jabon putih (neolamarckia cadamba dan jabon merah...
TRANSCRIPT
1
JABON PUTIH (Neolamarckia cadamba DAN JABON MERAH
(Neolamarckia macrophylla) UNTUK REKLAMASI LAHAN TAMBANG :
ADAPTASI BIBIT TERHADAP KEKERINGAN DAN GENANGAN AIR
Oleh :
Yulianti Bramasto1, Dede J Sudrajat
1, Evayusvita Rustam
1, Nurul Ainuningsih
2
1Peneliti pada Balai Penelitian Teknologi Perbenihan, Bogor
2Mahasiswa Fakultas MIPA, Universitas Pakuan, Bogor
RINGKASAN
Lahan bekas tambang adalah lahan marjinal baik dilihat dari ketersediaan hara
maupun air. Sering kali lahan bekas tambang mempunyai tanah yang jenuh sehingga
tergenang air atau yang terlalu sarang sehingga tidak mampu menahan air dan
cenderung lebih kering. Kondisi tesebut memerlukan tanaman yang mampu
beradaptasi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Jabon merupakan jenis
pohon yang memiliki prospek tinggi untuk dikembangkan, serta sebagai salah satu
pilihan jenis untuk tanaman revegetasi di lahan bekas tambang. Untuk itu diperlukan
informasi tentang ketahanan bibit jabon di persemaian pada beberbagai kondisi
kekeringan dan genangan air. Bibit jabon yang digunakan dalam penelitian ini berasal
dari tiga populasi jabon putih (Kediri, Garut dan Makasar) serta satu populasi jabon
merah (Sulawesi Utara). Hasil penelitian menunjukkan bibit jabon cenderung lebih
tahan terhadap genangan air dibandingan dengan kekeringan. Jabon putih asal Garut
dan Makasar bila dilihat dari pertumbuhan tingginya lebih tahan terhadap cekaman
dibandingkan jabon putih asal Kediri dan jabon merah asal Sulawesi Utara. Jabon
merah cenderung lebih sensitif terhadap kondisi cekaman terutama kekeringan
dibandingkan jabon putih.
Kata kunci : Bibit, Jabon, Simulasi, Cekaman, Persemaian
I. PENDAHULUAN
Jabon merupakan jenis pohon yang memiliki prospek tinggi untuk
dikembangkan dalam pembangunan hutan tanaman industri, tanaman reboisasi
(penghijauan), serta sebagai salah satu pilihan jenis untuk tanaman revegetasi di lahan
2
bekas tambang (Mansyur, 2010) di Indonesia. Di Indonesia, jabon yang dikenal
secara luas adalah jabon putih (Anthocephalus cadamba) dan jabon merah (A.
macrophylla). Kedua jenis ini di beberapa daerah menjadi primadona kegiatan
penanaman baik oleh perusahaan besar maupun oleh para petani.
Jabon mempunyai karakteristik pertumbuhan yang cepat, mempunyai
kemampuan beradaptasi pada berbagai kondisi tempat tumbuh, dan relatif bebas dari
serangan hama dan penyakit yang serius. Jenis ini akan menjadi semakin penting
bagi industri perkayuan di masa mendatang, karena bahan baku kayu pertukangan
dari hutan alam semakin berkurang. Hutan tanaman jabon dalam skala besar dapat
dijumpai di Provinsi Sumatera Utara, Riau dan Kalimantan Tengah. Pada saat ini
jabon juga banyak dibudidayakan oleh petani, terutama di Kalimantan dan Jawa
(Krisnawati, et al., 2011).
