intervensi dalam penyelesaian sengketa tata …/interve...2 persetujuan pembimbing penulisan hukum...
TRANSCRIPT
INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA
NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA
(Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Penulisan Hukum
( Skripsi )
Disusun dan Diajukan untuk melengkapi Syarat-syarat Guna Memperoleh
Derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret
Oleh :
YUNIYAR KRISTI
NIM. E0005321
FAKULTAS HUKUM
UNIVERSITAS NEGERI SEBELAS MARET
SURAKARTA
2010
2
PERSETUJUAN PEMBIMBING
Penulisan Hukum (Skipsi)
INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA
NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA
(Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Oleh :
YUNIYAR KRISTI
NIM. E0005321
Disetujui untuk dipertahankan di hadapan Dewan Penguji Penulisan Hukum
(Skripsi) Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Surakarta, 9 Maret 2010
Dosen Pembimbing
Soehartono, S.H.,M.Hum
Nip.195604251985031002
3
PENGESAHAN PENGUJI
Penulisan Hukum (Skipsi)
INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA
NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA
(Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Oleh :
YUNIYAR KRISTI
E0005321
Telah diterima dan disahkan oleh Tim penguji Penulisan Hukum (Skripsi)
Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta
Pada :
Hari : Selasa
Tanggal : 30 Maret 2010
TIM PENGUJI
1. Th. Kussunayatun, S.H. M. H 1. ________________
Ketua
2. Harjono, S.H. M.H 2. ________________
Sekretaris
3. Soehartono, S.H. M.Hum 3. ________________
Anggota
Mengetahui
Dekan,
Mohammad Jamin, S.H., M.Hum
NIP. 196109301986011001
4
MOTTO
“Barang siapa berjalan untuk menuntut ilmu, maka Allah akan
memudahkan jalan baginya menuju surga”
(Q.S Ar-Ra’d : 11)
“Orang harus cukup tegar untuk memaafkan kesalahan, cukup pintar untuk
belajar dari kesalahan dan cukup kuat untuk mengoreksi kesalahannya”
(John C. Maxwell)
5
PERNYATAAN
Nama : Yuniyar Kristi
NIM : E0005321
Menyatakan dengan sesungguhnya bahwa penulisan hukum (skripsi)
berjudul :
Intervensi Dalam Sengketa Tata Usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha
Negara ( Putusan Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN Yk) adalah betul-betul
karya sendiri. Hal-hal yang bukan karya saya dalam penulisan hukum
(skripsi) ini diberi tanda citasi dan ditujukan dalam daftar pustaka. Apabila
dikemudian hari terbukti pernyataan saya tidak benar, saya bersedia
menerima sanksi akademik berupa pencabutan penulisan hukum (skripsi)
dan gelar yang saya peroleh dari penulisan hukum (skripsi) ini.
Surakarta, 9 Maret 2010
Yang membuat pernyataan
Yuniyar Kristi
NIM. E0005321
6
KATA PENGANTAR
Dengan mengucapkan rasa puji dan syukur kehadirat Tuhan Yang Maha
Esa yang telah melimpahkan rahmat, hidayah dan karunia-Nya sehingga penulis
dapat menyelesaikan Skripsi dengan judul “INTERVENSI DALAM
PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI
PENGADILAN TATA USAHA NEGARA YOGYAKARTA (Studi Kasus
Putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk).”
Penulisan Hukum ini disusun dan diajukan untuk melengkapi syarat-syarat
guna memperoleh derajat Sarjana dalam Ilmu Hukum pada Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret.
Pada kesempatan ini dengan rendah hati penulis bermaksud
menyampaikan ucapan terima kasih kepada segenap pihak yang telah memberi
bantuan, dukungan serta pertolongan baik berupa materiil maupun imateriil
selama penyusunan skripsi ini terutama kepada:
1. Bapak Mohammad Jamin, S.H., M.Hum. Selaku Dekan Fakultas Hukum
Universitas Sebelas Maret Surakarta yang telah berkenan memberikan izin
untuk melakukan penulisan hukum dan atas pemberian izin kepada penulis
untuk melakukan penelitian hukum ini.
2. Bapak Edy Herdyanto, S.H., M.H. Selaku Ketua Bagian Hukum Acara.
3. Bapak Soehartono, S.H., M.Hum selaku Dosen Pembimbing dengan
segala kesabarannya membimbing penulis dalam, menyelesaikan
penulisan hukum ini.
4. Ibu Gayatri Dyah S, S.H., M.Hum. selaku Pembimbing Akademik
penulis.
5. Bapak Syafrudin Yudowibowo, SH. selaku Pembimbing Kegiatan Magang
Mahasiswa (KMM)
6. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
atas segala dedikasinya terhadap seluruh mahasiswa termasuk penulis
selama penulis menempuh studi di Universitas Sebelas Maret Surakarta.
7
7. Seluruh Karyawan dan Karyawati Fakultas Hukum Universitas Sebelas
Maret yang telah banyak membantu segala kepentingan penulis
menempuh studi di Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret Surakarta.
8. Mami dan Papi tercinta terima kasih untuk cinta kasih, do’a dan
dukungannya.
9. Buat Primastya Dryan Maestro memberikan dorongan untuk segera
menyelesaikan skripsi ini
10. Teman-teman angkatan 2005 Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta untuk kekompakkannya
11. Semua pihak yang telah turut membantu dan menyelesaikan penyusunan
skripsi ini yang tentunya tidak dapat penulis sebutkan satu persatu.
Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan, oleh
karena itu kritik dan saran yang membangun dari para pembaca sangat diperlukan
guna kelengkapan skripsi ini. Akhirnya penulis berharap skripsi ini mampu
memberikan suatu manfaat bagi kita semua.
Surakarta, 9 Maret 2010
Penulis
8
ABSTRAK
YUNIYAR KRISTIE, 2010. INTERVENSI DALAM PENYELESAIAN
SENGKETA TATA USAHA NEGARA DI PENGADILAN TATA USAHA
NEGARA YOGYAKARTA (Studi Kasus Putusan Nomor
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk). Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta. Penulisan Hukum (Skripsi). 2010
Penelitian Hukum ini untuk menjawab mengenai Intervensi yang dapat
dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dan
apa akibat hukumnya dan dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan
memutus sengketa tata usaha negara dalam hal adanya intervensi terhadap putusan
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk.
Penelitian mi termasuk penelitian hukum empiris, dalam penelitian hukum
empiris yang diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian dilanjutkan
dengan penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat.
Teknik pengumpulan data yang digunakan adalah studi dokumen dan wawancara
atau interview. Teknik analisis data yang digunakan adalah analisis data kualitatif.
Berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh penulis, maka penulis
menyimpulkan bahwa Intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam
penyelesaian sengketa tata usaha negara adalah intervensi oleh pihak ketiga atas
kemauan sendiri, intervensi oleh pihak ketiga atas permintaan salah satu pihak
yang bersengketa yaitu penggugat atau tergugat dan intervensi oleh pihak ketiga
atas prakarsa Hakim yang memeriksa sengketa tersebut, dalam hal ini pihak ketiga
ditarik kedalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan. Dalam putusan
Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk, intervensi pihak ke tiga (Rektor UIN Sunan
Kalijaga) yang masuk dalam proses sengketa yang sedang berjalan adalah karena
adanya inisiatif dari hakim, Akibat hukum atas adanya intervensi adalah apabila
pemohon intervensi dirugikan haknya dalam putusan hakim, maka pemohon
intervensi dapat mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
akan tetapi para pihak tidak mengajukan banding dan menerima putusan dan
pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk
adalah bahwa surat keputusan Bupati Sleman No. 410/kep. KDH/A/2006
tertanggal 17 November 2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum
pedukuhan Ngentak Sapen Desa Catur Tunggal kecamatan Depok tidak
memenuhi unsur individual sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 3 UU
PTUN.
9
ABSTRACTS
YUNIYAR KRISTIE, 2010. INTERVENTION IN STATE ADMINISTRATIVE
LAWSUIT RESOLUTION IN STATE ADMINISTRATIVE COURT OF
YOGYAKARTA (a Case Study on Verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk). Law
Faculty of Sebelas Maret University of Surakarta. A Law Writing (Minithesis).
2010.
This law research is to answer a question about possible intervention held
by third party in state administrative lawsuit resolution and what is the legal
consequence and judge consideration base in examining and deciding the state
administrative lawsuit in case of intervention on Verdict No.
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk occurred.
This research is included in empirical law research, in which in the
empirical law research, secondary data being examined first and then proceeded
with examination on primary data in field or on society. Data collection method
used is documentary study and interview. Data analysis technique using
qualitative data analysis.
Based on research held by the researcher, then the research concluded that
the possible intervention held by third party in state administrative lawsuite
resolution is the third party intervention on their own intention, the third party
intervention on either lawsuit-involved party request, that is the litigant or
defendant and the third party intervention on judge initiative who examine the
lawsuit, in such case the third party drew in the case examination process. In
verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk, the third party intervention (Rector of
UIN Sunan Kalijaga) drew in the lawsuit examination process due to the judge
initiative. Legal consequence due to the intervention is if the intervention
applicant had inflicted on his/her right in judge verdict, then the intervention
applicant can appeal to the State Administrative High Court, but the parties could
not propose appeal and accept the verdict and the judge legal consideration in the
verdict No. 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk is that the Regional Government Head of
Sleman decree No. 410/Kep.KDH/A/2006 dated on 17 November 2006 on The
Occlusion of Public Graveyard in Village of Ngentak, Sapen, Catur Tunggal,
Subdistrict of Depok is not in meeting with individual elements such intended in
Article 1 verse 3 UU PTUN.
10
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ................................................................................... i
HALAMAN PERSETUJUAN .................................................................... ii
HALAMAN PENGESAHAN ..................................................................... iii
HALAMAN MOTTO ................................................................................. iv
HALAMAN PERNYATAAN ...................................................................... v
KATA PENGANTAR..................................................................................
vi
ABSTRAK........................................................................................ .......... viii
DAFTAR ISI........................................................................................... .... x
BAB I PENDAHULUAN ...................................................................... 1
A. Latar Belakang Masalah ....................................................... 1
B. Rumusan Masalah ................................................................ 5
C. Tujuan Penelitian .................................................................. 6
D. Manfaat Penelitian ................................................................ 7
E. Metode Penelitian ................................................................. 8
F. Sistematika Penulisan Hukum .............................................. 13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ............................................................. 15
A. Kerangka Teori ................................................................... 15
1. Tinjauan Tentang Negara Hukum dan Peradilan
Administrasi ................................................................ 15
2. Tinjauan Peradilan Tata Usaha Negara ......................... 19
3. Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara ..................... 27
4. Keikutsertaan Pihak Ketiga (Intervensi) ....................... 35
B. Kerangka Berpikir ............................................................... 38
11
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .......................... 40
A. Intervensi Pihak Ke Tiga Dalam Penyelesaian Sengketa
Tata Usaha Negara dan Akibat Hukumnya ......................... 47
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa dan
Memutus Sengketa Tata Usaha Negara Dalam Hal Adanya
Intervensi Terhadap Putusan Nomor. 03/G/TUN/2007/
PTUN.Yk .............................................................................. 50
BAB IV PENUTUP .................................................................................. 56
Simpulan ............................................................................... 56
Saran ..................................................................................... 56
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 58
LAMPIRAN
12
BAB I. PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah negara
berdasar atas hukum. Negara hukum menghendaki agar setiap tindakan penguasa
haruslah berdasar atas hukum yang berlaku. Selanjutnya, pelayanan kepada
masyarakat dan penegakan hukum yang dilakukan dalam rangka penyelenggaraan
negara dan pemerintahan merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari upaya
untuk menciptakan pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien guna
meningkatkan kesejahteraan serta menciptakan keadilan dan kepastian hukum
bagi seluruh warga negara sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Dasar
Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Negara hukum menghendaki segala tindakan atau perbuatan penguasa
mempunyai dasar hukum yang jelas atau ada legalitasnya baik berdasar hukum
tertulis maupun hukum yang tidak tertulis. Negara hukum pada dasarnya terutama
bertujuan untuk memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Perlindungan
hukum bagi rakyat atas tindakan pemerintah dibatasi oleh dua prinsip; prinsip hak
asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan terhadap hak asasi manusia
mendapat tempat yang utama dan dapat dikatakan sebagai tujuan dari pada negara
hukum (Zairin Harahap, 2007: 2).
Pengawasan pelayanan yang diselenggarakan oleh penyelenggara negara
dan pemerintahan merupakan unsur penting dalam upaya menciptakan
pemerintahan yang baik, bersih, dan efisien. Pengawasan pelayanan yang
diselenggarakan oleh penyelenggara juga merupakan implementasi prinsip
demokrasi yang perlu ditumbuhkembangkan dan diaplikasikan guna mencegah
dan menghapuskan penyalahgunaan wewenang oleh aparatur penyeleggara negara
dan pemerintahan.
Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) merupakan salah satu peradilan di
Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara
(sengketa TUN). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986
sebagaimana telah di rubah oleh UU Nomor 9 Tahun 2004 tentang Peradilan Tata
1
13
Usaha Negara (UU PTUN), PTUN diadakan untuk menghadapi kemungkinan
timbulnya benturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga dan/atau masyarakat. UU PTUN
memberikan dua macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya
administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi
pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke PTUN.
PTUN menjalankan peranan sangat penting dalam melakukan fungsi
kontrol terhadap tindakan Badan atau Pejabat TUN negara agar tidak bertindak
melampaui kewengangan yang dimilikinya, bertindak secara rasional dan
terutama tidak melanggar hukum. Wewenang yang dimiliki Badan atau Pejabat
TUN tidak boleh digunakan untuk lain-lain tujuan dari maksud diberikan
wewenang itu kepadanya, terlebih tidak mungkin dibenarkan kalau wewenang itu
digunakan untuk memenuhi kepentingan-kepentingan Pejabat TUN yang
memangku jabatan TUN yang bersangkutan, kalau sampai terjadi demikian, maka
hal itu berarti telah melanggar larangan de’tournement de pouvoir (Y. Sri
Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra, 1996: 51).
Di dalam PTUN, dapat diajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah
yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-
pihak yang berperkara di PTUN ada dua (2) yaitu, pihak penggugat, yaitu
seseorang atau badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan
dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau
pejabat Tata Usaha Negara (pejabat TUN), serta pihak tergugat, yaitu Badan atau
pejabat TUN yang mengeluarkan keputusan berdasarkan wewenang yang ada
padanya atau yang dilimpahkan kepadanya.
Pelaksanaan proses peradilan dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara
dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PT TUN) yang berpuncak pada
Mahkamah Agung. PT TUN pada dasarnya merupakan pengadilan tingkat
banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh PTUN, kecuali dalam sengketa
kewenangan mengadili antar PTUN di daerah hukumnya serta sengketa yang
terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang
14
digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan
hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata,
dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih
aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak
seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan sengketa TUN bukan berarti
menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
Dalam pelaksanaan proses peradilan sudah diatur kompetensi absolut
maupun relatif dari masing-masing lembaga peradilan, baik untuk Peradilan
Umum, Peradilan Agama, Peradilan Tata Usaha Negara dan Peradilan Militer.
