jurnal pengawasan · 2020-03-27 · 2 sistem pengendalian internal (coso, 2013) atau sistem...
TRANSCRIPT
JURNAL PENGAWASAN
ISSN 2686-2840
Jurnal Pengawasan terbit dua kali setahun (bulan September dan Maret) berisi artikel berupa
hasil penelitian dan hasil pemikiran/non penelitian (kajian analisis, aplikasi teori, review, research
comment) dalam lingkup pengawasan (termasuk di dalamnya governance, risk, control pada sektor
publik).
Penerbitan Jurnal Pengawasan dimaksudkan sebagai salah satu media pengembangan ilmu
di bidang pengawasan melalui penyebarluasan dan diskusi hasil penelitian, pemikiran dan gagasan
bagi para peneliti, akademisi, analis kebijakan, praktisi, dan pemerhati bidang pengawasan.
Pengarah:
Sekretaris Utama BPKP
Pemimpin Redaksi/Penanggung Jawab:
Kapuslitbangwas BPKP
Redaktur:
Agus Widaryanto
Jamason Sinaga
Mohamad Riyad
Rury Hanasri
Purwantoro
Dani Wirawan
Coenraad Rezky D.
Ida Siti Farida
Penyunting:
Chekat Fahmi Rosyadi
Nugroho Dwi Putranto
Ramondias Agustino
Eko Prasojo
Peer-Reviewers:
Dr. Arief Tri Hardiyanto, Ak., M.B.A.
Dr. Ayi Riyanto, Ak., M.Si.
Rudy Mahani Harahap, Ak., M.M., Ph.D.
Dr. Arief Hadianto, S.E., M.Ec.Dev.
Dr. Setya Nugraha, MIBA.
Dr. Felix Joni Darjoko, Ak., M.Ec.Dev. CFE.
Dr. Ilham Nurhidayat, Ak., CA., M.Ec.Dev., CSEP.
Dr. Cissy Fransisca Susanti, Ak., M.M.
Diterbitkan Oleh:
Pusat Penelitian dan Pengembangan
Pengawasan BPKP
Gedung BPKP Pusat Lantai 11
Jl. Pramuka No. 33 Jakarta 13120
Tel : (021) 85910031 Ext. 1124
Fax : (021) 85910161
Email : [email protected]
Website : www.bpkp.go.id/puslitbangwas.bpkp
JURNAL PENGAWASAN ISSN 2686-2840
Volume 2, Nomor 1 Maret 2020
DAFTAR ISI
Auditor Internal Pemerintah di Era Digital
Dayu Jati Sri Panuntun – 1
Does Press Highlights Moderate the Effect of the Quality of Internal Control Systems
on Disclosure in Local Government Financial Reports?
Farid Handoko – 8
Peta Risiko Manajemen Pemerintah
Mustofa Kamal – 22
Pengaruh Pengendalian Internal dan Gaya Kepemimpinan terhadap Kinerja Pegawai
Rieswandha Dio Primasatya, Muhammad Thaibi, Jarry Roy Buana Hutagahol, Erdiya
Vega Restiyantingrum – 41
Pengaruh Remunerasi, Motivasi Pegawai, dan Kinerja Pegawai terhadap Kinerja
Organisasi
Hadiyanto – 52
1
AUDITOR INTERNAL PEMERINTAH DI ERA DIGITAL
Dayu Jati Sri Panuntun
Perwakilan BPKP Provinsi Sumatera Selatan
email: [email protected]
Abstrak
Pemerintah Indonesia telah menerapkan e-Government dan layanan berbasis web, seperti e-
procurement, e-budgeting, e-ktp, dan e-audit. Kondisi ini menimbulkan risiko yang harus dikelola
untuk menjaga aset dari kejahatan cyber. Auditor internal pemerintah memiliki peran untuk
melakukan pengendalian internal (untuk memastikan bahwa tujuan organisasi tercapai) dan tata
kelola pemerintahan yang baik. Penelitian ini bertujuan untuk menguji permasalahan dan tantangan
yang dihadapi auditor internal dalam melakukan pengawasan pengelolaan Teknologi Informasi (TI)
di instansi pemerintah. Data yang digunakan adalah data primer dengan menggunakan kuesioner
kepada 56 responden yang tersebar di 36 unit lembaga auditor internal pemerintah
Indonesia. Penelitian ini menggunakan kombinasi metode penelitian kuantitatif yang didukung oleh
hasil wawancara. Penelitian menunjukkan bahwa walaupun diketahui betapa pentingnya
kemampuan dan keahlian TI dalam pelaksanaan tugas auditor internal pemerintah, namun kurangnya
perhatian organisasi dan rendahnya motivasi pegawai pemerintah membuat masih sedikit jumlah
auditor yang memiliki keterampilan dan pengetahuan di bidang Audit TI.
Kata kunci: Teknologi Informasi, e-government, internal auditor pemerintah
Abstract
The Government of Indonesia has implemented e-Government and web-based services, such as e-
procurement, e-budgeting, e-ID card, and e-audit. This condition creates risks that must be managed
to protect assets from cyber crime. Internal government auditors have a role to carry out internal
control (to ensure that organizational goals are achieved) and good governance. This study aims to
examine the problems and challenges faced by internal auditors in overseeing the management of
Information Technology (IT) in government agencies. The data used are primary data using a
questionnaire to 56 respondents spread across 36 units of the Indonesian government's internal
auditor. This study uses a combination of quantitative research methods supported by the results of
the interview. Research shows that although it is known how important the ability and expertise of
IT is in carrying out the duties of the government's internal auditors, the lack of organizational
attention and the low motivation of government employees make still a small number of auditors who
have skills and knowledge in the field of IT Audit.
Keywords: Information Technology, e-government, government internal auditor
1. PENDAHULUAN
Teknologi tidak hanya merevolusi cara
bisnis dan layanan di sektor swasta tapi juga di
instansi pemerintah. Beberapa penelitian
sebelumnya telah mengindikasikan bahwa
internet telah digunakan sebagai alat untuk
memperbaiki layanan dan efisiensi pemerintah,
terutama mengenai akses informasi (Grant,
2008; Sang et al., 2009). Di Indonesia, kemajuan
teknologi informasi dan komunikasi
memainkan peran penting dalam pelaksanaan
good governance, yang meliputi akuntabilitas
dan transparansi kinerja pemerintah dalam
bentuk e-Government, seperti e-procurement,
e-budgeting, dan e-audit.
Penggunaan teknologi informasi di sektor
publik juga menimbulkan risiko baru, terutama
terkait dengan risiko kejahatan cyber dan
keamanan aset pemerintah. Oleh karena itu,
pemerintah harus membentuk sistem kontrol
sebagaimana dinyatakan dalam Sistem
Informasi Akuntansi (SIA) dan auditing sebagai
2
sistem pengendalian internal (COSO, 2013) atau
sistem pengendalian manajemen (Malmi dan
Brown, 2008; Chenhall, 2003), dengan tujuan
untuk menjaga aset dan memberikan manajemen
informasi yang andal untuk pengambilan
keputusan sehingga organisasi dapat mencapai
tujuannya (COSO, 2013). Kontrol manajemen
hanya bekerja jika sistem data dan informasi
dapat diandalkan dan pengendalian internal
sangat penting untuk memastikan integritas
sistem lain, oleh karena itu pengendalian internal
sangat penting untuk membuat pengendalian
manajemen bekerja (Simmons,
1995). Hubungan antara teknologi informasi
(TI) dan kontrol, pada umumnya, adalah subjek
yang tidak diteliti dan hanya ada beberapa
kesimpulan yang diterima secara umum tentang
hubungan antara TI dan pengendalian
manajemen (Granlund et al., 2013; Berry et al.,
2009).
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini bertujuan untuk menguji
permasalahan dan tantangan yang dihadapi
auditor internal dalam melakukan audit TI di
instansi pemerintah.
Pendekatan dalam penelitian ini adalah
studi literatur yang dilengkapi dengan hasil
penyebaran kuesioner dan wawancara. Studi
literatur mencakup tantangan yang akan
dihadapi oleh auditor internal pemerintah serta
keterampilan profesional yang harus dimiliki di
era digitalisasi. Proses penelitian dilakukan
dengan menggunakan model snowball. Dimulai
dengan pengembangan teknologi informasi dan
komunikasi di sektor publik, seperti
implementasi e-Government, dan pusat
penelitian yang terkait dengan topik ini.
Penelitian ini meninjau artikel terpilih yang
dipublikasikan di jurnal akuntansi dan keuangan
antara tahun 2004 dan 2018 berdasarkan frasa
penelusuran yang dipilih terkait dengan
keterampilan dan kompetensi TI yang
diperlukan bagi profesional akuntansi. Analisis
konten mengenai kompetensi TI dan
pengembangan keterampilan dalam artikel dan
mengklasifikasikannya ke dalam sejumlah
bidang pengetahuan yang merangkum literatur
dalam artikel yang dipilih.
Penelitian juga dilakukan melalui
wawancara dan diskusi dengan 56 orang auditor
internal pemerintah di Indonesia, untuk
mencakup segala jenis masalah dan pemecahan.
Tujuan menggunakan focus group discussion
dalam penelitian adalah memperoleh sebanyak
mungkin informasi dari sekelompok pakar pada
topik tertentu. Hal ini dilakukan dengan
mendorong kelompok tersebut dengan topik
yang telah ditentukan sebelumnya dan
pertanyaan terbuka, memungkinkan diskusi
berkembang seputar pertanyaan terbuka ini, dan
memfasilitasi interaksi di antara para peserta.
Proses ini memungkinkan peserta untuk
menyisipkan pengamatan dan pemahaman
mereka sendiri sambil juga memberi makan
gagasan dari peserta lainnya. Menggunakan
focus group discussion memungkinkan peneliti
mengekstrak keahlian dan wawasan dari para
peserta. Focus group discussion sangat berguna
saat akses terhadap data terbatas dan ketika
peneliti menangani fenomena yang belum
terjelajahi dan yang muncul (Sutton et al., 2008;
O'hEocha et al., 2012).
Tabel 1. Profil Responden
Uraian Jumlah (%)
Jenis kelamin:
Pria
Wanita
47
9
83,90%
16,10%
Usia:
<30 tahun
31-40 tahun
41-50 tahun
> 50 tahun
19
25
7
5
33,90%
44,70%
12,50%
8,90%
Pendidikan:
Diploma
Bujangan
Pascasarjana
6
30
20
10,70%
53,60%
35,70%
Lama Masa Kerja:
<5 tahun
6-10 tahun
11-15 tahun
16-20 tahun
> 20 tahun
17
22
6
2
9
30,30%
39,30%
10,70%
3,60%
16,10%
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Teknologi informasi telah mengubah cara
penyimpanan dan pengolahan data transaksi.
Perkembangan teknologi membuat komputer
3
lebih cepat, efisien, mampu menyimpan memori
dalam jumlah besar dan mampu melakukan
perhitungan yang rumit. Hal ini sudah
dieksploitasi di berbagai bidang usaha, termasuk
di bidang akuntansi, komputer telah
memfasilitasi pelaksanaan akuntansi dan
penyusunan laporan keuangan.
Perbedaan dalam pengolahan karakteristik
secara manual dan pengolahan komputer
meliputi:
1. Lintasan transaksi (trails transactions)
Pengolahan manual sangat berbeda dengan
pengolahan komputer. Jejak transaksi
manual adalah dokumen berbentuk kertas
dengan daftar cek, tanda tangan, dan tanda
tanda tebal. Jejak pengolahan komputer
tidak muncul dalam bentuk kertas namun
tersedia dalam bentuk yang mudah dibaca
komputer.
2. Proses transaksi yang tidak seragam.
Pengolahan komputer menempatkan
transaksi serupa pada instruksi pemrosesan
yang sama. Sehingga menghilangkan
terjadinya kesalahan ketik yang biasanya
terjadi pada proses manual. Sebaliknya,
kesalahan proses komputer akan
mengakibatkan kesalahan seragam pada
transaksi yang sama.
Informasi dan Teknologi di Sektor Publik
Kemajuan komputer dan teknologi
informasi telah menjadi dorongan terbesar yang
mempengaruhi organisasi dalam beberapa tahun
terakhir (Said, 2004). Penggunaan teknologi
semakin mempermudah penyampaian layanan
yang berpotensi memberi manfaat bagi
pelanggan dan penyedia layanan (Walker et al,
2002).
Istilah e-Government muncul pada tahun
1999, namun kegiatan yang diacu jauh lebih tua
dan paralel dengan sejarah komputasi dalam
organisasi bisnis (Gronlund et al., 2006). E-
government adalah penggunaan teknologi
informasi dan komunikasi (TIK) untuk
mempromosikan pemerintahan yang lebih
efisien dan hemat biaya, memfasilitasi layanan
pemerintah yang lebih mudah, memungkinkan
akses informasi publik yang lebih besar, dan
membuat pemerintah lebih bertanggung jawab
kepada warga negara.
E-government tidak hanya memberikan
keuntungan seperti layanan cepat, murah, dapat
dipercaya, dan terpercaya bagi warga negara dan
bisnis, namun juga menawarkan potensi untuk
membentuk kembali sektor publik dan
mempermudah hubungan antara warga negara,
bisnis, dan pemerintah dengan memungkinkan
komunikasi terbuka, partisipasi, dan dialog
publik dalam merumuskan peraturan nasional
(Tan dan Subramaniam, 2005; Ke dan Wei,
2004).
Pemerintah Indonesia mewajibkan seluruh
instansi pemerintah pusat untuk menerapkan
Sistem Akuntansi Instansi (SAI), Sistem
Informasi Pengelolaan Barang Milik Negara
(SIMAK BMN), dan berbagai aplikasi lainnya.
Penggunaan aplikasi berbasis teknologi
juga diimplementasikan oleh pemerintah
daerah. Aplikasi pengelolaan keuangan untuk
pemerintah daerah cukup beragam, misalnya
Sistem Informasi Manajemen Daerah (SIMDA),
Sistem Informasi Manajemen Keuangan Daerah
(SIPKD), dan Sistem Informasi Manajemen
Keuangan Daerah (SIMKADA).
Perkembangan penggunaan aplikasi
berbasis teknologi informasi ini menimbulkan
banyak implikasi, seperti pengurangan dokumen
kertas dan memunculkan risiko baru terkait
dengan penggunaan sistem informasi.
Peran Auditor Internal Pemerintah
di Era Digital
The Institute of Internal Auditor's (IIA)
menegaskan bahwa tujuan auditor internal
adalah untuk membantu organisasi dalam
mencapai tujuannya. Hal ini dapat dilakukan
melalui peningkatan efektivitas manajemen
risiko (di mana risiko yang mengganggu
pencapaian tujuan organisasi menjadi fokus
utama), pengendalian internal (untuk
memastikan bahwa tujuan organisasi
diwujudkan), dan proses tata kelola (organisasi
tanpa tata pemerintahan yang baik menjadi
penghambat tercapainya tujuan organisasi).
Pengendalian atas teknologi informasi
mewakili kategori pengendalian internal yang
berbeda serta mendapat perhatian khusus dalam
publikasi profesional (misalnya, COSO dan
COBIT) dan standar audit (misalnya, Standar
Audit PCAOB No. 5, 2007). Perhatian khusus
4
ini diperlukan karena lingkungan
terkomputerisasi sering dikaitkan dengan salah
saji keuangan dan pelaporan keuangan yang
kurang andal (Messier et al., 2004; Curtis et al.,
2009).
Tantangan besar bagi auditor internal
pemerintah karena selain memiliki kemampuan
sebagai auditor, juga dituntut untuk memiliki
kemampuan dalam hal TI. Beberapa penelitian
menunjukkan bahwa sebagian besar organisasi
besar lebih memilih untuk menggunakan
layanan auditor yang memiliki kemampuan TI
dibandingkan dengan auditor tanpa keterampilan
TI. Hal ini sangat wajar karena penggunaan TI
begitu pesat dan sangat strategis dalam
perencanaan anggaran, implementasi, hingga
akuntabilitas.
American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA) memberikan perhatian
pentingnya pemahaman tentang TI dalam
standar untuk perencanaan, evaluasi risiko, dan
prosedur audit (AICPA, SAS 108-110, 2006a,
2006b, dan 2006c). PCAOB juga
merekomendasikan agar auditor harus memiliki
pemahaman tentang bagaimana organisasi
bergantung atau menyelenggarakan kegiatan
berbasis teknologi informasi; serta cara sistem
informasi digunakan untuk mencatat dan
memelihara informasi keuangan (PCAOB, QC
Section 40, 2003).
Tantangan yang dihadapi oleh auditor
internal pemerintah semakin tinggi ketika
penerapan TI dan e-Government meningkat
tanpa diikuti oleh pengendalian sistem yang
dapat melindungi aset dan informasi pemerintah
yang berharga. Risiko ini sangat besar dan perlu
ditangani sebagai bentuk tanggung jawab auditor
internal.
Menurut Webber (2000), ada beberapa
alasan mengapa auditor internal lebih
memperhatikan penggunaan organisasi
teknologi informasi antara lain:
1. Kerugian kebocoran data
Data telah menjadi sumber penting bagi
organisasi. Kehilangan data bisa
disebabkan oleh virus, kerusakan server,
hacker dan penyebab lainnya. Ini akan
menyebabkan kerugian organisasi dan
kemungkinan tuntutan pihak ketiga.
2. Mengurangi risiko kesalahan pengambilan
keputusan
Saat ini banyak organisasi telah
menggunakan teknologi informasi untuk
membantu pengambilan keputusan dengan
memanfaatkan penerapan Sistem
Pendukung Keputusan (DSS).
3. Penyalahgunaan komputer
Banyak kasus penipuan terjadi karena
penyalahgunaan akses langsung dan
online. Penyalahgunaan akses dan
kejahatan cyber oleh hacker ataupun
cracker dapat menyebabkan kerugian bagi
organisasi.
4. Kerugian atas kesalahan proses data
Kemampuan komputer untuk melakukan
proses kompleks telah dieksploitasi dalam
proses bisnis organisasi untuk
meminimalisasi terjadinya kesalahan
proses. Namun demikian tidak berarti
bahwa hal ini tanpa risiko, terutama jika
tidak ada pengujian awal dan pengujian
reguler.
5. Nilai Investasi TI Tinggi
Investasi yang dikeluarkan oleh organisasi
untuk pengembangan teknologi informasi
sangat besar. Audit sistem informasi dapat
meningkatkan efektifitas investasi di
bidang TI.
5
Tabel 2. Hasil Kuesioner Implementasi TI
Uraian Rendah Pertengahan Tinggi Total
Pengaruh penggunaan teknologi terhadap
kinerja instansi sektor publik
3,60% 12,50% 83,90% 100,00%
Tingkat pengaruh positif penggunaan
teknologi terhadap kinerja lembaga sektor
publik
1,80% 14,30% 83,90% 100,00%
Efek negatif penggunaan teknologi
terhadap kinerja lembaga sektor publik
25,00% 53,60% 21,40% 100,00%
Pengaruh penggunaan teknologi dalam
proses anggaran pemerintah
3,60% 5,30% 91,10% 100,00%
Pengaruh penggunaan teknologi terhadap
proses audit internal
5,30% 14,30% 46,40% 100,00%
Seberapa penting seorang auditor
pemerintah daerah memiliki ketrampilan
dan pengetahuan tentang audit TI
1,80% 3,60% 94,60% 100,00%
Hasil diskusi focus group discussion
menyatakan bahwa keterampilan TI sangat
dibutuhkan oleh auditor internal pemerintah saat
ini karena banyaknya kemunculan sistem
berbasis aplikasi di pemerintahan mulai dari
aplikasi perencanaan, administrasi, dan
pelaporan. Dengan mengetahui proses,
kelebihan, dan kelemahan sistem berbasis
aplikasi, auditor dapat menyederhanakan proses
pemantauan dan pengendalian sistem yang ada.
Jika auditor tidak memiliki pemahaman TI yang
memadai, maka proses audit tidak akan berjalan
lancar. Sebagaimana pernyataan dari responden:
“... pemanfaatan teknologi di sektor publik tentu
harus diikuti dengan meningkatkan kemampuan
TI auditor internal pemerintah.”
Permasalahan yang dihadapi oleh auditor
internal pemerintah di Indonesia antara lain:
1. Penggunaan audit berbasis TI di Indonesia
belum berjalan optimal karena adanya
keterbatasan sumber daya (man, machine,
and money).
Rendahnya kemampuan TI auditor internal
pemerintah membuat risiko penggunaan
informasi dan teknologi di instansi
pemerintah semakin tinggi. Pemerintah
perlu lebih memperhatikan peningkatan
kualitas auditor internal mereka. Untuk
mengatasi masalah ini, salah seorang
responden menyampaikan:
“... sebuah sertifikasi audit TI wajib
diperlukan bagi auditor internal
pemerintah”.
2. Kurangnya dukungan pemerintah, seperti
fasilitas dan program pelatihan audit TI.
Berdasarkan penelitian ini, hanya 12,5%
dari responden menyatakan bahwa lembaga
sangat mendukung kesempatan pelatihan
bagi auditor, 60,7% jarang, dan 26,8% tidak
mendukung. Masalah ini perlu dapat diatasi
jika pemerintah memiliki komitmen yang
kuat, seperti salah seorang responden
menyampaikan:
“... pemerintah harus memprioritaskan
pelaksanaan audit TI mereka, fasilitasi
dengan dana yang memadai dan pelatihan
bagi auditor mereka”.
3. Rendahnya kemampuan dan pengetahuan
aplikasi audit yang berbasis teknologi.
Hasil responden menunjukkan bahwa 1,8%
selalu menggunakan aplikasi audit dalam
pekerjaan mereka, 1,8% sering, 16,1%
jarang, dan 80,4% tidak pernah
menggunakannya. Hasil ini juga sesuai
dengan hasil survey bahwa hanya 8,9% dari
responden yang dapat menggunakan
aplikasi audit. Masalah ini dapat diatasi jika
lembaga lebih peduli dengan pelatihan yang
berkesinambungan dan pendidikan bagi
auditor mereka.
6
4. Kendala dalam memiliki sertifikasi auditor.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa 50%
responden menyatakan bahwa kendala
memiliki sertifikasi auditor adalah karena
tingginya biaya, 16,1% karena mereka tidak
tahu manfaat dari sertifikasi, 16,1% merasa
sertifikasi yang tidak mendukung kinerja
mereka, 12,5% kurangnya motivasi, dan
5,4% karena sulitnya ujian.
4. KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
penggunaan teknologi informasi dapat
meningkatkan kinerja dan memiliki dampak
positif lebih dari dampak negatif. Penggunaan TI
juga mendukung pengelolaan anggaran dan
pelaksanaan internal audit pemerintah.
Auditor internal membutuhkan beberapa
keterampilan dan pengetahuan tentang teknologi
dan praktik audit. Memanfaatkan teknologi
informasi untuk memastikan kualitas informasi
yang relevan dengan keputusan, serta
memastikan kepatuhan terhadap undang-
undang, peraturan, dan kebijakan, tinggi dalam
agenda perusahaan (Rikhardsson and Dull,
2016).
Hasil penelitian juga menunjukkan bahwa
meskipun kemampuan dan keahlian TI
diperlukan dalam pelaksaan tugas auditor
internal pemerintah, namun masih terdapat
kendala berupa kurangnya perhatian organisasi
serta rendahnya motivasi dari auditor internal
pemerintah yang mengakibatkan masih
sedikitnya jumlah auditor internal pemerintah
yang memiliki keterampilan dan pengetahuan di
bidang Audit TI.
Sesuai dengan komitmen Pemerintah
Indonesia terhadap e-Government, penggunaan
TI dalam pengelolaan keuangan negara / daerah
merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan.
Dengan meningkatnya penggunaan TI di instansi
pemerintah maka akuntabilitas dari pengguna
anggaran dan pemahaman tentang TI oleh
auditor adalah suatu keharusan. Lembaga
auditor internal pemerintah harus mulai
memetakan risiko pengelolaan TI dan
memberikan perhatian lebih untuk
meningkatkan kompetensi audit berbasis TI.
Ucapan Terima Kasih
Penulis mengucapkan terima kasih kepada
seluruh instansi auditor internal pemerintah serta
para responden atas segala kontribusi yang
diberikan terutama dalam hal data empiris dan
gagasan dalam penelitian ini.
5. REFERENSI
American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA). 2006a. Planning
and Supervision. Statement of Auditing
Standards No. 108. AICPA, New York,
NY.
American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA). 2006b.
Understanding the Entity and Its
Environment and Assessing the Risks of
Material Misstatement. Statement of
Auditing Standards No. 109. AICPA, New
York, NY.
American Institute of Certified Public
Accountants (AICPA). 2006c. Performing
Audit Procedures in Response to Assessed
Risks and Evaluating the Audit Evidence
Obtained. Statement of Auditing Standards
No. 110. AICPA, New York, NY
Berry, A.J., Coad, E.P., Harris, A.F., Otley, D.T.,
Stringer, C. 2009. Emerging themes in
management control: a review of recent
literature. The British Accounting Review,
41 (1), 2–20.
Chenhall, R. 2003. Management control systems
design within its organisational context:
findings from contingency-based research
and directions for the future. Accounting,
Organization and Society, 28, 127–168.
Commitee of Sponsoring Organizations of the
Treadway Commission (COSO). 2013.
Internal Control — Integrated Framework.
Curtis MB, Jenkins JG, Bedard JC, Deis DR.
2009. Auditors' training and proficiency in
information systems: a research synthesis.
Journal Information System, 23(1), 79–96.
Granlund, M., Mouritsen, J., Vaassen, E., 2013.
On the relations between modern
information technology, decision making
and management control. International
Journal of Accounting Information
Systems, 14 (4), 275–277.
7
Grant, J. P. 2008. Electronic Government for
Developing Countries. ICT Applications
and Cybersecurity Division, Policies and
Strategy Department. ITU
Telecommunication Development Sector,
International Telecommunication Union
(ITU). Geneva. Gronlund, A., Andersson, A., and Hedstrom, K.
2006. Right on Time: Understanding e-
Government in Developing Countries.
International Federation for Information
Processing, Volume 208, Social Inclusion:
Societal and Organizational Implications
for Information Systems, eds. Trauth, E.,
Howcroft, D., Butler, T., Fitzgerald, B.,
DeGross, J., (Boston: Springer), pp. 73-87.
Ke, W., & Wei, K. 2004. Successful E-
Government in Singapore.
Communications of the ACM, 47(6), 95-99.
Malmi, T., & Brown, D.A. 2008. Management
control systems as a package—
opportunities, challenges and research
directions. Management Accounting
Research, 19 (4), 287–300. Messier Jr, W.F., Eilifsen, A., & Austen, L.A.