Jabon dapat dikategorikan jenis multiguna. Kayunya termasuk ke dalam kelas
kuat III-IV (Anonim, 1979) sehingga dapat digunakan sebagai bahan baku kayu
konstruksi (Dwianto dan Marsoem, 2008). Selain itu kayu jabon dapat digunakan
untuk kayu lapis, pulp dan kertas, dan mebel. Beberapa bagian tanaman jabon juga
dapat digunakan untuk bahan parfum dan obat-obatan. Jabon sering digunakan
sebagai tanaman reklamasi karena sifat pertumbuhannya yang termasuk jenis pioner
cepat tumbuh dan mampu tumbuh pada berbagai tipe lahan. Penelitian sebelumnya
menunjukkan bahwa jabon kurang mampu beradaptasi pada lahan marjinal (Vuokko dan
Otsamo 1996), tidak mampu tumbuh optimal pada kondisi kapasitas lapang air tanah di
bawah 50% (Soetrisno 1996) dan juga pada water table yang dangkal (Mansur dan Surahman
2011). Namun, fenomena di lapangan sering dijumpai bibit-bibit jabon yang tumbuh liar di
lahan-lahan kristis seperti bekas tambang.
Secara umum lahan bekas tambang adalah lahan marjinal baik dilihat dari
ketersediaan hara maupun air. Sering kali lahan bekas tambang mempunyai tanah
yang jenuh sehingga tergenang air atau yang terlalu sarang sehingga tidak mampu
menahan air dan cenderung lebih kering. Kondisi tesebut memerlukan tanaman yang
mampu beradaptasi terhadap cekaman kekeringan dan genangan air. Makalah ini
menyajikan informasi awal penelitian simulasi ketahanan bibit jabon di persemaian
3
pada beberbagai kondisi kekeringan dan genangan air dengan mengatur jumlah air
yang diberikan kepada setiap bibit.
II. BAHAN DAN METODE
A. Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan adalah benih jabon merah dan jabon putih,
pasir, tanah, kompos, bak kecambah, dan polybag. Alat yang digunakan dalam
penelitian ini adalah timbangan, oven, sprayer, pensil, kertas, thermometer, kaliper,
mistar dan lain-lain.
B. Waktu dan Tempat Penelitian
Pengumpulan benih dilakukan di empat lokasi, yaitu di Garut, Kediri dan
Makasar untuk jenis jabon putih, dan di Bolaan Mengondow-Sulawesi Utara untuk
jabon merah. Pengujian bibit dilakukan di Laboratorium Balai Penelitian Teknologi
Perbenihan Tanaman Hutan, Ciheuleut, Bogor pada bulan April hingga September
2012.
C. Metodologi
1. Persiapan bibit
Benih dari setiap populasi ditabur pada media campuran tanah dan pasir halus
(1 : 1 v/v) yang telah disterilkan. Penaburan benih dilakukan melalui pencampuran
benih dengan pasir halus (1:10), sehingga benih merata pada permukaan media.
Penyiraman dilakukan setiap pagi dan sore hari dengan menggunakan sprayer.
Setelah kecambah berukuran 3-5 cm, diambil secara acak sebanyak 50 semai
dari setiap populasi, selanjutnya disapih ke dalam polybag berukuran diameter 10 cm
dan tinggi 15 cm dengan media campuran top soil dan kompos (1 : 1 v/v). Sebanyak
45 bibit diberikan perlakuan, ada tiga perlakuan yaitu: (1)kontrol, (2) tergenang
(bibit selalu tergenang air) dan (3) penyiraman pada 25 % kapasitas lapang. Masing-
4
masing perlakuan diulang 3 kali, dan setiap ulangan terdiri dari 5 bibit. Pada awal
pertumbuhan, bibit diletakkan di persemaian. Penyiraman dilakukan setiap hari untuk
memastikan pertumbuhan pada tingkat bibit optimal. Setelah berumur 1 bulan, bibit-
bibit tersebut dipindahkan ke rumah kaca. Selama penelitian suhu dan kelembaban
relatif dicatat pada siang dan malam hari. Perlakuan beragam kondisi air dilakukan ,
terhadap 120 bibit, setelah bibit berumur 2 minggu di rumah kaca
2. Rancangan Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah rancangan acak kelompok pola
faktorial 3 x 4, sebagai faktor adalah asal benih, yaitu Kediri, Garut, Makasar dan
Bolaang Mongondow dan kondisi cekaman. Adapun 3 perlakuan kondisi air, yaitu
disiram setiap hari (kontrol), bibit selalu tergenang, dan disiram pada kapasitas
lapang 25%. Setiap perlakuan terdiri dari 5 bibit dengan 3 ulangan. Parameter uji
(respon yang diamati) pada penelitian ini adalah pertumbuhan tinggi, diameter dan
jumlah daun. Pengukuran pertumbuhan dilakukan setiap minggu selama 5 minggu.
