issn 2722-418x (cetak) jupera - amazon s3
TRANSCRIPT
Pr
ISSN 2722-418X (Cetak)
JUPERA JURNAL PERAIRAN Volume 01 No 01 Juni 2020
Prodi Manajemen Pengelolaaan Sumber Daya Perairan
Universitas HKBP Nommensen Pematang
Siantar
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
2
JUPERA JURNAL PERAIRAN Volume 01 No 01 Juni 2020
Penanggung Jawab
Sahat Sitompul, S.T.,M.Si
Ketua Redaksi
Welmar Olfan Basten Barat, M.Si
Dewan Redaksi
Mastiur Verawaty Silalahi, M.Pd
Mardame Pangihutan Sinaga, M.Si
Ewin Handoco Saragih, M.Si
Editor Teknik
Herna Febrianty Sianipar,M.Si
Penerbit
Program Studi Manajemen Pengelolaan Sumber Daya
Perairan, Fakultas Teknik dan Sumber Daya Perairan (FTSDP),
Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
Indonesia
Alamat Editor
Program Studi Manajemen Pengelolaan Sumber Daya Perairan, FTSDP
Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
Jl. Sangnawaluh No.4, Siopat Suhu, Siantar Timur 21136
Daftar Isi
STUDI KEANEKARAGAMAN PLANKTON DI ALIRAN SUNGAI BAH
BOLON KOTA PEMATANGSIANTAR
Herna Febrianty Sianipar ………………………………………………. 1
STUDI ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI BAH BIAK KOTA
PEMATANGSIANTAR
Mastiur Verawaty Silalahi ……………………………………………… 4
HUBUNGAN LAMA OPERASIONAL PADDLE WHEEL DENGAN LAJU
PERTUMBUHAN (Spirulina platensis)) PADA SKALA OPEN RACEWAY
PONDS
Welmar Olfan Basten Barat ……………………………………….…… 7
ANALISIS HASIL TANGKAPAN KAPAL BAGAN APUNG TERHADAP
KANDUNGAN KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN
SIBOLGA Mardame Pangihutan Sinaga…………………………………………….. 14
ANALISIS PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA MINA MANDIRI-
PERIKANAN BUDIDAYA (PUMM-PB) TERHADAP PENINGKATAN
PENDAPATAN PEMBUDIDAYA IKAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR
Ewin Handoco S………………………………………………………… 27
PENGARUH PERLAKUAN REDUKSI KHAMIR LAUT TERHADAP KOMPOSISI
ASAM AMINO ESENSIAL DAN NON ESENSIAL KHAMIR LAUT
Ria Retno Dewi sartika Manik ……………………………………………... 35
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
1
STUDI KEANEKARAGAMAN ZOOPLANKTON DI ALIRAN SUNGAI BAH BOLON KOTA
PEMATANGSIANTAR
Herna Febrianty Sianipar
Staff Pengajar Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar (UHKBPNP)
e-mail : [email protected]
ABSTRAK
Peranan zooplankton dalam ekosistem perairan sangat penting, maka dilakukan penelitian dengan tujuan untuk
menganalisis studi keanekaragaman zooplankton di aliran sungai Bah Bolon Pematangsiantar .Hasil penelitian
menunjukkan bahwa indeks keanekaragaman zooplankton yang ditemukan tidak bervariasi dengan jumlah spesies
sebanyak 2 . Berdasarkan perhitungan indeks keanekaraman diantara 0,17-0,3 menunjukkan bahwa
keanekaragaman zooplankton dalam kategori kurang. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi lingkungan (fisik-kimia)
perairan antara lain kecerahan, pH dan suhu.
Kata Kunci : Zooplankton, Kualitas, Air
PENDAHULUAN
Sungai sebagai lingkungan hidup manusia
merupakan sumberdaya alam yang dapat digunakan
untuk kesejahteraan manusia. Sungai mempunyai
fungsi yang beranekaragam diantaranya untuk
keperluan domestik, pertanian, perikanan, irigasi,
perindustrian dan tenaga penggerak turbin (Gonawi,
2009).
Pada saat ini sungai menjadi badan air yang
cukup penting, karena sungai sebagai ekosistem
terbuka lebih mudah mengakumulasi berbagai jenis
buangan dan daerah sekitarnya. Pembersihan lahan
dan perubahan penggunaan lahan disepanjang daerah
aliran sungai (DAS) akan mempengaruhi kualitas air
sungai tersebut. Aktivitas manusia disepanjang
daerah aliran sungai secara intensif dan ekstensif,
langsung atau tidak langsung, dapat mempengaruhi
kelimpahan atau penyebaran biota air yang hidup di
dalam sungai tersebut (Afrizal, 1995). Biota air yang
terdapat di aliran sungai salah satunya adalah
plankton.
Keberadaan plankton di dalam perairan sangat
ditentukan oleh kondisi fisik dan kimia perairan
tersebut. plankton mempunyai batas toleransi tertentu
terhadap parameter lingkungan sehingga
keanekaragamannya akan berbeda pada kondisi
parameter fisik dan kimia yang berbeda.
Plankton adalah organisma air yang hidup
melayang-layang dan pergerakannya sangat
dipengaruhi oleh gerakan air. Seperti halnya dengan
bentos, plankton juga dibagi menjadi fitoplankton
(organisma plankton yang bersifat tumbuhan) dan
zooplankton (plankton yang bersifat hewan) (Barus,
2004). Zooplankton memiliki peranan penting karena
merupakan mata rantai penghubung antara produsen
primer dan biota lain yang memanfaatkan
zooplankton. Keberadaan zooplankton dipengaruhi
oleh fitoplankton, karena fitoplankton merupakan
sumber makanan bagi zooplankton. Selain
dipengaruhi oleh fitoplankton, kelimpahan
zooplankton dipengaruhi oleh kualitas perairan
sebagi pendukung kehidupan plankton (Retnani,
2001).
Faktor fisik-kimia lingkungan terutama unsur
hara nitrat dan fospat sangat berpengaruh pada
pertumbuhan plankton. Jika terjadi pencemaran oleh
kedua unsur tersebut dapat mengakibatkan peledakan
jumlah populasi plankton tertentu yang bisa
mengeluarkan zat toksin ke dalam perairan. Hal
tersebut sangat merugikan bagi organisme yang ada
disekitarnya (Wibisono, 2005).
Salah satu sungai yang terdapat Sungai Bah
Bolon merupakan sungai yang mengalir di sepanjang
Kota Pematangsiantar , Sumatera Utara, dengan
memiliki panjang ± 68 km dan lebar antara 20 – 25 m
(BPS, 2014). Secara ekologi, Sungai Bah Bolon
merupakan habitat bagi berbagai jenis organisme
perairan. Sungai Bah Bolon dapat mengalami
perubahan ekologis perairan,dimana hal tersebut juga
akan berdampak langsung terhadap keanekaragaman
biota yang hidup di Sungai Bah Bolon termasuk
plankton.
Di sepanjang Sungai Bah Bolon banyak
dijumpai aktifitas masyarakat sekitar seperti kegiatan
rekreasi, pemandian, sumber irigasi, pengerukan
pasir dan batu, rumah sakit, pabrik es dan aktifitas
lainnya. Berbagai jenis kegiatan yang terdapat
disepanjang sungai Bah Bolon menimbulkan dampak
berupa pencemaran dan perusakan lingkungan, baik
itu secara langsung maupun tidak langsung, yaitu
dengan adanya limbah yang dihasilkan dari kegiatan-
kegiatan tersebut. Suatu limbah yang berupa bahan
pencemar masuk ke suatu lokasi perairan sungai
maka akan terjadi perubahan pada perairan tersebut.
Perubahan dapat terjadi pada organisme yang hidup
pada lokasi tersebut juga pada lingkungan perairan
itu sendiri yaitu berupa faktor fisika dan kimianya
(Suin, 1994). Limbah yang dihasilkan dari berbagai
kegiatan rumah tangga maupun industri ini akan
dibuang ke badan sungai. Pembuangan limbah secara
terus-menerus dalam jumlah yang berlebih tentunya
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
2
akan mempengaruhi terhadap kualitas perairan
seperti faktor fisik, kimia dan biologi perairan,
khususnya plankton.
Data mengenai keanekaragaman plankton di
perairan Sungai Bah Bolon Kota Pematangsiantar
belum diketahui, sehingga dilakukan penelitian ini
untuk mengetahui keragaman plankton dan kondisi
perairan Sungai tersebut.
METODE PENELITIAN
Tempat dan Waktu Penelitian
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini telah dilaksanakan pada bulan
September 2019 sampai dengan selesai di Sungai Bah
Bolon Kota Pematangsiantar dan Kabupaten
Simalungun Sumatera Utara dan di Laboratorium
Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan
Departemen Biologi Fakultas Matematika dan Ilmu
Pengetahuan AlamUniversitas Sumatera Utara,
Medan.
Metode Penelitian
Metode yang digunakan dalam penentuan lokasi
sampling untuk pengambilan sampel adalah
Purpossive Random Sampling dengan menentukan
lima stasiun pengamatan yaitu daerah bebas aktivitas,
daerah penambangan pasir, daerah pemukiman
penduduk, daerah pertanian, dan daerah pembuangan
limbah pabrik.
Deskripsi Area
Lokasi penelitian berada di Sungai Bah Bolon, Kota
Pematangsiantar, Provinsi Sumatera Utara, yang
secara geografis terletak pada 02º56‟32,3” –
02057‟22,8” LU dan 099º02‟33,5” – 099º07‟06,3”
BT. Terdapat berbagai aktivitas masyarakat di
pinggiran sungai ini antara lain: pertanian, pabrik,
penambangan pasir dan pemukiman penduduk
Pengambilan Sampel Zooplankton
Sampel air pada masing-masing stasiun pengamatan
diambil dengan menggunakan ember 5 L sebanyak
25 L. Dituang ke dalam plankton net. Air yang tersisa
di dalam bucket diambil dan dimasukkan dalam botol
film dan ditetesi lugol sebanyak 3 tetes. Kemudian
botol film ditutup dan diberi label.
Indeks Keanekaragaman
Menurut Odum (dalam Siallagan, 2012)
Indeks keanekaragaman (diversitas) dihitung dengan
menggunakan rumus dari Shannon-Wiener sebagai
berikut:
H‟ = - ∑ pi ln pi
Dimana:
ni = Jumlah individu suatu jenis
N = Jumlah individu seluruh jenis
ln = Log natural (log = 2,4 ln)
Identifikasi indeks keanekaragaman jenis menurut
Juwana (dalam Siallagan, 2012) adalah sebagai
berikut:
1. Rendah, apabila indeks keanekaragaman H‟
< 1
2. Sedang, apabila indeks keanekaragaman 1 ≤
H‟ ≤ 2
3. Tinggi, apabila indeks keanekaragaman H‟
> 2
PEMBAHASAN
Berdasarkan hasil identifikasi dan
pencacahan zooplankton ditemukan pada lokasi
penelitian sebanyak 2 spesies yaitu Balanus crenatus
dan Nauplius sp. Genus yang paling sering
ditemukan pada lokasi penelitian adalah genus dari
kelas Crustacea. Secara keseluruhan zooplankton
diair tawar didominasi oleh jenis-jenis Crustacea,
baik dalam jumlah individu maupun jumlah jenisnya
dan dominasi Crustacea pada perairan berkaitan
dengan sifat omnivora atau pemakan segala
(fitoplankton, zooplankton, detritus), sehingga mudah
untuk mendapat makanan. Sedangkan menurut
Pranoto et al. (2005), kelas crustacea komposisinya
lebih tinggi karena umumnya bersifat euryhalin atau
lebih mampu bertahan dengan perubahan lingkungan
yang luas atau beruaya lebih jauh ke muara sungai.
Kemudian menurut Mulyadi dan Radjab (2015)
menyatakan bahwa adanya dinamika atau variasi
komposisi zooplankton secara umum dipengaruhi
oleh ketersediaan makanan, kondisi lingkungan yang
sesuai, faktor persaingan dan pemangsaan serta
pengaruh migrasi vertikal zooplankton. Kelimpahan
zooplankton dipengaruhi oleh kelimpahan
fitoplankton yang merupakan akibatdari tingginya
kandungan unsur hara terutama nitrat dan fospat yang
didukung oleh kondisi lingkungan perairan
(Arinardietal, 1997; Patmawati et al., 2018).
Indeks keanekaragaman digunakan untuk mengetahui
kestabilan komunitas suatu perairan yang memiliki
hubungan erat dengan kestabilan kondisi lingkungan.
Indeks keanekaragaman menggambarkan bahwa
struktur komunitas yang normal dapat berubah
karena adanya perubahan lingkungan dan daya
dukung lingkungan serta tingkat perubahannya
dimungkinkan dapat digunakan untuk
memperkirakan intensitas tekanan pada suatu
lingkungan
Indeks keanekaragaman zooplankton di Sungai Bah
Bolon Kota Pematangsiantar adalah Balanus crenatus
(0,17) dan Nauplius sp (0,3). menunjukan bahwa
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
3
indeks keanekaragaman zooplankton tergolong
rendah karena dibawah angka 1.
Suatu komunitas dikatakan mempunyai
keanekaragaman spesies yang tinggi apabila terdapat
banyak spesies dengan jumlah individu yang relatif
merata. Dengan kata lain bahwa apabila suatu
komunitas hanya terdiri dari sedikit spesies dengan
jumlah individu yang tidak merata, maka komunitas
tersebut mempunyai keanekaragaman yang rendah.
Keanekaragaman genus dan jenis plankton
tergantung pada habitat yang ada, perbedaan tersebut
dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan seperti
kekeruhan, arus, sifat fisik dan kimiawi perairan.
KESIMPULAN
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa jenis dan
kelimpahan zooplankton yang ditemukan di aliran
sungai Bah Bolon Kota Pematangsiantar tidak
bervariasi dengan jumlah spesies 2 yaitu Balanus
crenatus dan Nauplius sp . Berdasarkan perhitungan
indeks keanekaragaman, diantara 0,17-0,3 dapat
disimpulkan bahwa keanekaragaman zooplankton
dalam kategori yang kurang. indeks keanekaragaman
zooplankton dipengaruhi oleh kondisi lingkungan
(fisik-kimia) perairan antara lain kecerahan, pH dan
suhu.
DAFTAR PUSTAKA
Aryawaty, R. 2007. Kelimpahan dan Sebaran
Fitoplankton di Perairan Berau Kalimantan
Timur. Tesis IPB. Bogor.
Barus, T.A. 2004. Pengantar Limnologi Studi
Tentang Ekosistem Air Daratan. USU
PRESS. Medan.
Basmi, S. 1995. Ekologi Plankton I. Fakultas
Pertanian IPB.Bogor.
Edmondson, W. T. 1963. Fresh Water Biology.
Second Edition. Jhon Wiley & Sons, Inc.
New York.
Effendi, H. 2003. Telaah Kualitas Air. Penerbit
Kanisius. Yogyakarta. Fachrul, M. 2007.
Metode Sampling Bioekologi. Penerbit
Bumi Aksara. Jakarta.
Gonawi, G. R. 2009. Habitat dan Struktur Komunitas
Nekton di Sungai Cihideung-Bogor, Jawa
Barat. Skiripsi IPB. Bogor.
Hutabarat, H. 2010. Keanekaragaman Plankton dan
Hubungannya dengan Faktor Fisik-Kimia
Air di Sungai Batang Serangan Kabupaten
Langkat Sumatera Utara. Tesis USU.
Medan.
Isnansetyo, A dan Kurniastuty. 1995. Teknik Kultur
Phytoplankton dan Zooplankton. Kanisius.
Yogyakarta.
Kristanto, P. 2002. Ekologi Industri. Penerbit ANDI.
Yogyakarta. Madinawati. 2010.
Kelimpahan dan Keanekragaman Plankton
di Perairan Laguna Desa Tolongano
Kecamatan Banawa Selatan. Media
Litbang Sulteng III. Volume 3 No. 2.
Michael, P. 1994. Metode Ekologi untuk
Penyelidikan Lapangan dan Laboratorium.
Universitas Indonesia Press. Jakarta.
Mizuno, T. 1979. Ilustrations of the
Freshwater Plankton of Japan.Hoikusha
Publishing Co.Ltd. Osaka.
Muharram, N. 2006. Struktur Komunitas Perifiton
dan Fitoplankton di Bagian Hulu Sungai
Ciliwung, Jawa Barat. Skiripsi IPB. Bogor.
Mulyanto, H.R. 2007. Sungai, Fungsi dan Sifat-
sifatnya. Graha Ilmu. Yogyakarta.
Needham, P. 1962. A Guide to The Study of Fresh
Water Biology. Holden-Day, Inc. San
Francisco.
Nugroho, A. Bioindikator Kualitas Air. Penerbit
Universitas Trisakti. Jakarta. Nybakken, J.
W. 1988. Biologi Laut: Suatu Pendekatan
Ekologis. Cetakan Kedua. Diterjemahkan
oleh H. M. .
Eidman, Koesoebiono, D. G. Bengen, M. Hutomo,
dan S. Sukardjo. PT. Gramedia. Jakarta.
Odum, E. P. 1994. Dasar- Dasar Ekologi.
Edisi ke-3. Penerjemah: Tjahjono, S. Gajah
Mada University Press. Yogyakarta.
Prabandani, D. 2002. Struktur Komunitas
Fitoplankton di Teluk Semangka, Lampung
pada Bulan Juli, Oktober dan Desember
2001. Skiripsi IPB. Bogor.
Retnani, A. 2001. Struktur Komunitas Plankton di
Perairan Mangrove Angke Kapuk, Jakarta
Utara. Skiripsi IPB. Bogor
Romimohtarto, K dan Juwana, S. 2001. Biologi
Laut; Ilmu Pengetahuan tentang Biota
Laut. Djambatan. Jakarta.
Sarwono. 2006. Diakses 09 Mei 2009. Teori Analisis
Korelasi Mengenal Analisis Korelasi.
http://www.jonathansarwono.info/korelasi/
korelasi.html (Diakses 31 Juni 2013).
Simanjuntak, F. K. 2010. Keanekaragaman Plankton
Dan Hubungannya Dengan Kualitas
Perairan Muara Sungai Asahan. Tesis
USU. Medan.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
4
STUDI ANALISIS KUALITAS AIR SUNGAI BAH BIAK KOTA PEMATANGSIANTAR
Mastiur Verawaty Silalahi, S.Pd., M.Pd
Staff Pengajar Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar
Jalan Sangnawaluh No.4 ,Pematangsiantar
Email: [email protected]
ABSTRAK
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengukuran suhu, pH (Keasaman) Air, DO, BOD, COD, kadar nitrat, kadar nitrit
dan kadar Ammonia pada air di sungai Bah Biak dan mengetahui kualitas air pada Sungai Bah Biak yang ada di Kota
Pematangsiantar. Pengambilan sampel pada penelitian ini dengan 3 titik sampel. Pengolahan datanya menggunakan deskriptif
dengan menggunakan data yang faktual. Berdasarkan hasil pengukurann suhu sekitar 27-280C masih dalam keadaan normal.