2004. Auditor detected misstatements and
the effect of information technology.
International Journal of Auditing, 8, 223–
35.
Miklos A, Vasarhelyi., Michael Alles., Siripan
Kuenkaikaew., James Littley. 2012. The
acceptance and adoption of continuous
auditing by internal auditors: A micro
analysis. International Journal of
Accounting Information Systems 13, 267-
281.
O'hEocha C, Wang X, Conboy K. 2012. The use
of focus groups in complex and pressurised
IS studies and evaluation using Klein &
Myers principles for interpretive research.
Information Systems Journal, 22 (3), 235-
256.
Pall Rikhardsson and Richard Dull. 2016. An
exploratory study of the adoption,
application and impacts of continuous
auditing technologies in small business.
International Journal of Accounting
Information Systems, 20, 26-37.
Public Company Accounting Oversight Board
(PCAOB). 2003. The personnel
management element of a firm's system of
quality control competencies required by a
practitioner-in-charge of an attest
engagement. Quality Control Standards
Section No. 40. PCAOB, Washington, D.C.
Public Company Accounting Oversight Board
(PCAOB). 2007. Auditing Standard No. 5
— an audit of internal control over
financial reporting that is integrated with
an audit of financial statements. Available
online at http://pcaobus.org.
Said, A. G., (2004). Computer Technology
Acceptance Success Factors in Saudi
Arabia: An Exploratory Study. Journal of
Global information Technology
Management, 7(1), 5-29.
Sang, S., Lee, J. D., & Lee, J. 2009. E-
government adoption in ASEAN: The case
of Cambodia. Internet Research, 19(5),
517-534.
Simons, R., 1995. Levers of Control. Harvard
Business School Press, Boston MA. Sutton SG, Khazanchi D, Hampton C, Arnold V.
2008. Risk analysis in an extended
enterprise environment: identification of
key risk factors in B2B e-commerce
relationships. Journal of the Association for
Information Systems, 9(3–4), 153–76.
Tan, W. & Subramaniam, R. 2005. E-
government: Implementation Policies and
Best Practices from Singapore. Electronic
Government Strategies and
Implementation, 305-324.
Walker, H. R., Margaret, C-L., Hecker, R., &
Francis, H. (2002). Technology-enabled
service delivery: An investigation of
reasons affecting customer adoption and
rejection. International Journal of Service
Industry Management, 13(1), 91-106.
Webber, R. 2000. Information System Controls
and Audit. New Jersey: Prentice-Hall.
8
DOES PRESS HIGHLIGHTS MODERATE THE EFFECT OF THE QUALITY OF
INTERNAL CONTROL SYSTEMS ON DISCLOSURE IN LOCAL
GOVERNMENT FINANCIAL REPORTS?
Farid Handoko
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
email: [email protected]
Abstrak
Banyak faktor yang diyakini memengaruhi pengungkapan keuangan pemerintah secara sukarela. Di
antaranya adalah dukungan sistem dan liputan pers. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
menyelidiki pengaruh kualitas sistem pengendalian internal terhadap pengungkapan dalam laporan
keuangan pemerintah daerah dan efek langsung dan moderasi dari sorotan pers pada hubungan antara
kualitas sistem dan pengungkapan tersebut. Studi ini juga menganalisis pengaruh perbedaan dalam
beberapa karakteristik lokal pada hubungan tersebut. Studi ini menerapkan metode analisis regresi
dua langkah dimoderasi untuk 1.310 sampel pemerintah daerah di Indonesia selama periode tahun
2010 - 2013. Temuan empiris menunjukkan bahwa untuk ukuran yang berbeda dari pemerintah
daerah, kualitas sistem pengendalian internal memengaruhi pengungkapan keuangan dalam berbagai
cara. Namun, secara keseluruhan, kami tidak menemukan bukti yang menunjukkan bahwa kualitas
sistem pengendalian internal memengaruhi pengungkapan keuangan. Temuan penelitian ini juga
menunjukkan bahwa sorotan pers secara langsung memengaruhi pengungkapan. Pengaruh pers yang
moderat terhadap hubungan antara kualitas sistem pengendalian internal dan pengungkapan
keuangan terlihat di kota/kabupaten kecil maupun di kota besar. Ada penelitian lain yang telah
meneliti efek langsung pers terhadap pengungkapan; dengan demikian, penelitian ini berkontribusi
pada literatur yang ada dengan memberikan bukti empiris efek moderasi dari sorotan pers.
Kata kunci: laporan keuangan pemerintah daerah, pengungkapan keuangan, kualitas sistem
pengendalian internal, sorotan pers
Abstract
Many factors are believed to affect government’s financial voluntary disclosure. Among these are
system endorsement and press coverage. The objective of this study is to investigate the effect of the
quality of internal control systems on disclosure in the local government’s financial report and the
direct and moderating effect of press highlights on the relationship between the quality of such
systems and disclosure. This study also analyses the effect of the differences in some local
characteristics on this relationship. This study applies the two-step moderated regression analysis
method to 1,310 firm-year samples of local government in Indonesia during the period 2010 - 2013.
The empirical findings show that for different sizes of local government, the quality of the internal
control system affects financial disclosure in different ways. However, overall, we find no evidence
to show that the quality of internal control systems affects financial disclosure. This study’s findings
also show that press highlights directly affect disclosure. Moderating effect of press on the
relationship between the quality of internal control systems and financial disclosure is visible in the
small cities/ regencies as well as in the big ones. There are other studies that have investigated the
direct effect of press on disclosure; thus, this study contributes to the existing literature by providing
empirical evidence of the moderating effect of press highlights.
Keywords: local government financial report, financial disclosure, internal control system quality,
press highlight
9
1. INTRODUCTION
Disclosure of information by government
bodies may vary depending on the objectives to
be achieved and the expected benefits. Basically,
disclosure in financial reports consists of
mandatory disclosure which is aimed at fulfilling
compulsory requirements and voluntary
disclosure that is made if expected profits exceed
the costs to be borne [1, 2].
There have been numerous studies on the
disclosure of information in government
financial reports and their determinants.
Although these studies investigate the direct
influence of various factors on disclosure, none
of them use the quality of internal control
systems as a variable capable of affecting
disclosure.
The objective of this study is to analyze the
influence of internal control systems on
voluntary disclosure in local government
financial reports and the moderating effect of
press highlights on this influence in local
government financial reports. This study also
examines whether these effects differ based on
different government characteristics.
Compared to previous studies, this study
differs in terms of (1) using the quality of
internal control systems as a variable with a
possible effect on disclosure, (2) examining the
moderating effect of press highlights on the
relationship between the quality of internal
control systems and disclosure, (3) treating the
variables of local government size, regional
prosperity, local government wealth, and local
government type used in previous research, as
characteristics that differentiate one local
government from another. These characteristics
reportedly affect the relationship between the
quality of internal control systems and disclosure
and the moderating effects of press highlights.
We examine the effect of these differences
between characteristics by using split files.
This study is important because to the best
of our knowledge, no other study has examined
the relationship between the quality of internal
control systems and disclosure. In the context of
Indonesia, in general, the quality of local
government financial reports is poor. This can be
seen from the number of such reports that were
not deemed unqualified opinion. The lack of
good financial reports is also marked by many
findings of internal control system weaknesses.
This study is also important to show to what
extent the press influences local governments to
deliver more public information through
financial reporting. Some studies have shown a
positive influence of the press on disclosure [3-
5] while other have shown a negative effect [6].
This study does not support the hypothesis
that the quality of internal control systems
affects disclosure positively. However, it is
shown that the size of local government has an
impact on how the quality of internal control
systems affect disclosure. In a small local
government, the effect is positive whereas in
large local governments, the effect is negative.
This study provides empirical evidence to show
that press highlights moderate negatively the
influence of the quality of internal control
systems on disclosure. An analysis of the
moderating influence of differences in various
local conditions, shows mixed results. In small
as well as in large local governments, press
highlights strengthen existing relationships.
Meanwhile, in low- and high-prosperity, and in
rich and less rich local governments, and in
regencies and cities, press highlights weaken
existing relationships.
By providing empirical evidence, this study
contributes to the existing literature in the
following ways. First, it shows the effect of press
highlights in moderating the influence of the
quality of internal control systems on disclosure
in local government financial reports. Previous
studies have only explained the direct impact of
press highlights on disclosure. Secondly, in
contrast with studies examining the direct
relationship of various variables to disclosure,
this study examines how the effect of these
variables, treated as local characteristics, vary
from one government to another.
From the government's point of view,
despite the existence of information delivery
regulation, governments may be reluctant to
publicly disclose information that supposed to be
private information, unless there is a request for
such information [7]. However, if there is
stakeholders’ attention to non-compliance with
disclosure regulation, then disclosure will be
affected [7]. The consistency or inconsistency of
10
disclosure of information under existing
regulations will affect the political sphere
because disclosure is often associated with
perceptions of corruption and good governance
[7]. Therefore, governments will try to meet
public disclosure requirements, to maintain the
perception of good governance practices. On the
other hand, governments with good news tend to
deliver this to the public, through various signals
[8].
It is the need for monitoring and signaling
that will lead to differences in information
disclosure in financial reports. Different need of
effective monitoring of governments will result
in different accounting and auditing needs, so
that monitoring needs will affect quality of
required financial report [9]. Meanwhile,
signaling needs can improve the quality of the
financial information delivered because
governments need to convey their good
performance information to stakeholders [9].
Thus, the need for monitoring and signaling
improves the quality of the financial information
delivered [9].
Gibbins, Richardson, and Waterhouse [10]
define financial disclosure as "any sort of
deliberate release of financial (and non-
financial) information, whether numerical or
qualitative, required or voluntary, or via formal
or informal channels." The full disclosure
principle requires the disclosure of all
circumstances and events that can make a
difference to users of financial reports.
Information in financial reports can be classified
as mandatory disclosure and voluntary
disclosure. Mandatory disclosure is about
complying with existing regulations while
voluntary disclosures are made by management
to, among others, gain a competitive advantage
[1]. The extent of disclosure in financial reports
is reflected in how much information can be
obtained from the report.
Disclosure through financial reporting not
only overcomes agency problems between agents
(governments) and principals (voters) through
monitoring [11], but also influences decision-
making by stakeholders of governments [12-18].
Despite these benefits, governments will not
make voluntary disclosure if such disclosure does
not provide greater benefits than its associated
costs [2].
The Effect of Internal Control Systems on
Disclosure
In Indonesia, the government financial
statements are audited by the Audit Board of the
Republic of Indonesia (BPK). To obtain
reasonable assurance that financial statements
are free from material misstatements, the the
quality of internal control system and
compliance with laws are also tested. The audit
opinion is based on an assessment of conformity
with Government Accounting Standards,
adequacy of disclosure, compliance with laws
and regulations, and effectiveness of the
implementation of internal control systems.
An organization's internal control system is
designed to provide reasonable assurance that
the financial reporting is reliable [19-21].
Internal control systems evaluation reports
provide information on the extent to which
existing internal control systems adequately
provide such guarantees. Although BPK's audit
report does not offer an opinion on the
effectiveness of internal control system
implementation, findings of the system's
weaknesses point to the quality of internal
control systems.
If the system has weaknesses, the
information in financial statements may not be
reliable. Furthermore, if the existing internal
control system is unable to provide reliable
information, governments will not have much
reliable information to be disclosed in their
financial reports. Thus, a poor internal control
system will prevent governments from making
wider disclosures.
In relation to voluntary disclosure,
governments may choose to suspend such
disclosure if the internal control system audit
report shows many weaknesses in the system. As
Martani and Lestiani [22] state, many findings
reflect poor quality of financial statements that
will hinder more disclosures. Governments tend
to reduce disclosure when they have problems in
their financial accountability [22]. Owing to the
belief that "quality audit opinion is bad news"
[23], governments will suspend voluntary
disclosure of bad news to avoid losing voter
11
support. Based on the theoretical understanding
as outlined above, this study proposes following
hypotheses:
H1a: The quality of internal control
systems has a positive effect on disclosure in the
financial report.
Direct and Moderating Effect of Press
Highlights
Increased media attention is believed to
lead to increased public awareness of certain
issues [24]. Therefore, the media can influence
public perception and attention to certain issues
[24]. Given such media capabilities, government
is compelled to explain, answer, or refute
specific issues related to government. Gandia [5]
shows that public media play a role in
encouraging government to inform the public
about the programs and daily activities of
government as well as government performance.
This is in line with Zimmerman's [25] assertion
that in terms of agency issues between voters and
politicians, media acts as a driving force for
government to disclose broader information to
meet press requests for information and even as
a rebuttal.
H2: Press highlights has a positive has a
positive effect on disclosure in the financial
report.
As mentioned above, government will
deliver broader information when press
highlights become more dominant. Since a
reliable internal control system will generate
reliable information, government will attempt to
improve the quality of internal control systems.
Thus, the presence of press highlights will affect
positively the role of internal control systems in
providing reliable financial information. This
gives us our next hypothesis:
H3a: Press highlights moderate positively
the influence of the quality of internal control
system on disclosure in financial reports.
Effect of Differences in Local Characterictics
Since differences in local characteristic
could lead to different effects this study argues
that such differences will result in different
effects of the quality of internal control systems
on disclosure in financial reports and in different
moderating effects of press highlights. This
study examines the differences of those effects
based on regional characteristics such as size of
local government, regional prosperity, local
government wealth, and local government type.
Larger governments generally have more
programs and services for their people and also
spend more [26]. According to Styles and
Tennyson [26], this increases stakeholders’ need
for monitoring and thereby increases the demand
for information on government performance,
and government spending accountability.
Laswad, Fisher, and Oyelere [4], Styles and
Tennyson [26], Cinca, Tomás, and Tarragona
[27], and Gandia [5] state that local prosperity
affects disclosure. This is because an increase in
such prosperity is usually accompanied by an
increase in the demand for information [5, 27].
A community with higher level of prosperity will
have stronger purchasing power, including needs
for information. Therefore, in areas with high
levels of prosperity, local governments will see
more requests for monitoring and accountability
[5, 26]. In addition, local prosperity has an effect
on disclosure because prosperity can be
associated with government performance, so
governments will disclose more information
about the prosperity as a signal of their success
[4, 5].
Rich local governments will convey more
information as a signal that the government has
performed well [4, 5]. Delivering such signals is
intended to increase the chances of current heads
of the regency/the mayor to be re-elected [4, 5],
as well as to decrease the probability of
attracting negative opinion [28]. Besides, rich
governments have the opportunity to convey
more information because there are many
resources available to produce such information
[6]. Although governments will only provide
voluntary information if it is perceived that its
benefit exceeds its cost [2], for rich
governments, the cost-benefit tolerance of
disclosure will be looser compared with
governments with limited resources.
There are differences in the characteristics
of cities compared with regencies, in terms of
access to information and communication
between the government and its community.
Martani and Lestiani [22] argued that a city has
stronger economic characteristics than a regency
12
because most cities have better infrastructure
and educational facilities, implying people have
better access to and use more channels of
information than people outside the urban area.
In addition, urban community interactions are
more intensive than those in the outside urban
areas [4]. According to Laswad, Fisher, and
Oyelere [4], a high intensity of interaction
among urban voters becomes an incentive for
urban communities to come together to monitor
and influence local government.
The direct influence of local government
size, regional prosperity, local government
wealth, and type of local government on
disclosure, as proven by previous studies,
explains why the different characteristics of
local government can lead to differences in
disclosure. This study argues that local
government characteristics also lead to different
effects of the relationship between the quality of
internal control systems and disclosure because
to produce broader and reliable information, one
needs the support of reliable internal control
systems. Such differences in characteristics also
has consequences for the moderating effects of
press highlights. This gives us the following
hypotheses:
H1b: The influence of the quality of
internal control systems on disclosure in large
local governments differs from that in small
ones.
H3b: The moderating effect of press
highlights on the influence of the quality of
internal control systems on disclosure in large
local governments differs from that in small
ones.
H1c: The influence of the quality of internal
control systems on disclosure in areas with high
prosperity differs from those in areas with low
prosperity.
H3c: The moderating effects of press
highlights on the influence of the quality of
internal control systems on disclosure in areas
with high prosperity differs from those in areas
with low prosperity.
H1d: The influence of the quality of
internal control systems on disclosure in rich
local governments differs from that in poor local
governments.
H3d: The moderating effects of press
highlights on the influence of the quality of
internal control systems on disclosure in rich
local governments differs from those in poor
local governments.
H1e: The influence of the quality of internal
control systems on disclosure in city
governments differs from that in regencies.
H3e: The moderating effects of press
highlight on the influence of the quality of
internal control systems on disclosure in city
governments differs from those in regencies.
2. RESEARCH METHODOLOGY
This study uses data for the period 2010 -
2013. The population is all of 491 cities and
regencies governments in Indonesia. Thus, the
total number of potential observation units is
1,964. Sample selection is done using the
purposive sampling method and the criterion
used is local government regency/city with
complete data in each year. Therefore, 617
missing values, as well as 37 of outliers, were
excluded from the observations. So, the number
of observations in this study was 1310. Table 1
gives details of the sample selection procedures.
The data have been collected from several
data sources such as the local government’s
audited financial reports; Summary of
Examination Results of The Audit Board;
Region in Figures published by the Central
Bureau of Statistics of Indonesia; and official
mass media sites. For media sources, we looked
at daily newspapers registered at the Indonesian
Press Council in 2013 and which had official
website. We searched for information about
local governments on Google.
TABLE 1. SAMPLE SELECTION PROCEDURES
Number of local governments in 2013 505
Number of local governments that did not submit financial reports in 2012 and 2013 (newly established)
(14)
Number of local governments observed 491
Number of years (2010 to 2013) 4
Number of potential observations (491 x 4) 1,964
Missing values (617)
Available data for observation 1,347
Outliers (37)
Number of observations used 1,310
13
Research Model
Our model studied two main relationships:
(1) the influence of the quality of internal control
systems on disclosure in local government
financial reports, and (2) the moderating effect
of press highlights on the influence of the quality
of internal control systems on disclosure. The
first relationship was tested to prove Hypothesis
1a. The second relationship was tested to prove
Hypothesis 2 and 3a. The research model used to
test these relationships were as follows:
DISCit = γ0 + γ1 ICQit + eit (1)
DISCit = γ0 + γ1ICQit + γ2PRESSit +
γ3ICQit*PRESSit + eit (2)
where:
DISC = disclosure score of local
government financial report, measured by
number of voluntary disclosure items.
ICQ = quality of internal control sytems,
measured by log of inverse of number of internal
control weaknesses found. Using this
measurement means that increasing number of
internal control system weaknesses means
decreasing ICQ value, implying poorer internal
control system. It will cause a decrease in the
number of disclosure items (DISC).
PRESS = press highlights, measured by the
log of the number of news items in selected
press websites in which the local government
was mentioned.
Besides testing these two relationship, this
study also investigated and analyzed the effect of
differences arising from different characteristics
of local government, such as size of local
government, regional prosperity, local
government wealth, and type of local
government. To examine the effect of these
differences on existing relationships, we
performed tests using model 1 to prove
Hypothesis 1b, 1c, 1d, and 1e, and model 2 to
prove Hypothesis 3b, 3c, 3d, and 3e. Local
government characteristics were measured in the
following way: (1) local government size was
measured by log of total revenue, (2) prosperity
was measured by log of per capita income, (3)
local government wealth was measured by log of
per capita local own-source revenue, and (4)
local government type was categorized as
regency and city.
Test of Hypotheses
To test the research model, we used the
Moderated Regression Analysis (MRA) method.
This is a two-step method, where the first step is
to test the direct effect of the quality of internal
control systems and the second is to test the
impact of the moderating influence of press
highlights on this effect. According to Hartman
and Moers [29], the moderating effect of a
variable can be seen from significant changes of
the R-square value between a model that tests the
effect of direct variables (model 1) and a model
that tests the effect of a moderating variable
(model 2). Meanwhile, to examine the effect of
the different characteristics, we use the subgroup
regression analysis test of the MRA method.
Using this method, the presence or absence of
the differences of the effects of the direct or
moderating impact owing to different
characteristics can be seen from the magnitude
of the coefficient of the difference of influence
[29], which in this case, is the influence of the
quality of internal control systems on disclosure.
Data grouping based on local characteristics
was conducted by using the split file. This
allowed us to divide the data into two groups; the
dataset that is smaller than the average was
coded 0 and the one that greater than the average,
1. For region type, code 0 was assigned to
regency and code 1 to city.
3. RESULTS AND DISCUSSION
Table 2 provides an overview of the data
and characteristics of the regency and city used
in this study. In general, the level of disclosure
lagged far behind expectations. The maximum
number of voluntary disclosure points was 18
items of the 25 analyzed, while the minimum
number was 5. On average, local government
financial reports met 12 items of disclosure. This
indicates that local governments have less effort
to make broader disclosure. The average number
of internal control system weaknesses was high.
The sample shows that the highest number of
such weaknesses in one year in one regency/city
was 33. Thus, the quality of implementation of
internal control systems in local government
remained poor. Some regencies almost escaped
press attention. In one year, one regency
appeared only once in the official online media,
14
while other regencies/cities received a lot of
press attention. The average regional revenue of
a regency/city was Rp968.21 billion. The highest
regional revenue in one year was Rp6,119.24
billion and the lowest, Rp282.56 billion. In one
regency/city, the per capita income was well
above the average of Rp22.86 million per year.
The maximum per capita income touched
Rp450.27 million per year. Meanwhile, some
other regency/city had a per capita income that
was far below the average. The lowest per capita
income of people in a regency/city was Rp3.04
million per year. The average per capita own-
source revenue was Rp209,824.99.
TABLE 2. CHARACTERISTICS OF LOCAL GOVERNMENT
Description Minimum Maximum Mean
Number of Voluntary Disclosure Items
5 18 12
Number of Internal
Control Weakneses
2 33 11
Number of News Items 1 2,441 191
Local Government’ s
Total Revenue
(Rp000,000)
282,565.20 6,119,246.75 968,218.82
Per Capita Gross Domectic Product
(Rp000)
3,035.27 450,273.42 22,857.48
Per Capita Own-Source Revenue (Rp)
19,445.42 5,486,724.64 209,824.99
Table 3 depicts the correlation among
variables used in this study. The largest
correlation value of 0.572 was in the relationship
between disclosure (DISC) and quality of
internal control systems (ICQ), but it was not
significant. Only the relationship between
disclosure (DISC) and press highlights (PRESS)
was significant. The correlation value was 0.120,
which gives some indication of the relationship
among the variables.
TABLE 3. MATRIX OF CORRELATION AMONG VARIABLES
DISC ICQ PRESS
DISC
Pearson Correlation 1 0.016 0.120**
Sig. (2-tailed) 0.572 0.000
N 1,310 1,310 1,310
ICQ
Pearson Correlation 0.016 1 0.025
Sig. (2-tailed) 0.572 0.365
N 1,310 1,310 1,310
PRESS
Pearson Correlation 0.120** 0.025 1
Sig. (2-tailed) 0.000 0.365
N 1,310 1,310 1,310
**. Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).
DISC=disclosure score of local government financial report;
ICQ=internal control quality; PRESS=press highlights.
The Effect of the Quality of Internal Control
Systems on Disclosure
Table 4 shows the test results of the direct
effect of the quality of internal control systems
(ICQ) on disclosure (DISC) in model 1. The
coefficient of this variable was 0.174 and was
statistically insignificant. This result rejects
Hypothesis 1a. This means that the existing
internal control system does not support broader
disclosure in government financial reports.
There is no difference in local government
disclosure given different levels of the quality of
internal control system. The decreasing number
of internal control system weaknesses can not be
proven to drive local governments to disclose
more.
The results of this study raises a question
about the number of internal control system
weaknesses as a proxy for the quality of internal
control systems. If as suggested by Martani and
Lestiani [22] that the number of weaknesses is
more representative of the quality of auditors,
then the quality of internal control systems of a
local government cannot drive the local
government to make a broader disclosure. That
local governments have unreliable internal
control systems is evident from an evaluation of
the Financial and Development Supervisory
Board (BPKP) [30]. The result shows that the
maturity of internal control systems in 104 local
governments in 2015 was generally low [30], as
detailed in Table 5.
TABLE 4. MODEL 1 TEST RESULT
Expected
Sign
Model 1
Coefficients Sig.
Constant 11.530 0.000
ICQ + 0.174 0.572
R Square 0.000
F Test Sig. 0.572
Dependent Variable: DISC
15
TABLE 5. MATURITY OF LOCAL GOVERNMENT’S INTERNAL
CONTROL SYSTEMS
No Maturity Level Number of Local
Government
1. Undefined 5 2. Initial 54
3. Developing 36
4. Defined 4 5. Managed -
6. Optimum -
In line with the result of BPKP’s
assessment, this study demonstrates that internal
control systems in local governments have not
been sufficiently supportive in providing reliable
and broader information for local government
financial reports. With almost all local
government has a low internal control maturity
level as seen in Table 5, the difference between
the local government which is high maturity with
low maturity becomes invisible.
The Effect of Differences in Local
Characterictics on the Relationship between
the Quality of Internal Control Systems and
Disclosure
Table 6 shows the test results of the direct
influence of the quality of internal control
systems on disclosure for two groups of local
governments with different sizes. The value of
the constant in the relationship is 10.463 for
small local governments and 12.838 for large
ones. Meanwhile, the coefficient for the variable
of direct influence is equal to 1.240 with
significance level of 0.002 in small local
governments, and (-1.098) with significance
level of 0.019 in the large ones. Both
significance values are smaller than 0.05,
indicating that the coefficients are statistically
significant.
TABLE 6. TEST RESULT, DIFFERENCES IN EFFECTS OF LOCAL CHARACTERICTICS ON THE RELATIONSHIP BETWEEN THE QUALITY OF
INTERNAL CONTROL SYSTEMS AND DISCLOSURE
Local Characterictics
Size Prosperity Government Wealth Type
Coeff. Sig.
Coeff. Coeff.
Sig.
Coeff. Coeff.
Sig.
Coeff. Coeff.
Sig.
Coeff.