Pembagian tugas untuk setiap lembaga peradilan tersebut tentunya bertujuan agar
tidak terjadi tumpang tindih dalam melaksanakan wewenangnya.
Kekuasaan absolut PTUN terdapat dalam Pasal 47 UU PTUN yang
menentukan bahwa pengadilan bertugas dan berwenang memeriksa, memutus dan
menyelesaikan sengketa tata usaha negara. Sementara itu yang dimaksud sengketa
tata usaha negara sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 4 UU PTUN adalah
sengketa yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau badan
hukum perdata dengan badan atau pejabat tata usaha negara, baik di tingkat pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara,
termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan perundang-undangan yang
berlaku.
Dalam hukum acara Peradilan Tata Usaha Negara (hukum acara PTUN)
pada dasarnya di dalam suatu sengketa atau perkara, sekurang-kurangnya terdapat
dua pihak, yaitu penggugat (sebagai pihak yang menggugat) dan pihak tergugat
(sebagai pihak yang digugat oleh penggugat). Dalam sengketa tata usaha negara
pihak yang berkedudukan sebagai penggugat adalah orang atau badan hukum
perdata dan badan atau pejabat tata usaha negara sebagai pihak tergugat. Hal ini
sebagai konsekuensi logis bahwa pangkal sengketa tata usaha negara adalah
akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha negara. Oleh karenanya tidak
mungkin badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata
usaha negara sebagai pihak penggugat (Hassan Suryono, 2005: 71).
15
Dalam pelaksanaannya ada kemungkinan selama pemeriksaan perkara
berjalan, baik atas prakarsa sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas
prakarsa hakim dapat masuk sebagai pihak ketiga (intervencient) yang membela
kepentingannya (Zairin Harahap, 2007: 42).
Keikutsertaan pihak ketiga dalam proses penyelesaian perkara perdata
yang sedang berlangsung tanpa memperhatikan bahwa dalam sengketa tata usaha
negara, yang dapat bertindak sebagai penggugat sudah ditentukan, yaitu hanya
orang atau badan hukum perdata, sedang yang dapat bertindak sebagai tergugat
hanya badan atau pejabat tata usaha negara (R. Wiyono, 2007: 65).
Masuknya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang berlangsung diatur
dalam Pasal 83 UU PTUN yang menyebutkan :
1. Selama pemeriksaan berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam
sengketa pihak lain yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa
sendiri dengan mengajukan permohonan maupun atas prakarsa hakim, dapat
masuk dalam sengketa tata usaha negara dan bertindak sebagai:
a. Pihak yang membela haknya; atau
b. Peserta yang bergabung dengan salah satu pihak yang bersangkutan.
2. Pemohon sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau
ditolak oleh pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara
sidang.
3. Permohonan banding terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud
dalam ayat (2) tidak dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama
dengan permohonan banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa.
Masuknya pihak ketiga tersebut adalah dalam rangka sebagai pihak yang
membela haknya dan ingin bertindak selaku penggugat mandiri, maka pihak
ketiga tersebut tetap terikat pada tenggang waktu mengajukan gugatan
sebagaimana yang disebutkan dalam Pasal 55 UU PTUN yang menyebutkan
“gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan puluh hari
terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya keputusan badan atau
pejabat tata usaha negara”.
16
Upaya hukum yang masih terbuka yang dapat ditempuh oleh pihak ketiga
tersebut untuk membela kepentingannya adalah bertindak sebagai pihak yang
menggabungkan diri kepada salah satu pihak yang bersengketa, maka pihak ketiga
tersebut tidak terikat tenggang waktu. Begitu diketahui ada sengketa, dan ada hak
atau kepentingan yang dilanggar maka seseorang dapat mengajukan permohonan
kepada hakim.
Karena pangkal sengketa atau obyek sengketa tata usaha negara adalah
keputusan tata usaha negara, maka masuknya pihak ketiga pihak ketiga dalam
sengketa tersebut tetap harus memperhatikan kedudukan para pihak. Apabila
pihak ketiga tersebut adalah badan atau pejabat tata usaha negara, maka tidak
mungkin bertindak sebagai penggugat atau bergabung dengan pihak penggugat.
Demikian pula, apabila pihak ketiga tersebut adalah seseorang atau badan hukum
perdata tidak mungkin bertindak sebagai pihak tergugat atau ditarik untuk
bergabung dengan pihak tergugat (Zairin Harahap, 2007: 45).
Salah satu sengeka TUN yang terdapat intervensi oleh pihak ketiga dapat
dilihat pada kasus gugatan dari beberapa anggota masyarakat Padukuhan Ngentak
Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok kepada Bupati Sleman terkait
dengan adanya Keputusan Bupati Sleman yang berisi penutupan tempat
pemakaman umum (Areal Pekuburan Ngentak, Sapen) Padukuhan Ngentak
Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok Kabupaten Sleman yang akan
dijadikan kompleks perluasan UIN Yogyakarta. Padahal diketahui bahwa tanah
areal pekuburan tersebut adalah tanah milik kas desa, Desa Catur Tunggal.
Berdasarkan uraian kasus tersebut menarik untuk dikaji dan diteliti apakah
yang menjadi upaya hukum yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga beserta akibat
hukumnya dan pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa tata
usaha negara yang didalamnya terdapat intervensi dari pihak ketiga.
B. Perumusan Masalah
Dalam suatu penelitian ilmiah hal penting yang pertama kali harus
dilakukan adalah merumuskan masalah, hal ini dikarenakan perumusan masalah
menjadi suatu acuan mengenai hal atau obyek apa yang akan diteliti untuk
17
ditemukan jawabannya. Pada hakikatnya seorang peneliti sebelum menentukan
judul dalam suatu penelitian, maka harus terlebih dahulu menentukan rumusan
masalah, dimana masalah pada dasarnya adalah suatu proses yang mengalami
halangan dalam mencapai tujuan, maka harus dipecahkan untuk mencapai tujuan
suatu penelitian (Soerjono Soekanto, 2006: 109).
Rumusan masalah ini dimaksudkan untuk penegasan masalah-masalah
yang diteliti, sehingga memudahkan dalam pencapaian sasaran. Dalam penelitian
ini dirumuskan permasalahan sebagai berikut :
1. Intervensi apakah yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian
sengketa tata usaha negara dan apa akibat hukumnya?
2. Apakah dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan memutus sengketa
tata usaha negara dalam hal adanya intervensi terhadap putusan
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk?
C. Tujuan Penelitian
Berdasarkan perumusan masalah yang telah dinyatakan sebelumnya, agar
penelitian lebih terarah maka diperlukan adanya tujuan dari suatu penelitian.
Tujuan penelitian dikemukakan secara deklaratif dan merupakan pernyataan-
pernyataan yang hendak dicapai dalam penelitian tersebut (Soerjono Soekanto,
2006: 118-119). Tujuan yang dikenal dalam suatu penelitian ada dua macam,
yaitu tujuan obyektif dan tujuan subyektif. Tujuan obyektif merupakan tujuan
yang berasal dari tujuan penelitian itu sendiri, sedangkan tujuan subyektif berasal
dari peneliti. Tujuan objektif dan subjektif yang hendak dicapai dalam penelitian
ini adalah sebagai berikut:
1. Tujuan Objektif
a. Untuk mengetahui intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga
dalam penyelesaian sengketa tata usaha negara dan akibat hukumnya.
b. Untuk mengetahui dasar pertimbangan hakim dalam memeriksa dan
memutus sengketa tata usaha negara dalam hal adanya intervensi
terhadap putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk.
18
2. Tujuan Subjektif
a. Untuk menambah wawasan dan pengetahuan bagi peneliti dalam bidang
ilmu hukum baik dalam teori maupun praktek dalam lingkup Hukum
Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Untuk melengkapi syarat akademis guna memperoleh gelar Sarjana
dibidang ilmu hukum pada Fakultas Hukum Universitas Sebelas Maret
Surakarta.
c. Menerapkan ilmu dan teori-teori hukum yang telah penulis peroleh agar
dapat memberi manfaat bagi penulis sendiri khususnya, dan masyarakat
pada umumnya.
D. Manfaat Penelitian
Suatu penelitian yang berhasil adalah penelitian yang dapat memberikan
faedah atau manfaat baik secara teoritis maupun secara praktis yang meliputi:
1. Manfaat Teoritis
a. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran
bagi ilmu pengetahuan dibidang Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.
b. Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi literatur dan juga referensi
yang memberikan pengetahuan dan informasi kepada masyarakat pada
umumnya dan kalangan akademisi pada khususnya yang menggeluti
Hukum Peradilan Tata Usaha Negara.
c. Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan peran bagi
perkembangan teoritis dalam lingkup Hukum Peradilan Tata Usaha
Negara.
2. Manfaat Praktis
a. Memberikan jawaban terhadap permasalahan yang diteliti.
b. Menjadi wahana bagi penulis untuk mengembangkan penalaran dan
membentuk pola pikir kritis sekaligus untuk mengetahui kemampuan
penulis dalam menerapkan ilmu yang diperoleh.
19
E. Metode Penelitian
Pemilihan jenis metode tertentu dalam suatu penelitian sangat penting
karena akan berpengaruh pada hasil penelitian. Dalam suatu penelitian, metode
penelitian merupakan salah satu faktor penting yang menunjang suatu kegiatan
dan proses penelitian. Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman tentang
cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan-
lingkungan yang dihadapinya (Soerjono Soekanto, 2006: 6).
Agar data dari suatu penelitian yang diperoleh dapat dipertanggung
jawabkan secara ilmiah perlu adanya ketepatan dalam memilih metode penelitian
supaya sesuai dan mengenai pada masalah yang akan menjadi obyek penelitian.
Dalam penelitian ini metode yang digunakan oleh penulis adalah sebagai berikut:
1. Jenis Penelitian
Jenis penelitian yang digunakan penulis dalam penyusunan hukum ini
adalah penelitian hukum empiris. Dalam penelitian hukum empiris yang
diteliti pada awalnya data sekunder untuk kemudian dilanjutkan dengan
penelitian terhadap data primer di lapangan atau terhadap masyarakat
(Soerjono Soekanto, 2006: 52). Pada penelitian ini penulis mendeskripsikan
mengenai intervensi dalam sengketa tata usaha Negara di Pengadilan Tata
Usaha Negara Yogyakarta (Putusan Nomor :03/G/TUN/2007/PTUN.Yk).
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan adalah penelitian deskriptif.
Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dimaksudkan untuk memberikan
data yang seteliti mungkin tentang manusia, keadaan, atau gejala-gejala
lainnya. Maksud penelitian yang bersifat deskriptif terutama untuk
mempertegas hipotesa-hipotesa agar dapat memperkuat teori-teori lama, atau
di dalam kerangka menyusun sebelumnya, yaitu intervensi dalam sengketa
tata usaha Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Putusan
Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk).
3. Lokasi Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis ingin menemukan dan memahami
gejala-gejala yang diteliti dengan cara penggambaran yang seteliti-telitinya
20
untuk mendekati obyek penelitian maupun permasalahan yang telah
dirumuskan. Penelitian dengan judul “Intervensi Dalam Sengketa Tata Usaha
Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Putusan Nomor :
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk) dilakukan di Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta. Pengambilan lokasi tersebut dengan pertimbangan bahwa
terdapatnya sumber data yang dimungkinkan dan memungkinkan untuk
dilakukan penelitian.
4. Pendekatan Penelitian
Pendekatan penelitian yang digunakan dalam penulisan hukum ini
bersifat kualitatif, yaitu pendekatan yang digunakan oleh peneliti dengan
mendasarkan pada data yang dinyatakan responden secara lisan atau tertulis,
dan juga perilaku yang nyata, diteliti, dipelajari sebagai suatu yang utuh.
Dengan menggunakan data yang dinyatakan secara empiris dan
kualifikasinya bersifat teoritis yang diolah dan ditarik kesimpulannya dengan
metode berfikir induktif. Penyajian secara deduktif adalah metode penyajian
yang mendasarkan pada hal–hal yang bersifat umum untuk kemudian ditarik
kesimpulan secara khusus.
5. Jenis Data
Dalam sebuah penelitian suatu data dibedakan menjadi dua yaitu: data
yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Pertama
disebut data primer atau data dasar (primary data atau basic data), dan yang
kedua dinamakan data sekunder (secondary data). Data primer diperoleh dari
sumber pertama, yaitu perilaku warga masyarakat melalui penelitian.
Sementara itu, data sekunder antara lain mencakup dokumen-dokumen resmi,
buku-buku, hasil-hasil penelitian yang berwujud laporan, buku-buku harian
dan seterusnya (Soerjono Soekanto, 1986: 12).
6. Sumber Data
Berdasarkan jenis data yang ada, maka dapat ditentukan sumber data
yang digunakan untuk penelitian. Untuk memperoleh data dan informasi yang
berkaitan dengan arah penelitian ini, sumber data yang digunakan penulis
adalah sebagai berikut:
21
a. Sumber data primer
Sumber data primer merupakan sumber data yang terkait
langsung dengan permasalahan yang diteliti. Dalam penelitian ini yang
menjadi sumber data primer adalah penjelasan atau keterangan yang
diperoleh dari pejabat Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, dalam
hal ini Hakim yang ditunjuk untuk memberikan keterangan guna
pengumpulan data yang lebih lengkap yaitu Bapak Kusman dan Ibu
Ratna Harmani.
b. Sumber data sekunder
Sumber data sekunder yaitu sumber data yang secara tidak
langsung memberi keterangan yang bersifat mendukung sumber data
primer. Sumber data ini biasanya diperoleh melalui studi kepustakaan
yaitu dengan mengumpulkan data dengan membaca, mempelajari dan
mencatat dari buku-buku literatur, dokumen-dokumen dari berkas-berkas
perkara di Pengadilan Tata Usaha Negara dan tulisan-tulisan lain yang
berhubungan dengan masalah yang diteliti, diantaranya adalah Undang-
Undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara dan putusan
Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk.
Dalam penelitian ini penulis menggunakan ketiga sumber tersebut
secara bersamaan untuk memperoleh data yang akurat, mengingat penelitian
ini menggunakan metode pendekatan secara empiris atau yuridis sosiologis,
yaitu mengungkapkan aturan-aturan secara normatif atau bersifat yuridis yang
dituangkan dalam peraturan perundang-undangan dengan mencari kecocokan
pada kenyataannya di lapangan atau di masyarakat.
