jurnal dinamika maritim vol iv no. 1 th 2014.pdf

75
Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair… Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah ISSN: 2086-8049 Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9 1 PEMBANGKIT BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PERIKANAN MENGGUNAKAN MICROBIAL FUEL CELL DENGAN JUMLAH ELEKTRODA YANG BERBEDA Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Institut Pertanian Bogor E-mail: [email protected] ABSTRAK Listrik adalah salah satu hal yang paling penting dalam suatu bangsa dan bahkan untuk setiap orang di dunia ini. Krisis energi yang terjadi memaksa kita untuk mengembangkan alternatif sumber energi terbarukan untuk menggantikan penggunaan minyak bumi yang menjadi sumber utama bagi masyarakat. Banyak pilihan pengganti, sel bahan bakar merupakan salah satu contoh dari suatu teknologi alternatif. Sel bahan bakar mikroba adalah sel bahan bakar dimana bakteri menggunakan bahan organik sebagai sumber untuk metabolisme mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari kemampuan air limbah dalam memproduksi listrik melalui sel bahan bakar mikroba (MFC) teknologi dengan nomor yang berbeda dari elektroda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang tunggal katoda udara. Jumlah elektroda yang digunakan adalah satu pasang elektroda, dua pasang elektroda, tiga pasang elektroda, dan empat pasang elektroda. Tegangan listrik diukur dalam 5 hari (120 jam) dan kualitas air limbah yang kandungan nitrogen total, total Amonia Nitrogen (TAN), Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, MLVSS dan dianalisis di setiap tiga hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan dari dua pasang elektroda adalah cara yang optimal untuk menghasilkan tenaga listrik. Sistem ini MFC juga dapat mengurangi beban pencemaran air limbah perikanan yang ditunjukkan dari penurunan total nitrogen, TAN, BOD, COD dalam lima hari. Kata kunci: listrik terbarukan, elektroda, air limbah perikanan, sel bahan bakar mikroba ABSTRACT Electricity is one of the most important things in a nation and even for every single people in the world. Energy crisis that happened force us to develop an alternate of renewable energy source to substitute the use of petroleum that being the main sources to society. In many choices of the substitute, fuel cell is one of the examples of an alternate technology. Microbial fuel cell is a fuel cell where bacteria use the organic material as a source for their metabolism. This research purposed to study the ability of wastewater in producing electricity through microbial fuel cell (MFC) technology with different number of electrodes. The method used in this research is single chamber air cathode. The number of electrodes used are one pair electrode, two pairs of electrode, three pairs electrode, and four pairs electrode. The electricity voltage was measured in 5 days (120 hours) and the wastewater quality which are the total nitrogen content, Total Ammonia Nitrogen (TAN), Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, and MLVSS were analyzed in every three days. The result of this research showed that the treatment of two pairs electrode is the optimum treatment to produce the electricity power. This MFC‟s system can also reducing pollution load of fisheries wastewater which was indicated from the reducing of total nitrogen, TAN, BOD, and COD in five days. Key word: Renewable electricity, electrode, fisheries wastewater, microbial fuel cell

Upload: phungdang

Post on 08-Dec-2016

272 views

Category:

Documents


11 download

TRANSCRIPT

Page 1: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

1

PEMBANGKIT BIOLISTRIK DARI LIMBAH CAIR INDUSTRI PERIKANAN

MENGGUNAKAN MICROBIAL FUEL CELL DENGAN JUMLAH ELEKTRODA

YANG BERBEDA

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Listrik adalah salah satu hal yang paling penting dalam suatu bangsa dan bahkan untuk setiap orang di

dunia ini. Krisis energi yang terjadi memaksa kita untuk mengembangkan alternatif sumber energi

terbarukan untuk menggantikan penggunaan minyak bumi yang menjadi sumber utama bagi

masyarakat. Banyak pilihan pengganti, sel bahan bakar merupakan salah satu contoh dari suatu

teknologi alternatif. Sel bahan bakar mikroba adalah sel bahan bakar dimana bakteri menggunakan

bahan organik sebagai sumber untuk metabolisme mereka. Penelitian ini bertujuan untuk mempelajari

kemampuan air limbah dalam memproduksi listrik melalui sel bahan bakar mikroba (MFC) teknologi

dengan nomor yang berbeda dari elektroda. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang

tunggal katoda udara. Jumlah elektroda yang digunakan adalah satu pasang elektroda, dua pasang

elektroda, tiga pasang elektroda, dan empat pasang elektroda. Tegangan listrik diukur dalam 5 hari

(120 jam) dan kualitas air limbah yang kandungan nitrogen total, total Amonia Nitrogen (TAN),

Biological Oxygen Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, MLVSS dan

dianalisis di setiap tiga hari. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa perlakuan dari dua pasang

elektroda adalah cara yang optimal untuk menghasilkan tenaga listrik. Sistem ini MFC juga dapat

mengurangi beban pencemaran air limbah perikanan yang ditunjukkan dari penurunan total nitrogen,

TAN, BOD, COD dalam lima hari.

Kata kunci: listrik terbarukan, elektroda, air limbah perikanan, sel bahan bakar mikroba

ABSTRACT

Electricity is one of the most important things in a nation and even for every single people in the

world. Energy crisis that happened force us to develop an alternate of renewable energy source to

substitute the use of petroleum that being the main sources to society. In many choices of the

substitute, fuel cell is one of the examples of an alternate technology. Microbial fuel cell is a fuel cell

where bacteria use the organic material as a source for their metabolism. This research purposed to

study the ability of wastewater in producing electricity through microbial fuel cell (MFC) technology

with different number of electrodes. The method used in this research is single chamber air cathode.

The number of electrodes used are one pair electrode, two pairs of electrode, three pairs electrode, and

four pairs electrode. The electricity voltage was measured in 5 days (120 hours) and the wastewater

quality which are the total nitrogen content, Total Ammonia Nitrogen (TAN), Biological Oxygen

Demand (BOD), Chemical Oxygen Demand (COD), MLSS, and MLVSS were analyzed in every

three days. The result of this research showed that the treatment of two pairs electrode is the optimum

treatment to produce the electricity power. This MFC‟s system can also reducing pollution load of

fisheries wastewater which was indicated from the reducing of total nitrogen, TAN, BOD, and COD

in five days.

Key word: Renewable electricity, electrode, fisheries wastewater, microbial fuel cell

Page 2: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

2

PENDAHULUAN

Listrik merupakan salah satu komponen yang sangat berperan banyak dalam kehidupan suatu bangsa dan bahkan bagi setiap manusia. Beberapa manfaat listrik adalah untuk kemudahan rumah tangga, pendidikan, produksi (industri), bahkan kesehatan. Krisis listrik akhir akhir ini menurut Suyanto et al. (2010) terjadi karena peningkatan pertumbuhan penduduk yang menyebabkan permintaan energi listrik semakin besar sedangkan pasokan energi listrik semakin menipis. Krisis energi memicu pengembangan sumber energi alternatif (renewable) untuk mensubstitusi penggunaan minyak bumi yang selama ini menjadi sumber energi utama bagi masyarakat. Sel elektrokimia berbasis mikroba atau microbial fuel cell (MFC) merupakan sel bahan bakar yang memanfaatkan materi organik untuk digunakan oleh mikroba sebagai sumber energi dalam melakukan aktivitas metabolismenya. Energi fuel cell tidak selalu harus bersumber dari hidrogen murni, melainkan juga dapat bersumber dari zat-zat lain yang mengandung hidrogen atau menghasilkan elektron. Pemanfaatan air buangan sebagai sumber energi (substrat) diharapkan biaya operasional dapat ditekan menjadi lebih murah (Sitorus 2010). Salah satu limbah yang dapat dimanfaatkan adalah limbah industri perikanan. Limbah industri perikanan mengandung banyak bahan organik dalam konsentrasi tinggi karena kandungan lemak, protein, dan nutrien lainnya. Kandungan bahan organik yang tinggi dalam limbah cair industri perikanan menyebabkan limbah ini menjadi sumber pertumbuhan bagi mikroba (Suprihatin dan Romli 2009). Sebanyak 1.300 m

3/hari limbah cair dihasilkan pada musim

ikan (Romli dan Suprihatin 2009). Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mempelajari kemampuan limbah cair perikanan sebagai penghasil listrik melalui teknologi microbial fuel cell (MFC), serta mengetahui jumlah elektroda yang optimal untuk menghasilkan energi listrik dalam sistem MFC MATERIAL DAN METODE Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan pada penelitian ini antara lain lumpur aktif, limbah ikan berupa kulit dan sisa daging, akuades, K2Cr2O7, H2SO4.Ag2SO4, indikator ferroin, ferrous ammonium sulfat [Fe(NH4)2(SO4)2], NaOH 45%, HCl 0,05 N, indikator mengsel,

NaOH 0,05 N, Kertas saring Whatman 42, bahan uji amonia. Alat-alat yang digunakan pada penelitian ini antara lain, kaca akrilik, elektroda karbon grafit, kabel, multimeter digital tipe DT 830B, botol Erlenmeyer, buret, pipet, botol DO, DO meter (Lutron DO5510), aerator, spektrofotometer (Optima SP-300), oven (Yamamoto Drying Oven DV 41), tanur (Yamamoto Muffle Furnace FM 38), cawan porselen, dan desikator.

METODE PENELITIAN Pembuatan limbah cair buatan

Limbah cair buatan dibuat menggunakan limbah padat pengolahan ikan (isi perut, kulit, dan insang). Hal ini dilakukan untuk menjaga kestabilan karakteristik limbah cair yang digunakan untuk percobaan. Pembuatan limbah cair dilakukan menurut cara Ibrahim et al. (2009) yakni limbah potongan daging dan kulit ikan yang diperoleh dari proses pengolahan filet ikan dicincang, selanjutnya direbus pada air mendidih selama 10 menit dengan rasio berat ikan (kg) dan volume air (liter) adalah 1:5. Air rebusan disaring untuk memisahkannya dari padatan dan ampas ikan. Air rebusan yang dingin siap digunakan untuk percobaan, kemudian dilakukan analisis karakteristik limbah cair buatan meliputi BOD, COD, total nitrogen, dan total amonia nitrogen.

Persiapan alat MFC Bejana yang digunakan terbuat dari bahan akrilik dengan dimensi 10x7x10 cm. Volume limbah cair yang digunakan adalah 700 mL. Elektroda yang digunakan adalah karbon grafit berukuran 7x1x1 cm. Sistem MFC yang digunakan merupakan sistem MFC satu bejana tanpa membran mengacu pada penelitian Lovley (2006). Lumpur aktif dimasukkan ke dalam MFC yang berisi limbah cair dengan perbandingan antara lumpur aktif dan limbah cair sebesar 1:10. Perlakuan yang diberikan pada penelitian ini adalah pemberian katoda dan anoda sebanyak satu pasang, dua pasang, tiga pasang, dan empat pasang dalam satu bejana dengan 3 kali ulangan.

Gambar 1. Skema sistem alat MFC

katoda

pengaduk

dynamo

anoda

Page 3: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

3

Pengukuran elektrisitas

Masing-masing elektroda grafit di

kedua bejana dihubungkan dengan kabel lalu

bejana ditutup rapat. Kedua kabel dihubungkan

oleh multimeter. Multimeter diatur untuk

pengukuran daya listrik pada skala terkecil

terlebih dahulu kemudian nilai tegangan yang

tertera pada layar multimeter diamati pada

selang waktu tertentu (Suyanto et al. 2010).

Pengamatan terhadap kualitas limbah cair

dilakukan selama 6 hari dengan mengukur

nilai total nitrogen, TAN, MLSS, MLVSS,

BOD, COD, pada hari ke-0 (awal), 3 (tengah),

dan 6 (akhir). Setiap analisis dilakukan 3 kali

ulangan.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Limbah Cair Perikanan

Karakteristik limbah cair merupakan

hal yang penting untuk diketahui pada tahap

awal proses pengolahan limbah cair. Limbah

cair yang digunakan pada penelitian ini

merupakan limbah cair buatan. Penggunaan

limbah cair buatan sebagai pengganti limbah

cair dari industri perikanan ini agar lebih stabil

selama penelitian (Tabel 1).

Total N yang tinggi dalam limbah cair dapat

berbahaya bagi organisme di dalam air karena

dapat menyebabkan gas buble diseases, yaitu

penyakit yang disebabkan oleh gelembung gas

dalam saluran darah (Firdus dan Muchlisin

2010).

Tabel 1 Karakteristik limbah cair perikanan buatan

Parameter Satuan Limbah cair buatan Limbah cair industri

perikanan*

Total N mg/L 802,8 111

BOD5 mg/L 428 184

COD mg/L 1205,33 571

Amonia mg/L 3,5 1,5

*Sumber: Ibrahim (2007)

Nilai BOD5 dan COD merupakan ukuran

adanya pencemaran air dan dapat

mengakibatkan berkurangnya jumlah oksigen

terlarut (Dwijani et al. 2010).

Semakin tinggi BOD5 dan COD dalam suatu

perairan maka perairan tersebut semakin

tercemar. Senyawa amonia pada air limbah

merupakan produk penguraian dari senyawa

protein, sehingga konsentrasi ammonia yang

tinggi merupakan indikator tingginya proses

penguraian (pembusukan) limbah organic

protein (Poppo et al. 2008).

Kondisi Limbah Cair Perikanan dalam

Sistem MFC

Karakteristik limbah cair perikanan

buatan disajikan pada Tabel 1. Penggunaan

limbah cair perikanan buatan dalam sistem

MFC dilakukan untuk menjamin konsistensi

beban setiap dilakukan pengulangan, karena

limbah cair yang digunakan dari industri

pengolahan secara langsung mempunyai

fluktuasi beban polusi yang tinggi

keragamannnya. Bahan organik yang

terkandung pada limbah cair buatan ini

merupakan sumber bahan bakar pada sistem

MFC. Microbial fuel cell (MFC) merupakan sebuah sel bahan bakar yang mengkonversi energi kimia ke energi listrik. Sumber bahan

bakar pada MFC secara umum berupa bahan organik yang diuraikan oleh mikroba (Lovley 2006). Microbial fuell cell bisa didesain dengan satu atau dua bejana, secara umum MFC dengan dua bejana ini di tengahnya dihubungkan dengan membran penukar ion. Jenis MFC satu bejana ada yang menggunakan membran, tetapi penggunaan membran ini mahal dan lebih mudah rusak saat penggunaannya. Sistem MFC yang tidak menggunakan membran telah dikembangkan untuk pengolahan air limbah (Chang et al. 2006). Sistem MFC dalam penelitian ini menggunakan MFC satu bejana dan ditambahkan lumpur aktif yang digunakan untuk mengolah limbah cair perikanan.

Total Nitrogen Jumlah total nitrogen dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC disajikan pada Gambar 2. Jumlah total nitrogen mengalami penurunan dari hari ke-0 sampai hari ke-6 pada semua perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak memberikan pengaruh signifikan terhadap penurunan total nitrogen selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan berpengaruh secara signifikan terhadap total nitrogen limbah cair perikanan.

Page 4: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

4

Gambar 2 Total N dalam limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

Penurunan jumlah total nitrogen ini terjadi karena adanya proses nitrifikasi. Proses

penurunan total nitrogen ini karena adanya konversi amonia menjadi nitrit oleh bakteri

Nitrosomonas, kemudian nitrit diubah menjadi nitrat oleh bakteri Nitrobacter. Penurunan

jumlah total nitrogen pada pengolahan limbah cair ini bukan masa nitrogennya yang

menurun, tetapi yang terjadi adalah perubahan

bentuk senyawa nitrogen dari amonia menjadi senyawa nitrit dan nitrat. Menurut Ibrahim

(2007), pada proses nitrifikasi terjadi penurunan jumlah nitrogen-amonia pada badan

air, sehingga terjadi penurunan nilai kebutuhan baik oksigen biologis (BOD) maupun kimiawi

(COD). Dalam pengolahan limbah cair tujuannya memang untuk mereduksi

konsentrasi nitrogen dengan cara

membebaskannya ke atmosfer sebagai gas nitrogen melalui proses denitrifikasi biologis.

Biochemical oxygen demand (BOD)

Pengukuran BOD hari ke-0 sampai hari ke-6 terjadi penurunan nilai pada semua

perlakuan. Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan elektroda tidak

memberikan pengaruh signifikan terhadap

penurunan BOD selama di dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari pengamatan

berpengaruh secara signifikan terhadap BOD limbah cair perikanan. Hal ini terjadi karena

adanya aktivitas mikroorganisme yang menggunakan oksigen untuk mengoksidasi

senyawa organik. Hasil pengukuran BOD limbah cair selama di dalam sistem MFC

disajikan pada Gambar 3.

Gambar 3 BOD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

BOD merupakan jumlah miligram oksigen yang dibutuhkan oleh mikroba aerobik untuk

menguraikan bahan organik karbon dalam 1 L air selama 5 hari pada suhu 20±1

oC (BSN

2009). Semakin banyak bahan buangan organik yang ada di dalam air, semakin sedikit

sisa kandungan oksigen yang terlarut di dalamnya (Poppo et al. 2008).

Penurunan BOD ini didukung oleh penelitian yang dilakukan oleh Suyanto et al.

(2010) yang menyebutkan bahwa pada sistem MFC tersebut terdapat aktivitas bakteri yang

menyebabkan penurunan BOD dari hari ke-0

sampai hari ke-5. Analisis BOD merupakan

analisis yang mencoba mendekati secara umum proses-proses mikrobiologis yang

terjadi di dalam air. Perubahan nilai BOD ini menandakan bahwa terjadi kecepatan oksidasi

senyawa organik oleh mikroba.

Chemical oxygen demand (COD) Nilai rata-rata COD pada semua

perlakuan mengalami penurunan pada hari ke-0 sampai hari ke-6. Penurunan nilai COD pada

penelitian ini disebabkan oleh adanya aktivitas mikroorganisme yang menghilangkan zat

organik dalam limbah cair tersebut. Hasil

analisis sidik ragam menunjukkan bahwa

Page 5: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

5

perbedaan elektroda tidak memberikan

pengaruh signifikan terhadap penurunan COD selama di dalam sistem MFC, sedangkan

lamanya hari pengamatan berpengaruh secara

signifikan terhadap COD limbah cair

perikanan. Hasil pengukuran COD limbah cair perikanan selama di dalam sistem MFC

disajikan pada Gambar 4.

Gambar 4 COD limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

Chemical oxygen demand (COD) dapat

didefinisikan sebagai jumlah oksigen yang

diperlukan proses kimia di perairan (Firdus

dan Muchlisin 2010). Makin tinggi nilai COD

menunjukkan bahwa limbah tersebut banyak

mengandung bahan-bahan organik dan

anorganik (Ibrahim et al. 2009). Semakin

banyak bahan buangan organik yang ada di

dalam air, maka semakin sedikit kandungan

oksigen yang terlarut dalam air (Poppo et al.

2008). Senyawa organik yang terkandung

dalam air buangan berguna sebagai makanan

dan pertumbuhan sel baru (Edahwati dan

Suprihatin 2009).

Total Amonia Nitrogen (TAN)

Kandungan amonia yang turun setiap

harinya (Gambar 5) karena adanya aktivitas

mikroorganisme dalam menguraikan senyawa-

senyawa organik yang mengandung nitrogen.

Nilai TAN merupakan kandungan nitrogen

yang terikat dalam senyawa amonia di dalam

air limbah. Mikroorganisme menghidrolisis

bahan-bahan organik yang mengandung

nitrogen terutama protein dan asam-asam

amino bebas. Sehingga konsentrasi nitrogen

ammonia dalam air limbah tersebut

dipengaruhi oleh pertambahan melalui proses

hidrolisis protein dan senyawa nitrogen

organik lainnya dan pengurangan melalui

terbentuknya senyawa nitrit dan nitrat melalui

proses oksidasi senyawa amonia. Hasil analisis

sidik ragam menunjukkan bahwa perbedaan

elektroda tidak memberikan pengaruh

signifikan terhadap penurunan TAN selama di

dalam sistem MFC, sedangkan lamanya hari

pengamatan berpengaruh secara signifikan

terhadap nilai TAN limbah cair perikanan. Hal

ini didukung oleh Dwijani et al. (2010), yang

menyatakan bahwa penurunan kadar amonia

dalam pengolahan air limbah tersebut

disebabkan adanya proses oksidasi N-amonia

lebih besar daripada proses hidrolisis senyawa-

senyawa organik yang mengandung nitrogen

oleh mikroorganisme.

Gambar 5 Nilai TAN limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

Page 6: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

6

Organisme pengurai dalam lingkungan akuatik

akan menguraikan senyawa-senyawa organik

berprotein menghasilkan amonia. Proses

degradasi senyawa organik berikatan N akan

membebaskan amonia disebut amonifikasi.

Degradasi senyawa organik kompleks

bernitrogen seperti protein, menghasilkan

senyawa karbon organik sebagai sumber energi

bagi mikroba dan senyawa N sederhana

sebagai nutrien untuk mensintesis sel (Ibrahim

2007).

MLSS dan MLVSS

Nilai MLSS dan MLVSS pada sistem

MFC selama pengolahan limbah cair disajikan

pada Gambar 6 dan 7. Hasil analisis sidik

ragam menunjukkan bahwa perbedaan

elektroda tidak memberikan pengaruh

signifikan terhadap kenaikan nilai MLSS dan

MLVSS selama di dalam sistem MFC,

sedangkan lamanya hari pengamatan

berpengaruh secara signifikan terhadap

kenaikan nilai MLSS dan MLVSS dalam

limbah cair perikanan. Kenaikan nilai MLSS

dan MLVSS ini menunjukkan adanya

pertumbuhan mikroorganisme di dalam sistem

MFC tersebut. Proses pengolahan limbah cair

yang menggunakan lumpur aktif akan

meningkatkan jumlah mikroorganisme

sekaligus mengurangi senyawa organik di

dalam limbah cair tersebut. Pertumbuhan

mikroorganisme dalam sistem MFC ditandai

dengan adanya pertambahan nilai MLSS dan

MLVSS pada pengolahan limbah cair

menggunakan lumpur aktif.

Gambar 6 MLSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

Gambar 7 MLVSS limbah cair selama proses pengolahan dengan MFC

Page 7: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

7

Biomassa yang dinyatakan dalam MLVSS

adalah mikroorganisme yang memanfaatkan

senyawa-senyawa organik bagi pertumbuhan.

Mikroorganisme yang menjadi perhatian

utama adalah mikroorganisme nitrifikasi dan

denitrifikasi. Kebutuhan pertumbuhan

mikroorganisme memerlukan substrat sebagai

penyedia nutrisi yang dibutuhkan untuk

pembentukan sel-sel baru dalam pertumbuhan

mikroorganisme tersebut. Substrat penyedia

nutrisi merupakan sumber karbon dan

senyawa-senyawa bernitrogen seperti TKN,

amonia, dan nitrat merupakan sumber nitrogen

(Ibrahim 2007).

Elektrisitas dalam sistem MFC

Hasil pengukuran elektrisitas limbah

cair perikanan disajikan pada Gambar 8,

Gambar 9, Gambar 10, dan Gambar 11.

Sistem MFC dengan perlakuan

elektroda 2 pasang merupakan perlakuan yang

menghasilkan rata-rata listrik paling besar

diantara perlakuan lainnya. Perlakuan

elektroda 2 pasang juga menghasilkan listrik

yang berada di atas nilai rata-rata lebih

banyak dibanding nilai yang di bawah rata-rata

pada tiap jam pengukuran. Hasil uji t

menunjukkan bahwa tidak ada perbedaan nilai

listrik antara elektroda 2 pasang dengan

elektroda 4 pasang (p>0,05). Hal ini yang

menjadikan perlakuan pada elektroda 2 pasang

ini lebih optimal dibanding perlakuan lainnya.

Perlakuan dengan elektroda 4 pasang

menghasilkan listrik paling besar pada jam ke-

98, yaitu sebesar 0,445 V dan jam yang sama

pada perlakuan elektroda 3 pasang

menghasilkan listrik sebesar 0,335 V.

Elektroda 2 pasang menghasilkan listrik paling

besar adalah 0,41 V pada jam ke-10, dan

elektroda 1 pasang menghasilkan listrik paling

besar pada jam ke-9, yaitu sebesar 0,389 V.

Besarnya pengukuran listrik pada jam ke-98

menunjukkan bahwa waktu ini merupakan

yang optimal dalam memanfaatkan limbah cair

sebagai penghasil listrik untuk elektroda 3 dan

4 pasang sebelum listrik yang dihasilkan ini

turun kembali.

Elektrisitas dalam sistem MFC diukur

setiap jam selama 5 hari dalam satuan Volt.

Suyanto et al. (2010) menyatakan bahwa

pengukuran setiap jam pada sistem ini karena

tiap reaksi metabolisme di dalam sistem MFC

sangat cepat sekali sehingga memberikan

pengaruh pada besar kecilnya elektrisitas yang

dihasilkan.

Nilai daya listrik yang dihasilkan pada

penelitian ini masih tergolong rendah. Bila

dibanding dengan penelitian sebelumnya

(Ibrahim et al 2013) terjadi peningkatan

sekitar 80% dari 120 mV menjadi 204 mV

walaupun dalam kondisi jumlah elektroda

yang sama. Banyak faktor yang

mempengaruhi nilai daya listrik yang

dihasilkan dalam sistem MFC, diantaranya

kondisi operasi sistem, luas area elektroda,

tipe elektroda dan jenis mikroorganisme (Pant

et al, 2010). Perbedaan daya listrik yang tidak

signifikan yang dihasilkan dalam sistem

dengan elektroda 1, 2, 3 dan 4 pasang

disebabkan oleh sistem rangkaian yang

disusun secara paralel. Hal ini sesuai dengan

berlakunya hukum Ohm.

Fluktuasi daya listrik yang dihasilkan

pada masing-masing perlakuan ini diduga

karena adanya aktivitas metabolisme yang

dilakukan oleh bakteri dan reaksi kimia yang

terjadi dalam sistem. Aktivitas katabolisme

senyawa kompleks menjadi senyawa

sederhana yang menghasilkan ion-ion positif

dan negatif, dan selisih dari laju total energi

yang dihasilkan dan digunakan oleh bakteri

dapat menurun atau meningkat. Fluktuasi daya

listrik yang dihasilkan ini dapat pula

disebabkan oleh interaksi dan persaingan

antara bakteri di dalam substrat pertumbuhan.

Penurunan yang terjadi pada akhir pengukuran

elektrisitas pada MFC disebabkan karena

menurunnya kandungan organik yang

digunakan oleh bakteri sebagai nutrien bagi

pertumbuhan bakteri.

KESIMPULAN

Limbah cair perikanan dapat

dimanfaatkan untuk menghasilkan listrik

melalui teknologi microbial fuell cell (MFC).

Sistem MFC ini dapat menurunkan rata-rata

total N dalam limbah cair perikanan sebesar

16,98%, BOD sebesar 32,05%, COD sebesar

37,4%, dan nilai TAN sebesar 71,74% dari

hari pertama sampai 6 hari pengukuran.

Peningkatan nilai MLSS dengan nilai rata-rata

pengukuran sebesar 2966 mg/L dan nilai

MLVSS sebesar 2683,25 mg/L pada hari

terakhir pengukuran. Perlakuan dengan 2

pasang elektroda merupakan perlakuan yang

optimal dalam menghasilkan energi listrik

dengan teknologi microbial fuel cell meskipun

Page 8: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

8

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

dengan sistem 1, 3 dan 4 pasang elektroda.

DAFTAR PUSTAKA

[BSN] Badan Standarisasi Nasional. 2009. Air

dan Limbah - Bagian 72: Cara Uji

Kebutuhan Oksigen Biokimia

(Biochemical oxygen demand/ BOD)

SNI 6989.72. Jakarta: Badan

Standardisasi Nasional

Chang, Seop I, Moon H, Bretschger O, Kyung

JJ, Il HP, Nealson KH, Hong BK.

2006. Electrochemically active

bacteria (EAB) and mediator-less

microbial fuel cells. Journal of

Microbiology and Biotechnology 16

(2): 163-177

Dwijani WS, Budiarsa IWS, Indra NMW.

2010. Efektivitas sistem pengolahan

instalasi pengolahan air limbah

Suwung Denpasar terhadap kadar

BOD, COD, dan amonia. Jurnal

Kimia 4 (2): 141-148

Edahwati L, Suprihatin. 2009. Kombinasi

proses aerasi, adsorpsi, dan filtrasi

pada pengolahan air limbah industri

perikanan. Jurnal Ilmiah Teknik

Lingkungan 1 (2): 79-83

Firdus, Muchlisin ZA. 2010. Degradation rate

of sludge and water quality of septic

tank (water closed) by using starbio

and freshwater catfish as

biodegradator. Jurnal Natural 10 (1):

Ibrahim B. 2007. Studi penyisihan nitrogen air

limbah agroindustri hasil

perikanansecara biologis dengan

model dinamik activated sludge

model (ASM) 1. [Disertasi]. Bogor:

Sekolah Pasca Sarjana Institut

Pertanian Bogor.

Ibrahim B, Erungan AC, Heriyanto. 2009.

Nilai parameter biokinetika proses

denitrifikasi limbah cair industri

perikanan pada rasio COD/TKN yang

berbeda. Jurnal Pengolahan Hasil

Perikanan Indonesia 12 (1): 31-45

Ibrahim B, Trilaksani W, Apriyani D. 2013.

Potensi biolistrik dari limbah cair

industri perikanan dengan microbial

fuel cell. Jurnal Dinamika Maritim,

Vol III(2):45-55.

Lovley DR. 2006. Bug juice: Harvesting

electricity with microorganisms.

Nature Reviews Microbiology 4:

497-506

Pant D, Bogaert GV, Diels L, Vanbroekhoven

K. 2010. A review of the substrates

used in microbial fuel cells (MFCs)

for sustainable energy production.

Bioresource Technology 6(101):

1533-1543

Poppo A, Mahendra MS, Sundra IK. 2008.

