iv. dinamika pertumbuhan ... - repository.ipb.ac.id · laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009...

17
IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI PENDAPATAN DAN KEMISKINAN 4.1 Pertumbuhan Ekonomi Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan untuk memenuhi peningkatan kebutuhan konsumsi tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti terjadinya peningkatan pendapatan yang dapat didekati dengan dua pendekatan, yaitu pendekatan wilayah berdasarkan peningkatan PDB atau PDRB menurut harga konstan, atau pendekatan rumah tangga berdasarkan peningkatan rata-rata pendapatan perkapita dalam periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang dihitung berdasarkan peningkatan PDRB menurut harga konstan digunakan dalam analisis deskriptif berikut. Nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi di Indonesia memiliki kecenderungan untuk menurun selama tahun 2005 hingga 2009. Standar deviasi pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi menunjukkan adanya kecenderungan untuk meningkat selama tahun 2005 hingga 2009 (Gambar 9). Hal ini menunjukkan sebaran pertumbuhan ekonomi yang semakin beragam antar provinsi atau bisa dikatakan semakin timpang. Banyak penelitian yang menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat keharusan dalam pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006; Siregar dan Wahyuniarti, 2007; Tambunan, 2009). Fenomena kecenderungan pertumbuhan ekonomi yang menurun dengan ketimpangan yang semakin besar antar provinsi, tentunya akan berpengaruh terhadap dampaknya dalam permasalahan kemiskinan. Penurunan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan terjadi pada tahun 2006 dimana nilai rata-rata maupun standar deviasinya lebih kecil dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengalami perbaikan pada tahun 2007, yang mengindikasikan peningkatan laju pertumbuhan di seluruh provinsi dibanding tahun sebelumnya dengan ketimpangan yang semakin kecil. Keadaan ini memburuk di tahun 2008 hingga tahun 2009, dimana terjadi penurunan nilai rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dengan standar deviasi yang terus meningkat. Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang lebih beragam dibanding

Upload: dinhdung

Post on 06-Mar-2019

220 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

IV. DINAMIKA PERTUMBUHAN, DISTRIBUSI

PENDAPATAN DAN KEMISKINAN

4.1 Pertumbuhan Ekonomi

Bertambahnya jumlah penduduk berarti pula bertambahnya kebutuhan

konsumsi secara agregat. Peningkatan pendapatan diperlukan untuk memenuhi

peningkatan kebutuhan konsumsi tersebut. Pertumbuhan ekonomi berarti

terjadinya peningkatan pendapatan yang dapat didekati dengan dua pendekatan,

yaitu pendekatan wilayah berdasarkan peningkatan PDB atau PDRB menurut

harga konstan, atau pendekatan rumah tangga berdasarkan peningkatan rata-rata

pendapatan perkapita dalam periode tertentu. Pertumbuhan ekonomi yang

dihitung berdasarkan peningkatan PDRB menurut harga konstan digunakan dalam

analisis deskriptif berikut.

Nilai rata-rata pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi di Indonesia

memiliki kecenderungan untuk menurun selama tahun 2005 hingga 2009. Standar

deviasi pertumbuhan ekonomi di tingkat provinsi menunjukkan adanya

kecenderungan untuk meningkat selama tahun 2005 hingga 2009 (Gambar 9). Hal

ini menunjukkan sebaran pertumbuhan ekonomi yang semakin beragam antar

provinsi atau bisa dikatakan semakin timpang. Banyak penelitian yang

menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang tinggi merupakan syarat

keharusan dalam pengentasan kemiskinan (Todaro dan Smith, 2006; Siregar dan

Wahyuniarti, 2007; Tambunan, 2009). Fenomena kecenderungan pertumbuhan

ekonomi yang menurun dengan ketimpangan yang semakin besar antar provinsi,

tentunya akan berpengaruh terhadap dampaknya dalam permasalahan kemiskinan.

Penurunan laju pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan terjadi pada

tahun 2006 dimana nilai rata-rata maupun standar deviasinya lebih kecil

dibandingkan tahun sebelumnya. Kondisi ini mengalami perbaikan pada tahun

2007, yang mengindikasikan peningkatan laju pertumbuhan di seluruh provinsi

dibanding tahun sebelumnya dengan ketimpangan yang semakin kecil. Keadaan

ini memburuk di tahun 2008 hingga tahun 2009, dimana terjadi penurunan nilai

rata-rata laju pertumbuhan ekonomi dengan standar deviasi yang terus meningkat.

Laju pertumbuhan ekonomi pada tahun 2009 yang lebih beragam dibanding

56

sebelumnya menunjukkan ketimpangan antar provinsi yang semakin besar

(Gambar 8).

Gambar 8. Rata-rata pertumbuhan ekonomi dan standar deviasinya tahun 2005-

2009

Berdasarkan urutan laju pertumbuhan, maka provinsi Sulawesi Tengah,

Sulawesi Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi Tenggara dan Papua Barat selama

tahun 2005 hingga 2009 termasuk sebagai sepuluh provinsi dengan laju

pertumbuhan tertinggi. Berkebalikan dengan provinsi NAD yang masuk sebagai

dua provinsi dengan laju pertumbuhan terendah selama tahun 2005-2009. Konflik

internal yang berkepanjangan dan bencana alam tsunami memiliki pengaruh yang

tidak sedikit terhadap proses pembangunan di NAD. Provinsi Kalimantan Timur

dan Kepulauan Riau mempunyai laju pertumbuhan yang memburuk. Pada periode

2005-2008, kedua provinsi tersebut masuk sebagai sepuluh provinsi dengan laju

tertinggi, namun demikian ternyata pada tahun 2009 keduanya termasuk dalam

lima provinsi dengan laju terendah. Kepulauan Riau sebagai daerah industri

mengalami modal keluar (capital outflow) yang cukup besar pada tahun 2008

karena krisis global (BI, 2005-2009). Selain itu peningkatan harga BBM dan

inflasi yang menyebabkan penurunan daya beli masyarakat Kepulauan Riau

diduga turut berpengaruh. Sedangkan di Kalimantan Timur, output sektor

pertambangan dan penggalian mengalami penurunan selain adanya inflasi.

