jurnal dr ismi hipertensi pada obesitas
DESCRIPTION
bahan bacaan jurnal hipertensiTRANSCRIPT
Mekanisme Hipertensi yang dipengaruhi oleh Obesitas
Hubungan antara obesitas dan hipertensi diketahui dengan baik pada anak dan
dewasa. Mekanisme yang menjelaskan bagaimana obesitas menyebabkan hipertensi
secara langsung masih dalam penelitian. Rangsangan dari sistem saraf simpatis telah
dipertimbangkan mempunyai peran penting dalam pathogenesis hipertensi yang
dipengaruhi oleh obesitas. Tekanan arterial mengatur mekanisme diuresis dan
natriuresis, menurut prinsip umpan balik positif, meningkatkan tekanan darah pada
individu obese. Selama fase awal dari obesitas, terjadi retensi natrium sebagai hasil
dari peningkatan reabsorbsi tubulus renal. Terjadi peningkatan volume cairan
ekstraselular dan cairan di apparatus ginjal diatur pada tingkatan hipertensi, menetap
pada keadaan hipertensi karena penumpukan cairan. Nilai aktivitas plasma renin,
angiotensinogen, angiotensin II, dan aldosteron menunjukkan peningkatan yang
drastis selama obesitas. Resistensi insulin dan inflamasi dapat mengakibatkan
perubahan fungsi vascular yang berakhir dengan hipertensi. Leptin dan neuropeptide
lain mungkin mempunyai hubungan antara obesitas dan perkembangan dari
hipertensi. Obesitas sebaiknya dianggap sebagai penyakit kronis, yang kemungkinan
membutuhkan penanganan jangka panjang. Memahami mekanisme yang terkait
dengan hipertensi yang dipengaruhi oleh obesitas sangat penting untuk keberhasilan
rencana terapi.
1
Pendahuluan
Obesitas adalah suatu kelainan yang umum berkembang dari interaksi antara
genotip dan lingkungan dan terkait factor social, perilaku, cultural, psikologikal,
metabolic dan genetic. Banyak penelitian telah membuktikan bahwa obesitas
mempunyai pengaruh yang sangat buruk pada kesehatan pada suatu populasi, yang
mengarah pada rekomendasi untuk para dokter umum untuk berperan serta dalam
penanganan kondisi tersebut dan komorbid yang berhubungan seperti hipertensi,
hiperlipidemia, dan hiperinsulinemia/ resistensi insulin. Hubungan antara obesitas
dan hipertensi diketahui dengan baik pada anak dan dewasa. Seseorang dengan
obesitas menunjukkan tekanan darah yang lebih tinggi, baik saat istirahat dan saat
beraktivitas dari kanak-kanak sampai lansia. Subjek dengan obesitas menunjukkan
tekanan darah yang lebih tinggi dibandingkan dengan subjek yang tidak obesitas
bahkan pada skala normotensi. Perpaduan antara obesitas, hipertensi, dan factor risiko
kardiovaskular lain secara signifikan meningkatkan kemungkinan terjadinya kelainan
kardiovaskular, dan meningkatkan pertimbangan untuk pemberian penanganan yang
agresif.
Mekanisme yang menjelaskan bagaimana obesitas menyebabkan hipertensi
secara langsung masih dalam penelitian. Studi pada manusia dan binatang telah
menjelaskan fungsi dari derivate jaringan adipose (adipokin dan sitokin), jalur
neurohumoral, mekanisme fungsi dan modulasi metabolic dari pressor/ depressor.
Meskipun hipertensi yang berhubungan dengan obesitas mungkin merupakan hasil
dari kombinasi atau tumpang tindih dari beberapa factor berikut, ulasan sistemik dari
data terkait masing-masing mekanisme yang memungkinkan akan menamah
pemahaman dari masing-masing peran dari perkembangan penyakit tersebut.
(Gambar 1)
2
Aktivasi Simpatis pada Obesitas
Aktivasi dari sistem saraf simpatis (SSS), yang diukur secara langsung dan
tidak langsung, diduga mempunyai peranan penting dalam pathogenesis hipertensi
pada pasien dengan obesitas. Teknik mikroneurografik, suatu metode langsung untuk
mengukur peningkatan aktifitas SSS, menunjukkan tingginya aktifitas SSS pada otot
pasien dengan obesitas. Masukan kalori yang tinggi meningkatkan proses pemakaian-
pembuangan (turnover) norepinefrin di jaringan perifer, meningkatkan konsentrasi
norepinefrin saat istirahat– pengukuran tidak langsung dari aktifitas SSS – dan
menguatkan peninkatan norepinefrin di plasma sebagai respon dari rangsangan
seperti saat postur tegak. Diet tinggi lemak dan karbohidrat secara tajam
menstimulasi reseptor perifer a1 dan b-adrenergik, yang mengarah ke peningkatan
aktifitas simpatis dan hipertensi. Diet makanan cafeteria (jajanan) dilaporkan
meningkatkan regulasi tirosin hidroksilase hipotalamik dan ekspresi gen
adrenoreseptor hipotalamik dari reseptor [α]2B pada tikus yang obesitas dah
hipertensi. Terlebih lagi, blockade farmakologis dari aktifitas adrenergic pada
percobaan (dengan clonidine menghambat kedua a dan b adrenergic atau modulasi
simpatis sentral) menghambat peningkatan tekanan darah pada anjing yang diberikan
diet tinggi lemak. Hasil serupa telah dilaporkan pada manusia. Penghambatan
Kombinasi a dan b- adrenergic secara signifikan mengurangi tekanan darah pada
individu obese dibandingkan dengan pasien yang kurus dengan hipertensi. Tetapi
peningkatan aktifitas simpatis tidak menjelaskan peningkatan frekuensi detak jantung
pada obesitas. Peningkatan frekuensi detak jantung merupakan efek dari penurunan
aktifitas parasimpatis. Kebalikannya, penurunan berat badan secara wajar akan
menurunkan aktifitas dari SSS. Peningkatan aktifitas eferen simpatis pada nervus
peroneal tidak dapat dikarakteristikkan pada semua pasien obese, tetapi hanya pada
orang=orang yang memiliki obstructive sleep apnea, dan masih diperdebatkan.
