islam dan budaya jawa dalam perspektif clifford …
TRANSCRIPT
ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF
CLIFFORD GEERTZ
Skripsi
Diajukan untuk Memenuhi Syarat Memperoleh
Gelar Sarjana Agama (S.Ag)
Oleh:
Muhammad Sairi
NIM: 1113032100015
JURUSAN STUDI AGAMA-AGAMA
FAKULTAS USHULUDDIN
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH
JAKARTA
1439 H/2017 M
v
ABSTRAK
Muhammad Sairi
Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz
Agama Islam di Jawa memiliki karakter dan ekspresi keberagamaan
tersendiri yang unik. Hal ini dikarenakan penyebaran Islam di Jawa, lebih
dominan mengambil bentuk akulturasi, baik yang bersifat menyerap,
menyatu maupun dialogis. Skripsi ini membahas mengenai Islam dan
Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz. Popularitas Geertz,
demikian ia dikenal, semakin melesat baik di negaranya maupun di
Indonesia ketika ia merampungkan penelitiannya tentang Indonesia
khususnya masyarakat Jawa yakni Mojokuto dan Bali serta Maroko dalam
kurun waktu sekitar lima tahun. Hasil penelitian yang dilakukan Geertz ini
kemudian mendapat apresiasi yang besar di kalangan insider (umat Islam
Indonesia) dan outsider (pemikir Barat) terutama karena penelitian ini
dinilai sebagai penelitian yang mampu memberikan “pandangan baru”
dalam diskursus keislaman dan relasinya dengan budaya Jawa.
Kajian tentang pemikiran Geertz itu dilakukan dalam beberapa
tahap. Pertama, mendiskripsikan tentang makna agama menurut para ahli
antropologi. Kedua, mengungkap sisi mutual simbiosis keislaman dan
Kejawaan menurut Geertz. Ketiga, menguraikan metode dan pendekatan
antropologis dan sosiologis yang digunakan oleh Clifford Geertz.
Setelah melewati beberapa tahap diatas, dapat dikemukakan bahwa
menurut Geertz kehadiran Islam di Jawa dengan pelbagai budaya yang
sangat kental tidak menjadikan keduanya saling menegasikan tetapi justru
mampu “hidup” berdampingan dan harmonis. Sementara jika dilihat dari
poal penghayatan dan intensitas pengamalannya terhadap ajaran Islam,
dalam konstruk sosiologis, umat Islam di Jawa dapat diklasifikasikan
menjadi santri, abangan, dan priyayi. Yang pertama adalah representasi
umat Islam Jawa yang sangat ketat dalam menjalankan ajaran Islam
sementara, kebalikannya, yang kedua dan terakhir adalah komunitas muslim
yang menjalankan ajaran Islam dengan ala kadarnya dan bahkan kerap
“acuh”.
vi
KATA PENGANTAR
“Analisa kebudayaan bukanlah satu ilmu eksperimental yang mencari
sebuah hukum, tapi adalah satu penafsiran yang mencari makna.”
~ Clifford Geertz ~
Puji syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat
rahmat serta hidayahnya penulis dapat merampungkan skripi ini dengan
judul Islam dan Budaya Jawa dalam Perspektif Clifford Geertz.
Shalawat serta salam semoga senantiasa tercurah limpahkan kepada
junjungan kita yakni kanjeng Nabi Muhammad SAW, begitu juga kepada
keluarganya dan para sahabatnya, hingga pada umatnya kelak, amiin.
Penulisan skripsi ini diajukan untuk memenuhi syarat memperoleh
gelar Sarjana Agama pada Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, dalam proses penyelesaian
skripsi ini tentunya tidak lepas dari peran berbagai pihak. Untuk itu, tak
dapat dipungkiri rasa bahagia ini sepenuhnya bukan karena jerih payah
penulis sendiri melainkan ada dukungan semangat dari banyak pihak.
Sudah sepatutnya penulis ingin menyampaikan rasa “terima kasih”
dan penghargaan yang tulus kepada semua pihak yang telah membantu
kelancaran skripsi ini. Bantuan dan dukungan mereka, sedikit banyak telah
meringankan beban penulis selama menyusun skripsi ini. Meskipun tidak
semua pihak dapat disebutkan satu persatu, setidaknya penulis merasa perlu
menyebutkan sejumlah nama yang membekas di hati penulis, yaitu:
1. Kedua orang tua penulis yang tidak henti-hentinya memberikan
semangat luar biasa serta doa yang selalu dipanjatkan dalam salatnya.
Membesarkan dan mendidik di lingkungan pesantren, terima kasih.
2. Ibu Dr. Sri Mulyati, MA, selaku pembimbing Skripsi saya yang sejak
semula dengan ketulusan hati dan tidak bosan-bosan memberikan
perhatian dan dorongan yang luas untuk menyelesaikan tugas akhir ini.
vii
3. Ibu Dra. Hermawati, MA, selaku penasihat akademik yang telah
mengesahkan judul penelitian sebagai bahan penulisan skripsi sehingga
penulisan skripsi berjalan dengan lancar.
4. Bapak Drs. M. Nuh Hasan, M.Ag yang menguji proposal skripsi saya
dan Drs. Dadi Darmadi, MA, yang selalu memberikan motivasi
semangat serta meluangkan waktunya untuk diajak diskusi.
5. Bapak Dr. Media Zainul Bahri, MA, dan Ibu Dra. Halimah Mahmudy,
M.Ag, selaku ketua dan sekretaris jurusan Studi Agama-Agama, yang
telah memberikan beberapa masukan yang sangat bermakna.
6. Bapak Prof. Dr. Masri Mansoer, MA selaku Dekan Fakultas
Ushuluddin UIN Syarif Hidayatullah Jakarta. Dan Bapak Prof. Dr.
Dede Rosyada, MA, selaku Rektor UIN Syarif Hidayatullah Jakarta.
7. Segenap jajaran dosen dan guru besar Studi Agama-Agama, Bapak
Prof. Dr. Kautsar Azhari Noer, Bapak Prof. Dr. Ridwan Lubis MA,
Bapak Dr. Amin Nurdin, MA, dan Bapak Dr. Hamid Nasuhi, M.Ag,
Ibu Hj. Siti Nadroh, MA, Bapak Syaiful Azmi, MA, yang senantiasa
memberikan ilmu serta wejangan yang tiada tara manfaatnya.
8. Staf dan karyawan Perpustakaan Fakultas Ushuluddin, dan
Perpustakaan Utama UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, yang banyak
membantu dalam menyediakan referensi yang dibutuhkan penulis.
9. Keluarga besar penulis, Muhammad Khoiri selaku kakak, Adekku
Syaiful Bahri, Nazid Khobir dan Lailatul Fitriyah, serta sepupuku
semuanya, juga buat kakek dan nenek, yang senantiasa menyertakan
nama penulis disetiap do’anya.
10. Teruntuk Gus Ma’mun Jauhari terimakasih atas bantuan buku
refrensinya, serta ilmu yang telah diajarkan kepada saya pribadi semoga
menjadi ilmu yang barokah,amiin.
11. Teman-teman seperjuangan, Daenuri (ustad), Rahmat, Danu, Fadil,
Fauzy, Mulyadi, yang penyabar yang selalu berbagi kegalauan dalam
menyelesaikan skripsi termasuk teman-teman yang lain angkatan 2013.
12. Tak lupa pula teman-teman gowes Bapak Jauhar Azizi, MA, Komunitas
Telat Gowes (KTG), keluarga Dominate. Mardi, Lutfi, Denny.
viii
13. Sahabat penulis, Ahmad Ali Fikri yang bersedia untuk mengoreksi
skirpsi penulis, yang selalu memberikan semangat yang luar biasa
manfaat sehingga penulis tergerak untuk segera menyelesaikan skripsi
ini. Serta kawan seperjuangan The Al-falah Institute Jakarta, Baihaki,
Makmun, Andre, teruntuk Faisal Hasbi skripsinya segera diselesaikan.
Semangat!
14. Sahabat-sahabati KPA (Keluarga Perbandingan Agama), yang
meluangkan waktu bermain bersama, diskusi bersama di sela-sela
kesibukan kuliah masing-masing selama menimba ilmu di jurusan Studi
Agama-Agama. Sahabat-Sahabati PMII KOMFUSPERTUM, Kawan
HMI dan IMM.
15. Team Masjid Fatahillah Rempoa, Abu, Syahrul, Sopyan, Guruh.
Terutama pengurus DKM. Terimakasih yang tak terhingga kepada
keluarga Mas Fauzy, Reyhan, Yeza, dan Arjin.
16. Teman-teman KKN “REMBULAN” UIN Syarif Hidayatullah Jakarta,
yang banyak memberikan pelajaran berharga tentang makna hidup dan
menjalankan arti kehidupan, terima kasih gengs.
Akhirnya, tidak ada manusia sempurna siapapun orangnya pastilah
ia memiliki sifat salah dan lupa. Namun begitu, semua tulisan yang ada di
hadapan pembaca ini adalah tanggung jawab penulis. Untuk semua pihak
yang telah membantu dalam menyelesaikan skripsi ini penulis ucapkan
terima kasih.
Ciputat, 25 September 2017
Penulis
ix
DAFTAR ISI
LEMBAR JUDUL ...................................................................................... i
SURAT PERNYATAAN .......................................................................... ii
LEMBAR PERSETUJUAN .................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ..................................................................... iv
ABSTRAK ................................................................................................. v
KATA PENGANTAR .............................................................................. vi
DAFTAR ISI ............................................................................................. ix
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah.................................................................. 1
B. Batasan Dan Rumusan Masalah ...................................................... 8
C. Tujuan Penelitian ............................................................................ 8
D. Manfaat Penelitian .......................................................................... 8
E. Tinjauan Pustaka ............................................................................. 9
F. Metode Penelitian ......................................................................... 10
G. Pendekatan Penelitian ................................................................... 12
H. Analisis Data ................................................................................. 12
I. Teknik Penulisan ........................................................................... 12
J. Sistematika Penulisan ................................................................... 12
BAB II
AGAMA DAN BUDAYA
A. Agama Menurut Para Ahli Antropologi Agama ........................... 14
B. Makna Budaya Dan Kebudayaan .................................................. 23
C. Agama Dan Kebudayaan .............................................................. 26
x
BAB III
ISLAM SIMBOL DAN PRAKTIK KEAGAMAAN DALAM
BUDAYA JAWA
A. Islam Jawa ..................................................................................... 30
B. Islam Dalam Budaya Jawa ............................................................ 36
C. Praktik Islam Dalam Budaya Jawa ............................................... 42
BAB IV
ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF
CLIFFORD GEERTZ
A. Mutual Simbiosis Keislaman Dan Kejawaan ............................... 47
B. Islam Dan Modernitas ................................................................... 58
C. Budaya Jawa Dalam Modernitas .................................................. 68
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN ................................................................................... 80
B. SARAN ................................................................................................ 82
DAFTAR PUSTAKA .............................................................................. 84
1
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Manusia sebagai makhluk individu juga dikenal sebagai makhluk
sosial, yang tidak hidup sendiri, membutuhkan makhluk lain yang selalu
menjadi teman reaksinya dan pastinya di mana kita tinggal di situ pasti ada
budaya, adat setempat yang tak dapat dibuang, diganti dan bahkan
dipisahkan oleh masyarakat lain. Masyarakat dan budaya sudah seperti
darah dan daging yang saling menyatu satu sama lain. Yang pasti budaya itu
terus dilestarikan. Kedudukan dan peran masyarakat tidak lepas dari sistem
sosial budaya. Untuk melihat peristiwa sosial, tidak perlu mencari hubungan
sebab akibat akan tetapi berupaya memahami makna yang dihayati dalam
sebuah kebudayaan itu sendiri. Sebab kebudayaan diumpamakan oleh
Clifford Geetz seperti “jaringan-jaringan makna”, dan manusia adalah
bergantung pada jaring-jaring makna itu. Karena itulah kebudayaan bersifat
semiotik dan kontekstual.1
Kehidupan beragama pada dasarnya merupakan kepercayaan,
keyakinan, terhadap adanya kekuatan supranatural,2 kekuatan gaib, atau
kekuatan luar biasa yang berpengaruh terhadap kehidupan individu dan
masyarakat. Dengan demikian, perubahan sosial budaya akan
1 Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, Terjemahan Francisco Budi Hardiman,
(Yogyakarta: Kanisius, 2016), Cet. IV, h. 5 2 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),
h. 61-62
2
mempengaruhi kehidupan umat beragama. Dalam perkembangannya,
kepercayaan kepada adanya Tuhan Yang Mahakuasa digambarkan oleh
Max Weber bahwa “Tidak ada masyarakat tanpa agama. Jika masyarakat
ingin bertahan lama, harus ada Tuhan yang disembah, dari zaman kuno
sampai saat ini manusia selalu menyembah Tuhan”.3
Wujud kepercayaan pertama adalah percaya kepada Tuhan yang
dipercayai sebagai Tuhan Yang Mahakuasa, Maha Segalanya. Sehingga
kepercayaan itu menimbulkan sikap mental dan perilaku tertentu, seperti
berdoa, memuja, rasa optimis, rasa takut, pasrah dan lain sebagainya dari
individu dan masyarakat yang meyakininya. Keinginan, petunjuk, dan
kekuatan gaib harus dipatuhi apabila manusia dan masyarakat ingin
kehidupannya berjalan dengan baik dan selamat di dunia (tanpa hambatan).4
Kita harus percaya bahwa “Pada dasarnya seluruh manusia bersifat
religius,” manusia dalam posisi apapun, baik individu maupun kelompok,
atau sebagai mahluk biologis sekalipun, menyimpan kemampuan (kekuatan)
yang tersembunyi dalam dirinya yang menjadi penyebab utama timbulnya
apapun dan dimanapun mereka menganut agama.5
Di samping itu, manusia juga dibekali segudang kemampuan dasar
yang memiliki kecenderungan bertahan (survive), berkembang (develop),
3 Max Weber, Sosiologi Agama, Terjemahan Yudi Santoso, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2001),
h. 30 4 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia. (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),
h. 63 5 Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling Komprehensif,
Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Jogyakarta: IRCiSoD, 2011), h. 26
3
dan berfikir (think). Kemampuan itu telah disiapkan sebelum manusia lahir,
ketika manusia dalam bentuk gumpalan-gumpalan darah tulang dan daging.
Tuhan telah membekali ia kemampuan naluriah atau dalam Ilmu Psikologi
disebut potensialitas dan sering juga disebut fitrah6, yang berarti suatu jiwa
yang tidak terikat oleh keinginan dan keperluan duniawi dan mempunyai
satu tujuan akhir sama yaitu kembali kepada sang penciptanya (Tuhan), lalu
membentuk sebuah keimanan yang diserap melalui pemikiran dan diserap
melalui perasaan dan di laksanakan dalam bentuk tindakan, perkataan, cara
bersikap, juga dapat membimbing dan menjadikan sebuah pengalaman
seseorang kearah kebaikan dan kebenaran. Maka dengan beragama jalan
yang tepat untuk menciptakan rasa kedamaian, perlindungan dan solusi
untuk kegelisahan atas apa yang terjadi di kehidupan nyata.
Berkaitan dengan hal tersebut, dikatakan bahwa manusia memiliki
dinamika emosional spiritualitas yang sesaat dapat berubah, terjebak oleh
perasaan acuh tak acuh atau “alienasi”7 dari keadaan sebelumnya menuju
keyakinan baru yang lebih masuk akal. Sejatinya manusia silih berganti dari
pemahaman “animisme” ke “dinamisme” dari dinamisme menuju paham
6 Heny Narendrany dan Andri Yudiantoro, Psikologi Agama. (Jakarta: UIN Jakarta
Press, 2007), h. 69 7 Menurut Karl Marx Alienasi adalah sesuatu yang dikonstruksi dan aktual. Perbuatan
manusia sendirilah yang menyebabkan mereka teralienasi. Pula alienasi itu ada yang dilekatkan
dengan sengaja kepada orang lain termasuk ide-ide itu sendiri padahal menurut Marx bahwa
manusia itu yang menjadi pemilik sebenarnya. Itulah alienasi yang paling riil dan menjadi sumber
utama kesengsaraan umat manusia. Tuhan selalu disembah padahal semua itu adalah kepunyaan
manusia.
4
yang lebih baru “totemisme”8 dan lain sebagainya. Frustasi yang dapat
menimbulkan sikap labil sehingga mengganggu spiritualitas dan bahkan
meninggalkan keyakinan yang dimiliki sebelumnya.
Kehidupan beragama adalah fakta sejarah yang ditemukan sepanjang
sejarah manusia dan masyarakat dalam kehidupan pribadinya. Manusia
beragama mempunyai ketergantungan pada kekuatan gaib sudah diketahui
sejak jaman purba sampai jaman modern ini. Kepercayaan itu diakui
kebenarannya sehingga ia menjadi kepercayaan religius. Manusia
berkembang dari manusia purba ke manusia modern, menjalankan tradisi
dan menciptakan tradisi. Dalam budaya Jawa banyak sekali sesembahan
yang kemudian setiap kali mereka punya hajat seperti nikahan, lahiran,
kematian mereka selalu mengadakan ritual-ritual yang dikenal dengan
sebuah istilah “slametan,”9 seperti perkawinan, kelahiran, kematian,
berlangsung dari dulu kala sampai zaman modern ini. Upacara-upacara
slametan ini dalam agama dikenal dengan sebutan ibadah dan dalam
antroplologi agama dinamakan ritual (rites).10
Budaya mewarnai dan membentuk suatu Agama. Aspek budaya
maupun kultural dinilai sangat penting oleh para ahli antropologi dan
budayawan yang beropini budaya sebagai wadah yang membentuk dan
mewarnai suatu keagamaan. Keberhasilan suatu gagasan terlihat apakah
8 Emile Durkheim, The Elementary Forms Of The Religious Life: Sejarah Bentuk-Bentuk
Agama yang Paling Dasar, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Jogjakarta:
IRCiSoD, 2011), h. 82 9 Clifford Geertz, Agama Jawa, Abangan, Santri, Priyai Dalam Kebudayaan Jawa,
Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h. 89 10
Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 2
5
gagasan tersebut sejalan dengan nilai yang mereka miliki atau tidak. Akan
tetapi tolok ukur sebuah kemodernan saat ini terletak pada kemajuan
ekonomi. Hampir tidak ada yang mengukur keberhasilan pembangunannya
dari nilai-nilai yang telah diusung oleh sistem kebudayaan mereka seperti
tercapainya nilai-nilai moral, keagamaan, seni, apalagi kebahagiaan
ruhaniah (batin), kebahagiaan individu dan anggota masyarakat yang ada.
Alasan tidak dipakainya tolok ukur budaya adalah karena nilai-nilai tersebut
tidak dapat diukur (kepastiannya). Di samping itu persepsi bahwa kemajuan
terletak pada peningkatan laju ekonomi sebuah bangsa telah mendominasi
pandangan dunia saat ini.11
Kaitannya dengan pemilihan kota “Mojokuto” sebagai objek
penelitiannya, menurut Clifford Geertz12
itu hanya sebuah kebetulan belaka.
Namun begitu pemilihan Indonesia merupakan pilihan yang tepat karena
pada tahun 1950-an dianggap sebagai salah satu Negara yang memiliki
konstitusi yang paling maju di dunia, yang menjamin kebebasan
masyarakatnya dan kaya akan budaya dan model keberagamaannya.
11
Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 29 12
Clifford Geertz lahir di San Fransisco, California 23 Agustus 1926 Salah seorang
peneliti berkebangsaan Amerika Serikat. Ia dibesarkan dalam lingkungan terdidik dan terpelajar.
Dia merupakan ahli antropologi budaya yang beberapa kali melakukan penelitian lapangan
khususnya di Indonesia dan Maroko. Ia mengawali karir dalam dunia militer. Sejak remaja pada
usia 17 tahun ia mulai bergabung dengan pasukan Angkatan Laut Amerika Serikat pada masa
Perang Dunia II selama kurang lebih dua tahun lamanya (1943-1945). Adapun karir akademiknya
ia mulai ketika kuliyah di Antioch College jurusan Bahasa Inggris kemudian ia beralih ke filsafat
dan lulus tahun 1950. Selepas ia lulus dari Antioch College ia melanjutkan studi antropologinya di
Universitas Harvard (Harvard University), lihat Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 142-
143. Baca juga otobiografinya dalam bukunya Agama Jawa Abangan, Santri, Priyayi dalam
Kebudayaan Jawa.
