journal of tourism destination and attractiondosen.univpancasila.ac.id/dosenfile/...volume iv no.1...
TRANSCRIPT
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 i
Journal of
TOURISM DESTINATION AND ATTRACTION
ii Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 iii
Journal of
TOURISM DESTINATION AND ATTRACTION
Volume IV No. 1 November 2016
ISSN: 2339-1987
Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila
Jakarta
iv Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
SUSUNAN REDAKSI
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016
ISSN: 2339-1987
Diterbitkan oleh:
Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila
Editor Utama:
Devi Roza K Kausar, Ph.D
Dewan Editor:
Dr. Ir. Riadika Mastra, M.Eng
Riza Firmansyah, M.Si
I Made Adhi Gunadi, S.IP., M.Si.Par
Editor Ahli (Mitra Bestari):
Prof. Azril Azahari – ICPI
Dr. Norain Othman – Universiti Teknologi MARA, Malaysia
Drs. J. Ganef Pah, MS – STP Bandung
Drs. Ec. I Putu Anom, M.Par – Universitas Udayana
Dr. Yophie Septiadi – Universitas Pancasila
Sekretariat Redaksi:
Tina Wahyuti, SE
Layout Designer:
A. Andhika Nugraha, SIP.
Alamat Redaksi:
Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila
Jl. Srengseng Sawah, Jagakarsa Jakarta Selatan 12640
Telp.: +6221 7888 5779, Fax: +6221 2912 0719
Email: [email protected]
Website: www.pariwisata.univpancasila.ac.id
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 v
KATA PENGANTAR
Salam wisata!
Jumpa lagi di Volume Keempat Journal of Tourism Destination and Attraction (JTDA).
Mengawali edisi pertama dari tahun 2016 ini, JTDA menyajikan lima tulisan dengan topik yang variatif
namun masih dalam tema besar destinasi dan atraksi pariwisata beserta segala isunya yang terkait.
Made Adhi Gunadi melalui artikel berjudul “Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga
Dan Penerapan Pariwisata Berbasis Masyarakat” menganalisis pariwisata berbasis masyarakat
atau Community Based Tourism (CBT) sebagai sebuah pendekatan dalam pengembangan pariwisata
yang dinilai sebagai jawaban alternatif dari pengembangan pariwisata yang selama ini telah
dikenal luas. Artikel ini membahas konsep pengembangan pariwisata yang relatif baru, kemudian
mengkaji dan menganalisis penerapannya dalam sebuah komunitas/masyarakat yang memiliki
adat dan tradisi kuat, yaitu masyarakat adat di Kampung Naga, Tasikmalaya. Penelitian ini bertujuan
untuk mengidentifikasi nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Naga dan mengkajinya
dengan prinsip pariwisata berbasis masyarakat yang telah berlangsung di desa tersebut. Sementara
Fahrurozy Darmawan dan Ruri Nurhalin membahas tentang Strategi Pengelolaan Wisata Kumuh
Kampung Luar Batang. Penelitian tersebut bertujuan untuk menganalisis pengelolaan Kampung
Luar Batang sebagai destinasi wisata kumuh dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat.
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu dalam artikelnya
membahas tentang Strategi Pengembangan Wisata Agro Di Kelurahan Pasir Putih, Depok. Tujuan
dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi potensi Wisata Agro yang berada di Kelurahan Pasir
Putih Kecamatan Sawangan Kota Depok, mengidentifikasi partisipasi masyarakat dalam
mengembangkan Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih Sawangan-Depok dan merumuskan
pengembangan Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih Sawangan-Depok. Nini Jayanti Saleh dan
Moses Soediro menganalisis Serbuk Semanggi sebagai Minuman Herbal. Penelitian ini
menghasilkan inovasi dalam pengolahan semanggi bahan kuliner lokal yang menjadi salah satu
unsur daya tarik wisatawan. Tri Rahayuningsih, E.K.S. Harini Muntasib, Jadda Muthiah
membahas tentang kepercayaan masyarakat Desa Argapura terhadap budaya angklung gubrak
sebagai salah satu bentuk modal sosial dalam pengembangan ekowisata. Penelitian ini bertujuan
untuk mengetahui nilai penting angklung gubrak bagi warga Desa Argapura sebagai salah satu
budaya yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan masyarakat secara bersama untuk
berpartisipasi dalam pengembangan ekowisata Desa Argapura.
Semoga semua sajian ini bermanfaat dan selamat membaca.
Devi Kausar
(Editor Utama)
vi Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 vii
DAFTAR ISI
SUSUNAN REDAKSI .................................................................................................................. iv
KATA PENGANTAR .................................................................................................................... v
Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga dan Penerapan Pariwisata
Berbasis Masyarakat
Made Adhi Gunadi .................................................................................................................. 1-6
Pengelolaan Wisata Kumuh Kampung Luar Batang Slum Tourism Management In
Kampung Luar Batang
Fahrurozy Darmawan dan Ruri Nurhalin .............................................................................. 7-14
Pengembangan Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih, Depok
Riza Firmansyah, Jandwikha Rahayu dan Yustisia Pasfatima Mbulu ................................. 15-26
Serbuk Semanggi Sebagai Minuman Herbal (Creating Clover Powder Herbal Drink)
Nini Jayanti Saleh dan Moses Soediro ................................................................................ 27-32
Kepercayaan Masyarakat Desa Argapura Terhadap Budaya Angklung Gubrak
Sebagai Salah Satu Bentuk Modal Sosial Dalam Pengembangan Ekowisata
Tri Rahayuningsih, E.K.S. Harini Muntasib dan Jadda Muthiah ........................................ 33-38
BIODATA PENULIS .............................................................................................................. 39-40
PEDOMAN PENULISAN NASKAH ................................................................................... 40-43
viii Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 1
KEARIFAN LOKAL MASYARAKAT ADAT KAMPUNG NAGA
DAN PENERAPAN PARIWISATA BERBASIS MASYARAKAT
Made Adhi Gunadi
Universitas Pancasila
Abstract
Community-based tourism (CBT) as an approach in the development of tourism can be viewed as an
alternative to the development of tourism which have so far has been widely acknowledged. As a relatively
new approach to tourism development, it’s interesting then to study and analyze its application in a
community which has strong tradition such as the community of Kampung Naga, Tasikmalaya. This
research aimed to identifying values of local wisdom of Kampung Naga, and then review it using the
principles of community based tourism that has been implemented in Kampung Naga. This study adopted
qualitative approaches, with data collection through observation, interviews and literature review. The
results of the analysis shows that the values of the local wisdom of Kampung Naga indigenous people,
especially the value of togetherness, simplicity, independent, and specific pattern on spacial and agriculture,
are able to encourage implementation of CBT principles in Kampung Naga.
Keywords: Community Based Tourism, Local Wisdom, Indigenous People.
PENDAHULUAN
Pariwisata Berbasis Masyarakat (Community
Based Tourism) menjadi perhatian pariwisata global
dan juga telah menjadi arahan pembangunan pariwisata
nasional. UU No. 10/2009 tentang Kepariwisataan
secara tegas menyatakan bahwa tujuan pembangunan
pariwisata Indonesia adalah memberdayakan dan
meningkatkan kesejahteraan masyarakat.
Pariwisata Berbasis Masyarakat (PBM) atau
Community Based Tourism (CBT) sebagai sebuah
pendekatan dalam pengembangan pariwisata, dinilai
sebagai jawaban alternatif dari pengembangan
pariwisata yang selama ini telah dikenal luas.
Goodwin-Santili (2009: 11) mengemukakan
sebagai berikut:
…CBT emerged as an alternative to mainstream
tourism. Whilst CBT is largely dependent upon
the same tourism infrastructure as mainstream
tourism, particularly for transport, CBT is seen
as an alternative and very few CBT initiatives
are connected with the mainstream tourism
industry, the market access of CBT projects
is therefore generally poor. Associated with
this rejection of the market is a commitment
to collective community benefit and community
governance (Goodwin & Santili, 2009).
Secara konseptual Community Based Tourism
menurut Pantin dan Francis (dalam Nurhidayati, 2012)
diartikan sebagai pendekatan alternatif yang
menekankan pada partisipasi/keterlibatan masyarakat
serta merupakan alat pemberdayaan ekonomi
masyarakat. Sudut pandang pemberdayaan ini
juga diutarakan oleh Isnaini (dalam Hadiwijoyo, 2012)
yang mengemukakan CBT sebagai pengembangan
masyarakat dengan menggunakan pariwisata
sebagai alat untuk memperkuat kemampuan
organisasi masyarakat lokal.
Tak jauh berbeda, Prasiasa (2013: 98) menyebutkan
bahwa model pembangunan pariwisata berbasis
masyarakat (CBT) menjadikan masyarakat sebagai
pemain kunci, dan mendorong terciptanya interaksi
yang harmonis antara sumber daya, penduduk
lokal dan pengunjung. Sebagai model pengembangan
pariwisata, Pinel (dalam Hadiwijoyo, 2012) juga
menyebutkan Community Based Tourism sebagai
model pengembangan pariwisata yang berasumsi
bahwa pariwisata harus berangkat dari kesadaran
nilai-nilai kebutuhan masyarakat sebagai upaya
membangun pariwisata yang lebih bermanfaat
bagi kebutuhan, inisiatif dan peluang masyarakat lokal.
Goodwin & Santili (2009: 12) memaparkan lebih
tegas sebagai berikut: CBT can therefore be defined
as tourism owned and/or managed by communities
and intended to deliver wider community benefit.
The large majority of community-based tourism
initiatives are based on the development of
community-owned and managed lodges or homestays.
Made Adhi Gunadi
2 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Sementara Ciole (dalam Lopez-Guzman,
Sanches-Canizares, Pavon, 2011) mendeskripsikan
Community Based Tourism lebih detil:
CBT is based on the creation of tourist products
characterised by community participation in their
development. CBT emerged as a possible solution
to the negative effects of mass tourism in developing
countries, and was, and the same time, a strategy
for community organisation in order to attain better
living conditions. Its core idea is the integration of
hotel management, food and beverages, complementary
services and tourism management, but also includes
other subsystems (infrastructure, health, education
and environment) as main characteristics, thus
presenting a sustainable development project created
by the community, and encouraging interrelation
between the local community and visitors as a key
element in the development of a tourist product
(Ciole et al., 2007 dalam Lopez-Guzman, Sanches-
Canizares, Pavon, 2011).
Sebagai sebuah konsep pengembangan
pariwisata yang relatif “baru,” menjadi menarik
kemudian untuk mengkaji dan menganalisis
penerapannya dalam sebuah komunitas/masyarakat
yang memiliki adat dan tradisi kuat seperti di
masyarakat adat Kampung Naga, Tasikmalaya.
Masyarakat Kampung Naga menunjukkan
pengetahuan lokal (indigenous knowledge) dan
kemampuan berpikir dan perilaku bijaksana
(Mundarjitno, 1986) hingga mampu tetap eksis
dalam tatanan hidup bermasyarakat dan kondisi
alam saat ini. Cara dan kebiasaan yang bersifat
praktis-pragmatis dalam mengatasi permasalahan
dan memiliki kebenaran normatif telah melembaga
menjadi adat istiadat dan menjadi pedoman hidup
adalah refleksi dari nilai-nilai kearifan lokal (Gobyah
dalam Ningrum dan Rukhimat, 2012). Nilai-nilai kearifan
lokal dilahirkan dari suatu masyarakat, diwariskan
dari generasi ke generasi berikutnya, dan dilestarikan
melalui pembiasaan yang melembaga (tradisi)
hingga membentuk kepribadian sesuai norma.
Kearifan lokal berasal dari dua kata yaitu
kearifan (wisdom), dan lokal (local). Secara umum
maka local wisdom (kearifan lokal) dapat dipahami
sebagai gagasan-gagasan setempat yang bersifat
bijaksana, penuh kearifan, bernilai baik, yang
tertanam dan diikuti oleh anggota masyarakatnya
(Qodariah dan Army, 2013). Sementara Prasiasa
(2013) menyebut kearifan lokal bersama dengan
keunggulan lokal (local genius) merupakan bagian
dari kebudayaan. Kearifan lokal diartikan sebagai
kebijakan manusia dan komunitas yang mengacu
pada filosofi, nilai-nilai, etika, cara-cara, perilaku
yang melembaga secara tradisional untuk mengelola
sumberdaya alam, sumberdaya manusia dan
sumberdaya budaya bagi kelestarian hal-hal tersebut.
Dari sisi fungsi, kearifan lokal memiliki beberapa
fungsi. Seperti yang dituliskan Sartini (2006), fungsi
kearifan lokal adalah (1) konservasi dan pelestarian
sumber daya alam; (2) pengembangan sumber daya
manusia; (3) pengembangan kebudayaan dan ilmu
pengetahuan; (4) petuah, kepercayaan, sastra
dan pantangan; (5) bermakna sosial misalnya
upacara integrasi komunal/kerabat; (6) bermakna
etika dan moral; (7) bermakna politik.
Penelitian ini bertujuan untuk mengidentifikasi
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Naga,
dan selanjutnya mengkajinya dengan prinsip-
prinsip pariwisata berbasis masyarakat (CBT)
yang telah diterapkan di Kampung Naga.
METODE
Penelitian ini menggunakan pendekatan
kualitatif deskriptif, dengan pengumpulan data
melalui observasi, wawancara dan studi literatur.
Observasi dilakukan dua kali pada bulan Mei 2015
dan April 2016. Yang menjadi informan wawancara
adalah pemandu senior Pak Tatang dan kuncen/
tetua adat Kampung Naga.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Sebagai sebuah desa yang memiliki adat dan
tradisi unik, Kampung Naga menjadi salah satu
destinasi wisata budaya yang utama di Jawa
Barat. Meskipun masyarakat Kampung Naga
menolak predikat sebagai atraksi wisata, namun
wisatawan yang berkunjung ke Kampung Naga
selalu ramai mengalir sepanjang tahun. Pada
tahun 2010, tercatat jumlah kunjungan wisatawan
nusantara mencapai 38.555 orang. Pada tahun
2011 dan 2012, angka kunjungan menunjukkan
peningkatan yaitu mencapai 51.861 dan 70.751.
Berikutnya terjadi fluktuasi jumlah kunjungan,
yaitu 38.675 kunjungan pada 2013 dan 32.703
kunjungan pada 2014 (Rachman, 2015).
Kampung Naga masuk dalam pemerintahan
Desa/Kelurahan Neglasari, Kecamatan Salawu,
Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. Secara
geografis, Kampung Naga terletak di sebuah
lembah yang jaraknya ± 1 km dari jalan raya
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 3
dengan ketinggian 488 meter dari permukaaan
laut. Wilayah ini terdiri atas lahan permukiman,
lahan persawahan, empang, bukit dan hutan. Di
sebelah barat, Kampung Naga berbatasan
dengan bukit Naga. Sebelah timur berbatasan
dengan Sungai Ciwulan dan hutan lindung
(pembatas antara Kampung Naga dan Kampung
Babakan). Sebelah selatan berbatasan dengan
bukit dan jalan raya Tasikmalaya Bandung, lewat
Garut. Luas areal Kampung Naga ± 10 hektar,
terdiri dari hutan, pertanian, dan perikanan.
Sedangkan untuk lahan pemukiman luasnya
sebesar 1,5 hektar yang dihuni warga masyarakat
Kampung Naga (seuweu siwi Naga) yang
jumlahnya 310 jiwa dengan 99 kepala keluarga
(2010). Penduduk Kampung Naga mendiami
rumah berbentuk panggung yang berjumlah 113
buah, membujur dari barat ke timur dengan pintu
rumah menghadap ke utara atau ke selatan.
Terdapat banyak versi terkait asal muasal
masyarakat Kampung Naga. Bukti tertulis yang
konon ditulis di atas daun lontar sudah terbakar
habis pada peristiwa 1956, yaitu peristiwa dibakarnya
Kampung Naga oleh gerombolan DI Kartosuwiryo.
Kampung Naga kemudian dibangun kembali dengan
tetap menerapkan ketentuan dan bentuk pemukiman
seperti sebelumnya. Berdasarkan sejumlah versi
yang ada, terdapat benang merah sebagai berikut.
Pertama, adanya sosok Eyang Singaparna yang
dipercayai sebagai karuhun (nenek moyang) atau
primus interpares masyarakat Kampung Naga.
Saat ini terdapat sebuah makam yang dipercayai
adalah makan Singaparna, dan selalu diikutsertakan
dalam berbagai kegiatan upacara. Kedua, Islam
telah menjadi agama masyarakat Kampung Naga
sejak abad 16 hingga 17 Masehi. Ketiga, masyarakat
Kampung Naga berasal dari suku Sunda, karena
merupakan keturunan kerajaan Galunggung, kemudian
terjadi pertemuan budaya dengan Jawa ketika
pasukan Mataram yang menyerang Batavia singgah
dan meminta bantuan penduduk sekitar.
Kepribadian masyarakat kampung Naga
terbentuk melalui proses belajar sepanjang hayat
(long-life learning) yang dilaksanakan secara
terintegrasi antara lembaga adat, masyarakat, dan
keluarga. Nilai-nilai kearifan lokal terinternalisasi
pada setiap individu hingga membentuk kepribadian
yang sesuai dengan nilai-nilai sosial budaya.
Sesungguhnya, kepribadian warga masyarakat
Kampung Naga memiliki nilai-nilai universal yang
tercermin dalam berbagai aspek kehidupan (act locally),
namun memiliki kemampuan berpikir global (think
globally), dan memberikan kontribusi terhadap
pembentukan identitas budaya bangsa sebagai
perwujudan integritas hidup berbangsa dan bernegara
(commit nationally), (Ningrum dan Rukhimat, 2012).
Nilai-nilai kearifan lokal masyarakat Kampung
Naga menunjukkan kecerdasan intelektual, kecerdasan
spiritual, kecerdasan emosional, kecerdasan sosial,
dan berkarya, sehingga mereka menunjukkan jati
diri yang mandiri.
Nilai-nilai kearifan lokal yang mendasari cara
berpikir dan berperilaku terefleksikan di dalam tatanan
hidup bermasyarakat, yaitu pola hidup sederhana,
kebersamaan, pola pemukiman dan rumah, tata
ruang, dan cara bertani. Nilai-nilai budaya tersebut
terus dipertahankan karena telah menunjukkan
keunggulan secara lokalitas bagi masyarakat
Kampung Naga (Ningrum dan Rukhimat, 2012).
Pola hidup sederhana tercermin dalam
ungkapan: teu saba, teu boga, teu banda teu
boga, teu weduk teu bedas, teu gagah teu pinter,
dan amanat ti kolot sacekap-cekapna sakieu
wae (tidak bepergian, tidak punya, tidak memiliki
harta kekayaan, tidak kebal tidak kuat, tidak
gagah tidak pandai, dan sekian amanat dari
leluhur). Ungkapan tersebut memiliki nilai filosofis
sebagai landasan berperilaku. Hidup sederhana
tidak menjadikan mereka hidup miskin, melainkan
menunjukkan kemandirian dengan mengelola
sumber daya alam sesuai kebutuhan dan budaya
yang tersedia di lingkungannya.
Kebersamaan atau keguyuban/gotong royong
merupakan hakikat kehidupan manusia yang saling
membutuhkan satu sama lain. Mereka sangat
menyadari keterbatasan dapat diatasi dengan
kebersamaan. Ketaatan terhadap adat istiadat
adalah wujud kepedulian terhadap para leluhur
yang telah menciptakannya, mempertahankan
kebersamaan, mengutamakan kedamaian antar
warga, dan menghindari konflik internal. Gotong
royong dan kebersamaan dalam kegiatan sosial
seperti mendirikan rumah, pelaksanaan upacara
dalam berbagai aspek kehidupan menunjukkan
kebersamaan, mentaati tata tertib, dan kesamaan
derajat atau status sebagai warga masyarakat
Kampung Naga.
Tata ruang Kampung Naga mencerminkan
nilai-nilai kearifan lokal yang ditunjukkan dengan
adanya pembagian wilayah. Tata ruang terbagi ke
Made Adhi Gunadi
4 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
dalam tiga wilayah adat, yakni: (1) wilayah terlarang,
yaitu kawasan makam (pasarean) dan hutan naga
yang tidak boleh dijamah oleh siapapun; (2) wilayah
produktif, yakni kawasan pertanian sawah; dan (3)
wilayah inti (legana sa naga), yakni kawasan
pemukiman dan wahana berlangsungnya aktivitas
kemasyarakatan. Secara morfologis, Kampung Naga
berada di lereng bukit yang potensial terjadinya
longsor. Wilayah terlarang berada di bagian atas
pemukiman sehingga menjadi daerah konservasi
dalam upaya pelestarian lingkungan hidup. Wilayah
produktif berada di gerbang memasuki Kampung
Naga (wilayah inti). Ketiga wilayah tersebut dipergunakan
sesuai dengan peruntukkannya dan sampai sekarang
tidak mengalami perubahan. Prinsip pelestarian
lingkungan yang dilakukan masyarakat berdasarkan
etika lingkungan yang berkelanjutan bahwa lingkungan
sebagai sumberdaya memiliki keterbatasan.
Padi bagi masyarakat Kampung Naga tidak
hanya menjadi bahan makan pokok, melainkan
memiliki nilai spiritual sebagai penghormatan dan
ungkapan terima kasih terhadap Dewi Sri. Padi
diperlakukan dengan bijaksana mulai dari penanaman,
pemeliharaan, panen sampai pasca panen dan
mengkonsumsinya. Bertani, tidak hanya sebagai
mata pencaharian melainkan tradisi yang terus
dilestarikan. Bibit padi minggu jalan jenis padi lokal
dengan masa tanam enam bulan (pare gede), tidak
menggunakan pupuk kimia dan pestisida, dan
hasil panen disimpan di lumbung padi kampung.
Kegiatan bertani diawali dan diakhiri dengan upacara.
Dalam bahasa yang sedikit berbeda, Qodariah
dan Armi (2013) memaparkan nilai kearifan lokal
masyarakat Kampung Naga terdiri dari: mencintai
lingkungan, seperti yang terefleksi melalui adanya
ketentuan “hutan larangan” dan tidak diperbolehkannya
membuat bangunan melebihi batas yang sudah
ditentukan oleh adat. Kerjasama (gotong-royong),
selalu mengutamakan gotong royong antar warga
apabila ada hajat yang diselenggarakan; kebersamaan,
seperti ditunjukkan pada kegiatan gotong royong
dan menyiapkan makanan bersama, serta tradisi
pamulang sambung. Kesederhanaan dan Kesetaraan,
kesederhanaan ditunjukkan dengan tidak adanya
listrik, sementara nilai kesetaraan tampak pada
struktur rumah yang sama, pakaian dan gaya
hidup yang sama (tidak berbeda antara kuncen,
RT, dan warga biasa). Kemandirian, ditunjukkan
melalui prinsip “apabila diberi ya diterima, jika
tidak, itu bukan masalah”. Kreatif, yang ditunjukkan
melalui aneka kerajinan tangan yang diproduksi,
cara bertani dan pengolahan lahan dengan sistem
terasering.Tanggungjawab, dengan mematuhi
segala aturan adat, agama dan pemerintah; serta
Konsisten dan Berprinsip.
Sementara itu, As’sari-Hendriawan (2016)
menunjukkan nilai-nilai kearifan lokal yang terdapat
di Kampung Naga sebagai berikut: disiplin dan
jujur, religius, patuh, gotong-royong/kebersamaan,
dan sederhana, ramah dan mandiri. Meskipun ada
sedikit perbedaan, namun nilai-nilai kearifan lokal
yang disebutkan banyak memiliki kesamaan.
Masyarakat Kampung Naga dipersatukan
oleh adat istiadat yang terus dipertahankan dan
dilestarikan sebagai pedoman hidup warganya
yang dinamakan “papagon hirup” yang terdiri atas
empat nilai, yaitu wasiat, amanat, akibat dan
pamali atau tabu. Papagon tersebut sekaligus
berperan sebagai fungsi pengawasan kegiatan
pengelolaan (Hidayat, 2015)
Sebagai atraksi wisata budaya, masyarakat
Kampung Naga mengambil peran penting sebagai
pelaku utama dalam aktivitas wisata yang ada.
Hampir seluruh aspek atraksi, amenitas dan
kelembagaan pariwisata seperti pemandu wisata,
homestay, cenderamata, kios makanan, secara
eksklusif semua dikelola dan dimiliki oleh warga
adat Kampung Naga. Hal ini menunjukkan bahwa
wisata budaya di Kampung Naga yang memiliki
kearifan lokal unik memenuhi prinsip utama
sebagai pariwisata berbasis masyarakat atau
community based tourism (CBT).