3
Telah ada pengecualian yang dilaporkan dari penemuan tingginya aktifitas
SSS dengan peningkatan jaringan adipose. Pima Indians memiliki prevalensi tertinggi
dari obesitas dan hiperinsulinemia di dunia, tetapi mempunyai angka kejadian
hipertensi dan aterosklerosis yang relative rendah. Aktifitas SSS pada otot yang
rendah telah dilaporkan pada Pima Indians yang menunjukkan kemungkinan
perbedaan dengan kelompok etnik lain dan memastikan pentingnya peningkatan
regulasi SSS dalam mekanisme hipertensi yang berhubungan dengan obesitas.
Mekanisme yang menjelaskan peningkatan aktifitas simpatis pada obesitas adalah
gangguan fungsi dari sensitifitas baroreseptor, peningkatan kadar FFA’s (free fatty
acids), angiotensin (Ang) II, insulin dan leptin.
Baroreseptor arteri sangat berespon terhadap peningkatan tekanan darah
dengan adanya peningkatan parasimpatis dan penghambatan simpatis. Sensitifitas
yang berkuran dari baroreflex arterial bermanifestasi sebagai menurunnya frekuensi
detak jantung sampai pada perubahan tekanan darah pada orang dengan hipertensi
dan obesitas yang berdiri dalam jangka waktu yang lama, diduga karena mekanisme
yang beragam, termasuk peningkatan dari pengeluaran simpatetik sentralis dan efek
dari lesi arteriosklerotik yang mengarah pada kekakuan arteri besar dimana reseptor
4
berada. Kami telah melaporkan peningkatan ketebalan arteri carotis intima media
pada individu obesitas yang mengarah pada proses awal dari arterosklerosis pada
obesitas. Sensitifitas baroreflex yang terganggu mengarah pada penarikan modulasi
parasimpatis jantung, yang terjadi pada obesitas bahkan dengan tidak adannya
peningkatan tekanan arteri.
Peningkatan kadar FFA’s telah dilaporkan pada hipertensi dengan obesitas.
Distribusi abnormal dari FFAs pada pasien obese, meningkatkan sensitifitas a-
adrenergik vascular sehingga meningkatankan tonus a-adrenergik. Lisophospholipids
dan FFAs menghambat Na, K-ATPase dan pompa Na sehingga meningkatkan tonus
otot polos pada vascular dan resistensi. Ikatan lisofofolipid dan FFAs dengan Na/K-
ATPase merubah interaksi dari enzim sekitar protein membrane dan menyebabkan
pembentukan modul yang dapat menghasilkan signal yang banyak. Sebagai hasilnya,
produksi dari spesies reaktif terhadap oksigen terbentuk. Target lain dari FFAs adalah
isoenzim kalsium yang independen dari protein kinase C, yang sangat penting untuk
me-mediasi sinyal transduksi ddan regulasi sel. FFAs bekerja sebagai activator dari
proses foforilasi dari protein kinase C. penelitian lain menyebutkan aksi langsung dari
FFAs yang lepas dari fosfolipid pada kanal ino di membrane sel dari otot polos dan
jaringan lain.
Hall et al. melaporkan bahwa aktifitas renin plasma menunjukkan peningkatan
yang signifikan selama obesitas, mengesampingkan peningkatan volume cairan
ekstraselular dan retensi natrium pada anjing yang diberikan diet tinggi lemak.
Terlebih lagi, penelitian pada pasien yang sedang menjalani diet rendah natrium, yang
mengaktifasi sistem renin angiotensin (SRA), menunjukkan potensial aksi pada
presinaps dari Ang II pada neurotransmisi simpatis.
5
MEKANISME RENAL
Gangguan tekanan natriuresis
Mekanisme pengaturan tekanan arterial pada diuresis dan natriuresis menurut
prinsip umpan balik positif tampaknya mengarah pada peningkatan tekanan darah
pada pasien obese. Gangguan dari mekanisme ini yang akan meninggikan tekanan
darah, meningkatkan eksresi natrium dan air melalui tekanan natriuresis dan diuresis.
Selama eksresi banyak terjadi, cairan ekstraselular berkurang sehingga menurunkan
ambilan vena dan cardiac output sehingga tekanan darah kembali normal. Sebaliknya,
ketika tekanan darah menurun, ginjal menahan garam dan air sampai tekanan arterial
kembali normal. Maka, tekanan natriuresis bertindak sebagai kunci dalam sistem
umpan balik penstabilan tekanan darah dan volume cairan tubuh. Selama fase awal
dari obesitas, sebelum kehilangan fungsi nefron karena gangguan glomerular, retensi
natrium terjadi sebagai hasil dari reabsorbsi tubulus ginjal. Hal ini mungkin
dikompensasi dengan vasodilatasi ginjal, peningkatan filtrasi glomerular dan
peningkatan filtrasi cairan dan elektrolit. Sebagai hasil dari kompensasi yang tidak
utuh, cairan ekstraselular bertambah sehingga terjadi perubahan hiperensi pada
tekanan natriuresis. Perubahan pada apparatus ginjal menjadi hipertensif, menetap
dengan adanya hipertensi karena terjadi penumpukan cairan. Penyebab lain dari
perubahan natriuresis terhadap hipertensi pada obesitas adalah kemungkinan
perubahan dari tekanan intrarenal yang diakibatkan dari perubahan histology pada
medulla renalis yang dapat menekan lengkung henle dan vasa recta.
