jstni feb 2009 secured

66

Upload: hardi-yanto

Post on 27-Dec-2015

30 views

Category:

Documents


15 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jstni Feb 2009 Secured
Page 2: Jstni Feb 2009 Secured

JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIA INDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY

Vol. X, No. 1, Februari 2009

ISSN 1411 - 3481

Penanggung Jawab/ Executive editor

: Prof. Dr. Rochestri Sofyan

Penyunting/Editors Ketua merangkap anggota/Chief editor

:

Dr. Ir. Guntur Daru Sambodo

Anggota/ Editorial Board

: Drs. Ilias Ginting, M.Sc. Ir. Henky Poedjo Rahardjo, MSME. Dr. Poppy Intan Tjahaja, M.Sc. Prof. Ir. Budiono, M.Sc. Drs. Dani Gustaman Syarif, M.Eng. Dr. Muhayatun, MT. Dra. Nanny Kartini Oekar, M.Sc. Dr. Ir. Efrizon Umar, MT

Penyunting Tamu/ Honorary Editor

: Prof. Dr. Johan S. Masjhur, dr., Sp.PD-KE, Sp. KN. (UNPAD) Prof. Dr. Ir. Aryadi Soewono (ITB) Prof. Dr. Ir. Rochim Suratman (ITB) Abdul Waris, M. Eng., Ph.D. (ITB) Dr. Mitra Djamal (ITB)

Pelaksana/ Administration

: Rina Yuliani Dra. Arie Widowati Mintoro, MT. Diah Dwiana Lestiani, M.Eng. dr. Rudi Gunawan

Alamat Penerbit /Redaksi Publisher/Editor

: Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (Nuclear Technology Center for Material and Radiometry) BADAN TENAGA NUKLIR NASIONAL (NATIONAL NUCLEAR ENERGY AGENCY) JL. Tamansari 71 Bandung 40132 Telp. (022) 2503997 Fax: (022) 2504081 http://www.batan-bdg.go.id

e-mail : [email protected] Frekuensi terbit/Issue

: Setiap bulan Februari dan Agustus Every February and August

Page 3: Jstni Feb 2009 Secured

JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIAINDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY

Vol. X, No. 1, Februari 2009 ISSN 1411 - 3481

LINGKUP PENERBITAN

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia memuat hasil penelitian yang berhubungan dengan sains dan teknologi nuklir dalam bidang: fisika, kimia, biologi, ilmu bahan, teknologi reaktor, konversi energi, instrumentasi, kesehatan, pertanian, industri, geologi dan lingkungan.

KEBIJAKAN REDAKSI Makalah yang diajukan untuk dimuat dalam Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia harus berupa hasil penelitian yang belum pernah dipublikasi dan tidak dalam proses untuk publikasi atau seminar. Demikian pula setelah makalah dimuat di Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia tidak dibenarkan diterbitkan kembali dalam bahasa Indonesia maupun bahasa lain, kecuali dengan izin resmi dari redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. Diterima atau tidaknya suatu makalah merupakan keputusan redaksi yang tidak dapat diganggu gugat. Penulis akan menerima hasil evaluasi redaksi dalam waktu tidak lebih dari enam minggu. Apabila diperlukan, penulis dapat menerima contoh cetak lepas dari makalah yang siap diterbitkan untuk dikoreksi, dan dikembalikan ke redaksi dalam waktu tidak lebih dari satu minggu.

KEBIJAKAN UMUM

Pelanggaran HAKI. Penulis membebaskan Redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia dari kemungkinan gugatan pelanggaran hak atas kekayaan intelektual (HAKI) khususnya hak cipta pihak ke tiga. Apabila sampai terjadi gugatan maka penulis harus menyelesaikannya sendiri tanpa melibatkan Redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia atau instansi terkait. Hak cipta dan cetak ulang (reprint). Begitu tulisan dimuat di dalam Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia maka hak cipta atas tulisan tersebut menjadi milik Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia. Cetak ulang tulisan tersebut hanya dapat dilakukan atas sepengetahuan redaksi.

Page 4: Jstni Feb 2009 Secured

JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIAINDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY

Vol. X, No. 1, Februari 2009 ISSN 1411 - 3481

DAFTAR ISI Kata Pengantar i

RADIOAKTIVITAS IODIUM-125 PADA UJI PRODUKSI MENGGUNAKAN TARGET XENON-124 DIPERKAYA Rohadi Awaludin, Hotman Lubis, Anung Pujianto, Ibon Suparman, Daya Agung Sarwono, Abidin, Sriyono

1-10

PENGEMBANGAN DAN APLIKASI KLINIS KIT-KERING RADIOFARMAKA SIPROFLOKSASIN Nurlaila Zainuddin, Basuki Hidayat, Rukmini Iljas 11-24

PENANDAAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAMETILEN FOSFONAT (EDTMP) DENGAN RADIONUKLIDA 175Yb Azmairit Aziz 25-36

KARAKTERISTIK KIMIA PAPARAN PARTIKULAT TERESPIRASI Noneng Dewi Zannaria, Dwina Roosmini, Muhayatun Santoso 37-50

SIFAT MAGNETORESISTANCE BAHAN KOMPOSIT Fe0,2C0,8 SEBELUM DAN SESUDAH IRADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS 250 kGy Yunasfi, Setyo Purwanto, Wisnu A. A. 51-58

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia

Terakreditasi Sesuai SK LIPI Nomor: 83/Akred-LIPI/P2MBI/5/2007 Masa berlaku tanggal, 29 Mei 2007 – 28 April 2010

Page 5: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009

i

ISSN 1411 - 3481

KATA PENGANTAR

Di awal tahun 2009 ini, bertepatan dengan ulang tahun ke 44 BATAN Bandung,

yang saat ini bernama Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR), Jurnal

Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia (JSTNI) hadir kembali di tengah masyarakat

ilmiah untuk menyajikan lima buah makalah. Empat makalah pertama berkaitan

dengan pemanfaatan reaktor riset, sedang makalah terakhir adalah mengenai

penggunaan iradiator gamma dalam ilmu bahan. Makalah pertama membahas tentang

produksi iodium-125 menggunakan target xenon-124 diperkaya, untuk memenuhi

kebutuhan di bidang kesehatan. Makalah ke dua membahas pengembangan dan

aplikasi klinis kit – kering radiofarmaka siprofloksasin untuk diagnosis infeksi yang sulit

terjangkau dengan cara konvensional. Topik makalah ke tiga adalah penandaan ligan

etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP) dengan radionuklida 175Yb, dalam rangka

pembuatan radiofarmaka untuk terapi paliatif metastases kanker ke tulang. Makalah

berikutnya membahas karakteristik kimia paparan partikulat terespirasi, yang

melibatkan penggunaan metode analisis berbasis teknik nuklir untuk penentuan unsur

dalam partikulat udara. Makalah terakhir membahas tentang sifat magnetoresistance

bahan komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi gamma. Diharapkan bahasan

dalam kelima makalah yang disajikan pada JSTNI terbitan ini dapat memberi kontribusi

nyata dalam pemanfaatan iptek nuklir.

Editor

Page 6: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009

i

ISSN 1411 - 3481

KATA PENGANTAR

Di awal tahun 2009 ini, bertepatan dengan ulang tahun ke 44 BATAN Bandung,

yang saat ini bernama Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri (PTNBR), Jurnal

Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia (JSTNI) hadir kembali di tengah masyarakat

ilmiah untuk menyajikan lima buah makalah. Empat makalah pertama berkaitan

dengan pemanfaatan reaktor riset, sedang makalah terakhir adalah mengenai

penggunaan iradiator gamma dalam ilmu bahan. Makalah pertama membahas tentang

produksi iodium-125 menggunakan target xenon-124 diperkaya, untuk memenuhi

kebutuhan di bidang kesehatan. Makalah ke dua membahas pengembangan dan

aplikasi klinis kit – kering radiofarmaka siprofloksasin untuk diagnosis infeksi yang sulit

terjangkau dengan cara konvensional. Topik makalah ke tiga adalah penandaan ligan

etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP) dengan radionuklida 175Yb, dalam rangka

pembuatan radiofarmaka untuk terapi paliatif metastases kanker ke tulang. Makalah

berikutnya membahas karakteristik kimia paparan partikulat terespirasi, yang

melibatkan penggunaan metode analisis berbasis teknik nuklir untuk penentuan unsur

dalam partikulat udara. Makalah terakhir membahas tentang sifat magnetoresistance

bahan komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi gamma. Diharapkan bahasan

dalam kelima makalah yang disajikan pada JSTNI terbitan ini dapat memberi kontribusi

nyata dalam pemanfaatan iptek nuklir.

Editor

Page 7: Jstni Feb 2009 Secured

Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481

1

RADIOAKTIVITAS IODIUM-125 PADA UJI PRODUKSI MENGGUNAKAN TARGET XENON-124 DIPERKAYA

Rohadi Awaludin, Hotman Lubis, Anung Pujianto, Ibon Suparman,

Daya Agung Sarwono, Abidin, Sriyono

Pusat Radioisotop dan Radiofarmaka (PRR), BATAN Kawasan Puspiptek Serpong, Tangerang

ABSTRAK RADIOAKTIVITAS IODIUM-125 PADA UJI PRODUKSI MENGGUNAKAN TARGET XENON-124 DIPERKAYA. Telah dilakukan uji produksi 125I menggunakan target xenon diperkaya dengan pengayaan 124Xe sebesar 82,4%. Target diiradiasi neutron di kamar iradiasi di posisi S1 pada reaktor G.A. Siwabessy. Setelah iradiasi selama 24 jam, gas xenon teriradiasi diluruhkan di dalam botol peluruhan selama 7 hari. Radioisotop 125I yang terbentuk di dalam botol peluruhan dilarutkan menggunakan NaOH 0,005N sebanyak 3 kali. Dari uji produksi ke-1 sampai dengan ke-8 diperoleh radioaktivitas total 125I sebesar 9541, 9801, 11239, 9458, 3293, 3735, 4693 dan 2744 mCi. Penurunan radioaktivitas total 125I disebabkan oleh penurunan jumlah gas target. Radioaktivitas 125I hasil pelarutan pertama bergantung pada volume larutan NaOH yang digunakan. Persentase rerata radioaktivitas 125I pada pelarutan pertama sebesar 65,1%, 71,5% dan 82,6% dari radioaktivitas total untuk pelarutan menggunakan larutan NaOH dengan volume 3, 4 dan 5 mL. Konsentrasi radioaktivitas maksimum yang berhasil diproduksi sebesar 3410 mCi/mL dari hasil pelarutan pertama dari uji produksi pertama. Kata kunci: iodium-125, produksi radioisotop, xenon diperkaya

ABSTRACT IODINE-125 RADIOACTIVITY DURING PRODUCTION TEST USING ENRICHED

XENON-124 TARGET. Production tests of Iodine-125 have been carried out using enriched xenon target with 82,4% of 124Xe enrichment. The target was irradiated at irradiation chamber in S1 position of G.A. Siwabessy reactor. After irradiation for 24 hours, the irradiated xenon gas was decayed at decay pot for 7 days. The produced iodine-125 was dissolved 3 times using NaOH 0.005N. From 1st to 8th tests, the total radioactivities were 9541, 9801, 11239, 9458, 3293, 3735, 4693 and 2744 mCi. The decrease of the total radioactivity was caused by the decrease of the gas target. Radioactivity of the 1st solution depended on the volume of NaOH solution. The average percentages of the 1st solution were 65.1, 71.5 and 82.6% of the total radioactivity for 3, 4 and 5 mL of NaOH. The maximum radioactivity concentration was 3410 mCi/mL from 1st solution of the 1st production test. Keywords : iodine-125, radioisotope production, enriched xenon. 1. PENDAHULUAN

Penggunaan radioisotop di bidang

kesehatan terus menunjukkan peningkatan.

Di Jepang dan Amerika Serikat, skala

ekonomi penggunaan radioisotop telah

mencapai sekitar 5% dari total belanja di

bidang kesehatan kedua negara tersebut

(1). Salah satu radioisotop yang telah

berkembang penggunaannya adalah

Iodium-125. Radioisotop ini merupakan

radioisotop pemancar gamma berenergi

rendah yaitu 35,5 keV dan memiliki umur

paro 59,4 hari. Iodium-125 telah

dimanfaatkan untuk tujuan diagnosis

menggunakan radioimmunoassay,

pembuatan sumber tertutup untuk

penanganan kanker dan radioactive tracer

untuk penelitian (2,3,4).

Page 8: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481

2

Radioisotop ini dapat dihasilkan

melalui reaksi aktivasi neutron dengan

menembakkan neutron pada target isotop 124Xe. Penembakan ini menghasilkan

radioisotop 125Xe yang selanjutnya akan

meluruh menjadi 125I. Xenon alam

mengandung isotop 124Xe sebesar 0,1%.

C.G. Kadhar melaporkan bahwa 125I dapat

dibuat menggunakan xenon alam yang

dimasukkan ke kapsul stainless steel.

Kapsul tersebut diiradiasi di dalam reaktor

selama 4 hari dan selanjutnya iodium yang

tebentuk di dalamnya dilarutkan. Dengan

metode ini diperoleh 125I dengan

radioaktivitas sebesar 0,7 Ci. Kandungan

radioisotop pengotor berupa 126I sangat

tinggi, lebih dari 5% (5). Dari hasil ini, untuk

mendapatkan 125Xe dengan radioaktivitas

yang tinggi diperlukan gas xenon dengan

kandungan 124Xe yang telah diperkaya.

Selain itu, untuk mendapatkan kemurnian

radionuklida yang tinggi diperlukan sistem

pemindahan gas xenon. Gas xenon hasil

iradiasi dipindahkan ke tempat peluruhan

untuk mendapatkan 125I. Dengan metode ini, 125I dapat diperoleh dengan kemurnian

radionuklida yang tinggi karena produk 125I

tidak bercampur dengan 126I yang terbentuk

saat iradiasi (5,6).

Dengan metode pemindahan gas

xenon, radioaktivitas 125I yang diperoleh dari

hasil peluruhan xenon-125 setelah

dipindahkan ke botol peluruhan dapat

dinyatakan dengan persamaan (1) (6). Pada

persamaan (1) tersebut A, λ dan t masing

masing menyatakan radioaktivitas,

konstanta peluruhan dan waktu peluruhan.

Nilai radioaktivitas 125I (AI-125) mencapai

maksimum pada saat turunan dari

persamaan AI-125 terhadap waktu sama

dengan nol (dA/dt = 0) (2).

Persamaan (3) menunjukkan waktu

peluruhan saat radioaktivitas 125I mencapai

nilai maksimum.

Pusat radioisotop dan radiofarmaka -

BATAN telah berhasil melakukan uji

produksi iodium-125 menggunakan target

xenon dengan kandungan 124Xe diperkaya

dengan metode pemindahan gas xenon.

Hasil uji ini perlu dievaluasi dari berbagai

sisi, di antaranya radioaktivitas larutan 125I

yang berhasil diperoleh. Tujuan dari

evaluasi ini adalah mendapatkan gambaran

radioaktivitas total dan konsentrasi

radioaktivitas yang berhasil diperoleh pada

uji produksi 125I menggunakan target xenon

diperkaya. Dari evaluasi ini diharapkan

didapatkan faktor-faktor yang berpengaruh

serta langkah-langkah yang diperlukan

untuk meningkatkan radioaktivitas total dan

konsentrasi radioaktivitas.

)}exp(){exp()( 125125125125125

125125 ttAA IXeXe

IXe

II −−−

−−

−− −−−

−= λλ

λλλ (1)

)}exp()exp({)(0 125125125125125125125

125125 ttAdt

dAIIXeXeXe

IXe

II−−−−−

−−

−− −+−−−

== λλλλλλ

λ (2)

125125

125

125 )ln(

−−

−=

XeI

Xe

I

tλλ

λλ

(3)

Page 9: Jstni Feb 2009 Secured

Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481

3

2. BAHAN DAN TATA KERJA Pada uji produksi ini digunakan target

gas xenon dengan kandungan 124Xe

sebesar 82,4% dari Isotec Inc., Amerika

Serikat. Target yang digunakan sebanyak

0,0223 mol gas xenon. Komposisi isotop di

dalam target ditunjukkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Kandungan isotop di dalam target gas xenon diperkaya.

Jenis isotop

Kandungan atom (% jumlah)

124Xe 82,4 126Xe 0,6 128Xe 0,3 129Xe 4,5 130Xe 0,7 131Xe 3,6 132Xe 4,6 134Xe 1,8 136Xe 1,5

Skema fasilitas produksi iodium-125

ditunjukkan pada Gambar 1. Sebelum

digunakan, fasilitas divakumkan sampai

dengan tekanan 50 militorr. Gas xenon

dipindahkan ke dalam kamar iradiasi

memanfaatkan perbedaan tekanan botol

penyimpanan dan kamar iradiasi.

Perpindahan gas berhenti setelah tekanan

botol penyimpanan sama dengan tekanan

kamar iradiasi. Gas xenon yang tersisa di

botol penyimpanan dipindahkan ke dalam

cold finger dengan mendinginkan cold finger

menggunakan nitrogen cair. Selanjutnya

dari cold finger gas xenon dipindahkan ke

kamar iradiasi dengan mengeluarkan

nitrogen cair dari dewar cold finger setelah

katup menuju botol penyimpanan ditutup

dan jalur gas ke kamar iradiasi dibuka.

Sasaran gas xenon diiradiasi selama

24 jam di kamar iradiasi di posisi S1 yang

berada di pinggir teras reaktor G.A.

Siwabessy. Posisi ini memiliki fluks neutron

rerata 3 x 1013 ns-1cm-2 (7) , selanjutnya gas

xenon yang telah diiradiasi dipindahkan ke

dalam botol peluruhan. Pada saat

pemindahan, gas xenon dilewatkan filter

iodium untuk mencegah kontaminasi isotop

iodium lain yang terbentuk di kamar iradiasi.

Oleh karena itu, iodium-125 yang terbentuk

di dalam botol peluruhan merupakan iodium

dari gas xenon yang dipindahkan, tidak

tercampur dengan iodium yang terbentuk

selama iradiasi (8).

Peluruhan 125Xe dilakukan selama 7

hari atau lebih dari 9 kali umur paruhnya

yang sebesar 17 jam. Dengan peluruhan 7

hari, radioisotop 125Xe hampir seluruhnya

telah berubah menjadi 125I. Waktu 7 hari ini

juga mempertimbangkan faktor keselamatan

radiasi pada saat pelarutan [9]. Radioisotop 125Xe memancarkan radiasi hasil anihilasi

sebesar 511 keV yang dapat memberikan

paparan radiasi yang besar ke lingkungan

pada saat perisai timbal pada botol

peluruhan dibuka (6).

Iodium-125 yang terbentuk di dalam botol

peluruhan dilarutkan menggunakan larutan

NaOH 0,005N dengan volume bervariasi

antara 3-5 mL. Botol peluruhan dikocok

selama 30 menit untuk memastikan bahwa

seluruh permukaan botol telah terbasahi

oleh larutan NaOH.

Larutan selanjutnya dikeluarkan dari

botol dan diperoleh larutan 125I.

Page 10: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481

4

Gambar 1. Skema fasilitas produksi iodium-125

Pelarutan menggunakan larutan

NaOH 0,005N ini dilakukan sebanyak 3 kali.

Larutan diukur volumenya dan dicuplik

sebanyak 5 μl menggunakan pipet mikro

untuk pengukuran radioaktivitas tiap hasil

pelarutan. Radioaktivitas diukur

menggunakan gamma ionization chamber

Atom Lab100. Dari pengukuran ini diperoleh

radioaktivitas 125I tiap 5 μl larutan. Dari hasil

pengukuran ini dihitung konsentrasi

radioaktivitas larutan 125I dan selanjutnya

dihitung radioaktivitas 125I total yang

didapatkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pelarutan 125I dari botol

peluruhan diperoleh larutan fraksi 1, fraksi 2

dan fraksi 3. Radioaktivitas 125I yang

diperoleh tersebut dijumlah dan diperoleh

radioaktivitas total hasil uji produksi. Hampir

seluruh 125I berhasil dilarutkan dengan tiga

kali pelarutan. Radioisotop 125I dalam jumlah

sangat sedikit yang masih tersisa di dalam

botol peluruhan diabaikan pada perhitungan

ini. Total radioaktivitas 125I yang diperoleh

ditunjukkan pada Gambar 2. Radioaktivitas

total tersebut adalah radioaktivitas pada

saat pelarutan atau 7 hari setelah iradiasi.

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

1 2 3 4 5 6 7 8

Uji produksi ke-

radi

oakt

ivita

s I-1

25 (m

Ci)

Gambar 2. Radioaktivitas total 125I dari uji produksi ke-1 sampai dengan ke-8.

Pada Gambar 2 ditunjukan bahwa

pada 4 kali uji produksi pertama diperoleh

radioaktivitas yang tinggi sebesar 9541,

9801, 11239, 9458 mCi. Selanjutnya mulai

pada uji produksi ke-5 terjadi penurunan

tajam radioaktivitas total. Uji produksi ke-5

sampai dengan ke-8 menghasilkan 125I

sebesar 3293, 3735, 4693, 2744 mCi.

Dari Gambar 2 diketahui bahwa

radioaktivitas 125I menurun dengan tajam

dari uji produksi ke-4 dan ke-5. Hal ini

diduga karena penurunan jumlah gas

sasaran. Dugaan ini diperkuat dari hasil

pengukuran tekanan gas sasaran sebelum

gas tersebut dikirim ke kamar iradiasi.

Kamar iradiasi 1000 cm3

Botol peluruhan dan penyimpanan

Cold finger

Ke pompa vakum

Filter Iodium

Dinding reaktor

Page 11: Jstni Feb 2009 Secured

Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481

5

Sebelum dimasukkan ke kamar iradiasi,

pada saat uji produksi ke-2 sampai dengan

ke-4, tekanan gas di depan kamar iradiasi

menunjukkan nilai sekitar 40 psi. Tekanan

gas pada uji pertama tidak dapat

dibandingkan karena gas sasaran dikirim ke

kamar iradiasi dari botol target di luar

fasilitas produksi dengan volume botol lebih

besar. Pada uji produksi ke-5, tekanan gas

menunjukkan angka sekitar 20 psi. Besaran

tekanan ini memang sulit dilihat secara teliti

karena alat ukur tekanan gas yang ada

memiliki rentang ukur yang besar sampai

dengan 300 psi. Namun demikian,

penurunan tekanan gas terlihat sangat

signifikan pada uji produksi keempat dan

kelima.

Jumlah sasaran gas xenon yang

sesungguhnya teriradiasi di dalam kamar

iradiasi tiap uji produksi tidak dapat

diketahui dengan tepat. Faktor ini dapat

menyebabkan perbedaan hasil untuk tiap

kali uji produksi. Gas xenon disimpan di

dalam botol penyimpanan yang ada di

dalam fasilitas produksi. Botol tersebut

memiliki volume dalam sebesar 50 mL.

Pada saat penyimpanan, tekanan gas

sebanyak 0,0223 mol di dalam botol

tersebut lebih dari 10 atm. Jika diasumsikan

sebagai gas ideal, gas sebanyak 0,0223 mol

pada suhu 20 °C dengan volume 50 mL

memiliki tekanan 10,7 atm. Penyimpanan

gas bertekanan tinggi dalam waktu lama

memiliki kerawanan terjadinya kebocoran.