Dalam hal pengaturan CBT, Yaman dan
Mohd (dalam Nurhidayati, 2012) mengemukakan
beberapa kunci pengaturan pariwisata dengan
pendekatan Community Based Tourism, antara lain:
Adanya dukungan pemerintah. Community
based tourism membutuhkan dukungan struktur
yang multi institusional agar sukses dan berkelanjutan.
Pendekatan Community Based Tourism berorientasi
pada masyarakat yang mendukung pembagian
keuntungan dan manfaat yang adil serta mendukung
pengentasan kemiskinan dengan mendorong
pemerintah dan masyarakat untuk tetap menjaga
sumberdaya alam dan budaya. Pemerintah berfungsi
sebagai fasilitator, koordinator atau badan
penasehat SDM dan penguatan kelembagaan.
Partisipasi dari stakeholder CBT dideskripsikan
sebagai variasi aktivitas yang meningkatkan
dukungan yang lebih luas terhadap pembangunan
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 5
ekonomi dan sosial masyarakat. Konservasisum
berdaya juga dimaksudkan sebagai upaya melindungi
dalam hal memperbaiki mata pencaharian masyarakat.
CBT secara umum bertujuan untuk penganeka
ragaman industri, peningkatan partisipasi yang
lebih luas termasuk partisipasi dalam sektor
informal, hak dan hubungan langsung dan tidak
langsung dari sector lainnya. Anggota masyarakat
dengan kemampuan kewirausahaan dapat menentukan/
membuat kontak bisnis dengan tour operator,
travel agent untuk memulai bisnis baru. Dengan
ini partisipasi dari stakeholder sangat diperlukan
untuk pendekatan Community Based Tourism.
Pembagian Keuntungan yang adil. Dengan
keuntungan yang diterima oleh masyarakat secara
langsung yang memiliki usaha di sector pariwisata
tetapi juga keuntungan tidak langsung yang diterima
dan dinikmati masyarakat dari kegiatan pariwisata
jauh lebih luas antara lain berupa proyek pembangunan
yang dibiayai dari hasil penerimaan pariwisata.
Penggunaan sumberdaya local secara
berkesinambungan. Pariwisata sangat bergantung
pada sumberdaya alam dan budaya setempat.
Dimana asset tersebut dimiliki dan dikelola oleh
seluruh anggota masyarakat, baik secara individu
maupun kelompok.
Penguatan institusi lokal. Usaha pariwisata di
daerah pedesaan sulit diatur oleh lembaga yang ada.
Maka dari itu penting untuk melibatkan komite dengan
anggota yang berasal dari masyarakat. Tujuan utamanya
adalah mengatur hubungan antar penduduk, sumberdaya
dan pengunjung. Hal ini sangat membutuhkan
perkembangan kelembagaan yang ada di suatu
desa tersebut, yang paling baik adalah terbentuknya
lembaga dengan pimpinan yang dapat diterima
semua anggota masyarakat. Penguatan kelembagaan
dapat dilakukan melalui pelatihan dan pengembangan
individu dengan keterampilan kerjanya.
Isnaini (dalam Hadiwijoyo, 2012) menambahkan
konsep Community Based Tourism mempunyai prinsip-
prinsip yang dapat digunakan sebagai tool of community
development bagi masyarakat lokal, yaitu:
1. Mengakui, mendukung dan mempromosikan
pariwisata yang dimiliki masyarakat,
2. Melibatkan anggota masyarakat sejak awal
pada setiap aspek
3. Mempromosikan kebanggaan masyarakat
4. Meningkatkan kualitas hidup
5. Menjamin keberlanjutan lingkungan
6. Memelihara karakter dan budaya lokal yang unik
7. Membantu mengembangkan cross-cultural learning
8. Menghormati perbedaan-perbedaan budaya
dan kehormatan manusia
9. Mendistribusikan keuntungan secara adil
diantara anggota masyarakat
10. Menyumbang prosentase yang ditentukan bagi
income proyek masyarakat.
Menurut Suansri (2003), dalam pembangunan
community based tourism ada lima aspek yang
harus diberdayakan, yakni:
1. Asset sosial yang dimiliki oleh komunitas tersebut,
seperti: budaya, adat-istiadat, social network,
gaya hidup;
2. Sarana dan prasarana, bagaimana sarana dan
prasarana destinasi wisata tersebut apakah sudah
ideal dalam rangka memenuhi kebutuhan wisatawan;
3. Organisasi, apakah telah ada organisasi
masyarakat yang mampu secara mandiri
mengelola daya tarik wisata tersebut;
4. Aktivitas ekonomi, bagaimanakah aktivitas
ekonomi dalam rantai ekonomi pariwisata di
komunitas tersebut, apakah secara empiris
telah menimbulkan distribution of economic benefit di
antara penduduk lokal, ataukah manfaat tersebut
masih dinikmati oleh kelompok-kelompok tertentu;
5. Proses pembelajaran, satu hal yang tak kalah
pentingnya dari komunitas tersebut dalam
mewujudkan objek dan dayatarik wisata.
Secara ringkas, kesesuaian antara nilai kearifan
lokal Kampung Naga dengan prinsip-prinsip CBT,
dapat dituangkan pada matriks yang disusun
berdasarkan hasil obervasi dan kajian berikut ini:
Tabel 1. Matriks Kearifan Lokal dan Prinsip CBT
Kearifan lokal Prinsip CBT
Sederhana Kebersamaan Pola Ruang Pola Bertani
Dukungan Pemerintah - - -
Partisipasi Stakeholder - -
Pembagian Keuntungan yang Fair - -
Penggunaan Sumber Daya yang Lestari
Penguatan Institusi Lokal
Sumber: Hasil Observasi dan Intrepretasi Penulis
Made Adhi Gunadi
6 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Pada matriks di atas, terlihat poin-poin yang
menunjukkan kesesuaian atau persinggungan antara
nilai-nilai kearifan lokal masyarakat adat Kampung
Naga dengan prinsip-prinsip community based tourism.
Berdasarkan praksis wisata yang sudah berjalan
dan diterapkan di Kampung Naga selama ini, terlihat
bahwa prinsip-prinsip community based tourism memiliki
singgungan dan kesesuaian setidaknya dengan satu
nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Naga. Pada
prinsip penggunaan sumberdaya yang lestari (sustainable)
dan prinsip penguatan institusi lokal bahkan memiliki
kesesuaian dan singgungan dengan seluruh ke
empat nilai kearifan lokal masyarakat Kampung Naga.
Banyaknya singgungan antara nilai kearifan
lokal Kampung Naga dengan prinsip CBT setidaknya
menunjukkan dua hal : pertama, bahwa terdapat
kesesuaian antara nilai tradisi (lama) masyarakat
Kampung Naga dengan prinsip modern/masa kini
tentang CBT; kedua, adanya kesesuaian antara
kedua nilai tersebut mampu mendorong terlaksananya
penerapan prinsip community based tourism
secara konsisten dan terjaga di Kampung Naga.
SIMPULAN
Hasil analisis menunjukkan bahwa kegiatan
wisata budaya di Kampung Naga telah
mengimplementasikan prinsip-prinsip utama dari
pariwisata berbasis masyarakat atau community
based tourism (CBT). Nilai-nilai kearifan lokal
khususnya nilai kebersamaan, kesederhanaan,
kemandirian, pola pengaturan ruang dan pola
bertani yang berakar pada tradisi masyarakat adat
Kampung Naga, ternyata mampu mendorong
penerapan prinsip-prinsip masa kini tentang
community based tourism berlangsung secara
konsisten dan terjaga di Kampung Naga.
DAFTAR PUSTAKA
As’sari, Ruli; Hendriawan, Nandang, 2016, Kajian
Nilai Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung
Naga Dalam Pengelolaan Lingkungan Berbasis
Mitigasi Bencana, prosiding semnas Geografi
UMS, Surakarta
Goodwin, Harold & Santilli, Rosa, 2009, Community-
Based Tourism: a success? ICRT Occasional
Paper 11
Hadiwijoyo, SS, 2012, Perencanaan Pariwisata
Perdesaan Berbasis Masyarakat, sebuah
pendekatan konsep, Graha Ilmu
Hidayat, Susi Yuliani, 2015, Kearifan Lokal Masyarakat
Adat Kampung Naga Dalam Pengelolaan
Sumber Daya Hutan, thesis, Yogyakarta UGM
López-Guzmán, Tomás; Sánchez-Cañizares, Sandra;
Pavón, Víctor; 2011, Community - Based Tourism
In Developing Countries: A Case Study,
Tourismos: An International Multidisciplinary
Journal Of Tourism Volume 6, Number 1,
Spring 2011, pp. 69-84
Ningrum, Epon dan Rukhimat, Maman; 2012,
Pendidikan Nilai-Nilai Kearifan Lokal Pada
Masyarakat Kampung Naga di Kabupaten
Tasikmalaya.” http://fpips.upi.edu/ diakses 15
Agustus 2016, 17.08 WIB
Nurhidayati, SE, 2012, Sustainable agritourism
development based on community in Batu
City, East Java
Prasiasa, Dewa Putu Oka, 2011, Wacana Kontemporer
Pariwisata, Salemba Humanika, Jakarta
Qodariah, Lelly dan Armi, Laely, 2013, Nilai-Nilai
Kearifan Lokal Masyarakat Adat Kampung Naga
sebagai Alternatif Sumber Belajar, Jurnal Socia
Vol 10 No 1.
Rachman, Ichsan Taufik, 2015, Analisis Kualitas
Jasa Pramuwisata Dan Kepuasan Wisatawan
Di Destinasi Wisata Budaya Kampung Naga
Kabupaten Tasikmalaya, Universitas Pendidikan
Indonesia, repository.upi.edu, perpustakaan.
upi.edudiakses 15 Agustus 2016, 18.10 WIB
Suansri, Potjana, 2003, Community Based Tourism
Handbook, Bangkok : REST
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 7
PENGELOLAAN WISATA KUMUH KAMPUNG LUAR BATANG
SLUM TOURISM MANAGEMENT IN KAMPUNG LUAR BATANG
Fahrurozy Darmawan1 dan Ruri Nurhalin1 1Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila
Abstract
Tourism trips that show poverty and social inequalities which are mostly found in big cities in third countries
increasingly attract many tourists. Travelers who generally come from developed countries deliberately visit
and watch the poor live, work and interact. On one hand, these visits offers vast economic opportunities to
the people/actors who are involved in it, but at the same time they are considered as though they are selling
poverty. This type of tourism, which is quite controversial, is often referred to as slum tourism. This study
uses qualitative research methods to identify the strengths, analysis, weaknesses, opportunities, and
threats (SWOT) of slum tourism at Kampung Luar Batang (Luar Batang Village), Jakarta. The result of this
research is that slum tourism in the area has been running well and is accepted by the public because they
feel that it provides some economic benefits. Public and tourists also have a lot of hope in the slum tourism
developments. Various potentials such as other attractions in and around the village, especially the cultural
heritage assets, can serve as the main features of Luar Batang as a tourists’ destination.
Keywords: Slum Tourism, Poverty.
PENDAHULUAN
City of God (2002) dan Slum Dog Millionaire
(2008) adalah dua contoh film yang membahas
mengenai kekumuhan dan kemiskinan di
perkotaan. Kedua film ini turut mengenalkan
daerah Cidade de Deus di Rio de Janeiro dan
Juhu di Mumbai sebagai salah satu destinasi
wisata kumuh kepada dunia internasional. Kedua
film ini sukses menarik perhatian masyarakat
internasional. City of God mendapatkan nominasi
empat Academy Awards untuk Best Screenplay,
Best Director, Best Cinematography, dan Best
Film Editing. Sedangkan Slum Dog Millionaire
mampu meraih delapan Oscar, sebuah fenomena
di dunia perfilman pada tahun 2009. Kedua film ini
menjadikan kemiskinan dan kekumuhan beserta
segala kompleksitas dan permasalahannya sebagai
subjek utama dalam sebuah film. Dunia mulai
menyadari bahwa kemiskinan merupakan sebuah
komoditi yang unik dan menarik bagi masyarakat
umum, kemiskinan dianggap sebagai sesuatu yang
dapat dikomersilkan untuk mendapatkan keuntungan.
Tetapi komoditas ini ternyata ditanggapi dingin
oleh India, negara tempat pengambilan gambar
Slum Dog Millionaire. Negara ini merasa dipermalukan
dengan beredarnya film ini, di saat dunia tengah
sibuk euphoria film Slum Dog Millionaire, film ini
justru tidak mendapatkan hati di negaranya sendiri.
Hanya sedikit Bioskop yang memutar, dengan
alasan minimnya minat penonton.
Kemiskinan sebagai komoditas terjadi di
salah satu kota terbesar di Brazil, Rio de Janeiro
kota yang menjadi tempat shooting City of God.
Favela Tour and Face to Face Tours menjual
sebuah tur yang diklaim sebagai wisata kumuh
pertama kali di dunia. Favela Tour and Face to
Face Tours menawarkan sebuah pengalaman
untuk berinteraksi dan hidup secara miskin di Rio
de Janeiro. Sama halnya seperti di Rio, Reality
Tours and Travels di Mumbai, India juga menawarkan
sebuah paket wisata untuk bisa melihat kehidupan
warga kurang mampu ala film Slum Dog Millionaire.
Realitas ini tidak hanya dihadapi di India dan Brazil,
pada tahun 2010 publik Indonesia sempat dikejutkan
sekaligus merasa dipermalukan ketika sebuah
tour operator di Jakarta menawarkan sebuah paket
perjalanan yang menjual kemiskinan di Kota Jakarta.
Wisata kemiskinan sebagai pengalaman wisata
yang melibatkan wisatawan yang mengunjungi
daerah kumuh perkotaan yang didalamnya mereka
dapat melihat kemiskinan, kemelaratan dan kekerasan
(Durr, 2012), secara sederhana mengubah rasa
ketidakamanan dan keterasingan menjadi sebuah
petualangan dan kesenangan. Bentuk pariwisata
kini terus meluas dan terus menerus melakukan
diversifikasi di ruang-ruang perkotaan yang terpinggirkan
Fahrurozy Darmawan dan Ruri Nurhalin
8 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
di seluruh dunia (Gilbert, 2007). Pada tahun 2010,
Ma melakukan studi mengenai hubungan wisata
kemiskinan dan perjalanan motivasi menemukan
bahwa, wisata kemiskinan memberikan pengalaman
unik yang sulit untuk dibayangkan, wisatawan mencari
makna dalam liburan mereka dan mulai mengubah
kebiasaan seperti hanya dengan mencari kesenangan.
Dalam pengertian umum, wisata kemiskinan atau
yang sering disebut "pariwisata kumuh" atau slum tourism
berada di bawah payung pariwisata kemiskinan - dimana
wisatawan melakukan perjalanan ke daerah-daerah yang
kurang berkembang untuk melihat orang yang hidup
dalam kemiskinan. Istilah wisata kumuh berbeda-
beda di setiap negara seperti "pariwisata favela" di Brazil,
"pariwisata kota" di Afrika, dan dikenal sebagai
"pariwisata kumuh" di India (Delic, 2011).
Kegiatan wisata kumuh merupakan kegiatan
yang memicu perdebatan yang hangat. Di satu
sisi dianggap benar dan di lain sisi salah, di satu
sisi dibenci dan di lain pihak sebaliknya (Burgold
dan Rolfes, 2013). Beberapa pihak mengklaim
bahwa wisata kumuh adalah suatu kegiatan
voyeuristic dan dipercaya tidak lebih dari sekedar
mengeksploitasi ketidakdilan dan ketidakberuntungan
manusia lainnya. Foster menjelaskan bahwa wisata
kumuh adalah praktik “menatap orang dalam kemiskinan
seolah-olah mereka hewan di kebun binatang”
(Frenzel, 2013), pariwisata kumuh mengklaim sebagai
representasi otentik dari kehidupan di daerah kumuh
dan pada dasarnya mengubah penduduk di pemukiman
kumuh menjadi komoditas (Whyte, Selinger dan
Outterson, 2010) dan warga diminta untuk memainkan
peran dalam wisata.
Wisata kumuh di Indonesia menjadi hal yang
pro dan kontra. Bagi pihak yang pro, wisata kumuh
dianggap sebagai salah satu cara sebagai inovasi
pemberdayaan masyarakat melalui kegiatan
wisata karena wisata ini menggunakan pendekatan
konsep community-based tourism, dimana masyarakat
menjadi daya tarik dan dapat berinteraksi langsung
dengan para wisatawan. Sedangkan bagi pihak
yang kontra, wisata kumuh dianggap sebagai wisata
yang sangat merugikan negara karena secara tidak
langsung wisata ini menciptakan citra negatif tentang
negara secara menyeluruh. Terlepas dari hal tersebut
wisata kumuh pada dasarnya memiliki hal yang positif
dalam membantu mewujudkan tujuan kepariwisataan
yaitu mensejahterakan masyarakat.
Sebenarnya kemiskinan sebagai komoditas
sudah cukup lama terjadi di Indonesia, sebagai
contoh program-program acara di beberapa stasiun
TV menjadikan fenomena kemiskinan sebagai daya
jual program tersebut. Program televisi seperti Jika
Aku Menjadi, Bedah Rumah, Tukar Nasib, dan
sebagainya, di samping menyebarkan nilai-nilai
saling menolong sesama manusia dan kritik sosial
tetapi sejatinya program-program ini diputar dasar
kepentingan hiburan. Pada beberapa stasiun TV
bahkan program-program ini mendapat slot prime
time, artinya rating acara-acara dengan komoditas
kemiskinan ini cukup tinggi. Muncul pernyataan apakah
etis untuk menjual kemiskinan sebagai paket wisata yang
memungkinkan memberi keuntungan baik bagi
masyarakat maupun memuaskan demand wisatawan
akan pengalaman baru, atau harus mendukung
“bisnis” ini sebagaimana potensi wisata lainnya.
Kemiskinan perkotaan menjadi suatu fenomena
di negara-negara berkembang, di negara-negara
tersebut, kemiskinan perkotaan sering diukur dari
akses tempat tinggal dan jasa pelayanan perkotaan
lainnya. Kekurangan akses pada kedua hal tersebut
memberikan indikasi terhadap pendapatan dan
daya beli yang rendah. Kemiskinan perkotaan baik
di Jakarta maupun di kota lainnya sering dikaitkan
dengan kawasan kumuh perkotaan. Apabila ditelaah,
salah satu penyebab terbentuknya kawasan kumuh
adalah migrasi desa ke kota yang sangat tinggi.
Namun keberadaan kawasan kumuh yang terus
berlanjut sering dihubungkan dengan lingkaran
kemiskinan yang tidak putus di kawasan tersebut.
Sejarah mencatat bahwa Kampung Luar Batang
pada awalnya merupakan lahan urugan yang dikerjakan
pada pertengahan abad 17. Lahan tersebut kemudian
ditempatkan oleh para pekerja yang berasal dari
pulau Jawa, yang sekaligus merupakan pekerja muara
Sungai Ciliwung, berdasarkan hal tersebut juga
lahan urugan tersebut dikenal atau disebut dengan
Javasgracht (atau daerah pemukiman orang-orang
Jawa (Adi, 2010). Selain itu, pada masa lalu daerah
ini merupakan pemukiman bagi para pekerja dan
nelayan yang bekerja di Pelabuhan Sunda Kelapa.
Kampung Luar Batang merupakan salah satu
daerah di Ibukota Jakarta yang menjadi destinasi
wisata kumuh. Jakarta Hidden Tour bukan tour biasa.
Idenya adalah membawa peserta ke daerah-daerah
yang tidak biasa, yaitu perkampungan kumuh.
Tour ini dikenal dengan tour melihat The Real Jakarta.
Jakarta Hidden Tour adalah sebuah proyek atau
bisa juga disebut travel yang menyediakan tour
wisata kumuh sekaligus sebagai pencetus wisata
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 9
kumuh di Indonesia. Proyek ini digagasi oleh
Ronny Poluan, pria asal Manado yang merupakan
alumni Institut Kesenian Jakarta. Hal yang menjadi
gagasan didirikannya proyek ini adalah karena
latar belakang Ronny Poluan sebagai pelaku seni
yang merasa harus menampilkan sesuatu yang
belum pernah ada. Awalnya, pada tahun 1984
silam, dia mengajak rekan-rekannya, budayawan
mancanegara untuk melihat di balik kemajuan,
kemegahan Jakarta, yaitu kemiskinan.
Berdasarkan latar belakang tersebut, maka
penelitian ini ingin melihat bagaimana pengelolaan
Kampung Luar Batang sebagai destinasi wisata kumuh
dalam upaya meningkatkan pendapatan masyarakat.
METODE
Penelitian ini merupakan penelitian deskriptif-
kualitatif. Bogdan dan Taylor (1975) dalam Moleong
(2013) menyatakan ”metodologi kualitatif” sebagai
prosedur penelitian yang menghasilkan data
deskriptif berupa kata-kata tertulis atau lisan dari
orang-orang dan perilaku yang dapat diamati.
Dengan kata lain, penelitian ini disebut penelitian
kualitatif karena merupakan penelitian yang tidak
mengadakan perhitungan. Penelitian kualitatif harus
mempertimbangkan metodologi kualitatif itu sendiri.
Metodologi kualitatif merupakan prosedur yang
menghasilkan data deskriptif berupa data tertulis
atau lisan di masyarakat bahasa (Djajasudarma,
2006: 11). Lebih lanjut dijelaskan bahwa pendekatan
kualitatif yang menggunakan data lisan suatu
bahasa memerlukan informan. Pendekatan yang
melibatkan masyarakat bahasa ini diarahkan pada
latar dan individu yang bersangkutan secara
holistik sebagai bagian dari satu kesatuan yang
utuh. Oleh karena itu, dalam penelitian bahasa
jumlah informan tidak ditentukan jumlahnya.
Dengan kata lain, jumlah informannya ditentukan
sesuai dengan keperluan penelitian.
Sedangkan analisis data penelitian ini menggunakan
analisis SWOT. Analisis SWOT adalah identifikasi
berbagai faktor secara sistematis untuk merumuskan
strategi. Analisis ini didasarkan pada logika yang
dapat memaksimalkan kekuatan (strength) dan
peluang (opportunities), namun secara bersamaan
dapat meminimalkan kelemahan (weakness) dan
ancaman (threats). Hal ini disebut dengan analisis
situasi. Model yang paling populer untuk analisis
situasi adalah analisis SWOT (Rangkuti, 2003).
Analisis SWOT membandingkan antara faktor
eksternal Peluang (opportunities) dan Ancaman
(threats) dengan faktor internal Kekuatan (strenghts)
dan Kelemahan (weakness) (Rangkuti, 2003)
HASIL DAN PEMBAHASAN
Wisata kemiskinan mengalami perkembangan
yang sangat cepat di seluruh dunia, sejumlah kasus
yang terkenal ditemukan di kota-kota Amerika Latin
dan Asia, terutama yang paling dikenal negara
Brazil dan India. Fenomena wisata kemiskinan
mendapatkan perhatian yang cukup serius pada
industri pariwisata, hal ini terlihat dari banyaknya
topik penelitian ilmiah mengenai wisata kemiskinan.
Hal ini juga turut memunculkan perdebatan di
muka publik dan memicu kontroversi pada dunia
pariwisata dan pengentasan kemiskinan khususnya
pada isu etika, voyeurisme, dan eksploitasi pada
kemiskinan.
Untuk memahami fenomena wisata kemiskinan,
tampaknya penting untuk membahas pertanyaan
tentang apa yang sebenarnya memotivasi wisatawan
untuk mengunjungi daerah-daerah miskin dan kumuh.
Mudah untuk mengasumsikan sebagaimana daya
tarik tujuan wisata lainnya, bahwa daya tarik kemiskinan
sebagai tujuan wisata berhubungan dengan gambaran,
konsepsi, dan asosiasi para wisatawan terhadap
daerah wisata yang akan dikunjunginya.
Secara umum kemiskinan digambarkan sebagai
kondisi ketidakmampuan untuk hidup memadai.
Hidup yang memadai ini sangat tergantung pada
ruang dan waktu. Lokasi dan waktu sangat berpengaruh
pada penetapan batas garis kemiskinan, oleh karena
itu garis kemiskinan akan selalu berubah tiap
waktu dan berbeda untuk tiap lokasi. Kemiskinan
perkotaan adalah suatu fenomena multi-dimensi,
meliputi rendahnya tingkat pendapatan, kesehatan,
pendidikan, kerawanan tempat tinggal dan pribadi,
dan ketidakberdayaan.