Studi kualitas perairan pantai di

kawasan industri perikanan Desa

Pengambengan, Kecamatan Negara,

Kabupaten Jembrana. Ecotrophic 3

(2): 98-103

Romli M, Suprihatin. 2009. Set up model

industri daur ulang minyak ikan di

Muncar. Jurnal Kelautan Nasional 2:

119-130

Sitorus B. 2010. Diversifikasi sumber energi

terbarukan melalui penggunaan air

buangan dalam sel elektrokimia

berbasis mikroba. Jurnal ELKHA 2

(1): 10-15

Suprihatin, Romli M. 2009. Pendekatan

produksi bersih dalam industri

pengolahan ikan: studi kasus industri

penepungan ikan. Jurnal Kelautan

Nasional 2: 131-143

Suyanto E, Mayangsari A, Wahyuni A, Zuhro

F, Isa SMSH, Sutariningsih ES,

Retnaningrum E. 2010. Pemanfaatan

limbah cair domestik IPAL Kricak

sebagai substrat generator elektrisitas

melalui teknologi microbial fuel cell

ramah lingkungan. Prosiding Seminar

Nasional Biologi UGM, Yogyakarta

24-25 September: 230-242

Page 9: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Pembangkit Biolistrik Dari Limbah Cair…

Bustami Ibrahim, Ella Salamah, Rico Alwinsyah

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 1-9

9

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0 5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100

105

110

115

120

Nil

ai

ra

ta-r

ata

elek

tris

ita

s (V

)

Jam

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0 5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100

105

110

115

120

Nil

ai

ra

ta-r

ata

elek

tris

ita

s (V

)

Jam

0.000

0.100

0.200

0.300

0.400

0.500

0 5

10

15

20

25

30

35

40

45

50

55

60

65

70

75

80

85

90

95

100

105

110

115

120

Nil

ai

rata

-ra

ta

ele

ktr

isit

as

(V)

Jam

Gambar 8 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 1 pasang

Gambar 9 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 2 pasang

Gambar 10 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 3 pasang

Gambar 11 Nilai elektrisitas dalam MFC dengan elektroda 4 pasang

Rata-rata

0,204 V

Rata-rata

0,213 V

Rata-

rata

0,200 V

Rata-rata

0,212 V

Page 10: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

10

STUDI BIOLOGI DAN EKOLOGI HEWAN FILUM Mollusca DI ZONA

LITORAL PESISIR TIMUR PULAU BINTAN

Henky Irawan dan Falmi Yandri

Jurusan Ilmu Kelautan. Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini dilaksanakan di pesisir timur Pulau Bintan yang masuk dalam kawasan

Konservasi Laut Daerah Kabupaten Bintan (KKLD Kab Bintan). Pemilihan lokasi berada pada KKLD

dikarenakan pada kawasan tersebut di lindungi sehingga organisme yang berada di kawasan tersebut

masih dalam kondisi yang alami dan keberadaannya tidak terganggu. Lokasi yang dijadikan tempat

pengambilan sampel di sekitar daerah KKLD tersebut adalah Desa Malang Rapat, Desa Teluk Bakau,

dan Desa Gunung Kijang yang berada di Kelurahan Kawal, wilayah perairan laut Pesisir Timur

Kecamatan Gunung Kijang. Pada lokasi-lokasi tersebut penelitian dilakukan pada zona litoral.

Hasil penelitian menemukan 73 spesies hewan Filum Mollusca dimana terdiri dari 26 spesies

Kelas Bivalvia dan 47 spesies Kelas Gastropoda di pesisir timur pulau bintan. Diantara 47 hewan kelas

gastropoda masih ada 3 hewan yang belum ada nama ilmiahnya. Hewan-hewan Kelas Bivalvia dan

Gastropoda yang ditemukan memiliki kebiasaan hidup melekat pada substrat, menetap tetapi tidak

melekat pada substrat dan bergerak lambat. Keberadaan hewan-hewan tersebut juga terkait dengan

kondisi substrat pasir dan lumpur dimana juga ditemukan dalam lambung hal ini terkait dengan

kebiasaan makan hewan tersebut. Kebiasaan makan hewan-hewan tersebut adalah pemakan endapan

dan penyaring makanan.

Kata kunci: Mollusca, Bivalvia, Gastropoda, Zona litoral

ABSTRACT

This research was conducted on the East coast of Bintan Island, in part of marine conservation

area in Bintan region. The locations were chosen in marine conservation area because the organisem in

that area were protected and still in natural condition. The locations for sampling are at the coastal area

of Malang Rapat Village, Teluk Bakau Villege, and Gunung Kijang Village. Samplings on each

location were take place in litoral zone.

The result from this research is there were 73 species of Mullusk wich is 26 species of

Bivalvia class and 47 species of Gastropod class that were found in east coas of Bintan Island. The

species of Bivalvia and Gastropod were found live attach ti substrat, settle but not attach to substrat,

and moving slowly. The existence of that species has relation with subtsrat sand and mud wich is also

found in their gut, wich shown relation to their feeding habit. The feeding habits of of that species

were deposit freeder and filter feeder.

Keyword: Mollusk, Bivalvia, Gastroopod, Litoral Zone

PENDAHULUAN

Hewan dari filum Mollusca

merupakan hewan avertebrata air yang banyak

di kaji dalam beberapa mata kuliah yang di

ajarkan di Fakultas Ilmu Kelautan dan

Perikanan (FIKP), Universitas Maritim Raja

Ali Haji (UMRAH) yang terletak di

Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.

Dari pengamatan dan penelitian

pendahuluan yang telah di lakukan selama tiga

tahun di daerah perairan laut Pulau Bintan

maka sangat banyak keanekaragaman hewan-

hewan di zona litoral pesisir timur pulau

Bintan yang di temukan sehingga sangat

berpotensi untuk di teliti karena mengingat

telah adanya lembaga akademis yang juga

Page 11: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

11

bergerak di bidang penelitian seperti Fakultas

Perikanan dan Ilmu Kelautan UMRAH dan

belum adanya data mengenai hewan-hewan

dari filum Mollusca ini secara terperinci di

Kepulauan Riau umumnya dan Pulau Bintan

khususnya.

Beberapa hewan dari filum Mollusca

yang sudah dikenal umum adalah siput

gonggong, kerang bulu, cumi-cumi dan sotong.

Hingga saat ini belum ada informasi yang

terperinci mengenai biologi dan ekologi

hewan-hewan tersebut yang terdapat di

perairan laut Pulau Bintan, maka oleh karena

itu sangat perlu di lakukan penelitian agar

dapat memperoleh data mengenai biologi dan

ekologi hewan-hewan filum Mollusca

tersebut.

Tujuan dari studi biologi dan ekologi

hewan filum mollusca di zona litoral pesisir

timur pulau bintan adalah untuk menggali

informasi mengenai biologi dan ekologi hewan

filum Mollusca yang terdapat di perairan

Pulau Bintan sehingga informasi tersebut

nantinya dapat berguna khususnya dalam

memperkaya bahan ajar mata kuliah

avertebrata air, Budidaya Laut dan Pesisir,

Bioteknologi Laut, Bahan Hayati Laut,

Keanekaragaman Hayati Laut, Biologi Laut,

dan Ekologi Perairan yang di ajarkan di

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

Universitas Maritim Raja Ali Haji,

Tanjungpinang Provinsi Kepulauan Riau.

Di harapkan dengan adanya informasi

dari daerah sendiri yang bersifat spesifik lokal

hewan filum Mollusca yang ada di zona litoral

pesisir timur pulau bintan itu sendiri maka

akan menambah wawasan mahasiswa dan

membuat mahasiswa FIKP UMRAH lebih

mengenal potensi keanekaragaman hayati laut

daeranya sendiri.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan pada bulan

Agustus hingga November 2013 yang

bertempat di Kawasan Konservasi Laut Daerah

Kabupaten Bintan (KKLD kab Bintan).

Pemilihan lokasi berada pada KKLD di

karenakan pada kawasan tersebut di lindungi

sehingga organisme yang berada di kawasan

tersebut masih dalamm kondisi yang alami dan

keberadaannya tidak terganggu, lalu dari hasil

pengamatan penelitian pendahulian yang telah

di lakukan di sekitar daerah KKLD tersebut

hewan filum Mollusca dapat dengan mudah di

temukan.

Lokasi yang di jadikan tempat

pengambilan sampel di sekitar daerah KKLD

tersebut adalah Desa Malang Rapat, Desa

Teluk Bakau, dan Desa Gunung Kijang yang

berada di Kelurahan Kawal, wilayah perairan

laut Pesisir Timur Kecamatan Gunung Kijang.

Gambar 1. Peta KKLD Pulau Bintan, Kab

Bintan Prov Kepulauan Riau.

Sumber Satker Direktorat

Konservasi dan Taman Nasional

Laut Direktorat Jenderal Kelautan,

Pesisir, Pulau-Pulau Kecil

Departemen Kelautan Dan

Perikanan. 2009.

Gambar 2. Peta Kecamatan Kabupaten Bintan

Provinsi Kepulauan Riau. Sumber

Bappeda Kabupaten Bintan.2009.

Prosedur Kerja Penelitian

Penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan metode survey lapangan untuk

mengambil hewan Mollusca yang ditemukan,

metode wawancara dengan nelayan dan

penduduk sekitar lokasi, dan metode sampling

dengan mengambil hewan Mollusca sebanyak

Page 12: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

12

3 individu sebagai sampel untukstudi biologi

yaitu pengamatan morfologi dan anatomi di

laboratorium dan mengambil data kualitas

perairan dengan 3 kali ulangan. Setiap kegiatan

penelitian di dokumentasikan dengan

menggunakan kamera digital.

Biologi Mollusca

A. Identifikasi

Identifikasi hewan Mollusca dilakukan

dengan membawa sampel dari lokasi

pengamatan ke laboratorium dan

mengidentifikasi ciri-ciri spesies yang

mengacu pada panduan identifikasi filum

Coelenterata (Suginyo, Widigdo, Wardianto,

Krisanti,. 2005) dan dikonfirmasi serta di

daftarkan World Register of Marine Spesies

dengan alamat website

http://www.marinespecies.org.

B. Pengamatan Morfologi

Pengamatan morfologi juga di lakukan

di laboratorium dan yang dilakukan adalah

dengan menggambarkan bentuk, tubuh, ciri-

ciri spesifik, yang mengacu kepada morfologi

dalam bahan ajar avertebrata air filum

Mollusca oleh Irawan, 2012.

C. PengamatanAnatomi

Pengamatan anatomi juga dilakukan di

laboratorium dan yang dilakukan adalah

dengan membedah tubuh hewan-hewan filum

Mollusca tersebut untuk melihat organ-organ

dalamnya lalu menggambarkannya, yang

mengacu kepada anatomi dalam bahan ajar

avertebrata air filum Mollusca oleh Irawan,

2012.

Ekologi Mollusca

A. Gambaran habitat

Penggambaran habitat Mollusca

dilakukan dengan mengamati keadaan

lingkungan sekitar lokasi penelitian secara

deskriptif.

B. Pengamatan kondisi perairan

Pengamatan kondisiperairan dengan

melihat parameter: Fisika, Kimia dan Biologi

dalam pengamatan in ijuga di lakukan

sampling hewan Mollusca yang diamati lebih

lanjut di laboratorium.Parameter fisika yang di

amati adalah: kecerahan, kedalaman,

danpasangsurut. Parameter Kimia yang di

amati adalah DO, pH, Salinitasbaik yang ada

di permukaandan di dasarperairan.

C. Pengamatan sedimen

Pengamatan sedimen dilakukan

dengan mengambil sedimen permukaan di

lokasi ditemukannya Mollusca. Sedimen

dibawa kelaboratorium untuk diamatistruktur

dan jenisnya secara deskriptif dengan

mikroskop.Karakteristik sedimen yang diamati

adalah tipe sedimen, warna sedimen, dan

organisme yang menempel pada sedimen

tersebut.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Biologi

Telah ditemukan 75 spesies hewan

Filum Mollusca dimana terdiri dari 26 spesies

Kelas Bivalvia dan 47 spesies Kelas

gastropoda di pesisir timur pulau bintan.

Diantar 47 hewan kelas gastropoda masih ada

3 hewan yang belum ada nama ilmiahnya.

Ekologi

1. Suhu

Dari hasil pengukuran suhu perairan

Kampung Galang Batang berkisar antara 27-

30oC. Kawal 26-32,1

oC. Teluk Bakau 28-30

oC

dan Malang Rapat 28-34,5 o

C. Adapun waktu

pengukuran suhu di tiap lokasi dilakukan pada

pagi dan siang hari. Hasil pengukuran siang

hari dengan suhu tertinggi terjadi di perairairan

Malang Rapat dengan 34,5oC dan pagi hari

suhu terendah terdapat di Kawal dengan 26 oC.

Perubahan suhu mengalami kenaikan

dari pagi menjeleng siang hari dan kembali

turun pada sore hari. Tinggi rendah suhu

perairan sangat dipengaruhi oleh intensitas

penyinaran matahari. Tingginya suhu pada

siang hari dikarenakan posisi matahari tegak

lurus dan tidak condong. Berdasarkan

pengukuran suhu perairain didapatkan bahwa

suhu perairan di masing-masing lokasi masih

dalam kondisi normal atau mendukung

kehidupan biota.

2. Salinitas

Salinitas adalah tingkat keasinan atau

kadar garam yang terlarut dalam air. Salinitas

perairan sangat penting untuk mengetahui

karakteristik dari suatu perairan tersebut. Hasil

pengukuran salinitas perairan Kampung

Galang Batang berkisar antara 20-30‰. Kawal

18 - 30‰. Teluk Bakau 30,1 – 33,2‰ dan

Malang Rapat 34,9-36,5 ‰. Hasil pengukuran

salinitas pada saat pasang tertinggi terdapat di

Page 13: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

13

Malang Rapat dan waktu terendah terdapat di

Kawal.

Tinggi rendahnya salinitas suatu

perairan sangat tergantung dari suplai air tawar

dan air asin. Kisaran salinitas di daerah Teluk

Bakau dan Malang Rapat pada waktu pasang

maupun surut dikarenakan suplai air asin dari

laut lebih dominan dibandingkan air tawar dari

sungai dan ini ditunjang dengan kondisi di

daerah tersebut relativ tidak ditemukan sungai

sebagai pensuplai air tawar keperairan.

3. Keruhan

Hasil pengukuran tingkat keruhan di

masing-masing tempat didapatkan rata-rata di

Galang Batang 1,9 ntu, Kawal 1,8 ntu. Teluk

Bakau 0,39 ntu dan Malang Rapat 0,29 ntu.

Kekeruhan suatu perairan sangat dipengaruhi

oleh banyak sedikitnya jumlah partikel

tersuspensi yang terdapat di kolom perairan

yang bersumber dari aliran sungai yang

memasuki perairan, maupun hasil pengadukan

sedimen didasar perairan yang disebabkan oleh

arus maupun gelombang. Meningkatnya

kekeruhan dikolom perairan menyebabkan

kecerahan di perairan menjadi berkurang.

4. Kecerahan

Hasil pengukuran tingkat kecerahan

perairan Kampung Galang Batang berkisar

antara 134 cm – 153.5 cm, Kawal 148 - 163

cm. Teluk Bakau 100 % dan Malang Rapat

100%. Pengukuran kecerahan perairan

dilakukan pada siang hari karena intensitas

cahaya dan posisi matahari berada tegak lurus

dengan bumi, rendahnya nilai kecerahan di

desa Galang Batang dan Kawal sangat erat

dengan suplai air tawar yang bersal dari sungai

karena di daerah ini terdapat sungai yang

bermuara kelaut yang membawa partikel-

partikel tersuspensi. Sementara di Malang

Rapat dan Teluk Bakau tingginya tingkat

kecerahan menunjukan bahwa perairan

tersebut sangat sedikit mengandung partikel-

partikel tersuspensi. tingkat kecerahannya

100%, Hal ini di karenakan pada saat

pengukuran letak piringan sechidisk

menyentuh dasar perairan

Kecerahan sangat penting karena erat

kaitanya dengan proses fotosintesis yang

terjadi diperairan. Dari hasil pengukuran yang

didapat di Kampung Galang Batang Desa

Gunung Kjang termasuk perairan yang subur.

Syukur. (2002) dalam Iman,M.S, (2010)

kecerahan keeping secchi < 3 m adalah tipe

perairan yang subur eutropik, antara 3-6 m

kesuburan sedang mesotrofik dan > 6 meter

digolongkan pada tipe perairan kurang subur

oligotrofik.

5. Arus

Arus yang diukur adalah arus

permukaan. Arus selama pengukuran di

perairan Galang Batang berkisar antara 0,17 –

1,28 m/dtk. Kawal 0,27 – 3,31 m/dtk. Teluk

Bakau 1,2- 1,25 m/dtk dan Malang Rapat 1,9-

2,5 m/dtk. Cepat lambatnya arus sangat

berpengaruh terhadap karakteristek endapan

sedimen didasar perairan. Pada arus yang kuat

karakteristik sedimen di dasar perairan

cendrung pasir dan berbatuan dan arus yang

lambat cendrung dasar perairannya berlumpur.

6. Derajat Keasaman ( pH )

Pengukuran yang di lakukan di Galang

Batang 7,05. Kawal 7,12. Teluk Bakau 8,02

dan Malang Rapat 8,14. Hasil pengukuran

ditemukan bahwa nilai pH perairan di masing-

masing tempat berada diatas 7, ini dapat

dinyatakan bahwa perairan tersebut cendrung

bersifat basa yang disebabkan oleh banyaknya

suplai air asin dari laut yang mendominasi di

perairan pantai karena parairan laut cendrung

bersifat basa.

7. Dissolved Oxygen ( DO )

Setelah melakukan pengukuran

kandungan oksigen terlarut pada siang hari di

perairan dengan rata-rata desa Galang Batang

7,15. Kawal 7,1. Teluk Bakau 7,5 dan Malang

Rapat 8,1. Oksigen terlarut (Dissolved

Oxygen) di masing-masing perairan tergolong

baik untuk organisme akuati dalam perairan,

dengan demikian pada siang hari kandungan

oksigen terlarut akan tinggi hal ini di

karenakan seiringnya tingginya intensitas

cahaya matahari yang menyinari perairan akan

menyebabkan lajunya proses fotosintesis oleh

tumbuh-tumbuhan terutama jenis fitoplankton

yang menghasilkan kandungan oksigen.

8. Substrat.

Tipe tanah/substrat secara tidak

langsung juga menjadi salah satu faktor

penentu kehidupan biota bentos terutama

Filum Mollusca, dimana tipe suptrat seperti

yang kita ketahui, pada substrat yang

Page 14: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

14

berlumpur pekat dan selalu tergenang air laut

menyebabkan tanah kekurangan oksigen dan

mudah menempel sehingga dibutuhkan

adaptasi yang tinggi dalam merespon situasi

ini seperti yang terjadi pada jenis-jenis

mollusca yang mengembangkan adaptasi

morfologinya dengan setae ( bulu halus ) untuk

mencegah terjadinya penyumbatan pada

system respirasi.

Hasil pengukuran substrat di

laboratorium, dengan menggunakan saringan

bertingkat dengan ukuran mesh 2,36mm,

2,00mm, 1,18mm, 500μm(0,5mm),

250μm(0,25mm), 125μm(0,125mm), dan

106μm(0,106mm), di dapat penggolongan

substrat menurut Wenworth pada subtrat dasar

perairan Galang Batang cendrung lumpur

berpasir, Kawal cendrung pasir berlumpur,

Teluk Bakau berpasir dan Malang Rapat

berpasir.

KESIMPULAN DAN SARAN

Jenis hewan Filum Mollusca yang di

temukan di zona litoral pesisir timur Pulau

Bintan adalah dari kelas Bivalvia dan

Gastropoda, hal ini terkait dengan kebiasaan

hidup hewan kedua kelas tersebut yang

menempel pada substrat, bergerak lambat

bahkan cenderung menetap.

kulalitas air di di zona litoral pesisir

timur Pulau Bintan mendukung untuk

kehidupan hewan-hewan tersebut. Ekosistem

yang ditemukan adalah ekosistem hutan

mangrove, padang lamun dan terumbu karang

dimana di ketiga ekosistem ini ditemukan

hewan dari kelas Bivalvia dan Gastropoda.

Keberadaan hewan kelas Bivalvia dan

Gastropoda ini terkait dengan lingkungannya

adalah ketersediaan makanan dan kebiasaan

makan dimana dalam kebiasaan makan hewan

kelas Bivalvia dan Gastropoda ini pemakan

sedimen dan penyaring makanan. Substrat

pada zona litoral tersebut adalah sedimen pasir

dan lumpur yang juga di temukan dalam

pencernaan hewan-hewan tersebut.

Masih ada 3 hewan kelas Gastropoda

yang belum ada nama ilmiahnya ketika di

rujuk pada bank data dunia World Register of

Marine Species sehingga hewan-hewan

tersebut berpotensi untuk di daftarkan sebagai

temuan spesies baru.

Data dari penelitian ini dapat dijadikan

rujukan untuk penellitian berikutnya dalam

keanekaragaman dan struktur komunitas

hewan mollusca di di zona litoral pesisir timur

Pulau Bintan.

Zona litoral pesisir timur Pulau Bintan

dapat dijadikan sebagai lokasi laboratorium

alam dalam mempelajari hewan-hewan

mollusca kelas Bivalvia dan Gastropoda.

TERIMAKASIH

Terimakasih kepada Lembaga Penelitian

Universitas Maritim Raja Ali Haji yang telah

memberikan dana untuk kegiatan penelitian

studi biologi dan ekologi hewan filum

mollusca di zona litoral pesisir timur pulau

bintan

DAFTAR PUSTAKA

Bappeda Kabupaten Bintan.2009. Peta Admin

Kab. Bintan. Bank Data Bappeda

Bintan. Kabupaten Bintan.

Bupati Bintan 2007 Keputusan Bupati Bintan

Nomor : 36/VIII/2007 TENTANG

Kawasan Konservasi Laut Daerah

Kabupaten Bintan. KAbupaten Bintan.

COREMAP.2013.

http://www.coremap.or.id/datin/molus

c/

Irawan, H. 2012. Bahan Ajar Avetebrata Air,

Filum Mollusca. Handout

Irawan, H. 2012. Penuntun Praktikum

Avertebrata Air, , Filum Mollusca.

McKenzie, L. 2007. Undertanding Sediment.

Seagrass Watch.

Nuraini dan Rusliadi. 2009. Buku Ajar

Avertebrata Air. PUSBANGDIK

UNRI. Pekanbaru.

Satker Direktorat Konservasi dan Taman

Nasional Laut Direktorat Jenderal

Kelautan, Pesisir, Pulau-Pulau Kecil

Departemen Kelautan Dan Perikanan.

2009. Mengenal Kawasan Konservasi

Perairan (Laut) Daerah. Program

rehabilitasi dan pengelolaan terumbu

karang (COREMAM II). Direktorat

Jenderal Kelautan, Pesisir, Pulau-

Pulau Kecil Departemen Kelautan Dan

Perikanan. Jakarta Selatan. ISBN 978-

602-8717-30-4.

Suginyo.S., Widigdo,B., Wardianto,Y., dan

Krisanti,M. 2005. Avertebrata Air Jilid

I. Penebar Swadaya. Jakarta

World Register of Marine Species. 2013.

http://www.marinespecies.org

Page 15: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

15

Tabel 1. Spesies dan tempat ditemukannya hewan filum Mollusca di pesisir timur pulau Bintan No Gambar dan nama ilmiah Tampat ditemukan

Desa

gunung kijang

Daerah

kawal

Desa

malang rapat pulau

pucung

Desa

malang rapat

tanjung

keling

Desa

malang rapat

teluk

dalam

Desa

Teluk

Baka

u

1

Anadara antiquata (Linnaeus, 1758)

3

Isognomon californicum (Conrad, 1837)

3

Isognomon isognomum (Linnaeus, 1758)

√ √ √ √

4

Isognomon radiatus (Anton, 1838)

√ √

5

Pecten maximus (Linnaeus, 1758)

6

Placuna sp

Page 16: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

16

7

Barbatia foliata (Forsskål in Niebuhr, 1775)

8

Barbatia novaezealandiae (E. A. Smith,

1915)

9

Pitar albidus (Gmelin, 1791)

10

Coecella chinensis (Deshayes, 1855)

11

Gafrarium sp

√ √ √

12

Fragum unedo (Linnaeus, 1758)

13

Page 17: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

17

Circe scripta (Linnaeus, 1758)

14

Lioconcha berthaulti (Lamprell dan Healy,

2002)

√ √

15

Hippopus porcellanus (Rosewater, 1982)

16

Lima vulgaris (Link, 1807)

17

Atrina (Atrina) vexillum (Born, 1778)

18

Atrina zelandica (Gray, 1835)

√ √ √

19

Atrina chinensis (Deshayes, 1841)

Page 18: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

18

20

Pinna muricata (Linnaeus, 1758)

21

Corculum cardissa (Linnaeus, 1758)

22

Tridacna crocea (Lamarck, 1819)

23

Tridacna squamosa (Lamarck, 1819)

24

Anomia trigonopsis (Hutton, 1877)

25

Carditopsis smithii (Dall, 1896)

Page 19: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

19

26

Pedum spondyloideum (Gmelin, 1791)

27

Volema pyrum (Gmelin, 1791)

28

Pugilina cochlidium (Linnaeus, 1758)

√ √ √

29

Gibberulus gibberulus (Linnaeus, 1758)

30

Canarium urceus (Linnaeus, 1758)

31

Canarium mutabile (Swainson, 1821)

√ √

32

Laevistrombus turturella (Röding, 1798)

√ √

Page 20: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

20

33

Vasum turbinellus (Linnaeus, 1758)

34

Chicoreus capucinus (Lamarck, 1822)

√ √

35

Chicoreus sp

√ √

36

Semiricinula fusca (Küster, 1862)

√ √

37

Nerita undata (Linnaeus, 1758)

38

Narasius pullus

√ √ √

Page 21: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

21

39

Cerithidea cingulata (Gmelin, 1791)

√ √

40

Cerithium zonatum (Wood, 1828)

41

Thais sp

42

Pictocolumbella ocellata (Link, 1807)

√ √

43

Cypraea tigris (Linnaeus, 1758)

44

Mauritia arabica (Linnaeus, 1758)

45

Lambis lambis (Linnaeus, 1758)

√ √ √

Page 22: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

22

46

Tectus niloticus (Linnaeus, 1767)

√ √

47

Trochus maculatus (Linnaeus, 1758)

√ √ √

48

Astralium calcar (Linnaeus, 1758)

√ √

49

Cerithium nodulosum (Bruguière, 1792)

√ √

50

Turritella terebra (Linnaeus, 1758)

51

Conus tabidus (Reeve, 1844)

Page 23: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

23

52

Rhinoclavis (Rhinoclavis) sinensis (Gmelin,

1791)

53

Neverita didyma (Röding, 1798)

54

Melo melo (Lightfoot, 1786)

55

Cymbiola nobilis (Lightfoot, 1786)

56

Conus josephinae (Rolán, 1980)

57

Canarium labiatum (Röding, 1798)

Page 24: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

24

58

Turbo haynesi (Preston, 1914)

59

Turbo bruneus (Röding, 1798)

60

Ampullina sp ( Cossman, 1918)

61

Angaria delphinus (Linnaeus, 1758)

62

Ergalatax junionae (Houart, 2008)

√ √

63

Planaxis sulcatus (Born, 1778)

√ √ √

Page 25: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

25

64

Clypeomorus nympha (Houbrick, 1985)

65

Clypeomorus pellucida (Hombron &

Jacquinot, 1852)

66

Batillaria zonalis (Bruguière, 1792)

√ √

67

Morula (Morula) nodulosa (C. B. Adams,

1845)

√ √

68

Semiricinula tissoti (Petit de la Saussaye,

1852)

69

Telescopium telescopium (Linnaeus, 1758)

√ √

Page 26: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Studi Biologi Dan Ekologi….

Henky Irawan, Falmi Yandri

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 10- 26

26

70

Engina menkeana (Dunker,1860)

Jenis hewan Kelas Gastropoda yang belum ada nama ilmiahnya

71

72

73

Page 27: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

27

KAJIANANALITIK STOK DAN TINGKAT KEMATANGAN GONAD

(TKG) IKAN SELIKUR (Megalaspis cordyla) DI TEMPAT

PENDARATAN IKAN KOTA TANJUNGPINANG

Winny Retna Melani dan Andi Zulfikar

Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan

Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kajian stok ikan Selikur (Megalaspis cordyla) di Wilayah Perairan Tanjungpinang

merupakan salah-satu upaya kajian stok ikan berbasis spesies dan diharapkan menjadi langkah

awal pendataan untuk terbentuknya basis data perikanan di Wilayah Perairan Propinsi

Kepulauan Riau, baik secara umum (holistik) maupun spesifik (analitik). Persaman regresi

hubungan panjang berat ikan selikur tiap bulannya adalah y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87

dengan persamaan hubungan panjang berat ikan selikur per bulannya adalah W = 0.2941

L2.4951

. Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan betina Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006]

,

sedangkan untuk ikan jantan Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]

. Laju pertumbuhan ikan selikur jantan

lebih cepat dibandingkan ikan selikur betina.Ikan selikur betina mempunyai nilai L infiniti

(nilai maksimum panjang yang dapat dicapai) sebesar 51.36 cm, lebih besar dibandingkan

ikan jantan (41.59 cm). Laju mortalitas total (Z) ikan selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas

alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52, laju mortalitas akibat ditangkap nelayan

(F) 1,31 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5) atau telah mencapai laju eksploitasi

optimum. Persamaan regresi y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,89.Laju mortalitas total (Z) ikan

selikur betina sebesar 0,931, mortalitas alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6, laju

mortalitas akibat ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau

belum mencapai laju eksploitasi optimum. Persamaan regresi y = -0,931x + 8,137, R2 = 0,81.

Kata Kunci: Pendaratan ikan, selikur, laju pertumbuhan, laju mortalitas

ABSTRACT

Selikur fish (Megalaspis cordyla) stock assessments in Tanjungpinang seawaters area is an

efforts to a species-based fish stock assessment and be expected to become the first step of

establishment fisheries database in Kepulauan Riau Province seawater areas, both in general

(holistic) or specific (analytic). Regression equation length weight relation of selikur fish each

month is y = 2.4951x-1.224, R2 = 0.87 with the weight of the selikur fish length relation

equation per month is W = 0.2941 L2.4951

. Von Bertalanffy growth parameters of female fish

Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006]

, whereas for male fish Lt = Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05].