Kebocoran dalam jumlah besar dapat

terdeteksi dengan adanya peningkatan

paparan radiasi di dalam glove box. Namun,

jika kebocoran tersebut sangat kecil, sulit

untuk diketahui. Berkurangnya tekanan gas

pada saat pengiriman gas ke kamar iradiasi

dibandingkan uji produksi sebelumnya

mengindikasikan terjadinya penurunan

jumlah gas yang tersimpan dalam waktu

lama tersebut. Jeda waktu dari uji produksi

ke - 4 dan ke - 5 sekitar 10 bulan.

0

200

400

600

800

1000

0 5 10 15 20 25

lama iradiasi (jam)ra

dioa

ktiv

itas

(Ci)

Gambar 3. Radioaktivitas 125Xe seiring dengan waktu iradiasi

Hasil perhitungan secara teoritis

radioaktivitas 125Xe yang dihasilkan di kamar

iradiasi ditunjukkan pada Gambar 3. Pada

perhitungan ini digunakan tampang lintang

reaksi penangkapan neutron termal oleh 124Xe sebesar 165 barn (10). Dari Gambar 3

diketahui bahwa setelah iradiasi selama 24

jam, 125Xe terbentuk sebanyak 927 Ci.

Selanjutnya 125Xe ini dipindahkan ke dalam

botol peluruhan untuk mendapatkan 125I

hasil dari peluruhannya. Perubahan

radioaktivitas 125Xe dan 125I di dalam botol

peluruhan ditunjukkan pada Gambar 4.

Dari gambar 4 diketahui bahwa

radioaktivitas 125I meningkat tajam pada saat

awal. Peningkatan radioaktivitas 125I

mencapai puncak maksimum pada 4,6 hari

sebesar 10,45 Ci. Pada saat puncak ini, laju

pembentukan 125I sama dengan laju

peluruhannya. Setelah itu, laju peluruhan

lebih cepat dari laju pembentukan sehingga

radioaktivitas 125I mengalami penurunan

Page 12: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481

6

seiring dengan waktu.

1

10

100

1000

0 1 2 3 4 5 6 7

waktu peluruhan (hari)

radi

oakt

ivita

s (C

i)

Xe-125

I-125

Gambar 4. Hasil perhitungan radio Aktivitas 125Xe dan 125I pada saat peluruhan 125Xe menjadi 125I di dalam botol peluruhan.

Pada Gambar 4, penurunan

radioaktivitas 125I tersebut tidak terlihat

dengan jelas karena umur paro yang

panjang yaitu 59,4 hari. Setelah 7 hari

peluruhan, radioaktivitas 125I sebesar 10,27

Ci. Hasil dari uji produksi ke-1 sampai

dengan ke-4 mendekati hasil perhitungan

teoritis dengan perbedaan kurang dari 10%.

Perbedaan antara hasil uji produksi

dan perhitungan teoritis ini dapat

disebabkan oleh beberapa faktor, di

antaranya adalah variasi fluks neutron di

kamar iradiasi, perbedaan tingkat

kesempurnaan pelarutan 125I dari botol

peluruhan serta akurasi pengukuran volume

saat pengambilan sampel pada saat

pengukuran. Pada perhitungan ini

digunakan nilai rerata fluks neutron di posisi

S1. Nilai fluks neutron sesungguhnya pada

saat iradiasi dapat sedikit lebih besar atau

lebih kecil bergantung pada komposisi

bahan bakar dan tingkat serapan neutron

dari bahan yang diiradiasi di dalam teras

reaktor pada saat tersebut.

Dari hasil perhitungan dapat diketahui

waktu peluruhan 125Xe saat radioaktivitas 125I mencapai nilai maksimum. Dari

perhitungan menggunakan data sasaran

pada Gambar 4 dan hasil penurunan secara

matematis menggunakan persamaan 3

diketahui bahwa nilai radioaktivitas 125I

mencapai maksimum pada saat peluruhan

selama 4,6 hari. Namun, pada saat

pengoperasian fasilitas, peluruhan dilakukan

selama 7 hari. Hal ini dilakukan dengan

pertimbangan keselamatan radiasi. Pada

saat peluruhan selama 4,6 hari,

radioaktivitas 125Xe masih sebesar 10,1 Ci.

Radioisotop 125Xe memancarkan radiasi

hasil anihilasi positron dan elektron sebesar

511 keV. Pada penyiapan pelarutan, perlu

dilakukan penanganan botol peluruhan

dengan membuka perisai timbal. Radiasi

dari 125Xe ini memiliki daya tembus yang

tinggi sehingga memberikan paparan ke

lingkungan yang besar jika hanya ditahan

oleh dinding botol peluruhan berbahan

SS316 setebal 5 mm. Setelah 7 hari

peluruhan, radioaktivitas 125Xe telah

berkurang menjadi 0,94 Ci sehingga

paparan ke lingkungan telah mengecil.

Radioisotop 125I memancarkan radiasi

gamma dengan energi rendah sebesar 35,5

keV. Radiasi gamma serendah ini hampir

tidak menembus dinding botol peluruhan

dari SS316 setebal 5 mm.

Hasil pelarutan menggunakan NaOH

0,005 N menunjukkan bahwa volume larutan

NaOH yang digunakan untuk pelarutan

pertama berpengaruh pada radioaktivitas

yang dihasilkan pada pelarutan pertama.

Pada uji produksi ini digunakan NaOH

dengan volume 3, 4 dan 5 mL pada

pelarutan pertama. Korelasi antara volume

NaOH yang digunakan dan persentase

radioaktivitas 125I yang berhasil dikeluarkan

pada larutan 1 ditunjukkan pada Gambar 5.

Page 13: Jstni Feb 2009 Secured

Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481

7

0

20

40

60

80

100

2 3 4 5 6

volume NaOH pada pelarutan I (ml)

pers

enta

se ra

dioa

ktiv

itas

frak

si I

diba

ndin

g ra

dioa

ktiv

tas

tota

l (%

)

0

1000

2000

3000

4000

5000

kons

entr

asi r

adio

aktiv

itas

(mC

i/ml)

persentase radioaktivitaskonsentrasi radioaktivitas

Gambar 5. Hubungan antara volume NaOH yang digunakan pada pelarutan I dengan persentase

radioaktivitas fraksi I dan konsentrasi radioaktivitasnya.

Pada Gambar 5 ditunjukkan bahwa

pada saat pelarutan menggunakan NaOH

sebanyak 3 mL, larutan pertama diperoleh

64,3 dan 65,6 % dari total radioaktivitas.

Pada saat volume NaOH ditingkatkan

menjadi 4 mL, persentase meningkat

menjadi 71,3 dan 71,9%. Sedangkan saat

digunakan 5 mL, persentase larutan I

sebesar 81,7, 84,6, 79,6 dan 82,6%. Jadi

semakin besar volume NaOH yang

digunakan, semakin besar pula persentase

yang dapat dilarutkan pada pelarutan

pertama. Namun, pada Gambar 5 tersebut

ditunjukkan pula bahwa semakin besar

pelarut yang digunakan, konsentrasi

radioaktivitas yang diperoleh pun semakin

kecil. Penurunan konsentrasi tersebut

terlihat pada uji produksi pertama sampai

dengan ke-4 pada saat radioaktivitas total

sekitar 9 Ci maupun pada uji produksi ke-5

sampai dengan ke-8 pada saat

radioaktivitas total sekitar 4 Ci.

Dari hasil pelarutan ini dapat

direkomendasikan bahwa untuk

radioaktivitas besar, jumlah pelarut dapat

digunakan dalam jumlah yang besar karena

konsentrasi radioaktivitas tetap akan tinggi.

Namun, jika total radioaktivitas rendah,

pelarut digunakan seminimal mungkin untuk

mendapatkan konsentrasi radioaktivitas

yang tinggi sehingga memenuhi persyaratan

yang diperlukan dengan mengorbankan total

radioaktivitas pada pelarutan pertama.

Konsentrasi radioaktivitas pada uji

produksi 1 sampai dengan 8 untuk hasil

pelarutan 1 sampai dengan 3 ditunjukkan

pada Tabel 2. Dari Tabel 2 diketahui bahwa

dari pelarutan 1, konsentrasi maksimum

yang pernah dihasilkan adalah 3410 mCi/mL

pada uji produksi pertama. Pada uji produksi

ke-2 sampai dengan ke-4 diperoleh

konsentrasi antara 2000 – 3000 mCi/mL.

Pada uji produksi ke-6 diperoleh 1225

mCi/mL sedangkan pada uji produksi ke 5, 7

Page 14: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481

8

dan 8 diperoleh konsentrasi radioaktivitas

kurang dari 1000 mCi/mL.

Pada uji produksi ini telah dilakukan

pula evaluasi kemurnian radionuklida yang

diperoleh. Uji produksi ini menghasilkan 125I

dengan kemurnian radionuklida lebih dari

99,9%. Pengotor radionuklida yang

terkandung di dalamnya berupa 126I dengan

umur paro 13,1 hari. Evaluasi kemurnian

radionuklida secara rinci telah dipublikasikan

sebelumnya (12). Tabel 2. Konsentrasi Radioaktivitas pelarutan 1, 2 dan 3 dari uji produksi ke-1 sampai dengan ke-8

Uji produksi

Konsentrasi radioaktivitas 125I (mCi/mL)

pelarutan 1

pelarutan 2

pelarutan 3

1 3410 763 166 2 2004 304 71 3 2865 936 125 4 2224 317 77 5 789 135 80 6 1225 263 61 7 934 151 31 8 504 92 28

4. KESIMPULAN Telah dilakukan uji produksi 125I

dengan target xenon-124 diperkaya 82,4%

sebanyak 0,0223 mol sebanyak 8 kali.

Radioaktivitas total dari uji produksi ke-1

sampai dengan ke-8 pada saat pelarutan

adalah 9541, 9801, 11239, 9458, 3293,

3735, 4693 dan 2744 mCi. Radioaktivitas

hasil dari iradiasi pertama sampai dengan

ke-4 mendekati hasil perhitungan secara

teoritis yang sebesar 10,27 Ci. Rerata

persentase radioaktivitas dari pelarutan

pertama sebesar 65,1%, 71,5% dan 82,6%

untuk volume pelarut NaOH masing masing

sebeasr 3 mL, 4 mL dan 5 mL. Konsentrasi

radioaktivitas maksimum yang pernah

dicapai adalah 3410 mCi/mL pada pelarutan

pertama dari uji produksi pertama.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih kepada

PT. Batan Teknologi atas kerja sama yang

diberikan dalam pelaksanaan uji produksi

Iodium-125.

6. DAFTAR PUSTAKA 1. Inoue T, Hayakawa K, Shiotari H,

Takada E and Torikoshi M. Economic

scale of utilization of radiation (III):

Medicine, Journal of Nuclear Science

and Technology, 2002, Vol 39:1114-

1119.

2. Widayati P, Ariyanto A, Yunita F, Sutari.

Optimasi rancangan assay kit IRMA CA-

125, Jurnal Radioisotop dan

Radiofarmaka, 2006, Vol 9: 1-12.

3. Antipas V, Dale RG, Coles IP. A

theoretical investigation into the role of

tumor radiosensitivity, clonogen

repopulation, tumor shrinkage and

radionuclide RBE in permanent

brachytherapy implants of 125I and 103Pd,

Physics in Medicine and Biology, 2001,

Vol 46: 2557-2569.

4. Sedelnikova OA., Panyutin IG, Thierry

AR and Neumann RD. Radiotoxicity of

Iodine-125-Labeled

Oligodeoxyribonucleotides in

Mammalian Cells, The Journal of

Nuclear Medicine, 1998, Vol. 39: 1412-

1418.

5. Karhadkar CG. Design review and

safety assessment of the xenon

irradiation in tray rods, Proceeding of the

IAEA Meeting on Irradiation Technology

Page 15: Jstni Feb 2009 Secured

Radioaktivitas Iodium-125 Pada Uji Produksi Menggunakan Target Xenon-124 Diperkaya (Rohadi Awaludin) ISSN 1411 – 3481

9

and Radioisotope Production, Jakarta,

2005.

6. Saitoh N, et al. Handbook of

Radioisotope, Maruzen, Tokyo, 1996.

7. Soenarjo S, Tamat SR, Suparman I and

Purwadi B. RSG-GAS based

radioisotopes and sharing program for

regional back up supply, Jurnal

Radioisotop dan Radiofarmaka, 2003,

Vol 6:33-43.

8. Anonymous. Manufacturing manual of

iodium-125, Mediphysics, New York,

1985.

9. Anonymous. Iodine-125 handling

precaution, Perkin Elmer, New York,

2007.

10. Japan Radioisotope Association. Note

Book of Radioisotope, Maruzen, Tokyo,

1990.

11. Awaludin R. Penggunaan ulang xenon

pada produksi iodium-125, Prosiding

Pertemuan dan Presentasi Ilmiah

Penelitian Dasar Ilmu Pengetahuan dan

Teknologi Nuklir 2006: 24-28

12. Awaludin R. dkk. Evaluasi kemurnian

radionuklida pada uji produksi iodium-

125 menggunakan target xenon

diperkaya, Prosiding Pertemuan dan

Presentasi Ilmiah Penelitian Dasar Ilmu

Pengetahuan dan Teknologi Nuklir

2008:146-151.

Page 16: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 1-10 ISSN 1411 - 3481

10

Page 17: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

11

PENGEMBANGAN DAN APLIKASI KLINIS KIT-KERING RADIOFARMAKA SIPROFLOKSASIN

Nurlaila Zainuddin,1) Basuki Hidayat2), Rukmini Iljas1)

1)Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri-BATAN Jln. Tamansari 71 Bandung 40132

2)Bagian Kedokteran Nuklir-RS Hasan Sadikin Jln. Pasir Kaliki 192, Bandung

ABSTRAK PENGEMBANGAN DAN APLIKASI KLINIS KIT-KERING RADIOFARMAKA SIPROFLOKSASIN. Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin tersedia dalam bentuk kit-cair yang dikemas terpisah dari radionuklidanya. Sediaan dalam bentuk ini mempunyai stabilitas yang rendah. Guna memenuhi kebutuhan radiofarmaka untuk diagnosis infeksi telah dilakukan modifikasi pembuatan kit-kering radiofarmaka siprofloksasin menggunakan larutan infus siprofloksasin laktat yang beredar di pasaran dengan metode liofilisasi. Kit-kering siprofloksasin terdiri dari flakon A berisi 2 mg siprofloksasin laktat dan flakon B berisi 2 mg reduktor Sn-tartrat. Preparasi sediaan 99mTc-siprofloksasin dilakukan dengan menambahkan radioisotop 99mTc ke dalam flakon A yang telah dilarutkan dalam akuabides, diikuti penambahan larutan reduktor Sn-tartrat dari flakon B pada kondisi penandaan optimal. Kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin ditentukan dengan metode kromatografi menggunakan fase diam ITLC-SG dengan fase`gerak aseton kering. Pengujian aktivitas biologis dan uptake 99mTc-siprofloksasin terhadap mikroorganisme dilakukan secara in-vitro. Selain itu, dilakukan juga pemeriksaan sterilitas, toksisitas dan evaluasi klinis terhadap volunter. Hasil penandaan kit-kering siprofloksasin dengan radionuklida 99mTc diperoleh 99mTc-siprofloksasin dengan kemurnian radiokimia sebesar 96,39 ± 2,01%. Pengujian aktivitas biologis terhadap bakteri S. aureus dan E. coli menunjukkan bahwa kit-kering siprofloksasin setelah proses penandaan dengan 99mTc tidak kehilangan daya bakterisidanya dan uptake maksimum terjadi pada waktu inkubasi 1 jam sebesar 83,06 ± 10,95% dan 80,26 ± 8,58% masing-masing terhadap bakteri S. aureus dan E. coli. Kit-kering radiofarmaka siprofloksasin merupakan sediaan yang steril, vakum dan tidak toksik. Uji klinis radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin terhadap volunter yang menderita abses hati dan korpus tulang belakang menunjukkan adanya akumulasi radioaktivitas di daerah tersebut. Aplikasi klinis 99mTc-siprofloksasin dengan teknik pencitraan menggunakan kamera gamma menunjukkan bahwa radiofarmaka ini dapat digunakan untuk penyidik infeksi.

Kata kunci: siprofloksasin, 99mTc, kit-kering, infeksi. ABSTRACT

DEVELOPMENT AND CLINICAL APPLICATION OF THE RADIOPHARMACEUTICAL DRIED-KIT OF CIPROFLOXACIN. Nowadays, the 99mTc-ciprofloxacin radiopharmaceutical is available in the form of liquid-kit, which is separately packed with its radionuclide. The radiopharmaceuticals in that form has low stability. In order to fulfill the necessity of radiopharmaceutical for the diagnosis of infection, the modification of the preparation radiopharmaceutical dried-kit of ciprofloxacin using a commercial ciprofloxacin infuse solution by lyophilization method has been carried out. Ciprofloxacin dried-kit consists of 2 mg of ciprofloxacin lactate in the vial A and 2 mg of stannous tartrate in the vial B. The preparation of 99mTc-ciprofloxacin was performed by adding 99mTc radionuclide into the vial A dissolved in sterile water for injection, followed by addition of Sn-tartrate solution from the vial B at the optimum condition of labeling. The radiochemical purity of 99mTc-ciprofloxacin was analyzed by chromatographic method using ITLC-SG as a stationary phase and acetone as a mobile phase. In vitro determination of the biological activity and uptake of 99mTc-ciprofloxacin were performed to microorganism. Meanwhile, the sterility, toxicity and clinical evaluation were also observed. The labelling result of ciprofloxacin dried-kit with 99mTc radionuclide indicated that radiochemical purity of 99mTc-ciprofloxacin was 96.39 ± 2.01 %. The determination of biological activity to S. aureus and E. coli showed that after labelling the bactericide activity was not change i.e. 83.06 ± 10.95 % and 80.26 ± 8.58 % for S. aureus and E. coli respectively, whereas the maximum

Page 18: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

12

uptake were occured after one hour incubation. Clinical evaluation of 99mTc-ciprofloxacin to liver and bone marrow abscess patients showed the radioactivity accumulation around those areas. Clinical application of 99mTc-ciprofloxacin with tomography technique using gamma camera showed that this radiopharmaceutical could be used for infection imaging. Key words: ciprofloxacin, 99mTc, dried-kit, infection. 1. PENDAHULUAN Penyakit infeksi yang disebabkan oleh

bakteri gram positif maupun gram negatif

merupakan penyakit yang penyebarannya

sangat luas dan dapat menjangkiti seluruh

lapisan masyarakat. Beberapa metode

diagnosis dengan metode pencitraan

(imaging) menggunakan berbagai peralatan,

di antaranya ultrasonography (USG),

magnetic resonance imaging (MRI),

computed tomography (CT-scan) kadang-

kadang tidak dapat diterapkan secara

spesifik untuk lokasi infeksi yang terjadi

pada bagian tubuh yang sangat dalam

(deep-seated infection), misalnya dalam

tulang dan persendian (1,2). Untuk maksud

ini, metode teknik nuklir menggunakan

radiofarmaka merupakan metode alternatif

yang dapat diterapkan. Salah satu

radiofarmaka yang dapat digunakan adalah

siprofloksasin bertanda teknesium-99m.

Pendeteksian dilakukan dengan metode

pencitraan dengan alat kamera gamma.

Pencitraan menggunakan radiofarmaka ini

sangat spesifik, di mana dapat dibedakan

antara infeksi dan inflamasi steril (3).

Siprofloksasin adalah suatu antibiotik

spektrum luas, golongan fluorokinon yang

biasa digunakan dalam terapi infeksi baik

yang disebabkan oleh bakteri gram-positif

maupun gram-negatif, di antaranya E. coli,

Shigella, Salmonella, Enterobacter,

Staphyllococcus, Clostridium, Eubacterium,

Brucella alcaligenes, Aeromonas,

Paseurella, Mycobacterium dan

Actinormyces [2]. Senyawa fluorokinon ini

bersifat membunuh bakteri (bakterisid)

dengan cara mengikat enzim DNA-gyrase

yang diperlukan DNA untuk berubah dari

bentuk spiral ganda` menjadi bentuk spiral

tunggal pada saat pembelahan sel (4).

Dalam bidang radiofarmasi,

teknesium-99m merupakan radio-nuklida

yang dipakai secara luas dalam

pembuatan radiofarmaka untuk tujuan

diagnosis. Hal ini disebabkan beberapa

sifat yang menguntungkan dari

radionuklida tersebut sebagai penyidik

organ, yaitu mempunyai umur paro yang

pendek (6,08 jam), memancarkan sinar

gamma murni dengan energi yang ideal

untuk pencitraan dengan kamera gamma

(140 keV), toksisitas rendah dan dapat

berikatan dengan berbagai molekul

organik (5).

Kemajuan teknologi formulasi telah

mempengaruhi perkembangan

radiofarmaka. Bentuk sediaan kering yang

dapat mempertinggi kestabilan dan

teknologi produk instant yang dapat

meningkatkan kenyamanan pemakai telah

dimanfaatkan pula dalam formulasi

radiofarmaka yang dikenal dengan

sediaan kit-kering radiofarmaka, yaitu

radiofarmaka setengah jadi, steril dan

bebas pirogen yang dikemas secara

Page 19: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

13

terpisah dengan radioisotop atau

radionuklidanya dan dikeringkan dengan

cara liofilisasi (beku-kering) (6).

Sejalan dengan perkembangan

teknologi formulasi tersebut, teknologi

penyediaan radioisotop 99mTc yang semula

diperoleh dari induk 99Mo dengan cara

ekstraksi pelarut organik telah berhasil

diganti dengan teknologi generator

radioisotop 99mTc. Generator ini berisi

radionuklida induk 99Mo dan radionuklida

anak 99mTc dalam kesetimbangan sehingga

pengguna di rumah sakit setiap hari secara

instant dapat memperoleh larutan 99mTc

dalam bentuk Na99mTcO4. Dengan

tersedianya kit-kering radiofarmaka, larutan 99mTc dari generator dapat langsung

ditambahkan ke dalam kit-kering tersebut

dan diperoleh radiofarmaka 99mTc yang siap

dipakai tanpa harus melalui langkah

pemurnian atau sterilisasi.

Dalam penelitian terdahulu telah

dilakukan penandaan siprofloksasin dengan

radionuklida 99mTc menggunakan

siprofloksasin HCl sebagai bahan awal.

Penelitian tersebut meliputi formulasi dan

penyediaan radiofarmaka dalam bentuk kit-

cair dan kit-kering (7,8). Sediaan dalam

bentuk kit-cair mempunyai stabilitas yang

rendah selama penyimpanan, sedangkan

sediaan dalam bentuk kit-kering setelah

ditandai dengan radionuklida 99mTc

memberikan kemurnian radiokimia yang

rendah, yaitu lebih kecil dari 64% (8). Untuk

mengatasi masalah ini, dalam penelitian ini

akan dilakukan pengembangan dan

modifikasi formulasi pembuatan kit-kering

siprofloksasin menggunakan larutan infus

siprofloksasin laktat [9] yang beredar di

pasaran sebagai bahan awal. Untuk

mengetahui bahwa sediaan tersebut

memenuhi persyaratan sebagai

radiofarmaka diagnosis infeksi, dilakukan

juga beberapa pengujian di antaranya

kemurnian radiokimia (4,5), aktivitas

biologis dan uptake secara in-vitro oleh

mikroba, sterilitas dan toksisitas sediaan.

