jelutung finish

15

Click here to load reader

Upload: hani-handayani

Post on 25-Jun-2015

245 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Jelutung Finish

PENGARUH JELUTUNG TERHADAP ELASTISITAS VULKANISAT KARET

Hani Handayani*, Santi Puspitasari*, Agus Mudji Santosa*, Totok K Waluyo#, dan Yoharmus Syamsu*

*) Balai Penelitian Teknologi Karet Bogor, Jalan Salak No.1 Bogor 16151#) Pusat Penelitian dan Pengembangan Kehutanan, Jalan Gunung Batu No.5 Bogor 16610

E-mail: [email protected]

ABSTRACT

Indonesia was the biggest exporter's country of jelutung latex in the world, but the volume of his export from year to year continued to descend. This was caused by the shortage of the exploration and the utilization of this latex to various finished product. Jelutung is one of the species that produced latex besides Hevea brasiliensis. Differ from Hevea latex, jelutung latex not only contain rubber but also contain resin. The existence of resin in jelutung latex could become special added value, but really was regretted, its utilization was still being very low. As we know, resin was often used to various daily product. Resin can be used as hardener in the production of rubber article. Synthetic resin often used as hardener but its reduced vulcanizates elasticity. Resin from latex jelutung can be used as hardener but its influence on elasticity was not yet studied. The existence of rubber in jelutung latex was expected to be able to maintain vulcanizates elasticity. The aim of the research was to studied the influence hardener from jelutung resin towards the characteristics of vulcanizates elasticity. The research was carried out by adding jelutung rubber to ASTM 2A compound in the doses of 5, 10, 15, and 20 phr (combined with natural rubber) and as a comparison was used synthetic resin, KHS. After that the compound was vulcanized and the physical characteristic was tested, such as: TS (Tensile strength), EB (Elongation at Break), modulus 300%, and Tear Strength. The results showed that jelutung reduced the characteristics of vulcanizates elasticity but it still better compared to KHS.

Keywords: Jelutung, resin, elasticity, hardener

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara pengekspor lateks jelutung terbesar di dunia, namun volume ekspornya dari tahun ke tahun terus menurun. Hal ini disebabkan kurangnya eksplorasi dan pemanfaatan lateks tersebut pada berbagai barang jadi. Jelutung adalah salah satu spesies tanaman penghasil lateks disamping Hevea brasiliensis. Berbeda dengan lateks Hevea, lateks jelutung tidak hanya mengandung karet tetapi juga mengandung resin. Adanya kandungan resin dalam lateks jelutung dapat menjadi nilai tambah tersendiri, namun sangat disayangkan, pemanfaatannya masih sangat rendah. Seperti yang kita ketahui, resin banyak digunakan pada berbagai barang keperluan sehari-hari. Salah satu pemanfaatan resin adalah sebagai hardener dalam pembuatan barang jadi karet. Selama ini yang banyak digunakan adalah resin sintetik akan tetapi penggunaannya menurunkan elastisitas vulkanisat. Resin dari lateks jelutung dapat berperan sebagai hardener namun pengaruhnya terhadap elastisitas belum dipelajari. Keberadaan karet dalam lateks jelutung diharapkan dapat mempertahankan elastisitas vulkanisat. Penelitian ini bertujuan untuk

1

Page 2: Jelutung Finish

mempelajari pengaruh hardener dari resin jelutung terhadap sifat elastisitas vulkanisat. Penelitian dilakukan dengan cara menambahkan karet jelutung ke dalam kompon ASTM 2A pada variasi dosis 5, 10, 15, dan 20 phr (dikombinasikan dengan karet alam) dan sebagai pembanding digunakan resin sintetik, KHS. Setelah itu kompon divulkanisasi dan diuji sifat fisikanya, meliputi: TS (Tensile strength), EB (Elongation at Break), modulus 300%, dan Tear Strength. Hasil penelitian menunjukkan bahwa jelutung menurunkan sifat elastisitas vulkanisat namun masih lebih baik dibandingkan dengan KHS.

