jalan.pdf
TRANSCRIPT
![Page 1: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/1.jpg)
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Undang-Undang Nomor 38 tahun 2004 tentang jalan bahwa jalan
sebagai bagian dari sistem transportasi nasional, mempunyai peranan penting
terutama dalam mendukung bidang ekonomi, sosial dan budaya serta lingkungan dan
dikembangkan melalui pendekatan pengembangan wilayah agar tercapai
keseimbangan dan pemerataan pembangunan antar daerah, membentuk dan
memperkukuh kesatuan nasional untuk memantapkan pertahanan dan keamanan
nasional, serta membentuk struktur ruang dalam rangka mewujudkan sasaran
pembangunan nasional.
2.1 Definisi dan Klasifikasi Jalan
Wignall dkk (1999) mengatakan salah satu bagian dari sistem transportasi
yang merupakan prasarana umum/infrastruktur adalah jalan, dan secara sederhana
jalan didefinisikan sebagai jalur dimana masyarakat mempunyai hak untuk
melewatinya tanpa diperlukannya izin khusus untuk itu. Menurut Undang-Undang
Nomor 38 tahun 2004, definisi jalan adalah prasarana transportasi darat yang meliputi
segala bagian jalan, termasuk pelengkap dan perlengkapannya yang diperuntukkan
bagi lalu lintas, yang berada pada permukaan tanah, diatas permukaan tanah, dibawah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 2: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/2.jpg)
permukaan tanah dan/atau air, serta diatas permukaan air, kecuali jalan kereta api,
jalan lori dan jalan kabel.
Pada dasarnya pengelompokan jalan berdasarkan UU No. 38/2004 tentang
jalan adalah sebagai berikut:
1. Berdasarkan sistem jaringan jalan terdiri dari:
a. Sistem jaringan jalan primer (antar kota)
b. Sistem jaringan jalan sekunder (dalam kota)
2. Berdasarkan fungsi jalan, dimana dalam setiap sistem jaringan tersebut peran
jalan dipisahkan menjadi:
a. Jalan arteri merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
utama dengan ciri perjalanan jarak jauh, kecepatan rata-rata tinggi, dan
jumlah jalan masuk dibatasi.
b. Jalan kolektor merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
pengumpul atau pembagi dengan ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan
rata-rata sedang dan jumlah jalan masuk dibatasi.
c. Jalan lokal merupakan jalan umum yang berfungsi melayani angkutan
setempat dengan ciri perjalanan jarak dekat, kecepatan rata-rata rendah
dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 3: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/3.jpg)
d. Jalan lingkungan merupakan jalan umum yang berfungsi melayani
angkutan lingkungan dengan ciri perjalanan jarak dekat dan kecepatan
rata-rata rendah.
3. Berdasarkan status jalan seperti yang disampaikan pada Gambar 2.1, menurut
wewenang pengelolaan jalan tersebut akan dipisahkan statusnya menjadi:
a. Jalan nasional, yaitu jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan
jalan primer yang menghubungkan antar ibukota provinsi, jalan strategis
serta jalan tol.
b. Jalan provinsi, yaitu jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer
yang menghubungkan ibukota provinsi dengan ibukota kabupaten/kota
atau antar ibukota kabupaten/kota dan jalan strategis provinsi.
c. Jalan kabupaten, yaitu jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan ibukota kabupaten dengan ibukota kecamatan, antar
ibukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat kegiatan lokal, antar
pusat kegiatan kota, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten dan jalan strategis kabupaten.
d. Jalan kota adalah jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang
menghubungkan antar pusat pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat
pelayanan dengan persil, menghubungkan antar persil, serta
menghubungkan antar pusat permukiman yang berada dalam kota.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 4: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/4.jpg)
e. Jalan desa, yaitu jalan umum yang menghubungkan kawasan dan atau
antar permukiman di dalam desa serta jalan lingkungan.
Gambar 2.1 Pembagian Status Pada Jaringan Jalan Primer (Tanan, 2005)
2.2 Pembagian Kewenangan Penyelenggaraan Jalan
Dalam mekanisme penyelenggaraan jalan, adanya perubahan-perubahan pada
era otonomi daerah juga turut mempengaruhi segala kebijakan yang berkaitan dengan
pengelolaan jalan. Menurut Permen PU No.78 Tahun 2005 penyelenggara jalan
nasional adalah menteri atau pejabat yang ditunjuk untuk melaksanakan jalan
Jalan Negara/Nasional
(Arteri Primer)
Jalan Propinsi
(Kolektor Primer)
Jalan Kabupaten
(Lokal Primer)
Ibukota
Propinsi
Ibukota
Propinsi
Negara
Tetangga
Negara
Tetangga
Ibukota
Kab/Kota Ibukota
Kab/Kota
Ibukota
Kecamatan Ibukota
Kecamatan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 5: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/5.jpg)
nasional termasuk jalan tol. Dalam penyelenggaraan jalan terdapat 3 (tiga) tugas yang
diemban oleh pemerintah untuk melayani kebutuhan perjalanan di wilayahnya, yakni
pembinaan, pembangunan, dan pengawasan. UU No. 38 Tahun 2004 menyatakan
tugas-tugas tersebut dibagi secara struktur sesuai tugas pokok dan fungsi jaringan
jalannya, seperti pada Tabel 2.1.
Secara umum penyelenggaraan jalan tidak dapat dipisahkan dari sejumlah
kebijakan yang melatarbelakangi konsep penyelenggaraannya. Menurut Sinaga
(2006) pada Gambar 2.2, alur pelaksanaan penyelenggaraan jalan dimulai dari
ditetapkannya sejumlah undang-undang dan peraturan pemerintah tingkat pusat
maupun daerah yang menjadi dasar kebijakan umum dan kebijakan teknis bagi
penyelenggaraan jalan di Indonesia yang merupakan penentu bagi proses
perencanaan baik jaringan maupun teknis, studi kelayakan, program dan anggaran,
proses konstruksi, operasi dan pemeliharaan yang semuanya sangat berkaitan
dengan hasil output, outcome serta dampak dari penyelenggaraan jalan tersebut.
Gambar 2.2 Bagan Alir Penyelenggaraan jalan (Sinaga, 2006)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 6: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/6.jpg)
Tabel 2.1 Pembagian Tugas dan Penyelenggaraan Jalan
No Tugas Penyelenggaraan Jalan
Nasional
Jalan
Provinsi
Jalan
Kabupaten/K
ota
Jalan Desa Jalan Tol Jalan Khusus
1
PEMBINAAN
1.1. Pengaturan
Perumusan kebijakan
perencanaan
Pusat Provinsi Kab – Kota Kab - Kota Pusat Pusat
Penyusunan kebijakan
perencanaan umum
dan pemrograman
Pusat Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat
Penyusunan peraturan
perundangan
Pusat Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat
Penyusunan pedoman
dan standar teknis
Pusat Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat
1.2. Pelayanan
Perijinan Kab – Kota Kab – Kota Kab – Kota Kab - Kota Pusat/Prov/Ka
b – Kota
Instansi
Terkait
Informasi Pusat Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat/Korpora
si
Instansi
Terkait
1.3. Pemberdayaan
Bimbingan dan
penyuluhan
Pusat Pusat/Provins
i
Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat
Pendidikan dan
pelatihan
Pusat Pusat/Provins
i
Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat
1.4. Penelitian dan
pengembangan
Penelitian Pusat Pusat/Provins
i
Provinsi-
Kab-Kota
Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat/Korpor
asi
Pengkajian Pusat Pusat/Provins
i
Provinsi-
Kab-Kota
Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat/Korpor
asi
Pengembangan Pusat Pusat/Provins
i
Provinsi-
Kab-Kota
Kab –
Kota/Desa
Pusat Pusat/Korpor
asi
2
PEMBANGUNAN
Studi Kelayakan Pusat/Provi
nsi
Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Korporasi Korporasi
Perencanaan Teknis Pusat/Provi
nsi
Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Korporasi Korporasi
Pelaksanaan Konstruksi Pusat/Provi
nsi
Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Korporasi Korporasi
Pengoperasian Pusat/Provi
nsi
Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Pusat/
Korporasi
Korporasi
Pemeliharaan Pusat/Provi
nsi
Provinsi Kab – Kota Kab –
Kota/Desa
Korporasi Korporasi
3 PENGAWASAN Pusat Pusat Provinsi-
Kab-Kota
Kab - Kota Pusat Pusat
Sumber : Tanan (2005)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 7: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/7.jpg)
Tanan (2005) dari tujuan penyelenggaraan jalan tersebut setidaknya terdapat
beberapa kata kunci yang perlu diperhatikan dalam penyelenggaraan jalan di
Indonesia, yakni aspek yang berkaitan dengan pemerataan aksessibilitas ke seluruh
wilayah, keselamatan dan pengoperasian jalan, efisiensi operasi, yang dalam hal ini
cepat dan lancar, efektifitas jaringan jalan sebagai penunjang pembangunan, biaya
yang seekonomis mungkin dan terjangkau serta keterpaduan antar moda.
