issn: 2655-9595
TRANSCRIPT
ISSN: 2655-9595
Jurnal Agroforestri Indonesia Journal of Indonesian Agroforestry
Volume 1 Nomor 1, Desember Tahun 2018
Jurnal Agroforestri Indonesia adalah Media Publikasi Ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry. Jurnal penelitian ini menerima dan memuat karya tulis ilmiah yang berasal dari hasil penelitian dan kajian
aspek biofisik, ekologi dan sosial ekonomi, silvikultur, konservasi dan biodiversitas, jasa lingkungan serta bidang kehutanan
- pertanian pada umumnya. Jurnal ini terbit secara berkala dua kali dalam setahun (Juni-Desember)
Journal of Indonesian Agroforestry is an official publication from Research and Development Institute for Agroforestry
Technology (BPPTA). The journal publishes article from research results and studies on ecology, socio economics,
silviculture, conservation, biodiversity, enviromental services and forestry and agriculture studies in general. This journal is
managed under e-journal based on Open Journal System (OJS). The Journal will be published twice a year in June and
December
.
Penanggungjawab (Editor in Chief) : Kepala Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Dewan Redaksi (Editorial Boards)
Ketua merangkap anggota (Chairman and
member) : Dr. Ir. Budiman Achmad, M.Sc.
Anggota (Members) : 1. Yonky Indrajaya,S.Hut. MT ( Perencanaan Kehutanan )
2. Dr. Betha Lusiana ( Pemodelan & Jasa Lingkungan)
3. Dr. Sanudin ( Sosiologi Ekonomi )
4. Dr. Satria Astana ( Ekonomi Kehutanan)
5. Dr. Leti Sundawati (Kehutanan Masyarakat)
6. Dr. Dedi Natawidjaja, M.Sc ( Sosial Ekonomi )
7. Dr. Triyono (kebijakan Kehutanan)
8. Dr. Asep Rohandi ( Silvikultur )
9. Dr. Dede J Sudrajat (Silvikultur,Teknologi Benih,Genetika)
10. Dr. Eny Widyawati (Biologi Tanah & Kesuburan Lahan )
11. Dr. Eming Widyana ( Biologi )
12. Dr. Murniati (Agroforestry & Hutan Kemasyarakatan)
13. Dr. Subekti Rahayu ( Biodiversitas )
Mitra Bestari (Peer reviewers) 1. Prof. Dr. Ir. Sambas Sabarnurdin (Silvikultur & AF )
2. Prof. Dr. Ir. Nurheni Wijayanto (Silvikultur & AF)
3. Dr. Ngaloken Ginting ( KTA & Hidrologi )
4. Prof. Dr. Ir. Pratiwi (Hidrologi dan Konservasi Tanah)
5. Dr. Boen M Purnama ( Kebijakan )
6. Dr. Suyanto ( Sosial Ekonomi )
7. Dr. Subarudi M. Wood (Kebijakan Kehutanan)
8. Prof. Dr. Ir. Hadi S Arifin (Ekologi & Manajemen Lansekap)
9. Prof. Dr. Ir. Kurniatun Hairiah (Karbon, PI & Tanah)
Sekretariat Redaksi (Editorial
Secretariat)
Ketua (Chairman) : Kepala Seksi Data, Informasi dan Sarana Penelitian
Anggota (Members) : 1. Diana Kusumawardhana, S. Hut
2. Diki Hendarsah, S.Sos
3. Waswid
4. Gugi Darusman
Diterbitkan oleh (Published by) :
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry (Research and Development Institute for Agroforestry
Technology)
Badan Penelitian, Pengembangan dan Inovasi (Research , Development and Innovation agency)
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (Ministry of Environment and Forestry Republic of Indonesia)
Alamat (Address) : Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4, Po. BOX 5 Ciamis 46201
Telepon (Phone) : 0265-771352
Fax (Fax) : 0265-775866
Email (Email) : [email protected]
Website : http//www.ejournal.forda-mof.org/ejournal- litbang/index.php/JAI
e-ISSN: 2655-9595
Jurnal Agroforestri Indonesia
JOURNAL OF INDONESIAN AGROFORESTRY
Volume 1 Nomor 1, Desember 2018
DAFTAR ISI
PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS TIGA VARIETAS JAHE PADA
BERBAGAI TINGKAT INTENSITAS CAHAYA DI BAWAH TEGAKAN
TUSAM (Productivity and Quality of Three Varieties of Ginger on Many Light
Intensity Levels Under Stand of Pine)
Gunawan dan Asep Rohandi ................................................................................... 1-13
PERKECAMBAHAN BENIH JAMBLANG (Syzygium cumini) PADA TIGA
PERLAKUAN PRA-PERKECAMBAHAN DAN MEDIA TABUR
(Germination of Jamblang (Syzygium cumini) Seeds on Three Treatments of
Pre-Germination and Sowing Media.)
Aris Sudomo dan Dila Swestiani ............................................................................ 15-22
KONDISI SOSIAL DAN KELEMBAGAAN PETANI HUTAN RAKYAT DI
KABUPATEN TASIKMALAYA (Socio and Institutional Conditions of
Farmers of the Private Forest in Tasikmalaya District)
Dian Diniyati ........................................................................................................... 23-32
AKSES DAN KONTROL RUMAH TANGGA PETANI DALAM
PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN RAKYAT (Access and Control of
Farm Household in Management of Private Forest Resources)
Eva Fauziyah ........................................................................................................... 33-45
KERAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA AGROFORESTRI JATI
(Tectona grandis) DAN JALAWURE (Tacca leontopetaloides) (The Diversity of Soil Macrofauna on Agroforestry Teak (Tectona grandis) and Polynesian
Arrowroot (Tacca leontopetaloides)
Aji Winara ............................................................................................................... 47-55
ANALISIS RENDEMEN NIRA DAN KUALITAS GULA AREN (Arenga
pinnata Merr.) DI KABUPATEN TASIKMALAYA (The analysis of Sap Water
Yield and Palm Sugar (Arenga pinnata Merr.) Quality in Tasikmalaya District)
Dedi Natawijaya, Suhartono dan Undang ............................................................... 57-64
UCAPAN TERIMA KASIH
Dewan Redaksi Jurnal Agroforestri Indonesia mengucapkan terima kasih dan penghargaan
yang setinggi-tingginya kepada Mitra Bestari (peer reviewers) yang telah menelaah naskah
yang dimuat pada edisi Volume 1 Nomor 1, Desember 2018 :
1. Prof. Dr. Ir. Sambas Sabarnurdin (Silvikultur & Agroforestry)
2. Dr. Suyanto ( Sosial Ekonomi )
3. Dr. Subarudi M. Wood (Kebijakan Kehutanan)
Jurnal Agroforestri Indonesia
e-ISSN : 2655-9595 Vol. 1 No.1, Desember 2018
Kata kunci yang dicantumkan adalah lembar bebas. lembar abstrak ini boleh diperbanyak
tanpa ijin dan biaya
UDC/ODC 630*26
Gunawan dan Asep Rohandi (Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Agroforestry)
Produktivitas dan Kualitas Tiga Varietas Jahe
Pada Berbagai Tingkat Intensitas Cahaya
di Bawah Tegakan Tusam
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,
Desember 2018: Hal. 1-13
Besarnya kebutuhan tanaman obat dan
keterbatasan lahan pertanian untuk
pengembangannya dapat diatasi melalui
pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan
dengan menerapkan pola agroforestri. Penelitian
ini bertujuan untuk mengkaji pengaruh perbedaan
varietas tanaman dan naungan tegakan tusam
(Pinus merkusii) terhadap produktivitas dan
kualitas jahe. Rancangan yang digunakan adalah
rancangan petak terbagi yang terdiri dari 3
ulangan dan menggunakan luasan 100 m2 untuk
setiap petak dengan jarak tanam 50 x 50 cm.
Petak utama berupa intensitas cahaya yaitu 50-
58% (kelas umur II), 68-77% (kelas umur I) dan
87-92% (miskin riap), sedangkan anak petak
adalah varietas jahe meliputi jahe putih kecil
(emprit), jahe putih besar (gajah) dan jahe merah.
Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas
cahaya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi dan berat rimpang namun tidak
berpengaruh terhadap parameter persentase
tumbuh, kadar air, kandungan minyak atsiri,
serat, pati, dan abu. Varietas jahe berpengaruh
nyata terhadap persentase tumbuh, pertumbuhan
tinggi dan berat rimpang, tetapi tidak
berpengaruh terhadap kandungan kadar air,
kandungan minyak atsiri, serat, pati, dan abu.
Rata-rata hasil panen jahe tiap varietas adalah
5,54 ton/ha; 8,38 ton/ha dan; 6,7 ton/ha berturut
turut untuk jahe putih keccil, jahe putih besar dan
jahe merah, Agroforestri tanaman jahe di bawah tegakan tusam dapat dilakukan untuk meningkatkan
produktivitas lahan terutama pada tegakan miskin riap.
Kata kunci: Agroforestry, Jahe, Kayu
Pertukangan, Tusam (Pinus
merkusii), Tanaman obat
UDC/ODC 630*232.3
Aris Sudomo dan Dila Swestiani (Balai
Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry)
Perkecambahan Benih Jamblang (Syzygium
cumini) pada Tiga Perlakuan Pra-Perkecambahan
dan Media Tabur
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,
Desember 2018: Hal. 15-22
Perbanyakan generatif diperlukan dalam upaya
pengembangan tanaman obat jenis jamblang.
Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan
persentase dan kecepatan berkecambah benih
jamblang melalui perlakuan pra-perkecambahan
dan media tabur. Kombinasi perlakuan tersebut
adalah (1) media tanah (T) x perendaman air
biasa (AB), (2) media tanah x perendaman air
kelapa (AK), (3) media tanah (T) x kontrol (tanpa
perendaman benih) (K), (4) media pasir (P) x
perendaman air biasa (AB), (5) media pasir (P) x
perendaman air kelapa (AK), (6) media pasir (P)
x kontrol (K), (7) media tanah-pasir (TP) x
perendaman air kelapa (AK), (8) media tanah-
pasir (TP) x perendaman air biasa (AB), dan (9)
media tanah-pasir (TP) x kontrol (K). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa perlakuan
penaburan benih dengan media campuran
tanah+pasir dan pra-perkecambahan benih
dengan perendaman air kelapa selama 12 jam
menghasilkan persentase dan kecepatan
berkecambah terbesar (70%/4,96%). Persentase
berkecambah lebih dari 50% hanya dihasilkan
pada media tanah+pasir dengan perlakuan
pendahuluan perendaman air kelapa 12 jam dan
air biasa 12 jam. Peningkatan persentase dan
kecepatan berkecambah jamblang dicapai dengan
campuran media tanah+pasir dan perlakuan
praperkecambahan perendaman air kelapa.
Kata kunci: Jamblang, perkecambahan, media
dan generatif.
UDC/ODC 630*26
Dian Diniyati (Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Agroforestry)
Kondisi Sosial dan Kelembagaan Petani Hutan
Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,
Desember 2018: Hal. 23-32
Kondisi sosial dan kelembagaan dapat
berpengaruh terhadap pengembangan hutan
rakyat di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini
dilaksanakan di Desa Tanjungkerta, Desa
Sepatnunggal, dan Desa Karyabakti pada bulan
September dan Oktober 2011, tujuannya adalah
mengetahui kondisi sosial dan kelembagaan
petani. Jumlah responden yang dilibatkan
sebanyak 60 orang. Data yang dikumpulkan
terdiri dari data kondisi sosial ekonomi dan
kelembagaan. Pengumpulan data dilakukan
dengan teknik wawancara menggunakan
kuisioner. Data yang terkumpul dianalisis
menggunakan Dependency Ratio Keluarga Petani
(DR), Tingkat Partisipasi Kerja (TPK),
Pendapatan, dan Rasio Ketergantungan petani
(RK). Hasil kajian menunjukkan bahwa kondisi
sosial ekonomi petani dicirikan oleh umur, jenis
kelamin, pendidikan, pekerjaan, suku, agama,
status perkawinan, status dalam keluarga, dan
jumlah tanggungan keluarga Nilai DR dan TPK
pada usaha hutan rakyat tergolong masih rendah,
sedangkan nilai RK di Desa Tanjungkerta, Desa
Sepatnunggal dan Desa Karyabakti berturut-turut
adalah sebesar 12,50%, 16,42% dan 19,02%.
Kelembagaan yang ada di lokasi penelitian
dikelompok menjadi 3 kelompok yaitu 1)
lembaga perekonomian (koperasi dan arisan), 2)
lembaga sosial (kelompok tani, Gapoktan dan
pengajian) serta 3) gotong royong.
Kata kunci: Hutan rakyat, Kondisi Sosial,
Ekonomi, Kelembagaan
Perbedaan akses terhadap sumber daya alam
antara laki-laki dan perempuan menjadi salah
satu penyebab terjadinya kesenjangan gender.
Kondisi ini pada akhirnya dapat berdampak pada
lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi
perempuan dalam kegiatan usahatani secara
keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pola relasi gender dalam
pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara pada
Bulan Mei sampai dengan Juli 2012. Penelitian
ini menggunakan pendekatan instrument Analisis
Gender (Socio Economic and Gender Analysis—
SEAGA), dimana pengumpulan data dilakukan
secara partisipatif pada kelompok tani dan
wawancara pada tingkat keluarga petani. Total
responden berjumlah 64 petani hutan rakyat yang
dipilih secara acak (laki-laki dan perempuan).
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan
tabulasi, persentase dan menggunakan Indeks
Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG). Hasil
penelitian menunjukkan bahwa akses dalam
pengelolaan hutan rakyat didominasi oleh laki-
laki seperti akses terhadap lahan, komoditas yang
diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan
pertanian, modal, kredit, peralatan, pembibitan,
pemupukan, pola tanam, serta pengendalian hama
dan penyakit, sedangkan perempuan hanya lebih
dominan dalam pengolahan pascapanen dan pemasaran. Pada aspek kontrol di Kabupaten
Banyumas, perempuan mendominasi pada tahapan
kegiatan pemasaran, sementara di Kabupaten
Banjarnegara tidak ada dominasi baik pada
sumberdaya maupun tahapan kegiatan pengelolaan
hutan rakyat, namun kontrol terhadap komoditas
yang diusahakan, penyiraman, pemupukan dan
pemasaran dilakukan secara bersama-sama. Pola
relasi gender secara umum lebih dominan baik
terhadap sumberdaya maupun tahapan kegiatan
hutan rakyat yang ditunjukkan oleh nilai IKKG
yang lebih kecil dari 0,5.
Kata kunci: Akses, Kontrol, Hutan Rakyat, Pola
Relasi Gender
UDC/ODC 630*922.2
Eva Fauziyah (Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Agroforestry)
Akses dan Kontrol Rumah Tangga Petani Dalam
Pengelolaan Sumberdaya Hutan Rakyat
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1, Desember
2018: Hal. 33-45
UDC/ODC 630*26
Aji Winara (Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Agroforestry)
Keragaman Makrofauna Tanah Pada Agroforestri Jati
(Tectona grandis) dan Jalawure (Tacca
leontopetaloides)
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1, Desember
2018: Hal. 47-55
Jati dan jalawure merupakan pola agroforestri
baru guna mendukung ketahanan pangan
masyarakat sekitar hutan di wilayah pesisir
pantai. Hadirnya jalawure dibawah tegakan jati
tidak hanya diharapkan sebagai penyedia pangan
tetapi memberikan manfaat secara ekologi bagi
biodiversitas khususnya makrofauna tanah.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
keragaman makrofauna tanah pada pola
agroforestri jati dan jalawure. Penelitian
dilaksanakan di Kabupaten Garut pada bulan
April 2017. Metode penelitian yang digunakan
adalah teknik monolit dan dianalisis dengan
penghitungan indek keragaman dan kekayaan
jenis. Objek penelitian adalah demplot
agroforestri dengan tiga jarak tanam jalawure
dibawah tegakan jati berumur 7 tahun dan jati
monokultur. Hasil penelitian menunjukkan
makrofauna tanah pada agroforestri jati dan
jalawure dijumpai sebanyak 5 jenis yang berasal
dari lima famili dan lima ordo. Ordo dominan
adalah coleoptera (INP = 133,93% -157,78%)
dan opisthophora (INP = 103,51%). Keragaman
dan kekayaan jenis makrofauna tanah pada pola
agroforestri jati dan jalawure tergolong rendah
(H’= 0,28-0,55; R’= 0,87-1,48). Meskipun
budidaya agroforestri dilakukan secara intensif
namun tidak dijumpai adanya perbedaan
keragaman makrofauna tanah jika dibandingkan
jati monokultur.
Kata kunci: Agroforestri jati dan jalawure,
Keragaman, Fauna tanah.
UDC/ODC 630*892.68
Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang
(Universitas Siliwangi)
Analisis Rendemen Nira dan Kualitas Gula Aren
(Arenga pinnata Merr.) di Kabupaten
Tasikmalaya
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol. 1 No. 1,
Desember 2018: Hal. 57-64
Pengembangan pohon aren yang berkualitas
dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan
baku gula dan produk lainnya yang berbasis
tanaman aren. Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis rendemen nira dan kualitas gula
aren (Arenga pinnata. Merr.) di Kabupaten
Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode
survey dan pengukuran langsung terhadap
parameter: kadar air, pH ,warna, tekstur, aroma,
rasa dan penampakan keseluruhan. Penentuan
lokasi penelitian dilakukan berdasarkan
pendekatan indikasi geografis. Hasil penelitian
menunjukkan bahwa rendemen nira aren di Desa
Wandasari Kecamatan Bojonggambir Kabupaten
Tasikmalaya rata-rata sebesar 14,13 % untuk gula
cetak atau 1 kg gula setara dengan 7 lt nira, dan
13,07 % untuk gula semut atau 1 kg gula semut
memerlukan 7,6 lt nira. Kadar air rata-rata gula
cetak dan gula semut berturut turut adalah 3,5 %
dan 2,2 %.
Kata kunci: Aren, Rendemen nira, Kualitas gula.
Journal of Indonesian Agroforestry
e-ISSN : 2655-9595 Vol. 1 No.1, Desember 2018
The discriptors given are keywords. The abstract sheet may be reproduced
without permission or change.
UDC/ODC 630*26
Gunawan dan Asep Rohandi (Research and
Development Institute for Agroforestry
Technology)
Productivity and Quality of Three Varieties of
Ginger on Many Light Intensity Levels Under
Stand of Pine
Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,
December 2018: p. 1-13
The high demand of medicinal plants with limited
agricultural land availability can be solved by
the utilization of land under forest canopy
through applying agroforestry. This study aims to
assess the effect of different varieties of ginger
and different shading intensities of pine (Pinus
merkusii) on the productivity and quality of
ginger. The design used was a split plot design
consisting of 3 replicates with an area of 100 m2
for each plot and with spacing of 50 x 50 cm. The
main plot is the light intensity treatments, i.e. 50-
58% (age class II), 68-77% (age class I) and 87-
92% (poor increment), whereas the sub plot is
the varieties of ginger i.e.: small white ginger
(emprit), large white ginger (gajah) and red
ginger. Results showed that the light intensity
does not significantly affect the percentage of
growth, moisture content, volatile oil, fiber,
starch and ash. Varieties of ginger significantly
affect the percentage of growth, height growth
and weight of rhizome, but do not significantly
affect the moisture content, volatile oil, fiber,
starch and ash . The average yield of each variety
of ginger is 5.54 tons/ha, 8.38 tons/ha and 6.7 ton
/ha for small white ginger, large white ginger
and red ginger, respectively. Agroforestry of
ginger plant under pine stand can be done to
improve land productivity, especially in poor
stand increment.
Keywords: Agroforestry, ginger, medicinal plant,
pine (Pinus merkusii).
UDC/ODC 630*232.3
Aris Sudomo dan Dila Swestiani (Research and
Development Institute for Agroforestry
Technology)
Germination of Jamblang (Syzygium Cumini)
Seeds on Three Treatments of Pre-Germination
And Sowing Media
Journal of Indonesian Agroforestryi Vol. 1 No.
1, December 2018: p. 15-22
Generative propagation was needed as one of
efforts in developing jamblang as a medicinal
plant. This study aims to improve the percentage
and germination rate of jamblang seeds through
pre-germination and sowing media treatments.
The combination of treatments were (1) soil (T) x
water (AB), (2) soil (T) x coconut water (AK), (3)
soil (T) x control (without soaking treatment) (K),
(4) sand (P) x water (AB), (5) sand (P) x coconut
water (AK), (6) sand (P) x control (K), (7) mixed
soil-sand (TP) x water (AB), (8) mixed soil-sand
(TP) x water (AB), and (9) mixed soil-sand (TP) x
control (K). The results revealed that the
treatments of sowing seeds with mixed media soil
+ sand and pre-germination treatments by
soaking the seeds for 12 hours in coconut water
gave the highest percentage (70%) and
germination rate (4.96%). Percentage of
germination more than 50% only can be reached
by the seeds that sowed on mixed soil + sand with
pre-germination treatments soaked in coconut
water for 12 hours and in water for 12 hours. The
improvement in the percentage and germination
rate of jamblang were achieved by using mixed
sowing media soil + sand and pre-germination
treatment by soaking in coconut water.
Keywords: jamblang, germination, sowing media
and generative
UDC/ODC 630*26
Dian Diniyati (Research and Development
Institute for Agroforestry Technology)
Socio and Institutional Conditions of Farmers of
the Private Forest in Tasikmalaya District
Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,
December 2018: p. 23-32
Socio and institutional conditions may affect the
private forest development in Tasikmalaya
District. This research was conducted in
Tanjungkerta, Sepatnunggal, and Karyabakti
villages from March to July 2011. The aim of the
research was to identify the socio and institution
conditions of farmers. The numbers of
respondents involved were 60 persons. Data were
collected by implementing interview technique
which was supported by questionnaires. The data
consisted of the condition of social and the
institution of farmers. The data were analyzed by
using Dependency Ratio (DR), Labour Force
Participation Rate (TPK), and Dependency Rate
of the farmers toward forest business (RK). The
result showed that the condition of social of
farmers were characterized by age, sex,
education, tribe, religion, marriage status, status
in family, and family dependent. The values of
DR and TPK toward private forest business were
categorized as low, meanwhile the value of RK in
Tanjungkerta, Sepatnunggal and Karyabakti
Villages were 12.50 %, 16.42 % and 19.02 %
respectively. The institutions available at
research location were grouped into three groups
i.e. 1) economic institution (cooperation and
regular social gathering), 2) social institution
(farmer group, farmer group union and
recitation) and 3) mutual cooperation.
Keywords: private forest, social condition,
economic condition, institution
Differences in access of natural resources
between men and women is one of the causes of
gender unequality. This condition may have an
impact on the lack of control, benefit, and
participation of women on farming activities.
This study aims to analyze the gender relation
pattern in private forest management in
Banyumas and Banjarnegara Districts.. Data
were collected by using questionnaire, interview
with farmer (men and women) and farmer groups
with Socio Economic and Gender Analysis
(SEAGA) instrument. Total respondents were 64
private forest farmers who were randomly
selected. Data were analzsed by tabulation,
percentage dan Equality adn Equity Index (EEI).
The results showed that acces in private forest
management were dominated by men e.g acces
on land, crops cultivated, education, training,
extension services, capital, credit, equipment,
nursery, fertilization, cropping pattern, and pest
and disease control. In contrary, women were
more dominant in post harvest processing, and
marketing activities. In Banyumas District,
women control were dominant in marketing,
while in Banjarnegara Distric, there was no
dominance in both resources and stage activities
but access and control were undertaken jointly
between men and women in crops cultivation,
watering, fertilization and marketing.The pattern
of gender relations in general was more
dominant both in terms of resources and the
stages activies of private forest as indicated by
EEI value tha is less than 0,5.
Keywords: acces, control, private forest, gender
relation pattern
UDC/ODC 630*922.2
Eva Fauziyah (Research and Development
Institute for Agroforestry Technology)
Access and Control of Farm Households in the
Management of Private Forest Resources
Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,
December 2018: p. 33-45
UDC/ODC 630*26
Aji Winara (Research and Development Institute
for Agroforestry Technology)
The Diversity of Soil Macrofauna on
Agroforestry Teak (Tectona grandis) and
Polynesian Arrowroot (Tacca leontopetaloides)
Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,
December 2018: p. 47-55
Teak and polynesian arrowroot is a new pattern
of agroforestry to support food security of
communities around forests in coastal areas. The
presence of polynesian arrowroot under teak
stands is not only expected to be food sources but
also to provide ecological benefits for
biodiversity, especially soil macrofauna. The
study aims is to determine the diversity of soil
macrofauna in teak and polynesia arrowroot
agroforestry patterns. The study was conducted
in Garut Regency in April 2017. The method used
in this study was monolithic technique and
analyzed by calculating diversity and richness
index. The object was an agroforestry
demonstration plot with three polynesia
arrowroot spacings under 7-years-old teak stand
and monoculture teak. The results showed that
there were 5 soil macrofaunas in teak and
polynesian arrowroot agroforestry which are
from five families and five orders. The dominance
order was coleoptera with Important Value Index
(IVI) = 133.93% -157.78% and opisthophora
with IVI = 103.51%. The diversity and richness
of soil macrofauna in teak and polynesian
arrowroot agroforestry patterns is low (H '=
0.28-0.55; R' = 0.87-1.48). Although agroforestry
cultivation is carried out intensively, there is no
difference in the diversity of soil macrofauna
when compared to teak monoculture.
Keywords: Agroforestry teak and polynesian
arrowroot, diversity, soil fauna.
UDC/ODC 630*892.68
Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang (Siliwangi
of University)
The analysis of Sap Water Yield and Palm Sugar
(Arenga pinnata Merr.) Quality in Tasikmalaya
District
Journal of Indonesian Agroforestry Vol. 1 No. 1,
December 2018: p. 57-64
Development of high quality palm tree is needed
for fulfilling the raw material of palm sugar and
other products based on palm tree. This study
aims to analyze the sap water yield and palm
sugar quality in Tasikmalaya District. The
method used in this study was survey and direct
measurement of water content, pH, colour,
texture, smell, taste, and performance. The
geographical indication approach was used to
determine the location of the study. The result
showed that the average of sap water for palm
sugar was 14.13% or 1 kg palm sugar equivalent
to 7 litre of sap water, meanwhile 1 kg palm
sugar powder equivalent to 7.6 litre of sap water
(13.07%). The water content of palm sugar and
palm sugar powder were 3.5% and 2.2%
respectively.
Keywords : palm, sap water, sugar.
PRODUKTIVITAS DAN KUALITAS TIGA VARIETAS JAHE
PADA BERBAGAI TINGKAT INTENSITAS CAHAYA
DI BAWAH TEGAKAN TUSAM
(Productivity and Quality of Three Varieties of Ginger on Many Light Intensity
Levels Under Stand of Pine)
Gunawan1 dan Asep Rohandi
2
1,2
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866
e-mail: [email protected]
Diterima 31 Juli 2018, direvisi 14 Desember 2018, disetujui 16 Desember 2018
ABSTRACT
The high demand of medicinal plants with limited agricultural land availability can be solved by the utilization of land
under forest canopy through applying agroforestry. This study aims to assess the effect of different varieties of ginger
and different shading intensities of pine (Pinus merkusii) on the productivity and quality of ginger. The design used was
a split plot design consisting of 3 replicates with an area of 100 m2 for each plot and with spacing of 50 x 50 cm. The
main plot is the light intensity treatments, i.e. 50-58% (age class II), 68-77% (age class I) and 87-92% (poor
increment), whereas the sub plot is the varieties of ginger i.e.: small white ginger (emprit), large white ginger (gajah)
and red ginger. Results showed that the light intensity does not significantly affect the percentage of growth, moisture
content, volatile oil, fiber, starch and ash. Varieties of ginger significantly affect the percentage of growth, height
growth and weight of rhizome, but do not significantly affect the moisture content, volatile oil, fiber, starch and ash .
The average yield of each variety of ginger is 5.54 tons/ha, 8.38 tons/ha and 6.7 ton /ha for small white ginger, large
white ginger and red ginger, respectively. Agroforestry of ginger plant under pine stand can be done to improve land
productivity, especially in poor stand increment.
Ke words: Agroforestry, ginger, medicinal plant, pine (Pinus merkusii)
ABSTRAK
Besarnya kebutuhan tanaman obat dan keterbatasan lahan pertanian untuk pengembangannya dapat diatasi
melalui pemanfaatan lahan di bawah tegakan hutan dengan menerapkan pola agroforestri. Penelitian ini bertujuan untuk
mengkaji pengaruh perbedaan varietas tanaman dan naungan tegakan tusam (Pinus merkusii) terhadap produktivitas dan
kualitas jahe. Rancangan yang digunakan adalah rancangan petak terbagi yang terdiri dari 3 ulangan dan menggunakan
luasan 100 m2 untuk setiap petak dengan jarak tanam 50 x 50 cm. Petak utama berupa intensitas cahaya yaitu 50-58%
(kelas umur II), 68-77% (kelas umur I) dan 87-92% (miskin riap), sedangkan anak petak adalah varietas jahe meliputi
jahe putih kecil (emprit), jahe putih besar (gajah) dan jahe merah. Hasil penelitian menunjukkan bahwa intensitas
cahaya berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tinggi dan berat rimpang namun tidak berpengaruh terhadap parameter
persentase tumbuh, kadar air, kandungan minyak atsiri, serat, pati, dan abu. Varietas jahe berpengaruh nyata terhadap
persentase tumbuh, pertumbuhan tinggi dan berat rimpang, tetapi tidak berpengaruh terhadap kandungan kadar air,
kandungan minyak atsiri, serat, pati, dan abu. Rata-rata hasil panen jahe tiap varietas adalah 5,54 ton/ha; 8,38 ton/ha
dan; 6,7 ton/ha berturut turut untuk jahe putih keccil, jahe putih besar dan jahe merah, Agroforestri tanaman jahe di
bawah tegakan tusam dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas lahan terutama pada tegakan miskin riap.
Kata kunci: Agroforestry, jahe, kayu pertukangan, tusam (Pinus merkusii), tanaman obat
I. PENDAHULUAN
Kebutuhan jahe (Zingiber officinale
Rosc.) untuk konsumsi dalam negeri maupun
tujuan ekspor cukup tinggi. Ekspor jahe tahun
2000 mencapai 14.341 ton dengan nilai devisa
6 juta US $ yang terdiri atas jahe kering 1.031
ton dengan nilai 6 juta US $ (Bermawie et al.,
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)
2
2002). Sebagai salah satu komoditi ekspor
andalan nasional, jahe memerlukan
penanganan yang efektif dan efisien agar
produksi dan mutunya dapat terjamin.
Meskipun tanaman jahe telah lama
dibudidayakan, tetapi pengembangan dalam
skala luas belum didukung oleh teknik
budidaya yang optimal dan
berkesinambungan sehingga produktivitas dan
mutunya rendah. Luas areal pengembangan
jahe di Indonesia pada tahun 2015 mencapai
15.323,82 ha dengan total produksi 313.064
ton (Badan Pusat Statistik, 2015) dan
produktivitas rata-rata sekitar 7,98 t/ha atau
setara dengan bobot rimpang 199,5 g per
rumpun pada populasi monokultur 40.000
tanaman (Bermawie, 2002). Selama ini di
Indonesia dikenal tiga tipe utama jahe, yaitu
jahe putih besar atau gajah atau badak, jahe
merah atau jahe sunti dan jahe putih kecil atau
jahe emprit. Ketiga tipe ini didasarkan pada
bentuk, warna, aroma rimpang (Rostiana,
Abdullah, Taryono, & Hadad, 1991).