7. Teknik Pengumpulan Data
Dalam penelitian pasti membutuhkan data yang lengkap, dalam hal ini
dimaksudkan agar data yang terkumpul betul - betul memiliki nilai validitas
dan reabilitas yang cukup tinggi. Dalam penelitian ini, penulis menggunakan
teknik pengumpulan data sebagai berikut:
22
a. Studi Dokumen
Untuk memperoleh data sekunder ini, penulis melakukan studi
dokumen atau kepustakaan guna memperoleh bahan - bahan hukum atau
bahan penulisan lainnya yang dapat dijadikan acuan, antara lain arsip -
arsip, dokumen - dokumen, dan berkas acara mengenai masalah yang
diteliti serta buku - buku ilmiah, makalah, paper, surat kabar dan internet
yang berhubungan dengan permasalahan penulisan hukum ini. Dokumen
yang dipelajari adalah Putusan Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta Nomor : 03/G/Tun/2007/PTUN.Yk.
b. Wawancara atau interview
Wawancara adalah situasi peran antar pribadi bertatap muka,
ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan–pertanyaan
yang dirancang untuk memperoleh jawaban–jawaban yang relevan
dengan masalah yang akan diteliti kepada seorang responden (Amiruddin
2006:82). Wawancara dilakukan dalam situasi formal maupun informal.
Dalam penelitian ini, untuk mendapatkan data primer, digunakan
teknik pengumpulan data melalui wawancara (interview), wawancara
yang dilakukan adalah wawancara secara terarah, terpimpin dan
mendalam sesuai dengan pokok permasalahan yang diteliti. Untuk
memperoleh informasi yang diperlukan bagi penulis untuk penelitian ini
agar mendapatkan hasil secara tepat dan akurat maka dilakukan
wawancara dengan Hakim Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta
yang memeriksa perkara pada putusan No. 03/G/Tun/2007/PTUN.Yk.
8. Teknik Analisis Data
Analisis data merupakan langkah selanjutnya untuk mengolah hasil
penelitian menjadi suatu laporan. Teknis analisis data yang dipakai dalam
penelitian ini adalah analisis data kualitatif dengan menggunakan metode
interaktif. Analisis data kualitatif merupakan pengolahan data berupa
pengumpulan data, penguraiannya kemudian membandingkan dengan teori
yang berhubungan masalahnya, dan akhirnya menarik kesimpulan. Metode
interaktif adalah model analisa yang terdiri dari empat komponen yaitu
23
penarikan data, reduksi data, penyajian data, dan penarikan kesimpulan, maka
data-data diproses melalui tiga komponen tersebut. (HB. Sutopo, 1988 : 37).
Model Analisis Interaktif tersebut digambarkan sebagai berikut :
Gambar 1. Teknik Analisa Data
Kegiatan komponen itu dapat dijelaskan sebagai berikut :
a. Pengumpulan data
Merupakan proses pengumpulan data yang berupa data primer
yaitu data yang diperoleh secara langsung melalui penelitian di lapangan
berupa hasil wawancara, informasi, keterangan, dan sikap atau perilaku
serta segala hal yang berhubungan dengan implementasi putusan pidana
mati terhadap kasus pembunuhan berencana. Selain itu digunakan pula
data sekunder berupa peraturan perundang–undangan, dan literatur.
b. Reduksi data
Merupakan proses pemilihan, pemusatan perhatian kepada
penyederhanaan, pengabstrakan, dan transformasi data kasar yang
muncul dari catatan tertulis di lapangan. Reduksi data berlangsung terus -
menerus, bahkan sebelum data benar - benar terkumpul sampai laporan
akhir lengkap tersusun.
c. Penyajian data
Merupakan sekumpulan informasi yang tersusun yang memberi
kemungkinan adanya penarikan kesimpulan dan pengambilan tindakan.
d. Penarikan kesimpulan
Dari permulaan data, seorang penganalisis kualitatif mencari arti
REDUKSI DATA PENYAJIAN DATA
PENARIKAN KESIMPULAN
PENARIKAN DATA
24
benda-benda, keteraturan, pola-pola, penjelasan konfigurasi, berbagai
kemungkinan, alur sebab akibat dan proporsi. Kesimpulan akan ditangani
secara longgar, tetap terbuka dan skeptis, tetapi kesimpulan sudah
disediakan, mula - mula belum jelas, meningkat menjadi lebih rinci dan
mengakar pada pokok.
F. Sistematika Penulisan Hukum
Untuk lebih memudahkan penulisan hukum ini, maka penulis dalam
penelitiannya membagi menjadi empat bab dan tiap-tiap bab dibagi dalam sub bab
yang disesuaikan dengan luas pembahasannya. Adapun sistematika penulisan
hukum ini adalah sebagai berikut:
BAB I PENDAHULUAN
Bab ini penulis mengemukakan mengenai latar belakang masalah,
perumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, metodologi
penelitian, sistematika penulisan hukum, dan jadwal penelitian.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
Pada bab ini penulis menguraikan mengenai dua hal yaitu, yang
pertama kerangka teori yang terdiri dari hukum dan peradilan
administrasi, peradilan tata usaha negara, prosedur beracara di
pengadilan tata usaha negara, masuknya pihak ke tiga (intervensi),
yang kedua kerangka pemikiran.
BAB III HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASANNYA
Dalam bab ini penulis membahas tentang intervensi yang dapat
dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa tata usaha
negara dan akibat hukumnya serta dasar pertimbangan hakim dalam
memeriksa dan memutus sengketa tata usaha negara dalam hal adanya
intervensi terhadap putusan 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk.
25
BAB IV KESIMPULAN DAN SARAN
Bab ini berisi kesimpulan serta saran dari hasil penelitian yang telah
dilakukan penulis.
DAFTAR PUSTAKA
LAMPIRAN
26
15
BAB II. TINJAUAN PUSTAKA
A. Kerangka Teoritis
1. Tinjauan Tentang Negara Hukum dan Peradilan Administrasi
a. Negara Hukum
Negara hukum pada dasarnya terutama bertujuan untuk
memberikan perlindungan hukum bagi rakyat. Philipus M. Hadjon dalam
Zairin Harahap (2005: 2) menjelaskan bahwa perlindungan hukum bagi
rakyat terhadap tindak pemerintah dibatasi oleh dua prinsip; prinsip hak
asasi manusia dan prinsip negara hukum. Pengakuan terhadap hak asasi
manusia mendapat tempat yang utama dan dapat dikatakan sebagai
tujuan dari pada negara hukum.
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 37 tahun 2008
Tentang Ombudsman Republik Indonesia pada Pasal 4 menyebutkan
bahwa ombudsman bertujuan untuk;
1) Mewujudkan negara hukum yang demokratis, adil, dan
sejahtera;
2) Mendorong penyelenggaraan negara dan pemerintahan yang
efektif dan efisien, jujur, terbuka, bersih, serta bebas dari
korupsi, kolusi, dan nepotisme;
3) Meningkatkan mutu pelayanan negara di segala bidang agar
setiap warga negara dan penduduk memperoleh keadilan, rasa
aman, dan kesejahteraan yang semakin baik;
4) Membantu menciptakan dan meningkatkan upaya untuk
pemberantasan dan pencegahan praktek-praktek mal
administrasi, diskriminasi, kolusi, korupsi, serta nepotisme;
5) Meningkatkan budaya hukum nasional, kesadaran hukum
masyarakat, dan supremasi hukum yang berintikan kebenaran
serta keadilan. Negara hukum menghendaki segala tindakan atau
perbuatan penguasa mempunyai dasar hukum yang jelas atau
ada legalitasnya baik berdasar hukum tertulis maupun hukum
yang tidak tertulis.
Konsep negara hukum mulai berkembang dengan pesat sejak
akhir abad ke-19 dan awal abad ke-20. Di Eropa Barat Kontinental,
Immanuel kant dan Frederich Julius stahl menyebutnya dengan istilah
27
rechtsstaat, sementara itu di negara-negara anglo saxon, A.V. Dicey
menggunakan istilah rule of law.
Menurut F.J Stahl sebagaimana dikutip oleh Oemar Seno Adji
dalam S.F. Marbun (2003: 7) merumuskan unsur-unsur rechtsstaat dalam
arti klasik sebagai berikut:
1) Perlindungan terhadap hak-hak asasi manusia;
2) Pemisahan atau pembagian kekuasaan negara untuk menjamin hak-
hak asasi manusia;
3) Pemerintahan berdasarkan peraturan;
4) Adanya peradilan administrasi.
Adapun unsur-unsur rule of law menurut A.V Dicey dalam S.F.
Marbun (2003:7) adalah sebagai berikut:
1) Supremasi aturan-aturan hukum (the absolute supremacy or
predominance of regular law);
2) Kedudukan yang sama dihadapan hukum (equality before the law or
the equal subjection of all classes the ordinary law of the land
administrated by ordinary law courts);
3) Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (a formula pressing
the fact that with us the law of constitution, the rules which in
foreign countries naturally from parts of a constitutional code, are
not the source but the consequence of the rights of individuals as
defined and enforced by the countrias)
Unsur-unsur yang terdapat dalam kedua macam negara hukum
tersebut, baik rechtsstaat maupun rule of law mempunyai persamaan dan
perbedaan. Persamaan pokok antara rechtsstaat dengan rule of law
adalah adanya keinginan untuk memberikan perlindungan dan
penghormatan terhadap hak-hak asasi manusia. Perbedaan pokok antara
rechtsstaat dengan rule of law ditemukan pada peradilan administrasi. Di
negara-negara anglo saxon penekanan terhadap prinsip persamaan di
muka hukum (equality before the law) lebih ditonjolkan, sehingga
dipandang tidak perlu menyediakan sebuah peradilan khusus untuk
pejabat administrasi negara. Berbeda dengan Eropa Kontinental yang
memasukkan unsur peradilan admistrasi sebagai salah satu unsur
28
rechtsstaat. Dimasukkannya unsur peradilan administrasi kedalam unsur
rechtsstaat, maksudnya untuk memberikan perlindungan hukum bagi
warga masyarakat terhadap sikap tindak pemerintah yang melanggar hak
asasi dalam lapangan administrasi negara. Kecuali itu kehadiran
peradilan administrasi akan memberikan perlindungan hukum yang sama
kepada administrasi negara yang bertindak benar dan sesuai dengan
aturan hukum.
b. Negara Hukum dan Peradilan administrasi
Undang-undang Dasar 1945 merupakan manifestasi dari konsep-
konsep dan alam pikiran Bangsa Indonesia yang lazim disebut hukum
dasar tertulis. Undang-undang dasar 1945 sebagai hukum dasar tertulis
hanya memuat dan mengatur hal-hal yang bersifat prinsip dan garis-garis
besar saja. Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia, sila-
silanya merupakan satu kesatuan yang utuh dan tidak bercerai berai.
Ketuhanan yang Maha Esa adalah sila yang pertama yang kemudian
disusul dengan sila kemanusiaan yang adil dan beradab. Philipus M.
Hadjon dalam S.F Marbun (2005:14) menjelaskan bahwa konsekuensi
logis dari sila-sila tersebut adalah konsekuensi logis dari pengakuan
terhadap eksistensi Tuhan, yang berarti sekaligus pengakuan terhadap
harkat dan martabat manusia sebagai makhluk ciptaan Tuhan yang paling
mulia. Demikian pula sila persatuan Indonesia, berarti mengakui manusia
sebagai makhluk sosial yang berkehendak untuk hidup bersama dalam
suatu masyarakat yakni negara Republik Indonesia. Pengaturan hidup
bersama itu didasarkan atas musyawarah yang dibimbing oleh
kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan. Tujuan dari hidup
bersama dalam suatu negara merdeka adalah untuk mencapai
kesejahteraan bersama seperti rumusan sila ke lima, yakni keadilan sosial
bagi seluruh rakyat Indonesia.
Philipus M. Hadjon dalam S.F. Marbun (2005:14) menjelaskan
bahwa adanya pengakuan terhadap harkat dan martabat manusia dalam
29
negara hukum Indonesia, secara intrinsik melekat pada pancasila dan
bersumber pada pancasila. Jadi harkat dan martabat manusia merupakan
pemberian Allah.
Bertitik tolak dari falsafah negara pancasila tersebut, Philipus M.
Hajdon dalam S.F Marbun (2005: 15) merumuskan elemen-elemen atau
unsur-unsur negara hukum pancasila sebagai berikut :
1) Keserasian hubungan antara pemerintah dan rakyat berdasarkan asas
kerukunan;
2) Hubungan fungsional yang proporsional anatar kekuasaan negara;
3) Prinsip penyelesaian sengketa secara musyawarah dan peradilan
merupakan sarana terakhir;
4) Keseimbangan antara hak dan kewajiban
Adanya keseimbangan antara hak dan kewajiban tersebut dalam
negara hukum Indonesia, diharapkan akan melahirkan asas kerukunan.
Asas kerukunan tersebut akan menciptakan keserasian hubungan antara
pemerintah adan rakyat. Meskipun tercipta keseimbangan, keserasian dan
kerukunan antar pemerintah dan rakyat bukan berarti sama sekali tidak
mungkin timbul sengketa antara pemerintah dan rakyat. Sengketa
mungkin saja dapat timbul dalam pergaulan yang semakin kompleks.
Dalam hal terjadi sengketa antara pemerintah dan rakyat, prinsip
musyawarah harus tetap diutamakan dan peradilan merupakan sarana
terakhir. Demikian pula sengketa yang timbul dalam peradilan
administrasi.
Sengketa dalam bidang administrasi diselesaikan antara lain oleh
peradilan administrasi. Peradilan administrasi bertujuan untuk menjaga
keseimbangan antara hak perseorangan dengan hak masyarakat atau
kepentingan umum, sehingga tercipta keseimbangan, keselarasan
keserasian dan kerukunan antara pemerintah dan rakyat. Jadi peradilan
administrasi bukan semata-mata berfungsi melindungi kepentingan
individu atau perseorangan.
30
Tujuan pembentukan peradilan administrasi dalam suatu negara
hukum selalu terkait dengan falsafah negara yang dianutnya. Dalam
negara yang menganut faham rechtsstaat pembentukan peradilan
administrasi adalah untuk memberikan perlindungan terhadap hak asasi
manusia sehingga tercipta keserasian, keseimbangan, dan keselarasan
antara kepentingan perseorangan dengan kepentingan masyarakat atau
kepentingan umum (S.F Marbun, 2003: 20).
Menurut Sjachran Basah (1985: 154) tujuan peradilan
administrasi adalah untuk memberikan pengayoman hukum dan
kepastian hukum, baik bagi rakyat maupun bagi administrasi negara
dalam arti terjaganya keseimbangan masyarakat dengan kepentingan
individu. Untuk administrasi negara akan terjaga ketertiban, ketentraman
dan keamanan dalam pelaksanaan tugas-tugasnya, demi terwujudnya
pemerintahan yang bersih dan berwibawa.
2. Peradilan Tata Usaha Negara
a. Dasar Hukum Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
Pasal 1 ayat (3) UUD 1945 menyebutkan bahwa Indonesia adalah
negara berdasar atas hukum. Negara hukum menghendaki agar setiap
tindakan penguasa haruslah berdasar atas hukum yang berlaku. Tujuan
akhir dari faham negara hukum ini adalah untuk memberikan
perlindungan terhadap hak asasi manusia dari tindakan sewenang-
wenang para penguasa. Bertitik tolak dari apa yang dikemukan oleh F.J
Stahl mengenai unsur-unsur negara hukum yang salah satunya adalah
adanya Peradilan Tata Usaha Negara, dengan telah diundangkannya
Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha
Negara yang kemudian tindaklanjuti dengan Peraturan Pemerintah
Nomor 7 Tahun 1991, dengan dimulailah pelaksanaan Peradilan Tata
Usaha Negara di Indonesia.