Small/Low/Regency
Constant 10.463 0.000 11.440 0.000 11.446 0.000 11.398 0.000
ICQ 1.240 0.002 0.188 0.647 0.167 0.685 0.264 0.451
R Square 0.013 0.000 0.000 0.001
F Test Sig. 0.002 0.647 0.685 0.451
Big/High/City
Constant 12.838 0.000 11.580 0.000 11.551 0.000 12.009 0.000
ICQ -1.098 0.019 0.215 0.643 0.270 0.562 -.150 0.813
R Square 0.009 0.000 0.001 0.000
F Test Sig. 0.019 0.643 0.562 0.813
Dependent Variable: DISC
Fig. 1. Differences in Effects of Local Characterictics on the
Relationship between Quality of Internal Control Systems and Disclosure
The result shows that in the group of small
local governments, the quality of internal control
systems has a positive effect on disclosure in
local government financial reports. On the other
hand, in the group of large local governments,
the quality of internal control systems affects
disclosure negatively. The different effects of the
quality of internal control systems on disclosure
in the two groups of local governments of
different sizes prove that there is an influence of
size differences of local government on the
relationship between the quality of internal
control systems and disclosure. The effect of
differences is illustrated in Figure 1. From the
degree and direction of slope, the effect of
differences between the two groups of local
(40,000)
(20,000)
-
20,000
40,000
60,000
80,000
- 10,0 20,0 30,0 40,0
D
i
s
c
l
o
s
u
r
e
Internal Control System Quality
All Small Big
16
governments is very clear. Thus, Hypothesis 1b
is proven.
To say that this result shows that there is no
influence of the quality of internal control
systems on disclosure is not entirely correct.
Only in the group of small local governments, is
disclosure positively influenced by the quality of
internal control systems; it does not apply to the
group of large local governments. The different
effects in the two different groups of government
size shows that an increase in government size is
not always accompanied by an increase in efforts
to make broader disclosure through the
development of better internal control systems.
In the group of small local governments, an
improvement in internal control systems leads to
more informative financial reports. Meanwhile,
the opposite occurs in the group of large local
governments. In the group of small local
governments, the result is consistent with that of
Martani and Lestiani [22], who state that the
number of weaknesses in internal control can be
the basis of recommendations for better
disclosure. The difference between the two
groups demontrated by this study is not in line
with Styles and Tennyson [26]. According to
them, larger governments will generally have
more programs and services that will improve
monitoring by stakeholders and increase demand
for information about government performance
and government spending accountability that
will ultimately increase disclosure [26].
Evidence that in the group of small governments,
improving the quality of internal control systems
may encourage broader disclosure, and vice-
versa in the group of large governments,
improving the quality of internal control systems
inhibits broader disclosure, is an interesting
phenomenon that should be explored further.
The constant value of the influence of
internal control quality on disclosure is 11.440 in
the group with low prosperity and 11.580 in the
group with high prosperity. The coefficient of
the direct influence variable is 0.188 with a
significance level of 0.647 in the group of low
prosperity and 0.215 with a significance level of
0.643 in the group of high prosperity. Since the
significance values are greater than 0.05, these
coefficients are not statistically significant.
These test results indicate that in groups of low
or high prosperity, the quality of internal control
systems has no effect on disclosure. Thus,
Hypothesis 1c which states that differences in
prosperity affect this relationship is rejected.
According to Gandia [5] and Styles and
Tennyson [26], a community with a high level of
prosperity will have strong purchasing power,
including for obtaining information. This study
does not support that opinion. The absence of
broader disclosure in local government financial
reports may be an indication that wealthier
people have sufficient information about local
government performance through other media
outside the local government financial report.
Similar to differences in regional
prosperity, differences in local government
wealth and regional types do not affect
differences in the impact of the quality of
internal control systems on disclosure. The test
results show insignificant values of the
coefficient. Thus, Hypothesis 1d and 1e are
rejected. According to Ingram [6], rich local
governments have the opportunity to deliver
more information because they have many
resources to do that just as they do to build a
reliable internal control system. However, this
study does not support this view. The study also
does not support Laswad, Fisher, and Oyelere [4]
who suggested that urban voter communities
have stronger incentives to form coalitions and
to monitor government than rural societies.
The Direct and Moderating Effect of Press
Highlights on the Relationship between the
Quality of Internal Control Systems and
Disclosure
The Hypothesis 2 states that press
highlights positively effect disclosure in
financial statements. Table 7 shows the
coefficient of the direct influence of press
highlights on disclosure to be 0.390 with a
significance level of 0.000. This indicates that
press highlights influence disclosure. This result
is in line with Smith [3], Laswad, Fisher and
Oyelere [4], and Gandia [5]. The media is proven
to play a role as a driving force for government
to disclose more information [25, 3]. This
evidence explains that the press encourages
government to provide broader information to
the public.
17
Meanwhile, the effect of press highlights as
a moderating variable statistically can be seen
from a significant R-square change in the
relationship between the quality of internal
control systems and disclosure, as shown in
Table 7. The table shows the R-square and R-
square change values in the relationship before
and after including the press highlights variable
as a moderating variable. The R-square value in
the initial model (model 1) is 0.000. After
including the press highlights variable, the value
is 0.015. The R-square change value is 0.014
with a significance level of 0.000. This indicates
that the value of R-square change is significant.
The significant value of R-square change
indicates that the new variable has a moderating
effect. The moderating effect of press highlights
can be illustrated, as shown in Figure 2. The
figure depicts a line showing this relationship
before and after the presence of the moderating
variable. However, the presence of moderating
variable does not affect the influence of the
quality of internal control systems on disclosure.
This result does not support Hypothesis 3a.
TABLE 7. MODERATION TEST RESULTS
Model Coeffici
ents
Sig.
Coeff.
R
Square
Change Statistics
R-
Square
Change
Sig.
Change
1 Constant 11.530 0.000
0.000 0.000 0.572 ICQ 0.174 0.572
2
Constant 10.823 0.000
0.015 0.014 0.000 ICQ 0.140 0.646
PRESS 0.390 0.000
3
Constant 16.304 0.000
0.017
ICQ 0.178 0.563
PRESS 0.507 0,000
SIZE 0.685 0.004
PROSPERITY -0,636 0.001
WEALTH 0.137 0.438
TYPE 0.300 0.027
Dependent Variable: DISC
Fig. 2. Moderating Effect of Press Highlights on the
Relationship between the Quality of Internal Control Systems and Disclosure
Differences in the Effect of Local
Characterictics on the Moderating Effect of
Press Highlights
Table 8 shows values of R-square and R-
square change in the model showing the
relationship between the quality of internal
control systems and disclosure before and after
including press highlights in two groups with
different regional characteristics. In the group of
small government, the value of R-square in the
initial model is 0.013. After including the press
highlights variable, the value is 0.022. The value
of R-square change is 0.009 with a significance
level of 0.010. Meanwhile, in the group of large
governments, the magnitude of R-square in the
initial model is 0.009 and becomes 0.045 after
the press highlight variable is included. The
value of R-square changes is 0.036 with a
significance level of 0.000.
In the group of small governments, the
coefficient of the variable for the direct
relationship of the quality of internal control
systems and disclosure is 1.240 with a
significance level of 0.002 whereas the
coefficient of the variable for the influence of the
quality of internal control system on disclosure
in the presence of press highlights is 1.268 with
a significance level of 0.002. In the group of
large governments, the coefficient for the direct
effect variable is (-1.098) with a significance
level of 0.019 while the coefficient of the
variable including the moderating effect of press
highlight is (-1.123) with a significance level of
0.014. All coefficients of the variable for the
18
influence of the quality of internal control
systems on disclosure in the two different groups
of government size are significant before and
after taking account the moderating effect.
The test results in both groups indicate that
press highlights moderate the relationship
between the quality of internal control systems
and disclosure. The coefficient values change
and the changes are significant (see significant
changes in R-square values). A significant
moderating effect and differences in coefficient
values prove that the moderating effects between
the two groups of government size are different.
Thus, statistically, Hypothesis 3b is proven.
In both groups, press highlights strengthen
the relationships between the quality of internal
control systems and disclosure. However, in the
group of small government, given the presence
of press highlights, internal control systems are
instrumental in ensuring financial reports with
broader disclosure. In the group with large
governments, the presence of stronger press
highlights reduces the role of internal control
systems in generating broader disclosure. This
may be because of the presence of strong press
highlights pushing governments to prioritize
broader disclosure to respond to press
information needs rather than to financial
reporting needs. As can be seen from the test
results, the direct effect of press highlights on
disclosures in the group of large governments is
stronger than in the group of small ones.
In the group with low and high prosperity,
the R-square Change value is significant.
Similarly, the R-square Change value in
different local government wealth and in
different types of government produce is
significant. However, the presence of press as
moderating variable does not affect the influence
of the quality of internal control systems on
disclosure. These results do not support
Hypothesis 3c, 3d, and 3e.
TABLE 8. TEST RESULTS OF THE DIFFERENCES IN THE EFFECTS OF LOCAL CHARACTERICTICS ON THE MODERATING EFFECTS OF PRESS
HIGHLIGHTS
Model
Size Prosperity
Coeff. Sig.
Coeff. R Square
Change Statistics
Coeff. Sig.
Coeff. R Square
Change Statistics
R-Square
Change
Sig.
Change
R-Square
Change
Sig.
Change
Small/
Low/
Regency
1 Constant 10.463 0.000
0.013 0.013 0.002 11.440 0.000
0.000 0.000 0.647 ICQ 1.240 0.002 0.188 0.647
2
Constant 9.904 0.000
0.022 0.009 0.010
10.787 0.000
0.014 0.014 0.002 ICQ 1.268 0.002 0.129 0.752
PRESS 0.322 0.010 0.402 0.002
Big/
High/
City
1 Constant 12.838 0.000
0.009 0.009 0.019 11.580 0.000
0.000 0.000 0.643 ICQ -1.098 0.019 0.215 0.643
2
Constant 11.198 0.000
0.045 0.036 0.000
10.894 0.000
0.012 0.012 0.008 ICQ -1.123 0.014 0.178 0.700
PRESS 0.756 0.000 0.353 0.008
Model
Government Wealth Type
Coeff. Sig.
Coeff. R Square
Change Statistics
Coeff. Sig.
Coeff. R Square
Change Statistics
R-Square
Change
Sig.
Change
R-Square
Change
Sig.
Change
Small/ Low/
Regency
1 Constant 11.446 0.000
0.000 0.000 0.685 11.398 0.000
0.001 0.001 0.451 ICQ 0.167 0.685 0.264 0.451
2
Constant 10.965 0.000
0.008 0.008 0.018
10.782 0.000
0.012 0.011 0.001 ICQ 0.112 0.784 0.212 0.542
PRESS 0.301 0.018 0.371 0.001
Big/
High/ City
1 Constant 11.551 0.000
0.001 0.001 0.562 12.009 0.000
0.000 0.000 0.813 ICQ 0.270 0.562 -0.150 0.813
2
Constant 10.664 0.000
0.020 0.020 0.001
10.972 0.000
0.019 0.019 0.022 ICQ 0.237 0.607 -0.108 0.865
PRESS 0.450 0.001 0.439 0.022
Dependent Variable: DISC
Model1 Predictors: Constant, ICQ
Model2 Predictors: Constant, ICQ, PRESS
19
4. CONCLUSION
We can draw the following conclusions
from this study: Firstly, this study does not
provide supporting evidence to show that local
governments tend to do more disclosures when
the internal control system is successful in
ensuring efficiency and effectiveness of
activities, asset safeguards, regulatory
compliance, and reliable reporting. The study
does not prove that local governments reduce
disclosure when faced with problems in financial
accountability. However, an interesting
phenomenon was observed when we conducted
a test for different sizes of local government. In
the group of small governments, the quality of
internal control systems influenced disclosure
positively while in the group of large
governments, the effect was negative. Secondly,
the number of press highlight on local
governments is more likely to encourage broader
disclosure. Media presence has encouraged
governments to disclose information in greater
quantities. The presence of strong press
highlights prompted the government to make
broader disclosures in order to answer the press
information needs. Thirdly, the test for
differences in the moderating influence of press
highlights on various conditions shows mixed
results. In both groups of government size, the
moderating effect of press highlights
strengthened existing relationships. Meanwhile,
in groups of low and high prosperity, rich and
less rich local governments, and in group of
regencies and cities, press highlights does not
have any effect.
This study has several limitations as
follows: Firstly, data on disclosure and press
highlights are obtained using content analysis
techniques. Data thus obtained has the potential
to produce differences among different studies.
Secondly, the items of voluntary disclosure in
this study are adopted from previous research at
government agencies in Australia. In the
Indonesian context, these items have not been
tested as information needed to be disclosed in
financial reports. Thirdly, some local mass
media do not have official online sites. Thus,
news about local government in such media are
not included in this study.
This study brings some implications. This
study provides a new understanding about the
influence of press highlight. The press highlight
not only has the power to directly influence
disclosure, but in small cities/ regencies it also
has the moderating effect on the influence of the
quality of internal control system on disclosure.
So, press can be utilized to directly influence or
to moderate the role of internal control system
for broader disclosure in local government
financial report. Such strategy can encourages
local government to improve its internal control
system as well as its financial accountability.
However, it should be conducted selectively
since the influence can be vary depend on
characteristics of local government.
We offer the following suggestions for
future research: firstly, to develop data
collection techniques that can overcome the
problem of ambiguity that may arise from the
use of content analysis techniques, both for
disclosure and for press news; secondly, to
develop voluntary disclosure items that are
relevant to the conditions in the country in which
the study; thirdly, to develop a technique of
settling the number of news items, for more
accurate data of press highlights; fourthly, to
conduct deep analysis to identify the factors that
cause differences in the effect of the quality of
internal control systems on disclosure in small
and large local governments.
5. REFERENCES
[1] S. A. Murni. “Pengaruh luas ungkapan
sukarela dan asimetri informasi terhadap
cost of equity pada perusahaan publik di
Indonesia,” Jurnal Riset Akuntansi
Indonesia, vol. 7, no. 2, pp. 192–206, 2004.
[2] S. Heitzman, C. Wasley, and J. Zimmerman.
“The joint effects of materiality thresholds
and voluntary disclosure incentives on
firms’ disclosure decisions,” J. Account.
Econ. vol. 49, pp. 109–132, 2010.
[3] K. A. Smith. “Voluntarily reporting
performance measures to the public: A test
of accounting report from U.S. cities,” Int.
Public Manag. J. vol. 7, p. 19, 2004.
[4] F. Laswad, R. Fisher, and P. Oyelere.
“Determinants of voluntary internet
financial reporting by local government
20
authorities,” J. Account. Public Policy. vol.
24, pp. 101–121, 2005.
[5] J. L. Gandía, and M. C. Archidona.
“Determinants of web site information by
Spanish city councils,” Online Inform. Rev.
vol. 32, pp. 35–57, 2008.
[6] R. W. Ingram. “Economic incentives and the
choice of state government accounting
practices,” J. Account. Res., vol. 22, pp.
126–134, 1984.
[7] S. Djankov, R. La Porta, F. Lopez-de-
Silanes, and A. Shleifer. “Disclosure by
politicians,” Am. Econ. J. Appl. Econ. vol.
2, pp. 179–209, 2010.
[8] W. R. Scott, Financial Acconting Theory,
7th ed. Toronto: Pearson, 2015.
[9] J. H. Evans III, and J. M. Patton. “Signalling
and monitoring in public-sector
accounting,” J. Account. Res., vol. 25, pp.
130–158, 1987.
[10] M. Gibbins, A. Richardson, and J.
Waterhouse. “The management of
corporate financial disclosure:
opportunism, ritualism, policies, and
processes,” J. Account. Res., vol. 28, pp.
121–143, 1990.
[11] M. C. Jensen and W. H. Meckling, “Theory
of the firm: managerial behaviuor, agency
cost and ownwership structure,” J. Financ.
Econ. vol. 3, pp. 305–360, 1976.
[12] J. L. Reck and E. R. Wilson. “Information
transparency and pricing in the municipal
bond secondary market,” J. Acc. Public
Policy. vol. 25, 1–31, 2006.
[13] W. R. Baber and A. K. Gore. “Consequences
of GAAP disclosure regulation: evidence
from municipal debt issues,” Acc. Rev.
May. vol. 83, p. 565, 2008.
[14] T. Bui and S. Sankaran. “E-disclosure of
financial information and the capacity to
borrow,” Acad. Acc. Financ. Stud. J. vol.
13, 2009.
[15] L. M. Fairchild and T. W. Koch. “The
impact of state disclosure requirements on
municipal yields,” Natl. Tax J., Dec. vol.
51, p. 733, 1998.
[16] A. K. Gore. “The effects of GAAP
regulation and bond market interaction on
local government disclosure,” J. Account.
Public Policy. vol. 23, pp. 23–52, 2004.
[17] M. Tayib, H. M. Coombs, and J. R. M.
Ameen. “Financial reporting by Malaysian
local authorities,” Intl Jnl Public Sec
Management. vol. 12, pp. 103–121, 1999.
[18] H. Danaee Fard and A. A. Anvary Rostamy.
“Promoting public trust in public
organizations: explaining the role of public
accountability,” Public Organ. Rev. vol. 7,
pp. 331–344, 2007.
[19] Committee of Sponsoring Organizations of
the Treadway. Commission (COSO).
”Internal Control.–Integrated Framework,”
1992.
[20] INTOSAI. “Guidelines for Internal Control
Standards for the Public Sector,” Brussels,
2004.
[21] Republic of Indonesia. “Peraturan
Pemerintah Republik Indonesia Nomor 60
Tahun 2008 tentang Sistem Pengendalian
Intern Pemerintah,” 2008.
[22] D. Martani and A. Lestiani, “Disclosure in
Local Government Financial Statements the
Case of Indonesia,” Global Review of
Accounting and Finance, vol. 3, pp. 67 – 84,
2012.
[23] A. J. McLelland and G. Giroux. “An
empirical analysis of auditor report timing,
by large municipalities,” J. Account. Public
Policy. vol. 19, pp. 263–281, 2000.
[24] N. Brown and C. Deegan. “The public
disclosure of environmental performance
information--a dual test of media agenda
setting theory and legitimacy theory,” Acc.
Bus. Res.. vol. 29, pp. 21–41, 1998.
[25] J. L. Zimmerman. “The municipal
accounting maze: an analysis of political
incentives,” J. Account. Res. vol. 15, pp.
107–144, 1977.
[26] A. K. Styles and M. Tennyson. “The
accessibility of financial reporting of U.S.
municipalities on the internet,” Journal of
Public Budgeting, Accounting & Financial
Management. vol. 19, p. 56–92, 2007.
[27] C. Serrano-Cinca, M. Rueda-Tomás, and P.
Portillo-Tarragona,” Factors Influencing e-
Disclosure in Local Public
Administrations,” DTECONZ-03,
Universidad de Zaragoza, 2008.
21
[28] I. Gallego-Álvarez, L. Rodríguez-
Domínguez and I. García-Sánchez.
“Information disclosed online by Spanish
universities: content and explanatory
factors,” Online Inform. Rev. vol. 35, pp.
360–385, 2011.
[29] F. G. H. Hartmann and F. Moers. “Testing
contingency hypotheses in budgetary
research: an evaluation of the use of
moderated regression analysis,” Acc.
Organ. Soc. vol. 24, pp. 291–315, 1999.
[30] Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP). “Laporan
Pembinaan Penyelenggaraan SPIP pada
Kementerian/Lembaga dan Pemerintah
Daerah,” 2006.
22
PETA RISIKO MANAJEMEN PEMERINTAH
Mustofa Kamal
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP dan FH Unida
email: [email protected]
Abstrak
Penilaian risiko telah menjadi mandat bagi instansi pemerintah, namun sesuai hasil monitoring BPKP
per 28 Juni 2019 masih ada 60,19% yang belum mampu melakukannya. Penelitian ini bertujuan
untuk menilai risiko dan memberi contoh pemetaan risiko di manajemen pemerintah. Metode
penelitian kualitatif dilakukan melalui studi literatur, studi normatif dan studi prospektif. Penilaian
skala likelihood dan impact risiko manajemen pemerintah dilakukan oleh 121 peserta pelatihan
dalam focus group discussion. Peserta pelatihan menilai, secara prospektif, skala likelihood dan
impact atas risiko yang teridentifikasi. Hasil penelitian menunjukkan ada 72 risiko manajemen
pemerintah teridentifikasi dan dianalisis. Nilai risiko tertinggi adalah 10,56 ada di perencanaan
berupa “Intervensi politik agar dokumen perencanaan jangka pendek dibuat berdasarkan kemauan
sesaat para anggota legislatif dan eksekutif tanpa melihat dokumen perencanaan jangka menengah
dan jangka panjang”. Peta risiko manajemen pemerintah dapat dibuat melalui matriks analisis risiko
dengan hasil berupa 4 peringkat penanganan. Ada 3 risiko masuk dalam prioritas penanganan
pertama, 15 risiko masuk penanganan yang kedua, 11 risiko masuk penanganan yang ketiga, dan 43
risiko masuk penanganan keempat. Hasil penelitian ini menjadi masukan di bidang akademik
terutama tentang kajian penilaian risko sektor publik. Selain itu, implikasi hasil penelitian di bidang
praktik adalah instansi pemerintah perlu mempertimbangkan risiko tertinggi dalam penilaian risiko
di unit organisasinya serta merancang penanganan yang tepat.
Kata kunci: manajemen, level risiko, peta risiko
Abstract
Risk assessment has become a mandate for government agencies, but according to the results of
BPKP monitoring as of June 28, 2019 there are still 60.19% who have not been able to do it. This
study aims to assess risk and provide examples of risk mapping in government management. The
qualitative method is done through literature studies, normative studies and prospective studies. The
assessment of the likelihood scale and the risk of government management was carried out by 121
trainees in a focus group discussion. Trainees assess, prospectively, the likelihood and impact scale
of the identified risks. The results showed that 72 government management risks were identified and
assessed. The highest risk value of 10.56 in planning in the form of "political intervention so that
short-term planning documents are made based on the willingness of the legislative and executive
members without looking at medium-term and long-term planning documents". Government
management risk maps can be made through a risk analysis matrix with the results in form of the
rank handling four. There are 3. risks enter in the priority or first handling, 15 risks enter in the
second handling, 11 risks enter in the third handling, and 43 risks enter in the forth handling. The
results of this study provide input in the academic field, especially on the study of public sector risk
assessment. In addition, the implication of the results of research in the field of practice is that
government agencies need to consider the highest risk in risk assessment in their organizational units
and design appropriate measures.
Keywords: management, risk level, risk map
23
1. PENDAHULUAN
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia
nomor 60 tahun 2008, disingkat PP 60/2008,
tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah,
disingkat SPIP, telah memberi mandat kepada
instansi pemerintah untuk membangun SPIP.
Namun hasil monitoring (BPKP, 2019) sampai
dengan 28 Juni 2019 menunjukkan maturitas
SPIP dari Kementerian/Lembaga/Pemerintah
Daerah, disingkat KLPD, masih ada yang
dibawah level 3 sebanyak 60,19% atau 378 dari
628 KLPD. Ada yang level 2 sebanyak 233,
level 1 sebanyak 94, level 0 sebanyak 12 dan
yang belum dinilai sebanyak 3 KLPD.
Analisis atas hambatan capaian maturitas
SPIP tersebut antara lain berupa pemerintah
daerah belum memahami esensi sub unsur SPIP
dan tidak dapat segera melengkapi bukti-bukti
pendukung (BPKP, 2019). Sedangkan penilaian
risiko merupakan salah satu unsur SPIP. Kondisi
ini mencerminkan bahwa masih ada 60,19%
KLPD yang belum mampu memahami dan
melakukan penilaian risiko.
Secara umum risiko dapat diartikan sebagai
suatu keadaan yang dihadapi oleh seseorang atau
organisasi dimana terdapat kemungkinan yang
merugikan atau konsekuensi penyimpangan atas
hasil yang ingin dicapai (LKPP 2016). Risiko
juga dapat merupakan sebagai suatu kejadian
yang mungkin terjadi dan apabila terjadi akan
memberikan dampak negatif pada pencapaian
tujuan instansi pemerintah (PP 60/2008). Oleh
karena itu risiko harus dinilai dan dikelola
dengan baik.
Dalam rangka penilaian risiko, PP 60/2008
mengungkap bahwa Pimpinan Instansi
Pemerintah wajib melakukan identifikasi risiko
dan analisis risiko. Identifikasi risiko dapat
dilaksanakan dengan menggunakan metodologi
yang sesuai untuk tujuan Instansi Pemerintah
dan tujuan pada tingkatan kegiatan secara
komprehensif serta mekanisme yang memadai
untuk mengenali risiko dari faktor eksternal dan
faktor internal.
Sedangkan analisis risiko dilaksanakan
untuk menentukan tingkat kemungkinan
keterjadian dan dampak dari risiko yang telah
diidentifikasi terhadap pencapaian tujuan
Instansi Pemerintah. Salah satu tujuan kegiatan
intansi pemerintah yang diungkap di PP 60/2008
adalah pencapaian kegiatan yang efisien dan
efektif.
Metode identifikasi risiko dapat mencakup
pemeringkatan (ranking activities) secara
kualitatif dan kuantitatif, pembahasan pada
tingkat pimpinan, prakiraan dan perencanaan
strategis, serta pertimbangan terhadap temuan
audit dan evaluasi aparat pengawasan intern
pemerintah (PP60/2008).
Organisasi juga dapat mengembangkan
proses identifikasi risiko dengan menggunakan
kombinasi dari survai internal, wawancara
dengan berbagai karyawan dan asistensi dari
konsultan (Bugall dkk, 2015). Di samping itu,
organisasi juga dapat menggunakan 2 cara untuk
identifikasi risiko yaitu dengan cara prospektif
dan cara retrospektif. Risiko prospektif adalah
identifikasi risiko yang belum terjadi, tetapi
mungkin terjadi beberapa waktu yang akan
datang (BPKP 2010). Identifikasi risiko
prospektif dapat dilakukan dengan metode
antara lain survei staf atau klien untuk
identifikasi isu atau problem yang diantisipasi
(BPKP 2009).
Sedangkan cara retrospektif adalah
identifikasi risiko dari peristiwa/insiden yang
sebelumnya pernah terjadi. Sumber informasi
risiko retrospektif dapat berupa antara lain
laporan audit, daftar insiden, media profesional
(BPKP 2010). Hal tersebut mengungkap bahwa
insiden/laporan audit/media profesional yang
pernah terjadi di instansi pemerintah dapat
menjadi sumber informasi risiko yang perlu
dirancang penanganannya.
Organisasi juga dapat mengadopsi The
Committee of Supporting Organizations of the
Treadway Commission’s (COSO’s) enterprise
risk management (ERM) model (Venter, 2007).
Sementara itu, Nurharyanto (2013) mengungkap
terminologi penilaian risiko ini sama dengan
pemetaan risiko.
Salah satu peneliti yang menggunakan
pendekatan ERM dalam pemetaan risiko adalah
Wiryani dkk (2013). Hasilnya mengungkap
bahwa peta risiko dibuat melalui pengukuran
risiko berdasarkan probabilitas dan dampaknya.