6
Diakui, “Mojokuto” ini memang merupakan kota kecil di Jawa
Timur yang tak bisa mewakili kebudayaan yang ada di Jawa secara
keseluruhan. Namun bagi Geertz, “Mojokuto” adalah merupakan di mana
makna “kejawaan” itu dibumikan, artinya benar-benar dipraktikkan.
“Mojokuto” begitu complicated akibat benturan budaya, dimana Islam,
Hindu, dan tradisi animisme, dinamisme nenek moyang “berbaur” dalam
satu sistem sosial masyarakat setempat.13
Sebaliknya bukan hanya di Jawa berlaku juga bagi agama orang
Bali, di mana agama dalam budaya Bali bersifat konkret, berpusat pada hal-
hal yang berkaitan dengan tingkah laku sehari-hari, sarat akan gotong
royong, masyarakat Bali dapat memelihara tradisi keagamaan itu dengan
kuat. Selain daripada itu, di benak masyarakat, Bali dilekatkan dengan
budaya seremonial sesajen yang terus menerus dilakukan, menyiapkan
ritual-ritual yang cukup rumit, menghiasi Pura dengan bermacam hiasan.
Sehingga menjadi ciri khas tersendiri dalam persembahan keagamaan.14
Geertz berasumsi, fakta bahwa Indonesia dan Maroko selama kurang
lebih enam belas abad untuk Indonesia, dan dua belas abad untuk Maroko
merupakan negara terbelakang yang bisa dikatakan sebagai masyarakat
pinggiran alias periferal (dalam pengertian geografis) dilihat dari peradaban
dunia berbeda yang terus menerus berinteraksi, dan terkadang saling
membaur lebur. Dalam kasus Indonesia, secara simpulan kasarnya kawasan
13
Geertz, Tafsir Kebudayaan, h. 137 14
Geertz, Tafsir Kebudayaan, h. 129
7
itu terletak di kawasan Indus, Maluku dan Irian. Sementara di Maroko
kawasan yang dimaksud terletak di kawasan Oxus dan Sahara Barat.15
Terlepas dari masing-masing kebudayaan yang berbeda ada satu
kota yang ditemukan oleh Geertz yang mana kota itu memiliki tipe-tipe
tersendiri dalam kehidupan masyarakatnya. Adapun abangan, santri, dan
priyayi yang merupakan sebuah cerminan organisasi moral kebudayaan
Jawa, dimana ketiganya ini merupakan hasil penggolongan penduduk
Mojokuto berdasarkan kacamata Geertz terhadap pandangan mereka pada
kepercayaan keagamaan, preferensi etnis dan ideologi politik.
Menyikapi persoalan diatas, penulis tertarik untuk meneliti lebih
mendalam dan menganalisis atas relevansinya dalam kehidupan modern saat
ini. Yang menarik dari persoalan diatas adalah tentang “keagamaan dan
budaya yang berbaur dalam suatu sistem sosial masyarakat tanpa saling
menyalahkan dan mengklaim (menganggap) bahwa agama kita yang benar
dan budaya kita yang paling bagus. Disitulah yang menjadi daya tarik
tersendiri bagi penulis untuk dikaji lebih lanjut. Agama dan budaya selalu
menjadi bahan perbincangan yang hangat. Untuk itu dalam penulisan skripsi
ini penulis sengaja mengambil judul “ ISLAM DAN BUDAYA JAWA
DALAM PERSPEKTIF CLIFFORD GEERTZ ”.
15
Clifford Geertz, After The Fact, Terjemahan Landung Simatupang, (Yogyakarta:
LKiS, 2017), cet. II, h. 69
8
B. Batasan dan Rumusan Masalah
Penulis hanya membatasi permasalahan yang akan diteliti dalam
(library research) ini pada lingkungan sosial, politik maupun agama.
Berdasarkan latar belakang diatas, maka penulis membatasi dan mengambil
pokok permasalahan sebagai berikut; Bagaimana pola keberagamaan
kehidupan masyarakat Jawa menurut Clifford Geertz ?
C. Tujuan Penelitian
Untuk mengetahui intensitas trikotomi keberagamaan masyarakat
Jawa menurut Clifford Geertz.
D. Manfaat Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan memiliki manfaat sebagai berikut:
1. Manfaat Akademis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sebuah kontribusi
ilmiah bagi pengembangan penelitian lanjutan terutama mengenai
kehidupan manusia dalam bidang sosial, budaya, serta agama.
b. Penelitian ini sebagai salah satu syarat untuk memenuhi persyaratan
akhir perkuliahan untuk gelar Strata I, (S1) Sarjana Agama (S.Ag)
dalam Jurusan Studi Agama-Agama Fakultas Ushuluddin Universitas
Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah Jakarta.
2. Manfaat Praktis
a. Melalui penelitian ini diharapkan penulis dan pembaca dapat mengerti
tentang kedudukan agama dan budaya yang melekat dalam diri
manusia.
9
b. Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan
tentang agama dan budaya.
E. Tinjauan Pustaka
Penelitian dan kajian tentang agama dan budaya telah banyak
dilakukan. Karena tak dapat dipungkiri bahwa masyarakat akan tetap butuh
yang namanya agama kapan pun di manapun dan tak lekang oleh waktu,
sebab itulah buku-buku, jurnal, serta data-data yang lain cukup mudah di
dapatkan. Diantara hasil penelitian tentang agama maupun yang ada
kaitannya dengan budaya penulis temukan beberapa data sebagai berikut:
Pertama, dari skripsi yang ditulis oleh Muhammad Marzuqi (2009)
Akulturasi Islam dan Budaya Jawa (Studi terhadap Praktek “Laku
Spiritual” Kadang Padepokan Gunung Lanang di Desa Sindutan
Kecamatan Temon Kabupaten Kulon Progo). Karya ini berbicara mengenai
akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa melalui praktek-prakek yang
dilakukan oleh masyarakat desa Sindutan.16
Kedua, skripsi yang ditulis oleh Inka Mayang Marindra tentang
“Analisis Representasi Pluralisme Agama dan Budaya Dalam Film “Cinta
Tapi Beda”. Dalam skripsi tersebut ia menjelaskan budaya Islam dan
Kristen Katolik yang disadur lewat film beda keyakinan. Melalui film
tersebut ditampilkan stereotip Padang yang kental dengan Muslim yang
16
Skripsi ini di tulis oleh Muhammad Marzuqi Mahasiswa Prodi Perbandingan Agama
Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta. Skripsi ini sebagai perbandingan dari
skripsi yang akan di tulis penulis. Ia membahas tentang ritual dan prkatek-praktek religi di Desa
Sindutan.
10
taat.17
Meski demikian antara Muslim dan Katolik selalu akur dalam hal apa
pun.
Ketiga, skripsi yang ditulis oleh Rahman Taufik tentang “Integrasi
Agama dan Budaya Dalam Perspektif Kuntowijoyo”. Dalam skripsi tersebut
ia jelaskan bahwa agama dan budaya saling bertautan, saling menyatu, tidak
terpisah dan saling berhubungan. Serta ia menjelaskan bahwa agama dan
budaya di tengah-tengah arus modernisasi tetap eksis dan tetap terjaga.
Sedangkan tema yang penulis bahas adalah Islam Dan Budaya Jawa
Dalam Perspektif Clifford Geertz dengan menggunakan metode analisis
deskriptif yang di kombinasikan dalam bentuk pendekatan sosiologis dan
antropologis. Yang di dalam konteksnya mengarah untuk mengetahui
bagaimana peran agama dalam kehidupan masyarakat Jawa dan
relevansinya dalam konteks masyarakat modern menurut Clifford Geertz ?
F. Metode Penelitian
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian ini adalah penelitian pustaka, yang bersifat penelitian
kepustakaan (library research), suatu cara untuk mengadakan penelitian
berdasarkan naskah yang diterbitkan baik melalui buku-buku, jurnal-jurnal
maupun buku-buku yang berkaitan dengan tema pembahasan penelitian,
17
Inka Mayang Marindra adalah seorang mahasiswi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu
Politik Universitas Lampung Bandar Lampung.
11
sehingga dapat dijadikan acuan dalam penulisan yang relevan dengan pokok
rumusan masalah diatas18
.
2. Sumber Data
Terdapat dua model data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu
data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang secara
langsung berkaitan dengan objek material penelitian. Dalam penelitian ini
adalah buku Agama Jawa Abangan Santri dan Priyayi, Tafsir Kebudayaan,
After The Fact karya Clifford Geertz sebagai sumber utama. Sementara data
sekunder penulis dapatkan dari buku-buku refrensi pelengkap berupa buku-
buku, jurnal, dan artikel yang berkaitan dengan bahan yang sedang penulis
teliti19
.
3. Teknik Pengumpulan Data
Teknik pengumpulan data yang penulis gunakan dalam penelitian
ini adalah teknik dokumentasi. Dalam proses pengumpulan data-data yang
terkait dengan penelitian ini maka penulis akan menempuh beberapa
langkah sebagai berikut:
a. Melakukan tinjauan terhadap data primer, yaitu buku Agama Jawa
Abangan Santri dan Priyayi, Tafsir Kebudayaan, After The Fact karya
Clifford Geertz
b. Tinjauan terhadap data sekunder, yaitu buku-buku, jurnal, dan artikel
yang berkaitan dengan objek atau tema dari penelitian ini.
18
Taufik Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, (Yogyakarta: Tiara Wacana, 1989), h.
22 19
Sanapiah Faisal, Format-Format Penelitian Sosial, (Jakarta: Rajawali Pers, 2008), h.
32
12
c. Selanjutnya penulis akan memadukan dengan buku-buku lain yang
berkaitan dengan tema penelitian ini sebagai bahan perbandingan dari
data primer dengan data sekunder diatas.
G. Pendekatan Penelitian
Pendekatan yang penulis gunakan dalam penelitian ini adalah dengan
dua model pendekatan yakni pendekatan antropologis dan pendekatan
sosiologis.20
H. Analisis Data
Data-data yang terkumpul dari berbagai sumber akan dianalisis
menggunakan metode analisis isi (content analysis). Metode ini menekankan
pada bagaimana memperoleh keterangan dari data-data yang terkumpul dari
sekian banyak sumber.
I. Teknik Penulisan
Adapun teknik penulisan dalam Penulisan skripsi ini, Penulis
menggunakan buku Pedoman Akademik Penulisan Karya Ilmiah (Skripsi,
Tesis dan Disertasi) UIN Syarif Hidayatullah Jakarta yang diterbitkan
CeQDA (Center for Quality Development and Assurance) UIN Syarif
Hidayatullah Jakarta Tahun 2013.
J. Sistematika Penulisan
Untuk mendapat gambaran yang menyeluruh tentang apa yang akan
diuraikan dalam skripsi ini, perlu Penulis kemukakan susunan atau sistematika
20
Abdullah, Metodologi Penelitian Agama, h. 22
13
penulisan. Adapun sistematika dalam penulisan skripsi terdiri dari 5 (lima) bab
yang tiap-tiap bab tediri dari sub-bab yang membahas materi penulisan skripsi ini.
Bab I Merupakan Pendahuluan yang meliputi sub-sub bab, yaitu :
Latar Belakang Masalah, Batasan dan Rumusan Masalah,
Tujuan Penulisan, Manfaat Penulisan, Landasan Teori,
Tinjauan pustaka, Metodologi Penelitian, Teknik penulisan
dan Sistematika Penulisan.
Bab II Membahas tentang Agama dan Budaya yang meliputi
beberapa sub bab yaitu: agama menurut para ahli antropologi
agama, makna budaya dan kebudayaan, agama dan
kebudayaan.
Bab III Membahas tentang Islam, Simbol dan Praktik Keagamaan
dalam Budaya Jawa yang terdiri dari tiga sub bab yaitu: Islam
Jawa, Islam dalam budaya Jawa, Praktik Islam dalam Budaya
Jawa.
Bab IV Membahas tentang Islam dan Budaya Jawa dalam perspektif
Clifford Geertz yang meliputi tiga sub bab yaitu: Mutual
Simbiosis Keislaman Dan Kejawaan, Islam dan Modernitas,
Budaya Jawa dalam Modernitas.
Bab V Penutup, yang menguraikan tentang Kesimpulan dan Saran.
14
BAB II
AGAMA DAN BUDAYA
A. Agama Menurut Para Ahli Antropologi Agama
Dalam ilmu antropologi secara sederhana agama diartikan sebuah
ilmu yang memahami tentang seluk beluk perilaku manusia beragama yang
dibungkus dengan pertanyaan kenapa dan bagaimana manusia beragama?1
Sementara itu, bagaimana manusia beragama menjelaskan dimana keadaan,
aspek bagaimana perilaku dan cita rasa manusia menghayati agama. Lain
halnya dari kenapa manusia beragama, merupakan perilaku dan kondisi
psikologis masyarakat secara individu. Dikarenakan luasnya cakupan
kehidupan beragama dan kita tahu telah berkembang beragam macam agama
yang telah dianut oleh masyarakat dalam kehidupan manusia di dunia.
Terkhusus di Indonesia ada enam agama yang diakui antara lain, Agama
Hindu, Budha, Kristen, Katolik, Islam, dan Konghucu.
Berikut disajikan pengertian yang dikemukakan oleh beberapa ahli
antropologi terhadap agama.
1. Edward Burnett Tylor (1832-1917)2
Agama tidak akan lepas dari kehidupan manusia, begitu sebaliknya
agama selalu dalam ruang lingkup manusia baik secara personal maupun
1 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),
h. 21 2 E.B Tylor adalah seorang ahli folklor, sastra dan peradaban Yunani dan Romawi klasik
berkebangsaan Inggris. Awal mula ia tidak tertarik untuk membahas masalah agama, tetapi lebih
tertarik kepada kebudayaan manusia dan kelompok sosial. Oleh sebab itu, ia dianggap sebagai
pencetus antropologi sosial atau antropologi sosial sebagai sebuah sains. Ia lahir dari keluarga
Quakers yang merupakan kelompok Protestan yang ekstrim bahkan bisa dikatakan fanatik di
Inggris.
15
impersonal. Definisi pertama dikemukakan oleh Edward Burnett Tylor.
Ia memandang asal mula agama adalah berdasarkan keyakinan manusia
kepada suatu wujud spiritual (a belief in spiritual being).3 Agama
digambarkan sebagai kepercayaan kepada yang gaib, yang supernatural,
yang tidak tampak oleh mata kepala normal, yang berpikir, bertindak
dan merasakan sama dengan manusia.
Bagi Tylor esensi agama tentu dapat juga dilekatkan kepada agama
besar dunia, seperti agama Islam, Kristen, Budha, dan Hindu. Esensi
agama digambarkan sebagai sebuah kepercayaan kepada wujud spiritual
dimaksud adalah mengerucut kepada (Tuhan),4 bukan hanya untuk satu
agama tertentu, tetapi Tuhan semua manusia yang percaya agama. Tuhan
yang dimaksud adalah Tuhan yang di Tuhankan manusia. Tuhan yang
disakralkan dan disembah disetiap saat.
2. Lucien Levy-Bruhl (1857-1945)5
Agama bagi Bruhl adalah pandangan dan jalan hidup masyarakat
primitif. Agama dipandangnya sebagaimana halnya magi6, tidak logis
3 Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 120. Bandingkan dengan Tylor. Primitif
Culture, h. 424. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori Agama Paling
Komprehensif, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h.
41. Betty R. Schraf, The Sosiological Study of Religion. (London: Hutchinton Univ). h. 31-33.
Koentjaraningrat, Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. (Jakarta: Jambatan), h. 46-53 4 Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 121
5 Levy-Bruhl adalah ahli di bidang sejarah dan filsafat Prancis, ia terkenal berkat karya-
karyanya mengenai kelompok primitif. Ia membantah teori Tylor yang berpikir bahwa masyarakat
primitif berpikir abstrak. Bagi Bruhl tidak mungkin manusia berpikir abstrak. Proses jiwa primitif
dengan jiwa modern berbeda sekali, jiwa modern didominasi oleh pikiran positif, sebaliknya
primitif didominasi oleh pikiran negatif. 6 Magi sama dengan Ilmu sihir dimana kepercayaan dan praktik keyakinan bahwa secara
langsung manusia dapat memengaruhi kekuatan alam baik tujuannya untuk kebaikan atau
keburukan dalam usaha-usaha yang dilakukan sendiri oleh si pelaku magi. Baca Dr. Harun
Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 1985), cet. II, h. 17
16
dan tidak rasional, sehingga agama primitif tidak akan pernah mampu
mengantarkan kehidupan berkemajuan.
Cara berpikir orang primitif7 terlalu tunduk kepada sesuatu yang
mengandung unsur mistik, dan masih pralogis. Orang primitif punya
cara pandang tersendiri bukan berarti orang primitif tidak mampu
berpikir secara jelas, hanya saja kebanyakan kepercayaannya tidak dapat
disejajarkan dengan pandangan yang ilmiah.8 Proses ruhani masyarakat
primitif mudah menghubungkan sesuatu yang tampak dengan yang tidak
tampak. Misalnya, menginjak bayangan seseorang dianggap sama
dengan menginjak orangnya. Proses jiwa orang primitif belum
berkembang seutuhnya. Bisa saja mereka menganggap sesuatu berada
pada suatu tempat dan sesuatu itu berada di tempat yang lain pula,
seperti ruh dan Tuhan dapat dipercayai berada pada bermacam tempat
dan waktu. Namun tidak menutup kemungkinan masyarakat modern bisa
saja pola pikirnya sama dengan masyarakat primitif tersebut, yaitu pola
pikir yang belum sempurna, dalam tahap berpikir yang berkemajuan.
Manusia menikmati proses berpikir primitif menuju logis.
7 Alex MA, Kamus Ilmiah Populer Kontemporer, Materi: Politik-Ekonomi-Hukum-
Sosial-Budaya-Agama, (Surabaya: ALUMNI), h. 522, Primitif dimaknai dengan kebiasaan lama,
kuno, dan terbelakang. Jadi kata primitif adalah masyarakat yang masih berpikiran lama, belum
berpikir logis masih tradisional secara pemikiran dan tindakan. 8 Levy Bruhl, La Mentalite Primitif (The Herbet Spencer Lecture), 1931. h. 21. Baca
Evan Pritchard, Teori-teori Tentang Agama-agama Primitif. (Jakarta: PLP2M, 1984), h. 106
17
3. Jamez George Frazer (1854-1941)9
Bagi Frazer agama dijelaskan secara umum bahwa masyarakat
beragama masih percaya kepada hal-hal yang diluar nalar kemampuan
mata normal, sedangkan bagi manusia modern sudah mulai berpikir
secara logis. Frazer hanya menekankan kepada apa yang telah
disampaikan oleh pemikir sebelumnya, yakni Tylor, bahwa masyarakat
primitif memiliki kepercayaan kepada yang gaib. Sejatinya Frazer adalah
murid dari Tylor, ia hanya meneruskan pendapat dari gurunya tersebut.
Religi dan magi cocok kepada masyarakat yang masih berpikiran
pralogis.10
Sementara berpikir logis lebih cocok kepada manusia
modern. Magi11
selalu dikembangkan oleh masyarakat primitif agar
proses alam selalu berpihak kepada mereka dan lebih-lebih
menguntungkan manusia. Untuk hidup lebih sempurna masyarakat
primitif percaya penuh akan kekuatan doa. Mereka berdoa supaya
keselamatan dan hambatan menyertai orang-orang beragama. Seperti
berdoa agar gunung tidak meletus, tidak terjadi banjir, hujan tidak turun
disaat masyarakat sedang melangsungkan perhelatan kebudayaan dan
9 Di awal karirnya, disaat masih menjadi mahasiswa pada sastra Yunani dan Romawi
Klasik di Universitas Cambridge, Frazer adalah murid sekaligus penganut dari teori-teori yang
dikembangkan oleh Tylor. Kemudian setelah itu ia mengerahkan perhatiannya pada bidang
antropologi hingga pada akhirnya mampu mengemukakan suatu teori tentang animistik dalam
versinya sendiri. Frazer berasal dari keluarga Kristen Protestan yang dibesarkan dalam keluarga
Presbyterian Skotlandia yang taat dan watak yang keras. Lihat Daniel L. Pals, Seven Theories of
Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 29-30 10
Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 126. Bandingkan dengan Max Weber,
Sosiologi Agama, (Yogyakarta: IRCiSoD), h. 142-143 11
Magi adalah praktik yang dikonotasikan kepada ilmu sihir (ilmu hitam). Dalam Kamus
Ilmiah Populer Magi diartikan “ghaib, tidak terlihat, sihir”. Lihat Hilman Hadikusuma,
Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti), h. 33-34
18
perhelatan lainnya. Semua harapan-harapan itu mereka tuangkan dalam
bentuk doa, biasanya dipimpin oleh ahli magi dan kepala suku setempat.