Wewenang penyelenggaraan jalan meliputi kegiatan-kegiatan yang
mencakup siklus kegiatan dan perwujudan jalan yang terdiri dari pengaturan,
pembinaan, pembangunan dan pengawasan yang dijelaskan sebagai berikut:
1. Pengaturan jalan adalah kegiatan perumusan kebijakan perencanaan,
penyusunan perencanaan umum, dan penyusunan peraturan perundangan
jalan. Khususnya untuk penyusunan peraturan perundang-undangan jalan
hanya dilakukan oleh Menteri Pekerjaan Umum.
2. Pembinaan jalan adalah kegiatan penyusunan pedoman dan standar
teknis, pelayanan, pemberdayaan sumber daya manusia, serta penelitian
dan pengembangan jalan.
3. Pembangunan jalan adalah kegiatan pemograman, penganggaran,
perencanaan teknis, pelaksanaan konstruksi serta pengoperasian dan
pemeliharaan jalan.
4. Pengawasan jalan adalah kegiatan yang dilakukan untuk mewujudkan
tertib pengaturan, pembinaan dan pembangunan jalan. Pengawasan yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 8: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/8.jpg)
dilakukan tersebut meliputi kegiatan evaluasi, pengkajian dan
pengendalian. Sedangkan yang termasuk dalam kegiatan pengendalian
adalah kegiatan pengamatan dan tindakan turun tangan.
2.3 Standar Pelayanan Minimal (SPM) di Bidang Jalan
Untuk menjamin tersedianya pelayanan publik bagi masyarakat, maka
berdasar pasal 3 ayat 3 PP No.25/2000 bahwa daerah wajib melaksanakan Standar
Pelayanan Minimal (SPM). Dalam hal ini standar pelayanan minimal merupakan
kewenangan dari Pemerintah Pusat (pasal 2 ayat 4 butir b). Dengan kata lain bahwa
untuk setiap bidang pelayanan harus ditetapkan suatu standar oleh Departemen
Teknis terkait yang wajib dilaksanakan oleh daerah. Dalam hal ini untuk bidang jalan
adalah Departemen Kimpraswil telah mengeluarkan draft Standar Pelayanan Minimal
seperti yang tercantum dalam Tabel 2.2.
SPM ini dikembangkan dalam sudut pandang publik sebagai pengguna jalan,
dimana ukurannya merupakan common indicator yang diinginkan oleh pengguna.
Ada 3 (tiga) keinginan dasar para pengguna jalan, yang kemudian dikembangkan
menjadi dasar penentuan SPM yakni:
1. Kondisi jalan yang baik (tidak ada lubang).
2. Tidak macet (lancar setiap waktu).
3. Dapat digunakan sepanjang tahun (tidak banjir waktu musim hujan).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 9: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/9.jpg)
Tabel 2.2 Standard Pelayanan Minimum
Sumber: Departemen Kimpraswil, 2001
Standar Pelayanan Kuantitas No. Bidang
Pelayanan Cakupan Konsumsi/Produksi
Kualitas Keterangan
Jaringan Jalan Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) Indeks Aksesibilitas
sangat tinggi >5000 >5
tinggi > 1000 >1.5
sedang > 500 >0.5
rendah > 100 >0.15
A. Aspek Aksesibilitas
seluruh jaringan
sangat rendah < 100 >0.05
Panjang jalan/luas (km/km2)
PDRB per kapita (juta rp/kap/th) Indeks Mobilitas sangat tinggi >10 >5
tinggi > 5 >2
sedang > 2 >1
rendah > 1 >0.5
B. Aspek Mobilitas
seluruh jaringan
sangat rendah < 1 >0.2
panjang jalan/ 1000
penduduk
pemakai jalan Indeks Kecelakaan 1 Kecelakaan/
100.000 km. kend.
Kepadatan Penduduk (jiwa/km2) sangat tinggi >5000
tinggi > 1000
sedang > 500
rendah > 100
1.
C. Aspek Kecelakaan
seluruh jaringan
sangat rendah < 100
Indeks Kecelakaan 2 kecelakaan/
km/ tahun
Ruas Jalan Lebar Jalan Min. Volume Lalulintas (kend/hari) Kondisi Jalan
2x7m lhr > 20000 sedang; iri < 6; rci > 6.5
7m 8000 > lhr > 20000 sedang; iri < 6; rci > 6.5
6m 3000 >l hr > 8000 sedang; iri < 8; rci > 5.5
A. Kondisi Jalan
4.5m lhr < 3000 sedang; iri < 8; rci > 5.5
Fungsi Jalan Pengguna Jalan Kecepatan Tempuh Min arteri primer lalu lintas regional jarak jauh 25 km/jam
kolektor primer lalu lintas regional jarak sedang 20 km/jam
lokal primer lalu lintas lokal 20 km/jam
arteri sekunder lalu lintas kota jarak jauh 25 km/jam
kolektor sekunder lalu lintas kota jarak sedang 25 km/jam
2
B. Kondisi Pelayanan
lokal sekunder lalu lintas lokal kota 20 km/jam
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 10: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/10.jpg)
2.4 Kegiatan Penanganan Jalan
Tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga jalan agar fungsinya dalam
sistem infrastruktur jalan (atau lebih dikenal sebagai jaringan jalan) dapat berjalan
sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan jalan itu sendiri. Secara lebih
spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan jalan adalah untuk menjaga
kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap dalam kondisi baik
sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan sebagaimana mestinya.
Dalam kondisi penyediaan dana yang terbatas (constrained budget available)
ini maka prioritas untuk kegiatan penanganan jalan yang sifatnya untuk
mempertahankan aset yang ada (assets preservation) merupakan suatu langkah
yang wajar untuk dilakukan, dan jika kondisi keuangan memungkinkan maka dapat
dilakukan penyempurnaan terhadap kondisi yang ada (assets enchancement) dan
jika benar – benar dana yang tersedia sangat besar maka perlu adanya penambahan
aset baru (assets expansion).
Penanganan infrastruktur jaringan jalan nasional berdasarkan konsep wilayah
kerja diusulkan dibagi dalam 2 kelompok besar yaitu preservasi dan pembangunan.
Penanganan preservasi bersifat menjamin jaringan jalan tetap dalam kondisi
optimal. Jenis pekerjaannya dibagi dalam 2 jenis pekerjaan, yaitu pekerjaan
pemeliharaan dan pekerjaan rehabilitasi jalan. Sedangkan penanganan
pembangunan bersifat menambah kuantitas sistem jaringan jalan baik dalam arah
memanjang maupun dalam arah tranversal.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 11: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/11.jpg)
Departemen Kimpraswil memiliki definisi mengenai tujuan penanganan jalan
yakni 100% jalan mantap. Tingkat kemantapan jalan ditentukan oleh dua kriteria
yakni mantap secara konstruksi dan mantap dalam pelayanan lalu lintas.