Menurut A. Siti Soetami (2007: 9) Peradilan Tata Usaha Negara
merupakan sarana control on the administration. Peradilan Tata Usaha
31
Negara adalah salah satu pelaksana kehakiman bagi rakyat pencari
keadilan terhadap sengketa tata usaha negara. Sementara itu menurut Y.
Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra (1996: 51), Peradilan Tata
Usaha Negara merupakan institusi untuk menyelesaikan timbulnya
sengketa TUN antara Badan atau Pejabat TUN dengan warga masyarakat
pencari keadilan sebagai implikasi peran positif aktif pemerintah dalam
kehidupan masyarakat. Melalui kontrol yudisial yang dijalankan oleh
Peradilan Tata Usaha Negara, secara tidak langsung, juga dilakukan
pembinaan terhadap aparatur negara sebagai pelaku birokrasi.
Dasar konstitusional pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara
ini adalah Pasal 24 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945. Sebagai
peraturan pelaksanaan dari pasal tersebut adalah dengan diundangkannya
Undang-undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman
(UU Kekuasaan Kehakiman). Dalam Pasal 10 ayat (1) UU Kekuasaan
Kehakiman disebutkan “kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah
Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya, dan
oleh sebuah Mahkamah Konstitusi”. Sementara itu dalam ayat (2)
menyebutkan “badan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung
meliputi badan peradilan dalam lingkungan peradilan umum, peradilan
agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara”. Selanjutnya
dalam Pasal 11 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan bahwa
“Mahkamah Agung merupakan pengadilan negara tertinggi dari keempat
lingkungan peradilan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2)”.
Berdasarkan ketentuan tersebut, maka jelaslah bahwa dasar
hukum pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara yang bebas mandiri
ternyata cukup kuat sama halnya dengan keempat peradilan lainnya yang
sudah lama yaitu Peradilan Umum, Peradilan Agama, Peradilan Militer.
Sebagaimana diketahui, bahwa untuk memperkuat ketentuan
mengenai Peradilan Tata Usaha Negara adalah dilahirkannya Undang-
Undang nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-undang
nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.
32
b. Susunan dan Tempat Kedudukan Pengadilan Tata Usaha Negara dan
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
Susunan Peradilan Tata Usaha Negara terdiri dari 2 (dua) tingkat,
yaitu :
1) Pengadilan Tata Usaha Negara, yang merupakan Pengadilan Tingkat
Pertama;
2) Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara, yang merupakan Peradilan
tingkat Banding; (Pasal 8 UU PTUN).
Sementara itu susunan pengadilan terdiri atas:
1) Pimpinan;
2) Hakim anggota;
3) Panitera;
4) Sekretaris (Pasal 11 UU PTUN)
Pimpinan pengadilan terdiri dari seorang ketua dan seorang wakil
ketua, baik di Pengadilan Tata Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi
Tata Usaha Negara. Selanjutnya ketua dan wakil ketua pengadilan dapat
diberhentikan dengan hormat dan tidak dengan hormat dari jabatannya.
Seorang hakim pada Pengadilan Tata Usaha Negara disebut
“Hakim” dan seorang hakim pada pengadilan tinggi Tata Usaha Negara
disebut “Hakim Tinggi”. Hakim pada pengadilan Tata Usaha Negara
merupakan seorang pejabat yang berfungsi sebagai pelaksana tugas di
bidang kekuasaan kehakiman.
Syarat-syarat untuk diangkat menjadi hakim pada PTUN adalah
sebagai Berikut :
1) Warga Negara Indonesia;
2) Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa;
3) Setia kepada pancasila dan Unadng-undang Dasar Negara Republik
Indonesia tahun 1945;
4) Sarjana Hukum;
5) Berumur serendah-rendahnya 25 tahun;
6) Sehat jasmani dan rohani;
33
7) Berwibawa, jujur, dan berkelakuan tidak tercela, dan bukan bekas
anggota organisasi terlarang Partai Komunis Indonesia, termasuk
organisasi massanya, atau bukan orang yang terlibat langsung dalam
gerakan dalam gerakan 30 September/Partai Komunis Indonesia
(Pasal 14 ayat (1) UU PTUN).
Untuk dapat diangkat menjadi hakim tinggi pada Pengadilan Tata
Usaha Negara, seorang hakim harus memenuhi persyaratan sebagai
berikut:
1) Syarat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 14 ayat (1) huruf a,
huruf b, huruf c, huruf d, huruf f, dan huruf h;
2) Berumur serendah-rendahnya 40 tahun;
3) Berpengalaman sekurang-kurangnya 5 tahun sebagai Ketua, Wakil
Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara atau 15 tahun sebagai Hakim
Pengadilan Tata Usaha Negara;
4) Lulus eksaminasi yang dilakukan oleh Mahkamah Agung.
Pada setiap Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan adanya
kepaniteraan yang dipimpin oleh seorang panitera (Pasal 27 ayat (1)).
Selanjutnya, pada setiap Pengadilan Tata Usaha Negara ditetapkan
adanya sekretariat yang dipimpin oleh sekretaris yang dibantu oleh
seorang wakil sekretaris (Pasal 40 UU PTUN).
c. Kewenangan Peradilan Tata Usaha Negara
Pembentukan Peradilan Tata Usaha Negara adalah untuk
menyelesaikan atau mumutus sengketa yang timbul dalam bidang TUN
antara orang atau badan hukum perdata dengan Badan atau Pejabat TUN
sebagai akibat dikeluarkannya KTUN yang dianggap melanggar hak
orang atau badan hukum perdata. Kemungkinan timbulnya sengketa
tersebut berkaitan dengan peran positif aktif pemerintah dalam kehidupan
masyarakat dalam suatu modern rechtsstaat sebagai implikasi dianutnya
model welfare state (Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra,
1996:73).
34
PTUN berwenang mengadili sengketa TUN pada tingkat pertama,
sedangkan PT TUN berwenang mengadili sengketa TUN di tingkat
banding, sementara itu Mahkamah Agung berwenang mengadili sengketa
TUN di tingkat kasasi dan peninjauan kembali. Menurut Hassan Suryono
(2005: 75) Peradilan Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili dan
menilai secara hukum hanya terbatas pada keputusan yang dikeluarkan
oleh pejabat TUN maupun Badan TUN.
Pasal 47 UU PTUN menyebutkan, pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara
tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu dikeluarkan :
1) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam, atau
keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku;
2) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
d. Subyek dan Obyek Sengketa Tata Usaha Negara
Yang berhak menjadi subjek sengketa di PTUN dapat dilihat pada
ketentuan Pasal Pasal 53 UU PTUN yang menyebutkan “seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara dapat mengajukan gugatan tertulis kepada
Pengadilan yang berwenang berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha
Negara yang disengketakan itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan
atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/rehabilitasi”.
Dari ketentuan Pasal 53 UU PTUN dapat dilihat bahwa pihak
yang dapat mengajukan gugatan (penggugat) adalah seseorang atau
badan hukum perdata yang merasa kepentingannya dirugikan oleh suatu
Keputusan Tata Usaha Negara, sedangkan pejabat atau badan yang
mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara selalu berkedudukan
sebagai pihak tergugat, hal tersebut dapat dilihat pada ketentuan Pasal 1
ayat (6) UU PTUN yang menyebutkan tergugat adalah badan atau
pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan berdasarkan
35
wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya, yang
digugat oleh orang atau badan hukum perdata. Seseorang atau badan
hukum perdata sebagaimana dimaksud dalam Pasal 53 UU PTUN hanya
orang atau badan hukum perdata yang berkedudukan sebagai subyek
hukum saja (penjelasan Pasal 53 ayat (1) UU PTUN).
Sementara itu, yang menjadi objek sengketa di PTUN adalah
Keputusan Tata Usaha Negara yang dikeluarkan oleh Pejabat atau Badan
Tata Usaha Negara. Keputusan TUN yang bisa dijadikan objek sengketa
TUN haruslah memenuhi kualifikasi sebagaimana dimaksud dalam Pasal
1 angka (3) UU PTUN yang menyebutkan sengketa tata usaha negara
“suatu penetapan tertulis yang dikeluarkan oleh badan atau pejabat tata
usaha negara yang berisi tindakan hukum tata usaha negara, yang
berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yang bersifat
konkrit, individual dan final, yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata”.
Mengacu ketentuan Pasal 1 ayat (3) UU PTUN, menurut A. Siti
Soetami (2007: 7), istilah penetapan tertulis terutama menunjuk pada isi
dan bukan kepada bentuk formalnya. Sebab persyaratan tertulis itu
diharuskan untuk kemudahan dalam segi pembentukan, sehingga sebuah
memo atau nota dapat memenuhi syarat tertulis menurut ketentuan
tersebut asal dalam memo atau nota tersebut dengan jelas menyebut:
1) Badan atau jabatan TUN mana yang mengeluarkannya;
2) Maksud serta mengenai hal apa isi tulisan tersebut;
3) Kepada siapa tulisan tersebut ditujukan dan apa yag ditetapkan di
dalamnya.
e. Kompetensi Peradilan Tata Usaha Negara
Kompetensi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah
kewenangan (kekuasaan) untuk menentukan (memutuskan sesuatu). Pada
umumnya dalam hukum acara dikenal adanya kompetensi (kewenangan)
suatu badan peradilan untuk memeriksa dan mengadili suatu perkara.
Menurut Sjachran Basah (1985: 67) salah satu cara untuk mengetahui
36
kompetensi dari suatu pengadilan untuk memeriksa, mengadili dan
memutus suatu perkara dapat dilihat dengan melakukan pembedaan atas
kompetensi relatif dan kompetensi absolut.
Sebagai salah satu pelaksana proses peradilan, PTUN juga
dilekati 2 (dua) kompetensi tersebut. Di bawah ini diuraikan mengenai
kompetensi relatif dan kompetensi absolut yang melekat pada PTUN.
1) Kompetensi relatif
Menurut Sudikno Mertokusumo (1998: 65), kompetensi relatif
menyangkut pembagian kekuasaan kehakiman (distribusi kekuasaan
kehakiman). Jelasnya, kompetensi relatif ini berkaitan dengan wilayah
hukum suatu pengadilan. Sementara itu Zairin Harahap (2005: 30)
menjelaskan bahwa dalam kaitannya dengan Peradilan Tata Usaha
Negara, maka kompetensi relatifnya adalah menyangkut kewenangan
PTUN yang mana yang berwenang untuk memeriksa, mengadili dan
memutus perkara. Selanjutnya S.F Marbun (2003: 175) mengatakan
kompetensi merupakan kewenangan suatu pengadilan ditentukan
berdasarkan wilayah hukum yang menjadi wilayah kewenangannya.
Suatu pengadilan berwenang memeriksa suatu sengketa apabila salah
satu pihak atau kedua belah pihak yang bersengketa berkediaman di
wilayah hukumnya.
Kompetensi relatif PTUN dapat dikaitkan dengan pengadilan
itu sendiri, dan dapat pula dikaitkan dengan kedudukan para pihak.
Pasal 54 UU PTUN menyebutkan gugatan dapat diajukan kepada
PTUN tempat kedudukan domisili tergugat. Apabila tergugatnya lebih
dari satu, maka diajukan ke PTUN dari keduukan salah satu tempat
tergugat. Gugatan dapat diajukan melalui PTUN tempat kedudukan
tergugat. PTUN Jakarta, apabila tergugat berkedudukan di dalam
negeri sedangkan penggugatnya berkedudukan diluar negeri, maka
gugatan dapat diajukan kepada PTUN tempat kedudukan tergugat.
37
2) Kompetensi Absolut
Pasal 47 UU PTUN menyebutkan, pengadilan tidak berwenang
memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha
Negara tertentu dalam hal keputusan yang disengketakan itu
dikeluarkan :
a) Dalam waktu perang, keadaan bahaya, keadaan bencana alam,
atau keadaan luar biasa yang membahayakan, berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
b) Dalam keadaan mendesak untuk kepentingan umum berdasarkan
peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Sudikno Mertokusumo (1998: 63), yang dimaksud kompetensi
absolut adalah wewenang badan pengadilan dalam memeriksa jenis
perkara tertentu yang secara mutlak tidak dapat diperiksa oleh
pengadilan lain, baik dalam lingkungan peradilan yang sama (PTUN,
PT TUN) maupun dalam lingkungan peradilan lain (Pengadilan
Negeri, PTUN). Sementara itu menurut S.F Marbun (2003: 175)
kompetensi absolut berhubungan dengan kewenangan pengadilan
mengadili suatu sengketa menurut obyek atau materi atau pokok
sengketa.
Kompetensi absolut PTUN adalah menyelesaikan sengketa
TUN yang timbul dalam bidang tata usaha negara antara orang atau
badan hukum perdata dengan badan atau pejabat TUN, baik di pusat
maupun di daerah, sebagai akibat dikeluarkannya keputusan tata usaha
negara, termasuk sengketa kepegawaian berdasarkan peraturan
perundang-undangan yang berlaku. Selain itu, yang termasuk ke
dalam kompetensi absolut PTUN adalah ketentuan yang terdapat di
dalam Pasal 3 UU PTUN yaitu dalam hal suatu badan atau pejabat tata
usaha negara tidak mengeluarkan keputusan tata usaha negara yang
dimohonkan kepadanya, sedangkan hal tersebut merupakan
kewajibannya.
38
3. Beracara di Peradilan Tata Usaha Negara
a. Cara mengajukan gugatan
Seseorang atau badan hukum perdata yang merasa
kepentingannya dirugikan oleh suatu Keputusan Tata Usaha Negara
dapat mengajukan gugatan tertulis kepada Pengadilan yang berwenang
berisi tuntutan agar Keputusan Tata Usaha Negara yang disengketakan
itu dinyatakan batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan
ganti rugi dan/atau rehabilitasi (Pasal 53 ayat (1)). Alasan-alasan yang
dapat digunakan dalam pengajuan gugatan adalah (Pasal 53 ayat (2)):
1) Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan
peraturan perundang-undangan yang berlaku;
2) Keputusan tata usaha negara yang digugat itu bertentangan dengan
asas-asas pemerintahan yang baik
Menurut Martiman Projohamidjojo (2005: 33), gugatan yang
diajukan disyaratkan dalam bentuk tertulis dan ditandatangani oleh
penggugat atau kuasanya, atau dibubuhi cap jempol penggugat yang
tidak pandai membaca tulis. Mereka yang tidak pandai baca tulis dapat
mengutarakan keinginannya untuk menggugat kepada panitera
pengadilan yang akan membantu merumuskan gugatan dalam bentuk
tertulis.
Gugatan sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan
yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan
tergugat. Apabila tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha
Negara dan berkedudukan tidak dalam satu daerah hukum Pengadilan,
gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi
tempat kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara.