Kata kunci: Jelutung, resin, elastisitas, hardener

PENDAHULUAN

Banyak tanaman jika dilukai akan mengeluarkan cairan berwarna putih menyerupai

susu yang dapat menghasilkan karet, antara lain Manihot glaziovii, Ficus elastica,

Castilloa elastica, Parthenium argentatum (Guayule), Hevea brasiliensis, Dyera costulata,

dan lain-lain. Diantara tanaman tersebut, Dyera costulata atau jelutung masih kurang

dimanfaatkan secara optimal padahal ketersediaannya di alam cukup melimpah. Sebelum

diganti dengan Hevea brasiliensis dari Amerika Serikat, lateks jelutung dijadikan sumber

daya penghasil karet yang potensial. Lateks jelutung ini sudah diusahakan oleh

masyarakat Indonesia sejak abad ke-18 di Kalimantan dan Sumatera dari hutan alam

sehingga Indonesia menjadi pengekspor lateks jelutung terbesar di dunia. Hampir seluruh

produksi lateks jelutung Indonesia diekspor ke luar negeri dalam bentuk bongkah. Negara

tujuan ekspor meliputi Singapura, Jepang dan Hongkong. Ekspor lateks jelutung Indonesia

pada tahun 1990 mencapai 6.500 ton dan tahun-tahun berikutnya terus menurun hingga

mencapai 1.182 ton pada tahun 19931. Hal ini disebabkan pohon jelutung di hutan alam

sebagai penghasil lateks keberadaannya sudah semakin berkurang akibat pemanfaatan

kayu, adanya konversi lahan gambut menjadi areal perkebunan dan pertanian, kebakaran

hutan, kondisi pohon yang sudah tua dan rusak, dan sebagainya2.

Pemerintah dalam hal ini Departeman Kehutanan melalui program pembangunan

HTI (Hutan Tanaman Industri) telah berhasil membangun HTI seluas 3.416.131,09 ha

hingga tahun 2005. Salah satu jenis yang ditanam adalah jelutung2. Dengan adanya HTI

jenis jelutung, hal ini merupakan suatu peluang pemanfaatan lateks jelutung lebih luas lagi

sehingga dapat meningkatkan kembali volume ekspor lateks jelutung. Lateks jelutung

menjadi sumber pendapatan yang cukup potensial bagi masyarakat sekitar hutan yang

merupakan salah satu mata pencaharian mereka. Kegiatan penyadapan lateks jelutung ini

2

Page 3: Jelutung Finish

sudah dimulai sebelum lateks Hevea masuk ke Asia Tenggara sekitar tahun 1930-an3.

Lateks jelutung hingga saat ini masih hasil sadapan dari hutan alam.

Salah satu pemanfaatan terbesar lateks jelutung adalah sebagai bahan baku

pembuatan permen karet dan campuran ban mobil. Lateks jelutung berfungsi sebagai

bahan baku pembuatan permen karet telah dimulai sejak tahun 1920-an dan pada tahun

1940-an lateks jelutung telah menggeser posisi lateks dari pohon Achras sapota, yaitu

pohon penghasil bahan baku asli permen karet yang berasal dari Amerika Tengah. Lateks

jelutung juga digunakan dalam industri perekat, laka, lanolic, vernis, ban, water proofing

dan cat serta sebagai bahan isolator dan barang kerajinan4.

Tanaman jelutung belum banyak diteliti baik dari segi prapanen maupun pascapanen.

Sampai saat ini karet jelutung masih merupakan salah satu produk hutan yang belum

ditangani secara intensif. Bongkahan jelutung kasar dengan kadar air sekitar 40% banyak

dijual atau diekspor langsung tanpa pengolahan lebih lanjut.

Berbeda dengan lateks Hevea, lateks jelutung tidak hanya mengandung karet tetapi

juga mengandung resin. Keberadaan resin dalam lateks jelutung masih belum

dimanfaatkan secara optimal. Beberapa aspek yang mungkin dapat dipelajari adalah

potensi resin sebagai zat aktif permukaan, bahan pembasah permukaan benda padat

(wetting agent), bahan perekat, hardener, dan bahan baku industri kimia lainnya. Salah

satu penggunaan resin yang umum dan banyak dipakai adalah sebagai hardener atau

pengeras pada berbagai produk, termasuk barang jadi karet. Jika resin dalam lateks

jelutung dimanfaatkan secara optimal maka hal ini akan memperluas pemanfaatan lateks

jelutung sehingga dapat meningkatkan nilai tambah. Selama ini resin yang digunakan

sebagai hardener adalah resin sintetik. Penambahan resin sintetik seringkali menyebabkan

penurunan elastisitas barang jadi karet sehingga dalam proses pembuatannya selalu

digunakan plasticiser untuk mempertahankan elastisitasnya.