The growth rate of

selikur male fish faster than the selikur female fish. selikur female fish has L infiniti value (

maximum length value that can be achieved) of 51.36 cm, larger than the male (41.59 cm).

total mortality rate (Z) of selikur male fish was 2,83, natural mortality (M) with an average

temperature of 28oC was 1.52, the rate of mortality from fishermen capture (F), 1.31 with

Exploration rate value (E) was 0.46 (0.5) or has reached the rate of optimum exploitation.

regression equation y = -2,83x + 9,535 R2 = 0,892. Total mortality rate of females selikur fish

(Z) was 0.931, natural mortality (M) with an average temperature of 28oC was 0.6, the rate of

mortality from fishermen catch (F) 0.33 with exploitation rate value (E) 0.35 or has not yet

reached the optimum exploitation rate. Regression equation is: y = -0,931x + 8,137, R2 =

0,81.

Keywords: fish landing, selikur fish, growth rate, mortality rate

Page 28: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

28

PENDAHULUAN Provinsi Kepulauan Riau

(Kepri) secara geografis terletak pada 1°10' LS-5°10' LU dan 102° 50'-109°20' BT. Luas wilayah Provinsi Kepulauan Riau mencapai 425.214,6679 km² yang terdiri dari perairan laut seluas 417.005,0594 km² (98,05%). Sementara itu, luas daratannya mencapai 8.209,605 km² (1,95%) yang terdiri dari gugusan pulau besar dan kecil.ProvinsiKepulauan memiliki panjang garis pantai 2.367,6 km, dengan jumlahpulau-pulau kecil 2.408 buah pulau, yang dihunipenduduk hanya sekitar 385 pulau. Kondisi geografis tersebut membuat Provinsi Kepulauan Riau mempunyai potensi kelautan yang sangat besar, khususnya sektor perikanan tangkap.Secara garis besar, jenis sumber daya ikan yang terdapat di perairan laut Kepri adalah: kelompok sumber daya ikan pelagis (tongkol, tenggiri, kembung, layang, teri, selikur dan sebagainya), kelompok sumber daya ikan demersal (kakap merah, kurisi, beloso, bawal, dan lain-lain), kelompok sumber daya ikan karang (kerapu, baronang, napoleon, dan lain-lain), kelompok sumber daya moluska (cumi-cumi, sotong, dan lain-lain), dan kelompok sumber daya krustase (kepiting, rajungan), dan kelompok sumber daya udang.

Kota Tanjungpinang adalah kota utama dan merupakan ibukota Provinsi Kepulauan Riau.Berdasarkan survei yang telah dilakukan (Kapal Riset MV.SEAFDEC, 2006 dan Komisi Nasional Pengkajian Jenis Ikan/Komnasjiskan, 2011yang ditetapkan dalam Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan (Kepmen KP) No. KEP.45/MEN/2011)dugaan potensi perikanan tangkap disekitar perairan Kota Tanjungpinang mencapai kisaran 166,3-211,41 ton/tahun. Menurut survey tersebut juga dinyatakan bahwa secara umum sektor penangkapan ikan di Wilayah Kota Tanjungpinang untuk semua kelompok ikan telah melebihi potensi yang ada (overfishing).Survey ini menggunakan pendekatan analisis holistik yaitu berdasarkan data berat total/tonnase ikan dengan metode Catch per Unit Effort (CPUE) dan model surplus production Schaefer, tidak melihat jenis/spesies ikan.

Fenomena umum ini perlu mendapat perhatian yang serius dan

kajian-kajian lanjut yang lebih spesifik (berbasis spesies/jenis) serta mendetail mengenai kondisi stok ikan di alam, agar potensi tersebut dapat dikelola secara berkelanjutan. Model alternatif selain metode diatas adalah model dengan menggunakan metode analitik (kajian berbasis spesies, panjang, berat dan konversi panjang ke umur ikan dan lain-lain).Metode analitik ini dapat digunakan sebagai pelengkap dan konfirmasi mengenai kondisi stok ikan spesies/jenis tertentu (terutama ikan yang secara ekologi sangat penting atau secara ekonomi mempengaruhi kondisi kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat nelayan yang menangkap ikan tersebut).

Salah-satu spesies ekonomis penting di Kota Tanjungpinang yang layak dijadikan kajian untuk dianalisis dinamika dan kondisi stoknya di alam adalah ikan selikur (Megalaspis cordyla).Ikan selikur merupakan salah-satu jenis ikan dalam kelompok ikan pelagis kecil.Ikan selikur hidup di lingkungan pelagis kisaran kedalaman kurang dari 200 m (Satria et al,2002).Harga ikan selikur dipasaran Kota Tanjungpinang berkisar antara Rp 30.000,-per kilogram (pada saat musim angin sekitar bulan Desember, Januari, Februari dan Maret) dan Rp.25.000,- per kilogram (pada saat musim tenang).

Kajian stok ikan didaerah tropis dapat dilakukan melalui metode analitik berdasarkan ukuran panjang-berat yang dikonversi ke dalam kelompok umur yang sama/kohort (Cadima, E.L., 2003).Analisi hubungan panjang–berat ikan merupakan salah satuinformasi pelengkap yang perlu diketahui dalam kaitan pengelolaan sumber dayaperikanan, misalnya dalam penentuan selektifitas alat tangkap agar ikan–ikanyang tertangkap hanya yang berukuran layak tangkap. Analisa hubungan panjang–berat jugadapat mengestimasi faktor kondisi (index of plumpness)yang merupakan salah satu hal penting dari pertumbuhan untuk membandingkankondisi atau keadaan kesehatan relatif populasi ikan atau individu tertentu(Singh,W., 2009).Aspek tingkat kematangan gonad (TKG) diperlukan untuk mengetahui perbandingan ikan-ikan yang akan melakukan reproduksi atau tidak, informasi kapan ikan tersebut akan

Page 29: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

29

memijah, baru akan memijah, atau sudah selesai memijah (Patrick, Ket al.,2009).

Luaran Penelitian

Kondisi geografis Provinsi Kepulauan Riau dimana wilayah perairannya berbatasan dengan beberapa negara, sehingga perlu adanya riset kajian stok ini dalam lingkup lintas antar wilayah negara tersebut.Salah-satu hal yang mendesak adalah pembentukan jaringan basis data perikanan yang melibatkan antar negara, yang tiap negara dapat dengan bebas dan terkontrol untuk mengakses data tersebut untuk keperluan pendidikan ataupun komersial dalam bentuk pertukaran data kajian stok berbagai jenis ikan.Pembentukan basis data perikanan tersebut memerlukan berbagai kajian dasar yang mendalam dan terus menerus berbagai spesies ikan baik melalui model holistik maupun analitik.Selanjutnya kajian stok dan dinamika populasi ikan memerlukan kajian yang komprehensif dan dilakukan dalam runtun waktu yang panjang, terkait dengan pola musim dan tingkat pemanfaatan (penangkapan), agar estimasinya dapat reliable.Kajian yang komprehensif ini hanya dapat dilakukan melalui kolaborasi antar instansi terkait dengan program dan pendanaan yang kontinyu.

Agar hal tersebut dapat terealisasi maka pada tahap awal hasil penelitian ini akan dibuat dalam bentuk makalah untuk dapat disampaikan kepada instansi terkait yang diantaranya Badan Perencanaan Daerah Provinsi Kepri, Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Kepri dan Badan Pengendalian Dampak Lingkungan Provinsi Kepri agar dapat menjadi masukan dalam pengambilan kebijakan lingkungan. Selain itu juga hasil penelitian ini minimal akan dimuat di Jurnal Dinamika Maritim PSPL UMRAH. Kajian ini dapat memberikan gambaran data dasar tentang aspek biologi dan dinamika stok ikan selikur (Megalaspis cordyla).

METODE PENELITIAN Lokasi Pengambilan Sampel dan Data

Ikan yang dijadikan sampel hanya ikan yang ditangkap di Perairan Kota Tanjungpinang.Ikan sampel diambil di Pelantar (Pelabuhan) II Kota Tanjungpinang dari tanggal 21 Juni-27

September 2013.Interval pengambilan sampel 7 hari sekali dengan jumlah sampel variatif.Jumlah sampel bervariasi disebabkan hasil tangkapan juga beragam tergantung kondisi alam. Pemeriksaan gonad dilakukan di Laboratorium Kelautan dan Perikanan UMRAH.Pengambilan sampeldilakukan secara acak pada nelayan atau pengumpul.

Pengukuran dilakukan terhadap panjang total ikan (dari mulut sampai ujung ekor), berat basah ikan dan berat gonad setelah ikan dibedah.Panjang ikan diukur menggunakan penggaris dengan ketelitian 1 mm, berat ikan ditimbang menggunakan timbangan analitik dengan ketelitian 1 gram.Pengambilan gonad ikan selikur menggunakan alat bedah, ditimbang dan diamati dibawah mikroskop.

Model, Tahapan dan Variabel Pengukuran Penelitian

Kajian stok padapenelitian ini menggunakan model analitik berbasis panjang-berat.Umur ikan diduga dari parameter pertumbuhan Von Bertalanffy setelah dilakukan pemisahan kelompok umur (kohort) dengan metode Density estimation via Gaussian finite mixture modeling (dikomparasi dengan metode Bhattacharya dan Normsep).

Analisis Data a. Sebaran Frekuensi Panjang

Berdasarkan data panjang hasil pengukuran, dibuat analisis statistik deskriftifnya untuk melihat pola sebaran data. Kemudian dibuat tabel frekuensi distribusinya, diplotkan dalam grafik untuk melihat pergeseran sebaran kelas panjangnya.Pergeseran tersebut untuk melihat gambaran awal dari kelompok umur (kohort).

b. Pemisahan Kelompok Umur Identifikasi kelompok umur

(kohort) dilakukan menggunakan metode Density Estimation via Gaussian Finite Mixture Modeling(software R paket mclust), Bhattacharya dan dipertajam dengan metode maximum likelihood function (Normal Separation/NORMSEP). Metode Bhattacharyamenggunakan transformasi distribusi normal kedalam suatu persamaan garis lurus, memisahkan suatu distribusi

Page 30: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

30

komposit ke dalam suatu kelompok umur terpisah.Sementara NORMSEP berdasarkan persamaan :

L= ∑fiLog∑pjqijdimana i=1, j =1

dengan ketentuan :

qij = (1/σj√2π)*exp -1/2(xi-μj/σj)2

Perhitungan menggunakan

bantuan software FISAT II FAO-

ICLARM Ver1.2.2

c. Parameter Pertumbuhan Von

Bertalanffy

-Parameter pertumbuhan menggunakan

persamaan Von Bertalanffy :

L(t) = L∞ * [1 - exp (-K*(t-to)]

- Pendugaan nilai L∞, K, to

menggunakan metode Ford-Walford

K = (-LN b), L∞= a/(1-b),

- Pendugaan to menggunakan persaman

Pauly:

log(-to) = 0,3922 - 0,2752(log L∞)

- 1,038(log K)

d. Mortalitas

Parameter yang diestimasi :

Mortalitas Total (Z), persamaan b = -

Z, langkah-langkahnya sebagai

berikut :

- Mengkonversikan data panjang ke

data umur dengan menggunakan

inverse persamaan von

Bertalanffy

1 L

t(L) = t0 - * In 1-

K L∞

- Menghitung waktu yang

diperlukan oleh rata-rata ikan

untuk tumbuh dari panjang L1 ke

L2 (perubahan nilai t)

1 (L∞ - L1)

∆t = t (L2) – t

(L1)

= *

In

K (L∞ - L2)

- Menghitung (t+ delta t/2)

1 (L1 + L2)

t (L1 + L2)

= t0

- *

In

1-

2 K 2L∞

a.Menurunkan kurva hasil

tangkapan (C) yang dilinierkan yang

dikonversikan ke panjang

C(L1,L2) (L1+L2)

In = c - Z*t

∆t(L1,L2) 2

- Laju Mortalitas Alami (M)

menggunakan rumus Pauly untuk

ikan bergerombol (schooling):

M = 0.8*e (-0.0152-0.279*LN (L∞)

+0.6543*LN (K)+0.463*LN (rata-rata suhu)

- Laju Mortalitas Penangkapan F

= Z-M

- Laju Eksploitasi E = F/Z

e. Hubungan Panjang Berat

Hubungan panjang berat menggunakan

persamaan :

W = a L b ,linearisasi menggunakan

persamaanLN (W) = LN(a) + b LN

(L)Untuk menguji nilai b=3 atau

b ≠ 3 (b>3, pertambahan berat lebih

cepat dari pada pertambahan

panjang) atau (b<3, pertambahan

panjang lebih cepat dari pada

pertambahan berat) dilakukan uji‐t (Sparre and Vanema, 1999 dalam

Pope dan Kruse, 2007), dengan

hipotesis :

H0 : β = 3, hubungan panjang dengan

berat adalah isometrik

H1 : β ≠ 3, hubungan panjang dengan berat adalah allometrik b1 adalah

nilai b (hubungan dari panjang berat),

b0 adalah 3, dan Sb1 adalah

simpangan koefisien b.Selanjutnya,

nilai thitung dibandingkan dengan nilai

ttabel pada selang kepercayaan 95%,

jika thitung> ttabel maka tolak hipotesis

nol (H0) dan jika thitung< ttabel maka

gagal tolak hipotesis nol (H0).

b1 – b0

t hitung =

Sb1

f. Faktor Kondisi

Faktor kondisi dihitung

berdasarkan ketentuan sebagai

berikut (Sparre and Vanema, 1999

dalam Pope dan Kruse, 2007):

Page 31: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

31

a) Jika pertumbuhan ikan isometrik (b=3) :

K = W.102 / L3

b) Jika pertumbuhan ikanallometrik(b≠3) :

K = W / aLb

g. Nisbah Kelamin - Indeks Kematangan Gonad

(IKG)

IK = BG/BT X 100

IKG = Indeks Kematangan

Gonad

BG = Berat Gonad (gram)

BT = Berat Total Ikan

(gram)

- Nisbah kelamin digunakan

untuk melihat perbandingan

ikan jantan dan ikan

Betina, menggunakan rumus

berikut:

p = n/N X 100%

p adalah proporsi ikan

(jantan/betina), n adalah

jumlah jantan atau betina, dan

Nadalah jumlah total ikan

(jantan + betina).

- Untuk melihat sebaran

kelamin ikan dengan

menggunakan selang

kepercayaan

95% ialah :

p-1.64√pq/n ≤ π ≤

p+1.64√pq/n

p adalah proporsi betina, q

adalah proporsi jantan, n

adalah jumlah ikan betina

danjantan, dan 1,96 adalah

nilai z pada selang

kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Deskripsi Sampel dan Data Penelitian

Pengambilan data dilakukan

selama ±4 bulan, mulai dari tanggal 21

juni 2013- 27 September 2013 dengan

jumlah total sampel ikan 471 ekor,

dengan jumlah ikan jantan (M) sebanyak

219 ekor, ikan betina (F) sebanyak 204

ekor dan tidak teridentifikasi (NI)

sebanyak 48 ekor. Data pengukuran

meliputi ukuran panjang total (Total

Length), berat basah tubuh (Weight) dan

Berat Gonad (Gonad Weight).

Korelasi antara panjang total,

berat basah tubuh, berat gonad dan

Gonad Somatic Index (GSI)

menunjukkan korelasi yang kuat antara

berat gonad dan GSI (R2 0.91) dan

antara panjang total dan berat (R2 0.87).

Sedangkan korelasi antara panjang total

(total length) dengan berat tubuh

(weight) dan berat gonad (gonad weight)

menunjukkan hubungan yang sedang (R2

0.5).Grafik korelasi antara panjang total

(total length), berat basah tubuh

(weight), berat gonad (gonad weight)

dan GSI (Gonad Somatic Index).

Uji Anova Panjang Total

Uji anova dilakukan untuk

melihat komparasi sebaran panjang total

ikan selikur apakah ada indikasi

perbedaan sebaran panjang baik antar

jenis kelamin maupun per bulannya.

Faktor Bulan

Uji anova panjang total ikan

(respon) dengan faktor bulan

menunjukkan hasil yang sangat

signifikan diantara 4 faktor Bulan

tersebut. Uji lanjut Tukey menunjukkan

pada bulan September merupakan bulan

dengan panjang total rata-rata paling

berbeda dan paling beragam

dibandingkan dengan bulan-bulan yang

lain.

Faktor Jenis Kelamin

Uji anova Panjang Total

(respon) dengan faktor Jenis Kelamin

juga menunjukkan hasil yang sangat

signifikan. Uji lanjut Tukey

menunjukkan antara Jantan (Male) dan

Betina (Female) tidak terdapat

perbedaan, sedangkan untuk ikan yang

tidak dapat teridentifikasi jenis

kelaminnya (NI) berbeda sangat nyata

dengan keduanya.

Hubungan Panjang-Berat Ikan

Selikur (Megalaspis cordyla) Hubungan panjang-berat

menunjukkan pola pertumbuhan

isometric atau allometrik. Hubungan

panjang berat dianalisis menggunakan

persamaan regresi dengan transformasi

log data panjang total dan berat basah

tubuh ikan tiap bulannya. Uji anova

dengan p value < 0.05 menunjukkan

Page 32: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

32

bahwa model regresi ini bisa digunakan

untuk memprediksi hubungan panjang-

berat.

Dari nilai estimasi log panjang

total diperoleh nilai slope (b) sebesar

2.4951. Untuk menguji nilai b = 3 atau b

≠ 3 dilakukan uji-t (uji parsial), dengan

hipotesis:

H0 : b = 3, hubungan panjang dengan

berat adalah isometrik.

H1 : b ≠ 3, hubungan panjang dengan

berat adalah allometrik, dimana:

1. Allometrik positif, jika b>3

(pertambahan berat lebih cepat

daripada pertambahan panjang)

2. Allometrik negatif, jika b<3

(Pertambahan panjang lebih

cepat daripada pertambahan

berat)

Nilai p value menunjukkan <0.05 yang

berarti ikan selikur mempunyai pola

pertumbuhan allometrik negatif tiap

bulannya (b < 3, pertambahan panjang

lebih cepat daripada pertambahan berat)

atau Ho ditolak.

Dari persaman regresi

didapatkan nilai titik potong (a) sebesar

-1.224, dan nilai kemiringan (b) sebesar

2.4951 maka dapat ditentukan

persamaan hubungan panjang berat ikan

selikur per bulannya W = 0.2941 L2.4951

Gambar 1. Grafik Hubungan Panjang-

Berat Ikan Selikur

(Megalaspis cordyla) Selama

Bulan Penelitian (y =

2.4951x-1.224, R2 = 0.87)

Pemisahan Kelompok Umur (Kohort)

Pemisahan kelompok umur

dilakukan menggunakan metode Density

estimation via Gaussian finite mixture

modeling dengan bantuan perangkat

lunak R paket mclust.

Kelompok Umur Ikan Jantan

Hasil pemisahan kelompok

umur ikan Selikur Jantan terindikasi ada

2 kelompok umur dengan nilai rata-rata

panjang sebesar 28.81 cm/jumlah 113

ekor dan 31.15 cm/jumlah 106 ekor.

Gambar 2.Histogram dan QQ-Plot

Distribusi Kelompok Umur

Ikan Jantan

Kelompok Umur Ikan Betina

Hasil pemisahan kelompok

umur ikan selikur betina terindikasi ada

2 kelompok umur dengan nilai rata-rata

panjang sebesar 29.20 cm/jumlah 85

ekor dan 31.69 cm/jumlah 119 ekor.

Gambar 3. Histogram dan QQ-Plot

Distribusi Kelompok Umur

Ikan Betina

Page 33: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

33

Parameter Pertumbuhan Von

Bertalanffy

Ikan Betina

Parameter pertumbuhan Von

Bertalanffy ikan betinaLt=51.36(1-e[-

0,24(t+0,006]

Parameters: Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)

Linf 5.136e+01 5.373e-02 955.968 <2e-16 ***

K 2.413e-01 6.706e-04 359.826 <2e-16 ***

t0 6.678e-03 4.018e-03 1.662

0.0981

Signif.codes: 0 „***‟ 0.001 „**‟ 0.01 „*‟ 0.05 „.‟ 0.1 „ ‟ 1

Residual standard error: 0.01339 on 200 degrees of freedom

Number of iterations to convergence: 2

Achieved convergence tolerance: 2.711e-06

Residual sum of squares: 0.0359

Asymptotic confidence interval:

2.5% 97.5%

Linf 51.25 51.46817888

K 0.239 0.24261186

t0 -0.001 0.014

Gambar 4. Kurva Pertumbuhan Ikan

Selikur Betina(Lt=51.36(1-e[-

0,24(t+0,006])

Ikan Jantan Parameter pertumbuhan Von Bertalanffy ikan jantan

Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]

Estimate Std. Error t value Pr(>|t|)

Linf 41.59627 0.27062 153.710

<2e-16 ***

K 0.90486 0.02478 36.520

<2e-16 ***

t0 -0.04934 0.02018 -2.445

0.0153 *

Signif.codes: 0 „***‟ 0.001 „**‟ 0.01 „*‟ 0.05 „.‟ 0.1 „ ‟ 1

Residual standard error: 0.2938 on 216 degrees of freedom

Number of iterations to convergence: 3

Achieved convergence tolerance: 3.168e-07

Residual sum of squares: 18.6

Asymptotic confidence interval:

2.5% 97.5%

Linf 41.06288818 42.129660888

K 0.85602350 0.953694325

t0 -0.08911795 -0.009567808

Gambar 5. Kurva Pertumbuhan Ikan

Selikur Jantan (Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]

)

Dari nilai K (koefisien

pertumbuhan per tahun) dan kurva

pertumbuhan, diketahui bahwa laju

pertumbuhan ikan selikur jantan (nilai K

0,9) lebih cepat dibandingkan ikan

selikur betina (nilai K 0,24). Ikan selikur

betina mempunyai nilai L infiniti (nilai

maksimum panjang yang dapat dicapai)

sebesar 51.36 cm, lebih besar

dibandingkan ikan jantan (41.59 cm).

4.6. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Ikan Selikur

Laju mortalitas total (Z) diduga

dengan kurva tangkapan yang

dilinierkan berdasarkan data komposisi

panjang (Sparre dan Venema

1999). Laju mortalitas yang dihitung

adalah mortalitas total (Z), mortalitas

alami (M) atau mortalitas akibat usia

tua, penyakit, predator dan sebagainya,

mortalitas akibat penangkapan (F) atau

kematian akibat ditangkap nelayan, dari

nilai ini kemudian diduga laju

eksploitasinya (E). Laju mortalitas

penangkapan (F) atau laju eksploitasi

optimum menurut Gulland(1971)

dalamPauly (1984) adalah:Foptimum =

M dan Eoptimum = 0.5. Perhitungan

menggunakan perangkat lunak FISAT II

Ver 1.2.2 FAO-ICLARM .

4.6.1. Mortalitas dan Laju Eksploitasi

Ikan Selikur Jantan

Laju mortalitas total (Z) ikan

selikur jantan sebesar 2,83, mortalitas

alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC

sebesar 1,52, laju mortalitas akibat

ditangkap nelayan (F) 1,31 dengan nilai

laju eksploitai (E) sebesar 0,46 (0,5)

atau telah mencapai laju eksploitasi

optimum. Persamaan regresi y = -2,83x

+ 9,535 R2 = 0,89.

Gambar 6. Kurva Tangkapan Berbasis

Data Panjang Total Jantan

Page 34: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

34

Mortalitas dan Laju Eksploitasi Ikan

Selikur Betina

Laju mortalitas total (Z) ikan

selikur betina sebesar 0,931, mortalitas

alami (M) dengan rata-rata suhu 28oC

sebesar 0,6, laju mortalitas akibat

ditangkap nelayan (F) 0,33 dengan nilai

laju eksploitai (E) sebesar 0,35 atau

belum mencapai laju eksploitasi

optimum. Persamaan regresi y = -0,931x

+ 8,137, R2 = 0,81.

Gambar 7. Kurva Tangkapan Berbasis

Data Panjang Total

IkanSelikur

KESIMPULAN DAN SARAN.

Kesimpulan

1. Perbandingan panjang total ikan

selikur (Megalaspis cordyla)

yang didaratkan pada

pendaratan ikan Pelantar II

Tanjungpinang terdapat

perbedaan yang sangat nyata

tiap bulannya berdasarkan jenis

kelamin (jantan, betina dan ikan

yang tidak teridentifikasi).

Bulan September merupakan

bulan dimana sebaran panjang

total ikan selikur paling berbeda

dengan bulan-bulan lainnya.

2. Persaman regresi hubungan

panjang berat ikan selikur tiap

bulannya adalah y = 2.4951x-

1.224, R2 = 0.87 dengan

persamaan hubungan panjang

berat ikan selikur per bulannya

adalah W = 0.2941 L2.4951

. Ikan

selikur mempunyai pola

pertumbuhan allometrik negatif

tiap bulannya (b < 3,

pertambahan panjang lebih

cepat daripada pertambahan

berat).

3. Kelompok umur ikan selikur

jantan terindikasi ada 2

kelompok umur dengan nilai

rata-rata panjang sebesar 28.81

cm/jumlah 113 ekor dan 31.15

cm/jumlah 106 ekor. Kelompok

umur ikan belikur betinajuga

terindikasi ada 2 kelompok

umur dengan nilai rata-rata

panjang sebesar 29.20

cm/jumlah 85 ekor dan 31.69

cm/jumlah 119 ekor.

4. Parameter pertumbuhan Von

Bertalanffy ikan betina

Lt=51.36(1-e[-0,24(t+0,006]

,

sedangkan untuk ikan jantan

Lt=41.59(1-e[-0,9(t+0,05]

. Laju

pertumbuhan ikan selikur jantan

lebih cepat dibandingkan ikan

selikur betina. Ikan selikur

betina mempunyai nilai L

infiniti (nilai maksimum

panjang yang dapat dicapai)

sebesar 51.36 cm, lebih besar

dibandingkan ikan jantan (41.59

cm).

5. Laju mortalitas total (Z) ikan

selikur jantan sebesar 2,83,

mortalitas alami (M) dengan

rata-rata suhu 28oC sebesar 1,52,

laju mortalitas akibat ditangkap

nelayan (F) 1,31 dengan nilai

laju eksploitai (E) sebesar 0,46

(0,5) atau telah mencapai laju

eksploitasi optimum. Persamaan

regresi y = -2,83x + 9,535 nilai

R2 = 0,89.

6. Laju mortalitas total (Z) ikan

selikur betina sebesar 0,931,

mortalitas alami (M) dengan

rata-rata suhu 28oC sebesar 0,6,

laju mortalitas akibat ditangkap

nelayan (F) 0,33 dengan nilai

laju eksploitai (E) sebesar 0,35

atau belum mencapai laju

eksploitasi optimum. Persamaan

regresi y = -0,931x + 8,137, R2

= 0,81.

Saran

1. Eksploitasi untuk ikan selikur

jantan telah mencapai tingkat

optimum dan ikan betina

mendekati nilai optimum, perlu

dilakukan kajian lanjut yang

kontinyu oleh instansi terkait

untuk verifikasi hasil tersebut dan

untuk formulasi regulasi

Page 35: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian Analitik Stok…..

Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 27-35

35

perikanan khususnya untuk ikan

selikur.

2. Dari hasil penelitian, pada bulan

September terjadi perubahan

signifikan sebaran panjang total

ikan selikur yang didaratkan di

TPI Tanjungpinang (ukuran ikan

didominasi ukuran kecil), perlu

dikaji dengan periode waktu yang

lebih lama dan dengan jumlah

yang lebih besar untuk konfirmasi

hasil tersebut, untuk mengetahui

dinamika perubahan stok ikan

selikur per tahun.

DAFTAR PUSTAKA

Cadima, E.L.2003. Fish stock

assessment manual. FAO Fisheries

Technical Paper.No. 393. Rome,

FAO. 2003. 161p.

Dinas Kelautan dan Propinsi Kepulauan

Riau.2011. Laporan Akhir : Studi

Identifikasi Potensi Sumberdaya

Kelautan dan Perikanan Provinsi

Kepulauan Riau. DKP Kepri dan

Pt. Maton Selaras Consultant.981

hal.

Kolding, J. and Ubal Giordano, W.

2002. Lecture notes. Report of the

AdriaMed Training Course on Fish

Population Dynamics and Stock

Assessment.FAO-MiPAF Scientific

Cooperation to Support

Responsible Fisheries in the

Adriatic

Sea.GCP/RER/010/ITA/TD-

08.AdriaMed Technical

Documents, 8: 143 pp.

Patrick, K et al. 2009. Guide to Fisheries

Science and Stock Assesment.

Atalantic State Marine

Comission.NOOA-USA.74p.

Pope,K..L and C.G. Kruse. 2007.

Analysis and Interpretation of

freshwater fisheries data. Pages

423-471 in C.S. Guy, and M.L.

PBrown (editors).American

Fisheries Society, Bethesda, MD.

Richter, T.J. 2007.Development and

evaluation of standardweight

equations for bridge-lip suckers and

large-scalesuckers.North American

Journal of Fisheries

Management27(3): 936-939.

Satria A. 2002. Desentralisasi

Pengelolaan Wilayah Laut (Belajar

dari PengalamanJepang). Prosiding

Lokakarya Regional Pulau

Sulawesi tentang

”DesentralisasiPengelolaan

Wilayah Laut”. Lembaga Studi dan

Pemberdayaan MasyarakatPesisr

dengan Partnership for Governance

Reform in Indonesia dan PT.

PustakaCesindo. Jakarta.

Singh, W. 2009.Assessing the status of

fish stock for management:

thecollection and use of basic

fisheries data and

statistics.Fisheries \training

Programme.99 p.

Valdez, R.A. 2008. Animas River

fisheries database synthesis and

analysis. Final Report.SWCA,

Environmental Consultants,

Broomfield, Colorado.

Ward, T.M and Rogers, P.J. 2007.