2.5 Definisi Kemantapan Jalan
Adapun definisi dari masing-masing istilah kemantapan jalan tersebut adalah
sebagai berikut :
a. Jalan Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi konstruksi di dalam
koridor mantap yang mana untuk penanganannya hanya membutuhkan
kegiatan pemeliharaan. Jalan mantap konstruksi ditetapkan menurut
Standar Pelayanan Minimal adalah jalan dalam kondisi sedang, dimana
dalam studi ini digunakan batasan dengan besar IRI < 6 m/km.
b. Jalan Tak Mantap Konstruksi adalah jalan dengan kondisi di luar koridor
mantap yang mana untuk penanganan minimumnya adalah pemeliharaan
berkala dan maksimum peningkatan jalan dengan tujuan untuk menambah
nilai struktur konstruksi.
Konsep tingkat kemantapan jalan yang digunakan oleh Ditjen Bina Marga
berdasarkan ketersediaan data dari sistem pendataan yang dimiliki maka parameter
yang digunakan adalah:
1. Parameter kerataan jalan atau International Roughness Index (IRI).
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 12: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/12.jpg)
2. Parameter lebar jalan dan Rasio Volume/Kapasitas (VCR).
3. Parameter lebar jalan dan Volume Lalulintas Harian (LHR).
2.6 Jenis Kegiatan Penanganan Jalan
Banyaknya permasalahan yang harus ditangani dalam penanganan jalan,
namun secara umum dapat dikelompokkan sebagai berikut:
a. Pemeliharaan kerusakan jalan yang diakibatkan oleh pengaruh cuaca,
waktu dan kelelahan akibat beban lalulintas.
b. Penyesuaian lebar jalan untuk memenuhi peningkatan volume lalulintas.
c. Penyesuaian kekuatan struktur jalan untuk memenuhi tuntutan
perkembangan beban lalulintas dan teknologi kendaraan angkutan barang.
d. Pembuatan jalan baru untuk meningkatkan aksesibilitas untuk wilayah
yang berkembang cepat maupun untuk daerah yang masih terisolir.
Penanganan jalan menurut PP No. 34 Tahun 2006 Tentang Jalan adalah
kegiatan yang merupakan bagian dari penyelenggaraan pembangunan jalan yang
mencakup penetapan rencana tingkat kinerja yang akan dicapai serta perkiraan biaya
yang diperlukan. Program penanganan jaringan jalan disusun oleh penyelenggara
jalan yang bersangkutan dengan mengacu pada rencana jangka menengah jaringan
jalan dengan memperhatikan pedoman yang ditetapkan oleh menteri sesuai dengan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 13: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/13.jpg)
peraturan perundang-undangan. Penanganan jalan bertujuan untuk menjaga
prasarana jalan sehingga fungsinya dalam sistem infrastruktur jalan dapat berjalan
sebagaimana mestinya sesuai tujuan penyelenggaraan prasarana jalan itu sendiri.
Dengan kata lain, secara lebih spesifik dapat dikatakan bahwa tujuan penanganan
jalan adalah untuk menjaga kondisi fisik dan operasional dari jaringan jalan agar tetap
dalam kondisi baik sehingga dapat dioperasikan atau memberikan pelayanan
sebagaimana mestinya (Tanan, 2005).
Di dalam Penjelasan PP No 34 Tahun 2006 Tentang Jalan disebutkan bahwa
program penanganan jaringan jalan meliputi program pemeliharaan jalan, program
peningkatan jalan, dan program konstruksi jalan baru. Menurut Ditjen Bina Marga
(2005) dalam Mulyono (2007) lebih memfokuskan pengelolaan jalan pada kegiatan
pemeliharaan berkala (periodic maintenance) dan peningkatan strukturnya
(betterment). Berdasarkan hal tersebut, penanganan jalan yang ditinjau pada
penelitian ini adalah program pemeliharaan jalan dan peningkatan jalan, tidak
termasuk program konstruksi jalan baru.
2.6.1 Pemeliharaan Jalan (Maintenance)
Sesuai dengan karakteristiknya, jalan akan mengalami penurunan kondisi
semenjak pertama kali digunakan hingga berakhirnya umur rencana (Kodoatie,
2005). Sasaran penanganan jalan pada dasarnya mempertahankan kondisi dan
tingkat pelayanan jalan sedemikian sehingga diperoleh biaya transportasi total yang
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 14: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/14.jpg)
minimum. Masalah pemeliharaan saat ini mulai banyak mendapat perhatian karena
dapat mengurangi atau menekan terjadinya kerusakan yang lebih parah dan
terjaganya usia pelayanan sehingga pemeliharaan jalan merupakan program
penanganan jalan yang berada dalam prioritas tertinggi. Infrastruktur yang dijaga atau
dipelihara akan dapat memiliki usia pelayanan yang lebih lama dibandingkan dengan
yang tidak dikenakan kegiatan pemeliharaan.
Mahmud dkk (2002) prinsip pemeliharaan jalan dilakukan dengan azas
keuntungan ekonomi yang efektif dan efisien, melalui anggaran yang minimum dapat
dihasilkan kondisi jalan yang optimum sehingga masyarakat merasa bahagia karena
biaya angkutan menjadi rendah.
Biaya Biaya AngkutanKota
Biaya Pemeliharaan
Rendah Mutu Jalan Tinggi
Gambar 2.3 Hubungan Mutu Jalan Dengan Biaya Pemeliharaan dan Biaya
Pengguna (Mahmud dkk, 2002)
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 15: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/15.jpg)
Gambar 2.3 menunjukkan hubungan mutu jalan dengan biaya pemeliharaan
dan pengguna, dengan memperlihatkan semakin besar biaya pemeliharaan yang
diinvestasikan maka kondisi jalan akan semakin baik dan semakin rendah biaya
pengguna jalan dimana pada kondisi jalan tertentu (optimum) gabungan kedua biaya
tersebut akan minimum. Jika kegiatan pemeliharaan diberikan secara teratur sesuai
standar perencanaan dan tingkat pemeliharaan yang dibutuhkan maka secara tidak
langsung kualitas pelaksanaan konstruksi dapat dievaluasi dan dapat menjamin
pelayanan transportasi jalan yang teratur, tepat waktu dan aman, dan lingkungan yang
bersih dan rapi.
Pemeliharaan jalan menurut World Bank (1998) serta Schileser dan Bull
(1993) dalam Zainuddin dkk (2009) adalah suatu proses untuk mengoptimalkan
kinerja jaringan jalan sepanjang tahun yang secara umum bertujuan untuk menjaga
agar jalan tersebut tetap berfungsi melayani kebutuhan ekonomi sosial masyarakat
sepanjang tahun dan mengurangi tingkat kerusakan serta biaya operasi kendaraan.
Menurut Mahmud dkk (2002) rencana pemeliharaan jalan meliputi sistem
informasi, sistem manajemen aset, dan rencana penanganan pemeliharaan jalan yang
meliputi pemeliharaan rutin, pemeliharaan berkala dan rehabilitasi. Pemeliharaan
jalan dilakukan melalui tahap-tahap yang rasional dan terpadu yang dikenal dengan
siklus pemeliharaan. Secara garis besar siklus tersebut ditunjukkan pada Gambar 2.4.
Perencanaan
Umum
Penyusunan
Program Desain Pelaksana
an
Pangkalan
Data
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 16: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/16.jpg)
Gambar 2.4 Siklus Pemeliharaan Jalan (Mahmud dkk, 2002)
Perencanaan umum yaitu menyangkut analisis jaringan jalan secara
keseluruhan yang ditujukan untuk memperkirakan kebutuhan biaya jangka menengah
sampai jangka panjang, sesuai dengan target yang ditetapkan. Penyusunan program
menyangkut penyusunan anggaran tahunan sesuai dengan kebutuhan penanganan
pada masing-masing ruas, baik berdasarkan biaya yang telah diperkirakan ataupun
berdasarkan biaya yang ditetapkan (dialokasikan). Secara sederhana, desain dapat
diartikan sebagai membangun suatu fasilitas diatas kertas. Oleh karena itu pada tahap
akhir desain sudah harus terlihat wujud (dimensi) serta mutu bahan dan mutu produk
akhir fasilitas (dikenal dengan gambar rencana dan spesifikasi) bahkan perlu
termasuk juga cara membangun dan cara pengendalian mutu. Pelaksanaan merupakan
operasi lapangan dalam rangka menerjemahkan atau mewujudkan desain menjadi
bentuk fisik. Pangkalan data dalam penyelenggaraan jalan sangat penting, namun
kadang-kadang kurang mendapat perhatian. Karena merupakan rekaman lengkap
setiap kegiatan maka pangkalan data merupakan sumber pengkajian dalam rangka
lebih menyempurnakan penyelenggaraan pemeliharaan.