D. Analisis Data
Data diolah dengan menggunakan program SPSS. Jika dari hasil analisis
ragam diketahui bahwa perlakuan menunjukan pengaruh yang berbeda nyata atau
berbeda sangat nyata, maka untuk membandingkan perlakuan terbaik dilanjutkan
dengan uji Duncan taraf uji 5%.
5
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
1. Pertumbuhan tinggi bibit
Asal benih dan perlakuan cekaman memberikan pengaruh sangat nyata
terhadap pertumbuhan pada minggu ke-5, sedangkan interaksi antar kedua faktor
tersebut tidak memberikan pengaruh yang nyata (Lampiran 1). Hasil pengamatan
menunjukkan secara umum pertambahan tinggi untuk perlakuan penyiraman dengan
kapasitas lapang 25% (KL 25%), mengalami penurunan pertambahan tinggi, setelah
minggu ke 4, khususnya pada bibit jabon putih asal Kediri (JPK), jabon putih asal
Makasar (JPM) dan jabon merah asal Sulut (JMS) (Tabel 1).
Tabel 1. Pertambahan tinggi bibit jabon pada berbagai perlakuan dan asal benih
Asal Benih Perlakuan Pertambahan tinggi bibit per minggu (cm)
t2-1 t3-2 t4-3 t5-4
JPK Kontrol 1.53 1.33 1 1.03
Tergenang 2.1 1.33 0.9 1.13
KL 25% 1.73 0.83 0.7 0.67
JPG Kontrol 2.1 1.33 0.9 1.13
Tergenang 1.9 1.27 1 1.13
KL 25% 1.27 0.9 1.1 1.13
JPM Kontrol 1.93 2.17 1.23 1.4
Tergenang 2.3 1.17 1.17 1.13
KL 25% 2.07 1.47 1.07 1.23
JMS Kontrol 1.17 2.1 1.17 1.3
Tergenang 2 1.43 1.3 1.27
KL 25% 0.93 0.73 0.6 0.67
Keterangan : JPK=jabon putih Kediri, JPG=jabon putih Garut, JPM=jabon putih Makassar,
JMS=jabon merah Sulawesi Utara.
Gambar 1 menunjukkan bahwa pertambahan tinggi bibit selama 5 minggu di
persemaian pada perlakuan penyiraman 25% dari kapasitas lapang memberikan
respon pertumbuhan yang paling rendah dan berbeda nyata dengan kontrol dan
perlakuan genangan, khususnya pada bibit JPK dan JMS, yang pertambahan tinggi
rata-rata masing-masing 3,9 cm dan 2,9 cm.
6
Gambar 1. Pertambahan tinggi bibit jabon sampai umur 5 minggu
2. Pertumbuhan diameter bibit
Berdasarkan pengamatan selama 5 minggu terlihat bahwa pertambahan
diameter bibit sangat dipengaruhi oleh perlakuan cekaman. Asal benih dan interaksi
asal benih dengan perlakuan cekaman belum memberikan pengaruh yang nyata
hingga pengamatan minggu ke-5 (Lampiran 1). Perlakuan penyiraman dengan
kapasitas lapang 25 % mempunyai pertambahan diameter terendah dibandingkan
perlakuan lainnya. Pertambahan diameter pada setiap perlakuan cenderung terjadi
penurunan, dan perlakuan penyiraman dengan kapasitas lapang 25 % mempunyai
nilai terendah pada masing-masing asal bibit (Tabel 2). Pada minggu pertama setelah
seluruh perlakuan diterapkan (3 perlakuan), belum memberikan pengaruh terhadap
pertumbuhan diameter. Hal ini terlihat bahwa bibit yang disiram setiap hari, maupun
yang selalu tergenang dan disiram pada kapasitas lapang (KL) 25 % mempunyai nilai
pertambahan yang tidak jauh berbeda (Tabel 2).