Jahe adalah tanaman obat jenis
rimpang-rimpangan yang sudah banyak
dibudidayakan dan diteliti khasiat serta
kandungan bahan obatnya, baik pada lahan
monokultur, polikultur maupun di bawah
tegakan. Secara umum, budidaya tanaman
obat selama ini lebih banyak dilakukan pada
lahan pertanian primer dengan pola
monokultur. Sekitar 48,35% dari luas lahan
pertanian tanaman obat di Indonesia pada
tahun 2003 yang mencapai 14.33 ha
merupakan tanaman temulawak, kunyit,
kencur dan jahe, yang menyebar pada seluruh
propinsi Indonesia dengan sentra produksi
utama di Jawa Barat, Jawa Tengah, dan Jawa
Timur (Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian, 2007).
Besarnya permintaan kebutuhan
tanaman obat dan keterbatasan lahan
pertanian untuk dijadikan areal
pengembangan/budidaya tanaman obat
memerlukan intensifikasi lahan, diantaranya
melalui penerapan pola tanam campur.
Pengembangan tanaman obat di sektor
kehutanan dapat dilakukan melalui pola
agroforestri dengan memanfaatkan
/optimalisasi lahan di bawah tegakan.
Menurut Mayrowani & Ashari, (2011) dan
Triwanto, (2011), model pengembangan
agroforestri mempunyai prospek yang cukup
baik dalam kontribusinya terhadap
peningkatan pendapatan petani disamping
untuk menjaga keamanan dan kelestarian
hutan bersama masyarakat atau petani sekitar
hutan. Pada daerah tropik, dimana kegiatan
dan atau lahan pertanian cukup terbatas,
agroforestri merupakan alternatif
pengembangan ekonomi dan manajemen
konservasi keanekaragaman hayati (Neita &
Escobar, 2012). Beberapa praktek agroforestri
jahe yang sering dilakukan wilayah Pacific
Island seperti diantara barisan pohon kelapa,
aren, poplar, tanaman buah-buahan
(Valenzuela, 2011) ataupun pada tegakan
Ailanthus triphysa (Kumar, 2006). Hal
tersebut dapat dilakukan karena jahe dapat
beradaptasi di bawah naungan (Valenzuela,
2011).
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui pengaruh perbedaan varietas dan
tingkat naungan terhadap produktivitas dan
kualitas tanaman jahe di bawah tegakan tusam
(Pinus merkusii). Hasil penelitian ini
diharapkan akan memberikan informasi
tentang paket teknologi yang sesuai untuk
mengembangkan tanaman jahe di bawah
tegakan tusam.
II. METODOLOGI
A. Lokasi dan Waktu
Penelitian ini dilaksanakan di di RPH
Kenjuran, Kesatuan Pemangkuan Hutan
(KPH) Kedu Utara, BKPH Candiroto.
Kegiatan ini dilaksanakan mulai bulan Januari
sampai Desember 2013.
B. Bahan dan Alat
Bahan yang digunakan dalam
penelitian ini adalah tegakan tusam yang yang
terdiri dari tiga kelas tegakan hutan yaitu
kelas umur/KU I (0-10 tahun), II (10-20
Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)
3
tahun) dan MR (miskin riap) dengan
intensitas cahaya seperti dicantumkan pada
Tabel 1. Tanaman jahe yang digunakan
adalah jahe putih besar (gajah), jahe putih
kecil (emprit) dan jahe merah yang berasal
dari Balai Penelitian Tanaman Rempah dan
Obat (Balitro) Bogor. Sementara itu, untuk
perlakuan pemupukan digunakan adalah
pupuk kandang sapi dan pupuk anorganik
(SP36 dan KCl) serta alat lainnya seperti
tambang, plastik, bambu dan lain-lain.
Alat yang digunakan untuk penelitian
ini meliputi alat untuk mengukur intensitas
cahaya berupa luxmeter, alat untuk
penanganan benih jahe, penanaman dan
pemeliharaan, timbangan, oven, alat tulis
dan lain-lain.
Tabel 1. Deskripsi kondisi tegakan tusam yang digunakan dalam kegiatan penelitian
Table 1. Description of pine stand conditions used in this study
No. Parameter
(Parameter)
Tegakan Tusam (Pine (Pinus merkusii) stand )
Kelas Umur I
(Age Class I)
Kelas Umur II
(Age Class II)
Miskin Riap
(poor increment)
1. Intensitas Cahaya (%) 68-77 50-58 87-92
2. Kerapatan Pohon (ph/ha) 1000 1000 400
3. Kimia Tanah :
- Nitrogen (%) 0,142 0,124 0,154
- Karbon Organik (%) 0,822 1,190 0,930
- Bahan Organik (%) 1,599 2,050 1,586
- P2O5 tersedia (ppm) 0,350 0,490 0,390
- K2O tersedia (me%) 11,023 10,721 9,517
- pH H2O 5,350 4,860 5,740
C. Rancangan Penelitian dan Persiapan
Tanaman
Rancangan penelitian menggunakan
Rancangan Petak Terpisah (Split Plot Design)
yang terdiri dari 3 ulangan dan menggunakan
luasan 100 m2 untuk setiap plot dengan jarak
tanam 50 x 50 cm. Petak utama (main plot)
berupa intensitas cahaya yaitu : 68-77% (KU
I), 50-58% (KU II) dan 87-92 (KU miskin
riap), sedangkan anak petak (sub plot) adalah
varietas jahe meliputi jahe putih kecil
(emprit), jahe putih besar (gajah) dan jahe
merah dengan desain dan layout penanaman
pada Gambar 1.
Gambar 1. Layout plot penanaman pola agroforestri jahe di bawah tegakan tusam
Figure 1. Layout of three varieties of ginger planting plots under pine stand
Persiapan lahan untuk penanaman
dilakukan dengan tahapan sebagai berikut:
pengolahan tanah untuk menggemburkan
tanah, pembuatan drainase agar air tidak
Keterangan (Remarks) :
0 : Tanaman Jahe (Ginger)
: Pohon Tusam (Stand of pine)
: Tanaman kopi (Coffea)
10 m
10 m
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)
4
tergenang, dan pembuatan petak-petak dengan
ukuran 10 x 10 meter.
Benih/rimpang yang digunakan
adalah benih unggulan lokal yang berasal dari
Balai Penelitian Tanaman Rempah dan Obat
(Balitro), Bogor. Sebelum ditanam, rimpang
diberi perlakuan pendahuluan untuk
memecahkan dormansi. Perlakuan tersebut
adalah pemotongan sebanyak 2-3 mata tunas
kemudian dijemur selama 4–6 hari berturut-
turut kurang lebih 4 jam setiap harinya dari
pagi sampai jam 11.00.
Penyemaian benih jahe dilakukan
dengan menaruh benih jahe diatas jerami
padi, kemudian di guyur air dan ditutup
dengan jerami hingga kondisi lingkungan
menjadi lembab. Bibit dapat ditanam setelah
muncul tunas dengan ketinggian 0,5 - 1 cm.
Seleksi bibit dilakukan sebelum ditanam di
lapangan, baik secara kualitas ataupun
kuantitas. Bibit ditanam pada lubang tanam
yang sudah dipupuk sesuai rancangan yang
telah ditentukan. Bibit jahe ditanam
berdasarkan jarak tanam 50 x 50 cm. Setelah
itu, bibit ditutup dengan tanah dan diberi
tanda/identitas untuk masing-masing plot.
Pemeliharaan tanaman jahe meliputi
pembersihan gulma, pembumbunan dan
pemberantasan hama penyakit.
Pembumbunan dilakukan juga untuk
memperbaiki saluran drainase pemisah petak
yang biasanya dilakukan setelah selesai
penyiangan.
Pelaksanaan evaluasi tanaman obat
dilakukan setiap 1 (satu) bulan sekali selama
5 (lima) bulan dengan parameter pertumbuhan
tanaman meliputi persentase tumbuh, tinggi
tanaman, produksi jahe (berat rimpang per
rumpun dan berat rimpang per hektar) dan
kualitas jahe (kadar air, kandungan minyak
atsiri, kandungan serat, kadar pati dan kadar
abu).
Pengukuran intensitas cahaya
menggunakan luxmeter sebanyak 2 buah
secara bersamaan, satu di tempat terbuka dan
satu di bawah naungan pada jam 10.00-13.00
WIB. Penghitungan intensitas cahaya relatif
(ICR) menggunakan rumus Sujatmoko (2011)
sebagai berikut :
Pengambilan sampel tanah dilakukan
secara komposit dari lima titik secara
diagonal, pada setiap plot pengamatan dengan
kedalaman10 - 20 cm dari permukaan tanah
(Suganda, Rachman, & Sutono, 2006).
Contoh tanah dari setiap plot dianalisis
tingkat kesuburannya di Laboratorium Tanah,
Fakultas Pertanian Universitas Jenderal
Soedirman, Purwokerto.
E. Analisis data
Data pengamatan dianalisis dengan
menggunakan analisis sidik ragam (ANOVA)
berdasarkan Rancangan Petak Terpisah (Split
Plot Design). Jika perlakuan berpengaruh
nyata dilanjutkan dengan uji Duncan Multiple
Range Test (DMRT) pada α = 0,05. Analisis
data dilakukan dengan menggunakan program
SAS 9.1.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Evaluasi Pertumbuhan Tanaman
Evaluasi pertumbuhan dilakukan
setiap bulan setelah tanaman jahe tumbuh
selama 5 bulan, sedangkan persentase tumbuh
diamati pada saat tanaman berumur 5 bulan.
Hasil analisis ragam pengaruh intensitas
cahaya dan varietas terhadap parameter
pertumbuhan jahe selengkapnya dapat dilihat
pada Tabel 2.
100% x (lux) terbuka tempat di IC
(lux)naungan bawah di IC (%) ICR
Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)
5
Tabel 2. Pengaruh intensitas cahaya dan varietas terhadap pertumbuhan jahe di bawah tegakan tusam
Table 2. The effect of light intensity and ginger variety on growth of ginger under pine stand
No Parameter
(Parameters)
Kuadrat Tengah (Mean Square)
Persentase Tumbuh
(Growth
Percentage)(%)
Tinggi (Height) (cm)
1BST 2BST 3BST 4BST 5BST
1. Intensitas Cahaya (Light
Intensity) 96,039 ns 61,44** 151,37** 188,59** 155,81** 152,44**
2. Varietas Jahe (Variety of
Ginger) 2688,768** 56,33** 44,59** 120,03** 154,48** 67,44**
3. Interaksi (Interaction) 212,626 ns 1,94** 11,20** 17,48** 7,31ns 3,7ns
Keterangan (Remarks): BST = Bulan Setelah Tanam (Months after planting); ** = Berpengaruh sangat nyata pada
selang kepercayaan 99% (very significant at 95% confident level); * = Berpengaruh nyata pada selang
kepercayaan 95% (significant at 95% confident level); ns = Tidak berpengaruh nyata pada selang
kepercayaan 95% (not significant at 95% confident level)
Hasil pengukuran tinggi menunjukkan
bahwa perlakuan kelas umur tegakan tusam
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan
tinggi pada umur 1-5 BST, begitu juga
dengan perlakuan varietas jahe berpengaruh
nyata terhadap pertumbuhan tinggi. Hasil
interaksi antara kelas umur tegakan tusam
dengan varietas jahe berpengaruh nyata
terhadap pertumbuhan tanaman jahe umur 1-3
BST, sedangkan pada umur 4 dan 5 BST
tedak berpengaruh (Tabel 3). Hasil uji lanjut
Duncan perbedaan perlakuan terhadap
pertumbuhan tinggi jahe dapat dilihat pada
Tabel 3.
Tabel 3. Persentase tumbuh dan tinggi tanaman umur 1-3 bulan setelah tanam pada masing-masing perlakuan
penelitian
Table 3. Growth percentage and height of crop on 1-3 month after planting on each research treatment
No. Perlakuan
(Treatments)
Pertumbuhan tinggi (high growth) (Bulan Setelah Tanam/BST/MAP)
1 2 3
1. BP1 13,67 bc 17,00 c 23,67 c
2. BP2 11,00 d 15,33 cd 21,67 cd
3. BP3 17,67 a 25,67 a 33,33 a
4. KP1 9,00 e 14,67 de 19,00 ef
5. KP2 7,33 e 15,33 cd 17,00 f
6. KP3 11,00 d 17,00 c 21,00 de
7. MP1 12,00 cd 16,00 cd 21,00 de
8. MP2 9,00 e 13,33 e 19,67 de
9. MP3 14,33 b 22,67 b 30,00 b
Keterangan (Remarks : B = Jahe besar (large white ginger); K = Jahe kecil (small white ginger); M = Jahe merah (red
ginger); P1 = Tusam KU I (Pine Age Class I); P2 = Tusam KU II (Pine Age Class II); P3 = Tusam KU
miskin riap (Pine Age Poor Increament)
Persentase tumbuh pada masing-
masing kelas umur memperlihatkan bahwa
persentase tumbuh paling tinggi diperoleh
pada KU I disusul KU II dan KU MR.
Sementara itu, untuk varietas jahe persentase
tumbuh paling tinggi diperoleh jahe merah
disusul jahe putih kecil dan paling rendah
varietas jahe putih besar (gajah).
Kombinasi antara perlakuan kelas
umur dengan varietas jahe tidak berpengaruh
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)
6
nyata terhadap persentase tumbuh dan tinggi
tanaman. Hasanah (2003) menyatakan bahwa
sampai umur 2 bulan setelah tanam
pertumbuhan tanaman jahe (tinggi tanaman
dan jumlah anakan) tidak berbeda nyata
antara perlakuan monokultur dengan
tumpangsari, yang memberikan indikasi
bahwa penanaman jahe dapat dilakukan
secara tumpangsari (intercropping).
Persentase tumbuh terbaik diperoleh pada
jahe merah, sedangkan untuk perlakuan
naungan diperoleh pada intensitas cahaya 68-
77% (KU I) (Gambar 4).
Pertumbuhan tinggi terbaik dicapai
pada intensitas cahaya 87-92% (MR), disusul
intensitas cahaya 68-77% (KU I) dan yang
terakhir pada intensitas cahaya 50–58% (KU
II). Pada perlakuan perbedaan varietas jahe,
pertumbuhan terbaik diperoleh jahe putih
besar disusul jahe merah dan jahe putih kecil
(Gambar 2). Hasil tersebut berbeda dengan
penelitian Hadiyanto (2011) dimana jahe
putih kecil pada kondisi terbuka memiliki
pertumbuhan tinggi terbaik dibangdingkan
dengan jahe putih besar maupun merah.
Gambar 2. Pengaruh naungan tegakan tusam terhadap persentase tumbuh dan pertumbuhan tinggi tanaman jahe
Figure 2. The Effect of pine stand shade on the growth percentage and height of ginger
Pertumbuhan tinggi tanaman jahe pada
masing-masing naungan memperlihatkan
bahwa tingkat naungan 87-92% (MR)
mempunyai pertumbuhan paling tinggi
dibandingkan tingkat naungan lainnya. Hal ini
disebabkan karena kelas hutan MR memiliki
intensitas cahaya paling tinggi. Kondisi
tersebut dapat mendukung pertumbuhan jahe
karena tingkat naungan optimal untuk
pertumbuhan jahe adalah sebesar 25%
(Valenzuela, 2011). Tinggi tanaman
dipengaruhi nyata oleh intensitas cahaya
(Phonguodume et al., 2012) karena
berhubungan dengan laju fotosintesis,
khususnya kompetisi untuk meningkatkan
kemampuan penangkapan cahaya matahari
(terutama pada tempat ternaungi) yang
dipengaruhi oleh faktor waktu dan spasial
(Yuliani, Soemarno, Yanuwiadi, & Leksono,
2015).
Varietas jahe besar (gajah)
mempunyai pertumbuhan paling tinggi
disusul jahe merah dan jahe kecil. Hal ini
dikarenakan secara morfologi jahe putih besar
(gajah) mempunyai bentuk batang dan daun
lebih besar dibandingkan dengan jahe putih
61,73 c
79,01 b
96,29 a
0
20
40
60
80
100
120
JKP JKB JM
Per
sent
ase
Tum
buh
(%)
81,48
80,25
75,31
72
73
74
75
76
77
78
79
80
81
82
I II Mr
9,11 c
14,11 a
11,78 b
0
2
4
6
8
10
12
14
16
JKP JKB JM
Per
tum
buha
n T
ingg
i (cm
)
Varietas
11,56 b
9,11 c
14,33 a
0
2
4
6
8
10
12
14
16
I II Mr
Intensitas Cahaya (Kelas Umur)
Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)
7
kecil dan jahe merah. Persentase tumbuh
tanaman jahe memperlihatkan bahwa pada
KU MR persentase tumbuhnya paling sedikit
dibandingkan dengan KU I dan II. Sedangkan
untuk varietas jahe persentase tumbuh paling
besar adalah varietas jahe merah disusul jahe
putih besar dan kecil (Gambar 2).
Gambar 3 menunjukkan pertumbuhan
tinggi pada masing-masing umur, dimana
terlihat bahwa perlakuan BP3 secara
konsisten menunjukkan pertumbuhan paling
tinggi. Perlakuan BP3 adalah varietas jahe
putih besar yang ditanam pada KU MR yang
memiliki intensitas cahaya paling tinggi.
Gambar 3. Pertumbuhan tinggi jahe umur 1 sampai 5 bulan setelah tanam pada masing-masing perlakuan
Figure 3. Height growth of ginger on 1 to 5 month old after planting on each treatment
.
B. Produksi dan Kualitas Hasil
Tanaman jahe untuk konsumsi ideal
dipanen umur 6–10 bulan, sedangkan untuk
digunakan sebagai bibit umur panen ideal
adalah 10–12 bulan. Pada penelitian ini jahe
yang dipanen akan digunakan untuk konsumsi
sehingga pemanenan hasil dilaksanakan bulan
November dimana umur tanaman jahe baru 8
bulan. Hasil panen berupa berat rimpang jahe
dan kandungan bahan kimianya disajikan
pada Tabel 4.
Tabel 4. Pengaruh naungan tegakan tusam dan varietas jahe terhadap kualitas hasil jahe
Table 4. The effect of pine stands shade and ginger varieties on the ginger quality
No Sumber Keragaman
(Source of varians)
Kuadrat Tengah (Mean square)
Berat
Rimpang
Kadar
Air
Kandungan
Minyak Atsiri
Kandungan
Serat
Kadar
Pati
Kadar
Abu
1. Naungan (Shade) 9436,25** 2,33ns 0,01ns 0,54ns 0,38ns 0,26ns
2. Varietas jahe (Ginger
varieties) 8883,17** 8,33ns 5,58** 10,63**
82,56*
* 3,27ns
3. Interaksi (Interaction) 5176,61** 0,67ns 0,03ns 0,55ns 2,53ns 0,04ns
Keterangan (Remarks): ** = Berpengaruh sangat nyata pada selang kepercayaan 99%
(very significant at 95% confident level); * = Berpengaruh nyata pada selang
kepercayaan 95% (significant at 95% confident level); ns = Tidak berpengaruh
nyata pada selang kepercayaan 95% (not significant at 95% confident level)
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)
8
Data pada Tabel 4 memperlihatkan
hasil analisis varian dimana kelas umur
tegakan tusam berpengaruh nyata terhadap
berat rimpang namun tidak berpengaruh nyata
terhadap semua kandungan bahan kimia yang
dianalisa. Varietas jahe berpengaruh nyata
terhadap berat rimpang, kandungan minyak
atsiri, kandungan serat dan kadar pati.
Sedangkan varietas jahe tidak berpegaruh
nyata terhadap kadar air dan kadar abu. Hasil
interaksi kelas umur tegakan tusam dan
varietas jahe hanya berpengaruh nyata
terhadap berat rimpang namun tidak
berpengaruh nyata terhadap kadar air,
kandungan minyak atsiri, kandungan serat,
kadar pati dan kadar abu.
Tabel 5. Berat rimpang jahe pada umur 8 bulan pada masing-masing perlakuan penelitian
Table 5. Weight of 8 month old ginger rhizome of each research treatment)
No. Perlakuan
(Treatment)
Berat Rimpang
(Weight of Rhizome)
(gram/crop)
1. BP1 145,93 b
2. BP2 113,07 c
3. BP3 264,60 a
4. KP1 118,67 bc
5. KP2 105,47 c
6. KP3 122,33 bc
7. MP1 132,80 bc
8. MP2 111,67 c
9. MP3 134,73 bc
Keterangan (Remarks) : B) Jahe besar (large white ginger); K) Jahe kecil (small white ginger); M) Jahe merah (red
ginger); P1) Tusam KU I (Pine Age Class I); P2) Tusam KU II (Pine Age Class II); P3) Tusam KU miskin
riap (Pine Age Poor Increament)
Hasil uji lanjut (Tabel 5)
memperlihatkan bahwa berat rimpang paling
tinggi diperoleh varietas jahe besar yang
ditanam pada tegakan MR (intensitas cahaya
87-92%) dimana produktivitas per hektar
mencapai 5,4 - 12,7 ton/hektar dengan rata-
rata 8,38 ton/ha. Jika dibandingkan dengan
hasil penanaman jahe secara monokultur
dimana produktivitasnya berkisar 20 - 25
ton/hektar (Balitro, 2010) maka produksi jahe
dibawah tegakan tusam hanya mencapai 50%.
Secara umum terjadi penurunan produktivitas
jahe yang ditanam pada lokasi agroforestri
dibandingkan dengan hasil penelitian uji klon
dibeberapa lokasi yag dilakukan oleh
Bermawie (2002) didapatkan bahwa tanaman
jahe putih besar (gajah) mempunyai
produktivitas sebesar 374,5 gr/rumpun
penurunan sebesar 53%, jahe putih kecil
(emprit) 165,7 gr/rumpun penurunan sebesar
30%, dan jahe merah sebesar 404,7
gr/rumpun penurunan sebesar 69%.
Berdasakan standar perdagangan yang
ada dalam SPO budidaya tanaman jahe
(Balitro, 2010), maka hasil panen jahe masuk
ke dalam 2 kategori mutu saja, yaitu : Mutu 1
bobot 250 gram/rimpang, kulit tidak
terkelupas, tidak mengandung benda asing
dan kapang adalah hasil panen pada perlakuan
BP3, sedangkan perlakuan yang lain masuk
kedalam mutu 3 dimana bobot sesuai hasil
analisis, kulit yang terkelupas maksimum
10%, benda asing maksimum 3% dan kapang
maksimum 10%.
Penurunan hasil rimpang jahe yang
terjadi pada penelitian ini karena selain
tanaman tusam sebagai tanaman pokok, juga
terdapat tanaman kopi sebagai tanaman sela
Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)
9
yang dapat menghalangi cahaya yang diterima
tanaman jahe sebagai tanaman bawah.
Sitompul & Purnomo (2005) menjelaskan
bahwa produksi biomasa tanaman termasuk
bagian yang bernilai ekonomis (bagian yang
dipanen) tersusun sebagian besar dari hasil
fotosintesis. Sementara radiasi matahari,
sebagai sumber utama cahaya bagi tanaman,
menjadi salah satu syarat utama kelangsungan
proses fotosintesis. Pengaruh dari radiasi
matahari pada pertumbuhan tanaman dapat
dilihat sangat jelas pada tanaman yang
tumbuh dibawah naungan. Cahaya memiliki
peran penting bagi pertumbuhan tanaman
disamping air, unsur hara dan media tumbuh.
Kurangnya fraksi cahaya yang mampu
menembus lantai hutan melewati tajuk pohon
dapat menjadi pembatas bagi pertumbuhan
tanaman yang berada di bawah tajuk. (Mayoli
& Isutsa, 2012) menjelaskan bahwa naungan
memodifikasi intensitas cahaya dan suhu yang
kemudian mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan tanaman dengan berbagai cara.
Menurut Zervoudakis, Salahas, Kaspiris, &
Konstantopoulou (2012), terjadi perbedaan
karakteristik pertumbuhan dan fisiologi
akibat pengaruh perbedaan intensitas cahaya.
Naungan mengurangi radiasi sinar
utama yang aktif pada fotosintesis sehingga
berakibat menurunnya asimilasi neto
(Lambers, ChapinIII, & Pons, 1998),
selanjutnya fotosintat yang disimpan di dalam
organ penyimpan, akibatnya terjadi
penurunan bobot umbi (Zamski & Schaffer,
1996). Klorofil b berfungsi sebagai antena
fotosintetik yang mengumpulkan cahaya.
Perubahan ukuran luas daun serta kadar
klorofil a dan b akibat pengaruh naungan
tanaman karet, menyebabkan peningkatan
bobot basah umbi dan bobot kering umbi talas
(Colocasia esculenta) Peningkatan kadar
klorofil b yang lebih tinggi dari pada klorofil
a adalah upaya tanaman mengefisiensikan
penangkapan energi cahaya untuk
fotosintesis, meskipun belum mampu
mengatasi penurunan hasil (Djukri, 2006).
Penanaman dengan perbedaan kelas
umur menunjukkan bahwa hasil tanaman jahe
paling tinggi adalah pada KU MR kemudian
disusul KU I dan II. Hal ini sesuai dengan
kondisi intensitas cahaya pada masing-masing
kelas umur. Pada KU II terlihat intensitas
cahayanya paling rendah yaitu berkisar antara
50-58%, kemudian KU I antara 68–77%, dan
KU MR 87-92%. Hal ini sejalan dengan
penelitian Parman (2010) dimana intensitas
cahaya berpengaruh nyata terhadap panjang
umbi, berat basah umbi dan berat kering umbi
pada tanaman lobak (Raphanus Sativus). Hal
ini berbeda dengan tanaman kapulaga
dibawah tegakan sengon dimana tanaman
kapulaga memperlihatkan hasil lebih baik
pada intesitas cahaya 30% dibandingkan
dengan kapulaga yang ditanam pada tegakan
sengon dengan intensitas cahaya 70%
(Prasetyo, 2004). Intensitas cahaya sangat
berpengaruh terhadap pertumbuhan tanaman
jahe dan juga hasil yang akan didapat
nantinya. Hal ini sejalan dengan penelitian
Wahyuni, Barus, & Sukri (2013) yang
menjelaskan bahwa pemberian naungan
berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan dan
berat rimpang dari tanaman jahe merah.
Sementara itu, Pamuji & Saleh (2010)
melaporkan bahwa jahe gajah toleran
terhadap naungan dengan intensitas 25 dan
50%.
Produktivitas agroforestri kombinasi
tusam-jahe menunjukkan bahwa produktivitas
tertinggi diperoleh pada tegakan MR (8,35
ton/ha), disusul KU I (6,36 ton/ha) dan KU II
(5,28 ton/ha). Sementara itu, berdasarkan
varietas dihasilkan produksi tertinggi pada
Jahe besar/gajah sebesar 8,38 ton/ha, jahe
merah 6,07 ton/ha dan jahe kecil 5,54 ton/ha
(Gambar 4). Hasil tersebut lebih tinggi
dibandingkan peneltian (Kumar, 2006) pada
agroforestri jahe dan Ailanthus triphysa
dengan kerapatan tegakan berbeda dengan
produktivitas jahe antara 3,6 - 5,0 ton/ha.
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)
10
Keterangan (Remarks): JKB) Jahe besar (large white ginger); JKP) Jahe kecil (small white ginger); JM) Jahe merah
(red ginger); I) Tusam KU I (Pine Age Class I); II) Tusam KU II (Pine Age Class II); MR) Tusam KU
miskin riap (Pine Age Poor Increament)
Gambar 4. Hasil panen (produksi) jahe pada masing-masing perlakuan naungan tegakan tusam
Figure 4. Harvest result (production) of gingers on each pine stand shade treatments
Penanaman jahe dengan pola
agroforestri disatu sisi dapat menurunkan
produktivitas dari tanaman jahe namun disisi
lain dapat menekan laju penyebaran hama dan
penyakit tanaman jahe. Hermanto (2003)
melaporkan bahwa agroforestri jahe dengan
bawang putih dapat menekan serangan
penyakit layu bakteri hingga 89,48%. Hal
tersebut kemungkinan juga berlaku pada pola
agroforestri kombinasi tanaman jahe dibawah
tegakan tusam dan kopi dalam penelitian ini.
Sistem agroforestri dapat menghambat
perkembangan hama dan penyakit
dibandingkan pola monokultur (Smith,
Pearce, & Wolfe, 2013). Berdasarkan hasil
pengamatan tidak ditemukan adanya ganguan
hama dan penyakit yang cukup serius di
lokasi penanaman.
Keterangan (Remarks): JKB) Jahe besar (large white ginger); JKP) Jahe kecil (small white ginger); JM) Jahe merah
(red ginger)
Gambar 5. Hasil analisis kandungan bahan kimia pada masing-masing varietas jahe
Figure 5. Result of biochemist analysis on each ginger variety
Dari hasil analisa bahan kimia
menunjukkan bahwa besaran kadungan bahan
kimia tidak dipengaruhi oleh intensitas cahaya
dan hanya parameter kandungan minyak
atsiri, kandungan serat, dan kandungan pati
yang dipengaruhi oleh varietas jahe (Gambar
5). Analisis kandungan bahan kimia
berdasarkan varietas jahe menunjukkan
6,36
5,28
8,35
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
I II MR
Pro
du
ksi
(to
n/h
a)
Intensitas Cahaya (Kelas Umur)
5,54
8,38
6,07
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
JKP JKB JM
Varietas
JM JKP JKB
Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)
11
bahwa untuk kadar air jahe putih besar
mempunyai kadar air paling tinggi disusul
jahe merah dan paling kecil adalah jahe putih
kecil. Hal ini senada dengan penelitian
Bermawie (2002) yaitu kadar air pada jahe
putih kecil, jahe putih besar, dan merah
berturut-turut adalah 7-17%; 9-12%; dan 9 -
14%. Tingginya kandungan minyak atsiri
berdasarkan varietas jahe berturut-turut adalah
jahe merah, jahe putih kecil, dan jahe putih
besar. Kadar pati paling tinggi pada varietas
jahe merah, kemudian disusul jahe putih besar
dan yang paling rendah adalah jahe putih
kecil. Hasil tersebut sejalan dengan penelitian
Jyotsna, Ghosh, & Meitei (2012) yang
melaporkan bahwa terjadi perbedaan
signifikan kualitas seperti kandungan bahan
kering, oleoresin dan serat kasar pada
beberapa varietas jahe.
Keterangan (remarks): KU I) Tusam KU I (Pine Age Class I); KU II) Tusam KU II (Pine Age Class II); MR) Tusam
KU miskin riap (Pine Age Poor Increament)
Gambar 6. Hasil analisa kandungan bahan kimia pada masing-masing perlakuan naungan (kelas umur)
Figure 6. Result of biochemist analysis on each shade treatment
Sementara itu, perbedaan naungan
juga tidak berpengaruh terhadap kualitas atau
kandungan bahan kimia jahe (Gambar 6).