Dalam upaya penyusunan peta risiko,
organisasi juga dapat menggunakan focus group
discussion atau FGD untuk menilai risiko
(Wiryani dkk, 2013; Irawan dkk; 2015).
24
Sementara Kamal (2018) menilai likelihood dari
risiko fraud manajemen di aspek planning,
organizing, actuating dan controlling dengan
melibatkan peserta pelatihan sebagai penilai.
Selanjutnya, beberapa penelitian
sebelumnya terkait dengan penilaian risiko di
sektor swasta, BUMN, dan pemerintah disajikan
di tabel 1.
Tabel 1. Penelitian Sebelumnya tentang Penilaian Risiko di Sektor Swasta, BUMN, Pemerintah
Peneliti Objek penelitian Metode penelitian Hasil penelitian
Di sektor swasta dan BUMN
Venter, AC
(2007)
Pengadaan Deskriptif dengan studi
literatur
Matrik risiko fraud pengadaan berdasarkan
The COSO’s ERM – Integrated Framework
dapat dikembangkan untuk membangun
manajemen risiko fraud pengadaan.
Wiryani
dkk (2013).
Industri
penyamakan
kulit
deskriptif melalui studi
kasus, wawancara, focus
group discussion (FGD)
dan pengamatan
Peta risiko dibuat melalui pengukuran
probabilitas risiko dan dampaknya. Hasilnya
ada 2 risiko diperingkat tertinggi yaitu risiko
“ketergantungan pada key person” dengan
nilai risiko 25 dan risiko “kesalahan
penanganan bahan berbahaya/tidak terpakai’
dengan nilai risiko 20.
Utami dkk
(2013)
Proses bisnis
GraPARI
Kualitatif dan
kuantitatif melalui studi
literatur, studi lapangan
dan brainstorming
dengan pendekatan
Fault Tree Analysis
112 risiko dengan peringkat di peta risiko; 33
risiko harus diberikan usulan tindakan
korektif, 14 risiko tidak harus diberikan
tindakan korektif dan 65 risiko lainnya harus
dilakukan penilaian dengan
mempertimbangkan nilai deteksi.
Wijaya, A
(2014)
Perusahaan
Wanda Putra
Kencana
Surabaya
Deskriptif melalui
observasi dan
wawancara
Penerapan fraud risk management diharapkan
dapat meminimalkan fraud. Penerapannya
dapat dilakukan melalui analisis lingkungan
internal, identifikasi risiko, penilaian risiko,
pemetaan risiko dan pengelolaan risiko.
Irawan dkk
(2015)
Pengeboran di
wilayah aset 5
PT Pertamina
Analisis pengukuran
dan pemetaan risiko
mengacu pada Godfrey
(1996). Teknik yang
digunakan; observasi,
wawancara, kuesioner,
studi pustaka dan FGD
24 risiko dengan peringkat di peta risiko; 8
risiko pada tingkat ekstrim, 5 risiko tinggi, 5
risiko sedang, dan 6 risiko rendah.
Di sektor pemerintah
Sukrawan
dan
Winarno
(2013)
Proyek alih daya
teknologi
informasi di
Badan
Pemeriksa
Keuangan
(BPK)
Deskriptif dengan studi
literatur dan wawancara
dengan pendekatan
Project Management
Body of Knowledge
(PMBOK)
Perencanaan penerapan manajemen risiko
belum ada.
Risiko yang cukup tinggi kemungkinan
keterjadian dan dampaknya berupa; tidak ada
analisis kebutuhan user, waktu pengerjaan
yang berlarut-larut, dan kualifikasi staf
vendor tidak sesuai syarat.
Faizana
dkk (2015)
Bencana tanah
longsor di Kota
Semarang
Deskriptif dengan
analisis data sekunder
dan primer
Peta risiko dengan peringkat: 15 kelurahan
pada 475,127 hektar dengan tingkat risiko
tinggi, 10 kelurahan pada 323,141 hektar
dengan tingkat risiko sedang, dan 8 kelurahan
pada 126,003 hektar dengan tingkat risiko
rendah.
25
Peneliti Objek penelitian Metode penelitian Hasil penelitian
Alfian
(2015)
Pengadaan
barang dan jasa
pemerintah
(PBJP)
Deskriptif dengan studi
literatur dan observasi
lapangan audit
66 uraian risiko fraud PBJP.
Pertiwi dkk
(2016)
Proyek
Pembangunan
Underpass Gatot
Subroto
Denpasar
Kualitatif dan
kuantitatif dengan
tahapan; identifikasi
risiko, penilaian risiko
dan risk maping
83 risiko dengan 2 peringkat tertinggi di peta
risiko; level extrime risk ada 25 risiko dan
high risk ada 26 risiko.
Kamal
(2018)
Planning,
Organinizing,
Actuating &
Controlling
(POAC)
Manajemen
Pemerintah
Kualitatif dengan studi
literatur dan survai
dengan responden
peserta 83 peserta diklat
Peringkat likelihood risiko fraud di
manajemen pemerintah. Hasilnya 8 risiko
fraud di POA dengan level sering terjadi.
31 risiko fraud di POAC dengan level pernah
terjadi.
Kamal dan
Tohom
(2019)
Risiko fraud
pengadaan
pemerintah
Kualitatif dengan survai
kepada 53 responden
auditor, pelaku
pengadaan dan trainer
pengadaan
Peringkat likelihood risiko fraud pengadaan
pemerintah. Hasilnya; ada 5 risiko dengan
level likelihood “sering terjadi”, 54 risiko
“kadang terjadi” dan 7 risiko “hampir tidak
terjadi”.
Sumber: hasil olah data beberapa jurnal
Dari beberapa penelitian sebelumnya
tersebut, penelitian tentang peta risiko
manajemen pemerintah belum ada. Hal ini
menunjukkan ada peluang penelitian untuk
memperkaya literasi tentang penilaian risiko
manajemen pemerintah. Oleh karena itu,
beberapa pertanyaan penelitian berikut ini layak
untuk dijawab, yaitu:
1. Bagaimana cara menilai risiko manajemen
pemerintah?
2. Bagaimana cara memetakan risiko
manajemen pemerintah?
3. Risiko manajemen pemerintah apa saja
yang menduduki peringkat tertinggi?
Sedangkan tujuan penelitian ini adalah untuk
menilai risiko dan memberikan contoh bentuk
peta risiko manajemen pemerintah yang
menyajikan peringkat risiko dan cluster
peringkat penanganannya.
2. METODE PENELITIAN
Metode penelitian ini adalah kualitatif
melalui studi literatur, studi normatif dan studi
prospektif dengan menggunakan data primer dan
sekunder. Arikunto (2014) mengungkapkan
bahwa data primer berupa, antara lain, data
verbal dari informan yang berkenaan dengan
penelitian. Data sekunder berupa data yang
diperoleh dari dokumen grafis dan lain-lain yang
dapat memperkaya data primer.
Temuan penelitian kualitatif tidak diperoleh
melalui prosedur statistik (Gunawan 2015).
Studi prospektif digunakan untuk analisis risiko
manajemen di aspek planning, organizing,
actuating dan controlling atau POAC (Kamal,
2018) melalui FGD (Wiryani dkk, 2013; Irawan
dkk, 2015).
Studi prospektif berguna untuk menemukan
kecenderungan dan arah perkembangan suatu
kasus. Tindak perbaikan tidak harus dilakukan
oleh peneliti, tetapi oleh orang lain yang
kompeten (Rahardjo 2017). Proses penelitian
dapat dijelaskan di gambar 1.
Proses penelitian (gambar 1) dimulai
dengan identifikasi risiko manajemen
pemerintah dengan menggunakan informasi
yang disajikan oleh Sujarwo (2014) dalam
modul manajemen risiko sumber daya organisasi
di pelatihan jabatan fungsional auditor muda.
Kriteria likelihood dan impact ditentukan dengan
acuan tambahan dari modul manajemen risiko
sektor publik (BPKP, 2015). Kriteria ini akan
dituangkan dalam format “penilaian risiko” yang
disiapkan penulis. Level risiko dinilai secara
ordinal, dengan skala 1 sampai dengan 5
(BPKP, 2015) baik untuk penilaian level
likelihood maupun level impact.
26
Gambar 1. Proses Penelitian
Level risiko manajemen pemerintah
diperoleh melalui hasil perkalian antara level
likelihood dan level impact dan dikumpulkan
dalam daftar level risiko manajemen pemerintah.
Selanjutnya, daftar level risiko ini dievaluasi
untuk membuat peringkat level risiko dari yang
tertinggi sampai dengan yang terendah. Daftar
peringkat level risiko ini menjadi sumber
informasi untuk membuat peta risiko manajemen
pemerintah.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Ada 72 risiko operasional di manajemen
pemerintah teridentifikasi dari Sujarwo (2014).
Risiko ini terbagi dalam aspek planning,
organizing, actuating dan controlling
(Lampiran 1). Risiko-risiko tersebut merupakan
risiko yang umum atau bersifat generik di
instansi pemerintah baik pusat maupun daerah.
Risiko akan dianalisis melalui FGD oleh
121 peserta pelatihan yang terbagi dalam 4
kelas yang berbeda waktu. Data demografi
peserta di 4 pelatihan tersebut disajikan di tabel
2.
Tabel 2. Data demografi peserta FGD
Nama Pelatihan Mata Diklat
saat FGD
Menurut Jenis Kelamin Menurut Umur
Laki-
laki
Perem
puan
Jumlah ≤ 40
th
> 40
th Jumlah
Manajemen Risiko di
Pusdiklat Mahkamah
Agung Bogor
Analisis dan
Evaluasi Risiko
14 Maret 2019
18 11 29 11 18 29
Sertifikasi JFA Ahli BPKP
di Pusdiklatwas BPKP
Bogor
TKMRPI II
12 Agustus 2019
9 24 33 33 0 33
SPIP APIP Kementerian
Perindustrian di Hotel
Mirah Bogor
Penilaian Risiko
14 Agustus 2019
18 12 30 22 8 30
Sertifikasi JFA Muda APIP
di Pusdiklatwas BPKP
Bogor
TKMRPI III
22 Agustus 2019
17 12 29 6 23 29
61 60 121 74 49 121
Hasil FGD menunjukkan bahwa para
peserta di 4 kelas yang berbeda dapat menilai
72 risiko manajemen pemerintah di aspek
POAC. Hasil penilaian ini membuktikan level
risiko manajemen di aspek POAC (Lampiran
2). Jika disusun peringkat risiko manajemen
Daftar peringkat level risiko manajemen pemerintah
Peta Risiko Manajemen Pemerintah
Focus Group Discussion (Wiryani dkk, 2013; Irawan dkk, 2015) oleh peserta pelatihan (Kamal, 2018)
penilaian likelihood penilaian impact pada efisien dan efektif
Data risiko manajemen pemerintah
risiko POAC (Sujarwo, 2014) kriteria risiko (BPKP, 2015)
27
pemerintah di setiap aspek POAC, maka dapat
diungkap risiko dengan peringkat tertinggi:
Di planning berupa “intervensi politik agar
dokumen perencanaan jangka pendek
dibuat berdasarkan kemauan sesaat para
anggota legislatif dan eksekutif tanpa
melihat dokumen perencanaan jangka
menengah dan jangka panjang” dengan
skor risiko sebesar 10,56.
Di Organizing berupa “sumber daya
manusia atau SDM mempunyai hubungan
istimewa dengan rekanan” dengan skor
risiko sebesar 8,70.
Di actuating berupa “Keterlambatan
pelaksanaan kegiatan” dengan skor risiko
sebesar 10,33.
Di controlling berupa “stock opname oleh
atasan langsung hanya formalitas” dengan
skor risiko sebesar 8,96.
Kemudian, risiko manajemen pemerintah
dapat dievaluasi dari hasil penilaian risiko
tersebut melalui peringkat dari seluruh 72 risiko
manajemen pemerintah secara gabungan dari
aspek POAC. Hasilnya menunjukkan risiko
dengan peringkat tertinggi ada di planning
berupa “intervensi politik agar dokumen
perencanaan jangka pendek dibuat berdasarkan
kemauan sesaat para anggota legislatif dan
eksekutif tanpa melihat dokumen perencanaan
jangka menengah dan jangka panjang” dengan
skor 10,56 (lampiran 3). Peringkat 10 besarnya
dapat diungkap di tabel 3 sebagai berikut:
Tabel 3. Peringkat 10 besar Skor Risiko hasil FGD 4 Kelas
No.
Kode
Risiko
POAC
uraian risiko di POAC (Sujarwo, 2014)
Likelihood
dari FGD
4 kelas
Impact
dari
FGD 4
kelas
Skor risiko
dari FGD 4
kelas
1 P 1 Intervensi politik agar dokumen perencanaan
jangka pendek dibuat berdasarkan kemauan
sesaat para anggota legislatif dan eksekutif
tanpa melihat dokumen perencanaan jangka
menengah dan jangka panjang
2,83 3,72 10,56
2 A 1 Keterlambatan pelaksanaan kegiatan 3,11 3,32 10,33
3 P 2 perhitungan anggaran tidak cermat 2,69 3,61 9,72
4 A 2 revisi/pergeseran anggaran banyak terjadi 3,11 3,11 9,68
5 A 3 jadwal kegiatan berubah-ubah saat
pelaksanaan
3,00 3,01 9,04
6 C 1 stock opname oleh atasan langsung hanya
formalitas
2,77 3,23 8,96
7 A 4 belum ada rencana mitigasi kegagalan
pengadaan
2,68 3,33 8,95
8 A 5 proses PBJ belum sesuai ketentuan 2,53 3,49 8,82
9 P 3 proses penganggaran tidak melibatkan
seluruh pemakai anggaran (stakeholders)
2,67 3,28 8,74
10 P 4 outcome yang ditetapkan tidak bernilai
strategis bagi masyarakat luas
2,44 3,57 8,71
Sumber: hasil olah data penulis dari FGD di 4 kelas
Daftar peringkat skor risiko tersebut diatas
dapat menjadi sumber informasi untuk
penyusunan peta risiko manajemen pemerintah.
Pemetaan risiko sesuai daftar peringkat risiko
(lampiran 3) dapat dibuat dalam bentuk matriks
(gambar 2).
Peta risiko manajemen pemerintah
mengungkapkan ada 4 cluster risiko. Jika
prioritas penanganan risiko berdasarkan posisi
cluster di peta risiko, maka keempat cluster ini
dapat dirinci sebagai berikut:
Cluster 7 merupakan kelompok risiko
dengan peringkat penanganan yang
pertama. Di cluster ini ada 3 risiko berupa
risiko dengan kode P1, P2 dan A1.
28
Cluster 11 merupakan kelompok risiko
dengan peringkat penanganan yang kedua.
Di cluster ini ada 15 risiko.
Cluster 12 merupakan kelompok risiko
dengan peringkat penanganan yang ketiga.
Di cluster ini ada 11 risiko.
Cluster 14 merupakan kelompok risiko
dengan peringkat penanganan yang
keempat. Di cluster ini ada 43 risiko.
Dari peta risiko tersebut, instansi
pemerintah dapat melakukan rencana
penanganan risiko. Hal ini dapat dimulai
dengan penentuan risk owner dari setiap risiko
tersebut. Kemudian penelaahan kewenangan
yang dimiliki oleh setiap risk owner tersebut.
Dan, kajian pengembangan respon atas risiko
berbasis regulasi dan best practise dapat
dilakukan dengan membuat profil risiko.
Matriks Analisis
Risiko (5 x 5)
Level Dampak di Area Efisien dan Efektif
1 2 3 4 5
tidak
signifikan Minor Moderat Signifikan
sangat
signifikan
Lik
elih
oo
d
5
Hampir
pasti
terjadi 17 10 6 3 1
4
sangat
sering
terjadi 20 3 8 4 2
3 sering
terjadi 22 15
11: ada 15 risiko 7: ada 3 risiko
5
P: 3,7,8,
O: 1,3,
A: 2,3,4,5,6,7,
C: 1,2,3,4,
P:1,2,
A:1
2 kadang
terjadi 24 19
14. ada 43 risiko 12: ada 11 risiko
9
P: 6,10,11,14,15,16,
17,18,19,20,21
O: 5,6,7,8,
A: 8,
C:5,6,9,11,12,14,15,
16,17,18,19,20,21,
22,23,24,25,26,27,
28,29,30,31,32,33,
34,35
P:4,5,9,12,13,
O:2,4,
C:7,8,10,13,
1
hampir
tidak
pernah
terjadi
25 23 21 18 16
Gambar 2. Peta Risiko Manajemen Pemerintah dengan prioritas penanganan
sumber: hasil olah data (Sujarwo, 2014; PMK 12/2016; BPKP 2016).
4. KESIMPULAN
Penilaian risiko manajemen pemerintah
dapat dilakukan melalui identifikasi dan
analisis risiko di aspek POAC. Hasil
identifikasi berupa 72 risiko manajemen
pemerintah.
Risiko teridentifikasi perlu dianalisis
likelihood dan impact risikonya. Analisis risiko
dapat dilakukan melalui FGD di setiap aspek
POAC. Kemudian, hasilnya berupa 4 daftar
skor risiko manajemen pemerintah di setiap
aspek POAC.
Daftar ini dapat dievaluasi secara
gabungan dengan memeringkatkan skor
risikonya dari yang tertinggi sampai yang
terendah. Hasilnya berupa peringkat skor risiko
29
dari gabungan 4 FGD dari 4 kelas berbeda.
Daftar ini bisa menjadi sumber informasi untuk
penyusunan peta risiko manajemen pemerintah.
Informasi peta risiko manajemen
pemerintah dapat menyajikan 4 kelompok risiko
yang akan ditangani. Prioritas penanganan
disesuaikan dengan prioritas risiko di cluster
sesuai level skor risiko yang telah dinilai dalam
FGD.
Implikasi penelitian
Hasil penelitian ini mempunyai implikasi di
bidang akademik terutama tentang kajian
penilaian risko sektor publik. Selain itu,
implikasi hasil penelitian di bidang praktik
adalah instansi pemerintah perlu
mempertimbangkan risiko tertinggi dalam
penilaian risiko di unit organisasinya serta
merancang penanganan yang tepat.
Instansi pemerintah dapat menggunakan
daftar peringkat risiko dan peta risiko
manajemen pemerintah sebagai sumber
pengembangan penilaian risiko terutama yang
tingkat maturitas SPIP-nya masih dibawah 3.
Telaah atas uraian risiko perlu dilakukan sesuai
dengan konteks instansi pemerintahnya.
Keterbatasan Penelitian
Penelitian ini memiliki keterbatasan berupa
pelaku FGD belum diverifikasi secara formal
tingkat pemahaman atas risiko dan penilaian
risiko.
5. REFERENSI
Buku
BPKP. (2009). Penilaian Risiko, Modul 3, Diklat
Sistem Pengendalian Intern Pemerintah
(SPIP) Dasar. Bogor: Pusdiklatwas BPKP.
BPKP. (2010). Konsep dan Implementasi Risk
Assessment, Modul Diklat Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP)
Dasar. Bogor: Pusdiklatwas BPKP.
Nurharyanto. (2013). Sistem Kendali
Kecurangan (FRAUD) Perbankan:
Konsepsi, Asesmen Risiko dan Penerapan
Kebijakan Anti-Fraud. Edisi Pertama.
Jakarta: Tinta Creative Production.
Arikunto Suharsimi. (2014). Prosedur
Penelitian; Suatu Pendekatan Praktik.
Jakarta: PT Rineka Cipta.
Sujarwo H.N.(2014), TKMRPI III-Manajemen
Sumber Daya Organisasi, Modul
Sertifikasi Jabatan Fungsional Auditor
(JFA) Level Muda, Pusdiklatwas BPKP,
Bogor, 2014.
BPKP. (2015). Manajemen Risiko Organisasi
Sektor Publik, Modul Diklat Teknis
Substansi. Bogor: Pusdiklatwas BPKP.
LKPP. (2016). Mengelola Risiko, Unit
Kompetensi 29, materi SKKNI 2016.
Jakarta: LKPP.
Jurnal dan karya tulis ilmiah
Venter, AC. (2007). A procurement fraud risk
management model. Meditari Accountancy
Research Vol.15 No. 2 2007 : 77-93.
Utami, N.R. & Wessiani, N.A. (2013).
Perancangan Risk Mapping dalam Upaya
Pengembangan Mitigasi Risiko pada
Grapari PT. Telkomsel. tbk. Jurnal Teknik
Pomits. Vol. 2, No. 1, (2013) ISSN: 2337-
3539 (2301-9271 Print).
Wiryani, H. Achsani, N.A. & Baga, L.M. (2013).
Pemetaan Risiko di Industri Penyamakan
Kulit dengan Pendekatan Enterprise Risk
Management (ERM). Jurnal Manajemen &
Agribisnis, Vol. 10 No. 1, Maret 2013.
Sukrawan, A. A. & Winarno, W. W. (2013).
Penerapan Risk Management Framework
untuk Pelaksanaan Proyek Alih Daya
Sistem Informasi di BPK RI, JNTETI,
Vol.2, No.3, Agustus 2013. ISSN 2301 –
4156.
Wijaya, A. (2014). Implementasi Fraud Risk
Management untuk Meminimalkan Risiko
Kecurangan (Fraud) pada Bagian Produksi
dan Penjualan Perusahaan Makanan Wanda
Putra Kencana Surabaya. Calyptra: Jurnal
Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya.
Vol 3 No.2 (2014).
Faizana, F. Nugraha, A.L. Yuwono, B.D. (2015).
Pemetaan Risiko Bencana Tanah Longsor
Kota Semarang. Jurnal Geodesi Undip
Januari 2015. Volume 4, Nomor 1, Tahun
2015, (ISSN : 2337-845X) 223.
Bugall. Kallman. & Narvaez. (2015). When you
come to a fork in the road. take it. The
Journal of Enterprise Risk Management,
Volume 1, issue 1, 2015.
30
Irawan, G. & Wibawa, B. M. (2015). Analisis
Peta Risiko Pengeboran di wilayah asset 5
PT Pertamina ep, JMK, VOL. 17, NO. 2,
SEPTEMBER 2015, 113–125 DOI:
10.9744/jmk.17.2.113–125 ISSN 1411-
1438 print / ISSN 2338-8234 online.
Alfian. (2015). Pemetaan Jenis dan Risiko
Kecurangan dalam Audit Pengadaan
Barang dan Jasa. Jurnal Pengadaan LKPP.
Oktober 2015/ Volume 4, Nomor 1.
Kamal, M. (2018). Penilaian Likelihood Risiko
Fraud dalam Manajemen Pemerintah.
Jurnal Liquidity. Vol. 7, No. 1, Januari-Juni
2018, hlm. 27-32.
Kamal, M. Dan Tohom, A. (2019), Likelihood
Rating of Fraud Risk in Government
Procurement. The International Journal of
Business Review, Juni 2019, Vol 2, No.1,
2019.
Nurharyanto. (2016). Pendekatan Teori
Permainan dan Konsep Assesmen Risiko
Fraud Untuk Melakukan Pencegahan dan
Pendeteksian Fraud Pada Sektor Publik.
Karya Tulis Ilmiah, Majalah Kampus
Pengawasan: Media Komunikasi Diklat
Auditor. Edisi Januari 2016. Pusdiklatwas
BPKP.
Pertiwi, I. G. A. I. M. Kristinayanti, W. S. &
Aryawan, I. G. M. O. (2016). Manajemen
Risiko Proyek Pembangunan Underpass
Gatot Subroto Denpasar. Jurnal Akuntansi,
Ekonomi dan Manajemen Bisnis. Vol. 4,
No. 1, July 2016, 1-6 p-ISSN: 2337-7887.
Website
Gunawan, I. (2015). Metode Penelitian
Kualitatif. diakses dari
http://fip.um.ac.id/wp-content/uploads/
2015/12/3_Metpen-Kualitatif.pdf.
Rahardjo, H. M. (2017). Studi Kasus dalam
Penelitian Kualitatif: Konsep dan
Prosedurnya. diakses dari
http://repository.uin-malang.ac.id/1104/1/
Studi-kasus-dalam-penelitian-kualitatif.
pdf.
Laporan
BPKP. (2019), Monitoring Capaian SPIP KLPD
per 28 Juni 2019, Direktorat Pengawasan
Tata Kelola Pemerintah Daerah, Deputi
Pengawasan Pemerintahan Daerah, BPKP,
Jakarta, tidak dipublikasikan.
31
Lampiran 1
72 Risiko di POAC Teridentifikasi
POAC No.
Risiko Uraian Risiko (Sujarwo, 2014)
PL
AN
NIN
G
1 Ketidakselarasan RPJP/D, RPJM/D, Renstra Satker/SKPD, RKP/D dengan APBN/D
2 Intervensi politik agar dokumen perencanaan jangka pendek dibuat berdasarkan
kemauan sesaat para anggota legislatif dan eksekutif tanpa melihat dokumen
perencanaan jangka menengah dan jangka panjang
3 Analisis Standar Belanja (ASB) dan atau standar harga masukan (SBM) belum
ditetapkan/diterapkan
4 indikator kinerja output dan outcome tidak jelas
5 kesalahan penentuan mata anggaran
6 perhitungan anggaran tidak cermat
7 jadwal penganggaran tidak ditaati
8 proses penganggaran tidak melibatkan seluruh pemakai anggaran (stakeholders)
9 penganggaran disusun tidak berdasarkan program
10 penganggaran disusun tidak memperhatikan keterkaitan dengan visi dan misi
organisasi
11 data asumsi yang digunakan dalam penganggaran tidak tepat/akurat
12 pegawai terkait pengelolaan/penganggaran keuangan tidak diikutkan pelatihan
13 pengusulan/pengajuan anggaran (misal dari JARING ASMARA oleh parpol) tidak
sesuai aturan yang berlaku
14 outcome yang ditetapkan tidak bernilai strategis bagi masyarakat luas
15 tim negosiasi anggaran belum paham nilai strategis outcome bagi masyarakat luas
16 sistem perencanaan cash flow tidak cocok dengan kondisi organisasi
17 prosedur pembayaran tidak mensyaratkan transfer rekening
18 pertanggungjawaban uang muka tidak sesuai dengan ketentuan
19 Rencana Kebutuhan Barang Milik Negara/Daerah (RKBMN/D) tidak dibuat
20 RKBMN/D dibuat namun tidak berpedoman pada standarisasi sarana dan prasarana
21 RKBMN/D dibuat namun tidak direviu
OR
GA
NIZ
ING
1 ada perangkapan jabatan antara yang pemegang/menyimpan/mencatat uang dengan
operasional/teknis kegiatan
2 tidak ada mekanisme/prosedur rotasi/mutasi pegawai di unit atau antar unit kerja
3 suksesi manajemen atau penggantian pimpinan tidak akuntabel
4 SDM yang bagus/profesional deserse atau pindah atau keluar atau pensiun dini
5 konflik antar karyawan atau antar bidang
6 SDM tidak memiliki uraian tugas (jobdescription) yang jelas
7 SDM punya hubungan istimewa dengan rekanan
8 tidak ada rencana pengembangan SDM
AC
TU
AT
ING
1 Keterlambatan pelaksanaan kegiatan
2 keraguan aparat dalam memulai kegiatan (akibat perencanaan tidak matang)
3 revisi/pergeseran anggaran banyak terjadi
4 jadwal kegiatan berubah-ubah saat pelaksanaan
5 tidak ada mekanisme saling periksa antar para penerima dokumen/aliran dokumen
6 proses PBJ belum sesuai ketentuan
7 belum ada Rencana mitigasi kegagalan pengadaan
8 tidak ada SDM yang ditunjuk untuk mengawasi pemanfaatan aset
CO
NT
R
OL
LIN
G
1 SDM yang paham manfaat dan cara reviu laporan keuangan belum ada
2 SDM yang paham manfaat dan cara pemeriksaan dengan tujuan tertentu belum ada
32
POAC No.