Fungsi dari SRA pada hipertensi dengan obesitas.
Beberapa penelitian menunjukkan tingginya aktifitas kadar renin plasma,
angiotensin pada plasa, dan Ang II dan aldosteron yang dihubungkan dengan
obesitas. Hall et al. melaporkan peningkatan aktifitas renin plasma dua kali lipat
setelah lima minggu pemberian diet tinggi lemak pada anjing yang sadar. Terlebih
lagi, pembatasan lemak berhasil mengurangi kadar komponen SRA, yang
menunjukkan kemungkinan bahwa tingkat keberadaan adipose mempunyai pengaruh
6
langsung terhadap sistem pengaturan tekanan darah. Dibawah kondisi normal, SRA
mewakili mekanisme regulasi, yang menghambat variasi ekstrim pada tekanan
arterial yang terjadi akibat dari asupan garam. Penghentian pembentukan Ang II
selama asupan tinggi garam, menurunkan rasio peningkatan tekanan darah,
sebagaimana ditunjukkan pergeseran ke kiri pada kurva fungsi renal yang mendekati
tekanan darah awal.
Meskipun terdapat ekspansi volume yang berarti dan retensi natrium pada
obesitas, beberapa mekanisme bertanggung jawab terhadap aktifasi dari SRA. Sekresi
renin oleh ginjal dipengaruhi oleh perubahan fisik intrarenal, dari penumpukan lemak
sekitar dan di dalam medulla renalis. Karena perubahan histology yang menyebabkan
penekanan di medulla, alur filtrasi berkurang di lengkung henle sehingga terjadi
penambahan waktu pada reabsorbsi natrium. Deteksi dari berkurangnya natrium,
yang sampai pada sel distal tubulus ginjal, dengan macula densa mengarah pada
peningkatan renin, melalui umpan balik di tubuloglomerular.
Penelitian terbaru menjelaskan fungsi yang bermakna dari jaringan adipose
pada peningkatan takanan darah. Angiotensin yang berasal dari jaringan adipose
dapat masuk ke sirkulasi. Sel adipose merupakan tempat utama dimana semua
komponen dari SRA dibentuk. Renin, Ang II, reseptor angiotensin dan Ang II banyak
ditemukan di jaringan adipose sehingga dapat diperkirakan sistem Ang jaringan
tertentu ditentukan oleh kadar adiposit jaringan tersebut. SRA pada jaringan dan
sirkulasi selalu berinteraksi. Angiotensin, Ang I, dan Ang II secara local diproduksi
dan disaat yang bersamaan diambil oleh sel, dimana reseptor Ang II berekspresi
secara berlebihan. Produksi Angiotensinogen berperan sebagai penyebab dan efek
dari hipertrofi adiposit dan mengarah pada peningkatan tekanan daran melalui aksi
Ang II, yang meninduksi vasokonstriksi sistematis, retensi air dan natrium secara
langsung, dan penurunan produksi aldosteron. Sebagai hasil, Ang II menentukan
kondisi tekanan darah yang sensitive terhadap tingginya kadar garam pada obesitas
karena diproduksi secara missal dan tidak ditekan dengan penambahan volume.
Potensi mekanisme lain dari aktifasi SRA mungkin adalah elevasi kronis dari tonus
7
simpatis, yang menyebabkan vasokonstriksi ginal dan hipertensi kronis yang
tergantung pada renin.
Perubahan Struktur Ginjal
Diantara beberapa penyebab dari gangguan fungsi ginjal, data terbaru
mengungkap factor-faktor yang membangkitkan perubahan struktur ginjal, yang
dimana, merupakan akibat dari kehilangan nefron, yang berpengaruh terhadap
perubahan tekanan natriuresis. Tekanan fisik pada kedua ginjal akibat dari
pengumpulan jaringan lemak sekitar organ tersebut, menekam fungsi penting dari
obesitas visceral pada perkembangan penyakit ginjal. Perubahan posisi dari matrix
ekstraselular di seluruh medulla renalis tersebar dan jaringan yang mengelilingi
duktus Bellini di ujung vascular prolaps. Peningkatan jumlah sel interstitial dan
peningkatan materi tinggi lemak dan proteoglikan menekan parenkim ginjal kearah
ujung-ujung ginjal yang mengakibatkan bentuk ginjal menjadi bulat dan besar.
Kompresi ginjal berpengaruh pada vascular (vasa recta) dan tubular (lengkung Henle)
yang mengakibatkan aktifasi dari SRA dan peningkatan reabsorbsi natrium.
Cidera ginjal pada obesitas tampaknya tergantung pada bobot tubuh,
dibuktikan dengan diet yang rendah lemak dapat memperbaiki histology ginjal.
Temuan histology awal adalah dengan jumlah lesi fokal-segmental
glomerulosklerosis yang sedikit, lebih dalam lagi glomerulomegali karena fibrosis
dan hialinosis glomerular, termasuk penumpukan lemak di glomeruli dan adhesi
kapsula Bowman. Beberapa penelitian mengatakan bahwa penumpukan lemak adalah
akibat dari perubahan metabolism lemak. Peningkatan regulasi dari enzim lipogenik
dan penurunan jumlah factor lipolisis mungkin berarti lipotoxisitas terdapat pada
daerah yang sedang di teliti. Glomerulomegali telah di observasi terhadap 100%
biopsy ginjal pada penelitian patologi klinik dari glomerulopathy pada obesitas.
