memungkinkan peneliti untuk menyertakan semua variable aktivitas/ input yang

berhubungan erat dengan dihasilkannya output.

DEA adalah sebuah tehnik pemrograman matematis yang digunakan untuk mengukur

efisiensi dari sekumpulan unit – unit pembuat keputusan dalam mengelola sumber daya (

input ) dengan jenis sama yang digunakan untuk menghasilkan unit – unit output dengan jenis

yang sama pula. Dea mula – mula dikembangkan oleh Farrel (1957) yang mengukur efisiensi

tehnik satu input dan satu output menjadi multi input dan multi output, dengan menggunakan

kerangka nilai efisiensi relative sebagai rasio input ( single virtual input) dengan output

(single virtual output). Mula – mula DEA dipopulerkan oleh Charness, Cooper dan Rodhes

(1978) dengan menggunakan Constant Return to Scale ( CRS ) dan dikembangkan oleh

Banker, Charnes, Cooper (1994) untuk Variabel Return to Scale (VRS).

DEA dirancang untuk mengukur efisiensi relative suatu unit kegiatan ekonomi (UKE)

yang menggunakan input dan output lebih dari satu. Efisiensi relative suatu UKE

Page 11: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 11

dibandingkan dengan UKE yang lainnya dalam sample yang menggunakan jenis input dan

output yang sama. DEA memformulasikan UKE sebagai program linear fraksional untuk

mencari solusi jika model tersebut ditransformasikan ke dalam program linear dengan nilai

bobot dari input dan output.

Efisiensi UKE diukur dengan rasio output yang dibobot dan input yang dibobot ( total

weighted output / total weighted input). Bobot tersebut mempunyai nilai positif dan universal,

artinya setiap UKE dalam sample harus dapat menggunakan seperangkat bobot yang sama

untuk mengevaluasi rasionya total weighted output / total weighted input ≤ 1. Angka 1 berarti

UKE tersebut efisien atau kurang dari satu tidak efisien dalam menghasilkan tingkat output

maksimum dari tiap input. DEA berasumsi bahwa setiap UKE menggunakan kombinasi input

yang berbeda untuk menghasilkan kombinasi output yang berbeda pula. Sehingga setiap

UKE akan memilih seperangkat bobot yang mencerminkan keragaman tersebut. Secara

umum UKE akan menetapkan bobot yang tinggi untuk input yang penggunaannya sedikit

untuk memaksimalkan ouput dan sebaliknya.

Model yang digunakan dalam penelitian ini dikembangkan oleh Miller dan Noulas (

1996 ). Efisiensi tehnis Perbankan diukur dengan menghitung rasio antara input dan output

perbankan. DEA akan menghitung bank yang menggunakan input n untuk menghasilkan

output m yang berbeda. Sehingga alat analisisnya dirumuskan menjadi sebagai berikut :

di mana :

hs = adalah efisiensi tehnis bank s

ys = merupakan jumlah output I yang diproduksi oleh bank s

xjs = adalah jumlah input j yang digunakan oleh bank s

ui = merupakan bobot output I yang dihasilkan oleh bank s

vj = adalah bobot input j yang diberikan oleh bank s dan I dihitung

dari 1 ke m serta j dihitung dari 1 ke n

Persamaan di atas menunjukkan adanya penggunaan satu variable input dan satu

variable output. Rasio efisiensi (hs), kemudian dimaksimalkan dengan kendala sebagai

berikut :

Di mana N menunjukkan jumlah bank dalam sample. Pertidaksamaam pertama

menunjukkan adanya inefisiensi untuk UKE lain tidak lebih dari 1, sementara

pertidaksamaan kedua berbobot positif. Angka rasio akan bervariasi antara 0 sampai

m n

hs = ∑ ui yis / ∑ vj xjs .(1)

i = 1 j = 1

m n

∑ ui yir / ∑ vj x jr ≤1 untuk r = 1…,N .(2)

i = 1 j = 1

Page 12: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 12

dengan 1. Bank dikatakan efisien apabila memiliki angka rasio mendekati 0 menunjukkan

efisiensi bank yang semakin rendah ( Miller dan Noulas, 1996 ). Pada DEA, setiap bank

dapat menentukan pembobitnya masing – masing dan menjamin bahwa pembobot yang

dipilih akan menghasilkan ukuran usaha yang terbaik.