Penutupan beberapa area tambang PT. Kaltim Prima Coal sebagai produsen

terbesar menjadi penyebabnya (BI, 2005-2009).

57

Provinsi Gorontalo dan Sulawesi Barat pada tahun 2009 masuk sebagai

sepuluh provinsi dengan laju tertinggi yang sebelumnya sebagai lima provinsi

dengan laju terendah. Kedua provinsi ini merupakan provinsi baru yang banyak

melakukan pembangunan infrastruktur, sehingga pada tahap awal pembangunan

memiliki perkembangan kegiatan perekonomian yang cukup pesat dibandingkan

provinsi lain. Perkembangan laju pertumbuhan di setiap provinsi selama periode

penelitian (tahun 2005-2009) dapat dilihat pada Lampiran 1.

Apabila berdasarkan nilai selisih pertumbuhannya, maka provinsi

Lampung dan Nusa Tenggara Barat (NTB) termasuk ke dalam sepuluh provinsi

dengan selisih pertumbuhan terbesar selama tahun 2005-2009. Provinsi NAD,

Riau, Sulawesi Utara, Gorontalo, Maluku, Papua, Kalimantan Selatan, dan Daerah

Istimewa Yogyakarta (DIY) yang pada periode 2005-2006 masuk sebagai sepuluh

provinsi dengan selisih pertumbuhan terbesar, selanjutnya justru masuk sebagai

lima provinsi dengan selisih pertumbuhan terendah. Berkebalikan dengan provinsi

Kalimantan Tengah, Papua Barat, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Barat yang

justru berpindah sebagai sepuluh provinsi dengan selisih pertumbuhan tertinggi

pada periode 2007-2008 dan 2008-2009, dimana dua diantaranya sebagai provinsi

baru. Perkembangan selisih pertumbuhan selama tahun 2005-2006, tahun 2006-

2007, tahun 2007-2008 dan tahun 2008-2009 dapat dilihat pada Lampiran 2.

Perbandingan laju pertumbuhan tahun 2009 terhadap tahun 2005 di setiap

provinsi, memberikan gambaran bahwa 14 provinsi memiliki selisih pertumbuhan

positif dan 19 provinsi lainnya memiliki selisih pertumbuhan negatif (Gambar 9).

Empat belas provinsi yang dimaksud, empat diantaranya merupakan provinsi baru

yaitu Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku Utara dan Bangka Belitung, dan satu

provinsi dalam rangka pemulihan kondisi perekonomian karena bencana alam dan

konflik internal, yaitu NAD. Sedangkan provinsi Riau, Kepulauan Riau,

Kalimantan Timur, Papua dan DIY merupakan lima provinsi dengan selisih

pertumbuhan terendah selama tahun 2005-2009. Provinsi Riau dan Kalimantan

Timur keduanya memiliki PDRB yang hampir setengahnya disumbang dari sektor

minyak dan gas. Harga minyak selama periode 2005-2009 sering mengalami

kenaikan yang tentunya berpengaruh terhadap pertumbuhan ekonomi kedua

provinsi tersebut. Capital outflow terjadi di Kepulauan Riau, sedangkan kontraksi

58

yang besar di sektor pertambangan dan penggalian sebagai faktor penggerak

pertumbuhan terjadi di Papua. Permasalahan inflasi dan pengangguran menjadi

permasalahan utama di DIY (BI, 2005-2009).

Gambar 9. Selisih laju pertumbuhan tahun 2005 dan 2009 menurut Provinsi

4.2 Distribusi Pendapatan

Sebagaimana telah dijelaskan dalam bab tinjauan pustaka, salah satu

ukuran yang sering digunakan untuk mengukur distribusi pendapatan adalah

Indeks gini (Gini Ratio). Perubahan distribusi pendapatan yang senantiasa

menyertai pembangunan ekonomi, dapat digambarkan melalui perubahan angka

Indeks gini. Timmer (2004) dan Oshima dalam Suparno (2010) menggunakan

pengelompokkan ketidakmerataan distribusi pendapatan menjadi tiga berdasarkan

angka Indeks gini, yaitu:

1. Ketidakmerataan rendah apabila angka Indeks gini lebih kecil dari 0,3.

2. Ketidakmerataan sedang apabila angka Indeks gini terletak antara 0,3 – 0,4.

3. Ketidakmerataan tinggi apabila angka Indeks gini lebih besar dari 0,4.

Nilai rata-rata Indeks gini di tingkat provinsi di Indonesia selama tahun

2005-2009 menunjukkan ketidakmerataan sedang dengan kecenderungan untuk

meningkat selama periode tersebut. Standar deviasi Indeks gini menunjukkan

adanya penurunan selama tahun 2005-2009. Nilai rata-rata dan standar deviasi ini

mengindikasikan bahwa ketidakmerataan tingkat provinsi di Indonesia semakin

tinggi (Tabel 4).