Selain itu, dilakukan juga uji pendahuluan

klinis pada beberapa volunter di rumah

sakit untuk memastikan bahwa

radiofarmaka tersebut dapat digunakan

untuk diagnosis infeksi. Penelitian ini

bertujuan memperoleh kit-kering

siprofloksasin untuk radiofarmaka

bertanda teknesium-99m yang mempunyai

kualitas dan stabilitas yang baik dengan

harga yang terjangkau karena dibuat di

dalam negeri, sehingga radiofarmaka ini

dapat digunakan secara luas untuk

menunjang pelayanan yang lebih baik di

bidang kesehatan.

2. TATA KERJA 2.1. Bahan dan Peralatan

Bahan yang digunakan adalah

radionuklida 99mTc dalam bentuk larutan

Na99mTcO4 yang diperoleh dari generator 99Mo/99mTc buatan BATAN-Teknologi.

Siprofloksasin laktat dalam bentuk larutan

infus 0,2% buatan Dexa Medica, Sn-tartrat

produksi Sigma, larutan NaCl fisiologis

dan akuabides steril produksi IPHA

Laboratories. Bahan lainnya adalah

ITLCTM-SG buatan Pall Corporation, asam

klorida, aseton serta pereaksi lain produksi

E.Merck dengan tingkat kemurnian

pereaksi analisis, media agar nutrien

padat dan agar glukosa sabouroud (SGA)

Page 20: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

14

produksi Oxoid.

Bakteri yang digunakan adalah

S.aureus dan E.coli biakan Biofarma, media

trypton soya broth (TSB), agar nutrien

buatan Difco, hewan uji mencit putih galur

Swiss dengan berat ± 25 gram.

Peralatan yang dipakai antara lain

pengering-beku (freeze-dryer) Labconco,

dose calibrator, pencacah saluran tunggal

(C.Schlumberger) dengan detektor NaI-Tl,

inkubator (Heraeus), timbangan analitis

(Sauter), laminar air flow, seperangkat alat

kromatografi menaik dan seperangkat alat

kamera gamma.

2.2. Optimalisasi jumlah Sn-tartrat Penyiapan larutan Sn-tartrat sebagai

reduktor dilakukan dengan menambahkan

14 µL HCl 10N (dibuat dari HCl fuming 37%

≈11,8N) ke dalam flakon yang berisi 10 mg

Sn-tartrat. Kemudian ditambahkan akua-

bides steril sampai volume tepat 10 mL dan

dialiri gas nitrogen selama ± 5 menit.

Ke dalam flakon 10 mL dimasukkan

berturut-turut 1 mL larutan infus

siprofloksasin laktat (0,2%) dan 0,25 mL

larutan Na99mTcO4 dengan radioaktivitas 8-

10 mCi. Ke dalam campuran segera

ditambahkan larutan Sn-tartrat (1mg/mL)

dengan jumlah bervariasi (300, 400, 500,

600 dan 700 µg). Campuran dikocok

perlahan-lahan sampai homogen, pH

berkisar 3,5 dan diinkubasi pada temperatur

kamar selama 15 menit. Kemurnian

radiokimia 99mTc-siprofloksasin ditentukan

dengan metode kromatografi tipis. (7)

2.3. Penentuan waktu inkubasi Penandaan siprofloksasin dengan

radionuklida 99mTc dilakukan sama seperti

pada percobaan terdahulu dengan

menggunakan 2 mg siprofloksasin laktat

yang diperoleh dari percobaan variasi

jumlah ligan (6) dan 500 µg reduktor Sn-

tartrat (1mg/mL). Campuran diinkubasi

pada temperatur kamar dengan waktu

yang bervariasi (0, 5, 10, 15 dan 20

menit). Kemurnian radiokimia 99mTc-

siprofloksasin ditentukan dengan metode

instant kromatografi lapis tipis.

2.4. Penetapan kemurnian radiokimia

99mTc-siprofloksasin Kemurnian radiokimia senyawa

bertanda 99mTc-siprofloksasin ditentukan

dengan cara instant kromatografi lapis tipis

[9]. Sebagai fase diam digunakan ITLCTM-

SG (1x10 cm) dan sebagai fase gerak

digunakan pelarut aseton. Kromatogram

dipotong-potong sepanjang 1 cm,

kemudian dicacah dengan pencacah

saluran tunggal yang dilengkapi dengan

detektor NaI-Tl. Pengotor radiokimia

dalam bentuk Tc-perteknetat (99mTcO4)-

diperoleh dengan fase gerak aseton

dengan harga Rf = 1,0. Persentase

pengotor radiokimia dan persentase

kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin

dihitung dengan cara sebagai berikut :

Pengotor radiokimia (99mTcO4)- (%) =

Kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin

(%)= 100% - (99mTcO4)-% di mana LB

adalah latar belakang

%100x LB Cacahan- mkromatogra pada cacahan Jumlah LB Cacahan-)TcO( Rf pada cacahan Jumlah 4

99m

Page 21: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

15

2.5. Pembuatan kit-kering radiofarmaka siprofloksasin

Kit-kering radiofarmaka siprofloksasin

terdiri dari 2 buah flakon 10 mL (A dan B),

yang masing-masing dalam keadaan steril,

kering dan vakum. Flakon A berisi 2 mg

siprofloksasin laktat dan flakon B berisi 2 mg

bahan reduktor Sn-tartrat.

Sebanyak 1 mL larutan infus

siprofloksasin laktat 0,2 %, masing-masing

dimasukkan ke dalam 100 buah flakon 10

mL steril, kemudian dikeringkan dengan cara

liofilisasi (flakon A).

Dalam wadah terpisah yang berisi 110

mg Sn-tartrat ditambahkan 100 µL HCl 10N,

dikocok sampai larut sempurna, kemudian

ditambahkan akuabides bebas oksigen

hingga volume 100 mL. Larutan disaring

dengan penyaring bakteri (0,22 µm),

kemudian dimasukkan masing-masing

sebanyak 1 mL ke dalam flakon 10 mL steril

dan dikeringkan dengan cara liofilisasi

(flakon B).

2.6. Penyediaan radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin

Ke dalam flakon A dan B masing-

masing ditambahkan 1 mL akuabides steril,

dikocok perlahan-lahan hingga larut.

Kemudian ke dalam flakon A ditambahkan

sejumlah tertentu larutan Na99mTcO4 dan

segera ditambahkan 0,5 mL larutan dari

flakon B. Campuran dikocok sebentar,

diinkubasi selama 15 menit pada temperatur

kamar, kemurnian radiokimia 99mTc

siprofloksasin serta pengotor radiokimianya

ditentukan dengan kromatografi lapis tipis.

2.7. Pengujian sterilitas kit-kering radiofarmaka siprofloksasin

Sterilitas kit-kering radiofarmaka

siprofloksasin (flakon A dan B) diuji

menggunakan 2 macam media yaitu agar

nutrien padat dan agar glukosa sabouroud

(SGA). Kit-kering radiofarmaka

siprofloksasin (masing-masing flakon A

dan B) dilarutkan dalam 1 mL larutan NaCl

fisiologis. Dengan menggunakan jarum

ose, larutan tersebut dioleskan pada

permukaan masing-masing media secara

aseptis di bawah laminar air flow.

Selanjutnya tabung perbenihan diinkubasi

dalam inkubator pada temperatur 37 oC

dan pertumbuhan bakteri serta kapang

dipantau selama 7 – 10 hari.

2.8. Pengujian toksisitas radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin

Pengujian toksisitas dilakukan

terhadap sekelompok (10 ekor) mencit

putih galur Swiss tanpa membedakan jenis

kelaminnya (11), dengan berat berkisar 20

g. Sebanyak kurang lebih 200 µL (≈ 500

µCi) radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin

disuntikkan pada masing-masing mencit

melalui vena ekor. Hewan tersebut

dipelihara seperti biasa dan diamati

selama 7 hari terhadap kemungkinan

adanya yang mati.

2.9. Pengujian biologis in-vitro

radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin terhadap bakteri

2.9.1 Aktivitas biologis Di atas biakan plat agar nutrien

yang masing-masing berisi S. aureus dan

Page 22: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

16

E.Coli diletakkan 100 µL radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin, kemudian disimpan dalam

inkubator 37ºC selama 24 jam. Sebagai

standar digunakan prosedur yang sama

untuk larutan infus siprofloksasin. Ukuran

diameter lingkaran inhibisi yang terjadi pada

biakan plat agar menyatakan aktivitas

biologis masing-masing cuplikan.

2.9.2. Ikatan pada bakteri Ke dalam tabung sentrifuga yang

berisi 2 mL larutan NaCl fisiologis (0,9%),

yang masing-masing mengandung ≈ 107 sel

bakteri S. aureus dan E.Coli ditambahkan

100 µL radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin.

Suspensi diinkubasi pada temperatur 37ºC

selama waktu tertentu (1, 2, 3, 4, 5 dan 24

jam) sambil dikocok, kemudian

disentrifugasi. Endapan dan supernatan

dipisahkan, selanjutnya endapan dicuci

dengan 0,5 mL larutan NaCl fisiologis dan

dicacah. Sebagai kontrol, digunakan larutan

Na99mTcO4 yang diperlakukan sama seperti

di atas. Persen ikatan pada bakteri diperoleh

dengan cara sebagai berikut :

Persen ikatan pada bakteri =

%100 )supernatan (endapan cacahan

endapan cacahan x+

2.10. Uji klinis radiofarmaka 99mTc- siprofloksasin

Uji klinis radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin dilakukan terhadap tiga orang

volunter di Bagian Kedokteran Nuklir RS Dr.

Hasan Sadikin, Bandung. Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin disuntikkan secara intra

vena dengan dosis ≈ 15 mCi. Setelah waktu

tertentu (1, 2 dan 4 jam) dilakukan

pencitraan menggunakan alat kamera

gamma.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Dalam pembuatan kit radiofarmaka

bertanda teknesium-99m, banyak faktor

yang mempengaruhi efisiensi penandaan

dengan kemurnian radiokimia yang tinggi

seperti di antaranya jumlah reduktor,

jumlah ligan, pH dan waktu inkubasi.

Efisiensi penandaan 99mTc-siprofloksasin

ditentukan dari kemurnian radiokimianya

yang dilakukan dengan metode

kromatografi lapis tipis seperti yang

dikembangkan oleh Siaens dkk.(10).

Pemakaian fase diam ITLC-SG dengan

fase gerak aseton dapat memisahkan

pengotor radiokimia dalam bentuk 99mTc-

perteknetat (99mTcO4)- dengan Rf = 1,0;

sedangkan pengotor radiokimia dalam

bentuk 99mTc-tereduksi (99mTcO2) akan

berimpit dengan 99mTc-siprofloksasin

dengan Rf = 0,0. Dari penelitian

sebelumnya diketahui bahwa pengotor

radiokimia dalam bentuk 99mTc-tereduksi

yang dievaluasi secara biologis

menggunakan hewan percobaan terlihat

bahwa tidak terjadi akumulasi pada hati

(7).

Penggunaan larutan infus

siprofloksasin sebagai bahan awal dalam

penelitian formulasi kit-kering

radiofarmaka siprofloksasin memberikan

suatu kelebihan di mana tidak dibutuhkan

modifikasi pH. Larutan infus yang tersedia

di pasaran mempunyai pH 3,0 – 3,5. Dari

penelitian terdahulu (7) diperoleh bahwa

pada pH 3,0 – 3,5 memberikan kemurnian

radiokimia yang tertinggi dan ini

merupakan pH di mana 99mTc-

Page 23: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

17

siprofloksasin tersebut stabil. Akan tetapi,

untuk memperoleh kondisi penandaan yang

optimal dengan pemakaian larutan infus ini,

perlu dilakukan variasi beberapa parameter

yang berpengaruh dalam penandaan

siprofloksasin dengan 99mTc, di antaranya

jumlah reduktor dan waktu inkubasi.

Dari percobaan optimalisasi jumlah

reduktor Sn-tartrat dengan tiga kali

pengulangan diperoleh bahwa penggunaan

Sn-tartrat dengan jumlah 500 µg

memberikan efsiensi penandaan yang

maksimal sebesar 97,24 ± 2,40 % (Gambar

1), dengan pengotor radiokimia (99mTcO4)-

sebesar 2,76 ± 1,17 %. Penggunaan jumlah

Sn-tartrat yang lebih kecil dari 500 µg

memberikan efisiensi penandaan yang

rendah karena jumlah tersebut terlalu sedikit

sehingga proses reduksi kurang sempurna

yang mengakibatkan tingginya pengotor

radiokimia dalam bentuk (99mTcO4). Di

samping itu, efisiensi penandaan juga akan

menurun bila digunakan Sn-tartrat dalam

jumlah yang lebih besar dari 500 µg, di

mana pada kondisi ini mengakibatkan pH

sediaan menjadi lebih asam (pH < 3)

sehingga meningkatkan terbentuknya

pengotor radiokimia (7).

Pada Tabel 1 disajikan pengaruh

waktu inkubasi terhadap efisiensi

penandaan 99mTc-siprofloksasin dengan tiga

kali pengulangan. Inkubasi pada temperatur

kamar sambil dikocok beberapa saat

memberikan efisiensi penandaan relatif kecil

yaitu 89,63±1,17%. Penambahan waktu

inkubasi selama 15 dan 20 menit diperoleh

hasil yang lebih tinggi dan relatif konstan,

masing-masing sebesar 96,73 ± 0,68 % dan

96,67±1,28%. Perpanjangan waktu inkubasi

sampai 30 menit tidak banyak

berpengaruh terhadap efisiensi

penandaan sehingga untuk percobaan

selanjutnya digunakan waktu inkubasi

selama 15 menit pada temperatur kamar.

Tabel 1. Penentuan waktu inkubasi dalam penandaan siprofloksasin dengan teknesium-99m (99mTc)

Waktu

inkubasi

(menit)

Efisiensi

penandaan 99mTc-

siprofloksasin (%)

Segera 89,63 ± 1,17

5 94,26 ± 0,82

10 94,56 ± 1,06

15 96,73 ± 0,68

20 96,67 ± 1,28

30 95,57 ± 1,24

70

75

80

85

90

95

100

200 300 400 500 600 700

Kadar reduktor Sn-tartrat (μg)

Efis

iens

i pen

anda

an (%

)

Gambar 1. Penentuan jumlah reduktor Sn-

tartrat dalam penandaan siprofloksasin dengan teknesium-99m (99mTc)

Kit-kering radiofarmaka sipro-

floksasin dibuat berdasarkan hasil yang

diperoleh dari percobaan optimalisasi

jumlah reduktor Sn-tartrat. Dalam

pembuatan kit-kering ini, seluruh tahap

pengerjaan dilakukan secara aseptik di

bawah laminar air flow. Kit didesain dalam

Page 24: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

18

2 flakon terpisah (A dan B), dikeringkan

dengan cara liofilisasi, flakon A mengandung

2 mg siprofloksasin laktat dan flakon B

mengandung 2 mg Sn-tartrat. Desain dalam

2 flakon terpisah ini karena dalam

pembuatan radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin tersebut, larutan Sn-tartrat

sebagai reduktor ditambahkan segera

setelah penambahan larutan 99mTc-

perteknetat ditambahkan pada ligan

siprofloksasin. Apabila kit-kering ini didesain

dalam satu flakon di mana Sn-tartrat dan

siprofloksasin berada dalam campuran,

maka pada penandaan dengan 99mTc

diperoleh larutan yang keruh. Hal ini diduga

terbentuknya senyawa koloid dari sejumlah

reduktor Sn(II) yang terdapat di dalam kit

sehingga diperoleh efisiensi penandaan

yang rendah (8,12).

Untuk memastikan bahwa kit-kering

siprofloksasin setelah ditandai dengan 99mTc

memenuhi persyaratan sebagai

radiofarmaka yang dapat diaplikasikan

secara klinis, perlu dilakukan beberapa

pengujian fisikokimia dan biologis.

Pengujian kemurnian radiokimia 99mTc-siprofloksasin menggunakan metode

kromatografi lapis tipis yang dilakukan

terhadap 5 flakon kit-kering siprofloksasin

memberikan efisiensi penandaan sebesar

96,39 ± 2,01 % (Tabel 2). Harga ini

memenuhi persyaratan kemurnian

radiokimia, mengingat bahwa radiofarmaka

dengan hasil klinis yang baik umumnya

mempunyai kemurnian radiokimia ≥ 90 % (4,

5).

Sama halnya dengan larutan

parenteral lainnya, radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin harus steril. Adanya

mikroorganisme baik bakteri maupun

kapang/jamur dalam sediaan dapat

menyebabkan infeksi pada pasien.

Pengujian sterilitas radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin dilakukan dengan

menggunakan metode yang terdapat pada

Farmakope Indonesia IV [11]. Dalam

pengujian ini digunakan agar nutrien padat

untuk mengetahui adanya bakteri aerob

dan anaerob, sedangkan penggunaan

agar glukosa sabouroud dimaksudkan

untuk mengetahui adanya kapang atau

jamur. Dari hasil pengujian dengan tiga

kali pengulangan diperoleh bahwa setelah

diinkubasi selama tujuh hari tidak terjadi

pertumbuhan baik bakteri aerob dan

anaerob maupun jamur dalam semua

media. Hal ini menunjukkan bahwa

radiofarmaka tersebut dalam keadaan

steril (Tabel 2)

Persyaratan lain yang harus

dipenuhi suatu radiofarmaka yang

digunakan secara parenteral adalah harus

tidak toksik. Pengujian toksisitas suatu

sediaan menurut Farmakope Indonesia IV

(11) dilakukan menggunakan hewan

percobaan mencit putih dengan dosis

yang sama dengan dosis yang diberikan

pada manusia. Guna menjamin keamanan

pemakaian untuk manusia, dalam

percobaan ini, pengujian toksisitas

radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin

dilakukan dengan menggunakan dosis

yang lebih tinggi yaitu lebih kurang 100

kali dari dosis untuk manusia. Pengujian

dilakukan terhadap dua kelompok mencit

putih, yang masing-masing kelompok

terdiri dari lima ekor. Dari hasil

pemantauan selama 7 hari setelah

Page 25: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

19

penyuntikan, tidak ada satupun mencit dari

masing-masing kelompok tersebut yang

mati, ini berarti bahwa radiofarmaka tersebut

tidak toksik (Tabel 2).

Reaksi penandaan siprofloksasin

dengan radionuklida 99mTc dapat

menyebabkan terjadinya perubahan struktur

molekul dari siprofloksasin tersebut (3).

Adanya atom O (oksigen) yang mempunyai

pasangan elektron bebas dalam struktur

molekul siprofloksasin memungkinkan

senyawa tersebut membentuk kompleks

dengan 99mTc, di mana pasangan elektron

bebas ini akan membentuk ikatan kovalen

koordinat dengan radionuklida tersebut.

Adanya perubahan struktur molekul ini dapat

mengakibatkan terjadinya perubahan

karakter dan sifat mikrobiologis

siprofloksasin baik daya bakterisida maupun

uptake-nya terhadap sel mikroba. Untuk

mengetahui hal ini, dilakukan pengujian

secara in-vitro menggunakan beberapa

mikroba.

Pengujian daya bakterisida

radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin terhadap

bakteri S. aureus dan E. Coli menunjukkan

bahwa kit-kering siprofloksasin setelah

proses penandaan dengan 99mTc tidak

kehilangan daya bakterisidanya. Hal ini

dapat dilihat dari luasnya daya inhibisi

terhadap biakan kedua mikroba tersebut

pada media plat agar yang dibandingkan

dengan siprofloksasin sebagai bahan awal.

Dari hasil percobaan dengan lima kali

pengulangan diperoleh diameter inhibisi 99mTc-siprofloksasin terhadap bakteri S.

aureus dan E. Coli masing-masing sebesar

3,90±0,34 cm dan 4,14±0,13 cm, sedangkan

siprofloksasin sebesar 4,37±0,19 cm dan

3,82±0,07 cm masing-masing terhadap

bakteri S. aureus dan E. Coli (Gambar 2,

Tabel 2).

Tabel 2. Pengujian hasil penandaan kit-

kering siprofloksasin dengan radionuklida 99mTc

Jenis

pengujian Hasil Keterangan

Kemurnian radiokimia 96,39 ± 2,01 % -

Sterilitas Steril -

Toksisitas Tidak toksik - Inhibisi

terhadap S. aureus

3,90 ± 0,34 cm Siprofloksasin 4,37 ± 0,19 cm

Inhibisi terhadap

E. coli4,14±0,13 cm Siprofloksasin

3,82 ± 0,07 cm

Gambar 2. Pengujian daya bakterisida

siprofloksasin (a, c), 99mTc-siprofloksasin (b,d) terhadap mikroba

Hasil uji mikrobiologis ini,

memperlihatkan bahwa daya bakterisida

dari radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin

terhadap bakteri S. aureus dan E. Coli

tidak menunjukkan perbedaan yang berarti

dengan siprofloksasin sebagai bahan awal

c

a b

d

Page 26: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

20

karena masih memenuhi persyaratan daya

bakterisida suatu antibiotika sebesar 80%–

125% (11). Hal ini menunjukkan pula bahwa

reaksi penandaan tidak mempengaruhi

pusat aktif reaksi antara siprofloksasin

dengan enzym-girase pada bakteri.

Afinitas bakterial suatu senyawa juga

menggambarkan uptake senyawa tersebut

oleh mikroba. Dengan tiga kali pengulangan

diperoleh uptake 99mTc-siprofloksasin oleh

bakteri S. aureus dan E. coli pada satu jam

pertama inkubasi masing-masing sebesar

83,06 ± 10,95 % dan 80,26 ± 8,58 %, yang

kemudian menurun secara perlahan dengan

bertambahnya waktu. Terlihat setelah 4 jam

inkubasi masih memberikan uptake yang

cukup tinggi sebesar 44,41 ± 7,60 % dan

35,64 ± 2,85 % masing-masing terhadap

bakteri S. aureus dan E. coli. Hasil ini

didukung oleh data biodistribusi 99mTc-

siprofloksasin pada mencit putih di mana

diperoleh rasio abses-otot sebesar 2,1 ± 0,4

dan 1,9 ± 0,3 masing-masing untuk bakteri

S. aureus dan E. coli pada 4 jam setelah

penyuntikan intra vena (13) Sebagai

pembanding, dilakukan juga percobaan

menggunakan larutan Na99mTcO4, di mana

diperoleh uptake yang sangat rendah (<

5%) baik terhadap S. aureus maupun E.

Coli (Gambar 3).

Uji klinis radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin dilakukan terhadap tiga

orang volunter di Bagian Kedokteran

Nuklir RS Dr. Hasan Sadikin, Bandung.

Radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin

disuntikkan secara intra vena, masing-

masing dengan dosis ≈ 15 mCi. Setelah

waktu tertentu (1 dan 2 jam) dilakukan

pencitraan menggunakan alat kamera

gamma.

Gambar 4 menunjukkan distribusi

radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin yang

disuntikkan secara intra vena pada

volunter normal. Terlihat adanya

akumulasi normal di sistem genito-urinary

(ginjal dan kandung kemih), samar-samar

juga terlihat adanya akumulasi di jantung

dan hati. Untuk mengetahui bahwa

radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin dapat

digunakan untuk diagnosis infeksi,

pengujian dilakukan terhadap volunter

yang menderita peradangan (abses) pada

organ hati.