Secara grafis pendekatan 1 input dan 1 output, dapat digambarkan sebagai berikut :

C

B D V

K F G

0 A Input X

Gambar 1.1 Efisiensi dengan menggunakan pendekatan 1 input & 1 output

Tehnologi CRS ditunjukkan oleh frontier OC. Bank dikatakan efisien bila berada

pada garis frontier , sedangkan yang berada di luar frontier dikatakan tidak efisien.

Beberapa program linear ditransformasikann ke dalam program ordinary linear secara

primal atau dual sebagai berikut :

m

Maksimisasi hs = ∑ ui yis ……………………..(3)

i = 1

Kendala

Efisiensi pada masing – masing bank dihitung menggunakan programasi linear

dengan memaksimumkan jumlah output yang dibobot dari bank s. Kendala jumlah input yang

dibobot harus kurang atau sama dengan

0. Hal ini berarti semua bank akan berada di bawah referensi kinerja frontier yang merupakan

garis lurus yang memotong sumbu origin.

Minimisasi βs

m n

∑ ui yir - ∑ vj x jr ≤0 untuk r = 1…,N ;

i = 1 j = 1

n

∑ vj x js = 1 di mana ui dan vj ≥ 0

…………(4)

j = 1

Page 13: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 13

n

Kendala : ∑ θr yir ≥ yis I = 1 , , m ………………………. ( 5 )

r =1

m

βs x js - ∑ θr xir ≥ 0, j = 1 , , n : θ ≥ 0 ; βs bebas

j =1

Variabel βs merupakan efisiensi teknis dan bernilai antara o dan 1. Programasi linier pada

persamaan di atas diasumsikan Constant Return to Scale. Efisiensi teknis ( βs) diukur dengan

menggunakan rasio KF / FS dan bernilai kurang dari 1 sementara (1- βs ) menerangkan

jumlah input yang harus dikurangi untuk menghasilkan output yang sama sebagai bentuk

efisiensi bank seperti yang ditunjukkan oleh titik F. Kedua perhitungan tersebut baik

minimisasi input dan maksimisasi output akan memberikan nilai yang relative sama. Dalam

penelitian ini efisiensi akan dihitung dari sisi input oriented maupun output oriented.

Kinerja keuangan perbankan yang diambil dari data Statistik Ekonomi dan

Keuangan Indonesia terbitan BI dengan menggunakan indikator utama modal, asset, kredit

yang diberikan, dan dana pihak ketiga yang terkumpul. Secara statistik, data mengenai kinerja

keuangan perbankan nasional sejak tahun 1999 ditunjukkan dalam tabel berikut :

Tabel 5. Kinerja Keuangan Bank Umum dalam trilyun rupiah

Indikator Tahun

2000 2001 2002 2003 2004 Growth %

Asset 984,50 1.039,9 1.059,8 1.167,9 1.215,69 5,41

Modal 50.637, 66.788 93.697 112.141 131.590 26,97

Dana Pihak Ketiga 720.379 809.126 845.015 902.325 965.079 7,58

Kredit 269.000 307.594 365.410 437.943 553.549 19,77

LDR % 26,2 33,2 33,0 38,2 43,2 13,32

NPL % 7,3 5,8 3,6 2,1 3,0 -11,93

CAR % 12,5 20,5 22,5 19,3 - 15,58

Sumber : Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia, diolah

Dari tabel tersebut di atas, terlihat bahwa terjadi peningkatan kinerja keuangan yang

signifikan dari tahun ke tahun. Secara rata – rata peningkatan asset mencapai 5,41%.

Peningkatan terbesar terjadi di sisi modal yang mencapai rata – rata 26,97% dari tahun 2000

sampai 2004. Peningkatan dana pihak ketiga juga cukup signifikan yaitu 7,58 %. Hal ini

menunjukkan bahwa kepercayaan masyarakat terhadap lembaga keuangan perbankan semakin

menguat sejak terjadinya krisis ekonomi tahun 1997. Kebijakan – kebijakan dan program –

program yang diterapkan kaitannya dengan rekapitalisasi perbankan oleh Bank Indonesia dan

pemerintah terbukti cukup ampuh meningkatkan kepercayaan masyarakat khususnya pada

program penjaminan.