Kandungan bahan kimia berdasarkan naungan
(kelas umur) memperlihatkan bahwa KU I
dan KU MR hasilnya hampir sama,
sedangkan KU II hasilnya paling rendah. Hal
ini sesuai dengan hasil pengamatan intensitas
cahaya yang dilakukan pada masing-masing
kelas umur dimana KU II memiliki intensitas
cahaya paling rendah. Hasil berbeda
menunjukkan bahwa naungan berpengaruh
secara signifikan terhadap kandungan pati dan
karbohidrat pada varietas grapevine (Vitis
vinifera) (Köse, 2014) dan kandungan
fisikokimia umbi garut (Maranta
arundinacea) (Djafaar et al., 2010).
IV. KESIMPULAN
Intensitas naungan berpengaruh
terhadap persentase tumbuh dan pertumbuhan
tinggi tanaman jahe, sedangkan perbedaan
varietas berpengaruh nyata terhadap
persentase tumbuh, pertumbuhan tinggi,
kandungan minyak atsiri, kandungan serat
dan kadar pati. Interaksi antara kedua faktor
tersebut hanya berpengaruh nyata terhadap
pertumbuhan tinggi dan berat rimpang.
Produksi tanaman jahe tertinggi diperoleh
pada tegakan tusam dengan intensitas cahaya
87-92% (miskin riap/MR) sebesar 5,54 ton/ha
jahe putih kecil, 8,38 ton/ha jahe putih besar
dan 6,7 ton/ha untuk jahe merah. Kualitas
jahe terbaik diperoleh pada jahe merah
dengan kadar air 8,44%, kadar minyak atsiri
3,69%, kadar serat 6,9%, kadar abu 5,99%
dan kadar pati 42,73%. Agroforestri jahe di
bawah tegakan tusam terutama pada tegakan
miskin riap dapat dilakukan untuk
meningkatkan produktivitas lahan meskipun
belum mampu meningkatkan kualitas hasil
jahe.
KU I KU II MR
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 1-13)
12
DAFTAR PUSTAKA
Badan Penelitian dan Pengembangan
Pertanian. (2007). Prospek dan Arah
Pengembangan Agribisnis Tanaman
Obat (Edisi Kedu). Jakarta: Departemen
Pertanian.
Badan Pusat Statistik. (2015). Statstk
Tanaman Biofarmaka (Statstcs of
Medical Plants) Indonesia 2015. Badan
Pusat Statistik.
Bermawie, N. (2002). Uji Aadaptibilitas
Klon-klon Harapan Jahe Pada
Berbagai Kondisi Agroekologi. Bogor.
Bermawie, N., Syahid, S. F., Hadad, E. A.,
Hobir, Ajijah, N., & Rukmana, D.
(2002). Uji Adaptasi Klon-Klon
Harapan Jahe Pada Berbagai Kondisi
Agroekologi. Bogor.
Djukri. (2006). The plant characters and corm
production of taro as catch crop under
the young rubber stands. Biodiversitas,
Journal of Biological Diversity, 7(3),
256–259.
https://doi.org/10.13057/biodiv/d07031
2
Hadiyanto, D. K. (2011). Pengaruh
Komposisi Media Organik Terhadap
Pertumbuhan dan Hasil Tiga Varietas
Jahe (Zingiber officinale Rosc.).
Jember.
Jyotsna, N., Ghosh, D. C., & Meitei, W. I.
(2012). Study of growth , yield and
quality of organically grown ginger
varieties under rainfed condition of
Manipur, 8(1), 17–21.
Köse, B. (2014). Effect of Light Intensity and
Temperature on Growth and Quality
Parameters of Grafted Vines, 42(2),
507–515.
Kumar, B. M. (2006). Agroforestry : the new
old paradigm for Asian food security.
Journal of Tropical Agriculture, 44, 1–
14. Retrieved from http://www.jtropag.in/index.php/ojs/arti
cle/viewFile/162/150
Lambers, H., ChapinIII, F. S., & Pons, T. L.
(1998). Plant Physiological Ecology.
Springer, New York, NY.
https://doi.org/https://doi.org/10.1007/9
78-1-4757-2855-2
Mayoli, R. N., & Isutsa, D. . (2012).
Relationships of Light Intensity and
Temperature With Growth and
Development of Preconditioned and
Shaded. International Journal Of
Advanced Biological Research, 2(1),
24–29.
Mayrowani, H., & Ashari. (2011).
Pengembangan Agroforestry untuk
Mendukung Ketahanan Pangan dan
Pemberdayaan Petani Sekitar Hutan.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, 29(2),
83–98. Retrieved from
https://www.neliti.com/publications/641
54/pengembangan-agroforestry-untuk-
mendukung-ketahanan-pangan-dan-
pemberdayaan-peta
Neita, J. C., & Escobar, F. (2012). The
potential value of agroforestry to dung
beetle diversity in the wet tropical
forests of the Pacific lowlands of
Colombia. Agroforestry Systems, 85(1),
121–131.
https://doi.org/10.1007/s10457-011-
9445-9
Pamuji, S., & Saleh, B. (2010). Pengaruh
intensitas naungan buatan dan dosis
pupuk K terhadap pertumbuhan dan
hasil Jahe Gajah. Akta Agrosia, 13(1),
62–69.
Parman, S. (2010). Pengaruh Intensitas
Cahaya Terhadap Produksi Umbi
Tanaman Lobak (Raphanus Sativus L).
Buletin Anatomi Dan Fisiologi, 18(2),
29–38.
https://doi.org/10.1080/0164795910868
3892
Phonguodume, C., Lee, D. K., Sawathvong,
S., Park, Y. D., Hoo, w M., &
Produktivitas dan kualitas tiga verietas jahe......(Gunawan dan Asep Rohandi)
13
Combalicer, E. A. (2012). Effects of
Light Intensities on Growth
Performance, Biomass Allocation and
Chlorophyll Content of Five Tropical
Deciduous Seedlings in Lao PDR.
Environmental Science and
Management, 6(7), 60–67.
Prasetyo. (2004). Budidaya Kapulaga Sebagai
Tanaman Sela Pada Tegakan Sengon.
Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia,
6(1), 22–31.
Rostiana, O., Abdullah, A., Taryono, &
Hadad, E. A. (1991). Jenis-Jenis
Tanaman Jahe. Edisi Khusus Littro,
7(I), 7–10.
Sitompul, S. M., & Purnomo, D. (2005).
Peningkatan Fungsi Agronomi Sistem
Agroforestry Jati, Pinus dengan
Penggunaan Varietas Tanaman Jagung
Toleran Irradiasi Rendah. Agrosains,
7(2), 92.
Smith, J., Pearce, B. D., & Wolfe, M. S.
(2013). Reconciling productivity with
protection of the environment: Is
temperate agroforestry the answer?
Renewable Agriculture and Food
Systems, 28(1), 80–92.
https://doi.org/10.1017/S174217051100
0585
Suganda, H., Rachman, A., & Sutono. (2006).
Petunjuk Pengambilan Contoh Tanah
(pp. 3–24). Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian.
Sujatmoko, S. (2011). Adaptasi permudaan
Pohon Gyrinops verstegii (Gilg.)
Domke (Akusuk) Sebagai Penghasil
Gaharu Terhadap Lingkungan Cahaya
di Tegakan Alam Gunung Timan.
Universitas Gadjah mada.
Triwanto, J. (2011). Marginal Dalam Upaya.
Humanity, 7(September), 23–27.
Valenzuela, H. (2011). Farm and Forestry
Production and Marketing Profile of
Ginger (Zingiber officinale). Elevitch,
C.R., 1–11.
Wahyuni, L., Barus, A., & Sukri. (2013).
Respon Pertumbuhan Jahe Merah
Terhadap Pemberian Naungan Dan
Beberapa Teknik Bertanam. Jurnal
Online Agroteknologi, 1(4), 1171–1182.
Yuliani, Soemarno, Yanuwiadi, B., &
Leksono, A. S. (2015). The
Relationship between Habitat Altitude,
Enviromental Factors and
Morphological Characteristics of
Pluchea Indica, Ageratum Conyzoides
and Elephantopus Scaber. OnLine
Journal of Biological Sciences, 15(3),
143–151.
https://doi.org/10.3844/ojbsci.2015.143.
151
Zamski, E., & Schaffer, A. (1996).
Photoassimilate distribution in plants.
Source-Sink Relationships. Grapes. Eds.
Marcel Dekker, Inc. New York.
https://doi.org/10.1201/9780203743539
Zervoudakis, G., Salahas, G., Kaspiris, G., &
Konstantopoulou, E. (2012). Influence
of Light Intensity on Growth and
Physiological Characteristics of
Common Sage (Salvia officinalis L.).
BRAZILIAN ARCHIVES OF BIOLOGY
AND TECHNOLOGY, 55(February),
89–95.
PERKECAMBAHAN BENIH JAMBLANG (Syzygium cumini) PADA TIGA
PERLAKUAN PRA-PERKECAMBAHAN DAN MEDIA TABUR
(Germination of Jamblang (Syzygium Cumini) Seeds on Three Treatments of Pre-Germination
And Sowing Media)
Aris Sudomo1 dan Dila Swestiani
2
1,2
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866
Email: [email protected]
Diterima 2 Oktober 2018, direvisi 14 Desember 2018, disetujui 17 Desember 2018
ABSTRACT
Generative propagation was needed as one of efforts in developing jamblang as a medicinal plant. This study aims to
improve the percentage and germination rate of jamblang seeds through pre-germination and sowing media treatments.
The combination of treatments were (1) soil (T) x water (AB), (2) soil (T) x coconut water (AK), (3) soil (T) x control
(without soaking treatment) (K), (4) sand (P) x water (AB), (5) sand (P) x coconut water (AK), (6) sand (P) x control
(K), (7) mixed soil-sand (TP) x water (AB), (8) mixed soil-sand (TP) x water (AB), and (9) mixed soil-sand (TP) x
control (K). The results revealed that the treatments of sowing seeds with mixed media soil + sand and pre-germination
treatments by soaking the seeds for 12 hours in coconut water gave the highest percentage (70%) and germination rate
(4.96%). Percentage of germination more than 50% only can be reached by the seeds that sowed on mixed soil + sand
with pre-germination treatments soaked in coconut water for 12 hours and in water for 12 hours. The improvement in
the percentage and germination rate of jamblang were achieved by using mixed sowing media soil + sand and pre-
germination treatment by soaking in coconut water.
Keywords: jamblang, germination, sowing media and generative
ABSTRAK
Perbanyakan generatif diperlukan dalam upaya pengembangan tanaman obat jenis jamblang. Penelitian ini bertujuan
untuk meningkatkan persentase dan kecepatan berkecambah benih jamblang melalui perlakuan pra-perkecambahan dan
media tabur. Kombinasi perlakuan tersebut adalah (1) media tanah (T) x perendaman air biasa (AB), (2) media tanah x
perendaman air kelapa (AK), (3) media tanah (T) x kontrol (tanpa perendaman benih) (K), (4) media pasir (P) x
perendaman air biasa (AB), (5) media pasir (P) x perendaman air kelapa (AK), (6) media pasir (P) x kontrol (K), (7)
media tanah-pasir (TP) x perendaman air kelapa (AK), (8) media tanah-pasir (TP) x perendaman air biasa (AB), dan (9)
media tanah-pasir (TP) x kontrol (K). Hasil penelitian menunjukkan bahwa perlakuan penaburan benih dengan media
campuran tanah+pasir dan pra-perkecambahan benih dengan perendaman air kelapa selama 12 jam menghasilkan
persentase dan kecepatan berkecambah terbesar (70%/4,96%). Persentase berkecambah lebih dari 50% hanya dihasilkan
pada media tanah+pasir dengan perlakuan pendahuluan perendaman air kelapa 12 jam dan air biasa 12 jam.
Peningkatan persentase dan kecepatan berkecambah jamblang dicapai dengan campuran media tanah+pasir dan
perlakuan praperkecambahan perendaman air kelapa.
Kata Kunci: Jamblang, perkecambahan, media dan generatif.
I. PENDAHULUAN
Jamblang (Syzygium cumini (L.)
Skeels.) merupakan keluarga suku Myrtaceae
yang mulai sulit ditemukan keberadaannya.
Hal ini disebabkan oleh relatif terbatasnya
upaya budidaya oleh masyarakat karena belum
mengetahui manfaat obat dari tanaman
jamblang. Padahal setiap bagian dari tanaman
jamblang bermanfaat sebagai obat. Manfaat
dari tanaman jamblang antara lain: biji sebagai
obat diabetes, buah sebagai antioksidan dan
antikanker, kulit buah sebagai obat disentri dan
daun sebagai penguat gigi dan gusi (Swami et
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)
16
al., 2012 ; Prince et al., 2008; Afify et al.,
2011; Namasivaan et al., 2008 ; Soni et al.,
2011).
Jamblang merupakan salah satu jenis
tanaman konservasi yang dapat tumbuh pada
tanah marjinal yang terjal dan berbatu, karena
sistem perakarannya yang berakar tunggang
dan kompak. Kawasan tropis dan subtropis
merupakan habitat alami tumbuhan jamblang
(Rosannah et al., 2015; Kumar et al., 2010).
Beberapa hutan rakyat jamblang ditemukan di
Dusun Jojoran Wetan, Desa Triwidadi,
Kecamatan Pajangan, Kabupaten Bantul,
Yogyakarta. Habitat jamblang tersebut berada
pada ketinggian di bawah 300 mdpl dengan
suhu 28–30oC, kondisi tanah
perbukitan/pegunungan, dengan lapisan tanah
tipis, banyak bebatuan, tanah kurang subur
(Anonim, 2013).
Biji S. cumini relatif besar, berdaging
sehingga berdasarkan bentuk fisiknya dapat
digolongkan ke dalam benih rekalsitran. Benih
rekalsitran mudah berkecambah tetapi cepat
kehilangan viabilitas (Pratiwi et al., 2012).
Benih berkualitas ditandai dengan daya
kecambah dan kecepatan berkecambah yang
tinggi sedangkan hasil penelitian Mudiana
(2007) menunjukkan bahwa persentase
perkecambahan benih jamblang putih pada
media campuran tanah + pasir masih relatif
rendah (53,33%). Oleh karena itu, metode
untuk meningkatkan daya kecambah dan
kecepatan berkecambah benih jamblang masih
diperlukan. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui media perkecambahan yang
optimum (tanah, tanah+pasir, pasir) dan
perendaman air kelapa dan air tawar suhu
ruangan dalam meningkatkan dan
mempercepat perkecambahan benih S. cumini.
II. BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian dilakukan di Persemaian
Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry Ciamis, Kabupaten Ciamis, Jawa
Barat. Pengamatan dilaksanakan selama dua
bulan dari bulan Desember 2014 sampai
dengan Januari 2015.
B. Bahan Penelitian
Bahan berupa benih jamblang yang
berasal dari pohon induk di Arboretum Kebun
Binatang Gembiraloka, Yogyakarta. Buah
masak yang diunduh merupakan buah yang
telah masak secara fisiologis dengan ciri buah
berwarna ungu kehitaman (varietas jamblang
hitam) sebanyak 450 buah hasil seleksi yang
diekstraksi dengan cara pencucian untuk
menghilangkan daging buah yang kemudian
dikeringanginkan. Lama proses ekstraksi benih
dari pengunduhan buah sampai dengan
menjadi benih untuk penaburan adalah sekitar
4-5 hari.
Benih jamblang yang diuji adalah
benih segar dan diberi perlakuan pendahuluan.
Media perkecambahan yang diujicobakan
adalah tanah, pasir, dan campuran tanah dan
pasir (1:1). Bahan yang digunakan untuk
perendaman benih adalah air kelapa dan air
tawar suhu ruangan.
C. Metode Penelitian
Percobaan ini menggunakan 9
perlakuan yaitu (1) Tanah (T) x Air Biasa
(AB), (2) Tanah x Air Kelapa (AK), (3) Tanah
(T) x Kontrol (K), (4) Pasir (P) x Air Biasa
(AB), (5) Pasir (P) x Air Kelapa (AK), (6)
Pasir (P) x Kontrol (K), (7) Tanah-Pasir (TP) x
Air Kelapa (AK), (8) Tanah-Pasir (TP) x Air
Biasa (AB), dan (9) Tanah-Pasir (TP) x
Kontrol (K). Sembilan perlakuan di atas
masing-masing menggunakan 50 benih
sehingga total benih adalah 450. Perlakuan
pendahuluan sebelum ditanam pada media
semai meliputi: (1) dilakukan perendaman
benih selama 12 jam dengan air kelapa
sebanyak 150 benih (2) perendaman dengan air
sebanyak 150 benih, dan (3) tanpa perlakuan
perendaman (kontrol) sebanyak 150 benih.
Penyiraman terhadap benih yang telah ditanam
di media tabur dilakukan 1 hari sekali.
Penyiraman dilakukan dengan sprayer
Perkecambahan jenis jamblang......(Aris Sudomo dan Dila Swestiani)
17
sehingga menghasilkan semburan air yang
relatif kecil dan tidak merubah posisi benih.
D. Pengumpulan dan Analisis Data
Parameter yang diamati selama
perkecambahan benih jamblang adalah awal
benih berkecambah (hari setelah tanam/HST),
durasi berkecambah, kecepatan
perkecambahan dan daya perkecambahan (%)
(Sadjad., 1993). Pencatatan dimulai sejak hari
pertama ditemukan benih yang berkecambah
hingga tidak ada lagi benih yang berkecambah.
Pertambahan jumlah benih yang berkecambah
dihitung dan dicatat setiap hari secara
kumulatif. Data yang didapat dianalisis dengan
deskriptif kuantitatif untuk setiap kombinasi
perlakuan.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Hasil
Hasil penelitian menunjukkan bahwa
peningkatan daya berkecambah (70%),
kecepatan berkecambah (4,96 KN/etmal) dan
50% berkecambah (26 hari) paling optimal
didapatkan dengan penggunaan media tabur
campuran tanah dan pasir 1:1 (b/b) dengan
perlakuan pendahuluan perendaman benih
pada air kelapa. Terkecuali pada parameter
nilai perkecambahan, kombinasi media tabur
campuran tanah dan pasir dengan perlakuan
pendahuluan perendaman dengan air
memberikan nilai tertinggi pada parameter
nilai perkecambahan sebagaimana disajikan
pada Tabel 1.
Tabel 1. Hasil daya berkecambah, kecepatan berkecambah, hari pertama berkecambah, lama hari berkecambah dan
nilai perkecambahan benih S. cuminii pada perlakuan 3 jenis bahan perendaman dan 3 media tabur.
Table 1. The result of germination percentage, germination rate, the first day of germination, length of germination,
50% germination, and germination value of S. cuminii seeds on 3 types of soaking methods and 3 types of
sowing media.
Perlakuan
(Treatments)
Daya
Berkecambah
(Germination
Capacity (%)
Kecepatan
Berkecambah
(Germination
Rate)
(KN%/Etmal
x hari
(KN%/Etmal
x day))
Hari Pertama
Berkecambah
(The First Day Of
Germination)
(hari (days))
Lama Hari
Berkecambah/
Length Of Germination
(hari (days))
50%
Berkecambah
(50%
Germination)
(hari/days)
Nilai
Perkecambahan
(Germination Value)
TP - AK 70 4,96 14 28 26 2,32
TP - AB 54 3,52 14 28 27 3,31
TP - K 44 3,42 14 28 0 1,41
P - AK 22 3,16 14 24 0 0,67
P - AB 28 4,74 14 22 0 1,27
P - K 22 3,19 14 24 0 0,48
T - AK 40 0,40 19 28 0 1,86
T - AB 34 0,36 19 26 0 1,59
T - K 32 0,23 19 28 0 1,31
Keterangan (Remarks) : TP = tanah+pasir (1:1) (mixed sand+top soil), T= tanah (topsoil), P = pasir (sand), AK = air
kelapa 12 jam (coconut water 12 hours), AB = air biasa 12 jam (normal water 12 hours), K = kontrol (control/no
soaking)
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)
18
0
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31
Ju
mla
h b
iji b
erk
ecam
bah
(Nu
mber
of
ger
min
ati
ng s
eeds)
Hari ke- (days )
TP - AK TP - AB TP - K P - AK P - AB P - K T - AK T - AB T - K
0
10
20
30
40
50
60
70
80
90
100
0 1 4 1 5 1 6 1 7 1 8 1 9 2 0 2 1 2 2 2 3 2 4 2 5 2 6 2 7 2 8 2 9 3 0 3 1
Da
ya
per
kec
am
ba
ha
n
(Ger
min
ati
on
per
cen
tag
e)
(%)
Durasi perkecambahan (Germination duration) (Hari/day)
TP-AK TP-A TP-K P-AK P-A P-K T-AK T-A T-K
Keterangan (Remarks) : TP = tanah+pasir (1:1) (mixed sand+top soil), T= tanah (topsoil), P = pasir (sand), AK =
air kelapa 12 jam (coconut water 12 hours), AB = air biasa 12 jam (normal water 12 hours), K = kontrol (control/no
soaking)
Gambar 1. Persentase perkecambahan jamblang pada kombinasi perlakuan 3 media tabur dan 3 metode perendaman
Figure 1. Germination percentage of jamblang on three combinations of 3 sowing media and 3 soaking methods
Gambar 2. Jumlah benih jamblang berkecambah per hari pada 3 jenis metode perendaman dan 3 jenis media tabur
Figure 2. The number of germinating seeds per day on the 3 pre-germination treatments and 3 sowing media
Perkecambahan jenis jamblang......(Aris Sudomo dan Dila Swestiani)
19
B. Pembahasan
Menurut Schmidt (2000) faktor-faktor
yang mempengaruhi perkecambahan benih di
antaranya adalah mutu benih, perlakuan awal
(pematahan dormansi), dan kondisi
perkecambahan (air, suhu, media, cahaya).
Media perkecambahan dan perlakuan
pendahuluan merupakan salah satu faktor
penting yang dapat mempengaruhi
keberhasilan perkecambahan benih.
Daya berkecambah benih jamblang
pada kesembilan kombinasi perlakuan masih
menunjukkan hasil yang rendah. Penggunaan
media tabur berupa campuran tanah + pasir
dengan perlakuan pendahuluan perendaman air
kelapa (TP-AK) dan air biasa (TP-AB)
berturut-turut menghasilkan daya berkecambah
70% dan 54%.
Perkecambahan dalam campuran tanah
dan pasir menghasilkan perkecambahan lebih
besar daripada dengan tanah atau pasir saja.
Campuran tanah + pasir menghasilkan media
dengan porositas dan aerasi optimal
dibandingkan media tanah atau pasir saja,
dimana pada tahap awal perkecambahan benih
membutuhkan media dengan porositas baik
untuk pertumbuhan calon akar (Sudomo,
2012). Media pasir memiliki porositas yang
tertinggi tetapi memiliki kemampuan menahan
air yang rendah. Hal ini menghambat proses
awal perkecambahan yang relatif memerlukan
air. Tanah memiliki kemampuan menyimpan
air yang tinggi tetapi aerasi yang kurang baik
untuk respirasi benih. Media dengan porositas,
aerasi dan kemampuan menyimpan air yang
optimal mendukung penyerapan air dan
respirasi benih untuk berkecambah. Menurut
Mudiana (2007) media yang baik untuk
perkecambahan jamblang adalah tidak terlalu
basah atau lembab, sebab daya berkecambah
akan berkurang jika media terlalu lembab.
Perkecambahan jamblang dengan
media campuran tanah + pasir mulai
berkecambah pada hari ke-18 dengan
persentase kecambah 53,33% (Mudiana,
2007). Pada penelitian ini, kombinasi tanah +
pasir menghasilkan awal berkecambah yang
hampir sama dengan pasir (14 hari) tetapi
dengan durasi perkecambahan benih jamblang
terlama pada semua perlakuan pendahuluan
(28 hari) dibanding tanah saja (26-28 hari) dan
pasir saja (22-24 hari). Hal ini menunjukkan
kombinasi media tersebut mampu
memperpanjang durasi perkecambahan
dibanding tanah atau pasir saja. Dan hanya
pada media campuran tanah + pasir persentase
berkecambah lebih dari 50% tercapai pada hari
ke-26 dan ke-27. Media dengan aerasi dan
porositas yang baik diperlukan untuk respirasi
benih selama proses perkecambahan.
Kemampuan media menyimpan air diperlukan
benih dalam menyerap air untuk proses awal
perkecambahan. Media campuran pasir dan
tanah menjadi titik optimal dalam
menyediakan media dengan aerasi, porositas
dan kemampuan menyimpan air.
Pada hari ke-14 benih mulai
berkecambah dengan persentase relatif lebih
banyak pada media tanah + pasir dan pasir.
Kemudian baru menunjukkan peningkatan
perkecambahan pada hari ke-19 s/d ke-24.
Pada media tanah bahkan baru menunjukkan
peningkatan di hari ke-26-28. Hal disebabkan
oleh kemampuan tanah menyimpan air secara
stabil sehingga mampu menyediakan kondisi
yang optimal bagi benih sampai akhir
pengamatan.
Wulandari et al. (2015) menyatakan
bahwa perkecambahan merbau darat (Intsia
palembanica) pada media tanah+pasir (1:1)
menghasilkan persentase kecambah 80,250%.
Media perkecambahan yang optimum untuk
perkecambahan benih mengkudu (Morinda
citrifolia L) adalah media tanah + kompos 1:1
(b/b) (Murniati & Suminar, 2006).
Benih dengan kecepatan berkecambah
yang tinggi berarti mempunyai vigoritas benih
yang baik. Benih yang ditabur relatif seragam
dan baru sehingga mempunyai potensi
berkecambah yang baik. Perbedaan kecepatan
berkecambah bisa disebabkan oleh perbedaan
jenis media tabur dan perlakuan pendahuluan.
Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa
kombinasi media tabur tanah + pasir dengan
perlakuan pendahuluan perendaman air kelapa
mampu meningkatkan kecepatan berkecambah
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)
20
4,96 KN%/etmal. Putri et al. (2013)
menyatakan bahwa air kelapa mengandung
berbagai makro nutrien asam amino, mineral
dan fitohormon yang bermanfaat untuk
meningkatkan perkecambahan benih. Menurut
Ilyas (2012) dormansi endogen dapat
dipatahkan dengan perubahan fisiologis seperti
pemasakan embrio rudimenter, respon
terhadap zat pengatur tumbuh, perubahan suhu
dan ekspos ke cahaya. Air kelapa bisa
mengatasi dormansi endogen dengan
perubahan fisologis benih berupa respon
terhadap zat pengatur tumbuh yang terkandung
dalam air kelapa.
Beberapa hasil penelitian menunjukkan
bahwa air kelapa juga dapat membantu
meningkatkan viabilitas benih malapari pada
media pasir + tanah, Morus macroura (pada
media kapas basah) dan kopi (pada media
tanah gambut dan pupuk kandang dengan
perbandingan 2:1) (Anwar et al., 2008 ; Turnip
et al. 2014 ; Suita & Syamsuwida, 2015).
Peningkatan daya berkecambah juga terjadi
pada benih cempaka dan kacang tanah yang
terlebih dahulu direndam air kelapa (Kurniaty
et. al. 2003; Nurussintani et al., 2013).
Hasil penelitian ini juga menunjukkan
bahwa daya berkecambah benih pada
perendaman air lebih baik dibandingkan
kontrol /tanpa perendaman pada ketiga media
(tanah + pasir , pasir dan tanah). Perendaman
air dapat meningkatkan penyerapan air dan
melunakkan kulit benih sebagai proses awal
perkecambahan. Perlakuan skarifikasi dan
perendaman air selama 24 jam memberikan
hasil yang terbaik pada benih Arenga pinnata
(Rinaldi, 2010).
Air merupakan salah satu syarat
penting bagi berlangsungnya proses
perkecambahan benih (Sutopo, 2002; Murniati,
2013). Tahapan awal yang terjadi pada proses
perkecambahan adalah penyerapan air oleh biji
yang menyebabkan melunaknya kulit biji.
Oleh karena itu perendaman dalam air sebelum
dikecambahkan memegang peranan penting
agar benih yang telah menyerap air bisa
muncul atau tumbuh calon akar. Hal ini sesuai
dengan hasil penelitian Suita & Syamsuwida
(2015) yang menyebutkan bahwa perendaman
benih malapari pada air biasa selama 24 jam
dapat mematahkan dormansi sehingga
menghasilkan daya berkecambah sampai 100%
dengan media pasir + tanah. Pada benih
Manilkara kauki (L.) Dubard dengan
perlakuan direndam air-jemur selama 3 hari
secara umum menghasilkan perkecambahan
lebih baik pada media pasir + tanah (Sudrajat
& Megawati, 2010).
Dalam penelitian ini perlakuan
perendaman benih dilakukan secara seragam
yaitu selama 12 jam. Dengan kombinasi
perlakuan media tabur, media perendaman
benih dan lama waktu perendaman selama 12
jam, TP-AK memberikan hasil yang paling
optimal. Beberapa hasil penelitian memberikan
hasil persentase perkecambahan yang optimum
dengan perendaman dengan air selama 12 jam.
Sebagaimana penelitian (Marthen et al., 2013)
yang mendapatkan hasil perkecambahan benih
Paraserianthes falcataria L. sebesar 100%
dengan dicelup air panas 60°C selama 4 menit
dan direndam dalam air biasa selama 12 jam
pada Uji Kertas digulung dengan Plastik
(UKDp). Daya berkecambah Arenga pinnata
pada media pasir lebih tinggi dibanding
tanah+kompos (Rofik & Murniati, 2008).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Perlakuan pendahuluan terhadap benih
S. cumini berupa perendaman dengan air
kelapa selama 12 jam kemudian
dikecambahkan dengan media campuran tanah
+ pasir 1:1 (b/b) mampu menghasilkan daya
dan kecepatan berkecambah terbaik (70%/
4,94% KN%/etmal x day). Daya berkecambah
lebih dari 50% hanya dihasilkan pada
perlakuan TP-AK dan TP-AB masing masing
tercapai pada hari ke-26 dan ke-27 dengan
nilai perkecambahan berturut-turut 2,32 dan
3,31. Kombinasi tanah + pasir relatif
menghasilkan awal berkecambah yang sama
dengan media tabur pasir saja (14 hari).
Meskipun demikian durasi perkecambahan
benih S. cumini pada media tanah + pasir
adalah yang terlama (28 hari) dibandingkan
Perkecambahan jenis jamblang......(Aris Sudomo dan Dila Swestiani)
21
dengan tanah saja (26-28 hari) dan pasir saja
(22-24 hari).
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih penulis sampaikan
kepada Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Agroforestry dalam penelitian
Penerapan Agroforestry Tanaman Hutan
Penghasil Obat Jenis Jamblang (Syzygium
cumini) yang telah mendukung dan mendanai
penelitian ini; dan kepada Edi Nurrochman dan
Srita Nursuse Febianti selaku teknisi dalam
penelitian ini. Penulis juga mengucapkan
terimakasih kepada Adang Bayu Pamungkas
S.Hut, Msc. atas bantuannya mengambil dan
mengirimkan buah jamblang.
DAFTAR PUSTAKA
Afify, A. E. M. R., Fayed, S. a, Shalaby, E. a,
& El-shemy, H. a. (2011). Syzygium
cumini (pomposia) active principles
exhibit potent anticancer and antioxidant
activities. African Journal of Pharmacy
and Pharmacology, 5(July), 948–956.
Anonim. (2013). Monografi Kelurahan
Triwidadi Kecamatan Pajangan
Kabupaten Bantul.
Anwar, A., Renfiyeni, & Jamsari. (2008).
Metode perkecambahan benih Andalas
(Morus macroura Mig). Jerami, 1(1).