Gambar 3. Afinitas bakterial 99mTc-siprofloksasin

Bakteri S. Aureus

-100

1020

304050

6070

8090

0 4 8 12 16 20 24

Waktu (jam)

TcO4Tc-SIP

Bakteri E. Coli

-10

0

10

20

3040

50

60

7080

90

0 4 8 12 16 20 24

Waktu (jam)

TcO4Tc-SIP

Page 27: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

21

Gambar 4. Hasil pencitraan seluruh tubuh radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin pd volunter normal menggunakan kamera gamma. (A: anterior, B: posterior 1 jam pasca penyuntikan, C: anterior, D: posterior 2 jam pasca penyuntikan).

Dari hasil pencitraan seluruh tubuh

menunjukkan terjadi peningkatan akumulasi

radioaktivitas secara patologis pada lesi di

hati (terlihat di perifer hati) yang mengelilingi

daerah yang tidak menangkap radioaktivitas

(void). Akumulasi di daerah perifer ini dapat

disebabkan oleh dua hal, pertama karena

adanya bakteri yang hidup dan yang kedua

karena adanya peningkatan aliran darah

(perfusi). Daerah void disebabkan karena

terkumpulnya radang dan nanah (pus), di

mana pada tempat tersebut tidak terjadi

peningkatan aliran darah (perfusi) (Gambar

5).

Pengujian dilakukan juga terhadap

volunter yang menderita abses pada korpus

tulang belakang torakal VI dan pencitraan

dilakukan menggunakan alat gabungan

Single-Photon Emission Computed

Tomography - Computed Tomography

(SPECT-CT).

Gambar 5. Hasil pencitraan seluruh tubuh

radiofarmaka 99mTc-siprofloksasin pada volunter yang menderita abses pada organ hati menggunakan kamera gamma (SPECT), (A) 1 jam, (B) 4 jam pasca penyuntikan.

Gambar 6A menunjukkan

pencitraan berdasarkan CT di mana

terlihat adanya destruksi pada korpus

tulang belakang. Gambar 6B adalah

pencitraan menggunakan SPECT di mana

terlihat jelas adanya akumulasi

radioaktivitas radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin pada daerah kelainan, yang

sesuai dengan citra CT. Gabungan kedua

citra tersebut (SPECT dan CT) dengan

hasil yang memuaskan dapat dilihat pada

Gambar 6C.

Dari berbagai percobaan di atas

menunjukkan bahwa radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin merupakan sediaan yang

tidak toksik dan dapat digunakan untuk

pemakaian pada manusia di mana dengan

metode pencitraan dapat mendeteksi

daerah terjadinya infeksi.

4. KESIMPULAN Kit radiofarmaka siprofloksasin

dapat dibuat dengan cara liofilisasi dalam

dua flakon terpisah (siprofloksasin laktat

A B C D

Hati Hati

A B

Page 28: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

22

dan reduktor Sn-tartrat), kondisi vakum dan

steril.

Gambar 6. Pencitraan radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin pada volunter yang menderita abses pada korpus tulang belakang menggunakan gabungan alat SPECT-CT 1 jam pasca penyuntikan. (A) citra anatomi Computed Tomographic (CT); (B) citra SPECT; (C) citra gabungan SPECT-CT.

Penandaan kit-kering siprofloksasin dengan

radionuklida 99mTc menghasilkan 99mTc-

siprofloksasin dengan kemurnian radiokimia

yang memenuhi persyaratan sebagai

radiofarmaka (≥ 90%), tidak toksik dan

masih mempunyai daya bakterisida terhadap

mikroba S. Aureus dan E.coli. Uji klinis di

rumah sakit dengan metode pencitraan

menggunakan kamera gamma dan SPECT-

CT terhadap volunter memberikan hasil

yang memuaskan dan menunjukkan

harapan untuk dapat digunakan sebagai

radiofarmaka untuk diagnosis infeksi.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Sdr. Mimin Ratna Suminar atas

partisipasi aktifnya dalam penelitian ini,

demikian juga kepada Sdr. Rizky Juwita S.

dan Sdr. Yetti Suryati dan seluruh staf dan

teknisi Kelompok Biodinamika serta

seluruh staf medik Bagian Kedokteran

Nuklir-RSHS.

6. DAFTAR PUSTAKA 1. Larikka MJ, Ahonen AK, Niemela O,

Puronto O, Junila JA, Hamalainen

MM, Britton KE, Syrjala HP. 99mTc-

cyprofloxacin (infecton) imaging in

diagnosis of knee prosthesis

infections. Nucl. Med. Comm.

2002;23:167-170.

2. Dass SS, Hall AV, Wareham DW,

Britton KE. Infection imaging with

radiopharmaceuticals in the 21th

century. Brazilian Archives of Biology

2002;45:223-228.

3. Gano L, Patricio L, Cantiho G, Pena

H, Martins T, Marques E.

Ciprofloxacin in imaging of infective

versus sterile inflamation, IAEA-

TecDoc 1029, Vienna, 1998, 213-220.

4. Britton KE, Solanki KK, Wareham

DW, Dass SS. Analysis of infecton

imaging for patients in the UK., IAEA

Coordinated Research Programme,

London, 1999.

5. Owunwanne A, Patel M, Sadek S.

The Handbook of

Radiopharmaceuticals, 1st ed.,

London:Chapman & Hall Medical;

1995:9–12.

6. htpp://Amanda.uams.edu/other/nucle

ar/chem.html., Chemistry of

radiopharma-ceutical, 1-5.

7. Hasan Basry T, Nurlaila Z, Rukmini I.

Formulasi radiofarmaka 99mTc-

siprofloksasin untuk diagnosis infeksi.

Prosiding Seminar Nasional Sains

A

B

C

Page 29: Jstni Feb 2009 Secured

Pengembangan dan Aplikasi Klinis Kit Kering Radiofarmaka Siprofloksasin (Nurlaila Z.) ISSN 1411 - 3481

23

dan Teknik Nuklir. Bandung: Puslitbang

Teknik Nuklir-BATAN; 2005:38-45.

8. Rukmini I. Desain kit kering

radiofarmaka siprofloksasin,

P3TkN/Lap301008/ NP/2005.

9. CHOI TAE HYUN, Komunikasi pribadi,

Kirams, KCCH, Korea, 2006.

10. Siaens RH, Rennen HJ, Boerman OC,

Dierckx R, Slegers G. Synthesis and

comparison of 99mTc-enfrofloxacin and 99mTc-cyprofloxacin, J. Nucl.Med. 2004;

45(12):2088-2094.

11. Dep. Kesehatan Republik Indonesia,

Farmakope Indonesia IV; 1992:855–

859.

12. Bhardwaj N, Bhatnagar A, Singh AK.

Development and evaluation of a

single vial cold kit for infection

imaging : Tc-99m cyprofloxacin.

World. J. Nucl. Med. 2005;4:244-251

13. Yana S, Rizky JS, Nurlaila Z.

Biodistribusi dan uji clearance 99mTc-

siprofloksasin pada mencit (Mus

musculus) yang terinfeksi bakteri

Escherichia coli, Prosiding Seminar

Nasional Sains dan Teknik Nuklir.

Bandung: PTNBR-BATAN; 2007:393-

398.

Page 30: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1,Februari 2009: 11-24 ISSN 1411 - 3481

24

Page 31: Jstni Feb 2009 Secured

Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481

25

PENANDAAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAMETILEN FOSFONAT (EDTMP) DENGAN RADIONUKLIDA 175Yb

Azmairit Aziz

Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri – BATAN E-mail : [email protected]

ABSTRAK

PENANDAAN LIGAN ETILENDIAMINTETRAMETILEN FOSFONAT (EDTMP) DENGAN RADIONUKLIDA 175Yb. Iterbium-175 (175Yb) merupakan salah satu radioisotop yang dapat digunakan untuk terapi karena merupakan pemancar-β (T1/2 = 4,2 hari dengan Eβ (maks) sebesar 480 keV). Di samping itu, radioisotop tersebut juga memancarkan sinar-γ dengan energi yang cukup ideal untuk penyidikan (imaging) selama terapi berlangsung (113 keV (1,9%), 282 keV(3,1%) dan 396 keV (6,5%)). Ligan EDTMP dapat ditandai dengan radionuklida 175Yb sebagai radiofarmaka alternatif untuk penghilang rasa sakit (paliatif) akibat metastase kanker ke tulang. Telah dilakukan penandaan ligan etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP) dengan radionuklida 175Yb. Untuk mendapatkan radiofarmaka 175Yb-EDTMP dengan efisiensi penandaan yang tinggi, maka dilakukan variasi beberapa parameter yang berpengaruh dalam reaksi penandaan, yaitu jumlah ligan EDTMP, pH penandaan, waktu inkubasi dan jumlah larutan 175Yb. Radiofarmaka 175Yb-EDTMP yang diperoleh ditentukan efisiensi penandaan melalui pemeriksaan kemurnian radiokimianya dengan cara kromatografi kertas dan elektroforesis kertas. Kondisi optimum penandaan diperoleh pada pH 7 dengan jumlah ligan EDTMP sebanyak 4 mg, larutan 175Yb sebanyak 100 µL (105 µg setara dengan 0,6 µmol) dan waktu inkubasi selama 30 menit pada temperatur kamar. Kompleks yang terbentuk memberikan efisiensi penandaan maksimum sebesar 98,81 ± 0,15%. Berdasarkan hasil yang diperoleh, ligan EDTMP dapat ditandai dengan radionuklida 175Yb dengan efisiensi penandaan yang tinggi (di atas 95%).

Kata kunci: radionuklida, iterbium-175 (175Yb), etilendiamintetrametilen fosfonat (EDTMP),

terapi, paliatif. ABSTRACT LABELLING OF ETHYLENEDIAMINETETRAMETHYLENE PHOSPHONIC ACID (EDTMP) WITH 175Yb. Ytterbium-175 (175Yb) is one of radioisotopes that can be used for therapy due to its β-particle emission (T1/2 = 4.2 d , Eβ (max) = 480 keV). Beside that, this radioisotope also emits γ-rays of 113 keV (1.9%), 282 keV (3.1%) and 396 keV (6.5%) which are suitable energy for imaging as long as therapeutic applications. EDTMP could be labeled with radionuclide of 175Yb as an alternative radiopharmaceutical for bone pain palliation due to bone metastases. Labeling of ethylenediaminetetramethylenephosphonic acid with 175Yb has been studied. Various influential parameters in labeling conditions i.e. the amount of EDTMP ligand, the pH of labeling, incubation time and the amount of 175Yb solution were studied in order to obtain high labeling efficiency of 175Yb-EDTMP. The labeling efficiency was obtained by radiochemical purity that was determined by paper chromatography and paper electrophoresis techniques. The optimum labeling condition was obtained at pH 7, 4 mg of EDTMP ligand, 100 µL (105 µg; 0.6 µmol) of 175Yb solution and 30 minutes incubation time at room temperature. The complex formed was gave maximum labeling efficiency of 98.81 ± 0.15%. Owing to the results, EDTMP ligand can be labeled with 175Yb radionuclide with labeling efficiency more than 95%. Key words: radionuclide, ytterbium-175 (175Yb), ethylenediaminetetramethylene phosphonic

acid (EDTMP), therapy, palliative.

Page 32: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35

26

ISSN 1411 - 3481

1. PENDAHULUAN Kebanyakan pasien yang menderita

kanker payudara, kanker prostat dan kanker

paru-paru mempunyai kecenderungan untuk

menderita metastase kanker ke tulang.

Kanker ini dapat menyebabkan rasa nyeri

yang sangat kuat sehingga dapat

menurunkan kualitas hidup pasien (1-4).

Radiofarmaka untuk keperluan terapi yang

ditandai dengan radioisotop pemancar-β,

seperti 89SrCl2, 153Sm-EDTMP, 186Re-HEDP, 117mSn-DTPA, 166Ho-EDTMP dan 177Lu-

EDTMP sudah digunakan di bidang

kedokteran nuklir sebagai radiofarmaka

penghilang rasa sakit akibat metastase

kanker ke tulang (4-10). Akan tetapi,

beberapa radiofarmaka untuk metastase

kanker ke tulang tersebut mulai ditinggalkan

oleh bidang kedokteran nuklir karena energi

partikel-β yang dimiliki oleh radionuklida

pembentuk radiofarmaka tersebut cukup

besar seperti pada 89SrCl3 dan 166Ho-

EDTMP, di mana kedua radionuklida

tersebut masing-masing memiliki Eβ

maksimum sebesar 1,49 dan 1,85 MeV.

Energi partikel-β yang cukup besar ini dapat

memberikan dosis yang tinggi pada sumsum

tulang, sehingga dapat menekan

pembentukan sel-sel darah (1,11-13).

Iterbium-175 (175Yb) merupakan salah

satu radioisotop unsur iterbium (golongan

lantanida) yang dapat digunakan untuk

terapi karena merupakan pemancar-β (t1/2 =

4,2 hari, Eβ (maks) = 480 keV). Di samping itu,

radioisotop tersebut juga memancarkan

sinar-γ dengan energi yang cocok untuk

penyidikan (imaging) selama terapi

berlangsung (Eγ = 113 keV (1,9%), 282 keV

(3,1%) dan 396 keV (6,5%)). Sehingga

berdasarkan sifat radionuklida tersebut, 175Yb dapat digunakan sebagai radioisotop

alternatif penghilang rasa sakit akibat

metastase kanker ke tulang (7). Pada

penelitian terdahulu telah berhasil dilakukan

pembuatan dan uji kualitas radioisotop

iterbium-175 (175Yb) untuk terapi melalui

reaksi inti (n,γ) di reaktor TRIGA 2000

Bandung (14).

Ligan etilendiamintetrametilen

fosfonat (EDTMP) merupakan senyawa

turunan fosfonat dengan struktur dasar P-C-

N-C-P dan memungkinkan untuk ditandai

dengan radionuklida 175Yb menghasilkan

radiofarmaka 175Yb-EDTMP. Radiofarmaka

tersebut dapat digunakan sebagai

radiofarmaka alternatif penghilang rasa sakit

(paliatif) akibat metastase kanker ke tulang

(13). Dalam makalah ini dikemukakan

penentuan kondisi optimum dalam

penandaan ligan etilendiaminterametilen

fosfonat dengan radionuklida 175Yb. Untuk

mendapatkan radiofarmaka 175Yb-EDTMP

dengan efisiensi penandaan yang tinggi,

maka dilakukan variasi beberapa parameter

yang berpengaruh dalam reaksi penandaan,

yaitu jumlah ligan EDTMP, pH penandaan,

waktu inkubasi dan jumlah mol larutan 175Yb.

Radiofarmaka 175Yb-EDTMP yang diperoleh

ditentukan efisiensi penandaan melalui

pemeriksaan kemurnian radiokimianya

dengan berbagai sistem kromatografi. 2. BAHAN DAN TATA KERJA 2.1. Bahan dan peralatan Iterbium oksida (Yb2O3) alam, asam

klorida, natrium hidroksida, natrium

bikarbonat, dinatrium hidrogen fosfat, asam

Page 33: Jstni Feb 2009 Secured

Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481

27

asetat, aseton, etilendiamintetra asetat

(EDTA) serta pereaksi-pereaksi lain buatan

E.Merck. Ligan etilendiamintetrametilen-

fosfonat buatan TCI. Akuabides steril dan

NaCl fisiologis steril (0,9%) buatan IPHA.

Kertas kromatografi Whatman 3MM dan

TLC SG 60.

Peralatan yang digunakan terdiri dari

seperangkat alat kromatografi lapisan tipis

dan kromatografi kertas, pencacah-β Geiger

Muller, peralatan gelas, alat pemanas

(Nuova), dose calibrator dan seperangkat

alat elektroforesis kertas (Bijou-ADCO).

2.2. Tata Kerja 2.2.1. Iradiasi iterbium oksida (Yb2O3) Sebanyak 6 mg serbuk Yb2O3

dimasukkan ke dalam tabung kuarsa, lalu

ditutup dengan cara pengelasan. Tabung

kuarsa dimasukkan ke dalam inner capsule

yang terbuat dari bahan aluminium nuclear

grade, lalu ditutup dengan cara pengelasan.

Uji kebocoran dilakukan terhadap inner

capsule dengan metode gelembung dalam

media air sampai tekanan 30 inci Hg.

Setelah lolos uji kebocoran, kemudian inner

capsule dimasukkan ke dalam outer capsule

untuk diiradiasi. Iradiasi dilakukan di RSG-

GA Siwabessy Serpong selama ± 11 hari

pada posisi iradiasi CIP dengan fluks

neutron termal sebesar 1,12x1014 n.cm-2det-1

2.2.2. Preparasi larutan radioisotop

175YbCl3 Sebanyak 6 mg serbuk 175Yb2O3 hasil

iradiasi dimasukkan ke dalam gelas piala

100 mL, lalu dilarutkan dalam 5 mL larutan

HCl 0,1 N sambil dipanaskan perlahan-

lahan sampai hampir kering. Kemudian

dilarutkan kembali dalam 5 mL akuabides

steril sambil dipanaskan perlahan-lahan

sampai hampir kering. Proses tersebut

dilakukan berulang-ulang sampai diperoleh

larutan 175YbCl3 yang memiliki pH∼7 dengan

volume 5 mL. Radioaktivitas larutan 175YbCl3

diukur dengan alat dose calibrator.

2.2.3. Penentuan kondisi optimum preparasi senyawa bertanda 175Yb-EDTMP

Untuk mendapatkan senyawa

bertanda 175Yb-EDTMP dengan efisiensi

penandaan yang tinggi, dilakukan variasi

beberapa parameter yang berpengaruh

dalam reaksi penandaan, yaitu jumlah ligan

EDTMP (2, 4, 8 dan 16 mg); pH penandaan

(2, 4, 6, 7 dan 8); waktu inkubasi pada

temperatur kamar (0, 15, 30, 45 dan 60

menit); dan jumlah larutan 175Yb (0,3 ; 0,6 ;

0,9 dan 1,2 μmol).

2.2.4. Preparasi senyawa bertanda 175Yb-EDTMP

Sebanyak 4 mg ligan EDTMP

dilarutkan dalam 0,4 ml larutan NaHCO3 0,5

M (pH 9), lalu ditambahkan sebanyak 0,5

mL larutan NaCl fisiologis (0,9%) dan 0,1 ml

larutan 175YbCl3. Kemudian pH ditepatkan

ke 7 dengan penambahan larutan HCl 1 N

atau NaOH 1 N. Larutan diinkubasi selama

30 menit pada temperatur kamar, kemudian

ditentukan kemurnian radiokimianya dengan

metode kromatografi lapisan tipis,

kromatografi kertas dan elektroforesis

kertas.

Page 34: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35

28

ISSN 1411 - 3481

2.2.5 Pemeriksaan kemurnian radiokimia senyawa bertanda 175Yb-EDTMP

Kemurnian radiokimia senyawa 175Yb-

EDTMP ditentukan dengan metode

kromatografi lapisan tipis (KLT) dengan

menggunakan pelat silika gel 60 (2 x 10 cm)

sebagai fase diam dan aseton sebagai fase

gerak. Metode kromatografi kertas dilakukan

dengan menggunakan kertas Whatman 3

MM (2 x 17 cm) sebagai fase diam dan

asam asetat 50%, NaCl fisiologis (0,9%),

aseton, EDTA 1 mM sebagai fase gerak.

Metode elektroforesis kertas dilakukan

dengan menggunakan pelat pendukung

kertas kromatografi Whatman 3 MM (2 x 38

cm) dan larutan Na2HPO4 0,025 M pH 7,5

sebagai larutan elektrolitnya, di mana

pemisahan dilakukan selama 1 jam pada

tegangan 300 Volt. Kemudian kertas

kromatografi dan kertas elektroforesis

dikeringkan, dipotong-potong sepanjang 1

cm dan dicacah dengan alat pencacah

Geiger Muller.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Larutan 175YbCl3 yang diperoleh dari

hasil iradiasi iterbium oksida (Yb2O3) alam

sebanyak 6 mg di RSG Serpong, kemudian

setelah dilarutkan dalam 5 mL larutan HCl

0,1N sambil dipanaskan perlahan-lahan

sampai agak kering serta dilarutkan kembali

dalam 5 mL akuabides steril mempunyai pH

~7. Berdasarkan pengamatan secara visual,

larutan tersebut terlihat jernih. Hasil analisis

kromatografi kertas menggunakan kertas

kromatografi Whatman 3 MM (2x17 cm)

sebagai fase diam dan NaCl fisiologis

(0,9%) sebagai fase gerak, menunjukkan

bahwa radioisotop 175Yb yang diperoleh

berada dalam bentuk senyawa tunggal yaitu 175YbCl3, di mana senyawa 175YbCl3 tetap

berada pada titik nol (Rf = 0). Nilai Rf

senyawa kompleks / radiofarmaka 175Yb-

EDTMP dan pengotor radiokimia (175YbCl3)

pada berbagai sistem kromatografi dapat

dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1 . Nilai Rf senyawa kompleks / radiofarmaka 175Yb-EDTMP dengan berbagai sistem kromatografi kertas dan kromatografi lapisan tipis.

No. Sistem kromatografi Rf Waktu elusi

(menit) Keterangan Fase diam Fase gerak 175Yb-EDTMP 175YbCl31. TLC SG 60

(2x10 cm) Aseton 0 0 30 tidak dapat digunakan

2. Whatman

3 MM (2x17 cm)

Aseton 0 0 35 tidak dapat digunakan

3. Whatman

3 MM (2x17 cm)

NaCl fis 0,8 – 0,9 0 60 dapat digunakan

4. Whatman 3 MM

(2x17 cm)

Asam asetat 50%

0 0,8 – 0,9 90 dapat digunakan

5. Whatman 3 MM

(2x17 cm)

EDTA 1 mM

0,9 – 1,0 0,9 – 1,0 60 tidak dapat digunakan

Page 35: Jstni Feb 2009 Secured

Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481

29

0102030405060708090

100

Rad

ioak

tivita

s (%

)

1 3 5 7 9 11 13 15 17

Jarak migrasi (cm)

175YbCl3 175Yb-EDTMP

Gambar 1. Hasil analisis kromatografi kertas senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3

dengan menggunakan kertas kromatografi Whatman 3 MM sebagai fase diam dan NaCl fisiologis sebagai fase gerak.

0102030405060708090

100

Rad

ioak

tivita

s (%

)

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Jarak migrasi (cm)

175YbCl3 175Yb-EDTMP

Gambar 2. Hasil elektroforesis kertas senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3

Pada Tabel 1 terlihat bahwa sistem

kromatografi nomor 1, 2 dan 5 tidak dapat

digunakan karena tidak dapat memisahkan

dengan baik senyawa kompleks 175Yb-

EDTMP dari senyawa 175YbCl3. Pada sistem

kromatografi nomor 1 dan 2, kedua senyawa

tersebut tetap berada pada titik nol (Rf = 0).

Akan tetapi, pada sistem kromatografi

nomor 5, kedua senyawa tersebut bergerak

ke arah aliran fase gerak dengan Rf=0,9 - 1.

Pada sistem kromatografi nomor 3 dan 4,

senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dapat

dipisahkan dengan baik dari senyawa 175YbCl3. Pada sistem kromatografi nomor 3,

-2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14

-3 -2 -1 0 1 2 3 4 5 6 7 8

Page 36: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35

30

ISSN 1411 - 3481

senyawa 175YbCl3 tetap berada pada titik nol

(Rf = 0), sedangkan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP bergerak ke arah aliran fase

gerak dengan Rf = 0,8 – 0,9.