Berdasarkah hasil pengukuran pH berkisar 7,2-7,7 dikatakan normal karena pada baku mutu pH sekitar 6-9. Berdasarkan hasil
pengukuran DO berkisar 4,5-4,8 berada pada kondisi tidak normal karena baku mutu untuk DO harus lebih kecil dari 3.
Berdasarkan hasil pengukuran BOD berkisar 4,25-5,20 berada pada kondisi tidak normal karena baku mutu untu BOD harus
maksimal 3. Berdasarkan hasil pengukuran COD berkisar 4,11,65-14,52 berada pada kondisi normal karena baku mutu untu
BOD harus maksimal 25. Hasil pengukuran kadar Nitrat dan Nitrit dikatan Normal karena kadar Nitrat (sekitar 3,8-5,2
sedangkan pada baku mutu maksimal 10) dan kadar Nitrit (0,031-0,047 sedangkan pada baku mutu 0,060). Hasil pengukuran
kadar ammonia sekitar 0,10-0,15 berada pada kondisi tidak normal karena lebih besar dari maksimalnya kriteria baku mutu
(0,02). Dari beberapa parameter tersebut ada 3 kriteria yang tidak normal, maka kualitas pada air tersebut dapat disimpulkan
kurang dan tidak normal.
Kata Kunci : kualitas air, suhu, COD,BOD, DO, ammonia
PENDAHULUAN
Kota Pematangsiantar (sering disingkat Siantar
saja) adalah salah satu kota di Provinsi Sumatra Utara.
Karena letak Pematangsiantar yang strategis, ia dilintasi
oleh Jalan Raya Lintas Sumatra. Kota ini memiliki luas
wilayah 79,97 km2 dan berpenduduk sebanyak 247.411
jiwa (2015), dimana Laki-laki berjumlah 120.597 jiwa Dan
perempuan 126.814 jiwa [1]. Sektor industri yang menjadi
tulang punggung perekonomian kota yang terletak di
tengah-tengah Kabupaten Simalungun ini adalah industri
besar dan sedang. Dari total kegiatan ekonomi pada tahun
2000 yang mencapai Rp1,69 triliun, pangsa pasar industri
mencapai 38,18% atau Rp646 miliar. Sektor perdagangan,
hotel dan restoran menyusul di urutan kedua, dengan
sumbangan 22,77% atau Rp385 miliar [1].
Jumlah penduduk yang meningkat dan
perkembangan suatu kota pada sector industry berakibat
pula pada pola aktivitas masyarakat dan ditambah limbah
industri mengakibatkan tekanan terhadap lingkungan
semakin berat. Aktivitas manusia di dalamnya mencakup
berbagai kegiatan rumah tangga yang akan menghasilkan
limbah yang berasal dari pertanian, perikanan dan kegiatan
rumah tangga yang menyumbangkan limbah yang
berakibat pada penurunan kualitas air sungai [2]. Kualitas
air sungai dipengaruhi oleh kualitas pasokan air yang
berasal dari daerah tangkapan sedangkan kualitas pasokan
air dari daerah tangkapan berkaitan dengan aktivitas
manusia yang ada di dalamnya [3].
KelurahanBP. Naulimerupakan salah satu
kelurahan yang terdapat di kecamatan Siantar
MarihatKotaPematangsiantarPropinsi Sumatera
Utaradengan luas wilayah 233,52Ha.Secara administratif
Kelurahan BP. NAULIterdiri atas 11 RT dari 5 RW.
METODOLOGI PENELITIAN
Penelitian dilakukan di Sungai Bah Biak, Kota
Pematangsiantar. Lokasi penelitian ditentukan tiga titik
yang berlokasi di Kelurahan BP.Nauli, kecamatan Siantar
Marihat, Kota Pematangsiantar. Analisis laboratorium
dilakukan di Laboratorium Universitas HKBP Nommensen
Pematangsiantar. Pengambilan sampel air sungai dilakukan
pada Bulan Februari 2020. Teknik pengelolaan data nya
secara deskriptif.
Parameter yang diukur dan diamati meliputi
parameter fisika dan kimia. Penentuan titik lokasi
pengambilan sampel berdasarkan pola penggunaan lahan
dengan memperhatikan kemudahan teknik pengambilan
dan waktu pengambilan sampel. Analisis kualitas air
dengan mengacu baku mutu kualitas air sungai menurut PP
82/2001 [4]. Penentuan status mutu air menggunakan
metode indeks pencemaran menurut KepMenLH 115/2003
[5]. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui
kualitas air pada sungai Bah Biak mengetahui pengukuran
suhu, pH (Keasaman) Air, DO, BOD, COD, kadar Nitrat,
kadar Nitrit dan kadar Ammonia pada air di sungai Bah
Biak. Metode yang digunakan dalam penelitian adalah
metode deskriptif, menurut Danim (2002)[6] penelitian
inidimasudkan untuk mendeskripsikan secara sistematis
dan akurat suatu situasi atau area populasi tertentu yang
bersifat factual. Pengambilan sampel juga dilakukan pada 3
titik pengambilan. Pengukuran kualitas air dilakukan
dengan menggunakan, termometer, pH meter , COD tester,
DO meter, Nitrit test, Nitrat test, dan alat pengukur
ammonia.
HASIL DAN PEMBAHASAN
No Parameter air Satuan Hasil Analisa Kriteria Mutu
TS1 TS2 TS3
1 Temperatur ⁰ C 27 27 28 15-30
2 pH - 7,5 7,2 7,7 6-9
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
5
3 DO mg/L 4,5 4,8 4,5 >3
4 BOD mg/L 4,25 5,20 5,05 3
5 COD mg/L 11,65 14,02 14,52 25
6 Nitrat mg/L 4,7 5,2 3,8 10
7 Nitrit mg/L 0,031 0,047 0,041 0,060
8 Amonia mg/L 0,12 0,10 0,15 0,02
Sumber : Data Primer Tahun 2020
Suhu (Temperatur)
Berdasarkan hasil pengukuran suhu air sungai Bah
Biak menunjukkan suhu pada titik sampel 1 sampai pada
titik sampel 3 berada pada kondisi normal dengan kisaran
27-28 jika dibandingkan dengan baku mutu kualitas air
dengan standar deviasi 3. Peningkatan suhu dari titik
sampel ke titik sampel 3 masih berada dalam ambang batas,
sehingga suhu air sungai Bah Biak masih dikatakan
normal. Menurut Kusumaningtyas [7] Kenaikan suhu
dapat menyebabkan stratifikasi atau pelapisan air,
stratifikasi air ini dapat berpengaruh terhadap pengadukan
air dan diperlukan dalam rangka penyebaran oksigen
sehingga dengan adanya pelapisan air tersebut di lapisan
dasar tidak menjadi anaerob. Perubahan suhu permukaan
dapat berpengaruh terhadap proses fisik, kimia dan biologi
di perairan tersebut.
pH (Keasaman) Air
Berdasarkan hasil pengukuran pH (Keasaman)
Air sungai Bah Biak menunjukkan pH pada titik sampel 1
sampai pada titik sampel 3 berada pada kondisi normal
dengan kisaran 7,5-7 jika dibandingkan dengan baku mutu
kualitas air dengan pH berkisar 6-9 . Peningkatan pH dari
titik sampel ke titik sampel 3 masih berada dalam ambang
batas, sehingga pH air sungai Bah Biak masih dikatakan
normal.
DO
Berdasarkan hasil pengukuran DO air sungai Bah
Biak menunjukkan DO pada titik sampel 1 sampai pada
titik sampel 3 berada pada kondisi tidak normal normal
dengan 4,5-4,8 , jika dibandingkan dengan baku mutu
kualitas air dengan DO harus lebih kecil 3 . Peningkatan
DO dari titik sampel ke titik sampel 3 tidak berada dalam
ambang batas, sehingga DO air sungai Bah Biak masih
dikatakan tidak normal.
BOD
Berdasarkan hasil pengukuran BOD air sungai
Bah Biak menunjukkan BOD pada titik sampel 1 sampai
pada titik sampel 3 berada pada kondisi tidak normal
dengan kisaran 4,25-5,20. jika dibandingkan dengan baku
mutu kualitas air maksimal 3. Peningkatan BOD dari titik
sampel ke titik sampel 3 tidak berada dalam ambang batas,
sehingga BOD air sungai Bah Biak dikatakan tidak
normal.
COD
Berdasarkan hasil pengukuran COD pada air sungai Bah
Biak menunjukkan COD pada titik sampel 1 sampai pada
titik sampel 3 berada pada kondisi normal dengan kisaran
11,65-14,52 jika dibandingkan dengan baku mutu kualitas
air maksimal 25. Peningkatan COD dari titik sampel ke
titik sampel 3 masih berada dalam ambang batas, sehingga
suhu air sungai Bah Biak masih dikatakan normal.
Nitrat
Berdasarkan hasil pengukuran kadar nitrat pada air sungai
Bah Biak menunjukkan kadar nitrat pada titik sampel 1
sampai pada titik sampel 3 berada pada kondisi normal
dengan kisaran 3,8-5,2 jika dibandingkan dengan baku
mutu kualitas air maksimal 10. Peningkatan kadar nitrat
dari titik sampel ke titik sampel 3 masih berada dalam
ambang batas, sehingga kadar nitrat pada air sungai Bah
Biak masih dikatakan normal.
Nitrit
Berdasarkan hasil pengukuran kadar nitrit pada air sungai
Bah Biak menunjukkan kadar nitrit pada titik sampel 1
sampai pada titik sampel 3 berada pada kondisi normal
dengan kisaran 0,031-0,047 jika dibandingkan dengan
baku mutu kualitas air maksimal 0,060. Peningkatan kadar
nitrit dari titik sampel ke titik sampel 3 masih berada
dalam ambang batas, sehingga kadar nitrit pada air sungai
Bah Biak masih dikatakan normal.
Ammonia
Berdasarkan hasil pengukuran kadar ammonia pada air
sungai Bah Biak menunjukkan kadar ammonia pada titik
sampel 1 sampai pada titik sampel 3 berada pada kondisi
tidak normal dengan kisaran 0,10-0,15 jika dibandingkan
dengan baku mutu kualitas air maksimal 0,02. Peningkatan
kadar ammonia dari titik sampel ke titik sampel 3 masih
berada dalam ambang batas, sehingga kadar ammonia air
sungai Bah Biak masih dikatakan tidak normal
.
KESIMPULAN
1. Berdasarkan hasil pengukurann suhu sekitar 27-280C
masih dalam keadaan normal. Berdasarkah hasil
pengukuran pH berkisar 7,2-7,7 dikatakan normal
karena pada baku mutu pH sekitar 6-9. Berdasarkan
hasil pengukuran DO berkisar 4,5-4,8 berada pada
kondisi tidak normal karena baku mutu untuk DO
harus lebih kecil dari 3. Berdasarkan hasil pengukuran
BOD berkisar 4,25-5,20 berada pada kondisi tidak
normal karena baku mutu untu BOD harus maksimal
3. Berdasarkan hasil pengukuran COD berkisar
4,11,65-14,52 berada pada kondisi normal karena
baku mutu untu BOD harus maksimal 25. Hasil
pengukuran kadar Nitrat dan Nitrit dikatan Normal
karena kadar Nitrat (sekitar 3,8-5,2 sedangkan pada
baku mutu maksimal 10) dan kadar Nitrit (0,031-0,047
sedangkan pada baku mutu 0,060). Hasil pengukuran
kadar ammonia sekitar 0,10-0,15 berada pada kondisi
tidak normal karena lebih besar dari maksimalnya
kriteria baku mutu (0,02).
2. Dari beberapa parameter tersebut ada 3 kriteria yang
tidak normal, maka kualitas pada air pada sungai bah
biak dapat disimpulkan kurang dan tidak normal.
DAFTAR PUSTAKA 1. https://id.wikipedia.org/wiki/Kota_Pematangsiant
ar .
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
6
2. Suriawiria, Unus. 2003. Air dalam Kehidupan dan
Lingkungan yang Sehat. Penerbit Alumni.
Bandung.
3. Wiwoho. 2005. Model Identifikasi Daya Tampung
Beban Cemaran Sungai Dengan QUAL2E. Tesis.
Universitas Diponegoro. Semarang
4. Peraturan Pemerintah Nomor 82 Tahun 2001
tentang Pengelolaan Kualitas Air dan
Pengendalian Pencemaran Air.
5. Keputusan Menteri Negara lingkungan Hidup
Nomor 115 Tahun 2003 tentang Pedoman
Penentuan Status Mutu Air.
6. Danim,S.2002. Riset Keperawatan: Sejarah dan
Metedologi. PEnerbit Buku Kedokteran EGC,
Jakarta,297 hlm.
7. Kusumaningtyas, M.A., Bramawanto, R., Daulat,
A., dan Pranowo, W.S. 2014. Kualitas perairan
Natuna pada musim transisi. Depik. 3 (1), 10-20.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
7
HUBUNGAN LAMA OPERASIONAL PADDLE WHEEL DENGAN LAJU PERTUMBUHAN (Spirulina
platensis)) PADA SKALA OPEN RACEWAY
PONDS
Welmar Olfan Basten Barat
Staff Pengajar Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar (UHKBPNP)
E-mail: [email protected]
ABSTRAK
Mikroalga Spirulina platensis merupakan mikroalga hijau-biru yang banyak dibudidayakan secara komersil.
Spirulina platensis merupakan mikroalga dengan protein tertinggi dibanding sumber lain sehingga berpotensi
dikembangkan sebagai pakan alami. Protein memiliki peranan penting di dalam tubuh, di antaranya untuk proses
pembentukan sel – sel baru sehingga dapat memperbaiki jaringan tubuh yang rusak. Kepadatan mikroalga Spirulina
platensis tertinggi terdapat pada perlakuan 45Menit/jam yaitu 52 X 106 Sel/ml, dan laju pertumbuhan tertinggi juga
terdapat pada perlakuan 45Menit/jam yaitu 0,21/3hari. Namun lama hidup (Life Duration) mikroalga terpanjang
terdapat pada perlakuan 15Menit/jam dan 30Menit/jam yaitu hingga hari ke- 21. Pengadukan menggunakan Paddle
wheel pada sistem Kultivasi Open raceway ponds tidak berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan mikroalga
Spirulina platensis, namun memberikan pengaruh besar terhadap perubahan kualitas perairan (Suhu, Salinitas, dan
DO), tingkat penetrasi cahaya matahari, dan laju fotosintesis.
PENDAHULUAN
Ketersediaan pakan dalam sektor budidaya
perikanan sangatlah penting. Hal yang dapat
dilakukan untuk memenuhi ketersediaan pakan
adalah dengan memproduksi pakan alami. Upaya
untuk memperoleh persyaratan dan pemenuhan pakan
alami yang baik adalah dengan melakukan kultur
mikroalga (Cahyo, 2011). Mikroalga merupakan
salah satu biota perairan yang bermanfaat sebagai
pakan alami. Salah satu mikroalga yang banyak
digunakan untuk pakan alami adalah Spirulina
platensis.
Spirulina platensis merupakan mikroalga
hijau-biru yang banyak dibudidayakan secara
komersil. Spirulina platensis merupakan mikroalga
dengan protein tertinggi dibanding sumber lain
sehingga berpotensi dikembangkan sebagai pakan
alami (Nur, 2014). Unsur hara yang dibutuhkan untuk
pertumbuhan S. platensis terdiri dari makronutrien
(C, H, N, P, K, S, Mg, dan Ca) dan mikronutrien (Fe,
Cu, Mn, Zn, Co, Mo, Bo, Vn, dan Si). Nitrogen
sering menjadi faktor pembatas pertumbuhan
mikroalga. Komponen utama penyusun dalam tubuh
mikroalga berupa protein, karena di dalam selnya
terkandung 50 % protein dan 7 % - 10 % nitrogen
(Nemerrow, 1991). Christwardana dan Hadiyanto
(2013) mengemukakan bahwa Spirulina platensis
mengandung protein tinggi sekitar 55 – 70 % yang
mengandung asam amino esensial, metionin (1,3 –
2,75 %), sistin (0,5–0,7 %), triptofan (1– 1,95 %),
dan lisin (2,6–4,63 %).
Protein memiliki peranan penting di dalam
tubuh, di antaranya untuk proses pembentukan sel –
sel baru sehingga dapat memperbaiki jaringan tubuh
yang rusak. Kadar asam amino yang tinggi baik
untuk kesehatan karena merupakan salah satu bahan
pembuat protein (Christwardana dan Hadiyanto,
2013). Marrez et al. (2014) berpendapat bahwa
protein pada spirulina cukup lengkap karena terdapat
semua asam amino esensial yang merupakan 47%
dari total berat protein.
Beberapa kondisi lingkungan yang bisa
mempengaruhi pertumbuhan mikroalga antara lain
temperatur (suhu), kualitas dan kuantitas nutrien
(unsur hara), intensitas cahaya, derajat keasaman
(pH), aerasi (sumber CO2), dan salinitas (Kawaroe et
al., 2010).
Penggunaan mesin paddle wheel yang
berfungsi untuk melakukan pengadukan (mixing)
dengan tujuan menghindari pengendapan dan
menciptakan arus di media kultivasi untuk tujuan
pemerataan nutrien dan menjadi pengganti aerator
untuk supplay oksigen terlarut yang diharapkan
mampu mengoptimalkan proses fotosintesis. Oleh
karena itu, penelitian ini dilakukan untuk
menganalisis hubungan durasi operasional paddle
wheel terhadap laju pertumbuhan. Sehingga, hasil
pada penelitian ini bisa dijadikan standar terhadap
penggunaan mesin paddle wheel yang mampu
menekan biaya produksi dan kebutuhan energi listrik,
serta peningkatan laju pertumbuhan
METODE PENELITIAN
Kultivasi
Kultivasi mikroalga Spirulina platensis
dilakukan di Laboratorium Alga Studi Lapang
Kelautan (SLK – IPB) Pelabuhan Ratu, Sukabumi.
Penelitian ini dimulai bulan Juni hingga Juli 2016.
Kultivasi Mikroalga dilakukan dengan beberapa
tahapan, yaitu kultivasi indoor (skala laboratorium),
lalu setelah 7 hari masa pemeliharaan, maka
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
8
dilanjutkan kultivasi semi – outdoor untuk tujuan
adaptasi sebelum dilakukan kultivasi di media open
raceway ponds. Setelah dilakukan pemeliharaan
selama 7 hari di media semi – outdoor, maka
dilanjutkan kultivasi pada skala open raceway ponds
kecil (volume 8.000 liter). Pada media open Raceway
Ponds kecil pemeliharaan dilakukan selama 7 hari
dan tujuan pemeliharaan pada media ini adalah untuk
adaptasi dan menyediakan jumlah bibit (strain)
mikroalga yang cukup untuk kultivasi open raceway
ponds besar (volume 80.000). Perbandingan antara
volume bibit dengan volume air steril adalah 1:10.
Kultivasi pada skala open raceway ponds 80.000 liter
dilakukan selama 21 hari pemeliharaan.