Meskipun terdapat angka yang tinggi dari glomerulomegali, perubahan glomerulus
pada cedera ginjal akibat obesitas tidak dapat dibandingkan dengan nefropati diabetic,
karena tidak terdapat perubahan yang bermakna pada ruang mesangial. Sebab lain
8
dari cedera ginjal mungkin adalah ekspresi yang berlebihan dari Ang II yang
mengakibatkan peningkatan factor proliferative seperti mentransformasi growth
factor-β dan inhibitor plasminogen activator, diet tinggi protein, termasuk
hiperinsulinemia yang merupakan penyebab pengeluaran insulin growth factor.
Semua diatas dapat mengarah pada perubaha di glomeruli. Terdapat juga bukti bahwa
SSS merespon hipoksia dan dapat berpengaruh pada sirkulasi ginjal pada pasien
dengan obstructive sleep apne, sebuah kelainan yang sering didapatkan pada populasi
obesitas. Hiperfiltrasi sebagai hasil dari peningkatan aliran darah ke ginjal selalu ada
pada obesitas, jauh sebelum terjadinya glomerulopati. Maka, penyebab utama dari
sklerosis dari dinding glomerulus adalah karena stress fisik maka terjadi lingkaran
setan yaitu cedera pada nefron, perburukan retensi natrium, tekanan arteri meningkat
lebih tajam untuk mempertahankan keseimbangan natrium.
Dengan tidak adanya diabetes mellitus dan hipertensi, glomerulopati yang
berhubungan dengan obesitas mungkin tidak mengakibatkan gangguan ginjal.
Proteinuria sangat jarang terjadi pada subjek tersebut. Mikroalbuminuria terdeteksi
pada 25 dari 207 pasien obesitas non-diabetik pada penelitian di Valensi. Penemuan-
penemuan ini mengungkapkan bahwa cedera ginjal yang berhubungan dengan
obesitas harus didefinisikan sebagai bentuk khusus dari glomerulosklerosis fokal-
segmental yang secara perlahan berkembang menjadi penyakit ginjal end-stage.
Fungsi Hormon
Obesitas adalah keadaan dimana toleransi glukosa yang terganggu, kadar
insulin darah tinggi, dan sensitifitas insulin menurun. Kondisi ini didefinisikan
sebagai resistensi insulin. Apakah hiperinsulinemia atau resistensi insulin yang
merupakan kelainan awal, belum dapat dijelaskan. Telah dijelaskan bahwa
hiperinsulinemia dapat mengkompensasi penurunan sensitifitas insulin. Normalnya,
insulin menunjukkan efek retensi natrium melalu aksinya di tubulus ginjal.
Peningkatan retensi natrium akibat hiperinsulinemia dapat menyebabkan peningkatan
tekanan darah. Sechi dan Leonardo menunjukkan bahwa diet tinggi garam pada tikus
9
normal menyebabkan penurunan kerja reseptor insulin pada ginjal. Tetapi, pada tikus
hipertensi, autoregulasi tersebut tidak bermakna.
Pada beberapa penelitian insulin juga terbukti mempunyai aksi
simpatoeksitatory akut pada subjek normotensif dan borderline hipertensi, atas
indikasi dengan adanya peningkatan aktifitas SSS otot dan kadar norepinefrin setelah
pemberian insulin. Pengeluaran insulin memberikan efek hipoglikemi, yang
merupakan activator dari SSS. Terlebih lagi, respon vasodilator untuk meningkatkan
uptake glukosa dan oksigen menyebabkan aktivasi reflex baroreseptor dan untuk
meningkatkan aktifitas otot. Insulin mungkin mempunyai efek simpatoeksitatorik
langsung pada sistem saraf pusat. Tetapi, dalam penelitan Sakaguchi dan Bray,
injeksi insulin pada hipotalamus ventromedial menurunkan aktifitas saraf simpatis
dari pusat. Aspek lain dari pemberian insulin adalah efek depressor simultan dari
vasodilatasi perifer yang ditengahi oleh mekanisme b-adrenergik. Terlebih, takikardia
yang diinduksi oleh insulin meningkatkan tonus parasimpatis.
Hiperinsulinemia kronik telah dihubungkan dengan gangguan aksi
vasodilatasi dari insulin. Vasokonstriksi di lengan bawah telah dilaporkan selama
pemberian insulin pada pasien dengan resistensi insulin berat. Temuan ini
menunjukkan hiperinsulin mengakibatkan perubahan fungsi vascular. Disfungsi
vascular merupakan factor penting untuk memahami implikasi jangka panjang dari
insulin sebagai penyebab dari hipertensi. Apakan hipertensi diakibatkan oleh
pengeluaran insulin yang berlebihan, resisten terhadap insulin, atau efek trofik
vascular, masih belum bisa dijelaskan. Resistensi insulin telah dibuktikan sebagai
pemicu peningkatan simpatis, melalui stimulasi b-adrenergic dan atau vasokonstriksi
yang diikuti oleh penurunan aliran darah ke otot.