Pada sistem kromatografi nomor 4,

senyawa kompleks 175Yb-EDTMP tetap

berada pada titik nol (Rf = 0), sedangkan

senyawa 175YbCl3 bergerak ke arah aliran

fase gerak dengan Rf = 0,8 – 0,9.

Berdasarkan hasil analisis

kromatografi pada kedua sistem

kromatografi di atas, maka kedua sistem

kromatografi tersebut dapat digunakan

untuk memisahkan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dari pengotor radiokimianya

(175YbCl3) dengan waktu elusi masing-

masing selama 60 dan 90 menit.

Gambar 1 memperlihatkan hasil

analisis kromatografi kertas senyawa

kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3 dengan menggunakan fase gerak

NaCl fisiologis. Hasil analisis metode

elektroforesis kertas menggunakan pelat

pendukung kertas kromatografi Whatman 3

MM (2x38 cm) dan larutan Na2HPO4 0,025

M pH 7,5 sebagai larutan elektrolitnya

diperoleh senyawa 175YbCl3 tidak

bermuatan dan tetap berada pada titik nol

(Rf = 0), sedangkan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP bergerak ke arah anoda yang

menunjukkan bahwa senyawa kompleks 175Yb-EDTMP tersebut bermuatan negatif

dengan Rf = 0,3.

Gambar 2 memperlihatkan hasil

elektroforesis kertas senyawa kompleks 175Yb-EDTMP dan senyawa 175YbCl3. Hasil

analisis kromatografi kertas dan

elektroforesis kertas digunakan untuk

menentukan kemurnian radiokimia senyawa

kompleks 175Yb-EDTMP.

Reaksi yang terjadi pada proses

penandaan ligan EDTMP dengan

radionuklida 175Yb adalah melalui reaksi

seperti pada Gambar 3.

Untuk mendapatkan kondisi optimum

penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP,

pertama-tama dilakukan dengan cara

memvariasikan jumlah ligan EDTMP.

Efisiensi penandaan ditentukan dengan

melihat kemurnian radiokimianya.

Gambar 3. Reaksi pembentukan senyawa kompleks 175Yb-EDTMP.

Page 37: Jstni Feb 2009 Secured

Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481

31

94

95

96

97

98

99

100

0 2 4 6 8 10 12 14 16 18Jumlah ligan (mg)

Efis

iens

i pen

anda

an (%

)

Gambar 4 . Pengaruh jumlah ligan terhadap efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP.

Keterangan : pH = 7, tinkubasi = 30 menit pada temperatur kamar, larutan 175Yb = 105 µg (100 µL ; 0,6 µmol).

40

50

60

70

80

90

100

0 2 4 6 8 10pH

Efis

iens

i pen

anda

an (%

)

Gambar 5 . Pengaruh pH terhadap efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP.

Keterangan: EDTMP = 4 mg, t inkubasi = 30 menit pada temperatur kamar, larutan 175Yb = 105 µg (100 µL ; 0,6 µmol).

Gambar 4 memperlihatkan pengaruh

jumlah ligan EDTMP (2, 4, 8 dan 16 mg)

terhadap efisiensi penandaan 175Yb-EDTMP.

Dari hasil percobaan terlihat bahwa

penggunaan bahan ligan sebanyak 2 mg

diperoleh efisiensi penandaan yang masih

rendah (< 95%), yaitu sebesar 94,88%.

Penggunaan jumlah ligan EDTMP sebanyak

4 mg, maka efisiensi penandaan yang

diperoleh cukup tinggi, yaitu sebesar 98% (di

atas 95%), sehingga memenuhi syarat untuk

penggunaan di bidang kedokteran nuklir.

Semakin bertambah jumlah ligan EDTMP

yang digunakan, maka efisiensi penandaan

yang diperoleh tidak memberikan perbedaan

yang signifikan, yaitu masih sekitar 98%.

Mengingat segi ekonomis penggunaan

bahan ligan, maka dalam penelitian ini

penggunaan ligan EDTMP sebanyak 4 mg

dinyatakan sebagai kondisi optimum reaksi

dengan efisiensi penandaan sebesar 98,55

± 0,59%.

Dalam preparasi radiofarmaka 175Yb-

EDTMP, pH merupakan faktor yang sangat

penting. Pada Gambar 3 terlihat bahwa

molekul EDTMP memiliki sepuluh sisi basa,

Page 38: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35

32

ISSN 1411 - 3481

yaitu delapan buah berasal dari atom oksigen

gugus fosfonat dan 2 buah berasal dari atom

nitrogen. Pada suasana asam, sisi basa

tersebut menjadi kurang reaktif bertindak

sebagai donor elektron untuk berikatan

dengan ion logam membentuk ikatan

koordinasi, sehingga efisiensi pembentukan

kompleks menjadi rendah. Semakin tinggi

tingkat keasaman (pH semakin rendah), maka

reaktivitas sisi basa molekul EDTMP

berkurang. Hal ini terbukti pada hasil yang

diperoleh. Gambar 5 memperlihatkan

pengaruh pH (2, 4, 6, 7, dan 8) terhadap

efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-

EDTMP. Pada Gambar 5 terlihat bahwa

efisiensi penandaan yang tinggi diperoleh

pada pH 6, yaitu sebesar 98%.

Semakin meningkatnya pH reaksi, tidak

memberikan perbedaan yang signifikan

terhadap efisiensi penandaan yaitu masih

sekitar 98%. Efisiensi penandaan akan

menurun dengan semakin menurunnya pH

reaksi. Hal ini dapat terlihat dari hasil

penandaan yang dilakukan dalam suasana pH

4 yang memberikan efisiensi penandaan yang

lebih rendah, yaitu sebesar 73%. Mengingat

campuran reaksi hasil penandaan yang

diperoleh mempunyai pH ∼ 7, maka pada

pH 7 tersebut dinyatakan sebagai kondisi

optimum reaksi dengan efisiensi penandaan

sebesar 98,81 ± 0,15%. Hal ini selain dapat

mempermudah dalam proses penandaan,

senyawa 175Yb-EDTMP yang diperoleh

mempunyai pH netral yang mendekati pH

darah. Pengaruh waktu inkubasi (0, 15, 30,

45 dan 60 menit) terhadap efisiensi

penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP

ditunjukkan pada Gambar 6. Dari hasil

percobaan terlihat bahwa dengan

bertambahnya waktu inkubasi dari 0 sampai

15 menit, maka efisiensi penandaan yang

diperoleh mengalami kenaikan yang

signifikan yaitu dari 84% menjadi 93%. Akan

tetapi, efisiensi penandaan yang diperoleh

masih lebih kecil dari 95%, sehingga belum

memenuhi syarat sebagai radiofarmaka

untuk terapi (15-17). Pada waktu inkubasi 0

dan 15 menit diperoleh efisiensi penandaan

yang masih rendah karena waktu yang

diperlukan untuk reaksi pembentukan

kompleks tidak memadai, sehingga

senyawa kompleks 175Yb-EDTMP yang

terbentuk belum maksimum.

8284

868890

929496

98100

0 15 30 45 60 75Waktu inkubasi (menit)

Efis

iens

i pen

anda

an (%

)

Gambar 6 . Pengaruh waktu inkubasi terhadap efisiensi penandaan radiofarmaka 175Yb-EDTMP.

Keterangan : EDTMP = 4 mg, pH = 7, larutan 175Yb = 105 µg (100 µL; 0,6 µmol).

Page 39: Jstni Feb 2009 Secured

Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481

33

88

90

92

94

96

98

100

0 0,3 0,6 0,9 1,2 1,5Jumlah larutan Yb-175 (mikro mol)

Efis

iens

i pen

anda

an (%

)

Gambar 7. Pengaruh jumlah mol larutan 175Yb terhadap efisiensi penandaanradiofarmaka 175Yb-

EDTMP. Keterangan : EDTMP = 4 mg, pH = 7, t inkubasi = 30 menit pada temperatur kamar.

Penandaan dengan waktu inkubasi

selama 30 menit, maka efisiensi penandaan

yang diperoleh cukup tinggi yaitu sekitar 98%.

Hasil penandaan yang diperoleh dengan

semakin lamanya waktu inkubasi tidak

memberikan kenaikan efisiensi penandaan

yang signifikan, yaitu masih sekitar 98%.

Untuk efektifitas waktu, maka dalam penelitian

ini dengan waktu inkubasi selama 30 menit

dinyatakan sebagai kondisi optimum reaksi

dengan efisiensi penandaan sebesar 98,20 ±

0,94%.

Gambar 7 memperlihatkan pengaruh

jumlah mol larutan radioisotop 175Yb (0,3, 0,6,

0,9 dan 1,2 µmol dalam volume total sediaan

sebanyak 1 mL) terhadap efisiensi penandaan

radiofarmaka 175Yb-EDTMP. Pada Gambar 7

terlihat bahwa penggunaan larutan 175Yb

sebanyak 0,3 µmol diperoleh efisiensi

penandaan yang masih rendah yaitu sekitar

93%. Efisiensi penandaan yang tinggi

diperoleh dengan penambahan larutan 175Yb

sebanyak 0,6 µmol, yaitu sebesar 97,65 ±

0,12%. Akan tetapi, penggunaan larutan 175Yb

dengan jumlah yang lebih besar dari 0,6 µmol

memberikan efisiensi penandaan yang lebih

kecil dari 95%. Semakin besar jumlah mol

larutan 175Yb yang digunakan untuk

penandaan, maka semakin kecil efisiensi

penandaan yang diperoleh. Hal ini

disebabkan karena semakin banyaknya

senyawa 175YbCl3 bebas (sebagai pengotor

radiokimia) yang terdapat dalam

radiofarmaka 175Yb-EDTMP.

4. KESIMPULAN Radiofarmaka 175Yb-EDTMP dapat

dibuat melalui penandaan ligan EDTMP

dengan radionuklida 175Yb sebagai

radiofarmaka alternatif untuk penghilang

rasa sakit (paliatif) akibat metastase kanker

ke tulang. Berdasarkan metode

elektroforesis kertas, radiofarmaka 175Yb-

EDTMP merupakan kompleks yang

bermuatan negatif. Kondisi optimum

penandaan diperoleh pada pH 7 dengan

jumlah ligan EDTMP sebanyak 4 mg dan

jumlah larutan 175Yb sebanyak 100 µL (105

µg ; 0,6 µmol) serta waktu inkubasi selama

30 menit pada temperatur kamar. Kompleks

Page 40: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35

34

ISSN 1411 - 3481

yang terbentuk memberikan efisiensi

penandaan maksimum sebesar 98,81 ±

0,15%.

Berdasarkan hasil yang diperoleh,

diharapkan radiofarmaka 175Yb-EDTMP ini

memiliki karakteristik fisiko-kimia yang

memenuhi syarat untuk terapi metastase

kanker ke tulang.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Penulis mengucapkan terima kasih

kepada Bpk. Nana S., Bpk. Uu Sumantri dan

Ibu Lenny K., yang telah membantu penulis di

dalam penelitian ini.

6. DAFTAR PUSTAKA

1. Washiyama K, Amano R, Sasaki J, Kinuya

S, Tonami N, Shiokawa Y, et al. 227Th-

EDTMP : A potential therapeutic agent for

bone metastasis. J Nucl Med Biol

2004;31(7):901-8.

2. Toegel S, Mien LK, Wadsak W, Eidherr H,

Viernstein H, Kluger R, et al. In vitro

evaluation of no carrier added, carrier

added and cross-complexed [90Y]-EDTMP

provides evidence for a novel “foreign

carrier theory”. J Nucl Med Biol

2006;33:95-9.

3. Uehara T, Jin ZL, Ogawa K, Akizawa H,

Hashimoto K, Nakayama M, et al.

Assessment of 186Re chelate-conjugated

bisphosphonate for the development of

new radiopharmaceuticals for bones. J

Nucl Med Biol 2007;34(1):79-87.

4. Taskar NP, Batraki M, Divgi CR.

Radiopharmaceutical therapy for palliation

of bone pain from osseous metastases. J

Nucl Med 2004;45(8):1358-65.

5. Unni PR, Kothari K, Pillai MRA.

Radiochemical processing of

radionuclides (105Rh, 166Ho, 153Sm, 186Re

and 188Re) for targeted radiotherapy. In:

Therapeutic applications of

radiopharmaceuticals. Proceedings of

an International Seminar; 1999 Jan 18-

22; Hyderabad, India. Vienna: IAEA;

2001. p. 90-8.

6. Fischer M. New aspects of radionuclide

therapy of bone and joint diseases. In:

Therapeutic applications of

radiopharmaceuticals. Proceedings of

an International Seminar; 1999 Jan 18-

22; Hyderabad, India. Vienna: IAEA;

2001. p. 18-22.

7. Chakraborty S, Unni PR, Venkatesh M,

Pillai MRA. Feasibility study for

production of 175Yb : A promising

therapeutic radionuclide. J Appl Radiat

Isot 2002;57:295-301.

8. Neves M, Kling A, Lambrecht RM.

Radionuclide production for therapy

radiopharmaceuticals. J Appl Radiat

Isot 2002;57(5):657-64.

9. Rahman M. Radiopharmaceuticals of

DTPA, DMSA and EDTA labelled with

holmium-166. In: Therapeutic

applications of radiopharmaceuticals.

Proceedings of an International

Seminar; 1999 Jan 18-22; Hyderabad,

India. Vienna: IAEA; 2001. p. 118-24.

10. Riccabona G, Naveda RM,

Oberlandstatter M, Donnemiller E,

Kendler D. Trial to optimize dosimetry

for 153Sm-EDTMP therapy to improve

therapeutic effects. In: Therapeutic

applications of radiopharmaceuticals.

Proceedings of an International

Page 41: Jstni Feb 2009 Secured

Penandaan Ligan Etilendiamintetrametilen Fosfonat (EDTMP) Dengan Radionuklida 175Yb (Azmairit Aziz) ISSN 1411 - 3481

35

Seminar; 1999 Jan 18-22; Hyderabad,

India. Vienna: IAEA; 2001. p. 112-7.

11. Das T, Chakraborty S, Unni PR, Banarjee

S, Samuel G, Sarma HD, et al. 177Lu-

labeled cyclic polyaminophosphonates as

potential agents for bone pain palliation. J

Appl Radiat Isot 2002;57(2):177-84.

12. Bayouth JE, Macey DJ, Kasi LP, Forsella

FV. Dosimetry and toxicity of samarium-

153-EDTMP administered for bone pain

due to skeletal metastases. J Nucl Med

1994;35:63-9.

13. Mathew B, Chakraborty S, Das T, Sarma

HD, Banerjee S, Samuel G, et al. 175Yb

labeled polyaminophosphonates as

potential agents for bone pain palliation.J

Appl Radiat Isot 2004;60(5):635-42.

14. Aziz A. Pembuatan dan uji kualitas

radioisotop iterbium-175 (175Yb) untuk

terapi melalui reaksi inti (n,γ) di reaktor

TRIGA 2000 Bandung. Jurnal Sains dan

Teknologi Nuklir Indonesia

2005;6(1):25-47.

15. Anonymous. Criteria for palliation of

bone metastases – Clinical applications.

IAEA-TECDOC-1549. Vienna: IAEA;

2007.

16. Anonymous. Optimization of production

and quality control of therapeutic

radionuclides and radiopharmaceuticals.

IAEA-TECDOC-1114. Vienna: IAEA;

1999.

17. Kothari K, Samuel G, Banarjee S, Unni

PR, Sarma HD, Chaudhari PR, et al.

186Re-1,4,8,11-tetraaza

cyclotetradecyl-1,4,8,11-tetramethylene

phosphonic acid: A novel agent for

possible use in metastatic bone-pain

palliation. J Nucl Med Biol 2001;28:709.

Page 42: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 25-35

36

ISSN 1411 - 3481

Page 43: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

37

KARAKTERISTIK KIMIA PAPARAN PARTIKULAT TERESPIRASI

Noneng Dewi Zannaria1, Dwina Roosmini2, Muhayatun Santoso3

1,2) Program Studi Teknik Lingkungan Fakultas Teknik Sipil dan Lingkungan Institut Teknologi Bandung 3)Pusat Teknologi Nuklir Bahan dan Radiometri-BATAN Bandung

[email protected]), [email protected]), [email protected])

ABSTRAK KARAKTERISTIK KIMIA PAPARAN PARTIKULAT TERESPIRASI. Partikulat terespirasi adalah partikulat dengan ukuran 2-5μm yang karena sifat aerodinamiknya dapat masuk ke dalam saluran pernafasan dan terdeposit dalam paru-paru serta merusak alveoli sehingga membahayakan kesehatan manusia. Dinas Kesehatan kota Bandung mencatat bahwa ada kecenderungan peningkatan angka kejadian penyakit infeksi saluran pernafasan akut (ISPA) setiap tahun di kota Bandung. Pengukuran PM10 pada periode tahun 2002-2005 yang dilakukan oleh BPLH Kota Bandung menunjukkan bahwa di beberapa lokasi ambang batas baku mutu harian untuk PM10 telah dilampaui. Penelitian ini mencoba untuk mengetahui paparan partikulat terespirasi pada masyarakat dengan melakukan karakterisasi unsur-unsur kimia yang terkandung di dalamnya sebagai bentuk identifikasi bahaya. Penelitian dilakukan di empat kawasan di kota Bandung. Pengambilan sampel partikulat terespirasi dilakukan menggunakan personal sampler. Karakterisasi kimia dilakukan menggunakan metode analisis aktivasi neutron, spektrometri serapan atom dan reflektansi. Hasil identifikasi dan karakterisasi tersebut digunakan untuk menghitung nilai IEC(Inhalation Exposure Concentration) sebagai estimasi paparan partikulat terespirasi yang terhirup selama kurun waktu tertentu. Tahap tersebut merupakan tahap awal dari studi epidemiologi yang mengkaitkan kejadian penyakit saluran pernafasan dengan hasil identifikasi dan karakterisasi partikulat terespirasi. Unsur-unsur kimia yang diidentifikasi adalah unsur Br, Mn, Al, I, V, Cl, Ti, Na, Hg, Pb, dan black carbon (BC). Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa partikulat terespirasi yang dihirup oleh penduduk sebagai reseptor di kawasan Tegalega, Aria Graha, Dago Pakar, dan Cisaranten Wetan relatif lebih tinggi dibandingkan dengan konsentrasi PM2,5 udara ambien di lokasi yang sama. Kawasan industri Cisaranten Wetan mempunyai konsentrasi tertinggi untuk sebagian besar unsur-unsur yang terkandung dalam partikulat terespirasi. Kata kunci : Paparan, partikulat terespirasi, reseptor, unsur-unsur kimia ABSTRACT

CHEMICAL CHARACTERISATIC OF RESPIRABLE PARTICULATES. Respirable particulates are particulates which having diameter size at 2-5 μm, due to aerodinamically may be inhaled through respiratory tract and having ability to deposit into lungs, causing damage of the alveolar tissues and inducing health problems. Health Departement of Bandung have reported that prevalency of acute respiratory tract infection disease having increasing tendency every year. Meassurement of PM10 in period of 2002-2005 have done by BPLH Bandung city which pointed that in some places the concentration of PM10 was higher than daily threshold limit values. This research having intend to understand of respirable particulates exposure in society with characterization of chemical materials contained as hazard identification. Location of research have done in four regions of Bandung City. Personal sampler has used for collection of respirable particulates from human breathing zone. Chemical characteristic were done using neutron activation analysis, atomic absorption spectrometer and reflectance methodes. The useful of this procedur as the baseline to calculate IEC (Inhalation exposure Concentration) values for estimate the exposure of respirable partiulates which inhaled during period of time. Calculating of IEC is the earlier step from epidemiological study or risk assessment which connecting prevalency of tract respiratory disease with characteristic of respirable particulates. Elements Br, Mn, Al, I, V, Cl, Ti, Na, Hg, Pb, and black carbon (BC), are

Page 44: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

38

the elements which identified. The results showed that respirable particulates which inhaled by citizen as reseptor at Tegalega, Aria Graha, Dago Pakar, and Cisaranten Wetan are relatively higher than PM2,5 ambient air at the same places. Almost whole of such elements which contained in respirable paticulates was found in highest concentration at Cisaranten Wetan. Key words : Chemical elements, exposure, reseptor, respirable particulates 1. PENDAHULUAN Particulate matter (PM) adalah salah

satu parameter polutan di udara (1). Unsur

partikulat ini dapat mempengaruhi

kesehatan manusia sebagai reseptor

terutama menyebabkan gangguan pada

sistem respirasi. Masuknya partikulat ke

dalam sistem respirasi manusia dipengaruhi

ukuran partikulat. Ukuran partikulat yang

dapat masuk ke dalam sistem respirasi

adalah kurang dari 10 μm dengan

spesifikasi sebagai berikut (2) :

- Ukuran 5 - 10 μm akan mudah tersaring

secara fisik oleh rambut-rambut halus

dalam rongga hidung

- Ukuran 2 - 5 μm akan terendapkan di

alveoli

- Ukuran < 2 μm akan mudah masuk ke

dalam saluran respirasi dan akan

mudah keluar kembali bersama udara

ekspirasi.

Beberapa penelitian sebelumnya

telah menghubungkan antara paparan

polutan partikulat terespirasi dengan

beberapa kejadian penyakit saluran

pernafasan. Seperti yang dilakukan oleh

Mutius et al. di Jerman Timur (3), bahwa

peningkatan konsentrasi partikulat, SO2,

NOx, serta kombinasi antara ketiganya di

udara ambien berhubungan dengan

peningkatan risiko anak-anak mengidap

penyakit saluran pernafasan bagian atas

dan asma.

Bandung adalah salah satu kota

besar di Indonesia dengan tingkat

pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi

setiap tahunnya. Aktivitas penduduk kota

Bandung beragam mulai dari sektor

pertanian, perkebunan, pendidikan, hingga

sektor industri dan transportasi. Aktivitas

tersebut menghasilkan polutan termasuk

emisi polutan ke udara yang menimbulkan

pencemaran udara, dan pada akhirnya

dapat mempengaruhi kesehatan manusia

serta menimbulkan penyakit yang salah

satunya berhubungan dengan saluran

pernafasan.

Penelitian mengenai pencemaran

udara Kota Bandung yang berkaitan dengan

partikulat telah dilakukan oleh Santoso et al.

(4). Hasil penelitian tersebut menyebutkan

adanya peningkatan rata-rata konsentrasi

tahunan untuk PM10 dan PM2,5

dari tahun

2004 ke tahun 2005. Hasil pengukuran pada

periode tahun 2002-2005 yang dilakukan

oleh BPLH Kota Bandung menunjukkan

bahwa di beberapa lokasi ambang batas

baku mutu harian untuk PM10 telah

dilampaui, baik di lokasi perumahan,

perkantoran dan perdagangan, ruang

terbuka hijau, dan terminal (5).

Profil kesehatan kota Bandung pada

tahun 2004 menyebutkan bahwa lebih dari

dua pertiga bayi menderita gangguan

penyakit infeksi saluran pernafasan akut

(ISPA). Penelitian mengenai kadar timbal

Page 45: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

39

dalam darah menghasilkan bahwa nilai rata-

rata konsentrasi timbal dalam darah anak-

anak dari 40 Sekolah Dasar yang tersebar di

25 kecamatan di Kota Bandung sebesar

14,13 μg/dl. Angka tersebut telah melebihi

ambang batas konsentrasi timbal dalam

darah yaitu sebesar 10 μg/dl. Kondisi

tersebut menunjukkan tingkat pencemaran

timbal yang berbahaya di Kota Bandung [5].