Risiko Uraian Risiko (Sujarwo, 2014)
3 inspektorat lebih fokus pada audit regular yang mencakup semua aspek daripada audit
dengan tujuan tertentu (audit tematik)
4 auditor inspektorat masih ber-paradigma lama (sebagai wacthdog)
5 penyusun laporan keuangan tidak kompeten dan atau tidak paham standar akuntansi
pemerintah
6 sistem pelaporan belum terkomputerisasi
7 verifikasi input data tidak dilakukan
8 tidak ada reviu berjenjang dalam pelaporan
9 penerimaan barang hasil pengadaan tidak diuji keberadaan dan kebenaran fisiknya
10 tidak ada stock opname oleh atasan langsung
11 stock opname oleh atasan langsung hanya formalitas
12 ruang penyimpanan/gudang tidak memadai
13 penggunaan aset belum sesuai tupoksi unit kerja
14 penggunaan aset tidak mendapat persetujuan pejabat yang berwenang
15 tidak ada mekanisme kontrol penggunaan aset
16 tidak ada mekanisme inventarisasi aset secara periodik
17 ada aset yang dikelola namun tidak dicatat/tidak dilaporkan
18 daftar aset yang dimanfaatkan (diluar tupoksi) belum up date (belum mutakhir)
19 pemanfaatan aset merugikan secara ekonomis bagi unit kerja
20 pendapat dari pemanfaatan aset hanya sebagian (tidak seluruhnya) masuk kas daerah
21 perjanjian pemanfaatan aset tidak ada
22 klausul di perjanjian pemanfaatan aset merugikan pemda
23 metodologi penilaian aset tidak update/tidak mutakhir sesuai dengan perkembangan
aset
24 seluruh aset yang diusulkan penghapusan belum mendapat persetujuan dari
kadal/DPRD
25 tidak ada mekanisme penghapusan yang otomatis/regular sesuai umur/kondisi aset
26 ada aset produktif dihapuskan
27 pemindahtanganan aset belum sesuai ketentuan
28 nilai aset yang dipindahtangankan merugikan pemda
29 ada hubungan istimewa dalam proses pemindahtanganan (misal tukar guling) aset
30 Tidak ada mekanisme pengawasan pengelolaan aset
31 sistem dan prosedur pengelolaan aset belum dibuat
32 usulan pembiayaan belum diverifikasi/direviu oleh pihak yang kompeten
33 pengelola aset belum paham ketentuan ganti rugi
34 belum ada penggunaan IT untuk mekanisme pengendalian kegiatan
35 penggunaan IT untuk pengendalian kegiatan belum update/mutakhir
33
Lampiran 2
Daftar Skor Risiko Hasil Gabungan FGD dari 4 Kelas yang Berbeda
PO
AC
No Uraian Risiko (Sujarwo,
2014)
Likelihood impact Skor
Risiko
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
rata-
rata 4
kelas
PL
AN
NIN
G
1 Ketidakselarasan RPJP/D, RPJM/D, Renstra
Satker/SKPD, RKP/D
dengan APBN/D
2,10 1,89 2,85 2,85 2,42 2,56 4,02 4,27 3,45 3,57 8,65
2 Intervensi politik agar dokumen perencanaan
jangka pendek dibuat
berdasarkan kemauan sesaat para anggota
legislatif dan eksekutif
tanpa melihat dokumen perencanaan jangka
menengah dan jangka
panjang
1,76 2,78 3,57 3,23 2,83 2,63 4,11 4,33 3,83 3,72 10,56
3 Analisis Standar Belanja
(ASB) dan atau standar
harga masukan (SBM) belum
ditetapkan/diterapkan
1,76 2,09 1,91 1,17 1,73 2,54 3,51 3,61 3,03 3,17 5,49
4 indikator kinerja output dan outcome tidak jelas
2,14 2,35 3,02 2,43 2,49 2,62 4,26 3,92 2,97 3,44 8,55
5 kesalahan penentuan mata
anggaran
1,83 2,49 2,99 1,77 2,27 2,79 3,66 2,60 2,90 2,99 6,77
6 perhitungan anggaran tidak cermat
2,09 2,96 3,24 2,47 2,69 3,03 4,11 3,80 3,51 3,61 9,72
7 jadwal penganggaran tidak
ditaati
2,20 3,11 3,04 2,85 2,80 2,75 3,27 2,67 3,15 2,96 8,29
8 proses penganggaran tidak melibatkan seluruh
pemakai anggaran
(stakeholders)
2,57 2,79 3,28 2,03 2,67 3,01 3,36 3,36 3,37 3,28 8,74
9 penganggaran disusun tidak berdasarkan program
1,91 2,46 2,78 1,60 2,19 2,59 3,81 4,04 3,70 3,53 7,73
10 penganggaran disusun
tidak memperhatikan keterkaitan dengan visi
dan misi organisasi
1,68 2,03 3,00 2,03 2,19 2,67 4,12 4,05 3,80 3,66 8,00
11 data asumsi yang
digunakan dalam penganggaran tidak
tepat/akurat
2,05 2,96 3,03 2,43 2,62 2,60 3,33 3,52 3,55 3,25 8,50
12 pegawai terkait pengelolaan/penganggaran
keuangan tidak diikutkan
pelatihan
1,86 3,07 2,45 2,47 2,46 2,67 3,44 3,00 3,63 3,19 7,85
13 pengusulan/pengajuan
anggaran (misal dari
JARING ASMARA oleh parpol) tidak sesuai aturan
yang berlaku
1,66 2,43 2,52 2,67 2,32 2,11 3,01 3,60 3,09 2,95 6,84
14 outcome yang ditetapkan
tidak bernilai strategis bagi masyarakat luas
1,81 2,31 3,16 2,47 2,44 2,53 4,18 3,93 3,64 3,57 8,71
15 tim negosiasi anggaran
belum paham nilai strategis outcome bagi
masyarakat luas
2,04 2,47 3,11 2,31 2,48 2,46 3,63 3,62 3,17 3,22 7,99
34
PO
AC
No Uraian Risiko (Sujarwo,
2014)
Likelihood impact Skor
Risiko
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
rata-
rata 4
kelas
16 sistem perencanaan cash flow tidak cocok dengan
kondisi organisasi
1,94 2,31 2,50 1,86 2,15 2,40 3,39 3,24 2,43 2,87 6,17
17 prosedur pembayaran tidak mensyaratkan
transfer rekening
1,80 1,76 2,11 1,57 1,81 2,10 3,08 2,66 2,63 2,62 4,74
18 pertanggungjawaban uang muka tidak sesuai dengan
ketentuan
1,55 2,28 2,69 1,53 2,01 2,35 3,42 3,41 2,33 2,88 5,79
19 Rencana Kebutuhan
Barang Milik Negara/Daerah
(RKBMN/D) tidak dibuat
1,71 1,94 1,64 3,23 2,13 2,43 3,84 3,75 4,00 3,50 7,47
20 RKBMN/D dibuat namun tidak berpedoman pada
standarisasi sarana dan
prasarana
1,84 2,38 2,39 1,97 2,15 2,54 3,72 3,50 2,77 3,13 6,71
21 RKBMN/D dibuat namun tidak direviu
2,02 2,61 1,29 2,89 2,20 2,71 3,37 3,67 3,53 3,32 7,32
OR
GA
NIZ
ING
1 ada perangkapan jabatan
antara yang pemegang/menyimpan/me
ncatat uang dengan
operasional/teknis kegiatan
1,65 1,99 2,01 1,85 1,88 2,59 4,21 4,07 2,90 3,44 6,46
2 tidak ada
mekanisme/prosedur rotasi/mutasi pegawai di
unit atau antar unit kerja
2,19 2,62 2,52 1,72 2,26 2,69 3,59 3,30 2,53 3,03 6,85
3 suksesi manajemen atau
penggantian pimpinan tidak akuntabel
2,04 2,28 2,74 2,53 2,40 2,72 3,78 3,87 3,83 3,55 8,52
4 SDM yang
bagus/profesional deserse atau pindah atau keluar
atau pensiun dini
1,78 2,92 1,78 2,03 2,13 2,35 3,23 3,43 3,37 3,10 6,59
5 konflik antar karyawan atau antar bidang
2,10 3,24 2,60 2,31 2,56 2,65 3,58 3,05 2,89 3,05 7,80
6 SDM tidak memiliki
uraian tugas
(jobdescription) yang jelas
1,87 2,47 1,93 1,59 1,96 2,44 4,05 3,82 3,27 3,40 6,67
7 SDM punya hubungan
istimewa dengan rekanan
2,07 3,04 3,25 2,17 2,63 2,81 3,46 4,06 2,90 3,31 8,70
8 tidak ada rencana
pengembangan SDM
1,85 2,12 2,18 1,94 2,02 2,75 3,91 3,72 3,70 3,52 7,12
AC
TU
AT
ING
1 Keterlambatan
pelaksanaan kegiatan
2,38 3,13 3,92 3,02 3,11 2,71 3,42 3,70 3,47 3,32 10,33
2 keraguan aparat dalam memulai kegiatan (akibat
perencanaan tidak matang)
1,93 2,55 3,50 2,07 2,51 2,68 3,24 3,43 3,07 3,11 7,81
3 revisi/pergeseran anggaran
banyak terjadi
2,50 2,57 4,22 3,17 3,11 2,70 3,23 3,22 3,30 3,11 9,68
4 jadwal kegiatan berubah-
ubah saat pelaksanaan
2,37 2,99 4,18 2,47 3,00 2,49 3,38 3,34 2,83 3,01 9,04
5 tidak ada mekanisme
saling periksa antar para
penerima dokumen/aliran
dokumen
2,11 2,66 3,00 2,43 2,55 2,48 3,84 3,67 2,77 3,19 8,14
6 proses PBJ belum sesuai ketentuan
1,49 3,06 3,17 2,38 2,53 2,09 3,99 4,36 3,53 3,49 8,82
35
PO
AC
No Uraian Risiko (Sujarwo,
2014)
Likelihood impact Skor
Risiko
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
rata-
rata 4
kelas
7 belum ada Rencana mitigasi kegagalan
pengadaan
1,86 2,61 3,68 2,59 2,68 2,53 3,81 3,93 3,07 3,33 8,95
8 tidak ada SDM yang ditunjuk untuk mengawasi
pemanfaatan aset
1,75 2,47 2,10 1,50 1,96 2,42 3,76 3,61 3,53 3,33 6,51
CO
NT
RO
LIN
G
1 SDM yang paham manfaat
dan cara reviu laporan
keuangan belum ada
1,54 1,98 1,80 1,61 1,73 2,22 3,97 3,68 3,45 3,33 5,77
2 SDM yang paham manfaat dan cara pemeriksaan
dengan tujuan tertentu
belum ada
1,55 2,09 1,91 1,68 1,81 2,25 3,84 3,42 4,03 3,39 6,12
3 inspektorat lebih fokus pada audit regular yang
mencakup semua aspek
daripada audit dengan tujuan tertentu (audit
tematik)
2,00 2,44 3,22 3,30 2,74 2,44 3,01 3,32 3,17 2,99 8,18
4 auditor inspektorat masih ber-paradigma lama
(sebagai wacthdog)
1,89 2,61 1,83 1,71 2,01 2,71 3,24 3,20 3,53 3,17 6,37
5 penyusun laporan
keuangan tidak kompeten dan atau tidak paham
standar akuntansi
pemerintah
1,40 2,41 2,20 1,96 1,99 2,61 4,12 3,70 3,70 3,53 7,05
6 sistem pelaporan belum
terkomputerisasi
1,36 1,91 1,81 1,00 1,52 1,99 3,38 3,34 3,53 3,06 4,65
7 verifikasi input data tidak
dilakukan
1,53 2,23 2,44 1,51 1,93 2,22 3,86 3,56 3,80 3,36 6,48
8 tidak ada reviu berjenjang
dalam pelaporan
1,67 2,56 2,48 1,73 2,11 2,35 3,79 3,36 3,50 3,25 6,86
9 penerimaan barang hasil pengadaan tidak diuji
keberadaan dan kebenaran
fisiknya
1,62 2,56 2,61 1,47 2,07 2,60 3,62 4,48 3,70 3,60 7,43
10 tidak ada stock opname oleh atasan langsung
1,66 2,36 2,60 1,67 2,07 2,27 3,48 3,53 3,53 3,20 6,64
11 stock opname oleh atasan
langsung hanya formalitas
1,79 3,42 3,42 2,47 2,77 2,32 3,51 3,77 3,33 3,23 8,96
12 ruang penyimpanan/gudang tidak
memadai
2,02 3,25 2,88 3,00 2,79 2,22 3,28 3,04 3,50 3,01 8,40
13 penggunaan aset belum sesuai tupoksi unit kerja
2,01 2,89 2,36 1,80 2,26 2,39 3,17 3,49 2,57 2,91 6,58
14 penggunaan aset tidak
mendapat persetujuan
pejabat yang berwenang
1,58 2,61 2,16 1,50 1,96 2,18 3,16 3,48 2,93 2,94 5,77
15 tidak ada mekanisme
kontrol penggunaan aset
1,68 2,93 2,78 1,80 2,30 2,29 3,55 3,71 3,53 3,27 7,51
16 tidak ada mekanisme
inventarisasi aset secara periodik
1,65 2,62 2,18 1,57 2,00 2,20 3,18 3,48 4,00 3,22 6,44
17 ada aset yang dikelola
namun tidak dicatat/tidak dilaporkan
1,51 2,63 2,14 2,11 2,10 2,30 3,57 3,72 3,97 3,39 7,11
18 daftar aset yang
dimanfaatkan (diluar tupoksi) belum up date
(belum mutakhir)
1,62 3,04 2,63 2,00 2,32 2,42 3,40 3,29 3,50 3,15 7,32
36
PO
AC
No Uraian Risiko (Sujarwo,
2014)
Likelihood impact Skor
Risiko
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
FGD
MA
FGD
JFA
Ahli
FGD
Peri
ndus
trian
FGD
JFA
Mud
a
rata-
rata
4
kelas
rata-
rata 4
kelas
19 pemanfaatan aset merugikan secara
ekonomis bagi unit kerja
1,57 2,82 1,84 1,33 1,89 2,46 3,18 3,40 2,77 2,95 5,58
20 pendapat dari pemanfaatan aset hanya sebagian (tidak
seluruhnya) masuk kas
daerah
1,40 3,01 1,83 1,20 1,86 2,29 3,59 3,86 3,87 3,40 6,33
21 perjanjian pemanfaatan
aset tidak ada
1,29 2,44 2,57 1,40 1,93 2,18 3,33 3,58 3,60 3,17 6,11
22 klausul di perjanjian
pemanfaatan aset merugikan pemda
1,50 2,33 2,03 1,53 1,85 2,28 3,53 3,85 3,73 3,35 6,19
23 metodologi penilaian aset
tidak update/tidak mutakhir sesuai dengan
perkembangan aset
1,63 2,83 2,31 1,67 2,11 2,28 3,45 3,43 3,67 3,21 6,77
24 seluruh aset yang
diusulkan penghapusan belum mendapat
persetujuan dari
kadal/DPRD
1,55 2,38 2,11 1,93 1,99 2,14 3,26 3,23 3,90 3,13 6,24
25 tidak ada mekanisme
penghapusan yang
otomatis/regular sesuai
umur/kondisi aset
1,78 2,65 3,01 3,07 2,63 2,18 3,37 3,05 3,77 3,09 8,12
26 ada aset produktif
dihapuskan
1,38 1,64 2,08 1,53 1,66 2,47 3,76 3,60 3,57 3,35 5,56
27 pemindahtanganan aset belum sesuai ketentuan
1,39 2,49 2,73 1,83 2,11 2,60 3,46 3,61 3,53 3,30 6,97
28 nilai aset yang
dipindahtangankan
merugikan pemda
1,43 2,22 2,15 1,88 1,92 2,66 3,37 3,58 3,41 3,26 6,25
29 ada hubungan istimewa
dalam proses
pemindahtanganan (misal tukar guling) aset
1,46 2,86 2,27 1,87 2,11 2,68 3,69 4,10 3,63 3,52 7,45
30 Tidak ada mekanisme
pengawasan pengelolaan aset
1,51 2,48 2,26 1,88 2,03 2,73 3,79 4,13 3,50 3,54 7,19
31 sistem dan prosedur
pengelolaan aset belum
dibuat
1,31 2,21 2,46 1,20 1,80 2,42 3,43 4,08 3,57 3,38 6,06
32 usulan pembiayaan belum
diverifikasi/direviu oleh
pihak yang kompeten
1,45 2,46 2,29 1,97 2,04 2,39 3,67 3,94 3,63 3,41 6,96
33 pengelola aset belum paham ketentuan ganti
rugi
1,51 2,68 2,39 2,08 2,16 2,65 3,54 3,57 3,33 3,27 7,09
34 belum ada penggunaan IT untuk mekanisme
pengendalian kegiatan
1,56 2,43 2,49 2,20 2,17 2,51 3,37 3,22 3,63 3,18 6,91
35 penggunaan IT untuk
pengendalian kegiatan belum update/mutakhir
1,65 2,88 2,99 2,47 2,50 2,52 3,27 3,10 3,33 3,06 7,63
37
Lampiran 3
Daftar Peringkat Risiko Manajemen Pemerintah hasil dari FGD 4 Kelas
No.
Kode
Risiko
POAC
Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,
2014)
LIKELIHOOD
dari FGD 4
kelas
IMPACT
dari
FGD 4
kelas
SKOR
RISIKO
dari FGD
4 kelas
1 P 1 Intervensi politik agar dokumen
perencanaan jangka pendek dibuat
berdasarkan kemauan sesaat para anggota
legislatif dan eksekutif tanpa melihat
dokumen perencanaan jangka menengah
dan jangka panjang
2,83 3,72 10,56
2 A 1 Keterlambatan pelaksanaan kegiatan 3,11 3,32 10,33
3 P 2 perhitungan anggaran tidak cermat 2,69 3,61 9,72
4 A 2 revisi/pergeseran anggaran banyak terjadi 3,11 3,11 9,68
5 A 3 jadwal kegiatan berubah-ubah saat
pelaksanaan
3,00 3,01 9,04
6 C 1 stock opname oleh atasan langsung hanya
formalitas
2,77 3,23 8,96
7 A 4 belum ada Rencana mitigasi kegagalan
pengadaan
2,68 3,33 8,95
8 A 5 proses PBJ belum sesuai ketentuan 2,53 3,49 8,82
9 P 3 proses penganggaran tidak melibatkan
seluruh pemakai anggaran (stakeholders)
2,67 3,28 8,74
10 P 4 outcome yang ditetapkan tidak bernilai
strategis bagi masyarakat luas
2,44 3,57 8,71
11 O 1 SDM punya hubungan istimewa dengan
rekanan
2,63 3,31 8,70
12 P 5 Ketidakselarasan RPJP/D, RPJM/D,
Renstra Satker/SKPD, RKP/D dengan
APBN/D
2,42 3,57 8,65
13 P 6 indikator kinerja output dan outcome tidak
jelas
2,49 3,44 8,55
14 O 2 suksesi manajemen atau penggantian
pimpinan tidak akuntabel
2,40 3,55 8,52
15 P 7 data asumsi yang digunakan dalam
penganggaran tidak tepat/akurat
2,62 3,25 8,50
16 C 2 ruang penyimpanan/gudang tidak
memadai
2,79 3,01 8,40
17 P 8 jadwal penganggaran tidak ditaati 2,80 2,96 8,29
18 C 3 inspektorat lebih fokus pada audit regular
yang mencakup semua aspek daripada
audit dengan tujuan tertentu (audit
tematik)
2,74 2,99 8,18
19 A 6 tidak ada mekanisme saling periksa antar
para penerima dokumen/aliran dokumen
2,55 3,19 8,14
20 C 4 tidak ada mekanisme penghapusan yang
otomatis/regular sesuai umur/kondisi aset
2,63 3,09 8,12
21 P 9 penganggaran disusun tidak
memperhatikan keterkaitan dengan visi
dan misi organisasi
2,19 3,66 8,00
22 P 10 tim negosiasi anggaran belum paham nilai
strategis outcome bagi masyarakat luas
2,48 3,22 7,99
38
No.
Kode
Risiko
POAC
Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,
2014)
LIKELIHOOD
dari FGD 4
kelas
IMPACT
dari
FGD 4
kelas
SKOR
RISIKO
dari FGD
4 kelas
23 P 11 pegawai terkait pengelolaan/penganggaran
keuangan tidak diikutkan pelatihan
2,46 3,19 7,85
24 A 7 keraguan aparat dalam memulai kegiatan
(akibat perencanaan tidak matang)
2,51 3,11 7,81
25 O 3 konflik antar karyawan atau antar bidang 2,56 3,05 7,80
26 P 12 penganggaran disusun tidak berdasarkan
program
2,19 3,53 7,73
27 C 5 penggunaan IT untuk pengendalian
kegiatan belum update/mutakhir
2,50 3,06 7,63
28 C 6 tidak ada mekanisme kontrol penggunaan
aset
2,30 3,27 7,51
29 P 13 Rencana Kebutuhan Barang Milik
Negara/Daerah (RKBMN/D) tidak dibuat
2,13 3,50 7,47
30 C 7 ada hubungan istimewa dalam proses
pemindahtanganan (misal tukar guling)
aset
2,11 3,52 7,45
31 C 8 penerimaan barang hasil pengadaan tidak
diuji keberadaan dan kebenaran fisiknya
2,07 3,60 7,43
32 P 14 RKBMN/D dibuat namun tidak direviu 2,20 3,32 7,32
33 C 9 daftar aset yang dimanfaatkan (diluar
tupoksi) belum up date (belum mutakhir)
2,32 3,15 7,32
34 C 10 Tidak ada mekanisme pengawasan
pengelolaan aset
2,03 3,54 7,19
35 O 4 tidak ada rencana pengembangan SDM 2,02 3,52 7,12
36 C 11 ada aset yang dikelola namun tidak
dicatat/tidak dilaporkan
2,10 3,39 7,11
37 C 12 pengelola aset belum paham ketentuan
ganti rugi
2,16 3,27 7,09
38 C 13 penyusun laporan keuangan tidak
kompeten dan atau tidak paham standar
akuntansi pemerintah
1,99 3,53 7,05
39 C 14 pemindahtanganan aset belum sesuai
ketentuan
2,11 3,30 6,97
40 C 15 usulan pembiayaan belum
diverifikasi/direviu oleh pihak yang
kompeten
2,04 3,41 6,96
41 C 16 belum ada penggunaan IT untuk
mekanisme pengendalian kegiatan
2,17 3,18 6,91
42 C 17 tidak ada reviu berjenjang dalam
pelaporan
2,11 3,25 6,86
43 O 5 tidak ada mekanisme/prosedur
rotasi/mutasi pegawai di unit atau antar
unit kerja
2,26 3,03 6,85
44 P 15 pengusulan/pengajuan anggaran (misal
dari JARING ASMARA oleh parpol)
tidak sesuai aturan yang berlaku
2,32 2,95 6,84
45 P 16 kesalahan penentuan mata anggaran 2,27 2,99 6,77
46 C 18 metodologi penilaian aset tidak
update/tidak mutakhir sesuai dengan
perkembangan aset
2,11 3,21 6,77
39
No.
Kode
Risiko
POAC
Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,
2014)
LIKELIHOOD
dari FGD 4
kelas
IMPACT
dari
FGD 4
kelas
SKOR
RISIKO
dari FGD
4 kelas
47 P 17 RKBMN/D dibuat namun tidak
berpedoman pada standarisasi sarana dan
prasarana
2,15 3,13 6,71
48 O 6 SDM tidak memiliki uraian tugas
(jobdescription) yang jelas
1,96 3,40 6,67
49 C 19 tidak ada stock opname oleh atasan
langsung
2,07 3,20 6,64
50 O 7 SDM yang bagus/profesional deserse atau
pindah atau keluar atau pensiun dini
2,13 3,10 6,59
51 C 20 penggunaan aset belum sesuai tupoksi unit
kerja
2,26 2,91 6,58
52 A 8 tidak ada SDM yang ditunjuk untuk
mengawasi pemanfaatan aset
1,96 3,33 6,51
53 C 21 verifikasi input data tidak dilakukan 1,93 3,36 6,48
54 O 8 ada perangkapan jabatan antara yang
pemegang/menyimpan/mencatat uang
dengan operasional/teknis kegiatan
1,88 3,44 6,46
55 C 22 tidak ada mekanisme inventarisasi aset
secara periodik
2,00 3,22 6,44
56 C 23 auditor inspektorat masih ber-paradigma
lama (sebagai wacthdog)
2,01 3,17 6,37
57 C 24 pendapat dari pemanfaatan aset hanya
sebagian (tidak seluruhnya) masuk kas
daerah
1,86 3,40 6,33
58 C 25 nilai aset yang dipindahtangankan
merugikan pemda
1,92 3,26 6,25
59 C 26 seluruh aset yang diusulkan penghapusan
belum mendapat persetujuan dari
kadal/DPRD
1,99 3,13 6,24
60 C 27 klausul di perjanjian pemanfaatan aset
merugikan pemda
1,85 3,35 6,19
61 P 18 sistem perencanaan cash flow tidak cocok
dengan kondisi organisasi
2,15 2,87 6,17
62 C 28 SDM yang paham manfaat dan cara
pemeriksaan dengan tujuan tertentu belum
ada
1,81 3,39 6,12
63 C 29 perjanjian pemanfaatan aset tidak ada 1,93 3,17 6,11
64 C 30 sistem dan prosedur pengelolaan aset
belum dibuat
1,80 3,38 6,06
65 P 19 pertanggungjawaban uang muka tidak
sesuai dengan ketentuan
2,01 2,88 5,79
66 C 31 SDM yang paham manfaat dan cara reviu
laporan keuangan belum ada
1,73 3,33 5,77
67 C 32 penggunaan aset tidak mendapat
persetujuan pejabat yang berwenang
1,96 2,94 5,77
68 C 33 pemanfaatan aset merugikan secara
ekonomis bagi unit kerja
1,89 2,95 5,58
69 C 34 ada aset produktif dihapuskan 1,66 3,35 5,56
40
No.
