ispakomplikasitatalaksana

Upload: dewi-febriana

Post on 16-Mar-2016

217 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

kmplksispattlksntrp

TRANSCRIPT

33

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

A. DefinisiIstilah Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) mengandung tiga unsur, yaitu infeksi, saluran pernafasan dan akut. Infeksi adalah masuknya kuman atau mikroorganisme ke dalam tubuh manusia dan berkembang biak sehingga dapat menimbulkan gejala penyakit. Saluran pernafasan adalah organ yang dimulai dari hidung hingga alveoli beserta organ adneksanya seperti sinus, rongga telinga dan pleura. Dengan demikian ISPA secara otomatis mencakup saluran nafas yang dimulai dari hidung termasuk jaringan adneksanya seperti sinus, rongga telinga dan pleura. Infeksi akut adalah infeksi yang berlangsung sampai dengan 14 hari.Infeksi Saluran Pernafasan Akut (ISPA) adalah infeksi pada saluran pernafasan; mulai dari rongga hidung sampai alveoli beserta organ adneksanya (sinus, rongga telinga dan pleura)yang disebabkan oleh mikroorganisme yang berlangsung selama 14 hari ditandai dengan batuk pilek, sakit tenggorokan disertai dengan demam atau tidak.Di dalam buku Pedoman Pemberantasan Penyakit ISPA untuk Penanggulangan Pneumonia pada Balita, disebutkan bahwa pneumonia merupakan salah satu penyakit infeksi saluran pernapasan akut (ISPA) yang mengenai bagian paru (jaringan alveoli). Pertukaran oksigen dan karbondioksida terjadi pada kapiler-kapiler pembuluh darah di dalam alveoli. Pada penderita pneumonia, nanah (pus) dan cairan akan mengisi alveoli tersebut sehingga terjadi kesulitan penyerapan oksigen. Hal ini mengakibatkan kesukaran bernapas.Dikenal istilah lain yang mirip yaitu pneumonitis yang maksudnya kurang lebih sama. Banyak yang menganut pengertian bahwa pneumonia adalah inflamasi paru karena proses infeksi sedangkan pneumonitis adalah inflamasi paru non infeksi. Namun hal ini tidak sepenuhnya disetujui oleh para ahli.4