Tambunan (2004) menyatakan bahwa penyebab
utama dari kemiskinan perkotaan di Indonesia
adalah kemiskinan atau ketertinggalan ekonomi di
pedesaan. Pembangunan ekonomi pedesaan di
Indonesia kurang berkembang dibandingkan dengan
pembangunan ekonomi perkotaan. Ekonomi pedesaan
didominasi oleh sector pertanian. Ketika lahan pertanian
semakin banyak terkonversi untuk tujuan lain,
maka hal ini mendorong peningkatan migrasi dari
desa ke kota. Namun mereka yang pindah dari pedesaan
ke kota besar khususnya Jakarta sulit untuk mendapatkan
pekerjaan dengan pendapatan yang layak.
Fahrurozy Darmawan dan Ruri Nurhalin
10 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Perjalanan wisata merupakan suatu perjalanan
yang memiliki ciri-ciri suatu perjalanan, tetapi
perjalanan wisata mempunyai ciri-ciri khas yang
memperlihatkan warna kegiatan wisata. Perjalanan
wisata yang dilakukan oleh wisatawan dipengaruhi
oleh motivasi, profil wisatawan dan kebutuhan
wisatawan akan perjalanan wisata. Perjalanan
wisata adalah suatu rencana perjalanan menuju
satu atau beberapa tempat persinggahan dan
kembali ke tempat asal dengan merangkai
beberapa komponen perjalanan yang diperlukan
dalam perjalanan tersebut. Undang-undang Republik
Indonesia Nomor 10. Tahun 2009 Tentang
Kepariwisataan menjelaskan, “Wisata adalah
kegiatan perjalanan yang dilakukan oleh seseorang
atau sekelompok orang dengan mengunjungi
tempat tertentu untuk tujuan rekreasi, pengembangan
pribadi, atau mempelajari keunikan daya tarik
wisata yang dikunjungi dalam jangka waktu
sementara.”
Dalam aktivitas berwisata yang merupakan
bentuk konsumsi oleh wisatawan dalam industri
pariwisata, segala sesuatu yang dikonsumsi selama
berwisata tersebut merupakan produk wisata
(tourist product). Pada umumnya produk wisata
merupakan gabungan dari berbagai elemen yang
dikonsumsi oleh wisatawan mulai dari keberangkatan
hingga kembali ke tempat tinggalnya, baik dalam
bentuk transportasi, akomodasi, makanan dan
minuman, dan lainnya. Perjalanan wisata sebagai
suatu perjalanan adalah suatu kegiatan perjalanan
yang mempunyai karakteristik tersendiri yang
memberikan warna wisata yang bersifat santai,
gembira, dan untuk bersenang-senang. Hal inilah
yang membedakan dengan perjalanan lainnya.
Kampung Luar Batang sebagai Wisata
Kumuh Jakarta. Adanya minat dan ketertarikan
wisatawan pada wisata kumuh, menciptakan
suatu kesempatan serta ide untuk mengembangkan
potensi yang dimiliki oleh suatu daerah. Seperti
halnya di Brazil dan India, Indonesia memiliki suatu
daerah perkampungan tua yang memiliki potensi
untuk menjadi daerah wisata kumuh di Jakarta.
Kampung tersebut bernama Kampung Luar
Batang, letaknya bersisian dengan Muara Sungai
Ciliwung dan Pelabuhan SundaKelapa, Jakarta
Utara. Posisi Kampung Luar Batang pada saat ini
terjepit diantara Kompleks Apartemen Bahari di
sebelah selatan dan Proyek Pergudangan Swasta
PT. Pluit Kharisma Sakti di bagian utara.
Potensi wisata dari Kampung Luar Batang
tidak hanya dapat terlihat dari faktor sejarahnya
yang telah terbentuk sejak tahun 1630, melainkan
juga ditetapkannya kampung ini sebagai sebagai
salah satu daerah konservasi dan preservasi oleh
Pemerintah DKI Jakarta pada tahun 2007. Kampung
Luar Batang saat ini dapat dikatakan sebagai
Permukiman Penyangga yang tumbuh secara
informal. Sekitar 60% penghuni Kampung Luar
Batang adalah pendatang multi etnis yang
merantau untuk bekerja di pusat-pusat perdagangan
di sekitar kampung misalnya: Pasar Ikan, Pusat
Perdagangan Glodok, Mangga Dua, Pluit, Muara
Angke, Tanah Abang, Pelabuhan Tanjung Priok,
Pelabuhan Sunda Kelapa dll. Di samping itu,
salah satu destinasi wisata di kampung ini adalah
Makam Keramat yang ada di dalam masjid Luar
Batang. Makam ini menjadi tujuan utama pejiarah
dariberbagai pulau dan negara.
Pertumbuhan penduduk di daerah ini juga
naik secara terus menerus dan simultan setiap
tahunnya. Menimbulkan permasalahan kompleks
yang berpengaruh terhadap tingkat kesejahteraan
masyarakat yang tinggal di dalamnya. Dinas
Sosial Jakarta mencatat bahwa saat ini masyarakat
Kampung Luar Batang memiliki permasalahan
dalam Kesejahteraan sosial.
Berdasarkan data BPS dapat diketahui bahwa
Kecamatan Penjaringan, kecamatan tempat Kampung
Luar Batang berada merupakan salah satu
kawasan yang menjadi kawasan Penyandang
Masalah Kesejahteraan Sosial (PMKS). Profil
kepadatan penduduk serta lokasi Kampung
Batang Luar yang unik, dilihat sebagian orang
sebagai suatu potensi wisata, adalah Ronny
Poluan yang menggagas ide Jakarta Hidden Tour
bukan tour biasa. Tour ini memperkenalkan
wisatawan pada dunia wisata baru dengan
melakukan tour yang menunjukan bagaimana
keadaan Jakarta yang sebenarnya, keadaan
dibalik megahnya bangunan bertingkat di jalan
protokol Jakarta–TheReal Jakarta.
Ide Jakarta Hidden Tour merupakan pelopor wisata
kumuh di Indonesia. Ide ini pada pelaksanaannya
memiliki berbagai tantangan serta pro dan kontra.
Perjalanan wisata ini dianggap mengeksploitasi
dan menjual kemiskinan. Opini serta kritikan juga
datang tidak hanya dari masyarakat umum,
melainkan juga mendapat kritikan dari pihak
pemerintahan. Pun begitu, Ronny menjelaskan
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 11
bahwa tour ini berusaha menampilkan keadaan
Jakarta yang apa adanya serta berusaha untuk
mempertemukan dua konsep budaya, mengingat
bahwa peminat dari wisata ini juga datang dari
wisatawan mancanegara. Kemudian dia mulai
mengajak rekan-rekan dan keluarganya untuk serius
menggarap wisata kemiskinan ini yang kemudian
dia namakan Jakarta Hidden Tours. Dia mulai
menggarap wisata ini secara serius tahun 2008 lalu.
Tidak ada visi misi terstruktur yang dibuat
oleh proyek ini, namun alasan utama dalam
pembuatan proyek ini adalah sebagai upaya untuk
membantu masyarakat kalangan kelas bawah dan
mengajak peserta tour turut berpartisipasi dalam
proyek pengembangan. Biaya untuk mengikuti
tour ini adalah sekitar 500 ribu rupiah yang 50%
dari penghasilan adalah untuk donasi. Jakarta
Hidden Tour berada di bawah yayasan interkultur
yang menerapkan sistem bantuan melalui 3E
yaitu emergency, education dan empowerment.
Meskipun tidak ada target pasar, namun tour
yang telah berjalan ini selalu didominasi oleh peserta
dari mancanegara dengan latar belakang yang berbeda-
beda. Para peserta tour tidak dianggap sebagai tourist
melainkan partisipan. Meski kunjungan dan minat
peserta selalu meningkat setiap tahunnya, proyek ini
merupakan proyek yang menghadapi pro dan kontra
terutama kritikan yang diberikan dari pihak pemerintahan.
Tour ini dianggap sebagai wujud eksploitasi dan
menjual kemiskinan. Pihak Jakarta Hidden Tour
menyatakan, bahwa tour ini bukanlah eksploitasi
melainkan menampilkan apa adanya keadaan sisi
lain Ibukota Jakarta dan tour dengan konsep
mempertemukan antar dua budaya yang berbeda.
Wisata kemiskinan memungkinkan wisatawan
untuk terlibat dan merasakan hidup dalam masyarakat
yang lebih primitif, dengan begitu wisatawan dapat
merefleksikan sendiri kehidupan masyarakat modern
dengan kelas sosial dibawahnya (Ma, 2010). Wisatawan
termotivasi oleh keinginan untuk menyaksikan perbedaan
yang terjadi dalam kehidupan sehari-hari (Ma, 2010).
Wisatawan memiliki harapan dan rasa ingin tahu
yang kuat untuk melihat perbedaan-perbedaan,
dan pengalaman otentik itu diharapkan dapat
memenuhi harapan tersebut. Operator tur wisata
kemiskinan mencoba untuk membantu memenuhi
keingintahuan wisatawan dengan menyediakan
tur singkat mengenai kehidupan kumuh dan
berinteraksi dengan masyarakatnya.
Penentangan yang keras tidak membuat
pengelola Jakarta Hidden Tour menghentikan proyeknya.
Berbagai media Nasional dan Internasional telah
meliput kegiatan wisata yang berjalan setiap hampir
setiap harinya. Sistem promosi yang dilakukan
oleh Jakarta Hidden Tour hanya via blogsudah
diagendakan setiap peserta yang hendak mengikuti
tour ini dipersilahkan memilih hari yang diinginkan
selama belum penuh. Tour bisa berjalan jika
partisipan minimal 2 orang dan maksimal 15 orang.
Untuk destinasi dan agenda tour sangat fleksibel.
Tempat yang biasa dikunjungi yaitu: Kampung
Pulo, Kampung Galur Senen, Kampung Luar Batang,
Jalan Pasar Ikan.
A. Potensi Kampung Luar Batang
Identifikasi potensi wisata didasari oleh teori
Yoeti (2002), Middleton (2001), dan Peter Mason
bahwa komponen produk wisata tetap berdasarkan
atas tiga komponen utama yaitu daya tarik, fasilitas
wisata, dan aksesibilitas.
Berdasarkan hasil observasi penulis secara
langsung dan continue, dan beberapa informasi melalui
wawancara maka diperoleh potensi wisata berdasarkan
komponen destinasi wisata sebagai berikut:
1) Atraksi Wisata atau Daya Tarik
No. Indikator Hasil Penelitian
1 Tempat
Bersejarah
Terdapat cagar budaya yaitu Masjid Keramat Luar batang dan makam Habib Husein Bin Abubakar Bin Abdulah Alaydrus.
Disekitar kawasan ini dikenal memiliki banyak bangunan peninggalan sejarah yang masih terjaga. Adanya bangunan bekas gudang tua yang dialih fungsikan sebagai Museum Bahari, bangunan menara Syahbandar dan Pasar Ikan (Abdullah, 2009)
2 Pemandangan
Kampung Luar Batang merupakan kampung yang bersisian langsung dengan laut dan terhubung dengan pelabuhan Sunda Kelapa. Kampung ini merupakan kampung apung yang berada diatas permukaan Sungai Ciliwung.
Tipe rumah-rumah nelayan dengan bentuk rumah panggung yang dilengkapi oleh berbagai jenis perahu kecil. Bentuk bangunan merupakan bentuk akulturasi Bugis Makassar, Betawi.
Fahrurozy Darmawan dan Ruri Nurhalin
12 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
No. Indikator Hasil Penelitian
Pelabuhan Sunda Kelapa mempunyai potensi untuk dikembangkan sebagai pelabuhan atau daerah wisata bahari dan mempunyai kegiatan-kegiatan menarik seperti pembuatan perahu tradisional atau kehidupan nelayan tradisional dapat dijadikan sebagai alternatif wisata atau inovasi wisata dari wisata kumuh. (Puspitasari dan Djunaedi, 2009)
3 Kebudayaan Tidak ada kebudayaan yang kuat yang mendasari adat istiadat di Kampung Luar Batang.
Terdapat anggota kelompok ’Mutawali’, penduduk asli yang keluar dari kampung tersebut yang diserahi tugas sebagai pengelola makam keramat.
2) Aksesibilitas
No. Indikator Hasil Penelitian
1 Transportasi
Lokal
Untuk menuju Kampung Luar Batang, transportasi yang dapat digunakan diantaranya angkutan Kota (angkot), sepeda dari Kota Tua, bajaj. Sedangkan di Kampung Luar Batang, para wisatawan dapat berkeliling menggunakan becak.
2 Kondisi Jalan
Kondisi jalan menuju Kampung Luar Batang dapat dikategorikan baik, dan merupakan jalan besar yang dapat dilalui oleh berbagai jenis kendaraan bermotor.
Sedangkan kondisi jalan di Kampung Luar Batang rata-rata merupakan jalan setapak diatas permukaan sungai yang terbuat dari kayu atau bambu.
3 Infrastruktur Kampung Luar Batang memiliki kondisi infrastruktur yang buruk karena status Kampung yang merupakan kawasan kumuh. Petunjuk jalan juga masih sangat minimal.
3) Amenitas
No. Indikator Hasil Penelitian
1 Losmen atau
Hotel
Karena wisata kumuh merupakan jenis wisata yang hanya berlangsung beberapa jam, maka Kampung Luar Batang tidak memiliki fasilitas untuk bermalam. Namun disekitar Kampung Luar Batang ada berbagai pilihan tempat untuk bermalam salah satunya di daerah Kali Besar.
2 Rumah Makan
Kampung Luar Batang hanya memiliki beberapa warung kecil dan tidak terdapat rumah makan khas atau besar untuk memenuhi fasilitas wisatawan.
Roa Malaka sebagai kawasan pusat perdagangan makanan di malam hari.
Wisata Kota Tua dengan daya tarik wisata berupa Museum dan Cafe tempo dulu.
3 Fasilitas Dasar
Untuk MCK, wisatawan biasanya dapat menggunakan fasilitas milik masyarakat setempat yang mayoritas letak MCK ini berada diluar atau terpisah dari rumahnya.
Rumah ibadah berupa masjid yang menjadibenda cagar budaya adalah:Masjid Al Mansyur; Masjid Annawir; Masjid Al Anshor; Masjid Al Anwar; Masjid Jami KebonJeruk; Masjid JamiTambora; Masjid Luar Batang telah ditetapkan sebagai benda cagarbudaya peninggalan sejarah perkembangan Islam di Indonesia.
Sejumlah pedagang menggelar rutin mengadakan ‘Pasar Kaget’ di sepanjang jalansekitar masjid setiap hari Kamis. ’Pasar Pekan’ (sama dengan ’Pasar Kaget’ namun kapasitasnya relatif lebih besar) terjadi juga pada saat kegiatan perayaan hari-hari besar Islam dan Haul (perayaan meninggalnya Alm.Al-Habib Husein bin Abubakar Allaydrus), namun hanya berlangsung pada pagi sampai sianghari.
Sedangkan pasar yang menjadi salah satu pasar yang memang sudah ada sejak lama yaitu Pasar Ikan. Dulu pasar ini hanya menjual berbagai alat dan kebutuhan nelayan, namun sekarang terdapat beberapa toko yang menjual kebutuhan sehari-hari serta menjual berbagai souvenir atau kerajinan khas Betawi yang dibuat oleh masyarakat setempat
Melihat berbagai potensi yang ada, kawasan
Kota memiliki potensi unggulan berupa cagar
budaya dan peninggalan sejarah yang di dominasi
dengan bentuk fisik bangunan dan di dukung
dengan berbagai nilai sejarah dari setiap kawasan
yang dianggap bersejarah tersebut. Potensi kedua
yang dapat dikembangkan adalah wisata bahari
karena latar kawasan merupakan laut. Untuk
potensi selanjutnya adalah wisata kuliner dengan
hasil laut yang dijadikan sebagai menu utama.
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 13
B. Strategi Pengelolaan Kampung Luar Batang
Tabel 4.20 Matriks Interaksi IFAS-EFAS SWOT
IFAS
EFAS
Kekuatan (S):
1. Ragam potensi wisata dan peninggalan sejarah dan budaya.
2. Kegiatan wisata sebagai upaya untuk membantu ekonomi masyarakat.
3. Optimis masyarakat 4. Kampung Luar Batang merupakan daerah
konservasi dan preservasi. 5. Sebagai destinasi utama Jakarta Hidden Tour. 6. Hubungan terjalin baik antar masyarakat dan
pelaku industri. 7. Letak Kampung Luar Batang strategis. 8. Memiliki destinasi wisata sejarah dan religi.
(BOBOT = 2,48)
Kelemahan (W):
1. Masyarakat merupakan partisipan pasif.
2. Memudarnya unsur cagar budaya.
3. Masyarakat awam akan kearifan lokal.
4. Kegiatan wisata di terorganisir penuh oleh Jakarta Hidden Tour.
5. Wisata yang terpaku dengan kekumuhan.
(BOBOT = 0,44)
Peluang (O):
1. Tingginya minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung.
2. Letaknya berdekatan dengan destinasi wisata lain yang ada di Jakarta Utara.
3. Harapan masyarakat besar untuk berpartisipasi.
4. Jakarta Hidden Tour dapat menjadi peluang untuk meningkatkan pangsa pasar.
5. Kondisi kawasan yang aman.
(BOBOT = 1,96)
1. Menciptakan wisata yang inovatif dengan membuat paket wisata yang variatif dengan cara melakukan perpaduan wisata kumuh dengan wisata ke daerah tujuan wisata lain di sekitar Kampung Luar Batang. (S7,O2)
2. Menjadikan wisata kumuh sebagai kegiatan wisata yang memiliki konsep berbasis masyarakat (CBT). (S3,O3)
3. Mengembangkan konsep wisata yang lebih menarik wisatawan sehingga pendapatan juga dapat meningkat.
4. menciptakan paket semacam explore Kampung Luar Batang sehingga potensi yang ada dapat menjadi daya tarik wisatawan yang dapat dinikmati wisatawan. (S1,O1)
5. Menjadikan Kampung Luar Batang sebagai wisata kumuh unggulan dan dapat lebih dikenal secara global. (S5, O4)
SO = 4,44
1. Melibatkan masyarakat sebagai pelaku pariwisata. (W1,O3)
2. Memasukkan daerah tujuan wisata lain, diluar indikator kumuh ke dalam itinerary kegiatan wisata. (W5, O2)
WO = 2,40
Ancaman (T):
1. Pemerintah menjadi pihak yang kontra.
2. Respon negatif bagi sebagian besar orang .
3. Kegiatan wisata masih bersifat illegal.
(BOBOT = 1,22)
1. Menonjolkan kegiatan wisata yang berkaitan dengan wisata sejarah atau budaya untuk peninggalan yang ada di Kampung Luar Batang agar pemerintah dapat mendukung kegiatan wisata. (S1,T1)
2. Mengenalkan wisata kumuh melalui wisata yang umum dan diterima oleh masyarakat / wisatawan terlebih dahulu. (S8,T2)
ST = 3,90
1. Mengupayakan dukungan pemerintah, setidaknya dalam konteks cagar budaya. (W2,T1)
2. mengupayakan wisata yang legal melalui sosialisasi yang dilakukan Jakarta Hidden Tour kepada pemerintah. (W4,T1)
WT = 1,66
Sumber: Hasil Penelitian Penulis (2015)
Berdasarkan analisis SWOT pada tabel di
atas Kampung Luar Batang memiliki beberapa
strategi kebijakan sebagai berikut:
1. Menciptakan wisata yang inovatif dengan membuat
paket wisata yang variatif dengan cara melakukan
perpaduan wisata kumuh dengan wisata ke daerah
tujuan wisata lain di sekitar Kampung Luar Batang.
2. Menjadikan wisata kumuh sebagai kegiatan wisata
yang memiliki konsep berbasis masyarakat (CBT).
3. Mengembangkan konsep wisata yang lebih
menarik wisatawan sehingga pendapatan juga
dapat meningkat.
4. Menciptakan paket wisata Kampung Luar Batang
sehingga potensi yang ada dapat menjadi daya
tarik wisatawan yang dapat dinikmati wisatawan.
5. Menjadikan Kampung Luar Batang sebagai
wisata kumuh unggulan dan dapat lebih
dikenal secara global.
Fahrurozy Darmawan dan Ruri Nurhalin
14 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Beberapa strategi SO yang telah dirumuskan
tersebut belum tentu semua dapat dilaksanakan
secara simultan, sehingga dibuat beberapa
alternatif strategi yang dapat dilakukan diluar
strategi prioritas yang ada, yaitu:
1. Mengupayakan dukungan pemerintah terhadap
kegiatan wisata kumuh yang ada, dan mendorong
pemerintah untuk ikut berpartisipasi sebagai
pelaku pariwisata dalam kegiatan wisata kumuh.
2. Menciptakan strategi agar wisata kumuh dapat
menjadi wisata yang bersifat legal.
3. Membangun dan memperbaiki sarana dan
prasarana di Kampung Luar Batang dalam
upaya mengembangkan destinasi wisata.
SIMPULAN
Kampung Luar Batang merupakan destinasi
yang memiliki banyak unsur menarik terkait
kepariwisataan. Kampung ini memiliki banyak
potensi yang sudah terkelola menjadi daya tarik
wisata maupun yang masih hanya sebatas sebagai
potensi. Diantaranya yang berkaitan dengan unsur
budaya, sejarah bahkan yang berdasarkan indikator
kumuh. Hingga saat ini kegiatan wisata yang telah
berjalan di Kampung Luar Batang adalah kegiatan
wisata kumuh yang dipelopori oleh Jakarta Hidden
Tour. Meskipun Kampung Luar Batang telah
menjadi destinasi unggulan dalam konteks wisata
kumuh, namun terdapat beberapa pihak kontra
yang menentang kegiatan wisata ini termasuk
Pemerintah Daerah. Padahal konsep wisata
kumuh bukanlah konsep yang menimbulkan
dampak negatif, masyarakat lokal dan wisatawan
yang merupakan pelaku wisata menganggap
bahwa wisata ini adalah wisata yang memberikan
dampak positif bagi keduanya. Bahkan masyarakat
lokal dan wisatawan berharap konsep wisata ini
dapat terus berjalan dan mendapat dukungan dari
instansi pemerintahan.Melihat berbagai potensi
maupun manfaat positif di bidang sosial, budaya
maupun ekonomi maka seharusnya wisata ini
dikembangkan dengan berbagai strategi yang
dilatarbelakangi oleh berbagai harapan wisatawan
dan masyarakat. Sehingga peran industri pariwisata
dalam pembangunan ekonomi atau kesejahteraan
masyarakat dapat terwujud setidaknya dengan
kegiatan wisata kumuh. Pengelolaan yang bersinergi
antara pemerintah, lembaga swadaya masyarakat
serta masyarakat lokal dalam menciptakan strategi
wisata dengan membuat paket wisata dan kegiatan
wisata yang inovatif serta melibatkan masyarakat
sebagai pelaku wisata merupakan cara untuk
pengelolaan wisata kumuh di Kampung Luar
Batang. Apalagi jika didukung oleh pihak instansi
pemerintahan dalam melakukan pengembangan
ini, sarana dan prasarana yang menjadi unsur
penunjang kegiatan wisata yang diperbaiki akan
menambah daya tarik wisata bagi wisatawan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Sayid. 1998. “Alhabib Husein Bin Abubakar Alaydrus, Memuat Karomah Kampung Luar Batang”. Buletin. Jakarta.
Adi, Windoro. 2010. Batavia 1740: menyisir jejak Betawi. PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.
Burgold, J. and Rolfes, M., 2013: Of Voyeuristic Safari Tours and Responsible Tourism with Educational Value: Observing Moral Communication in Slum and Township Tourism in Cape Town and Mumbai. In: Die Erde, Vol. 144 (2), pp. 161-174.
Delic, Jacqueline M. 2011.Trends in Slum Tourism. School of Hospitality and Tourism
Management, University of Guelph. Durr, E., 2012. Urban Poverty, Spatial Representation
and Mobility: Tourism a Slum in Mexico. International Journal of Urban and Regional Research 36: 706–724.
Frenzel, F., 2013: Slum Tourism in the Context of the Tourism and Poverty (Relief) Debate. In: Die Erde, Vol. 144, pp. 117-128
Gilbert, A. 2007. The return of the slum: does language matter? International Journal of Urban and Regional umumResearch, 31(4): 697–713
Ma, Bob. (2010). "A Trip into the Controversy: A Study of Slum Tourism Travel Motivations." 2009-2010 Penn Humanities Forum on Connections.