Pengukuran Laju Pertumbuhan dan Kepadatan
(Densitas)
Pengukuran laju pertumbuhan spesifik,
dilakukan dengan menggunakan mikroskop setiap
hari dengan 3 kali ulangan. Hasil pengamatan
dihitung dengan persamaan Wood et al. (2005):
………(1)
Keterangan:
K= Laju pertumbuhan;
N= Kepadatan sel pada waktu – t;
N0= Kepadatan sel awal kultivasi
T= Waktu Pengamatan/akhir kultivasi;
t0= Waktu awal kultivasi
Pengukuran kepadatan dilakukan
menggunakan haemacytometer dengan persamaan
(Kawaroe et al. 2010):
(
) …………(2)
Keterangan:
N= Kepadatan mikroalga (sel/ml);
n= jumlah mikroalga yang diamati
Analisis Data
Data Laju pertumbuhan dan kandungan lipid
dianalisis secara statistik menggunakan Analisis
Ragam (ANOVA) dengan selang kepercayaan 95%
(Steel dan Torrie, 1989). Persamaannya adalah
sebagai berikut:
Yij = µ + τi + έij……….(5)
Keterangan:
Yij= Perlakuan jenis bahan organik (ke-i) pada
ulangan ke-j
µ= Nilai tengah umum
τi= Nilai tambah akibat perlakuan jenis bahan organik
(ke-i)
έij= Kesalahan perlakuan percobaan pada perlakuan
jenis bahan organik (ke-i) dan ulangan ke-j.
Menentukan pengaruh durasi putaran mesin
Paddle wheel terhadap laju pertumbuhan dan
kandungan lipid mikroalga (Spirulina platensis), maka
dilakukan uji lanjut Tukey (Mattjik dan Sumertajaya,
2002) dengan persamaan sebagai berikut:
SqBNJ dbgp ;;;……….(6)
Keterangan:
BNJ = Beda Nyata Jujur
P = Perlakuan
dbg = Derajat bebas galat
S = Galat baku rerata deviasi
= Nilai tabel Tukey pada taraf nyata α
HASIL DAN PEMBAHASAN
Kepadatan
Kepadatan mikroalga Spirulina platensis pada
kultivasi skala Open raceway ponds memberikan
tampilan data variatif. Kepadatan Spirulina platensis
pada awal kultivasi diusahakan seragam, yaitu
dengan kepadatan yang hampir sama, agar
memberikan perbandingan pertumbuhan yang lebih
representatif. Berdasarkan Gambar 1. Bahwa
kepadatan rata - rata Spirulina platensis dari mulai
Kontrol, 15Menit/Jam, 30Menit/Jam, dan
45menit/Jam berkisar antara 20 – 21.
Kepadatan Spirulina platensis pada Kontrol
menunjukkan variasi kepadatan yang signifikan pada
hari ke- 6 yaitu mencapai 32 X 106 Sel/ml dan
meningkat hingga hari ke- 9 yaitu 41 X 106 Sel/ml.
Namun pertumbuhan mikroalga Spirulina platensis
pada Kontrol hanya sampai pada hari ke- 9, dan tidak
mengalami pertumbuhan lagi pada hari selanjutnya.
Pada Kontrol, penggunaan Open raceway ponds tidak
dilakukan. Oleh karena itu, tingkat pengendapan
mikroalga Spirulina platensis tinggi, sehingga
penetrasi matahari tidak optimal masuk ke dalam
kolom perairan yang berdampak pada rendahnya laju
fotosintesis pada Kontor.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
9
Gambar 1. Kepadatan Mikroalga Spirulina platensis
Kepadatan mikroalga Spirulina platensis pada
perlakuan 15Menit/jam mengalami pertumbuhan
yang signifikan mulai dari hari ke- 9 hingga hari ke-
21 secara berturut – turut yaitu 31 X 106 Sel/ml, 40 X
106 Sel/ml, 46 X 10
6 Sel/ml, 51 X 10
6 Sel/ml, dan 43
X 106 Sel/ml. Kepadatan tertinggi terdapat pada hari
ke- 18 yaitu 51 X 106 Sel/ml. Pertumbuhan mikroalga
Spirulina platensis pada perlakuan 15Menit/jam
hingga hari ke- 21 terjadi karena proses pengendapan
dapan diantisifasi dan supplay oksigen terlarut dapat
terbantu melalui proses pengadukan Open raceway
ponds. Pengadukan yang dilakukan 15Menit setiap
Jam mampu meminimalisir proses pengendapan.
Proses pengadukan menggunakan Open raceway
ponds memberikan kontribusi positif terhadap
kepadatan mikroalga Spirulina platensis. Proses
pengadukan menggunakan Open raceway ponds pada
15Menit/jam mampu meningkatkan proses fotositesis
karena penetrasi cahaya yang masuk ke kolom
perairan dapat dimaksimalkan oleh mikroalga
Spirulina platensis untuk proses fotosintesis.
Pertumbuhan mikroalga Spirulina platensis
pada perlakuan 30Menit/jam juga mampu mencapai
hari ke- 21, dimana pengaruh pengadukan Open
raceway ponds juga memberikan dampak yang sama
yaitu memaksimalkan proses fotosintesis dan
membantu meningkatkan kadar oksigen terlarut
dalam air serta meminimalisir laju pengendapan
mikroalga Spirulina platensis. Kepadatan mikroalga
Spirulina platensis pada perlakuan 30Menit/jam
tertinggi terjadi di hari ke- 12 yaitu 52 X 106 Sel/ml,
lalu mengalami penurunan dari hari ke- 15 berturut –
turut hingga hari ke- 21, yaitu 48 X 106 Sel/ml, 44 X
106 Sel/ml, dan 29 X 10
6 Sel/ml.
Pertumbuhan mikroalga Spirulina platensis
pada perlakuan 45Menit/jam hanya mampu tumbuh
hingga hari ke- 12, dan sudah mengalami kematian
pada hari ke- 15. Pertumbuhan yang signifikan sudah
terjadi pada hari ke- 3 yaitu 40 X 106 Sel/ml.
Kepadatan mikroalga Spirulina platensis tertinggi
pada perlakuan 45Menit/jam terjadi di hari ke- 6
yaitu 52 X 106 Sel/ml. Kepadatan pada hari ke- 9
mengalami penurunan drastis yaitu 26 X 106 Sel/ml,
hingga pada hari ke- 12 yaitu 22 X 106 Sel/ml.
Laju Pertumbuhan
Laju Pertumbuhan pada Kontrol tidak
signifikan, dimana laju pertumbuhan pada hari ke- 3
yaitu 0,02/3hari dan laju pertumbuhan tertinggi
terjadi pada hari ke- 6 yaitu 0,13/3hari. Hal ini
terjadi, karena laju pengendapan mikroalga Spirulina
platensis tinggi, sehingga penetrasi cahaya matahari
tidak mampu menembus hingga dasar kolam
kultivasi. Hal ini berpengaruh langsung terhadap
rendahnya laju fotosintesis pada Kontrol. Mikroalga
Spirulina platensis juga hanya mampu hidup hingga
hari ke- 9. Berdasarkan hasil laju pertumbuhan
menunjukkan bahwa laju pengendapan mikroalga
Spirulina platensis berpengaruh terhadap laju
pertumbuhan dan lama hidup (Life Duration)
mikroalga semakin rendah.
Laju pertumbuhan pada perlakuan
15Menit/jam lebih variatif, dimana pada hari ke- 3
yaitu 0,03/3hari, lalu stuck (tidak mengalami
pertumbuhan) di hari ke- 6, namun pada hari ke- 9
dan hari ke- 12 meningkat masing –masing yaitu
0,09/3hari, dan laju pertumbuhan mulai mengalami
penurunan pada hari ke- 15, hari ke- 18, hingga hari
ke- 21, yaitu secara berturut – turut 0,04/3hari,
0,03/3hari, dan -0,05/3hari. Laju Pertumbuhan pada
0.00
10.00
20.00
30.00
40.00
50.00
60.00
0 3 6 9 12 15 18 21
Kep
adat
an (
X1
0*6
Sel/
ml)
Hari Ke -
Kepadatan Spirulina platensis
Kontrol 15 Menit/ Jam
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
10
perlakuan 15Menit/jam lebih stabil dari semua
perlakuan, dan pada hari ke- 21 mengalami
pertumbuhan hingga minus (-0,05/3hari).
Laju pertumbuhan pada perlakuan
30Menit/jam mengalami peningkatan dari hari ke- 3,
ke- 6, ke- 9, dan hari ke- 12 secara berturut – turut
yaitu 0,05/3hari, 0,05/3hari, 0,04/3hari, dan
0,16/3hari. Namun, menagalami penurunan laju
pertumbuhan hingga minus yaitu pada hari ke- 15,
ke-18, dan ke- 21 berturut – turut yaitu -0,02/3hari, -
0,03/3hari, dan -0,14/3hari. Laju pertumbuhan
tertinggi terdapat pada hari ke- 12 yaitu 0,16/3hari.
Berdasarkan laju pertumbuhan tersebut, fenomena
yang terjadi pada perlakuan 30Menit/jam adalah
proses pengadukan Open raceway ponds memberikan
dampak terhadap lama hidup (Life Duration), dimana
mikroalga Spirulina platensis mampu hidup hingga
hari ke- 21h, walaupun pada hari ke- 15 mengalami
penurunan laju pertumbuhan hingga minus. Hal ini
terjadi karena proses fotosintesis mampu dilakukan
dengan optimal, karena pengadukan menggunakan
Open raceway ponds dapat mengurangi laju
pengendapan bahkan pada perlakuan 30Menit/jam,
sudah sangat kecil kemungkinan terjadi
pengendapan.
Gambar 2. Laju Pertumbuhan Mikroalga Spirulina platensis
Berdasarkan grafik pada Gambar 2.
Menunjukkan laju pertumbuhan mikroalga Spirulina
platensis pada perlakuan 45Menit/jam mengalami
peningkatan yang signifikan pada hari ke- 3 yaitu
0,21/3hari, dan nilai ini merupakan nilai tertinggi dari
semua perlakuan dan Kontrol. Namun, mengalami
penurunan yang cukup drastis pada hari ke- 6 yaitu
0,09/3hari, selanjutnya laju pertumbuhan terus
menurun hingga minus yaitu pada hari ke- 9, dan ke-
12 yaitu -0,23/3hari dan -0,06/3hari. Laju
pertumbuhan terendah juga ditemukan pada
perlakukan 45Menit/jam yaitu pada hari ke- 12 yaitu
-0,23/3hari. Berdasarkan hasil laju pertumbuhan di
atas, menunjukkan bahwa pengadukan Open raceway
ponds pada perlakuan 45Menit/jam memberikan
pengaruh secara tidak langsung namun berdampak
besar terhadap variasi laju pertumbuhan. Tingginya
durasi pengadukan menggunakan Open raceway
ponds ternyata meningkatkan laju supplay oksigen
terlarut dan laju pengendapan hamper tidak ada,
sehingga membantu dalam proses fotosintesis.
Pengaruh tersebut dapat dilihat pada hari ke- 3 sudah
mengalami laju pertumbuhan yang signifikan.
Namun, tingginya durasi pengadukan juga
memberikan dampak negatif terhadap lama hidup
(Life Duration) mikroalga Spirulina platensis.
Dampak ini terjadi karena semakin tinggi durasi
pengadukan menggunakan Open raceway ponds,
maka semakin tinggi juga pembentukan buih – buih
(foam) di permukaan kolam kultivasi, hal ini
berdampak pada rendahnya penetrasi matahai masuk
ke kolom perairan karena buih – buih (foam) tersebut
membiaskan (relfection) cahaya matahari yang akan
masuh ke kolom perairan. Hal tersebut berdampak
pada rendahnya life duration mikroalga Spirulina
platensis.
-0.30-0.25-0.20-0.15-0.10-0.050.000.050.100.150.200.25
0 3 6 9 12 15 18 21
Laju
Per
tum
bu
han
(/3
Har
i)
Hari Ke -
Laju Pertumbuhan Spirulina platensis
Kontrol 15 Menit/ Jam30 Menit/ Jam 45 Menit/ Jam
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
11
Parameter Fisika dan Kimia Perairan (Suhu, Salinitas, Oksigen terlarut, dan Derajat keasaman)
Tabel 1. Parameter fisika dan Kimia Perairan (Suhu, Salinitas, Oksigen terlarut, dan Derajat keasaman)
Data Kualitas Air
Hari Suhu (0C) Salinitas (ppm)
Kontrol 15M/Jam 30M/Jam 45M/Jam Kontrol 15M/Jam 30M/Jam 45M/Jam
0 28 28 28 28 31 31 31 31
3 27 27 27 27 28 28 28 28
6 29 30 30 29 28 28 28 28
9 28 31 31 28 29 29 29 29
12 29 31 31 29 30 30 30 30
15 30 30 30 30 30 30 30 30
18 30 30 30 30 31 31 31 31
21 31 31 31 31 31 31 31 31
Hari Oksigen Terlarut (DO) Derajat Keasaman (pH)
Kontrol 15M/Jam 30M/Jam 45M/Jam Kontrol 15M/Jam 30M/Jam 45M/Jam
0 2,8 2,8 2,8 2,8 8 8 8,1 8,2
3 3 3,1 3 3 8,2 8,1 8 8
6 3,1 3,2 3 3,4 8,2 8 8 8
9 3,1 3,2 3 3,2 8,1 8,2 8 8
12 3 3 3,2 3,4 8 8,2 8,1 8,1
15 3 3 3,4 3 8 8,2 8,2 8,1
18 3,2 3,2 3,2 3 8,2 8 8,2 8
21 3,2 3,2 3,2 3,2 8,2 8,1 8 8
Berdasarkan hasil pengamatan parameter
fisika dan kimia perairan seperti pada Tabel 1,
dimana nilai suhu berada pada rentang 27 – 310C.
Suhu terendah terjadi secara seragam untuk semua
perlakuan, yaitu sebesar 270C pada hari ke –3
kultivasi, hal ini disebabkan oleh hujan. Sementara
suhu tertinggi sebesar 310C, dan terjadi secara acak
untuk semua perlakuan. Secara keseluruhan, rentang
nilai suhu masih berada pada kisaran optimal untuk
pertumbuhan mikroalga. Menurut Reynolds (1990),
suhu optimal bagi pertumbuhan mikroalga adalah 25-
40 0C.
Rentang nilai salinitas pada penelitian ini
berkisar antara 28 – 310
/00. Secara seragam nilai
salinitas pada hari pertama kultivasi yaitu sebesar 310
/00, namun mengalami penurunan sebesar 280
/00
untuk semua perlakuan, hal ini juga karena
dipengaruhi oleh hujan. Namun rentang salinitas
tersebut masih berada pada taraf toleransi untuk
pertumbuhan optimal mikroalga laut. Vasquez-
Duhalt dan Arredondo-Vega (1991) menyebutkan
bahwa kisaran optimum salinitas pada media
pemeliharaan 25-35‰.
Derajat keasaman (pH) selama penelitian
berada pada rentang 8 – 8,2. Rentang pH masih
berada pada kisaran optimal untuk pertumbuhan
mikroalga. Rata-rata pH untuk kultur sebagian besar
spesies mikroalga antara 7-9, dengan optimum rata-
rata pH berkisar antara 8,2 - 8,7 (Lavens dan
Sorgeloos, 1996). Nilai pH pada penelitian ini relatif
stabil. Kondisi ini bisa dijadikan salah satu acuan
bahwa keberadaan CO2 pada perairan stabil.
Pengukuran oksigen terlarut pada penelitian
bertujuan untuk menduga keberadaan CO2 pada
perairan. Berdasarkan nilai DO yang relatif stabil,
dan berada pada kisaran DO normal untuk air laut,
maka diduga bahwa keberadaan CO2 juga stabil pada
media kultivasi. Keberadaan CO2 pada suatu
perairan, khususnya perairan tertutup (kolam open
raceway ponds) akan memberikan dampak pada pH.
Analisis Statistik
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
12
Hasil analisis statistik menunjukkan bahwa
durasi lama operasional mesin paddle wheel tidak
berpengaruh nyata terhadap laju pertumbuhan
mikroalga Spirulina platensis. Hal serupa juga terjadi
pada penelitian Kawaroe et al. (2015), bahwa sistem
kultivasi open raceway ponds tidak memberikan
pengaruh yang nyata terhadap hasil laju
pertumbuhan. Berdasarkan hasil uji statistik ini, maka
dapat dikatakan bahwa lama durasi operasional
paddle wheel tidak memberikan pengaruh secara
langsung, namun memberikan konstribusi besar
terhadap optimalisasi proses fotosintesis. Hal ini bisa
dibuktikan melalui hasil laju pertumbuhan yang
berbeda pada setiap perlakuan, dimana laju
pertumbuhan tertinggi terdapat pada perlakuan
45Menit/jam sebesar 0.21/3hari. Lama durasi
operasional paddle wheel juga berpengaruh terhadap
lama hidup (Life Duration) mikroalga Spirulina
platensis, dimana pada hasil laju pertumbuhan
menunjukkan, bahwa kontrol dan perlakuan
45Menit/jam tidak mampu bertahan hidup hingga
akhir pengamatan. Berbeda dengan perlakuan
15Menit/jam dan 30Menit/jam yang mampu hidup
selama 21 hari.
KESIMPULAN DAN SARAN
Kesimpulan
Perlakuan lama durasi operasional paddle
wheel tidak berpengaruh nyata terhadap laju
pertumbuhan mikroalga Spirulina platensis.
Pengadukan (mixing) menggunakan paddle wheel
tidak memberikan pengaruh secara langsung terhadap
laju pertumbuhan mikroalga Spirulina platensis,
tetapi sangat membantu dalam mengoptimalkan
proses fotosintesis dan lama hidup (Life Duration)
mikroalga Spirulina platensis. Laju pertumbuhan
tertinggi terdapat pada perlakuan 45Menit/jam
sebesar 0,21/3hari, dan laju pertumbuhan terendah
juga terdapat pada perlakuan 45Menit/jam yaitu -
23/3hari. Tingkat kestabilan pertumbuhan dan lama
hidup (Life Duration) mikroalga Spirulina platensis
yang terbaik adalah perlakuan 15Menit/jam, dimana
pada perlakukan ini, mikroalga Spirulina platensis
mampu bertaha hidup hingga hari ke- 21 dan laju
pertumbuhan konsisten berada pada garis positif
hingga hari ke- 18 yaitu 0,03/3hari.
Saran
Merujuk pada hasil penelitian ini, maka
untuk kemajuan penelitian terkait sistem kultivasi
open raceway ponds, maka perlu mempertimbangkan
beberapa hal, seperti:
1. Kondisi kesehatan bibit (strain) mikroalga yang
akan digunakan.
2. Melakukan tindakan yang diharapkan mampu
menekan tingkat kontaminasi pada saat kultivasi
outdoor (Sterilisasi).
3. Mengontrol nutrien tambahan (pupuk) pada saat
kultivasi, sehingga pertumbuhan yang terjadi
merupakan faktor tunggal dari perlakuan yang
diterapkan
DAFTAR PUSTAKA
Boyd, C. E. 1990. Water Quality Management in
Aquaculture and Fisheries
Cahyo A. D. 2011. Teknik Kultur Skeletonema
costatum Sebagai Pakan Alami Udang
Vaname. Balai Besar Pengembangan
Budidaya Air Payau Jepara Jawa Tengah.