4. Radcliffe-Brown (1881-1955)
Berdasarkan pemikiran diatas maka, bagi Radcliffe-Brown agama
merupakan suatu ekpresi tentang kesadaran terhadap ketergantungan
kepada kekuatan diluar kemampuan diri kita yang dapat disebut dengan
kekuatan spiritual dan moral12
. Percaya kepada yang gaib dan maha
gaib, jika dihayati dengan benar akan lebih meyakinkan kepada yang
memercayainya lebih objektif dan lebih berorientasi kepada nilai
kebenaran.
Berdasarkan apa yang telah dikemukanan oleh Radcliffe-Brown
diatas, terlihat jelas perbedaan antara orang yang menjadikan pilihan
hidupnya percaya kepada yang gaib sebagai tolok ukur kebenaran
dengan orang yang tidak menggantungkan kepercayaan kepada yang
gaib akan cenderung lebih konkret terhadap figur tertentu, organisasi,
dan simbol keagamaan, sebagai tolok ukur kebenarannya. Sementara
yang menggantungkan kepercayaannya kepada yang gaib akan lebih
terbebas dari pengaruh organisasi atau masyarakat dari organisasi diluar
kelompok mereka.
12
Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 128. Baca Daniel L. Pals, Seven Theories
of Religion, h. 60-62
19
5. Mircea Eliade (1907-1986)13
Eliade merupakan anak dari seorang pegawai angakatan darat
Rumania. Ia penulis produktif berpengetahuan luas, banyak pengalaman
ilmiah luar negeri dan penulis fiksi. Di usianya yang mesih seumuran
jagung, yakni umur 18 tahun ia telah banyak menghasilkan puluhan
karya, bahkan di hari istimewanya tersebut tak disangka ia telah
membuat kerya tulis yang ke seratus. Merupakan pencapaian luar biasa
di usianya yang begitu muda. Sangat produktif sekali dibidang tulis
menulis. Hanya segelintir orang yang bisa membuat karya segitu
banyaknya di usia remaja.14
Dalam mengartikan makna atau definisi sebuah agama,titik tekan
Eliade terhadap agama sebenarnya fokus kepada persoalan sakral dan
profan.15
Lagi-lagi teori ini bukan semata dari Eliade, teori sakral dan
profan ia pinjam dari teorinya Emile Durkheim, tapi esensinya bukan
persoalan klan atau hubungan kekeluargaan dan sosial yang ia angkat,
lebih dekat dan lebih setuju kepada teorinya Tylor dan Frazer, yaitu
persoalan yang menyangkut hal-hal gaib, supernatural, dan suatu
keabadian.
13
Mircea Eliade dilahirkan di Bucharest pada tanggal 9 Maret 1907, anak seorang
pegawai kemiliteran Rumania. Di masa kecilnya Eliade suka menyendiri, menyenangi sains,
sejarah dan piawai dalam dunia kepenulisan. 14
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 226-236 15
Sakral dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna keramat atau suci.
Profan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), bermakna tidak kudus (suci), kotor,
duniawi dan tidak ada sangkut pautnya dengan agama atau tujuan keagamaan. Baca Daniel L.
Pals, Seven Theories of Religion, h. 233-240
20
6. Edward E.E Evans-Pritchard (1902-1973)
Bagi Edward E. E. Evan-Pritchard bahwa agama dipandangnya
sebagai sebuah kepercayaan kepada kekuatan alam.
Ada satu ungkapan yang penulis tertarik dari pandangan Evan.
Bahwa ia mengatakan “perbedaan masyarakat primitif dan modern
bukan terletak dari bodoh atau tidaknya, terbelakang dan majunya, tetapi
terletak pada kebudayaan masing-masing yang berbeda.” Oleh karena
itu, masyarakat primitif tidak dapat dikatakan lebih bodoh dari
masyarakat modern atau lebih terbelakang. Keduanya sama-sekali
berada dalam lautan kebudayaan yang berbeda. Bisa saja masyarakat
modern lebih terbelakang dari masyarakat primitif.16
Magi atau sihir itu didasarkan kepada kepercayaan bahwa kegagalan
itu karena adanya kekuatan lain yang memengaruhi kekuatan hukum
alam sehingga hukum alam tidak berpihak kepada masyarakat primitif.
Sebagai contoh kenapa hanya saya yang terserang penyakit? Biasanya
mereka mencari jawaban karena ada pihak lain atau ada kekuatan magi
yang mengontrolnya. Untuk mengatasinya mereka datang ke tukang
sihir, dukun atau ahli magis lain meminta bantuan17
. Jika gagal, tandanya
kekuatan magi yang ingin dikalahkan lebih besar kekuatannya dari
dukun yang diminta bantuan. Karena itu, Evan-Pritchard mengatakan
16
Evan Pritchard, Teori-teori Tentang Agama-agama Primitif. (Jakarta: PLP2M, 1984),
h. 118-121 17
Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa,
Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h.
328. Bandingkan Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985), Cet.II, h. 17-20
21
bahwa logika magi itu sangat cerdas dan tepat untuk menghadapi
masalah sehari-hari bagi kaum primitif. Sedangkan manusia modern
ketika menghadapi persoalan yang menimpa dirinya ia akan pergi ke
dokter yang sama-sama melihat keadaan secara rasional.
7. Clifford Geertz (1926-2006)
Geertz dilihat dari cara berpikirnya menggunakan teori dari Tylor.
Geertz kemudian menemukan momentum penelitiannya ketika
berhadapan langsung dengan masyarakat Jawa, yang kebetulan tempat
yang dipilih masih tergolong pinggiran, meminjam bahasanya Nur Syam
masyarakat pesisiran. Corak pemikiran lapangan Geertz lebih kepada
nuansa sinkretisme antara agama (Islam) dan budaya lokal. Justru
penelitian yang dilakukan oleh Woodward lebih kepada akulturasi
agama (Islam) dengan budaya lokal. Jadi berbeda memang corak
pemikirannya, meski yang diteliti adalah masyarakat beragama berpusat
di pesisiran.
Masuk kepada pemikiran Geertz, dari kesekian pendapat yang
telah diuraikan diatas, Geertz memandang orang beragama berdasarkan
pengalaman pribadi pemeluk agamanya, bukan melihat dari kaca mata
dirinya. Orang Jawa meyakini agama sesuai kemampuan nalar berpikir
dan oleh tuntutan dari misi agama tersebut. Sehingga dengan demikian
Geertz memilih padanan kata yang pas untuk merepresentasikan keadaan
masyarakat Mojokuto waktu itu. Lahirlah tiga konsep keberagamaan
orang Jawa (1) abangan, yang merepresentasikan pada aspek animisme
22
yang dalam perspektif Geetz melingkupi elemen petani; (2) santri,
mewakili penekanan pada aspek Islam sinkretisme dan umumnya Geertz
menghubungkan dengan elemen pedagang; dan (3) priyay, menekankan
pada aspek Hinduisme yang oleh Geertz dilogongkan dalam elemen
birokrat. Tentu semua elemen yang terkategorikan itu berdasarkan
terapan yang diciptakan sendiri oleh orang Jawa.18
Ketiga unsur elemen
mencerminkan cara orang Mojokuto (Pare) memahami situasi yang ada.
Agama dijelaskan dengan kalimat panjang, padat dan jelas. Geertz
mengatakan dalam bukunya Thick Description, agama merupakan sistem
simbol yang bertujuan untuk melahirkan motivasi kuat, dengan
membentuk tatanan eksistensi umum yang berdasarkan fakta dan pada
akhirnya perasaan dan motivasi itu akan terlihat sebagai realitas yang
unik.
Clifford Geertz yang ia bandingkan studinya tentang Islam di Jawa
dan Maroko, karena studinya cukup kompleks, maka ia melihat agama
sebagai
“(1) sebuah sistem simbol berlaku untuk (2) menetapkan suasana
hati dan motivasi-motivasi yang kuat, meresap dan tahan lama
dalam diri manusia dengan (3) merumuskan konsep-konsep
mengenai suatu tatanan umum eksistensi dan (4) membingkai
18
Perspektif masyarakat Mojokuto digambarkan Geertz dalam pendahuluan bukunya
“Agama Jawa, Abangan Santri Priyayi dalam kebudayaan Jawa”. Terdiri dari tiga varian
keagamaan yakni, abangan, santri dan priyayi. Baca Ahmad Khoirul Umam dan Akhmad Arif
Junaidi dalam Jurnal yang berjudul, The Shadow of Islamic Ortodoxy and Syncretism in
Contemporary Indonesian Politics, vol, 11, no 2, Desember 2011, h. 343-356
23
konsep-konsep secara faktual, sehingga (5) suasana hati tampak
khas dan realistik”.19
Dengan demikian Geertz mampu menangkap makna yang dalam di
kalangan masyarakat yang ditelitinya. Tampak definisi Geertz tentang
agama berbeda sekali dengan definisi Comte, Frazer maupun Karl Marx.
Ia memang tidak mendefinisikan agama secara umum tetapi ia
mendefinisikan agama berdasarkan apa yang dihayati oleh masyarakat
penganut agama yang bersangkutan.
Dari pada itu Geertz membandingkan Islam di Indonesia dan di
Maroko. Secara syariat Islam di Indonesia dan Maroko sama. Di
Indonesia Islam berkembang secara gradual, liberal, dan akomodatif. Di
Maroko Islam berkembang lebih perfeksionis, puritan dan tak kenal
kompromi. Di Indonesia ada kebatinan, ketenangan, kesabaran,
keseimbangan, peniadaan diri, elitisme, dan sensibilitas. Di Maroko ada
aktifisme, semangat, keberanian, moralisme, dan penegasan diri20
.
Berdasarkan kajian yang dilakukan oleh para ahli yang melihat
agama sebagai bagian dari sistem kebudayaan, tampak adanya beberapa
tipologi kajian yang digunakan, salah satunya adalah tipologi dari
pemikiran Geertz lebih kepada memandang hubungan antara tradisi
Islam dan lokal bernuansa sinkretisme. Di mana fokus pemikiran Geertz
lebih kepada penduduk pedalaman. Yang mana dalam bukunya, The
19
Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 144. Baca Daniel L. Pals, Seven Theories
of Religion, h. 342 20
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, h. 329-358
24
Religion of Java menggambarkan mengenai sinkretisme antara budaya
Jawa, Islam, Hindu dan Budha yang dikonsepsikan sebagai agama Jawa.
B. Makna Budaya dan Kebudayaan
Terlalu sering kita mendengar kalimat atau kata budaya yang sudah
barang tentu hampir semua peneliti baik kebudayaan suku tertentu maupun
peneliti antropologis dan sosiologis menyinggung bahkan memberikan
definisi tentang budaya. Untuk lebih jelasnya penulis sajikan makna
budaya oleh para pakar budaya yang ahli di bidangnya.
kata budaya berdasarkan makna umumnya berasal dari bahasa
sanskerta yaitu “buddayah” bentuk jamak dari “buddhi” atau “akal”, jadi
secara gambaran umum budaya merupakan cerminan dari perilaku dan
akal manusia.
Sebagaimana pendapat Koentjaraningrat (2008) kata budaya atau
kebudayaan itu paling sedikit mempunyai tiga unsur pokok diantaranya
(1) ide atau gagasan, (2) interaksi atau aktifitas, dan (3) karya manusia.
Kesimpulannya bahwa budaya atau kebudayaan dalam opini
Koentjaraningrat merupakan keseluruhan gagasan, cipta, rasa dan karya
manusia. Tentu cipta rasa dan karya manusia itu dibutuhkan pembelajaran
supaya menghasilkan karya. Ide atau gagasan sifatnya abstrak, tak dapat
diraba atau difoto. Bertempat dalam otak manusia lebih dalam lagi berada
dalam alam pikiran manusia dimana kebudayaan itu hidup. Manusia tidak
luput dari singgungan yang sifatnya gotong royong dengan masyarakat
lainnya. Aktivitas-aktivitas yang dibangun dari detik ke detik, dari hari ke
25
hari, dari tahun ke tahun mengikuti pola berdasarkan adat-istiadat
setempat. Sistem itu kongkret, terjadi di sekeliling kita. Hasil dari sebuah
ide atau gagasan yang melahirkan interaksi, aktifitas sedemikian terpola
dapat menghasilkan karya yang luar biasa pula.
Ketiga wujud dari kebudayaan tersebut tentu tidak terpisah satu
dengan lainnya. Definisi diatas hanya sebagian dari definisi-definisi yang
pernah disampaikan oleh para pakar diatas kertas. Dari saking luasnya
penggambaran dari kebudayaan sehingga seolah-olah tidak dapat dibatasi
arti dari kebudayaan. Disebutkan oleh Koentjaraningrat dari 179 definisi
yang pernah dirumuskan diatas kertas tentang konsep kebudyaan itu, tidak
hanya oleh ahli antropologi, sosiologi, sejarah atau disiplin ilmu lainnya,
tetapi juga oleh ahli filsafat dan pengarang terkenal, A.L. Kroeber dan C.
Kluckhohn pernah mengumpulkan ke-179 definisi tersebut dan mereka
mengklasifikasi lagi ke dalam tipe-tipe tertentu disertai dengan komentar
dan kritik, yang mereka terbitkan dalam sebuah buku berjudul Culture, a
Critical Review of Concepts and Definitions21
.
Kebudayaan dalam perspektif Geertz masih dalam bayang-bayang
antropologi sebelumnya yakni ilmuan asal imigran Jerman bernama Frans
Boas (1858-1942) dan Alfred Lois Kroeber (1876-1960). Kebudayaan
merupakan kata kunci untuk studi antopologi. Bahwa dalam studi
lapangan tidak hanya menitik beratkan masyarakat seperti yang dianggap
ilmuan Eropa waktu itu, tapi lebih kepada suatu sistem yang cakupannya
21
Koentjaraningrat, Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan, (Jakarta:Gramedia,
2008), h. 5-10. Bandingkan Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, h. 34-35
26
lebih luas dari ide, adat istiadat, perilaku, simbol, dan institusi-institusi
yang ada. Sedangkan mereka berpendapat, masyarakat itu hanya satu
bagian dari sekian banyak sistem yang ada.
Memaknai kata “masyarakat” terlalu berat bila hanya dimaknai
sebagai komunitas manusia semata. Istilah yang cocok untuk menafsirkan
kata “masyarakat” adalah kata “kebudayaan”. Orang Eropa memaknai
society (masyarakat) dan social antrophology (antropologi sosial) hampir
sama dengan apa yang disebut orang Amerika sebagai culture
(kebudayaan) dan cultural antrolphologi (antropologi kultural)22
.
Geertz memaknai kebudayaan sebagai suatu sistem yang terdiri
dari struktur-struktrur makna berupa sekumpulan tanda yang dengannya
masyarakat melakukan suatu tindakan, yang mereka dapat hidup di
dalamnya atau pun menerima celaan atas makna tersebut dan kemudian
menghilangkannya23
. Analisa tentang kebudayaan tidak bisa dilihat
sebagimana ilmu sains yang ingin menemukan suatu hukum, tapi adalah
penafsiran yang ingin menemukan makna-makna di dalamnya. Dalam
menafsirkan kebudayaan menurut Geertz kadangkala harus di uji ulang
oleh kebudayaan lain.
C. Agama dan Kebudayaan
Bagi pengamat asing sekaligus bagi sebagian orang Indonesia
sendiri, Islam Indonesia selalu terlihat sangat berbeda dengan Islam di
mayoritas tempat lain, terutama Islam yang dianut oleh orang Arab. Islam
22
Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion, (Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 333 23
Clifford Geertz, Tafsir Kebudayaan, (Yogyakarta: Kanisius, 2014), Cet. IV, h. 13
27
dianggap tak lebih besar dari yang dibayangkan oleh misionaris barat, para
kolonial dan sarjana-sarjana barat lainnya. Sikap religius orang Indonesia
kerap kali dikatakan lebih mendekati kepada tradisi agama Hindu dan
Buddha yang sudah sekian tahun ada di Nusantara dan bahkan ribuan
tahun sebelum itu ada kepercayaan lain yang dianggap sebagai
kepercayaan awal orang Jawa dengan pemujaan terhadap leluhur serta
penghormatan kepada dewa-dewa bumi dan sekian banyak roh-roh yang
dijadikan sebagai pelarian untuk berlindung dari ancaman kehidupan
nyata.
Daripada itu menurut Martin van Bruinessen, Islam Indonesia
dalam memahami Islam di Indonesia melalui dua pengecualian yang harus
dilihat dan dipetakan. Pertama, Islam yang dibawa oleh pedagang, kedua,
Islam orang Indonesia yang telah pergi naik haji (Makkah) yang sebagian
mengubah gaya hidup, tingkah laku, serta perubahan lain yang dibawa
sepulangnya dari Makkah ke tanah air di depan umum dan selalu
ditampakkan24
. Budaya Islam Indonesia telah dijajah oleh budaya Islam
Arab telah tampak bagi masyarakat abangan dan priyayi.
Tiap generasi haji yang kembali dari makkah cenderung menolak
bentuk Islam lokal yang ada di Indonesia terkhusus di kampung
halamannya mereka dan lebih memilih Islam yang dianggap “lebih murni”
tentu mereka jumpai di tanah Arab. Lebih tragisnya lagi bahwa praktik dan
24
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta: Gading,
2015), Cet. II, h. 58
28
kepercayaan awal dianggap sebagai sebuah bentuk penyimpangan yang
perlu diperbaharui dengan pemahaman Islam murni.25
Pola klasik yang kini masih tetap terus dijadikan sebagai referensi
yaitu pola kebudayaan orang Indonesia yang oleh Geertz dikelompokkan
menjadi tiga farian, abangan, santri dan priyayi. Melihat dari praktik yang
ada di lapangan abangan dan priyayi lebih tidak Islami dan kadang
menyebutnya Hindu. Pemujaan terhadap roh nenek moyang sebagai
bentuk ritual utama, klenik serta pelbagai bentuk ritual mistis lainnya yang
menekankan penyatuan Tuhan dan manusia, semua ini malah terkesan
jauh dan asing bagi Islam justru lebih dekat kepada praktik Hinduisme.
Ritual masyarakat abangan yang selalu menjadi ritual wajib
mereka sudah tentu tidak sejalan dengan Islam versi kitab (al-Quran) dan
ulama, terutama buku-buku yang menjelaskan Islam baku, Islam otentik,
Islam original. Namun hanya segelintir praktik yang ditemukan di belahan
dunia muslim lain sebagian ada juga yang menjalankan praktek Islam
secara teori mengambil dari praktik abangan yang dijalankan.
Jenis ibadah dalam Islam bagi masyarakat Indonesia semuanya
dilaksanakan secara total yang oleh Geertz dijelaskan, supaya manusia
terhindar dari mara bahaya dan siksa di hari akhir, dengan merujuk kepada
lima jenis ibadah yang disebut Rukun Islam adalah wajib bagi yang
beriman untuk meyakininya. Yang pertama, adalah kalimat syahadat.
Kedua, dalam bahasanya Geertz, sembahyang yang dilakukan lima kali
25
Bruinessen, Kitab Kuning Pesantren dan Tarekat, h. 62
29
sehari. Zakat rukun ketiga, yakni “pajak” keagamaan yang harus diberikan
kepada saudaranya yang fakir maupun miskin, tidak mampu bayar hutang
dan lain sebagainya. Puasa merupakan rukun keempat, menahan minum
dan lapar pada waktu siang hari, kemudian terakhir haji ke Makkah bagi
yang mampu. Kesemuanya ini adalah substansi Islam yang sangat
penting26
dan tidak ditinggalkan oleh muslim Indonesia.
Dalam pengamalan ritual keagamaannya masyarakat Jawa selalu
taat terhadap apa yang telah digariskan oleh syariat agama. Di mana
syariat agama dalam Islam telah dijelaskan dan dirangkum dalam kelima
rukun yang disebut diatas bahwa manusia beragama pasti akan
menjalankan perintah sesuai kemampuannya. Islam tidak merepotkan
umatnya dalam mengaplikasikan sebuah ajaran yang terkandung di
dalamnya, begitu pula agama-agama yang lain tidak pernah ada pendapat
yang mengatakan bahwa agama itu menjadi sebuah bencana bagi manusia.