Aris Sudomo. (2012). Perkecambahan benih
Sengon (Falcataria moluccana (MIQ.)
BARNEBY & J.W. GRIMES) pada 4
jenis media. In Prosiding SNaPP (pp. 37–
42).
Ilyas, S. (2012). Ilmu dan teknologi benih. IPB
Press.
Kumar, R., Ramamurthy, V., & Sharma, G.
(2010). Checklist of insects associated
with Jamun (Syzygium cuminii Skeels)
from India. Biological Forum — An
International Journal, 2(1), 1–5.
Kurniaty, R., Yuniarti, N., Muharam, A.,
Kartiana, E. R., Ismiati, E., & Royani, H.
(2003). Teknik penanganan benih jenis
andalan setempat di Sulawesi Selatan,
Bali, Kalimantan Barat dan Jawa Barat
(LUC No 385). Bogor.
Marthen, Kaya, E., & Rehatta, H. (2013).
Pengaruh perlakuan pencelupan dan
perendaman terhadap perkecambahan
benih sengon. Agrologia, 1, 10–16.
Mudiana, D. (2007). Perkecambahan
Syzygium cumini (L.) Skeels.
Biodiversitas, 8, 39–42.
Murniati, E. (2013). Fisiologi perkecambahan
dan dormansi benih (Dasar ilmu dan
teknologi benih). IPB Press.
Murniati, E., & Suminar, M. (2006). Pengaruh
jenis media perkecambahan dan
perlakuan pra perkecambahan terhadap
viabilitas benih mengkudu (Morinda
citrifolia L.) dan hubungannya dengan
sifat dormansi benih. Bul. Agron, 34(2),
119–123.
Namasivaan, R., Ramachandran, B., &
Decharaman, M. (2008). Effect of
aqueous extract of Syzygium cuminii
pulp on antioxidant defense system in
streptozotocin induced diabetic rats.
Internasional Journal Of Post Harvest
Techonolgy, 2008 Pp 137-145, 7(2), 137–
145.
Nurussintani, W., Damanhuri, &
Purnamaningsih, S. L. (2013). Perlakuan
pematahan dormansi terhadap daya
tumbuh benih 3 varietas kacang tanah
(Arachis hypogaea). Jurnal Produksi
Tanaman, 1(1), 86–93.
Pratiwi, R. D., Rabaniyah, R., & Purwantoro,
A. (2012). Pengaruh jenis dan kadar air
media simpan terhadap viabilitas benih
Lengkeng (Dimocarpus longan Lour.).
Vegetalika, 1(2).
Prince P., & Venon M. (2008). Effect of
syzygium in plasma antioxidant on
alloxant induced diabetes in rats. Journal
Of Clinical Biochemistry And Nutrition.,
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 15-22)
22
25, 81–86.
Putri, B., Vickry, A. H., & Maharani, H. W.
(2013). Pemanfaatan air kelapa sebagai
pengkaya media pertumbuhan mikroalga
Tetraselmis sp. In Prosiding Semirata
FMIPA Universitas Lampung (pp. 135–
142).
Rinaldi. (2010). Pengaruh skarifikasi dan lama
perendaman terhadap perekecambahan
benih Aren (Arenga pinnata). Jurnal
Ikatan Keluarga Besar Universitas
Jambi, 112, 33–37.
Rofik, A., & Murniati, E. (2008). Pengaruh
perlakuan deoperkulasi benih dan media
perkecambahan untuk meningkatkan
viabilitas benih Aren (Arenga pinnata
(Wurmb.) Merr.). Bul. Agron, 36(1), 33–
40.
Rosannah, A. F., Pasaribu, N., & Hannum, S.
(2015). Distribusi Syzygium cumini (L)
Skeels di Aceh Besar. Biosfera, 32(3),
143–146.
Sadjad S. (1993). Dari benih kepada benih.
Jakarta: Gramedia Widia Sarana.
Schmidt, L. (2000). Pedoman penanganan
benih tanaman hutan tropis dan
subtropis. Terjemahan. Jakarta.:
Kerjasama Direktorat Jenderal
Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial
dengan Indonesia Forest Seed Project PT.
Gramedia.
Soni, J., Ansari, U., Sharma, D., & Soni, S.
(2011). Predictive data mining for
medical diagnosis: An overview of heart
disease prediction. International Journal
of Computer Applications, 17(8), 43–48.
Sudrajat, D. J., & Megawati. (2010).
Keragaman morfologi dan respon
perlakuan pra perkecambahan benih dari
lima populasi sawo kecik (Manilkara
kauki ( L .) Dubard). Jurnal Penelitian
Hutan Tanaman, 7(2), 67–76.
Suita, E., & Syamsuwida, D. (2015).
Peningkatan daya dan kecepatan
berkecambah benih Malapari (Pongamia
pinnata). Jurnal Perbenihan Tanaman
Hutan, 3(1), 49–59.
Sutopo, L. (2002). Teknologi Benih. PT Raja
Grafindo Persada Jakarta.
Swami, S. B., Thakor, N. S. J., Patil, M. M., &
Haldankar, P. M. (2012). Jamun
(Syzygium cuminii(L.)): A review of its
food and medicinal uses. Food and
Nutrition Sciences, 03(08), 1100–1117.
Turnip, M., Hedty, & Mukarlina. (2014).
Pemberian H2SO4 dan air kelapa pada uji
viabilitas biji Kopi Arabika (Coffea
arabika L .), 3(1), 7–11.
Wulandari, W., Bintoro, A., & Duryat. (2015).
Pengaruh ukuran berat benih terhadap
perkecambahan benih Merbau Darat
(Intsia palembanica). Jurnal Sylva
Lestari, 3(2), 79–87.
KONDISI SOSIAL DAN KELEMBAGAAN PETANI HUTAN RAKYAT
DI KABUPATEN TASIKMALAYA
(Socio and Institutional Conditions of Farmers of the Private Forest in Tasikmalaya District)
Dian Diniyati1
1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866
e-mail: [email protected]
Diterima 10 Oktober 2018, direvisi 19 November 2018, disetujui 28 Desember 2018
ABSTRACT
Socio and institutional conditions may affect the private forest development in Tasikmalaya District. This research was
conducted in Tanjungkerta, Sepatnunggal, and Karyabakti villages from March to July 2011. The aim of the research
was to identify the socio and institution conditions of farmers. The numbers of respondents involved were 60 persons.
Data were collected by implementing interview technique which was supported by questionnaires. The data consisted of
the condition of social and the institution of farmers. The data were analyzed by using Dependency Ratio (DR), Labour
Force Participation Rate (TPK), and Dependency Rate of the farmers toward forest business (RK). The result showed
that the condition of social of farmers were characterized by age, sex, education, tribe, religion, marriage status, status
in family, and family dependent. The values of DR and TPK toward private forest business were categorized as low,
meanwhile the value of RK in Tanjungkerta, Sepatnunggal and Karyabakti Villages were 12.50 %, 16.42 % and 19.02
% respectively. The institutions available at research location were grouped into three groups i.e. 1) economic
institution (cooperation and regular social gathering), 2) social institution (farmer group, farmer group union and
recitation) and 3) mutual cooperation.
Keywords: private forest, social condition, economic condition, institution
ABSTRAK
Kondisi sosial dan kelembagaan dapat berpengaruh terhadap pengembangan hutan rakyat di Kabupaten Tasikmalaya.
Penelitian ini dilaksanakan di Desa Tanjungkerta, Desa Sepatnunggal, dan Desa Karyabakti pada bulan September dan
Oktober 2011, tujuannya adalah mengetahui kondisi sosial dan kelembagaan petani. Jumlah responden yang dilibatkan
sebanyak 60 orang. Data yang dikumpulkan terdiri dari data kondisi sosial ekonomi dan kelembagaan. Pengumpulan
data dilakukan dengan teknik wawancara menggunakan kuisioner. Data yang terkumpul dianalisis menggunakan
Dependency Ratio Keluarga Petani (DR), Tingkat Partisipasi Kerja (TPK), Pendapatan, dan Rasio Ketergantungan
petani (RK). Hasil kajian menunjukkan bahwa kondisi sosial ekonomi petani dicirikan oleh umur, jenis kelamin,
pendidikan, pekerjaan, suku, agama, status perkawinan, status dalam keluarga, dan jumlah tanggungan keluarga Nilai
DR dan TPK pada usaha hutan rakyat tergolong masih rendah, sedangkan nilai RK di Desa Tanjungkerta, Desa
Sepatnunggal dan Desa Karyabakti berturut-turut adalah sebesar 12,50%, 16,42% dan 19,02%. Kelembagaan yang ada
di lokasi penelitian dikelompok menjadi 3 kelompok yaitu 1) lembaga perekonomian (koperasi dan arisan), 2) lembaga
sosial (kelompok tani, Gapoktan dan pengajian) serta 3) gotong royong.
Kata kunci: Hutan rakyat, kondisi sosial, ekonomi, kelembagaan
I. PENDAHULUAN
Usaha hutan rakyat merupakan salah
satu potensi perekonomian yang banyak
dikembangkan petani di Kabupaten
Tasikmalaya. Pengembangannya biasanya
dilakukan dengan menerapkan pola
agroforestri utamanya untuk mendapatkan fungsi ekonomi, tanpa mengabaikan fungsi
sosial dan lingkungannya. Praktek-praktek
agroforestri yang sudah berkembang di
Indonesia dicirikan oleh tingkat resilience
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)
24
yang tinggi dibandingkan dengan praktik-
praktik yang berbasis pertanian atau hutan
monokultur (Sabarnurdin, Budiadi, &
Suryanto, 2011).
Model pengelolaan hutan rakyat di
Kabupaten Tasikmalaya tidak bisa dipisahkan
dari kondisi sosial petaninya, misalnya tingkat
pendidikan yang berpengaruh terhadap bentuk
pengelolaan hutan rakyat. Aspek pendidikan
berpengaruh terhadap usaha dan peluang yang
dapat dilakukan (Ruhimat, 2014; Waluyo,
Ulya, & Martin, 2010). Dalam perencanaan,
aspek sosial harus dipertimbangkan karena
bisa meningkatkan efektivitas pengelolaan
hutan dan tingkat keberterimaan model
pengelolaan oleh masyarakat (Pirani &
Mousavi, 2016). Dan hal ini dapat
diwujudkan jika kelembagaan di tingkat
petani sudah mapan dan befungsi dengan
baik.
Tujuan dari penelitian ini adalah untuk
mengetahui kondisi sosial dan kelembagaan
petani hutan rakyat di Kabupaten
Tasikmalaya. Informasi yang dihasilkan
diharapkan dapat dijadikan bahan
pertimbangan untuk mengembangkan
kapasitas petani dalam menjalankan usaha
hutan rakyat.
II. METODE PENELITIAN
Penelitian dilaksanakan pada bulan
September-Oktober 2011 di Desa
Tanjungkerta Kecamatan Pagerageung, , Desa
Sepatnunggal, Kecamatan Sodonghilir, dan
Desa Karyabakti, Kecamatan Parungponteng.
Petani hutan rakyat anggota kelompok tani
dijadikan sebagai responden dipilih secara
acak sederhana (simple random sampling)
sebanyak 20 orang/desa sehingga total 60
orang.
Data yang dikumpulkan adalah data
sosial (umur, jenis kelamin, pendidikan, suku,
agama, status perkawinan, status dalam
keluarga, jumlah tanggungan dan status
kependudukan) dan data kelembagaan
(lembaga perekonomian/koperasi, lembaga
sosial dan lembaga gotong royong). Data
primer dikumpulkan dengan cara wawancara
menggunakan kuesioner yang telah
dipersiapkan terlebih dahulu dan survei
lapangan. Data sekunder yang dikumpulkan
meliputi data dan informasi dari desa dan
pemerintah/instansi terkait penelitian.
Data yang diperoleh selanjutnya
dikelompokkan dan ditabulasi sesuai tujuan,
sehingga maknanya mudah diinterpretasikan.
Untuk mengetahui kondisi sosial dan
kelembagaan petani hutan rakyat, dilakukan
analisis sebagai berikut (Dephutbun, 2000;
Sari, 2011) :
1. Dependency Ratio Keluarga Petani
Dimana:
DR = Dependency ratio
PDUK = Penduduk di luar usia kerja
PUK = Penduduk usia kerja
Menurut (Dephutbun, 2000) kriteria dari
rasio ketergantungan (DR) adalah semakin
tinggi nilai DR menujukkan semakin buruk
tanggungan penduduk usia kerja.
2. Tingkat Partisipasi Kerja (TPK)
Dimana:
TPK = Tingkat partisipasi kerja
JAK = Jumlah angkatan kerja
PUK = Penduduk usia kerja
Kriterianya adalah semakin tinggi
nilai TPK maka tenaga kerja keluarga yang
terlibat di hutan rakyat semakin banyak.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Kondisi Sosial Petani Hutan Rakyat
Kondisi sosial merupakan salah satu
karakteristik petani yang dapat mempengaruhi
pengambilan keputusan tentang kegiatan serta
usaha yang akan dijalankannya. Penyuluh
Kecamatan Pagerageung Enda (perscom,
Oktober 24, 2011) mengemukakan bahwa
aspek sosial diantaranya tingkat pendidikan petani yang tergabung dalam kelompok tani,
Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)
25
dapat berimbas terhadap tingkat adopsi
inovasi serta wawasan, dan kekuatan
berorganisasi. Petani yang berpendidikan
formal tinggi lebih memprioritaskan luaran
pada aspek lingkungan sosial dan punya peran
dalam membangun kapasitas adaptasi dan
berkompetisi dalam bidang ekonomi (Fielke
& Bardsley, 2014). Semakin lama pendidikan
formal mampu mendorong terjadinya
kegiatan berwawasan lingkungan meskipun
tidak berpengaruh nyata terhadap isu
pemanasan global dan williness to pay pada
pajak lingkungan (Chankrajang & Muttarak,
2016). Semakin tinggi pendidikan petani
semakin besar pasar tenaga kerja dan peluang
mendapat gaji lebih menarik (Besamusca,
Tijdens, Keune, & Steinmetz, 2015). Uraian
mengenai kondisi karakteristik petani hutan
rakyat diperllihatkan pada Tabel 1.
Terlihat bahwa usaha hutan rakyat di
lokasi penelitian juga diminati oleh
perempuan demikian juga di Kabupaten
Ciamis dimana kegiatan hutan rakyat dengan
pola agroforestri mampu menarik minat
perempuan (Achmad, Purwanto, Sabarnurdin,
& Sumardi, 2015). Petani perempuan di Desa
Tanjungkerta berjumlah 4 orang (20%), yang
tersebar pada umur 30-59 tahun. Petani
perempuan di Desa Sepatnunggal berjumlah 1
orang (5%) yang berada pada umur 50-59
tahun, sedangkan di Desa Karyabakti yang
berumur antara 30-39 tahun sebanyak 1 orang
(5%), berumur antara 40-49 tahun sebanyak
2 orang (10%), dan umur antara 50-59 tahun
sebanyak 1 orang (5%). Banyaknya tenaga
kerja perempuan yang terlibat dalam
pengembangan hutan rakyat dapat
meningkatkan pendapatan keluarga sehingga
dapat membantu mengurangi kemiskinan
(Buvinić & Gupta, 1997).
Umur petani perempuan yang terlibat
dalam kegiatan hutan rakyat termasuk dalam
selang umur produktif, sedangkan kondisi
umur laki-laki di Desa Tanjungkerta dan
Desa Sepatnunggal, tidak hanya berada pada
selang umur produktif saja, melainkan juga
berada pada umur tua yaitu lebih dari 70
tahun. Hadirnya petani usia tua menunjukkan
bahwa kegiatan di hutan rakyat tidak hanya
diminati oleh petani usia muda saja.
Menurut Biro Pusat Statistik tahun
2016, penduduk usia kerja adalah penduduk
berumur 15 tahun sampai 64 tahun. Penduduk
di luar usia kerja adalah mereka yang berusia
di bawah 15 tahun dan di atas 64 tahun.
Berdasarkan kriteria tersebut, maka ada petani
aktif yang tidak tergolong sebagai usia kerja,
khususnya di Desa Tanjungkerta dan
Sepatnunggal karena ada petani yang berusia
> 70 tahun. Partisipasi tenaga kerja usia tua
(65 tahun ke atas) di negara maju lebih kecil
tingkatannya dibandingkan dengan di negara
berkembang, yaitu 4% di Hungaria
berbanding 91% di Mozambique (Clark &
Anker, 1993).
Umumnya tenaga kerja yang terlibat
dalam kegiatan hutan rakyat di lokasi
penelitian berumur > 30 tahun. Hal ini terjadi
karena pada awalnya para petani tidak bekerja
langsung di sektor hutan rakyat, melainkan
bekerja di sektor non-formal seperti berjualan
dan buruh bangunan di daerah Bandung,
Jakarta, Kuningan dan Kota Tasikmalaya.
Namun setelah merasa tua kembali ke desa
dan bekerja sebagai petani khususnya petani
hutan rakyat.
Berdasarkan kondisi demikian
ternyata tingkat partisipasi kerja (TPK)
anggota keluarga yang bekerja pada usaha
hutan rakyat untuk seluruh lokasi penelitian
hampir sama yaitu : Desa Tanjungkerta
sebesar 43%, Desa Karyabakti sebesar 42%
dan Desa Sepatnunggal sebesar 41 %. Hal ini
menunjukkan bahwa tingkat partisipasi kerja
keluarga petani pada usaha hutan rakyat
masih rendah. Rendahnya partisipasi kerja
keluarga petani pada usaha hutan rakyat
dikarenakan ada anggapan bahwa usaha hutan
rakyat tidak memerlukan pekerjaan yang
intensif, daur usahanya lama dan umumnya
diusahakan pada lahan yang sempit. Lain
halnya dengan tingkat partisipasi keluarga
petani pada usaha sayuran di Dusun Wara
Desa Batu Merah Kota Ambon yang
menunjukkan bahwa partisipasi kerja
keluarga petani cukup tinggi, dikarenakan
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)
26
usaha sayuran memerlukan tenaga kerja yang
intensif dan daur usahanya pendek (Sari,
2011).
Tenaga kerja yang aktif terlibat di
hutan rakyat hanyalah tenaga kerja keluarga
yaitu ibu dan bapak, sedangkan tenaga kerja
anak tidak terlibat dalam kegiatan usaha hutan
rakyat dikarenakan masih sekolah dan lebih
senang bekerja di sektor lain. Padahal tenaga
kerja anak merupakan salah satu sumber
tenaga yang dapat digunakan pada usaha
hutan rakyat. Penggunaan tenaga kerja
keluarga secara langsung dapat mengurangi
biaya produksi yang dikeluarkan untuk
membayar upah tenaga kerja (Abdi, FIl, &
Hasyim, 2014).
Di Desa Tanjungkerta terlihat bahwa
petani yang berumur 50 tahun lebih rata-rata
berpendidikan sekolah dasar (SD) meskipun
ada petani yang lulus sekolah lanjutan tingkat
atas (SLTA) dan terdapat petani yang telah
lulus perguruan tinggi. Kondisi pendidikan di
Desa Sodonghilir yaitu petani yang berusia
lebih dari 50 tahun berpendidikan paling
tinggi adalah sekolah dasar, sedangkan petani
yang berumur lebih muda berpendidikan
paling rendah adalah tamat SLTP dan SLTA
serta ada satu petani yang telah lulus
perguruan tinggi. Kondisi pendidikan di Desa
Karyabakti rata-rata untuk usia 50 tahun ke
atas adalah lulus SD demikian halnya dengan
petani yang umurnya jauh lebih muda. Di
desa ini tidak ada petani yang lulus perguruan
tinggi. Kondisi pendidikan petani hutan
rakyat ini sama dengan kondisi di Kabupaten
Ciamis, seperti disampaikan oleh Achmad et
al., (2015) berdasarkan hasil penelitian
diketahui bahwa kondisi pendidikan petani
hutan rakyat di Kabupaten Ciamis mayoritas
lulusan SD.
Tingkat pendidikan petani di setiap
lokasi penelitian masih rendah yaitu lulusan
SD. Setiawan, (2009) mengatakan bahwa
kondisi SDM dalam bidang pertanian di
Indonesia masih sangat rendah. Rendahnya
tingkat pendidikan petani juga diikuti oleh
rendahnya produktivitas kerja. Rendahnya
produktivitas tenaga kerja pertanian tersebut
terkait dengan kondisi umur, tingkat
pendidikan, curahan jam kerja, dan luas
garapan petani. Padahal tingkat pendidikan ini
sangat berpengaruh terhadap peluang usaha
serta penyerapan inovasi yang dapat
dilakukan oleh petani. Gunawan et al., (2013)
mengatakan bahwa latar belakang pendidikan
penting diketahui karena sangat menentukan
tingkat penerimaan inovasi dan
mempengaruhi persepsi sehingga dapat
menentukan berhasil atau tidaknya suatu
program pemerintah.
Tabel 2 menunjukkan bahwa petani
memiliki kesamaan dalam agama, suku dan
status pernikahan meskipun belum tentu
menjadi kepala rumah tangga, terutama bagi
petani wanita karena pada umumnya sebagai
anggota keluarga (istri), paling banyak
terdapat di Desa Tanjungkerta yaitu sebanyak
5 orang dan paling sedikit di Desa
Sepatnunggal sebanyak 1 orang.
Namun ada satu petani wanita di Desa
Karyabakti yang menjadi kepala rumah
tangga, dikarenakan suaminya sudah
meninggal. Petani wanita sering terlibat
dalam kegiatan usaha hutan rakyat dan
pertanian sehingg memahami masalah
pengembangannya.
Jumlah anggota keluarga merupakan
salah satu sumber tenaga kerja bagi usaha
pertanian dan kehutanan. Seperti disampaikan
oleh Sari (2011) bahwa jumlah anggota
keluarga yang banyak sangat menguntungkan
dari segi penyediaan tenaga kerja terutama
jika cukup tersedia lapangan kerja yang
sesuai, sebaliknya anggota keluarga yang
banyak dalam satu keluarga petani dapat juga
menjadi beban tanggungan.
Hasil analisis diketahui bahwa angka
beban tanggungan (DR) di lokasi penelitian
yaitu Desa Tanjungkerta sebesar 4,6%, Desa
Karyabakti sebesar 21,7% dan Desa
Sepatnunggal 12,5%. Nilai DR yang paling
tinggi terjadi di Desa Karyabakti, dikarenakan
petani banyak berusia muda yang memiliki
anak masih muda (berusia di bawah 15 tahun)
berstatus sebagai pelajar sehingga masih
menjadi tanggungan orang tua. Sedangkan
Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)
27
dua desa lainnya nilai DR nya tergolong
rendah dikarenakan usia petani tergolong tua,
sehingga anak-anaknya juga sudah banyak
yang berusia tua (berusia di atas 15 tahun)
dan sudah bekerja sehingga tidak menjadi
tanggungan orang tua.
Kesamaan lainnya yaitu status
kependudukan, hampir seluruh petani
merupakan penduduk asli, kecuali di Desa
Sepatnunggal dan Karyabakti ada 3 orang
petani yang mengaku sebagai penduduk
pendatang, lain desa namun masih satu
Kabupaten.
Tabel 1. Kondisi Sosial Petani Hutan Rakyat di Kabupaten Tasikmalaya
Table 1. Social conditions of private forest farmers in Tasikmalaya District
No. Desa (village)
Kelompok umur
(age group)
Tahun (year)
Jenis kelamin
(gender)
Jumlah orang dan
% (number –
people and %)
Lama
pendidikan
(duration of
education)
Jumlah orang
dan %
(number –
people and %)
1. Desa
Tanjungkerta
Kecamatan
Pagerageung
a. 30-39 Perempuan 1 (5) 9 tahun 1 (5)
b. 40-49 Laki-laki 3 (15) 6 tahun 2 (10)
Perempuan 1 (5) 12 tahun 2 (10)
c. 50-59 Laki-laki 2 (10) 6 tahun 4 (20)
Perempuan 2 (10) d. 60-69 Laki-laki 9 (45) 6 tahun 6 (30)
9 tahun 1 (5)
12 tahun 1 (5)
15 tahun 1 (5) e. > 70 Laki-laki 2 (10) 6 tahun 1 (5)
12 tahun 1 (5)
Jumlah 20 (100) 20 (100)
2. Desa
Sepatnunggal
Kecamatan
Sodonghilir
a. 30-39 Laki-laki 1 (5) 12 tahun 1 (5) b. 40-49 Laki-laki 7 (35) 9 tahun 3 (15)
10 tahun 1 (5)
12 tahun 3 (15)
c. 50-59 Laki-laki 5 (25) 6 tahun 5 (25) Perempuan 1 (5) 9 tahun 1 (5)
d. 60-69 Laki-laki 5 (25) 6 tahun 4 (20)
9 tahun 1 (5)
e. > 70 Laki-laki 1 (5) 17 tahun 1 (5) Jumlah 20 (100) 20 (100)
3. Desa Karyabakti,
Kecamatan
Parungponteng
a. 30-39 Laki-laki 8 (40) 6 tahun 4 (20) Perempuan 1 (5) 9 tahun 4 (20)
12 tahun 1 (5) b. 40-49 Laki-laki 3 (15) 6 tahun 3 (15)
Perempuan 2 (10) 9 tahun 2(10
c. 50-59 Laki-laki 2 (10) 6 tahun 3 (15)
Perempuan 1 (5) d. 60-69 Laki-laki 3 (15) 4 tahun 1 (5)
6 tahun 1 (5)
9 tahun 1 (5)
e. > 70 - 0 - 0 Jumlah 20 (100)
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)
28
Berdasarkan hasil olahan data
dihasilkan kondisi yang homogen. Kondisi
ini dapat dijadikan sebagai modal sosial yang
memudahkan dalam penyampaian suatu
program kegiatan, baik yang dilaksanakan
oleh pemerintah setempat maupun pemerintah
pusat. Karakteristik yang homogen akan
memudahkan dalam pembinaan masyarakat,
selain itu penerapan suatu program akan
berlangsung lebih mudah karena dapat dengan
cepat ditiru dan dilaksanakan oleh
masyarakat.
Tabel 2. Kondisi Sosial Lainnya
Table 2. Other Social conditions
No. Uraian (description) Desa/ orang (village/people)
Tanjungkerta Sepatnunggal Karyabakti
1. Suku
Sunda 20 20 20
2. Agama
Islam 20 20 20
3. Status perkawinan
Menikah 20 20 20
4. Status dalam keluarga
Kepala keluarga 15 19 17
Istri 5 1 3
5. Jumlah tanggungan keluarga (jiwa)
a. 0-1 4 6 2
b. 2-3 13 11 11
c. 4-5 3 3 6
d. > 6 0 0 1
6. Status kependudukan
a. Asli penduduk desa 20 17 17
b. Pendatang 0 3 3
Sumber (Source): diolah dari data primer (processed from primary data), 2011
B. Kondisi Kelembagaan
Kelembagaan yang terdapat di lokasi
penelitian cukup beragam, baik kelembagaan
formal maupun non-formal. Namun tidak
semua kelembagaan yang ada di desa selalu
berfungsi, banyak juga kelembagaan yang
hanya tinggal papan nama saja. Hal ini terjadi
karena tidak semua petani yang ada di lokasi
penelitian terlibat aktif di lembaga yang ada
di desa. Banyak faktor yang mendorong
petani untuk terlibat aktif dalam satu lembaga
dan jika faktor pendorong tersebut sudah
tidak ada, maka petani banyak yang tidak
terlibat lagi. Faktor pendorong keterlibatan
petani pada kelompok biasanya berwujud rasa
kebersamaan dalam mencapai tujuan dan
menanggulangi permasalahan (Wuysang,
2014). Dari hasil wawancara dan pengamatan,
jenis-jenis lembaga yang ada di desa
penelitian tercantum pada Tabel 3.
Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)
29
Tabel 3. Jenis Kelembagaan yang terdapat di Lokasi Penelitian
Table 3. Types of Institutional available in Research Area
No Jenis Lembaga (type of institution)
Lokasi Penelitian (Research sites)
Desa (village)
Tanjungkerta
Desa (village)
Sepatnunggal
Desa (village)
Karyabakti
Jumlah % Jumlah % Jumlah %
A. Lembaga perekonomian (economic
institutions)
1. Koperasi (Cooperative)
- Aktif (active) 2 10 0 0 1 5
- Tidak aktif (not active) 18 90 20 100 19 95
- Anggota (member) 2 10 0 0 1 5
- pengurus (care taker) 0 0 0 0 0 0
2. Arisan (regular social gathering)
- Aktif (active) 4 20 2 10 4 20
- Tidak aktif (not active) 16 80 18 90 16 80
- Anggota (member) 4 20 1 5 4 20
- pengurus (care taker) 0 0 1 5 0 0
B. Lembaga sosial (social institutions)
1. Kelompok tani (farmers)
- Aktif (active) 20 100 12 60 13 65
- Tidak aktif (not active) 0 0 8 40 7 35
- Anggota (member) 17 85 7 35 12 60
- pengurus (care taker) 3 15 5 25 1 5
2. Gapoktan
- Aktif (active) 3 15 1 5 0 0
- Tidak aktif (not active) 17 85 19 90 20 100
- Anggota (member) 0 0 0 0 0 0
- pengurus (care taker) 3 15 1 5 0 0
3. Pengajian (recitation)
- Aktif (active) 19 95 19 95 19 95
- Tidak aktif (not active) 1 5 1 5 1 5
- Anggota (member) 17 85 15 75 17 85
- pengurus (care taker) 2 10 4 20 2 10
C. Gotong royong (mutual cooperation) di
pertanian dan kebersihan
20 100 20 100 20 100
Sumber (Source): diolah dari data primer (processed from primary data), 2011
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)
30
Kelembagaan yang melibatkan petani
dilokasi penelitian dikelompokkan menjadi
tiga kelompok yaitu: 1) lembaga
perekonomian, 2) lembaga sosial dan 3)
lembaga gotong royong. Menurut Dephutbun
(2000), kajian kelembagaan tersebut
menggunakan kriteria berfungsi atau tidaknya
lembaga di masyarakat.
Hasil kajian menunjukkan bahwa
lembaga perekonomian yang ada di lokasi
penelitian adalah koperasi dan arisan. Namun
tidak seluruh petani terlibat aktif dalam
lembaga tersebut padahal tujuannya adalah
untuk membantu keuangan petani. Mayoritas
petani di lokasi penelitian mengatakan bahwa
tidak terlibatnya di koperasi dan arisan
disebabkan tidak ada uang, dan pendapatan
yang dihasilkan setiap harinya hanya cukup
untuk kehidupan harian saja.
Lembaga sosial terdiri dari kelompok
tani, Gapoktan dan pengajian. Petani di Desa
Tanjungkerta 100% terlibat dalam kelompok
tani, sedangkan di Desa Sepatnunggal dan
Desa Karyabakti tidak seluruhnya terlibat,
yaitu 60% dan 65%, disebabkan karena jenis
pekerjaan yang dilakukan mengharuskan
petani tidak selalu tinggal di desa.
Keterlibatan petani di kelompok tani
tidak hanya sebagai anggota saja melainkan
juga banyak yang menjadi pengurus
kelompok. Petani merasakan bahwa adanya
kelompok tani memberikan manfaat terhadap
aktivitas harian. Alasan petani mau
bergabung dengan kelompok tani yaitu karena
diajak untuk bergabung dalam kelompok tani,
menambah pergaulan dan aktivitas,
meningkatkan pengetahuan serta
mendapatkan informasi tentang pertanian dan
kehutanan dan faktor ekonomi (mendapat
bantuan bibit dan pupuk). Manfaat menjadi
anggota KTP/KTH adalah mendapatkan
bantuan baik berupa bantuan bibit tanaman,
bantuan sarana produksi, bantuan ternak sapi
dan pinjaman dana (Kadir et al., 2012).