7
Tabel 2. Pertumbuhan diameter bibit jabon pada berbagai perlakuan dan asal benih
Asal Benih Perlakuan Selisih diameter per minggu
Φ2-1 Φ3-2 Φ4-3 Φ5-4
JPK Kontrol 0.66 0.67 0.39 0.30
Tergenang 0.77 0.58 0.47 0.37
KL 25% 0.50 0.13 0.18 0.14
JPG Kontrol 0.65 0.66 0.24 0.23
Tergenang 0.80 0.86 0.38 0.37
KL 25% 0.47 0.21 0.16 0.14
JPM Kontrol 0.45 0.50 0.34 0.27
Tergenang 0.84 0.81 0.37 0.42
KL 25% 0.35 0.19 0.14 0.20
JMS Kontrol 0.43 0.61 0.35 0.29
Tergenang 1.11 0.68 0.50 0.41
KL 25% 0.43 0.22 0.14 0.14 Keterangan : JPK=jabon putih Kediri, JPG=jabon putih Garut, JPM=jabon putih Makassar,
JMS=jabon merah Sulawesi Utara.
Gambar 2. Pertumbuhan diameter bibit jabon dipersemaian sampai umur 5 minggu
8
Pertambahan diameter bibit pada perlakuan bibit yang selalu tergenang ssampai
bibit berumur 5 minggu, menunjukkan pertumbuhan yang paling besar diantara
perlakuan lainnya (Gambar 2). Pertambahan diameter pada perlakuan bibit tergenang
untuk asal benih JPK, JPG, JPM dan JMS masing-masing adalah 2,19 mm, 2,40 mm,
2,44 mm dan 2,68 mm.
3. Jumlah daun
Asal benih dan perlakuan cekaman sangat mempengaruhi jumlah daun,
sedangkan interaksi keduanya tidak memberikan pengaruh nyata (Lampiran 1).
Jumlah daun pada kontrol mempunyai jumlah yang lebih banyak dibandingkan dua
perlakuan lainnya, yaitu rata-rata jumlah daun antara 8-11 helai per bibit, sedangkan
jumlah daun untuk bibit yang tergenang antara 6-10 helai per bibit dan jumlah daun
untuk bibit yang disiram pada 25 % kapasitas lapang adalah 5-9 helai per bibit. Hasil
penelitian menunjukkan jumlah daun pada bibit yang disiram pada 25 % kapasitas
lapang mempunyai nilai terendah pada semua asal benih.
Gambar 3. Rata-rata jumlah daun bibit jabon di persemaian pada umur 5 minggu
9
Tabel 3. Rata-rata jumlah daun bibit jabon per minggu pada berbagai perlakuan
dan asal benih
Asal Benih Perlakuan
Rata-rata jumlah daun per minggu
1 2 3 4 5
JPK Kontrol 9 9 8 9 9
Tergenang 8 8 7 7 7
KL 25% 9 8 7 8 6
JPG Kontrol 9 9 8 10 8
Tergenang 9 8 7 8 8
KL 25% 10 8 6 7 6
JPM Kontrol 12 12 11 12 12
Tergenang 11 10 9 10 10
KL 25% 10 9 7 9 8
JMM Kontrol 9 9 6 9 6
Tergenang 8 7 6 6 6
KL 25% 6 7 5 5 4 Keterangan : JPK=jabon putih Kediri, JPG=jabon putih Garut, JPM=jabon putih Makassar,
JMS=jabon merah Sulawesi Utara.
B. Pembahasan
Asal benih dan perlakuan cekaman baru mempengaruhi pertumbuhan tinggi
dan jumlah daun setelah terjadi cekaman selama 5 minggu, sedangkan pertumbuhan
diameter sangat dipengaruhi oleh perlakuan cekaman. Jika dilihat dari pertumbuhan
tinggi, jabon merah cenderung lebih sensitif terhadap kondisi cekaman terutama
kekeringan. Hal ini karena terganggunya proses fisiologis tanaman akibat supply air
yang kurang mencukupi.