Universitas Airlangga, Surabaya. 6 hal.
Chisti Y. 2007. Biodiesel from Microalgae.
Biotechnol Advan. 25: 294-306. doi:
10.1016/j.biotechadv.2007.02.001.
Christwardana, M.M.M.A, Nur & Hadiyanto. 2013.
Spirulina platensis: Potensinya sebagai
Bahan Pangan Fungsional. Jurnal Aplikasi
Teknologi Pangan, 2(1): 19 – 22.
Gudin C. dan Chaumont D.. 1991. Cell fragility –
The key problem of microalgae mass
production in closed photobioreactors.
Bioresource Technol 38. P145-151
Hadiyanto & Azim, M. 2012. Mikroalga: Sumber
Pakan dan Energi Masa Depan. UPT
Undip Press, Semarang. 138 hal.
Kawaroe M., Prartono T., Sunuddin A., Wulan Sari
D., dan Augustine D.. 2010.
Mikroalga Potensi dan
Pemanfaatannya untuk Produksi Bio
Bahan Bakar. Bogor: IPB Press.
Kawaroe M., Hwangbo J., Agustine D., Putra H. A.
Comparison of density, specific growth
rate, biomass weight, and doubling time of
microalgae Nannochloropsis sp. cultivated
in Open Raceway Pond and
Photobioreactor. AACL BIOFLUX.
Khozin-Goldberg, I., Shrestha, P., Cohen, Z., 2005.
Mobilization of arachidonyl moieties from
triacylglycerols into chloroplastic lipids
following recovery from nitrogen
starvation of the microalga Parietochloris
incisa BBA-Mol. Cell Biol. Lipids 1738,
63–71.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
13
Lavens, P. dan P. Sorgeloos (eds). 1996. Manual on
the Production and Use of Live Food for
Aquaculture. FAO Fisheries Technical
Paper.No. 361.Food and Agriculture
Organization of the United Nations. Rome
Marrez, D.A., Mohamed, M.N., Yousef, Y.S.,
Zakaria, Y.D. & Aziz, M.H. 2014.
Evaluation of Chemical Composition for
Spirulina platensis in Different Culture
Media. Research Journal of
Pharmaceutical, Biological and Chemical
Sciences, 5(4): 1161 – 1171.
Mattjik, A., dan M. Sumertajaya. 2002. Rancangan
Percobaan dengan Aplikasi SAS dan
Minitab Jilid 1. IPB Press. Institut
Pertanian Bogor. Bogor.
Nemerow, N. L. 1991. Strem, Lake, Estuary, and
Ocean Pollution. Second Edition. Van
Nostrand Reinhold, New York
Nur, M.M.A. 2014. Potensi Mikroalga sebagai
Sumber Pangan Fungsional di Indonesia
(overview). Jurnal Eksergi, 11(2): 01 – 06.
Reynolds, C. S. 1990. The Ecology of Freshwater
Phytoplankton.Cambridge University
Press. Cambridge.
Sanchez A., Gonzales A., Maceiras R., Cancela A.,
dan Urrejola S.. 2000. Raceway Pond
Design for Microalgae culture for
Biodiesel. Chemical Engineering
Department. University of Vigo. Spain.
Steel, R. G.D., dan J.H. Torrie. 1989. Prinsip dan
Prosedur Statistika. Edisi Kedua. PT.
Gramedia. Jakarta.
Ugwu C. U., Ogbonna J. C. dan Tanaka H.. 2008.
Photobioreactors for mass cultivation of
algae, Bioresour. Technol. 99, 4021-4028.
Vasquez-Duhalt, R., Arredondo-Vega B.Q. 1991. Oil
Production From Microalgae Under Saline
Stress. Biomassa For Energy and Industry
5 th E.C. Conference, vol 1: Policy,
Environment, Production and Harvesting,
1:547-551.
Vincenti W. G. and Kruger C. H.. 1965. Introduction
to physical gas dynamics, Wiley, New
York. 535p.
Wood, A.M., Everroad, R.C., Wingard, L.M., 2005.
Measuring growth rates in microalgal
cultures. In: Andersen, R.A. (Ed.), Algal
Culturing Techniques. Elsevier Academic
Press, pp. 269–285.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
14
ANALISIS HASIL TANGKAPAN KAPAL BAGAN APUNG TERHADAP KANDUNGAN
KLOROFIL-A DAN SUHU PERMUKAAN LAUT DI PERAIRAN SIBOLGA
Mardame Pangihutan Sinaga
Staff Pengajar Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar (UHKBPNP)
e-mail : [email protected]
ABSTRACT Sea surface temperature (SST) and chlorophyll-a are two important oceanographic parameters
determining the abundance and distribution of fish. The aim of this research is to determine
distribution of SST, chlorophyll-a, composition of fish catch and the relationship between SST,
chlorophyll-a with fish catch. This study was conducted in Sibolga waters. Catch analysis data has
been taken from field of research on the 7-19 July 2007 and satellite imagery was taken
Laboratorium Matra Laut-Pusat Penginderaan Jauh Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional
(LAPAN) Pekayon, Jakarta Timur at July 2007. The amount of fish catch from Tapanuli Tengah
waters landed at PPN Sibolga city was 31.076 kgs. The catch of 15 species of dominant by
peperek/keke (Leiognathus decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate),
layang (Decapterus spp), kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes
djeddaba) dan parang-parang (Chirocentrus dorab). There was no relationship between SST,
chlorophyll-a with fish catch.
Key words: Catch analysis, Chlorophyll-a and SST, Tapanuli Tengah Waters
.PENDAHULUAN
Perairan Sibolga cukup strategis
sebagai sentra produksi perikanan laut di
Sumatera Utara. Hasil tangkapan yang
dihasilkan oleh para nelayan Tapanuli Tengah
terdiri atas ikan pelagis dan demersal. Hasil
tangkapan ikan pelagis umumnya lebih
dominan dibandingkan ikan demersal.
Jenis-jenis ikan yang tertangkap pada
umumnya adalah kembung perempuan
(Rastrelliger brachysoma), kembung lelaki
(Rastrelliger kanagurta), parang-parang
(Chirocentrus dorab), peperek/keke
(Leiognathus decorus), beloso (Saurida
rumbii), teri (Stolephorus commersonii), layang
(Decapterus spp), belado kuning (Atule male),
teter/alu-alu (Sphyraena genie), biji nangka
(Upeneus sulphurcus), bentong/buncilak
(Alepes djeddaba), selar (Selar
crumenopthalmus), baledang dan sotong.
Eksploitasi sumberdaya perikanan di
perairan Sibolga telah memicu terjadinya
konflik antar nelayan setempat yang
disebabkan oleh perebutan daerah penangkapan
ikan (DPI) yang baik. Persoalan semakin
bertambah dengan hadirnya nelayan-nelayan
asing dari Thailand, Malaysia dan Vietnam
yang melakukan illegal fishing (penangkapan
liar) dengan menggunakan peralatan dan
armada/kapal modern. Nelayan-nelayan
tersebut datang ke perairan Sibolga sudah
dilengkapi dengan peta daerah penangkapan
ikan (DPI) sehingga ketika melaut mereka
tidak lagi datang dengan tujuan „mencari‟ ikan
tetapi langsung „menangkap‟ ikan karena
dalam penentuan suatu daerah penangkapan
ikan (DPI) oleh nelayan di perairan Sibolga
umumnya didasarkan pada faktor pengalaman
yang dikaitkan dengan faktor musim.
Sedangkan untuk mendapatkan gerombolan
ikan dilakukan dengan cara-cara tradisional
yaitu dengan memperhatikan tanda-tanda di
laut, misalnya adanya gerombolan burung di
atas/di dekat permukaan laut, ada tidaknya
riak-riak ataupun buih air di permukaan laut
dan juga warna air laut. Dengan cara ini tingkat
keberhasilannya rendah dan mengandung
keterbatasan-keterbatasan dalam skala ruang
dan waktu.
Informasi daerah penangkapan ikan
dapat diperoleh melalui analisis parameter
lingkungan seperti suhu perairan dan
kandungan klorofil-a serta hasil tangkapan
sehingga nelayan dapat meningkatkan efisien
operasi penangkapan melalui penghematan
waktu, tenaga dan biaya operasi penangkapan.
Informasi tentang parameter lingkungan dapat
diperoleh dengan cara memanfaatkan
perkembangan teknologi inderaja sedangkan
hasil tangkapan diperoleh melalui kegiatan
operasi penangkapan. Namun demikian
pemetaan daerah penangkapan ikan adalah
pekerjaan yang sangat rumit mengingat banyak
sekali faktor-faktor lingkungan perairan yang
mempengaruhinya dan faktor tersebut bersifat
dinamis. Adapun faktor-faktor tersebut cukup
banyak yang meliputi faktor fisik, kimiawi,
biologi dan ekologis. Parameter lingkungan
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
15
yang menjadi fokus perhatian dalam penelitian
ini dibatasi pada SPL dan kandungan klorofil-a
karena kedua parameter tersebut sangat
berperan penting terhadap keberadaan ikan di
perairan.
Informasi tentang suhu perairan sangat
penting karena dapat pula digunakan untuk
mempelajari proses-proses fisika, kimia dan
biologi di laut. Pola distribusi SPL dapat
dipergunakan untuk mengidentifikasikan
parameter-parameter laut seperti arus, umbalan
dan front. Umumnya setiap spesies ikan
mempunyai kisaran suhu optimum untuk
makan, memijah, beruaya dan aktivitas lainnya
(Laevastu 1981). Lebih lanjut Laevastu (1981)
mengatakan bahwa, batasan arus serta variasi
arus permukaan mempengaruhi migrasi
musiman dan tahunan dari ikan pelagis dan
semi pelagis serta berperan dalam transportasi
telur, larva dan ikan-ikan kecil. Dengan
mengetahui distribusi SPL dan pola arus suatu
wilayah perairan maka akan dapat diamati
fenomena upwelling dan thermal front yang
merupakan daerah potensial penangkapan ikan.
Ikan pelagis yang bersifat predator
menyukai perairan yang banyak ikan teri
pemakan kandungan nutrien sebagai makanan
utama. Kandungan nutrien tersebut dapat
diestimasi melalui analisis sebaran klorofil-a.
Valiela (1984) mengatakan bahwa sebaran
klorofil-a di laut bervariasi secara geografis
maupun berdasarkan kedalaman perairan.
Variasi tersebut diakibatkan oleh perbedaan
intensitas cahaya matahari, dan konsentrasi
nutrien yang terdapat di dalam suatu perairan.
Di laut, sebaran klorofil-a lebih tinggi
konsentrasinya pada perairan pantai dan
pesisir, serta rendah di perairan lepas pantai.
Tingginya sebaran konsentrasi klorofil-a di
perairan pantai dan pesisir disebabkan karena
adanya suplai nutrien dalam jumlah besar
melalui run-off dari daratan, sedangkan
rendahnya konsentrasi klorofil-a di perairan
lepas pantai karena tidak adanya suplai nutrien
dari daratan secara langsung. Namun pada
daerah-daerah tertentu di perairan lepas pantai
dijumpai konsentrasi klorofil-a dalam jumlah
yang cukup tinggi. Keadaan ini disebabkan
oleh tingginya konsentrasi nutrien yang
dihasilkan melalui proses fisik masa air,
dimana massa air dalam mengangkat nutrien
dari lapisan dalam ke lapisan permukaan.
Penginderaan jauh (inderaja) kelautan
saat ini telah berkembang seiring dengan
perkembangan teknologi informasi.
Pemanfaatan teknologi inderaja dalam
pemanfaatan sumberdaya ikan telah dilakukan
di beberapa negara maju seperti Jepang,
Australia, Amerika dan beberapa negara-negara
Eropa. Hal ini dapat membantu berbagai
penelitian untuk memahami dinamika
sumberdaya ikan.
Menurut Aboet (1985), keberhasilan
dari teknologi penginderaan jauh dipengaruhi
oleh dua faktor. Pertama adalah kecanggihan
dan ketelitian sensor, dalam hal ini dipengaruhi
oleh rancangan sensor yang tepat dan kalibrasi
instrumen yang benar. Kedua adalah
kemampuan pengguna dalam
menginterpretasikan citra, karena hasil
observasi alat bukanlah pengukuran secara
langsung akan tetapi merupakan hasil
perekaman satelit sesuai dengan karakter
reflektansi objek yang berbeda-beda. Hal ini
berarti seorang pengguna data satelit harus
mengetahui dasar-dasar penginderaan jauh dan
proses interpretasi citra untuk mendeteksi suatu
fenomena alam pada suatu wilayah.
Para nelayan Sibolga dan sekitarnya
masih menghadapi kendala untuk dapat
meningkatkan efisiensi dan produktivitas
operasi penangkapan ikan. Adapun kendala
yang dihadapi nelayan adalah sulitnya mencari
daerah penangkapan ikan karena ketidaktahuan
tentang faktor oseanografi, tidak dapat
merencanakan operasi penangkapan ikan yang
tepat. Hal ini disebabkan oleh keterbatasan
informasi daerah penangkapan ikan.
Penentuan daerah penangkapan ikan
potensial yang dilakukan oleh para masyarakat
perikanan nelayan termasuk di Sibolga dan
sekitarnya masih bersifat tradisional. Waktu,
tenaga dan biaya operasional cukup tinggi
untuk mencari daerah penangkapan ikan yang
potensial dan tingkat ketidakpastian hasil
tangkapan masih cukup tinggi.
Untuk mengatasi tingkat ketidakpastian
hasil tangkapan maka perlu dilakukan berbagai
upaya antara lain : (1) Mempelajari keberadaan
ikan melalui analisis paramater-parameter
lingkungan yang mempengaruhinya, seperti
suhu permukaan laut dan kandungan klorofil-a,
(2) Mempelajari hubungan antara suhu
permukaan laut (SPL) dan kandungan klorofil-
a terhadap hasil tangkapan dan (3) Mempelajari
sebaran suhu permukaan laut (SPL) dan
kandungan klorofil-a di perairan Sibolga.
Kegiatan eksplorasi yang terkait dengan
parameter-parameter lingkungan yang
mempengaruhinya (seperti mempelajari
hubungan suhu permukaan laut (SPL) dan
kandungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan,
sebaran SPL dan kandungan klorofil-a di
perairan Sibolga masih sangat terbatas padahal
manfaatnya sangat penting dalam perencanaan
pemanfaatan sumberdaya perikanan.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
16
METODE PENELITIAN
Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam penelitian
ini adalah : (1) Citra Suhu permukaan laut hasil
deteksi satelit NOAA-AVHRR, (2) Citra
klorofil-a hasil deteksi sensor SeaWIFS satelit
Sea Star pada level 1 dan 2, (3) Termometer
digital, (4) Timbangan, (5) GPS dan (6)
Kamera Digital.
Metode Pengumpulan Data Data yang digunakan dalam penelitian
ini terdiri dari tiga kelompok, yaitu : 1) Data
produksi, 2) Data SPL, 3) Data klorofil-a.
Citra SPL dan klorofil-a yang
dikumpulkan berbentuk model data raster
berasal dari jenis level dua yaitu telah
terkoreksi baik secara geometri, radiometri dan
memiliki informasi dasar. Setelah citra diterima
oleh antena penerimaan di ILC PUSBANGJA
LAPAN, kemudian dilakukan perekaman dan
pengolahan lebih lanjut, yang meliputi :
(1) Perekaman data kanal-kanal citra dari
satelit NOAA-16 untuk SPL dan
Fengyun FY-1 D untuk klorofil-a pada
komputer induk
(2) Perubahan (konversi) data kanal-kanal
citra ke dalam bentuk raster
(3) Pemilihan citra bebas awan,
dimaksudkan untuk memilih liputan citra
yang hanya memiliki < 10 % tutupan
awan pada lokasi penelitian
(4) Penyimpanan data kanal-kanal citra
bebas awan ke dalam CD-ROOM untuk
selanjutnya diolah.
Data hasil tangkapan diperoleh selama
melakukan penelitan di perairan Sibolga
Kecamatan Tapanuli Tengah. Data kegiatan
penangkapan diperoleh dengan cara mengikuti
pukat ikan. Lama trip operasi pukat ikan ini
adalah 12 hari (7-19 Juli 2007). Data kegiatan
penangkapan diisi pada log book yang telah
disediakan meliputi waktu dan posisi
penangkapan, jumlah total tangkapan posisi
pada setiap daerah penangkapan ikan.
Kegiatan pengukuran sampel klorofil-a
tidak menggunakan alat dalam melakukan
penangkapan ikan di laut selama penelitian
karena alat yang digunakan sangat susah
diperoleh sehingga hanya melakukan
pengukuran dari citra satelit MODIS.
Sedangkan suhu permukaan laut ada dilakukan
pengukuran terhadap daerah penangkapan
tetapi data hasil pengukuran SPL di lapangan
tidak digunakan karena tidak sama dengan data
SPL pengukuran dari citra satelit NOAA-
AVHRR (Lampiran 11) sehingga
menggunakan data pengukuran SPL dari citra
satelit NOAA-AVHRR saja.
Metode Pengolahan dan Analisis Data
A. Analisis komposisi hasil tangkapan Ada beberapa hal yang dilakukan dalam
menganalisis komposisi hasil tangkapan, yaitu
1) komposisi jenis ikan (spesies), 2) jenis dan
jumlah ikan yang dominan tertangkap, 3)
komposisi jumlah dan spesies ikan yang
dominan tertangkap pada setiap posisi
penangkapan yang berbeda.
B. Pengolahan citra satelit Pengolahan data kanal-kanal citra satelit
NOAA-AVHRR dan FY-1 D dilakukan dengan
metode pengolahan citra berbasiskan komputer
menggunakan perangkat lunak Er Mapper.