Page 14: Jurnal Efisiensi Bank

*) Penelitian didanai Diknas Propinsi Jawa Tengah

**) Dosen Ekonomi Pembangunann & Magister Ekonomi PembangunanFakultas Ekonomi UNS 14

Peningkatan juga terjadi di sisi kredit, pertumbuhan kredit selama lima tahun terakhir

cukup besar yaitu sebesar 19,77 %. Hal ini diimbangi dengan penurunan Non Performing

Loan. Penurunan NPL menunjukkan bahwa kredit macet sudah mulai berkurang.

Selain kinerja keuangan, kita bisa melihat keberhasilan bank dalam mengelola sumber –

sumber ekonominya adalah dengan efisiensi secara tehnis. Efisiensi tehnis akan dihitung

dengan menggunakan Data Envelopment analysis. DEA adalah sebuah tehnik pemrograman

matematis yang digunakan untuk mengukur efisiensi dari sekumpulan unit – unit pembuat

keputusan dalam mengelola sumber daya ( input ) dengan jenis sama yang digunakan untuk

menghasilkan unit – unit output dengan jenis yang sama pula. Nilai efisiensi akan dihitung

dalam variasi antara 0 – 1. Efisiensi secara tehnis akan dicapai ketika nilainya 1, sedangkan

inefisiensi apabila nilainya antara 0 – 1.

Sampel yang dipakai adalah 5 Bank pemerintah yaitu Bank Rakyat Indonesia, Bank

Bni 46, Bank Tabungan Negara, Bank Mandiri dan Bank Ekspor Indonesia. Sedangkan bank

swasta nasional yang terpilih adalah Bank Muamalat, Bank Central Asia, Bank Syari’ah

Mandiri, Lippo Bank dan Bank Danamon . Untuk Bank asing terpilih Citibank, Standart

Chartered Bank dan ABN Amro.

Input yang digunakan adalah modal, biaya operasional dan biaya bunga. Pembedaan

biaya operasional dan biaya bunga dengan alasan bahwa biaya operasional adalah biaya yang

digunakan untuk operasional rutin seperti membayar gaji pegawai, biaya perawatan kantor

dan juga biaya pemasaran. Sedangkan biaya bunga adalah biaya untuk memelihara dana

pihak ketiga. Modal digunakan sebagai variabel input dengan alasan bahwa modal adalah

sumber utama dari gerak operasi perbankan.

Output yang digunakan adalah kredit, dana pihak ketiga dan pendapatan. Kredit yaitu

banyaknya kredit yang dikucurkan oleh bank kepada debitur. Alasan kredit digunakan

sebagai salah satu variabel output adalah karena kredit merupakan produk bank yang akan

memberikan pendapatan bagi bank, besarnya kredit yang dikucurkan harus sebanding dengan

asset yang dipunyai. Secara kinerja keuangan dikenal adanya LDR ( Loan to Deposit Ratio )

yaitu perbandingan antara pinjaman dengan dana pihak ketiga yang diterima oleh bank.

Apabila jumlah kredit yang diberikan semakin besar dengan asumsi kredit akan lancar, maka

pendapatan yang diperoleh oleh bank juga akan besar. Untuk menjaga kelancaran penerimaan

pendapatan atas kredit, maka banyak bank yang menambah karyawan di sisi kredit untuk

menagih kredit, untuk itu maka bank harus memperbesar biaya operasional.

Dari hasil analisis yang dilakukan dengan menggunaka metode DEA ( Data

Envelopment Analysis ), diperoleh hasil sebagai berikut :