Moleong, Lexy J. 2013. Metode Penelitian Kualitatif. Edisi Revisi. Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
Puspitasari.dan Djunaedi. 2009. Kontroversi Eksistensi Kearifan Lokal dan Iklim Investasi di Kampung Bersejarah (Kasus: Kampung Luar Batang-Jakarta). Program S3 Jurusan Arsitektur dan Perencanaan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Rangkuti, Freddy, 2003, Riset Pemasaran, PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta
Selinger, Evan, and Kevin Outterson. 2010. “The Ethics of Poverty Tourism.” Environmental Philosophy 7, no. 2:93–114
Tambunan, T. 2004. Urban Poverty, Informal Sector, and Poverty Alleviation Policies in Indonesia. www.wider.unu.edu/conference/conference-2004-2/ conference- 2004-2-papers/TulusTambunan.pdf accessed Des 15, 2013
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 15
PENGEMBANGAN WISATA AGRO DI KELURAHAN PASIR PUTIH, DEPOK
Riza Firmansyah, Jandwikha Rahayu dan Yustisia Pasfatima Mbulu
Fakultas Pariwisata, Universitas Pancasila Jakarta
Srengseng Sawah, Jagakarsa
Jakarta Selatan 12640, Indonesia
Email: [email protected]
Abstract
Agro tourism is a system that is integrated and coordinated for the development and agriculture of tourism
at the same time, in relation to the preservation of the environment and improving the welfare of the farming
community. Development and management of natural and agro tourist areas is able to contribute to local
revenues, open business opportunities and employment as well as serve to maintain and preserve natural
resources, and biodiversity. This study aims to identify the potential of agro tourism in Kelurahan Pasir
Putih, identify community participation in the development of agro-tourism, and analyze the development
of agro tourism in the area. This research was conducted using qualitative descriptive research. Sources
of data in this study were obtained from primary and secondary sources. Data collected by observation,
surveys, interviews, and documentation. The sampling technique was done with purposive sampling.
SWOT analysis was done to identify internal strengths and weaknesses, and external opportunities and
threats. The study found that the agro tourism attractions is quite varied including star fruit and red guava
plantation, D’Kandang Amazing Farm, and Taman Wisata Pasir Putih. The supporting amenities, good
accessibility, and also existing organizations involved in managing the agro tourism attractions enable the
attractions to continue developing. Community participation in the development of agro tourism in
Kelurahan Pasir Putih was only limited in participation for economic benefits.
Keywords: Tourism Development, Agro Tourism, Community Participation.
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan sebuah negara kepulauan
yang memiliki kekayaan alam yang luar biasa dan
sangat berpotensi dalam pengembangan sektor
pariwisata. Banyak potensi wisata dan potensi
budaya yang dimiliki Indonesia yang dapat dimanfaatkan
secara terus-menerus untuk kepentingan pembangunan.
Potensi tersebut merupakan aset yang harus
dimanfaatkan secara optimal melalui kepariwisataan.
Hal tersebut dapat digunakan untuk meningkatkan
pendapatan nasional maupun pendapatan daerah
dalam rangka meningkatkan kesejahteraan dan
kemakmuran masyarakat. Selain itu juga dapat
memperluas kesempatan berusaha bagi masyarakat,
serta dapat membuka lapangan pekerjaan.
Pariwisata di Indonesia adalah salah satu
aspek yang menyumbang pendapatan cukup besar.
Salah satunya dengan memberi kontribusi terhadap
pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya bangsa.
Menurut Soebagyo 2014, sektor pariwisata mampu
menyumbang produk domestik bruto hingga
mencapai Rp 347 triliun, bila dibandingkan, angka
tersebut telah mencapai 23% dari total pendapatan
Negara yang tercantum pada Anggaran Pendapatan
dan Belanja Negara perubahan tahun 2013, yakni
sebesar Rp 1.502 triliun.
Peluang sektor pariwisata cukup prospektif,
karena selain sebagai salah satu penghasil pertumbuhan
ekonomi pariwisata sektor pariwisata diharapkan
dapat berpeluang untuk dapat menjadi pendorong
pertumbuhan sektor pembangunan lainnya, seperti
sektor perkebunan, pertanian, perdagangan, perindustrian
dan lain-lain. Salah satu jenis wisata yang berpotensi
untuk dikembangkan di Indonesia adalah wisata agro.
Potensi pengembangan wisata agro di Indonesia
telah mendapat perhatian serius dari pemerintah
dengan membentuk Komisi Wisata Agro (KWA) di
bawah arahan Menteri Pertanian dengan menjalin
kerjasama dengan beberapa asosiasi, pengusaha
wisata agro, dan instansi terkait seperti AWAI
(Asosiasi Wisata Agro Indonesia), ASITA (Asosiasi
Tour and Travel), dan Kementerian Kebudayaan
dan Pariwisata (Kementan, 2010). Wisata agro
merupakan rangkaian kegiatan wisata yang
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu
16 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
memanfaatkan potensi pertanian sebagai daya
tarik wisata, baik potensi berupa pemandangan
alam kawasan pertaniannya maupun kekhasan
dan keanekaragaman aktivitas produksi dan
teknologi pertanian serta budaya masyarakat
pertanianya. Wisata agro tidak hanya terbatas
kepada obyek dengan skala hamparan yang luas,
tetapi juga skala kecil yang karena keunikannya
dapat menjadi obyek wisata yang menarik. Wisata
agro mengandung muatan kultural dan pendidikan,
selain itu juga dapat menjadi media promosi.
Pengembangan wisata agro yang menonjolkan
budaya lokal dalam memanfaatkan lahan dapat
juga meningkatkan pendapatan petani serta
memelihara budaya maupun teknologi lokal
(indigenous knowledge) yang umumnya telah
sesuai dengan kondisi lingkungan alaminya.
Salah satu daerah yang memiliki konsep
wisata agro sebagai sektor pariwisatanya adalah
Kota Depok. Kota Depok memiliki potensi dalam
bisnis wisata agro, komoditas utama Kota Depok
yang dapat menjadi potensi wisata agro adalah
belimbing dewa (Pemerintah Kota Depok, 2015).
Kota Depok berkembang pesat sebagai salah
satu kota besar di Provinsi Jawa Barat. Terdapat
banyak objek wisata yang bisa dikunjungi ketika
berada di Depok meliputi wisata air, wisata alam,
wisata budaya, wisata religi dan wisata kuliner.
Sesuai dengan julukan kota Depok yakni Kota
Belimbing, menjadikan kota ini memiliki kudapan
khas dari bahan dasar ikon kota. Pemerintah kota
Depok saat ini sedang gencar mengembangkan
kepariwisataan Depok yang disesuaikan dengan
Peraturan Daerah (Perda) Kota Depok Nomor 16
tahun 2013 tentang kepariwisataan. Pengembangan
wisata agro merupakan salah satu alternatif yang
diharapkan mampu mendorong baik potensi
ekonomi daerah maupun upaya-upaya pelestarian
kekayaan alam, kekayaan hayati dan kekayaan
budaya tersebut. Pemanfaatan potensi sumber
daya alam sering kali tidak dilakukan secara
optimal dan cenderung hanya ingin mengambil
keuntungannya saja tanpa memperdulikan dampak
yang akan terjadi.
Pengembangan dan pengelolaan kawasan
wisata alam dan agro mampu memberikan kontribusi
pada pendapatan asli daerah, membuka peluang
usaha dan kesempatan kerja serta sekaligus
berfungsi menjaga dan melestarikan kekayaan
alam dan hayati. Apalagi kebutuhan pasar wisata
agro cukup besar dan menunjukan peningkatan di
seluruh dunia. Beberapa daerah di Indonesia
menawarkan konsep wisata agro pada sektor
pariwisatanya. Konsep wisata agro pada daerah-
daerah tersebut menawarkan daya tarik berupa flora
dan fauna hasil kegiatan pertanian baik perkebunan,
hortikultura, peternakan, kehutanan, maupun perikanan.
Kegiatan pertanian yang dijadikan sebagai wisata
agro memiliki keunikan tersendiri dimana pengunjung
akan mendapatkan pengalaman yang berbeda
dari rutinitas keseharian (Pratiwi, 2011).
Salah satu kawasan yang potensial untuk
pengembangan wisata agro adalah Kecamatan
Sawangan, Depok. Kecamatan Sawangan memiliki
kepadatan terendah dan masih luas ruang terbuka
hijaunya. Mata pencaharian masyarakatnya cukup
beragam mulai dari buruh, petani, pedagang,
pegawai swasta, PNS, TNI, POLRI dan wirausaha.
Pada Kecamatan Sawangan terdapat satu kelurahan
yaitu Kelurahan Pasir Putih, yang memiliki potensi
pariwisata yang menarik berupa alam, yaitu
perkebunan belimbing, perkebunan jambu dan
perkebunan sayur sayuran, yang saat ini sedang
dalam tahap pengembangan dan pengelolaan
sebagai daya tarik wisata agro.
Upaya pengembangan dan pengelolaan
wisata agro yang tepat dapat dicapai melalui
partisipasi masyarakat. Partisipasi masyarakat
lokal dalam pengembangan pariwisata berkaitan
erat dengan pengembangan pariwisata berbasis
masyarakat (Community Based Tourism Development).
Melalui partisipasi masyarakat lokal, tujuan dari
pengembangan pariwisata akan mampu diwujudkan
secara lebih efektif dan efisien. Wisata agro yang
berfungsi sebagai pelestarian pola kehidupan
(tradisi) masyarakat pertanian ini perlu mendapatkan
perhatian berbagai pihak secara sistematis mulai
dari pengenalan potensi, perencanaan pengembangan,
pelatihan, hingga pemasaran. Dengan hal tersebut
diharapkan sektor pariwisata secara umum dapat
berkembang, tradisi dapat tetap terjaga, pertanian
di suatu daerah tujuan wisata tetap menjadi salah
satu lahan yang diunggulkan oleh sebagian besar
masyarakatnya secara berkelanjutan. Namun tidak
sedikit permasalahan muncul mengenai partisipasi
ini, hingga sekarang pengartian partisipasi yang
salah masih melekat di masyarakat. Tidak sedikit
masyarakat mengartikan partisipasi hanya sebatas
gotong royong atau kerja bakti yang dilihat secara fisik,
padahal sebenarnya partisipasi memiliki dimensi
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 17
yang begitu luas. Pengartian partisipasi yang salah
juga sering digunakan untuk kepentingan satu
pihak dalam mencari keuntungan yang merugikan
pihak lain. Pihak pembuat program pembangunan
sering menjadikan partisipasi hanya sebagai alasan
agar program tersebut mendapat dukungan dari
masyarakat tanpa memperhatikan kelangsungan
program tersebut dan pengikut sertaan masyarakat
dalam perencanaan. Di sisi lain justru usulan dari
masyarakat hanya dianggap sebagai keinginan
semata sehingga memiliki prioritas yang rendah
untuk diwujudkan. Hal demikian akan memunculkan
partisipasi yang sifatnya semu atas dasar keterpaksaan
dari pihak lain yang lebih kuat (Budiarti, 2013).
Berdasarkan uraian di atas, terdapat beberapa
permasalahan di dalam penelitian ini yang dapat
dibahas dan dianalisis di antaranya; bagaimanakah
potensi Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih,
Kecamatan Sawangan Kota Depok, bagaimanakah
partisipasi masyarakat dalam kegiatan Wisata
Agro di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan Sawangan
Kota Depok dan bagaimanakah pengembangan
Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih, Kecamatan
Sawangan Kota Depok.
Tujuan dalam penelitian ini untuk mengidentifikasi
potensi Wisata Agro yang berada di Kelurahan Pasir
Putih Kecamatan Sawangan Kota Depok, mengidentifikasi
partisipasi masyarakat dalam mengembangkan
Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih Sawangan –
Depok dan merumuskan pengembangan Wisata
Agro di Kelurahan Pasir Putih Sawangan – Depok.
Penelitian ini diharapkan akan memberikan manfaat
kepada para pelaku pariwisata setempat termasuk
biro perjalanan wisata dalam hal mendiversifikasi
produk wisata, pemerintah daerah setempat dalam
hal memberikan motivasi pengembangan produk
dan upaya mengembangkan berbagai sumber daya
pertanian, serta wisatawan mancanegara dalam
hal memperkaya pengalaman perjalanan wisata
dengan menikmati berbagai potensi pertanian.
METODE
Lokasi penelitian dilaksanakan di Kawasan
Kelurahan Pasir Putih, Sawangan, Depok, Jawa Barat.
Penelitian ini dilaksanakan selama tiga bulan,
dimulai pada bulan Mei hingga bulan Juli 2016.
Jenis penelitian yang digunakan adalah
mixed methods, yang merupakan suatu langkah
penelitian dengan menggabungkan dua bentuk
penelitian yaitu metode kualitatif dan metode kuantitatif.
Data yang digunakan dalam penelitian ini
adalah data primer dan data sekunder. Data primer
berupa data umur, jenis kelamin, pekerjaan, tingkat
pendidikan dan pandangan tentang keberadaan
wisata agro Pasir Putih. Data primer ini bersumber
dari wisatawan, pemerintah setempat dan pengelola,
dengan metode wawancara maupun dengan
penyebaran kuesioner. Data sekunder berasal
dari data lain berupa tulisan, tabel, diagram, grafik,
gambar dan informasi lain yang terkait dengan
penelitian ini. Data sekunder yang dikumpulkan
berupa gambaran umum wilayah dan pengelolaan
wisata agro Pasir Putih.
Data mengenai keinginan dan harapan
pengunjung dilakukan dengan menggunakan teknik
purpose sampling atau pengambilan sampel secara
sengaja. Data mengenai sosial masyarakat dilakukan
dengan cara In-Depth Interview kepada narasumber
yang merupakan kelompok masyarakat yang terlibat
dalam pengembangan wisata agro di kawasan
Kelurahan Pasir Putih, wisatawan yang mengujungi
kawasan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih dan
Pemerintah Kota Depok (Dinas Pariwisata Kota
Depok). Berdasarkan metode Rule of Thumb
kuesioner yang akan dibagikan kepada wisatawan
pada penelitian ini berjumlah 30.
Analisis data yang telah terkumpul dilakukan
reduksi data, yakni pemilihan, pemusatan perhatian,
serta penyederhanaan terhadap data sehingga
menjawab tujuan penelitian. Penyusunan strategi
pengembangan wisata agro di Kelurahan Pasir
Putih ini menggunakan strategi SWOT (Strenghts,
Weakness, Opportunities and Threats) untuk
mendapatkan strategi prioritas pengembangan
wisata agro, faktor internal berupa kekuatan dan
kelemahan kawasan wisata sedangkan faktor
eksternal berupa peluang dan ancaman.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Gambaran Umum Lokasi Penelitian
Kelurahan Pasir Putih adalah sebuah kelurahan
yang terletak di kecamatan Sawangan, Kota Depok
yang merupakan lokasi penelitian ini. Kelurahan
Pasir Putih mempunyai luas Wilayah 489 Ha,
dengan jumlah penduduk sebanyak 12.313 orang
terdiri dari 5.762 laki-laki dan 6.551 perempuan.
Mata pencaharian penduduk Kelurahan Pasir
Putih di antaranya Petani, Wiraswasta, Pengrajin/
industri kecil, Buruh, Pedagang, PNS, TNI/POLRI,
Pengangguran. Jumlah Rukun Tetangga (RT) di
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu
18 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Kelurahan Pasir Putih adalah 55 dan jumlah
Rukun Warga sebanyak 10.
Belimbing di Kelurahan Pasir Putih banyak
dikembangkan di lahan-lahan masyarakat berupa
lahan pekarangan dan kebun. Selain buah belimbing
terdapat pula buah jambu biji merah yang belakangan
ini banyak dikembangkan di Kelurahan Pasir Putih.
Namun buah jambu biji berah tidak semenarik
atau setenar buah belimbing.
Berdasarkan hasil wawancara dengan kelompok
usaha tani dan pihak pengelola Taman Wisata
Pasir Putih dan D’Kandang Amazing Farm, diperoleh
hasil bahwa kedatangan pengunjung ke Perkebunan
Wisata Agro sebanyak 150 orang di hari Sabtu
dan Minggu untuk Taman Wisata Pasir Putih
kedatangan pengunjung di hari weekend sekitar
300 orang, sementara di hari Lebaran bisa mencapai
8.000 orang, sedangkan di D’Kandang Amazing
Farm kedatangan pengunjung di hari weekend
sekitar 200 orang dan di hari libur Nasional bisa
mencapai 1500 orang.
Karakteristik Pengunjung
1) Jenis Kelamin
Wisatawan yang berkunjung berdasarkan jenis
kelamin yaitu, wisatawan laki-laki berjumlah 16 orang
dan perempuan 14 orang, jumlah wisatawan sebanyak
30 orang. Wisatawan yang datang berkunjung
pada umumnya berjenis kelamin laki-laki.
2) Jenis Pekerjaan
Wisatawan yang berkunjung berdasarkan jenis
pekerjaan yaitu, PNS sebanyak 3 orang, Pegawai
Swasta sebanyak 11 orang, Wiraswasta sebanyak
4 orang, Pelajar/Mahasiswa sebanyak 11 orang
dan lain-lain sebanyak 1 orang. Wisatawan
yang berkunjung rata-rata memiliki pekerjaan
Pegawai Swasta dan Pelajar/Mahasiswa.
3) Tingkat Pendidikan
Wisatawan yang berkunjung berdasarkan tingkat
pendidikan yaitu, SMA sebanyak 20 orang dan
Perguruan Tinggi sebanyak 10 orang. Wisatawan
yang berkunjung rata-rata memiliki tingkat
pendidikan SMA.
4) Jenis Usia
Wisatawan yang datang berkunjung di Kawasan
Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih Sawangan
Depok yaitu pada umur 11-40 tahun. Hal ini
menunjukkan bahwa yang paling banyak
mengunjungi lokasi ini berada pada katerogi
remaja sampai dengan dewasa.
5) Asal Daerah
Wisatawan yang datang berkunjung ke Kawasan
Wisata Agro Kel. Pasir Putih Sawangan Depok
berasal dari JABODETABEK. Sebagian besar
wisatawan yang berkunjung berasal dari Kota
Jakarta, hal ini dikarenakan jarak tempuh ke
lokasi tidak terlalu jauh sehingga wisatawan
tidak perlu mengeluarkan banyak biaya untuk
menikmati lokasi wisata agro.
6) Banyaknya Berkunjung
Wisatawan yang datang berkunjung ke Kawasan
Wisata Agro Kel. Pasir Putih rata-rata hanya
melakukan banyaknya berkunjung sebanyak 2 kali.
7) Sumber Informasi
Wisatawan yang datang berkunjung ke Kawasan
Wisata Agro Kel. Pasir Putih paling banyak
mendapatkan sumber informasi dari saudara
atau teman.
Kondisi dan Potensi Wisata Kelurahan Pasir Putih
1) Atraksi
Menurut Cooper (dalam Suwena dan Widyatmaja,
2010) dijelaskan bahwa atraksi atau dapat disebut
sebagai daya tarik wisata merupakan komponen
yang signifikan dalam menarik wisatawan.
Berikut merupakan beberapa atraksi wisata
yang terdapat di Kelurahan Pasir Putih:
a. Wisata Agro Perkebunan Belimbing dan
Jambu Biji Merah
Gambar 1. Perkebunan Belimbing dan Jambu Biji Merah - Sumber: Tim peneliti
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 19
Pada lokasi wisata di atas wisatawan dapat
melakukan kegiatan edukasi pada perkebunan
belimbing, di antarany membungkus buah
belimbing, mendengarkan penjelasan dari
petani tentang perawatan pohon belimbing,
menata buah belimbing dan jambu biji merah
yang akan siap jual, melihat bunga belimbing,
melihat souvenir produk UKM dari buah
belimbing (Dodol Belimbing, Nastar Belimbing
dan Jus Belimbing), dan memetik buah
belimbing serta buah jambu biji merah.
b. D’Kandang Amazing Farm
Gambar 2. D’Kandang Amazing Farm
Sumber. Tim peneliti
D’Kandang, dengan karakteristik sebagai
wisata edukasi, hadir dengan memiliki konsep
mengintegrasikan sektor peternakan dan sektor
pertanian yang kaya akan nilai edukasi dan
manfaat pembelajaran serta penguatan
keilmuan kepada peserta, dengan metode
yang menyenangkan.
c. Taman Wisata Pasir Putih
Gambar 3. Taman Wisata Pasir Putih
Sumber: Tim peneliti
Taman Wisata Pasir Putih, Sawangan - Depok,
menyediakan fasilitas dan penawaran menarik
untuk kunjungan Grup sekolah, komunitas,
keluarga dan perusahaan (corporate/family
gathering) serta pesta ulang tahun.
2) Amenitas
Menurut Cooper (dalam Suwena dan Widyatmaja,
2010), dijelaskan bahwa secara umum pengertian
fasilitas (amenities) adalah segala macam prasarana
dan sarana yang diperlukan oleh wisatawan
selama berada di daerah tujuan wisata. Sarana
dan prasarana seperti penginapan, usaha
makanan dan minuman, dan Infrastruktur.
Amenitas yang berada di lokasi wisata agro di
Kelurahan Pasir Putih Sawangan Depok yaitu
tersedia seperti angkutan umum menuju lokasi
wisata, penginapan yang berbentuk vila, guest
house dan bungalow, ruang terbuka hijau,
fasilitas komunikasi, tempat menjual makanan
dan minuman dan penunjuk jalan.
Gambar 4. Penginapan
Sumber: Tim peneliti
3) Aksesibilitas
Menurut Cooper (dalam Suwena dan Widyatmaja,
2010), aksesibilitas merupakan jalam masuk atau
pintu masuk utama ke daerah tujuan wisata. Bandara,
pelabuhan, dan segala macam jasa transportasi
lainnnya menjadi akses yang penting dalam
pariwisata. Di sisi lain akses ini diidentikkan
dengan tranferabilitas yaitu kemudahan untuk
bergerak dari daerah satu ke daerah yang lain.
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu
20 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Gambar 5. Kondisi Jalan di Kawasan Wisata Agro
Kelurahan Pasir Putih - Sumber. Hasil Penelitian
Akses untuk menuju ke lokasi Wisata Agro di
Kelurahan Pasir Putih mudah dijangkau
menggunakan kendaraan pribadi seperti motor
atau mobil dan dapat menggunakan angkutan
umum ataupun kendaraan lainnya. Lokasi wisata
yang strategis. Kondisi jalan menuju kelokasi
Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih sudah
terbilang baik, tidak terdapat jalanan yang
rusak atau mempunyai kendala, sehingga dapat
dilalui oleh berbagai macam kendaraan apapun.
4) Pelayanan Tambahan
Menurut Cooper (dalam Suwena dan Widyatmaja,
2010), pelayanan tambahan (ancillary services)
atau sering disebut juga pelengkap yang harus
disediakan oleh pemerintah daerah dari suatu
daerah tujuan wisata, baik untuk wisatawan
maupun untuk pelaku pariwisata. Berikut merupakan
fasilitas pendukung yang terdapat di Kawasan
Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih, adalah:
a) Wisata Agro Perkebunan Belimbing dan
Jambu Biji Merah
Gapura selamat datang atau pintu masuk
Kawasan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih,
toilet (yang berada di rumah masyarakat
tersebut), warung atau kedai kecil milik
masyarakat, tempat beribadah, dan tempat
penjualan hasil perkebunan.
b) D’Kandang Amazing Farm
Fasilitas yang terdapat di D’Kandang Amazing
Farm sebagai berikut: 1. Mushola 14. Main Entrance
2. Food Hall 15. Fantasy Land
3. SAFARY Amazing Factory 16. Playground
4. Grill House 17. Rice Field
5. Toilet/Rest Room 18. Cottage
6. ATV Adventure 19. Mini Pasture
7. Goat Feeding 20. Craft Corner
8. Milking Cow 21. Agrodome
9. Rabbitons 22. Pendopo
10. Duckling 23. Farming Area
11. Chickenology 24. Green House
12. Fish Hunting 25. Parking
13. Horse Riding
c) Taman Wisata Pasir Putih
Fasilitas yang terdapat di Taman Wisata
Pasir Putih adalah gapura selamat datang,
toilet, tempat makan, tempat beribadah,
dan tempat penjualan hasil souvenir.