Dalam hal tempat kedudukan tergugat tidak berada dalam daerah hukum
Pengadilan tempat kediaman penggugat, maka gugatan dapat diajukan ke
Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat
untuk selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara
39
yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, gugatan
dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah
hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat. Apabila penggugat dan
tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, gugatan diajukan
kepada Pengadilan di Jakarta. Apabila tergugat berkedudukan di dalam
negeri dan penggugat di luar negeri, gugatan diajukan kepada Pengadilan
di tempat kedudukan tergugat (Pasal 54 UU PTUN).
Gugatan dapat diajukan hanya dalam tenggang waktu sembilan
puluh hari terhitung sejak saat diterimanya atau diumumkannya
Keputusan Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara (Pasal 55 UU PTUN).
Gugatan dapat diajukan sendiri oleh penggugat maupun dikuasakan.
Dalam hal dikuasakan, maka gugatan haruslah disertai surat kuasa yang
sah. Dalam gugatan yang akan diajukan harus memuat (Pasal 56 PTUN).
1) Nama, kewarganegaraan, tempat tinggal, dan pekerjaan penggugat,
atau kuasanya;
2) Nama, jabatan, dan tempat kedudukan tergugat;
3) Dasar gugatan dan hal yang diminta untuk diputuskan oleh
Pengadilan.
Untuk mengajukan gugatan, penggugat membayar uang muka
biaya perkara, yang besarnya ditaksir oleh Panitera Pengadilan. Setelah
penggugat membayar uang muka biaya perkara, gugatan dicatat dalam
daftar perkara oleh Panitera Pengadilan. Selambat-lambatnya dalam
jangka waktu tiga puluh hari sesudah gugatan dicatat, Hakim
menentukan hari, jam, dan tempat persidangan, dan menyuruh
memanggil kedua belah pihak untuk hadir pada waktu dan tempat yang
ditentukan. Surat panggilan kepada tergugat disertai sehelai salinan
gugatan dengan pemberitahuan bahwa gugatan itu dapat dijawab dengan
tertulis (Pasal 59 UU PTUN).
Menurut A. Siti Soetami (2005: 28), yang dimaksud dengan biaya
perkara adalah biaya yang dibayar lebih dahulu sebagai panjar oleh pihak
penggugat terhadap perkiraan biaya perkara yang diperlukan dalam
40
proses berperkara seperti biaya kepaniteraan, biaya meterai, biaya ahli
dan lain-lain.
Penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Ketua
Pengadilan untuk bersengeketa dengan cuma-cuma. Permohonan
diajukan pada waktu penggugat mengajukan gugatannya disertai dengan
surat keterangan tidak mampu dari kepala desa atau lurah di tempat
kediaman pemohon. Dalam keterangan tersebut harus dinyatakan bahwa
pemohon itu betul-betul tidak mampu membayar biaya perkara (Pasal 60
UU PTUN).
Permohonan bersengketa secara cuma-cuma harus diperiksa dan
ditetapkan oleh Pengadilan sebelum pokok sengketa diperiksa. Penetapan
ini diambil di tingkat pertama dan terakhir. Penetapan Pengadilan yang
telah mengabulkan permohonan penggugat untuk bersengketa dengan
cuma-cuma di tingkat pertama, juga berlaku di tingkat banding dan
kasasi (Pasal 61 UU PTUN).
Dalam rapat permusyawaratan, Ketua Pengadilan berwenang
memutuskan dengan suatu penetapan yang dilengkapi dengan
pertimbangan-pertimbangan bahwa gugatan yang diajukan itu dinyatakan
tidak diterima atau tidak berdasar, dalam hal (Pasal 62 ayat (1) UU
PTUN):
1) Pokok gugatan tersebut nyata-nyata tidak termasuk dalam wewenang
Pengadilan;
2) Syarat-syarat gugatan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU
PTUN tidak dipenuhi oleh penggugat sekalipun ia telah diberi tahu
dan diperringatkan;
3) Gugatan tersebut tidak didasarkan pada alasan-alasan yang layak;
4) Apa yang dituntut dalam gugatan sebenarnya sudah terpenuhi oleh
Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat;
5) Gugatan diajukan sebelum waktunya atau telah lewat waktunya.
41
Penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan diucapkan dalam
rapat permusyawaratan sebelum hari persidangan ditentukan dengan
memanggil kedua belah pihak untuk mendengarkannya. Pemanggilan
kedua belah pihak dilakukan dengan surat tercatat oleh Panitera
Pengadilan atas perintah Ketua Pengadilan (Pasal 62 ayat (2) UU PTUN).
Terhadap penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan dapat
diajukan perlawanan kepada Pengadilan dalam tenggang waktu empat
belas hari setelah diucapkan. Perlawanan tersebut diajukan sesuai dengan
ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 56 UU PTUN (Pasal 62
ayat (3) PTUN).
Perlawanan penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan
diperiksa dan diputus oleh Pengadilan dengan acara singkat (Pasal 62
ayat (4) UU PTUN). Dalam hal perlawanan tersebut dibenarkan oleh
Pengadilan, maka penetapan diterima atau tidaknya suatu gugatan gugur
demi hukum dan pokok gugatan akan diperiksa, diputus dan diselesaikan
menurut acara biasa (Pasal 62 ayat (5) UU PTUN). Terhadap putusan
mengenai perlawanan itu tidak dapat digunakan upaya hukum (Pasal 62
ayat (6) UU PTUN).
b. Pemeriksaan Perkara di Tingkat Pertama
Pemeriksaan di tingkat pertama ini dapat dilakukan melalui 2
tahap, yaitu :
1) Pemeriksaan dengan acara biasa
2) Pemeriksaan dengan acara cepat (Rozali Abdullah, 2001: 48)
Pemeriksaan Dengan Acara Biasa, Pengadilan memeriksa dan
memutus sengketa Tata Usaha Negara dengan satu majelis yang terdiri
dari tiga (3) orang hakim dan salah seorang di antaranya ditunjuk sebagai
hakim ketua sidang. Sesuai dengan Pasal 70 UU PTUN Hakim Ketua
sidang membuka sidang dan menyatakan terbuka untuk umum. Dalam
hal tidak ada alasan yang dapat digunakan untuk menyatakan sidang
tertutup untuk umum dan pada waktu pembukaan sidang Hakim Ketua
Sidang tidak menyatakan sidang terbuka untuk umum maka putusan
42
yang diambil dalam persidangan dapat dinyatakan batal demi hukum.
Dalam hal tergugat atau kuasa hukumnya berturut-turut dua (2)
kali sidang tidak hadir walaupun telah dipanggil secara patut atau tidak
menanggapi gugatan tanpa alasan dapat dipertanggungjawabkan maka
Hakim Ketua Sidang dengan surat penetapan meminta atasan tergugat
memerintahkan tergugat untuk hadir dan menggapai gugatan. Setelah
lewat waktu dua (2) bulan sejak dikirimkannya penetapan tersebut
ternyata tidak ada berita, maka Hakim Ketua Sidang menetapkan hari
sidang berikutnya dan pemeriksaan sengketa segera dilanjutkan tanpa
kehadiran tergugat (in absentia).
Dalam hal kepentingan penggugat yang cukup mendesak,
penggugat dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan supaya
pemeriksaan sengketa dipercepat, baik proses pemeriksaannya maupun
proses pemutusannya. Kepentingan yang mendesak ini disimpulkan dari
alasan-alasan pengajuan gugatan yang dikemukakan dalam
permohonannya.
Jika permintaan pemeriksaan dengan acara cepat dikabulkan
maka pemeriksaan sengketa dilakukan dengan hakim tunggal. Ketua
Pengadilan dalam jangka waktu Tujuh (7) hari setelah dikeluarkannya
penetapan yang mengabulkan permohonan penggugat untuk diadakan
pemeriksaan dengan acara cepat, menentukan hari, tanggal, waktu dan
tempat sidang tanpa melalui prosedur pemeriksaan persiapan
sebagaimana yang dilakukan dalam pemeriksaan sengketa secara biasa.
Tenggang waktu untuk jawaban dan pembuktian bagi ke dua belah pihak,
masing-masing tidak melebihi 14 hari (Pasal 99 UU PTUN).
c. Pemeriksaan di Tingkat Banding
Berdasarkan Pasal 122 UU PTUN terhadap putusan Pengadilan
Tata Usaha Negara dapat dimintakan pemeriksaan banding oleh
penggugat atau tergugat kepada Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
Pasal 123 UU PTUN menyebutkan permohonan pemeriksaan
banding diajukan secara tertulis oleh pemohon atau kuasa hukumnya
43
yang khusus dikuasakan untuk itu kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang menjatuhkan putusan tersebut dalam tenggang waktu empat belas
hari setelah putusan pengadilan diberitahukan kepada yang bersangkutan
secara sah.
Rozali Abdullah (2001: 58) menjelaskan bahwa Putusan
pengadilan Tata Usaha Negara yang bukan putusan akhir atau putusan
sela hanya dapat dimohonkan pemeriksaan banding bersama-sama
putusan akhir.
Selambat-lambatnya 30 hari sesudah permohonan banding
dicatat, panitera memberitahukan kepada ke dua belah pihak bahwa
mereka dapat melihat berkas perkara di kantor Pengadilan Tata Usaha
Negara yang bersangkutan dengan sengketa harus dikirimkan ke
Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang di dalam daerah hukumnya
berada Pengadilan Tata Usaha Negara yang bersangkutan selambat-
lambatnya 60 hari sesudah pernyataan permohonan pemeriksaan
banding.
Pemeriksaan di tingkat banding ini dilakukan oleh suatu majelis
sekurang-kurangnya tiga (3) orang hakim. Setelah pemeriksaan di tingkat
bandings selesai dan telah diputus oleh Pengadilan Tinggi Tata Usaha
Negara yang bersangkutan, dalam jangka waktu 30 hari mengirimkan
salinan putusan Pengadilan Tinggi tersebut bersama surat-surat
pemeriksaan dan surat-surat lain kepada Pengadilan Tata Usaha Negara
yang memutus dan memeriksa perkara pada tingkat pertama dan
selanjutnya meneruskan pada pihak-pihak yang berkepentingan (Pasal
127 UU PTUN).
d. Pemeriksaan di Tingkat Kasasi dan Peninjauan Kembali
1) Pemeriksaan di Tingkat Kasasi
Alasan-alasan yang dapat digunakan dalam permohonan
kasasi yaitu ;
44
a) Pengadilan yang bersangkutan tidak berwenang atau telah
melampaui batas kewenangan dalam memeriksa dan memutus
sengketa yang bersangkutan.
b) Pengadilan telah salah dalam menerapkan hukum atau telah
melanngar hukum yang berlaku.
c) Pengadilan lalai memenuhi syarat-syarat yang diwajibkan oleh
peraturan perundang-undangan yang mengancam kelalaian itu
dengan putusan yang bersangkutan (Rozali Abdullah, 2001: 61)
Permohonan kasasi disampaikan secara tertulis atau lisan
melalui Panitera pengadilan Tata Usaha Negara yang telah memutus
sengketanya pada tingkat pertama, dalam tenggang waktu 14 hari
setelah putusan atau penetapan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara
yang dimaksudkan diberitahukan kepada pemohon. Apabila tenggang
waktu 14 hari telah lampau, tanpa ada permohonan kasasi yang
diajukan oleh pihak-pihak yang bersengketa maka pihak yang
bersengketa dianggap telah menerima putusan tersebut.
Dalam permohonan kasasi, pemohon wajib menyertakan
memori kasasi yang memuat alasan-alasannya dalam tenggang 14 hari
setelah permohonan tersebut dicatat dalam buku daftar. Selanjutnya
panitera memberikan tanda terima atas penerimaan memori kasasi dan
menyampaikan salinan memori kasasi tersebut kepada pihak lawan
selambat-lambatnya 30 hari. Sebaliknya pihak lawan berhak untuk
mengajukan jawaban terhadap memori kasasi kepada panitera paling
lambat 14 hari sejak diterimanya salinan memori kasasi tersebut.
Setelah menerima memori kasasi dan jawabannya, panitera yang
bersangkutan mengirimkannya ke Mahkamah Agung dalam waktu
selambat-lambatnya 30 hari.
Pemeriksaan di tingkat kasasi dilakukan berdasarkan surat-
surat, hanya jika dipandang perlu Mahkamah Agung dapat mendengar
sendiri para pihak atau para saksi atau memerintahkan Pengadilan Tata
45
Usaha Negara atau Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang
memutus sengketa tersebut untuk mendengar kembali para pihak atau
para saksi.
Salinan putusan Mahkamah agung terhadap sengketa yang
dimohonkan kasasi tersebut dikirimkan kepada Ketua Pengadilan yang
memeriksa dan memutus sengketa tersebut pada tingkat pertama.
Salinan putusan tadi, oleh Pengadilan Tingkat Pertama diberitahukan
kepada para pihak yang bersengketa selambat-lambatnya 30 hari
setelah berkas sengketa diterima kembali oleh Pengadilan tingkat
pertama.
2) Peninjauan Kembali
Permohonan Peninjauan kembali dapat diajukan dengan
alasan - alasan :
a) Apabila putusan didasarkan pada suatu kebohongan atau tipu
muslihat.
b) Apabila seelah perkara diputus ditemukan surat-surat bukti yang
bersifat menentukan yang pada waktu perkara diperiksa tidak
ditemukan.
c) Apabila telah dikabulkan suatu hal yang tidak dituntut atau lebih
dari yang dituntut.
d) Apabila mengenai sesuatu bagian dari tuntutan belum diputus
tanpa dipertimbangkan sebab-sebabnya.
e) Apabila antara para pihak mengenai suatu hal yang sama, atas
dasar yang sama oleh pengadilan yang sama atau sama
tingkatannya telah diberikan putusan yang bertentangan satu
sama lain.
f) Apabila dalam suatu putusan terdapat suatu kekhilafan hakim
atau suatu kekeliruan yang nyata. (Rozali Abdullah, 2001: 65)
46
4. Keikutsertaan Pihak Ketiga (Intervensi)
Masuknya pihak ketiga dalam sengketa yang sedang berlangsung
diatur dalam Pasal 83 UU PTUN. Rozali Abdullah (2001: 54) menjelaskan
bahwa dalam proses pemeriksaan sengketa TUN dimungkinkan adanya pihak
ketiga, yaitu seseorang atau badan hukum perdata untuk ikut serta atau
diikutsertakan dalam proses pemeriksaan sutu sengketa berjalan. Sementara
itu, R. Wiyono (2005: 64) juga menjelaskan bahwa keikutsertaan pihak ketiga
dalam sengketa TUN disebut intervensi.
Menurut Rozali Abdullah (2001: 55), secara umum, keikutsertaan
pihak ketiga dalam proses berperkara di pengadilan dimungkinkan dalam
beberapa bentuk, yaitu:
a. Tussenkomst
Tussenkomst, yaitu pihak ketiga dengan kemauan sendiri dapat
mengajukan permohonan kepada pengadilan untuk serta dalam proses
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, guna mempertahankan atau
memebela hak dan kepentingannya sendiri, agar ia jangan sampai
dirugikan oleh putusan pengadilan. Kalau permohonan itu dikabulkan,
pihak ketiga tersebut berkedudukan sebagai pihak yang mandiri dalam
proses pemeriksaan sengketa tersebut dan disebut intervenient.