Page 15: Jurnal Efisiensi Bank

15

Tabel 6 Hasil penghitungan efisiensi Kinerja Bank dengan menggunakan DEA

NO NAMA BANK

Score

Efisien

si

Bobot Optimal Bank dengan Benchmarknya

1 B R I 100,00

2 BNI 46 84,58 0,013 (UKE 1) 1,967 (UKE8) 2,291 (UKE12) 1,194 (UKE13)

3 BTN 97,01 0,024 (UKE 4) 0,667 (UKE8) 1,238 (UKE12)

4 B Mandiri 100,00

5

B Ekspor

Indonesia

100,00

6 B Muamalat 100,00

7 B Central Asia 100,00

8

B Syari'ah

Mandiri

100,00

9 ABN AMRO 99,82 0,050 (UKE 8) 1,218 (UKE10) 0,100 (UKE11) 0,487 (UKE12)

10 Lippo Bank 100,00

11 CitiBank 100,00

12

Standart

Chartered

100,00

13 B Danamon 100,00

Sumber : Hasil olahan dengan DEA

Dari hasil olahan data terhadap 13 bank sampel diperoleh hasil yang sangat

menggembirakan yaitu bahwa 10 bank ternyata sudah efisien secara tehnis yang

ditunjukkan dengan score efisiensi yang sudah mencapai 100%. Artinya penggunaan

input untuk menghasilkan ouput sudah optimal. 3 Bank yang belum mencapai efisiensi

secara tehnis adalah Bank BNI 46, Bank Tabungan Negara dan ABN AMRO. Apabila

dikelompokkan menurut modal dan kepemilikan, ternyata didapat bahwa 2 bank

pemerintah belum efisien secara tehnis, semua bank swasta nasional mencapai efisiensi

secara tehnis dan satu bank asing belum mencapai efisiensi tehnis.

Dari tiga belas bank terdapat 3 bank yang belum efisien secara tehnis. Berikut ini

dapat kita lihat kinerja pada masing – masing bank yang belum efisien, apa sumber

efisiensinya dan alternatif solusinya.

a. Kinerja Bank BNI 46

Bank BNI 46, selama masa krisis cukup diuntungkan dengan posisinya sebagai bank

pemerintah. Masyarakat yang kehilangan kepercayaan terhadap perbankan swasta

pada saat itu banyak yang melarikan dananya pada bank pemerintah. Hal ini

mengakibatkan beban bunga yang harus ditanggung oleh bank pemerintah cukup

Page 16: Jurnal Efisiensi Bank

16

besar sedangkan kredit yang dikucurkan banyak yang mengalami kemacetan karena

kemunduran yang cukup drastis di sektor riil. Oleh sebab itu semua bank pemerintah

pada masa krisis masuk ke dalam program rekapitalisasi perbankan.

Hasil olahan data dengan menggunakan metode DEA menunjukkan bahwa efisiensi

Bank BNI 46 baru tercapai 84,58% dengan nilai efisiensi pada masing – masing

input dan output sebagai berikut :

Tabel 7. Hasil perhitungan efisiensi variabel input dan output Bank BNI 46 (dalam juta)

Variabel Actual Target To Gain ( %) Achieved (% )

Modal 10.744.693,0 9.088.023,0 15,4 % 84,6 %

Biaya Bunga 4.665.543,0 3.946.186,0 15,4 % 84,6 %

Biaya Operasional 5.460.009,0 4.618.157,0 15,4 % 84.6 %

Kredit 58.824.402,0 58.824.402,0 0,0 % 100,0 %

Dana Pihak ketiga 77.805.457,0 82.926.794,2 6,6 % 93, 4 %

Pendapatan 14.803.949,0 14.803.949,0 0,0 % 100,0 %

Sumber : Hasil olahan data

Dari hasil olahan data tersebut bisa dilihat bahwa Bank BNI belum mencapai

tingkat efisiensi secara tehnis. Sumber – sumber efisiensi adalah di faktor input,

semua input yang digunakan belum efisien. Sedangkan pada faktor ouput hanya satu

faktor yang belum efisien yaitu dana pihak ketiga.

Modal belum efisien, di mana penggunaan modal terlalu banyak dibandingkan

dengan pencapaian dari sisi output. Bank BNI 46 menggunakan input modal

sebanyak Rp 10.744.693 juta, pada sebenarnya bisa ditekan dengan penggunaan

sebesar Rp 9.088.023 juta. Alternatif yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi

modal, namun ini tidak realistis , oleh sebab itu yang harus dilakukan adalah dengan

menambah output karena pencapaian efisiensi untuk sisi modal ini baru 84,6%.

Biaya bunga yang dikeluarkan oleh Bank BNI juga belum efisien karena masih

terlalu besar dibandingkan dengan hasil yang diperoleh dalam kasus bank BNI 46,

ternyata hasil ini sinkron dengan DPK yang belum efisien. Biaya bunga yang

dikeluarkan oleh Bank BNI adalah sebesar Rp4.665.543 juta, padahal biaya bunga

cukup sebesar Rp 3.946.186 juta. Pencapaian efisiensi dari biaya bunga baru sebesar

84,6%.