Tahapan-tahapan pengolahan adalah sebagai
berikut :
(1) Pemformatan data kanal satelit NOAA-
AVHRR dan FY-1 D dimaksudkan untuk
mempermudah pengolahan data-data kanal
dalam perangkat lunak Er-
mapper
(2) Pemotongan (cropping area),
dimaksudkan untuk memotong atau
mengambil wilayah yang akan diolah dan
dianalisa saja dengan memanfaatkan
fasilitas cursor map atau dengan
menggunakan sub fasilitas extents pada
tools geoposition
(3) Pemisahan (masking area) awan, darat dan
laut dimaksudkan untuk menutupi nilai-
nilai piksel darat dan awan sehingga hanya
nilai-nilai piksel dari laut yang akan diolah
informasinya. Persamaan untuk
pemisahan awan, darat dan laut
menggunakan perbandingan nilai kanal 2
terhadap nilai kanal 1 dengan ketentuan
tiap-tiap kelas sebagai berikut (O‟Reilly et
al. 1998) :
jika i2/i1 < 1,3 maka objek adalah laut .......................................................................... (8)
jika i2/i1 >= 1,3 dan jika i2/i1 < 2 maka
objek adalah awan (9)
jika i2/i1 >= 2 maka objek adalah darat ........................................................................ (10)
Keterangan :
i1 = input kanal 1
i2 = input kanal 2
Proses perhitungan persamaan (8), (9)
dan (10) dilakukan dengan menggunakan
fasilitas formula editor pada algorithm
wizard
(4) Perhitungan nilai suhu pemukaan laut
(SPL), dimaksudkan untuk mendapatkan
nilai-nilai SPL berdasarkan nilai
temperatur kecerahan (brightness
temperature) laut dengan menggunakan
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
17
algoritma McMillin & Crosby (BML
LAPAN, 1997):
SPL = TB4 + 2,702 * (TB4 - TB5) –
273,582 (11) Keterangan :
SPL = nilai suhu
permukaan laut dalam oC
TB4 dan TB5 = nilai suhu
kecerahan dari kanal 4 dan 5
Proses perhitungan persamaan (11)
dilakukan dengan menggunakan fasilitas
formula editor pada algorithm wizard
(5) Perhitungan nilai klorofil-a, dimaksudkan
untuk mendapatkan nilai konsentrasi
klorofil-a dengan menggunakan algoritma
ocean colour OC4-V4 (O‟Reilly et
al. 1998): 4)3210(
10 aRaRaRaa
C
......................................................................... (12)
Keterangan :
C = klorofil-a dalam mg/L
a0 = 0,4708
a1 = -3,8469
a2 = 4,5338
a3 = -2,4434
a4 = -0,0414
Proses perhitungan persamaan (12)
dilakukan dengan menggunakan fasilitas
formula editor pada algorithm wizard
(6) Pengkelasan SPL
Citra yang telah diproses dibuat ke dalam
bentuk peta SPL dengan kelas tertentu.
Setiap selang kelas akan diberi warna
berbeda untuk memudahkan analisis
visual. Dalam penelitian ini digunakan
selang kelas 0,5 ºC untuk memudahkan
dalam analisis daerah penangkapan ikan
(7) Klasifikasi citra klorofil-a dan SPL tidak
perlu dilakukan hanya diekpsort saja. Hal
ini dilakukan untuk mendapatkan nilai
klorofil-a dan SPL jika citra SPL dan
klorofil-a sudah di klasifikasi.
C. Pengolahan citra SPL dan klorofil dari Er Mapper ke ArcView GIS
Pengolahan citra ke ArcView sangat
perlu dilakukan untuk mendapatkan peta SPL
dan klorofil. Adapun langkah-langkahnya
sebagai berikut :
(1) Citra SPL dan klorofil-a yang ada
diambil dari LAPAN, Jakarta dalam
bentuk Er Mapper. Citra tersebut telah
diolah dari citra mentah (Level 2) ke
citra jadi yang akan diolah dalam bentuk
Er Mapper.
(2) Citra SPL dan klorofil-a yang telah jadi
dalam bentuk Er Mapper tersebut lalu
dipotong (crop) sesuai dengan posisi
daerah penelitian.
(3) Citra SPL dan klorofil-a yang telah
dipotong sesuai dengan daerah
penelitian kemudian disimpan dalam
bentuk tipe ”Er Mapper Raster Dataset
(.ers)”.
(4) Tutup dulu semuanya kecuali jendela Er
Mapper, lalu buka citra SPL, klorofil-a
dan Cell Value Profile Menu agar bisa di
reclass citra tersebut serta dapat melihat
jumlah nilai terendah dan tertinggi
kedalam rumus sebagai berikut :
If i1 <A then null else if i1 <= B then i1 else
null, dimana:
i1 = B1:Pseudo Layer atau kanal nilai SPL
A = Batas bawah nilai SPL
B = Batas atas nilai SPL
Jika dimasukan nilai-nilai yang telah diketahui
maka formula reclass di atas berubah menjadi:
If i1<25 then null else if i1 <=31 then i1 else
null.
(5) Citra SPL dan klorofil-a yang telah di
reclass kedalam rumus diatas maka
disimpan ke bentuk Er Mapper
Algorithm (.alg). Lalu tutup semuanya.
(6) Munculkan kembali jendela Ermapper,
buka citra SPL dan klorofil-a yang telah
disimpan ke bentuk ”Er Mapper
Algorithm (.alg)” kemudian simpan
kembali dalam bentuk tipe ”Er Mapper
Raster Dataset (.ers)”. Tujuannya adalah
untuk dapat di eksport.
(7) Dari langkah ke-6 selanjutnya citra SPL
dan klorofil-a dieksport kedalam bentuk
XYZ ASCII grid. Bertujuan untuk
mendapatkan nilai SPL dan klorofil dari
citra SPL dan klorofil dalam bentuk
algoritma.
(8) Hasil yang telah dieksport tadi dibuka
kedalam bentuk Microsoft Excel
berfungsi untuk mengetahui nilai serta
posisi SPL dan klorofil atau bisa
langsung dibuka ke program Surfer 8
dalam bentuk worksheet.
(9) Nilai serta posisi citra SPL dan klorofil-
a dipindahkan ke worksheet di Surfer 8
lalu datanya disortkan agar nilai-nilai
tersebut berurutan dari terkecil hingga
terbesar dan simpan dalam koma.
9
8
Kanal
Kanal LogR
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
18
(10) Hasil nilai-nilai yang telah disimpan
dalam bentuk koma tersebut kemudian
digridkan (dalam bentuk longitude/bujur
dan latitude/lintang) untuk dapat
ditampilkan citranya ke peta.
(11) Setelah nilai-nilai tersebut digridkan
maka nilainya dapat ditampilkan ke peta
(Surfer 8).
(12) Peta yang sudah ada dalam bentuk
kontur dan sudah lengkap dengan nilai-
nilai SPL dan klorofil-anya tersebut
dapat di ekspor kembali di program
Surfer 8 ke Esri shapfile (*.shp) agar
bisa mendapatkan peta lengkap.
(13) Sesudah selesai di eksport ke Esri
shapefile kemudian buka program
ArcView GIS 3.3 yang telah disimpan
ke dalam folder, peta akan muncul
didalam program ArcView GIS 3.3.
(14) Untuk mendapatkan nilai-nilai SPL dan
klorofil-a adalah memasukkan nilai-nilai
SPL dan klorofil-a ke dalam “Theme
Table” yang ada dijendela ArcView GIS
3.3. Nilai-nilai tersebut harus sama
dengan nilai-nilai yang ada di peta
Surfer 8 dalam bentuk kontur.
(15) Langkah terakhir adalah nilai-nilai SPL
dan klorofil-a yang sudah lengkap
tersebut akan terlihat dalam peta di
ArcView yang dibuat sendiri.
(16) Peta yang sudah jadi tersebut lengkap
dengan nilai-nilai SPL dan klorofil dapat
dipindahkan kedalam bentuk peta yang
sebenarnya dengan cara mengekstension
ke Graticules and Measured Grid di
program ArcView GIS 3.3 lalu kelik
layout dijendela ArcView GIS 3.3 (di
“View”). Kemudian mengubah peta di
layout sesuai dengan keinginan sendiri.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Komposisi Hasil Tangkapan
Jumlah hasil tangkapan total selama penelitian sebanyak 31.076 kg, yang terdiri dari 15
spesies. Hasil tangkapan terbanyak adalah ikan keke yaitu sebanyak 11.420 kg (37%) kemudian
menyusul teri sebanyak 3.887 kg (12,51%), ikan layang sebanyak 2.016 kg (6%), kembung
perempuan sebanyak 1.720 kg (5,53%), belado kuning sebanyak 1.958 kg (6.30%), buncilak
sebanyak 1.668 kg (5,37%), baledang sebanyak 1.404 kg (4,52%) dan sebelah sebanyak 1.309 kg
(4,21%). Sedangkan hasil tangkapan terendah adalah sotong sebanyak 100 kg (0,32%). Adapun
komposisi jumlah tangkapan menurut jenis spesies dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1 Komposisi hasil tangkapan kapal bagan apung dari tanggal 7–19 Juli 2007 per spesies.
No Jenis Ikan (Spesies) Jumlah Hasil Tangkapan (Kg) Persentase (%)
1 Kembung Perempuan 1.720 5,53
2 Kembung Lelaki 939 3,02
3 Parang-parang 1.477 5
4 Sebelah 1.309 4,21
5 Keke 11.420 37
6 Beloso 873 2,81
7 Teri 3.887 12,51
8 Layang 2.016 6
9 Belado Kuning 1.958 6,3
10 Teter 798 3
11 Biji Nangka 893 3
12 Buncilak 1.668 5,37
13 Selar 614 2
14 Baledang 1.404 4,52
15 Sotong 100 0,32
Jumlah Total 31.076 100
Dari Tabel 1 terlihat bahwa hasil tangkapan yang dominan adalah ikan keke (Leiognathus
decorus), teri (Stolephorus commersonii), belado kuning (Atule mate), layang (Decapterus spp),
kembung perempuan (Rastrelliger brachysoma), buncilak (Alepes djeddaba) dan parang-parang
(Chirocentrus dorab). Persentase masing-masing tangkapan yang dominan tersebut dapat dilihat
pada Gambar 1.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
19
Gambar 1 Persentase tangkapan yang dominan.
Suhu Permukaan Laut
Berdasarkan pada Tabel 2 terlihat bahwa suhu dominan hangat di seluruh wilayah perairan
Sibolga ditemukan pada tanggal 7, 12, 15 dan 17 Juli 2019 sedangkan pada tanggal 9 dan 19 Juli
2019, ditemukan suhu dominan hangat dan dingin pada wilayah yang berbeda.
Pada tanggal 7, 9, 15 dan 19 Juli 2019, suhu dominan cukup bervariasi menurut wilayah
perairan. Selanjutnya pada tanggal 12 dan 17 Juli 2019, nampak jelas bahwa suhu dominan relatif
homogen dan penyebarannya hampir sama untuk wilayah perairan yang berbeda.
Tabel 2 Penyebaran suhu permukaan laut dari satelit NOAA-AVHRR di empat wilayah perairan
Tapanuli Tengah.
N
o
Akuisasi
Data
SPL Tapanuli
Tengah (ºC) SPL dominan menurut wilayah (ºC)
Keteranga
n Kisara
n
Domina
n
Baru
s
Sorka
m
Murshal
a
Sibolg
a
1 7 Juli 2019 25-31 30 (H) 30 30 30 30 Bervariasi
2 9 Juli 2019 26-30
28-30
(H) 29-30 28-30 26-30 28 Bervariasi
3
12 Juli
2019 30-31 30 (H) 30-31 30-31 30-31 30-31 Homogen
4
15 Juli
2019 25-30
28-29
(H) 28 28-29 28-29 28 Bervariasi
5
17 Juli
2019 28-30 29 (H) 29 29 29 29 Homogen
6 19 Juli
2019 25-30
25 (D)
28 (H) 25 26-28 28-29 25 Bervariasi
Keterangan : H = Suhu hangat
D = Suhu dingin
Klorofil-a
Berdasarkan pada Tabel 3 terlihat bahwa konsentrasi klorofil-a pada tanggal 7, 9, 12, 15, 17
dan 19 Juli 2019 menyebar di seluruh wilayah perairan Sibolga. Tingkat konsentrasi klorofil-a
terbanyak sebesar 0,6-1,0 mg/m³ terdapat di tanggal 7, 12 dan 17 Juli 2019, konsentrasi klorofil-a
sedang sebesar 0,5-0,6 mg/m³ terdapat di tanggal 19 Juli 2019 sedangkan tingkat konsentrasi
klorofil-a terendah sebesar 0,6 mg/m³ terdapat di tanggal 9 dan 15 Juli 2019.
Tabel 3 Penyebaran klorofil-a dari satelit FY-1 D di empat wilayah perairan Sibolga.
No Akuisasi
Data
Klorofil-a Tap-Teng
(mg/m³)
Klorofil-a dominan menurut wilayah
(mg/m³)
Kisaran Dominan Barus Sorkam Murshala Sibolga
1 7 Juli 2019 0,6-1,6 0,.6-0,9 0,6- 0,6-0,9 0,6-0,9 0,6-0,9
Layang
8%
Keke
48%
Teri
16%
Belado Kuning
8%
Kembung
Perempuan
7%
Buncilak
7%
Parang-parang
6%
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
20
0,9
2 9 Juli 2019 0,6-2,0 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
3 12 Juli 2019 0,5-1,4 0,7-0,9
0,7-
0,9 0,7-0,9 0,7-0,9 0,7-0,9
4 15 Juli 2019 0,6-2,0 0,6 0,6 0,6 0,6 0,6
5 17 Juli 2019 0,6-1,4 0,7-1,0
0,7-
1,0 0,7-1,0 0,7-1,0 0,7-1,0
6 19 Juli 2019 0,5-2,0 0,5-0,6
0,5-
0,6 0,5-0,6 0,5-0,6 0,5-0,6
Hubungan antara SPL dan Klorofil-a terhadap Hasil Tangkapan
A. Hubungan suhu permukaan laut terhadap hasil tangkapan
Gambar 2 Hubungan SPL terhadap CPUE pada masing-masing DPI.
B. Hubungan klorofil-a terhadap hasil tangkapan
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Akuisasi Data
Hasil
Tan
gkap
an
(K
g)
24
25
26
27
28
29
30
31
32
SP
L (
°C)
keke layang teri kembung perempuan parang-parang belado kuning buncilak SPL
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
21
Gambar 3 Hubungan klorofil-a terhadap CPUE pada masing-masing DPI.
Hasil tangkapan terbanyak ditemukan di perairan Barus (DPI3), Sorkam (DPI4) dan
Murshala (DPI5-8), sedangkan di perairan Barus (DPI1-2), Sorkam (DPI9-10) dan Murshala (DPI11)
hasil tangkapan lebih sedikit. Hal ini mengindikasikan bahwa penyebaran ikan bervariasi secara
temporal dan spasial. Namun penyebaran ini tidak dipengaruhi oleh suhu dan kandungan klorofil-
a. Untuk itu perlu dilakukan pengamatan terhadap parameter-parameter oseanografi yang lain
seperti arus dan salinitas dengan menggunakan data time series yang lebih akurat.
Hasil tangkapan didominasi oleh ikan pelagis padahal tujuan utama penangkapan dari
bagan apung umumnya adalah ikan demersal dan pelagis karena sewaktu melakukan operasi
penangkapan ikan, alat tangkap bagan apung yang diturunkan ke laut berada di dasar laut
seharusnya di permukaan perairan. Cara pengoperasian alat tangkap bagan apung ini sama halnya
dengan bagan tancap, yaitu menggunakan cahaya lampu dalam menangkap ikan dan jenis ikan
yang tertangkap adalah ikan-ikan pelagis.
Alat tangkap bagan apung yang digunakan oleh nelayan Sibolga dan sekitarnya termasuk ke
dalam kelompok with lift net. Menurut Gunarso (1985) mengatakan bahwa alat tangkap bagan
termasuk kedalam alat tangkap jenis with lift net, dimana proses kerjanya adalah dengan
mengusahakan agar berbagai jenis ikan dan hewan air lainnya dapat berkumpul diatas jaring bagan
tersebut, yang kemudian alat tangkap tersebut diangkap secepatnya. Selain itu bagan termasuk
light fishing yang menggunakan lampu sebagai alat bantu untuk merangsang atau menarik ikan
untuk berkumpul di bawah cahaya lampu (Ayodhyoa, 1981). Selanjutnya dikatakan pula oleh
(Subani dan Barus, 1989; Baskoro dan Suherman, 2007) bahwa bagan adalah salah satu jenis alat
tangkap yang digunakan nelayan di tanah air untuk menangkap ikan pelagis kecil, pertama kali
diperkenalkan oleh nelayan dan secara singkat alat tangkap tersebut telah dikenal di seluruh
Indonesia. Bagan dalam perkembangannya telah banyak mengalami perubahan baik bentuk
maupun ukuran yang dimodofikasi sedemikian rupa sehingga sesuai dengan daerah
penangkapannya. Berdasarkan cara pengoperasiannya bagan dikelompokkan dalam jaring angkat
(lift net), namun karena menggunakan cahaya lampu untuk mengumpulkan ikan maka disebut
juga light fishing.
Kekurangan metode pengumpulan data ini adalah hasil tangkapan yang diperoleh sangat
sedikit karena sewaktu melakukan penangkapan ikan, kapal lainnya sudah melakukan
penangkapan pada posisi penangkapan yang sama sebelum kapal penelitian kita melakukan
penangkapan di posisi daerah penangkapan tersebut dan kapal penelitian kita tidak boleh
mengambil hasil tangkapan mereka di posisi yang sama, apabila terjadi bisa menimbulkan konflik.
Untuk memperoleh data hasil tangkapan dari kapal penangkapan lainnya diperbolehkan tapi tidak
semua hasil tangkapan akan diberitahu.
0
50
100
150
200
250
300
350
400
450
500
550
1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
Akuisasi Data
Ha
sil
Ta
ng
ka
pa
n (
Kg
)
0
0.2
0.4
0.6
0.8
1
1.2
1.4
1.6
1.8
Ch
loro
fil-
a (
mg
/m³)
keke teri layang kembung perempuan
parang-parang belado kuning buncilak Chlorofil-a
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
22
Pada Gambar 4 terlihat bahwa nilai data SPL insitu terhadap SPL exsitu (lapangan) adalah
tidak sama. Hal ini mungkin disebabkan oleh waktu perolehan data secara in-situ dengan ex-situ
yang berbeda. Data ex-situ dideteksi oleh satelit NOAA-AVHRR dalam sehari dua kali sedangkan
data SPL in-situ yang diukur di lapangan bervariasi antara jam 04.00 sampai 15.00 Wib tergantung
waktu setting pukat ikan. Menurut Nontji (1987), perbedaan antara SPL in-situ dengan ex-situ
dapat dipengaruhi oleh awan atau kabut, perbedaan penyinaran matahari (intensitas matahari) yang
datang dihambat oleh awan maupun partikel-partikel lainnya yang ada di luar angkasa, arus,
penaikan massa air dan pencairan es di kutub. Secara alami suhu permukaan laut merupakan
lapisan hangat, karena mendapat sinar matahari pada siang hari. Akan tetapi karena pengaruh
angin, pada lapisan teratas sampai kedalaman kira-kira 50-70 meter terjadi pengadukan hingga di
lapisan tersebut terdapat suhu hangat (sekitar 28.00oC) yang homogen, sehingga disebut lapisan
homogen. Lapisan permukaan umumnya memiliki ketebalan kedalaman sebelum mencapai lapisan
bawah yang lebih dingin (Gambar 5).
Gambar 4 Grafik Verifikasi antara SPL exsitu dengan insitu.
Air mempunyai sifat spesifik bahang yang baik, artinya bertambah atau berkurangnya panas
terjadi secara perlahan-lahan. Permukaan laut dapat mengabsorbsi sejumlah besar energi matahari
yang masuk ke dalamnya. Ketika evaporasi, permukaan laut menjadi panas. Pada saat dipanaskan,
air hangat tetap dipermukaan sedangkan air dingin tenggelam atau berada di lapisan bawah. Energi
yang sampai dipermukaan bumi bervariasi menurut musim, lintang dan topografi (Ingmanson dan
Wallace 1973).
24
25
26
27
28
29
30
31
32
33
24 25 26 27 28 29 30 31 32 33
SPL exsitu
SP
L i
nsit
u
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
23
A. Lapisan Homogen Hangat, B. Lapisan termoklin, C. Lapisan Homogen Dingin
Gambar 5. Sebaran vertikal suhu secara umum di Perairan Indonesia (Nontji 1987).