59

Tabel 4 menunjukkan perkembangan ukuran statistik deskriptif dari Indeks

gini tahun 2005-2009. Ketimpangan pendapatan di tingkat provinsi di Indonesia

sangat beragam, meskipun nilai maksimum menunjukkan ketidakmerataan yang

tinggi, tetapi secara rata-rata menunjukkan ketidakmerataan sedang. Pada tahun

2006, nilai rata-rata Indeks gini menurun dibanding tahun sebelumnya dan

termasuk dalam ketidakmerataan rendah. Akan tetapi standar deviasi yang

meningkat menunjukkan sebaran Indeks gini yang semakin beragam antar

provinsi. Tahun 2007 nilai rata-rata Indeks gini meningkat menjadi 0,331 dengan

standar deviasi yang semakin kecil, mengindikasikan ketimpangan di tingkat

provinsi yang semakin tinggi. Tahun 2008 mengalami sedikit perbaikan dibanding

sebelumnya, dengan penurunan nilai rata-rata Indeks gini yang disertai dengan

penurunan standar deviasi, yang menunjukkan bahwa ketimpangan di tingkat

provinsi sedikit berkurang. Akan tetapi kondisi ini kembali memburuk di tahun

2009 dengan peningkatan nilai rata-rata Indeks gini dan standar deviasinya.

Tabel 4. Ukuran Statistik Deskriptif Indeks gini di Indonesia tahun 2005-2009

2005 2006 2007 2008 2009 Rata-rata 0.301455 0.292535 0.330939 0.32 0.331818 Standar Deviasi 0.086441 0.102313 0.032561 0.02894 0.03206 Minimum 0.26 0.21 0.26 0.26 0.27 Maksimum 0.415 0.39 0.41 0.4 0.39

Berdasarkan urutan nilai Indeks gini, provinsi Kalimantan Tengah, NAD,

Bangka Belitung dan Kepulauan Riau masuk sebagai sepuluh provinsi dengan

Indeks gini terendah selama tahun 2005-2009. Sedangkan provinsi Papua dan

DIY sebagai provinsi yang selalu berada di lima provinsi dengan Indeks gini

terbesar, memiliki ketimpangan paling tinggi dibandingkan lainnya. Output sektor

pertambangan dan penggalian yang menopang perekonomian provinsi Papua lebih

banyak dirasakan oleh sebagian kecil penduduk diduga berakibat pada

meningkatnya ketimpangan. Meningkatnya harga BBM dan bahan pokok tahun

2005-2006, meningkatnya pengangguran tahun 2006-2007, gempa tahun 2006

yang berakibat pada rusaknya infratsruktur serta berbagai sarana dan prasarana

tempat usaha, serta inflasi akibat krisis global tahun 2008 berdampak pada

meningkatnya ketimpangan pendapatan di DIY (BI, 2005-2009). Pertumbuhan

ekonomi yang relatif rendah selama tahun 2005-2009 belum mampu

60

meningkatkan penyerapan tenaga kerja, sehingga berakibat pada meningkatnya

pengangguran dan lemahnya kemampuan penduduk khususnya penduduk miskin

untuk meningkatkan kesejahteraannya yang selanjutnya meningkatkan

ketimpangan pendapatan di provinsi DIY.

Provinsi Sulawesi Tengah, Maluku Utara, Papua Barat dan Kalimantan

Timur memiliki ketimpangan yang memburuk, yang pada tahun 2005 dan 2007

termasuk sebagai sepuluh provinsi dengan nilai Indeks gini terendah, dan pada

periode berikutnya masuk sebagai lima provinsi dengan nilai Indeks gini tertinggi.

Inflasi yang berada di atas angka nasional dan menurunnya daya beli masyarakat,

pertumbuhan tenaga kerja yang melebihi pertumbuhan kesempatan kerja di

Sulawesi Tengah, serta pertumbuhan negatif di sektor pertambangan dan

penggalian di Kalimantan Timur, merupakan tekanan terhadap peningkatan

kesejahteraan penduduk miskin yang pada akhirnya berdampak terhadap

peningkatan distribusi pendapatan (BI, 2005-2009). Berkebalikan dengan provinsi

Sulawesi Tenggara, NTB dan Gorontalo justru berpindah dari posisi lima provinsi

dengan Indeks gini tertinggi, yang berarti terjadi perbaikan ketidakmerataan.

Meskipun inflasi juga terjadi di ketiga provinsi, tetapi dampaknya tertutupi oleh

peningkatan konsumsi pemerintah dan investasi yang setidaknya berdampak pada

peningkatan pendapatan melalui penciptaan lapangan pekerjaan (BI, 2005-2009).

Perkembangan Indeks gini di setiap provinsi selama periode penelitian (tahun

2005-2009) dapat dilihat pada Lampiran 3.

Perubahan distribusi pendapatan dapat dilihat dari perubahan nilai Indeks

gini, dengan nilai yang positif maupun negatif. Perubahan positif berarti terjadi

peningkatan ketidakmerataan atau distribusi yang semakin timpang, perubahan

negatif sebaliknya terjadi penurunan ketidakmerataan. Berdasarkan selisih nilai

Indeks gininya, provinsi NAD, Kalimantan Tengah, Sulawesi Tengah, Sulawesi

Tenggara dan Papua Barat sebagai provinsi hasil pemekaran dari provinsi Papua,

mempunyai selisih yang semakin besar. Provinsi-provinsi tersebut pada tahun

2005-2006 dan 2006-2007 memiliki selisih Indeks gini negatif, tetapi pada

periode berikutnya memiliki selisih Indeks gini positif. Berkebalikan dengan

provinsi Kepulauan Riau, Sulawesi Barat, Maluku, Maluku Utara, dan Papua.