Development and evaluation of

egg-based stock assessment

methods for blue mackerel

Megalaspis cordyla in southern

Australia.SARDI Aquatic

Sciences.Australia .468

Page 36: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

36

KAJIAN KANDUNGAN BAHAN ORGANIK

TERHADAP KELIMPAHAN KEONG BAKAU (Telescopium telescopium)

DI PERAIRAN TELUK RIAU TANJUNGPINANG

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar

Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan

Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh kandungan bahan organik terhadap

kelimpahan keong bakau (Telescopium telescopium) di perairan Teluk Riau Kota

Tanjungpinang. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode survey dan

analisis data menggunakan analisis regresi linier sederhana. Hasil dari penelitian ini

menunjukkan bahwa kelimpahan keong bakau di setiap stasiun penelitian yaitu 1 – 5

ind/m2. Kemudian kandungan organik substrat di setiap stasiun penelitian yaitu 17,75 –

62,70 %. Berdasarkan hasil analisis keong bakau dengan menggunakan tingkat

kepercayaan 95%, diperoleh nilai koefisien determinasi (R²) yaitu 0,655. Artinya

pengaruh kandungan bahan organik terhadap kelimpahan keong bakau diseluruh stasiun

sebesar 65,5% sementara 35,5% sisanya dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak

diketahui.

Kata kunci: kandungan bahan organik, keong bakau, kelimpahan.

ABSTRACT

This research aims to know the influence of organic matter content on bakau snail

abundance (Telescopium telescopium) in the town of Tanjung Pinang of Riau in Gulf

waters. The method used in this research was a survey method and analysis of the data

using simple linear regression. The results of this research shows that bakau shell slug

abundance in every research station that is 1 - 5 ind/m2. Then the content of organic

substrates in each research station that is 17,75% - 62.70%. Based on the results of a

simple linear regression analysis among organic substances with an abundance of slugs

belongkeng, adjust R2 value 0,655. It means the influence of the content of organic matter

abundance of snails throughout the bakau shell station of 65,5% while the remaining

35.5% are influenced by other factors is not known.

Keyword : organic content, bakau shell, abundance

PENDAHULAN

Perairan Teluk Riau merupakan

salah satu perairan estuari yang terdapat

di Kota Tanjungpinang. Perairan Teluk

Riau disusun oleh pantai berlumpur,

sebagian ditumbuhi oleh vegetasi

mangrove dan sebagian juga masih

ditumbuhi vegetasi lamun. Dari

aktivitas-aktivitas yang ada akan

menghasilkan limbah akan menggangu

perairan Teluk Riau. Limbah yang

dihasilkan ada yang besifat organik dan

anorganik seperti dari kegiatan rumah

tangga dan kegiatan industri.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan

oleh Melani et al., (2012), bahwa

kondisi perairan Kota Tanjungpinang

yang didalamnya termasuk perairan

Teluk Riau tergolong buruk (poor)

dengan nilai CWQI (Canadian Water

Page 37: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

37

Quality Index) sebesar 30. Jika bahan

organik melebihi ambang batas yang

sewajarnya maka akan bersifat

pencemar, meskipun bahan organik itu

sendiri merupakan nutrient bagi biota-

biota perairan.

Kandungan bahan organik yang

tinggi akan mempengaruhi tingkat

keseimbangan perairan. Menurut

Zulkifli et.al,, (2009) tingginya

kandungan bahan organik akan

mempengaruhi kelimpahan organisme,

dimana terdapat organisme-organisme

tertentu yang tahan terhadap tingginya

kandungan bahan organik tersebut,

sehingga dominansi oleh spesies tertentu

dapat terjadi. Pada penelitian ini

parameter kandungan bahan organik

yang diukur adalah Total Organic Matter

(TOM), TOM menggambarkan

kandungan bahan organik total dalam

suatu perairan yang terdiri dari bahan

organik terlarut, tersuspensi, dan koloid

(Hariyadi et. al., dalam Hamsiah, 2000).

Keong bakau merupakan deposit

feeder yang memanfaatkan bahan

organik yang mengendap di substrat

dasar perairan sebagai makanannya.

Ketersediaan bahan organik akan

memberikan variasi kelimpahan

terhadap organisme yang ada.

Berdasarkan hal tersebut, peneliti

tertarik untuk melakukan penelitian

tentang kajian kandungan bahan organik

terhadap kelimpahan keong bakau di

perairan Teluk Riau.

Berkembangnya aktivitas

masyarakat di perairan pesisir Teluk

Riau dapat berpengaruh terhadap

kualitas perairan karena limbah yang

dihasilkan dari aktivitas masyarakat

tersebut umumnya dibuang langsung ke

perairan. Salah satu limbah yang akan

berpengaruh adalah limbah organik yang

mempengaruhi jumlah bahan organik

perairan. Jika bahan organik melebihi

ambang batas yang sewajarnya maka

akan bersifat pencemar, meskipun bahan

organik itu sendiri merupakan nutrien

bagi biota-biota perairan termasuk siput

belongkeng. Sehingga perlu diketahui

seberapa besar pengaruh kandungan

bahan organik (TOM) terhadap keong

bakau (Telescopium telescopium).

Tujuan Penelitian

Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui pengaruh kandungan

bahan organik terhadap kelimpahan

keong bakau (Telescopium telescopium)

di perairan Teluk Riau Kota

Tanjungpinang.

Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan gambaran mengenai

kelimpahan keong bakau (Telescopium

telescopium) serta kandungan bahan

organik di perairan Teluk Riau.

Hipotesis

Adapun hipotesis dari penelitian ini

adalah:

Ho : Kandungan bahan organik

(TOM) tidak berpengaruh

terhadap kelimpahan

keong bakau (Telescopium

telescopium).

Ha : Kandungan bahan organik

(TOM) berpengaruh terhadap

kelimpahan keong bakau

(Telescopium telescopium).

METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilakukan pada

bulan Juli sampai Agustus 2013 yang

berlokasi di perairan Teluk Riau

Kecamatan Tanjungpinang Kota

Provinsi Kepulauan Riau. Sedangkan

penelitian laboratorium dilakukan di

laboratorium Universitas Maritim Raja

Ali Haji dan Laboratorium Pembinaan

dan Pengujian Mutu Hasil Perikanan

(LPPMHP) Tanjungpinang.

Alat Dan Bahan

Adapun alat dan bahan yang digunakan

dalam penelitian ini dapat dilihat pada

Tabel 2 NO Parameter Alat dan Bahan

1 Suhu Mulititest Model

YK-2005WA

2 DO Mulititest Model

YK-2005WA

3 pH Mulititest Model

YK-2005WA

4 Kekeruhan Turbidimeter

Page 38: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

38

5 Arus Current Drouge

6 Salinitas Salinometer

7 COD Labu Erlemeyer,

Gelas Ukur, pipet

ukur, K2Cr2O2,

H2SO4.

8 TOM Oven, Furnace,

Desikator

9 pH Tanah Soil tester

10 Tipe Substrat Ayakan bertingkat

Metode Penelitian

Metode dalam penelitian ini

dilakukan dengan metode survei, yaitu

metode penelitian yang tidak melakukan

perubahan (tidak ada perlakuan khusus)

terhadap variabel yang akan diteliti

dengan tujuan untuk memperoleh serta

mencari keterangan secara faktual

tentang objek yang diteliti. Sumber data

dalam penelitian ini merupakan data

hasil pengukuran parameter fisika kimia

perairan di lapangan dan di laboratorium

serta data hasil olahan berupa nilai

kelimpahan dan analisis regresi

sederhana. Data yang diperoleh tersebut

ditabulasikan untuk selanjutnya dibahas

secara deskriptif, kemudian untuk

melihat pengaruh kandungan bahan

organik terhadap kelimpahan siput

belongkeng dilakukan dengan

menggunakan analisis regresi linier

sederhana dengan bantuan SPSS Ver.

17,00.

Penentuan Stasiun

Penentuan Lokasi stasiun

menggunakan metode purposive

sampling yaitu penentuan lokasi

berdasarkan atas adanya tujuan tertentu

dan sesuai dengan pertimbangan peneliti

sendiri sehingga mewakili populasi

(Arikunto, 2006). Stasiun pengamatan

tersebut meliputi (Lampiran 2):

Prosedur Pengambilan Sampel

Keong Bakau

Pengambilan sampel keong

bakau dilakukan pada saat surut di setiap

stasiun, dimana pada tiap stasiun

terdapat 3 titik sub stasiun yang terdiri

dari 3 transek. Penentuan transek

dilakukan secara tegak lurus ke arah laut

dengan mengguanakan plot yang

berukuran 1 x 1 m pada setiap transek,

dan jarak antar plot ± 5 m. Hal tersebut

dilakukan dengan pertimbangan batas

aktifitas yang ada di sekitar lokasi masih

memberikan pengaruh terhadap

perairan.

Perhitungan Kelimpahan Keong

Bakau

Kelimpahan populasi keong

bakau dihitung dengan menggunakan

rumus (Brower et al., 1989 dalam

Pratama, 2013).

Dimana :

Di = Jumlah individu per satuan

luas (individu / m2)

Ni = Jumlah individu dalam transek

kuadrat (individu)

A = Luas transek kuadrat (meter2)

Analisis Pengaruh Kandungan Bahan

Organik Terhadap Kelimpahan

Keong Bakau

Untuk melihat pengaruh

kandungan bahan organik terhadap

kelimpahan keong bakau dilakukan

dengan menggunakan analisis regresi

linier sederhana dengan bantuan sistem

komputerisasi SPSS Ver.17.00. Analisis

regresi linear sedehana bertujuan untuk

mengetahui seberapa besar pengaruh

variabel X (kandungan bahan organik)

terhadap variabel Y (kelimpahan keong

bakau). Secara matematis persamaan

regresi dapat digambarkan sebagai

berikut (Sudjana, 2002):

y = a + bx

Dimana:

y = Kelimpahan Keong Bakau

a = Koefisien

b = Konstanta

x = Kandungan Bahan Organik

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kandungan Total Organik Substrat

(TOM)

Berdasarkan hasil pengukuran

nilai rata-rata kandungan total organik

substrat pada setiap stasiun penelitian

berkisar antara 17,75 – 62,70 %.

Kandungan total organik tertinggi

terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung

Unggat) yaitu sebesar 62,50 %,

Page 39: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

39

kemudian pada Stasiun 1 (Senggarang)

yaitu sebesar 41,77 %, selanjutnya pada

Stasiun 4 (Kampung Bugis) yaitu

sebesar 40,77 % dan terendah pada

Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu sebesar

17,75 %.

Dapat dilihat pada gambar 4 bahwa nilai

total organik terendah terletak pada

Stasiun 3 (Sei Carang), sedangkan nilai

tertinggi terletak pada Stasiun 2

(Tanjung Unggat). Tingginya

kandungan organik substrat pada Stasiun

2 tersebut diduga dipengaruhi oleh

beberapa faktor yaitu letak stasiun ini

yang berada di pemukiman penduduk

dan berseberangan dengan eksosistem

mangrove, sehingga mendapat banyak

pasokan bahan organik yang terbawa

oleh arus. Kemudian faktor berikutnya

yang turut berpengaruh terhadap

tingginya kandungan organik substrat

pada Stasiun 2 adalah Substrat yang

berupa lumpur (halus), menurut Wood

(1987) dalam Siddik (2011), pada

sedimen yang lebih halus memiliki

kandungan organik yang lebih banyak

dibandingkan dengan sedimen dengan

butiran yang lebih kasar.

Sedangkan kondisi sebaliknya

terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang)

yang memiliki kandungan total organik

terendah (17,75%). Kondisi ini diduga

dikarenakan tipe substrat yang dominan

terdiri dari pasir dan butiran yang

bertekstur/diameter kasar sehingga

menyebabkan bahan organik yang

berasal dari ekosistem mangrove

disekitarnya lebih sulit untuk tinggal dan

melekat pada substrat.

Kelimpahan Keong Bakau

Kelimpahan keong bakau di

perairan Teluk Riau dapat dikatakan

bervariasi pada setiap stasiun yaitu

berkisar mulai dari 1 – 5 ind/m2.

Kelimpahan tertinggi ditemukan pada

Stasiun 2 (Tanjung Unggat) yaitu 5

ind/m2, kemudian pada Stasiun 4

(Kampung Bugis) dengan kelimpahan 4

ind/m2, sedangkan keliimpahan terendah

terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang)

dan Stasiun 3 (Sei Carang) yaitu 1

ind/m2. Hal tersebut dikarenakan pada

masing-masing stasiun memiliki kondisi

habitat yang berbeda-beda sehingga

perbedaan tersebut sedikit banyak

mempengaruhi kehidupan keong bakau.

Diduga perbedaan utama yang

mempengaruhi keberadaan keong bakau

pada setiap stasiun adalah kadar organik

substrat yang merupakan tempat hidup

dan mencari makan bagi keong bakau.

Kelimpahan individu keong bakau pada

setiap stasiun penelitian dapat dilihat

pada Gambar 4 berikut ini.

Kelimpahan yang lebih tinggi

terdapat pada Stasiun 2 (Tanjung

Unggat) dan Stasiun 4 (Kampung Bugis)

dibanding dengan stasiun lainnya diduga

karena stasiun ini memiliki substrat

dengan kandungan bahan organik yang

lebih besar di banding stasiun lainnya

sehingga menjadikan ketersediaan bahan

makanan pada stasiun tersebut

melimpah. Kondisi yang demikian

dikarenakan pada kedua Stasiun ini

terdapat banyak pemukiman yang

menyumbang kandungan bahan-bahan

organik kedalam perairan, seperti sisa-

sisa makanan, sampah organik dan

limbah rumah tangga. Wood dalam

Puspitasari (2012) menjelaskan bahwa

bahan organik yang mengendap di dasar

perairan merupakan sumber makanan

bagi organisme benthik, sehingga

jumlah dan laju pertambahannya dalam

sedimen mempunyai pengaruh terhadap

0

20

40

60

80

Stasiun1

Stasiun2

Stasiun3

Stasiun4

TOM

(%

)

0

2

4

6

Ke

limp

ahan

In

d/m

2

Page 40: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

40

populasi organisme dasar. Substrat yang

kaya akan bahan organik biasanya

didukung oleh melimpahnya fauna

deposit feeder seperti siput atau

gastropoda (Odum, 1993).

Kelimpahan pada Stasiun 1

(Senggarang) dan Stasiun 3 (Sei Carang)

lebih rendah diduga dikarenakan

populasi keong bakau pada Stasiun 1

telah banyak ditangkap/dimanfaatkan

oleh masyarakat sekitar, karena pada

Stasiun ini merupakan tempat

bekarang/mencari siput dan sejenisnya

bagi masyarakat setempat. Sedangkan

pada Stasiun 3 (Sei Carang) memiliki

kandungan bahan organik lebih rendah

dibandingkan stasiun yang lain.

Sehingga ketersediaan makanan bagi

keong bakau pada stasiun ini lebih

sedikit. Kemudian substrat pada Stasiun

3 ini tergolong pasir sehingga

menyebabkan bahan organik yang

berasal dari ekosistem mangrove

disekitarnya lebih sulit untuk tinggal dan

melekat pada substrat.

Karateristik Fisika Kimia Periaran

dan Substrat

Hasil pengukuran parameter

fisika kimia perairan dan substrat pada

setiap stasiun penelitian dapat dilihat

pada Tabel 4. Berdasarkan Tabel 4 dapat

dilihat bahwa hasil pengukuran suhu

diseluruh stasiun penelitian yaitu

berkisar antara 30,1 – 31,2 0C.

Nilai suhu diseluruh stasiun

penelitian tidak berada dalam kisaran

yang terlalu jauh, hal ini dikarenakan

keadaan cuaca pada saat pengukuran

suhu relatif sama sehingga suhu tidak

mengalami perubahan atau fluktuasi.

Secara umum kisaran suhu yang

diperoleh selama penelitian merupakan

kisaran yang masih dapat mendukung

kehidupan makrozoobenthos. Hal ini

disebabkan karena suhu yang diperoleh

berada di bawah batas toleransi tertinggi

untuk keseimbangan struktur populasi

hewan benthos yaitu mendekati 320C

(Adriman dalam Prihatiningsih, 2004).

Paramet

er

Satuan

Stasiun Penelitian

1

2

3

4

Suhu oC 30,1 31,2 31,1 30,5

Kekeruha

n

NTU 4.23 5,44 6,79 3,38

Arus cm/d 7,23 7,16 8,3 7,03

DO mg/l 7,43 7,1 6,8 7,03

pH - 7,2 7,9 7,3 7,6

Salinitas 0/00 32,8 31,2 29,9 31,4

pH

Tanah

- 6,2 5,7 6,8 6,3

COD mg/l 42,3

9

50,8

8

26,5

8

59,4

9

TOM % 41,2

6

62,7

0

17,7

5

40,7

7

Substrat - Lum

pur

Lum

pur

Pasir Lum

pur

Hasil pengukuran kekeruhan

diseluruh stasiun penelitian berkisar

antara 3,38 – 6,79 NTU. Berdasarkan

Kepmenlh No. 51 (2004) standar baku

mutu kekeruhan untuk biota laut adalah

< 5 NTU. Artinya kisaran nilai

kekeruhan pada perairan Teluk Riau

sudah tidak memenuhi standar baku

mutu yaitu pada Stasiun 2 dan 3

(Tanjung Unggat dan Sei Carang) yang

mencapai 5,44 dan 6,79 NTU.

Sedangkan untuk Stasiun 1 dan 4 masih

tergolong baik karena masih di bawah

standar baku mutu. Tingginya nilai

kekeruhan pada Stasiun 2 diduga

dipengaruhi oleh aktivitas tambat kapal

dan lalu lintas kapal pengangkut bauksit,

sementara tingginya kekeruhan pada

Stasiun 3 diduga dipengaruhi oleh

kandungan bahan organik substratnya

yang tinggi sehingga memudahkan

partikel-partikelnya terangkat saat

terjadinya pengadukan.

Kecepatan arus yang diukur

dalam penelitian ini adalah arus

permukaan secara umum yaitu gerakan

massa air laut kearah horizontal.

Kecepatan arus disetiap stasiun

penelitian berkisar antara 7,03 – 8,3

cm/dtk. Tingginya kecepatan arus pada

Stasiun 3 (Sei Carang) dikarenakan

stasiun ini berada pada selat, dengan

kondisi demikian menyebabkan setiap

arus yang mengalir akan bergabung

searah dengan arah selat. Menurut

Page 41: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

41

Wibisono (2005), Kecepatan arus yang

paling besar biasanya berada pada

perairan selat yang posisinya searah

dengan arah arus. Hal ini diduga yang

menyebabkan substrat pada Stasiun 3 ini

tergolong pasir, sehingga secara tidak

langsung menyebabkan kelimpahan

siput belongkeng pada stasiun ini rendah

yaitu sebesar 1 ind/m2. Kondisi

sebaliknya pada Stasiun 1,2 dan 4 yang

kecepatan arusnya yang lebih rendah

dibanding Stasiun 3, memiliki substrat

yang tergolong lumpur dan memiliki

kelimpahan siput belongkeng yang lebih

tinggi yaitu sebesar 1 – 5 ind/m2.

Kecepatan arus dapat mempengaruhi

kelimpahan dan keanekaragaman

makrozoobenthos, karena pengendapan

sedimen atau komposisi substrat dasar

yang menjadi salah satu suplai makanan

untuk makrozoobenthos tergantung pada

kecepatan arus (Puspitasari, 2012).

Hasil pengukuran oksigen

terlarut di setiap stasiun penelitian

menunjukkan variasi yang tidak begitu

besar yaitu berkisar antara 6,8 – 7,4

mg/l. Berdasarkan Kepmenlh No. 51

(2004), standar baku mutu oksigen

terlarut untuk kehidupan biota laut

adalah > 5 mg/l. Effendi (2003)

berpendapat bahwa perairan yang

diperuntukkan bagi kepentingan

perikanan sebaiknya memiliki kadar

oksigen yang tidak kurang dari 5 mg/l.

Sehingga dapat dikatakan bahwa

konsentrasi oksigen terlarut di perairan

Teluk Riau tergolong normal dan baik

bagi kehidupan siput belongkeng.

Konsentrasi oksigen terlarut tertinggi

terletak pada Stasiun 1 (Senggarang)

yaitu 7,4 mg/l. Stasiun ini dikarenakan

nilai kekeruhannya termasuk masih

dibawah baku mutu yaitu 4,23 NTU.

Konsentrasi okesigen terlarut terendah

terletak pada Stasiun 3 (Sei Carang)

yaitu 6,8 mg/l. Stasiun ini dicirikan

dengan tingkat kekeruhan tertinggi yaitu

6,23 NTU, posisi yang cendrung lebih

tertutup dan terdapat aktivitas lalu lintas

kapal pengangkut bauksit serta

pelabuhan tambat kapal.

Hasil pengukuran derajat

keasaman (pH) disetiap stasiun

penelitian berkisar antara 6,8 – 7,9. Nilai

pH terendah terdapat pada Stasiun 1

(Senggarang) dan nilai tertinggi terdapat

pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat).

Berdasarkan Kepmenlh No. 51 (2004),

standar baku mutu nilai pH yang

mendukung untuk kehidupan biota laut

adalah berkisar antara 7 – 8,5. Sebagian

besar biota akuatik sangat sensitif

terhadap perubahan pH dan menyukai

nilai pH antara 7 – 8,5 (Effendi, 2003).

Dengan demikian dapat dikatakan nilai

pH pada perairan Teluk Riau di semua

stasiun penelitian tergolong baik untuk

kehidupan biota laut termasuk siput

belongkeng. Sedangkan hasil

pengukuran pH tanah disetiap stasiun

penelitian berkisar antara 5,7 – 6,8. Nilai

pH tanah tertinggi terdapat pada Stasiun

3 (Sei Carang) yaitu 6,8, dan nilai

terendah terdapat pada Stasiun 2

(Tanjung Unggat) yaitu 5,7. Tingginya

nilai pH pada Stasiun 3 diduga karena

rendahnya kandungan organik substrat.

Hal tersebut menurut Rinawati et al.,

dalam Puspitasari (2012) bahwa nilai pH

yang normal mengindikasikan jumlah

bahan organik sedikit. Semakin banyak

jumlah bahan organik yang terlarut

maka akan mengakibatkan nilai pH

menurun karena konsentrasi CO2

semakin meningkat akibat aktivitas

mikroba dalam menguraikan bahan

organik.

Hasil pengukuran salinitas

disetiap stasiun penelitian berkisar

antara 30,8 – 32,1 0/00. Salinitas tertinggi

terdapat pada Stasiun 1 (Senggarang)

sedangkan nilai terendah terdapat pada

Stasiun 3 (Sei Carang). Berdasarkan

hasil tersebut dapat dikatakan bahwa

nilai salinitas pada perairan Teluk Riau

cukup bervariasi, hal ini di karenakan

pada setiap stasiun penelitian memiliki

karakteristik yang cukup berbada.

Rendahnya nilai salinitas pada Stasiun 3

(Sei Carang) yang tergolong payau

disebabkan karena lokasi stasiun ini

berada pada muara laut Tanjungpinang

dan aliran sungai Sei Carang, sehingga

terus menerima masukan masa air tawar

Page 42: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

42

yang cukup banyak. Berbeda dengan

Stasiun 3, stasiun lainnya cendrung

memiliki salinitas yang lebih tinggi, hal

ini dikarenakan tidak adanya masukan

air tawar yang cukup berarti yang

mampu mempengaruhi salinitas. Selain

itu juga stasiun-stasiun ini cendrung

berada pada kondisi yang lebih terbuka

dan berhadapan langsung dengan laut

terbuka sehingga pengaruh air laut

dengan salinitas yang tinggi lebih

dominan. Menurut Nontji (2002),

sebaran salinitas di laut dipengaruhi oleh

berbagai faktor seperti pola sirkulasi air,

penguapan, curah hujan, dan aliran

sungai.

Effendi (2003) mengungkapkan

bahwa COD menggambarkan jumlah

total oksigen yang dibutuhkan untuk

mengoksidasi bahan organik secara

kimiawi, baik yang dapat didegradasi

secara biologis (biodegradable) maupun

yang sukar didegradasi secara biologis

(non biodegradable) menjadi CO2 dan

H2O. Berdasarkan hasil pengukuran nilai

COD pada setiap stasiun penelitian

berkisar antara 26,58 – 59,49 mg/l. Nilai

COD terendah terdapat pada Stasiun 3

(Sei Carang) yaitu 26,58 mg/l, hal ini

disebabkan karena pada stasiun ini

diduga dikarenakan sedikitnya limbah-

limbah domestik yang masuk ke dalam

perairan, selanjutnya nilai tertinggi

terdapat pada Stasiun 4 (Kampung

Bugis) yaitu 59,49 mg/l. Hal ini diduga

disebabkan banyaknya limbah-limbah

domestik yang berasal dari pemukiman

yang berada disekitarnya.

Pengaruh Kandungan Bahan Organik

Terhadap Kelimpahan Keong Bakau

Dalam menganalisis pengaruh

kandungan bahan organik (x) terhadap

kelimpahan keong bakau (y) dilakukan

dengan menggunakan analisis regresi

linier sederhana. Adapun persamaan

regresi yang terbentuk berdasarkan hasil

perhitungan analisis regresi linear

sederhana adalah sebagai berikut.

Y = 1,983 + 0,108 X

Berdasarkan persamaan regresi

yang dihasilkan, dapat diketahui bahawa

:

1. Konstanta = 1,983, artinya apabila

nilai kandungan bahan organik

tetap, maka kelimpahan keong

bakau sebesar 1,983.

2. Koefisien kandungan bahan organik

(X) bernilai positif yaitu 0,108.

Artinya apabila terjadi peningkatan

kandungan bahan organik sebasar

1%, maka kelimpahan akan

bertambah sebesar 0,108.

Hasil analisis regresi linier

sederhana antara kandungan bahan

organik dengan kelimpahan keong

bakau dengan menggunakan tingkat

kepercayaan 95%, diperoleh nilai

koefisien determinasi (R²) di yaitu

0,655. Artinya pengaruh kandungan

bahan organik terhadap kelimpahan

keong bakau diseluruh stasiun sebesar

65,5% sementara 35,5% sisanya

dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak

diketahui. Dengan kata lain dapat

disimpulkan bahwa variabel X

(kandungan bahan organik) mampu

menjelaskan variabel Y (kelimpahan

keong bakau).

Berdasarkan Gambar 5 dapat dilihat

bahwa hubungan antara kandungan

bahan organik dengan kelimpahan

keong bakau pada setiap stasiun

penelitian ini sedang. Hal ini

menggambarkan bahwa tingginya

kandungan bahan organik sedimen

seimbang dengan kelimpahan keong

bakau yang ada.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian dan

analisis data terhadap populasi keong

bakau (Telescopium telescopium) di

perairan Teluk Riau, dapat disimpulkan

bahwa:

-2

0

2

4

6

8

0 50 100

Ke

limp

ahan

In

div

idu

Kandungan Bahan Organik

Page 43: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

43

1. Kelimpahan keong bakau disetiap

stasiun penelitian yaitu 1 – 5

ind/m2. Di mana kelimpahan

tertinggi terdapat pada Stasiun 2

(Tanjung Unggat) yaitu 5 ind/m2,

sedangkan kelimpahan terendah

terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang)

yaitu 1 ind/m2. Kemudian

kandungan organik substrat disetiap

stasiun penelitian yaitu 17,75 –

62,70 %. Di mana kandungan

organik substrat tertinggi terdapat

pada Stasiun 2 (Tanjung Unggat)

yaitu 62,50 %, sedangkan

kandungan organik substrat terendah

terdapat pada Stasiun 3 (Sei Carang)

yaitu 17,75 %.

2. Berdasarkan hasil analisis regresi

linier sederhana antara kandungan

bahan organik dengan kelimpahan

keong bakau dengan menggunakan

tingkat kepercayaan 95%, diperoleh

nilai koefisien determinasi (R²) yaitu

0,655. Artinya pengaruh kandungan

bahan organik terhadap kelimpahan

keong bakau diseluruh stasiun

sebesar 65,5% sementara 35,5%

sisanya dipengaruhi oleh faktor lain

yang tidak diketahui.

Saran

Penelitian ini hanya mengkaji

kandungan total organik substrat secara

keseluruhan, diharapkan dilakukan

penelitian lanjutan dengan kandungan

bahan organik yang lebih spesifik seperti

C-organik dan N-organik. Serta perlu

dilakukan penelitian dalam jangka

waktu yang lebih lama.

UCAPAN TERIMAKASIH Pada kesempatan ini penulis

menyampaikan ungkapan terima kasih

kepada Ibu Winny Retna Melani, SP,

M.Sc sebagai Pembimbing I dan Bapak

Andi Zulfikar, S.Pi, MP sebagai

Pembimbing II, atas segala kritik, saran,

dan masukkannya. Tak lupa pula kepada

Ibu Diana Azizah, S.Pi, M.Si atas segala

bimbingan dan motivasinya. Ungkapan

terima kasih kepada Ayahanda dan

Ibunda tercinta, serta keluarga besar

yang telah memberikan do‟a, dukungan

moral dan material. Tidak lupa kepada

teman-teman MSP 09 atas kerjasama,

motivasi dan kepeduliannya selama ini

serta semua pihak yang telah membantu

baik secara langsung maupun tidak

langsung dalam pelaksanaan penelitian

ini yang tidak dapat penulis sebutkan

namanya satu persatu.

DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2006. Prosedur Penelitian Suatu Pendekatan Praktik. Rineka

Cipta. Jakarata.

Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air Bagi Pengelolaan

Sumberdaya dan Lingkungan Perairan. Kanisius.

Yogyakarta. Hadinafta, R. 2009. Analisis Kebutuhan

Oksigen Untuk Dekomposisi Bahan Organik Di Lapisan

Dasar PerairanEstuari Sungai Cisadane, Tangerang.

Skripsi Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Hamsiah, 2000. Peranan Keong Bakau

(Telescopium telescopium) Sebagai Biofilter

Limbah Budidaya Tambak Udang Intensif. Tesis. Program

Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Bogor.

Houbrick R. S. 1991. Systematic review and functional morphology

of the mangrove snails terebralia and telescopium

(potamididae; prosobranchia). Malacologia 33 (1- 2): 289-

338. Keputusan Menteri Lingkungan Hidup

No. 51. 2004. Baku Mutu Air Laut Untuk Biota Laut.

Jakarta.

Melani, W.R., et.al., 2012. Indeks Kualitas Lingkungan

Perairan Pesisir Kecamatan Tanjungpinang Kota

Kepulauan Riau. Laporan Akhir Penelitian. Universitas Maritim

Raja Ali Haji. Tanjungpinang.