Leptin dan neuropeptida
Hiperleptinemia adalah penghubung lain antara obesitas dan perkembangan
hipertensi. Leptin adalah hormone peptide yang disekresikan dari jaringan adipose
yang sebanding dengan besarnya jaringan adipose tersebut. Banyaknya leptin yang di
10
sekresikan dari adiposit ke sirkulasi berikatan dengan reseptor pendek dan di angkut
melewati blood brain barrier ke nucleus arkuatus, regio di hipotalamus untuk
mentransmisi pengaturan pengeluaran neuropeptida ke jaringan perifer. Efek utama
leptin pada sistem neuronal hipotalamus adalah mengurangi nafsu makan, dan
meningkatkan termogenesis dan pengeluaran energi, melalui stimulasi aktifitas
simpatis. Efek-efek tersebut dimediasi oleh dua jalur utama; dengan mengeluarkan
aksi regulasi positif melalui ekspresi peptide yang berasal dari propiomelanocortin –
α melanocyte-stimulating hormone (α-MSH) – yang di atur oleh tingginya kadar
leptin, yang lainnya menunjukkan aksi kebalikannya melalui ekspresi dari peptide
yang berhubungan dengan agouti dan neuropeptida Y (NPY). Molekul α-MSH terikat
dengan reseptor melanokortin 3 dan 4 (MC3R dan MC4R), bekerja sebagai agonis,
menstimulasi SSS, meningkatkan pengeluaran energy dan mengaktivasi aksis
hipotalamus-pituitari-adrenal. Penelitian pada tikus dan manusia dengan defisiensi
leptin karena mutasi gen yang mengekspresikan leptin (ob gene) menunjukkan
insidensi obesitas yang tinggi. Peningkatan aktifitas SSS berkembang perlahan
(beberapa jam setelah pemberian leptin), dan pada jangka panjang, dapat
menginduksi hipertensi yang diakibatkan oleh simpatetik yang berkembang melalui
peningkatan reabsorbsi natrium di tubulus dan overload volume cairan. Aksi
kardiovaskular dari leptin sangat dihindari dengan mengkombinasi penghambatan a-
dan b- adrenergic. Sebagai tambahan, efek penekanan leprin yang lama seharusnya
diatur secara simultan oleh produksi nitrit oksida endotel (NO). Kehilangan NO yang
berasal dari endotel meningkatkan tekanan darah. Di sisi lain, peptide yang
berhubungan dengan agouti adalah ligan antagonis dari sistem reseptor MC3/MC4.
Pepti yang berhubungan dengan agouti di ekspresikan saat puasa meningkatkan nafsu
makan. Meskipun individu yang obesitas mempunyai kadar leptin di sirkulasi yang
tinggi, aksi metabolic dari leptin yang diharapkan yaitu penurunan nafsu makan dan
peningkatan pembentukan energy, tidak ada. Resistensi selektif terhadap aksi leptin
tampaknya terdapat pada obesitas, dimana aksi nya menstimulasi tonus simpatis
menetap. Gangguan transportasi leptin ke hipotalamus mungkin merupakan
penyebab. Terlebih lagi, ekspresi yang berlebihan dari penekanan signal sitokin 3
11
oleh tingginya kadar leptin di sirkulasi, yang menyebabkan mekanisme umpan balik,
telah diperkirakan mempunyai peranan pada pathogenesis resistensi leptin.
Hubungan erat antara hiperleptinemia dengan hipertensi telah didukung
dengan observasi yang didapatkan dari tikus yang obesitas dan defisiensi leptin, tetapi
tidak menunjukkan adanya hipertensi. Obesitas tidak selalu meningkatkan tekanan
darah pada tikus, dan kemungkinan juga pada manusia, dan respon tekanan arterial
terhadap obesitas tergantung dari mekanisme genetic dan neuroendokrin. Mutasi
mungkin dapat mengurangi fungsi dari leptin. Defisiensi MC4R menghilangkan aksi
kardiovaskular dan metabolic dari leptin pada tikus obesitas dengan MC4R dan
kemungkinan juga pada manusia. Tekanan darah telah dilaporkan lebih rendah pada
subjek dengan defisiensi MC4R dibandingkan dengan kelompok control. Maka,
fungsi MC4R penting untuk aksi jangka panjang dari leptin pada kardiovaskular dan
metabolic. MSH mempunya fungsi penting pada keinginan untuk makan, metabolism
energy, dan inflamasi. α- dan -MSH secara cepat meningkatkan tekanan darah dan
detak jantung melalui stimulasi pengeluaran saraf simpatis dari pusat. Aksi dari α-
MSH dimediasi oleh MC4R, dimana defisiensi -MSH atau gangguan MC3R pada
tikus mengarah pada hipertensi kemungkinan melalui mekanisme sentral. Hipertensi
yang sensitive terhadap garam disertai dengan perkembangan resistensi insulin.
Stimulasi SSS dari leptin utamanya muncul di ginjal, kelenjar adrenal, dan jaringan
lemak coklat. Bukan hanya dengan stimulasi SSS yang merukapan mediator yang
menyebabkan reaksi kardiobvaskular dari hiperleptinemia. Difungsi endotel juga
telah dilaporkan merupakan aspek penting dari efek leptin. Leptin dipercaya
meningkatkan toksisitas endothelium dengan menggangu sintesis NO endotel.
NPY merupakan neurotransmitter yang juga di ekspresikan di nucleus
arkuatus hipotalamus dalam keadaan puasa, mempunyai efek orexigenic yang
dikombinasikan dengan penurunan termogenesis dan neuron simpatis. Semua aksi
diatas dimediasi oleh ikatan NPY dengan reseptor Y1 – Y6 di hipotalamus.
Normalnya, ekspresi NPY ditekan dengan kadar leptin yang tinggi. Pada keadaan
resisten leptin dimana efek metabolic leptin sedikit, NPY dianggap terlalu banyak
12
berekspresi. NPY yang lepas dari neural site oleh aktifasi simpatis sebagai
vasokonstriktor dan mungkin mempunyai peranan pada hipertensi pada obesitas.