Keberadaan karet dalam lateks jelutung diharapkan dapat memperbaiki dan

mempertahankan elastisitas barang jadi karet tanpa perlu menambahkan plasticiser ke

dalam kompon meskipun dalam proses pembuatan barang jadinya menggunakan resin.

Resin dari lateks jelutung terbukti dapat digunakan sebagai hardener5. Namun

pengaruhnya terhadap elastisitas vulkanisat belum diketahui. Oleh karena itu perlu

dilakukan penelitian lebih lanjut untuk mengetahui pengaruh resin jelutung terhadap

elastisitas vulkanisat karet serta membandingkannya dengan resin sintetik.

3

Page 4: Jelutung Finish

TINJAUAN PUSTAKA

Jelutung merupakan salah satu jenis pohon raksasa dengan diameter batang mencapai

240 cm dan tinggi lebih dari 45 m, berbatang lurus dengan percabangan pertama dimulai

pada ketinggian sekitar 30 m, tumbuh menyebar secara alami dengan jarak antara satu

pohon dengan pohon lainnya 50 m dan umumnya antara 300 - 400 m. Jelutung tersebar di

Sumatera (Jambi, Riau, Sumatra Utara) dan dikenal dengan nama abuwai, sedangkan di

Kalimantan (Kalbar, Kalteng, Kalsel) dikenal dengan nama pantung. Ada tiga macam

pohon jelutung, dua macam tumbuh di rawa berwarna putih dan hitam dan satu macam

tumbuh di pegunungan berwarna merah6.

Pohon jelutung dapat disadap sepanjang tahun, produksi lateks per pohon tergantung

pada ukuran pohon dan cara penyadapannya. Sedangkan mutu lateks jelutung tergantung

pada jenis pohon jelutung yang disadap serta perlakuan dan teknik penanganan pascapanen

yang diterapkan. Dyera costulata menghasilkan lateks sekitar 2,5 kg lebih banyak dari

Dyera laxiflora yang hanya menghasilkan 0,5 kg lateks. Di Kalimantan dari satu pohon

pantung rata-rata dapat menghasilkan lateks jelutung sebanyak 50 kg/pohon/tahun.

Penyadapan dilakukan pagi hari supaya lateks yang dihasilkan berjumlah banyak dan tidak

membeku6.

Lateks jelutung adalah hasil eksudat dari kulit pohon jelutung (Dyera spp.) berupa

cairan berwarna putih seperti susu dan secara perlahan-lahan akan menggumpal7. Sifat-

sifat lateks jelutung segar mengandung 20% termoplastik poliisopena dan 80% resin

dengan BJ (Berat Jenis) senilai 1,012 – 1,015 dan pH sekitar 7. Setelah 24 jam pH lateks

turun menjadi 5,5 dan setelah 48 jam menjadi 57,8. Mutu lateks jelutung terbaik dihasilkan

dari Dyera costulata (jelutung bukit). Lateks jelutung bermutu tinggi bila memiliki

kandungan karet (perca) yang tinggi dan resin (harsa) yang rendah6.

Tingginya kandungan resin dalam lateks jelutung berpeluang untuk dimanfaatkan

secara luas dalam berbagai penggunaan. Resin merupakan bahan polimer yang dapat

digunakan untuk memproduksi barang-barang keperluan sehari-hari, mudah dicetak, dan

murah. Resin adalah senyawa alami atau sintetik yang sangat viskos dan mengeras jika

diberi perlakuan. Biasanya senyawa ini larut dalam alkohol, tetapi tidak larut dalam air9.

Secara fisis, resin biasanya keras, transparan plastis dan pada pemanasan menjadi lembek.

Secara kimiawi, resin adalah campuran yang kompleks dari asam-asam resinat,

alkoholresinat, resinotannol, ester-ester dan resene-resene. Bebas dari zat lemas dan

4

Page 5: Jelutung Finish

mengandung sedikit oksigen karena mengandung zat karbon dalam kadar tinggi, maka

kalau dibakar menghasilkan angus.