Page 44: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Kajian kandungan bahan organik…

Tio Perdana, Winny Retna Melani, Andi Zulfikar ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 36-44

44

Nontji, A. 2002. Laut Nusantara.

Penerbit Djambatan. Jakarta.

Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Diterjemahkan Oleh T.

Samingan. Gadjah Mada

Universty Press. Yogyakarta. 574 hal.

Pratama, R. R. 2013. Analisis Tingkat Kepadatan Dan Pola Sebaran

SIput Laut Gonggong Di Perairan Pesisir Pulau Dompak.

Skripsi Universitas Maritim Raja Ali Haji. Tanjungpinang.

Prihatiningsih, 2004. Struktur Komunitas

Makrozoobenthos di Perairan Teluk Jakarta. Skripsi Institut

Pertanian Bogor. Bogor. Puspitasari, Niken. 2012.

Keanekaragaman Makrozoobenthos Di Perairan

Desa Malang Rapat

Kecamatan Gunung Kijang Kabupaten Bintan Provinsi

Kepulauan Riau. Skripsi Universitas Maritim Raja Ali

Haji. Tanjungpinang. Rahmawati, Gita. 2013. Ekologi Keong

Bakau (Telescopium telescopium) Pada

Ekosistem Mangrove Pantai Mayangan Jawa Barat. Skripsi

Institut Pertanian Bogor. Bogor. Siddik J. 2011. Sebaran Spasial Dan

Potensi Reproduksi Populasi Siput laut gonggong

(Strombus Turturela) di Teluk Klabat Bangka – Belitung.

Tesis. Sekolah Pasaca Sarjana,

Institut Pertanian Bogor. Bogor. Standar Nasional Indonesia No. 06-

2412, 1991. Metode Pengambilan Contoh Uji

Kualitas Air. Badan Pengendalian Dampak

Lingkungan. Jakarta. Sudjana, 2002. Metode Statistika. Edisi

Keenam. Tarsito. Bandung. Wibisono, M.S. 2005. Pengantar Ilmu

Kelautan, PT. Grasindo, Jakarta.

www.marinespecies.org Klasifikasi

Keong Bakau. Diakses pada 31 Januari 2014.

Zulkifli, H., Z. Hanafiah., D. A. Puspitawati. 2009. Struktur

dan Fungsi Komunitas

Makrozoobenthos di Perairan Sungai Musi Kota Palembang:

Telaah Indikator Pencemaran Air. Jurusan FMIPA.

Universitas Sriwijaya.

Page 45: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

45

VALUASI EKONOMI HUTAN MANGROVE DI PULAU

DOMPAK KOTA TANJUNGPINANG PROPINSI

KEPULAUAN RIAU

Linda Waty Zen dan Fitria Ulfah

Jurusan Manajemen Sumberdaya Perairan

Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui manfaat dan nilai ekonomi

ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak, mengkuantifikasi total nilai pemanfaatan (use

value) dan nilai bukan pemanfaatan (non-use value) ekosistem hutan mangrove, serta

merumuskan strategi pengelolaan hutan mangrove yang berkelanjutan dengan tetap

memperhatikan aspek fungsi dan peran mangrove. Metode yang digunakan dalam penelitian

ini adalah Metode kuantitif deskriptif serta penjelasan kualitatif untuk menggambarkan

tentang karakteristik ekosistem hutan mangrove. Analisis kuantitatif berdasarkan data angka

menjelaskan tentang Nilai ekonomi ekosistem hutan mangrove. Hasil penelitian

menemukan bahwa manfaat ekosistem hutan mangrove di Pulau Dompak terdiri dari

manfaat langsung berupa hasil hutan (kayu log) , penangkapan ikan, kepiting, udang dan

siput laut (gonggong) , manfaat tidak langsung berupa penahan abrasi dan manfaat pilihan

berupa nilai keanekaragaman hayati. Nilai manfaat ekonomi total hutan mangrove di Pulau

Dompak adalah sebesar Rp 88.257.253.176,20 per tahun atau sebesar Rp 169.725.486,88

per hektar per tahun yang terdiri nilai manfaat langsung sebesar Rp 53,131,453,176.20 per

tahun ( 60,20 %).Nilai manfaat tidak langsung diperoleh sebesar Rp 35,040,000,000.00 (

39,70 %) dan nilai manfaat pilihan sebesar Rp 85,800,000.00 (0,10 %).

Kata kunci : hutan mangrove, Pulau Dompak, manfaat, nilai ekonomi

ABSTRACT

The purpose of this study was to determine the benefits and economic value of

mangrove forest ecosystems on Dompak island, quantifies the total value of the utilization

(use value) and the value is not use (non-use value) of mangrove forest ecosystems, as well

as formulating strategies of sustainable management of mangrove forests while attention to

aspects of the function and role of mangroves. The method used in this research is

descriptive quantitative method and qualitative explanations to describe the characteristics of

mangrove forest ecosystems. Quantitative analysis based on the data rate describes the

economic value of mangrove forest ecosystems. The study found that the benefits of the

mangrove forest ecosystem on the Dompak island consists of direct benefits such as forest

products (wood logs), catching fish, crabs, shrimp and sea slugs (“gonggong”), indirect

benefits in the form of retaining abrasion and benefits of options such as biodiversity values.

Total value of the economic benefits of mangrove forests in densely packed island is

Rp 88,257,253,176.20 per year or Rp 169,725,486.88 per hectare per year consisting of

direct benefit value of Rp 53,131,453,176.20 per year (60.20%). Indirect benefits derived

value of Rp 35,040,000,000.00 (39.70%) and the option value of benefits Rp 85,800,000.00

(0.10%).

Keywords : mangrove forest, Dompak island, benefit, economic value.

Page 46: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

46

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hutan mangrove merupakan

salah satu sumberdaya pesisir dan laut

yang sangat bermanfaat dalam

mendukung kehidupan penting di

wilayah pesisir dan lautan. Fungsi

ekologis hutan mangrove diantaranya

adalah penyedia makanan bagi biota

perairan, tempat pemijahan (spawning

ground) bagi bermacam-macam biota,

pelindung terhadap abrasi , angin taufan

dan tsunami, penyerab limbah, pencegah

intrusi air laut dan sebagainya.Fungsi

ekonomis hutan mangrove diantaranya

sebagai penyedia kayu bakar, daun-daun

untuk obat, bahan bakar, alat penangkap

ikan, bahan baku kertas dan sebagainya.

Pulau Dompak merupakan salah

satu kategori pulau kecil di Propinsi

Kepulauan Riau, yang terletak

disebelah Selatan Kota Tanjungpinang.

Pulau Dompak memiliki potensi

sumberdaya mangrove yang cukup luas,

dimana dari seluruh total ekosistem

mangrove di Kota Tanjungpinang

sebanyak 27,6 persen terdapat di Pulau

Dompak. Kegiatan pembangunan yang

cukup pesat di Kota Tanjungpinang

menjadikan pulau Dompak sebagai salah

satu kawasan pengembangan pusat kota.

Pulau Dompak dengan luas

lebih kurang 957 ha telah ditetapkan

menjadi daerah perkantoran dan pusat

pemerintahan daerah Propinsi Kepulaun

Riau. Beragam aktifitas pembangunan di

kawasan pulau Dompak menyebabkan

terjadinya penurunan kualitas

lingkungan yang dapat merusak

lingkungan kawasan Perairan di Pulau

Dompak.

Sampai saat ini, kebanyakan

manusia khususnya para perencana dan

pengambil keputusan menghargai nilai

manfaat ekosistem alamiah hanya dari

segi manfaat langsung (direct-use

value), padahal Nilai Ekonomi Total

suatu ekosistem alamiah terdiri dari nilai

penggunaan (use-value) dan nilai bukan

penggunaan (non-use value), sehingga

mereka memberikan penilaian yang

rendah terhadap keberadaan ekosistem

mangrove. Oleh sebab itu, begitu mudah

mereka mengkonversi ekosistem

alamiah ( hutan mangrove) menjadi

peruntukan lain ( Dahuri, 2003).

Penilaian ekonomi dari

ekosistem hutan mangrove di Pulau

Dompak Kota Tanjungpinang perlu

dilakukan sehingga dapat memberikan

gambaran tentang nilai ekonomi

ekosistem mangrove di Pulau Dompak

tersebut, serta dapat dirumuskan strategi

pengelolaan hutan mangrove yang

berkelanjutan dengan tetap

memperhatikan aspek fungsi dan peran

mangrove.

Tujuan penelitian Penelitian ini bertujuan untuk :

1. Mengetahui manfaat dan nilai

ekonomi ekosistem hutan

mangrove di Pulau Dompak

2. Mengkuantifikasi total nilai

pemanfaatan (use value) dan

nilai bukan pemanfaatan

(non-use value) ekosistem

hutan mangrove.

3. Merumuskan strategi

pengelolaan hutan mangrove

yang berkelanjutan dengan

tetap memperhatikan aspek

fungsi dan peran mangrove.

Manfaat Penelitian

Penelitian ini diharapkan dapat dijadikan

sebagai sumber informasi tentang

kondisi dan potensi sumberdaya

mangrove pulau Dompak sehingga

bermanfaat bagi pemerintah dalam

merumuskan strategi kebijakan

pengelolaan ekosistem mangrove yang

berkelanjutan di Pulau Dompak Kota

Tanjungpinang Propinsi Kepulaun Riau.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat Penelitian

Lokasi dari penelitian ini adalah

kawasan pulau Dompak yang terletak di

daerah administrasi Kota Tanjungpinang

Propinsi Kepulauan Riau. Penelitian

Page 47: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

47

dilaksanakan pada bulan Juni sampai

Oktober 2013.

Metode Pengumpulan Data

Data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini terdiri dari data primer dan

data sekunder. .Data primer diperoleh

melalui observasi dan wawancara. Data

tersebut meliputi data variabel valuasi

ekonomi hutan mangrove, profil

masyarakat, pandangan responden

terhadap hutan mangrove, interaksi

masyarakat dengan hutan

mangrove. Sedangkan d Data sekunder

diperoleh dari Kantor Kelurahan

Dompak, mencakup monografi

meliputi data penduduk (KK, jumlah

jiwa, dll).

Pengumpulan data dan informasi

dilakukan melalui wawancara, observasi

lapangan, yang meliputi :

1. Wawancara langsung dengan

responden tentang masalah yang

diteliti dengan menggunakan

pedoman wawancara berupa daftar

pertanyaan

2. Observasi : melakukan pengamatan

secara langsung pada obyek yang

diteliti, yaitu pengamatan secara

langsung tentang kondisi ekologi

hutan mangrove, serta tingkat

pemanfaatan langsung terhadap

hutan mangrove.

Metode Pemilihan Responden

Metode pemilihan sampel/

responden yang digunakan

adalah purposive sampling,yaitu metode

pengambilan sampel berdasarkan

pertimbangan tertentu atau sengaja,

dimana yang menjadi sasaran responden

penelitian adalah masyarakat yang

bermukim di Pulau Dompak yang terdiri

dari 193 KK. Responden yang dipilih

adalah masyarakat yang sering

berasosiasi dengan mangrove yang

tinggal di pesisir Pulau Dompak. Jumlah

responden penelitian ini adalah

sebanyak 23 orang.

Analisis Data

Metode Penelitian yang

digunakan adalah Metode kuantitif

deskriptif serta penjelasan kualitatif

untuk menggambarkan tentang

karakteristik ekosistem hutan mangrove.

Analisis kuantitatif berdasarkan data

angka menjelaskan tentang Nilai

ekonomi ekosistem hutan mangrove.

Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove

Penilaian ekonomi sumberdaya

mangrove dilakukan dengan

menggunakan tahap sebagai berikut:

(Bakosurtanal, 2005 & Bann,1998 ) :

1. Identifikasi manfaat dan fungsi-

fungsi sumberdaya hutan mangrove

2. Kuantifikasi besarnya dampak

3. Dampak kuantitatif dinyatakan

dalam nilai uang (rupiah)

4. Analisis ekonomi.

Identifikasi dan Fungsi Sumberdaya

Hutan Mangrove

Nilai ekonomi sumberdaya mangrove

dibagi menjadi nilai penggunaan (use-

value) dan nilai non penggunaan (non-

use value). Nilai penggunaan dibagi

menjadi dua yaitu nilai langsung (direct-

use value) dan nilai tidak langsung (

indirect- use value). Sedangkan nilai

non-penggunaan dibagi menjadi tiga,

yang meliputi nilai manfaat langsung

(option value), nilai manfaat keberadaan

(existence value) dan nilai warisan

(bequest value) (Fauzi, 2004). Nilai

manfaat langsung (direct-use value)

Nilai manfaat langsung adalah nilai yang

dihasilkan dari pemanfaatan secara

langsung dari suatu sumberdaya.

Manfaat langsung diartikan sebagai

manfaat yang dapat dikonsumsi.

Nilai manfaat langsung hutan mangrove

dihitung dengan persamaan :

DUV = ∑ DUV i

Keterangan : DUV = Direct Use Value

DUV 1 = manfaat kayu ( Rp/th)

DUV2 = manfaat penangkapan ikan

(Rp/th)

DUV3 = manfaat penangkapan udang

(Rp/th)

DUV4 = manfaat penangkapan kepiting

(Rp/th)

DUV5= manfaat penangkapan siput laut

(gonggong) (Rp/th)

Page 48: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

48

1) Nilai manfaat tidak langsung

(indirect-use value)

Manfaat tidak langsung adalah

manfaat dari suatu sumberdaya

(mangrove) yang dimanfaatkan secara

tidak langsung oleh masyarakat.

Manfaat tidak langsung dapat berupa

manfaat fisik yaitu penahan abrasi air

laut.

Penilaian hutan mangrove secara fisik

dapat diestimasi dengan fungsi hutan

mangrove sebagai penahan abrasi.

(Rp/th)

2) Nilai manfaat pilihan (option value)

Manfaat pilihan yaitu nilai ekonomi

yang diperoleh dari potensi pemanfaatan

langsung maupun tidak langsung dari

sebuah sumberdaya/ekosistem di masa

datang yaitu berupa nilai Biodiversity (

Rp/th).

Menurut Ruitenbeek ( 1992), hutan

mangrove Indonesia mempunyai nilai

biodiversity sebesar US $ 1.500 per

km2.

Nilai manfaat pilihan ini diperoleh

dengan persamaan :

OV = US $ 15 per ha x luas hutan

mangrove

Keterangan : OV = Option Value (nilai pilihan)

Kuantifikasi Manfaat Ke dalam

Nilai Uang

Setelah seluruh manfaat dapat

diidentifikasi, maka selanjutnya adalah

mengkuantifikasi seluruh manfaat ke

dalam nilai uang dengan beberapa nilai,

yaitu :

1. Nilai pasar

Pendekatan ini digunakan untuk

menghitung nilai ekonomi dari

komoditas-komoditas yang langsung

dapat dimanfaatkan dari sumberday

mangrove

2. Harga tidak langsung

Pendekatan ini digunakan untuk menilai

manfaat tidak langsung dari hutan

mangrove.

3. Contingent Value Method

(CVM)

Pendekatan ini digunakan untuk

menghitung nilai dari suatu sumberdaya

yang tidak dijual dipasar, contohnya

nilai keberadaan.

4. Nilai Manfaat Ekonomi Total

Teknik perhitungan untuk menilai

ekonomi suatu sumberdaya, mengacu

pada metode valuasi ekonomi atau Total

Economi Value (TEV) (Dahuri, 2003).

Nilai manfaat ekonomi total dari hutan

mangrove merupakan penjumlahan dari

seluruh nilai ekonomi dari manfaat

hutan mangrove yang telah diidentifikasi

dan dikuantifikasikan.

Secara matematis dapat dirumuskan

dalam persamaan sebagai berikut ;

TEV = DUV + IUV + OV Keterangan :

TEV = Total Economi Value ( Total Nilai

Ekonomi)

DUV = Direct Use Value ( Nilai

Penggunaan langsung)

IUV= Indirect-Use Value (Nilai

Penggunaan Tidak langsung)

OV = Option Value ( Nilai pilihan)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kondisi Umum Daerah Penelitian

Letak Administratif

Kependudukan

Jumlah penduduk kelurahan Dompak

terbilang cukup sedikit yaitu sekitar

2.679 jiwa, terdiri dari penduduk yang

berjenis kelamin laki-laki sebanyak

1.395 jiwa dan penduduk yang berjenis

kelamin perempuan sebanyak 1.284 jiwa

sehingga kelurahan Dompak hanya

memiliki 13 buah Rukun Tetangga dan 4

buah Rukun Warga. Pulau Dompak

yang sebagian besar berupa hutan hanya

dihuni sejumlah kecil penduduk. Pulau

Dompak didiami oleh 193 KK. .(Pemko

Tanjungpinang, 2011).

Kondisi Umum Perairan Pulau

Dompak

Kondisi perairan Pulau Dompak mampu

menunjang kehidupan hutan mangrove.

Berdasarkan hasil penelitian Lestari, et

al (2012) diketahui bahwa suhu

perairan di lokasi penelitian rata-rata 29

°C. Secara umum kisaran suhu yang

diperoleh merupakan kisaran yang

masih dapat mendukung kehidupan

Page 49: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

49

mangrove (baku mutu suhu sebesar 28 –

32 °C). Sedangkan nilai kekeruhan di

Perairan Pulau Dompak cukup tinggi

jika dibandingkan dengan nilai ambang

baku mutu untuk kehidupan biota laut

menurut KepMenLH Nomor 51 Tahun

2004 (< 5 NTU).

Kecepatan arus pada lingkungan

perairan kawasan mangrove di Pulau

Dompak berkisar antara 0,104 – 0,13

m/s. Jika hutan mangrove masih banyak

maka arus perairan semakin kecil

sampai ke pantai, sehingga keberadaan

hutan mangrove harus selalu dijaga

kelestariannya supaya tidak terjadi

abrasi.

Nilai salinitas berkisar antara 30 – 30,5

‰. Menurut baku mutu (KEPMENLH,

2004) bahwa mangrove dapat

berkembang secara optimum pada

salinitas sampai dengan 34‰. Oksigen

terlarut (DO) di perairan Pulau Dompak

berkisar antara 6,77 – 8,99 mg/l. Nilai

ini masih dalam kisaran baku mutu

menurut MENLH, 2004 ( > 5 mg/l).

Kadar pH di lokasi penelitian berkisar

antara 7,6 – 7,7. Nilai pH pada lokasi

penelitian berada pada nilai optimum

baku mutu menurut MENLH, 2004 (7-

8,5). Hal ini berarti bahwa pH di lokasi

penelitian berada pada kondisi yang

sehingga masih baik untuk menunjang

kehidupan hutan mangrove.

Valuasi Ekonomi Hutan Mangrove

Nilai Manfaat Langsung Hutan

Mangrove

Berdasarkan hasil identifikasi di

lokasi penelitian, manfaat langsung dari

ekosistem hutan mangrove yang dapat

dihitung nilainya adalah potensi kayu

(nilai kayu log) ,manfaat penangkapan

hasil perikanan; terdiri dari ikan,

kepiting, udang dan gonggong (siput

laut).

Nilai Kayu Log

Hutan mangrove di Pulau Dompak

memiliki luas mencapai 520 hektar.

Nilai manfaat kayu log yang dihasilkan

hutan mangrove dihitung berdasarkan

volume kayu mangrove per ha tahun

dikali dengan harga kayu mangrove.

Untuk menentukan volume kayu total

dihitung dengan menggunakan Metode

Meyer ( metode factor kulit kayu) (FAO

1994 dalam Kustanti, 2011).

Dari hasil survey dilokasi penelitian di

dapatkan rata-rata diameter pohon

Rhizopora sp adalah 23,73 cm maka

berdasarkan metode Meyer volume total

(termasuk kulit kayu) Rhizopora sp

dengan rata-rata diameter 25 cm adalah

0,4989 ( FAO, 1994 dalam Kustanti,

2011). Nilai manfaat kayu mongrove di

Pulau Dompak dapat dilihat pada table

dibawah ini.

Tabel 1. Nilai Manfaat Hutan

Mangrove sebagai Kayu Log

Sumber : data primer setelah diolah

Dari table diatas terlihat bahwa

dengan memperhitungkan biaya

operational untuk penebangan dan

pengangkutan sebesar Rp 55.000/m3

maka didapatkan nilai ekonomi hutan

mangrove di Pulau Dompak sebagai

produsen kayu log adalah Rp.

26,494,084,500.00.

Nilai Ikan

Manfaat langsung yang dapat dikonsumi

adalah manfaat penangkapan ikan.

Penangkapan ikan dilakukan dengan

menggunakan peralatan yang tergolong

sederhana seperti pancing dan jarring.

Penangkapan ini juga dilakukan dengan

menggunakan armada penangkapan

yang sederhana berupa perahu

berukuran kecil/sampan yang

dilengkapi dengan mesin kapal

berkuatan kecil, sehingga jarak

penangkapan (fishing ground) nya pun

terbatas di sekitar perairan pulau

Dompak.

Biaya/harga Satuan Nilai

Harga kayu

mangrove

Rp/m3 150,000.00

Biaya

Operasional

Rp/m3 55,000.00

Laba Kotor Rp/m3 95,000.00

Produksi

kayu/ha

m3 536.32

Luas hutan

total

ha 520.00

Produksi total m3 27885.10

Nilai Kayu Rp 26,494,084,500.00

Page 50: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

50

Nilai manfaat bersih

penangkapan ikan mencapai Rp.

5,956,986,956,52. Untuk lebih jelasnya

dapat dilihat pada table berikut ini.

Tabel 2. Nilai Manfaat Langsung Hasil

Penangkapan Ikan Biaya/harga Satuan Nilai

Tangkapan Ikan Kg/trip 1,584.13

Harga Jual Ikan Rp/kg 25,217.39

Biaya Operasional Rp/trip 11,086.96

Frekwensi

penangkapan

Trip/thn 325.00

Nilai manfaat ikan Rp/thn 5,956,986,956.52

Sumber : Data primer setelah diolah

Nilai Kepiting

Manfaat langsung yang dapat dikonsumi

dari ekosistem mangrove di Pulau

Dompak selain daripada ikan adalah

penangkapan kepiting bakau (Scylla sp).

Kepiting bakau yang hidup di ekosistem

mangrove ditangkap dengan

menggunakan peralatan perangkap

(bubu). Meskipun hasil tangkapan tidak

banyak untuk setiap kali melakukan

penangkapan, tetapi nelayan setempat

setiap hari melakukan penangkapan

kepiting.

Tabel 3. Nilai Manfaat Langsung Hasil

Penangkapan Kepiting Biaya/harga Satuan Nilai

Tangkapan kepiting Kg/trip 859.30

Harga Jual kepiting Rp/kg 35.000.0

0

Biaya Operasional Rp/trip 7,134,78

2.61

Frekwensi

penangkapan

Trip/thn 288.52

Nilai manfaat kepiting Rp/thn 5,666,870,128.00

Sumber : Data primer setelah diolah

Dari hasil perhitungan manfaat

hasil penangkapan kepiting di peroleh

nilai manfaat langsung hail penangkapan

kepiting adalah sebesar Rp

5,666,870,128 per tahun.

Nilai Udang

Udang (Peneus sp) merupakan biota

perairan disekitar ekosistim hutan

mangrove yang memiliki nilai ekonomis

yang tinggi, sehingga ditemukan banyak

masyarakat pulau Dompak yang

melakukan penangkapan udang,

Masyarakat Pulau Dompak

menggunakan jaring untuk menangkap

udang di sekitar hutan mangrove Pulau

Dompak. Hasil tangkapan untuk setiap

kali penangkapan adalah 3,96 kg,

sedangkan frekwensi penangkapan per

tahun adalah 274,43 trip.

Hasil perhitungan nilai manfaat

langsung dari hasil penangkapan udang

yang dilakukan oleh nelayan di

P,Dompak disajikan pada table dibawah

ini.

Tabel 4.Nilai Manfaat Langsung Hasil

Penangkapan Udang Biaya/harga Satuan Nilai

Tangkapan udang Kg/trip 1,085.74

Harga Jual udang Rp/kg 62,173,91

Biaya Operasional Rp/trip 6,540,521.74

Frekwensi

penangkapan

Trip/thn 274,43

Nilai manfaat

udang

Rp/thn 11,766,076,809.

07

Sumber : Data primer setelah diolah

Hasil perhitungan manfaat

langsung penangkapan udang diperoleh

nilai manfaat langsung penangkapan

udang di Pulau Dompak adalah sebesar

Rp. 11.766.076.809 per tahun.

Nilai Siput Laut (Gonggong)

Siput laut (gonggong) Strombus

sp merupakan salah satu biota khas

Kepulauan Riau. Gonggong termasuk

salah satu jenis moluska Gastropoda

yang digemari oleh masyarakat untuk

dikonsumsi baik oleh masyarakat

setempat maupun wisatawan. Siput ini

ditangkap mulai dari yang berukuran

kecil sampai yang berukuran besar.

Siput laut ( Gonggong) Strombus sp

hidup pada substrat lumpur dan berpasir.

Pulau Dompak merupakan

salah satu kawasan di Tanjungpinang

yang merupakan habitat bagi siput laut

Gonggong. Di Pulau ini sekaligus

menjadi salah satu daerah penangkapan

siput laut Gonggong bagi masyarakat

sekitarnya.

Besarnya nilai manfaat langsung

yang dihasilkan dari penangkapan siput

laut (gonggong) di ekosistem hutan

Page 51: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

51

mangrove Pulau Dompak dapat dilihat

pada table berikut.

Tabel 5. Nilai Manfaat Langsung

hasil penangkapan Siput Laut

(Gonggong) Biaya/harga Satuan Nilai

Tangkapan

Gonggong

ekor /trip 1,385.22

Harga Jual

Gonggong

Rp/100

ekor

28,043.48

Biaya

Operasional

Rp/trip 3,365,217.39

Frekwensi

penangkapan

Trip/thn 336.52

Nilai manfaat

Gonggong

Rp/thn 3,247,434,782.61

Sumber : Data primer setelah diolah

Manfaat penangkapan siput laut

(gonggong) diperoleh sebesar Rp

3,247,434,782.61 per tahun

Nilai Manfaat Total

Nilai manfaat total dari hutan

mangrove merupakan penjumlahan dari

seluruh manfaat hutan mangrove yang

telah diidentifikasi dan dikuantifikasi ke

dalam bentuk nilai uang (rupiah). Jenis

manfaat hutan mangrove Pulau Dompak

terdiri dari manfaat langsung yaitu

produksi kayu, penangkapan ikan,

penangkapan kepiting, penangkapan

udang, dan penangkapan siput laut

(gonggong) , manfaat tidak langsung

sebagai penahan abrasi dan manfaat

pilihan. Nilai fungsi dan manfaat

tersebut memberikan gambaran

keseluruhan dari fungi yang dimiliki

oleh kawasan hutan Pulau Dompak.

Nilai manfaat (ekonomi) total hutan

mangrove Pulau Dompak adalah sebesar

Rp 88,262,330,976.20 per tahun atau

sebesar Rp 169,735,251.88 per hektar

per tahun. Dari nilai ekonomi total

tersebut dapat diketahui bahwa manfaat

langsung memiliki nilai yang paling

besar dibandingkan dengan manfaat

lainnya yaitu sebesar Rp

53,131,453,176.20 per tahun ( 60,20 %).

Nilai manfaat tidak langsung diperoleh

sebesar Rp 35,040,000,000.00 ( 39,70

%) sedangkan nilai manfaat pilihan

diperoleh sebesar Rp 90,877,800.00

(0,10 %).

Untuk lebih jelasnya tentang besarnya

nilai seluruh manfaat hutan mangrove

berdasarkan jenis-jenis manfaatnya serta

persentase masing-masing nilai manfaat

tersebut terhadap total manfaat dapat

dilihat pada Tabel dibawah ini.

Tabel 6. Nilai Manfaat Total Hutan

Mangrove di Pulau Dompak Jenis Manfaat Nilai Manfaat

(Rp/tahun)

Persen

tase

(%)

Manfaat Langsung

Produksi Kayu 26,494,084,500.00 30.02

Penangkapan

Ikan

5,956,986,956.52 6.75

Penangkapan

Kepiting

5,666,870,128.00 6.42

Penangkapan

Udang

11,766,076,809.07 13.33

Penangkapan

Siput Laut

(gonggong)

3,247,434,782.61 3.68

Manfaat Tidak

Langsung

35,040,000,000.00 39.70

Manfaat Pilihan 90,877,800.00 0.10

Nilai Ekonomi Total 88,262,330,976.20 100.00

Sumber : Data primer setelah diolah

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :

Berdasarkan hasil penelitian Valuasi

Ekonomi Hutan Mangrove di Pulau

Dompak Kota Tanjungpinang dapat

disimpulkan :

1. Manfaat ekosistem hutan mangrove

di Pulau Dompak terdiri dari manfaat

langsung berupa hasil hutan (kayu log) ,

penangkapan ikan, kepiting, udang dan

siput laut (gonggong) , manfaat tidak

langsung berupa penahan abrasi dan

manfaat pilihan berupa nilai

keanekaragaman hayati.

2. Nilai manfaat ekonomi total hutan

mangrove di Pulau Dompak adalah

sebesar Rp 88.257.253.176,20 per tahun

atau sebesar Rp 169.725.486,88 per

hektar per tahun, terdiri nilai manfaat

langsung sebesar Rp 53,131,453,176.20

per tahun ( 60,20 %).Nilai manfaat tidak

langsung diperoleh sebesar Rp

35,040,000,000.00 ( 39,70 %) dan nilai

manfaat pilihan sebesar Rp

85,800,000.00 (0,10 %).

3. Strategi pengelolaan ekosistem

hutan mangrove di Pulau Dompak

adalah menjaga fungsi dan peranan

ekosistem mangrove melalui

pengembangan ekowisata mangrove,

Page 52: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Valuasi ekonomi hutan mangrove ….

Linda Wati Zen, Fitria Ulfa ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 45-52

52

mata pencaharian altenatif bagi nelayan

atau wanita nelayan, alternatif potensi

pemanfaatan hutan mangrove seperti

pemanfaatan buah mangrove, penerapan

peraturan tentang pentingnya menjaga

kelestarian ekosistem mangrove, dengan

pengawasan yang ketat baik oleh pihak

pengelola maupun dengan partisipasi

masyarakat setempat.