Kode
Risiko
POAC
Uraian Risiko di POAC (Sujarwo,
2014)
LIKELIHOOD
dari FGD 4
kelas
IMPACT
dari
FGD 4
kelas
SKOR
RISIKO
dari FGD
4 kelas
70 P 20 Analisis Standar Belanja (ASB) dan atau
standar harga masukan (SBM) belum
ditetapkan/diterapkan
1,73 3,17 5,49
71 P 21 prosedur pembayaran tidak mensyaratkan
transfer rekening
1,81 2,62 4,74
72 C 35 sistem pelaporan belum terkomputerisasi 1,52 3,06 4,65
41
PENGARUH PENGENDALIAN INTERNAL DAN GAYA KEPEMIMPINAN
TERHADAP KINERJA PEGAWAI
Rieswandha Dio Primasatya1, Muhammad Thaibi 2 , Jarry Roy Buana Hutagahol3, Erdiya Vega
Restiyantingrum 4 1Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta
email: [email protected] 2Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta
email: [email protected] 3Perwakilan BPKP Provinsi DKI Jakarta
email: [email protected] 4Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Airlangga Surabaya
email: [email protected]
Abstrak
Kinerja pegawai Perangkat Daerah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi ditentukan oleh
pengendalian internal dan gaya kepemimpinan kepala pemerintahan. Tujuan dari penelitian ini
adalah untuk menguji pengaruh pengendallian internal dan gaya kepemimpinan terhadap kinerja
karyawan. Penelitian ini memiliki empat variabel independen yaitu pengendalian internal, gaya
kepemimpinan direktif, gaya kepemimpinan suportif, gaya kepemimpinan partisipatif dan satu
variabel dependen, yaitu kinerja karyawan. Penelitian ini menggunakan pendekatan kuantitatif
dengan data primer dengan menyebarkan kuesioner. Kuisioner kontribusi 100 lembar didistribusikan
kepada karyawan organisasi perangkat daerah di Kabupaten Banyuwangi yang menyelesaikan posisi
struktural. Hasil kuesioner kemudian diproses menggunakan analisis regresi linier berganda
menggunakan aplikasi SPSS. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa pengendalian internal
mempengaruhi kinerja karyawan, gaya kepemimpinan direktif tidak mempengaruhi kinerja
karyawan, gaya kepemimpinan suportif mempengaruhi kinerja karyawan dan gaya kepemimpinan
partisipatif tidak mempengaruhi kinerja karyawan.
Kata kunci: pengendalian internal, gaya kepemimpinan, kinerja karyawan
Abstract
The performance of employees of the Regional Devices Organization of the Banyuwangi Regency
Government is determined by internal control and leadership style of the head of government. The
purpose of this study was to examine the effect of the Internal Control and Leadership Styles on
employee performance. This study has four independent variables namely Internal Control, Directive
Leadership Style, supportive leadership style, participatory leadership style and one dependent
variable, namely Employee Performance. This study uses quantitative approach with primary data
by distributing questionnaires. The 100 sheets contribution questionnaire was distributed to
employees of the regional devices organizations in Banyuwangi Regency which settled structural
position. The results of the questionnaire were then processed using multiple linear regression
analysis using the SPSS application. The results of this study indicate that internal control affect the
employee performance, directive leadership style does not affect the employee performance,
supportive leadership style affect the employee performance and participatory leadership style does
not affect the employee performance.
Keywords: internal control, leadership styles, employee performance
42
1. PENDAHULUAN
Kinerja karyawan atau pegawai merupakan
hal terpenting dalam menentukan kesuksesaan
perusahaan atau organisasi untuk mencapai
tujuan, tak terkecuali organisasi pemerintah.
Tercapainya tujuan perusahaan berasal dari
upaya perusahaan mengelola sumber daya
manusia yang berkualitas dan berpotensi tinggi
untuk meningkatkan hasil kerjanya. Walaupun
telah didukung dengan sarana dan prasarana
yang berkualitas, sebuah organisasi tidak akan
mampu mencapai tujuan apabila tidak didukung
dengan sumber daya manusia yang berkualitas
pula.
Kepemimpinan merupakan salah satu
syarat agar sumber daya manusia dapat
mengoptimalkan kemampuannya dalam
melaksanakan tugas. Gaya kepemimpinan
merupakan cara seorang pemimpin memberikan
pengaruh, mengarahkan, memotivasi, dan
mengendalikan bawahan agar dapat
menyelesaikan tugas secara efektif dan efisien
(Djoko Purwanto, 2006: 24). Oleh sebab itu gaya
kepemimpinan sangat berpengaruh terhadap
kinerja bawahan, sebagaimana yang
diungkapkan oleh Cunningham dan Cordeiro
(2003:140-141) bahwa gaya kepemimpinan
memengaruhi perilaku bawahannya terutama
perilaku bawahan yang mendukung
pengguanaan gaya yang disukai. Pemerintah
Daerah Kabupaten Banyuwangi memiliki
seorang pemimpin dengan gaya yang fleksibel
dan tegas.
Gaya kepemimpinan yang mampu
memengaruhi kinerja pegawai, tidak bisa
berjalan dengan baik tanpa adanya suatu
pengawasan yang optimal. Pengawasan yang
optimal memerlukan suatu sistem pengendalian
internal yang efektif dan mampu memberikan
pengaruh positif terhadap kinerja pegawai untuk
mengimbanginya, karena sumber daya manusia
(pegawai) akan membentuk suatu lingkungan
pengendalian yang kemudian menjadi fondasi
dari pengendalian internal.
Sumber daya manusia yang berada pada
tingkat pemerintahan ditempatkan pada masing-
masing dinas atau badan yang disebut sebagai
Organisasi Pemerinah Daerah (OPD), yang
sebelumnya dinamakan Satuan Kerja Perangkat
Daerah (SKPD).
Sistem Pengendalian Internal pada tingkat
pemerintahan disebut sebagai Sistem
Pengendalian Intern Pemerintah (SPIP) yang
diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 60
Tahun 2008. Pada Pemkab Banyuwangi,
pengendalian internal yang dibangun telah
memadai. Hal ini didukung dengan penilaian
yang didapat dari lembaga yang berwenang
dalam pengawasan pemerintahan, yakni BPKP.
Menurut BPKP, pengendalian risiko, penetapan
SOP dan penerapan sistem teknologi informasi
yang dibangun Pemkab Banyuwangi dapat
meningkatkan pengendalian terhadap kinerja
pegawai di lingkungan instansinya.
Namun demikian, Pengendalian internal di
Indonesia yang berada pada tingkat Pemerintah
Daerah masih dinilai rendah. Hal ini dibuktikan
bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
telah mencatat sebanyak 106 Kepala Daerah
yang telah ditetapkan sebagai tersangka dan 29
di antaranya adalah tersangka kasus suap
(kolom.tempo.co, 2019).
Bertolak belakang dengan keadaan tersebut,
Badan Pengawasan Keuangan dan
Pembangunan (BPKP) menyatakan bahwa pada
tahun 2016 pengendalian internal Pemkab
Banyuwangi sudah melampaui target rata-rata
yang diterapkan oleh Rencana Pembangunan
Jangka Menengah Nasional (RPJMN) yang
seharusnya baru bisa diukur tiga tahun kemudian
yaitu pada tahun 2019 (banyuwangikab.go.id,
2016). Pemicunya adalah upaya pemerintah
untuk membentuk lingkungan strategis sehingga
menciptakan lingkungan kerja yang nyaman dan
aman, pengendalian risiko yang ada dan
langkah-langkah pengendalian terhadap sisem
kerja pemerintah melalui SOP, dan juga
penerapan sistem teknologi informasi dalam
beberapa pelayanan. Hal-hal tersebut dinilai
BPKP dapat meningkatkan pengendalian
terhadap kinerja pegawai pemerintah daerah di
Kabupaten Banyuwangi.
Berdasarkan latar belakang tersebut,
penulis ingin menguji pengaruh Pengendalian
Internal dan Gaya Kepemimpinan terhadap
kinerja karyawan. Adapun Gaya Kepemimpinan
penulis kategorikan ke dalam Gaya
Kepemimpinan Direktif, Gaya Kepemimpinan
Suportif, dan Gaya Kepemimpinan Paartisipatif,
dengan tujuan agar dapat membantu Pemerintah
43
dalam membuat kebijakan mengenai
Kepemimpinan dalam Pemerintahan guna
meningkatkan kinerja karyawan/pegawai.
Perumusan Masalah
Perumusan masalah yang diangkat dalam
penelitian ini meliputi:
1. Apakah pengendalian internal memiliki
pengaruh terhadap kinerja pegawai?
2. Apakah gaya kememimpinan direktif
memiliki pengaruh terhadap kinerja
pegawai?
3. Apakah gaya kememimpinan suportif
memiliki pengaruh terhadap kinerja
pegawai?
4. Apakah gaya kemempininan partisipatif
memiliki pengaruh terhadap kinerja
pegawai?
Landasan Teori dan Pengembangan
Hipotesis
Halim (2008:124) menjelaskan, teori
keagenan (agency theory) adalah teori yang
menggambarkan hubungan antara dua pihak
prinsipal dengan agen. Hubungan teori keagenan
dengan penelitian ini adalah Bupati sebagai
kepala daerah bertindak sebagai prinsipal yang
mempercayakan pelaksanaan tugas
pemerintahan di tingkat daerah kepada seluruh
pegawai OPD sebagai agen. Pegawai pemerintah
daerah yang ada di OPD sebagai agen, berfungsi
untuk mengeksekusi pelaksanaan teknis daerah
yang telah ditetapkan oleh Kepala Daerah
(Bupati) dalam bentuk peraturan. Sedangkan
prinsipal dalam hal ini Bupati memberikan
kepercayaan kepada seluruh pegawai OPD untuk
melaksanakan fungsi teknis pemerintahan di
tingkat daerah.
Arens et al (2012:290) mengungkapkan
bahwa sistem pengendalian internal terdiri dari
kebijakan dan prosedur yang dirancang oleh
manajemen dengan keyakinan yang memadai
bahwa perusahaan mampu untuk mencapai
tujuannya. Manjemen bisanya memiliki tiga
tujuan luas dalam merancang pengendalian
intenal yang efektif, yakni keandalan pelaporan
keuangan, efektifitas dan efisiensi operasi, dan
kepatuhan terhadap hukum dan aturan.
Committe of Sponsoring Organization of the
Tradeway Commisions (COSO)
mengungkapkan lima unsur pengendalian
internal, antara lain: lingkungan pengendalian,
penilaian risiko, aktivias pengendalian,
informasi dan komunikasi, dan aktivitas
pemantauan.
Jenis gaya kepemimpinan pada penelitian
ini mengacu pada path goal theory. Menurut
Sagala (2018:147), penerapan model path goal
theory membantu memahami dan meramalkan
efektifitas kepemimpinan dalam berbagai situasi
dan dapat mengkondisikan bahwa perilaku
pemimpin memengaruhi kepuasan, kualitas
kerja bawahan, penerimaan bawahan terhadap
pimpinan, harapan mengenai usaha dan imbalan
menggunakan gaya direktif, suportif, dan
partispatif.
1. Gaya Kepemimpinan Direktif
Gaya kepemimpinan ini sama seperti gaya
kepemimpinan otokratis (berkuasa dengan
mutlak) dan tidak ada partisipasi dari
bawahan.
2. Gaya Kepemimpinan Suportif
Jenis gaya kepemimpinan ini mampu
mendekatkan dirinya dengan bawahan agar
bawahan merasa nyaman. Pemimpin
memberikan motivasi kepada bawahan
untuk bekerja dengan loyal dan
meningkatkan kinerjanya.
3. Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Pemimpin seperti ini menempatkan
bawahan sebagai sumber informasi dan
evaluasi terhadap kinerjanya karena selalu
meminta dan menggunakan saran dari
bawahan untuk dipertimbangkan kemudian
dipilih yang terbaik untuk diterapkan.
Susanto (2017:51) menjelaskan bahwa
kinerja pegawai (performance) diartikan sebagai
hasil kerja seseorang pegawai atau sebuah proses
manajemen atau suatu organisasi secara
keseluruhan yang hasil kerja tersebut harus dapat
ditunjukkan buktinya secara konkrit dan dapat
diukur (dibandingkan dengan standar yang telah
ditentukan sesuai hasil kerja tersebut).
Pengaruh Pengendalian Internal terhadap
Kinerja Pegawai
Kinerja pegawai merupakan faktor penentu
kesuksesan sebuah organisasi atau dalam
konteks ini adalah organisasi pemerintahan.
Pengendalian internal yang dibuat oleh
44
manajemen sebagai tolok ukur kinerja pegawai
agar mereka dapat bekerja sesuai dengan aturan
yang telah ditetapkan dan mampu mencapai
tujuan organisasi. Binilang dkk (2017) telah
melakukan penelitian yang menghasilkan
adanya pengaruh pengendalian internal dan gaya
kepemimpinan terhadap kinerja pegawai.
Berdasarkan uraian tersebut, maka hipotesis
penelitian ini:
Hipotesis 1: Pengendalian internal berpengaruh
terhadap kinerja pegawai.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Direktif
terhadap Kinerja Pegawai
Gaya kepemimpinan direktif merupakan
gaya kepemimpinan yang tidak melibatkan
bawahan atau pegawai dalam pengambilan
keputusan. Gaya kepemimpinan ini menuntut
pegawai benar-benar paham terhadap keinginan
atasan. Putra dkk (2013) melakukan penelitian
dengan hasil menyatakan bahwa gaya
kepemimpinan direktif, suportif, dan partisipatif
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Hipotesis yang akan diuji berdasarkan uraian di
atas adalah:
Hipotesis 2: Gaya kepemimpinan direktif
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Suportif
terhadap Kinerja Pegawai
Jenis gaya kepemimpinan ini memberikan
ruang kepada pegawai untuk berkembang namun
tetap diawasi. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan oleh Putra dkk (2013) yang
memberikan kesimpulan bahwa gaya
kepemimpinan suportif berpengaruh terhadap
kinerja karyawan atau pegawai disebabkan oleh
sikap pemimpin yang selalu memberikan
kesempatan kepada pegawai untuk
menyampaikan perasaan dan perhatiannya,
selalu memperhatikan konflik-konflik yang
terjadi, selalu berusaha membangkitkan
semangat kerja dengan pemberian hadiah,
pemimpin sangat memahami dan
mengendalikan emosional pegawai agar tetap
semangat bekerja dan pemimpin mampu
berkomunikasi dengan baik kepada pegawai.
Berdasarkan uraian di atas, maka hipotesis yang
akan diuji pada penelitian ini adalah sebagai
berikut:
Hipotesis 3: Gaya kepemimpinan suportif
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Partisipatif
terhadap Kinerja Pegawai
Gaya kepemimpinan partisipatif merupakan
gaya pemimpin yang memprioritaskan pendapat
pegawai sebagai dasar pengambilan keputusan.
Gaya kepemimpinan jenis ini selalu meminta
saran dari pegawai nya untuk setiap tindakan
yang akan diambil, namun keputusan tetap
berada ditangannya. Pemimpin tetap memilah
saran pegawai yang benar-benar cocok untuk
tujuan organisasi, jadi kendali tetap berada
ditangan pemimpin. Penelitian sebelumnya telah
dilakukan oleh Putra dkk (2013) dengan
kesimpulan bahwa gaya kepemimpinan
partisipatif berpengaruh terhadap kinerja
pegawai. Hal tersebut dibuktikan dengan sikap-
sikap pemimpin yang telah memenuhi beberapa
indikator yaitu sikap pemimpin yang selalu
mengajak pegawai bersama-sama untuk
merumuskan tujuan, memperhatikan kerja
kelompok dari pada kompetisi individu, selalu
memberikan kebebasan untuk mengemukakan
gagasan dan konsep, dan pemimpin selalu
merespon, menghargai apapun ide dan konsep
yang disampaikan oleh pegawai. Hipotesis yang
akan diuji pada penelitian ini berdasarkan uraian
tersebut adalah:
Hipotesis 4: Gaya kepemimpinan partisipatif
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Ringkasan atas hasil penelitian sebelumnya
disajikan dalam tabel 1.
45
Tabel 1. Ringkasan Penelitian Sebelumnya
No Peneliti Judul Variabel Hasil
Persamaan
dengan
penelitian ini
Perbedaan
dengan
penelitian ini
1. Binilang
dkk (2017)
Pengaruh
Pengendalian
Internal dan
Gaya
Kepemimpinan
terhadap kinerja
karyawan pada
Hotel Boulvard
Manado
Independen:
(1)Pengendalian
Internal,
(2)Gaya
Kepemimpinan
Dependen:
Kinerja
Karyawan
Terdapat
pengaruh
pengendalian
internal dan
gaya
kepemimpinan
terhadap
kinerja
karyawan
Hotel
Boulvard
Manado.
- Meneliti
tentang
pengaruh
pengendalian
internal dan
gaya
kepemimpinan
terhadap kinerja
karyawan (pada
penilitian ini
disebut
pegawai)
- Menggunakan
analisis statistik
dengan
komputer SPSS
dan analisis
regresi linier
berganda untuk
menguji
hipotesis
- Subjek
penelitian
adalah Hotel
Boulvard
Manado
- Variabel
independen
gaya
kepemimpinan
tidak
menggunakan
path goal
theory
2. Putra dkk
(2015)
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
Direktif,
Suportif, dan
Partisipatif
terhadap Kinerja
Karyawan
(Studi Pada PT.
Astra
Internasional
Tbk. Daihatsu
Malang)
Independen:
(1)Gaya
Kepemimpinan
Direktif,
(2)Gaya
Kepemimpinan
Suportif,
(3)Gaya
Kepemimpinan
Partisipatif
Dependen:
Kinerja
Karyawan
Terdapat
pengaruh gaya
kepemimpinan
direktif,
suportif, dan
partisipatif
terhadap
kinerja
karyawan.
- Variabel
independen
gaya
kepemimpinan
menggunakan
path goal
theory dan
variabel
dependen
kinerja
karyawan (pada
penilitian ini
disebut
pegawai)
- Menggunakan
analisis statistik
dengan
komputer SPSS
dan anlisis
regresi linier
berganda untuk
menguji
hipotesis
- Tidak
menggunakan
pengendalian
internal sebagai
variabel
independen
- Objek
penelitian pada
PT. Astra
Internasional
Tbk. Daihatsu
Malang
3. Sarita
Permata
Dewi
(2012)
Pengaruh
Pengendalian
Internal dan
Gaya
Kepemimpinan
terhadap Kinerja
Independen:
(1)Pengendalian
Internal,
(2)Gaya
Kepemimpinan
Terdapat
pengaruh
pengendalian
internal dan
gaya
kepemimpinan
- Meneliti
tentang
pengaruh
pengendalian
internal dan
gaya
- Subjek
penelitian
adalah SPBU
Anak Cabang
Perusahaan RB.
Group
46
No Peneliti Judul Variabel Hasil
Persamaan
dengan
penelitian ini
Perbedaan
dengan
penelitian ini
Karyawan
SPBU
Yogyakarta
(Studi Kasus
pada SPBU
Anak Cabang
Perusahaan RB.
Group)
Dependen:
Kinerja
Karyawan
terhadap
kinerja
karyawan.
kepemimpinan
terhadap kinerja
karyawan (pada
penilitian ini
disebut
pegawai)
- Menggunakan
analisis statistik
dengan
komputer SPSS
dan analisis
regresi linier
berganda untuk
menguji
hipotesis
- Varibel
independen
gaya
kepemimpinan
tidak
menggunakan
path goal
theory
4. Khairizah
dkk (2015)
Pengaruh Gaya
Kepemimpinan
terhadap Kinerja
Karyawan
(Studi pada
Karyawan di
Perpustakaan
Universitas
Brawijaya
Malang)
Independen:
(1)Gaya
Kepemimpinan
Direktif,
(2)Gaya
Kepemimpinan
Suportif,
(3)Gaya
Kepemimpinan
Partisipatif
Dependen:
Kinerja
Karyawan
Secara
simultan
terdapat
pengaruh
keriga variabel
independen
terhadap
varibel
dependen.
Secara
simultan,
terdapat
pengaruh gaya
kepemimpinan
direktif
terhadap
kinerja
karyawan,
sedangkan
gaya
kepemimpinan
suportif dan
tidak
berpengaruh
terhadap
kinerja
karyawan
- Variabel
independen
gaya
kepemimpinan
menggunakan
path goal
theory dan
variabel
dependen
kinerja
karyawan (pada
penelitian ini
disebut
pegawai)
- Pengujian
variabel
menggunakan
analissi regresi
liner berganda
dan SPSS
- Tidak
menggunakan
pengendalian
internal sebagai
variabel
independen
- Objek
penelitian pada
karyawan di
perpustakaan
Universitas
Brawijaya
Malang
5. Hakim dkk
(2016)
Pengaruh
Komitmen
Organisasional,
Sistem
Pengendalian
Intern
Pemerintah, dan
Gaya
Kepemimpinan
Terhadap
Independen:
(1)Komitmen
Organisasional,
(2)SPIP,
(3)Gaya
Kepemimpinan
Dependen:
Kinerja
Manajerial
Terdapat
pengaruh
komitmen
organisasional
dan SPIP
terhadap
kinerja
manajerial,
sedangkan
gaya
- Variabel
independen
pengendalian
internal dan
gaya
kepemimpinan
- Gaya
kepemimpinan
diteliti
menggunakan
- Ada variabel
independen
komitmen
organisasional
dan variabel
dependen
kinerja
manajerial
- Path goal
theory tidak
47
No Peneliti Judul Variabel Hasil
Persamaan
dengan
penelitian ini
Perbedaan
dengan
penelitian ini
Kinerja
Manajerial
(Survey pada
SKPD
Sumbawa dan
Sumbawa Barat)
kepemimpinan
tidak
berpengaruh
terhadap
kinerja
manajerial.
path goal
theory
- Menggunakan
analisis statistik
dengan
komputer SPSS
dan anlisis
regresi linier
berganda untuk
menguji
hipotesis
- Objek
penelitian pada
SKPD
dikembangkan
dalam hipotesis
6. Eva
Faridah
(2014)
Pengaruh
Pengendalian
Internal
Terhadap
Kinerja Pegawai
Bagian
Keuangan
Independen:
Pengendalian
Internal
Dependen:
Kinerja Pegawai
Terdapat
pengaruh
pengendalian
internal
terhadap
kinerja
pegawai
bagian
keuangan
RSUD Kota
Banjar.
- Variabel
independen
pengendalian
internal dan
dependen
kinerja pegawai
- Tidak
menggunakan
variabel
independen
gaya
kepemimpinan
- Objek
penelitian pada
RSUD Kota
Banjar
7. Habeeb
dan
Ibrahim
(2017)
Effect of
Leadership
Styles on
Employee
Performance in
Nigerian
Universities
Independen:
Gaya
Kepemimpinan
Dependen:
Kinerja Pegawai
Terdapat
pengaruh gaya
kepemimpinan
terhadap
kinerja
pegawai
- Variabel
independennya
gaya
kepemimpinan
dan
dependennya
kinerja pegawai
- Tidak
menggunakan
pengendalian
internal sebagai
variabel
independen
- Gaya
kepemimpinan
dianalisis
dengan 1
hipotesis
- Analisis data
menggunakan
Scientific
Programme for
Social Science
Sumber: Data Olahan (2019)
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kuantitatif dengan menggunakan data primer
berupa kuesioner dan data sekunder berupa
bacaan yang berhubungan dengan penelitian ini.
Populasi dalam penelitian ini yaitu pegawai
Kantor Organisasi Perangkat Daerah Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi yaitu sejumlah 10.224.
Pemilihan sampel dalam penelitian ini
menggunakan metode nonprobability sampling
dengan metode sampling kuota. Sampling kuota
merupakan teknik pengambilan sampel dari
populasi dengan ciri-ciri tertentu sampai jumlah
kuota yang diinginkan terpenuhi. Sampel
penelitian ini sebesar 100 responden.
48
Variabel Penelitian
Arens et al (2012:290) menjelaskan bahwa
sistem pengendalian internal berkiblat pada
COSO Framework, yaitu lingkungan
pengendalian, penilaian risiko, aktivitas
pengendalian, informasi dan komunikasi, dan
pemantauan pengendalian internal. Kelima
indikator pengendalian internal menurut COSO
tersebut merupakan acuan untuk meneliti
variabel pengendalian internal pada penelitian
ini.
Purwanto (2006:24) mengartikan gaya
kepemimpinan sebagai cara pandang seorang
pemimpin dalam memengaruhi, memotivasi,
dan mengendalikan bawahan agar tujuan
organisasi atau kelompok dapat tercapai.
Penelitian ini mengklasifikasikan gaya
kepemimpinan menjadi tiga variabel bebas,
antara lain:
1. Gaya Kepemimpinan Direktif
Gaya kepemimpinan direktif diteliti dengan
menggunakan empat indikator utama yaitu
pemimpin jarang melibatkan pegawai
dalam pengambilan keputusan, pemimpin
selalu memberikan penjelasan tugas yang
akan dikerjakan pegawai dengan jelas dan
memberikan peringatan jika target
pekerjaan tidak tercapai, pimpinan selalu
merespon pegawai untuk mengembangkan
kemampuan, dan pimpinan selalu
memberikan umpan balik bagi pegawai
yang bekerja dengan hasil yang memuaskan
(Putra dkk, 2015).
2. Gaya Kepemimpinan Suportif
Indikator gaya kepemimpinan suportif
menurut Putra dkk (2015) terdiri dari lima
indikator utama yaitu pemimpin selalu
memberikan kesempatan kepada pegawai
untuk menyampaikan perasaan, pemimpin
selalu memperhatikan konflik yang terjadi
dan berusaha memberikan solusi, pemimpin
selalu berusaha membangkitkan semangat
kerja dengan pemberian hadiah, pemimpin
sangat memahami dan mengendalikan
emosional pegawai agar tetap semangat
bekerja, dan pemimpin mampu
berkomunikasi dengan baik terhadap
pegawainya.