26
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Kebudayaan Jawa, h. 173-175
30
BAB III
ISLAM SIMBOL DAN PRAKTIK KEAGAMAAN
DALAM BUDAYA JAWA
A. Islam Jawa
Dalam sejarahnya, ternyata perlu dibedakan antara masuknya Islam,
penyebaran Islam, dan pelembagaan Islam. Bahwa ada tiga metode
penyebaran Islam ke tanah Jawa, datang dari bangsa India dan Arab,
pertama dibawa oleh para pedagang yang damai, kedua, oleh para da’i dan
ketiga oleh para wali songo, yang kemudian menetap menjadi warga
pribumi dan menikah dengan orang pribumi.1 Karena pada saat itu ciri
utama misionaris adalah berdagang lalu tinggal di Jawa kemudian
menyebarkan ajaran Islam pelan-pelan di tengah-tengah masyarakat
majemuk yang telah lebih dulu mengenal ajaran animisme, Hinduisme, dan
Budhaisme dalam kurun waktu hampir lima belas abad.
Kemudian daripada itu, menjelang abad ke enam belas, Islam di
Indonesia mulai terpengaruh oleh budaya Islam orang Arab. Di mana Raja-
raja Jawa yang tadinya beragama Hindu maupun Budha pelan-pelan
memeluk Islam. Dengan demikian Islam murni sangat berpengaruh bagi
masyarakat Jawa khususnya Raja-Raja Jawa. Meskipun bergelar Raja
namun untuk menyempurnakan gelar “kesultanan” biasanya mereka pergi
1 Dr. Nur Syam, Islam Pesisir. (Yogyakarta: Lkis 2005), cet. I, h. 63. Bandingkan Mark R
Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terjemahan Hairus Salim HS
(Yogyakarta: LkiS 1999), cet I, h. 80
31
ke Makkah untuk pergi haji dan mencari ilmu disana.2 Sepulangnya dari
Makkah, lalu mendapatkan gelar sultan menambah kewibawaan para Raja
Jawa.
Penyebaran Islam di Jawa tidak bisa diejawantahkan oleh hadirnya
para wali yang memiliki keilmuan dan ilmu kedigdayaan yang luar biasa.
Total kesemua wali yang menyebarkan ajaran Islam berjumlah sembilan
orang. Khususnya di Jawa para wali memiliki otoritas kekuasaan tersendiri,
ada yang menetap di Jawa Timur, Jawa Barat dan lain sebagainya. Jika
dilihat dari bukti historisnya, Jawa Timur adalah pusat penyebaran Islam di
Jawa yang mana terdapat makam Fatimah binti Maimun di Gresik pada
zaman kerajaan Kahuripan Airlangga dan Syaih Ibrahim Asmaraqandi di
zaman kerajaan Majapahit.3
Penyebaran Islam dimulai dari pesisir pantai yang masih memiliki
keyakinan terhadap hal yang sakral, sebagaimana dikatakan oleh Nur Syam
bahwa dalam masa-masa islamisasi Masjid menjadi tempat strategis untuk
pengembangan komunitas Islam. Selain sebagai pusat ritual, Masjid juga
sebagai tumbuh dan berkembangnya budaya Islam.4
Sebenarnya tidak hanya para raja Jawa yang berkesempatan naik
haji, kaum priyayi yang mampu tidak mengurungkan niatnya menunaikan
haji ke Makkah bahkan para kiai sepuh dahulu juga tidak sedikit yang
2 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, Terjemahan
Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), Cet. II, h. 292 3 Syam, Islam Pesisir, cet. I, h. 68-69
4 Syam, Islam Pesisir, cet. I, h. 73
32
kemudian pergi haji dengan embel-embel misi yang lain, yakni menunaikan
rukun Islam yang kelima serta menimba ilmu disana.
Oleh karena itu di abad kesembilan belas, jumlah misionaris dari
Arab semakin meningkat untuk menyebarkan Islam di Indonesia khususnya
di Jawa, sambil lalu berdagang.5 Para pedagang yang datang ke Indonesia
itu berstatus ganda sebagai pedagang di satu sisi dan sebagai mubalig di sisi
lain. Sedikit-demi-sedikit orang Jawa mulai terislamkan. Dengan
perkembangan yang ada, di Jawa mulanya terdapat sekolah Al-Quran di
pedesaan, di mana jemaah haji yang pulang dari Makkah ada yang langsung
menjadi guru ngaji, mengajar dan mendirikan pesantren.6 Sementara objek
kehadiran masyarakat beragama sebagaimana oleh Geertz dikonfirmasi
terdiri dari tiga varian utama: santri, abangan, dan priyayi.
Jawa tidak hanya memiliki satu versi masyarakat (budaya), di
belahan kota tertentu, jauh sebelum Islam datang masyarakat Jawa sudah
mempraktikkan budaya “kejawen” budaya asli orang Jawa. Sehingga tidak
heran bila Islam datang dengan model Islam Arab yang belakangan dirubah
oleh para Wali Songo dan disesuaikan dengan keadaan budaya setempat.7
Praktik-praktik Budha, praktik-praktik Hindu, praktik-praktik kejawen,
walaupun ada sebagian praktik-praktik atau ritual-ritual tertentu yang
diganti dengan ritual yang berbau Islam. Ajaran sebelumnya tetap
5 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. h. 176
6 Karena kebanyakan dari masyarakat Jawa khususnya Mojokuto waktu itu tidak mengerti
Bahasa Arab serta tidak lancar membaca Al-Quran. Sehingga para muballigh yang telah
menuntaskan pendidikannya di Makkah kemudian sebagian berinisiatif mendirikan pesantren
untuk membantu mencerdaskan masyarakat setempat. 7 Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. (Jakarta: INIS, 1988), h. 20-21
33
diteruskan, dilestarikan menyesuaikan ajaran Islam yang benar.
Sebagaimana hal tersebut juga diafirmasi oleh Bustanuddin Agus, bahwa
diantara sekian agama yang diakui di Indonesia ada tiga agama yang
berkembang di Jawa (diantaranya ada yang menyebut aliran) kemudian
mengatasnamakan dirinya sebagai agama. Diantaranya adalah : pertama,
Agama Kejawen, kedua, Agama Sapta Darma,8 dan ketiga, Agama Djawa
Asli Republik Indonesia (ADARI).9
Ketiga konteks diatas, agama kejawen dikonotasikan kepada kaum
awam atau meminjam bahasanya Geertz yakni kaum abangan, yang
pengikutnya berlatarbelakang desa yang tidak mengenyam pendidikan
pesantren apalagi pendidikan modern. Dalam kajian antropologis agama
abangan dikenal dengan agama kejawen. Sedangkan versi Islam mereka
tergolong agama Islam, walaupun hanya Islam KTP, atau Islam statistik.10
Sedangkan Agama Sapta Darma pokok inti ajarannya berpusat kepada alam
yang memproyeksikan dirinya dalam tiga hal yakni alam wajar (alam dunia
sekarang), alam abadi, dan alam halus (alam roh). Kemudian ADARI
pendirinya adalah S.W Mangunwidjojo (lahir 1892 di Surakarta). Visinya
adalah melaksanakan Pancasila dan mengangkat budaya Jawa asli terlepas
8 Pendiri Sapta Darma adalah Hardjosepuro atau terkadang disebut juga Hardjosaputro. Ia
dilahirkan di Desa Sanding, Pare Kediri tahun 1916 M. Katanya ajaran Sapta Darma pertamakali
diwahyukan kepadanya di waktu subuh di mana pendirinya didorong oleh kekuatan yang tiba-tiba
datang kemudian seakan-akan ada perintah untuk bersujud. Gerakan sujudnya hingga jam lima
pagi. Untuk lebih jelasnya baca Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, Dalam
Berbagai Kebatinan Jawa, (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005), h. 231-259. 9 Bustanuddin Agus, Agama Dalam Kehidupan Manusia, (Jakarta: Rajawali Pers, 2007),
h. 320-323 10
Suwarno Imam S, Konsep Tuhan, Manusia, Mistik, Dalam Berbagai Kebatinan Jawa,
h. 55
34
dari kitab-kitab suci agama yang beredar luas yang berkembang di
Indonesia.
Adapun karakteristik asli budaya Jawa meliputi, ritual,
penghormatan, dan penghambaan. Yang mana ketiga unsur tersebut menjadi
pokok sesembahan kepada sang pencipta mahkluk seluruh alam. Senada
dengan pernyataan Geert bahwa ritual dijabarkan seperti:
“a slametan can be given in response to almost any
occurrence one whises to celebrate, ameliorate, or sanctify. Birth,
merriage, sorcery, death, house moving, bad dreams, harvest, name-
changing, opening a factory, illness, suplication of the village
guardian spirit, circumcision, and starting off political meeting may
all occasion a slametan”. (Selametan dapat diadakan untuk
merespon nyaris semua kejadian yang ingin diperingati, ditebus
atau dikuduskan. Kelahiran, perkawinan, sihir, kematian, pindah
rumah, mimpi buruk, panen, ganti nama, membuka pabrik, sakit,
memohon kepada arwah penjaga desa, khitanan dan permulaan
suatu rapat politik, semuanya bisa menyebabkan adanya
slametan).11
Inilah barangkali yang menjadi alasan kuat bahwa dalam proses
Islamisasi di Jawa dilakukan dengan cara dan metode yang tidak
dekonstruktif terhadap budaya Jawa. Sehingga antara Islam dan budaya
Jawa kemudian tidak menampilkan budaya tertentu yang lebih unggul dan
memiliki otoritas wilayah tertentu.
11
Clifford Geertz, The Religion of Java. (London: The University of Chicago Press
1960), cet I, h. 11
35
Apabila kita melihat peneliti tentang Islam yang terkenal dari
Belanda kemudian ia mengaku sebagai orang Islam, yakni Snouck
Hurgronje, ia menemukan ciri-ciri Islam yang ditemukannya ada di Aceh
Utara, yang ia simpulkan dalam sebuah opini:
“Untuk melukiskan citra rukun Islam yang kelima, kita dapat
menyatakan bahwa puncak atap bangunan Islam yang runcing itu
masih ditopang terutama sekali oleh tiang utamanya, pengakuan
bahwa tiada Tuhan selain Allah dan bahwa Muhammad adalah
utusan Allah, tetapi tiang-tiang ini dikelilingi oleh rampai-rampai
hiasan yang sangat tidak cocok dengannya, yang merupakan
pencemaran atas kesederhanaannya yang agung. Adapun empat
tiang-tiang yang lain, yang merupakan tiang-tiang penjuru, tampak
bahwa beberapa diantaranya sudah lapuk karena waktu, sementara
beberapa tiang baru yang menurut ajaran ortodoks tidak layak
menyangga bangunan suci itu, telah didirikan di samping lima tiang
yang asli dan sampai tingkat tertentu telah merampas tiang-tiang
asli itu”.12
Walaupun tidak menampilkan budaya Jawa tetapi kiasan tersebut
bahkan lebih tepat bagi masyarakat Jawa, di mana tiang-tiang itu hampir
tidak nampak lagi di tengah-tengah penopang lainnya. Terkecuali keyakinan
bahwa mereka beragama Islam dan menjadi seorang Islam itu sesuatu yang
terpuji. Hurgronje sebagai seorang Kristen telah mengenal Islam semenjak
ia menyamar menjadi muslim sebagai jema’ah haji di Makkah. Ia
berpendirian bahwa orang Islam dalam memahami dan mempraktikkan
12
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. cet. II, h. 175. Lihat
pula Kevin W. Fogg, Mencari Arab Melihat Indonesia: Kacamata Arab Snouck Hurgronje tentang
Hindia Belanda. Terjemahan Ruslani, (Yogyakarta: Mata Bangsa, 2017), h. 25-28. Bandingkan
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang Perdebatan
dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 54-55
36
ajarannya “Orang Islam menerima secara formal ajaran Allah namun
dilaksanakan secara menyimpang dalam ritual praktiknya”.
Dalam kesimpulan diatas ini bukan berarti mendiskreditkan Islam
Jawa, tetapi lebih kepada tatanan aplikasi dari penganut agama itu sendiri
yang mana dalam menjalankan sebuah praktik keagamaan masyarakat Jawa
memiliki karakter tertentu disetiap individu masyarakat yang terpola dalam
ruang lingkup abangan, santri dan priyayi. Yang mana pada tatanan
masyarakat abangan dalam mengaplikasikan perintah agama masih
setengah-setengah tidak seperti kaum santri yang totalitas dalam
melaksanakan perintah agama dalam tataran aplikatifnya. Berbeda
kemudian dengan kaum priyayi yang semestinya sama-sama mengikuti pola
abangan dan santri, tetapi malah justeru sebaliknya, kaum priyayi tidak
begitu memperhatikan perintah agama.
B. Islam dalam Budaya Jawa
Pola pengislaman di Jawa dimulai dengan adanya saudagar-
saudagar asing yang telah memperoleh pengakuan dan kewibawaan serta
kekuasaan untuk mendirikan sebuah lembaga seperti pesantren atau
Masjid.13
Hasil dari upaya tersebut lambat laun semakin banyak
masyarakat yang kemudian masuk Islam. Di mana Islam pada masa awal
pertumbuhannya memiliki akar budaya Jawa. Itu disebabkan para
bangsawan Jawa masih melestarikan tradisi Hindu Jawa, bahkan mubalig
13
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 22
37
pertama yakni para wali songo melakukan pengislaman hidup dalam
tradisi Jawa.
Islam di Jawa pada periode awal telah banyak memberikan
kelonggaran terhadap masyarakat Jawa khususnya dalam segi praktik-
praktik atau ritual keagamaan yang mana ritual keagamaan yang dibangun
berdasarkan praktik dari agama sebelumnya yakni agama Hindu dan
Budha.14
Meski demikian di Jawa pada waktu itu tidak memberikan
dualisme agama yakni Hindu dan Islam. Akan tetapi Islam justeru
memberikan kelonggaran terhadap masyarakatnya sehingga Islam mudah
diterima oleh masyarakat Jawa pada umumnya. Misalnya metode yang
digunakan oleh salah satu wali penyebar ajaran Islam yakni Sunan
Kalijaga15
dengan cara masuk ke desa-desa pedalaman Jawa kemudian
mengislamkan masyarakat setempat dengan menggunakan wayang.
Lain halnya karakteristik yang paling tampak dari pola abangan di
Jawa sekaligus menjadi pembeda dengan santri adalah sikap relativisme
dan keterikatannya terhadap adat setempat.16
Di mana adat setempat begitu
kental dengan budaya Jawa. Sementara di kalangan santri, perhatian
terhadap doktrin hampir mengalahkan aspek ritual Islam yang telah
menipis. Geertz tidak menekankan aspek mistik yang dibangun oleh Sufi.
Sementara Woodward lebih menyinggung Sufi dengan mengatakan bahwa
Muhammad sebagai Nabi terakhir sekaligus mewakili kesempurnaan
14
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 24. Bandingkan Machmud Junus,
Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. (Jakarta: Pustaka Mahmudiah, 1960), h. 190-191 15
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. (Jakarta: Rajawali Pers, 2009), h. 299-
301 16
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 180
38
gagasan mistik yang orang lain tidak bisa menirunya, ia adalah sosok
panutan umat, khususnya Islam.17
Yang menjadi persoalan adalah
kelahiran Nabi Muhammad terus dirayakan oleh Umat Muslim bahkan
sudah mentradisi. Orang Jawa biasanya menyebut “slametan” kelahiran.
Oleh karena itu Geertz memandang pola ritual slametan kaum
abangan (pedesaan) adalah sebentuk “ritual inti” dalam agama Jawa.18
Yang berakar pada tradisi animisme. Sehingga dalam tataran aplikasinya
masyarakat abangan tahu kapan semestinya mereka melakukan slametan
dan apa yang harus jadi hidangan pokoknya telah terkonsep dalam diri
mereka.19
Masyarakat abangan percaya bahwa slametan itu mendatangkan
berkah dan keselamatan. Contoh riilnya dalam masyarakat Jawa apabila
mereka kedapatan tamu ke rumahnya kemudian menghidangkan makanan
baik berupa nasi, teh, kopi dan hidangan lainnya bila tidak dimakan atau
diminum ia akan sedikit kecewa.20
Mayarakat abangan melaksanakan
syari’at agama menurut kadar kemampuannya.
Ada perbedaan yang sangat mendasar dari arti slametan seperti apa
yang telah penulis singgung diatas dari Geertz yang kemudian slametan di
definisikan oleh Mark Woodward, ia mengatakan bahwa:
17
Mark R Woodward, Islam Jawa: Kesalehan Normatif Versus Kebatinan, terjemahan
Hairus Salim HS (Yogyakarta: LkiS 1999), cet I, h. 97 18
Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. (Jakarta:
RajaGrafindo Persada, 2001), h. 41 19
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 181 20
Sering kali juga ada yang hanya sebatas taklid buta terhadap masyarakat yang lain jika
menghidangkan makanan karena orang selalu menghidangkan makanan setiap kali ada tamu dan
sebagainya. Tradisi yang berkembang di Jawa sangat santun, begitu juga paduan dari Islam yang
mana bila seseorang kedapatan tamu kemudian tuan rumah tidak menghidangkan makanan walau
hanya berupa air minum saja maka ia tidak mengamalkan ajaran Islam secara total karena Islam
mengajarkan tata cara menghormati tamu dan menyuguhkan makanan yang ia punya.
39
“Slametan adalah produk interpretasi teks-teks Islam dan mode
tindakan ritual yang diketahui dan disepakati bersama oleh
masyarakat Muslim (bukan Jawa) dalam artian luas”.21
Namun demikian, penulis lebih setuju bahwa slametan merupakan
akar dari dua tradisi yang berbeda yakni tradisi pra-Islam dan tradisi Islam.
Meskipun slametan ada unsur-unsur Islamnya tetapi slametan tak luput
dari akar budaya pra-Islam seperti Hindu dan Budha yang lebih banyak
mempengaruhi terhadap praktik dan pola ritual slametan yang ada. Hal ini
bisa direfrensikan pada temuan Geertz di Mojokuto.
Jelas berbeda dengan kaum santri, Islam dilihatnya sebagai
lingkaran sosial yang konsentris, tertuju, memiliki satu pusat yang sama
yakni Tuhan. Santri merupakan kelompok (komunitas) besar orang-orang
beriman, yang senantiasa mengulang dan mempraktikkan apa yang
dilakukan oleh Nabi Muhammad.22
Entitas santri yang selalu taat terhadap
syari’at Nabi serta perintah Tuhan sejatinya menganggap diri lebih baik
dari masyarakat abangan. Mereka beranggapan bahwa hukum Tuhan
harus disampaikan, ditafsirkan serta dijalankan dan karena itulah harus ada
guru, hakim, sekolah-sekolah, dan ahli agama.
Walau demikian sifat dari keduanya antara santri dan abangan
tidak mengindikasikan bahwa totalitas pengamalan terhadap agama tidak
21
Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 41. Bandingkan
Ummi Sumbulah, dalam jurnal el Harakah Vol.14. No. 1 Tahun 2012, h. 55 22
Martin Van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat. (Yogyakarta: Gading,
2015), cet. II, h. 6-7
40
serta merta tergantung kepada kewajiban masing-masing secara makna
yang sederhana. Dalam pengamalan terhadap agama baik kaum abangan
santri dan priyayi mereka melaksanakan syariat agama menurut kadar
kemampuannya.
Geertz memandang sisi lain dari santri di Mojokuto disamping
perhatian mereka terhadap doktrin, kaum santri (Muslim kaffah) tidak
pernah memandang agama hanya sebagai serangkaian kepercayaan
semata, atau sebagai sistem umum yang mengikat mereka sebagai
individu. Akan tetapi mereka selalu memahami agama sebagai suatu
lembaga sosial masyarakat dunia. Di mana mereka ketika berbicara Islam
selalu tergambarkan sejenis organisasi sosial di mana kepercayaan Islam
merupakan elemen yang menentukan.