Kepulauan Riau, Maluku dan Maluku Utara pada tahun 2005-2006 memiliki

61

selisih Indeks gini positif. Pada tahun 2006-2007 memiliki selisih Indeks gini

negatif yang berarti terjadi perbaikan pada distribusi pendapatan, bahkan masuk

sebagai sepuluh provinsi dengan selisih terkecil. Demikian juga dengan provinsi

Papua Barat dan Sulawesi Barat, yang pada tahun 2006-2007 memiliki selisih

Indeks gini positif, pada tahun 2008-2009 memiliki selisih negatif. Perkembangan

Selisih Indeks gini di setiap provinsi selama 2005-2006, tahun 2006-2007, tahun

2007-2008 dan tahun 2008-2009 dapat dilihat pada Lampiran 4.

Nilai Indeks gini tahun 2009 jika dibandingkan dengan tahun 2005, maka

secara rata-rata mengalami peningkatan dari 0,301 (2005) menjadi 0,332 (2009).

Sebelas provinsi memiliki selisih nilai Indeks gini negatif yang berarti pada tahun

2009 mengalami perbaikan distribusi pendapatan dibandingkan tahun 2005.

Provinsi tersebut yaitu Bengkulu, Jambi, Papua, DIY, Jawa Timur, Lampung,

Bali, Sulawesi Barat, Sulawesi Utara, NAD, Sumatera Utara dan Gorontalo

(berdasarkan urutan selisih Indeks gini terkecil). Sedangkan provinsi Kalimantan

Timur, Maluku Utara, Kalimantan Selatan, Papua Barat dan DKI Jakarta

merupakan lima provinsi dengan selisih Indeks gini terbesar, yang berarti

mengalami peningkatan ketidakmerataan (Gambar 11.).

Gambar 10. Selisih Indeks gini tahun 2005 dan 2009 menurut Provinsi

4.3 Kemiskinan

Pengentasan kemiskinan merupakan tujuan utama dalam pembangunan,

melalui peningkatan kesejahteraan penduduk miskin. Ukuran kemiskinan yang

dihitung oleh BPS salah satunya yaitu jumlah penduduk miskin dan persentase

62

penduduk miskin atau head count index yang dinotasikan dengan P0. Penduduk

dikategorikan miskin jika pengeluaran perkapita perbulan makanan dan bukan

makanan berada di bawah garis kemiskinan (nilai rupiah yang harus dikeluarkan

seseorang dalam memenuhi kebutuhan hidup minimumnya, baik kebutuhan hidup

minimum makanan maupun bukan makanan).

Berdasarkan ukuran statistik deskriptif yang diperoleh, secara rata-rata

persentase penduduk miskin (P0) memiliki kecenderungan untuk menurun selama

tahun 2005-2009. Demikian juga dengan nilai standar deviasinya yang

menunjukkan kecenderungan yang sama sejak tahun 2006 hingga tahun 2008,

yang berarti terjadi penurunan persentase penduduk miskin di tingkat provinsi.

Pada tahun 2006 rata-rata P0 meningkat dibanding tahun 2005, dan standar

deviasi yang menurun menunjukkan peningkatan kemiskinan di tingkat provinsi

pada tahun tersebut. Tetapi pada tahun 2009, walaupun secara rata-rata P0

menurun dibanding sebelumnya, peningkatan standar deviasi menunjukkan

kemiskinan yang semakin timpang di tingkat provinsi (Tabel 5).

Kecenderungan nilai rata-rata P0 yang menurun selama tahun 2005-2009,

juga terjadi pada nilai rata-rata jumlah penduduk miskin dan standar deviasinya.

Pada tahun 2006 terjadi peningkatan rata-rata jumlah penduduk miskin dibanding

sebelumnya, demikian juga standar deviasinya yang mengindikasikan jumlah

penduduk miskin di tingkat provinsi yang semakin timpang. Peningkatan harga

beras antara Februari 2005 dan Maret 2006 (sebagai akibat larangan impor beras)

merupakan penyebab utama peningkatan kemiskinan, selain peningkatan harga

BBM (World Bank, 2006). Beras merupakan makanan pokok bagi sebagian besar

penduduk Indonesia terutama bagi yang kurang mampu, sehingga peningkatan

harga beras berdampak pada kemiskinan (ADB, 2007) . Selain itu, inflasi akibat

peningkatan harga ini mengakibatkan daya beli penduduk miskin semakin lemah

sehingga memperkecil kesempatan untuk memperbaiki kesejahteraan dan keluar

dari kondisi miskin. Pertumbuhan ekonomi yang menurun pada tahun 2006

setidaknya turut berpengaruh terhadap upaya pemerintah dalam mengentaskan

kemiskinan. Selain itu, program pengentasan kemiskinan hingga tahun 2006

masih dilaksanakan secara parsial berdasarkan sektor dan belum terintegrasi,

sehingga kurang optimal dalam mengentaskan kemiskinan (Royat, 2008).

63

Hingga tahun 2009 nilai ini terus menurun, yang menunjukkan penurunan

jumlah penduduk miskin di tingkat provinsi. Integrasi berbagai program

pengentasan kemiskinan antar sektoral dan antar kementrian/lembaga sejak tahun

2007, setidaknya lebih berpengaruh terhadap pengentasan kemiskinan dibanding

sebelumnya. Sehingga, walaupun berdasarkan nilai P0 pada tahun 2009

menunjukkan sebaran tingkat kemiskinan yang semakin beragam antar provinsi

dibandingkan tahun sebelumnya, secara jumlah menunjukkan penurunan di

keseluruhan provinsi (Tabel 5.).