5) Kelembagaan
Keberadaan kelembagaan sangat penting untuk
menciptakan lokasi wisata atau suatu perusahaan
yang tanggung dan kompetitif. Lembaga-lembaga
pendukung tersebut sangat menentukan dalam
upaya meningkatkan integrasi wisata agro dalam
mewujudkan tujuan pengembangan wisata agro.
Kelembagaan yang terlibat dalam pengembangan
Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih adalah
Pemerintah Kota Depok yaitu Walikota Depok
dibantu oleh beberapa lembaga, serta kelompok-
kelompok lain yang terkait dengan Wisata Agro.
Adapun lembaga lain yang terkait dengan
Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih:
a) Pusat Koperasi Pemasaran Belimbing Dewa
Depok (PKPBDD)
b) Kelompok Tani Kelurahan Pasir Putih
c) Koperasi Bintang Dewa (Pusat Pemasaran
Buah dan Olahan Belimbing Dewa Depok)
Harapan Wisatawan
Menurut Alson dan Dover di dalam Fandy Tjiptono
(1996) yaitu harapan wisatawan merupakan keyakinan
wisatawan sebelum mencoba atau mebeli satu
produk yang dijadikan standar atau acuan menilai
kinerja produk tersebut. Pada umumnya harapan
wisatawan merupakan perkiraan atau keyakinan
wisatawan tentang apa yang akan diterimanya
bila ia membeli atau menggunakan suatu produk
barang (barang atau jasa). Harapan wisatawan
dibentuk dan didasarkan atas beberapa faktor,
diantaranya pengalamannya berbelanja dimasa
lampau, opini teman dan kerabat, informasi dan
janji-janji perusahaan, serta para pesaing.
Berdasarkan hasil penelitian, bahwa wisatawan
memiliki banyak harapan untuk pengembangan
Kawasan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih. Adapun
harapan yang diberikan oleh wisatawan antara lain:
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 21
wisatawan berharap potensi alam yang ada dapat
dimanfaatkan dengan lebih baik, berharap adanya
kegiatan promosi yang dilakukan oleh pihak pemerintah
dan pengelola, berharap kegiatan wisata yang sudah
berjalan harus tetap diperhatikan untuk tetap dapat
bertahan, berharap sarana dan prasarana menjadi
hal yang dapat dikembangakan lebih baik, berharap
lebih di kembangkan lagi dalam hal SDM Pariwisata,
dan berharap adanya koordinasi yang baik antar
pengelola dan pemerintah. 1. Arena Permainan Anak 6. Toilet
2. Gazebo 7. Tempat Parking
3. Aula 8. Warung Kecil
4. Karaoke 9. Toko Souvenir
5. Ruang Meeting
Partisipasi Masyarakat
Pengembangan pariwisata adalah suatu proses
berkesinambungan untuk melakukan matching
dan adjustment yang terus menerus antara sisi supply
dan demand kepariwisataan yang tersedia untuk
mencapai misi yang telah ditentukan. Pengembangan
kawasan wisata merupakan alternatif yang diharapkan
mampu mendorong baik potensi ekonomi maupun
upaya pelestarian. Pengembangan kawasan wisata
dilakukan dengan menata kembali berbagai potensi
dan kekayaan alam dan hayati secara terpadu.
Partisipasi masyarakat adalah keikutsertaan
masyarakat dalam proses pengidentifikasian masalah
dan potensi yang ada di masyarakat, pemilihan dan
pengambilan keputusan tentang alternatif solusi untuk
menangani masalah, pelaksanaan upaya mengatasi
masalah, dan keterlibatan masyarakat dalam proses
mengevaluasi perubahan yang terjadi (Adi, 2007).
Menurut Uphoff et al, 1979, partisipasi dibagi
menjadi 4 kategori, yaitu:
1) Partisipasi dalam membuat keputusan
2) Partisipasi dalam pengambilan keuntungan
3) Partisipasi dalam implementasi
4) Partisipasi dalam evaluasi
Berdasarkan hasil wawancara yang telah
dilakukan terhadap masyarakat yang di mana
masyarakat tersebut tergabung dalam kelompok
tani yang berada di Kelurahan Pasir Putih,
Kecamatan Sawangan Depok mengenai keterlibatan
masyarakat tersebut dalam pengembangan wisata
agro di Kelurahan Pasir Putih diperoleh hasil dimana
terdapat beberapa kelompok tani yang dibagi
menurut RT dan RW. Kelompok yang pertama
terbentuk adalah kelompok tani A, disusul
kemudian B dan C, dan yang terakhir adalah D.
Keempat kelompok ini tergabung dalam Gabungan
Kelompok Tani (Gapoktan) XY yang secara resmi
dibentuk pada tahun 2007 yang dimana awalnya
mengusahakan tanaman jambu biji merah (Psidium sp.),
belimbing (Averrhoa sp.) serta ternak ikan. Adapun
pembagian kerja pada setiap Kelompok Tani
tersebut yaitu; Kelompok Tani A memiliki pekerjaan
sebagai penyedia jasa dan lokasi perkebunan
belimbing dan jambu biji merah apabila ada
wisatawan yang ingin berkunjung untuk menikmati
kegiatan wisata di Perkebunan Belimbing atau
Perkebunan Jambu Biji Merah, Kelompok Tani B
dan C memiliki pekerjaan yaitu usaha tani seperti
bayam, kangkung, ketimun, serta jenis tanaman
sayuran dataran rendah seperti selada (Lactuca sp.),
bunga kol (Brassica sp.), dan juga memelihara
kambing (Capra sp.) dengan tujuan kotoran
kambingnya dapat digunakan untuk pupuk
kandang bagi tanaman jambu biji merah dan
belimbing, lalu yang terakhir adalah Kelompok
Tani D memiliki pekerjaan yaitu usaha perikanan
darat seperti lele dumbo (Clarias sp.), gurame
(Osphronemus sp.) dan patin (Pangasius sp.).
Berdasarkan hasil penelitian, partisipasi masyarakat
yang terdapat dalam pengembangan wisata agro
di Kelurahan Pasir Putih hanya sebatas Partisipasi
dalam pengambilan keuntungan dimana masyarakat
hanya sebagai penyedia jasa dalam kegiatan
Wisata Agro, sebagai petani, home industry dan
masyarakat umum yang mengelola dan menjual
hasil panen dari perkebunan, peternakan dan
perikanan milik masyarakat tersebut di kawasan
Kelurahan Pasir Putih.
Pengembangan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih
Pengembangan wisata agro di Kawasan
Kelurahan Pasir Putih Sawangan Depok dilakukan
dengan pendekatan strategi SWOT. Strategi SWOT
adalah identifikasi berbagai faktor secara sistematis
untuk merumuskan strategi perusahaan. Analisis
ini didasarkan pada logika yang dapat memaksimalkan
kekuatan (strengths) dan peluang (opportunities),
namun secara bersamaan dapat meminimalkan
kelemahan (weaknesses) dan ancaman (threats).
Strategi SWOT dilakukan dengan mengidentifikasi
faktor-faktor internal dan eksternal kawasan. Identifikasi
faktor-faktor ini dilakukan berdasarkan hasil observasi,
kuesioner, wawancara, dan dokumen-dokumen. Adapun
perumusan faktor-faktor yang ada kemudian di
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu
22 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
analisis sehingga faktor internal dibagi menjadi kekuatan
(strengths) dan kelemahan (weakness) yang dimiliki
Kawasan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih.
Tabel 1. Faktor Kekuatan dan Kelemahan Wisata
Agro Kelurahan Pasir Putih
FAKTOR KEKUATAN (STRENGTHS)
1. Terdapat berbagai atraksi wisata dengan berbagai macam aktifitas,
2. Harga tiket masuk yang relatif murah yaitu Rp. 12.000,-, 3. Letaknya yang strategis, 4. Kegiatan wisata merupakan salah satu upaya untuk
membantu ekonomi masyarakat, 5. Sebagai destinasi yang paling diminati oleh wisatawan.
FAKTOR KELEMAHAN (WEAKNESS)
1. Fasilitas pariwisata seperti kamar mandi, musholla, dsb kurang tersedia,
2. Promosi yang dilakukan belum intensif dan gencar, 3. Kurangnya kualitas SDM Pariwisata, 4. Kurangnya koordinasi antar lintas sektor, 5. Masyarakat hanya sebagai partisipan pasif dalam
kegiatan wisata ini.
Sumber. Hasil Penelitian
Adapun perumusan faktor internal yang
menjadi peluang (opportunities) dan ancaman
(threats) bagi Kawasan Wisata Agro Kelurahan
Pasir Putih dapat dilihat pada tabel berikut.
Tabel 2. Faktor Peluang dan Ancaman Wisata
Agro Kelurahan Pasir
FAKTOR PELUANG (OPPORTUNITIES)
1. Segmentasi yang terbuka luas, 2. Kencederungan konsumen untuk beralih ke wisata
alam atau back to nature, 3. Perkembangan teknologi dapat memudahkan
transaksi usaha dan promosi, 4. Adanya budaya masyarakat setempat seperti makanan
khas betawi seperti kerak telor dan tarian Betawi yang dapat dikembangkan untuk memperkaya wisata agro di Kelurahan Pasir Putih.
5. Wisata agro dan wisata edukasi yang sedang popular.
FAKTOR ANCAMAN (THREATS)
1. Berkembangnya daya tarik wisata lain disekitar Kelurahan Pasir Putih,
2. Maraknya pembangunan properti perumahan di sekitar kawasan penelitian
3. Persaingan dengan wisata agro di Kota Depok
Sumber: Hasil Penelitian
Pembobotan Internal Factor Analysis
System (IFAS) dan Eksternal Factor Analysis
System (EFAS)
Setelah ditentukan kekuatan dan kelemahan
pada faktor internal serta peluang dan ancaman
pada faktor eksternal, selanjutnya dilakukan
pembobotan IFAS-EFAS elemen SWOT.
Tabel 3. Strategi Internal Factor Analysis System (IFAS)
STRATEGI INTERNAL BOBOT RATING BOBOT X RATING
KEKUATAN 1. Variasi atraksi wisata dengan
berbagai macam aktifitas, 2. Harga tiket masuk yang
relatif murah Rp. 10.000,- per orang,
3. Letaknya yang strategis, 4. Kegiatan wisata merupakan
salah satu upaya untuk membantu ekonomi masyarakat
5. Sebagai destinasi yang paling diminati oleh wisatawan.
0,13
0,15
0,10 0,09
0,11
3 4 4 2 3
0,39
0,60
0,40 0,18
0,33
TOTAL KEKUATAN (S) 0,58 1,90
KELEMAHAN 1. Fasilitas pelayanan
wisata kurang tersedia, 2. Promosi yang dilakukan
belum intensif dan gencar,
3. Kurangnya kualitas SDM Pariwisata
4. Masyarakat hanya sebagai pelaksana dalam kegiatan wisata ini.
0,08
0,11
0,09
0,14
-3
-2
-3
-3
-0,24
-0,22
-0,27
-0,46
TOTAL KELEMAHAN (W) 0,42 -1,20
TOTAL 1,0 0,79
Sumber. Hasil Penelitian
Berdasarkan matriks IFAS pada tabel 3,
terlihat bahwa harga tiket masuk yang tergolong
murah yaitu Rp. 10.000,- per orang menjadi
kekuatan bagi Kawasan Wisata Agro Kelurahan
Pasir Putih. Selanjutnya, yang menjadi kekuatan
di Kawasan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih
adalah atraksi wisata yang bervariasi. Jadi, dapat
disimpulkan bahwa dengan adanya atraksi wisata
yang beragam dan harga tiket masuk yang
tergolong murah di kawasan wisata agro
memberikan minat wisatawan untuk data dan
berkunjung ke Kawasan Wisata Agro Kelurahan
Agro sehingga berdampak pada perekonomian
masyarakat sekitar. Kelemahan utama adalah
masyarakat hanya sebagai pelaksana dalam
kegiatan ini dan promosi yang dilakukan belum
intensif dan gencar.
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 23
Tabel 4. Strategi Eksternal Factor Analysis
System (EFAS)
STRATEGI EKSTERNAL BOBOT RATING BOBOT X RATING
PELUANG 1. Segmentasi yang terbuka
luas, 2. Kencederungan
konsumen untuk beralih ke wisata alam atau back to nature,
3. Perkembangan teknologi yang memudahkan transaksi usaha dan promosi,
4. Adanya budaya masyarakat setempat yang dapat dikembangkan untuk memperkaya wisata agro di Kelurahan Pasir Putih.
5. Wisata agro dan wisata edukasi yang sedang popular.
0,17
0,12
0,12
0,11
0,13
3 4 3 2 3
0,51
0,48
0,36
0,22
0,39
TOTAL PELUANG (O) 0,65 1,96
ANCAMAN 1. Berkembangnya daya
tarik wisata lain disekitar Kelurahan Pasir Putih,
2. Maraknya pembangunan properti perumahan sehingga menyebabkan lahan pertanian yang semakin bekurang,
3. Persaingan dengan wisata agro di daerah lain.
0,12
0,10
0,13
-2
-4
-2
-0,20
-0,32
-0,12
TOTALANCAMAN (T) 0,35 -0,64
TOTAL 1,0 1.32
Sumber: Hasil Penelitian
Berdasarkan matriks EFAS pada tabel 4,
terlihat bahwa peluang utama yang dimiliki wisata
agro kelurahan pasir putih adalah segmentasi
pasar yang terbuka luas dan sekarang wisata agro
dan wisata edukasi yang sedang popular.
Ancaman utama yang dihadapi adalah peran dan
partisipasi masyarat yang menurun.
Analisis Matriks SWOT
Analisis SWOT digunakan untuk membandingkan
faktor eksternal dan faktor internal, faktor eksternal
terdiri dari peluang dan ancaman, sedangkan
faktor internal terdiri dari kekuatan dan kelamahan.
Gambar 6. Analisis SWOT
Sumber. Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil pembobotan Matriks IFAS
dan Matriks EFAS, dapat dilakukan perhitungan
strategi swot dimana:
Sumbu x Kekuatan (S) - Kelemahan (W); (0.58)
– (0.42) = (0,16)
Sumbu y Peluang (O) – Ancaman (T); (0.65) –
(0.35) = (0,30)
Jika dilihat dari hasil gambar analisis SWOT,
strategi yang dihasilkan berada pada Kuadran 1
yang merupakan pertemuan dua elemen yaitu
kekuatan (S) dan peluang (O) sehingga
memberikan kemungkinan bagi suatu destinasi
untuk bisa berkembang lebih cepat. Strategi yang
diterapkan dalam kondisi ini adalah mendukung
kebijakan pertumbuhan yang agresif.
Perumusan strategi-strategi SO, ST, WO,
dan WT disusun berdasarkan faktor internal S dan
W; serta faktor eksternal O dan T ke dalam matriks
interaksi IFAS-EFAS SWOT seperti pada tabel 3
dan 4 kemudian susunan strategi alternatif
berdasarkan urutan prioritasnya tersebut dapat
dilihat pada tabel berikut.
Tabel 5. Analsis Matriks SWOT Strategi SO Strategi WO
1. Memperluas pemasaran atau promosi dengan cara memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
2. Menciptakan wisata yang berbasis budaya dan melibatkan masyarakat sekitar kawasan wisata agro.
3. Menjadikan kawasan wisata agro kelurahan pasir putih lebih dikenal dan menjadi wisata agro unggulan dengan cara mengadakan seminar-seminar terkait dengan Wisata Agro.
1. Melakukan promosi lebih aktif dan gencar melalui media elektronik dan media cetak serta membuat promosi dengan paket-paket liburan tertentu.
2. Memperkenalkan wisata agro dan wisata edukasi sebagai wisata yang paling diminati saat ini melalui kegiatan promosi.
3. Menambah fasilitas layanan informasi wisata dengan
0,16
0,30
(0.16 ; 0.30)
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu
24 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Strategi SO Strategi WO
4. Mengikut sertakan wisatawan di dalam kegiatan pertanian yang dilakukan masyarakat seperti proses pembibitan, penanaman, perawatan dan pemanenan. Kemudian wisatawan dapat diajak berjalan-jalan menelusuri lingkungan lahan pertanian dengan menggunakan kereta lembu.
melibatkan SDM yang ahli dalam bidang pariwisata.
4. Meningkatkan koordinasi yang baik antara pemerintah dengan pengelola dalam hal pengembangan kawasan wisata agro.
5. Melibatkan masyarakat sebagai pelaku pariwisata.
Strategi ST Strategi WT
1. Mengkombinasikan Daya Tarik Wisata Budaya dan beberapa jenis wisata di dalam satu paket wisata.
2. Melibatkan masyarakat pada daya tarik wisata untuk meminimalisir menurunnya peran dan patisipasi masyarakat.
3. Meningkatkan mutu pelayanan jasa dan kualitas dari fasilitas wisata yang ada dengan ciri khas tersendiri sehingga konsumen merasa puas dengan pelayanan dan fasilitas yang ada.
1. Membuat peraturan yang tegas dengan adanya perkembangan properti perumahan, sehingga tidak mengganggu potensi yang masih dapat dimanfaatkan.
2. Meningkatkan penyuluhan dan pembinaan kepada masyarakat terkait dengan perawatan dan pengelolaan pohon belimbing dan jambu biji merah.
3. Meningkatakan kualitas sumber daya manusia pariwisata dengan mengadakan pelatihan atau pendidikan Kepariwisataan.
4. Memperbaiki sistem manajemen guna menahan laju persaingan.
5. Melakukan kerjasama dengan tempat-tempat wisata lain disekitar kelurahan pasir putih agar dapat membuat paket wisata yang berbeda ataupun melakukan paket wisata bersama.
Sumber. Hasil Penelitian
Analisis Matriks Swot menunjukan bahwa
yang menghasilkan strategi Strengths-Opportunities
(0,16;0,30), yang dimana sebagai strategi yang
menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan
peluang yang ada. Kondisi ini memperlihatkan
bahwa pengelola maupun pemerintah mempunyai
tugas mengupayakan pengembangan dengan
melihat dan memanfaatkan kondisi yang paling
kuat untuk digunakan setepat mungkin agar bisa
memanfaatkan peluang dengan baik dan efektif.
Strategi Strengths-Opportunities (SO) berdasarkan
analisis matriks SWOT pada tabel 5 memiliki
beberapa strategi adalah sebagai berikut:
1. Memperluas pemasaran atau promosi dengan cara
memanfaatkan perkembangan teknologi informasi.
Memperluas pemasaran melalui berbagai media
teknologi informasi seperti melalui media cetak
atau media sosial merupakan sebuah peluang yang
paling tepat untuk saat ini. Pihak pengelola dan
pemerintah dapat membuat website dan membuat
berita di beberapa koran atau majalah mengenai
lokasi wisata agro Kelurahan Pasir Putih.
2. Menciptakan wisata yang berbasis budaya dan
melibatkan masyarakat sekitar kawasan wisata agro.
Membuat sebuah atraksi wisata yang berkaitan
dengan kebudayaan masyarakat setempat, misalnya
seperti mengadakan pagelaran tari-tarian, lenong
atau atraksi wisata budaya lain yang mempunyai
ciri khas Betawi dikarenakan mayoritas masyarakat
Kelurahan Pasir Putih adalah Betawi.
3. Menjadikan kawasan wisata agro kelurahan pasir
putih lebih dikenal dan menjadi wisata agro unggulan.
Meningkatkan kegiatan promosi melalui
seminar-seminar mengenai Wisata Agro di
Kelurahan Pasir Putih dan meningkatkan
kualitas dan kuantitas produk yang ditawarkan.
4. Mengikut sertakan wisatawan di dalam kegiatan
pertanian yang dilakukan masyarakat seperti
proses pembibitan, penanaman, perawatan dan
pemanenan. Kemudian wisatawan dapat diajak
berjalan-jalan menelusuri lingkungan lahan
pertanian dengan menggunakan kereta lembu.
SIMPULAN
Kawasan wisata agro Kelurahan Pasir Putih
mempunyai potensi wisata yang beragam dengan
beberapa daya tarik wisata yang berasal dari alam
dan buatan adapun daya tarik wisata yang terdapat
di Kelurahan Pasir Putih yaitu perkebunan belimbing
dan perkebunan jambu biji merah, D’Kandang
Amazing Farm, dan Taman Wisata Pasir Putih.
Amenitas yang berada di Kawasan Wisata Agro
Kelurahan Pasir Putih sudah baik dan lengkap,
Aksesibilitas yang terdapat di kawasan wisata
agro Kelurahan Pasir Putih di peroleh hasil bahwa
akses jalan untuk menuju lokasi mudah dijangkau
dan mudah diketahui oleh banyak wisatawan,
tersedianya sarana transportasi angkutan umum.
Pelayanan tambahan yang terdapat di kawasan
wisata dimana terdapat fasilitas-fasilitas pendukung
untuk menunjang wisata dalam melakukan kegiatan
wisata, terdapat kelembagaan atau organisasi
yang mengelola setiap objek wisata yang berada
di Kawasan Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih.
Pengembangan wisata agro berdasarkan
partisipasi masyarakat yang berada di Kawasan
Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih menjelaskan
bahwa partisipasi masyarakat yang terdapat
dalam pengembangan wisata agro hanya sebatas
Partisipasi dalam pengambilan keuntungan
dimana masyarakat hanya sebagai penyedia jasa
dalam kegiatan Wisata Agro, sebagai petani, home
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 25
industry dan masyarakat umum yang mengelola
dan menjual hasil panen dari perkebunan, peternakan
dan perikanan milik masyarakat tersebut di kawasan
Kelurahan Pasir Putih.
Berdasarkan hasil matriks SWOT menunjukan
bahwa yang menghasilkan strategi dengan bobot
tertinggi adalah strategi Strength-Opportunities (SO).
Strategi Strength-Opportunities (SO) berdasarkan
analisis matriks SWOT memiliki beberapa strategi
adalah sebagai berikut; Memperluas pemasaran atau
promosi dengan cara memanfaatkan perkembangan
teknologi informasi, menciptakan wisata yang
berbasis budaya dan melibatkan masyarakat sekitar
kawasan wisata agro, menjadikan kawasan wisata
agro kelurahan pasir putih lebih dikenal dan
menjadi wisata agro unggulan, mengembangkan
atraksi wisata yang lebih menarik wisatawan, sehingga
pendapatan masyarakat menjadi meningkat.
SARAN
1. Kawasan wisata agro Kelurahan Pasir Putih
dalam melakukan promosi usaha, dilakukan
melalui berbagai media cetak dan elektronik
serta pemasangan iklan di sepanjang jalan
menuju tempat wisata, kemudian juga rutin
mengadakan acara atau event tertentu seperti
live music dan menghadirkan maskot dari
Wisata Agro Kelurahan Pasir Putih yang khas
dan mencirikan tempat wisata tersebut
sebagai salah satu promosi produk wisata.
2. Penambahan dan pengembangan fasilitas
penginapan, fasilitas wisata dan fasilitas lainnya
hendaknya dilakukan berdasarkan kebutuhan
dan keinginan konsumen, seperti penambahan
rumah penginapan (bungalow dan homestay).
Pengembangan fasilitas wisata pun harus
dilakukan secara rutin dengan inovasi – inovasi
yang baru sehingga konsumen tidak merasa
bosan dengan fasilitas wisata yang sudah
sering mereka rasakan dan lihat.
3. Masyarakat, Pengelola dan pemerintah daerah
sebaiknya bekerja sama untuk dapat
mengembangkan dan mengelola Kawasan
Wisata Agro di Kelurahan Pasir Putih menjadi
lebih baik dan menjadi inovatif.
DAFTAR PUSTAKA
Adi, IR. 2007. Perencanaan Partisipatoris Berbasis
Aset Komunitas: Dari Pemikiran Menuju
Penerapan. Depok: FISIP UI Press.
Alfitri. 2011. Community Development (Teori dan
Aplikasi). Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Aprianto, Y. 2008. Tingkat Partisipasi Warga Dalam
Pengelolaan Lingkungan Berbasis Masyarakat.
Skripsi. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Ardiwidjaja, R. 2003. Membedah Konsep Pariwisata
Berkelanjutan. Bandung: Sinar Harapan.
Astut, SI. 2011. Desentralisasi dan Partisipasi Masyarakat
dalam Pendidikan. Yogyakarta (ID): Pustaka Pelajar.
Augusty, F. 2006. Metode Penelitian Manajemen.
Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.
Ayu WS, Dr. Linda Tondobala, Dea, Ir. Suryono. MT. 2015.