Saran :

Mengingat besarnya nilai manfaat hutan

mangrove maka saran dari hasil

penelitian ini yaitu :

1. Dalam perencanaan wilayah

pulau Dompak seharusnya

memperhitungkan nilai ekonomis-

ekologis ekosistem hutan mangrove,

mengingat besarnya potensi ekonomi

ekositem hutan mangrove yang besar,

jika dimanfaatkan dengan baik akan

memberikan manfaat yang lebih

maksimal bagi masyarakat.

2. Pengambil kebijakan sepatutnya

memahami penilaian sumberdaya pesisir

karena pemahaman nilai yang baik dan

utuh terhadap sumberdaya akan

memberikan umpan balik yang positif

bagi pembangunan wilayah.

3. Perlu dikaji potensi dan tingkat

pemanfaatan kepiting, udang serta siput

laut gonggong diperairan Pulau Dompak

karena biota tersebut merupakan biota

laut yang memiliki nilai ekonomis tinggi

dan punya peran yang penting dalam

kawasan perairan disekitar ekosistem

hutan mangrove. Potensi ini perlu

dikelola secara lestari agar dapat

dimanfaatkan secara berkelanjutan.

4. Perlu dikembangkan konsep

ekowisata di Pulau Dompak, mata

pencaharian altenatif bagi nelayan atau

wanita nelayan, alternatif potensi

pemanfaatan hutan mangrove seperti

pemanfaatan buah mangrove, penerapan

peraturan tentang pentingnya menjaga

kelestarian ekosistem mangrove, dengan

pengawasan yang ketat baik oleh pihak

pengelola maupun dengan partisipasi

masyarakat setempat.

DAFTAR PUSTAKA

Astuti, J, M.Nurdin, A.Munir 2008.

Valuasi Ekonomi SUmberdaya

Alam dan Lingkungan Pesisir

kota Bontang Kalimantan

Timur. Analisis vol.5.no.1 Maret

2008. ISSN 0852-8144. Hal 53-

64

Bann, Camille,1998. The Economic

Valuation of Mangroves ; A

Manual for Researchers.Ottawa

Canada, Special Paper .

EEPSEA, International

Development Research Centre.

Bakosurtanal. 2005. Pedoman

Penyusunan Neraca dan Valuasi

Ekonomi Sumberdaya Alam

Pesisir dan Laut. Pusat Survei

Sumberdaya Alam Laut

BAKOSURTANAL.Cibinong.

Dahuri , 2003. Keanekaragaman Hayati

Laut, PT.Gramedia Pustaka

Utama Jakarta

Fauzi, Ahmad. 2004. Ekonomi

Sumberdaya Alam dan

Lingkungan: Teori dan

Aplikasi, PT. Gramedia

Pustaka Utama. Jakarta.

Harahab, Nurdin. 2011. Valuasi

EKonomi Ekosistem Hutan

mangrove dalam

Perencanaan Wilayah Pesisir.

Berkala Penelitian Hayati

Edisi Khusus 7A hal, 59-67.

Kustanti, Asihing., 2011. Manajemen

Hutan Mangrove.

PT.Penerbit IPB Press.

Bogor.

Kordi, M.G.H. 2012. Ekosistem

Mangrove Potensi, Fungsi

dan Pengelolaan. PT.Rineka

Cipta. Jakarta

Lestari, F., Linda W.Z & Lily V., 2012.

Identifikasi Kondisi

Ekosistem Mangrove dan

Karakteristik Sosial Ekonomi

Masyarakat di Pulau

Dompak Kota

Tanjungpinang Propinsi

Kepri. Laporan

Page 53: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

53

KARAKTERISTIK CARBOXYMETHYL CHITOSAN DENGAN

VARIASI KONSENTRASI NaOH

Pipih Suptijah, Uju, Mochammad Jamil Awal Saputra

Departemen Teknologi Hasil Perairan, Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan,

Institut Pertanian Bogor, Kampus IPB Dramaga, Jl. Agatis, Bogor 16680 Jawa Barat

Telp. (0251) 8622909-8622906, Fax (0251) 8622907

E-mail: [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Carboxymethyl chitosan (CMCh) merupakan senyawa turunan kitosan yang

diperoleh dengan modifikasi kimia sehingga larut air. Pembuatan CMCh dilakukan

melalui proses alkalisasi dan karboksimetilasi. Faktor-faktor yang mempengaruhi

karakteristik karboksimetil kitosan antara lain kelebihan natrium hidroksida pada proses

alkalisasi kitosan, rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat serta suhu

karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan. Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui pengaruh perbedaan konsentrasi NaOH terhadap kualitas

carboxymethyl chitosan yang dihasilkan, mempelajari proses pembuatan CMCh,

menetapkan konsentrasi NaOH yang tepat dalam proses pembuatan CMCh, dan

menganalisis karakteristik CMCh yang dihasilkan. Berdasarkan hasil penelitian, CMCh

terbaik terdapat pada penggunaan konsentrasi NaOH 10 M dengan rendemen berkisar

antara 110,72%-114,22%. Nilai pH berkisar antara 3,74-4,31. Persentase kadar air

sebesar 10,70%-11,42%. Kadar abu dan nitrogen masing-masing berkisar antara 0,49%-

0,50% dan 4,52%-4,81%. Nilai viskositas sebesar 6,50-8,25 cPs, serta kelarutan sebesar

61,61%-91,50%. Gugus fungsi yang berbeda dari kitosan yaitu gugus C O, gugus CH

alkena, gugus C O, dan gugus C O C.

Kata kunci: carboxymethyl chitosan, gugus fungsi, karakteristik CMCh, kelarutan,

kitosan.

ABSTRACT

Carboxymethyl chitosan (CMCh) is chitosan derivative product obtained from

chemical modification. CMCh were made by alkalization process and

carboxymethylation process. Factors that affect CMCh characteristics were excess

sodium hydroxide in alkalization process, ratio between chitosan and monochloroacetic

acid, and carboxymethylation temperature. The objectives of this research were to study

the NaOH effect to CMCh characteristics, to learn process of making CMCh, to set the

proper concentration of NaOH, and to analyze CMCh characteristics. CMCh yields were

110.72%-114.22%. CMCh pH value were 3.74-4.31. The optimum NaOH concentration

to obtain the best CHCh was 10 M. Percentage of CMCh moisture content was 10.70%-

11.42%. Ash content and nitrogen content of CMCh were 0.49%-0.50% and 4.52%-

4.81%. CMCh viscousity was 8.25 cps. Percentage of CMCh solubility was 61.61%-

91.50%. The different functional groups from chitosan which observed in CMCh were

C O group, CH group from alkene functional group, C O group, and C O C group.

Keywords: Carboxymethyl chitosan, chitosan, CMCh characteristics, functional group,

solubility.

PENDAHULUAN Kitosan merupakan biopolimer turunan kitin yang dapat diperoleh dari

Page 54: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

54

karapas udang dan kepiting. Miao et al. (2008) melaporkan bahwa kitosan merupakan polisakarida kationik yang diperoleh dari deasetilasi basa kitin. Kitosan memiliki tiga tipe gugus fungsional yaitu gugus amino/asetamido dan gugus hidroksil yang berikatan secara primer maupun sekunder, masing-masing berada pada C-2 dan C-3.

Mutu kitosan terdiri dari beberapa parameter yaitu bobot molekul, kadar air, kadar abu, warna, derajat deasetilasi dan kelarutan. Kelarutan merupakan salah satu karakteristik yang penting bagi kitosan. Kitosan hanya larut pada sebagian besar larutan asam organik dengan pH sekitar 4,0 tetapi tidak larut pada pH lebih besar dari 6,5. Mourya et al. (2010) mengungkapkan bahwa rendahnya kelarutan kitosan dalam pH netral maupun alkali karena adanya struktur kristal yang stabil yang terbentuk dari ikatan kuat hidrogen, oleh karena itu aplikasi kitosan menjadi terbatas. Berkembangnya ilmu pengetahuan dan teknologi menjadikan kitosan yang ada dapat dimodifikasi menjadi senyawa-senyawa turunannya yang memiliki tingkat kelarutan yang tinggi dalam pH netral dan alkali. Modifikasi kitosan dapat dilakukan secara kimiawi maupun melalui proses depolimerisasi. Salah satu senyawa turunan kitosan yang dapat larut dalam pH netral adalah carboxymethyl chitosan (CMCh) (Miranda et al. 2003).

Carboxymethyl chitosan merupakan senyawa turunan kitosan yang telah dimodifikasi dengan penambahan gugus hidrofilik sehingga dapat larut dalam air. An et al. (2009) mengungkapkan bahwa karboksimetilasi kitosan dapat dilakukan dengan cara alkilasi menggunakan reagen asam monokloroasetat. Aplikasi CMCh antara lain sebagai senyawa pengantar obat, senyawa pengantar obat yang responsif terhadap perubahan pH, kosmetik, senyawa pengantar DNA, dan senyawa peningkat aktivitas penyebaran obat. Faktor-faktor yang berpengaruh dalam pembentukan karboksimetil kitosan adalah tingkat kemurnian kitosan, kelebihan natrium hidroksida pada proses alkalisasi kitosan, rasio antara kitosan dan asam monokloroasetat serta suhu karboksimetilasi kitosan menjadi karboksimetil kitosan.

Informasi mengenai pengaruh konsentrasi NaOH terhadap karakteristik

carboxymethyl chitosan belum diketahui, sehingga diperlukan penelitian mengenai hal tersebut. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh variasi konsentrasi NaOH terhadap kualitas carboxymethyl chitosan yang dihasilkan, mempelajari proses pembuatan CMCh, menetapkan konsentrasi NaOH yang tepat dalam proses pembuatan CMCh, dan menganalisis karakteristik CMCh yang dihasilkan.

BAHAN DAN METODE Bahan dan Alat

Bahan-bahan yang digunakan dalam pembuatan CMCh adalah kitosan yang diperoleh dari CV. Bio Chitosan Indonesia, asam monokloroasetat produksi Merck, NaOH, isopropil alkohol, dan metanol. Bahan-bahan digunakan dalam analisis proksimat adalah akuades, selenium, H2SO4, NaOH, HCl, dan asam borat (H3BO3). Bahan yang digunakan dalam analisis kelarutan dan viskositas adalah akuades. Bahan yang digunakan dalam analisis pH adalah larutan buffer.

Alat yang digunakan untuk pembuatan CMCh adalah beaker glass, Erlenmeyer, corong kaca, kertas saring, magnetic stirrer merek Yamato, magnetic bar, batang pengaduk, sudip, termometer, mortar, kertas pH indikator, dan sendok. Alat yang digunakan dalam analisis rendemen adalah timbangan digital merek Sartorius TE1520S. Pengujian pH menggunakan alat pH meter merek Eutech. Alat yang digunakan untuk analisis proksimat adalah timbangan digital merek Sartorius TE1520S, desikator merek Yamato, oven merek Yamato, cawan porselen, sudip (analisis kadar air); tabung kjeldahl, destilator, buret, labu ukur, Erlenmeyer (analisis kadar protein); tanur dan desikator (analisis kadar abu). Alat yang digunakan dalam uji kelarutan adalah oven. Pengujian viskositas dilakukan dengan alat Viscometer Brookfield tipe LV dengan spindle nomor 1 dan kecepatan 60 rpm. Alat yang digunakan dalam analisis gugus fungsi adalah Fourier Transform Infrared (FTIR).

Metode Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam beberapa tahap yaitu pembuatan carboxymethyl chitosan dengan perlakuan perbedaan konsentrasi sebesar

Page 55: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

55

5 M, 10 M, dan 15 M. (Xue et al. 2009 dengan modifikasi), tahap analisis carboxymethyl chitosan yang terdiri dari analisis kadar air (AOAC 2005), analisis kadar abu (AOAC 2005), analisis kadar nitrogen (AOAC 2005), analisis derajat keasaman (pH), analisis viskositas (BSN 1998), analisis kelarutan (Lembono 1989 dalam Khalil 2007), analisis gugus fungsi (Domsay dan Robert 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Kitosan Komersil

Kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian memiliki kenampakan yang berwarna kuning pucat dengan ukuran partikel 20-30 mesh. Kadar air kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 8,6% (Tabel 1). Nilai persentase kadar air kitosan yang digunakan lebih tinggi bila dibandingkan dengan hasil penelitian Suptijah (2004) dengan nilai 8,5%. Kelembaban lingkungan serta lamanya penyimpanan dapat memberikan pengaruh terhadap persentase kadar air kitosan. Sofia et al. (2010) menyatakan bahwa penyimpanan yang lama memungkinkan terjadinya perubahan kadar air, tergantung kondisi kelembaban lingkungannya. Nilai kadar air kitosan dipengaruhi juga oleh sifat higroskopis kitosan. Kurniasih dan Kartika (2011) menyatakan bahwa selain kelembaban lingkungan, sifat kitosan yang higroskopis menyebabkan berikatannya molekul air dengan gugus amina kitosan sehingga memungkinkan terjadinya peningkatan kadar air.

Kadar abu kitosan komersil yang diperoleh adalah 0,3% (Tabel 1). Nilai tersebut telah memenuhi standar mutu kadar abu kitosan menurut Protan Laboratories yaitu kurang dari sama dengan 2%. Faktor yang dapat mempengaruhi kadar abu pada kitosan adalah efektivitas proses demineralisasi. Menurut Kim (2004) kadar abu merupakan indikator keefektivan proses demineralisasi dalam menghilangkan kalsium karbonat.

Kadar protein pada kitosan komersil yang digunakan dalam penelitian ini sebesar 0,5%. Nilai tersebut lebih rendah dari pada kitosan hasil penelitian Kurniasih dan Kartika (2011) yang mencapai 39,98%. Perbedaan nilai kadar protein ini dapat disebabkan oleh lamanya waktu deproteinasi. Poeloengasih et al. (2008) melaporkan bahwa semakin lama waktu

yang digunakan untuk proses deproteinasi, maka semakin rendah kandungan nitrogen pada kitin dan kitosan. Faktor lain yang mempengaruhi kadar protein pada kitosan yaitu suhu proses dan konsentrasi NaOH yang digunakan pada proses deasetilasi. Zahiruddin et al. (2008) melaporkan bahwa protein yang masih terikat setelah proses deproteinasi akan semakin sedikit jumlahnya apabila proses deasetilasi dilakukan dengan suhu yang semakin meningkat dan konsentrasi NaOH yang tinggi.

Derajat deasetilasi kitosan komersil yang digunakan sebesar 88,5%. Nilai tersebut lebih tinggi daripada hasil penelitian Hargono et al. (2008) dengan nilai sebesar 82,98%. Nilai derajat deasetilasi ini telah memenuhi standar yang ditetapkan oleh Protan Laboratories. Besarnya nilai derajat deasetilasi dipengaruhi oleh konsentrasi NaOH yang digunakan dalam proses deasetilasi. Zahiruddin et al. (2008) melaporkan bahwa konsentrasi NaOH yang cukup tinggi pada saat deasetilasi akan mempermudah pemutusan gugus asetil.

Rendemen Carboxymethyl Chitosan (CMCh)

Rendemen CMCh dihitung sebagai persentase bobot CMCh yang dihasilkan terhadap bobot awal kitosan. Rendemen CMCh yang diperoleh berkisar antara 110,72%-114,22%. Persentase rendemen CMCh yang dihasilkan lebih besar daripada persentase rendemen hasil penelitian Khalil (2007) yang hanya mencapai 91,66%-98,82%. Nilai persentase rendemen tertinggi terdapat pada perlakuan alkalisasi menggunakan 10 M NaOH yaitu 114,27±1,76%, sedangkan nilai rendemen terendah terdapat pada perlakuan alkalisasi menggunakan 5 M NaOH yaitu 110,70±2,49%.

Hasil rendemen yang lebih besar dari 100% diduga oleh adanya kompetisi reaksi substitusi ion Cl

- dari asam

monokloroasetat dengan NaOH yang menghasilkan sodium klorida (NaCl) dan sodium glikolat (HOCH2-COONa). Berikut merupakan rekasi kimia yang terjadi pada proses pembuatan CMCh menurut Basmal et al. (2005): Kitosan-OH + NaOH Kitosan-ONa

Kitosan-ONa + ClCH2COOH Kitosan-OCH2COONa + NaCl +2H2O

ClCH2COOH + 2NaOH HOCH2-COONa +

NaCl + H2O

Page 56: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

56

Sodium klorida dan sodium

glikolat yang dihasilkan merupakan

senyawa yang menjadi pengotor pada

CMCh. Hasil penelitian Wijayani et al.

(2005) menunjukkan bahwa kemurnian

carboxymethyl cellulose meningkat pada

penambahan NaOH tetapi mengalami

penurunan bila ClCH2COONa semakin

naik, penurunan yang terjadi disebabkan

oleh semakin banyaknya NaCl yang

dihasilkan. Persentase rendemen CMCh

yang mencapai lebih dari 100% menurut

Basmal et al. (2007) disebabkan karena

adanya substitusi H+ pada atom C6

dengan CH2COO- dari asam

monokloroasetat. Hasil perlakuan

penambahan konsentrasi NaOH yang

berbeda terhadap rendemen CMCh

disajikan pada Gambar 2.

Hasil perhitungan rendemen pada

Gambar 2 menunjukkan terjadinya

kecenderungan peningkatan rendemen

CMCh yang dihasilkan seiring dengan

peningkatan konsentrasi NaOH yang

digunakan, namun secara statistik tidak

memberikan pengaruh yang berbeda

nyata (p>0,05). Salah satu faktor yang

dapat mempengaruhi persentase

rendemen CMCh yang dihasilkan adalah

jumlah asam monokloroasetat yang

ditambahkan. Oktavia et al. (2005)

melaporkan bahwa bila jumlah

monokloroasetat yang ditambahkan

cukup banyak, rendemen karboksimetil

kitosan juga meningkat. Faktor lain yang

mempengaruhi peningkatan rendemen

CMCh adalah waktu reaksi pada saat

karboksimetilasi, hal ini dibuktikan

dalam penelitian An et al. (2009) yang

melaporkan bahwa terjadinya

peningkatan rendemen yang sejalan

dengan peningkatan waktu reaksi

karboksimetilasi dari 1 hingga 3 jam,

namun setelah itu tidak terjadi

peningkatan rendemen yang signifikan

Karakteristik Kimia Carboxymethyl

Chitosan (CMCh)

Persentase kadar air CMCh yang

dihasilkan berkisar antara 10,70%

hingga 12,60%. CMCh yang dihasilkan

memiliki nilai persentase kadar abu dan

nitrogen masing-masing berkisar antara

0,49%-0,50% dan 4,52%-4,81%.

Hasil analisis karakteristik kimia

CMCh pada Tabel 2 menunjukkan nilai

pH CMCh yang dihasilkan berkisar

antara 3,74 hingga 4,31. Nilai pH CMCh

yang dihasilkan meningkat seiring

peningkatan konsentrasi NaOH, namun

berdasarkan hasil ANOVA perbedaan

konsentrasi NaOH tidak mempengaruhi

pH CMCh (p>0,05). Nilai pH tertinggi

terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M

yaitu 4,31±0,18, sedangkan pH terendah

terdapat pada konsentrasi NaOH 5 M

yaitu sebesar 3,74±0,06.

Nilai pH CMCh yang dihasilkan

lebih tinggi dibandingkan dengan hasil

penelitian Oktavia et al. (2005)

yang mencapai 3,5-4, namun tidak

memenuhi nilai pH dari Wuxi Asailuo

(2013) yang mencapai 7. Rendahnya

nilai pH yang dihasilkan selain

dipengaruhi oleh pencucian yang

dilakukan menggunakan metanol tidak

sampai netral disebabkan pula oleh

NaOH yang menyebabkan

mengendapnya larutan. Khalil (2007)

melaporkan bahwa rendahnya nilai pH

dapat disebabkan oleh natrium

hidroksida yang menyebabkan semua

larutan mengendap sehingga sulit

dipisahkan dan tidak dapat ditarik

dengan isopropil alkohol.

Persentase kadar air tertinggi

terdapat pada CMCh dengan perlakuan

konsentrasi NaOH 10 M yaitu

12,60±0,35%, sedangkan nilai kadar air

terendah terdapat pada CMCh dengan

perlakuan konsentrasi NaOH sebesar 5

M yaitu 10,70±4,57%. Berdasarkan

hasil uji ANOVA, peningkatan

konsentrasi NaOH tidak mempengaruhi

kadar air CMCh (p>0,05). Kadar air

CMCh yang dihasilkan lebih rendah dari

pada hasil penelitian Khalil (2007)

dengan nilai persentase sebesar 17,12%-

20,7%, namun nilai tersebut masih lebih

tinggi dibandingkan hasil penelitian

Basmal et al. (2007) dengan nilai

9,75%-9,82%. Perbedaan kadar air yang

terkandung dalam CMCh dapat

disebabkan oleh banyaknya asam

monokloroasetat yang digunakan.

Basmal et al. (2005) melaporkan bahwa

semakin banyak asam monokloroasetat

yang digunakan menyebabkan jumlah

Page 57: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

57

gugus karboksimetil (-CH2COO-) yang

berikatan dengan kitosan lebih banyak

sehingga pada saat dikeringkan jumlah

air di dalam CMCh yang keluar lebih

sedikit. Kadar air CMCh yang yang

dihasilkan telah memenuhi standar mutu

Wuxi Asailuo (2013) yang nilainya

kurang dari 15%.

Nilai kadar abu CMCh yang

diperoleh yaitu 0,49%-0,5%. Kadar abu

CMCh yang dihasilkan tidak mengalami

perubahan untuk setiap peningkatan

konsentrasi NaOH. Berdasarkan hasil uji

ANOVA, perbedaan konsentrasi NaOH

yang digunakan tidak mempengaruhi

kadar abu CMCh yang dihasilkan

(p>0,05). Nilai persentase kadar abu

yang dihasilkan lebih rendah dari pada

hasil penelitian Khalil (2007) dengan

nilai persentase sebesar 0,76%-1,24%.

Tidak terpengaruhnya nilai persentase

kadar abu yang dihasilkan diduga karena

jumlah asam monokloroasetat yang

digunakan sama untuk setiap perlakuan.

Basmal et al. (2005) melaporkan bahwa

jumlah asam monokloroasetat yang

diberikan pada waktu eterifikasi

berpengaruh terhadap peningkatan

jumlah kadar abu pada CMCh. Nilai

kadar abu CMCh yang dihasilkan telah

memenuhi standar mutu dari Wuxi

Asailuo (2013) yang nilainya kurang

dari 1%.

Kadar nitrogen CMCh yang

diperoleh yaitu 4,52%-4,81%.

Persentase kadar nitrogen tertinggi

terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M

yaitu sebesar 4,81±0,02%, sedangkan

nilai kadar nitrogen terendah terdapat

pada konsentrasi NaOH sebesar 10 M

yaitu 4,52±0,17%. Nilai kadar nitrogen

yang dihasilkan lebih tinggi daripada

hasil penelitian Khalil (2007) dengan

nilai 3,03%-3,59%. Berdasarkan hasil

uji ANOVA, perbedaan konsentrasi

NaOH yang digunakan tidak

mempengaruhi kadar nitrogen CMCh

yang dihasilkan (p>0,05). Kadar

nitrogen CMCh yang tidak terpengaruhi

oleh perlakuan yang diberikan

disebabkan karena NaOH hanya

digunakan sebagai senyawa untuk

mengaktifkan gugus OH sehingga tidak

bereaksi dengan gugus amino pada

kitosan. Wijayani et al. (2005)

melaporkan bahwa alkalisasi

menggunakan NaOH bertujuan untuk

mengaktifkan gugus-gugus OH dan

berfungsi sebagai pengembang pada

molekul selulosa.

Viskositas Carboxymethyl Chitosan

(CMCh)

Nilai viskositas CMCh yang

diperoleh berkisar antara 6,50-8,25 cPs

(Gambar 3). Nilai viskositas tertinggi

terdapat pada konsentrasi NaOH 15 M

yaitu 8,25±0,35 cPs, sedangkan nilai

viskositas terendah terdapat pada

konsentrasi NaOH 5 M yaitu 6,50±0,00

cPs. Hasil ANOVA menunjukkan

bahwa peningkatan konsentrasi NaOH

mempengaruhi nilai viskositas CMCh

(P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan bahwa perlakuan

konsentrasi NaOH menghasilkan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap

viskositas CMCh, dimana perlakuan

konsentrasi 5 M berbeda nyata dengan

konsentrasi 10 M dan 15 M.

Terjadinya peningkatan nilai

viskositas CMCh seiring dengan

peningkatan konsentrasi NaOH diduga

karena semakin banyak terbentuknya

sodium glikolat yang sukar larut dalam

air sehingga meningkatkan sifat tahanan

dari larutan CMCh. Santoso et al. (2012)

melaporkan bahwa sodium glikolat dan

sodium klorida memiliki kelarutan yang

sangat rendah dalam air dingin.

Nilai viskositas CMCh yang

dihasilkan lebih rendah daripada hasil

penelitian Khalil (2007) dengan

nilai 123,67-338,33 cPs, namun nilai

viskositas tersebut masih memenuhi

standar mutu Wuxi Asailuo (2013) yang

nilainya sebesar ≤100 mpa.s.

Miranda et al. (2003) melaporkan bahwa

viskositas suatu cairan dipengaruhi oleh

suhu dan tekanan, namun untuk senyawa

polimer dipengaruhi oleh massa molar,

struktur polimer, konsentrasi, bahan

tambahan, suhu dan sifat pelarut.

Berdasarkan hasil penelitian

Basmal et al. (2007) suhu eterifikasi

mempengaruhi viskositas CMCh,

semakin tinggi suhu nilai viskositas

semakin menurun

Page 58: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

58

Kelarutan Carboxymethyl Chitosan

(CMCh)

Persentase kelarutan CMCh yang

diperoleh berkisar antara 61,61%-

91,50% (Gambar 4). Nilai persen

kelarutan tertinggi terdapat pada

konsentrasi NaOH 10 M yaitu

91,50±0,71%, sedangkan nilai viskositas

terendah terdapat pada konsentrasi

NaOH 15 M yaitu 61,61±9,49%. Hasil

ANOVA menunjukkan bahwa

peningkatan konsentrasi NaOH

mempengaruhi persentase kelarutan

CMCh (P<0,05). Hasil uji lanjut Duncan

menunjukkan bahwa perlakuan

konsentrasi NaOH menghasilkan

pengaruh yang berbeda nyata terhadap

persentase kelarutan CMCh yang

dihasilkan, dimana perlakuan

konsentrasi 15 M menghasilkan

pengaruh berbeda nyata terhadap

perlakuan konsentrasi 5 M dan 10 M.

Hasil analisis pada Gambar 4

menunjukkan terjadinya peningkatan

persentase kelarutan CMCh dari 87,06%

menjadi 91,50% pada perlakuan

konsentrasi NaOH 5 M menjadi 10 M,

namun mengalami penurunan menjadi

61,61% pada perlakuan konsentrasi

NaOH 15 M. Penurunan persentase

kelarutan ini diduga karena semakin

banyak terbentuknya sodium glikolat

dan sodium klorida dengan

meningkatnya konsentrasi NaOH yang

digunakan sehingga substitusi gugus

hidroksil dengan gugus karboksil

terhambat. Muzzarelli et al. (1982)

dalam Mourya et al. (2010) melaporkan

bahwa konsentrasi alkali lebih dari 60%

menyebabkan terjadinya reaksi samping

antara NaOH dengan asam

monokloroasetat sehingga reaksi

substitusi menurun.

Nilai kelarutan CMCh yang

dihasilkan lebih rendah daripada

penelitian Khalil (2007) dengan nilai

95,08%-99,84%. Perbedaan tersebut

dapat dipengaruhi oleh jumlah asam

monokloroasetat yang digunakan, suhu

dan waktu pada saat proses

karboksimetilasi, serta rasio penggunaan

air dengan isopropil alkohol. Menurut

Mourya et al. (2010), peningkatan suhu

reaksi menyebabkan meningkatnya

fraksi pada proses karboksimetilasi

sehingga meningkatkan ketidaklarutan

dalam pH yang rendah, sedangkan

peningkatan rasio antara air dan

isopropil alkohol sebagai pelarut dapat

menurunkan fraksi pada proses

karboksimetilasi sehingga meningkatkan

ketidaklarutan dalam pH yang tinggi.

Gugus Fungsi Carboxymethyl

Chitosan (CMCh)

Hasil pada Tabel 3 menunjukkan

bahwa gugus fungsi CMCh memiliki

puncak-puncak spesifik seperti gugus

hidroksil (-OH) pada bilangan

gelombang 3.394 cm-1

dan 3.364 cm-1

,

gugus CH pada bilangan gelombang

2.939 cm-1

dan 2.893 cm-1

, gugus C O

pada bilangan gelombang 1.643 cm-1

,

gugus amina (-NH2) pada bilangan

gelombang 1.535 cm-1

, gugus CH dari

gugus fungsional alkena pada bilangan

gelombang 1.389 cm-1

dan 1327 cm-1

,

gugus C O pada bilangan gelombang

1.250 cm-1

dan 1.149 cm-1

, dan gugus

C O C pada bilangan gelombang

1.080 cm-1

. Hasil analisis gugus fungsi

yang membandingkan antara gugus

fungsi CMCh dengan kitosan komersil

disajikan pada Gambar 5.

Hasil analisis gugus fungsi pada

Gambar 5 menunjukkan adanya

perbedaan gugus fungsi yang diperoleh

antara CMCh dengan gugus fungsi

kitosan komersil yang digunakan.

Perbedaan yang didapatkan yaitu

munculnya gugus C=O, C-O, C-O-C,

dan gugus CH dari gugus fungsional

alkena pada CMCh yang tidak ada pada

kitosan komersil. Adanya vibrasi

molekul O-H dan C-O menunjukkan

bahwa kitosan telah berhasil disubstitusi

oleh asam monokloroasetat yang

merupakan senyawa dari grup asam

karboksilat. Grup asam karboksilat

memiliki gugus karboksil yang bersifat

polar sehingga kitosan yang berhasil

disubstitusi dapat larut dalam air. Gugus

karboksil (-COOH) memiliki sifat polar

dan tak terintangi (Fessenden 2006)

Gugus C-O pada bilangan

gelombang 1.250 cm-1

dan 1.149 cm-1

mewakili senyawa (–CH2COOH).