B. EpidemiologiPneumonia pada anak merupakan infeksi yang serius dan banyak diderita anak-anak di seluruh dunia yang secara fundamental berbeda dengan pneumonia pada dewasa. Di Amerika dan Eropa yang merupakan negara maju angka kejadian pneumonia masih tinggi, diperkirakan setiap tahunnya 30-45 kasus per 1000 anak pada umur kurang dari 5 tahun, 7-20 kasus per 1000 anak pada umur 5-9 tahun, 6-12 kasus per 1000 anak pada umur 9 tahun dan remaja.5Kasus pneumonia di negara berkembang tidak hanya lebih sering didapatkan tetapi juga lebih berat dan banyak menimbulkan kematian pada anak. Insiden puncak pada umur 1-5 tahun dan menurun dengan bertambahnya usia anak. Mortalitas diakibatkan oleh bakteremia oleh karena Streptococcus pneumoniae dan Staphylococcus aureus, tetapi di negara berkembang juga berkaitan dengan malnutrisi dan kurangnya akses perawatan. Dari data mortalitas tahun 1990, pneumonia merupakan seperempat penyebab kematian pada anak dibawah 5 tahun dan 80% terjadi di negara berkembang.4C. Faktor ResikoFaktor Anaka. UmurUmur merupakan salah satu faktor resiko utama pada beberapa penyakit. Hal ini disebabkan karena umur dapat memperlihatkan kondisi kesehatan seseorang. Anak-anak yang berumur 0-24 bulan lebih rentan terhadap penyakit pneumonia dibandingkan anak-anak yang berumur di atas 2 tahun. Hal ini disebabkan imunitas yang belum sempurna dan rongga pernapasan yang masih relatif sempit. Umur yang sangat muda dan sangat tua juga lebih rentan menderita pneumonia yang lebih berat. Hasil surveilans pada tahun 1998/1999 juga memperlihatkan bahwa proporsi pneumonia pada bayi 14,1% lebih tinggi daripada balita. Balita juga rentan terhadap resiko kematian akibat pneumonia. Semakin muda umur seorang anak balita penderita ISPA/pneumonia, maka semakin besar resiko untuk meninggal daripada usia yang lebih tua.b. Riwayat BBLRBBLR adalah neonatus yang lahir dengan berat kurang dari 2.500 gram. Bayi dan balita dengan BBLR umumnya lebih berisiko terhadap kematian, bahkan sejak masa-masa awal kehidupannya. Hal ini disebabkan karena imunitas di dalam tubuhnya belum sempurna Sebuah penelitian juga menyebutkan bahwa bayi 0-4 bulan dengan riwayat BBLR memiliki risiko yang lebih besar untuk menderita pneumonia. c. Pemberian ASIASI adalah air susu yang alami diproduksi oleh ibu dan merupakan sumber gizi yang sangat ideal dan berkomposisi seimbang sesuai dengan kebutuhan pertumbuhan bayi, sehingga dapat dikatakan ASI adalah makanan yang paling sempurna bagi bayi, baik kuantitas maupun kualitas. ASI mengandung nutrisi dan zat-zat penting yang berguna terhadap kekebalan tubuh bayi. Zat-zat yang bersifat protektif tersebut dapat melindungi bayi dari berbagai penyakit infeksi. Oleh sebab itu, sangat penting bagi bayi untuk segera diberikan ASI sejak lahir karena pada saat itu bayi belum dapat memproduksi zat imunitas sendiri.Pemberian ASI ternyata dapat menurunkan risiko ISPA. Sebuah penelitian yang meneliti tentang faktor risiko kejadian Pneumonia pada anak Balita di Kota Banjarmasin pada tahun 2000. Didapatkan bahwa Balita yang tidak mendapatkan ASI eksklusif memiliki risiko menderita Pneumonia sebesar 2 kali lipat dibandingkan Balita yang mendapatkan ASI eksklusif.

d. Status GiziStatus gizi merupakan salah satu faktor yang menentukan derajat kesehatan, khususnya kesehatan anak. Status gizi pada anak dapat dinilai dari pengukuran rasio berat badan dan tinggi (panjang) badan. Status gizi yang baik dapat diperoleh dari asupan gizi yang tentu saja cukup dan seimbang. Kekurangan gizi (malnutrisi) dapat terjadi pada bay dan anak, dan akan menimbulkan gangguan pertumbuhan dan perkembangan yang apabila tidak diatasi secara dini dapat berlanjut hingga dewasa. Studi WHO di Costarica menunjukkan bahwa insidens ISPA bagian bawah pada anak normal adalah 37 per 1000, sedangkan 458 per 1000 terjadi pada anak dengan malnutrisi. Penelitian Boer juga menyebutkan bahwa anak dnegan gizi kurang lebih beresiko terkena penyakit pneumonia.Untuk menentukan status gizi anak balita (usia 0-60 bulan), nilai IMT-nya harus dibandingkan dengan nilai IMT standar WHO 2005 (WHO, 2006); sedangkan pada anak dan remaja usia 5-19 tahun nilai IMT-nya harus dibandingkan dengan referensi WHO/NCHS 2007 (WHO, 2007). Pada saat ini, yang paling sering dilakukan untuk menyatakan indeks tersebut adalah dengan Z-skor atau persentil.Z-skor : deviasi nilai seseorang dari nilai median populasi referensi dibagi dengan simpangan baku populasi referensi.Persentil : tingkatan posisi seseorang pada distribusi referensi (WHO/NCHS), yang dijelaskan dengan nilai seseorang sama atau lebih besar daripada nilai persentase kelompok populasi.Z-skor paling sering digunakan. Secara teoritis, Z-skor dapat dihitung dengan cara berikut : Nilai IMT yang diukur Median Nilai IMT (referensi)Z-Skor = ------------------------------------------------------------- Standar Deviasi dari standar/referensi