2.6.1.1 Pemeliharaan Rutin
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 17: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/17.jpg)
Pemeliharaan rutin merupakan kegiatan merawat serta memperbaiki
kerusakan-kerusakan yang terjadi pada ruas-ruas jalan dengan kondisi pelayanan
mantap. Pemeliharaan rutin hanya diberikan terhadap lapis permukaan yang sifatnya
untuk meningkatkan kualitas berkendaraan (riding quality), tanpa meningkatkan
kekuatan struktural dan dilakukan sepanjang tahun sedangkan pemeliharaan berkala
dilakukan terhadap jalan pada waktu-waktu tertentu (tidak menerus sepanjang tahun)
dan sifatnya meningkatkan kemampuan struktural.
2.6.1.2 Pemeliharaan Berkala
Pemeliharaan berkala merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap
kerusakan yang diperhitungkan dalam desain agar penurunan kondisi jalan dapat
dikembalikan pada kondisi kemantapan sesuai dengan rencana.
2.6.1.3 Rehabilitasi
Rehabilitasi merupakan kegiatan penanganan terhadap setiap kerusakan yang
tidak diperhitungkan dalam desain, yang berakibat menurunnya kondisi kemantapan
pada bagian/tempat tertentu dari suatu ruas jalan dengan kondisi rusak ringan, agar
penurunan kondisi kemantapan tersebut dapat dikembalikan pada kondisi kemantapan
sesuai dengan rencana
2.6.2. Peningkatan Jalan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 18: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/18.jpg)
Peningkatan jalan merupakan penanganan jalan guna memperbaiki pelayanan
jalan yang berupa peningkatan struktural dan atau geometriknya agar mencapai
tingkat pelayanan yang direncanakan atau dengan kata lain, peningkatan jalan
dilakukan untuk memperbaiki kondisi jalan dengan kemampuan tidak mantap atau
kritis menjadi jalan dengan kondisi mantap. Pekerjaan peningkatan jalan adalah
pekerjaan yang ditujukan untuk menambah kemampuan struktur jalan ke Muatan
Sumbu Tunggal (MST) yang lebih tinggi atau menambah kapasitas jalan. Program
peningkatan jalan terdiri atas:
1. Peningkatan struktur merupakan kegiatan penanganan untuk dapat meningkatkan
kemampuan ruas-ruas jalan dalam kondisi tidak mantap atau kritis agar ruas-ruas
jalan tersebut mempunyai kondisi pelayanan mantap sesuai dengan umur
rencana yang ditetapkan.
2. Peningkatan kapasitas merupakan kegiatan penanganan jalan dengan pelebaran
perkerasan, baik menambah maupun tidak menambah jumlah lajur.
2.6.3 Pembangunan Konstruksi Jalan Baru
Pengertian pembangunan konstruksi jalan baru adalah penanganan jalan dari
kondisi belum tersedianya badan jalan sampai kondisi jalan dapat berfungsi.
Pekerjaan konstruksi jalan baru juga berarti pekerjaan membangun jalan baru berupa
jalan tanah atau jalan beraspal.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 19: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/19.jpg)
Pembangunan jalan yang biasa di lakukan di Indonesia menurut Sulaksono
(2001) mempunyai tahapan dimulai dari tahap perencanaan (planning), selanjutnya
dilakukan studi kelayakan (feasibility study) dan perancangan detail (detail design),
kemudian tahap konstruksi (construction) dan diakhiri tahap pemeliharaan
(maintenance).
2.7 International Roughness Index (IRI)
International Roughness Index adalah parameter untuk menentukan tingkat
ketidakrataan permukaan jalan. Parameter Roughness dipresentasikan dalam suatu
skala yang menggambarkan ketidakrataan permukaan perkerasan jalan yang
dirasakan pengendara. Ketidakrataan permukaaan jalan tersebut merupakan fungsi
dari potongan memanjang dan melintang permukaan jalan. Disamping faktor-faktor
tersebut, Roughness juga dipengaruhi oleh parameter-parameter operasional
kendaraan, yang meliputi suspension roda, bentuk kendaraan, kedudukan kerataan
kendaraan serta kecepatan.
Wambold, dkk (`1981) dalam Tanan (2005) menyampaikan secara umum
Roughness jalan dapat didefinisikan sebagai deviasi permukaaan jalan diukur dari
satu bidang datar, ditambah parameter lain yang dapat mempengaruhi hal-hal sebagai
berikut: gerakan dinamis kendaraan, kualitas perjalanan, beban dinamis konstruksi
serta pengaliran air di permukaan jalan.
International Roughness Index (IRI) digunakan untuk mengukur kekasaran
permukaan jalan, kekasaran yang diukur pada setiap lokasi diasumsikan mewakili
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 20: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/20.jpg)
semua fisik dilokasi tersebut. Kekasaran permukaan jalan adalah nama yang
diberikan untuk ketidakrataan memanjang pada permukaan jalan. Ini diukur dengan
suatu skala terhadap pengaruh permukaaan pada kendaraan yang bergerak diatasnya.
Skala yang banyak digunakan di negara berkembang adalah International Roughness
Index.
Tingkat kerataan jalan (IRI) merupakan salah satu faktor/fungsi pelayanan
(functional performance) dari suatu perkerasan jalan yang sangat berpengaruh pada
kenyamanan pengemudi (riding quality). Nilai IRI adalah nilai ketidakrataan
permukaan yaitu panjang kumulatif turun naik permukaan persatuan panjang yang
dinyatakan dalam m/km. IRI adalah sebuah standar pengukuran kekasaran yang
mengacu pada Response-Type Road Roughness Measurement System (RTRRMS).
Metode pengukuran kerataan permukaan jalan yang dikenal pada umumnya
antara lain metode NAASRA (SNI 03-3426-1994). Metode lain yang dapat digunakan
untuk pengukuran dan analisis kerataan perkerasan adalah Rolling Straight Edge,
Slope Profilometer /AASHO Road Test, CHLOE Profilometer, dan Roughometer
(Yoder and Witczak, 1975 dalam Suwardo dan Sugiharto, 2004).
Menurut Saleh, dkk (2008) pada dasarnya penetapan kondisi jalan minimal
adalah sedang, dalam Gambar 2.5 terlihat berada pada level IRI antara 4,5 m/km
sampai dengan 8 m/km tergantung dari fungsi jalannya. Jika IRI menunjukkan
dibawah 4,5 artinya jalan masih dalam tahap pemeliharaan rutin, sementara jika IRI
antara 4,5 sampai 8, yang dikategorikan pada kondisi sedang, berarti jalan sudah
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 21: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/21.jpg)
perlu dilakukan pemeliharaan berkala (periodic maintenance) yakni dengan pelapisan
ulang (overlay). Sedangkan jika IRI berkisar antara 8 sampai 12, artinya jalan sudah
perlu dipertimbangkan untuk peningkatan. Sementara jika IRI > 12 berarti jalan
sudah tidak dapat dipertahankan, sehingga langkah yang harus dilakukan
rekonstruksi.