Tussenkomst ini juga biasa dipakai sebagai istilah mengenai masuknya
pihak ke tiga pada hukum acara perdata. Tussenkomst pada hukum acara
peradilan tata usaha negara dapat dicontohkan dengan: adanya keputusan
tata usaha Negara untuk penggusuran suatu lahan yang diatasnya
didirikan perumahan rakyat, ada sebuah rumah yang akan digusur, rumah
tersebut oleh pemilik rumah dikontrakkan ke pihak lain, pada proses
persidangan di pengadilan maka si pemilik rumah dapat ikut serta masuk
ke proses persidangan dengan ninisiatifnay sendiri karena jika ia tidak
ikut serta kemungkinan ia akan dirugikan haknya.
b. Voeging
Voeging, adalah ikut sertanya pihak ketiga dalam proses pemeriksaan tata
usaha negara yang sedang berjalan atas permintaan salah satu pihak yang
47
bersengketa yaitu penggugat atau tergugat. Permohonan diajukan oleh
pihak yang berkepentingan kepada pengadilan agar pihak ketiga tersebut
yang dimaksud dapat diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara
yang sedang berjalan untuk bergabung dengan pihak pemohon guna
memperkuat posisi hukum pihak yang memohon. Voeging merupakan
salah satu istilah untuk ikut sertanya pihak ketiga dalam proses
persidangan acara perdata. Voeging dapat dicontohkan dengan : surat
keputusan tata usaha negara berkaitan dengan mutasi pejabat, misalnya
seorang X dimutasi ke jabatan yang ada dibawahnya padahal menurut
golongan dan pangkat seharusnya X tidak menempati jabatan yang ada
dibawahnya, maka X dapat menarik pihak ke tiga (pejabat yang ada
diatasnaya) untuk memperkuat posisinya.
c. Intervensi khusus
Intervensi khusus yaitu masuknya pihak ketiga dalam proses
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan adalah prakarsa hakim yang
memeriksa sengketa tersebut, disini pihak ketiga ditarik kedalam proses
pemeriksaan perkara yang sedang berjalan, bergabung sebagai tergugat
II. Sifat khusus ini karena ikut sertanya pihak ketiga yang sedang
berjalan tersebut adalah atas perintah hakim guna mempermudah
penyelesaian sengketa. Intervensi khusus dapat dicontohkan dengan
hakim menarik pihak ke tiga untuk masuk ke proses sengketa dan pihak
ke tiga tersebut ditarik karena punya kepentingan yang parallel terhadap
tergugat.
Secara yuridis, masuknya pihak ketiga dalam penyelesaian sengketa
TUN diatur dalam Pasal 83 ayat (1) yang menyebutkan “selama pemeriksaan
berlangsung, setiap orang yang berkepentingan dalam sengketa pihak lain
yang sedang diperiksa oleh pengadilan, baik atas prakarsa sendiri dengan
mengajukan permohonan, maupun atas prakarsa hakim, dapat masuk dalam
sengketa Tata Usaha Negara, dan bertindak sebagai pihak yang membela
haknya atau bertindak sebagai peserta yang bergabung dengan salah satu
48
pihak yang bersengketa”. Sementara itu dalam ayat (2) disebutkan bahwa
“permohonan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dapat dikabulkan atau
ditolak oleh Pengadilan dengan putusan yang dicantumkan dalam berita acara
sidang”. Selanjutnya dalam ayat (3) menyebutkan “permohonan banding
terhadap putusan pengadilan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) tidak
dapat diajukan tersendiri, tetapi harus bersama-sama dengan permohonan
banding terhadap putusan akhir dalam pokok sengketa”.
Dalam penjelasan Pasal 83 ayat (1) dan ayat (2) disebutkan bahwa
pasal ini mengatur kemungkinan bagi seseorang atau badan hukum perdata
yang berada diluar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau
diikutsertakan dalam proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan.
Masuknya pihak ketiga tersebut dalam hal sebagai berikut:
a. Pihak ketiga itu dengan kemauan sendiri ingin mempertahankan atau
membela hak dan kepentingannya agar ia jangan sampai dirugikan oleh
putusan Pengadilan dalam sengketa yang sedang berjalan. Untuk itu
pemohon harus mengajukan permohonan dengan mengemukakan alasan
serta hal yang dituntutnya. Putusan sela Pengadilan atas permohonan
tersebut dimasukkan dalam berita acara sidang. Apabila permohonan
tersebut dikabulkan, pemohon di pihak ketiga akan berkedudukan sebagai
pihak yang mandiri dalam proses perkara itu dan disebut sebagai
penggugat intervensi. Apabila permohonan tidak dikabulkan, maka
terhadap putusan sela Pengadilan itu tidak dapat dimohonkan banding.
b. Adakalanya masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang
berjalan karena permintaan salah satu pihak penggugat atau tergugat.
Disini pihak yang memohon agar pihak ketiga itu diikutsertakan dalam
proses perkara bermaksud agar pihak ketiga selama proses tersebut
bergabung dengan dirinya untuk memperkuat posisi hukum dalam
sengketanya.
c. Masuknya pihak ketiga dalam proses perkara yang sedang berlangsung
dapat terjadi atas prakarsa hakim yang memeriksa perkara itu.
Terkait keikutsertaan pihak ketiga dalam proses sengketa TUN,
49
Wiyono (2005: 67) mengatakan bahwa mengenai prakarsa pihak ketiga dalam
proses penyelesaian sengketa TUN yang sedang berjalan dari ketentuan yang
terdapat dalam Pasal 83 ayat (1) dapat diketahui bahwa pihak ketiga tersebut
bertindak :
a. Atas prakarsa sendiri; atau
b. Atas prakarsa hakim
B. Kerangka Berpikir
Gambar 2. Skema Kerangka Berpikir
Sengketa Tata Usaha Negara timbul karena ada peraturan tertulis
pejabat atau Badan Tata Usaha Negara yang berwenang untuk itu akan
tetapi peraturan tersebut bertentangan dengan asas-asas umum
pemerintahan yang baik. Apabila terjadi Sengketa Tata Usaha Negara
maka yang berwenang untuk mengadili adalah Pengadilan Tata Usaha
Negara karena Pengadilan Tata Usaha Negara hanya berwenang mengadili
dan menilai secara hukum hanya terbatas pada keputusan yang
dikeluarkan oleh Pejabat maupun Badan Tata Usaha Negara.
Pengadilan Tata usaha Negara berkewajiban mengadili Sengketa
Tata Usaha Negara sesuai dengan kompetensi absolut dan kompetensi
Sengketa Tata Usaha
Negara
Pengadilan Tata Usaha
Negara
Majelis Hakim
Putusan
Dasar Pertimbangan
Hakim
Intervensi
50
relatif Pengadilan Tata Usaha Negara. Proses pemeriksaan perkara Tata
Usaha Negara berbeda dengan pemeriksaan perkara pada umumnya,
perbedaan ini misalnya saja terletak pada tahap pemeriksaan persiapan
yang dilakukan oleh Hakim.
Pada proses persidangan Sengketa Tata Usaha Negara di
Pengadilan Tata Usaha Negara, dimungkinkan masuknya pihak ketiga
(intervensi). Masuknya pihak ketiga tersebut dapat terjadi atas prakarsa
para pihak atau atas prakarsa Hakim. Masuknya pihak ketiga dalam proses
persidangan di Pengadilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu hal
yang digunakan Majelis hakim untuk menetukan putusan.
51
BAB III. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Paparan perkara intervensi dalam penyelesaian Sengketa Tata Usaha
Negara di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta (Studi Kasus Putusan
No.03/G/TUN/2007/PTUN.Yk)
Kasus Posisi
Pengajuan gugatan oleh para penggugat tertanggal 26 Februari 2007 yang
diterima dan didaftarkan di Kepaniteraan Pengadilan Tata Usaha Negara
Yogyakarta pada tanggal 26 Februari 2007 dengan Register Perkara Nomor.
03/G/TUN/2007/PTUN-Yk dan telah dilakukan pemeriksaan persiapan tertanggal
21 Maret 2007 menggugat Bupati sebagai tergugat dengan mengemukakan dasar
dan alasan-alasan pengajuan gugatan.
Para penggugat menerima pemberitahuan dan foto copy atas Keputusan
Tergugat berupa Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor : 410/kep. KDH/A/2006
Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum (Areal Pekuburan Ngentak
Sapen) Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok.
Adapun salah satu alasan pengajuan gugatan oleh para penggugat karena
para penggugat memiliki pewaris dan atau leluhur yang dimakamkan di areal
pemakaman tersebut. Sementara tanah areal pekuburan tersebut adalah tanah
milik kas desa, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman.
Tanah tersebut berada di dalam lokasi pengembangan kampus UIN Yogyakarta
yang keseluruhan lokasinya itu dalam rangka kegiatan pengembangan kampus
UIN telah menjadi obyek Studi AMDAL (Analisis Mengenai Dampak
Lingkungan).
Pihak UIN sendiri telah melakukan konsultasi publik kepada masyarakat
sekitar kampus UIN yang mana menjanjikan bahwa pengembangan kampus
tersebut tidak akan mengubah peruntukan, menutup, menggusur maupun
memindahkan areal kompleks pekuburan tersebut. Studi AMDAL sendiri
sebagaimana yang telah termaktub dalam dokumen AMDAL yang bersangkutan
sama sekali tidak menyatakan dan tidak pula merekomendasikan bahwa areal
40
52
pekuburan Ngentak, Sapen tersebut tidak layak lagi digunakan sebagai tempat
untuk penguburan jenazah dan dalam studi AMDAL tersebut sama sekali tidak
memuat adanya rencana kegiatan pemrakarsa untuk melakukan perubahan
peruntukan areal pekuburan Sapen tersebut.
Berkaitan dengan studi AMDAL tersebut telah terbit Surat Keputusan
Bupati Sleman Nomor : 200/Kep. KDH/A/2005 tanggal 5 Desember 2005
Tentang KELAYAKAN LINGKUNGAN RENCANA KEGIATAN
PENGEMBANGAN UIN DI JALAN MARSDA ADISUTJIPTO, DESA CATUR
TUNGGAL, KECAMATAN DEPOK; KABUPATEN SLEMAN (Selanjutnya
disebut SK KELAYAKAN LINGKUNGAN) yang berdasarkan SK Kelayakan
Lingkunan itulah UIN Yogyakarta secara hukum diperbolehkan untuk
melanjutkan pengembangan fisik kampusnya.
Kenyataanya, yang semasa penyusunan studi AMDAL berjanji kepada
masyarakat sekitar kampusnya bahwa tidak akan menggusur atau memindahkan
areal pekuburan Ngentak Sapen, ternyata telah melanggar janjinya sebagaimana
pelanggaran janjinya itu termaktub pada Surat Keputusan Rektor UIN Nomor :
UIN/2/R/KS.1.01/0925/2006 tanggal 13 April 2006 yang pada pokok intinya
memohon kepada Pejabat Tata Usaha Negara untuk melakukan penutupan
terhadap areal pekuburan Ngentak Sapen.
Identitas Para Pihak dan Kedudukan Para Pihak
a. Identitas penggugat
1) Cokrosumarto
2) Gatot Berkah Hendardji
3) Sastro Mulyono
4) Setyo Purwantoro
5) Agus Hendrajdat
6) Lilik Sugiarto
7) Mardi Suamarto
8) Surasa Surya Sudarmo
9) Doemadi Harjdosaswojo
53
10) Ginah Djojowiharjo
11) Icuk Suciati
12) Mardiyahti
13) Srio Mardiyah
14) Sri Endri astute
15) Sukasno, Hu
16) Soerojo sastro diharjo
17) Imam santosa
18) Sulistyo
19) Sugiarto
20) Nuryono
21) Baryanto
22) Yohanes Bero
23) Kistilah
24) Suhendro
25) Slamet fajar Wijiana
26) Sarwidji
27) Slamet santosa
28) Hendro agus Riyanto
29) Subariyo
30) Kesowo
31) Nur setiyana
32) Sudiyanto
33) Mursito
34) Supardjiono
35) Endro handoko
36) Djajusman
37) Sri Murtini
38) Sri Rahayu ningsih
39) Astarti
40) Saminah
54
41) Sudirahayu
42) Sariyem
43) Yustina Djumairah
44) Sumilah
45) Pariyem
46) Warjilah
47) Gunadi
48) Ginem
49) Djujuk julianto
50) Dahat Pangprito
51) Berliana dewi
52) Prapti handayani
53) Flotrentika ika
54) Kusminem
55) Sri mungkasi
56) Wagiyem
57) Moelyono purwosusilo
58) Sri Kartini
59) Poniyem
60) Kusmi Sri Harini
61) Nuryadi
62) Budi Riyanto
63) Sutardjo Ciptosutarjo
64) Jumadi
65) Agus suparno
66) Triyono
67) Sudjali
68) Suminah
Para penggugat tersebut telah memberikan kuasanya kepada :
1) Garda Utama Siswadi (advokat)
55
2) Widhi Nugraha (advokat)
3) Zahru Arqom (Advokat)
Dengan ditunjuknya ke tiga orang tersebut, maka secara hukum ketiga
orang tersebut telah sah sebagai kuasa hukum dari para penggugat dan berhak
mewakili para penggugat dalam pengadilan.
b. Identitas Tergugat
Nama Jabatan : Bupati Sleman
Tempat kedudukan : Jalan Pasaramnya, Beran, Sleman
Tergugat telah memberikan kuasanya untuk mewakili dirinya kepada ;
1) Jazim samirat, SH (Jabatan : Kepala Bagian Hukum Setda Kabupaten
Sleman)
2) Edi Dharmana, SH, M.Hum (jabatan : Kepala subbagian Bnatuan Hukum
Setda Kabupaten Sleman)
3) C. Wibisono Tanggono, SH (Jabatan Staf Subbagian Bantuan Hukum
Setda Kabupaten Sleman)
4) Aris Juni Kurniawan, SH (Jabatan : Staf Subbagian Hukum Seta
Kabupaten Sleman)
Kesemua pihak tersebut adalah kuasa pihak tergugat. Selain pihak
tergugat tersebut terdapat pula Tergugat II intervensi yaitu dalam hal ini
adalah pihak UIN, karena lokasi pekuburan yang disengketakan telah
digunakan untuk pengembangan kampus UIN.
Adapun yang disebut sebagai pihak Tergugat II Intervensi adalah
sebagai berikut :
1) Prof. Dr. H. Siswanto Masruri, MA jabatan Pembantu Rektor Bidang
Kerjasama UIN Sunan kalijaga, Yogyakarta
2) H. Oom Komarudin Maskar, SH, Msi jabatan Kepala Bagian Tata Usaha
fak. Usluhuddin UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta
3) Drs. Zainal Abidin, M.Pd Jabatan Ketua LPM UIN Sunan Kalijaga
Yogyakarta
56
Alasan Mengajukan Gugatan :
Keputusan Tergugat berupa Surat Keputusan Bupati Sleman Nomor :
410/kep. KDH/A/2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum
(Areal Pekuburan Ngentak Sapen) Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur
Tunggal, Kecamatan Depok. Warga padukuhan Ngentak, Desa sapen, desa
catur Tunggal, Kecamatan Depok menganggap bahwa Keputusan Tergugat
tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
dan bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik.
a. Bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku
Areal pekuburan Ngentak Sapen adalah tanah milik kas desa
Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman yang tertuang
pada Surat Keputusan Gubernur Provinsi Yogyakarta Nomor : 82 Tahun
2003 tertanggal 30 Juni 2003 yang disebut SK Gubernur DIY.