Tabel 5. Ukuran Statistik Deskriptif P0 dan Jumlah Penduduk Miskin di Indonesia tahun 2005-2009

2005 2006 2007 2008 2009

P0 (persentase penduduk miskin) Rata-rata 16.23 18.83 17.64 15.68 15.13 Standar Deviasi 9.32 9.28 8.99 7.98 8.44

Jumlah Penduduk Miskin Rata-rata 1,115.215 1,190.773 1,126.312 1,042.014 985.758 Standar Deviasi 1,741.897 1,885.423 1,759.838 1,641.088 1,532.276

Berdasarkan perubahan persentase penduduk miskin yang dihitung

berdasarkan selisih nilai P0, provinsi NAD yang secara jumlah selalu mengalami

penurunan jumlah penduduk miskin selama tahun 2005-2009 juga mengalami

penurunan P0 yang mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat kemiskinan di

provinsi tersebut. Berbagai bantuan setelah terjadinya bencana alam tsunami baik

yang datang dari dalam maupun luar negeri diduga cukup berpengaruh terhadap

perbaikan kondisi kemiskinan di NAD. Sebaliknya provinsi Kalimantan Barat

yang mengalami penurunan jumlah penduduk miskin selama tahun 2005-2009,

secara persentase sempat mengalami peningkatan pada tahun 2005-2006. Jawa

Barat mengalami perbaikan setelah tahun 2006 baik dari segi jumlah penduduk

miskin maupun persentasenya mengindikasikan terjadinya penurunan tingkat

kemiskinan. Meskipun krisis global berakibat inflasi di Jawa Barat, akan tetapi

perbaikan di sektor pertanian dan industri pengolahan yang bersifat padat tenaga

kerja mampu meningkatkan pendapatan penduduk khususnya penduduk miskin

(BI, 2005-2009).

Berdasarkan perubahan persentase dan jumlah penduduk miskin selama

tahun 2005-2009, maka provinsi DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Sulawesi Barat dan

64

Papua Barat justru mengalami peningkatan. Pertumbuhan negatif sektor pertanian

sebagai penggerak perekonomian di provinsi baru Sulawesi Barat dan Papua Barat

diduga berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan (BI, 2005-2009). DKI

Jakarta sebagai kota metropolitan setidaknya menarik minat penduduk untuk

migrasi ke ibukota, hal ini diduga turut berpengaruh terhadap kemiskinan di DKI

Jakarta. Tingkat keterbukaan perekonomian di DKI Jakarta dan Sulawesi Utara

terhadap perekonomian dunia setidaknya membawa pengaruh krisis global

terhadap perekonomian di kedua provinsi tersebut, yang pada akhirnya berdampak

pada kemiskinan. Perkembangan perubahan persentase penduduk miskin (P0) di

setiap provinsi tahun 2005-2006, tahun 2006-2007, tahun 2007-2008 dan tahun

2008-2009 dapat dilihat pada Lampiran 6.

4.4 Kemiskinan dan Pertumbuhan Ekonomi

Pertumbuhan ekonomi yang cepat dan pengurangan kemiskinan bukanlah

hal yang saling bertentangan, tetapi harus dilaksanakan secara simultan. Oleh

karena itu baik pertumbuhan ekonomi maupun pengurangan kemiskinan keduanya

merupakan tujuan dari pembangunan, dalam rangka meningkatkan kesejahteraan

penduduk khususnya penduduk miskin. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang

tinggi dengan disertai pengurangan kemiskinan merupakan kondisi yang

diharapkan dalam pembangunan.

Analisis kuadran digunakan untuk melihat letak provinsi berdasarkan

pencapaian pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinannya. Kuadran II

merupakan kondisi yang diharapkan yang memberikan gambaran bahwa

pertumbuhan ekonomi provinsi lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan

ekonomi nasional dan sisi lainnya menunjukkan pengurangan kemiskinan yang

lebih cepat dari nasional. Provinsi Sumatera Utara, Jambi, DKI Jakarta, Banten,

Bali, Sulawesi Utara dan Sulawesi Selatan terletak di kuadran II selama tahun

2005-2009 yang berarti memiliki nilai pertumbuhan berada di atas angka nasional

dan nilai P0 berada di bawah angka nasional. Provinsi-provinsi tersebut selama

tahun 2005-2009 memiliki perekonomian yang bagus sehingga memenuhi kondisi

yang diharapkan dalam pembangunan. Sebaliknya provinsi NAD dan DIY

memiliki permasalahan yang berbeda, dimana selama tahun 2005-2009 justru

menghadapi permasalahan rendahnya pencapaian pertumbuhan ekonomi dengan

65

tingginya kemiskinan (kuadran IV). Kedua provinsi ini memiliki karakteristik

sebagai provinsi yang sering terjadi bencana alam pada periode tersebut, apalagi

konflik internal juga terjadi di provinsi NAD. Berbagai sarana dan prasarana serta

tempat usaha yang mengalami kerusakan berpengaruh terhadap perekonomian,

selain itu banyaknya penduduk yang kehilangan tempat tinggal maupun pekerjaan

meningkatkan kemiskinan.