Bagaimana klasifikasi status gizinya?. Klasifikasi dapat dilakukan menurut berbagai lembaga. Klasifikasi WHO agak sedikit berbeda dengan klasifikasi menurut Kementerian Kesehatan RI. Klasifikasi status gizi pada IMT yang dihitung dengan menggunakan Z-skor menurut WHO dapat dilihat pada Tabel 1 berikut :Tabel 1. Klasifikasi IMT menurut WHONilai Z-skorKlasifikasi

z-skor +2Overweight (kelebihan berat badan atau gemuk)

-2 < z-skor < +2Normal

-3 < z-skor < -2Kurus

z-skor < -3Sangat kurus

Klasifikasi menurut Kemenkes RI (2010) dibedakan pada kelompok usia 0-60 bulan dengan kelompok usia 5-18 bulan. Klasifikasi IMT untuk usia 0-60 bulan disajikan pada Tabel 2, sedangkan klasifikasi IMT untuk anak usia 5-18 tahun disajikan pada Tabel 3.Tabel 2. Klasifikasi IMT menurut Kemenkes RI 2010 untuk anak usia 0-60 bulanNilai Z-skorKlasifikasi

z-skor +2Gemuk

-2 < z-skor < +2Normal

-3 < z-skor < -2Kurus

z-skor < -3Sangat kurus

e. ImunisasiBeberapa hasil studi menunjukkan bahwa pneumonia merupakan penyakit yang dapat dicegah melalui pemberian imunisasi, yaitu dengan imunisasi campak dan pertusis. Penyakit pertusis berat dapat menyebabkan infeksi saluran napas berat seperti pneumonia. Oleh karena itu, pemberian imunisasi DPT dapat mencegah pneumonia.Akan tetapi, kini telah berkembang di dunia sebuah vaksin yang penggunaannya dapat menurunkan kejadian penyakit infeksi pneumokokus pada bayi dan anak-anak. Pemberian vaksin ini merupakan tindakan pencegahan yang dipercaya sebagai langkah protektif setelah diketahui bahwa saat ini resistensi kuman terhadap antibiotic semakin meningkat.Sebuah penelitian menemukan bahwa balita yang status imunisasinya tidak lengkap 4,28 kali memiliki risiko untuk terkena pneumonia dibanding dengan yang status imunisasinya lengkap. Penelitian lain melaporkan adanya hubungan yang bermakna antara imunisasi campak dengan kejadian pneumonia. Program imunisasi di Indonesia sudah mencapai Universal Child Imunization (UCI) pada akhir tahun, yaitu > 80% bayi sasaran sudah mendapat imunisasi dasar lengkap. Definisi imunisasi lengkap disini adalah sudah mendapat BCG, Polio 3 dosis, DPT 3 dosis, Hepatitis B 3 dosis dan imunisasi campak sebelum umur 12 bulan. Cakupan imunisasi yang tinggi diharapkan dapat menurunkan kejadian penyakit yang diimunisasi dan infeksi sekunder yang sering terjadi berupa pneumonia. Namun sampai saat ini masih terjadi KLB campak dan sangat perlu diketahui penyakit campak dapat menyebabkan supresi kekebalan yaitu penurunan jumlah dan respon eosinofil, limfosit termasuk B dan T cell sehingga dapat terjadi ensefalitis yang disebabkan oleh virus campak atau virus lainnya yang berakibat fatal. Supresi sistem kekebalan tubuh juga dapat mengakibatkan komplikasi sebagai akibat replikasi virus atau karena superinfeksi bakteri atau virus