Biaya operasional, variabel input yang lain adalah beban operasional yang juga

belum mencapai tingkat efisiensi penuh. Di mana biaya operasional secara aktual

adalah sebesar Rp 5.460.009 juta padahal dengan tingkat output yang telah dicapai

saat ini, biaya operasional bisa ditekan hanya sebesar Rp 4.618.157 juta. Untuk itu

alternatif pertama yang bisa dilakukan adalah dengan menekan beban – beban

Page 17: Jurnal Efisiensi Bank

17

operasional seperti pembayaran gaji pegawai, promosi, alat tulis kantor, listrik dan

sebagainya. Atau alternatif kedua yang bisa dilakuakn adalah dengan tanpa

mengurangi biaya operasional namun tingkat output yang dicapai dioptimalkan.

Dana pihak ketiga, Dana pihak ketiga merupakan satu – satunya variabel output

yang tidak efisien. Hal ini berkaitan juag dengan belum efisiennya beban bunga dari

sisi input, atinya beban bunga masih terlalu besar untuk dana pihak ketiga. Dalam

aktualnya dana pihak ketiga yang bisa dikumpulkan adalah sebesar Rp 77.805.457

juta sedangkan sebenarnya target yang bisa dicapai adalah sebesar Rp 82.926.794,2

juta. Untuk mengatasi permasalahan ini dapat dilakukan dengan alternatif pertama

meningkatkan perolehan dana pihak ketiga karena efisiensi yang tercapai baru

sebesar 93,4%.

Dari hasil analisis di atas bisa disimpulkan bahwa sumber inefisiensi pada Bank

BNI 46 terutama adalah dari sisi inputnya di mana ketiga input tidak efisien,

sedangkan dari sisi output hanya dana pihak ketiga yang belum mencapai efisiensi.

Beberapa alternatif solusi yang mungkin bisa ditempuh adalah

Alternatif solusi pertama yang ditawarkan adalah dengan melakukan evaluasi

terhadap penggunaan input – inputnya yaitu disesuaikan dengan target yang ada.

Alternatif solusi yang kedua adalah dengan meningkatkan outputnya agar

penggunaan input bisa mencapai target maksimal . Output dana pihak ketiga yang

terjadi adalah sebesar Rp 77.805.457,0 juta, hal ini masih bisa dimaksimalkan

dengan membagi tingkat efisiensi yang terjadi yaitu 84,58 %. Sehingga kredit yang

sebaiknya dikucurkan adalah sebesar Rp 77.805.457,0 : 0,8458 = Rp 91.990.372,43

juta.

Alternatif solusi ketiga, yang mungkin dilakukan adalah dengan mengacu pada

efisiensi reference set-nya atau benchmarknya. Untuk Bank BNI 46 benchmarknya

adalah BRI, Bank Syari’ah Mandiri, Standart Chartered Bank dan Bank Danamon.

Yaitu dengan menggunakan 0,013 out put dan input BRI, 1,967 input dan output

Bank Syari’ah Mandiri, 2,291 output dan input Standart Chartered bank dan 1,194

output dan input Bank Danamon. Secara rinci penghitungan alternatif dengan

menggunakan benchmarknya ini adalah sebagai berikut :

Page 18: Jurnal Efisiensi Bank

18

Tabel 8. Penghitungan efisiensi dengan menggunakan Benchmark ( dalam juta )

Kriteria BRI BSM SCB Danamon Total

Modal 126.825,7 975.967,9 336.695,3 7.648.534,4 9.088.023,3

Biaya operasional 61.549,1 540.734,2 779.842,6 2.564.060,6 3.946.186,5

Biaya bunga 70.057,7 416.273,3 1.700.202,1 2.431.624,8 4.618.157,9

Kredit 804.980,3 10.336.041,3 12.803.857,4 34.879.523,8 58.824.401,7

Dana pihak ke3 1.086.768,5 11.168.706,0 19.707.610,0 50.963.709,7 82.926.794,2

Pendapatan 221.721,2 1.387.546,8 4.073.357,3 9.121.323,7 14.803.949

Sumber : Hasil olahan data

Dari hasil penghitungan data di atas, terlihat bahwa Bank BNI 46 akan mencapai

efisiensi tehnis dengan menggunakan bantuan dari benchmarknya yang dalam hal ini

adalah BRI, BSM, Standart Chartered Bank dan Bank Danamon. Yaitu sebaiknya

merubah masing – masing input dan output dengan nilai - nilai yang dianjurkan.