Keputusan tergugat yang “menutup tempat pekuburan umum
pedukuhan Ngentak sapen, Desa Catur Tunggal kecamatan Depok”. Jelas
sekali bahwa keputusan tergugat sama sekali tidak mencantumkan
adanya izin dari Gubernur provinsi DIY atas pengubahan peruntukkan
tanah kas desa tersebut.
Dengan demikian keputusan tergugat tersebut bertentangan
dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, yaitu bertentangan
dengan Surat Keputusan Gubernur Provinsi daerah Istimewa Yogyakarta
Nomor 82 Tahun 2003.
Areal pekuburan Sapen merupakan bagian yang integral dari
lingkungan hidup tempat pelaksanaan kegiatan pengembangan kampus
UIN Yogyakarta. Atas hal tersebut telah terbit Sk yang intinya “apabila
dilakukan perluasan, pemindahan dan atau perubahan rencana kegiatan
sehingga dokumen AMDAL, RKL, dan RPL tidak sesuai lagi untuk
dijadikan acuan pengelolaan lingkungan hidup kegiatan tersebut, maka
wajib dilakukan Studi Analisis Mengenai Dampak Lingkungan Hidup
(AMDAL) yang baru”.
57
Keputusan tergugat yang menutup areal pekuburan Ngentak,
Sapen tanpa didahului dengan analisis “Studi Analisis Mnegenai Dampak
Lingkungan Hidup (AMDAL) yang baru” dan nyata-nyata bertentangan
dengan Peraturan perundang-undangan yang berlaku.
b. Bertentangan dengan asas-asas umum pemerintahan yang baik
1) Bertentangan dengan asas tertib penyelengaaraan Negara
Dalam hierarki piramida perundang-undangan di Indonesia,
urusan tempat pemakaman umum di Republik Indonesia diatur
dalam Peraturan Pemerintah No.9 Tahun 1987 Tentang Penyediaan
dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Pemakaman Maupun Oleh
Keputusdan Menteri Dalam Negeri No. 26 Tahun 1989 Tentang
Penyediaan Dan Penggunaan Tanah Untuk Keperluan Tempat
Pemakaman. Kedua peraturan tersebut jelas mengatur bahwa Tempat
Pemakaman Umum (TPU) wajib didasarkan kepada Peraturan
Daerah.
Keputusan tergugat tersebut telah secara nyata melanggar
tindakan pengelolaan TPU, antara lain karena keputusan tergugat
yang menutup areal pekuburan Ngentak dan memindahkan areal
pekuburan tersebut ke tempat lain berarti tindakan tersebut tidak
didasarkan pada Peraturan Daerah, karena Kabupaten Sleman
memiliki perauran khusus yang mengatur mengenai tempat
pekuburan umum.
Selain itu dalam Peraturan Pemerintah no. 9 Tahun 1987 dan
KEPMENDAGRI no.26 Tahun 1989 telah dijelaskan bahwa
penutupan areal pekuburan hanya dapat dilakukan dengan seijin dan
persetujuan dari DPRD, padahal faktanya adalah penutupan lokasi
pekuburan tersebut tanpa didahului dengan persetujuan dari DPRD.
2) Bertentangan dengan asas profesionalitas
Keputusan tergugat yang didasarkan pada apa yang oleh
konsiderannya disebut sebagai Peraturan Pemerintah Nomor 9
Tahun 1997, namun faktanya adalah peraturan pemerintah tersebut
58
telah gagal dalam parameter legal, parameter profesionalitas
penyelenggaran Negara termasuk di dalamnya adalah kepentingan
publik, maupun dalam parameter logis ataupun selebihnya sama
sekali tidak memiliki keterkaitan apapun dengan urusan tempat
pemakaman umum tersebut, sehingga keputusan tersebut telah
melanggar asas profesionalitas.
A. Intervensi Pihak Ke Tiga Dalam Penyelesaian Sengketa Tata Usaha
Negara dan Akibat Hukumnya
Pembahasan ini diperoleh dari hasil wawancara dengan Bapak Kusman
dan Ibu Ratna Harmani selaku Hakim Pengadilan Tata usaha Negara Yogyakarta
yang mengadili, memeriksa dan memutus perkara tersebut pada Hari Kamis, 12
November 2009 bertempat di Pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta, dan dari
mempelajari berkas perkara putusan nomor 03/G/TUN/2007/PTUN/Yk.
Gugatan yang dilayangkan Warga Padukuhan Ngentak, Desa Catur
Tunggal, Kecamatan Depok kepada pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta
yang menggugat Bupati Sleman atas Keputusan Tergugat berupa Surat
Keputusan Bupati Sleman Nomor : 410/kep. KDH/A/2006 Tentang Penutupan
Tempat Pemakaman Umum (Areal Pekuburan Ngentak Sapen) Padukuhan
Ngentak Sapen, Desa Catur Tunggal, Kecamatan Depok disertai dengan
masuknya pihak ke tiga kedalam perkara. Masuknya pihak ketiga dalam perkara
ini disebut dengan tergugat II intervensi.
Tergugat II intervensi dalam hal ini Rektor Universitas Islam Negeri
(UIN) Sunan Kalijaga, di dalam persidangan tidak memberikan tanggapan secara
langsung, baik tertulis maupun lisan atas gugatan para Penggugat, namun
Tergugat II intervensi hanya menyampaikan surat-surat bukti yang berkaitan
dengan pokok perkara, sebagaimana telah diuraikan tentang duduknya perkara
tentang Penutupan Tempat pemakaman Umum Padukuhan Ngentak Sapen, Desa
Catur Tunggal, Kecamatan Depok Sleman, dan berdasarkan putusan sela Majelis
Hakim Nomor: 03/G.TUN/2007/PTUN-YK tanggal 19 April 2007, tentang
masuknya pihak ke tiga Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga
59
dalam sengketa a quo dengan kedudukannya sebagai Tergugat II Intervensi.
Penetapan Rektor Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga sebagai
Tergugat II intervensi dalam sengketa tersebut karena tergugat II Intervensi dalam
sengketa tersebut mempunyai kepentingan yang pararel dengan kepentingan
tergugat, hal-hal yang berkaitan dengan tergugat telah dipertimbangkan oleh
Majelis Hakim dalam pertimbangan hukumnya maka haruslah diartikan juga
sebagai Tergugat II Intervensi (wawancara dengan Bapak Kusman selaku Hakim
pada Hari Kamis, 12 November 2009)
Hal senada juga dikemukakan oleh Ratna Harmani yang menyatakan
bahwa dalam kasus ini (kasus gugatan atas surat keputusan yang dikeluarkan oleh
Bupati Sleman No.410/Kep.KDH/A/2006 tanggal 17 November 2006 Tentang
Penutupan Tempat Pemakaman umum Padukuhan Ngentak Sapen, Desa Catur
Tunggal, Kecamatan Depok Sleman) terdapat tergugat II intervensi yang
kedudukannya sejajar dan menjadi pihak ke tiga. (wawancara dengan Ibu Ratna
Harmani selaku Hakim pada Hari kamis, 12 November 2009)
Hal itu sesuai dengan ketentuan Pasal 83 UU PTUN yang menjelaskan
bahwa dapat dimungkinkan bagi seorang atau badan hukum perdata yang berada
di luar pihak yang sedang berperkara untuk ikut serta atau diikutsertakan dalam
proses pemeriksaan perkara yang sedang berjalan. Dalam kasus ini, pihak
Universitas Islam Indonesia (UIN) Yogyakarta adalah merupakan pihak ke tiga
yang masuk dalam proses sengketa yang sedang berjalan karena prakarsa hakim
atau ditarik oleh hakim dan atas inisiatif hakim, karena apabila pihak Universitas
Islam Indonesia (UIN) Yogyakarta tidak ditarik pada perkara tersebut untuk
mempertahankan haknya hal tersebut akan merugikan kepentingannya.
Dengan adanya pihak ke tiga yang melakukan intervensi pada proses
penyelesaian sengketa, menimbulkan akibat hukum yaitu putusan pengadilan Tata
Usaha Negara Yogyakarta yang dalam amar putusannya mengabulkan eksepsi
tergugat dan menyatakan gugatan para penggugat tidak dapat diterima (Niet
Onvanklijverklaard) dan menghukum Penggugat untuk membayar seluruh biaya
yang timbul dalam perkara sejumlah Rp. 1.625.000,00 untuk itu bagaimanapun
pihak ke tiga dalam hal ini UIN harus dilibatkan karena jika tidak dilibatkan,
60
maka akan dirugikan. Hal ini sesuai dengan Pasal 118 UU PTUN yang pada
intinya adalah keberadaan pihak ke tiga harus di ikut sertakan selama waktu
pemeriksaan sengketa dan ia khawatir kepentingannya akan dirugikan dengan
dilaksanakannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap itu dapat
mengajukan gugatan perlawanan terhadap pelaksanaan putusan pengadilan
tersebut kepada pengadilan yang mengadili sengketa pada tingkat pertama.
Masuknya pihak ke tiga tersebut hanya dapat diajukan sebelum putusan
Pengadilan memperoleh kekuatan hukum tetap. Perlawanan pihak ke tiga tersebut
dilaksanakan dengan memuat alasan-alasan tentang permohonannya. Dengan
adanya perlawanan tersebut tidak mengakibatkan ditundanya pelaksaan putusan
pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
Berdasarkan SEMA Nomor : 222/Td.TUN/X/1994 ditentukan bahwa
permohonan Intervensi selambat-lambatnya sebelum pemeriksaan saksi-saksi,
adanya ketentuan tersebut adalah untuk menghindari pemeriksaan persiapan yang
diulang kembali.
Dalam praktek ada pendapat bahwa kalau mengurangi maksud Pasal 83
UU PTUN, maka sebaiknya ketentuan SEMA Nomor : 222/Td.TUN/X/1994
patut dicermati kembali. Kemungkinan pihak ke tiga tipis sekali mengetahui
kepentingannya sampai dengan pemeriksaan persiapan yang tertutup, kecuali
Pejabat Tata Usaha Negara memberitahukan kepada pihak ke tiga bahwa
kepentingan pihak ke tiga kurang dilindungi.
Begitu juga pada ketentuan kapan Hakim dapat menetapkan Putusan Sela.
Apakah perlu diberikan tanggapan oleh pihak-pihak atas permohonan yang
diajukan oleh pihak ke tiga atau pihak Penggugat atau Tergugat sendiri,
sehubungan dengan hal tersebut, MA RI telah memberikan pedomannya dalam
Surat MA RI Nomor : 224/Td.TUN/X/1993 tanggal 14 Oktober 1993 pada angka
4, sebaiknya sebelum Hakim mengeluarkan penetapan dalam putusan selanya
yang bermaksud untuk menarik pihak ke tiga, atas inisiatif Hakim yang
bersangkutan dipanggil lebih dahulu dan diberikan penjelasan-penjelasan apakah
ia bersedia masuk dalam perkara yang sedang diperiksa. Pihak ke tiga yang
bukan badan atau Pejabat TUN yang bergabung dengan pihak Tergugat asal
61
seyogyanya berkedudukan sebagai saksi yang membantu Tergugat, karena ia
mempunyai kepentingan yang paralel dengan Tergugat asal dan ia tidak dapat
berkedudukan sebagai pihak tergugat.
Pihak ketiga yang membela haknya sendiri harus mengajukan gugatan
intervensi dan berkedudukan sebagai penggugat intervensi. Sebelum Majelis
menolak atau mengabulkan permohonan gugatan intervensi sebaiknya didengar
juga tanggapan Penggugat dan Tergugat asal apakah benar pihak ke-III yang
mengajukan permohonan intervensi tersebut mempunyai kepentingan
Ditolak atau dikabulkan permohonan intervensi tersebut harus dituangkan dalam
putusan sela yang dicantumkan dalam berita acara sidang seperti ketentuan Pasal
83 ayat (2) Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Undang-
undang Nomor 5 tahun 1986 Tentang Peradilan tata usaha Negara.
B. Dasar Pertimbangan Hakim Dalam Memeriksa dan Memutus Sengketa
Tata Usaha Negara Dalam Hal Adanya Intervensi Terhadap Putusan
Nomor : 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk
Terhadap tuntutan para penggugat kepada tergugat atas pokok
permasalahan yang berupa penutupan areal pekuburan tersebut adalah terkait
dalam hal penundaan pelaksanaan dan dalam hal pokok perkara. Dalam hal
pelaksanaan penundaan, para penggugat memohon pelaksanaan terhadap Surat
keputusan Bupati Sleman No. 410/kep. KDH/A/2007 tertanggal 17 November
2006 Tentang penutupan Tempat Pemakaman Umum Pedukuhan Ngentak Desa
Catur Tunggal, Kecamatan Depok, Kabupaten Sleman tersebut ditunda untuk
sementara waktu dan mewajibkan serta memerintahkan tergugat membuka
kembali pemagaran ataupun akses rakyat terhadap areal pekuburan tersebut
sampai dengan terbitnya putusan Badan Peradilan yang berkekuatan hukum tetap
terhadap gugatan tersebut, yang apabila pembukaan akses tersebut dapat
dilakukan secara paksa dengan menggunakan aparat kepolisian dan/atau aparat
kekuasaan negara yang berwenang untuk itu.
Dalam hal pokok perkara, para penggugat memohon agar majelis hakim
yang memeriksa, mengadili dan memutus perkara tersebut untuk mengabulkan
62
gugatan para penggugat untuk seluruhnya. Selain itu, para penggugat juga
memohon agar Majelis Hakim membatalkan atau menyatakan tidak sahnya untuk
seluruhnya keputusan Bupati Sleman Nomor :. 410/kep. KDH/A/2006 tertanggal
17 November 2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum pedukuhan
Ngentak Sapen Desa Catur Tunggal kecamatan Depok dan memerintahkan
kepada tergugat untuk mencabut Surat Keputusan tersebut dan mewajibkan
tergugat untuk membayar ganti rugi kepada para penggugat sebesar Rp. 250.000,-
(Dua ratus Lima Puluh Ribu Rupiah).
Atas permohonan yang telah dikemukakan oleh penggugat, selanjutnya
pihak tergugat mengajukan jawaban yaitu:
1. Salah satu unsur yang harus dipenuhi oleh Keputusan Tata Usaha Negara yang
dapat digugat yaitu bersifat individual karena keputusan Bupati sleman Nomor
410/Kep.KDH/A/2006 Tentang Penutupan Tempat Pemakaman Umum
Ngentak Sapen, Catur Tunggal, Depok, Sleman ditujukan pada setiap orang
yang berkepentingan untuk memakamkan anggota keluarganya yang
meninggal dunia di Pemakaman Umum Ngentak Sapen dan Keputusan
tersebut tidak menyebutkan nama-nama orang atau badan hukum perdata
tertentu. Selain hal tersebut, keputusan Bupati Sleman Nomor 410/Kep.