Gambar 2.5 Hubungan Antara Kondisi, Umur dan Jenis Penanganan Jalan
( Saleh dkk, 2008)
Direktorat Jenderal Bina Marga menggunakan parameter International
Roughness Index (IRI) dalam menentukan kondisi konstruksi jalan, yang dibagi atas 4
kelompok. Berikut ditampilkan Tabel 2.3 penentuan kondisi ruas jalan dan kebutuhan
penanganannya:
Tabel 2.3 Penentuan Kondisi Ruas Jalan dan Kebutuhan Penanganan
RUSAK RINGAN
8 < IRI < 12
RUSAK BERAT
12 < IRI
PEMILIHARAAN BERKALA
4,5 < IRI < 8
PENINGKATAN
BATAS
KONTRUKSI
JALAN
LINTASAN IDEAL
BATAS KRITIS
Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin
BATAS MASA PELAYANAN
JIKA TANPA PROGRAM
PENINGKATAN JALAN
TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI
LOS YANG ADA
Pt
Po
Keterangan:
Po : Service Ability Indeks Awal (PHO)
Pt : Service Ability Indeks Akhir (Batas Umur
Pelayanan)
Nilai Po dan Pt tergantung pada klasifikasi Jalan (N, P, K) dan LHR
Iri < 4,5 Iri < 4,5 Iri < 4,5
RUSAK RINGAN
8 < IRI < 12
RUSAK BERAT
12 < IRI
PEMILIHARAAN BERKALA
4,5 < IRI < 8
PENINGKATAN
BATAS
KONTRUKSI
JALAN
LINTASAN IDEAL
BATAS KRITIS
Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin Pemeliharaan Rutin
BATAS MASA PELAYANAN
JIKA TANPA PROGRAM
PENINGKATAN JALAN
TIDAK MAMPU LAGI MELAYANI
LOS YANG ADA
Pt
Po
Keterangan:
Po : Service Ability Indeks Awal (PHO)
Pt : Service Ability Indeks Akhir (Batas Umur
Pelayanan)
Nilai Po dan Pt tergantung pada klasifikasi Jalan (N, P, K) dan LHR
Iri < 4,5 Iri < 4,5 Iri < 4,5
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 22: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/22.jpg)
Kondisi Jalan IRI (m/km) Kebutuhan Penanganan
Baik IRI rata-rata 4.5 Pemeliharaan Rutin
Sedang 4.5 < IRI rata-rata 8.0 Pemeliharaan Berkala
Rusak 8.0 < IRI rata-rata 12 Peningkatan Jalan
Rusak Berat IRI rata-rata > 12 Peningkatan Jalan
Sumber : IRMS
2.8 Konsep Dasar Penentuan Prioritas (Priority Setting)
Penentuan prioritas (priority setting) dikembangkan sebagai dasar pembuatan
keputusan. Penentuan prioritas perlu dikembangkan dengan memahami sumber-
sumber daya yang bermanfaat untuk mencapai hasil/outcomes dan pengaruh/impact
yang diharapkan. Ketersediaan sumber daya dapat menjadi faktor utama dalam
penentuan prioritas.
Sembel (2003) dalam Sembiring (2008) menyatakan keterbatasan waktu,
tenaga dan dana menyebabkan ketidakmungkinan untuk melakukan banyak hal dalam
waktu yang bersamaan sehingga perlu untuk dilakukan prioritas. Faktor keterbatasan
tersebut membuat prioritas menjadi penting, sehingga perlu dilakukan pembenahan
dalam banyak hal yang semuanya harus dilakukan dengan waktu yang cepat, dana
yang cukup serta kualitas yang utama sehingga perlu dilakukan suatu cara, yaitu
dengan menyusun prioritas. Prioritas disusun berdasarkan tingkat kebutuhan dan
disesuaikan dengan visi, misi, dan tujuan yang ingin dicapai. Pada umumnya,
penyusunan prioritas akan memperhatikan masalah-masalah dasar yang dihadapi
maupun faktor-faktor yang menghambat tercapainya suatu tujuan. Oleh karena itu,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 23: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/23.jpg)
pemahaman terhadap akar permasalahan yang dihadapi menjadi modal utama bagi
pengambil keputusan, khususnya yang terkait dengan masalah fundamental.
Efektifitas penentuan prioritas terkait erat dengan proses pengambilan keputusan.
Dalam hal ini, pengambilan keputusan harus mempertimbangkan tujuan, baik jangka
pendek maupun jangka panjang.
2.9 Manfaat Penentuan Prioritas
Penentuan prioritas dipandang penting karena beberapa alasan sebagai
berikut:
a. Agar tetap fokus pada hal-hal yang berada pada prioritas utama atau
menuntun perencanaan dan proses update program.
b. Untuk mengawasi agar penggunaan sumber daya langka lebih efektif.
c. Untuk membangun komunikasi mengenai aktivitas antar stakeholder.
d. Untuk menghubungkan antara kebijakan dan tujuan ekonomi sosial
pemerintah.
2.10 Kriteria Dalam Menentukan Prioritas
Dalam menentukan prioritas diperlukan beberapa kriteria yang menjadi dasar
dalam pemberian bobot pilihan. Peneliti sebelumnya menggunakan kriteria yang
berbeda-beda dalam menentukan prioritas penanganan ruas jalan menurut kondisi
daerah yang ditelitinya. Berikut ini adalah beberapa penelitian terdahulu yang
memiliki relevansi sehingga dapat dijadikan pertimbangan maupun perbandingan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 24: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/24.jpg)
dalam penentuan prioritas penanganan jalan baik pemeliharaan, peningkatan dan
pembangunan jalan.
Tanan (2005) mengambil studi penanganan jalan provinsi dalam kondisi
budget constrained (Studi Kasus Provinsi Nusa Tenggara Timur). Model alokasi dana
yang dikembangkan dalam studi ini menggunakan pendekatan Analisis Multi Kriteria
(AMK) dengan metode AHP. Bobot kriteria diberikan berdasarkan persepsi
responden wakil stakeholders Pemerintah Pusat, Pemerintah Provinsi, dan
masyarakat. Terlihat bahwa prosentase pencapaian jalan mantap sangat dipengaruhi
oleh besarnya dana yang tersedia, kombinasi pengalokasian dana, serta laju
penambahan nilai IRI (yang dipengaruhi oleh pemilihan metode prediksi).
Simanullang (2009) menulis studi dengan judul Kajian Peningkatan Status
Jalan Kabupaten Menjadi Jalan Provinsi di Humbang Hasundutan menggunakan lima
kriteria yaitu pemerataaan aksessibilitas ke seluruh wilayah, kondisi dari ruas jalan,
fungsi arus, efektifitas dampak terhadap pengembangan wilayah, dan efektifitas biaya
pengembangan ruas jalan. Dari hasil analisis menunjukkan kriteria yang paling
dominan adalah kriteria pengembangan wilayah dan kriteria peningkatan
aksessibilitas.
Sedangkan menurut Rochim, dkk (2007) adanya kebijakan pendanaan, dan
kebijakan lainnya berakibat semua ruas jalan tidak dapat tertangani seluruhnya, untuk
itu dalam penyusunan program penanganan jalan harus menghasilkan urutan
prioritas/peringkat ruas-ruas jalan yang akan ditangani. Dengan memakai metode
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 25: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/25.jpg)
seleksi untuk menentukan peringkat/prioritas tersebut yang dapat menampung
berbagai kebijakan dan permasalahan yang terjadi, dalam hal ini metode yang
diusulkan adalah Analitycal Hierarchy Process Method. Kriteria yang memperoleh
intensitas kepentingannya/prioritas paling tinggi adalah kerusakan pada perkerasan
jalan yaitu 56%, hal ini didukung dengan sub kriteria retak-retak (19%) dan
deformasi/lubang-lubang (32%) yang mana bila kedua sub kriteria tersebut terjadi
maka ruas jalan tersebut harus mendapat penanganan segera. Sedangkan untuk
kriteria prilaku lalu lintas bobot tingkat pentingnya adalah pada posisi kedua yaitu
24%, ini karena terdapat sub kriteria derajat kejenuhan 14%. Untuk kriteria kerusakan
pada samping jalan dan public complain walaupun ada sedikit pengaruhnya,
dianggap kurang penting 6%.