Merujuk pada hasil-hasil penelitian

tersebut maka perlu dilakukan analisis

paparan partikulat terespirasi terhadap

masyarakat sebagai reseptor dari

pencemaran udara, mengingat setiap unsur

kimia tersebut mempunyai potensi bahaya

bagi fungsi fisiologis tubuh. Data mengenai

karakteristik partikulat terespirasi yang

memapari masyarakat sebagai reseptor,

khususnya untuk pemantauan perorangan

belum banyak dilakukan. Sistem monitoring

kualitas udara pada umumnya dilakukan

dengan mengukur pencemaran udara

ambien. Penelitian ini diharapkan dapat

melengkapi data paparan pencemaran

udara pada manusia dan menjadi dasar

studi epidemiologi dalam kaitannya dengan

kondisi kesehatan masyarakat, sehingga

dapat menjadi masukan bagi pengambil

keputusan untuk kesehatan lingkungan dan

masyarakat, khususnya di Kota Bandung.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk

mengetahui unsur-unsur kimia yang

terkandung dalam partikulat terespirasi.

Selain itu penelitian ini diharapkan juga

dapat digunakan untuk mengevaluasi

pengaruh kondisi lahan terhadap

karakterisasi dan identifikasi polutan

partikulat terespirasi serta sebagai analisis

awal studi paparan partikulat terespirasi

terhadap reseptor.

2. METODE PENELITIAN Lokasi pengambilan sampel partikulat

udara dilakukan di empat lokasi yang

berbeda di kota Bandung. Lokasi-lokasi

tersebut adalah Aria Graha yang mewakili

kawasan pemukiman; Cisaranten Wetan,

mewakili kawasan industri; Tegalega

mewakili kawasan keramaian transportasi;

Dago Pakar, mewakili kawasan bersih

(sebagai lokasi kontrol). Penentuan lokasi

berdasarkan kepada perbedaan tataguna

lahan dengan asumsi bahwa dengan

perbedaan lokasi penggunaan lahan dapat

terlihat perbedaan sumber polutan,

sehingga jenis partikulat yang memapari

masyarakat di lokasi tersebut berbeda.

Disamping itu penentuan titik juga

disesuaikan dengan lokasi stasiun tetap

yang dipergunakan oleh BPLHD provinsi

Jawa Barat untuk memantau kualitas udara

kota Bandung. Pengambilan sampel

dilakukan dua hari dalam satu minggu di

setiap lokasi dengan perbedaan hari

berdasarkan aktivitas keramaian. Adanya

perbedaan aktivitas dan keramaian pada

waktu-waktu tersebut diperkirakan dapat

membuat perbedaan paparan polutan pada

masyarakat.

Alat yang dibutuhkan dalam proses

pengambilan sampel partikulat terespirasi

adalah Hi Flow Personal Sampler Pump

Gilian HFS-513A yang dilengkapi dengan

filter Mixed Cellulose Ester (MCE) diameter

25 mm, kerapatan 0,8 μm, dan SKC

aluminium cyclone 225-01-01/02. Alat

tersebut dipasang pada responden selama 8

jam kerja sesuai dengan aktivitas responden

Page 46: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

40

dan kemampuan alat. Responden adalah

orang-orang yang melakukan kegiatan dan

berada pada lokasi tersebut sepanjang hari

seperti pengamen, pedagang kaki lima,

pemilik warung-warung, satpam, tukang

becak, dan tukang kebun dengan

pertimbangan responden tersebut bekerja di

area terbuka sehingga berpotensi

maksimum terpapar polutan partikulat

terespirasi. Responden yang dipilih adalah

orang-orang yang tidak merokok atau yang

dipastikan tidak akan merokok selama

dipasang alat. Pengambilan sampel

dilakukan dalam dua ketegori hari yaitu hari

kerja dan akhir pekan. Partikulat terespirasi

kemudian dianalisis menggunakan analisis

gravimetri untuk mengetahui konsentrasi

dari partikulat terespirasi tersebut. Analisis

dilanjutkan untuk mengetahui komposisi dan

konsentrasi tiap-tiap unsur yang terkandung

dengan INAA (instrumental neutron

activation analysis) untuk unsur logam

selain Pb dan Hg, AAS (atomic absorption

spectrophotometry) untuk unsur Pb dan Hg,

serta EEL smokestain reflectometer untuk

analisis black carbon (BC) sehingga

diperoleh karakteristik dan komposisi

partikulat terespirasi baik secara kualitatif

maupun kuantitatif.

Data primer yang diperoleh

dikuantifikasi dengan diuji secara statistik.

Metode analisis faktor digunakan untuk

memperkirakan sumber yang berkontribusi

mengemisikan partikulat. Software yang

digunakan adalah SPSS ver.11.5.

Interpretasi dilakukan terhadap hasil yang

diperoleh didasarkan atas unsur-unsur

penanda pada profil sumber yang

dikeluarkan oleh US EPA dan dilengkapi

dengan literatur-literatur lain serta hasil

penelitian terdahulu mengenai karakterisasi

partikulat.

Analisis paparan partikulat terhadap

manusia dilakukan dengan perhitungan nilai

IEC (inhalation exposure concentration).

Perhitungan nilai IEC dilakukan sebagai

gambaran awal untuk mengetahui potensi

paparan dari unsur-unsur kimia terhadap

manusia melalui jalur inhalasi di lingkungan

umum (udara ambien), dengan

menggunakan persamaan berikut (6):

BIOEDEFETCaIEC ××××=7036524

Keterangan:

IEC : Inhalation exposure

concentrations atau konsentrasi

paparan melalui inhalasi (mg/m3)

Ca : Konsentrasi unsur kimia di udara

(mg/m3)

ET : Waktu paparan (jam/hari)

EF : Frekuensi paparan (hari/tahun)

ED : Durasi terpapar (tahun)

BIO : Faktor bioavailibility = 1,0

Dalam perhitungan IEC, waktu

paparan ET yang digunakan untuk seluruh

lokasi adalah 8 jam disesuaikan dengan

rata-rata aktivitas di luar ruangan dari

penduduk di keseluruhan lokasi. Frekuensi

paparan (EF) yang digunakan adalah 365

hari, sedangkan durasi terpapar (ED) adalah

selama 67,8 tahun yang merupakan rata-

rata usia harapan hidup penduduk Indonesia

baik laki-laki maupun perempuan pada

periode 2000-2005 (7).

Hasil dari perhitungan IEC merupakan

gambaran yang akan merujuk pada estimasi

Page 47: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

41

rata-rata paparan polutan partikulat

terespirasi pada masyarakat selama kurun

waktu tersebut. Dengan demikian dapat

dijadikan sebagai dasar untuk studi

epidemiologi dengan menghubungkannya

dengan data kejadian penyakit saluran

pernafasan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN Konsentrasi paparan partikulat

terespirasi pada empat lokasi penelitian

dapat dilihat pada Tabel 1. Rentang

konsentrasi paparan partikulat terespirasi

seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1

menunjukkan selisih tertinggi untuk hari

kerja diperoleh di Aria Graha yaitu sebesar

134,55 dan terendah diperoleh di Dago

Pakar sebesar 40,43. Untuk akhir pekan

selisih paparan tertinggi diperoleh di

Cisaranten Wetan yaitu sebesar 83,95 dan

terendah di Dago Pakar sebesar 25,18.

Adanya rentang konsentrasi tersebut dapat

disebabkan oleh berbagai hal diantaranya

aktivitas responden, posisi responden, dan

jarak dengan sumber pencemar. Responden

di Dago Pakar relatif mempunyai aktivitas

yang sejenis, yaitu penjaga Tahura dan

tukang kebun, selain itu lokasi antara

responden juga relatif berdekatan sehingga

paparan yang diperoleh relatif tidak jauh

berbeda. Di Aria Graha aktivitas objek

sampling diantaranya sebagai satuan

pengamanan, tukang becak, dan tukang

gorengan. Masing-masing mempunyai posisi

yang berbeda-beda sehingga paparan

partikulat yang diperoleh juga relatif

berbeda.

Pada umumnya responden yang

berada di areal depan kompleks perumahan

terpapar partikulat terespirasi lebih banyak

karena bagian depan berbatasan langsung

dengan jalan raya Soekarno-Hatta. Di

Cisaranten Wetan, kondisi yang terjadi tidak

jauh berbeda dengan di Aria Graha.

Diperkirakan aktivitas dan posisi yang

berbeda antara tukang kebun dan satpam

cukup berpengaruh dalam paparan

partikulat yang diterima. Tukang kebun

relatif berada dalam posisi yang sama

sepanjang hari sedangkan satpam bertugas

berkeliling ke seluruh wilayah kompleks

perumahan sehingga paparan yang diterima

dapat lebih tinggi. Rata-rata konsentrasi

paparan partikulat terespirasi tertinggi

diperoleh di Tegalega pada hari kerja yaitu

sebesar 83,28 μg/m3 dan di Cisaranten

Wetan pada akhir pekan sebesar 75,89

μg/m3. Hal tersebut dapat terjadi karena di

Tegalega dipengaruhi berbagai aktivitas

diantaranya aktivitas transportasi, kegiatan

bengkel las, pengrajin kusen, serta aktivitas

lainnya yang cukup banyak ditemui di

sekitar kawasan tersebut, sedangkan di

Cisaranten wetan kemungkinan dipengaruhi

oleh berbagai aktivitas industri seperti

industri furniture, pemintalan benang,

barang logam, dan makanan.

Tabel 1. Konsentrasi paparan partikulat terespirasi

No Lokasi Rentang Konsentrasi (μg/m3) Rata-rata Konsentrasi (μg/m3)

Hari kerja Akhir pekan Hari kerja Akhir pekan 1 Tegalega 48,97 – 107,72 39,70 – 79,63 82,38 ± 19,50 56,98 ± 12,36 2 Aria Graha 22,58 – 157,13 43,03 – 110,49 67,93 ± 34,84 61,75 ± 21,73 3 Dago Pakar 21,30 – 61,73 37,65 – 62,83 51,30 ± 12,39 51,27 ± 8,41 4 Cisaranten wetan 26,85– 104,63 24,38 -108,33 72,65 ± 27,54 75,89 ± 31,26

Page 48: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

42

Rata-rata konsentrasi terendah

diperoleh di Dago Pakar baik pada hari kerja

maupun akhir pekan yaitu sebesar 51,30

μg/m3 dan 51,27 μg/m3. Hal tersebut dapat

dikaitkan dengan aktivitas antropogenik

yang cenderung lebih sedikit dibandingkan

dengan kawasan lainnya. Perbedaan hari

kerja dan akhir pekan tidak memberikan

perbedaan yang signifikan terhadap

paparan partikulat terespirasi yang diperoleh

di ketiga lokasi lainnya selain di Tegalega.

Hal ini dapat terjadi karena selain aktivitas

transportasi, di kawasan tersebut terdapat

kegiatan-kegiatan lain seperti bengkel las,

pengrajin kusen yang lebih aktif beroperasi

pada hari kerja. Disamping itu di kawasan

tegalega terutama di sekitar jalan BKR dan

jalan Moh. Toha terdapat aktivitas

perkantoran, sehingga mempengaruhi

adanya jumlah kendaraan bermotor yang

relatif lebih tinggi karena keluar masuk

kawasan perkantoran.

Perbedaan paparan yang diterima

dapat juga disebabkan karena posisi

sebagai perokok pasif. Koistinen

menyebutkan bahwa asap rokok adalah

salah satu faktor kuat yang mempengaruhi

paparan perseorangan untuk PM2,5 (8).

Perokok aktif akan terpapar PM2,5 hampir

tiga kali lebih tinggi dibandingkan dengan

yang tidak merokok dan tidak terpapar asap

rokok. Perokok pasif akan terpapar PM2,5

dua kali lebih besar dibandingkan dengan

yang tidak merokok dan tidak terpapar asap

rokok. Meskipun demikian perlu dilakukan

kajian lebih lanjut mengenai hubungan

paparan asap rokok dan paparan partikulat

terespirasi termasuk komposisi yang

terkandung di dalamnya (8).

Unsur-unsur yang diidentifikasi dari

partikulat terespirasi di keempat lokasi

adalah unsur Br, Mn, Al, I, V, Cl, Na, Pb, Hg,

black carbon (BC). Khusus di Cisaranten

Wetan, pada hari kerja teridentifikasi unsur

Ti yang tidak teridentifikasi di lokasi lain.

Kehadiran unsur Ti ini dapat dikaitkan

dengan adanya kegiatan pembongkaran

tanah karena unsur Ti merupakan salah

satu penanda dari tanah (4). Kegiatan

pembongkaran tanah terkait dengan tahap

pembangunan beberapa cluster di kawasan

Cisaranten Wetan khususnya di sekitar

Pinus Regency yang lebih aktif beroperasi

pada hari kerja. Konsentrasi unsur-unsur

dalam partikulat terespirasi disajikan pada

Gambar 1, Gambar 2, Gambar 3, dan

Gambar 4.

Analisis faktor merupakan suatu

teknik reduksi data [9]. Teknik ini merupakan

sekelompok prosedur untuk menyisihkan

data yang melimpah dari suatu set variabel-

variabel yang berkorelasi dan

merepresentasikan variabel-variabel

tersebut dengan variabel baru yang lebih

kecil, yang disebut faktor (10). Analisis

interpretasi sumber terhadap hasil yang

diperoleh dari analisis faktor didasarkan

pada besarnya nilai loading tiap-tiap unsur/

senyawa terhadap faktor baru yang

terbentuk. Nilai loading dapat diartikan

sebagai koefisien korelasi antara variabel

dengan faktor (9). Nilai loading yang lebih

besar dari 0,5 dianggap signifikan meskipun

nilai yang lebih kecil masih dapat

berpengaruh terhadap sumber (10).

Berdasarkan analisis faktor, diperoleh

kemungkinan sumber yang diperkirakan

berpengaruh dalam mengemisikan unsur-

Page 49: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

43

unsur tersebut ke udara. Sumber pencemar

yang diperkirakan berpengaruh terhadap

paparan partikulat terespirasi di kawasan

Tegalega adalah campuran unsur tanah dan

unsur garam laut (Al, Mn, Cl, Na),

kendaraan bermotor (Pb, Hg), dan

pembakaran biomassa (BC, Cl). Unsur Hg

dapat berasal dari bahan bakar fosil. Salah

satu bahan bakar fosil tersebut adalah

bahan bakar minyak seperti bensin dan

solar meskipun kandungan dalam produk-

produk hasil sampingan minyak bumi ini

relatif kecil (11). Unsur Pb juga merupakan

penanda dari sumber kendaraan bermotor.

Unsur Pb digunakan untuk menaikkan

angka oktan sebagai upaya untuk

mengurangi ketukan pada mesin kendaraan.

Di Indonesia bensin yang mengandung

timbal masih umum digunakan. Unsur Br

digunakan sebagai komponen pencampur

dalam bensin bertimbal untuk mengeluarkan

sisa timbal dari silinder mesin (12). Dengan

demikian keberadaan unsur Pb dan Hg

dapat menjadi penanda sumber kendaraan

bermotor.

Unsur Al dan Mn merupakan unsur

penanda dari sumber tanah. Manahan (12)

menyebutkan bahwa unsur Al merupakan

unsur yang berasal dari tanah dengan

konsentrasi dalam partikulat udara dapat

mencapai lebih dari 1 μg/m3, sedangkan

mangan merupakan unsur tanah terutama

dalam bentuk mangan oksida. Kehadiran

unsur Na dengan nilai loading yang tinggi

dan diikuti dengan Cl, menandakan bahwa

dalam faktor pertama ini kemungkinan

terdapat faktor campuran dari sumber

pencemar, yaitu unsur tanah dan garam-

garam laut (seasalt). Secara geografis, kota

Bandung tidak berbatasan dengan laut, dan

memiliki jarak sekitar 180 km dari garis

pantai utara maupun selatan (13). Meskipun

demikian, tidak menutup kemungkinan

kehadiran dari unsur penanda garam-garam

laut, karena pada dasarnya partikel halus

dapat terdistribusi hingga mencapai ratusan

hingga ribuan kilometer, bahkan dapat

melintasi batas negara (14). US EPA dalam

Fierro (15) juga menyebutkan bahwa jangka

waktu partikulat halus dapat bertahan di

udara selama beberapa hari hingga

beberapa minggu. Soedomo (13)

menyatakan bahwa aerosol yang berasal

dari laut dapat ditransportasikan oleh angin

ke daerah cekungan Bandung pada jarak

yang dapat ditempuh dalam waktu kurang

dari 12 jam dengan kecepatan angin

minimum 4 m/s.

Perkiraan terhadap sumber pencemar

yang berpengaruh di kawasan Aria Graha

adalah unsur tanah (Al, Mn, Na), road dust

(Mn, Cl), dan kendaraan bermotor (Hg, Pb).

Terdapat kegiatan konstruksi bangunan dan

jalan yang menghubungkan antar kompleks,

di kawasan pemukiman Aria Graha ini serta

di kawasan pemukiman sekitarnya, serta

kawasan ini berdekatan dengan jalan raya

Soekarno-Hatta sehingga dapat dipahami

apabila unsur-unsur yang ditemukan ada

pengaruh dari aktivitas kendaraan bermotor,

juga debu dari tanah dan jalan raya

tersebut.

Page 50: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

44

0.0001

0.001

0.01

0.1

1

10

100

Br Mn Al I V Cl TiNa BC Hg Pb

Unsur-unsur

Rat

a-ra

ta k

onse

ntra

si (u

g/m

3)

Hari kerja

akhir pekan

Gambar 1. Unsur-unsur kimia dalam partikulat

terespirasi di Tegalega

0.0001

0.001

0.01

0.1

1

10

100

BrMn Al I V Cl Ti

Na BC Hg Pb

unsur-unsur

rata

-rat

a ko

nsen

tras

i (ug

/m3)

hari kerjaakhir pekan

Gambar 2. Unsur-unsur kimia dalam partikulat

terespirasi di Aria Graha

0.0001

0.001

0.01

0.1

1

10

100

Br Mn Al I V Cl TiNa BC Hg Pb

Unsur-unsur

Rat

a-ra

ta k

onse

ntra

si (u

g/m

3)

hari kerjaakhir pekan

Gambar 3. Unsur-unsur kimia dalam partikulat terespirasi di Dago Pakar

0.0001

0.001

0.01

0.1

1

10

100

BrMn Al I V Cl Ti

Na BC Hg Pb

Unsur-unsur

Rat

a-ra

ta K

onse

ntra

si (u

g/m

3)

hari kerja

akhir pekan

Gambar 4. Unsur-unsur kimia dalam partikulat

terespirasi di Cisaranten Wetan Campuran unsur tanah dan garam

laut (Mn, Al, Na, Cl), sumber kendaraan

bermotor (Pb, Hg), dan campuran faktor

sumber pembakaran biomassa dan road

dust (Mn, Cl, BC) diperkirakan menjadi

sumber pencemar yang berpengaruh di

Dago Pakar. Menurut Wirawan (16) bahwa

unsur tanah di Dago Pakar berkontribusi

sebesar 14% terhadap PM2,5. Kehadiran

unsur Cl dengan nilai loading yang cukup

tinggi menunjukkan bahwa disamping unsur

tanah juga ada campuran dengan unsur sea

salt. Santoso et al. (4) menyebutkan bahwa

faktor pembakaran biomassa untuk PM2,5

memberikan kontribusi sekitar 39% di

kawasan rural yaitu Lembang. Kawasan

Dago Pakar secara garis besar mempunyai

kemiripan karakteristik dengan kawasan

Lembang tersebut. Sehingga untuk

pembakaran biomassa dapat berpengaruh

terhadap unsur-unsur yang terkandung

dalam partikulat terespirasi. Sumber

kendaraan bermotor juga ditemukan di

kawasan ini mengingat adanya aktivitas

wisata di kawasan Tahura Dago Pakar

sehinga memungkinkan keluar masuk

kendaraan bermotor.

Kegiatan industri (Mn, Al, Cl, I, BC),

insinerasi (Cl, Na, BC), dan pembakaran

bahan bakar minyak (Pb, V) diperkirakan

mempunyai pengaruh pada partikulat

terespirasi di Cisaranten Wetan. Unsur V

umumnya merupakan penanda dari

kegiatan industri juga kegiatan pembakaran

bahan bakar minyak (12). Unsur Pb selain

menjadi pananda dari sumber kendaraan

bermotor, juga dapat berasal dari

pembakaran bahan-bahan yang

mengandung timbal dan bahan bakar fosil

seperti batubara yang kemungkinan

digunakan pada proses industri. Kegiatan

insinerasi dan pembakaran senyawa yang

mengandung organoklorin kemungkinan

juga ditemukan pada pabrik-pabrik di sekitar

kawasan tersebut. Hal ini diindikasikan

dengan adanya unsur Cl dan BC.

Page 51: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

45

Kendaraan bermotor mendominasi

kemungkinan sumber partikulat terespirasi di

Kota Bandung. Hal tersebut diketahui dari

kemungkinan faktor sumber pencemar yang

berasal dari kendaraan bermotor diperoleh

pada tiga dari empat lokasi penelitian.

Pernyataan ini didukung dengan kajian

emisi oleh Kurniawan (17) yang

menyebutkan bahwa untuk parameter SPM

(suspended particulate matter) kontribusi

yang diberikan sumber transportasi adalah

sebesar 31,9%. BPLHD (18) menyebutkan

bahwa tingkat emisi untuk parameter PM10

dan PM2,5 di Kota Bandung masing-masing

sebesar 1.112,9 ton/tahun (PM10), dan

1.030,4 ton/tahun (PM2,5). Nilai tersebut

merupakan angka tingkat emisi tertinggi

untuk PM10 dan PM2,5 jika dibandingkan

dengan parameter yang sama di Kota

Cimahi, Kabupaten Bandung, dan

Kabupaten Sumedang.

Kontribusi sektor transportasi yang

lebih dominan terhadap emisi polutan

khususnya partikulat di Kota Bandung terkait

dengan jumlah kendaraan yang ada. Jumlah

kendaraan di Kota Bandung menempati

urutan tertinggi dibandingkan dengan kota

lain di wilayah cekungan Bandung yaitu

Kabupaten Bandung, Sumedang, dan Kota

Cimahi. Hal tersebut didasarkan pada data

hasil survey Dinas Perhubungan (SAMSAT)

dalam BPLHD (18). Sepeda motor

merupakan kendaraan dengan jumlah

tertinggi di Kota Bandung yang mencapai

355.266 unit, kendaraan penumpang

(berbahan bakar premium) sebanyak

166.820, kendaraan penumpang berbahan

bakar diesel sebanyak 21.733 unit,

angkutan ringan (premium) sebanyak

18.433 unit, angkutan ringan (diesel)

sebanyak 11.983 unit, dan angkutan berat

(diesel) sebanyak 19.817 unit.

Pembakaran sampah (dapat

termasuk di dalamnya pembakaran

biomassa) juga diperkirakan merupakan

sumber yang cukup berpengaruh dalam

emisi partikulat terespirasi. Kontribusi

pembakaran sampah terhadap emisi SPM di

Kota Bandung sebesar 14,6%. Menurut

Supriatno dalam Huboyo (19) emisi

partikulat dari proses pembakaran sampah

adalah sebesar 594,3 kg/hari. Santoso

mengungkapkan bahwa kontribusi

pembakaran biomassa terhadap PM2,5 di

kota Bandung adalah sebesar 20% (4).