Partisipasi Masyarakat Kelurahan Tosapan Dalam
Pengembangan Kawasan Wisata Pango-Pango
di Kabupaten Tana Toraja. Jurnal Penelitian.
Manado: Universitas Samratulangi.
Badan Perencanaan Pembangunan Nasional. 2004.
Tata cara Perencanaan Pengembangan Kawasan
Untuk Percepatan Pembangunan Daerah.
Direktorat Pengembangan Kawasan Khusus
dan Tertinggal. Jakarta: Bappenas.
Budiarti T, Suwarto, Muflikhati I. Jurnal Ilmu Pertanian
Indonesia (JIPI), Desember 2013. Vol. 18 (3):
200-207. Online: http://oaji.net/articles/2015/2126-
1434611107.pdf
Creswell, JW. 2012. Research design Pendekatan
kualitatif, Kuantitatif dan Mixed; Cetakan ke-
2, Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
David, FR. 2012. Manajemen Strategis: Konsep-Konsep.
Edisi Duabelas. Jakarta: Salemba Empat.
Dewi MHU, Fandeli C, M. Baiquni. 2013. Jurnal
Kawistara 129 Volume 3 No. 2, 17 Agustus
2013 Halaman 117-226.
Dinas Pariwisata dan Budaya. 2007. Penyusunan Action
Plan Pengembangan Kepariwisataan Jawa Barat.
Online: http://www.disparbud.jabarprov.go.id
diakses pada 11 April 2016.
Dinas Pertanian dan Perikanan Pemerintah Kota Depok.
2013. Workshop Pengokohan Belimbing Dewa
sebagai Icon Kota Depok Menuju Agrowisata.
(Online) http://distan.depok.go.id/dbtph/index.php/
holti kultura/9-blog/16-belimbing diakses pada
17 April 2016.
Ecker O, Breisinger C. 2012. The Food Security System.
A New Conseptual Framework. Development
Strategy and Governance Division. International
Food Policy Research Institute. The United States.
Halida, S. 2006. Perencanaan Lanskap Bagi
Pengembangan Agrowisata di Desa-Desa Pusat
Pertumbuhan Kawasan Agropolitan Cianjur.
Riza Firmasyah, Jandwikha Rahayu, dan Yustisia Pasfatima Mbulu
26 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Skripsi. Bogor: Program Studi Arsitektur Lanskap,
Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor.
Herawati, T. 2011. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, Vol
10, No. 2, Desember 2011: 168-175.
Horovitz, J. 2000. Seven Secret of Service
Strategy. Great Britain: Prentice-Hall.
Kementerian Pertanian Republik Indonesia. 2010. Wisata
Agro Indonesia. Tersedia pada: http://database.
deptan.go.id/agrowisata. Diakses tanggal 10
Oktober 2016.
Koentjaraningrat. 2009. Pengantar Ilmu Antropologi.
Jakarta: Rineka Cipta.
Lanya. 1995. Buku Pariwisata (BPKM) Mata Kuliah
Dasar-dasar Pengembangan Wilayah. Denpasar:
Fakultas Pertanian Unud.
Mardijono. 2008. Persepsi dan Partisipasi Nelayan
terhadap Pengelolaan kawasan Konservasi Laut
Kota Batam. Semarang: Program Pasca sarjana
Manajemen Sumberdaya Pantai Universitas
Diponegoro.
Mentari, DM. 2014. Pengembangan Agriwisata Punbak
Temboan Di Rurukan Satu Kecamatan Tomohon Timur.
Jurnal Penelitian. Manado: Universitas Samratulangi.
Nurisyah, S. 2001. Pengembangan Kawasan Wisata
Agro (Agrotourism). Bulletin Taman dan Lanskap
Indonesia 2001; 4(2): 20-23.
Pangestu, MHT. 1995. Partisipasi Masyarakat dalam
Pelaksanaan Kegiatan Perhutanan Sosial (Studi
Kasus: KPH Cianjur, Jawa Barat). Tesis.
Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Pemerintah Kota Depok. 2015. Ruang Terbuka Hijau
sebagai Agrowisata. (Online) Berita Depok,
www.depok.go.id diakses pada 17 April 2016.
Permana J, Ari, Erik, Gilang. 2009. Penganalisaan
Potensi dan Perkembangan Desa/Kelurahan
di Kabupaten Bandung. Bandung.
Pitana, IG. 2009. Pengantar Ilmu Pariwisata.
Yogyakarta: Penerbit Andi.
Pratiwi, Eka. 2011. Strategi Pemasaran Agrowisata
Ecotainment PT Godongijo Asri, Desa Serua,
Kota Depok, Jawa Barat. Skripsi. Bogor:
Institut Pertanian Bogor.
Rangkuti, Freedy. 2006. Analisis SWOT: Teknik
Membedah Kasus Bisnis. Jakarta: PT
Gramedia Pustaka Utama.
Republik Indonesia. 2002. Undang-Undang Republik
Indonesia Nomor 18 Tahun 2002 Tentang
Sistem Nasional Penelitian, Pengembangan,
dan Penerapan Ilmu Pengetahuan dan Teknologi.
Jakarta: Sekretariat Negara.
Salampessy LM, Nugroho Bramasto, Purnomo
Herry. 2010. Partisipasi Kelompok Masyarakat
dalam Pengelolaan Kawasan Hutan Lindung
Gunung Nona kota Ambon Provinsi Maluku.
Dalam: Jurnal Parennial 06(02): 99-107. Online:
http://journal.unhas.ac.id/index.php/perennia
l/article/view/80 diakses pada 11 April 2016.
Sastrayuda, GS. 2010. Strategi Pengembangan
Dan Pengelolaan Resort And Leisure. Makalah.
Disampaikan dalam Hand Out Hlm 11-12.
Setyawati, Eriska A. 2012. Strategi Pengembangan
Agribisnis Belimbing Dewa di Kota Depok. Skripsi.
Surakarta: Fakultas Pertanian Universitas Sebelas Maret.
Soebagyo. 2014. Strategi Pengembangan Pariwisata
di Indonesia. Journal Liquidity Vol. 1, No.2, Juli-
Desember 2014, hlm.153-158. Online: www.acade
mia.edu/7701501/strategi_pengembangan_pariwisa
ta_di_indonesia, diakses pada 28 Maret 2016.
Soemarno. 2008. Perencanaan Pengembangan Kawasan
Agrowisata. Online: images.soemarno.multiply.
multiplycontent.com, diakses 11 April 2016.
Subowo. 2002. Agrowisata Meningkatkan Pendapatan
Petani. Online: http://database.deptan.go.id/
agrowisata diakses pada 11 April 2016.
Sugiyono. 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan
Kualitatif. Bandung: Alfabeta.
Sugiyono, 2011. Metode Penelitian Pendidikan
(Pendekatan Kauntitatif, Kualitatif, dan R&D).
Bandung: Alfabeta.
Sugiyono. 2012. Memahami Penelitian Kualitatif.
Bandung: Alfabeta.
Sutopo HB. 2006. Penelitian Kualitatif: Dasar Teori
dan Terapannya Dalam Penelitian. Skripsi.
Surakarta: Universitas Sebelas Maret.
Suwantoro, Gamal. 1997. Dasar-Dasar Pariwisata.
Yogyakarta: Andi Publishing.
Suwena, Widyatmaja, 2010. Pengetahuan Dasar Ilmu
Pariwisata. Denpasar: Udayana University Press.
Tjiptono, Fandy. 1996. Manajemen Jasa. Yogyakarta:
Penerbit Andi.
Umar, H. 2003. Metodologi Penelitian Untuk Skripsi
dan Tesis Bisnis, Jakarta.: PT. Gramedia Pustaka.
Uphoff, Cohen, Goldsmith. 1979. Feasibility and Application
of Rural Development Participation: A State of the
Art Paper. New York (AS): Cornell University.
Wibowo, FX Setiyo, Darmawan Damanik, Aria Dimas
Harapan, Hindun. 2014. Pemberdayaan Masyarakat
Dalam Agrowisata Belimbing Dewa di Kelurahan
Pasir Putih Depok. Jurnal Penelitian. Jakarta:
Sekolah Tinggi Pariwisata Sahid Jakarta.
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 27
SERBUK SEMANGGI SEBAGAI MINUMAN HERBAL
(CREATING CLOVER POWDER HERBAL DRINK)
Nini Jayanti Saleh, S.E., BBA, M.Tr.Par dan Moses Soediro, S.E., BBA, MM1* 1Fakultas Pariwisata, Universitas Ciputra
UC Town, CitraLand, Surabaya 60219, Indonesia
Telepon/Faskimili: 031-7451699/031-7451698
email: [email protected], [email protected]
Abstract
Innovation is needed to preserve local culinary clover as a culinary ingredient which becomes one of the
elements of the tourist attraction. With the momentum of healthy lifestyle trend in Surabaya, a beverage
product is created from local ingredients in Surabaya. A clover known in Latin as Marsilea Crenata is usually
used as a Pecel Semanggi. Marsilea Crenata is known as herbal medicine. It is used to cure sore throat,
sprue, and fever. It contains high isoflavones. The herbal drink is created by producing clover powder
through the stages of drying using dehydrator. The herbal beverage is produced through experimental
stages with dry mix and crystallization method. Sensory test is used to discover about the taste, aroma,
color, and texture of the herbal drink. They are acceptable and 53.3% of panelists like it. Nutrition test is
conducted in Balai Riset dan Standardisasi Industri Surabaya to discover the nutrition facts of the herbal
drink. The herbal drink contains of 20,62% ash, 7,31% sugar, 1,16% protein, 6,15% carbohydrate, and
energy 38,96 kcal/100 g. In further research other methods can be used such as vacuum drying or freeze
drying so that the vitamin content is keep remain. The clover leaf utilization can be optimized by producing
an instant herbal drink water clover. Thus the Kampung Semanggi as one of tourist destinations deserves
to receive more attention, particularly from the government.
Keywords: Creation, Herbal Beverage, Sensory Test
PENDAHULUAN
Sebagai kota terbesar kedua di Indonesia,
Surabaya sangatlah terkenal dengan keanekaragaman
wisata kuliner. Wisata kuliner digagas oleh pendiri
World Food Travel Association sebagai bentuk
mendapatkan pengalaman yang unik dan penuh
kenangan dari sebuah kuliner yang ditawarkan
tempat wisata. Perkembangan terbaru saat ini,
wisatawan semakin mencari pengalaman lokal
dan otentik dari tempat-tempat yang mereka kunjungi.
Salah satu kuliner legendaris yang menjadi
menu yang penuh kenangan, baik bagi wisatawan
asing dan lokal yang datang ke Surabaya adalah
Pecel Semanggi Suroboyo. Pecel Semanggi Suroboyo
adalah salah satu kuliner tradisional khas kota
Surabaya. Walaupun makanan khas asli Surabaya,
kuliner legendaris ini ini hanya diproduksi oleh
penduduk Surabaya di daerah tertentu. Sebagian
besar penjual Pecel Semanggi Suroboyo berasal
dari Desa Kendung, Benowo yang terkenal sebagai
kampung semanggi. Cara menjajakan semanggi
yang unik juga menjadi daya traik wisatawan
tersendiri. Penduduk Benowo biasanaya menjajakan
semanggi dengan cara digendong berkeliling
dengan menggunakan pakaian tradisional.
Sangat disayangkan bahwa para warga di
kampung semanggi yang membudidayakan tanaman
semanggi mulai mengalami keterbatasan produksi.
Lahan-lahan yang sebagian besar digunakan untuk
budidaya tanaman semanggi saat ini telah dibangun
menjadi perumahan penduduk. Dengan demikian,
tanaman semanggi mendekati kepunahan (Widodo,
2002). Kondisi tersebut ditambah dengan cuaca
yang tidak menentu di Surabaya, curah hujan yang
tinggi yang mengakibatkan tanaman ini semakin
jarang ditemukan. Dari sisi permintaan, Pecel
Semanggi Suroboyo semakin menurun karena
kurangnya minat generasi muda akan makanan
dan minuman berbahan dasar produk lokal. Hal ini
juga seiring dengan perkembangan kuliner modern
dan maraknya kuliner asing yang masuk ke Indonesia.
Dengan demikian mengakibatkan Pecel Semanggi
Nini Jayanti Saleh, S.E., BBA, M.Tr.Par dan Moses Soediro, S.E., BBA, MM
28 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Suroboyo semakin jarang ditemui dan menjadi
langka di daerah asalnya.
Tantangan tersebut memicu motivasi entrepreneur
terutama pada bidang kulineri untuk menjadi kreatif
dalam pemanfaatan tanaman semanggi sebagai bahan
kuliner. Selain sebagai Pecel Semanggi Suroboyo,
sebagian besar masyarakat di Surabaya mengenal
tanaman semanggi yang dimanfaatkan sebagai teh
herbal yang dikonsumsi secara tradisional. Teh herbal
dari tanaman semanggi dikonsumsi dengan cara
merebus daun yang sudah dibersihkan. Teh herbal
semanggi memiliki manfaat baik dan khasiat bagi
kesehatan, sebagai obat sakit tenggorokan, sariawan,
penurun demam, dan sesak nafas.
Namun demikian, generasi muda saat ini sering
beranggapan bahwa minuman herbal merupakan
minuman golongan masyarakat rendah, sedangkan
minuman dengan kandungan susu atau kandungan
lainnya dipersepsikan sebagai minuman golongan
masyarakat tingkat menengah dan atas. Pada
kenyataanya, minuman dengan kandungan susu
atau minuman lainnya yang minim khasiat dan
berasal dari luar negeri lebih marak digemari oleh
masyarakat Indonesia. Fakta ini didukung dengan
tingginya konsumsi susu per kapita masyarakat
Indonesia dibandingkan negara tetanga, seperti
negara Malaysia, Thailand, maupun Filipina
(Herlambang et al, 2011).
Untuk mampu bersaing dengan produk asing
yang masuk ke Indonesia dan untuk mengangkat
bahan pangan lokal menjadi lebih unggul di pasar,
dibutuhkan adanya kreativitas dan inovasi. Inovasi
dalam pengolahan semanggi juga perlu dilakukan
untuk mempertahankan semanggi sebagai bahan
kuliner lokal yang menjadi salah satu unsur daya
tarik wisatawan. Symons (1999) mengemukakan
bahwa makanan khas lokal adalah komponen
fundamental dari sebuah atribut destinasi wisata
yang menambah daya tarik dan pengalaman
wisata secara keseluruhan.
Dalam hal optimalisasi pemanfaatan bahan lokal,
yaitu semanggi dan dengan pemanfaatan teknologi,
inovasi untuk mengembangkan produk sangatlah
dibutuhkan saat ini. Dengan banyaknya manfaat
baik yang didapat di dalam semanggi sebagai salah
satu bahan pangan lokal, upaya kreatif ditempuh
dengan memanfaatkan semanggi menjadi serbuk
instan sebagai minuman herbal untuk meningkatkan
nilai guna semanggi yang hanya dikonsumsi oleh
sebagian kalangan masyarakat saja.
Didukung dengan semakin meningkatnya
tren hidup sehat di kalangan masyarakat Indonesia,
permintaan wisatawan untuk rasa produk yang
alami dan otentik, serta adanya kesempatan distribusi
untuk masuk ke toko modern, minuman herbal
semakin dibutuhkan. Tren mengonsumsi minuman
herbal ini tidak hanya dilakukan oleh masyarakat
di Indonesia, tetapi juga oleh masyarakat internasional.
Mengambil momentum tren masyarakat
untuk bergaya hidup sehat dengan lebih mengonsumi
makanan dan minuman sehat dan praktis dan adanya
minat wisatawan akan oleh-oleh khas lokal, tanaman
semanggi dimanfaatkan menjadi produk yang
tidak dipandang sebelah mata oleh masyarakat
Indonesia. Dengan demikian, pelestarian semanggi
air sebagai produk lokal dapat terjaga, sehingga
pemanfaatan hasil olahan semanggi air sebagai
minuman herbal dapat dirasakan secara luas.
Dengan adanya berbagai latar belakang tersebut,
penelitian ini secara khusus bertujuan menghasilkan
kreasi serbuk instan yang inovatif dengan (1) mengetahui
cara pengolahan serbuk instan semanggi air, (2)
mengetahui rasa, aroma, warna, dan tekstur serbuk
instan semanggi air sebagai minuman herbal dengan
uji organoleptik, serta (3) mengetahui kandungan gizi
yang terdapat pada serbuk instan semanggi air sebagai
minuman herbal dengan uji laboratorium. Dengan
demikian, popularitas semanggi air sebagai kuliner
khas Surabaya dapat bangkit dan dikenal khalayak
luas, khususnya bagi generasi muda. Tentunya
berdampak bagi kelangsungan kesejahteraan penjual
semanggi keliling dan juga bagi pembudidaya tanaman
semanggi di kampung semanggi, Surabaya.
METODE
Penelitian ini dirancang melalui beberapa
tahapan, yaitu penentuan semanggi air yang
digunakan sebagai bahan utama, persiapan
pengolahan, uji coba pembuatan serbuk semanggi
sebagai minuman herbal, uji organoleptik, dan uji
laboratorium. Rancangan penelitian yang digunakan
dalam penelitian ini bersifat eksperimental. Adapun
formula dihasilkan melalui tahapan eksperimen
dengan metode dry mix dan kristalisasi.
Data yang diolah di dalam penelitian ini
merupakan feedback evaluasi dari atribut warna,
aroma, tekstur (kekentalan), dan rasa serbuk instan
semanggi sebagai minuman herbal yang telah
mendapat validasi dari panelis terlatih yang dilakukan
secara organoleptik. Teknik pengumpulan data
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 29
persepsi dan penerimaan konsumen juga dilakukan
dengan menggunakan kuesioner yang dibagikan kepada
panelis tidak terlatih sebagai perwakilan konsumen.
Tanaman semanggi memiliki daun yang berbentuk
bulat menyerupai payung dan terdiri dari empat helai
anak daun yang disebut sebagai clover. Semanggi
memiliki akar tunggang yang berserabut. Batangnya
tegak dan sangat mudah dipatahkan dengan tinggi
2 hingga 18 cm. Semanggi termasuk dalam marga
Marsileaceae, dengan spesies nama Latin Marsilea
Crenata. Semanggi bersifat heterospore, dimana
spora jantan dan betina menjadi satu tanaman.
Tanaman semanggi yang dimanfaatkan di
dalam penelitian ini merupakan tanaman kelompok
paku air. Daun semanggi memiliki kandungan flavonoid
yang berfungsi sebagai antioksidan dan anti inflamasi.
Selain itu, semanggi air juga mengandung isoflavon
yang dapat digunakan sebagai perlindungan gejala
klinis menopause dan mencegah osteoporosis. Nutrisi
di dalam tanaman semanggi dapat mencegah
perkembangan sel kanker payudara, tuberkolosis
dan mengurangi resiko kanker getah bening di
dalam tubuh. Daun semanggi juga dapat digunakan
sebagai peluruh air seni (Afriastini, 2003).
Menurut Okpara (2007), inovasi merupakan
suatu tindakan meningkatkan nilai dari produk
yang sudah ada, baik barang maupun jasa. Salah
satu jenis inovasi yang ada adalah inovasi produk,
yaitu dengan meningkatkan nilai karakteristik
produk. Untuk menghasilkan suatu inovasi produk
dibutuhkan kreativitas. Kreativitas adalah kemampuan
untuk menghasilkan sebuah kreasi dalam wujud
yang baru. Sebuah produk dikatakan kreatif jika
orisinil dan tepat guna. Dengan adanya tren
konsumen akan makanan dan minuman sehat
dan praktis, maka dibutuhkan kreativitas untuk
menghasilkan kreasi baru minuman herbal. Kreasi
minuman herbal semanggi merupakan sebuah
inovasi untuk mengembangkan produk yang ada
untuk memberikan nilai guna yang lebih bagi
masyarakat. Minuman herbal semanggi berupa
serbuk instan siap konsumsi dan lebih praktis.
Minuman herbal dalam bentuk serbuk mudah
disimpan dan tahan lama dikarenakan kandungan
air bahan baku yang rendah, sehingga mudah
didistribusikan. Minuman herbal biasanya terbuat
dari bagian tanaman, seperti akar, batang, daun,
bunga, atau umbi. Minuman herbal dipercaya
untuk penyembuhan penyakit yang berasal dari
bahan aktif yang terkandung di dalam tanaman
(Ismiati, 2015). Minuman herbal lebih dikenal di
kalangan konsumen sebagai teh herbal atau teh
kesehatan. Teh herbal merupakan campuran dari
beberapa bahan dari kombinasi kering daun, biji,
rumput, kacang kulit, buah-buahan, bunga atau
unsur botani lainnya yang menghasilkan rasa
tertentu dan berkhasiat (Ravikumar, 2014).
Christiansen (2010) berdasarkan Frutarom
(International Flavour House) memperkirakan adanya
kenaikan permintaan rasa makanan dan minuman
yang lebih otentik dan lebih natural. Selain itu,
terdapat peningkatan permintaan konsumen terhadap
kombinasi rasa dari rempah-rempah yang lebih
konvensional. Salah satunya adalah daun mint,
yang telah digunakan di dalam produk makanan
dan minuman di seluruh dunia. Teh yang berasal
dari daun mint kaya akan khasiat untuk penghilang
stres, mengatasi masalah pencernaan, dan penyegar
nafas (Ravikumar, 2014). Selain itu, digunakan juga
ekstrak dari bunga rosella, yaitu tanaman yang
tumbuh di berbagai negara dan telah dikonsumsi
sebagai teh. Teh rosella kaya akan kandungan
vitamin C dan antioksidan. Teh rosella mengandung
antioksidan sebanyak 1,7 mmol/prolox (Widyanto
dan Nelistya, 2008). Rosella akan menghasilkan
rasa asam sebagai kombinasi rasa yang konvensional.
Konsumen saat ini sudah lebih cerdas dan
memiliki pengetahuan yang baik mengenai makanan
dan minuman yang akan dikonsumsi. Oleh karena
itu, uji organoleptik perlu dilakukan untuk mengetahui
persepsi dan preferensi konsumen terhadap sebuah
inovasi produk makanan dan minuman. Uji organoleptik
mengevaluasi penerimaan rasa, aroma, warna, tekstur,
dan penerimaan umum minuman herbal berbahan
semanggi. Uji organoleptik atau evaluasi sensorik
didefinisikan sebagai ilmu yang digunakan untuk
membangkitkan, mengukur, menganalisis, dan
menafsirkan tanggapan terhadap produk yang
dirasakan oleh indera penglihatan, penciuman, sentuhan,
rasa, dan pendengaran (Stone dan Sidel, 1993).
Pembuatan minuman herbal dari serbuk semanggi
dapat menjawab kebutuhan masyarakat akan minuman
sehat, berkhasiat, dan praktis. Rancangan penelitian
yang digunakan dalam bersifat eksperimental, yang
dilakukan secara trial and error dengan alat dan
prosedur tertentu. Desain eksperimen adalah istilah
yang digunakan untuk serangkaian prosedur
eksperimental yang telah dikembangkan untuk
memberikan informasi sebanyak mungkin dengan
biaya serendah mungkin (Naes et al, 2010).
Nini Jayanti Saleh, S.E., BBA, M.Tr.Par dan Moses Soediro, S.E., BBA, MM
30 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
HASIL DAN PEMBAHASAN
Proses eksperimen pembuatan minuman
herbal terpilih diawali juga dengan perebusan bunga
rosella yang telah dibersihkan hingga didapatkan
ekstrak bunga rosella yang berwarna kekuningan.
Kemudian penambahan serbuk semanggi dan
daun mint untuk dilakukan proses ekstraksi kedua.
Hasil ekstrak rosella, serbuk semanggi, dan daun
mint disaring terlebih dulu, sehingga dihasilkan
filtrasi tanpa ampas. Kemudian penambahan gula
dan dipanaskan untuk proses kristalisasi.
Pemanasan dilakukan hingga mengental dan
menghasilkan serbuk kristal kasar. Serbuk kristal
kasar yang dihasilkan dihancurkan dengan
blender. Setelah itu dilanjutkan dengan proses
pengayakan hingga diperoleh serbuk kristal halus
sebagai serbuk instan semanggi. Serbuk instan
melalui tahapan penyeduhan terlebih dahulu pada
saat akan disajikan sebagai minuman herbal.
Seperti tertera di dalam Gambar 1, sebanyak
53,3% panelis secara umum menyatakan suka
terhadap minuman herbal terpilih, formula 127.