lain, antara lain otitis media, pneumonia, diare dan ensefalitis.Status imunisasi dasar juga mempengaruhi status gizi (BB/U). Proporsi anak balita dengan gizi lebih, kurang atau buruk lebih banyak ditemukan pada anak balita dengan status imunisasi dasar tidak lengkap dibandingkan dengan status imunisasi dasar lengkapAdapaun manfaat dan kapan pemberian imunisasi dasar atau imunisasi wajib Balita meliputi: BCG (Bacillus Calmette Guerin)Indonesia merupakan negara ketiga terbanyak penderita tuberculosis (TBC). Dan untuk mencegah TBC serta komplikasinya, berikan imunisasi BCG yang dilakukan hanya sekali seumur hidup. Imunisasi ini lebih optimal diberikan pada umur 2-3 bulan. Bila vaksin BCG akan diberikan sesudah umur tiga bulan, perlu perlu uji tuberculin. Bila uji tuberkulin pre-BCG tidak dimungkinkan, BCG dapat diberikan namun harus diobservasi dalam tujuh hari. Bila ada reaksi lokal cepat di tempat suntikan, perlu dievaluasi lebih lanjut. Vaksin ini harus diberikan di lengan kanan atas dan bekas suntikan meninggalkan scar (bekas luka). Hepatitis BImunisasi hepatitis B diberikan untuk mencegah penyakit hepatitis B. Diberikan sesaat setelah bayi lahir dan suntikan diulang sebanyak tiga kali saat masih bayi. PolioImunisasi ini dilakukan untuk mencegah penyakit pollomielitis. Gejala yang umum terjadi akibat serangan virus polio adalah anak mendadak lumpuh pada salah satu tungkai bawahnya setelah demam selama 2-5 hari. Vaksin polio diberikan lima kali, biasanya bersama DPT, dengan cara oral maupun suntik. DPT (Diphteria, Pertusis, Tetanus)Imunisasi ini untuk mencegah penyakit Diphteria, Pertusis (batuk rejan), Tetanus. Penyakit ini sudah jarang ditemukan, tapi bila tidak ditangani dengan cepat dan tepat bisa berakibat kematian. Vaksin DPT dan dua kali DT. CampakImunisasi ini untuk mencegah penyakit campak atau tampek yang sangat menular dan dapat disebabkan oleh virus campak. Penularannya bisa melalui udara atau kontak langsung dengan penderita. Gejala-gejalanya antara lain demam, batuk, pilek dan bercak-bercak merah pada permukaan kulit 3-5 hari setelah anak menderita demam. Bercak mula-mula timbul di pipi bawah telinga yang kemudian menjalar ke muka, tubuh dan anggota tubuh lainnya. Komplikasi penyakit campak antara lain radang paru-paru, infeksi saluran cerna, dan radang otak. Vaksin campak diberikan dua kali, yaitu pada umur sembilan bulan dengan vaksin ulangan pada usia 5-7 tahun.

1. Faktor Orangtuaa. Pendidikan IbuPengetahuan seseorang terhadap suatu hal dapat diperoleh melalui jenjang pendidikan. Di negara-negara berkembang, terdapat petunjuk yang jelas tentang adanya perbedaan tingkat kelangsungan hidup anak yang berkaitan dengan pendidikan ibu. Pendidikan ibu adalah salah satu faktor yang secara tidak langsung mempengaruhi kejadian pneumonia pada bayi dan balita.