Adiponektin adalah hormone peptid yang berasal dari jaringan lemak, akhir-
akhir ini dikenal sebagai molekul penyeimbang regulasi energy. Adiponektin
merepresentasikan factor lipolitik dan regulator positif dari sensitifitas insulin, juga
mencegah proses ateronegenesis dengan menghambat pembentukan foam-cell.
Adiponektin berinteraksi dengan reseptor perifer AdipoR1 dan AdipoR2, yang juga
ditemui pada nucleus arkuatus hipotalamus. Adiposity dicirikan dengan defisiensi
adiponektin, yang mengakibatkan peningkatan termogenesis, meskipun tidak
berpengaruh terhadap nafsu makan. Adiponektin plasma berhubungan secara terbalik
dengan resistensi insulin. Kekurangan adiponektin pada tikus menunjukkan resistensi
insulin dan aterogenesis yang berat. Data tersebut menunjukkan bahwa
hipoadiponectinemia adalah salah satu factor penyebab gejala kardiovaskular pada
pasien obesitas.
Ghrelin adalah hormone orexigenic yang disekresikan oleh sel oxyntik dari
lambung. Sekresinya dipicu oleh puasa. Ghrelin adalah agonis reseptor hormone
pertumbungan endogen di hipotalamus. Meskipun produksi ghrelin telah diketahui
ditekan oleh adiposity, tinggi nya kadar ghrelin dilaporkan meningkat pada pasien
hipertensi dengan obesitas. Penurunan berat badan dapat meningkatkan kadar ghrelin.
Terlebih lagi, ghrelin dapat menurunkan tekanan darah, memperbaiki fungsi endotel
dan menghambat stress oksidatif pembuluh darah pada tikus yang hipertensi.
Endocannabinoid merepresentasikan derivate asam lemak polyunsaturated,
yang ikut serta dalam sistem signal neuromodulatori untuk mengatur keseimbangan
asupan makanan dan tingkat kejenuhannya. Cannabioids terdiri dari lemak endogen
yang dihasilkan di membrane sel dari sel post-junction dan dua tipe reseptor
transmembran G-coupled, CB1 dan CB2. Reseptor CB1 mempengaruhi homeostasis,
konsumsi makanan, metabolism lemak dan glukosa melalui ekspresi molekulnya
pada jaringan sentral dan perifer. Mereka terlokalisir di beberapa daerah di sistem
13
saraf pusat, dan ketika diaktivasi, akan menstimulasi nafsu makan, dimana efek
jangka panjangnya adalah obesitas dengan endocannabinoid yang terlalu aktif.
Reseptor CB1 juga ditemukan di beberapa daerah perifer seperti di sel otot polos,
hepar, otot skelet, dan endotel serta otot polos pembuluh darah. Aktivasi dari sistem
endoannabinoid telah di implikasi pada hipotensi yang dimediasi oleh CB1 yang
berhubungan dengan hemoragik, septic, syok kardiogenik, dan sirosis hepar lanjut.
Sistem endocannabinoid yang terlalu aktif dapat menginduksi lipogenesis hepar
melalui ekspresi dari transkripsi factor sterol element binding protein-1c dan target
enzim asetil-CoA karboksilase dan sintesis asam lemak yang mengurangi konsumsi
oksigen dan ambilan glukosan pada otot, menurunkan sekresi adiponektin di jaringan
lemak dan akhirnya mempengaruhi transmisi dari signal kejenuhan dari traktur
gastrointestinal. Jelas bahwa stimulasi sistem endoannabinoid merepresentasikan
sumber factor risiko, termasuk obesitas visceral, resistensi insulin, intoleransi
glukosa, hiperlipidemia, dan penurunan adiponektin. Blockade dari reseptor CB1 bisa
saja merupakan pendekatan terapi baru untuk mengurangi risiko cardiometabolic
total, tetapi efek samping psikiatri merupakan perhatian besar. Penelitian terbaru
menunjukkan penurunan berat badan sebagian besar karena peningkatan pengeluaran
energy bukan karena berkurangnya nafsu makan. Sebuah meta-analisis dari pengaruh
rimonabant terhadap tekanan darah pada pasien dengan hipertensi, menjelaskan
adanya efek hipotensi dibandingkan dengan placebo dan mungkin terdapat efek
penekanan rimonabant dapat membatasi penurunan tekanan darah yang bisa
didapatkan dari penurunan berat badan.
Kortikosteroid
Hipotesis yang menjelaskan bahwa aksis hipotalamus-pituitari-adrenal
mungkin berperan dalam patofisiologi hipertensi pada obesitas yang didukung dengan
adanya kemiripan fenotip antara cushing’s syndrome dan obesitas visceral.
Glukokortikoid meningkatkan asupan makanan, mengurangi pengeluaran energy dan
meningkatkan resistensi insulin, akumulasi lemak, dan hipertensi. Banyak tikus yang
obesitas, yang digambarkan dengan hiperkortikosteroidemia dengan peningkatan
14
berat badan, menunjukkan adanya penurunan berat badan setelah adrenalektomi dan
dibantu dengan pemberian glukokortikoid. Meskipun glukokortikoid plasma normal
pada pasien obesitas idiopatik, telah di laporkan bahwa intra-adiposa glukokortikoid
meningkat. Pasien obesitas memiliki kadar adipose dari 11b-hydroxysteroid
dehydrogenase-1 yang tinggi, enzim yang merubah kortisol 11-keto inaktif menjadi
aktif. Tikus aP2-HSD1, dengan ekspresi berlebih dari enzim tersebut di sel lemak,
mengidap obesitas visceral dengan resistensi insulin, dislipidemia dan hipertensi.