Ada banyak jenis resin, antara lain: Natural Oil, Alkyd, Nitro Cellulose (NC),

Polyester, Melamine, Acrylic, Epoxy, Polyurethane, Silicone, Fluorocarbon, Venyl,

Cellulosic, Cellulose Acetate Butyrate (CAB), Chlorinated Rubber, Acrylic Co-polymer,

Prepolymer Polyisocyanate, Polyamide, Polyol, Polyisocyanate dan lain-lain. Resin

polyamide dan polyisocyanate biasa disebut sebagai “hardener”, karena setelah resin ini

dicampurkan dengan pasangannya akan terjadi reaksi polimerisasi dimana hasilnya

ditandai dengan mengerasnya campuran tersebut. Meningkatnya kekerasan campuran pada

barang jadi karet biasanya disertai dengan penurunan elastisitas sehingga untuk

mempertahankan elastisitas biasanya ditambahkan plasticiser ke dalam kompon barang

jadi karet

Resin hardener biasanya ditambahkan untuk mengeraskan suatu bahan. Selama ini

resin yang banyak digunakan sebagai resin hardener adalah resin sintetik. Resin lateks

jelutung diduga dapat juga berperan sebagai hardener sedangkan kandungan karet di

dalam lateks jelutung dapat mempertahankan elastisitas barang jadinya. Dengan demikian

diharapkan lateks jelutung dapat menjadi bahan hardener yang lebih baik daripada resin

sintetik.

Elastisitas adalah kemampuan sebuah benda untuk kembali ke bentuk awalnya ketika

gaya luar yang diberikan kepada benda tersebut dihilangkan. Jika sebuah gaya diberikan

pada sebuah benda yang elastis, maka bentuk benda tersebut berubah. Untuk pegas dan

karet, yang dimaksudkan dengan perubahan bentuk adalah pertambahan panjang. Perlu

kita ketahui bahwa gaya yang diberikan juga memiliki batas-batas tertentu. Sebuah karet

bisa putus jika gaya tarik yang diberikan sangat besar, melewati batas elastisitasnya. Jadi,

benda-benda elastis tersebut memiliki batas elastisitas.

Elastisitas dapat menurun jika ke dalam benda tersebut ditambahkan bahan

pengeras, salah satu contohnya adalah resin hardener. Dalam bidang teknologi, kualitas

bahan yang digunakan harus sesuai dengan keperluan dan fungsinya. Untuk keperluan

tersebut, suatu bahan harus diuji macam-macam komposisi zatnya, dan juga dilakukan

pengujian sifat mekanis bahan yaitu tentang kelenturan dan kekerasannya. Empat sifat

mekanis yang penting ialah tegangan tarik (tensile strength), perpanjangan putus

(elongation at break), modulus 300%, dan kekuatan sobek (tear strength)10.

5

Page 6: Jelutung Finish

METODE PENELITIAN

Penelitian dilakukan di Laboratorium Penelitian, BPTK Bogor dari bulan Februari

2009 sampai dengan Maret 2009. Bahan utama yang digunakan dalam penelitian ini

adalah lateks jelutung yang diperoleh dari hutan tanaman jelutung di areal HTI PT. Dyera

Hutan Lestari yang berlokasi di Kabupaten Muaro Jambi, Provinsi Jambi.

Pembuatan Kompon ASTM 2A

Pembuatan kompon diawali dengan tahap mastikasi. Mastikasi dilakukan dengan

langsung mencampurkan karet dengan bahan-bahan kimia kompon. Bahan utama kompon

yang digunakan adalah karet alam yang dikombinasikan dengan resin jelutung dan resin

sintetik KHS (sebagai pembanding) dengan variasi dosis 5, 10, 15, dan 20 phr. Sementara

bahan kimia kompon yang ditambahkan antara lain: ZnO, asam stearat, dan sedikit demi

sedikit carbon black, TBBS, dan terakhir sulfur. Campuran karet dengan bahan-bahan

tersebut digiling dalam mastikator terbuka sampai menghasilkan kompon yang benar-benar

homogen. Kompon yang dihasilkan selanjutnya diperam selama 24 jam sebelum diuji

rheologinya dengan rheometer dan divulkanisasi hingga matang membentuk vulkanisat.