Suhu air laut di lapisan permukaan
sangat tergantung pada jumlah bahang yang
diterima dari sinar matahari. Menurut Hela
dan Laevastu (1970), perubahan suhu
permukaan laut selain disebabkan oleh
jumlah bahang yang diterima dari matahari
juga dipengaruhi oleh keadaan alam dan
lingkungan sekitar di daerah perairan
tersebut. Pengaruh arus, keadaan awan,
penaikkan massa air dan pencairan es di
kutub juga mempengaruhi suhu di
permukaan laut.
Menurut Baskoro dan Suherman
(2007), bagan dapat diklasifisikan menjadi
dua, yaitu bagan tancap dan bagan apung.
Bagan tancap merupakan bagan yang
dipasang dengan jalan menancapkan rangka
badan kedalam perairan sehingga posisi
bagan tancap hanya dapat sekali ditanam
dan tidak dapat dipindah-pindah selama
musim penangkapan. Operasi penangkapan
bagan tancap dilakukan pada malam hari.
Sebagian besar menggunakan cahaya yang
berasal dari petromaks, walaupun ada juga
yang menggunakan lampu listirk.melalui
dasar laut, perubahan bentuk energi kinetik
menjadi energi bahang, aliran bahang dari
atmosfer melalui udara ke laut dan
kondensasi dari uap air yang disertai dengan
terjadinya pelepasan bahang yang terjadi di
laut akan menaikkan suhu air laut.
Selanjutnya proses-proses radiasi balik dari
permukaan laut, aliran bahang (konveksi) ke
atmosfer dan evaporasi dapat menurunkan
suhu air laut pada lapisan permukaan
perairan
KESIMPULAN Berdasarkan hasil penelitian dan
pembahasan yang diperoleh dari penelitian
ini dapat diambil beberapa kesimpulan
sebagai berikut :
(1) Sebaran SPL di perairan Tapanuli
Tengah bervariasi yang berkisar antara
25°C hingga 31°C dengan kisaran SPL
dominan 25°C hingga 30°C. Kandungan
klorofil-a bervariasi antara 0,5-2,0
mg/m³ dengan nilai dominan 0,5-0,9
mg/m³.
(2) Jumlah hasil tangkapan selama
penelitian sebanyak 31.076 kg terdiri
dari 15 spesies, yang didominasi oleh
spesies ikan keke (Leiognathus
decorus), teri (Stolephorus
commersonii), belado kuning (Atule
mate), layang (Decapterus spp),
kembung perempuan (Rastrelliger
brachysoma), buncilak (Alepes
djeddaba) dan parang-parang
(Chirocentrus dorab).
(3) Sebaran SPL dan klorofil-a tidak
berpengaruh terhadap hasil tangkapan.
DAFTAR PUSTAKA
Aboet A. 1985. Penginderaan Jauh melalui
Satelit suatu Alternatif Penelitian
Oseanografi. Proceeding Lokakarya
Pemanfaatan Data Satelit Lingkungan
dan Cuaca, 18-19 September 1985 di
Jakarta. 214-230 hal.
Arinardi. 1995. Sebaran Seston, Klorofil-a
dan Bakteri di Teluk Jakarta. Atlas
Osenologi Teluk Jakarta. Bab VI : 101-9.
Jakarta.
Ked
alam
an (
E)
Suhu (ºC)
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
24
Arinardi O, Trimaningsih H, Sudirdjo,
Sugestiningsih, Riyono SH. 1997.
Kisaran Kelimpahan dan Komposisi
Plankton Predominan di Perairan
Kawasan Timur Indonesia. Pusat
Penelitian dan Pengembangan
Oseanologi. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan
Indonesia Vol. 11 No. 6 Tahun 2005.
Jakarta. 128 hal.
Asikin D. 1971. Synopsis Biologi Ikan
Layang (Decapterus spp). LPPL. Jakarta:
3-27.
Ayodhyoa, A.U., 1981. Metode
Penangkapan Ikan. Bogor : Yayasan
Dewi Sri. 81 hal.
Balai Pengembangan Penangkapan Ikan.
1986. Petunjuk Menggambar Desain
Alat Tangkap Ikan. Semarang.
Balai Riset Perikanan Laut (BRPL). 2004.
Musim Penangkapan Ikan di Indonesia.
Jakarta : Penebar Swadaya. Departemen
Kelautan dan Perikanan. 116 hal.
[BML LAPAN] Bidang Matra Laut-
LAPAN. 1997. Laporan Akhir Kegiatan
Penelitian dan Pengembangan.
Pemanfaatan Pengelolaan Data
Penginderaan Jauh Satelit LAPAN
Tahun Anggaran 1996/1997 tentang
Spesifikasi Standar Ketelitian SST dan
Pemanfaatannya untuk Pengamatan Pola
Arus Laut dan Daerah Potensi
Penangkapan Ikan. Jakarta: Lembaga
Penerbangan Antariksa Nasional. 12
hlm.
Barnabe G and Barbane Regine. 2000.
Ecology and Management of Coastal
Waters; The Aquatic Environment.
Praxis Publishing. Chichester. 396p.
Baskoro MS, Wahyu RI, Effendi A. 2004.
Migrasi dan Distribusi Ikan. Bogor:
Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan.
Institut Pertanian Bogor. 152 p.
Baskoro, M.S dan Suherman, A. 2007.
Teknologi Penangkapan Ikan Dengan
Cahaya. UNDIP. Semarang. 176 hal. Brandt A Von. 1984. Fish Catching
Methode of the World. Fishing News
Book Ltd 3rd
Edition. Farnham- Surrey.
England. 418 hal.
Butler MJA, Mouchot MC, Barale V, Le
Blanca C. 1988. The Application of
Remote Sensing Technology to Marine
Fisheries. An Introduction Manual. FAO
Fisheries Technical Paper. 295 p.
Burhanuddin, Martosewojo S, Adrim M,
Hutomo M. 1984. Sumberdaya Ikan
Kembung. Jakarta: Lembaga Oseanologi
Nasional-LIPI. 50 hal.
Chisastit C. 1962. Progress Report on
Tagging Experiment of Chub Mackerel
(Rastrelliger spp) in the Gulf Thailand.
Proc. Indo-Pacific Fish. Coun, 15 (III):
265-286.
Collette BB dan Nauen CE. 1983. FAO
Species Catalogue. Vol. 2. Scombrids of
the World. An Annoted and Illustrated
Catalogue of Tunas, Mackerels, Bonitos
and Related Species Knows to Date.
FAO Fish. Synop. Vol. 2: 137p.
Dirjen Perikanan. 1989. Penyebaran
Beberapa Sumberdaya Perikanan di
Indonesia. Direktorat Bina Sumberdaya
Hayati. Direktorat Jenderal Perikanan
Laut, 1.117-144.
Fischer W, Whitehead PP. 1974. FAO
Spesies Identification Sheet for Fishery
Porpuses. Eastern Indian Ocean (Fishery
Area 57) and Weastern Central Pacific
(Fishing Area 71), ISW, ISEW Teleoster
Identification Sheet, Taxonomy,
Geographic Distribution Fisheries,
Vernacular Names. Vol. IV. Rome:
FAO. Pag. Var.
Friedman AL. 1973. Theory and Design of
Commercial Fishing Gear. Israel
Program for Scientific Translataion.
Jerusalem. 489 hal
Gabric AJ and Parslow J. 1989. Effect of
Physical Factors on the Vertical
Distribution of Phytoplankton in
Eutrophic Coastal Waters. Australian
Journal Marine Freshwater. Res., 189,
40, 559-569.
Gaol JL. 2003. Kajian Karakter Oseanografi
Samudera Hindia Bagian Timur dengan
Menggunakan Multi Sensor Satelit Citra
Satelit dan Hubungannya dengan Hasil
Tangkapan Tuna Mata Besar (Thunnus
obesus). Disertasi (tidak dipublikasikan)
Program Doktor Teknologi Kelautan
IPB.Bogor. 86 hal.
Gunarso W, 1985. Tingkali Laku Ikan.
Diktat Kuliah. Jurusan Pemanfaatan
Sumberdaya Perikanan. Fakultas
Perikanan. Institut Pertanian Bogor,
Bogor. 149 hal (Tidak dipublikasikan).
Harahap H. 2006. Optimisasi Perikanan
Purse Seine di Perairan Laut Sibolga
Provinsi Sumatera Utara. Sekolah Pasca
Sarjana, Program Studi Teknologi
Kelautan, Institut Pertanian Bogor
[tesis], Bogor. 119 hal. (tidak
dipublikasikan).
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
25
Hardenberg JA. 1937. Preliminary Report
on Migration of Fish in the Java Sea.
Trendea Dell. 246 p.
Hasyim B. 1999. Analisis Distribusi Suhu
Permukaan Laut dan Kaitannya dengan
Lokasi Penangkapan Ikan. Prosiding
Seminar Validasi Data Inderaja untuk
Bidang Perikanan. Jakarta 14 April
1999. Badan Pengkajian dan Penerapan
Teknologi (BPPT). Jakarta. ISBN: 979-
956760-1-6:III-2–III-46.
Ingmanson DE, Wallace WJ. 1973.
Oceanology : An Introduction.
California: Wadsworth. Belmont. 325
hal.
Kartasasmita M. 1999. Beberapa Pemikiran
Operasional Aplikasi Teknologi
Penginderaan Jauh untuk Penangkapan
Ikan. Prosiding Seminar Validasi Data
Inderaja untuk Bidang Perikanan. Jakarta
14 April 1999. Badan Pengkajian dan
Penerapan Teknologi Jakarta. ISBN;979-
95760-1-6. (I-2, I-6).
Kimura S, Kimura R and Ikejima K. 2008.
Revision of the Genus Nuchequula with
Descriptions of Three New Species
(Perciformes: Leiognathidae). Ichthyol.
Res. 55 : 22-42 p.
King M. 1995. Fisheries Biology,
Assessment and Management. Fishing
News Book. London. A Dvision of
Blackwell Science Ltd. 376 p.
Kushardono B. 2003. Teknologi
Penginderaan Jauh dalam Pengelolaan
Wilayah Pesisir dan Lautan. Di dalam:
Trisakti B, Hasyim B, Dewanti R,
Hartuti M, Winarso G, editor. Jakarta:
Pusat Pengembangan Pemanfaatan dan
Teknologi Penginderaan Jauh Lembaga
Penerbangan Antariksa Nasional. hlm
12-18.
Kristjonson H. 1967. Modern Fishing Gear
of the Wolrd, Vol. 1. Fsihing News
(Books) Ltd. London.
Laevastu T and Hela I. 1970. Fiheries
Oceanography. London : Fishing News
Books. 238 p.
Laevastu T. 1981. Fisheries Oceanography
and Ecology. London: Fishing News
(Books) Ltd. 199 p.
Laevastu T and Hayes ML. 1981. Fisheries
Oceanography and Ecology. Fishing
News Books Ltd. England. 199 p.
LIPI. 2007. Coral Reef Information and
Training Center Coral Reef
Rehabilitation and Management
Program. Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia CRTIC-COREMAP II.
Jakarta. 47 hal.
Lursinap A, Charoenruay M and
Kunapongsiri N. 1970. Preliminary
assessment of the productivity of the
waters of Prachuabkiribun coast on the
Gulf of Thailand 1968-1969. A paper
submitted to the first Symposium on
Marine Fisheries organized by the
Marine Fishery Laboratory. Bangkok. 37
p.
Mann KH and Lazier JRN. 1996. Dynamics
of Marine Ecosystem. Biological-
Physical Interaction in the Ocean.
Blackwell Scientific Publication. 466 p.
Monk KY, Y De Frestes and G.
Reksodihardjo-Liley. 1997. The Ecology
of Nusa Tenggara and Maluku. The
Ecology of Indonesia Series. No. V.
Periplus Editions.
Mustafa AJ. 2004. MODIS, Mengamati
Lingkungan Global dari Angkasa.
Artikel Iptek-Bidang Teknologi
Informasi dan Telekomunikasi. Rabu, 8
September 2004. 4 hal.
Nurhakim S. 1993. Biology et Dynamique
du Banyar Rastrelliger kanagurta
(Teleosteen-Scombridae) dans la
pecherie des grands senneurs en mer de
Java. These, Univ. Bretagne Occidentale,
Brest, French. 106p.
. 1993. Beberapa Aspek Reproduksi Ikan
Banyar (Rastrelliger kanagurta) di
perairan Laut Jawa. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. 81: 8-20.
Nurhakim S, Atmaja SB, Potier M and
Boely T. 1987. Study on Big Purse
Seines Fishery in the Java Sea. The Main
Pelagic Caught. Jurnal Penelitian
Perikanan Laut. I (39) :1-10.
Nomura M dan Yamazaki T. 1977. Fishing
Technique. Tokio. Japan Internacional
Coorporation Agency. 206 p.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan
pertama. Penerbit Djambatan. Jakarta.
360 hal.
Nontji A. 2007. Laut Nusantara. Cetakan
kelima. Penerbit Djambatan. Jakarta. 372
hal.
Nontji A. 2002. Laut Nusantara. Cetakan
ketiga. Penerbit Djambatan. Jakarta. 368
hal.
Nontji A. 1993. Laut Nusantara. Cetakan
kedua. Jakarta: Djambatan. 368 hal.
Parson RT, Takeshi M and Hargrave B.
1984. Biological Oceanography Process.
3rd
edition. Pergamon Press. Oxford.
England, 330. International Journal of
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
26
Remote Sensing and Earth Sciences Vol.
2 September 2005. 94 p.
Pasaribu BP. 1967. Menemukan Kelompok
Ikan Kembung (Rastrelliger spp) di
Perairan Tapanuli. Skripsi (tidak
dipublikasikan). Fakultas Perikanan.
Institut Pertanian Bogor.
Paxton JR, Hoese PF, Allen GR and Hanley
JE. 1989. Pisces Petromyzontidae to
Carangidae. Zoological Cataloque of
Australian, Vol. 7. Australian
Government Publishing Service,
Canberra. 665 p.
Puslitbangkan. 1994. Pedoman Teknis
Perencanaan Pemanfaatan dan
Pengelolaan Sumberdaya Ikan Pelagis
Kecil dan Perikanannya. Seri
Pengembangan Hasil Penelitian
Perikanan, Departemen Pertanian.
Jakarta.
Relly O, Maritorena JES, Mitchell BG,
Siegel DA, Carder KL, Garver SA,
Kahru M, Mc Clain C. 1998. Ocean
Colour Chlorophyll-a Algorithms for
SeaWifs, OC2 and OC4 : version 4. Di
dalam: Hooker SB, Firestone ER, editor.
Seawifs Poslaunch Technical Report.
Volume ke-2 (3). Maryland: NASA
Goddard Space Flight Center. hlm 9-23.
Reddy MP. 1993. Influence of the Various
Oceanographic Parameters on the
Abundance of Fish Catch. Proceeding of
International Workshop on Application
of Satellite Remote Sensing for
Identifying and Forecasting Potential
Fishing Zones in Developing Countries.
India, 7-11 December 1993.
Rousenfell GA and Everhart WH. 1962.
Fishing Gear (Fisheries Science its
Methods and Aplication). Jhon Willey
Con, Inc. New York. 123p.
Sawada T. 1980. Fishes in Indonesia, with
Illustrations. Japan: Japan International
Cooperation Agency. 200 hlm.
Setiapermana D, Santoso dan Riyono SH.
1992. Chlorophyl Content in Relation to
Physical Structure in East Indian Ocean.
Puslitbang Oseanologi- LIPI. Jakarta.
Soegiarto T, Birowo S. 1975. Atlas
Oseanografi Perairan Indonesia dan
Sekitarnya, No. 1. Yakarta: Lembaga
Oseanologi Indonesia- Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia.
Subani W dan Barus HR. 1989. Alat
Penangkapan Ikan dan Udang Laut di
Indonesia. Jurnal Penelitian Perikanan
Laut No. 50. Balai Penelitian Perikanan
Laut. Departemen Pertanian Jakarta. 248
hal.
Susanto V. 1961. Some problems of
fisheries Research with special reference
to the Rastrelliger Fishery. Proc. I.P.F.C.
9 (3):71-78.
Sverdrup HV, Johnson MW, Fleming RH.
1942. The Oceans : Their Physics,
Chemistry and General Biology.
Engleword: Prentice Hall Inc.
Tomascik T, Nontji A, Mah AJ, Moosa MK.
1997. The Ecology of the Indonesian
Seas part 2. The Ecology of Indonesian
Series, Singapore: Periplus Editions
(HK) Ltd. Vol. VII.
Valiela I. 1984. Marine Ecological
Processes. New York : Springer-Verlag.
546 p.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
27
ANALISIS PROGRAM PENGEMBANGAN USAHA MINA MANDIRI-PERIKANAN
BUDIDAYA (PUMM-PB) TERHADAP PENINGKATAN PENDAPATAN PEMBUDIDAYA
IKAN DI KOTA PEMATANGSIANTAR
Ewin Handoco S
Staff Pengajar Universitas HKBP Nommensen Pematangsiantar (UHKBPNP)
e-mail : [email protected]
ABSTRACT
Tujuan Penelitian ini dilakukan untuk Untuk Meneliti dan Mengkaji adanya perbedaan terhadap
peningkatan pendapatan pembudidaya ikan bagi kelompok yang telah menerima bantuan Program
Pengembangan Usaha Mina Mandiri-Perikanan Budidaya (PUMM PB) dengan kelompok
pembudidaya ikan yang belum menerima bantuan. Penelitian ini dilakukan dari bulan April sampai
dengan bulan Mei 2016. Hasil yang didapat dari penelitian adalah pendapatan Pokdakan penerima
bantuan PUMM-PB mengalami peningkatan. Namun, setelah dilakukan uji beda rata-rata terhadap
pendapatan setelah program PUMM-PB antara pokdakan penerima PUMM-PB dengan pokdakan non
penerima bantuan dihasilkan tidak berbeda nyata. Hal ini mengindikasikan adanya usaha yang lebih
besar dilakukan setelah program tersebut berlangsung dan menunjukkan adanya dampak positif
program PUMM-PB terhadap pendapatan penerima manfaat. Setelah dilakukan pengujian paired t test
kepada pokdakan penerima bantuan PUMM didapatkan bahwa 19% peningkatan pendapatan
dikarenakan faktor bantuan PUMM-PB, sisanya 81% adalah dikarenakan faktor-faktor lainnya.
Kata Kunci : Pengembangan, Usaha, Mina, Mandiri
PENDAHULUAN
Orientasi arah pembangunan kelautan
dan perikanan yang ingin menjadikan negera
Indonesia sebagai negara berbasis industri
maritim yang berdaya saing serta menjadi
negara kepulauan yang mandiri, maju, kuat
dan berbasiskan kepentingan nasional, perlu
mempertimbangkan kondisi bahwa sampai
dengan tahun 2016 ini sebagian besar
masyarakat perikanan, pesisir dan pulau-pulau
kecil masih banyak belum tersentuh dalam
pelayanan dasar dan kebutuhan dasar serta
kesempatan ekonomi.