3. Gaya Kepemimpinan Partisipatif
Putra dkk (2015) meneliti gaya
kepemimpinan partisipatif melalui empat
indikator utama yaitu pemimpin selalu
mengajak bawahan bersama-sama
merumuskan tujuan, memperhatikan kerja
kelompok dari pada kompetisi individu,
pemimpin selalu memberikan kebebasan
kepada pegawai untuk mengemukakan
gagasan dan konsep, dan pemimpin selalu
merespon, menghargai apapun ide dan
konsep yang disampaikan oleh pegawai.
Indikator kinerja pegawai pada penelitian
ini ada empat yang mengacu pada penelitian
yang sebelumnya telah dilakukan oleh Dewi
(2012) menurut Barnard dan Quinn dalam
Suyadi Prawirosentono (2008:27-32), yaitu
efektifitas dan efisiensi, otoritas dan tanggung
jawab, disiplin, dan inisiatif.
Teknik Analisis Data
Analisis dalam penelitian ini menggunakan
analisis linier berganda. Berikut ini persamaan
matematik untuk menguji hipotesis variabel
dalam penelitian:
Y = α + β1X1 + β2X2 + β3X3+ β4X4+ ε
Keterangan:
Y = Kinerja Pegawai
α = Konstanta
β1β2β3β4 = Koefisien regresi untuk masing-
masing variabel X
X1 = Pengendalian Internal
X2 = Gaya Kepemimpinan Direktif
X3 = Gaya Kepemimpinan Suportif
X4 = Gaya Kepemimpinan Partisipatif
ε = Estimated of Standard error
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Uji normalitas bertujuan untuk menguji
model regresi yakni variabel dependen dan
independen terdistribusi secara normal atau
tidak. Uji ini menggunakan uji kolmogorov
smirnov. Jika nilai signifikansi dari hasil uji
kolmogrov smirnov > 0,05 (α=5%), maka
residual regresi berdistribusi normal.
Berdasarkan Tabel 2 dapat diketahui bahwa nilai
uji kolmogorov smirnov residual menghasilkan
nilai signifikansi 0,124 > 0,05, maka dapat
49
disimpulkan bahwa residual regresi dalam
penelitian ini berdistribusi normal.
Tabel 2. Hasil Uji Normalitas
Test
Statistic Signifikansi Keterangan
Unstand
ardized
Residual
0,79 0,124 Normal
Sumber: Data Olahan (2019)
Uji multikolinieritas ini bertujuan untuk
mengetahui ada atau tidaknya hubungan yang
signifikan antara variabel bebas dalam model
regresi. Berdasarkan Tabel 3 dapat diketahui
bahwa nilai VIF pada variabel bebas kurang dari
10 dan nilai tolerance lebih besar dari 0,1. Maka
dapat disimpulkan bahwa model regresi dalam
penelitian ini bebas dari multikolinieritas atau
dengan kata lain asumsi non multikolinieritas
terpenuhi.
Tabel 3. Hasil Uji Multikoliniearitas
Variabel Tolerance VIF Keterangan
Pengendalian
Internal (X1)
0,826 1,210 Tidak
Terjadi
Multiko
linearitas
Gaya
Kepemimpinan
Direktif (X2)
0,635 1,575 Tidak
Terjadi
Multiko
linearitas
Gaya
Kepemimpinan
Suportif (X3)
0,562 1,778 Tidak
Terjadi
Multiko
linearitas
Gaya
Kepemimpinan
Partisipatif (X4)
0,782 1,279 Tidak
Terjadi
Multiko
linearitas
Sumber: Data Olahan (2019)
Uji heterokedastisitas memiliki tujuan
untuk menguji apakah terjadi ketidaksamaan
variance dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain dalam model regresi.
Heterokedastisitas penelitian ini diuji
menggunakan metode glejser, dengan tingkat
kepercayaan 5%. Tabel 4 merupakan bukti
bahwa penelitian ini tidak terindikasi adanya
heterokedastisitas.
Tabel 4. Hasil Uji Heteroskedastisitas
Variabel Signifikansi Kesimpulan
Pengendalian
Internal (X1)
0,524 Tidak Terjadi
Hetero
kedastisitas
Gaya
Kepemimpinan
Direktif (X2)
0,343 Tidak Terjadi
Hetero
kedastisitas
Gaya
Kepemimpinan
Suportif (X3)
0,226 Tidak Terjadi
Hetero
kedastisitas
Gaya
Kepemimpinan
Partisipatif (X4)
0,305 Tidak
Terjadi
Hetero
kedastisitas
Sumber: Data Olahan (2019)
Hasil Analisis Linier Berganda
Model analisis berganda digunakan untuk
menguji pengaruh pengendalian internal (X1),
gaya kepemimpinan direktif (X2), gaya
kepemimpinan suportif (X3) dan gaya
kepemimpinan partisipatif (X4) terhadap kinerja
Pegawai (Y). Dari tabel 5 diperoleh persamaan:
Y = 17,324 + 0,353X1 + 0,016X2 + 0,384X3 +
0,359X4 + 5,540
Tabel 5. Hasil Model Regresi Berganda
Sumber: Data Olahan (2019)
Uji Koefisien Determinasi (R2)
Tabel 6 juga menjelaskan analisis dari
koefisien determinasi sebesar 0,340 yang berarti
bahwa variabel independen dalam penelitian ini
mampu menjelaskan atau memberikan informasi
terkait variabel dependennya sebesar 34%,
sedangkan sisanya sebesar 66% dijelaskan oleh
variabel lain yang tidak dimasukkan dalam
penelitian, misalnya kompetensi, lingkungan
kerja, budaya organisasi, efikasi diri dan
kepuasan kerja (Fattah, 2017:5).
Model
Unstandardized
Coefficients
Standardized
Coefficients
B Std.
Error Beta
1 (Constant) 17,324 9,538
X1 ,353 ,097 ,327
X2 ,016 ,189 ,009
X3 ,384 ,141 ,296
X4 ,359 ,198 ,168
50
Tabel 6. Hasil Uji Koefisien Determinasi
Model R R
Square
Adjusted R
Square
Std. Error of
the Estimate
1 ,606a ,367 ,340 5,450
Sumber: Data Olahan (2019)
Uji Parsial (Uji t)
Penelitian ini menggunakan tingkat
signifikansi (taraf kesalahan) sebesar 5%. Hasil
uji t penelitian ini telah disajikan pada tabel 7
berikut:
Tabel 7. Hasil Uji Parsial (Uji t)
Sumber: Data Olahan SPSS (2019)
Pengaruh Pengendalian Internal terhadap
Kinerja Pegawai
Pengendalian internal berpengaruh
terhadap kinerja pegawai, dinyatakan diterima
dan terbukti kebenarannya. Berdasarkan teori
agensi yang digunakan dalam penelitian ini,
dengan adanya pengendalian internal bupati
sebagai kepala pemerintahan daerah
menginginkan terwujudnya tata kelola
pemerintahan yang baik. Bupati memberikan
dorongan kepada pegawai pemerintahan agar
pengendalian internal yang ada mampu
diterapkan dengan baik oleh pegawai, caranya
adalah dengan memberikan insentif atau reward
kepada pegawai yang didasarkan pada kontribusi
yang mereka berikan. Sehingga pegawai
pemerintahan termotivasi untuk melaksanakan
pengendalian internal dengan baik. Penelitian ini
konsisten dengan penelitian Binilang dkk (2017)
dan Dewi (2012).
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Direktif
terhadap Kinerja Pegawai
Gaya kepemimpinan direktif tidak
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Berdasarkan pada teori agensi bahwa terdapat
perbedaan kepentingan dan risiko yang
ditanggung antara prinsipal dengan agen yang
dapat diatasi dengan kompensasi atau insentif
yang memadai. Penelitian ini tidak konsisten
dengan penelitian yang dilakukan oleh Putra dkk
(2013) dan Khairizah (2015).
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Suportif
terhadap Kinerja Pegawai
Gaya kepemimpinan suportif berpengaruh
terhadap kinerja pegawai. Dikaitkan dengan
teori agensi yang diterapkan pada penelitian ini.
Pimpinan sebagai prinsipal menginginkan
terwujudnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Tata kelola pemerintahan yang baik tidak
terlepas dari peran pegawai di dalamnya.
Pegawai sebagai agen berkewajiban untuk
mengeksekusi tugas yang telah diberikan oleh
pimpinan. Hal yang dilakukan pimpinan untuk
memicu kinerja pegawai ialah memberikan
insentif yang sesuai. Penelitian ini konsisten
dengan penelitian Putra dkk (2013) dan tidak
sesuai dengan Khairizah (2015).
Pengaruh Gaya Kepemimpinan Partisipatif
terhadap Kinerja Pegawai
Gaya kepemimpinan partisipatif tidak
berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Berdasarkan teori agensi bahwa terdapat
perbedaan kepentingan antara agen dan
prinsipal. Prinsipal menggunakan gaya
kepemimpinan direktif untuk mencapai tujuan
nyatanya tidak memengaruhi kinerja pegawai.
Hal tersebut dikarenakan adanya faktor lain yang
menyebabkan, misalnya tidak ada reward yang
diberikan kepada pegawai, faktor kemampuan,
motivasi, dan mental yang meningkatkan kinerja
pegawai. Penelitian ini konsisten dengan
penelitian yang telah dilakukan oleh Khairizah
(2015) dan tidak sesuai dengan penelitian Putra
(2013).
Model
Unstandardized Coefficients
Stan
dardi
zed Coef
ficie
nts
T Sig. Hasil
B Std.
Error Beta
1 (Con
stant)
17,324 9,538 1,816 ,072
X1 ,353 ,097 ,327 3,639 ,000 H0:Ditolak
atau
H1:Diterima
X2 ,016 ,189 ,009 ,084 ,933 H0:Diterima
atau
H1:Ditolak
X3 ,384 ,141 ,296 2,721 ,008 H0:Ditolak atau
H1:Diterima
X4 ,359 ,198 ,168 1,817 ,072 H0:Diterima atau
H1:Ditolak
51
4. KESIMPULAN
Pengendalian internal berpengaruh
terhadap kinerja pegawai. Hal ini berarti bahwa
pengendalian internal merupakan salah satu
faktor penyebab baik atau buruknya kinerja
pegawai pada Kantor Organisasi Perangkat
Daerah Pemerintah Kabupaten Banyuwangi.
Gaya kepemimpinan direktif tidak berpengaruh
terhadap kinerja pegawai. Hal ini menunjukkan
bahwa gaya kepemimpinan direktif yang
diterapkan tidak memengaruhi baik atau
buruknya kinerja pegawai OPD Pemerintah
Kabupaten Banyuwangi. Gaya kepemimpinan
suportif berpengaruh terhadap kinerja pegawai.
Hal ini berarti baik atau buruknya kinerja
pegawai OPD Pemerintah Kabupaten
Banyuwangi dipengaruhi oleh gaya
kepemimpinan suportif yang diterapkan oleh
Bupati Banyuwangi. Gaya kepemimpinan
partisipatif tidak berpengaruh terhadap kinerja
pegawai. Hal tersebut menunjukkan bahwa gaya
kepemimpinan partisipatif tidak memiliki
pengaruh terhadap baik atau buruknya kinerja
pegawai OPD Pemerintah Daerah Kabupaten
Banyuwangi.
Perlu dilakukannya penelitian lain dengan
variabel berbeda yang mungkin memiliki
pengaruh kuat terhadap kinerja pegawai, selain
variabel yang ada pada penelitian ini. Misalnya
kompetensi, lingkungan kerja, budaya
organisasi, efikasi diri, kepuasan kerja.
5. REFERENSI
Arens, A. A., Elder, R. J., & Beasley, M. S.
(2012). Auditing and Assurance Services:
an Integrated Approach. New Jersey:
Pearson Education, Inc.
Binilang, N. N., Massie, J., & Ogi, I. (2017).
Pengaruh Pengendalian Internal dan Gaya
Kepemimpinan Terhadap Kinerja
Karyawan Pada Hotel Boulevard Manado.
EMBA, Vol. 5 (2), 1433-1439.
Cunningham, W., & Cordeiro, P. A. (2003).
Educational Leadership. New York:
Pearson Education, Inc.
Faridah, E. (2014). Pengaruh Pengendalian
Internal Terhadap Kinerja Pegawai Bagian
Keuangan. JAWARA (Jurnal Wawasan dan
Riset Akuntansi, Vol. 1 (2), 126-134.
Fattah, H. (2017). Kepuasan Kerja dan Kinerja
Pegawai. Yogyakarta: Elmatera.
Halim, A. (2008). Akuntansi Sektor Publik
Akuntansi Keuangan. Jakarta: Salemba
Empat.
Khairizah Astria, I. N. (2015). Pengaruh Gaya
Kepemimpinan Terhadap Kinerja
Karyawan. Jurnal Administrasi Publik
(JAP), Vol.3 No.7, 1268-1272.
Purwanto, D. (2006). Komunikasi Bisnis.
Jakarta: Erlangga.
Putra, C. B., Utami, H. N., & Hakam, M. S.
(2013). Pengaruh Gaya Kepemimpinan
Direktif, Suportif, dan Partisipatif terhadap
Kinerja Karyawan. Jurnal Administrasi
Bisnis, Vol. 2 (2), 11-20.
Prawirosentono, S. (2008). Manajemen Sumber
Daya Manusia Kebijakan Kinerja
Karyawan. Yogyakarta: BPFE.
52
PENGARUH REMUNERASI, MOTIVASI PEGAWAI, DAN KINERJA PEGAWAI
TERHADAP KINERJA ORGANISASI
Hadiyanto
Pusat Pendidikan dan Pelatihan Pengawasan BPKP
email: [email protected]
Abstrak
Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) merupakan Unit Kerja di lingkungan pemerintah daerah yang
dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan/atau jasa
yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan produktivitas maka dibentuk Badan Layanan Umum Daerah
(BLUD). Pejabat Pengelola BLUD, Dewan Pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan
remunerasi sesuai dengan tingkat tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme yang diperlukan.
Pemberian remunerasi yang optimal dimaksudkan untuk memotivasi dan meningkatkan kinerja
karyawan sehingga dapat meningkatkan kinerja rumah sakit secara keseluruhan. Tujuan dari
penelitian ini adalah untuk untuk dapat mengetahui apakah kebijakan remunerasi telah meningkatkan
motivasi dan kinerja karyawan untuk meningkatkan kinerja rumah sakit. Metode yang digunakan
adalah Uji Non-Response Bias dilakukan untuk melihat karakteristik jawaban responden yang
memberikan jawaban dan tidak memberikan jawaban (non responden), Uji regresi berganda yaitu
untuk mengetahui pengaruh variabel bebas terhadap variabel terikat, dan Uji Asumsi Klasik Model
Regresi Berganda. Kesimpulan dari penelitian ini adalah kebijakan remunerasi, motivasi pegawai
dan kinerja pegawai berpengaruh nyata terhadap kinerja organisasi dan secara individu menunjukkan
perubahan. Kebijakan remunerasi masih berpengaruh negatif terhadap kinerja organisasi, sedangkan
motivasi dan kinerja pegawai berpengaruh positif terhadap kinerja organisasi.
Kata kunci: kebijakan remunerasi, motivasi, kinerja individu, kinerja organisasi
Abstract
Regional General Hospital (RSUD) is a Work Unit within the regional government that was formed
to provide services to the community in the form of the supply of goods and/or services sold without
prioritizing profit-seeking, and in carrying out its activities based on the principles of efficiency and
productivity a Regional Public Service Agency (BLUD) was formed. BLUD Management Officers,
Board of Trustees and BLUD employees can be remunerated according to the level of responsibility
and professionalism required. Providing optimal remuneration is intended to motivate and improve
employee performance to improve overall hospital performance. The purpose of this study is to be
able to find out whether the remuneration policy has increased employee motivation and
performance to improve hospital performance. The method used is the Non-Response Bias Test
conducted to see the characteristics of respondents' answers that provide answers and do not provide
answers (non-responders), multiple regression test that is to determine the effect of independent
variables on the dependent variable, and Classical Assumption Test of Multiple Regression Models.
The conclusion of this study is the remuneration policy, employee motivation and employee
performance significantly affect organizational performance and individually show changes.
Remuneration policy still has a negative effect on organizational performance, while employee
motivation and performance has a positive effect on organizational performance.
Keywords: remuneration policy, motivation, individual performance, organizational performance
53
1. PENDAHULUAN
Pada Peraturan Menteri Dalam Negeri
Nomor 79 Tahun 2018 tentang Badan Layanan
Umum Daerah (BLUD), BLUD adalah sistem
yang diterapkan oleh unit pelaksana teknis
dinas/badan daerah dalam memberikan
pelayanan kepada masyarakat yang mempunyai
fleksibilitas dalam pola pengelolaan keuangan
sebagai pengecualian dari ketentuan pengelolaan
daerah pada umumnya. Rumah sakit merupakan
suatu unit usaha jasa yang memberikan jasa
pelayanan sosial di bidang medis klinis.
Pengelolaan unit usaha rumah sakit memiliki
keunikan tersendiri karena selain sebagai unit
bisnis, usaha rumah sakit juga memiliki misi
sosial, disamping pengelolaan rumah sakit juga
sangat tergantung status kepemilikan rumah
sakit.
Rumah sakit pemerintah lebih tepat sebagai
klasifikasi non bisnis, namun rumah sakit swasta
juga tidak seluruhnya diklasifikasikan dalam
kelompok non bisnis. Beberapa rumah sakit
masih memiliki kualitas jasa layanan yang masih
memprihatinkan, hal ini antara lain disebabkan
keterbatasan sumber daya baik sumber daya
keuangan maupun sumber daya non keuangan.
RSUD mempunyai tugas melakukan upaya
kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna
dengan mengutamakan upaya penyembuhan,
pemulihan yang dilakukan secara serasi, terpadu
dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta
melaksanakan upaya rujukan; dan juga
melakukan layanan bermutu sesuai standar
layanan. RSUD mempunyai peran yang sangat
penting dalam sistem kesehatan masyarakat
sehingga diperlukan pendekatan terpadu untuk
melakukan kegiatannya secara ekonomis,
efisien, efektif agar mampu memberikan
pelayanan yang terbaik bagi masyarakat,
disamping harus mampu mengembangkan
lembaganya menjadi mandiri secara ekonomi
untuk tumbuh dan berkembang.
RSUD sebagai salah satu sub sistem
penyelenggaraan peningkatan kesehatan
memiliki peran dalam menyelenggarakan
pelayanan kesehatan melalui tenaga dokter yang
profesional, peralatan medis, pelayanan
laboratorium, farmasi, pelayanan perawatan,
penelitian dan pendidikan tenaga dokter dan
paramedis.
RSUD adalah Unit Kerja di lingkungan
pemerintah daerah yang dibentuk untuk
memberikan pelayanan kepada masyarakat
berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang
dijual tanpa mengutamakan mencari
keuntungan, dan dalam melakukan kegiatannya
didasarkan pada prinsip efisiensi dan
produktivitas sehingga dibentuklah BLUD.
Pola Pengelolaan Keuangan BLUD (PPK-
BLUD) adalah pola pengelolaan keuangan yang
memberikan fleksibilitas. Pola fleksibilitas
untuk BLUD adalah berupa keleluasaan untuk
menerapkan praktek-praktek bisnis yang sehat.
Tujuannya adalah untuk meningkatkan
pelayanan kepada masyarakat, memajukan
kesejahteraan umum dan mencerdaskan
kehidupan bangsa, sebagai pengecualian dari
ketentuan pengelolaan keuangan daerah pada
umumnya.
Berdasarkan pasal 29 Permendagri Nomor
Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan bahwa
penerapan PPK BLUD harus memenuhi
pesyaratan substantif, persyaratan teknis, dan
persyaratan administratif. Pemenuhan
persyaratan substantif yaitu apabila tugas dan
fungsi Unit Pelaksana Teknis Dinas/Badan
Daerah bersifat operasional dalam
menyelenggarakan pelayanan umum yang
menghasilkan semi barang/jasa publik.
Persyaratan teknis terpenuhi apabila
karakteristik tugas dan fungsi Unit Pelaksana
Teknis Dinas/Badan Daerah dalam memberikan
pelayanan lebih layak apabila dikelola dengan
menerapkan BLUD sehingga dapat
meningkatkan pencapaian target keberhasilan
dan berpotensi meningkatkan pelayanan kepada
masyarakat dan kinerja keuangan. Persyaratan
administratif terpenuhi apabila Unit Pelaksana
Teknis Dinas/Badan Daerah membuat dan
menyampaikan dokumen yang meliputi surat
pernyataan kesanggupan untuk meningkatkan
kinerja, pola tata kelola, renstra, standar
pelayanan minimal, laporan keuangan atau
prognosis keuangan, dan laporan audit terakhir
atau pernyataan bersedia untuk diaudit oleh
pemeriksa eksternal pemerintah.
Kemudian berdasarkan pasal 51
Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan
bahwa Pendapatan BLUD dapat bersumber dari
jasa layanan, hibah, hasil kerjasama dengan
54
pihak lain, Anggaran Pendapatan dan Belanja
Daerah (APBD) dan lain-lain pendapatan BLUD
yang sah. Pendapatan yang bersumber dari jasa
layanan adalah berupa imbalan yang diperoleh
dari jasa layanan yang diberikan kepada
masyarakat.
Berdasarkan pasal 3 Permendagri Nomor
79 Tahun 2018 disebutkan bahwa Sumber daya
manusia BLUD terdiri dari Pejabat Pengelola
dan Pegawai. Pejabat Pengelola BLUD berasal
dari Pegawai Negeri Sipil; dan atau pegawai
pemerintah dengan perjanjian kerja, sesuai
dengan ketentuan perundang-undangan.
Selanjutnya berdasarkan pasal 6 Permendagri
Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan Pejabat
Pengelola BLUD yang dimaksud dalam pasal 3
terdiri dari pemimpin, pejabat keuangan dan
pejabat teknis. Selain pejabat pengelola, juga
terdapat Pembina dan Pengawas BLUD yang
terdiri dari pembina teknis dan pembina
keuangan, satuan pengawas internal dan Dewan
Pengawas. Dewan Pengawas BLUD bertugas
untuk melakukan pengawasan dan pengendalian
internal yang dilakukan oleh pejabat pengelola.
Kemudian berdasarkan pasal 23
Permendagri Nomor 79 Tahun 2018 disebutkan
bahwa Pejabat Pengelola BLUD, Dewan
Pengawas dan pegawai BLUD dapat diberikan
remunerasi sesuai dengan tingkat
tanggungjawab dan tuntutan profesionalisme
yang diperlukan. Remunerasi tersebut
merupakan imbalan kerja yang dapat berupa
gaji, tunjangan tetap, insentif, bonus atas
prestasi, pesangon dan atau pensiun yang
ditetapkan oleh Kepala Daerah berdasarkan
usulan yang disampaikan oleh pemimpin BLUD
melalui Sekretaris Daerah. Penetapan
remunerasi mempertimbangkan faktor-faktor
yang berdasarkan ukuran dan jumlah aset yang
dikelola BLUD, tingkat pelayanan serta
produktivitas, pertimbangan persamaannya
dengan industri pelayanan sejenis, kemampuan
pendapatan BLUD yang bersangkutan dan
kinerja operasional BLUD. Besaran remunerasi
pemimpin BLUD ditetapkan dengan keputusan
kepala daerah dengan mempertimbangkan
antara lain indikator keuangan, pelayanan, mutu
dan manfaat bagi masyarakat.
Berdasarkan pasal 25 Permendagri Nomor
79 Tahun 2018 disebutkan bahwa Remunerasi
bagi pejabat pengelola dan pegawai BLUD
dihitung berdasarkan beberapa indikator
diantaranya adalah pengalaman dan masa kerja,
keterampilan, ilmu pengetahuan dan perilaku,
risiko kerja, tingkat kegawatdaruratan, jabatan
yang disandang dan hasil/capaian kinerja. Dalam
membahas remunerasi jasa medis dan gaji upah,
perlu dipahami makna dari tujuan remunerasi
pada umumnya yaitu: memperoleh SDM yang
qualified, mempertahankan karyawan yang baik
dan berprestasi serta mencegah turnover
karyawan, mendapatkan keunggulan kompetitif,
memotivasi karyawan untuk memperoleh
perilaku yang diinginkan, menjamin keadilan
antara satu karyawan dengan yang lainnya
berdasarkan kinerja dan prestasi kerja,
mengendalikan biaya, sebagai sarana mencapai
sasaran strategis RS dan memenuhi peraturan
pemerintah.
Menurut Flippo EB, (1961), remunerasi
sesungguhnya adalah harga untuk jasa-jasa yang
telah diberikan seorang kepada orang lain.
Remunerasi jasa medis merupakan bentuk
kompensasi atas jasa (jasa medis) yang telah
diberikan/dilakukan tenaga medis pada
pasiennya. Untuk memudahkan maka
remunerasi dikonkritkan dalam bentuk nominal.
Jasamedis yang dilakukan oleh tenaga medis
pada hakikatnya berkaitan dengan layanan medis
suatu rumah sakit, layanan tersebut dapat
dilakukan dengan dukungan unit-unit penunjang
lain baik unit penunjang langsung (rekam medik,
radiologi, laboratorium, fisioterapi, gizi, dll)
maupun unit penunjang tidak langsung (unit
manajemen, marketing, sekuriti, perparkiran,
kebersihan dll). Beberapa unit penunjang
langsung juga merupakan sumber pendapatan
RS, oleh karenanya bentuk jasa layanan yang
dilakukan tadi disebut sebagai Jasa Pelayanan
Rumah Sakit. Pada klinik dan RS yang cukup
kecil dengan layanan terbatas, biasanya jasa
medis (congcruent) dengan jasa pelayanan
Dari uraian di atas dapat disimpulkan
bahwa tujuan dan definisi remunerasi jasa medis
pada dasarnya adalah “Besaran nilai jumlah
uang yang diterima oleh tenaga medis sebagai
kompensasi atas kinerja yang telah dilakukan
berkaitan dengan risiko tanggung jawab profesi
dari pekerjaannya”. Sedangkan gaji upah tenaga
medis adalah nilai yang harus diterima oleh
55
tenaga medis dari nilai kompensasi ditambah
dengan besaran keuntungan lain (tangible dan
intangible).
Berdasarkan Keputusan Bupati Pati Nomor
900/1881/2009 tanggal 1 September 2009,
RSUD RAA Soewondo Pati telah ditetapkan
statusnya dengan Pola Pengelolaan Keuangan
Badan Layanan Umum Daerah (PPK-BLUD).