b. Kinerja Bank Tabungan Negara

Bank Tabungan Negara ( BTN ) adalah bank milik pemerintah dengan jumlah

modal paling kecil dibandingkan dengan bank pemerintah lainnya. BTN pada

awal pendiriannya mempunyai spesifikasi produk penyediaan rumah untuk rakyat

khususnya pegawai negeri dengan program KPR BTN, namun dalam

perkembangan selanjutnya BTN mempunyai produk – produk yang semakin

beragam. Dibandingkan dengan BRI, BNI apalagi bank Mandiri, pertumbuhan

aset dan juga pendapatan BTN memang tergolong lambat.

Dari hasil olahan data dengan menggunakan DEA diperoleh hasil bahwa BTN

belum mencapai efisiensi dengan rasio inefisiensi sebesar 97,01 % relatif lebih

baik dibandingkan dengan BNI 46. Nilai – nilai efisiensi pada bank BTN seperti

pada tabel berikut ini :

Tabel 9. Hasil perhitungan efisiensi variabel input dan output BTN

Variabel Actual Target To Gain ( %) Achieved (% )

Modal 1.035.696 1.004.754,4 3,0 % 97,0 %

Biaya Bunga 1.515.953 832.859,4 45,1 % 54,9 %

Biaya Operasional 1.232.374 1.195.556,7 3,0 % 97,0 %

Kredit 12.607.340,0 12.607.340,0 0,0 % 100,0 %

Dana Pihak ketiga 18.572.262 18.602.145,4 0,2 % 99,8 %

Pendapatan 3.218.633 3.218.633,0 0,0 % 100,0 %

Sumber : Hasil olahan data

Dari data tersebut di atas, diperoleh bahwa sumber inefisiensi adalah pada

ketiga variabel input dan satu variabel output yaitu dana pihak ketiga. Secara

rinci, inefisiensi bisa dijabarkan sebagai berikut :

Modal belum optimal dengan tingkat inefisiensi sebesar 3%. Modal yang

digunakan oleh BTN adalah sebesar Rp 1.035.696 juta padahal untuk mencapai

Page 19: Jurnal Efisiensi Bank

19

output tersebut hanya dibutuhkan modal sebesar Rp 1.004.754,4. Alternatif solusi

yang bisa dilakukan adalah dengan mengurangi modal, namun hal ini kurang

realistis, sehingga kegiatan yang sebaiknya dilakukanadalah dengan

mengoptimalkan output karena pencapaian dengan variabel input ini baru 97%.

Biaya bunga, sumber inefisiensi terbesar dari BTN adalah biaya bunga dengan

nilai inefisiensi sebesar 45,1 %. Biaya bunga secara aktual di BTN adalah

sebesar Rp 1.515.953 juta, padahal seharusnya bisa ditekan menjadi hanya

sebesar Rp 832.859,4 juta.

Biaya operasional, sumber inefisiensi yang lain adalah pada biaya operasional di

mana biaya operasional aktualnya adalah sebesar Rp 1.232.374 juta sedangkan

sebenarnya biaya operasional bisa ditekan menjadi Rp 1.195.556,7 juta. Atau

mungkin tetap mempertahankan biaya operasional namun capaian atau output

harus lebih tinggi dibandingkan dengan saat ini.

Dana Pihak ketiga, dari sisi output, hanya dana pihak ketiga yang belum efisien

dengan tingkat inefisiensi yang sangat kecil yaitu sebesar 0,2%. Aktual dana

pihak ketiga adalah Rp 18.572.262 juta yang seharusnya masih bisa

dioptimalkan menjadi Rp 18.602.145,4 juta.

Dari hasil analisis di atas bisa disimpulkan bahwa sumber inefisiensi

pada Bank tabungan Negara terutama adalah dari sisi inputnya di mana ketiga

input tidak efisien, sedangkan dari sisi output hanya dana pihak ketiga yang

belum mencapai efisiensi. Beberapa alternatif solusi yang mungkin bisa ditempuh

adalah

Alternatif solusi pertama yang ditawarkan adalah dengan melakukan evaluasi

terhadap penggunaan input – inputnya yaitu disesuaikan dengan target yang ada.