Sensitifitas tikus tersebut terhadap garam meningkat dan terjadi peningkatan
angiotensin plasma, Ang II dan aldosteron. Hipertensi pada tikus aP2-HSD1 dapat
dihilangkan dengan antagonis reseptor Ang II pada dosis rendah. Temuan ini
mengungkapkan bahwa aktivasi local dari glukokortikoid di lemak menginduksi
aktivasi SRA, yang me mediasi hipertensi yang sensitive terhadap garam pada
obesitas.
Disfungsi Endotel dan Perubahan Struktur Pembuluh Darah
Terdapat bukti yang menguatkan signifikansi dari disfungsi endotel pada
pathogenesis hipertensi. Obesitas merepresentasikan sebuah keadaan inflamasi
(vascular dan sistemik) yang dapat menyebabkan disfungsi endotel. Resisten insulin,
kadar adiponektin yang rendah, kadar leptin yang tinggi, meningkatkan glukosa
plasma dan FFA dianggap sebagai indeks profil inflamasi. Serangkaian jalur signal
insulin di perintahkan untuk berfungsi akibat inflamasi dan pertumbuhan endotel
yang tidak terkendali yang menyebabkan disfungsi endotel dan akhirnya hipertensi.
NO, yang merupakan derivate dari endotel pembuluh darah, meningkatkan
vasodilatasi, disaat yang bersamaan melindungi dari inflamasi dan agregasi trombosit.
Aktivasi Insulin-dependent phosphoinositide 3-kinase biasanya mengakibatkan
fosforilasi dari sintesis NO endotel dan menyebabkan peningkatan produksi NO.
dengan keadaan resisten insulin, jalur tersebut ditekan kemudian mengakibatkan
gangguan pada sintesis NO, dimana hiperinsulinemia meningkatkan kadar endotelin-
1 vasokonstriktor, tetapi jalur mitogen-activated protein-kinase yang memediasi
15
produksi endotelin-1 tidak terganggu. Sebagai hasil, terdapat ketidakseimbangan
antara vasodilator dan vasokonstriktor di endotel pembuluh darah. Jalur lain dari
mitogen-activated protein-kinase adalah adhesi molekul, adhesi sel molekul-1 pada
pembuluh darah, adhesi molekul-1 dan E-selectin pada interselular oleh sel endotel,
yang meningkatkan adhesi monosit ke dinding pembuluh darah. Mekanisme serupa
bisa sampai di operasi akibat dari peningkatan kadar glukosa dan FFA di serum.
Derivate biologis aktif yang beragam berasal dari sel adiposa, termasuk
spesies oksigen reaktif, molekul proinflamasi dan inflamasi (interleukin-1β,
interleukin-6, tumor nekrosis factor-α, C-reactive protein), factor angiogenetik
(vascular endothelial growth factor), komponen hemostasis, (plasminogen activator
inhibitor-1, thromboxane A2) dan protein yang bereaksi saat fase akut (serum
amyloid A proteins, C-reactive protein). Aktivasi dari factor ini rantai κ ringan dapat
menambah sel B aktif (NK-κB) dan IκB kinase karena akumulasi lemak merupakan
pengaruh yang besar terhadap pengeluaran proinflamatori dan prothombotik, yang
mengindikasikan adanya gangguan fungsi vascular yang mengarah kepada
perkembangan hipertensi.
Studi sebelumnya juga melaporkan bahwa rata-rata ketebalan intima media
arteri karotid internal meningkat dari yang terendah ke yang tertinggi berdasarkan
kuartil BMI. Ketebalan media intima lebih signifikan ditemukan lebih tinggi pada
kelompok obesitas dibandingkan dengan kelompok berat badan normal pada untuk
usia, jenis kelamin dan tekanan darah pada level yang sama.14 Hasil ini menunjukkan
bahwa obesitas per se mungkin menjadi faktor risiko utama untuk carotid
aterosklerosis. Ketebalan intima media pada subyek obesitas secara independen
berhubungan dengan kadar serum glukosa puasa, menunjukkan bahwa hiperglikemia
pada obesitas merupakan prediktor penting dari carotid aterosklerosis. Ketika proses
aterosklerosis berlangsung, arteri-arteri besar menjadi kaku. Peningkatan kecepatan
gelombang denyut nadi dan kekakuan arteri dapat menyebabkan hipertensi obesitas.
Peningkatan aktivitas simpatik dan aktivasi RAS menyebabkan vasokonstriksi arteri
kecil dan remodeling, dimana peningkatan ketebalan dinding pada rasio lumen dapat
16
bersinergis dengan kerusakan arteri besar untuk meningkatkan BP. Pada pasien
obesitas, kecepatan denyut aorta meningkat bukan hanya karena kekakuan aorta,
tetapi juga mungkin karena remodeling dari arteri-aretri kecil dan menengah. Hasil
dari perubahan tersebut, akan terlihat jumlah tekanan nadi pada arteri perifer muncul
lebih awal dibanding arteri pusat sehingga meningkatkan tekanan darah sistolik.