Gapoktan merupakan gabungan dari
kelompok tani biasanya yang terlibat adalah
para pengurus kelompok tani. Oleh Karena itu
tidak semua petani terlibat aktif di Gapoktan.
Petani di Desa Tanjungkerta, Sepatnunggal
dan Karyabakti yang terlibat sebanyak 15%,
5% dan 0% sehingga wajar jika masih
banyak petani yang kurang paham dengan
kegiatan di Gapoktan, karena ternyata tidak
seluruh anggota kelompok tani bisa menjadi
anggota Gapoktan. Lebih jauh disampaikan
oleh Cahyono & Tjokropandojo (2002)
bahwa lembaga petani KTNA dan Gapoktan
dianggap belum berperan sama sekali
terhadap petani. Lain halnya dengan kegiatan
pengajian seluruh petani di lokasi penelitian
terlibat aktif. Hanya ada satu orang saja yang
tidak terlibat dalam kegiatan pengajian
disebabkan karena faktor domisili, yaitu lebih
sering tinggal di kota Tasikmalaya. Kegiatan
pengajian biasanya dilakukan satu minggu
sekali. Pengajian bapak dan ibu dibedakan
waktunya, biasanya pengajian ibu dilakukan
pada waktu siang hari sedangkan pengajian
bapak dilakukan pada waktu malam hari.
Kegiatan gotong royong merupakan
kegiatan yang banyak dilakukan oleh petani
di lokasi penelitian. Kegiatan gotong royong
yang banyak dilakukan terdiri dari kegiatan
usahatani, kebersihan dan keamanan
lingkungan. Gotong royong untuk kebersihan
biasanya dilakukan setiap satu bulan sekali.
Jenis pekerjaan yang dilakukan terdiri dari
membersihkan masjid/musola/madrasah,
membuat gapura, membersihkan
jalan/selokan, dan memperbaiki saluran air.
Seluruh warga akan terlibat dalam kegiatan
gotong royong ini, karena masih ada budaya
malu jika tidak bisa terlibat dalam kegiatan
gotong royong. Namun jika terpaksa tidak
bisa hadir biasanya akan menggantikannya
dengan cara memberi makanan dan minuman.
Demikian juga dalam hal gotong royong
untuk keamanan jika tidak bisa hadir akan
dikenai sangsi berupa uang sebesar Rp
10.000,-.
Kondisi Sosial Dan Kelembagaan Petani Hutan Rakyat …….(Dian Diniyati)
31
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
Usaha hutan rakyat merupakan salah
satu sumber utama pendapatan petani di
Kabupaten Tasikmalaya. Namun tingkat
partisipasi kerja (TPK) petani dan
keluarganya pada usaha hutan rakyat di Desa
Tanjungkerta, Desa Karyabakti dan Desa
Sepatnunggal masih tergolong rendah,
berturut-turut sebesar 43 %, 42 % dan 41 %.
Demikian juga dengan rasio ketergantungan
petani terhadap usaha hutan rakyat juga masih
rendah yaitu 12,5% (Desa Tanjungkerta),
16,4% (Desa Sepatnunggal) dan 19,0% (Desa
Karyabakti). Kelembagaan yang berfungsi
dan bermanfaat adalah kelembagaan sosial
(kelompok tani dan pengajian) serta gotong
royong, dikarenakan petani merasakan
manfaat langsung dan terlibat aktif pada dua
kelompok kelembagaan tersebut. Dengan
kondisi yang demikian maka teknologi dan
inovasi tentang pengembangan hutan rakyat
terbaru perlu terus diinformasikan kepada
petani melalui penyuluhan dan pelatihan.
Dilaksanakan oleh instansi terkait supaya
kontribusi hutan rakyat terhadap
kesejahteraan keluarga petani semakin
meningkat serta menjadikan usaha hutan
rakyat sebagai sumber pendapatan utama
yang optimal.
UCAPAN TERIMA KASIH
Penulis mengucapkan terima kasih
kepada Balai Penelitian Teknologi
Agroforestry yang mendanai kegiatan
penelitian ini, penyuluh kehutanan Kabupaten
Tasikmalaya yang telah mendampingi selama
kegiatan penelitian dilakukan, petani hutan
rakyat yang telah bersedia mengikuti seluruh
tahapan kegiatan penelitian serta rekan
sejawat yang telah membantu pengumpulan
data dilapangan.
DAFTAR PUSTAKA
Abdi, FIl,. Hasyim, H, A. S. F. (2014).
Faktor-faktor yang berpengaruh
terhadap penggunaan tenaga kerja luar
keluarga pada usaha tani padi sawah.
Agribisnis USU, 1–12.
Achmad, B., Purwanto, R. H., Sabarnurdin,
S., & Sumardi. (2015). Tngkat
pendapatan dan curahan tenaga kerja
pada hutan rakyat di Kabupaten
Ciamis. Jurnal Ilmu Kehutanan, 9(2),
2015.
Besamusca, J., Tijdens, K., Keune, M., &
Steinmetz, S. (2015). Working Women
Worldwide. Age Effects in Female
Labor Force Participation in 117
Countries. World Development,
74(August 2013), 123–141.
http://doi.org/10.1016/j.worlddev.2015.
04.015
Buvinić, M., & Gupta, G. R. (1997). Female-
Headed Households and Female-
Maintained Families: Are They Worth
Targeting to Reduce Poverty in
Developing Countries? Economic
Development and Cultural Change,
45(2), 259–280.
http://doi.org/10.1086/452273
Cahyono, S., & Tjokropandojo, D. S. (2002).
Peran Kelembagaan Petani Dalam
Mendukung Keberlanjutan Pertanian
Sebagai Basis Pengembangan Ekonomi
Lokal. Jurnal Perencanaan Wilayah
Dan Kota B SAPPK, 2(1), 15–23.
Chankrajang, T., & Muttarak, R. (2016).
Green Returns to Education: Does
Schooling Contribute to Pro-
Environmental Behaviours? Evidence
from Thailand Thanyaporn
Chankrajang and Raya Muttarak 1 6
May 2016, 131(May), 434–448.
http://doi.org/10.1016/j.ecolecon.2016.
09.015
Clark, R. L., & Anker, R. (1993). Cross-
National Analysis of Labor Force
Participation of Older Men and
Women. Economic Development and
Cultural Change, 41(3), 489--512 CR--
Copyright © 1993 The Universit.
http://doi.org/10.2307/1154313
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 23-32)
32
Dephutbun. (2000). Pedoman Survei Sosial
Ekonomi Kehutanan Indonesia
(PSSEKI) (2nd ed.). Bogor: PSSEKI.
Fielke, S. J., & Bardsley, D. K. (2014). The
importance of farmer education in
South Australia. Land Use Policy, 39,
301–312.
http://doi.org/10.1016/j.landusepol.201
4.02.006
Gunawan, H., Bismark, M., & Krisnawati, H.
(2013). Kajian Sosial Ekonomi
Masyarakat Sekitar Sebagai Dasar
Penetapan Tipe Penyangga Taman
Nasional Gunung Merbabu, Jawa
Tengah (Socio Economic Assessment
Of Surounding Communities For The
Basis Of Buffer Zone Establishment In
Mount Merbabu National Park, Cent.
Penelitian Hutan Dan Konservasi
Alam, 10(2), 103–119.
Kadir, A., Awang, S. A., Hadi, R., &
Poedjirahajoe, E. (2012). Analisis
Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat
Sekitar Taman Nasional Bantimurung
Bulusaraung (Socio-Economic
Analysis of Community Around
Bantimurung Bulusaraung National
Park , South Sulawesi Province ) Balai
Penelitian Kehutanan Makassar ,
Sulawesi Selatan Mahasiswa Program
Doktor pada P. Manusia Dan
Lingkungan, 19(1), 1–11.
Nasution, R. (2009). Pengaruh Modal Kerja,
Luas Lahan, dan Tenaga Kerja
Terhadap Pendapatan Usahatani Nenas.
Skripsi.
Pirani, F. J., & Mousavi, S. A. (2016).
Integrating Socio-Economic and
Biophysical Data To Enhance
Watershed Management and Planning.
Journal of Hydrology, 540, 727–735.
http://doi.org/10.1016/j.jhydrol.2016.0
5.072
Ruhimat, I. S. (2014). Faktor-faktor Untuk
Peningkatan Kemandirian Petani
dalam Pengelolaan Hutan Rakyat:
Studi Kasus Di Desa Ranggang,
Kabupaten Tanah Laut, Kalimatan
Selatan (Factors Improving Self-
reliance of Farmers in Community
Forest Management: Case Study in
Rangga. Jurnal Penelitian Sosial Dan
Ekonomi Kehutanan, 11(3), 237–249.
Sabarnurdin, S., Budiadi, & Suryanto, P.
(2011). Agroforestri Untuk Indonesia:
Strategi Kelestarian Hutan dan
Kemakmuran (1st ed.). Yogyakarta:
Cakrawala Media.
Sari, M. (2011). Keadaan Sosial Ekonomi
Petani Sayuran (Studi Kasus Di Dusun
Kembang Buton Wara Desa Batu
Merah, Kota Ambon). Jurnal Budidaya
Pertanian, 7(1), 47–52.
Setiawan, I. (2009). Peran Sektor Pertanian
Dalam Penyerapan Tenaga Kerja Di
Indonesia.
Waluyo, E. A., Ulya, N. A., & Martin, E.
(2010). Perencanaan sosial dalam
rangka pengembangan hutan rakyat di
sumatera selatan (Jurnal Penelitian
Hutan Dan Konservasi Alam, 7(3),
271–280.
Wuysang, R. (2014). Modal Sosial
Kelompok Tani Dalam Meningkatkan
Pendapatan Keluarga Suatu Studi
Dalam Pengambangan Usaha
Kelompok Tani Di Desa Tincep
Kecamatan Sonder. Journal “Acta
Diurna,” III(4), 1–20.
AKSES DAN KONTROL RUMAH TANGGA PETANI
DALAM PENGELOLAAN SUMBERDAYA HUTAN RAKYAT
(Access and Control of Farm Households in the Management of Private Forest Resources)
Eva Fauziyah1
1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866
e-mail: [email protected]
Diterima 24 Oktober 2018, direvisi 1 November 2018, disetujui 21 Desember 2018
ABSTRACT
Differences in access of natural resources between men and women is one of the causes of gender unequality. This
condition may have an impact on the lack of control, benefit, and participation of women on farming activities. This
study aims to analyze the gender relation pattern in private forest management in Banyumas and Banjarnegara
Districts.. Data were collected by using questionnaire, interview with farmer (men and women) and farmer groups with
Socio Economic and Gender Analysis (SEAGA) instrument. Total respondents were 64 private forest farmers who were
randomly selected. Data were analzsed by tabulation, percentage dan Equality adn Equity Index (EEI). The results
showed that acces in private forest management were dominated by men e.g acces on land, crops cultivated, education,
training, extension services, capital, credit, equipment, nursery, fertilization, cropping pattern, and pest and disease
control. In contrary, women were more dominant in post harvest processing, and marketing activities. In Banyumas
District, women control were dominant in marketing, while in Banjarnegara Distric, there was no dominance in both
resources and stage activities but access and control were undertaken jointly between men and women in crops
cultivation, watering, fertilization and marketing.The pattern of gender relations in general was more dominant both in
terms of resources and the stages activies of private forest as indicated by EEI value tha is less than 0,5.
Keywords: acces, control, private forest, gender relation pattern
ABSTRAK
Perbedaan akses terhadap sumber daya alam antara laki-laki dan perempuan menjadi salah satu penyebab terjadinya
kesenjangan gender. Kondisi ini pada akhirnya dapat berdampak pada lemahnya kontrol, manfaat, dan partisipasi
perempuan dalam kegiatan usahatani secara keseluruhan. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pola relasi gender
dalam pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara pada Bulan Mei sampai dengan
Juli 2012. Penelitian ini menggunakan pendekatan instrument Analisis Gender (Socio Economic and Gender Analysis—
SEAGA), dimana pengumpulan data dilakukan secara partisipatif pada kelompok tani dan wawancara pada tingkat
keluarga petani. Total responden berjumlah 64 petani hutan rakyat yang dipilih secara acak (laki-laki dan perempuan).
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan tabulasi, persentase dan menggunakan Indeks Kesetaraan dan Keadilan
Gender (IKKG). Hasil penelitian menunjukkan bahwa akses dalam pengelolaan hutan rakyat didominasi oleh laki-laki
seperti akses terhadap lahan, komoditas yang diusahakan, pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian, modal, kredit,
peralatan, pembibitan, pemupukan, pola tanam, serta pengendalian hama dan penyakit, sedangkan perempuan hanya
lebih dominan dalam pengolahan pascapanen dan pemasaran. Pada aspek kontrol di Kabupaten Banyumas, perempuan
mendominasi pada tahapan kegiatan pemasaran, sementara di Kabupaten Banjarnegara tidak ada dominasi baik pada
sumberdaya maupun tahapan kegiatan pengelolaan hutan rakyat, namun kontrol terhadap komoditas yang diusahakan,
penyiraman, pemupukan dan pemasaran dilakukan secara bersama-sama. Pola relasi gender secara umum lebih
dominan baik terhadap sumberdaya maupun tahapan kegiatan hutan rakyat yang ditunjukkan oleh nilai IKKG yang
lebih kecil dari 0,5.
Kata kunci: akses, kontrol, hutan rakyat, pola relasi gender
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)
34
I. PENDAHULUAN
Pengertian gender berbeda dengan
pengertian seks/jenis kelamin. Pembagian
jenis kelamin ditentukan oleh organ biologis
yang melekat secara permanen dan fungsinya
tidak dapat dipertukarkan (Fakih, 2007).
Sementara itu, gender merupakan pemilahan
peran dan hubungan antara laki-laki dan
perempuan, bagian konsepsi pengorganisasian
”pembagian kerja”, baik dalam keluarga,
rumah tangga, masyarakat luas, dan
merupakan bagian dari kehidupan sosial
budaya, dimana perbedaan keduanya adalah
sebuah keniscayaan (Elizabeth, 2007).
Terkait dengan pemilahan peran dan
hubungan laki-laki dan perempuan dalam
pengelolaan sumberdaya alam, berbagai
organisasi bekerja untuk mengkaji mengenai
pentingnya keberadaan kepemilikan dan
kontrol perempuan terhadap aset untuk
berbagai hasil pembangunan, baik untuk
perempuan sendiri dan untuk keluarga mereka
(Ruth Meinzen-Dick et al., 2011). Namun,
pria pada umumnya diuntungkan dalam
kepemilikan aset, mengingat norma gender
yang mengatur kepemilikan asset dimana pria
cenderung memiliki lebih banyak aset dan
bernilai tinggi daripada wanita, dan
membangun aset perempuan telah menjadi
prioritas pembangunan global (Deere, Oduro,
Swaminathan, & Doss, 2013), beberapa
intervensi pertanian juga mempertimbangkan
dampak terhadap aset pada tingkat individu
atau bahkan rumah tangga (Johnson, Kovarik,
Meinzen-Dick, Njuk, & Quisumbing, 2016).
Kondisi ini juga ditemui di Indonesia, dimana
sebagian masyarakatnya menerapkan sistem
patriarki yang menempatkan laki-laki sebagai
pemenang dan mendominasi dalam sistem
social termasuk penguasaan asset.
Kemajuan zaman, tuntutan ekonomi
keluarga serta kebutuhan akan tenaga kerja
wanita telah mengubah pola pikir wanita
Indonesia. Saat ini banyak wanita yang masuk
ke dunia kerja dan terlibat dalam sektor
publik, tetapi banyak juga wanita yang
memilih pekerjaan domestik. Hal ini
dikarenakan mereka menyadari peran gender
wanita dalam mendidik anak, mengurus
keluarga, merawat serta mengelola rumah,
sehingga memilih pekerjaan yang bisa
dikerjakan di rumah (Sari, Purnomo, &
Rahayu, 2009).
Perempuan menjadi bagian yang
penting dari tenaga kerja di sektor pertanian,
baik itu pada penyediaan sarana pertanian,
budidaya tanaman dan ternak, pengolahan dan
pascapanen, hingga pemasaran hasil pertanian
(Yuwono, 2013). Hal yang sama juga terjadi
pada pengelolaan hutan rakyat yang dilakukan
secara bersama-sama oleh laki-laki dan
perempuan. Namun, peran perempuan pada
pengelolaan tanaman non kayu terlihat lebih
besar dibandingkan pada pengelolaan
tanaman kayu. Peran tersebut terlihat jelas
terutama pada kegiatan pemeliharaan, panen,
dan pasca panen. Peran laki-laki lebih banyak
pada kegiatan yang membutuhkan tenaga,
sedangkan perempuan pada kegiatan-kegiatan
yang membutuhkan kesabaran dan
ketelatenan (Fauziyah, Firdaus, & Sanudin,
2013). Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis pola relasi gender dalam
pengelolaan hutan rakyat.
II. METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilaksanakan di
Kabupaten Banyumas dan Kabupaten
Banjarnegara, Jawa Tengah. Pengamatan
lapangan dan wawancara dilakukan di empat
desa yaitu Desa Kemawi Kecamatan
Somagede dan Desa Baseh Kecamatan
Kedungbanteng di Kabupaten Banyumas serta
Desa Kebutuhduwur Kecamatan Pagedongan
dan Desa Bondolharjo Kecamatan Punggelan
di Kabupaten Banjarnegara pada bulan Mei
sampai dengan Juli 2012. Pertimbangan
pemilihan lokasi penelitian diantaranya
adalah pengelolaan lahan di keempat desa ini
didominasi oleh hutan rakyat dan di dalam
pengelolaanya melibatkan tidak hanya laki-
laki tetapi juga perempuan.
Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)
35
Dalam proses penulisan naskah ini ada
beberapa kendala yang dihadapi, sehingga
baru dapat diterbitkan, namun demikian
kondisinya dianggap masih relevan karena
kondisi pembagian kerja petani dalam
pengelolaan hutan rakyat tidak mengalami
banyak perubahan.
B. Metode Pengumpulan dan Analisis Data
Pengumpulan data primer dilakukan
secara partisipatif melalui diskusi,
wawancara, pengisian kuesioner, dan
pengamatan langsung terhadap pengelolaan
hutan rakyat di lokasi penelitian. Data primer
yang dikumpulkan berupa data akses dan
kontrol petani baik laki-laki maupun
perempuan terhadap sumberdaya hutan rakyat
pada beberapa tahapan kegiatan di hutan
rakyat. Data sekunder diperoleh dari hasil
penelitian dan studi pustaka yang
berhubungan dengan bidang penelitian. Data
sekunder tersebut diantaranya adalah data
luasan hutan rakyat, dan data pengelolaan
hutan rakyat pada umumnya di lokasi
penelitian.
Sampel responden adalah anggota
kelompok tani yang dipilih secara acak
(random sampling) yang terdiri dari laki-laki
dan perempuan masing-masing sebanyak 32
orang (total 64 orang). Dari seluruh anggota
kelompok tani yang ada, dipilih dengan
menggunakan nomor undian dan diambil
sebanyak 64 nomor undian secara acak.
Dengan menggunakan pendekatan
instrumen Sosial Ekonomi dan Analisis
Gender (Socio Economic and Gender
Analysis–SEAGA) secara partisipatif
(Hartomo, 2007), diperoleh informasi tentang
bagaimana laki-laki dan perempuan
mengalokasikan sumberdaya dalam
pengelolaan hutan rakyat seperti lahan,
palawija, informasi, pendidikan, pelatihan,
penyuluhan pertanian, hasil penjualan, kredit,
modal, dan peralatan kerja dan bagaimana
tahapan-tahapan kegiatan pengelolaan hutan
rakyat dilakukan meliputi: pengolahan tanah,
pembibitan, pola tanam, pemupukan,
pemeliharaan, penyiraman, pengendalian
hama dan penyakit, pengolahan hasil panen,
dan pemasaran hasil.
Pada setiap tahapan tersebut pendapat
responden dipilah menurut pendapat laki-laki
dan perempuan. Pendapat tersebut dituangkan
dalam bentuk jawaban apakah lebih banyak
laki-laki (L), lebih banyak perempuan (P) atau
keduanya (LP) pada akses dan kontrol
terhadap sumberdaya maupun terhadap
tahapan kegiatan. Pendapat petani laki-laki
dan perempuan baik dalam bentuk kualitatif
maupun kuantitatif selanjutnya dianalisis
menggunakan tabulasi dan persentase untuk
melihat pola relasi (hubungan) laki-laki
sebagai suami dan perempuan sebagai isteri
(suami-isteri) dalam melakukan kegiatan
pengelolaan hutan rakyat (Hartomo, 2007).
Secara kuantitatif pola relasi gender petani
dalam melakukan kegiatan hutan
rakyatditunjukkan dalam bentuk nilai Indeks
Kesetaraan dan Keadilan Gender (IKKG).
Secara matematis, angka IKKG dihitung
menggunakan rumus sebagai berikut:
dimana:
= proporsi perempuan yang mempunyai karakteristik tertentu
= proporsi perempuan yang
mempunyai karakteristik lainnya
= proporsi laki-laki yang mempunyai karakteristik yang sama
= proporsi laki-laki yang mempunyai karakteristik lainnya
Pola relasi gender secara kuantitatif
ditunjukkan dalam bentuk angka IKKG
seperti ditunjukkan Tabel 1.
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)
36
Tabel 1. Nilai IKKG dan klasifikasi pola relasi laki-
laki dan perempuan
Table 1. EEI value and relation pattern classification
of men and women
No.
(No.)
IKKG
(EEI)
Klasifikasi
(Clasification)
Simbol
(Symbol)
1. 0.0 < IKKG ≤
0.50
Dominan Laki-
laki
DL
2. 0.5 < IKKG ≤
1.0
Bersama-sama BS
3. IKKG > 1.0 Dominan
Perempuan
DP
Keterangan (Remarks): DL = Dominan laki-laki; BS =
Laki-laki dan perempuan sama-sama dominan; DP =
Dominan perempuan
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Pengelolaan Hutan Rakyat di Lokasi
Penelitian
Provinsi Jawa Tengah memiliki luas
hutan rakyat 623.200 ha. Kabupaten
Banjarnegara memiliki luas hutan rakyat
5,49% dari luas hutan rakyat di Jawa Tengah
yaitu 34.185,10 ha (Dirjen BPDAS-PS dan
PT Surveyor Indonesia, 2011). Secara umum
petani hutan rakyat di Kabupaten
Banjarnegara menerapkan sistem agroforestri
melalui kombinasi antara tanaman kayu
dengan tanaman semusim. Tanaman kayu
yang dominan adalah sengon (Paraserianthes
falcataria). Jenis-jenis tanaman yang tumbuh
baik di Kabupaten Banjarnegara terbagi
dalam tiga zona, yaitu 1) Zona Utara (daerah
pegunungan): kayu putih (Eucaplyptus alba),
kopi (Coffea arabica) sebagai tanaman
pokok, dan kentang (Solanum tuberosum L),
kubis (Brassica oleracea var. Capitata),
jagung (Zea mays) sebagai tanaman semusim;
2) Zona Tengah (daerah datar) meliputi
sengon (Paraserianthes falcataria) dan jabon
(Anthocephalus cadamba) sebagai tanaman
pokok, dan kapulaga (Amomum cordammum),
pisang (Musa paradisiaca), salak (Salacca
zalacca) sebagai tanaman semusim; dan 3) Zona Selatan (daerah gelombang, kering)
meliputi pinus (Pinus merkusii), damar
(Agathis damara) sebagai tanaman pokok,
dan ketela pohon (Manihot esculenta) sebagai
tanaman semusim (Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Banjarnegara, 2011).
Kabupaten Banyumas memiliki hutan
rakyat yang tersebar hampir di seluruh
kecamatan dengan dominasi sengon.
Sementara tanaman non kayu yang potensial
di Kabupaten Banyumas adalah cengkeh
(Syzigium aromaticum), pala (Myristica
fragrans), kelapa (Cocos nucifera), lada
(Piper nigrum) dan lain sebagainya. .
Kabupaten Banyumas memiliki luas hutan
rakyat 38.955,89 ha (6,25% dari luas total
hutan rakyat di Jawa Tengah). Petani hutan
rakyat di Kabupaten Banyumas juga
menerapkan pola agroforestri melalui
kombinasi antara tanaman kayu dengan
tanaman semusim. Hutan rakyat pada
umumnya didominasi oleh jenis sengon,
namun belakangan ini minat masyarakat
untuk menanam sengon mulai menurun.
Berdasarkan ketinggian tempat,
pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten
Banyumas dibagi menjadi tiga tipe yakni: 1)
bagian barat, didominasi oleh jenis jati
(Tectona grandis), ketinggian sampai 150 m
dpl, 2) bagian tengah, didominasi oleh jenis
albasia sedangkan jati tidak cocok karena
dingin (lereng kaki Gunung Slamet),
ketinggian sampai 300 m dpl, 3) bagian timur,
didominasi oleh jenis albasia, ketinggian
sekitar 150 m dpl (Dinas Kehutanan dan
Perkebunan Kabupaten Banyumas, 2011).
Jenis-jenis tanaman non kayu di
Kabupaten Banyumas yang merupakan
tanaman perkebunan dan dikembangkan
secara agroforestri yaitu kelapa, cengkeh,
vanili (Vannili planifolia), lada, pala ,
kapulaga, dan tanaman empon-empon seperti
jahe (Zingiber Officinale), kunyit (Curcuma
Domestica Val), kencur (Kaempferia
Galangan), lengkuas (Alpinia Galanga Sw)
dan lain sebagainya. Salak juga ditemukan di
Kabupaten Banyumas khususnya Kecamatan
Kedungbanteng, namun produksinya tidak
banyak.
Pengelolaan hutan rakyat secara umum
di Kabupaten Banyumas dan Kabupaten
Banjarnegara memiliki kesamaan dalam
Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)
37
setiap tahapannya. Tahapan hutan rakyat
meliputi pemilihan dan penyediaan bibit,
persiapan lahan dan penanaman,
pemeliharaan (pembersihan gulma/rumput,
pemupukan, penyemprotan hama penyakit
tanaman (HPT), penyulaman, penjarangan,
pemangkasan), serta pemanenan.
Penyediaan bibit tanaman kayu untuk
hutan rakyat kebanyakan dilakukan dengan
membeli dari pasar atau pedagang keliling,
berupa anakan yang tumbuh sendiri, bantuan
pemerintah maupun membibitkan sendiri.
Sementara untuk bibit tanaman pertanian atau
tanaman non kayu banyak diperoleh dengan
cara membeli. Persiapan lahan dilakukan
dengan pembersihan lahan, pembuatan lubang
tanaman dan pemberian pupuk dasar dan
sebagian adapula yang menerapkan sistem
cemplongan. Pemeliharaan terhadap hutan
rakyat khususnya tanaman kayu pada
mumnya tidak dilakukan secara intensif.
Pemupukan hanya dilakukan di awal tanam
atau setelah tanaman di panen. Pupuk yang
digunakan adalah pupuk kandang dan pupuk
kimia. Penyulaman, pemangkasan dan
penjarangan dilakukan sesuai kondisi
tanaman dan ketersediaan modal. Sementara
penyemprotan untuk hama penyakit jarang
dilakukan terlebih untuk tanaman kayu.
Pemanenan tanaman kayu sebagian
besar dilakukan dengan sistem tebang pilih
tetapi secara borongan karena dinilai lebih
praktis. Proses penjualan atau pemasaran
dilakukan secara individu ke
bandar/tengkulak yang datang ke rumah atau
ke kebun. Sementara untuk tanaman non
kayu dilakukan dirumah atau dipasar, dengan
harapan mendapat nilai jual yang lebih tinggi.
B. Akses dan Kontrol Rumahtangga Petani
Akses dan kontrol terhadap
sumberdaya dan tahapan kegiatan
pengelolaan hutan rakyat di Kabupaten
Banyumas dan Kabupaten Banjarnegara
menurut para responden laki-laki dan
perempuan dapat dilihat pada Tabel 2 dan
Tabel 3.
Baik di Kabupaten Banyumas maupun
di Kabupaten Banjarnegara persentase akses
dan kontrol laki-laki secara umum terlihat
lebih besar. Menurut Septiadi dan Wigna
(2013) perbedaan peran gender antara laki-
laki dan perempuan dalam masyarakat yang
mengarah pada praktik ketimpangan gender
dapat diidentifikasi dengan melihat
keterlibatan peran antara laki-laki dan
perempuan dalam aktivitas, akses dan kontrol
dalam rumah tangga.
Akses dan kontrol laki-laki di
Kabupaten Banjarnagera lebih tinggi
dibandingkan di Kabupaten Banyumas dan
sebaliknya akses dan kontrol perempuan di
Kabupaten Banjarnegara cenderung lebih
rendah di bandingkan di Kabupaten
Banyumas. Hal ini dimungkinkan karena
jenis penyusun hutan rakyat yang berbeda dan
adanya beberapa keluarga petani di Banyumas
yang bekerja tidak hanya di sektor pertanian,
sehingga pada waktu-waktu tertentu beberapa
kegiatan di hutan rakyat banyak dilakukan
perempuan.
Wujud kesetaraan dan keadilan gender
dalam keluarga terdiri dari akses, partisipasi,
kontrol, dan manfaat. Dalam penelitian ini
wujud kesetaraan dan keadilan gender
dibatasi pada aspek akses dan kontrol. Akses
menurut Puspitawati (2012) didefinisikan
sebagai kapasitas untuk menggunakan
sumberdaya untuk sepenuhnya berpartisipasi
secara aktif dan produktif (secara sosial,
ekonomi dan politik) dalam masyarakat
termasuk akses ke sumberdaya, pelayanan,
tenaga kerja dan pekerjaan, informasi dan
manfaat, dengan kata lain akses adalah
peluang atau kesempatan dalam memperoleh
atau menggunakan sumberdaya alam.
Sementara kontrol adalah penguasaan atau
wewenang atau kekuatan untuk mengambil
keputusan.