Provinsi Jawa Timur, Sulawesi Tengah dan Sulawesi Tenggara selama

tahun 2005-2009 juga menghadapi permasalahan tingginya tingkat kemiskinan

walaupun pertumbuhan ekonomi mereka berada di atas angka nasional (kuadran

I). Petani dan nelayan sebagai bagian terbesar penduduk Jawa Timur khususnya

penduduk miskin serta jumlah penduduk miskin terbesar di Indonesia merupakan

permasalahan yang dihadapi Jawa Timur. Selain itu, sektor pertanian yang masih

menjadi penggerak perekonomian baik di Jawa Timur maupun Sulawesi Tengah

dan Sulawesi Tenggara mengalami penurunan pangsa dan tergeser oleh sektor

lainnya merupakan permasalahan lainnya yang dihadapi ketiga provinsi tersebut

(BI, 2005-2009).

Pada tahun 2009, Provinsi Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan,

Kalimantan Tengah dan Maluku Utara memenuhi kondisi yang diharapkan dalam

pembangunan (better off) dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang berada

di atas nasional dengan disertai penurunan kemiskinan yang lebih cepat dari

nasional (pindah ke kuadran II). Meskipun krisis global berdampak pada

perekonomian, akan tetapi pertumbuhan yang masih positif dan inflasi yang lebih

cepat pulih diduga berpengaruh terhadap peningkatan daya beli masyarakat

sebagai penggerak perekonomian di keempat provinsi dari sisi permintaan (BI,

2005-2009). Beberapa provinsi pada tahun 2009 menghadapi rendahnya

pertumbuhan ekonomi, yang sebelumnya memenuhi kondisi yang diharapkan

dalam pembangunan (pindah dari kuadran II ke kuadran III).

Provinsi Sumatera Selatan pada tahun 2008 dan 2009 kembali menghadapi

permasalahan tingginya kemiskinan dan pertumbuhan ekonomi yang rendah

(worse off), setelah tahun 2006 dan 2007 sempat mencapai pertumbuhan ekonomi

di atas nasional (pindah dari kuadran I ke kuadran IV). Dampak krisis global yang

masih terasa hingga tahun 2009 diduga menjadi penyebabnya. Sedangkan

66

permasalahan yang dihadapi provinsi Bengkulu dan NTT tahun 2009 justru lebih

sulit dengan tingginya kemiskinan, tetapi pertumbuhan ekonomi sebagai syarat

keharusan dalam pengentasan kemiskinan justru lebih rendah dari sebelumnya

(pindah dari kuadran I ke kuadran IV). Sektor pertanian yang masih mendominasi

perekonomian di kedua provinsi, inflasi khususnya bahan makanan, serta

ketergantungan pasokan bahan makanan di NTT dari daerah di sekitarnya diduga

berpengaruh terhadap tingginya kemiskinan di kedua provinsi (BI, 2005-2009).

Provinsi Jawa Tengah, NTB, Gorontalo, Sulawesi Barat, Maluku, Papua

dan Papua Barat tahun 2009 mengalami perbaikan dibanding sebelumnya, dimana

pencapaian pertumbuhan ekonomi berada di atas nasional (pindah dari kuadran IV

ke I). Provinsi-provinsi tersebut selain sebagai provinsi baru, sebagian lagi

memang memiliki kondisi kemiskinan pada periode awal penelitian yang cukup

tinggi dibanding provinsi lainnya. Setelah lima tahun pembangunan, pencapaian

pertumbuhan ekonomi yang tinggi belum mampu mengurangi kemiskinan hingga

berada di bawah angka nasional. Demikian juga provinsi Lampung yang tahun

2007 dan 2009 mengalami perbaikan dibandingkan tahun 2005, 2006 dan 2008,

dengan pencapaian pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi dari angka nasional

(pindah dari kuadran IV ke I). Sektor pertanian yang menjadi tumpuan

perekonomian Lampung dan sektor-sektor dominan lainnya memiliki

pertumbuhan positif pada tahun 2007 dan 2009 (BI, 2005-2009). Sedangkan

provinsi Riau masih memiliki kondisi yang bagus dengan tingkat kemiskinan

rendah walaupun pencapaian pertumbuhan ekonominya berada di bawah nasional

pada tahun 2006, 2007 dan 2009 (pindah dari kuadran II ke III). Peningkatan

harga minyak tahun 2005 dan 2008 setidaknya turut berpengaruh terhadap

perekonomian Riau yang hampir setengahnya ditopang oleh hasil minyak bumi

dan gas. Analisis kuadran lebih lengkap untuk melihat karakteristik provinsi

berdasarkan pertumbuhan ekonomi dan tingkat kemiskinan selama tahun 2005-

2009 dapat dilihat pada Lampiran 7 dan Lampiran 10.

4.5 Kemiskinan dan Distribusi Pendapatan

Penurunan penduduk miskin dan pemerataan distribusi pendapatan

merupakan tujuan utama pembangunan melalui pencapaian pertumbuhan ekonomi

yang tinggi. Sehingga perubahan P0 sebagai indikator perubahan kemiskinan dan

67

perubahan indeks gini sebagai indikator perubahan distribusi pendapatan

merupakan karakteristik yang penting untuk diperhatikan. Analisis kuadran

digunakan untuk melihat kondisi provinsi dalam hal pencapaian tingkat

kemiskinan (P0) dan distribusi pendapatannya (indeks gini). Berdasarkan kedua

variabel P0 dan indeks gini, maka provinsi memiliki karakteristik yang bagus jika

mempunyai nilai P0 dan nilai indeks gini yang berada di bawah angka nasional

(kuadran III). Provinsi yang berada di kuadran III menunjukkan penurunan

persentase penduduk miskin dan ketimpangan distribusi pendapatan yang lebih

cepat dari penurunan secara nasional.