Pendekatan terapi untuk obesitas yang diikuti hipertensi
Pedoman saat ini menunjukkan bahwa modifikasi gaya hidup dan
pengurangan berat badan berlaku untuk semua pasien hipertensi terkait obesitas.3 Diet
rendah kalori dapat mengurangi total asupan kalori 500-1000 kalori per hari harus
diusulkan. Tujuan dari pendekatan ini dapat menjadi cara untuk menurunkan berat
badan secara sederhana (10% penuruna berat badan dalam 6 bulan) dibandingkan
melakukan diet ekstrim yang mana biasanya dapat menyebabkan berat badan cepat
kembali. Secara sederhana, pembatasan asupan garam, asupan rendah lemak jenuh
dan kolesterol dengan meningkatkan konsumsi buah-buahan, sayuran dan biji-bijian
sangat direkomendasikan.79, 80 Aktivitas fisik yang cukup menjadi pelengkap dalam
setiap program diet.81 Penerapan terapi perilaku diet termasuk self-monitoring,
dukungan psikologis dan manajemen stres juga dapat sangat membantu. Hanya
sedikit pasien yang mampu mempertahankan program penurunan berat badan secara
jangka jangka panjang dengan intervensi gaya hidup. Pendekatan secara pembedahan
harus disediakan untuk pasien obesitas (BMI > 40 kg/m2) dengan hipertensi dan
faktor komorbid lainnya.80 Secara prospektif, pada penelitian Swedish Obese Subjects
Study,82 subjek yang menjalani operasi bariatrik secara umum memiliki angka
kematian yang lebih rendah dan penurunan berat badan jangka panjang, dengan rata-
rata 10,9 tahun selama follow-up, dibandingkan dengan kelompok kontrol yang
menerima pengobatan konvensional. Kelompok yang melakukan pembedahan
ditemukan 10 tahun lebih rendah memiliki tingkat insidensi terkena diabetes,
hipertrigliseridemia dan hyperuricemia, tetapi tidak pada hipertensi dibandingkan
dengan kelompok kontrol. Temuan ini mungkin menunjukkan bahwa penurunan berat
17
badan yang dicapai oleh operasi bariatrik mungkin tidak mengakibatkan penurunan
BP secara jangka panjang.
Pengobatan farmakologi untuk obesitas juga dianjurkan secara selektif pada
pasien yang banyak dipengaruhi oleh obesitas dan gejala sisa. Bobot berat badan yang
memungkinkan direduksi oleh obat termasuk orlistat, fat-absorption (lipase) inhibitor
dan sibutramine, obat penekan nafsu makan dengan kerja di pusat (norepinefrin dan
serotonin reuptake inhibitor).81 Orlistat mereduksi BP83 dengan efek samping
megurangi penyerapan vitamin yang larut dalam lemak. Sibutramine telah dilaporkan
dapat menyebabkan takikardi dan mungkin meningkat BP83 sebagai akibat dari
interaksi antara efek sistem saraf pusat dan perifer, stimulasi sistem saraf perifer dan
clonidine-like inhibitor pada sistem saraf pusat.84 Rimonabant, sebuah novel-CB1
reseptor inhibitor pada SSP dan jaringan perifer, telah dihubungkan dengan tingkat
peningkatan gangguan kecemasan dan depresi, dan European Medicines Agency
baru-baru ini telah merekomendasikan penghentian izin edar untuk obat-obatan
obesitas.
18
Meskipun semua kategori obat antihipertensi dapat diberikan pada pasien
hipertensi dengan obesitas, namun ada beberapa keterbatasan (Gambar 2). Diuretik
terutama dalam dosis tinggi memberikan efek samping yang signifikan seperti
hiperglikemia, hiperlipidemia, dan hyperuricemia.85 Penghantaran
obat ini pada pasien obesitas akan memperberat gangguan tersebut. β-blocker dapat
menyebabkan gangguan lipid dan metabolisme glukosa dan tidak boleh digunakan
sebagai terapi pilihan pertama pada pasien hipertensi dengan obesitas kecuali pada
indikasi yang spesifik.86, 87 Namun, efek ini tampaknya kurang terlihat pada obat
vasodilatasi b-blocker yang baru seperti carvedilol dan nebivolol.88 Obat Pilihan
pertama untuk hipertensi dengan obesitas adalah reseptor Ang antagonis dan ACE
inhibitor dimana keduanya dihubungkan dengan insidensi kecil pada diabetes85 dan
efek yang menguntungkan pada hipertrofi ventrikel kiri dan nefropati. Ca+ + channels
19
antagonis dapat digunakan sebagai alternatif atau dapat ditambahkan pada
pengobatan dengan reseptor Ang antagonis dan ACE inhibitors, jika BP tidak ada
efek pada pengobatan monoterapi.89 Ca antagonis adalah obat metabolik netral dan
menunjukkan efek
yang menguntungkan pada kerusakan target organ. Diuretik Thiazide pada dosis
rendah bisa ditambahkan jika BP tidak dapat dikendalikan, meskipun obat ini
mungkin memiliki beberapa efek buruk pada psien dengan resistensi insulin dan
diabetes dengan onset yang baru.85 Komorbiditas lainnya termasuk dislipidemia dan
diabetes juga harus secara tepat diobati untuk mengurangi seluruh risiko
kardiovaskular pada pasien obesitas.
Obesitas harus dianggap sebagai suatu kondisi medis yang kronik, yang
kemungkinan akan memerlukan pengobatan jangka panjang. Adanya kondisi-kondisi
yang muncul pada obesitas seperti hipertensi dan diabetes mungkin merupakan
indikasi untuk terapi lebih agresif. Beberapa terapi pendekatan mungkin diperlukan
untuk mencapai tujuan yang diinginkan. Pemahaman tentang mekanisme yang
berhubungan dengan hipertensi pada obesitas menjadi bahan penting untuk strategi
pengobatan yang tepat guna. Ke depannya penelitian tentang mekanisme hipertensi
terkait obesitas sangat diperlukan, dan dapat berfungsi sebagai dasar untuk terapi
lebih efektif dan dapat ditoleransi dengan baik.
KONFLIK KEPENTINGAN
Penulis menyatakan tidak ada konflik kepentingan pada tulisan ini.
20