Cekaman kekeringan merupakan istilah untuk menyatakan bahwa tanaman
mengalami kekurangan air akibat keterbatasan air dari lingkungan media tanam.
Cekaman kekeringan pada tanaman disebabkan oleh (1) ketersediaan air dalam media
tidak cukup. (2) laju transpirasi yang berlebihan, atau kombinasi kedua faktor
tersebut. Walaupun di dalam tanah air cukup tersedia, tanaman bukan tidak mungkin
dapat mengalami cekaman. Hal ini terjadi jika kecepatan laju absorbsi tidak dapat
mengimbangi kehilangan air melalui transpirasi.
10
Bibit tanaman hutan sensitif terhadap kekurangan air atau kekeringan.
Kekurangan air mengurangi turgor dan membatasi pembelahan dan pengembangan
sel, yang akhirnya membatasi pertumbuhan (Woodruff et al. 2008). Pertumbuhan
tanaman akan terhambat yang disebabkan oleh berkurangnya penyerapan hara di
bawah kondisi stress. Keterbatasan pertumbuhan ini merupakan hasil dari
berkurangnya pertumbuhan akar, kematian akar, penyusutan akar dan tanah,
lambatnya dekomposisi dan mineralisasi, dan terbatasnya aliran masa hara dalam
tanah kering serta kinetika pengambilan hara yang berubah (Gessler et al. 2004;
Prescott 2005). Azza et al. (2007) pada bibit Bauhina variegate menemukan bahwa
tinggi tanaman, diameter batang, berat kering daun, berat kering batang dan akar
menurun dengan semakin panjangnya periode kekurangan air. Kekeringan juga
sering menyebabkan gugur daun secara prematur (Breda et al. 2006). Kekeringan
yang disertai dengan pemanasan dan agen-agen mortalitas lainnya, diduga merupakan
penyebab meningkatkan kematian pohon (van Mantgem et al. 2009; Allen et al.
2010).
Mekanisme toleransi pada tanaman sebagai respon adanya cekaman kekeringan
meliputi (i) kemampuan tanaman tetap tumbuh pada kondisi kekurangan air yaitu
dengan menurunkan luas daun dan memperpendek siklus tumbuh, (ii) kemampuan
akar untuk menyerap air di lapisan tanah paling dalam, (iii) kemampuan untuk
melindungi meristem akar dari kekeringan dengan meningkatkan akumulasi senyawa
tertentu seperti glisin, betain, gula alkohol atau prolin untuk osmotic adjustment dan
(iv) mengoptimalkan peranan stomata untuk mencegah hilangnya air melalui daun
(Nguyen et al., 1997 dalam Endang, 2006).
Bibit jabon cenderung lebih tahan terhadap genangan air dibandingan dengan
kekeringan, karena pada kondisi tempat tumbuh di alam umumnya tanaman jabon
banyak dijumpai pada daerah lembah atau sepanjang pinggir sungai. Sehingga
mempunyai ketahanan yang lebih tinggi terhadap genangan. Hal ini ditunjukkan
dengan pertumbuhan diameter bibit jabon yang tergenang memberikaan nilai
tertinggi, namun untuk jumlah daun berada di bawah kontrol. Pada beberapa jenis
tanaman lainnya, genangan secara nyata menurunkan pertumbuhan, jumlah daun, luas
11
daun, kandungan klorofil, dan berat kering daun, namun cenderung meningkatkan
rasio pucuk akar (Tanchai dan Phavaphutanon 2008). Pada tanaman Distylium
chinensis, genangan air berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan diameter
tanaman. Pertumbuhan tersebut dipengaruhi juga oleh tinggi genangan air, semakin
tinggi umumnya pertumbuhan akar dan tunas tanaman akan semakin lambat
(Xiaoling et al. 2011).
IV. KESIMPULAN
Bibit jabon cenderung lebih tahan terhadap genangan air dibandingan dengan
kekeringan. Jabon putih asal Garut dan Makasar bila dilihat dari pertumbuhan
tingginya lebih tahan terhadap cekaman dibandingkan jabon putih asal Kediri dan
jabon merah asal Sulawesi Utara. Jabon merah cenderung lebih sensitif terhadap
kondisi cekaman terutama kekeringan dibandingkan jabon putih.