Tugas pokok RSUD RAA Soewondo Pati adalah
membantu Bupati dalam penyelenggaraan
pemerintah daerah di bidang kesehatan melalui
upaya kegiatan peningkatan, pencegahan,
penyembuhan dan pemulihan kesehatan serta
melaksanakan upaya rujukan.
Kebijakan Remunerasi pada RSUD RAA
Soewondo Pati ditetapkan berdasarkan
Peraturan Bupati Pati Nomor 6 Tahun 2012
tanggal 22 Pebruari 2012 dan perubahan
peraturan Bupati Nomor 47 tahun 2012 tanggal
4 Agustus 2012. Penetapan dan pemberlakuan
tim penyusun remunerasi di RSUD RAA
Soewondo Pati ditetapkan dengan keputusan
Direktur RSUD RAA Soewondo Pati Nomor
445/08/2012 tanggal 16 Januari 2012 dan
hasilnya adalah Nota Kesepakatan hasil
formulasi remunerasi.
Pada beberapa RSUD di Jawa Tengah yang
telah dilakukan penelitian oleh penulis
diantaranya RSUD Pemalang, RSUD Kebumen,
RSUD Kabupaten Tegal, dan RSUD Kabupaten
Brebes terjadi ketidakpuasan atas kebijakan
remunerasi. Ketidakpuasan disebabkan beban
kerja setiap karyawan yang berbeda terutama
karyawan yang diakui sebagai profit center
(tenaga medis yaitu dokter dan paramedis) dan
cost center (tenaga non kesehatan). Penerapan
kebijakan remunerasi yang ada diperlukan untuk
peningkatan motivasi dan kinerja dengan
memperhatikan karakteristik pekerjaan.
Pemberian remunerasi yang optimal
dimaksudkan untuk memotivasi dan
meningkatkan kinerja karyawan sehingga dapat
meningkatkan kinerja rumah sakit secara
keseluruhan.
Suatu organisasi harus mampu menyusun
kebijakan yang tepat untuk mengatasi setiap
perubahan yang akan terjadi. Penyusunan
kebijakan yang menjadi perhatian adalah
manajemen yang menyangkut pemberdayaan
sumber daya manusia. Sumber daya manusia
merupakan aset yang sangat bernilai dalam
sebuah organisasi. Sumber daya manusia yang
kompeten akan memberikan kontribusi yang
sangat besar kepada sebuah organisasi. Strategi
pengembangan sumber daya manusia diperlukan
untuk memelihara dan meningkatkan kinerja
sumber daya manusia itu sendiri. Penilaian
kinerja merupakan acuan pemberdayaan sumber
daya manusia. Kinerja dapat diartikan suatu hasil
kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau
kelompok orang dalam suatu organisasi, sesuai
dengan wewenang dan tanggung jawab masing-
masing individu, dalam rangka mencapai tujuan
organisasi secara legal, tidak melanggar hukum
dan sesuai dengan moral dan etika. Tenaga kerja
merupakan faktor produksi yang dinamis yang
memiliki kemampuan berpikir dan motivasi
kerja, apabila pihak manajemen perusaaan
mampu meningkatkan motivasi mereka, maka
produktivitas kerja akan meningkat.
Berdasarkan makalah Adie E. Yusuf tahun
2008 yaitu Pengaruh Motivasi terhadap
Peningkatan Kinerja disebutkan bahwa Motivasi
adalah kondisi ataupun tindakan yang
mendorong seseorang untuk melakukan suatu
pekerjaan atau kegiatan semaksimal mungkin
berbuat dan berproduksi. Peranan motivasi
adalah untuk mengintensifkan hasrat dan
keinginan tersebut, oleh karena itu dapat
disimpulkan bahwa usaha peningkatan semangat
kerja seseorang akan selalu terkait dengan usaha
memotivasinya sehingga untuk mengadakan
motivasi yang baik perlu mengetahui kebutuhan-
kebutuhan manusia yaitu kebutuhan prestasi,
kebutuhan afiliasi dan kebutuhan kekuasaan.
Kurangnya motivasi dan meningkatnya kinerja
pegawai disebabkan kebijakan remunerasi
kepada pegawai (khususnya dokter dan
paramedis) dirasakan kurang proporsional dan
tidak sesuai dengan beban kerja.
Pada ilmu akuntansi keperilakuan dengan
mempertimbangkan hubungan antar perilaku
manusia dan sistem akuntansi, mencerminkan
dimensi sosial dan budaya manusia dalam suatu
organisasi. Secara umum lingkup akuntansi
keperilakuan dapat menjadi 3 bidang yaitu
pengaruh perilaku manusia berdasarkan disain,
konstruksi dan penggunaan sistem akuntansi,
pengaruh sistem akuntansi terhadap perilaku
56
manusia, dan metode untuk memprediksi dan
strategi untuk mengubah perilaku manusia.
Pengukuran Kinerja Rumah Sakit
merupakan pengukuran kemajuan pekerjaan
terhadap tujuan yang telah ditentukan
sebelumnya, termasuk efisiensi penggunaan
sumber daya dalam menghasilkan barang dan
jasa, kualitas barang dan jasa yang dihasilkan,
hasil kegiatan dibandingkan dengan maksud
yang diinginkan dan efektivitas tindakan
pencapaian tujuan. Pengukuran kinerja RSUD
didasarkan pada Kinerja Keuangan dan Non
keuangan yang terdiri dari Aspek Pelayanan dan
Aspek Mutu Pelayanan dan Aspek manfaat bagi
masyarakat. Pengukuran kinerja Aspek Mutu
Pelayanan dapat ditentukan melalui Standar
Pelayanan Minimal (SPM) Rumah Sakit yang
telah ditetapkan dengan Peraturan Bupati.
Penelitian oleh FX Juliantoro pada tahun
2010 menyebutkan bahwa Kinerja pegawai yang
tinggi sangat diharapkan oleh suatu organisasi.
Kepuasan pegawai dapat meningkatkan kinerja
pegawai. Kepuasan dipengaruhi oleh faktor
internal dan eksternal yang semuanya dapat
mempengaruhi dalam pencapaian tujuan
organisasi. Dengan meningkatkan tingkat
kepuasan pegawai akan memacu semangat
dalam pelaksanan tugas sehingga dapat
meningkatkan kinerja pegawai pada organisasi
secara keseluruhan.
Penelitian oleh Nofrinaldi, Andreasta
Meliala dan Adi Utarini tahun 2006
menyebutkan bahwa perhatian pegawai terhadap
pekerjaan yang menjadi tanggungjawabnya
tidak optimal dan maksimal, misalnya dengan
penyelesaian pekerjaan tidak tepat waktu yaitu
laporan kinerja tahunan, klaim keuangan
program jamkesmas dan jamkesda. Kurangnya
kepuasan kerja karena pembagian insentif jasa
pelayanan (remunerasi jasa pelayanan) yang
dirasakan kurang proporsional dan tidak sesuai
beban kerja pegawai.
Pengelolaan administrasi rumah sakit harus
semakin baik, hal ini ditunjukkan dengan
sedikitnya keluhan pasien dan komplain dari
pasien pada saat menyelesaikan administrasi.
Pelayanan administrasi yang lama dan harus
antri dapat mengurangi kredibilitas dan kinerja
rumah sakit. Kurang responsif dan kreatifnya
pegawai karena hanya mengerjakan tugas
pekerjaan yang telah menjadi rutinitasnya saja.
Berdasarkan beberapa hal tersebut diatas,
perlu dilakukan peningkatan kinerja pegawai di
RSUD RAA Soewondo Pati dengan
memperhatikan karakteristik pekerjaan,
mengoptimalkan kompensasi/remunerasi dan
menciptakan kepuasan kerja sehingga dapat
meningkatkan kinerja pegawai dan organisasi.
Hal tersebut disebabkan adanya ketidakpuasan
pegawai unit penunjang tidak langsung (unit
manajemen, sekuriti, marketing, kebersihan, dan
lainnya) dan pegawai unit penunjang langsung
(rekam medik, radiologi, laboratorium,
fisioterapi, gizi dan lainnya) serta pegawai medis
(dokter, paramedis).
Kajian Literatur dan Pengembangan
Hipotesis
Penelitian mengenai pengaruh remunerasi
telah banyak dilakukan. Beberapa penelitian
yang pernah dilakukan antara lain:
1. Penelitian oleh FX Juliantoro (2010)
Penelitian dilakukan untuk menganalisis
pengaruh remunerasi, motivasi kerja dan
budaya kerja terhadap kinerja organisasi
yang dilakukan pada Kantor Wilayah
Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Utara.
Dalam penelitiannya, FX Juliantoro
menguji 3 variabel yaitu variabel
remunerasi, motivasi dan budaya kerja
pengaruhnya terhadap kinerja pegawai.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk
meningkatkan kinerja pegawai perlu
ditingkatkan remunerasi, motivasi kerja dan
budaya kerja secara bersama-sama
sehingga akan diperoleh hasil nyata dalam
menyelesaikan perkerjaan berupa kualitas,
kuantitas, efisien dan efektivitas pekerjaan
pada Kantor Wilayah Direktorat Jenderal
Pajak Jakarta Utara.
2. Penelitian oleh Herlin Susilaningtyas
(2011)
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
mengevaluasi pengaruh motivasi,
kemampuan dan kompensasi terhadap
kinerja pegawai Dinas Kehutanan Provinsi
Jawa Timur. Dalam penelitian tersebut diuji
Motivasi, Kemampuan, Kompensasi,
Kinerja Pegawai. Analisis yang digunakan
57
adalah analisis Structural Equation
Modeling. Berdasarkan hasil analisis
Structural Equation Modeling dapat
disimpulkan bahwa peningkatan
kemampuan dan kompensasi tidak
memberikan kontribusi nyata terhadap
peningkatan kinerja pegawai, sedangkan
peningkatan motivasi memberikan
kontribusi nyata terhadap peningkatan
kinerja pegawai, sehingga hipotesis
penelitian ini sebagian teruji kebenarannya.
3. Penelitian oleh Nofrinaldi, Andreasta
Meliala dan Adi Utarini (2006)
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
mengevaluasi dampak revisi sitem insentif
di Rumah Sakit Jiwa (RSJ) Madani
Sulawesi Tengah dan korelasi antara
persepsi dan kinerja karyawan setelah
dilakukan revisi sistem insentif di RSJ
Madani Sulawesi Tengah. Dalam penelitian
tersebut diuji variabel bebas yaitu revisi
sistem pembagian jasa pelayanan dan
variabel terikatnya yaitu kinerja dokter,
kinerja paramedis dan karyawan sebelum
dan sesudan revisi jasa pelayanan terhadap
kinerja karyawan. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa revisi sistem
pembagian jasa pelayanan menimbulkan
penurunan persepsi terhadap sistem
pembagian jasa pelayanan secara signifikan
sedangkan kinerja karyawan relatif tetap.
4. Penelitian Deewar Mahesa (2010)
Penelitian yang dilakukan bertujuan untuk
mengetahui pengaruh kepuasan kerja dan
motivasi kerja yang dimoderasi lama
bekerja terhadap kinerja karyawan. Dalam
penelitian tersebut diuji kepuasan kerja dan
motivasi kerja sangat berkaitan langsung
dengan kinerja karyawan. Kepuasan kerja
dan motivasi kerja yang dirasakan oleh
karyawan dapat menurunkan kinerja
ataupun meningkatkan kinerja karyawan.
Karyawan yang merasa puas dengan
pekerjaan yang diperoleh akan termotivasi
untuk meningkatkan kinerja sehingga akan
berdampak pada meningkatnya kinerja
perusahaan secara keseluruhan. Hasil
penelitian menunjukkan bahwa variabel
kepuasan kerja dan motivasi kerja
berpengaruh positif terhadap kinerja
karyawan, dan variabel lama bekerja
memoderasi kepuasan kerja terhadap
kinerja karyawan, sedangkan variabel lama
bekerja tidak berhasil memoderasi motivasi
kerja terhadap kinerja.
2. METODE PENELITIAN
Penelitian ini untuk mengetahui apakah
kebijakan remunerasi telah meningkatkan
motivasi dan kinerja karyawan untuk
meningkatkan kinerja rumah sakit pada RSUD
RAA Soewondo Pati. Jenis penelitian adalah
penelitian lapangan yaitu penelitian yang
dilakukan dengan cara survei untuk
mengumpulkan data di lapangan guna
memperoleh gambaran tentang pengaruh
kebijakan remunerasi. Penelitian ini termasuk
pengujian hipotesis. Disain penelitian yang
digunakan dalam penelitian ini bersifat
penjelasan (eksplanatory research) karena
merupakan penelitian yang menjelaskan
hubungan kausal antar variabel melalui
pengujian hipotesis. Unit analisis dalam
penelitian ini adalah karyawan yang ada di
rumah sakit meliputi tenaga medis yaitu dokter
dan paramedis, tenaga paramedis non
keperawatan, tenaga non medis non keperawatan
yaitu tenaga pada bagian administrasi keuangan.
Populasi dalam penelitian ini adalah
karyawan pada rumah sakit yang terdiri dari
tenaga medis yaitu dokter dan paramedis, tenaga
paramedis non keperawatan, tenaga non medis
non keperawatan yaitu tenaga pada bagian
administrasi keuangan yang jumlah
keseluruhannya sebanyak 753 orang, sedangkan
yang akan dijadikan sampel sebanyak 125 orang
atau 16,60%.
Pengambilan sampel dilakukan dengan
metode purposive sampling yaitu pengambilan
sampel berdasarkan pertimbangan peneliti
dengan kriteria karyawan RSUD RAA
Soewondo Pati yang mempunyai masa kerja
lebih dari 3 tahun. Pada masa kerja 3 tahun maka
seseorang pegawai sudah mengetahui tugas
pokok dan fungsinya dalam organisasi.
Variabel Penelitian
Penelitian yang dilakukan merupakan
penelitian empiris yang membuktikan pengaruh
variabel kebijakan remunerasi, motivasi kerja
58
dan kinerja pegawai terhadap kinerja RSUD
RAA Soewondo Pati seperti yang telah
dirumuskan dalam hipotesa. Data yang
dipergunakan untuk menganalisa variabel
diperoleh melalui metode pengumpulan data.
Dalam penelitian ini digunakan pengukuran
variabel bebas (independent variable) yang
terdiri dari: kebijakan remunerasi (X1), motivasi
kerja (X2), kinerja pegawai (X3) dan variabel
terikat kinerja organisasi (Y). Penelitian ini
adalah penelitian kuantitatif yang bertujuan
menguji pengaruh antara variabel-variabel
kebijakan remunerasi, motivasi kerja dan kinerja
pegawai secara simultan dan parsial terhadap
kinerja di lingkungan RSUD RAA Soewondo
Pati.
Keempat variabel tersebut diukur dengan
skala Likert, yang menyatakan persepsi
responden atas pertanyaan dan pernyataan dalam
kuesioner. Keempat variabel tersebut diukur
dalam skala Interval, yaitu skala dimana jarak
antara data dengan data lain tidak sama, tidak
mempunyai nilai nol mutlak. Nilai Jawaban dan
Pembobotan skala Likert:
1. Sangat Tidak Setuju (STS)
2. Tidak Setuju (TS)
3. Ragu-ragu (R)
4. Setuju (S)
5. Sangat Setuju (SS)
Sebelum dilaksanakan pengujian hipotesis
dilakukan pengujian validitas dan reabilitas alat
ukur item-item pernyataan yang berkaitan
dengan data, pendapat dan sikap pada variabel
bebas: remunerasi (X1), motivasi (X2), kinerja
individu (X3) dan variabel terikat Kinerja
Organisasi (Y). Validitas adalah tingkat
kemampuan suatu instrumen sebagai
pengukuran instrumen tersebut. Sedangkan
reabilitas adalah kemampuan stabilitas hasil
pengamatan dengan instrumen. Instrumen yang
reliabel berarti apabila digunakan beberapa kali
untuk mengukur obyek yang sama akan
menghasilkan data yang sama.
Definisi Operasional
Remunerasi adalah skor penilaian dari
jawaban responden melalui instrumen penelitian
yang mengukur dimensi imbalan dengan
indikator remunerasi yang diterima, dimensi
balas jasa dengan indikator tunjangan
remunerasi yang diterima sesuai dengan jumlah
yang proporsional dan sesuai dengan kinerja,
asuransi kesehatan yang diterima, kesempatan
pelatihan, prestasi kerja mendapatkan
pengakuan dari organisasi dan indikator
kenaikan pangkat dan kompensasi sesuai dengan
peraturan yang ada. Terdapat 9 item pertanyaan
pada variabel remunerasi.
Motivasi kerja adalah skor penilaian dari
jawaban responden melalui instrumen penelitian
yang mengukur dimensi keinginan dan tindakan
mencapai tujuan melalui indikator kedisiplinan,
kesempatan untuk membantu orang lain,
lingkungan kerja yang baik dengan rekan
seprofesi, mendorong mencapai kepuasan
pegawai dan peraturan atau kebijakan yang
membantu pelaksanaan pekerjaan. Terdapat 13
item pertanyaan pada variabel motivasi kerja.
Kinerja pegawai adalah skor penilaian dari
jawaban responden melalui instrumen penelitian
yang mengukur tingkat dimensi penyelesaian
atau hasil nyata dalam pekerjaan melalui
indikator kalitas, kuantitas, efisiensi, efektivitas
dan produktivitas . Terdapat 9 item pertanyaan
pada variabel kinerja pegawai.
Kinerja Organisasi adalah skor penilaian
dari jawaban responden melalui penelitian yang
mengukur tingkat dimensi penyelesaian atas
hasil nyata organisasi dalam mencapai visi dan
misi melalui indikator keuangan, pelayanan dan
mutu layanan dan manfaat bagi masyarakat.
Terdapat 6 pertanyaan pada variabel kinerja
organisasi.
Sedangkan pemecahan masalah yang
timbul memerlukan data-data yang berhubungan
dengan objek penelitian guna mempermudah
pemecahan masalah. Data yang diperlukan
dalam penelitian yaitu:
1. Data primer yakni data yang diperoleh
secara langsung dari sumbernya dari hasil
wawancara dan isian kuesioner yang
didapat dari responden.
2. Data sekunder yakni data yang diperoleh
secara tidak langsung berupa data-data
pendukung yang berkaitan dengan aturan
remunerasi dan data kinerja rumah sakit.
Metoda pengumpulannya dengan
wawancara dan mempelajari dokumentasi
yang ada.
59
Teknis Analisis Data
Uji Non-Response Bias dilakukan untuk
melihat karakteristik jawaban responden yang
memberikan jawaban dan tidak memberikan
jawaban (non responden). Uji dilakukan dengan
cara mengelompokkan data menjadi dua
kelompok penting. Kelompok pertama disebut
dengan kelompok awal (early response) yaitu
kelompok yang memberikan jawaban sampai
dalam batas waktu optimal yaitu waktu yang
diperkirakan responden memberikan jawaban
sampai pada batas tanggal pengembalian.
Kelompok kedua disebut sebagai kelompok
akhir (late response) yaitu kelompok reponden
yang memberikan jawaban melewati batas
waktu optimal sampai dengan waktu terakhir
yang ditentukan. Kemudian hasil rata-rata skor
jawaban dari kedua kelompok dilakukan
pengujian, ada tidaknya yang signifikan antara
kedua kelompok responden tersebut dengan t-
test. Apabila pengujian menunjukkan hasil yang
tidak signifikan (p-value > 0.05) berarti tidak ada
perbedaan antara dua kelompok responden dan
sebaliknya.
Kemudian untuk mengetahui pengaruh
variabel bebas terhadap variabel terikat dengan
menggunakan analisis model regresi berganda
sebagai berikut:
Ẏ = α +ß1 X1 + ß2 X2 + ß3 X3 + e
Dimana:
Y = Kinerja Organisasi
X1 = Remunerasi
X2 = Motivasi Pegawai
X3 = Kinerja Individu
α = Konstanta
ß1 ß2 ß3 = Koefisien regresi variabel
independen
e = Error (kesalahan)
Dalam melakukan estimasi model regresi,
terdapat asumsi dasar yang tidak boleh dilanggar
agar hasil estimasinya dapat digunakan sebagai
dasar analisis. Masalah yang sering muncul yang
dapat mengakibatkan tidak terpenuhinya asumsi
dasar (klasik) yaitu Multikolinieritas,
Heterokedasitas dan Korelasi Serial. Dalam
penelitian ini akan dilakukan uji terhadap ada
tidaknya gangguan Multikolinieritas,
Heterokedasitas dan Korelasi Serial.
1. Uji Normalitas
Uji asumsi ini dimaksudkan untuk
mengetahui apakah dalam model regresi,
variabel dependen dan variabel independen
keduanya berdistribusi normal atau tidak
(Imam Ghozali, 2002). Model regresi yang
baik adalah memiliki distribusi data yang
normal atau mendekati normal. Deteksi
normalitas melihat penyebaran data (titik)
pada sumbu diagnal P–P Plot. Dasar
pengambilan keputusan yaitu sebagai
berikut:
a. Jika data menyebar di sekitar garis
diagonal dan mengikuti arah garis
diagonal maka model regresi
memenuhi asumsi normalitas.
b. Jika data menyebar jauh dari garis
diagonal dan tidak mengikuti arah
garis diagonal, maka model regresi
tidak memenuhi asumsi normalitas.
2. Uji Heterokedasitas
Uji asumsi ini bertujuan menguji apakah
dalam model regresi terjadi ketidaksamaan
varians dari residual satu pengamatan ke
pengamatan lain. Jika varians dari residual
satu pengamatan yang lain tetap, maka
disebut homokedastisitas, dan jika berbeda
disebut heterokedastisitas. Model regresi
yang baik adalah yang homokedastisitas
atau tidak terjadi heterokedastisitas. Untuk
mengetahui keberadaan heterokesdastistas,
maka dalam penelitian ini digunakan uji
informal dengan melakukan plot antara
residual dengan waktu. Jika plot
menunjukkan adanya pola tertentu maka
dapat diambil kesimpulan terdapat masalah
heteroskedastisitas, namun sebaliknya jika
plot antara residual dengan waktu tidak
menunjukkan adanya pola tertentu, maka
dapat diambil kesimpulan bahwa hasil
estimasi tidak mengalami masalah
heterokesdastisitas.
3. Korelasi serial
Untuk menguji apakah dalam model regresi
linear ada korelasi antara kesalahan
pengganggu pada periode t dengan
kesalahan pada periode t-1 (sebelumnya).
Jika terjadi korelasi maka dinamakan ada
problem autokorelasi.
60
4. Multikolinieritas
Asumsi klasik yang tidak boleh dilanggar
adalah bahwa masing-masing variabel
penjelas (independent variable) harus
independen, tidak boleh saling berkorelasi
satu dengan lainnya. Jika salah satu atau
beberapa variabel penjelas saling
berkorelasi maka dikatakan bahwa hasil
regresi mengalami masalah
multikolinieritas. Konsekuensi dari adanya
multikolinieritas yang tinggi adalah standar
error cenderung menjadi tinggi dan sebagai
akibatnya koefisien regresi menjadi bias.
Untuk mengetahui keberadaan multi
kolinieritas maka akan dilakukan pengujian
korelasi antara masing-masing variabel
bebas. Jika korelasinya tinggi maka dapat
dikatakan terjadi multikolinieritas.
3. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari 6 hipotesa yang diuji menunjukkan hal
sebagai berikut:
1. Hasil uji korelasi antara remunerasi dan
motivasi pegawai menunjukkan korelasi
positif dan signifikan.
2. Hasil uji korelasi antara remunerasi dan
kinerja organisasi tidak signifikan, dengan
demikian ada kecenderungan positif atau
tidak ada korelasi antara keduanya.
3. Hasil uji korelasi antara remunerasi dan
kinerja pegawai menunjukkan korelasi
negatif dan tidak signifikan, dengan
demikian kecenderungannya positif atau
tidak ada hubungan antara keduanya.
4. Hasil uji korelasi antara motivasi dengan
kinerja pegawai menyatakan korelasi
positif dan sangat signifikan.
5. Hasil uji korelasi antara kinerja pegawai
dengan motivasi pegawai adalah positif.
6. Hasil uji antara motivasi dan kinerja
organisasi menunjukkan positif dan sangat
signifikan.
4. KESIMPULAN
Kesimpulan dari 6 (enam) hipotesa tersebut
adalah:
1. Secara bersamaan kebijakan remunerasi,
motivasi pegawai dan kinerja pegawai
berpengaruh nyata terhadap kinerja
organisasi.
2. Secara individu menunjukkan perubahan
kebijakan remunerasi masih berpengaruh
negatif terhadap kinerja organisasi
sedangkan motivasi dan kinerja pegawai
berpengaruh positif terhadap kinerja
organisasi.
5. REFERENSI
Achmad Gani, 2009, Analisis Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Kinerja Pegawai Kantor
Pelayanan Pajak Bumi dan Bangunan Kota
Makassar, Makassar : Jurnal Aplikasi
Manajemen LIPI/ Volume 7 Nomor 1 bulan
Februari 2009, Universitas Muslim
Indonesia Makassar.
Adie E. Yusuf, 2008, Pengaruh Motivasi
terhadap Peningkatan Kinerja, Makalah.
Arfan Ikhsan, Muhammad Ishak. 2005,
Akuntansi Keperilakuan, Salemba Empat.
Jakarta.
Anoki Herdian Dito, 2010, Pengaruh
Kompensasi terhadap Kinerja Karyawan
PT Slamet Langgeng Purbalingga dengan
Motivasi Kerja sebagai Variabel
Intervening, Skripsi, Universitas
Diponegoro Semarang.
Departemen Dalam Negeri. 2007. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 61 Tahun
2007 tentang Pedoman Pengelolaan
Keuangan Badan Layanan Umum Daerah.
Jakarta.
Departemen Keuangan, 2008, Peraturan Menteri
Keuangan Nomor 76/PMK.05/2008 tentang
Pedoman Akuntansi dan Pelaporan
Keuangan Badan Layanan Umum, Jakarta.
F.X Juliantoro, 2010, Analisis Pengaruh
Remunerasi, Motivasi Kerja dan Budaya
Kerja terhadap Kinerja Pegawai pada
Kanwil Direktorat Jenderal Pajak Jakarta
Utara, Tesis, UPN Veteran Jakarta.
Hari Purnama Kertadikara, 2010, Makalah,
Komite Medik RSUD Kabupaten Bekasi.
Departemen Dalam Negeri. 2018. Peraturan
Menteri Dalam Negeri Nomor 79 Tahun
2018 tentang Badan Layanan Umum
Daerah. Jakarta.