Hal yang sama dilakukan oleh Fataruba, dkk (2006) juga menggunakan
metode AHP dalam penelitiannya. Kriteria yang digunakan adalah kriteria yang ada
pada kondisi eksisting ditambah 6 kriteria baru (potensi ekonomi komoditi unggulan,
manfaat pemakai jalan, penduduk pengguna ruas jalan, peranserta masyarakat,
fasilitas umum, trayek angkutan) yang disesuaikan dengan kondisi dan kebutuhan
daerah wilayah studi. Pada penelitian ini, urutan prioritas usulan ditentukan
berdasarkan besarnya jumlah manfaat yang didapat dari jumlah perkalian antara
bobot kepentingan kriteria dengan nilai kriteria untuk setiap ruas jalan. Hasil
pembobotan tingkat kepentingan kriteria adalah kondisi ruas jalan (27,66%), LHR
(21,37%), potensi ekonomi komuditi unggulan (15,86%), manfaat pemakai jalan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 26: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/26.jpg)
(12,26), trayek angkutan umum (9,60%), jumlah penduduk pengguna ruas jalan
(5,56%), peran serta masyarakat (3,93%), dan jumlah fasilitas umum (3,76).
Berdasarkan hasil evaluasi perbandingan, hasil urutan prioritas usulan dengan metode
pembobotan dinilai lebih baik dan lebih lengkap.
Anggreni dan Jennie (2009), dalam “Penentuan Prioritas Perbaikan Jalan Untuk
Jalan Beraspal Studi Kasus Jalan Jayapura-Sentani Provinsi Papua” menggunakan
Metode AHP dengan faktor pembanding Indeks Permukaan (erat kaitannya dengan
nilai kerusakan jalan) yang berbobot 0.53, BCR (Benefit Cost Ratio) memperoleh
bobot 0.05, kondisi drainase yang berbobot 0.10 dan LHR (Lalu Lintas Harian Rata-
rata) dengan bobot 0.32. Penilaian pembobotan ditentukan berdasarkan atas
perbandingan antara faktor yang satu dengan lainnya kemudian dianalisa untuk
menentukan faktor mana yang paling tinggi dan paling rendah peranannya terhadap
level atas di mana faktor tersebut berada. Penelitian ini menghasilkan urutan prioritas
perbaikan 9 (sembilan) ruas jalan antara Jayapura dan Sentani.
Hadi (2009) dalam “Metode Analytical Hierarchy Process untuk Menentukan
Prioritas Penanganan Jalan di Wilayah Balai Pemeliharaan Jalan Mojokerto”
menggunakan 4 kriteria, kriteria pertama yaitu kerusakan pada perkerasan jalan
dengan sub kriteria keadaan permukaan jalan, crack/retak-retak, deformasi/lubang-
lubang. Kriteria kedua kerusakan samping jalan yang dibagi menjadi kerusakan pada
bahu jalan, kondisi drainase dan kondisi trotoar. Kriteria ketiga prilaku lalu lintas
dibedakan menjadi derajat kejenuhan, waktu tempuh dan LHR. Kriteria keempat
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 27: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/27.jpg)
adalah public complain. Dari hasil kuisioner pada 30 orang responden dan analisa
pembobotan maka diperoleh urutan kriteria yang menjadi prioritas yaitu kerusakan
pada perkerasan jalan (56%), kriteria prilaku lalu lintas (24%), kriteria kerusakan
pada samping jalan dan publik komplain bobotnya 14 % dan 6 %. Dari hasil urutan
pembobotan disusun prioritas ruas jalan yang mendapat penanganan baik jalan
perkotaan maupun jalan luar kota.
2.11 Konsep Analisis Multi Kriteria (AMK)
Salah satu cara untuk memprioritaskan serangkaian alternatif kebutuhan
penanganan jalan di setiap ruas jalan adalah dengan menggunakan Analisis Multi
Kriteria (AMK), dimana diharapkan dengan pendekatan AMK ini pengambilan
keputusan telah mempertimbangkan semua variabel sekomprehensif mungkin dengan
tetap berada dalam koridor proses ilmiah dari proses pengambilan keputusan yang
dilakukan.
Bila dibandingkan dengan pendekatan pengambilan keputusan lain, AMK
memiliki sejumlah keunggulan, yakni:
a. Sudut pandang terhadap pemilihan bisa lebih dalam.
b. Bisa mengakomodasikan berbagai interest yang berbeda.
c. Pemilihan bisa lebih transparan serta hasil pemilihannya bisa diharapkan
lebih baik.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 28: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/28.jpg)
Namun di lain pihak kerugian penggunaan metode ini adalah bahwa proses
evaluasi lebih kompleks serta perlu data yang banyak dan kemungkinan sulit
diinterpretasikan secara sederhana karena adanya bumbu scientific yang menutupi
proses analisis.
2.12 Analytical Hierarchie Process Method
Salah satu metode multi kriteria yang sering digunakan adalah Proses Hierarki
Analitik (PHA) atau disebut Analytical Hierarchy Process (AHP), yang pertama kali
dikembangkan oleh Thomas L. Saaty, seorang ahli matematika dari Universitas
Pittsburg, Amerika Serikat pada tahun 1970-an.
Metoda yang dikembangkan oleh Thomas Saaty ini pada dasarnya merupakan
prosedur yang sistematik untuk merepresentasikan elemen masalah secara hirarki
(memecahkan masalah ke dalam bagian-bagian yang lebih kecil). Metode AHP
adalah proses membentuk nilai secara numerik untuk menyusun peringkat dari setiap
alternatif keputusan berbasis pada bagaimana sebaiknya alternatif tersebut
dicocokkan dengan kriteria para pembuat keputusan.
Menurut Saaty (1993) metode AHP memiliki beberapa aksioma yang harus
diperhatikan, antara lain:
1. Reciprocal condition axiom
Aksioma ini menyatakan bahwa bila suatu alternatif atau kriteria A lebih
disukai sebesar n kali daripada B, maka B lebih disukai sebesar 1/n kali
daripada A.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 29: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/29.jpg)
2. Homogenity
Aksioma ini menjelaskan bahwa dalam membandingkan antara mobil dan
apel, tetapi harus apel dan apel.
3. Dependence
Aksioma ini mengijinkan perbandingan antara sekumpulan elemen dengan
sekumpulan elemen lainnya pada tingkat bawah tergantung elemen di
tingkat atas.
4. Expectations
Aksioma ini menyatakan bahwa suatu perubahan pada struktur akan
membutuhkan suatu evaluasi baru terhadap hirarki. Ukuran yang banyak
digunakan dalam AHP menggunakan konsep perbandingan berpasangan,
yaitu proses membandingkan antara dua kriteria yang perlu
dipertimbangkan untuk melakukan suatu pengambilan keputusan.
Di dalam AHP, penetapan prioritas kebijakan dilakukan dengan menangkap
secara rasional persepsi orang, kemudian mengkonversi faktor-faktor yang intangible
ke dalam aturan yang biasa sehingga dapat dibandingkan. Beberapa keuntungan
menggunakan AHP sebagai metode analisis adalah (Saaty, 1993):
1. AHP memberi model tunggal yang mudah dimengerti, luwes untuk
beragam persoalan yang tidak berstruktur.
2. AHP memadukan rancangan deduktif dan rancangan berdasarkan sistem
dalam memecahkan persoalan kompleks.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 30: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/30.jpg)
3. AHP dapat menangani saling ketergantungan elemen-elemen dalam satu
sistem dan tidak memaksakan pemikiran linier.
4. AHP mencerminkan kecenderungan alami pikiran untuk memilah-milah
elemen-elemen suatu sistem dalam berbagai tingkat berlainan.
5. AHP memberi suatu skala dalam mengukur hal-hal yang tidak berwujud
untuk mendapatkan prioritas.
6. AHP melacak konsistensi logis dari pertimbangan-pertimbangan yang
digunakan dalam menetapkan berbagai prioritas.
7. AHP menuntun ke suatu taksiran menyeluruh tentang kebaikan setiap
alternatif.