KDH/A/2006 tersebut diberlakukan kepada semua orang yang dimakamkan di
pemakaman umum Ngentak Sapen tidak hanya diberlakukan terhadap para
leluhur dari para penggugat. Dengan demikian sifat keputusan Individual pada
keputusan tersebut diatas tidak terpenuhi.
2. Keputusan Bupati Sleman tersebut tidak berakibat secara langsung kepada
para penggugat dan tidak ada kepentingan dari para penggugat yang dirugikan
karena hak atau kesempatan dari mereka (para Penggugat) untuk menziarahi
makam lelulurnya tidak hilang dengan dikeluarkannya keputusan tersebut,
sehingga kepentingan para penggugat dalam hal ini tidak cukup untuk dapat
mengajukan gugatan melalui Pengadilan Tata Usaha Negara.
Adapun dasar pertimbangan Hakim dalam memeriksa, mengadili dan
memutus perkara tersebut antara lain:
63
Salah satu unsur yang harus terpenuhi oleh suatu Keputusan tata Usaha
Negara yang dapat digugat yaitu bersifat individual. Keputusan tergugat tersebut
ditujukan pada setiap orang yang berkepentingan untuk memakamkan
keluarganya yang meninggal di pemakaman tersebut dan keputusan tersebut tidak
menyebutkan nama-nama atau badan hukum perdata tertentu serta surat keputusan
tergugat tersebut diberlakukan bagi semua yang dimakamkan di pemakaman
umum tersebut dan tidak hanya diberlakukan kepada leluhur dari para penggugat,
sehingga sifat individual keputusan tergugat yang menjadi obyek sengketa
tersebut tidak terpenuhi.
Keputusan yang menjadi obyek sengketa tidak berakibat hukum terhadap
para penggugat secara langsung dan tidak ada kepentingan dari para penggugat
yang dirugikan karena hak atau kesempatan dari para penggugat untuk menziarahi
para leluhurnya tidak hilang dengan dikeluarkannya keputusan tersebut, sehingga
kepentingan para penggugat dalam perkara ini tidak cukup untuk mengajukan
gugatan melalui Pengadilan tata Usaha Negara, selain itu alasan-alasan yang
dikemukakan oleh para penggugat sangat tidak jelas (obscuur libel) karena tidak
ada hubungan kausalitas antara posita dengan petitum gugatan.
Pertimbangan-pertimbangan lain mengingat eksepsi Tergugat yang pada
intinya adalah sifat individualistis dari keputusan tergugat telah terpenuhi tatkala
diktum keputusan tergugat itu nyata-nyata berbunyi :
“Pemerintah Desa Catur Tunggal untuk berkoordinasi dengan instansi
teknis dalam keputusan ini menjadi nyata pula bahwa keputusan tergugat adalah
Keputusan Tata Usaha Negara yang didefinisikan pada Pasal 1 Undang-undang
Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah oleh Undang-undang Nomor 9
Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara, dengan demikian Pasal 53
Undang-undang Nomor 5 tahun 1986 sebagaimana telah diubah oleh Undang-
undang Nomor 9 Tahun 2004 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara para
penggugat yang merasa dirugikan atas terbitnya Keputusan tersebut berhak
menggugat di pengadilan Tata Usaha Negara”. Selain hal tersebut, keputusan
tergugat nyata-nyata telah menimbulkan akibat hukum secara langsung kepada
para penggugat karena telah mengakibatkan para penggugat tidak akan lagi dapat
64
memakamkan anggota keluarganya pada areal pekuburan tersebut.
Keputusan tergugat nyata-nyata berkaitan dengan kepentingan para
penggugat karena Keputusan tergugat tersebut telah memutuskan pula untuk
memindahkan makam pewaris para penggugat dari areal pekuburan tersebut dan
denga demikian pengadilan Tata Usaha Negara Yogyakarta memang mempunyai
kewenangan absolut tehadap perkara tersebut.
Sehubungan yang dimaksud dengan sengketa Tata Usaha Negara adalah
Keputusan Tata Usaha Negara (beshikking) sebagaimana dimaksud dalam
ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara yang
menyebutkan “Keputusan Tata Usaha Negara adalah suatu penetapan tertulis yang
dikeluarkan oleh Badan Hukum Tata Usaha Negara yang berisi tindakan hukum
tata usaha Negara berdasarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang
bersifat konkret, individual dan final yang menimbulkan akibat hukum bagi
seseorang atau badan hukum perdata.”
Berdasarkan dari pengertian atau definisi Keputusan Tata Usaha Negara
tersebut dapat diambil unsur-unsur suatu keputusan Tata Usaha Negara yang
secara kumulatif harus terpenuhi untuk dapat disebut sebagai suatu Keputusan
Tata Usaha Negara, unsur-unsur dari Keputusan Tata Usaha Negara tersebut dapat
diuraikan sebagai berikut (S.F Marbun, 2003: 109):
1. Bentuk penetapan tersebut harus tertulis, artinya Keputusan Tata Usaha
Negara tersebut harus dalam bentuk tertulis, dengan demikian suatu tindakan
hukum yang pada dasarnya juga merupakan keputusan Tata Usaha Negara
yang dikeluarkan secara lisan tidak termasuk dalam pengertian Keputusan
Tata Usaha Negara ini; namun demikian bentuk tertulis tidak selalu
disyaratkan dalam bentuk formal suatu surat Keputusan Badan/Pejabat Tata
Usaha Negara, karena seperti yang disebutkan dalam penjelasan Pasal 1 angka
3 Undang-undang Peradilan Tata Usaha Negara bahwa syarat harus dalam
bentuk tertulis itu bukan mengenai syarat-syarat bentuk formalnya akan tetapi
asal terlihat bentuknya tertulis, oleh karena sebuah memo atau nota pun dapat
dikatagorikan dalam suatu penetapan tertulis oleh karena sebuah memo atau
nota pun dapat dikatagorikan suatu Penetapan Tertulis yang dapat digugat
65
(menjadi obyek gugatan) apabila sudah jelas. Badan atau pejabat Tata Usaha
Negara yang mengeluarkannya, maksud serta mengenai hal apa isi putusan itu,
kepada siapa tulisan itu ditujukan dan apa yang ditetapkan didalamnya jelas
bersifat konkrit, individual dan final serta menimbulkan suatu akibat hukum
bagi seorang atau Badan hukum perdata.
2. Dikeluarkan oleh Badan/ Pejabat Tata Usaha yang berwenang, artinya suatu
keputusan Tata Usaha Negara, penetapan tertulis itu juga merupakan salah
satu instrument yuridis pemerintahan yang dikeluarkan oleh Badan atau
Pejabat Tata Usaha Negara dalam rangka pelaksanaan suatu bidang urusan
pemerintahan.
3. Berisi tindakan hukum Tata Usaha Negara, artinya bahwa suatu penetapan
tertulis adalah salah satu bentuk dari Keputusan Badan dan Pejabat Tata
Usaha Negara dan keputusan yang demikian selalu merupakan suatu tindakan
hukum Tata Usaha Negara dan suatu tindakan Hukum Tata Usaha Negara itu
adalah suatu keputusan yang menciptakan atau mnentukan mengikatnya atau
menghapuskanya suatu hubungannya suatu hubungan hukum Tata Usaha
Negara yang telah ada.
4. Berdasarkan Peraturan Perundang-undangan yang berlaku, artinya bahwa kata
“berdasarkan” dalam rumusan tersebut dimaksudkan setiap pelaksanaan
urusan pemerintahan yang dilakukan oleh Badan atau Pejabat TUN harus ada
dasarnya dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku, karena hanya
peraturan perundang-undangan yang berlaku sajalah yang memberikan dasar
keabsahan (dasar legalitas) urusan pemerintahan yang dilaksanakan oleh
badan atau pejabat TUN (pemerintah).
5. Bersifat konkret, artinya Keputusan TUN itu harus bersifat konkret, yaitu
obyek yang diputuskan dalam Keputusan TUN itu tidak abstrak, tetapi
berwujud, tertentu dan dapat ditentukan.
6. Bersifat Individual, artinya Keputusan TUN itu tidak ditujukan untuk umum,
tetapi tertentu dan jelas kepada siapa Keputusan TUN itu diberikan, baik
alamat maupun hal yang dituju, jadi sifat individual itu secara langsung
66
penggugat sehingga para penggugat tidak mempunyai kepentingan dalam
sengketa aquo serta gugatan para penggugat menjadi kabur (obscuur libel).
Majelis Hakim berpendapat bahwa tergugat telah mengakui bahwa surat
keputusan Bupati Sleman No.410/kep.KDH/A/2007 sebagaimana telah diuraikan
telah memenuhi dua unsur yaitu unsur individual dan unsur menimbulkan akibat
hukum bagi seseorang atau badan hukum perdata.
Terhadap ada tidaknya unsur individual, sebagaimana yang
dipertentangkan dalam eksepsi Tergugat, Majelis Hakim berpendapat bahwa
walaupun secara faktual Majelis hakim tidak melihat secara tersurat dalam
keputusan tersebut adanya pihak individu yang dituju dan atau disebutkan secara
langsung oleh surat keputusan tersebut, baik seseorang ataupun badan hukum
perdata untuk para penggugat.
Pihak Penggugat mendalilkan bahwa sifat individualitas Tergugat telah
terpenuhi tatkala diktum keputusan Tergugat itu nyata-nyata berbunyi : “ Ketiga :
Pemerintah Desa Catur tunggal untuk koordinasi dengan instansi teknis dalam
pelaksanaan ini”, artinya para penggugat mendalilkan bahwa sebagaimana diktum
“ketiga” surat keputusan in litis, tersurat bahwa surat keputusan tersebut ditujukan
kepada Pemerintah Desa Catur Tunggal, sehingga terpenuhi unsur individualnya.
Terhadap hal tersebut Majelis Hakim berpendapat bahwa sebagaimana
telah diuraikan yang dimaksud dengan sifat individual adalah Keputusan TUN itu
diberikan, baik alamat maupun hal yang dituju. Oleh karenanya perlu dibuktikan
lebih lanjut apakah benar surat keputusan tersebut ditujukan kepada Pemerintah
Desa Catur Tunggal sebagai suatu individu sebagaimana pengertian dari unsur
individual dimaksud, sehingga berakibat menimbulkan akibat hukum bagi para
penggugat, dan kemudian apabila dihubungkan dengan ketentuan Pasal 53 ayat
(1) Undang-undang Peraturan, apakah benar para Penggugat tidak mempunyai
kepentingan untuk menggugat keputusan tersebut yang juga didalilkan oleh
tergugat dalam eksepsi tersebut.
Dari fakta-fakta yang didapatkan dari proses persidangan maka Majelis
Hakim mengabulkan eksepsi dari tergugat dan menyatakan gugatan yang diajukan
oleh penggugat tidak dapat diterima
67
BAB IV. PENUTUP
A. Simpulan
1. Intervensi yang dapat dilakukan oleh pihak ketiga dalam penyelesaian
sengketa tata usaha negara adalah intervensi oleh pihak ketiga atas kemauan
sendiri, intervensi oleh pihak ketiga atas permintaan salah satu pihak yang
bersengketa yaitu penggugat atau tergugat dan intervensi oleh pihak ketiga
atas prakarsa Hakim yang memeriksa sengketa tersebut, dalam hal ini pihak
ketiga ditarik kedalam proses pemeriksaan perakra yang sedang berjalan.
Dalam putusan Nomor 03/G/TUN/2007/PTUN.Yk, intervensi pihak ke tiga
(Rektor UIN Sunan Kalijaga) yang masuk dalam proses sengketa yang sedang
berjalan adalah karena adanya inisiatif dari hakim. Akibat hukum atas adanya
intervensi ini adalah apabila pemohon intervensi tidak dimasukkan kedalam
proses perkara maka pihak ketiga dapat dirugikan haknya karena apabila
sudah ada putusan yang berkekuatan hukum tetapa maka pihak ke tiga tidak
dapat masuk ke proses perkara.
2. Pertimbangan hukum majelis hakim dalam putusan
03/G/TUN/2007/PTUN.Yk adalah bahwa surat keputusan Bupati Sleman No.
410/kep. KDH/A/2006 tertanggal 17 November 2006 Tentang Penutupan
Tempat Pemakaman Umum Pedukuhan Ngentak Sapen Desa Catur Tunggal
kecamatan Depok tidak memenuhi unsur individual sebagaimana diatur dalam
Pasal 1 angka 3 UU PTUN sehingga majelis hakim mengabulkan eksepsi
tergugat dan menyatakan bahwa gugatan yang diajukan penggugat tidak dapat
diterima.
B. Saran
1. Kepada para pihak untuk menghormati dan melaksanakan putusan pengadilan
tata usaha Yogyakarta dengan penuh tanggung jawab. Bagi para pihak yang
merasa belum terpenuhi haknya atas putusan pengadilan tata usaha negara
dapat melakukan upaya hukum sesuai dengan prosedur yang sudah ada.
56
68
2. Kepada Pejabat Tata Usaha Negara, untuk ke depannya diharapkan
memperhatikan unsur-unsur kumulatif yang harus ada dalam sebuah
Keputusan Tata Usaha Negara, sehingga meminimalisir adanya gugatan
pembatalan Keputusan Tata Usaha Negara oleh pihak yang tidak menerima
Keputusan Tata Usaha Negara tersebut.
69
DAFTAR PUSTAKA
A.Siti Soetami. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Bandung :
Refika Aditama.
Burhan Ashofa. 2004. Metode Penelitian Hukum. Jakarta : PT. Rineka Cipta
HB. Sutopo. Metode Penilitian Kualitatif. Surakarta : UNS Press.
Martiman Prodjohamidjojo. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara
dan UU PTUN 2004. Bandung : Ghalia Indonesia.
Rozali Abdullah. 2001. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.
R. Wiyono. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : Sinar
Grafika.
Sudikno Mertokusumo. 2002. Hukum Acara Perdata Indonesia. Yogyakarta :
Liberty
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji. 2001. Penelitian Hukum Normatif. Jakarta :
PT. Raja Grafindo Persada.
S. F. Marbun. 2003. Peradilan Administrasi dan Upaya Administratif di
Indonesia. Yogyakarta : UII Press.
Y. Sri Pudyatmoko dan W. Riawan Tjandra. 1996. Peradilan Tata Usaha Negara
Sebagai Salah Satu Fungsi Kontrol Pemerintah. Yogyakarta : Universitas
Atma Jaya
Zairin Harahap. 2005. Hukum Acara Peradilan Tata Usaha Negara. Jakarta : PT.
Raja Grafindo Persada.
Undang-undang Dasar 1945.
Undang-undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman.
Undang-undang Nomor 3 Tahun 2009 Tentang Mahkamah Agung.
Undang-undang Nomor 51 Tahun 2009 Tentang Perubahan Kedua Atas Undang-
Undang Nomor 5 Tahun 1986 Tentang Peradilan Tata Usaha Negara.