b. Pengetahuan IbuTingkat pengetahuan ibu berperan besar terhadap kejadian pneumonia balita. Hal ini berkaitan dengan perilaku ibu dalam memberikan makanan yang memadai dan bergizi kepada anaknya serta perilaku ibu dalam pencarian pengobatan. Pengetahuan lebih jauh tentang penyakit pneumonia dan praktik pelayanan yang benar akan meningkatkan keberhasilan dalam upaya penurunan angka kesakitan dan kematian pneumonia.Penelitian menunjukkan bahwa pengetahuan ibu berhubungan dnegan pravalensi pneumonia balita. Hasil penelitian lain menyebutkan jika ibu memiliki pengetahuan yang salah mengenai praktik pencarian pengobatan, maka anaknya akan berisiko sakit pneumonia 4,2 kali lebih besar.c. Sosial EkonomiFaktor sosio-ekonomi merupakan salah satu kontributor utama dalam penyakit pernapasan. Terdapat hubungan korelasi negatif antara status sosial ekonomi dengan morbiditas infeksi saluran napas. Pada umumnya, status ekonomi yang berhubungan dengan insidens pneumonia diukur dari besarnya rumah tangga, banyaknya kamar, dan banyaknya orang yang menghuni tiap kamar. Masyarakat miskin juga identik dengan ketidakmampuannya dalam pemenuhan kebutuhan dasar. Balita yang hidup dalam keluarga dengan sosial ekonomi rendah cenderung kurang mndapat asupan makanan yang cukup sehingga lebih rentan terkena penyakit.

2. Faktor Lingkungan a. Polusi udara dalam rumahPolusi udara dapat terjadi baik dalam rumah maupun di luar rumah. Polusi udara di dalam rumah bisa dihasilkan dari pembuangan asap seperti rokok dan pembakaran kompor tungku atau kayu bakar. Asap tersebut berpotensi besar menimbulkan pajanan partikulat. Jika terhirup, asap tersebut dapat mengganggu pernapasan. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa ada hubungan antara asap pembakaran dengan kejadian pneumonia pada balita. Balita yang terpajan dnegan asap pembakaran berisiko 1,27 kali lebih besar untuk terkena pneumonia dibandingkan dengan balita yang tidak terpajan

b. Kepadatan hunianKepadatan hunian untuk rumah sederhana adalah minimal 10 m2/orang. Jika suatu rumah memiliki kepdatan hunian yang tinggi maka akan mempengaruhi pertukaran udara di dalam rumah. Foster menjelaskan bahwa kepadatan orang dalam rumah berhubungan dengan kejadian pneumonia pada balita.

c. Ventilasi rumahVentilasi atau pertukaran udara adalah proses penyediaan dan pengeluaran udara ke dan atau dari suatu ruang secara alamiah maupun mekanis. Pertukaran udara secara mekanis dilakukan melalui penyediaan lubang ventilasi di dalam rumah. Pada dasarnya luas lubang tersebut minimal 5% dari luas lantai. Akan tetapi, jika ditambah dengan lubang udara lain seperti celah pintu atau jendela, maka luas minimal lubang ventilasi menjadi 10%dari luas lantai.Pada penelitian, diketahui bahwa balita yang tinggal di rumah dengan ventilasi yang tidak sehat akan memiliki risiko 4,2 kali lebih besar untuk terkena pneumonia dibandingkan yang tinggal di rumah dengan ventilasi sehat.

d. Kondisi fisik rumahRumah yang sehat adalah bangunan rumah tinggal yang telah memenuhi syarat kesehatan dengan beberapa kriterianya antara lain memenuhi kebutuhan fisik (suhu, imunisasi dan ventilasi), memenuhi kebutuhan kejiwaan (privasi dan hubungan antar anggota keluarga), memenuhi kebutuhan keselamatan (bangunan yang kokoh dan terhindar dari gas beracun), serta mampu melindungi penghuninya dari kemungkinan penularan penyakit. Oleh sebab itu, sangatlah penting memikirkan hal-hal tersebut di atas agar seluruh anggota keluarga dapat merasa sehat dan nyaman berada di rumah.

Gambar 1. Faktor Risiko Untuk Pneumonia pada Balita

D. Klasifikasi 1. Klasifikasi Pneumonia BeratBerdasarkan adanya batuk dan atau kesukaran bernafas disertai sesak nafas atau tarikan dinding dada bagian bawah ke dalam (chest indrawing) pada anak usia 2 bulan -