DAFTAR PUSTAKA
Krisnawati H, Kallio M, Kanninen M. 2011. Anthocephalus cadamba Miq. Ekologi,
Silvikultur dan Produktivitas. Center for International Forestry Research,
Bogor, Indonesia.
Vuokko R, Otsamo A. 1996. Species and provenance selection for plantation forestry
on grassland. In Reforeatation: metting the future industrial wood demand.
Proceedungs of a workshop held in Jakarta, 30 April-1 May 1996. Ministry of
Forestry of Indonesia and Enso Forest Development Oy Ltd. Jakarta.
Soetrisno K. 1996. Pengaruh kandungan air tanah terhadap pertumbuhan anakan
jabon (Anthocephalus cadamba Miq). Frontir No. 18: 99-109.
Mansur I, Surahman. 2011. Respon Tanaman Jabon (Anthocephalus cadamba)
terhadap Pemupukan Lanjutan (NPK). Jurnal Silvikultur Tropika, 3(1):71-77.
Woodruff DR, Meinzer FC, Lachenbruch B. 2008. Height-related trends in leaf
xylem anatomy and shoot hydraulic characteristics in a tall conifer: safety
versus efficiency in water transport. New Phytology, 180:90-99.
Breda N, Huc R, Granier A, Dreyer E. 2006. Temperate forest trees and stands under
severe drought: a review of ecophysiological responses, adaptation processes
and long-term consequences. Annual Forest Science. 63:625–644.
Allen CD, Macalady AK, Chenchouni H. 2010. A global overview of drought and
heat-induced tree mortality reveals emerging climate change risks for forests.
Forest Ecology and Management, 259:660–684.
12
van Mantgem PJ, Stephenson NL, Byrne JC. 2009. Widespread increase of tree
mortality rates in the western United States. Science, 323:521–524.
Tanchai P, Phavaphutanon L. 2008. Growth, leaf chlorophyll concentration, and
morphological adaptation of selected wax apple cultivars in response to
flooding. Kasetsart J. (Nat. Sci.) 42 : 197-206.
Xiaoling L, Ning L, Jin Y, Fuzhou Y, Faju Y, Fangqing C. 2011. Morphological and
photosynthetic responses of riparian plant Distylium chinense seedlings to
simulated Autumn and Winter flooding in Three Gorges Reservoir Region of
the Yangtze River, China. Acta Ecologica Sinica, 31:31-39.
13
Lampiran 1. Rekapitulasi hasil uji F pengaruh perlakuan cekaman terhadap tinggi, diamater dan jumlah daun bibit jabon putih
dan jabon merah
No. Perlakuan Parameter
Penambahan tinggi Penambahan diameter Jumlah daun
∆T1 ∆T2 ∆T3 ∆T4 ∆T5 ∆D1 ∆D2 ∆D3 ∆D4 ∆D5 JD1 JD2 JD3 JD4 JD5
1. Jenis dan
asal benih
(A)
4,92
ns
5,68
ns
2,17
ns
2,51
ns
7,07
*
1,18
ns
0,20
ns
0,38
ns
0,07
ns
0,46
ns
27,75
**
34,22
**
53,48
**
43,74
**
84,96
**
2. Cekaman
(B)
3,44
ns
18,47
**
3,14
ns
2,75
ns
10,02
**
23,17
**
33,08
**
20,27
**
13,27
**
73,89
**
11,61
**
30,71
**
33,63
**
68,45
**
73,16
**
3. Interaksi
A*B
2,05
ns
3,17
ns
2,09
ns
2,50
ns
2,58
ns
1,25
ns
1,34
ns
0,55
ns
0,56
ns
1,47
ns
4,73
*
1,97
ns
2,66
ns
2,97
ns
2,07
ns
Keterangan : **= berpengaruh sangat nyata pada tingkat kepercayaan 99% , * = berpengaruh nyata pada tingkat kepercayaan 95%, ns = tidak berpengaruh
nyata