Alternatif solusi yang kedua adalah dengan meningkatkan outputnya agar

penggunaan input bisa mencapai target maksimal .

Alternatif solusi ketiga, yang mungkin dilakukan adalah dengan mengacu pada

efisiensi reference set-nya atau benchmarknya. Untuk BTN, benchmarknya

adalah Bank Mandiri, Bank Syari’ah Mandiri dan Standart Chartered Bank. Cara

dalam melihat alternatif ketiga adalah dengan menggunakan acuan input dan

ouput bank Mandiri sebesar 0,024, Bank Syari’ah Mandiri sebesar 0,667 dan

menggunakan Standart Chartered Bank sebesar 1,238. Sehingga nilai perhitungan

dalam alternatif ketiga adalah sebagai berikut :

Page 20: Jurnal Efisiensi Bank

20

Tabel 10. Hasil penghitungan dengan menggunakan benchmark (dalam juta)

Kriteria Mandiri BSM SCB Total Modal 486.882,7 335.999,0 181.872,8 1.004.750,90

Biaya operasional 225.451,7 186.160,0 421.247,7 832.859,40

Biaya bunga 133.846,7 143.311,5 918.398,5 1.195.556

Kredit 2.132.662,6 3.558.415,5 6.916.261,9 12.607.34

Dana pihak ke3 4.111.603,1 3.845.079,1 10.645463,0 18.602145,40

Pendapatan 540.632,6 477.694,3 2.200.306,1 3.218.63

Sumber data diolah

Dari hasil penghitungan dengan menggunakan benchmarknya maka penggunaan

input dan output bisa mencapai maksimal manakala mengikuti input dan output

yang dianjurkan dengan mengacu pada masing – masing bank benchmarknya.

c. ABN AMRO

ABN AMRO merupakan bank swasta nasional yang sudah lama berdiri meskipun di

Indonesia sendiri baru mulai dikenal. Langkah – langkah yang dilakukan oleh ABN

AMRO cukup mencolok dibandingkan dengan perbankan lain. Dengan kredit tanpa

jaminan yang besarnya sampai 50 juta, ABN AMRO mulai dikenal dan

terosialisasikan kepada masyarakat. Hal ini dibuktikan dengan semakin benyaknya

nasabah yang dimiliki . Kinerja secara keuangan ABN AMRO cukup baik , namun

secara efisiensi tehnis belum,meskipun inefisiensi yang terjadi sangat kecil. Dari

hasil analisis dengan menggunakan DEA ditemukan tingkat efisiensi ABN AMRO

adalah sebesar 99,82%. Artinya nyaris sempurna secara efisiensi tehnis. Namun

adanya baiknya untuk tetap kita analisis bahwa variabel – variabel mana yang

inefsiensi. Tabel efisiensi bisa dilihat sebagai berikut :

Tabel 11 Tabel inefisiensi

Variabel Actual Target To Gain ( %) Achieved (% )

Modal 636.085 634.934 0.2 99.8

Biaya Bunga 400.405 399.680 0.2 99.8

Biaya Operasional 732.561 731.235 0.2 99.8

Kredit 5.405753 5.405.753 0.0 100.0

Dana Pihak ketiga 11.902.079 11.902.079 0.0 100.0

Pendapatan 1.467.431 1.822.065,8 24.2 85.6

Sumber : Hasil olahan data

Dari hasil olahan data ternyata inefisiensi yang terjadi di ABN AMRO dari sisi

input dengan tingkat inefisiensi yang kecil. Hal ini akan sangat memudahkan

ABN AMRO dalam menyelesaikan masalah inefisiensi di perusahaannya.