Sebanyak 16,7% panelis secara berurutan
menyatakan sangat suka dan agak suka. Dengan
demikian minuman herbal sampel 127 dapat
diterima oleh panelis perwakilan konsumen.
Gambar 1 Hasil Rata-Rata Uji Organoleptik
Panelis Terlatih
Keterangan:
01= Sangat Tidak Suka 653: Formula Pertama
02= Tidak Suka 308: Formula Kedua
03= Kurang Suka 127: Formula Ketiga
04= Netral/Biasa
05= Agak Suka
06= Suka
07= Sangat Suka
Tabel 1 Hasil Evaluasi Konsumen Secara Umum
Keterangan:
3= Kurang Suka 4= Netral/Biasa
5= Agak Suka 6= Suka
7= Sangat Suka
Berdasarkan Tabel 1 di atas, sebanyak
53,3% panelis secara umum menyatakan suka
terhadap minuman herbal sampel formula 127.
Sebanyak 16,7% panelis secara berurutan
menyatakan sangat suka dan agak suka. Dengan
demikian minuman herbal sampel formula 127
dapat diterima oleh panelis perwakilan konsumen.
Adapun hasil uji laboratorium minuman
herbal semanggi terpilih sebagai berikut:
Gambar 2 Komposisi Nutrisi Minuman Herbal
Semanggi per Sajian
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 31
Tabel 2 Hasil Uji Laboratorium Kandungan Nutrisi
Minuman Herbal Semanggi
Dari hasil uji laboratorium minuman herbal
semanggi yang tertera pada Tabel 2 di atas,
didapati kadar abu yang terkandung sebanyak
20,62%. Hal ini mengindikasikan banyaknya kandungan
mineral di dalam minuman herbal semanggi terpilih
formula 127. Hasil uji kandungan Vitamin C pada
minuman herbal tidak terdeteksi. Hal ini dapat
diakibatkan oleh tahapan melalui pemanasan
pada saat proses pembuatan yang menyebabkan
kandungan Vitamin C menguap. Oleh karena itu,
penelitian selanjutnya dapat menggunakan metode
lain seperti vacuum drying atau freeze drying sehingga
kandungan vitamin tetap terjaga. Dalam penelitian
selanjutnya, juga dapat menggunakan tanaman
lokal lainnya yang berkahsiat bagi kesehatan.
Bagian tanaman yang dimanfaatkan sebagai bahan
utama hanya bagian daun untuk diolah sebagai
minuman herbal lainnya yang praktis dan dapat
diterima masyarakat secara luas.
SIMPULAN
Serbuk semanggi telah berhasil diolah dengan
baik menjadi minuman herbal yang dapat dikonsumsi.
Metode kristalisasi lebih memberikan hasil maksimal
dalam pembuatan serbuk instan semanggi sebagai
minuman herbal. Dengan dihasilkannya kreasi
produk berupa minuman herbal dari serbuk instan
semanggi air, maka pemanfaatan daun semanggi
dapat lebih optimal. Dengan demikian, masyarakat
memiliki pilihan lain dalam mengkonsumsi minuman
herbal yang kaya manfaat dengan mudah tanpa
mengganggu rutinitas sehari-hari, sehingga kesehatan
tubuh tetap terjaga. Selain itu, kreasi minuman
herbal ini menjadi alternatif minuman yang dapat
dikonsumsi oleh generasi muda Serbuk semanggi
yang tinggi serat dapat langsung dikonsumsi dan
direkomendasikan untuk digunakan sebagai makanan
tambahan pengganti sayuran. Selain itu, minuman
herbal semanggi juga dapat menjadi salah satu
pilihan oleh-oleh lokal khas bagi wisatawan yang
mengunjungi kota Surabaya.
SARAN
Disarankan pada penelitian minuman herbal
selanjutnya menggunakan gula aren dan madu sebagai
pengganti gula pasir, agar minuman herbal dari
serbuk instan semanggi air dapat dinikmati kalangan
konsumen dan wisatawan yang lebih tua ataupun
penderita diabetes. Pemanfaatan kampung semanggi
sebagai salah satu destinasi wisata mendapat porsi
perhatian lebih, khususnya bagi pemerintah kota
Surabaya. Penyediaan lahan yang memadai dan
peraturan bagi kontraktor perumahan harus lebih
dipertimbangkan demi keberlangsungan budidaya
semanggi dan peluangnya sebagai destinasi wisata.
Dengan demikian, wisatawan asing dan lokal lebih
mempertimbangkan melakukan perjalanan wisata
ke Surabaya.
DAFTAR PUSTAKA
Afriastini, J.J., 2003. Marsilea crenata C. Presl. In:
de Winter, W.P. & Amaroso, V.B. (Editors). Plant
Resources of South-East Asia No 15(2).
Cryptogams: ferns and fern allies. Bogor: LIPI.
Christiansen, Suzanne. 2010. Flavours and Colors.
Colourful Business. In Dairy Industries International
(April). www.dairyindustries.com Ada pada hal.5
Herlambang, E.S. Hubeis, Musa. Palupi, N.S. 2011.
Kajian Perilaku Konsumen terhadap Strategi
Pemasaran Teh Herbal di Kota Bogor Study
on Consumer Behavior Marketing Strategy of
Herbal Tea in the City of Bogor. Manajemen
IKM, September 2011 (143-151) Vol. 6 No. 2
Ismiati, Erna Retno (2015) Aktivitas Antioksidan Minuman
Herbal Rambut Jagung Dengan Variasi Kondisi
Dan Lama Perebusan. Skripsi thesis, Universitas
Muhammadiyah Surakarta.
Nini Jayanti Saleh, S.E., BBA, M.Tr.Par dan Moses Soediro, S.E., BBA, MM
32 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Naes, Tormod. Brockhoff, Per B. Tomic, Oliver. 2010.
Statistic for Sensory and Consumer Science.
UK: John Wiley & Sons Ltd.
Okpara, Friday O. 2007. “The Value of Creativity and
Innovation in Enttrepreneurship”. Journal of Asia
Entrepreneurship and Sustainability. Vol 3 (2), 2007.
Ravikumar. 2014. “Review on Herbal Teas”. Journal
of Pharmaceutical Sciences and Research.
Vol 6 (5), 2014, 236-238.
Stone, H and Sidel, JL. 1993. Sensory Evaluation
Practices. 2nd ed. Academic Press: San Diego.
Symons, M. (1999). Gastronomic authenticity and
the sense of place. Paper presented at the
9th Australian Tourism and Hospitality
Research Conference for Australian
University Tourism and Hospitality Education.
Widodo, Dukut Imam. 2002. Soerabaia Tempo
Doeloe. Surabaya: Dinas Pariwisata.
Widyanto, P.S dan A Nelistya, 2008. Rosella.
Aneka Olahan, Khasiat dan Ramuan. Jakarta:
Penebar Swadaya.
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 33
KEPERCAYAAN MASYARAKAT DESA ARGAPURA
TERHADAP BUDAYA ANGKLUNG GUBRAK SEBAGAI SALAH SATU BENTUK
MODAL SOSIAL DALAM PENGEMBANGAN EKOWISATA
Tri Rahayuningsih, E.K.S. Harini Muntasib dan Jadda Muthiah
Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB,
Kampus IPB Darmaga 16680 telpon/fax 0251-8624887
Abstract
Budaya merupakan salah satu sumberdaya yang menjadi modal dasar dalam pengembangan ekowisata,
selain sumberdaya alam. Kesenian angklung gubrag (angklung leluhur) merupakan salah satu budaya
yang mampu menjadi aspek yang menggerakkan masyarakat di Desa Argapura (Kabupaten Bogor) untuk
turut berperan aktif dalam pengembangan ekowisata. Keberadaan seni budaya angklung gubrak ini sangat
penting sebagai alat pemersatu warga di Desa Argapura untuk turut berperan dalam pengembangan
ekowisata. Hal ini terlihat pada kondisi meskipun Desa Argapura memiliki sumberdaya yang unik dan khas
yaitu berupa gua karst sebagai daya tarik wisata, namun masyarakat kurang aktif ikut berperan serta dalam
pengembangan ekowisatanya. Penelitian dilakukan dengan menggunakan metode in depth interview,
observasi lapang, observasi partisipasi, studi pustaka, penelusuran dokumen dan wawancara. Hasil
penelitian ini akan memberikan gambaran tingkat kepercayaan masyarakat Desa Argapura terhadap
budaya angklung gubrag sebagai salah satu bentuk modal sosial untuk meningkatkan ekowisata daerahnya.
Keywords: Budaya Angklung Gubrak, Kepercayaan, Modal Sosial, Mayarakat, Desa Argapura.
PENDAHULUAN
Pengembangan ekowisata, tidak hanya bergantung
dari kondisi daya tarik alam dan budaya saja,
namun juga dari masyarakat sebagai bagian dari
komponen sosial adalah modal sosial yang memiliki
peran dan tanggung jawab untuk menentukan
pengembangan ekowisata, (UNEP & WTO 2002).
Hal ini dibuktikan dari berbagai hasil pembelajaran
yang menunjukkan bahwa partisipasi masyarakat
sangat penting dalam segala aspek perencanaan
dan pengelolaan ekowisata. Berbeda dengan
modal alam dan budaya yang sudah banyak di
bahas dalam literatur mengenai ekowisata, partisipasi
dan keterlibatan masyarakat dalam kegiatan
ekowisata masih belum banyak mendapatkan perhatian
(Hakim dan Nakagoshi, 2008). Modal sosial memegang
peranan yang sangat penting dalam memfungsikan
dan memperkuat masyarakat modern. Pretty & Ward
(2001), Pretty (2003) dan Pretty & Smith (2003)
berpendapat bahwa salah satu komponen pembentuk
modal sosial adalah mencakup rasa saling mempercayai.
Kepercayaan ini merupakan dasar dalam membangun
jaringan sosial yang didukung oleh semangat untuk
saling menguntungkan sebagai refleksi kekuatan
masyarakat (Inayah, 2012).
Desa Argapura merupakan salah satu desa
di Kecamatan Cigudeg Kabupaten Bogor bagian Barat;
secara geografis terletak antara 06º27’08.9” -
06º27,58.0” LS dan 106º30’18,4”- 106º 30’44.7” BT.
Desa ini memiliki potensi wisata berupa Kawasan
Karst seluas 2,7 Ha yang terdiri dari beberapa
kompleks gua, yaitu Gua Simenteng, Gua Simasigit,
Gua Sigaraan, Gua Sibulan, Gua Sipatahunan,
Gua Sinampol (dimanfaatkan sebuah perusahaan),
dan Gua Siparat. Kawasan karst Goa Gudawang
(Gambar 8) telah dikembangkan sebagai daya
tarik wisata sejak tahun 1991 di bawah pengelolaan
Pemerintah Daerah Kabupaten Bogor.
Penduduk Desa Argapura merupakan perpaduan
penduduk asli dan pendatang. Mayoritas penduduk
Desa Argapura adalah suku Sunda, peringkat
kedua yang mendominasi adalah suku Jawa, sisanya
adalah campuran dari beberapa suku di luar Pulau
Jawa (seperti: Melayu dan Batak dari Pulau
Sumatera, Manado dari Sulawesi, dan sebagainya).
Kondisi budaya di Desa Argapura cenderung
dipengaruhi oleh Budaya Sunda, meskipun banyak
adanya pendatang dari daerah lain. Kesenian
yang paling terkenal di Desa Argapura dan telah
mendapatkan pengakuan dari Dinas Pariwisata
Erna Ervina Wati, Yustisia Pasfatima Mbulu, Fahrurozy Darmawan
34 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
dan Kebudayaan Kabupaten Bogor adalah kesenian
Angklung Gubrag (Angklung Leluhur) (Profil Desa
Argapura 2010).
Budaya merupakan salah satu sumberdaya
yang menjadi modal dasar dalam pengembangan
ekowisata, selain adanya sumberdaya alam. Kesenian
angklung gubrag (Angklung leluhur) merupakan
salah satu budaya yang mampu menjadi aspek
yang menggerakkan masyarakat di Desa Argapura
untuk turut berperan aktif dalam pengembangan
ekowisata. Keberadaan seni budaya Angklung Gubrak
ini sangat penting sebagai alat pemersatu warga
di Desa Argapura untuk turut berperan dalam
pengembangan ekowisata. Hal ini terlihat pada
kondisi meskipun desa Argapura memiliki sumberdaya
yang unik dan khas yaitu berupa gua karst sebagai
daya tarik wisata, namun masyarakat kurang aktif
ikut berperan serta dalam pengembangan ekowisatanya.
Berdasarkan penelitian sebelumnya yang dilakukan
(Muntasib, Meilani, Sunkar dan Rahayuningsih 2015)
diketahui bahwa kepercayan masyarakat terhadap
pihak luar yang terkait dengan kegiatan wisata
pada Obyek Gua Gudawang sejauh ini baru berupa
penerimaan terhadap kegiatan wisata, pendidikan
dan penelitian semata. Namun belum ada bentuk
kepercayaan yang berupa jalinan kerjasama dalam
pemeliharan, pengelolaan maupun pengembangan
Gua Gudawang. Jaringan sosial di Desa Argapura
yang ke arah pengembangan wisata Gua Gudawang
belum ada yang terikat secara formal, umum maupun
secara kelembagaan. Sejauh ini baru terdapat beberapa
sukarelawan dari pemuda Kampung Cipining
yang membantu di Gua Gudawang saat ada
kunjungan (khususnya saat ramai pengunjung
pada hari besar). Namun keterlibatan partisipasi
pemuda ini hanya sebatas pada petugas parkir saja.
Bentuk partisipasi lainnya, seperti pemeliharaan
gua dan lingkungan di sekitarnya, belum ada.
Warga Argapura masih memiliki kepercayaan
pada adat atau tradisi leluhur yang merupakan
perpaduan dengan norma agama yang diyakini
(Islam). Namun Desa Argapura tidak memiliki kepala
adat, melainkan ada sesepuh kesenian Angklung
Gubrag yang dihormati oleh warga karena merupakan
keturunan ke tujuh dari pembuat angklung gubrag
keramat, yaitu alat musik angklung yang usianya
sudah mencapai tujuh turunan, sehingga dikeramatkan
dan dianggap sebagai benda pusaka. Kesenian
angklung gubrak ini unik dan berbeda dengan
yang lain maka masyarakat asli maupun pendatang
yang menikah dengan penduduk asli Argapura,
tepatnya Kampung Cipining, semua melebur menjadi
satu membentuk kelompok-kelompok kesenian
angklung yang terdiri dari laki-laki dan perempuan
baik muda maupun dewasa. Untuk itu perlu adanya
penelitian terkait kepercayaan masyarakat desa
Argapura terhadap budaya angklung gubrak sebagai
salah satu modal sosial dalam pengembangan
ekowisata di desa Argapura.
Sehingga penelitian ini sangat diperlukan
untuk mengetahui nilai penting angklung gubrak
bagi warga desa Argapura sebagai salah satu
budaya yang memiliki kekuatan untuk menggerakkan
masyarakat secara bersama untuk berpartisipasi
dalam pengembangan ekowisata Desa Argapura.
METODE
Penelitian ini dirancang sebagai penelitian
survey yang bersifat menggali permasalahan dan
fenomena sosial yang ada. Arah penelitian adalah
menemukan fakta atas dasar fenomena faktual
tentang modal sosial yang akan dinilai sebagai
pendukung pengembangan ekowisata. Data mengenai
unsur modal sosial, kondisi umum lokasi, kondisi
sosial dan ekonomi, kondisi ekowisata dan kebijakan
ekowisata dikumpulkan melalui teknik pengumpulan
data in depth interview dilakukan pada tokoh kunci
masyarakat yang memiliki pengetahuan sesuai
dengan keperluan penelitian, observasi lapang,
observasi partisipasi, studi pustaka, penelusuran
dokumen dan wawancara.
HASIL PEMBAHASAN
Kondisi Desa Argapura
Wilayah Desa Argapura sebesar 3681 ha.
Penggunaan lahan meliputi pemukiman, persawahan,
perkebunan, pemakaman, taman pekarangan dan
prasarana umum lainnya. Desa Argapura merupakan
daerah yang memiliki curah hujan 46 mm/bulan.
Suhu rata-rata harian 30,25 ˚C dan ketinggian di
daerah ini bervariasi antara 200 – 400 mdpl.
Kondisi tanah di Desa Argapura memiliki tekstur
lempung dan debuan, dengan sebagian besar
warna tanah hitam dan abu-abu. Jumlah total
penduduk Desa Argapura 11.168 jiwa dengan
jumlah kepala keluarga ± 3.064 KK. Mayoritas
penduduk beragama Islam.. Mata pencaharian
sebagian besar penduduk adalah bertani, buruh
(tani, kebun) penambang batu gamping, berternak,
berdagang dan PNS/pensiunan PNS. Desa Argapura
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 35
memiliki potensi wisata berupa Kawasan Karst
seluas 2,7 Ha yang terdiri dari beberapa kompleks gua,
yaitu Gua Simenteng, Gua Simasigit, Gua Sigaraan,
Gua Sibulan, Gua Sipatahunan, Gua Sinampol
(dimanfaatkan sebuah perusahaan), dan Gua Siparat.
Kawasan karst Goa Gudawang (Gambar 9) telah
dikembangkan sebagai daya tarik wisata sejak
tahun 1991 di bawah pengelolaan Pemerintah Daerah
Kabupaten Bogor. Selain itu memiliki potensi
kesenian berupa kesenian angklung gubrag (angklung
leluhur) dan dalangan wayang golek yang dapat
menjadi daya tarik bagi wisatawan. Kesenian
tersebut telah mendapat pengakuan dari Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bogor.
Modal Sosial Masyarakat
Modal sosial secara umum didefinisikan sebagai
jaringan yang mendorong pengembangan sumberdaya
dan manfaat yang dapat digunakan untuk meningkatkan
kualitas individu serta masyarakat (Portes 1998, Woolcock
1998, Pretty & Ward 2001, Pretty & Smith 2003)
dan organisasi sejenis (Nahapiet & Ghosal 1998).
Salah satu faktor pembentuk modal sosial adalah
kepercayaan. Faktor ini dapat meningkatkan kerjasama
dengan mengurangi biaya pengeluaran dan meningkatkan
pertukaran sumberdaya, keterampilan dan pengetahuan
(Pretty & Ward 2001, Pretty 2003, Pretty & Smith 2004).
Saat kepercayaan dalam struktur sosial meningkat,
begitu pula dengan kesediaan individu untuk
mempercayai orang-orang yang tidak dikenalnya
(Pretty & Ward 2001). Akibatnya, individu lebih
cenderung untuk memulai dan bergabung dengan
organisasi lokal yang bertujuan untuk memperbaiki
kondisi sosial, ekonomi, atau lingkungan setempat
(Pretty & Smith, 2003). Putnam dalam Hasbullah
(2006) menyatakan bahwa bangsa yang memiliki
modal sosial tinggi cenderung lebih efisien dan
efektif dalam menjalankan berbagai kebijakan
untuk mensejahterakan dan memajukan kehidupan
rakyatnya. Modal sosial dapat meningkatkan kesadaran
individu tentang banyaknya peluang yang dapat
dikembangkan untuk kepentingan masyarakat.
Warga Desa Argapura umumnya memiliki
tingkat kepercayaan yang relatif kurang atau bahkan
biasa saja terhadap pemerintah desa. Kepercayaan
dan penghormatan cenderung ditujukan kepada
kalangan yang memiliki kemampuan ekonomi lebih.
Warga lebih memiliki kepercayaan pada tokoh
masyarakat dan agama, yaitu tokoh kesenian dan
tokoh agama setempat. Kepercayaan ini ditunjukkan
dengan sikap warga yang masih meyakini dan
menghormati sekali pusaka kesenian Angklung
Gubrag yang dianggap keramat oleh warga. Selain
itu kepercayaan terhadap tokoh agama juga ditunjukkan
warga, khususnya kalangan kaum laki-laki, yang
secara serempak dan saling menyambangi antar
tetangga untuk berangkat menuju ke masjid pada
saat tibanya waktu ibadah sholat Jum’at.
Warga Desa Argapura juga meyakini bahwa
saat hari Jum’at, khususnya pada saat pagi hingga
siang hari, sebaiknya tinggal di rumah (berdiam
diri di rumah) dan tidak boleh berangkat kerja ke
kebun/sawah. Mereka meyakini bahwa jika berangkat
akan terjadi sesuatu hal yang tidak baik saat
bekerja. Larangan seperti ini disebut dengan istilah
“pamali”. Setelah siang hari warga diperbolehkan
menajalankan aktivitasnya kembali. Hal ini menunjukkan
kentalnya perpaduan antara keyakinan agama
dengan beberapa tradisi leluhur.
Warga Desa Argapura memiliki kepercayaan
yang cukup kuat terhadap sesama warga. Hal ini
terlihat dari cara dan sikap mereka dalam keseharian
hidupnya yaitu warga antar tetangga tidak pernah
atau jarang mengunci pintu saat pergi meninggalkan
rumah mereka, dan mereka saling percaya untuk
menitipkan rumah yang mereka tinggalkan. Saat
ada warga yang memerlukan bantuan barang atau
jasa dari warga lainnya, mereka datang dengan
mengucapkan salam dan langsung masuk ke
dalam ruangan dimana si pemilik rumah berada.
Kepercayaan terhadap sesama warga sehubungan
dengan pendapatan atau mata pencaharian yang
terkait dengan kegiatan wisata dari obyek wisata
Gua Gudawang, umumnya juga terjalin dengan baik.
Sebagian besar warga cenderung kurang peduli
dan belum ada rasa memiliki akan keberadaan
daya tarik wisata Gua Gudawang.
Warga masyarakat Argapura umumnya memiliki
kepercayaan terhadap orang luar yang datang ke
daerahnya. Hal ini ditunjukkan dengan keterbukaan
mereka menerima pendatang yang ada di lingkungan
baik kampung maupun desa mereka (Gambar 1).
Pendatang di Desa Argapura ini berasal dari berbagai
daerah di pulau Jawa bahkan ada yang berasal
dari luar Pulau Jawa. Pendatang ini umumnya datang
melalui pesantren Darrun Najah yang ada di Desa
Argapura Kampung Cipining. Mereka datang untuk
mondok (menuntut ilmu), namun seiring waktu
mendapatkan pekerjaan di Desa Argapura dan
menikah dengan penduduk setempat.
Erna Ervina Wati, Yustisia Pasfatima Mbulu, Fahrurozy Darmawan
36 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Gambar 1 Warga Desa Argapura saat menerima
tamu/pendatang
Hubungan antar warga penduduk asli dengan
penduduk pendatang yang menetap di Desa Argapura
umumnya baik, namun persaingan dalam hal mata
pencaharian terjadi dan sering menimbulkan
kecemburuan sosial meskipun tidak menimbulkan
konflik yang berarti. Sekretaris Desa Argapura
menyampaikan bahwa umumnya warga pendatang
memiliki keuletan dan ketelatenan sehingga mereka
cenderung berhasil dalam dunia usaha. Bidang
usaha yang digeluti oleh para pendatang ini antara
lain sebagian besar sebagai peternak ayam, domba
atau sapi dan juga pedagang. Kegiatan usaha
peternakan ini merupakan hasil keahlian yang
mereka dapatkan saat menuntut ilmu di pesantren.
Pesantren Darrun Najah menetapkan sistem
pembelajaran yang unik. Para santri selain belajar
tentang ilmu agama juga diberi tugas untuk belajar
menjalankan usaha, baik berdagang maupun beternak.
Kepercayan terhadap pihak luar yang terkait
dengan kegiatan wisata di Gua Gudawang sejauh
ini baru berupa penerimaan terhadap kegiatan wisata,
pendidikan dan penelitian semata. Namun belum
ada bentuk kepercayaan yang berupa jalinan
kerjasama dalam pemeliharan, penegelolaan
maupun pengembangan Gua Gudawang yang
saat ini berada di bawah pengelolaan Dinas
Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Bogor
Warga Argapura masih memiliki kepercayaan
pada adat atau tradisi leluhur yang merupakan
perpaduan dengan norma agama yang diyakini
(Islam). Namun Desa Argapura tidak memiliki kepala
adat, melainkan ada sesepuh kesenian Angklung
Gubrag yang dihormati oleh warga karena merupakan
keturunan ke 7 dari pembuat angklung gubrag
keramat, yaitu alat musik angklung yang usianya
sudah mencapai 7 turunan, sehingga dikeramatkan
dan dianggap sebagai benda pusaka (Gambar 2).