Selain dari faktor kendaraan bermotor

dan pembakaran biomassa, faktor tanah

juga merupakan salah satu yang perlu

diperhatikan sebagai faktor yang memiliki

kontribusi pada sumber partikulat terespirasi

di kota Bandung. Santoso (4)

mengemukakan bahwa kontribusi faktor

tanah dan debu jalan terhadap PM2,5 di kota

Bandung adalah sebesar 20%.

Kegiatan industri merupakan kegiatan

yang kompleks dan melibatkan berbagai

proses. Penggunaan bahan bakar, proses

insinerasi ataupun kegiatan pembakaran

bahan baku dengan suhu tinggi umumnya

terdapat pada kegiatan-kegiatan industri.

Kontribusi pencemaran udara di Kota

Bandung untuk parameter partikulat (SPM)

dari sektor industri adalah sebesar 28,6%

(17). Kurniawan (17) juga menyebutkan

bahwa tingkat emisi untuk partikulat paling

tinggi diemisikan oleh industri tekstil yaitu

sebesar 613,73 ton/tahun, kemudian industri

makanan dan minuman (145,34 ton/tahun),

Page 52: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

46

industri kertas, barang-barang dari kertas,

dan sejenisnya (63,06 ton/tahun), industri

furnitur dan pengolahan lainnya (60,20

ton/tahun). Industri tekstil dan pengolahan

tekstil merupakan industri yang cukup

banyak dijumpai di Kota Bandung. Di sekitar

kawasan Cisaranten Wetan terdapat sekitar

tujuh industri tekstil dan satu industri furnitur.

Dengan demikian hal tersebut memperkuat

dugaan mengenai adanya pengaruh faktor

industri serta proses-proses yang terjadi di

dalamnya pada sumber paparan partikulat

terespirasi di kawasan industri Cisaranten

Wetan.

Berdasarkan konsentrasi unsur-unsur

di seluruh lokasi, unsur BC dan Cl relatif

merupakan unsur tertinggi dari partikulat

terespirasi, sedangkan unsur Na dan Pb

relatif merupakan unsur dengan konsentrasi

terendah. Komposisi BC dapat mencapai

10-40% dari fraksi massa dalam PM2,5 [20].

Unsur Cl dan Na merupakan unsur penanda

garam-garam yang berasal dari laut.

Komposisi Cl yang lebih tinggi kemungkinan

menunjukkan bahwa keberadaan unsur Cl di

Kota Bandung tidak hanya berasal dari

garam-garam laut, namun dapat juga dari

aktivitas insinerasi, kegiatan industri dan

proses-proses pembakaran senyawa-

senyawa yang mengandung klor.

3.1. Analisis Awal Resiko Kesehatan Konsentrasi partikulat terespirasi dan

nilai IEC dari partikulat terespirasi yang

diterima oleh masyarakat pada hari kerja di

masing-masing kawasan disajikan pada

Gambar 5. Pada Gambar 5 dapat dilihat

bahwa nilai IEC partikulat terespirasi yang

diterima masyarakat yang beraktivitas di luar

ruangan di Tegalega dan Cisaranten Wetan

lebih tinggi dibandingkan di Aria Graha dan

Dago Pakar. Nilai IEC tertinggi pada hari

kerja adalah di Tegalega sedangkan pada

akhir pekan diperoleh di Cisaranten Wetan.

Nilai IEC terendah untuk kedua kategori hari

adalah di Dago Pakar.

Nilai IEC merepresentasikan estimasi

rata-rata potensi paparan polutan yang

diinhalasi selama kurun waktu 8 jam

aktivitas dengan asumsi 67,8 tahun paparan

yang disesuaikan dengan usia harapan

hidup penduduk Indonesia. Sehingga

dengan kondisi polutan partikulat terespirasi

yang ada di masing-masing lokasi maka

penduduk yang beraktivitas di luar ruangan

dengan asumsi waktu 8 jam setiap hari

sepanjang hidupnya, diperkirakan

berpotensi menghirup partikulat terespirasi

sebesar:

- 26,89μg/m3 setiap hari kerja dan

18,40μg/m3 setiap akhir pekan di

Tegalega

- 21,93μg/m3 setiap hari kerja dan

20,39μg/m3 setiap akhir pekan di Aria

Graha

- 16,56μg/m3 setiap hari baik hari kerja

dan akhir pekan di Dago Pakar

- 23,46μg/m3 setiap hari kerja dan

24,50μg/m3 setiap akhir pekan di

Cisaranten Wetan

Page 53: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

47

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

IEC

(ug/

m3)

Tegalega Aria Graha Dago Pakar Cisaranten Wetan

Lokasi

Hari kerja Akhir pekan

Gambar 5. IEC partikulat terespirasi

Pada Gambar 6 dan Gambar 7

disajikan pola IEC pada hari kerja dan akhir

pekan berdasarkan pada rata-rata

konsentrasi unsur yang terkandung dalam

partikulat terespirasi di masing-masing

lokasi. Berdasarkan Gambar 6 dan Gambar

7 dapat diketahui bahwa untuk hampir

semua unsur baik pada hari kerja maupun

akhir pekan estimasi paparan yang terhirup

paling tinggi didominasi oleh Cisaranten

Wetan. Hal ini disebabkan rata-rata

konsentrasi sebagian besar unsur-unsur di

kawasan ini relatif lebih tinggi dibandingkan

dengan di kawasan lainnya. Estimasi

paparan yang terhirup dari unsur-unsur

dalam partikulat terespirasi terendah untuk

sebagian besar unsur diperoleh di Dago

Pakar. Dengan demikian dapat disimpulkan

bahwa penduduk yang beraktivitas di luar

ruangan di kawasan Tegalega pada hari

kerja dan Cisaranten Wetan berpotensi

terpapar polutan partikulat terespirasi lebih

tinggi dibandingkan penduduk yang

beraktivitas di luar ruangan di Aria Graha

dan Dago Pakar. Untuk sebagian besar

unsur-unsur kimia yang diidentifikasi,

penduduk yang beraktivitas di luar ruangan

di Cisaranten Wetan berpotensi terpapar

lebih tinggi dibandingkan dengan penduduk

yang beraktivitas di luar ruangan di

Tegalega, Aria Graha, dan Dago Pakar.

Hasil penelitian sebelumnya

mengenai PM2,5 dan PM10 di Tegalega, Aria

graha, Dago Pakar, dan Cisaranten Wetan

menunjukkan bahwa di sebagian besar

lokasi di Kota Bandung kondisi PM2,5 udara

ambien belum melampaui baku mutu harian

(21). Namun demikian hal ini tidak dapat

dijadikan patokan bahwa kualitas udara di

Kota Bandung selalu dikatakan baik,

melainkan perlu dijadikan suatu peringatan

dini untuk melihat konsentrasi tersebut

dalam pemantauan jangka panjang agar

dapat dilihat dan dibandingkan dengan baku

mutu tahunan. Kecenderungan beban emisi

yang terus meningkat serta kondisi topografi

Kota Bandung yang dikategorikan tidak

berventilasi baik (13) memungkinkan

terjadinya penurunan kualitas udara Kota

Bandung dari waktu ke waktu. Oleh karena

itu diharapkan pemantauan dan penelitian

mengenai kualitas udara di Kota Bandung

khususnya kondisi yang diterima

masyarakat sebagai reseptor penting untuk

dilakukan secara intensif dan menerus.

Page 54: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

48

0.000010

0.000100

0.001000

0.010000

0.100000

1.000000

10.000000

IEC

(ug/

m3)

Tegalega Aria Graha Dago Pakar CisarantenWetan

Lokasi

Br

Mn

Al

I

V

Ti

Cl

Na

BC

Hg

Pb

Gambar 6. IEC unsur-unsur kimia

pada hari kerja

0.000010

0.000100

0.001000

0.010000

0.100000

1.000000

10.000000

IEC

(ug/

m3)

Tegalega Aria Graha Dago Pakar CisarantenWetan

Lokasi

Br

Mn

Al

I

V

Ti

Cl

Na

BC

Hg

Pb

Gambar 7. IEC unsur-unsur kimia

pada akhir pekan

Secara umum arah angin di Kota

Bandung didominasi dari arah barat menuju

arah timur sehingga dimungkinkan

terjadinya transboundary polutan. Hal

tersebut dapat menjelaskan fenomena

diperolehnya dominasi konsentrasi unsur-

unsur dalam partikulat terespirasi lebih tinggi

di Cisaranten Wetan dibandingkan dengan

kawasan lainnya dan memungkinkan bahwa

kehadiran unsur pencemar tidak hanya

berasal dari sumber-sumber lokal melainkan

dapat berasal dari sumber di kawasan lain.

Konsentrasi unsur Pb yang diterima

oleh masyarakat dalam penelitian ini relatif

masih sangat kecil, hal tersebut dapat

dijelaskan karena sejak Juli 2006 kota

Bandung telah menggunakan bahan bakar

tanpa timbal. Namun demikian konsentrasi

Pb di udara terutama yang diterima

masyarakat sebagai reseptor perlu dipantau

secara intensif dan kontinyu, sebab

kenaikan konsentrasi Pb baik di udara

maupun yang terhirup oleh masyarakat

dapat terakumulasi dalam tubuh serta

menimbulkan dampak yang cukup

berbahaya bagi kesehatan.

4. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dari penelitian

tentang paparan partikulat terespirasi ini,

maka dapat diambil suatu kesimpulan

sebagai berikut:

1. Paparan partikulat terespirasi tertinggi

diperoleh di Tegalega pada hari kerja

dan Cisaranten Wetan pada akhir

pekan. Paparan terendah diperoleh di

Dago Pakar sebagai kawasan bersih

pada hari kerja maupun akhir pekan.

2. Unsur-unsur kimia yang terkandung

dalam partikulat terespirasi di seluruh

lokasi adalah unsur Br, Mn, Al, I, V, Cl,

Ti, Na, Hg, Pb, dan black carbon (BC).

Sebagian besar konsentrasi tertinggi

dari unsur-unsur tersebut diperoleh di

kawasan industri Cisaranten Wetan.

Unsur Cl dan BC menempati komposisi

tertinggi dari keseluruhan unsur yang

diidentifikasi dalam partikulat terespirasi,

sedangkan unsur Na dan Pb menempati

komposisi terendah.

3. Sumber pencemar yang diperkirakan

berpengaruh terhadap paparan

partikulat terespirasi di kawasan

Tegalega adalah tanah, kendaraan

bermotor, garam laut, dan pembakaran

biomassa. Perkiraan terhadap sumber

pencemar yang berpengaruh di

kawasan Aria Graha adalah tanah, road

Page 55: Jstni Feb 2009 Secured

Karakteristik Kimia Paparan Partikulat Terespirasi (Noneng Dewi Zannaria) ISSN 1411 - 3481

49

dust, dan kendaraan bermotor.

Campuran unsur tanah dan garam laut,

sumber kendaraan bermotor, dan

campuran faktor sumber pembakaran

biomassa dan road dust diperkirakan

menjadi sumber pencemar yang

berpengaruh di Dago Pakar. Kegiatan

industri, insinerasi, dan pembakaran

minyak diperkirakan mempunyai

pengaruh dominan pada partikulat

terespirasi di Cisaranten Wetan.

4. Penduduk yang beraktivitas di luar

ruangan di kawasan Tegalega pada hari

kerja serta Cisaranten Wetan sebagai

kawasan keramaian transportasi dan

industri berpotensi terpapar polutan

partikulat terespirasi lebih tinggi

dibandingkan dengan penduduk yang

beraktivitas di Aria Graha dan Dago

Pakar. Untuk sebagian besar unsur-

unsur kimia yang diidentifikasi,

penduduk yang beraktivitas di luar

ruangan di Cisaranten Wetan berpotensi

terpapar lebih tinggi dibandingkan

dengan penduduk yang beraktivitas di

luar ruangan di Tegalega, Aria Graha,

dan Dago Pakar.

5. DAFTAR PUSTAKA 1. Cooper CD, Alley FC. Air pollution

control a design approach. 2nd edition.

Illionis : Waveland Press Inc; 1994.

2. Soemirat, Juli. Toksikologi lingkungan.

Yogyakarta : Gadjah Mada University

Press; 2003

3. Mutius E Von. Air pollution and upper

respiratory symptoms in children from

East Germany. Eur Respir J 1995; 8:

723-8

4. Santoso M, Diah DL, Achmad H, Lenny

K. Konsentrasi PM2,5 dan PM10 udara

ambien di Bandung dan Lembang tahun

2000 – 2006, Prosiding Seminar

Nasional Sains dan Teknologi Nuklir

PTNBR BATAN, Bandung, 2007.

5. Bappennas. Strategi dan rencana aksi

lokal kota Bandung untuk peningkatan

kualitas udara perkotaan. Bandung:

Bappenas; 2006

6. Foster SE. Human intake. Dalam: Toxic

air pollutions hand book. Patrick DR.

Van Nostrand Reinhold Editor. New

York; 1994

7. Statistik Indonesia.

http://www.datastatistik_indonesia.com,

didownload pada 14 Februari 2008

8. Koistinen K. Exposure of an urban adult

Population to PM2,5. Academic

dissertation. University of Kuopio

Finland 2002.

http://ethesis.helsinki.fi/julkaisut/mat/fysi

k/vk/kousa/ pm25andn.pdf, didownload

pada 2 Juni 2007

9. Garson GD. Factor analysis 2007.

http://www.chass.ncsu.edu/garson/pa76

5/factor.htm didownload pada 19

Januari 2008

10. Mauliadi YD. Identifikasi sumber

pencemar partikel halus dan partikel

kasar di kota Bandung menggunakan

analisis faktor. Tugas akhir program

sarjana Teknik Lingkungan. Institut

Teknologi Bandung; 2004

11. European Commission. Mercury

emissions from natural and

anthropogenic sources. Dalam :

Position paper on mercury 2001.

http://ec.europa.eu/environment/air/pdf/p

Page 56: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. IX, No. 1, Februari 2009: (37-50) ISSN 1411 - 3481

50

p_mercury1.pdf. didownload pada 24

Agustus 2007; 1-4

12. Manahan SE. Toxicological Chemistry.

2nd edition. USA: Lewis; 1992

13. Soedomo M. Kumpulan karya ilmiah

mengenai pencemaran udara. Bandung:

Penerbit ITB; 2007

14. US EPA 1999. Air quality criteria for

particulate matter vol I EPA 600/P-

99/0024. http://www.epa.gov,

didownload pada 25 Desember 2007

15. Fierro M. Particulate matter 2000.

http://www.Air_updates/particulatematter

-singspace.htm. didownload pada 2

Juni 2007

16. Wirawan SMS. Penentuan kontribusi

sumber pencemar dalam upaya

pengendalian kualitas udara ambient di

kota Bandung menggunakan metode

positive matrix factorization (PMF).

Tesis Program Magister Teknik

Lingkungan Institut Teknologi Bandung;

2004

17. Kurniawan E. Inventori emisi (Emission

Inventory) pencemaran udara di

kawasan cekungan Bandung. Tesis

Program Magister Teknik Lingkungan

Institut Teknologi Bandung; 2006

18. BPLHD Provinsi Jawa Barat. Inventori

emisi kendaraan bermotor di provinsi

Jawa Barat. LPPM-ITB. BPLHD Jabar,

Bandung; 2005

19. Huboyo HS. Studi kontribusi sumber

pencemar partikel halus dan kasar di

udara ambien kawasan Bandung

dengan chemical mass balance studi

kasus Tegalega dan Dago Pakar. Tesis

Program Magister Teknik Lingkungan

Institut Teknologi Bandung; 2003

20. Cohen DD. The measurement and

sources of fine particle elemental carbon

at several key sites in NSW over the

Past Eight Years. 15th International

Clean Air Conference. Sydney: 2000;

485-90

21. Anonymous. Pemerintah Republik

Indonesia. PP nomer 41 tahun 1999.

Peraturan pemerintah mengenai baku

mutu udara ambien nasional.

Page 57: Jstni Feb 2009 Secured

Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481

51

SIFAT MAGNETORESISTANCE BAHAN KOMPOSIT Fe0,2C0,8 SEBELUM DAN SESUDAH IRADIASI SINAR GAMMA

PADA DOSIS 250 kGy

Yunasfi, Setyo Purwanto, Wisnu A. A.

Pusat Teknologi Bahan Industri Nuklir (PTBIN) – BATAN Kawasan Puspiptek Serpong 15314, Tangerang

ABSTRAK

SIFAT MAGNETORESISTANCE BAHAN KOMPOSIT Fe0,2C0,8 SEBELUM DAN SESUDAH IRADIASI SINAR GAMMA PADA DOSIS 250 kGy. Telah dilakukan penelitian terhadap sifat magnetoresistance bahan komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi dengan sinar gamma pada dosis 250 kGy. Bahan komposit Fe0,2C0,8 dibuat dari campuran serbuk Fe dan serbuk C, dengan rasio komposisi 20% berat Fe dan 80% berat C. Pada penelitian ini, diamati perubahan sifat magnetoresistance bahan komposit Fe0,2C0,8 setelah diiradiasi dengan sinar gamma pada dosis 250 kGy. Pengujian struktur Fe0,2C0,8 dilakukan dengan difraktometer sinar-X (XRD) dan karakterisasi sifat magnetoresistance dilakukan dengan metode Four Point Probe. Hasil pengujian dengan XRD menunjukkan penurunan intensitas puncak difraksi dari fasa Fe dan C oleh radiasi sinar gamma, sedangkan hasil pengukuran magnetoresistance menunjukkan peningkatan nilai magnetoresistance bahan tersebut. Peningkatan nilai ini mencapai 5 kali pada medan magnet 7,5 kOe setelah diiradiasi dengan sinar gamma. Hal ini disebabkan oleh adanya cacat struktur yang terbentuk dalam bahan komposit Fe0,2C0,8 akibat interaksi sinar gamma dengan bahan komposit tersebut yang menimbulkan perubahan intensitas interaksi magnetik di dalam bahan ini. Kata Kunci : iradiasi sinar gamma, cacat struktur, magnetoresistance ABSTRACT

MAGNETORESISTANCE PROPERTIES OF Fe0,2C0,8 COMPOSITE MATERIALS PRE AND POST GAMMA IRRADIATED AT 250 kGy DOSE. Research about change of magnetoresistance properties of Fe0,2C0,8 composite materials pre and post gamma irradiation at a dose of 250 kGy was carried out. Fe0,2C0,8 was prepared by mixing of Fe and C powder with the ratio of Fe : C set on 20:80 in weight %. In this research, the phase structure and magnetic properties of Fe0,2C0,8 composite materials after 250 KGy dose of gamma irradiation have been measured and analyzed. The phase structure of Fe0,2C0,8 was analyzed using X-ray diffractometer (XRD), whole the magnetoresistance properties was characterized using Four Point Probe method. The analyzing results showed the decreasing of X-ray diffraction peak intensity, but also in the same time showed the increasing of magnetoresistance properties after gamma irradiation. The enhancement of magnetoresistance value reached 5 times at 7,5 kOe magnetic field. This enhancement was caused due to structure defect within Fe0,2C0,8 composite initiated by interaction between radiation of gamma ray and composite materials that further causes a change of magnetic interaction intensity in this materials.

Key words : gamma ray irradiation, structure defects, magnetoresistance 1. PENDAHULUAN

Bahan magnetoresistance adalah

suatu bahan yang sifat resistivitasnya

berubah terhadap pengaruh medan magnet

luar (1). Telah umum diketahui bahwa sifat

resistivitas pada bahan magnetoristance

seperti lapisan Fe/Ni (2) dan paduan

(Sm,R)Mn2Ge2 (3) memiliki ketergantungan

Page 58: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481

52

terhadap medan magnet. Konfigurasi spin

magnet ternyata menjadi salah satu sebab

munculnya sifat ini. Pencarian sifat-sifat

magnetoresistance pada paduan magnetik

akhir-akhir ini sangat sensitif dengan

ditemukannya bahan Giant dan Colosal

magnetoresistance pada bahan Perovskite

seperti La-Mn-O, di mana peningkatan

magnetoresistance-nya dapat sampai

ratusan dan bahkan ribuan prosen (4).

Potensi aplikasi dari bahan magneto-

resistance ini adalah sebagai sensor

resistivitas dan divais penyimpan data,

sehingga bahan jenis ini terus dipejari oleh

para peneliti maupun litbang swasta.

Penelitian sifat transport elektron

pada material karbon dan kompositnya

menjadi sangat menarik karena berkaitan

langsung dengan ketidak sempurnaan

struktur kristal dan struktur elektroniknya.

Cacat atau kerusakan pada material

berbasis karbon akan mempengaruhi sifat

elektronik dan magnetik bahan secara

bersamaan (5). Salah satu dari material

nanokomposit berbasis karbon yang telah

diteliti dan dikembangkan sejak beberapa

tahun yang lalu adalah material komposit

Fe-C. Penelitian dan pengembangan

material ini sangat menarik sekali karena

Fe-C menunjukkan konduktivitas elektrik

dan transmisi cahaya yang rendah.

Beberapa studi yang dilakukan oleh

Romanenko et.al. (6), menunjukkan adanya

evolusi sifat magnetoresistance pada karbon

nano- partikel akibat proses grafitisasi nano-

diamond dari negative magnetoresistance

(NMR) sampai medan H=3 Tesla namun

berubah menjadi positive magneto-

resistance (PMR) pada medan H>3 Tesla.

Mekanisme terjadinya fenomena PMR ini

belum dapat dijelaskan, kecuali bahwa

besaran rasio MR berbanding lurus dengan

medan yang diberikan, yaitu Mr α Bn dengan

n adalah konsentrasi berat Fe.

Dari hasil penelitian terdahulu (7)

diketahui bahwa Fe0,2C0,8 menunjukkan

positive magnetoresistance (PMR), yaitu

ditunjukkan dengan meningkatnya nilai

magnetoreistance seiring dengan

peningkatan medan magnetik. Penelitian ini

merupakan studi lanjutan untuk mempelajari

perubahan sifat magnetoresistance bahan

komposit Fe0,2C0,8 yang disebabkan karena

adanya iradiasi sinar gamma. Dalam studi

ini dilakukan analisis sifat magneto-

resistance pada bahan komposit Fe0,2C0,8

yang dihasilkan dari interaksi radiasi

pengion (radiasi energi tinggi, dalam hal ini

radiasi sinar gamma) terhadap bahan

komposit Fe0,2C0,8. Karakterisasi yang

dilakukan meliputi karakterisasi fasa dengan

difraktometer sinar-X (XRD) dan pengujian

resistivitas dan sifat magnetoresistance

dengan metode Four Point Probe. Penelitian

ini dirasa perlu dilakukan dalam rangka

untuk membuka jalan menuju

diaplikasikannya teknik radiasi, dalam hal ini

radiasi sinar gamma, pada industri

manufaktur elektronik.

2. METODE PERCOBAAN Bahan yang digunakan dalam

penelitian ini adalah serbuk Fe 99.9 %

dengan ukuran 10-50 μm dan serbuk

C (grafit) 99,5 % dengan ukuran 10 μm.