Untuk mengatasi masalah ekonomi
tersebut, Kementerian Kelautan dan Perikanan
Republik Indonesia Sejak tahun 2011 hingga
2015 melakukan Strategi dengan mengadakan
program pemberdayaan masyarakat melalui
Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat
Mandiri Kelautan dan Perikanan (PNPM
Mandiri KP) yang terintegrasi dengan Program
Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri
(PNPM Mandiri) Direktorat Jenderal
Perikanan Budidaya telah melaksanakan
kegiatan Pengembangan Usaha Mina Mandiri
(PUMM) Perikanan Budidaya. Dana tersebut
berasal dari Anggaran Pendapatan Belanja
Negara (APBN) dalam bentuk hibah yang
diserahkan kepada Kelompok Pembudidaya
Ikan (Pokdakan).
Program-program nasional tersebut
tersebar ke seluruh penjuru Negara Republik
Indonesia termasuk ke Wilayah
Kepemerintahan Kota Pematangsiantar.
Sebagai salah satu Kota tertua di Propinsi
Sumatera Utara, Kota Pematangsiantar
mempunyai kedudukan yang sangat strategis,
baik dalam aspek-aspek kemasyarakatan
maupun dalam aspek kewilayahan. Kota
Pematangsiantar terdiri dari 8 Kecamatan
dengan sebanyak 53 Kelurahan mempunya
jumlah penduduk sebanyak 279.180 Orang,
belum lagi ditambah dengan penduduk
Kabupaten Simalungun yang selalu berbelanja
ke Kota Pematangsiantar, sangat berpotensi
untuk mengkonsumsi ikan, karena protein dari
ikan sangat baik untuk kesehatan. Dalam
rangka memenuhi kebutuhan masyarakat Kota
Pematangsiantar akan konsumsi ikan terkhusus
ikan air tawar dan untuk memenuhi benih ikan
air tawar di sekitaran Danau Toba, maka
pembudidaya ikan di Kota Pematangsiantar
memiliki peluang yang sangat besar. Terkait
dengan peluang tersebut maka Pemerintah
Pusat yaitu Kementerian Kelautan dan
Perikanan melalui Dinas Pertanian dan
Peternakan Kota Pematangsiantar
menyalurkan dana kegiatan Pengembangan
Usaha Mina Mandiri (PUMM) Perikanan
Budidaya sejak Tahun 2011-2015.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
28
Dalam Kegiatan tersebut tentu ada
perbedaan pendapatan bagi kelompok yang
menerima bantuan dan yang belum menerima
bantuan. Juga tentu adanya perbedaan
pendapatan bagi yang menerima bantuan yakni
sebelum menerima bantuan dan setelah
menerima bantuan. Oleh karena itu perlu
diketahui sejauh mana keberhasilan program
tersebut terhadap pendapatan pembudidaya
ikan. Dari uraian diatas peneliti melakukan
penelitian dengan membahas tentang Program
Pengembangan Usaha Mina Mandiri (PUMM)
Perikanan Budidaya, untuk menumbuhkan
ekonomi masyarakat di Kota Pematangsiantar
dengan judul “Analisis Program
Pengembangan Usaha Mina Mandiri-
Perikanan Budidaya (PUMM-PB) terhadap
Peningkatan Pendapatan Pembudidaya Ikan Di
Kota Pematangsiantar”.
METODOLOGI PENELITIAN
Jenis Penelitian
Dalam penelitian ini penulis melihat pengaruh Program Pengembangan Usaha Mina Mandiri
Perikanan Budidaya (X1) dan Unit Perbenihan Rakyat (X2), serta mengkaji variable dependen yaitu
peningkatan pendapatan pembudidaya ikan (Y).
Variabel Penelitian dan Definisi Operasional
Variabel Penelitian Adapun variabel yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut:
1. Variabel bebas Program Usaha Mina Mandiri-Perikanan Budidaya sebagai Variabel bebas
yang pertama (X1) dan Unit Pembenihan Perikanan sebagai Variabel bebas yang kedua (X2).
2. Variabel dependent adalah Pendapatan Pembudidaya Ikan (Y).
Definisi Operasional Selanjutnya setiap aspek tersebut diberi indikator kinerja seperti terlihat pada Tabel 1.
Tabel 1. Indikator yang Digunakan Dalam Pengukuran Tingkat Kepuasan Kinerja Pokdakan
Aspek Indikator
Aspek Organisasi 1. Pokdakan Memiliki ADART
2. Pokdakan Mempunyai rencana kerja
3. Pokdakan menyelenggarakan pertemuan
anggota secara berkala
Aspek pengelolaan dana
PUMM-PB
1. Sosialisasi program
2. Kemudahan Persyaratan penerima bantuan
3. Pelaporan yang dibuat pengurus
4. Pembinaan anggota
5. Adanya pengawasan
6. Sarana dan prasarana
Aspek Usaha 1. Mengadakan kerjasama keuangan
2. Adanya peran penyuluh
3. Pemasaran dilakukan secara bersama
Indikator-indikator tingkat kepuasan Kelompok Penerima bantuan PUMM-PB juga kemudian
dijabarkan dalam bentuk kuesioner. Penilaian dilakukan dengan cara nilai skala Likert, dimana nilai-
nilai pertanyaan mempunyai lima kemungkinan jawaban yaitu :
a. Kategori Sangat Tidak Puas = 1
b. Kategori Tidak Puas = 2
c. Kategori Cukup Puas = 3
d. Kategori Puas = 4
e. Kategori Sangat Puas = 5
Sumber Data, Subjek dan Objek Penelitian
Penelitian dilakukan dengan studi lapangan dan juga studi dokumentasi. Data yang digunakan
adalah data yang bersifat kuantitatif yang merupakan satuan angka yang menujukkan nilai besaran
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
29
variabel, dan data kualitatif yang digunakan untuk memahami fakta-fakta yang terdapat selain data
kuantitatif.
Sumber Data
Sumber data dalam penelitian ini terdiri dari
sumber data primer dan data sekunder.
a. Data Primer dalam penelitian ini adalah
data yang langsung diperoleh dari
Pembudidaya Ikan di Kota
Pematangsiantar tentang variabel yang
diteliti melalui kuesioner dan wawancara.
b. Data sekunder dalam penelitian ini
diperoleh dari buku-buku, website,dan
sumber data lainnya.
Subjek Penelitian
Subjek Penelitian yang diteliti peneliti
adalah POKDAKAN binaan Dinas Pertanian
dan Peternakan Kota Pematangsiantar.
Objek Penelitian
Objek Penelitian yang diteliti peneliti
adalah Pendapatan POKDAKAN binaan Dinas
Pertanian dan Peternakan Kota
Pematangsiantar.
Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada
POKDAKAN binaan Dinas Pertanian dan
Peternakan Kota Pematangsiantar. Waktu
penelitian dilakukan dari bulan April sampai
dengan bulan Mei 2016.
Populasi, Sampel dan Teknik Pengambilan Sampel
Populasi dan Sampel
Populasi Pada Penelitian ini adalah jumlah Kelompok Pembudidaya Ikan yang telah
menerima bantuan PUMM-PB yang berjumlah 202 0rang tergabung dalam 17 Kelompok
Pembudidaya Ikan (Pokdakan), pokdakan belum menerima berjumlah 150 orang yang tergabung
dalam 15 pokdakan.
Sample adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi tersebut.
Sampel pada penelitian ini adalah anggota pokdakan penerima bantuan PUMM-PB, dan pokdakan
yang bukan penerima bantuan. Sedangkan cara untuk menentukan penarikan sampel dalam penelitian
ini dilakukan dengan rumus Slovin (2001), dengan tingkat kesalahan dalam pengambilan sampel
sebesar 10%, sebagai berikut :
dimana :
n = Besarnya sampel
N = Jumlah Populasi
e = Tingkat Kesalahan dalam pengambilan sampel
Dari rumus tersebut maka didapat sampel untuk pokdakan yang menerima bantuan PUMM-
PB adalah sebagai berikut :
Dari perhitungan diatas maka ditetapkan jumlah sampel pokdakan penerima bantuan PUMM-
PB dalam penelitian ini adalah 67 orang. Untuk sampel pokdakan yang tidak menerima PUMM-PB
perhitungannya adalah sebagai berikut :
= 66,88 Orang 202
1+202 (0,10%)2 n=
= 60 Orang 150
1+150 (0,10%)2 n=
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
30
Dari perhitungan diatas maka ditetapkan jumlah sampel pokdakan tidak menerima bantuan
PUMM-PB dalam penelitian ini adalah 60 orang. Setiap pengambilan sampel dilakukan dengan
metode sensus yaitu tiap unit populasi dihitung dalam populasi (Nazir dalam Anggriani 2012)
Metode Pengumpulan Data
Data dalam penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder diperoleh melalui beberapa
cara sebagai berikut :
1. Wawancara
Melakukan wawancara kepada pembudidaya ikan di Kota Pematangsiantar tentang Program
Usaha Mina Mandiri-Perikanan Budidaya (PUMM-PB), dan Pendapatan Pembudidaya Ikan.
2. Kuesioner
Untuk mendapatkan data primer, maka disusun suatu daftar pertanyaan yang dibagikan
kepada responden yang memuat tentang pertanyaan – pertanyaan terhadap variabel Program
Usaha Mina Mandiri-Perikanan Budidaya (PUMM-PB), dan Pendapatan Pembudidaya Ikan.
Instrumen pertanyaan dalam penelitian ini di rancang berdasarkan indikator-indikator variabel
penelitian dan pertanyaan yang terlebih dahulu diuji validitas dan uji reliabilitas
3. Studi Dokumentasi
Studi ini dilakukan dengan mendapatkan data-data yang berhubungan dengan sumber daya
manusia yang ada di masing-masing Pokdakan.
Teknik Analisis Data
Teknik analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah Uji T-Test pada Rata-rata
Pendapatan Per kapita Per bulan Kelompok yang menerima bantuan PUMM-PB dengan Kelompok
yang belum menerima bantuan PUMM-PB. Untuk Kelompok yang telah menerima bantuan PUMM-
PB dilakukan juga T-Test beda rata-rata pendapatan antara sebelum dan sesudah penerimaan bantuan
HASIL PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan maka dapat diurutkan yaitu deskripsi responden,
deskripsi penilaian responden terhadap variabel penelitian, uji Validitas dan Reliabilitas, Uji Evaluasi
Dampak dengan menggunakan uji beda rata-rata dengan Uji T.
Usia Responden
Berdasarkan usia responden, responden dibagi menjadi lima kelompok usia 18-30 tahun, 31-40
tahun, 41-50 tahun, 51-60 tahun, dan kelompok 61-70 tahun. Sebaran responden dari masing-masing
kelompok usia dapat dilihat pada Tabel 4.
Tabel 4. Sebaran Responden Menurut Golongan Umur
Usia Kelompok PUMM-PB Kelompok Non-Bantuan
Frekuensi % Frekuensi %
18-30 7 0,11 12 0
31-40 16 0,24 20 0,33
41-50 27 0,41 25 0,42
51-60 13 0,20 15 0,25
61-70 2 0,035 0 0
Total 67 100 60 100
Sumber : Data Primer telah diolah
Tabel 4 menunjukkan bahwa para responden yang melakukan kegiatan usaha perikanan baik yang
telah mendapatkan maupun yang belum mendapatkan dana PUMM-PB sebagian besar berada pada
rentang usia 41-50 tahun yakni pada kelompok penerima PUMM-PB 41%, dan pada kelompok Non
bantuan sebanyak 42%. Namun faktor usia ini tidak membatasi pelaku usaha budidaya untuk
melakukan kegiatan budidaya perikanan, karena pada semua kelompok pada setiap golongan usia
masih mampu melakukan usaha.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
31
Status Kepemilikan Lahan
Sebagian besar cara yang dilakukan bagi kelompok pembudidaya menggunakan lahan usaha
perikanan adalah dengan lahan pribadi. Untuk Pokdakan yang menerima bantuan PUMM-PB yang
menggunakan lahan pribadi adalah sebanyak 65 orang atau 97,52% dan lahan sewa 2 orang (2,48%),
Sementara untuk pokdakan yang tidak menerima bantuan, kepemilikan lahannya terdiri dari
56 orang 92,67% untuk penggunaan lahan pribadi dan 4 orang 7,33% untuk sistem sewa lahan.
Sebaran anggota pokdakan menurut status kepemilikan lahan budidaya perikanan disajikan dalam
Tabel 7.
Tabel 7. Sebaran responden menurut luas kepemilikan lahan
Status Lahan
(Ha)
Kelompok PUMM-PB Kelompok Non-
Bantuan
Frekuensi % Frekuensi %
Pribadi 65 97,52 56 92,67
Sewa 2 2,48 4 17,33
Bagi Hasil 0 0 0 0
Total 67 100 60 100
Sumber : Data Primer telah diolah
Status Budidaya yang dilakukan
Pada pokdakan yang menerima bantuan PUMM-PB yang menjadi konsentrasi budidaya
pembenihan berjumlah 58 orang atau 87,13%, dan yang melakukan usaha pembesaran adalah
sebanyak 9 orang atau 12,87%. Sementara pada pokdakan yang belum menerima PUMM-PB yang
melakukan usaha pembenihan adalah 51 orang atau 85,33% dan yang melakukan usaha budidaya
pembesaran sebanyak 9 orang atau 14,67%.
Dari seluruh anggota pokdakan, yang melakukan usaha pembenihan sebanyak 90,82% atau
133 orang. Banyaknya pelaku pembudidaya yang melakukan usaha pembenihan dikarenakan usaha
tersebut sangat berpotensi karena benih ikan terkhusus ikan nila dibutuhkan oleh pelaku usaha
keramba jaring apung pembesaran ikan di danau toba sangat membutuhkan pasokan benih. Sementara
pembenihan tidak dapat dilakukan di danau toba, dikarenakan pemijahan (perkawinan) ikan harus
membutuhkan dasar lahan yang bertanah untuk tempat pemijahan. Sementara di Keramba jaring
apung tidak dapat dilakukan karena terapung dan perkawinan ikan untuk daerah danau sangat
beresiko dikarenakan luasnya daerah perairan yang mengakibatkan panen tidak dapat dilakukan. Arus
air juga perlu diperhatikan dalam perkawinan karena ikan membutuhkan air yang tenang saat
memijah.
Dalam hal pendanaan juga, biaya yang diperlukan untuk usaha pembenihan lebih ringan
dibanding dengan usaha pembesaran. Terlebih sifat ikan terkhusus ikan nila yang gampang melakukan
pemijahan apabila ada dasar perairan membuat usaha pembesaran ikan nila jika dilakukan di kolam
tanah membutuhkan waktu yang lebih lama dan kurang efisiennya waktu dan dana. Oleh karena
peluang dan pertimbangan-pertimbangan tersebut maka lebih banyak yang memilih usaha budidaya
pembenihan. Sebaran anggota pokdakan menurut status komoditas usaha budidaya perikanan
disajikan dalam Tabel 8.
Tabel 8. Sebaran responden menurut komoditas usaha budidaya perikanan
Komoditas
utama
Kelompok PUMM-PB Kelompok Non-Bantuan
Frekuensi % Frekuensi %
Pembenihan 58 87,13 51 85,33
Pembesaran 9 12,87 9 14,67
Pembenihan
sekaligus
pembesaran
0 0 0 0
Total 67 100 60 100
Sumber : Data Primer telah diolah
Analisis Kinerja
Uji Validitas dan Reliabilitas
Pengumpulan data untuk analisis kinerja pokdakan diperoleh data kuesioner yang diberikan
oleh responden penerima bantuan PUMM-PB. Sebelum dilakukan analisis kinerja dengan metode Uji
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
32
Beda rata-rata (paired T test), dilakukan terlebih dahulu uji validitas dan reliabilitas dari jawaban
kuesioner yang diberikan oleh responden penerima bantuan PUMM-PB. Kualitas pengumpulan data
sangat ditentukan oleh kualitas instrumen atau alat pengumpul data yang digunakan. Suatu instrumen
penelitian dikatakan berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan jika sudah terbukti validitas dan
reliabilitasnya (Kuncoro, 2003).
Pengujian validitas bertujuan untuk menguji sejauhmana ketepatan dan kecermatan alat ukur
tertentu dalam melakukan fungsi ukurannya. Semakin tinggi validitas suatu variabel maka pengujian
tersebut semakin mengenai sasarannya dan semakin menunjukkan apa yang harus ditunjukkannya
(Wijaya, 2011). Cara analisisnya adalah dengan menggunakan korelasi pearson yaitu dengan cara
menghitung koefisien korelasi antara masing-masing nilai pada nomor pertanyaan dengan nilai total
dari nomor pertanyaan tersebut. Selanjutnya koefisien korelasi yang diperoleh r harus diuji
signifikansinya dengan membandingkannya dengan r tabel. Bila r hitung > dari r tabel, maka nomor
pertanyaan tersbut valid (Wijaya, 2011). Analisis dilakukan dengan menggunakan program Statistical
Package for Social Science (SPSS) versi 20. Sesuai dengan hasil yang dilampirkan pada lampiran 3.
Hasil uji validitas untuk kuesioner disajikan pada Tabel 9.
Tabel 9 Hasil Uji Validitas dari jawaban kuesioner
Variabel Indikator Nilai r Hitung
Tingkat Kepuasan
A. Aspek Organisasi 1. Pokdakan Memiliki ADART 0,719
2. Pokdakan Mempunyai rencana kerja 0,712
3. Pokdakan menyelenggarakan pertemuan
anggota secara berkala
0,843
B. Aspek Pengelolaan
Dana PUMM-PB
1. Sosialisasi program 0,799
2. Kemudahan Persyaratan penerima bantuan 0,686
3. Pelaporan yang dibuat pengurus 0,866
4. Pembinaan anggota 0,737
5. Adanya pengawasan 0,711
6. Sarana dan prasarana 0,753
7. Insentif dan Sanksi 0,599
C. Aspek Usaha 1. Mengadakan kerjasama keuangan 0,817
2. Adanya peran penyuluh 0,765
3. Pemasaran dilakukan secara bersama 0,805
Nilai r tabel = ..... (df = 89 dan selang kepercayaan 95%)
Hasil pengujian validitas untuk masing-masing hasil pengukuran tingkat kepuasan terhadap kinerja
lebih besar dari r tabel pada selang kepercayaan 95 persen yaitu 0,207. Hal ini menunjukkan bahwa
seluruh pernyataan dalam kuesioner adalah signifikan dan dapat dinyatakan valid.
Pengujian reliabilitas dimaksudkan untuk menguji seberapa jauh konsistensi suatu alat ukur,
sehingga alat ukur yang digunakan dapat diandalkan dan tetap konsisten jika pengukuran tersebut
diulang (Wijaya 2011 dalam Anggriani, 2012). Pengujian dilakukan menggunakan koefisien Alpha
Cronbach. Wijaya dalam Anggriani (2012), menulis bahwa jawaban seseorang akan cukup konsisten
jika nilai koefisien Alpha antara 0,64 sampai 0,9. Hal ini berarti bahwa kemungkinan terjadinya
kesalahan pengukuran dalam kuesioner cukup rendah sehingga penggunaannya dapat diandalkan dan
mampu memberikan hasil pengukuran yang konsisten apabila penulis menyebarkan kuesioner secara
berulang kali dalam waktu yang berlainan. Pengujian reliabilitas dilakukan dengan menggunakan
program SPSS dan disajikan selengkapnya di Lampiran 4. Adapun hasil pengujian reliabilitas
ringkasnya dapat dilihat pada Tabel 10.