Page 59: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

59

Zamani et al. (2010) melaporkan bahwa

puncak pada bilangan gelombang 1.728

cm-1

mewakili vibrasi peregangan C=O

dan puncak 1.238 cm-1

mewakili vibrasi

peregangan ikatan C-O dari senyawa

(–CH2COOH). Gugus C-O-C pada

bilangan gelombang 1.080 cm-1

menunjukkan bahwa karboksimetilasi

terdapat pada gugus hidroksil primer

dari kitosan, hal ini sesuai dengan

pernyataan Xue et al. (2009) yang

melaporkan bahwa semakin kuatnya

vibrasi ikatan ether pada bilangan

gelombang 1.076 cm-1

, dan tidak

signifikannya puncak alkohol primer

pada bilangan gelombang 1.031 cm-1

menunjukkan bahwa karboksimetilasi

terdapat pada gugus hidroksil primer

dari kitosan.

KESIMPULAN

Perbedaan konsentrasi NaOH

dalam proses alkalisasi mempengaruhi

persentase kelarutan serta viskositas

CMCh yang dihasilkan. Hasil CMCh

terbaik terdapat pada perlakuan

konsentrasi NaOH sebesar 10 M. Nilai

persentase rendemen pada perlakuan

alkalisasi menggunakan 10 M NaOH

yaitu sebesar 114,27±1,76%. Nilai pH

CMCh pada perlakuan alkalisasi

menggunakan 10 M NaOH sebesar

4,00±0,28. Nilai kadar air, kadar abu,

dan kadar nitrogen CMCh pada

perlakuan alkalisasi dengan 10 M NaOH

masing-masing sebesar 12,60±0,35%,

0,49±0,00%, dan 4,52±0,17%. Nilai

viskositas dan kelarutan CMCh pada

perlakuan alkalisasi dengan 10 M NaOH

masing-masing sebesar 7,69±0,27 cps

dan 91,50±0,71%. Spektrum FTIR

CMCh menunjukkan munculnya gugus

C O, C O, C O C, dan gugus CH

dari gugus fungsional alkena pada

CMCh yang tidak ada pada kitosan

komersil.

DAFTAR PUSTAKA

An TN, Thien DT, Dong NT, Dung PL.

2009. Water-soluble N-

carboxymethylchitosan

derivatives: preparation,

characteristics and its application.

Carbohydrate Polymers. 75:489-

497.

[AOAC] Association of official

Analytical Chemist. 2005. Official

Method of Analysis of the

Association of Official Analytical

of Chemist. Virginia (US):

Published by The Association of

Analytical Chemist, inc.

[BSN] Badan Standarisasi Nasional.

1998. Cara Uji Viskositas

Larutan Karboksimetil Selulosa

(CMC). SNI 06-4558-1998.

Jakarta: Bandar Standarisasi

Nasional.

Basmal J, Prasetyo A, Fawzya YN.

2005. Pengaruh konsentrasi asam

monokloro asetat dalam proses

karboksimetilasi kitosan terhadap

karboksimetil kitosan yang

dihasilkan. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia. 11(8):1-9.

Basmal J, Prasetyo A, Farida Y. 2007.

Pengaruh suhu eterifikasi

terhadap kualitas dan kuantitas

kitosan larut air yang dibuat dari

cangkang rajungan. Jurnal

Pascapanen dan Bioteknologi

Kelautan dan Perikanan. 2(2):

99-106.

Central Connecticut State University.

Table of IR Absorptions.

www.ccsu.edu. [17 September

2013]

Domsay TM, Robert. 1985. Evaluation

of infra red spectroscopic

techniques for analyzing chitosan.

Journal Macromol Chemical.

186:1671.

Fessenden R J, Fessenden J S. 2006.

Kimia Organik. Jakarta: Erlangga.

Ibrahim B, Suptijah P, Prantommy.

2009. Pemanfaatan kitosan pada

pengolahan limbah cair industri

perikanan. Jurnal Pengolahan

Hasil Perikanan. 12(2):154-166.

Hargono, Abdullah, Sumantri I. 2008.

Pembuatan kitosan dari limbah

cangkang udang serta aplikasinya

dalam mereduksi kolesterol lemak

kambing. Reaktor. 12(1):53-57.

Khalil M. 2007. Kajian pengolahan dan

toksisitas khitosan larut air

dengan menggunakan tikus putih

(Rattus norvegicus) [tesis]. Bogor

(ID): Sekolah Pascasarjana

Institut Pertanian Bogor.

Page 60: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

60

Kim SOK. 2004. Physicochemical and

functional properties of crawfish

chitosan as affected by different

processing protocols [tesis]. Seoul

(KR). Seoul National University.

Kurniasih M, Kartika D. 2011. Sintesis

dan karakterisasi fisika-kimia

kitosan. Jurnal Inovasi. 5(1): 42-

48.

Miao J, Chen G, Gao C, Dong S. 2008.

Preparation and characterization

of N,O-carboxymethyl

chitosan/Polysulfone composite

nanofiltration membrane

crosslinked with epichlorohydrin.

Desalination. 233:147-156.

Miranda ME, Rodrigues CA, Bresolin

TMB, Freitas RA, Teixeira E.

2003. Rheological aspect of n-

carboxymethyl chitosan in diluted

solutions. Alimentos e Nutrição

Araraquara. 14(2):141-147.

Mourya VK, Inamdar NN, Tiwari A.

2010. Carboxymethyl chitosan

and its applications. Advanced

Materials Letters. 1(1):11-33.

Oktavia DA, Wibowo S, Fawzya YN.

2005. Pengaruh jumlah

monokloro asetat terhadap

karakteristik karboksimetil

kitosan dari kitosan cangkang dan

kaki rajungan. Jurnal Penelitian

Perikanan Indonesia. 11(4):79-

88.

Poeloengasih CD, Hernawan, Angwar

M. 2008. Isolation and

characterization of chitin and

chitosan prepared under various

processing times. Indonesia

Journal Chemical. 8(2):189-192.

Santoso PS, Sanjaya N, Ayucitra A,

Antaresti. 2012. Pemanfaatan

kulit singkong sebagai bahan

baku pembuatan natrium

karboksimetil selulosa. Jurnal

Teknik Kimia Indonesia.

11(3):124-131.

Sofia I, Pirman, Haris Z. 2010.

Karakterisasi fisikokimia dan

fungsional kitosan yang diperoleh

dari limbah cangkang udang

windu. Jurnal Teknik Kimia

Indonesia. 9(1):11-18.

Suptijah P. 2004. Tingkatan kualitas

kitosan hasil modifikasi proses

produksi. Buletin Teknologi Hasil

Perikanan. 7(1):56-67.

Wijayani A, Ummah K, Tjahjani S.

2005. Karakterisasi karboksimetil

selulosa (CMC) dari eceng

gondok (Eichornia crassipes

(Mart) Solms). Indonesia Journal

Chemical. 5(3):228-231.

Wuxi Asailuo. 2013. Carboxymethyl

Chitosan. asl888.en.made-in-

china.com. [27 Agustus 2013].

Xue X, Li L, He J. 2009. The

performance of carboxymethyl

chitosan in wash-off reactive

dyeing. Carbohydrate Polymers.

75:203-207.

Zahiruddin W, Ariesta A, Salamah E.

2008. Karakteristik mutu dan

kelarutan kitosan dari ampas

silase kepala udang windu

(Penaeus monodon). Buletin

Teknologi Hasil Perikanan.

11(2):140-151.

Zamani A, Henriksson D, Taherzadeh

MJ. 2010. A new foaming

technique for production of

superabsorbents from

carboxymethyl chitosan.

Carbohydrate Polymers. 80:1091-

1101.

LAMPIRAN

Tabel 1 Karakteristik kitosan komersil

Parameter Kitosan Komersila

Standar Kitosanb

Kenampakan Kuning Pucat -

Kadar Air 8,6% ≤ 10%

Kadar Abu 0,3% ≤ 2%

Kadar Protein 0,5% ≤ 5%

Ukuran Partikel 20-30 mesh serpihan/bubuk

Page 61: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

61

6,5 a 7,69 b 8,25 b

0

2

4

6

8

10

5 10 15

Vis

ko

sita

s (c

ps)

Konsentrasi NaOH (M)

Derajat Deasetilasi 88,5% ≥70% Sumber:

aCV. Bio Chitosan Indonesia.;

bProtan Laboratories diacu dalam Ibrahim et al. (2009)

Tabel 2 Karakteristik kimia carboxymethyl chitosan

Parameter Hasil Khalil (2007) Standarb

5M 10M 15M

pH 3,74±0,06a 4,00±0,28a 4,31±0,18a 4,33-4,57 7,00-9,00

Kadar Air 10,70±4,57%a 12,60±0,35a 11,42±0,35a 17,12-20,7% ≤15,00%

Kadar Abu 0,50±0,00%a 0,49±0,00a 0,50±0,00a 0,76-1,24% ≤1,00%

Kadar Nitrogen 4,63±0,01%a 4,52±0,17a 4,81±0,02a 3,03-3,59% -

Sumber:bWuxi Asailuo (2013).

aAngka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata

pada taraf uji 5%

Tabel 3 Hasil analisis gugus fungsi CMCh. Daerah Serapan

Gugus Fungsional

Wilayah Serapan a

(cm-1)

Puncak Serapan

CMCh (cm-1)

Keterangan

Alkana 2.950-2.800 2.939 Peregangan C H

Alkena 1.430-1.290 1.389 dan 1.327 C H in-plane bend

Eter 1.300-100 1.080 Peregangan C O C

Asam Karboksilat 3.400-2.400

1.320-1.210

3.394 dan 3.364

1.250 dan 1.149

Peregangan O H

Peregangan C O

Amida 1.640-1.550

1.680-1.630

1.535

1.643 Ikatan N H

Peregangan C O

Sumber: aCentral Connecticut State University (2013)

Gambar2 Rendemen carboxymethyl

chitosan. Hasil yang

diperoleh merupakan basis

kering. aAngka-angka pada

kolom yang sama yang

diikuti oleh huruf yang sama

tidak berbeda nyata pada

taraf uji 5%.

Gambar 1 Kenampakan fisik

carboxymethyl chitosan.

Page 62: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

62

110,70a 114,27a 112,10a

0

20

40

60

80

100

120

140

5 10 15

Ren

dem

en (

%)

Konsentrasi NaOH (M)

87,06 a 91,5 a

61,61 b

0

20

40

60

80

100

5 10 15

Kel

aru

tan

(%

)

Konsentrasi (M)

Gambar 4 Diagram hasil analisis kelarutan

carboxymethyl chitosan. Huruf

diatas balok yang berbeda

menunjukkan hasil yang

berbeda nyata dari uji lanjut

Duncan

Gambar 3 Diagram hasil analisis viskositas

CMCh. Huruf diatas balok

yang berbeda menunjukkan

hasil yang berbeda nyata dari

uji lanjut Duncan.

OH CH

C=O

NH

CH

C-O C-O-C

CH OH

NH

Gambar 5 Grafik hasil analisis gugus fungsi CMCh. a) CMCh, b) Kitosan

b

A

Page 63: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komponen Bioaktif Buah Pil…

Lily Viruly

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 63-67

63

KOMPONEN BIOAKTIF BUAH PIL (Melia azedarach)ASAL PULAU TAMBELAN SEBAGAI ALTERNATIF OBAT

HIPERTENSI ALAMI

Lily Viruly

Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,

Universitas Maritim Raja Ali Haji, Tanjungpinang

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Kepulauan Riau merupakan salah satu provinsi di Indonesia yang penderita hipertensinya tertinggi. Hal ini tentu akan menjadi pekerjaan rumah buat pemerintah Kepri untuk mengurangi penderita hipertensi di provinsi ini. Salah satu cara untuk mengurangi penderita hipertensi ini yaitu dengan cara mencari natural product atau herbal yang memiliki fungsi untuk menurunkan atau mengobati penyakit hipertensi. Tanaman buah “pil”/Mindi (Melia azedarach) secara empiris dipercayai oleh masyarakat Tambelan dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil wawancara dengan masyarakat Tambelan maka Buah pil banyak ditemukan di hutan-hutan di Pulau Tambelan. Tujuan penelitian ini secara umum adalah : (1) Membuktikan secara empiris penggunaan buah pil untuk obat hipertensi melalui quisioner kepada penduduk Tambelan yang pernah menderita hipertensi. (2) Mengidentifikas senyawa bioaktif dari biji buah “pil” (Melia azedarach). (3) Menguji toksisitas dari buah “pil” dengan metode BSLT sehingga aman untuk dikonsumsi. Hasil penelitian menunjukan bahwa masyarakat Tambelan umumnya memakan biji dari buah pil jika sedang menderita hipertensi, mereka langsung mengunyah buah pil sebanyak 20 biji pagi dan 20 biji sore dan bisa sembuh hanya dalam waktu 24 jam. Secara kualitatif buah pil mengandung komponen bioaktif alkaloid, flavonoid, steroid, tannin, saponin dan triterpenoid. Total kandungan bioaktif flavonoid pada buah pil 0,32% (b/b). Hasil uji toksisitas dari buah pil sebesar 397,022 ppm, ini menunjukan bahwa buah pil aman untuk dikonsumsi sebagai atrenatif antihipertensi alami dengan takaran 20 biji pagi hari dan 20 biji sore hari. Kata kunci: buah pil, Melia azedarach , flavonoid, natural product ,hipertensi

ABSTRACT

Kepulauan Riau is one of the provinces in Indonesia that people with the highest

hypertension. One way to reduce hypertension sufferers this is by way of searching for

natural or herbal product that has a function to reduce or treat hypertension. "Buah pil”

/Mindi (Melia azedarach) empirically Tambelan believed by the public to reduce

hypertension. From interviews with the community Tambelan “Buah pil” are found in the

forests of the island Tambelan. This study aim was: (1) Demonstrate the use of

empirically Buah pil for hypertension drug Tambelan‟s through questionnaires to

residents who had suffered from hypertension. (2) Identify bioactive compounds from the

seeds of "buah pil" (Melia azedarach). (3) Analysis the toxicity of the "buah pil" with

BSLT method that is safe for consumption. The resulted that general people that

consumption buah pil Tambelan‟s if you're suffering from hypertension, they are

immediately chew buah pil as many as 20 seeds in the morning and afternoon and can be

cured in just 24 hours. Qualitatively buah pil contain bioactive components consists of

alkaloids, flavonoids, steroids, tannins, saponins and triterpenoids. The total bioactive

flavonoids buah pil 0.32% (w / w). The toxicity test of buah pil at 397.022 ppm, this

indicates that buah pil are safe for consumption as a natural antihypertension alternatif

with a doses as many as of 20 seeds morning and afternoon.

Keywords: Buah pil, Melia azedarach, flavonoids, natural product, hypertension

Page 64: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

64

PENDAHULUAN

Kepulauan Riau merupakan

salah satu provinsi di Indonesia yang

penderita hipertensinya tertinggi.

Salah satu kabupaten di provinsi ini

yaitu Kabupaten Natuna sekitar 53,3

% penduduknya menderita hipertensi

(Antara News Kepri: 5/12/13). Hal

ini tentu akan menjadi pekerjaan

rumah buat pemerintah Kepri untuk

mengurangi penderita hipertensi di

provinsi ini. Salah satu cara untuk

mengurangi penderita hipertensi ini

yaitu dengan cara mencari natural

product atau herbal yang memiliki

fungsi untuk menurunkan atau

mengobati penyakit hipertensi.

Secara empiris banyak herbal yang

dipercayai oleh masyarakat terutama

di Provinsi Kepulauan Riau yang

dapat menyembuhkan penyakit

hipertensi. Tanaman buah “pil” atau

nama umunya yaitu pohon Mindi

(Melia azedarach) merupakan

tanaman yang tumbuhnya cepat dan

berasal dari Cina ini dapat ditemukan

dari dataran rendah sampai

pegunungan dengan ketinggian 1.100

m diatas permukaan laut. Tanaman

buah “pil” atau Mindi secara empiris

dipercayai oleh masyarakat

Tambelan dapat mengurangi

hipertensi. Dari hasil wawancara

dengan masyarakat Tambelan maka

Buah pil atau buah Mindi banyak

ditemukan di hutan-hutan di Pulau

Tambelan. Secara ilmiah penelitian

mengenai fungsi biji tanaman ini

sebagai antihipertensi belum perbah

dikaji secara komprehensif. Oleh

karena itu perlu dilakukan penapisan

awal dari kandungan bioaktif dari

biji tanaman ini untuk dasar

pengembangan sebagai obat

antihipertensi alami. Tujuan umum

penelitian ini adalah: (1)

Membuktikan secara empiris

penggunaan buah pil untuk obat

hipertensi melalui quisioner kepada

penduduk Tambelan yang pernah

menderita hipertensi. (2)

Mengidentifikas senyawa bioaktif

dari biji buah “pil” (Melia

azedarach). (3) Menguji toksisitas

dari buah “pil” dengan metode BSLT

sehingga aman untuk dikonsumsi.

METODE PENELITIAN

Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilakukan dari

bulan Oktober 2013 sampai Maret 2014,

di Pulau Tambelan-KEPRI dan di

Laboratorium Fakultas Ilmu Kelautan

dan Perikanan, Universitas Maritim Raja

Ali Haji, Universitas Maritim Raja Ali

Haji Tanjungpinang serta Laboratorium

Biofarmaka, IPB, Bogor.

Bahan dan Alat

Bahan utama yang digunakan

dalam penelitian ini adalah biji buah

tanaman “buah pil‟ (Melia azedarach)

yang diambil dari Pulau Tambelan.

Bahan lain yang digunakan yaitu bahan

untuk analisis komponen bioaktif, bahan

analisis Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT). Peralatan yang digunakan

dalam penelitian ini diantaranya,

timbangan digital, mortar, aerator,

tabung reaksi dan alat untuk analisis

bioaktif dan Brine Shrimp Lethality Test

(BSLT).

Tahapan Penelitian

Penelitian ini dilakukan dalam

dua tahapan. Tahap pertama yaitu

pengambilan dan preparasi biji buah

“pil” serta pembuktikan secara empiris

penggunaan buah pil untuk obat

hipertensi melalui quisioner kepada

penduduk Tambelan yang pernah

menderita hipertensi. Tahap kedua yaitu

pengujian komponen bioaktif dari biji

buah “pil” dan uji toksisitas untuk

keamanan mengkonsumsinya dengan

metode BSLT.

Penelitian pendahuluan Penelitian ini dimulai dengan

pengambilan buah “pil” di hutan-hutan

di Pulau Tambelan, Kabupaten Bintan,

Provinsi Kepulauan Riau. Kemudian

diambil biji dari buah pil tersebut lalu

Page 65: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

65

dikeringkan. Setelah

dikeringkan, kemudian dicobakan

kepada penduduk Tambelan yang

menderita hipertensi dan diobservasi

setelah 24 jam dengan pengisian

kuisioner untuk mengetahui pengaruh

penggunaan buah pil sebagai obat

antihipertensi alami.

Penelitian lanjutan

Penelitian lanjutan yaitu

pengujian kandungan bioaktif dari buah

pil (Harborne 1984) dan uji toksisitas

dengan metode BSLT (Brine Shrimp

Lethality Test ) dari Loomis 1978.

Uji toksitologi buah pil dilakukan

dengan metode BSLT (Brine Shrimp

Lethality Test ). Sampel dilarutkan di

air laut. Kemudian, masing-masing plat

pengujian dimasukkan 10 ekor larva

udang dan larutan sampel hingga

diperoleh konsentrasi 10-1000 ppm.

Larva udang diinkubasi selama 24 jam.

Jumlah larva udang yang mati dihitung

dan ditentukan jumlah rata-rata yang

mati. Dibuat kurva hubungan antara

konsentrasi eksrak sebagai sumbu x dan

persen kematian di sumbu y untuk

mendapatkan nilai LC50 dengan

menggunakan Tabel Probit.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tanaman “buah pil” (sebutan

obat herbal hipertensi oleh penduduk

Tambelan) atau nama umumnya dikenal

sebagai pohon mindi dengan nama

latinnya Melia azedarach, merupakan

pohon liar di daerah-daerah dekat pantai

dan dapat ditemukan dari dataran rendah

sampai pegunungan, tanaman asli dari

cina ini dapat tumbuh pada ketinggian

1.100 m diatas permukaan laut.

Buahnya berjenis buah batu dan jika

masak, warnanya coklat kekuningan,

dan biji buah berwarna hitam.

Tumbuhan ini cepat bertumbuh, dalam 2

tahun, tinggi tumbuhan ini mencapai 4-5

meter (Dalimartha 2007). Buah pil yang

sudah dikeringkan dan dapat digunakan

sebagai obat hipertensi (Gambar 1.)

Gambar 1 Buah pil yang sudah

dikeringkan

Pembuktian Empiris Buah Pil

Sebagai Obat Hipertensi

Hipertensi merupakan suatu

keadaan seseorang ketika terjadi

peningkatan tekanan darah sistolik ≥ 140

mmHg atau tekanan darah diastolik ≥ 90

mmHg, penderita memiliki resiko

penyakit jantung, stroke, dan gagal

ginjal (Iskandar 2007; Yusuf 2008).

Beberapa penyebab munculnya

hipertensi antara lain penyakit gagal

ginjal, kelainan endokrin, asupan garam

terlalu tinggi, stress atau salah

pemakaian obat (Iskandar 2007).

Tinggi rendahnya tekanan

darah juga dipengaruhi oleh faktor

Renin Angiotensin System (RAS), yang

melibatkan pengubahan zat angiotensin I

menjadi angiotensin II (Yusuf 2008).

Angiotensin II berfungsi untuk sekresi

aldosteron penyebab retensi sodium

yang dapat meningkatkan volume cairan

ekstraseluler, sehingga mengakibatkan

terjadinya hipertensi. Dengan

menghambat aktivitas angiotensin

converting enzyme (ACE), maka

angiotensin I tidak diubah menjadi

angiotensin II, sehingga hipertensi dapat

dicegah. Metode inhibitor ACE

merupakan metode skrining

antihipertensi yang efektif (Wagner et

al. 1991; Hansen et al. 1995;

Somanadhan et al. 1996). Hasil

wawancara dengan penderita hipertensi

yang sudah pernah berobat dengan

mengkonsumsi buah pil maka buah pil

yang dikonsumsi oleh penderita

hipertensi dapat menurunkan tekanan

darah selama 24 jam setelah

mengkonsumsi buah pil sebanyak 20 biji

pagi hari dan 20 biji sore hari. Jika

takaran konsumsi biji buah pil ini

dikurangi menjadi 10 biji pagi dan 10

biji sore hari maka akan memperlambat

Page 66: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

66

khasiatnya, sehingga baru akan

mampu menurunkan tekanan darah

selama 3 hari.

Kandungan Bioaktif pada Buah Pil

Komponen bioaktif/metabolit

sekunder adalah suatu zat yang

dibiosintesis terutama dari banyak

metabolit-metabolit primer seperti asam

amino, asetol koenzim-A, asam

mevalonat, dan zat antara (Intermediate)

dari alur shikimat (Shikimic acid)

(Herbert 1995). Metabolit sekunder

sangat bervariasi jumlah dan jenisnya

dari setiap organisme. Beberapa dari

senyawa tersebut telah diisolasi sebagian

diantaranya memberikan efek fisiologis

dan farmakologis yang lebih dikenal

sebagai senyawa kimia aktif (Copriady

et al. 2005).

Makhluk hidup dapat

menghasilkan bahan organik sekunder

(metabolit sekunder) atau bahan alami

melalui reaksi sekunder dari bahan

organik primer (karbohidrat, lemak,

protein). Bahan organik sekunder

(metabolit sekunder) ini umumnya

merupakan hasil akhir dari suatu proses

metabolisme. Bahan ini berperan juga

pada proses fisiologi. Bahan organik

sekunder itu dapat dibagi menjadi tiga

kelompok besar yaitu : fenolik, alkaloid

dan terpenoid, tetapi pigmen dan

porfirin juga termasuk di dalamnya

(Purwanti 2009).

Zat metabolit sekunder memiliki

banyak jenis, adapun jenis dari metabolit

sekunder yang dapat kita ketahui antara

lain kumarin (Copriandy et al. 2005),

azadirachtin, salanin, meliatriol, nimbin

(Samsudin 2008). Pemanfaatan dari zat

metabolit sekunder sangat banyak.

Metabolit sekunder dapat dimanfaatkan

sebagai antioksidan, antibiotik,

antikanker, antikoagulan darah,

menghambat efek karsinogenik

(Copriandy et al. 2005), selain itu

metabolit sekunder juga dapat

dimanfaatkan sebagai antiagen

pengendali hama yang ramah

lingkungan (Samsudin 2008).

Hasil analisis fitokimia pada buah

pil menunjukkan bahwa komponen

bioaktif yang terdapat pada buah pil

diantaranya:alkaloid, flavonoid, tannin,

saponin, steroid dan triterpenoid.

Adapun kandungan flavonoid pada buah

pil yang berfungsi untuk menurunkan

tekanan darah adalah sebesar 0,32%

(b/b). Flavonoid merupakan senyawa

yang larut dalam air. Flavonoid berupa

senyawa fenol, oleh karena itu warnanya

berubah bila ditambah basa atau amonia

(Harborne 1987). Flavonoid merupakan

salah satu golongan fenol alam terbesar

yang banyak terdapat dalam tumbuh-

tumbuhan hijau. Flavonoid merupakan

senyawa antioksidan alami, mencegah

bergabungnya oksigen dengan zat lain

sehingga tidak menimbulkan kerusakan

pada sel-sel tubuh (Liu dan Guo 2006).

Flavonoid mengandung cincin aromatik

yang terkonjugasi, oleh karena itu

menunjukkan pita serapan kuat pada

daerah spektrum UV dan spektrum

tampak. Flavonoid terdapat dalam

tumbuhan, terikat pada gula sebagai

glikosida dan aglikon flavonoid.

Penggolongan jenis flavonoid dalam

jaringan tumbuhan mula-mula

didasarkan pada telaah sifat kelarutan

dan reaksi warna. Terdapat sekitar

sepuluh kelas flavonoid, yaitu

antosianin, proantosianidin, flavonol,

flavon, glikoflavon, biflavon, khalkon,

auron, flavanon, dan isoflavon

(Harborne 1987).

Toksisitas Buah Pil

Hasil analisis toksisitas buah pil

sebagai obat antihipertensi dengan

menggunakan metode BSLT (Brine

Shrimp Lethality Test ) sebesar 397,022

ppm. Umumnya buah pil (Melia

Azedarach) memiliki tingkat keracunan

yang tinggi, jika dikonsumsi setiap hari

terutama pada bijinya, hal ini dibuktikan

dengan rasa pahit yang bersangatan pada

biji buah pil (Azam, 2013). Dengan

demikian maka konsumsi buah pil

selama 24 jam dengan takaran 20 biji

pagi hari dan 20 biji sore hari sampai

saat ini bisa aman untuk dijadikan obat

antihipertensi alami.

Page 67: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Karakteristik Carboxymethyl Chitosan…

Pipih Suptijah, Uju dan Mochammad Jamil Awal Saputra

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Vol IV(1) 53-62

67

KESIMPULAN

Tanaman buah “pil”/Mindi

(Melia azedarach) secara empiris

dipercayai oleh masyarakat Tambelan

dapat mengurangi hipertensi. Dari hasil

wawancara dengan masyarakat

Tambelan maka Buah pil banyak

ditemukan di hutan-hutan di Pulau

Tambelan.

Hasil penelitian menunjukan

bahwa masyarakat Tambelan umumnya

memakan biji dari buah pil jika sedang

menderita hipertensi, mereka langsung

mengunyah buah pil sebanyak 20 biji

pagi dan 20 biji sore dan bisa sembuh

hanya dalam waktu 24 jam. Secara

kualitatif buah pil mengandung

komponen bioaktif alkaloid, flavonoid,

steroid, tannin, saponin dan triterpenoid.

Total kandungan bioaktif flavonoid pada

buah pil 0,32% (b/b). Hasil uji

toksisitas dari buah pil sebesar 397,022

ppm, ini menunjukan bahwa buah pil

aman untuk dikonsumsi sebagai atrenatif

antihipertensi alami dengan takaran 20

biji pagi hari dan 20 biji sore hari.

DAFTAR PUSTAKA

Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005.

Isolasi dan karakterisasi

senyawa kumarin dari kulit buah

jeruk nipis (Citrus hystrix DC).

Jurnal Biogenesis 2:13-15.

Copriady J, Yasmi E, Hidayati . 2005.

Isolasi dan karakterisasi

senyawa kumarin dari kulit buah

jeruk nipis (Citrus hystrix DC).

Jurnal Biogenesis 2:13-15.

Dalimartha, Setiawan. 2005. Atlas

Tumbuhan Obat Indonesia.

Depok: Puspa Swara.

Iskandar Y. 2007. Tanaman obat yang

berkhasiat sebagai antihipertensi

[karya Bandung: Fakultas

Farmasi, Universitas Padjajaran

Bandung.

Hansen K. et al. 1995. In vitro screening

of traditional medicines for

antihypertensive effect based on

inhibition of the angiotensin

converting enzyme (ACE). J.

Ethnopharmacol, 48:43-51.

Harborne JB. 1984. Metode Fitokimia.

Padmawinata K, Soediro I,

penerjemah. Bandung: ITB.

Terjemahan dari: Phytochemical

Methods.

Herbert R B. 1995. Biosintesis Metabolit

Sekunder. Diterjemahkan:

Srigandono dari, The Biosintesis

of Secondary Metabolites.

Semarang: IKIP Semarang

Press.

Liu W, Guo R. 2006. Interaction of

flavonoid, quercetin with

organized molecular assemblies

of nonionic surfactant. Colloids

and Surfaces A: Physicochem.

Eng. Aspects. 274:192-199.

Loomis TA. 1987. Essential of

toxicology.3rd ed. Philadelpia

M.M. Azam et al. 2013.

Pharmakological Potentials

Melia Azedarach L. Review.

J.American Biosciences 1(2):44-

49

Purwati E. 2009. Profil komponen

bioaktif tanaman kava-kava

(Pipermethysticum, Forst, f)

dengan pelarut etanol dan

methanol [skripsi]. Malang:

Universitas Muhamadiyah

Malang.