Pada fase perkembangannya santri kemudian “berevolusi” pada
dua macam ciri yang mencolok. Pertama, dipengaruhi oleh gerakan
reformis Islam modernis yang bermula di Kairo dan Makkah. Kedua,
Perbedaan itu terletak kepada dualisme pandangan dunia (wordview) kolot
dan modern.23
Santri modern menerima bentuk kemajuan yang
memandang kompleksitas semata-mata sebagai sebuah tantangan semata
yang harus dihadapi bukan ditolak. Lain halnya dengan santri kolot yang
alur pemikirannya masih lekat dengan budaya Jawa bahwa bentuk
kemodernan itu hanya mencelakakan diri dan bangsa.
23
Ahmad Syafii Maarif, Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi Tentang
Perdebatan dalam Konstituante, (Jakarta: LP3ES, 2006), h. 63-64. Bandingkan Zaini Muchtarom,
Santri Dan Abangan Di Jawa. h. 31-35
41
Konsepsi dasar Jawa mengenai dunia kolot bahwa semua
perwujudan dalam kehidupan disebabkan oleh gagasan animisme di mana
segala sesuatu yang ada di alam itu memiliki nyawanya sendiri. Nyawa
atau roh yang tinggal dalam diri (being) atau benda-benda lain.
Kepercayaan seperti itu tentu merupakan kepercayaan animis secara khas
dan alamiah yang berakar dalam agama Hindu.
Sejatinya roh-roh yang disembah oleh orang Jawa pada umumnya
disebut hyang atau yang berarti “tuhan”. Tuhan dalam bahasa Jawa disebut
Hyang Widi Kuwasa (Tuhan Yang Maha Kuasa). Dalam bahasa arab
disebut al-ilah (dewa)24
Begitu pula salat disebut sembahyang oleh orang
Jawa. Kata sembahyang berasal dari kata sembah yang bermakna
“penyembahan” dan yang bermakna “tuhan”.
Dalam upaya menelisik Islam di Mojokuto secara antropologis,
disana terdapat empat lembaga utama. Yang menjadi basis pergerakan
Islam. Geertz mengemukakan bahwa keempat lembaga tersebut
diantaranya adalah Pertama, partai politik Islam berikut organisasi yang
sealiran dengannya. Kedua, sekolah agama. Ketiga, lembaga pemerintahan
yang berada di bawah naungan Menteri Agama. Yang keempat, organisasi
jemaah informal disekitaran Masjid atau Langgar desa. Keempat struktur
lembaga yang ada ini terjalin satu sama lain dalam bingkai ideologi
pemikiran kolot dan modern untuk menyediakan kerangka yang kompleks
menyangkut semua aspek perilaku keagamaan yang berlaku di Mojokuto.
24
Olaf Herbet Schumann, Pendekatan pada Ilmu-ilmu Agama-agama. (Jakarta: BPK
Gunung Mulia, 2013), h. 280-291
42
Sebagaimana yang dapat kita lihat bersama bahwa, Geertz dalam
Agama Jawa (2014), mendiskripsikan identitas Muslim Jawa dengan tiga
varian abangan, santri dan priyayi. Menurut Geertz, tradisi abangan
dominan tertuju kepada petani dalam tataran praktiknya banyak
melakukan slametan, percaya kepada roh-roh, percaya kepada sihir.25
Di
mana slametan merupakan unsur terpenting bagi masyarakat abangan. Di
sisi lain kaum santri dilekatkan dengan Islam yang murni. Dalam praktik
keagamaannya kaum santri selalu hati-hati, serta teratur. Sementara kaum
priyayi diasosiasikan kepada kaum ningrat yang mana tradisi
keberagamaan mereka dicirikan dengan unsur Hindu dan Budha. Dalam
praktik riilnya masyarakat priyayi lebih nrima (bahasa Jawa: menerima
takdir dengan sepenuh hati, sabar dan tidak keras kepala serta ikhlas).
C. Praktik Islam dalam Budaya Jawa
Dari sekian banyak praktik dan ritual keagamaan yang ada di Jawa
baik dalam agama Hindu dan Budha ketika Islam datang kemudian banyak
masyarakat yang beralih kepada Islam. Kemudian daripada itu Islam tidak
serta merta mengubah ritual-ritual yang ada dalam kebudayaan masyarakat
Jawa akan tetapi Islam datang untuk memadukan dengan budaya setempat.
Oleh karena itu Martin van Bruinessen berasumsi bahwa bukan hukum
Islam yang abstarklah yang menentukan segala masalah terkait kehidupan
masyarakat, baik dari pernikahan, perceraian, warisan, dan transaksi
ekonomi, melainkan adat atau budaya setempat. Adatlah yang menentukan
25
M. Bambang Pranowo, Memahami Islam Jawa. h. 8
43
masyarakat harus melakukan apa dan seperti apa seharusnya bertingkah
laku, bertindak sehari-hari.26
Di sisi lain terkait soal persepsi dari pada tokoh mengenai agama,
seringkali Gus Dur27
mengatakan, di suatu pihak agama dijadikan tolok ukur
yang dapat membebaskan manusia dari suatu himpitan struktural tertentu,
tetapi tidak di hal yang lain. Bisa dipastikan agama memang mempunyai
dampak pembebasan. Hanya saja proses pembebasan itu cenderung lambat.
Dalam dunia global ini masyarakat sering tergoda oleh paradigma-
paradigma di luar agama dengan menuntut fungsi agama itu sendiri. Di
sinilah yang menjadi persoalan. Misalnya, satu sisi orang Arab berhasil
mengislamkan sebagian besar masyarakat Indonesia secara ritual
keagamaan, tidak secara praktik.28
Bagaimana mungkin masyarakat
Indonesia serta-merta mempercayai agama yang sejatinya orang baru tahu,
baru datang bahwa ini adalah agama dengan membawa visi kebaikan,
agama yang rahmatan lil „alamin telah hadir di Indonesia untuk menggeser
kepercayaan yang sama-sekali tidak masuk rasio akal sehat manusia
modern. Melawan kepercayaan yang sudah mendarah daging tentu tidak
serta-merta merombak secara total kepercayaan yang asli. Dirasa Islam
memiliki kesamaan dengan ajaran Hindu dan Budha makanya Islam mudah
diterima oleh masyarakat Indonesia umumnya, terkhusus masyarakat Jawa.
26
Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 67 27
Gus Dur Nama Lengkapnya Abdurrahman Wahid namun biasa dipanggil Gus Dur. Ia
lahir di Jombang Jawa Timur. Ia mantan ketua Tanfidziyah NU selama tiga periode (1984-1999) 28
Abdurrahman Wahid. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi
Kebudayaan. (Jakarta: The Wahid Institute, 2007). h. 72
44
Masyarakat Indonesia memiliki praktik-praktik tersendiri dalam
menjalankan sebuah syariat dan perintah agama. Di mana-mana hukum
Islam harus berkompromi dengan adat setempat. Khususnya di Jawa. Ketika
Islam masuk ke tanah Jawa dan berhasil mengislamkan orang Jawa, lantas
tidak semua praktik-praktik sesembahan di tinggalkan begitu saja. Tidak,
masyarakat Jawa menjalankan perintah agama dengan praktik yang telah
membudaya jauh sebelumnya. Misalnya saja, ketika masyarakat Jawa
hendak melaksanakan atau menunaikan ibadah haji ke Makkah, jauh hari
sebelum pemberangkatan, biasanya mengadakan slametan29
dan doa-doa
yang digelar di rumah masing-masing calon jemaah haji untuk memohon
keselamatan selama perjalanan hingga pulang kembali dan yang utama
adalah di doakan supaya menjadi haji yang mabrur, haji yang barokah, haji
yang diterima. Orang Arab tidak melaksanakan hal itu. Yang di perintahkan
dalam Islam hanya menunaikan hajinya, bukan ada embel-embel slametan
dan di doakan selama empat puluh hari oleh sanak famili serta masyarakat
sekitar. Senada dengan apa yang disampaikan oleh Geertz bahwa Indonesia
untuk menegakkan hukum Islam harus bisa berkompromi dengan hukum
adat setempat yang telah berakar ribuan tahun lamanya barangkali lebih
sulit di terapkan dari pada di beberapa negara Islam lainnya.30
Dalam persoalan hukum Islam di Mojokuto ada birokrasi keagamaan
yang menaungi masyarakat setempat, istilah yang digunakan Geertz
29
Slametan sering kali oleh Geertz diakaitkan kepada masyarakat abangan di mana kaum
abangan dalam ritual praktik keagamaan masih mempercayai hal-hal yang berkaitan dengan dunia
mistik. Dalam prosesnya masyarakat Jawa hampir keseluruhan melaksanakan slametan. 30
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 287
45
merujuk keapada Departemen Agama serta semua persoalan peraturan
pemerintah yang ada sangkut pautnya mengenai agama. Mediasi untuk
urusan rumah tangga dalam hal ini adalah kepentingan Departemen Agama
di Mojokuto diserahkan kepada yang bertugas yang disebut Modin.31
Modin
dipilih dan ditunjuk oleh masyarakat setempat yang dipandang lebih mampu
dan mengetahui tata cara hukum Islam yang baik sekaligus benar tanpa
dibatasi oleh waktu. Umumnya pelaksana dari segala yang ada sangkut
pautnya dengan keagamaan dimotori oleh kalangan santri, karena santri
lebih paham dan mengerti urusan agama.
Pola pengislaman di Jawa mulai berlaku dengan adanya saudagar-
saudagar asing yang telah mempunyai legitimate (legitimasi, pengakuan)
dari masyarakat untuk membangun Masjid. Sebagai hasilnya mubalig yang
masuk ke Jawa menarik mubalig luar negeri untuk memberikan pemahaman
keagamaan kepada santri yang hidup dalam lingkungan Masjid dan
pesantren. Sedangkan pola yang ada dalam pesantren lebih diakui
keberhasilannya dalam membangun peradaban umat Islam baru sehingga
ruang lingkup sekitar pesantren itu mudah berkembang.32
Akan tetapi tidak
menafikan praktik sinkretik yang telah mendarah daging di masyarakat
Jawa.
31
Modin adalah orang yang mempunyai tugas dan fungsi mengurus serta mencatat orang
menikah serta segala sesuatu yang berhubungan dengan pendataan tentang nikah, kematian
seseorang, talak, rujuk, dan cerai. Bahkan tugas lainnya adalah memfasilitasi pembinaan
kerukunan antar umat beragama, sosial budaya masyarakat. Lihat Clifford Geertz dalam bukunya
Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa. h. 295-296 32
Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa. (Jakarta: INIS, 1988), h. 23
46
Inti keberhasilan Islam di Jawa tidak lepas dari peran ulama dan kiai
yang merupakan figur sentral dari kehidupan santri atau masyarakat pada
umumnya. Umat Islam sudah terikat oleh hukum yang ada dalam ajaran
Islam. Maka dari itu pesantren merupakan mediasi bagi masuknya Islam ke
pelosok-pelosok desa. Hampir di seluruh pulau Jawa pesantren mudah
dijumpai. Walau pun pada masa awal pertumbuhannya diwarnai oleh
budaya Jawa. Sebab tradisi lama ajaran Hindu dan Budha tidak dihilangkan,
guna memenuhi keinginan orang Jawa. Tidak sedikit adat Jawa yang
dikeramatkan dengan dibumbui oleh ibadah Islam. Dengan kelonggaran itu
praktik Islam lebih mudah diterapkan untuk mengurangi kesulitan
pengislaman masyarakat Jawa. Di samping itu untuk menerima Islam
secara kaffah, maka secara otomatis dan apa adanya, memudahkan bagi
manusia dalam kenyataan yang dihadapi dalam dunia kini dan mendatang.
Dari pendekatan seperti ini, menurut Gus Dur diharapkan akan muncul
respon dari masyarakat setempat sebuah tanggapan yang sehat terhadap
tantangan-tantangan yang akan dihadapi di masa mendatang. Pendekatan
seperti ini menekankan kepada dasar-dasar Islam yang mampu melakukan
adaptasi serta tidak menghilangkan unsur asli dalam kehidupan masyarakat
Jawa.33
33
Wahid. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan Transformasi Kebudayaan. h.
29
47
BAB IV
ISLAM DAN BUDAYA JAWA DALAM PERSPEKTIF
CLIFFORD GEERTZ
A. Mutual Simbiosis Keislaman dan Kejawaan
Ketiga varian yang menggambarkan keadaan masyarakat
Islam Mojokuto, orang mengenal dengan sebutan abangan, santri,
dan priyayi adalah tipe murni yang terbentuk di kalangan masyarakat
setempat. Yang mana ketiga varian ini, sebagaimana dikemukakan
oleh Geertz, memiliki akar atau hubungan “geneologis” yang sangat
kuat. Di mana “kelahiran” mereka dilatarbelakangi oleh kesamaan
letak geografis, ekonomi, tercakup dalam masyarakat yang sama-sama
majemuk, kemudian memegang nilai-nilai budaya yang sama,
terbentuk dalam struktur sosial yang sama pula dan bagaimanapun
juga tidak mudah memahami praktik-praktik keberagamaan mereka
semenjak Hindu, Buddha dan Islam belum datang di tengah-tengah
mereka, orang Jawa memegang erat kepercayaan nenek moyang yang
sifatnya turun-temurun yakni animisme dan dinamisme.1
Oleh karena itu Islam telah menjadi agama “terlaris” di pulau
Jawa. Hal itu disebabkan terutama di satu sisi kehadiran Islam tidak
serta-merta merusak tatanan, adat dan budaya Jawa, di sisi yang lain
Islam tetap konsisten dalam menjaga orsinilitas prinsip-prinsip
ajarannya. Meski tidak menghilangkan keorsinilan dari agama
1 Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa,
Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto, (Depok: Komunitas Bambu, 2014), cet. II,
h. 309-310. Bandingkan Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 1985), cet. II, h. 9
48
sebelumnya.2 Umumnya Islam kaum abangan masih terpengaruh oleh
kepercayaan lamanya, perpaduan unsur budaya Hindu dan Buddha
memberikan ruang tersendiri sekaligus menjadi pembeda bagi
masyarakat Mojokuto dari masyarakat lainnya.
Perkembangan agama Islam di Jawa tidak terlepas dari
pemikiran-pemikiran yang sangat tradisional dan sederhana penuh
makna. Pemikiran yang dimiliki masyarakat Jawa merupakan
anugerah yang tak dimiliki oleh masyarakat manapun itulah
kepercayaaan Jawa yang dikenal dengan “kejawen”. Dari itu Islam
dan budaya Jawa banyak kesamaan di mana kesamaan itu berpola
pada kepercayaan terhadap energi atau kekuatan besar yang ada pada
alam, sementara di Islam sendiri kepercayaan penuh tertuju kepada
Allah Tuhan semesta alam.3 Dalam budaya Jawa pusat kepercayaan
juga ditujukan kepada Tuhan namun sebelum mengalami pembaruan
terhadap keyakinan orang Jawa masih mempercayai keyakinan lama
yang dikenal dengan kepercayaan kepada hal-hal gaib (sejatinya
adalah Tuhan) yang dikenal dengan sebutan animisme dan dinamisme
tadi dipercayai oleh masyarakat Jawa bahwa mereka tidak bisa hidup
berjalan sendirian tanpa bantuan dari alam sekitar.
Penulis lebih setuju bahwa konsep yang dibangun oleh Geertz
diatas tidak menutup kemungkinan kesamaan yang dimaksud adalah
berdasarkan dari ajaran Islam. Di mana Islam pada masa awal
2 Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta:
Gading, 2015), cet. II, h. 61 3 Andrew Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi.
(Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2001), h. 240
49
menggunakan model konservatif, maksudnya adalah untuk
meminimalisir terhadap kemajuan keagamaan yang dikhawatirkan
masyarakat belum siap menerimanya. Dengan demikian masyarakat
Jawa selalu tawakkal kepada Allah karena kepercayaan tadi itu Islam
tidak menonjolkan model yang sekiranya masyarakat tidak terpikat
oleh ajarannya. Keberhasilan Islam memikat dan melunakkan hati
masyarakat Jawa dengan model yang santun, menyesuaikan adat dan
tradisi masyarakat setempat.4
Mutual simbiosis keislaman dan kejawaan misalkan diambil
suatu perumpamaan seperti; ritual atau praktek slametan sebagaimana
yang dikatakan oleh Geertz bahwa slametan menjadi ikon (icon) bagi
orang Jawa umumnya bagi kalangan abangan. Tentu berbeda dengan
temuan Beatty pada masyarakat Jawa (Banyuwangi desa
Blambangan), di mana slametan hampir dilakukan oleh semua orang
Jawa. Slametan, ritual dan praktek orang Jawa dalam praktek ritual
tersebut bukan sekedar menyiapkan sesajen berupa kemenyan,
kembang tujuh rupa, nasi tumpeng dan seperangkat kebutuhan yang
lain, bagi masyarakat Jawa ritual slametan adalah suatu totalitas,
sepintas terlihat acara sederhana, tapi kaya akan makna bahkan
sepadan dalam tataran ritual dan simboliknya5.
Sebagaimana dikatakan oleh Geertz “ di pusat keseluruhan
sistem orang Jawa, disana terdapat suatu ritus sederhana, bentuknya
formal, jauh dari keramaian dan dramatis: itulah slametan”. Dan
4 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 28
5 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 36
50
bahwa slametan dilakukan oleh kaum abangan dan pelaksanaannya
diwaktu malam hari setelah salat Maghrib. Selanjutnya menurut Marx
Woodward slametan dimaknai sebagai berikut: pertama, slametan
adalah produk penafsiran teks-teks Islam yang diketahui dan
disepakati umat Muslim secara spesifik. Kedua, slametan sekurang-
kurangnya bukanlah sebuah ritus pedesaan melainkan ritus kerajaan.
Ketiga, slametan berakar dari tradisi Hinduisme (pra-Islam).6
Namun pandangan Geertz ini dalam pandangan penulis
memiliki kelemahan di mana tradisi slametan hanya dikonotasikan
kepada kaum abangan. Tentu berbeda dengan pendapat Andrew
Beatty yang mengatakan bahwa tradisi slametan bukan hanya milik
abangan tetapi santri juga melaksanakan ritual slametan. Secara
tradisi, slametan masuk dalam tradisi lokal. Arti kata slametan
menurut orang Jawa, berasal dari kata “slamet” yang mengerucut
kepada arti dalam Islam yakni “selamat” adapun tujuannya adalah
untuk menciptakan keadaan sejahtera, aman, tentram, bebas dari
gangguan mahluk halus itulah keadaan yang disebut slamet.7 Dari
kesimpulan pendapat diatas akar tradisi slametan menurut penulis
adalah berakar dari dua tradisi yakni tradisi Islam dan tradisi pra-
Islam.
Ketika menggelar slametan pola slametannya berbeda-beda
dari segi penyajian makanannya tergantung sedang menggelar
6 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 41
7 Beatty, Variasi Agama Di Jawa Suatu Pendekatan Antropologi. h. 43.
Bandingkan Clifford Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h.
7
51
slametan apa si pemilik hajat. Tuanrumah biasanya mengundang
tetangga atau kerabat dekat misalnya akan menggelar slametan
perkawinan, kelahiran, kematian, pindah rumah, ganti nama, khitanan
maka sebelum acara tersebut benar-benar terlaksana biasanya
tuanrumah terlebih dulu menyiapkan (1) pemimpin doa, (2) pemimpin
tahlil, terakhir (3) berkat. Ketiga unsur itu tidak boleh terlewatkan
karena jika berkat tidak disiapkan maka tuanrumah akan mendapatkan
celaan dari masyarakat setempat serta slametan itu dianggap kurang
berkah. Karena yang terpenting inti dari slametan bukan berdasarkan
doanya, melainkan sesajian yang disiapkan berupa makanan.8
Pada dasarnya siklus slametan signifikansi antara agama dan
budaya, dari slametan bermula kepada kepercayaan lokal yang
terdahulu kepercayaan akan hal yang gaib. Jauh sebelum masyarakat
Jawa mengenal slametan mereka mengenal kepercayaan nenek
moyang terlebih dahulu yang tentunya bukan hanya di Jawa saja
kepercayaan kepada animisme dan dinamisme berkembang tetapi
dalam negara lain juga memiliki julukan tersendiri. Penulis yakin di
negara lain tentunya memiliki nama-nama tersendiri untuk menyebut
benda-benda yang dapat memberikan sebuah kekuatan pendorong
dirinya yang dikenal dengan animisme dan dinamisme, kepercayaan
yang disandarkan kepada benda-benda atau roh-roh yang menempel di
tubuh manusia.