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)
38
Tabel 2. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan menurut responden di Kabupaten Banyumas
Table 2. Acces and control to resources and stage of activities according to respondents in Banyumas District
Uraian
(Descriptions)
Akses
(Access)
Kontrol
(Control)
Responden
petani laki-
laki
(Men farmer
respondent)
Responden
petani
perempuan
(Women
farmer
respondent)
Responden
petani laki-
laki
(Men farmer
respondent)
Responden
petani
perempuan
(Women
farmer
respondent)
Sumberdaya (Resources) L P L P L P L P
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 62,5 50,0 100 37,5 68,8 37,5 68,8 37,5
2. Komoditas yang diusahakan (Crops
cultivated)
81,3 25,0 93,8 93,8 87,5 18,8 87,5 18,8
3. Informasi (Information) 87,5 18,8 93,8 43,8 87,5 18,8 87,5 18,8
4. Pendidikan (Education) 87,5 25,0 100 25 93,8 12,5 93,8 12,5
5. Pelatihan (Training) 93,8 68,8 100 18,8 81,3 25 81,3 25
6. Penyuluhan pertanian (Agricultural
extention )
7,5 18,8 100 50 93,8 18,8 93,8 18,75
7. Hasil penjualan (Sales revenue) 93,8 43,8 50 68,8 87,5 37,5 75 37,5
8. Modal (Capital) 93,8 37,5 93,8 37,5 87,5 37,5 87,5 37,5
9. Kredit (Credit) 93,8 37,5 87,5 31,3 81,3 31,3 81,3 31,3
10. Peralatan Kerja (Equipment) 93,8 37,5 100 25 75 31,3 75 31,3
Tahapan Kegiatan(Stage of actvity)
1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 93,8 25,0 93,8 50 81,3 25 81,3 25
2. Pembibitan (Nursery) 93,8 25,0 87,5 75 75 31,3 75 31,3
3. Pola tanam (Cropping pattern) 93,8 31,3 87,5
56,3 75 37,5 75 37,5
4. Pemupukan (Fertilization) 93,8 31,3 87,5 62,5 87,5 25 87,5 37,5
5. Pemeliharaan (Maintenance) 93,8 31,3 87,5 75,0 87,5 31,3 87,5 37,5
6. Penyiraman (Watering) 93,8 31,3 87,5 75,0 81,3 31,3 81,3 31,3
7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and
disease control)
93,8 31,3 87,5 75,0 81,3 31,3 81,3 31,3
8. Pengolahan pascapanen (Post harvest
processing)
25,0 100 50 100 81,3 43,8 81,3 43,8
9. Pemasaran(Marketing) 56,3 87,5 50 81,3 69,2 75 56,3 75
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012
Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)
39
Tabel 3. Akses dan kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan kegiatan menurut responden di Kabupaten Banjarnegara
Table 3. Acces and control to resources and stage of activities according to respondents in Banjarnegara District
Uraian
(Descriptions)
Akses
(Access)
Kontrol
(Control)
Responden
petani laki-
laki
(Men farmer
respondent)
Responden
petani
perempuan
(Women
farmer
respondent)
Responden
petani laki-
laki
(Men farmer
respondent)
Responden
petani
perempuan
(Women
farmer
respondent)
Sumberdaya (Resources) L P L P L P L P
(%) (%) (%) (%) (%) (%) (%) (%)
1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 62,5 62,5 87,5 50 62,5 43,8 62,5 43,8
2. Komoditas yang diusahakan (Crops
cultivated)
93,8 25 93,8 81,3 62,5 50 62,5 50
3. Informasi (Information) 93,8 25 87,5 87,5 62,5 31,3 75 31,3
4. Pendidikan (Education) 100 18,8 87,5 81,3 87,5 31,3 25 31,3
5. Pelatihan (Training) 100 25 81,3 62,5 87,5 18,8 87,5 18,8
6. Penyuluhan pertanian (Agricultural
extention )
100 18,8 81,3 75 18,8 31,3 81,3 25
7. Hasil penjualan (Sales revenue) 93,8 43,8 68,8 100 81,3 31,3 81,3 31,3
8. Modal (Capital) 100 255 100 81,3 81,3 31,3 81,3 31,3
9. Kredit (Credit) 100 31,3 100 87,5 81,3 37,5 75 37,5
10. Peralatan Kerja (Equipment) 100 6,3 100 62,5 87,5 18,8 87,5 18,8
Tahapan Kegiatan (Stage of actvity)
1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 87,5 25 81,3 81,3 87,5 18,8 87,5 18,8
2. Pembibitan (Nursery) 100 18,8 81,3 87,5 81,3 25 87,5 25
3. Pola tanam (Cropping pattern) 100 18,8 81,3 81,3 75 37,5 68,8 43,8
4. Pemupukan (Fertilization) 100 18,8 75 93,8 25 37,5 75 37,5
5. Pemeliharaan (Maintenance) 87,5 37,5 68,8 93,8 75 43,8 75 50
6. Penyiraman (Watering) 87,5 31,3 68,8 100 81,3 31,3 81,3 31,3
7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and
disease control)
87,5 31,3 75 75 87,5 25 87,5 25
8. Pengolahan pascapanen (Post harvest
processing)
62,5 93,8 62,3 93,8 75 50 68,8 43,8
9. Pemasaran (Marketing) 56,3 93,8 81,3 56,3 62,5 50 50 50
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012
Berdasarkan Tabel 2 dan 3 dapat
dilihat bahwa menurut responden laki-laki
dan perempuan, akses terhadap sumberdaya
dan tahapan kegiatan pengelolaan hutan
rakyat lebih didominasi oleh laki-laki.
Dominasi laki-laki tersebut terutama terhadap
sumberdaya seperti lahan hutan rakyat,
komoditas yang diusahakan, informasi,
pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian,
modal, kredit, dan peralatan kerja. Demikian
halnya akses terhadap tahapan kegiatan
pengelolaan hutan rakyat seperti pengolahan
lahan, ppembibitan, pola anam, pemupukan,
penyiraman, dan pengendalian hama dan
penyakit.
Perempuan terlibat pada sektor
pertanian karena perempuan memiliki rasa
tanggung jawab dan kepemilikan yang besar
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)
40
terhadap keluarga. Perempuan lebih responsif
dalam mengatasi persoalan pangan keluarga
dan upaya peningkatan pendapatan
dibandingkan laki-laki, sehingga kesempatan
bekerja di luar rumah diperoleh oleh para
petani perempuan (Farmia, 2006). Elizabeth
(2007) menyatakan bahwa keberadaan
perempuan yang mau bekerja membantu laki-
laki sesuai dengan kemampuan yang dimiliki.
Keadaan ini tergambar dalam setiap tahapan
kegiatan usahatani yang dilakukan, mulai dari
pembibitan hingga pengolahan hasil panen
dan pemasaran. Pekerjaan mengurus dan
mengatur rumah tangga (domestic work),
meski tidak memberi penghasilan langsung,
pada dasarnya merupakan pekerjaan yang
ekonomis produktif.
Akses terhadap informasi yang
dimiliki oleh laki-laki di lokasi penelitian
relatif lebih besar dibandingkan dengan
perempuan.. Laki-laki lebih dominan dalam
mengakses informasi dari televisi dimana
televisi merupakan sumber informasi utama
karena televisi menjadi satu-satunya sumber
informasi elektronik di desa. Demikian pula
akses laki-laki terhadap sumber informasi
yang berupa pendidikan, penyuluhan,
pelatihan ataupun brosur juga relatif dominan.
Bagi laki-laki (suami), peran perempuan
dalam hal penyuluhan dan brosur hanya
sekedar diberi tahu saja, tanpa harus
dilibatkan secara langsung. Hal inilah yang
mengakibatkan informasi-informasi yang bisa
menambah pengetahuan dan keterampilan
tidak bisa diperoleh dengan maksimal oleh
perempuan. Seperti hasil penelitian E.W.
Chirwa, Mvula, Dorward, and Matita. (2011)
dan Smale (2011), yang menunjukkan bahwa
karena hal tersebut menyebabkan petani
perempuan di negara yang sedang
berkembang tingkat adopsi terhadap teknologi
penggunaan jenis bibit modern menjadi lebih
rendah dibandingkan laki-laki, walaupun
hubungan antara gender dan adopsi biasanya
tidak siginifikan.
Hal tersebut juga terkait dengan peran
dan status wanita dalam mengurus rumah
tangga seperti dinyatakan oleh Elizabeth
(2007) bahwa dalam semua strata peran dan
status perempuan dalam mengurus
keberlangsungan rumah tangga terindikasi
lebih tinggi dibanding laki-laki (kepala
keluarga). Masih menurut Elizabeth (2007),
pada dasarnya wanita memiliki peranan ganda
dalam rumah tangga yakni: 1) peran kerja
sebagai ibu rumah tangga, meski tidak
langsung menghasilkan pendapatan, secara
produktif bekerja mendukung kaum pria
(kepala keluarga) untuk mencari penghasilan
(uang); dan 2) berperan sebagai pencari
nafkah (tambahan ataupun utama).
Perempuan di kedua kabupaten
mempunyai akses yang lebih dominan
dibandingkan dengan laki-laki dalam
pengolahan hasil panen dan pemasaran. Hal
ini ditandai dengan besarnya peluang dan
kesempatan yang diberikan kepada
perempuan untuk secara langsung
bernegosiasi dengan pedagang atau pembeli
yang akan membeli hasil pertanian mereka.
Dalam hal ini, laki-laki hanya sekedar
diberikan informasi oleh perempuan terkait
dengan pola distribusi dan penjualan mereka
dan hasil penjualannyapun sepenuhnya
diorientasikan untuk kebutuhan sehari-hari
bagi semua anggota keluarga. Dominasi
perempuan di sektor pertanian tersebut telah
berlangsung lama dan dipandang sebagai
sesuatu yang wajar (Wahyuni, 2007). Oleh
karena itu, perempuan petani harus diberi
kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk
memperoleh akses kepada lahan dan
sumberdaya yang lain, seperti kredit,
teknologi, dan pengetahuan.
Laki-laki dan perempuan memiliki
akses yang hampir sama dalam kegiatan
pemeliharaan di hutan rakyat. Hal ini sejalan
dengan beberapa hasil penelitian yang
menunjukkan bahwa petani perempuan
mempunyai akses yang sama dengan laki-laki
dalam peningkatan input pertanian seperti
pemupukan, persemaian, peningkatan hasil
jagung sebanyak 16% di Malawi, 17% di
Ghana dan 19% di Kenya Barat
(World_Bank, 2012).
Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)
41
Implementasi program pembangunan
pertanian di tingkat desa menunjukkan akses
laki-laki terhadap program pembangunan
lebih besar dibanding perempuan (Hastuti,
2004). Paradigma modernisasi dalam
pelaksanaan pembangunan pertanian yang
mengutamakan prinsip efisiensi, secara nyata
telah mengakibatkan terjadinya berbagai
perubahan pada masyarakat petani, baik
struktur sosial, budaya dan politik terutama
pada struktur ekonomi di perdesaan. Alokasi
sumberdaya pertanian terbukti tidak
memberikan kesempatan yang sama
berdasarkan gender. Penerapan teknologi
pertanian modern telah meminggirkan bahkan
menghilangkan akses dan kontrol perempuan
petani khususnya pada aspek budidaya (Hesti,
2012). Proyek-proyek pembangunan tidak
banyak melibatkan perempuan, sehingga
dalam introduksi teknologi pertanian petani
perempuan tidak memperoleh akses
sebagaimana pada petani laki-laki.
Nilai IKKG di kedua lokasi penelitian
untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan
kegiatan hutan rakyat pada aspek akses dan
kontrol disajikan dalam Tabel 4 dan 5.
Tabel 4. Nilai IKKG untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan kegiatan di Kabupaten Banyumas
Table 4. EEI value for every variable of resources and stage of activities in Banyumas District
Uraian Akses Kontrol
(Description) (Acces) (Control)
IKKG Klasifikasi IKKG Klasifikasi
(EEI) (Clasification) (EEI) (Clasification)
Sumberdaya (Resources)
1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 0,3 DL 0,3 DL
2. Komoditas yang diusahakan (Crops cultivated) 0,31 DL 0,05 DL
3. Informasi (Information) 0,1 DL 0,05 DL
4. Pendidikan(Education) 0,07 DL 0,02 DL
5. Pelatihan (Training) 0,15 DL 0,09 DL
6. Penyuluhan pertanian(Agricultural extention) 0,1 DL 0,04 DL
7. Hasil penjualan (Sales revenue) 0,8 BS 0,21 DL
8. Modal (Capital) 0,16 DL 0,18 DL
9. Kredit (Credit) 0,14 DL 1,15 DL
10.Peralatan kerja (Equipment) 0,1 DL 0,17 DL
Tahapan Kegiatan (Stage of Activity)
1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 0,14 DL 0,09 DL
2. Pembibitan (Nursery) 0,23 DL 0,17 DL
3. Pola tanam (Cropping pattern) 0,21 DL 0,25 DL
4. Pemupukan (Fertilization) 0,24 DL 0,12 DL
5. Pemeliharaan (Maintenance) 0,29 DL 0,15 DL
6. Penyiraman (Watering) 0,29 DL 0,15 DL
7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and
disease control)
0,29 DL 0,15 DL
8. Pengolahan hasil hutan (Post harvest processing) 8,00 DP 0,29 DL
9. Pemasaran (Marketing) 2,53 DP 1,44 DP
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012
Keterangan (Remarks): DL = Dominan Laki-laki; BS= Laki-Laki dan Perempuan sama-sama dominan; DP = Dominan
Perempuan
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)
42
Tabel 5. Nilai IKKG untuk setiap variabel sumberdaya dan tahapan kegiatan di Kabupaten Banjarnegara
Table 5. EEI value for every variable of resources and stage of activities in Banjarnegara District
Uraian Akses Kontrol
(Description) (Acces) (Control)
IKKG Klasifikasi IKKG Klasifikasi
(EEI) (Clasification) (EEI) (Clasification)
Sumberdaya (Resources)
1. Lahan hutan rakyat (Private forest land) 0,57 BS 0,49 DL
2. Komoditas yang diusahakan (Crops cultivated) 0,23 DL 0,64 BS
3. Informasi (Information) 0,27 DL 0,21 DL
4. Pendidikan(Education) 0,17 DL 0,63 BS
5. Pelatihan (Training) 0,19 DL 0,05 DL
6. Penyuluhan pertanian (Agricultural Extention) 0,17 DL 0,51 BS
7. Hasil penjualan ( Sales revenue) 0,68 BS 0,15 DL
8. Modal (Capital) 0,2 DL 0,15 DL
9. Kredit (Credit) 0,27 DL 0,23 DL
10. Peralatan kerja (Equipment) 0,04 DL 0,05 DL
Tahapan Kegiatan (Stage of Activity)
1. Pengolahan lahan (Land cultivation) 0,29 DL 0,05 DL
2. Pembibitan (Nursery) 0,20 DL 0,09 DL
3. Pola tanam (Cropping pattern) 0,19 DL 0,32 DL
4. Pemupukan (Fertilization) 0,23 DL 0,75 BS
5. Pemeliharaan (Maintenance) 0,58 BS 0,39 DL
6. Penyiraman (Watering) 0,52 BS 0,15 DL
7. Pengendalian hama dan penyakit (Pest and
disease control)
0,36 DL 0,08 DL
8. Pengolahan hasil hutan (Post harvest processing) 2,25 DP 0,42 DL
9. Pemasaran (Marketing) 1,15 DP 0,8 BS
Sumber (Source): Data primer (Primary data), 2012
Keterangan (Remarks): DL = Dominan Laki-laki; BS= Laki-Laki dan Perempuan sama-sama dominan; DP = Dominan
Perempuan
Pada Tabel 4 dan 5 terlihat bahwa
sebagian besar akses maupun kontrol terhadap
sumberdaya dan tahapan kegiatan didominasi
oleh laki-laki yang ditunjukkan oleh nilai
IKKG sebesar kurang dari 0,5. Terdapat dua
variabel akses di Kabupaten Banyumas
maupun di Kabupaten Banjarnegara yang
didominasi oleh perempuan yaitu akses
terhadap pengolahan hasil dan pemasaran.
Sementara kegiatan yang dilakukan secara
bersama-sama baik oleh laki-laki maupun
perempuan dalam pengelolaan hutan rakyat di
Kabupaten Banjarnegara lebih banyak
dibandingkan dengan di Kabupaten
Banyumas. Di Kabupaten Banyumas hanya
akses terhadap hasil penjualan yang dilakukan
bersama dengan nilai IKKG 0,80; sedangkan
di Kabupaten Banjarnegara akses terhadap
sumberdaya lahan (0,57) dan hasil penjualan
(0,68) serta akses terhadap kegiatan
pemeliharaan (0,58) dan penyiraman. (0,52).
Pada Tabel 4 dan 5 juga terlihat
kontrol terhadap sumberdaya dan tahapan
kegiatan di hutan rakyat di dominasi oleh
Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)
43
laki-laki. Kontrol yang didominasi
perempuan di Kabupaten Banyumas terlihat
pada tahapan pemasaran, sedangkan di
Kabupaten Banjarnegara tidak ada
sumberdaya maupun kegiatan yang
didominasi perempuan, tetapi terdapat 3
variabel yang dilakukan bersama yaitu kontrol
terhadap komoditas yang diusahakan,
penyuluhan pertanian dan kontrol terhadap
kegiatan pemupukan. Meskipun persentase
responden yang menyatakan bahwa dalam
melakukan akses dan kontrol terhadap sumber
daya dilakukan secara bersama-sama antara
suami dan istri, namun disini peran istri juga
sangat lemah yaitu hanya sebagai pendengar
atau lebihnya sebagai pertimbangan,
pengambil keputusan tetap suami (Sari et al.,
2009).
Akses dan kontrol laki-laki dan
perempuan yang berbeda tersebut dapat
dipengaruhi oleh beberapa faktor. Menurut
(Palit, 2009) faktor-faktor yang
mempengaruhi akses dan kontrol laki-laki dan
perempuan terhadap sumberdaya dan manfaat
terdiri dari dua yaitu faktor internal dan faktor
eksternal (Palit, 2009). Faktor internal
mencakup umur, pendidikan formal, jumlah
anggota keluarga, luas lahan/modal dan
pendapatan. Faktor eksternal mencakup
intensitas mengakses informasi dan
keterlibatan dalam kelompok. Faktor
penguasaan lahan rumah tangga,
keikutsertaan suami-istri dalam kegiatan
kelompok dan pengetahuan lokal suami istri
dalam budidaya tanaman di lahan hutan
mempengaruhi akses dan kontrol pada
rumahtangga petani terlebih pada laki-laki.
Sedangkan pada rumah tangga buruh tani,
faktor-faktor tersebut tidak mempengaruhi
akses dan kontrol atas sumberdaya dalam
kegiatan pengelolaan hutan rakyat
(Rahmawati & Sunito, 2013).
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Pola relasi gender dalam pengelolaan
hutan rakyat di Kabupaten Banyumas dan
Kabupaten Banjarnegara menunjukkan bahwa
laki-laki masih mendominasi dalam akses
terhadap sumberdaya hutan rakyat seperti:
lahan, komoditas yang diusahakan,
pendidikan, pelatihan, penyuluhan pertanian,
modal, kredit, serta peralatan maupun akses
terhadap tahapan kegiatan pengelolaan hutan
rakyat seperti pengolahan lahan, pembibitan,
pemupukan, pola tanam, pemeliharaan, serta
pengendalian hama dan penyakit. Perempuan
hanya lebih dominan dalam akses terhadap
pengolahan pasca panen dan pemasaran. Pada
aspek kontrol di Kabupaten Banyumas,
perempuan mendominasi pada tahapan
kegiatan pemasaran, sementara di Kabupaten
Banjarnegara tidak ada dominasi baik pada
sumberdaya maupun tahapan kegiatan
pengelolaan hutan rakyat, namun kontrol
terhadap komoditas yang diusahakan dan
penyiraman, pemupukan dan pemasaran
dilakukan secara bersama-sama.
B. Saran
Dominasi perempuan dalam
pengelolaan hutan rakyat terutama pada
penjualan hasil panen, pengolahan
pascapanen dan pemasaran dipandang sebagai
sesuatu yang wajar. Memperhatikan peran
sentral perempuan dalam pengelolaan hutan
rakyat sehingga perempuan harus diberi
kesempatan yang sama dengan laki-laki untuk
memperoleh akses dan kontrol terhadap
sumberdaya dan tahapan kegiatan dalam
pengelolaan hutan rakyat. Untuk
meningkatkan peran perempuan dalam
pengelolaan hutan rakyat, diperlukan
dukungan baik dari pemerintah pusat maupun
pemerintah daerah (provinsi/kabupaten)
melalui pelibatan perempuan dalam
penyuluhan/pelatihan seperti pelatihan
tentang pengolahan pascapanen dan perluasan
jaringan pemasaran untuk meningkatkan nilai
tambah dari hutan rakyat. Selain itu juga
perlu peningkatan keterlibatan perempuan
dalam kegiatan dan kepengurusan kelompok
tani, dimana selama ini perempuan biasanya
hanya dilibatkan secara terbatas seperti
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 33-45)
44
sebagai tenaga upahan dalam kegiatan/proyek
kelompok.
UCAPAN TERIMA KASIH
Ucapan terima kasih disampaikan
kepada Balai Penelitian dan Pengembangan
Teknologi Agroforestry atas kesempatannya
sehingga kegiatan penelitian ini dapat
dilaksanakan.
DAFTAR PUSTAKA
Deere, C. D., Oduro, A. D., Swaminathan, H.,
& Doss, C. (2013). Property rights and
the gender distribution of wealth in
Ecuador, Ghana, and India. The Journal
of Economic Inequality, 11, 249-265.
E.W. Chirwa, E. W., Mvula, P. M., Dorward,
A., & Matita., M. (2011). Gender and
Intrahousehold Use of Fertilizers in The
Malawi Farm Input Subsidy
Programme. Future Agriculture
Working Paper 02. Retrieved from
http://www.dfid.gov.uk.
Elizabeth, R. (2007). Pemberdayaan Wanita
Mendukung Strategi Gender
Mainstreaming dalam Kebijakan
Pembangunan Pertanian di Perdesaan.
Forum Penelitian Agro Ekonomi, 25
(2), 126-135.
Fakih, M. (2007). Analisis gender &
transformasi sosial Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Farmia, A. (2006). Peran perempuan
indonesia dalam pembangunan
Pertanian Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian.,
2 (1), 35-41.
Fauziyah, E., Firdaus, N., & Sanudin. (2013).
Pemilihan jenis dan pembagian peran
dalam pengelolaan hutan rakyat
berbasis HHBK. Paper presented at the Seminar Nasional Hasil Penelitian
HHBK, Mataram.
Hartomo, W. (2007). Kebijakan Sistem
Usahatani Berkelanjutan Responsif
Gender di Kabupaten Karanganyar
Provinsi Jawa Tengah.
Hastuti, E. L. (2004). Hambatan sosial budaya
dalam pengarusutamaan gender di
Indonesia Retrieved from
http://pse.litbang.deptan.go.id/ind/pdffil
e s/WP_50_2004.pdf.
Hesti, R. W. (2012). Identifikasi Kebutuhan
Teknologi Pertanian dalam Usaha
Pertanian Semi-arid Menurut Perspektif
Petani Perempuan: Tantangan Bagi
Peneliti. Retrieved from
http://hartapplcng.blogspot.com/
2012/04/identifikasi-kebutuhan-
teknologi.html
Johnson, N. L., Kovarik, C., Meinzen-Dick,
R., Njuk, J., & Quisumbing, A. (2016).
Gender, assets, and agricultural
development: lessons from eight
projects World Development, 83, 295-
311.
Palit, M. A. (2009). Status dan peran wanita
tani etnik papua dalam pengambilan
keputusan rumahtangga di Distrik
Sentani Kabupaten Sentani Provinsi
Papua. . (Tesis), Institut Pertanian
Bogor. , Bogor.
Rahmawati, F., & Sunito, M. A. (2013).
Faktor-faktor yang mempengaruhi akses
dan kontrol laki-laki dan perempuan
dalam pengelolaan sumberdaya hutan
rakyat (Studi: Desa Gunung Bunder II,
Kecamatan Pamijahan, Kabupaten
Bogor, Provinsi Jawa. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan, Desember 2013,
206-221.
Ruth Meinzen-Dick, Johnson, N.,
Quisumbing, A., Jemimah Njuki,
Behrman, J., Rubin, D., . . . Waithanji.,
E. (2011). Gender, assets, and
agricultural development programs: a
conceptual framework Retrieved from
Washington, DC:
Akses dan kontrol rumah tangga petani......(Eva Fauziyah)
45
Sari, A. I., Purnomo, S. H., & Rahayu, E. T.
(2009). Sistem pembagian kerja, akses
dan kontrol terhadap sumber daya
ekonomi dalam keluarga peternak
rakyat sapi potong di Kabupaten
Grobogan. Sains Peternakan, 7 (1)
Maret 36-44.
Smale, M. (2011). Does household headship
affect demand for hybrid maize seed in
kenya? an exploratory analysis based
on 2010 survey data. . Retrieved from
East Lansing, MI.:
Wahyuni, E. S. (2007). Perempuan petani dan
penanggulangan kemiskinan.
Agrimedia, 12 (1).
World_Bank. (2012). Gender Equality and
Develonpment. Retrieved from
Washington, DC:
Yuwono, D. M. (2013). Pengarusutamaan
Gender Dalam Pembangunan Pertanian:
Kasus Pada Pelaksanaan Program Feati
Di Kabupaten Magelang. Badan
Pengkajian Teknologi Pertanian. Jawa
Tengah. SEPA, 10(1), 140-147.
KERAGAMAN MAKROFAUNA TANAH PADA AGROFORESTRI JATI
(Tectona grandis) DAN JALAWURE (Tacca leontopetaloides)
(The Diversity of Soil Macrofauna on Agroforestry Teak (Tectona grandis) and Polynesian
Arrowroot (Tacca leontopetaloides)
Aji Winara1
1Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi Agroforestry
Jl. Raya Ciamis-Banjar Km. 4 Ciamis 46201 Telp. (0265) 771352, Fax. (0265) 775866
Email: [email protected]
Diterima 22 November 2018, direvisi 14 Desember 2018, disetujui 22 Desember 2018
ABSTRACT
Teak and polynesian arrowroot is a new pattern of agroforestry to support food security of communities around forests
in coastal areas. The presence of polynesian arrowroot under teak stands is not only expected to be food sources but
also to provide ecological benefits for biodiversity, especially soil macrofauna. The study aims is to determine the
diversity of soil macrofauna in teak and polynesia arrowroot agroforestry patterns. The study was conducted in Garut
Regency in April 2017. The method used in this study was monolithic technique and analyzed by calculating diversity
and richness index. The object was an agroforestry demonstration plot with three polynesia arrowroot spacings under
7-years-old teak stand and monoculture teak. The results showed that there were 5 soil macrofaunas in teak and
polynesian arrowroot agroforestry which are from five families and five orders. The dominance order was coleoptera
with Important Value Index (IVI) = 133.93% -157.78% and opisthophora with IVI = 103.51%. The diversity and
richness of soil macrofauna in teak and polynesian arrowroot agroforestry patterns is low (H '= 0.28-0.55; R' = 0.87-
1.48). Although agroforestry cultivation is carried out intensively, there is no difference in the diversity of soil
macrofauna when compared to teak monoculture.
Keywords: Agroforestry teak and polynesian arrowroot, diversity, soil fauna.
ABSTRAK
Jati dan jalawure merupakan pola agroforestri baru guna mendukung ketahanan pangan masyarakat sekitar hutan di
wilayah pesisir pantai. Hadirnya jalawure dibawah tegakan jati tidak hanya diharapkan sebagai penyedia pangan tetapi
memberikan manfaat secara ekologi bagi biodiversitas khususnya makrofauna tanah. Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui keragaman makrofauna tanah pada pola agroforestri jati dan jalawure. Penelitian dilaksanakan di
Kabupaten Garut pada bulan April 2017. Metode penelitian yang digunakan adalah teknik monolit dan dianalisis
dengan penghitungan indek keragaman dan kekayaan jenis. Objek penelitian adalah demplot agroforestri dengan tiga
jarak tanam jalawure dibawah tegakan jati berumur 7 tahun dan jati monokultur. Hasil penelitian menunjukkan
makrofauna tanah pada agroforestri jati dan jalawure dijumpai sebanyak 5 jenis yang berasal dari lima famili dan lima
ordo. Ordo dominan adalah coleoptera (INP = 133,93% -157,78%) dan opisthophora (INP = 103,51%). Keragaman dan
kekayaan jenis makrofauna tanah pada pola agroforestri jati dan jalawure tergolong rendah (H’= 0,28-0,55; R’= 0,87-
1,48). Meskipun budidaya agroforestri dilakukan secara intensif namun tidak dijumpai adanya perbedaan keragaman
makrofauna tanah jika dibandingkan jati monokultur.
Kata kunci: agroforestri jati dan jalawure, keragaman, fauna tanah.
I. PENDAHULUAN
Invertebrata tanah kelompok
makrofauna merupakan organisme yang
berperan dalam ekosistem seperti berperan
positif dalam memperbaiki sifat tanah baik
secara langsung berupa ketersediaan hara
tanah ataupun penyedia sumber makanan bagi
mikrofauna tanah yang akan memperbaiki
sifat tanah (Lavelle et al., 2006). Sistem
budidaya tanaman akan berpengaruh terhadap
keragaman fauna tanah seperti pengelolaan
lahan yang intensif dapat menurunkan
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)
48
keragaman fauna tanah (Jouquet, Dauber,
Lagerlo, Lavelle, & Lepage, 2006).
Agroforestri merupakan sebuah sistem
kombinasi pola tanam antara tanaman
kehutanan dengan tanaman pertanian dengan
tujuan untuk kelestarian manfaat ekonomi,
ekologi dan sosial. Biodiversitas menjadi
salah satu tolok ukur kelestarian ekologi
dalam sebuah sistem agroforestri, bahkan
sistem agroforestri dapat meningkatkan
biodiversitas dibandingkan pola tanam
monokultur (Jose, 2012). Pola agroforestri
secara sosial telah menjadi penyedia bagi
ketahanan pangan 1,2 juta masyarakat di
dunia (Jamnadass et al., 2013). Demikian pula
di Indonesia, diharapkan agroforestri menjadi
penyedia ketahanan pangan dari hutan baik
lokal maupun nasional. Pada tingkat nasional,
komoditi padi, jagung dan kedelai menjadi
prioritas nasional untuk dikembangkan pada
pola agroforestri khususnya pada areal
perhutanan sosial. Sementara itu, beberapa
jenis komoditi umbi-umbian menjadi
komoditi untuk ketahanan pangan lokal baik
yang sudah mapan seperti ketela pohon
maupun alternatifnya.
Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia
(LIPI) telah merekomendasikan 22 jenis
umbi-umbian alternatif dalam mendukung
ketahanan pangan di antaranya adalah
jalawure (Tacca leontopetaloides) (Maryanto,
2013). Umbi jalawure mengandung
karbohidrat hingga 89% dengan kandungan
energi dari umbi kering hingga 366 Kcal/100
g sehingga cukup untuk menjadi substitusi
karbohidrat dengan kandungan energi tidak
berbeda jauh dengan beberapa jenis pangan
alternatif lain seperti tepung gandum dan
garut (Wardah, Sambas, Ridwan, & Ariani,
2017). Sejak lama sebagian masyarakat
pesisir di Indonesia secara turun temurun
telah memanfaatkan tepung umbi jalawure
sebagai makanan tambahan berupa aneka
macam kue kering dan basah hingga roti
seperti masyarakat di Garut, Madura dan
Kepulauan Karimun Jawa (Martin, Aviana,
Hapsari, Rantau, & Ermayanti, 2012; Budi &
Sihotang, 2013; Setiawan, 2013; Aatjin,
Lelemboto, Koapaha, & Mamahit, 2013).
Agroforestri jalawure di bawah
tegakan jati merupakan model pola tanam
jalawure yang sedang dikembangkan dalam
skala demplot di Kabupaten Garut karena
secara alami jalawure mampu tumbuh di
bawah tegakan seperti dijumpai di bawah
tegakan hutan jati, akasia, mindi, ketapang
dan hutan bambu (Setyowati, Susiarti, &
Rugayah, 2012; Setiawan, 2013; Susiarti,
2015). Model agroforestri jalawure dinilai
berpotensi menjadi penyedia cadangan
pangan alternatif di wilayah pesisir
Kabupaten Garut baik dikembangkan secara
monokultur maupun agroforestri dengan
tegakan jati (Winara, 2018). Agroforestri jati
dan jalawure merupakan model agroforestri
baru sehingga kajian mengenai lingkungan
agroforestri belum pernah dilakukan.
Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui
pengaruh agroforestri jati dan jalawure
terhadap keragaman makrofauna tanah.
II. BAHAN DAN METODE
A. Waktu dan Lokasi Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan
April 2017. Lokasi penelitian adalah demplot
agroforestri dengan pohon utama jati (Tectona
grandis) berumur 7 tahun (jarak tanam 2 m x
3 m dan rataan luas bidang dasar 0,17 m2) dan
tanaman bawah jalawure (T. leontopetaloides)
berumur 6 bulan sebagaimana disajikan dalam
Gambar 1. Demplot penelitian terletak di
Desa Cigadog Kecamatan Cikelet Kabupaten
Garut, Provinsi Jawa Barat.
Gambar 1. Demplot agroforestri jati dan jalawure
(tanda panah) di Kabupaten Garut
Figure 1. Demonstration plots of agroforestry teak and
polynesian arrowroot (arrow sign) in Garut Regency
Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)
49
B. Bahan dan Alat
Bahan penelitian yang digunakan
antara lain sampel fauna tanah, alkohol 70%
dan perlengkapan koleksi spesimen. Adapun
alat yang digunakan dalam penelitian ini
antara lain cangkul, sekop dan meteran.
C. Metode
Demplot agroforestri jati-jalawure
dibangun dengan rancangan acak kelompok
dengan 4 perlakuan meliputi perlakuan
kontrol tanpa jalawure atau monokultur jati
dan tiga perlakuan jarak tanam jalawure di
bawah tegakan jati (agroforestri) meliputi
jarak tanam 50 x 50 cm, 75 x 75 cm dan 100 x
100 cm, setiap perlakuan diulang 3 kali (3
kelompok). Plot perlakuan agroforestri
mendapatkan pemupukan dasar berupa pupuk
kandang kotoran sapi dengan dosis 5 ton/ha.
Gambar 2. Letak plot pengamatan makrofauna tanah
Figure 1. The location of soil macrofauna plot
observation
Teknik pengumpulan data makrofauna
tanah menggunakan metode monolit dengan
teknik sortasi tangan (hand sortation
technique) mengacu pada Anwar (2006)
dengan modifikasi pada peletakan plot
penelitian. Plot berukuran 30 cm x 30 cm
dengan kedalaman 25 cm diletakkan secara
disengaja pada setiap plot perlakuan
penelitian dengan arah garis diagonal
terhadap plot (Gambar 2). Jumlah plot
pengamatan setiap perlakuan jarak tanam
jalawure adalah 9 plot sehingga total menjadi
36 plot pengamatan. Sampel tanah dilakukan
ekstraksi secara langsung di lokasi penelitian,
kemudian sampel makrofauna tanah
dikumpulkan dan diawetkan menggunakan
alkohol 70% untuk dilakukan identifikasi
morfologis di laboratorium Balai Penelitian
dan Pengembangan Teknologi Agroforestry.
D. Analisis Data
Analisis deskriptif dilakukan untuk
mengetahui gambaran makrofauna tanah
menggunakan pendekatan indeks nilai penting
jenis, indeks keragaman jenis Shannon-
Wienner, indeks kekayaan jenis Margalef,
indeks kemerataan jenis Shannon-Wienner
dan indeks kesamaan jenis Sorrensens
kuantitatif.
∑ (
)
(
) ∑
.......... (1)
.............................. (2)
dimana adalah indeks keragaman jenis
Shannon-Wienner, adalah indeks kekayaan
jenis Margalef, adalah indeks kemerataan jenis, adalah indeks kesamaan jenis
Sorrensens kualitatif, adalah jumlah
individu tiap jenis , adalah jumlah total
seluruh populasi, adalah loagritma natural,
adalah jumlah jenis, adalah jumlah
populasi di lokasi , adalah jumlah
populasi di lokasi , adalah jumlah
terendah dari dua populasi jenis antara kedua
lokasi dan .
Nilai ndeks keragaman jenis menurut
Shannon-Wienner didefinisikan sebagai
berikut:
- > 3 menunjukkan keragaman jenis melimpah tinggi
- 1 ≤ ≤ 3 menunjukkan keragaman jenis
melimpah sedang
- < 1 menunjukkan keragaman jenis rendah
Nilai indeks kekayaan jenis Margalef
didefinisikan sebagai berikut:
- > 5 menunjukkan kekayaan jenis tinggi
- 3,5 ≤ ≤ 5 menunjukkan kekayaan jenis
sedang
Plot agroforestri
Plot
monolit
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)
50
- < 3,5 menunjukkan kekayaan jenis
rendah
Nilai indeks kemerataan jenis ( )
menunjukkan tingkat kemerataan jenis pada
suatu komunitas dengan rentang nilai 0 – 1.
Kemerataan jenis suatu pada komunitas
semakin tersebar merata jika nilainya
mendekati angka 1 dan demikian pula
sebaliknya jika nilainya mendekati nol maka
semakin tidak merata jenis pada komunitas
tersebut.
Nilai kesamaan jenis ( )
menunjukkan tingkat kesamaan jenis antar
komunitas dengan rentang nilai 0 – 1. Nilai
tersebut menunjukkan semakin mendekati
angka 1 maka semakin sama jenis yang
terdapat diantara dua komunitas tersebut, demikian pula sebaliknya semakin mendekati
nilai nol berarti semakin berbeda jenis pada
kedua komunitas tersebut.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Komposisi dan Nilai Penting Jenis
Komposisi dan nilai penting jenis
makrofauna tanah pada pola agroforestri jati
jalawure dan monokultur jati di Kabupaten
Garut disajikan pada Tabel 1. Sebanyak 5
jenis makrofauna tanah yang berasal dari 5
famili dan 5 ordo dijumpai pada pola
agroforestri jati-jalawure, sedangkan pada
pola tanam monokultur jati dijumpai 4 jenis
makrofauna yang berasal dari 4 famili dan 4
ordo.
Beberapa jenis makrofauna tanah yang
dijumpai pada beberapa pola tanam
agroforestri jalawure di antaranya Lumbricus
sp. (Ordo Ophisthopora), Microtermes sp.
(Ordo Isoptera), Phyllophaga sp. (Ordo
Coleoptera), Oniscus sp. (Ordo Isopoda) dan
Geophilo sp. (Ordo Geophilomorpha).
Terdapat dua jenis makrofauna tanah yang
tergolong soil engineer yang banyak berperan
dalam dekomposisi bahan organik dalam
tanah (Jouquet et al., 2006), yaitu kelompok
cacing (Ordo Ophisthopora) dan rayap (Ordo
Isoptera).
Beberapa jenis makrofauna tanah
mendominasi pada agroforestri jati-jalawure
dan monokultur jati (Tabel 1) di antaranya
cacing tanah jenis Lumbricus sp.
mendominasi pola agroforestri jati-jalawure
pola 1 (INP = 103,51 %) dan jati monokultur
(INP = 82,15 %). Jenis Lumbricus merupakan
cacing tanah pemakan serasah yang cukup
efektif dalam dekomposisi bahan organik
(Anwar, 2009).
Cacing tanah dapat meningkatkan
kesuburan tanah dan ketersediaan hara karena
proses dekomposisi bahan organik menjadi
lebih cepat 2-5 kali dibandingkan bahan
organik tanpa kehadiran organism tersebut
(Maftu’ah & Susanti, 2009). Hasil
dekomposisi bahan organik mati oleh cacing
tanah menyediakan unsur hara yang tersedia
bagi tanaman berupa kotoran cacing.
Sementara itu, pada pola agroforestri
jati-jalawure 2 dan 3 didominasi oleh uret
jenis Phyllophaga sp. dengan nilai INP
berturut-turut sebesar 133,93 % dan 157,78
%. Jenis Phyllophaga sp. ditemukan pula
pada jati monokultur dengan nilai INP sebesar
53,63 % di bawah kelimpahan cacing tanah.
Jenis Phyllophaga sp. tergolong herbivor
yang bersifat hama penting terutama bagi
beberapa tanaman pertanian. Pupuk kandang
sangat disukai oleh Phyllophaga terutama
pupuk kandang dari ternak sapi (Brandhorst-
Hubbard, Flanders, & Appel, 2001).
Kehadiran Phyllophaga lebih banyak pada
pola agroforestri kemungkinan berkaitan
dengan pemberian pupuk kandang dalam pola
agroforestri sedangkan pada monokultur tidak
ada penambahan pupuk kandang.
Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)
51
Tabel 1. Nilai penting jenis makrofauna tanah pada beberapa pola agroforestri jati-jalawure dan monokultur jati
Table 1. Important values of soil macrofauna species in teak-polynesian arrowroot agroforestry and teak
monoculture.
Pola
(Pattern)
/No
Jenis
(Species)
Famili
(Family)
Ordo
(Ordo)
KR
(%)
FR
(%)
INP
(%)
K
1 Lumbricus sp. Annelidae Opisthopora 42,11 40,04 82,15
2 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 31,58 30,03 61,61
3 Microtermes sp. Termitidae Isoptera 21,05 20,02 41,07
4 Forficula sp. Forficulidae Dermaptera 5,26 10,01 15,27
Total 100,00 100,25 200,25
AF1
1 Lumbricus sp. Annelidae Opisthopora 53,33 50,18 103,51
2 Microtermes sp. Termitidae Isoptera 13,33 14,34 27,67
3 Oniscus sp. Oniscidae Isopoda 6,67 7,17 13,84
4 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 20,00 21,51 41,51
5 Geophilo sp. Geophilidae Geophilomorpha 6,67 7,17 13,84
Total 100,00 100,36 200,36
AF2
1 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 62,50 71,43 133,93
2 Lumbricus sp. Annelidae Opisthopora 25,00 14,29 39,29
3 Geophilo sp. Geophilidae Geophilomorpha 12,50 14,29 26,79
Total 100,00 100,00 200,00
AF3
1 Phyllophaga sp. Scarabaeidae Coleoptera 80,00 77,78 157,78
2 Oniscus sp. Oniscidae Isopoda 10,00 11,11 21,11
3 Microtermes sp. Termitidae Isoptera 10,00 11,11 21,11
Total 100,00 100,00 200,00
Keterangan: K = Monokultur jati; AF 1= Jati-jalawure jarak tanam 0,5 x 0,5 m; AF 2 = Jati-jalawure jarak tanam 0,75
x 0,75 m; AF 3 = Jati-jalawure jarak tanam 1 x 1 m; KR = Kerapatan relatif; FR = Frekuensi relatif; INP =
Indeks nilai penting.
Remark: K = Teak monoculture; AF 1= Teak-polynesian arrowroot with spacing 0.5 x 0.5 m; AF 2 = Teak-polynesian
arrowroot with spacing 0.75 x 0.75 m; AF 3 = Teak-polynesian arrowroot with spacing 1 x 1 m; KR =
Relative density; FR = Relative frequency; INP = Important Value Index.
B. Keragaman, Kekayaan, Kemerataan
dan Kesamaan Jenis
Keragaman jenis makrofauna tanah
pada pola agroforestri jati-jalawure
berdasarkan indeks Shannon-Wienner ( )
sebesar 0,28 - 0,55, sedangkan pada
monokultur jati sebesar 0,55 (Tabel 2). Hal ini
menunjukkan keragaman makrofauna tanah
pada kedua jenis pola tanam tersebut berada
pada kategori yang sama yaitu tergolong
rendah yang ditunjukkan dengan nilai indeks
keragaman jenis Shannon-Wienner ( ) lebih
kecil dari 1.
Hasil analisis kekayaan jenis
makrofauna tanah (Tabel 2) menunjukkan
bahwa kekayaan jenis ( ) makrofauna tanah pada pola monokultur jati sebesar 1,31,
sedangkan pada pola agroforestri jati-jalawure
berkisar pada nilai sebesar 0,87-1,48. Nilai
kekayaan makrofauna pada kedua pola
tersebut tergolong pada tingkatan yang sama
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)
52
yaitu tergolong kekayaan jenis rendah ( <
3,5).
Berdasarkan indeks kemerataan jenis
menunjukkan bahwa pola agroforestri jati dan
jalawure pada pola AF1 dan AF2 tidak
berbeda jauh dengan monokultur jati (K)
dengan tingkat kemerataan jenis cukup besar
yaitu 0,80-0,82 atau sekitar 80-82 % tersebar
merata sedangkan kemerataan jenis
makrofauna pada monokultur jati mencapai
88 % sebagaimana Tabel 2. Meskipun
demikian kemerataan jenis pada pola AF3
lebih rendah yaitu sebesar 0,58 atau tersebar
merata sebesar 58 %.
Tabel 2. Nilai Indeks Keragaman, Kekayaan dan Kemerataan Jenis makrofauna tanah pada beberapa pola agroforestri
jati-jalawure dan monokultur jati
Table 2. The value of diversity, richness and evenness species index of soil macrofauna in some patterns of teak-
polynesian arrowroot agroforestry and teak monoculture
Parameter
(Parameter) K AF1 AF2 AF3
0,55 0,28 0,55 0,49
1,31 1,48 0,96 0,87
0,88 0,8 0,82 0,58
Keterangan: K = Monokultur jati; AF 1= Jati-Jalawure jarak tanam 0,5 x 0,5 m; AF 2 = Jati-Jalawure jarak tanam 0,75
x 0,75 m; AF 3 = Jati-Jalawure jarak tanam 1 x 1 m; = Indeks Keragaman Shannon-Wienner; =
Indeks Kekayaan Margalef; = Indeks Kemerataan. Remark: K = Teak monoculture; AF 1= Teak-polynesian arrowroot with spacing 0.5 x 0.5 m; AF 2 = Teak-polynesian
arrowroot with spacing 0.75 x 0.75 m; AF 3 = Teak-polynesian arrowroot with spacing 1 x 1 m. =
Shannon-Wienner biodiversity index; = Margalef richness index; = Eveness index.
Tingkat keragaman dan kekayaan
jenis makrofauna pada pola agroforestri jati-
jalawure dan monokultur jati tergolong sama
kemungkinan karena perbedaan jumlah jenis
tumbuhan pada agroforestri dengan
monokultur hanya satu jenis yaitu jalawure
sehingga tidak berpengaruh pada hadirnya
makrofauna yang lebih beragam. Keragaman
makrofauna tanah lebih banyak berkaitan
dengan ketersediaan dan kualitas bahan
organik tanah dan sisa-sisa biomassa tanaman
bawah sebagai sumber bahan makanan
(Korboulewsky, Perez, & Chauvat, 2016).
Demikian pula adanya perbedaan perlakuan
budidaya antar pola tanam agroforestri dan
monokultur seperti adanya input pupuk
kandang pada pola agroforestri jati-jalawure,
tidak berpengaruh pada peningkatan kategori
keragaman jenis makrofauna tanah jika
dibandingkan dengan keragaman makrofauna
tanah pada pola monokultur jati (tanpa input
pupuk kandang).
Selain itu pengelolaan agroforestri jati
jalawure lebih intensif dibandingkan
monokultur jati seperti adanya penyiangan
dan pendangiran tanah secara rutin sehingga
berpengaruh pada keragaman makrofauna
tanah. Hal ini sebagaimana menurut Halwany
(2014) dan Phophi, Mafongoya, Odindo, &
Magwaza (2017) bahwa diversitas fauna
tanah mengalami penurunan seiring dengan
meningkatnya pengelolaan tanah yang
intensif pada sistem budidaya tanaman.
Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)
53
Tabel 3. Indeks kesamaan jenis makrofauna tanah pada beberapa pola agroforestri jati-jalawure dan monokultur jati
Table 3. The value of simmilarity species index of soil macrofauna in some patterns of teak-polynesian arrowroot and
teak monoculture
Pola (pattern) K AF 1 AF 2 AF 3
K 1,00 0,72 0,48 0,38
AF1 0,72 1,00 0,52 0,32
AF2 0,48 0,52 1,00 0,55
AF3 0,38 0,32 0,55 1,00 Keterangan: K = Monokultur jati; AF 1= Jati-Jalawure jarak tanam 0,5 x 0,5 m; AF 2 = Jati-Jalawure jarak tanam 0,75
x 0,75 m; AF 3 = Jati-Jalawure jarak tanam 1 x 1 m. Remark: K = Teak monoculture; AF 1= Teak-polynesian arrowroot with spacing 0.5 m x 0.5 m; AF 2 = Teak-
polynesian arrowroot with spacing 0.75 m x 0.75 m; AF 3 = Teak-polynesian arrowroot with spacing 1 m x 1
m.
Tabel 3 menunjukkan kesamaan jenis
makrofauna tanah pada beberapa pola
agroforestri jalawure sebesar 32% - 55%,
sementara itu jika dibandingkan dengan
monokultur jati terdapat pola agroforestri
yang memiliki kesamaan jenis lebih tinggi
yaitu sebesar 72% (AF1). Hal ini
menunjukkan kehadiran jenis makrofauna
tanah pada agroforestri jati jalawure dan
monokultur jati tidak mengalami perbedaan
jenis yang besar.
Berdasarkan kajian keragaman,
kekayaan, kemerataan dan kesamaan jenis
makrofauna tanah antar pola agroforestri jati
jalawure dan monokultur jati menunjukkan
pola agroforestri jati jalawure tidak
berpengaruh terhadap eksistensi makrofauna
tanah. Hal tersebut ditunjukkan oleh adanya
kesamaan kategori tingkat kekayaan dan
keragaman jenis makrofauna tanah antara
pola tanam agroforestri jati jalawure dengan
monokultur jati.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Makrofauna tanah pada agroforestri
jati dan jalawure dijumpai sebanyak 5 jenis
yang berasal dari lima famili dan lima ordo.
Keragaman dan kekayaan jenis makrofauna
tanah pada pola agroforestri jati dan jalawure
tergolong rendah (H’= 0,28 - 0,55; R’= 0,87-
1,48) dengan nilai kesamaan jenis
dibandingkan dengan pola monokultur
sebesar 38 % - 72 % .
B. Saran
Pola agroforestri jati dan jalawure
dapat dikembangkan untuk ketahanan pangan
di wilayah pesisir karena tidak berpengaruh
negatif terhadap keragaman makrofauna
tanah.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kepada BPPTA yang
telah membiaya penelitian ini, juga kepada
Bapak Dadi sebagai pemilik lahan hutan jati
dan Kelompok Tani Muara Tani 2 di Desa
Cigadog, Kecamatan Cikelet, Kabupaten
Garut yang telah membantu teknis penelitian.
DAFTAR PUSTAKA
Aatjin, A. Z., Lelemboto, M. B., Koapaha, T.,
& Mamahit, L. P. (2013). Pemanfaatan
Pati Tacca (Tacca leontopetaloides) Pad
Pembuatan Biskuit. COCOS, 2(1), 1–8.
Anwar, E. K. (2006). Pengambilan Contoh
untuk Penelitian Fauna Tanah. In R.
Saraswati, E. Husen, & R. D. M.
Simanungkalit (Eds.), Metode Analisis
Biologi Tanah (pp. 249–258). Bogor:
Balai Besar Penelitian dan
Pengembangan Sumberdaya Lahan
Pertanian.
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 47-55)
54
Anwar, E. K. (2009). Efektivitas cacing tanah
Pheretima hupiensis , Edrellus sp . dan
Lumbricus sp . dalam proses
dekomposisi bahan organik. J. Tanah
Trop., 14(2), 149–158.
Brandhorst-Hubbard, J. ., Flanders, K. L., &
Appel, A. G. (2001). Oviposition site
and food preference of the green June
beetle (Coleoptera: Scarabaeidae).
(Abstract). Journal of Economic
Entomology, 94(3), 628–633. Retrieved
from
https://academic.oup.com/jee/article-
abstract/94/3/628/2217317
Halwany, W. (2014). Peranan makrofauna
tanah terhadap ekosistem. Galam, VII(2),
49–54.
Jamnadass, R., Place, F., Torquebiau, E.,
Iiyama, M., Sileshi, G. W., Kehlenbeck,
K., … Dawson, I. K. (2013).
Agroforestry for food and nutritional
security. Unasylva, 64, 23–29.
Jose, S. (2012). Agroforestry for conserving
and enhancing biodiversity. Agroforest
Syst, 85(March), 1–8.
https://doi.org/10.1007/s10457-012-
9517-5
Jouquet, P., Dauber, J., Lagerlo, J., Lavelle,
P., & Lepage, M. (2006). Soil
invertebrates as ecosystem engineers :
Intended and accidental effects on soil
and feedback loops. Applied Soil
Ecology, 32, 153–164.
https://doi.org/10.1016/j.apsoil.2005.07.
004
Korboulewsky, N., Perez, G., & Chauvat, M.
(2016). How tree diversity affects soil
fauna diversity : A review. Soil Biology
and Biochemistry, 94, 94–106.
https://doi.org/10.1016/j.soilbio.2015.11.
024
Lavelle, P., Decaëns, T., Aubert, M., Barot,
S., Blouin, M., Bureau, F., & Margerie,
P. (2006). Soil invertebrates and
ecosystem services. European Journal of
Soil Biology, 42(2006), 3–15.
https://doi.org/10.1016/j.ejsobi.2006.10.
002
Maftu’ah, E., & Susanti, M. A. (2009).
Komunitas cacing tanah pada beberapa
penggunaan lahan gambut di Kalimantan
Tengah. Berita Biologi, 9(4), 371–378.
Martin, A. F., Aviana, A., Hapsari, B. W.,
Rantau, D. E., & Ermayanti, M. (2012).
Uji fitokimia dan aktivitas antioksidan
pada tanaman ex vitro dan in vitro tacca
leontopetaloides. In Prosiding Seminar
Nasional XV “Kimia dalam
Pembangunan “. Yogyakarta: Jaringan
Kerjasama Kimia Indonesia.
https://doi.org/10.13140/RG.2.1.3648.87
29
Maryanto, I. (2013). Bioresources Untuk
Pembangunan Ekonomi Hijau. (D.
Susiloningsih, Ed.). Lembaga Ilmu
Pengetahuan Indonesia (LIPI).
Phophi, M. M., Mafongoya, P. L., Odindo, A.
O., & Magwaza, L. S. (2017). Screening
cover crops for soil macrofauna
abundance and diversity in conservation
agriculture. Sustainable Agriculture
Research, 6(4), 142–149.
https://doi.org/10.5539/sar.v6n4p142
Setiawan, E. (2013). Eksplorasi Tacca
leontopetaloides (L) : Pola sebaran dan
ekologi di kabupaten Bangkalan. In
Prosiding Seminar Nasional
“Menggagas Kebangkitan Komoditas
Unggulan Lokal Pertanian dan
Kelautan” (pp. 570–574). Madura:
Fakultas Pertanian Universitas
Trunojoyo.
Setyowati, N., Susiarti, S., & Rugayah.
(2012). Tacca leontopetaloides:
Persebaran dan Potensinya sebagai
Sumber Pangan Lokal di Jawa Timur,
536(April), 31–40.
Sihotang, V. B. L. (2013). The Utilization of
Kecondang ( T . leontopetaloides ) in
Karimunjawa Island as Alternative Food.
Keragaman makrofauna tanah pada agroforestri......(Aji Winara)
55
In Proceeding ICGRC 2013 (pp. 44–48).
Malang: Universitas Brawijaya.
Susiarti, S. (2015). Potensi To’toan ( Tacca
leontopetaloides ( L .) O . Kuntze )
sebagai bahan pangan di Pulau Kagean,
Jawa Timur. Berita Biologi, 14(1), 97–
103.
Wardah, Sambas, E. ., Ridwan, & Ariani, D.
(2017). Starch Product of Wild Plants
Species Jalawure ( Tacca
leontopetaloides L .) Kuntze as The
Source of Food Security in The South
Coastal West Java Starch Product of
Wild Plants Species Jalawure ( Tacca
leontopetaloides L .) Kuntze as The
Source of Food Sec. In International
Conference on Food Science and
Engineering 2016: Material Science and
Engineering 193 (pp. 1–10). IOP
Publishing. https://doi.org/10.1088/1757-
899X/193/1/012035
Winara, A. (2018). Potensi agroforestri
jalawure (Tacca leontopetaloides) untuk
ketahanan pangan lokal di Kabupaten
Garut. In Prosiding Seminar Nasional
Agroforestry 2018 (pp. 84–89). Ciamis:
Balai Litbang Teknologi Agroforestry-
Dinas Kehutanan Provinsi Jawa Barat-
Masyarakat Agroforestri Indonesia.
ANALISIS RENDEMEN NIRA DAN KUALITAS GULA AREN (Arenga
pinnata Merr.) DI KABUPATEN TASIKMALAYA
(The analysis of Sap Water Yield and Palm Sugar (Arenga pinnata Merr.) Quality in
Tasikmalaya District)
Dedi Natawijaya1, Suhartono
2, Undang
3
1,2,3
Prodi Agroteknologi, Fakultas Pertanian, Universitas Siliwangi Tasikmalaya.
Kampus. Jl. Siliwangi no. 24 Po. Box. 164 Tasikmalaya 46115.Telp.(0265) 323531
email : [email protected]
Diterima 13 Desember 2018, direvisi 26 Desember 2018, disetujui 28 Desember 2018
ABSTRACT
Development of high quality palm tree is needed for fulfilling the raw material of palm sugar and other products based
on palm tree. This study aims to analyze the sap water yield and palm sugar quality in Tasikmalaya District. The
method used in this study was survey and direct measurement of water content, pH, colour, texture, smell, taste, and
performance. The geographical indication approach was used to determine the location of the study. The result showed
that the average of sap water for palm sugar was 14.13% or 1 kg palm sugar equivalent to 7 litre of sap water,
meanwhile 1 kg palm sugar powder equivalent to 7.6 litre of sap water (13.07%). The water content of palm sugar and
palm sugar powder were 3.5% and 2.2% respectively.
Keywords : palm, sap water, sugar
ABSTRAK
Pengembangan pohon aren yang berkualitas dibutuhkan untuk memenuhi kebutuhan bahan baku gula dan produk
lainnya yang berbasis tanaman aren. Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis rendemen nira dan kualitas gula aren
(Arenga pinnata. Merr.) di Kabupaten Tasikmalaya. Penelitian ini menggunakan metode survey dan pengukuran
langsung terhadap parameter: kadar air, pH ,warna, tekstur, aroma, rasa dan penampakan keseluruhan. Penentuan lokasi
penelitian dilakukan berdasarkan pendekatan indikasi geografis. Hasil penelitian menunjukkan bahwa rendemen nira
aren di Desa Wandasari Kecamatan Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya rata-rata sebesar 14,13 % untuk gula cetak
atau 1 kg gula setara dengan 7 lt nira, dan 13,07 % untuk gula semut atau 1 kg gula semut memerlukan 7,6 lt nira.
Kadar air rata-rata gula cetak dan gula semut berturut turut adalah 3,5 % dan 2,2 %.
Kata kunci: Aren, rendemen nira, kualitas gula.
I. PENDAHULUAN
Tanaman aren (Arenga pinnata Merr.)
merupakan tanaman yang sudah lama dikenal
masyarakat dan memiliki prospek ekonomi
yang cukup tinggi. Pohon aren yang ada saat
ini kebanyakan masih merupakan tanaman
liar, namun sebagian besar bagian pohon aren
bermanfaat dan dapat digunakan untuk
berbagai kebutuhan, mulai dari bagian fisik
seperti akar, batang, daun dan ijuk maupun
hasil produksi seperti nira, pati/tepung dan
buah .
Tanaman aren sangat potensial dalam
mengatasi kekurangan pangan dan mudah
beradaptasi baik pada berbagai agroklimat,
mulai dari dataran rendah sampai 1.400 m di
atas permukaan laut. Tanaman aren sangat
cocok pada kondisi landai dengan kondisi
agroklimat beragam seperti daerah
pegunungan di mana curah hujan tinggi
dengan tanah bertekstur liat berpasir dan
kisaran suhu 20-25°C (Mariati, 2013).
Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)
58
Keragaman agroklimat di setiap
daerah menyebabkan hasil ekonomi dari
setiap daerah berbeda-beda. Contoh dari
penelitian Damayanti, N.P; Sugiyanta, I.G
dan Suwarni, (2012) di Kabupaten Ogan
Komring Ulu selatan, rata-rata pendapatan
petani per bulan dari pemanfaatan pohon aren
masih tergolong rendah yaitu sebesar Rp
995.000,-. Besarnya pendapatan rata-rata total
rumah tangga yaitu sebesar Rp.2.151.667,-,
dengan demikian sumbangan dari
pemanfaatan pohon aren terhadap total
pendapatan rumah tangga sebesar 46 %.
Estimasi laju perkembangan areal
tanaman aren di beberapa provinsi, areal
tanam di seluruh Indonesia mencapai 60.482
ha dengan produksi gula aren sebesar 30.376
ton/tahun (Ditjenbun, 2003). Areal dan
produksi gula yang terbesar terdapat pada
provinsi-provinsi: Jawa Barat 13.135 ha
dengan produksi 6.686 ton gula/tahun, Papua
10.000 ha dengan 2.000 ton gula/tahun,
Sulawesi Selatan 7.293 ha dengan produksi
3.174 ton gula/tahun, dan Sulawesi Utara
6.000 ha dengan produksi 3.000 ton gula/ha
(Effendi, 2010).
Pohon aren dapat tumbuh dengan baik
pada ketinggian 500 m – 800 m dpl. Pohon ini
tidak membutuhkan tanah yang terlalu subur,
dapat hidup di semua kondisi tanah (tanah
liat, tanah berkapur dan tanah berpasir). Curah
hujan yang ideal untuk pohon aren sekitar 1.
200 mm/tahun, kedalaman air tanah 1-3 m,
suhu rata-rata 25oC beriklim sedang sampai
basah, tetapi tidak tahan pada daerah yang
kadar asamnya tinggi. Pada umumnya pohon
aren bisa tumbuh di hampir setiap daerah di
Indonesia.
Kabupaten Tasikmalaya memiliki
potensi untuk mengembangkan tanaman aren.
Agroklimat Kabupaten Tasikmalaya dan
sekitarnya memiliki eksisting tanaman aren
hutan yang jumlahnya cukup besar. Di
Kecamatan Bojonggambir seperti Desa
Bojong Kapol, Wandasari dan Girimukti
tercatat jumlah pohon aren sebanyak 38.378
pohon aren hutan yang berkembang secara
alami . Saat ini populasi aren di alam semakin
berkurang. Hal ini disebabkan oleh
banyaknya pohon yang sudah tua, sehingga
tidak produktif lagi, sedangkan upaya
peremajaan populasi aren belum dilakukan
secara maksimal (Mujahidin,. Sutrisno,. Dian,
L,. Tri, H. dan Izu, 2003). Banyaknya
masyarakat yang memanfaatkan aren untuk
kegiatan industri rumah tangga, tanpa adanya
upaya peremajaan dikhawatirkan akan
menyebabkan populasi aren semakin
terancam (Lutony, 1993).