Samsudin. 2008. Azadirachtin Metabolit

Sekunder dari Tanaman Mimba

sebagai Bahan Insektisida

Botani. Lembaga Pertanian

Sehat.

Somanadhan B. et al. 1996. An

ethnopharmacological survey

for potential angiotensin

converting enzyme inhibitors

from Indian medicinal plants. J

Ethnopharmacol, 65:103-112.

Wagner H, Elbl G, Lotter H, Uinea M.

1991. Evaluation of natural

products as inhibitors of

angiotensin I-converting enzyme

(ACE). Pharm Pharmacol Lett

1:15-18.

Yusuf I. 2008. Hipertensi sekunder.

Medicinus, 21:71-79.

Page 68: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

68

KOMPOSISI JENIS DAN SEBARAN EKOSISTEM

MANGROVE DI KAWASAN PESISIR KOTA

TANJUNGPINANG, KEPULAUAN RIAU

Febrianti Lestari

Jurusan Menejemen Sumberdaya Perairan

Universitas Maritim Raja Ali Haji Tanjungpinang.

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Telah dilakukan penelitian tentang komposisi dan sebaran ekosistem mangrove di

kawasan pesisir Tanjungpinnag. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui komposisi

jenis dan sebaran ekosistem mangrove di kawasan pesisir Kota Tanjungpinang, serta

mengetahui potensi luas ekosistem mangrove yang terdapat di wilayah Kota

Tanjungpinang. Pengumpulan data dilakukan melalui pengukuran dan pengamatan

langsung (observasi) dengan menggunakan metode transek untuk analisis vegetasi, data

biofisik dianalisis melalui citra dan analisis Geographic Information System (GIS). Hasil

penelitian menemukan komposisi jenis mangrove sejati di kawasan pesisir Tanjungpinang

terdiri dari enam jenis yaitu Rhizophora sp, Bruguiera sp, Sonneratia sp, Avicennia sp,

Ceriopps sp dan Xylocarphus sp dengan sebaran ekosistem mangrove yang paling dominan

ditemukan pada kawasan muara Sungai Dompak. Potensi luas ekosistem mangrove yang

paling besar terdapat pada kawasan mangrove muara Sungai Dompak seluas 305,53 ha

(kerapatan 138 pohon/ha), dan luas terkecil terdapat pada kawasan pesisir Tanjung

Unggat (27,38 ha dengan kerapatan 52 pohon/ha) dibandingkan luas total ekosistem

mangrove yang ditemukan diseluruh kawasan pesisir Kota Tanjungpinang (774,25 ha).

Kata Kunci: Komposisi Jenis Mangrove, Sebaran Ekosistem Mangrove, Kawasan Pesisir

Tanjungpinang

ABSTRACT

A research on the composition and distribution of mangrove ecosystems in coastal areas

of Tanjungpinang. The purpose of this study was to determine the species composition

and distribution of mangrove ecosystems in coastal areas of Tanjungpinang, and to know

the vast potential of mangrove ecosystem located in the Tanjungpinang city. Data

collected through direct observation and measurement using transect method for the

analysis of vegetation, biophysical data were analyzed Citra and analysis Geographic

Information System (GIS). The results found true mangrove species composition in

coastal areas Tanjungpinang consists of six types namely Rhizophora sp, Bruguiera sp,

Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps sp and Xylocarphus sp with the distribution of the

most dominant mangrove ecosystems found in the estuary area of densely packed. Vast

potential of mangrove ecosystem found in most large mangrove estuary densely packed

area of 305.53 ha (density of 138 trees / ha), and the smallest area located on the coastal

area of Tanjung Unggat (27.38 ha with a density of 52 trees/ha) compared to extensive

total mangrove ecosystems found throughout the coastal areas Tanjungpinang (774.25

ha).

Keywords: Composition Type Mangrove, Distribution of Mangrove Ecosystems, Coastal

Zone Tanjungpinang

Page 69: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

69

PENDAHULUAN

Pengembangan suatu kota

berimplikasi terhadap peningkatan

jumlah penduduk yang cukup signifikan,

sehingga mengakibatkan kebutuhan

lahan menjadi semakin tinggi. Pada

akhirnya dapat memicu peningkatan

konversi lahan untuk permukiman,

kawasan industri, sarana dan prasarana

dan kegiatan lainnya. Konversi lahan

mangrove merupakan salah satu bentuk

konversi lahan yang tidak terelakkan

dikawasan pesisir dan pulau-pulau kecil

akibat peningkatan pertumbuhan

penduduk yang tak terkendali pada suatu

daerah. Hal ini mendorong terjadinya

kerusakan sumberdaya pesisir dan laut,

yang nantinya akan berdampak negatif

terhadap kehidupan manusia.

Keberadaan hutan mangrove di

wilayah pesisir barat pulau Bintan

tepatnya kawasan pesisir wilayah

administrasi Kota Tanjungpinang pada

kenyataannya terus mengalami

kerusakan atau degradasi akibat

berbagai tekanan dalam pemanfaatan

dan pengelolaan yang kurang

memperhatikan aspek kelestarian. Di

beberapa kawasan mangrove di Kota

Tanjungpinang sudah mengalami

kerusakan yang cukup memprihatinkan

seperti kawasan mangrove pulau

Dompak yang memusnahkan habitat

mangrove untuk pembangunan struktur

dan infrastruk pusat kota berupa jalan

dan jembatan serta pendirian gedung-

gedung untuk perkantoran. Pada

kawasan yang lain terdapat fragmentasi

habitat mangrove akibat penambangan

bouksit pada ekosistem mangrove.

mengingat pentingnya keberadaan

ekosistem mangrove untuk

mempertahan fungsi ekologis suatu

kawasan, maka perlu dilakukan upaya

untuk mempertahankan fungsi ekologis

penting mangrove sebagai pengendali

kerusakan lingkungan di kawasan

pesisir. Terkait dengan upaya tersebut,

upaya mengatasi laju kerusakan

lingkungan pesisir, berupa abrasi dan

intrusi air laut dengan pendekatakan

ekosistem merupakan salah satu aspek

keseimbangan yang harus dicapai dan

dipertahankan keberlanjutannya.

Sebagai upaya awal untuk

mencegah dan menanggulangi

kerusakan ekosistem mangrove

diperlukan data dan informasi yang

akurat tentang kondisi ekosistem yang

meliputi identifikasi dan inventrarisasi

kondisi eksisting biofisik mangrove

ekosistem mangrove di suatu kawasan.

Data yang akurat tentang kondisi aktual

mangrove di pesisir Tanjungpinang saat

ini sangat diperlukan sebagai data dasar

serta acuan program-program

pengelolaan mangrove secara

berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk

memperoleh data dan informasi yang

akurat tentang komposisi jenis dan

sebaran ekosistem mangrove di kawasan

pesisir Kota Tanjungpinang, serta

potensi luas ekosistem mangrove yang

terdapat di wilayah Kota

Tanjungpinang. Data dan informasi ini

dapat dijadikan landasan dasar bagi

kebijakan program-program pengelolaan

mangrove untuk kawasan pesisir Kota

Tanjungpinang.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan pada

kawasan pesisir Kota Tanjungpinang

mulai bulan Mei sampai bulan Oktober

2013. Informasi biofisik dikumpulkan

melalui analisis citra dan analisis

Geographic Information System (GIS),

dan dilanjutkan dengan verifikasi

Page 70: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

70

melalui survei langsung lapangan

dengan menggunakan metode transek

untuk analisis vegetasi. Data penunjang

seperti hasil kajian sebelumnya dan data

dari instansi telah direview sebagai

pembanding kondisi ekosistem

mangrove terkini (current condition).

Pengumpulan data dilakukan melalui

cara pengukuran dan pengamatan

langsung (observasi) dan pengambilan

sampel. Parameter pengukuran biofisik

ekosistem mangrove di lapangan terdiri

dari (a) jenis mangrove, (b) kerapatan

mangrove, (c) dominansi mangrove, dan

(d) penutupan vegetasi. Data yang telah

dikumpulkan kemudian ditabulasi dan

dianalisis secara deskriptif kualitatif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komposisi Jenis Mangrove di

Kawasan Pesisir Tanjungpinang

Hasil penelitian ditemukan

sebanyak tujuh jenis mangrove sejati di

kawasan pesisir Kota Tanjungpinang

yang terdapat pada empat Kecamatan,

yaitu Kecamatan Tanjungpinang Kota,

Tanjungpinang Barat, Tanjungpinang

Timur, dan Bukit Bestari. Berdasarkan

pengamatan pada masing-masing lokasi

penelitian menunjukan bahwa komposisi

vegetasi mangrove sejati di kawasan

pesisir Tanjungpinang dapat

dikategorikan homogen. Hal ini sesuai

dengan karakteritik mangrove di pulau

kecil yang memiliki keragaman jenis

yang sangat rendah. Namun penyebaran

ekosistem mangrove di wilayah pesisir

Tanjungpinang ditemukan menyebar

pada kawasan daerah estuari atau muara

sungai, diantaranya adalah kawasan

muara Sungai Ular, muara Sungai Ladi,

muara Sungai Carang, muara Sungai

Tanjung unggat, muara Sungai Jang dan

muara Sungai Dompak.

Kehadiran tegakan ekosistem

mangrove pada kawasan pesisir Kota

Tanjungpinang sangat spesifik terlihat

bahwa proporsi terbesar kehadiran

dijumpai di daerah muara sungai atau

estuari yang dicirikan oleh adanya

pengaruh aliran sungai. Sebaran jenis-

jenis mangrove yang ditemukan pada

wilayah pesisir Tanjungpinang secara

spesifik disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Komposisi Jenis Mangrove di

Kawasan Pesisir

Tanjungpinang Kawasan

Penyebaran

Jenis

Mangrove

Jenis Penting

Dominan

Muara

Sungai

Ular

Soneratia sp

Rhizophora sp

Burguiera sp

Xylocarpus sp

Burguiera sp

(INP =151,9)

Muara

Sungai

Ladi

Burguiera sp

Rhizophora sp

Ceriopps sp

Sonneratia sp

Xylocarphus sp

Rhizophora sp

(INP =117,2)

Muara

Sungai

Carang

Avicennia sp

Burguiera sp

Xylocarphus sp

Rhizophora sp

Sonneratia sp

Rhizophora sp

(INP =168,3)

Sungai

Tanjung

Unggat

Avicennia sp

Rhizophora sp

Bruguiera sp

Sonneratia sp

Avicennia sp

(INP =176,7)

Muara

Sungai

Jang

Xylocarphus sp

Rhizophora sp

Sonneratia sp

Bruguiera sp

Rhizophora sp

(INP =168,3)

Muara

Sungai

Dompak

Burguiera sp

Sonneratia sp

Xylocarhus sp

Rhizophora sp

Ceriopps sp

Rhizophora sp

(INP= 151,8)

Kerapatan mangrove tertinggi

ditemukan pada kawasan muara sungai

Dompak sebesar 138 pohon/ha,

kerapatan tertinggi berikut terdapat pada

kawasan muara sungai Ladi dan sungai

Ular masing-masing adalah sebesar 102

pohon/ha dan 101 pohon/ha. Sedangkan

kerapatan mangrove terendah terdapat

pada kawasan pesisir Tanjung Unggat

sebesar 72 pohon/Ha (Tabel 2).

Page 71: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

71

Tabel 2. Kerapatan dan Luas

Mangrovedi Kawasan Pesisir

Tanjungpinang

No Kawasan

Penyebaran

Kerapatan

Mangrove

(Pohon/ha)

Luas

Mangrove

(Ha)

1. Muara Sungai

Ular 101 140,82

2. Muara Sungai

Ladi 102 182,57

3. Muara Sungai

Carang 87 55,63

4. Tanjung

Unggat 52 27,38

5. Muara Sungai

Jang 69 62,32

6. Muara Sungai

Dompak 138 305,53

Total Luas Ekosistem Mangrove

Tanjungpinang 774,25

Sebaran Ekosistem Mangrove di

Kawasan Pesisir Tanjungpinang

a. Penyebaran Mangrove di Kawasan

Muara Sungai Ular

Kawasan muara Sungai Ular

berada pada koordinat N:00°56‟21.1” E:

104°27‟18.5”, merupakan sebuah daerah

yang cukup luas. Hasil pengamatan pada

masing–masing transek menunjukan

bahwa karakteristik vegetasi mangrove

di kawasan muara Sungai Ular

berkembang pada kondisi kelas

genangan yang sama sesuai dengan

klasifikasinya. Mangrove di Pesisir

Sungai Ular memiliki kondisi tanah

yang berlumpur dan tergenangi air. Air

pasang laut juga mempengaruhi kondisi

lumpur di area ini. Warna lumpur dan

tanah hitam kecoklatan gelap dengan

salinitas 5-10%. Kondisi hutan

mangrove masih baik dengan zona

terbuka ditempati oleh empat jenis

mangrove sejati pada tingkat pohon

yaitu; Rhizophora sp, Xylocarphus sp,

Sonneratia sp dan Bruguiera sp.

Menurut perhitungan Indeks nilai

penting teridentifikasi bahwa jenis

Burguiera sp merupakan jenis yang

paling dominan untuk tingkat pohon di

kawasan pesisir Sungai Ular

(INP=151,9). Hal ini menjelaskan

bahwa jenis Burguiera sp mempunyai

peran penting pada ekosistem mangrove

di kawasan pesisir Sungai Ular.

Selanjutnya kerapatan mangrove yang

ditemukan di sungai Ular adalah sebesar

101 pohon/Ha, dengan luasan mangrove

sebesar 140,82 Ha (Gambar 1).

Gambar 1. Sebaran Jenis Mangrove di

Kawasan muara Sungai Ular

b. Sebaran Mangrove di Kawasan

Muara Sungai Ladi

Kawasan muara Sungai Ladi

berada pada koordinat N:00°56'50.03"

E: 104°27'03,5" dengan kondisi tanah

berlumpur dan tergenangi air. Air

pasang laut selalu menggenangi setiap

hari sehingga mempengaruhi kondisi

lumpur di kawasan ini. Warna lumpur

dan tanah hitam kecoklatan terang

dengan keadaan pH 5 dan salinitas 17

promil. Zonasi mangrove yang

membentuk kawasan ini terdiri dari

Rhizophora sp, Xylocarpus sp, dan

Bruguiera sp sebagai mangrove sejati.

Kawasan mangrove sungai Ladi

didominasi oleh jenis Rhizophora sp

yang dapat tumbuh baik karena jenis

substratnya berupa lumpur sangat

mendukung pertumbuhan jenis tersebut.

Hasil perhitungan nilai penting terbesar

ditemukan pada jenis Rhizophora sp

yaitu sebesar 117,2. Jenis-jenis

mangrove sejati yang di temui adalah:

Bruguiera sp, Rhizophora sp,

Sonneratia sp, Xylocarphus sp, dan

Ceriopps sp. Kerapatan mangrove yang

ditemukan adalah sebesar 102

pohon/Ha, sementara luas mangrove

yang masih tersisa adalah sebesar

182,57 Ha (Gambar 2).

Kerapatan

(Pohon/Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

101 50.668

Sonneratia spRhizophora spBurguiera sp

Xylocarphus sp

Sonneratia spRhizophora spBurguiera sp

Xylocarphus sp

438000

438000

438600

438600

439200

439200

439800

439800

103800

103800

104400

104400

105000

105000

PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE

N

EW

S

80 0 80 160 Meters

1:10001Skala Skala

Legenda :Legenda :

D ara t

Lau t

Sun ga i

M ang rove

Sumber :Citra QuickBird perekaman tahun 2009

Sumber :Citra QuickBird perekaman tahun 2009

UTMUTM

Sun

gai U

lar

Page 72: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

72

Gambar 2. Sebaran Jenis Mangrove di

Kawasan Muara Sungai

Ladi

c. Sebaran Mangrove di Kawasan

Muara Sungai Carang

Kawasan muara Sungai Carang

merupakan salah satu lokasi yang telah

mengalami pengembangan khusus

pemanfaatan mangrove sebagai wilayah

pariwisata. Di kawasan ini ditemukan

mangrove trail yang mengitari lingkar

luar atau daerah batas mangrove dengan

perairan Sungai Carang. Kawasan

mangrove Sungai Carang berada pada

koordinat 00°55'46.19"N

104°29'18.59"E. Jenis mangrove yang di

temukan pada ketegori pohon adalah

Avicennia sp, Bruguiera sp,

Xylocarphus sp, Rhizophora sp dan

Soneratia sp. Dengan kondisi substrat

lumpur terdapat ketebalan mangrove

yang bervariasi antara 50 hingga 100

meter kemudian dilanjutkan dengan

tanaman dataran rendah.

Komposisi vegetasi mangrove di

kawasan Sungai Carang dapat dikatakan

homogen. Jenis-jenis mangrove yang

menyusun zona terbuka adalah

Avicennia sp dan Sonneratia sp, namun

jenis ini hanya ditemukan pada jarak 0-

15 meter dari bibir pantai. Zona tengah

di temukan jenis Rhizophora sp,

Bruguiera sp, dan Xylocarphus sp.

Secara umum kondisi mangrove di

kawasan Sungai Carang sudah banyak

mengalami kerusakan berupa

fragmentasi habitat akibat adanya

kegiatan penambangan bauksit. Air

pasang laut mempengaruhi kondisi

lumpur di area ini. Warna lumpur dan

tanah hitam gelap dengan salinitas 20

promil.

Hasil perhitungan nilai penting

terbesar pada tingkat pohon

teridentifikasi bahwa dua jenis

mangrove yaitu Avicennia sp (INP =

116,7) dan Rhizophora sp (INP= 168,3)

merupakan jenis yang memiliki peranan

yang penting untuk ekosistem mangrove

tingkat pohon di kawasan muara Sungai

Carang. Kerapatan jenis ditemukan

sebesar 88 pohon/Ha, sedangkan luas

mangrove yang didapat di kawasan

Sungai Carang sebesar 55.63 Ha (Gambar 3).

Gambar 3. Sebaran Jenis Mangrove di

Kawasan Sungai Carang

d. Sebaran Mangrove di Kawasan

Pesisir Tanjung Unggat

Kawasan pesisir Tanjung Unggat

berada pada koordinat N 00°55'24.8" E

104°28'08.2". Dengan kondisi tanah

yang berlumpur dan tergenangi air.

Warna lumpur dan tanah hitam

kecoklatan gelap dengan salinitas 25

promil. Kondisi hutan mangrove tampak

mengalami gangguan berupa limbah

rumah tangga, hal ini disebabkan lokasi

mangrove dekat daerah pemukiman

warga sekitar. Zona terbuka ditempati

jenis Avicennia sp dan Sonneratia sp,

kemudian zona tengah ditempati jenis

Rhizophora sp.

Kondisi substrat berlumpur dalam

dan tergenang di kawasan pesisir

Tanjung Unggat merupakan habitat yang

cocok untuk jenis Avicennia sp sehingga

tumbuh dengan baik di sepanjang pantai.

Hasil perhitungan nilai penting terbesar

menurut analisis vegetasi teridentifikasi

Bruguiera spRhizophora sp

Sonneratia sp

Xylocarphus sp

Ceriopps sp

Bruguiera spRhizophora sp

Sonneratia sp

Xylocarphus sp

Ceriopps sp

439200

439200

440100

440100

441000

441000

441900

441900

442800

442800

103500

103500

104400

104400

105300

105300

106200

106200

UTMUTM

PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE

N

EW

S

100 0 100 200 Meters

1:18380Skala Skala

Kerapat an

(Pohon/ Ha)

Luas Ma ngrove

(Ha )

102 74.469

Legenda :Legenda :

Darat

Laut

Sungai

Mangrov e

Sumber :Citra QuickBird perekaman

tahun 2009

Sumber :Citra QuickBird perekaman

tahun 2009

Sungai L

adi

441900

441900

442800

442800

443700

443700

444600

444600

445500

445500

101700

101700

102600

102600

103500

103500

104400

104400

UTMUTM

PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE

N

EW

S

100 0 100200 Meters

1:16924Skala Skala

Kerapatan

(Pohon/Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

88 55.823

Legenda :Legenda :

Darat

Lau t

Su nga i

Man grove

Sumber :Citra QuickBirdperekaman tahun2009

Sumber :Citra QuickBirdperekaman tahun2009

Sungai Cara

ng

Avicennia spRhizophora sp

Sonneratia spBruguiera sp

Xylocarphus sp

Avicennia spRhizophora sp

Sonneratia spBruguiera sp

Xylocarphus sp

Page 73: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

73

jenis Avicennia sp (INP = 176,7), hal ini

menjelaskan bahwa jenis Avicennia sp

memiliki peran penting pada ekosistem

mangrove di kawasan Pesisir Tanjung

Unggat. Kerapatan mangrove yang

didapat di Tanjung Unggat sebesar 72

pohon/Ha, sedangkan luasan mangrove

hanya sebesar 27,38 Ha. Luasan

mangrove di Tanjung Unggat memiliki

luasan yang paling sedikit, ini diduga

lahan mangrove telah banyak di

konversi menjadi permukiman,

pelabuhan, hotel dan restoran serta

industri (Gambar 4).

Gambar 4. Sebaran Jenis Mangrove di

Kawasan Tanjung Unggat

e. Sebaran Mangrove Kawasan

Muara Sungai Jang

Pengamatan yang dilakukan di

kawasan muara Sungai Jang berada pada

koordinat N: 0°53'51.69" E:104°28'14.26".

Jenis substrat di daerah ini lumpur tanah

coklat gelap dan selalu tergenang pasang

air laut. Mangrove yang ditemukan di

kawasan muara Sungai Jang termasuk

mangrove zona payau. Jenis mangrove

yang tercatat berdasarkan hasil

pengamatan terdapat empat jenis

mangrove sejati pada tingkat pohon

yaitu: Burguiera sp, Xylocarphus sp,

Rhizophora sp, dan Sonneratia sp.

Kerapatan mangrove yang didapat di

kawasan Sungai Jang sebesar 69

pohon/Ha, dengan luas mangrove

sebesar 62.32 Ha (Gambar 5).

Gambar 5. Sebaran Jenis Mangrove di

Kawasan Sungai Jang

f. Sebaran Mangrove di Kawasan

Muara Sungai Dompak

Pengamatan ekosistem mangrove di

kawasan Sungai Dompak berada pada

koordinat N: 0°53'5.34" E:104°27'35.81".

Jenis substrat di daerah ini lumpur tanah

coklat gelap dan selalu tergenang air

pasang. Vegetasi mangrove di kawasan

estuari Dompak termasuk mangrove zona

terbuka. Jenis mangrove yang tercatat

berdasarkan pengamatan adalah sebanyak

6 jenis mangrove sejati terdiri dari:

Bruguiera sp, Rhizophora sp, Sonneratia

sp, Ceriopps sp dan Xylocarphus sp. Rata-

rata ketebalan vegetasi mangrove ± 70m

diukur dari bibir pantai. Kerapatan

mangrove yang di dapat sebesar 138

pohon/Ha, sedangkan luasan mangrove

sebesar 305,53 Ha (Gambar 6).

Gambar 6. Sebaran Jenis Mangrove di

Kawasan Muara Sungai

Dampak

Rhizophora sp

Sonneratia sp

Avicennia sp

Rhizophora sp

Sonneratia sp

Avicennia sp

440400

440400

441000

441000

441600

441600

101400

101400

102000

102000

102600

102600

UTMUTM

PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE

N

EW

S

40 0 4080 Meters

1:9023SkalaSkala

Kerapatan

(Pohon/Ha)

Luas Mangrove

(Ha)

72 27.383

Legenda :Legenda :

Darat

Laut

Mangrove

Kanal Tanjung Unggat

Sumber :Citra Quickbird perekamantahun 2009

Sumber :Citra Quickbird perekamantahun 2009

Tanjung UnggatTanjung Unggat

Rhizophora sp

Sonneratia spBruguiera sp

Xylocarphus sp

Rhizophora sp

Sonneratia spBruguiera sp

Xylocarphus sp

440100

440100

441000

441000

441900

441900

442800

442800

443700

443700

98100

98100

99000

99000

99900

99900

100800

100800

UTMUTM

PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE

N

EW

S

50050100 Meters

1:14973Skala Skala

Kerapat an

(Pohon/ Ha)

Luas Ma ngrove

(Ha )

69 62.504

Legenda :Legenda :

Darat

Laut

Sungai

Mangrove

Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009

Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009

Sungai Jang

Rhizophora spXylocarphus spBruguiera spCeriopps spSonneratia spLumnitzera sp

Rhizophora spXylocarphus spBruguiera spCeriopps spSonneratia spLumnitzera sp

440000

440000

442000

442000

444000

444000

446000

446000

96000

96000

98000

98000

100000

100000

UTMUTM

PETA SEBARAN MANGROVEPETA SEBARAN MANGROVE

N

EW

S

200 0 200400 Meters

1:26770Skala Skala

Kera pata n

(Poh on/H a)

Luas Man gro ve

(H a)

138 229. 793

Darat

Laut

Sungai

Mangrove

Legenda :Legenda :

Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009

Sumber :Citra QuickBird perekamantahun 2009

Sungai Dompak

Page 74: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

74

Potensi Luas Mangrove di Kawasan

Pesisir Tanjungpinang Berdasarkan hasil pengamatan

di lapangan dan pengolahan analisis

citra diketahui luas total ekosistem

mangrove yang terdapat di kawasan

pesisir Kota Tanjungpinang adalah

seluas 774,25 hektar. Luas ekosistem

mangrove yang ditemukan dalam

pengamatan membentuk pola

penyebaran yang terdistribusi pada enam

kawasan muara sungai, meliputi luas

mangrove di kawasan muara sungai Ular

dan muara Sungai Ladi yang termasuk

pada wilayah Kec. Tanjungpinang Kota

adalah seluas 323,39 ha, luas mangrove

di kawasan muara Sungai Carang yang

merupakan wilayah Kec. Tanjungpinang

Timur adalah seluas 55,63 ha, luas

mangrove di kawasan pesisir Tanjung

unggat yang termasuk ke dalam wilayah

kec. Tanjungpinang barat adalah seluas

27,38 ha, dan luas mangrove di kawasan

muara sungai Jang dan muara sungai

Dompak yang termasuk ke dalam

wilayah administrasi Kecamatan Bukit

Bestari adalah seluas 367,85 ha (Gambar

7).

Gambar 7. Peta Luas Mangrove di

Kawasan pesisir Kota Tanjungpinang

Gambar 7 memperlihatkan pada

masing-masing kawasan muara sungai,

luas mangrove yang paling besar

ditemukan di Muara Sungai Dompak

wilayah kec. Bukit Bestari dengan luas

mangrove 305,53 ha, ini di karenakan

kondisi mangrove di kawasan tersebut

relatif masih baik dan belum banyak

mengalami konversi lahan mangrove

menjadi fungsi lain. Sedangkan luas

mangrove yang paling sedikit terdapat

pada Kecamatan Tanjungpinang Barat

yaitu kawasan pesisir Tanjung unggat

yaitu hanya seluas 27,38 ha. Hal ini

disebabkan di kawasan tersebut sudah

banyak kegiatan konversi lahan

mangrove menjadi kawasan

pertambangan, permukiman dan

kegiatan perkotaan lainnya.

KESIMPULAN

1. Komposisi jenis mangrove di

kawasan pesisir Tanjungpinang

terdiri dari enam jenis yaitu

Rhizophora sp, Bruguiera sp,

Sonneratia sp, Avicennia sp, Ceriopps

sp dan Xylocarphus sp dengan

sebaran ekosistem mangrove yang

paling dominan ditemukan pada

kawasan muara Sungai Dompak,

sedangkan yang paling rendah

terdapat pada kawasan pesisir

Tanjung Unggat.

2. Potensi luas ekosistem mangrove

yang paling besar terdapat pada

kawasan ekosistem mangrove

muara Sungai Dompak seluas

305,53 ha sekaligus memiliki

kerapatan jenis tertinggi (138

pohon/ha), sedangkan luas kawasan

ekosistem mangrove terendah

terdapat pada kawasan mangrove

Tanjung Unggat hanya seluas 27,38

ha dengan kerapatan 52 pohon/ha

dibandingkan luas total ekosistem

mangrove yang ditemukan

diseluruh kawasan pesisir Kota

Tanjungpinang (774,25 ha).

DAFTAR PUSTAKA

Badola R, Barthwal S, Hussain SA.

2012. Attitudes of local

Comunities towards conservation

of mangrove forest: A case study

from the east Coast of India.

Estuarine, Coastal and Shelf

Science 96: 188-196.

Page 75: JURNAL DINAMIKA MARITIM VOL IV NO. 1 TH 2014.pdf

Komposisi Jenis dan sebaran …

Febrianti lestari

ISSN: 2086-8049

Dinamika Maritim Volume IV(1) 68-75

75

Bengen DG. 2002. Pedoman Teknis:

Pengenalan dan Pengelolaan

Ekosistem Mangrove. Bogor:

Pusat Kajian Sumberdaya Pesisir

dan Lautan. Institut Pertanian

Bogor.

Ditjen RLPS, 2005. Pedoman

Identifikasi dan Inventarisasi

Mangrove Departemen

Kehutanan Republik Indonesia,

Jakarta, 2005.

Gill AM, Tomlinson PB. 1977. Studies

on the growth of red mangrove

(Rhizophora mangle L). The adult

root system. Siotropica 9: 145-

155

Kusmana C et al. 2005. Teknik

Rehabilitasi Mangrove. Bogor:

Fakultas Kehutanan. Institut

Pertanian Bogor.

Kustanti A. 2011. Manajemen Hutan

mangrove. Bogor: PT. Penerbit

IPB press.

Mandal S, Ray S, Ghosh PB. 2012.

Comparative study of mangrove

litter nitrogen cycling to the

adjacent estuary through

modelling in pristine and

reclaimed islands of Sundarban

mangrove ecosystem, India.

Procedia Environmental Sciences

13 : 340 - 362.

Nybakken JW. 1992. Biologi Laut:

Suatu Pendekatan Ekologis.

Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama.

Wilkinson C and Salvat B. 2012.

Coastal Resource Degradation in

the tropics: Does the tragedy of

the commons apply for coral

reefs, mangrove forest and

seagrass beds. Marine Pollution

Bulletin 64: 1096-1105.