Pengujian Sifat Fisik Vulkanisat Karet

Vulkanisat karet kemudian diuji sifat-sifat fisikanya yang meliputi TS (Tensile

Strength), EB (Elongation at Break), modulus 300%, dan tear strength menggunakan alat

Tensiometer. Data yang diperoleh selanjutnya dianalisis untuk mengamati pengaruhnya

terhadap sifat elastisitas vulkanisat.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembuatan Kompon ASTM 2A

Pembuatan kompon dengan menggunakan jelutung prosesnya sedikit berbeda dengan

pembuatan kompon dengan karet alam biasa. Pengkomponan karet dengan jelutung

diawali dengan tahap mastikasi. Mastikasi dilakukan dengan mencampurkan jelutung dan

karet alam secara bersamaan agar jelutung tidak melekat pada roll mesin giling (meskipun

viskositas mooney jelutung sudah lebih kecil daripada karet alam). Selesainya mastikasi

6

Page 7: Jelutung Finish

ditandai dengan campuran karet-jelutung yang telah kalis dan terbentuk bank diantara dua

roll mesin giling.

Jelutung tidak boleh dimastikasi tanpa ditambah dengan karet di awal proses

pencampuran karena akan menempel pada roll. Tingginya kandungan resin dalam jelutung

menyebabkan jelutung bersifat getas, rapuh dan lengket sehingga ketika dimastikasi akan

langsung melekat pada roll mesin giling karena berat jenis dan viskositasnya menurun.

Hal ini menyebabkan kesulitan dalam proses mastikasi dan pencampuran bahan kimia

menjadi tidak homogen.

Setelah karet dan jelutung membentuk campuran yang homogen, secara berurutan,

kemudian ditambahkan ZnO dan asam stearat (sebagai aktivator), serta sedikit demi sedikit

carbon black (sebagai filler) sambil terus digiling dan setelah cukup homogen kemudian

TBBS (sebagai akselerator) dan terakhir sulfur (sebagai agen pemvulkanisasi)

ditambahkan ke dalamnya. Penambahan sulfur dilakukan terakhir untuk mencegah

terjadinya vulkanisasi dini.

Kompon ASTM 2A dipilih dalam rangka menghasilkan vulkanisat yang sifatnya

umum dan dapat dipakai untuk pembuatan berbagai barang jadi karet. Sedikit jelutung

ditambahkan ke dalam kompon untuk dikombinasikan dengan karet alam. Hal ini

dilakukan untuk mengetahui pengaruh resin dalam karet jelutung terhadap elastisitas

vulkanisatnya. Untuk mengetahui mutu resin yang dihasilkan, maka digunakan resin

sintetik KHS (Kumho High Styrene) sebagai pembanding.

Pengujian Sifat Fisik Vulkanisat Karet

Sifat fisika yang diuji dalam penelitian ini adalah sifat elastisitas karet untuk

mengetahui pengaruh penambahan resin jelutung terhadap elastisitas vulkanisat karet.

Hasil penelitian dapat dilihat pada Tabel 1 di bawah ini.

Tabel 1 Sifat Elastisitas Vulkanisat Karet Setelah Ditambahkan Jelutung

Parameter Fisika KontrolJelutung (phr) KHS (phr)

J=5 J=10 J=15 J=20 K=5 K=10 K=15 K=20Tensile strength (TS), N/mm2 29,2 26,1 25 23,3 21,3 26,3 26,1 24,6 23,6

Modulus 300%, N/mm2 14,5 15 13,6 12,9 12,1 16,7 17,7 18,2 18,3

Elongation at break (EB), %

530 490 510 490 460 470 440 420 400

Tear strength, N/mm

111 101 107,5 100,6 77,2 100,2 87,5 83 80,2

7

Page 8: Jelutung Finish

Tabel 1 menunjukkan bahwa penambahan jelutung menurunkan hampir seluruh

parameter fisika yang diuji, begitu pula dengan KHS. Sifat kekuatan karet semakin

menurun dengan semakin banyaknya resin yang ditambahkan, baik pada resin jelutung

maupun KHS. Hal ini terlihat dari semakin menurunnya nilai TS dibandingkan dengan

karet alam murni (tanpa resin). Penurunan nilai TS yang disebabkan oleh lateks jelutung

lebih besar dibandingkan dengan KHS. Hal ini disebabkan karena tingginya kandungan

resin di dalam lateks jelutung sehingga mengurangi kekuatan tarik dari vulkanisat yang

dihasilkan.