Bahan Fe dan C ditimbang dengan

komposisi 20 % berat Fe dan 80 % berat C

dengan berat total pencampuran adalah 2

Page 59: Jstni Feb 2009 Secured

Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481

53

gram, kemudian dimilling selama 4,5 jam

menggunakan High Energy Milling (HEM)

merek SPEX CertiPrep 8000M Mixer/Mill

yang terdapat di Bidang Karakterisasi dan

Analisis Nuklir (BKAN), PTBIN-BATAN.

Perbandingan berat bola : berat serbuk

adalah 1 : 1 di dalam vial kecil berukuran 5

cc. Untuk menghindari kerusakan pada alat

milling akibat peningkatan suhu motor yang

terlalu tinggi, maka untuk setiap siklus

milling selama 90 menit, proses dihentikan

sekitar 1 jam untuk tujuan pendinginan

motor. Pada proses milling ini vial serta bola

yang digunakan terbuat dari bahan stainless

steel.

Serbuk Fe0,2C0,8 yang diperoleh dari

proses milling ditimbang sebanyak 0,5 gram

dan kemudian diproses kompaksi untuk

dibentuk pelet berdiameter φ 15 mm dan

ketebalan 1 mm dengan tekanan 5000 psi

menggunakan hydraulic Press Enerpac.

Selanjutnya dilakukan identifikasi fasa

terhadap cuplikan pelet menggunakan

difraktometer sinar-X (XRD) merek Phillips

APD 3520 yang ada di Bidang Karakterisasi

dan Analisis Nuklir (BKAN), PTBIN-BATAN.

Karakterisasi sifat magnetoresistance bahan

Fe0,2C0,8 dilakukan dengan menggunakan

metode four point probe merek Jandel yang

terdapat di BKAN, PTBIN-BATAN, dengan

nilai minimum 0,01 A, nilai perubahan arus

0,01 A dan nilai tegangan masimum 2 mV.

Perubahan resistivitas sebanding dengan

perubahan panjang dan luas penampang

bahan, seperti ditunjukkan pada persamaan

(1), yaitu [7] :

R = ρ( ) (1)

dimana, R, ρ, x, dan A masing-masing ada-

lah resistansi (ohm),resistivitas (ohm.cm),

panjang (cm) dan luas penampang (cm2).

Dengan menggunakan rumus ini, maka nilai

resistivitas bahan komposit Fe0,2C0,8

sebelum dan sesudah diiradiasi dengan

sinar gamma dapat dihitung.

Cuplikan Fe0,2C0,8 yang telah

diidentifikasi dengan XRD dan

dikarakterisasi dengan metode Four Point

Probe ini kemudian diiradiasi dengan sinar

gamma pada dosis 250 kGy dari Co-60

sebagai sumber radiasi. Iradiasi cuplikan

Fe0,2C0,8 dilakukan pada fasilitas iradiasi

yang ada di Pusat Aplikasi Teknologi Isotop

dan Radiasi (PATIR) - BATAN, Pasar Jum’at

– Jakarta. Cuplikan Fe0,2C0,8 yang telah

diiradiasi selanjutnya diidentifikasi kembali

fasanya dengan XRD dan diuji resistivitas

dan sifat magnetoresistance dengan metode

four point probe untuk mengetahui

perubahan yang terjadi akibat iradiasi.

Analisis profil difraktometer sinar-X yang

diperoleh dilakukan dengan menggunakan

perangkat lunak program RIETAN (rietveld

analysis) (8).

3. HASIL DAN DISKUSI Pola difraksi sinar-X untuk bahan

komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah

iradiasi dengan sinar gamma pada dosis

250 kGy ditunjukkan pada Gambar 1. Pada

Gambar 1 tidak terlihat munculnya puncak

baru karena Fe0,2C0,8 merupakan bahan

komposit dan tidak terjadi reaksi antara Fe

dan C oleh iradiasi sinar gamma. Dengan

iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy

terjadi penurunan intensitas puncak difraksi

secara drastis dan terjadi pergeseran sudut A x

Page 60: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481

54

puncak difraksi, seperti ditunjukkan pada

Tabel 1. Penurunan intensitas puncak

difraksi C(002) adalah 33 %, 25 % untuk

C(004), 13 % untuk Fe(110), dan 9 % untuk

Fe(200). Sudut puncak difraksi C(002)

berkurang 0,002° dan 0,027° untuk C(004)

sedangkan untuk Fe(110) bertambah

0,005° dan 0,008° untuk Fe(200).

Tabel 1. Penurunan intensitas dan pergeseran

sudut puncak difraksi bahan komposit Fe0,2C0,8 oleh iradiasi sinar gamma

Perubahan yang ditunjukkan pada

Gambar 1 dan Tabel 1 disebabkan oleh

interaksi sinar gamma dengan bahan

komposit Fe0,2C0,8.Radiasi sinar gamma

menyebabkan terjadinya kerusakan pada

permukaan struktur bahan, sehingga terjadi

penurunan intensitas puncak difraksi bahan

tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa

struktur bahan tersebut menjadi tidak

sempurna atau dengan kata lain terbentuk

cacat oleh adanya radiasi sinar gamma,

salah satu kemungkinan adalah terjadinya

cacat titik interstisi (9,10). Kerusakan

permukaan struktur bahan ini menyebabkan

elektron yang dihamburkan dalam bahan

tersebut semakin berkurang. Proses

terjadinya kerusakan pada bahan ini oleh

sinar gamma akan dibahas lebih lanjut. Data yang diperoleh dari identifikasi

dengan metode XRD ini dianalisis dengan

menggunakan program RIETAN, untuk

membandingkan kurva eksperimen dengan

teori dan untuk mendapatkan parameter kisi.

Data hasil analisis dengan program RIETAN

ditunjukkan pada Tabel 2, yang

menunjukkan data criteria of fit dan

goodness of fit untuk Fe0,2C0,8 sebelum dan

sesudah iradiasi sinar gamma. Terlihat

bahwa faktor R (criteria of fit) meningkat

sedangkan faktor S (goodness of fit)

berkurang setelah diiradiasi dengan sinar

gamma pada dosis 250 kGy.

Tabel 2. Data criteria of fit dan goodness of fit untuk Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah sesudah iradiasi sinar gamma pada 250 kGy.

Catatan : Rwp = ratio of weight pattern

Ri = ratio of intensity

Rf = ratio of fitting

Rp = ratio of pattern

S = goodness of fit = Rwp/Rp

Hasil pengukuran resistivitas dan

IIradiasi Rwp Ri Rf SFe0,2C0,8 Fe C Fe C Fe0,2C0,8

Sebelum 23,57 3,22 12,34 4,17 9,32 1,5850Sesudah 29,02 4,86 12,95 4,39 12,13 1,1915 Fasa

Sudut puncak difraksi (2θ)

Intensitas puncak difraksi

Sebelum iradiasi

Sesudah iradiasi

Sebelum iradiasi

Sesudah iradiasi

C(002) 26,514 26,512 3352 2237 C(004) 54,598 54,595 164 123 Fe(110) 44,630 44,635 322 279 Fe(200) 64,956 64,964 44 40

Gambar 1. Pola difraksi sinar X bahan

komposit Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy

Page 61: Jstni Feb 2009 Secured

Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481

55

magnetoresistance pada cuplikan Fe0,2C0,8

dengan metode four point probe sebelum

dan sesudah diiradiasi dengan sinar gamma

pada dosis 250 kGy ditunjukkan pada

Gambar 2 dan Gambar 3. Munculnya

resistivitas bahan disebabkan karena

adanya impuritas (ketidak murnian bahan),

porositas atau void (kekosongan) dan cacat

kristal sehinga elektron terhambur olehnya.

Resistivitas bahan komposit Fe0,2C0,8

mengalami penurunan oleh radiasi sinar

gamma, seperti ditunjukkan pada Gambar 2.

Penurunan resistivitas oleh radiasi ini

mencapai sekitar 400 % atau dengan kata

lain akibat iradiasi sinar gamma maka

resistivitas berkurang menjadi ¼ nya pada

medan magnet 0,1 kOe dan penurunan ini

semakin besar lagi dengan meningkatnya

medan magnet, yaitu penurunan mencapai

500 % pada medan magnet 7,5 kOe. Hal ini

disebabkan karena adanya cacat struktur

yang disebabkan oleh radiasi sinar gamma

sehingga efek hamburan elektron akan

berkurang maka resistivitas bahan menjadi

turun.

Sifat Magnetoresistance dapat

didefinisikan sebagai perubahan resistivitas

akibat pengaruh medan magnet luar, yang

dapat ditulis sebagai berikut [11] :

Δρ/ρ = x 100% (2)

dimana : Δρ/ρ, ρH, dan ρH=0 masing-masing

adalah Magnetoresistance Ratio (MR),

tahanan listrik (resistivitas) ketika dikenakan

medan magnet dan resistivitas saat medan

magnet nol.

Pada Gambar 3 terlihat bahwa nilai

MR untuk bahan komposit Fe0,2C0,8

meningkat setelah diiradiasi dengan sinar

gamma pada dosis 250 kGy. Sebelum

iradiasi menunjukkan nilai MR sekitar

0,100% pada medan magnet 1 kOe dan

meningkat menjadi sekitar 1,049% setelah

diiradiasi. Nilai MR ini semakin meningkat

dengan meningkatnya medan magnet, yaitu

1,130% pada 7,5 kOe sebelum iradiasi

menjadi 5,245% setelah iradiasi, artinya nilai

MR meningkat sekitar 5 kali lipat setelah

diiradiasi. Peningkatan nilai MR ini

disebabkan oleh adanya cacat yang

dihasilkan di dalam struktur komposit

Fe0,2C0,8.

Cacat struktur ini diduga terjadi pada

masing-masing fasa C dan Fe. Dengan

rusaknya struktur Fe, maka momen

magnetik dari Fe ini juga terganggu,

sedangkan carbon dalam hal ini

memberikan kontribusi sebagai barrier

magnetik antara partikel Fe. Dengan

demikian, dengan meningkatnya medan

magnet yang diterapkan, tampak MR juga

semakin meningkat.

0500

100015002000250030003500400045005000

0 2 4 6 8 10

Medan Magnet, H (kOe)

Res

istiv

itas,

ρ ( Ω

.cm

) Sebelum irradiasi

Sesudah irradiasi

Gambar 2 Kurva resistivitas untuk

Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy.

ρH - ρH=0

ρH=0

Page 62: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481

56

Pada bahan komposit Fe0,2C0,8 yang

telah diproses milling selama 4,5 jam

kemudian diiradiasi dengan sinar gamma

ditemukan adanya cacat/kerusakan pada

struktur graphene dari grafit secara

signifikan yang ditandai dengan

menurunnya secara drastis intensitas

puncak difraksi C(002) pada pola difraksi

sinar-X. Proses magnetoresistance yang

terjadi adalah electron tunneling antar Fe

granular dengan matriks grafit sebagai

potensial barrier (11,12). Iradiasi bahan

komposit Fe0,2C0,8 menyebabkan terjadinya

cacat stuktur bahan tersebut. Cacat tersebut

disebabkan oleh pengrusakan struktur

bahan. Hal ini juga telah dibuktikan oleh Rob

H. Telling et.al. (13), bahwa pengukuran

makroskopik pada grafit yang diiradiasi

mengungkapkan adanya strain atau

pertumbuhan paralel pada sumbu-c dan

kontraksi ke dalam basal-plane, peningkatan

konduktivitas termal, berbagai perubahan

pada sifat mekanik bahan grafit seperti

konstanta elastis, strength dan sifat creep,

penurunan resistivitas elektrik sumbu-c, dan

peningkatan energi internal. Grafit

merupakan bahan semi-logam dengan

jumlah elektron dan hole hampir sama.

Dalam medan magnet, elektron dan hole

dibelokkan pada sisi yang sama sehingga

terjadi penimbunan muatan tanpa adanya

spasi pada permukaan dan tanpa tegangan

ruang yang dikembangkan, sehingga

menghasilkan tenaga yang bersaing dengan

tenaga Lorentz. Carrier dalam medan

magnet dipindahkan sepanjang garis kurva

dari pada garis lurus. Oleh karena itu,

apabila medan magnet diaplikasikan pada

grafit, resistivitas grafit akan berubah. Akibat

interaksi sinar gamma dengan bahan

komposit Fe0,2C0,8 menghasilkan pasangan

elektron dan hole meningkat, sehingga

intensitas magnetik dalam bahan meningkat.

Peningkatan intensitas magnetik ini

menimbulkan peningkatan sifat

magnetoresistance bahan dan penurunan

sifat resistivitas bahan tersebut.

4. KESIMPULAN Dari hasil penelitian ini dapat

disimpulkan bahwa iradiasi bahan komposit

Fe0,2C0,8 dengan sinar gamma pada dosis

250 kGy menyebabkan penurunan

intensitas puncak difraksi pada pola XRD

dan meningkatkan nilai MR bahan, serta

penurunan sifat resistivitas bahan tersebut.

Penurunan intensitas maksimum ini

disebabkan karena adanya permukaan

struktur kristal bahan yang hancur oleh

radiasi sinar gamma, sehingga struktur

kristal menjadi tidak sempurna atau rusak.

Akibat dari kerusakan struktur bahan

komposit Fe0,2C0,8 ini salah satu

kemungkinan terjadinya cacat titik interstisi. Adanya cacat yang terbentuk oleh

y = 0.0125x2 + 0.0652x

y = 0.0394x2 + 0.4473x

0

2

4

6

8

0 2 4 6 8 10

Medan Magnet (kOe)

MR

(%)

Sesudah Radiasi

Sebelum Radiasi

Gambar 3. Kurva magnetoresistance untuk

Fe0,2C0,8 sebelum dan sesudah iradiasi sinar gamma pada dosis 250 kGy.

Page 63: Jstni Feb 2009 Secured

Sifat Magnetoresistance Bahan Komposit Fe0,2c0,8 Sebelum Dan Sesudah Iradiasi Sinar Gamma Pada Dosis 250 Kgy (Yunasfi) ISSN 1411 - 3481

57

radiasi sinar gamma ini menyebabkan

peningkatan nilai MR dan peningkatan ini

semakin lebih besar dengan meningkatnya

medan magnet, yaitu mencapai 500 % pada

medan magnet 7,5 kOe, sedangkan nilai

resistivitasnya berkurang dan pengurangan

ini semakin lebih besar dengan

meningkatnya medan magnet, yaitu

penurunan mencapai 500 % pada medan

magnet 7,5 kOe. Kerusakan struktur bahan

komposit Fe0,2C0,8 oleh sinar gamma

mengakibatkan perubahan intensitas

interaksi magnetik antar atom dalam bahan

tersebut, sehingga meningkatkan sifat MR

dan menurunkan sifat resistivitas bahan

tersebut. Namun, sampai batas dosis radiasi

yang digunakan dalam penelitian ini yaitu

sebesar 250 kGy, belum menunjukkan

terjadinya perubahan fase dari struktur

bahan komposit Fe0,2C0,8.

Untuk mengetahui lebih rinci peran

cacat pada struktur C (grafit) dalam

komposit Fe0,2C0,8 akibat iradiasi sinar

gamma maka perlu dilakukan percobaan

untuk dosis yang lebih tinggi yaitu sampai

dosis 1000 kGy.

5. UCAPAN TERIMA KASIH Ucapan terimakasih yang sebesar-

besarnya kami sampaikan kepada : Ibu Tria

Madesa yang telah membantu kami dalam

preparasi sampel, Bapak Yosef Sarwanto

yang telah membantu kami dalam pengujian

dengan metode XRD, serta Bapak Nada

Marnada dari PATIR-BATAN, Pasar Jumat-

Jakarta yang telah memberi kesempatan

kepada kami untuk melakukan iradiasi

sampel.

6. DAFTAR PUSTAKA 1. Meneghini C, Mobilio S, Garcia-Prieto A,

Foez-Gubieda M L F. Structure and

magnetic properties in CoCu granular

alloy. Nucl Instr and Meth in Phys Rev

B. 2003 : 215-219.

2. Setyo Purwanto. Penelitiam dam

pengembangan bahan unggul giant

magnetoresistance paduan (Sm, R)

Mn2Ge2,. Laporan Riset Unggulan

Terpadu VI. Kantor Menteri Riset dan

Teknologi. Dewan Riset Nasional. 2001.

3. Coey J M D, Hinds G. Magnetic

electrodeposition. Journal of Alloy and

Compound. 2001 ; 326 : 238-245.

4. Foncuberta J, Martinez B, Seffat A,

Pinol S, Garcia-Muniz J L, and X.

Obtadors. Chemical runing of the

colosal magnetoresistance of

ferromagnetic perovskites. Europhys

Lett. 1996 ; 34 : 379-384.

5. Kenji Itozawa. Magnetic recording

medium containing iron carbide. United

State Patent 4748080 (2007).

6. Romanenko et al. The temperature

dependence of the electrical resistivity

and the negative magnetoresistance of

carbon nanoparticle,. Phys of Solid

State. 2002 ;.44 (3) : 487-489.

7. Setyo Purwanto, Wisnu A. A., Ari

Handayani dan Mashadi. Evolusi sifat

magnetoresistance pada cupplikan

komposit Fe-C (grafit) hasil sintesis

dengan metode mechanical alloying,

Jurnal Sains Materi Indonesia. 2007 ; 9 :

30-32.

8. Izumi F. Rietan Manual. 1994 (private

cammunication).

9. Florian Banhart,. Irradiation effects in

Page 64: Jstni Feb 2009 Secured

Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia Indonesian Journal of Nuclear Science and Technology Vol. X, No. 1, Februari 2009: 51-58 ISSN 1411 - 3481

58

carbon nanostructure. Rep Prog Phys.

1999; 62 : 1181-1221.

10. Lehtinen P O, Foster A S, Yuchen Ma,

Krasheninnikov A V and Nieminen R M.

Irradiation induced magnetism in

graphite : A density functional study.

Phys Rev Let. 2004; 93 (18) : 187202.

11. Xue Q Z, Zhang X, Zhu D D. Posistive

linear magnetoresistance in Fex-C1-x

composites. Journal of Magnetism and

Magnetic Materials. 2004 ; 270 : 397-

402.

12. Gane E Schwarze, Janis M Niedra,

Albert J Frasca and William R

Wieserma. Radiation and yemperature

effects on electronic components

investigated under the CSTI high

capasity power project. Tenth

Symposium on Space Nulear Power

Propultion. New Mexico. January 10-14,

1993.

13. Rob H Telling, Chris P Ewels, Ahlama A

El-Barry and Malcolmi I Heggie. Wigner

defects bridge the graphite gap. Nature

Materials. Advanced on Line

Publication. 2003 : 1-5.

Page 65: Jstni Feb 2009 Secured

JURNAL SAINS DAN TEKNOLOGI NUKLIR INDONESIA INDONESIAN JOURNAL OF NUCLEAR SCIENCE AND TECHNOLOGY

Vol. X, No. 1, Februari 2009

ISSN 1411 - 3481

UCAPAN TERIMA KASIH

Redaksi mengucapkan terima kasih kepada para Mitra Bestari

1. Prof. Drs. Sunarhadijoso M.Sc.

2. Prof. Dr. Aang Hanafiah W.S.

3. Prof. Dra. Nurlaila Z., MT.

4. Dr. Puji Lestari

5. Drs. Teuku Alfa, M.Sc.

Untuk partisipasinya dalam evaluasi dan memberikan saran perbaikan Nomor ini.

Page 66: Jstni Feb 2009 Secured

PEDOMAN BAGI PENULIS

1. Format penulisan. Makalah yang hendak dimuat dalam “Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia”, harus berupa hasil penelitian sains dan teknologi nuklir, disampaikan kepada: redaksi Jurnal Sains dan Teknologi Nuklir Indonesia sebanyak 2 eksemplar disertai dengan file elektronik. Makalah dapat ditulis dalam bahasa Indonesia atau bahasa Inggris tidak lebih dari 15 halaman disertai abstrak. Makalah diketik menggunakan huruf Arial ukuran 11, jarak baris 1,5 spasi, kecuali abstrak dengan jarak 1 spasi. Ukuran kertas A4, dengan jarak dari pinggir atas 2,5 cm; bawah 2,5 cm; kiri 3,5 cm; kanan 2,5 cm.

2. Identitas penulis. Nama-nama penulis ditulis tanpa gelar dan alamat penulis

dilengkapi dengan alamat instansi penulis serta penunjukan alamat korespondensi kalau berbeda , berikut alamat email penulis (jika ada).

3. Abstrak. Abstrak ditulis dalam bahasa Indonesia dan bahasa Inggris, berisi judul

(dalam huruf kapital), latar belakang, metode, eksperimen dan hasil serta kesimpulan yang dirangkum secara ringkas dan jelas tidak lebih dari 200 kata. Di bawah abstrak bahasa Indonesia maupun bahasa Inggris dicantumkan tidak lebih dari 5 kata kunci (key words). Kata kunci merupakan kata yang paling penting dan mencerminkan konsep, serta dapat digunakan untuk membantu akses pencarian makalah.

4. Penulisan bab atau subbab. Isi makalah mengikuti sistematika penulisan yang

disusun sebagai berikut : pendahuluan, tata kerja, hasil dan pembahasan, kesimpulan dan daftar pustaka yang ditulis dengan huruf kapital dan cetak tebal. Penulisan bab dan subbab harus dapat dibedakan dengan jelas. Ucapan terima kasih (bila ada) ditulis setelah kesimpulan dan sebelum daftar pustaka, namun tidak termasuk bagian dari bab.

5. Tabel dan gambar. Tabel dan gambar diberi nomor secara berurutan (1,2,3,...dst).

Judul tabel ditulis di atas tabel, sedang judul gambar ditulis di bawah gambar. Penempatan tabel dan gambar harus berdekatan dengan teks yang mengacunya. Gambar sebaiknya dimasukkan sebagai format gambar yang mempunyai resolusi tinggi. Hindari penempatan tabel dan gambar sebagai lampiran.

6. Kepustakaan. Tidak dibenarkan menulis kepustakaan yang tidak disinggung sama

sekali dalam naskah. Pengacuan nomor pustaka dalam teks ditulis di antara tanda kurung, contoh : ..... menurut Getzen (1). Penulisan pustaka dalam daftar pustaka mengikuti sistem Vancouver. Keterangan dan contoh penulisan dapat diperoleh dari : http://www.nlm.nih.gov/bsd/uniform_requirements.html

Contoh: Pustaka dari buku 1. Getzen TE. Health economic: fundamentals and flow of funds. New York (NY):John

Wiley & Sons; 2001. 2. Fauzi AS, Braunwald E, Isselbacher KJ, Wilson JD, Martin JB, Kasper DL, et al editors.

Harrisons’s principles of internal medicine 14th ed. New York: Mc Graw Hill, Health Professions Division; 1998

Pustaka dari jurnal 3. Russel FD, Coppell AL. Davenport AP. Comparative in vivo kinetics of some new

99mTc-labelled diphosphonates. Biochem Pharmacol 1999 Mar 1;55(5):697-701. 4. Mahmood KR. Radionuclide content of local and imported cements used in egypt. J

Rad Prot 2007; 27: 69-77 Pustaka dari prosiding 5. Kertapati EK. Probabbilistic estimates of the seismic ground motion hazard in

Indonesia. Prosiding Konferensi Nasional Rekayasa Kegempaan. Bandung: Penerbit ITB;2003.

Pustaka dari website 4. Morse SS. Factor in the emergence of infections disease. Emerg Infct Dis serial [serial

on line] 1998 Jan-Mar [cited 2002 Des 20]; 1(1): [24 screens]. Available from: URL:http://www/cdc/gov/ncidoc/EID/eid.htm