8 Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 8
52
Sebagaimana yang penulis temukan dalam penjelasan
Dhurkheim, di berbagai negara lain pun kepercayaan seperti itu tentu
ada, namun dari segi penamaannya saja yang beda, secara arti sama.
Kekuatan gaib, kekuatan supernatural benda atau mahluk pelindung
dipanggil dengan nama-nama yang berbeda dalam berbagai lapisan
masyarakat sebagai contoh atas apa yang dikemukakan oleh Emile
Dhurkheim mengenai kepercayaan kepada mahluk pelindung di
beberapa negara seperti berikut ini: di Meksiko disana masyarakatnya
lebih akrab dengan sebutan nagual, di masyarakat Algonquin disebut
monitou, dalam masyarakat Huson disebut okki, sementara snam
dalam sebagian masyarakat Salish, sedangkan sebagian lagi
menyebutnya sulia, dalam masyarakat Yuin dikenal dengan nama
budjan, sedangkan di masyarakat Euhlayi disebut yunbeai.9
Nyatanya di Indonesia bukan hanya percaya kepada teori
animisme dan dinamisme yang dipandang lebih dulu ada, banyak teori
yang mengatakan bahwa jauh sebelum kedua teori diatas sudah ada
lebih dulu teori yang disebut fetisisme dalam bahasa latin factitius,
yang bermakna: “kerajinan yang dibuat dengan tangan manusia
kemudian dipuja diisi dengan kekuatan gaib”. Di Afrika Barat orang
menyebut benda-benda itu dengan nkisi (jamaknya minkisi) yang
artinya adalah benda-benda yang dibungkus berisi macam-macam
benda, contohnya garam, rambut, cakar burung, cincin dari logam
kemudian bungkusan itu dijadikan jimat atau benda-benda yang
9 Emile Dhurkheim, The Elementary Forms Of The Religious life, Sejarah Bentuk-
Bentuk Agama Yang Paling Dasar, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri,
(Jogjakarta: IRCiSoD), h. 211-240
53
dikeramatkan. Biasanya di gantung-gantung di atas pintu masuk
rumah.10
Jika dibandingkan dengan pendapat Emile Dhurkheim tentang
kepercayaan sebelum manusia percaya pada agama, tentunya manusia
memiliki segudang makna mengenai adanya kepercayaan primitif
dalam bahasanya Dhurkheim disebut “totem” dan totem itu masih ada
pembagian pengertian yang lain seperti; ada (1) totem personal dan
(2) totem marga. Totem itu pelindung marga. Totem personal
maksudnya adalah totem yang disembah dan diyakini dapat
melindungi individu seseorang. Sementara totem marga adalah totem
yang dapat melindungi seluruh lapisan masyarakat bangsa dan
negara.11
Tak dapat dipingkiri bahwa di Jawa jimat-jimat yang dianggap
sakti dan membawa keberkahan bagi penghuni rumah masih terus
dirawat sampai saat ini. Di mana jimat-jimat yang dianggap kramat itu
masih banyak dijumpai di rumah-rumah warga, penulis sering kali
menjumpai tumpukan-tumpukan jimat yang diletakkan diatas pintu
masuk rumah kemudian setiap hari jumat biasanya di asapi dengan
kemenyan supaya tetap menjaga dan menghormati penunggu jimat
tersebut, demikian kepercayaan orang Jawa.
10
Dr. Harun Hadiwijono, Religi Suku Murba Di Indonesia, (Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985), cet. II, h. 9 11
Dhurkheim, The Elementary Forms Of The Religious life, Sejarah Bentuk-
bentuk Agama Yang Paling Dasar, (Jogjakarta: IRCiSoD), h. 241. Baca: S. Frued, Totem
and Taboo, tanpa tahun, h. 45. Daniel L. Pals, Seven Theories of Religion: Tujuh Teori
Agama Paling Komprehensif, Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri,
(Jogjakarta: IRCiSoD, 2012), h. 99-109
54
Dalam konteks diatas Islam Jawa kemudian mempunyai ruang
tersendiri bagi masyarakat yang akalnya tercerahkan oleh keluhuran
Islam. Sebagaimana yang disampaikan oleh Martin van Bruinessen,
Dalam kurun waktu enam puluhan kaum abangan dan priyayi
dihadapkan dengan persoalan keimanan, di mana kepercayaan mereka
sedang dalam ujian yang sulit. Akidahnya dipertaruhkan demi
pembaruan kepercayaan awal, sehingga terjadilah proses “islamisasi”
luar biasa di kalangan abangan dan priyayi, yang terkadang oleh
orang Indonesia disebut sebagai “santrinisasi” atau akulturasi budaya.
Santri adalah golongan yang taat beragama walaupun sebagai
santri tidak menutup kemungkinan masih melaksanakan ritual berupa
sesajen misalkan dalam upacara slametan “kelahiran anak pertama”
mereka sadar betul bahwa dirinya adalah santri, tetapi ritual itu tidak
serta merta ditinggalkan begitu saja. Meski demikian, ritual yang
dilaksanakan dengan membakar kemenyan, memberikan sesajian
kepada roh-roh yang sudah meninggal dipadukan dengan doa-doa dan
zikiran dari pola ajaran Islam.12
Santri: a great society of equal believers constantly repeating
the name of the Prophet going through the prayers chanting the
koran. (santri adalah sebuah komunitas besar orang-orang beriman
yang senantiasa mengulang pengucapan nama Nabi melakukan
sembahyang dan membaca al-quran).13
12
Hilman Hadikusuma, Antropologi Agama, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti),
h. 64 13
Clifford Geertz, The Religion of Java. (London: The University of Chicago
Press 1960), cet I, h. 128
55
Priyayi adalah golongan bangsawan (prijajis its gentry)14
yang
berafiliasi kepada pemerintahan yang umumnya mengaku beragama
Islam walaupun demikian mereka tidak melaksanakan perintah agama
seperti yang dilakukan oleh golongan santri. Mereka masih
mempertahankan dan melaksanakan budaya kejawen yang berasal
dari tradisi Hindu-Buddha.15
Abangan adalah golongan yang terkadang disebut golongan
“wong cilik”. Hampir sama dengan golongan priyayi yakni masih
memegang tradisi dari Hindu-Buddha dengan mempercayai animisme
dan dinamisme. Kebanyakan dari mereka berpendidikan rendah tidak
bisa membaca dan menulis.16
Abangan menurut Geertz: Abangan are fairly indifferent to
doctrine but fascinated with ritual detail. Abangan benar-benar tidak
acuh terhadap doktrin tetapi terpesona oleh detail keupacaraan.17
Pada dasarnya santri dan abangan itu berbeda tetapi memiliki
beberapa kesamaan dalam etika. Sementara kaum santri dan abangan
perbedaan yang mendasar ada dalam bentuk pengamalan pribadi
terhadap keberagamaannya.18
Seorang santri menganggap lebih
religius daripada kaum abangan. Lagi-lagi ukuruan religiusitas
tergantung seberapa besar penghayatan kerohanian dirinya terhadap
agama. Santri dan abangan merupakan dua subkultur yang bernilai
14
Geertz, The Religion of Java. cet I, h. 228 15
Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 64 16
Hadikusuma, Antropologi Agama, h. 65 17
Geertz, The Religion of Java. cet I, h. 127 18
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 173.
Bandingkan Martin van Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, (Yogyakarta:
Gading, 2015), cet. II, h. 69-70
56
dan berhaluan berbeda dalam budaya Jawa. Santri memandang
sembahyang (salat) adalah sebagai bentuk peribadatan yang penting
dan pokok, pelaksanaannya memiliki waktu yang istimewa, sudah
ditentukan oleh waktu dan tidak bisa digantikan oleh waktu yang lain.
Sementara bagi kaum abangan memandang salat hanya sebagai
syariat Islam yang tertera dalam rukun Islam yang lima. Tidak terlalu
menomorsatukan salat akan tetapi tidak meninggalkan kewajiban
salat, hanya berbeda ketekunan dalam menjalankan syariat agama
dengan kaum santri.
Pola kehidupan santri diatur oleh hukum Islam yang
mewajibkan bagi setiap insan untuk melaksanakan perintah tersebut
yang kita kenal dengan ibadah mahdah (ibadah yang ditentukan
dengan waktu), yakni salat lima waktu. Jika diurutkan akan muncul
varian waktu sebagai berikut; subuh, zhuhur, ashar, Maghrib dan isya.
Diulangi setiap hari dalam waktu yang sama. Laki-laki dianjurkan
salat berjemaah di Masjid sementara perempuan dianjurkan salat di
rumah. Hukum Islam yang tidak boleh ditawar-tawar dan langsung
perintah dari Tuhan pemilik seluruh alam. Islam tidak membatasi di
mana seorang muslim harus menunaikan salatnya, Islam
menganjurkan salat di tempat yang suci. Adapun tempat yang
dimaksud itu adalah masjid, langgar, lapangan maupun rumah
pribadi.19
Selagi tempat itu layak untuk tempat salat maka tidak ada
halangan bagi umat Islam menunaikannya.
19
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 311
57
Keyakinan yang dipupuk sejak lama telah mendarah daging
bagi kalangan muslim sedunia. Bahwa laki-laki diharuskan salat
berjemaah di masjid, langgar dan di tempat-tempat layak dan suci.20
Sementara perempuan percaya dan disepakati oleh mayoritas ulama
salatnya di rumah. Karena alasan ketaatan inilah yang akhirnya
menjadikan seseorang sebagai santri, priyayi dan abangan yang
kesemuanya itu hampir tidak pernah ditemui di desa-desa umumnya
Jawa orang melakukan salat sendirian di masjid tanpa berjemaah,
terkecuali telat berjemaah. Ketiga varian abangan, santri dan priyayi
ini telah membentuk jemaah Islam desa, di mana masyarakat saling
berbaur satu sama lain yang oleh karena itu aspek religius dan sosial
keduanya saling mendukung.
Ketika waktu salat tiba baik yang abangan, priyayi apalagi
santri akan selalu berhenti sejenak bila mereka mendengarkan suara
adzan dan melaksanakan salat di tempat terdekat. Misalnya dalam
perjalanan ia akan mencari masjid atau langgar yang bisa digunakan
untuk salat. Bila berada di rumah ia akan segera mengambil wudhu
20
Salat memang dibolehkan dilaksanakan di rumah, alangkah lebih baiknya
dikerjakan secara berjemaah di masjid, karena selain pahala yang didapatkan lebih banyak
daripada salat sendirian hubungan sesama muslim juga terpenuhi. Jika sembahyang
dikerjakan secara bersama-sama, maka kesalahan, amal kebaikan serta rahmat Tuhan
dibagi rata kesemua jemaah. Demikian, kalau berjemaah lebih dari empat puluh orang dan
di salah satu jemaah ada yang tidak khusuk dalam melaksanakan salatnya, maka yang
demikian itu akan ikut kepada yang mayoritas, akan terangkat kesalahannya dan diangkat
oleh satu orang yang khusuk melaksanakannya. Itu sebabnya salat mengapa harus
dilaksanakan berjemaah di masjid. Baca selengkapnya Bukhari, Shahih al-Bukhari, bab
Shalat Jumat, “keluarnya wanita ke Masjid”. No. 900. Ibnu Hajar al-Asqalani, Fath al-
Bari, Jilid II, h. 444. Muslim, Shahih Muslim, bab as-Shalat, pasal “keluarnya wanita ke
Masjid”. No. 136 dan 232. Imam Malik, al-Muwaththa’, bab as-Shalat, pasal “wanita yang
pergi ke Masjid”. No. 466. Az-Zarqani, Syarh az-Zarqani „ala al-Muwaththa’, Jilid II, h. 7.
Dr. H. Rusli Hasbi, MA, Rekonstruksi Hukum Islam, Kajian Kritis Sahabat Terhadap
Ketetapan Rasulallah Saw, Shalat-Puasa-Zakat-Haji-Pernikahan-Thalak-Fitnah, (Jakarta:
2007), h. 23-30
58
terlebih dahulu kemudian salat. Dalam keadaan apapun orang Islam
akan melakukan salat karena salat merupakan perintah langsung dari
Allah. Misalkan di rumah kedapatan ada tamu kemudian si tamu
orang Kristen, maka kebiasaan orang Jawa meminta izin sebentar
kurang lebih lima sampai sepuluh menit pergi kebelakang menunaikan
salatnya. Baru kemudian melanjutkan obrolan setelah selesai salat.
Sesibuk apapun dan sebanyak apapun aktivitas yang dilakukan jika
waktunya salat ia akan berhenti buru-buru melepaskan hal
keduniawian dan menggapai yang ukhrowi. Sembahyang harian
merupakan semacan ritual sakral yang bersifat keharusan dan refleks
dilakukan serta mengantarkan seseorang dalam jaminan keselamatan
baik kesejahteraan material maupun spiritual seseorang.21
B. Islam dan Modernitas
Kebanyakan pemeluk Islam awal dari kalangan abangan dan
santri yang bermukim di pesisir pantai. Karena yang pertamakali
bersentuhan langsung adalah dua kelompok varian tersebut. Semakin
banyak yang datang diperkirakan kisaran tahun 1990-an para
misionaris dari India datang ke daerah Jawa Timur yang berjubel
sesak penuh santri yang bertempat tinggal di sekitaran Masjid di kota-
kota Jawa dan biasanya mereka disebut santri “kauman”. Namun
belakangan dalam perkembangan arah jaman yang semakin global
telah berubah. Di Jawa tengah, misalnya, sampai akhir tahun 1920-an,
semata-mata memaknai santri dengan makna yang berbeda dari
21
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 313
59
umumnya, bahwa santri “sebagai siswa yang sedang mengemban
pendidikan atau murid di sebuah pesantren”, sementara definisi di
kota lain lagi, yakni mengacu kepada para Muslim Jawa yang tinggal
di lingkungan Masjid yang disebut “kauman”. Beralih ke Jawa Timur
makna abangan di definisikan sebagai sebuah kelompok masyarakat
yang hidupnya bersentuhan dengan persoalan duniawi yang
pandangan kehidupannya jauh dari pandangan Muslimin yang saleh.22
Semua yang terislamkan kemudian meniru adat orang Arab
untuk menyebarkan Islam dengan cara berdagang kemudian diselingi
dengan dakwah. Ada tiga kelompok pola penyebar Islam yang
dinamai dengan, pertama adalah kelompok pedagang kecil
(kebanyakan tani), yang kedua adalah pedagang keliling (santri), dan
yang ketiga adalah penghulu. Golongan “petani santri” lebih kaya
dibandingkan dengan “petani abangan”, begitu pula keluarga
penghulu, meski penghulu sangat dihormati golongan ini tidak bisa
disebut priyayi, sebab walau bagaimanapun mereka disebut santri.
Seperti yang telah dikatakan oleh Geertz, dari ketiga varian
tersebut santri lebih menyukai istilah Islam, apakah Islam kuno atau
Islam modern, serta istilah “pemeluk yang setia” dan bukan istilah
santri, walaupun mereka sendiri adalah santri. Abangan dipandang
sebagai masyarakat yang hanya tahu Islam, tetapi tidak terlalu patuh
akan perintah dan ajaran yang ditentukan. Meskipun mereka
menyebut dirinya sebagai Muslim.
22
Zaini Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa (Jakarta: INIS, 1988), h. 10
60
Kaum abangan adalah petani Jawa, sedangkan priyayi adalah
kelompok ningratnya. Umumnya petani tinggal di desa, kemudian
priyayi tinggal di perkotaan. Oleh karena itu dari segi gaya hidup yang
dilakukan oleh priyayi secara eksklusif hanya terbatas dikalangan
sesama priyayinya saja.23
Perbedaan mendasar antara priyayi dan abangan lebih sulit
dijelaskan daripada perbandingannya dengan santri karena abangan
dan priyayi sama-sama memiliki unsur sinkretik terhadap animisme.
Dimana dalam kehidupan abangan melaksanakan orkesan, gamelan
dan pertunjukan wayang. Sementara santri yang lebih beradab enggan
melihat budaya yang seperti itu.
Adapun dimensi “keagamaan” kaum priyayi terletak pada tiga
unsur materi yang mana ketiganya disebut sebagai etika, seni dan
praktik mistik.24
Etika sebagaimana diyakini oleh kaum priyayi lebih
menekankan kepada kelakuan sehari-hari, berpikiran positif. Praktik
mistik yang dilakukan untuk mengasah pikiran dan kerohanian. Seni
sebagai bentuk aplikasi kepada laku budaya Jawa.
Dalam etika priyayi hanya mengenal halus dan kasar, biasanya
mereka lebih trima, (dalam bahasa Jawa dimaknai: menerima, sabar
dan ikhlas) apabila dalam kehidupannya mengalami perubahan yang
tidak biasa. Prinsip pokok yang dijalankan oleh priyayi dalam beretika
adalah kehati-hatian dalam bertindak yang merugikan diri sendiri.
23
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 331 24
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 343
61
Pola yang dimiliki oleh orang Jawa disebut andap asor, merendahkan
diri sendiri dengan sopan santun dimanapun dan dengan siapapun
merupakan kelakuan yang benar yang harus ditunjukkan kepada orang
lain baik yang lebih muda atau yang lebih tua.25
Maka dari itu penulis meminjam bahasa yang digunakan oleh
Zainuddin Maliki, yakni “santrinisasi priyayi”, pola “santrinisasi
priyayi” ini mengacu kepada penguasa dalam birokrasi pemerintahan
yang memiliki basis Jawa priyayi yang lebih dekat dengan Keraton
daripada petani Jawa (abangan), kendati demikian mereka golongan
priyayi sangat terbuka dengan mengambil simbol-simbol yang
dimiliki oleh santri. Di sisi lain, priyayi masih tetap setia kepada
pernak-pernik ide, mitos, image, dan yang lainnya.26
Sejauh
perkembangan perubahan yang dilalui oleh priyayi masih jauh lebih
baik dibandingkan dengan petani Jawa yang pemahaman
keagamaannya masih jauh dari sempurna. Budaya santri yang diserap
oleh priyayi dirasa perlu untuk diterapkan karena memberikan
dampak baik di ranah birokrasi publik, khususnya mendongkrak jati
diri mereka sehingga kemudian simbol-simbol santri menjadi
fungsional, oleh karenanya, mau tidak mau, mereka merasa perlu
untuk menjadikan pola tersebut sebagai the secend culture27
(budaya
kedua). Sebagai contoh konkretnya, meski priyayi yang menjadi
santri telah menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah, mereka
25
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 350-352 26
Zainuddin Maliki, Agama Priyayi, (Yogyakarta: Pustaka Marwa), h. 257 27
Maliki, Agama Priyayi, h. 257
62
merasa tidak memiliki keharusan untuk mengenakan kopyah sehari-
hari, tidak sebagaimana layaknya santri yang setiap harinya tidak
lepas dari kopyah apalagi bagi santri yang telah menunaikan haji,
mereka merasa perlu menampakkan identitas yang baru dengan
memakai kopyah sebagai simbol agung.
Persebaran tersebut diatas bisa terjadi melalui transformasi
secara sosiologis yang ditandai dengan adanya kesadaran spiritualitas
atau religiusitas dalam diri priyayi. Dengan demikian tidak sedikit
priyayi yang menjalankan pola keberagamaan santri menempati posisi
strategis dalam ranah birokrasi pemerintahan. Disamping itu, priyayi
mengambil Islam sebagai bentuk sumber simbol kekuasaan yang ia
jalankan.
Sejalan dengan perkembangan mobilitas sosial, santri yang
sejatinya taat dalam hal menjalankan keagamaan dan peribadahan, tak
sedikit yang berkecimpung dalam ranah perpolitikan dengan meniru
ala priyayi yang sudah mapan. Sehingga dengan demikian ada istilah
“priyayinisasi santri”. Oleh sebab itu, santri yang semula berkutat
dalam ranah privat kemudian mengepakkan sayapnya lebih jauh ke
ranah publik. Pada umumnya santri melakukan mobilisasi melalui
dunia pendidikan formal. Setelah santri banyak yang menduduki
birokrat pemerintahan, maka sedikit bergeser dari deprivatisasi ke
dunia terbuka.28
Hubungan yang dibangun oleh santri semata-mata
memandang diri mereka juga perlu adanya perubahan yang dinilai
28
Maliki, Agama Priyayi, h. 263
63
hanya berkutat dalam ranah keagamaan tanpa tahu dunia perpolitikan,
pernyataan yang demikian sudah bergeser dikarenakan berhasilnya
santri merubah arah pemikiran yang dinilai kolot dan kuno.