8. AHP mempertimbangkan prioritas-prioritas relatif dari berbagai faktor
sistem dan memungkinkan orang memilih alternatif terbaik berdasarkan
tujuan-tujuan mereka.
9. AHP tidak memaksakan konsensus tetapi mensinteis suatu hasil yang
representatif dari penilaian-penilaian yang berbeda.
10. AHP memungkinkan orang memperhalus defenisi mereka pada suatu
persoalan dan memperbaiki pertimbangan dan pengertian mereka melalui
pengulangan.
Disamping itu ada juga kelemahan metode AHP yaitu:
1. Ketergantungan model AHP pada input utamanya. Input utama ini
merupakan persepsi seorang ahli sehingga dalam hal ini melibatkan
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 31: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/31.jpg)
subyektifitas sang ahli selain itu juga model menjadi tidak berarti jika ahli
tersebut memberikan penilaian keliru.
2. Metode AHP ini hanya metode matematis tanpa ada pengujian statistik
sehingga tidak ada batas kepercayaan dari terbentuknya kebenaran model.
Dalam pengerjaannya metode Analytical Hierarchy Process (AHP)
menggunakan prinsip-prinsip yang meliputi:
1. Decomposition: suatu masalah yang kompleks dipecahkan ke level di
bawahnya yang mempunyai elemen yang bisa ditangani.
2. Prioritization: dampak tiap elemen dinilai pada levelnya dan dibawa ke
level di atasnya.
3. Synthesis: semua prioritas ditarik bersama untuk mendapatkan penilaian
keseluruhan.
4. Sensitivity Analysis: kestabilan hasil terhadap perubahan-perubahan dicoba
dengan apa yang akan terjadi jika dilakukan perubahan terhadap elemen
analisis.
2.12.1 Decomposition
Dekomposisi merupakan proses memecah persoalan yang utuh menjadi unsur-
unsurnya, sampai yang sekecil-kecilnya setelah mendefinisikan permasalahan yang
terjadi. Sistem yang kompleks dapat dengan mudah dipahami jika memecahnya menjadi
berbagai elemen pokok dan selanjutnya menusun elemen elemen tersebut secara hirarki.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 32: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/32.jpg)
Hirarki merupakan alat mendasar dari fikiran manusia yang melibatkan
pengidentifikasian elemen-elemen suatu persoalan. Langkah pertama dalam menyusun
hirarki adalah merumuskan tujuan dari suatu kegiatan penyusunan prioritas yang
dilanjutkan dengan menentukan kriteria dari tujuan. Berdasarkan tujuan dan kriteria,
maka beberapa pilihan perlu diidentifkasi agar pilihan tersebut merupakan pilihan
yang potensial sehingga jumlah pilihan tidak terlalu banyak. Struktur hirarki AHP
secara sederhana ditunjukkan dalam Gambar 2.6.
KRITERIA
PILIHAN
Gambar 2.6 Skema Umum Susunan Hirarkhi/Proses Dekomposisi (Saaty, 1993)
2.12.2 Comparative Judgement
Prinsip comparative judgement ini berarti membuat penilaian tentang
kepentingan relatif dua elemen pada suatu tingkat tertentu dalam kaitannya dengan
TUJUAN
I III II
III II I
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 33: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/33.jpg)
tingkatan diatasnya. Penilaian ini merupakan inti dari AHP, karena akan berpengaruh
terhadap prioritas elemen-elemen.
Dalam mengkuantifikasi pendapat kualitatif tersebut digunakan skala
penilaian sehingga akan diperoleh nilai pendapat dalam bentuk angka (kuantitatif).
Menurut Saaty (2003), untuk berbagai permasalahan, skala 1 sampai 9 merupakan
skala yang terbaik dalam mengkualifikasikan pendapat, yaitu berdasarkan akurasinya
berdasarkan nilai RMS (Root Mean Square Deviation) dan MAD (Median Absolute
Deviation).
Nilai dan definisi pendapat kualitatif dalam skala perbandingan Saaty ada
pada Tabel 2.4.
Tabel 2.4 Skala Banding Secara Berpasangan (Saaty,1993)
INTENSITAS
PENTINGNYA
DEFINISI PENJELASAN
1 Kedua elemen sama pentingnya Dua elemen menyumbang sama besar
pada sifat itu
3 Elemen yang satu sedikit lebih
penting ketimbang yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan sedikit
menyokong satu elemen atas yang
lainya
5 Elemen yang satu esensial atau
sangat penting ketimbang
elemen-elemen yang lainnya
Pengalaman dan pertimbangan dengan
kuat menyokong satu elemen atas
elemen yang lainnya
7 Satu elemen jelas lebih penting
dari elemen yang lainnya
Satu elemen dengan kuat disokong, dan
dominannya telah terlihat dalam
praktik
9 Satu elemen mutlak lebih
penting ketimbang elemen yang
lainnya
Bukti yang menyokong elemen yang
satu atas yang lain memiliki tingkat
penegasan tertinggi yang mungkin
menguatkan
2,4,6,8 Nilai-nilai antara diantara dua
pertimbangan yang berdekatan
Kompromi diperlukan antara dua
pertimbangan
Kebalikan Jika untuk aktivitas I mendapat
satu angka bila dibandingkan
dengan aktivitas j, maka j
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 34: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/34.jpg)
mempunyai nilai kebalikannya
bila dibandingkan dengan i Sumber : Saaty (1993)
Penggunaan penilaian skala banding berpasangan pada Tabel 2.4, maka
perbandingan antar kriteria akan menghasilkan Tabel 2.5 berikut. Untuk
memudahkan, dalam tabel diasumsikan hanya ada 4 (empat) kriteria. Dari tabel
tersebut dapat dirangkum sebagai berikut:
1. cij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara kriteria i dengan j.
2. ci merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki kriteria ke i.
3. c merupakan penjumlahan semua nilai ci.
4. Bobot kriteria ke i diperoleh dengan membagi nilai ci. dengan c.
Tabel 2.5 Perbandingan Antar Kriteria
Kriteria CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Jumlah Bobot
CR 1 - c 12 c 13 c 14 c 1 bc 1 = c1/ C
CR 2 c 21 - c 23 c 24 c 2 bc 2 = c2/ C
CR 3 c 31 c 32 - c 34 c 3 bc3 = c3/C
CR 4 c 41 c 42 c 43 - c 4 bc 4 =c 4/ C
Jumlah C
Sumber : Susila dkk (2007)
Tabel 2.6. Perbandingan Antar Pilihan Untuk Kriteria C1
C1 OP1 OP2 OP3 OP4 Jumlah Bobot
OP1 - o12 o13 o14 o1 bo11=o1/O
OP2 o21 - o23 o24 o2 bo21=o2/ O
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 35: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/35.jpg)
OP3 o31 o32 - o34 o3 bo31= o3/ O
OP4 o41 o42 o43 - o4 bo41= o4/ O
Jumlah O
Sumber : Susila dkk (2007)
Dengan menggunakan prosedur yang sama, maka dilakukan perbandingan
antar pilihan (OP) untuk masing-masing kriteria. Tabel 2.6 mengilustrasikan
perbandingan antar pilihan untuk kriteria 1 (C1) dengan penjelasan sebagai berikut:
1. oij merupakan hasil penilaian/perbandingan antara pilihan i dengan k untuk
kriteria ke j.
2. oi merupakan penjumlahan nilai yang dimiliki pilihan ke i.
3. o merupakan penjumlahan semua nilai oi.
4. boij merupakan nilai pilihan ke i untuk kriteria ke j.
Teknik perbandingan berpasangan yang digunakan dalam AHP berdasarkan
judgement atau pendapat dari para responden yang dianggap sebagai key person.
Mereka dapat terdiri atas pengambil keputusan, para pakar dan orang yang terlibat
serta memahami permasalahan yang dihadapi. Pada umumnya jumlah ahli bervariasi,
bergantung pada ketersediaan sumber daya. Penilaian dapat dilakukan dengan
menyebarkan kuesioner kepada masing-masing ahli ataupun dengan melakukan suatu
pertemuan para ahli untuk melakukan penilaian.