Dalam pembuatan angklung gubrag juga dilakukan
upacara khusus untuk memilih bambu. Jenis
bambu yang biasa digunakan sebagai alat musik
tersebut adalah bambu hitam (awi wulung) dan
bambu putih (awi temen). Tiap nada (laras)
dihasilkan dari bunyi tabung bambunya yang
berbentuk bilah (wilahan) setiap ruas bambu dari
ukuran kecil hingga besar. Angklung Gubrag ini
hanya akan dimainkan oleh sesepuh pada saat
ada kejadian khusus, seperti upacara ruwatan
atau tolak bala dalam mengusir wabah penyakit,
atau pada acara-acara hari besar agama seperti
perayaan Maulid Nabi/Isro’ Mi’roj. Selain itu digunakan
untuk menghormati dewi padi dalam kegiatan melak
pare (menanam padi), ngunjal pare (mengangkut
padi), dan ngadiukeun (menempatkan) ke leuit
(lumbung). Dalam mitosnya angklung gubrag mulai
ada ketika suatu masa kampung Cipining
mengalami musim paceklik.
Gambar 2 Angklung Gubrag Keramat
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 37
Warga masyarakat Argapura umumnya
sudah tidak mengadakan penyelenggaraan
upacara adat. Namun terdapat tradisi yang masih
dilakukan oleh sesepuh kesenian Angklung
Gubrag. Biasanya pada bulan suro sesepuh
melakukan pemandian atau pembersihan pusaka
angklung gubrag keramat. Selain itu saat ada
kegiatan pengusiran wabah penyakit sebelum
memainkan angklung gubrag, sesepuh akan
melakukan doa khusus terlebih dahulu.
Alat musik angklung gubrak keramat ini
merupakan kesenian yang khas dan dikeramatkan
oleh masyarakat Argapura yang dibuat oleh
almarhum bapak Muhtar. Dalam pembuatan
angklung gubrak berbeda pembuatannya dengan
angklung-angklung yang lain. Pembuatan angklung
gubrak diperlukan ritual khusus. Ritual yang dimaksud,
dalam pembuatan angklung yang terdiri dari tiga
ruas dan tiap ruasnya diharuskan berpuasa selama
satu bulan, sehingga angklung tersebut dikramatkan
oleh masyarakat sekitar dan jarang digunakan
untuk pertunjukan. Jika ingin menggunakan angklung
keramat ini maka diharuskan untuk melakukan
ziarah terlebih dahulu ke makam almarhum bapak
Muhtar dengan tujuan untuk meminta izin menggunakan
angklung gubrak yang dikeramatkan. Masyarakat
sekitar melestarikan kesenian angklung gubrak dengan
membuat suatu duplikat angklung yang biasanya
digunakan untuk pertunjukan dengan anggota
sebanyak 20 orang. Kesenian angklung gubrak ini
unik dan berbeda dengan yang lain maka masyarakat
asli maupun pendatang yang menikah dengan penduduk
asli Argapura, tepatnya Kampung Cipining, semua
melebur menjadi satu membentuk kelompok-
kelompok kesenian angklung yang terdiri dari laki-
laki dan perempuan baik muda maupun dewasa.
Dalam perkembangannya kini angklung
gubrag tidak hanya dimainkan saat nandur saja,
tetapi dimainkan juga dalam berbagai acara,
seperti penyambutan tamu agung, pernikahan
adat, dan di berbagai ritual dalam seren taun.
Pemain angklung gubrag diharuskan memakai
baju kampret dan celana pangsi, dilengkapi
dengan penutup kepala atau iket. Dahulu yang
memainkan angklung gubrag adalah perempuan,
karena berhubungan dengan dewi kesuburan,
namun kini tidak hanya perempuan yang boleh
memainkan agklung gubrag. Angklung Gubrag
telah mendapatkan pengakuan dari Dinas Pariwisata
dan Budaya Kabupaten Bogor sebagai salah satu
seni budaya unggulan yang senantiasa disajikan
saat kesempatan acara-acara khusus dan besar
di Kabupaten Bogor. Seperti perayaan ulang
tahun Kabupaten dan Kota Bogor. Angklung
terdaftar sebagai Karya Agung Warisan Budaya
Lisan dan Nonbendawi Manusia dari UNESCO
sejak November 2010.
SIMPULAN Budaya merupakan salah satu sumberdaya
yang menjadi modal dasar dalam pengembangan
ekowisata, selain adanya sumberdaya alam.
Kesenian Angklung Gubrag (Angklung leluhur)
merupakan salah satu budaya yang mampu
menjadi aspek yang menggerakkan masyarakat
di desa argapura untuk turut berperan aktif dalam
pengembangan ekowisata. Keberadaan seni
budaya Angklung Gubrak ini sangat penting
sebagai alat pemersatu warga di Desa Argapura
untuk turut berperan dalam pengembangan
ekowisata. Hal ini terlihat pada kondisi meskipun
desa Argapura memiliki sumberdaya yang unik
dan khas yaitu berupa Gua karst sebagai obyek
wisata, namun masyarakat kurang aktif ikut
berperan serta dalam pengembangan ekowisatanya.
Sehingga melalui budaya angklung gubrag ini
diharapkan dapat menghidupkan peran serta
masyarakat sebagai bagian dari dukungan dalam
pengembangan ekowisata Desa Argapura
DAFTAR PUSTAKA
Baksh R., Soemarno, Hakim L, Nugroho I. 2013.
Social Capital in the Development of Ecotourism:
A Case Study in Tambaksari Village Pasuruan
Regency, East Java Province, Indonesia.
J.Basic Appl.Sci.Res., 3(3):1-7.
Fadli. 2007. Peran Modal Sosial dalam Percepatan
Pembangunan Desa Pasca Tsunami (Kasus
Pembangunan Perumahan dan Peningkatan
Pendapatan Keluarga di Beberapa Desa di
Kabupaten Aceh Besar). Tesis. Bogor: Sekolah
Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Grootaert C. 1998. Social Capital: The Missing Link?
Social Capital Initiative: Working Paper 3.
The World Bank
Hakim, L., dan Nakagoshi, N. 2008. Planning for
Nature-Based Tourism in East Java: Recent
Status of Biodiversity, Conservation, and Its
Implication for Sustainable Tourism ASEAN
Jour. Tour. Hosp. 7(2):155-167
Erna Ervina Wati, Yustisia Pasfatima Mbulu, Fahrurozy Darmawan
38 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
Hasbullah, J. 2006. Sosial Capital (Menuju Keunggulan
Budaya Manusia Indonesia). Jakarta: MR
United Press.
Inayah. 2012. Peranan Modal Sosial dalam
Pembangunan. Ragam Jurnal Pengembangan
Humaniora Vol. 12 No. 1, April 2012.
Isham J, Deepa N, Pritchett L. 1995. Does
Participation Improve Performance? Establishing
Causality with Subjective Data. The World
Bank Economic Review 9(2):175-200.
Jones S. 2005. Community-based Ecotourism:
The Significance of Social Capital. Annals of
Tourism Research 32(2): 302-324.
Krishna A, Shrader E. 1999. Social Capital
Assessment Tool. [Makalah]. Conference on
Social capital and Poverty Reduction.
Washington DC:The World Bank.
Mansuri G, Rao V. 2004. Community-Based and
Driven Development: A Critical Review. The
World Bank Research Observer, 19 (1):1-39.
Moser, C. 1996. Confronting Crisis: A Comparative
Study of Household Responses to Poverty
and Vulnerability in Four Poor Urban
Communities. Environmentally Sustainable
Development Studies and Monographs
Series 8. Washington, D.C.: World Bank
Nahapiet J, Ghosal S. 1998. Social Capital, Intellectual
Capital, and the Organizational Advantage. The
Academi of management Review, 23(2):242-266.
Narayan D. 1995. Designing Community-Based
Development. Social Development Paper 7. World
Bank, Environmentally and Socially Sustainable
Development Network, Washington, D.C.
Narayan D, Cassidy MF. A Dimensional Approach
to Measuring Social Capital: Development
and Validation of a Social Capital Inventory.
Current Sociology 49(2): 59 – 102
Oktadiyani P. 2010. Modal Sosial Masyarakat Kawasan
Penyangga Taman Nasional Kutai (TNK) dalam
Pengembangan Ekowisata. Tesis. Bogor:
Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor.
Portes A. 1998. “Social capital: Its origins and
applications in modern sociology.” Annual
Review of Sociology 24: 1-24.
Pretty J. 2003. Social Capital and the Collective
Management of Resources. Science302: 1912- 14.
Pretty J, Smith D. 2003. Social Capital in
Biodiversity Conservation and Management.
Conservation Biology. 18:3. 631-8
PrettyJ, Ward H. 2001. Social Capital and the
Environment.World Development. 29:2. 209-27.
StoneW. 2001. Measuring social capital: towards
a theoretically informed measurement framework
forresearching social capital in family and
community life. [Research Paper No.24,
February 2001]. Melbourne, Australia: Australian
Institute of Family Studies.
Sunkar A, Rachmawati E. 2013. Ecotourism
Development in Brunei Darussalam, Indonesia,
Lao PDR, Myanmar and Singapore. Dalam
Opportunities and Challenges of Ecotourism
in AEAN Countries.
Syahra R. 2003. Studi Diagnostik Peningkatan
Keberdayaan Komunitas melalui Pengembangan
Modal Sosial di Kota Sawahlunto. [Makalah].
Seminar Hasil Penelitian di Pemerintah Kota
Sawahlunto.
[UNEP] United Nations Environment Programme
dan [WTO] World Tourism Organization. 2002.
Quebec Declaration on Ecotourism. Quebec
City, Canada: World Ecotourism Summit.
Varshney A. 2000. Ethnic Conflict and Civic Life:
Hindus and Muslims in India. New Haven,
Conn.: Yale University Press
Woolcock M. 1998. Social capital and economic
development: Toward a theoretical synthesis
and policy framework. Theory and Society
27: 151-208.
[WTO] World Tourism Organization.2002. World
Ecotourism Summit – Final Report. World
Tourism Organization dan United Nnations
Environment Programme, Spain
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 39
BIODATA PENULIS
Made Adhi Gunadi Menyelesaikan S1 Ilmu Komunikasi di Universitas Gadjah Mada dan Magister Pariwisata dari STP Trisakti. Selain aktif mengajar di Universitas Pancasila, Made juga dikenal sebagai travelwriter lepas. Manajemen dan pemasaran pariwisata, ekowisata, komunikasi pariwisata dan tourist behaviour merupakan topik-topik yang menjadi perhatian utamanya dalam penelitian. Email: [email protected] Fahrurozy Menyelesaikan D3 Program Studi Pariwisata, kemudian melanjutkan S1 Program Studi Komunikasi Mercu Buana dan S2 Perencanaan Pariwisata Institut Teknologi Bandung. Perencanaan pariwisata dan komunikasi merupakan topik-topik yang menjadi perhatian utamanya dalam penelitian. Email: [email protected] Ruri Nurhalin Menyelesaikan S1 Pariwisata Program Studi Pariwisata di Universitas Pancasila pada tahun 2015. Nini Jayanti Menyelesaikan S1 Manajemen Perhotelan di Universitas Kristen Petra Surabaya dan menyelesaikan Program Double Degree Administrasi Bisnis di Christelijke Hoogeschool Netherland (Belanda) dan Program S2 di Pariwisata. Pada tahun 2001-2015 menjadi Kepala Departemen Pariwisata dan Manajemen Perhotelan di Universitas Ciputra Surabaya. Saat ini mengajar di Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra. Email: [email protected] Moses Soediro Menyelesaikan S1 Manajemen Perhotelan di Universitas Kristen Petra Surabaya dan menyelesaikan Program Double Degree Administrasi Bisnis di Christelijke Hoogeschool Netherland (Belanda) dan Program S2 Supply Chain Management di Universitas Kristen Petra. Saat ini mengajar di Fakultas Pariwisata Universitas Ciputra. Email: [email protected] Tri Rahayuningsih Menyelesaikan studi (S1) di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2006 dan memperoleh gelar master sains (MSi) dari Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan pada tahun 2016. Terlibat dalam berbagai penelitian terkait perencanaan ekowisata, pemetaan dan konservasi alam. Pada tahun 2014 peneliti mulai terlibat dalam penelitian terkait Modal Sosial Masyarakat Jawa Barat dalam Pengembangan Ekowisata. Telah mempublikasikan tulisannya pada beberapa jurnal nasional dan internasional serta menjadi pembicara pada seminar internasional. Email : [email protected] E.K.S. Harini Muntasib Menyelesaikan studi (S1) di Fakultas Biologi, Universitas Gadjah Mada pada tahun 1980, S2 dan S3 Pasca sarjana IPB pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya alam & Lingkungan IPB. Berbagai kegiatan riset tentang Wisata telah dilakukan, mulai dari identifikasi kebutuhan SDM Wisata alam di Kawasan Konservasi, menyusun berbagai perencanaan Wisata, tata kelola Ekowisata, Juga menyusun berbagai SNI dan Standar pelayanan masyarakat tentang Wisata dan Rekreasi Alam. Penelitian terbaru adalah Modal Sosial Masyarakat dalam Pengembangan Ekowisata yang telah dilaksanakan dari tahun 2014-sekarang. Jadda Muthiah Menyelesaikan studi (S1) di Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Fakultas Kehutanan IPB pada tahun 2010 dan memperoleh gelar master sains (MSi) dari Program Studi Manajemen Ekowisata dan Jasa Lingkungan pada tahun 2015 melalui program Beasiswa Unggulan Dalam Negeri dari Kementerian Riset Teknologi dan Pendidikan Tinggi. Terlibat dalam berbagai penelitian terkait ekowisata, konservasi, dan kemasyarakatan, terutama dalam hubungan pendanaan konservasi dan upaya pelestarian kawasan serta masyarakat sebagai hubungan integral.
Journal of Tourism Destination and Attraction
40 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
JOURNAL OF TOURISM DESTINATION AND ATTRACTION
Jurnal Tourism Destination and Attraction merupakan media untuk publikasi tulisan asli yang berkaitan dengan pariwisata secara luas, dalam Bahasa Indonesia. Naskah dapat berupa: hasil-hasil penelitian mutakhir (paling lama 5 tahun yang lalu), ulasan (review), analisis kebijakan dan hasil awal penelitian (preliminary result). Naskah yang diterima adalah naskah yang belum pernah dimuat atau tidak sedang dalam proses publikasi dalam jurnal ilmiah nasional maupun internasional lainnya.
FORMAT Agar naskah dapat dipublikasikan, penulis
diharapkan untuk mengikuti format yang telah
ditentukan. Naskah termasuk Abstrak diketik
satu spasi pada kertas HVS ukuran A4 (21 cm x
29.7 cm), format dua kolom dengan pias 3, huruf
Times New Roman berukuran 12 point. Naskah
diketik dengan program Microsoft Word (.doc).
Setiap halaman diberi nomor secara
berurutan, maksimum 15 halaman termasuk tabel
dan gambar. Gambar dan tabel dalam program
aslinya (Microsoft Excel atau yang lainnya) perlu
disertakan dalam file terpisah untuk
mempermudah proses editing. File Naskah
dikirimkan melalui e-mail.
Journal of tourism destination and attraction Fakultas Pariwisata Universitas Pancasila
Srengseng Sawah, Jagakarsa, Jakarta Selatan 12640
Telepon/fax: +62 21 78885779 e-mail: [email protected]
SUSUNAN NASKAH Halaman pertama dari naskah terdiri atas: - Judul - Nama lengkap penulis (beri tanda * pada
penulis untuk korespondensi) - Alamat dan afiliasi penulis (termasuk nomor
telepon, nomor faksimili, dan alamat e-mail penulis untuk korespondensi)
Halaman ke-2 terdiri atas: - Judul - Abstrak - Kata kunci
Nama dan identitas penulis tidak boleh dituliskan pada halaman ini.
Halaman selanjutnya terdiri atas: 1. Pendahuluan 2. Metode 3. Hasil dan Pembahasan 4. Kesimpulan 5. Ucapan Terima Kasih (bila ada) 6. Daftar Pustaka
Naskah berupa ulasan, analisis kebijakan, dan catatan penelitian tidak harus ditulis menurut susunan naskah hasil penelitian.
DEKRIPSI TIAP BAGIAN NASKAH Halaman Judul
Judul dicetak tebal (bold) dengan huruf kapital pada setiap awal kata, kecuali kata sambung, antara lain dan, yang, untuk, di, ke, dari, terhadap, sebagai, tetapi, berdasarkan, dalam, antara, melalui, secara.
Judul maksimum terdiri atas 12 kata (tidak termasuk kata sambung). Judul harus mencerminkan hasil penelitian. Naskah dalam Bahasa Indonesia harus disertai judul dalam Bahasa Inggris yang dicetak tebal (bold) dan miring (italic).
Di bawah judul, ditulis nama lengkap (tidak disingkat) semua penulis beserta nama dan alamat lembaga afiliasi penulis. Nama penulis untuk korespondensi diberi tanda *. Alamat untuk korespondensi dilengkapi dengan kode pos, nomor telepon dan HP, nomor faksimile, dan e-mail.
Contoh penulisan judul, nama penulis, dan alamat lembaga afiliasi penulis:
Manfaat dan Hambatan Pengembangan Pariwisata Berbasis Masyarakat di
Perkampungan Budaya Setu Babakan
Benefits and Obstacles of Community Based Tourism Development in Setu Babakan
Cultural Village
Gagih Pradini1, Devi Roza Kausar1*, dan Faruk Alfian1
1Fakultas Pariwisata, Universitas Pancasila Srengseng Sawah, Jagakarsa
Jakarta Selatan 12640, Indonesia
Journal of Tourism Destination and Attraction
Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987 41
Abstract dan Keywords
Halaman ke-2 terdiri atas judul, abstrak (abstract), dan kata kunci (keywords). Identitas penulis tidak boleh disertakan pada halaman ini. Ketentuan mengenai abstrak dan kata kunci adalah: 1. Paragraf yang dapat berdiri sendiri dan harus
mencakup pendahuluan singkat, tujuan, metode, hasil, dan kesimpulan utama secara ringkas.
2. Implikasi hasil penelitian juga sebaiknya tercantum dalam abstrak.
3. Tidak ada kutipan pustaka di dalam abstrak. 4. Abstrak ditulis dalam Bahasa Inggris dan
Bahasa Indonesia. 5. Abstrak dalam masing-masing bahasa terdiri
atas satu paragraf, maksimum 200 kata dan diketik dalam dua spasi.
6. Kata kunci ditulis setelah abstrak, maksimum 5 kata selain kata dalam judul dan disusun berurutan berdasarkan abjad.
Teks Awal paragraf dimulai 5 indent dari sisi kiri
naskah. Penulisan sub judul (PENDAHULUAN, METODE, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN, UCAPAN TERIMA KASIH, dan DAFTAR PUSTAKA) ditulis di sisi kiri dengan huruf kapital dan tidak menggunakan nomor. Sub-sub judul ditulis di kiri halaman dan huruf kapital di setiap awal kata.
Penulisan satuan menggunakan Standar Internasional (SI). Satuan ditulis menggunakan spasi setelah angka, kecuali untuk menyatakan persen. Contoh: 37 oC, bukan 37oC; 0.8%, bukan 0.8 %. Penulisan desimal menggunakan titik (bukan koma), sedangkan penulisan ribuan dipisahkan oleh tanda koma. Seluruh tabel dan gambar harus dirujuk dalam teks.
Daftar Pustaka Ketentuan untuk pustaka sebagai rujukan adalah: 1. Minimal 80% acuan adalah pustaka primer
(jurnal, paten, disertasi, tesis) yang aktual (10 tahun terakhir),
2. Proporsi acuan jurnal minimal 10 jurnal, 3. Membatasi jumlah pustaka yang mengacu
pada diri sendiri (self citation), merujuk pada minimal 1 naskah yang telah diterbitkan di Jurnal Tourism Destination and Attraction,
4. Sebaiknya penggunaan pustaka di dalam pustaka, buku populer, dan pustaka dari internet dihindari
5. Pustaka dari internet yang dapat digunakan adalah jurnal dan pustaka dari instansi pemerintah atau swasta,
6. Makalah yang dipresentasikan di suatu seminar atau simposium tetapi tidak dipublikasi-kan dalam suatu prosiding atau
media publikasi ilmiah lain tidak diperbolehkan sebagai rujukan,
7. Abstrak tidak diperbolehkan sebagai rujukan.
Daftar pustaka ditulis berdasarkan urutan abjad dari nama akhir penulis pertama. Pustaka dengan nama penulis (kelompok penulis) yang sama diurutkan secara kronologis. Apabila ada lebih dari satu pustaka yang ditulis penulis (kelompok penulis) yang sama pada tahun yang sama, maka huruf ‘a’, ‘b’ dan seterusnya ditambahkan setelah tahun.
Beberapa contoh penulisan datar pustaka adalah sebagai berikut: Jurnal Tang C. 2000. Limits to community participation in the
tourism development process in developing countries. Tourism Management. 67:228-234.
Buku Fennell D. 1999. Ecotourism: An Introduction.
London (UK): Routledge. Fennell D. 2002. Ecotourism Programme Planning.
London (UK): Routledge. Holden A. 2000. Environment and Tourism.
London (UK): Routledge.
Prosiding dengan lembaga atau organisasi sebagai pengarang Kausar D, Gunawan M. 2015. Revitalizing Tourism
In The Heritage Land of Toraja: Planning as A Process. Proceedings of Tropical Tourism Outlook Conference. Indonesia 29-31 July 2015.
Disertasi/Tesis Firmansyah R. 2014. Pengembangan Wisata
Berkelanjutan di Pantai Gelung, Situbondo. Tesis. Sekolah Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Internet Badan Pusat Statistik. 2014. Yogyakarta Dalam
Angka 2014. http://www.bps.go.id [11 September 2014].
Tabel Seluruh tabel harus dirujuk dalam teks. Tabel
harus dituliskan dalam format tabel dari Microsoft Excel (xls.) dan dimasukkan dalam file terpisah dari teks.
Penomoran tabel adalah berurutan. Judul tabel ditulis singkat namun lengkap. Judul dan kepala tabel menggunakan huruf kapital pada awal kalimat. Garis vertikal tidak boleh digunakan. Catatan kaki menggunakan angka dengan kurung tutup dan diketik superscript. Tanda * atau ** digunakan untuk menunjukkan tingkat nyata berturut-turut
Journal of Tourism Destination and Attraction
42 Volume IV No.1 November 2016, ISSN: 2339-1987
pada taraf kesalahan 5 dan 1%. Contoh penulisan tabel 1 kolom dan judulnya:
Tabel 1. Jumlah kedatangan wisatawan mancanegara ke Indonesia menurut negara
tempat tinggal tahun 2013-2014
Negara asal Tahun 2013
(orang)
Tahun 2014
(orang)
Singapura 1,634,149 1,739,825
Malaysia 1, 430,989 1,485,643
Australia 997,984 1,128,533
China 807,429 926,750
Jepang 491,574 525,419
Korea Selatan 343,627 370,142
Gambar Seluruh gambar harus dirujuk dalam teks.
Gambar dan ilustrasi harus menggunakan resolusi tinggi dan kontras yang baik dalam format JPEG, PDF atau TIFF. Resolusi minimal untuk foto adalah 300 dpi (dot per inch), sedangkan untuk grafik dan line art adalah 600 dpi. Gambar hitam putih harus dibuat dalam mode grayscale, sedangkan gambar berwarna dalam mode RGB. Gambar dibuat berukuran lebar maksimal 80 mm (satu kolom), 125 mm (satu setengah kolom), atau 166 mm (dua kolom).
Gambar hitam putih atau berwarna dengan keterangan di dalam gambar harus jelas. Jika ukuran gambar diperkecil maka semua tulisan harus tetap dapat terbaca. Grafik statistik disertai dengan file data sumbernya (program Microsoft Excel) untuk memudahkan editing. Prosedur Publikasi
Penulis wajib mengisi form pernyataan bahwa naskah belum pernah atau tidak sedang diajukan untuk dipublikasikan di jurnal lain.
Seluruh naskah yang diterima akan dikirimkan ke Dewan Editor untuk dinilai. Dewan Editor berhak meminta penulis untuk melakukan perbaikan sebelum naskah dikirim ke penelaah. Editor juga berhak menolak naskah jika naskah tidak sesuai dengan format yang telah ditentukan.
Naskah akan ditelaah oleh minimum dua orang ahli di bidang yang bersangkutan. Dewan Editor akan menentukan naskah yang dapat diterbitkan berdasarkan hasil penelaahan. Hasil penelaahan diberitahukan kepada penulis.