Nira aren mengandung gula antara 10-
15% , baik bunga jantan maupun bunga betina
(Hasbullah, 2001). Namun biasanya, tandan
bunga jantan dapat menghasilkan nira dengan
kualitas lebih baik dan lebih banyak. Oleh
karena itu penyadapan nira hanya dilakukan
pada tandan bunga jantan. Nira aren cepat
mengalami perubahan menjadi asam karena
terjadi proses fermentasi. Proses fermentasi
mulai terjadi pada saat nira keluar dari tandan
bunga aren, karena nira memiliki kandungan
gizi yang cukup tinggi (Gafar, P.A., dan
Heryani, 2012)
Komposisi nira aren mengandung air
87,66%, gula 12,04%, protein 0,36%, serta
lemak dan abu masing-masing 0,36% dan
0,21%, sehingga berpotensi untuk tempat
tumbuh dan berkembangnya mikroba seperti
jamur atau bakteri (Gafar, P.A., dan Heryani,
2012). Selain itu, pada umumnya wadah
penampung nira tidak bersih dan sudah
terdapat mikroba sehingga proses fermentasi
berlangsung dengan cepat. Nira yang baru
menetes dari tandan bunga mempunyai
derajat keasaman (pH) sekitar 7, tetapi karena
pengaruh keadaan sekitarnya cairan itu mudah
mengalami kontaminasi oleh mikroba dan
terjadi proses fermentasi sehingga pH nira
menurun (Soetedjo, J.N.M., Suharto, 2009)
Bagi masyarakat di Kabupaten
Tasikmalaya pohon aren merupakan salah
satu sumber pendapatan rumah tangga,
terutama dari pengolahan nira menjadi gula
aren dan gula semut, kolang kaling, sapu lidi,
tepung aren, tuak, ijuk dan lain-lain. Tanaman
aren memiliki beberapa kelebihan dan salah
satunya adalah sebagai salah satu sumber
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 57-64)
59
penghasil bio-ethanol. Aren memproduksi
6.000 liter- 40.000 liter bio-ethanol perhektar
pertahun (Effendi, 2010). Menurut beberapa
penelitian untuk membuat 1 liter Bio-ethanol
FGA (full grade alcohol) dengan kadar 99,5%
dapat dibuat dari 12-15 liter nira aren. Dengan
demikian tanaman aren juga dapat
dikembangkan sebagai penghasil energi
alternatif (Evaliza, 2014).
Hasil nira aren berbeda-beda untuk
setiap daerah, misalnya di Kabupaten
Tapanuli Selatan sebesar 6,82 liter perbatang
per hari, di Minahasa mencapai 10-20 liter
perbatang per hari, di Kabupaten Lima Puluh
Kota rata-rata 15 liter per batang dalam sekali
penyadapan, serta di Kutai Timur rata rata
12,14 liter perhari (Evaliza, 2014). Di Jawa
Tengah satu pohon aren mampu
menghasilkan 20 - 40 liter nira per hari (Dinas
Kehutanan Jawa Tengah, 2010). Rata-rata
petani pelaku usaha industri pengolahan aren
dalam satu harinya memperoleh sekitar 20 -
30 liter nira per pohon. Dari 7 - 8 liter nira
diperoleh rata-rata 1 kg gula merah tergantung
dari kadar konsentrasi gula di dalam nira.
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis rendemen nira dan kualitas gula
aren di daerah Wandasari Bojonggambir
kabupaten Tasikmalaya dengan harapan dapat
diperoleh informasi tentang kekurangan dan
kelebihan proses pengolahan gula yang
dilakukan oleh petani setempat.
II. BAHAN DAN METODE
Penelitian dilaksanakan di Desa
Wandasari Kecamatan Bojonggambir
Kabupaten Tasikmalaya yaitu dilaksanakan
pada bulan Agustus 2017. Alat penampung
nira yang digunakan petani adalah berupa ruas
bambu petung (lodong bambu). Metode yang
digunakan adalah survey dan pengukuran
langsung (kualitatif deskriptif dan pengukuran
langsung) terhadap beberapa parameter:
kadar air, pH ,warna, tekstur, aroma, rasa dan
penampakan keseluruhan Jumlah lokasi yang
dijadikan sampel sebanyak 11 tempat. Untuk
data pengukuran langsung berupa pengujian
di laboratorium Fakultas Pertanian
Universitas Siliwangi (Unsil). Data yang
diperoleh dianalisis dengan perhitungan rata-
rata. Analisa kualitas gula dilaksanakan di
laboratorium Fakultas Pertanian Unsil yang
meliputi : kadar air, pH, warna, tekstur,
aroma, rasa dan penampakan keseluruhan.
Tabel 1. Data Kondisi air nira milik petani penyadap di Desa Wandasari, Kecamatan Bojong gambir, Kabupaten
Tasikmalaya
Table 1. Sap water condition belong to tapping farmers in Wandasari Village, Bojong gambir Sub-district,
Tasikmalaya
No
Nama petani
(farmers)
Lokasi sampel
(Location)
Warna nira
(Colour)
pH
Umur
tanaman
(Tree Age)
Tahun
(Year)
Hasil nira/pohon
(Yield of sap
water/tree)
Liter
(litre)
1 Jejen/Umayah Cinangela Coklat muda 5 20 25
2 Supriatna Legok Lame Coklat terang 6 10 25
3 Dede Kurniawan Legok Jambu Coklat terang 6 8 15
4 Usup Cisoka Coklat tua 6 9 12
5 Nasrudin Bojong kapol Coklat tua 7 17 17
6 Cucu Rosita Bojong salam Coklat 7 9 20
7 Jeje/Jili Cipetir Coklat tua 8 18 20
8 Jumaeli Cibeureum Coklat tua 8 8 30
9 Jalal Burujul Coklat tua 8 15 15
10 Sulaeman Cinangela Coklat 9 8 30
11 Utin Tajmudin Pasir nagara Coklat 10 8 20
Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)
60
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
Dari hasil pengambilan sampel air nira
yang ada di Desa Wandasari Kecamatan
Bojonggambir Kabupaten Tasikmalaya,
diperoleh data kondisi nira dengan
karakterikstik seperti disajikan dalam Tabel
1.Tabel 1 menunjukkan bahwa kondisi nira
para petani memiliki keragaman dalam hal
warna nira dari mulai warna coklat muda
sampai coklat tua agak kehitaman, pH nira
dengan kisaran 5 sampai 10 dimana pH 5
menunjukkan pH yang asam sedangkan pH
10 sudah tergolong basa. Perbedaan pH dan
warna nira tampaknya disebabkan oleh
kebersihan alat tampung, proses penyadapan
dan juga jarak pohon ke rumah petani yang
membutuhkan waktu lebih lama. Hal ini akan
mengakibatkan kualitas hasil gula yang
diperoleh akan bervariasi pula. pH yang
terlalu asam maupun yang basa selain dapat
mempengaruhi rasa gula juga dapat
mengakibatkan kegagalan dalam proses
pengolahan.
Tidak diperoleh data terkait jenis
pohon aren yang ada di kebun masing-masing
petani, apakah termasuk jenis aren kawung
ageung, kawung saeran, kawung kembang,
atau kawung monyet. Perbedaan jenis aren
ini akan berpotensi adanya perbedaan dalam
hasil nira maupun rendemen gula yang
dihasilkan. Hal ini masih perlu pendataan
lebih lanjut terutama yang berkaitan dengan
hal-hal seperti tinggi pohon, diameter batang,
banyak/sedikitnya tandan caruluk (bunga
betina).
Berdasarkan hasil pengamatan
lapangan di Desa Wandasari secara umum
terdapat tiga kelompok umur tanaman aren
yaitu anakan pohon dengan usia kurang dari 2
tahun, pohon muda yang berusia antara 4-8
tahun, dan pohon dewasa yang produktif
berusia lebih dari 8 tahun. Penyadapan
dilakukan pada pohon aren yang sudah
berumur 10-12 tahun dan setelah bunga jantan
mekar (tua). Ciri-ciri bunga jantan yang sudah
siap disadap diantaranya adalah sebagai
berikut :
a. Bunga sudah mekar dan bagian dalam
bunga (benang sari) berwarna kuning.
b. Sudah tercium bau yang sangat tajam
apabila kita berada di bawah pohon aren.
c. Di sekitar tandan bunga keluar getah
yang sangat lengket.
d. Bunga sudah berwarna hijau tua, hitam
atau ungu kehitaman.
Apabila tanda-tanda tersebut sudah
muncul maka penyadapan sudah dapat
dilakukan dimulai dengan pembersihan
batang pohon aren dari ijuk dan membuka
salumpitnya (pelepah), kemudian dilanjutkan
dengan pemasangan tangga, pemukulan
pelepah bunga, mengayun-ayun tandan bunga
dan memotong tandan bunga. Setiap tandan
bunga jantan dapat disadap niranya setiap
hari, selama kira-kira 5-7 bulan berturut-turut,
tergantung panjang tandan, jumlah ruas pada
tandan dan kesuburan pohonnya.
Pada proses penyadapan, dalam upaya
agar nira tidak cepat basi dikenal istilah
pemberian raru. Raru merupakan bahan
pengawet alami yang dapat berasal dari
bahan-bahan daun-daunan, seperti daun togog
(famili Moraceae), daun jambu air (Syzigium
aquea Burn.f.), daun manggis (Garcinia
mangostana L.) dan pucuk bambu tali
(Gigantochloa apus). Raru yang berasal dari
tumbuhan digunakan dengan cara meremas-
remas 2-3 lembar daunnya dengan tangan,
kemudian dimasukkan ke dalam lodong.
Sedangkan raru yang berasal dari sabun
batangan, digunakan dengan cara
memasukkan sedikit bubuk sabun batangan ke
dalam lodong. Bahan pengawet alami atau
raru yang digunakan oleh petani aren diduga
mengandung komponen tannin yang aktif
sebagai bahan antimikroba (Irawan, 2009).
Menurut (Kusumah, 1992), sifat-sifat tannin
yang penting sebagai bahan pengawet adalah
bersifat fungisida dan menghambat adsorpsi
permukaan oleh khamir.
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 57-64)
61
Kerusakan nira yang menyebabkan
nira menjadi asam, berbuih putih dan
berlendir akan menghasilkan gula berwarna
cokelat kehitaman, lembek atau lunak sampai
tidak dapat dicetak. Kerusakan nira dapat
disebabkan akibat pisau sadap dan lodong
yang kurang bersih. Untuk mengatasinya
(Kusumah, 1992), pisau sadap dan lodong
harus dijaga kebersihannya. Pisau sadap
sebaiknya dibersihkan dengan air bersih dan
dibilas dengan air panas, kemudian
dikeringkan baru disimpan. Lodong harus
dibilas beberapa kali dengan air dingin dan air
panas lalu diasapi untuk mempercepat proses
pengeringan.
Hasil pengujian terhadap rata-rata
rendemen nira pada gula cetak dan gula semut
disajikan pada Tabel. 2. Rata-rata rendemen
gula cetak adalah 14,13 % . Ini berarti bahwa
dalam 7 liter nira akan diperoleh 1 kg gula.
Sedangkan rendemen gula semut
menunjukkan rata-rata 13,07 %, yang berarti
bahwa dalam 7,6 liter nira akan dihasilkan 1
kg gula semut. Hasil uji rendemen nira pada
penelitian lain rata-rata 11,18% (Evaliza,
2014), 15% (Pontoh, 2013), dan 10,48%
(Lempang, 2012).
Hasil penelitian Lempang (2012) di
Kabupaten Maros provinsi Sulawesi Selatan
menunjukkan bahwa volume produksi nira
aren dari setiap tandan bunga jantan rata-rata
4,5 liter/hari dengan kisaran antara 2,8 sampai
7,0 liter/hari dengan waktu penyadapan setiap
tandan 1,5 sampai 3 bulan (rata-rata 2,5
bulan). Pada tanaman aren yang sehat setiap
tandan bunga jantan bisa menghasilkan nira
sebanyak 900-1.800 liter/tandan, sedangkan
pada tanaman aren yang pertumbuhannya
kurang baik hanya rata-rata 300-400
liter/tandan (Lutony, 1993).
Tabel 2. Hasil analisis rendemen gula aren di Desa Wandasari Kecamatan Bojong Gambir Kab. Tasikmalaya
Table 2. Analysis of palm sugar yield Wandasari Village, Bojong gambir Sub-district, Tasikmalaya
No.
Sampel
Rendemen Gula Cetak (%)
(yield of sugar)
Rendemen Gula Semut (%)
(yield of sugar)
1 19,10 19,10
2 21,81 18,18
3 14,14 12,54
4 10,00 8,41
5 10,51 11,08
6 8,86 8,30
7 15,36 14,42
8 13,28 13,13
9 12,09 11,56
10 19,10 19,10
11 11,13 7,90
Rata-rata 14,13 13,07
Hasil pengujian terhadap kualitas gula
meliputi rata-rata kadar air, pH, warna,
tekstur, aroma dan rasa gula aren cetak dan
gula semut dapat dilihat pada Tabel 3. Kadar
air gula cetak sebesar 3,5 % dan gula semut
sebesar 2,0 % termasuk kualitas baik karena
kadar gula masih ada pada kisaran yang direkomendasikan oleh Dewan Standar
nasional Industri. Kadar air yang
direkomendasi (Badan Standarisasi Nasional,
1995), pada gula semut maksimum sebesar
3%. Demikian pula untuk nira nilai pH nya
berada pada kisaran antara 6 sampai 7
merupakan pH yang ideal yaitu mendekati
netral sampai netral. Kadar air rata-rata gula
pada umumnya sekitar 6,33 %, kadar abu
rata-rata 0,24 % dan padatan tak larut 5,06 %.
Pengawasan terhadap kadar air sangat
penting untuk mempertahankan mutu produk. Air yang terdapat dalam bentuk bebas pada
bahan pangan dapat membantu terjadinya
proses kerusakan pangan. Kadar air dalam
suatu bahan berperan dalam reaksi kimia,
perubahan enzimatis ataupun pertumbuhan
Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)
62
mikroorganisme. Hal tersebut terjadi
umumnya pada kadar air tinggi dan akan
dipengaruhi pula oleh faktor lingkungan
seperti pH dan suhu.
Tabel 3. Hasil analisis kualitas dan sensoris gula aren di Desa Wandasari Kecamatan Bojong Gambir Kab.
Tasikmalaya
Table 3. Analysis and organoleptic analysis of palm sugar Wandasari Village, Bojong gambir Sub-district,
Tasikmalaya
Rata-rata
(average)
Gula Cetak
(print of sugar)
Gula Semut (ant
of sugar)
Analisa kualitas dan
sensoris gula aren
Kadar air 3,5 % 2,0 %
pH 6-7 6-7
Warna Coklat Coklat muda
Tekstur Keras normal Keras normal
Aroma Harum Harum
Rasa Manis Manis
Faktor yang paling berpengaruh
terhadap tingginya kadar air gula aren kristal
adalah titik akhir pemasakan, pemberian
bahan tambahan, pengolahan, pengemasan,
serta penyimpanan. Titik akhir pemasakan
yang rendah akan menyebabkan evaporasi air
dalam gula rendah sehingga kadar air gula
menjadi tinggi. Pemberian bahan tambahan
mengakibatkan impurities dalam gula
semakin tinggi sehingga gula menjadi
semakin higroskopis.
Kadar air yang tinggi akan
ditunjukkan oleh tekstur produk yang sedikit
lembab. Gula sifatnya higroskopis, yakni
mudah menyerap air, kadar air yang tinggi
akan memudahkan untuk penyerapan air dari
udara sehingga daya simpan produk akan
lebih pendek. Kadar air gula semut yang
tinggi akan memicu terjadinya penggumpalan
gula (clumping), hal ini juga akan mengurangi
kualitas fisik produk (Susi, 2013). Bahan
padatan tak larut yang tinggi pada bahan atau
nira, akan memberikan efek pada tingginya
kandungan padatan tak larut pada gula. Hal
ini dapat diantisipasi dengan cara melakukan
penyaringan sehingga dapat meminimalkan
padatan tak larut termasuk partikel kotoran di
dalamnya. Gula cetak yang berkualitas buruk
biasanya berasal dari kualitas nira yang
kurang baik pula, pada proses pemasakan gula
nira harus memiliki pH antara 6-7. Jika pH
nira kurang dari 6 atau bahkan cenderung
asam, maka sukrosa pada nira sudah
terhidrolisis menjadi glukosa dan fruktosa
sehingga proses kristalisasi akan kurang baik
(Susi, 2013).
Salah satu kriteria mutu gula aren
yang telah ditetapkan oleh Standard Nasional
Industri (SNI) adalah warna gula. Mengenai
warna gula palma, Badan Standarisasi
Nasional (1995) telah menetapkan standar
warna gula yaitu warna kuning kecokelatan
sampai cokelat. Penetapan kadar air yang
terkandung pada gula aren sangat penting
untuk mengetahui kandungan padatan yang
terkandung pada gula tersebut sehingga akan
mempermudah perhitungan kandungan
sukrosa dan gula pereduksi. Berdasarkan
ketentuan (SNI) bahwa kadar air untuk gula
palma cetakan maksimal 10 % dan
kandungan gula pereduksi maksimal 10 %.
Adanya gula pereduksi dalam gula
aren disebabkan adanya ragi yang
menfermentasi sukrosa menjadi gula
pereduksi. Semakin tinggi kandungan gula
pereduksi dalam gula aren maka kualitas gula
semakin kurang baik (Pontoh, 2013).
Tingginya kadar gula pereduksi dapat
disebabkan oleh perlakuan bahan baku (nira)
yang terkontaminasi baik dari penyadapan
nira sampai pada proses pengolahan produk
gula. Semakin rendah kadar gula pereduksi
maka semakin bagus kualitas gula, dan
sebaliknya semakin tinggi kadar gula
Jurnal Agroforestri Indonesia Vol.1 No.1, Desember 2018 (Hal. 57-64)
63
reduksinya maka semakin rendah kualitas
gula tersebut. Terdapat korelasi positif antara
pH dan gula pereduksi terhadap warna gula
aren.
Nira aren yang langsung di olah lebih
baik dari nira aren yang telah mengalami
proses penyimpanan (Baharuddin., M. Muin.,
2007). Kondisi keasaman nira sangat berperan
dalam pembentukan warna gula (Nurlela,
2002). Mikroba seperti jamur akan cepat
berkembang biak bila kebutuhan hidupnya
terpenuhi, yaitu berupa makanan yang cukup
dari nira, oksigen (O2), suhu yang sesuai, dan
tidak adanya faktor penghambat pertumbuhan
dan perkembangannya, maka jamur akan
dapat merombak kandungan gula dari nira
yang segar menjadi nira yang terfermentasi
sehingga nira akan berubah menjadi semakin
masam, pahit atau beraroma alkohol.
Nira mempunyai kandungan air antara
75 – 90 %, zat padat total sebesar 15 -19,7%
yang meliputi kadar sukrosa sebesar 12,3 -
17.4%, gula reduksi 0,5 -1%, protein 0,23 -
0,32% dan abu 0,11 - 0,41%. Karakteristik
nira adalah 84,4% air, 14,35 % karbohidrat
(terutama sukrosa), 0,66% abu, 0,11%
protein, 0,17% lemak dan 0,31% lain-nya
(Nurlela, 2002). Adapun jenis-jenis Bakteri
yang dapat tumbuh pada nira adalah: Bacillus
subtillis, Baterium aceti, Micrococcus yaitu
Escherichia, Sachromo bacterium,
Flavobakterium, Leuconostoc mesenteroides,
L. dextranicum, Lactobacillus plantarum,
Sarcina dari genus Pediococcus, Acetobacter
(Susi, 2013).
Nira yang baru keluar dari tandan
bunga aren biasanya mempunyai nilai
keasaman antara 6,5 sampai 7 (netral). Proses
fermentasi yang terjadi pada nira bisa
menyebabkan pH nira turun. Beberapa pabrik
gula yang mengolah nira masih menerima
nira dari petani atau memberi toleransi pada
nira aren sampai pada pH 6. Di bawah pH 6
nira sudah dianggap tidak baik untuk diolah
menjadi gula dengan mutu yang baik.
Ada beberapa upaya untuk
mempertahankan mutu nira tetap baik
bertahan seperti pada saat nira baru keluar
dari jaringan pohon yang terluka, yaitu berasa
manis, segar dan berkesan aroma alam yang
khas yaitu :
(1). Mengurangi terjadinya kontak antara nira
dengan udara di sekitarnya sejak nira
keluar dari tandan pohon aren.
(2). Desinfeksi wadah penampungan nira
seperti : mencuci, mengasap dan
sebagainya.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
1. Rendemen nira aren di Desa wandasari
Kecamatam Bojonggambir Kabupaten
Tasikmalaya memiliki rendemen rata-rata
untuk gula cetak sebesar 14,13 % (1 kg
gula cetak setara dengan 7 liter nira) dan
gula semut sebesar 13,07 % (1 kg gula
semut setara dengan 7,6 liter nira) .
2. Kualitas gula cetak memiliki karakteristik
rasa manis, aroma harum, tekstur keras
normal, kisaran pH antara 6-7, warna
coklat dan kadar air 3,5 %, sedang untuk
gula semut memiliki karakteristik rasa
manis, aroma harum, tekstur keras
normal, kisaran pH 6 -7, warna coklat
muda dengan kadar air sebesar 2 %.
B. Saran
1. Alat penampung (lodong bambu) harus
selalu dicuci dengan desinfectan agar
kebersihan nira tetap terjaga.
2. Sebelum dimasak, nira disaring agar
kualitas gula yang dihasilkan lebih
bersih.
3. Alat sadap harus selalu bersih, serta
lodong penampung harus tertutup rapat
agar tidak masuk kotoran jika terjadi
hujan maupun masuknya serangga lain.
UCAPAN TERIMA KASIH
Terima kasih kami sampaikan kepada Ketua
LPPM Unsil serta Dekan Fakultas Pertanian
yang telah membantu pendanaan penelitian
ini.
Analisis Rendemen Nira Dan Kualitas Gula Aren …….(Dedi Natawijaya, Suhartono, Undang)
64
DAFTAR PUSTAKA
Badan Standarisasi Nasional. (1995). Gula
Palma. Jakarta.
Baharuddin., M. Muin., dan H. B. (2007).
Pemanfaatan nira aren (Arenga pinnata
Merr.) sebagai bahan pembuatan gula
putih kistal. J. Perennial., 3, 40–43.
Damayanti, N.P; Sugiyanta, I.G dan Suwarni,
N. (2012). Pemanfaatan Pohon Aren
sebagai Sumber Ekonomi Keluarga di
Desa Air Rupik Kecamatan Banding
Agung Kabupaten Oku Selatan. Jurnal
FKIP UNILA, 1–8.
Dinas Kehutanan Jawa Tengah. (2010).
Budidaya dan Potensi Pengembangan
Tanaman Aren. Semarang: Publikasi
Dishut Jateng.
Dinas Perkebunan Provinsi Kalimantan
Timur. (2013). Data Luas Areal dan
Produksi Tanaman Aren. Dinas
Perkebunan Provinsi Kalimantan Timu.
Samarinda: Dinas Perkebunan Provinsi
Kalimantan Timur.
Effendi, D. S. (2010). Prospek Pengembangan
Tanaman Aren (Arenga pinnata Merr)
Mendukung Kebutuhan Bioetanol di
Indonesia. Jurnal Perspektif, 9(1), 36–
46.
Evaliza, D. (2014). Analisis Finansial
Tanaman Aren di nagari Andaleh Baruh
Bukik Kecamatan Sungayang Kabupaten
Tanah Datar. Jurnal Agribisnis
Kerakyatan, 4(1), 36–46.
Gafar, P.A., dan Heryani, S. (2012).
Pengembangan Proses Pengolahan
Minuman Nira Aren Dengan Teknik
Ultrafiltrasi dan Deodorisasi. Jurnal
Hasil Penelitian Industri, 25(1), 1–10.
Hasbullah. (2001). Teknologi Tepat Guna
Agroindustri Kecil Sumatera Barat.
Padang: Dewan Ilmu Pengetahuan,
Teknologi dan Industri Sumatera Barat.
Kusumah, R. . (1992). Mempelajari Pengaruh
Penambahan Pengawet pada Nira Aren
(Arenga pinnata Merr.) Terhadap Mutu
Gula Merah, Gula Semut, Sirup Nira dan
Gula Putih yang Dihasilkan. Bogor:
Fakultas Teknologi Pertanian IPB.
Lempang, M. (2012). Pohon Aren dan
Manfaat Produksinya. Info Teknis
EBONI. Balai Penelitian Kehutanan
Makassar.
Lutony, T. . (1993). Tanaman Sumber
Pemanis. Jakarta: Penebar Swadaya.
Mariati, R. (2013). Potensi Produksi dan
Prospek Pengembangan Tanaman Aren
(Arenga pinnata Merr ) di Kalimantan
Timur. Jurnal Agrifor, 7(2), 196–205.
Mujahidin,. Sutrisno,. Dian, L,. Tri, H. dan
Izu, A. F. (2003). Aren Budidaya dan
Prospeknya. Bogor: Pusat Konservasi
Tumbuhan Kebun Raya Bogor LIPI.
Nurlela, E. (2002). Kajian Faktor-faktor yang
Mempengaruhi Pembentukan Warna
Gula Merah. Bogor: Fakultas Teknologi
Pertanian IPB.
Pontoh, J. (2013). Penentuan Kandungan
Sukrosa Pada Gula Aren Dengan Metode
Enzimatik. J. Chem. Pro, 6, 26–33.
Soetedjo, J.N.M., Suharto, I. (2009).
Perancangan dan Uji Coba Alat
Evaporator Nira Aren Laporan
Penelitian LPPM. Bandung.
Sunanto, H. (1997). Aren Budidaya dan
Multigunanya. Yogyakarta: Kanisius.
Susi. (2013). Pengaruh Keragaman Gula Aren
Cetak Terhadap Kualitas Gula Aren
Kristal (Palm Sugar) Produksi
Agroindustri Kecil. Jurnal Ziraa’ah,
36(1), 1–11.
PEDOMAN PENULISAN NASKAH
JURNAL AGROFORESTRI INDONESIA
1. Jurnal Agroforestri Indonesia adalah Media Publikasi Ilmiah resmi dari Balai Penelitian dan
Pengembangan Teknologi Agroforestry. Jurnal penelitian ini menerima dan memuat karya tulis
ilmiah yang berasal dari hasil penelitian dan kajian aspek biofisik, ekologi dan sosial ekonomi,
silvikultur, konservasi dan biodiversitas, jasa lingkungan serta bidang kehutanan - pertanian pada
umumnya. Jurnal ini terbit secara berkala dua kali dalam setahun (Juni-Desember)
2. Naskah ditulis dalam bahasa Indonesia dengan huruf Times New Roman, font ukuran 12 dan jarak 2
(dua) spasi pada kertas A4 putih pada satu permukaan dan disertai file elektroniknya. Pada semua tepi
kertas disisakan ruang kosong minimal 3,5 cm. Naskah sebanyak 2 (dua) rangkap dikirimkan kepada
Sekretariat Redaksi Jurnal Agroforestri Indonesia. File elektronik dikirim ke Sekretariat Redaksi
dalam bentuk CD atau dikirim melalui email ke alamat: [email protected]
3. Penulis menjamin bahwa naskah yang diajukan belum pernah dimuat/diterbitkan dalam publikasi
manapun, dengan cara mengisi blanko pernyataan yang dapat diperoleh di Sekretariat Redaksi
Publikasi Jurnal Agroforestri Indonesia. Pengajuan naskah oleh penulis yang berasal dari
instansi/institusi (bukan perorangan) di luar Balai Penelitian dan Pengembangan Teknologi
Agroforestry harus disertai dengan surat pengantar dari instansi/institusi.
4. Judul ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris, bersifat spesifik, efektif dan sebaiknya tidak terlalu
panjang berkisar antara 10 - 15 kata serta harus mencerminkan isi tulisan. Di bawah judul ditulis
terjemahannya dalam bahasa Inggris yang tercetak dengan huruf kecil dan miring. Nama penulis (satu
atau lebih) dicantumkan di bawah judul dengan huruf kecil. Di bawah nama ditulis institusi asal
penulis dan alamat lengkap instansi/institusi.
5. Isi Naskah terdiri atas: ABSTRACT dengan Keywords dan ABSTRAK dengan Kata Kunci,
PENDAHULUAN, METODE PENELITIAN, HASIL DAN PEMBAHASAN, KESIMPULAN,
PERSANTUNAN (kalau ada), DAFTAR PUSTAKA dan LAMPIRAN (kalau ada).
6. ABSTRAK dibuat dalam Bahasa Indonesia sebaiknya tidak lebih dari 250 kata dan Inggris sebaiknya
tidak lebih dari 150 kata dalam satu paragraf. Isinya berupa intisari permasalahan, tujuan, rancangan
penelitian dan kesimpulan yang dinyatakan secara kuantitatif. Bahasa Inggris ditulis dengan huruf
kecil miring dan bahasa Indonesia ditulis tegak, jarak 1 (satu) spasi. Keywords dan kata kunci masing-
masing tidak lebih dari 5 kata kunci.
7. PENDAHULUAN berisi : latar belakang/masalah, tujuan penelitian dan hipotesis (tidak harus ada).
8. METODE PENELITIAN berisi : Waktu dan Tempat, Bahan dan Alat, Metode, Rancangan
Penelitian (kalau ada), Analisa Data. Metode disajikan secara ringkas namun jelas.
9. HASIL DAN PEMBAHASAN berisi : Hasil dan Pembahasan, dibuat terpisah atau dijadikan satu.
10. Tabel diberi nomor, judul tabel dan keterangan yang diperlukan. Judul, isi dan keterangan tabel
ditulis dalam bahasa Indonesia dan Inggris secara jelas dan singkat. Judul tabel diletakkan di atas
tabel. Keterangan tabel ditulis dengan ukuran huruf lebih kecil dari dari judul tabel.
11. Gambar, Grafik dan Foto harus jelas dan dibuat kontras, diberi judul dan keterangan dalam bahasa
Indonesia dan Inggris. Judul gambar, grafik dan foto diberi nomor dan diletakkan di bawah gambar.
Foto renik atau peta harus diberi skala. Keterangan gambar, grafik dan foto ditulis dengan ukuran
huruf lebih kecil dari judul gambar, grafikdan foto.
12. KESIMPULAN disampaikan secara ringkas (dalam bentuk pointers bernomor), padat, serta
diusahakan dinyatakan secara kuantitatif.
13. PERSANTUNAN berupa ucapan terima kasih kepada orang /instansi/organisasi yang benar-benar
membantu.
14. DAFTAR PUSTAKA mengikuti Pedoman Pengujian Karya Tulis Ilmiah Bidang Badan Litbang
Kehutanan Edisi kedua tahun 2009 (minimal 15 pustaka, dengan referensi yang berkualitas, dan
dianjurkan 10 tahun terakhir), disusun menurut abjad nama pengarang dengan mencantumkan tahun
terbit, seperti contoh berikut :
Steel, R.G.D. And J.H. Torrie. 1980. Principles and Procedures of Statistics. McGraw Hill Book.,
Inc. New York. 633 pp.
Krisnawati, H., Varis, E., Kallio, M., Kanninen, M. 2011. Paraserianthes falcataria (L.) Nielsen.
Ekologi, Silvikultur dan Produktivitas. CIFOR, Bogor Indonesia.
15. Dewan Redaksi dan Sekretariat Redaksi berhak mengubah dan memperbaiki isi naskah sepanjang tidak
mengubah substansi tulisan. Naskah yang tidak diterbitkan akan dikembalikan kepada penulis.