Dari berbagai persoalan yang dihadapi oleh santri, abangan,
dan priyayi diatas. Secara umum mengatas namakan diri sebagai
Islam.29
Bagi kaum Muslimin Indonesia saat itu, mereka menyadari
secara fakta bahwa Islam dibawa dan datang ke Indonesia tidak untuk
menyeragamkan sebuah ajaran menjadi satu ajaran utuh yang harus
dianut oleh seluruh umat Islam di seluruh Indonesia. Untuk
menetralisir adanya penyimpangan dari kemurnian agama Islam
dengan jalan menghilangkan unsur-unsur sinkretik maka di Indonesia
lahirlah sebuah gerakan keagamaan yang mengatas namakan dirinya
sebagai kelompok Muhammadiyah adalah golongan yang menagatas
namakan dirinya (golongan modern), dan belakangan beberapa tahun
setelah Muhammadiyah berdiri lahirlah Nahdlatul Ulama atau sering
disebut NU (golongan kolot). Yang mana kedua golongan tersebut
sama-sama ingin memurnikan ajaran Islam dari kepercayaan,
kebiasaan orang Jawa sebelum masuk Islam yang tak terpisahkan di
Jawa serta membuat Islam mampu menjawab sebuah tantangan dunia
semakin modern terutama kepada perubahan masyarakat.
Pasca reformasi tidak ada satupun institusi atau partai politik
yang dapat menjalankan visinya dengan lancar karena dikredibel oleh
pihak penguasa. Oleh karena itu diakhir Orde Baru banyak priyayi
29
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 320
64
yang mengidentifikasikan dirinya kepada dua organisasi Islam
terbesar yang ada, yakni NU atau Muhammadiyah. Kendati demikian
apa yang telah priyayi rasakan dalam dunia pribadi mereka, telah
banyak memberikan dampak yang positif. Selain pola santri telah
menyatu dalam diri priyayi kemudian mereka dalam perjalanan
spiritualnya memperoleh ketenangan diri dengan pola santri.
Mobilitas sosial yang priyayi peroleh dari karir politiknya telah
banyak mencapai tingkat kemakmuran yang berarti dalam hidupnya
disamping kemakmuran material yang ia peroleh, tetapi kemudian
mereka ingin menyempurnakan spiritualnya sebagai kaum priyayi
yang dalam hal ini mereka memiliki kesadaran baru sebagai santri.
Ketika kita membahas santri, priyayi dan abangan sebagai
kekuatan sosial di Indonesia saat itu, persoalan yang muncul semata-
mata bukanlah persoalan siapa yang beragama dan tidak beragama
melainkan adalah persoalan pergulatan politik antarpartai Islam.
Akibat dari situasi itu muncullah berbagai partai politik dan muncul
pemikir politik yang tersadarkan diri. Itulah masa dimana partai lahir
seperti Sarekat Islam (1911), Muhammaddiyah (1912), PKI (1914),
NU (1926), PNI (1927) dan lain sebagainya. Sarekat Islam yang
menggerakkan massa dari kalangan santri dan abangan.30
Terlepas dari perkembangan dunia yang semakin maju, Islam
pun menyesuaikan dengan keadaan. Di tampuk kepemimpinan
Presiden Soeharto disebutlah sebagai era baru berkemajuan dan
30
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 37
65
diterimanya gagasan baru pertumbuhan kesadaran ala Barat,
perubahan sosial dan ekonomi, tentang pergulatan politik dan gagasan
pembaruan Islam datangnya dari Mesir. Tentu saja disamping lahir
partai-partai Islam, tak luput kita lihat para tokoh pejuang di kalangan
Islam salah satunya pengurus Masyumi waktu itu diantaranya, seperti
Dr. Tjipto Mangunkusumo, H.O.S. Tjokroaminoto, H. Agus Salim, K.
H. Wahid Hasyim, Mohammad Roem, Mohammad Natsir dan lain-
lain.31
Terlepas dari peran tokoh dan partai diatas menurut Geertz
lahirnya modernisme di Jawa dibarengi dengan kegigihan masyarakat
yang berkeyakinan bahwa “Makkah” sebagai pusat Islam,32
telah
banyak menarik minat dari kalangan abangan terutama santri.
Makkah sebagai pusat peradaban terbesar di dunia. Orang Jawa,
masyarakatnya giat menabung untuk sesekali menunaikan hajat pergi
ke Makkah selain untuk menunaikan kewajiban sebagai umat Islam
yang dalam rukun Islam tercantum kewajiban bagi yang mampu untuk
menunaikan ibadah haji ke tanah suci Makkah.
Bagi yang berhasil berangkat ke tanah suci Makkah ia akan
menunaikan niat dan melaksanakan kegiatan rukun haji sebagaimana
diwajibkan dalam Islam, dan tidak jarang bagi yang sudah sampai di
Makkah ia akan menetap dan berlama-lama di Makkah mencari
31
S.U Bajasut dan Lukman Hakim, Alam Pemikiran dan Jejak Perjuangan
Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Terakhir Partai Masyumi (Jakarta : 2014), cet. II, h.
26-28 32
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 4
66
tambahan ilmu agama sebagai bekal untuk pulang kembali ke tanah
air terutama dilakukan oleh orang yang giat mencari ilmu. Terlepas
daripada itu sepulang dari Makkah ia akan dianggap orang hebat,
banyak ilmunya, atau sebagai ahli agama, di tokohkan di
komunitasnya terkadang bagi yang mumpuni di bidang keagamaan ia
akan mendirikan tempat belajar ngaji “Al-quran” (madrasah), atau
disebut pesantren (terkadang juga disebut pondok yang didasarkan
pada kata santri atau pesantrean, tempat orang belajar ilmu atau orang
Jawa bilang “ngelmu” agama dan mengaji).
Sama sekali madrasah itu bukan hanya difokuskan kepada
pelajaran agama saja melainkan, disisipi pelajaran umum.
Mencerminkan pendidikan Islam modern namun tidak menghilangkan
unsur tradisional. Cara yang digunakan adalah dengan model
pembelajaran Barat, belajar ilmu agama dengan model yang baru
disamping itu pelajaran umum seperti Matematika, Sains dan lain
sebagainya juga diterapkan. Tentu model yang ada itu terinspirasi oleh
pemikir Islam modern yaitu Muhammad Abduh, tokoh pembaharu
dari Mesir.33
Sedikit mengutip pendapat Muhammad Abduh, kepercayaan
kepada kekuatan akal adalah dasar peradaban suatu bangsa. Sebab
33
Harun Nasution, Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran dan Gerakan,
(Jakarta: Bulan Bintang, 2014), cet. XIV, h. 49-59. Muhammad Abduh lahir di Mesir Hilir
tahun 1849 ada yang mengatakan tahun 1805-1849. Karena tidak pasti kapan ia dilahirkan.
Hanya tahun itulah umumnya dipakai sebagai tanggal lahirnya. Ayahnya bernama Abduh
Hasan Khairullah dari Turki yang telah lama tinggal di Mesir. Ibunya menurut riwayat
masih berasal dari keturunan Arab yang sampai kepada Umar ibn Khattab. Abduh lahir
dalam keluarga yang tidak ada hubungannya dengan didikan sekolah namun memiliki jiwa
keagamaan yang kuat.
67
akal terlepas dari ikatan tradisi akan membawa kepada kemajuan.
Pemikiran akallah yang menimbulkan pengetahuan. Ilmu modern
banyak berdasar pada hukum alam dan tidak bertentangan dengan
hukum Islam yang sebenarnya. Karena ilmu modern berdasarkan dari
alam yang juga berpusat pada Tuhan. Sebaliknya Islam agama wahyu
yang juga dari Tuhan. Semestinya tidak bertentangan.
Pola perkembangan pendidikan di Jawa Timur seperti Pondok
sebagaimana diterapkan oleh kiai NU sudah menerapkan pola
pengajaran berbasis Barat, di dalamnya diajarkan ilmu-ilmu umum
seperti Bahasa Indonesia, Aljabar, Ilmu Ukur, Ilmu Sains, Bahasa
Inggris, dan lain sebagainya.34
penerapan sekolah agama delapan
puluh persen, kemudian dua puluh persen pelajaran umum. Untuk
mengimbangi dunia pendidikan yang semakin maju maka diperlukan
terobosan yang baru seperti yang telah dilakukan di berbagai pondok
Mojokuto tempat Geertz melakukan penelitian.
Pondok bukan sekedar tempat seseorang untuk singgah dan
sebagai tempat berlindung tetapi pondok adalah sarana untuk
memperluas wawasan keilmuan dan ajang untuk mendekatkan diri
kepada Allah di mana pondok adalah tempat yang paling pas
melakukan ritual keagamaan dengan suasana yang sunyi memanjatkan
puji-pujian kepada Tuhan disertai membaca Al-Quran dengan tenang.
34
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 273
68
Berbeda kemudian dengan penerapan berbasis dan bertaraf
internasional yang dikembangkan oleh kelompok Muhammadiyah
mereka lebih objektif melihat dunia pendidikan semakin sekuler.
Kemudian menerapkan delapan puluh persen pelajaran umum dan
empat puluh persen pelajaran agama,35
berbalik drastis dengan metode
yang dikembangkan oleh kelompok NU. Basis pendidikan yang lebih
baru oleh Muhammadiyah dikemas dalam bentuk Sekolah Menengah
Pertama yang meneruskan tingkat pendidikan dasar. Tetapi kurun
waktu sekolahnya lebih pendek daripada pendidikan madrasah yakni
tiga tahun lamanya belajar.
C. Budaya Jawa dalam Modernitas
Pola relasi santri dan priyayi jelas memiliki batas yang
berbeda terutama dalam ranah pekerjaan dan gaya hidup. Priyayi yang
kehidupannya dipandang lebih dekat dengan penguasa, sementara
santri digambarkan sebagai “wong cilik” yang jauh dari kebahagiaan.
Tidak menutup kemungkinan hubungan priyayi dan santri telah
terbentuk semula bangsa ini tumbuh. Yang mendorong adanya proses
“santrinisasi priyayi” disatu sisi, dan “priyayinisasi santri” di sisi
lain.36
Hal itu terjadi karena, santri merupakan komponen terkuat
dalam penyebaran Islam melalui jalur perdagangan dan bisnis
dibandingkan kelompok petani (abangan) yang lain. Kaum petani
yang dikategorikan sebagai abangan juga tentu memiliki keinginan
untuk mengalami nasib yang serupa dengan priyayi baik dalam ranah
35
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 274-279 36
Maliki, Agama Priyayi, h. 266
69
pemerintahan maupun kehidupan pribadi priyayi, karena priyayi
dinilai nyentrik dan modernis dibanding golongan santri maupun
abangan. Abangan yang menjalin hubungan baik dengan priyayi
misalkan ada hubungan kekerabatan biasanya memiliki kesempatan
untuk bekerja di ranah pemerintahan atau dalam pekerjaan yang lebih
baik dari sebelumnya.37
Seperti yang dikatakan oleh Geertz, jika dilihat dari sejarah
sosialnya priyayi dengan kaum abangan sangat terpisah jauh, bukan
kelasnya, baik secara simbolik maupun spasial. Batas itu dipertegas
oleh batas dimana priyayi yang berkelimpahan materi dan juga karena
statusnya yang tinggi. Kemudian menempati wilayah perkotaan,
sementara abangan menempati wilayah pinggiran, dan daerah
termarjinalkan lainnya dan cenderung kelas menengah kebawah
dalam ekonominya.
Kendati demikian, persebaran santri terus berlanjut seiring
beriringnya waktu, sebagai implikasi dari meluasnya cakrawala
pendidikan. Kesadaran literal di kalangan santri membangkitkan
ghiroh, semangat terus belajar. Sampai pada saatnya priyayi
tersadarkan oleh merebaknya santri yang semakin meluas menduduki
ranah birokrasi, kemduian daripada itu, priyayi yang merasa tersaingi
oleh santri, priyayi merasa perlu dengan mengambil tindakan simbol-
simbol yang ada dalam Islam, sebagaimana diterapkan oleh santri,
walaupun simbol Islam oleh kaum priyayi dijadikan sebagai “the
37
Maliki, Agama Priyayi, h. 270-271
70
second culture”, (budaya kedua) setelah kultur Jawa yang menjadi
“the first culture” yang dinomorsatukan oleh mereka. Tidak sedikit
elite Jawa yang mengalami “santrinisasi”. Yang semula mereka
merasa ragu-ragu bahkan takut mengambil identitas santri, lalu dirasa
memerlukan untuk mengambil simbol santri tersebut.
Pola tipikal keagamaan orang Jawa cenderung tidak
menggebu-gebu, sebagaimana yang dikatakan oleh Geertz yakni
umumnya orang Jawa menyesuaikan diri, menyerap, pragmatis dan
tidak tergesa-gesa, tidak berpretensi secara murni melainkan
komprehensif, tidak berkobar-kobar melainkan kearah pengekpresian
dan semangat toleran.
Pada periode pendudukan Jepang, santri yang tadinya aktif
dalam dunia politik disatukan dalam sebuah organisasi yang diberi
nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Karena pada
waktu itu Jepang sedang berjibaku melawan Amerika. Maka salah
satu cara yang dilakukan oleh Jepang merekrut para pemimpin
organisasi yang ada di Mojokuto seperti Muhammadiyah dan NU
yang cukup dominan di kota tersebut diambillah pemimpin dari
mereka kemudian dibawa ke Jakarta untuk dilatih dengan pandangan
politik dunia. Kemudian kedua pemimpin organisasi ini menduduki
kursi penting dalam legislatif dan eksekutif di tubuh Jepang.38
38
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 203-206
71
Mereka yang dikirim ke Jakarta dilatih berperang untuk
“berani mati”. Namun tidak semudah yang dibayangkan oleh Jepang,
sebagian dari mereka hanya menumpang hidup untuk memenuhi
kebutuhan ekonomi mereka. Untuk pertama kalinya semua partai
seperti Sarekat Islam (saat itu diganti menjadi Partai Sarekat Islam
Indonesia), NU, dan Muhammadiyah berada dalam satu partai yang
mana partai itu lagi-lagi dimotori oleh Jepang. Setelah masanya
selesai Jepang kembali ke tanah asalnya.
Sebagai reaksi, tradisionalis dan konservatif K. H. Hasyim
Asy’ari mengembangkan organisasi yang sejajar dengan
Muhammadiyah (didirikan oleh K. H. Ahmad Dahlan 1912) pada
tahun 1926 lahirlah Nahdlatul Ulama (NU). Kedua organisasi itu
masing-masing mempunyai organisasi kepemudaan dan pendamping
wanita ( Fatayat Ibu-Ibu ).39
Selama pendudukan Jepang, rupanya Jepang lebih longgar
untuk memberikan kemudahan bagi Muslim Indonesia dibandingkan
sikapnya terhadap para nasionalis. Islam menjadi alat untuk
meluruskan niat Jepang melawan Amerika, karena dengan senjata
Islam merupakan senjata yang paling ampuh untuk membujuk
masyarakat Indonesia yang berpikiran Barat. Sehubungan Jepang
memegang santri sebagai alat penyambung lidahnya maka ada
berbagai keuntungan yang diperoleh oleh pihak Jepang. Pertama,
39
Ahmad Muhibbin Zuhri, Pemikiran KH. M. Hasyim As‟ari Tentang al-Sunnah
Wa al-Jamaah, (Surabaya: Khalista), h.7
72
terbentuklah Kantor Urusan Agama, dimana K. H. Hasyim Asyari
diberi kepercayaan untuk mengurusnya. Namun jabatan itu dialihkan
kepada puteranya K. Wahid Hasyim. Kedua, berhasil membentuk
Masyumi dan akhirnya dibubarkan tahun 1943. Pembentukan aliran
“berani mati” yang disebut Hizbullah merupakan keuntungan ketiga.40
Selama masa penjajahan kewibawaan rohani seorang santri
yang paling nampak adalah para kiai dan ulama yang menolak
menjadi boneka para penjajah. Dengan semakin ditegaskannyalah
agama semakin meningkat di antara penduduk, maka kekuatan agama
sebagai pemersatu bangsa memberikan pengaruh besar bagi
kebangkitan Indonesia. Islam dalam hal ini menjadi pemersatu bangsa
khususnya Jawa dan bangsa Indonesia umumnya. Dengan demikian
kiai dan santri telah mengambil peranan politik yang cukup penting.
Islam berhasil memisahkan para penjajah dari orang pribumi dengan
cara demikian, Islam menjadi lambang nasionalisme Indonesia.41
Untuk menyimpulkan organisasi sosial masyarakat santri di
Mojokuto secara umum, waktu itu yang berkecimpung dalam kancah
perpolitikan, terdiri dari kelompok Masyumi, Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama yang merupakan penentu pergerakan keagamaan di
Mojokuto. Hampir semua santri waktu itu tidak ada yang tidak ikut
partai, pasti semuanya masuk di salah satu aliran diatas. Lambat laun
partai politik semakin diminati oleh kalangan santri sebagai landasan
40
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 38 41
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 39
73
dasar baik di desa maupun kota, tetapi tidak begitu kentara pada
abangan dan priyayi. Semata-mata aliran terbesar yang ada di
Indonesia itu untuk mengubah “mindset” masyarakat supaya tidak
terlalu kaku dalam menjalankan syariat Islam yang disandingkan
dengan tradisi yang ada. Umumnya NU hanya mengubah sebagian
saja, sementara Muhammadiyah berupaya mengganti dengan model
yang samasekali baru dengan berbagai kemungkinan, kesemuanya ini
merupakan kelompok sosial yang menjadi acuan utama bagi kalangan
santri di Mojokuto.
Senada dengan pendapat Nur Syam tentang penelitiannya di
Palang Tuban Jawa Timur, bahwa ia berpendapat Islam yang dianut
oleh orang Jawa adalah Islamnya orang NU dan Islamnya
Muhammadiyah. Yang mana Islam NU berafiliasi kepada pengamalan
keberagamaan tradisi masa lalu dan melakukan berbagai tradisi
keberagamaan yang bersentuhan dengan budaya lokal seperti
slametan. Disisi lain adalah Muhammadiyah yang mengamalkan
ajaran Islam secara murni dan hati-hati supaya tidak bercampur
dengan tradisi lokal, dan mereka meyakini bahwa dalam pengamalan
ajaran Islam harus sesuai dengan ajaran Islam murni yang tercantum
dalam Al-Quran, Sunnah atau hadits Nabi. Model Islam tersebut oleh
Nur Syam disebut sebagai Islam Pesisiran.42
Penyebaran Islam di era modern dalam kurun waktu tujuh
puluhan pengaruhnya sudah semakin luas dan menyebar. Orang tidak
42
Dr. Nur Syam, Islam Pesisir, (Yogyakarta: LkiS 2005), cet. I, h. 113
74
lagi harus buang-buang waktu dan harta pergi ke Makkah untuk
mencari informasi tentang Islam yang menyegarkan. Buku-buku
agama yang berbasis Inggris dan Arab, maupun Jurnal-Jurnal dalam
bahasa internasional sudah menumpuk di hadapan kita untuk kita baca
dan dicerna isinya. Sudah cukup efisien dan signifikan.
Di era kepemimpinan Sukarno, yang berkaitan dengan aksi
keagamaan didominasi oleh partai politik seperti Masyumi,
Muhammadiyah, dan NU. Bahkan ada wacana yang cukup terkenal
yakni jargon yang disampaikan oleh aktivis HMI, yang kharismatik
yakni Nurholis Madjid sebagai juru bicaranya. Ia mempunyai jargon
“Islam yes, Partai Islam no”. panggilan akrabnya Cak Nur. Sekali lagi
ia hanya ingin menyampaikan bahwa apa yang ia kemukakan
merupakan resiko yang harus ditempuh guna menyadarkan
masyarakat dari tidur panjangnya. Bukan soal modern dan kuno,
tetapi lebih kepada aplikasi tentang ajaran Islam yang murni. Yakni
Islam menurut kacamata orang Indonesia. Meminjam bahasanya KH.
A. Mustofa Bisyri (Gus Mus) “kita ini orang Indonesia yang
kebetulan beragama Islam, bukan orang Islam yang ada di Indonesia”.
Penulis memerhatikan dari sekian konflik yang ada di tubuh abangan,
santri dan priyayi hanyalah persoalan pengamalan terhadap Hukum
Islam yang benar.