Berdasarkan sajian data pada Tabel 10. seluruh indikator dalam pernyataan kuesioner
memiliki nilai Cronbach‟s Alpha antara 0,64-0,90 yang berarti kesalahan ukur dalam kuesioner yang
diisi oleh pembudidaya responden yakni pokdakan penerima bantuan cenderung rendah.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
33
KESIMPULAN DAN SARAN
KESIMPULAN
Berdasarkan tujuan penelitian
sebagaimana diungkapkan pada Bab
Pendahuluan serta hasil dari proses olah data,
kesimpulan yang dapat ditarik dari penelitian
adalah :
1. Pendapatan Pokdakan penerima
bantuan PUMM-PB mengalami
peningkatan. Namun, setelah
dilakukan uji beda rata-rata terhadap
pendapatan setelah program PUMM-
PB antara pokdakan penerima
PUMM-PB dengan pokdakan non
penerima bantuan dihasilkan tidak
berbeda nyata. Hal ini dikarenakan
kegiatan produksi perikanan sangat
bergantung kepada iklim, kualitas
sumber daya manusia, penggunaan
lahan, dan juga teknologi serta niat
dari pelaku usaha itu sendiri.
Sehingga diperlukan ketepatan dan
kecermatan dalam merumuskan
strategi untuk program PUMM-PB
selanjutnya.
2. Ada perbedaan atau selisih antara
pendapatan pokdakan sebelum dan
setelah dilaksanakannya program
PUMM-PB. Hal ini mengindikasikan
adanya usaha yang lebih besar
dilakukan setelah program tersebut
berlangsung dan menunjukkan
adanya dampak positif program
PUMM-PB terhadap pendapatan
penerima manfaat.
3. Setelah dilakukan pengujian paired t
test kepada pokdakan penerima
bantuan PUMM didapatkan bahwa
19% peningkatan pendapatan
dikarenakan faktor bantuan PUMM-
PB, sisanya 81% adalah dikarenakan
faktor-faktor lainnya.
Saran
Dari kesimpulan yang didapat dari
hasil penelitian tersebut, beberapa saran dari
peneliti terhadap pelaksanaan program
PUMM-PB adalah :
Bagi anggota Pokdakan
1. Perlu meningkatkan kerjasama dan
motivasi kerja serta mau belajar
penerapan teknologi yang temutakhir
dalam proses pembudidayaan ikan,
sehingga menguasai kemajuan
teknologi cara berbudidaya ikan yang
baik (CBIB) dan cara pembenihan
ikan yang baik (CPIB) yang dapat
meningkatkan produksi sehingga
dapat menaikkan pendapatan keluarga
pembudidaya ikan.
2. Tidak mengedepankan ego sendiri
karena sering terjadi perpecahan
antara sesama anggota karena tidak
dapat mengendalikan diri apabila
pendapatnya tidak diterima sesama
anggota. Serta peningkatan kinerja
pokdakan dengan sering mengadakan
pertemuan yang mengarah positif dan
pokdakan melengkapi persyaratan
administrasi agar dapat disahkan
dengan berbadan hukum, dengan
demikian pokdakan dapat
mendapatkan pinjaman dana dari
Bank untuk menunjang modal usaha
guna pelebaran sayap usaha
perikanan.
Bagi Pemerintah
1. Harus aktif dalam sosialisasi,
pembinaan dan pendampingan secara
rutin terhadap pokdakan. Sehingga
pokdakan dapat maju dan sejahtera
guna meningkatkan ekonomi
masyarakat.
2. Pemerintah juga harus dapat
menjembatani hubungan antara
pokdakan dengan Perbankan dan
swasta serta kerjasama dengan pihak
akademisi dan lembaga penelitian
untuk penerapan teknologi perikanan.
3. Melakukan monitoring dan evaluasi
kepada pokdakan secara berkala dan
berkelanjutan untuk mengidentifikasi
masalah yang muncul dari
pelaksanaan Program PUMM-PB
antara kesesuaian pelaksanaan dengan
ketentuan.
4. Diaktifkannya peran penyuluh
pendamping perikanan, karena
anggota pokdakan sangat
membutuhkan arahan dalam
mengembangkan usahanya, termasuk
dalam hal administrasi maupun dalam
hal usaha budidaya perikanan secara
intensif dan berkelanjutan.
5. Melakukan survey pasar dan
menetapkan regulasi yang tepat agar
hasil produksi yang dihasilkan
pembudidaya ikan dapat ditampung
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
34
di pasar dengan harga yang stabil dan
menguntungkan pelaku usaha
budidaya.
DAFTAR PUSTAKA
Dinas Kelautan dan Perikanan Sumatera Utara.
2015. Statistik Perikanan Budidaya
Sumatera Utara 2014.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ditjen
Perikanan Budidaya. 2015. Petunjuk
Teknis Pelaksanaan Pengembangan
Usaha Mina Mandiri 2015. Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ditjen
Perikanan Budidaya. 2015. Petunjuk
Teknis Penggunaan Dana Alokasi
Khusus Bidang Kelautan dan
Perikanan Tahun 2015. Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan, Ditjen
Perikanan Budidaya. 2015. Peraturan
Direktorat Jenderal Perikanan
Budidaya. Jakarta.
Misbahuddin, 2013. Analisis Data Penelitian
Dengan Statistik. Bumi Aksara.
Jakarta.
Sofian Siregar. 2013. Metodologi Penelitian
Kuantitatif. Rineke Cipta. Jakarta.
Sugiono. 2006. Metodologi Penelitian
Kuantitatif dan Kualitatif. Alfabeta.
Bandung.
Suliyanto. 2011. Ekonometrika Terapan : Teori
dan Aplikasi Dengan SPSS. Andi.
Yogyakarta.
Puguh Suharso. 2009. Metodologi Penelitian
Kuantitatif Untuk Bisnis. PT. Indeks.
Jakarta.
Kementerian Kelautan dan Perikanan Republik
Indonesia. 2009. Undang-Undang
Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
www.kkp.go.id.
Bappeda Kota Pematangsiantar. (2010).
Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Daerah Kota
Pematangsiantar Tahun 2010-2015.
Pematangsiantar.
Bappenas. (2004). Penanggulangan
Kemiskinan. Jakarta.
www.bappenas.go.id/get-file-
server/node/161.
BPS Kota Pematangsiantar (2011). Siantar
dalam angka Tahun 2015.
Pematangsiantar.
Sulistiyo, Joko. (2012). 6 Hari Jago SPSS.
Cakrawala. Jakarta.
Suryahadi, Asep. (2007). Kumpulan Bahan
Latihan Pemantauan Evaluasi
Program-Program Penanggulangan
Kemiskinan. Modul 4 : Persyaratan
dan Unsur-Unsur Evaluasi Yang Baik.
Bappenas. Jakarta.
Wijaya, Toni. (2011). Manajemen Kualitas
Jasa. PT. Indeks. Jakarta.
Pasaribu, Ali Musa. (2012). Perencanaan dan
Evaluasi Proyek Agribisnis. Lily
Publisher. Jakarta.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
35
Pengaruh perlakuan reduksi khamir laut terhadap komposisi asam amino esensial dan non esensial
khamir laut
Ria Retno Dewi sartika Manik
Staf Pengajar UHKBPNP
Abstrak
Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji perlakuan utuh, dipecah dan direduksi terhadap khamir laut untuk
meningkatkan kualitas bahan baku yaitu khamir laut. Penelitian ini menggunakan metode analisis perbandingan
dilakukan tiga kali ulangan yaitu dengan tanpa perlakuan, dipecah dan reduksi asam basa, kemudian khamir laut diuji
dengan metode High Performance Liquid Chromatografi (HPLC). Hasil penelitian menunjukkan bahwa khamir laut
yang dipecah dengan sonikator dan direduksi menggunakan asam basa lebih tinggi daripada khamir laut utuh.
Kandungan asam amino glutamat pada khamir laut yang direduksi tertinggi yaitu 0,91g/100g.
Keywords: Khamir Laut, Direduksi, Dipecah, Asam amino
PENDAHULUAN
Khamir laut (yeast) termasuk fungi, tetapi
dibedakan dari kapang karena bentuknya
uniseluler. Yeast adalah organisme seluler
bersifat kemoorganotrof, bereproduksi seksual
dengan spora dan aseksual dengan pertunasan
atau pembelahan atau kombinasi keduanya (Rij,
1984). Sistematik yeast termasuk dalam kindom
fungi, divisi eumycotina yang terbagi menjadi
empat sub divisi Phycomycetes (Zygomycetes),
Asomycetes, Basidiomycetes dan
Deteromycetes. Khamir berbeda dengan kapang,
kapang bersifat filamentous, sedangakan khamir
biasanya bersifat uniseluler (Reed and
Nagodawithana, 1991).
Khamir sebagai sumber protein juga
memiliki keuanggulan yaitu: laju pertumbuhan
tinggi, dapat tumbuh pada media sederhana,
mampu tumbuh pada kepadatan sel tinggi,
kandungan nutrisi tinggi, daya cerna tinggi,
tidak beracun, mudah diperoleh dan tidak
berdampak negatif (Ramesh et al., 1997).
Khamir mengandung vitamin B Kompleks
(thiamin, riboflavin, nicotinat, dan biotin)
(Feldmann, 2012). Pemanfaatan khamir laut
sebagai bahan pakan memiliki kelemahan yaitu
memiliki asam nukleat dan komponen dinding
sel yang tebal sehingga membatasi penyerapan
nutrisi (Anupama and Ravindra., 2000; Gao et
al., 2007; Chi et al., 2015)
METODE PENELITIAN
Pembuatan tepung khamir laut
Air laut disterilkan, diberi chlorin 6 ppm
kemudidan didiamkan selama 1 hari.
Mensterilkan chlorin air laut ditambahkan Na-
thiosulfat 3 ppm dan didiamkan semalam.
Kemudian air laut dipupuk dengan gula pasir 5
g, TSP 2,5 g, KCI 1,25 g dan Urea 1,25 g. Air
laut steril 1 L, masukkan pupuk dan distirer
hingga homogen. Larutan didiamkan sehari
kemudian disaring dan dimasukkan ke dalam 2
buah Erlenmeyer 500 ml. Media disterilisasi
pada 121⁰ C, 1 atm selama 15 menit. Media
didinginkan untuk kemudian dimasukkan starter
khamir laut dan diaerasi. Kultur dibiarkan
selama 5 hari. Setelah 5 hari khamir laut
dipanen dengan saringan, kemudian keringkan
selama 3 hari dengan suhu ruang.
Khamir laut dipecah dengan sonikator (Liu
et al., 2013)
Khamir laut dimasukkan ke da;am tube,
hidupkan sonikator dengan frekuensi 29 kHz,
masukkan probe ke dalam Erlenmeyer dan
tunggu selama 20 menit. Dalam 1 siklus dengan
sonikasi pulser 80% dan power 80% dengan
waktu 20 menit. Kemudian khamir laut di lihat
di bawah mikroskop dan khamir laut dianalisis
asam amino.
Khamir laut direduksi dengan pemanasan
dan asam (Zee dan Simard, 1975)
Khamir laut dimasukkan ke dalam waterbath
dengan suhu 90⁰ C, tambahkna 1 N asam
klorida (HCl) atau 1 N natrium hidroksida
(NaOH) hingga nilai pH 2, tunggu hingga 2 jam.
Khamir lau dibilas dengan akuades hingga pH
normal (pH 7) . tepung khamir laut dianalisis
kadar asam amino.
Analisis kandungan asam amino
Analisis asam amino adalah dengan
menggunakan HPLC.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil analisis asam amino khamir laut
(Saccharomycodes sp.) Asam amino adalah sembarang senyawa
organik yang memiliki gugus fungsional
karboksil (-COOH) dan amina (biasanya –NH2).
Hasil penelitian tepung khamir laut yang
dipecah dan disonikator berbeda dengan hasil
penelitian pada umumnya yang menggunakan
teknik fermentasi bahan pangan, dimana pada
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
36
proses fermentasi asam amino akan mengalami
penurunan (Haryo et al .,2016). Awadelkareem
(2008) menjelaskan bahwa beberapa asam
amino esensial digunakan sebagai sumber N
untuk menunjang pertumbuhan fermentor dalam
proses fermentasi. Sedangkan dalam proses
dipecah dan direduksi asam-asam amino
esensial dan non-esensial mengalami
peningkatan. Hal ini sesuai dengan pendapat
Zee dan Simard (1974) yang mengemukakan
bahwa terjadinya peningkatan pada asam amino
aspartic acid, threonine, serine, glutamic acid,
proline, glycine, alanine, valine, methionine,
isoleucine, leucine, tyrosine dan phenylalanine
pada proses reduksi asam nukleat.
z
Gambar 1. Kandungan asam amino esensial
pada tepung khamir laut utuh, dipecah dan
direduksi
Gambar 2. Kandungan asam amino non esesial
pada tepung khamir laut utuh, dipecah dan
direduksi
Analisa Proximat
Tabel 1. Hasil Analisis Proksimat Khamir Laut
(berdasarkan berat kering)
Khamir laut Perlakuan khamir laut
Utuh Pecah Reduksi
Kadar kering(%) 80,95 96,28 75,03 Protein murni
(%)* 10,56 10,11 9,91
Lemak (%) 0,78 2,05 0,80 Abu (%) 70,45 64,96 67,46
Serat kasar (%) 0,32 2,05 0,80
BETN (%) 17,90 18,86 21,00
Keterangan :
*BETN = 100-Protein-Lemak-Kadar Abu-Kadar
Serat.
Kadar protein murni khamir laut utuh pada
penelitian ini adalah 10,56 %, khamir laut utuh
ini dijadikan sebagai kontrol, untuk perlakuan
fisik khamir laut dipecah dan direduksi. Pada
penelitian ini, kadar protein setelah dipecah
maupun direduksi tidak mengalami penurunan
yang signifikan. Hal ini sesuai dengan penelitian
Bzducha et al. (2014), menerangkan bahwa
protein kasar khamir (Saccharomyces
cereviseae) setelah dipecah dengan
menggunakan sonikator mengalami penurunan
tetapi tidak signifikan yaitu sebesar 45,3%
setelah dipecah sebesar 44,3%.
KESIMPULAN
Hasil penelitian menunjukkan bahwa khamir
laut yang direduksi dengan asam dan basa
memberikan hasil terbaik dari uji asam amino
sehingga baik untuk bahan baku pakan ikan.
DAFTAR PUSTAKA
[1]. Anupama dan P. Ravindra. 2000. Value-
added food: single cell protein.
Biotechnology Advances, 18 : 459-479.
[2]. Chi, Z., G. L. Liu, Y. Lu, H. Jiang, ZM Chi
and L. Wang. 2015. Bio-product produced
by marine yeast and their potential
applications. Bioresource Technology. P :
244-252.
[3]. Feldmann, H. 2012. Yeast Molecular and
Cell Biology. Wiley-Blackwell.
Germany. 444 p.
[4]. Gao, L., ZM. Chi, J. Sheng and X. Ni.
2007. Single-cell production from
jerusalem artichoke extract by a recently
isolated marine yeast Cryptococcus
aureus g7a and its nutritive analysis.
Appl Microbiol Bioethanol. 77 : 825-832
[5]. Liu, D., X. A. Zeng, D. W Sun, Z. Han.
2013. Distruption and proteins release by
ultrasonications of yeast cells. Innov .
Food Sci. Emerg. 18 : 496-500.
ASP
SER
GLU
GLY
ALA
PRO
CYS
TYR
Khamir Utuh 0.2 0.1 0.3 0.2 0.1 0.5 0.1 0
Khamir Pecah 0.2 0.2 0.4 0.3 0.1 0.3 0.4 0.1
KhamirReduksi
0.4 0.3 0.9 0.3 0.1 0.5 0.1 0.1
00.20.40.60.8
1
Asa
m a
min
o n
on
e
sen
sial
(g
/10
0g)
HIS
ARG
THR
VAL
MET
LYS
ILELEU
PHE
Khamir Utuh 0. 0 0. 0 0. 0 0 0 0.
KhamirPecah
1 0 0 0 0 0. 0 0 0
KhamirReduksi
0. 0 0 0 0 0 0 0 0
0.000.200.400.600.801.00
Asa
m a
min
o
ese
nsi
al
(g/1
00
g)
HIS
ARG
THR
VAL
MET
LYS
ILELEU
PHE
Khamir Utuh 0. 0 0. 0 0. 0 0 0 0.
KhamirPecah
1 0 0 0 0 0. 0 0 0
KhamirReduksi
0. 0 0 0 0 0 0 0 0
0.000.200.400.600.801.00
Asa
m a
min
o
ese
nsi
al
(g/1
00
g)
HIS
ARG
THR
VAL
MET
LYS
ILELEU
PHE
Khamir Utuh 0. 0 0. 0 0. 0 0 0 0.
KhamirPecah
1 0 0 0 0 0. 0 0 0
KhamirReduksi
0. 0 0 0 0 0 0 0 0
0.000.200.400.600.801.00
Asa
m a
min
o
ese
nsi
al
(g/1
00
g)
HIS
ARG
THR
VAL
MET
LYS
ILELEU
PHE
Khamir Utuh 0. 0 0. 0 0. 0 0 0 0.
KhamirPecah
1 0 0 0 0 0. 0 0 0
KhamirReduksi
0. 0 0 0 0 0 0 0 0
0.000.200.400.600.801.00
Asa
m a
min
o
ese
nsi
al
(g/1
00
g) HI
SARG
THR
VAL
MET
LYS
ILELEU
PHE
KhamirUtuh
0. 0 0. 0 0. 0 0 0 0.
KhamirPecah
1 0 0 0 0 0. 0 0 0
KhamirReduksi
0. 0 0 0 0 0 0 0 0
0.000.501.00
Asa
m a
min
o
ese
nsi
al …
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
37
[6]. Ramesh, C. K., A. Singh, K. K. Tripathi, R.
K. Saxena and K. E. L. Eriksson.
1997. Microorganism as an alternative
source of protein. Nutrition Review. 55
(3) : 65-75.
[7]. Reed, G and T. W. Nagodawithana. 1991.
Yeast Derived Products. In Yeast
Technology. Chapter 8. AVI/Van
Nostrand Reinhold. New York. p 369-412.
[8]. Rij, K. V. 1984. The Yeast : a Taxonomy
Study. Third Revised and Enlarged
Edition. Elsevier Science Publishers.
Amsterdam. 1082 p.
[9]. Zee, J. A and R. E. Simard. 1975. Simple
process for the reduction in the nucleic acid
content in yeast. American Society for
Microbiology. p 59-62.
JUPERA VOL 01 No 01 Juni 2020
ISSN : 2722-418X (CETAK)
38