Penambahan jelutung sebanyak 5 phr menaikkan nilai modulus 300%, semakin

banyak jelutung yang ditambahkan modulusnya semakin turun. Berbeda dengan KHS,

semakin banyak KHS yang ditambahkan, modulusnya semakin besar. Hal ini disebabkan

karena tingginya kandungan resin dalam lateks jelutung sehingga menyebabkan vulkanisat

menjadi lebih getas.

Penambahan jelutung dan KHS menurunkan nilai EB. Hal ini terlihat jelas pada

kompon yang menggunakan KHS. Sementara itu kompon yang menggunakan jelutung

tidak terlalu signifikan penurunannya. Hal ini menandakan bahwa vulkanisat dengan

jelutung dapat mempertahankan elastisitas pada saat vulkanisat ditarik untuk diperpanjang

hingga putus. Hal ini disebabkan karena adanya kandungan karet dalam lateks jelutung

sehingga vulkanisat memiliki nilai EB yang lebih baik daripada resin KHS.

Kekuatan sobek (tear strength) vulkanisat yang menggunakan resin, baik itu resin

jelutung maupun KHS terlihat semakin buruk dengan semakin banyaknya jumlah resin

yang ditambahkan. Penurunan terlihat nyata pada kompon yang menggunakan resin KHS.

Tingginya kandungan resin dalam kedua bahan membuat vulkanisat lebih getas sehingga

mudah sobek. Namun adanya kandungan karet dalam lateks jelutung sedikit dapat

mempertahankan kekuatan sobek dari vulkanisat yang dihasilkan.

KESIMPULAN

Penambahan jelutung ke dalam kompon ASTM-2A menurunkan sifat elastisitas

vulkanisat karetnya akan tetapi penurunan tersebut masih lebih baik dibandingkan dengan

resin sintetik, KHS.

8

Page 9: Jelutung Finish

DAFTAR PUSTAKA

1Coppen, J.J.W. 1995. Gum, Resins, And Latexes Of Plant Origin. Non Wood Forest Products, No.6. FAO, Roma.

2Direktorat Jenderal Bina Produksi Kehutanan. 2007. Pembangunan Hutan Tanaman Industri. http://www.dephut.go.id/HTI. Diakses tanggal 15 Maret 2008.

3Muhammad, N. 1994. Selected Tree Species for Forest Plantation in Peninsular Malaysia A Preliminary Consideration. Forest Research Institute Malaysia. Research Pamphlet No. 116.

4Partadireja, S. dan A. Koamesakh. 1973. Beberapa Catatan Tentang Getah Jelutung di Indonesia. Proyek Penyusunan Kertas Kerja Hasil Hutan Non Kayu, Direktorat Jenderal Kehutanan. Seri No. IX.

5Puspitasari, P., H. Handayani, A.M. Santosa, T.K. Waluyo, dan Y. Syamsu. 2009. Pemanfaatan Jelutung Sebagai Hardener untuk Meningkatkan Kekerasan Vulkanisat Karet. BPTK. Bogor.

6Siaran Pers Dephut. Pohon Jelutung (Dyera spp.) Tanaman Dwiguna yang Konservasionis dan Menghidupi. http://www.dephut.go.id. Diakses tanggal 19 November 2009.

7Boer, E. 2001. Plant Resources of South-East Asia, diedit oleh A.B. Ella. Plants Producing Exudates. Prosea, Bogor (18): 189.

8Eaton, B.J., C.D.V. Georgi, and G.L. Teik. 1926. Jelutong. Malayan Agricultural Journal XIV(9): 275 – 285.

9Susyanto, H. 2008. Resin atau Binder. http://www.geocities.com/heri.susyanto/resin.htm. Diakses tanggal 19 November 2009.

10Junaidi, W. 2009. Sifat Mekanik Bahan. http://www.wawan-junaidi.blogspot.com/2009/10/sifat-mekanik-bahan.html. Diakses tanggal 24 November 2009.

9