Provinsi yang selalu berada di kuadran III selama tahun 2005-2009

diantaranya Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Jambi, Bangka Belitung, DKI

Jakarta, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah. Provinsi-provinsi tersebut

mempunyai tingkat kemiskinan dan ketimpangan distribusi pendapatan yang

berada di bawah angka nasional selama periode RPJM 2005-2009. Selain itu

sebagian besar provinsi-provinsi tersebut memiliki pertumbuhan ekonomi yang

tinggi selama periode RPJM 2005-2009. Seperti halnya pendapat beberapa

peneliti (Kakwani dan Son, 2000; Son, 2003; Bourguignon, 2004; Kakwani dan

Son, 2006) yang pada intinya menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi yang

disertai dengan perbaikan distribusi pendapatan (growth with equity) akan lebih

efektif dalam mengurangi kemiskinan. Fenomena ini mengindikasikan proses

redistribusi pendapatan yang berjalan dengan baik di provinsi-provinsi tersebut.

Provinsi Papua dan DIY selama tahun 2005-2009 selalu berada di kuadran

I dengan nilai P0 dan indeks gini yang berada di atas angka nasional. Selain

pencapaian pertumbuhan ekonomi yang selalu berada di bawah angka nasional,

provinsi Papua dan DIY hingga periode RPJM berakhir tahun 2009, masih

menghadapi permasalahan tingginya kemiskinan dan ketimpangan pendapatan.

Sektor pertambangan dan penggalian sebagai penopang perekonomian Papua

hanya dirasakan oleh sebagian kecil penduduk, sedangkan banyaknya

pengangguran terbuka dan terdidik di DIY menunjukkan pertumbuhan yang telah

dicapai didorong oleh sebagian kecil penduduk (BI, 2005-2009). Sehingga tidak

memperbaiki distribusi pendapatan dan mengurangi manfaat pertumbuhan

tersebut dalam mengentaskan kemiskinan. Selain itu, bencana alam gempa di DIY

68

setidaknya berpengaruh terhadap peningkatan kemiskinan dengan banyaknya

penduduk yang kehilangan tempat tinggal dan pekerjaan. Provinsi NAD,

Sumatera Selatan, Bengkulu, Jawa tengah, dan Jawa Timur selama tahun 2005-

2009 hanya mengalami perbaikan dari sisi distribusi pendapatan (kuadran IV).

Provinsi DIY dan provinsi-provinsi yang berada di kuadran IV ini pada umumnya

memiliki tingkat kemiskinan yang tergolong tinggi pada awal periode penelitian.

Provinsi Kepulauan Riau, Jawa Barat, Banten, Bali, Kalimantan Selatan,

Sulawesi Utara, dan Maluku Utara tahun 2005 dan sejak tahun 2007-2009

memiliki kondisi yang diharapkan dalam pembangunan, dengan rendahnya

kemiskinan dan ketimpangan pendapatan. Walaupun tahun 2006 sempat

mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan, kecuali provinsi Banten yang

mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan pada tahun 2007. Provinsi

Kalimantan Timur tahun 2009 mengalami peningkatan ketimpangan pendapatan

yang sebelumnya memiliki karakteristik kemiskinan dan ketimpangan yang bagus

(pindah dari kuadran III ke II). Peningkatan nilai tambah sektor pertambangan dan

penggalian khususnya batubara yang menjadi penggerak perekonomian

Kalimantan Timur dan hanya dirasakan sebagian kecil penduduk diduga menjadi

penyebabnya (BI, 2009). Bahkan provinsi Sulawesi Selatan sudah sejak tahun

2006 berpindah ke kuadran II yang sebelumnya berada di kuadran III, yang berarti

mengalami masalah peningkatan ketimpangan pendapatan. Provinsi Sulawesi

Barat sebagai pemekaran dari provinsi Sulawesi Selatan mengalami permasalahan

tingginya kemiskinan sejak tahun 2006. Walaupun ketimpangan lebih baik dari

provinsi induknya, akan tetapi banyaknya penduduk yang berada di bawah garis

kemiskinan membuat kemiskinan menjadi masalah di provinsi baru tersebut.

Fenomena yang sama dengan provinsi Sulawesi Barat, juga terjadi di

provinsi Papua Barat sebagai provinsi baru hasil pemekaran dari provinsi Papua.

Sebaliknya provinsi Lampung, NTB, NTT, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara,

Gorontalo, Maluku dan Papua pada tahun 2009 mengalami perbaikan dalam

permasalahan distribusi pendapatan, dimana ketimpangan maupun kemiskinan

yang tinggi sempat menjadi masalah di tahun sebelumnya (pindah dari kuadran I).

Analisis kuadran lebih lengkap untuk melihat karakteristik provinsi berdasarkan

69

tingkat kemiskinan dan distribusi pendapatan selama tahun 2005-2009 dapat

dilihat pada Lampiran 8 dan Lampiran 11.