2.12.3 Synthesis of Priority
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 36: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/36.jpg)
Hasil yang diperoleh dari tahap Comparative Judgement lebih mudah
disajikan dalam bentuk matriks Pairwise Comparison, yaitu perbandingan setiap
elemen dengan elemen yang lainnya pada setiap tingkat hirarki secara berpasangan
sehingga didapat nilai tingkat kepentingan elemen dalam bentuk pendapat kualitatif.
Dan dari setiap matriks pairwise comparison dihitung vektor eigen untuk
mendapatkan prioritas lokal, karena matriks pairwise comparison terdapat pada setiap
tingkat, maka untuk melakukannya secara global harus dilakukan dengan mensintesis
diantara prioritas lokal (Synthesis of Priority).
Susila dkk (2007) menegaskan bahwa, mensintesis hasil penilaian merupakan
tahap akhir dari AHP yang prosedurnya berbeda menurut bentuk hirarki. Pada
dasarnya, sintesis ini merupakan penjumlahan dari bobot yang diperoleh setiap
pilihan pada masing-masing kriteria setelah diberi bobot dari kriteria tersebut. Secara
umum, nilai suatu pilihan adalah sebagai berikut:
n
i
jiji bcbobop1
( 2.1)
dimana bop i = nilai/ bobot untuk pilihan ke i.
Formula tersebut juga dapat disajikan dalam bentuk tabel. Untuk
memudahkan, diasumsikan ada empat kriteria dengan empat pilihan seperti Tabel 2.7
berikut.
Tabel 2.7 Matriks Sintesis
CR 1 CR 2 CR 3 CR 4 Prioritas
bc1 bc2 bc3 bc4 bop i
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 37: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/37.jpg)
OP1 bo11 bo12 bo13 bo14 bop1
OP2 bo21 bo22 bo23 bo24 bop2
OP3 bo31 bo32 bo33 bo34 bop3
OP4 bo41 bo42 bo43 bo44 bop4 Sumber : Susila dkk (2007)
Sebagai contoh nilai prioritas/bobot pilihan 1 (OP1) diperoleh dengan
mengalikan nilai bobot pada ktiteria dengan nilai yang terkait dengan kriteria tersebut
untuk pilihan 1 sebagai berikut:
bop i = bo11 * bc1+ bo12* bc2 + bo13* bc3+ bo14* bc4 (2.2)
Hal yang identik dilakukan untuk pilihan 2, 3 dan 4, dengan membandingkan
nilai yang diperoleh masing-masing pilihan, prioritas dapat disusun berdasarkan
besarnya nilai tersebut. Semakin tinggi nilai suatu pilihan, semakin tinggi
prioritasnya, dan sebaliknya.
Derajat kepentingan dapat dilakukan dengan pendekatan perbandingan
berpasangan. Perbandingan berpasangan sering digunakan untuk menentukan
kepentingan relatif dari elemen-elemen dan kriteria-kriteria yang ada. Perbandingan
berpasangan tersebut diulang untuk semua elemen dalam tiap tingkat. Elemen dengan
bobot paling tinggi adalah pilihan keputusan yang layak dipertimbangkan untuk
diambil.
2.12.4 Logical Consistency
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 38: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/38.jpg)
Konsistensi memiliki dua makna, yaitu bahwa obyek-obyek yang serupa dapat
dikelompokkan sesuai keseragaman dan relevansinya dan tingkat hubungan antara
obyek-obyek yang didasarkan pada kriteria tertentu.
2.12.5 Uji Konsistensi
Konsistensi jawaban atau pembobotan setiap responden harus diperiksa untuk
menjaga kualitas model secara keseluruhan. Dalam AHP tingkat konsistensi ini
dinyatakan dengan besaran indeks konsistensi (CI). Jany dkk (2009) menyatakan
bahwa, pada teori matriks diketahui bahwa kesalahan kecil pada koefisien akan
menyebabkan penyimpangan kecil pula pada eigen value. Adapun penghitungan
indeks konsistensi dilakukan dengan persamaan :
CI = (maks – n)/(n-1) (2.3)
maks = (Win*Wn)/n (2.4)
dimana: maks = eigen value maksimum
n = ukuran matriks
Win = nilai perbandingan antar kriteria i terhadap kriteria n
Wn = tingkat kepentingan kriteria n
Penetapan suatu matriks dianggap konsisten jika nilai Rasio Konsistensi (CR) lebih
kecil atau sama dengan 0,1.
Revisi pendapat, dapat dilakukan apabila nilai rasio konsistensi pendapat
cukup tinggi (≥ 10%). Beberapa ahli berpendapat jika jumlah revisi terlalu besar,
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 39: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/39.jpg)
sebaiknya responden tersebut dihilangkan. Jadi penggunaan revisi ini sangat terbatas
mengingat akan terjadinya penyimpangan dari jawaban yang sebenarnya.
Rasio konsistensi diperoleh dari persamaan:
RI
CICR (2.5)
Dimana CR = Consistency Ratio
CI = Consistency Index
RI = Random Index (Tabel 2.8)
Tabel 2.8 Nilai Indeks Random (RI)
Ukuran Matriks Indeks Random
(Inkonsitensi) Ukuran Matriks
Indeks Random
(Inkonsitensi)
1,2 0 9 1,45
3 0,58 10 1,49
4 0,9 11 1,51
5 1,12 12 1,48
6 1,24 13 1,56
7 1,32 14 1,57 Sumber: Saaty,1993
Nilai rentang CR yang dapat diterima tergantung pada ukuran matriks-nya,
sebagai contoh, untuk ukuran matriks 3 x 3, nilai CR = 0,03; matriks 4 x 4, CR = 0,08
dan untuk matriks ukuran besar, nilai CR = 0,1 (Saaty, 2000 dalam Apriyanto, 2008).
Tabel 2.9 Nilai Rentang Penerimaan Bagi CR
No Ukuran Matriks Rasio Konsistensi (CR)
1 ≤3 x 3 0,03
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 40: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/40.jpg)
2 4 x 4 0,08
3 > 4 x 4 0,1
Sumber : Saaty (2000) dalam Apriyanto (2008)
Dari Tabel 2.9, jika nilai CR lebih rendah atau sama dengan nilai tersebut,
maka dapat dikatakan bahwa penilaian dalam matriks cukup dapat diterima atau
matriks memiliki konsistensi yang baik. Sebaliknya jika CR lebih besar dari nilai
yang dapat diterima, maka dikatakan evaluasi dalam matriks kurang konsisten dan
karenanya proses AHP perlu diulang kembali.
2.12.6 Proses Penetapan Prioritas
Tahapan pengambilan keputusan dalam AHP, secara singkat diuraikan
sebagai berikut:
1. Indikasi jumlah alternatif yang akan diperiksa.
2. Tinjau dominansi suatu pilihan terhadap pilihan lainnya, terjadi ketika
kinerja suatu alternatif sama/lebih baik untuk semua kriteria terhadap
alternatif lainnya.
3. Lakukan pembobotan, dengan menggunakan matrix pair wise comparison.
4. Skoring kinerja tiap alternatif dengan memberikan penilaian terukur
terhadap variabel kriteria secara kualitatif ataupun kuantitatif.
5. Mengalikan bobot setiap kriteria dengan score/rangking kinerja alternatif
pada kriteria tersebut.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA
![Page 41: Jalan.pdf](https://reader031.vdocuments.mx/reader031/viewer/2022020208/5695cfc11a28ab9b028f6268/html5/thumbnails/41.jpg)
6. Menjumlahkan nilai setiap kriteria sehingga didapat nilai total suatu
alternatif.
7. Merangking nilai tersebut sehingga didapat prioritas alternatif.
Penyimpulan prioritas untuk setiap alternatif ditentukan oleh besarnya nilai
kinerja alternatif, dimana alternatif yang menunjukkan nilai yang lebih
besar akan lebih diprioritaskan.
UNIVERSITAS SUMATRA UTARA