Sedangkan inefisiensi yang cukup nyatra terjadi di variabel output yaitu

pendapatan dengan tingkat inefisiensi sebesar 24,2 %. Hal ini mengandung arti

bahwa ternayata input – input yang ada di ABN AMRO tersebut belum cukup

Page 21: Jurnal Efisiensi Bank

21

mampu untuk mendatangkan pendapatan dalam jumlah yang optimal. Pendapatan

yang ducapai oleh ABN AMRO baru sebesar Rp 1.467.431 padahal dalam

tingkat efisiensi yang penuh ABN AMRO bisa mendapatkan pendapatan sebesar

Rp 1.822.065,8 juta. Terdapat 4 bank yang bisa digunakan oleh ABN AMRO

sebagai referensinya yaitu BSM, Lippo Bank, CitiBank dan Standart Cartered

Bank.

KESIMPULAN DAN SARAN

Dari hasil penelitian tersebut bisa disimpulkan bahwa pertama lembaga

keuangan perbankan di Indonesia pasca krisis tahun 1997 – 1998 secara umum telah

berkembang dengan cukup menggembirakan terbukti dengan terus meningkatnya kinerja

keuangan di masing masing lembaga keuangan perbankan tersebut. Kedua Bank Umum

pemerintah mempunyai tingkat efisiensi tehnis yang lebih rendah dibandingkan dengan

bank swasta nasional dan asing. Dari 13 jumlah sample bank yang diteliti ternyata

terdapat 3 bank yang belum mempunyai efisiensi penuh yaitu Bank BNI 46 dengan

tingkat efisiensi sebesar 84,58 %. Kemudian Bank BTN yang mempunyai tingkat

efisiensi sebesar 97,01. Sedangkan di sisi bank swasta ABN AMRO belum mencapai

nilai maksimal dengan tingkat efisiensi sebesar 99,82% .Ketiga Sumber inefisiensi

terbesar pada masing – masing bank adalah dari sisi input.

SARAN

Berdasarkan kesimpulan di atas maka bisa diberikan saran sebagai berikut

pertama bank – bank yang efisien hendaknya terus untuk mempertahankan efisiensinya,

namun bukan hanya dengan membiarkan kedua input dan output tersebut, namun dengan

meningkatkan input dan output dengan ukuran yang sama.Kedua untuk menjadi efisien,

bank – bank yang belum efisien harus memperhatikan input atau output yang menjadi

sumber inefisiensi untuk terus diperbaiki. Acuan peningkatan efisiensi adalah dengan

melihat benchmark dari masing – masing bank.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih Sri, 1995, Ekonomi Mikro, edisi 1, BPFE. Yogyakarta

Dendawijaya Lukman, 2001, Manajemen Perbankan, Ghalia Indonesia, Jakarta

Dendawijaya Lukman, 2004, Lima Tahun Penyehatan Perbankan Nasional ( 1998 –

2003 ) . Ghalia Indonesia, Jakarta

Page 22: Jurnal Efisiensi Bank

22

Hasibuan Nurimansjah, 1993, Ekonomi Industri, Pustaka LP3ES, Jakarta

Kasmir, 2002, Bank dan lembaga Keuangan Lainnya, PT Raja Grafindo Persada,

Jakarta

Lestari, Etty P, 2003. Efisiensi Tehnis Perbankan di Indonesia Tahun 1995 – 1999,

Jurnal Empirika, Fakultas Ekonomi UMS Vol 16 Desember

Maysun, 2005, Analisis Kinerja Bank Syari’ah dan Bank Konvensional di

Indonesia ( Studi kasus pada bank dengan kinerja keuangan sangat bagus pada

asset 1 – 10 trilyun rupiah, Skripsi

Pusat Antar Universitas (PAU) UGM, 2005. Modul Metodologi Penelitian Empiris

DEA, Yogyakarta

Pusat Pendidikan kebansentralan Bank Indonesia (PPSK) BI , 2003, Bank Indonesia

Bank Sentral Republik Indonesia : tinjauan kelembagaan, kebijakan dan

organisasi, BI Jakarta.

Republik Indonesia, Undang – Undang No 7 tahun 1992 tentang Perbankan

Republik Indonesia, Undang – Undang No 10 tahun 1998 tentang perubahan atas

undang – undang no 7 tahun 1992 tentang perbankan

Republik Indonesia, Undang – Undang no 23 tahun 1999 tentang Bank Indonesia.

S Permono Iswandono, 2000, Analisis Efisiensi Industri Perbankan Di Indonesia

Studi Kasus Bank – Bank Devisa di Indonesia tahun 19991 – 1996. Jurnal

Ekonomi dan Bisnis Indonesia Vol II Januari.