4.6 Kemiskinan, Pertumbuhan Ekonomi dan Distribusi Pendapatan

Proses pencapaian pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan

tingkat kemiskinan di setiap provinsi selama tahun 2005 hingga 2009 dapat dilihat

pada Tabel 6. berikut. Tabel 6. membagi provinsi berdasarkan karakteristik

pertumbuhan ekonomi, distribusi pendapatan dan tingkat kemiskinan. Timmer

(2004) membagi pertumbuhan ekonomi berdasarkan nilai rata-ratanya menjadi

tiga kategori, yaitu ‘slow economic growth’ dengan nilai rata-rata kurang dari 2,5

persen; ‘medium’ dengan nilai rata-rata antara 2,5 persen hingga 4 persen; dan

‘fast’ dengan nilai rata-rata nilai lebih dari 4 persen. Indeks gini juga dibagi

menjadi tiga kategori berdasarkan nilai rata-ratanya (Timmer, 2004 dan Oshima

dalam Suparno, 2010), yaitu ‘low’ dengan nilai rata-rata kurang dari 0,3; ‘low to

high’ dengan nilai rata-rata antara 0,3 hingga 0,4; dan ‘high’ dengan nilai rata-rata

lebih dari 0,4. Sedangkan tingkat kemiskinan atau nilai P0 dibagi menjadi 2

kategori berdasarkan nilai rata-rata P0 nasional, yaitu ‘below mean’ dengan nilai

rata-rata kurang dari 16,05 persen dan ‘above mean’ dengan nilai rata-rata lebih

dari 16,05 persen. Nilai rata-rata yang digunakan merupakan nilai rata-rata

pertumbuhan ekonomi, rata-rata indeks gini dan rata-rata nilai P0 selama tahun

2005 hingga 2009 di setiap provinsi dan angka nasional.

Provinsi Jambi, Bangka Belitung, dan Kalimantan Tengah selama tahun

2005-2009 merupakan provinsi dengan pencapaian hasil pembangunan yang

sesuai harapan. Pencapaian pertumbuhan ekonomi yang cepat, dengan disertai

perbaikan distribusi pendapatan, provinsi-provinsi tersebut berhasil mengurangi

tingkat kemiskinan hingga berada di bawah rata-rata nasional. Provinsi Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten,

Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan timur, Sulawesi Utara,

Sulawesi Selatan juga memiliki pencapaian pembangunan yang cukup bagus

dengan tingginya pertumbuhan ekonomi, rendahnya tingkat kemiskinan dan

ketimpangan yang sedang selama tahun 2005-2009. Secara keseluruhan provinsi

yang memiliki pencapaian pembangunan yang sesuai harapan dan cukup bagus

terletak di Indonesia bagian barat dan tengah. Walaupun provinsi Sulawesi Utara

70

Tabel 6. Pembagian Provinsi menurut Nilai Rata-rata Persentase Penduduk Miskin (P0), Rata-rata Indeks gini dan Rata-rata Pertumbuhan Ekonomi (Growth), Tahun 2005-2009

P0 Growth Indeks gini

Low Low to High High

Below Mean

Slow - - - Medium - - -

Fast

Jambi, Bangka Belitung, Kalimantan Tengah

Sumatera Utara, Sumatera Barat, Riau, Kepulauan Riau, DKI Jakarta, Jawa Barat, Banten, Bali, Kalimantan Barat, Kalimantan Selatan, Kalimantan timur, Sulawesi Utara, Sulawesi Selatan

Maluku Utara

Above Mean

Slow NAD DIY - Medium - - -

Fast

Sumatera selatan, Bengkulu, Lampung, Jawa Tengah, Jawa Timur, NTT, NTB, Sulawesi Tengah, Sulawesi Tenggara, Sulawesi Barat, Gorontalo, Maluku, Papua Barat, Papua

dan Sulawesi Selatan berada di Indonesia bagian timur, akan tetapi provinsi ini

memiliki kondisi perekonomian yang jauh lebih baik dibandingkan provinsi lain

di wilayah yang sama. Sedangkan Maluku Utara masih menghadapi permasalahan

tingginya ketimpangan pendapatan, walaupun tingginya pertumbuhan ekonomi

telah menurunkan tingkat kemiskinan hingga berada di bawah rata-rata nasional.

Secara umum provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan berada di bawah nilai

rata-rata memiliki kondisi kemiskinan yang lebih rendah dibandingkan lainnya

pada awal tahun yang dianalisis.

Provinsi NAD dengan ketimpangan pendapatan rendah, harus didukung

percepatan pertumbuhan ekonomi untuk menurunkan tingkat kemiskinan yang di

atas rata-rata nasional. Provinsi DIY merupakan satu-satunya provinsi yang

selama tahun 2005-2009 masih menghadapi permasalahan dalam pembangunan

dengan rendahnya pertumbuhan ekonomi, tingginya tingkat kemiskinan dan

71

ketimpangan yang masuk kategori sedang. Sedangkan provinsi lainnya sudah

memiliki pertumbuhan ekonomi yang cepat sebagai syarat keharusan dalam

penurunan tingkat kemiskinan yang masih tinggi, walaupun masih memiliki

ketimpangan yang sedang. Kemiskinan yang tinggi pada awal tahun yang

dianalisis ternyata memberikan pengaruh terhadap upaya pengurangan

kemiskinan. Hal ini terjadi di provinsi seperti NAD, DIY. Pada akhir tahun yang

dianalisis ternyata kedua provinsi masih menghadapi permasalahan tingginya

angka kemiskinan. Secara umum, dari hasil analisis menunjukkan adanya

karakteristik spatial provinsi-provinsi yang memiliki tingkat kemiskinan di atas

rata-rata nasional, yaitu berada di Indonesia Bagian Timur dan berbentuk

kepulauan. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi awal yang berbeda-beda dan

karakteristik seperti kepulauan yang berbeda antar provinsi diduga turut

berpengaruh terhadap dampak pertumbuhan dan distribusi pendapatan dalam

mengurangi kemiskinan. Nilai rata-rata P0, indeks gini dan pertumbuhan ekonomi

di masing-masing provinsi selama tahun 2005-2009 dapat dilihat pada Lampiran

12.