Abangan dari segi menjalankan perintah Allah tidak terlalu
dijadikan sebagai kewajiban, sama halnya dengan priyayi yang selalu
mementingkan kehidupan duniawi, berbeda sekali dibandingkan
75
dengan kehidupan santri yang penghayatan keberagamaanya paling
sempurna dibanding yang lain. Sebab mereka lebih mengerti aturan
Islam yang tepat dan benar.
Berdasarkan fakta diatas, ada relevansinya mengenai gagasan
keagamaan yang dikemukakan oleh Gus Dur bahwa, ia bukan
merupakan bagian dari kelompok pembaharuan dalam Islam. Namun
latar belakang yang ia miliki berasal dari kalangan elite Muslim
tradisional yaitu Nahdlatul Ulama (NU) yang menggabungkan
pendidikan sekuler dengan Islam tradisional. Mungkin bagi kalangan
abangan dan santri apa yang dilakukan oleh Gus Dur itu bukan
sesuatu yang biasa, dan hal demikian belum pernah terjadi di
lingkungan Islam tradisional.43
Lika-liku politik yang terjadi di era orde baru merupakan
persaingan yang tadinya ada dalam tubuh Masyumi dimana Masyumi
menginginkan negara Indonesia menjadi negara yang Islamis bukan
Pancasilais. Sementara Indonesia berideologi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa. Persimpangan pemikiran diatas sedikit banyak
terpola dari ideologi yang satu pihak penganut Islam ortodok, dan di
pihak lain ada yang tetap berprinsip pada dunia abangan yang
menjadi ciri dasar penentu sejarah sosial dan politik di Jawa sejak
kemerdekaan dan sebelum kemerdekaan.
43
Bruinessen, Kitab Kuning, Pesantren dan Tarekat, h. 72
76
Santri menemukan jati dirinya setelah masuk dalam partai-
partai Islam yang sudah berkembang di Indonesia kala itu. Kelompok
abangan dan priyayi selayaknya menjadi pribadi yang taat beragama.
Pergolakan politik yang mengakibatkan perpecahan antara santri yang
berorientasi kepada agama dan abangan yang orientasinya berpikiran
sekuler. Bahwa perseteruan ini hanya berbeda ideologi saja, yang
golongan pertama tidak setuju bahwa Islam dan Komunisme itu tidak
bisa disatukan. Sementara abangan lebih bersikap netral secara
religius terhadap Islam.44
Dilihat secara pikiran politik yang timbul ke permukaan di
Indonesia terdapat tiga macam aliran politik saat itu, yakni
Nasionalisme, Islam dan Komunisme. Di Indonesia terbagi dalam tiga
jaman yang berbeda-beda pula. Di bagian pertama, merupakan jaman
genjatan senjata (1945-1949) yang ditandai dengan penyerahan
kedaulatan rakyat, kedua, merupakan jaman parlementer (1949-1965),
ditandai oleh pertentangan partai dan pertentangan ideologi yang
cukup ekstrem. Ketiga, Jaman demokrasi terpimpin (1959-1965)
merupakan kewajiban dimana daulat presiden Sukarno harus
dilaksanakan tentang demokrasi terpimpin sebagai pemersatu
Nasionalisme, Islam dan Komunisme.
Melihat dari perkembanganan yang ada terlepas dari merdeka
dan tidaknya ciri dari abangan, santri dan priyayi sangat tampak
dalam kehidupan nyata. Beberapa perbedaan yang tidak bisa serta
44
Muchtarom, Santri Dan Abangan Di Jawa, h. 46-47
77
merta ditolak di masyarakat dari ketiga varian abangan, santri dan
priyayi ini oleh Geertz didasarkan kepada pola ritual yang dilakukan
setiap hari diantaranya;
Pola ritual santri, dari berbagai bentuk kegiatan ritual yang
dilakukan oleh santri diantaranya (1) sahadat, (2) sembahyang, (3)
zakat (4) puasa, dan (5) haji. Sebagaimana yang disimpulkan dalam
rukun Islam yang lima. Santri selalu taat terhadap ajaran Islam dan
apa saja yang diperintahkan dalam syariat agama.45
Pola ritual abangan, pola yang paling sering dilakukan oleh
abangan adalah “slametan”, dimana kehidupan mereka selalu
dibarengi dengan upacara-upacara keberkahan. Kemudian kebiasaan
yang kedua yakni kaum abangan suka dengan wayang, tembang
macopat yang di dalamnya diisi dengan unsur keislaman dan tidak
menghilangkan unsur mistiknya. Wayang merupakan bagian pola
keagamaan abangan secara ritualistik, dan magis. Kaum abangan
tidak terlalu menaati perintah agama namun ia memiliki kepercayaan
yang ia anggap sama seperti agama.46
Pola ritual priyayi, hampir sama dengan pola yang ada pada
abangan, namun ego dari priyayi lebih tinggi daripada abangan.
Priyayi cenderung kepada pemimpin seperti raja, bangsawan dan
penguasa. Beberapa aspek ritual yang mungkin masih dianggap
penting bagi kaum priyayi yaitu tayuban dan mistisisme merupakan
tari-tarian yang biasa diadakan dalam pesta atau upacara-upacara
45
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 310-323 46
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 376-384
78
seperti perkawinan, peralihan tahap dan lain sebagainya. Kaum
priyayi lebih menekankan sifat kemampuan yang dimiliki olehnya.
Kaum priyayi diduduki oleh kaum yang berduit.47
Melihat kehebatan sifat orang Jawa pada umumnya, luar biasa
tenangnya, tayuban bukan sebuah pesta biasa. Tayuban poluler di
kalangan priyayi yang kaya raya. Dimana tarian dalam tayuban itu
merupakan kombinasi dari tarian Barat dan Timur. Bahasa
sederhananya adalah kolaborasi dari tarian modern dan tradisional.
Dari tahun ke tahun para priyayi masih melaksanakan tayuban,
bahkan untuk kegiatan bersih desa pun mereka melakukannya.
Pelaksanaanya biasanya di khususkan kepada kelompok-kelompok
kaya saja yang diundang dan boleh menonton, sementara kaum
abangan yang dari segi ekonomi tidak mampu maka dibuatkan
pertunjukan wayang yang jauh dari tempat tayuban di gelar diletakkan
secara terpisah.
Dalam persoalan mistik, kaum priyayi ikut dan patuh
sepenuhnya kepada guru yang dipandang lebih mampu dalam bidang
ilmu yang ia miliki. Kaum priyayi berpendapat : inilah orang yang
“tahu” yang sedikit lebih tinggi secara keilmuan dibandingkan dengan
dirinya. Dasar ini menemukan kesimpulan bahwa pada mistisisme
priyayi, toleransi universal, pandangan relatif tentang kepercayaaan
dan ritual praktik keagamaan mereka menyatakan bahwa rasa tertinggi
bukanlah sifat “fanatik” terhadap agama, tetapi tenang dalam alunan
47
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 430-433
79
rasa dalam jiwa.48
Kemudian daripada itu priyayi menganggap semua
agama itu baik, tetapi tidak satupun yang mutlak bagi semua orang.
Buktinya tidak hanya terfokus pada satu agama saja orang beragama,
tetapi lebih dari itu manusia beragama menurut keyakinan masing-
masing. Perbedaan yang kita ketahui antara santri dan priyayi terletak
dari pengamalan keagamaannya yang mana santri lebih kental dan
taat dalam urusan agama, sementara priyayi tidak terlalu “fanatik”
dalam menjalankan perintah agama.
Barang kali penjelasan diatas sudah cukup relevan dengan apa
yang penulis temukan dalam penelitian yang dilakukan oleh Geertz
selama di lapangan. Bahwa trikotomi yang dibuat memang
berdasarkan fakta keberagamaan masyarakat Jawa tergolong
bervariasi, ada yang taat beragama, setengah-setengah dan tidak taat
samasekali.
48
Geertz, Agama Jawa Abangan Santri Priyayi Dalam Budaya Jawa, h. 483-484
80
BAB V
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Setelah melalui penelusuran dan analisis pada bab-bab
selanjutnya maka pada bagian ini penulis akan menguraikan
kesimpulan sebagai hasil dari penelitian ini.
Dalam pandangan Geertz Islam dan budaya Jawa merupakan
dualisme entitas yang hidup dalam suasana harmonis. Karena
kehadiran Islam, sebagai agama yang baru, tidak serta-merta
memberangus kebudayaan dan tradisi yang telah hidup, ada
sebelumnya pada kurun waktu ratusan bahkan ribuan tahun di Jawa.
Hal itu bisa ditunjukkan, sebagaimana diungkap oleh Geertz pada
bagian sebelumnya, dengan dua hal penting. Pertama, adanya
inkulturasi ajaran Islam ke dalam budaya Jawa yang pada saat itu
masih sangat kental dengan nuansa animisme dan dinamisme. Kedua,
munculnya upaya-upaya kerja sama dialogis-komplementer dalam
konstruksi kehidupan masyarakat Jawa, yaitu simbiosis mutualisme
antara Islam (ajaran) dan budaya Jawa. Sehingga, berdasarakan dua hal
tersebut, Islam sebagai ajaran dan agama baru bisa diterima secara
massif oleh masyarakat Jawa dan mencapai kulminasi “puncak
tertinggi”, pertumbuhan dan perkembangan.
Hal ini juga, sejauh penulis amati dan tentu saja dengan
pertimbangan sosiologis dan antropologis terhadap masyarakat Jawa
dengan kompleksitas kehidupan keberagamaannya, menjadi titik tolak
81
bagi Geertz dalam mengklasifikasikan Muslim Jawa menjadi trikotomi
utama. abangan, santri, dan priyayi.
Tiga varian muslim Jawa ini, sebagaimana diungkapkan oleh
Geertz, adalah tipe murni (genuine type) yang terbentuk dalam rumpun
masyarakat setempat dan memiliki akar atau hubungan “geneologis”
yang sangat kuat. Di mana “kelahiran” mereka dilatarbelakangi oleh
kesamaan letak geografis, ekonomi, tercakup dalam masyarakat yang
majemuk, serta sama-sama memegang prinsip nilai-nilai budaya yang
sama dan latar belakang kepercayaan nenek moyang yang sifatnya
turun-temurun, yakni animisme dan dinamisme.
Sementara tiga varian utama Muslim Jawa ini, abangan, santri
dan priyayi, dalam tataran aplikatifnya, yaitu menjalankan ajaran atau
perintah agama dapat ditarik garis demarkasi “batas pemisah”, satu
dengan yang lain sebagai berikut. Santri adalah komunitas paling
unggul dan menempati hirarki pertama dalam tingkat ketaatan dan
pelaksanaan ajaran Islam. Hal itu ditunjukkan oleh upaya mereka yang
konsisten untuk merepresentasikan laku lampah kehidupannya sesuai
dengan prinsip dan ajaran dalam Islam.
Sementara kaum abangan merupakan kelompok yang percaya
kepada ajaran Islam, tetapi tidak secara patuh menjalankan rukun
ajaran Islam. Dalam praktik kesehariannya mereka lebih mendekati
kepada praktik pra-Islam, tetapi secara statistik mereka termasuk
beragama Islam.
82
Lebih jauh dari dua komunitas sebelumnya, kaum priyayi adalah
komunitas Muslim Jawa yang menempati kelas paling rendah dalam
kaitannya dengan sikap ketaatan dan pengamalan ajaran-ajaran Islam.
Bahkan mereka juga menjadi kelompok yang paling konsisten
melanjutkan warisan kebudayaan Jawa secara radikal dibanding dua
kelompok sebelumnya. Namun sikap konsisten mereka dalam
melestarikan budaya-budaya Jawa kuno tersebut memiliki dampak
paling dominan atas eksistensi budaya-budaya Jawa seperti, tari seni,
gamelan, macopat, pagelaran wayang kulit yang tetap ada dan hidup
sampai sekarang.
B. SARAN
Penelitian ini tentu saja masih jauh dari sempurna, lebih-lebih
sudah mampu menjelaskan pemikiran Clifford Geertz tentang Islam dan
Budaya secara utuh. Namun demikian, penulisan dan penyusunan
penelitian ini telah dilalui dengan proses yang serius dan maksimal
dalam, tentu saja, ukuran pribadi penulis. Untuk memberikan yang
terbaik terhadap khazanah kajian studi agama-agama secara umum dan
antropologi agama secara khusus. Berkaitan dengan kajian antropologi
agama ada beberapa saran yang ingin penulis kemukakan kepada
pembaca maupun peneliti yang memiliki minat dalam penelitian
terhadap tokoh dalam kajian etnografi selanjutnya, yaitu:
1. Penelitian antropologi agama walaupun sudah banyak yang
meneliti tetapi masih perlu adanya kajian lebih lanjut
mengenai hubungan kaum beragama di mana pada saat ini
83
kerukunan antarumat beragama semakin menurun, yang
disebabkan oleh kurangnya minat kesadaran, toleransi dalam
beragama, dan terjalinnya hidup rukun, sehingga diperlukan
kajian mendalam dan lebih serius.
2. Supaya tidak tumpang tindih antara agama yang membentuk
suatu budaya maka diperlukan terobosan gagasan baru
mengenai apakah gagasan tersebut sejalan dengan budaya
yang mereka miliki atau tidak.
3. Masyarakat Jawa memiliki beragam corak keberagamaan
terutama masyarakat pesisir tentu lebih baik diteliti secara
serius.
Akhirnya penulis berharap semoga kajian tentang Islam dan
Budaya Jawa dalam perspektif Clifford Geertz dengan pendekatan
antropologi dan sosiologi ini dapat menjadi sumbangan bagi pemikiran
dalam kajian studi agama-agama. Penulis menyadari betul bahwa skripsi
ini masih jauh dari sempurna dan dalam banyak bagian masih terdapat
banyak kekurangan. Oleh karena itu penelitian tentang studi agama-
agama secara umum, relasi agama dan budaya secara khusus dengan
perspektif antropologis dan sosiologis hendaklah terus dilakukan.
84
DAFTAR PUSTAKA
Daftar Buku:
Abdullah, Taufik. Metodologi Penelitian Agama. Yogyakarta: Tiara
Wacana, 2004.
Agus, Bustanuddin. Agama Dalam Kehidupan Manusia. Jakarta: Rajawali
Press, 2007
Bajasut, Saleh Umar dan Lukman Hakiem. Alam Pemikiran dan Jejak
Perjuangan Prawoto Mangkusasmito Ketua Umum Terakhir Partai
Masyumi. Jakarta: PT. Kompas Media Nusantara, 2014.
Beatty, Andrew. Variasi Agama di Jawa. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 2001.
Brhul, Levi. La Mentalite Primitif. The Herbet Spencer Lecture, 1931
Bruinessen, Martin van. Kitab Kuning, Pesantren Dan Tarekat. Yogyakarta:
Gading, 2015.
Connolly, Peter (ed), Aneka Pendekatan Studi Agama. Yogyakarta: PT.
LKiS Printing Cemerlang, 2002.
Durkheim, Emile. The Elementary Forms Of The Religious Life.
Terjemahan Inyiak Ridwan Muzir dan M. Syukri. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2011.
Endraswara, Suwardi. Metodologi Penelitian Kebudayaan. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press, 2006.
Evan Pritchard, Edward. Teori-Teori Tentang Agama Primitif. Yogyakarta:
PLP2M, 1984.
Faisal, Sanapiah. Format-format Penelitian Sosial. Jakarta: Rajawali Pers,
2008.
Geertz, Clifford. Agama Jawa Abangan Santri Priyai Dalam Kebudayaan
Jawa. Terjemahan Aswab Mahasin dan Bur Rasuanto. Depok:
Komunitas Bambu, 2014.
Geertz, Clifford. The Religion of Java. London: The University of Chicago
Press, 1960.
Geertz, Clifford. Tafsir Kebudayaan. Terjemahan Francisco Budi
Hardiman. Yogyakarta: Kanisius, 2014.
Geertz, Clifford. After The Fact. Terjemahan landung Simatupang.
Yogyakarta: LKiS, 2017.
85
Hadikusuma, Hilman. Antropologi Agama. Bandung: PT. Citra Aditya
Bakti, 1993.
Hadiwiyono, Harun. Religi Suku Murba di Indonesia. Jakarta: BPK Gunung
Mulia, 1985.
Hasbi, Rusli Dr. Rekonstruksi Hukum Islam, Kajian Kritis Sahabat
Terhadap Ketetapan Rasulullah Saw, Shalat-Puasa-Zakat-Haji-
Pernikahan-Thalak-Fitnah. Jakarta: Al-Irfan Publishing, 2007.
Imam S, Suwarno. Konsep Tuhan, Manusia, Mistik Dalam Berbagai
Kebatinan Jawa. Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2005.
Jalaluddin. Psikologi Agama Memahami Perilaku dengan Mengaplikasikan
Prinsip-prinsip Psikologi. Jakarta: Rajawali Press, 2015.
Koentjaraningrat. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta:
Jambatan, 1983.
Koentjaraningrat. Kebudayaan Mentalitas dan Pembangunan. Jakarta:
Gramedia, 2008.
Kuntowijoyo. Budaya dan Masyarakat. Yogyakarta: PT. Tiara Wacana
Yogya, 1987.
Maarif, Ahmad Syafii. Islam dan Pancasila Sebagai Dasar Negara: Studi
Tentang Pendekatan Dalam Konstituante. Jakarta: LP3ES, 2006.
Maliki, Zainuddin. Agama Priyayi. Yogyakarta: Pustaka Marwa, 2004.
Moleong, Lexy. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja
Rosdakarya, 2006.
Muchtarom, Zaini. Santri Dan Abangan Di Jawa. Jakarta: INIS, 1988.
Muhibbin Zuhri. Achmad. Pemikiran KH. M. Hasyim Asy’ari Tentang Al-
Sunnah Wa al-Jamaah. Surabaya: Khalista, 2010.
Nasuhi, Hamid dkk. Pedoman Penulisan Karya Imiah. Jakarta: CeQDA,
2007.
Nasution, Harun. Pembaharuan Dalam Islam Sejarah Pemikiran Dan
Gerakan. Jakarta: Bulan Bintang, 2014.
Narendrany, Heny, Andri Yudiantoro. Psikologi Agama. Jakarta : Lembaga
Penelitian UIN Jakarta. UIN Jakarta Press, 2007.
Pals, Denial L. Seven Theories of Religion. Inyiak Ridwan Muzir dan M.
Syukri. Jogjakarta: IRCiSoD, 2011.
Pranowo, M. Bambang. Memahami Islam di Jawa. Jakarta: Rajawali Pers,
2009.
86
Pritchard, E. Evan. Teori-Teori Tentang Agama Primitif. Jakarta: PT Djaya
Pirusa, 1984.
R. Schraf, Betty. The Sosiological Study of Religion. London: Hutchinton
Univ,1998.
Suryabrata, Sumardi. Metodologi Penelitian. Jakarta: PT. RajaGrafindo
Persada, 1998.
Schumann, Olav Herbet. Pendekatan kepada Ilmu Agama-Agama. Jakarta:
BPK Gunung Mulia, 2013.
Syam, Dr. Nur. Islam Pesisir. Yogyakarta: LKiS, 2005.
Wahid, Abdurrahman. Islam Kosmopolitan Nilai-Nilai Indonesia Dan
Transformasi Kebudayaan. Jakarta: The Wahid Institute, 2007.
Weber, Max. Sosiologi Agama. Terjemahan Yudi Santoso. Jogjakarta:
IRCiSoD, 2012.
Junus, Machmud. Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia. Jakarta: Pustaka
Mahmudiah, 1960.
Referensi Jurnal:
Khoirul Umam, Ahmad dan Akhmad Arif Junaidi. The Shadow of Islamic
Ortodoxy and Syncretism in Contemporary Indonesian Politics, dalam
Jurnal yang berjudul, Jurnal Al-Ulum, vol, 11, no 2, Desember 2011
Sumbulah, Ummi. Islam Jawa dan Akulturasi Budaya: Karakteristik,
Variasi dan Ketaatan Ekspresif, dalam Jurnal yang berjudul, Jurnal el
Harakah, vol, 14, no 1 tahun 2012
Woodward, Mark R.“The Slametan: Textual Knowledge and Ritual
Performance in Central Javanese Islam” dalam Journal of History of
Religion, 28. Tahun 1988
Referensi Kamus:
MA, Alex. Kamus Ilmiah Populer Kontemporer Materi: Politik-Ekonomi-
Hukum-Sosial-Budaya-Agama, Surabaya: ALUMNI, 2005